9 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Manajemen Sumber Daya Manusia Salah satu aspek utama dalam proses pencapaian tujuan organisasi adalah pemberdayaan secara optimal sumber daya manusia yang dimiliki. Mengelola sumber daya manusia yang efektif dan efisien akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja yang optimal, terlebih menghadapi tantangan di era industri 4.0 yang sangat kompetitif dan lingkungan yang cepat berubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparyadi (2015:1) yang mengemukakan, bahwa: Manajemen sumber daya manusia memainkan peranan yang menentukan dalam kehidupan sebuah organisasi, yaitu seberapa baik kinerja organisasi itu, seberapa baik strategi organisasi dapat dilaksanakan, dan seberapa jauh tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Untuk itu organisasi perlu menyadari bagian penting dalam mengelola sumber daya manusia sebagai sumber daya vital untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Tanpa upaya mempengaruhi dan mendorong keterlibatan sumber daya manusia secara efekif maka dapat dikatakan bahwa tujuan organisasi akan sulit dicapai. Sedangkan Noe dalam Kasmir (2017:6) dengan memberikan pengertian manajemen sumber daya manusia sebagai: 10 “ Noe menyebutkan Human resources management refers to the policies practices anda systems that influence employees behavior, attitudes, and performance. (Artinya: Noe menyebutkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan bagaimana mempengaruhi perilaku, sikap dan kinerja karyawan melalui kebijakan dan sistem yang dimiliki oleh perusahaan)”. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu mekanisme yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku dan kinerja karyawan agar mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Noe dalam Suparyadi (2015:2) bahwa manajemen sumber daya manusia meliputi praktek-praktek tentang orang seperti ditunjukkan pada gambar berikut: Analisis dan desain pekerjaan Perencanaan SDM Perekrutan Seleksi Pelatihan dan Pengembangan Kinerja Perusahaan Kompensasi Manajemen Kinerja Hubungan Karyawan Gambar 2.1 Praktek manajemen SDM (Noe et al.,2006) Dengan demikian sangat jelas bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan praktek strategis dalam upaya peningkatan kinerja 11 untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan yang hendak dicapai oleh karyawan, salah satu aktifitas pentingnya adalah manajemen kinerja karyawan. 2. Manajemen Kinerja Sebagai upaya meningkatkan kinerja organisasi maka dibutuhkan manajemen kinerja yang dapat mengelola sumber daya manusia untuk dapat berkontribusi pada kepuasan stakeholdernya. Pencapaian terhadap tujuan organisasi melalui proses bersama antara karyawan dan atasannya secara efektif menjadi tujuan diperlukannya manajemen kinerja organisasi. Menurut Amstrong (2004: 29) bahwa: Manajemen kinerja merupakan sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu keangka tujuan, standar dan persyaratanpersyaratan atribut/kompetensi terencana yang telah disepakati. Sedangkan Bacal dalam Wibowo (2016:7) memberi pandangan bahwa “ manajemen kinerja sebagai proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. Proses komunikasi ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya peningkatan kinerja karyawan dalam organisasi akan lebih mudah dilakukan karena melibatkan seluruh sumber daya manusianya dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengenali lingkungannya dan 12 potensinya serta mendorong karyawan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi. Sejalah dengan itu dapat dikatakan bahwa manajemen kinerja dapat berjalan lebih baik dengan terlebih dahulu dirumuskan dan disepakati bersama oleh seluruh tim dalam organisasi terhadap tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai. Hal ini pun dikatakan oleh Amstrong dalam Wibowo (2016: 8) bahwa: “ Manajemen kinerja adalah proses sistematis untuk memperbaiki kinerja organisasi dengan mengembangkan kinerja individu dan tim. Merupakan sarana untuk mendapatkan hasil lebih baik dengan memahami dan mengelola kinerja dalam kerangka kerja yang disepakati tentang tujuan terencana, standar dan persyaratan kompetensi ”. Sedangkan menurut Surya Darma (2010:27) berpendapat bahwa bilamana orang tahu dan mengerti apa yang diharapkan dari mereka, dan diikutsertakan dalam penentuan sasaran yang akan dicapai maka mereka akan menunjukkan kinerja untuk mencapai sasaran tersebut. Selanjutnya Noe dalam Surya Darma (2010:19) menyebutkan 3 (tiga) tujuan manajemen kinerja yaitu: 1. Tujuan Stratejik Manajemen kinerja harus mengaitkan kegiatan pegawai dengan tujuan organisasi. Pelaksanaan strategi tersebut perlu mendefenisikan hasil yang dicapai, perilaku, karakteristik pegawai yang dibutuhkan untuk melaksanakan startegi, mengembangkan pengukuran dan sistem umpan balik terhadap kinerja. 2. Tujuan Administratif Kebanyakan organisasi menggunakan iformasi manajemen kinerja khusunya evaluasi kinerja untuk kepentingan keputusan 13 administratif, seperti: penggajian, promosi, pemberhentian pegawai dan lain-lain. 3. Tujuan pengembangan Manajemen kinerja bertujuan mengembangkan kapasitas pegawai yang berhasil di bidang kerjanya. Pegawai yang tidak berkinerja baik perlu mendapat pemberdayaan melalui training, penempatan yang lebih cocok dan sebagainya. Pihak manajemen perlu memahami apa saja penyebab pegawai tidak berkinerja baik, apabila faktor skill, motivasi, dan lain-lain sehingga dapat diambil langkah-langkah perbaikan kinerjanya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Surya Darma (2010: 27) bahwa tujuan umum manajemen kinerja adalah untuk menciptakan budaya para individu dan kelompok memikul tanggung jawab bagi usaha peningkatan proses kerja dan kemampuan yang berkesinambungan. Menurut Mangkunegara (2017:20) bahwa adapun bagi pegawai, tujuan manajemen kinerja adalah: a. Membantu para pegawai untuk mengerti apa yang seharusnya mereka kerjakan dan mengapa hal tersebut harus dikerjakan serta memberikan kewenangan dalam mengambil keputusan. b. Memberikan kesempatan bagi para pegawai untuk mengembangkan keahlian dan kemampuan baru. c. Mengenali rintangan-rintangan peningkatan kinerja dan kebutuhan sumber daya yang memadai. Dari pendapat tersebut maka manajemen kinerja merupakan praktek kinerja secara berkesinambungan dengan berupaya secara serius melakukan perbaikan dan evaluasi terhadap proses mencapai tujuan organisasi dengan melibatkan karyawan, tim dan segenap manajemen dalam organisasinya. Tenner dan detoro dalam Gaspersz (2003: 13) mengemukakan suatu model peningkatan proses terus menerus yang terdiri dari enam 14 langkah, sebagai berikut: (1) Mendefenisikan Masalah dalam Konteks Proses, (2) Identifikasi dan Dokumentasi proses, (3) Mengukur Kinerja, (4) memahami mengapa suatu masalah dalam kontek proses terjadi, (5) Mengembangkan dan menguji ide-ide, (6) Implementasi Solusi dan evaluasi. Untuk itu terhadap masalah yang dihadapi oleh organisasi berupa tantangan yang sering menghambat pencapaian kinerja optimal maka perlu tindakan korektif dengan memahami sumber masalah dan berupaya melakukan perbaikan atau evaluasi dengan melibatkan karyawan dan atasan secara bersama sama dan secara terus menerus meningkatkan kinerja sesuai dengan tujuan organisasinya. 3. Model Manajemen Kinerja Menurut Wibowo (2016 :23) bahwa proses tentang bagaimana kinerja seharusnya dijalankan dan diungkapkan dengan cara berbedabeda diantara para pakar dari yang sangat mendasar sampai pada proses yang mendalam. Beberapa diantaranya sebagai berikut: a. Model Deming Deming menjelaskan proses manajemen kinerja dimulai dengan menyusun rencana, melakukan tindakan pelaksanaan, memonitor jalannya dan hasil pelaksanaan, dan akhirnya melakukan review atau peninjauan kembali atas jalannya pelaksanaan dan kemajuan pekerjaan yang telah dicapai. Manajemen Kinerja Deming menggambarkan keseluruhan proses manajemen kinerja dan dapat digambarkan sebagai berikut: 15 Rencana Review Tindakan Monitor Gambar 2.2 Siklus Manajemen Kinerja Deming Sumber : Wibowo , Manajemen Kinerja, 2016: 24. Siklus ini disebut pula “silkus deming” karena deminglah yang mempopulerkan dan memperluas penerapannya. Ini disebut pula siklus P-D-C-A (Plan , Do, Check, Action) yang merupakan metode yang dapat melakukan perbaikan secara terus menerus (continuous improvment) tanpa berhenti. Selain itu siklus ini merupakan manajemen perbaikan mutu secara berkesinambungan Siklus ini selain sederhana dan mendasar namun lebih menekankan pada perbaikan proses sehingga mampu menyelesaikan masalah baru dan berulang serta meningkatkannya secara berkelanjutan, sehingga banyak organisasi yang menerapkannya. Penjelasan dari tahap-tahap dalam siklus PDCA adalah sebagai berikut (M. N. Nasution, 2005:32): 16 1. Mengembangkan rencana (Plan) Merencanakan spesifikasi, menetapkan spesifikasi atau standar kualitas yang baik, memberi pengertian kepada bawahan akan pentingnya kualitas produk, pengendalian kualitas dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. 2. Melaksanakan rencana (Do) Rencana yang telah disusun diimplementasikan secara bertahap, mulai dari skala kecil dan pembagian tugas secara merata sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dari setiap personil. Selama dalam melaksanakan rencana harus dilakukan pengendalian, yaitu mengupayakan agar seluruh rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar sasaran dapat tercapai. 3. Memeriksa atau meneliti hasil yang dicapai (Check) Memeriksa atau meneliti merujuk pada penetapan apakah pelaksanaannya berada dalam jalur, sesuai dengan rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Membandingkan kualitas hasil produksi dengan standar yang telah ditetapkan, berdasarkan penelitian diperoleh data kegagalan dan kemudian ditelaah penyebab kegagalannya. 4. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (Action) Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, yang didasarkan hasil analisis di atas. Penyesuaian berkaitan dengan standarisasi 17 prosedur baru guna menghindari timbulnya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya. b. Model Torrington dan Hall Model ini dijelaskan Wibowo (2016:24) sebagai proses manajemen kinerja dengan merumuskan terlebih dahulu harapan terhadap kinerja atau hasil yang diharapkan dari suatu kinerja. Kemudian, ditentukan dukungan yang diberikan terhadap kinerja untuk mencapai tujuan. Sementara itu, pelaksanaan kinerja berlangsung dilakukan peninjauan kembali dan penilaian terhadap kinerja. Langkah selanjutnya melakukan pengelolaan terhadap standar kinerja. Standar kinerja harus dijaga agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Menentukan harapan kinerja Mengelola standar kinerja Mendukung Kinerja Mereview dan Menilai Kinerja Gambar 2.3 Siklus Manajemen Kinerja Torrington dan Hall Sumber: Wibowo, Manajemen Kinerja, 2016: 25. 3. Model Costello Wibowo (2016: 25) menjelaskan, siklus ini dimulai dengan melakukan persiapan perencanaan sehingga dapat dibuat suatu 18 rencana dalam bentuk rencana kinerja dan pengembangan. Untuk meningkatkan kinerja, diberikan coacing pada sumber daya manusia dan dilakukan pengukuran kemajuan kinerja. Peninjauan kembali selau dilakukan terhadap kemajuan pekerjaan dan apabila diperlukan dilakukan rencana. Siklus dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.4: Model Manajemen Kinerja Costello Sumber: Wibowo, manajemen Kinerja. 2016; 26 4. Konsep Kinerja Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (individu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai merupakan hasil perilaku individu dalam suatu organisasi yang ditetapkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sedangkan kinerja organisasi mencakup hasil dari keseluruhan sumber daya dalam 19 organisasi tersebut, sehingga hasil kinerja pegawai akan sangat mempengaruhi keseluruhan kinerja organisasi. Beberapa pendapat mengenai kinerja tersebut disebutkan oleh Mangkunegara (2017:15) bahwa: Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi. Sedangkan Faustino Cardosa Gomes dalam Mangkunegara (2017: 9) mengemukakan defenisi kinerja karyawan sebagai: “ Ungkapan seperti output, efisiensi serta efektifitas sering dihubungkan dengan produktifitas”. Sedangkan Gibson berpendapat dalam Kasmir (2017:182) mengatakan bahwa: “Kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik individual, motivasi individu, pengharapan, dan penilaian yang dilakukan oleh manajemen terhadap pencapaian hasil kerja individu “. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja yang dihasilkan oleh seorang pegawai dari segi kualitas maupun kuantitas dipengaruhi oleh kondisi internal individu dan motivasi sebagai penggerak pencapaian tujuan individu dan organisasi secara efisien dan efektif. Kemampuan seseorang merupakan ukuran pertama dalam upaya meningkatkan kinerjanya, motivasi yang mendorongnya akan mempengaruhi tingkat keberhasilannya. 20 Menurut Bernardin dan Russel dalam Sopiah dan Sangadji (2018:350) mendefenisikan kinerja sebagai berikut: “Performance is defined as the record of outcome produced on a specified job function or acivity during a time period. (kinerja didefenisikan sebagai catatan hasil yang diperoleh dari suatu pekerjaan atau aktivitas tertentu dalam jangka waktu tertentu) “. Sedangkan Mangkunegara dalam Sopiah dan Sangadji (2018:350 ) mendefenisikan kinerja sebagai “ hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tangung jawab yang diberikan kepadanya”. Kualitas yang dimaksud disini adalah dilihat dari kehalusan, kebersihan, dan ketelitian dalam pekerjaan, sedangkan kuantitas dilihat dari jumlah atau banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan karyawan. Sedangkan Soeprihanto (2000:7) mengatakan bahwa ”kinerja atau prestasi seseorang pegawai pada dasarnya adalah hasil kerja seorang pegawai selama periode waktu tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kinerja pegawai Badan Pengelola Keuangan Daerah adalah sejauh mana kemampuan seorang pegawai berperan aktif dalam perilakunya dan hasil kerjanya baik dari segi kualitas maupun kuantitas dalam pencapaian tujuan organisasi. Hubungan antara kinerja perorangan (pegawai) dengan kinerja organisasi sangat erat. Jika kinerja perorangan (pegawai) baik maka kemungkinan besar kinerja organisasi juga baik. Hanya saja untuk 21 menghasilkan kinerja yang tinggi seorang pegawai tidak hanya harus memiliki keterampilan dan pengetahuan tetapi ia juga harus memiliki keinginan dan kegairahan untuk berprestasi tinggi. Oleh karena itu dapat pula disimpulkan bahwa kinerja pegawai merupakan prestasi kerja, unjuk kerja atau hasil kerja (output) baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai karyawan dalam periode waktu tertentu dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Selain itu kinerja yang dihasilkan pegawai tidaklah serta merta terjadi dengan sendirinya, kemampuan pegawai kadangkala terlihat lebih baik dan seringkali pula kinerjanya rendah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang dikemukakan oleh Amstrong dalam dalam Sopiah dan Sangadji (2018:352) sebagai berikut: 1. Personal factors (faktor individu). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, komitmen, dan lain-lain. 2. Leadership factors (faktor kepemimpinan). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja. 3. Team factors (faktor kelompok/rekan kerja). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 4. System factors (faktor sistem). Faktor sistem berkaitan dengan sistem metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi. 5. Contextual/situasional factors (faktor situasi). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Sehingga untuk dapat meningkatkan kinerja pegawai perlu memperhatikan faktor faktor internal dan eksternal organisasi dan secara 22 bersama memberi dukungan dan mendorong upaya peningkatan kinerja secara berkelanjutan. Setiap aspek tidak lebih penting antar satu dengan lainnya tetapi seharusnya saling menguatkan dan berkontribusi terhadap upaya pencapain tujuan organisasi. 5. Pengukuran kinerja Untuk dapat mengetahui tingkat keberhasilan kinerja pegawai dalam suatu organisasi maka diperlukan standar atau kriteria sebagai pedoman untuk mengukur hasil kerja tersebut. Hal ini diungkapkan oleh james B whittaker dalam Sedarmayanti (2017:219) “ Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas, pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran”. Selain itu lebih lanjut Sedarmayanti mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan misi dan visi organisasi. Karenanya, sudah merupakan suatu hal yang mendesak untuk menciptakan sistem yang mampu untuk mengukur kinerja dan keberhasilan organisasi. Untuk dapat menjawab pertanyaan tingkat keberhasilan organisasi, maka seluruh aktivitas organisasi tidak sematamata kepada input dari program organisasi, tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat dan dampak program organisasi. Sehingga pengukuran kinerja sedemikian pentingnya dilakukan untuk menilai tercapainya tujuan organisasi yang direncanakan, selain itu dapat digunakan untuk mendorong peningkatan kinerja pegawai yang tetap berorientasi pada input, proses dan output serta dampak (outcome) yang diinginkan. 23 Selain itu ada beberapa indikator yang dapat dijadikan kriteria pengukuran kinerja, seperti yang dikemukakan oleh Robbins dalam Sopiah dan Sangadji (2018:351), ada enam indikator untuk mengukur kinerja individu (karyawan), yaitu: 1. Kualitas, kualitas kerja diukur dari persepsi pimpinan terhadap kualtas pekerjaan yang dhasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan. 2. Kuantitas, merupakan jumlah yang dihasilkan, biasanya dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. 3. Ketepatan waktu, merupakan tingkat aktivitas diselesaikannya pekerjaan dalam waktu tertentu yang sudah ditetapkan sebagai standar pencapaian waktu penyelesaian pekerjaan. 4. Efektifitas, merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya. 5. Kemandirian, merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan fungsi kerjanya. 6. Komitmen kerja, Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggungjawab karyawan terhadap organisasi. Sementara Mangkunegara dalam Sopiah dan Sangadji (2018:352) berpendapat bahwa objektifitas penilai juga diperlukan agar penilaian menjadi adil dan tidak subjektif dan pengukuran kinerja dapat dilakukan melalui indikator-indikator berikut: 1. Ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas yaitu kesanggupan karyawan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. 24 2. Penyelesaian pekerjaan melebihi target yaitu apabila karyawan menyelesaikan pekerjaan melebihi target yang ditentukan oleh organisasi. 3. Bekerja tanpa kesalahan, yaitu tidak melakukan kesalahan terhadap pekerjaan merupakan tuntutan bagi setiap karyawan. Mathis dan jackson dalam Sopiah dan Sangadji (2018:352) menyatakan bahwa penilaian kinerja karyawan juga bisa didasarkan atas kemampuan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan mereka dengan indikator berikut, (1) Kuantitas hasil kerja, (2) Kualitas hasil kerja, (3) Ketepatan waktu karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya, (4) Tujuan penilaian kinerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan kinerja dapat diukur dengan menggunakan indikator-indikator seperti jumlah yang dihasilkan, ketepatan waktu, kualitas output dan pelampauan atas target/sasaran yang diinginkan. 6. Penilaian kinerja Proses penilaian kinerja bagi individu menjadi suatu tantangan organisasi dalam menyajikan fakta secara terbuka dan objektif terhadap perilaku individu dalam organisasi. Potret ini akan mengarahkan peningkatan motivasi dan kinerja apabila hasil yang ditunjukkannya dapat diterima oleh karyawan. Sejalan dengan itu penilaian kinerja menurut Wirawan (2015:105) dimulai dengan pengumpulan data kinerja pegawai sepanjang masa 25 evaluasi kinerja. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi tentang apa yang dilakukan para karyawan. Menurut Kasmir (2016:184) bahwa penilaian kinerja merupakan suatu sistem yang dilakukan secara periodik untuk meninjau dan mengevaluasi kinerja individu. Sedangkan Menurut Attwood Margaret dan Stuart Dimmock, dalam Sedarmayanti (2017:284) bahwa defenisi kata ‘to appraise “ (menilai) adalah “ menetapkan harga untuk” atau “ menilai suatu benda”. Jika menggunakan istilah “penilaian kinerja” berarti kita terlibat dalam proses menentukan nilai karyawan bagi perusahaan, dengan maksud meningkatkannya. Sedangkan Sopiah dan Sangadji (2018:353) mengemukakan bahwa setiap organisasi pada dasarnya telah mengidentifikasi bahwa perencanaan prestasi dan terciptanya suatu prestasi organisasi berkaitan erat dengan prestasi individual para pegawai. Lebih lanjut dikemukakan dalam Sedarmayanti (2017:284) bahwa: Penilaian pelaksanaan pekerjaan kinerja adalah sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan. Penilaian pelaksanaan pekerjaan merupakan pedoman dalam hal karyawan yang diharapkan dapat menunjukkan kinerja karyawan secara rutin dan teratur sehingga bermanfaat bagi pengembangan karir karyawan yang dinilai maupun bagi organisasi secara keseluruhan. 26 Oleh karena itu, penilaian kinerja sebaiknya dilakukan dengan obeservasi terhadap data kinerja pegawai dan hendaknya dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada pegawai dalam mereposisi tugas dan fungsinya, sasaran yang ingin dicapainya dan arahan yang jelas bagi kesesuaian tujuan individu dan tujuan organisasinya. Organisasi juga sebaiknya dapat secara terbuka merencanakan prestasi kinerjanya dengan kesempatan terhadap peningkatan karir dan kompensasi yang akan diterimanya sehingga menjadi sumber motivai dalam meningkatkan kinerja individunya serta tim kerjanya. B. Desain Praktek Untuk meningkatkan kinerja pegawai maka perlu pendekatan strategik yang dapat dipahami dan dijalankan oleh para pegawai bersama tim atau manajemen untuk mencapai tujuan organisasi yang berkesinambungan tanpa henti. Hal ini sejalan dengan Hendry, bradley dan Perkins dalam Wibowo (2016:9) manajemen kinerja merupakan mengungkapkan bahwa pendekatan sistematik untuk memperbaiki kinerja individual dan tim dengan maksud mencapai tujuan organisasional. Sedangkan menurut Levinson dalam Sedarmayanti (2017:285) bahwa tujuan proses manajemen kinerja untuk; (1) tujuan organisasi, (2) meningkatkan efektifitas unit kerja, (3) meningkatkan kinerja karyawan. 27 Perbaikan kinerja bukan saja dilakukan ketika individu, tim atau organisasi tidak mencapai prestasi kerja (kesenjangan kinerja) yang diinginkan namun dapat pula dilakukan walaupun telah mampu mencapai target yang telah ditetapkan. Sehingga hal ini dapat membuka peluang bagi individu maupun organisasinya melakukan pengembangan berkelanjutan. Untuk itu dalam upaya memperbaiki masalah yang terjadi dan menemukan strategi yang lebih efektif untuk mencapai tujuan organisasi melalui peningkatan kinerja pegawai maka penulis menggunakan manajemen kinerja melalui model deming/deming cycle P-D-C-A. Tahapan PDCA (Plan-Do-Check-Action) ini menekankan pada tahapan-tahapan perbaikan yang harus dilakukan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan dan pengendalian. Seperti yang dikemukanan oleh Mangkunegara (2017:22) menyebutkan bahwa terdapat paling tidak terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja, yaitu: a. Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja. Dapat dilakukan melalui tiga cara: Mengidentifikasi masalah melalui data dan informasi yang dikumpulkan terus menerus mengenai fungsi-fungsi bisnis. Mengidentifikasi masalah melalui karyawan. Memperhatikan masalah yang ada. b. Mengenai kekurangan dan tingkat keseriusan Untuk memperbaiki keadaan tersebut, diperlukan beberapa informasi, antar lain: Mengidentifikas masalah setepat mungkin. Menentukan tingkat keseriusan masalah 28 c. Mengidentifikasi hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri. d. Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut. e. Melakukan rencana tindakan tersebut. f. Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum. g. Mulai dari awal, apabila perlu. Untuk dapat menganalisis permasalahan yang terjadi dan memperoleh tindakan strategis untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan secara terus menerus maka penulis menggunakan alat bantu statistik yang digunakan dalam penelitian ini seperti; Check Sheet (Lembar pengumpul data), Brainstorming, Pareto Chart (Diagram pareto), 5-Why, Fishbone Diagram (Diagram sebab akibat) dan Metode 5W2H. 29 Gambar 2.5 desain Praktek Peningkatan Kinerja Pegawai melalui P-D-C-A Peningkatan Kinerja Pegawai Tahap Plan Identifikasi Masalah Diskusi Pengumpulan Data Observasi Brainstorming Diagram Isikawa/Fishbone Diagram Wawancara Spesifikasi Masalah Diskusi Tahap Do Tidak Berhasil Analisi data & rencana perbaikan Diagram pareto Lakukan penerapan Action Plan Berhasil Periksa Kesimpulan Analisa Hasil/Perbaikan Tahap Action Tahap Check Pertahankan hasil/usulan standar baru