Jurnal Youth Proactive Vol.2 i

advertisement
Jurnal Youth Proactive Vol.2
i
Jurnal Youth Proactive Vol.2
ii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
FOREWORD
Di Indonesia, anak muda dikategorikan
dalam rentang usia 16-30 tahun menurut
pasal 1 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan. Anak muda di Indonesia
berjumlah lebih besar dibandingkan negaranegara ASEAN lainnya. Peta kondisi anak
muda Indonesia tersebut mengacu pada
data statistik kepemudaan yang dimiliki
Kementerian Pemuda dan Olahraga pada
tahun 2010. Data tersebut menunjukkan
bahwa besar jumlah anak muda di Indonesia
dengan rentang usia 16-30 tahun berkisar
57,71 juta jiwa atau sekitar 25,04 persen dari
seluruh populasi penduduk dengan besar
proposisi jenis kelamin yang hampir sama.
Pada tahun 2010 itu pula, Transparency
International Indonesia (TII) mengembangkan
upaya pelibatan generasi muda dalam
gerakan antikorupsi. Sejumlah program dan
kegiatan dilakukan oleh Youth Department
TII. Salah satunya adalah mengajak pegiatpegiat dalam gerakan dan generasi muda
menulis untuk jurnal anak muda, Youth
Proactive Journal (Jurnal YP).
Jumlah anak muda yang tidak sedikit
merupakan potensi besar. Meskipun
jumlah tersebut tidak berarti banyak tanpa
dampingan gerakan yang serius. Maulida
Raviola, dalam tulisannya Menilik Organisasi
Anak Muda Kontemporer di Indonesia dalam
volume 2 YP Jurnal ini, menyoroti kemunculan
ragam organisasi dan inisiatif anak muda
pasca-reformasi. Menurutnya, kemunculan
tersebut justru berbanding terbalik dengan
minat mereka terhadap politik. Argumen
tersebut diperkuat oleh gagasan dari Donny
Ardyanto, salah satu pegiat senior yang
mengawali karirnya di ICW pasca-reformasi.
Donny dalam tulisannya Menantang Oligarki
mengaitkan lesunya minat generasi muda
terhadap politik diakibatkan oleh kooptasi elit
dan oligark dalam demokrasi.
Ancaman dan upaya pelemahan dari elit dan
oligark terjadi secara sistematis sepanjang
2015. Kriminalisasi dialami oleh sejumlah
pimpinan KPK. Alia Faridatus Solikha, yang
juga relawan Youth Proactive, menuliskan Stop
Kriminalisasi KPK: #SaveKPK, #SehatkanPolri.
Tulisan tersebut ditulis dengan perspektif
anak muda yang lebih menarik.
Beberapa tulisan dari pegiat muda dengan
sudut pandangnya anak muda juga ditulis
oleh kawan-kawan dari sejumlah daerah.
Hilmiah, relawan Youth Report Center (YRC)
dari Lombok Barat memaparkan perspektifnya
dalam menyikapi kasus kriminalisasi KPK
dalam tulisannya Di mana Kita Saat KPK
Dilemahkan. Tulisan reflektif lainnya dalam
rubrik “Mata Muda” juga diwarnai oleh Yam
Saroh dari Jombang, yang memberikan
gagasan bagi pembaca muda untuk Bertindak
Cerdas Melawan Kultur Kerja Korup.
Selain beberapa tulisan yang disebutkan di
atas, tulisan lainnya tidak kalah menarik untuk
dibaca dalam Volume 2 Jurnal Youth Proactive.
Harapan tinggi dari kami agar kultur menulis
dalam gerakan dilakukan dan diteruskan oleh
generasi muda.
Besar rasa terima kasih dan penghargaan
kami bagi para penulis dan pembaca yang
apresiatif. Selamat membaca dan salam
integritas!
Lia Toriana
Pemred/ Program Manager
Youth Proactive Dept. TII
iii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
PROFIL
Transparency
International
merupakan organisasi non-profit
global antikorupsi yang berbasis di
Berlin, Jerman dan memiliki chapters
di kurang lebih 100 negara lainnya,
salah satunya Indonesia. Sejak berdiri
pada tahun 2002, Transparency
International
Indonesia
(TII)
melahirkan
beragam
publikasi
riset dan rekomendasi kebijakan.
Beberapa publikasi riset TII yang sudah
menjadi rujukan nasional adalah
Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perceptions Index), Survei Integritas
Anak Muda (Youth Integrity Survey),
dan Barometer Korupsi Global (Global
Corruption Barometer).
Youth Proactive adalah sebuah
inisiatif dan pendekatan untuk
menjangkau
dan
melibatkan
generasi muda dalam gerakan
antikorupsi. Sejak tahun 2013,
di bawah pengelolaan Youth
Department TII, Youth Proactive
didukung oleh 40 relawan aktif dari
wilayah Jabodetabek.
iv
Jurnal Youth Proactive Vol.2
CONTENTS
iii
FOREWORD
iv
PROFIL
v
CONTENTS
1
HEADLINES
2
STOP KRIMINALISASI KPK!
9
MENANTANG OLIGARKI
19
PESTA DEMOKRASI ATAU
PESTA PARA ELIT?:
OBROLAN SEPUTAR PEMILU
21
Meritokranian: Generasi
Muda Pelopor Demokrasi
Berintegritas
29
Pilkada TidaK Langsung,
Langkah Mundur Demokrasi
39
PRO-KONTRA KEBIJAKAN:
KRITIK PERSOALAN SEKITAR
KITA
41 Polemik BBM dan Statolatri
51
Subsidi BBM: Antara Sektor Ekonomi
dan Sosial di NusantarA
65
Kuda Besi Ibukota: Dipakai Warga,
Dihindari Jakarta
71
Kebijakan Pelarangan Penggunaan
Sepeda Motor, Kebijakan Marah-Marah?
79
GERAKAN ANAK MUDA DULU DAN SEKARANG:
SEBUAH TRAJEKTORI
82
Menilik Organisasi Anak Muda Kontemporer
di Indonesia
90
Lekuk Gerakan Anak Muda
97
MATA MUDA:
SUDUT PANDANGNYA ANAK MUDA
98 Dimana Kita, Saat KPK Dilemahkan?
102
Bertindak Cerdas untuk Melawan
Kultur Kerja Korup
109
NEGATIVE LEADERSHIP sebagai Upaya
untuk Mengurangi Pemimpin Korup
116
119
125
PHOTO GALLERY
WRITER’S BIO
BEHIND THE JOURNAL
v
Jurnal Youth Proactive Vol.2
KORUPSI
adalah penyalahgunaan wewenang
untuk kepentingan pribadi.
(Transparency International)
Indeks
Persepsi
Korupsi
(Corruption Perceptions Index)
merupakan indeks gabungan global
yang dikeluarkan oleh Transparency
International, untuk menggambarkan
persepsi korupsi di sektor publik (pejabat
publik dan politisi) dari sudut pandang
pakar dan pebisnis, dengan rentang skor
0-100 (sangat korup-sangat bersih).
Skor dan peringkat Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini:
TAHUN
SKOR
PERINGKAT
2012
32
118
2013
32
114
2014
34
117
>>>>>>>>>>>
vi
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Survei Persepsi Korupsi 2015
merupakan survei yang dilakukan
oleh
Transparency
International
Indonesia di 11 kota di Indonesia,
untuk menggambarkan daya saing dan
hambatan berusaha, potensi korupsi dan
integritas pelayanan publik, potensi suap
dan integritas sektor bisnis, penilaian
sistem integritas lokal, serta penilaian
kinerja perekonomian daerah, dengan
rentang skor 0-100 (sangat korupsangat bersih). 11 kota yang diteliti
merupakan kota yang memiliki kontribusi
produk domestik bruto nasional terbesar
di Indonesia.
NEGARA
SKOR
PERINGKAT
Banjarmasin
68
1
Surabaya
65
2
Semarang
60
3
Pontianak
58
4
Medan
57
5
Jakarta Utara
57
6
Manado
55
7
Padang
50
8
Makassar
48
9
Pekanbaru
42
10
Bandung
39
11
vii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Perbandingan skor dan peringkat
Indonesia di tahun 2014 dengan
beberapa negara ASEAN:
NEGARA
SKOR
PERINGKAT
Singapura
84
7
Malaysia
52
50
Filipina
38
85
Thailand
38
85
Indonesia
34
117
Vietnam
31
119
Kamboja
21
156
Myanmar
21
156
3 tipe fenomena dalam korupsi:
Penyuapan
(Bribery)
merupakan
perbuatan kriminal yang melibatkan
sejumlah pemberian kepada seseorang,
dengan
maksud
agar
penerima
pemberian
tersebut
mengubah
perilakunya sehingga bertentangan
dengan tugas dan tanggung jawabnya
yang sesungguhnya
Pemerasan
(Extortion)
merupakan
penggunaan ancaman kekerasan atau
penyampaian/penampilan
informasi
yang merusak guna membujuk seseorang
agar mau bekerja sama dengan pihak
pemberi ancaman/informasi
Nepotisme
(Nepotism)
merupakan
tindakan memilih keluarga atau teman
(dalam hal
pekerjaan) berdasarkan
pertimbangan hubungan, bukan karena
kemampuannya
(Syed Hussein Alatas, 1983)
viii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
HEADLINES
1
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Stop
Kriminalisasi
KPK!
#SaveKPK,
#SehatkanPolri1
Alia Faridatus Solikha
Harus diakui, Indonesia tengah menjadi
negara dengan darurat korupsi dengan
maraknya tindak pidana korupsi
khususnya di kalangan abdi negara.
Semenjak berdirinya Orde Baru pada
1965, berbagai bentuk tindakan pidana
korupsi seakan menjamur dari berbagai
lini. Korupsi, yang menurut UU No.
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dipahami sebagai “…
tindakan memperkaya diri sendiri,
penyalahgunaan
wewenang
dan
kekuasaan, memberi dan menjanjikan
sesuatu kepada pejabat atau hakim,
1 Disampaikan dalam diskusi Ngobrol Pintar (NGOPI #5)
Youth ProActive Transparency International Indonesia,
Jakarta 6 Januari 2015. Kritik dan saran:aliafaridatus@
gmail.com
2
berbuat curang, melakukan penggelapan,
dan menerima hadiah terkait tanggung
2 ,
jawab yang dijalani,” seakan menjadi
topik yang akrab ditemui di berbagai
pemberitaan nasional Indonesia yang
memperlihatkan bobroknya perilaku
pejabat negara akhir-akhir ini. Mulai dari
pejabat pemerintahan di tataran pusat,
daerah, yang meluas dari kota hingga
ke pelosok negeri, serta penguasa dari
sektor swasta pun tak lepas dari tindakan
korupsi.
Era reformasi menjadi titik balik bagi
bangsa ini dalam semangat melawan
berbagai tindakan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Perjalanan panjang
memberantas korupsi seperti
mendapatkan
angin
segar
setelah muncul lembaga negara
yang memiliki tugas dan
kewenangan yang jelas untuk
memberantas korupsi. KPK
menjadi lembaga yang mampu
membangkitkan
optimisme
masyarakat
mengenyahkan
korupsi di negeri ini.
2 Diana Napitupulu, KPK in Action, Raih Asa Sukses
(Penebar Swaday Grup), Jakarta, 2010, hlm.9.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
KPK berdiri berdasarkan UU No.
30/2002 dan berdiri secara independen
serta bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. KPK dengan sifatnya sebagai
lembaga ad hoc, sewaktu-waktu dapat
bubar. Pembubaran KPK akan terjadi jika
kinerja dari Kepolisian dan Kejaksaan
sudah dapat dipercaya, serta korupsi
3
tidak lagi eksis di Indonesia.
Berdasarkan data yang dilansir oleh
Transparency International Indonesia, di
tahun 2014 skor Corruption Perception
Index Indonesia berada di angka 34
atau naik dua digit dari skor tahun 2013
4
dengan besaran 32. Dengan hasil ini,
kinerja pencegahan dan pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia bersama lembaga penegak
hukum ini patut diapresiasi. Namun patut
disayangkan, terlepas dari prestasi yang
meningkat dalam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia, belakangan ini
persaingan tidak sehat antara KPK
dengan lembaga penegak hukum
lainnya justru kian meruncing. Rivalitas
antara kepolisian, kejaksaan dengan
KPK semakin memanas dengan adanya
berbagai temuan KPK atas tindakan
korupsi yang dilakukan oleh para oknum
kepolisian dan kejaksaan, sebagai mafia
peradilan dan makelar kasus yang justru
turut melemahkan penegakan hukum di
negeri ini.
Menuju
seratus
hari
pertama
pemerintahan baru Joko Widodo dan
Jusuf Kalla, rakyat Indonesia kembali
dihadapkan dengan perseteruan antara
KPK dan Polri (Cicak vs Buaya) yang ketiga
kalinya setelah sebelumnya telah terjadi
perseteruan Cicak vs Buaya Jilid I dan II.
3 Ibid., hlm.47
4 Wahyudi, “Corruption Perceptions Index 2014 Perhatian:
Indonesia Harus Lebih Serius Memberantas Korupsi”
diaksesdari
3
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Upaya politisasi lembaga
penegak hukum
menjadi polemik dalam
pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Polemik ini dapat dilihat pada
pencalonan tunggal Kapolri Budi
Gunawan yang lebih dikarenakan
pada adanya preferensi politik
tertentu. Kontroversi in muncul
karena pengangkatan calon pejabat
penegak hukum lebih didasarkan
kepentingan politis, dibandingkan
aspek kompetensi dan kredibilitas.
Hal ini tentu saja membuat rakyat
kecewa dengan keberadaan institusi
hukum di negeri ini. Banyak pihak
yang mengingatkan Presiden Jokowi
yang tidak melibatkan KPK untuk
memastikan calon Kapolri yang
bersih dan bebas dari tindak pidana
korupsi. Namun entah mengapa,
Presiden Jokowi seolah sangat yakin
bahwa Budi Gunawan adalah calon
Kapolri yang paling layak dan terbaik.
4
Publik Indonesia semakin dibuat kaget
atas hasil sidang paripurna DPR RI yang
berlangsung pada Kamis (15/1) yang
menyetujui usulan Presiden Jokowi
untuk mengangkat Komjen Budi
Gunawan sebagai Kapolri menggantikan
(pol) Sutarman. Diketahui sebelumnya,
KPK telah menetapkan Komjen Budi
Gunawan sebagai tersangka kasus
korupsi berupa gratifikasi saat menjabat
sebagai Kepala Biro Pengembangan
Karier, Deputi SDM Polri.
Apabila jabatan Kapolri diisi oleh orang
yang tersangkut kasus korupsi, tentu
membuka peluang untuk terjadi hal
yang serupa dan korupsi pun akan
semakin sulit untuk diberantas.
Seakan
memperlihatkan
bentuk
perlawanan, beberapa hari kemudian,
Bambang Widjojanto salah satu
pimpinan aktif KPK ditangkap paksa
dan diberikan status tersangka oleh
Bareskrim.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Penangkapan itu didasarkan pada
pengaduan bekas anggota legislatif dari
fraksi PDI-P, Sugianto Sabran, dengan
tudingan mendalangi kesaksian palsu
dalam sengketa Pilkada Kotawaringin,
Kalteng, 2010 silam. Upaya kriminalisasi
KPK berlanjut pada jajaran KPK lainnya.
Mulai dari Abraham Samad yang
dilaporkan oleh Plt. Sekjen PDI-P, Hasto
Kristiyanto atas pertemuan Samad
dengan petinggi partai PDI-P terkait
pencalonannya sebagai Wakil Presiden
2014. Tak lama setelahnya, wakil ketua
KPK Adnan Pandu yang dilaporkan
atas kasus penguasaan perusahaan
secara ilegal, dan Zulkarnaen yang juga
diadukan ke Kepolisian terkait dugaan
korupsi dana hibah Program Penanganan
Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa
Timur pada tahun 2008.5
Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan
dengan jelas, bahwa ada upaya sistematis
yang mengarah kepada kriminalisasi KPK
sebagai institusi pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi dinilai hanya sebagai
petugas partai yang mengakomodir
keinginan partai politiknya, PDI-P untuk
memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Sulit untuk dinafikan,
saat ini kepentingan segelintir
elit partai yang menyandera
Presiden Jokowi telah berujung
pada upaya pelemahan dan
kriminalisasi KPK oleh Polri,
yang secara nyata merupakan
serangan balik atas tertundanya
pelantikan
Budi
Gunawan
sebagai Kapolri. DPR pun seakan
turut memuluskan pencalonan
Budi Gunawan sebagai Kapolri
dengan
meloloskannya
saat
proses fit and proper test.
5 Rzn, “Kronologi Cicak vs Buaya Jilid Tiga”, diakses
dari http://www.dw.de/kronologi-cicak-vs-buaya-jilidtiga/a-18211420, pada tanggal 2 Februari 2015 pukul
11.03WIB
5
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kasus ini menunjukkan lemahnya
negara
dalam
konsistensinya
memberantas korupsi. Terlihat pula
lemahnya presiden dalam menjalankan
amanatnya, yang juga merupakan
janjinya, untuk melumpuhkan korupsi.
Preseden ini semakin menyudutkan
presiden
dan
mempertanyakan
independensinya dalam penegakan
hukum elit. Ini adalah titik kritis
pemberantasan korupsi di
Indonesia, dimana elit dan
penegak hukum tak dapat
melepaskan diri dari unsur
politis dalam melaksanakan
tugasnya.
KPK yang hingga kini menjadi lembaga
yang paling dipercaya rakyat memang
harus dilindungi, tetapi apabila memang
terbukti terdapat oknum-oknum KPK
yang melakukan pelanggaran hukum,
maka harus tetap diusut sampai tuntas.
Berlaku pula pada oknum Kepolisian
yang terindikasi korupsi, maka harus
tetap menjalani proses hukum hingga
tuntas.
6
#SaveKPK
Meskipun
kini
pimpinan-pimpinan
KPK berada dalam situasi yang pelik,
publik tentu tetap mengharapkan KPK
menjadi lembaga independen yang
kredibel dalam pemberantasan korupsi.
KPK harus diselamatkan dari oknumoknum yang berusaha melakukan
kriminalisasi. KPK harus diteguhkan
menjadi
lembaga
pemberantasan
korupsi yang tidak terbawa arus politik.
Kinerja KPK selama ini tidak dapat
dipandang remeh. Bagaimanapun, KPK
telah menyelamatkan trilyunan uang
negara dari para koruptor. Walaupun
begitu, fakta yang terjadi saat ini,
pemerintah masih belum serius
memperkuat KPK. Terbukti dari
alokasi anggaran untuk KPK
yang hanya 0.05% dari total
anggaran negara. Seharusnya
anggaran lembaga antikorupsi
di sebuah negara mencapai
0.5% dari total APBN.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
yang menekankan pada pembangunan
integritas
baik
individu
maupun
organisasi, yang dibarengi tiga sektor
strategis: hukum (kepolisian, kejaksaan,
peradilan), politik (parlemen dan
partai politik), serta bisnis (perizinan,
bea
cukai,
dan
ekspor-impor).7
Bertrand de Speville, Mantan Komisioner
di Independent Commission Against
Corruption
(ICAC)
Hong
Kong
mengatakan bahwa sangat
tidak
mungkin pemberantasan korupsi dengan
hanya mengandalkan 750 staf, ditambah
lagi gedung yang digunakan hanya dapat
menampung 350 orang. Indonesia harus
menginvestasikan lebih banyak sumber
daya manusia dan keuangan apabila
korupsi ini ingin di berantas habis.6
Tak hanya itu, diperlukan pula komitmen
Presiden dan koordinasi yang baik
antarlembaga
penegak
hukum
baik Kepolisian, Kejaksaan maupun
masyarakat dalam hal pemberantasan
korupsi. KPK pun telah mengajukan
konsep Sistem Integritas Nasional (SIN)
6 KPK, “Anggaran Ideal KPK 0,5% dari APBN”, diakses
dari http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-sub/534anggaran-ideal-kpk-0-5-dari-apbn, pada tanggal 2 Februari
2015 pukul 11.35WIB
#SehatkanPolri
KPK membutuhkan Presiden sebagai
dirjen pemberantasan korupsi, juga
Polri sebagai sekutu setia (Oppusunggu,
2015).8 Presiden juga harus menunjukkan
komitmennya dalam pemberantasan
korupsi dengan melakukan pembenahan
terhadap Polri. Presiden harus berani
membatalkan pelantikan Budi Gunawan
sebagai calon tunggal Kapolri dan segera
mencari pengganti yang bermartabat
dan bebas dari korupsi. KPK memang
lembaga yang memiliki tugas utama untuk
memberantas korupsi. Namun peran Polri
juga sangat berpengaruh. Berdasarkan
infografis yang dilansir dari Selasar.com.
7 Pradipa P. Rasidi, “CPI 2014: Lebih Serius Memberantas
Korupsi”, diakses dari http://youthproactive.com/cpi2014-lebih-serius-memberantas-korupsi/, pada tanggal 2
Februari 2015 Pukul 11.36WIB
8 Yu Un Oppusunggu, “#SaveKPK?”, diakses dari http://
www.selasar.com/politik/savekpk, pada tanggal 1 Februari
2015pukul 10.12 WIB
7
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kepolisian
Indonesia merupakan
institusi yang dipersepsikan paling
korup. Kepolisian Indonesia menempati
skor teratas dengan persentase 91%,
diikuti DPR 89% serta Pengadilan
& Kejaksaan dan Parpol dengan
persentase yang sama; yaitu 86%.
Kepercayaan publik akan kembali
apabila Polri serius dan konsekuen
dalam menuntaskan semua perkara
hukum yang melibatkan petinggi
di dalam institusinya. Polri harus
mampu membuktikan institusinya
bebas dari kepentingan politik.
Reformasi birokrasi menjadi
harga mati bagi Polri agar
menjadi lembaga yang kuat,
profesional, dan bersih dari
tindakan korupsi.
Gambar Infografis Indeks Persepsi Korupsi Polisi
Sumber: selasar.com, 20159
Konflik antara KPK dan Polri adalah
bukti bahwa institusi penegak hukum
di Indonesia sedang dipertaruhkan.
Presiden Joko Widodo sebagai pihak
yang memiliki kewenangan terbesar
atas kasus ini harus segera memetakan
masalah yang berkembang, kemudian
melakukan penyelesaian yang tak
hanya bersifat normatif. Presiden
harus tegas dan membebaskan
institusi
penegak
hukum
dari
kepentingan elit tertentu. Presiden
harus dapat menunjukkan kepada
rakyat, komitmennya memberantas
korupsi dan mengembalikan marwah
penegakan hukum di Indonesia.
9 Khas Selasar, “KPK Versus POLRI?” diakses dari http://
www.selasar.com/khas-selasar/kpk-versus-polri pada
tanggal 2 Februari 2015 pukul 13.09 WIB
8
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Menantang
Oligarki
Donny Ardyanto*)
Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan Kepala
Daerah secara langsung disahkan pada bulan Oktober 2004, dan
untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah secara langsung
ini diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai Kartanegara bulan
Juni 2005. Artinya, rakyat Indonesia baru merasakan pengalaman
pemilihan kepala daerah secara langsung di masing-masing
wilayahnya tidak lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman
pemilihan kepala daerah oleh DPRD di era reformasi (19982004) juga baru 1-2 kali dialami di masing-masing daerah.
Dengan pengalaman yang masih sangat terbatas tersebut
sebenarnya menjadi terlalu dini untuk menilai sejauh mana
pengaruh model pemilihan kepala
daerah ini terhadap
1
kemajuan demokrasi di Indonesia. Jika kita hanya melihat
berdasarkan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya
secara langsung, tentunya pemilihan kepala daerah melalui
DPRD adalah sebuah kemunduran. Namun kemajuan serta
kualitas demokrasi tidak bisa dinilai dan diukur sematamata hanya dari pemberian hak pilih langsung tersebut.
*)
Penulis
adalah peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
(P2D) dan juga menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi Partai
Serikat Rakyat Independen, sebuah partai politik yang berusaha
bebas dari oligarki namun gagal menjadi peserta Pemilu 2014.
1 Meskipun sepanjang Orde Baru kepala daerah dipilih melalui DPRD, namun lebih tidak
tepat apabila pengalaman tersebut digunakan sebagai perbandingan.
9
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dari berbagai metode yang dilakukan
untuk mengukur demokrasi
(Indeks
2
Demokrasi
Indonesia
,
Global
Democracy
3
4
Ranking , Freedom in the World , dll),
mekanisme pemilihan kepala daerah
hanya merupakan satu indikator dari
puluhan indikator demokrasi.
Jadi,
selain terlalu dini dan sumir untuk
melakukan semacam evaluasi terhadap
perkembangan demokrasi Indonesia
berdasarkan mekanisme pemilihan kepala
daerah, ada aspek lain yang lebih relevan
dalam memandang transisi demokrasi ini.
Menurut Jeffrey Winters (2011), selain
transisi dari kediktatoran ke demokrasi,
ada transisi lain yang tidak kalah penting,
yaitu transisi dari oligarki sultanistik yang
dijinakkan oleh Suharto menjadi oligarki
kekuasaan yang belum
dijinakkan
5
semenjak Suharto jatuh. Oligarki yang
dijalankan oleh kamu oligark inilah
yang menguasai perpolitikan Indonesia
di era reformasi. Secara langsung
maupun tidak langsung, mereka telah
mendominasi
lembaga-lembaga
politik yang dibangun dengan tujuan
awal untuk memperkuat demokrasi.
2 Lihat http://www.idiproject.org/index.php/en/
methodology dan Indeks Demokrasi Indonesia 2013
di Berita Resmi Statistik BPS No. 55/07/Th.XXVII, 04
Juli2014.
3 http://democracyranking.org/?page_id=738
4 http://www.freedomhouse.org/report/freedomworld-2014/methodology#.VDaUZvnLclR
5 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.xix-xx.
10
Jurnal Youth Proactive Vol.2
APAKAH OLIGARK INI?
Oligark adalah individu yang menguasai
dan
mengendalikan
konsentrasi
besar
sumber
daya
material,
yang
bisa
digunakan
untuk
mempertahankan atau
meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi
sosial ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah
politik pertahanan kekayaan dari kaumoligark.6
Postur oligarki Indonesia tergambar dari fakta bahwa
jumlah kekayaan dari 40 orang terkaya di Indonesia
pada tahun 2010 merupakan 10,3% dari GDP,
dengan rata-rata kekayaan mereka mencapai Rp
21,36 trilyun.7 Jika dibandingkan rata-rata kekayaan
40 orang terkaya di Indonesia, Thailand, Malaysia dan
Singapura, Indonesia berada di posisi paling tinggi.
6 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.8-9.
7 Data Forbes Magazine 2010 yang dirangkum oleh Winters. Bandingkan
dengan rata-rata kekayaan penduduk Indonesia
yang hanya Rp39,7juta(GlobalWealthReport2010).
11
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TABEL PERBANDINGAN KEKAYAAN 40 ORANG TERKAYA TAHUN 20108
Total Wealth
(US$ billions)
AverageWealth
(US$ billions)
Total Wealth
as % of GDP
Wealth
Concentration
Index
indonesia
71.3
1.78
10.3
6.22
Thailand
36.5
0.91
11.7
1.95
Malaysia
51.3
1.28
23.4
1.65
Singapore
45.7
1.14
21.0
0.25
Source: Forbes magazine 2010 “40 Richest” reports for various Asian countries and author’s calculations.
Dari tabel di atas terlihat bahwa 40 orang terkaya di Indonesia menguasai aset yang
jumlahnya mencapai 10.3% dari GDP Indonesia.9 Sementara konsentrasi kekayaan
di Indonesia lebih dari 3 kali lipat konsentrasi kekayaan Thailand, hampir 4 kali lipat
Malaysia, dan 25 kali lipat dari konsentrasi kekayaan orang Singapura. Konsentrasi
kekayaan ini, berbeda dengan indeks Gini yang menggambarkan kesenjangan
ekonomi, menunjukkan bagaimana kesenjangan yang tinggi itu terkonsentrasi
pada segelintir orang yang kemudian bisa dikategorikan sebagai oligark.
8 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011.
9 Menurut Data Forbes 2013 (http://www.forbes.com/indonesia-billionaires/list/), total kekayaan 40 orang terkayaIndones
iameningkat26%padatahun2013menjadiUSD89,6milyar,danmasihmemilikiprosentase
yang sama (10,3%) terhadapGDP.
12
Jurnal Youth Proactive Vol.2
INDEKS KONSENTRASI KEKAYAAN ORANG INDONESIA 201010
Indonesians
% GDP
Wealth Index
per Orang
Top 40
10.3
823.850
Next 42.960
14.7
1.095
Bottom 239.957.000
(99.98% of pop)
75.0
1
10 Diambil dari materi presentasi Jeffrey Winters dalam Diskusi Ancaman Oligarki dan Masa Depan Politik
Indonesia di SMI-Keadilan, Juni2011.
Satu hal yang membedakan antara oligark
Indonesia dengan kaum oligark dalam
rumusan teori oligarki Winters adalah
oligark Indonesia tidak menggunakan
(apalagi mengupayakan) rule of law
dalam mempertahankan/meningkatkan
kekayaan mereka.
Oligark Indonesia
memanfaatkan absennya rule
of law untuk, bukan sematamata mempertahankan
kekayaan, namun juga untuk
mengakumulasi kekayaan
yang lebih besar dengan cara
yang melanggar hukum.
13
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Cara-cara
yang
biasa
dilakukan kaum oligark
dengan
mempengaruhi
perumusan
kebijakan,
seperti UU Penanaman
Modal, UU Pajak, UU
Minerba, UU Perseroan
Terbatas,
dll
demi
mempertahankan
kekayaannya
sudah
merupakan
sebuah
bentuk penyalahgunaan
kekuasaan,
meskipun
dengan cara yang bisa
dikatakan “halus” dan
canggih. Melalui UU dan
kebijakan tersebut mereka
berhasil mempertahankan
kekayaan
dengan
perlindungan legal dari
peraturan
perundangundangan. Ternyata cara
itupun
masih
belum
mencukupi bagi sebagian
oligark Indonesia, sehingga
kemudian cara-cara “kasar”
pun dilakukan dengan
mengambil proyek-proyek
pembangunan untuk bisa
dijalankan oleh perusahaan
yang mereka miliki.
Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita bisa
berharap pada institusi penegakan hukum,
khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki
yang menggunakan instrumen demokrasi dalam
mempertahankan kepentingan privat mereka
itulah yang menurut Winters menjadi problem
penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang
bisa menghasilkan kekuasaan, namun di Indonesia
kemampuan itu menjadi berlipat ganda karena
tidak adanya hambatan (berupa aturan, dll) bagi
penggunaan uang untuk kepentingan kekuasaan.11
Menurut Rahman Tolleng, konsolidasi kaum oligark
pasca Orde Baru sudah membajak demokrasi yang
dicita-citakan pada tahun 1998, dan “membekukan”
masyarakat.12 Politik secara perlahan diambil
alih dan dikuasai kembali oleh mereka,
kali ini tanpa adanya lagi kediktatoran
Suharto yang membatasi ruang gerak
oligark. Arena pertarungan politik dibuat
sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu
dan campur tangan mereka, politik bisa berjalan.
Politik hanya bisa berjalan dengan biaya besar. Biaya
besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi
di pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang
kontestasi pemilu saja sebuah partai politik harus
menyiapkan biaya minimal Rp 35-60 milyar.13
Itu belum termasuk biaya kampanye, sehingga
juga belum menjamin parpol yang bersangkutan
bisa memperoleh suara yang
signifikan.
11 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, AprJun2011
12 OrasiRahmanTollengdalamPeringatan40TahunMalari,15Januari2014,dibu
kukanolehIndemo.
13 Berdasarkan perhitungan saya, kebutuhan minimal
pembentukan Partai Politik (verifikasi Depkumham): Rp 35milyar.
Biayakeikutsertaanpemilu(verifikasiKPU,rekrutmenanggotadll):Rp25milyar.
Biayakampanye: ∞
14
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TABEL PERSYARATAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI
1999
Persyaratan Pembentukan
Partai Politik
- Jumlah Pendiri
- Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi
- Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota
- Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan
Jumlah Partai Politik
Persyaratan Parpol Ikut Pemilu
- Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi
- Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota
- Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan
- Jumlah Anggota
Jumlah Peserta Pemilu
2004
2009
2014
UU No.2/1999 UU No.31/2002 UU No.2/2008 UU No.2/2011
50
0
0
0
50
50%
50%
25%
50
60%
50%
25%
99
100%
75%
50%
141
187
74
34
UU No.3/1999 UU No.12/2013 UU No.10/2008 UU No.8/2012
2/3
50%
2/3
100%
50%
2/3
75%
2/3
0
0
50%
0
1000 atau
0
1000 atau
1000 atau
1/1000
1/1000
1/1000
48
24
12
38
Akibat yang muncul di publik yang
menggambarkan efek pembekuan oleh
kaum oligark adalah ketidakberdayaan
publik ketika berhadapan dengan
partai politik yang mengabaikan
ataupun mengkhianati aspirasi mereka.
Penguasaan oligark terhadap partai
politik
membuat pemimpin partai
tidak lagi melakukan “leading”, namun
melakukan dominasi, dan peran mereka
pun bersifat personal. Personalisasi
dalam politik, yang juga kompatibel
dengan individualisme oligark, kemudian
dipadukan dengan populisme oleh
sistem pemilihan langsung. Di satu sisi,
publik dibuat seolah-olah sebagai demos
yang kratos melalui direct-one-manone-vote, padahal umur kratos mereka
hanya sekejap ketika mereka berada di
dalam bilik suara. Selebihnya, mereka
tidak punya akses sama sekali terhadap
kekuasaan. Jarak antara publik dengan
partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa
oligark, maupun reaksi publik sendiri
berdasarkan pengalaman traumatik
mereka terhadap partai politik.
Dalam hasil riset LSI yang dijadikan
rujukan dalam tulisan Sdr. Iman Warih
Waskito, dinyatakan bahwa penolakan
publik terhadap pemilihan kepala
daerah oleh DPRD dilandasi oleh adanya
kekawatiran bahwa kepala daerah akan
lebih mengutamakan kepentingan partai
(dibanding kepentingan publik). Temuan
itu juga harus dibaca sebagai adanya
kesenjangan yang sangat besar antara
kepentingan publik dengan kepentingan
partai.Kesenjangan
ini
merupakan
problem mendasar dari politik dan
kepartaian Indonesia, di mana partai
gagal merepresentasikan kepentingan
publik.
15
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Problem kegagalan fungsi representasi
partai politik, dan ketidakpercayaan
publik terhadap partai politik tidak ada
kaitan langsung, dan tidak akan bisa
diselesaikan melalui model pemilihan
kepala daerah secara langsung. Akar
dari kedua problem tersebut yaitu
oligarki sekalipun, tidak bisa diselesaikan
dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung. Winter menegaskan bahwa
penjinakan terhadap oligark tidak
ada hubungannya dengan kebebasan
ataupun partisipasi politik masyarakat.
Penjinakan terhadap oligark hanya dapat
dilakukan melalui rule of law, dan harus
disadari bahwa demokrasi tidak selalu
identik dengan rule of law. Indonesia
adalah contoh demokrasi tanpa rule of
law, sehingga disebut Winters sebagai
“criminal
democracy”;
berbanding
terbalik dengan Singapura yang dia
sebut sebagai “authoritarianlegalism”.14
14 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside
Indonesia 104, Apr-Jun2011
16
Kita berada dalam situasi dimana
politik elektoral sudah diberlakukan,
namun partai politik dikuasai
oleh oligark sementara publik
mengambil sikap anti terhadap
(partai) politik. Dengan kesediaan
untuk menjadi demos hanya sekejap
dalam bilik suara, kecenderungan
publik adalah berpolitik sebagai
kumpulan gerombolan tanpa isi
kepala. Padahal kita membutuhkan
publik dengan kualitas demos yang
permanen sehingga benar-benar bisa
memegang kratos secara permanen pula.
Institusi-institusi yang dianggap sebagai
pilar demokrasi, terutama partai politik
dan pers, sudah menjadi bagian dari
oligarki yang alih-alih menjalankan fungsi
pendidikan politik, malah menjejali publik
dengan segala jenis survei dan kampanye
personalisasi politik.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pendalaman demokrasi membutuhkan
peran aktif warga negara dalam politik.
Peran aktif ini harus lebih dari sekedar
aktif mengikuti isu politik di media
massa atau media sosial, kemudian
mengambil sikap (juga melalui media
sosial) berdasarkan informasi-informasi
dangkal yang diterima dari media massa.
Politik harus mulai dipahami dan disikapi
bukan berdasarkan figur ataupun hasil
polling, namun berdasarkan gagasan
dan platform dari aktor politik. Rekayasa
politik diperlukan untuk mengubah
pemahaman tersebut, dan mau tidak mau
diawali dengan kesadaran bahwa segala
hiruk pikuk politik yang terjadi selama
ini tidak lain merupakan pertarungan
antar oligark dalam memanfaatkan serta
memperebutkan kendali atas institusiinstitusi demokrasi.
17
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Agenda
untuk
melahirkan
kewarganegaraan
yang
aktif
memerlukan
rakayasa
melalui
pendidikan.
Pemilihan
secara
langsung tentunya juga bisa dianggap
sebagai suatu bentuk pembelajaran
politik, learning by doing. Asumsinya
pengalaman adalah guru yang
terbaik, publik akan belajar dari
kesalahan maupun keberhasilan
yang mereka peroleh ketika terlibat
langsung dalam proses voting.
Namun ada resiko ketika momentum
belajar yang hanya sekali dalam lima
tahun itu kalah cepat dengan proses
pengambilalihan institusi demokrasi
oleh
kaum
oligark,
sehingga
instrumen hukum yang merupakan
alat utama untuk menjinakkan kaum
oligark akan semakin sulit diciptakan
dengan makin kuatnya cengkraman
oligarki.
18
Pemilihan kepala daerah secara langsung
maupun melalui DPRD tidak berpengaruh
terhadap fenomena oligarki politik.
Bahkan pertarungan wacana mengenai
mekanisme pemilihan kepala daerah
bisa jadi menguntungkan oligark karena
masih jauh dari subtansi yang diperlukan
untuk menjinakkan mereka. Menjinakkan
oligark sangatlah sulit, namun jauh lebih
sulit lagi untuk bisa menghancurkan
mereka melalui pemecahan konsentrasi
kekayaan. Meskipun sulit, namun
cengeraman oligarki memang hanya
bisa diatasi dengan aturan hukum (rule
of law). Menurut Winters, hal itu harus
dimulai dengan masyarakat mempunyai
organisasi dan pemimpin di luar struktur
yang dikuasai para oligark dan elit.
Organisasi dan pemimpin politik inilah
yang akan menjadi agen dan alat dalam
menantang oligarki.
Oleh karena itu, jauh lebih penting untuk
mendorong kewarganegaraan yang aktif
dengan keterlibatan langsung warga
negara di institusi-institusi demokrasi,
dimulai dengan partai politik. Contoh
pilihan sederhananya: Masuk partai
politik yang sudah ada dan melawan
oligarki dari dalam; atau Membuat partai
politik baru yang terbebas dari kaum
oligark.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pesta Demokrasi atau Pesta Para Elit?:
Obrolan Seputar Pemilu
19
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pemilihan Umum (Pemilu), yang merupakan syarat utama demokrasi,
bukan sekedar arena untuk mengekpresikan kebebasan rakyat dalam memilih
pemimpinnya; tetapi juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan
menghukumnya, jika kinerja dan kelakukannya buruk. (Rumahpemilu.org)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan diadakan secara
bertahap (dibagi menjadi 7 gelombang) mulai Desember 2015 hingga tahun
2027 – dimana pada tahun 2027 tersebut Pilkada Serentak akan diadakan di
setiap provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, dan untuk seterusnya akan
dilakukan kembali setiap 5 tahun sekali.
Mengapa Pilkada Serentak?
Pilkada di Asia Tenggara
• Efisiensi anggaran
Berbeda dengan Indonesia;
Myanmar,
Laos,
Vietnam,
Kamboja, Brunei, dan Malaysia
tidak
menyelenggarakan
Pilkada.
Malaysia
sempat
menyelenggarakan tapi tidak
dilanjutkan kembali setelah
adanya konfrontasi dengan
Indonesia pada tahun 1964.
Di Malaysia, kepala daerah
dipilih oleh pemerintah pusat.
Sedangkan di Vietnam, kepala
daerah dipilih oleh badan
legislatif.
• Sebagai sarana untuk menggerakkan
kader partai politik secara luas dan
gencar
• Mencegah mobilisasi massa pemilih
dari satu daerah ke daerah lain (misal:
minggu ini mobilisasi massa di Banten,
minggu berikutnya mobilisasi massa
yang sama di Depok)
• Mencegah kutu loncat (gagal di satu
wilayah, menyeberang ke wilayah lain)
seperti Rieke Dyah Pitaloka (gagal di
Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon
di Depok) dan Andre Taulany (gagal di
Tangerang Selatan, jadi bakal calon di
Depok)
20
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Meritokranian:
Generasi Muda
Pelopor Demokrasi
Berintegritas
Apriliyati Eka Subekti
Dalam hitungan minggu, sebagian
daerah di Indonesia akan segera
menggelar hajatan tertinggi demokrasi.
Data KPU menunjukkan bahwa terdapat
9 provinsi dan260 kabupaten/kota yang
serentak mengadakan pilkada pada 9
Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan
dalam memberikan hak suara pada
pilkada
ini,
dipandang
sebagai
standard partisipasi masyarakat dalam
pemenuhan tanggung jawabnya sebagai
warga negara. Perlu diketahui, sekitar 30
persen dari total pemilih di Indonesia
merupakan generasi muda atau pemilih
pemula. Para pemilih pemula tersebut
merupakan basis utama swing voters yang
cukup menentukan arah pengelolaan
negara pada periode selanjutnya. Di
sisi lain, para pemimpin dan pemangku
kebijakan sudah sepatutnya dipilih
berdasar kompetensi dan integritasnya.
“Bicara kualitas manusia
maka prinsipnya
niscaya akan hadir era
meritokrasi.”
-Anies Baswedan
21
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran
akan kemampuan pemilih pemula
dalam mengelola antusias menentukan
sosok pemimpin yang tepat.Namun
demikian, jika dimanfaatkan dengan baik,
antusiasme tersebut justru dapat menjadi
modal untuk mengawal penyelenggaraan
pesta demokrasi, khusunya pilkada
2015. Sebetulnya, bagaimana kaum
muda dapat ambil bagian mengawal
penyelenggaraan pemilihan umum
di Indonesia? Mampukah kaum muda
menjadi
generasi
meritokranian
yang melek politik? Tulisan ini akan
memaparkannya lebih jauh.
PEMILIH PEMULA, ASET PEMILU
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi
demografi
suatu
negara
sangat
memengaruhi proporsi pemilih dalam
pemilihan umum di negara tersebut.
Bahkan, kondisi di atas turut berdampak
pada output dari pemilihan itu sendiri.
Keputusan pemilih akan menentukan
apakah
pemilihan
umum
dapat
membawa perubahan, atau justru
mengulang perilaku bobrok pejabat
publik pemerintahan, penyelewengan
kekuasaan berujung korupsi.
Merunut penyelenggaraan pemilihan
umum 2014, sebagian dari total pemilih
di Indonesia merupakan generasi
muda. Data “Survei Pemilih Pemula
Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu
2014” milik Transparency Indonesia(TI)
22
menunjukkan bahwa 30 persen dari
total pemilih di Indonesia adalah
pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya,
rata-rata pemilih pemula di Indonesia
mendapatkan
kemudahan
akses
pendidikan politik dari berbagai media.
Senada dengan hal tersebut, Kepala
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Sonny Harry
Harmadi pun menambahkan,bahwa
dengan tingkat pendidikan dan akses
informasi yang baik, mereka seharusnya
cenderung melek politik. (Antusiasme
Pemilih Muda- Kompas, 8 April 2014).
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jika
dilihat
dari
partisipasi
politik,
sebagian besar pemilih muda
menyatakan akan menggunakan
hak pilihnya. Survei TI pada tahun
2014 kembali menyebutkan bahwa, 77%
pemilih pemula bersedia menggunakan
hak suaranya dalam pemilihan presides
(pilpres) 2014. Begitupun pada pemilihan
legislative 2014, 63% pemilih pemula
menyatakan bersedia memberikan hak
suaranya.Fenomena ini menandakan
masih terjaganya tingkat kepercayaan
Apabila
disandingkan,
partisipasi
politik dan informasi politik dapat
ditarik benang merahnya. Partisipasi
politik yang tidak didukung
dengan kesediaan menggali
informasi
politik
dapat
memengaruhi pilihan politik.
Alih-alih memanfaatkan hak pilih dengan
tepat, justru malah ikut-ikutan karena
tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas,
pemilih pemula masih menjadi basis kuat
swing voters, pemilih yang masih dapat
mengubah pilihan politiknya.
pemilih pemula terhadap kondisi politik
yang tengah berjalan. Paling tidak, ada
kepedulian politik yang terbersit di
benak mereka. Namun, jika dilihat dari
kesediaan menggali informasi politik,
pemilih pemula cenderung minim minat.
Nyatanya, 48% pemilih pemula
mengaku
jarang
mencari
informasi tentang pemilu, 33%
pemilih
menyatakan
tidak
pernah, dan sisanya mengaku
sering mencari informasi.
Terbukti, 60% pemilih masih akan
mengubah
pilihan
legislatifnya,
sementara 35% akan mengubah pilihan
capresnya kelak.
Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan
suara pemilih pemula yang sulit untuk
ditebak namun tak terlalu sulit untuk
diarahkan. Tak sedikit sebagian kandidat
yang memanfaatkan hal ini. Oleh
karenanya, mereka menganggap pemilih
pemula sebagai aset pemilu nan potensial
yang dapat menjadi lumbung suara.
23
Jurnal Youth Proactive Vol.2
GENERASI MERITOKRANIAN
​ emokrasi merupakan sistem yang masih dipercaya masyarakat untuk
D
menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat ini. Bumi Bhineka Tunggal
Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman ialah mereka
yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang
demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya
sebagai warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya
aristokrasi.Sistem demokrasi jugatak boleh dikuasai dan disetir oleh
kaum-kaum elit layaknya plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut
diberlakukannya meritokrasi.
​ eritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana para pemimpin dan
M
pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan integritas, keahlian, atau
prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan oleh Michael Young
dalam Rise of the Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk
sebuah sistem politik yang mengapresiasi integritas dan kompetensi
seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meritokrasi
merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai
mampu melepaskan negara ini dari cengkraman tikustikus berdasi.
​ erujuk pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat
M
menentukan keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika
kesadaran politik tiap pemilih (khususnya pemilih pemula) telah mencapai
titik kulminasi, tak sulit meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara
paraswing voters dapat digiring kearah yang tepat. Menyikapi hal ini,
sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor demokrasi berintegritas.
Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma
menjadi generasi meritokranian.
24
Jurnal Youth Proactive Vol.2
​Generasi meritokranian adalah generasi
yang mampu menaruh pilihan politik
mereka pada sosok-sosok yang cakap
dan bermoral Generasi meritokranian
sadar betul akan pengaruh hak suara
mereka
demi
keberlangsungan
demokrasi bernafas meritokrasi. Dengan
demikian, mereka akan mencari tahu
betul siapa kandidat legislatif maupun
pemimpin mereka dari berbagai media
dan teknologi. Hal ini demi pilihan politik
yang tepat, kandidat dengan kompetensi
yang memadai dan berpedoman pada
integritas. Alhasil, bermunculan sosoksosok yang lebih dari sekadar pejabat
publik, sosok negarawan yang mampu
menjadi tauladan.
Sejatinya,
generasi
meritokranian
lah
yang
mampu
mengawal
keberlangsungan pemilihan umum di
Indonesia. Antusiasme sebagai pemilih
pemula dapat mendorong inisiatif politik
yang berujung pada keyakinan mereka
untuk menggunakan hak suara dengan
tepat.
Terlebih dengan kemudahan
akses informasi yang didukung dengan
tingkat pendidikan, pemilih pemula
sudah sepantasnya cerdas bersikap.
Dengan kecerdasan bersikap, generasi
meritokranian
diharap
mampu
menularkan kesadaran politiknya pada
orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga
mampu mendorong keberanian mereka
untuk melawan penyimpangan politik
yang terjadi. Paling tidak, mereka tak
menjatuhkan pilihan pada kandidat yang
terindikasi melakukan penyimpangan
tersebut. Jika berbagai peran di atas
betul-betul
dijalankan,
generasi
meritokranian jelas menjadi katalisator
utama demokrasi bermeritokrat.
25
Jurnal Youth Proactive Vol.2
SEKADAR PERLU ATAU PENTING?
​
P
ersentase
yang
besar
membuat pemilih pemula
menjadi sasaran empuk para
kandidat dan partai politik.
Dalam rangka mendekatkan
diri dengan generasi muda,
mereka pun menggunakan
media sosial sebagai sarana
kampanyenya. Strategi lain
adalah dengan menggelar
berbagai event yang digemari
generasi muda. Mulai dari
konser musik, flashmob, dan
iklan yang menampilkan
semangat
kepemudaan.
Hal ini ditempuh untuk
membentuk stigma positif
yang selanjutnya mengikat
generasi muda dengan sang
kandidat atau partai politik
tertentu. Seirama dengan
kondisi itu, Direktur Lingkaran
Survei Kebijakan Publik (LSKP)
Sunarto Ciptoharjono pun
turut menegaskan, bahwa
partai politik membentuk
preferensi pemilih muda
dengan membentuk ikatan
pertama dengan mereka.
26
​ ondisi di atas membuat suara
K
pemilih muda cukup rentan
diombang-ambing.
Psikologis
yang belum matang cenderung
membuat generasi muda mudah
dimanfaatkan oknum politik
tertentu. Maka dari itu, kesadaran
untuk menjadi bagian dari
generasi meritokranian sangatlah
penting. Yang perlu diingat, suara
generasi muda turut menentukan
masa depan pengelolaan negara
kedepannya.
​ engan menjadi generasi
D
meritokranian,
suara
generasi muda tak mudah
direbut dan dikelabui
partai tertentu. Menjadi
generasi meritokranian
berarti menjadi generasi
yang kritis, terutama
terhadap isu korupsi yang
membelit kaum senayan
dan mungkin si kandidat
pemimpin. Menjadi generasi
meritokranian
sama
saja
dengan membangun benteng
pertahanan dari gelombang
politik yang kian tak menentu.
Menjadi generasi meritokranian
berarti menjadi motor perubahan
sosial.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
​
U
ntuk
membentuk
generasi
meritokranian,
memang
dibutuhkan pendidikan politik yang
berkesinambungan. Cukupkah hanya
pemerintah yang bertanggung jawab.
Jelas, jawabannya tidak. Jika pada
kenyataannya masih ada generasi
apolitis, berarti pemerintah telah gagal
dalam memberikan pendidikan politik
pada warganya. Akan tetapi, disadari
atau tidak, fungsi pendidikan politik
nyata-nyata juga diemban oleh partai
politik. Maka, apabila generasi muda
hanya dimanfaatkan sebagai kantong
suara bahkan hanya dijadikan objek
politik semata, partai politik pun
turut dinyatakan gagal menjalankan
kewajiban edukasinya.
​amun demikian, kesadaran politik
N
sepatutnya harus dibangun sendiri oleh
setiap insan muda di Indonesia. Jika
generasi muda peduli akan bangsanya,
pastilah ia peduli akan pemimpin yang
memimpin bangsanya. Menjadi generasi
meritokranian hanyalah bagian kecil dari
sekian banyak kewajiban kaum muda
kepada ibu pertiwi. Tantangan bangsa ini
jauh lebih besar, perjalanan meneruskan
perjuangan para founding fathers masih
cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah
kita menjadi bagian dari generasi
meritokranian?
27
Jurnal Youth Proactive Vol.2
BAHAN BACAAN
“Antusiasme Pemilih Muda” kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015
(http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/
Antusiasme.Pemilih.Muda)
“Demokrasi dengan Meritokrasi“ republika.co.id, 20 Oktober
2015(http://www.republika.co.id/berita/kolom/tehanget/14/03/12/n29mza-demokrasi-dengan-meritokrasi)
“Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis” beritasatu.com, 21 Juni
2013
(http://www.beritasatu.com/fokus/121100-melirik-generasiapolitis-yang-kian-kronis.html)
“Pemilih Muda Penentu Kemenangan” DW.com, 30 Maret 2014
(http://www.dw.com/id/pemilih-muda-penentukemenangan/a-17527983)
Transparency Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah,
Korupsi, dan Pemilu 2014​
28
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pilkada Tidak Langsung,
Langkah Mundur
Demokrasi
Titi Anggraini
A. PEMILIHAN LANGSUNG
Salah satu pokok permasalahan
kontroversial
dari
rancangan
undang-undang tentang pemilihan
kepala daerah (RUU Pilkada) adalah
berhubungan dengan pilihan untuk
menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung atau
melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Dengan adanya ketentuan pilkada oleh
DPRD menandakan adanya pencabutan
terhadap hak pilih rakyat dalam
memilih kepala daerah secara langsung.
Beberapa fraksi di DPR menginginkan
kembalinya mekanisme pemilihan
kepala daerah secara perwakilan oleh
DPRD. Ketentuan ini yang kemudian
menjadi perdebatan dan perhatian
serius bagi banyak kalangan.
29
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dikembalikannya pemilihan kepala
daerah ke DPRD didasarkan pada
beberapa alasan utama. Antara lain,
pertama, terkait besarnya anggaran yang
dibutuhkan dalam penyelenggaraan
Pemilukada. Berdasarkan hasil penelitian
Fitra, anggaran Pemilukada pada tingkat
kabupaten/kota untuk satu kali putaran
berkisar antara Rp.5 Miliar - Rp.28
Miliar. Sementara pada tingkat provinsi
anggaran Pemilukada membutuhkan
dana antara Rp.60 Miliar - Rp.78 Miliar.
Kedua, selain persoalan anggaran
penyelenggaraan, tingginya ongkos
politik Pemilukada juga menjadi
argumentasi
serius,
sehingga
mengambil
keputusan
untuk
menarik hak pilih rakyat atas kepala
daerah. Pemilukada langsung
dianggap berkontribusi besar
terhadap korupsi ditingkat
lokal. Mekanisme langsung
dikorelasikan
dengan
besarnya ongkos politik yang
ditanggung kandidat, sehingga
mendorong kepala daerah
terpilih berperilaku koruptif.
Rilis Kemendagri, hingga awal 2011
saja menunjukkan 17 gubernur, 135
bupati dan walikota tersangkut kasus
korupsi. Namun memang permasalahan
anggaran dan ongkos politik bukan satusatunya argumentasi untuk menarik hak
pilih rakyat dalam pemilu kepala daerah.
30
Persoalan ketiga, pemilihan kepala
daerah oleh DPRD digadang-gadang
juga karena alasan maraknya konflik
horizontal maupun kekerasan dalam
pemilukada.
Selain karena hal-hal di atas, masalah
keempat, wacana pemilihan kepala
daerah oleh DPRD dianggap tidak
melanggar konstitusi. Ketentuan
Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak secara
eksplisit memerintahkan pemilihan
secara
langsung.
Ketentuan
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil
amandemen kedua konstitusi ini
menyebutkan “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.”
Perkataan
“dipilih
secara demokratis” ini bersifat
sangat luwes, sehingga mencakup
pengertian pemilihan langsung oleh
rakyat ataupun DPRD seperti yang
dipraktikkan pada periode sebelum
tahun 2005.
Pertanyaannya, benarkah mencabut
hak pilih rakyat secara langsung
atas pemilihan kepala daerah
merupakan
satu-satunya
jalan
untuk menjawab persoalan di atas?
Menjawab pertanyaan itu maka perlu
diuraikan akar persoalan, sehingga
rekomendasi yang diambil tidak
salah arah, seperti mencabut hak
pilih rakyat dalam pemilihan kepala
daerah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
B. PEMILUKADA MURAH DAN DEMOKRATIS
Efisiensi dalam
pelaksanaan
pilkada
tidak
harus
mengesampingkan
nilai-nilai
demokratis. Bagaimana mungkin
tujuan utama demokrasi justru tereliminasi
oleh
permasalahan
teknis
seperti
anggaran. Justru inilah tantangan yang
harus dijawab pemerintah melalui agenda
perubahan undang-undang pemerintahan
daerah. Perubahan itu diharapkan mampu
menciptakan desain baru, sehingga
efisiensi anggaran pilkada dapat terwujud
tanpa harus mengabaikan prinsip utama.
Beberapa alternatif dapat dikembangkan,
seperti penggabungan pilkada dalam
satu waktu. Pilkada yang tersebar dalam
beberapa daerah dan waktu yang
berlainan, dilaksanakan secara serentak
seperti Pemilu Presiden dan Legislatif.
Mekanisme ini memungkinkan bagi Komisi
Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota, bekerja dalam satu
waktu.
Dengan desain ini, ke depan KPU
hanya akan melaksanakan pemilu 2
kali, yakni Pemilu Lokal dan Pemilu
Nasional Nasional (lebih lanjut lihat
bahasan tentang pengaturan waktu
penyelenggaraan).
Mekanisme ini sangat mungkin
dilakukan jika pemerintah serius
untuk menata desain pilkada yang
efisien, tapi tetap demokratis.
Dengan
pelaksanaan
pilkada
serentak,
efisiensi
anggaran
khususnya
honorarium
bagi
penyelenggara
dapat
dihemat.
Penelitian Fitra untuk Pemilukada
Sumatera Barat 2010 misalnya,
disebutkan bahwa penyelenggaraan
Pemilukada serentak menjadi murah
dibandingkan dengan provinsi lain
disebabkan dua hal, yaitu Sumatera
Barat menyelenggarakan Pemilukada
serentak di lebih banyak kabupaten/
kota, dan dalam struktur anggaran
Provinsi Sumatera Barat tidak
ada anggaran yang dialokasikan
untuk
kabupaten/kota
yang
menyelenggarakan Pemilukada.
31
Jurnal Youth Proactive Vol.2
C. PEMILUKADA POLITIK BIAYA TINGGI
1. MEMBAJAK DEMOKRASI
Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di
tingkat lokal dibajak oleh kepentingan
modal dan kekuasaan. Praktik politik uang
dan politisasi birokrasi mendominasi
pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010.
Kedua bentuk kecurangan itu menjadi
dasar bagi Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan hasil Pemilukada,
yang dipandang mengingkari nilainilai demokrasi. MK menyebutnya
pelanggaran sistematis, terstruktur dan
massif.
Operasi pembajakan demokrasi
melibatkan
dana
puluhan
milyar rupiah. Hitung saja
berdasarkan item pengeluaran
dan
gegap
gempitanya
kontestasi kandidat. Untuk biaya
pencalonan (ongkos perahu politik), tim
pemenangan, survei, atribut kampanye,
sumbangan ke kantong pemilih,
membeli suara, kampanye di media cetak
dan elektronik, hingga menyiapkan saksi
pada saat pemungutan suara. Mendagri
pernah menyebut angka Rp. 60 hingga
100 miliar rupiah, Kompas (18/1).
32
Angka yang fantastis dan tak sebanding
dengan pendapatan resmi yang bakal
diterima. Gubernur misalnya, hanya
memperoleh gaji Rp. 8,6 juta/ bulan
atau total Rp. 516 juta selama lima tahun
menjabat. Lantas dari mana “aktor-aktor”
demokrasi ini akan mengembalikan
modal yang telah mereka keluarkan?
Inilah awal bangkrutnya negeri ini akibat
ulah “aktor” demokrasi aji mumpung
tersebut. Korupsi dan koalisi (bermufakat)
jahat menjadi cara untuk mengeruk dan
menguras habis tanpa sisa pundi-pundi
kesejahteraan rakyat.
2. SOLUSI BIAYA TINGGI
Perlu dicatat dan direnungkan dalamdalam, sebenarnya dimanakah letak
sumber biaya tinggi dalam Pemilukada?
Minimal ada 4 (empat) sumber
pengeluaran
yang
menyebabkan
tingginya ongkos politik Pemilukada.
Pertama, biaya perahu pencalonan
kepala daerah. Sudah menjadi rahasia
umum, kandidat harus merogoh kocek
dalam-dalam untuk membeli perahu
politik. Lebih-lebih perahu politik partai
non-kursi DPRD. Untuk mencapai batas
pencalonan 15% suara, partai non-kursi
harus berkoalisi dengan beberapa partai.
Akibatnya, masing-masing memiliki posisi
tawar sama kuat satu dengan lainnya.
Artinya kandidat harus mengeluarkan
ongkos lebih besar untuk seluruh partai
pengusung.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ke depan, penataan mekanisme
pencalonan
oleh
parpol
perlu
dipertegas. Parpol harus lebih terbuka
dalam pencalonan, namun tidak
sekedar formalitas belaka. Kompetisi
yang melibatkan seluruh kader akan
mengurangi praktik dagang calon
oleh segelintir elit parpol. Khusus
pencalonan oleh parpol non-kursi
mestinya dihapuskan. Sehingga tak lagi
muncul politik transaksional. Kalau ingin
mengajukan calon, gunakan saja jalur
independen (lebih lanjut lihat bahasan
tentang metode pencalonan).
Kedua, dana kampanye untuk politik
pencitraan. Pemilukada langsung
memang
memberikan
tantangan bagi demokrasi.
Sistem
demokrasi
liberal,
menuntut kandidat memiliki
angka popularitas tinggi untuk
memperoleh suara mayoritas.
Tujuannya agar kepala daerah terpilih
lebih dekat dengan pemilih. Namun
persoalan muncul ketika partai politik
dan kandidat tidak bekerja secara
maksimal meraih suara. Cara-cara instan
justru menjadi pilihan utama, pencitraan
melalui media cetak, elektronik dan
ruang-ruang publik lainya dengan hanya
menampilkan gambar wajah semata.
Pemilih diposisikan semata-mata sebagai
komoditi politik. Disuguhkan iklan
politik tanpa dapat mengenal lebih jauh
kandidat. Konsekuensinya, kekuatan
modal menjadi pendukung utama.
33
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ruang-ruang ini mesti ditata ulang
dalam undang-undang yang mengatur
Pemilukada. Negara harus menyediakan
ruang kampanye yang sama bagi seluruh
kandidat, misal media pemerintah. Jika
tidak, masing-masing akan berlombalomba menguasai media. Artinya, modal
besar harus disiapkan untuk itu. Kandidat
dan parpol pengusung harus dipaksa
menggunakan ruang kampanye publik
yang relatif sempit. Konsekuensinya,
mereka harus mengetuk hati rakyat dari
pintu ke pintu.
Ketiga, ongkos konsultasi dan survei
pemenangan. Bisnis konsultan dan survei
pemenangan memang menjanjikan.
Terbukti semakin marak munculnya
lembaga-lembaga survei yang kemudian
digunakan kandidat untuk mengukur
elektabilitas pencalonan. Tentunya tidak
sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk
itu.
Pemilukada
langsung yang diharapkan
dapat menekan angka politik
uang ternyata belum berhasil
sepenuhnya. Yang terjadi justru
Keempat, politik uang.
pemerataan praktik. Persoalan ini
semakin akut ketika mekanisme
penegakan hukum tidak didesain secara
tegas. Batasan waktu misalnya, sangat
tidak mungkin dalam waktu tiga hari
politik uang dapat ditangani. Karena itu,
34
masa daluwarsa penanganan politik
uang mesti diperpanjang. Selama
kandidat terpilih menjabat, maka
sepanjang itu dugaan politik uang
dapat diproses. Mekanisme sanksi pun
mesti diperberat. Dengan membuat
kategori bentuk politik uang, maka
kepala dan wakil kepala daerah terpilih
yang terbukti melakukan politik uang
dapat diturunkan dari jabatannya (lebih
lanjut lihat bahasan tentang pengaturan
politik uang dan dana kampanye).
Merubah sistem Pemilukada langsung
dan mengembalikan kepada DPRD
bukan solusi tepat. Pemilihan kepala
daerah oleh DPRD tidak serta merta
dapat memotong biaya perahu
pencalonan dan praktik transaksional
di tubuh partai politik. Pemilihan
oleh DPRD juga tak kan
menghilangkan politik uang.
Kejadiannya akan sama, hanya
memindahkan ke ruang yang
lebih sempit dan tentunya
menguntungkan segelintir elit.
Solusinya, perbaiki sistem sehingga
“memaksa” kandidat dan partai
“berkeringat” memperoleh dukungan
rakyat. Penyusunan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Dearah merupakan
momentum tepat mengkonsolidasikan
demokrasi di tingkat lokal. Carut
marutnya Pemilukada adalah buah
transisi rezim Pemilukada. Sekarang
saatnya menuai hasil dengan penataan
yang baik, bukan mundur pada rezim
pemerintah daerah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
D. KONFLIK HORIZONTAL PEMILUKADA
Argumentasi
maraknya
konflik
horizontal atau kekerasan dalam
Pemilukada
sebagai
alasan
mengalihkan pemilihan langsung
kepala daerah ke DPRD ini sayangnya
tidak disertai dengan data yang
kuat tentang masifnya hal itu terjadi.
Sebab tahun 2010 diselenggarakan
setidaknya 244 Pemilukada, kalau
terjadi kekerasan hanya di 10-20
daerah (misalnya Mojokerto, Toraja,
Humbang Hasundutan, Sumbawa)
tidak lantas melegitimasi bahwa
Pemilukada identik dengan kekerasan.
Justru pembinaan politik yang jadi
tanggung jawab pemerintah daerah
dan partai politik lah yang harus ditata
dengan lebih baik lagi.
Bahkan International Crisis Group
(ICG) mencatat jumlah kekerasan
yang terjadi dalam 200-an Pemilukada
selama kurun tahun 2010 lalu “hanya”
10 persen saja. Dari ketiga kasus
kekerasan Pemilukada yang diteliti
ICG (di Mojokerto, Tana Toraja, dan
Toli-Toli), semua dipicu oleh suatu
peristiwa yang terjadi di luar dugaan.
ICG mencatat memang, terdapat pula
beberapa faktor lain yang muncul di
semua kasus itu, antara lain petahana
(incumbent) yang dianggap korup
tapi
berusaha
memperpanjang
kekuasaannya dengan mencalonkan
diri lagi atau lewat orang pilihannya;
calon yang terlalu percaya diri bahwa
ia bisa menang dan mengubah status
quo; pendukung calon yang memiliki
harapan berlebihan dan bertindak
di luar kendali; penyelenggara
pemilu yang dianggap berpihak ke
petahana atau kandidat pilihannya
dan
gagal
mensosialisasikan
informasi penting; serta polisi yang
tak siap menghadapi kekerasan
massal atau aksi penyerangan yang
terkoordinasi.
Sehingga tidak relevan dan
terbantahkan secara faktual adanya
argumentasi bahwa kekerasan
horizontal
dalam
pemilihan
kepala daerah (secara langsung)
salah satunya disebabkan oleh
mekanisme
pemilihan
secara
langsung.
35
Jurnal Youth Proactive Vol.2
E. KONSTITUSIONALITAS PILKADA LANGSUNG
1. ORIGINAL INTENS MAKNA DEMOKRATIS
Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang
Undang Dasar 1945 menyatakan,
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”. Pengaturan
Pasal 18 merupakan perubahan ke II
dari Konstitusi (tahun 2000). Landasan
pemikiran yang melatarbelakangi dapat
dilihat dalam Buku Kedua Jilid 3 C Risalah
Rapat Panitia Ad Hoc I (Sidang Tahunan
2000) yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia 2000. Di dalam Risalah
Rapat Ke-36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR halaman 255 yang merupakan
pokok pandangan Fraksi PPP menyatakan
sebagai berikut:
7. Gubernur , Bupati dan Wali Kota dipilih
secara langsung oleh rakyat, yang secara
langsung oleh rakyat yang selanjutnya
diatur oleh UU, hal ini sejalan dengan
keinginan kita untuk Presiden juga dipilih
secara langsung”,
36
kemudian dalam halaman 273
menyebutkan alasannya yaitu,
“Keempat, karena Presiden itu dipilih
langsung maka, pada pemerintahan
daerahpun Gubernur, Bupati dan
Walikota itu dipilih langsung oleh
rakyat. Undang-undangnya dan tata
caranya nanti akan kita atur. Dengan
undang-undang nanti akan terkait
dengan undang undang otonomi
daerah itu sendiri”.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
2. DEMOKRATISASI PEMILUKADA LANGSUNG
Konstitusi memang tidak secara
eksplisit menyebutkan kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat dalam
pemilihan umum, seperti halnya
presiden dan wakil presiden, anggota
DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD.
Pasal 18 ayat (4) hanya mengisyaratkan
adanya pemilihan gubernur, bupati,
dan walikota secara demokratis.
Makna demokratis inilah
yang kemudian dijadikan
argumentasi bahwa tidak
ada larangan gubernur atau
bupati/walikota (keduanya
atau salah satunya) dipilih
DPRD.
Logika ini tidaklah benar karena
bagaimana mungkin ketentuan yang
sama dimaknai berbeda. Menurut
Jimly Asshiddiqie (Pengantar Hukum
Tata Negara Jilid I), ketentuan
pasal dalam konstitusi haruslah
dimaknai sejalan dan tidak boleh
saling bertentangan. Jika bupati dan
walikota dipilih secara langsung, itu
juga berlaku terhadap pemilihan
kepala daerah. Dan, sebaliknya, jika
kata demokratis dimaknai dengan
pemilihan oleh DPRD, maka bupati
dan wali kota pun harus mendapat
perlakuan yang sama.
Jika demikian, di manakah dapat
ditemukan pemaknaan yang tepat atas
klausul “demokratis”? Mendasarkan
pada pendapat Jimly, maka dapat
dipastikan
bahwa
pemaknaan
demokratis adalah pemilihan secara
langsung oleh rakyat.
Karena itu, makna “demokratis” sejalan
dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945,
yakni pemilihan langsung oleh rakyat
bagi presiden dan wakil presiden. Karena
ketentuan dalam konstitusi satu dengan
lainnya harmonis, maka kata “demokratis”
dalam pemilihan kepala daerah kurang
lebih adalah sama dengan ketentuan
pemilu presiden dan wakil presiden.
Bukti harmonisasi konstitusi terlihat
dalam pemaknaan pemilihan anggota
DPR dan DPD. Walaupun Pasal 2 ayat
(1) UUD 1945 tidak secara eksplisit
menyebutkan pemilihan secara langsung,
namun tidak ada yang membantah
mekanisme pemilihan umum (pemilu)
legislatif. Bahkan, konstitusi tidak sedikit
pun mencantumkan kata “demokratis”
di dalamnya. Ketentuan itu hanya
menyebutkan, anggota DPR dan DPD
dipilih melalui pemilihan umum.
Penafsiran atas makna demokratis dapat
juga dilihat dalam putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) atas pengujian pasal
214 huruf a, b, dan c UU 10/2008. Dalam
putusan itu, MK memberikan tafsir
tentang kedaulatan rakyat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945, yaitu kedaulatan tertinggi berada
di tangan rakyat, sehingga dalam
berbagai kegiatan pemilihan umum,
rakyat langsung memilih siapa yang
dikehendakinya. Ini merupakan prinsip
konstitusi yang sangat mendasar. Itu tidak
hanya memberi warna dan semangat
pada konstitusi dalam membentuk
pemerintahan, namun juga dipandang
sebagai sifat dari seluruh undang-undang
di bidang politik.
37
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan demikian latar belakang
pemikiran
dan
maksud
tujuan
pembentuk pasal 18 ayat (4) UUD 1945
adalah, Gubernur, Bupati dan Walikota
dipilih secara demokratis adalah sama
dengan pemilihan yang dilakukan
terhadap Presiden.
Penafsiran terhadap makna demokratis
juga dapat dilihat dari lahirnya ketentuan
tentang pemilihan umum dalam
konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
tentang Pemilihan umum merupakan
perubahan ke III (Tahun 2001). Ketentuan
Pasal 22E ayat (1) menyatakan bahwa
“Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali”. Kemudian
ayat (2) menyatakan bahwa “Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah”. Sedangkan pelaksana pemilu
diatur dalam ayat (5) yang menyatakan
bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Dengan demikian, karena perubahan
Pasal 18 UUD 1945 merupakan
perubahan ke II, sedangkan Pasal 22E
UUD 1945 merupakan perubahan III,
maka secara hukum dimaknai bahwa
pelaksanaan Pasal 18 khususnya dalam
pemilihan kepala daerah harus merujuk
pada Pasal 22E. Logika hukumnya, jika
Pasal 18 dianggap bertentangan dengan
pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam
perubahan ke III rumusan yang terdapat
dalam Pasal 18 akan dirubah dan
disesuaikan dengan pasal 22E.
Berdasarkan uraian itu, maka pengertian
dipilih secara demokratis harus ditafsirkan
sama dengan tata cara pemilihan yang
dilakukan terhadap Presiden seperti
yang tercantum dalam BAB VIIB tentang
Pemilihan Umum pasal 22E UUD 1945.
Oleh karena itu tidaklah bertentangan
dengan kehendak pembentuk UUD 1945
jika dinyatakan Pemilihan Kepala Daerah
termasuk dalam pengertian Pemilihan
Umum sehingga asas dan pelaksanaan
Pemilukada dan Pemilu Presiden adalah
sama, yaitu secara langsung oleh rakyat.
PENUTUP
Menyikapi berbagai fenomena yang
ada, DPR
semestinya lebih
tidak multitafsir dan disertai sanksi yang
tegas, serta pengaturan dana kampanye
yang tidak hanya formalitas. Ketimbang
mengambil langkah mundur untuk
menyelenggarakan pilkada oleh DPRD.
memilih sistem pemilu yang efisien
(misalnya usulan pemilu serentak dan
Pemilukada satu putaran saja), menekan
maraknya politik uang dengan membuat
aturan penegakan hukum yang jelas/
Maka,
DPR,
berpihaklah
kepada
suara rakyat. Mari perkuat perjalanan
demokratisasi Indonesia dan tinggalkan
semangat tambal sulam berwajah
kepentingan sementara. Karena rakyat
akan selalu mengawal suaranya.
berkonsentrasi pada perbaikan
substansi aturan yang bisa
menjamin kualitas Pemilukada,
38
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pro-Kontra Kebijakan:
Kritik Persoalan Sekitar Kita
39
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TOP
3
Peraturan Gubernur
(Pergub) DKI Keluaran Ahok
yang Mengundang Polemik
Pembatasan Waktu dan Tempat Berunjuk Rasa
Pergub No. 228 Tahun 2015 menetapkan bahwa kiat-kiat penyampaian
aspirasi di ruang publik harus dibatasi dan dilakukan dengan tidak
mengganggu ketertiban umum. Pergub ini membatasi unjuk rasa hanya
boleh dilakukan pada pukul 06.00-18.00 WIB, dilarang membakar ban
dan dilarang bersuara lebih dari volume 60 db, dan tak boleh menekan
orang lain atau pemerintah. Tempat berunjuk rasa juga dibatasi dalam
Pergub ini, yakni Parkir Timur Senayan untuk unjuk rasa isu nasional,
Alun-alun DPR dan MPR RI untuk unjuk rasa isu DPR, dan Silang Selatan
Monumen Nasional untuk unjuk rasa terkait isu DKI Jakarta. Rasionalisasi
Pergub ini menurut Ahok adalah untuk mencegah macet dan ketertiban.
Pembatasan Sepeda Motor di Jalan Protokol
Pergub DKI No. 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas
sepeda motor di jalan-jalan protokol di DKI. Salah satu alasan
yang disebut sebagai dasar rencana itu adalah sepeda motor
dinilai sebagai penyebab kesemrawutan lalu lintas di DKI. Sebagai
“kompensasi”, disediakan bus tingkat gratis dan kantongkantong parkir sekalipun tarifnya diserahkan kepada pengelola.
Pemberian Izin Reklamasi Teluk Jakarta
Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Tahun 2014, Keputusan Gubernur DKI
No. 2268 Tahun 2015 dan Keputusan Gubernur DKI No. 2269 Tahun 2015,
memberikan izin kepada developer untuk membangun pulau di teluk
Jakarta. PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri
Kartika Pakci bersiap membangun pulau yang akan difungsikan sebagai
perumahan elit dan pusat perbelanjaan. Agung Podomoro Land berencana
menjual kawasan perumahan dengan harga mulai Rp 3 miliar sampai Rp
6 miliar, sementara rumah toko seharga Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar.
40
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Polemik BBM
dan
Statolatri
1
Hizkia Yosie Polimpung
Untuk disampaikan pada forum diskusi Ngobrol Pintar #3, Polemik Kenaikan Harga BBM: Kebijakan Pro-Rakyat?, Youth
Proactive, Transparency International, 19 Desember 2014. Saran dan kritik: [email protected]
1
41
Jurnal Youth Proactive Vol.2
CNN
Britney Spears
CNN
Britney Spears
CNN
Britney Spears
: [...] Banyak artis menyerukan penolakannya terhadap
perang AS di Irak. Anda juga?
: Sejujurnya, saya pikir kita sebaiknya percaya saja pada
presiden kita dalam setiap keputusan yang diambilnya dan
juga ikut saja mendukungnya. Yah, percayakan saja apa yang
akan terjadi padanya.
: Anda mempercayai presiden ini?
: Ya, tentu saja.
: Bagus. Lalu menurut anda apakah ia akan menang lagi di
pemilihan berikutnya?
: Wah, saya tidak tahu. Saya tidak tahu-manahu.1
Britney Spears, “Britney Spears: ‘Trust our president in every decision’,” CNN, 3 September 2003, diakses dari http://
www.cnn.com/2003/SHOWBIZ/Music/09/03/cnna.spears.
1
42
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tidak ada kata lain untuk menggambarkan
sikap Britney Spears di atas selain
sebentuk negara-sentrisme yang disebut
Antonio Gramsci sebagai “statolatri”
(statolatry).2 Secara etimologis, statolatri
merupakan kombinasi antara “state” dan
“idolatry”, antara negara dan pemujaan.
Secara historis, istilah ini muncul pertama
kali dalam Doctrine of Fascism karya
Giovanni Gentile pada 1931 sebagai
karakteristik dasar fasisme, khususnya
fasisme Italia. Tak lama berselang, Paus
Pius XI mengkritiknya sebagai “sebuah
pemujaan pagan atas negara.’3 Gramsci
memahaminya lebih jauh. Lebih dari
sekadar pemujaan fetistik kepada
negara, statolatri merupakan suatu efek
kekuasaan yang hegemonik. Hegemoni
merupakan suatu perluasan jangkauan
kekuasaan, dalam hal ini negara, ke
bidang-bidang yang sebelumnya tidak
Antonio Gramsci, Selections from the Prison
Notebooks,peny. dan penterj., Q. Hoaredan G.N. Smith
(NY: International Publishers), hal 268-9. Lihat juga diskusi
kritisnya pada Perry Anderson,“The Antinomies of Antonio
Gramsci.”New Left Review, 26 (Nov-Dec 1976).
2
Lihat Emilio Gentile, “New idols: Catholocism in the face
of fascist totalitarianism,” Journal of Modern Italian Studies,
11(2) (June 2006), hal. 143-170.
3
dijangkaunya. Jadi, apabila jangkauan
konvensional negara adalah kepatuhan
politik rakyatnya, maka hegemoni
memperluas jangkauan tersebut ke arah
yang lebih “nir-politis.” Melalui hegemoni,
ikatan antara negara dan rakyatnya
menjadi lebih intim; pemimpin negara
akan “mampu menghadirkan dirinya
sebagai sebuah ‘negara’ yang integral
[menyatu dengan rakyatnya, pen.].”4
Tidaklah berlebihan sekiranya Gramsci
mengatakan bahwa dengan hegemoni,
negara “berusaha melembagakan suatu
kultus terhadap ‘Mahawujud’ (Supreme
Being) yang tampak sebagai usaha untuk
menciptakan sebuah identitas di antara
negara dan masyarakat sipil.”5
Efek statolatri ini cukup untuk membuat
Britney Spears yang mungkin karena
tidak begitu mengikuti perkembangan
berita
mengenai
penjelajahan
imperialistik negaranya, dengan mudah
4
Gramsci, Selections, hal. 271.
5
Ibid.,hal. 170 cat. 71. Penekanan dari saya.
43
Jurnal Youth Proactive Vol.2
mengatakan “percaya saja pada presiden.”
Ya, mungkin Britney terlalu sibuk syuting,
menyanyi dan menggarap album baru;
sibuk meniti karirnya yang saat itu
sedang menanjak. Kepercayaannya
kepada presiden di sini belum
tentu tulus. Malahan, menurut
saya, ini adalah bentuk lepas
tanggung-jawab Britney terhadap
pemerintahannya, terhadap kebijakan
presidenya. Lagi, Britney terlalu sibuk
dengan aktivitas kelas menengahnya
sehingga tidak punya cukup waktu
untuk secara serius dan kritis, dan
bukan sekedar retoris dan asal-asalan,
mendukungpresidennya.
Uniknya, posisi Britney Spears yang
demikian ini yang sering saya dengar,
baca dan jumpai di mereka-mereka yang
mendukung kebijakan kenaikan harga
BBM 18 November 2014 silam. Bagaimana
tidak, rata-rata argumen pro-BBM adalah
seperti ini:
“Kalau ditanya pengaruh apa tidak
di hidup saya, ya pasti pengaruhlah.
Tapi, kalau hanya memandang dari sisi
merugikan rakyat itu kurang etis.Kita
perlu berpikir jauh sebelum menghakimi
kalau pemerintah itu salah.Karena, pasti
ada alasan kenapa subsidi dihentikan.
Saya sendiri yakin, orang-orang yang
diberi mandat Tuhan untuk memimpin
negeri ini pasti sudah memikirkan dengan
matang tentang keputusan kenaikan
BBM dengan resiko mereka akan dihujat.
Lagipula, kenaikan BBM ini kan, sudah
yang kesekian kali,”
44
“Sangat tepat untuk menaikkan
harga BBM. Dana subsidinya bisa
dialihkan ke kebutuhan yang lain
seperti pemenuhan infrastruktur,
pendidikan,
serta
kesehatan.
Daripada dibakar setiap hari dan
subsidi itu tidak tepat sasaran, lebih
baik memang dinaikkan.”
Bahkan, tidak jarang ungkapanungkapan itu cenderung sangat
kasar
dan
menjadi
sangat
personalsemata-mata
karena
presiden kesayangannya diserang.
Misalnya, “beli rokok 16.000
sanggup, tapi BBM naik 2000 saja
protes!”Lainnya,
“memangnya
kalau Prabowo jadi presiden,
BBM nggak akan naik?” Banyak
infografis
dikerahkan
untuk
memvisualisasikan
betapa
besarnya keuntungan yang didapat
seandainya BBM subsidi dicabut
dan direalokasikan ke “sektor-sektor
yang lebih produktif” ketimbang
sektor konsumtif – seolah-olah
konsumsi BBM oleh masyarakat itu
hanya untuk sekedar konvoi, kebutkebutan, gagah-gagahan di jalan.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bagi kebanyakan orang (76 juta pengguna motor, dibandingkan 10
juta mobil), konsumsi BBM diperlukan untuk transportasi keperluan
pekerjaannya sehari-hari. Bahkan, untuk keperluan-keperluan yang
sifatnya esensial bagi dimungkinkannya aktivitas produksi (beli
makan, ke pasar, sekolah, antar anak, rekreasi, dst.)
Secara umum, argumennya tipikal: pemborosan, neraca (transaksi
berjalan) defisit, salah sasaran, dan pengalihan ke sektor produktif
dan infrastruktur. Argumen ini sebenarnya ujung pangkalnya
adalah dari pemerintah, lalu kemudian direproduksi dalam bentukbentuknya yang amat beragam: mulai status di facebook, kicauan
di twitter, percakapan di ruang publik maupun privat, infografis,
tulisan-tulisan di blog, di koran, dst. Forum Kaskus pun menghimpun
data infografis yang menarik terkait ini.6 Serta-merta, mereka yang
tadinya tidak-tahu menahu mengenai BBM, seketika langsung
mampu berbicara nyaring dan lancar dalam memberi pembenaran
kenaikan BBM. Yah, setidaknya ini yang sering saya jumpai, dengar
dan diajak ngomong sehari-hari.
Apakah salah? Tentu saja tidak. Mencari landasan bagi preferensi kita
bukanlah sesuatu yang salah. Namun menjadi bermasalah,
amat bermasalah, saat itu hanya sekedar untuk
menopang kepercayaan buta kita kepada negara dan
presiden kita. Menjadi lebih bermasalah lagi jika itu dikarenakan
kemalasan kita untuk menggali lebih jauh, melihat secara cermat
duduk permasalahannya, dan mempertimbangkan segala
sesuatunya dengan lebih masak ketimbang menerima mentahmentah segala informasi. Kepercayaan buta akan menjadikan kita
selektif dalam menerima dan mencari informasi – kita hanya
mencari informasi yang menyenangkan hati kita saja,
to make us feel good. Dan, puncak permasalahan ini semua
ada pada: sirnanya partisipasi dan kontrol demokratis terhadap
pemerintah.
6
Soal Kenaikan BBM, Jangan Emosi Dulu Gan, Kaskus, http://kaskushootthreads.blogspot.
com/2014/11/soal-kenaikan-bbm-jangan-emosi-dulu-gan.html#
45
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kelas menengah, saya masih yakin,
adalah kunci dari demokrasi.Adalah
kelas menengah yang mampu berpikir
kritis, obyektif dan tidak menerima
begitu saja apapun yang dilakukan dan
dikatakan pemerintah. Adalah kelas
menengah yang mampu menopang
proses demokratis di suatu negara
republik. Lalu apa jadinya sebuah
negara yang kelas menengahnya besar
(ingat, bonus demografi memberikan
Indonesia 70% angkatan kerja yang
sebagian besar tentunya adalah kelas
menengah)? Tidak lain adalah negara
yang totaliter. Namun, berbeda dengan
negara-negara totaliter yang kita pelajari
di buku-buku sejarah, kali ini adalah
negara totaliter berwajah demokratis.
Mengapa?Karena totalitarianisme ini
“disetujui” oleh masyarakatnya. Dengan
tidak memberikan kritisisme dan
malah menerima begitu saja apa yang
46
disampaikan pemerintah, maka sama
saja kelas menengah ini “menanggalkan
tugas demokratisnya” dan “menyangkal
peran partisipatif demokratisnya.”
Saat kelas menengah yang kritis dan
progresif ini berlaku demikian, maka
kita saksikan bersama-sama kelompokkelompok penekan yang cenderung
rasis,
sektarian,
dan
primordial
bermunculan.Tidak segan-segana pula
mereka
menggunakan
kekerasan.
Sementara kelas menengah? … Sibuk
meniti karir. Ya, nampaknya, benar yang
ditemukan oleh Rana Foroohar bahwa
kelas menengah di negara-negara yang
sedang berkembang(Indonesia salah
satunya), dicirikan dengan egoisme
tinggi, individualis, dan yang paling
mencengangkan: permisif terhadap
pemerintah yang otoriter7.
7
Rana Foroohar, “An Unstable and Less Liberal Global
Middle Class,” Newsweek (13 Maret 2010), URL: http://
www.newsweek.com/unstable-and-less-liberal-globalmiddle-class-69469.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Selama
suplai
Frappucino
Starbucks mereka aman, maka
pemerintah yang totaliter pun
mereka terima. Tapi begitu
harga parkir mobil mereka naik,
misalnya, protes dan kicauan
di media-sosial akan segera
bermunculan. Tapi tetap saja, waktu
fitnes mereka lebih berharga ketimbang
waktu untuk konfrontasi politik kongkrit.
Semoga saja Foroohar terlalu membesarbesarkan.Tapi apabila sebaliknya yang
terjadi…saya mulai memikirkan untuk
jadi astronot Inter-stellar.
Kembali ke persoalan argumen pro-BBM.
Saya kira tidak begitu susah untuk mencari
anti-tesis yang serius akan kebijakan
kenaikan BBM. Misalnya, dengan
mensimulasikan perhitungan, ditemukan
bahwa ternyata telah terdapat 95,95
triliun selisih antara subsidi sesungguhnya
dan subsidi sebagaimana diasumsikan
di APBN. Subsidi untuk BBM (Premium,
Solar dan Minyak Tanah), sebagaimana
diketahui bersama, Rp 194,6 triliun.
Sementara jika mengikuti perhitungan
Edy Burmansyah dari Martapura Institute
seturut formulasi berdasa harga pasar
(market price-based) di Perpres 71/2005
yang dirincikan melalui Permenkeu No.65/
PMK.02/2012, subsidi sesungguhnya
yang ditanggung pemerintah sebesar
Rp 135,94 triliun. Selisihnya adalah Rp
58,66 triliun – ini berdasar harga sebelum
pajak. Jika menghitung pajaknya, barulah
angka Rp 95,95 trilun tadi dicapai.8 Artinya,
sebenarnya, tanpa perlu menaikkan
harga BBM, pemerintah bisa melakukan
penghematan. Dengan uang sebesar itu,
bisa sekiranya untuk mendanai sebagian
besar janji-janji Jokowi di kampanyenya,
tanpa
menyusahkan
masyarakat
konstituen BBM bersubsidi. Sementara
pemerintah mulai serius memberantas
mafia migas – tentunya ini adalah
kebijakan yang SANGAT POPULER, bukan?
Lihat perhitungan Edy Burmansyah, “Menghemat
tanpa Menaikkan: Simulasi Perhitungan BBM,” 3 bagian,
IndoProgress, 18 November 2014. URL: http://indoprogress.
com/2014/11/menghemat-tanpa-menaikkan-simulasiperhitungan-bbm-bagian-1/
8
47
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lalu, terkait sektor-sektor produktif yang konon
menjadi alasan dan pos kemana dana subsidi BBM akan
dialihkan. Riset dari Dodi Mantra, dkk., dari Purusha
Research Cooperative, misalkan, menemukan bahwa
“sektor-sektor produktif” ini sebenarnya adalah sinonim
dari “sektor-sektor eksploitatif” terhadap buruh dan tani.
Belum lagi kenyataan bahwa sektor-sektor ini strukturnya
bercorak oligopoli. Lebih dari ¾ keseluruhan subsektor
industri manufaktur Indonesia dikuasai tidak lebih dari 4
perusahaan di masing-masing subsektornya.9
Figure 1. Corak Oligopoli Industri Manufaktur (ket. CR 4
adalah pengonsentrasian pasar oleh 4 perusahaan teratas)
Kenyataan lain yang ditemukan Dodi adalah bagaimana
industri-industri tersebut didominasi oleh industri
pengolahan dan pertanian, dengan corak padat
SDA, padat SDM, dan padat SDM unskilled. Diketahui
bersama pula bahwa pada industri-industri inilah terjadi
pengerukan sumber alam besar-besaran (merusak
Dodi Mantra, “’Demi Sektor Produktif’: Kenaikan Harga BBM dan Normalisasi
atas yang Eksploitatif sebagai yangProduktif,” Jurnal IndoProgress, 2015 [segera
terbit]
9
48
Jurnal Youth Proactive Vol.2
ekologi, dst.), dan dimana kesejahteraan
dan kepastian-kerja pekerja adalah hal
yang langka. Dengan kata lain, hendak
dikatakan Dodi, bahwa sama-sekali absen
dalam kebijakan Jokowi, bahkan sedari
pembayangannya di dokumen Visi-Misi,
akan suatu transformasi dalam Dua
argumen ini setidaknya adalah argumen
yang mungkin ditemukan oleh kelas
menengah seperti kita hanya dengan
berselanjar dan utak-atik keyword saja
di Google. Syaratnya, tentu saja bahwa
kita tidak mengidap statolatri, atau
setidaknya, masih ada ruang rasional dan
kritis di kepala kita dari efek statolatri ini.
Menjadi kritis adalah tuntutan historis
bagi kelas menengah di alam demokrasi.
Indonesia, sebagai negara demokratis,
hanya bisa menjadi negara yang
kuat saat kelas menengahnya
punya semangat kritisisme
terhadap pemerintah, sekalipun
yang duduk di pemerintahan itu
adalah pilihannya.
Dukungan tidak lantas berarti kita
mencari-cari pembenaran atas apa
yang dilakukan presiden pilihan kita.
Sebaliknya,
dukungan politik
selalu memiliki sifat yang
strategis dan kritis. Strategis dalam
artian kita percaya bahwa sang presiden
memiliki capaian visioner, dan krtis dalam
artian kita turut membantunya dalam
merealisasikan dan menapaki jalur dalam
merealisasikan visi tersebut.
49
Jurnal Youth Proactive Vol.2
***
Britney Spears, belakangan mengakui
bahwa “Saya selalu bernyanyi tentang
hubungan antara orang dengan sistem
ekonomi yang mengatur kehidupannya,
seperti contohnya eksplorasi saya akan
rayuan kekuatan modal di lagu Gimme
More.”10 Bahkan, secara terang-terangan
pula diakui bahwa lagu Work B*tch
terinspirasi dari teori yang menyatakan
bahwa adalah buruh yang sebenarnya
memiliki seluruh hasil kerja – teori
tersebut tak lain adalah teori nilai kerja
Marx. Serius terhadap klaim Britney ini,
malahan ada seorang pendengarnya yang
“Britney Spears espouses Marxist theory of labour
as value,” The Daily Mash, 14 Oktober 2013. URL: http://
www.thedailymash.co.uk/news/arts-entertainme
nt/80353-2013101480353.
10
50
menyamakan struktur lagu Circus dengan
struktur pembahasan buku Communist
Manifesto Marx!11 Ada-ada saja. Tapi,
setidaknya kita bisa lihat bagaimana
Britney Spears bisa mencoba mulai peduli
dengan permasalahan sosial, berusaha
serius memahami dando something
dengan berangkat dari kondisinya, dari
posisinya, dari profesinya. [HYP]
“Work Bitch Is Britney’s Least Marxist Song,” Exhale: The
Britney Spears Forum, 7 Agustus 2014. URL: http://www.
breatheheavy.com/exhale/index.php?/topic/624280-workbitch-is-britneys-least-marxist-song/
11
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Subsidi BBM:
Antara Sektor Ekonomi
dan Sosial di Nusantara
Fadhil Fadhli
Jakarta dibarat, meriah, diapit oleh 3
provinsi dan Sulawesi Selatan di timur,
dengan pantai Losari sebagai tempat yang
wajib dikunjungi ketika mendaratkan
kaki di ujung selatan pulau Sulawesi.
Keduanya
sama-sama
provinsi
metropolitan mewakili barat dan
timur Indonesia, Jakarta sebagai pusat
pemerintahan yang juga menikmati
reputasinya sebagai ibu kota pesta pora
di Indonesia. Sementara, Sulawesi Selatan
gemerlap ditimpa angin mamirinya dan
mulai bangkit dengan pembangunan
yang dirancang pemerintah dan para
pebisnis. Namun awan kegelisahan
masih menyelimuti kedua provinsi itu.
Sulawesi Selatan masih mengejar
ketertinggalannya, Jakarta berdiri di
baris terdepan sebagai kota dengan
ratusan mall di dalamnya, Makassar
sebagai pusat kota di Sulawesi Selatan
masih terbengkalai dengan proyek
busway-nya, jalurnya sudah ada,
terminalnya pun sudah dibangun
namun entah mengapa sampai sekarang
belum terealisasikan pelaksanaannya.
51
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dalam persoalan ekonomi dan budaya,
perbedaan mendalam yang terjadi di
kedua wilayah tersebut mulai terlihat.
Jakarta memiliki produk domestik
regional bruto (PDRB) hampir tujuh kali
lipat PDRB yang dimiliki oleh Sulawesi
Selatan tahun 2013. Terang saja demikian,
Jakarta selain kota pemerintahan
juga tumbuh sebagai pusat bisnis di
Indonesia, sedangkan Sulawesi Selatan
masih bertumpu pada sektor pertanian
sebagai penunjang tertinggi PDRB-nya.
Kenaikan PDRB terjadi di kedua kota
tersebut, hampir setiap tahun mengalami
kenaikan, baik itu ketika Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia tetap diangka 32
52
pada tahun 2012 dan 2013 dan naik
ke 34 pada tahun 2014 di ketiga tahun
tersebut tetap terjadi kenaikan PDRB.
Indeks Persepsi Korupsi adalah survey
yang dilakukan oleh Transparency
International dengan mengurutkan
negara-negara didunia berdasarkan
persepsi (anggapan) publik terhadap
korupsi di jabatan publik dan politis.
Meskipun tidak ada hubungan langsung
antara Indeks Persepsi Korupsi dengan
meningkatkatnya PDRB suatu daerah,
namun pada saat yang bersamaan
kedua hal tersebut memberikan sedikit
gambaran bahwa ketika anggapan
masyarakat Indonesia terhadap korupsi
Jurnal Youth Proactive Vol.2
masih sama atau tetap di angka
32, PDRB tetap meningkat pada
tahun 2012 dan 2013 di Jakarta
dan Sulawesi Selatan, serta pada
tahun 2014 dimana angka persepsi
korupsi Indonesia diangka 34, PDRB
di kedua daerah tersebut juga tetap
meningkat, atau dengan kata lain
persepsi masyarakat tentang korupsi
tidak memberikan dampak pada
produktivitas masyarakat.
Subsidi BBM terancam dikurangi
dengan alasan agar sebagian dari
subsidi tersebut dialihkan kesektor
lain, dan realisasinya terjadi pada
tahun 2014, benar saja subsidi
dikurangi sehingga terjadi kenaikan
harga BBM bersubsidi jenis premium
di seluruh kota di Nusantara,
namun ada yang menarik, menarik
untuk
dipaparkan,
sebelum
terjadi pengurangan subsidi BBM,
PDB Indonesia meningkat, dan
sesudah pengurangan subsidi BBM
direalisasikan, PDB Indonesia pun
tetap meningkat. Apakah besaran
subsidi BBM tidak berpengaruh pada
laju pertumbuhan ekonomi (PDB)
Indonesia?
Jakarta
dengan
PDRB
yang
meningkat setiap tahun, dan
memimpin kota lain dengan jumlah
PDRB-nya, Sulawesi Selatan pun
memimpin Indonesia Timur dengan
jumlah PDRB-nya yang lebih besar
jika dibandingkan dengan kota
lain di Indonesia Timur, di kedua
tempat
tersebut
masyarakat
masih bersenang-senang dengan
BBM bersubsidi, sudah menjadi
rahasia umum bagi masyarakat
jika pengguna BBM bersubsudi di
Indonesia dinikmati oleh hampir
semua kalangan, mulai dari tukang
ojek, pegawai kantor, PNS, bahkan
di beberapa kasus ada beberapa
mobil mewah yang juga masih
menggunakan BBM bersubsidi, jadi
wajar saja jika kenyataannya kita
masih bersenang-senang dengan
hal itu.
53
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ketika
pemerintah
(berencana)
mengurangi jumlah subsidi BBM,
terjadi pergerakan pemuda terutama
mahasiswa melakukan demo menolak
kenaikan harga BBM diberbagai tempat,
dengan alasan kenaikan harga BBM akan
mempengaruhi sektor yang lain, hargaharga barang akan naik, ongkos produksi
juga akan bertambah.
Di satu sisi yang lain orang-orang dengan
kemampuan finansial di atas rata-rata
orang Indonesia yang juga menikmati
BBM bersubsidi hanya diam seolah-olah
tidak tahu akan hal tersebut. Pernyataan
di atas bukanlah pernyataan ambigu
dan bukan pula pernyataan yang tidak
jelas. Jika yang menjadi prioritas adalah
kenaikan harga pasar di sektor yang lain,
pasar mampu menciptakan permintaan
(demand) dan penawaran (supply) untuk
saling mencari sehingga mendapatkan
titik temu (equilibrium), bahwa iya, akan
terjadi perubahan sedikit demi sedikit
sehingga mendapatkan titik temu
tersebut.
Bahan bakar minyak bersubsidi
sejatinya dinikmati oleh kelas
menengah ke bawah. Namun
pada prakteknya, kelas ekonomi
atas pun turut menikmati bahan
bakar minyak bersubsidi tersebut,
hal ini sudah berlangsung bertahuntahun, sehingga presiden terpilih periode
2014 sampai 2019, bapak Joko Widodo
mengambil langkah mengurangi jumlah
subsidi BBM yang dialokasikan ke sektor
lain, maka dari itu terciptalah 3 (tiga) kartu
sakti, yaitu: Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu
Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.
54
Jurnal Youth Proactive Vol.2
“Jika alih subsidi tidak dilakukan, kita
mempunyai bom waktu yang dapat
meledak kapan saja karena pemerintah
tidak punya cukup uang untuk
membantu rakyat miskin dan membiayai
kegiatan produktif,” tegas Jokowi.
Implementasi dari kebijakan yang
dilakukan oleh Jokowi itu menghasilkan
Rp 14.3 trilliun untuk kartu keluarga
sejahtera, Rp 2.6 trilliun untuk kartu
Indonesia sehat, dan Rp 6.4 trilliun untuk
kartu Indonesia pintar pada tahun 2015.
Ada banyak yang pro dengan kebijakan
tersebut, tapi tidak sedikit juga yang
kontra, yang pro menganggap bahwa
kesejahteraan rakyat menengah ke
bawah lah yang harus diutamakan,
3 kartu sakti itu memberikan garansi
akan kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan. Namun yang kontra
tetap beranggapan bahwa ketika subsidi
BBM dikurangi pasti akan berdampak
pada kenaikan harga barang, yang juga
berarti pengeluaran akan bertambah.
“Jangan sok pintar soal subsidi BBM!”
tegas
Tommy
Soeharto,
tatkala
ditanya
persoalan
subsidi
BBM.
Dampak sosial dari pengurangan subsidi
BBM jelas ada, belum terlalu signifikan
namun pasti akan mempengaruhi sektor
yang lain. Data historikal untuk tingkat
pertumbuhan Upah Minimum Provinsi
DKI Jakarta saja pada tahun 2012 ke
2013 mengalami peningkatkan sebesar
43.87 persen sedangkan 2013 ke 2014
hanya sebesar 10.96 persen dengan
nilai Rp 2.441.000 (data bps). Di Sulawesi
Selatan terjadi peningkatan sebesar
25 persen dari tahun 2013 ke 2014.
55
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bagaimana
dengan
tingkat
pengangguran? Di Indonesia
sendiri
terjadi
peningkatan
sebesar 6.25 persen tahun 2013
dari 6.14 persen pada tahun
2012, meskipun di Jakarta
dan Sulawesi Selatan terjadi
penurunan dari 10.72 ke 9.94
persen dan di Sulawesi selatan
sebesar 6.46 ke 5.83 persen.
Terjadi
peningkatan
tingkat
pengangguran
di
Indonesia
sebesar 6.25 persen pada
tahun 2013, apakah dengan
dikuranginya subsidi BBM, yang
berarti harga BBM bersubsidi
lebih mahal, dan akan berdampak
pada meningkatnya pengeluaran
individu, akan mengakibatkan
peningkatan
pengangguran?
Maksudnya adalah ketika seorang
individu mengalami peningkatan
pengeluaran yang diikuti oleh
individu-individu
yang
lain,
mereka akan menekan perusahaan
agar menaikkan upah/gaji mereka,
dengan kata lain menaikkan
gaji karyawan akan menambah
beban pengeluaran perusahaan,
dan mungkin akan berujung
pada diberhentikannya beberapa
karyawan karena perusahaan
tidak mampu membayar gaji
semua pegawai. Jika hal itu
terjadi dan perusahaan tersebut
56
tidak mampu untuk menangani
atau mencari jalan keluar maka
ada kemungkinan perusahaan
tersebut
akan
mengalami
kebangkrutan.
Kebangkrutan
perusahaan akan mengakibatkan
karyawan kehilangan pekerjaan
dan pendapatan.
Bukan masalah besar bagi
sebagian kecil masyarakat di
Indonesia akan perubahan harga
bahan bakar minyak bersubsidi,
namun sebagian besar masyarkat
di Indonesia pasti akan merasa
bertambahnya masalah ketika
harga bahan bakar minyak
bersubsidi itu juga bertambah.
Pernyataan di atas bukanlah
pernyataan yang meniadakan
antara
satu
dengan
yang
lain, pernyataan di atas justru
gambaran dari dua sudut pandang
kelas di masyarakat. Ada yang pro,
ada yang kontra, ada yang setuju
dan yang tidak setuju, ada yang
bermasalah dan ada yang tidak
bermasalah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
mengalami penurunan pada tahun
2013, jumlah PDRB-nya meningkat
namun persentasenya menurun, hal itu
terjadi sebelum pengurangan subsidi
BBM dilakukan. Walau sebagian ekonom
Indonesia mengatakan setuju dengan
kebijakan yang diambil oleh Jokowi
dengan mengalihkan sebagian subsidi
BBM ke sektor yang lain tapi tidak
menutup kemungkinan bahwa orangorang dari berbagai kalangan yang
berbeda tetap membeli BBM bersubsidi
walau harganya sudah lebih mahal.
Sekarang yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana cara agar
BBM bersubsidi tersebut tepat
sasaran? Kepastian hukum
menjadi salah satu jawaban
yang tepat untuk menjawab
pertanyaan ini. Peringatan dan
hukuman yang pas untuk orang-orang
dari kalangan yang tidak seharusnya
membeli BBM bersubsidi, termasuk
di dalamnya orang-orang yang akan
melakukan manipulasi pada praktek
penjualan BBM bersubsidi.
57
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan adanya kepastian hukum di
Indonesia akan peraturan-peraturan
yang dibuat juga pasti akan berdampak
pada sektor yang lain.
Menurut survey yang dilakukan oleh
Lingkaran Survei Indonesia (LSI),
mayoritas masyarakat Indonesia tidak
setuju apabila Jokowi dan JK menaikkan
harga BBM bersubsidi. 73.17 persen tidak
setuju, 21.46 persen setuju, dan 5.37
persen tidak menjawab.
Bukankah
demokrasi
menjunjung
tinggi nilai; seperti yang dikemukakan
oleh Abraham Lincoln, “demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang
diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Dengan mengurangi
subsidi BBM yang mayoritas masyarakat
Indonesia kurang setuju dapat dikatakan
“untuk rakyat”?
Wajar saja jika kepuasan masyarakat
terhadap Jokowi menurun pasca
kenaikan harga BBM, hasil dari survey LSI
mengatakan bahwa saat ini kepuasaan
terhadap kepemimpinan Jokowi hanya
sebesar 44.94 persen, mereka yang tidak
puas dengan kepemimpinan Jokowi
pun cukup besar yaitu sebesar 43.82
persen. Dan sebesar 11. 24 persen publik
menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Ini jelas peringatan bagi Jokowi dan JK.
Tidak Tahu
11%
Puas
0%
Tidak Puas
44%
58
45%
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Diagram di samping menunjukkan
peningkatan
Upah
Minimum
di
Indonesia, Jakarta dan Sulawesi Selatan.
Terlihat bahwa 3 tahun terakhir Tingkat
Upah Minimum di Sulawesi Selatan
terjadi peningkatan begitupun dengan di
Indonesia, namun tidak untuk di Jakarta;
terjadi penurunan pada tahun 2013 ke
2014.
Sedangkan untuk laju pertumbuhan
ekonomi di Indonesia, Jakarta dan
Sulawesi Selatan terjadi penurunan pada
3 tahun terakhir juga. PDRB meningkat
namun terjadi penurunan pada laju
pertumbuhan.
Dan sedikit yang harus membuat kita
bangga adalah terjadinya penurunan
tingkat pengangguran di Indonesia, baik
itu di Jakarta maupun di Sulawesi Selatan
yang menjadi kota perwakilan Indonesia
Barat dan Indonesia Timur.
Alasan pertama, kurangnya komunikasi
dan sosialisasi pemerintah mengenai
alasan
menaikkan
harga
BBM.
Rasionalitas
pemerintah
mengenai kondisi mendesak
menaikkan harga BBM, belum
selaras dengan rasionalitas
publik umumnya. Survei LSI
menemukan bahwa sebesar 58.45
persen publik menyatakan tidak bisa
menerima alasan pemerintah menaikan
harga BBM. Hanya 34.10 persen publik
yang menyatakan bisa menerima alasan
pemerintah menaikan harga BBM. Dan
sisanya menyatakan tidak tahu/tidak
jawab (7.45 persen).
59
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Alasan kedua, bagi publik kenaikan
harga BBM akan memicu kenaikan harga
kebutuhan pokok dan transportasi. Bagi
publik mayoritas naiknya harga BBM
akan membuat beban hidup mereka
bertambah. Padahal salah satu harapan
besar publik terhadap Presiden Jokowi
adalah meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka.Sebesar 74.38 persen
publik menyatakan bahwa kehidupan
mereka sehari-hari makin sulit pasca
kenaikan harga BBM.
Hanya 11.51
persen menyatakan bahwa kenaikan
harga BBM tidak berdampak signifikan
terhadap kehidupan sehari-hari mereka.
Alasan ketiga, publik meragukan
kompensasi kenaikan harga BBM akan
sampai ke rakyat kecil. Salah satu janji di
balik kenaikan harga BBM adalah dana
hasil efisiensi subsidi BBM akan dialihkan
untuk pembangunan infrastruktur dan
pelayanan publik seperti pendidikan dan
kesehatan. Namun publik meragukan
bahwa kompensasi itu akan bisa
dinikmati oleh mereka. Tingginya
korupsi dan budaya birokrasi yang buruk
menjadi alasan kekhawatiran publik,
menunjukan bahwa sebesar 51.63 persen
publik tidak yakin program kompensasi
BBM akan sampai ke masyarakat yang
benar-benar membutuhkan. Sedangkan
sebesar 37. 25 persen menyatakan “iya”.
60
Alasan keempat, BBM sudah naik
sebelum ada program Jokowi
yang terasa manfaatnya.
Sebesar
62.41
persen
publik
menyatakan bahwa sejak dilantik,
belum ada program Jokowi yang
dirasakan langsung manfaatnya oleh
mereka. Hanya 26.85 persen publik
yang menyatakan sudah merasakan
manfaat dari kepemimpinan Jokowi.
4 (empat) alasan diatas menjadi
gambaran bagi masyarakat bahwa
popularitas Jokowi sedang terancam,
dan meskipun popularitas bukanlah
hal yang dicari bagi seorang Presiden
tetapi perlu diingat bahwa persepsi
masyarakat tentang pemimpinnya
juga hal yang tidak kalah penting.
Dalam
skala
makro,
untuk
menentukan GDP suatu negara dapat
menggunakan rumus;
Y = C + I + G + (X-M)
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dimana C adalah konsumsi (Consumption),
I adalah Investasi (Investment), G adalah
Pengeluaran Pemerintah (Government
Expenditure), dan X-M adalah Ekspor
(Export) dikurangi Impor (Import). Dan
sudah tidak bisa dipungkiri bahwa
banyak penyalahgunaan dana APBN (G)
Indonesia, banyak pihak yang melakukan
praktek korupsi dengan menggunakan
alibi yang bermacam-macam. BBM
bersubsidi bisa menjadi barang yang
dapat mendorong agar pihak tertentu
melakukan tindak korupsi, seperti
melakukan pembelian lalu menjualnya
dengan harga yang lebih mahal dengan
skala yang besar, atau adanya dorongan
untuk melakukan tindak korupsi ketika
subsidi BBM ditarik atau dikurangi juga
dapat terjadi.
Achmad Machbub alias Abob, adalah
seorang pengusaha kapal dan raja
minyak di Kepulauan Riau yang
melakukan
penyelewengan
bahan
bakar minyak sebesar Rp 1 trilliun.
Kapalnya, MTZ, tertangkap saat mencoba
menyelundupkan bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi berupa solar ke kapal
berbendera Singapura di perairan Batam.
Pihak swasta dapat melakukan tindak
korupsi seperti apa yang dilakukan
oleh Abob, namun apakah ada oknum
dari pemerintah yang juga turut
campur dalam praktek korupsi ini?
Menurut Anggota Komisi III DPR
RI, Bambang Soesatyo, dari hasil
penelitian, sekitar 30 persen BBM
bersubsidi dicuri oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab.
Misalnya pada tahun 2012, total subsidi
BBM membengkak menjadi Rp 222,8
trilliun karena ada tambahan kuota
subsidi 1,23 juta kilo liter.
61
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Oknum tertentu bermain dengan BBM
bersubsidi, apakah pemerintah juga akan
bermain? Atau telah bermain? Di sinilah
Komisi Pemberantasan Korupsi harus
turun tangan menangani hal-hal yang
demikian.
Adanya
praktek
subsidi
permasalahan pada
diberlakukannya
BBM,
seperti
yang
dilakukan oleh Achmad Machbub, dan
dibenarkan juga oleh anggota komisi
III DPR RI, Bambang Soesatyo, bukan
menjadi alasan pemerintah
untuk menarik subsidi BBM,
atau mengurangi subsidi BBM
itu sendiri. Sama seperti ketika
terjadi kebocoran pada ban motor,
harusnya kebocoran tersebut ditambal
atau ditutupi sehingga tidak terjadi
kebocoran, bukan menggantinya dengan
ban sepeda yang volumenya lebih kecil.
Pada konteks subsidi BBM, ketika
kebocoran terjadi, harusnya kebocoran
tersebut ditambah; bukan dengan
mengurangi subsidi BBM itu sendiri.
Sedangkan ketika kebocorannya
sudah terlalu banyak, gantilah
dengan yang setara dengan
subsidi BBM itu sendiri.
62
Argumentasi diatas bukanlah argumen
yang menegaskan bahwa BBM bersubsidi
akan mendorong korupsi, tetapi argumen
yang menegaskan bahwa ada pihak yang
melakukan tindak korupsi, tetapi apakah
karena ada pihak yang melakukan
korupsi lantas BBM bersubsidi tersebut
dicabut? Harusnya pihak yang melakukan
tindak korupsi itulah yang harus dicari,
dan ditindaklanjuti. Apa yang dilakukan
oleh Achmad Machbub bukanlah
contoh yang bertentangan dengan
dukungan terhadap BBM bersubsidi,
tetapi dukungan untuk mencari dan
menindaklanjuti orang-orang seperti
Abob yang melakukan penyelewengan
terhadap BBM bersubsidi.
Masyarakat di DKI Jakarta dan di Sulawesi
Selatan
sama-sama
menggunakan
bahan bakar minyak bersubsidi. Bedanya
mayoritas masyarakat di Jakarta mengisi
kendaraan mereka untuk ke kantor dengan
tumpukan deadline yang menunggu,
sedangkan masyarkat di Sulawesi
Selatan mengisi kendaraan mereka
untuk ke sawah; terang saja, 75 persen
perekonomian Sulawesi Selatan masih
berasal dari pertanian. Hal yang menarik
adalah pekerja di Jakarta menggunakan
kendaraan dengan bahan bakar minyak
bersubsidi, sehingga mereka memiliki
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kemungkinan untuk berdiskusi dengan
kantor agar menyesuaikan gaji mereka
dengan pengeluaran mereka. Sedangkan
masyarakat di Sulawesi Selatan harus
menghitung sendiri pemasukan dan
pengeluarannya, karena mereka masih
menggunakan bahan bakar minyak
dalam pengoperasian sawah mereka.
Ketika terjadi kenaikan harga BBM,
maka pasti ongkos produksi pun ikut
meningkat; hal itu mengharuskan petani
mengeluarkan budget yang lebih untuk
memproduksi beras dan menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi.
Masalahnya adalah mereka harus bersaing
dengan beras impor, beras dari Thailand.
Bagaimana dengan sektor kelautan?
DKI Jakarta memiliki Kepulauan Seribu
yang menarik banyak peminat untuk
dikunjungi, meskipun fasilitas yang
ditawarkan masih belum bagus namun
minat masyarakat untuk mengunjungi
masih tinggi. Proses bisnis antar jemput
menggunakan kapal pun disediakan,
kapal yang menggunakan solar ini
terpaksa harus menaikkan harga jasa yang
ditawarkan dengan adanya kenaikan
harga BBM. Nelayan di Sulawesi Selatan
pun tak sedikit, operasional sehari-hari
mereka pastilah menggunakan solar,
mencari ikan ditengah laut lepas, tanpa
ada SOP yang jelas tak mengurungkan
niat mereka, dengan ada kenaikan BBM ini
pastilah berdampak pada meningkatnya
biaya
operasional
mereka.
Biaya
operasional meningkat berarti harga jual
ikan pada nelayan ini pun ikut meningkat.
Solar yang dikemukakan di atas adalah
solar yang mendapat bantuan subsidi
di dalamnya, dimana ketika harga solar
naik maka biaya operasionalpun ikut
naik, harga ikan akan naik dan akan
menjadi beban tersendiri bagi nelayan
untuk menjual ikan hasil tangkapan
mereka dengan harga yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk kapal pengangkut juga
harus menstabilkan harga untuk menutup
biaya pengeluaran yang harus mereka
keluarkan. Tidak ada kemungkinan tindak
korupsi di dalam kasus tersebut namun
efek atau dampak dari pengurangan
subsidi
BBM
pasti
berpengaruh
kepada mereka. Apakah mereka akan
bertahan atau malah gulung tikar.
63
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan alasan Ekonomi, Produk
Domestik Bruto Indonesia tahun 2011,
2012, 2013 dan 2014 masih menunjukkan
peningkatan dimana masing-masing
senilai Rp2,464,566.1 miliar pada
tahun 2011,
Rp 2,618,932.0 miliar
pada tahun 2012, Rp 2,769,053.0 miliar
pada tahun 2013, dan Rp 2,909,181.5
miliar pada tahun 2014 (Badan Pusat
Statistik). Dimana jika menengok ke
belakang, tahun 2011 ke 2012 harga
BBM bersubsidi masih di angka Rp 4.500
per liter, di tahun 2013 naik ke angka Rp
6.500, dan 2014 naik lagi ke angka Rp
8.500. Dengan kata lain selama 4 tahun
tersebut PDB Indonesia meningkat, dan
harga BBM bersubsidi meningkat, meski
angka persepsi korupsi Indonesia sempat
bertahan 2 tahun di angka 32 sebelum
merangkak naik ke angka 34.
Masih dengan pertanyaan yang sama,
apakah dengan mengurangi subsidi
BBM atau menaikkan harga BBM
bersubsidi adalah kebijakan yang pro
rakyat? Mari berpikir sejenak.
64
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kuda Besi Ibukota:
Dipakai Warga,
Dihindari Jakarta
Ardi Yunanto
Aksi Pemprov DKI Jakarta melarang sepeda motor melintasi jalan protokol
pada akhir 2014 tidak datang tiba-tiba. Pada 2007, pernah ada rencana
serupa: Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman terlarang bagi sepeda
motor. Banyak ditentang, rencana itu dibatalkan. Larangan sepeda
motor melintasi Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin
belakangan ini adalah perwujudan rencana tak kesampaian itu.
Jarak Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin yang sekitar
lima kilometer itu boleh jadi lebih pendek ketimbang jarak Jalan M.H.
Thamrin sampai Jalan Sudirman dalam rencana 2007. Namun, bukan
itu persoalannya. Pelarangan sepeda motor melintasi jalan protokol itu
melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak mobilitas, yang dimiliki setiap
warga kota.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
65
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sekalipun
jumlah
kendaraan
pribadi yang kian menjadi-jadi
merupakan masalah genting untuk
ditangani, tidak ada satu manusia
pun—termasuk
Ahok,
sapaan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama—yang berhak melarang
warga untuk bepergian. Sebagai
pemilik kendaraan pribadi yang
membayar pajak kendaraan, yang
warga dapatkan dari pemerintah
seharusnya perbaikan infrastruktur
transportasi, bukan pelarangan.
Setelah
pemerintah
Jakarta
menunjukkan kekuasaannya kepada
pengendara sepeda motor hampir
selama tiga bulan, Indonesia Traffic
Watch (ITW) menggugat Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 195
Tahun 2014 tentang Pembatasan
Lalu Lintas Sepeda Motor melalui
Mahkamah Agung.
Menurut Ketua Presidium ITW, Edison
Siahaan, aturan itu bertentangan dengan
Pasal 133 ayat 2c Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, yang mengatur
pembatasan kendaraan bermotor pada
koridor, jalan, dan waktu tertentu.
Persoalaannya, seperti diungkapkan
Edison dalam Tempo.co, 21 Januari
2015, “(Dalam peraturan) ini (kendaraan
bermotor) bukan dibatasi, tapi dilarang
24 jam.”1
Ahok sendiri tak merisaukan gugatan
itu. Keyakinannya tetap: pelarangan
itu merupakan bagian dari upaya
pemerintah
Jakarta
mendorong
warga agar mau menggunakan sarana
transportasi umum.
Erwan Hermawan, “ITW Gugat Ahok ke Mahkamah
Agung,” Tempo.co, 21 Januari 2015, 14:59 WIB. Tautan:
http://bit.ly/1OegFs4
1
66
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kasus
ini
secara
gamblang
memperlihatkan betapa frustrasinya
pemerintah menangani kemacetan
Jakarta. Ahok, bukan saja tak lebih
maju daripada Sutiyoso karena ia
mewujudkan rencana pelarangan
Gubernur DKI Jakarta 1997–2007
itu, melainkan juga tak menyadari
bahwa penyebab utama kemacetan
Jakarta selama ini justru pemerintah
Jakarta sendiri, yang cenderung
mengandalkan
pembangunan
infrastruktur
jalan
ketimbang
membenahi infrastruktur transportasi
lain.
Boleh jadi ini tuduhan yang serius,
berkebalikan dengan kepercayaan
Ahok yang ia katakan pada Tempo.co,
21 Januari 2015, bahwa kemacetan
Jakarta disebabkan oleh banyaknya
kendaraan pribadi.2
Gangsar Parikesit, “Digugat ITW, Ahok: Enggak Apaapa, Gugat Saja,” Tempo.co, 21 Januari 2015, 16:33
WIB. Tautan: http://bit.ly/1MArSRb
2
Sebagai gubernur, Ahok seharusnya tak
menyederhanakan persoalan kemacetan
Jakarta. Kita sudah sangat akrab dengan
kelakuan semacam ini: menyelesaikan
masalah tanpa perencanaan matang,
sehingga hasilnya adalah solusi yang
sepotong-sepotong, lalu masalah berakhir
dengan kemunculan masalah baru. Ini
tindakan lawas pemerintah Jakarta yang
nyaris jadi tradisi, dari yang paling korup
sampai yang katanya paling bersih di zaman
Ahok ini. Nyatanya, bersih rekening saja
memang tak cukup.
Pandangan tersebut — soal kecenderungan
pemerintah mengandalkan pembangunan
infrastruktur jalan — bukan pula pandangan
baru. Yang saya rujuk berikut ini adalah
tulisan Tory Damantoro dalam buku Kata
Fakta Jakarta terbitan Rujak Center for Urban
Studies pada 2011, yang dengan jernih
menjelaskan faktor penyebab kemacetan
Jakarta.
kemacetan
Jakarta
merupakan dampak pembangunan
yang
lebih
mendahulukan
kepentingan
ekonomi
yang
cenderung
mengabaikan
kepentingan masyarakat, sehingga
Singkatnya,
penggunaan ruang tak memberikan
manfaat bagi seluruh warga. Ketika harga
tanah naik seiring peningkatan kebutuhan
akibat pertambahan jumlah penduduk,
banyak warga yang terpaksa menyingkir
dari pusat kota. Perjalanan warga dari
rumah ke tempat kerja yang makin jauh
menyebabkan kemacetan di koridor utama
yang berdampak buruk pada aksesibilitas
kota secara keseluruhan, yang malah
disambut pemerintah dengan solusi terus
menambah jalan, yang hasilnya justru
memicu warga memiliki kendaraan pribadi.
67
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Akhirnya, menurut Tory, “kombinasi
dari pertambahan jumlah penduduk,
pemekaran kota yang tak terkendali,
pergerakan warga yang makin banyak
dan jauh, kebijakan pembangunan
jalan sebagai infrastruktur transportasi
utama, serta tingginya ketergantungan
warga pada kendaraan pribadi menjadi
faktor penyebab terjadinya kemacetan
berkepanjangan.”
Faktanya, lanjut Tory, selama 2000–2010,
Pemprov DKI Jakarta melebarkan dan
membangun jalan, mendirikan 56 fly
over dan underpass, namun kemacetan
justru semakin parah. Alih-alih mulai
menata jalan berdasarkan karakteristik
perjalanan warga, pemerintah justru
terus menambah jalan karena “percaya
bahwa jalan harus terus dibangun
untuk melayani pertumbuhan jumlah
kendaraan bermotor.”3
Paparan Tory tersebut menjelaskan
keengganan pemerintah membatasi
kepemilikan kendaraan pribadi sampai
hari ini. Begitu kendaraan pribadi makin
membanjir, seiring banjir manusia dan
banjir air, kemacetan Jakarta jadi masalah
nasional. Tanpa pikir panjang, kendaraan
pribadi itulah yang disalahkan, bukan
pemerintah Jakarta yang sejak
dulu menjadi pemasok terbesar
jalanan
agar
kendaraan
bisa berjalan leluasa sampai
akhirnya jadi kebanyakan dan
Oleh karena itu, pembatasan pergerakan
kendaraan pribadi yang akhirnya
diterapkan. Sesuai UU No. 22 Tahun
2009 tadi, pembatasan memang dapat
dilakukan. Three in One dan calon program
Electronic Road Pricing misalnya, adalah
salah satu cara pembatasan kendaraan
pribadi. Namun, pelarangan adalah soal
lain.
Melarang, jelas jauh lebih mudah karena
mengabaikan masalah yang lebih besar,
apalagi kalau itu disebabkan oleh si
pelarang sendiri. Tak sulit pula melihat
bahwa mentalitas pelarangan sepeda
motor ini adalah mentalitas yang sama
dengan penggusuran kaum miskin kota.
Dalam Kompas.com, 2 Desember 2014,
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah,
mengatakan bahwa pelarangan sepeda
motor ini seperti “penertiban di bantaran
kali dan ruang terbuka hijau.”4 Dalam kadar
tertentu, melarang sepeda motor itu
sama gampangnya dengan menganggap
warga di bantaran kali sebagai penyebab
banjir sambil melupakan berbagai
superblok yang justru menempati ruang
terbuka hijau yang seharusnya jadi
daerah resapan air.
bikin semua orang kelabakan.
Tory Damantoro, “Kemacetan Jakarta: Masalah yang Tak
Kunjung Selesai,” dalam Kata Fakta Jakarta, (Jakarta: Rujak
Center for Urban Studies, 2011).
3
68
Alsadad Rudi, “Pelarangan Sepeda Motor akan Dievaluasi
dalam 3 Bulan,” Kompas.com, 2 Desember 2014, 16:16 WIB.
Tautan: http://bit.ly/1WY4jMk
4
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Melihat sepeda motor sebagai bagian
dari kendaraan pribadi pun tak bisa
sesederhana itu. Dalam Kompas.com,
15 Desember 2014, Ahok boleh saja
bilang bahwa tidak ada alat transportasi
mana pun yang dapat mengalahkan
kenyamanan naik motor karena dapat
menghindari
kemacetan.5
Tetapi,
naik sepeda motor itu sama sekali
tidak nyaman. Apalagi kalau ukuran
kenyamanannya hanya karena dapat
menghindari kemacetan.
5
Kurnia Sari Aziza, “Ahok: Saya Enggak Ada Kewajiban
Sediakan Parkir Motor untuk Anda,” Kompas.com,
15 Desember 2014, 16:02 WIB. Tautan: http://bit.
ly/1kDuyXh
Sepeda motor memang membuka jendela
kebebasan baru. Bagi Franz MagnisSuseno, dalam Kompas, 22 Januari 2007,
itu adalah, “Bebas dari keharusan berada
dalam empat jam per hari dalam bus-bus
dan angkot yang jorok dan tidak aman.
Bebas dari biaya mencekik pemakaian
angkutan umum. Bebas untuk cepat ke
tempat yang perlu.” Tapi, barangkali agar
tak ada orang seperti Ahok di kemudian
hari yang menganggap naik motor itu
nyaman, ia menegaskan, kalau mereka
yang menggunakan motor itu “bukan
karena mereka iseng-iseng, melainkan
karena mereka membutuhkannya.”6
Sepeda motor adalah kendaraan
pribadi yang paling terjangkau bagi
kebanyakan orang. Jika pilihan lain
tersedia, pengendara sepeda motor
akan rela memarkirkan kuda besinya.
Contoh kecilnya adalah pengendara
sepeda motor yang belakangan ini
mulai menggunakan kereta api listrik
yang kondisinya sejak setahun terakhir
semakin baik.
Franz Magnis-Suseno, “Perang Melawan Rakyat,” Kompas,
22 Januari 2007.
6
69
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan
kata
lain,
sepeda
motor perlu dilihat sebagai
solusi praktis warga dalam
menghadapi
kemacetan
dan buruknya transportasi
umum di Jakarta, yang
puluhan tahun lamanya gagal
diatasi pemerintah yang digaji
warga melalui pajak. Warga tentu
mengharapkan solusi yang lebih cerdas
daripada sekadar melestarikan arogansi
pemerintah sebelumnya dalam wujud
paling mutakhir. Suatu solusi yang perlu
diatasi pemerintah sambil menyadari
sepenuhnya bahwa dirinya telah lebih
dulu bersalah karena tidak mampu
mengatasi kemacetan.
Untuk sementara, protes warga
membuahkan hasil. Permohonan uji
materiil ITW pada Mahkamah Agung
itu memaksa pemerintah untuk kembali
mengizinkan pengendara sepeda motor
melintasi Jalan M.H. Thamrin sampai
Jalan Medan Merdeka Barat, mulai 4
70
April 2015. 7 Akan tetapi, cuma selama
6 jam per hari, dari pukul 23.00 – 05.00,
di saat lebih banyak orang yang tidur
daripada naik sepeda motor. Apakah itu
berarti pengendara sepeda motor harus
pergi lebih pagi dan pulang lebih malam?
Tentu ini masih diskriminatif. Perjalanan
untuk memperjuangkan hak mobilitas
pengendara sepeda motor, masih
panjang.***
Tulisan ini awalnya dibuat untuk
melengkapi materi diskusi “NGOPI#4:
Jakarta Punya Siape” yang diadakan oleh
Transparency International Indonesia di
Jakarta, 23 Januari 2015. Tulisan ini sempat
disunting lalu dimuat di Indoprogress.
com, pada Februari 2015. Tulisan dalam
buku ini adalah versi suntingan terakhir
pada 19 November 2015, berdasarkan
perkembangan terkini.
“Akhirnya, Sepeda Motor Bisa Lewat Thamrin Pukul 23.00
– 05.00,” Tempo.co, 6 April 2015, 09:37 WIB. Tautan: http://
bit.ly/1O2QAOx
7
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kebijakan Pelarangan
Penggunaan
Sepeda Motor,
1
Kebijakan Marah-Marah?
Yudi Adiyatna
10,000,000
9,000,000
8,000,000
7,000,000
6,000,000
Motorcycles
5,000,000
Passenger Car
4,000,000
Bus
3,000,000
Truck
2,000,000
1,000,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik jumlah kendaraan bermotor di Jakarta2
Tentu kita semua sebagai warga penghuni kota metropolitan ini sepakat mengatakan
Jakarta identik dengan kemacetan. Berbagai macam public service yang disediakan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun ketahun seperti penambahan jalan,
tol, pembangunan underpass dan flyover, kebijakan three in one di beberapa jalan
protokol, dan lain sebagainya, rupanya hanya memberikan short-term effects dalam
menanggulangi kemacetan, sebab tidak diikuti dengan penurunan jumlah kendaraan
bermotor yang terus bertambah luar biasa.
1
.Disampaikan dalam diskusi Ngobrol Pintar (NGOPI #4) Youth Proactive Transparency International,Jakarta 23
Januari 2015. Saran dan kritik : [email protected]
2 Grafik jumlah kendaraan bermotor di Jakarta : Lembar Fakta Koalisi Warga Untuk Transport Demand Management (Koalisi
TDM) 2011
71
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Data yang dihimpun Koalisi
Warga Untuk Transport Demand
Management (Koalisi TDM)
tahun 2011, menyebutkan
bahwa rasio jumlah kendaraan
pribadi
dibandingkan
kendaraan
umum
adalah
98% berbanding 2%. Jumlah
kendaraan pribadi yang
hampir
mencapai 100% tersebut mengangkut
49,7% perpindahan penumpang per hari.
Sama sekali tidak berbeda jauh dengan
kapasitas penumpang yang diangkut
kendaraan umum (50,3% perpindahan
penumpang per hari). Hal ini diperparah
dengan lalu lalang 600.000 unit
transportasi yang mengangkut sekitar
1,2 juta penumpang yang berdomisili di
wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
memasuki Jakarta. Jumlah ini terus
mengalami peningkatan seiring makin
mudahnya akses masyarakat untuk
kepemilikan kendaraan bermotor saat ini.
Dalam mengatasi persoalan terkait
transportasi dan kemacetan serta
pengaturan lalu lintas, belum lama
ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menerbitkan Peraturan Daerah No.5
tahun 20143 tentang Transportasi.
Dalam pasal 78 ayat 2 poin h disebutkan
pemerintah daerah dapat “membatasi
lalu lintas sepeda motor pada kawasan
tertentu dan/atau waktu dan/atau
jaringan jalan tertentu” dan diperjelas lagi
dengan terbitnya Peraturan Gubernur No.
195 Tahun 20144 tentang Pembatasan
Lalu Lintas Sepeda Motor di segmen
Jln. MH Thamrin sampai Jln. Medan
Merdeka Barat menimbulkan pro dan
kontra di tengah masyarakat, terutama
kaum muda yang sehari-hari beraktivitas
menggunakan sepeda motor di kawasan
tersebut.
Begitu banyak alasan yang dikemukakan
masyarakat terkait penolakan kebijakan
larangan penggunaan sepeda motor
tersebut. Ada yang menganggap
kebijakan ini diskriminatif, tidak efektif,
memperbesar beban energi dan waktu
masyarakat yang melintas, serta dianggap
mengurangi pendapatan masyarakat
yang mencari nafkah di sekitar kawasan
tersebut (tukang ojek, kurir, dll).
3 Lihat Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2014 pasal 78 ayat 2
4 Lihat Pergub DKI Jakarta No. 195 Tahun 2014
72
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pemprov DKI Jakarta pun telah
menyediakan bus “gratis” sebagai
pengganti
alat
transportasi para
pengguna motor yang ingin melintas di
kawasan tersebut, namun penggunaan
bus “gratis” tersebut dikeluhkan sebagian
warga karena dalam penggunaanya
mereka terlalu lama menunggu dan
okupasi bus tersebut pun banyak
digunakan anak-anak sekolah yang
sedang berlibur dan para orang tua yang
membawa anak balita.5
Kebijakan
ini
seolah
menunjukkan kawasan Jl MH
Thamrin sampai Jl Medan
Merdeka Barat sebagai kawasan
eksklusif yang tidak boleh dilalui
sepeda motor, padahal kita
sama-sama tahu bahwa setiap
warga negara mempunyai hak
untuk mendapatkan layanan
publik yang layak (tanpa dibatasi)
dan hak untuk berpindah tempat.
Pemerintah dalam hal ini Pemprov
DKI Jakarta, tidak bisa melarang dan
membatasi ruang gerak dan mobilitas
warga jika tanpa diberikan alternative
atau transportasi umum yang memadai
sebagai pengganti sepeda motor yang
dilarang melintas di kawasan tersebut.
5 http://megapolitan.kompas.com/
read/2014/12/17/12292521/Waktu.Tunggu.Bus.Tingkat.
Gratis.Masih.Lama
73
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa
masyarakat masih enggan berpindah
dari kendaraan pribadi ke kendaraan
umum disebabkan oleh banyak hal.
Selain karena waktu tunggu bus “gratis”
yang lama dan dianggap tidak efektif, tak
dapat disangkal lagi kondisi transportasi
umum di Jakarta masih dalam keadaan
buruk, mulai dari kondisi fisik kendaraan,
hingga kondisi si pengemudi. Banyak
angkutan umum yang sudah tidak layak
pakai namun tetap dioperasikan. Hal
tersebut dianggap dilakukan hanya
demi mendapatkan penghasilan namun
mengabaikan keselamatan penumpang
dan kendaraan lainnya. Ada sisi
kenyamanan dan rasa aman yang seolah
hilang dari masyarakat bila menggunakan
kendaraan umum di Jakarta. Mereka
sama saja mempertaruhkan nyawa setiap
menggunakan jasa ini. Ini masalah nyawa,
penumpang berhak mendapatkan rasa
aman dan nyaman, bukan hanya tiba di
tujuan dengan selamat.
Pada tataran ideal, seharusnya Pemprov
DKI Jakarta dalam hal ini mengeluarkan
peraturan yang semestinya berbasis
kepentingan publik. Dalam artian,
keberadaan suatu kebijakan tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk
memenuhi kebutuhan publik dan atau
menyelesaikan masalah yang dihadapi
publik. Oleh karena itu langkah awal
yang seharusnya dilakukan oleh Pemprov
DKI Jakarta dalam proses pembuatan
kebijakan publik adalah mengetahui
74
apa yang sesungguhnya menjadi
kebutuhan publik dan tentu saja
mengetahui apa yang sedang menjadi
masalah publik. Dalam konteks
kebijakan publik, apa yang disebut
sebagai masalah publik adalah situasi
yang menghasilkan
kebutuhankebutuhan
atau
ketidakpuasanketidakpuasan publik, yang perlu dicari
jalan keluarnya, baik oleh pihak yang
terkena akibat secara langsung oleh
situasi itu ataupun oleh pihak lain yang
memiliki tugas dan tanggung jawab
di bidang itu.6
6 Eny Haryati, Seri Modul Kebijakan Publik,Komunitas
Indonesia Untuk Demokrasi ,2011,hal 24-25
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kebijakan pelarangan sepeda motor di
jalan protokol (Thamrin-Merdeka Barat)
dianggap tidak menjawab masalah publik
dan tidak memenuhi kebutuhan publik
akan keberadaan transportasi umum
yang memadai tapi justru menimbulkan
masalah baru bagi masyarakat yang
melintasi kawasan tersebut. Kita patut
bertanya apa landasan Pemprov
DKI Jakarta mengeluarkan aturan
tersebut, fakta apa yang ada di balik
kebijakan tersebut. Apakah Pemprov
DKI
sebelumnya sudah mengenali
betul apa yang menjadi masalah publik
dalam membuat kebijakan tersebut?
Yang berbahaya adalah Pemprov DKI
Jakarta sesungguhnya memahami faktafakta yang ada di lapangan namun
cenderung diinterpretasikan secara
berbeda oleh masing-masing pelaku
kebijakan. Karena informasi yang
sama dapat menghasilkan definisi dan
penjelasan atau pemaknaan “masalah”
yang berbeda. Hal ini bukan disebabkan
oleh ketidakkonsistennya fakta- fakta
mengenai hal tersebut, namun karena
analis kebijakan, pengambil kebijakan,
dan pelaku kebijakan lainnya berpegang
pada asumsi yang berbeda dalam
memaknai fenomena sosial (kemacetan
di jalan protokol). Sering kali dalam
banyak kasus didapati bahwa “lebih
sering
terjadi
pemecahan
masalah yang salah daripada
menemukan pemecahan yang
salah atas masalah yang benar”.
75
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kita pun jadi bertanya-tanya tentang keterbukaan proses
pembuatan kebijakan ini, apakah kebijakan ini mengalir dari
atas kebawah yaitu dari golongan elite pembuat kebijakan
ke golongan masyarakat. Dengan demikian kebijakan tersebut
lebih mementingkan keinginan kelompok elit-penguasa
daripada masyarakat secara luas. Dan kitapun berhak bertanya
sesungguhnya berapa belanja anggaran Pemprov DKI Jakarta
untuk transportasi publik? Sudah maksimalkah anggaran tersebut
digunakan untuk transportasi publik? Jika belum, Pemprov DKI
Jakarta terkesan “setengah hati” dalam mewujudkan transportasi
publik yang layak untuk masyarakatnya dan
pelarangan
kendaraan bermotor menunjukkan ketidakkonsistennan
Pemprov DKI Jakarta pada peningkatan kualitas pelayanan
publik yang komprehensif. Dalam dokumen RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang) seperti dikatakan oleh Ketua
Komisi D DPRD DKI Jakarta,
kebijakan pelarangan motor
sesungguhnya ada di urutan ketiga dan berdampingan dengan
kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), Terminal Parkir Elektronik
dan sebagainya. Sedangkan untuk solusi pertama mengurai
macet adalah dengan penyediaan transportasi massal dan
penambahan ruas jalan yang saat ini perbandingannya 0,1 persen
dari pertumbuhan jalannya.
“Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta,
Sanusi mengatakan, pelarangan sepeda
motor memang masuk dalam salah satu
rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP). Kebijakan ini dinilai Basuki Tjahaja
Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta
tepat untuk mengurangi macet.
Dalam dokumen RPJP, kebijakan ini ada
di urutan ketiga dan berdampingan
dengan kebijakan Electronic Road Pricing
(ERP), Terminal Elektronik Parkir (TEP) dan
sebagainya. Sedangkan untuk urutan
pertama sebagai solusi mengurai macet
adalah penyediaan transportasi massal
dan penambahan ruas jalan yang saat
ini perbandingannya 0,1 persen dari
pertumbuhan jalan.
76
“Ketiga aturan itu tidak boleh diubah
penerapannya.
Artinya,
dalam
pembatasan, Ahok harus mendahulukan
penyediaan transportasi massal. Kalau
penambahan jalan memang butuh
waktu. Tapi tetap tidak bisa dibalik
pelarangan dulu baru penyediaan
transportasi massal,” katanya di Gedung
DPRD DKI Jakarta, Kamis (9/1).
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sanusi menilai kebijakan yang Ahok
mengurangi kendaraan bermotor agar
kawasan Jl Sudirman, Thamrin dan Medan
Merdeka termasuk di Balai Kota tak jadi sasaran
pendemo yang sering membawa kendaraan
roda dua itu. Dia yakin alasan Ahok menyebut
untuk mengurangi angka kecelakaan cuma
akal-akalan.
“Jakarta banyak orang pintar. Apa kecelakaan
sering terjadi di kawasan larangan sepeda
motor sekarang ini? Apa mengurangi
kepadatan? Jelaskan lebih detail maksud dan
tujuan pembatasan agar masyarakat kecil
tidak merasa diintimidasi,” tutup Sanusi.7
Dari berbagai argumen yang diungkapkan,
jelaslah
bahwa
kebijakan
tidak
populis ini cenderung hanya
kebijakan parsial yang tidak
komprehensif dan tidak mengatasi
masalah kemacetan, dan justru
mendiskriminasikan para pengguna
motor. Sebaiknya Pemprov DKI Jakarta
membatalkan kebijakan pelarangan motor
tersebut dan fokus pembenahan terhadap
berbagai macam sector transportasi dan
manajemen lalulintas, seperti fokus pada
pengadaan dan peremajaan bus-bus kota,
fokus pada percepatan pembangunan
pola moda transportasi massal MRT (Mass
Rapid Transport), fokus pada penyatuan
atau integrity konektivitas antar satu moda
trasnportasi umum ke moda transportasi
umum
lainnya
(seperti
konektivitas
Halte Busway dan Stasiun Kereta) Yang
tidak kalah penting adalah pembatasan
kendaraan bermotor di jalanan dengan
cara, misalkan menaikkan pajak pembelian
kendaraan,naikkan tarif parkir, penerapan ERP.
7 http://www.merdeka.com/jakarta/dprd-duga-kebijakanlarangan-motor-cuma-akan-akalan-ahok.html
77
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan
kualitas
transportasi
publik yang memadai, konektivitas
antar moda transportasi umum,
serta semakin mahalnya ongkos
untuk memiliki kendaraan pribadi,
maka kelak masyarakat akan
dengan sendirinya berbondongbondong beralih menggunakan
transportasi publik, tentu semua
kebijakan
tersebut
membutuhkan
waktu dan political will yang kuat
dan berjiwa melayani masyarakat dari
pemegang kebijakan. Sehingga Pemprov
DKI Jakarta tidak perlu “memarah- marahi
motor” dengan melarangnya melintas di
jalur protokol toh nanti mereka sendiri
yang akan sadar memilih alat transportasi
yang aman dan nyaman.
Membangun transportasi publik bukan
hanya membangun sarana fisiknya
saja, tetapi lebih dari itu, membangun
transportasi publik juga membangun
perilaku dan peradaban manusia,
membuat masyarakat lebih disiplin,
teratur, berkualitas dan berbudaya.
Peran pemerintah dalam perspektif
sosial tidak hanya sebagai sebagai
penyedia layanan publik, melainkan
sebagai pencipta kesejahtraan dan
pemerataan, agen perubahan, yang
bersifat solutif. Sebuah langkah
besar yang tidak mudah untuk
dilaksanakan, tetapi bukan hal
yang mustahil untuk mewujudkan
mimpi Jakarta yang ramah akan
transportasi publik.
“A developed country is not a place
where the poor have cars.
It is where the rich people
use public transport.”
-Gustavo Pertro (Mayor of Bogota, Colombia)
78
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Gerakan Anak Muda Dulu dan Sekarang:
Sebuah Trajektori
79
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Anak muda
merupakan individu berusia 15-24 tahun, yang tengah
mengalami periode transisi dari masa anak-anak yang
bergantung menuju masa dewasa yang mandiri. Kategori
umur menjadi ciri termudah untuk mengidentifikasi
karakteristik anak muda, terutama jika dikaitkan dengan
bidang pendidikan dan ketenagakerjaan; karena anak muda
identik dengan masa dimana seseorang meninggalkan
pendidikan wajib dan menemukan pekerjaan pertamanya.
(UN.org)
Undang-undang Kepemudaan no. 40
tahun 2009:
“Pemuda adalah warga negara
Indonesia yang memasuki periode
penting
pertumbuhan
dan
perkembangan, yang berusia 16-30
tahun.”
Anak muda Indonesia usia 15-30 tahun:
67 juta jiwa, yaitu ¼ dari seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah
238 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010)
80
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Youth Integrity Survey
(Survei Integritas Anak Muda)
merupakan sebuah survei yang dilakukan
oleh Youth Department Transparency
International
Indonesia
pada
tahun
2013, yang bertujuan untuk mengukur
pemahaman anak muda usia 15-30 tahun
di daerah perdesaan Aceh, Jawa Timur, dan
Nusa Tenggara Timur mengenai integritas
dan antikorupsi.
Beberapa hasil surveinya antara lain:
Anak muda setuju terhadap indikator
ciri integritas di bawah ini:
Tidak pernah bohong, tidak pernah
curang, dan dapat dipercaya (94%)
Tidak melakukan korupsi (tidak
menerima dan memberi suap) dalam
kondisi apapun (93%)
Tidak pernah melanggar hukum (91%)
Tidak pernah bohong atau berbuat
curang kecuali jika menghadapi
situasi yang sulit bagi dirinya atau
keluarganya (34%)
Menolak perilaku korupsi kecuali
tindakan tersebut sudah umum
dilakukan
untuk
memecahkan
masalah atau situasi sulit (24%)
Menunjukkan
solidaritas
dan
dukungan kepada teman dan keluarga
dalam kondisi apapun meskipun hal
tersebut melanggar hukum (20%)
Menolak perilaku korupsi kecuali
jumlahnya tidak seberapa (15%)
Alasan anak muda terlibat
dalam korupsi:
1) Menghindari tilang polisi (47%)
2) Mendapatkan dokumen/izin
(20%)
3) Lulus ujian (11%)
4) Mendapatkan pekerjaan (9%)
5) Mendapatkan layanan medis
(8%)
6) Mendapatkan akses bisnis (4%)
81
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Menilik
Organisasi
Anak Muda
Kontemporer
di Indonesia
Maulida Raviola
Pengantar
Organisasi-organisasi atau inisiatif anak
muda kontemporer marak bermunculan
di tengah situasi di mana tingkat
ketertarikan anak muda terhadap politik
pascareformasi kian melemah. Pada
tahun 2010, sebuah jajak pendapat yang
dilakukan Kompas mencoba mengukur
tingkat ketertarikan anak muda terhadap
kepemimpinan di ranah politik elit.
Hasilnya, lebih dari 60% anak muda
tidak tertarik untuk menjadi pemimpin
negara, menteri, anggota parlemen,
pemimpin partai politik, pemimpin
organisasi massa, pemimpin organisasi
profesi, pemimpin komunitas, pemimpin
lingkungan (RT/RW) maupun pemimpin
organisasi kepemudaan.
82
Adeline Tumenggung & Yanuar Nugroho
(2011) berargumen bahwa lemahnya
ketertarikan anak muda Indonesia
terhadap politik pascareformasi adalah
hasil dari alpanya regenerasi politik
pada masa transisi setelah Orde Baru.
Regenerasi politik yang dimaksud bukan
hanya suksesi generasional dari politisi
dan aktivis politik, tetapi merupakan
suatu hal yang lebih fundamental, yaitu
aspek ideologi dan pembangunan politik.
Di tengah kecenderungan apatisme
politik dan melemahnya minat berpolitik
anak muda ini, lahirUndang-Undang
Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yang
diterbitkan oleh Kementerian Pemuda
dan Olahraga. Adhyaksa Dault, Menpora
yang menjabat pada saat UU ini dilahirkan,
berharap agar UU Kepemudaan dapat
mempercepat sirkulasi kepemimpinan
baik di tingkat daerah maupun nasional
Jurnal Youth Proactive Vol.2
yang selama ini mandek. Terkait dengan
kepentingan ini juga, Kementerian
Pemuda dan Olahraga kemudian
berusaha mengakomodasi berbagai
organisasi kepemudaan (OKP) yang
ada di Indonesia. Data terakhir hingga
Februari 2013 mencatat bahwa terdapat
149 OKP yang berada dinaungi oleh
Kemenpora—namun tidak dijelaskan
bagaimana data-data OKP ini diperoleh,
apakah data ini terus diperbarui, serta apa
saja ketentuan-ketentuan bagi sebuah
organisasi untuk dapat dikategorikan
sebagai sebuah “OKP”.
Dari UU Kepemudaan tersebut, terdapat
beberapa aspek penting yang semestinya
diperhatikan, terutama dalam kaitannya
dengan realitas kehidupan anak
muda di Indonesia. Pertama adalah
bagaimana melalui UU Kepemudaan
ini negara mengkonstruksianak muda
serta
kepentingan-kepentingannya,
juga terhadap tujuan “Pembangunan
Kepemudaan”, yaitu untuk mewujudkan
anak muda yang beriman dan bertakwa,
berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif,
inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung
jawab, berdaya saing, serta memiliki
jiwa kepemimpinan, kewirausahaan,
kepeloporan dan kebangsaan. Dari tujuan
ini, kita kemudian melihat bagaimana
UU
Kepemudaan
menitikberatkan
pembangunan pemuda melaluidua
aspek utama, yaitu kepemimpinan dan
kewirausahaan.
83
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di satu sisi, UU Kepemudaan
memperlihatkan bagaimana negara
meletakkan anak muda sebagai
subjek pembangunan, yang di
dalamnya unsur kepemimpinan
jelas
merupakan
hal
yang
dianggap penting karena generasi
muda adalah generasi penerus
yang diharapkan dapat menjadi
pemimpin-pemimpin
di
masa
mendatang,sementara
unsur
kewirausahaan dianggap relevan
karena anak muda diharapkan
dapat menjadi subjek ekonomi
yang inovatif dan mandiri di tengah
persaingan dalam ketersediaan
lapangan kerja yang mampu
disediakan negara atau diserap
oleh pasar. Namun di sisi lain,
UU Kepemudaan luput
melihat permasalahan serta
kebutuhan-kebutuhan
anak muda yang amat
beragam. UU Kepemudaan juga
seakan
menempatkan
negara
sebagai pihak yang menaungi
dan memfasilitasi anak muda
untuk dapat berpartisipasi penuh
dalam
proses
pembangunan,
ketika sesungguhnya anak muda
sedang “dibebani” dengan berbagai
tuntutan dan harapan.
84
Perihal Kemunculan
dan Karakteristik
Organisasi Anak Muda
Kontemporer
Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi
kemunculan
dan membedakan karakteristik
organisasi anak muda dulu dan
sekarang di Indonesia adalah
perubahan pemaknaan atas ruang
publik. Ruang publik pada masa
Orde Baru adalah ruang yang
dikuasai oleh aparatus negara dan
menjadi suatu ruang yang steril,
yang di dalamnya warga negara
tidak boleh melakukan segala
sesuatu yang dianggap meresahkan
dan menganggu ketertiban umum.
Maka ketika terjadi gangguan
terhadap
kesterilan
ruang
publik tersebut, yang kemudian
memuncak
pada
mundurnya
Soeharto sebagai “penguasa utama
di ruang publik”, ruang publik
menjadi ruang yang terbuka dan
diperebutkan yang di dalamnya
berlangsung interaksi yang dinamis
Jurnal Youth Proactive Vol.2
antara berbagai pihak. Salah
satu implikasi dari perubahan
makna atas ruang publik ini
adalah ketika hal-hal yang
tadinya tak dapat dibicarakan di
ruang publik kini terbuka untuk
dibicarakan secara luas, seperti
isu SARA (Suku, Agama, Ras
dan Antargolongan). Peraturan
negara tak lagi dirasakan sebagai
ancaman terhadap identitas
dan
eksistensi
kelompok.
Ekspresi kebudayaan dan ritual
keagamaan dapat berlangsung
di
ruang
publik,
seiring
dengan tuntutan masyarakat
untuk menghapus berbagai
kebijakan yang mendiskriminasi
ekspresi kultural kelompokkelompok minoritas seperti
etnis Cina. Dalam konteks
situasi inilah, anak muda
merespons keterbukaan ruang
publik melalui ekspresi atas
keberagaman yang mengatasi
batas-batas
kedaerahan,
agama maupun etnis tersebut.
Gagasan serupa juga dikemukakan oleh
Nuraini Juliastuti (2011), yang melihat bahwa
perubahan posisi individu di dalam ruang
kultural pasca Orde Baru memungkinkan anak
muda melakukan eksperimentasi terhadap
berbagai gagasan dan praktik-praktik yang
tidak mungkin mereka lakukan ketika menjadi
individu yang pasif di bawah rezim Orde Baru.
Anak muda adalah inisiator bagi
munculnya ruang-ruang alternatif,
yaitu ruang-ruang baru yang
bersifat lokal yang mendorong
lebih banyak keterlibatan warga
lokal dalam produksi budaya.
Demokratisasi yang mendorong keterbukaan
dan kebebasan berekspresi menjadikan
anak muda memiliki sesuatu yang
lebih kuat sebagai basis identitas
mereka,
yaitu
kemudaan
itu
sendiri. Menjadi muda secara usia sudah
cukup untuk menjadi identitas bersama
yang mengatasi perbedaan-perbedaan lain
seperti agama, suku maupun ideologi politik.
Penguatan identitas muda ini memungkinkan
munculnya gerakan anak muda yang lebih
bersifat cair, meluas, inklusif dan fleksibel.
85
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di tengah kondisi ini, semangat anak
muda yang tengah meluap tersebut
bersinggungan dengan kepentingankepentingan berbagai lembaga donor
pembangunan yang mulai melihat
anak muda sebagai subjek penting
yang harus diberdayakan dalam proses
pembangunan dan dilibatkan dalam
proses pembuatan kebijakan. Kedua
faktor ini turut mempengaruhi menjadi
populernya berbagai organisasi serta
inisiatif-inisiatif anak muda berbasis isu
seperti isu anti-korupsi, lingkungan hidup,
kesehatan, disabilitas, termasuk juga
isu-isu yang cukup sensitif seperti lintaskeyakinan (interfaith) maupun LGBTIQ.
Beberapa faktor tersebut dapat dikatakan
berpengaruh
terhadap
pergeseran
kecenderungan pergerakan anak muda,
serta memberikan kebaruan terhadap
karakteristik pergerakan anak muda itu
sendiri. Jika dulu organisasi anak muda
secara umum terbagi ke dalam dua
tipe, yaitu organisasi berbasis identitas
kemahasiswaan seperti universitas,
fakultas, departemen dan kedaerahan
dan organisasi anak muda berorientasi
politik atau religi, maka kini keterlibatan
anak muda dalam organisasi-organisasi
di luar kampus seperti dalam sektor NGO
atau independen menjadi fenomena
baru yang mewarnai gerakan anak muda
di Indonesia.Organisasi-organisasi anak
muda ini bergerak dengan beragam
tujuan mulai dari peningkatan kemawasan
(awareness) tentang isu tertentu
hingga advokasi di level kebijakan.
86
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Secara organisasional, struktur organisasi
anak muda kontemporer juga relatif
sederhana dengan jumlah anggota yang
sedikit. Aliansi Remaja Independen,
sebuah organisasi anak muda yang
terbentuk sejak tahun 2007 dan tersebar di
beberapa kota di Indonesia seperti Bogor,
Pati, Solo, Lombok, Kupang dan Makassar,
hanya beranggotakan tidak lebih dari 80
anak muda. Kita dapat membandingkan
jumlah ini dengan KNPI yang memiliki
struktur organisasi yang tersusun dari
tingkat Dewan Pimpinan Pusat (Nasional)
sampai dengan pengurus kecamatan.
Pengurus Kecamatan (PK) KNPI Setu,
Tangerang Selatan, misalnya, pada tahun
kepengurusan
2012-2015
memiliki
struktur yang terdiri dari 1 ketua, 8 wakil
ketua, 1 sekretaris, 8 wakil sekretaris,
1 bendahara, 8 wakil bendahara dan 8
komisi yang beranggotakan 25 orang.
Struktur
organisasi
anak
muda
kontemporer yang “hemat” ini kemudian
disiasati dengan karakteristik berikutnya:
kekuatan jaringan dan kesukarelawanan
(volunteerism).
Dalam
berjejaring,
peranan dari media baru seperti internet
pun sangat signifikan. Ade Armando
pernah menyebutkan bahwa “kalangan
yang paling responsif memanfaatkan
media baru untuk tujuan demokratisasi
adalah gerakan masyarakat sipil”, tanpa
terkecuali organisasi-organisasi anak
muda. Selain itu, anak muda di mana saja,
selama ia memiliki minat dan perhatian
yang sama atas suatu isu, dapat menjadi
bagian dari sebuah organisasi anak muda
sebagai volunteer. Volunteer inilah yang
menjadi basis dalam kegiatan-kegiatan
organisasi untuk mempopulerkan isu
kepada masyarakat yang lebih luas.
Jaringan dan volunteer merupakan
dua senjata utama bagi organisasi anak
muda kontemporer ini untuk untuk
menghubungkan isu-isu anak muda
yang pada dasarnya saling terkait satu
sama lain, penguatan kapasitas untuk
mencapai tujuan bersama (seperti
perubahan kebijakan publik) serta
memperluas dampak gerakan di tengah
masyarakat, tidak hanya pada tatanan
lokal tetapi juga pada tatanan global.
87
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Peluang atau Tantangan?
Minimnya rekognisi pemerintah terhadap keberadaan dan kerja-kerja
organisasi ini di tengah masyarakat. Di satu sisi, minimnya rekognisi ini, untuk
sementara, mencegah terkooptasinya organisasi-organisasi anak muda
oleh kepentingan-kepentingan politik elit. Namun di sisi lain, organisasi
anak muda ini membutuhkan“siasat”tersendiri untuk membuat kebutuhan
serta aspirasi mereka didengar oleh pemerintah dan pembuat kebijakan.
Volunteerism, yang merupakan karakteristik penting yang
mempengaruhi organisasi anak muda saat ini bersifat
lebih cair dan inklusif jika dibandingkan organisasi kepemudaan
terdahulu. Namun demikian, karena sifatnya yang cair dan tidak
terikat, komitmen para relawan terhadap organisasi
merupakan suatu permasalahan yang secara konstan terus
membayang-bayangi keberlangsungan kegiatan organisasi. Pada
gilirannya hal ini pun berpengaruh terhadap profesionalisme dan kapasitas
kerja organisasi. Muncul anggapan bahwa kerja dari organisasi-organisasi
anak muda ini banyak yang lebih bersifat temporer, berorientasi jangka
pendek (atau bahkan hanya berorientasi proyek) dan tidak profesional.
Pengelolaan yang kurang baik dari organisasi terhadap para relawan
tentu amat berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiatan organisasi
dan, secara ekstensif, dapat berpengaruh terhadapkeberlangsungan
pergerakan anak muda di Indonesia di waktu mendatang.
Hal yang berikutnya menjadi tantangan bagi pergerakan anak muda
(secara umum)dan organisasi anak muda di Indonesia (secara khusus)
adalah menemukan filosofi dancommon ground dari gerakan anak muda.
Dalam pengamatannya mengenai organisasi anak muda kontemporer
di Indonesia, Maesy Angelina (2011) berargumen bahwa saat iniwacana
populer seolah-olah mensyaratkan kemudaan sebagai satu-satunya
syaratgerakan anak muda, ketika definisi tersebut pun memiliki bias-biasnya
tersendiriseperti kelas sosial dan gender. Menurut Angelina, gerakan anak
muda perluberkembang dari gerakan berbasis aktor menjadi gerakan
yang dipandu oleh sebuah filosofi mendasar mengenai apa yang ingin
diperjuangkan gerakan ini untuk anak muda, terlepas apa pun isu yang
akhirnya dipilih. Diperlukan sebuah visi atau agenda bersama
untuk menentukan arah gerakan anak muda Indonesia.
88
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Referensi:
Angelina, Maesy. (2011).Siapakah ‘Anak
Muda’ dalam Gerakan Anak Muda. http://
www.academia.edu/812230/Siapakah_
Anak_Muda_dalam_Gerakan_Anak_
Muda_Who_are_the_Youth_in_Youth_
Movements
Armando, Ade. (2011). Media Baru bagi
Kaum Digital Natives: Demokrasi atau
Kesia-siaan?, Jurnal Prisma Vol. 30, No. 2,
hal. 89-98,“Gerakan Pemuda 1926-2011:
Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris.
BE Julianery, “Optimisme Kepemimpinan
Muda”, Artikel Jajak Pendapat Kompas 01
November 2010.
Juliastuti, Nuraini. (2011).Alternative Space
as New Cultural Movement: Landscape of
Creativity, inKunci Cultural Studies Center
Member Magazine, 7 October 2009, in
Paramaditha, Intan. Praktik Kultural Anak
Muda: Narasi 1998 dan Eksperimen, Jurnal
Prisma vol. 30, No. 2.
Nugroho, Yanuar & Adeline Tumenggung.
(2005). Marooned in The Junction:
Indonesian Youth Participation in Politics.
Part of Go! Young Progressives in Southeast
Asia. Friedrich Ebert Stifftung.
89
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lekuk Gerakan
Anak Muda
Muhamad Isomuddin
Meraba gerakan anak muda di Indonesia
dengan menapaktilasi waktu lampau
bukanlah persoalan mudah untuk
menarasikan awal mula kemunculannya.
Mungkin hari sumpah pemuda salah satu
momentum yang menandai gerakan
anak muda Indonesia. Sumpah menjadi
bahasa sakral sekaligus penegasan
atas semangat pemuda berbentuk
gerakan bersama untuk menuju titik
kulminasi
bernama
kemerdekaan.
kedua momentum reformasi, dimana
aktivis muda banyak terlibat dalam
proses meruntuhkan rezim orde baru.
Dua momentum di atas mewarnai
geliat gerakan anak muda yang terus
diceritakan sebagai ghirah pergerakan.
90
Jurnal Youth Proactive Vol.2
apa yang
menjadi
tujuan
bersama
gerakan anak muda di tengah
kepungan globalisasi yang
membuat situasi sedemikian
cair? Apa yang digerakan dan
Melihat konteks sekarang,
mengerakan anak muda sekarang?
Bagaimana gerakan dihidupi anak muda
di tengah arena kemajuan teknologi
yang serba terhubung tanpa ada tedeng
aling-aling? Pertanyaan-pertanyaan ini
menjadi perlu untuk menilik gerakan
anak muda sekarang dan mengetahui
perbedaan gerakan yang ada pada masa
sebelumnya.
Sebelum beranjak terhadap gerakan
anak muda, mungkin akan lebih elok
dengan melucuti makna anak muda itu
sendiri. Pendefinisian anak muda kerap
diarahkan dalam tabulasi deret ukur usia,
seperti yang tertuang dalam UndangUndang Pemuda maupun petuah PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa).1 Definisi
dalam tabulasi usia membonsai makna
dari keluasan anak muda itu sendiri.
Meminjam bahasa essay Aria yang
menyitir definisi Siegel, bahwa kemudaan
tidak terbatas umur seperti yang
diangankan dalam Undang-Undang
Kepemudaan.2
Lihat Undang-Undang Kepemudaan dan konvensi PBB
tentang anak muda.
1
http://indoprogress.com/2014/12/pemuda-remaja-danalay-dari-politik-revolusioner-menjadi-sekadar-gayahidup/ diakses pada tanggal 01 Oktober 2015, pukul 14.00
WIB
2
Dalam
masyarakat
tradisional
pengertian pemuda ditentukan sebagai
tahap tersendiri dari busur kehidupan.
Dalam pengertian lain menyebutkan
bahwa pemuda melebihi dari busur
kehidupan dengan corak otonomnya
yang membedakan dengan masyarakat
tradisional melalui penentangan yang
sistematis.3 Makna anak muda yang
multitafsir tidak menjadikan diri kita
untuk terjerembab dalam kubangan
definisi. Menelisik gerakan anak muda
dalam bingkai sejarah kemudian
bertolak untuk menilik kabar anak
muda sekarang adalah satu ikhtiyar
meraba gurat nadi kesejarahan.
Sejarah kebangkitan pemuda Indonesia
lahir dari rahim situasi perjuangan
melawan
penjajahan.
Berbagai
bentuk gerakan pemuda muncul dari
berbagai penjuru daerah yang serentak
meneriakan
kemerdekaan.
Ben
Anderson menjelaskan dalam buku
revolusi pemuda akan pentingnya
posisi anak muda dalam sejarah
perlawanan merebut kemerdekaan.
Kata pemuda yang dulu biasa saja
dengan cepat memperoleh pancar
cahaya yang menakutkan dan kejam.4
Posisi pemuda sangat penting
dalam andil perjuangan merebut
kemerdekaan dari penjajah.
Ben Anderson, Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1988, Hal 22
3
4
Ibid 21
91
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dua momentum penanda gerakan
pemuda, sumpah pemuda dan reformasi
’98 masih diceritakan dalam setiap
sela diskusi gerakan. Sumpah pemuda
menjadi momen yang tidak dapat
dipisahkan ketika berbicara eksistensi
pemuda Indonesia. Ia seolah menjadi
rujukan baku dari anak muda yang
ingin membangun bangsa dari berbagai
sisi. Tidak ada argumen-argumen yang
“mencengangkan” dari pembahasan
sumpah pemuda yang dibicarakan
setiap tahun. Namun tak mudah untuk
mematahkan semangat yang menjadi
ruh di dalamnya.
92
Maka tak aneh, setiap hari sumpah
pemuda selalu diperingati sebagai suatu
ritual untuk mengingat kiprah anak
muda dalam memperjuangkan bangsa
Indonesia.
Kemudian gerakan reformasi yang
dipelopori aktivis mahasiswa masih
menjadi rujukan diskursus pergerakan
mahasiswa.
Berdiskusi
untuk
mempertajam analisa dan mempertebal
garis ideologi dan pengorganisiran basis
massa ialah suasana ‘khas’ dalam cerita
pergerakan mahasiswa. Gerakan anak
muda yang dipelopori banyak mahasiswa
kemudian meletus pada Mei 1998 dengan
turunnya Soeharto dari presiden.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lalu bagaimana gerakan anak muda
sekarang setelah kemerdekaan dan
reformasi telah diraih? Zely Ariane
menerjemahkan rasa terganggunya akan
dua generasi aktivisme yang berbeda
dalam sebuah tulisa berjudul “Mengenal
(Generasi) Aktivisme Kita”5 dapat
mengantarkan untuk mendeskripsikan
gerakan anak muda sekarang. Adanya
perbedaan generasi heroik-dramatik dan
generasi resah kritis dalam pendekatan,
strategi transformasi sosial dan dalam
sudut situasi politik yang menghimpit.
Perbedaan generasi aktivisme tidak
untuk ditarik pada ranah romantisme
sejarah reformasi. Walaupun romantisme
ini masih hidup dalam aktivisme generasi
2000 ke atas (hanya menangkap euforia
reformasi, bukan aktor). Mungkin
generasi yang terjerembab romantisme
reformasi menciptakan ilusi kembalinya
pergerakan ’98, tanpa mengamalkan
pembacaan geliat politik dan sosial yang
berubah. Agak tepat yang dikatakan
Walter Benjamin, “masa lalu hanya
ditangkap sebagai citraan yang bersinar
seketika dan kemudian lenyap tanpa
bekas”.6 Tentu reformasi adalah etos
peristiwa sejarah yang bisa terulang
kembali pada ruang dan waktu yang
berbeda namun tidak untuk tiruannya.
http://indoprogress.com/2015/03/mengenal-generasiaktivisme-kita/ diakses pada tanggal 01 Oktober 2015,
pukul 15.00 WIB
5
Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Matahari: Yogyakarta,
2004, Hal. 37)
6
93
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Permasalahan pada dekade rezim orde
baru tidak dapat disamakan dengan
situasi sekarang. Sergapan modernitas
yang kini mengepung berbagai lini,
menumbuhkan banyak masalah baru.
Mashall Berman mengatakan bahwa
modernitas tidak hanya ditandai oleh
dialektika kebaruan, akan tetapi dialektika
kecepatan.7 Situasi yang dihadapkan
pada era yang mengagungkan kecepatan
menimbulkan menguapnya berbagai
masalah yang kemudian seolah lenyap
tanpa bekas begitu saja.
Dunia yang menggagungkan kebaruan
dan percepatan menyasar pada bentuk
sosial, kebudayaan dan merangsek
masuk pada sendi ekonomi politik. Logika
kecepatan dan percepatan dalam ranah
ekonomi politik diperbincangkan dalam
eksistensi laku lampah kemajuan.8 Kita
paksa untuk mengikuti kecepatan yang
tak pernah hendaki sebelumnya.
Doa pembangunan yang dipanjatkan
oleh
bangsa
Indonesia
untuk
mewujudkan modernitas secara kafah
(sempurna), menuntut kebaruan dan
kecepatan. Anak muda diseret-seret
untuk
mengadaptasi
perubahan
yang mereka sendiri tidak mengerti
perubahan untuk apa dan siapa.
Taklid buta sedang diajarkan dalam
kurikulum modernitas.
7
Ibid,82
8
Ibid 81
94
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di sisi lain, Kecepatan teknologi sudah
memanjakan ruang komunikasi dan
informasi secara massif. Tak usah
lagi keluar kamar atau berbincang
dengan tetangga apalagi sampai
berjibaku turun ke masyarakat,
lewat sebidang layar kita sudah bisa
mengetahui sajian permasalahan.
Realitas sosial seolah-olah sudah
dibingkai dalam deret angka dalam
tanggga grafik. Sungguh sebuah
suguhan yang memanjakan akan
kecepatan pengetahuan.
Perolehan
pengetahuan
lewat
kemajuan
teknologi
informasi
menjadi sangat efektif untuk
menangkap perkembangan yang ada.
Namun di pihak lain, menunggalkan
teknologi media informasi dengan
masih
banyaknya
keterbatasan
terlihat naif dalam membaca realitas
sosial. Misalnya saja, pegiat media
informasi tidak merepresentasikan
semua pihak. Kedua, Framing media
yang ditambah dengan berbagai
kepentingan di dalamnya menggiring
pada dominasi wacana. Maksudnya
penggunaan teknologi yang
banyak digandrungi anak
muda dalam memperoleh
informasi secara otomatis
berpengaruh
terhadap
pembacaan realitas sosial.
Kemajuan teknologi juga digunakan
gerakan anak muda sebagai media
menyampaikan aspirasi dan respon
akan realitas sosial. Gerakan lewat
media sosial kian ramai dan diminati
anak muda, yang kini dikenal dengan
istilah click activism. Informasi dengan
cepat tersebar dan memicu satu
gerakan online melalui
hastag,
petisi atau foto profil. Cara gerakan
online terbilang sangat efektif dalam
membangun wacana publik. Dalam
sebuah workshop Youth Camp, AE
Priyono menyoroti fenomena click
activism sebagai model gerakan baru.
Di sisi lain AE Priyono menekankan
bahwa perubahan terjadi karena
sebuah pembentukan sistem, bukan
konstruksi media sosial.9
Mungkin kita dapat mengambil
dalam pembacaan atas salah satu
masalah kemiskinan. Bagaimana
anak muda menganalisis dan
merespon kemiskinan yang terjadi
di masyarakat? Apakah kemiskinan
dinilai sabagai satu masalah sistemik
Workshop Mata Muda yang diselenggarakan
Transparancy International Indonesia (TII) bulan
Desember 2014, Jakarta.
9
95
Jurnal Youth Proactive Vol.2
tanggung jawab sosial atau hanya sekedar
merespon rasa iba dan belas kasihan?
Ketika melihatnya sebagai satu masalah
sistemik artinya masyarakat dijadikan
sebagai subjek untuk mengetas masalah
yang ada. Namun ketika memperlakukan
dengan rasa iba masyarakat hanya menjadi
objek. Layaknya tontonan program
telivisi yang mengedepankan citra dan
mengkomoditikan keibaan tersebut.
Merespon dengan rasa iba sebagai bentuk
tanggung jawab moral itu wajib, namun
mengentaskan kemiskinan ialah masalah
tanggung jawab sosial yang sistemik.
Berangkat dari pembacaan masalah
di atas, kita dapat melihat
kecenderungan gerakan anak
muda dalam membaca realitas
sosial, apakah lebih menekankan
pada gerakan populer atau
gerakan yang mengakar pada
basis
masyarakat
dengan
menyelesaikan masalah secara
sistemik. John Fiske membedakan
antara
Perubahan
sosial
radikal
menghasilkan
redistribusi
pokok
kekuasaan dalam masyarakat, sering
dideskripsikan sebagai revolusi dan
terjadi titik kritis yang tidak sering
terjadi dalam sejarah. Namun perubahan
populer adalah proses yang terus
menerus berlangsung, ditunjukkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan
kekuasaan dari bawah ke atas dari
orang-orang dalam sistem. Hal tersebut
menghasilkan capaian-capaian kecil bagi
kaum lemah.10
Modernitas yang melingkupi ruang
realitas sosial sekarang, tidak dapat
diacuhkan begitu saja karena ia telah
merangsek masuk pada sendi-sendi sosial.
Hal ini membuat satu tantangan bagi
anak muda dalam menatap modernitas
dengan gagah tanpa harus terperosok
ke dalam pusaran. Di sisi lain anak muda
harus memiliki pembacaan analisa baru
akan akar masalah yang ada. Peluang
modernitas perlu dimanfaatkan sebagai
satu kekuatan baru untuk mencapai satu
“kemenangan”. Masyarakat harus menjadi
basis gerakan dari situasi yang semakin
cair. Gerakan anak muda harus lahir
dari ruang realitas dengan membaca
masalah dan kebutuhan yang ada di
sekitar. Istilah deliberatif gerakan anak
muda yang berbasiskan kebutuhan lokal
setidaknya dapat menjadi daya tawar dari
situasi yang sedemikian cair.
John Fiske, Memahami Budaya Populer, Jalasutra,
Yogyakarta, 2011, hal. 219.
10
96
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Mata Muda:
Sudut Pandangnya Anak Muda
97
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dimana Kita,
Saat KPK Dilemahkan?
Hilmiah
Berbagai kasus korupsi yang kian
merajalela membuat masyarakat
semakin berkoar-koar dilapangan,
namun sayangnya hal ini tidak banyak
didengarkan. Seperti salah satu kasus
korupsi di sekolah yang merupakan
hasil temuan dan catatan pengaduan
oleh Youth Report Center (YRC) pada
tahun 2015 ini, seorang pelapor
berinisial P mengadukan sebuah kasus
korupsi yang dilakukan oleh pihak
sekolah SMA sederajat di salah satu
SMA di Provinsi NTB, dimana terdapat
manipulasi atas data empat orang
siswa yang tercatat mendapatkan
98
dana sumbangan berupa uang
beasiswa sebesar Rp 1.200.000,00/
semester. Manipulasi ini terungkap,
setelah ditelusuri ternyata keempat
siswa tersebut sudah tidak dianggap
lagi sebagai siswa di sana karena
mereka menikah di usia anak atau usia
sekolahnya.
Entah dari mana terbersit niat dan
tindakan negatif yang menjurus
yang dilakukan oleh pihak sekolah,
dana bantuan untuk keempat siswa
tersebut bisa dicairkan, dengan cara
memanfaatkan empat siswa pengganti
lainnya yang masih aktif bersekolah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Modus yang diterapkan melalui
pemalsuan identitas keempat siswa,
dimana mereka yang dimanfaatkan
dengan disogok sebelumnya oleh
pihak sekolah dengan memberikan
uang imbalan sebesar Rp 50.000,- dari
Rp 1.200.000,- dana yang dicairkan
per siswa tadi. Sisa dari dana yang
dicairkan semuanya dikantongi oleh
pihak sekolah. Berdasarkan laporan
yang diterima, sisa dana tersebut tidak
diketahui kemana pemanfaatannya
oleh siswa yang dimanfaatkan ini.
Modus yang ada menunjukkan bahwa
empat siswa yang dimanfaatkan ini
juga sebelumnya diberikan beberapa
kode arahan agar ketika dipanggil oleh
pihak bank yang mencairkan dana
mereka langsung paham. Keempat
siswa di sarankan untuk menghafal
nama orang tua siswa yang sudah
berhenti sekolah tersebut, sehingga
ketika dipanggil identitas palsunya
sang siswa pengganti mengangkat
tangan, dan ketika ditanya tentang
nama orang tua siswa yang asli,
siswa pengganti pun sudah harus
menghapalnya, sehingga itu akan
memperkuat bahwa benar siswa
tersebut adalah penerima dana
sumbangan di sekolah. Alhasil, dana
tersebut cair dan sudah dikantongi
oleh para pihak sekolah yang
bersangkutan.
Modus-modus korupsi seperti ini
dapat dikatakan sudah membudaya
dikalangan masyarakat awam atau
pedesaan di beberapa daerah di
inodnesia ini. Bagaimana tidak,
sebagian
besar
orangorang yang notabenenya
berpendidikan
sarjana
dan bahkan duduk di kursi
pejabat
memanfaatkan
kepintaran/kebusukan
akal fikir untuk merebut
hak orang-orang miskin
yang ada. Mereka secara sadar
telah melakukan berbagai kasus
korupsi
kecil-kecilan
namun
besar dikemudian hari. Apalagi
pengaruhnya dimasyarakat pun
sangat besar. Jika tetap seperti
ini maka secara langsung para
pendidikan di sekolah atau orangorang berpendidikan lainnya yang
memiliki watak yang sama sepert
ini, sudah tentu jelas akan mencetak
generasi yang korup, bukan anti
korup.
99
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sangat
tentu
disayangkan
tentunya jika para generasi siswa
yang sekolah di tempat tersebut
akan dibodoh-bodohi oleh pihak
sekolahnya. Karena kekurangan
ilmu pengetahuannya tentang
korupsi atau awam akan tempat
mengadu dan sebagainya,maka
sudah tentu jelas semua siswa
yang mengenyam pendidikan
di berbagai sekolah di Indonesia
ini, terutama di daerah pedesaan,
akan tutup mata di hadapan
kasus yang seperti tadi. Bukan
karena mereka merasa takut saja
untuk melaporkan sekolahnya,
melainkan mereka tidak tahu
bahwa mereka dijadikan korban
sasaran untuk kasus korupsi yang
dilakukan oleh pihak sekolahnya
tersebut.
Untuk itu keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk penanganan kasus korupsi
yang kian merajalela di negeri
kita ini sudah barang tentu jelas
diperlukan. Jika KPK dilemahkan
dengan kesalahan-kesalahan kecil
atau hanya ungkapan negatif
dari pihak lainnya, maka lambat
laun kasus korupsi tidak hanya
terjadi di ranah pendidikan atau
pemerintahan saja, melainkan
akan lebih besar lagi pengaruhnya
keranah lebih besar. Maka dari
itu, KPK harus dijaga dan lebih
dikembangkan
lagi,
Karena
secara nyata kinerjanya di
lapangan sangat positif dalam
menanggulangi kasus korupsi,
yang mana ditunjukkan dengan
100
adanya beberapa kasus korupsi
yang sudah ditangani. Bahkan
para koruptor yang notabennya
adalah para pejabat kini sebagian
besarnya menjadi sasaran pihak
KPK untuk segera dijobloskan
kepenjara
karena
tindakan
korupsi mereka. Namun, seiring
dengan berjalannya aktivitas kerja
KPK yang banyak membongkar
habis seluk beluk aktivitas korup,
membuka kemungkinan bagi
adanya kelompok yang anti KPK
ini beraksi untuk melawan serta
memfitnah KPK. Kelompok ini
bahkan akan mencari-cari kinerja
yang salah dari KPK. Tentu ini
adalah suatu tindakan jahat yang
tidak bermoral sama sekali. Karena
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kinerja yang memberikan manfaat besar
untuk masyarakat dan juga berkontribusi
untuk negara justru malah diperangi
habis-habisan. Bagi saya, tindakan ini
sungguh adalah aktivitas yang salah.
Bagi kami para aktivis anti korupsi akan
terus peduli dengan agenda anti korupsi,
kinerja dari pihak KPK tetap gesit, cepat,
dan tegas dalam mengambil langkah
atau untuk menjobloskan para koruptor
ke penjara sangatlah didukung.
Melalui gerakan sosial kelompok muda
di berbagai daerah, kami akan turut andil
untuk menyuarakan dukungan terhadap
kinerja KPK. Karena sebagai aktivis
anti korupsi, kami yang terlibat
di Youth Report Center (YRC)
yang pro-rakyat, akan terus
mengupayakan dan berusaha
untuk melanjutkan dukungan
terhadap kinerja KPK di tingkat
anak akar rumput. Berdasarkan
pemantauan yang ada bahwa melalui
media televisi yang menayangkan
beberapa kasus korupsi yang sudah
ditangani oleh KPK, secara serentak rakyat
turut mendukung dengan sepenuh hati
agar KPK bisa berkerja lebih luas dan
lebih gesit lagi. Jadi, secara langsung
masyarakat yang notabenenya tidak
berpendidikan pun mengerti dan paham
apa itu korupsi yang secara sederhana
dipahami sebagai “ngambil uang rakyat”,
dengan kata yang demikian, otomatis
rakyat pun sadar bahwa mereka juga
tengah menjadi korban dari tindakan
korupsi, sehingga secara serentak
mereka mempunyai kepentingan untuk
mendukung keberadaan dan kerja KPK,
bukan sebaliknya.
Sebagaimana
pernyataan
yang
diungkapkan oleh Mantan Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais,
ia menyatakan sikapnya untuk menolak
kriminalisasi Komisi Pemberantasan
Korupsi dan “Saya menentang setiap
usaha yang datang dari mana pun untuk
melakukan kriminalisasi terhadap KPK,”
kata Amien di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Jumat 6 November 2009.1
Bersama dengan kelompok masyarakat
yang luas, pernyataan ini tentu saja
sangat kami dukung dan acungi jempol.
Bagi kami, siapapun yang menyuarakan
akan dukungannya terhadap kinerja KPK
serta menolak kriminalisasi KPK, kami
turut berbaris bersama mereka. Dengan
catatan mereka yang bersuara tidak
hanya sekedar berkehendak melainkan
merealisasikan apa yang menjadi
kehendak tersebut dalam tindakan nyata,
bukan sebaliknya. Sehingga dengan
kita berada di posisi yang tepat yakni di
barisan peduli KPK.
Dikutip dari http://politik.news.viva.co.id/news/
read/103453tolak_kriminalisasi_kpk___demonisasi_polri
1
101
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bertindak Cerdas
untuk Melawan
Kultur Kerja Korup
Yam Saroh
Berbicara tentang kultur maka tidak akan jauh – jauh
dari istilah budaya. Dalam Bahasa inggris istilah budaya
disebut dengan “culture” yang kemudian diadopsi
ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “kultur”. Secara
semantik pengertian “culture” dalam Bahasa inggris
adalah “the way of life, especially the general customs
and beliefs, of a particular group of people at a particular
time”, yang artinya cara pandang dalam hidup, khususnya
yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan, dari
suatu kelompok tertentu pada waktu tertentu. Menurut
Koentjaraningrat (2003:72) kebudayaan adalah seluruh
sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan
demikian kultur berarti merupakan cara pandang
suatu kelompok terhadap hidup yang diakui bersama
oleh kelompok tersebut, yang mencakup cara berpikir,
perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik
maupun abstrak diwaktu tertentu. Hal ini menunjukkan
bahwa kultur itu bersifat dinamis, terdapat kemungkinan
untuk berkembang dan meluas atau bahkan sebaliknya
tergantikan dan terhapuskan. Pada dasarnya kultur tidak
hanya mencakup gagasan dan rasa, tindakan, serta karya
yang berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat
tetapi juga yang berdampak negatif, salah satu contohnya
adalah kultur korup.
102
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Apa itu korup? Kata korup berkaitan
erat dengan istilah korupsi dan
koruptor. Secara umum kita sudah
memahami bahwa korupsi adalah
tindakan tidak bermoral yang dengan
sengaja menggunakan wewenang dan
kekusasaan untuk kepentingan pribadi
dengan niat untuk memperkaya diri
sendiri. Menurut Kemdikbud dalam
bukunya pendidikan anti korupsi
memberikan pengertian korupsi sebagai
perbuatan busuk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya dan koruptor adalah oknum/
orang yang melakukan tindakan korupsi.
Dalam buku yang sama Kemdikbud
menjelaskan korup adalah sifat busuk
yang diidentikkan dengan sifat yang suka
menerima uang suap/sogok, memakai
kekuasaan untuk kepentingan sendiri
dan sebagainya.
kultur korup
adalah cara pandang, gagasan
dan rasa, tindakan, serta karya
yang
dihasilkan
manusia
dengan cara yang busuk,
dengan
menyalahgunakan
wewenang dan jabatan yang
disandang untuk kepentingan
pribadinya sendiri.
Dengan
demikian
Di negeri kita tercinta, Indonesia, dunia
103
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kerja seolah sudah terikat dan tidak terlepas dari kultur korup.
Hal ini tidak hanya merambah dunia kerja pemerintahan
namun juga sudah merambah ke kehidupan masyarakat
kecil dan awam. Salah satu buktinya adalah budaya
memberikan sejumlah uang hanya untuk memastikan
bahwa lamaran pekerjaan yang diinginkan di perusahaan
yang dituju diterima. Jadi di daerah tempat tinggal saya
ada sebuah perusahaan kayu yang dianggap bonafit oleh
masyarakat, dan mereka beranggapan bahwa jika ada orang
yang bisa melamar pekerjaan dan diterima bekerja disana
maka hidupnya akan sejahtera. Pandangan masyarakat
yang demikian ternyata oleh beberapa oknum dari mandor
disana dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan dari
orang – orang yang melamar pekerjaan disana. Tepatnya ada
salah satu saudara jauh saya yang melamar di perusahaan
tersebut dan harus memberikan uang sebesar dua juta
rupiah sebagai syarat jika dia ingin diterima bekerja disana.
Oknum mandor tersebut beralibi bahwa hal ini sudah
biasa dan semua karyawan baru memang diminta untuk
memberikan sejumlah uang yang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku koruptif masyarakat kita semakin miris
dan memprihatinkan, karena masyarakat kita
sudah mulai memandang tindakan menyogok/
menyuap demi untuk mendapatkan pekerjaan
adalah hal yang wajar. Bahkan sebagian masyarakat
menilai itu sebagai wujud terima kasih karena telah
diberikan pekerjaan. Pandangan ini sudah mulai
menyimpang dan memberikan ruang gerak
yang bebas terhadap para pelaku tindakan
korupsi dan semakin membebaskan langkah
mereka untuk mengepakkan sayap-sayap
korup mereka. Jika dibiarkan maka sudah pasti akan
berdampak terhadap kehancuran bangsa kita nantinya.
104
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Masyarakat
yang
sejak
awal
mendapatkan
pekerjaan
sudah
memberikan uang suap, maka dapat
dipastikan kinerja mereka pun juga
akan kurang maksimal. Cara bekerja
mereka akan cenderung terpengaruhi
bagaimana caranya untuk mendapatkan
kembali uang yang telah mereka
berikan diawal sebagai jaminan untuk
mendapatkan
pekerjaan
mereka.
Maka profesionalisme kerja akhirnya
luntur dan tergantikan dengan ambisi
untuk mencari uang yang sebanyak–
banyaknya sebagai ganti uang mereka
yang telah mereka suapkan. Hal ini
yang kemudian menjadi virus dan
akan terus menyebar dan mengakar
hingga ke bawah. Oleh karena itu kita
sebagai generasi muda yang menyadari
titik pangkal penyebaran kultur korup
ini harus mampu membekali dan
memahamkan diri tentang pandangan
masyarakat kita yang menyimpang,
tentang tindakan suap menyuap yang
mereka anggap lumrah dan biasa.
Cara yang bisa kita lakukan sekarang
untuk melawan kultur kerja korup yang
sudah mengakar di negara kita ini tidak
lagi harus dengan berdemo saja di
depan gedung – gedung pemerintahan,
tetapi kita juga harus menjadi generasi
yang cerdas dan bertindak tegas untuk
menghentikan tindak korupsi yang telah
mengakar dimasyarakat kita dengan
memulainya dari diri kita sendiri.
Lalu cara cerdas apakah yang bisa kita
lakukan? Banyak beberapa hal sepele
yang dijadikan maklum oleh masyarakat
kita yang sebenarnya hal itu menggiring
kita menjadi pribadi yang korup, salah
satunya adalah kebiasaan telat dan
mencontek di sekolah. Dua kebiasaan ini
terlihat seperti sudah menjadi hal biasa
dilakukan. Bahkan hal yang menyakitkan
adalah ketika ada teman yang dengan
nada bercanda melabelkan ‘jam karet’
adalah jam Indonesia. Mungkin hal ini
terdengar sepela tetapi penghargaan
terhadap waktu adalah hal dasar yang
menunjukkan nilai kita sebagai manusia
yang berprinsip kuat untuk tidak
melakukan dan terlibat dalam kultur
korup. Hal lain yang semakin menyayat
hati adalah tindakan mencontek dan
plagiarisme di kalangan siswa dan
mahasiswa, hanya demi nilai yang bagus
mereka rela mencontek pekerjaan teman
mereka dan membawa kunci jawaban
pada saat ujian. Hal ini bukan hanya
isapan jempol belaka, bahkan saya
pernah melakukan wawancara
dan observasi di satu sekolah
di daerah tempat tinggal saya
pada saat UNAS masih dijadikan patokan
kelulusan siswa; dari 30 siswa di
kelas rata–rata hanya ada 2
sampai 5 siswa saja yang tidak
membeli kunci jawaban pada
saat ujian nasional. Dari 5 orang
yang tidak membeli kunci jawaban, ada 2
– 3 orang mencontek jawaban temannya.
Ketika saya memeriksa kembali dengan
beberapa teman yang mengajar di
sekolah–sekolah yang lain, ternyata
mereka juga menyatakan bahwa hal
demikian sudah wajar dan maklum.
105
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan alasan UNAS itu titik akhir
mereka, dan mereka harus mendapatkan
nilai yang bagus agar mereka lulus,
sehingga
di
beberapa
sekolah
bahkan pembelian kunci jawaban itu
dikoordinir oleh siswa dan diketahui
oleh guru–guru mereka. Ini artinya
kultur korup sudah menggerogoti
generasi kita sejak usia muda. Tidak
terbayangkan ternyata dari 30 generasi
muda, kita hanya mempunyai 2 diantara
mereka yang unggul dan tidak korup.
2 dibandingkan dengan 28, jumlah ini
sungguh menyayat hati bukan?
Cara yang cerdas bagi kita sekarang
untuk melawan kultur korup ini
adalah dengan menanamkan 9 nilai
anti korupsi (jujur, peduli, mandiri,
disiplin, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana, berani dan adil) minimal
dari satuan terkecil (diri sendiri). Jika
masing – masing dari kita sadar dan
mau sejak dini menanamkan nilai –
nilai anti korupsi dalam diri kita masing
– masing maka kita juga akan dengan
mudah mengkampanyekan sikap anti
106
korupsi kepada lingkungan keluarga dan
masyarakat melalui cerminan sikap dan
perbuatan kita. Penanaman 9 nilai anti
korupsi ini harusnya juga sudah mulai
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
anak di sekolah, terutama anak ditingkat
PAUD, TK dan SD. Anak – anak ditingkat
pendidikan
tersebut
seharusnya
ditekankan
untuk
menjiwai
dan
mengamalkan 9 nilai anti korupsi tersebut
secara bertahap dan berkelanjutan. Jika
pondasi awal karakter anti korupsi ini
sudah dibangun dengan kokoh pada
diri anak – anak Indonesiamaka untuk
kedepannya disaat mereka tumbuh
menjadi seorang remaja dan dewasa
tidak sulit bagi kita untuk menjauhkan
generasi penerus bangsa kita dari kultur
korup yang telah mengakar.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Hal cerdas lain yang
bisa kita lakukan untuk
melawan tindakan korupsi
yang terjadi di instansi
pemerintahan
adalah
dengan memahamkan diri
kita tentang peraturan
perundang–undangan
yang ada, dan tidak
memberikan sela serta
kesempatan bagi oknum–
oknum koruptor untuk
meminta uang kepada kita
dengan embel–embel biaya
administrasi. Media sosial
bisa menjadi alat bagi kita untuk
berbagi dan bertukar pikiran serta
pengalaman dengan teman, para
ahli dan bahkan dengan pemerintah
sendiri tanpa ada ruang yang
membatasi. Kita bisa menanyakan
atau berbagi pengalaman tentang
hal – hal ganjal atau pelanggaran
yang berbau koruptif yang terjadi
disekitar kita atau bahkan yang
kita alami sendiri. Contohnya ketika
di jalan raya kita diberhentikan
oleh seorang oknum kepolisian
dan dengan lantangnya oknum
polisi tersebut menilang kita dan
meminta sejumlah uang sebagai
denda atas tilang yang diberikan
kepada kita. Sebagai manusia yang
cerdas hendaknya kita menanyakan
apa kesalahan kita dan kenapa kita
ditilang. Pemahaman terhadap
undang–undang peraturan dan
pelanggaran lalu lintas di jalan
raya juga sangat diperlukan
karena dengan begitu kita dapat
membedakan surat tilang warna
merah dan biru, sehingga kita
mampu menanyakan kepada pihak
kepolisian dan meminta surat tilang
yang bisa kita bayarkan dendanya
melalui bank. Jika kita masih awam
terhadap masalah seperti ini, maka
memanfaatkan media internet
yang ada di ‘smartphone’ untuk
mencari informasi dan bertanya
kepada ahli atau orang yang
dianggap mengerti akan menjadi
pemecahan masalah yang cerdas,
sehingga kita akan mampu untuk
berargumen dan menyampaikan
pembelaan kita secara ilmiah
dan empiris jika ternyata terbukti
oknum polisi tersebut hanya asal –
asalan menilang kita untuk mencari
uang ceperan. Dengan demikian hal
tersebut meminimalkan usaha para
oknum koruptor untuk memalak
kita dengan alasan peraturan dan
perundang-undangan abal–abal.
107
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Memahami
dan
mengerti
setiap detail peraturan dan
perundang–undangan
yang
ada akan membuat kita mampu
untuk melawan tindakan korupsi
dengan cerdas. Upaya ini tidak
lagi membutuhkan otot dan cara
kasar yang sering kali merugikan
masyarakat kita sendiri. Jika
selama ini kita selalu dibodohi
dengan rangkaian peraturan
dan perundang – undangan
yang dibuat sendiri oleh para
koruptor, maka kita sebagai
generasi emas harus mampu
juga membekali diri dengan cara
cerdas agar kita tidak bisa lagi
dibodohi. Faktor penyebaran
kultur korup di negara kita ini
sebagian besar terjadi karena kita
sebagai masyarakat sering awam
108
dan tidak memahami peraturan
dan perundang–undangan kita
sendiri, sehingga memudahkan
para oknum untuk menjerat
kita dengan undang–undang
yang tidak jelas. Oleh karena itu
pembekalan diri dengan sadar
peraturan
dan
perundang–
undangan tindakan korupsi dan
anti–korupsi akan menjadi modal
untuk kita melawan kultur korup
dengan cara diplomatis, dan
perlawanan dengan cara ini akan
terlihat lebih cerdas dan tidak
anarki.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
NEGATIVE LEADERSHIP
sebagai Upaya
untuk Mengurangi
Pemimpin Korup
Yasmin J. Durrani
‘Power tends to corrupt’ adalah salah satu
pick-upline paling populer di kalangan
aktivis pergerakan anti korupsi maupun
para politisi yang mengklaim bersih dari
korupsi. Walaupun pick-up line ini kerap
dikutip dan diteriakkan kala para aktivis
turun ke jalan, tak banyak orang yang
mengetahui maksud di balik kalimat
tersebut. Ada dua pertanyaan penting di
balik pick-upline tersebut, yaitu: how and
why does power corrupts leader?
Pada
dasarnya,
kepemimpinan
selalu berpusat pada dua hal yaitu
kekuasaan dan pengaruh si pemimpin
terhadap massa. Pemimpin memiliki
kecenderungan
menggunakan
kekuasaan yang mereka miliki untuk
memastikan segala sesuatu berjalan
sesuai apa yang mereka harapkan. Hal
ini membuat setiap pemimpin terbagi
menjadi dua golongan, yaitu socialized
power leader dan personalized power
leader. Ada perbedaan sederhana pada
keduanya. Socialized power leader akan
menggunakan kekuasaan mereka untuk
menguntungkan kalangan lain, terutama
kalangan yang telah memilih mereka.
Sementara itu, personalized power leader
cenderung mengambil keuntungan
pribadi dari kekuasaan yang mereka
miliki. Tanpa banyak disadari, kekuasaan
membawa dua efek yang kontradiktif
terhadap
para
pemegangnya—
kekuasaan bisa membuat para pemimpin
lebih asertif dan percaya diri bahwa
109
Jurnal Youth Proactive Vol.2
keputusannya mampu mengubah hajat
hidup banyak orang, sementara di sisi lain
kekuasaan akan membuat para pemimpin
berubah menjadi lebih egosentris.
Hal inilah yang membuat pemimpin
kerap membuat keputusan yang bias.
Kala memegang kekuasaan,
pemimpin cenderung tidak
mampu melihat sesuatu dari
perspektif rakyatnya—sebuah
ironi mengingat para pemimpin
kerap
mengasosiasikan
mereka dengan rakyat kecil
kala kampanye. Terdapat sebuah
perubahan pola pikir kompleks pada
setiap pemimpin saat mereka akhirnya
mendapatkan kekuasaan yang diidamidamkan sebelumnya.
Mengapa Pemimpin Korup Cenderung
‘Abadi’?
Dalam data yang dikeluarkan oleh
Transparency
International
Global
Corruption Report dan Forbes tahun 2004,
Soeharto menempati urutan pertama
pemimpin paling korup di dunia.
Ferdinand Marcos, mantan diktator
Filipina, menempati urutan kedua.
Peringkat ketiga ditempati oleh Mobutu
Sese Seko, diktator Zaire. Dari ketiga
mantan pemimpin tersebut, terdapat
suatu kecenderungan yang berpola.
Ketiga nama tersebut merupakan
pemimpin dari negara dunia ketiga (third
world country). Selain Soeharto,
Marcos, dan Seko, pemimpin
paling korup dunia lainnya
cenderung
memiliki
gaya
kepemimpinan otoritarianisme.
Mereka memimpin dalam waktu
lama sebelum akhirnya turun.
110
Lantas, mengapa para pemimpin korup
itu dapat memegang kekuasaan dalam
jangka waktu yang lama dan kerap
diberikan toleransi oleh rakyatnya?
Sejarah evolusi menjelaskan bahwa
sebagai social animal, manusia diprogram
untuk memimpin dan dipimpin. Semua
social animals yang memiliki otak
berkapasitas tinggi seperti apes (gorila
dan simpanse), serigala, dan manusia
dipimpin oleh semacam hierarki yang
mendominasi. Setiap individu yang
duduk di garis hierarki tersebut memiliki
semacam karisma yang membuat
individu-individu lainnya mematuhi apa
yang mereka perintahkan, walaupun
perintah-perintah tersebut bisa jadi
berpotensi ‘merusak’ individu yang tidak
bersalah (Stanley Milgram: 1967)
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jean Lipman-Blaumen, seorang profesor
Organizational Behavior di Claremont
Graduate University telah mempelajari apa
yang disebutnya sebagai toxic leaders, alias
pemimpin berbahaya. Menurut Blaumen,
toxic leaders adalah tipikal pemimpin
dengan perilaku destruktif sekaligus
disfungsi karakteristik yang memberikan
efek serius pada pengikut-pengikutnya.
Toxic leaders akan meninggalkan para
pengikutnya dengan keadaan yang jauh
lebih buruk ketimbang saat mereka
mulai mendukungnya. Blaumen percaya
bahwa pemimpin-pemimpin paling
korup di dunia sekalipun tetap akan
dihormati dan ditoleransi karena pada
dasarnya manusia memiliki sistem
kepercayaan dan pengharapan terhadap
para pemimpinnya. Sistem kepercayaan
dan pengharapan tersebut membuat
manusia tetap menoleransi tindakan
destruktif pemimpinnya karena manusia
secara alamiah ingin mendapatkan rasa
aman dan diayomi, dua hal yang bisa
diharapkan manusia dari manusia lain
yang menjadi tipikal pemimpin.
111
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Mencegah Korupsi dengan Psikososial
Isu-isu mengenai korupsi seringkali dikaitkan dengan
teori psikososial, sebuah konsep psikologi yang
menitikberatkan pada lingkungan dan interaksi sosial.
Secara praktik, sebuah sistem pemerintahan adalah
sistem yang penuh dengan motivasi serta interaksi sosial.
Setiap motivasi dan interaksi sosial tersebut berimplikasi
pada sifat kepemimpinan yang ada di lingkungan sosial.
Sayangnya, sifat kepemimpinan yang ada kerap berbaur
dengan kekuasaan tak sehat. Alasannya, kekuasaan
membuat seorang pemimpin bersikap impulsif ketimbang
memikirkan terbaik terbaik untuk orang lain (Galinsky,
Gruenfeld&Magee: 2003).
Jon K. Maner dan Charleen R. Case, dua psikolog
sosial asal Amerika Serikat mengadakan eksperimen
untuk mengetahui bagaimana kekuasaan mampu
mengarah kepada sesuatu yang bersifat negatif, atau
korup. Pada percobaan ini mereka menyimpulkan
bahwa seorang individu yang telah diberi
kekuasaan cenderung berusaha keras untuk
mempertahankannya. Karena sifat alamiah
inilah, korupsi dan penyuapan serta berbagai tindakan
kriminal relevan akan dilakukan si pemimpin untuk
mempertahankan tampuk kekuasaan mereka.
112
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dalam risetnya, Maner dan Case
berargumen bahwa sifat natural
pemimpin untuk bersikap korup
dapat dicegah dengan budaya
perilaku positive leadership.
Hampir
setiap
pemimpin
memiliki sisi insecurity saat
mereka menemukan anggota
kelompok
yang
dianggap
lebih pintar. Alasannya, anggota
yang lebih pintar seringkali dianggap
ancaman serta dipandang sebagai
rival tak terduga dari sang pemimpin.
Anggota yang cerdas bisa saja ‘membuka
kedok’ dari keputusan-keputusan yang
dihasilkan oleh pemimpin atau bisa
jadi anggota kelompok cerdas tersebut
memanfaatkan kelemahan pemimpin
untuk mendapatkan kekuasaan baru.
Inilah yang bisa kita sebut sebagai positive
leadership.
113
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Positive leadership dapat
diimplementasikan dengan
berbagai cara. Pemimpin
dapat
tetap
memberi
keputusan
dominan
walaupun ada anggota
yang dianggap lebih pintar
dengan catatan pemimpin
tersebut mesti memberikan
keputusan
secara
demokratis. Cara ini kerap
membuat pemimpin mampu
memikirkan keputusan dari
perspektif lain (perspektif
yang menguntungkan semua
pihak, bukan golongannya
saja) karena mereka khawatir
terdesak posisinya oleh si
anggota yang cerdas. Cara ini
tentu saja sangat sederhana
untuk meminimalisir adanya
keputusan subjektif dari
pemimpin.
114
Berkurangnya
keputusan
subjektif tentu saja akan
mengurangi kecenderungan
munculnya
korupsi
dan
tindakan-tindakan kriminal
relevan lainnya. Siapa kira
insecurity
bisa
berperan
sebesar ini?
Jurnal Youth Proactive Vol.2
115
Jurnal Youth Proactive Vol.2
PHOTO Gallery
INTEGRITY
GOES
TO
YOU
116
Jurnal Youth Proactive Vol.2
SERI DISKUSI
NGOPI
YOUTH
CONFERENCE
ON ANTI
CORRUPTION
117
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Call for
Articles!
Youth Proactive mengajak kalian yang
peduli dan tertarik pada isu antikorupsi,
transparansi, akuntabilitas, pendidikan
politik, gerakan anak muda (serta isu
terkait lainnya) untuk menulis bersama
kami!
Ketentuan:
Kirimkan tulisanmu ke
[email protected]
dengan subyek YouthProactiveNamaPenulis-JudulTulisan
Tulisan terpilih akan
dimuat di website atau
media publikasi Youth
Proactive lainnya,
serta diulas di media
sosial (Facebook
& Twitter) Youth
Proactive.
118
o Karya pribadi & orisinil
o Bersifat aktual atau
eksplorasi
o Menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik &
benar
o Diketik dengan jenis font
Arial, ukuran 11, spasi 1,5
o Panjang tulisan sekitar
500-1500 kata
Ditunggu ide dan ceritanya!
Stand With Us
Against Corruption!
Jurnal Youth Proactive Vol.2
WRITER’S BIO
Alia Faridatus Solikha
lahir di Bogor, 9 Juni
1994. Saat ini sedang menjalani kuliah semester
akhir program sarjana reguler di Universitas
Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
jurusan Ilmu Administrasi Negara angkatan 2012.
Aktivitas yang diikutinya sampai pertengahan tahun
2015 ini adalah menjadi relawan di sebuah NGO antikorupsi yaitu Transparency International Indonesia.
Sebelumnya, Alia juga pernah aktif dalam Forum
Studi Islam FISIP UI 2014 dan memegang amanah
sebagai Ketua Departemen Kemuslimahan.
Apriliyati Eka Subekti (Lia) adalah mahasiswi
tingkat akhir prodi akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN). Putri kelahiran Batam, 30 April 1995 ini
sangat gemar membaca dan menulis berbagai esai.
Karena menaruh kepedulian yang tinggi akan hal-hal
antikorupsi, Lia aktif dalam komunitas Spesialisasi Anti
Korupsi (SPEAK) STAN.
Ardi Yunanto
adalah seorang editor, penulis, desainer
grafis, dan pengelola program seni-budaya. Bersama
sejumlah rekan, ia pernah menyunting buku Stiker Kota
(2008) dan Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013);
serta pernah menjadi editor jurnal online Karbon dari
2007 hingga 2013 dan pemimpin redaksi proyek majalah
kehidupan pria Bung! (2011-2012). Selain bekerja lepas,
sejak 2015 ia menjadi salah seorang pengelola Institut
ruangrupa—divisi edukasi baru di ruangrupa, sebuah
organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta.
119
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Donny Ardyanto adalah direktur Penelitian
dan Pengembangan di Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI). Sebelum bergabung
YLBHI, ia aktif di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
(P2D) sebagai Peneliti Senior di isu korupsi dan
reformasi sektor keamanan. Saat ini Donny juga
masih menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi
Partai Serikat Rakyat Independen (PSRI). Di YLBHI,
Donny memfokuskan diri pada penelitian kebijakan,
terutama di bidang hak asasi manusia, reformasi
sektor keamanan, dan akses terhadap keadilan
di Indonesia. Donny juga mewakili YLBHI sebagai
Co-Chair di Kelompok Kerja Nasional Piloting Goal
16 Sustainable Development Goals (SDGs). Donny
telah bekerja dengan beberapa LSM antikorupsi
dan HAM sejak masih berstatus mahasiswa di
Jurusan Kriminologi FISIP UI, antara lain di Indonesia
Corruption Watch, KontraS, berantaS, GeRAK
Indonesia, dan Imparsial. Dia juga memperolehgelar
Master dalam bidang Manajemen Pembangunan
Sosial dari Universitas Indonesia.
Fadhil Fadhli lahir di Kabupaten Jenepoto,
1 Februari 1993. Pria yang akrab disapa Fadhil ini
menempuh pendidikan S1 di STIE UniSadhuGuna
(Business School) dengan beasiswa penuh. Fadhil
juga dipercaya menjadi asisten dosen untuk mata
kuliah Microeconomics. Pada tahun 2013-2014,
dia menjabat sebagai wakil ketua badan eksekutif
mahasiswa. Pria yang menghabiskan 18 tahun
hidupnya di Sulawesi Selatan ini memiliki kemahiran
dalam bermain musik salah satunya gitar.
120
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Hilmiah adalah seorang aktivis muda dari Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Sejak 2010, dia menjadi satusatunya wanita yang memiliki keterlibatan dalam
Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kesibukan
lainnya, Hilmiah merupakan volunteer di Youth
Report Center, project inisiasi Youth Department
Transparency International Indonesia, dan menjadi
konselor desa dengan wilayah kerja Kabupaten
Lombok Barat. Hilmiah memiliki tujuan hidup untuk
selalu berkontribusi aktif dalam gerakan pemuda
dan memajukan perempuan serta kaum marjinal.
Hizkia Yosie Palimpung
saat ini sibuk
sebagai peneliti dan direktur riset di Purusha
Research Cooperative. Kesibukan lain adalah
menyelesaikan studi doctoral di Departmen Filsafat
Universitas Indonesia. Pria yang akrab disapa Yosie
ini juga merupakan seorang penulis aktif di Harian
Indoprogress. Sosoknya sangat terkenal karena
tulisannya yang sangat kritis terkait kapitalisme
global kontemporer, tata dunia dan psikoanalisis.
Sejak tahun 2011, dia menjadi dosen di beberapa
universitas ternama di Indonesia salah satunya
adalah Universitas Indonesia. Yosie menyelesaikan
studi sarjana dari Jurusan Hubungan Internasional
di Universitas Airlangga pada tahun 2008
dan program pascasarjana Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Indonesia di tahun 2010.
121
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Maulida Raviola lahir di Denpasar, 14 Maret
1989. Ia menamatkan program studi S1 Sosiologi
di Universitas Indonesia tahun 2012 dan sempat
bekerja untuk beberapa program anak muda yang
diselenggarakan oleh Oxfam & Hivos (2012) dan Yayasan
Jurnal Perempuan (2009 – 2012), sebelum akhirnya
bersama beberapa temannya ikut mendirikan Pamflet,
sebuah organisasi anak muda yang bertujuan untuk
mendukung dan memperkuat pergerakan anak muda
di Indonesia untuk perubahan sosial & budaya. Saat ini,
ia menjabat sebagai Koordinator Umum Pamflet, setelah
sebelumnya menjabat sebagai Koordinator Divisi Youth
Movement (2013-2015) dan Koordinator Divisi Youth
Studies (Maret-Juli 2015) di Pamflet. Selain isu anak
muda, Maulida juga memiliki ketertarikan terhadap
tema-tema seperti kajian budaya (cultural studies), serta
gender dan feminisme. Ia dapat dikontak melalui e-mail
di [email protected].
Muhamad Isomuddin
lahir pada 1 Maret 1992
di kota Cirebon, Jawa Barat. Ia masih berproses belajar
dalam kehidupan kampus di jurusan Akidah Filsafat di
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nur Djati kota Cirebon.
Aktivitas kesehariannya adalah menghabiskan waktu
dengan organisasi anak muda SOFI Institute (Social
Movement for Indonesia), dimana ia diberi kepercayaan
untuk menjadi Direktur Utama-nya. SOFI Insititute
menjadikan pemberdayaan masyarakat sebagai isu
strategis dalam setiap langkahnya. Mempelajari kohesi
sosial dan memetakan desa menjadi salah satu bidang
yang ditekankan untuk menuju isu strategis SOFI Institute.
Selain bergulat di dunia organisasi, ia juga berdagang
di pasar tradisional. Untuk menjalin pertemanan,
dapat menghubungi [email protected] untuk
menentukan warung kopi mana yang akan dikunjungi.
122
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Titi Anggraini saat ini menjabat sebagai
Direktur
Eksekutif
Perkumpulan
untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sebelum
di Perludem, ia pernah menjadi Ketua Tim
Asistensi/Tenaga Ahli di Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dari tahun 2008-2010. Lahir
di Palembang, 12 Oktober 1979, ia merupakan
lulusan program pascasarjana Fakultas Hukum
UI pada tahun 2005. Saat studi S1-nya, ia terpilih
sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas
Hukum UI. Di luar kesibukannya di Perludem,
ia juga seorang penulis yang giat. Salah
satu publikasinya adalah “Buku Pengawasan
Pemilihan Umum 1999: Pertanggungjawaban
Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 Tingkat
Pusat”, yang diterbitkan oleh Gramedia pada
tahun 1999.
Yam Saroh lahir di Jombang, 29 April 1989. Saat
ini dia sedang menempuh program pascasarjana
di Universitas Negeri Malang jurusan pendidikan
Bahasa Inggris. Kesibukan lainnya, dia merupakan
seorang pengajar di Universitas Kristen Cipta
Wacana (UKCW). Bersama teman-temannya, dia
mendirikan komunitas sosial bernama Suara
Difabel Mandiri di Jombang, sekaligus menjabat
sebagai wakil ketua. Selain bergerak di dunia
difabel, Saroh merupakan manager di Komunitas
Lingkungan Rumah Hijau.
123
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Yasmin J. Durrani adalah mahasiswi berusia
18 tahun yang sedang mengambil kuliah jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di Universitas
Pendidikan Indonesia. Yasmin pernah menjadi
perwakilan di Youth Integrity Camp 2014. Sosok
wanita periang kelahiran 21 Maret 1997 ini berasal
dari Bandung dan sangat menggemari musik
bergenre Britpop. Diluar kesibukan kuliahnya, dia
sedang mencoba untuk mempelajari dunia sepak
bola dan menjadi penulis feature sepak bola yang
baik. Tim sepak bola favoritnya adalah Tottenham
Hotspurs.
Yudi Adiyatna adalah adalah mahasiswa semester
akhir Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelum masuk di dunia
perkuliahan, Yudi pernah menjadi buruh di salah satu
warehouse retail terbesar di Indonesia. Pengalaman
kerasnya ini yang memberikan tekad penuh untuk
melanjutkan pendidikan dan bergelut di dunia sosial.
Saat ini Yudi aktif di Youth Proactive Transparency
International Indonesia (TII) untuk mengkampanyekan
dan melakukan gerakan antikorupsi di kalangan
anak muda. Yudi memiliki ketertarikan terhadap
isu demokrasi, lingkungan hidup dan pendidikan.
Yudi merupakan seorang alumi Sekolah Demokrasi
Tangerang Selatan dan training Environmentalist
WALHI, terhitung sejak tahun 2012. Kesibukan lainnya
adalah kegiatan advokasi lingkungan hidup seperti
penolakan penambangan pasir laur di Serang Banten
dan penolakan reklamasi di Teluk Jakarta. Pria ini
memiliki hobi menanam mangrove di tepi pantai dan
mengajar di Taman Baca yang dikelolanya.
124
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Editor
Muhammad Ridha, atau biasa disapa
“Ridho”, merupakan Chief Editor Left
Book Review (LBR) IndoProgress dan
Editor Jurnal IndoProgress. Ridho baru
saja menyelesaikan Program Pascasarjana
Magister di Sir Walter Murdoch School,
Murdoch University pada tahun 2015
ini dengan konsentrasi di bidang Studi
Pembangunan. Pada tahun 2008, ia
mendapat gelar sarjana (S1) dari Jurusan
Ilmu Politik FISIP UI. Lahir di Jakarta,
18 November 1986, Ridho merupakan
anggota Partai Rakyat Pekerja dan pernah
menjadi peneliti di Pusat Kajian Politik UI.
Di luar kesibukannya sebagai editor dan
peneliti, ia juga aktif menjadi pembicara
di berbagai forum; salah satunya World
Social Forum di Dakkar, Senegal pada
tahun 2011.
Layouter
Syennie Valeria lahir dan besar di Bogor.
Pada tahun 2005 ia memutuskan pindah
ke Jakarta untuk melanjutkan studi jurusan
Desain Komunikasi Visual. Awalnya, ia lebih
banyak membuat ilustrasi dan menjadi
Best Junior Illustrator di Indonesia Graphic
Design Awards 2009. Setelah 3,5 tahun
menjadi desainer grafis di advertising
agency lokal dan multinasional, kini ia
lebih banyak mengerjakan proyek yang
berhubungan dengan grafis/konsep kreatif
dan menjadikan ilustrasi hanya sebagai hobi.
Saat ini ia menikmati hidup dengan bekerja
sebagai freelancer. Beberapa karyanya dapat
dilihat di www.syeva.blogspot.com atau
instagram @syvalerie.
BEHIND
THE JOURNAL
125
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tim Penyusun
Pradipa P. Rasidi Lulus dari Ilmu
Politik
Universitas
Indonesia
dengan
fokus
kajian
agama
dan politik. Pernah ikut serta di
Forum Studi Islam FISIP UI dan Young
Interfaith Peacemaker Community
Indonesia (YIPCI), serta membantu
pengembangan
JariUngu.com,
database anggota parlemen untuk
Pemilu 2014. Selain gemar membaca,
bermain biola, dan rajin menabung,
Pradipa juga suka menulis: pernah
menulis di The Jakarta Post dan Koran
Tempo, tapi lebih sering menggerutu
di Facebook dan Twitter. Saat ini
mengelola media sosial dan website
Youth Department Transparency
International Indonesia sambil masih
menekuni pengembangan website
(UI/UX design).
Rukita Widodo, seorang pecinta
musik dan film yang lahir pada
tanggal 30 Oktober 1989. Setelah
lulus dari Sosiologi UI pada tahun
2012, ia mengawali pengalaman
kerjanya di Pamflet, sebuah organisasi
non-profit yang bergerak di bidang
kepemudaan dan HAM. Kerjanya di
Pamflet telah menghubungkannya
dengan organisasi non-profit lain
seperti Yayasan Rumah Energi,
UNICEF, Transparency International
Indonesia, dan Public Virtue Institute.
Sejak September 2014 hingga
sekarang, ia bekerja di Transparency
International Indonesia sebagai
Youth Program Officer. Terkadang
ia mengisi waktu luangnya dengan
volunteering di bidang film.
126
Rienta Primaputri
merupakan
relawan aktif di Youth Proactive
angkatan 2 sejak tahun 2014. Dia
banyak bergulat dalam pengurusan
sosial media dan pembuatan Jurnal
Youth Proactive. Di luar kesibukan
menyelesaikan pendidikan Strata
1 di President University jurusan
Hubungan Internasional, mahasiswa
aktif yang berdomisili di Bekasi ini
juga merupakan pengurus inti dari
organisasi Internasional bernama
ASEAN Youth Organization HQ.
Pada tahun 2014, dia mendapatkan
penghargaan sebagai Youth Global
Ambassador setelah menyelesaikan
project penelitian ‘Horreya’ bersama
Arab Program for Human Rights
Activists di Mesir yang difasilitasi oleh
AIESEC American University Cairo.
Disamping kegemarannya membaca
Journal of Democracy, dia adalah
seorang penikmat seni.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
127
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jalan Senayan Bawah no. 17, Blok S,
Rawa Barat, Jakarta 12180
T: 021 - 720 8515 | F: 021 - 726 7815
www.ti.or.id | www.youthproactive.com
@TIIndonesia | @YouthProactive
128
Download