Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 DAT A PR IB AD I Nama : Prof. DR. Audina Jasmine. S.H,. L.LM Tempat Tanggal Lahir / Umur : Jakarta, 07 Desember 1964 / 55 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : JL.DI.Panjaitan Lorong Nusantara 1 No.25 Kota Jakarta Pusat Nomor Telepon Seluler : 081373163783 PE N DI DI K A N Universitas Sriwijaya Program Studi Hukum Administrasi Negara 1989-1993 Universitas Leiden Program Studi Master Hukum 1994-1996 Universitas Indonesia Program Studi Doktor 1998-2001 PE N G AL A MA N Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Indonesia ( 2002-sekarang) Dosen/Promotor Desertasi Doktor Hukum Bisnis Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Dipenegoro (Semarang) (1994-2017) 1 kali Memberikan Keterangan di Mahkamah Konstitusi Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 Kepada Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta 10110 Dengan Hormat, Perkenalkan Saya: Nama : Prof. DR. Audina Jasmine, S.H,. L.LM Tempat Tanggal Lahir / Umur : Jakarta, 07 Desember 9164/ 55 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : JL.DI.Panjaitan Lorong Nusantara 1 No.25 Kota Jakarta Pusat Nomor Telepon Seluler : 081373163783 Riwayat Pendidikan -Strata 1 Universitas Sriwijaya (1989-1993) -Strata 2 Universitas Leiden (1994-1996) -Strata 3 Universitas Indonesia (1998-2001) Keterangan : 1 kali sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi Untuk menyampaikan keterangan sebagai AHLI dalam Perkara Konstitusi Nomor: 105/PUUXV/2018 Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 I. KETERANGAN Mengingat Kekhususan bidang ilmu yang saya dalami, saya akan menganalisis mengenai UU Perseroan Terbatas yakni UU No. 40 Tahun 2007 pasal Pasal 1 angka (5) yang menyebutkan bahwa pengertian Direksi dalam Perseroan Terbatas (“Perseroan”) adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar. Kewenangan direksi Sebagaimana disebutkan dalam pengertian direksi di atas, maka kewenangan direksi adalah sebagai berikut: 1. Salah satu organ Persoran yang memiliki kewenangan penuh atas pengurusan dan hal-hal terkait kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. 2. Mewakili Perseroan untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan UUPT dan anggaran dasar. Kewenangan direksi untuk mewakili Perseroan bersifat tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”). Dalam hal anggota direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Maksud dari pengecualian ini adalah agar anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan dapat diwakili oleh anggota direksi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPT. Menurut Pasal 99 UUPT, kewenangan direksi dalam mewakili Perseroan bukan berarti tidak ada pembatasan. Namun, dalam hal tertentu direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: 1. Dalam hal terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan; atau 2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 Jika terjadi kondisi seperti demikian, maka Perseroan dapat diwakili oleh: 1.Anggota direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; 2. Dewan komisaris dalam hal seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau 3. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Tanggung Jawab Direksi Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dengan itikad baik. Tanggung jawab direksi melekat penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila anggota direksi yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Tanggung jawab direksi yang terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Dalam situasi tersebut harta pribadi direksi ikut disita untuk dilakukan pemberesan guna pembayaran bagi pihak ketiga atau kreditor. Hal mana merujuk pada ketentuan Pasal 104 UU No.40/2007 yang menegaskan: “Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.” Sebagai contoh Kesalahan atau kelalaian Direksi yang menyebabkan terjadi pailit diantaranya : Direksi tanpa persetujuan komisaris atau tidak sesuai dengan yang diatur oleh Anggaran Dasar atau UU No.40/2007, kemudian Direksi tersebut menggunakan uang perusahaan untuk berinvestasi diperusahaan lain, atau menggunakan untuk bisnis lain diluar bisnis yang dijalankan oleh Perusahaan atau bahkan tidak sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan. Tindakan direksi tersebut menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Pertanggung jawaban Direksi dalam pailit juga dikenakan kepada mantan anggota direksi terhitung dalam jangka waktu masa jabatan 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 terhadap perusahaan yang dinyatakan bersalah atau lalai. Namun sepanjang direksi dapat membuktikan telah melakukan pengurusan perusahaan dengan tepat, penuh tanggung jawab dan beritikad baik sesuai dengan ketentuan Anggaran dasar perusahaan, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban terhdap kepailitan yang menimpa perusahaan. Dalam Pasal 104 ayat 4 UU No. 40/2007 disebutkan: Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: 1. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan 4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Pembuktian akan hal ini dalam proses peradilan, harus dilihat dalam konteks penyebab terjadinya pailit. Apakah disebabkan oleh tindakan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang direksi, atau pailit terjadi karena tidak bisa dihindarkan walaupun direksi telah melaksanakan tugas dan wewenangnya penuh tanggung jawab sesuai dengan anggaran dasar perusahaan. Tugas Direksi Sesuai dengan Pasal 100 UUPT, direksi berkewajiban menjalankan dan melaksanakan beberapa tugas selama jabatannya menurut UUPT, yaitu: 1. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat direksi; 2. Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan; Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 3. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan Perseroan. Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan dan dokumen Perseroan lainnya disimpan di tempat kedudukan Perseroan. Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, direksi dapat memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS serta mendapat salinan risalah RUPS dan salinan laporan tahunan. Anggota direksi juga wajib melaporkan kepada PT mengenai saham yang dimiliki anggota direksi dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk dicatat dalam daftar khusus. Anggota direksi yang tidak melaksanakan kewajiban ini dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 101 UUPT. Lebih lanjut, menurut Pasal 102 UUPT diatur tugas direksi sehubungan dengan pengurusan kekayaan Perseroan dimana direksi berkewajiban untuk memperoleh persetujuan RUPS untuk: 1. Mengalihkan kekayaan Perseroan; atau 2. Menjadikan kekayaan Perseroan sebagai jaminan utang. Kekayaan Perseroan yang dimaksud merupakan kekayaan yang jumlahnya lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Selain tugas-tugas di atas, kewajiban atau tugas direksi juga dapat ditentukan lebih lanjut dalam anggaran dasar Perseroan. Korporasi dilihat dari bentuk hukumnya dapat diberi arti sempit maupun arti luas. Menurut arti sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan badan hukum yang keberadaan dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya hukum perdatalah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat atau berwenang melakukan figur hukum. Demikian juga halnya dengan matinya korporasi itu diakui oleh hukum. Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 Keberadaan suatu korporasi sebagai badan hukum tidak lahir begitu saja. Artinya korporasi sebagai suatu badan hukum bukan ada dengan sendirinya, akan tetapi harus ada yang mendirikan, yaitu pendiri atau pendiri-pendirinya yang diakui menurut hukum perdata memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal person. Seperti halnya dalam hal matinya suatu korporasi. Suatu korporasi hanya dapat dinyatakan mati apabila dinyatakan mati oleh hukum perdata, yaitu tidak ada lagi keberadaan atau eksistensinya (berakhir) sehingga karena tidak ada lagi, maka dengan demikian korporasi tersebut tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum atau dalam istilah hukumnya dikatakan bahwa korporasi tersebut mati atau bubar. Hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschapjuga termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut. Namun pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana konsep R-KUHP masih memiliki kekurangan karena menggunakan doktrin identifikasi sebagai dasar Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 pertanggungjawaban pidana. Kritik terhadap doktrin tersebut adalah doktrin tersebut dianggap sebagai legal barrier to potential corporate criminal liability. Batasan tersebut dikarenakan doktrin identifikasi mensyaratkan adanya tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan yang tinggi dalam suatu korporasi agar korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Tentunya ini menjadi hambatan dalam menarik pertanggungjawaban korporasi yang dilakukan oleh pelaku lapangan seperti pada tindak pidana pembalakan liar maupun kebakaran hutan. Ketua Presidium Peguyuban Pekerja Universitas Indonesia (UI) Andri G Wibisana mengusulkan pertanggungjawaban korporasi dalam R-KUHP sebaiknya tidak menggunakan doktrin identifikasi namun menggunakan dua doktrin lainnya. Yakni doktrin strict liability, dalam hukum pidana doktrin ini mengesampingkan unsur kesalahan atau unsur mens rea dalam petanggungjawaban pidana. Maknanya korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pekerjanya tanpa mempedulikan apakah korporasi sudah mencegah atau mengambil langkah untuk merespon tindak pidana tersebut atau tidak. Doktrin lainnya adalah qualified vicarious liability, yaitu korporasi bertanggungjawab hanya jika korporasi gagal untuk mengambil langkah yang layak guna mencegah tindak pidana, untuk doktrin kedua korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan pemimpin korporasi, selain itu, korporasi bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri atau tindak pidana yang dilakukannya sendiri. Maka dengan demikian tindakan hukuman dalam menindak pelaku atau orangnya maupun pihak korporasi juga harus bersifat adil dan transparan. Korporasi juga bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pekerjanya, tanpa melihat status atau kedudukan orang tersebut di dalam korporasi. Termasuk juga bila tindak pidananya dilakukan oleh pelaku di dalam (ruang lingkup kewenangannya lingkup kewenangan/kerja). Selain itu juga korporasi bisa dikenai tindak pidana bila terbukti pelaku melakukan sesuatu yang menguntungkan korporasi (for the benefit of the corporation). Pada umumnya, dianggap terbukti apabila setidaknya sebagian tujuan dari pelaku adalah untuk menguntungkan korporasi. Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 Hal ini dikarenakan Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan semakin kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Namun saat ini terdapat ketidakjelasan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas apa saja yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu, pengaturan mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih sangat minim, terutama mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus (subjek manusia) ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi. Keadaan ini mengakibatkan sangat sedikit kasus hukum yang menjadikan korporasi dapat dituntut atas perilakunya yang bertentangan dengan ketentuan hukum. Perilaku tersebut mengandung sanksi pidana dan ada kecenderungan untuk melihat korporasi dan personal pengendali(directing mind) korporasi sebagai subjek hukum yang sama, sehingga mereka dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya (interchangeable) dalam hal penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana. Hal ini sejalan dengan pengertian definisi korporasi yang selama ini dipakai dalam beberapa UU khusus di Indonesia dan juga dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP), merupakan pengadopsian istilah yang kurang tepat. Istilah yang paling cocok digunakan untuk merujuk kepada subjek hukum kolektif terlepas apakah memiliki personalitas hukum mandiri ataukah tidak memiliki status sebagai subjek hukum adalah ‘organisasi’. Selain itu, perlu adanya penegasan terhadap posisi korporasi publik didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun apabila kesalahan yang dilakukan direksi berasal dari dirinya pribadi yang melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah ditentukan didalam Anggaran dasar dan RUPS yang telah tercantum pada PT tersebut, maka bila dilihat lebih lanjut pertanggung jawaban pidana diberlakukan sebagai bentuk tanggung jawab pribadi bukan tanggung jawab korporasi. Hal in merujuk pada sejalannya UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 20 ayat (1) sampai (7) namun pada penerapan pidana pokok yang ada berada pada Pasal 20 ayat (7) pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Dalam menerapkan denda terlebih dahulu melihat apakah PT tersebut sudah berbadan hukum dan terlampir pada berita negara atau belum. Jika PT tersebut sudah berbadan hukum maka ganti rugi tanggung renteng diberlakukan dengan cara melihat seberapa banyak saham-saham dengan proporsi masing-masing, dan tidak diterapkannya penyitaan harta pribadi yang mana dengan demikian hanya mengganti rugi Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 sesuai dengan harta kekayaan atau modal dari PT tersebut. Jika PT tersebut belum berbadan hukum maka ganti rugi tanggung renteng tersebut diberlakukan sesuai dengan saham-saham dengan proposi masing-masing dengan diberlakukannya sekaligus terhadap penyitaan harta pribadi pihak yang membuat tindakan kesewenangan tersebut. Dengan demikian pengujian Pasal 52 ayat (4) “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”, yang mana dalam hal ini pemohon merasa hak konstitusionalnya tergangu dan merasa tindakannya dilakukan berdasarkan kebutuhan korporasi tidak dapat diterapkan, dikarenakan kesalahan wewenang perbuatan window dressing dilakukannya sesuai dengan keinginan pribadinya untuk korporasi yang dikelolanya. Namun hal ini yang membuat pertanggung jawab pidana hanya dapat diberlakukan pada pribadi yang telah melakukan tindakan diluar kewenangannya. Karena direksi melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan RUPS Pasal 12 ayat (1) sampai dengan ayat (3), seperti pada tindakan untuk menjamin, direktur menjamin atau membebankan harta benda maka harus dengan persetujuan RUPS dan terlebih dahulu dilihat apakah sudah mendapatkan persetujuan dan tanda tangan dari dewan komisaris dalam melaksankan tugas dan kewenangannya. Jika tidak mendapatkan persetujuan maupun tanda tangan dari dewan komisaris artinya tugas dan wewenang yang dilaksanakannya tersebut tidak sah untuk mewakili perseroan. Maka jka timbul adanya perkara pidana maupun perdata didalam tindakannya tersebut dalam hal tanggung jawab pidana yang berlaku ditetapkan sebagai tanggung jawab pribadi dari pelaku yang membuat kesewenangan tersebut bukan tanggung jawab korporasi dikarenakan baik secara hukum dan RUPS PT tersebut tidak pernah mengatakan tindakan tersebut legal atau diperbolehkan secara hukum dan telah melakukan kesalahannya seperti yang tercantum pada Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi “ jika merujuk pada pidana pokok yang ada berada pada Pasal 20 ayat (7) UndangUndang Tindak Pidana Korupsi pada bagian korporasi yang dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut, menerapkan ketentuan pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Jalan Salemba Raya Nomor 4, Jakarta Pusat Telp/fax : (021) 330355/(021)330343 Jakarta , 25 Maret 2019 Hormat Saya, Prof. DR.Audina Jasmine, S.H., L.LM