View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air pada dasarnya merupakan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun mudah mengalami kerusakan
atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur tanah
dan bahan organik di daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah
perakaran, (3) penjenuhan tanah oleh air, dan (4) erosi. Kerusakan tanah tersebut
menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan
tanaman (Suripin, 2004).
Bahaya erosi yang telah menurunkan produktivitas tanah merupakan
masalah utama dari tahun ke tahun tetap harus dihadapi oleh pemerintah. Bahaya
erosi yang menimpa lahan-lahan pertanian serta penduduk sering terjadi pada
lahan-lahan yang memiliki kelerengan sekitar 15% keatas. Bahaya ini disebabkan
selain oleh perbuatan manusia yang mementingkan pemuasan kebutuhan diri
sendiri, juga dikarenakan pengelolaan tanah dan pengairannya yang keliru
(Asdak, 2002).
Untuk mengidentifikasi tingkat bahaya erosi, model yang dapat
digunakan adalah dengan menggunakan model USLE (Universal Soil Loss
Equation). Model USLE mempertimbangkan beberapa faktor dalam kajian erosi
seperti faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan
kemiringan lereng, faktor penutupan dan manajemen tanaman, dan faktor
tindakan konservasi tanah (Arsyad, 2010).
Model yang banyak berkembang saat ini adalah model yang
menggunakan fasilitas Sistem Informasi Geografis (SIG) yang merupakan suatu
1
sistem (berbasis komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memproses
informasi-informasi spasial. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan,
dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting untuk dianalisis (Anonim, 2011a).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Jeneberang-Walanae, pada tahun 1996 luas hutan adalah 59% dari luas
DAS dan pada tahun 2010 mengalami perubahan menjadi 4.8% dari luas DAS
Kalamisu. Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menyebabkan
erosi sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat bahaya erosi
yang terjadi pada DAS Kalamisu agar dapat menjadi pedoman/acuan dalam upaya
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (Departemen Kehutanan, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besar laju erosi pada DAS Kalamisu dengan metode USLE?
2. Bagaimana tingkat bahaya erosi (TBE) pada DAS Kalamisu?
2
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat bahaya erosi
(TBE) yang terjadi pada DAS Kalamisu Kabupaten Sinjai secara spasial.
Kegunaan penelitian diharapkan menjadi bahan informasi yang dapat
digunakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sinjai dalam penerapan rencana
pemanfaatan wilayah dan program konservasi untuk wilayah DAS Kalamisu.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Secara umum Daerah Aliran Sungai dapat didefinisikan sebagai suatu
wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung,
maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di
wilayah tersebut kemudian disalurkan ke laut melalui sungai utama. Konsep DAS
merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi dimana DAS yang besar pada
dasarnya tersusun dari DAS-DAS yang kecil, dan DAS yang kecil ini juga
tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil (Suripin, 2004).
Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan
hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah
konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah
kemiringan lebih besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir,
pengaturan pemakaian air ditetapkan oleh pola drainase dan jenis vegetasi
umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan
daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan
kemiringan kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa
tempat merupakan daerah banjir dan jenis vegetasi didominasi tanaman
pertanian. Sedangkan daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah
transisi dari kedua karakteristik DAS (Asdak, 2002).
2.2 Erosi
Erosi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu erosi alam dan erosi dipercepat.
Erosi alam adalah erosi yang belum dipengaruhi oleh campur tangan manusia
atau proses erosi yang terjadi secara alami, dimana proses tersebut masih dapat
4
diimbangi oleh proses pembentukan tanah. Apabila erosi terjadi karena campur
tangan manusia maka umumnya proses erosi tersebut lebih cepat daripada proses
pembentukan tanah sehingga disebut erosi yang dipercepat (Asdak, 2002).
Proses erosi tanah yang disebabkan oleh air meliputi tiga tahap yang
terjadi dalam keadaan normal di lapangan, yaitu tahap pertama pemecahan
bongkah-bongkah atau agregat tanah kedalam bentuk butir-butir kecil atau
partikel tanah, tahap kedua pemindahan atau pengangkutan butir-butir yang kecil
sampai sangat halus, dan tahap ketiga pengendapan partikel-partikel tersebut di
tempat yang lebih rendah atau di dasar sungai atau waduk (Suripin, 2004).
Berkurangnya lapisan tanah bagian atas bervariasi tergantung pada tipe
erosi dan besarnya variabel yang terlibat dalam proses erosi. Empat faktor utama
dianggap terlibat dalam proses erosi yaitu adalah iklim, sifat tanah, topografi,
dan vegetasi penutup tanah. Oleh Wischmeier dan Smith (1975), keempat faktor
tersebut dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan besarnya erosi tanah
melalui persamaan erosi umum yang lebih dikenal dengan sebutan persamaan
universal (Universal Soil Loss Equation, USLE) (Asdak, 2002).
Menurut Arsyad (2010), jenis erosi dibedakan atas beberapa jenis yaitu
sebagai berikut :
1. Erosi lembar (sheet erosion) adalah pengangkutan lapisan tanah yang merata
tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. Kekuatan jatuh butir-butir
hujan dan aliran air di permukaan tanah merupakan penyebab utama erosi
ini.
2. Erosi alur (riil erosion) adalah erosi yang terjadi karena air terkonsentrasi
dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga
pemindahan tanah lebih banyak terjadi.
5
3. Erosi parit (gully erosion) adalah erosi yang proses terjadinya hampir sama
dengan erosi alur, tetapi saluran-saluran yang terbentuk sudah sedemikian
dalamnya sehingga tidak dapat diatasi dengan pengolahan biasa.
4. Erosi tebing sungai, terjadi sebagai akibat pengikisan tebing oleh air yang
mengalir dari bagian atas atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan
sungai. Erosi tebing akan lebih besar terjadi jika vegetasi penutup tebing
telah habis atau dilakukan pengolahan tanah terlalu dekat tebing.
5. Longsor adalah suatu bentuk erosi yang perpindahan tanahnya terjadi pada
suatu saat dalam volume yang besar. Longsor akan terjadi jika terpenuhi tiga
keadaan: (1) lereng yang sangat curam, (2) terdapat lapisan di bawah
permukaan tanah yang agak kedap air dan lunak serta merupakan bidang
luncur, dan (3) terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat
di atas lapisan kedap air menjadi jenuh.
6. Erosi internal (erosi vertikal) adalah terangkutnya butir-butir primer ke
bawah ke dalam celah-celah atau pori-pori tanah sehingga tanah menjadi
kedap air dan udara. Erosi internal menyebabkan turunnya kapasitas infiltrasi
tanah dengan cepat sehingga aliran permukaan meningkat dan menyebabkan
terjadinya erosi lembar atau erosi alur.
2.3 Prediksi Erosi Metode USLE (Universal Soil Loss Equation)
Salah satu persamaan yang pertama kali dikembangkan untuk
mempelajari erosi adalah yang disebut persamaan Musgrave, yang selanjutnya
berkembang menjadi persamaan yang banyak dipakai sampai sekarang yaitu
Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE memungkinkan memprediksi laju
erosi rata-rata suatu lahan pada suatu kemiringan dengan pola hujan tertentu
untuk setiap macam jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan. Persamaan
6
tersebut dapat juga memprediksi erosi pada lahan-lahan non pertanian, tapi
tidak dapat untuk memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil
sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai (Suripin, 2004).
Prediksi tingkat erosi tanah dihitung dengan menggunakan persamaan
seperti dikemukakan oleh Wischmeir dan Smith (1978) dalam Asdak (2002),
dan dikenal sebagai persamaan USLE:
A = R.K.LS.C.P
…………….(2.1)
A= Besarnya kehilangan tanah atau erosi (ton/ha/tahun).
R= Faktor erosivitas (kJ/ha).
K= Faktor erodibilitas tanah (ton/kJ).
LS= Faktor panjang dan kemiringan lereng.
C= Faktor penutup tanah dan cara bercocok tanam.
P = Faktor tindakan konservasi.
2.3.1 Faktor Erosivitas Hujan, R
Erosivitas merupakan kemampuan hujan dalam mengerosi
tanah. Faktor iklim yang besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah
hujan, temperatur dan suhu. Sejauh ini hujan merupakan faktor yang
paling penting. Hujan menyebabkan erosi tanah melalui dua jalan yaitu
pelepasan butiran tanah oleh pukulan air hujan pada permukaan tanah dan
kontribusi hujan terhadap aliran. Jumlah hujan yang yang besar tidak
selalu menyebabkan erosi berat jika intensitasnya rendah, dan sebaliknya
hujan lebat dalam waktu singkat mungkin juga hanya menyebabkan
sedikit erosi karena jumlah hujannya hanya sedikit. Jika jumlah dan
intensitas hujan keduanya tinggi, maka erosi tanah yang terjadi cenderung
tinggi (Suripin, 2004).
7
Metode perhitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis
data curah hujan yang tersedia. Menggunakan rumus Bols jika diketahui
jumlah curah hujan bulanan, jumlah hari hujan bulanan, dan curah hujan
harian rata-rata maksimal bulanan tertentu.
Rm = 6,119 x (Rain)m1,211 x (Days)m -0,474 x (Max P)m 0,526
R = ∑𝟏𝟐
𝒎=𝟏(𝐑 𝐦 )
...... (2.2)
Di mana :
R
= Erosivitas curah hujan tahunan
Rm
= indeks erosivitas curah hujan bulanan rata-rata
(Rain)m = jumlah curah hujan bulanan rata-rata (cm)
(Days)m = jumlah hari hujan bulanan pada bulan tertentu (hari)
(Max P)m= curah hujan harian maksimal pada bulan tertentu (cm)
2.3.2 Faktor Erodibilitas Tanah
Erodibilitas tanah merupakan faktor kepekaan tanah terhadap erosi.
Nilai erodibilitas tanah yang tinggi pada suatu lahan menyebabkan erosi
yang terjadi menjadi lebih besar dan sebaliknya. Faktor erodibilitas tanah
sangat berkaitan dengan tekstur tanah dan juga kandungan bahan organik
tanah. Penentuan nilai erodibilitas tanah dikembangkan oleh Wischmeier
dan Smith (1978) dengan menggunakan nomograf pada Lampiran 6j yang
berdasarkan pada sifat-sifat tanah yang mempengaruhinya meliputi tekstur,
struktur, kadar bahan organik dan permeabilitas tanah (Suripin, 2004).
Tabel 2.1. Klasifikasi erodibilitas tanah
No
Kelas
Nilai K
Harkat
1
I
0.00-0.10
Sangat rendah
2
II
0.11-0.20
Rendah
3
III
0.21-0.32
Sedang
4
IV
0.33-0.40
Agak tinggi
5
V
0.41-0.55
Tinggi
6
VI
0.56-0.64
Sangat tinggi
Sumber : RTL-RLKT Departemen Kehutanan, 1995.
8
2.3.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Faktor panjang lereng merupakan perbandingan tanah yang
tererosi pada suatu panjang lereng terhadap tanah tererosi pada panjang
lereng 22,1 m, sedangkan faktor kemiringan lereng adalah perbandingan
tanah yang tererosi pada suatu kemiringan lahan terhadap tanah yang
tererosi pada kemiringan lahan 9% untuk kondisi permukaan lahan yang
sama (Suripin, 2004).
Aplikasi sistem informasi geografis memerlukan data Digital
Elevation Model (DEM) untuk menghasilkan gambaran faktor LS yang
lebih spesifik dalam setiap pixelnya. Formula untuk menentukan nilai
faktor LS berbasis DEM dalam SIG mempertimbangkan heterogenitas
lereng
serta
mengutamakan
arah
dan
akumulasi
aliran
dalam
perhitungannya. Asumsi yang dipergunakan adalah nilai faktor LS akan
berbeda antara lereng bagian atas dan bagian bawah. Nilai LS akan lebih
besar ditempat terjadinya akumulasi aliran dari pada dilereng bagian atas
walaupun mempunyai panjang lereng dan kemiringan lereng yang sama
(Anonim, 2011a).
Perhitungan
nilai
indeks
faktor
kemiringan
lereng
(LS)
menggunakan rumus sebagai berikut :
LS = √ L (0,0138 + 0,00965.S + 0,00138.S2)………..(2.3)
Keterangan :
S = kemiringan lereng (%)
L = panjang lereng (m)
Moore dan Burch telah mengembangkan suatu persamaan untuk
menghitung nilai LS dengan memanfaatkan data DEM dalam sistem
9
informasi geografis. Adapun persamaan yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu pada Engel (2003) dengan rumus sebagai berikut :
LS= (X × CZ/22.13)^0.4 × (sin S/0.0896)^1.3
……….(2.4)
LS = Faktor Lereng
X = Akumulasi Aliran
CZ = Ukuran pixel
S = Kemiringan lereng (%)
Semakin panjang lereng dan kemiringan lereng maka kerusakan
dan penghancuran atau berlangsungnya erosi akan lebih besar. Dimana
semakin panjang lereng pada tanah akan semakin besar pula kecepatan
aliran air di permukaannya sehingga pengikisan terhadap bagian-bagian
tanah akan semakin besar (Kartasapoetra, 1988).
Tabel 2.2..Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kelas
Lereng (%)
Keterangan
I
0-8
Datar
II
9-15
Landai
III
16-25
Agak curam
IV
26-40
Curam
V
>40
Sangat curam
Sumber : RTL-RLKT Departemen Kehutanan, 1995.
2.3.4 Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi,
kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah
yang hilang (erosi). Faktor pengelolaan tanaman menggambarkan nisbah
antara besarnya erosi lahan yang ditanami dengan tanaman tertentu dengan
pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan
diolah bersih dalam keadaan identik (Suripin, 2004).
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi
dalam (1) intersepsi air hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran permukaan
10
dan kekuatan perusak hujan dan aliran permukaan, (3) pengaruh akar,
bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh dipermukaan tanah, dan
kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan
vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah dan,
(4) transpirasi yang mengakibatkan berkurangnya kandungan air tanah
(Arsyad, 2010).
Tabel 2.3.Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Penggunaan Lahan
Tanah terbuka, tanpa tanaman
Nilai C
1,0
Hutan
0,001
Sawah
0,01
Tanah kosong tak diolah
0,95
Tegalan
0,7
Ladang
0,4
Padang Rumput
0,3
Kebun Campuran, kerapatan tinggi
0,1
Kebun Campuran, kerapatan sedang
0,2
Kebun Campuran, kerapatan rendah
0,5
Semak Belukar
0,3
Padi gogo – kedelai
0,55
Sorgum
0,95
Tanah kosong tak diolah
0,45
Talas
0,86
Ubi kayu + kacang tanah
0,26
Ubi kayu + jagung – kacang tanah
0,45
Sorghum
0,242
Tambak
0.01
Sumber: RTL-RLKT Departemen Kehutanan, 1995.
2.3.5 Faktor Upaya Pengelolaan Konservasi (P)
Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) adalah nisbah antara
besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu
terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi dalam
keadaan identik. Termasuk dalam tindakan konservasi tanah adalah
11
pengolahan tanah menurut kontur, guludan, dan teras. Di ladang pertanian,
besarnya faktor P menunjukkan jenis aktivitas pengolahan tanah seperti
pencangkulan dan persiapan tanah lainnya. (Suripin, 2004).
Tabel 2.4.Nilai Faktor Upaya Pengelolaan Konservasi (P)
Teknik Konservasi Tanah
Nilai P
Teras bangku, baik
0,04
Teras bangku, sedang
0,15
Teras bangku, kurang baik
0,35
Teras tradisional
0,40
Teras gulud
0,01
Kontur cropping kemiringan 0-8%
0,50
Kontur cropping kemiringan 9-20%
0,75
Kontur cropping kemiringan 20%
0,9
Alang-alang
0,021
Padang rumput bagus
0,04
Padang rumput jelek
0,40
Jagung-padi gogo+ubi kayu-kedelai/kacang tanah
0,421
Strip crotolaria
0,5
Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th
0,25
Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th
0,60
Mulsa kacang tanah
0,75
Teras bangku:kacang tanah
0,09
Tanpa tindakan konservasi
1,00
Sumber : RTL-RLKT Departemen Kehutanan, 1995.
2.4 Laju Erosi yang diperbolehkan
Erosi yang masih diperbolehkan adalah jumlah tanah hilang yang
diperbolehkan pertahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga
tanah tetap produktif secara lestari.
Hammer (1981) dalam Arsyad (2010) mengusulkan perhitungan laju
erosi yang diperbolehkan berdasar atas kedalaman ekivalen tanah dan jangka
waktu kelestarian sumber daya tanah yang diharapkan dengan persamaan :
𝐓=
𝐊𝐄 . 𝐅𝐊
𝐔𝐆𝐓
……..(2.5)
12
T
: Erosi yang diperbolehkan (ton/ha/tahun)
KE
: Kedalaman Efektif Tanah (mm)
FK
: Faktor Kedalaman Sub-Ordo Tanah
UGT : Umur Guna Tanah (untuk kepentingan pelestarian digunakan
400 tahun)
2.5 Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat bahaya erosi merupakan tingkat ancaman kerusakan yang
diakibatkan oleh erosi pada suatu lahan. Erosi tanah dapat berubah menjadi
bencana apabila laju erosi lebih cepat daripada laju pembentukan tanah.
Mengetahui besarnya erosi yang terjadi di suatu wilayah merupakan hal yang
penting karena selain dapat mengetahui banyaknya tanah yang terangkut juga
dapat digunakan sebagai salah satu jalan untuk mencari sebuah solusi dari
permasalahan tersebut. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan
cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan dengan laju erosi yang
diperbolehkan pada lahan tersebut.
Erosi dapat dinyatakan dalam indeks bahaya (ancaman) erosi yang
didefinisikan sebagai berikut :
Indeks Bahaya Erosi =
𝐄𝐫𝐨𝐬𝐢 𝐏𝐨𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢𝐚𝐥
𝐓
…… 2.6
Tabel 2.5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi
No
Laju Erosi (ton/ha/th)
Kelas Erosi
1
< 1.0
Ringan
2
1.01 – 4.0
Sedang
3
4.01 – 10
Berat
4
>10.01
Sangat Berat
Sumber : Hammer 1981 dalam Arsyad 2010.
13
2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Konservasi
2.6.1 Metode Satuan lahan (Land Unit)
Satuan lahan adalah bagian dari lahan yang mempunyai karakteristik
yang spesifik. Unit-unit lahan dengan kode sama diasumsikan mempunyai isi
atribut yang sama, misalnya kemiringan lereng, relief, batuan induk, kedalaman
tanah, tekstur tanah, pH tanah, drainase permukaan, dan penutup atau
penggunaan lahan. Cara mencapai satuan lahan biasa melalui pendekatan
holistik, yaitu berdasarkan delineasi kenampakan fisiografik pada citra
(misalnya foto udara). Bisa pula dengan pendekatan reduksionistik, yaitu
dengan menumpangtindihkan peta-peta dengan tema yang berbeda, misalnya
peta litologi, peta tanah, peta lereng dan peta penutup/penggunaan lahan.
Pendekatan holistik memerlukan penginderaan jauh, sedangkan pendekatan
reduksionistik memerlukan GIS (Anonim, 2011b).
2.6.2 Metode Grid
Perhitungan erosi menggunakan metode USLE dan untuk memudahkan
dalam perhitungan dan juga penentuan parameternya digunakan berbasis grid
atau piksel. Semua parameter mulai dari erosivitas hujan, erodibilitas tanah,
faktor tanaman dan pengelolaan lahan berupa peta tematik dalam format
vektor, dirubah menjadi format raster dalam bentuk grid dengan ukuran yang
dikehendaki. Sedangkan parameter topografi yang berhubungan dengan
panjang lereng dan juga kemiringan dihasilkan dari data digital elevation model
(DEM). Data DEM diperlukan untuk penentuan arah aliran (direction flow)
sehingga dengan mudah untuk menentukan akumulasi aliran (accumulation
flow) yang terjadi. Keunggulan metode grid yaitu sebagai alat pemodelan
spasial dalam memprediksi erosi bisa membantu keakuratan data yang
14
dihasilkan khususnya pada lahan-lahan yang mempunyai keadaan topografi
yang kompleks. Selain itu SIG dapat mengolah data yang bereferensi geografi
dengan cepat sehingga membuat studi tentang erosi bisa lebih mudah,
khususnya bila harus mengulang menganalisis data-data pada daerah yang
sama (Anonim, 2011a).
Pemanfaatan SIG berbasis grid dapat menggambarkan kondisi besaran
erosi yang detail dalam waktu yang cepat. Kondisi ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang lebih detail dan cepat tentang tingkat erosi yang
terjadi sehingga perencanaan tindakan konservasi tanah dan air yang
disarankan bisa lebih spesifik, khususnya terhadap lokasi tempat tindakan
konservasi.
Akan
tetapi
analisis
SIG
berbasis
piksel
ini
tidak
mempertimbangkan keberadaan saluran atau sungai yang merupakan batas
bawah dari sebuah panjang lereng. Keadaan ini mengakibatkan besar erosi di
sungai bisa terlihat lebih tinggi dari keadaan sebenarnya (Anonim, 2011a).
15
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian mengenai “Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi DAS Kalamisu
Kabupaten Sinjai” dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai Februari
2012 di DAS Kalamisu Kabupaten Sinjai.
3.2 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, ring sampel, kamera,
alat tulis menulis dan seperangkat komputer dengan program Arcview dan
Global Mapper.
3.3 Metode Penelitian
Prosedur penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. PengumpulanAcuan Peta Dasar :
Peta administrasi DAS Kalamisu, peta jenis tanah untuk pembuatan
peta erodibilitas tanah, Peta penggunaan lahan sebagai acuan dalam
pembuatan peta faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi, DEM
yang digunakan untuk pembuatan peta kelerengan dan peta panjang dan
kemiringan lereng.
2. Pengumpulan data :
a. Pengumpulan
informasi/data
biofisik
DAS
Kalamisu.
Pada
tahap
pengumpulan data dilakukan observasi langsung dan informasi dari Badan
Pengelolaan DAS Jeneberang-Walanae terhadap kondisi biofisik DAS
Kalamisu yang meliputi letak dan luas DAS, jenis tanah, topografi dan
penggunaan lahan.
16
b. Jenis Data :
1. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data fisik tanah.
2. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
 Data letak dan luas DAS, jenis tanah, topografi dan penggunaan lahan.
 Data Curah Hujan Harian Stasiun Balakia (Tahun 2001-2010).
 Data Curah Hujan Harian Stasiun Tekolampe (Tahun 2001-2010).
 Data Curah Hujan Harian Stasiun Aparang I (Tahun 2001-2010).
 Data Curah Hujan Harian Stasiun Aparang III (Tahun 2001-2010).
 Data SRTM.
3. Survei Lapangan DAS Kalamisu
 Pengambilan sampel tanah untuk penentuan data fisik tanah nilai K.
4. Analisis Sampel Tanah di Laboratorium
 Nilai erodibilitas tanah dianalisis di Laboratorium Mekanika Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin untuk menghitung nilai
tekstur, struktur, kadar bahan organik dan permeabilitas tanah.
5. Pemetaan :
1) Pembuatan Peta Wilayah Hujan (Nilai R)
Nilai erosivitas hujan pada penelitian ini menggunakan rumus Bols
(1978) pada persamaan 2.2 dengan menggunakan data curah hujan
selama 10 tahun (2001-2010).
2) Pembuatan Peta Erodibilitas Tanah (Nilai K)
Besarnya nilai K ditentukan oleh tekstur, struktur, kadar bahan
organik dan permeabilitas tanah yang diperoleh dari pengujian sampel
tanah di Laboratorium. Penentuan nilai erodibilitas tanah dilakukan
dengan menggunakan nomograf pada Lampiran 6j.
17
3) Pembuatan Peta Panjang dan Kemiringan Lereng (Nilai LS).
Untuk menghitung faktor panjang dan kemiringan lereng digunakan
data DEM (Digital Elevation Modelling) dan menggunakan Persamaan
2.4. Pengolahan data DEM untuk mendapatkan nilai LS didalam penelitian
ini menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dan Global Mapper.
Langkah-langkah dalam pembuatan peta LS sebagai berikut :
1. Pembukaan file SRTM pada Global Mapper setelah itu Export dalam
bentuk DEM.
2. Penggunaan program Arcview untuk mengisi pixel yang kosong pada
DEM dengan fill sink dengan bantuan extension hydrologic modeling.
Setelah itu menurunkan slope dari DEM dengan menu Surface lalu
Derive Slope.
3. Slope diturunkan menjadi Flow accumulation dan flow direction
melalui menu hydrologic modeling.
4. Analisis nilai LS menggunakan Map Calculator.
a. Asumsi panjang lereng adalah 270m dari DEM yang beresolusi 90
meter sehingga nilai pixel yang digunakan = 3.
b. Penggunaan Map calculator dalam pembuatan theme yang
memiliki informasi nilai 0 artinya flow accumulation yang nilainya
kurang atau sama dengan 3, dan nilai 1 berisi flow accumulation
yang nilainya lebih besar daripada 3 dengan rumus“Flow
accumulation > 3” yang akan menghasilkan Map calculation 1.
c. Pembuatan
Map calculation 2 dengan mengalikan
“Map
Calculation 1*3” dimana nilai 1 berisi nilai flow accumulation 0
18
sampai 3 dan nilai 3 yang memiliki flow accumulation lebih besar
daripada 3.
d. Map calculation 3 dihasilkan dari perkalian “Map Calculation 2 ≤
3” dimana nilai 1 mempunyai nilai flow accumulation kurang dari
atau sama dengan 3.
e. Map calculation 4 dihasilkan dari perkalian “Map calculation
2*Flow accumulation” agar tidak ada flow accumulation yang
bernilai 0.
f. Flow accumulation baru akan dihasilkan dari penambahan Map
calculation 3 + Map calculation 4.
g. Penghitungan nilai LS menggunakan Map calculator dengan
rumus sebagai berikut :
((((( [newflowaccumulation] * 3 / 22.13).Pow( 0.4 )) * [Slope of
Filled Elevation] * 3.14 / 180).Sin) / 0.0896).Pow( 1.3 )
4) Pembuatan Peta Faktor Pengelolaan Tanaman (Nilai C)
Faktor pengelolaan tanaman dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan nilai yang dikemukakan dalam RTL-RLKT Departemen
Kehutanan pada Tabel 2.3.
5) Pembuatan Peta Faktor Konservasi (Nilai P)
Faktor tindakan konservasi disesuaikan dengan faktor P menurut
RTL-RLKT Departemen Kehutanan pada Tabel 2.4.
6. Pengolahan dan Analisa Data (USLE)
Pengolahan dan analisa data pada penelitian ini menggunakan rumus
USLE
A = R × K × LS × C × P
19
7. Menentukan Tingkat Bahaya Erosi
1. Menghitung laju erosi yang diperbolehkan dengan menggunakan
persamaan 2.5.
2. Menghitung Indeks bahaya erosi menggunakan persamaan 2.6.
3. Membuat peta/tabel tingkat bahaya erosi DAS Kalamisu.
20
21
1
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara Geografis DAS kalamisu terletak antara 119° 58' 03" sampai
dengan 120° 19' 15" BT dan 5° 07' 58" sampai dengan 5° 19' 04" LS. Luas secara
keseluruhan wilayah DAS Kalamisu adalah 15066,35 ha. Secara administrasi DAS
Kalamisu terletak di wilayah Kabupaten Sinjai yang meliputi 6 kecamatan yang
meliputi kecamatan Sinjai Barat (Desa Arabika,Desa Balakia, Desa Barania,
Desa Bonto Lempangan, Desa Gunung Perak), Kecamatan Sinjai Borong (Desa
Bonto Katute), Kecamatan Sinjai Selatan (Desa Bulu Kamase, Desa Palae, Desa
Talle), Kecamatan Sinjai Tengah (Desa Baru, Desa Bonto, Desa Kanrung, Desa
Kompang, Desa Mattunrung Tellue, Desa Pattongko, Desa Samaenre, Desa
Saohiring, Desa Saotengga), Kecamatan Sinjai Timur (Desa Kaloling, Desa
Kampala, Desa Lasiai, Desa Panaikang, Desa Passimarannu, Desa Pattalassang,
Desa Samataring, Desa Sanjai, Desa Saukang), Kecamatan Sinjai Utara
(Kelurahan Biringere dan Desa Alewanuae).
4.1 Prediksi Erosi Metode USLE (Universal Soil Loss Equation)
4.1.1 Faktor Erosivitas Hujan (R)
Nilai erosivitas hujan yang diperoleh dari 4 stasiun curah hujan
menunjukkan bahwa tingkat curah hujan tertinggi yaitu stasiun Aparang 1
1
dengan nilai erosivitas hujan 6128 kJ/ha dan tingkat curah hujan terendah yaitu
stasiun Balakia dengan nilai eosivitas 1227 kJ/ha. Intensitas hujan yang cukup
tinggi akan menimbulkan erosi. Tetesan butiran–butiran hujan yang jatuh ke atas
tanah mengakibatkan pecahnya agregat–agregat tanah yang diakibatkan oleh
tetesan butiran hujan yang memiliki energi kinetik yang cukup besar. Hal ini
sesuai dengan pendapat Suripin (2001) yang menyatakan bahwa penyebab erosi
tanah adalah pengaruh pukulan hujan pada tanah. Hujan menyebabkan erosi
tanah melalui dua jalan yaitu pelepasan butiran tanah oleh pukulan air hujan
pada permukaan tanah dan kontribusi hujan terhadap aliran.
Jumlah hujan yang besar tidak selalu menyebabkan erosi berat jika
intensitasnya rendah, dan sebaliknya hujan lebat dalam waktu singkat dapat
menyebabkan sedikit erosi karena jumlah hujan hanya sedikit. Jika jumlah dan
intensitas hujan keduanya tinggi, maka erosi tanah yang terjadi cenderung tinggi.
Nilai erosivitas hujan yang terdapat pada DAS Kalamisu dapat dilihat pada
tabel 4.1 dan gambar 2, sebagai berikut :
Tabel 4.1 Nilai Erosivitas DAS Kalamisu
No
Stasiun
Lokasi
Longtitude
Latitude
Nilai R
(kJ/ha)
Luas (ha)
1
Balakia
832596,7575
9421056,1
6128
3649,13
2
Biringere
860842,3102
9432528,6
2243
1377,33
3
Aparang 1
849354,8784
9418151,4
3090
2433,80
4
Aparang 3
856907,8616
9422916,3
1227
7606,10
Total
15066,35
Sumber : Data Sekunder setelah diolah dan Hasil Analisa SIG. 2012.
2
Gambar 2. Peta Erosivitas Hujan (Nilai R) DAS Kalamisu
3
4.1.2
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Nilai erodibilitas yang terdapat pada DAS kalamisu dapat dilihat
pada tabel 4.2 dan gambar 3 sebagai berikut :
Tabel 4.2 Nilai Erodibilitas DAS Kalamisu
No
1
2
Jenis tanah
Latosol Coklat
Latosol Coklat
Latosol Merah
Latosol Merah
%(debu+pasir
sangat halus)
48
32
50
40
Pasir
(%)
20
35
20
27
Total
B.O
(%)
1,8
2,5
2,3
3
S
P
K
2
2
2
3
2
2
2
3
0,38
0,54
0,36
0,53
Luas (Ha)
6926,076
8140,273
15066,35
Sumber : Data Primer setelah diolah dan Hasil Analisa SIG. 2012.
Erodibilitas yang terdapat pada DAS Kalamisu memiliki nilai yang
berbeda-beda dan memiliki kelas erodibilitas tinggi dan agak tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa jenis tanah tersebut memiliki sifat yang kurang
baik yaitu memiliki persen liat yang kecil sehingga kemampuan
mengikat air sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak
(2002) bahwa peranan tekstur terhadap besar kecilnya erodibilitas tanah
adalah besar. Partikel yang kurang tahan adalah debu dan pasir halus.
Tanah dengan kandungan debu tinggi merupakan tanah yang mudah
tererosi. Tekstur pasir mempunyai daya ikat antar partikel tanah yang
kurang mantap sehingga kemantapan agregat tanahnya
rendah dibandingkan dengan tekstur liat yang mempunyai daya ikat
antar partikel tanah yang sangat kuat sehingga agregat tanahnya sangat
sulit dihancurkan oleh butiran hujan.
Bahan organik sangat berperan pada proses pembentukan dan
pengikatan, serta penstabilan agregat tanah. Pengaruh utama bahan
4
organik adalah memperlambat aliran permukaan, meningkatkan
infiltrasi, dan memantapkan agregat tanah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Asdak (2002) bahwa unsur organik cenderung memperbaiki
struktur tanah dan bersifat meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas
tampung air tanah, dan kesuburan tanah. Kumpulan unsur organik di
atas permukaan tanah dapat menghambat kecepatan air larian. Dan
dengan demikian, menurunkan potensi terjadinya erosi.
Struktur tanah merupakan susunan partikel-partikel tanah yang
membentuk agregat. Struktur tanah pada DAS Kalamisu adalah
granuler halus dan granuler sedang dimana struktur tanah akan
mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air tanah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Asdak (2002) bahwa Struktur tanah granuler
dan lepas mempunyai kemampuan besar dalam meloloskan air larian,
dan dengan demikian, menurunkan laju air larian dan memacu
pertumbuhan tanaman.
Permeabilitas tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam
meloloskan air. Permeabilitas yang terdapat pada tanah di DAS
Kalamisu umumnya lambat sampai sedang. Cepat atau lambatnya
perembesan air ini ditentukan oleh tekstur tanah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Asdak (2002) bahwa struktur dan tekstur tanah serta unsur
organik lainnya ikut ambil bagian dalam menentukan permeabilitas
tanah. Tanah dengan permeabilitas tinggi menaikkan laju infiltrasi
sehingga akan menurunkan laju air larian.
5
Gambar 3. Peta Erodibilitas (Nilai K) DAS Kalamisu
6
4.1.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Tabel 4.3 Keadaan Topografi DAS Kalamisu
No
1
2
3
4
5
Lereng (%)
0-8
9-15
16-25
26-40
>40
Topografi
Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam
Total
Luas (Ha)
5765,80
1287,62
1201,28
2821,63
3990,01
15066,35
Luas(%)
38,2
8,4
8
19
26,4
100
Sumber : Hasil Analisa SIG. 2012.
Tabel 4.4. Nilai LS DAS Kalamisu
No
Nilai LS
Luas (ha)
Luas (%)
13060,54
86,7
1
0-10,4
2
10,5-20,8
1915,59
12,7
3
20,9-31,3
82,78
0,6
4
31,4-41,7
7,50
0,05
15066,35
100
Sumber : Hasil Analisa SIG. 2012.
Kemiringan merupakan faktor yang sangat perlu di perhatikan
sejak penyiapan lahan pertanian, karena lahan yang mempunyai
kemiringan curam dapat dikatakan lebih mudah terganggu atau rusak.
Kemiringan lereng sangat mempengaruhi tingkat erosi, karena semakin
tinggi kemiringan lereng maka tingkat erosi sangat besar. Curamnya lereng
akan memperbesar energi angkut air. Selain itu dengan makin miringnya
lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang dipercik kebawah oleh
tumbukan air semakin banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kartasapoetra (1988) bahwa semakin panjang lereng dan kemiringan
lereng maka kerusakan dan penghancuran atau berlangsungnya erosi akan
lebih besar. Dimana semakin panjang lereng pada tanah akan semakin
besar pula kecepatan aliran air di permukaannya sehingga pengikisan
terhadap bagian-bagian tanah makin besar.
7
Gambar 4. Peta Lereng DAS Kalamisu
8
Gambar 5. Peta LS DAS Kalami
9
10
4.1.4 Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Penggunaan lahan yang terdapat pada DAS Kalamisu dapat
dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 6, sebagai berikut :
Tabel 4.5 Penggunaan lahan dan nilai C DAS Kalamisu
No Penggunaan Lahan Nilai C Luas (ha)
Luas (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Semak Belukar
Sawah
Hutan
Tegalan
Kebun Campuran
Ladang
Tambak
Padang Rumput
0,3
0,01
0,001
0,7
0,10
0,4
0,01
0,3
12681,03
981,30
709,90
358,12
173,76
101,20
60,04
1,11
84,2
6,5
4,7
2,4
1,1
0,7
0,4
0,01
100
Total
15066,35
Sumber : Data Sekunder setelah diolah dan Hasil Analisa SIG. 2012.
Penggunaan lahan pada DAS Kalamisu didominasi oleh semak
belukar dengan luas 12681,03 ha dengan nilai C (0,3) dimana nilai C
tersebut
tergolong baik.
Vegetasi
penutup
tanah sangat
besar
pengaruhnya terhadap aliran permukaan dan erosi. Semakin banyak
vegetasi maka akan semakin memperendah laju erosi yang akan terjadi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad (2010) bahwa vegetasi
merupakan faktor yang penting dalam terjadinya erosi, air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah akan dapat tertahan dalam tajuk-tajuk vegetasi
sehingga tenaga kinetik air tidak langsung mengenai permukaan tanah.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah melindungi
permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan air
larian,
menahan
partikel-partikel
tanah
pada
tempatnya
dan
mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.
11
Gambar 6. Peta Nilai C DAS Kalamisu
12
4.1.5 Faktor Upaya Pengelolaan Konservasi (P)
Penggunaan lahan dan praktek konservasi yang diterapkan
yang terdapat pada DAS Kalamisu dapat dilihat pada tabel 4.6 dan
gambar 7, sebagai berikut :
Tabel 4.6 Penggunaan lahan DAS Kalamisu dan Nilai P
No Penggunaan Lahan
Nilai P Luas (Ha)
Luas (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Semak Belukar
Sawah
Hutan
Tegalan
Kebun Campuran
Ladang
Tambak
Padang Rumput
0,021
0,15
1,00
0,421
0,40
0,421
1,00
0,04
12681,03
981,30
709,90
358,12
173,76
101,20
60,04
1,11
84,2
6,5
4,7
2,4
1,1
0,7
0,4
0,01
100
Total
15066,35
Sumber : Data Sekunder setelah diolah dan Hasil Analisa SIG. 2012.
Nilai P diperoleh berdasarkan jenis-jenis teknik konservasi
yang ada pada DAS Kalamisu. Nilai P merujuk pada penggunaan lahan
dan jenis konservasi DAS Kalamisu yang dikeluarkan oleh Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Tindakan konservasi
yang terdapat pada DAS kalamisu
beragam, ada beberapa yang
menerapkan teknik konservasi seperti teras bangku, padang rumput, dan
alang-alang. Namun adapula yang belum menerapkan tindakan teknik
konservasi seperti hutan yang luasnya 709,8901 ha atau 4,7% dari luas
DAS dengan nilai P (1.00). Faktor penglolaan tanaman dengan
beberapa jenis penutupan lahan dapat mengurangi pengaruh hujan
maupun topografi terhadap erosi. Vegetasi dapat memperkecil kekuatan
pengikisan tanah oleh aliran pemukaan.
13
Gambar 7. Peta Nilai P DAS Kalamisu
14
4.2 Laju Erosi yang Diperbolehkan (Tolerable Soil Loss)
Erosi yang masih diperbolehkan adalah jumlah tanah hilang yang
diperbolehkan pertahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga
tanah tetap produktif secara lestari. Nilai erosi yang diperbolehkan pada DAS
Kalamisu dapat dilihat pada tabel 4.7 sebagai berikut :
Tabel 4.7 Nilai TSL Setiap Jenis Tanah DAS Kalamisu
No
1.
2.
Jenis Tanah
Latosol Merah
Latosol Coklat
KE
1000
1000
FK UGT
10
400
10
400
Total
TSL(ton/ha/tahun)
27
27
Luas (ha)
6926,076
8140,273
15066,35
Luas (%)
45
64
100
Sumber: Data Sekunder setelah diolah dan Hasil Analisa SIG. 2012.
Tujuan penetapan batas laju erosi yang dapat dibiarkan adalah agar
dapat menurunkan laju erosi yang terjadi pada suatu lahan baik pertanian
maupun non pertanian terutama pada lahan-lahan yang mempunyai
kemiringan yang berlereng. Secara teori dapat dikatakan bahwa laju erosi
harus seimbang dengan laju pembentukan tanah, namun dalam prakteknya
sangat sulit untuk mencapai keadaan yang seimbang ini. Hammer (1981)
menggunakan konsep kedalaman ekivalen dan umur guna tanah dalam
menetapkan nilai T, dimana kedalaman ekivalen adalah perkalian antara nilai
kedalaman efektif tanah dengan faktor kedalaman ordo tanah dan umur guna
tanah merupakan jangka waktu yang cukup untuk memelihara kelestarian
tanah.
4.3 Tingkat Bahaya Erosi
Hasil analisis nilai tingkat bahaya erosi DAS Kalamisu dapat dilihat
pada peta sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Tabel 4.8 dan Gambar 8
sebagai berikut:
15
Tabel 4.8. Nilai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) DAS Kalamisu
No
Tingkat Bahaya Erosi
Luas (ha)
Luas (%)
1.
Ringan
5210,276
35
2.
Sedang
7703,050
51
3.
Tinggi
1800,729
12
4.
Sangat Tinggi
Total
352,294
15066,35
2
100
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012.
Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat bahaya erosi pada DAS
Kalamisu dominan masih tergolong sedang dengan luas 7703,050 ha atau
sekitar 51% dari total luas wilayah DAS Kalamisu. Hal ini menunjukkan
bahwa erosi yang ditimbulkan tidak terlalu besar karena faktor penutupan dan
pengelolaan tanaman masih tergolong baik, tetapi hal tersebut tidak dapat
diabaikan karena juga terdapat erosi yang tergolong tinggi dan sangat tinggi
dengan luas berturut turut 1800,729 ha dan 352,294 ha.
Apabila faktor pengelolaan tanaman dan praktek konservasi pada
DAS Kalamisu tidak diperbaiki maka tingkat erosi yang terjadi kedepannya
dapat menjadi dominan tinggi atau sangat tinggi. Oleh karena itu perlu
dilakukan praktik konservasi yang dapat menekan laju erosi yang terjadi
sehingga erosi yang dihasilkan tidak terlalu besar.
16
Gambar 8. Peta Tingkat Bahaya Erosi DAS Kalamisu
17
4.4. Arahan Konservasi DAS Kalamisu
Arahan konservasi bertujuan untuk menekan laju erosi sehingga
erosi yang terjadi tidak terlalu besar. Dalam penelitian ini arahan konservasi
difokuskan pada tingkat bahaya tinggi dan sangat tinggi. Estimasi nilai C dan
nilai P untuk arahan konservasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4.9
sebagai berikut :
Tabel 4.9.Arahan Penggunaan Lahan DAS Kalamisu
No
Penggunaan Lahan
Eksisting
C
Penggunaan Lahan
Arahan
C*
Luas(ha)
1.
Ladang
0,7
Kebun Campuran
0,10
358,1231
Sumber : Hasil Analisa SIG. 2012.
Catatan : * Arahan Konservasi
Tabel 4.10 Arahan Konservasi DAS Kalamisu
No
Penggunaan Lahan
Eksisting
P
1
Semak Belukar
0,021
2
Sawah
0,15
3
Hutan Tanpa
tindakan konservasi
1,000
4
Kebun Campuran
0,40
5
Ladang
0,421
6
Tegalan
0,421
Teknik Konservasi Arahan
Semak belukar dengan Teras
Bangku Sempurna
Sawah dengan Teras Bangku
Sempurna
Hutan dengan tanaman penutup
rapat
Kebun campuran dengan Teras
Bangku Sempurna
Ladang dengan Teras Bangku
Sempurna
Kebun Campuran dengan teras
bangku
sempurna
dengan
penanaman kacang tanah
P*
Luas (ha)
0,04
12681,03
0,04
981,29
0,1
709,89
0,04
173,65
0,04
101,19
0,09
358,12
Sumber : Hasil Analisa SIG. 2012
Catatan:* Arahan Konservasi
Berdasarkan analisis setiap faktor penduga erosi USLE, erosivitas
hujan dan erodibilitas tanah merupakan faktor yang sulit diubah. Tetapi faktor
panjang dan kemiringan lereng dapat dilakukan modifikasi, lereng yang
panjang bisa dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang lebih pendek dan
datar, sehingga faktor lereng yang mengakibatkan erosi dapat diperkecil.
18
Upaya konservasi ini dapat dilakukan secara mekanis dan secara
vegetatif. Pengendalian erosi secara mekanis merupakan pengendalian erosi
yang memerlukan beberapa sarana fisik antara lain pembuatan teras, rorak,
dan saluran pembuangan air. Sedangkan pengendalian erosi secara vegetatif,
merupakan pengendalian erosi yang didasarkan pada peranan tanaman yang
ditanam atau tumbuh bertujuan untuk mengurangi daya pengikisan dan
penghanyutan tanah oleh aliran permukaan. Dalam praktek konsevasi tanah,
kedua cara diterapkan secara terpadu, seperti pembuatan teras dengan
penanaman ganda, dan sangat efektif dalam menekan laju erosi.
Arahan konservasi yang disarankan untuk diterapkan pada DAS
Kalamisu yaitu hutan yang sebelumnya tanpa tindakan konservasi dijadikan
hutan yang ditanami tanaman perkebunan dengan penutup tanah yang rapat,
dan beberapa penggunaan lahan yang sebelumnya memiliki konstruksi teras
bangku yang kurang baik menjadi menjadi teras bangku yang lebih baik.
Dengan adanya arahan konservasi diharapkan dapat memperkecil laju erosi
yang ditimbulkan. Tingkat bahaya erosi yang ditimbulkan setelah
membandingkan nilai erosi menggunakan nilai C dan nilai P berdasarkan
arahan konservasi dengan nilai erosi yang diperbolehkan dapat dilihat pada
tabel 4.11 dan gambar 9 sebagai berikut :
Tabel 4.11.Nilai TBE DAS Kalamisu Berdasarkan Arahan Konservasi
No
Tingkat Bahaya Erosi
Luas (ha)
Luas (%)
1. Ringan
10982,58
73
2. Sedang
3954,02
26,2
3. Tinggi
111,75
0,7
4. Sangat Tinggi
17,99
0,1
Total
15066,35
100
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012.
19
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat bahaya erosi
yang terjadi sudah tergolong ringan dengan luas 10982,58 ha. Dengan adanya
arahan konservasi pada DAS Kalamisu maka terjadi penurunan laju erosi
sehingga wilayah-wilayah yang sebelumnya memiliki TBE sangat tinggi dan
tinggi menjadi wilayah yang memiliki TBE rendah.
Perubahan potensi erosi DAS Kalamisu dengan tingkat bahaya erosi
yang difokuskan pada tingkat bahaya erosi tinggi dan sangat tinggi dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.12.Perubahan Potensi Erosi
No
TBE
1.
Tinggi
2.
Sangat Tinggi
Perubahan Potensi Erosi
Luas (ha)*
Luas (%)*
Luas (ha)**
Luas (%)**
1800,72
12
111,75
0,7
352,29
2
17,99
0,1
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012.
Konservasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta
menurunkan atau menghilangkan dampak negatif pengelolaan lahan seperti
erosi, sedimentasi dan banjir. Perubahan yang terjadi pada laju erosi
disebabkan oleh arahan konservasi yang digunakan. Penurunan tersebut juga
berdampak pada perubahan tingkat bahaya erosi dimana luas tingkat bahaya
erosi tinggi dan sangat tinggi berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
jenis tanaman dan pengelolaan lahan berperan besar dalam upaya
pengendalian erosi. Tingkat bahaya erosi setelah dilakukan arahan konservasi
ternyata masih ditemukan tingkat bahaya erosi tinggi dan sangat tinggi, hal
ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut dengan
jumlah curah hujan 6131 kJ/ha dan faktor kelerengan yang terletak antara
20
25-45% dan lereng sangat curam >40%. Untuk mengatasi tingkat bahaya
erosi yang masih tinggi dapat diusahakan dengan melakukan penanaman
pada tepi teras yang ditanami dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari
tanaman rumput, lamtoro dan dapat ditanami tanaman hortikultura seperti
srikaya ataupun nanas dan pisang. Tanaman rumput pada tepi teras disamping
berfungsi sebagai penguat teras juga sebagai sumber pakan ternak (sapi atau
kambing).
21
Gambar 9. Peta TBE DAS Kalamisu (Arahan Konservasi
22
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis peta spasial dan uraian-uraian yang
dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Hasil analisa laju erosi dengan menggunakan Universal Soil Loss
Equation (USLE) menunjukkan tingkat bahaya erosi yang terjadi pada
DAS Kalamisu dominan berada pada tingkat sedang.
2. Tingkat bahaya erosi tertinggi terjadi pada lahan semak belukar dengan
kemiringan lereng > 40% dan nilai erosivitas yang tinggi.
3. Penurunan laju erosi dapat diusahakan dengan melaksanakan arahan
konservasi yang tepat seperti penanaman tanaman penutup tanah rapat dan
perbaikan konstruksi teras.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan bahwa
diperlukan adanya penelitian lanjutan dengan model yang lain untuk
pembuktian kebenaran dari dugaan penelitian ini lebih lanjut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011a. Jurnal Prediksi Erosi berbasis pixel. http://mbojo.wordpress.com
201001jurnal-prediksi-erosi-sigberbasis-pixel.pdf. Tanggal akses 2
Maret 2011.
Anonim. 2011b. Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan
Lahan
Daerah
Aliran
Sungai.
http://www.dephut.go.id/
INFORMASI/RLPS/14_167_04.pdf. Tanggal akses 2 Maret 2011.
Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Institut Pertanian Bogor:
Bogor.
Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007. Petunjuk Teknis
Teknologi Konservasi Tanah Dan Air. Sekretariat Tim Pengendali
Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat: Jakarta.
Budiyanto, E., 2010. Sistem Informasi Geografis dengan Arcview GIS. Andi
Offset: Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.
1995. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Jeneberang-Walanae: Makassar.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.
2010. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah Daerah Aliran Sungai Kalamisu Kabupaten Sinjai. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang-Walanae: Makassar.
Engel, B., 2003. Estimating Soil Erosion using Arcview. Purdue University.
http://pasture.ecn.purdue.edu/abe526/ressouces1/gisrusle.html. Diupdate
tanggal 17 Oktober 2003. Tanggal akses 2 Maret 2011.
Effendi, dan Supli R., 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka
Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara: Jakarta.
Hickey, R., 2000. Slope Angel and Slope Length Solution for GIS. Cartography,
vol 29. No 1. Paper 1-8.
24
Kartasapoetra, 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta: Jakarta.
Nursa’ban, M., 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan
Kemampuan Fungsi Lingkungan. Jurusan Pendidikan Geografi, FISE
UNY. Geomedia, Volume 4, Nomor 2.
Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan air. Penerbit Andi:
Yogyakarta.
25
1
Download