Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi

advertisement
TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
Adam Fitriawijaya
Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.
Abstrak
Permukiman kumuh merupakan lingkungan permukiman yang dihuni oleh sebagian besar
masyarakat miskin dengan kondisi rumah tinggal yang tidak layak huni, tingkat kepadatan tinggi,
bangunan yang tidak beraturan, sampai dengan fasilitas pelayanan umum dan infrastruktur yang
masih di bawah standar pelayanan minimal. Permukiman kumuh di Kota Palembang mencapai 59
kelurahan, sebagian besar berada pada tepi Sungai Musi. Hunian – hunian pada permukiman kumuh
tersebut rata-rata dibangun oleh masyarakat atau pemiliknya sendiri, tanpa perencanaan dan secara
spontan (non professional), dengan metode konstruksi secara tradisional dan swadaya masyarakat.
Kondisi masyarakat miskin dalam membangun, memperbaiki dan mengembangkan huniannya
tersebut memunculkan karakter tertentu , baik dalam bentuk pola permukiman maupun bentuk
huniannya (bangunan tunggal), dimana karakter terebut memiliki nilai – nilai vernakularisme. Hal ini
kemudian berkaitan dengan cara hidup mereka, cara membangun, konsep kawasan atau teritorial,
hubungan antara hunian dan pola permukiman, sehingga menjadi tolak ukur dalam mengidentifikasi
permukiman kumuh tersebut. Salah satu faktor yang terdapat vernakularisme adalah tradisi
masyarakat bermukim dan nilai – nilai ke-lokal-an yang dapat dikaji pada hunian, seperti bentuk dan
ruang, pemanfaatan material lokal, dan metode konstruksi bangunan. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan wawancara, melakukan survey lokasi, mengidentifikasi beberapa contoh
hunian kumuh dan menyusun studi perbandingan. Lalu hasil kajian tersebut dapat menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan atau memperbaiki permukiman kumuh menjadi lebih
manusiawi dan beridentitas.
Kata Kunci : vernakularisme, permukiman kumuh, hunian tepi sungai
Pengantar
Merujuk pada Pemerintah nasional, pengertian
permukiman kumuh
adalah kawasan perumahan dengan kualitas fisik kawasan dibawah
standar, tempat tinggal yang tidak teratur, ilegal
dan tidak memadai, dengan kepadatan
penduduk yang tinggi, kondisi hidup yang tidak
sehat, lokasi yang berbahaya, kemiskinan dan
pengucilan sosial. Dan pada umumnya kawasan
pemukiman berkepadatan tinggi merupakan
embrio pemukiman kumuh. Kumuh bervariasi
dari tempat ke tempat dan negara ke negara.
UN-HABITAT, adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk memantau target kumuh
penghuni, yang menunjuk pada dua jenis
kumuh:
• Slums of Hope : "Maju" pemukiman baru, atau
permukiman dalam proses pembangunan, perbaikan dan konsolidasi, yang biasanya dihuni
oleh penduduk ilegal (misalnya, penghuni liar).
• Slums of Despair : "Penurunan" lingkungan, di
mana kondisi lingkungan dan jasa domestik
mengalami proses degenerasi.(UN-HABITAT,
(2003), p.9-p.11).
Beberapa indikator untuk menunjukkan atau
menidentifikasi karakter dari permukiman kumuh , yaitu : Tidak memadai akan kebutuhan air
bersih dan saluran air kotor(drainase), rumah
yang sesak dengan penghuni yang banyak (lebih dari 2 penghuni dalam satu kamar) , konstruksi yang tidak layak pada hunian, penggunaan material yang tidak permanen pada
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 137
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
hunian, kepemilikan rumah yang tidak aman(
pada umumnya tanpa dokumen kepemilikan) .
pikiran,
dari
generasi
(Krisprantono 2003).
Dari beberapa definisi, permasalah utama dari
permukiman kumuh adalah kemiskinan. Bagaimana kemiskinan itu terjadi, tentunya banyak
aspek yang mempengaruhinya. antara lain : aspek ekonomi, sosial budaya, , hukum, arsitektur
dan perencanaan tata kawasan. Terbatasnya
kesempatan untuk mendapatkan rumah tinggal
yang layak, memaksa mereka (masyarakat miskin) untuk tinggal di daerah-daerah yang tidak
memiliki akses kepemilikan, dan tanah-tanah kosong yang cenderung ilegal , baik ruang publik
maupun privat. Sehingga hunian-hunian tersebut cenderung ilegal. Dengan seiring ber-kembangnya kota, kepadatan penduduk me-ningkat,
jumlah pemukim-pemukim liar juga bertambah
pesat. Lalu, Apakah kemiskinan berpengaruh
terhadap bangunan, dalam hal ini adalah fisik
bangunan .
Dari pemahaman diatas, Arsitektur vernakular
berwujud bangunan tanpa desain dengan proses
konstruksi yang sederhana dan alami. Dan hal
tersebut merupakan pengetahuan yang diwariskan turun temurun. Sehingga bangunan
vernakular bersifat spontan dan anonim. Di
dalam konteks arsitektur, peran dan fungsi
arsitektur vernakular menjadi penting bukan
hanya di Indonesia saja tetapi juga di Asia,
karena Asia terdiri dari berbagai macam budaya
dan adat yang berlainan di berbagai wilayahnya, dimana setiap wilayah memiliki ciri arsitektur yang spesifik dan berasal dari tradisi.
Antara tradisi dan arsitektur vernakular sangat
erat hubungannya. (Wuisman, 2009)
Pada Tahun 1981 Pemerintah Nasional melalui
Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan
Pertanahan Nasional (BPN) melakukan legalisasi
asset tanah yang disebut Proyek Operasi
Nasional Agraria (PRONA) . Kegiatan ini pada
prinsipnya adalah kegiatan pendaftaran tanah
pertama kali, yang ditujukan kepada masyarakat
ekonomi lemah . Hasil dari kegiatan tersebut,
banyak pemukim-pemukim liar memiliki hak
kepemilikan tanah hingga sekarang. Permukiman ilegal atau disebut Squatter Settlement
sering diasumsikan sebagai arsitektur vernakular
yang sebagian besar terkait dengan praktekpraktek tradisional dan bentuk dan ditemukan di
daerah pedesaan dan pusat bersejarah. "Permukiman spontan lebih dekat dengan vernakular
tradisional daripada jenis lain dari lingkungan
dan terjauh dari lingkungan bergaya tinggi yang
dirancang secara profesional ".(Rapopot, 1988).
Arsitektur vernakular merupakan hasil dari
pemikiran masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya, pemikiran-pemikiran tentang lingkungan sosialnya, dengan kondisi yang tradisional ."Bangunan vernakular tidak dibangun
oleh arsitek tetapi oleh masyarakat, dengan
hubungannya dengan lingkungan alam dalam
G 138 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
ke
generasi."
Tradisi memberikan suatu jaminan untuk
melanjutkan kontinuitas akan tatanan sebuah
arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk,
dan konstruksi yang dipahami sebagai suatu
warisan yang akan mengalami perubahan secara
perlahan melalui suatu kebiasaan. Misalnya
bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap
alam, yang memunculkan berbagai cara untuk
menanggulangi, misalnya iklim dengan cara
membuat suatu tempat bernaung untuk menghadapi iklim dan menyesuaikannya dengan
lingkungan sekitar dan dengan memperhatikan
potensi lokal seperti potensi udara, tanaman,
material alam dan sebagainya, maka akan
terciptalah suatu bangunan arsitektur rakyat
yang menggunakan teknologi sederhana dan
tepat guna. Kesederhanaan inilah yang merupakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas
dari arsitektur vernakular dan tradisional serta
menunjukkan bagaimana menggunakan material
secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil karya
‘rakyat’ ini merefleksikan akan suatu masyarakat
yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya,
dan
norma-normanya
dengan
bijaksana.
(Wuisman, 2009)
Kembali dalam permasalahan kemikinan sebagai
bentuk kekumuhan, Bagaiamana pengaruh identitas, tradisi dan karakter yang terkandung
dalam nilai-nilai vernakular tersebut, jika itu
terekspresi dalam bangunan, dan hal ini apakah
Adam Fitriawijaya
sebuah keunggulan atau nilai – nilai yang harus
dipertahankan ?
Metodologi
Metode yang digunakan adalah deskriptif dan
eksploratif, dengan memusatkan pada kajian
lingkungan permukiman kumuh tepi sungai ,
kajian arsitektural dan kajian tentang arsitektur
vernakular . Studi kasus akan dibatasi pada dua
kawasan di tepian Sungai Musi yang terletak di
Kelurahan 32 Ilir, kecamatan Ilir Barat 2 dan
Kelurahan 1 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu 1
Kota Palembang. Metode pengumpulan data
yang digunakan, adalah survey lapangan, wawancara dengan narasumber di lokasi dan studi
pustaka. Metode analisis data menggunakan
analisis kualitatif yang dilakukan saling menjalin
dengan proses pengumpulan data.
Pembahasan
Gambaran Umum Permukiman Kumuh di Kota
Palembang
Gambar 1. tabel suhu kota palembang (climate-dataorg, 2016
Iklim pada daerah tersebut , mengikuti iklim
mikro Kota Palembang yang diklasifikasikan
sebagai tropis. Palembang adalah kota dengan
curah hujan yang signifikan. Bahkan di bulan
terkering terdapat banyak hujan. Suhu rata-rata
tahunan adalah 27.3 °C di Palembang. Curah
hujan tahunan rata-rata adalah 2623 mm. Di
antara bulan terkering dan bulan terbasah,
perbedaan dalam presipitasi adalah 262 mm.
Sepanjang tahun, suhu bervariasi menurut 1.2
°C.
Studi Kasus Zona 1 : Kawasan Permukiman
Kumuh di Kelurahan 1 Ulu, Seberang Ulu 1, Kota
Palembang
Kota Palembang, pada tahun 2002 memiliki 42
kawasan kumuh, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 47 kawasan. Untuk konsentrasi
Kawasan kumuh di Palembang tercatat ada 59
titik/zona yang berlokasi disejumlah kecamatan.
Beberapa konsentrasi dengan kategori kumuh
berat terdapat pada Kecamatan Seberang Ulu
1, Kertapati, Plaju, Gandus, Ilir Barat 2, dan Ilir
Timur 2, dan umumnya berada di dekat
bantaran kali atau sungai Musi. Menurut Sartono, 2009, “Tingkat kepadatan bangunan
sangat bervariasi, di wilayah pinggiran kota angka kepadatan bangunan sangat kecil berkisar 110 bangunan/ha. Ke arah Sungai Musi kepadatan bangunan meningkat sampai >40 bangunan/ha. Kawasan kumuh Kota Palembang
dipengaruhi pula oleh letak kawasan yang berkembang di pinggiran sungai yang merupakan
wilayah pasang surut. “
Gambar 2. Data Permukiman Kumuh Kelurahan
Seberang Ulu 1, Sumber RPPKP PU Kota Palembang ,
2015
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 139
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
Kelurahan Ulu 1 Kecamatan Seberang Ulu 1
Kota Palembang, tergolong daerah dengan
tingkat kekumuhan yang berat. Pola permukimannya padat. Berada pada tepi Sungai Ogan.
Tata letak bangunan organik, mengikuti garis
tepi sungai. Jarak Bangunan bervariasi, dan
tidak beraturan, tetapi rata-rata jaraknya berdempetan. Banyak area basah ditepi sungai berbentuk genangan dan kumuh
Gambar5. Lokasi Rumah Pak Yahuza, sumber : foto
udara bappeda kota Palembang, 2016
Rumah 1 :
Gambar 3. pola massa bangunan, sumber : peta
udara BAppeda 2015
Jaringan Infrastruktur Kota sudah menjangkau
kawasan tersebut, seperti perkerasan jalan lingkungan, penempatan jaringan air bersih dan
listrik. Untuk Jarinagn pembuangan air kotor
(drainage) , terbuka dan penuh dengan sampah.
Pemilik
Bapak Yahuza
Usia
70 tahun
Pekerjaan
Buruh bangunan (sudah Berhenti)
Penghuni Rumah
Jumlah Penghuni 5 orang , terdiri
dari : Pak Yahuza, Istri Pak
Yahuza, Anak, Menantu dan Cucu .
Pembelian Tanah pada tahun 1974
dan
dibangun
tahun
1979.
Mengikuti program Prona , pada
tahun 1988
Hak Milik
Sejarah singkat
Status Tanah
Ukuran Rumah
Perbaikan Rumah
Luas Tanah 7,5 x 7,5 (56,25 m²)
Luas Bangunan, (7,5x5) 2 lantai =
75 m²
Pernah dilakukan perbaikan pada
tahun 2000, yaitu mengganti tiang
kolom penyangga rumah yang
sebelumnya kayu, menjadi beton.
Sehingga
Mengganti
kolong
(bagian bawah rumah panggung)
menjadi ruangan.
Kondsi Fisik bangunan 50 & baik,
kerusakan , pada dinding kayu dan
lantai satu.
Gambar 4. Kondisi saluran pembuangan air kotor
(drainase), Sumber : Penulis 2016
Pada Kecamatan ini, dilakukan observasi pada 2
rumah. Yang sudah cukup lama berada pada
kawasan tersebut.
Gambar 1. Denah Rumah PAk Surnubi Lantai 1,
Sumber : Penulis, 2016
G 140 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Adam Fitriawijaya
Gambar 3. Kondisi Lantai satu (kolong rumah) ,
sumber : penulis 2016
Gambar 2. Denah Rumah Pak Yahuza, Lantai 2 ,
sumber : Penulis 2016.
Pada rumah Pak Yahuza, terbagi menjadi 2 zona
. Untuk Lantai 1 ditempati Pak Yahuza dan
Istrinya, dan untuk Lantai 2 ditempati Anak,
menantu dan cucunya. Rasio ruang dan
penghuni cukup ideal. Setiap individu memiliki
ruangan sendiri. Untuk area service (Dapur dan
Kamar Mandi) berada pada lantai 1, dan area
service ini untuk bersama.
Pembagian zona ini menunjukkan pengelompokan keluarga sehingga dalam satu rumah
memiliki 2 kepala keluarga. Hal yang masuk akal
dan menjadi pertimbangan yang baik bagi
keluarga tersebut, ketika sang anak sudah
berkeluarga, mereka sudah memiliki zona keluarganya sendiri. Zona Lantai satu sebenarnya
berupa kolong bangunan, dimana rumah tersebut adalah Rumah Panggung. Pemanfaatan
kolong sebagai ruang yang me-miliki fungsi,
adalah pertimbangan yang baik, namun disatu
sisi, ada konsekuensi yang harus didapat. Posisi
lantai 1 rumah berada 10 cm di-bawah Jalan
lingkungan, dan bila musim peng-hujan (Juli –
Desember) terjadi air pasang hingga 20 cm dari
permukaan lantai. Bagi Mereka, menaikan lantai
cukup mahal, karena seluruh bangunan harus
terangkat. Sehingga ketika air pasang, mereka
bertahan , dengan melakukan pembersihan
lantai, meletakkan alat elektronik rumah tangga
ke Lantai 2.
Kualitas ruang cukup baik, setiap ruang memiliki
ventilasi udara dan penghawaan alami yang
cukup. Namun untuk lantai satu, ketinggian dari
lantai ke plafond mencapai 1,7 m , jarak yang
cukup pendek. Beberapa ruang tidak memakai
pintu ,kecuali kamar mandi dan pintu masuk
rumah. Beberapa ruang memiliki 2 lebih dari 2
fungsi, contoh ruang tidur pak Yahuza menjadi
satu dengan ruang keluarga. Ruang kamar
mandi juga berfungsi sebagai ruang cuci.
Gambar 4. ventilasi pada kamar, dapur dan kamar
mandi, sumber : Penulis, 2016
Rumah tersebut adalah tipe rumah panggung
yang berdiri 2 meter diatas permukaan air. Konstruksi bangunan awalnya adalah rumah kayu.
Untuk tiang Rumah, merupakan kayu jenis
Onglen, dan untuk dinding, atap, dan kusen
menggunakan kayu meranti payau.
Gambar 5. Susunan papan kayu pada dinding dan
kusen , sumber : penulis , 2016
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 141
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
GAMBAR 6. Tampak Bangunan Pak Yahuza.
Sumber : Penulis 2016
Pembangunan rumah dilakukan oleh penghuninya sendiri, dan kebetulan Pak Yahuza dan
Anaknya adalah buruh bangunan. Kemam-puan
dalam hal konstruksi bangunan, diwariskan dari
ayah Pak Yahuza, yang dulunya adalah seorang
veteran perang. Hasil
konstruksinya relatif
cukup baik. Penempatan kolom (tiang bangunan) berjarak 2m antar kolom, mengikuti modul
kayu yang berada di pasaran. Susunan kayu
pada konstruksi dinding melintang(horisontal),
pertimbangan tersebut berdasarkan contoh rumah rakit, dimana susunan kayu pada dinding
bangunan secara horisontal, dan ini cukup
masuk akal, susunan horisontal lebih kokoh
pada kondisi rumah terapung.
Gambar 8. Lokasi Rumah Pak Surnubi, Sumber :
Penulis 2016
Rumah 2 :
Pemilik
Bapak Surnubi
Usia
46 tahun
Pekerjaan
Tukang
Becak,
dan
Buruh
pengangkut bawang.
Jumlah Penghuni 2 orang , terdiri
dari : Pak Surnubi dan Anak (usia
20 thn)
Pembelian
Tanah
beserta
bangunan pada tahun 1989 dan
sebelumnya mengikuti program
Prona , pada tahun 1988
Hak Milik
Penghuni Rumah
Sejarah singkat
Status Tanah
Ukuran Rumah
Perbaikan Rumah
Luas Tanah 15x10 (150 m²)
Luas Bangunan, (10x7,5) 1 lantai
= 75 m²
Belum pernah dilakukan perbaikan,
kondisi rumah tergolong rusak
berat hampi 980%
Gambar 7. Model Rumah Pak Yahuza.
sumber : Penulis 2016
Observasi selanjutnya pada rumah milik Bapak
Surnubi, yang berlokasi 100 meter dari lokasi
Rumah Bapak Yahuza .
GAMBAR 9. Denah Rumah Pak Surnubi, Lantai 1,
Sumber : Penulis
Rumah terbagi menjadi 2 bagian, salah satu
bagian tidak bisa dihuni karena kondisi rusak.
G 142 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Adam Fitriawijaya
Bagian yaang lain hanya memiliki 2 ruang, yaitu
ruang tidur dan ruang kamar mandi. Ruang tidur
juga berfungsi sebagai ruang nonton tv dan
ruang tamu.
tersebut. Namun tidak seluruh bangunan dapat
diperbaiiki, hanya sebagian , sebagai tempat
yang hanya sekedar bisa dihuni.
Gambar 13. Kondisi bagian rumah yang sudah
hancur, sumber : penulis 2016
Gambar 10. Runag Tamu berfungsi sebagai ruang
tidur, nonton tv, sumber : Penulis 2016
Gambar 11. Kamar Madi Yang Kotor Dan Saluran
Pembuangan yang Tidak Baik, Sumber : Penulis 2016
Studi Kasus Zona 2 : Pola Permukiman Kumuh
di Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat 2, Kota
Palembang
Gambar 14. Lokasi Kelurahan 32 Ilir (penulis dan
Google Map, 2016)
Konstrusi rumah merupakan tipe rumah panggung. Terletak 2 m dari permukaan air dan
berada di zona basah tepi Sungai Ogan. Kualitas
material tidak terlalu baik. Menggunakan papan
kayu meranti untuk tiang bangunan, dinding
hingga atap.
Gambar 12. Model Rumah Pak Surnubi, Sumber :
Penulis 2016
Gambar 15. Data Permukiman Kumuh di Kelurahan
32 Ilir, sumber : RPPKP PU Kota Palembang 2015
Kondisi Bapak Surnubi, cukup memprihatinkan,
bekerja sebagai Tukang becak dengan
pendapatan rata-rata 25 ribu per hari. Tidak
memilik kemampuan dalam memperbaiki rumah.
Pada saat wawancara, pemilik rumah menjelaskan tidak mampu juga dalam memperbaiki
rumahnya sendiri. Harus membutuhkan tenaga
masyarakat dalam konstruksi bangunan.
Masyarakat disekitar bangunan cukup peduli,
mereka membantu dalam membangun rumah
Studi kasus terletak di Kelurahan 32 Ilir, tepat di
bantaran Sungai Musi. Dari data Bappeda Kota
Palembang 2012, populasi di kelurahan tersebut
memiliki tingkat kepadatan tinggi, yaitu
200jiwa/Ha (SNI 03-1733-2004) . Masyarakat
yang bermukim rata-rata bermata pencaharian
pedagang dan nelayan. Kondisi infrastruktur
kawasan relatif baik. Hunian yang berada pada
kawasan tersebut sebagian besar sudah
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 143
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
menempati lebih dari 30 tahun. Dan sejalan
dengan program Prona dari BPN, tanah mereka
tanah sudah bersertifikat hak milik. Namun
demikian , lebih dari 80% hunian di kawasan
tersebut tidak memiliki IMB. Karena hampir
tidak ada aktifitas perbaikan rumah Hal ini
terjadi karena, keterbatasan biaya bagi
masyarakat miskin dalam perbaikan huniannya.
Konsekuensinya, hunian mereka rusak/reyot,
beberapa sudah lapuk dan hancur.
Gambar 18. Analisis tata Ruang Permukiman (Tim
Survey, 32 Ilir, 2016)
Gambar 16. Rumah panggung tepi sungai musi, kel.
32 Ilir (Tim Survey 32 Ilir , 2016)
Pola perletakan massa massa bangunan organic
dan linear. Bertempat di sempadan sungai, yang
notabene adalah daerah konservasi.
Gambar 19. Ruang sirkulasi , aksesbilitas ke
permukiman (Tim Survey 32 Ilir, 2016)
Gambar 17. pola permukiman di bantaran sungai, di
kel. 32 Ilir, Palembang (Penulis dan Peta Udara
Bappeda, 2016)
Dalam Tata Ruang permukimannya, pola massa
yang ada di bantaran sungai tersesun secara
linear organik. Dimana linear karena mengikuti
garis tepi sungai , dan organik , yaitu mengikuti
pola sirkulasi yang terbentuk secara spontan.
G 144 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Pola sirkulasi terbentuk secara linear, seluruh
jalur berpangkal pada jalan(daratan) dan
berakhir di Tepi Sungai. Setiap ujung jalan yang
berada pada tepi sungai, difingsikan sebagai
dermaga kecil. Membentuk konektifitas transportasi darat dan air
Karakter hunian di tepi bantaran sungai musi
secara fisik adalah rumah panggung (stilt house)
. dengan kondisi yang memungkinkan bangunan
untuk tidak terkena dampak pasang surut air
sungai. Bentuk bangunan persegi dengan atap
limasan dan pelana. Hunian-hunian tersebut
berjajar di bantaran sungai secara organik dan
liear mengikuti garis sungai, dengan kerapatan
antar bangunan yang beragam. Karakter rumah
panggung dengan kolong dibawah bangunan ,
yang ketinggiannya rata-rata diatas 2 m,
menciptakan ruang tersendiri, dan kebanyakan
dalam Kondisi yang kotor, penuh dengan
sampah, baik sampah rumah tangga maupun
Adam Fitriawijaya
sampah yang terbawa oleh arus sungai. Secara
umum orientasi bangunan , muka bangunan
menghadap jalan atau daratan, dan bagian
belakang bangunan menghadap sungai. Namun
demikian, tidak semua bangunan di bantaran
sungai, membelakangi sungai musi. Masih
banyak bangunan – bangunan yang menjadikan
Sungai Musi menjadi halaman muka bangunan,
terutama untuk bangunan-bangunan lama nya.
Kesimpulan
Gambar 20. Kondisi 'kolong' rumah panggung yang
berisi sampah (Tim Survey 32 Ilir, 2016)
Rumah Panggung, sebagai bentuk respon
terhadap kondisi pasang surut air sungai.
Namun terjadi pergeseran atau transformasi.
Salah satu contoh , dengan bertambahnya
kebutuhan yang beragam, kolong bawah
bangunan digunakan sebagai ruang atau
hunian. Hal ini tentu melawan kodrat alam.
Sehingga menyebabkan Berkurangnyan efektifitas dalam merawat huniannya. Tetap karakter dan tipe rumah panggung masih terlihat.
Dari permukiman 32 ilir, Hunian yang terbentuk
merupakan hasil pemikiran yang fungsional dan
adaptable. Dengan berbagai alasan , Keinginan
untuk terus berada pada bantaran sungai , dan
membuat masyarakat terus mempertahankan
keberadaan dalam skala rumah tinggal.
Gambar 21. Kondisi lingkungan dipermukiman 32 Ilir,
Palembang (Tim Survey 32 Ilir, 2016)
Gambar 22. Material bangunan (Tim Survey 32 Ilir,
2016)
Lingkungan tepi sungai dan basah membentuk
karakter hunian dan pola permukiman . Tata
massa bangunan yang terbentuk, berorientasi
pada sungai, dimana awalnya wajah bangunan
mengahadap kearah sungai. Dengan meningkatnya infrastruktur didaratan (salah satunya
adalah akses jalan dan perkerasan) merangsang perkembangan permukiman ke arah
daratan, dimana orientasi bangunan menghadap
pada jalur-jalur sirkulasi. Sehingga menyisakan
sisa lahan mereka sebagai area belakang
bangunan. Nilai vernakular yang muncul adalah
permukiman dan bangunan di lahan basah , dan
hal ini menjadi identitas daerah tersebut.
Kemampuan masyarakat miskin pada kawasan
kumuh tersebut, membentuk karakter dalam
menentukan material pada hunian mereka.
Kecenderungan mereka menggunakan material
lokal atau menggunakan material yang murah
dan mudah didapat. Dalam meng konstruksi
rumahpun, mereka mempertimbangkan faktor
iklim dan cuaca. Bentukan bangunan yang
terjadi menunjukan usaha penghuninya untuk
bertahan terhadap faktor eksternal terhadap
huniannya.
Masyarakat yang berada pada permukiman
kumuh tersebut awalnya adalah tergolong pemukim liar. Beragam alasan untuk mereka tetap
bertahan di area tersebut. Pada hakekatnya
mereka bertahan hidup, beradaptasi dengan
kondisi lingkungannya. Berjuang mewujudkan
tempat tinggalnya , dengan segala potensi dan
kesempatan yang ada. Namun demikian karakter masyarakat dipermukiman kumuh tidak semua sama. Contoh diatas menunjukkan antara
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 145
Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi
Pak Surnubi dan Pak Yahuza. Mereka adalah
tipe masyarakat yang berbeda latar belakang,
status sosial dan kondisi ekonomi. Mereka samasama tinggal didaerah kumuh, tetapi dalam
kemampuan menata, memperbaiki, dan mengembangkan huniannya tidak sama. Dan itu
tercermin pada bangunannya. Tetapi tradisi
masyarakat disekitar menjadi suatu kesamaan,
dan hal tersebut tentunya terkandung dalam
nilai-nilai vernakular terkait dengan tradisi masyarakat bermukim. Sifat gotong royong membantu dalam mewujudkan hunian ketika salah
satu warga dalam kondisi yang buruk. Mereka
mampu dan saling berbagi pengetahuan satu
sama lain
Kemisikinan sebagai bentuk keterbatasan dalam
hal pengembangan, perbaikan hunian. Akhirnya
kualitas hunian pun terkspresikan atas hal
tersebut. Yang miskin rumahnya buruk, kumuh
tidak layak huni. Namun disi lain ketika penghuni memiliki kemampuan ‘self help housing’ ,
mereka bisa memperbaiiki huniannya sendiri.
Tidak tergantung dengan orang lain. Menggunakan material-material yang lebih murah,
atau material-material sisa pakai (re-use material), me manage kebersihan rumahnya,
terutama pengaturan drainase dan sanitasi. Hal
ini bisa terus dipertahankan dan diwariskan
pada penerusnya. Sehingga tidak hanya bangunan/hunian yang terus tetap berdiri, tetapi
Identitas hunian dan Lingkungannya akan terus
terjaga.
Sebagai penutup, pemerintah dalam penaganan
permukiman kumuh, tidak selalu dengan
memindahkan mereka (masyarakat kumuh) dari
slum menuju ke bangunan-bangunan seperti
rumah susun. Pemerintah bisa melakukan
pendekatan yang mengarah kepada kemampuan masyarakat untuk memperbaiiki rumahnya
sendiri, dan juga meningkatkan potensi material-material lokal untuk kebutuhan rumah murah bagi masyarakat miskin.
Daftar Pustaka
Kellet, P., & Napier, M. (1995). Squatter architecture?
A critical examination of vernacular theory and
spontaneous settlement with reference to south
america and south africa. TDSR Vol VI no 11.
G 146 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Krispantono. (2003). Introducing The Consciousness
and senssibility of Vernacular discourse of
Architectural Thinking in The Tropic. Jogjakarta:
Soegijapranata Catholic University .
Menteri Pekerjaan Umum RI. (2008). Menuju
pembangunan perkotaan bebas kumuh 2025.
Makalah Seminar Hari Habitat Dunia. Bali:
Kementerian Pekerjaan Umum RI.
Oliver, P. (1969). Introduction. Shelter and Society, 518.
Oliver, P. (1997). Introduction. Encyclopedia of
Vernacular Architecture of The World vol . 1, 3-15.
Rapoport, A. (1977). Slums. Human Aspects of Urban
Form, 96-101.
Rapoport, A. (1988). Spontaneous Settlements as
Vernacular Design. Spontaneous Shelter :
International Perspective and Prospects, 58-68.
Sartono, & Hermana, J. (2009). STRATEGI
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK. Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah , (p.
6).
Taher, M., & Ibrahim, A. (2014). Transformation of
Slum and Squatter Settlements: A Way of
Sustainable Living in Context of 21 Cities. American
Journal of Civil Engineering and Architecture, 2(2),
70-76.
Wuisman, J. J. (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini,
Posisi dan Peran Tradisi tradisi Vernakular Indonesia
dan Langgam Bangunan Masa Lalu dan Masa Kini .
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Download