PENTINGNYA IBADAH DALAM PEMBENTUKAN MORAL ANAK DI PANTI ASUHAN AGAPE YAYASAN PELITA BANGSA BATAM SKRIPSI OLEH: ERNITA PURBA SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BASOM Batam, Januari 2018 BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana lazimnya suatu karya ilmiah seperti skripsi bai lainya akan diawali dengan pendahuluan, yang memuat berbagai unsur pembahasan. Penulis sengaja memaparkan terlebih dahulu mengenai pembentukan moral anak dan faktor apa yang mempengaruhi moral anak. Penulis juga memaparkan bagaimana pembentukan moral menurut beberapa teori dan Faktor apa saja yang mempengaruhi anak. Melihat kenyataan dilapangan begitu banyak anak tidak memiliki moralitas sebagaimana yang diharapkan, apalagi melihat kegiatan rohani anak-anak yang dipanti sungguh banyak melaksanakan ibadah yang seharusnya sudah menunjukkan moralitas anak sehingga melalui latar belakang masalah ini, ditemukan fokus penelitian mengenai Pembentukan moral anak melalui ibadah yang diikuti oleh anak-anak di Pantiasuhan agape Batam. Selanjutnya dirumuskan menjadi perumusan masalah, dan dilanjutkan dengan penetapan tujuan penelitian. Bab ini diakhiri dengan pemaparan manfaat penelitian. A. Latar Belakang Masalah Sebelum penulis menjelaskan keberadaan panti asuhan Agape ini maka penulis ingin menjelaskan latar belakang penelitiannya mengapa penulis mengambil tempat penelitian di panti asuhan Agape ini. Penulis sudah tinggal dan membantu pelayanan di Panti ini sejak bulan Juni tahun 2015. Selama berada di panti tersebut penulis mengamati perkembangan moral anak-anak panti yang berada disana seakan-akan tidak memiliki moral yang baik, melihat keadaan yang demikan ini penulis ingin membuktikan apakah benar penilaian penulis tentang moral anak panti yang tidak baik yang selama ini saya sudah lama mengamatinya seperti salah satu anak panti yang bernama Mechel yang sering berkata kotor dan mengambil barang orang lain padahal ia sudah lama tinggal dipanti ini. Dan penulis tahu persis kegiaatan apa saja yang dilakukan dipanti ini dalam hal rohani. Mengingat penulis telah mengikuti perkuliahan dan pernah membaca sebuah artikel tentang moral anak, maka penulis beranggapan apakah hal ini dapat dikategorikan moral yang buruk seperti apa yang tertulis pada sebuah artikel dari media internet yang menjelaskan tentang moral adalah,: “Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. ‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk”1. 1 http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/ Sekarang penulis akan masuk dalam pembahasan tentang moral, Menurut Lillie kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat ( Pratidarmanastiti, 1991). Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila (Grinder, 1978). Sedangkan Baron, dkk. (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.2 Moral sangat berhubungan dengan pola tingkah laku manusia dan kehidupannya mulai dari masa kecil sampai kepada dewasa. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Menurut Magnis-Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut Moralitas. Dia mengartikan moralitas sebagai sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (magnis-suseno, 1987).3 Moral merupakan ajaran tentang baik atau buruk perbuatan dan akhlak yang dimiliki oleh seseorang. Dalam buku pembelajaran moral dituliskan hasil penelitian Kohlberg (1980) yang menyatakan hal-hal sebagai berikut: 1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral lainnya. 2. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri 2 Dr. C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral : Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004), hal. 24 3 Dr. C. Asri Budiningsih, Op. Cit, hal. 24-25 3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan universal bagi setiap kebudayaan. 4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh faktor kognitif atau kematangan intelektual.4 Inilah hal yang menarik tentang moral segala sesuatu bersifat secara universal. Sebab tidak hanya terdapat satu moral saja tapi berbagai bidang tentang moral ada dan semuanya dapat masuk kedalam pelajaran tentang moralitas. Penalaran ataupun penjelasan tentang moral tidak di dapat dengan sendirinya tapi semuanya itu diperlukan pembelajaran dalam setiap agama. Sebab setiap agama pasti menghasilkan moral yang baik kepada setiap pengikutnya. Moral memiliki tahap perkembangan yang dijelaskan menurut Kohlberg (1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan yaitu: 1. Tingkat Pra-Moral atau pre-conventional, 2. tingkat conventional, dan 3. tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan tiga tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu : 1. tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, 2. tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4- 8 tahun, dan 3. tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.5 Dan setiap tahapan ini tidak akan mungkin turun ke tahap sebelumnya. Jadi peningkatan tahapan terjadi seiring dengan peningkatan umur setiap individu. Pada tahap-tahap inilah perlu pengajaran yang baik dan jelas mengenai 4 5 Ibid, hal. 27-28 Ibid, hal. 28 moral, sebab pengetahuan akan moral ini akan membawa pengaruh kepada pembelajaran agama. Ia Juga menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Pada masa perkembangan moral bayi yang baru lahir pasti belum memiliki moral tetapi lambat laun pasti akan mengerti tentang moral. Seperti apa penerapan nilai moral itu? berbuat baik terhadap orang tua, kepada orang lain yang lebih tua, saling membantu, dan saling menghormati. Orangtua wajib menerapkan moral yang baik terhadap anak, karena anak juga pasti bersosial dan bermasyarakat terhadap teman atau terhadap orang yang lebih tua di sekelilingnya. Jadi, anak harus mempunyai moral yang baik, supaya memeiliki sopan santun dimanapun tempatnya. Jika orangtua mengajarkan moral kepada anak melalui kebiasaan sehari-harinya. Pasti dimanapun tempatnya anak secara langsung menerapkan akhlak atau moral yang baik. Jika sebalikya , orangtua tidak mengajarkan moral yang baik untuk anak pasti anak berbuat seenaknya saja, anak tidak sopan santun , anak tidak menghormati jika ada orang yang lebih tua. Sekarang ini banyak anak yang kurang mempunyai etika terhadap orang dewasa. Untuk itu sebagai orangtua harus saling mendampingi anak supaya mempunyai moral yang baik supaya bisa di terima di masyarakat dan juga baik di masyarakat. Sehingga dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari larangan atau nilai-nilai moral itu adalah : 1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan 2. Larangan mencuri, berzinah, membunuh, meminum-minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Dalam hal ini yang menjadi peran penting adalah setiap individu yang menjalankan nilai-nilai moral tersebut. Memang hal tersebut berbeda dengan pendapat kohlberg yang dalam buku pembelajaran moral yaitu apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Ia menjadikan penalaran moral sebagai pusat kajiannya. Sebagai contoh seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perlikunya sama, tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam perilaku mereka. Sehingga kohlberg menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral thingking, dan moral judgement, sebagai istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan bergantian.6 Memang jika berbicara tentang moral lebih menekankan kepada alasan suatu tindakan daripada sekedar arti dari tindakan, maka muncul sebuah penilaian tindakan tersebut baik atau buruk. Pengertian akan ini semua memang membutuhkan penalaran yang baik, sebab moral memang pada intinya bersifat rasional atau masuk akal pikiran manusia. Suatu keputusan moral bukanlah soal 6 Ibid, hal. 24-25 perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntuntan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.7 Moralitas menjadi dasar kebaikan yang harus dilakukan setiap kelompok atupun individu. Mulai dari sinilah pentingnya pembelajaran mengenai moralitas itu dapat dimulai. Dari penjabaran diatas penulis menentukan judul dalam skripsi ini adalah: “Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di Panti Asuhan Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam.” B. Fokus dan Subfokus Berdasarkan uraian diatas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah pentingnya ibadah dalam pembentukan moral anak. Pokok masalah tersebut adalah suatu cakupan yang luas,maka penelitian ini difokuskan pada: ”Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan moral anak di panti asuhan Agape Yayasan Pelita bangsa Batam”. Untuk itu perlu diketahui fokus dan Subfokus dalam penelitian ini, yaitu : 1. Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak 2. Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di Panti Asuhan Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam 7 Dr. C. Asri Budiningsih, Loc. Cit, hal. 25 C. Rumusan Masalah Sesuai dengan pemaparan diatas, maka untuk tulisan skripsi ini, penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang akan menjadi dasar pedoman dalam penelitian yaitu : 1. Bagaimanakah Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak. 2. Bagaimanakah Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral Anak di Pantiasuhan Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam. D. Tujuan Penelitian Bertolak dari pemaparan rumusan masalah yang telah dirumuskan penulis dalam tiga pertanyaan penelitian, maka penulis menetapkan maksud dan tujuan yang akan di capai dalam pembahasan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui secara obyektif pentingnya ibadah dalam pembentukan moral anak. 2. Untuk mengetahui secara obyektif pentingnya ibadah dalam pembentukan moral anak di panti asuhan agape yayasan pelita bangsa batam. E. Manfaat Penelitiaan Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan pada latar belakang masalah dan perumusan masalah yang mengungkapkan alasan penelitian topik ini, serta tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Bagi Mahasiswa STT Basom Batam sebagai bahan refleksi diri untuk menemukan kebenaran dan kekayaan dari Pentingnya ibadah dalam pembentuan Moral anak di Pantiasuhan Asuhan Agape 2. Untuk Pantiasuhan Agape, supaya mengetahui sejauh mana pelayanan yang sudah dilaksanakan sehingga menjadi masukan demi evaluasi pelayanan yang lebih baik kepada anak asuh. 3. Bagi Para Peneliti dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai Pentingnya Ibadah dalam Pembentukan Moral anak di Pantiasuhan 4. Untuk penulis, menambah pengetahuan dan meningkatkan kualitas pelayanan sekolah minggu. wawasan serta BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini, penulis akan membahas fokus dan subfokus dalam skripsi ini, yaitu : pentingnya ibadah dalam pemebentukan moral anak dan pentingnya ibadah dalam pembentukan moral anak di panti asuhan agape yayasan pelita bangsa batam. A. Ibadah Pada bagian ini terlebih dahulu penulis membahas pengertian ibadah Kristen, lalu konsep ibadah dalam Alkitab dan asal – usul ibadah Kristen. 1. Pengertian Ibadah Kristen Ibadah adalah suatu kata yang sangat sulit untuk dirumuskan namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa ibadah itu adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, menjalankan ibadah; menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan Allah. 8 Ibadah adalah suatu pertemuan antara Allah dengan umat-Nya. Dalam pertemuan itu berlangsung semacam “dialog” : Allah berfirman dan umat-Nya mendengar, Allah memberi dan umat-Nya menerima serta mengucap syukur, Allah mengampuni dan umat-Nya memuji nama-Nya.9 8 9 KBBI J.L.Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah, (BPK Gunung Mulia, 1986), 2. Dalam buku Pengantar Ibadah Kristen ada tiga arti yang di bahas mengenai ibadah yang sering dilakukan orang Kristen:10 1. Pertama”Ibadah”itu sendiri adalah suatu kata yang sangat sulit di rumuskan, karena ibadah merupakan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan kegiatan ini beda dari pekerjaan-pekerjaan sehari-hari dan kegiatan ini sangat penting dalam kehidupan orang kristen karena ibadah adalah suatu hubungan yang erat dengan Tuhan Yesus. 2. Ibadah adalah bentuk pemikiran tentang apa yang akan di lakukan dalam ibadah dan bagaimana cara untuk merumuskan kebudayaan yang menyangkut ibadah karena orang kristen penuh berbagai cara dalam melakukan ibadah dan memaknai ibadah itu sendiri. 3. Cara metode yang dilakukan dalam memaknai ibadah yang sesungguhnya karena dari semua yang di jelaskan merupakan hal yang paling penting dalam ibadah yang akan dilakukan dalam kehidupan orang kristen. Ibadah yang di lakukan kepada Allah tidak hanya sebagai tindakan atau kewajiban melainkan satu bukti nyata yang benar-benar di persembahkan kepada Allah dan seluruh umat dapat membangun hubungan dengan Allah dengan cara berkumpul di satu tempat untuk menaikan syukur dan menerima kebenaran yang dapat membangun kesetiaan kehidupan rohani orang percaya dan juga membangun satu persekutuan dengan cara berkumpul menaikkan pujian-pujian yang dapat menyenangkan hati Allah,ibadah itu juga tidak dalam unsur paksaan melainkan sukarela tanpa ada beban bagi orang-orang yang melakukannya. Ibadah adalah suatu pertemuan antara Allah dengan umat-Nya. Dalam pertemuan itu berlangsung semacam “dialog” : Allah berfirman dan umat-Nya 10 James F. White, Pengantar Ibadah Kristen,(Jakarta: Gunung Mulia,2012)1 mendengar, Allah memberi dan umat-Nya menerima serta mengucap syukur, Allah mengampuni dan umat-Nya memuji nama-Nya.11 Kata ibadah sebenarnya berasal dari kosa kata “äbodah” (bahasa Ibrani) atau ibadah (bahasa Arab) yang secara harafiah berarti bakti, hormat, penghormatan (homage),12 suatu “sikap dan aktivitas“ yang mengakui dan menghargai seseorang (atau yang ilahi). Atau dapat juga dikatakan suatu penghormatan hidup yang mencakup kesalehan (yang diatur dalam suatu tatacara), yang implikasinya nampak dalam tingkah laku dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Jadi ibadah disini merupakan ekspresi dan sikap hidup yang penuh bhakti (penyerahan diri) kepada yang ilahi, yang pengaruhnya nampak dalam tingkah laku yang benar. Dalam kesaksian Alkitab ada beberapa kata atau ungkapan yang dipakai untuk ibadah. Kata kerja äbad (Bahasa Ibrani) berarti melayani atau mengabdi (seperti pengabdian/pelayanan yang utuh dari seorang hamba kepada tuannya). Sedangkan kata àbodah (bahasa Ibrani), latria (bahasa Yunani) berarti pelayan atau bisa juga berarti pemujaan dan pemuliaan. Disamping itu kita juga bertemu dengan kata histaaweh (proskuneo ;bahasa Yunani) yang berarti sujud atau membungkuk atau meniarap dihadapan tuannya.13 Jadi sebenarnya ada dua kata kunci dalam pengertian ibadah itu, yaitu sikap hormat (pemuliaan) dan pelayanan (sikap hidup). Dari pengertian di atas, menjadi jelas bahwa konsep dasar dari ibadah adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya dari hidup manusia kepada Allah, 11 J.L.Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah, (BPK Gunung Mulia, 1986), 2. A. Cronbach, Worship in Old Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Editor by G.A. Buttrick, R-2, Hal. 879. Nashville, Abingdon Press, 1982 13 New Bible Dictionary, Leicester: Inter-Varsity Press, 1967. Hal. 1262 12 yang dinyatakan baik dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah laku kita terhadap orang-orang yang ada disekitar kita.14 Menurut Brownlee, ibadah bagi orang Kristen tidak hanya dilakukan melalui doa saja tetapi juga dilakukan dengan kehidupan. Artinya, ibadah tidak hanya terbatas pada upacara-upacara atau ritual tertentu tetapi diperlukan persembahan diri yang utuh kepada Tuhan. Brownlee berpendapat bahwa ibadah tidak hanya berkaitan dengan penyembahan atau persekutuan sorgawi dengan Tuhan yang terpisah dengan masalah-masalah duniawi. Ibadah menolong manusia untuk menghadapi masalah yang ada di luar gedung gereja dengan membawa masalah tersebut kepada Tuhan yang akan memperlengkapi manusia untuk menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utama ibadah ialah untuk bersekutu dengan Tuhan dan memuliakan-Nya sehingga pemujaan dan persekutuan menjadi tujuan yang terpenting dalam kehidupan manusia bukan sebagai alat untuk mencapai sesuatu hal. Dasar dari ibadah menurut Brownlee adalah penyerahan diri kepada Tuhan agar manusia dapat dijadikan alat untuk pekerjaan Tuhan di dunia. Manusia dituntut hidup untuk Allah dan sesama. Singkatnya, makna ibadah menurut Brownlee ialah persekutuan dan pertemuan manusia dengan Allah melalui penyerahan diri manusia kepada Allah untuk menjadi saksi Allah dalam dunia sehingga manusia perlu beribadah dengan benar.15 Riemer menegaskan bahwa ibadah ibarat cermin yang memantulkan Kabar Baik yaitu Injil yang diperoleh melalui pemberitaan Firman. J. Blommendaal, “ perjanjian Lama” ( BPK Guunung Mulia,2012) Hal 76-78 Malcolm Brownlee. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 19 14 15 Ibadah mencerminkan perbuatan-perbuatan baik orang Kristen yang dipantulkan dari perbuatan-perbuatan Allah dalam kehidupan manusia yang dilihat dalam ibadah. Pantulan tersebut merupakan jawaban jemaat atas kebajikan Allah karena telah melepaskan manusia dari dosa.16 G.F.H. Kelling menegaskan bahwa ibadah merupakan saat dimana pesta kehidupan dirayakan bersama-sama dan membawa makna bagi setiap pengikutnya. Ibadah sebagai pesta kehidupan seharusnya dikemas dengan sebaikbaiknya agar komunitas orang beriman maupun pribadi-pribadi yang percaya dapat menikmati keselamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Kristus. Semua orang yang mengikuti ibadah diharapkan mengalami perjumpaan yang hangat dengan Allah dan sesame. Oleh karena itu, setiap aktivitas, ekspresi dan symbol yang nampak dalam ibadah harusnya dapat menyapa setiap orang yang terlibat di dalamnya.17 2. Konsep Ibadah dalam Alkitab Pada awalnya dapat di temukan adanya ibadah atau persembahan pribadi kepada Allah (Kej. 4:4 Habel memberikan persembahan kepada Tuhan ; lihat pula, Kel. 24:26). Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah merupakan ungkapan bathin seseorang yang mengakui bahwa Allah berdaulat, penuh kuasa dan baik. Atau ibadah adalah menunjukkan ketinggian spritual seseorang yang disertai ungkapan pujian dan syukur kepada Tuhan, karena Ia 16 G. Riemer. Cermin Injil: Ilmu Liturgi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002), 40-47 17 G.F.H Kelling. “Rond vasten en feesten.”Dalam: Ebenhaizer I Nuban Timo. Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila: Eklesiologi dengan cita-rasa Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2009), 184-186 patut disembah (bd. Ayub 1:20 ; Yos. 5 :14). Harus dipahami bahwa Allah adalah Allah yang transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari ciptaanNya” juga merupakan Allahyang berkomunikasi dengan umat manusia. Allah menerima penyembahan dari umat-Nya.18 Selanjutnya Profesor Paul W.Hoon menyatakan dalam buku Pengantar ibadah Kristen bahwa:19 “Ibadah Kristen adalah penyataan diri Allah sendiri di dalam Yesus Kristusn dan tanggapan manusia terhadapNya,” atau suatu tindakan ganda: yaitu “tindakan Allah kepada jiwa manusia dalam Yesus Kirstus dan dalam tindakan tanggapan manusia melalui Yesus Kristus”. Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan Israel (Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36).20 Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam 18 Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology:( Buku Pegangan Teologi, Literatur SAAT, Malang, 2006), 54 19 James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (BPK Gunung MUlia, Jakarta:2012), 7 20 Ibid Paul Enns, hal.65 kehidupan Nasional Yahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan penting. Disamping tempat ibadah, orang Yahudi juga memiliki kalender tahunan untuk upacara agamawi. Diantaranya yang amat penting adalah : Hari Raya Paskah (Kel. 12:23-27), Hari Raya 21 Perdamaian (Im. 16 : 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi (Kel.12:14-20). Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari Raya agama lainnya. Ibadah di Sinagoge terdiri dari : Shema, doa, pembacaan Kitab Suci dan penjelasannya. Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban agama, yakni perintahperintah Tuhan (pbd. Ul.11:8-11). Jadi, pada hakekatnya ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah, akan tetapi adalah mencakup pelaksanaan kewajiban agama, seperti : sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, torat dan doa. Dengan demikian, ibadah juga harus mengandung makna bagi hidup susila. Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26; kel. 33:9-34:8). Tapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I Taw 29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah 21 . Philip J. King, “ life in biblikal Israel”( Bpk Gunung Mulia, Hal 93-95) adalah yang utama. Terlepas dari korban-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi. 6:6-8). Tapi banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur 93; 95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkannya untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ul 11:13) dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh. Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk menyatakan diriNya. Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas dari fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari: 1. Shema ; 2. Doa-doa ; 3. Pembacaan Kitab Suci ; 4. Penjelasan. Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua kebaktian-kebaktian harian, sabat, perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa, serta pujian dan buku puji-pujian memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan faktor amat penting dalam kehidupan nasional Yahudi.22 Alkitab menunjukkan bahwa ibadah secara mendasar adalah merupakan satu respons sebagai pribadi atau sebagai jemaat kepada perbuatan Allah yang Mahatinggi. Pola ini dapat ditemukan di dalam Alkitab sebagai berikut; Allah yang Mahakuasa bertindak atas nama umat Allah; umat Allah berespons dengan ucapan syukur dan pujian; Allah menerima tindakan ibadah mereka. Pola ini secara konsisten dapat ditemukan di dlam seluruh bagian Alkitab, dengan titik pusat kebenarannya adalah di dalam ibadah, Allah adalah inisiator. Atau dengan kata lain, ibadah adalah satu respons manusia kepada inisiatif Allah. Ekspresi ibadah dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan dalam kisah pemanggilan Abraham sebagai Bapak bangsa-bangsa. Panggilan Abraham disertai janji-janji berkat Allah seperti kemasyuran, pengaruh, keturunan dan pemilik tanah. Sebagai respons Abraham terhadap janji-janji ini, Abraham menyembah Allah dengan membuat mezbah (Kej. 12:7-8; 13:18). Dan mempersembahkan kurban (Kej. 15:1-11; 22:13-14). Kemudian juga ketika Nuh keluar dari bahtera setelah Air Bah tindakan pertamanya adalah membangun mezbah dan beribadah kepada Tuhan (Kej. 8:20) ini merupakan catatan pertama di Perjanjian Lama tentang ibadah kepada Tuhan melalui korban penumpahan darah di atas mezbah. Persembahan korban bakaran kemudian dinyatakan sebagai korban persembahan (Im. 1:1-7) Selanjutnya dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, ibadah mejadi dasar dan sebagai blueprint untuk semua bentuk ibadah masa depan. Allah 22 J. D. Douglas,Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, (YKBK/OMF), 409 menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan adalah peristiwa penting dalam Perjanjian Lama. Inilah salib dan kebangkitan dalam Perjanjian Lama yang digenapi di dalam Perjanjian Baru. Keluaran telah memberikan kepada Israel beberapa jalan untuk beribadah kepada Allah. Ekspresi utama termasuk mempersembahkan korban binatang pada Paskah (Kel.12:1-28), mempersembahkan semua yang sulung atau pertama lahir kepada Tuhan menjadi milik Tuhan (Kel.13:1-2), dan menyanyikan puji-pujian dengan sorak sorai dan penuh kemenangan yang dipimpin oleh Musa dan Miriam (Kel.15:1-21). Di Gunung Sinai Allah menentukan tiga hari raya yang harus diadakan dalam rangka mempersembahkan ibadah kepada Allah setiap tahun. Pertama, hari raya roti tidak beragi, kedua, hari raya menuai dan ketiga, hari raya pengumpulan hasil (Kel.23:14-19). Perintah ini telah tertanam di dalam kesadaran umat Tuan bahwa ibadah melibatkan pengertian waktu yang kudus. Kemudian pertemuan Allah dengan Musa, Harun, Naab dan Abihu dan tujuh puluh tua-tua Israel di Gunung Sinai (Kel.24:1-8) adalah bagian penting. Ini adalah pertemuan antara Allah dan Israel. Pertemuan ini berisi struktur elemenelemen dasar bagi pertemuan antara Allah dan umat-Nya. Elemen-elemen ini sangat penting bagi ibadah umum, yang kemudian akan ditentukan detailnya dalam ibadah Yahudi dan Kristen. Selanjutnya Webber mengemukakan ada lima elemen, yaitu: Pertama, ibadah adalah pangilan Allah. Allah yang memanggil umat-Nya untuk bertemu dengan-Nya; Kedua, Umat Tuhan diatur dalam satu tanggungjawab terstruktur. Artinya ada yang bertanggungjawab. Musa adalah pemimpin. Tetapi untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya adalah tugas Harun, Nadab, Abihu. 70 tua-tua Israel, pemuda dan umat. Dengan kata lain, elemen kedua adalah soal partisipasi dalam ibadah; Ketiga, pertemuan antara Allah dan Umat bersifat proklamasi Firman. Allah berbicara kepada umat-Nya dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Hal ini berarti ibadah belumlah lengkap tanpa mendengar Firman Tuhan; Keempat, umat setuju dan menerima perjanian dengan syarat-syaratnya yang memberi makna kepada komitmen umat secara subjektif untuk mendengar dan taat kepada Firman Allah. Dengan kata lain, aspek penting dalam ibadah disini adalah pembaharuan komitmen pribadi secara terus-menerus. Di dalam ibadah umat Tuhan membaharui janji yang telah ada antara Allah dan umat-Nya sendiri; Kelima, puncak hari pertemuan itu ditandai dengan symbol pengesahan, satu materai perjanjian. Dalam Perjanjian Lama Allah selalu menggunakan darah korban sebagai materai hubungan-Nya dengan manusia. Pengorbanan ini menunjuk kepada korban Yesus Kristus. Dengan demikian Allah adalah pusat ibadah Perjanjian Lama. Umat Tuhan atau manusia beribadah adalah sebagai respons dalam ucapan syukur kepada karya Allah di dalam hidup manusia. Kehidupan umat percaya dalam Perjanjian Lama sangat memberikan dampak yang baik bagi kita untuk kehidupan bergereja pada zaman sekarang ini. Kebanyakan kita hanya mengerti bagaimana kita pergi ke gereja dan pulang dengan membawa pengertian yang baru dari firman yang dijelaskan oleh pendeta. Namun kita tidak pernah memaknai apa arti dari ibadah yang kita laksanakan itu., untuk itu kita perlu mencontohi cara hidup umat perjanjian lama atau nabi-nabi yang ada dalam perjanjian lama, supaya kerohanian kita bisa bertumbuh dengan baik. Allah pernah memberi perintah kepada kita untuk menjadi anggota anggota dalam persekutuan. Perjanjian Lama mencatat bangsa Israel setiap tahun mempunyai banyak hari raya, pertemuan kudus dan hari peringatan tradisional. Allah dengan jelas berfirman, "Kamu adalah umatKu. Kamu harus datang ke hadapanKu mempersembahkan diri untuk beribadah kepadaKu".(Imamat 23). Bila memasuki ibadah dalam persekutuan orang Kristen, jemaat telah mengambil bagian dalam empat fungsi ibadah: perayaan, pendidikan, pertobatan dan penyerahan diri. Ibadah merupakan suatu perayaan. Dari ibadah bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan ibadah jemaat dalam Perjanjian Baru, sampai ibadah jemaat gereja masa kini, seluruhnya meninggikan dan merayakan kuasa abadi dan kasih setia Allah. Melalui Yesus Kristus menyelesaikan karya besar penyelamatan dan penebusan umat sederhana, juga merayakan karya ajaib Roh Kudus hingga kini, melalui jemaat memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Dalam ibadah terdapat pendidikan. Dalam ibadah Allah berfirman kepada kita melalui Roh Kudus. Dia membimbing kita ke jalan yang benar. Tatkala Firman Tuhan dibacakan, diceritakan atau disampaikan, Roh Kudus juga berkarya menggerakkan kita, berfirman kepada kita, mendidik dan membimbing kita agar kerohanian kita dapat bertumbuh. Dalam ibadah kita sadar akan dosa kita dan bertobat. Mendengar Firman Tuhan dalam ibadah, jemaat memberi respon terhadap Firman Allah biasanya berupa puji-pujian dan perayaan. Tetapi ada juga respon lebih khusus yakni kesadaran akan dosa dan pertobatan pribadi. Contohnya, ketika nabi Yesaya melihat Kemuliaan Allah, dia menyadari kenajisan dan dosa dalam dirinya. Maka dalam hal ini tata ibadah meruapakan salah satu unsur untuk memberikan pertumbuhan iman jemaat. Dari penjelasan diatas dapat di lihat bahwa bagian dari tata ibadah itu diantarnya: doa, Pujian, Persembahan (korban), pemberitaan Firman Allah. 3. Asal usul Ibadah Kristen Gereja-gereja seringkali menggunakan istilah “liturgi” untuk menerjemahkan ibadah. Namun, istilah liturgi itu sendiri mula-mula justru memiliki arti profan-politis. Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani leiturgia yang terbentuk dari akar kata benda ergon yang berarti karya dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa atau rakyat. Dalam dunia Yunani Kuno. Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat; dilakukan demi kepentingan kota atau negara. Tindakan ini menunjuk kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara. Hal ini berarti bahwa liturgi melibatkan pelayanan yang diberikan secara sukarela.23 Namun, dalam perkembangannya “liturgi” semakin kehilangan arti politis dan mendapat arti yang baru yaitu arti kultis, yang saat ini seringkali disebut sebagai pelayanan ibadah (kultus) kepada dewa-dewa/Tuhan yang biasanya 23 James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 13-14 melibatkan persembahan korban dan hymnus (nyanyian pujian kepada dewa atau Tuhan). Ibadah yang diketahui dan dilakukan oleh gereja-gereja masa kini tidak terlepas dari tradisi umat Yahudi. Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) mencatat bahwa tradisi gereja saat ini dalam kaitannya dengan ibadah atau liturgi berakar dari tradisi, budaya dan dogma Yahudi. Tradisi Yudaisme yang mempengaruhi tradisi gereja masa kini terlihat dari penggunaan tata waktu ibadah, tempat ibadah dan perayaan liturgi yang diambil dari pola ibadah Yahudi, seperti gereja mengutamakan peribadahan pada hari pertama atau sejajar dengan hari Minggu, daripada hari ketujuh atau sejajar dengan hari Sabtu. Orang Kristen mula-mula juga menggunakan Bait Allah, Sinagoge dan rumah tangga untuk beribadah. Begitu juga dengan tata waktu ibadah harian, mingguan, tahunan, dan berbagai perayaan liturgi diadopsi dari pola ibadah Yahudi. Peribadahan yang dilakukan gereja masa kini juga mengikuti cara peribadahan Israel yang bersifat monoteis.24 B. Moral Anak Pada bagian ini penulis membahas mengenai moral anak, agar mendapat pengertian yang utuh mengenai moral anak, penulis memulai dengan pengertian moral, lalu pengertian moral anak, dan pola pembentukan moral anak. 24 Rasid Rachman. Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hlm 5-6 1. Pengertian Moral Menurut Lillie kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat ( Pratidarmanastiti, 1991). Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilainilai susila (Grinder, 1978). Sedangkan Baron, dkk. (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.25 Moral sangat berhubungan dengan pola tingkah laku manusia dan kehidupannya mulai dari masa kecil sampai kepada dewasa. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Menurut Magnis-Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut Moralitas. Dia mengartikan moralitas sebagai sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (magnis-suseno, 1987).26 Sehingga dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari larangan atau nilai-nilai moral itu adalah : 1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, 2. Larangan mencuri, berzinah, membunuh, meminum-minuman keras dan berjudi. 25 C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral : Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004), 24 26 C. Asri Budiningsih, 25 Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Dalam hal ini yang menjadi peran penting adalah setiap individu yang menjalankan nilai-nilai moral tersebut. Memang hal tersebut berbeda dengan pendapat kohlberg yang dalam buku pembelajaran moral yaitu apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Ia menjadikan penalaran moral sebagai pusat kajiannya. Sebagai contoh seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perlikunya sama, tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam perilaku mereka. Sehingga kohlberg menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral thingking, dan moral judgement, sebagai istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan bergantian.27 Memang jika berbicara tentang moral lebih menekankan kepada alasan suatu tindakan daripada sekedar arti dari tindakan, maka muncul sebuah penilaian tindakan tersebut baik atau buruk. Pengertian akan ini semua memang membutuhkan penalaran yang baik, sebab moral memang pada intinya bersifat rasional atau masuk akal pikiran manusia. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang bersifat konstruksi kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntuntan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.28 Moralitas menjadi dasar kebaikan yang harus dilakukan setiap kelompok atupun individu. Mulai dari sinilah pentingnya pembelajaran mengenai moralitas itu dapat dimulai. 27 28 Ibid, hal. 24-25 Dr. C. Asri Budiningsih, Loc. Cit, hal. 25 Dalam buku pembelajaran moral dituliskan hasil penelitian Kohlberg (1980) yang menyatakan hal-hal sebagai berikut: 1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral lainnya. 2. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri 3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan universal bagi setiap kebudayaan. 4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh faktor kognitif atau kematangan intelektual.29 Inilah hal yang menarik tentang moral karena segala sesuatu bersifat secara universal. Sebab tidak hanya terdapat satu moral saja tapi berbagai bidang tentang moral ada dan semuanya dapat masuk kedalam pelajaran tentang moralitas. Penalaran ataupun penjelasan tentang moral tidak di dapat dengan sendirinya tapi semuanya itu diperlukan pembelajaran dalam setiap agama. Sebab setiap agama pasti menghasilkan moral yang baik kepada setiap pengikutnya. Moral memiliki tahap perkembangan yang dijelaskan menurut Kohlberg (1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan yaitu: 1. Tingkat Pra-Moral atau pre-conventional, 29 Ibid, hal. 27-28 2. tingkat conventional, dan 3. tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan tiga tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu : 1. tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun, 2. tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4- 8 tahun, dan 3. tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.30 Dan setiap tahapan ini tidak akan mungkin turun ke tahap sebelumnya. Jadi peningkatan tahapan terjadi seiring dengan peningkatan umur setiap individu. Pada tahap-tahap inilah perlu pengajaran yang baik dan jelas mengenai moral, sebab pengetahuan akan moral ini akan membawa pengaruh kepada pembelajaran agama. 2. Pola Pembentukan Moral Anak Penulis telah menjelaskan dalam keterangan tentang moralitas anak dan juga remaja memang kedua hal ini bila disatukan akan menjadi suatu persoalan yang harus dipecahkan. Kedua masalah ini menjadi masalah yang penting bagi kehidupan manusia dan juga bagi kehidupan keluarga. Sehingga tidak mengherankan lagi remaja dan moralitas saling mempengaruhi untuk menjadikan seorang remaja yang baik dan mengenal Tuhan dengan baik. 30 Ibid, hal. 28 Di dalam hal ini diperlukan interaksi sosial,interaksi sosial menurut Bonner (dalam gerungan, 1991) yaitu suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya. 31 Disinilah perlunya interaksi sosial yang serba saling mempengaruhi setiap individu untuk saling mendukung dan membangun. Perkataan tentang moral tidak bisa terlepas dari norma-norma yang berlaku atau dapat dikatakan norma-norma ini adalah kesimpulan dari moralitas. Didalam kelompok sosial terdapat norma-norma kelompok sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku anggotanya pada berbagai situasi sosial. Pada mulanya seorang anak mengindentifikasi dirinya dengan orang-orang tertentu seperti orang tua, juga dengan orang-orang lain yang dianggap “ideal” seperti gurunya, kawannya, atau tokoh-tokoh masyarakat yang ia kagumi.32 Melalui ini semua dapat diperhatikan bahwa seorang remaja tidak dapat bertumbuh dalam rohani dengan sendirinya. Disinilah peran orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi moralitas bagi remaja. Setiap remaja masih perlu dibimbing oleh orang tua, sehingga upaya orang tua menciptakan situasi dan kondisi bermuatan nilai moral, pada dasarnya adalah mengupayakan anak mempunyai kesadaran dan berperilaku taat moral yang secara otonom berasal dari dalam diri sendiri.33 Ini bukanlah tugas yang mudah buat para orang tua dan para pendidik remaja. Agar “model ideal” perbuatan 31 Dr. C. Asri Budiningsih, Op. Cit, hal. 56 Ibid, hal. 65 33 Dr Moh. Shochib, Pola Asuh orang Tua: Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 33 32 orang tua atau pendidik secara otonom dimiliki anak, terlebih dahulu perlu pra kondisi moral, yang meliputi : penciptaan keterbukaan (anak) dalam identifikasi diri; kemampuan untuk menerima diri; menerima model-model moral; formasi kematangan kata hati; dan pengalaman berhasil dan sukses. Keputusan moral anak sangat dipengaruhi oleh tingkat dan kualitas pengkondisian moral, pendidikan moral, kata hati, dan superego.34 Faktor dari para model ini menjadikan pengaruh moralitas bagi remaja sekarang ini. a.Pembentukan orang tua atau keluarga Pada hakekatnya pra orang tua mempunyai agar anak-anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang baik dan yang tidak baik. Sehingga orang tua harus mengetahui faktor yang jelas dapat mengubah anak remaja. Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula dengan aspek moral dari anak remaja. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial.35 Sehingga inilah yang di sebut dengan keluarga dan di dalam keluarga inilah terdiri dari berbagai tingkatan umur. Di dalam keluarga yang berperan penting adalah orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu. Jadi dapat di katakan orang tua menjadi tujuan tempat keluarga ini. Tapi sebelum terbentuk sebuah keluarga yang di dalamnya ada orang tua maka harus di dahului dengan 34 35 Ibid, hal. 33 www.google.com/ Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas pernikahan. Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu ini harus menjalani pernikahan yang disahkan oleh agama dan negara. Pernikahan yang diberkati dan disaksikan oleh para rohaniawan, pejabat catatan sipil dan keluarga serta masyarakat adalah pasangan yang dipersatukan dihadapan Allah dan karena itu harus bersifat abadi.36 Sebab dalam pernikahan dua manusia, dua pribadi akan dipersatukan dalam suatu ikatan yang diabadikan melalui berbagai tata cara, antara lain melalui agama.37 Melalui pernikahan inilah terbentuk keluarga dan setelah mereka punya anak baru dikatakan orang tua. Penulisan tentang orang tua juga tidak mungkin lepas dari yang namanya keluarga. Sebab pengertian akan kedua hal ini memiliki pengertian yang erat yang tidak mungkin dapat dipisahkan sebab keluarga dan orang tua menjadi kesatuan yang erat. Pada umumnya keluarga memang besar nilainya bagi manusia, ilmu sosiologi menjunjung keluarga sebagai kesatuan pokok bagi seluruh masyarakat.38 Sehingga orang tua menjadi kesatuan dalam masyarakat sosial. Yang akan di akui oleh seluruh masyarakat. Sehingga dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri, sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang 36 Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan keluarga. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 196 37 Ibid, hal. 197 38 E.G. Homrighausen, Op. Cit, hal. 128 dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri.39 Panggilan terhadap kata “orang tua” ini terjadi bila mereka telah memiliki anak. Sebab sebelum mereka dipanggil orang tua biasanya mereka hanya di sebut sebagai suami istri. Memang tidak semua suami istri dapat langsung menjadi orang tua. Banyak juga suami istri yang harus menunggu lama ataupun tidak dapat memiliki anak. Memang untuk menjadi orang tua tidak sembarang orang mendapatkan gelar tersebut, tapi yang namanya suami istri pasti menginginkan mendapat julukan orang tua. Sebab inilah salah satu tujuan pernikahan. Keutuhan dari orang tua (ayah dan ibu) merupakan dasar yang paling tepat dalam mengembangkan karakter dan kedisiplinan dari anak mereka. Orang tua harus memiliki tujuan dalam membina sebuah keluarga, dan memiliki program tersendiri dalam mendirikan keluarga mereka. Setelah penulis menjelaskan tentang hakekat orang tua dan ternyata orang tua dan keluarga menjadi kesatuan yang utuh. Dan Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa keluarga terbentuk apabila seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, maka keduanya menjadi satu daging dan dipersatukan Allah dan tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:5-6). Keluarga dibentuk melalui pernikahan suami istri, setelah itu bila dikaruniakan anak kepada mereka, mereka menjadi orang tua dan keluarga tersebut akan 39 Dr. Moh. Shochib. Pola Asuh Orang Tua: Dalam membantu Anak Mengembangkan displin diri, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 17 bertambah jumlahnya.40 Sebab kehadiran anak dalam keluarga merupakan berkat dari Tuhan sehingga mereka mendapatkan julukan baru yaitu orang tua. Firman Tuhan menjadi dasar yang paling utama dalam keluarga Kristen. Sebelum memasuki orang tua dalam PAK, penulis memberitahukan dahulu dasar paling penting adalah kasih. Sehingga hubungan suami istri dengan Tuhan dapat digambarkn dalam jalinan kasih segitiga suci “Aku mengasihi dia, dia mengasihi aku, aku dan dia mengasihi Dia”41 Allah Kasih Kasih Suami Istri Jalinan segitiga inilah yang harus mendasari hubungan suami istri dalam keluarga. Mengasihi Tuhan Allah mempunyai kedudukan yang terutama atau prioritas tertinggi, sedangkan mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri kedudukannya sejajar, aplikasi dalam keluarga adalah kasih kepada Tuhan Allah harus mengalahkan kasih antara suami dan istri. Sedangkan kasih suami istri kedudukannya sejajar dengan kasih kepada diri sendiri. Melalui penjelasan tersebut dengan nyata sekali dalam kehidupan kekristenan setiap keluarga harus memiliki pendidikan tentang kekristenan yang mengajarkan semua tentang Allah dan Kristus. Pendidikan Agama Kristen memang harus diajarkan kepada orang tua sehingga 40 41 kehidupan selanjutnya Paulus L. Kristianto, Op. Cit, hal. 140 Ibid, hal. 143 tidak menjadi sia-sia. Menurut Dien Sumiyatiningsih, G.D. dalam bukunya Mengajar dengan kreatif dan menarik menjabarkan 3 tujuan pendidikan warga yaitu: “a. Adanya proses menuju pertumbuhan dan kedewasaan penuh di dalam kristus. Artinya, ada perubahan atau transformasi karena kuasa Allah melalui pengajaran firmanNya. b. Kedewasaan juga harus diungkapkan dalam relasinya dengan sesama warga jemaat. Tujuannya adalah agar tercapai kesatuan. c. Kedewasaan di dalam kristus mencakup ranah kognitif,yaitu pengenalan dan pengertian; ranah afektif, yaitu pemahaman dan keberanian untuk mempertaruhkan diri kepada Allah karena kasihNya; dan ranah psikomotorik, yaitu melayani jemaat agar jemaat dapat bertumbuh dalam kebersamaan.42 Memang tujuan itu kepada tertulis kepada jemaat tapi dapat di aplikasikan kepada orang tua yang akan belajar tentang PAK Sehingga tujuan mereka belajar itu menjadi jelas. Pendidikan Agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh pendidikan lainnya dalam masyarakat umat Tuhan pada jaman Perjanjian Lama. Teringatlah kita pula akan surat yang dikirim nabi Yeremia dari Yeruslem kepada para pemimpin bangsa Yahudi yang ada dalam tawanan di babel. Dalam surat itu diajaknya mereka, supaya membangun rumah, membentuk rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak-anak, dalam rasa takut akan Tuhan, supaya umat Tuhan jangan mati merana, melainkan tetap berbiak dan berkembang karena justru dalam keluarga Yahudi itu terletak harapan dan jaminan akan masa depan yang hendak didatangkan Tuhan kelak.43 Keluarga Kristen sudah diajarkan sejak semula untuk mulai belajar tentang Tuhan dari bangsa Israel karena merekalah bangsa yang pertama mengenal Tuhan secara baik 42 43 Dien Sumiyatiningsih, G.D. Th.MA, Op. Cit, hal. 33-34 E.G. Homrighausen, Op. Cit, hal. 130 Faktor individual dan lingkungan lainnya disekitar kehidupan si anak, dapat pula mempengaruhi perkembangan tingkah laku tersebut. Jadi dapat dikatakan bawa orang tua bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi perkembangan moral anak, namun orang tua dapat mengarahkan perkembangan moral anak sejauh mungkin, dengan menyadari akan peranannya yang besar dalam kehidupan anak.44 Sehingga orang tua harus terus memantau perkembangan anak remaja mereka, apalagi jaman sekarang yang penuh dengan permasalahan dan perkembangan jaman yangsangat cepat. Untuk itulah orang tua memerlukan sikap yang baik terhadap para remaja mereka. Sekarang dapat diperhatikan dalam Perjanjian Baru ternyata banyak juga keluarga yang menuruti akan firman Tuhan, sebagai contoh keluarga Yusuf dan Maria dan juga rumah tangga tiga bersaudara maria, martha, dan Lazarus, keluarga Lidia dan keluarga Timotius dan rumah tangga Kristen lainnya. Melalui contoh tersebut ternyata sudah banyak keluarga kristen yang menghasilkan anakanak yang luar biasa. Dan yang pastinya hal tersebut tidak akan terlepas dari pengajaran orang tuanya terhadap anak-anak mereka. Sekarang penulis akan memasuki pengajaran yang diterima orang tua yang diajarkan kepada anak mereka. Dalam buku psikologi perkembangan anak dan remaja dituliskan beberapa sikap yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak-anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus pula dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu yang lain. 44 Dr. Singgih D. Gunarsa dan Dra. Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal. 62 2. Sikap orang tua dalam keluarga: bagaimana sikap ayah terhadap ibu atau sikap ibu terhadap ayah, bagaimana sikap orang tua terhadap saudarasaudaranya, terhadap pembantu rumah tangga, terhadap sopir, dll, semua ini merupakan contoh-contoh yang nyata dan dapat dilihat anak setiap hari. 3. Penghayatan orang tua akan agama yang dianutnya: orang tua yang sungguh-sungguh menghayati kepercayaannya kepada Tuhan, akan mempengaruhi sikap dan tindakan mereka sehari-hari. 4. Sikap konsekuen dari orang tua dalam mendisiplin anaknya: orang tua yang tidak menghendaki anak-anaknya untuk berbohong, bersikap tidak jujur, harus pula ditunjukkan dalam sikap orang tua sendiri dalam kehidupan sehari-hari.45 Memang dalam hal ini faktor orang tua menjadi pendukung yang paling utama dalam pengaruh anak terhadap moralitas. Banyak faktor yang berhubungan dengan moral remaja, antara lain faktor pribadi, faktor keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun faktor sekolah dan lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk perilaku remaja. Pada tahap perkembangan awal sebagian besar waktu anak pada umumnya dihabiskan di lingkungan rumah atau dalam pengawasan keluarga. Ini berarti bahwa perkembangan mental fisik dan sosial individu ada di bawah arahan orang tua atau terpola dengan kebiasaan yang berlaku dalam rumah tangga. Sesuai dengan keterangan di atas orang tua menjadi pelaku yang harus di tiru dan diperhatikan oleh anak remaja mereka. Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan moral remaja, salah satunya adalah faktor keluarga. Keluarga, dalam hal ini orang tua yang terdiri dari perpaduan antara peran ayah dan peran ibu. Secara alamiah para ibu sangat berperan dalam hal pengasuhan anak, karena ibu yang mengandung dan melahirkan anaknya. Oleh karena itu, para ayah cenderung kurang terlibat dalam 45 Ibid, hal. 62-63 pembinaan anak karena tugas ayah lebih banyak mencari nafkah di luar rumah. Berdasarkan pernyataan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai pengaruh keterlibatan ayah terhadap moral siswa dan faktor lainnya yang memengaruhi moral siswa. Faktor lainnya yaitu urutan kelahiran anak, jumlah saudara, keikutsertaan kegiatan di luar jam sekolah, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendapatan ayah, dan jam kerja ayah. Jika keterlibatan ayah terhadap putranya tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap moral putranya. b.Pembentukan Moral dalam Lingkungan sekolah Terdapat faktor negatif yang mempengaruhi remaja dalam hidup pergaulan. Fidelis E. Waruwu. dan Urbanus Ura Weruin dalam penelitiannya memberikan beberapa kesimpulan tentang faktor negatif yang terjadi pada anak remaja yaitu : Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik. 1. Pengaruh lingkungan yang tidak baik Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk. 2. Tekanan psikologi yang dialami remaja Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan. 3. Gagal dalam studi/pendidikan Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya. 4. Peranan Media Massa Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya. 5. Perkembangan teknologi modern Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.46 Memang faktor negatif di atas akan membuat para remaja menjauhi dari moral kekristenan yang diajarkan oleh guru PAK. Permasalahan inilah yang harus diperhatikan oleh orang tua sebagai individu yang paling dekat dengan anak remaja tersebut. Dan orang yang mendukung juga adalah guru PAK yang berada disekolah mereka masing-masing. Orang tua harus memiliki pengetahuan akan PAK seperti yang sudah dijelaskan pada pokok sebelumnya. Melalui faktor negatif inilah peran ayah dan ibu dipertanggung jawabkan dengan baik. Mereka bukan saja melahirkan saja tapi juga orang tua harus membimbing anak-anak mereka ke dalam moralitas yang baik. Dan disekolah guru menjadi faktor pelengkap dalam membimbing anak-anak remaja dalam hal moralitas. 46 Fidelis E. Waruwu, M.Sc. dan Drs. Urbanus Ura Weruin. Dalam www.google.com / faktor terhapap anak remaja Penulis akan memberikanjuga factor positive dari moralitas yang dimiliki oleh remaja yaitu: 1. mendidik dalam pengertian konsep-konsep moral 2. pengulangan bagi tingkah laku yang benar 3. konsistensi terhadap aturan 4. Nilai-nilai moral berguna bagi diri dalam mentaati aturan. Dengan mempelajari faktor negatif dan positif dari kelebihan dan kekurangan dari remaja yang mempelajari moral. Dan kesimpulan yang di dapat ternyata positif dari mempelajari moralitas dalam kehidupan remaja akan membawa remaja kepada aturan hidup yang baik. c.Pembentukan Moral melalui lingkungan Gereja Sebagai contoh pengajaran yang diberikan kepada para orang tua adalah tentang peneguhan nikah. Gereja seharusnya tetap berusaha membantu dan memimpin keluarga itu secara terus menerus. Gereja juga bertanggung jawab terhadap memberikan pengajaran kepada pemimpin keluarga. Sehingga tugas kepemimpinan gereja adalah memberikan pengajaran supaya semua anak dari keluarga jemaat rajin mengunjungi sekolah minggu dan pengajaran agama lain. Sehingga ajaran yang diberikan kepada orang tua menjadi jelas dan diterima oleh keluarga tersebut. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini, penulis akan mengemukakan mengenai metodologi penelitian yang membahas Sembilan pokok pembahasan, yakni: tujuan penelitian, tempat dan waktu penelitian, paradigma penelitian, pendekatan dan metode penelitian, fokus penelitian, pertanyaan penelitian, prosedur pengumpulan data dan perekaman data, analisis data, serta pemerikasaan keabsahan data (Triangulasi) A. TUJUAN KHUSUS PENELITIAN Sebagaimana yang telah dikemukakan di Bab I, maka penelitian ini adalah bertujuan untuk menganalisis Pembentukan Moral di Pantiasuhan Agape Yayasan Pelita bangsa Batam terkonsentrasi pada ibadah sebagaimana dilaksanakan oleh Kristen. Untuk itu secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh pemahaman dan pengalaman anak panti mengenai pembentukan Moral 2. Untuk memperoleh pemahaman yang sesungguhnya mengenai pelaksaanan ibadah dalam pembentukan moral anak di Pantiasuhan Agape Yayasan Pelita Bangsa Batam A.Metode Penelitiaan Penelitian Lapangan ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. “Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”47. Menurut Nasution (2003:5) penelitian kualitatif adalah “48mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat mereka tentang dunia sekitar, kemudian Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 60) menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendiskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun kelompok. Kemudian menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain. Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata. ( Patton dalam Poerwandari, 1998). B.Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, Subjek penelitian menurut Amirin (1986) merupakan seseorang atau sesuatu mengenai yang mengenainya ingin diperoleh keterangan. Menurut Suharsimi Arikonto (1989) memberi batasan subjek penelitian sebagai benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian memiliki peran yang 47 Lexy Moleong, 2007 hal 4) http://eprints.uny.ac.id/9718/3/Bab%203%2007104241010.pdf....................................08/08/2014 48 sangat strategis karena pada subjek penelitian, itulah data tentang variabel yang penelitian akan amati. Kesimpulan dari kedua penngertian diatas Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Pada penelitian kualitatif, responden atu subjek penelitian disebut dengan istilah informan, yaitu orang memberi informasi tentang data yang diinginkan peneliti berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakannya. atau dapat pula disebut sebagai subjek penelitian atau responden (kuantitatif). Subjek penelitian ini adalah anak asuh pantiasuhan agape. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 18 orang. No Nama Jenis Kelamin 1 L 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Alwis Saut Mangupuli Benedikta Asti Daeli Evi Fitri Ferawati Nada Lista Rio setia Adrian S Leonardo Maria Margaretha Adrival Saogo Michael saogo Elvanus Samoylosa Wendra Martono Saogo Tempat Lahir Kelas Umur Beleraksok 7 15 P Simandraolo 6 12 P Beleraksok 6 13 P Beleraksok 6 12 L Pontianak 6 12 L Beleraksok 2 8 L Beleraksok 0 5 P Flores 7 14 L Mentawai 2 9 L Mentawai 0 7 L Mentawai 5 5 L Mentawai 7 14 13 14 15 16 17 19 20 Ade Sutomo Sipalakkai Anjas Kristoper S Firdaus saogo Teofilus Yadiana Mely Julius Jon Kristoper L Mentawai 7 14 L Mentawai 7 13 L Mentawai 12 18 L Nias 1 8 P Simandraolo 5 14 p Beleraksok 4 9 L Simandraolo 1 7 C.Tahap-tahap penelitian Dalam penelitian terdapat dua tahap penelitian, yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancarara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Untuk itu sebelum wawancara dilaksanakan peneliti mendekati dan memperhatikan supaya dapat diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti berusaha mewawancarai subjek tersebut hingga bisa diwawancarai. 2.Tahap pelaksanaan penelitiaan Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan wawancara dalam bentuk verbatim tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. D. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu : 1. Wawancara Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tampa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998) Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara : a. Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. b. Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu. c. Menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Menurut Yin (2003) disamping kekuatan, metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : a. Retan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang penyusunanya kurang baik. b. Retan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai. c. Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat. d. Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh interviwer. 2. Observasi Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memehami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting, namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Dengan demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena : a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti akan atau terjadi. b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari. d. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara. e. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada giliranya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti. 3.Documentasi Adapun melalui documentasi adalah melalui foto, berupa Arsip E. Alat Bantu pengumpulan Data Menurut Poerwandari (1998) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat Bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 4 alat bantu, yaitu : 1. Pedoman wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2. Pedoman Observasi Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasrkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat berlangsungnya wawancara. 3. Kamera Kamera sebagai alat bantu pada saat kegiatan yang dibutuhkan peneliti bisa diabadikan. Untuk memberi penjelasan dan menjadi referensi dalam penelitian. F. Keabsahan dan Keajegan Penelitian Penelitian lapangan ini menggunakan penelitian pendekatan kualitataif. Yin (2003) mengajukan emmpat criteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut adalah Sebagai berikut : 1. Keabsahan Konstruk (Construct validity) Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastiaan bahwa yang berukur benar- benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau Sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton (dalam Sulistiany 1999) ada 4 macam triangulasi Sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu : a. Triangulasi data Mengguanakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memeiliki sudut pandang yang berbeda. b. Triangulasi Pengamat Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus bertindak Sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. c. Triangulasi Teori Penggunaan berbagai teori yang berlaianan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut. d. Triangulasi metode Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancra dilakukan. 2. Keabsahan Internal (Internal validity) Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat. Aktivitas dalam melakukan penelitian kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang berbeda. 3. Keabsahan Eksternal (Eksternal validity) Keabsahan ekternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memeiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitiaan kualitatif tetapi dapat dikatakan memiliki keabsahan ekternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut memiliki konteks yang sama. 4. Keajegan (Reabilitas) Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama, sekali lagi. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memeperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menujukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan pengolahan data. G. Teknik Analisis Data Marshall dan Rossman mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya : 1. Mengorganisasikan Data Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan. 2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. “Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif ini adalah analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta-fakta, data dan informasi. Jadi teknik analisis data kualitatif yaitu dengan menyajikan hasil wawancara dan melakukan analisis terhadap masalah yang ditemukan di lapangan sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian akan ditarik kesimpulan”49. B.Latar, Tempat, dan waktu Penelitian ini dilaksanakan disalah satu Pantiasuhan yang bernama Pantiasuhan Agape beralamat Perumahan Taman Cipta Asri II Blok Olive No 109 49 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30902/4/Chapter%20II.pdf..............................14/0 8/2014 dan 51 RT 03 RW 21 Kelurahan Tembesi Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Secara khusus penelitian diadakan dilingkungan anak asuh di Pantiasuhan Agape dimulai dari sebuah Yayasan yang bernama Pelita Bangsa Batam. Yayasan ini didirikan memiliki Visi dan Misi yang telah diberikan Tuhan kepada Yayasan Pelita bangsa Batam yang telah berdiri sejak tahun 2011, dan memulai sebuah pelayanan Sosial untuk membina, Menwujudkan Wadah Sosial yang mampu Memperlengkapi anak yang beraklah mulia dan melahirkan pemimpin yang mampu mengikuti perkembangan tehnologi baik rohani hingga mandiri Sejarah Berdirinya Pantiasuhan Panti Asuhan Agape adalah salah satu pelayanan sosial yang berada di bawah naungan Yayasan Pelita Bangsa Batam yang didirikan sebagai tindak lanjut pelayanan Tim Yayasan Pelita Bangsa Batam, yang melakukan pelayanan sosial pada saat terjadinya Tsunami bulan Oktober 2010 di Kepulauan Mentawai. Saat itu tim Yayasan Pelita Bangsa Batam terlibat dalam pelayanan kemanusiaan selama 2 bulan (dalam tiga tahap) untuk membantu masyarakat yang sedang menderita akibat badai Tsunami di Pulau Mentawai. Kami melihat banyaknya keluarga dan anak-anak yang mengalami penderitaan akibat bencana air bah tersebut. Hingga kehilangan keluarga, kehilangan harta, rumah hancur, gedung sekolah hancur, banyak anak-anak yang terlantar, yang akhirnya tidak sekolah. Apa yang dialami mereka akan berdampak kepada kemiskinan yang tidak bisa di hindari, terutama dalam bidang pendidikan dan kebutuhan sehari-hari. tidak bisa mengecap pendidikan karena orang tua mereka meninggal dunia, ditambah lagi dengan himpitan ekonomi yang semakin sulit, Dengan pertimbangan kemanusiaan maka kami mendirikan Yayasan ini di Perumahan Cipta Asri Blok Olive, No. 109. Tembesi pada tahun 2011 Selanjutnya kami memutuskan untuk mendirikan Panti Asuhan Agape pada pertama kalinya untuk menolong anak-anak yang menderita akibat badai tsunami tersebut dengan harapan agar anak-anak itu mencapai masa depan yang lebih baik. Salah satu visi dan misi utama kami mendirikan panti asuhan ini ialah untuk mengubah generasi-generasi bangsa ini agar mereka bisa menjadi generasi yang mandiri dan berpendidikan sehingga mereka bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik kedepannya. Harapan kami, lewat pendidikan yang mereka peroleh, masa depan anak-anak ini bisa berubah, sehingga mereka bisa berguna bagi bangsa dan Negara ini, dan juga bagi keluarga mereka sendiri serta kedepannya mereka bisa membangun kembali daerah asal mereka. Maka sebagai bentuk realisasi pada tahun 2011 kami membawa 4 anak dari mentawai dari tahun ke tahun anak kami menjadi 25 anak yang awalnya hanya dari Mentawai namun sekarang menjadi 25 anak. Sejak dimulai pelayanan ini dirintis sampai hari ini kami tidak memiliki Sponsor namun kami tidak pernah berkekurangan karena kami dalam pemeliharaan Tuhan itulah yang kami Syukuri kepada Tuhan. Selain itu legalitas panti/yayasan terdaftar Di Kementerian Hukum Dan Ham RI dan Terakreditasi Dari Kemensos RI dan terdaftar di Dinsos Provinsi dan Kota Batam.amin Profil Panti Visi : Menwujudkan Wadah Sosial yang mampu Memperlengkapi anak yang beraklah mulia dan melahirkan pemimpin yang mampu mengikuti perkembangan tehnologi baik rohani hingga mandiri Misi : 1. Menyiapkan generasi cerdas (baik secara spiritual, emosional, dan intelektual maupun secara mental, dan moral) kreatif, mandiri, dan dinamis 2. Menanamkan pola kehidupan agamis, sehat, inklusif, dan moderat serta peka terhadap lingkungan; 3. Membentuk dan membina kader penerus bangsa yang berdidikasi tinggi, siap secara ilmu dan agama, bertanggungjawab, serta konsen terhadap perkembangan dan kemajuan. MOTTO 1. Budayakan hidup manfaat bagi sesama 2. Tuangkan segenap kreatifitas dan kemampuan hingga menjadi sebuah inovasi 3. Dan jemputlah sukses tanpa kenal menyerah, yang mengantarkan pada kebahagiaan dunia akhirat SLOGAN “Berkat Tuhanlah yang membuat kamu Kaya Susah Payah tidak akan menambahi Pengurus: Pembina : Ardianto Lahagu Ketua Panti /Yayasan : Paskah Parlaungan Purba Sekretaris : Budiman Sitohang Bendahara : Ester Melati Pengawas : Velty C Program Kerja : Bidang-bidang Program Kerja 1. Pendidikan Pendidikan Formal (TK, SD, SMP, SMU/SMK) Non Formal (Kursus/Private : Matamatika, Bahasa Inggris, Komputer, Balai Latihan Kerja/Cipta Karya, Seni Suara, Tari, Musik,dsb.) 2. Bimbingan Mental Bimbingan Sosial Perseorangan Bimbingan Sosial Kelompok Ceramah-ceramah Gotong Royong Perayaan Hari-hari Khusus 3. Bimbingan Spiritual Ibadah Pagi pukul 05.00 wita (Doa Berama & Pemahaman Alkitab). Ibadah Sore pukul 18.00 wita (Doa Bersama & Pemahaman Alkitab). Ibadah Minggu Raya (di tempat Ibadah/Gereja). Perayaan Hari-hari Besar Agama Kristen. 4. Kesehatan dan Olahraga Diberikan Bimbingan Tentang Tata Cara Hidup Sehat. Dilaksanakan Check up Medis Berkala Serta Pengobatan Bila Ada yang Sakit. Kegiatan Olahraga Disamping Wajib di Sekolah Mereja Juga Mengikuti Kegiatan Olahraga Presatasi (Atletik, Tinju, Bela Diri, Panjat Tebing, Menembak, dsb.). Program Kerja Jangka Pendek : 1. Publikasi Panti Asuhan AGAPE secara maksimal via Internet (membuat Website, Facebook, Twitter,dsb.) 2. Menyediakan wadah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan anak-anak. 3. Mengupayakan Panti Asuhan AGAPE memiliki sponsor/donatur tetap. 4. Menjaga agar Panti Asuhan tetap terjaga rapi dan bersih serta bangunan yang ada terawat dengan baik. 5. Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang ada saat ini ditingkatkan lagi. 6. Membuat proposal untuk ruang serba guna, ruang makan, kamar mandi putra & putri, dan dapur. 7. Membuat proposal untuk pembelian tanah seluas 5 (lima) hektar untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk menuju Panti Asuhan mandiri. Program Kerja Jangka Menegah : 1. Pembelian tanah seluas 5 (lima) hektar untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP). 2. Pembangunan ruang serba guna, ruang makan, kamar mandi, dan dapur yang layak. Program Kerja Jangka Panjang (5 Tahun ke atas) :2018-2024 1. Apabila tanah dimaksud sudah terbeli, maka tanah tersebut akan dikelola untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang bertujuan menjadikan Panti Asuhan mandiri. 2. Mendirikan Unit Koperasi, dan pertokoan. 3. Membuka/mendirikan sekolah TK, SD, SMP, SMU/SMK. 4. Mendirikan Rumah Sakit. Ciri Khas Panti Asuhan : 1. Menjadi Panti Asuhan lintas budaya (mengasuh seluruh suku di Indonesia). 2. Mengembangkan karunia/talenta dan memberikan kesempatan kuliah dan bekerja (khusus bagi anak asuh yang berprestasi). 3. mempersiapkan anak-anak menjadi pendoa syafaat dan pelayan Tuhan; melayani di dunia skuler maupun gereja.