KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN NOMOR : 68/Kpts/HK.060/L/1/2010 TENTANG PEDOMAN PENGUJIAN LABORATORIUM UNTUK PENYAKIT VIRAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa Indonesia merupakan negara dengan berbagai sumber daya alam dan beraneka ragam jenis hewan; b. bahwa kelestarian aneka ragam jenis hewan yang ada di Indonesia perlu dijaga dan dilindungi; c. bahwa untuk mencegah masuk dan menyebarnya Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) serta bahan berbahaya (hazard) perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap agen penyakit meliputi viral, bakteri, mikal dan parasit; d. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, perlu menetapkan Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit Viral; : 1. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); 6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Tata Hubungan Kerja Fungsional Pemeriksaan, Pengamatan dan Perlakuan Penyakit Hewan Karantina; 7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenisjenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan klasifikasi Media Pembawa; MEMUTUSKAN MENETAPKAN : KESATU : Pedoman Pengujian Laboratorium Untuk Penyakit Viral seperti tercantum dalam lampiran Keputusan ini. KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU merupakan pedoman bagi petugas laboratorium karantina hewan pada Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian dalam melakukan pemeriksaan dan pengujian hewan dan produk hewan terhadap penyakit asal virus. KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan diJakarta Pada tanggal 28 Januari2010 Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth: 1. Menteri Pertanian; 2. Para Pejabat Eselon I Departemen Pertanian; 3. Para Pejabat Eselon II Badan Karantina Pertanian; 4. Para Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian di seluruh Indonesia. 2 Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 68/Kpts/HK.060/L/1/2010 Tanggal : 28 Januari 2010 PEDOMAN PENGUJIAN LABORATORIUM UNTUK PENYAKIT VIRAL Bab I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia telah dikaruniai berbagai sumber daya alam hayati khususnya beraneka ragam jenis hewan yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka peningkatan taraf hidup, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu perlu dijaga dan dilindungi. Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumber daya alam hayati, khususnya hewan adalah serangan hama dan penyakit hewan. Kerusakan tersebut dapat sangat merugikan karena akan menurunkan produk pertanian, khususnya produk hewan/ternak baik kuantitas maupun kualitas atau bahkan dapat mengakibatkan musnahnya jenisjenis hewan/satwa tertentu yang bernilai ekonomis penting. Pada era perdagangan bebas, sejak tahun 2003 (AFTA), dimana proteksi atau hambatan-hambatan terhadap upaya impor tidak boleh lagi, kecuali hambatan teknis (sesuai kesepakatankesepakatan perdagangan antar bangsa) yakni aturanaturan "Sanitary and Phytosanitary (SPS)", maka diperlukan pengujian kesehatan maupun mutu dari ternak dan produk hasil ternak sehingga persyaratan pasar maupun keinginan konsumen dapat dipenuhi. Pengujian secara laboratorium harus memenuhi standar internasional sehingga hasil pengujian tersebut dapat diterima secara internasional. Buku Pedoman Pengujian Laboratorium terhadap penyakit Viral ini memuat uji diagnostik penyakit viral yang meliputi prosedur kerja, peralatan, bahan dan metoda uji yang mengacu pada Standar Internasional. Buku Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit Viral ini merupakan revisi dari Manual Standardisasi Uji Diagnostik Laboratorium Karantina Hewan yang telah diterbitkan pada tahun 1998. Revisi ini dianggap perlu karena uji-uji diagnostik telah banyak perkembangannya seiring dengan berkembangnya zaman. Uji-uji diagnostik saat ini sudah mengarah ke metode-metode pengujian cepat, sehingga hasil uji yang akurat dapat diperoleh dalam waktu singkat. 3 Oleh karena itu buku ini dapat dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan pemeriksaan laboratorium terhadap hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang dilalulintaskan. Bab II STANDARDISASI PEMERIKSAAN LABORATORIUM VIROLOGI 1. Standar Peralatan Jenis peralatan yang harus tersedia di dalam laboratorium virologi sangat bervariasi, bergantung pada volume dan lingkup kegiatan yang akan di lakukan, sehingga sulit untuk dibakukan. Berikut ini adalah peralatan yang seyogyanya tersedia di dalam laboratorium virologi veteriner untuk melaksanakan kegiatan diagnosis: • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Alat sterilisasi basah (Autoclave) Alat sterilisasi kering (oven suhu tinggi) Lemari es (refrigerator) minimal 2 buah Freezer (-20°C) Deep Freezer (-70°C) Tanki Liquid Nitrogen minimal 2 buah (satu ukuran besar dan satunya ukuran kecil) Biohazard (Safety Cabinet) level 2 Water bidistillator (double distillatory untuk hasilkan Aqua Bidest) Deionizer water Inkubator biasa dan inkubator ber CO 2 untuk biakan jaringan. Inkubator untuk telur berembrio Mikroskop untuk biakan sel (inverted microscope) yang terhubung dengan monitor dan kamera Mikroskop fluoresence yang terhubung dengan monitor dan kamera Peralatan gelas: Erlenmeyer flask, gelas ukur, botol spesimen, pipet, cawan petri, botol serum, botol media, trypsination flask, gelas piala/beaker glass) Peralatan plastik: microplate, alat suntik (syringe), microplate. Waterbath Peralatan untuk ELISA: ELISA reader, ELISA plate washer, dll. Refrigerated sentrifuse: Kecepatan sampai 3.000 RPM 20.000 RPM (microcentrifuge) Alat penumbuk jaringan: Stomacher, grinder dan mortar. Gunting, pinset dan pisau skalpel. Mikropipet: Single channel dan Multichanel dari berbagai volume dan tip-nya. Tempat pencucian alat-alat. Kontainer untuk menaruh peralatan kotor bekas kerja. Alat pelubang dalam pembuatan agar untuk uji AGID. Mikropipet holder Peralatan untuk uji PCR (thermal cycler, PCR-working chamber, electric stabilizer Peralatan untuk uji elektroforesis (tank, gel tray, electrode, comb, electric transformer/power supplier) Gen quant UV-gel reader/transiluminator pH meter CO 2 – tank/cylinder Freeze – dried unit (mesin dan aksesoris) Balance (digital) Cool box Microwave oven Electric stabilizer Timer. 4 • • • • • • Electric generator Vortex moxer Heater block/plate magnetic stirrer Sonicator Kandang isolator Vacuum pump 2. Standar Pengambilan Spesimen a. spesimen untuk pengujian virologi bervariasi, bergantung pada jenis penyakit yang dicurigai serta pengujian yang akan dilakukan. Umumnya spesimen berupa: • • • • organ seperti potongan otak, kelenjar limfe, hati, limpa, usus, trachea, paru-paru dll. untuk isolasi virus dan PCR darah berantikoagulan (heparin 10 IU/ml atau EDTA 0,5 mg/ml) untuk isolasi virus dan PCR usapan kapas bertangkai (swab) dari mulut, hidung atau kloaka serta feses untuk isolasi virus serum untuk uji serologi. b. sampel untuk penyakit viral sebaiknya diambil secara aseptis pada tahap awal penyakit untuk memberi peluang yang lebih besar bagi keberhasilan isolasi virus. c. di dalam uraian setiap penyakit viral pada umumnya telah ditentukan jenis sampel yang seharusnya diambil untuk pemeriksaan atau diagnosis yang didasarkan pada isolasi virus. 3. Standar Transpor Media Pada dasarnya transpor media yang digunakan untuk sampel virologi bertujuan untuk mempertahankan kestabilan virus dalam jaringan sampel tersebut. Formula transpormedia untuk sampel virus ini berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu virologi itu sendiri dan sampai sekarang belum ada transpormedia yang dianggap baku. Pada tahun enam puluhan, usaha isolasi virus ditempuh dengan pengambilan sampel virologi, terutama untuk unggas, yang dimasukkan ke dalam transpormedia yang hanya terdiri dari larutan 50% gliserol dalam NaCl fisiologis dan mengandung antibiotik penisilin 2.000 IU dan streptomisin 2.000 µg per ml pH 7,2. Dengan perkembangan ilmu virologi, kemudian formula transpormedia tersebut disempurnakan sehingga mengandung larutan penyangga (buffer) dan protein. Transpormedia semacam ini contohnya: Larutan Hank’s BSS ditambah Bovine albumin dan Sodium Bikarbonat serta antibiotik (penisilin dan streptomicin). Dengan berkembangnya teknik biakan sel (Cell Culture), media penumbuh biakan sel kini banyak digunakan dalam transpormedia. Misalnya Transpor Media yang mengandung Media Penumbuh biakan sel (Growth medium: larutan DMEM, MEM + 5% Bovine Fetal Calf Serum) yang mengandung antibiotik. 5 Dalam buku ”Manuals of Standards for Diagnostic Test and Vaccines” yang diterbitkan oleh Office International des Epizootic (OEI), tidak ditentukan standar transpormedia. Namun dalam uraian dalam masing-masing penyakit buku tersebut menyebut formula transport media yang mengandung phosphate buffered saline (PBS) sebagai berikut: • Larutan phosphate buffered saline (PBS), pH 7,0-7,4 yang mengandung antibiotik (2.000 IU penisilin/ml, 2.000µg streptomisin/ml, gentamycin 50µg/ml) dan Mycostatin 1.000 IU/ml. • Sangat penting untuk selalu mengatur pH antara 7,0 – 7,4 setelah penambahan dengan antibiotik. • Kadar antibiotik sangat tergantung kondisi lokal. Khusus untuk sampel virologik yang berupa usus, usapan (swab) kloaka dan feses, konsentrasi/ kadar antibiotiknya dapat ditingkatkan sampai lima kali lipat. Transpormedia setelah dipersiapkan harus disimpan dalam suhu dingin 4°C atau dalam refrigerator. 4. Standar Penyimpanan Spesimen Sebelum Dikirimkan Pada dasarnya setiap spesimen virologi yang diperoleh dari lapangan seyogyanya secepat mungkin dikirimkan ke laboratorium untuk segera diproses. Namun bila karena sesuatu sebab pengiriman tidak dapat dilakukan dengan segera, spesimen dapat disimpan sebagai berikut: a. Spesimen organ dalam transpor media (sesuai formula transport media) disimpan dalam suhu rendah (4°C) atau disimpan beku dalam Liquid N 2, bergantung pada virus yang akan diisolasi. b. Spesimen darah dalam antikoagulan (heparin 10 IU/ml atau EDTA 0,5 mg/ml) disimpan dalam suhu rendah (4°C) c. Spesimen serum (setelah dipisahkan dari bekuan darah) disimpan pada suhu dingin (- 20°C) atau (-70°C). 5. Standar Pengiriman Spesimen Sampel dkirim dalam kemasan antipecah, antibocor (unbreakable) dengan moda transportasi tercepat. Selama dalam pengiriman, sampel harus selalu dalam keadaan dingin. Lebih baik jika pengiriman tersebut sampai di laboratorium dalam waktu 48 jam. Pengiriman sampel ke laboratorium harus disertai dengan informasi dan sejarah kasus terjadinya penyakit. Informasi tersebut meliputi beberapa aspek sebagai berikut: a. nama dan alamat lengkap pemilik dimana kasus penyakit terjadi. b. penyakit yang dicurigai (diagnose sementara) c. jenis sampel yang dikirim termasuk transpor media yang dipakai serta jenis pemeriksaan yang diminta d. jenis hewan, umur, jenis kelamin dan jumlah hewan yang terserang dalam farm. e. sejarah hewan: kapan mulai berada di farm dan dari mana, jumlah hewan terserang, sakit klinis dan mati serta masing-masing umur, jenis kelamin dan breednya. f. tanggal kasus pertama dan seterusnya muncul 6 g. diskripsi dari penyebaran penyakit dalam flok h. keadaan klinis hewan sakit. i. daftar sampel yang dikirim berserta gambaran pemeriksaan post-mortem, masing-masing jenis sampel dalam botol terpisah. j. informasi tentang vaksin atau obat-obatan yang telah diberikan. 6. Standar Penyimpanan Sampel di Laboratorium Sesampainya di laboratorium, sampel seyogyanya secepat mungkin diproses untuk dibuat inokulum. Bila karena suatu hal, pemrosesan tidak dapat dilakukan maka sampel untuk sementara waktu dapat disimpan dingin 4°C termasuk sampel yang dikirim dalam media transport (terutama untuk sampel organ dalam waktu singkat) sedangkan untuk serum disimpan beku (-20°C). Setelah diproses menjadi inokulum, sampel organ dapat langsung digunakan untuk isolasi virus. Namun bila sistem hospes-nya belum tersedia, inokulum sampel organ tersebut dapat disimpan beku dalam deep freezer (-70°C) sampai tiba waktunya untuk digunakan dalam inokulasi hospes (telur, biakan jaringan atau hewan percobaan lainnya). Dalam pemeriksaan virologik, peluang keberhasilan akan semakin besar dengan semakin cepatnya pemrosesan sampel. 7. Standardisasi Pemeriksaan Pemeriksaan a. b. c. d. e. f. g. h. menggunakan metoda pemeriksaan yang sensitifitas dan spesifisitasnya tertinggi yang dianjurkan oleh OIE (gold standar) dengan dua kali pengulangan/duplo. Dalam pedoman ini akan diuraikan standar pemeriksaan untuk diagnosis penyakit-penyakit viral berikut ini: penyakit mulut dan kuku rinderpest bluetongue newcastle disease avian influenza rabies infectious bovine rhinotracheitis bovine spongiform encephalomyopathy BAB III PENYAKIT MULUT DAN KUKU 1. Pendahuluan Penyakit mulut dan kuku (PMK) yang juga dikenal dengan nama Apthae Epizootica (AE) adalah penyakit menular yang menyerang berbagai ternak. Dari sekian banyak spesies ternak yang dapat terserang, ternak sapi, babi, domba, kambing dan kerbau merupakan ternak yang pa;ing peka terhadap PMK. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus Aphtovirus. 7 Virus penyebab PMK memiliki 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3 dan ASIA-1. Di dalam satu serotipe bisa terdapat banyak strain (galur) yang dapat diidentifikasi secara biokimia atau dengan uji imunologi dan metoda biologi molekuler. Misalnya, dalam serotipe O dikenal adanya strain O 1 sampai dengan O 11 dan O Java 83 . Hewan yang terinfeksi atau divaksinasi dengan salah satu serotipe tersebut tidak akan kebal terhadap serotipe yang lain. Oleh sebab itu virus vaksin yang digunakan di suatu daerah harus sama dengan serotipe virus PMK yang ada di daerah tersebut. Gejala klinis yang nampak pada hewan terinfeksi virus PMK antara lain demam, lepuh/vesikula lidah, moncong, putting/ambing, interdigit, hipersalivasi, lepuh pecah, ulkus dangkal, tidak mau makan, berat badan turun drastis, produksi susu turun, pincang. Gambar 1. Gejala klinis hewan terinfeksi PMK 2. Diagnosis Diagnosa laboratorium terhadap PMK didasarkan pada deteksi antigen atau deteksi antibody dengan salah satu atau kombinasi dari beberapa uji: enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), complement fixation test (CFT) atau polymerase chain reaction (PCR) kemudian dapat dilanjutkan dengan isolasi virus pada tissue culture atau hewan percobaan (mencit, cavia). a. sampel Sampel untuk isolasi virus PMK berupa jaringan epitel atau cairan isi vesikel/lepuh yang belum pecah. Sekurang-kurangnya sebanyak 1 gram jaringan epitel diambil dari vesikel yang tidak pecah atau yang baru pecah dari sekitar mulut. Jaringan epitel yang telah diambil kemudian ditaruh dalam transport medium (lihat formula) dan dikirimkam ke laboratorium dalam keadaan dingin (refrigerated). Jika jaraknya ke laboratorium sangat jauh dan memakan waktu lama, maka sampel harus dikirim dalam keadaan beku yakni disimpan dalam Liquid N 2 . Cara pengawetan dan pengiriman specimen rujukan/laboratorium nasional adalah sebagai berikut: ke laboratorium Epitel lepuh dimasukkan dalam botol screw cap (bijou bottle) dengan perbandingan 1 volume epitel + 4 s/d 9 volume transport media (lihat formula 8 transport media). Botol tersebut harus penuh cairan supaya tidak terguncang/terkocok dan di selotip. Bijou bottle dimasukkan dalam kaleng yang berisi styrofoam sebagai penyangga supaya tidak pecah. Kaleng tersebut dikirim dalam kotak kayu atau Styrofoam box yang tahan bantingan.Diberi tanda “fragile” Dikirim dengan ekspedisi udara yang tercepat. Jika karena sesuatu sebab, identifikasi tidak mungkin dilakukan di suatu negara, maka sampel atau isolat virus dapat dikirim ke Laboratorium Referensi Internasional untuk mendapatkan diagnosis atau untuk mengidentifikasi virus PMK. Dalam pengiriman itu, sampel harus dikemas dalam kontainer yang ditutup rapat dan terjamin tidak akan bocor, kemudian disimpan dalam keadaan beku. Sebelum pengiriman, harus diadakan kontak terlebih dahulu dengan fihak laboratorium, sehingga diketahui persyaratan administrasi yang diperlukan untuk pengiriman sampel tersebut. b. serologi Uji serologi dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus PMK. Untuk daerah endemik yang menerapkan program vaksinasi, penggunaan uji serologi untuk diagnosis tidak dapat dilakukan karena uji ini tidak dapat membedakan antibodi karena infeksi alam atau karena vaksinasi. Oleh sebab itu untuk daerah endemik uji serologi bermanfaat untuk monitoring hasil vaksinasi. Untuk daerah bebas, uji serologi dapat digunakan sebagai alat diagnosis. Jika hewan (sapi, babi, domba, kambing atau kerbau) memperlihatkan adanya lepuh-lepuh (vesikel) disekitar rongga mulut, kemudian hasil uji serologinya memperlihatkan adanya titer antibodi terhadap PMK, maka sudah cukup untuk memberikan diagnosis PMK. Untuk hasil yang lebih sensitif harus menggunakan ELISA. Standar uji serologi yang digunakan dalam perdagangan internasional untuk PMK ada dua macam yakni ELISA (deteksi antibodi) dan Serum Netralisasi (SN) namun uji SN tidak boleh dilakukan di dearah bebas kecuali di BSL III yang telah diapprove oleh OIE/FAO. c. elisa Uji ELISA (deteksi antibodi) yang digunakan untuk uji serologi dalam hubungannya dengan perdagangan internasional adalah: Liquid-phase blocking ELISA. Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit yang dapat diperoleh dari Laboratorium Referensi Internasional untuk PMK yakni: Institute for Animal Health, Pirbright Laboratory, Pirbright, Woking, Surrey GU24 ONF, United Kingdom (UK). Dalam Kit tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan interpretasi dari hasil pembacaannya. d. serum netralisasi Serum netralisasi yang dianjurkan dalam hubungannya dengan perdagangan internasional adalah dengan menggunakan biakan jaringan BHK-21 atau IB-RS-2, pig kidney atau lamb kidney cells. Uji ini dilakukan dalam “flat-bottomed tissue culture grade microtitre plates”. Prosedur kerjanya sebagai berikut: Membuat pengenceran serum yang sudah diinaktifkan pada 56 °C selama 30 menit/water bath secara duplo lipat dua yang dimulai dari 9 enceran ¼, dimana setiap lubang memiliki volume 50µl. Larutan pengencer serum : medium kultur sel. Kepada setiap lubang enceran dalam plat ditambahkan larutan virus sebanyak 50 µl yang mengandung titer 100 TCID 50 . Dalam uji tersebut disertakan kontrol serum positif yang diketahui titernya, serum negatif, kontrol medium dan titrasi virus (back titration). Plat diinkubasikan dalam 37°C selama 1 jam. Kepada setiap lubang plat, kemudian ditambahkan 50µl suspensi sel yang mengandung 106 sel/ml. kemudian plat ditutup rapat dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 2-3 hari. Atau di tutup longar dan diinkubasikan selama 2-3 hari pada suhu 37°C dalam inkubator CO 2 yang mengeluarkan CO 2 dengan konsentrasi 3-5%. Hasil uji kemudian dibaca dibawah mikroskop dengan melihat adanya CPE pada biakan jaringan yang terdapat dalam setiap lubang plat. Interpretasi hasil pembacaan: Serum dengan titer 1/11 atau lebih kecil adalah negatif Serum dengan titer 1/45 atau lebih besar adalah positif Serum dengan titer 1/16 – 1/32 adalah dubius dan perlu di uji ulang. e. biakan jaringan atau hewan percobaan Setelah sampai di laboratorium, sampel (jaringan epitel lepuh) dibuat menjadi suspensi dalam phosphate buffered saline pH 7,2-7,6 atau medium biakan jaringan yang mengandung antibiotik (2.000 IU penisilin dan 2.000 µg streptomisin per ml). Cara pembuatan suspensi epitel lepuh adalah sebagai berikut: Epitel digerus dalam mortar dingin dengan sedikit PBS dan pasir steril. Setelah epitel hancur, tuangkan cairan secara perlahan/hati-hati ke dalam tabung steril untuk di sentrifus 3000 RPM selama 10 – 15 menit pada refrigerated centrifuge. Supernatant di sentrifus 12.000 RPM selama 10 – 15 menit pada refrigerated centrifuge. Supernatant ditambah PBS yang mengandung antibiotic sampan menjadi 10% suspensi epitel (1 gr epitel menjadi 10 ml suspensi). Inkubasikan selama 30 menit di temperature ruang bila akan diinokulasikan ke kultur sel, suspensi tersebut harus disaring dengan filter berukuran pori-pori 0,45 µ lalu filtratnya disaring dengan filter 0,22 µ. Catatan: Bila suspensinya cairan lepuh, dapat langsung ke butir 3 Cairan buangan dari laboratorium ini harus ditampung dalam ember, lalu didesinfeksi dengan hypoklorit (bayclean) dan di autoclave sebelum dibuang ke septic tank. Tidak boleh ke perairan atau pembuangan umum/selokan/sungai. Suspensi tersebut kemudian diinokulasikan pada biakan jaringan. Biakan jaringan yang baik untuk maksud tersebut adalah biakan jaringan primer: “bovine thyroid cells”, “pig kidney cells”, “calf kidney cells” dan “lamb kidney cells”. Sedangkan biakan jaringan sel lestari (cell line) seperti: BHK-21 dan IBRS-2 dapat digunakan, meskipun “cell line” tersebut tidak terlalu sensitif untuk 10 mendeteksi virus dalam jumlah kecil. Bila biakan jaringan yang diinokulasi tersebut memperlihatkan adanya cytophatic effect (CPE), maka dapat dicurigai/diduga dalam biakan jaringan tersebut terdapat pertumbuhan virus. Jadi virus sudah berhasil diisolasi. Selanjutnya virus tersebut harus diidentifikasi dengan salah satu uji imunologik yaitu ELISA atau CFT. Untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dapat juga menggunakan uji biomolekuler (PCR). Jika biakan jaringan tidak tersedia, maka suspensi sampel dapat diinokulasikan secara intraperitoneal 0,05 ml/ekorkepada mecit umur 2-7 hari yang tidak disusui (setelah disuntik tidak dikembalikan ke induk). Mencit akan lumpuh dan memperlihatkan gejala kelainan syaraf lainnya bila pada mencit tersebut terdapat pertumbuhan virus. Biasanya diperlukan beberapa kali pasase sebelum virus PMK beradaptasi pada mencit. Mencit yang memperlihatkan gejala kelainan syaraf diambil otaknya dan atau urat daging dada untuk keperluan identifikasi dengan uji imunologik (ELISA atau CFT) atau PCR/RT-PCR. Bab III RINDERPEST 1. Pendahuluan Rinderpest adalah penyakit akut dan fatal pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae dan genus Morbillivirus. Virus rinderpest juga menginfeksi domba, kambing dan babi Asia, meskipun tidak selalu memperlihatkan gejala klinis. Diagnosis rinderpest pada ruminansia kecil (domba dan kambing) dapat dikelirukan dengan penyakit Peste des petits ruminants (PPR) untuk negara yang tidak bebas dari kedua penyakit tersebut, sebab disamping gejalanya hampir sama, secara serologi dengan uji agar gel imunodifusion (AGID) kedua penyakit tersebut saling memberikan reaksi silang. Oleh sebab itu konfirmasi oleh laboratorium referensi sangat diperlukan. 2. Diagnosis Diagnosis laboratorium terhadap rinderpest didasarkan pada deteksi antigen atau deteksi antibody dengan salah satu dari beberapa uji: agar gel imunodifusion (AGID), counter immunoelectrophoresis (CIEP), PCR kemudian dapat dilanjutkan dengan isolasi virus dari hewan tersangka. a. sampel ampel untuk isolasi virus rinderpest dapat berupa darah segar yang diambil secara aseptis dan ditaruh dalam tabung yang mengandung antikoagulan (heparin dengan konsentrasi akhir 10 IU/ml atau ethylene diamine tetra-acetic acid (EDTA) dengan konsentrasi akhir 0,5 mg/ml. Darah dengan antikoagulan tersebut harus dicampur secara merata dan kemudian dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin (dengan es) dan tidak boleh beku. 11 ila antikoagulan tidak tersedia atau hewan telah mati, maka sampel yang diambil berupa limpa atau kelenjar limfe (prescapular dan mesenteric lymph nodes). Sampel ini dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin (suhu dibawah 0°C). b. identifikasi virus ji agar gel imunodifusion (AGID) atau counter immunoelectrophoresis (CIEP) digunakan untuk identifikasi virus rinderpest dengan serum kebal anti virus rinderpest standar. Dalam kesempatan ini cukup diuraikan uji AGID karena memang uji ini banyak digunakan. ji AGID dapat dilakukan di atas gelas objek mikroskop (glass microscope slides). Gelas objek mikroskop dilapisi dengan 1% agarose setebal 4mm. Kemudian pada agar tersebut dibuat 7 lubang dengan diameter 3 mm. Satu lubang terdapat di tengah dan dikelilingi oleh 6 lubang lainnya dengan jarak dari lubang satu ke lubang lainnya 2 mm. ubang tengah diisi dengan serum kebal anti rinderpest, lubang No.1, No.3 dan No.5 diisi dengan kontrol antigen positif, lubang No.4 diisi dengan kontrol antigen negatif dan antigen yang diuji ditaruh dalam lubang No.2 dan No.6. Setelah itu agar ditaruh dalam suhu 4°C. Gambar 2. Pola sumuran pada uji AGID Bila dalam agar tersebut terdapat garis presipitasi antara serum kebal (lubang tengah) dengan lubang No.2 dan No.6 yang bersambung dengan garis presipitasi dari kontrol antigen positif (No.1, 3 dan5) dan tidak terjadi garis presipitasi pada kontrol antigen negatif (No.4), maka hasilnya dinyatakan positif virus Rinderpest. Untuk daerah atau negara yang tidak bebas penyakit Peste des petits ruminants (PPR), isolat virus yang telah dinyatakan positif rinderpest berdasarkan hasil identifikasi dengan uji AGID tersebut perlu dilakukan pengujian lagi dengan ELISA yang menggunakan monoklonal antibodi spesifik untuk virus rinderpest atau uji Polymerase chain reaction (PCR) dengan primer spesifik untuk virus rinderpest. Pengujian ini harus dilakukan agar dapat kepastian bahwa virus yang diisolasi tersebut benar-benar virus rinderpest dan bukannya virus PPR, karena antara virus rinderpest dan virus PPR memiliki reaksi silang dalam uji AGID. Alternatif lain adalah mengirimkan isolat untuk peneguhan diagnosis ke laboratorium referensi untuk Rinderpest yang ditujuk oleh OEI, yaitu Institute for Animal Health, Pirbright Laboratory, Ash Road, Pirbright, Woking, Surrey GU24 ONF, United Kingdom (UK). c. serologi Uji serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk digunakan dalam hubungannya dengan perdagangan internasional adalah Kompetitif ELISA dan Serum Netralisasi. 1. kompetitif elisa 12 Kit untuk uji kompetitif ELISA ini tersedia di Laboratorium Referensi Internasional untuk Rinderpest. Kompetitif ELISA ini didasarkan pada kemampuan serum positif (mengandung antibodi terhadap virus rinderpest) untuk berkompetisi dengan antibodi monoklonal anti-H protein virus rinderpest dalam reaksi imunologik terhadap antigen rinderpest. Dalam kit tersebut telah tersedia semua reagensia yang diperlukan dan prosedur kerjanya, termasuk interpretasi hasil pembacaannya. 2. serum netralisasi Uji serum netralisasi untuk Rinderpest dilakukan pada biakan jaringan “Calf kidney” atau biakan sel VERO yang ditumbuhkan dalam mikroplate atau jika memungkinkan menggunakan tabung berputar (Roller-tube culture). Serum yang telah diinaktifkan 56°C 30 menit diencerkan dengan kelipatan 2 atau 1/10 dalam medium biakan sel yang mengandung antibiotik. Tiap enceran kemudian dicampur dengan suspensi virus Rinderpest standar sebagai antigen (dengan kandungan virus 103 TCID 50 per ml) pada volume sama banyak dan disimpan semalam pada suhu 4°C (refregirator). Setiap enceran (campuran virus-serum tersebut) digunakan untuk menginokulasi 5 tabung biakan sel dengan volume inokulum sebanyak 0,2 ml dan dengan segera ditambahkan 1 ml biakan sel dengan konsentrasi 2 x 105 sel per ml yang disuspensikan dalam medium penumbuh biakan sel. Tabung-tabung tersebut kemudian diinkubasikan dengan sistem roller pada suhu 37°C selama 3 hari. Pengamatan di bawah mikroskop dilakukan setiap hari selama 10 hari sampan kontrol negatif sudah terbentuk CPE. Serum yang memperlihatkan adanya antibodi (tidak ada CPE) pada campuran antara enceran serum-virus pada konsentrasi awal ½ dinyatakan positif. Pengenceran serum (1/2) terakhir yang menunjukkan hasil positif (tidak ada CPE) merupakan titer serum yang diuji. d. inokulasi biakan jaringan ampel darah yang tidak beku disentrifugasi dengan kecepatan 2.500 g selama 15 menit untuk mendapatkan lapisan “buffy coat” (kumpulan leukosit) yang terdapat pada perbatasan antara plasma dan sel-sel darah merah. Lapisan buffy coat tersebut kemudian diambil sebersih mungkin, lalu di larutkan dalam 20 ml larutan garam fisiologis dan disentrifugasi seperti di atas. Supernatannya dibuang dan pelletnya dipanen dan dilarutkan dalam medium biakan jaringan sebagai inokulum. ebanyak 2 ml inokulum diinokulasikan ke dalam biakan sel monolayer (B95a “Marmoset lymphoblastoid cells”, “VERO cells” atau biakan sel primer “calf kidney cells”). Biakan jaringan tersebut berada dalam tabung yang ditaruh dalam inkubator yang memiliki sistem putar (roller). Media penumbuh biakan jaringan tersebut sebaiknya diganti secara periodik. Pengamatan dengan mikroskop untuk melihat adanya cytophatic effect (CPE) juga dilakukan secara periodik. Jika dalam biakan jaringan itu muncul adanya CPE, maka dalam biakan jaringan tersebut diasumsikan terjadi pertumbuhan virus (virus berhasil diisolasi). Selanjutnya dilakukan identifikasi. ntuk sampel yang berupa limpa atau kelenjar limfe dibuat suspensi 20%(w/v) dalam phosphate buffered saline (PBS) yang mengandung antibiotik: 2.000 IU penisilin dan 2.000 µg streptomisin per ml sebagai inokulum. Cara pembuatan suspensi sama dengan pembuatan suspensi epitel lepuh untuk uji PMK. Selanjutnya 13 inokulum tersebut digunakan untuk menginokulasi biakan jaringan seperti di atas. Bab IV BLUETONGUE 1. Pendahuluan Bluetongue adalah penyakit infeksius, tapi tidak kontagius, umumnya menyerang domba, namun juga dapat menyerang hewan ruminansia lain dengan gejala klinis yang tidak separah pada domba. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam genus Orbivirus dari famili Reoviridae. Virus Blutongue ditularkan dari hewan sakit ke hewan sehat melalui vektor serangga, terutama dari genus Culicoides. Karena virus tersebut dapat mengadakan replikasi dalam tubuh serangga, maka serangga tergolong vektor biologi untuk virus Bluetongue. Kelompok virus-virus yang dapat disebarluaskan melalui vektor biologi serangga, seperti virus Bluetongue, dinamakan ARBOVIRUS (Arthropod Borne Virus). Frekuensi virus Bluetongue menginfeksi sapi sebenarnya lebih tinggi dari pada domba, namun pada sapi Bluetongue tidak menimbulkan gejala klinis. Virus Bluetongue dari sapi dapat ditularkan ke pada domba melalui serangga dan menimbulkan sakit dan kematian tinggi pada domba yang peka. Dengan demikian sapi dapat berperan sebagai reservoir virus Bluetongue bagi domba. Berdasarkan uji serum netralisasi, virus Bluetongue diketahui memiliki banyak serotipe dan sampai saat ini telah dikenal sebanyak 24 serotipe virus Bluetongue. Walaupun semua virus Bluetongue memiliki antigen bersama (common antigen) yang dapat diekploitasi dengan uji AGP, namun kekebalan silang diantara serotipe-serotipe virus Bluetongue sangat rendah atau hampir tidak ada. 2. Diagnosis Diagnosis laboratorium untuk Bluetongue didasarkan pada isolasi dan identifikasi virus. Identifikasi dapat dilakukan dengan mendeteksi serogroup dari virus dengan uji immunofluorescence, ELISA-deteksi antigen dan indirect peroxidaseantiperoxidase identification. Kemudian penentuan serotipe dilakukan dengan uji serum netralisasi. a. sampel Sampel untuk isolasi virus Bluetongue dapat berupa: (1) darah yang dikoleksi dengan antikoagulan, (2) limpa dan (3) kelenjar limfe (lymph nodes). Sampel darah diambil secara aseptis dari hewan yang sedang menderita demam dan ditampung dalam tabung yang diberi antikoagulan (heparin 10 IU/ml atau ethylene diamine tetra-acetic acid (EDTA) 0,5 mg/ml). Darah tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2.500 g selama 15 menit. Plasmanya dibuang dan sel-sel darahnya dicuci sebanyak tiga kali dengan larutan PBS steril. Sel-sel darah diencerkan dalam 10 ml larutan PBS yang steril, kemudian disentrifugasi lagi seperti di atas dan seterusnya sampai tiga kali. Setelah pencucian sel-sel darah diresuspensi dengan larutan PBS steril secukupnya dan disimpan pada 4°C untuk waktu yang tidak terlalu lama sebelum digunakan untuk inokulasi. 14 Jika, karena sesuatu sebab, inokulasi belum dapat dilakukan dalam waktu singkat, yang berarti darah tersebut harus disimpan dalam waktu lama, maka penyimpanan harus dilakukan pada suhu –70°C atau lebih rendah lagi (misalnya dalam liquid N 2 ). Virus Bloutongue tidak stabil dalam penyimpanan pada suhu -20°C. Sampel limpa atau lymph nodes diambil dari hewan yang sakit atau baru mati pada kasus infeksi yang fatal. Organ-organ tersebut dikirim dalam keadaan dingin (suhu 4°C) ke Laboratorium. Setelah sampai di Laboratorium organ-organ tersebut dibuat suspensi 20% dalam larutan PBS steril yang mengandung antibiotik sebagai inokulum (lihat cara pembuatan suspensi epitel pada PMK). b. identifikasi virus Untuk identifikasi serogroup virus Bluetongue dapat dilakukan dengan (1) uji Immunofluoresence, (2) ELISA-deteksi antigen, (3) indirect peroxidase antiperoxidase inentification dan uji AGID. Sedangkan untuk penentuan serotipe virus Bluetongue dilakukan dengan uji serum netralisasi. Identifikasi serogroup virus Bluetongue dengan menggunakan poliklonal antibodi dengan uji immunofluoresence, dapat dikelirukan dengan virus enzootic haemorrhagic diseasis of deer (EDH) karena kedua virus tersebut dapat memiliki reaksi silang yang ditunjukkan oleh reaksi immunofluoresence yang lemah. Oleh sebab itu beberapa laboratorium referensi internasional untuk Bluetongue telah menghasilkan monoklonal antibodi yang spesifik untuk serogroup virus Bluetongue. 1) Uji immunofluoresence: Biakan jaringan BHK atau Bovine Fetal Kidney Cells yang telah tumbuh membentuk satu lapisan sel penuh (monolayer) pada glas penutup mikroskop (cover slips) diinfeksi dengan isolat virus dan sebagian lagi dengan virus Bluetonge yang telah adapted pada biakan jaringan sebagai kontrol. Setelah CPE terlihat, biakan jaringan tersebut kemudian difiksasi dengan paraformaldehid, aseton atau metanol. Setelah itu biakan jaringan dikeringkan dan virus dideteksi dengan pewarnaan fluoresence. 2) Uji ELISA-antigen: Uji ELISA antigen (antigen capture ELISA) kini lebih banyak digunakan dalam identifikasi serogroup virus Bluetonge, terutama uji ELISA yang menggunakan monoklonal antibodi spesifik terhadap serogroup virus Bluetongue. Untuk uji ini telah disediakan kit ELISA deteksi antigen dari Laboratorium Referensi Internasional untuk Bluetongue. Dalam Kit tersebut sudah tercantum prosedur kerjanya dan interpretasi pembacaan hasilnya. 3. Penentuan Serotipe Virus (Serotyping) Untuk menentukan serotipe virus Bluetongue yang telah diisolasi, dilakukan uji netralisasi dengan antisera terhadap ke 24 serotipe virus Bluetongue standar yang sudah diketahui, dengan prosedur yang dapat diringkas sebagai berikut: Sebanyak 50 µl larutan virus yang akan ditentukan serotipenya dan virus standar yang masing-masing mengandung titer 100 TCID 50 dicampur dengan serum standar yang telah diencerkan dengan medium biakan sel pada volume yang sama dalam lubanglubang plat mikrotiter. Sebanyak 100 µl larutan sel (BHK atau Aedes albopictus cells) yang mengandung 104 sel ditambahkan ke dalam setiap lubang pada plat mikrotiter. Setelah diinkubasikan selama 2-6 hari, uji tersebut dibaca di 15 bawah mikroskop inverted untuk mengamati adanya CPE. Kontrol negatif (lubang yang hanya mengandung biakan sel dan lubang yang berisi biakan sel dan antisera) harus tidak memperlihatkan adanya CPE. Sedangkan kontrol positif (lubang yang mengandung biakan sel dan virus) harus memperlihatkan adanya CPE. Isolat virus dinyatakan identik dengan standar virus Bluetongue serotipe tertentu jika virus tersebut memperlihatkan derajad netralisasi yang serupa. 4. serologi Standar uji serologi untuk Bluetonge dalam hubungannya dengan perdagangan internasional adalah AGID dan ELISA. Namun karena uji AGID memiliki kelemahan yaitu terdapat reaksi silang dengan virus serogroup EHD, maka laboratorium referensi untuk Bluetongue mengembangkan uji Kompetitif-ELISA dengan menggunakan monoklonal antobodi yang spesifik hanya terhadap serogroup virus Bluetongue, sehingga tidak memiliki reaksi silang dengan serogroup virus EHD. Metode kompetitif ELISA ini telah distandardisasi dengan melibatkan berbagai laboratorium kesehatan hewan internasional. Untuk melakukan uji tersebut, kini telah tersedia berbagai reagensia standar atau ELISA-kit yang dapat diperoleh dari Laboratorium Referensi Internasional untuk Bluetongue. Beberapa produsen bahan biologik di luar negeri juga telah memasarkan ELISA-kit untuk serologi Bluetongue secara komersial. Dalam kit tersebut telah tercantum secara terperinci mengenai prosedur kerja dan interpretasi hasilnya. Laboratotium Referensi Internasional untuk Bluetongue yang ditunjuk oleh OIE antara lain adalah: 1) Institute for Animal Health, Pirbright Laboratory, Surrey GU24 ONF, United Kingdom (UK). Ash Road, Pirbright, Woking, 2) CSIRO, Australian Animal Health Laboratory, Division of Animal Health, Institute of Animal Production and Processing, Ryrie Street, P.O. Bag 24, Geelong, Victoria 3226, AUSTRALIA. 5. Inokulasi biakan jaringan, telur berembrio atau hospes yang lain a. Inokulasi pada telur ayam berembrio: Untuk inokulasi pada telur ayam berembrio, inokulum berupa suspensi sel-sel darah yang telah dipersiapkan disonikasi terlebih dahulu. Kemudian sebanyak 0,1ml inokulum disuntikkan secara intravenus pada embrio ayam umur 10-12 hari. Satu inokulum disuntikkan pada sedikitnya 5 butir telur. Telur-telur yang telah diinokulasi kemudian diinkubasikan pada suhu 33,5°C dan diperiksa (candling) setiap hari. Telur yang mati dalam 24 jam setelah penyuntikan dibuang, karena sebab kematiannya nonspesifik. Telur yang mati dalam waktu 2-7 hari setelah penyuntikan disimpan dalam refrigerator (suhu 4°C). Sedangkan telur-telur yang masih hidup setelah 7 hari dari penyuntikan dimatikan dengan pendinginan 4°C selama satu malam. Telur-telur tadi kemudian dibuka. Jika ditemukan adanya hemoragis pada embrio, maka dalam embrio tersebut kemungkinan terjadi pertumbuhan virus. Kepala embrio ayam dipotong dan badannya digerus sampai halus (homogen). Setelah itu homogienat disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 20menit. Cariannya diambil dan endapannya yang berisi jaringan dan sel-sel debris dibuang. Cairan tersebut merupakan isolat virus yang siap diidentifikasi dengan uji imunologi (ELISA). b. Inokulasi biakan jaringan: 16 Isolasi virus Bluetongue dari darah secara langsung ke biakan jaringan tidaklah efisien, karena sebenarnya virus Bluetonge yang berada dalam darah hewan terserang pada saat viremia hanya sedikit, sehingga peluang keberhasilannya rendah. Penggunaan biakan sel akan lebih baik (sensitif) terhadap virus Bluetongue yang telah mengalami satu atau dua pasase pada telur ayam berembrio. Biakan jaringan yang sering digunakan untuk isolasi atau menumbuhkan virus Bluetongue adalah BHK-21, VERO, mouse L cells dan Aedes albopictus cells. 6. Isolasi pada hospes lainya Isolasi virus Bloutonge, selain pada telur ayam berembrio dan biakan jaringan, juga dapat dilakukan pada anak mecit yang baru dilahirkan. Efisiensi cara ini juga lebih rendah dibandingkan dengan isolasi pada telur ayam berembrio. Isolasi virus Bluetongue pada domba (harus domba SPF/specific pathogen free yang diseleksi dengan ELISA dan negatif antibodi) masih cukup berguna, terutama jika titer virus pada inokulum yang dipersiapkan dari darah sangat rendah. Domba dapat diinokulasi dengan 500 ml lauran darah atau 50 ml suspensi jaringan inokulum. Dengan demikian meskipun titer dalam darah itu rendah, namun karena volumenya cukup besar, maka terjadinya infeksi terhadap domba memiliki peluang yang besar. Domba diamati selama 28 hari dan titer antibodinya terhadap virus Bluetonge dapat diukur dengan uji AGID. Bab V NEWCASTLE DISEASE 1. Pendahuluan Newcastle disease (ND) adalah penyakit pernafasan ayam yang disebabkan oleh virus. Virus penyebab ND termasuk dalam famili Paramyxoviridae dari genus Paramyxovirus. Paramyxovirus yang menyerang unggas, kini diketahui memiliki 9 subtipe yang diberinama PMV-1 sampai PMV-9. Virus Newcastle disease adalah PMV-1. Berdasarkan keganasannya (patogenitasnya), virus ND kini dikelompokkan menjadi lima patotipe (strain) yakni: (1) Velogenik viserotropik, (2) Velogenik neurotropik, (3) Mesogenik, (4) Lentogenik dan (5) Asimtomatik enterik. 2. Diagnosis a. sampel Bahan pemeriksaan untuk virus ND dapat berupa : - Ayam sakit yang masih hidup - Ayam mati (bangkai) yang tidak lebih dari 1 jam - Potongan organ tubuh: Trakea dan paru-paru, Usus dan sekal-tonsil, Proventikulus, dan Otak/kepala b. cara pengiriman : Ayam hidup atau bangkai dikirim tanpa bahan pengawet. Bangkai harus dikirim segera setelah mati. Jumlah ayam yang dikirim sedikitnya 5 ekor. Potongan organ tubuh dikirim dalam transport media (Medium biakan jaringan yang mengandung antibiotik 2.000 IU penisilin dan 2.000 µg streptomisin/ ml) dengan botol atau tabung yang bermulut besar dalam pendinginan (memakai es). 17 c. cara pembuatan inokolum : 1. Ayam hidup dipotong terlebih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan bedah bangkai, potongan organ tubuh (trakhea dan paru-paru, usus dan sekal - tonsil serta otak) diambil secara aseptis. 2. Potongan organ tubuh yang dikirim dalam transpor media, dikeluarkan kemudian dicuci dengan Phosphat Buffered Saline (PBS) paling sedikit 3 X. 3. Organ tubuh tersebut kemudian dipotong-potong kecil, lalu digiling atau ditumbuk dengan mortar dingin sampai halus, kemudian disuspensikan dalam PBS (pH 7,2) yang mengandung antibiotik sebanyak 1000 - 2000 IU penicilin dan 1000-2000 µg streptomisin per ml atau antibiotik lain yang setara, sehingga diperoleh konsentrasi suspensi sebesar 20%. 4. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi selama 15 - 30 menit (refrigerated centrifuge) dengan kecepatan 1500 - 3000 RPM. Supernatan diambil dan digunakan sebagai inokulum. 5. Inokolum diuji sterilitasnya dengan agar growth (media agar penumbuh). Tetapi bila karena sesuatu hal inokulasi belum dapat dilaksanakan, maka inokulum tersebut harus disimpan pada 4°C untuk jangka waktu singkat (tak lebih dari satu minggu) atau pada -70°C untuk jangka waktu lama. 3. Isolasi virus pada telor ayam berembrio : Untuk Isolasi virus idealnya menggunakan telur SPF atau yang negatif antibodi terhadap ND, tetapi telur ayam non SPF masih dapat digunakan bila penyuntikan dilakukan pada umur kurang dari 12 hari. Prosedur inokulasi pada telur ayam bertunas (TAB) pada bagian Allantoic Cavity (AC) adalah sebagai berikut : a. Sediakan telur ayam berembrio yang berumur 9 - 11 hari. Telur-telur tersebut diperiksa embrionya dengan lampu candling dan diberi tanda tempat penyuntikan. Tempat penyuntikan dipilih sejauh mungkin dari embrio dan pembuluh darah. b. Daerah di sekitar tempat penyuntikan didesinfeksi dengan alkohol 70% dan atau dengan larutan 10% yodium. c. Tempat penyuntikan pada rongga udara dilubangi dengan jarum penusuk. Inokolum disuntikan sebanyak 0,1 - 0,2 ml per telur melalui lubang yang telah dibuat ke dalam kantong alantoik (allantoic cavity). Setiap inokolum paling sedikitnya disuntikkan kepada 3 telur ayam berembrio. d. Lubang tempat penyuntikan ditutup dengan lilin atau malam (wax) atau parafin. Telur-telur kemudian ditaruh dalam inkubator bersuhu 37 °C. e. Setiap hari telur diteropong (candling) dan telur yang mati sebelum 24 jam dari inokulasi dibuang. Telur yang mati setelah 24 jam dari saat inokulasi dibuka dan cairan alantoiknya diuji dengan uji hemaglutinasi (HA). f. Telur yang tidak mati selama 4 hari dari inokulasi, dibunuh dengan cara memasukkan pada suhu 4 °C selama semalam. Kemudian dibuka dan cairan alantoiknya di uji dengan uji HA. g. Bila dalam uji HA diamati adanya penggumpalan butir darah merah (BDM), maka hal itu merupakan petunjuk bahwa dalam telur tersebut terjadi pertumbuhan virus. Ini berarti virus yang mempunyai daya hemaglutinasi dapat diisolasi. Selanjutnya terhadap isolat ini dilakukan identifikasi. 4. Identifikasi Isolat : 18 Isolat-isolat yang telah diperoleh harus diidentifikasi dengan serum positif terhadap ND standar dengan menggunakan uji hemaglutinasi (HA) dan uji hemaglutinasi inhibisi (HI) sebagai berikut: Uji hemaglutinasi (HA) cepat a. cairan virus yang akan diuji diteteskan pada gelas preparat dan selanjutnya setetes suspensi BDM 5 % diteteskan disebelahnya. b. kedua tetes cairan tersebut diaduk dengan tusuk gigi. Pembacaan dilakukan dalam waktu 15 detik.. c. bila dalam campuran itu terjadi penggumpalan BDM (hemaglutinasi), uji HA cepat dinyatakan positif. Berarti dalam cairan yang diuji terdapat virus yang mempunyai daya hemaglutinasi. Kontrol negatip (Cairan BDM 5 % ditambah dengan NaCl) dan kontrol positip (mengandung cairan virus yang sudah diketahui ditambah BDM 5 %) digunakan sebagai pembanding. Uji HA dalam mikrotiter: a. pada lubang plat mikrotiter diisikan 25 µl PBS (pH 7,2) atau larutan garam fisiologis (0,85% NaCl dalam aquades) dimulai dari lubang pertama sampai ke 12. b. pada lubang pertama ditambahkan suspensi virus yang akan diuji sebanyak 25 µl dan diaduk dengan mikrotiter pipet dengan menghisap dan menekannya secara perlahan-lahan sebanyak 10 kali. Kemudian dipindahkan pada lubang No 2 dan diaduk seperti di atas yang akhirnya dipindahkan ke No 3, demikian seterusnya sampai lubang terakhir. Sehingga diperoleh pengenceran virus kelipatan dua (log 2). c. pada setiap pengenceran ditambahkan 25 µl suspensi BDM 1%, kemudian Plat digoyang dengan alat penggoyang elektrik (shaker) atau secara manual digoyang dengan tangan selama 1 menit, lalu didiamkan. d. hasil dibaca bila pada kontrol negatif (lubang tanpa virus) BDM nya telah mengendap dan kontrol positif (lubang yang berisi suspensi virus ND yang diketahui) telah menunjukan aktivitas hemaglutinasi sempurna. Biasanya dalam waktu 15 - 30 menit setelah didiamkan. e. titer HA adalah : pengenceran tertinggi yang masih terjadi hemaglutinasi sempurna. Titer HA biasanya dinyatakan dalam log 2. f. cairan virus yang memiliki titer HA > 2 (log 2) per 25 µl dinyatakan positif HA. 7. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI) a. uji HI Cepat : untuk identifikasi virus: (1) Suspensi virus yang akan diuji diteteskan pada gelas preparat dan selanjutnya setetes serum ND standar diteteskan disebelahnya. (2) Kedua tetes cairan tersebut diaduk dengan tusuk gigi. Kemudian diteteskan 2 tetes BDM 5 % , dan diaduk hingga merata. (3) Bila dalam campuran itu tidak terjadi penggumpalan BDM (tidak ada hemaglutinasi), uji HI cepat dinyatakan positif, berarti virus yang diuji adalah virus ND. Kontrol BDM (cairan BDM 5 % ditambah dengan NaCl) dan kontrol antigen (mengandung cairan virus yang sudah diketahui ditambah BDM 5 %), dan kontrol serum (setetes serum ditambah BDM 5 %) dan kontrol positif (serum positif ND standar ditambah antigen yang diketahui dan BDM 5 %) disertakan sebagai pembanding. b. uji HI dengan mikrotiter untuk identifikasi virus: 19 (1) Lubang pertama sampai lubang yang ke 12 dari semua lubang Plat mikrotiter diisi dengan 25µl PBS (pH 7,2) atau larutan garam fisiologis. (2) Pada lubang pertama kemudian ditambahkan 25 µl serum positif ND standar (yang memiliki titer serendah-rendahnya 25) dengan menggunakan multi channel pipet setelah itu diaduk sebanyak 10 kali, kemudian dipindahkan ke lubang 2 dan diaduk 10 kali lalu dipindahkan ke lubang 3. Demikian seterusnya sampai lubang yang terakhir dan sisanya dibuang . Dengan cara itu diperoleh pengenceran serum lipat dua (log 2). (3) Cairan virus yang akan diuji diencerkan dengan PBS (pH 7,2) sehingga diperoleh titer HA = 4 per 25 µl. Tambahkan 25 µl antigen yang mengandung 4 HA tersebut kedalam setiap lubang pengenceran serum dan di kocok dengan mixer selama 1 menit, lalu didiamkan selama 2030 menit. (4) Kedalam setiap lubang yang telah terisi campuran serum-virus tersebut kemudian ditambahkan 25 µl suspensi BDM 1%, kemudian Plat digoyang lagi dan didiamkan untuk selanjutnya dibaca hasilnya. (5) Pembacaan dilaksanakan bila BDM dalam lubang kontrol positif (Menggunakan antigen ND yang telah diketahui) atau lubang kontrol yang berisi PBS dan BDM saja, telah mengendap. Biasanya dalam waktu 15 - 30 menit. (6) Titer HI : Pengenceran serum tertinggi yang masih menghambat hemaglutinasi dengan sempurna. Titer dinyatakan dalam Log 2. (7) Bila serum ND standar yang diuji dengan antigen yang diidentifikasi memiliki titer HI > 4 ( Log 2), Uji HI dinyatakan positif. Cairan virus (Isolat) yang diuji mengandung virus yang identik dengan serum ND standar. Maka isolat dinyatakan virus ND. 8. Penentuan galur virus ND : Berdasarkan patogenesis (virulensi) -nya, virus ND dikelompokkan ke dalam beberapa galur yakni: galur velogenik (velogenik viserotropik dan velogenik neurotropik), galur mesogenik, galur lentogenik dan asymtomatik enterik. Ada tiga uji patogenetis standar secara internasional yang digunakan dalam penentuan galur virus ND. Uji-uji tersebut adalah: • Uji "mean dead time of the minimum lethal dose (MDT/MLD)" • Uji "intracerebral pathogenicity index (ICPI)" • Uji "intravenous pathogenicity index ( IVPI)" Interpretasi hasil pengujian: Galur Virus Hasil pengujian MDT/MLT (jam) ICPI IVPI VELOGENETIK < 60 1,5 - 2 1-3 MESOGENETIK 60 - 90 1 - 1,5 0-1 LENTOGENETIK > 90 < 0,5 0 9. UJI MEAN DEAD TIME OF MINIMUM LETHAL DOSE (MDT/MLD) : 1. Buatlah pengenceran virus ND dalam PBS yang mengandung antibiotik dari pengenceran 10-1 sampai 10-10. Dari pengenceran itu kemudian diambil lima 20 pengenceran tertinggi (pengenceran 10-6 sampai 10-10) untuk digunakan dalam uji ini. 2. Setiap pengenceran disuntikkan ke dalam 5 butir telur ayam berembrio umur 9 - 10 hari dengan dosis 0,1 ml per butir telur. Penyuntikan dilakukan pada pagi hari (catat waktunya dan telur diinkubasikan pada 37ºC. Sisa enceran virus disimpan pada 4ºC untuk dipakai lagi. 3. Pada sore hari (Catat waktunya) penyuntikan seperti pada tahap No.2. 4. Amati telur - telur tersebut sehari dua kali pada pagi dan sore hari selama 4 hari dan catat waktu kematian setiap embrio, lakukan uji HA cepat pada setiap telur untuk memastikan bahwa kematian memang disebabkan oleh pertumbuhan virus ND. 5. Definisi : a. Minimum Lethal Dose (MLT): Pengenceran tertinggi yang menyebabkan semua embrio mati dalam 4 hari. b. Mean Dead Time (MDT): Rata-rata waktu (dalam jam) kematian lima embrio yang memperoleh lethal dosis. Rumus Perhitungan Hasil MDT/MLD : T n X n jam + Tm X m jam +..........dst MDT/MLD = ---------------------------------------------------------Jumlah telur yang mati pada MLT Tn : Jumlah telur yang mati dalam n jam Tm : Jumlah telur yang mati dalam m jam Jumlah telur yang mati dalam setiap pengenceran pada MLT adalah 10 butir (5 mati untuk kelompok pagi dan 5 mati untuk kelompok sore hari). Contoh perhitungan : Kelompok PAGI SORE Enceran (log 10) Virus Waktu pengamatan inokulasi (dalam jam) setelah 2 4 3 2 4 0 4 8 5 6 6 4 7 2 8 0 8 8 9 6 104 M/T -10 0 0 - 0 0 - 0 0 - 0 0 0/5 -9 0 0 - 0 0 - 3 0 - 1 0 4/5 -8 0 0 - 0 0 - 4 1 - - - 5/5 -7 0 0 - 0 0 - 5 - - - - 5/5 -6 0 0 - 5 - - - - - - - 5/5 -10 0 - 0 0 - 0 0 - 0 0 - 0/5 -9 0 - 0 0 - 0 1 - 2 0 - 3/5 -8 0 - 0 0 - 2 3 - - - - 5/5 -7 0 - 0 0 - 3 2 - - - - 5/5 -6 0 - 5 - - - - - - - - 5/5 21 MLD : Pengenceran tertinggi yang membunuh semua (lima) telur adalah pengenceran 10-8. MDT pada pengenceran 10-8 adalah : 2 X 64 + 7 X72 + 1 X 80 ------------------------------------ = 71,2 10 MDT/MLT = 71,2 10. Uji Intracerebral Pathogenicity Index (ICPI) : 1. Bahan yang dipakai adalah 10 ekor anak ayam umur satu hari, lebih dari 24 jam tetapi kurang dari 40 jam . Dipelihara dalam kandang isolasi, diberi lampu penghangat, makan dan minum ad libitum. sebaiknya ayam SPF dengan negatif antibodi terhadap ND. 2. Setiap ekor anak ayam tersebut disuntik dengan cairan alantois atau cairan biakan jaringan yang mengandung virus ND, diencerkan pada 10-1, steril dan mempunyai titer HAU > 4 (log2). Penyuntikkan dilakukan melalui otak dengan dosis 0,05 ml inokulum per ekor anak ayam dengan menggunakan jarum berukuran 26 G. 3. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 8 hari. setiap melakukan pengamatan, dilakukan pemberian nilai (skor) pada setiap anak ayam sebagai berikut : - Normal diberi skor : 0 - Sakit diberi skor :1 - Mati diberi skor :2 Definisi index : Rata-rata skor per ayam per pengamatan selama periode pengamatan 8 hari. Contoh perhitungan : Klinis Normal Sakit Mati Hari pengamatan setelah inokulasi Total skor 1 2 3 4 5 6 7 8 10 0 0 4 6 0 0 8 2 0 4 6 0 0 10 0 0 10 0 0 10 0 0 10 Total skor 14 x 0 = 0 18 x 1 = 18 48 x 2 = 98 = 114 ICPI = 114 : 80 = 1,43 Virus virulen akan memberi nilai indeks maksimum 2,0 sementara yang lentogenik hampir 0,0 11.Uji Intravenous Pathogenicity Index (IVPI): 1. Bahan yang dipakai adalah ayam umur 6 minggu sebanyak 10 ekor, berasal dari SPF yang mempunyai titer negatif terhadap antibodi ND. Dipelihara dalam kandang isolator dengan lampu penghangat, pemberian makan secara ad libitum . 2. Setiap ayam disuntik dengan 0,1 ml cairan virus yang akan di uji pada pengenceran 10-1 secara steril melalui vena sayap (intravena) dengan menggunakan spuit 1 ml dan ukuran jarum 26 G. 3. Pengamatan dilakukan setiap hari (interval 24 jam) selama 10 hari. dalam setiap pengamatan dilakukan pemberian nilai (skor) pada setiap ekor ayam sebagai berikut : • Normal diberi skor =0 22 • Sakit diberikan skor =1 • Paralisis =2 • Mati =3 Definisi : Index adalah rata-rata skor per ayam per pengamatan selama periode 10 hari. Klinis Normal Sakit Paralisis Mati Total skor Hari pengamatan setelah inokulasi 1 2 3 4 5 6 10 2 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 4 4 2 0 0 0 2 6 8 10 10 Total skor 7 0 0 0 10 8 0 0 0 10 9 0 0 0 10 10 0 0 0 10 12 x 0 = 0 4x1 = 4 10 x 2 = 20 76 x 3 = 228 = 252 Contoh perhitungan : IVPI = 252 : 10 = 2,52 Strain lentogenik dan mesogenik memiliki nilai IVPI 0, sedangkan strain velogenik dapat mencapai 3. 12. Serologi Uji serologi untuk mengukur titer antibodi terhadap ND digunakan uji HI sebagai berikut : 1. Lubang pertama sampai lubang yang ke 12 dari semua lubang Plat mikrotiter diisi dengan 25 µl PBS (pH 7,2) atau larutan garam fisiologis. 2. Pada lubang pertama kemudian ditambahkan 25 µl serum yang akan diuji dengan menggunakan multi chanel pipet setelah itu diaduk sebanyak 10 kali, kemudian dipindahkan ke lubang 2 dan diaduk 10 kali, lalu dipindahkan ke lubang 3. Demikian seterusnya sampai lubang yang terakhir dan sisanya dibuang . Dengan cara itu diperoleh pengenceran serum lipat dua (log 2). 3. Tambahkan 25 µl antigen yang mengandung 4 HA pada setiap pengenceran serum, kemudian plat digoyang dengan shaker selama 1 menit, lalu didiamkan selama 20-30 menit. 4. Kedalam setiap lubang yang telah terisi campuran serum-virus tersebut kemudian ditambahkan 50 µl suspensi BDM 1% kemudian plat digoyang lagi dan didiamkan untuk selanjutnya dibaca hasilnya. 5. Pembacaan dilaksanakan bila BDM dalam lubang kontrol positif (menggunakan serum ND standar yang telah diketahui titernya) dan lubang kontrol negatif yang berisi 50 µl PBS dan 50 µl BDM 1% telah mengendap, biasanya dalam waktu 15 - 30 menit. 6. Titer HI : Pengenceran serum tertinggi yang masih menghambat hemaglutinasi dengan sempurna. Titer dinyatakan dalam Log 2. 7. Titer antibodi ≥ 25 dinyatakan kebal. Bab VI AVIAN INFLUENZA 1. Pendahuluan 23 Berdasarkan antigen matrixnya, virus influenza dikelompokkan menjadi tiga serotipe yaitu serotipe A, B dan C. Semua virus influenza yang menyerang unggas (avian influenza) diketahui termasuk dalam serotipe A, sehingga disebut Influenza-A. Virus influenza-A selain menyerang unggas, juga diketahui menyerang babi dan manusia (zoonosis). Berdasarkan antigen hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N) virus InfluenzaA memiliki banyak subtipe. Dari antigen H kini diketahui ada 15 serotipe (H1 s/d H15) dan dari antigen N diketahui terdapat 9 serotipe (N1s/d N9). Setiap isolat virus Influenza-A subtipenya ditentukan berdasarkan kombinasi dari kedua subtipe H dan N, dengan demikian terdapat virus Influenza-A serotipe H4N4, H4N1, H5N1 dan seterusnya. Sampai saat ini diketahui bahwa semua penyakit avian influenza ganas (highly pathogenic avian influenza) atau Fowl Plaque disebabkan oleh virus InfluenzaA dari serotipe H5 atau H7. Misalnya penyakit flu burung dari Hongkong yang menghebohkan itu disebabkan oleh virus Influenza-A dari subtipe H5N1.Namun perlu diketahui bahwa tidak semua serotipe H5 atau H7 itu patogen. 2. Diagnosis Diagnosis laboratorium terhadap HPAI didasarkan pada deteksi antigen atau deteksi antibody dengan salah satu dari beberapa uji: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Complement Fixation Test (CFT) atau Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dapat dilanjutkan isolasi virus. 3. Identifikasi Virus a. spesimen Untuk Diagnosis 1) Spesimen yang berasal dari spesies unggas hidup • Swab kloaka • Swab nasopharing • Feses • Serum 2) Spesimen yang berasal dari telur : • Swab permukaan kerabang telur atau feses yang menempel ditelur 3) Spesimen yang berasal dari karkas, daging dan bahan olahan • Swab permukaan daging atau karkas atau ambil air bekas cucian/thawing Kerokan dari pembuluh darah (bagian dalam karkas ) 4) Spesimen yang berasal dari limbah peternakan • Sampel dicampur dengan media transport 5) Spesimen yang berasal dari bulu • Bulu dicelupkan dalam media transpor • Spesimen dalam bentuk vaksin inaktif (killed) b. cara pengambilan sampel Dapat diambil dari unggas hidup atau yang baru mati. Jika unggas mati, dan diduga disebabkan karena virus avian influenza highly pathogenic, sampel yang diambil adalah : otak, limpa, jantung, paru-paru, pancreas, hati dan ginjal yang diambil bersama dengan sampel dari saluran napas (trachea) dan saluran pencernaan yang dikoleksi dan diproses secara 24 terpisah atau dapat di pool. Bila tidak tersedia transport media, potongan organ (1 cm3) dapat difiksasi dalam 10% PBS formalin untuk histopatologi dan alkohol 96% untuk PCR. Sampel yang diambil dari unggas hidup berupa : darah (untuk serum), swab kloaka atau swab nasopharing yang segera dimasukkan ke transport media. Sampel vaksin inaktif (killed): 1. dari satu batch produksi diambil 1 -2 botol masing-masing 500 ml/1000 dosis 2. dari masing-masing botol diambil 5 ml lalu freez thawing 2 – 3 kali 3. sentrifusi 3600 RPM selama 10 – 15 menit 4. supernatan ditambahkan transpor media sama banyak, diinkubasi pada temperatur ruang selama 30 menit 5. disuntikkan ke telur berembrio c. media transpor spesimen dan penyimpanannya Media transpor yang digunakan adalah DMEM (Dulbecos Modified Eagle Médium) atau médium 199 ditambah dengan antibiotik Penisilin (1000 IU/ml), streptomisin (1000 ug/ml), gentamisin ( 1000 ug/ml) dan mikostatin ( 1000 unit/ml). Konsentrasi antibiotik ini lima kali lebih tinggi jika spesimen berasal dari usap kloaka atau feses. Spesimen berupa swab (nasopharing dan kloaka) atau organ dimasukkan dalam media transpor. Pengiriman dilakukan dalam kotak bersuhu 4oC (dapat menggunakan es batu) selama dalam perjalanan. Sesampainya di laboratorium, sampel disimpan dalam suhu -20 oC atau – 70oC sampai digunakan. Spesimen berupa serum dimasukkan dalam tabung steril dan pengirimannya dilakukan dalam kotak bersuhu 4oC (dapat menggunakan batu es) selama dalam perjalanan. Sesampainya di laboratorium, sampel disimpan dalam suhu -20 oC sampai digunakan. Spesimen untuk tujuan isolasi virus harus secepatnya disimpan dalam keadaan dingin (es batu). Jika dalam waktu 48-72 jam tidak dapat diproses untuk isolasi, maka spesimen harus disimpan dalam – 70oC. 1. Material Yang dibutuhkan : Tabung steril Swab polyester atau cotton fiber-tipped swab, plastic shaft Viral medium transpor DMEM / Medium 199 untuk transpor plus antibiotik Medium Glyserol plus antibiotik Phosphate buffered saline pH 7.0-7.4 plus antibiotic B-D transport media. Resep B-D transpor media adalah sebagai berikut: 2 ml Hank’s BSS 20 mM HEPES (Buffer) 0,5% gelatin 100 µg/ml gentamycin sulfate 25 d. Persiapan Tabung untuk sampel Harus digunakan tabung steril yang bersisi media transpor sebanyak 1-2 ml. Tabung yang berisi media transpor ini dapat disimpan pada suhu -20oC sampai digunakan, atau dapat disimpan pada suhu 4oC selama 1-2 hari. e. Persiapan pengambilan sampel Sedapat mungkin semua informasi harus dicatat seperti jenis hewan, spesies, tipe sampel (misalnya : feses, swabtrakea/kloaka), tanggal, jam, dan lokasi sampel. f. Koleksi sera Sampel sera yang optimal diambil dari darah pada saat fase akut, sebanyak 1-2 ml darah (tergantung besarnya ayam) diambil segera setelah gejala klinis tampak, dan tidak lebih dari 7 hari. Sampel serum disimpan pada suhu -20oC. g. Pengiriman spesimen ke laboratorium Spesimen untuk isolasi virus harus disimpan dalam es dan dikirim ke laboratorium secepatnya. Jika spesimen akan dikirim ke laboratorium dalam waktu 1-2 hari, harus disimpan pada suhu 0o-4o C, atau disimpan pada suhu -70oC. Untuk mencegah hilangnya infeksititas, sedapat mungkin hindari freez-thawing. Sera dapat disimpan sekitar 1 minggu pada suhu 4oC tetapi sebaiknya disimpan pada suhu 2oC. 4. Serologi Standar pengujian serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk penyakit HPAI adalah ELISA dan HI test. a. elisa Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus Avian Influenza tipe A. Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit komersial dan telah di register oleh OIE. Untuk pengujian di laboratorium karantina hewan dapat digunakan kit yang sifatnya screening dan jika diperlukan dilanjutkan dengan pengujian dengan kit yang bersifat konfirmasi. Dalam Kit tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan interpretasi dari hasil pembacaannya. b. uji HI AI subtipe H5N1 1) Masukan 0.025 ml PBS kedalam tiap sumur ”plastic V-bottomed microtitre plate” 2) Masukkan 0.025 ml serum kedalam sumur pertama, homogenkan lalu pindahkan 0,025 ml ke sumur ke-2 dst untuk buat 2 kali lipat pengenceran 0.025 ml serum. 3) Tambahkan 4 HAU virus/antigen dalam 0.025 ml ke tiap sumur dan biarkan selama 30 menit pada temperatur kamar (20oC) atau 60 menit pada suhu 4oC.(Antigen yang digunakan berasal dari Pusat Karantina Hewan Jakarta) 4) Tambahkan 0.025 ml dari 1% sel darah merah ayam ketiap sumur, kocok perlahan dan biarkan sekitar 40 menit pada temperatur kamar (20oC) atau 60 menit pada suhu 4oC (Sel darah merah yang digunakan ditentukan oleh Pusat Karantina Hewan) 5) Titer HI adalah serum dengan pengenceran tertinggi yang menyebabkan inhibisi lengkap 4 HAU antigen. Aglutinasi dibaca dengan cara memiringkan plat atau dapat menggunakan cermin pembaca. Hanya sumur-sumur dengan kecepatan aliran sel darah merah yang sama 26 dengan sumur kontrol (mengandung 0.025 ml sel darah merah dan 0.05 ml PBS) yang menunjukkan inhibisi. 6) Hasil yang pasti harus dibandingkan dengan serum kontrol negatif yang seharusnya tidak memberikan titer>1/4 (>22 atau >log 2 ketika mengekspresikan sebagai ’reciprocal’) dan kontrol positif serum. Nilai serologis didalam diagnosa jelas berhubungan dengan status imun yang diharapkan dari unggas yang terinfeksi. Titer HI menjadi positif dan protektif jika terdapat inhibisi pada pengenceran serum 1/16 (4 log 2 sebagai nilai reciprocal) atau lebih melawan 4 HAU antigen. Beberapa laboratorium menggunakan 8 HAU pada uji HI. Jika demikian hal itu dapat berakibat pada interpretasi hasil, oleh karena itu titer positif adalah pada pengenceran 1/8 atau lebih. Titer HI dapat digunakan untuk menduga status imun unggas. Pada unggas yang divaksinasi dan dimonitor secara serologis, sangat mungkin untuk mengidentifikasi respon anamnestik sebagai hasil infeksi tantangan dengan virus yang ada di lapangan. Tetapi pemeliharaan yang baik harus terapkan supaya variasi titer yang dapat terjadi dari sebab-sebab yang lainnya, dapat diketahui. Gambar 2. Gambaran hasil uji HI 5. Uji Agar Gel Precipitation (AGP) Prinsip Uji Keberadaan virus influenza A dapat dikonfirmasi dengan uji agar gel immunodiffusion (AGID), dengan adanya antigen nukleokapsid atau matrix yang keduanya secara umum dimiliki oleh semua virus influenza A. Antigen dapat dibuat dengan memekatkan cairan alantois atau mengekstraksi selaput chorioalantois. Uji ini dilakuan dengan menggunakan antisera positiv yang telah diketahui (standar (+). a. prosedur kerja : − Antigen dibuat dari membran chorio allantoic telur berembrio yang telah diinfeksi pada hari ke-10, kemudian dihomogenisasi, dibekukan (freezethawing) 3 kali dan disentrifus pada 1000 g. − Cairan supernatan diinaktivasi dengan menambahkan 0.1% formalin atau 0,1% betapropiolakton, kemudian disentrifus ulang dan digunakan sebagai antigen. − Buat gel agarose 1 % (W/V) atau purified agar dan 8% NaCl dalam 0.1 M buffer phosphate dengan pH 7.2. − Kamudian tuangkan ke dalam cawan petri dengan ketebalan 2-3 mm atau pada slide mikroskop. 27 − Dengan mengunakan cutter, buat sumuran berdiameter 5 mm dan terpisah sepanjang 2-5 mm. Pola sumuran harus diisi serum tersangka untuk mengetahui serum dan antigen yang positif. Gambar 3. Pola sumuran untuk uji AGP − Hasilnya akan terbentuk sebuah garis bersambung diantara serum tersangka dan nucleocapsid antigen yag positif. Kurang lebih 50 mikroliter harus ditambahkan ke dalam tiap sumur. Garis presipitasi dapat dideteksi setelah 24-48 jam tetapi tergantung kepada antibodi dan antigen. Garis ini dapat dilihat pada background yang gelap. Hasil positif didapat ketika garis presipitasi antara sumur kontrol positif bersambung dengan garis diantara antigen dan sumur yang diuji. Gambar 4. Contoh hasil pengujian AGP positif, terbentuk garis presipitasi 6. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik molekuler yang sensitif untuk mendeteksi gen virus avian influenza. Teknik ini digunakan untuk mendeteksi genom virus avian influenza ketika virus telah kehilangan kemampuan untuk bereplikasi. Penggunaan teknik molekular yang secara langsung dapat mendeteksi virus dalam cairan alantois yang telah diinfeksi ataupun virus dalam tracheal dan kloakal swab membuat identifikasi dan karakterisasi genetik virus influenza A termasuk avian influenza menjadi cepat dan akurat. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik yang mempunyai banyak kelebihan dalam mengidentifikasi genom, termasuk dalam hal ini genom virus avian influenza, ketika virus tidak dalam jumlah yang banyak. Genom virus avian influenza adalah single-strand RNA, sehingga pada reaksi PCR dibutuhkan sintesa sebuah kopi DNA (cDNA) yang berkomplementari dengan RNA virus. Reverse Transcriptase (RT) adalah enzim polimerase yang digunakan untuk mensintesa cDNA. Sehingga reaksinya disebut RT-PCR. Metode RT-PCR sudah banyak digunakan untuk mendiagnosa adanya virus avian influenza, biasanya metode ini akan dilanjutkan dengan sekuensing 28 DNA untuk melihat lebih jauh tentang karakter molekuler virus ini, seperti mutasi virus, hubungan kekerabatan dan untuk rekayasa genetik lainnya a. prinsip uji : Viral RNA (vRNA) diekstraksi dan kemudian cDNA disintesa dengan Reverse Transcriptase menghasilkan complementary DNA (cDNA) yang kemudian digunakan sebagai templat untuk PCR, yang akan menghasilkan complementary double strand DNA (dsDNA). dsDNA dihasilkan dengan siklus denaturasi, annealing dan ekstensi yang berhasil dengan adanya primer sense dan antisense spesifik dan thermal stable Taq polymerase. b. alat, bahan dan metode Pencantuman nama/merek tertentu (alat, bahan, kit) tidak mengikat, karena hanya sebagai contoh. Masing-masing UPT bebas memilih merek yang menurut pengalaman paling cocok sesuai kondisi setempat. 1) Alat: • • • • • • • • • • • • • • • • LAF (Laminar Air Flow) cabinet type II Mikropipet 1000 µl, 200 µl, dan 10 µl Aerosol Resistant Tips (ART) 1000 µl, 200 µl, dan 10 µl Vortex Mesin Sentrifugasi 4oC (refrigerated centrifuge) 20.000 RPM PCR sprint, Hybaid Tabung PCR 0,5 ml Tabung ependorf 1,5 ml Horizontal agarose gel electrophoresis apparatus (GC Plus) Well-forming combs (sisir pembentuk sumur) Power supply Microwave UV transilluminator Kamera polaroid Alat timbang (balance) Parafilm 2) Bahan • • • • • • • • • • • • • • • • • Cairan alantois atau sampel usapan kloaka dalam media transport Reagent Trizol-LS Kloroform Isopropanol Etanol 70% + Dietil Pirokarbonat (DEPC) Distilled water Primer M52C 5’-CTTCTAACCGAGGTCGAAACG-3’ Primer M253 5’-AGGGCATTTTGGACAAAG/TCGTCTA-3’ Primer H5-F 5’-ACACATGCYCARGACATACT Primer H5-R 5’-CTYTGRTTYAGTGTTGATGT Buffer TBE (Tris Borat Acid EDTA) Ethidium bromide (10 mg/mL) Agarose (PCR grade) DNA ladder 1000 bp / 1 kb Loading dye Transpor media berupa Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) QIAamp Viral RNA kit (untuk metode isolasi 2) 29 c. prosedur kerja : 1) Isolasi RNA Virus Dengan Trizol Metode isolasi RNA virus pada pedoman pengujian ini adalah dengan menggunakan TRIzol Reagent (Invitrogen) : • Ambil cairan alantois / larutan /supernatan swab kloaka atau trachea sebanyak 250 ul, masukkan dalam tabung Eppendorf 1.5 ml, kemudian tambahkan TRIzol-LS sebanyak 750 ul • Vortek selama 15 detik • Inkubasi selama 5 menit pada temperatur ruang • Tambahkan kloroform sebanyak 200 ul • Vortek selama 15 detik • Inkubasi selama 10 menit pada temperatur ruang • Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada temperatur 4oC selama 15 menit • Siapkan tabung eppendorf baru • Ambil cairan bening bagian atas, jangan sampai cairan pada batas ataupun bawah (berwarna merah) ikut terambil • Pindahkan cairan bening (400-500 ul) tersebut ke tabung Eppendorf baru • Tambahkan isopropanol sebanyak 500 ul • Vortek selama 15 detik • Inkubasi selama 10-15 menit • Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada temperatur 4oC selama 15 menit • Buang seluruh cairan (pada sisi bawah tabung mungkin akan tampak pellet putih RNA), jangan sampai pellet tersebut ikut terbuang • Tambahkan ethanol- 70% sebanyak 500 ul • Putar dengan microcentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm pada temperatur 4oC selama 15 menit • Aspirasi semua ethanol- 70% dengan hati-hati • Keringkan pellet yang terbentuk dengan vacuum pump atau biarkan di temperatur ruang selama 15-20 menit • Setelah semua sisa cairan dalam tabung kering, resuspensi pellet RNA yang terbentuk dengan 10 ul RNAse free water • Susupensi RNA dapat langsung digunakan atau dapat disimpan suspensi RNA pada temperatur –20oC 2) Metode Isolasi RNA Virus Dengan Qiamp Viral RNA Kit • Pipet 560 ul AVL ke dalam 1.5 ml tabung centrifuge • Tambahkan 140 ul viral culture/original sampel. Jika sampel dalam bentuk potongan organ, harus digerus atau di gunting kecil-kecil. • Vortex 15 detik • Inkubasi pada temperature ruangan selama 10 menit 30 • Sentrifugasi sebentar saja ( satu menit ) • Tambahkan 560 µl ethanol dan vortex selama 15 detik • Sentrifugasi sebentar saja ( satu menit ) • Masukkan 630 ul mixture ke dalam QIAamp column • Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit • Letakkan kolom ke dalam tabung koleksi yang baru (collection tube) • Tambahkan 500 ul buffer AW1 ke dalam kolom • Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit • Letakkan kolom ke dalam tabung koleksi yang baru (collection tube) • Tambahkan 500 ul buffer AW2 ke dalam kolom • Sentrifugasi 8000 rpm selama 3 menit • Letakkan kolom ke dalam tabung microcentrifuge ukuran 1,5 ml • Tambahkan 60 ul buffer AVE dan inkubasi pada temperature ruang selama 1 menit • Sentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit • Simpan elusi RNA dalam microcentrifuge pada temp -20oC 3) RT-PCR Virus Avian Influenza RT-PCR dilakukan dengan menggunakan metode One Step RT-PCR system (Invitrogen) dengan menggunakan primer Matrix dan H5: a. cara kerja RT-PCR dengan primer matrix : 1. Buat campuran pada tabung PCR sebagai berikut : a. react. mix 25 ul b. primer matrix forward (50 pmol/ul) 1 ul c. primer matrix reverse (50 pmol/ul) 1 ul d. template (suspensi rna) 10 ul e. ddh2o 12 ul f. taq/rt ii 1 ul total reaksi 50 ul 2. Masukkan tabung dalam mesin Thermal Cycler a. program rt-pcr adalah sebagai berikut : b. program rt-pcr adalah sebagai berikut : 42oC ---- 30 menit (Reverse Transcripatase) 95oC ---- 4 menit sebanyak 1 siklus 95oC ---- 1 menit 45oC ---- 1 menit 72oC ---- 3 menit sebanyak 40 siklus b.cara kerja rt-pcr dengan primer h5: 1. Buat campuran pada tabung PCR sebagai berikut : 31 a. react. Mix 25 ul b. primer H5 Forward (20 pmol/ul) 2 ul c. primer H5 Reverse (20 pmol/ul) 2 ul d. template (Suspensi RNA) 10 ul e. ddH2O 10 ul f. taq/RT II g. total reaksi 1 ul 50 ul 2. Masukkan tabung dalam mesin Thermal Cycler a. program RT-PCR adalah sebagai berikut : 42oC ---- 45 menit (Reverse Transcripatase) 95oC ---- 3 menit sebanyak 1 siklus b. 95oC ---- 30 detik 55oC ---- 40 detik 72oC ---- 40 detik sebanyak 35 siklus c. 72oC ---- 10 menit - final extention Set Primer Matrix : M52C 5’- CTTCTAACCGAGGTCGAAACG-3’ M253R 5’- AGGGCATTTTGGACAAAG/TCGTCTA-3’ Produk PCR yang dihasilkan 212 bp Set Primer H5 : H5 - F 5’-ACACATGCYCARGACATACT H5 - R 5’- CTYTGRTTYAGTGTTGATGT Produk PCR yang dihasilkan 545 bp 4) Visualisasi Hasil RT-PCR a. pembuatan gel agarose 2%. • Gel agarose 2% dibuat dengan ditimbang 1 gr agarose dan dilarutkan dalam 50 ml bufer TBE 1 kali (working solution) pada labu Erlemeyer, kemudian dikocok sampai merata. • Larutan agarose dipanaskan dalam microwave oven sampai mendidih dan sampai larutan menjadi jernih. • Kemudian ditambahkan 2 µl ethidium bromida, dicampur hingga merata. Dalam pengerjaan ini harus hati-hati karena ethidium bromida bersifat karsinogenik. • Setelah itu larutan dituang ke dalam tray dan dipasang sisir (well forming combs). • Larutan agarose dibiarkan mengeras. • Bila gel telah mengeras, sisir (well forming combs) dilepas secara perlahan-lahan dan gel agarose siap digunakan untuk elektroforesis b. Elektroforesis 32 • Tray yang berisi gel agarose diletakkan di dalam tank elektroforesis dan dimasukkan larutan buffer TBE 1 kali ke dalam tank elektroforesis tersebut hingga sekitar 1 mm di atas permukaan gel. • Kemudian diambil parafilm. 2 µl loading dye buffer diletakkan di atas • Ke dalam loading dye buffer ditambahkan sampel (hasil PCR) sebanyak 4-5 µl dan disuspensikan hingga merata. • Setelah itu larutan dimasukkan secara hati-hati dalam sumur yang terdapat pada gel, lalu tank elektroforesis ditutup dan dihubungkan arus listrik sebesar 100 volt selama 30 sampai 60 menit. • Bila proses elektroforesis selesai (loading dye berada satu cm dari batas ujung bawah gel), arus listrik dimatikan dan diambil tray dengan menggunakan sarung tangan. • Gel hasil elektroforesis diletakkan pada UV transilluminator. • Dokumentasikan hasil elektroforesis dengan camera Polaroid atau Bioprint Keberhasilan diagnosis virus secara garis besar tergantung pada kualitas spesimen dan kondisi transportasi pada saat spesimen tersebut dikirim dan penyimpanan spesimen sebelum di proses lebih lanjut di laboratorium. 5) Isolasi virus a. prinsip uji Isolasi virus adalah teknik yang sangat sensitif dan berguna untuk mendiagnosa infeksi virus dengan menggunakan spesimen klinis dengan kualitas yang baik. Isolasi virus pada telur berembrio atau kultur jaringan yang diikuti identifikasi dengan imunologi, teknik molekuler atau mikroskop elektron adalah metode standar untuk diagnosa virus. Satu keuntungan yang paling penting dari isolasi virus adalah dapat digunakan untuk karakterisasi antigenic dan genetika lebih lanjut dan juga dapat digunakan untuk persiapan pembuatan vaksin atau uji efektifitas obat jika diperlukan. b. prosesing material klinis untuk isolasi virus Selama pengerjaan isolasi virus, harus menerapkan prinsip kehatihatian : (1) Memakai masker (2) Memakai kacamata (3) Memakai sarung tangan, lab jas, penutup kepala (4) Di ruangan steril (biosafety cabinet level 2) (5) Menerapkan good laboratory practise • Swab trakea dan kloaka (1) Thawing jika diperlukan dan tambahkan 1/10 volume dari 5-10 antibiotik concentrated. (2) Homogenkan sampel dalam 1-2 ml vortex mixer tabung koleksi dengan (3) Biarkan dalam suhu ruangan selama 30 menit 33 (4) Untuk sampel feses atau swab kloaka dapat digunakan filter 0,22 mikron untuk menyaring suspensi, setelah di sentrifus 4000 RPM 10 – 15 menit (5) Suspensi spesimen disimpan pada suhu -70oC • Sampel Jaringan (1) Hancurkan jaringan dengan glass tissue grinder atau dengan mortar dan pestle steril dengan hancuran kaca atau pasir steril yang dibuat dari pipet Pasteur. Buat suspensi 10% dengan medium transpor (2) Tambahkan 1000 IU Penicillin 1000 µg Streptomycin/ml . Pindahkan spesimen ke dalam tahung sentrifus dan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 g selama 10 menit (3) Ambil supernatan dan simpan pada suhu -70oC 6) Inokulasi Pada Telur Ayam Berembrio a. Material Yang dibutuhkan : • Telur ayam berembrio spesific pathogen free (SPF) atau specific antibody negative (SAN) umur 9-11 hari • Egg candler, egg tray • 70% alcohol atau 70 % ethanol • Jarum 22 gauge; 1,5 inci • Syringe 1 ml • Egg hole puncher • Lem atau lilin atau cellotape • Tabung 15 ml dan rak • Forcep (pinset) steril b. Prosedur Kerja : 1). Candling Telur • Periksa telur dengan egg candler dan letakkan ujung tumpul telur pada posisi atas pada tray telur. • Buang telur yang infertile, retak, tidak berkembang atau yang tampak mempunyai porous shell. 2). Inokulasi pada telur • Letakkan ujung tumpul telur pada posisi atas pada tray telur dan label masing-masing telur dengan nama identifikasi yang spesifik dan jelas ( 3 telur per spesimen). • Usap bagian atas telur dengan alkohol 70% dan buat lubang kecil pada kerabang telur di atas rongga udara. Gunakan 3 telur untuk setiap spesimen yang akan diinokulasi. • Pegang telur dibawah candler, tandai lokasi embrio dan posisi rongga udara dan tentukan lokasi penyuntikan pada ruang alantois yaitu bersebrangan dengan lokasi embrio dan yang jarang pembuluh darahnya. • Lubangi lokasi penyuntikan yang telah ditentukan. • Aspirasi spesimen yang telah diproses sebanyak 1 ml dalam syringe tuberculin dengan jarum 22 gauge; 1,5 inci . 34 • • • • Suntikkan pada ruang alantois sebanyak 100 ul (0,1 ml) / telur. Perlakukan 2 telur lainnya sama seperti metode di atas. Buang syringe pada kontainer yang aman. Tutup lubang pada telur dengan lilin atau dengan lem atau cellotape. • Inkubasi telur pada suhu 37oC untuk avian influenza, mammalian influenza pada suhu 35oC, diamati tiap hari. • Bila embrio mati, kemungkinan positif AI, segera dipanen cairan allantois. 3). Panen Cairan Alantois dari Telur Ayam yang telah diinokulasi • Masukkan telur pada refrigerator 4oC selama semalam atau 4 jam sebelum panen. • Label tabung plastik (15 ml) untuk masing-masing telur dengan nama spesimen. Bersihkan permukaan atas telur dengan alcohol 70%. • Dengan forcep steril, pecahkan permukaan kerabang telur diatas rongga udara dan tekan membran alantoisnya dengan forcep. Gunakan pipet 10 ml untuk mengaspirasi (mengambil) cairan alantois kemudian masukkan dalam tabung plastik yang sudah disiapkan di atas dan ditutup rapat. • Sentrifugasi cairan alantois yang sudah dipanen dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit untuk menghilangkan darah dan jaringan. • Identifikasi isolat dengan uji hemaglutinasi (HA) untuk mengetahui aktivitas HA-nya. Terdeteksinya aktivitas HA mengindikasikan adanya virus influenza A atau avian paramyxovirus. Isolat yang tidak menunjukkan aktivitas HA, sebaiknya dipasase lebih lanjut. Bab VII RABIES 1. Pendahuluan Penyakit anjing gila juga dikenal dengan nama Rabies, Lyssa, Hydrophobia, Rage, Tollwut merupakan suatu infeksi akut susunan syaraf pusat, yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Tingkat kematian kasus (case fatality rate ) rabies adalah 100%. Anjing merupakan hewan penular rabies (HPR) utama kemudian menyusul kucing dan kera dengan potensial yang lebih rendah. Serigala, rubah, koyote, jakal, skunk, mongoose, kelelawar pemakan serangga dan buah-buahan, demikian juga vampir memegang peranan penting sebagai penyebar Rabies. Rabies disebabkan oleh virus genus Lyssa virus, keluarga Rhabdoviridae, bersiat neurotrop, berukuran 100-150 mikron. Amplop virus ini antara lain mengandung lipida yang mudah larut oleh pelarut lemak (sabun, ether, chloroform, aseton), etanol 45-70%, preparat iodine dan ammonium quartener. Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing-thawing yang berulang, cukup stabil pada pH 5-10, peka terhadap suhu pasteurisasi dan sinar matahari atau ultraviolet. Diketahui bahwa “envelope” virus ini penting sekali bagi “infectivity”-nya, sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak “infectious”. Virus Rabies mempunyai dua macam antigen, yaitu gliko protein dan antigen nukleoprotein. Virus tidak saja terdapat di susunan syaraf pusat (SSP), tetapi juga di kelenjar air liur, kelanjar air mata, kelenjar suprarenalis dan pankreas. Virus tidak ditemukan di dalam darah, limpa, hati, kelenjar limfe, sumsum tulang 35 atau kelenjar genitalia. Dalam penularan penyakit rabies, hanya kelenjar ludah memegang peranan sangat penting 2. Diagnosis Diagnosis laboratorium terhadap rabies didasarkan pada pembuktian adanya virus pada hewan tersangka dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT), dan identifikasi antibodi dan atau virus tersebut dengan uji uji netralisasi virus pada biakan sel (Fluorescent Antibody Virus Netralisasi Test/FAVNT) dan ELISA. Sifat penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia maka petugas harus menggunakan sarung tangan, masker dan kacamata pelindung selama melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan rabies. Petugas yang bertugas menangani anjing harus divaksinasi terlebih dahulu. 3. Identifikasi dan Isolasi Virus a. spesimen untuk diagnosis 1) Sampel Serum Darah Pengambilan darah ditujukan untuk mendapatkan serum sebagai bahan untuk pemeriksaan kandungan antibodi rabies dari hewan yang telah divaksinasi. Darah anjing sebanyak 1 - 2 ml diambil dari vena femoralis kaki belakang atau vena saphena kaki depan dengan menggunakan spuit steril berukuran 2,5 ml. Spuit yang telah berisi darah kemudian dibiarkan pada suhu luar sampai terjadi pemisahan antara serum dan bekuan sel darah. Cairan serum yang sudah terpisahkan dari bekuan darah ini kemudian dipindahkan ke dalam tabung gelas/plastik (tabung venoject/ampul) yang steril. Tabung yang berisi cairan serum tadi kemudian disimpan dalam boks/kotak dengan suhu dingin (berisi batu es), atau langsung dimasukkan ke dalam freezer suhu -20 oC sampai serum tersebut digunakan atau diuji. Sebelum digunakan untuk pengujian, komplemen dalam serum diinaktivasi terlebih dahulu dengan cara menempatkan tabung berisi serum tadi pada mesin penghangat air (waterbath) dengan suhu 56 oC untuk selama 30 menit. 2) Pengambilan Sampel Otak Anjing Pengambilan otak anjing ditujukan untuk mendapatkan bagian dari otak (dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla oblongata) sebagai bahan uji untuk pemeriksaan adanya virus rabies pada hewan tersangka. Otak anjing diambil dengan cara sebagai berikut: kepala anjing yang telah mati dipotong dengan menggunakan pisau tajam pada bagian lehernya (antara tulang leher pertama dengan tulang kepala) sehingga terlihat foramen occipitale. Dengan menggunakan sedotan limun (straw) berdiameter 5 mm, sedotan limun tadi ditusukkan (sambil diputar-putar) ke kepala melalui foramen occipitale tadi dengan arah ke bagian mata. Selanjutnya sedotan limun ditarik kembali keluar secara perlahan. Pada ujung sedotan limun tadi akan diperoleh bagian jaringan jaringan otak (dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla oblongata). Bagian sedotan limun yang mengandung jaringan otak kemudian dipotong dan dimasukkan ke dalam tabung gelas/plastik yang berisi bahan pengawet (formalin 10% atau 50% gliserin dalam PBS). Tabung tersebut kemudian diberi tanda (nomor spesimen, jenis spesimen, spesies, bahan pengawet, lokasi dan tanggal pengambilan, pemilik anjing dll). Tabung tadi kemudian disimpan dalam boks/kotak dengan suhu dingin (berisi batu es), atau di freezer pada suhu -20 oC sampai dilakukan pengujian. Untuk tabung sampel yang berisi bahan pengawet formalin, boks/kotak penyimpanan tidak perlu dingin/berisi batu es. Sampel dalam bahan pengawet 36 formaln diperuntukkan untuk pemeriksaan histopatologi, sampel dalam gliserin PBS adalah untuk pemeriksaan FAT dan biologis. 3. Pengiriman Sampel 1) Pengiriman Sampel Serum Bila pengujian serum harus diperiksa pada laboratorium penguji yang lokasinya cukup jauh, maka sampel serum harus dikirim dalam keadaan dingin dan aman agar sampel serum tidak rusak, dengan cara sebagai berikut: tabung yang berisi sampel serum ditempatkan pada rak tabung yang kokoh (tidak mudah lepas), lalu rak tabung tadi disimpan dalam boks/kotak kedap air dan dingin (berisi batu es atau es kering/dry ice) dengan ukuran yang cukup dan diperkirakan jumlah batu es/es kering dapat membuat sampel serum tetap dingin sampai di tempat tujuan. Bila dikhawatirkan terjadi goncangan yang dapat membuat pecahnya tabung serum, maka tabung serum dapat terlebih dahulu dibungkus dengan kapas/bahan lainnya (sebagai pelindung goncangan). Kotak pengiriman sampel serum diberi tanda/label yang jelas, termasuk alamat pengirim dan tempat tujuan. Perlu diperhatikan, pemberian nomor sampel pada tabung harus menggunakan alat tulis kedap air atau tulisan dilapisi dengan selotip transparan. 2) Pengiriman Sampel Otak Bila otak harus diperiksa pada laboratorium penguji yang lokasinya cukup jauh, maka sampel otak harus dikirim dalam keadaan dingin dan aman agar sampel otak tidak rusak dan tidak tercecer mengkontaminasi lingkungan, dengan cara sebagai berikut: tabung gelas/plastik yang berisi sampel otak pertama dibungkus dengan kapas/bahan lainnya (sebagai pelindung goncangan) dan kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang lebih besar dan kokoh atau kaleng. Kaleng tersebut kemudian dibungkus kapas/kain secukupnya dan dimasukkan ke dalam kotak yang lebih besar (boks es atau stereoform) yang berisi bahan pendingin (batu es atau es kering/dry ice). Kotak tersebut diberi tanda, selain jenis spesimen, spesies, bahan pengawet, lokasi dan tanggal pengambilan, pengirim dll., juga ditulis “BAHAN BIOLOGIS BERBAHAYA - RABIES”. Untuk tabung sampel yang berisi bahan pengawet formalin, boks/kotak penyimpanan tidak perlu dingin. Perlu diperhatikan bahwa tabung, kaleng penyimpan tabung atau boks tidak boleh bocor dan tetap utuh selama dalam pengiriman. 3) Serologi a. Uji Netralisasi Virus pada Biakan Sel (Fluorescent Antibody Virus Neutralisasi Test/FAVNT) • Prinsip : Prinsip dari uji ini adalah reaksi netralisasi in vitro antara antibodi (serum) dengan virus yang titernya konstan. Virus rabies yang digunakan adalah galur CVS (challenge virus standard) yang sudah beradaptasi pada biakan sel BHK 2l Clone 13. Penetapan titer serum adalah enceran tertinggi serum yang menetralkan 100% virus pada 50% dari jumlah ulangan sumur uji. Titer serum dinyatakan dalam IU/ml (International Unit) dengan cara membandingkannya dengan serum standar pada kondisi uji yang sama pada saat itu. Serum standar (hewan anjing) yaitu dari OIE atau serum standar (orang) dari WHO). FAVNT ini dikerjakan pada lempeng mikro (microplate) yang berisi 96 sumur dengan alas datar dan steril. • Alat penting yang diperlukan : 37 Inkubator dengan suhu 37°C dengan 5% CO2; Laminar air flow cabinet tipe II; Mikroskop fluoresensi yang dihubungkan ke monitor TV dan kamera. • Reagensia dan bahan-bahan biologik: Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+ , disimpan pada suhu 4°C; Trypsin + ethylen diamin tetra acetic acid (EDTA); Aseton 80% (high grade, diencerkan dengan air deionised, disimpan pada suhu 4°C); Dulbecco Modified Eagle’s Medium (DMEM) + 10% Fetal Bovine Serum (FBS) yang sudah dihilangkan komplemen (c) nya; Konjugat anti rabies FITC (fluorescen isothiocyanate) ; Biakan sel lestari BHK21 (C13) ; Virus rabies CVS -11 (ATCC VR 959) ; Serum rabies standar dari WHO (sebelum dipakai diencerkan menjadi 0,5 IU/ml) ; Serum rabies standar (OIE) diencerkan menjadi 0,5 IU/ml dengan air deionised atau air suling ; Serum negatif antibodi rabies ; Bahan/media penyimpanan sampel. b. prosedur uji: • Sediakan sedikitnya 2 lempeng mikro (microplate), masing-masing lempeng mikro dibuat pola sedemikian rupa sehingga lempeng mikro 1 berperan sebagai kontrol dan lempeng mikro 2 atau selebihnya berperang sebagai tempat sera uji ; • Media (DMEM + 10% FCS) ditambahkan pada setiap sumur, lempeng mikro kontrol (1) : lubang pada baris 1 sampai 4 dan sel A9 sampai A12 sebanyak 150 ul; lempeng mikro uji (2, 3 dst) : lubang baris 6 dan 12 ditambahkan 200 ul; lubang yang lainnya sebanyak 100 ul ; • Serum ditambahkan mengikuti pola yang telah ditetapkan pada lempeng mikro, yaitu sebanyak 50 ul ; • Kemudian serum diencerkan sebagai berikut: dengan menggunakan pipet mikro multi chanel campuran media dan serum (enceran pertama) dihomogenkan dengan cara mengocoknya minimal 8 kali (sucking in and out), kemudian pindahkan sebanyak 50 ul ke lubang berikutnya, begitu selanjutnya sampai pada sumur terakhir. Pada sumur terakhir sebanyak 50 ul enceran media dan serum dibuang; • Kemudian tambahkan pada setiap sumur pada plat uji sera (plat 2, 3 dst) dengan 50 ul virus yang telah diukur mengandung 100TCID50/ml; • Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 1 jam; • Kemudian tambahkan pada setiap sumur dengan suspensi sel (BHK21 berumur 3 hari) sebanyak 50 ul yang mengandung 4X105 sel/ml; 38 • Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 48 jam; • Setelah inkubasi selama 48 jam, cairan medium dalam setiap sumur dibuang ke ember stainlessteel lalu di desinfeksi dengan hypochlorit sebelum di autoclave, sumur pada lempeng mikro dicuci (rinsed) 1 kali dengan PBS pH 7,2, dan kemudian dicuci satu kali dengan 80% aseton; • Kemudian sumur pada lempeng mikro difiksasi dengan 80% aseton pada suhu kamar untuk selama 30 menit, dan akhirnya dikeringkan pada suhu kamar sekurang-kurangnya selama 1 jam. • Setiap lubang pada plat mikro kemudian ditambahkan 50 ul FITC anti rabies konjugat (enceran optimal memberikan reaksi terbaik), digoyang secara perlahan dan diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 30 menit. Setelah itu kelebihan cairan FITC dibuang dan dicuci (rinsed) sebanyak 2 kali dengan cairan PBS. Kelebihan cairan PBS kemudian dibuang dengan cara membalikkan lempeng mikro pada kertas saring yang diletakkan di atas meja (bench); • Hasil uji diperiksa di bawah Mikroskop Fluorescen; • Jika D50 dari serum yang diuji lebih kecil dari D50 serum standar positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka titer serum uji kurang dari 0,5 IU/ml; sebaliknya jika D50 dari serum yang diuji lebih besar dari D50 serum standar positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka titer serum uji lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml; • Dengan FAVNT, titer serum dinyatakan protektif jika mencapai ≥ 0,5 IU/ml. 4) Enzyme Lynked Imunosorbant Assay (ELISA) Uji ELISA merupakan salah satu uji serologis berdasarkan atas ikatan antigen (Ag) coating di dasar sumur mikroplat dengan antibodi (Ab) dari serum dan konjugat yang ditandai adanya perubahan warna karena adanya penambahan substrat. Titer serum ditentukan berdasarkan atas optical density (OD) dalam bentuk equivalen unit terhadap serum standar OIE. • Menyiapkan reagensia: (a) Buffer phospat (kosentrasi 10x) pH 7,2 diencerkan 1 bagian ditambahkan 9 bagian akuades. (b) Konjugat diencerkan 1:8000 (1µl konjugat diencerkan 8 ml pengencer PBS Tween). (c) Sampel serum diinaktivasi dalam bak pemanas/waterbath (suhu 560C) selama 30 menit setelah itu serum diencerkan 1:50 (5 µl serum diencerkan 245 µl pelarut). • Mengencerkan kontrol positif dan negatif (a) Pada baris lubang A1-2 sampai E1-2 dan lubang A3-4 – E3-4 ditambahkan 300 µl pengencer dan pada deret lubang A1-2 dan A3-4 ditambahkan kontrol serum positif dan negatif, selanjutnya diencerkan secara seri ke lubang E1-2 dan E3-4. (b) Pada setiap lubang sampel uji ditambahkan pengencer 245 µl dan masing-masing sampel serum ditambahkan 5 µl pada dua lubang plat. a. uji elisa 39 (1) Pindahkan 100 µl kontrol serum positif dan kontrol serum negatif pada deret lubang A1-2 sampai E1-2 dan kontrol serum negatif pada lubang A3-4 – E3-4 , sedangkan masing-masing sampel serum ditambahkan 100 µl pada dua lubang plat. (2) Pada lubang terakhir sebagai kontrol konjugat ( tanpa koating). (3) Plat ditutup dengan selotip dan plat diinkubasi pada suhu 370C selama 45-60 menit. (4) Buang serum dalam plat kemudian plat dicuci sebanyak 5 kali dengan PBS-Tween sampai kering. (5) Tambahkan 100 µl konjugat pada semua plat, kecuali lubang H11 dan H12 sebagai control kunjugat. (6) Plat ditutup dengan selotipe dan inkubasi pada suhu 370C selama 45-60 menit. (7) Buang cairan dalam lubang plat selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 5 kali dengan larutan pencuci. (8) Tambahkan 100 µl substrat ( siapkan larutan substrat dengan menambahkan 10 µl H 2 O 2 ) pada semua lubang. (9) Plat ditutup dengan selotipe dan inkubasi pada suhu kamar dalam keadaan gelap selama 15-30 menit. (10) Apabila reaksi pada kontrol positif dan sampel terlihat biru, reaksi segera di stop dengan menambahkan 100 µl larutan stop pada semua lubang. (11) Reaksi dibaca pada Elisa Reader menggunakan Filter 655 nm. b. Interpretasi Hasil: (1) Pindahkan data serum kontrol dan serum sampel, buat nilai ratarata. (2) Buat grafik serum kontrol (+) dan (-). Agar supaya pengujian menjadi valid OD terendah kontrol positif tidak boleh bersinggungan dengan OD tertinggi kontrol negatif. (3) Buat selisih nilai OD pada masing-masing enceran serum kontrol positif dan kontrol negatif. (4) Buat grafik hasil selisih nilai OD kontrol positif dan negatif sebagai garis positif murni. (5) tentukan garis logaritmik sebagai garis korelasi dari garis positif murni. Kisaran nilai OD pada aksis-Y bila ditarik kekanan dan memotong pada garis logaritmik dan tarik kebawah memotong aksis-X akan menunjukkan kisaran nilai IU (international unit). (6) OD sampel serum setelah dikurangi OD kontrol negatif (jumlah rata-rata) menghasilkan OD yang dapat ditempatkan pada aksis-Y selanjutnya akan didapat nilai kandungan zat kebal. (7) Hasil akhir pada pengujian ELISA dinyatakan dalam kesetaraan OD sample (rata-rata x) – OD kontrol negatif (jumlah rata-rata x) = OD sample Kalkulasikan dan Interpretasikan hasil : menggunakan grafik 40 Internasional Unit (IU) 5) Pengujian Sampel Otak dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT) a. Prinsip : Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus rabies) dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi dengan zat fluorescen sehingga tampak agregat yang berpendar hijau (fluorescensi) pada sampel yang diamati dengan menggunakan mikroskop fluroresen. Alat penting yang diperlukan : (a) Laminar air flow cabinet tipe II; (b) Mikroskop fluoresen. b. Reagensia dan bahan-bahan biologik: (a) Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+, disimpan pada suhu 4°C; (b) Aseton (high grade) dingin; (c) Konjugat anti rabies FITC; (d) Kontrol otak positif rabies; (e) Kontrol otak negatif rabies. c. prosedur uji: (1) Buat sekurang-kurangnya 4 slide preparat; 2 preparat ulas (smear) dan 2 preparat tekan (gerusan) dari sampel otak segar (mengandung dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla oblongata) setipis mungkin pada gelas slide. Disamping itu buat slide preparat dari otak yng mengandung virus rabies dan otak yang tidak mengandung virus rabies sebagai pembanding/kontrol positif dan negatif, (2) Bila sampel otak telah diawetkan dalam 50% gliserol – PBS, maka preparat dicuci beberapa kali dengan PBS untuk menghilangkan gliserol yang dapat menutupi fluoresensi, (3) Preparat kemudian dikeringkan dengan cara dihembuskan angin (diangin-angin), lalu dimasukkan ke dalam Coplin jar (kontainer) yang mengandung aseton dingin (preparat terendam) dan simpan di dalam freezer -15 oC sampai -20 oC untuk selama 45 menit, (4) Preparat kemudian diangkat dari rendaman aseton dingin lalu dikeringkan (diangin-angin), (5) Setelah preparat kering, buat garis demarkasi melingkar pada lokasi lapisan sampel yang tipis sepanjang 2,5 cm dengan menggunakan pensil lilin (wax marking pencil) sebanyak 2 buah lokasi per slide. Demikian juga dengan slide preparat kontrol diperlakukan sama seperti slide preparat sampel, (6) Teteskan konjugat anti rabies FITC sebanyak 2 tetes pada lokasi yang didemarkasi. Usahakan cairan konjugat tersebar secara merata menutupi lokasi demarkasi, (7) Tempatkan slide preparat tadi secara horisontal pada rak yang datar di atas baki yang cukup mengandung air, baki ditutup dan lalu ditempatkan di dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama 30 menit, (8) Setelah selesai masa inkubasi, slide preparat kemudian di rendam dalam PBS pH 7,4, kemudian di cuci (rinse) dengan meneteskan 41 cairan PBS sehingga menutupi preparat sebanyak 2 kali masingmasing untuk selama 10 menit, (9) Slide preparat kemudian dipindahkan dan dikeringkan dengan cara menempatkannya secara vertikal, (10) Setelah slide preparat kering, tambahkan 1 tetes 50% gliserol bufer pH 7,6 di atasnya, tutup dengan coverslips pada lokasi yang akan diamati, lalu amati di bawah mikroskop fluorescen, (11) Slide preparat kontrol positif dan slide preparat sampel yang mengandung virus rabies akan berwarna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan dengan ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran kecil ibarat seperti butiran pasir sampai ukuran besar Negri Bodies. Tidak terlihat adanya warna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan pada slide kontrol negatif. (12) Sampel dinyatakan positif rabies jika ditemukan sel yang berpendar hijau (berwarna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan), seperti dijumpai pada slide kontrol positif tetapi tidak dijumpai gambaran tadi pada slide kontrol negatif. Gambar 5. hasil positif rabies dengan teknik FAT Gambar 6. Negeri bodi pada hipokampus hewan terinfeksi rabies Bab VIII INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS 1. Pendahuluan Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious Pustular Vulvovaginitis disebabkan oleh bovine herpesvirus 1 (BoHV-1) merupakan penyakit yang 42 menyerang sapi-sapi domestik maupun liar. Virus BHV 1 selain menyerang alat pernafasan juga menyerang alat‐alat genital atau alat reproduksi. Tingkat mortalitas rendah tetapi menyebabkan nilai kerugian ekonomi yang tinggi. Virus termasuk genus Varicellovirus, subfamily alphaherpesvirinae, famili herpesviridae. Virus termasuk double stranded DNA. Selain FAT dan uji immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat juga dilakukan dengan menguji swab hidung, mata maupun vagina dengan uji PCR ataupun restriction endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan dengan virus netralisasi, ELISA berupa indirect ELISA dan Blocking ELISA. Penyakit ini penting untuk diperhatikan dalam lalulintas hewan karena hewan yang pernah terinfeksi menjadi pembawa (carier) virus, yang dieksresikan antara lain melalui alat kelamin, sementara Indonesia mengimpor sapi bibit dari negara-negara yang tertular IBR. 2. Diagnosis Diagnosis laboratorium terhadap IBR didasarkan pada deteksi antigen dan deteksi antibodi dengan salah satu dari beberapa uji: enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), Serum Netralisasi Test (SNT) atau Polymerase Chain Reaction (PCR), kemudian dapat dilanjutkan dengan isolasi virus 3. Isolasi dan Identifikasi Virus a. sampel Sampel untuk pengujian IBR adalah serum, swab nasal dan swab genital b. serologi Standar pengujian serologi yang ditetapkan oleh OIE untuk penyakit IBR adalah ELISA dan Virus Netralisasi. 1) ELISA Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus IBR. Untuk melakukan uji ini, telah tersedia seperangkat Kit komersial. Untuk IBR, belum ada kit komersial yang telah diregister oleh OIE, namun untuk pengujian di laboratorium karantina hewan dapat digunakan kit yang sifatnya screening dan jika diperlukan dilanjutkan dengan pengujian dengan kit yang bersifat konfirmasi. Dalam Kit tersebut telah dicantumkan prosedur kerja dan interpretasi dari hasil pembacaannya. 2) Serum Nertalisasi Test a. bahan yang diperlukan untuk SNT adalah: • Plat mikro 96 lubang steril (dengan lid) • Saringan mikro 0.22 mµ • Tip steril • Contoh serum (sapi/kerbau) • Bahan sel MDBK (Madin Darby Bovine Kidney) • Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) • Media sel Dulbecco Minimal Essential Medium (DMEM) mengandung 2 % Foetal Bovine Serum (FBS)/ml, 200 IU/ml penicillin, 20 IU/ml Streptomycin, fungizone 250 mg/ml. b. alat yang dibutuhkan untuk SNT adalah: • Timbangan • Water bath(penangas air) 43 • Inkubator CO 2 • Pipet gelas • Finn pipette • Tabung Erlenmeyer • Tabung gelas ukur • Autoclave • Freezer • Refrigerator • Mikroskop • Laminar flow cabinet 3) Screening Test • Serum yang akan diuji diinaktifkan terlebih dahulu dengan cara dipanaskan pada suhu 560C selama 30 menit. • Serum diencerkan menjadi ¼ dengan mediayang mengandung 2 % FBS. • Masukkan enceran serum tersebut kedalam lubang-lubang mikrotiter lainnyasebanyak 50 µl per lubang dan dibuat dobel/ganda (duplo). • Pada tiap plat mikro disediakan kontrol serum positif, serum negative, dan control sel masing-masing dua lubang. • Untuk control sel hanya diisi dengan media 2 % FBS sebanyak 200 µl. • Tambahkan 50 µl virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl (Cell Culture Infective Dose 50) tiap lubang, kecuali lubang control sel. • Inkubasikan selama satu jam pada suhu 37 0C (dalam inkubator). • Tambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105/ml sebanyak 50 µl. • Simpan pada suhu 37 0C selama 4 hari. • Buat titrasi ulang (back titration), yaitu dengan cara:virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl diencerkan 1/10, 1/100, dan 1/1000 dan diisikan ke lubang sebanyak 50 µl tiap lubang, setiap enceran virus mulai dari 100 CCID 50 /50 µl sampai enceran 1/1000 sebanyak 4 lubang. Setelah itu ditambahkan media 2 % FBS sebanyak 50 µl tiap lubang. Untuk kontrol sel sebanyak 100 µl tiap lubang. Terakhir ditambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 104 sebanyak 50µl tiap lubang. • Pembacaan dilakukan setiap hari sampai hari ke 5. Padas el yang tidak timbul sitropatik efek (cytophatic effect/CPE), berarti bahwa serum yang diuji tersebut mengandung antibodi (positive antibody) dan apabila timbul CPE, berarti serum yang diuji tersebut tidak mengandung antibodi (negative antibody). Apabila pada satu lubang timbul CPE, tetapi pada lubang lainnya tidak timbul CPE, dinyatakan meragukan, dan ini bias diuji ulang. • Pembacaan titrasi ulang dilakukan setiap hari sampai hari ke 5. Apabila pada enceran virus 1/100, perubahan CPE terjadi pada dua lubang dari empat lubang yang diinfeksi (50 %) maka virus yang dipakai untuk uji serum netralisasi adalah 100 CCID 50 /50 µl. 44 Hasil : • Positif antibodi:bila menimbulkan CPE. campuran serum dengan virus tidak • Negatif antibodi:bila campuran serum dengan virus menimbulkan CPE. dapat 4) Uji Netralisasi Virus (SNT) • Serum yang positif mengandung antibody dan serum yang meragukan, diencerkan menjadi ¼ ,1/8,1/16,1/32,1/64,dan 1/128 dengan media yang mengandung 2 % FBS. • Teteskan setiap enceran serum tersebut kedalam 1 lubang plat mikrotiter sebanyak 50 µl per lubang dan dibuat satu seri pengenceran dari ¼ sampai 1/128. • Kontrol serum positif, kontrol serum negative dan control sel untuk setiap plat mikrotiter cukup dua lubang. • Untuk kontrol sel hanya diisi dengan media 2 % FBS sebanyak 100 µl. • Tambahkan 50 µl virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl tiap lubang, kecuali lubang kontrol sel. • Inkubasikan plat mikrotiter selama satu jam pada suhu 37 0C (dalam inkubator). • Tambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105/ml sebanyak 100 µl ke setiap lubang. • Inkubasikan plat mikrotiter pada suhu 37 0C selama 4 hari. • Buat titrasi ulang (back titration), yaitu dengan cara virus yang mengandung 100 CCID 50 /50 µl diencerkan 1/10, 1/100 dan 1/1000 dan diisikan ke lubang sebanyak 50 µl tiap lubang, setiap enceran virus, mulai dari 100 CCID 50 /50 µl sampai encean 1/1000 sebanyak 4 lubang. Setelah itu ditambahkan media 2 % FBS sebanyak 50µl tiap lubang. Untuk kontrol sel sebanyak 100 µl tiap lubang. Terakhir ditambahkan suspensi sel dengan kandungan sel 3 x 105 sebanyak 50 µl tiap lubang. • Pembacaan dilakukan setiap hari sampai hari ke 5, enceran serum yang ada CPE pada sel merupakan batasan antibodi. Untuk yang meragukan, apabila pada enceran ¼ sudah timbul CPE, maka serum tersebut disebut negatiif antibody. • Pembacaan titrasi ulang (back titration) dilakukan setiap hari sampai hari ke 5. Apabila pada enceran 1/100 terjadi 50 % CPE maka virus yang dipakai untuk menguji serum tepat 100 CCID 50 /50 µl. • Definisi titer: Pengenceran serum tertinggi dengan volume 50 µl yang mampu menetralisir virus 100 CCID 50 tepat 100 CCID 50 /50µl. Titer antibodi dinayatkan dalam log2. Intepretasi Hasil Bila tidak terjadi kerusakan sel pada lubang serum yang diuji, maka lubang yang mengandung serum tersebut mengandung antibodi spesifik terhadap virus penguji. Tingginya kandungan antibodi terlihat pada tingkat enceran serum yang dapat menahan aktifitas virus penguji pada sel. c. deteksi penyakit ibr dengan nested pcr 45 1) Prinsip Dasar Reaksi Berantai Polimerasi (Polymerase chain reaction, PCR) adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua terget DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya. Pada dasarnya reaksi PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in vivo, yaitu dengan adanya pembukaan rantai DNA (denaturation) utas ganda, penempelan primer (annealing) dan perpanjangan rantai DNA baru (extension) oleh enzim DNA polymerase dari arah terminal 5’ ke 3’. Pada teknik PCR tidak menggunakan enzim ligase dan primer RNA. Secara singkat, teknik PCR dilakukan dengan mencampurkan sampel DNA dengan primer oligonkleotida, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam larutan DNA yang sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran secara berulang beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah sekuens DNA yang diinginkan. Proses PCR memerlukan sejumlah siklus untuk mengamplifikasi suatu sekuens DNA spesifik. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap, yaitu denaturasi, annealing (hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi dilakukan pada suhu 90 – 95°C, sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida pada sekuens yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ini disebut dengan annealing. Suhu campuran diturunkan sampai ~ 55°C atau sesuai dengan melting temperatur (Tm) dari primer oligonukleotida. Selama tahap ini, primer berpasangan dengan sekuens komplementernya di dalam DNA cetakan. Primer oligonukleotida melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah yang berlawanan; satu primer melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah yang berlawanan; satu primer melekat pada ujung utas DNA sense, sedangkan primer yang lain melekat pada ujung utas DNA antisense. Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu 72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap ini enzim Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan mononukleotida pada primer yang sesuai dengan utas DNA komplementer yang berada di sebelahnya. Suhu pada setiap tahap diatur sedemikian rupa sehingga dihasilkan amplifikasi sekuens target DNA yang efisien. Rangkaian proses tersebut di atas merupakan PCR standar yaitu hanya menggunakan sepasang primer yang biasa disebut sebagai primer eksternal. Target DNA BHV-1 dengan menggunakan primer eksternal menghasilkan pita 478bp. Untuk nested PCR, maka produk PCR tahap pertama di atas diamplifikasi kembali dengan menggunakan sepasang primer yang biasa disebut sebagai primer internal. Target spesifik nested PCR akan lebih pendek yaitu 325bp bila dibandingkan dengan target PCR standar. Sedangkan kemampuan deteksi dengan nested PCR akan jauh lebih sensitif bila dibandingkan dengan PCR standar. 2) isolasi DNA dengan menggunakan Column • (GF-1 Forensic DNA Extraction Kit, Vivantis) • Sampel: Usap mukosa hidung asal sapi 46 a. persiapan sampel: (1) Ambil sampel swab 500 uL, masukkan ke tabung eppendorf 2 ml. Tambahkan 1,5 ml PBS, campur hingga homogen dengan vorteks. Inkubasi pada suhu 30°C selama 2-3 jam. (2) Sentrifugasi pada 7.000 rpm selama 10 menit. Buang supernatan. (3) Resuspensikan dengan penambahan Buffer STL sebanyak 200 µL. (4) Tambahkan 25 µL OB Protease dan campur hingga homogen dengan vorteks. Inkubasikan pada suhu 60°C selama 45 menit, setiap 15 menit dikocok perlahan. (5) Tambahkan 225 µL buffer BL dan campur dengan vorteks, inkubasikan 60°C selama 10 menit. (6) Tambahkan 300 µL Isopropanol dan campur dengan vorteks. b. Isolasi DNA (1) Tambahkan 100 µL Equilibrium Buffer pada column dan lengkapi dengan tabung koleksi. Berdirikan pada suhu ruang selama 4 menit dan sentrifugasi dengan kecepatan maksimum (12.000 rpm) selama 20 detik. (2) Pindahkan sebanyak 600 µl sampel yang telah diproses di atas ke dalam column, sentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Buang Filtrat. (3) Ulangi tahap 2 hingga semua sampel dapat diproses. (4) Tambahkan 500 µL HB Buffer dan sentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Buang filtrat. (5) Cuci dengan 750 µl DNA wash Buffer dan sentrifugasi 8.000 x g selama 1 menit. Buang filtrat. (6) Sentrifugasi column pada kecepatan maksimum (12.000 rpm) selama 2 menit untuk menghilangkan residu ethanol. (7) Masukkan column ke tabung eppendorf baru, tambahkan 50 – 100 µL Elution Buffer (panaskan pada suhu 70oC sebelum dipakai) dan berdirikan selama 3 menit. Sentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. (8) Ukur konsentrasi DNA dengan menggunakan Spectrophotometer NanoDrop ND1000. Simpan DNA pada suhu 4°C atau -20°C. 3) Pembuatan Master Mix (Mm) Ke-1 • Ambil 1 tabung eppendorf 1,5 ml steril beri nama (MM-1). • Ambil 4 tabung eppendorf 0,2 ml steril dan masing-masing beri nomor: 1, 2, 3 dan 4 (1 dan 2 adalah kontrol negatif dan positif; 3 dan 4 sampel) • Cairkan bahan PCR dari -20°C terdiri dari: Buffer PCR 10x, dNTPs 2 mM, dH2O, Primer gD_P1F 625 pM (5’-GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3’), dan Primer gD_P2R 625 pM (5’-GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC-3’). • Sedangkan Taq DNA Polymerase diambil terakhir manakala master mix telah selesai dibuat. • Buat master mix sebagai berikut: Examiner Source of Samples : : Group_1 Nasal secretion cattle of 47 Date of Judgement Number of Samples Control +ve and ve Extra reaction Total : : 20-04-2009 2 : 2 : : 1 5 1st Reaction: Composition Concentration PCR buffer dNTPs Primer P1F Primer P2R Taq DNA Poly. 10 x 2 mM 625 pM 625pM 5 unit/uL Total dH2O Vol (ul) = = = = = 2.5 2.5 0.5 0.5 0.25 6.25 13.75 n Total (ul) x x x x x 5 5 5 5 5 = = = = = 12.5 12.5 2.5 2.5 1.25 x 5 = 68.75 Final Concentration 1x 0.2 mM 12.5 pM 12.5 pM 1.25 unit DNA template (10 ng/µl) = 5 µl Total reaction = 25 µl Aliquote = 20 µl/rxn Control +ve (10 ng/µl) = 5 µl + 20µl dH2O (1) Setelah selesai pembuatan master mix dan penambahan DNA, semua tabung eppendorf 0,2 ml yang telah berisi reagensia PCR dimasukkan ke mesin Thermal Cycle ABI 9700. (2) Buat Program amplifikasi DNA. CATATAN: Penambahan DNA jangan dilakukan di ruang Master Mix. Harus dilakukan di ruang Ekstraksi. 4) Pembuatan Program Amplifikasi DNA Ke-1 (1) Nyalakan (On) mesin thermal cycle. (2) Buat Program amplifikasi sebagai berikut: o C Pre-denaturation Denaturation Annealing Extension Final Extension Hold Temp. 92 95 60 72 72 4 time Cycles 35 4 min. 1 min. 1 min. 1 min. 10 min. unlimitted (3) Set volume reaksi = 25 µl (4) Run program, dan biarkan hingga selesai. Lihat waktu selesai pada LCD dengan menekan ”info”. 5) Pembuatan Master Mix (Mm) Ke-2 48 (1) Ambil 1 tabung eppendorf 1,5 ml steril beri nama (MM-2). (2) Ambil 4 tabung eppendorf 0,2 ml steril dan masing-masing beri nomor: 1, 2, 3 dan 4 (1 dan 2 adalah kontrol negatif dan positif; 3 dan 4 sampel), beri tanda garis bawah pada setiap nomor (untuk membedakan reaksi pertama dengan reaksi ke-2). (3) Cairkan bahan PCR dari -20°C terdiri dari: Buffer PCR 10x, dNTPs 2 mM, dH2O, Primer gD_P3F 625 pM (5’-ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC GAG AGC G-3’), dan gD_Primer P4R 625 pM (5’-CCA AAG GTG TAC CCG CGA GCC-3’). (4) Sedangkan Taq DNA Polymerase diambil terakhir manakala master mix telah selesai dibuat. (5) Buat master mix sebagai berikut: 2nd Reaction: Composition PCR buffer dNTPs Primer P1F Primer P2R Taq DNA Poly. Concentration 10 x 2 mM 625 pM 625pM 5 unit/uL Total dH2O Vol (µl) = = = = = Total reaction Aliquote DNA template from 1st reaction 2.5 2.5 0.5 0.5 0.25 6.25 17.75 n Total (µl) x x x x x 5 5 5 5 5 = = = = = 12.5 12.5 2.5 2.5 1.25 x 5 = 88.75 Final Concentration 1x 0.2 mM 12.5 pM 12.5 pM 1.25 unit = 25 µl = 24 µl/rxn = 1 µl (6) Setelah selesai pembuatan master mix dan penambahan DNA, semua tabung eppendorf 0,2 ml yang telah berisi reagensia PCR dimasukkan ke mesin Thermal Cycle ABI 9700. Buat Program amplifikasi DNA sebagai berikut: o C Pre-denaturation Denaturation Annealing Extension Final Extension Hold Temp. 92 95 65 72 72 4 time Cycles 35 4 min. 1 min. 1 min. 1 min. 10 min. unlimitted (7) Set volume 25 µl, Run Program. Untuk melihat kapan selesai proses amplifikasi dapat di lihat di LCD dengan menekan “Info”. 6) Elektroforesis (1) Buat 2% agarose dengan cara menimbang 2 gram agarose, larutkan ke 100 ml TBE 1x (Tris Borat EDTA) dalam botol Schoot atau erlenmeyer 200 ml. 49 (2) Larutkan agarose dengan mendidihkan pada microwave (3 menit). (3) Aduk agarose perlahan-lahan, setelah suhu ±60°C, tambahkan 10 µl Ethidium Bromida (1 µg/ml) ke dalam agarose (100 ml) dan aduk perlahan-lahan. Kemudian masukkan ke Cetakan elektroforesis yang telah dilengkapi dengan sisir (comb). (4) Biarkan agarose membeku kurang lebih 30 menit. Kemudian ambil sisir, dan masukan agarose beserta cetakannya ke Tank Elektroforesis. (5) Tambahkan TBE 1x ke dalam Tank (± 500 ml). Setiap Lubang (well) agarose dibilas dengan TBE 1x menggunakan syring. (6) Masukkan ke dalam well (lubang) agarose masing-masing 3 µl sampel dengan urutan sebagai berikut: Marker 1 kb; Kontrol negatif; Kontrol Positif; sampel 1 dan Sampel 2. Atau untuk menghindari kontaminasi, kontrol positif detetskan terakhir. (7) Hubungkan mesin elektroforesis dengan aliran listrik 220 volt, dan set elektroforesis pada 100 volt, dan lamanya 30-45 menit. Run Power supply. (8) Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan menggunakan UV viewer atau alat GelDoc. Dokumentasi bisa menggunakan Camera Digital atau langsung di Print Out. (9) Hasil akan tampak seperti gambar di bawah ini: M. Marker 1 kb Gambar 7. Gambar Hasil Elektroforesis PCR IBR A. Kontrol negatif B. Kontrol Positif (IBR strain Colorado) 1. Sampel lapang #1 2. Sampel lapang #2 3. Sampel lapang #3 4. Sampel lapang #4 Primer untuk deteksi BHV-1 gD Nama gD_P1F (Ext) gD_P2R (Ext) Sekuen Lokasi (nt) 5’-GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3’ 351-368 5’-GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC- 817-796 3’ Produk (bp) 468 50 gD_P3F (Int.) gD_P4R (Int.) 5’-ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC 394-422 GAG AGC G-3’ 5’-CCA AAG GTG TAC CCG CGA 716-696 GCC-3’ 325 Bab IX BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOMYOPATHY 1. Pendahuluan Penyakit Transmisible Spongiform Encephalopathy (TSE) menyerang otak dan susunan syaraf hewan dan manusia. Penyakit ini disebabkan oleh Prion dan menyebabkan perubahan pathologis yang menciri pada otak dengan bentukan seperti spons. Di Indonesia penyakit TSE ini belum pernah ditemukan baik pada hewan maupun manusia, sehingga statusnya sampai saat ini masih dinyatakan sebagai penyakit eksotik. Penyakit TSE atau penyakit prion digolongkan kedalam penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui bahan makanan, obat-obatan, kosmetik dan bahan diagnostik yang berasal dari hewan penderita penyakit TSE atau penyakit prion. Kelompok penyakit ini yang menyerang sapi disebut sebagai Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal dengan mad cow atau sapi gila. Penyakit ini ditularkan melalui bahan asal hewan berupa specified risk material/SRM (otak, tonsil, mata, spinal cord, dorsal root ganglia, trigeminal ganglia dan distal ilium) yang dapat tercampur di dalam bahan baku pakan ternak berupa tepung daging dan tulang. Sampai saat ini, belum ada metoda yang dapat mengidentifikasi prion dari hewan yang masih hidup. Deteksi prion hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi otak dengan melihat bentukan spons. Oleh karena itu, dalam upaya mencegah masuknya penyakit BSE ini ke Indonesia, petugas karantina hewan di lapangan harus melakukan pemeriksaan terhadap bahan baku pakan khususnya Poultry by Product Meal (PPM) dan Poultry Meat Meal (PMM) terhadap kemungkinan campuran Meat and Bone Meal (MBM)/SRM dengan kandungan mamalia, serta pengujian MBM terhadap kemungkinan campuran SRM dengan kandungan mamalia. Gambar 8. Histopatologi BSE, bentukan spons pada otak 2. Diagnosis 51 Diagnosis laboratorium untuk BSE didasarkan pada deteksi kandungan MBM asal mamalia pada PMM dan PPM serta deteksi kandungan SRM asal mamalia pada MBM. Deteksi ini dapat menggunakan metode mikroskopis klasik, metode pemeriksaan menggunakan kit dan pengujian dengan PCR. 3. Metode Clasical Microscopy • Analisis Mikroskopis Bahan Pakan Asal Hewan a. deskripsi Pemeriksaan mikrokopis atas kandungan bahan pakan asal hewan terdiri dari dua tahapan: (1) Pemeriksaan pakan atau bahan baku pakan secara langsung dilakukan penyaringan dengan ukuran lubang filter < 500 mikron diperoleh fragmen untuk mengetahui fragmentasi bahan asal hewan (seperti fiber, fragmen tulang, horn, darah kering, rambut, sisik ikan, bulu, fragmen telur dan tulang rawan); (2) Pemeriksaan hasil sedimentasi diperoleh melalui pelarutan pakan atau bahan baku pakan dengan menggunakan tetrachlorethylene untuk mendeteksi fragmen (fiber, fragmen tulang, horn, darah kering, rambut, sisik ikan, bulu, fragmen telur dan tulang rawan fiber, fragmen tulang, horn, darah kering, rambut, sisik ikan, bulu, fragmen telur dan tulang rawan/ dari mamalia, poultry). b. manfaat Pengujian ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara mikroskopik adanya kandungan bahan asal hewan pada pakan atau bahan baku pakan sebagai sumber protein asal hewan. c. Methodologi Protokol analisa mikrokopik terhadap pakan atau bahan baku pakan menurut commission directive 2003/126/EC (23 Desember 2003). Deteksi fragmen bahan baku pakan dengan menggerus bahan baku pakan menjadi partikel yang berukuran kurang dari 1 mm, kemudian dilakukan dua tahap pengujian: (1) Sieve fraction analysis : analisis partikel dilakukan setelah penyaringan. Cara kerja: timbang 5 g sampel, disaring dengan ukuran lubang saringan sebesar 500 mikron sehingga terbagi menjadi dua bagian, partikel lebih dari 500 mikron dan kurang dari 500 mikron. Partikel yang lebih kasar (partikel > 500 mikron) dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop stereo dan partikel yang halus (partikel < 500 mikron) dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop compound. (2) Sediment analysis : analisis partikel dilakukan pada sedimen hasil penyaringan. Cara kerja: 5 g sampel yang sudah digerus dimasukan kedalam beker glass dan ditambahkan 50 ml tetrachlorethylen. Campuran diaduk dan dihomogenisasi dengan stirer kemudian 52 dibiarkan selama 5 menit. Seluruh endapan dikeringkan dan diperiksa kandungan fragmen dengan menggunakan mikroskop stereo dan compound untuk melihat fragmen tulang asal unggas, ikan ataupun mamalia. Perhitungan kandungan bahan asal hewan dalam bahan baku pakan dilakukan berdasarkan muscle fibre ratio terhadap fragmen tulang pada Sieve fraction analysis dan kombinasi berat tulang pada fase sedimentasi. DIAGRAM PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MBM SAMPEL 100 GRAM, UKURAN 1 2 MM FILTRASI 250 µL - 500 µL KASAR FRAKSI A HALUS FRAKSI B SEDIMENTASI DALAM TETRACHLOR ETHYLEN SEDIMENT FILTRASI 250 µL - 500 µL KASAR FRAKSI C HALUS FRAKSI D FLOATING FILTRASI 250 µL - 500 µL KASAR FRAKSI E HALUS FRAKSI F Keterangan : Pengamatan fragmen A, C dan E dilakukan dengan menggunakan mikroskop compound Pengamatan fragmen B dan F dilakukan dengan menggunakan mikroskop 53 d. metode pewarnaan sedimen Sedimen dari fraksi D (halus), dicuci dengan alkohol dan diulang selama 2 kali lakukan vortex, selanjutnya dilakukan bleaching menggunakan sodium hypochlorid 10% selama 10 menit, cuci dengan air dua kali, lakukan pewarnaan dengan alizarin red 2-10 tetes, cuci dengan alkohol dua kali, dan aceton satu kali, keringkan dan lihat di mikroskop compound dengan meneteskan glycerol. f. metode pewarnaan floating Cara kerja : fragmen f (halus) yang mengapung dilakukan embeding (menggunakan NaOH/KOH 2,5% atau menggunakan larutan chloral hydrat selanjutnya dapat dilakukan pewarnaan cystine atau pewarnaan iodine/potasium iodine, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pembacaan hasil : • Pewarnaan alizarine : tulang berwarna red/pink • Pewarnaan cystine : hair, feather atau yang mengandung cystine berwarna hitam kecoklatan • Pewarnaan iodine/potasium iodine : protein berwarna kuning-oranye, starch biru/violet Setiap sampel masing-masing dibuat 3 preparat dengan pengamatan setiap preparat diamati dalam 5 bidang pandangan (4 bidang berada diujung dan 1 bidang berada di tengah). 4. Metode Pemeriksaan Menggunakan Kit Prosedur Pemeriksaan (1) Tambahkan larutan bufer sebanyak 1 oz ke dalam tabung gelas ekstraksi. (2) Masukan satu sendok (sudah tersedia pada kit) sampel ke dalam tabung gelas ekstraksi, aduk menggunakan pengaduk. (3) Tutup tabung dan kocok selama 15 detik. (4) Masukan test strip kit mbm ke dalam gelas dengan tanda panah ke bawah gelas, tunggu selama 10 menit. (5) Setelah 10 menit, angkat test strip dari gelas dan intrepestasi hasil setelah 5 menit. (6) Hasil menunjukan satu garis adalah negatif, tidak ada MBM. (7) Hasil menunjukan dua garis adalah positif mbm ≥ 0,1% dan minimal ≤1%. (8) Hasil menunjukan tiga garis adalah positif mbm ≥ 0,1% mammalian dan mbm ≥1%. 5. Metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) Prosedur Pemeriksaan Mbm Dengan PCR Bahan: • Tissue extraction Solution I. • Tissue extraction Solution II. • DNA binding solution. • Magnetic beads. 54 • Enzim proteinase K. • TE buffer-ready to use. • Agarose gel. • loading dye 6. Cara kerja a. ekstraksi DNA dengan bio kit DNA ekstraksi 1) Untuk sampel MBM, timbang 2 gr dan masukan kedalam tube sampel 30 ml dan tambahkan 5 ml Tissue extraction Solution I dan 200 μg enzim proteinase K (20μl dari 10 mg/ml solution). Jika sampel sudah menyerap semua larutan, tingkatkan volume Tissue extraction Solution I hingga 10 ml dan enzim proteinase K hingga 400 μg, peningkatan volume lebih lanjut dapat dilakukan jika diperlukan hingga total 20ml + 800μg. Lanjut ke prosedur 2. 2) Vortex sampel hingga tercampur kemudian inkubasi selama 650C selama 60 menit dengan konstan shaking. 3) Pindahkan 1,0 ml masing-masing sampel kedalam tabung eppendorf yang bersih. • Dinginkan sampel ke dalam es selama 5 menit. Tambahkan 108 μl Tissue extraction Solution II (catatan: sangat penting untuk mendinginkan sampel untuk presipitasi protein jika terlalu hangat proses ini jadi tidak efisien). 4) Balik tabung untuk mencampur, pastikan tidak ada lumps (gelembung udara) dengan flicking dasar tube beberapa kali. 5) Letakan sampel ke dalam es selama 10 menit untuk memudahkan presipitasi protein. Sentrifus sampel > 8000 g selama 5 menit hingga ada sedimen. b. persiapan magnetic bead Selama proses sentrifus, siapkan magnetic beads : 1) Dengan lembut gerakan magnetic beads untuk menjamin adanya beads pada suspensi. 2) Ambil 50 μl beads ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml untuk masingmasing sampel. Imobilisasi beads dengan meletakkan tabung eppendorf 1,5 ml pada magnetik stand. Buang cairan supernatan menggunakan pipet. 3) Angkat tube dari rak dan cuci magnetik beads dengan resuspensi kedalam 500 μl molecular biological grade water (MBGW). 4) Imobilisasi beads dengan meletakan pada magnetic stand dan buang supernatan menggunakan pipet. c. ekstraksi dna 1) Letakan tabung eppendorf pada baris paling jauh dari magnet dan tambahkan 400 μl supernatan sampel kedalam magnetic beads, lakukan dengan hati-hati hindar debris pada lysate. 2) Tambahkan 400 μl DNA binding solution ke magnetic beads beads /sampel lysate lalu di vortex sebentar. Flick dasar tabung untuk meresuspensi beads secara total. 3) Inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Pastikan percampurannya sempurna dengan flicking setiap menit. 55 4) Imobilisasi beads dengan meletakan tabung eppendorf pada magnetic stand. Bolak balik tabung beberapa agar beads yang menempel disisi tabung ikut tercuci. 5) Biarkan tabung eppendorf pada magnet selama 2 menit kemudian dengan hati-hati buang supernatan. 6) Pindahkan tabung eppendorf pada baris terjauh dari magnet. Cuci beads DNA kompleks dengan melakukan suspensi ulang dalam 500 μl ethanol 75%. Jika magnetic beads susah diresuspensi lakukan flicking pada tabung sebanyak 5-10 kali. Imobilisasi the beads dengan meletakan tabung eppendorf pada magnetic stand dan buang ethanol. 7) Ulangi tahap no 6. 8) Inkubasi sampel (dengan membuka tutup tabung eppendorf selama 5 menit pada suhu 650C atau temperatur ruang yang kering selama 15 menit untuk menguapkan sisa ethanol. Jangan memanaskan pada suhu 650C lebih dari 5 menit. 9) Buang sisa cairan yang ada pada dasar tabung menggunakan pipet. 10) Tambahkan 100 μl TE buffer. Lakukan flick secara halus untuk merususpensi beads dan inkubasi pada suhu 650C selama 10 menit. 11) Lakukan flicking setiap 5 menit. 12) Sentrifus selama 5 detik. 13) Imobilisasi beads pada magnetic stand dan pipet supernatan ke dalam tabung eppendorf bersih. Tabung ini mengandung DNA yang sudah dipurifikasi. 14) Ulangi tahap no 10-13. Masukan supernatan ke dalam tabung eppendorf. (bisa tidak dilakukan) 15) Letakan tabung eppendorf pada magnetic stand selama 2 menit, jika masih ada beads ambil supernatan dan pindahkan ke tabung eppendorf yang baru. 16) Simpan ekstrak DNA pada 40C, jika untuk penyimpanan yang lama lebih dari 6 bulan sampel dibagi menjadi 5 μl aliquots dan simpan pada -200C. e. komponen kit pcr 1) Mastermix ada 4 vial (masing 0,5 l/vial) 2) Kontrol, terdiri dari 1 vial kontrol, 1 vial spike dan 1 vial DNA ladder. Material lain : • Hot-star Taq DNA polymerase; • 0,2 (dinding tipis PCR tube) 0,5 atau 1,5 tabung eppendorf; • Mesin PCR; • Pipet mikropipet (10 μl,20 μl,200 μl,1000 μl) dan disposable filter tips; • Vortex; • Ethidium bromide digunakan dengan konsentrasi 0,5μg/ml; • Agarose untuk DNA fragmen < 1 kb; • 0,5 Tris-borate EDTA (TBE) buffer. f. kontrol dan sampel pcr 56 1) Untuk satu sampel ekstrak DNA yang diuji, dianjurkan menjalankan 3 reaksi. • Dua sampel reaksi mengandung sebanyak 20 μl PCR mastermix dan 5 μl ekstrak DNA sampel. • Reaksi sampel spike mengandung 20 μl PCR mastermix, 5 μl ekstrak DNA sampel dan 1 μl spike DNA solution. Tujuan reaksi spike untuk mencegah negative palsu yang disebabkan pengaruh matrix. 2) Masing-masing mastermix, dianjurkan menjalankan 3 PCR kontrol. • Satu kontrol positif, mengandung 20 μl PCR mastermix dan 5 μl kontrol positif Ekstraksi DNA. • Satu ekstraksi blank, mengandung 20 μl PCR mastermix dan kontrol blank bersamaan dengan sampel. • Satu water blank, mengandung 20 μl PCR mastermix dan 5 μl moleculer biology grade water. 5 μl g. pcr mastermix 1) Semua tahapan harus dilakukan pada daerah DNA free. 2) Sangat dianjurkan mempersiapkan larutan mastermix PCR dan DNA Taq polimerase dalam reaksi PCR individual. 3) Masing-masing reaksi individu 19,9 mastermix PCR dan 0,1 μl DNA Taq polimerase. Oleh karena itu untuk menguji 5 sampel DNA perlu disiapkan mastermix 19 reaksi (3 reaksi untuk masing-masing sampel, termasuk reaksi spike, 3 kontrol dan 1 ekstra untuk kesalahan pipeting). 4) Selama mencampur mastermix harus memipet dengan baik. 5) 20 μl mastermix harus dimasukan kedalam individual tabung eppendorf 0,2 ml. Reaksi kemudian siap untuk ditambahkan template DNA. 6) Tambahkan 5 μl template DNA pada masing-masing mastermix, sehingga volume sekarang menjadi 25 ul. Konsentrasi DNA yang ideal tidak lebih dari 20ng/μl. DNA yang keruh (cloudy) harus disentrifus sebeleum dilanjutkan kereaksi PCR. 7) 1 μl larutan spike harus dimasukan pada masing-masing reaksi spike. 8) 5 μl kontrol positif DNA harus ditambahkan ke tab reaksi kontrol. 9) 5 μl larutan blank harus dimasukan kereaksi ekstraksi blank. 10) 5 μl water harus ditambahkan kereaksi water blank tube. • Protocol PCR BEEF 940C selama 10 menit (untuk aktivasi hot star taq) 940C selama 15 detik siklus 30 620C selama 15 detik 720C selama 15 detik 720C selama 15 detik 40C-hold • Protocol PCR PORK 940C selama 10 menit (untuk aktivasi hot star taq) 57 940C selama 15 detik siklus 30 640C selama 15 detik 720C selama 15 detik 720C selama 15 detik 40C-hold h. preparasi sampel dan alur flow chart ekstraksi HOMOGENASI SELURUH SAMPEL ATAU SEDIKIT 5X20g BAGIAN (2 l) TAMBAHKAN TISSUE EXTRACTION SOLUTION I (5ml) DAN PROTEINASE K KE SAMPEL (20ul), TINGKATKAN VOLUME SOLUTION I DAN PROTEINASE K JIKA VOLUME AWAL TERSERAB 0 (waterbath 65 C/60 dengan konstan shaking), sentrifus sebentar TRANSFER 1 ML LYSATE KE TABUNG EPENDORF BERSIH ( ) DINGINKAN SAMPEL DALAM ES SELAMA 5 MENIT, TAMBAHKAN 108ul TISSUE EXTRACTION SOLUTION II (108ul) BALIK TABUNG UNTUK MENCAMPUR, INKUBASI SAMPEL PADA ES S 10 MENIT SENTRIFUS SAMPEL PADA 8000G SELAMA 5 MENIT BUANG SUPERNATAN 400ul dan tambahkan 50ul WASHED MAGNETIC BEAD TAMBAHKAN 400ul DNA BINDING SOLUTION, CAMPUR DAN INKUBASI PADA SUHU RUANG SELAMA 5 MENIT CUCI BEADS 2 KALI MENGGUNAKAN 500ul 75% ethanol, keringkan 0 bead pada 65 C SELAMA 5 MENIT 0 ELUSI DNA DALAM 2X 100ul TE BUFER PADA SUHU 65 C selama 10 menit 58