Pendidikan Awal Kanak-kanak DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Metode Bermain Peran dalam Mengembangkan Sosial, Emosional, dan Kemandirian Anak Usia Dini Sri Ratna Chodijah Pendahuluan Keterampilan sosial, kemampuan penyesuaian diri, dan kemandirian menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah mulai memasuki lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hal ini disebabkan karena anak memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Beberapa dampak dari tidak dikuasainya keterampilan sosial, pengendalian emosi oleh anak usia dini adalah anak tidak diterima oleh teman-temannya, sehingga pengalaman yang diperolehnya sangat sedikit terutama dalam berteman, berkomunikasi dan bekerja sama. Hal tersebut diyakini akan mempengaruhi kesiapan seorang anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena perkembangan sosial dan emosional yang ia butuhkan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah tidak berkembang optimal. Akibatnya anak tersebut menjadi kurang matang secara sosial, dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya, serta dapat mengalami kesulitan mengikuti pelajaran. Pendidikan pada masa usia dini juga memberikan kontribusi yang bermakna terhadap keikutsertaan dan kesuksesan anak pada pendidikan selanjutnya. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangannya tercapai secara optimal, melalui pemilihan metode yang tepat, menyenangkan dan bermakna bagi anak. Penggunaan Metode pada Pendidikan Anak Usia Dini Metode merupakan cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan kegiatan. Terkadang tidak selamanya dijalankan dengan baik. Pendidik PAUD hendaknya mempertimbangkan alasan yang kuat akan faktor-faktor yang mendukung pemilihan sebuah metode seperti faktor karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajari (Moeslichatoen, 2004: 9). Karakteristik tujuan berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai dari setiap lingkup perkembangan, yaitu nilai-nilai agama dan moral, motorik, kognitif, bahasa, sosialemosional. Sedangkan karakteistik anak berkaitan dengan ciri-ciri umum anak usia dini, seperti anak selalu bergerak, mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi dan senang berbicara. Ditinjau dari karakteristik emosi menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004: 20) emosi yang berkembang pada anak usia dini adalah kemampuan mengenal perasaan, baik kemampuan memberi nama perasaan maupun menerima perasaan (Moeslichatoen, 2004: 20). Sedangkan ditinjau dari karakteristik sosial adalah anak usia dini dapat membina hubungan antar pribadi dalam berbagai lingkungan dan kelompok orang. Karakteristik kemandirian anak usia dini adalah membina diri sebagai individu anak dalam belajar bertanggung jawab untuk membantu diri sendiri, menjaga diri sendiri, dan berprakarsa untuk melakukan kegiatan sesuai pilihannya. Oleh sebab itu pertimbangan 59 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Pendidikan Awal Kanak-kanak penggunaan metode dalam proses pembelajaran hendaknya memperhatikan karakteristik sosial, emosional dan kemandirian anak. Dalam kaitannya dengan pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian, maka metode yang sesuai adalah metode yang dapat menggerakkan anak untuk mengekspresikan perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan secara verbal dengan tepat, memberi kesempatan untuk bekerja sama dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan tugas-tugasnya secara mandiri. Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak usia dini. Namun tidak semua metode tersebut cocok bagi program kegiatan anak usia dini. Misalnya metode ceramah kurang cocok bagi program kegiatan belajar anak usia dini karena metode ceramah menuntut anak memusatkan perhatian dalam waktu cukup lama padahal rentang waktu perhatian anak relatif singkat. Salah satu metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini, dalam mengembangkan sosial, emosional, dan kemandirian, adalah metode bermain peran (role playing). Metode Bermain Peran (Role Playing) Merujuk pada pendapat Moeslichatoen (2004: 38) bermain peran adalah bermain yang menggunakan daya khayal anak yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang tertentu dan binatang tertentu yang dalam dunia nyata tidak dilakukan.Bermain peran sering pula disebut role playing. Menurut Zacky (http://zacky30717.blogspot.com) metode role playing merupakan satu metode sekaligus permainan yang menuntut pelakunya untuk memerankan satu peran atau pemikiran yang tidak nyata atau dibentuk. Pelaku bertindak seolah-oleh dia berada dalam dunia yang nyata. Alat bantu utama dalam permainan ini adalah fantasi dan emosi dari si pelaku sendiri dan juga aturan permainan yang membingkai permainan ini. Dalam role playing yang bersifat spontan atau bebas, aturan-aturan ini lebih bersifat implisit, sedangkan dalam permainan yang diatur secara ketat aturan ini biasanya berupa handbook, skenario atau semacamnya. Bermain peran (role playing) adalah memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda di sekitar anak dengan tujuan untuk mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan pengembangan yang dilaksanakan (Depdiknas, 2001). Melalui permainan ini daya imajinasi, kreativitas, empati serta penghayatan anak berkembang. Melalui permainan ini pula anak-anak dapat berekspresi menjadi apapun yang diinginkannya. Jika ibunya yang menjadi idola maka ia dapat bermain peran sebagai ibunya bahkan meniru kebiasaannya, seperti ke salon, memasak dan sebagainya. 60 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Pendidikan Awal Kanak-kanak Bermain salon-salonan Harley (Ali Nugraha dan Yeni Rachmawati, 2008: 8.14) mendefinisikan bermain peran sebagai berikut: “Bermain peran adalah bentuk permainan bebas dari anak-anak yang masih muda. Adalah salah satu cara bagi mereka untuk menelusuri dunianya, dengan meniru tindakan dan karakter dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Ini adalah ekspresi paling awal dari bentuk drama, namun tidak boleh disamakan dengan drama atau ditafsirkan sebagai penampilan. Drama peran adalah sangat sementara, hanya berlaku sesaat. Bisa berlangsung selama bebera menit atau terus berlangsung untuk beberapa waktu. Bisa juga dimainkan berulang kali bila keterkaitan si anak cukup kuat, tetapi bila terjadi maka pengulangan tersebut bukanlah sebagai bentuk latihan. Melainkan adalah pengulangan pengalaman yang kreatif dan murni dalam melakukannya. Ia tidak memiliki awalan dan akhiran dan tidak memiliki pekembangan dalam arti drama”. Dari sejumlah definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bermain peran (role playing) adalah permainan dengan menirukan sejumlah tokoh yang diidolakan anak secara singkat dan dapat membantu anak mengeluarkan emosinya yang terpendam karena tekanan sosial. Tujuan Bermain Peran (Role Playing) Tujuan metode bermain peran (role playing) adalah untuk memecahkan masalah dan agar memperoleh kesempatan untuk merasakan perasaan orang lain (Ahmad Suryadi, 2012: 81) Metode bermain peran menuntut tindakan-tindakan nyata dari anak, namun sebenarnya pembelajaran ini tidak hanya terfokus untuk mengajari anak bagaimana berprilaku tetapi mengajak anak untuk menemukan jalan keluar atas sebuah masalah serta mencari pilihan solusi lainnya. Selain itu bermain peran juga bertujuan memberikan kesempatan yang sebaik-baiknya kepada anak untuk mengekspresikan diri dan memenuhi kebutuhan meniru, serta memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan diri dalam berbicara dan meniru tokoh tertentu. Bermain peran dalam proses pembelajaran ditujukan sebagai usaha memecahkan masalah (diri, sosial) melalui serangkaian tindakan pemeranan (Nurbiana Dhieni, 2007: 7.33). 61 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Pendidikan Awal Kanak-kanak Secara eksplisit bila ditinjau dari tujuan pendidikan, dari kegiatan metode bermain peran diharapkan anak dapat: 1. 2. 3. Mengeksplorasi perasaan-perasaan. Memperoleh wawasan (insight) tentang sikap-sikap, nilai-nilai dan persepsinya. Mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Manfaat Bermain Peran (Role Playing) Bermain peran (role playing) dapat membantu anak mengembangkan kemampuan sosial emosional. Anak dapat mengekspresikan emosinya tanpa takut, malu dan ditolak lingkungannya. Ia juga dapat mengeluarkan emosinya yang terpendam karena tekanan sosial (Ali Nugraha dan Yeni Rachmawati, 2008: 8.14). Selain itu melalui bermain peran seorang anak dapat memainkan tokoh-tokoh yang pemarah, baik hati, takut, penyayang dan sebagainya, secara mandiri tanpa campur tangan dan bantuan orang lain. Oleh sebab itu bermain peran dapat menjadi wahana bagi pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian anak. Ketika bermain peran ini dilakukan bersama teman-temannya, maka akan tumbuh kemampuan untuk berkomunikasi, kepemimpinan dan kemampuan mengelola emosi. Contoh seorang anak mengatur peran; “Eh, kamu jadi mamahnya ya….kamu jadi anaknya…aku ayahnya”. Di sini terlihat betapa anak-anak dengan sigap menganalisa peran-peran apa yang diperlukan, memikirkan dan memutuskan siapa yang tepat memerankannya, berbagi peran, mengkomunikasikan idenya pada teman, dan berbagi kesenangan dengan teman-temannya. Selain bermanfaat bagi perkembangan sosial emosi, kegiatan bermain peran (role playing) juga sangat bermanfaat bagi aspek perkembangan lain. Menurut Lita Edia (http://www. asahasuh.com/) manfaat tersebut diantaranya: 1. 2. 3. Imajinasi Melalui permainan ini mereka berimajinasi. Imajinasi akan memacu daya kreativitas anak. Mereka bisa merubah sapu menjadi kuda Merubah kemoceng menjadi pecutnya, Sungguh kreativitas yang sering tidak terpikir oleh kita orang dewasa. Perkembangan bahasa dan intelektual Simak obrolan mereka saat bermain peran. Kita akan terkejut dan terpesona karena ternyata banyak kosakata baru yang mereka kuasai. Mereka berbicara layaknya orang yang sedang mereka tiru. Biasanya mereka meniru kita orangtuanya atau orang yang terdekat dengan mereka. Pengalaman baru juga akan menjadi peran baru bagi mereka lengkap dengan kosa katanya. Informasi baru yang mereka peroleh akan mereka olah menjadi sebuah cerita dalam permainan mereka. Dari sanalah kita akan mengetahui pemaknaan mereka terhadap lingkungan dan informasi yang mereka terima. Rasa percaya diri Memainkan peran orang dewasa, membuat mereka merasa sudah mampu melakukannya. Rasa mampu inilah yang akan memupuk konsep diri positif pada anak-anak. Konsep diri membangun rasa percaya diri. Tampak sederhana saat anak berpura-pura menjadi seorang ayah, seorang ibu, seorang guru, dan lain sebagainya. 62 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 4. Pendidikan Awal Kanak-kanak Tetapi amati ekspresi wajah mereka, lihatlah betapa mereka bangga saat menjadi ayah, ibu, guru, ataupun sosok lainnya. Perkembangan motorik Saat anak bermain peran mereka akan lincah bergerak ke sana ke mari. Tak ada bermain peran yang hanya duduk diam memandang seperti saat mereka meonton tv. Bermain peran adalah permainan yang sangat aktif. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan indera mereka. Saat mereka merasa perlu mencipta benda-benda yang diperlukan, otot motorik halus juga akan mereka pergunakan. Melipat, menggunting, merobek, menempel, dan lain sebagainya. Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Peran Mengingat begitu banyaknya manfaat dari bermain peran (role playing) ini, maka sebagai guru sebaiknya: 1. Memberi kesempatan bagi anak untuk bermain. Beberapa area bermain mungkin akan tampak sedikit berantakan, tetapi dengan manfaat yang begitu besar bagi Anak. Tentu kita tidak keberatan memberi anak kesempatan untuk bermain, bukan? 2. Sediakan kotak khusus dimana anak akan mudah menemukan benda-benda yang lazim mereka perlukan untuk bermain. Telepon bekas, kain, kertas, kardus, panci bekas, alat masak-masakan, alat dokter-dokteran, mainan peralatan bengkel, dan lain-lain, bisa kita sediakan untuk kemudahan mereka bermain. Kotak ini juga memudahkan anak untuk membereskan kembali alat-alat permainan mereka. 3. Gunakan pertanyaan terbuka untuk memancing terbentuknya ide. Seperti: “Hmmm.....asyiknya dus bekas ini kita buat apa ya?” bedakan dengan kalimat ini “Anak-anak ayo kita buat rumah-rumahan dari dus bekas ini”. Pendidik PAUD yang baik pasti akan memilih kalimat pertama. 4. Jika anak sedang kehabisan ide, kita boleh mengajukan beberapa pilihan. Namun saat anak sudah nyaman dan memiliki ide sendiri, biarkanlah mereka berimajinasi sesuka hati, tidak perlu “ikut campur” dalam permainan mereka, walaupun terkadang terasa aneh ide mereka bagi kita orang dewasa. 5. Saat ada kesempatan, libatkan diri kita dalam permainan mereka, dan ikutilah ideide kreatif mereka. Hal ini selain memperkuat ikatan (bonding) kita dengan mereka, juga menambah rasa percaya diri mereka. Metode Bermain Peran dalam Mengembangkan Sosial, Emosional, dan Kemandirian Anak Usia Dini Bermain peran atau role playing adalah sebuah kegiatan spontan dan mandiri di saat anakanak menguji, menjernihkan, dan meningkatkan pemahaman atas diri dan dunianya sendiri (Coughlin Pamela, 1997: 229). Dalam kegiatan bermain peran, anak-anak menciptakan ulang tempat dan peran yang sudah mereka kenal, meniru perilaku dari anggota keluarga dan peran yang cocok dari berbagai banyak orang yang berada di masyarakat mereka. Bermain peran merupakan kegiatan seni, kegiatan sosial dan sebuah cara belajar. Menurut Endang Komara (http://dahli-ahmad.blogspot.com) bermain peran memungkinkan anak-anak berlatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya, serta melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan 63 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Pendidikan Awal Kanak-kanak perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan. Kegiatan bermain peran adalah kegiatan dimana anak-anak memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda di sekitar anak dengan tujuan untuk mengembangkan daya khayal (imajinasi). Adapun langkah-langkah kegiatan bermain peran adalah sebagai berikut: 1. Menentukan Tingkat Pencapaian Perkembangan (TPP) Menetukan tingkat pencapaian perkembangan (TPP) pada kegiatan bermain peran adalah dengan melihat indikator pada lingkup perkembangan sosial, emosional dan kemandirian berdasarkan usia anak, terdapat pada Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009. Adapun tingkat pencapaian perkembangan sosial, emosional, dan kemandirian anak usia 4-6 tahun dalam kegiatan bermain peran adalah sebagai berikut: a. Bersikap kooperatif dengan teman, seperti: dapat bekerjasama dengan teman, mau bermain dengan teman (sosial). b. Mengekspresikan emosi sesuai dengan kondisi yang ada, seperti: senang, sedih, antusias, dan lain-lain (emosi). c. Mengenal tatakrama sesuai dengan nilai sosial budaya setempat (peran sosial, sopan santun). d. Memiliki sikap gigih, seperti: tidak mau menyerah , mandiri melaksanakan perannya sampai selesai. 2. Menentukan Alat Peraga yang akan Dipakai Banyak sekali benda yang dapat dijadikan alat atau media pada kegiatan bermain peran ini. Seperti baju dan properti profesi, baju tokoh-tokoh masyarakat atau film, alat rumah tangga, salon, dan sebagainya Kostum Putri dan penyihir dari plastik bekas 3. Menentukan Langkah-Langkah Kegiatan Langkah-langkah kegiatan dalam kegiatan bermain peran adalah urutan pelaksanaan kegiatan yang harus dilalui. Langkah tersebut penting dibuat agar kegiatan bermain peran dapat terlaksana dengan baik. Untuk dapat berdialog, sekurang-kurangnya anak harus dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya dan berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh teman sebayanya. 64 DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Pendidikan Awal Kanak-kanak a. Tahap Pembukaan 1) 2) 3) 4) 5) 6) Anak-anak masuk kelas membentuk setengah lingkaran duduk di atas karpet. Guru menerangkan teknik bermain peran dengan cara yang sederhana, bila bermain peran ini baru diperkenalkan, maka guru dapat memberi contoh satu peran. Misalnya bagaimana ketika harus menjadi tukang sayur. Guru memotivasi anak untuk mau memerankan satu peran. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk memilih peran yang disukainya. Guru menyiapkan dialog yang akan diperankan oleh anak. Guru membagikan pakaian dan propertinya, misalnya untuk polisi memakai topi polisi, tukang sayur membawa roda sayur, pak pos membawa kotak pos, dan lain sebagainya. b. Tahap Inti 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peranan yang harus dimainkan oleh anak. Guru membimbing dan mengarahkan anak-anak yang akan memerankan tokoh sesuai perannya. Anak memerankan tokohnya masing-masing sesuai dengan keinginannya. Guru memberikan motivasi kepada anak-anak agar senang dan berani melakukan perannya. Guru menyarankan kalimat pertama yang baik diucapkan oleh anak untuk memulai bermain peran. Sementara anak-anak yang berada di depan kelas memerankan tokohtokoh, anak-anak lainnya mengamati berlangsungnya kegiatan bermain peran. Guru menghentikan bermain peran pada detik-detik situasi sedang memuncak dan kemudian membuka diskusi umum. Dari diskusi ini diharapkan anak dapat memecahkan masalah dengan cara-cara yang lain. Misalnya ketika peran mang sayur tiba-tiba rodanya patah sehingga sayurannya tumpah semua. Guru dapat bertanya “Apa yang harus kita lakukan bila di jalan kita bertemu dengan mang sayur yang rodanya patah?” c. Tahap Penutup 1) 2) Guru bersama anak membentuk setengah lingkaran. Guru dan anak membahas nilai-nilai sosial, emosional, dan kemandirian dari kegiatan bermain peran yang sudah dilaksanakan. Dari kegiatan ini diharapkan anak dapat meniru dan menerapkan dimensi sosial, emosional, dan kemandirian yang baik dalam kehidupannya sehari-hari. Selain itu dapat mengembangkan pemahaman anak-anak mengenai orang-orang, peranannya serta perilakunya serta turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi. Misalnya, “Anak-anak hari ini 65 Pendidikan Awal Kanak-kanak DP. Jilid 12, Bil 2/2012 ibu guru senang karena anak-anak sudah berani memerankan mang sayur, dan peran lainnya. Selain itu juga ibu guru berharap anak-anak harus lebih menghargai mang sayur, karena mang sayur sudah berjasa untuk kita”. Kaidah Penting yang Harus Diperhatikan oleh Guru dalam Metode Bermain Peran Menurut Nurbiana Dhieni, dkk (2007: 7.35) ada beberapa kaidah penting yang harus diperhatikan oleh guru dalam metode bermain peran, yaitu: 1. Guru tidak diperkenankan menilai baik dan buruk terhadap peran yang dimainkan, terutama dalam hal pendapat dan perasaan peserta didik. 2. Guru harus mampu berperan sebagai dinamisator sehingga mampu mengeksplorasi permasalahn dari berbagai dimensi, dengan kata lain guru harus mampu menangkap esensi dan pandangan peserta didik, merefleksikan dan menyesuaikannya dengan baik. 3. Anak didik dibuka wawasannya bahwa terdapat berbagai alternatif pemeran dalam suatu alur cerita dengan berbagai konskuensi yang menyertainya. Berbagai kemungkinan inilah yang bagus untuk dieksplorasi. 4. Mengkaji ketepatan pemecahan masalah. Kesimpulan Metode bermain peran (role playing) merupakan salah satu metode yang dapat mengembangkan sosial, emosional dan kemandirian anak usia dini. Bermain peran (role playing) membantu anak mengeluarkan emosinya yang terpendam karena tekanan sosial. Melalui bermain peran seorang anak dapat memainkan tokoh-tokoh yang pemarah, baik hati, takut, penyayang dan sebagainya, secara mandiri tanpa campur tangan dan bantuan orang lain. Selain itu melalui bermain peran memungkinkan anak secara spontan dan mandiri menguji, menjernihkan, dan meningkatkan pemahaman atas diri dan dunianya sendiri. Dalam kegiatan bermain peran, anak-anak menciptakan ulang tempat dan peran yang sudah mereka kenal, meniru perilaku dari anggota keluarga dan peran yang cocok dari berbagai banyak orang yang berada di masyarakat mereka. Selain itu bermain peran memungkinkan anak-anak berlatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya, serta melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan. Oleh sebab itu bermain peran dapat menjadi wahana bagi pengembangan sosial, emosional, dan kemandirian anak. 66 Pendidikan Awal Kanak-kanak DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Rujukan Ahmad, J. & Mubiar, A. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Refika Aditama. Ahmad, S. (2012). Membuat Siswa Aktif Belajar (73 Cara Belajar Mengajar Dalam Kelompok). Bandung: Mandar Maju. Ali, N. & Yeni, R. (2008). Pengembangan Sosial Emosional. Edisi ke-8. Jakarta: Universitas Terbuka. Amalia. (2011). Upaya Mengembangkan Kemandirian Anak Usia Playgroup Melalui Penerapan Teknik Scaffolding. Bandung. Skripsi pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan. Beaty, J. J. (1994). Observing Developing of Young Child. 2th ed. USA: McMillan Publishing. Coughlin, P. (2000). Menciptakan Kelas yang berpusat Pada Anak. Alih Bahasa Kenny Dewi Juwita. Washington, DC: Children’s Resources International, Inc. Daeng Arifin (2010). Manajemen Pembelajaran Efektif. Bandung: Pustaka Al Kasyaf. Depdiknas (2001). Didaktik Metodik Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen PAUD (2010). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tentang Standar Pendidikan Anak usia Dini. Jakarta : Dirjen PAUDNI. Dirjen Pendas dan Menengah (2005). Pedoman Pembelajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Depdiknas Dirjen Pendas dan Menengah. Dirjen PLS (2006). Metode Pembelajaran Untuk Anak Usia Dini. Jakarta: Dirjen PLS dan Laboratorium PAUD UPI Bandung. Endang, K. http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/03/model-bermain-peran-dalampembelajaran_29.html (Akses: 10-10-2012) Ernawulan, S. (1999). Peran Bimbingan Guru, Pengasuhan Orang Tua, Dan Interaksi Teman Sebaya Terhadap Perkembangan Perilaku Sosial Anak Taman Kanakkanak Aisyiyah XI, Bumi Siliwangi Dan Angkasa I Bandung. Tesis pada FPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Ernawulan, S. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PGTK/196510011998022ERNAWULAN_SYAODIH/perk_sosio-emosional_anak.pdf (Akses: 13-08-2012) 67 Pendidikan Awal Kanak-kanak DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Euis, K. (2006). Program Bimbingan Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Melalui Permainan Tradisional. Tesis pada FPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Gevi, N. (2011). Kemandirian Anak Usia Dini Yang Mengalami Gejala Autism. Bandung. Skripsi pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan. Helms, D.B. & Turner, J.S. (1984). Exploring Child Behavior. 2th ed. New York: CBS College Publishing. Hurlock, E.B. (1995). Perkembangan Anak. Edisi ke-6.Alih Bahasa Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga. Kemendiknas (2010). Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak. Jakarta : Kemendiknas. Lita, E. http://www.asahasuh.com (Akses: 11-11-2012) Masitoh, dkk. (2005). Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: Universitas Terbuka. Moeslichatoen (2004) Metode Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Bandung: Rineka Cipta. Mubiar, A. dan Uyu, W. (2011) Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Bandung: Refika Aditama. Mussen, P.H. at al. (1984). Child Development and Personality/Perkembangan dan Kepribadian Anak. 6th ed. Jakarta: Arcan. Nurbiana, D. dkk (2007). Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka. Otin, M. (2004) Pengembangan Program Bimbingan Perkembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini Di Kelompok Bermain. Tesis Sarjana UPI FPS Bandung: tidak diterbitkan. Papalia, D.E. (2001). Human Development. 8th Ed. North America: International Edition. Patmonodewo, S. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Bandung: Rineka Cipta. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (2010) Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan nonformal dan Formal Kementrian Pendidikan Nasional. Ratna, M. (2003). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta : Indonesia Heritage Foundation. Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development/Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan Damanik J, dkk. Edisi 5. Jakarta: Erlangga. 68 Pendidikan Awal Kanak-kanak DP. Jilid 12, Bil 2/2012 Solehuddin, M. (2000). Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. Vera, A. (2007). “Social Skills For Living”. Makalah pada Seminar Nasional Mendidik dengan Hati. Jakarta: tidak diterbitkan. Yuliani, N. S. (2012). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks Yusuf, S. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya Zacky http://zacky30717.blogspot.com (Akses: 11-11-2012) 69