PERSIA SENI LUKIS: DAN PEMIKIRANNYA PADA MASA PERMULAAN ISLAM Salah satu perwujudan estetika Islam yang sering dikesampingkan ialah seni lukis. Padahal tradisinya memiliki sejarah panjang. Sebab-sebabnya mungkin karena seni lukis dalam tradisi Islam berkembang pesat di luar kebudayaan Arab, seperti Persia, Asia Tengah, Turki, India Mughal, dan Nusantara. Sedangkan apa yang disebut kebudayaan Islam kerap diidentikkan dengan kebudayaan Arab. Kecenderungan tersebut tampak pada sebutan ‘arabesque’ terhadap ragam hias tetumbuhan yang mengalami perkembangan pesat sejak berkembangnya agama Islam dan peradabannya. Sebab yang lain ialah anggapan bahwa larangan menggambar makhluq hidup yang bergerak seperti manusia dan binatang benar-benar didasarkan atas sumber al-Qur’an. Padahal ketidaksenangan ulama atau fuqaha tertentu terhadap seni lukis, sebagaimana terhadap seni pada umumnya, lebih didasarkan pada hadis tertentu yang kesahihannya masih terus diperdebatkan sampai sekarang. Pandangan bahwa lukisan figuratif tidak dibenarkan dalam Islam bersumber dari teksteks abad ke-11 dan 12 M, ketika ulama fiqih dan ilmu syariat mulai dominan dalam Islam. Dan mulai bertabrakan pandangan dengan para filosof (hukama) dan sufi berkaitan dengan manfaat seni dalam peradaban religius. Teks-teks sebelum abad tersebut malah tidak mempersoalkan kehadiran lukisan figuratif. Di negeri-negeri yang telah disebutkan malah abad ke-12 dan 13 M merupakan periode pesatnya perkembangnya seni lukis khususnya, dan seni rupa umumnya, dalam sejarah kebudayaan Islam. Lukisan-lukisan yang dihasilkan pada masa awal itu umumnya berupa lukisan miniature atau lukisan berukuran kecil yang pada mulanya dimaksudkan sebagai ilustrasi buku. Baru pada abad ke-17 M lukisan berukuran besar pada dinding berkembang pesat di negeri-negeri seperti Persia, Iraq, Turki, Asia Tengah, dan India Mughal. Sejalan dengan itu estetika atau teori seni juga berkembang. Peran estetika estetika menonjol karena mempengaruhi corak seni lukis secara umum. Pada mulanya seni lukis dalam Islam muncul di wilaah-wilayah yang sebelum datangnya Islam telah memiliki tradisi seni lukis yang telah maju. Khususnya Persia, Iraq dan Asia Tengah. Di kawasan-kawasan ini peradaban besar masa lalu telah muncul seperti Mesopotamia, Sumeria, Assyria, Babylonia, Sughdia dan Persia. Tidak heran jika lukisan tradisi Islam paling awal dijumpai di wilayah-wilayah ini. Lukisan tertua misalnya dijumpai pada dinding istana Bani Umayyah yang dibangun oleh Sultan Walid I pada tahun 712 M di Qusair Amra, Syria. Juga lukisan di tembok bekas istana Sultan al-Mu`tazim dari Bani Abbasiyah di Samarra, Iraq, yang dibangun pada tahun 836-9 M. Tembok bekas istana Sultan Walid I, yang terletak di tengah padang pasir itu, dipenuhi lukisan alegoris dan gambar berbagai jenis tumbuhan serta hewan. Asal-usul seni lukis dekoratif Islam (arabesque) mungkin dapat dilacak melalui gambar tersebut. Gambar di dinding istana Samarra memperlihatkan perkembangan lanjut yang penting. Di situ terdapat gambar gadis-gadis yang sedang menari, menyanyi dan bermain musik. Ini menggambarkan meriahnya kehidupan seni pertunjukan di istana kekhalifatan Abbasiyah di Baghdad sejak awal. Di antara gambar menarik ialah gambar burung sedang terbang. Pada masa selanjutnya burung dijadikan tamsil bagi roh manusia yang selalu merindukan asal-usulnya di alam ketuhanan (`alam al-lahut) dan karenanya burung merupakan satu-satunya binatang yang muncul sebagai motif utama seni hias Islam. Sosok manusia digambar dalam pola lingkaran. Contoh serupa dijumpai pada sejumlah benda keramik dari zaman yang sama. Yang lebih menarik lagi ialah bahwa gambar di istana Abbasiyah itu dipengaruhi gaya Sassaniyah Persia abad ke-2 dan 7 M. Benda estetik Islam lain juga dijumpai di Nisyapur, Iran Utara, berupa gambar berelung pada gip yang menampilkan motif vas dan bunga. Latar biru pada gambar itu lazim dijumpai pada lukisan miniatur Persia abad ke-13 sampai 17 M. Gambar tersebut besar kemungkinan dibuat pada abad ke-10 M ketika Nisyapur berkembang menjadi pusat peradaban Islam dan pusat pembuatan keramik terbesar di luar Cina. Bukti lain bahwa pada abad ke-10 M seni lukis telah berkembang ialah dijumpainya fresco-fresco peninggalan Bani Fatimiyah yang memerintah Mesir dari abad ke-10 sampai abad ke-12 M. Fresco-fresco Mesir itu menampilkan lukisan geometris khas Islam. Selain itu juga terdapat gambar figur berupa orang sedang memegang gelas minuman. Sangat disayangkan memang tak banyak karya pelukis Muslim pada zaman permulaan itu yang dijumpai. Dua bencana besar telah menghapus jejaknya. Pertama, kebakaran yang meludeskan perpustakaan Bani Fatimiyah di Kairo pada abad ke-12 M. Hampir seluruh manuskrip berharga dari abad ke-8 sampai 12 M yang jumlahnya ratusan ribu hangus ditelan api. Padahal dalam naskah-naskah kuna itu terdapat banyak ilustrasi yang menjelaskan perkembangan seni lukis abad ke-9 – 10 M dalam Islam. Beberapa fragmen yang dijumpai dan selamat dari jilatan api ialah gambar kepala perajurit sedang berangkat ke medan perang. Gayanya mirip dengan gaya Iran dari abad yang sama. Bencana kedua ialah musnahnya perpustakaan kekhalifatan Baghdad pada masa penyerbuan tentara Mongol pada tahun 1256 M. Namun masih untung, karena beberapa manuskrip berisi ilustrasi, yang dibuat pelukis Muslim abad ke-12 dan awal abad ke-13, masih dijumpai dalam jumlah memadai. Di antaranya manuskrip yang memuat lukisan miniatur karya al-Wasiti, seorang pelukis terkenal pada zaman akhir kekhalifatan Abbasiyah. Lukisan alWasiti dijumpai pada manuskrip berisi salinan teks Maqamat, kumpulan cerita pendek karangan al-Hariri. Bahwa pada abad ke-11 dan 12 M seni lukis berkembang, khususnya di wilayah Persia, tampak pada adanya uraian tentang seni lukis dan pelukis dalam beberapa karya sastra masyhur. Misalnya dalam Shah-namah (1009 M) karya Firdausi, Iskandar– namah dan Khamza karya Nizami (w. 1202 M). Dalam dua buku itu, masalah seni lukis dan pandangan seniman Muslim tentang seni lukis disajikan secara jelas. Juga dijelaskan pengaruh seni lukis Byzantium dan Cina. Keterangan tentang pesatnya perkembangan seni lukis juga ditemui dalam buku-buku karangan Imam al-Ghazali (w. 1111 M) seperti Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya-i-Sa`adah. Dalam bukunya itu Imam al-Ghazali membahas hadis yang memuat larangan menggambar mahluq hidup di luar tetumbuhan. Penjelasan serupa juga dijumpai dalam beberapa teks abad ke-13 dan 14 M,Bustan dan Gulistan karya Sa`di (w. 1292 M) dan Matsnawi karya Jalaluddin Rumi (12071273 M). Pada masa ketika teks-teks tersebut ditulis, teori seni dan imaginasi telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam. Pada masa yang sama negeri Persia secara bergantian berada di bawah kekuasaan dinasti Persia, Turk dan Mongol (Il-khan). Dinasti-dinasti ini dikenal sebagai pencinta dan pelindung seni lukis. Seni lukis berkembang pesat terutama pada zaman Bani Ilkhan Mongol (1258-1395 M) memerintah Iraq dan Persia sejak jatuhnya kekhalifatan Abbasiyah. Sejak akhir abad ke-13 M banyak pelukis Cina didatangkan oleh sultan-sultan Mongol untuk menghiasi dinding-dinding istana mereka. Dari para pelukis Cina inilah pelukispelukis Muslim mempelajari tehnik melukis dan mengolah warna, serta cara-cara membuat kertas yang bermutu tinggi. Dalam bukunya Islam and Muslim Art (1979) Alexandre Papadopulo mengatakan bahwa seni lukis Islam berkembang semarak antara tahun 1335-1350 M dan berakar pada tradisi seni lukis Persia yang berkembang di Mesir pada abad ke-10 M. Walaupun dipengaruhi seni lukis Cina, namun motif estetik yang melandasi penciptaan seni lukis Islam pada waktu itu sangat berbeda dengan motif estetik pelukis Cina. Motif pelukis Cina didasarkan pada Taoisme yang menganjurkan gagasan penyatuan dengan alam. Karena itu lukisan Cina didominasi lukisan tentang alam. Teori yang mereka gunakan ialah teori representasi dengan pendekatan semi naturilistik. Pelukis-pelukis Taois juga percaya bahwa pemandangan alam, apabila dihadirkan dengan ketrampilan artistik yang tinggi, dapat merepresentasikan perasaan dan pikiran manusia yaitu pelukisnya dengan baik Pelukis Muslim bersikap sebaliknya. Meniru gambar alam atau membuat lukisan dengan mengedepankan hasil pencerapan indera berarti merendahkan peranan akal pikiran dan imaginasi, yang merupakan tanda utama keunggulan manusia dari makhluq lain. Karena mengedepankan akal pikiran dan imaginasi maka yang dihasilkan ialah lukisan yang bukan sekadar representasi dari obyek-obyek yang dapat dicerap indera, apalagi tiruan dari obyek. Lukisan-lukisan karya seniman Muslim cenderung adalah hasil stilisasi dan simbolisasi atas bentuk.atau tidak jarang cenderung ke abstrak imaginatif. Sebagai contoh ilustrasi dalam teks Kitab al-Tsabita yang disalin pada awal abad ke-13. Di situ gambar manusia tidak disertai gerak tubuh dan cenderung linear. Bahkan sosok manusia diubahsuai ke dalam bentuk abstrak. Memang secara teknis lukisan tersebut dipengaruhi oleh seni lukis Cina, sebagaimana terlihat pada garapan garis yang sempurna dan rapi dalam gambar kaki sapi. Penggunaan warna emas dan perak untuk iluminasi dan garis pinggir membuat lukisan tersebut hadir sebagai lukisan abstrak. Contoh lain ialah ilustrasi dalam manuskrip Kitab al-Aghani (karya al-Isfahani) dan Kitab al-Diryaq (terjemahan buku Galenus) yang disalin pada akhir abad ke-12 M. Lukisan-lukisan dalam dua manuskrip inilah yang berpengaruh terhadap lukisan-lukisan abad ke-13 M. Ciri-cirinya antara lain: (1) Sosok manusia digambar statik, tanpa peragaan atau modelling; (2) Watak individual masing-masing sosok ditonjolkan, suatu hal yang tidak dijumpai dalam lukisan Cina dan Jepang yang sezaman; (3) Motif seni hias yang disertakan sangat beraneka ragam; (4) Warna yang digunakan dipilih dengan tujuan mencipta harmoni dan keseimbangan dalam ruang otonom; (5) Ornamentasi menggunakan menggunakan gaya arabeska; (6) Ruang yang otonom dibentuk dengan membuat spiral. Yang menentukan bobot lukisan itu ialah bangunan geometrisnya, bukan kemiripan gambar dengan kenyataan. Dalam tradisi manapun perkembangan seni dan aliran-alirannya selalu dipengaruhi oleh penerimaan dan penghargaan masyarakatnya. Namun pengaruh yang lebih besar lagi bagi kecenderungannya ialah perkembangan wawasan dan gagasan yang sedang tumbuh pada zamannya. Perkembangan paling pesat mengambil tempat di Persia pada abad ke-13 dan 14 M, sehingga tidak heran apabila lukisan Islam diidentikkan dengan lukisan Persia. Di sini pelukis selalu dikaitkan dengan Manu, seorang penganjur agama sinkretik pada abad ke-3 M yang juga seorang pelukis terkenal. Manu lahir di Babylonia pada tahun 216 M dan wafat pada tahun 277 dalam tahanan di penjara Gundeshpur. Raja Bahram I dari Bani Sassan yang berkuasa menganggap ajaran Manu sesat. Pengikut ajarannya banyak yang dibunuh, namun Manu sendiri berhasil menyelamatkan diri. Dia mengembara ke Asia Tengah dan Cina di mana dia memperoleh banyak pengikut. Agama yang dia ajarkan merupakan campuran Kristen, Buddhisme dan Zarathustraisme dan bersifat dualistis. Alam dunia ini ialah pertentangan abadi antara kekuatan baik dan buruk, yang dilambangkan dengan Cahaya dan Kegelapan. Berbeda dengan penganjur agama sebelumnya, Manu punya kelebihan: Dia seorang pelukis dan sastrawan, serta ahli pidato yang ulung. Dalam Shah-namah (1004) Firdawsi menyatakan bahwa Manu menyebarkan agama tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan lukisan. Namun karena ajaran agamanya bertentangan dengan agama resmi yang dianut raja-raja Bani Sassaniyah dan popularitasnya mengancam kedudukan pendeta Zoroaster(mubad), dia didakwa sebagai nabi yang sesat. Setelah ajaran agamanya diumumkan sesat para pengikut Manu dikejar dan ditangkapi. Manu sendiri dan beberapa sisa pengikutnya yang setia dapat melarikan diri dan pada akhirnya mengembara ke Asia Tengah dan Cina. Di setiap negeri yang didatangi dia ternyata mendapatkan banyak pengikut baru. Dia berhasil berdakwah melalui media seni lukis. Kepada para pengikutnya yang berbakat Manu mengajar seni lukis. Mereka membangun kuil yang indah, yang dinding luar dan dalamnya penuh dengan lukisan yang menarik. Para pengikut agama Buddha dan Tao terpengaruh oleh kuil-kuil Manuisme dan meniru membangun kuil yang dipenuhi lukisan sebagaimana kita saksikan sampai sekarang. Melalui penyebaran agama Manu pada abad ke-3 M ini pulalah lukisan Persia tersebar dan pengaruh di Asia Tengah dan Cina. Namun pada gilirannya nanti setelah seni lukis Asia Tengah dan Cina berkembang pesat, dan di Persia mengalami kemunduran, orang-orang Persia kembali belajar kepada orang-orang Cina. Tetapi yang paling penting dalam kaitannya dengan tradisi lukisan miniatur ialah kisah yang dialami Manu ketika untuk pertama kalinya akan menginjakkan kaki di negeri Cina. Menurut cerita ketika penduduk negeri Cina mendengar Manu akan mengunjungi negeri itu untuk menyebarkan agama baru, beberapa pelukis Cina berkumpul dan sepakat menggambar kolam air pada sebuah hamparan batu besar. Gambar itu diletakkan di perbatasan tempat Manu akan memasuki negeri Cina. Lukisan kolam air selesai dibuat tidak lama sebelum Manu menginjakkan kaki di wilayah itu. Manu mengira bahwa lukisan kolam air itu benarbenar kolam. Ketika dia melangkah kendi air yang dibawanya jatuh dan pecah. Kini dia tahu bahwa kolam itu hanya sebuah gambar untuk memperdaya dirinya. Agar orang lain yang melewati tempat itu tidak terkecoh maka Manu kemudian menggambar bangkai anjing di atas gambar kolam itu. Gambar itu sangat bagus dan membuat jijik orang yang melihatnya. Dengan demikian orang-orang yang melalui jalan itu tidak akan menginjakkan kaki di kolam itu. Pelukis-pelukis Cina sangat kagum terhadap Manu. Sejak itu Manu diikuti oleh orang banyak dan khotbah-khotbahnya selalu dihadiri orang ramai. Namun penulis-penulis Persia memberi makna dan penafsiran berbeda-beda terhadap peristiwa itu. Menurut Nizami, Manu dipandang murtad oleh para pendeta Zoroaster (mubad) karena menggambar realistik sehingga dapat menyingkap kebenaran. Lawannya para mubad disamakan dengan ulama fiqih yang memandang pelukis sebagai penyembah berhala dan dapat melukis bagus berkat bantuan ilmu sihir. Firdawsi menyebut Manu sebagai nabi yang berdakwah dengan lukisan dan pengikut Manu Efrahim mengatakan bahwa Manu pernah berkata: “Aku menulis ajaranku dalam kitab dan menggambarkannya dengan warna dan garis; mereka yang memahami melalui kata-kata tidak perlu melihat lagi dalam gambar dan mereka yang hanya dapat memahami melalui gambar biar melihat ajaranku melalui gambar karena mereka tidak dapat memahami melalui kata-kata.” Para penulis Islam abad ke-12 M menafsirkan pengalaman Manu di negeri Cina itu sebagai berikut: Kolam air yang memantulkan bayangan diumpamakan sebagai mata hati seorang seniman yang kaya dengan imaginasi dan gambar anjing merupakan kias bahwa seorang pelukis bukan tukang sihir yang kerjanya menipu orang. Pendek kata apa yang dikemukakan para sastrawan Persia abad ke-11 dan 12 ini merupakan pembelaan terhadap eksistensi pelukis seraya menyindir para ulama fiqih yang mereka samakan dengan para mubad atau pendeta ortodoks Zoroaster. Menurut para penulis di atas kedudukan dan peranan pelukis sangat penting dalam peradaban dan kehidupan agama. Kalau sebuah ajaran disampaikan dengan gambar atau lukisan mungkin orang lebih mudah menangkap ajaran suatu agama dibandingkan dengan penyampaian melalui kata-kata. Penyampaian melalui lukisan langsung dapat diserap oleh pancaindera dan tidak jarang penikmatan indera bersifat subtil dan merangsang intuisi dan pikiran. Untuk membela kedudukan pelukis, dalam bukunya Gulistan Sa`di menyamakan bukunya dengan sebuah lukisan masterpiece dalam Galeri Seni Rupa (arzang) Cina. Sa`di berpendapat bahwa karya sastra ialah lukisan yang menggunakan media kata-kata. Sebagaimana dalam lukisan, yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Namun hanya pantulan imaginasi, gagasan dan pikiran. Gambar dalam lukisan bukan sesuatu yang bernyawa, akan tetapi hikmah (al-hikmah) yang ditransformasikan ke dalam obyek penikmatan indera (estetik). Fungsi lukisan ialah mendidik orang supaya terdorong mengaktifkan penglihatan indera dan batinnya sekaligus, sebab keduanya – penglihatan indera dan penglihatan batin– memiliki hubungan erat. Sebagai anugerah Tuhan pancaindera berhak memperoleh hidangan rohani yang sehat, yang dapat dipenuhi hanya oleh benda-benda seni yang memiliki nilai estetik tinggi. Membela kedudukan pelukis dalam bukunya Khamza, Nizami sengaja menyebutkan bahwa menjadi pelukis lebih sukar dibanding menjadi arsitek. Menurut Nizami seorang pelukis menjadi pelukis bukan hanya karena bakat dan cita-cita, melainkan terutama disebabkan pendidikan dan latihan yang diterimanya. Pada abad ke-12 dan 13 M di Persia untuk menjadi pelukis seseorang harus mempelajari geometri, astronomi, ilmu optik, kaligrafi, tarikh atau sejarah, tasawuf, ilmu tafsir dan sastra. Karena itu kegiatan melukis dipandang sebagai kegiatan intelektual bukan semata-mata kegiatan artistik. Namun berbeda dengan filosof atau ilmuwan yang mengandalkan keahliannya pada penguasaan akal dan bacaan yang banyak, serta penelitian dan eksperimen, keahlian seorang seniman dalam bidangnya ditentukan oleh imaginasi dan intuisinya. Menurut Nizami seorang pelukis dapat membuat lukisan yang bagus dan berbobot tidak disebabkan karena memiliki bakat dan ketrampilan artistik, tetapi terutama disebabkan memiliki imaginasi (khiyal)yang kaya. Pelukis yang memiliki imaginasi kaya dapat melukis di mana saja, juga pada air yang sedang mengalir. Dengan pendapatnya itu Nizami hendak mengatakan bahwa sebuah lukisan itu lahir dari imaginasi bukan dari kenyataan sebenarnya. Maka kegiatan seni lukis dipandang sebagai kegiatan intelektual yang bersifat imaginatif, intuitif dan rekreatif. Penjelasan tentang imaginasi dijumpai dalam buku Arudi yaitu Chadar Maqala.Imaginasi ialah fakultas jiwa yang berfungsi menyimpan gambar-gambar yang dicerap pancaindera dari dunia luar sehingga dengan demikian gambar-gambar itu tetap tersimpan dalam otak walaupun benda-benda yang dilihat indera sudah tidak ada. Dengan kata lain imaginasi ialah fakultas jiwa yang memiliki ingatan visual yang kuat. Seniman yang memiliki ingatan visual kuat akan mudah melahirkan lukisan yang baik. Penulis lain yaitu Dust Muhammad mengumpamakan seniman yang penglihatan kalbunya tajam dan imaginasinya kaya sebagai cermin yang mudah menangkap image (suwari)apa saja yang datang dari luar. Lukisan yang indah, menurut Dust Muhammad, dicipta oleh pelukis yang penglihatan hatinya terang. Perumpamaan cermin juga digunakan Rumi. Menurut Maulana Rumi ialah cermin penglihatan kalbu yang sanggup menerima kesan atau pantulan dari dunia luar dengan baik dan melalui cermin penglihatan kalbu itulah sebuah lukisan memantul. Rumi menyamakan gambar dalam lukisan dengan bayang-bayang dalam cermin. Sebagaimana bayang-bayang dalam cermin, gambar dalam lukisan tidak bernyawa. Nyawa dicipta oleh Tuhan dan ia berada di tempat lain tidak dalam cermin. Kalau gambar lukisan seperti bayang-bayang dalam cermin, maka gambar yang sesungguhnya tidak hadir dalam cermin. Gambar yang sesungguhnya tersembunyi dalam jiwa si pelukis. Atau sebagaimana dikatakan Nizami: Setiap lukisan (surah) yang dibuat pelukis (surat-gar) memiliki pantulan (nishan) tetapi bukan jiwa mereka mengajarku melukis, tetapi pakaian jiwa tersembunyi di tempat lain, melalui cara demikian itulah para sastrawan Persia membela kedudukan pelukis dan seni lukis dalam peradaban Islam. Mereka membela pelukis dari tuduhan yang menganggap mereka menggambar makhluq hidup. Pelukis tidak menggambar makhluq hidup, tetapi menghadirkan gambar berdasar apa yang dilihat dalam imaginasinya. Karena itu gambar tdalam lukisan tidaklah bernyawa. Gagasan dan pemikiran tersebut melahirkan konsep bahwa seni bukan tiruan alam. Nuansa Spiritual dalam Seni Persia Manusia adalah makhluk yang dianugerahi kekuatan kreativitas tinggi yang membuatnya mampu melahirkan cipta karya. Manusia mencari keindahan yang terkadang keinginan itu menggelora dan terkadang redup. Namun demikian, makhluk ini selalu menyampaikan kata hatinya lewat karya yang dibuatnya. Ada kalanya hal itu dituangkan dalam bentuk ukiran di atas lempengan logam atau bongkahan batu dan terkadang disampaikan dalam bentuk tulisan dan alunan musik. Seni merupakan satu hal yang selalu mewarnai kehidupan umat manusia dan menambah keindahan kehidupan. Sejarah mengabadikan karya para seniman yang berjalan mengiringi setiap detik kehidupan manusia. Karya seni menunjukkan esensi pemikiran, norma, keyakinan, dan emosi manusia di setiap masa dan tempat. Sejak mengenal seni melukis pahatan di dinding gua, manusia menunjukkan kecenderungannya yang kuat untuk lari dari gulita alam materi demi meraih hakikat yang lebih unggul. Upaya ini dalam beberapa periode sejarah manusia nampak menonjol. Sebab, jiwa seniman selalu menuntunnya untuk mencapai hakikat yang lebih unggul untuk dilukiskan dalam bentuk karya seni seperti pahatan, lukisan dan tulisan. Dari sisi inilah dapat dikatakan bahwa seni mempunyai dimensi spiritualitas yang membangun. Sisi spiritual ini memiliki nilai khusus dan bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan kesehatan rohani dan mental masyarakat. Kerajinan tangan di setiap negeri menunjukkan nilai industri lokal dan nilai seni leluhur masyarakat setempat. Kerajinan tangan dipandang sebagai identitas dan penjelasan akan sejarah sebuah masyarakat. Karena itu, dengan mengenal seni kerajinan tangan suatu daerah orang akan mengenal daerah itu dan masyarakatnya. Layak dicatat bahwa Iran adalah salah satu dari tiga kutub utama seni kerajinan tangan di Asia bahkan dunia. Dari sisi keberagaman, seni kerajinan tangan Iran menempati posisi teratas. Temuan arkeologi menunjukkan bahwa karya kerajinan tangan bangsa Iran tempo dulu selain memiliki nilai strategis juga lekat dengan keyakinan dan nilai-nilai reliji bangsa ini. Bangsa Iran memeluk agama Islam pada abad ketujuh Masehi. Karya seni bangsa Iran sejak masa itu kental dengan nilai-nilai keislaman. Berbagai bidang seni seperti arsitektur, pembuatan porselen, anyaman permadani, kerajinan logam dan tanah liat adalah diantara seni kerajinan yang ditekuni orang Iran sejak dahulu kala. Kerajinan tangan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa ini. Karya seni bangsa Iran sejak masuknya Islam selalu membawa pesan kedamaian dan spiritual kepada penikmat seni. Dalam persepsi ini, seniman berusaha menggambarkan imajinasinya tentang dunia, manusia dan alam ciptaan, seperti yang bisa disaksikan dalam karya lukis. Bangsa Iran punya gaya seni lukis yang khas, sehingga bisa dikatakan bahwa gaya seni ini adalah seni tradisional bangsa Iran yang umumnya dipengaruhi oleh spiritualitas, aqidah dan norma-norma suci yang diajarkan Islam. Dalam gaya seni ini, seniman dengan menggunakan garis-garis dan warna yang sederhana mengambarkan alam dunia dengan indah. Seniman lukis gaya ini di Iran menghindari untuk bersentuhan langsung dengan fenomena fisikal sehingga karyanya bisa menjauh sejauh mungkin dari nuansa materi dan mendekat sedekat mungkin ke dalam suasana spiritual. Karena itu dapat dikatakan bahwa dalam seni lukis aliran ini, penikmat seni diajak untuk berpetualang di alam spiritual. Apalagi seniman dalam karyanya sengaja menggunakan warna biru, kuning keemasan dan hijau dalam lukisannya. Hal itu menunjukkan kejelian seniman tradisional Iran dalam berkarya seni. Dalam seni pemasangan porselen di bangunan, seniman Iran menggunakan warna yang indah dan serasi. Misalnya seniman umumnya menggunakan warna kuning emas untuk menghiasi lukisan porselen pada bangunan. Hal itu menghadiahkan nuansa reliji kepada penikmat seni yang melihatnya. Di sebagian bangunan digunakan paduan warna tanah batu bata dengan biru porselen yang seakan kertas dinding yang menempel dan menutupi seluruh permukaan dinding. Hal itu selain membantu memperkokoh bangunan juga memberikan mengajak orang yang memandangnya untuk menikmati jamuan aneka warna yang membawa mereka kepada kedamaian khas yang dalam. Seniman Iran biasa menghiasi dinding bangunan dengan lukisan tanaman dan tulisan ayat-ayat suci atau hadis. Lukisan dan tulisan hiasan itu tentunya disesuaikan dengan bentuk artistektur bangunan sehingga keserasiannya terjaga. Tebaran dan bunga dan pepohonan sering dijumpai dalam banyak karya seni lukis bangunan di Iran. Dan sering kali, dedaunan memainkan peran menonjol dalam menciptakan keindahan lukisan. Gaya seperti ini sering dijumpai dalam karya-karya seni kerajinan tangan lainnya semisal lukisan pada permadani, kerajinan tanah liat, kaca dan logam, juga pada jilid buku, halaman kitab-kitab agama dan sastera, prasasti-prasasti kuno, kubah-kuno dan masjid-masjid bersejarah. Lukisan bernuansa reliji dan simbolik yang banyak ditemukan di dinding-dinding bangunan bersejarah di Iran menunjukkan bahwa bangsa Iran adalah bangsa dengan kehidupan spiritual yang kental. Poin yang lebih signifikan bukan terletak pada warna lukisan tapi hiasan kaligrafi ayat-ayat suci dan hadis yang menambah nuansa maknawiyah pada dinding-dinding bangunan. Kaligrafi adalah seni yang bisa dijumpai di semua bangsa dan negeri. Tapi seni kaligrafi Iran memiliki nuansa yang khas dan keindahan yang tersendiri. Seniman kaligrafi sangat dihormati dalam masyarakat muslim di manapun juga. Sebab, ia adalah seniman yang bergelut dengan penulisan ayat-ayat suci dan pena atau kuas yang ada di tangannya menghasilkan karya-karya yang bermuatan suci. Apalagi, al-Qur’an dalam salah satu ayatnya memuji pena dan apa yang dihasilkannya. Seniman kaligrafi Iran sangat terpengaruh oleh budaya keislaman. Bahkan bisa dikata bahwa seni kaligrafi Iran diperuntukkan secara penuh untuk mengabdi kepada seni Islam. Banyak karya seni kaligrafi indah yang dihasilkan oleh seniman Iran dengan penulisan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis dari Nabi Saw dan para Imam Ahlul Bait (as). Selain dalam bentuk buku, karya seni itu juga dibuat dalam bentuk prasasti yang dipajang di pintu masuk bangunan-bangunan besar. Umumnya penulisan itu menggunakan khat jenis Kufi meski ada pula yang menggunakan khat jenis Naskh dan Thuluth. Salah satu ungkapan untuk mengklasifikasi jenis-jenis tulisan adalah dengan menggunakan tolok ukur penulisan ‘bismillahirrahmanirrahim’. Ungkapan suci yang termasuk ayat al-Qur’an ini ditulis secara indah dalam berbagai bentuk penulisan oleh para seniman kaligrafi termasuk seniman Iran. Shiraz, Kota Seni & Budaya Iran Shiraz telah menjadi pusat perdagangan regional selama lebih dari seribu tahun. Hal ini dianggap sebagai salah satu kota tertua Persia kuno. Pada abad ke-13, Shiraz menjadi pusat seni terkemuka. 7 Juli 2016 Shiraz kota terpadat keenam di Iran. Shiraz terletak di selatan Iran dan barat laut dari Fars Province. Terbentang luas di dataran hijau di kaki Pegunungan Zagros diketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, menjadikan daerah ini beriklim sedang. Sebuah sungai musiman, Dry River, mengalir melalui bagian utara kota dan di dalam Maharloo Lake Pada tahun 1920, daerah memiliki hutan besar oak pohon. Shiraz telah menjadi pusat perdagangan regional selama lebih dari seribu tahun. Hal ini dianggap sebagai salah satu kota tertua Persia kuno. Pada abad ke-13, Shiraz menjadi pusat seni terkemuka. Kerajinan dari Shiraz terdiri dari pekerjaan hias mosaik desain segitiga; perak, dan karpet yang merupakan hasil kerajinan warga desa-desa dan di antara suku-suku.di Iran. Dalam industri Shiraz seperti produksi semen, gula, pupuk, produk tekstil, produk kayu, logam juga mendominasi. [7] Shiraz dikenal sebagai kota penyair, kota sastra, kota anggur dan bunga. Dua penyair terkenal Iran , Hafez dan Saadi , berasal dari Shiraz. Karena dorongan dari penguasa, kota ini memiliki banyak sarjana Persia dan seniman. Hal-hal lainnya yang dianggap oleh banyak orang Iran karena shiraz memiliki kota taman yang indah, banyak kebun dan pohon buah-buahan yang dapat dilihat di kota, misalnya Eram Taman. Selain Islam, Shiraz telah memiliki komunitas Yahudi dan Kristen. Pada sensus 2011, penduduk kota itu hanya 1.460.665 orang. Shiraz memiliki kilang minyak utama dan juga merupakan pusat utama bagi industri elektronik Iran. 53% dari investasi elektronik Iran telah berpusat di Shiraz. Shiraz adalah rumah pertama Iran dalam hal pembangkit listrik tenaga surya. Seni Lukis dalam Perspektif Islam (2) Patut disebutkan bahwa seni lukis Islam kurang berkembang sejak awal-awal pemerintahan khalifah-khalifah penguasa Islam, baik di tanah Arab maupun di negara-negara Islam lainnya. Sungguhpun menurut penelitian sejarah, ada beberapa karya seni lukis dalam bentuk lukisan dinding, ditemukan pada masa pemerintahan daulat Umayyah dan daulat Abbasiyah di Syria dan Mesopotamia. Tetapi karya lukis ini tidak memberikan suatu alternatif tentang siapa pelukisnya; apakah seniman Islam atau seniman non-Islam yang sengaja dipekerjakan oleh khalifah-khalifah tersebut, untuk memenuhi selera keindahan penguasa Islam. Di samping sebagian para ulama yang memberatkan atau mengharamkan pelukisan atau penggambaran makhluk-makhluk bernyawa, sesuai dengan bunyi hadis-hadis yang telah disebutkan, ada juga sebagian ulama yang membolehkan (menghalalkan) penciptaan dengan lukisan dan gambar setiap makhluk bernyawa; asalkan para pencipta (seniman) itu tidak mempunyai niat atau maksud untuk menyelewengkan hasil lukisan atau gambar itu kepada halhal yang merusak akidah atau keimanan umat Islam terhadap keesaan Allah sebagai yang Maha Pencipta. Hasil ciptaan itu semata-mata hanyalah untuk hiasan saja. Jadi, kebolehan mencipta lukisan dan gambar makhluk bernyawa didasarkan pada niat baik serta tujuan hasilnya. Alasan para pakar dan ulama Islam untuk membolehkan setiap orang melukis dan menggambarkan makhluk bernyawa, di dasarkan pada keadaan zaman atau masa sekarang ini, di mana umat Islam telah memiliki akidah yang kuat terhadap keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Maha Pencipta, dengan segala konsekwen tunduk dan patuh terhadap ajaranajaran Islam yang telah dianutnya. Yang tentunya, setiap karya cipta lukisan dengan objekobjek makhluk bernyawa itu dianggap hanyalah sebagai pengungkapan rasa seni dan keindahan belaka tanpa pretensi terhadap apa yang dikhawatirkan oleh para kaum ulama sebagai orang yang menganggap dirinya sebagai maha pencipta. Ternyata dugaan para kaum ulama serta para pakar-pakar Islam yang membolehkan pelukisan atau penggambaran makhluk bernyawa, telah lama dipikirkan oleh para penguasapenguasa Islam sejak zaman awal pemerintahan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, dengan segala sikap moderatnya turut mendorong dalam pertumbuhan serta pengembangan seni lukis Islam dengan objek lukisan makhluk-makhluk bernyawa. Sikap ini dibuktikan dengan memerintahkan orang-orang seniman membuat lukisan di dinding istananya yang indah dan megah yakni istana Qusayr Amra (724 M), istana Qashr al-Hair (728 M), maupun istana Jausaq al-Khagani (833 M). Demikian pula para penguasa-penguasa Islam Persia maupun di India serta di Mesopotamia, banyak mendorong para ahli seni untuk lebih banyak mencipta lukisan-lukisan yang berbobot, sehingga dengan adanya dorongan para penguasa Islam di tempat-tempat tersebut banyak melahirkan karya-karya seni lukis yang memiliki kualitas yang tinggi, baik dari segi teknik, ungkapan tema serta isi lukisan dan hsil karya cipta lukisan ini banyak mendapat pujian yang tinggi dari kalangan pakar-pakar seni yang berkecimpung dalam dunia seni rupa. Corak lukisan inilah yang disebut seni lukis miniatur, dimana corak lukisan ini satusatunya yang dimiliki serta diwariskan oleh dunia seni rupa Islam. Seni lukis miniatur tidak ubahnya seperti bentuk gambar ilustrasi pada buku-buku yang sering kita temukan sebagai bahan bacaan menarik. Dalam suatu naskah atau buku-buku bacaan; baik buku yang bersifat dongeng atau cerita, ilmu pengetahuan, sejarah dan sebagainya, sering pada lembaran-lembaran tertentu dalam buku tersebut termuat gambargambar sebagai penjelasan uraian. Dan hal seperti inilah yang kita temukan dalam buku-buku naskah di Mesopotamia dan Persia; di mana penggunaan seni lukis miniatur ini dipakai untuk menghiasi buku-buku tentang sejarah kepahlawanan, cerita dongeng atau legenda, ilmu pengetahuan dan seni. Buku-buku atau naskah yang banyak memuat gambar-gambar miniatur di antaranya adalah : Maqamat dan Kalila wa Dimmah, di mana kedua buku ini dianggap merupakan karya seni lukis miniatur terbesar dalam sejarah kesenian Islam. Maqamat (pertemuan) merupakan buku yang mengandung cerita legenda dan syair-syair yang disertai dengan lukisan-lukisan bianatang dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan buku Kalila wa Dimmah adalah merupakan buku yang mengandung cerita dongeng yang memuat 92 buah lukisan miniatur yang memiliki daya ekspresi luar biasa. Dalam buku ini diceritakan peran binatang yang tingkah laku seperti manusia, yang dengan segala pembawaan dan tingkahnya mampu memberi suatu suri tauladan kepada manusia. Kemudian buku-buku yang memuat gambar-gambar miniatur yang tidak kalah pentingnya adalah Kitab al-Aghani (buku pengetahuan tentang seni musik dan seni suara), Kitab Manafi al-Hayawan (buku pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan), Dawat al-Athibba (buku pengetahuan tentang pengobatan). Demikian beberapa buah buku yang dihasilkan oleh kesenian Islam yang memuat gambar-gambar miniatur sebagai ilustrasi buku yang ditemukan di Mesopotamia, Persia, Syria, maupun Turki dan India. Beberapa di antara buku-buku tersebut masih dapat ditemukan dibeberapa museum, misalnya Kitab al-Aghani yang terdiri dari 20 jilid (sekrang hanya tinggal 6 jilid) tersimpan di Museum Kairo (2 jilid), museum Istanbul (3 jilid), dan Museum Copenhagen (1 jilid). Dengan munculnya seni lukis miniatur di Mesopotamia, Persia, Turki, dan India, yang membawa pengaruh positip dalam pertumbuhan dan perkembangan seni lukis Islam, di mana ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seniman pelukis miniatur yang terkenal seperti alHariri, Diyarbakir, Ahmad Musa, Mahmud Syah Kalim, Ibnu Bakhtisyu, Rashiduddin, Muhammad Husain, Mir Sayid Ali, Abdusshamad, dan lain-lain. Kalau kita menyimak dari semua hasil seni lukis miniatur ini, yang menjadi objek dan tema lukisan adalah gambar-gambar manusia dan jenis-jenis hewan yang diramu sedemikian rupa dengan pola-pola hias hingga melahirkan suatu karya seni lukis yang memiliki ciri khas seni lukis Islam. Dan hasilnya masih banyak diketemukan serta tersimpan baik di beberapa museum di Eropa dan beberapa negara Asia, seperti Turki, Persia dan India. Ini membuktikan bahwa para penguasa Islam seperti di Persia, India (zaman Moghul) serta beberapa negara-negara Arab yang berpikiran moderat, tidak keberatan dengan usaha mencipta lukisan dengan objek makhluk-makhluk bernyawa. Jelas, keadaan ini adalah suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri faktanya, dan juga merupakan suatu tolok ukur terhadap kebudayaan dan kesenian Islam, di mana ajaran agama Islam menganjurkan kepada setiap pemeluknya agar mencintai keindahan; karena keindahan itu adalah sebagian daripada iman.