SEMPROL CTL PBL

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu syarat perkembangan dan sebagai bentuk perwujudan
kebudayaan manusia yang dinamis. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan adalah hal
yang memang seharusnya terjadi dan sejalan dengan perubahan budaya kehidupan manusia
(Trianto dalam Pondah nurindah sari, 2014:1). Pendidikan bertujuan untuk membantu
peserta didik agar dapat menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiannya. Adapun
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang system
pendidikan
nasional
(SISDIKNAS)
bahwa
tujuan
pendidikan
nasional
adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu unsur dalam
pendidikan yang menjadi ujung tombak pengembangan potensi diri adalah kegiatan
pembelajaran. Keberhasilan suatu pembelajaran bukan hanya diarahkan keberhasilan
mencapai nilai
yang memenuhi standar, tetapi juga di arahkan pada pencapaian
kompetensi.
Majunya suatu bangsa banyak ditentukan oleh kreatifitas pandidikan bangsa itu sendiri
karena pendidikan sebagai upaya mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas dan
berdedikasi tinggi. Untuk menghadapi tantangan tersebut harus dipersiapkan sumber daya
manusia yang handal dan mampu berkompentensi secara global. Manusia handal
dibutuhkan ketrampilan yang tinggi serta memiliki daya fikir kritis, sistimatis, logis, kreatif
dan mempunyai kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berfikir tersebut dapat
dikembangkan melalui pendidikan matematika. Pendidikan matematika memiliki
keterkaitan yang sangat kuat dan jelas antara satu dengan yang lain.
Matematika adalah salah satu bidang studi yang memiliki peranan penting dalam
pendidikan, khususnya dalam pembelajaran di sekolah. Sebab secara teoritik matematika
adalah ilmu yang bertujuan mendidik anak manusia agar dapat berfikir secara logis, kritis,
rasional, dan percaya diri, sehingga mampu membentuk kepribadian yang mandiri, kreatif,
serta mempunyai kemampuan dan keberanian dalam menghadapi masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila pembelajaran matematika di sekolah mampu membentuk
siswa dengan karakteristik seperti itu, berarti pembelajaran matematika di sekolah telah
1
memberi sumbangan besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Asikin,
2001:1-2). Matematika termasuk pelajaran yang sulit bagi sebagian besar siswa, oleh
karena itu berbagai cara dan model pendekatan mengajar diperkenalkan untuk memperkecil
kesulitan siswa dalam mempelajari matematika tersebut. Seorang guru (calon guru)
matematika perlu mengerti dan memahami tentang model-model pembelajaran matematika
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap matematika.
Berpikir kritis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam upaya peningkatan
pembelajaran matematika. Karena dalam memecahkan masalah matematika diperlukan
pemikiran yang jelas dan terarah untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Padahal tingkat
kemampuan berpikir kritis siswa berbeda. Ada siswa yang ketika guru selesai
menyampaikan materi langsung bisa memahami inti dari materi tersebut. Namun
sebaliknya, banyak siswa yang membutuhkan waktu lama untuk memahami inti dari materi
tersebut. Sehingga untuk mengatasi hal seperti ini siswa dituntut untuk memperbanyak
menyelesaikan latihan soal matematika. Hal ini terlihat ketika siswa berlatih mengerjakan
soal. Ketika mereka ditanya mengapa mereka menulis jawaban itu, mereka tidak bisa
menjelaskan darimana mendapat jawaban itu. Karena mereka hanya menghafal rumus
ketika guru selesai menyampaikan materi. Salah satu faktor yang membuat kemampuan
berpikir kritis siswa menurun adalah model pembelajaran yang hanya berfokus pada guru.
Model pembelajaran yang selama ini dilakukan guru cenderung monoton yaitu
dominasi guru lebih aktif dan siswa pasif. Dimana dalam proses belajar mengajar
pengetahuan baru lebih merupakan perangkat fakta yang di informasikan tersebut
dihafalkan siswa sebagai bahan berlatih selanjutnya. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, diperlukan model pembelajaran yang tepat. Seorang guru harus mampu
menyelesaikan permasalahan tersebut. Guru tidak asal dalam memilih model pembelajaran,
tetapi guru harus memilih model pembelajaran yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Dengan adanya model pembelajaran yang tepat maka akan berpengaruh pada kemampuan
berpikir kritis siswa.
Untuk melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran, guru dapat memilih cara
pendekatan yang dapat mengembangkan pola pikir matematika siswa, sehingga kreativitas
dan kemampuan berpikir kritis siswa berkembang secara optimal. Model pembelajaran
yang bisa dipilih adalah Contextual Teaching and Learning dan Problem Based learning.
Peneliti memilih model pembelajaran ini sebagai alternatif yang dapat digunakan untuk
melatih siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran
matematika.
2
Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning),
menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Depdiknas, 2002:
26). Dengan menerapkan ketujuh komponen tersebut diharapkan siswa memiliki
kemampuan berpikir kritis dan penalaran serta terlibat penuh dalam proses pembelajaran.
Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang mendorong
untuk lebih aktif dan memaksimalkan kemampuan berpikir kritis untuk mendapatkan solusi
dari masalah pada dunia nyata. Dengan kurikulum PBL, dapat membuat mahir dalam
memecahkan dan mengambil solusi dari suatu masalah, dalam kurikulumnya juga
dirancang masalah-masalah yang memotivasi untuk mendapatkan pengetahuan yang
penting sehingga memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam
kelompok diskusi. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk
memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning dan Problem based learning dalam proses belajar
mengajar untuk menjawab permasalahan di atas. Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat
judul “Efektifitas model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan Problem
Based Learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di
SMP Tunas Buana Surabaya”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
a) Apakah ada Pengaruh Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas
Buana Surabaya ?.
b) Apakah ada Pengaruh Problem Based learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya ?.
3
c) Bagaimanakah efektifitas kemampuan pengelolaan guru dalam pembelajaran dengan
model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Based learning (PBL)
pada siswa ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya”.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak Sebagai berikut:
1.4.1 Bagi guru
a. Dapat menerapkan model pembelajaran yang baru untuk dapat memecahkan
persoalan dalam proses pembelajaran
b. Dapat membandingkan model baru yang berbeda dengan model yang biasa
digunakan oleh guru, sehingga ditemukan model pembelajaran yang tepat untuk
permasalahan dalam kelas
c. Dapat meningkatkan pemahaman guru akan proses pembelajaran
1.4.2 Bagi Siswa
a. Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran
matematika
b. Dapat memberikan pengalaman pembelajaran dengan model pembelajaran
kontekstual
1.4.3 Bagi Peneliti
Peneliti memperoleh pengalaman yang berharga baik teori maupun praktek
tentang bidang studi yang di pelajari di perguruan tinggi.
1.4.4 Bagi Sekolah
Penelitian ini bagi sekolah diharapkan memberi masukan dan bahan
pertimbangan dalam rangka peningkatan, pembinaan, dan pengembangan mutu, dan
kualitas sekolah
1.5 Batasan Masalah
Sehubungan dengan luasnya masalah permasalahan yang timbul dari topik kajian maka
pembatasan masalah perlu dilakukan guna memperoleh kedalaman kajian untuk
menghindari perluasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini adalah:
4
1.5.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu yang menjadi perhatian untuk diambil datanya.
Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas IX A dan IX B SMP
Tunas Buana Surabaya.
1.5.2 Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan suatu yang menjadi fokus masalah untuk diteliti.
Objek penelitian yang dimaksud adalah:
a. Variabel bebas:
1) Metode Pembelajaran Contextual Teachig and Learning (CTL)
2) Metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
b. Variabel terikat: Kemampuan berpikir kritis siswa
1.6 Defenisi Operasional
1.6.1 Model pembelajaran adalah suatu kerengka yang konseptual yang di gunakan guru
dalam proses belajar mengajar di kelas
1.6.2 Pengaruh model pembelajaran adalah adanya perubahan akibat dari model
pembelajaran yang diterapkan dalam model pembelajaran
1.6.3 Model pembelajaran contextual teaching and learning adalah sebuah model
pembelajaran yang mementingkan kerjasama dalam suatu kelompok belajar untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi siswa dengan karakter dan kemampuan
yang berbeda. Oleh karena itu, akan terjadi interaksi untukmenemukan satu
jawaban yang paling tepat dengan bimbingan dari guru dan sumber-sumber belajar
yang tersedia
1.6.4 Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari
materi pelajaran.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is
defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau
tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami.
Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan
(Hamalik, 2008:27).Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dua konsep ini menjadi terpadu dalam satu kegiaatan dimana
terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa pada saat pembelajaran
berlangsung. (Ahmad susanto 2013:1).
Pengertian belajar menurut W.S. Winkel (2002) adalah: suatu aktivitas mental yang
berlansung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan , dan menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif konstan. (Ahmad susanto 2013:1).
Hal senada dikemukakan oleh Sugihartono (2007: 81), pembelajaran merupakan suatu
upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan,
mengorganisir, dan menciptakan system lingkungan dengan berbagai metode sehingga
siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil
optimal.
Dari beberapa pengertian belajar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah
suatu aktifitas yang dilakukan seseorang degnan sengja dalam keadaan sadar untuk
memperoleh suatu konsep, pemahan, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan
seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa,
maupun dalam bertindak.
2.2 Pembelajaran Matematika
Schoenfeld berpendapat bahwa pengertian istilah mateamtika sebagai ilmu tentang
pola perlu dikembangkan lebih lanjut (Hendriana, 2014:3). Matematika memuat
pengamatan dan pengkodean melalui representasi yang abstrak, dan peraturan dalam dunia
simbol dan objek. Matematika dalam pengertian sebagai ilmu memuat arti membuat
6
sesuatu yang masuk akal, memuat serangkaian simbol dan jenis penalaran yang sesuai
antara satu dengan yang lainnya. Uraian diatas melukiskan bahwa pegertian matematika
sebagai ilmu tentang pola memuat kegiatan membuat sesuatu menjadi masuk akal dan
memerlukan kemampuan mengkomunikasikan idenya kepada orang lain.
Matematika sebagai ilmu memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Karakteristik
umum matematika :
a.
Memiliki objek kajian yang abstrak, berupa fakta, operasi (atau relasi), konsep
dan prinsip
b.
Bertumpu pada kesepakatan atau konvensi, baik berupa simbol-simbol dan istilah
maupun aturan-aturan dasar (aksioma)
c.
Berpola pikir deduktif
d.
Konsisten dalam sistemnya
e.
Memiliki simbol yang kosong dari arti
f.
Memperhatikan semesta pembicaraan, Smith, Sanderson, 2003 (dalam Hendriana,
2014:12)
Beberapa hal yang dapat dialkukan untuk pembelajaran matematika saat ini, agar
proses pembelajaran matematika dapat bermakna dan dapat berdampak pada peserta didik
adalah :
a. Kreativitas guru untuk menyiasati kurikulum yang sedang berlaku Guru tidak
hanya
mengajar
sesuai
petunjuk
teknis
kurikulum,
tetapi
dapat
menyiasatikurikulum dengan memilih dan memilah materi yang penting bagi
siswa dan memberikan materi secara berkelanjutan, bahkan bila perlu membuang
materi yang tidak penting
b. Inovasi guru dalam pembelajaran Variasi metode pembelajaran merupakan peran
penting
untuk
menarik
minat
siswa
dalam
pembelajaran
matematika.
Pembelajaran dengan berbagai variasi sesuai materi ajar akan membuat siswa
tidak jenuh untuk mengikuti pembelajaran
c. Mengaitkan materi ajar dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan nyata
Dengan menunujukkan keterkaitan matematika dengan realitas kehidupan, akan
menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa. Siswa dapat
menerapkan konsep dan teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang
dihadapi dalam keseharian.
7
2.3 Pengertian Berpikir kritis
Pada saat pembelajaran dikelas, siswa butuh perhatian dari guru untuk menemukan
kemampuan berpikir kritis pada materi dalam kehidupan nyata.
2.3.1 Pengertian Berpikir kritis
Berpikir kritis mengandung aktivitas mental dalam hal memecahkan masalah,
menganalisis asumsi, memberi rasional, mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan
mengambil keputusan. Dalam proses
pengambilan keputusan, kemampuan mencari,
menganalisis dan mengevaluasi informasi sangatlah penting. Orang yang berpikir kritis
akan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan
berdasarkan fakta kemudian melakukan pengambilan keputusan. Ciri orang yang berpikir
kritis akan selalu mencari dan memaparkan hubungan antara masalah yang didiskusikan
dengan masalah atau pengalaman lain yang relevan. Berpikir kritis juga merupakan proses
terorganisasi dalam memecahkan masalah yang melibatkan aktivitas mental yang
mencakup kemampuan: merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi
dan induksi, melakukan evaluasi, dan mengambil keputusan.
Menurut Ruland (2003:1-3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada
suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar
adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk
mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi
tertentu. Universal intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian,
kesaksamaan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance),
kedalaman (depth).
Kemampuan dalam berpikir kritis akan memberikan arahan yang lebih tepat dalam
berpikir, bekerja, dan membantu lebih akurat dalam menentukan keterkaitan sesuatu
dengan lainnya. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam
pemecahan masalah atau pencarian solusi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis
merupakan integrasi berbagai komponan pengembangan kemampuan, seperti pengamatan
(observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin
baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka akan semakin baik pula dalam
mengatasi masalah-masalah.
8
Selain itu Ennis menjelaskan tahap-tahap dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut:
o
o
o
o
o
o
Fokus (focus). Langkah awal dari berpikir kritis adalah mengidentifikasi masalah
dengan baik. Permasalahan yang menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan
sebuah argumen.
Alasan (reason). Apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk
disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.
Kesimpulan (inference). Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai
pada kesimpulan yang diberikan?.
Situasi (situation). Mencocokan dengan dengan situasi yang sebenarnya.
Kejelasan (clarity). Harus ada kejelasan mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam
argumen tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan.
Tinjauan ulang (over view). Artinya kita perlu mencek apa yang sudah ditemukan,
diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan
2.3.2 Berpikir kritis penting dikuasai oleh siswa
Zamroni dan Mahfudz (2009:23-29) mengemukakan ada enam argumen yang menjadi
alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. Pertama, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menye-babkan informasi yang
diterima siswa semakin banyak ragamnya, baik sumber maupun esensi informasinya. Oleh
karena itu siswa dituntut memiliki kemam-puan memilih dan memilah informasi yang baik
dan benar sehingga dapat memperkaya khazanah pemikirannya. Kedua, siswa merupakan
salah satu kekuatan yang berdaya tekan tinggi (people power), oleh karena itu agar
kekuatan itu dapat terarahkan ke arah yang semestinya (selain komitmen yang tinggi
terhadap moral), maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berpikir yang memadai
(deduktif, induktif, reflektif, kritis dan kreatif) agar kelak mampu berkiprah dalam
mengembangkan bidang ilmu yang ditekuninya. Ketiga, siswa adalah warga masyarakat
yang kini maupun kelak akan menjalani kehidupan semakin kompleks.
Hal ini menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapinya secara kritis. Keempat, berpikir kritis adalah kunci
menuju berkembangnya kreativitas, dimana kreativitas muncul karena melihat fenomenafenomena atau permasalahan yang kemudian akan menuntut kita untuk berpikir kreatif.
Kelima, banyak lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak, membutuhkan
keterampilan berpikir kritis, misalnya sebagai pengacara atau sebagai guru maka berpikir
kritis adalah kunci keberhasilannya. Keenam, setiap saat manusia selalu dihadapkan pada
pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak, dicari ataupun tidak akan
memerlukan keterampilan untuk berpikir kritis.
9
Menurut Potter, (2010: 6) ada tiga alasan keterampilan berpikir kritis diperlukan.
Pertama, adanya ledakan informasi. Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari
puluhan ribu web mesin pencari di intrnet. Informasi dari berbagai sumber tersebut bisa
jadi banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak kredibel. Untuk dapat
menggunakan informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap data dan
sumber informasi tersebut. Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian memutuskan
untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan berpikir kritis. Oleh
karena itu, maka keterampilan berpikir kritis sangat perlu dikembangkan pada siswa.
Kedua, adanya tantangan global. Saat ini terjadi krisis global yang serius, terjadi
kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Untuk mengatasi kondisi yang krisis ini
diperlukan penelitian dan pengembangan keterampilan-keterampilan berpikir kritis.
Ketiga, adanya perbedaan pengetahan warga negara. Sejauh ini mayoritas orang di bawah
25 tahun sudah bisa meng-online-kan berita mereka. Beberapa informasi yang tidak dapat
diandalkan dan bahkan mungkin sengaja menyesatkan, termuat di internet. Supaya siswa
tidak tersesat dalam mengambil informasi yang tersedia begitu banyak, maka perlu
dilakukan antisipasi. Siswa perlu dilatih untuk mengevaluasi keandalan sumber web
sehingga tidak akan menjadi korban informasi yang salah atau bias.
2.3.3 Mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa
Kemampuan berpikir kritis siswa sangat perlu dikembangkan demi keberhasilan
mereka dalam pendidikan dan dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan berpikir
kritis dapat dikembangkan atau diperkuat, melalui proses pembelajaran. Artinya, di
samping pembelajaran mengembangkan kemampuan kognitif untuk suatu mata pelajaran
tertentu, pembelajaran juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.
Tidak semua proses pembelajaran secara otomatis akan mengembangkan keterampilan
berpikir kritis. Hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi
memberikan kesempatan berpendapat,
dan banyak
menggunakan gagasan-gagasan, memberikan
banyak kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dalam tulisan,
mendorong kerjasama dalam mengkaji dan menemukan pengetahuan, mengembangkan
tanggung jawab, refleksi diri dan kesadaran sosial politik, yang akan mengembangkan
berpikir kritis siswa. Di samping itu antusiasme guru dan kultur sekolah juga berpengaruh
terhadap tumbuhnya keterampilan berpikir kritis siswa.
10
Dalam bidang pendidikan, berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan
pemahaman materi yang dipelajari dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku
teks, jurnal, teman diskusi, termasuk argumentasi guru dalam kegiatan pembelajaran. Jadi
berpikir kritis dalam pendidikan merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang
diperlukan dalam mengkonstruksi pengetahuan. Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir
kritis sangat tertib dan sistematis. Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir
tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Selain
itu berpikir kritis siswa dapat dikembangkan melalui pemberian pengalaman bermakna.
Pengalaman bermakna yang dimaksud dapat berupa kesempatan berpendapat secara lisan
maupun tulisan seperti seorang ilmuwan Kesempatan bermakna tersebut dapat berupa
diskusi yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur
(ill-structured problem), serta kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap
gejala atau fenomena yang akan menantang kemampuan berpikir siswa
Menurut Zamroni dan Mahfudz (2009:30) ada empat cara meningkatkan keterampilan
berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas
mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model pertanyaan . Dalam
penelitian ini bahasan akan difokuskan hanya pada model pembelajaran.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian, keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan
dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran secara
otomatis dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Hanya model pembelajaran
tertentu yang akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran yang
dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, paling tidak mengandung tiga proses,
yakni (a) penguasaan materi, (b) internalisasi, dan (c) transfer materi pada kasus yang
berbeda. Penguasaan siswa atas materi, dapat cepat atau lambat dan dapat dalam atau
dangkal. Kecepatan atau kelambatan dan kedalaman atau kedangkalan penguasaan materi
dari siswa sangat tergantung pada cara guru melaksanakan proses pembelajaran; termasuk
dalam menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran
yang dipelajari.
Internalisasi merupakan proses pengaplikasian materi yang sudah dikuasai dalam
frekuensi tertentu, sehingga apa yang telah dikuasai, secara pelan-pelan terpateri pada diri
siswa, dan jika diperlukan akan muncul secara otomatis. Mengaplikasikan suatu
pengetahuan yang dikuasai amat penting artinya bagi pengembangan kerangka pikir. Akan
11
lebih penting lagi apabila aplikasi dilakukan pada berbagai kasus atau konteks yang
berbeda. Sehingga terjadi proses transfer of learning, dengan transfer of learning akan
terjadi proses penguatan critical thinking.
2.4 Model Pembelajaran
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang di sajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model
pembelajran merupakan buku atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran.(Ahmadi 2011). Mills, berpedapat bahwa “ model adalah bentuk
representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang mencoba bertindak berdasarkan model itu,”. Model merupakan interprestasi terhadap
hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Model pembelajaran
dapat diartikan pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi, dan
memberi petunjuk kepada guru dikelas. (Kokom 2010:57).
Menurut Sokamato, dkk (Nurulwati,2000:10) mengemukakan maksud dari model
pembelajaran adalah “ kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistemtis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan aktifitas belajar mengajar”. Degan demikian, aktivitas pembelajaran benarbenar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan
kerangka dn arah bagi guru untuk mengajar.
2.4.1 Contextual Teaching And Learning (CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2008: 6).
Dengan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari maka mereka akan memperoleh makna
yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang
harus dipahami.
 Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengaharapkan agar siswa hanya
12
menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.
 Kedua, CTL mendorong siswa untuk menemukan hubungan antara materi dengan
situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.
 Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan,
artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajari, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk
ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam
mengarungi kehidupan nyata.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang
melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL.
Seringkali asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Ketujuh asas ini dijelaskan di
bawah ini:
1) Konstruktivisme
Menurut Syaiful Sagala (2011) konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Penjelasan tersebut diperkuat oleh Pieget yang
dikutip Wina Sanjaya (2011) yang menyatakan, bahwa hakikat pengetahuan sebagai
berikut:
a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi
selalu merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsesi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengelaman-pengalaman seseorang.
13
2) Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Menurut Trianto (2009) asas
kedua ini merupakan bagian inti kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan
yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Silklus inkuiri
menurut Yatim Riyanto (2010) terdiri dari:
a. Observasi
b. Bertanya
c. Mengajukan dugaan (hipotesis)
d. Pengumpulan data
e. Penyimpulan
Penerapan asas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran
siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan, dengan demikian siswa harus
didorong untuk menemukan masalah. Masalah yang telah dipahami dengan jelas, kemudian
dibuat batasan-batasan yang selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban
sementara. Hipotesis tersebutlah yang akan menuntun siswa melakukan observasi dalam
rangka pengumpulan data. Manakala data sudah terkumpul, maka siswa dituntun untuk
menguji hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
3) Bertanya (Questioning)
Pengatahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berfikir siswa.
Kegiatan bertanya bagi siswa merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang
sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Sagala (2011) menyatakan bahwa, dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan
bertanya akan sangat berguna untuk:
a) Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi
pelajaran.
b) Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
c) Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu.
d) Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.
e) Membimbing siswa untuk menemukan aatau menyimpulkan sesuatu.
14
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Loe Semenovich Vygotsky, seorang psikologi Rusia (Wina Sanjaya, 2011),
menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi
dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, tetapi
membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama saling membari dan menerima sangat
dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning
community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja
sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam
kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar
kelompok yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu. Inilah hakikat dari
masyarakat belajar.
5) Pemodelan
Asas modeling merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya, guru memberikan contoh
bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja,
akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui
modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoristis-abstrak yang dapat
memungkinkan terjadinya verbalisme.
6) Refleksi
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan
dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang
telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengelaman belajar itu akan dimasukkan dalam
struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang
dimilikinya. Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa
yang telah dipelajari. Biasanya guru pada akhir pelajaran menyisakan waktu sejenak agar
siswa melakukan refleksi. Menurut Trianto (2009) realisasinya berupa:
a) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu.
b) Catatan atau jurnal di buku siswa.
c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.
d) Diskusi
e) Hasil karya.
15
Kunci semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu bertahan lama di benak siswa.
Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
7) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assement)
Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar bias memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan baik.
Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami
kemacetan atau hambatan dalam belajar, maka guru segera mengambil tindakan yang tepat
agar siswa terbebas dari kemacetan atau hambatan belajar. Gambaran tentang kemajuan
belajar itu diperlukan di sepanjang pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan di akhir
periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan
bersama-sama secara intregasi dari kegiatan pembelajaran.
Penilaian menekankan proses pembelajaran, maka dari itu data yang dikumpulkan
harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa pada saat proses pembelajaran.
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil. Penilai tidak hanya guru, tetapi
bisa juga dari teman lain atau orang lain. Karakteristik penilaian sebenarnya (Sutarjo, 2012)
adalah:
a) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif.
c) Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
d) Berkesinambungan.
e) Terintegrasi.
f) Dapat digunakan sebagai feed back.
Cara yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa (Trianto, 2009) adalah:
a) Proyek/kegiatan dan laporannya
b) PR
c) Kuis
d) Karya siswa
e) Presentasi atau penampilan siswa
f) Demontrasi
g) Laporan
h) Jurnal
i) Hasil tes tulis
j) Karya tulis
16
Penilaian autentik mempunyai keuntungan meningkatkan pembelajaran dalam banyak
hal. Pengujian standar bersifat eksklusif dan sempit, sementara menurut Elaine (2010),
penilaian autentik yang bersifat inklusif memberi keuntungan kepada siswa memungkinkan
mereka:
 Mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik
mereka.
 Mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka seperti
mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi,
dan berpikir secara sistematis.
 Menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia
mereka, dan masyarakat luas.
 Mempertajam keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka
menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan
mengikuti hubungan sebab akibat.
 Menerima tanggung jawab dan membuat pilihan
 Berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan tugas.
2.4.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Menurut Duch dalam Aris Shoimin (2014 : 130) Problem Based Learning (PBL) atau
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah “model pengajaran yang bercirikan adanya
permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berpikir kritis dan
keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan”.
Menurut Finkle dan Torp dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan bahwa: PBM
merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara
simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan
dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan
sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.
 Kakateristik Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu dalam Aris Shoimin
(2014:130) menjelaskan karakteristik dari Pembelajaran Berbasis Masalah, yaitu:
a) Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitik beratkan kepada siswa sebagai orang
belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana
siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b) Authentic problem form the organizing focus for learning
17
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik sehingga siswa
mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya di
dalam kehidupan profesionalnya nanti.
c) New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan
memahami semua pengetahuan prasyaratnya sehingga siswa berusaha untuk
mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
d) Learning occurs in small groups
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun
pengetahuan secara kolaboratif, PBM dilaksanakan dalam kelompok kecil.
Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan
yang jelas.
e) Teachers act as facilitators
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Meskipun begitu
guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong mereka
agar mencapai target yang hendak dicapai.
 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Menurut Aris Shoimin (2013 : 132) terdapat beberapa kelebihan dari model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) antara lain sebagai berikut.
a. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi
nyata.
b. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas
belajar.
c. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya
tidak perlu dipelajari oleh siswa.
d. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
e. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari perpustakaan,
internet, wawancara dan observasi.
f. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
g. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan
diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.
h. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok
dalam bentuk peer teaching.
18
Sedangkan kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) menurut
Aris Shoimin (2013 : 132) yaitu:
a. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan
aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk pembelajaran yang
menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
b. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi
kesulitan dalam pembagian tugas.
 Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Adapun langkah-langkah pada model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
menurut Aris Shoimin (2014:131) yaitu:
a. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.
Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah
tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain).
c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok. Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan karya. Guru membantu siswa dalam
merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan
membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu
siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
dan proses-proses yang meraja gunakan.
2.5 Materi Probabilitas
A. Definisi Peluang
Jika N adalah banyaknya titik sampel pada ruang sampel S suatu percobaan dan
E merupakan suatu kejadian dengan banyaknya n pada percobaan tersebut, peluang
𝑛
E adalah P(E) = 𝑁
B. Menentukan Peluang dengan Pendekatan Frekuensi Relatif
19
Misalkan suatu percobaan dilakukan sebanyak n kali. Jika kejadian E muncul
sebanyak k kali (0 ≤ 𝑘 ≤ 𝑛), maka frekuensi relatif munculnya kejadian E
ditentukan dengan rumus:
𝑃(𝐸) =
𝑘
𝑛
C. Menentukan Peluang dengan Rumus
Jika 𝑆 adalah ruang sampel dengan banyak elemen = 𝑛(𝑆) dan 𝐸 adalah suatu
kejadian dengan banyak elemen = 𝑛(𝐸), peluang kejadian 𝐸, diberi notasi 𝑃(𝐸).
Dirumuskan sebagai berikut:
𝑃(𝐸) =
𝑛(𝐸)
𝑛(𝑆)
D. Kisaran Nilai Peluang
Jika 𝑆 merupakan ruang sampel dan kejadian 𝐸 merupakan titik sampelnya
maka: 0 ≤ 𝑃(𝐸) ≤ 1
Atau dengan kata lain kisaran nilai peluang, terletak di antara 0 dan 1.

𝑃(𝐸) = 1 adalah kejadian pasti karena kejadian ini selalu terjadi.

𝑃(𝐸) = 0 adalah kejadian mustahil karena kejadian ini tidak mungkin terjadi.
Langkah-langkah Menentukan Peluang Suatu Kejadian:

Daftar ruang sampel dari percobaan, kemudian tentukan 𝑛(𝑆)

Daftarkan himpunan yang berkaitan dengan kejadian 𝐸, kemudian tentukan 𝑛(𝐸).

Hitung peluang kejadian 𝐸 dengan 𝑃(𝐸) =
𝑛(𝐸)
𝑛(𝑆)
Contoh Soal:
Tiga belas kartu diberi angka 1, 2, 3, … , 13. Kartu tersebut dikocok, kemudian
diambil satu kartu secara acak. Tentukan peluang:
a. Muncul kartu berangka ganjil;
b. Muncul kartu berangka 14;
c. Muncul kartu berangka kurang dari atau sama dengan 13
Penyelesaian:
20
Ruang sampel dalam percobaan ini adalah angka - angka 1 sampai dengan 13. S =
{1, 2, 3, … , 13} sehingga 𝑛(𝑆) = 13.
a. Kejadian 𝐸1 muncul kartu berangka ganjil dapat ditulis sebagai,
𝐸1 = {1, 3, 5, 7, 9, 11, 13} sehingga 𝑛(𝐸1 ) = 7. 𝑃(𝐸1 ) =
𝑛(𝐸1 )
𝑛(𝑆)
7
= 13
b. Angka 14 bukanlah anggota dari 𝑆 sehingga kejadian 𝐸2 muncul angka 14 adalah
himpunan kosong. Jadi, 𝑛(𝐸2 ) = 0. Akibatnya, peluang 𝐸2 adalah 𝑃(𝐸2 ) =
0
13
𝑛(𝐸2 )
𝑛(𝑆)
=
= 0 sehingga peristiwa itu disebut kejadian mustahil
c. Kejadian 𝐸3 muncul kartu berangka kurang dari atau sama dengan 13 dapat ditulis
sebagai 𝐸3 = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13} sehingga 𝑛(3) = 13. 𝑃(𝐸3 ) =
𝑛(𝐸3 )
𝑛(𝑆)
13
= 13 = 1 adalah kejadian pasti
E. Peluang Komplemen Suatu Kejadian
Untuk memahami komplemen suatu kejadian, akan dibahas kembali percobaan
mengetos dadu bersisi enam sebanyak satu kali. Ruang sampel untuk percobaan
adalah 𝑆 = {1,2,3,4,5,6} misalkan :

𝐸 adalah kejadian munculnya mata dadu angka 1, maka 𝐸 = {1}

𝐸 ′ adalah kejadian munculnya mata dadu bukan angka 1, maka 𝐸’ =
{2,3,4,5,6}.
maka: 𝑃(𝐸) + 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 ⇔ 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 − 𝑃(𝐸) ⇔ 𝑃(𝐸) = 1 − 𝑃(𝐸 ′ )
Contoh:
Sebuah dadu bersisi enam dilempar sekali. Berapa peluang kejadian munculnya
mata dadu bukan bermata 2.
Penyelesaian:
Misalkan 𝐸 adalah kejadian munculnya mata dadu mata 2, maka 𝐸 = {2} dan
𝑃(𝐸) =
1
6
Jika 𝐸’ adalah kejadian munculnya mata dadu bukan 2, maka 𝐸’ adalah
komplemen kejadian E sehingga berlaku hubungan 𝑃(𝐸 ′ ) = 1 − 𝑃(𝐸).
𝑃(𝐸’) = 1 −
1 5
=
6 6
21
5
Jadi peluang kejadian munculnya mata dadu bukan 2 adalah 𝑃(𝐸’) = 6
F. Frekuensi Harapan Suatu Kejadian
Frekuensi Harapan adalah banyak kejadian atau peristiwa yang diharapkan
dapat terjadi pada sebuah percobaan. Misalkan sebuah percobaan dilakukan
sebanyak 𝑛 kali dan 𝑃(𝐸) adalah peluang kejadian 𝐸.
Frekuensi harapan kejadian E (𝐹ℎ ) ditentukan dengan rumus:
𝐹ℎ (𝐸) = 𝑛 × 𝑃(𝐸)
Contoh:
Sebuah dadu dengan enam mata dadu dilempar sebanyak 300 kali. Hitunglah
frekuensi harapan untuk kejadian munculnya mata dadu 4 !
Penyelesaian:
Banyak percobaan = 𝑛 = 300
1
Misalkan E adalah kejadian munculnya mata dadu 4, maka 𝑃(𝐸) = 6 . Jadi,
frekuensi harapan kejadian munculnya mata dadu 4 adalah 𝐹ℎ (𝐸) = 𝑛 × 𝑃(𝐸) =
1
300 × 6 = 50 𝑘𝑎𝑙𝑖.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan peniliti adalah penelitian kuantitatif. Metode
kuantitatif dinamakan metode tradisional. Karena metode ini sudah cukup lama digunakan
sehingga sudah menjadi tradisi sebagai meode untuk penelitian. Metode ini sebagai
metode ilmia yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis. Metode ini
disebut metode kuantitatif kerena data penelitian berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik.
(Sukardi,2003:16) Jenis penelitian yang digunakan penelitian eksperimen. Penelitian
eksperimen merupakan metode inti dari penelitian yang ada. Dalam penelitian eksperimen
para peneliti melakukan tiga persyaratan dari suatu bentuk penelitian. Ketiga peryaratan
tersebut, yaitu kegiatan mengontrol, manipulasi dan observasi. Dalam penelitian
eksperimen ini, peneliti juga harus membagi objek atau subjek yang diteliti menjadi dua
grup treatmen atau perlakuan dan grup kontrol yang tidak memperoleh perlakuan.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
(Arikunto,1992:102). Mengemukakan bahwa “populasi adalah keseluruhan subyek
penelitian. Dalam penelitian ini “populasinya” adalah keseluruhan siswa kelas IX SMP
Tunas Buana Surabaya.
3.2.2 Sampel
(Arikunto, 1992:104). Mengemukakan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel bertujuan atau
proposive sample. Sampel ini dilakukan dengan cara menggambil subjek bukan didasarkan
atas strata, random atau daera tetapi di dasarkan atas adanya tujuan tertentu.Sampel yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah dua kelas untuk kelas eksperimen yang di
berikan model pembelajaran Contextual teaching and learning (CTL) sedangkan kelas
kontrol yang diberikan model pembelajaran Problem based learning (PBL).
Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah SMP swasta di Surabaya, yaitu SMP
Tunas Buana yang berada di Jalan Alun-alun Bangunsari Selatan No.32, Dupak,
Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur 60179. Populasi yang akan diteliti adalah siswa
kelas IX A dan IX B banyak siswa sama yaitu 38 siswa. Arikunto (1998:120) jika jumlah
23
populasi obyek penelitian kurang dari 100 maka diambil semua, tetapi jika lebih dari 100,
maka dapat diambil 10% sampai dengan 15% dari populasi yang ada. Dalam penelitian
ini karena jumlah populasi kurang dari 100 maka seluruh populasi dijadikan sampel yaitu
sebanyak 76 siswa (Total Sampling).
Selanjutnya peneliti menentukan kelas eksperimen yaitu kelas IX A dengan
menerapkan model pembelajaran CTL dan kelas control yaitu kelas IX B dengan
menerapkan model pembelajaran PBl, kedua kelas diajar oleh guru yang sama dengan
materi yang sama yaitu probabilitas.
Dengan dibentuknya kelas kontrol dan kelas eksperimen yang akan diberi perlakuan
berbeda, maka kedua kelas berisi subjek yang berbeda, maka sampel tersebut Independen.
Untuk mendeteksi normalitas data dapat dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov, uji
Parametric yang digunakan uji independent Sampel T Test, namun apabila data tidak
berdistribusi normal atau tidak homogen maka menggunakan uji non-parametric dengan
uji Mann Whitney U.
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian atau disebut juga desain penelitian dapat diartikan sebagai
strategi mengatur latar (setting) penelitian agar diperoleh data yang tepat sesuai dengan
karakteristik dan tujuan penelitian.
Rancangan penelitian adalan suatu tahapan atau proses yang tempuh dalam
merencanakan dan melakukan penelitian non eksperimen dan penelitian eksperimen.
Maka rancangan yang peneliti gunakan addalah sebagai berikut: (Dantes : 1996:45)
dalam alyah (2008:29)
Pre Test
Treatmant
Post Test
Model Pembelajaran CTL
Pre Test
Treatmant
Post Test
Model Pembelajaran PBL
24
Pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
1) Memberikan pretest kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen
2) Memberikan perlakuan kepada kelompok eksperimen yaitu mengelolah model
pembelajaran Contextual teaching and learning
3) Memberikan perlakuan kepada kelompok kontrol yaitu mengelolah pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran Problem based learning
4) Memberikan post test pada kelompok eksperimen dan kelompok control
5) Menganalisis data skor posttes

Tahap Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan meliputi:
A. Kelas Eksperimen
1. Kegiatan Awal
o Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran,
o Apersepsi, sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan
diajarkan.
o Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan
dipelajari
o Guru meberikan soal pretest dengan materi probabilitas untuk mengukur kemapuan
berpikir kritis siswa sebelum diberi treatment
o Guru mengarahkan siswa agar mereka bekerja sendiri dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan kemampuannya
2. Kegiatan Inti
o Guru menjelaskan model belajar dan membagi kelompok siswa secara
heterogen
o Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan
guru.
o Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas
jawaban permasalahan yang diajukan guru.
25
o Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja (LKS: soal cerita perkalian
terlampir) yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi,
dan memfasilitasi kerja sama,
o Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok dan kelompok
yang lain menanggapi hasil kerja kelompok yang mendapat tugas,
o Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa
membahas cara penyelesaian masalah yang tepat,
o Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal-hal
yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan
pesan selama mengikuti pembelajaran.
3. Kegiatan Akhir
o Guru dan siswa membuat kesimpulan cara menyelesaikan soal cerita
Probabilitas
o Siswa mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita Probabilitas terlampir),
Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian, guru
bersama siswa membahas penyelesaian lembar tugas dan Siswa membuat
pertanyaan hubungan tentang pelajaran yang telah dilakukan dengan kehidupan
nyata siswa serta sekaligus guru dapat memberi nilai pada lembar tugas sesuai
kesepakatan yang telah diambil.
B. Kelas Kontrol
1) Kegiatan awal
o
Guru membuka pembelajaran mengajukan pertanyaan prasyarat yang terkait
dengan materi probabilitas
o
Guru membangun motivasi dan sikap positif terhadap pembelajaran dengan
meberikan soal pretest sebelum diberi treatment.
2) Kegiatan inti
o Guru menyuguhkan situasi bermasalah kepada siswa dengan memberikan
masalah sesuai keadaan nyata untuk mengetahui pengetahuan awal siswa
o Siswa memperhatikan permasalahan tentang konsep yang diuraikan guru dan
mulai berinteraksi aktif untuk turut serta menyelesaikan permasalahan tersebut.
o Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok heterogen untuk melakukan
investigasi/ meneliti.
26
o Guru membagi soal masalah
yang telah dirancang untuk siswa yang berisi
permasalahan materi probabilitas yang perlu diselidiki siswa melalui eksperimen
dan diskusi
o Guru menjelaskan target yang diharapkan dari analisis masalah yang dilakukan.
o Guru berkeliling kelas memantau kegiatan eksperimen yang dilakukan oleh
siswa.
o Guru mengarahkan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil
eksperimennya ke depan kelas
o Guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri
maupun ketrampilan investigasi dan ketrampilan intelektual yang mereka
gunakan.
o Guru mengarahkan siswa untuk menyimpulkan konsep yang telah dipelajari.
3) Kegiatan akhir
o Guru dan siswa membuat kesimpulan cara menyelesaikan soal cerita
Probabilitas
o Siswa mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita Probabilitas terlampir),
Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian, guru
bersama siswa membahas penyelesaian lembar tugas dan Siswa membuat
pertanyaan hubungan tentang pelajaran yang telah dilakukan dengan kehidupan
nyata siswa serta sekaligus guru dapat memberi nilai pada lembar tugas sesuai
kesepakatan yang telah diambil.
 Tahap Akhir
Kegiatan yang dilakukan pada tahap akhir meliputi:
a) Mengolah dan menganalisis instrumen tes (data hasil pretest dan posttest)
masing-masing kelompok antara sebelum diberi perlakuan dengan setelah diberi
perlakuan untuk melihat dan menentukan apakah terdapat peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa atau tidak.
b) Membandingkan peningkatan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
c) Memberikan kesimpulan dan Memberikan saran-saran terhadap aspek penelitian.
27
3.4 Instrumen Penelitian
1. Test
Menurut Arikunto (2006:223) tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat
lain yang bisa digunakan untuk mengukur
ketrampilan, pengetahuan, iteligensi
kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki seseorang atau kelompok . metode tes
digunakan untuk memperoleh data kuantitatif mengenai kemampuan berpikir kritis siswa.
2. Validitas
Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauhmana tes telah mengukur
apa yang seharusnya diukur. Menurut Gronlund (1985) mengatakan bahwa validitas
berkaitan dengan hasil suatu alat ukur, menunjukan tingkatan, dan bersifat khusus sesuai
dengan tujuan pengukuran yang akan dilakukan. Para pengembang tes memiliki tanggung
jawab yang membuat tes benar-benar valid. Untuk mengetahui validitas tes maka
diperlukan uji validitas dengan menggunakan rumus korelasi product moment oleh person
sebagai berikut:
Keterangan:
rxy = koefisien korelasi produc moment
N = banyak siswa peserta tes
X = jumlah skor soal yang diuji dulu
Y = jumlak skor total
Untuk dapat meberikan penafsisaran terhadap kofisien korelasi yang ditemukan besar
atau kecil maka dapat berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
Tabel 3.2
Interprestasi validitas
Interval koefisien
Hubungan
0.80-1,00
Sangat kuat
0,60-0,799
Kuat
0,40-0,599
Sedang
0,20-0,399
Rendah
0,00-0’199
Sangat rendah
28
Suatu kesepakatan umum menyatakan
bahwa koevisien validitas dapat dianggap
memuaskan apabila melebihi rxy = 0,30 (Azwar,1996:179)
3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah hal yang sangat penting dalam menentukan apakah
tes telah
menyajikan pengukuran yang baik. Mencari reliabilitas dengan rumus K-R 20 sebagai
berikut:
𝑟11 =
𝐾 𝑉𝑡−∑ 𝑞
𝐾 − 1 𝑉𝑡
Keterangan:
𝑟11
=
reliabilitas instrumen
𝐾
=
banyaknya butir pertanyaan
Vt
=
varian total
p
=
q
=
Kovisien korelasi
𝐩𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐬𝐮𝐛𝐣𝐞𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐬𝐤𝐨𝐫𝟏
𝐍
proporsi subjek yang mendapat skor 0
N
Tabel 3.3
Interprestasi Reliabilitas
Tingkat korelasi
0,81 < r <1,00
Sangat tinggi
0,61 < r < 0,80
Tinggi
0,41 < r < 0,60
Cukup
0,21 < r < 0,40
Rendah
0,00 < r < 0,21
Sangat rendah
Kesepakatan informal menghendaki reliabilitas haruslah setinggi munggkin, biasanya
suatu koefisien reliabilitas di sekitar 0,999 dapat dianggap memuaskan . (Azwar,1996:189)
4. Uji Daya Pembeda
Gaston berasumsi bahwa suatu alat evaluasi yang baik mampu membedakan antara
siswa kelompok atas (pandai) dan kelompok asor (berkemampuan rendah). Oleh karena
itu sebaiknya setiap butir soal memiliki daya pembeda. Daya pembeda dari sebuah butir
soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan
antara siswa kelompok atas (pandai) dan kelompok asor (berkemampuan rendah).
29
Disini penulis mengelompokkan data siswa menjadi 16 siswa kelompok atas dan 16
siswa kelompok bawah sesuai dengan urutan hasil nilai. Menghitung daya pembeda soal
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
D=
(Arikunto, 2009:213)
Keterangan:
D
: Daya Pembeda
Ja
: Banyaknya peserta kelompok atas
Jb
: Banyaknya peserta kelompok bawah
Ba
: Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal betul
Bb
: Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal betul
PA
: Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB
: Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Tabel 3.4 Interpretasi Uji Daya Pembeda
Nilai
Keterangan
0.70 ≤ D < 1.00
Baik Sekali
0.40 ≤ D < 0.70
Baik
0.20 ≤ D < 0.40
Cukup
0.00 ≤ D < 0.20
Jelek
Negatif
Tidak Baik
(Arikunto, 2009:218)
Menurut Arikunto jika daya pembeda bernilai negatif maka soal tersebut tidak baik.
Jadi semua butir soal yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya tidak digunakan.
5. Uji Indeks Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar
(Arikunto:2009). Soal yang baik akan membuat siswa untuk berpikir dengan baik
bagaimana cara memecahkan soal tersebut sehingga merangsang rasa penasaran dan
kreatifitas siswa.
Bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya susau soal disebut indeks kesukaran
30
(Arikunto:2009). Besarnya indeks kesukaran adalah antara 0.00 sampai dengan 1.00.
Indeks kesukaran menunjukan taraf kesukaran soal, soal dengan indeks kesukaran 0
menunjukan bahwa soal tersebut terlalu sulit sedangkan indeks kesukaran dengan nilai 1
menunjukan bahwa soal tersebut terlalu mudah.
𝐵
𝑝 = 𝐽𝑠
Rumus untuk mencari indeks kesukaran adalah:
Keterangan:
P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul
JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Adapun kriteria uji indeks kesukaran, yaitu:
Tabel 3.5 Interpretasi Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran
Kriteria
0.00 < IK ≤ 0.30
Sukar
0.30 < IK ≤ 0.70
Sedang
0.70 < IK ≤ 1.00
Mudah
(Arikunto, 2009:210)
3.5 Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian dengan menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan
dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang
diteliti.Dalam penelitian ini metode observasi dilakukan dengan cara mengadakan
pencatatan secara sistematis pada kondisi pembelajaran di sekolah dan mengadakan
pengamatan secara langsung pada pelaksanaan pembelajaran Contextual teaching and
learning dengan model pembelajaran Problem based learning.
2. Metode Tes
Menurut Arikunto (2006:223) Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat
lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan inteligensi, kemampuan
atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.Tes ini digunakan untuk
mendapatkan hasil data pembelajaran matematika siswa sesudah diberikan perlakuan
dengan model pembelajaran Contextual teaching and learning dengan model pembelajaran
Problem based learning pada pokok bahasan probabilitas.
31
Tes yang akan diberikan ada dua macam yaitu :
1) Pre Test
Pre test digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum
diberikan perlakuan. Tes diberikan baik kepada kelas kontrol maupun kelas
eksperimen.
2) Post Test
Post test digunakan untuk mengetahui hasil belajar kelas setelah dolakukan
perlakua. Tes diberikan baik kepada kelas kontrol maupun kelas eksperimen.
Tes yang diberikan kepada siswa telah dkonsultasikan dengan guru bidang studi dan
telah diuji coba serta memenuhi kriteria validitas.
3. Metode Dokumentasi
Beberapa dokumentasi aktifitas belajar siswa saat pelaksanaan tindakan berlangsung
akan disajikan pada lampiran dokumentasi
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam satu penelitian adalah sangat penting karena
sebelum
menganalisis data, peneliti harus mengetahui metode analisis apa yang digunakan untuk
menganalisis data setelah terkumpul. Jadi setelah data terkumpul makah langkah
selanjutnya adalah menganalisis data.
Dari analisis data tersebut dapat diketahui hipotesis yan diajukan diterima atau ditolak.
Oleh karena itu untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan diperlukan
metode yaitu metode analisis data. Adapun ahap analisis data statistik yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut:
1) Uji Normalitas Data
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data-data yang diperoleh
berdistribusi normal sehingga akan menghasilkan data yang signifikan.
Langkah-langkah dalam uji normalitas adalah sebagai berikut:
1.
Formulasi hipotesis nihil dan kerja
𝐻0 = Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
𝐻1 = Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
2.
Uji statistik
Uji statistik yang digunakan adalah uji kolmogorov smirnov dengan taraf signifikansi
sebesar 5% atau𝛼 = 0,05
32
3.
Kriteria pengujian hipotesis
Terima 𝐻0 jika, Dhit< D𝛼, jika sebaliknya tolak 𝐻0
4.
Harga uji statistik di hitung denganMenentukan P(Z) dimana Z =
𝑋𝑖−𝑥̅
𝑠
Menentukan nilai maks D= Maks |𝑃𝑍 − 𝑃𝑒|
5.
Kesimpulan
2) Uji Homogenitas Varians
Uji ini untuk mengetahui varians sampelnya bersifat homogen atau heterogen,
digunakan rumus sebagai berikut:
F =
𝑆12
𝑆22
Keterangan :
𝑆12 = varians pada kelas eksperimen.
𝑆22 = varians pada kelas kontrol.
Prosedur pengujian dilakukan sebagai berikut:
1.
Menentukan hipotesis
H0 :𝜎12 = 𝜎22 semua sampel mempunyai varians yang sama(homogen)
H1 :𝜎12 ≠ 𝜎22 semua sampel mempunyai varians yang tidak sama (heterogen)
2.
Taraf signifikansinya 5% atau𝛼 = 0,05
3.
Kriteria pengujian hipotesis
Tolak 𝐻0 jika, Fhit≥ 𝐹1−𝛼(𝑉1. 𝑉2 jika sebaliknya tolak 𝐻1
Keterangan :
𝑉1 = derajat kebebasan pembilang = k-1
𝑉2 = derajat kebebasan penyebut = k(n-1)
n = banyaknya sampel
4.
𝑆2
Menghitung F dengan rumusF =𝑆12
2
5.
Kesimpulan (sujana, 2002:205)
3) Uji Hipotesis
Uji t digunakan untuk menguji hipotesis mengenai nilai parameter, maksimal 2
populasi (jika lebih dari 2, harus digunakan uji F) dan dari sampel yang kecil (small sample
size), misalnya n < 100, bahkan seringkali n ≤ 30.Untuk menganalisis uji hipotesis dalam
33
penelitian ini digunakan uji t yaitu untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(PBL) dengan kemampuan berpikir kritis
(CTL) dan Problem Based Learning
siswa pada materi Probabilitas di kelas IX
SMP Tunas Buana Surabaya
Langkah–langkah pengujian hipotesis menggunakan uji t yaitu sebagai berikut :
1.
Formulasi hipotesis nihil dan hipotesis kerja
H0 : 𝜇1 = 𝜇2 : Tidak ada perbedaan rata-rata model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) dengan kemampuan
berpikir kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana
Surabaya.
H1 : 𝜇1 ≠ 𝜇2 : Ada perbedaan rata-rata model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan Problem Based Learning (PBL) dengan kemampuan berpikir
kritis siswa pada materi Probabilitas di kelas IX SMP Tunas Buana Surabaya.
2.
Menentukan taraf signifikan,
Digunakan taraf signifikan 0,05 atau 5%
3.
Menentukan nilai kritis atau nilai t tabel yaitu 𝑡1−1𝑎𝑛
2
4.
1 +𝑛2 −2
Menentukan kriteria pengujian :
TerimaH0 jika-t tabel <thitung <ttabel, jika sebaliknya tolak H0.
5.
Menentukan uji statistik
t=
̅𝑥̅̅1̅−𝑥
̅̅̅2̅
dengan ∑ 𝑥 2 = ∑ 𝑥 2 −
∑ 𝑥1 2 + ∑ 𝑥2 2 1
1
}{ + }
𝑛1 +𝑛2 −2
𝑛1 𝑛2
√{
(∑ 𝑥)2
𝑛
𝑥1 = rerata kelompok eksperimen
̅̅̅
𝑥2 = rerata kelompok kontrol
̅̅̅
∑ 𝑥 2 = jumlah kuadrat nilai dari masing-masing kelompok
𝑛1 = banyaknya subjek kelompok eksperimen
𝑛2 = banyaknya subjek kelompok kontrol
6.
Kesimpulan (Arikunto, 2009:311)
34
Daftar Pustaka
 Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka
Cipta
 Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta
 Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
 Elaine B. Johnson. 2014. Contextual Teaching And Learning : Menjadikan kegiatan
belajar-mengajar mengasyikkan dan bermakna. Bandung: Kaifa.
 Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
Unesa University Press.
 Ismail. 2002. Pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction): Apa,
Bagaimana, dan Contoh pada subpokok Bahasan Matematika. Proseding Seminar
Nasional Paradigma Baru Pembelajaran MIPA. Kerja sama Dirjen Dikti Depdiknas
dengan (JICA-IMSTEP).
 Jusuf, Soewadji. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
 Kusumahningsih, Diah. 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa Kelas X-C SMA N 11 Yogyakarta melalui Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Materi Perbandingan
Trigonometri. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
 Mundir. 2013. STATISTIK PENDIDIKAN: Pengantar analisis data untuk
Penulisan Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Nur Hidayati, Asih. 2007. Studi Komparasi Metode Pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) dan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap
Pencapaian Prestasi Belajar Ekonomi Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 2
Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
 Rohmah, Fitria Aprilianti .2016.Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran
Problem Based Learning dan Metode Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning Terhadap Pemahaman Konsep Berdasarkan Kemampuan Awal Siswa.
Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.
 Rusman . 2012. Model-model pembelajaran . Bandung: Raja Persindo Persada.
Edisi kedua.
35
 Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin. (2006). Aplikasi Statistika Dalam
Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia.
 Sudjana, Nana. (2009). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
 Sudaryanto. (2007). Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis. Diakses dari
http://www.fk.undip.ac.id/Pengembangan-Pendidikan/pembelajarankemampuanberpikir-kritis.
 Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: Grasindo Persada.
 Sugiyono, 2012. Metodologi penelitian: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D. Bandung: ALFABETA
 Suyono dan Hariyanto, (2012). Belajar dan Pembelajaran – Teori dan Konsep
Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
 Zamroni & Mahfudz .2009.Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembang-kan
Critical Thinking. Jakarta. Depdiknas
36
Download