BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu syarat perkembangan dan sebagai bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi dan sejalan dengan perubahan budaya kehidupan manusia (Trianto dalam Pondah nurindah sari, 2014:1). Pendidikan bertujuan untuk membantu peserta didik agar dapat menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiannya. Adapun tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional (SISDIKNAS) bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu unsur dalam pendidikan yang menjadi ujung tombak pengembangan potensi diri adalah kegiatan pembelajaran. Keberhasilan suatu pembelajaran bukan hanya diarahkan keberhasilan mencapai nilai yang memenuhi standar, tetapi juga di arahkan pada pencapaian kompetensi. Majunya suatu bangsa banyak ditentukan oleh kreatifitas pandidikan bangsa itu sendiri karena pendidikan sebagai upaya mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdedikasi tinggi. Untuk menghadapi tantangan tersebut harus dipersiapkan sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompentensi secara global. Manusia handal dibutuhkan ketrampilan yang tinggi serta memiliki daya fikir kritis, sistimatis, logis, kreatif dan mempunyai kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berfikir tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika. Pendidikan matematika memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan jelas antara satu dengan yang lain. Matematika adalah salah satu bidang studi yang memiliki peranan penting dalam pendidikan, khususnya dalam pembelajaran di sekolah. Sebab secara teoritik matematika adalah ilmu yang bertujuan mendidik anak manusia agar dapat berfikir secara logis, kritis, rasional, dan percaya diri, sehingga mampu membentuk kepribadian yang mandiri, kreatif, serta mempunyai kemampuan dan keberanian dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Apabila pembelajaran matematika di sekolah mampu membentuk siswa dengan karakteristik seperti itu, berarti pembelajaran matematika di sekolah telah 1 memberi sumbangan besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Asikin, 2001:1-2). Matematika termasuk pelajaran yang sulit bagi sebagian besar siswa, oleh karena itu berbagai cara dan model pendekatan mengajar diperkenalkan untuk memperkecil kesulitan siswa dalam mempelajari matematika tersebut. Seorang guru (calon guru) matematika perlu mengerti dan memahami tentang model-model pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap matematika. Berpikir kritis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam upaya peningkatan pembelajaran matematika. Karena dalam memecahkan masalah matematika diperlukan pemikiran yang jelas dan terarah untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Padahal tingkat kemampuan berpikir kritis siswa berbeda. Ada siswa yang ketika guru selesai menyampaikan materi langsung bisa memahami inti dari materi tersebut. Namun sebaliknya, banyak siswa yang membutuhkan waktu lama untuk memahami inti dari materi tersebut. Sehingga untuk mengatasi hal seperti ini siswa dituntut untuk memperbanyak menyelesaikan latihan soal matematika. Hal ini terlihat ketika siswa berlatih mengerjakan soal. Ketika mereka ditanya mengapa mereka menulis jawaban itu, mereka tidak bisa menjelaskan darimana mendapat jawaban itu. Karena mereka hanya menghafal rumus ketika guru selesai menyampaikan materi. Salah satu faktor yang membuat kemampuan berpikir kritis siswa menurun adalah model pembelajaran yang hanya berfokus pada guru. Model pembelajaran yang selama ini dilakukan guru cenderung monoton yaitu dominasi guru lebih aktif dan siswa pasif. Dimana dalam proses belajar mengajar pengetahuan baru lebih merupakan perangkat fakta yang di informasikan tersebut dihafalkan siswa sebagai bahan berlatih selanjutnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan model pembelajaran yang tepat. Seorang guru harus mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Guru tidak asal dalam memilih model pembelajaran, tetapi guru harus memilih model pembelajaran yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Dengan adanya model pembelajaran yang tepat maka akan berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis siswa. Untuk melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran, guru dapat memilih cara pendekatan yang dapat mengembangkan pola pikir matematika siswa, sehingga kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa berkembang secara optimal. Model pembelajaran yang bisa dipilih adalah Contextual Teaching and Learning dan Problem Based learning. Peneliti memilih model pembelajaran ini sebagai alternatif yang dapat digunakan untuk melatih siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika. 2 Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Depdiknas, 2002: 26). Dengan menerapkan ketujuh komponen tersebut diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dan penalaran serta terlibat penuh dalam proses pembelajaran. Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang mendorong untuk lebih aktif dan memaksimalkan kemampuan berpikir kritis untuk mendapatkan solusi dari masalah pada dunia nyata. Dengan kurikulum PBL, dapat membuat mahir dalam memecahkan dan mengambil solusi dari suatu masalah, dalam kurikulumnya juga dirancang masalah-masalah yang memotivasi untuk mendapatkan pengetahuan yang penting sehingga memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam kelompok diskusi. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan Problem based learning dalam proses belajar mengajar untuk menjawab permasalahan di atas. Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat judul “Efektifitas model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan Problem Based Learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di SMP Tunas Buana Surabaya”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: a) Apakah ada Pengaruh Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya ?. b) Apakah ada Pengaruh Problem Based learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya ?. 3 c) Bagaimanakah efektifitas kemampuan pengelolaan guru dalam pembelajaran dengan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Based learning (PBL) pada siswa ? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya”. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak Sebagai berikut: 1.4.1 Bagi guru a. Dapat menerapkan model pembelajaran yang baru untuk dapat memecahkan persoalan dalam proses pembelajaran b. Dapat membandingkan model baru yang berbeda dengan model yang biasa digunakan oleh guru, sehingga ditemukan model pembelajaran yang tepat untuk permasalahan dalam kelas c. Dapat meningkatkan pemahaman guru akan proses pembelajaran 1.4.2 Bagi Siswa a. Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika b. Dapat memberikan pengalaman pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual 1.4.3 Bagi Peneliti Peneliti memperoleh pengalaman yang berharga baik teori maupun praktek tentang bidang studi yang di pelajari di perguruan tinggi. 1.4.4 Bagi Sekolah Penelitian ini bagi sekolah diharapkan memberi masukan dan bahan pertimbangan dalam rangka peningkatan, pembinaan, dan pengembangan mutu, dan kualitas sekolah 1.5 Batasan Masalah Sehubungan dengan luasnya masalah permasalahan yang timbul dari topik kajian maka pembatasan masalah perlu dilakukan guna memperoleh kedalaman kajian untuk menghindari perluasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini adalah: 4 1.5.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah sesuatu yang menjadi perhatian untuk diambil datanya. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas IX A dan IX B SMP Tunas Buana Surabaya. 1.5.2 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan suatu yang menjadi fokus masalah untuk diteliti. Objek penelitian yang dimaksud adalah: a. Variabel bebas: 1) Metode Pembelajaran Contextual Teachig and Learning (CTL) 2) Metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) b. Variabel terikat: Kemampuan berpikir kritis siswa 1.6 Defenisi Operasional 1.6.1 Model pembelajaran adalah suatu kerengka yang konseptual yang di gunakan guru dalam proses belajar mengajar di kelas 1.6.2 Pengaruh model pembelajaran adalah adanya perubahan akibat dari model pembelajaran yang diterapkan dalam model pembelajaran 1.6.3 Model pembelajaran contextual teaching and learning adalah sebuah model pembelajaran yang mementingkan kerjasama dalam suatu kelompok belajar untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi siswa dengan karakter dan kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, akan terjadi interaksi untukmenemukan satu jawaban yang paling tepat dengan bimbingan dari guru dan sumber-sumber belajar yang tersedia 1.6.4 Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan (Hamalik, 2008:27).Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua konsep ini menjadi terpadu dalam satu kegiaatan dimana terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa pada saat pembelajaran berlangsung. (Ahmad susanto 2013:1). Pengertian belajar menurut W.S. Winkel (2002) adalah: suatu aktivitas mental yang berlansung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan , dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan. (Ahmad susanto 2013:1). Hal senada dikemukakan oleh Sugihartono (2007: 81), pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisir, dan menciptakan system lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal. Dari beberapa pengertian belajar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah suatu aktifitas yang dilakukan seseorang degnan sengja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahan, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak. 2.2 Pembelajaran Matematika Schoenfeld berpendapat bahwa pengertian istilah mateamtika sebagai ilmu tentang pola perlu dikembangkan lebih lanjut (Hendriana, 2014:3). Matematika memuat pengamatan dan pengkodean melalui representasi yang abstrak, dan peraturan dalam dunia simbol dan objek. Matematika dalam pengertian sebagai ilmu memuat arti membuat 6 sesuatu yang masuk akal, memuat serangkaian simbol dan jenis penalaran yang sesuai antara satu dengan yang lainnya. Uraian diatas melukiskan bahwa pegertian matematika sebagai ilmu tentang pola memuat kegiatan membuat sesuatu menjadi masuk akal dan memerlukan kemampuan mengkomunikasikan idenya kepada orang lain. Matematika sebagai ilmu memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Karakteristik umum matematika : a. Memiliki objek kajian yang abstrak, berupa fakta, operasi (atau relasi), konsep dan prinsip b. Bertumpu pada kesepakatan atau konvensi, baik berupa simbol-simbol dan istilah maupun aturan-aturan dasar (aksioma) c. Berpola pikir deduktif d. Konsisten dalam sistemnya e. Memiliki simbol yang kosong dari arti f. Memperhatikan semesta pembicaraan, Smith, Sanderson, 2003 (dalam Hendriana, 2014:12) Beberapa hal yang dapat dialkukan untuk pembelajaran matematika saat ini, agar proses pembelajaran matematika dapat bermakna dan dapat berdampak pada peserta didik adalah : a. Kreativitas guru untuk menyiasati kurikulum yang sedang berlaku Guru tidak hanya mengajar sesuai petunjuk teknis kurikulum, tetapi dapat menyiasatikurikulum dengan memilih dan memilah materi yang penting bagi siswa dan memberikan materi secara berkelanjutan, bahkan bila perlu membuang materi yang tidak penting b. Inovasi guru dalam pembelajaran Variasi metode pembelajaran merupakan peran penting untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran dengan berbagai variasi sesuai materi ajar akan membuat siswa tidak jenuh untuk mengikuti pembelajaran c. Mengaitkan materi ajar dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan nyata Dengan menunujukkan keterkaitan matematika dengan realitas kehidupan, akan menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa. Siswa dapat menerapkan konsep dan teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang dihadapi dalam keseharian. 7 2.3 Pengertian Berpikir kritis Pada saat pembelajaran dikelas, siswa butuh perhatian dari guru untuk menemukan kemampuan berpikir kritis pada materi dalam kehidupan nyata. 2.3.1 Pengertian Berpikir kritis Berpikir kritis mengandung aktivitas mental dalam hal memecahkan masalah, menganalisis asumsi, memberi rasional, mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan mengambil keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan, kemampuan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi sangatlah penting. Orang yang berpikir kritis akan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan berdasarkan fakta kemudian melakukan pengambilan keputusan. Ciri orang yang berpikir kritis akan selalu mencari dan memaparkan hubungan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah atau pengalaman lain yang relevan. Berpikir kritis juga merupakan proses terorganisasi dalam memecahkan masalah yang melibatkan aktivitas mental yang mencakup kemampuan: merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi dan induksi, melakukan evaluasi, dan mengambil keputusan. Menurut Ruland (2003:1-3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth). Kemampuan dalam berpikir kritis akan memberikan arahan yang lebih tepat dalam berpikir, bekerja, dan membantu lebih akurat dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan lainnya. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam pemecahan masalah atau pencarian solusi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan integrasi berbagai komponan pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka akan semakin baik pula dalam mengatasi masalah-masalah. 8 Selain itu Ennis menjelaskan tahap-tahap dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut: o o o o o o Fokus (focus). Langkah awal dari berpikir kritis adalah mengidentifikasi masalah dengan baik. Permasalahan yang menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen. Alasan (reason). Apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus. Kesimpulan (inference). Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai pada kesimpulan yang diberikan?. Situasi (situation). Mencocokan dengan dengan situasi yang sebenarnya. Kejelasan (clarity). Harus ada kejelasan mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam argumen tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan. Tinjauan ulang (over view). Artinya kita perlu mencek apa yang sudah ditemukan, diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan 2.3.2 Berpikir kritis penting dikuasai oleh siswa Zamroni dan Mahfudz (2009:23-29) mengemukakan ada enam argumen yang menjadi alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menye-babkan informasi yang diterima siswa semakin banyak ragamnya, baik sumber maupun esensi informasinya. Oleh karena itu siswa dituntut memiliki kemam-puan memilih dan memilah informasi yang baik dan benar sehingga dapat memperkaya khazanah pemikirannya. Kedua, siswa merupakan salah satu kekuatan yang berdaya tekan tinggi (people power), oleh karena itu agar kekuatan itu dapat terarahkan ke arah yang semestinya (selain komitmen yang tinggi terhadap moral), maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berpikir yang memadai (deduktif, induktif, reflektif, kritis dan kreatif) agar kelak mampu berkiprah dalam mengembangkan bidang ilmu yang ditekuninya. Ketiga, siswa adalah warga masyarakat yang kini maupun kelak akan menjalani kehidupan semakin kompleks. Hal ini menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara kritis. Keempat, berpikir kritis adalah kunci menuju berkembangnya kreativitas, dimana kreativitas muncul karena melihat fenomenafenomena atau permasalahan yang kemudian akan menuntut kita untuk berpikir kreatif. Kelima, banyak lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak, membutuhkan keterampilan berpikir kritis, misalnya sebagai pengacara atau sebagai guru maka berpikir kritis adalah kunci keberhasilannya. Keenam, setiap saat manusia selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak, dicari ataupun tidak akan memerlukan keterampilan untuk berpikir kritis. 9 Menurut Potter, (2010: 6) ada tiga alasan keterampilan berpikir kritis diperlukan. Pertama, adanya ledakan informasi. Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari puluhan ribu web mesin pencari di intrnet. Informasi dari berbagai sumber tersebut bisa jadi banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak kredibel. Untuk dapat menggunakan informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap data dan sumber informasi tersebut. Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian memutuskan untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, maka keterampilan berpikir kritis sangat perlu dikembangkan pada siswa. Kedua, adanya tantangan global. Saat ini terjadi krisis global yang serius, terjadi kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Untuk mengatasi kondisi yang krisis ini diperlukan penelitian dan pengembangan keterampilan-keterampilan berpikir kritis. Ketiga, adanya perbedaan pengetahan warga negara. Sejauh ini mayoritas orang di bawah 25 tahun sudah bisa meng-online-kan berita mereka. Beberapa informasi yang tidak dapat diandalkan dan bahkan mungkin sengaja menyesatkan, termuat di internet. Supaya siswa tidak tersesat dalam mengambil informasi yang tersedia begitu banyak, maka perlu dilakukan antisipasi. Siswa perlu dilatih untuk mengevaluasi keandalan sumber web sehingga tidak akan menjadi korban informasi yang salah atau bias. 2.3.3 Mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa Kemampuan berpikir kritis siswa sangat perlu dikembangkan demi keberhasilan mereka dalam pendidikan dan dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan atau diperkuat, melalui proses pembelajaran. Artinya, di samping pembelajaran mengembangkan kemampuan kognitif untuk suatu mata pelajaran tertentu, pembelajaran juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Tidak semua proses pembelajaran secara otomatis akan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi memberikan kesempatan berpendapat, dan banyak menggunakan gagasan-gagasan, memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dalam tulisan, mendorong kerjasama dalam mengkaji dan menemukan pengetahuan, mengembangkan tanggung jawab, refleksi diri dan kesadaran sosial politik, yang akan mengembangkan berpikir kritis siswa. Di samping itu antusiasme guru dan kultur sekolah juga berpengaruh terhadap tumbuhnya keterampilan berpikir kritis siswa. 10 Dalam bidang pendidikan, berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi yang dipelajari dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku teks, jurnal, teman diskusi, termasuk argumentasi guru dalam kegiatan pembelajaran. Jadi berpikir kritis dalam pendidikan merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam mengkonstruksi pengetahuan. Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Selain itu berpikir kritis siswa dapat dikembangkan melalui pemberian pengalaman bermakna. Pengalaman bermakna yang dimaksud dapat berupa kesempatan berpendapat secara lisan maupun tulisan seperti seorang ilmuwan Kesempatan bermakna tersebut dapat berupa diskusi yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur (ill-structured problem), serta kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena yang akan menantang kemampuan berpikir siswa Menurut Zamroni dan Mahfudz (2009:30) ada empat cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model pertanyaan . Dalam penelitian ini bahasan akan difokuskan hanya pada model pembelajaran. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran secara otomatis dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Hanya model pembelajaran tertentu yang akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, paling tidak mengandung tiga proses, yakni (a) penguasaan materi, (b) internalisasi, dan (c) transfer materi pada kasus yang berbeda. Penguasaan siswa atas materi, dapat cepat atau lambat dan dapat dalam atau dangkal. Kecepatan atau kelambatan dan kedalaman atau kedangkalan penguasaan materi dari siswa sangat tergantung pada cara guru melaksanakan proses pembelajaran; termasuk dalam menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran yang dipelajari. Internalisasi merupakan proses pengaplikasian materi yang sudah dikuasai dalam frekuensi tertentu, sehingga apa yang telah dikuasai, secara pelan-pelan terpateri pada diri siswa, dan jika diperlukan akan muncul secara otomatis. Mengaplikasikan suatu pengetahuan yang dikuasai amat penting artinya bagi pengembangan kerangka pikir. Akan 11 lebih penting lagi apabila aplikasi dilakukan pada berbagai kasus atau konteks yang berbeda. Sehingga terjadi proses transfer of learning, dengan transfer of learning akan terjadi proses penguatan critical thinking. 2.4 Model Pembelajaran Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang di sajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajran merupakan buku atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.(Ahmadi 2011). Mills, berpedapat bahwa “ model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu,”. Model merupakan interprestasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Model pembelajaran dapat diartikan pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru dikelas. (Kokom 2010:57). Menurut Sokamato, dkk (Nurulwati,2000:10) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah “ kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistemtis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar”. Degan demikian, aktivitas pembelajaran benarbenar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dn arah bagi guru untuk mengajar. 2.4.1 Contextual Teaching And Learning (CTL) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2008: 6). Dengan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari maka mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengaharapkan agar siswa hanya 12 menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong siswa untuk menemukan hubungan antara materi dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Seringkali asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Ketujuh asas ini dijelaskan di bawah ini: 1) Konstruktivisme Menurut Syaiful Sagala (2011) konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Penjelasan tersebut diperkuat oleh Pieget yang dikutip Wina Sanjaya (2011) yang menyatakan, bahwa hakikat pengetahuan sebagai berikut: a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsesi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengelaman-pengalaman seseorang. 13 2) Inkuiri Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Menurut Trianto (2009) asas kedua ini merupakan bagian inti kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Silklus inkuiri menurut Yatim Riyanto (2010) terdiri dari: a. Observasi b. Bertanya c. Mengajukan dugaan (hipotesis) d. Pengumpulan data e. Penyimpulan Penerapan asas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan, dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Masalah yang telah dipahami dengan jelas, kemudian dibuat batasan-batasan yang selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara. Hipotesis tersebutlah yang akan menuntun siswa melakukan observasi dalam rangka pengumpulan data. Manakala data sudah terkumpul, maka siswa dituntun untuk menguji hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan. 3) Bertanya (Questioning) Pengatahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Kegiatan bertanya bagi siswa merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Sagala (2011) menyatakan bahwa, dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: a) Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran. b) Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar. c) Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu. d) Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan. e) Membimbing siswa untuk menemukan aatau menyimpulkan sesuatu. 14 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Loe Semenovich Vygotsky, seorang psikologi Rusia (Wina Sanjaya, 2011), menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama saling membari dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu. Inilah hakikat dari masyarakat belajar. 5) Pemodelan Asas modeling merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya, guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoristis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. 6) Refleksi Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengelaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Biasanya guru pada akhir pelajaran menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Menurut Trianto (2009) realisasinya berupa: a) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu. b) Catatan atau jurnal di buku siswa. c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. d) Diskusi e) Hasil karya. 15 Kunci semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu bertahan lama di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. 7) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assement) Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bias memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan baik. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan atau hambatan dalam belajar, maka guru segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan atau hambatan belajar. Gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan bersama-sama secara intregasi dari kegiatan pembelajaran. Penilaian menekankan proses pembelajaran, maka dari itu data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa pada saat proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga dari teman lain atau orang lain. Karakteristik penilaian sebenarnya (Sutarjo, 2012) adalah: a) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. b) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. c) Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta. d) Berkesinambungan. e) Terintegrasi. f) Dapat digunakan sebagai feed back. Cara yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa (Trianto, 2009) adalah: a) Proyek/kegiatan dan laporannya b) PR c) Kuis d) Karya siswa e) Presentasi atau penampilan siswa f) Demontrasi g) Laporan h) Jurnal i) Hasil tes tulis j) Karya tulis 16 Penilaian autentik mempunyai keuntungan meningkatkan pembelajaran dalam banyak hal. Pengujian standar bersifat eksklusif dan sempit, sementara menurut Elaine (2010), penilaian autentik yang bersifat inklusif memberi keuntungan kepada siswa memungkinkan mereka: Mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka. Mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi, dan berpikir secara sistematis. Menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka, dan masyarakat luas. Mempertajam keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan mengikuti hubungan sebab akibat. Menerima tanggung jawab dan membuat pilihan Berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan tugas. 2.4.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Menurut Duch dalam Aris Shoimin (2014 : 130) Problem Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah “model pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan”. Menurut Finkle dan Torp dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan bahwa: PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik. Kakateristik Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu dalam Aris Shoimin (2014:130) menjelaskan karakteristik dari Pembelajaran Berbasis Masalah, yaitu: a) Learning is student-centered Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitik beratkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri. b) Authentic problem form the organizing focus for learning 17 Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya di dalam kehidupan profesionalnya nanti. c) New information is acquired through self-directed learning Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya. d) Learning occurs in small groups Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaboratif, PBM dilaksanakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas. e) Teachers act as facilitators Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Meskipun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong mereka agar mencapai target yang hendak dicapai. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Menurut Aris Shoimin (2013 : 132) terdapat beberapa kelebihan dari model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) antara lain sebagai berikut. a. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata. b. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar. c. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa. d. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok. e. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari perpustakaan, internet, wawancara dan observasi. f. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri. g. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka. h. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk peer teaching. 18 Sedangkan kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) menurut Aris Shoimin (2013 : 132) yaitu: a. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah. b. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas. Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Adapun langkah-langkah pada model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) menurut Aris Shoimin (2014:131) yaitu: a. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. b. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain). c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. d. Mengembangkan dan menyajikan karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya. e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang meraja gunakan. 2.5 Materi Probabilitas A. Definisi Peluang Jika N adalah banyaknya titik sampel pada ruang sampel S suatu percobaan dan E merupakan suatu kejadian dengan banyaknya n pada percobaan tersebut, peluang 𝑛 E adalah P(E) = 𝑁 B. Menentukan Peluang dengan Pendekatan Frekuensi Relatif 19 Misalkan suatu percobaan dilakukan sebanyak n kali. Jika kejadian E muncul sebanyak k kali (0 ≤ 𝑘 ≤ 𝑛), maka frekuensi relatif munculnya kejadian E ditentukan dengan rumus: 𝑃(𝐸) = 𝑘 𝑛 C. Menentukan Peluang dengan Rumus Jika 𝑆 adalah ruang sampel dengan banyak elemen = 𝑛(𝑆) dan 𝐸 adalah suatu kejadian dengan banyak elemen = 𝑛(𝐸), peluang kejadian 𝐸, diberi notasi 𝑃(𝐸). Dirumuskan sebagai berikut: 𝑃(𝐸) = 𝑛(𝐸) 𝑛(𝑆) D. Kisaran Nilai Peluang Jika 𝑆 merupakan ruang sampel dan kejadian 𝐸 merupakan titik sampelnya maka: 0 ≤ 𝑃(𝐸) ≤ 1 Atau dengan kata lain kisaran nilai peluang, terletak di antara 0 dan 1. 𝑃(𝐸) = 1 adalah kejadian pasti karena kejadian ini selalu terjadi. 𝑃(𝐸) = 0 adalah kejadian mustahil karena kejadian ini tidak mungkin terjadi. Langkah-langkah Menentukan Peluang Suatu Kejadian: Daftar ruang sampel dari percobaan, kemudian tentukan 𝑛(𝑆) Daftarkan himpunan yang berkaitan dengan kejadian 𝐸, kemudian tentukan 𝑛(𝐸). Hitung peluang kejadian 𝐸 dengan 𝑃(𝐸) = 𝑛(𝐸) 𝑛(𝑆) Contoh Soal: Tiga belas kartu diberi angka 1, 2, 3, … , 13. Kartu tersebut dikocok, kemudian diambil satu kartu secara acak. Tentukan peluang: a. Muncul kartu berangka ganjil; b. Muncul kartu berangka 14; c. Muncul kartu berangka kurang dari atau sama dengan 13 Penyelesaian: 20 Ruang sampel dalam percobaan ini adalah angka - angka 1 sampai dengan 13. S = {1, 2, 3, … , 13} sehingga 𝑛(𝑆) = 13. a. Kejadian 𝐸1 muncul kartu berangka ganjil dapat ditulis sebagai, 𝐸1 = {1, 3, 5, 7, 9, 11, 13} sehingga 𝑛(𝐸1 ) = 7. 𝑃(𝐸1 ) = 𝑛(𝐸1 ) 𝑛(𝑆) 7 = 13 b. Angka 14 bukanlah anggota dari 𝑆 sehingga kejadian 𝐸2 muncul angka 14 adalah himpunan kosong. Jadi, 𝑛(𝐸2 ) = 0. Akibatnya, peluang 𝐸2 adalah 𝑃(𝐸2 ) = 0 13 𝑛(𝐸2 ) 𝑛(𝑆) = = 0 sehingga peristiwa itu disebut kejadian mustahil c. Kejadian 𝐸3 muncul kartu berangka kurang dari atau sama dengan 13 dapat ditulis sebagai 𝐸3 = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13} sehingga 𝑛(3) = 13. 𝑃(𝐸3 ) = 𝑛(𝐸3 ) 𝑛(𝑆) 13 = 13 = 1 adalah kejadian pasti E. Peluang Komplemen Suatu Kejadian Untuk memahami komplemen suatu kejadian, akan dibahas kembali percobaan mengetos dadu bersisi enam sebanyak satu kali. Ruang sampel untuk percobaan adalah 𝑆 = {1,2,3,4,5,6} misalkan : 𝐸 adalah kejadian munculnya mata dadu angka 1, maka 𝐸 = {1} 𝐸 ′ adalah kejadian munculnya mata dadu bukan angka 1, maka 𝐸’ = {2,3,4,5,6}. maka: 𝑃(𝐸) + 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 ⇔ 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 − 𝑃(𝐸) ⇔ 𝑃(𝐸) = 1 − 𝑃(𝐸 ′ ) Contoh: Sebuah dadu bersisi enam dilempar sekali. Berapa peluang kejadian munculnya mata dadu bukan bermata 2. Penyelesaian: Misalkan 𝐸 adalah kejadian munculnya mata dadu mata 2, maka 𝐸 = {2} dan 𝑃(𝐸) = 1 6 Jika 𝐸’ adalah kejadian munculnya mata dadu bukan 2, maka 𝐸’ adalah komplemen kejadian E sehingga berlaku hubungan 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 − 𝑃(𝐸). 𝑃(𝐸’) = 1 − 1 5 = 6 6 21 5 Jadi peluang kejadian munculnya mata dadu bukan 2 adalah 𝑃(𝐸’) = 6 F. Frekuensi Harapan Suatu Kejadian Frekuensi Harapan adalah banyak kejadian atau peristiwa yang diharapkan dapat terjadi pada sebuah percobaan. Misalkan sebuah percobaan dilakukan sebanyak 𝑛 kali dan 𝑃(𝐸) adalah peluang kejadian 𝐸. Frekuensi harapan kejadian E (𝐹ℎ ) ditentukan dengan rumus: 𝐹ℎ (𝐸) = 𝑛 × 𝑃(𝐸) Contoh: Sebuah dadu dengan enam mata dadu dilempar sebanyak 300 kali. Hitunglah frekuensi harapan untuk kejadian munculnya mata dadu 4 ! Penyelesaian: Banyak percobaan = 𝑛 = 300 1 Misalkan E adalah kejadian munculnya mata dadu 4, maka 𝑃(𝐸) = 6 . Jadi, frekuensi harapan kejadian munculnya mata dadu 4 adalah 𝐹ℎ (𝐸) = 𝑛 × 𝑃(𝐸) = 1 300 × 6 = 50 𝑘𝑎𝑙𝑖. 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan peniliti adalah penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional. Karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah menjadi tradisi sebagai meode untuk penelitian. Metode ini sebagai metode ilmia yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis. Metode ini disebut metode kuantitatif kerena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. (Sukardi,2003:16) Jenis penelitian yang digunakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode inti dari penelitian yang ada. Dalam penelitian eksperimen para peneliti melakukan tiga persyaratan dari suatu bentuk penelitian. Ketiga peryaratan tersebut, yaitu kegiatan mengontrol, manipulasi dan observasi. Dalam penelitian eksperimen ini, peneliti juga harus membagi objek atau subjek yang diteliti menjadi dua grup treatmen atau perlakuan dan grup kontrol yang tidak memperoleh perlakuan. 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi (Arikunto,1992:102). Mengemukakan bahwa “populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Dalam penelitian ini “populasinya” adalah keseluruhan siswa kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya. 3.2.2 Sampel (Arikunto, 1992:104). Mengemukakan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel bertujuan atau proposive sample. Sampel ini dilakukan dengan cara menggambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daera tetapi di dasarkan atas adanya tujuan tertentu.Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dua kelas untuk kelas eksperimen yang di berikan model pembelajaran Contextual teaching and learning (CTL) sedangkan kelas kontrol yang diberikan model pembelajaran Problem based learning (PBL). Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah SMP swasta di Surabaya, yaitu SMP Tunas Buana yang berada di Jalan Alun-alun Bangunsari Selatan No.32, Dupak, Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur 60179. Populasi yang akan diteliti adalah siswa kelas IX A dan IX B banyak siswa sama yaitu 38 siswa. Arikunto (1998:120) jika jumlah 23 populasi obyek penelitian kurang dari 100 maka diambil semua, tetapi jika lebih dari 100, maka dapat diambil 10% sampai dengan 15% dari populasi yang ada. Dalam penelitian ini karena jumlah populasi kurang dari 100 maka seluruh populasi dijadikan sampel yaitu sebanyak 76 siswa (Total Sampling). Selanjutnya peneliti menentukan kelas eksperimen yaitu kelas IX A dengan menerapkan model pembelajaran CTL dan kelas control yaitu kelas IX B dengan menerapkan model pembelajaran PBl, kedua kelas diajar oleh guru yang sama dengan materi yang sama yaitu probabilitas. Dengan dibentuknya kelas kontrol dan kelas eksperimen yang akan diberi perlakuan berbeda, maka kedua kelas berisi subjek yang berbeda, maka sampel tersebut Independen. Untuk mendeteksi normalitas data dapat dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov, uji Parametric yang digunakan uji independent Sampel T Test, namun apabila data tidak berdistribusi normal atau tidak homogen maka menggunakan uji non-parametric dengan uji Mann Whitney U. 3.3 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian atau disebut juga desain penelitian dapat diartikan sebagai strategi mengatur latar (setting) penelitian agar diperoleh data yang tepat sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitian. Rancangan penelitian adalan suatu tahapan atau proses yang tempuh dalam merencanakan dan melakukan penelitian non eksperimen dan penelitian eksperimen. Maka rancangan yang peneliti gunakan addalah sebagai berikut: (Dantes : 1996:45) dalam alyah (2008:29) Pre Test Treatmant Post Test Model Pembelajaran CTL Pre Test Treatmant Post Test Model Pembelajaran PBL 24 Pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 1) Memberikan pretest kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen 2) Memberikan perlakuan kepada kelompok eksperimen yaitu mengelolah model pembelajaran Contextual teaching and learning 3) Memberikan perlakuan kepada kelompok kontrol yaitu mengelolah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem based learning 4) Memberikan post test pada kelompok eksperimen dan kelompok control 5) Menganalisis data skor posttes Tahap Pelaksanaan Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan meliputi: A. Kelas Eksperimen 1. Kegiatan Awal o Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, o Apersepsi, sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan. o Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari o Guru meberikan soal pretest dengan materi probabilitas untuk mengukur kemapuan berpikir kritis siswa sebelum diberi treatment o Guru mengarahkan siswa agar mereka bekerja sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan kemampuannya 2. Kegiatan Inti o Guru menjelaskan model belajar dan membagi kelompok siswa secara heterogen o Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan guru. o Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan guru. 25 o Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja (LKS: soal cerita perkalian terlampir) yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan memfasilitasi kerja sama, o Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok dan kelompok yang lain menanggapi hasil kerja kelompok yang mendapat tugas, o Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa membahas cara penyelesaian masalah yang tepat, o Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal-hal yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti pembelajaran. 3. Kegiatan Akhir o Guru dan siswa membuat kesimpulan cara menyelesaikan soal cerita Probabilitas o Siswa mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita Probabilitas terlampir), Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian, guru bersama siswa membahas penyelesaian lembar tugas dan Siswa membuat pertanyaan hubungan tentang pelajaran yang telah dilakukan dengan kehidupan nyata siswa serta sekaligus guru dapat memberi nilai pada lembar tugas sesuai kesepakatan yang telah diambil. B. Kelas Kontrol 1) Kegiatan awal o Guru membuka pembelajaran mengajukan pertanyaan prasyarat yang terkait dengan materi probabilitas o Guru membangun motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran dengan meberikan soal pretest sebelum diberi treatment. 2) Kegiatan inti o Guru menyuguhkan situasi bermasalah kepada siswa dengan memberikan masalah sesuai keadaan nyata untuk mengetahui pengetahuan awal siswa o Siswa memperhatikan permasalahan tentang konsep yang diuraikan guru dan mulai berinteraksi aktif untuk turut serta menyelesaikan permasalahan tersebut. o Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok heterogen untuk melakukan investigasi/ meneliti. 26 o Guru membagi soal masalah yang telah dirancang untuk siswa yang berisi permasalahan materi probabilitas yang perlu diselidiki siswa melalui eksperimen dan diskusi o Guru menjelaskan target yang diharapkan dari analisis masalah yang dilakukan. o Guru berkeliling kelas memantau kegiatan eksperimen yang dilakukan oleh siswa. o Guru mengarahkan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil eksperimennya ke depan kelas o Guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun ketrampilan investigasi dan ketrampilan intelektual yang mereka gunakan. o Guru mengarahkan siswa untuk menyimpulkan konsep yang telah dipelajari. 3) Kegiatan akhir o Guru dan siswa membuat kesimpulan cara menyelesaikan soal cerita Probabilitas o Siswa mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita Probabilitas terlampir), Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian, guru bersama siswa membahas penyelesaian lembar tugas dan Siswa membuat pertanyaan hubungan tentang pelajaran yang telah dilakukan dengan kehidupan nyata siswa serta sekaligus guru dapat memberi nilai pada lembar tugas sesuai kesepakatan yang telah diambil. Tahap Akhir Kegiatan yang dilakukan pada tahap akhir meliputi: a) Mengolah dan menganalisis instrumen tes (data hasil pretest dan posttest) masing-masing kelompok antara sebelum diberi perlakuan dengan setelah diberi perlakuan untuk melihat dan menentukan apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa atau tidak. b) Membandingkan peningkatan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. c) Memberikan kesimpulan dan Memberikan saran-saran terhadap aspek penelitian. 27 3.4 Instrumen Penelitian 1. Test Menurut Arikunto (2006:223) tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang bisa digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, iteligensi kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki seseorang atau kelompok . metode tes digunakan untuk memperoleh data kuantitatif mengenai kemampuan berpikir kritis siswa. 2. Validitas Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauhmana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Menurut Gronlund (1985) mengatakan bahwa validitas berkaitan dengan hasil suatu alat ukur, menunjukan tingkatan, dan bersifat khusus sesuai dengan tujuan pengukuran yang akan dilakukan. Para pengembang tes memiliki tanggung jawab yang membuat tes benar-benar valid. Untuk mengetahui validitas tes maka diperlukan uji validitas dengan menggunakan rumus korelasi product moment oleh person sebagai berikut: Keterangan: rxy = koefisien korelasi produc moment N = banyak siswa peserta tes X = jumlah skor soal yang diuji dulu Y = jumlak skor total Untuk dapat meberikan penafsisaran terhadap kofisien korelasi yang ditemukan besar atau kecil maka dapat berpedoman pada ketentuan sebagai berikut: Tabel 3.2 Interprestasi validitas Interval koefisien Hubungan 0.80-1,00 Sangat kuat 0,60-0,799 Kuat 0,40-0,599 Sedang 0,20-0,399 Rendah 0,00-0’199 Sangat rendah 28 Suatu kesepakatan umum menyatakan bahwa koevisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi rxy = 0,30 (Azwar,1996:179) 3. Reliabilitas Reliabilitas adalah hal yang sangat penting dalam menentukan apakah tes telah menyajikan pengukuran yang baik. Mencari reliabilitas dengan rumus K-R 20 sebagai berikut: 𝑟11 = 𝐾 𝑉𝑡−∑ 𝑞 𝐾 − 1 𝑉𝑡 Keterangan: 𝑟11 = reliabilitas instrumen 𝐾 = banyaknya butir pertanyaan Vt = varian total p = q = Kovisien korelasi 𝐩𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐬𝐮𝐛𝐣𝐞𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐬𝐤𝐨𝐫𝟏 𝐍 proporsi subjek yang mendapat skor 0 N Tabel 3.3 Interprestasi Reliabilitas Tingkat korelasi 0,81 < r <1,00 Sangat tinggi 0,61 < r < 0,80 Tinggi 0,41 < r < 0,60 Cukup 0,21 < r < 0,40 Rendah 0,00 < r < 0,21 Sangat rendah Kesepakatan informal menghendaki reliabilitas haruslah setinggi munggkin, biasanya suatu koefisien reliabilitas di sekitar 0,999 dapat dianggap memuaskan . (Azwar,1996:189) 4. Uji Daya Pembeda Gaston berasumsi bahwa suatu alat evaluasi yang baik mampu membedakan antara siswa kelompok atas (pandai) dan kelompok asor (berkemampuan rendah). Oleh karena itu sebaiknya setiap butir soal memiliki daya pembeda. Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa kelompok atas (pandai) dan kelompok asor (berkemampuan rendah). 29 Disini penulis mengelompokkan data siswa menjadi 16 siswa kelompok atas dan 16 siswa kelompok bawah sesuai dengan urutan hasil nilai. Menghitung daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus: D= (Arikunto, 2009:213) Keterangan: D : Daya Pembeda Ja : Banyaknya peserta kelompok atas Jb : Banyaknya peserta kelompok bawah Ba : Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal betul Bb : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal betul PA : Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar PB : Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Tabel 3.4 Interpretasi Uji Daya Pembeda Nilai Keterangan 0.70 ≤ D < 1.00 Baik Sekali 0.40 ≤ D < 0.70 Baik 0.20 ≤ D < 0.40 Cukup 0.00 ≤ D < 0.20 Jelek Negatif Tidak Baik (Arikunto, 2009:218) Menurut Arikunto jika daya pembeda bernilai negatif maka soal tersebut tidak baik. Jadi semua butir soal yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya tidak digunakan. 5. Uji Indeks Kesukaran Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar (Arikunto:2009). Soal yang baik akan membuat siswa untuk berpikir dengan baik bagaimana cara memecahkan soal tersebut sehingga merangsang rasa penasaran dan kreatifitas siswa. Bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya susau soal disebut indeks kesukaran 30 (Arikunto:2009). Besarnya indeks kesukaran adalah antara 0.00 sampai dengan 1.00. Indeks kesukaran menunjukan taraf kesukaran soal, soal dengan indeks kesukaran 0 menunjukan bahwa soal tersebut terlalu sulit sedangkan indeks kesukaran dengan nilai 1 menunjukan bahwa soal tersebut terlalu mudah. 𝐵 𝑝 = 𝐽𝑠 Rumus untuk mencari indeks kesukaran adalah: Keterangan: P = indeks kesukaran B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul JS = jumlah seluruh siswa peserta tes Adapun kriteria uji indeks kesukaran, yaitu: Tabel 3.5 Interpretasi Indeks Kesukaran Indeks Kesukaran Kriteria 0.00 < IK ≤ 0.30 Sukar 0.30 < IK ≤ 0.70 Sedang 0.70 < IK ≤ 1.00 Mudah (Arikunto, 2009:210) 3.5 Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian dengan menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Metode Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti.Dalam penelitian ini metode observasi dilakukan dengan cara mengadakan pencatatan secara sistematis pada kondisi pembelajaran di sekolah dan mengadakan pengamatan secara langsung pada pelaksanaan pembelajaran Contextual teaching and learning dengan model pembelajaran Problem based learning. 2. Metode Tes Menurut Arikunto (2006:223) Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.Tes ini digunakan untuk mendapatkan hasil data pembelajaran matematika siswa sesudah diberikan perlakuan dengan model pembelajaran Contextual teaching and learning dengan model pembelajaran Problem based learning pada pokok bahasan probabilitas. 31 Tes yang akan diberikan ada dua macam yaitu : 1) Pre Test Pre test digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan. Tes diberikan baik kepada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. 2) Post Test Post test digunakan untuk mengetahui hasil belajar kelas setelah dolakukan perlakua. Tes diberikan baik kepada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Tes yang diberikan kepada siswa telah dkonsultasikan dengan guru bidang studi dan telah diuji coba serta memenuhi kriteria validitas. 3. Metode Dokumentasi Beberapa dokumentasi aktifitas belajar siswa saat pelaksanaan tindakan berlangsung akan disajikan pada lampiran dokumentasi 3.6 Teknik Analisis Data Analisis data dalam satu penelitian adalah sangat penting karena sebelum menganalisis data, peneliti harus mengetahui metode analisis apa yang digunakan untuk menganalisis data setelah terkumpul. Jadi setelah data terkumpul makah langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Dari analisis data tersebut dapat diketahui hipotesis yan diajukan diterima atau ditolak. Oleh karena itu untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan diperlukan metode yaitu metode analisis data. Adapun ahap analisis data statistik yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Uji Normalitas Data Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data-data yang diperoleh berdistribusi normal sehingga akan menghasilkan data yang signifikan. Langkah-langkah dalam uji normalitas adalah sebagai berikut: 1. Formulasi hipotesis nihil dan kerja 𝐻0 = Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal 𝐻1 = Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal 2. Uji statistik Uji statistik yang digunakan adalah uji kolmogorov smirnov dengan taraf signifikansi sebesar 5% atau𝛼 = 0,05 32 3. Kriteria pengujian hipotesis Terima 𝐻0 jika, Dhit< D𝛼, jika sebaliknya tolak 𝐻0 4. Harga uji statistik di hitung denganMenentukan P(Z) dimana Z = 𝑋𝑖−𝑥̅ 𝑠 Menentukan nilai maks D= Maks |𝑃𝑍 − 𝑃𝑒| 5. Kesimpulan 2) Uji Homogenitas Varians Uji ini untuk mengetahui varians sampelnya bersifat homogen atau heterogen, digunakan rumus sebagai berikut: F = 𝑆12 𝑆22 Keterangan : 𝑆12 = varians pada kelas eksperimen. 𝑆22 = varians pada kelas kontrol. Prosedur pengujian dilakukan sebagai berikut: 1. Menentukan hipotesis H0 :𝜎12 = 𝜎22 semua sampel mempunyai varians yang sama(homogen) H1 :𝜎12 ≠ 𝜎22 semua sampel mempunyai varians yang tidak sama (heterogen) 2. Taraf signifikansinya 5% atau𝛼 = 0,05 3. Kriteria pengujian hipotesis Tolak 𝐻0 jika, Fhit≥ 𝐹1−𝛼(𝑉1. 𝑉2 jika sebaliknya tolak 𝐻1 Keterangan : 𝑉1 = derajat kebebasan pembilang = k-1 𝑉2 = derajat kebebasan penyebut = k(n-1) n = banyaknya sampel 4. 𝑆2 Menghitung F dengan rumusF =𝑆12 2 5. Kesimpulan (sujana, 2002:205) 3) Uji Hipotesis Uji t digunakan untuk menguji hipotesis mengenai nilai parameter, maksimal 2 populasi (jika lebih dari 2, harus digunakan uji F) dan dari sampel yang kecil (small sample size), misalnya n < 100, bahkan seringkali n ≤ 30.Untuk menganalisis uji hipotesis dalam 33 penelitian ini digunakan uji t yaitu untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (PBL) dengan kemampuan berpikir kritis (CTL) dan Problem Based Learning siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya Langkah–langkah pengujian hipotesis menggunakan uji t yaitu sebagai berikut : 1. Formulasi hipotesis nihil dan hipotesis kerja H0 : 𝜇1 = 𝜇2 : Tidak ada perbedaan rata-rata model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya. H1 : 𝜇1 ≠ 𝜇2 : Ada perbedaan rata-rata model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya. 2. Menentukan taraf signifikan, Digunakan taraf signifikan 0,05 atau 5% 3. Menentukan nilai kritis atau nilai t tabel yaitu 𝑡1−1𝑎𝑛 2 4. 1 +𝑛2 −2 Menentukan kriteria pengujian : TerimaH0 jika-t tabel <thitung <ttabel, jika sebaliknya tolak H0. 5. Menentukan uji statistik t= ̅𝑥̅̅1̅−𝑥 ̅̅̅2̅ dengan ∑ 𝑥 2 = ∑ 𝑥 2 − ∑ 𝑥1 2 + ∑ 𝑥2 2 1 1 }{ + } 𝑛1 +𝑛2 −2 𝑛1 𝑛2 √{ (∑ 𝑥)2 𝑛 𝑥1 = rerata kelompok eksperimen ̅̅̅ 𝑥2 = rerata kelompok kontrol ̅̅̅ ∑ 𝑥 2 = jumlah kuadrat nilai dari masing-masing kelompok 𝑛1 = banyaknya subjek kelompok eksperimen 𝑛2 = banyaknya subjek kelompok kontrol 6. Kesimpulan (Arikunto, 2009:311) 34 Daftar Pustaka Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Elaine B. Johnson. 2014. Contextual Teaching And Learning : Menjadikan kegiatan belajar-mengajar mengasyikkan dan bermakna. Bandung: Kaifa. Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa University Press. Ismail. 2002. Pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction): Apa, Bagaimana, dan Contoh pada subpokok Bahasan Matematika. Proseding Seminar Nasional Paradigma Baru Pembelajaran MIPA. Kerja sama Dirjen Dikti Depdiknas dengan (JICA-IMSTEP). Jusuf, Soewadji. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media. Kusumahningsih, Diah. 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X-C SMA N 11 Yogyakarta melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Materi Perbandingan Trigonometri. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Mundir. 2013. STATISTIK PENDIDIKAN: Pengantar analisis data untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nur Hidayati, Asih. 2007. Studi Komparasi Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap Pencapaian Prestasi Belajar Ekonomi Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Rohmah, Fitria Aprilianti .2016.Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Problem Based Learning dan Metode Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Terhadap Pemahaman Konsep Berdasarkan Kemampuan Awal Siswa. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Rusman . 2012. Model-model pembelajaran . Bandung: Raja Persindo Persada. Edisi kedua. 35 Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin. (2006). Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia. Sudjana, Nana. (2009). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sudaryanto. (2007). Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis. Diakses dari http://www.fk.undip.ac.id/Pengembangan-Pendidikan/pembelajarankemampuanberpikir-kritis. Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: Grasindo Persada. Sugiyono, 2012. Metodologi penelitian: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA Suyono dan Hariyanto, (2012). Belajar dan Pembelajaran – Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Zamroni & Mahfudz .2009.Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembang-kan Critical Thinking. Jakarta. Depdiknas 36