proposal skripsi nita I-III

advertisement
PENTINGNYA IBADAH DALAM PEMBENTUKAN MORAL ANAK
DI PANTI ASUHAN AGAPE YAYASAN PELITA BANGSA BATAM
SKRIPSI
OLEH:
ERNITA PURBA
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BASOM
Batam, Januari 2018
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana lazimnya suatu karya ilmiah seperti skripsi bai lainya akan
diawali dengan pendahuluan, yang memuat berbagai unsur pembahasan. Penulis
sengaja memaparkan terlebih dahulu mengenai pembentukan moral anak dan
faktor apa yang mempengaruhi moral anak. Penulis juga memaparkan bagaimana
pembentukan moral menurut beberapa teori dan Faktor apa saja yang
mempengaruhi anak. Melihat kenyataan dilapangan begitu banyak anak tidak
memiliki moralitas sebagaimana yang diharapkan, apalagi melihat kegiatan rohani
anak-anak yang dipanti sungguh banyak melaksanakan ibadah yang seharusnya
sudah menunjukkan moralitas anak sehingga melalui latar belakang masalah ini,
ditemukan fokus penelitian mengenai Pembentukan moral anak melalui ibadah
yang diikuti oleh anak-anak di Pantiasuhan agape Batam. Selanjutnya dirumuskan
menjadi perumusan masalah, dan dilanjutkan dengan penetapan tujuan penelitian.
Bab ini diakhiri dengan pemaparan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum penulis menjelaskan keberadaan panti asuhan Agape ini maka
penulis ingin menjelaskan latar belakang penelitiannya mengapa penulis
mengambil tempat penelitian di panti asuhan Agape ini. Penulis sudah tinggal dan
membantu pelayanan di Panti ini sejak bulan Juni tahun 2015. Selama berada di
panti tersebut penulis mengamati perkembangan moral anak-anak panti yang
berada disana seakan-akan tidak memiliki moral yang baik, melihat keadaan yang
demikan ini penulis ingin membuktikan apakah benar penilaian penulis tentang
moral anak panti yang tidak baik yang selama ini saya sudah lama mengamatinya
seperti salah satu anak panti yang bernama Mechel yang sering berkata kotor dan
mengambil barang orang lain padahal ia sudah lama tinggal dipanti ini. Dan
penulis tahu persis kegiaatan apa saja yang dilakukan dipanti ini dalam hal rohani.
Mengingat penulis telah mengikuti perkuliahan dan pernah membaca sebuah
artikel tentang moral anak, maka penulis beranggapan apakah hal ini dapat
dikategorikan moral yang buruk seperti apa yang tertulis pada sebuah artikel dari
media internet yang menjelaskan tentang moral adalah,:
“Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata
‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang
masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat.
Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara
etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata
tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan
kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka
rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya
bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’
dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan
pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap
perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis
yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak.
Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral
suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk”1.
1
http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/
Sekarang penulis akan masuk dalam pembahasan tentang moral, Menurut
Lillie kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan atau adat istiadat ( Pratidarmanastiti, 1991). Dewey mengatakan
bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila
(Grinder, 1978). Sedangkan Baron, dkk. (1980) mengatakan bahwa moral adalah
hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan
salah atau benar.2 Moral sangat berhubungan dengan pola tingkah laku manusia
dan kehidupannya mulai dari masa kecil sampai kepada dewasa. Norma-norma
moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang. Menurut Magnis-Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut
Moralitas. Dia mengartikan moralitas sebagai sikap hati yang terungkap dalam
tindakan lahiriah. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (magnis-suseno,
1987).3
Moral merupakan ajaran tentang baik atau buruk perbuatan dan akhlak
yang dimiliki oleh seseorang. Dalam buku pembelajaran moral dituliskan hasil
penelitian Kohlberg (1980) yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya
dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral
lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang
berasal dari dirinya sendiri
2
Dr. C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral : Berpijak pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya. (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004), hal. 24
3
Dr. C. Asri Budiningsih, Op. Cit, hal. 24-25
3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama
dan universal bagi setiap kebudayaan.
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh
faktor kognitif atau kematangan intelektual.4
Inilah hal yang menarik tentang moral segala sesuatu bersifat secara universal.
Sebab tidak hanya terdapat satu moral saja tapi berbagai bidang tentang moral ada
dan semuanya dapat masuk kedalam pelajaran tentang moralitas. Penalaran
ataupun penjelasan tentang moral tidak di dapat dengan sendirinya tapi semuanya
itu diperlukan pembelajaran dalam setiap agama. Sebab setiap agama pasti
menghasilkan moral yang baik kepada setiap pengikutnya.
Moral memiliki tahap perkembangan yang dijelaskan menurut Kohlberg
(1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada
pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan
yaitu: 1. Tingkat Pra-Moral atau pre-conventional, 2. tingkat conventional, dan 3.
tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget
dengan menetapkan tiga tahap perkembangan moral yang diikuti dengan
ketentuan umur yaitu : 1. tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4
tahun, 2. tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4- 8 tahun, dan 3.
tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.5 Dan setiap tahapan ini
tidak akan mungkin turun ke tahap sebelumnya.
Jadi peningkatan tahapan terjadi seiring dengan peningkatan umur setiap
individu. Pada tahap-tahap inilah perlu pengajaran yang baik dan jelas mengenai
4
5
Ibid, hal. 27-28
Ibid, hal. 28
moral, sebab pengetahuan akan moral ini akan membawa pengaruh kepada
pembelajaran agama. Ia Juga menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan
terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Pada masa
perkembangan moral bayi yang baru lahir pasti belum memiliki moral tetapi
lambat laun pasti akan mengerti tentang moral. Seperti apa penerapan nilai moral
itu? berbuat baik terhadap orang tua, kepada orang lain yang lebih tua, saling
membantu, dan saling menghormati. Orangtua wajib menerapkan moral yang baik
terhadap anak, karena anak juga pasti bersosial dan bermasyarakat terhadap teman
atau terhadap orang yang lebih tua di sekelilingnya. Jadi, anak harus mempunyai
moral yang baik, supaya memeiliki sopan santun dimanapun tempatnya. Jika
orangtua mengajarkan moral kepada anak melalui kebiasaan sehari-harinya. Pasti
dimanapun tempatnya anak secara langsung menerapkan akhlak atau moral yang
baik.
Jika sebalikya , orangtua tidak mengajarkan moral yang baik untuk anak
pasti anak berbuat seenaknya saja, anak tidak sopan santun , anak tidak
menghormati jika ada orang yang lebih tua. Sekarang ini banyak anak yang
kurang mempunyai etika terhadap orang dewasa. Untuk itu sebagai orangtua
harus saling mendampingi anak supaya mempunyai moral yang baik supaya bisa
di terima di masyarakat dan juga baik di masyarakat.
Sehingga dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari larangan atau
nilai-nilai moral itu adalah :
1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara
ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara
hak orang lain, dan
2. Larangan mencuri, berzinah, membunuh, meminum-minuman
keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Dalam hal ini yang menjadi peran penting adalah setiap individu yang
menjalankan nilai-nilai moral tersebut. Memang hal tersebut berbeda dengan
pendapat kohlberg yang dalam buku pembelajaran moral yaitu apa yang dilakukan
oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Ia menjadikan
penalaran moral sebagai pusat kajiannya. Sebagai contoh seorang dewasa dengan
seorang anak kecil barangkali perlikunya sama, tetapi seandainya kematangan
moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam perilaku mereka. Sehingga
kohlberg menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti
moral-reasoning, moral thingking, dan moral judgement, sebagai istilah yang
mempunyai pengertian sama dan digunakan bergantian.6
Memang jika berbicara tentang moral lebih menekankan kepada alasan
suatu tindakan daripada sekedar arti dari tindakan, maka muncul sebuah penilaian
tindakan tersebut baik atau buruk. Pengertian akan ini semua memang
membutuhkan penalaran yang baik, sebab moral memang pada intinya bersifat
rasional atau masuk akal pikiran manusia. Suatu keputusan moral bukanlah soal
6
Ibid, hal. 24-25
perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat
konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntuntan, hak, kewajiban,
dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.7 Moralitas
menjadi dasar kebaikan yang harus dilakukan setiap kelompok atupun individu.
Mulai dari sinilah pentingnya pembelajaran mengenai moralitas itu dapat dimulai.
Dari penjabaran diatas penulis menentukan judul dalam skripsi ini adalah:
“Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di Panti Asuhan Agape
Yayasan Pelita Bangsa Batam.”
B. Fokus dan Subfokus
Berdasarkan uraian diatas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah
pentingnya ibadah dalam pembentukan moral anak. Pokok masalah tersebut
adalah suatu cakupan yang luas,maka penelitian ini difokuskan pada: ”Pentingnya
Ibadah dalam Pembentukan moral anak di panti asuhan Agape Yayasan Pelita
bangsa Batam”. Untuk itu perlu diketahui fokus dan Subfokus dalam penelitian
ini, yaitu :
1. Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak
2. Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di Panti Asuhan
Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam
7
Dr. C. Asri Budiningsih, Loc. Cit, hal. 25
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pemaparan diatas, maka untuk tulisan skripsi ini, penulis
mengajukan beberapa pertanyaan yang akan menjadi dasar pedoman dalam
penelitian yaitu :
1. Bagaimanakah Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak.
2. Bagaimanakah Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di
Pantiasuhan Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam.
D. Tujuan Penelitian
Bertolak dari pemaparan rumusan masalah yang telah dirumuskan penulis
dalam tiga pertanyaan penelitian, maka penulis menetapkan maksud dan tujuan
yang akan di capai dalam pembahasan skripsi ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui secara obyektif pentingnya ibadah dalam pembentukan
moral anak.
2. Untuk mengetahui secara obyektif pentingnya ibadah dalam pembentukan
moral anak di panti asuhan agape yayasan pelita bangsa batam.
E. Manfaat Penelitiaan
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan pada latar belakang masalah
dan perumusan masalah yang mengungkapkan alasan penelitian topik ini, serta
tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Bagi Mahasiswa STT Basom Batam sebagai bahan refleksi diri untuk
menemukan kebenaran dan kekayaan dari Pentingnya ibadah dalam
pembentuan Moral anak di Pantiasuhan Asuhan Agape
2. Untuk Pantiasuhan Agape, supaya mengetahui sejauh mana pelayanan
yang sudah dilaksanakan sehingga menjadi masukan demi evaluasi
pelayanan yang lebih baik kepada anak asuh.
3. Bagi Para Peneliti dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk
melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai Pentingnya Ibadah
dalam Pembentukan Moral anak di Pantiasuhan
4. Untuk
penulis,
menambah
pengetahuan
dan
meningkatkan kualitas pelayanan sekolah minggu.
wawasan
serta
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini, penulis akan membahas fokus dan subfokus dalam skripsi
ini, yaitu : pentingnya ibadah dalam pemebentukan moral anak dan pentingnya
ibadah dalam pembentukan moral anak di panti asuhan agape yayasan pelita
bangsa batam.
A. Ibadah
Pada bagian ini terlebih dahulu penulis membahas pengertian ibadah
Kristen, lalu konsep ibadah dalam Alkitab dan asal – usul ibadah Kristen.
1. Pengertian Ibadah Kristen
Ibadah
adalah suatu kata yang sangat sulit untuk dirumuskan namun
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa ibadah itu adalah
perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, menjalankan ibadah;
menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan Allah. 8
Ibadah adalah suatu pertemuan antara Allah dengan umat-Nya. Dalam
pertemuan itu berlangsung semacam “dialog” : Allah berfirman dan umat-Nya
mendengar, Allah memberi dan umat-Nya menerima serta mengucap syukur,
Allah mengampuni dan umat-Nya memuji nama-Nya.9
8
9
KBBI
J.L.Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah, (BPK Gunung Mulia, 1986), 2.
Dalam buku Pengantar Ibadah Kristen ada tiga arti yang di bahas
mengenai ibadah yang sering dilakukan orang Kristen:10
1. Pertama”Ibadah”itu sendiri adalah suatu kata yang sangat sulit di
rumuskan, karena ibadah merupakan kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang dan kegiatan ini beda dari pekerjaan-pekerjaan
sehari-hari dan kegiatan ini sangat penting dalam kehidupan orang
kristen karena ibadah adalah suatu hubungan yang erat dengan
Tuhan Yesus.
2. Ibadah adalah bentuk pemikiran tentang apa yang akan di lakukan
dalam ibadah dan bagaimana cara untuk merumuskan kebudayaan
yang menyangkut ibadah karena orang kristen penuh berbagai cara
dalam melakukan ibadah dan memaknai ibadah itu sendiri.
3. Cara metode yang dilakukan dalam memaknai ibadah yang
sesungguhnya karena dari semua yang di jelaskan merupakan hal
yang paling penting dalam ibadah yang akan dilakukan dalam
kehidupan orang kristen.
Ibadah yang di lakukan kepada Allah tidak hanya sebagai tindakan atau
kewajiban melainkan satu bukti nyata yang benar-benar di persembahkan kepada
Allah dan seluruh umat dapat membangun hubungan dengan Allah dengan cara
berkumpul di satu tempat untuk menaikan syukur dan menerima kebenaran yang
dapat membangun kesetiaan kehidupan rohani orang percaya dan juga
membangun satu persekutuan dengan cara berkumpul menaikkan pujian-pujian
yang dapat menyenangkan hati Allah,ibadah itu juga tidak dalam unsur paksaan
melainkan sukarela tanpa ada beban bagi orang-orang yang melakukannya.
Ibadah adalah suatu pertemuan antara Allah dengan umat-Nya. Dalam
pertemuan itu berlangsung semacam “dialog” : Allah berfirman dan umat-Nya
10
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen,(Jakarta: Gunung Mulia,2012)1
mendengar, Allah memberi dan umat-Nya menerima serta mengucap syukur,
Allah mengampuni dan umat-Nya memuji nama-Nya.11
Kata ibadah sebenarnya berasal dari kosa kata “äbodah” (bahasa Ibrani)
atau ibadah (bahasa Arab) yang secara harafiah berarti bakti, hormat,
penghormatan (homage),12 suatu “sikap dan aktivitas“ yang mengakui dan
menghargai seseorang (atau yang ilahi). Atau dapat juga dikatakan suatu
penghormatan hidup yang mencakup kesalehan (yang diatur dalam suatu
tatacara), yang implikasinya nampak dalam tingkah laku dan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Jadi ibadah disini merupakan ekspresi dan sikap hidup yang penuh
bhakti (penyerahan diri) kepada yang ilahi, yang pengaruhnya nampak dalam
tingkah laku yang benar. Dalam kesaksian Alkitab ada beberapa kata atau
ungkapan yang dipakai untuk ibadah. Kata kerja äbad (Bahasa Ibrani) berarti
melayani atau mengabdi (seperti pengabdian/pelayanan yang utuh dari seorang
hamba kepada tuannya). Sedangkan kata àbodah (bahasa Ibrani), latria (bahasa
Yunani) berarti pelayan atau bisa juga berarti pemujaan dan pemuliaan.
Disamping itu kita juga bertemu dengan kata histaaweh (proskuneo ;bahasa
Yunani) yang berarti sujud atau membungkuk atau meniarap dihadapan
tuannya.13 Jadi sebenarnya ada dua kata kunci dalam pengertian ibadah itu, yaitu
sikap hormat (pemuliaan) dan pelayanan (sikap hidup).
Dari pengertian di atas, menjadi jelas bahwa konsep dasar dari ibadah
adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya dari hidup manusia kepada Allah,
11
J.L.Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah, (BPK Gunung Mulia, 1986), 2.
A. Cronbach, Worship in Old Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Editor
by G.A. Buttrick, R-2, Hal. 879. Nashville, Abingdon Press, 1982
13
New Bible Dictionary, Leicester: Inter-Varsity Press, 1967. Hal. 1262
12
yang dinyatakan baik dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah
laku kita terhadap orang-orang yang ada disekitar kita.14
Menurut Brownlee, ibadah bagi orang Kristen tidak hanya dilakukan
melalui doa saja tetapi juga dilakukan dengan kehidupan. Artinya, ibadah tidak
hanya terbatas pada upacara-upacara atau ritual tertentu tetapi diperlukan
persembahan diri yang utuh kepada Tuhan. Brownlee berpendapat bahwa ibadah
tidak hanya berkaitan dengan penyembahan atau persekutuan sorgawi dengan
Tuhan yang terpisah dengan masalah-masalah duniawi. Ibadah menolong manusia
untuk menghadapi masalah yang ada di luar gedung gereja dengan membawa
masalah tersebut kepada Tuhan yang akan memperlengkapi manusia untuk
menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan utama ibadah ialah untuk bersekutu dengan Tuhan dan
memuliakan-Nya sehingga pemujaan dan persekutuan menjadi tujuan yang
terpenting dalam kehidupan manusia bukan sebagai alat untuk mencapai sesuatu
hal. Dasar dari ibadah menurut Brownlee adalah penyerahan diri kepada Tuhan
agar manusia dapat dijadikan alat untuk pekerjaan Tuhan di dunia. Manusia
dituntut hidup untuk Allah dan sesama. Singkatnya, makna ibadah menurut
Brownlee ialah persekutuan dan pertemuan manusia dengan Allah melalui
penyerahan diri manusia kepada Allah untuk menjadi saksi Allah dalam dunia
sehingga manusia perlu beribadah dengan benar.15
Riemer menegaskan bahwa ibadah ibarat cermin yang memantulkan Kabar
Baik
yaitu
Injil
yang diperoleh melalui
pemberitaan
Firman.
J. Blommendaal, “ perjanjian Lama” ( BPK Guunung Mulia,2012) Hal 76-78
Malcolm Brownlee. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis Bagi
Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 19
14
15
Ibadah
mencerminkan perbuatan-perbuatan baik orang Kristen yang dipantulkan dari
perbuatan-perbuatan Allah dalam kehidupan manusia yang dilihat dalam ibadah.
Pantulan tersebut merupakan jawaban jemaat atas kebajikan Allah karena telah
melepaskan manusia dari dosa.16
G.F.H. Kelling menegaskan bahwa ibadah merupakan saat dimana pesta
kehidupan dirayakan
bersama-sama dan membawa makna
bagi
setiap
pengikutnya. Ibadah sebagai pesta kehidupan seharusnya dikemas dengan sebaikbaiknya agar komunitas orang beriman maupun pribadi-pribadi yang percaya
dapat menikmati keselamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Kristus. Semua
orang yang mengikuti ibadah diharapkan mengalami perjumpaan yang hangat
dengan Allah dan sesame. Oleh karena itu, setiap aktivitas, ekspresi dan symbol
yang nampak dalam ibadah harusnya dapat menyapa setiap orang yang terlibat di
dalamnya.17
2. Konsep Ibadah dalam Alkitab
Pada awalnya dapat di temukan adanya ibadah atau persembahan pribadi
kepada Allah (Kej. 4:4 Habel memberikan persembahan kepada Tuhan ; lihat
pula, Kel. 24:26). Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah
merupakan ungkapan bathin seseorang yang mengakui bahwa Allah berdaulat,
penuh kuasa dan baik. Atau ibadah adalah menunjukkan ketinggian spritual
seseorang yang disertai ungkapan pujian dan syukur kepada Tuhan, karena Ia
16
G. Riemer. Cermin Injil: Ilmu Liturgi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
2002), 40-47
17
G.F.H Kelling. “Rond vasten en feesten.”Dalam: Ebenhaizer I Nuban Timo. Meng-Hari-Ini-Kan Injil
di Bumi Pancasila: Eklesiologi dengan cita-rasa Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2009),
184-186
patut disembah (bd. Ayub 1:20 ; Yos. 5 :14). Harus dipahami bahwa Allah adalah
Allah yang transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari
ciptaanNya” juga merupakan Allahyang berkomunikasi dengan umat manusia.
Allah menerima penyembahan dari umat-Nya.18 Selanjutnya Profesor Paul
W.Hoon menyatakan dalam buku Pengantar ibadah Kristen bahwa:19
“Ibadah Kristen adalah penyataan diri Allah sendiri di dalam Yesus
Kristusn dan tanggapan manusia terhadapNya,” atau suatu tindakan ganda:
yaitu “tindakan Allah kepada jiwa manusia dalam Yesus Kirstus dan
dalam tindakan tanggapan manusia melalui Yesus Kristus”.
Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga
memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia
memberikan ibadah tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang
mahakudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan Israel (Kel. 25:22;
29:42, 43; 30:6, 36).20
Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat.
Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat
yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya.
Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang
sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait
Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari
oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam
18
Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology:( Buku Pegangan Teologi, Literatur
SAAT, Malang, 2006), 54
19
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (BPK Gunung MUlia, Jakarta:2012), 7
20
Ibid Paul Enns, hal.65
kehidupan Nasional Yahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk
kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan
penting.
Disamping tempat ibadah, orang Yahudi juga memiliki kalender tahunan
untuk upacara agamawi. Diantaranya yang amat penting adalah : Hari Raya
Paskah (Kel. 12:23-27), Hari Raya
21
Perdamaian (Im. 16 : 29 – 34), Hari Raya
Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi
(Kel.12:14-20).
Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam. Mereka
adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan ibadah.
Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari Raya
agama lainnya. Ibadah di Sinagoge terdiri dari : Shema, doa, pembacaan Kitab
Suci dan penjelasannya.
Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban agama, yakni perintahperintah Tuhan (pbd. Ul.11:8-11). Jadi, pada hakekatnya ibadah bukanlah hanya
merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah, akan tetapi
adalah mencakup pelaksanaan kewajiban agama, seperti : sunat, puasa,
pemeliharaan Sabat, torat dan doa.
Dengan demikian, ibadah juga harus mengandung makna bagi hidup
susila. Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26;
kel. 33:9-34:8). Tapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I
Taw 29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah
21
. Philip J. King, “ life in biblikal Israel”( Bpk Gunung Mulia, Hal 93-95)
adalah yang utama. Terlepas dari korban-korban harian setiap pagi atau sore,
perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting
dalam kalender tahunan Yahudi.
Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan,
penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi
upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering
memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi.
6:6-8).
Tapi banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya
di Mazmur 93; 95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan
memanfaatkannya untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah
(Ul 11:13) dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh.
Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam
kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang
lebih awal ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di
tempat mana pun Dia dipilih untuk menyatakan diriNya.
Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas dari
fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang
di babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu
’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari: 1. Shema ; 2. Doa-doa ;
3. Pembacaan Kitab Suci ; 4. Penjelasan.
Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua kebaktian-kebaktian harian, sabat,
perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa, serta pujian dan buku puji-pujian
memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan faktor amat penting dalam kehidupan
nasional Yahudi.22
Alkitab menunjukkan bahwa ibadah secara mendasar adalah merupakan
satu respons sebagai pribadi atau sebagai jemaat kepada perbuatan Allah yang
Mahatinggi. Pola ini dapat ditemukan di dalam Alkitab sebagai berikut; Allah
yang Mahakuasa bertindak atas nama umat Allah; umat Allah berespons dengan
ucapan syukur dan pujian; Allah menerima tindakan ibadah mereka. Pola ini
secara konsisten dapat ditemukan di dlam seluruh bagian Alkitab, dengan titik
pusat kebenarannya adalah di dalam ibadah, Allah adalah inisiator. Atau dengan
kata lain, ibadah adalah satu respons manusia kepada inisiatif Allah.
Ekspresi ibadah dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan dalam kisah
pemanggilan Abraham sebagai Bapak bangsa-bangsa. Panggilan Abraham disertai
janji-janji berkat Allah seperti kemasyuran, pengaruh, keturunan dan pemilik
tanah. Sebagai respons Abraham terhadap janji-janji ini, Abraham menyembah
Allah dengan membuat mezbah (Kej. 12:7-8; 13:18). Dan mempersembahkan
kurban (Kej. 15:1-11; 22:13-14). Kemudian juga ketika Nuh keluar dari bahtera
setelah Air Bah tindakan pertamanya adalah membangun mezbah dan beribadah
kepada Tuhan (Kej. 8:20) ini merupakan catatan pertama di Perjanjian Lama
tentang ibadah kepada Tuhan melalui korban penumpahan darah di atas mezbah.
Persembahan korban bakaran kemudian dinyatakan sebagai korban persembahan
(Im. 1:1-7) Selanjutnya dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, ibadah
mejadi dasar dan sebagai blueprint untuk semua bentuk ibadah masa depan. Allah
22
J. D. Douglas,Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, (YKBK/OMF), 409
menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan adalah peristiwa penting dalam
Perjanjian Lama. Inilah salib dan kebangkitan dalam Perjanjian Lama yang
digenapi di dalam Perjanjian Baru.
Keluaran telah memberikan kepada Israel beberapa jalan untuk beribadah
kepada Allah. Ekspresi utama termasuk mempersembahkan korban binatang pada
Paskah (Kel.12:1-28), mempersembahkan semua yang sulung atau pertama lahir
kepada Tuhan menjadi milik Tuhan (Kel.13:1-2), dan menyanyikan puji-pujian
dengan sorak sorai dan penuh kemenangan yang dipimpin oleh Musa dan Miriam
(Kel.15:1-21).
Di Gunung Sinai Allah menentukan tiga hari raya yang harus diadakan
dalam rangka mempersembahkan ibadah kepada Allah setiap tahun. Pertama, hari
raya roti tidak beragi, kedua, hari raya menuai dan ketiga, hari raya pengumpulan
hasil (Kel.23:14-19). Perintah ini telah tertanam di dalam kesadaran umat Tuan
bahwa ibadah melibatkan pengertian waktu yang kudus.
Kemudian pertemuan Allah dengan Musa, Harun, Naab dan Abihu dan
tujuh puluh tua-tua Israel di Gunung Sinai (Kel.24:1-8) adalah bagian penting. Ini
adalah pertemuan antara Allah dan Israel. Pertemuan ini berisi struktur elemenelemen dasar bagi pertemuan antara Allah dan umat-Nya. Elemen-elemen ini
sangat penting bagi ibadah umum, yang kemudian akan ditentukan detailnya
dalam ibadah Yahudi dan Kristen. Selanjutnya Webber mengemukakan ada lima
elemen, yaitu:
Pertama, ibadah adalah pangilan Allah. Allah yang memanggil umat-Nya
untuk
bertemu
dengan-Nya;
Kedua, Umat
Tuhan
diatur
dalam
satu
tanggungjawab terstruktur. Artinya ada yang bertanggungjawab. Musa adalah
pemimpin. Tetapi untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya adalah tugas Harun,
Nadab, Abihu. 70 tua-tua Israel, pemuda dan umat. Dengan kata lain, elemen
kedua adalah soal partisipasi dalam ibadah; Ketiga, pertemuan antara Allah dan
Umat bersifat proklamasi Firman. Allah berbicara kepada umat-Nya dan
memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Hal ini berarti ibadah belumlah
lengkap tanpa mendengar Firman Tuhan; Keempat, umat setuju dan menerima
perjanian dengan syarat-syaratnya yang memberi makna kepada komitmen umat
secara subjektif untuk mendengar dan taat kepada Firman Allah. Dengan kata
lain, aspek penting dalam ibadah disini adalah pembaharuan komitmen pribadi
secara terus-menerus. Di dalam ibadah umat Tuhan membaharui janji yang telah
ada antara Allah dan umat-Nya sendiri; Kelima, puncak hari pertemuan itu
ditandai dengan symbol pengesahan, satu materai perjanjian. Dalam Perjanjian
Lama Allah selalu menggunakan darah korban sebagai materai hubungan-Nya
dengan manusia. Pengorbanan ini menunjuk kepada korban Yesus Kristus.
Dengan demikian Allah adalah pusat ibadah Perjanjian Lama. Umat Tuhan
atau manusia beribadah adalah sebagai respons dalam ucapan syukur kepada
karya Allah di dalam hidup manusia.
Kehidupan umat percaya dalam Perjanjian Lama sangat memberikan
dampak yang baik bagi kita untuk kehidupan bergereja pada zaman sekarang ini.
Kebanyakan kita hanya mengerti bagaimana kita pergi ke gereja dan pulang
dengan membawa pengertian yang baru dari firman yang dijelaskan oleh pendeta.
Namun kita tidak pernah memaknai apa arti dari ibadah yang kita laksanakan itu.,
untuk itu kita perlu mencontohi cara hidup umat perjanjian lama atau nabi-nabi
yang ada dalam perjanjian lama, supaya kerohanian kita bisa bertumbuh dengan
baik.
Allah pernah memberi perintah kepada kita untuk menjadi anggota
anggota dalam persekutuan. Perjanjian Lama mencatat bangsa Israel setiap tahun
mempunyai banyak hari raya, pertemuan kudus dan hari peringatan tradisional.
Allah dengan jelas berfirman, "Kamu adalah umatKu. Kamu harus datang ke
hadapanKu mempersembahkan diri untuk beribadah kepadaKu".(Imamat 23). Bila
memasuki ibadah dalam persekutuan orang Kristen, jemaat telah mengambil
bagian dalam empat fungsi ibadah: perayaan, pendidikan, pertobatan dan
penyerahan diri. Ibadah merupakan suatu perayaan. Dari ibadah bangsa Israel
dalam Perjanjian Lama dan ibadah jemaat dalam Perjanjian Baru, sampai ibadah
jemaat gereja masa kini, seluruhnya meninggikan dan merayakan kuasa abadi dan
kasih setia Allah. Melalui Yesus Kristus menyelesaikan karya besar penyelamatan
dan penebusan umat sederhana, juga merayakan karya ajaib Roh Kudus hingga
kini, melalui jemaat memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Dalam
ibadah terdapat pendidikan. Dalam ibadah Allah berfirman kepada kita melalui
Roh Kudus. Dia membimbing kita ke jalan yang benar. Tatkala Firman Tuhan
dibacakan,
diceritakan
atau
disampaikan,
Roh
Kudus
juga
berkarya
menggerakkan kita, berfirman kepada kita, mendidik dan membimbing kita agar
kerohanian kita dapat bertumbuh. Dalam ibadah kita sadar akan dosa kita dan
bertobat. Mendengar Firman Tuhan dalam ibadah, jemaat
memberi respon
terhadap Firman Allah biasanya berupa puji-pujian dan perayaan. Tetapi ada juga
respon lebih khusus yakni kesadaran akan dosa dan pertobatan pribadi.
Contohnya, ketika nabi Yesaya melihat Kemuliaan Allah, dia menyadari
kenajisan dan dosa dalam dirinya. Maka dalam hal ini tata ibadah meruapakan
salah satu unsur untuk memberikan pertumbuhan iman jemaat. Dari penjelasan
diatas dapat di lihat bahwa bagian dari tata ibadah itu diantarnya: doa, Pujian,
Persembahan (korban), pemberitaan Firman Allah.
3. Asal usul Ibadah Kristen
Gereja-gereja
seringkali
menggunakan
istilah
“liturgi”
untuk
menerjemahkan ibadah. Namun, istilah liturgi itu sendiri mula-mula justru
memiliki arti profan-politis. Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani leiturgia
yang terbentuk dari akar kata benda ergon yang berarti karya dan leitos, yang
merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa atau rakyat.
Dalam dunia Yunani Kuno. Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
rakyat; dilakukan demi kepentingan kota atau negara. Tindakan ini menunjuk
kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari
masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara. Hal ini berarti
bahwa liturgi melibatkan pelayanan yang diberikan secara sukarela.23 Namun,
dalam perkembangannya “liturgi” semakin kehilangan arti politis dan
mendapat arti yang baru yaitu arti kultis, yang saat ini seringkali disebut
sebagai pelayanan ibadah (kultus) kepada dewa-dewa/Tuhan yang biasanya
23
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 13-14
melibatkan persembahan korban dan hymnus (nyanyian pujian kepada dewa
atau Tuhan).
Ibadah yang diketahui dan dilakukan oleh gereja-gereja masa kini tidak
terlepas dari tradisi umat Yahudi. Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru) mencatat bahwa tradisi gereja saat ini dalam kaitannya dengan ibadah
atau liturgi berakar dari tradisi, budaya dan dogma Yahudi. Tradisi Yudaisme
yang mempengaruhi tradisi gereja masa kini terlihat dari penggunaan tata
waktu ibadah, tempat ibadah dan perayaan liturgi yang diambil dari pola ibadah
Yahudi, seperti gereja mengutamakan peribadahan pada hari pertama atau
sejajar dengan hari Minggu, daripada hari ketujuh atau sejajar dengan hari
Sabtu. Orang Kristen mula-mula juga menggunakan Bait Allah, Sinagoge dan
rumah tangga untuk beribadah. Begitu juga dengan tata waktu ibadah harian,
mingguan, tahunan, dan berbagai perayaan liturgi diadopsi dari pola ibadah
Yahudi. Peribadahan yang dilakukan gereja masa kini juga mengikuti cara
peribadahan Israel yang bersifat monoteis.24
B. Moral Anak
Pada bagian ini penulis membahas mengenai moral anak, agar mendapat
pengertian yang utuh mengenai moral anak, penulis memulai dengan pengertian
moral, lalu pengertian moral anak, dan pola pembentukan moral anak.
24
Rasid Rachman. Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005) hlm 5-6
1. Pengertian Moral
Menurut Lillie kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang
berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat ( Pratidarmanastiti, 1991).
Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilainilai susila (Grinder, 1978). Sedangkan Baron, dkk. (1980) mengatakan bahwa
moral adalah hal-hal yang berhubungan
dengan larangan dan tindakan yang
membicarakan salah atau benar.25
Moral sangat berhubungan dengan pola tingkah laku manusia dan
kehidupannya mulai dari masa kecil sampai kepada dewasa. Norma-norma moral
adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.
Menurut Magnis-Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut Moralitas. Dia
mengartikan moralitas sebagai sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriah.
Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (magnis-suseno, 1987).26
Sehingga dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari larangan atau
nilai-nilai moral itu adalah :
1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban
dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain,
2. Larangan mencuri, berzinah, membunuh, meminum-minuman keras
dan berjudi.
25
C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral : Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.
(Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004), 24
26
C. Asri Budiningsih, 25
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Dalam hal ini yang menjadi peran penting adalah setiap individu yang
menjalankan nilai-nilai moral tersebut. Memang hal tersebut berbeda dengan
pendapat kohlberg yang dalam buku pembelajaran moral yaitu apa yang dilakukan
oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Ia menjadikan
penalaran moral sebagai pusat kajiannya. Sebagai contoh seorang dewasa dengan
seorang anak kecil barangkali perlikunya sama, tetapi seandainya kematangan
moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam perilaku mereka. Sehingga
kohlberg menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti
moral-reasoning, moral thingking, dan moral judgement, sebagai istilah yang
mempunyai pengertian sama dan digunakan bergantian.27
Memang jika berbicara tentang moral lebih menekankan kepada alasan
suatu tindakan daripada sekedar arti dari tindakan, maka muncul sebuah penilaian
tindakan tersebut baik atau buruk. Pengertian akan ini semua memang
membutuhkan penalaran yang baik, sebab moral memang pada intinya bersifat
rasional atau masuk akal pikiran manusia. Suatu keputusan moral bukanlah soal
perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat
konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntuntan, hak, kewajiban,
dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.28 Moralitas
menjadi dasar kebaikan yang harus dilakukan setiap kelompok atupun individu.
Mulai dari sinilah pentingnya pembelajaran mengenai moralitas itu dapat dimulai.
27
28
Ibid, hal. 24-25
Dr. C. Asri Budiningsih, Loc. Cit, hal. 25
Dalam buku pembelajaran moral dituliskan hasil penelitian Kohlberg
(1980) yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya
dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral
lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang
berasal dari dirinya sendiri
3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama
dan universal bagi setiap kebudayaan.
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh
faktor kognitif atau kematangan intelektual.29
Inilah hal yang menarik tentang moral karena segala sesuatu bersifat
secara universal. Sebab tidak hanya terdapat satu moral saja tapi berbagai bidang
tentang moral ada dan semuanya dapat masuk kedalam pelajaran tentang
moralitas. Penalaran ataupun penjelasan tentang moral tidak di dapat dengan
sendirinya tapi semuanya itu diperlukan pembelajaran dalam setiap agama. Sebab
setiap agama pasti menghasilkan moral yang baik kepada setiap pengikutnya.
Moral memiliki tahap perkembangan yang dijelaskan menurut Kohlberg
(1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada
pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan
yaitu:
1. Tingkat Pra-Moral atau pre-conventional,
29
Ibid, hal. 27-28
2. tingkat conventional, dan
3. tingkat autonomous.
Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan
menetapkan tiga tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur
yaitu :
1. tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun,
2. tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4- 8 tahun, dan
3. tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.30 Dan setiap
tahapan ini tidak akan mungkin turun ke tahap sebelumnya.
Jadi peningkatan tahapan terjadi seiring dengan peningkatan umur setiap
individu. Pada tahap-tahap inilah perlu pengajaran yang baik dan jelas mengenai
moral, sebab pengetahuan akan moral ini akan membawa pengaruh kepada
pembelajaran agama.
2. Pola Pembentukan Moral Anak
Penulis telah menjelaskan dalam keterangan tentang moralitas anak dan
juga remaja memang kedua hal ini bila disatukan akan menjadi suatu persoalan
yang harus dipecahkan. Kedua masalah ini menjadi masalah yang penting bagi
kehidupan manusia dan juga bagi kehidupan keluarga. Sehingga tidak
mengherankan lagi remaja dan moralitas saling mempengaruhi untuk menjadikan
seorang remaja yang baik dan mengenal Tuhan dengan baik.
30
Ibid, hal. 28
Di dalam hal ini diperlukan interaksi sosial,interaksi sosial menurut
Bonner (dalam gerungan, 1991) yaitu suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, di mana perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah
atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya. 31 Disinilah
perlunya interaksi sosial yang serba saling mempengaruhi setiap individu untuk
saling mendukung dan membangun.
Perkataan tentang moral tidak bisa terlepas dari norma-norma yang
berlaku atau dapat dikatakan norma-norma ini adalah kesimpulan dari moralitas.
Didalam kelompok sosial terdapat norma-norma kelompok sebagai pedoman
untuk mengatur tingkah laku anggotanya pada berbagai situasi sosial. Pada
mulanya seorang anak mengindentifikasi dirinya dengan orang-orang tertentu
seperti orang tua, juga dengan orang-orang lain yang dianggap “ideal” seperti
gurunya, kawannya, atau tokoh-tokoh masyarakat yang ia kagumi.32 Melalui ini
semua dapat diperhatikan bahwa seorang remaja tidak dapat bertumbuh dalam
rohani dengan sendirinya. Disinilah peran orang tua menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi moralitas bagi remaja.
Setiap remaja masih perlu dibimbing oleh orang tua, sehingga upaya orang
tua menciptakan situasi dan kondisi bermuatan nilai moral, pada dasarnya adalah
mengupayakan anak mempunyai kesadaran dan berperilaku taat moral yang
secara otonom berasal dari dalam diri sendiri.33 Ini bukanlah tugas yang mudah
buat para orang tua dan para pendidik remaja. Agar “model ideal” perbuatan
31
Dr. C. Asri Budiningsih, Op. Cit, hal. 56
Ibid, hal. 65
33
Dr Moh. Shochib, Pola Asuh orang Tua: Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin
Diri. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 33
32
orang tua atau pendidik secara otonom dimiliki anak, terlebih dahulu perlu pra
kondisi moral, yang meliputi : penciptaan keterbukaan (anak) dalam identifikasi
diri; kemampuan untuk menerima diri; menerima model-model moral; formasi
kematangan kata hati; dan pengalaman berhasil dan sukses. Keputusan moral anak
sangat dipengaruhi oleh tingkat dan kualitas pengkondisian moral, pendidikan
moral, kata hati, dan superego.34 Faktor dari para model ini menjadikan pengaruh
moralitas bagi remaja sekarang ini.
a.Pembentukan orang tua atau keluarga
Pada hakekatnya pra orang tua mempunyai agar anak-anak mereka tumbuh
dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang baik dan
yang tidak baik. Sehingga orang tua harus mengetahui faktor yang jelas dapat
mengubah anak remaja. Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi
oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian
seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula dengan aspek moral dari
anak remaja.
Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan
biologis maupun sosial.35 Sehingga inilah yang di sebut dengan keluarga dan di
dalam keluarga inilah terdiri dari berbagai tingkatan umur. Di dalam keluarga
yang berperan penting adalah orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu. Jadi dapat
di katakan orang tua menjadi tujuan tempat keluarga ini. Tapi sebelum terbentuk
sebuah keluarga yang di dalamnya ada orang tua maka harus di dahului dengan
34
35
Ibid, hal. 33
www.google.com/ Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
pernikahan. Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu ini harus menjalani
pernikahan yang disahkan oleh agama dan negara. Pernikahan yang diberkati dan
disaksikan oleh para rohaniawan, pejabat catatan sipil dan keluarga serta
masyarakat adalah pasangan yang dipersatukan dihadapan Allah dan karena itu
harus bersifat abadi.36 Sebab dalam pernikahan dua manusia, dua pribadi akan
dipersatukan dalam suatu ikatan yang diabadikan melalui berbagai tata cara,
antara lain melalui agama.37 Melalui pernikahan inilah terbentuk keluarga dan
setelah mereka punya anak baru dikatakan orang tua.
Penulisan tentang orang tua juga tidak mungkin lepas dari yang namanya
keluarga. Sebab pengertian akan kedua hal ini memiliki pengertian yang erat yang
tidak mungkin dapat dipisahkan sebab keluarga dan orang tua menjadi kesatuan
yang erat. Pada umumnya keluarga memang besar nilainya bagi manusia, ilmu
sosiologi menjunjung keluarga sebagai kesatuan pokok bagi seluruh masyarakat.38
Sehingga orang tua menjadi kesatuan dalam masyarakat sosial. Yang akan di akui
oleh seluruh masyarakat. Sehingga dalam pengertian psikologis, keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan
masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri, sedangkan
dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang
36
Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan
keluarga. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 196
37
Ibid, hal. 197
38
E.G. Homrighausen, Op. Cit, hal. 128
dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan
dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri.39
Panggilan terhadap kata “orang tua” ini terjadi bila mereka telah memiliki
anak. Sebab sebelum mereka dipanggil orang tua biasanya mereka hanya di sebut
sebagai suami istri. Memang tidak semua suami istri dapat langsung menjadi
orang tua. Banyak juga suami istri yang harus menunggu lama ataupun tidak
dapat memiliki anak. Memang untuk menjadi orang tua tidak sembarang orang
mendapatkan gelar tersebut, tapi yang namanya suami istri pasti menginginkan
mendapat julukan orang tua. Sebab inilah salah satu tujuan pernikahan.
Keutuhan dari orang tua (ayah dan ibu) merupakan dasar yang paling tepat
dalam mengembangkan karakter dan kedisiplinan dari anak mereka. Orang tua
harus memiliki tujuan dalam membina sebuah keluarga, dan memiliki program
tersendiri dalam mendirikan keluarga mereka.
Setelah penulis menjelaskan tentang hakekat orang tua dan ternyata orang
tua dan keluarga menjadi kesatuan yang utuh. Dan Alkitab dengan jelas
mengatakan bahwa keluarga terbentuk apabila seorang laki-laki meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, maka keduanya menjadi satu daging
dan dipersatukan Allah dan tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:5-6).
Keluarga dibentuk melalui pernikahan suami istri, setelah itu bila dikaruniakan
anak kepada mereka, mereka menjadi orang tua dan keluarga tersebut akan
39
Dr. Moh. Shochib. Pola Asuh Orang Tua: Dalam membantu Anak Mengembangkan displin diri,
( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 17
bertambah jumlahnya.40 Sebab kehadiran anak dalam keluarga merupakan berkat
dari Tuhan sehingga mereka mendapatkan julukan baru yaitu orang tua.
Firman Tuhan menjadi dasar yang paling utama dalam keluarga Kristen.
Sebelum memasuki orang tua dalam PAK, penulis memberitahukan dahulu dasar
paling penting adalah kasih. Sehingga hubungan suami istri dengan Tuhan dapat
digambarkn dalam jalinan kasih segitiga suci “Aku mengasihi dia, dia mengasihi
aku, aku dan dia mengasihi Dia”41
Allah
Kasih
Kasih
Suami
Istri
Jalinan segitiga inilah yang harus mendasari hubungan suami istri dalam keluarga.
Mengasihi Tuhan Allah mempunyai kedudukan yang terutama atau
prioritas tertinggi, sedangkan mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri
kedudukannya sejajar, aplikasi dalam keluarga adalah kasih kepada Tuhan Allah
harus mengalahkan kasih antara suami dan istri. Sedangkan kasih suami istri
kedudukannya sejajar dengan kasih kepada diri sendiri. Melalui penjelasan
tersebut dengan nyata sekali dalam kehidupan kekristenan setiap keluarga harus
memiliki pendidikan tentang kekristenan yang mengajarkan semua tentang Allah
dan Kristus.
Pendidikan Agama Kristen memang harus diajarkan kepada orang tua
sehingga
40
41
kehidupan
selanjutnya
Paulus L. Kristianto, Op. Cit, hal. 140
Ibid, hal. 143
tidak
menjadi
sia-sia.
Menurut
Dien
Sumiyatiningsih, G.D. dalam bukunya Mengajar dengan kreatif dan menarik
menjabarkan 3 tujuan pendidikan warga yaitu:
“a. Adanya proses menuju pertumbuhan dan kedewasaan penuh di dalam
kristus. Artinya, ada perubahan atau transformasi karena kuasa Allah
melalui pengajaran firmanNya.
b. Kedewasaan juga harus diungkapkan dalam relasinya dengan sesama
warga jemaat. Tujuannya adalah agar tercapai kesatuan.
c. Kedewasaan di dalam kristus mencakup ranah kognitif,yaitu pengenalan
dan pengertian; ranah afektif, yaitu pemahaman dan keberanian untuk
mempertaruhkan diri
kepada Allah karena kasihNya; dan ranah
psikomotorik, yaitu melayani jemaat agar jemaat dapat bertumbuh dalam
kebersamaan.42
Memang tujuan itu kepada tertulis kepada jemaat tapi dapat di aplikasikan kepada
orang tua yang akan belajar tentang PAK Sehingga tujuan mereka belajar itu
menjadi jelas.
Pendidikan Agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh
pendidikan lainnya dalam masyarakat umat Tuhan pada jaman Perjanjian Lama.
Teringatlah kita pula akan surat yang dikirim nabi Yeremia dari Yeruslem kepada
para pemimpin bangsa Yahudi yang ada dalam tawanan di babel. Dalam surat itu
diajaknya mereka, supaya membangun rumah, membentuk rumah tangga,
melahirkan dan membesarkan anak-anak, dalam rasa takut akan Tuhan, supaya
umat Tuhan jangan mati merana, melainkan tetap berbiak dan berkembang karena
justru dalam keluarga Yahudi itu terletak harapan dan jaminan akan masa depan
yang hendak didatangkan Tuhan kelak.43 Keluarga Kristen sudah diajarkan sejak
semula untuk mulai belajar tentang Tuhan dari bangsa Israel karena merekalah
bangsa yang pertama mengenal Tuhan secara baik
42
43
Dien Sumiyatiningsih, G.D. Th.MA, Op. Cit, hal. 33-34
E.G. Homrighausen, Op. Cit, hal. 130
Faktor individual dan lingkungan lainnya disekitar kehidupan si anak,
dapat pula mempengaruhi perkembangan tingkah laku tersebut. Jadi dapat
dikatakan bawa orang tua bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi
perkembangan moral anak, namun orang tua dapat mengarahkan perkembangan
moral anak sejauh mungkin, dengan menyadari akan peranannya yang besar
dalam kehidupan anak.44 Sehingga orang tua harus terus memantau perkembangan
anak remaja mereka, apalagi jaman sekarang yang penuh dengan permasalahan
dan perkembangan jaman yangsangat cepat. Untuk itulah orang tua memerlukan
sikap yang baik terhadap para remaja mereka.
Sekarang dapat diperhatikan dalam Perjanjian Baru ternyata banyak juga
keluarga yang menuruti akan firman Tuhan, sebagai contoh keluarga Yusuf dan
Maria dan juga rumah tangga tiga bersaudara maria, martha, dan Lazarus,
keluarga Lidia dan keluarga Timotius dan rumah tangga Kristen lainnya. Melalui
contoh tersebut ternyata sudah banyak keluarga kristen yang menghasilkan anakanak yang luar biasa. Dan yang pastinya hal tersebut tidak akan terlepas dari
pengajaran orang tuanya terhadap anak-anak mereka. Sekarang penulis akan
memasuki pengajaran yang diterima orang tua yang diajarkan kepada anak
mereka.
Dalam buku psikologi perkembangan anak dan remaja dituliskan beberapa
sikap yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak-anak. Suatu tingkah laku
anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus pula dilarang
apabila dilakukan kembali pada waktu yang lain.
44
Dr. Singgih D. Gunarsa dan Dra. Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal. 62
2. Sikap orang tua dalam keluarga: bagaimana sikap ayah terhadap ibu atau
sikap ibu terhadap ayah, bagaimana sikap orang tua terhadap saudarasaudaranya, terhadap pembantu rumah tangga, terhadap sopir, dll, semua
ini merupakan contoh-contoh yang nyata dan dapat dilihat anak setiap
hari.
3. Penghayatan orang tua akan agama yang dianutnya: orang tua yang
sungguh-sungguh menghayati kepercayaannya kepada Tuhan, akan
mempengaruhi sikap dan tindakan mereka sehari-hari.
4. Sikap konsekuen dari orang tua dalam mendisiplin anaknya: orang tua
yang tidak menghendaki anak-anaknya untuk berbohong, bersikap tidak
jujur, harus pula ditunjukkan dalam sikap orang tua sendiri dalam
kehidupan sehari-hari.45
Memang dalam hal ini faktor orang tua menjadi pendukung yang paling utama
dalam pengaruh anak terhadap moralitas.
Banyak faktor yang berhubungan dengan moral remaja, antara lain faktor
pribadi, faktor keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun faktor
sekolah dan lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk perilaku
remaja. Pada tahap perkembangan awal sebagian besar waktu anak pada
umumnya dihabiskan di lingkungan rumah atau dalam pengawasan keluarga. Ini
berarti bahwa perkembangan mental fisik dan sosial individu ada di bawah arahan
orang tua atau terpola dengan kebiasaan yang berlaku dalam rumah tangga. Sesuai
dengan keterangan di atas orang tua menjadi pelaku yang harus di tiru dan
diperhatikan oleh anak remaja mereka.
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan moral remaja, salah
satunya adalah faktor keluarga. Keluarga, dalam hal ini orang tua yang terdiri dari
perpaduan antara peran ayah dan peran ibu. Secara alamiah para ibu sangat
berperan dalam hal pengasuhan anak, karena ibu yang mengandung dan
melahirkan anaknya. Oleh karena itu, para ayah cenderung kurang terlibat dalam
45
Ibid, hal. 62-63
pembinaan anak karena tugas ayah lebih banyak mencari nafkah di luar rumah.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
adalah mengenai pengaruh keterlibatan ayah terhadap moral siswa dan faktor
lainnya yang memengaruhi moral siswa. Faktor lainnya yaitu urutan kelahiran
anak, jumlah saudara, keikutsertaan kegiatan di luar jam sekolah, pendidikan
ayah, pekerjaan ayah, pendapatan ayah, dan jam kerja ayah. Jika keterlibatan ayah
terhadap putranya tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap moral putranya.
b.Pembentukan Moral dalam Lingkungan sekolah
Terdapat faktor negatif yang mempengaruhi remaja dalam hidup
pergaulan. Fidelis E. Waruwu. dan Urbanus Ura Weruin dalam penelitiannya
memberikan beberapa kesimpulan tentang faktor negatif yang terjadi pada anak
remaja yaitu :
Kurangnya
perhatian
dan
pendidikan
agama
oleh
keluarga
Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek
kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan
terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran
agama dan bersikap materialistik.
1. Pengaruh
lingkungan
yang
tidak
baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan
kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang
kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup
berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan
agama atau tidak, baik atau buruk.
2. Tekanan
psikologi
yang
dialami
remaja
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah
diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang
menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia
mencari pelampiasan.
3. Gagal
dalam
studi/pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat
pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu
itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang
buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk
mengisi kekosongan waktunya.
4. Peranan
Media
Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi,
karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka
dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat,
seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan
sebagainya.
5. Perkembangan
teknologi
modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti
mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga
memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai
dengan mereka.46
Memang faktor negatif di atas akan membuat para remaja menjauhi dari
moral kekristenan yang diajarkan oleh guru PAK. Permasalahan inilah yang harus
diperhatikan oleh orang tua sebagai individu yang paling dekat dengan anak
remaja tersebut. Dan orang yang mendukung juga adalah guru PAK yang berada
disekolah mereka masing-masing. Orang tua harus memiliki pengetahuan akan
PAK seperti yang sudah dijelaskan pada pokok sebelumnya.
Melalui faktor negatif inilah peran ayah dan ibu dipertanggung jawabkan
dengan
baik. Mereka bukan saja melahirkan saja tapi juga orang tua harus
membimbing anak-anak mereka ke dalam moralitas yang baik. Dan disekolah
guru menjadi faktor pelengkap dalam membimbing anak-anak remaja dalam hal
moralitas.
46
Fidelis E. Waruwu, M.Sc. dan Drs. Urbanus Ura Weruin. Dalam www.google.com / faktor
terhapap anak remaja
Penulis akan memberikanjuga factor positive dari moralitas yang dimiliki
oleh remaja yaitu:
1. mendidik dalam pengertian konsep-konsep moral
2. pengulangan bagi tingkah laku yang benar
3. konsistensi terhadap aturan
4. Nilai-nilai moral berguna bagi diri dalam mentaati aturan.
Dengan mempelajari faktor negatif dan positif dari kelebihan dan
kekurangan dari remaja yang mempelajari moral. Dan kesimpulan yang di dapat
ternyata positif dari mempelajari moralitas dalam kehidupan remaja akan
membawa remaja kepada aturan hidup yang baik.
c.Pembentukan Moral melalui lingkungan Gereja
Sebagai contoh pengajaran yang diberikan kepada para orang tua adalah
tentang peneguhan nikah. Gereja seharusnya tetap berusaha membantu dan
memimpin keluarga itu secara terus menerus. Gereja juga bertanggung jawab
terhadap memberikan pengajaran kepada pemimpin keluarga. Sehingga tugas
kepemimpinan gereja adalah memberikan pengajaran supaya semua anak dari
keluarga jemaat rajin mengunjungi sekolah minggu dan pengajaran agama lain.
Sehingga ajaran yang diberikan kepada orang tua menjadi jelas dan diterima oleh
keluarga tersebut.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini, penulis akan mengemukakan mengenai metodologi
penelitian yang membahas Sembilan pokok pembahasan, yakni: tujuan penelitian,
tempat dan waktu penelitian, paradigma penelitian, pendekatan dan metode
penelitian, fokus penelitian, pertanyaan penelitian, prosedur pengumpulan data
dan perekaman data, analisis data, serta pemerikasaan keabsahan data
(Triangulasi)
A.
TUJUAN KHUSUS PENELITIAN
Sebagaimana yang telah dikemukakan di Bab I, maka penelitian ini adalah
bertujuan untuk menganalisis Pembentukan Moral di Pantiasuhan Agape Yayasan
Pelita bangsa Batam terkonsentrasi pada ibadah sebagaimana dilaksanakan oleh
Kristen. Untuk itu secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh pemahaman dan pengalaman anak panti mengenai
pembentukan Moral
2. Untuk memperoleh pemahaman yang sesungguhnya mengenai
pelaksaanan ibadah dalam pembentukan moral anak di Pantiasuhan
Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam
A.Metode Penelitiaan
Penelitian Lapangan ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif.
“Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”47. Menurut Nasution (2003:5)
penelitian kualitatif adalah “48mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi
dengan mereka dan menafsirkan
pendapat mereka tentang dunia sekitar,
kemudian Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 60) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif (qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendiskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun kelompok.
Kemudian menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi
wawancara , catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain.
Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan
dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman
jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata. ( Patton dalam Poerwandari,
1998).
B.Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, Subjek penelitian menurut Amirin (1986) merupakan
seseorang atau sesuatu mengenai yang mengenainya ingin diperoleh keterangan.
Menurut Suharsimi Arikonto (1989) memberi batasan subjek penelitian sebagai
benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat, dan yang
dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian memiliki peran yang
47
Lexy Moleong, 2007 hal 4)
http://eprints.uny.ac.id/9718/3/Bab%203%2007104241010.pdf....................................08/08/2014
48
sangat strategis karena pada subjek penelitian, itulah data tentang variabel yang
penelitian akan amati. Kesimpulan dari kedua penngertian diatas Subjek
penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan sumber
informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian.
Pada penelitian kualitatif, responden atu subjek penelitian disebut dengan
istilah informan, yaitu orang memberi informasi tentang data yang diinginkan
peneliti berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakannya. atau dapat pula
disebut sebagai subjek penelitian atau responden (kuantitatif). Subjek penelitian
ini adalah anak asuh pantiasuhan agape. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah
18 orang.
No Nama
Jenis
Kelamin
1
L
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Alwis Saut
Mangupuli
Benedikta Asti
Daeli
Evi Fitri Ferawati
Nada Lista
Rio setia
Adrian S
Leonardo
Maria Margaretha
Adrival Saogo
Michael saogo
Elvanus
Samoylosa
Wendra Martono
Saogo
Tempat
Lahir
Kelas
Umur
Beleraksok
7
15
P
Simandraolo
6
12
P
Beleraksok
6
13
P
Beleraksok
6
12
L
Pontianak
6
12
L
Beleraksok
2
8
L
Beleraksok
0
5
P
Flores
7
14
L
Mentawai
2
9
L
Mentawai
0
7
L
Mentawai
5
5
L
Mentawai
7
14
13
14
15
16
17
19
20
Ade Sutomo
Sipalakkai
Anjas Kristoper S
Firdaus saogo
Teofilus
Yadiana
Mely
Julius Jon
Kristoper
L
Mentawai
7
14
L
Mentawai
7
13
L
Mentawai
12
18
L
Nias
1
8
P
Simandraolo
5
14
p
Beleraksok
4
9
L
Simandraolo
1
7
C.Tahap-tahap penelitian
Dalam penelitian terdapat dua tahap penelitian, yaitu :
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan
demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek.
Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya
akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun,
ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian
untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancarara. Setelah mendapat
masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap
pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang
disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara
dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya
terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat
peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti
sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai.
Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik
subjek penelitian. Untuk itu sebelum wawancara dilaksanakan peneliti mendekati
dan memperhatikan supaya dapat diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk
diwawancarai, peneliti berusaha mewawancarai subjek tersebut hingga bisa
diwawancarai.
2.Tahap pelaksanaan penelitiaan
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat
untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah
wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan
wawancara dalam bentuk verbatim tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan
analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang
dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti
membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti
memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data,
yaitu :
1. Wawancara
Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data
dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah
dengan bercakap-cakap secara tatap muka.
Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam proses
wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview
dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu
yang harus diliput tampa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak
terbentuk pertanyaan yang eksplisit.
Pedoman
wawancara
digunakan
untuk
mengingatkan
interviewer
mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek
(check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan.
Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan
tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat Tanya, sekaligus
menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung
(Patton dalam poerwandari, 1998)
Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 hal yang menjadi kekuatan
metode wawancara :
a. Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang
diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan
memberikan penjelasan.
b. Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu.
c. Menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak
dapat dilakukan.
Menurut Yin (2003) disamping kekuatan, metode wawancara juga
memiliki kelemahan, yaitu :
a. Retan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang
penyusunanya kurang baik.
b. Retan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang
sesuai.
c. Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang
akurat.
d. Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar
oleh interviwer.
2. Observasi
Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan metode observasi.
Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan
secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau
gejala-gejala dalam objek penelitian.
Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memehami proses
terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya.
Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek
selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap
relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.
Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah
mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung,
orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari
perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting,
namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi.
Dengan demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting
karena :
a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal
yang diteliti akan atau terjadi.
b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada
penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk
mendekati masalah secara induktif.
c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian
sendiri kurang disadari.
d. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang
karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka
dalam wawancara.
e. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif
terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan
menjadi bagian dari data yang pada giliranya dapat dimanfaatkan untuk
memahami fenomena yang diteliti.
3.Documentasi
Adapun melalui documentasi adalah melalui foto, berupa Arsip
E. Alat Bantu pengumpulan Data
Menurut Poerwandari (1998) penulis sangat berperan dalam seluruh proses
penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan
data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian.
Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat Bantu
(instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 4 alat bantu,
yaitu :
1. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan
tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah
yang
diteliti.
2. Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan
sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasrkan hasil
observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap
lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek
dan informasi yang muncul pada saat berlangsungnya wawancara.
3. Kamera
Kamera sebagai alat bantu pada saat kegiatan yang dibutuhkan peneliti bisa
diabadikan. Untuk memberi penjelasan dan menjadi referensi dalam penelitian.
F. Keabsahan dan Keajegan Penelitian
Penelitian lapangan ini menggunakan penelitian pendekatan kualitataif.
Yin (2003) mengajukan emmpat criteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan
dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut adalah Sebagai
berikut :
1. Keabsahan Konstruk (Construct validity)
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastiaan bahwa yang
berukur benar- benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga
dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya
adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
Sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton (dalam Sulistiany 1999)
ada 4 macam triangulasi Sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan,
yaitu :
a. Triangulasi data
Mengguanakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek
yang dianggap memeiliki sudut pandang yang berbeda.
b. Triangulasi Pengamat
Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil
pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus bertindak
Sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil
pengumpulan data.
c. Triangulasi Teori
Penggunaan berbagai teori yang berlaianan untuk memastikan bahwa data
yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori
telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data
tersebut.
d. Triangulasi metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancra
dilakukan.
2. Keabsahan Internal (Internal validity)
Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh
kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat.
Aktivitas dalam melakukan penelitian kualitatif akan selalu berubah dan tentunya
akan mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji
keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang
berbeda.
3. Keabsahan Eksternal (Eksternal validity)
Keabsahan ekternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat
digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memeiliki
sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitiaan kualitatif tetapi dapat dikatakan
memiliki keabsahan ekternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut
memiliki konteks yang sama.
4. Keajegan (Reabilitas)
Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian
berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang
sama, sekali lagi. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan
peneliti selanjutnya memeperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan
sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menujukan bahwa konsep keajegan
penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara
pengumpulan data dan pengolahan data.
G. Teknik Analisis Data
Marshall dan Rossman mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk
proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian kualitatif
terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rossman
dalam Kabalmay, 2002), diantaranya :
1. Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara
mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape
recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan
mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara
verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti
benar data atau hasil yang telah di dapatkan.
2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data,
perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti
menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam
mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca
transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang
relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan
singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka
analisis yang telah dibuat.
“Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang digunakan
oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis data kualitatif.
Analisis data kualitatif ini
adalah analisis terhadap data yang diperoleh
berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta-fakta, data
dan informasi. Jadi teknik analisis data kualitatif yaitu dengan menyajikan hasil
wawancara dan melakukan analisis terhadap masalah yang ditemukan di lapangan
sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti dan
kemudian akan ditarik kesimpulan”49.
B.Latar, Tempat, dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan disalah satu Pantiasuhan yang bernama
Pantiasuhan Agape beralamat Perumahan Taman Cipta Asri II Blok Olive No 109
49
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30902/4/Chapter%20II.pdf..............................14/0
8/2014
dan 51 RT 03 RW 21 Kelurahan Tembesi Kecamatan Sagulung, Kota Batam,
Provinsi Kepulauan Riau,
Secara khusus penelitian diadakan dilingkungan anak asuh di Pantiasuhan
Agape dimulai dari sebuah Yayasan yang bernama Pelita Bangsa Batam. Yayasan
ini didirikan memiliki Visi dan Misi yang telah diberikan Tuhan kepada Yayasan
Pelita bangsa Batam yang telah berdiri sejak tahun 2011, dan memulai sebuah
pelayanan Sosial untuk membina, Menwujudkan Wadah Sosial yang mampu
Memperlengkapi anak yang beraklah mulia dan melahirkan pemimpin yang
mampu mengikuti perkembangan tehnologi baik rohani hingga mandiri
Sejarah Berdirinya Pantiasuhan
Panti Asuhan Agape adalah salah satu pelayanan sosial yang berada di
bawah naungan Yayasan Pelita Bangsa Batam yang didirikan sebagai tindak
lanjut pelayanan Tim Yayasan Pelita Bangsa Batam, yang melakukan pelayanan
sosial pada saat terjadinya Tsunami bulan Oktober 2010 di Kepulauan Mentawai.
Saat itu tim Yayasan Pelita Bangsa Batam terlibat dalam pelayanan kemanusiaan
selama 2 bulan (dalam tiga tahap) untuk membantu masyarakat yang sedang
menderita akibat badai Tsunami di Pulau Mentawai. Kami melihat banyaknya
keluarga dan anak-anak yang mengalami penderitaan akibat bencana air bah
tersebut. Hingga kehilangan keluarga, kehilangan harta, rumah hancur, gedung
sekolah hancur, banyak anak-anak yang terlantar, yang akhirnya tidak sekolah.
Apa yang dialami mereka akan berdampak kepada kemiskinan yang tidak bisa di
hindari, terutama dalam bidang pendidikan dan kebutuhan sehari-hari. tidak bisa
mengecap pendidikan karena orang tua mereka meninggal dunia, ditambah lagi
dengan himpitan ekonomi yang semakin sulit, Dengan pertimbangan kemanusiaan
maka kami mendirikan Yayasan ini di Perumahan Cipta Asri Blok Olive, No. 109.
Tembesi pada tahun 2011
Selanjutnya kami memutuskan untuk mendirikan Panti Asuhan Agape
pada pertama kalinya untuk menolong anak-anak yang menderita akibat badai
tsunami tersebut dengan harapan agar anak-anak itu mencapai masa depan yang
lebih baik. Salah satu visi dan misi utama kami mendirikan panti asuhan ini ialah
untuk mengubah generasi-generasi bangsa ini agar mereka bisa menjadi generasi
yang mandiri dan berpendidikan sehingga mereka bisa memperoleh kehidupan
yang lebih baik kedepannya. Harapan kami, lewat pendidikan yang mereka
peroleh, masa depan anak-anak ini bisa berubah, sehingga mereka bisa berguna
bagi bangsa dan Negara ini, dan juga bagi keluarga mereka sendiri serta
kedepannya mereka bisa membangun kembali daerah asal mereka.
Maka sebagai bentuk realisasi pada tahun 2011 kami membawa 4 anak dari
mentawai dari tahun ke tahun anak kami menjadi 25 anak yang awalnya hanya
dari Mentawai namun sekarang menjadi 25 anak. Sejak dimulai pelayanan ini
dirintis sampai hari ini kami tidak memiliki Sponsor namun kami tidak pernah
berkekurangan karena kami dalam pemeliharaan Tuhan itulah yang kami Syukuri
kepada Tuhan. Selain itu legalitas panti/yayasan terdaftar Di Kementerian Hukum
Dan Ham RI dan Terakreditasi Dari Kemensos RI dan terdaftar di Dinsos Provinsi
dan Kota Batam.amin
Profil Panti
Visi : Menwujudkan Wadah Sosial yang mampu Memperlengkapi anak yang
beraklah mulia dan melahirkan pemimpin yang mampu mengikuti perkembangan
tehnologi baik rohani hingga mandiri
Misi :
1. Menyiapkan generasi cerdas (baik secara spiritual, emosional, dan
intelektual maupun secara mental, dan moral) kreatif, mandiri, dan
dinamis
2. Menanamkan pola kehidupan agamis, sehat, inklusif, dan moderat serta
peka terhadap lingkungan;
3. Membentuk dan membina kader penerus bangsa yang berdidikasi tinggi,
siap secara ilmu dan agama, bertanggungjawab, serta konsen terhadap
perkembangan dan kemajuan.
MOTTO
1. Budayakan hidup manfaat bagi sesama
2. Tuangkan segenap kreatifitas dan kemampuan hingga menjadi sebuah
inovasi
3. Dan jemputlah sukses tanpa kenal menyerah, yang mengantarkan pada
kebahagiaan dunia akhirat
SLOGAN
“Berkat Tuhanlah yang membuat kamu Kaya Susah Payah tidak akan menambahi
Pengurus:
Pembina
: Ardianto Lahagu
Ketua Panti /Yayasan
: Paskah Parlaungan Purba
Sekretaris
: Budiman Sitohang
Bendahara
: Ester Melati
Pengawas
: Velty C
Program Kerja :
Bidang-bidang Program Kerja
1. Pendidikan

Pendidikan Formal (TK, SD, SMP, SMU/SMK)

Non Formal (Kursus/Private : Matamatika, Bahasa Inggris, Komputer,
Balai Latihan Kerja/Cipta Karya, Seni Suara, Tari, Musik,dsb.)
2. Bimbingan Mental

Bimbingan Sosial Perseorangan

Bimbingan Sosial Kelompok

Ceramah-ceramah

Gotong Royong

Perayaan Hari-hari Khusus
3. Bimbingan Spiritual

Ibadah Pagi pukul 05.00 wita (Doa Berama & Pemahaman Alkitab).

Ibadah Sore pukul 18.00 wita (Doa Bersama & Pemahaman Alkitab).

Ibadah Minggu Raya (di tempat Ibadah/Gereja).

Perayaan Hari-hari Besar Agama Kristen.
4. Kesehatan dan Olahraga

Diberikan Bimbingan Tentang Tata Cara Hidup Sehat.

Dilaksanakan Check up Medis Berkala Serta Pengobatan Bila Ada yang
Sakit.

Kegiatan Olahraga Disamping Wajib di Sekolah Mereja Juga Mengikuti
Kegiatan Olahraga Presatasi (Atletik, Tinju, Bela Diri, Panjat Tebing,
Menembak, dsb.).
Program Kerja Jangka Pendek :
1. Publikasi Panti Asuhan AGAPE secara maksimal via Internet (membuat
Website, Facebook, Twitter,dsb.)
2. Menyediakan wadah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan
anak-anak.
3. Mengupayakan Panti Asuhan AGAPE memiliki sponsor/donatur tetap.
4. Menjaga agar Panti Asuhan tetap terjaga rapi dan bersih serta bangunan
yang ada terawat dengan baik.
5. Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang ada saat ini ditingkatkan lagi.
6. Membuat proposal untuk ruang serba guna, ruang makan, kamar mandi
putra & putri, dan dapur.
7. Membuat proposal untuk pembelian tanah seluas 5 (lima) hektar untuk
Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk menuju Panti Asuhan mandiri.
Program Kerja Jangka Menegah :
1. Pembelian tanah seluas 5 (lima) hektar untuk Usaha Ekonomi Produktif
(UEP).
2. Pembangunan ruang serba guna, ruang makan, kamar mandi, dan dapur
yang layak.
Program Kerja Jangka Panjang (5 Tahun ke atas) :2018-2024
1. Apabila tanah dimaksud sudah terbeli, maka tanah tersebut akan dikelola
untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang bertujuan menjadikan Panti
Asuhan mandiri.
2. Mendirikan Unit Koperasi, dan pertokoan.
3. Membuka/mendirikan sekolah TK, SD, SMP, SMU/SMK.
4. Mendirikan Rumah Sakit.
Ciri Khas Panti Asuhan :
1. Menjadi Panti Asuhan lintas budaya (mengasuh seluruh suku di
Indonesia).
2. Mengembangkan karunia/talenta dan memberikan kesempatan kuliah dan
bekerja (khusus bagi anak asuh yang berprestasi).
3. mempersiapkan anak-anak menjadi pendoa syafaat dan pelayan Tuhan;
melayani di dunia skuler maupun gereja.
Download