ISSN 2087-2208 PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILIHAN UMUM PERIODE TAHUN 2014-2019 DI KABUPATEN INDRAMAYU Oleh: Budi Mulyawan Dewi Silfiani Abstrak Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 55 yang memuat pernyataan bahwa partai politik harus menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan calon anggota legislatif, secara eksplisit memberikan penguatan terhadap partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan politik. Rumusan tersebut ternyata menyimpan berbagai persoalan karena pencalonan perempuan dianggap formalitas belaka agar partai politik lolos verifikasi, tanpa memperhatikan kualitas maupun profesionalitas bakal calon yang diusungnya. Kata kunci: partisipasi politik, keterwakilan perempuan,dan affirmative action, PENDAHULUAN Reformasi di bidang politik pasca kejatuhan rezim Orde Baru membuka ruang bagi proses demokratisasi di Indonesia. Beberapa ahli bahkan mengkonstatasi bahwa sistem politik Indonesia dewasa ini telah memasuki tahap konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan perbaikan sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum.1 Salah satu manifestasi perbaikan sistem kepartaian dalam upaya meningkatkan kualitas berdemokrasi di Indonesia adalah terbitnya Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik harus menyertakan sedikitnya 30 persen keterwakilan perempuan.2Aturan ini merupakan tindakan afirmasi (affirmative action)bagi kaum perempuan untuk menguatkan pemberdayaan partisipasi politiknya. Lebih lanjut, penguatan keterwakilan perempuan dalam politik ini ditemukan juga dalam Pasal 55 Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berbunyi; “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.” 3 Dua undang-undang di atas secara eksplisit merupakan penguatan terhadap partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan politik, dimulai dari keanggotaan, keterlibatan dalam kepengurusan, bahkan keterlibatan dalam proses pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingankepentingan perempuan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Esensi keterlibatan perempuan dalam politik, selain upaya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, menurut Sastriyani (2009:190-191), terkait kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh kaum perempuan sendiri seperti kesehatan reproduksi, masalah kesejahteraan keluarga, kepedulian terhadap anak, kebutuhan manusia lanjut usia dan tuna daksa, serta isu-isu kekerasan seksual. Kepentingan-kepentingan perempuan ini seyogianya disuarakan oleh perempuan sendiri. Menurut IDEA (2010), indikatorpenting dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi adalah memperbaiki sistem kepartaian dan sistem pemilihan (Asrinaldi, 201: 49). 2Revisi dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2008. 3Revisi dari Undang-Undang No.10 Tahun 2008. 1 FISIP UNWIR Indramayu 25 JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.1 Agustus 2014 Di Kabupaten Indramayu, jumlah calon anggota legislatif perempuan yang diajukan setiap periodenya mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebagaimana tampak dalam tabel berikut: Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kabupaten Indramayu No Periode 1 2 3 2004-2009 2009-2014 2014-2019 Jumlah Calon Keseluruhan 400 516 484 Jumlah Calon Perempuan 97 139 182 Persentase 21 27 38 Sumber: KPUD Kabupaten Indramayu 2004-2013 Dari tabel di atas tampak bahwa pada periode 2004-2009 dan 2009-2014 jumlah calon legislatif perempuan belum mencapai kuota 30 persen, walaupun sejak pemilu tahun 2004 telah mengakomodir tindakan afirmasi. Banyak kalangan menilai dalam dua periode pemilu tersebut memiliki kelemahan-kelemahan, seperti tidak adanya sanksi yang tegas terhadap partai politik yang belum memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Beranjak dari pengalaman tersebut, maka pada Pemilu tahun 2014 − melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 − pemerintah secara tegas mewajibkan setiap partai politik peserta pemilu untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Implikasinya persentase calon legislatif perempuan yang diusulkan oleh setiap partai politik di Kabupaten Indramayu pun mencapai lebih dari kuota yang dipersyaratkan sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.2 Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten Indramayu dalam Pemilu Tahun 2014 1 2 3 NASDEM PKB PKS Jumlah Bakal Calon 50 50 45 4 5 PDI P GOLKAR 50 50 17 19 34 38 6 7 8 9 10 11 GERINDRA DEMOKRAT PAN PPP HANURA PBB 50 46 43 22 50 25 19 17 17 9 21 8 38 37 40 41 42 32 12 PKPI 3 - - 182 38 No Nama Partai Total Jumlah Bakal 484 Calon Sumber:KPUD Kabupaten Indramayu 2013 Jumlah Bakal Calon Perempuan 19 19 17 Persentase 38 38 38 Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah calon anggota legislatif perempuan yang diajukan oleh hampir setiap partai politik sudah memenuhi kuota minimum yang telah ditentukan. Namun demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan dengan terakomodasinya 30 persen perempuan dalam lembaga legislatif hasil pemilu nanti, demokrasi di negeri ini akan ideal, mengingat realitas yang ada saat ini keberadaan wakil perempuan dalam pencalonan pemilihan umum legislatif bisa dibilang hanya formalitas untuk memenuhi persyaratan agar partai politik dapat mengikuti pemilihan umum. Dalam hal ini partai politik belum sepenuhnya melakukan seleksi terhadap kader-kader perempuannya dari aspek kualitas maupun profesionalitas. 26 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 PERMASALAHAN Representasi perempuan dalam pencalonan anggota DPRD Kabupaten Indramayu semakin meningkat, tetapi masih sulit untuk dijadikan tolak ukur untuk menilai telah terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan, sebab partisipasi perempuan dalam pencalonan pemilihan legislatif hanya dianggap formalitas saja untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen agar lolos verifikasi. Lebih jauh, partisipasi politik perempuan harus pula diiringi dengan kualitas dan profesionalitas perempuan dalam berpolitik. Berangkat dari problem statement tersebut disusun rumusan penelitian dalam bentuk research questions sebagai beriku: Bagaimana partisipasi politik perempuan dalam pencalonan anggota DPRD pada pemilihan umum periode 2014-2019 di Kabupaten Indramayu? Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui partisipasi politik perempuan dalam pencalonan anggota DPRD pada pemilihan umum periode 2014-2019 di Kabupaten Indramayu. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif melalui pendekatan kualitatif.Penelitian deskriptif dimaksudkan sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial (Faisal, 2008:18).Sedangkan penelitian dengan analisis kualitatif pada hakikatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution dalam Arikunto, 2010:180). Dengan menggunakan metode ini maka berbagai dimensi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan, sejauhmana informan menerima rangsangan politik berdasarkan kontak pribadi, organisasi, dan media masa serta keadaan politik atau lingkungan politik informan, dapat diketahui dan dipahami oleh peneliti secara mendalam. Teknik penggalian data sesuai dengan karakteristik dari pendekatan kualitatif (participant observation), dan studi dokumentasi. Lazimnya penelitian kualitatif, maka instrument penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri, dengan mengoptimalkan panca indera dan dibantu alat pendukung, seperti kamera digital, perekam suara, dan sebagainya. Data penelitian dalam studi ini berbentuk primer maupun sekunder.Data primer diperoleh berdasarkan hasil wawancara berupa kata atau rangkaian kata yang diucapkan secara lisan (verbal) dan data hasil observasi mengenai latar sosial (social setting) kegiatan sehari-hari di DPD/DPC Kabupaten Indramayu.Sedangkan data sekunder berupa berbagai dokumen yang diperoleh dari KPUD yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian. Adapun informan penelitian ini ditentukan melalui purposive sampling sesuai tujuan penelitian. Dalam konteks ini informan yang dipilih adalah orang-orang yang dianggap memiliki kapabilitas dalam menjawab berbagai pertanyaan berkaitan dengan data penelitian yang dibutuhkan. Informan yang dimaksud terdiri dari beberapa orang fungsionaris partai politik di Kabupaten Indramayu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, dan Partai Keadilan Sejahtera dan 4 (empat) orang calon anggota legislatif perempuan yang diusung masing-masing partai. Untuk menjaga hak anonimitas subjek penelitian maka nama-nama informan dalam penelitian ini diganti dengan kode R1, R2, dan seterusnya. KAJIAN PUSTAKA 1. Hakikat Partisipasi Politik Dalam masyarakat yang tengah melakukan pembangunan politik, partisipasi politik masyarakat menjadi krusial dan signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan Verba et al. (dalam Asrinaldi, 2012:65) menjelaskan pentingnya partisipasi politik ini karena “...provides the mechanism by which citizens can communicate information about their interests, preferences, and needs and generate pressure to respond (menyediakan mekanisme bagi warganegara dalam menyalurkan minat, pilihan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka dan menyebabkan tekanan untuk menanggapi). Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (194:4) mendefinisikan partisipasi politik sebagai: Kegiatan warganegara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi (private citizen), yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat FISIP UNWIR Indramayu 27 JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.1 Agustus 2014 individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan.Legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Secara teoritis partisipasi politik dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung (Asrinaldi, 2012:65) Partisipasi langsung dengan dengan keterlibatan masyarakat (participatory democracy), misalnya melakukan debat publik, diskusi publik, dan menghadiri kampanye partai. Sementara partisipasi tidak langsung (representative democracy) dengan keterlibatan politik yang terbatas atau bahkan diwakilkan, dapat diidentifikasikan dari kegiatan mencoblos dalam pemilu dan mewakilkan ke partai politik untuk memilih pejabat publik yang sesuai untuk jabatan tertentu. Hirarkhi tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff (2008:123) adalah orangorang yang menduduki berbagai jabatan dalam sistem politik, baik para pemegang jabatan politik maupun anggota birokrasi pada berbagai tingkatan.Mereka dibedakan dari partisipasi politik lainnya, dalam hal, bahwa berbagai taraf mereka berkepentingan dengan pelaksanaan kekuasaan politik formal. Milbrath (dalam Rush dan Althof, 2008:165-166) mensugestikan bahwa partisipasi politik bervariasi antara individu satu dengan yang lain. Variasi tersebut berkaitan dengan empat faktor utama, yaitu: 1) Sejauhmana seseorang menerima perangsang politik. Keterbukaan atau kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan politik berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin peka atau terbuka seseorang terhadap perangsang politik lewat kontak pribadi, organisatoris, dan lewat media massa, makin besar kemungkinannya dia turut serta dalam kegiatan politik. 2) Karakteristik pribadi seseorang. Kepribadian merupakan hal yang penting dalam menentukan partisipasi politik seseorang, misalnya kepribadian yang sosiable (ramah dan suka bergaul), dominan dan extravert (lebih memikirkan diri orang lain) akan lebih condong melakukan kegiatan politik. 3) Karakteristik sosial seseorang. Partisipasi politik seseorang sangat dipengaruhi status sosioekonomi yang melatarbelakanginya, etnik, usia, seks, agama, geografis tempat dia tinggal (pedesaan-perkotaan), organisasi sukarela yang dimasukinya, dan sebagainya. 4) Keadaan politik atau lingkungan politik. Dalam hal ini pengaturan konstitusional dan institusional yang berlaku dalam suatu lingkungan sistem politik dan aspek-aspek yang kurang formal, misalnya sifat dari sistem partai, perbedaan regional atau faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa khusus seperti pemilihan. 2. Sosialisasi Politik dan Rekrutmen Politik Partisipasi politik muncul dalam diri seorang individu tidak begitu saja, tetapi melalui sosialisasi politik. Dalam proses ini individu menyerap dan menghayati nilai-nilai politik yang melingkupinya. Dalam konteks ini, Rush dan Althof (2008:28) mengemukakan beberapa segi penting dari sosialisasi politik. Pertama, sosialisasi politik secara fundamental merupakan proses hasil belajar dari pengalaman. Kedua, memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dalam batasbatas yang luas; dan lebih khusus lagi, berkenaan dengan pengetahuan atau informasi, motif-motif (atau nilai-nilai), dan sikap-sikap..Ketiga, sosialisasi itu tidak perlu dibatasi sampai pada usia kanakkanak dan masa remaja saja (sekalipun pada usia tersebut merupakan periode-periode yang paling penting dan berarti), akan tetapi sosialisasi itu tetap berlanjut sepanjang kehidupan. Berkembangnya sistem kepartaian dengan baik sangat bergantung tidak hanya pada institusi partai itu sendiri, tetapi juga sumber daya yang ada di dalam partai (Firmansyah dalam Asrinaldi, 2012:56).Partai yang baik juga didukung oleh konstituen yang cerdas-paling tidak mereka adalah pendukung partai yang memiliki budaya politik partisipan. Untuk itu, seyogianya partai menjalankan mekanisme rekrutmen yang baik sehingga kader-kader mereka memiliki kualitas dan profesionalitas yang tinggi. Dalam konteks ini Putra (2003:19) mengemukakan proses rekrutmen politik sebagai berikut: 1) Partisipan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas yang tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis. 2) Compartmentalization merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang. 3) Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. 28 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 4) Civil service reform merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitasseseorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting dan tinggi. 3. Partisipasi Politik Perempuan Partisipasi perempuan dalam dunia politik erat kaitannya dengan usaha untuk memperbesar akses mereka untuk masuk ke lembaga politik, sebab hanya dengan itu perempuan dapat mencapai jabatan dalam dunia politik.Lubis (2009:14) mengklasifikasikan perempuan yang terjun ke dalam dunia politik dan mendapat jabatan publik menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah perempuan yang memperoleh jabatan politik karena mereka memiliki hubungan dengan laki-laki tertentu, misalnya suaminya eksekutif, istrinya duduk di dewan; ayahnya duduk di legeslatif, putrinya dikaderkan untuk duduk di legislatif pula; ayahnya memiliki reputasi sosial politik sehingga putrinya dianggap dan diposisikan cukup dan mampu menjadi anggota dewan. Kelompok kedua adalah perempuan yang terjun ke dunia politik setelah bebas tugas dalam membesarkan anak-anaknya.Hal ini menyebabkan karir politiknya lebih pendek. Kelompok ketiga adalah perempuan yang dalam usia muda 30-an terjun dalam politik. Biasanya mereka telah cukup lama aktif dalam dunia ormas, LSM atau organisasi ekstra kampus. Mereka inilah yang termasuk jenis politisi perempuan profesional karir yang jumlahnya paling sedikit akibat proses sosialisasi, pendidikan, dan rekrutmen politik perempuan yang tidak berakar dan berjalan secara sistematis. Dalam konteks partisipasi politik perempuan, Almond dan Verba (dalam Rush dan Althof, 2008:162-165) mengemukakan bahwa prosentase kaum perempuan dalam partisipasi politik lebih rendah daripada kaum pria, misalnya perempuan lebih sedikit membicarakan masalah politik daripada kaum pria, kecenderungan kaum perempuan lebih rendah daripada pria menjadi anggota organisasi sukarela, kaum perempuan lebih sedikit partisipasinya dalam sebuah demonstrasi daripada pria, dan sebagainya. PEMBAHASAN Studi tentang partisipasi politik perempuan dalam pencalonan anggota legislatif ini dilandaskan pada pendapat Milbrath (dalam Rush dan Althof, 2008:165) bahwa partisipasi politik individu berkaitan dengan faktor-faktor: rangsangan politik, organisatoris, karakteristik pribadi, karakteristik sosial, dan lingkungan politik. 1. Rangsangan Politik (Pengaruh Kontak Pribadi, Organisatoris, dan Media Massa) MenurutMilbrath (dalam Rush dan Althof, 2008:166), keterbukaan atau kepekaan seseorang terhadap perangsang politik berbeda antara individu satu dengan individu lain. Semakin peka atau terbuka seseorang terhadap perangsang politik, semakin besar kemungkinannya dia turut dalam kegiatan politik.Perangsang politik merupakan faktor penting untuk mendorong aktivitas politik. Dalam hal ini perangsang politik dapat terjadi melalui kontak pribadi antaranggota keluarga, organisatoris, dan media massa. Dengan demikian proses ini merupakan bagian dari sosialisasi politik. Seorang bakal calon anggota legislatif perempuan yang menjadi informan dalam studi ini mengungkapkan peran anggota keluarga dalam aktivitas politiknya sebagai berikut: “keluarga cukup mendukung walaupun antara aku dan keluarga memilih warna partai yang berbeda dan alhamdulillah orang tuaku memberi kebebasan untuk memilih mana yang menurut aku yang terbaik.” Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dia tidak mendapatkan hambatan sosial maupun kultural ketika mengawali kiprah di panggung politik praktis. Hal ini disebabkan latar belakang keluarganya termasuk moderat.Dia dibesarkan di tengah-tengah keluarga pendudukung partai politik tertentu, walaupun pada akhirnya dia memutuskan memilih warna partai politik yang berbeda dengan orangtuanya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang dapat disimak: Pertama, kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan politik didapatkan melalui kontak pribadi semisal diskusi-diskusi keluarga mengenai kondisi sosial politik yang terjadi di lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pendapat Milbrath (dalam Rush dan Althof, 2008:165-166). Kedua, tidak selalu preferensi politik (political preference) ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi politik anak dalam keluarga tersebut.4 Hal ini berbeda dengan pendapat Pomper (dalam Asrinaldi, 2012:27) bahwa preferensi politik keluarga berpengaruh pada preferensi politik anak 4 Preferensi politik adalah pilihan politik seseorang yang dibentuk atas dasar nilai politik untuk merespons lingkungan yang dihadapi.Respon tersebut dapat berupa sikap maupun tindakan (Asrinaldi, 2012:9). FISIP UNWIR Indramayu 29 JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.1 Agustus 2014 dalam keluarga. Namun demikian, hal yang perlu mendapat penekanan, preferensi politik individu bisa berbeda dengan preferensi politik orang tua atau masyarakat sekitar, manakala sistem politik di lingkungan individu tersebut memiliki sifat keterbukaan atau kebebasan dalam memilih partai yang diminati. Situasi yang berbeda dengan sistem politik di masa Orde Baru. Di masa lalu, hegemoni partai politik tertentu, menutup rapat preferensi politik individu seperti di atas karena memiliki konsekuensi termarjinalisasinya individu bahkan seluruh anggota keluarga dari masyarakat sekitar. Dewasa ini, walaupun tidak seketat masa lalu, tindakan preferensi politik sebagaimana dilakukan oleh informan tetap membutuhkan keberanian dalam mengambil resiko. Hal ini dapat disimak dari pernyataan informan lebih lanjut: “…perempuan masih enggan untuk ikut berorganisasi, apalagi organisasi di bidang politik, karena banyak tekanan-tekanan yang mereka dapat dari lingkungan masyarakat sendiri, apalagi kalau organisasi politik/partai politik yang diikuti itu berbeda dengan yang dianut orang tua atau tetangga di sekitar rumah.” Pernyataan di atas mendukung pendapat Rosenberg (dalam Rush dan Althoff, 2008:144-145) bahwa salah satu alasan seseorang apatis terhadap politik karena aktivitas politik dapat mengasingkan kawan dan para tetangganya atau bahkan anggota keluarganya. Ia merasa aktivitas politik dapat mengancam posisi pekerjaan karena terlalu dekat dengan satu partai tertentu. Kontroversi atau tekanan-tekanan silang yang dihadapi individu, menurut Rosenberg, menyebabkan individu beranggapan bersikap pasif dalam politik lebih baik daripada melakukan aktivitas politik. Terlebih bagi perempuan di mana lingkungan kebudayaan patriarkhi sudah mengakar kuat dalam masyarakat dan streotip yang melekat pada perempuan sebagai makhluk yang kurang rasional, emosional, pasif, dan lemah. Bagaimanapun, lingkungan dapat mempengaruhi cara berperilaku seseorang dalam merespons stimulus yang mereka hadapi. Artinya keadaan lingkungan membentuk sikap seseorang yang seringkali diwujudkan dalam bentuk tindakan, termasuk dalam hal ini respons individu terhadap gejala politik di sekitar mereka (Greenstein dalam Asrinaldi, 2012:2). Ketiga, dalam klasifikasi Lubis (2009:14), informan (R1), masuk dalam kategori pertama, yakni perempuan yang memperoleh jabatan politik karena ayahnya memiliki reputasi sosial politik. Walaupun informan pada akhirnya memilih warna politik yang berbeda dengan orang tuanya, tetapi sistem keterwakilan berimbang (propotional representation) dengan daftar terbuka yang saat ini diberlakukan dalam pemilu, merupakan keuntungan bagi R1 dalam mendulang suara terkait reputasi sosial orangtuanya tersebut, Dalam konteks seberapa kuat organisasi menjadi perangsang politik bagi perempuan, hal ini diungkap oleh beberapa informan berikut: “Ikut berorganisasi manfaatnya banyak, kita bisa tahu hak dan kewajiban kita sebagai perempuan, bagaimana kita harus berperan dalam masyarakat, wawasan dan pengetahuan kita bisa bertambah, selain itu juga memberikan peluang bagi perempuan untuk berperan aktif.” Informan lain menyatakan pendapat yang senada: “Dengan aku aktif dalam organisasi, temen-temen seorganisasi maupun temen-temen di sekitar rumah sering sharing dan ngasih masukan tentang permasalahan masyarakat yang masih sulit untuk berobat ke rumah sakit karena tidak ada biaya….aku pribadi merasa tergerak untuk membantu kesulitan mereka.” Dari pernyataan dua informan di atas, tampak bahwa kehidupan berorganisasi menjadikan mereka lebih terbuka dan sensitif dalam menanggapi isu-isu sosial maupun politik di sekitar mereka. Dengan berorganisasi, perempuan memiliki lingkungan sosial yang lebih luas dan memiliki kecerdasan emosional, yang berimplikasi munculnya kesadaran diri (awareness) terhadap potensi yang dimilikinya.Hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk terlibat dalam dunia politik. Dalam konteks ini organisasi cenderung berfungsi memperkuat sosialisasi yang sebelumnya didapatkan dalam lingkungan keluarga. Selanjutnya, sejauhmana peran media massa sebagai alat perangsang bagi perempuan dalam berpartisipasi politik. Sebagaimana diketahui, media massa menyediakan sejumlah informasi penting terkait dinamika politik yang terjadi. Berbagai informasi tersebut dapat membentuk preferensi politik individu.Berdasarkan informasi itulah motivasi individu muncul sehingga mendorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas politik (Asrinaldi, 2012:67). Hal ini dapat disimak dari pernyataan informan (R2) berikut ini: “Banyak informasi yang didapat dari media massa mengenai kebijakan pemerintah yang menurut saya tidak populer contohnya BLSM yang pada pelaksanaannya ternyata tidak tepat sasaran. Orang yang sebetulnya tidak berhak mendapatkan bantuan tersebut, malah dapat; 30 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 sedangkan yang berhak malah tidak dapat.Dari permasalahan-permasalahan itulah yang mendorong saya untuk ikut mewarnai kebijakan yang akan dibuat.” Pernyataan tersebut menegaskan kontribusi media massa dalammemutuskan untuk berpartisipasi menjadi anggota legislatif, namun variabel ini tidak berdiri sendiri karena berhubungan dengan variabel lain, yakni karakteristik kepribadian seseorang. Dalam arti, informasi mengenai berbagai ketimpangan sosial maupun politik yang didapatkan individu melalui media masa tidak akan memiliki kedalaman makna, jika individu tersebut memiliki kepribadian yang antisosial dan introvert. Dalam konteks R2, informasi tersebut bermakna positif karena dia memiliki kepribadian yang sosiabel dan ekstravert, sehingga informasi tersebut menjadi stimulus bagi pencalonannya sebagai anggota legislatif. Fenomena ini dapat dihubungkan dengan konsep efikasi politik (political efficacy) sebagaimana dikemukakan oleh Johnnson & Joslyn juga Huntington (dalam Asrinaldi, 2012:90) yaitu kemampuan individu merasakan keinginannya dari dalam untuk terlibat dalam mempengaruhi sistem politik; efikasi politik ini sebagai faktor yang menentukan dan mendorong munculnya partisipasi politik individu. Selanjutnya seberapa besar karakteristik sosial seseorang, seperti status sosio-ekonomi mempengaruhi partisipasi politik individu. Hal ini dapat dilihat dari profil singkat masing-masing informan sebagai berikut: R1 berlatarbelakang keluarga moderat, bersuamikan anggota DPRD Kabupaten Indramayu sekaligus menantu salah seorang tokoh organisasi keagamaan di Kabupaten Indramayu. Dia sendiri berpendidikan sarjana, bekerja sebagai wiraswasta, dan fungsionaris sebuah partai politik sekaligus menjadi pengurus dalam suatu organisasi keagamaan. Sedangkan R2 berpendidikan sarjana, bekerja sebagai pimpinan PH Audio dan freelance creative di dua stasiun TV lokal, menjadi fungsionaris selama dua periode pada suatu partai politik. Latar belakang pendidikan kedua informan tersebut memungkinkan mereka mampu menyerap berbagai informasi politik. Sebagaimana dikemukakan Asrinaldi (2012:67), untuk memahami informasi politik membutuhkan tingkat kognisi yang tinggi dan hal ini harus didukung tingkat pendidikan yang tinggi. Pernyataan R1 dan R2 yang berpendidikan sarjana tersebut kontradiktif dengan pernyataan R3, seorang calon anggota legislatif yang berpendidikan SMU sebagai berikut: “kalo aku sih engga terlalu banyak ngakses informasi lewat media massa ya, kayanya biasa-biasa saja. Paling juga kalo ada informasi apa-apa dikasih tau temen sekantor dan biasanya temen-temen pengurus partai juga sms ngasih tau sekalipun akunya sendiri engga nanyain.”Pernyataan tersebut – setidaknya – memperkuat pernyataan Asrinaldi di atas. Selain pendidikan, latar belakang ekonomi yang baik membuat mereka memiliki kesiapan dalam pencalonan dirinya dalam pemilu legislatif.Sudah menjadi rahasia umum pencalonan menjadi anggota legislatif memerlukan ketersediaan ekonomi yang cukup tinggi, terutama berkaitan dengan masalah pendanaan kampanye dalam upaya promosi diri.Banyak kalangan berpendapat, meskipun memiliki kualifikasi sebagai tokoh politik yang potensial, tanpa didukung ketersediaan ekonomi yang mumpunimaka seseorang tidak dapat berbuat banyak. Hal ini dapat disimak dari petikan wawancara dengan informan (R3) ketika pembicaraan diarahkan seputar dana pencalonan. Dengan nada pesimistis informan berujar: “… ikut nyaleg kan perlu modal besar, seperti calon-calon yang lain kan menggunakan media spanduk buat memperkenalkan diri dan ngasih tau kalo mereka nyalonin diri, sedangkan aku engga ada modal jadi ngga ada spanduk. R3 merupakan calon anggota legislatif yang diusung oleh partai yang sama dengan partai pengusung R2, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum, bekerja sebagai wiraswasta, dan dibesarkan dalam lingkungan PNS. Saat ini menjabat sebagai pengurus anak cabang Dapil partai pengusungnya.R3 selama enam tahun lebih aktif dalam berbagai kegiatan partai. Selanjutnya R3 mengatakan bahwa motivasi keikutsertaannya sebagai calon anggota legislatif karena adanya dorongan dari ketua partai untuk mencalonkan diri di Dapil dia berdomisili, dalam upaya memenuhi kuota 30 persen. “Awalnya sempet ragu, aku kan engga punya modal:, demikian tuturnya. Keikutsertaan sebagai calon anggota legislatif demi memenuhi regulasi yang berlaku, juga diakui oleh informan lain, sebut saja R4. Perempuan berusia 41 tahun, wiraswasta, berpendidikan SMU, dan saat ini terdaftar sebagai pengurus suatu partai politik tersebut mengatakan bahwa keikutsertaannya dalam pencalonan legislatif adalah untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Dalam konteks ini patut direnungkan pendapat yang mengatakan bahwa sebagian besar calon legislatif perempuan diibaratkan hanya mengharapkan “durian runtuh”: jadi ya syukur, tidak jadi ya tidak masalah. Apabila demikian halnya, bagaimana kualitas anggota legislatif di masa FISIP UNWIR Indramayu 31 JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.1 Agustus 2014 mendatang selama regulasi keterwakilan 30 persen perempuan tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan kaum perempuan untuk meningkatkan kapasitas maupun kualitas dirinya di ranah publik? 2. Pengaruh Lingkungan dan Kondisi Politik Partisipasi perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, selain dipengaruhi rangsangan politik, karakteristik sosial, juga dipengaruhi oleh lingkungan atau keadaan politik seperti pengaturan konstitusional dan institusional dalam sistem politik (Rush dan Althof, 2008:167). Pengaturan konstitusional, tidak perlu diperbincangkan lebih jauh karena sudah sangat jelas. Pasal 55 UndangUndang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjelaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Penetapan sistem kota sedikitnya 30 persen tersebut merupakan bentuk tindakan afirmasi (affirmative action)yang membuka atmosfir bagi perempuan untuk menduduki jabatan di lembaga politik eksekutif maupun lembaga politik legislatif. Selain itu, pemilihan umum melalui sistem keterwakilan berimbang (propotional representation) dengan daftar terbuka, memberikan ruang sekaligus peluang bagi perempuan untuk mempromosikan kualifikasi dirinya dalam kontestasi jabatan di legislatif. Ketika konstitusi secara eksplisit telah memayungi eksistensi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik, bagaimana kesiapan institusi politik (partai politik) itu sendiri dalam menyediakan dan mempersiapkan risoursis kader-kader perempuan terbaiknya, karena merekalah yang paling bertanggungjawab terhadap kualitas bakal calon yang diusungnya tersebut? Lebih dari itu, partai politik merupakan institusi demokrasi yang paling signifikan dalam menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Dalam konteks rekrutmen politik maupun seleksi bakal calon anggota legislatif, setiap partai politik mempunyai mekanisme sendiri-sendiri dalam proses pencalonan kader sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Partai politik, sepertai Partai Golkar melakukan proses rekrutmen politik dengan memilih metode partisipan, yaitu tipe rekrutmen yang menitikberatkan pada tingginya loyalitas kader terhadap partai yang diusung untuk menduduki jabatan publik. Selain itu rekrutmen dilakukan melaluicompartmentalization, yaitu proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pengalaman berorganisasi,5 namun dalam seleksi jenjang pendidikan masih normatif, Demikian pula dengan Partai keadilan Sejahtera (PKS), partai berbasis massa Islam ini dalam merekrut anggotanya menggunakan sistem training dan ta’lim rutin partai. Sedangkan dalam menyiapkan kader-kadernya untuk duduk dalam kursi legislatif dilakukan dengan sistem penjaringan terhadap tokoh internal partai maupun eksternal, selanjutnya disaring untuk ditetapkan sebagai calon legislatif. Seperti halnya Partai Golkar, partai ini pun menggunakan metode compartmentalization dalam proses rekrutmen kader maupun dalam penjaringan calon legislatif, namun dibandingkan partai lain lebih selektif dalam menetapkan kriteria jenjang pendidikan calon. Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari daftar calon yang diajukan, mayoritas sarjana. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dinyatakan oleh fungsionaris partai sebagai berikut: “Parpol dalam rangka melakukan seleksi untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyusunan daftar calon legislatif yaitu membuka seluas-luasnya informasi kepada masyarakat bahwa PDI-P membuka lowongan untuk diajukan sebagai calon legislatif dengan kriteria sesuai dengn standar normatif.” Dengan demikian, partai politik pada prinsipnya telah melakukan fungsi kaderisasi melalui proses rekrutmen. Idealnya rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan sistem pemerintahan pada khususnya (Surbakti, 2007:118). Rendahnya minat perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik; sementara di sisi lain, partai politik dituntut untuk dapat memenuhi persyaratan administrasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam penentuan calon anggota legislatif, menjadi faktor penyebab proses kandidasi di internal partai terbilang cukup mudah. Dalam hal ini partai politik banyak memberikan kemudahan 5 Partai Golkar memiliki organisasi sayap yang dikhususkan bagi perempuan dan juga anggota muda bagi laki-laki seperti KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar) dan AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar). 32 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 ataupun kelongggaran bagi kader-kader perempuannya untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Tidak dapat dihindari, aroma nepotisme tercium cukup kuat. Perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan fungsionaris partai misalnya, akan dengan mudah mengakses posisi calon legislatif yang diusung oleh partai tersebut. Demikian pula halnya dengan perempuan yang memiliki latar sosial ekonomi yang tinggi serta ayahnya memiliki reputasi sosial yang baik di mata masyarakat dan memiliki sejumlah besar pengikut, akan diposisikan dalam jajaran calon anggota legislatif oleh partai pengusungnya tanpa melalui proses seleksi yang ketat. Hal ini menjadi indikator ketidaksiapan partai politik dalam menempa kader-kader yang dimiliki untuk ditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas, cekatan, dan mampu menangkap aspirasi rakyat serta memahami dinamika politik sehingga berimplikasi terhadap langkanya kader perempuan yang kredibel di mata publik. KESIMPULAN Partisipasi yang dilakukan perempuan pada hakikatnya adalah untuk menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki perempuan itu sendiri. Dalam konteks partisipasi di bidang politik, usaha menggali dan memberdayakan potensi politik perempuan sangat bergantung pada sejauh mana keterbukaan atau kepekaannya menerima perangsang politik melalui kontak pribadi di lingkungan keluarga, organisatoris, maupun media massa yang akan menumbuhkan minatnya untuk berkiprah di bidang politik. Kesiapan perempuan berpartisipasi dalam pencalonan anggota legislatif − dalam arti kualitas maupun profesionalitas yang dimiliki − sangat bergantung pada seberapa tinggi intensitas kontak pribadi melalui diskusi-diskusi di lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan teman sepermainan mengenai permasalahan sosial-politik yang terjadi. Selain itu, seberapa intens dia menjalani kehidupan berorganisasi sebagai wahana pengayaan wawasan dan pengetahuan sekaligus merupakan wadah bagi partsisipasinya. Aksesibilitas terhadap media massa juga menjadi hal krusial dalam mendapatkan beragam informasi seputar dinamika sosial politik. Informasi politik membutuhkan tingkat kognisi yang tinggi dan hal ini harus didukung tingkat pendidikan yang tingi.Dengan demikian, perempuan yang dipersiapkan untuk duduk sebagai wakil rakyat seyogianya memiliki pendidikan yang mumpuni. Selanjutnya, kemampuan seseorang dalam memahami informasi politik hanya sebentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri (selfishness), jika tidak diikuti bentuk tindakan nyata sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan sosial.Hal ini tentunya hanya dapat ditemukan pada orang-orang yang memiliki kepribadian sosiabel dan ekstravert.Sehingga dapat dikatakan bahwa efikasi politik pada individu muncul akibat informasi politik yang diterimanya, didukung kepribadian yang sosiabel dan ektravert. Setidaknya, kualifikasi seperti itulah yang seharusnya dimiliki oleh seorang anggota legislatif. Namun, seperti pendapat banyak kalangan, tanpa dukungan ekonomi yang mumpuni, sehebat apapun kualifikasi yang dimiliki seseorang, maka tidak akan mampu berbuat banyak, terlebih aktivitas politik memerlukan biaya yang tinggi. Kondisi seperti ini yang ditengarai menjadi faktor penyebab mengapa perempuan yang memiliki kualifikasi dan berpotensi menjadi tokoh politik yang potensial, gagal menjadi anggota legislatif. Ironisnya, justru banyak calon anggota legislatif perempuan yang diikutsertakan dalam konstetasi pemilu legislatif, tidak memiliki kualifikasi tersebut. Pada umumnya mereka bermodalkan kekuatan ekonomi dan reputasi sosial suami ataupun orang tuanya. Mereka inilah yang dikategorikan politisi-politisi instan yang diuntungkan dari regulasi politik affirmative action yang mewajibkan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan dan sistem proposional terbuka. Sesungguhnya regulasi politik dan sistem pemilu yang dibangun saat ini sudah sangat mendukung bagi terwujudnya sistem pemilu berkeadilan dalam kerangka konsolidasi demokrasi, jika saja partai politik sudah sepenuhnya melaksanakan sistem rekrutmen dan pengkaderan yang baik, sehingga kader-kader mereka memiliki kredibilitas di mata publik pemilihnya. Dalam konteks studi ini, calon legislatif yang sedianya akan berkontestasi pada pemilihan umum yang akan datang, beberapa diantaranya telah memenuhi kualifikasi sebagaimana digambarkan dalam tulisan ini. Pada umumnya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang memadai (sarjana), aktif dalam organisasi sosial, banyak mengakses media massa, mudah bergaul sehingga memiliki jaringan pertemanan yang luas, peduli terhadap lingkungan, dan memiliki kemampuan ekonomi sebagai unsur pendukung dalam pencalonannya. Namun demikian, masih banyak ditemukan calon anggota legislatif perempuan yang belum memiliki kualifikasi memadai namun diikutsertakan dalam ajang kontestasi atas dasar pertimbangan memiliki jumlah massa yang banyak dari reputasi sosial FISIP UNWIR Indramayu 33 JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.1 Agustus 2014 orang tuanya, memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan fungsionaris partai, memiliki sejumlah besar dana, atau hanya untuk memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dari partainya. DAFTAR PUSTAKA Asrinaldi.2012. Politik Masyarakat Miskin Kota.Yogyakarta : Gava Media. Faisal, Sanapiah, 2008. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : Rajawali Pers. Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson.1994.Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Alih bahasa Sahat Simamora). Jakarta: Rineka Cipta. Lubis, Dina Anggita. 2009. Partisipasi Politik di DPD PKS Kota Medan (Persoalan, Hambatan, dan Strategi).Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan.Tesis yang dipublikasikan, diakses pada 13 Maret 2013. Moleong, Lexy J., 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasution, 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito. Putra, Fadilah, 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik: Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai dan Realisasi Kebijakan Publik 1999-2003. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rush, Michael dan Phillip Althof. 2008. Pengantar Sosiologi Politik (Alih bahasa: KartiniKartono). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sastriyanti, Siti Hariti (ed.).2011. Gender dan Politik.Yogyakarta : Tiara Wacana. Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT. Grasindo. Produk Hukum: Undang-Undang Republik Indonesia.No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. ______________________________. No. 8 Tahun 2012 tentangPemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 34 Program Studi Ilmu Pemerintahan