STUDI KASUS PATOLOGI INFEKSI PROTOZOA

advertisement
STUDI KASUS PATOLOGI INFEKSI PROTOZOA
Tetrahymena spp PADA IKAN HIAS
GUPPY (Poecilia reticulata )
FATMA DEWI PRAVITA PUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Patologi
Infeksi Protozoa Tetrahymena spp pada Ikan Hias Guppy (Poecilia reticulata )
adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Fatma Dewi Pravita Putri
NIM B04080100
ABSTRAK
FATMA DEWI PRAVITA PUTRI. Studi Kasus Patologi Protozoa Tetrahymena
spp pada Ikan Hias Guppy (Poecilia reticulata ). Dibimbing oleh DEWI RATIH
AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.
Penelitian ini bertujuan mempelajari kasus infeksi protozoa Tetrahymena
spp. yang ditemukan pada ikan Guppy (Poecilia reticulata), dengan mempelajari
morfologi parasit dalam irisan jaringan serta lesi yang ditimbulkannya. Sampel
yang digunakan adalah ikan hias Guppy yang terlihat sakit. Pengamatan gejala
klinis pada sampel ikan Guppy terlihat lesu, keseimbangannya terganggu sehingga
berenang secara vertikal. Pengamatan organ ikan dilakukan secara makroskopis
dan mikroskopis. Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa pada kulit
ikan terdapat lesi hemoragi pada dorsal dan lateral abdomen. Parasit protozoa
berada di jaringan kulit, otot dan insang. Protozoa teridentifikasi melalui
pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan berespon positif terhadap pewarnaan
Periodic Acid Schiff (PAS). Pemeriksaan morfologi protozoa menunjukkan
bentuk tubuh bulat pyriform, dengan ujung anterior menyempit. Protozoa tersebut
berukuran rata-rata sekitar 50,5 x 32,4 µm. Protozoa menyebabkan terjadinya
erosi, hemoragi di kulit, degenerasi dan nekrosa otot serta edema di insang.
Sedangkan pada hati ditemukan degenerasi lemak yang parah. Gambaran
histopatologi pada usus memperlihatkan adanya edema dan kongesti di mukosa.
Ikan ini dipelihara di akuarium sehingga menurunnya kualitas air atau
kontaminasi lewat pakan dan penanganan yang buruk diduga sebagai predisposisi
penyakit.
Kata kunci: ikan Guppy, protozoa ikan, Tetrahymena spp.
ABSTRACT
FATMA DEWI PRAVITA PUTRI. Case Study Pathology of Protozoan
Tetrahymena spp. Infection in the Freshwater Ornamental Fish Guppy (Poecilia
reticulata). Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI
ESTUNINGSIH.
The study was aimed to explore the protozoan Tetrahymena spp infection in
Guppy (Poecilia reticulata) fish, with intended to the morphology of parasites in
tissue sections and the resulting tissue lesions. Sample of diseased Guppy fishes
were used in the study. Observation of clinical symptoms of the Guppy were
revealed lethargic, vertical swimming and impaired equilibrium. The fish organs
were observed macroscopically and microscopically. The result of macroscopic
observation showed that there were excessive haemorrhage and ulceration at skin
particularly in the dorsal and lateral abdomen. Protozoan parasite in the skin,
muscles and gill tissues were identified by histopathological examination using
hematoxylin-eosin staining and positive responses to periodic acid Schiff staining.
Study of protozoan morphology revealed a spherical shape pyriform with a
narrow anterior end, have dimension in average 50.5 x 32.4 μm. The parasites
cause skin erosion, and hemorrhage, muscular degeneration and necrosis along
with gills edema. Severe fatty degeneration was presented in liver while there was
edema and congestion in the intestinal mucosa. As these fishes were been cultured
in the aquarium such disease is thought to be caused by the deterioration of water
quality, feed contamination or a poor handling.
Keywords: fresh water fish Guppy ; fish protozoan ; Tetrahymena spp.
STUDI KASUS PATOLOGI INFEKSI PROTOZOA
Tetrahymena spp PADA IKAN HIAS
GUPPY (Poecilia reticulata )
FATMA DEWI PRAVITA PUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Studi Kasus Patologi Infeksi Protozoa Tetrahymena spp pada Ikan
Hias Guppy (Poecilia reticulata )
Nama
: Fatma Dewi Pravita Putri
NIM
: B04080100
Disetujui oleh
drh Dewi Ratih A PhD, APVet
Pembimbing I
Dr drh Sri Estuningsih, MSi APVet
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia berupa
nikmat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Studi Kasus Patologi Protozoa Tetrahymena spp pada Ikan Hias Guppy
(Poecilia reticulata ).”
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Drh. Dewi Ratih Agungpriyono Ph.D,
APVet dan Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet selaku Dosen Pembimbing
Skripsi, serta Dr. drh. H. Trioso Purnawarman, M.Si selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan motivasi, saran dan bimbingan dalam kegiatan
akademik. Di samping itu, penghargaan Penulis sampaikan kepada Toko Ikanku
di Dramaga Bogor yang telah mengizinkan Penulis mengambil sampel ikan dan
memberikan informasi pada penelitian ini. Penghargaan Penulis sampaikan
kepada dr. Farmaditya Eka Putra M.Sc, Ph.D yang telah membantu dalam
pengumpulan data jurnal dan konsultasi penulisan karya ilmiah.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu atas segala doa
dan kasih sayangnya, serta orang-orang yang selalu mendukung dan membantu
Penulis dalam melakukan penelitian: drh. Mawar Subangkit, Bapak Kasnadi,
Bapak Sholeh, Mbak Kiki, dan seluruh staf Bagian Patologi FKH IPB. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang terkasih Penulis: Rahma,
Desray, Bolas, Susi, Jenny, Alvi, Mudita, dan teman-teman Avenzoar lainnya
yang tidak bisa Penulis cantumkan semua.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan penelitian lebih
lanjut untuk memperkaya ilmu pengetahuan di Indonesia. Akhir kata Penulis
memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan Penulis dalam karya ilmiah
ini.
Bogor, Januari 2013
Fatma Dewi Pravita Putri
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE PENELITIAN
4
Waktu dan Tempat
4
Alat dan Bahan
4
Metode Penelitian
5
Studi manajemen budidaya ikan hias
5
Pengambilan sampel
5
Transportasi sampel ke laboratorium
5
Pencatatan data sampel
5
Euthanasi
5
Nekropsi
5
Pemeriksaan patologi anatomi
6
Fiksasi
6
Pembuatan sediaan histopatologi
6
Pemeriksaan histopatologi
6
Identifikasi parasit protozoa
6
Analisis data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
7
7
Manajemen budidaya Guppy
7
Pengamatan gejala klinis
7
Pemeriksaan patologi anatomi
8
Pemeriksaan histopatologi
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
10
17
22
22
Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
27
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Poecilia reticulata
Sampel ikan Guppy berenang secara vertikal
Ikan Guppy mengalami lesi hemoragi pada kulit
Insang ikan Guppy terlihat pucat
Organ internal rongga abdomen ikan Guppy
Infiltrasi protozoa di kulit
Infiltrasi protozoa di otot
Protozoa berespon basofilik terhadap pewarnaan HE
Protozoa berespon positif terhadap pewarnaan PAS
Reaksi pigmentasi pada kulit
Infiltrasi protozoa dan udema di insang
Udema di insang
Gambar kongesti dan degenerasi lemak pada hati
Gambar akumulasi melanophore di serosa
Lesi udema dan kongesti pada usus ikan Guppy
Histopatologi Tetrahymena corlissi
3
8
9
10
10
11
12
13
13
14
14
15
15
16
16
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pembuatan dan pewarnaan sediaan histopatologi
25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar, terutama dalam perbendaharaan jenis-jenis ikan. Diperkirakan sekitar 16 %
spesies ikan yang ada di dunia hidup di perairan Indonesia. Menurut data, total
jumlah jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 7000 spesies.
Hampir 2000 spesies di antaranya merupakan jenis ikan air tawar (Khairuman dan
Amri 2011). Budidaya ikan hias di Indonesia sampai saat ini masih mengalami
kendala baik dalam hal pemeliharaan maupun pemasarannya. Masalah umum
yang ada pada dunia ikan hias adalah ketidakmampuan memenuhi permintaan
pasar yang cukup besar baik dari kuantitas maupun kualitas (Satyani 2003).
Dibandingkan dengan ikan konsumsi, peranan pemerintah dalam pengembangan
usaha budidaya ikan hias masih terbatas. Berdasarkan survei yang dilakukan,
kegiatan budidaya ikan hias masih terkonsentrasi di kota-kota besar dan
didominasi tangkapan dari alam (Gustiano et al. 2008).
Keberadaan ikan hias saat ini tidak lagi sebagai hiburan atau hobi semata
tetapi telah berkembang menjadi objek yang dimanfaatkan bagi kepentingan dunia
pendidikan, penelitian, medis maupun keperluan konservasi alam. Sampai saat ini
ikan hias air tawar merupakan salah satu jenis komoditas ekspor nonmigas bidang
perikanan yang mampu menyumbang devisa negara yang cukup besar (Gustiano
et al. 2008). Usaha budidaya ikan hias merupakan salah satu usaha yang
memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan
petani/pengusaha ikan hias. Peluang usaha dan potensi ekonomis budidaya ikan
hias lebih menggiurkan dibandingkan dengan ikan konsumsi. Dengan pola
pemeliharaan dan pemberian makanan yang hampir sama dengan ikan konsumsi ,
budidaya ikan hias mampu menghasilkan pemasukan yang lebih besar. Harga ikan
hias yang memiliki bentuk, warna, corak yang indah akan berharga cukup mahal.
Hasil budidaya ikan hias lebih menekankan kualitas sehingga bisa dilakukan di
lahan sempit dan bisa dilakukan sebagai usaha sampingan (Tinangon 2010).
Begitu banyak agen penyakit yang menyerang spesies ikan hias di
Indonesia. Beragam jenis penyakit pada ikan tersebut disebabkan oleh jamur,
bakteri, protozoa maupun virus. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
protozoa antara lain: Ichtyophthirius multifilis, Trichodina heterodentata,
Tetrahymena sp, dan Cryptocaryon, sedangkan beberapa penyakit yang
disebabkan oleh cacing antara lain: Lernaea sp., Argulus sp., Gyrodactylus sp.,
dan Dactylogyrus sp. (Alifuddin et al. 2002). Penyakit yang disebabkan cendawan
adalah Saprolegnia sp., Achlya sp.. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu
Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Mycobacteria sp., Columnaris sp., Flexibacter
sp., Myxobacteria sp., dan Edwardsiella sp.. Penyakit yang disebabkan oleh virus
adalah Infectious pancreatic necrosis, Channel catfish virus, Viral hemorrhagic
septicemia, Swim bladder inflammation, dan Koi Herpes Virus (Kordi & Ghufran
2004).
Menurut Supriyadi dan Hardjamulia (1986) untuk negara Indonesia masalah
penyakit ikan hanya terbatas menyerang ikan air tawar dan ikan hias, baik
penyakit parasit maupun non parasit. Penyakit ikan yang begitu banyak dan perlu
penanganan lebih lanjut serta dibutuhkannya tenaga yang ahli di bidangnya
2
termasuk dokter hewan yang memiliki peranan yang besar untuk mengatasi
penyakit-penyakit tersebut. Dalam mendukung semuanya itu perlu diterapkannya
ilmu patologi untuk dapat mengetahui lebih lanjut penyakitnya serta tata cara
penanganan penyakit tersebut. Pemeriksaan patologi pada ikan hias bertujuan
untuk mempelajari perubahan patologi anatomi dan histopatologi organ yang
dapat disebabkan oleh gangguan infeksius dan non infeksius. Manfaat dari
pemeriksaan patologi ini adalah dapat diperoleh informasi mengenai perubahan
patologi pada organ-organ ikan hias serta penyebabnya sehingga dapat digunakan
untuk strategi penanggulangan penyakit-penyakit pada ikan hias baik yang
bersifat infeksius maupun non infeksius.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kasus infeksi protozoa
Tetrahymena spp. yang ditemukan, dengan mempelajari morfologi parasit dalam
irisan jaringan ikan Guppy (Poecilia reticulata) serta melakukan analisa
patogenesa penyakit berdasarkan lesi histopatologi yang ditemukan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh data mengenai
kasus kejadian penyakit yang terjadi pada ikan Guppy (Poecilia reticulata). Selain
itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukkan untuk berbagai pihak yang
berkaitan dengan kesehatan ikan hias untuk mendukung manajemen pengelolaan
budidaya ikan hias
TINJAUAN PUSTAKA
Guppy (Poecilia reticulata)
Ikan Guppy (Poecilia reticulata) merupakan salah satu jenis ikan hias air
tawar yang paling populer dan diperdagangkan secara luas di seluruh dunia.
Berdasarkan klasifikasi biologi dari Peters (1859), Guppy termasuk dalam kelas
Actinopterygii, ordo Cyprinodontiformes, famili Poeciliidae, dan subfamili
Poeciliinae. Ikan ini termasuk dalam genus Poecilia dan berasal dari Barbados,
Trinidad, Venezuela dan Brazil (Amerika Selatan dan Tengah). Suhu air untuk
pemeliharaan ikan Guppy berkisar antara 25-27 O C dan pH yang sesuai untuk
ikan ini berkisar 7.0 - 8.0. Ikan Guppy dapat diberi pakan alami seperti cacing dan
kutu air serta pakan buatan. Ikan Guppy memiliki daya adaptasi yang tinggi
sehingga ikan Guppy mudah untuk dibudidayakan (Aryanto 1997; Jeffri 2010;
Anonim 2012).
3
Gambar 1 Poecilia reticulata (Sumber : Monks 2012)
Penyakit pada Ikan Guppy
Penyakit yang menyerang spesies ikan hias Guppy beragam. Beragam jenis
penyakit pada ikan tersebut disebabkan oleh jamur, bakteri, parasit maupun virus.
Pada tahun 2001, fungi Achyla bisexualis dilaporkan menginfeksi Guppy di
Thailand. Hasil penelitian tersebut menyatakan Achyla bisexualis merupakan
infeksi sekunder setelah infeksi dari Tetrahymena sp. dan tidak menyebabkan
kematian pada Guppy (Lawhavinit et al. 2002). Saprolegnia juga dilaporkan dapat
menyerang ikan Guppy (Khalil 2010). Penelitian inventaris parasit pada ikan hias
Guppy kobra yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng,
Jakarta ditemukan parasit Trichodina hetero-dentata dan Lernea di permukaan
tubuhnya (Alifuddin et al. 2002). Infeksi Tetrahymena sp. telah didiagnosa pada
Guppy yang diimpor dari Singapura. Ciliata mengelilingi organ internal, regio
peri-orbital mata dan ditemukan dalam embrio Guppy yang sedang berkembang
(Leibowitz & Zilberg 2009).
Ikan hias Guppy yang diimpor dari Indonesia dilaporkan terinfeksi
Camallanus cotti di Korea pada tahun 2002. Infeksi Camallanus cotti dan
Tetrahymena corlissi menyebabkan kematian pada Guppy (Kim et al. 2002). Ikan
Guppy dilaporkan terinfeksi parasit digenea spesies Diplostomum spathaceum dan
monogenea Gyrodactylus bullatarudis dan Gyrodactylus turnbulli. Parasit
tersebut menyerang organ pencernaan (Schelkle et al. 2011). Pemeriksaan
histopatologi dari ikan Guppy yang berasal dari pembudidaya di sekitar Bangkok
menunjukkan infeksi bakteri Mycobacterium sp. Bakteri patogen lain juga
ditemukan di peternakan Guppy, seperti bakteri Aeromonas hydrophila dan
Flexibacter columnaris. Protozoa Tetrahymena dan Epistylis juga sering diisolasi
dari ikan berpenyakit pada kasus yang lain (Areechon et al. 2001).
4
Gejala Klinis Ikan Sakit
Ikan yang sakit menimbulkan gejala-gejala klinis yang spesifik. Menurut
Kordi dan Ghufran (2004), ciri ikan yang sakit dapat ditinjau dari segi perilaku,
equilibrium, lesi eksternal, dan faktor kondisi. Perilaku ikan sakit biasanya tidak
normal. Ikan sering terlihat
menggosok-gosokan tubuhmya pada suatu
permukaan benda dan tidak mau makan. Ikan yang sakit akan memisahkan diri
dan berenang secara pasif. Ikan yang terserang penyakit, keseimbangannya
terganggu, meloncat-loncat tidak teratur, dan terkadang dapat menabrak dinding
bak. Lesi eksternal adalah abnomalitas dari organ tubuh tertentu karena adanya
serangan penyakit. Lesi eksternal pada ikan antara lain terjadi perubahan warna,
produksi lendir yang berlebihan, kerusakan organ seperti kulit, sirip, insang, dan
ulkus (Kordi & Ghufran 2004).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan April sampai
September 2012. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel ikan hias air
tawar yang terlihat mengalami penyakit. Tempat pengambilan sampel dilakukan
di tempat jual beli ikan hias Toko Ikanku, Babakan Tengah, kelurahan Babakan
Kampus IPB, Dramaga Bogor. Setelah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi,
kemudian sampel ikan dijadikan sediaan histopatologi sehingga dapat diperiksa
lebih lanjut. Pembuatan histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di
Laboratorium Diagnostik Patologi, Bagian Patologi Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB), dilanjutkan dengan penyusunan laporan hasil pemeriksaan.
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan Transportasi : kantung plastik dan oksigen. Alat dan bahan
nekropsi meliputi lima ekor ikan Guppy berukuran 3,8 cm, ember, gunting bedah
dan lemari es. Alat dan bahan pembuatan histopatologi: Buffer Neutral Formalin
10%, kaset jaringan, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (absolut, 95%, 90%,
80%, 70%), xylol, parafin, freezer, gelas objek, inkubator, pewarna hematoksilin
C.I. 75290, 5% sodium thiosulfate, lithium carbonate, pewarna eosin C.I. 45380,
asam periodik 1%, reagen Schiff, air sulfit, mounting medium, automatic tissue
processor, parafin embedding console, dan mikrotom. Alat pengamatan yaitu
mikroskop cahaya Olympus CH-1. Peralatan dokumentasi memakai kamera.
5
Metode Penelitian
Studi manajemen budidaya ikan hias
Sebelum dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel, perlu dipelajari
studi manajemen ikan untuk mengetahui pembenihan, perawatan serta pengolahan
ikan dengan baik agar dapat dibandingkan dengan gejala-gejala klinis yang terjadi
pada ikan serta memahami adanya penyakit infeksius ataupun non infeksius.
Pengambilan sampel
Pengamatan ikan dilakukan terlebih dahulu untuk dapat mengetahui ikan
mana yang mengalami kelainan. Pengambilan sampel dilakukan pada ikan yang
terlihat mengalami kelainan. Kelainan pada ikan diantaranya tampak ada sesuatu
yang menempel pada tubuh ikan terutama di bawah sisik atau pada pangkal sirip,
terjadi perubahan warna atau bentuk, hilang keseimbangan, ikan berenang
mendekati permukaaan terus menerus, lemah dan nafsu makan turun, kerusakan
pada jaringan insang atau kulit ikan, terdapat luka, dan terdapat pendarahan pada
organ atau jaringan.
Transportasi sampel ke laboratorium
Sampel dibawa dengan kantong plastik berukuran cukup luas yang
ditambahkan oksigen ke dalamnya. Saat mengganti tempat dari plastik menuju
bak ikan di laboratorium, harus dilakukan secara teliti, jangan sampai suhu pada
air berubah.
Pencatatan data sampel
Ikan sampel yang terlihat gejala klinisnya berjumlah 5 ekor. Pencatatan data
sampel meliputi deskripsi tempat pengambilan sampel, jumlah ikan yang
terinfeksi, warna, tingkah laku, dan umur ikan yang terinfeksi (Stoskopf 1993).
Pada studi kasus ini ikan Guppy dengan infeksi Tetrahymena spp hanya
ditemukan pada 1 dari 5 ekor yang diperiksa, sehingga jumlah sampel pada studi
kasus ini adalah 1 ekor.
Euthanasi
Ikan di-euthanasi dengan cara dimasukkan ke dalam wadah berisi air,
kemudian diletakkan ke dalam freezer dengan suhu -18°C selama 20 menit.
Pendinginan ini akan menurunkan metabolisme dan tidak meningkatkan ambang
nyeri (Noga 2010).
Nekropsi
Ikan yang sudah di-euthanasi diletakkan dengan posisi lateral recumbency,
lalu diinsisi secara memanjang di garis tengah ventral tubuh, mulai dari lubang
anal sampai ruang insang. Kemudian dilanjutkan dengan menginsisi secara
melintang pada kedua ujung dari potongan sebelumnya ke arah dorsal tubuh ikan,
sehingga terlihat organ interna dan diamati apakah terdapat perubahan atau
abnormalitas (Noga 2010). Pengamatan insang dilakukan dengan menggunting
operkulum sehingga insang dapat diamati perubahannya.
6
Pemeriksaan patologi anatomi
Ikan yang sudah dinekropsi diamati lesi dan abnormalitas lainnya dari
jaringan eksterna serta organ interna. Semua lesi dan abnormalitas didokumentasi
menggunakan kamera. Penggaris diposisikan di samping ikan terlebih dahulu agar
ukuran ikan dapat diketahui.
Fiksasi
Ikan yang sudah dinekropsi dan didokumentasi kemudian difiksasi
menggunakan NBF 10% selama 24 jam. Ikan dapat langsung dimasukkan ke
dalam wadah NBF 10% tanpa memisahkan organ-organ karena ukurannya yang
relatif kecil atau kurang dari 10 cm.
Pembuatan sediaan histopatologi
Tubuh ikan yang sudah difiksasi kemudian dipotong (grossing) melintang
dan dibagi atas lima sampai enam bagian, lalu dimasukkan ke dalam kaset
jaringan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh bagian ikan mulai dari insang hingga
ginjal posterior dapat terlihat dalam pemeriksaan histopatologi. Potongan
kemudian diproses menjadi sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin
Eosin (HE) dan Periodic Acid-Schiff (PAS) (Bancroft dan Stevens 1990)
(Lampiran 1).
Pemeriksaan histopatologi
Preparat yang telah dibuat kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya
untuk melihat perubahan pada sel ataupun organ.
Identifikasi parasit protozoa
Mengidentifikasi protozoa diperlukan penentuan karakteristik morfologi dan
dilakukan pengukuran bentuk tubuh. Kemudian dilakukan pencarian mengenai
literatur parasit protozoa mana yang memiliki morfologi dan ukuran serupa
dengan protozoa yang ditemukan. Pengamatan keberadaan protozoa di jaringan
dan lesi akibat invasi yang ditimbulkan dapat membantu proses identifikasi. Hasil
yang ditemukan dicocokkan dengan literatur yang ada (Noga 2010).
Analisis data
Lesi patologi anatomi dan histopatologi dianalisa secara deskriptif.
Penyusunan patogenesa dilakukan melalui studi literatur.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Manajemen Budidaya Guppy
Tempat pengambilan sampel ikan hias Guppy (Poecilia reticulata) yang
sakit pada studi kasus ini terletak di daerah Babakan Tengah, kelurahan Babakan
Kampus IPB, Dramaga Bogor. Toko Ikanku merupakan tempat jual beli ikan hias.
Toko Ikanku mengambil ikan dari para petani di daerah Bogor. Asal Guppy
berasal dari daerah Parung dan Cibinong, Bogor. Petani ikan Guppy di Parung
membudidayakan ikannya di kolam-kolam terbuka sedangkan petani ikan di
Cibinong membudidayakan ikannya di dalam akuarium. Petani melakukan
pemijahan ikan tersebut dilakukan di kolam dan ketika akan bertelur maka
penetasan dilakukan di dalam akuarium hingga telur tersebut menjadi larva. Larva
yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam kolam maupun akuarium. Ikan
diberi pakan hidup berupa cacing sutera yang diperoleh dari lingkungan kotor,
sungai, lumpur, dan hasil limbah. Petani ikan Guppy memakai air kolam terbuka
yang memiliki resiko penyakit lebih tinggi.
Transportasi dari petani menuju Toko Ikanku menggunakan wadah plastik
dan dibawa dengan menggunakan motor. Ikan pertama kali datang langsung
dimasukkan akuarium karantina. Ikan dikarantina selama 3-5 hari disesuaikan
suhu airnya 25-28 oC. Sebelum dimasukkan akuarium display dilakukan berbagai
persiapan. Akuarium display dicuci bersih dengan methylene blue kemudian
dikeringkan selama sehari. Sumber air berasal dari air sumur. Air yang digunakan
untuk pemeliharaan di Toko Ikanku berasal dari air sumur yang mengandung
tingkat oksigen yang rendah. Air sumur di tampung selama 1-2 hari di dalam
reservoir dan diberi aerasi. Penampungan air bertujuan untuk menghilangkan gas
karbondioksida dan gas beracun serta menurunkan pH.
Ikan Guppy ditempatkan dalam akuarium berukuran panjang x lebar x
tinggi 40 x 25 x 25 sentimeter dengan kepadatan dalam akuarium 100 ekor ikan.
Air yang digunakan adalah air yang cukup mengandung oksigen dan jernih. Ikan
Guppy dipelihara dengan suhu optimal untuk pemeliharaan sekitar 25-28 ° C. Ikan
diberi pakan hidup berupa cacing sutra. Ikan juga diberi pakan kering buatan.
Pemilihan pakan ikan kering berdampak pada meningkatnya tingkat kekeruhan air.
Pengamatan gejala klinis
Pengamatan gejala klinis sampel ikan pada studi kasus ini menunjukkan
ikan mengalami lesi hemoragi dan ptekhie di kulit. Ikan tersebut terlihat lesu,
gerak renangnya lambat dan keseimbangannya terganggu sehingga berenang
secara vertikal dengan kepala di bawah (Gambar 2).
8
Gambar 2 Ikan Guppy sampel ini menunjukkan gejala klinis dengan berenang
secara vertikal.
Pemeriksaan patologi anatomi
Sampel ikan Guppy yang diangkat pada studi kasus ini berjumlah satu
ekor. Sampel ikan Guppy yang diperiksa memiliki ukuran panjang 3,8 cm.
Pemeriksaan patologi anatomi pada sampel ikan menunjukkan adanya lesi berupa
hemoragi dan ptekhie di beberapa tempat diantaranya kulit daerah abdomen,
lateral dan sekitar dorsal (Gambar 3). Sisik di sekitar area lesi tampak terlepas.
Pada fokus lesi terdapat erosi dermal. Penampakan insang tampak pucat namun
tidak terlihat lesi spesifik (Gambar 4).
9
a
b
c
Gambar 3 (a) Ikan Guppy (Poecilia reticulata) mengalami lesi hemoragi dan
ptekhie pada bagian dorsal dan lateral (panah). (b) Ikan Guppy
(Poecilia reticulata) mengalami lesi hemoragi dan ptekhie pada bagian
lateral dextra (panah). (c) Ikan Guppy (Poecilia reticulata) mengalami
lesi hemoragi dan ptekhie pada bagian lateral sinistra (panah).
10
Gambar 4 Insang ikan Guppy (Poecilia reticulata) terlihat pucat namun tidak
menunjukkan lesi yang spesifik.
a
a
b
c
c
b
Gambar 5 Organ internal rongga abdomen ikan Guppy (Poecilia reticulata).
a. hati, b. usus, c. gonad.
Pemeriksaan patologi anatomi pada organ internal tidak menemukan
kelainan yang signifikan. Insang, hati, usus dan folikel ovum berwarna pucat dan
tidak ditemukan adanya lesi (Gambar 5). Pemeriksaan jantung, ginjal dan
gelembung renang tidak dilakukan karena ukuran ikan sangat kecil (3,8 cm)
sehingga sulit diidentifikasi. Pengamatan mikroskopis sangat diperlukan untuk
pengamatan organ lebih lanjut.
Pemeriksaan histopatologi
Hasil pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan
jaringan kulit mengalami infiltrasi sel radang disertai protozoa yang menginvasi
11
permukaan kulit hingga menembus ke lapisan otot. Pada kulit di sekitar lesi erosi
juga ditemukan fokus-fokus hemoragi yang ditandai adanya sel-sel darah merah.
Protozoa dalam jumlah besar menginfeksi kulit pada bagian epidermis dan dermis.
Epidermis terlepas, mengalami degenerasi, serta terjadi epidermal dermatitis yang
ditandai dengan infiltrasi sel radang mononuklear pada lapisan epidermis dan
dermis.
E
D
Gambar 6 Protozoa ditemukan dari lapisan epidermis hingga ke bagian profundal
dari epidermis. Epidermis mengalami peradangan akibat infestasi
protozoa (panah kuning), mengundang infiltrasi sel radang mononuklear
limfositik (panah hitam) dan fokus-fokus hemoragi (panah merah).
Infeksi protozoa dari permukaan menembus ke dalam dermis.
Peradangan menyebabkan kerusakan jaringan otot yang parah terlihat
sebagai nekrosa otot (panah hijau) dan degenerasi otot (panah oranye),
Pewarnaan HE.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang
ditemukan pada organ otot antara lain degenerasi dan nekrosa, (Gambar 6 dan 7).
Infiltrasi protozoa terlihat di antara lapisan otot yang lebih dalam (Gambar 7),
menyebabkan kerusakan jaringan yang parah, nekrosis dan merubah morfologi
jaringan kulit. Di beberapa bagian, deformasi struktur kulit terlihat lebih jelas.
Ruang-ruang besar terbentuk diantara serabut otot. Massa homogen merah muda
karena kerusakan otot terlihat jelas.
12
Gambar 7 Infiltrasi protozoa (panah merah) terlihat di antara lapisan otot yang
lebih dalam. Kerusakan jaringan otot terlihat nekrosa otot (panah
hijau), pewarnaan HE.
Protozoa yang menginfeksi ikan sampel terlihat melalui pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (Gambar 8) dan Periodic Acid Schiff (PAS) (Gambar 9).
Pemeriksaan morfologi protozoa menunjukkan bentuk tubuh bulat, oval, seperti
pear, dengan ujung anterior menyempit. Pengukuran tubuhnya didapatkan panjang
rata-rata 50,5 µm (35-73.7 µm) dan lebar 32,4 µm (31-43 µm). Makronukleus
berbentuk bulat dan terkadang oval dengan ukuran rata-rata 18,59 x 12,85 µm
(Gambar 8) sedangkan pengukuran mikronukleus tidak dilakukan karena
seringkali tidak terlihat. Pada lapisan epidermis terlihat reaksi pigmentasi berlebih
akibat infeksi protozoa (Gambar 10).
13
Gambar 8
Protozoa berespon basofilik terhadap pewarnaan HE (panah kuning)
Protozoa mendigesti eritrosit ikan, di dalam dan di sekitar protozoa
terdapat butiran eritrosit (panah merah). Makronukleus protozoa terlihat
oval (panah biru), pewarnaan HE, Bar = 50 µm.
Gambar 9
Protozoa (panah hitam) terwarnai oleh pewarnaan PAS sehingga
bewarna merah magenta, pewarnaan PAS.
14
Gambar 10 Reaksi pigmentasi (panah hitam) di dalam sel mukus, pewarnaan
PAS.
Hasil pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan
jaringan insang yang rusak parah. Parasit protozoa ditemukan menginfeksi insang
(Gambar 11). Terlihat pada pembesaran fokus objektif 20x parasit menginfiltrasi
kapiler lamela primer insang. Perubahan histopatologi lain yang ditemukan pada
insang adalah udema lamela (Gambar 12). Udema lamela menyebabkan epitel
lamela sekunder hampir terlepas dari kapiler bahkan sempurna terlepas dari
lamela primer.
Gambar 11 Infiltrasi protozoa (panah hitam) pada lamela primer, pewarnaan PAS.
15
Gambar 12 Udema lamela (panah biru), pewarnaan PAS.
Gambar 13
Gambaran mikroskopis hati ikan Guppy, terdapat kongesti dan
degenerasi lemak hepatosit. Pewarnaan HE.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang
ditemui pada organ hati antara lain degenerasi lemak parah dan kongesti (Gambar
13). Gelembung renang ikan Guppy tidak menunjukkan lesi yang spesifik.
Terlihat akumulasi melanophore di serosa (Gambar 14).
16
Gambar 14 Gambaran serosa dari gelembung renang ikan Guppy dan akumulasi
melanophore (panah hitam), pewarnaan HE.
Perubahan pada usus ikan Guppy tidak ditemukan parasit baik protozoa,
helminth dan ektoparasit. Lapisan lamina propria dan tunika muskularis tidak
mengalami kelainan spesifik. Lumen usus dan vili rapat. Pada lapisan mukosa
terlihat udema dan kongesti (Gambar 15).
Gambar 15
Udema (panah kuning) dan kongesti pada usus ikan Guppy,
pewarnaan HE.
17
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy terlihat
adanya parasit protozoa di jaringan kulit, otot dan insang. Protozoa yang biasanya
menginfeksi jaringan tersebut, diantaranya adalah Ichthyobodo sp., Chilodonella
sp., Ichthyophthirius multifiliis, Uronema sp., Trichodina sp., dan Tetrahymena
spp. (Bruno et al. 2006). Untuk menspesifikasikan jenis protozoa yang
menginfeksi diperlukan pengamatan karakteristik morfologi, pengukuran bentuk
tubuh, keberadaan protozoa, dan lesi akibat invasi yang ditimbulkan yang
dicocokkan dengan literatur yang ada (Noga 2010).
Pemeriksaan morfologi protozoa yang ditemukan menunjukkan bentuk
tubuh bulat, oval, seperti pear, dengan ujung anterior menyempit. Karakteristik
morfologi Ichthyobodo sp. memiliki bentuk tubuh oval atau berbentuk ginjal
dengan dua pasang flagela untuk bergerak (Bruno et al. 2006). Menurut Anshary
(2008) Chilodonella sp. memiliki tubuh yang kecil, berbentuk oval, dorsal dan
ventral tubuhnya datar, dan terdapat silia di permukaannya. Ichthyophthirius
multifiliis merupakan protozoa berbentuk bulat/oval dan permukaan tubuhnya
diselaputi silia. Makronukleus Ichthyophthirius multifiliis berbentuk seperti tapal
kuda dan mikronukleusnya berbentuk bulat (Bruno et al. 2006). Protozoa
Uronema sp. mempunyai bentuk tubuh ovoid, memiliki silia yang jarang dan silia
caudal yang panjang, dan satu makronukleus dan mikronukleus. Protozoa ini
sering menginfeksi spesies ikan perairan air laut (Azad et al. 2007; Noga 2010).
Karakteristik morfologi Trichodina sp. menurut Basson & van As (2006) ialah
berbentuk bulat dan simetris. Pada bagian mulutnya dilengkapi alat penghisap
berbentuk seperti jangkar. Karakteristik morfologi protozoa yang ditemukan
serupa dengan protozoa Tetrahymena spp. yang memiliki bentuk tubuh pyriform,
oval, bentuk buah pear, tubuh simetris radial, memiliki silia seluruh tubuh, dan
ujung anterior menyempit (Hoffman et al. 1975; Bruno et al. 2006; Leibowitz &
Zilberg 2009). Protozoa yang menginfeksi ikan terlihat berwarna basofilik melalui
pewarnaan HE dan memberikan reaksi positif terhadap pewarnaan PAS.
Astrofsky et al. (2002) juga melaporkan dalam kajiannya bahwa Tetrahymena spp.
berespon basofilik terhadap pewarnaan HE dan bereaksi positif terhadap
pewarnaan PAS.
Protozoa-protozoa pada kasus ini berukuran panjang rata-rata sekitar 50,5
µm (35-73.7 µm) dan lebar 32,4 µm (31-43 µm). Makronukleus berbentuk bulat
dan terkadang oval dengan ukuran rata-rata 18,59 x 12,85 µm. Mikronukleus
protozoa tidak terlihat pada sediaan kasus ini. Ukuran protozoa berikut ukuran
makronukleus pada kasus ini serupa dengan referensi Astrofsky et al. (2002) yang
menyebutkan protozoa Tetrahymena spp berukuran panjang 50 - 100 µm dan
ukuran lebar 30 - 60 µm, sedangkan menurut Leibowitz dan Zilberg (2009)
protozoa Tetrahymena spp. memiliki satu makronukleus berbentuk oval
berukuran 18.25 x 16.83 µm dan satu mikronukleus berukuran 5.73 x 5.40 µm.
Makronukleus dan mikronukleus ini dapat terlihat jelas dengan mikroskop
elektron atau scanning electron microscopy (SEM). Makronukleus Tetrahymena
spp. yang oval sering terlihat pada potongan jaringan (Bruno et al. 2006).
Pengamatan mikronukleus Tetrahymena spp. pada potongan jaringan sering kali
sulit teridentifikasi. Menurut Leibowitz dan Zilberg (2009) tidak semua
18
Tetrahymena spp menunjukkan pembentukan mikronukleus yang penting untuk
keperluan konjugasi dan rekombinasi seksual.
Gambar 16 Histopatologi Tetrahymena corlissi. Di dalam vakuola Tetrahymena
corlissi terlihat nukleus eritrosit ikan yang dicerna. (Sumber:
Hoffman et al. 1975)
Ikan Guppy mengalami kerusakan jaringan kulit yang parah akibat
protozoa yang menginvasi permukaan kulit hingga menembus ke lapisan lebih
dalam. Lesi berupa erosi epidermis serta degenerasi hingga nekrosa terjadi pada
otot. Temuan patologi anatomi kulit ikan mengalami hemoragi di beberapa tempat
diantaranya kulit daerah abdomen, lateral dan sekitar dorsal. Hasil pengamatan
histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan fokus-fokus hemoragi yang
ditandai adanya sel-sel eritrosit. Pada kasus ini, protozoa terlihat memakan sel
eritosit yang dapat diidentifikasi dari sitoplasma protozoa yang berisi sel darah
merah. Hoffman et al. (1975) dan Bruno et al. (2006) melaporkan hal yang sama
yaitu bahwa protozoa Tetrahymena spp. terlihat mendigesti eritosit pada potongan
jaringan.
Protozoa dalam jumlah besar menginfeksi kulit ikan pada bagian epidermis
dan dermis. Epidermis mengalami nekrosa dan terlepas dari membran basal, serta
terjadi epidermal dermatitis yang ditandai dengan infiltrasi sel radang
mononuklear pada lapisan epidermis dan dermis. Menurut Leibowitz dan Zilberg
(2009) Tetrahymena spp. yang berada di epidermis, bergerak sangat perlahan dan
menghancurkan jaringan dengan bantuan silianya dan terus berpenetrasi hingga ke
dalam otot. Tetrahymena spp. mempunyai enzim cysteine protease yang dapat
mendegradasi polipeptida (Leibowitz et al. 2010). Penetrasi protozoa pada sampel
ikan terlihat di antara lapisan otot yang lebih dalam (gambar 13). Penetrasi
menyebabkan kerusakan jaringan seperti degenerasi dan nekrosa. Kondisi serupa
pernah dilaporkan oleh Imai et al. (2000) pada sampel ikan Guppy yang berasal
dari Singapura. Ikan Guppy pada kasus tersebut mengalami ulkus dan sisik yang
lepas. Pengamatan histopatologi menemukan Tetrahymena spp. di kantong sisik
dan di antara serabut otot. Leibowitz dan Zilberg (2009) juga melaporkan temuan
lesi nekrosa pada epitel kulit ikan hingga ke otot. Ciliata dalam jumlah yang
19
banyak ditemukan dihubungkan dengan lesi tersebut. Pada jaringan otot yang
terletak jauh dari lesi kulit, Tetrahymena spp. ditemukan di antara serabut otot.
Penampakan insang secara makroskopis tampak pucat dengan lesi yang
tidak spesifik. Pengamatan histopatologi insang pada sampel ikan Guppy kasus ini
menunjukkan jaringan insang yang rusak. Parasit protozoa ditemukan
menginfiltrasi kapiler lamela primer insang. Lesi insang dari infestasi
Tetrahymena spp. yang ditemukan di dalam pembuluh darah lamela primer insang
dilaporkan juga oleh Bruno et al. (2006), Leibowitz & Zilberg (2009) dan Monks
(2012). Udema lamela menyebabkan epitel lamela sekunder hampir terlepas dari
lamela primer. Protozoa yang terakumulasi di kapiler insang dapat menyebabkan
efek obstruksi (trombus). Protozoa menghalangi pengambilan dan penyaluran
oksigen sehingga menyebabkan ikan hipoksia (kekurangan oksigen). Udema
lamela disebabkan meningkatnya tekanan hidrostatik intravaskular yang
menimbulkan perembesan cairan plasma darah keluar ke ruang interstitium.
Kondisi peningkatan tekanan hidrostatik terjadi pada pembuluh darah yang
kongesti karena terdapat trombus yang menyumbat aliran darah.
Kemiripan morfologi serta lesi yang ditimbulkan dengan literatur,
mengarahkan bahwa protozoa kasus ini adalah Tetrahymena spp. Tetrahymena
spp. diklasifikasikan dalam subkelas Hymenostomatia. Protozoa bersilia,
Tetrahymena spp., adalah agen penyebab utama penyakit yang menyerang Guppy
dan umumnya dikenal sebagai 'Guppy-killer parasite ' (Hoffman et al. 1975; Imai
et al. 2000; Leibowitz et al. 2005).
Pengamatan gejala klinis sampel ikan terlihat lesu, gerak renangnya
lambat dan keseimbangannya terganggu sehingga berenang secara vertikal.
Terganggunya keseimbangan berenang ikan ini diduga karena terjadi kerusakan
pada gelembung renang (gas bladder) (Wildgoose 2007). Pengamatan
histopatologi gelembung renang pada sampel ikan Guppy tidak menunjukkan lesi
yang signifikan. Akumulasi melanophore ditemukan pada serosa gelembung
renang. Melanophore yang ditemukan menunjukkan ikan dalam kondisi stres.
Kondisi stres akut menyebabkan kenaikan sekresi kortisol oleh hormon
adrenokortikotropin (ACTH). Melanophore-stimulating hormone (MSH) dan
beta-endorphin (beta-endorphin) juga menstimulasi lepasnya kortisol. Kenaikan
kortisol menyebabkan Alpha-MSH menstimulasi persebaran granula melanin pada
ikan. Pigmentasi terjadi karena adaptasi ikan terhadap lingkungan (Bonga 2011).
Temuan lesi lain yang didapatkan selain pada kulit, otot dan insang adalah
pada hati dan usus. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ hati
adalah degenerasi lemak dan kongesti. Imai et al. (2000) melaporkan invasi
parasit Tetrahymena spp. pada ikan Guppy ditemukan di rongga abdomen, organ
internal, seperti usus, hati, mata, rongga kepala, dan medulla spinalis. Pada kasus
ini tidak ditemukan lesi signifikan pada usus ikan Guppy, tidak juga ditemukan
parasit baik protozoa ataupun helminth. Udema dan kongesti pada usus
menunjukkan adanya peradangan akut dan ringan.
Perubahan lingkungan akuarium yang memburuk menyebabkan ikan
menjadi stres. Ikan yang stress akan mengalami penurunan sistem imun sehingga
mudah terserang penyakit seperti Tetrahymena spp.. Ikan yang stres juga dapat
mengalami penurunan nafsu makan dan ikan menjadi lesu. Asupan makanan yang
kurang karena nafsu makan menurun menyebabkan terjadi katabolisme cadangan
makanan dalam tubuh seperti glikogen, protein dan lemak. Cadangan glikogen di
20
hati dan otot dipecah untuk mempertahankan kadar glukosa darah melalui proses
glikogenolisis. Pemecahan cadangan lemak dan protein juga terjadi untuk
mendapat sumber energi baru (glukoneogenesis). Penggunaan cadangan glikogen
dan lipolisis dari jaringan adiposa akan meningkatkan kadar asam lemak bebas di
dalam darah. Banyaknya asupan lemak bebas akan terakumulasi di dalam sel hati
sehingga merusak jalur metabolisme lemak. Degenerasi lemak secara mikroskopis
akan memperlihatkan sel hati membesar berisi vakuola lemak pada sitoplasma
(Cheville 1999).
Udema dan kongesti yang ditemukan di usus merupakan tahapan reaksi
peradangan akut. Kongesti dapat disebabkan oleh gangguan sistemik yang dapat
mengganggu pengosongan darah vena. Terkadang kerja jantung untuk memompa
darah gagal, keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan aliran darah. Kelainan
pada jantung tidak dapat teramati karena organ jantung tidak terpotong. Udema
adalah bagian dari reaksi peradangan akut. Kenaikan lokal permeabilitas dinding
pembuluh darah terhadap protein memungkinkan molekul-molekul besar ini lolos
dari pembuluh (Abrams 1994).
Perubahan pada saluran pencernaan dapat terjadi karena modifikasi diet
pangan dan kondisi sistem pertahanan tubuh inang. Kondisi stress menyebabkan
menurunnya sistem pertahanan. Penurunan sistem pertahanan menyebabkan
keseimbangan bakteri flora di dalam saluran pencernaan terganggu. Jika jumlah
bakteri patogen lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri apatogen, maka bakteri
patogen akan menginvasi usus dan menyebabkan penyakit. Mikrobiota usus yang
apatogen penting untuk pemeliharaan kesehatan inang, menyediakan energi dan
nutrisi seperti vitamin K dan B12 serta perlindungan terhadap invasi organisme
patogen (Woodmansey 2007).
Infeksi parasit protozoa Tetrahymena spp. ini diduga berasal dari air yang
digunakan untuk pemeliharaan ikan. Air berasal dari lingkungan yang kotor
dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Pembersihan kotoran di dasar
akuarium yang kurang bersih dan masih menyisakan bahan organik seperti feses
ikan dan sisa pakan, juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan akuarium.
Kondisi akuarium dengan kotoran yang larut dalam air, amonia tinggi dapat
menghambat pertumbuhan ikan. Lingkungan yang kotor juga dapat menjadi
sumber penularan penyakit. Menurut Leibowitz et al. (2005) kualitas air yang
buruk, termasuk amonia dan bahan organik, dan suhu air rendah meningkatkan
kerentanan ikan terhadap infeksi. Kandungan bahan organik dan nutrisi tinggi
dapat digunakan oleh parasit, sehingga meningkatkan populasinya di dalam air.
Kondisi stres pada ikan juga mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap
agen infeksius.
Bharati et al. (2001) menyebutkan dalam tulisannya, protozoa bersilia,
seperti Tetrahymena spp. dapat menjadi indikator stress pada lingkungan perairan.
Protozoa ini dapat bertahan pada tingkat oksigen terlarut yang rendah dan
kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Monks (2012), Tetrahymena spp.
memiliki siklus hidup yang mirip dengan protozoa bersilia lainnya. Berkembang
biak secara vegetatif melalui pembelahan sel dan secara seksual melalui konjugasi
dan pertukaran materi genetik antara sel-sel. Tetrahymena spp. tidak
membutuhkan inang untuk melengkapi siklus hidup mereka. Sebagai akibatnya,
parasit ini dapat hidup selama bertahun-tahun di akuarium tanpa menyebabkan
21
penyakit, dan tiba-tiba akan menyebabkan masalah jika kondisi dalam akuarium
memburuk atau ikan yang dipelihara menjadi stres atau memiliki luka.
Petani ikan hias Guppy yang menggunakan air kolam terbuka untuk usaha
budidayanya cenderung tidak memperhatikan kandungan gas dan bahan organik
dalam kolam tersebut. Ikan Guppy dewasa yang siap dijual akan didistribusikan
ke suplier atau ke pengumpul. Transportasi yang tidak sesuai dengan aturan dapat
menyebabkan ikan bergesekan dengan ikan lain sehingga menyebabkan lapisan
lendir rusak. Menurut Leibowitz et al. (2005) ikan lebih rentan terinfeksi protozoa
saat pengiriman ikan. Faktor predisposisi tetrahymenosis ikan adalah akibat
kepadatan populasi ikan yang tinggi, tingginya akumulasi bahan organik, dan
penurunan pH yang disebabkan oleh akumulasi CO2. Kondisi pada saat
pengemasan dan transportasi ikan dapat menyebabkan stress berat, yang
kemungkinan akan meningkatkan kerentanan ikan terhadap patogen (Barton &
Iwama 1991).
Tetrahymena spp. merupakan protozoa bersilia yang hidup bebas di air
tawar. Infeksi Tetrahymena spp. di alam dapat ditransmisikan secara horizontal
dengan perantara air. Protozoa Tetrahymena spp. dapat melekat pada permukaan
kulit dan insang ikan yang mengalami erosi. Protozoa ini memakan bahan organik
seperti bakteri dan potongan sel yang hancur serta bersifat saprozoik bersilia
(Kozloff 1990). Ikan yang stress akan mengalami penurunan nafsu makan
sehingga menyebabkan penurunan imunitas tubuh. Imunitas ikan yang rendah
menyebabkan kegagalan pertahanan tubuh ikan Rute infeksi Tetrahymena spp.
dimulai dari penetrasi parasit ke kulit kemudian masuk ke dalam otot, dari sana
mencapai organ internal dan sirkulasi darah. Selain masuk melalui luka yang
terbuka protozoa ini dapat juga menginfeksi dengan berpenetrasi pada kulit yang
tidak terluka tetapi saat kondisi ikan stress (Imai et al. 2000).
Pengendalian dan pencegahan infeksi parasit protozoa menurut Basson dan
van As (2006) antara lain, menjaga kualitas air dengan membersihkan sisa pakan
yang berlebih, menjaga kestabilan kandungan bahan organik dan kimia, dan
temperatur, serta menjaga air agar terbebas dari patogen dan polutan. Kolam dan
tangki/akuarium harus dikosongkan secara teratur dan dasarnya harus dibersihkan
dengan kapur. Akuarium juga dapat dibuat bebas dari parasit dengan cara
menyiramnya dengan formalin 5%. Jaring untuk menangkap ikan, ember dan
peralatan lain yang dipergunakan dalam budidaya harus bersih. Ikan yang baru
harus selalu rutin diobati dan dikarantina selama beberapa hari sebelum
dimasukkan ke dalam kolam/akuarium yang sudah didesinfeksi. Ikan harus diberi
pakan yang seimbang dan tidak berlebihan. Suplai oksigen harus mencukupi dan
temperatur harus tepat. Kepadatan ikan dalam kolam harus dijaga agar tidak
terlalu padat. Mengurangi penanganan (handling) ikan dan melakukan
pemeriksaan ikan dari parasit secara rutin.
Leibowitz et al. (2010) melaporkan bahwa gabungan aplikasi immunostimulan dan mandi garam mampu mengobati infeksi eksternal secara efektif.
Pengobatan terhadap ikan yang terinfeksi superfisial oleh Tetrahymena spp. dapat
dicoba dengan pemberian parasitisida protozoa seperti formalin dan peningkatan
salinitas. Pengobatan topikal dengan menggunakan imersi dan mandi garam
kurang efektif dalam mengobati infeksi sistemik pada ikan (Astrofsky et al. 2002).
Leibowitz et al. (2010) juga melaporkan pengobatan menggunakan niclosamide
dengan dosis 100 mg kg-1 terhadap infeksi Tetrahymena spp. sangat efektif.
22
Pemberian albendazole dan chloraquine juga efektif melawan invasi Tetrahymena
spp.. Menjaga kondisi lingkungan tetap stabil dapat membantu pengobatan Guppy
(Monks 2012). Pemberian pakan yang tinggi kadar asam lemak asam arachidonat
membantu penyembuhan Guppy dari infeksi (Noga 2010).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pengamatan patologi anatomi dan histopatologi morfologi
protozoa menggunakan pewarnaan HE dan PAS serta studi literatur maka
protozoa yang menginfeksi kulit, otot, dan insang kasus ikan Guppy ini adalah
Tetrahymena spp.
Saran
Mempelajari kemungkinan adanya parasit protozoa Tetrahymena spp. pada
pakan organik. Konfirmasi jenis spesies pada protozoa Tetrahymena spp. dengan
bantuan Polymerase chain reaction (PCR).
DAFTAR PUSTAKA
Abrams GD. 1994. Gangguan sirkulasi. Di dalam Price SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hlm: 93-95.
Alifuddin M, Priyono A, Nurfatimah A. 2002. Inventarisasi parasit pada ikan hias
yang dilalulintaskan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta.
Jurnal Akuakultur Indonesia 1(3): 123-127.
Anonim. 2012. Gupi. [terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/wiki/Gupi.[26
Agustus 2012].
Anshary H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL)
Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin. Hlm: 27-50.
Areechon N, Chansue N, Ponpornpisit A. 2001. Systemic granulomatosis in
guppies Poecilia reticulata. Kasetsart Journal (Natural Science) 35: 456459.
Aryanto H. 1997. Dinamika Populasi Ikan Guppy (Poecilia reticulata Peters).
[skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Diponegoro. Hlm: 6-9.
Astrofsky KM, Schech JM, Sheppard BJ, Obenschain CA, Chin AM, Kacergis
MC, Laver ER, Bartholomew JL, Fox JG. 2002. High mortality due to
Tetrahymena sp. infection in laboratory-maintained zebrafish
(Brachydanio rerio). Comparative Medicine 52(4): 363-367.
Azad IS, Al-Marzouk A, almatar S, Al-Gharabally H. 2007. Scuticociliatosisassociated mortalities and histopathology of natural infection in cultured
23
silver pomfret (Pampus argentus Euphrasen) in Kuwait. Aquaculture 262:
202-210.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Second Edition.
United States: Lippincott Williams & Wilkins. Hal.: 1-3.
Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques. New
York: Churchill livingstone. Hlm: 1.
Barton BA, Iwama GK. 1991. Physiological changes in fish from stress in
aquaculture with emphasis on the response and effects of corticosteroids.
Annual Review of Fish Diseases 1: 3–26.
Basson L, van As J. 2006. Trichodinidae and other Ciliophorans (Phylum
ciliopora). Di dalam Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorders
Volume 1 : Protozoan and Metazoan Infections Second Edition. UK: CABI.
Hlm: 175-179.
Bonga SEW. 2011. Hormone response to stress. Di dalam Farrell AP, editor.
Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome To Environtment. UK:
Elsevier Inc. Hlm: 1515-1519.
Bruno DW, Nowak B, Elliott G. 2006. Guide to the identification of fish
protozoan and metazoan parasites in stained tissue sections. Diseases of
Aquatic Organism 70: 1-36.
Bharati VR, Khan RN, Kalavati C, Ramam AV. 2001. Protozoan colonization on
artificial substrates in relation to water quality in a tropical Indian Harbour.
Journal of Environtmental Sciences 13: 143–147.
Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology Second Edition. United
States of America: Iowa State University Pr. Hlm: 29-31, 91-93.
Gustiano R, Prihadi TR, Kusrini E. 2008. Survai potensi, distribusi sumber daya,
dan usaha ikan hias air tawar di beberapa sentra produksi. Media Akuakultur
3(1): 77-80.
Hoffman GL, Lando M, Camper JE, Coats DW, Stookey L, Burek JD. 1975. A
disease of freshwater fishes caused by Tetrahymena corlissi Thompson,
1955 and key for identification of holotrich ciliates of freshwater fishes.
Journal of Parasitology 61 (2): 217-223.
Imai S, Tsurimaki S, Goto E, Wakita K, Hatai K. 2000. Tetrahymena infection in
guppy, Poecilia reticulata. Fish Pathology 35(2): 67-72.
Jeffri.
2010.
Budidaya
Ikan
Guppy.
[terhubung
berkala].
http://jeffri022.student.umm.ac.id/2010/02/10/budidaya-ikan-guppy/. [26
Agustus 2012].
Kordi H dan Ghufran KM. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan.
Jakarta: Bina Adiaksara. Hlm: 3-25.
Khairuman dan Amri K. 2011. Buku Pintar Budi Daya 15 Ikan konsumsi. Jakarta:
Agromedia. Hlm: 4.
Khalil B. 2010. Histopathology of skin of some fishes of family Sciaenidae from
Karachi Coast [disertasi]. Karachi: Department of Zoologi Jinnah
University for Women Nazimabad Karachi Pakistan.
Kim JH, Hayward CJ, Heo GJ. 2002. Nematode worm infections (Camallanus
cotti, Camallanidae) in guppies (Poecilia reticulata) imported to Korea.
Aquaculture 205: 231-235.
Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Philadelphia: Saunders College Publishing.
Hlm:65-69
24
Lawhavinit O, Chukanhom K, Hatai K. 2002. Effect of Tetrahymena on the
occurrence of Achlyosis in the guppy. Mycoscience 43: 27-31.
Leibowitz MP, Ariav R, Zilberg D. 2005. Environtmental and physiological
conditions affecting Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia
reticulata Peters. Journal of Fish Diseases 28:539-547.
Leibowitz MP, Zilberg D. 2009. Tetrahymena sp. nfection in guppy, Poecilia
reticulata Peters: parasite characterization and pathology of infected fish.
Journal of Fish Diseases 32:845-855.
Leibowitz MP, Chettri JK, Ofir R, Zilberg D. 2010. Treatment development for
systemic Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia reticulata Peters.
Journal of Fish Diseases 33:473-480.
Monks N. 2012. Guppy Disease (Tetrahymena). [terhubung berkala].
http://www.fishchannel.com. [26 Agustus 2012].
Noga EJ. 2010. Fish Disease : Diagnosis and Treatment Second Edition. WileyBlackwell : Iowa. Hlm: 107-267, 140-141.
Peters. 1859. Poecilia reticulata, Peters “Guppy”. [terhubung berkala].
http://www.fisbase.org/FieldGuide/FieldGuideSummary.cfm?GenusName
=Poecilia&SpeciesName=reticulata&pda=&sps=. [29 Agustus 2012].
Satyani D. 2003. Ikan hias air tawar: prospek dan masalah. Warta Penelitian
Perikanan Indonesia 9: 8-13.
Schelkle B, Doetjes R, Cable J. 2011. The salt myth revealed: treatment of
Gyrodactylid infections on ornamental guppies, Poecilia reticulata.
Aquaculture 311: 74-79.
Stoskopf MK. 1993. Fish Medicine. WB Saunders Company: Philadelphia.
Hlm:2-47.
Supriyadi H, A Hardjamulia. 1986. Current of Programs for Health Certification
and Quarantine in Indonesia, in Arthur JR 1986. Fish Quarantine and
Fish Disease in South and Southeast Asia. 1986. IDRC: Ottawa Kanada.
Hlm: 27-29.
Tinangon A. 2010. Hasilkan Rupiah dengan Budidaya Ikan Hias Air Tawar
[skripsi]. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan
Komputer Yogyakarta. Hlm: 2-6.
Wildgoose WH. 2007. Buoyancy disorders of ornamental fish: A review of cases
seen in veterinary pratice. Fish Veterinary Journal 9:22-37.
Woodmansey EJ. 2007. Intestinal bacteria and ageing. Journal of Applied
Microbiology 102: 1178-1186.
25
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Pembuatan sediaan histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000)
pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Grossing
Sediaan organ ikan yang sudah direndam dalam larutan Neutral Buffer
Formalin (NBF) 10%, kemudian dipotong dengan ketebalan + 3 mm dan
potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.
2. Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam gelas-gelas
mesin autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan
bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat,
dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut 1, alkohol
absolut 2. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan
memasukkan sediaan ke dalam xylol, dua kali ulangan.
3. Infiltrasi Parafin
Jaringan diinfiltrasi dalam parafin dengan merendamnya dalam parafin
cair sebanyak tiga kali ulangan.
4. Penanaman (embedding) dan pencetakan (blok)
Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang telah
berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan, kemudian setelah mulai
membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini
dilakukan di mesin tissue embedding console (Sakura®). Sediaan tersebut
diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam lemari es untuk
memudahkan pemotongan.
5. Pemotongan
Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom (Spencer®). Hasil potongan
diletakkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan saat
dibentangkan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian dikeringkan di
dalam inkubator.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pewarnaan HE termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staining)
karena menggunakan 2 jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya
pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan
sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik
dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi kekontrasan
antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengenalan bagian
tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat.
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan
xylol dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, dan 70%
26
secara berurutan masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci
dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium
tiosulfat 2-3 menit. Sediaan dicuci kembali dalam air mengalir selama 3-5 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin Mayer selama 8 menit, kemudian
dicuci dengan air mengalir, direndam dalam lithium carbonat selama 15-30 detik,
kemudian dicuci kembali dalam air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarna
eosin selama 2-3 menit, setelah itu sediaan dicuci dalam air mengalir untuk
membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan didehidrasi
dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua
kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol dua kali ulangan masingmasing selama 2 menit. Setelah semuanya selesai, sediaan dikeringkan kemudian
ditetesi dengan mounting medium dan ditutup dengan gelas penutup dan siap
untuk diperiksa di bawah mikroskop (Bancroft dan Stevens 1990).
Pewarnaan Periodic Acid-Schiff Reaction (PAS)
Proses pewarnaan periodic acid schiff diawali dengan proses deparafinisasi
dan rehidrasi seperti pada pewarnaan HE. Pertama, sediaan dioksidasi dalam asam
periodik 1% selama 5-10 menit. Kemudian dibilas dengan akuades sebanyak tiga
kali masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan dimasukkan dalam
reagen Schiff selama 15-30 menit. Setelah itu, sediaan dibilas dengan air sulfit
sebanyak tiga kali masing-masing dua menit. Kemudian dibilas dengan air keran
mengalir selama 10-15 menit. Terakhir sediaan dibilas dengan akuades. Jika perlu
pewarnaan inti, sediaan dimasukkan ke dalam Hematoksilin, kemudian dibilas
dengan air mengalir dan akuades. Setelah proses pewarnaan selesai sediaan
didehidrasi seperti pada pewarnaan HE.
27
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada 22 November 1990. Penulis merupakan
putri ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Farid Djojopartono dan Farida
Hidayah. Penulis mengenyam pendidikan formal di MI Muhammadiyah 1 Kudus
(2002), SMP Negeri 2 Kudus (2005), dan SMA Negeri 1 Kudus (2008). Tahun
2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan
Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) dan Komunitas Musik Seni dan Tari (STERIL) di
lingkungan kampus.
Download