Uploaded by ZELLANOFITRI23

Kepka Barantan - 2010 - No. 68 - Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit Viral

advertisement
KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN
NOMOR : 68/Kpts/HK.060/L/1/2010
TENTANG
PEDOMAN PENGUJIAN LABORATORIUM UNTUK PENYAKIT VIRAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN,
Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa Indonesia merupakan negara dengan berbagai
sumber daya alam dan beraneka ragam jenis hewan;
b.
bahwa kelestarian aneka ragam jenis hewan yang ada di
Indonesia perlu dijaga dan dilindungi;
c.
bahwa untuk mencegah masuk dan menyebarnya Hama
Penyakit Hewan Karantina (HPHK) serta bahan
berbahaya
(hazard)
perlu
dilakukan
pengujian
laboratorium terhadap agen penyakit meliputi viral,
bakteri, mikal dan parasit;
d.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, perlu
menetapkan Pedoman Pengujian Laboratorium untuk
Penyakit Viral;
: 1. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3656);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang
Karantina Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3482);
6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/
OT.140/10/2006 tentang Pedoman
Tata Hubungan
Kerja Fungsional Pemeriksaan, Pengamatan dan
Perlakuan Penyakit Hewan Karantina;
7. Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenisjenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan
dan klasifikasi Media Pembawa;
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU
:
Pedoman Pengujian Laboratorium Untuk Penyakit Viral
seperti tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
KEDUA
:
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU
merupakan pedoman bagi petugas laboratorium karantina
hewan pada Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian
dalam melakukan pemeriksaan dan pengujian hewan dan
produk hewan terhadap penyakit asal virus.
KETIGA
:
Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan diJakarta
Pada tanggal 28 Januari2010
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth:
1. Menteri Pertanian;
2. Para Pejabat Eselon I Departemen Pertanian;
3. Para Pejabat Eselon II Badan Karantina Pertanian;
4. Para Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian di seluruh
Indonesia.
2
Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian
Nomor
: 68/Kpts/HK.060/L/1/2010
Tanggal : 28 Januari 2010
PEDOMAN PENGUJIAN LABORATORIUM UNTUK PENYAKIT VIRAL
Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia telah dikaruniai berbagai sumber daya alam hayati khususnya
beraneka ragam jenis hewan yang merupakan salah satu
modal dasar pembangunan nasional yang sangat penting
dalam rangka peningkatan taraf hidup, kemakmuran
serta kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu perlu dijaga
dan dilindungi.
Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumber daya alam hayati,
khususnya hewan adalah serangan hama dan penyakit
hewan. Kerusakan tersebut dapat sangat merugikan
karena akan menurunkan produk pertanian, khususnya
produk hewan/ternak baik kuantitas maupun kualitas
atau bahkan dapat mengakibatkan musnahnya jenisjenis hewan/satwa tertentu yang bernilai ekonomis
penting.
Pada era perdagangan bebas, sejak tahun 2003 (AFTA), dimana proteksi atau
hambatan-hambatan terhadap upaya impor tidak boleh
lagi, kecuali hambatan teknis (sesuai kesepakatankesepakatan perdagangan antar bangsa) yakni aturanaturan "Sanitary and Phytosanitary (SPS)", maka
diperlukan pengujian kesehatan maupun mutu dari
ternak dan produk hasil ternak sehingga persyaratan
pasar maupun keinginan konsumen dapat dipenuhi.
Pengujian secara laboratorium harus memenuhi standar
internasional sehingga hasil pengujian tersebut dapat
diterima secara internasional.
Buku Pedoman Pengujian Laboratorium terhadap penyakit Viral ini memuat uji
diagnostik penyakit viral yang meliputi prosedur kerja,
peralatan, bahan dan metoda uji yang mengacu pada
Standar Internasional.
Buku Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit Viral ini merupakan
revisi dari Manual Standardisasi Uji Diagnostik
Laboratorium Karantina Hewan yang telah diterbitkan
pada tahun 1998. Revisi ini dianggap perlu karena uji-uji
diagnostik telah banyak perkembangannya seiring
dengan berkembangnya zaman. Uji-uji diagnostik saat
ini sudah mengarah ke metode-metode pengujian cepat,
sehingga hasil uji yang akurat dapat diperoleh dalam
waktu singkat.
3
Oleh karena itu buku ini dapat dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan
pemeriksaan laboratorium terhadap hewan, bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan yang dilalulintaskan.
Bab II
STANDARDISASI PEMERIKSAAN LABORATORIUM VIROLOGI
1. Standar Peralatan
Jenis peralatan yang harus tersedia di dalam laboratorium virologi sangat
bervariasi, bergantung pada volume dan lingkup kegiatan
yang akan di lakukan, sehingga sulit untuk dibakukan.
Berikut ini adalah peralatan yang seyogyanya tersedia di
dalam
laboratorium
virologi
veteriner
untuk
melaksanakan kegiatan diagnosis:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Alat sterilisasi basah (Autoclave)
Alat sterilisasi kering (oven suhu tinggi)
Lemari es (refrigerator) minimal 2 buah
Freezer (-20°C)
Deep Freezer (-70°C)
Tanki Liquid Nitrogen minimal 2 buah (satu ukuran besar dan satunya ukuran kecil)
Biohazard (Safety Cabinet) level 2
Water bidistillator (double distillatory untuk hasilkan Aqua Bidest)
Deionizer water
Inkubator biasa dan inkubator ber CO 2 untuk biakan jaringan.
Inkubator untuk telur berembrio
Mikroskop untuk biakan sel (inverted microscope) yang terhubung dengan monitor
dan kamera
Mikroskop fluoresence yang terhubung dengan monitor dan kamera
Peralatan gelas: Erlenmeyer flask, gelas ukur, botol spesimen, pipet, cawan petri,
botol serum, botol media, trypsination flask, gelas piala/beaker glass)
Peralatan plastik: microplate, alat suntik (syringe), microplate.
Waterbath
Peralatan untuk ELISA: ELISA reader, ELISA plate washer, dll.
Refrigerated sentrifuse: Kecepatan sampai 3.000 RPM 20.000 RPM
(microcentrifuge)
Alat penumbuk jaringan: Stomacher, grinder dan mortar.
Gunting, pinset dan pisau skalpel.
Mikropipet: Single channel dan Multichanel dari berbagai volume dan tip-nya.
Tempat pencucian alat-alat.
Kontainer untuk menaruh peralatan kotor bekas kerja.
Alat pelubang dalam pembuatan agar untuk uji AGID.
Mikropipet holder
Peralatan untuk uji PCR (thermal cycler, PCR-working chamber, electric stabilizer
Peralatan untuk uji elektroforesis (tank, gel tray, electrode, comb, electric
transformer/power supplier)
Gen quant
UV-gel reader/transiluminator
pH meter
CO 2 – tank/cylinder
Freeze – dried unit (mesin dan aksesoris)
Balance (digital)
Cool box
Microwave oven
Electric stabilizer
Timer.
4
•
•
•
•
•
•
Electric generator
Vortex moxer
Heater block/plate magnetic stirrer
Sonicator
Kandang isolator
Vacuum pump
2. Standar Pengambilan Spesimen
a. spesimen untuk pengujian virologi bervariasi, bergantung pada jenis
penyakit yang dicurigai serta pengujian yang akan dilakukan. Umumnya
spesimen berupa:
•
•
•
•
organ seperti potongan otak, kelenjar limfe, hati, limpa, usus, trachea,
paru-paru dll. untuk isolasi virus dan PCR
darah berantikoagulan (heparin 10 IU/ml atau EDTA 0,5 mg/ml) untuk
isolasi virus dan PCR
usapan kapas bertangkai (swab) dari mulut, hidung atau kloaka serta
feses untuk isolasi virus
serum untuk uji serologi.
b. sampel untuk penyakit viral sebaiknya diambil secara aseptis pada tahap
awal penyakit untuk memberi peluang yang lebih besar bagi keberhasilan
isolasi virus.
c. di dalam uraian setiap penyakit viral pada umumnya telah ditentukan jenis
sampel yang seharusnya diambil untuk pemeriksaan atau diagnosis yang
didasarkan pada isolasi virus.
3. Standar Transpor Media
Pada dasarnya transpor media yang digunakan untuk sampel virologi bertujuan
untuk mempertahankan kestabilan virus dalam jaringan
sampel tersebut. Formula transpormedia untuk sampel
virus ini berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu
virologi itu sendiri dan sampai sekarang belum ada
transpormedia yang dianggap baku.
Pada tahun enam puluhan, usaha isolasi virus ditempuh dengan pengambilan
sampel virologi, terutama untuk unggas, yang
dimasukkan ke dalam transpormedia yang hanya terdiri
dari larutan 50% gliserol dalam NaCl fisiologis dan
mengandung antibiotik penisilin 2.000 IU dan
streptomisin 2.000 µg per ml pH 7,2.
Dengan perkembangan ilmu virologi, kemudian formula transpormedia tersebut
disempurnakan
sehingga
mengandung
larutan
penyangga (buffer) dan protein. Transpormedia
semacam ini contohnya: Larutan Hank’s BSS ditambah
Bovine albumin dan Sodium Bikarbonat serta antibiotik
(penisilin dan streptomicin).
Dengan berkembangnya teknik biakan sel (Cell Culture), media penumbuh
biakan sel kini banyak digunakan dalam transpormedia.
Misalnya Transpor Media yang mengandung Media
Penumbuh biakan sel (Growth medium: larutan DMEM,
MEM + 5% Bovine Fetal Calf Serum) yang mengandung
antibiotik.
5
Dalam buku ”Manuals of Standards for Diagnostic Test and Vaccines” yang
diterbitkan oleh Office International des Epizootic (OEI),
tidak ditentukan standar transpormedia. Namun dalam
uraian dalam masing-masing penyakit buku tersebut
menyebut formula transport media yang mengandung
phosphate buffered saline (PBS) sebagai berikut:
• Larutan phosphate buffered saline (PBS), pH 7,0-7,4 yang mengandung
antibiotik (2.000 IU penisilin/ml, 2.000µg streptomisin/ml, gentamycin
50µg/ml) dan Mycostatin 1.000 IU/ml.
• Sangat penting untuk selalu mengatur pH antara 7,0 – 7,4 setelah
penambahan dengan antibiotik.
• Kadar antibiotik sangat tergantung kondisi lokal. Khusus untuk sampel
virologik yang berupa usus, usapan (swab) kloaka dan feses, konsentrasi/
kadar antibiotiknya dapat ditingkatkan sampai lima kali lipat.
Transpormedia setelah dipersiapkan harus disimpan dalam suhu dingin 4°C atau
dalam refrigerator.
4. Standar Penyimpanan Spesimen Sebelum Dikirimkan
Pada dasarnya setiap spesimen virologi yang diperoleh dari lapangan
seyogyanya secepat mungkin dikirimkan ke laboratorium
untuk segera diproses. Namun bila karena sesuatu
sebab pengiriman tidak dapat dilakukan dengan segera,
spesimen dapat disimpan sebagai berikut:
a. Spesimen organ dalam transpor media (sesuai formula transport media)
disimpan dalam suhu rendah (4°C) atau disimpan beku dalam Liquid N 2,
bergantung pada virus yang akan diisolasi.
b. Spesimen darah dalam antikoagulan (heparin 10 IU/ml atau EDTA 0,5
mg/ml) disimpan dalam suhu rendah (4°C)
c. Spesimen serum (setelah dipisahkan dari bekuan darah) disimpan pada
suhu dingin (- 20°C) atau (-70°C).
5. Standar Pengiriman Spesimen
Sampel dkirim dalam kemasan antipecah, antibocor (unbreakable) dengan moda
transportasi tercepat. Selama dalam pengiriman, sampel
harus selalu dalam keadaan dingin. Lebih baik jika
pengiriman tersebut sampai di laboratorium dalam waktu
48 jam.
Pengiriman sampel ke laboratorium harus disertai dengan informasi dan sejarah
kasus terjadinya penyakit. Informasi tersebut meliputi
beberapa aspek sebagai berikut:
a. nama dan alamat lengkap pemilik dimana kasus penyakit terjadi.
b. penyakit yang dicurigai (diagnose sementara)
c. jenis sampel yang dikirim termasuk transpor media yang dipakai serta
jenis pemeriksaan yang diminta
d. jenis hewan, umur, jenis kelamin dan jumlah hewan yang terserang
dalam farm.
e. sejarah hewan: kapan mulai berada di farm dan dari mana, jumlah hewan
terserang, sakit klinis dan mati serta masing-masing umur, jenis kelamin
dan breednya.
f. tanggal kasus pertama dan seterusnya muncul
6
g. diskripsi dari penyebaran penyakit dalam flok
h. keadaan klinis hewan sakit.
i. daftar sampel yang dikirim berserta gambaran pemeriksaan post-mortem,
masing-masing jenis sampel dalam botol terpisah.
j. informasi tentang vaksin atau obat-obatan yang telah diberikan.
6. Standar Penyimpanan Sampel di Laboratorium
Sesampainya di laboratorium, sampel seyogyanya secepat mungkin diproses
untuk dibuat inokulum. Bila karena suatu hal,
pemrosesan tidak dapat dilakukan maka sampel untuk
sementara waktu dapat disimpan dingin 4°C termasuk
sampel yang dikirim dalam media transport (terutama
untuk sampel organ dalam waktu singkat) sedangkan
untuk serum disimpan beku (-20°C).
Setelah diproses menjadi inokulum, sampel organ dapat langsung digunakan
untuk isolasi virus. Namun bila sistem hospes-nya belum
tersedia, inokulum sampel organ tersebut dapat disimpan
beku dalam deep freezer (-70°C) sampai tiba waktunya
untuk digunakan dalam inokulasi hospes (telur, biakan
jaringan atau hewan percobaan lainnya).
Dalam pemeriksaan virologik, peluang keberhasilan akan semakin besar dengan
semakin cepatnya pemrosesan sampel.
7. Standardisasi Pemeriksaan
Pemeriksaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
menggunakan metoda pemeriksaan yang sensitifitas dan
spesifisitasnya tertinggi yang dianjurkan oleh OIE (gold
standar) dengan dua kali pengulangan/duplo. Dalam
pedoman ini akan diuraikan standar pemeriksaan untuk
diagnosis penyakit-penyakit viral berikut ini:
penyakit mulut dan kuku
rinderpest
bluetongue
newcastle disease
avian influenza
rabies
infectious bovine rhinotracheitis
bovine spongiform encephalomyopathy
BAB III
PENYAKIT MULUT DAN KUKU
1. Pendahuluan
Penyakit mulut dan kuku (PMK) yang juga dikenal dengan nama Apthae
Epizootica (AE) adalah penyakit menular yang
menyerang berbagai ternak. Dari sekian banyak spesies
ternak yang dapat terserang, ternak sapi, babi, domba,
kambing dan kerbau merupakan ternak yang pa;ing peka
terhadap PMK. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang
termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus
Aphtovirus.
7
Virus penyebab PMK memiliki 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3
dan ASIA-1. Di dalam satu serotipe bisa terdapat banyak
strain (galur) yang dapat diidentifikasi secara biokimia
atau dengan uji imunologi dan metoda biologi molekuler.
Misalnya, dalam serotipe O dikenal adanya strain O 1
sampai dengan O 11 dan O Java 83 .
Hewan yang terinfeksi atau divaksinasi dengan salah satu serotipe tersebut tidak
akan kebal terhadap serotipe yang lain. Oleh sebab itu
virus vaksin yang digunakan di suatu daerah harus sama
dengan serotipe virus PMK yang ada di daerah tersebut.
Gejala klinis yang nampak pada hewan terinfeksi virus PMK antara lain demam,
lepuh/vesikula lidah, moncong, putting/ambing, interdigit,
hipersalivasi, lepuh pecah, ulkus dangkal, tidak mau
makan, berat badan turun drastis, produksi susu turun,
pincang.
Gambar 1. Gejala klinis hewan terinfeksi PMK
2. Diagnosis
Diagnosa laboratorium terhadap PMK didasarkan pada deteksi antigen atau
deteksi antibody dengan salah satu atau kombinasi dari
beberapa uji: enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA), complement fixation test (CFT) atau polymerase
chain reaction (PCR) kemudian dapat dilanjutkan dengan
isolasi virus pada tissue culture atau hewan percobaan
(mencit, cavia).
a. sampel
Sampel untuk isolasi virus PMK berupa jaringan epitel atau cairan isi
vesikel/lepuh yang belum pecah. Sekurang-kurangnya sebanyak 1 gram
jaringan epitel diambil dari vesikel yang tidak pecah atau yang baru pecah dari
sekitar mulut. Jaringan epitel yang telah diambil kemudian ditaruh dalam
transport medium (lihat formula) dan dikirimkam ke laboratorium dalam
keadaan dingin (refrigerated). Jika jaraknya ke laboratorium sangat jauh dan
memakan waktu lama, maka sampel harus dikirim dalam keadaan beku yakni
disimpan dalam Liquid N 2 .
Cara
pengawetan
dan
pengiriman
specimen
rujukan/laboratorium nasional adalah sebagai berikut:
ke
laboratorium
Epitel lepuh dimasukkan dalam botol screw cap (bijou bottle) dengan
perbandingan 1 volume epitel + 4 s/d 9 volume transport media (lihat formula
8
transport media).
Botol tersebut harus penuh cairan supaya tidak
terguncang/terkocok dan di selotip.
Bijou bottle dimasukkan dalam kaleng yang berisi styrofoam sebagai
penyangga supaya tidak pecah.
Kaleng tersebut dikirim dalam kotak kayu atau Styrofoam box yang tahan
bantingan.Diberi tanda “fragile” Dikirim dengan ekspedisi udara yang tercepat.
Jika karena sesuatu sebab, identifikasi tidak mungkin dilakukan di suatu
negara, maka sampel atau isolat virus dapat dikirim ke Laboratorium Referensi
Internasional untuk mendapatkan diagnosis atau untuk mengidentifikasi virus
PMK. Dalam pengiriman itu, sampel harus dikemas dalam kontainer yang
ditutup rapat dan terjamin tidak akan bocor, kemudian disimpan dalam
keadaan beku. Sebelum pengiriman, harus diadakan kontak terlebih dahulu
dengan fihak laboratorium, sehingga diketahui persyaratan administrasi yang
diperlukan untuk pengiriman sampel tersebut.
b. serologi
Uji serologi dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus PMK.
Untuk daerah endemik yang menerapkan program vaksinasi, penggunaan uji
serologi untuk diagnosis tidak dapat dilakukan karena uji ini tidak dapat
membedakan antibodi karena infeksi alam atau karena vaksinasi. Oleh sebab
itu untuk daerah endemik uji serologi bermanfaat untuk monitoring hasil
vaksinasi.
Untuk daerah bebas, uji serologi dapat digunakan sebagai alat diagnosis. Jika
hewan (sapi, babi, domba, kambing atau kerbau) memperlihatkan adanya
lepuh-lepuh (vesikel) disekitar rongga mulut, kemudian hasil uji serologinya
memperlihatkan adanya titer antibodi terhadap PMK, maka sudah cukup untuk
memberikan diagnosis PMK.
Untuk hasil yang lebih sensitif harus
menggunakan ELISA.
Standar uji serologi yang digunakan dalam perdagangan internasional untuk
PMK ada dua macam yakni ELISA (deteksi antibodi) dan Serum Netralisasi
(SN) namun uji SN tidak boleh dilakukan di dearah bebas kecuali di BSL III
yang telah diapprove oleh OIE/FAO.
c. elisa
Uji ELISA (deteksi antibodi) yang digunakan untuk uji serologi dalam
hubungannya dengan perdagangan internasional adalah: Liquid-phase
blocking ELISA. Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit
yang dapat diperoleh dari Laboratorium Referensi Internasional untuk PMK
yakni: Institute for Animal Health, Pirbright Laboratory, Pirbright, Woking,
Surrey GU24 ONF, United Kingdom (UK).
Dalam Kit tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan interpretasi dari
hasil pembacaannya.
d. serum netralisasi
 Serum netralisasi yang dianjurkan dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional adalah dengan menggunakan biakan
jaringan BHK-21 atau IB-RS-2, pig kidney atau lamb kidney cells. Uji ini
dilakukan dalam “flat-bottomed tissue culture grade microtitre plates”.
Prosedur kerjanya sebagai berikut:
 Membuat pengenceran serum yang sudah diinaktifkan pada 56 °C
selama 30 menit/water bath secara duplo lipat dua yang dimulai dari
9
enceran ¼, dimana setiap lubang memiliki volume 50µl. Larutan
pengencer serum : medium kultur sel.
 Kepada setiap lubang enceran dalam plat ditambahkan larutan virus
sebanyak 50 µl yang mengandung titer 100 TCID 50 .
 Dalam uji tersebut disertakan kontrol serum positif yang diketahui
titernya, serum negatif, kontrol medium dan titrasi virus (back titration).
 Plat diinkubasikan dalam 37°C selama 1 jam.
 Kepada setiap lubang plat, kemudian ditambahkan 50µl suspensi sel
yang mengandung 106 sel/ml. kemudian plat ditutup rapat dan
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 2-3 hari. Atau di tutup longar dan
diinkubasikan selama 2-3 hari pada suhu 37°C dalam inkubator CO 2
yang mengeluarkan CO 2 dengan konsentrasi 3-5%.
 Hasil uji kemudian dibaca dibawah mikroskop dengan melihat adanya
CPE pada biakan jaringan yang terdapat dalam setiap lubang plat.
 Interpretasi hasil pembacaan:
 Serum dengan titer 1/11 atau lebih kecil adalah negatif
 Serum dengan titer 1/45 atau lebih besar adalah positif
 Serum dengan titer 1/16 – 1/32 adalah dubius dan perlu di uji ulang.
e. biakan jaringan atau hewan percobaan
Setelah sampai di laboratorium, sampel (jaringan epitel lepuh) dibuat
menjadi suspensi dalam phosphate buffered saline pH 7,2-7,6 atau
medium biakan jaringan yang mengandung antibiotik (2.000 IU penisilin
dan 2.000 µg streptomisin per ml).
Cara pembuatan suspensi epitel lepuh adalah sebagai berikut:
Epitel digerus dalam mortar dingin dengan sedikit PBS dan pasir steril.
Setelah epitel hancur, tuangkan cairan secara perlahan/hati-hati ke dalam
tabung steril untuk di sentrifus 3000 RPM selama 10 – 15 menit pada
refrigerated centrifuge.
Supernatant di sentrifus 12.000 RPM selama 10 – 15 menit pada
refrigerated centrifuge.
Supernatant ditambah PBS yang mengandung antibiotic sampan menjadi
10% suspensi epitel (1 gr epitel menjadi 10 ml suspensi).
Inkubasikan selama 30 menit di temperature ruang bila akan
diinokulasikan ke kultur sel, suspensi tersebut harus disaring dengan filter
berukuran pori-pori 0,45 µ lalu filtratnya disaring dengan filter 0,22 µ.
Catatan:
Bila suspensinya cairan lepuh, dapat langsung ke butir 3
Cairan buangan dari laboratorium ini harus ditampung dalam ember, lalu
didesinfeksi dengan hypoklorit (bayclean) dan di autoclave sebelum dibuang
ke septic tank.
Tidak boleh ke perairan atau pembuangan
umum/selokan/sungai.
Suspensi tersebut kemudian diinokulasikan pada biakan jaringan. Biakan
jaringan yang baik untuk maksud tersebut adalah biakan jaringan primer:
“bovine thyroid cells”, “pig kidney cells”, “calf kidney cells” dan “lamb kidney
cells”. Sedangkan biakan jaringan sel lestari (cell line) seperti: BHK-21 dan IBRS-2 dapat digunakan, meskipun “cell line” tersebut tidak terlalu sensitif untuk
10
mendeteksi virus dalam jumlah kecil. Bila biakan jaringan yang diinokulasi
tersebut memperlihatkan adanya cytophatic effect (CPE), maka dapat
dicurigai/diduga dalam biakan jaringan tersebut terdapat pertumbuhan virus.
Jadi virus sudah berhasil diisolasi. Selanjutnya virus tersebut harus
diidentifikasi dengan salah satu uji imunologik yaitu ELISA atau CFT. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih cepat dapat juga menggunakan uji biomolekuler
(PCR).
Jika biakan jaringan tidak tersedia, maka suspensi sampel dapat
diinokulasikan secara intraperitoneal 0,05 ml/ekorkepada mecit umur 2-7 hari
yang tidak disusui (setelah disuntik tidak dikembalikan ke induk). Mencit akan
lumpuh dan memperlihatkan gejala kelainan syaraf lainnya bila pada mencit
tersebut terdapat pertumbuhan virus. Biasanya diperlukan beberapa kali
pasase sebelum virus PMK beradaptasi pada mencit. Mencit yang
memperlihatkan gejala kelainan syaraf diambil otaknya dan atau urat daging
dada untuk keperluan identifikasi dengan uji imunologik (ELISA atau CFT)
atau PCR/RT-PCR.
Bab III
RINDERPEST
1. Pendahuluan
Rinderpest adalah penyakit akut dan fatal pada sapi dan kerbau yang
disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili
Paramyxoviridae dan genus Morbillivirus. Virus
rinderpest juga menginfeksi domba, kambing dan babi
Asia, meskipun tidak selalu memperlihatkan gejala klinis.
Diagnosis rinderpest pada ruminansia kecil (domba dan
kambing) dapat dikelirukan dengan penyakit Peste des
petits ruminants (PPR) untuk negara yang tidak bebas
dari kedua penyakit tersebut, sebab disamping gejalanya
hampir sama, secara serologi dengan uji agar gel
imunodifusion (AGID) kedua penyakit tersebut saling
memberikan reaksi silang. Oleh sebab itu konfirmasi oleh
laboratorium referensi sangat diperlukan.
2. Diagnosis
Diagnosis laboratorium terhadap rinderpest didasarkan pada deteksi antigen
atau deteksi antibody dengan salah satu dari beberapa
uji:
agar
gel
imunodifusion
(AGID),
counter
immunoelectrophoresis (CIEP), PCR kemudian dapat
dilanjutkan dengan isolasi virus dari hewan tersangka.
a. sampel
ampel untuk isolasi virus rinderpest dapat berupa darah segar yang diambil secara aseptis dan
ditaruh dalam tabung yang mengandung antikoagulan (heparin dengan
konsentrasi akhir 10 IU/ml atau ethylene diamine tetra-acetic acid (EDTA)
dengan konsentrasi akhir 0,5 mg/ml. Darah dengan antikoagulan tersebut
harus dicampur secara merata dan kemudian dikirim ke laboratorium dalam
keadaan dingin (dengan es) dan tidak boleh beku.
11
ila antikoagulan tidak tersedia atau hewan telah mati, maka sampel yang diambil berupa limpa
atau kelenjar limfe (prescapular dan mesenteric lymph nodes). Sampel ini
dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin (suhu dibawah 0°C).
b. identifikasi virus
ji agar gel imunodifusion (AGID) atau counter immunoelectrophoresis (CIEP) digunakan untuk
identifikasi virus rinderpest dengan serum kebal anti virus rinderpest
standar. Dalam kesempatan ini cukup diuraikan uji AGID karena memang
uji ini banyak digunakan.
ji AGID dapat dilakukan di atas gelas objek mikroskop (glass microscope slides). Gelas objek
mikroskop dilapisi dengan 1% agarose setebal 4mm. Kemudian pada agar
tersebut dibuat 7 lubang dengan diameter 3 mm. Satu lubang terdapat di
tengah dan dikelilingi oleh 6 lubang lainnya dengan jarak dari lubang satu
ke lubang lainnya 2 mm.
ubang tengah diisi dengan serum kebal anti rinderpest, lubang No.1, No.3 dan No.5 diisi dengan
kontrol antigen positif, lubang No.4 diisi dengan kontrol antigen negatif dan
antigen yang diuji ditaruh dalam lubang No.2 dan No.6. Setelah itu agar
ditaruh dalam suhu 4°C.
Gambar 2.
Pola sumuran
pada uji AGID
Bila dalam agar tersebut terdapat garis presipitasi
antara serum kebal (lubang tengah)
dengan lubang No.2 dan No.6 yang bersambung dengan garis presipitasi
dari kontrol antigen positif (No.1, 3 dan5) dan tidak terjadi garis presipitasi
pada kontrol antigen negatif (No.4), maka hasilnya dinyatakan positif virus
Rinderpest.
Untuk daerah atau negara yang tidak bebas penyakit Peste des petits ruminants (PPR), isolat
virus yang telah dinyatakan positif rinderpest berdasarkan hasil identifikasi
dengan uji AGID tersebut perlu dilakukan pengujian lagi dengan ELISA
yang menggunakan monoklonal antibodi spesifik untuk virus rinderpest
atau uji Polymerase chain reaction (PCR) dengan primer spesifik untuk
virus rinderpest. Pengujian ini harus dilakukan agar dapat kepastian
bahwa virus yang diisolasi tersebut benar-benar virus rinderpest dan
bukannya virus PPR, karena antara virus rinderpest dan virus PPR
memiliki reaksi silang dalam uji AGID.
Alternatif lain adalah mengirimkan isolat untuk peneguhan diagnosis ke laboratorium referensi
untuk Rinderpest yang ditujuk oleh OEI, yaitu Institute for Animal Health,
Pirbright Laboratory, Ash Road, Pirbright, Woking, Surrey GU24 ONF,
United Kingdom (UK).
c. serologi
Uji serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk digunakan dalam hubungannya
dengan perdagangan internasional adalah Kompetitif
ELISA dan Serum Netralisasi.
1. kompetitif elisa
12
Kit untuk uji kompetitif ELISA ini tersedia di Laboratorium Referensi Internasional untuk
Rinderpest. Kompetitif ELISA ini didasarkan pada kemampuan serum
positif (mengandung antibodi terhadap virus rinderpest) untuk
berkompetisi dengan antibodi monoklonal anti-H protein virus rinderpest
dalam reaksi imunologik terhadap antigen rinderpest.
Dalam kit tersebut telah tersedia semua reagensia yang diperlukan dan prosedur kerjanya,
termasuk interpretasi hasil pembacaannya.
2. serum netralisasi
Uji serum netralisasi untuk Rinderpest dilakukan pada biakan jaringan “Calf kidney” atau biakan
sel VERO yang ditumbuhkan dalam mikroplate atau jika memungkinkan
menggunakan tabung berputar (Roller-tube culture).
Serum yang telah diinaktifkan 56°C 30 menit diencerkan dengan kelipatan 2 atau 1/10 dalam
medium biakan sel yang mengandung antibiotik.
Tiap enceran kemudian dicampur dengan suspensi virus Rinderpest standar sebagai antigen
(dengan kandungan virus 103 TCID 50 per ml) pada volume sama banyak
dan disimpan semalam pada suhu 4°C (refregirator).
Setiap enceran (campuran virus-serum tersebut) digunakan untuk menginokulasi 5 tabung
biakan sel dengan volume inokulum sebanyak 0,2 ml dan dengan segera
ditambahkan 1 ml biakan sel dengan konsentrasi 2 x 105 sel per ml yang
disuspensikan dalam medium penumbuh biakan sel. Tabung-tabung
tersebut kemudian diinkubasikan dengan sistem roller pada suhu 37°C
selama 3 hari.
Pengamatan di bawah mikroskop dilakukan setiap hari selama 10 hari sampan kontrol negatif
sudah terbentuk CPE.
Serum yang memperlihatkan adanya antibodi (tidak ada CPE) pada campuran antara enceran
serum-virus pada konsentrasi awal ½ dinyatakan positif. Pengenceran
serum (1/2) terakhir yang menunjukkan hasil positif (tidak ada CPE)
merupakan titer serum yang diuji.
d. inokulasi biakan jaringan
ampel darah yang tidak beku disentrifugasi dengan kecepatan 2.500 g selama 15 menit untuk
mendapatkan lapisan “buffy coat” (kumpulan leukosit) yang terdapat pada
perbatasan antara plasma dan sel-sel darah merah. Lapisan buffy coat
tersebut kemudian diambil sebersih mungkin, lalu di larutkan dalam 20 ml
larutan garam fisiologis dan disentrifugasi seperti di atas. Supernatannya
dibuang dan pelletnya dipanen dan dilarutkan dalam medium biakan
jaringan sebagai inokulum.
ebanyak 2 ml inokulum diinokulasikan ke dalam biakan sel monolayer (B95a “Marmoset
lymphoblastoid cells”, “VERO cells” atau biakan sel primer “calf kidney
cells”). Biakan jaringan tersebut berada dalam tabung yang ditaruh dalam
inkubator yang memiliki sistem putar (roller). Media penumbuh biakan
jaringan tersebut sebaiknya diganti secara periodik. Pengamatan dengan
mikroskop untuk melihat adanya cytophatic effect (CPE) juga dilakukan
secara periodik. Jika dalam biakan jaringan itu muncul adanya CPE, maka
dalam biakan jaringan tersebut diasumsikan terjadi pertumbuhan virus
(virus berhasil diisolasi). Selanjutnya dilakukan identifikasi.
ntuk sampel yang berupa limpa atau kelenjar limfe dibuat suspensi 20%(w/v) dalam phosphate
buffered saline (PBS) yang mengandung antibiotik: 2.000 IU penisilin dan
2.000 µg streptomisin per ml sebagai inokulum. Cara pembuatan suspensi
sama dengan pembuatan suspensi epitel lepuh untuk uji PMK. Selanjutnya
13
inokulum tersebut digunakan untuk menginokulasi biakan jaringan seperti di
atas.
Bab IV
BLUETONGUE
1. Pendahuluan
Bluetongue adalah penyakit infeksius, tapi tidak kontagius, umumnya
menyerang domba, namun juga dapat menyerang hewan ruminansia lain
dengan gejala klinis yang tidak separah pada domba.
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam genus Orbivirus dari
famili Reoviridae. Virus Blutongue ditularkan dari hewan sakit ke hewan sehat
melalui vektor serangga, terutama dari genus Culicoides. Karena virus
tersebut dapat mengadakan replikasi dalam tubuh serangga, maka serangga
tergolong vektor biologi untuk virus Bluetongue. Kelompok virus-virus yang
dapat disebarluaskan melalui vektor biologi serangga, seperti virus
Bluetongue, dinamakan ARBOVIRUS (Arthropod Borne Virus).
Frekuensi virus Bluetongue menginfeksi sapi sebenarnya lebih tinggi dari pada
domba, namun pada sapi Bluetongue tidak menimbulkan gejala klinis. Virus
Bluetongue dari sapi dapat ditularkan ke pada domba melalui serangga dan
menimbulkan sakit dan kematian tinggi pada domba yang peka. Dengan
demikian sapi dapat berperan sebagai reservoir virus Bluetongue bagi domba.
Berdasarkan uji serum netralisasi, virus Bluetongue diketahui memiliki banyak
serotipe dan sampai saat ini telah dikenal sebanyak 24 serotipe virus
Bluetongue. Walaupun semua virus Bluetongue memiliki antigen bersama
(common antigen) yang dapat diekploitasi dengan uji AGP, namun kekebalan
silang diantara serotipe-serotipe virus Bluetongue sangat rendah atau hampir
tidak ada.
2. Diagnosis
Diagnosis laboratorium untuk Bluetongue didasarkan pada isolasi dan identifikasi
virus. Identifikasi dapat dilakukan dengan mendeteksi
serogroup dari virus dengan uji immunofluorescence,
ELISA-deteksi antigen dan indirect peroxidaseantiperoxidase identification. Kemudian penentuan
serotipe dilakukan dengan uji serum netralisasi.
a. sampel
Sampel untuk isolasi virus Bluetongue dapat berupa: (1) darah yang dikoleksi dengan
antikoagulan, (2) limpa dan (3) kelenjar limfe (lymph nodes).
Sampel darah diambil secara aseptis dari hewan yang sedang menderita
demam dan ditampung dalam tabung yang diberi antikoagulan (heparin
10 IU/ml atau ethylene diamine tetra-acetic acid (EDTA) 0,5 mg/ml). Darah
tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2.500 g selama 15
menit. Plasmanya dibuang dan sel-sel darahnya dicuci sebanyak tiga kali
dengan larutan PBS steril. Sel-sel darah diencerkan dalam 10 ml larutan
PBS yang steril, kemudian disentrifugasi lagi seperti di atas dan seterusnya
sampai tiga kali. Setelah pencucian sel-sel darah diresuspensi dengan
larutan PBS steril secukupnya dan disimpan pada 4°C untuk waktu yang
tidak terlalu lama sebelum digunakan untuk inokulasi.
14
Jika, karena sesuatu sebab, inokulasi belum dapat dilakukan dalam waktu
singkat, yang berarti darah tersebut harus disimpan dalam waktu lama,
maka penyimpanan harus dilakukan pada suhu –70°C atau lebih rendah
lagi (misalnya dalam liquid N 2 ). Virus Bloutongue tidak stabil dalam
penyimpanan pada suhu -20°C.
Sampel limpa atau lymph nodes diambil dari hewan yang sakit atau baru
mati pada kasus infeksi yang fatal. Organ-organ tersebut dikirim dalam
keadaan dingin (suhu 4°C) ke Laboratorium. Setelah sampai di
Laboratorium organ-organ tersebut dibuat suspensi 20% dalam larutan PBS
steril yang mengandung antibiotik sebagai inokulum (lihat cara pembuatan
suspensi epitel pada PMK).
b. identifikasi virus
Untuk
identifikasi
serogroup virus Bluetongue dapat dilakukan dengan (1) uji
Immunofluoresence, (2) ELISA-deteksi antigen, (3) indirect peroxidase antiperoxidase inentification dan uji AGID. Sedangkan untuk penentuan
serotipe virus Bluetongue dilakukan dengan uji serum netralisasi.
Identifikasi serogroup virus Bluetongue dengan menggunakan poliklonal
antibodi dengan uji immunofluoresence, dapat dikelirukan dengan virus
enzootic haemorrhagic diseasis of deer (EDH) karena kedua virus tersebut
dapat
memiliki
reaksi
silang
yang
ditunjukkan
oleh
reaksi
immunofluoresence yang lemah. Oleh sebab itu beberapa laboratorium
referensi internasional untuk Bluetongue telah menghasilkan monoklonal
antibodi yang spesifik untuk serogroup virus Bluetongue.
1) Uji immunofluoresence:
Biakan jaringan BHK atau Bovine Fetal Kidney Cells yang telah tumbuh membentuk satu
lapisan sel penuh (monolayer) pada glas penutup mikroskop (cover
slips) diinfeksi dengan isolat virus dan sebagian lagi dengan virus
Bluetonge yang telah adapted pada biakan jaringan sebagai kontrol.
Setelah CPE terlihat, biakan jaringan tersebut kemudian difiksasi
dengan paraformaldehid, aseton atau metanol. Setelah itu biakan
jaringan dikeringkan dan virus dideteksi dengan pewarnaan fluoresence.
2) Uji ELISA-antigen:
Uji ELISA antigen (antigen capture ELISA) kini lebih banyak digunakan dalam identifikasi
serogroup virus Bluetonge, terutama uji ELISA yang menggunakan
monoklonal antibodi spesifik terhadap serogroup virus Bluetongue.
Untuk uji ini telah disediakan kit ELISA deteksi antigen dari Laboratorium
Referensi Internasional untuk Bluetongue. Dalam Kit tersebut sudah
tercantum prosedur kerjanya dan interpretasi pembacaan hasilnya.
3. Penentuan Serotipe Virus (Serotyping)
Untuk menentukan serotipe virus Bluetongue yang telah diisolasi, dilakukan uji
netralisasi dengan antisera terhadap ke 24 serotipe virus
Bluetongue standar yang sudah diketahui, dengan prosedur
yang dapat diringkas sebagai berikut:
Sebanyak 50 µl larutan virus yang akan ditentukan serotipenya dan virus standar
yang masing-masing mengandung titer 100 TCID 50 dicampur
dengan serum standar yang telah diencerkan dengan
medium biakan sel pada volume yang sama dalam lubanglubang plat mikrotiter. Sebanyak 100 µl larutan sel (BHK
atau Aedes albopictus cells) yang mengandung 104 sel
ditambahkan ke dalam setiap lubang pada plat mikrotiter.
Setelah diinkubasikan selama 2-6 hari, uji tersebut dibaca di
15
bawah mikroskop inverted untuk mengamati adanya CPE.
Kontrol negatif (lubang yang hanya mengandung biakan sel
dan lubang yang berisi biakan sel dan antisera) harus tidak
memperlihatkan adanya CPE. Sedangkan kontrol positif
(lubang yang mengandung biakan sel dan virus) harus
memperlihatkan adanya CPE. Isolat virus dinyatakan identik
dengan standar virus Bluetongue serotipe tertentu jika virus
tersebut memperlihatkan derajad netralisasi yang serupa.
4. serologi
Standar uji serologi untuk Bluetonge dalam hubungannya dengan perdagangan internasional
adalah AGID dan ELISA. Namun karena uji AGID memiliki kelemahan yaitu
terdapat reaksi silang dengan virus serogroup EHD, maka laboratorium
referensi untuk Bluetongue mengembangkan uji Kompetitif-ELISA dengan
menggunakan monoklonal antobodi yang spesifik hanya terhadap serogroup
virus Bluetongue, sehingga tidak memiliki reaksi silang dengan serogroup
virus EHD. Metode kompetitif ELISA ini telah distandardisasi dengan
melibatkan berbagai laboratorium kesehatan hewan internasional.
Untuk melakukan uji tersebut, kini telah tersedia berbagai reagensia standar atau ELISA-kit yang
dapat diperoleh dari Laboratorium Referensi Internasional untuk Bluetongue.
Beberapa produsen bahan biologik di luar negeri juga telah memasarkan
ELISA-kit untuk serologi Bluetongue secara komersial. Dalam kit tersebut
telah tercantum secara terperinci mengenai prosedur kerja dan interpretasi
hasilnya.
Laboratotium Referensi Internasional untuk Bluetongue yang ditunjuk oleh OIE antara lain adalah:
1) Institute for Animal Health, Pirbright Laboratory,
Surrey GU24 ONF, United Kingdom (UK).
Ash Road, Pirbright, Woking,
2) CSIRO, Australian Animal Health Laboratory, Division of Animal Health, Institute of
Animal Production and Processing, Ryrie Street, P.O. Bag 24, Geelong, Victoria
3226, AUSTRALIA.
5. Inokulasi biakan jaringan, telur berembrio atau hospes yang lain
a. Inokulasi pada telur ayam berembrio:
Untuk inokulasi pada telur ayam berembrio, inokulum berupa suspensi
sel-sel darah yang telah dipersiapkan disonikasi terlebih dahulu.
Kemudian sebanyak 0,1ml inokulum disuntikkan secara intravenus pada
embrio ayam umur 10-12 hari. Satu inokulum disuntikkan pada sedikitnya
5 butir telur. Telur-telur yang telah diinokulasi kemudian diinkubasikan
pada suhu 33,5°C dan diperiksa (candling) setiap hari. Telur yang mati
dalam 24 jam setelah penyuntikan dibuang, karena sebab kematiannya
nonspesifik. Telur yang mati dalam waktu 2-7 hari setelah penyuntikan
disimpan dalam refrigerator (suhu 4°C). Sedangkan telur-telur yang masih
hidup setelah 7 hari dari penyuntikan dimatikan dengan pendinginan 4°C
selama satu malam. Telur-telur tadi kemudian dibuka. Jika ditemukan
adanya hemoragis pada embrio, maka dalam embrio tersebut
kemungkinan terjadi pertumbuhan virus. Kepala embrio ayam dipotong
dan badannya digerus sampai halus (homogen). Setelah itu homogienat
disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 20menit. Cariannya
diambil dan endapannya yang berisi jaringan dan sel-sel debris dibuang.
Cairan tersebut merupakan isolat virus yang siap diidentifikasi dengan uji
imunologi (ELISA).
b. Inokulasi biakan jaringan:
16
Isolasi virus Bluetongue dari darah secara langsung ke biakan jaringan
tidaklah efisien, karena sebenarnya virus Bluetonge yang berada dalam
darah hewan terserang pada saat viremia hanya sedikit, sehingga
peluang keberhasilannya rendah. Penggunaan biakan sel akan lebih baik
(sensitif) terhadap virus Bluetongue yang telah mengalami satu atau dua
pasase pada telur ayam berembrio.
Biakan jaringan yang sering digunakan untuk isolasi atau menumbuhkan
virus Bluetongue adalah BHK-21, VERO, mouse L cells dan Aedes
albopictus cells.
6. Isolasi pada hospes lainya
Isolasi virus Bloutonge, selain pada telur ayam berembrio dan biakan
jaringan, juga dapat dilakukan pada anak mecit yang baru dilahirkan. Efisiensi
cara ini juga lebih rendah dibandingkan dengan isolasi pada telur ayam
berembrio.
Isolasi virus Bluetongue pada domba (harus domba SPF/specific pathogen
free yang diseleksi dengan ELISA dan negatif antibodi) masih cukup berguna,
terutama jika titer virus pada inokulum yang dipersiapkan dari darah sangat
rendah. Domba dapat diinokulasi dengan 500 ml lauran darah atau 50 ml
suspensi jaringan inokulum. Dengan demikian meskipun titer dalam darah itu
rendah, namun karena volumenya cukup besar, maka terjadinya infeksi
terhadap domba memiliki peluang yang besar. Domba diamati selama 28 hari
dan titer antibodinya terhadap virus Bluetonge dapat diukur dengan uji AGID.
Bab V
NEWCASTLE DISEASE
1. Pendahuluan
Newcastle disease (ND) adalah penyakit pernafasan ayam yang disebabkan
oleh virus. Virus penyebab ND termasuk dalam famili Paramyxoviridae dari
genus Paramyxovirus. Paramyxovirus yang menyerang unggas, kini diketahui
memiliki 9 subtipe yang diberinama PMV-1 sampai PMV-9. Virus Newcastle
disease adalah PMV-1.
Berdasarkan keganasannya (patogenitasnya), virus ND kini dikelompokkan
menjadi lima patotipe (strain) yakni: (1) Velogenik viserotropik, (2) Velogenik
neurotropik, (3) Mesogenik, (4) Lentogenik dan (5) Asimtomatik enterik.
2. Diagnosis
a. sampel
Bahan pemeriksaan untuk virus ND dapat berupa :
- Ayam sakit yang masih hidup
- Ayam mati (bangkai) yang tidak lebih dari 1 jam
- Potongan organ tubuh: Trakea dan paru-paru, Usus dan sekal-tonsil,
Proventikulus, dan Otak/kepala
b. cara pengiriman :
 Ayam hidup atau bangkai dikirim tanpa bahan pengawet. Bangkai harus
dikirim segera setelah mati. Jumlah ayam yang dikirim sedikitnya 5 ekor.
 Potongan organ tubuh dikirim dalam transport media (Medium biakan
jaringan yang mengandung antibiotik 2.000 IU penisilin dan 2.000 µg
streptomisin/ ml) dengan botol atau tabung yang bermulut besar dalam
pendinginan (memakai es).
17
c. cara pembuatan inokolum :
1. Ayam hidup dipotong terlebih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan
bedah bangkai, potongan organ tubuh (trakhea dan paru-paru, usus dan
sekal - tonsil serta otak) diambil secara aseptis.
2. Potongan organ tubuh yang dikirim dalam transpor media, dikeluarkan
kemudian dicuci dengan Phosphat Buffered Saline (PBS) paling sedikit
3 X.
3. Organ tubuh tersebut kemudian dipotong-potong kecil, lalu digiling atau
ditumbuk dengan mortar dingin sampai halus, kemudian disuspensikan
dalam PBS (pH 7,2) yang mengandung antibiotik sebanyak 1000 - 2000
IU penicilin dan 1000-2000 µg streptomisin per ml atau antibiotik lain
yang setara, sehingga diperoleh konsentrasi suspensi sebesar 20%.
4. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi selama 15 - 30 menit
(refrigerated centrifuge) dengan kecepatan 1500 - 3000 RPM.
Supernatan diambil dan digunakan sebagai inokulum.
5. Inokolum diuji sterilitasnya dengan agar growth (media agar penumbuh).
Tetapi bila karena sesuatu hal inokulasi belum dapat dilaksanakan,
maka inokulum tersebut harus disimpan pada 4°C untuk jangka waktu
singkat (tak lebih dari satu minggu) atau pada -70°C untuk jangka waktu
lama.
3. Isolasi virus pada telor ayam berembrio :
Untuk Isolasi virus idealnya menggunakan telur SPF atau yang negatif
antibodi terhadap ND, tetapi telur ayam non SPF masih dapat digunakan bila
penyuntikan dilakukan pada umur kurang dari 12 hari. Prosedur inokulasi pada
telur ayam bertunas (TAB) pada bagian Allantoic Cavity (AC) adalah sebagai
berikut :
a. Sediakan telur ayam berembrio yang berumur 9 - 11 hari. Telur-telur
tersebut diperiksa embrionya dengan lampu candling dan diberi tanda
tempat penyuntikan. Tempat penyuntikan dipilih sejauh mungkin dari embrio
dan pembuluh darah.
b. Daerah di sekitar tempat penyuntikan didesinfeksi dengan alkohol 70% dan
atau dengan larutan 10% yodium.
c. Tempat penyuntikan pada rongga udara dilubangi dengan jarum penusuk.
Inokolum disuntikan sebanyak 0,1 - 0,2 ml per telur melalui lubang yang
telah dibuat ke dalam kantong alantoik (allantoic cavity). Setiap inokolum
paling sedikitnya disuntikkan kepada 3 telur ayam berembrio.
d. Lubang tempat penyuntikan ditutup dengan lilin atau malam (wax) atau
parafin. Telur-telur kemudian ditaruh dalam inkubator bersuhu 37 °C.
e. Setiap hari telur diteropong (candling) dan telur yang mati sebelum 24 jam
dari inokulasi dibuang. Telur yang mati setelah 24 jam dari saat inokulasi
dibuka dan cairan alantoiknya diuji dengan uji hemaglutinasi (HA).
f. Telur yang tidak mati selama 4 hari dari inokulasi, dibunuh dengan cara
memasukkan pada suhu 4 °C selama semalam. Kemudian dibuka dan
cairan alantoiknya di uji dengan uji HA.
g. Bila dalam uji HA diamati adanya penggumpalan butir darah merah (BDM),
maka hal itu merupakan petunjuk bahwa dalam telur tersebut terjadi
pertumbuhan virus. Ini berarti virus yang mempunyai daya hemaglutinasi
dapat diisolasi. Selanjutnya terhadap isolat ini dilakukan identifikasi.
4. Identifikasi Isolat :
18
Isolat-isolat yang telah diperoleh harus diidentifikasi dengan serum positif
terhadap ND standar dengan menggunakan uji hemaglutinasi (HA) dan uji
hemaglutinasi inhibisi (HI) sebagai berikut:
 Uji hemaglutinasi (HA) cepat
a. cairan virus yang akan diuji diteteskan pada gelas preparat dan
selanjutnya setetes suspensi BDM 5 % diteteskan disebelahnya.
b. kedua tetes cairan tersebut diaduk dengan tusuk gigi. Pembacaan
dilakukan dalam waktu 15 detik..
c. bila dalam campuran itu terjadi penggumpalan BDM (hemaglutinasi), uji
HA cepat dinyatakan positif. Berarti dalam cairan yang diuji terdapat
virus yang mempunyai daya hemaglutinasi. Kontrol negatip (Cairan
BDM 5 % ditambah dengan NaCl) dan kontrol positip (mengandung
cairan virus yang sudah diketahui ditambah BDM 5 %) digunakan
sebagai pembanding.
 Uji HA dalam mikrotiter:
a. pada lubang plat mikrotiter diisikan 25 µl PBS (pH 7,2) atau larutan
garam fisiologis (0,85% NaCl dalam aquades) dimulai dari lubang
pertama sampai ke 12.
b. pada lubang pertama ditambahkan suspensi virus yang akan diuji
sebanyak 25 µl dan diaduk dengan mikrotiter pipet dengan menghisap
dan menekannya secara perlahan-lahan sebanyak 10 kali. Kemudian
dipindahkan pada lubang No 2 dan diaduk seperti di atas yang akhirnya
dipindahkan ke No 3, demikian seterusnya sampai lubang terakhir.
Sehingga diperoleh pengenceran virus kelipatan dua (log 2).
c. pada setiap pengenceran ditambahkan 25 µl suspensi BDM 1%,
kemudian Plat digoyang dengan alat penggoyang elektrik (shaker) atau
secara manual digoyang dengan tangan selama 1 menit, lalu didiamkan.
d. hasil dibaca bila pada kontrol negatif (lubang tanpa virus) BDM nya telah
mengendap dan kontrol positif (lubang yang berisi suspensi virus ND
yang diketahui) telah menunjukan aktivitas hemaglutinasi sempurna.
Biasanya dalam waktu 15 - 30 menit setelah didiamkan.
e. titer HA adalah : pengenceran tertinggi yang masih terjadi hemaglutinasi
sempurna. Titer HA biasanya dinyatakan dalam log 2.
f. cairan virus yang memiliki titer HA > 2 (log 2) per 25 µl dinyatakan positif
HA.
7. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI)
a. uji HI Cepat : untuk identifikasi virus:
(1) Suspensi virus yang akan diuji diteteskan pada gelas preparat dan
selanjutnya setetes serum ND standar diteteskan disebelahnya.
(2) Kedua tetes cairan tersebut diaduk dengan tusuk gigi. Kemudian
diteteskan 2 tetes BDM 5 % , dan diaduk hingga merata.
(3) Bila dalam campuran itu tidak terjadi penggumpalan BDM (tidak ada
hemaglutinasi), uji HI cepat dinyatakan positif, berarti virus yang diuji
adalah virus ND. Kontrol BDM (cairan BDM 5 % ditambah dengan NaCl)
dan kontrol antigen (mengandung cairan virus yang sudah diketahui
ditambah BDM 5 %), dan kontrol serum (setetes serum ditambah BDM 5
%) dan kontrol positif (serum positif ND standar ditambah antigen yang
diketahui dan BDM 5 %) disertakan sebagai pembanding.
b. uji HI dengan mikrotiter untuk identifikasi virus:
19
(1) Lubang pertama sampai lubang yang ke 12 dari semua lubang Plat
mikrotiter diisi dengan 25µl PBS (pH 7,2) atau larutan garam fisiologis.
(2) Pada lubang pertama kemudian ditambahkan 25 µl serum positif ND
standar
(yang memiliki titer serendah-rendahnya 25) dengan
menggunakan multi channel pipet setelah itu diaduk sebanyak 10 kali,
kemudian dipindahkan ke lubang 2 dan diaduk 10 kali lalu dipindahkan
ke lubang 3. Demikian seterusnya sampai lubang yang terakhir dan
sisanya dibuang . Dengan cara itu diperoleh pengenceran serum lipat
dua (log 2).
(3) Cairan virus yang akan diuji diencerkan dengan PBS (pH 7,2) sehingga
diperoleh titer HA = 4 per 25 µl. Tambahkan 25 µl antigen yang
mengandung 4 HA tersebut kedalam setiap lubang pengenceran serum
dan di kocok dengan mixer selama 1 menit, lalu didiamkan selama 2030 menit.
(4) Kedalam setiap lubang yang telah terisi campuran serum-virus tersebut
kemudian ditambahkan 25 µl suspensi BDM 1%, kemudian Plat digoyang
lagi dan didiamkan untuk selanjutnya dibaca hasilnya.
(5) Pembacaan dilaksanakan bila BDM dalam lubang kontrol positif
(Menggunakan antigen ND yang telah diketahui) atau lubang kontrol
yang berisi PBS dan BDM saja, telah mengendap. Biasanya dalam
waktu 15 - 30 menit.
(6) Titer HI : Pengenceran serum tertinggi yang masih menghambat
hemaglutinasi dengan sempurna. Titer dinyatakan dalam Log 2.
(7) Bila serum ND standar yang diuji dengan antigen yang diidentifikasi
memiliki titer HI > 4 ( Log 2), Uji HI dinyatakan positif. Cairan virus (Isolat)
yang diuji mengandung virus yang identik dengan serum ND standar.
Maka isolat dinyatakan virus ND.
8. Penentuan galur virus ND :
Berdasarkan patogenesis (virulensi) -nya, virus ND dikelompokkan ke dalam
beberapa galur yakni: galur velogenik (velogenik viserotropik dan velogenik
neurotropik), galur mesogenik, galur lentogenik dan asymtomatik enterik. Ada
tiga uji patogenetis standar secara internasional yang digunakan dalam
penentuan galur virus ND. Uji-uji tersebut adalah:
• Uji "mean dead time of the minimum lethal dose (MDT/MLD)"
• Uji "intracerebral pathogenicity index (ICPI)"
• Uji "intravenous pathogenicity index ( IVPI)"
Interpretasi hasil pengujian:
Galur Virus
Hasil pengujian
MDT/MLT (jam)
ICPI
IVPI
VELOGENETIK
< 60
1,5 - 2
1-3
MESOGENETIK
60 - 90
1 - 1,5
0-1
LENTOGENETIK
> 90
< 0,5
0
9. UJI MEAN DEAD TIME OF MINIMUM LETHAL DOSE (MDT/MLD) :
1. Buatlah pengenceran virus ND dalam PBS yang mengandung antibiotik dari
pengenceran 10-1 sampai 10-10. Dari pengenceran itu kemudian diambil lima
20
pengenceran tertinggi (pengenceran 10-6 sampai 10-10) untuk digunakan
dalam uji ini.
2. Setiap pengenceran disuntikkan ke dalam 5 butir telur ayam berembrio umur
9 - 10 hari dengan dosis 0,1 ml per butir telur. Penyuntikan dilakukan pada
pagi hari (catat waktunya dan telur diinkubasikan pada 37ºC. Sisa enceran
virus disimpan pada 4ºC untuk dipakai lagi.
3. Pada sore hari (Catat waktunya) penyuntikan seperti pada tahap No.2.
4. Amati telur - telur tersebut sehari dua kali pada pagi dan sore hari selama 4
hari dan catat waktu kematian setiap embrio, lakukan uji HA cepat pada
setiap telur untuk memastikan bahwa kematian memang disebabkan oleh
pertumbuhan virus ND.
5. Definisi :
a. Minimum Lethal Dose (MLT):
Pengenceran tertinggi yang menyebabkan semua embrio mati dalam 4
hari.
b. Mean Dead Time (MDT):
Rata-rata waktu (dalam jam) kematian lima embrio yang memperoleh lethal dosis.
 Rumus Perhitungan Hasil MDT/MLD :
T n X n jam + Tm X m jam +..........dst
MDT/MLD =
---------------------------------------------------------Jumlah telur yang mati pada MLT
Tn : Jumlah telur yang mati dalam n jam
Tm : Jumlah telur yang mati dalam m jam
Jumlah telur yang mati dalam setiap pengenceran pada MLT adalah 10 butir
(5 mati untuk kelompok pagi dan 5 mati untuk kelompok sore hari).
 Contoh perhitungan :
Kelompok
PAGI
SORE
Enceran
(log 10)
Virus Waktu pengamatan
inokulasi
(dalam
jam)
setelah
2
4
3
2
4
0
4
8
5
6
6
4
7
2
8
0
8
8
9
6
104
M/T
-10
0
0
-
0
0
-
0
0
-
0
0
0/5
-9
0
0
-
0
0
-
3
0
-
1
0
4/5
-8
0
0
-
0
0
-
4
1
-
-
-
5/5
-7
0
0
-
0
0
-
5
-
-
-
-
5/5
-6
0
0
-
5
-
-
-
-
-
-
-
5/5
-10
0
-
0
0
-
0
0
-
0
0
-
0/5
-9
0
-
0
0
-
0
1
-
2
0
-
3/5
-8
0
-
0
0
-
2
3
-
-
-
-
5/5
-7
0
-
0
0
-
3
2
-
-
-
-
5/5
-6
0
-
5
-
-
-
-
-
-
-
-
5/5
21
MLD : Pengenceran tertinggi yang membunuh semua (lima) telur adalah
pengenceran 10-8.
MDT pada pengenceran 10-8 adalah :
2 X 64 + 7 X72 + 1 X 80
------------------------------------ = 71,2
10
MDT/MLT = 71,2
10. Uji Intracerebral Pathogenicity Index (ICPI) :
1. Bahan yang dipakai adalah 10 ekor anak ayam umur satu hari, lebih dari 24
jam tetapi kurang dari 40 jam . Dipelihara dalam kandang isolasi, diberi
lampu penghangat, makan dan minum ad libitum. sebaiknya ayam SPF
dengan negatif antibodi terhadap ND.
2. Setiap ekor anak ayam tersebut disuntik dengan cairan alantois atau cairan
biakan jaringan yang mengandung virus ND, diencerkan pada 10-1, steril dan
mempunyai titer HAU > 4 (log2). Penyuntikkan dilakukan melalui otak
dengan dosis 0,05 ml inokulum per ekor anak ayam dengan menggunakan
jarum berukuran 26 G.
3. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 8 hari. setiap melakukan
pengamatan, dilakukan pemberian nilai (skor) pada setiap anak ayam
sebagai berikut :
- Normal diberi skor : 0
- Sakit diberi skor
:1
- Mati diberi skor
:2
Definisi index :
Rata-rata skor per ayam per pengamatan selama periode
pengamatan 8 hari.
Contoh perhitungan :
Klinis
Normal
Sakit
Mati
Hari pengamatan setelah inokulasi
Total skor
1
2
3
4
5
6
7
8
10
0
0
4
6
0
0
8
2
0
4
6
0
0
10
0
0
10
0
0
10
0
0
10
Total skor
14 x 0 = 0
18 x 1 = 18
48 x 2 = 98
= 114
ICPI = 114 : 80 = 1,43
Virus virulen akan memberi nilai indeks maksimum 2,0 sementara yang lentogenik
hampir 0,0
11.Uji Intravenous Pathogenicity Index (IVPI):
1. Bahan yang dipakai adalah ayam umur 6 minggu sebanyak 10 ekor, berasal
dari SPF yang mempunyai titer negatif terhadap antibodi ND. Dipelihara
dalam kandang isolator dengan lampu penghangat, pemberian makan
secara ad libitum .
2. Setiap
ayam disuntik dengan 0,1 ml cairan virus yang akan di uji pada
pengenceran 10-1 secara steril melalui vena sayap (intravena) dengan
menggunakan spuit 1 ml dan ukuran jarum 26 G.
3. Pengamatan dilakukan setiap hari (interval 24 jam) selama 10 hari. dalam
setiap pengamatan dilakukan pemberian nilai (skor) pada setiap ekor ayam
sebagai berikut :
• Normal diberi skor
=0
22
• Sakit diberikan skor
=1
• Paralisis
=2
• Mati
=3
Definisi : Index adalah rata-rata skor per ayam per pengamatan selama
periode 10 hari.
Klinis
Normal
Sakit
Paralisis
Mati
Total skor
Hari pengamatan setelah inokulasi
1
2
3
4
5
6
10 2
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
4
4
2
0
0
0
2
6
8
10 10
Total skor
7
0
0
0
10
8
0
0
0
10
9
0
0
0
10
10
0
0
0
10
12 x 0 = 0
4x1 = 4
10 x 2 = 20
76 x 3 = 228
= 252
Contoh perhitungan :
IVPI = 252 : 10 = 2,52
Strain lentogenik dan mesogenik memiliki nilai IVPI 0, sedangkan strain velogenik
dapat mencapai 3.
12. Serologi
Uji serologi untuk mengukur titer antibodi terhadap ND digunakan uji HI
sebagai berikut :
1. Lubang pertama sampai lubang yang ke 12 dari semua lubang Plat
mikrotiter diisi dengan 25 µl PBS (pH 7,2) atau larutan garam fisiologis.
2. Pada lubang pertama kemudian ditambahkan 25 µl serum yang akan diuji
dengan menggunakan multi chanel pipet setelah itu diaduk sebanyak 10
kali, kemudian dipindahkan ke lubang 2 dan diaduk 10 kali, lalu
dipindahkan ke lubang 3. Demikian seterusnya sampai lubang yang
terakhir dan sisanya dibuang . Dengan cara itu diperoleh pengenceran
serum lipat dua (log 2).
3. Tambahkan 25 µl antigen yang mengandung 4 HA pada setiap
pengenceran serum, kemudian plat digoyang dengan shaker selama 1
menit, lalu didiamkan selama 20-30 menit.
4. Kedalam setiap lubang yang telah terisi campuran serum-virus tersebut
kemudian ditambahkan 50 µl suspensi BDM 1% kemudian plat digoyang
lagi dan didiamkan untuk selanjutnya dibaca hasilnya.
5. Pembacaan dilaksanakan bila BDM dalam lubang kontrol positif
(menggunakan serum ND standar yang telah diketahui titernya) dan
lubang kontrol negatif yang berisi 50 µl PBS dan 50 µl BDM 1% telah
mengendap, biasanya dalam waktu 15 - 30 menit.
6. Titer HI : Pengenceran serum tertinggi yang masih menghambat
hemaglutinasi dengan sempurna. Titer dinyatakan dalam Log 2.
7. Titer antibodi ≥ 25 dinyatakan kebal.
Bab VI
AVIAN INFLUENZA
1. Pendahuluan
23
Berdasarkan antigen matrixnya, virus influenza dikelompokkan menjadi tiga
serotipe yaitu serotipe A, B dan C. Semua virus influenza yang menyerang
unggas (avian influenza) diketahui termasuk dalam serotipe A, sehingga
disebut Influenza-A. Virus influenza-A selain menyerang unggas, juga
diketahui menyerang babi dan manusia (zoonosis).
Berdasarkan antigen hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N) virus InfluenzaA memiliki banyak subtipe. Dari antigen H kini diketahui ada 15 serotipe (H1
s/d H15) dan dari antigen N diketahui terdapat 9 serotipe (N1s/d N9). Setiap
isolat virus Influenza-A subtipenya ditentukan berdasarkan kombinasi dari
kedua subtipe H dan N, dengan demikian terdapat virus Influenza-A serotipe
H4N4, H4N1, H5N1 dan seterusnya.
Sampai saat ini diketahui bahwa semua penyakit avian influenza ganas (highly
pathogenic avian influenza) atau Fowl Plaque disebabkan oleh virus InfluenzaA dari serotipe H5 atau H7. Misalnya penyakit flu burung dari Hongkong yang
menghebohkan itu disebabkan oleh virus Influenza-A dari subtipe
H5N1.Namun perlu diketahui bahwa tidak semua serotipe H5 atau H7 itu
patogen.
2. Diagnosis
Diagnosis laboratorium terhadap HPAI didasarkan pada deteksi antigen atau
deteksi antibody dengan salah satu dari beberapa uji: Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), Complement Fixation Test (CFT) atau
Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dapat dilanjutkan isolasi virus.
3. Identifikasi Virus
a. spesimen Untuk Diagnosis
1) Spesimen yang berasal dari spesies unggas hidup
• Swab kloaka
• Swab nasopharing
• Feses
• Serum
2) Spesimen yang berasal dari telur :
• Swab permukaan kerabang telur atau feses yang menempel ditelur
3) Spesimen yang berasal dari karkas, daging dan bahan olahan
• Swab permukaan daging atau karkas atau ambil air bekas
cucian/thawing Kerokan dari pembuluh darah (bagian dalam karkas
)
4) Spesimen yang berasal dari limbah peternakan
• Sampel dicampur dengan media transport
5) Spesimen yang berasal dari bulu
•
Bulu dicelupkan dalam media transpor
•
Spesimen dalam bentuk vaksin inaktif (killed)
b. cara pengambilan sampel
Dapat diambil dari unggas hidup atau yang baru mati. Jika unggas mati,
dan diduga disebabkan karena virus avian influenza highly pathogenic,
sampel yang diambil adalah : otak, limpa, jantung, paru-paru, pancreas, hati
dan ginjal yang diambil bersama dengan sampel dari saluran napas
(trachea) dan saluran pencernaan yang dikoleksi dan diproses secara
24
terpisah atau dapat di pool. Bila tidak tersedia transport media, potongan
organ (1 cm3) dapat difiksasi dalam 10% PBS formalin untuk histopatologi
dan alkohol 96% untuk PCR.
Sampel yang diambil dari unggas hidup berupa : darah (untuk serum), swab
kloaka atau swab nasopharing yang segera dimasukkan ke transport media.
Sampel vaksin inaktif (killed):
1. dari satu batch produksi diambil 1 -2 botol masing-masing 500 ml/1000
dosis
2. dari masing-masing botol diambil 5 ml lalu freez thawing 2 – 3 kali
3. sentrifusi 3600 RPM selama 10 – 15 menit
4. supernatan ditambahkan transpor media sama banyak, diinkubasi pada
temperatur ruang selama 30 menit
5. disuntikkan ke telur berembrio
c. media transpor spesimen dan penyimpanannya
Media transpor yang digunakan adalah DMEM (Dulbecos Modified Eagle
Médium) atau médium 199 ditambah dengan antibiotik Penisilin (1000 IU/ml),
streptomisin (1000 ug/ml), gentamisin ( 1000 ug/ml) dan mikostatin ( 1000
unit/ml). Konsentrasi antibiotik ini lima kali lebih tinggi jika spesimen berasal
dari usap kloaka atau feses.
Spesimen berupa swab (nasopharing dan kloaka) atau organ dimasukkan
dalam media transpor. Pengiriman dilakukan dalam kotak bersuhu 4oC (dapat
menggunakan es batu) selama dalam perjalanan.
Sesampainya di
laboratorium, sampel disimpan dalam suhu -20 oC atau – 70oC sampai
digunakan.
Spesimen berupa serum dimasukkan dalam tabung steril dan pengirimannya
dilakukan dalam kotak bersuhu 4oC (dapat menggunakan batu es) selama
dalam perjalanan. Sesampainya di laboratorium, sampel disimpan dalam
suhu -20 oC sampai digunakan.
Spesimen untuk tujuan isolasi virus harus secepatnya disimpan dalam
keadaan dingin (es batu). Jika dalam waktu 48-72 jam tidak dapat diproses
untuk isolasi, maka spesimen harus disimpan dalam – 70oC.
1. Material Yang dibutuhkan :
 Tabung steril
 Swab polyester atau cotton fiber-tipped swab, plastic shaft
 Viral medium transpor
 DMEM / Medium 199 untuk transpor plus antibiotik
 Medium Glyserol plus antibiotik
 Phosphate buffered saline pH 7.0-7.4 plus antibiotic
 B-D transport media. Resep B-D transpor media adalah sebagai berikut:
 2 ml Hank’s BSS
 20 mM HEPES (Buffer)
 0,5% gelatin
 100 µg/ml gentamycin sulfate
25
d. Persiapan Tabung untuk sampel
Harus digunakan tabung steril yang bersisi media transpor sebanyak 1-2 ml.
Tabung yang berisi media transpor ini dapat disimpan pada suhu -20oC
sampai digunakan, atau dapat disimpan pada suhu 4oC selama 1-2 hari.
e. Persiapan pengambilan sampel
Sedapat mungkin semua informasi harus dicatat seperti jenis hewan,
spesies, tipe sampel (misalnya : feses, swabtrakea/kloaka), tanggal, jam,
dan lokasi sampel.
f. Koleksi sera
Sampel sera yang optimal diambil dari darah pada saat fase akut, sebanyak
1-2 ml darah (tergantung besarnya ayam) diambil segera setelah gejala
klinis tampak, dan tidak lebih dari 7 hari. Sampel serum disimpan pada
suhu -20oC.
g. Pengiriman spesimen ke laboratorium
Spesimen untuk isolasi virus harus disimpan dalam es dan dikirim ke
laboratorium secepatnya. Jika spesimen akan dikirim ke laboratorium
dalam waktu 1-2 hari, harus disimpan pada suhu 0o-4o C, atau disimpan
pada suhu -70oC. Untuk mencegah hilangnya infeksititas, sedapat mungkin
hindari freez-thawing. Sera dapat disimpan sekitar 1 minggu pada suhu
4oC tetapi sebaiknya disimpan pada suhu 2oC.
4. Serologi
Standar pengujian serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk penyakit HPAI
adalah ELISA dan HI test.
a. elisa
Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus Avian
Influenza tipe A. Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit
komersial dan telah di register oleh OIE. Untuk pengujian di laboratorium
karantina hewan dapat digunakan kit yang sifatnya screening dan jika
diperlukan dilanjutkan dengan pengujian dengan kit yang bersifat
konfirmasi. Dalam Kit tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan
interpretasi dari hasil pembacaannya.
b. uji HI AI subtipe H5N1
1) Masukan 0.025 ml PBS kedalam tiap sumur ”plastic V-bottomed
microtitre plate”
2) Masukkan 0.025 ml serum kedalam sumur pertama, homogenkan lalu
pindahkan 0,025 ml ke sumur ke-2 dst untuk buat 2 kali lipat
pengenceran 0.025 ml serum.
3) Tambahkan 4 HAU virus/antigen dalam 0.025 ml ke tiap sumur dan
biarkan selama 30 menit pada temperatur kamar (20oC) atau 60 menit
pada suhu 4oC.(Antigen yang digunakan berasal dari Pusat Karantina
Hewan Jakarta)
4) Tambahkan 0.025 ml dari 1% sel darah merah ayam ketiap sumur,
kocok perlahan dan biarkan sekitar 40 menit pada temperatur kamar
(20oC) atau 60 menit pada suhu 4oC (Sel darah merah yang digunakan
ditentukan oleh Pusat Karantina Hewan)
5) Titer HI adalah serum dengan pengenceran tertinggi yang menyebabkan
inhibisi lengkap 4 HAU antigen. Aglutinasi dibaca dengan cara
memiringkan plat atau dapat menggunakan cermin pembaca. Hanya
sumur-sumur dengan kecepatan aliran sel darah merah yang sama
26
dengan sumur kontrol (mengandung 0.025 ml sel darah merah dan 0.05
ml PBS) yang menunjukkan inhibisi.
6) Hasil yang pasti harus dibandingkan dengan serum kontrol negatif yang
seharusnya tidak memberikan titer>1/4 (>22 atau >log 2 ketika
mengekspresikan sebagai ’reciprocal’) dan kontrol positif serum.
Nilai serologis didalam diagnosa jelas berhubungan dengan status
imun yang diharapkan dari unggas yang terinfeksi. Titer HI menjadi
positif dan protektif jika terdapat inhibisi pada pengenceran serum
1/16 (4 log 2 sebagai nilai reciprocal) atau lebih melawan 4 HAU
antigen. Beberapa laboratorium menggunakan 8 HAU pada uji HI. Jika
demikian hal itu dapat berakibat pada interpretasi hasil, oleh karena itu
titer positif adalah pada pengenceran 1/8 atau lebih.
Titer HI dapat digunakan untuk menduga status imun unggas. Pada
unggas yang divaksinasi dan dimonitor secara serologis, sangat
mungkin untuk mengidentifikasi respon anamnestik sebagai hasil
infeksi tantangan dengan virus yang ada di lapangan. Tetapi
pemeliharaan yang baik harus terapkan supaya variasi titer yang dapat
terjadi dari sebab-sebab yang lainnya, dapat diketahui.
Gambar 2. Gambaran hasil uji HI
5. Uji Agar Gel Precipitation (AGP)
Prinsip Uji
Keberadaan virus influenza A dapat dikonfirmasi dengan uji agar gel
immunodiffusion (AGID), dengan adanya antigen nukleokapsid atau matrix
yang keduanya secara umum dimiliki oleh semua virus influenza A. Antigen
dapat dibuat dengan memekatkan cairan alantois atau mengekstraksi selaput
chorioalantois. Uji ini dilakuan dengan menggunakan antisera positiv yang
telah diketahui (standar (+).
a. prosedur kerja :
− Antigen dibuat dari membran chorio allantoic telur berembrio yang telah
diinfeksi pada hari ke-10, kemudian dihomogenisasi, dibekukan (freezethawing) 3 kali dan disentrifus pada 1000 g.
− Cairan supernatan diinaktivasi dengan menambahkan 0.1% formalin atau
0,1% betapropiolakton, kemudian disentrifus ulang dan digunakan
sebagai antigen.
− Buat gel agarose 1 % (W/V) atau purified agar dan 8% NaCl dalam 0.1 M
buffer phosphate dengan pH 7.2.
− Kamudian tuangkan ke dalam cawan petri dengan ketebalan 2-3 mm atau
pada slide mikroskop.
27
− Dengan mengunakan cutter, buat sumuran berdiameter 5 mm dan
terpisah sepanjang 2-5 mm. Pola sumuran harus diisi serum tersangka
untuk mengetahui serum dan antigen yang positif.
Gambar 3. Pola sumuran untuk uji
AGP
− Hasilnya akan terbentuk sebuah garis bersambung diantara serum
tersangka dan nucleocapsid antigen yag positif. Kurang lebih 50 mikroliter
harus ditambahkan ke dalam tiap sumur.
Garis presipitasi dapat dideteksi setelah 24-48 jam tetapi tergantung
kepada antibodi dan antigen. Garis ini dapat dilihat pada background yang
gelap. Hasil positif didapat ketika garis presipitasi antara sumur kontrol
positif bersambung dengan garis diantara antigen dan sumur yang diuji.
Gambar 4. Contoh hasil pengujian AGP positif, terbentuk garis presipitasi
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik molekuler yang sensitif untuk
mendeteksi gen virus avian influenza. Teknik ini digunakan untuk mendeteksi
genom virus avian influenza ketika virus telah kehilangan kemampuan untuk
bereplikasi. Penggunaan teknik molekular yang secara langsung dapat
mendeteksi virus dalam cairan alantois yang telah diinfeksi ataupun virus
dalam tracheal dan kloakal swab membuat identifikasi dan karakterisasi
genetik virus influenza A termasuk avian influenza menjadi cepat dan akurat.
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik yang mempunyai banyak
kelebihan dalam mengidentifikasi genom, termasuk dalam hal ini genom virus
avian influenza, ketika virus tidak dalam jumlah yang banyak. Genom virus
avian influenza adalah single-strand RNA, sehingga pada reaksi PCR
dibutuhkan sintesa sebuah kopi DNA (cDNA) yang berkomplementari dengan
RNA virus. Reverse Transcriptase (RT) adalah enzim polimerase yang
digunakan untuk mensintesa cDNA. Sehingga reaksinya disebut RT-PCR.
Metode RT-PCR sudah banyak digunakan untuk mendiagnosa adanya virus
avian influenza, biasanya metode ini akan dilanjutkan dengan sekuensing
28
DNA untuk melihat lebih jauh tentang karakter molekuler virus ini, seperti
mutasi virus, hubungan kekerabatan dan untuk rekayasa genetik lainnya
a. prinsip uji :
Viral RNA (vRNA) diekstraksi dan kemudian cDNA disintesa dengan
Reverse Transcriptase menghasilkan complementary DNA (cDNA) yang
kemudian digunakan sebagai templat untuk PCR, yang akan menghasilkan
complementary double strand DNA (dsDNA). dsDNA dihasilkan dengan
siklus denaturasi, annealing dan ekstensi yang berhasil dengan adanya
primer sense dan antisense spesifik dan thermal stable Taq polymerase.
b. alat, bahan dan metode
Pencantuman nama/merek tertentu (alat, bahan, kit) tidak mengikat,
karena hanya sebagai contoh. Masing-masing UPT bebas memilih merek
yang menurut pengalaman paling cocok sesuai kondisi setempat.
1) Alat:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
LAF (Laminar Air Flow) cabinet type II
Mikropipet 1000 µl, 200 µl, dan 10 µl
Aerosol Resistant Tips (ART) 1000 µl, 200 µl, dan 10 µl
Vortex
Mesin Sentrifugasi 4oC (refrigerated centrifuge) 20.000 RPM
PCR sprint, Hybaid
Tabung PCR 0,5 ml
Tabung ependorf 1,5 ml
Horizontal agarose gel electrophoresis apparatus (GC Plus)
Well-forming combs (sisir pembentuk sumur)
Power supply
Microwave
UV transilluminator
Kamera polaroid
Alat timbang (balance)
Parafilm
2) Bahan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Cairan alantois atau sampel usapan kloaka dalam media transport
Reagent Trizol-LS
Kloroform
Isopropanol
Etanol 70% + Dietil Pirokarbonat (DEPC)
Distilled water
Primer M52C 5’-CTTCTAACCGAGGTCGAAACG-3’
Primer M253 5’-AGGGCATTTTGGACAAAG/TCGTCTA-3’
Primer H5-F 5’-ACACATGCYCARGACATACT
Primer H5-R 5’-CTYTGRTTYAGTGTTGATGT
Buffer TBE (Tris Borat Acid EDTA)
Ethidium bromide (10 mg/mL)
Agarose (PCR grade)
DNA ladder 1000 bp / 1 kb
Loading dye
Transpor media berupa Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM)
QIAamp Viral RNA kit (untuk metode isolasi 2)
29
c. prosedur kerja :
1) Isolasi RNA Virus Dengan Trizol
Metode isolasi RNA virus pada pedoman pengujian ini adalah dengan
menggunakan TRIzol Reagent (Invitrogen) :
• Ambil cairan alantois / larutan /supernatan swab kloaka atau trachea
sebanyak 250 ul, masukkan dalam tabung Eppendorf 1.5 ml,
kemudian tambahkan TRIzol-LS sebanyak 750 ul
• Vortek selama 15 detik
• Inkubasi selama 5 menit pada temperatur ruang
• Tambahkan kloroform sebanyak 200 ul
• Vortek selama 15 detik
• Inkubasi selama 10 menit pada temperatur ruang
• Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada
temperatur 4oC selama 15 menit
• Siapkan tabung eppendorf baru
• Ambil cairan bening bagian atas, jangan sampai cairan pada batas
ataupun bawah (berwarna merah) ikut terambil
• Pindahkan cairan bening (400-500 ul) tersebut ke tabung Eppendorf
baru
• Tambahkan isopropanol sebanyak 500 ul
• Vortek selama 15 detik
• Inkubasi selama 10-15 menit
• Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada
temperatur 4oC selama 15 menit
• Buang seluruh cairan (pada sisi bawah tabung mungkin akan tampak
pellet putih RNA), jangan sampai pellet tersebut ikut terbuang
• Tambahkan ethanol- 70% sebanyak 500 ul
• Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada
temperatur 4oC selama 15 menit
• Aspirasi semua ethanol- 70% dengan hati-hati
• Keringkan pellet yang terbentuk dengan vacuum pump atau biarkan di
temperatur ruang selama 15-20 menit
• Setelah semua sisa cairan dalam tabung kering, resuspensi pellet
RNA yang terbentuk dengan 10 ul RNAse free water
• Susupensi RNA dapat langsung digunakan atau dapat disimpan
suspensi RNA pada temperatur –20oC
2) Metode Isolasi RNA Virus Dengan Qiamp Viral RNA Kit
• Pipet 560 ul AVL ke dalam 1.5 ml tabung centrifuge
• Tambahkan 140 ul viral culture/original sampel. Jika sampel dalam bentuk
potongan organ, harus digerus atau di gunting kecil-kecil.
• Vortex 15 detik
• Inkubasi pada temperature ruangan selama 10 menit
30
• Sentrifugasi sebentar saja ( satu menit )
• Tambahkan 560 µl ethanol dan vortex selama 15 detik
• Sentrifugasi sebentar saja ( satu menit )
• Masukkan 630 ul mixture ke dalam QIAamp column
• Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit
• Letakkan kolom ke dalam tabung koleksi yang baru (collection tube)
• Tambahkan 500 ul buffer AW1 ke dalam kolom
• Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit
• Letakkan kolom ke dalam tabung koleksi yang baru (collection tube)
• Tambahkan 500 ul buffer AW2 ke dalam kolom
• Sentrifugasi 8000 rpm selama 3 menit
• Letakkan kolom ke dalam tabung microcentrifuge ukuran 1,5 ml
• Tambahkan 60 ul buffer AVE dan inkubasi pada temperature ruang selama 1
menit
• Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit
• Simpan elusi RNA dalam microcentrifuge pada temp -20oC
3) RT-PCR Virus Avian Influenza
RT-PCR dilakukan dengan menggunakan metode One Step RT-PCR
system (Invitrogen) dengan menggunakan primer Matrix dan H5:
a. cara kerja RT-PCR dengan primer matrix :
1. Buat campuran pada tabung PCR sebagai berikut :
a. react. mix
25 ul
b. primer matrix forward (50 pmol/ul)
1 ul
c. primer matrix reverse (50 pmol/ul)
1 ul
d. template (suspensi rna)
10 ul
e. ddh2o
12 ul
f. taq/rt ii
1 ul
total reaksi
50 ul
2. Masukkan tabung dalam mesin Thermal Cycler
a. program rt-pcr adalah sebagai berikut :
b. program rt-pcr adalah sebagai berikut :
42oC ---- 30 menit (Reverse Transcripatase)
95oC ---- 4 menit
sebanyak 1 siklus
95oC ---- 1 menit
45oC ---- 1 menit
72oC ---- 3 menit
sebanyak 40 siklus
b.cara kerja rt-pcr dengan primer h5:
1. Buat campuran pada tabung PCR sebagai berikut :
31
a. react. Mix
25 ul
b. primer H5 Forward (20 pmol/ul)
2 ul
c. primer H5 Reverse (20 pmol/ul)
2 ul
d. template (Suspensi RNA)
10 ul
e. ddH2O
10 ul
f. taq/RT II
g. total reaksi
1 ul
50 ul
2. Masukkan tabung dalam mesin Thermal Cycler
a. program RT-PCR adalah sebagai berikut :
42oC ---- 45 menit (Reverse Transcripatase)
95oC ---- 3 menit
sebanyak 1 siklus
b. 95oC ---- 30 detik
55oC ---- 40 detik
72oC ---- 40 detik
sebanyak 35 siklus
c. 72oC ---- 10 menit - final extention
Set Primer Matrix :
M52C 5’- CTTCTAACCGAGGTCGAAACG-3’
M253R 5’- AGGGCATTTTGGACAAAG/TCGTCTA-3’
Produk PCR yang dihasilkan 212 bp
Set Primer H5 :
H5 - F 5’-ACACATGCYCARGACATACT
H5 - R 5’- CTYTGRTTYAGTGTTGATGT
Produk PCR yang dihasilkan 545 bp
4) Visualisasi Hasil RT-PCR
a. pembuatan gel agarose 2%.
• Gel agarose 2% dibuat dengan ditimbang 1 gr agarose dan
dilarutkan dalam 50 ml bufer TBE 1 kali (working solution) pada
labu Erlemeyer, kemudian dikocok sampai merata.
• Larutan agarose dipanaskan dalam microwave oven sampai
mendidih dan sampai larutan menjadi jernih.
• Kemudian ditambahkan 2 µl ethidium bromida, dicampur hingga
merata. Dalam pengerjaan ini harus hati-hati karena ethidium
bromida bersifat karsinogenik.
• Setelah itu larutan dituang ke dalam tray dan dipasang sisir (well
forming combs).
• Larutan agarose dibiarkan mengeras.
• Bila gel telah mengeras, sisir (well forming combs) dilepas secara
perlahan-lahan dan gel agarose siap digunakan untuk
elektroforesis
b. Elektroforesis
32
• Tray yang berisi gel agarose diletakkan di dalam tank
elektroforesis dan dimasukkan larutan buffer TBE 1 kali ke dalam
tank elektroforesis tersebut hingga sekitar 1 mm di atas
permukaan gel.
• Kemudian diambil
parafilm.
2 µl loading dye buffer diletakkan di atas
• Ke dalam loading dye buffer ditambahkan sampel (hasil PCR)
sebanyak 4-5 µl dan disuspensikan hingga merata.
• Setelah itu larutan dimasukkan secara hati-hati dalam sumur yang
terdapat pada gel, lalu tank elektroforesis ditutup dan
dihubungkan arus listrik sebesar 100 volt selama 30 sampai 60
menit.
•
Bila proses elektroforesis selesai (loading dye berada satu cm
dari batas ujung bawah gel), arus listrik dimatikan dan diambil tray
dengan menggunakan sarung tangan.
•
Gel hasil elektroforesis diletakkan pada UV transilluminator.
•
Dokumentasikan hasil elektroforesis dengan camera Polaroid
atau Bioprint
Keberhasilan diagnosis virus secara garis besar tergantung pada kualitas spesimen dan
kondisi transportasi pada saat spesimen tersebut dikirim dan
penyimpanan spesimen sebelum di proses lebih lanjut di laboratorium.
5) Isolasi virus
a. prinsip uji
Isolasi virus adalah teknik yang sangat sensitif dan berguna untuk
mendiagnosa infeksi virus dengan menggunakan spesimen klinis
dengan kualitas yang baik. Isolasi virus pada telur berembrio atau
kultur jaringan yang diikuti identifikasi dengan imunologi, teknik
molekuler atau mikroskop elektron adalah metode standar untuk
diagnosa virus. Satu keuntungan yang paling penting dari isolasi
virus adalah dapat digunakan untuk karakterisasi antigenic dan
genetika lebih lanjut dan juga dapat digunakan untuk persiapan
pembuatan vaksin atau uji efektifitas obat jika diperlukan.
b. prosesing material klinis untuk isolasi virus
Selama pengerjaan isolasi virus, harus menerapkan prinsip kehatihatian :
(1) Memakai masker
(2) Memakai kacamata
(3) Memakai sarung tangan, lab jas, penutup kepala
(4) Di ruangan steril (biosafety cabinet level 2)
(5) Menerapkan good laboratory practise
• Swab trakea dan kloaka
(1) Thawing jika diperlukan dan tambahkan 1/10 volume dari 5-10
antibiotik concentrated.
(2) Homogenkan sampel dalam 1-2 ml
vortex mixer
tabung koleksi dengan
(3) Biarkan dalam suhu ruangan selama 30 menit
33
(4) Untuk sampel feses atau swab kloaka dapat digunakan filter
0,22 mikron untuk menyaring suspensi, setelah di sentrifus 4000
RPM 10 – 15 menit
(5) Suspensi spesimen disimpan pada suhu -70oC
• Sampel Jaringan
(1) Hancurkan jaringan dengan glass tissue grinder atau dengan
mortar dan pestle steril dengan hancuran kaca atau pasir steril
yang dibuat dari pipet Pasteur. Buat suspensi 10% dengan
medium transpor
(2) Tambahkan 1000 IU Penicillin 1000 µg Streptomycin/ml .
Pindahkan spesimen ke dalam tahung sentrifus dan sentrifugasi
dengan kecepatan 4000 g selama 10 menit
(3) Ambil supernatan dan simpan pada suhu -70oC
6) Inokulasi Pada Telur Ayam Berembrio
a. Material Yang dibutuhkan :
• Telur ayam berembrio spesific pathogen free (SPF) atau specific
antibody negative (SAN) umur 9-11 hari
• Egg candler, egg tray
• 70% alcohol atau 70 % ethanol
• Jarum 22 gauge; 1,5 inci
• Syringe 1 ml
• Egg hole puncher
• Lem atau lilin atau cellotape
• Tabung 15 ml dan rak
• Forcep (pinset) steril
b. Prosedur Kerja :
1). Candling Telur
• Periksa telur dengan egg candler dan letakkan ujung tumpul
telur pada posisi atas pada tray telur.
• Buang telur yang infertile, retak, tidak berkembang atau yang
tampak mempunyai porous shell.
2). Inokulasi pada telur
• Letakkan ujung tumpul telur pada posisi atas pada tray telur
dan label masing-masing telur dengan nama identifikasi yang
spesifik dan jelas ( 3 telur per spesimen).
• Usap bagian atas telur dengan alkohol 70% dan buat lubang
kecil pada kerabang telur di atas rongga udara. Gunakan 3
telur untuk setiap spesimen yang akan diinokulasi.
• Pegang telur dibawah candler, tandai lokasi embrio dan posisi
rongga udara dan tentukan lokasi penyuntikan pada ruang
alantois yaitu bersebrangan dengan lokasi embrio dan yang
jarang pembuluh darahnya.
• Lubangi lokasi penyuntikan yang telah ditentukan.
• Aspirasi spesimen yang telah diproses sebanyak 1 ml dalam
syringe tuberculin dengan jarum 22 gauge; 1,5 inci .
34
•
•
•
•
Suntikkan pada ruang alantois sebanyak 100 ul (0,1 ml) / telur.
Perlakukan 2 telur lainnya sama seperti metode di atas.
Buang syringe pada kontainer yang aman.
Tutup lubang pada telur dengan lilin atau dengan lem atau
cellotape.
• Inkubasi telur pada suhu 37oC untuk avian influenza,
mammalian influenza pada suhu 35oC, diamati tiap hari.
• Bila embrio mati, kemungkinan positif AI, segera dipanen
cairan allantois.
3). Panen Cairan Alantois dari Telur Ayam yang telah diinokulasi
• Masukkan telur pada refrigerator 4oC selama semalam atau 4
jam sebelum panen.
• Label tabung plastik (15 ml) untuk masing-masing telur dengan
nama spesimen. Bersihkan permukaan atas telur dengan
alcohol 70%.
• Dengan forcep steril, pecahkan permukaan kerabang telur
diatas rongga udara dan tekan membran alantoisnya dengan
forcep. Gunakan pipet 10 ml untuk mengaspirasi (mengambil)
cairan alantois kemudian masukkan dalam tabung plastik yang
sudah disiapkan di atas dan ditutup rapat.
• Sentrifugasi cairan alantois yang sudah dipanen dengan
kecepatan 3000 rpm selama 5 menit untuk menghilangkan
darah dan jaringan.
• Identifikasi isolat dengan uji hemaglutinasi (HA) untuk
mengetahui aktivitas HA-nya.
Terdeteksinya aktivitas HA
mengindikasikan adanya virus influenza A atau avian
paramyxovirus. Isolat yang tidak menunjukkan aktivitas HA,
sebaiknya dipasase lebih lanjut.
Bab VII
RABIES
1. Pendahuluan
Penyakit anjing gila juga dikenal dengan nama Rabies, Lyssa, Hydrophobia,
Rage, Tollwut merupakan suatu infeksi akut susunan syaraf pusat, yang
dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia.
Tingkat kematian kasus (case fatality rate ) rabies adalah 100%. Anjing
merupakan hewan penular rabies (HPR) utama kemudian menyusul kucing
dan kera dengan potensial yang lebih rendah. Serigala, rubah, koyote, jakal,
skunk, mongoose, kelelawar pemakan serangga dan buah-buahan, demikian
juga vampir memegang peranan penting sebagai penyebar Rabies.
Rabies disebabkan oleh virus genus Lyssa virus, keluarga Rhabdoviridae,
bersiat neurotrop, berukuran 100-150 mikron. Amplop virus ini antara lain
mengandung lipida yang mudah larut oleh pelarut lemak (sabun, ether,
chloroform, aseton), etanol 45-70%, preparat iodine dan ammonium
quartener. Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing-thawing yang
berulang, cukup stabil pada pH 5-10, peka terhadap suhu pasteurisasi dan
sinar matahari atau ultraviolet. Diketahui bahwa “envelope” virus ini penting
sekali bagi “infectivity”-nya, sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak
“infectious”. Virus Rabies mempunyai dua macam antigen, yaitu gliko protein dan
antigen nukleoprotein.
Virus tidak saja terdapat di susunan syaraf pusat (SSP), tetapi juga di
kelenjar air liur, kelanjar air mata, kelenjar suprarenalis dan pankreas. Virus
tidak ditemukan di dalam darah, limpa, hati, kelenjar limfe, sumsum tulang
35
atau kelenjar genitalia. Dalam penularan penyakit rabies, hanya kelenjar
ludah memegang peranan sangat penting
2. Diagnosis
Diagnosis laboratorium terhadap rabies didasarkan pada pembuktian adanya
virus pada hewan tersangka dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT),
dan identifikasi antibodi dan atau virus tersebut dengan uji uji netralisasi virus
pada biakan sel (Fluorescent Antibody Virus Netralisasi Test/FAVNT) dan
ELISA. Sifat penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia maka petugas
harus menggunakan sarung tangan, masker dan kacamata pelindung selama
melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan rabies. Petugas yang
bertugas menangani anjing harus divaksinasi terlebih dahulu.
3. Identifikasi dan Isolasi Virus
a. spesimen untuk diagnosis
1) Sampel Serum Darah
Pengambilan darah ditujukan untuk mendapatkan serum sebagai
bahan untuk pemeriksaan kandungan antibodi rabies dari hewan yang
telah divaksinasi. Darah anjing sebanyak 1 - 2 ml diambil dari vena
femoralis kaki belakang atau vena saphena kaki depan dengan
menggunakan spuit steril berukuran 2,5 ml. Spuit yang telah berisi
darah kemudian dibiarkan pada suhu luar sampai terjadi pemisahan
antara serum dan bekuan sel darah. Cairan serum yang sudah
terpisahkan dari bekuan darah ini kemudian dipindahkan ke dalam
tabung gelas/plastik (tabung venoject/ampul) yang steril. Tabung yang
berisi cairan serum tadi kemudian disimpan dalam boks/kotak dengan
suhu dingin (berisi batu es), atau langsung dimasukkan ke dalam
freezer suhu -20 oC sampai serum tersebut digunakan atau diuji.
Sebelum digunakan untuk pengujian, komplemen dalam serum
diinaktivasi terlebih dahulu dengan cara menempatkan tabung berisi
serum tadi pada mesin penghangat air (waterbath) dengan suhu 56 oC
untuk selama 30 menit.
2) Pengambilan Sampel Otak Anjing
Pengambilan otak anjing ditujukan untuk mendapatkan bagian dari
otak (dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla oblongata)
sebagai bahan uji untuk pemeriksaan adanya virus rabies pada hewan
tersangka. Otak anjing diambil dengan cara sebagai berikut: kepala
anjing yang telah mati dipotong dengan menggunakan pisau tajam
pada bagian lehernya (antara tulang leher pertama dengan tulang
kepala) sehingga terlihat foramen occipitale. Dengan menggunakan
sedotan limun (straw) berdiameter 5 mm, sedotan limun tadi
ditusukkan (sambil diputar-putar) ke kepala melalui foramen occipitale
tadi dengan arah ke bagian mata. Selanjutnya sedotan limun ditarik
kembali keluar secara perlahan. Pada ujung sedotan limun tadi akan
diperoleh bagian jaringan jaringan otak (dasar cerebellum,
hippocampus, cortex dan medulla oblongata). Bagian sedotan limun
yang mengandung jaringan otak kemudian dipotong dan dimasukkan ke
dalam tabung gelas/plastik yang berisi bahan pengawet (formalin 10%
atau 50% gliserin dalam PBS). Tabung tersebut kemudian diberi tanda
(nomor spesimen, jenis spesimen, spesies, bahan pengawet, lokasi
dan tanggal pengambilan, pemilik anjing dll). Tabung tadi kemudian
disimpan dalam boks/kotak dengan suhu dingin (berisi batu es), atau
di freezer pada suhu -20 oC sampai dilakukan pengujian. Untuk tabung
sampel yang berisi bahan pengawet formalin, boks/kotak penyimpanan
tidak perlu dingin/berisi batu es. Sampel dalam bahan pengawet
36
formaln diperuntukkan untuk pemeriksaan histopatologi, sampel dalam
gliserin PBS adalah untuk pemeriksaan FAT dan biologis.
3. Pengiriman Sampel
1) Pengiriman Sampel Serum
Bila pengujian serum harus diperiksa pada laboratorium penguji yang
lokasinya cukup jauh, maka sampel serum harus dikirim dalam keadaan
dingin dan aman agar sampel serum tidak rusak, dengan cara sebagai
berikut: tabung yang berisi sampel serum ditempatkan pada rak tabung
yang kokoh (tidak mudah lepas), lalu rak tabung tadi disimpan dalam
boks/kotak kedap air dan dingin (berisi batu es atau es kering/dry ice)
dengan ukuran yang cukup dan diperkirakan jumlah batu es/es kering
dapat membuat sampel serum tetap dingin sampai di tempat tujuan. Bila
dikhawatirkan terjadi goncangan yang dapat membuat pecahnya tabung
serum, maka tabung serum dapat terlebih dahulu dibungkus dengan
kapas/bahan lainnya (sebagai pelindung goncangan). Kotak pengiriman
sampel serum diberi tanda/label yang jelas, termasuk alamat pengirim dan
tempat tujuan. Perlu diperhatikan, pemberian nomor sampel pada tabung
harus menggunakan alat tulis kedap air atau tulisan dilapisi dengan selotip
transparan.
2) Pengiriman Sampel Otak
Bila otak harus diperiksa pada laboratorium penguji yang lokasinya cukup
jauh, maka sampel otak harus dikirim dalam keadaan dingin dan aman
agar sampel otak tidak rusak dan tidak tercecer mengkontaminasi
lingkungan, dengan cara sebagai berikut: tabung gelas/plastik yang berisi
sampel otak pertama dibungkus dengan kapas/bahan lainnya (sebagai
pelindung goncangan) dan kemudian tabung tersebut dimasukkan ke
dalam kotak yang lebih besar dan kokoh atau kaleng. Kaleng tersebut
kemudian dibungkus kapas/kain secukupnya dan dimasukkan ke dalam
kotak yang lebih besar (boks es atau stereoform) yang berisi bahan
pendingin (batu es atau es kering/dry ice). Kotak tersebut diberi tanda,
selain jenis spesimen, spesies, bahan pengawet, lokasi dan tanggal
pengambilan, pengirim dll., juga ditulis “BAHAN BIOLOGIS BERBAHAYA
- RABIES”. Untuk tabung sampel yang berisi bahan pengawet formalin,
boks/kotak penyimpanan tidak perlu dingin. Perlu diperhatikan bahwa
tabung, kaleng penyimpan tabung atau boks tidak boleh bocor dan tetap
utuh selama dalam pengiriman.
3) Serologi
a. Uji Netralisasi Virus pada Biakan Sel (Fluorescent Antibody Virus
Neutralisasi Test/FAVNT)
• Prinsip :
Prinsip dari uji ini adalah reaksi netralisasi in vitro antara antibodi
(serum) dengan virus yang titernya konstan. Virus rabies yang
digunakan adalah galur CVS (challenge virus standard) yang sudah
beradaptasi pada biakan sel BHK 2l Clone 13. Penetapan titer
serum adalah enceran tertinggi serum yang menetralkan 100% virus
pada 50% dari jumlah ulangan sumur uji. Titer serum dinyatakan
dalam IU/ml (International Unit) dengan cara membandingkannya
dengan serum standar pada kondisi uji yang sama pada saat itu.
Serum standar (hewan anjing) yaitu dari OIE atau serum standar
(orang) dari WHO). FAVNT ini dikerjakan pada lempeng mikro
(microplate) yang berisi 96 sumur dengan alas datar dan steril.
• Alat penting yang diperlukan :
37
 Inkubator dengan suhu 37°C dengan 5% CO2;
 Laminar air flow cabinet tipe II;
 Mikroskop fluoresensi yang dihubungkan ke monitor TV dan
kamera.
•
Reagensia dan bahan-bahan biologik:
 Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+ , disimpan pada suhu
4°C;
 Trypsin + ethylen diamin tetra acetic acid (EDTA);
 Aseton 80% (high grade, diencerkan dengan air deionised,
disimpan pada suhu 4°C);
 Dulbecco Modified Eagle’s Medium (DMEM) + 10% Fetal Bovine
Serum (FBS) yang sudah dihilangkan komplemen (c) nya;
 Konjugat anti rabies FITC (fluorescen isothiocyanate) ;
 Biakan sel lestari BHK21 (C13) ;
 Virus rabies CVS -11 (ATCC VR 959) ;
 Serum rabies standar dari WHO (sebelum dipakai diencerkan
menjadi 0,5 IU/ml) ;
 Serum rabies standar (OIE) diencerkan menjadi 0,5 IU/ml dengan
air deionised atau air suling ;
 Serum negatif antibodi rabies ;
 Bahan/media penyimpanan sampel.
b. prosedur uji:
• Sediakan sedikitnya 2 lempeng mikro (microplate), masing-masing
lempeng mikro dibuat pola sedemikian rupa sehingga lempeng
mikro 1 berperan sebagai kontrol dan lempeng mikro 2 atau
selebihnya berperang sebagai tempat sera uji ;
• Media (DMEM + 10% FCS) ditambahkan pada setiap sumur,
lempeng mikro kontrol (1) : lubang pada baris 1 sampai 4 dan sel A9
sampai A12 sebanyak 150 ul; lempeng mikro uji (2, 3 dst) : lubang
baris 6 dan 12 ditambahkan 200 ul; lubang yang lainnya sebanyak
100 ul ;
• Serum ditambahkan mengikuti pola yang telah ditetapkan pada
lempeng mikro, yaitu sebanyak 50 ul ;
• Kemudian serum diencerkan sebagai berikut: dengan menggunakan
pipet mikro multi chanel campuran media dan serum (enceran
pertama) dihomogenkan dengan cara mengocoknya minimal 8 kali
(sucking in and out), kemudian pindahkan sebanyak 50 ul ke lubang
berikutnya, begitu selanjutnya sampai pada sumur terakhir. Pada
sumur terakhir sebanyak 50 ul enceran media dan serum dibuang;
• Kemudian tambahkan pada setiap sumur pada plat uji sera (plat 2, 3
dst) dengan 50 ul virus yang telah diukur mengandung
100TCID50/ml;
• Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator
suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 1 jam;
• Kemudian tambahkan pada setiap sumur dengan suspensi sel
(BHK21 berumur 3 hari) sebanyak 50 ul yang mengandung 4X105
sel/ml;
38
• Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator
suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 48 jam;
• Setelah inkubasi selama 48 jam, cairan medium dalam setiap sumur
dibuang ke ember stainlessteel lalu di desinfeksi dengan hypochlorit
sebelum di autoclave, sumur pada lempeng mikro dicuci (rinsed) 1
kali dengan PBS pH 7,2, dan kemudian dicuci satu kali dengan 80%
aseton;
• Kemudian sumur pada lempeng mikro difiksasi dengan 80% aseton
pada suhu kamar untuk selama 30 menit, dan akhirnya dikeringkan
pada suhu kamar sekurang-kurangnya selama 1 jam.
• Setiap lubang pada plat mikro kemudian ditambahkan 50 ul FITC
anti rabies konjugat (enceran optimal memberikan reaksi terbaik),
digoyang secara perlahan dan diinkubasikan pada suhu 37 oC
selama 30 menit. Setelah itu kelebihan cairan FITC dibuang dan
dicuci (rinsed) sebanyak 2 kali dengan cairan PBS. Kelebihan cairan
PBS kemudian dibuang dengan cara membalikkan lempeng mikro pada
kertas saring yang diletakkan di atas meja (bench);
• Hasil uji diperiksa di bawah Mikroskop Fluorescen;
• Jika D50 dari serum yang diuji lebih kecil dari D50 serum standar
positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka titer serum uji kurang
dari 0,5 IU/ml; sebaliknya jika D50 dari serum yang diuji lebih besar
dari D50 serum standar positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka
titer serum uji lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml;
• Dengan FAVNT, titer serum dinyatakan protektif jika mencapai ≥ 0,5
IU/ml.
4) Enzyme Lynked Imunosorbant Assay (ELISA)
Uji ELISA merupakan salah satu uji serologis berdasarkan atas ikatan
antigen (Ag) coating di dasar sumur mikroplat dengan antibodi (Ab) dari
serum dan konjugat yang ditandai adanya perubahan warna karena
adanya penambahan substrat. Titer serum ditentukan berdasarkan atas
optical density (OD) dalam bentuk equivalen unit terhadap serum standar
OIE.
•
Menyiapkan reagensia:
(a) Buffer phospat (kosentrasi 10x) pH 7,2 diencerkan 1 bagian
ditambahkan 9 bagian akuades.
(b) Konjugat diencerkan 1:8000 (1µl konjugat diencerkan 8 ml
pengencer PBS Tween).
(c) Sampel serum diinaktivasi dalam bak pemanas/waterbath
(suhu 560C) selama 30 menit setelah itu serum diencerkan
1:50 (5 µl serum diencerkan 245 µl pelarut).
•
Mengencerkan kontrol positif dan negatif
(a) Pada baris lubang A1-2 sampai E1-2 dan lubang A3-4 – E3-4
ditambahkan 300 µl pengencer dan pada deret lubang A1-2
dan A3-4 ditambahkan kontrol serum positif dan negatif,
selanjutnya diencerkan secara seri ke lubang E1-2 dan E3-4.
(b) Pada setiap lubang sampel uji ditambahkan pengencer 245 µl
dan masing-masing sampel serum ditambahkan 5 µl pada dua
lubang plat.
a. uji elisa
39
(1) Pindahkan 100 µl kontrol serum positif dan kontrol serum negatif
pada deret lubang A1-2 sampai E1-2 dan kontrol serum negatif
pada lubang A3-4 – E3-4 , sedangkan masing-masing sampel
serum ditambahkan 100 µl pada dua lubang plat.
(2) Pada lubang terakhir sebagai kontrol konjugat ( tanpa koating).
(3) Plat ditutup dengan selotip dan plat diinkubasi pada suhu 370C
selama 45-60 menit.
(4) Buang serum dalam plat kemudian plat dicuci sebanyak 5 kali
dengan PBS-Tween sampai kering.
(5) Tambahkan 100 µl konjugat pada semua plat, kecuali lubang H11
dan H12 sebagai control kunjugat.
(6) Plat ditutup dengan selotipe dan inkubasi pada suhu 370C selama
45-60 menit.
(7) Buang cairan dalam lubang plat selanjutnya dilakukan pencucian
sebanyak 5 kali dengan larutan pencuci.
(8) Tambahkan 100 µl substrat ( siapkan larutan substrat dengan
menambahkan 10 µl H 2 O 2 ) pada semua lubang.
(9) Plat ditutup dengan selotipe dan inkubasi pada suhu kamar dalam
keadaan gelap selama 15-30 menit.
(10) Apabila reaksi pada kontrol positif dan sampel terlihat biru, reaksi
segera di stop dengan menambahkan 100 µl larutan stop pada
semua lubang.
(11) Reaksi dibaca pada Elisa Reader menggunakan Filter 655 nm.
b. Interpretasi Hasil:
(1) Pindahkan data serum kontrol dan serum sampel, buat nilai ratarata.
(2) Buat grafik serum kontrol (+) dan (-). Agar supaya pengujian
menjadi valid OD terendah kontrol positif tidak boleh
bersinggungan dengan OD tertinggi kontrol negatif.
(3) Buat selisih nilai OD pada masing-masing enceran serum kontrol
positif dan kontrol negatif.
(4) Buat grafik hasil selisih nilai OD kontrol positif dan negatif sebagai
garis positif murni.
(5) tentukan garis logaritmik sebagai garis korelasi dari garis positif
murni. Kisaran nilai OD pada aksis-Y bila ditarik kekanan dan
memotong pada garis logaritmik dan tarik kebawah memotong
aksis-X akan menunjukkan kisaran nilai IU (international unit).
(6) OD sampel serum setelah dikurangi OD kontrol negatif (jumlah
rata-rata) menghasilkan OD yang dapat ditempatkan pada aksis-Y
selanjutnya akan didapat nilai kandungan zat kebal.
(7) Hasil akhir pada pengujian ELISA dinyatakan dalam kesetaraan
OD sample (rata-rata x) – OD kontrol negatif (jumlah rata-rata x)
= OD sample
Kalkulasikan dan Interpretasikan hasil : menggunakan grafik
40
Internasional Unit (IU)
5) Pengujian Sampel Otak dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT)
a. Prinsip :
Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus
rabies) dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi
dengan zat fluorescen sehingga tampak agregat yang berpendar hijau
(fluorescensi) pada sampel yang diamati dengan menggunakan
mikroskop fluroresen.
Alat penting yang diperlukan :
(a) Laminar air flow cabinet tipe II;
(b) Mikroskop fluoresen.
b. Reagensia dan bahan-bahan biologik:
(a) Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+, disimpan pada suhu 4°C;
(b) Aseton (high grade) dingin;
(c) Konjugat anti rabies FITC;
(d) Kontrol otak positif rabies;
(e) Kontrol otak negatif rabies.
c. prosedur uji:
(1) Buat sekurang-kurangnya 4 slide preparat; 2 preparat ulas (smear)
dan 2 preparat
tekan (gerusan) dari sampel otak segar
(mengandung dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla
oblongata) setipis mungkin pada gelas slide. Disamping itu buat
slide preparat dari otak yng mengandung virus rabies dan otak
yang tidak mengandung virus rabies sebagai pembanding/kontrol
positif dan negatif,
(2) Bila sampel otak telah diawetkan dalam 50% gliserol – PBS, maka
preparat dicuci beberapa kali dengan PBS untuk menghilangkan
gliserol yang dapat menutupi fluoresensi,
(3) Preparat kemudian dikeringkan dengan cara dihembuskan angin
(diangin-angin), lalu dimasukkan ke dalam Coplin jar (kontainer)
yang mengandung aseton dingin (preparat terendam) dan simpan di
dalam freezer -15 oC sampai -20 oC untuk selama 45 menit,
(4) Preparat kemudian diangkat dari rendaman aseton dingin lalu
dikeringkan (diangin-angin),
(5) Setelah preparat kering, buat garis demarkasi melingkar pada
lokasi lapisan sampel yang tipis sepanjang 2,5 cm dengan
menggunakan pensil lilin (wax marking pencil) sebanyak 2 buah lokasi
per slide. Demikian juga dengan slide preparat kontrol diperlakukan
sama seperti slide preparat sampel,
(6) Teteskan konjugat anti rabies FITC sebanyak 2 tetes pada lokasi
yang didemarkasi. Usahakan cairan konjugat tersebar secara
merata menutupi lokasi demarkasi,
(7) Tempatkan slide preparat tadi secara horisontal pada rak yang
datar di atas baki yang cukup mengandung air, baki ditutup dan lalu
ditempatkan di dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama 30
menit,
(8) Setelah selesai masa inkubasi, slide preparat kemudian di rendam
dalam PBS pH 7,4, kemudian di cuci (rinse) dengan meneteskan
41
cairan PBS sehingga menutupi preparat sebanyak 2 kali masingmasing untuk selama 10 menit,
(9) Slide preparat kemudian dipindahkan dan dikeringkan dengan cara
menempatkannya secara vertikal,
(10) Setelah slide preparat kering, tambahkan 1 tetes 50% gliserol bufer
pH 7,6 di atasnya, tutup dengan coverslips pada lokasi yang akan
diamati, lalu amati di bawah mikroskop fluorescen,
(11) Slide preparat kontrol positif dan slide preparat sampel yang
mengandung virus rabies akan berwarna fluorescen hijau terang
(apple green) atau struktur hijau-kekuningan dengan ukuran yang
bervariasi mulai dari ukuran kecil ibarat seperti butiran pasir sampai
ukuran besar Negri Bodies. Tidak terlihat adanya warna fluorescen
hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan pada slide
kontrol negatif.
(12) Sampel dinyatakan positif rabies jika ditemukan sel yang berpendar
hijau (berwarna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur
hijau-kekuningan), seperti dijumpai pada slide kontrol positif tetapi
tidak dijumpai gambaran tadi pada slide kontrol negatif.
Gambar 5. hasil
positif rabies
dengan teknik FAT
Gambar 6. Negeri bodi pada hipokampus hewan terinfeksi rabies
Bab VIII
INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS
1. Pendahuluan
Infectious
Bovine Rhinotracheitis/Infectious
Pustular Vulvovaginitis
disebabkan oleh bovine herpesvirus 1 (BoHV-1) merupakan penyakit yang
42
menyerang sapi-sapi domestik maupun liar. Virus BHV 1 selain menyerang
alat pernafasan juga menyerang alat‐alat genital atau alat reproduksi. Tingkat
mortalitas rendah tetapi menyebabkan nilai kerugian ekonomi yang tinggi.
Virus termasuk genus Varicellovirus, subfamily alphaherpesvirinae, famili
herpesviridae. Virus termasuk double stranded DNA. Selain FAT dan uji
immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat juga dilakukan dengan
menguji swab hidung, mata maupun vagina dengan uji PCR ataupun
restriction endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan dengan virus
netralisasi, ELISA berupa indirect ELISA dan Blocking ELISA. Penyakit ini
penting untuk diperhatikan dalam lalulintas hewan karena hewan yang
pernah terinfeksi menjadi pembawa (carier) virus, yang dieksresikan antara
lain melalui alat kelamin, sementara Indonesia mengimpor sapi bibit dari
negara-negara yang tertular IBR.
2. Diagnosis
Diagnosis laboratorium terhadap IBR didasarkan pada deteksi antigen dan
deteksi antibodi dengan salah satu dari beberapa uji: enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), Serum Netralisasi Test (SNT) atau Polymerase
Chain Reaction (PCR), kemudian dapat dilanjutkan dengan isolasi virus
3. Isolasi dan Identifikasi Virus
a. sampel
Sampel untuk pengujian IBR adalah serum, swab nasal dan swab genital
b. serologi
Standar pengujian serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk penyakit IBR
adalah ELISA dan Virus Netralisasi.
1) ELISA
Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus IBR.
Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit komersial.
Untuk IBR, belum ada kit komersial yang telah diregister oleh OIE,
namun untuk pengujian di laboratorium karantina hewan dapat
digunakan kit yang sifatnya screening dan jika diperlukan dilanjutkan
dengan pengujian dengan kit yang bersifat konfirmasi. Dalam Kit
tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan interpretasi dari hasil
pembacaannya.
2) Serum Nertalisasi Test
a. bahan yang diperlukan untuk SNT adalah:
• Plat mikro 96 lubang steril (dengan lid)
• Saringan mikro 0.22 mµ
• Tip steril
• Contoh serum (sapi/kerbau)
• Bahan sel MDBK (Madin Darby Bovine Kidney)
• Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
• Media sel Dulbecco Minimal Essential Medium (DMEM)
mengandung 2 % Foetal Bovine Serum (FBS)/ml, 200 IU/ml
penicillin, 20 IU/ml Streptomycin, fungizone 250 mg/ml.
b. alat yang dibutuhkan untuk SNT adalah:
• Timbangan
• Water bath(penangas air)
43
• Inkubator CO 2
• Pipet gelas
• Finn pipette
• Tabung Erlenmeyer
• Tabung gelas ukur
• Autoclave
• Freezer
• Refrigerator
• Mikroskop
• Laminar flow cabinet
3) Screening Test
• Serum yang akan diuji diinaktifkan terlebih dahulu dengan cara
dipanaskan pada suhu 560C selama 30 menit.
• Serum diencerkan menjadi ¼ dengan mediayang mengandung 2 %
FBS.
• Masukkan enceran serum tersebut kedalam lubang-lubang mikrotiter
lainnyasebanyak 50 µl per lubang dan dibuat dobel/ganda (duplo).
• Pada tiap plat mikro disediakan kontrol serum positif, serum
negative, dan control sel masing-masing dua lubang.
• Untuk control sel hanya diisi dengan media 2 % FBS sebanyak 200
µl.
• Tambahkan 50 µl virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl (Cell
Culture Infective Dose 50) tiap lubang, kecuali lubang control sel.
• Inkubasikan selama satu jam pada suhu 37 0C (dalam inkubator).
• Tambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105/ml sebanyak
50 µl.
• Simpan pada suhu 37 0C selama 4 hari.
• Buat titrasi ulang (back titration), yaitu dengan cara:virus yang
mengandung 100 CCID 50 /50 µl diencerkan 1/10, 1/100, dan 1/1000
dan diisikan ke lubang sebanyak 50 µl tiap lubang, setiap enceran
virus mulai dari 100 CCID 50 /50 µl sampai enceran 1/1000 sebanyak
4 lubang. Setelah itu ditambahkan media 2 % FBS sebanyak 50 µl
tiap lubang. Untuk kontrol sel sebanyak 100 µl tiap lubang. Terakhir
ditambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 104 sebanyak
50µl tiap lubang.
• Pembacaan dilakukan setiap hari sampai hari ke 5. Padas el yang
tidak timbul sitropatik efek
(cytophatic effect/CPE), berarti bahwa
serum yang diuji tersebut mengandung antibodi (positive antibody)
dan apabila timbul CPE, berarti serum yang diuji tersebut tidak
mengandung antibodi (negative antibody). Apabila pada satu lubang
timbul CPE, tetapi pada lubang lainnya tidak timbul CPE, dinyatakan
meragukan, dan ini bias diuji ulang.
• Pembacaan titrasi ulang dilakukan setiap hari sampai hari ke 5.
Apabila pada enceran virus 1/100, perubahan CPE terjadi pada dua
lubang dari empat lubang yang diinfeksi (50 %) maka virus yang
dipakai untuk uji serum netralisasi adalah 100 CCID 50 /50 µl.
44
 Hasil :
• Positif antibodi:bila
menimbulkan CPE.
campuran
serum
dengan
virus
tidak
• Negatif antibodi:bila campuran serum dengan virus
menimbulkan CPE.
dapat
4) Uji Netralisasi Virus (SNT)
• Serum yang positif mengandung antibody dan serum yang
meragukan, diencerkan menjadi ¼ ,1/8,1/16,1/32,1/64,dan 1/128
dengan media yang mengandung 2 % FBS.
• Teteskan setiap enceran serum tersebut kedalam 1 lubang plat
mikrotiter sebanyak 50 µl per lubang
dan dibuat satu seri
pengenceran dari ¼ sampai 1/128.
• Kontrol serum positif, kontrol serum negative dan control sel untuk
setiap plat mikrotiter cukup dua lubang.
• Untuk kontrol sel hanya diisi dengan media 2 % FBS sebanyak 100
µl.
• Tambahkan 50 µl virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl tiap
lubang, kecuali lubang kontrol sel.
• Inkubasikan plat mikrotiter selama satu jam pada suhu 37 0C (dalam
inkubator).
• Tambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105/ml sebanyak
100 µl ke setiap lubang.
• Inkubasikan plat mikrotiter pada suhu 37 0C selama 4 hari.
• Buat titrasi ulang (back titration), yaitu dengan cara virus yang
mengandung 100 CCID 50 /50 µl diencerkan 1/10, 1/100 dan 1/1000
dan diisikan ke lubang sebanyak 50 µl tiap lubang, setiap enceran
virus, mulai dari 100 CCID 50 /50 µl sampai encean 1/1000 sebanyak
4 lubang. Setelah itu ditambahkan media 2 % FBS sebanyak 50µl
tiap lubang. Untuk kontrol sel sebanyak 100 µl tiap lubang. Terakhir
ditambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105 sebanyak
50 µl tiap lubang.
• Pembacaan dilakukan setiap hari sampai hari ke 5, enceran serum
yang ada CPE pada sel merupakan batasan antibodi. Untuk yang
meragukan, apabila pada enceran ¼ sudah timbul CPE, maka serum
tersebut disebut negatiif antibody.
• Pembacaan titrasi ulang (back titration) dilakukan setiap hari sampai
hari ke 5. Apabila pada enceran 1/100 terjadi 50 % CPE maka virus
yang dipakai untuk menguji serum tepat 100 CCID 50 /50 µl.
• Definisi titer: Pengenceran serum tertinggi dengan volume 50 µl yang
mampu menetralisir virus 100 CCID 50 tepat 100 CCID 50 /50µl. Titer
antibodi dinayatkan dalam log2.
 Intepretasi Hasil
Bila tidak terjadi kerusakan sel pada lubang serum yang diuji, maka
lubang yang mengandung serum tersebut mengandung antibodi
spesifik terhadap virus penguji. Tingginya kandungan antibodi
terlihat pada tingkat enceran serum yang dapat menahan aktifitas
virus penguji pada sel.
c. deteksi penyakit ibr dengan nested pcr
45
1) Prinsip Dasar
Reaksi Berantai Polimerasi (Polymerase chain reaction, PCR) adalah
suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens DNA
dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi
pita yang berlawanan dan mengapit dua terget DNA. Kesederhanaan dan
tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh
menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya.
Pada dasarnya reaksi PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in
vivo, yaitu dengan adanya pembukaan rantai DNA (denaturation) utas
ganda, penempelan primer (annealing) dan perpanjangan rantai DNA
baru (extension) oleh enzim DNA polymerase dari arah terminal 5’ ke 3’.
Pada teknik PCR tidak menggunakan enzim ligase dan primer RNA.
Secara singkat, teknik PCR dilakukan dengan mencampurkan sampel
DNA dengan primer oligonkleotida, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP),
enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam larutan DNA yang sesuai,
kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran secara berulang
beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah sekuens DNA yang
diinginkan.
Proses PCR memerlukan sejumlah siklus untuk mengamplifikasi suatu
sekuens DNA spesifik. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap, yaitu
denaturasi, annealing (hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi
dilakukan pada suhu 90 – 95°C, sehingga terjadi pemisahan utas ganda
DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template)
tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase.
Selanjutnya, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida
pada sekuens yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ini
disebut dengan annealing. Suhu campuran diturunkan sampai ~ 55°C
atau sesuai dengan melting temperatur (Tm) dari primer oligonukleotida.
Selama
tahap
ini,
primer
berpasangan
dengan
sekuens
komplementernya di dalam DNA cetakan. Primer oligonukleotida melekat
pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah yang berlawanan;
satu primer melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah
yang berlawanan; satu primer melekat pada ujung utas DNA sense,
sedangkan primer yang lain melekat pada ujung utas DNA antisense.
Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu
72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA
polimerase. Pada tahap ini enzim Taq DNA polimerase mengkatalis
reaksi penambahan mononukleotida pada primer yang sesuai dengan
utas DNA komplementer yang berada di sebelahnya. Suhu pada setiap
tahap diatur sedemikian rupa sehingga dihasilkan amplifikasi sekuens
target DNA yang efisien. Rangkaian proses tersebut di atas merupakan
PCR standar yaitu hanya menggunakan sepasang primer yang biasa
disebut sebagai primer eksternal. Target DNA BHV-1 dengan menggunakan
primer eksternal menghasilkan pita 478bp.
Untuk nested PCR, maka produk PCR tahap pertama di atas diamplifikasi
kembali dengan menggunakan sepasang primer yang biasa disebut sebagai
primer internal. Target spesifik nested PCR akan lebih pendek yaitu 325bp bila
dibandingkan dengan target PCR standar. Sedangkan kemampuan deteksi
dengan nested PCR akan jauh lebih sensitif bila dibandingkan dengan PCR
standar.
2) isolasi DNA dengan menggunakan Column
• (GF-1 Forensic DNA Extraction Kit, Vivantis)
• Sampel: Usap mukosa hidung asal sapi
46
a. persiapan sampel:
(1) Ambil sampel swab 500 uL, masukkan ke tabung eppendorf 2 ml.
Tambahkan 1,5 ml PBS, campur hingga homogen dengan vorteks.
Inkubasi pada suhu 30°C selama 2-3 jam.
(2) Sentrifugasi pada 7.000 rpm selama 10 menit. Buang supernatan.
(3) Resuspensikan dengan penambahan Buffer STL sebanyak 200 µL.
(4) Tambahkan 25 µL OB Protease dan campur hingga homogen
dengan vorteks. Inkubasikan pada suhu 60°C selama 45 menit,
setiap 15 menit dikocok perlahan.
(5) Tambahkan 225 µL buffer BL dan campur dengan vorteks,
inkubasikan 60°C selama 10 menit.
(6) Tambahkan 300 µL Isopropanol dan campur dengan vorteks.
b. Isolasi DNA
(1) Tambahkan 100 µL Equilibrium Buffer pada column dan lengkapi
dengan tabung koleksi. Berdirikan pada suhu ruang selama 4 menit
dan sentrifugasi dengan kecepatan maksimum (12.000 rpm)
selama 20 detik.
(2) Pindahkan sebanyak 600 µl sampel yang telah diproses di atas ke
dalam column, sentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Buang
Filtrat.
(3) Ulangi tahap 2 hingga semua sampel dapat diproses.
(4) Tambahkan 500 µL HB Buffer dan sentrifugasi 10.000 rpm selama
1 menit. Buang filtrat.
(5) Cuci dengan 750 µl DNA wash Buffer dan sentrifugasi 8.000 x g
selama 1 menit. Buang filtrat.
(6) Sentrifugasi column pada kecepatan maksimum (12.000 rpm)
selama 2 menit untuk menghilangkan residu ethanol.
(7) Masukkan column ke tabung eppendorf baru, tambahkan 50 – 100
µL Elution Buffer (panaskan pada suhu 70oC sebelum dipakai) dan
berdirikan selama 3 menit. Sentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit.
(8) Ukur konsentrasi DNA dengan menggunakan Spectrophotometer
NanoDrop ND1000. Simpan DNA pada suhu 4°C atau -20°C.
3) Pembuatan Master Mix (Mm) Ke-1
• Ambil 1 tabung eppendorf 1,5 ml steril beri nama (MM-1).
• Ambil 4 tabung eppendorf 0,2 ml steril dan masing-masing beri nomor:
1, 2, 3 dan 4 (1 dan 2 adalah kontrol negatif dan positif; 3 dan 4
sampel)
• Cairkan bahan PCR dari -20°C terdiri dari: Buffer PCR 10x, dNTPs 2
mM, dH2O, Primer gD_P1F 625 pM (5’-GCT GTG GGA AGC GGT
ACG-3’), dan Primer gD_P2R 625 pM (5’-GTC GAC TAT GGC CTT
GTG TGC-3’).
• Sedangkan Taq DNA Polymerase diambil terakhir manakala master
mix telah selesai dibuat.
• Buat master mix sebagai berikut:
Examiner
Source of Samples
:
:
Group_1
Nasal secretion
cattle
of
47
Date of Judgement
Number
of
Samples
Control +ve and ve
Extra reaction
Total
:
:
20-04-2009
2
:
2
:
:
1
5
1st Reaction:
Composition
Concentration
PCR buffer
dNTPs
Primer P1F
Primer P2R
Taq DNA Poly.
10 x
2 mM
625 pM
625pM
5 unit/uL
Total
dH2O
Vol
(ul)
=
=
=
=
=
2.5
2.5
0.5
0.5
0.25
6.25
13.75
n
Total
(ul)
x
x
x
x
x
5
5
5
5
5
=
=
=
=
=
12.5
12.5
2.5
2.5
1.25
x
5
=
68.75
Final
Concentration
1x
0.2 mM
12.5 pM
12.5 pM
1.25 unit
DNA template (10 ng/µl)
= 5 µl
Total reaction
= 25 µl
Aliquote
= 20 µl/rxn
Control +ve (10 ng/µl) = 5 µl + 20µl dH2O
(1) Setelah selesai pembuatan master mix dan penambahan DNA,
semua tabung eppendorf 0,2 ml yang telah berisi reagensia PCR
dimasukkan ke mesin Thermal Cycle ABI 9700.
(2) Buat Program amplifikasi DNA.
CATATAN:
Penambahan DNA jangan dilakukan di ruang Master Mix. Harus
dilakukan di ruang Ekstraksi.
4) Pembuatan Program Amplifikasi DNA Ke-1
(1) Nyalakan (On) mesin thermal cycle.
(2) Buat Program amplifikasi sebagai berikut:
o
C
Pre-denaturation
Denaturation
Annealing
Extension
Final Extension
Hold Temp.
92
95
60
72
72
4
time
Cycles
35
4
min.
1
min.
1
min.
1
min.
10
min.
unlimitted
(3) Set volume reaksi = 25 µl
(4) Run program, dan biarkan hingga selesai. Lihat waktu selesai pada LCD
dengan menekan ”info”.
5) Pembuatan Master Mix (Mm) Ke-2
48
(1) Ambil 1 tabung eppendorf 1,5 ml steril beri nama (MM-2).
(2) Ambil 4 tabung eppendorf 0,2 ml steril dan masing-masing beri nomor:
1, 2, 3 dan 4 (1 dan 2 adalah kontrol negatif dan positif; 3 dan 4
sampel), beri tanda garis bawah pada setiap nomor (untuk
membedakan reaksi pertama dengan reaksi ke-2).
(3) Cairkan bahan PCR dari -20°C terdiri dari: Buffer PCR 10x, dNTPs 2
mM, dH2O, Primer gD_P3F 625 pM (5’-ACG GTC ATA TGG TAC AAG
ATC GAG AGC G-3’), dan gD_Primer P4R 625 pM (5’-CCA AAG GTG
TAC CCG CGA GCC-3’).
(4) Sedangkan Taq DNA Polymerase diambil terakhir manakala master
mix telah selesai dibuat.
(5) Buat master mix sebagai berikut:
2nd Reaction:
Composition
PCR buffer
dNTPs
Primer P1F
Primer P2R
Taq DNA Poly.
Concentration
10 x
2 mM
625 pM
625pM
5 unit/uL
Total
dH2O
Vol
(µl)
=
=
=
=
=
Total reaction
Aliquote
DNA template from 1st reaction
2.5
2.5
0.5
0.5
0.25
6.25
17.75
n
Total
(µl)
x
x
x
x
x
5
5
5
5
5
=
=
=
=
=
12.5
12.5
2.5
2.5
1.25
x
5
=
88.75
Final
Concentration
1x
0.2 mM
12.5 pM
12.5 pM
1.25 unit
= 25 µl
= 24 µl/rxn
= 1 µl
(6) Setelah selesai pembuatan master mix dan penambahan DNA, semua
tabung eppendorf 0,2 ml yang telah berisi reagensia PCR dimasukkan
ke mesin Thermal Cycle ABI 9700.
Buat Program amplifikasi DNA sebagai berikut:
o
C
Pre-denaturation
Denaturation
Annealing
Extension
Final Extension
Hold Temp.
92
95
65
72
72
4
time
Cycles
35
4
min.
1
min.
1
min.
1
min.
10
min.
unlimitted
(7) Set volume 25 µl, Run Program. Untuk melihat kapan selesai proses
amplifikasi dapat di lihat di LCD dengan menekan “Info”.
6) Elektroforesis
(1) Buat 2% agarose dengan cara menimbang 2 gram agarose, larutkan ke
100 ml TBE 1x (Tris Borat EDTA) dalam botol Schoot atau erlenmeyer
200 ml.
49
(2) Larutkan agarose dengan mendidihkan pada microwave (3 menit).
(3) Aduk agarose perlahan-lahan, setelah suhu ±60°C, tambahkan 10 µl
Ethidium Bromida (1 µg/ml) ke dalam agarose (100 ml) dan aduk
perlahan-lahan. Kemudian masukkan ke Cetakan elektroforesis yang
telah dilengkapi dengan sisir (comb).
(4) Biarkan agarose membeku kurang lebih 30 menit. Kemudian ambil
sisir, dan masukan agarose beserta cetakannya ke Tank
Elektroforesis.
(5) Tambahkan TBE 1x ke dalam Tank (± 500 ml). Setiap Lubang (well)
agarose dibilas dengan TBE 1x menggunakan syring.
(6) Masukkan ke dalam well (lubang) agarose masing-masing 3 µl sampel
dengan urutan sebagai berikut: Marker 1 kb; Kontrol negatif; Kontrol
Positif; sampel 1 dan Sampel 2. Atau untuk menghindari kontaminasi,
kontrol positif detetskan terakhir.
(7) Hubungkan mesin elektroforesis dengan aliran listrik 220 volt, dan set
elektroforesis pada 100 volt, dan lamanya 30-45 menit. Run Power
supply.
(8) Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan menggunakan UV viewer
atau alat GelDoc. Dokumentasi bisa menggunakan Camera Digital
atau langsung di Print Out.
(9) Hasil akan tampak seperti gambar di bawah ini:
M. Marker 1 kb
Gambar 7. Gambar Hasil Elektroforesis PCR IBR
A. Kontrol negatif
B. Kontrol Positif (IBR strain Colorado)
1. Sampel lapang #1
2. Sampel lapang #2
3. Sampel lapang #3
4. Sampel lapang #4
Primer untuk deteksi BHV-1 gD
Nama
gD_P1F (Ext)
gD_P2R (Ext)
Sekuen
Lokasi
(nt)
5’-GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3’
351-368
5’-GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC- 817-796
3’
Produk
(bp)
468
50
gD_P3F (Int.)
gD_P4R (Int.)
5’-ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC 394-422
GAG AGC G-3’
5’-CCA AAG GTG TAC CCG CGA 716-696
GCC-3’
325
Bab IX
BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOMYOPATHY
1. Pendahuluan
Penyakit Transmisible Spongiform Encephalopathy (TSE) menyerang otak
dan susunan syaraf hewan dan manusia. Penyakit ini disebabkan oleh Prion
dan menyebabkan perubahan pathologis yang menciri pada otak dengan
bentukan seperti spons. Di Indonesia penyakit TSE ini belum pernah
ditemukan baik pada hewan maupun manusia, sehingga statusnya sampai
saat ini masih dinyatakan sebagai penyakit eksotik. Penyakit TSE atau
penyakit prion digolongkan kedalam penyakit zoonosis yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia melalui bahan makanan, obat-obatan, kosmetik dan
bahan diagnostik yang berasal dari hewan penderita penyakit TSE atau
penyakit prion.
Kelompok penyakit ini yang menyerang sapi disebut sebagai Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal dengan mad cow atau sapi
gila. Penyakit ini ditularkan melalui bahan asal hewan berupa specified risk
material/SRM (otak, tonsil, mata, spinal cord, dorsal root ganglia, trigeminal
ganglia dan distal ilium) yang dapat tercampur di dalam bahan baku pakan
ternak berupa tepung daging dan tulang.
Sampai saat ini, belum ada metoda yang dapat mengidentifikasi prion dari
hewan yang masih hidup. Deteksi prion hanya dapat dilakukan dengan
pemeriksaan histopatologi otak dengan melihat bentukan spons. Oleh karena
itu, dalam upaya mencegah masuknya penyakit BSE ini ke Indonesia, petugas
karantina hewan di lapangan harus melakukan pemeriksaan terhadap bahan
baku pakan khususnya Poultry by Product Meal (PPM) dan Poultry Meat Meal
(PMM) terhadap kemungkinan campuran Meat and Bone Meal (MBM)/SRM
dengan kandungan mamalia, serta pengujian MBM terhadap kemungkinan
campuran SRM dengan kandungan mamalia.
Gambar 8. Histopatologi BSE, bentukan spons pada otak
2. Diagnosis
51
Diagnosis laboratorium untuk BSE didasarkan pada deteksi kandungan MBM
asal mamalia pada PMM dan PPM serta deteksi
kandungan SRM asal mamalia pada MBM. Deteksi ini
dapat menggunakan metode mikroskopis klasik, metode
pemeriksaan menggunakan kit dan pengujian dengan
PCR.
3. Metode Clasical Microscopy
• Analisis Mikroskopis Bahan Pakan Asal Hewan
a. deskripsi
Pemeriksaan mikrokopis atas kandungan bahan pakan asal hewan terdiri
dari dua tahapan:
(1) Pemeriksaan pakan atau bahan baku pakan secara langsung dilakukan
penyaringan dengan ukuran lubang filter < 500 mikron diperoleh
fragmen untuk mengetahui fragmentasi bahan asal hewan (seperti
fiber, fragmen tulang, horn, darah kering, rambut, sisik ikan, bulu,
fragmen telur dan tulang rawan);
(2) Pemeriksaan hasil sedimentasi diperoleh melalui pelarutan pakan atau
bahan baku pakan dengan menggunakan tetrachlorethylene untuk
mendeteksi fragmen (fiber, fragmen tulang, horn, darah kering, rambut,
sisik ikan, bulu, fragmen telur dan tulang rawan fiber, fragmen tulang,
horn, darah kering, rambut, sisik ikan, bulu, fragmen telur dan tulang
rawan/ dari mamalia, poultry).
b. manfaat
Pengujian ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara mikroskopik adanya
kandungan bahan asal hewan pada pakan atau bahan baku pakan sebagai
sumber protein asal hewan.
c. Methodologi
Protokol analisa mikrokopik terhadap pakan atau bahan baku pakan
menurut commission directive 2003/126/EC (23 Desember 2003). Deteksi
fragmen bahan baku pakan dengan menggerus bahan baku pakan menjadi
partikel yang berukuran kurang dari 1 mm, kemudian dilakukan dua tahap
pengujian:
(1) Sieve fraction analysis : analisis partikel dilakukan setelah penyaringan.
Cara kerja: timbang 5 g sampel, disaring dengan ukuran lubang
saringan sebesar 500 mikron sehingga terbagi menjadi dua bagian,
partikel lebih dari 500 mikron dan kurang dari 500 mikron. Partikel yang
lebih kasar (partikel > 500 mikron) dilakukan pemeriksaan
menggunakan mikroskop stereo dan partikel yang halus (partikel < 500
mikron) dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop
compound.
(2) Sediment analysis : analisis partikel dilakukan pada sedimen hasil
penyaringan. Cara kerja: 5 g sampel yang sudah digerus dimasukan
kedalam beker glass dan ditambahkan 50 ml tetrachlorethylen.
Campuran diaduk dan dihomogenisasi dengan stirer kemudian
52
dibiarkan selama 5 menit. Seluruh endapan dikeringkan dan diperiksa
kandungan fragmen dengan menggunakan mikroskop stereo dan
compound untuk melihat fragmen tulang asal unggas, ikan ataupun
mamalia.
Perhitungan kandungan bahan asal hewan dalam bahan baku pakan
dilakukan berdasarkan muscle fibre ratio terhadap fragmen tulang pada
Sieve fraction analysis dan kombinasi berat tulang pada fase
sedimentasi.
DIAGRAM PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MBM
SAMPEL 100
GRAM, UKURAN 1
2 MM
FILTRASI
250 µL - 500 µL
KASAR
FRAKSI A
HALUS
FRAKSI B
SEDIMENTASI
DALAM
TETRACHLOR
ETHYLEN
SEDIMENT
FILTRASI
250 µL - 500 µL
KASAR
FRAKSI C
HALUS
FRAKSI D
FLOATING
FILTRASI
250 µL - 500 µL
KASAR
FRAKSI E
HALUS
FRAKSI F
Keterangan :
Pengamatan fragmen A, C dan E dilakukan dengan menggunakan
mikroskop compound
Pengamatan fragmen B dan F dilakukan dengan menggunakan mikroskop
53
d. metode pewarnaan sedimen
Sedimen dari fraksi D (halus), dicuci dengan alkohol dan diulang selama 2
kali lakukan vortex, selanjutnya dilakukan bleaching menggunakan sodium
hypochlorid 10% selama 10 menit, cuci dengan air dua kali, lakukan
pewarnaan dengan alizarin red 2-10 tetes, cuci dengan alkohol dua kali,
dan aceton satu kali, keringkan dan lihat di mikroskop compound dengan
meneteskan glycerol.
f. metode pewarnaan floating
Cara kerja : fragmen f (halus) yang mengapung dilakukan embeding
(menggunakan NaOH/KOH 2,5% atau menggunakan larutan chloral hydrat
selanjutnya dapat dilakukan pewarnaan cystine atau pewarnaan
iodine/potasium iodine, kemudian diamati di bawah mikroskop.
Pembacaan hasil :
• Pewarnaan alizarine : tulang berwarna red/pink
• Pewarnaan cystine : hair, feather atau yang mengandung cystine
berwarna hitam kecoklatan
• Pewarnaan iodine/potasium iodine : protein berwarna kuning-oranye,
starch biru/violet
Setiap sampel masing-masing dibuat 3 preparat dengan pengamatan setiap
preparat diamati dalam 5 bidang pandangan (4 bidang berada diujung dan 1
bidang berada di tengah).
4. Metode Pemeriksaan Menggunakan Kit
Prosedur Pemeriksaan
(1) Tambahkan larutan bufer sebanyak 1 oz ke dalam tabung gelas ekstraksi.
(2) Masukan satu sendok (sudah tersedia pada kit) sampel ke dalam tabung
gelas ekstraksi, aduk menggunakan pengaduk.
(3) Tutup tabung dan kocok selama 15 detik.
(4) Masukan test strip kit mbm ke dalam gelas dengan tanda panah ke bawah
gelas, tunggu selama 10 menit.
(5) Setelah 10 menit, angkat test strip dari gelas dan intrepestasi hasil setelah
5 menit.
(6) Hasil menunjukan satu garis adalah negatif, tidak ada MBM.
(7) Hasil menunjukan dua garis adalah positif mbm ≥ 0,1% dan minimal ≤1%.
(8) Hasil menunjukan tiga garis adalah positif mbm ≥ 0,1% mammalian dan
mbm ≥1%.
5. Metoda Polymerase Chain Reaction (PCR)
Prosedur Pemeriksaan Mbm Dengan PCR
Bahan:
•
Tissue extraction Solution I.
•
Tissue extraction Solution II.
•
DNA binding solution.
•
Magnetic beads.
54
•
Enzim proteinase K.
•
TE buffer-ready to use.
•
Agarose gel.
•
loading dye
6. Cara kerja
a. ekstraksi DNA dengan bio kit DNA ekstraksi
1) Untuk sampel MBM, timbang 2 gr dan masukan kedalam tube sampel
30 ml dan tambahkan 5 ml Tissue extraction Solution I dan 200 μg
enzim proteinase K (20μl dari 10 mg/ml solution). Jika sampel sudah
menyerap semua larutan, tingkatkan volume Tissue extraction Solution
I hingga 10 ml dan enzim proteinase K hingga 400 μg, peningkatan
volume lebih lanjut dapat dilakukan jika diperlukan hingga total 20ml +
800μg. Lanjut ke prosedur 2.
2) Vortex sampel hingga tercampur kemudian inkubasi selama 650C
selama 60 menit dengan konstan shaking.
3) Pindahkan 1,0 ml masing-masing sampel kedalam tabung eppendorf
yang bersih.
• Dinginkan sampel ke dalam es selama 5 menit. Tambahkan 108 μl
Tissue extraction Solution II (catatan: sangat penting untuk
mendinginkan sampel untuk presipitasi protein jika terlalu hangat
proses ini jadi tidak efisien).
4) Balik tabung untuk mencampur, pastikan tidak ada lumps (gelembung
udara) dengan flicking dasar tube beberapa kali.
5) Letakan sampel ke dalam es selama 10 menit untuk memudahkan
presipitasi protein. Sentrifus sampel > 8000 g selama 5 menit hingga
ada sedimen.
b. persiapan magnetic bead
Selama proses sentrifus, siapkan magnetic beads :
1) Dengan lembut gerakan magnetic beads untuk menjamin adanya beads
pada suspensi.
2) Ambil 50 μl beads ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml untuk masingmasing sampel. Imobilisasi beads dengan meletakkan tabung eppendorf
1,5 ml pada magnetik stand. Buang cairan supernatan menggunakan
pipet.
3) Angkat tube dari rak dan cuci magnetik beads dengan resuspensi
kedalam 500 μl molecular biological grade water (MBGW).
4) Imobilisasi beads dengan meletakan pada magnetic stand dan buang
supernatan menggunakan pipet.
c. ekstraksi dna
1) Letakan tabung eppendorf pada baris paling jauh dari magnet dan
tambahkan 400 μl supernatan sampel kedalam magnetic beads, lakukan
dengan hati-hati hindar debris pada lysate.
2) Tambahkan 400 μl DNA binding solution ke magnetic beads beads
/sampel lysate lalu di vortex sebentar. Flick dasar tabung untuk
meresuspensi beads secara total.
3) Inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Pastikan percampurannya
sempurna dengan flicking setiap menit.
55
4) Imobilisasi beads dengan meletakan tabung eppendorf pada magnetic
stand. Bolak balik tabung beberapa agar beads yang menempel disisi
tabung ikut tercuci.
5)
Biarkan tabung eppendorf pada magnet selama 2 menit kemudian
dengan hati-hati buang supernatan.
6)
Pindahkan tabung eppendorf pada baris terjauh dari magnet. Cuci
beads DNA kompleks dengan melakukan suspensi ulang dalam 500 μl
ethanol 75%. Jika magnetic beads susah diresuspensi lakukan flicking
pada tabung sebanyak 5-10 kali. Imobilisasi the beads dengan
meletakan tabung eppendorf pada magnetic stand dan buang ethanol.
7)
Ulangi tahap no 6.
8)
Inkubasi sampel (dengan membuka tutup tabung eppendorf selama 5
menit pada suhu 650C atau temperatur ruang yang kering selama 15
menit untuk menguapkan sisa ethanol. Jangan memanaskan pada
suhu 650C lebih dari 5 menit.
9)
Buang sisa cairan yang ada pada dasar tabung menggunakan pipet.
10) Tambahkan 100 μl TE buffer. Lakukan flick secara halus untuk
merususpensi beads dan inkubasi pada suhu 650C selama 10 menit.
11) Lakukan flicking setiap 5 menit.
12) Sentrifus selama 5 detik.
13) Imobilisasi beads pada magnetic stand dan pipet supernatan ke dalam
tabung eppendorf bersih. Tabung ini mengandung DNA yang sudah
dipurifikasi.
14) Ulangi tahap no 10-13. Masukan supernatan ke dalam tabung
eppendorf. (bisa tidak dilakukan)
15) Letakan tabung eppendorf pada magnetic stand selama 2 menit, jika
masih ada beads ambil supernatan dan pindahkan ke tabung eppendorf
yang baru.
16) Simpan ekstrak DNA pada 40C, jika untuk penyimpanan yang lama
lebih dari 6 bulan sampel dibagi menjadi 5 μl aliquots dan simpan pada
-200C.
e. komponen kit pcr
1) Mastermix ada 4 vial (masing 0,5 l/vial)
2) Kontrol, terdiri dari 1 vial kontrol, 1 vial spike dan 1 vial DNA ladder.
Material lain :
• Hot-star Taq DNA polymerase;
•
0,2 (dinding tipis PCR tube) 0,5 atau 1,5 tabung eppendorf;
•
Mesin PCR;
•
Pipet mikropipet (10 μl,20 μl,200 μl,1000 μl) dan disposable filter
tips;
•
Vortex;
•
Ethidium bromide digunakan dengan konsentrasi 0,5μg/ml;
•
Agarose untuk DNA fragmen < 1 kb;
•
0,5 Tris-borate EDTA (TBE) buffer.
f. kontrol dan sampel pcr
56
1) Untuk satu sampel ekstrak DNA yang diuji, dianjurkan menjalankan 3
reaksi.
•
Dua sampel reaksi mengandung sebanyak 20 μl PCR mastermix dan 5
μl ekstrak DNA sampel.
•
Reaksi sampel spike mengandung 20 μl PCR mastermix, 5 μl ekstrak
DNA sampel dan 1 μl spike DNA solution. Tujuan reaksi spike untuk
mencegah negative palsu yang disebabkan pengaruh matrix.
2) Masing-masing mastermix, dianjurkan menjalankan 3 PCR kontrol.
•
Satu kontrol positif, mengandung 20 μl PCR mastermix dan 5 μl kontrol
positif Ekstraksi DNA.
•
Satu ekstraksi blank, mengandung 20 μl PCR mastermix dan
kontrol blank bersamaan dengan sampel.
•
Satu water blank, mengandung 20 μl PCR mastermix dan 5 μl
moleculer biology grade water.
5 μl
g. pcr mastermix
1) Semua tahapan harus dilakukan pada daerah DNA free.
2) Sangat dianjurkan mempersiapkan larutan mastermix PCR dan DNA
Taq polimerase dalam reaksi PCR individual.
3) Masing-masing reaksi individu 19,9 mastermix PCR dan 0,1 μl DNA Taq
polimerase. Oleh karena itu untuk menguji 5 sampel DNA perlu
disiapkan mastermix 19 reaksi (3 reaksi untuk masing-masing sampel,
termasuk reaksi spike, 3 kontrol dan 1 ekstra untuk kesalahan pipeting).
4) Selama mencampur mastermix harus memipet dengan baik.
5) 20 μl mastermix harus dimasukan kedalam individual tabung eppendorf
0,2 ml. Reaksi kemudian siap untuk ditambahkan template DNA.
6) Tambahkan 5 μl template DNA pada masing-masing mastermix,
sehingga volume sekarang menjadi 25 ul. Konsentrasi DNA yang ideal
tidak lebih dari 20ng/μl. DNA yang keruh (cloudy) harus disentrifus
sebeleum dilanjutkan kereaksi PCR.
7) 1 μl larutan spike harus dimasukan pada masing-masing reaksi spike.
8) 5 μl kontrol positif DNA harus ditambahkan ke tab reaksi kontrol.
9) 5 μl larutan blank harus dimasukan kereaksi ekstraksi blank.
10) 5 μl water harus ditambahkan kereaksi water blank tube.
•
Protocol PCR BEEF
940C selama 10 menit (untuk aktivasi hot star taq)
940C selama 15 detik
siklus
30
620C selama 15 detik
720C selama 15 detik
720C selama 15 detik
40C-hold
•
Protocol PCR PORK
940C selama 10 menit (untuk aktivasi hot star taq)
57
940C selama 15 detik
siklus
30
640C selama 15 detik
720C selama 15 detik
720C selama 15 detik
40C-hold
h. preparasi sampel dan alur flow chart ekstraksi
HOMOGENASI SELURUH SAMPEL ATAU SEDIKIT 5X20g BAGIAN
(2
l)
TAMBAHKAN TISSUE EXTRACTION SOLUTION I (5ml) DAN
PROTEINASE K KE SAMPEL (20ul), TINGKATKAN VOLUME
SOLUTION I DAN PROTEINASE K JIKA VOLUME AWAL TERSERAB
0
(waterbath 65 C/60 dengan konstan shaking), sentrifus sebentar
TRANSFER 1 ML LYSATE KE TABUNG EPENDORF BERSIH
(
)
DINGINKAN SAMPEL DALAM ES SELAMA 5 MENIT, TAMBAHKAN
108ul TISSUE EXTRACTION SOLUTION II (108ul)
BALIK TABUNG UNTUK MENCAMPUR, INKUBASI SAMPEL PADA ES
S
10 MENIT
SENTRIFUS SAMPEL PADA 8000G SELAMA 5 MENIT
BUANG SUPERNATAN 400ul dan tambahkan 50ul WASHED
MAGNETIC BEAD
TAMBAHKAN
400ul DNA BINDING SOLUTION, CAMPUR DAN
INKUBASI PADA SUHU RUANG SELAMA 5 MENIT
CUCI BEADS 2 KALI MENGGUNAKAN 500ul 75% ethanol, keringkan
0
bead pada 65 C SELAMA 5 MENIT
0
ELUSI DNA DALAM 2X 100ul TE BUFER PADA SUHU 65 C selama 10
menit
58
Download