Uploaded by Erwin Patra Jenggi

101770 224822 tugas bu hartini fix

advertisement
1. a. hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

Undang-undang Dasar 1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

PP (pengganti UU)

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Peraturan Pemeritah Provinsi (Tingkat I)

Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten (Tingkat II)
b. Dampak yang dapat terjadi apabila hierarki perundang-undangan
tidak dipatuhi yaitu akan terjadi tumpang tindih peraturan dan
perebutan kewenangan terhadap penerbitan IUP yang dimohonkan.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
/ Kota akan saling mengeluarkan IUP terhadap suatu wilayah yang
mengakibatkan sengketa lahan. Dampak paling buruknya adalah
hasil bahan galian tidak dapat termanfaatkan dengan baik untuk
kemakmuran rakyat akibat peraturan yang tumpang tindih.
Contohnya adalah : Sengketa hak atas tanah yang terjadi di Desa
Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, merupakan
sengketa antara PT IMMS dengan pihak pemilik lahan.
2.
Terdapat beberapa asas dan tujuan pertambangan minerba yaitu
sebagai berikut :
a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan
Manfaat merupakan asas dimana didalam pengelolaan sumber daya
mineral
dan
batubara
dapat
memberikan
kegunaan
bagi
kesejahteraan masyarakat banayak. Keadilan merupakan asas
dalam pengelolaan dan manfaat mineral dan batubara dimana
didalam pemanfaatan itu haarus memberikan hak yang sama rasa
dan rata bagi masyarakat banyak. Masyarakat dapat diberikan hak
untuk mengelola dan memanfaatkan mineral dan batubara dan juga
dibebankan kewajiban
untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidup. Selama ini masyarakat kurang mendapat perhatian karena
pemerintah selalu memberikan hak istimewa kepada perusahaanperusahaan besar dalam mengelola sumber daya mineral dan
batubara. Keseimbangan merupakan suatu asas yang menghendaki
bahwa dalam pelaksanaan pertambanngan mineral dan batubara
harus mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang setara dan
seimbang antara pemberi izin dan pemegang izin. Pemberi izin
dapat menuntut hak-haknya kepada pemegang izin. Begitu jjuga
pemegang izin dapat menuntut haknya kepada pemberi izin supaya
pemberi
izin
dapat
melaksanakan
kewajibannya,
seperti
memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang izin.
Ini berarti keseimbangan dalam hak dan kewajiban.
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa
Merupakan asas bahwa dalam pelaksanaan pertambangan dalam
mineral dan batubara bahwanpemerintah, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah harus memihak atau pro terhadap
kepentingan bangsa yang lebih besar. Ini berarti bahwa
kepentingan bangsa yang harus diutamakan dibandingkan dengan
kepentingan para investor. Namun demikian pemerintah juga harus
memperhatikan kepentingan investor.
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas
Partisipatif
merupakan
asas
bahwa
dalam
pelaksanaan
pertambangan mineral dan batubara, tidak hanya peran serta
pemberi dan pemegang izin semata-mata, namun
masyarakat
terutama masyarakat yang berada dilingkungan tambang harus ikut
berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan tambang. Wujud peran
serta masyarakat yaitu masyarakat dapat ikut bekerja dalam
perusahaan tambang, dapat menjadi pengusaha maupun distributor.
Transparansi
merupakan
asas
bahwa
dalam
pelaksanaan
pertambangan mineral dan batubara harus dilaksanakan secara
terbuka. Artinya setiap informasi yang disampaikan kepada
masyarakat oleh pemberi an pemegang izin harus disosialisasikan
secara jelas dan terbuka kepada masyarakat. Akuntabilitas
merupakan setiap pertambangan mineral an batubara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan. Asas akkuntabilitas ini erat kaitannya
dengan hak-hak yang akan diterima oleh pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang bersumber dari
kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Asas ini secara sederhana mengintegrasikan dimensi ekonomi,
lingkungan,
dan
pertambangan
social
mineral
budaya
dan
dalam
batubara
keseluruhan
untuk
usaha
mewujudkan
kesejahteraan masa kini dan masa yang akan datang.
3. A. Yang dimaksud dengan bagian dari tata ruang nasional adalah
Di Indonesia, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah arahan
kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara yang
dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan:

Pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
nasional;

Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah nasional;

Mewujudkan
perkembangan
keterpaduan,
antarwilayah
keterkaitan,
provinsi,
dan
keseimbangan
serta
keserasian
antarsektor;

Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;

Penataan ruang kawasan strategis nasional;

Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
yang antara lain untuk sektor pertambangan mengamanatkan
pengaturan kawasan peruntukan pertambangan sebagai berikut:
a. Kawasan peruntukan pertambangan sebagai bagian dari
kawasan budi daya
b. Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional
dibidang
pertambangan ditetapkan sebagai kawasan
andalan pertambangan
c. Kawasan pertambangan minyak dan gas bumi termasuk
pertambangan dan gas bumi lepas pantai sebagai kawasan
strategis nasional dari sudut kepentingan sumber daya alam.
Sedangkan pengaturan kawasan budidaya pertambangan dan
kawasan strategis nasional berbasis pertambangan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). RTRWN ini merupakan arahan
kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara yang terdiri
atas struktur ruang dan pola ruang. RTRWN mempunyai tujuan untuk
mewujudkan antara lain :
a. Ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
b. Keterpaduan :
•
RTRWN,
RTRW
Provinsi,
dan
RTRW
Kabupaten/Kota;
•
Pemanfaatan ruang darat, laut, dan udara termasuk
ruang di dalam bumi; dan
•
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota.
c. Pemanfaatan sumber daya alam bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat;
d. Keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah dan
antarsektor; dan
e. Pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi
nasional.
B. Dalam UU No. 4 tahun 2009 dikemukakan Wilayah
Pertambangan (WP) yaitu wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi.
Adapun wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah daratan, perairan
dan landas kontinen Indonesia. WP ini sebagai bagian dari tata ruang
nasional
yang merupakan landasan bagi
penetapan kegiatan
pertambangan. WP terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP),
Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR).
Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) harus disesuaikan
dengan tata ruang nasional bukan hanya mengikuti kepentingan
daerah tertentu. Sehingga, penetapan ini tak bisa hanya ditentukan
oleh pemerintah daerah melainkan harus berkoordinasi dengan
pemerintah pusat.
4. A.
B. Hubungan WUP, WPR dan WPN yaitu :
WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) ,
WPR (Wilayah
Pertambangan Rakyat), dan WPN (Wilayah Pertambangan Nasional)
memiliki hubungan terkait Wilayah atau daerah yang berkenaan
dengan Usaha Pertambangan. Yang membedakannya hanya Lingkup
dan Badan yang mengupayakan, menjalankan, dan mengelola usaha
tersebut.
dari ketiga wilayah tersebut yang lebih menjadi perhatian (yang
sewbaiknya pertama kali di tentukan) adalah:
Yang biasanya memerlukan perhatian lebih dalam penentuannya
adalah WPN di karenakan Usaha tambang yang akan di dirikan
melibatkan banyak pihak. Di perlukan BUMD/BUMN dimana di
utamakan BUMN agar aliran dana untuk investasi jaminan dan Pasca
tambang dapat terpenuhi. Sebab Investasi reklamasi dan pasca
tambang yang harus dipenuhi adalah biaya jaminan perusahaan yang
diberikan pada Negara pertama kali. Maka dapat disimpulkan, apabila
dalam persyaratannya pun melibatkan BUMN otomatis usaha yang
kelak dijalankan statusnya jelas dan dalam skala besar. Oleh sebab itu
pun, Pengelolaan WPN akan menjadi hal yang wajib untuk pertama
kali di perhatikan sebab Wilayah yang kelak digunakan pun milik
Negara dan dalam skala besar-besaran.
Akan tetapi apabila BUMN/BUMD menyatakan tidak sanggup
untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, barulah WPN
tersebut di lelang untuk diperebutkan perusahaan swasta yang ada.
5. A. penggunaan hak atas tanah sering menjadi perdebatan dalam
pelaksanaan usaha pertambangan :
dikarenakan pemahaman masyarakat mengenai hak atas tanah
yang beranggapan bahwa kekayaan yang ada di dalamnya adalah
kepemilikan pribadi masyarakat. Akan tetapi hal tersebut bertentangan
dengan pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga
masyarakat hanya memiliki hak atas tanah permukaannya saja
sedangkan kekayaan alam yang ada dibawahnya merupakan milik
negara yang dapat digunakan untuk kesejateraan rakyatnya.
Pembebasan lahan wajib dilakukan apabila WUP yang dimiliki
oleh perusahaan berkenaan dengan wilayah seperti : Pemukiman
warga, Hutan Lindung, ataupun mungkin berkenaan dengan Wilayah
Usaha Warga setempat. Apabila perusahaan tidak segera melakukan
pembebasan maka Perusahaan akan dinyatakan bersalah karena
melanggar perizinan WUP. Dan, individu yang merasa dirugikan dan
memiliki Hak atas Tanah wilayah yang dilanggar oleh perusahaan
dapat melakukan gugatan terhadap perusahaan terkait. Namun apabila
sebelumnya perusahaan telah melaksanakan prosedur pembebasan
lahan dan telah di buktikan dengan sertifikat pemilikan dan kesahan
Tanah untuk dijadikan WUP maka pihak lain tidak berhak dan tidak
dapat melakukan gugatan apapun.
6. A.
B. Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di sekitar WIUP dan
WIUPK penting menjadi perhatian setiap pemegang IUP dan IUPK
karena :
dalam UU No. 4 tahun 2009 disebutkan bahwa para pemegang
IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat. Penyusunan program tersebut untuk
kemudian akan dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat. Selanjutnya dalam UU Perseroan Terbatas
(UU PT), pengaturan mengenai program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat atau CSR (Corporate Social Responsibilty)
hanya terdapat dalam 1 (satu) pasal yakni Pasal 74. Pasal 74
menegaskan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang mana kewajiban
tersebut dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan
yang pelaksanaannya dilakukandengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Apabila kewajiban tersebut tidak dijalankan maka akan
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan pula
mengenai tujuan diberlakukannya kewajiban CSR, “untuk tetap
menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.”
setiap pemegang IUP harus melaksanakan program CSR-nya.
Dimana program CSR ini haruslah sesuai dan sejalan dengan program
dari masyarakat untuk menyejahterakan masyarakat disekitar WIUP
dan WIUPK. Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di sekitar
WIUP dan WIUPK ini juga termasuk didalam pengawasan dari
pemerintah, agar dapat berjalan dengan benar an tepat sasaran. Selain
itu, kegiatan usaha pertambangan yang berjalan di sekitar masyarakat
tersebut harus membawa dampak positif terhadap masyarakat
sekitarnya.
Ketentuan Pasal 74 UU PT kemudian diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PP
CSR). Salah satu pengaturan penting dalam PP CSR, terdapat dalam
Pasal 6, dimana diatur pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan
dimuat
dalam
laporan
tahunan
Perseroan
dan
dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Penjelasan Umum PP CSR
juga menguraikan tujuan pemberlakuan CSR. Pengaturan tanggung
jawab sosial dan lingkungan tersebut dimaksudkan untuk:
1.
Meningkatkan
kesadaran
Perseroan
terhadap
pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia;
2.
Memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan
3.
menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
sesuai
dengan
bidang
kegiatan
usaha
Perseoan
yang
bersangkutan.
Selanjutnya secara spesifik, pengaturan CSR di bidang industri
pertambangan mineral dan batubara diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Barubara
(UU Minerba). Dalam Pasal 108 UU Minerba dinyatakan “pemegang
IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan
masyarakat,
dikonsultasikan
kepada
penyusunan
Pemerintah,
program
pemerintah
tersebut
daerah,
dan
masyarakat. Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 108 UU Minerba
terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
tepatnya dalam Pasal 106-109.
Kementerian
ESDM
meyakini
kegiatan
pengembangan
masyarakat (Community Development) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya pengembangan sektor ESDM. Program ini
tidak hanya penting bagi pemilik perusahaan tetapi juga bagi
masyarakat sekitar dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif
bagi kegiatan perusahaan juga bagi pemberdayaan masyarakat yang
ada disekitar tambang.
7. A. cara mendapatkan WIUP dan WIUPK.
Tahapan mendapatkan WIUP :

Pada mineral non-logam dan batuan :
1) Pemohon mencari informasi, baik kepada DPMPTSP (Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
maupun kepada Dinas ESDM Provinsi setempat;
2) Setelah mendapatkan informasi tentang WIUP, Pemohon
melengkapi syarat-syarat dan mengajukan permohonan
WIUP.
3) Pemohon mengajukan permohonan ke DPMPTSP Provinsi
setempat;
a.
Dokumen tidak lengkap dikembalikan
b.
Dokumen lengkap siap diserahkan ke Dinas ESDM.
4) Dokumen diterima oleh Dinas ESDM Provinsi setempat
a.
Dinas ESDM melakukan disposisi surat masuk, mulai
dari Sekretariat kemudian ke Kepala Dinas, kemudian
diserahkan ke Bidang GMB (Geologi, Mineral dan
Batubara).
b.
Bidang
GMB
melakukan
verifikasi
data
awal
permohonan. Jika berkas lengkap maka akan diteruskan
ke proses rekomendasi. Disini Kepala Bidang GMB akan
meneruskan disposisi proses berkas ke bidang/balai. Jika
berkas kurang lengkap / data salah maka akan
dikembalikan ke DPMPTSP.
c.
Balai
ESDM
akan
melakukan
pemrosesan
dan
pengkajian data teknis terhadap berkas permohonan dan
mempersiapkan tinjauan lapangan.
d.
Balai ESDM melaksanakan peninjauan lapangan sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan. Dari hasil
kunjungan, tim teknis membuat draf laporan kajian
lapangan dan berita acara.
e.
Setelah selesai ditinjau dan tidak ada masalah maka tim
teknis Balai ESDM memproses dan menganalisis data
lapangan serta tindak lanjut selanjutnya membuat nota
dinas laporan peninjauan lapangan.
f.
Setelahnya Tim teknis Balai ESDM menyusun konsep
rekomendasi teknis WIUP dan berkas dinaikkan kembali
ke Bidang GMB. Bidang GMB menaikkan berkas ke
Kepala Dinas untuk menyetujui konsep/draf rekomendasi
teknis WIUP.
g.
Setelah Kepala Dinas menyetujui konsep/draft rekomtek
berkas dikembalikan kembali ke Bidang GMB untuk
dilakukan
pengarsipan
rekomendasi.
Setelahnya
rekomendasi teknis WIUP dikirimkan ke DPMPTSP.
h.

DPMPTSP mengeluarkan izin WIUP.
Pada mineral logam dan batubara :
1) WIUP mineral logam dan WIUP batubara ditetapkan oleh
Menteri setelah ditentukan oleh gubernur dan bupati/walikota
berdasarkan kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sebelum menentukan WIUP mineral
logam dan WIUP batubara yang akan diusulkan kepada
Menteri, Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya, wajib mengumumkan kepada masyarakat
secara terbuka. Dan apabila terdapat lebih dari 1 (satu)
permohonan WIUP mineral logam dan WIUP batubara maka
dilakukan pelelangan
2) Dilakukan pelelangan dengan tata cara pelelangan wilayah
izin
usaha
pertambangan
atau
wilayah
izin
usaha
pertambangan khusus mineral logam dan batubara yang
meliputi:

Persiapan Lelang

Pembentukan Panitia Lelang

Persyaratan Peserta Lelang

Prosedur Lelang

Dokumen Prakualifikasi

Dokumen Lelang

Pelaksanaan Lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan
dan
Wilayah
Izin
Usaha
Pertambangan
Khusus
Eksplorasi

Evaluasi dan Penetapan Pemenang Lelang

Jaminan Kesungguhan Lelang
Tahapan mendapatkan WIUPK :
1) Menteri menawarkan kepada BUMN dan BUMD dengan cara
prioritas untuk mendapatkan WIUPK mineral logam atau WIUPK
batubara setelah WIUPK mineral logam atau WIUPK batubara
ditetapkan. Apabila terdapat lebih dari 1 (satu) BUMN dan/atau
BUMD yang berminat, WIUPK mineral logam atau WIUPK
batubara diberikan dengan cara Lelang. Dan Apabila tidak ada
BUMN dan/atau BUMD yang berminat, WIUPK mineral logam
atau WIUPK batubara ditawarkan kepada badan usaha swasta
dengan cara lelang.
2) Dilakukan pelelangan dengan tata cara pelelangan wilayah izin
usaha pertambangan atau wilayah izin usaha pertambangan
khusus mineral logam dan batubara yang meliputi:

Persiapan Lelang

Pembentukan Panitia Lelang

Persyaratan Peserta Lelang

Prosedur Lelang

Dokumen Prakualifikasi

Dokumen Lelang

Pelaksanaan Lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi
B.

Evaluasi dan Penetapan Pemenang Lelang

Jaminan Kesungguhan Lelang
Dalam kegiatan usaha pertambangan perlu dilakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
minerba karena :
Dengan dilakuakn pembinaan dan pengawasan maka segala
kegiatan usaha pertambangan dapat berjalan dengan baik dan benar.
Sesuai amanat Undang-undang Minerba, ada kewajiban dari
pemerintah melalui Inspektur Tambang untuk melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha pertambangan. Adapun obyek utama
pengawasan dilakukan terhadap: (1) Teknis Pertambangan; (2)
Konservasi Sumberdaya Mineral dan Batubara; (3) Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Pertambangan; (4) Keselamatan Operasi
Pertambangan; serta (5) Pengelolaan Lingkungan Hidup, Reklamasi
dan Pascatambang.
Dalam pelaksanaannya, pengawasan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan dapat dilakukan oleh Menteri,
Gubernur dan/atau Bupati sesuai dengan kewenangannya masingmasing. Pengawasan dimaksud meliputi: Administrasi/Tata Laksana,
Operasional, Kompetensi Aparatur serta Pelaksanaan Program
Pengelolaan Usaha Pertambangan.
Pengawasan
dilakukan
dalam
rangka
pengawasan
dan
penjaminan, yaitu: (1) Tingkat kepatuhan dan pentaatan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pencapaian target
dari rencana kerja yang telah disusun dan disampaikan kepada
Pemerintah melalui RKAB dan RKTTL; (3) Mengetahui sejak dini
apabila terjadi penyimpangan berdasarkan ketentuan / peraturan
perundangan ataupun rencana kerja; dan (4) Dapat segera melakukan
koreksi bila terjadi perubahan rencana kerja atau perubahan kebijakan
Pemerintah.
Dengan pengawasan diharapkan terciptanya perencanaan tambang
yang benar; pelaksanaan kegiatan pertambangan mengacu pada kaidah
pertambangan yang baik; tidak terbuangnya bahan galian; aktivitas
pertambangan berlangsung secara aman, bebas dari: kecelakaan,
penyakit
akibat
kerja,
kejadian
berbahaya,
dan
pencemaran
lingkungan; serta termanfaatkannya lahan bekas tambang secara tepat
dan baik yang mendorong meningkatnya perekonomian rakyat.
8. Konsep tentang pengelolaan pertambangan yang baik dan benar pada
dasarnya berisikan
a. Peraturan perudangan dan perizinan
Kegiatan pertambangan yang mematuhi ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku didaerah atau Negara tempat
aktivitas pertambangan tersebut dilaksanakan. Dalam praktik
pertambangan yang baik harus sinkron antara kepentingan pembuat
regulasi dan kepentingan pemegang izin usaha pertambangan
(IUP). Pemerintah harus mampu memberikan kepastian dan
kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan pertambangan pada
satu sisi, sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP)
harus menaati peraturan dan kebijakan yang berlaku ditempat
tersebut pada sisi lain.
b. Teknik pertambangan
Pada prinsipnya, teknik pertambangan yang baik dapat dilakukan
apabila didalam aktiita pertambangan tersebut dilakukan hal-hal
sebagai berikut:

Eksplorasi harus dilakukan secara baik, benar, dan memadai.

Perhitungan cadangan layak tam,bang harus ditetapkan dengan
baik (tingkat akurasi tinggi)

Studi geohidrologi, geoteknik dan metalurgi harus dilakukan
secara baik dan benar.

Studi kelayakan yang komperhensif dengan didukung data
yang cukup, perlu didukung dengan baik termasu studi
lingkungannya.

Teknik dan sistem tambang serta proses pengelolaan atau
pemurnian harus direncanakan dan dilaksanakan secara baik.

Teknik konstruksi dan pemilihan peralatan harus tepat guna.

Sistem pengangkutan bahan tambang harus tept guna.

Sistem pengangkutan bahan tambang harus terencana baik,
termasuk pemilihan alat angkut dan alat berat lainnya.

Produksi hendaknya disesuaikan dengan jumlah ketersediaan
cadangan dan spesifikasinya.

Program pasca tambang harus terencana dengan baik sebelum
seluruh aktifitas dihentikan. Pada pasca tambang harus segera
dilakukan kegiatan penataan dan reklamasi pada lahan bekas
tambang
yang
disesuaikan
dengan
perencanaannya.
Pelaksanaan penataan dan reklamasi sebaiknya mengacu pada
rencana tata ruang daerah yang bersangkutan dan disesuaikan
dengan kondisi lahan.
c. K3
Praktik
pertambangan
yang
baik
sangat
memperhatikan
keselamatan dan kesehatan pekerjanya. Dalam hal ini, perusahaan
berkewajiban meliputi pembinaan, pelatihan atau pendidikan, dan
melakukan control terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan
upaya meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal yang
dilakukan adalah dengan melakukan regulasi dan pengguanaan
alat-alat perlindungan diri, agar terhindar dari kecelakaan yang
sering terjadi pada saat kerja.
d. Lindungan lingkungan pertambangan
Lingkungan aktivitas pertambangan yang selalu menunjukkan
kepedulian terhadap dampak lingkungan. Tidak bisa seratus persen
dihindari, dalam eksplrasi, perencanaan, dan design produksi,
pemilihan metode an teknologi, penempatan-penempatan bangunan
pendukung pengelolaan tailing, reklamasi dan pasca eksploitasi
hendaknya benar-benar memperhatikan aspek lingkungan.
e. Peningkatan nilai tambah
Berdasarkan pasal 103-104 UU No.4 tahun 2009 tentang
Minerba, para pelaku usaha (pemegang Izin Usaha Pertambangan)
operasi produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah
melalui proses pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam
negeri. Peningkatan nilai tambah tersebut dapat meningkatkan nilai
jual bahan galian tersebut hingga 10 – 14 kali dari bahan mentah
melalui smelting. Keuntungan peningkatan nilai tambah yaitu :

Nilai tambah pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat,

Nilai tambah surplus usaha untuk menarik minat investor
menanamkan modal,

Nilai
tambah
pendapatan
pajak
untuk
meningkatkan
kemampuan dan kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan
daerah (APBD),

Nilai tambah tenaga kerja untuk memperluas lapangan
pekerjaan
bagi
masyarakat
sekaligus
mengurangi
pengangguran dan kemiskinan.
f. Standarisasi pertambangan
Memasuki era perdagangan global, pelaku usaha dituntut untuk
memiliki daya kompetitif tinggi(kinerja,harga,mutu dan jaminan
produk), dengan mengikuti standar dan aturan negara tujuan
ekspor/impor. Kecenderungan dunia menuju satu pasar, satu
standar, satu sistem penilaian kesesuaian serta transparasi dalam
pemberlakuan peraturan teknis akan mewujudkan persaingan yang
sehat dan tidak ada diskriminatif terhadap produk yang beredar di
pasar.
Tujuan standarisasi pertambangan :
Meningkatkan efisiensi, perlindungan konsumen, tenaga kerja
dan masyarakat lain baik dari aspek keselamatan, keamanan,
kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kegiatan standarisasi di lingkungan pertambangan umum
berkembang sesuai sistem standarisasi nasional yang berlaku. Hal
ini terlihat dengan telah lengkapnya komponen standarisasi yang
selama ini merupakan kegiatan rutin unit teknis. Oleh sebab itu,
program yang perlakukan saat ini adalah pengembangan kegiatan
yang selaras dengan perkembangan standarisasi secara nasional
serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu
sebagai bagian dari perangkat yang dibutuhkan dalam pengelolaan
dan pengembangan standarisasi dilingkungan departemen energi
dan sumber daya mineral.
Dengan terbitnya PP No. 102/2000 yang akan segera diangkat
menjadi Undang – undang maka departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral Cq. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya
Mineral terus merumuskan kebijakan baru dibidang standarisasi
pertambangan serta selaras dengan kebijakan standarisasi secara
nasional.
Dengan berlakunya UU No. 13/ 2003 Tentang Ketenaga
Kerjaan , maka seluruh komponen industri dan jasa berkewajiban
meningkatkan kompetensi profesi tenaga kerjanya agar dapat
bersaing dengan tenaga kerja asing. Untuk itu menjadi kewajiban
dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mneral dan Direktorat
Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral untuk merumuskan
kebijakan yang terkait sehingga dalam penerapannya berjalan
secara optimal.
g. Perencanaan penutupan tambang
Kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi social menurut
kondisi
local
diseluruh
wilayah
penambangan.
Kegiatan
pertambangan bersifat proyek, jadi ada jangka waktu perrhitungan
yang jelas, maka pasca tambang diharapkan mampu memberikan
manfaat berkelanjutan pada social dan lingkungan sekitar tambang.
Beberapa prinsip dalam perencanaan dan pelaksanaan pasca
tambang yang harus menjadi perhatian antara lain :

Perlu
adanya
transparansi,
komunikasi
yang
terbuka,
komitmen, dukungan dan partisipasi yang ber-asal dari seluruh
stake holders (pemerintah, masyarakat dan pelaku bisnis).

Perencanaan dan pelaksanaannya harus sejalan dengan
ketentuan dan standard yang berlaku.

Rencana pasca tambang harus dapat diterima oleh seluruh
stake holders dan sesuai dengan keinginan publik.

Pelaksanaan harus mempunyai target terjaminnya keselamatan
lahan
ex
tambang,
terpeliharanya
lingkungan dan lahan ex tambang dapat pergunakan kembali
untuk kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat.

Pelaku kegiatan harus dapat mempertanggung-jawabkan dari
aspek teknik dan sosio-ekonomi.

Pelaksanaan kegiatan pasca tambang harus disesuaikan dengan
rencana pembangunan daerah.

Secara teknis dan ekonomis, pelaksanaan pasca tambang dapat
dilaksanakan.

Ditangani oleh sumber daya manusia yang profesional dan
paham.

Program pasca tambang harus dipantau secara kontinyu dan
segera direvisi jika terjadi perubahan.

Program hendaknya bersifat adaptatif terhadap adanya
perubahan kondisi.

Harus ada kriteria yang jelas terhadap tingkat keberhasilan
secara kuantitatif.

Jaminan pasca tambang perlu ada dalam jumlah yang
memadai.
Download