1 PELUANG DAN TANTANGAN MENGGUNAKAN LAHAN BASAH DALAM MEMBELAJARKAN KONSEP EKOLOGI DAN KESADARAN LINGKUNGAN 1 H. Muhammad Zaini Abstrak Bersahabat dengan alam menjadi lebih populer karena sejalan dengan ungkapan environment-friendly, jika diterjemahkan secara bebas berarti ramah lingkungan; yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah di Negara Australia. Topik ini diangkat secara kebetulan beriringan dengan Hari Lahan Basah dunia yang ditetapkan setiap tanggal 2 Pebruari. Lahan basah menjadi penting ditinjau dari aspek apa saja, baik dari sisi habitat, flora, fauna, maupun biologi sosial. Bahkan menjadi mata kuliah wajib pada jenjang Progam Magister Pendidikan Biologi Unlam. Mengingat nilainya yang tinggi itu pula di Provinsi Kalimantan Selatan lahan basah menjadi “rebutan” berbagai kepentingan, masalahnya adalah apakah lahan basah dikelola menjadi lebih baik atau menuju kerusakan? Konversi lahan basah memang tidak dapat dihindari, dan hal ini sudah berlangsung sejak zaman dulu, baik sebagai tempat pemukiman, perkebunan, persawahan pengembangan pusat kota, dan sebagainya. Tentu saja cara-cara pengelolaan ketika itu penuh dengan kearifan. Pengelolaan lahan basah yang spektakuler telah dimulai sejak abad ke-19. Adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menerapkan konsep ihya-ul mawat (menghidupkan tanah mati) Konsep ini pada dasarnya mengeringkan rawa secara periodik melalui pembuatan sungai dan anak-anak sungai. Bagi lahan basah yang dipengaruhi pasang surut, maka ketika air pasang ia memasuki rawa-rawa, dan ketika surut kembali ke sungai induk dengan membawa logam-logam berat yang ada di air dan keasaman air. Melalui cara ini dikenal orang persawahan tumpang sari. Bagian yang berair ditanami padi dan tanah hasil tabukan ditanami tanaman keras. Pendidikan tentang lahan basah khususnya yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan perlu diperhatikan, agar keanekaragaman hayati yang ada pada lahan basah tidak rusak dan punah. Perlunya pendidikan ini guna memperbaiki dan melestarikan lahan basah untuk bekal generasi selanjutnya yang akan meneruskan pelestarian keanekaragaman hayati lahan basah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan Pendidikan lingkungan telah diintegrasikan pada kurikulum sekolah, bukan pada satu mata pelajaran, akan tetapi melalui subyek lain (pengetahuan, bahasa, berhitung, dan sebagainya. Hal ini diartikan dengan menuangkan (infussion) materi pendidikan lingkungan ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga pendidikan di sekolah bernuansa lingkungan, yang diharapkan implikasinya berpengaruh positif bagi siswa dalam mengadopsi dimensi laten pendidikan lingkungan. Kata Kunci: pendidikan lingkungan, pendekatan lingkungan, lahan basah, pengetahuan sikap, keterampilan, kesadaran 1 Disampaikan pada Seminar “Pentingnya Bersahabat dengan Alam untuk Mengembalikan Keanekaragaman Hayati Lingkungan Lahan Basah di Kalimantan”, Diselenggarakan dalam Rangka Gebyar Sains Pendidikan Biologi HIMBIO FKIP Unlam Banjarmasin tanggal 8-13 Pebruari 2010. Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin 2 Ketika panitia mengirimkan pos-e tentang tema seminar “Pentingnya Bersahabat dengan Alam untuk Mengembalikan Keanekaragaman Hayati Lingkungan Lahan Basah di Kalimantan”, saya merasa ragu apakah bisa menghadirkan sebuah makalah yang akan disampaikan kepada peseta seminar. Masalahnya adalah saya bukan ahlinya, dan sepengatahuan saya masih banyak para dosen yang menguasai bidang tersebut. Meskipun demikian saya mencoba memasuki celah kecil dari tema tersebut yakni dengan menggarisbawahi ungkapan “bersahabat dengan alam”. Ungkapan ini boleh jadi diangkat dari sepotong lirik lagu Ebiet G. Ade. Pada awal tahun 90-an, menjadi lebih populer karena sejalan dengan ungkapan environmentfriendly (Gough,1992). Jika diterjemahkan secara bebas berarti ramah lingkungan; yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah di Negara Australia. Seminar sehari ini merupakan momen yang tepat, entah suatu kebetulan karena beriringan dengan Hari Lahan Basah dunia yang ditetapkan setiap tanggal 2 Pebruari. Lahan basah menjadi penting ditinjau dari aspek apa saja, baik dari sisi habitat, flora, fauna, maupun biologi sosial. Bahkan menjadi mata kuliah wajib pada jenjang Progam Magister Pendidikan Biologi Unlam. Lahan basah di Kalimantan Selatan berupa daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering (Panitia Gebyar Sains, 2010). Salah satu lahan basah di Provinsi Kalimantan Selatan menurut sumber di atas dijumpai di Desa Tungkaran Kabupaten Banjar. Konsep Lahan Basah Konsep lahan basah sedang dirintis menjadi program konsentrasi pada Program Magister Pendidikan Biologi. Alasannya adalah sebagian besar lahan di Provinsi Kalimantan Selatan didominasi olah lahan basah. Tentu saja dengan definisi yang lebih luas dibanding definisi di atas. Menurut Konvensi Ramsar (www.ramsar.org) lahan basah (wetlands) dapat diartikan sebagai lahan yang secara alami atau buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman, dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut. Menurut Center for Wetlands People and Biodiversity (http.www.ppkmlb.page.tl/Sekilas-Lahan-Basah.htm) lahan basah tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan basah alami seperti sungai, danau, delta, hutan rawa gambut, hutan bakau, kerapa, koral, dan laguna. Sedangkan lahan basah buatan seperti waduk, saluran irigasi, sawah, kolam dan parit. Berdasarkan kedua definisi ini maka jelas bahwa sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh lahan basah. Menurut Inseklopedia bebas lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayahwilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya terkadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin. 3 Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah. Manusia memperoleh berbagai manfaat dari lahan basah, baik secara ekonomi, ekologi, maupun budaya. Sebagian besar penduduk dunia bermukim dalam kawasan atau dekat dengan lahan basah. Banyak kota-kota di dunia yang dibangun pada kawasan lahan basah. Kota Banjarmasin terletak di ambang Sungai Barito. Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun sebagai wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di banyak negara lahanlahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati seperti Biodiversity Action Plan. Bagaimana dengan lahan basah di Indonesia, dan bagaimana pula di Provinsi Kalimantan Seatan? Mengingat nilainya yang tinggi itu pula di Provinsi Kalimantan Selatan lahan basah menjadi “rebutan” berbagai kepentingan, masalahnya adalah apakah lahan basah dikelola menjadi lebih baik atau menuju kerusakan? Konversi lahan basah memang tidak dapat dihindari, dan hal ini sudah berlangsung sejak zaman dulu, baik sebagai tempat pemukiman, perkebunan, persawahan pengembangan pusat kota, dan sebagainya. Tentu saja cara-cara pengelolaan ketika itu penuh dengan kearifan. . Pengelolaan Lahan Basah Ramah Lingkungan Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang tidak lagi memandang lahan basah sebagai apa adanya. Mereka cenderung mengelolanya, dan bahkan mengubah menjadi kondisi yang diinginkan masyarakat masa kini. Dapatkah masyarakat pengguna lahan basah memanfaatkan ruang terbuka tanpa merusaknya? Sejarah membuktikan, dan ini dapat dilaksanakan. Sungai, kanal, dan perairan alam lain, ketinggian permukaan airnya setiap hari dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut. Kondisi hidrologis seperti ini mengakibatkan ketika air pasang dan musim hujan sering terjadi genangan air, masyarakat beradaptasi dengan mendirikan perumahan di sepanjang aliran sungai, baik rumah panggung maupun rumah lanting Rumah lanting yang memiliki nilai ekologis karena dapat meredam gelombang air, bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai toko menjual barang dagangan, kegiatan usaha, pandai besi dan lain-lain (Saleh, 1986:18). Rumah lanting pada awal abad ke-21 ini, juga berfungsi sebagai stasiun pengisian bahan bakar bagi kapal motor, tempat pandai besi, dan bengkel. Thomas Karsten seorang ahli tata kota Belanda sebelum Perang Dunia II juga menyarankan agar rumah lanting tetap diizinkan bertambat di tepi sungai, karena 4 mampu meredam gelombang yang ditimbulkan oleh hiruk-pikuk lalu lintas air (Banjarmasin Kota Air, 1988). Sifat mampu meredam gelombang air diduga belum dipahami betul oleh pemerintah setempat. Pembuatan siring (beram, tanggul) yang berfungsi menyelamatkan tepi sungai dengan biaya besar sangat digalakkan, sedangkan rumah lanting dengan peran yang sama justru digusur. Permukiman penduduk di rumah lanting terkesan kumuh, tetapi bila ditata rapi dan dengan sentuhan estetika justru menjadi daya tarik wisatawan. Pengelolaan lahan basah yang spektakuler telah dimulai sejak abad ke-19. Adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menerapkan konsep ihya-ul mawat (menghidupkan tanah mati) (Jamalie, 2005; Daudi, 1996). Konsep ini pada dasarnya mengeringkan rawa secara periodik melalui pembuatan sungai dan anakanak sungai. Bagi lahan basah yang dipengaruhi pasang surut, maka ketika air pasang ia memasuki rawa-rawa, dan ketika surut kembali ke sungai induk dengan membawa logam-logam berat yang ada di air dan keasaman air. Melalui cara ini dikenal orang persawahan tumpang sari. Bagian yang berair ditanami padi dan tanah hasil tabukan ditanami tanaman keras. Konsep ini merambah ke segenap penjuru tanah air yang memiliki lahan basah seperti Sumatera bagian Timur, Kalimantan Tengah bagian selatan, Kalimantan Barat bagian barat dan Malaysia. Ketika itu istilah paten belum dikenal, sehingga ada seorang pembicara dalam seminar di provinsi ini mengaku sebagai gagasan miliknya. Bandingkan dengan Proyek Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, samasama lahan basah, seandainya maun belajar melalui konsep menghidupkan tanah mati, mungkin Provinsi Kalimantan Tengah menjadi lumbung padi nusantara. Banyak isitilah-istilah muncul belakangan sehubungan dengan pengelolaan lahan basah seperti di atas, sebut saja kanal, muara, kuala, dan tatah Kanal (disebut juga antasan, terusan, anjir, handil) banyak dijumpai di sungai Martapura, baik terjadi secara alami maupun buatan manusia. Pembuatan kanal tidak dapat dipisahkan dari pemanfaatan potensi lingkungan perairan. Bagi Masyarakat Banjarmasin, kanal lebih populer disebut antasan (berasal dari bahasa Banjar artinya melintas atau memotong) yakni alur sungai yang menghubungkan 2 buah sungai besar dengan jarak terdekat. Sayangnya di Kota Banjarmasin sampai awal tahun 2004 sebagian besar tertutup bangunan rumah. Padahal adanya kanal mempercepat alat transportasi air sampai ke daerah tujuan. Meskipun antasan kurang berfungsi saat ini, akan tetapi sebutan antasan sudah melekat bagi masyarakat sebagai nama tempat, seperti Antasan Kecil, Antasan Bondan, Antasan Bromo, Antasan Raden, dan Antasan Pengambangan (Zaini, 2005). Pengertian muara dan kuala memiliki kerancuan, muara pada dasarnya merupakan pertemuan beberapa sungai seperti Muara Muning (pertemuan Sungai Tapin dan Sungai Negara), Muara Habirau (pertemuan Sungai Amandit dan Sungai Balangan), dan Muara Mantuil (pertemuan Sungai Martapura dan Sungai Barito). Sedangkan kuala adalah alur sungai bagian hilir setelah mempertemukan sungaisungai tadi. Kuala Lupak merupakan alur Sungai Tamban yang berakhir di Laut Jawa. Kuala Barito seharusnya alur Sungai Barito yang bermuara di Laut Jawa, tetapi pada saat ini Kuala Barito (Barito Kuala) mempertemukan Sungai Barito dan Sungai Negara, dan menjadi nama salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan (Zaini, 2005). 5 Keadaan lahan basah yang unik telah menggugah rektor Unlam tahun 70-an angkat bicara. Ia menulis dalam sebuah artikel ilmiah kala itu agar rawa gambut jangan dikonversi, biarkan apa adanya sebagai habitat hewan liar beserta floranya yang khas. Karena bila dikonversi menjadi lahan pertanian tidak produktif. Sekarang memang tidak dijadikan lahan pertanian, akan tetapi menjadi pemukiman. Akhirnya jebakan air yang seharusnya dapa mengendalikan banjir menjadi kurang berfungsi. Hal ini tentu akan berakibat terjadinya perubahan keanekaragaman hayati di lahan basah. Dapatkah pengelolaan lahan basah ramah lingkungan digalakkan kembali? Tidak sekedar mengenang ceritera masa lalu, tentu saja dapat. Hal ini tergantung dari kesadaran pengambil kebijakan untuk menyusun langkah strategis penyelamatan lingkungan lahan basah yang mendominasi wilayah provinsi ini. Bukan berarti secaa individual tidak dapat dilaksanakan, sebagai mana yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Cara yang dianggap efektif adalah melalui pendidikan lingkungan. Pendidikan Lingkungan Penyelesaian masalah lingkungan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi menuntut kerjasama multipihak secara serentak dan menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan, agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang kokoh. Pendidikan lingkungan diharapkan mampu menjembatani dan mendidik manusia agar berperilaku bijak. Dengan demikian sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan hidup sejak dini melalui anak-anak secara terprogram dan berkelanjutan, hingga pada saatnya akan tercipta insan-insan pribadi bangsa yang utuh. Pendidikan lingkungan muncul karena manusia yang kurang bijaksana di dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan/atau diakibatkan oleh bencana alam yang sering kali sulit diduga. Hal ini disebabkan 1) rasa tidak tahu (unawareness) akan akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, 2) tidak memahami fungsi dari komponen-komponen ekosistem di alam, 3) tingkat pendapatan yang rendah sehingga cenderung mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam tanpa terkendali dan 4) rasa tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan karena akibatnya tidak langsung dapat dilihat dan dirasakan oleh si pelaku pencemar (Suryadiputra 1997). Dengan kata lain manusia memiliki peran yang sangat besar dalam menimbulkan kerusakan lingkungan dan oleh karena itu adalah sangat tepat dijadikan sasaran pendidikan agar mereka memiliki tingkat pemahaman yang luas akan arti dan fungsi lingkungan. Pendidikan Lingkungan secara formal dilakukan melalui kurikulum sekolah dan pemanfaatan potensi lingkungan yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini guru yang menyampaikan juga tidak selalu harus seorang ekolog atau ilmuwan, melainkan cukup seseorang yang mampu menjadi pemandu dalam berpikir tentang lingkungan yang ada di sekitarnya dan mempunyai semangat dalam menemukan hubungan yang ada dalam ekosistem kita. Penyelenggaraan paket pendidikan ini dapat bersifat outdoor education (pendidikan di luar kelas), yang dilakukan dengan mengajak siswa untuk menyatu dengan alam dan melakukan beberapa aktivitas yang mengarah pada terwujudnya perubahan perilaku siswa terhadap lingkungan melalui tahap-tahap penyadaran, 6 pengertian, perhatian, tanggungjawab dan aksi atau tingkah laku. Outdoor tidak berarti sekedar memindahkan pelajaran ke luar kelas, melainkan lebih pada pemanfaatan potensi lingkungan yang ada sebagai objek dalam materi yang disampaikan. Aktivitas yang disampaikan berupa permainan, cerita (dongeng), olahraga, eksperimen, perlombaan, mengenal kasus-kasus lingkungan di sekitarnya dan diskusi penggalian solusi, aksi lingkungan, dan jelajah lingkungan. Dalam kegiatan ini siswa dibimbing untuk menemukan sendiri maksud yang terkandung di dalamnya, sehingga transfer materi bisa lebih mengena dan lebih mudah diingat siswa (Putri, 2006). Pendidikan tentang lahan basah khususnya yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan perlu diperhatikan, agar keanekaragaman hayati yang ada pada lahan basah tidak rusak dan punah. Perlunya pendidikan ini guna memperbaiki dan melestarikan lahan basah untuk bekal generasi selanjutnya yang akan meneruskan pelestarian keanekaragaman hayati lahan basah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, agar kita dan generasi kita selanjutnya nanti bisa bersahabat dengan alam untuk mengembalikan keanekaragaman hayati lingkungan basah di Kalimantan, yang nantinya sangat bermanfaat bagi kelangsungan makhluk hidup yang ada (Panitia Gebyar Sains, 2010) . Pendidikan lingkungan merupakan suatu proses untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman terhadap lingkungan, memiliki sikap positif dan memiliki keterampilan yang memungkinkan para siswa berpartisipasi dalam menetapkan kualitas lingkungan dari tingkat lokal sampai tingkat internasional (Gough, 1992). Beberapa kata kunci dari definisi di atas adalah lingkungan, pengetahuan, sikap, keterampilan yang mengarah pada kesadaran. Mengingat pendidikan lingkungan merupakan suatu proses maka harus ada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yakni pendekatan lingkungan. Pendekatan lingkungan adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan lingkungan nyata guna memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang bermuara pada kesadaran lingkungan. Pendekatan lingkungan di dalam pelaksanaan pembelajaran berarti mengajak para siswa belajar langsung di lapangan tentang topik-topik pelajaran. Tang (2002) mengemukakan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi sehingga lahir interaksi. Pendekatan lingkungan berpangkal pada adanya hubungan antara perkembangan fisik dengan lingkungan sekitarnya (Yulianto, 2002). Pendekatan lingkungan tidak melakukan eksploitasi alam, akan tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan. Dalam menggunakan pendekatan ini, materi pelajaran telah disesuaikan dengan lingkungan sebagai konteks pembelajaran, baik berupa benda, peristiwa, atau keadaan yang dapat mempengaruhi siswa sebagai subyek pembelajar. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan akan lebih bermakna bila dikombinasikan dengan lain misalnya pendekatan kooperatif. Karena pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks pembelajaran. Pendekatan lingkungan pada dasarnya sama dengan pendekatan keterampilan proses, yaitu merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan anak untuk belajar fakta dan konsep. Perbedaan antara kedua pendekatan ini terletak pada kapan pendekatan tersebut diberikan. Pendekatan lingkungan bersifat lebih khusus yaitu berorientasi ke lingkungan atau konsep-konsep yang bernuansa lingkungan sehingga 7 tidak semua konsep pada mata pelajaran biologi dapat digunakan dengan pendekatan ini. Sebaliknya pendekatan keterampilan proses bersifat lebih umum karena tidak berorientasi pada satu cara seperti pada pendekatan lingkungan. Menurut Gough (1992) ada empat komponen besar yang berkaitan dengan lingkungan yakni 1) lingkungan alam, termasuk di dalamnya udara, air, kehidupan, buli, dan sinar matahari, 2) lingkungan buatan, seperti perubahan bentang alam, perkotaan, lahan pertanian, trasportasi, dan system komunikasi, 3) lingkungan social/budaya seperti system yang berlaku dan institusi yang berpengaruh terhadap individu dan kelompok. Termasuk di dalamnya adalah agama, system legal yang terkait dengan politik, ekonomi, pemdidikan, pertalian keluarga, demografi, estetika, dan berbagai aktivitas manusia lainnya, 4) lingkungan ruang, termasik unsur-unsur yang ada di suatu lokasi atau yang berada jauh, kerapatan, keteraturan, dan ariasi di dalam lingkungan. Kapan Seharusnya Pendidikan Lingkungan Diberikan kepada Anak? Pertanyaan ini muncul karena tidak ada keseragaman waktu yang tepat mulai diberikan kepada anak. Apakah pendidikan lingkungan mulai dapat diberikan, pada anak kelas 3, kelas 1 atau sejak TK? Atau bahkan lebih awal lagi? Pengetahuan lingkungan yang berdasar pengalaman hidup harus dimulai sejak kehidupan yang sedini mungkin. Pengalaman-pengalaman seperti itu memainkan peranan yang sangat kritis dalam membentuk sikap hidup, nilai dan pola perilaku terhadap lingkungan alami (Tilbury, 1994; Wilson, 1994 dalam Wilson, 1996). Latar belakang perlunya pendidikan lingkungan diberikan sejak tahun-tahun awal didasarkan atas 2 pendapat: Pendapat pertama menekankan bahwa anak perlu mengembangkan perasaan hormat dan tanggap terhadap lingkungan sekitar sejak masa anak-anak atau menanggung resiko tidak pernah mengembangkan sikap tersebut (Stapp, 1978, Tilbury, 1994, Wilson, 1994 Wilson, 1996). Munculnya pendidikan lingkungan bagi anak prasekolah mencerminkan makin meningkatnya kesadaran bahwa pengalaman-pengalaman dalam lingkungan selama fase kritis yakni pada tahun-tahun pertama kehidupan anak dapat menentukan pengembangan berikutnya dalam pendidikan lingkungan dan tahun-tahun pertama prasekolah; akan terbukti kritis bagi pengembangan pendidikan lingkungan anak (Tilbury, 1994, hal. 11 dalam Wilson, 1996). Latar belakang pendidikan lingkungan pada awal masa kanak-kanak juga dilandasi oleh pendapat bahwa interaksi positif dengan lingkungan alam merupakan bagian penting bagi pengembangan kesehatan anak (Carson, 1956, Cobb, 1977, Crampton, dan Sellar, 1981, Mils, 1986/87, Patridge, 1984, Sebba, 1991, Wilson, 1994 dalam Wilson, 1996) dan bahwa interaksi semacam ini meningkatkan kemampuan belajar dan kualitas hidup sepanjang sejarah hidup seseorang (Wilson, 1994). Anak yang dekat dengan alam cenderung memandang alam sebagai sumber kekaguman, kegembiraan dan pesona. Jiwa mereka diperkaya oleh alam dan melalui alam mereka menemukan sumber-sumber “kepekaan manusia” (Wilson, 1992 hal. 348 dalam Wilson, 1996). Pengalaman bersahabat dengan alam cenderung menyiapkan perasaan anak terhadap keajaiban-keajaiban seperti dikemukakan oleh Plato sebagai sumber pengetahuan, dan oleh Cobb (1977 dalam Wilson, 1996) sebagai sumber imaginasi. Menurut Cobb, melalui kekaguman kita mengenal dunia luar, alih-alih dilakukan 8 melalui kajian buku-buku teks, kosa kata atau belajar fakta, kekaguman yang memberikan arah dan mendorong pemberian pendidikan lingkungan agar diberikan pada awal kehidupan anak. Pendidikan lingkungan bagi anak prasekolah hendaknya didasarkan pada penanaman perasaan kagum dan kegembiraan atas berbagai penemuan. Konsisten dengan berbagai pendekatan ini. Wilson (1996) memberikan arahan kerangka pikir untuk pengembangan dan implementasi program pendidikan lingkungan bagi anak prasekolah yakni 1) Mulailah dengan pengalaman-pengalaman sederhana, anak kecil belajar paling berhasil melalui pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan apa yang sudah mereka kenal dan ketahui. 2) Sering memberikan pengalaman positif di luar rumah, karena anak belajar paling baik melalui pengalaman langsung dan konkrit, 3) Fokuskan pada pengalaman, bukan pengajaran, anak belajar melalui penemuan dan kegiatan yang dilakukan atas inisiatif sendiri, karenanya orang tua hendaknya dapat bertindak sebagai fasilitator. 4) Tunjukkan minat pribadi terhadap lingkungan dan kesenangan berada di alam nyata, ekspresi ketertarikan guru terhadap alam dan kesenangan terhadap alam merupakan hal kritis untuk mencapai kesuksesan bagi program pendidikan lingkungan anak. 5) Model memelihara dan menghargai lingkungan alam, para guru hendaknya menjadi model dalam memelihara dan menghargai lingkungan. Berbicara dengan anak mengenai memelihara bumi jauh kurang efektif jika dibandingkan dengan menunjukkan caracara yang sederhana bagaimana memelihara bumi. Kemampuan memelihara dan menghargai lingkungan dapat dicontohkan melalui pemeliharaan tumbuhan dan hewan di dalam kelas, mengadakan dan memelihara habitat-habitat untuk binatang liar di luar ruangan. Cara lain adalah membuang sampah dengan baik serta mendaur ulang dan menggunakan kembali bahan-bahan yang telah dipakai. Bagaimana Keefektifan Pendidikan Lingkungan untuk Memperoleh Kesadaran Lingkungan? Di atas telah dijelaskan untuk memperoleh kesadaran lingkungan melalui perolehan pengetahuan sikap dan keterampilan. Pada awal tahun 2000-an, Herawati Susilo; seorang pakar pendidikan lingkungan dari Universitas Negeri Malang mengatakan bahwa Indonesia ketinggalan dalam melaksanakan pendidikan lingkungan sudah 40 tahun, berarti kini tertinggal sudah 50 tahun. Ini bisa dipahami karena banyak laporan penelitian didominasi oleh peneliti-peneliti luar negeri. Di bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian pembelajaran di dalam menciptakan kesadaran terhadap isu-isu lingkungan (Disinger, 1985) . Di dalam kelas tradisional, penelitian dilaporkan oleh NCEER berupa ringkasan penelitian keefektivan kurikulum dan berbagai metode untuk menyajikan pengetahuan isu-isu lingkungan dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti model interdisiplin, berbagai simulasi dan berbagai permainan. Penelitian eksperimental ini dipimpin oleh Bryant dan Hungerfort (1977) yang mengevaluasi satu unit pembelajaran untuk siswa Taman Kanak-Kanak, yang difokuskan kepada pemahaman istilah ”lingkungan” yang terkait dengan masalahmasalah polusi udara dan pemulihannya. Hasil-hasil menunjukkan bahwa siswa TK dapat membentuk konsep tentang isu-isu lingkungan dan tanggung jawab masyarakat sehubungan dengan adanya isu-isu tersebut. Siswa tidak hanya mampu mengenali 9 tindakan-tindakan apa yang dapat mereka perbuat, tetapi juga mampu mengenali tindakan-tindakan yang dapat dilakukan para orang tua. Para peneliti sepakat, bahwa pendidikan lingkungan pada tingkat TK dapat menghasilkan beberapa pengalaman perilaku konseptual yang merupakan bagian dari kehidupan siswa yang terlibat. Pengaruh-pengaruh unit lingkungan terhadap konsep-konsep dan pengetahuan siswa SD kelas tinggi tentang lingkungan hutan dan masalah-masalah lingkungan yang terkait telah disediki oleh Gross dan Pizzini (1979). Unit ini disajikan selama dua bulan sebelum karya wisata ke suatu cagar alam. Tujuh puluh siswa tingkat lima dipilih secara acak dari 295 orang populasi siswa untuk diberikan pretes. Sisanya diberi postes, bersama 85 orang siswa tingkat enam, yang juga menerima perlakuan satu tahun sebelumnya. Para peneliti melaporkan bahwa perlakuan ini meningkatkan secara positif orientasi siswa tentang penggunaan dan pengrusakan hutan. Namun pengaruh-pengaruh sejarah dan pematangan tidak dapat dikontrol di dalam studi ini. Juga keterangan tentang perubahan di dalam kesadaran sensori dan sikap terhadap komunitas alam dari yang diperoleh dari karya wisata sehari. Untuk memaksimalkan pengaruh-pengaruh dengan waktu yang terbatas di lapangan, pengarang merekomendasikan aktivitas pengajaran di kelas, untuk memudahkan pembentukan konsep sebelum pengalaman di lapangan. Kefektivan proyek dirancang untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu lingkungan telah diteliti oleh De Luca, Kiser, dan Frazer (1978). Tujuh puluh lima orang siswa laki-laki dan 75 orang siswa perempuan dari setiap tingkat 10 hingga 12, dan 100 orang siswa laki-laki dan 100 orang siswa perempuan dari masing-masing tingkat 4 sampai 9, dipilih secara acak untuk berpartisipasi. Sekolah yang berdekatan tanpa diberi program serupa sebagai kelompok kontrol. Tes mengenai pengetahuan lingkungan dan sikap terhadap lingkungan dibeerikan kepada semua tingkatan, setelah diberikan perlakuan, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik, dengan kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Berbagai pengaruh penggunaan pendekatan interdisiplin yang dipertentangkan dengan pendekatan tradisional, terhadap kemampuan mengkaji permasalahan dikemukakan oleh Hepburrn (1978). Dia telah menemukan adanya perbedaan skor postes antara modul-modul studi sosial/sains yang diajarkan pada tingkat sembilan dan permulaan tingkat sepuluh. Ada empat perlakuan yang diperbandingkan sesamanya: meliputi penggunaan modul-modul sains, modul studi sosial, dan modul interdisiplin, serta kontrol. Hasil-hasil menunjukkan bahwa kelompok perlakukan dengan menggunakan pendekatan modul interdisiplin mencapai skor yang tertinggi. Kefektivan penggunaan modul pemecahan masalah di dalam membantu partisipan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah lingkungan telah dilakukan penelitian oleh Andren (1979), yang menggunakan sampel kelompok mahasiswa dari suatu lembaga pendidikan tinggi. Model pemecahan masalah berisi 21 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi enam wilayah identifikasi masalah, konteks sejarah, usulan dan pemecahan masalah. Analisis berisi laporan penyelidikan oleh para mahasiswa yang memperlihatkan bahwa kajian kelompok eksperimen yang meliputi bidang ekonomi, hukum, isu-isu transportasi, dan isu-isu populasi, secara signifikan lebih luas dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa model yang digunakan bermanfaat karena secara sistematis memfokuskan perhatian 10 mahasiswa pada beberapa komponen yang diperlukan untuk memecahkan masalahmasalah lingkungan. Penelitian deskriptif dilakukan oleh Supreka dan Harms (1977) dengan membandingkan dua metode untuk menyajikan pendidikan lingkungan untuk menetapkan pengaruh-pengaruhnya teerhadap pengetahuan dan sikap siswa terhadap isu-isu energi dan lingkungan. Delapan orang guru menggunakan pendekatan inkuari (tidak berorientasi nilai), dan delapan orang guru lainnya menggunakan pendekatan yang berorientasi nilai-nilai yang mengajarkan selama enam minggu suatu unit pendidikan lingkungan kepada lebih dari 600 orang siswa SMU. Kedua perlakuan memperoleh hasil-hasil kognetif yang signifikan, dibanding dengan kelompok kontrol. Pengarang menyarankan bahwa tidak ada beda dalam perolehan pengetahuan siswa semata, antara dua pendekatan sementara perbedaan dalam sikap terhadap isuisu lingkungan hanya sedikit. Studi oleh Case (1979) untuk menentukan pengaruh dari kurikulum pendidikan lingkungan yang diberikan secara terpadu selama delapan minggu yang diitegrasikan ke dalam kurikulum sekolah reguler menghasilkan penemuan sebaliknya. Di dalam studi ini, siswa-siswa tingkat enam pada Sekolah Advent Hari Ketujuh dipilih secara acak dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok A diberi perlakuan dengan kurikulum terpadu selama lima minggu, satu minggu diberikan pengalaman lapangan, dan ditambahkan dua minggu pemberian kurikulum terpadu. Kelompok B diberi perlakuan dengan hanya kurikulum terpadu selama delapan minggu; Kelompok C ditetapkan sebagai kontrol, yang tidak diberi kegiatan pengetahuan lingkungan. Tes dirancang untuk mengukur pengetahuan lingkungan. Pada tes pengetahuan, menghasilkan perbedaan signifikan secara statistik yaitu kelompok B lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A dan kelompok C. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok A dan kelompok C. Studi yang mengkaji pengaruh program-program lingkungan di luar kelas menghasilkan perubahan yang signifikan secara statistik pada kelompok yang mengikuti perkemahan dalam hal pengetahuan mengenai isu-isu lingkungan. Chitwood (1977) memperoleh adanya perubahan pengetahuan lingkungan dari pengalaman berkemah. Dalam studi ini, diukur pengaruh-pengaruh pada 58 siswa sebelah sesi pada minggu ke delapan di Youth Conservation Camp (YCC) terhadap pengetahuan lingkungan, locus of control dan sikap-sikap terhadap lingkungan atau keterkaitan antara ketiganya. Pretes dan postes diberikan untuk mengetahui banyaknya perubahan-perubahan dalam berbagai variabel. Analisis statistik menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, ke arah positif dicapai dalam pengetahuan lingkungan dan sikap-sikap terhadap lingkungan, tetapi tidak di dalam locus control. Studi oleh Davis, Doran, dan Farr (1980) mendukung hasil-hasil yang dicapai oleh Chitwood’s: 14.796 orang peserta perkemahan YCC dari 194 buah perkemahan dijadikan sampel untuk mengases kesadaran lingkungan sebelum dan sesudah pengalaman berkemah. Setiap peserta perkemahan diberikan pertanyaan yang lengkap, yakni sebelum dan sesudah berkemah. Sebelas buah ranah telah dikembangkan, enam buah ranah pengetahuan menunjukkan perolehan yang signifikan secara statistik, begitu pula dengan ranah sikap. Reliabilitas tes dan homogenitas ranah telah diketahui sebelum dilakukan penelitian. 11 Berkaitan dengan menanamkan kesadaran lingkungan kepada anak, Wiesenmayer dan kawan-kawannya menyimpulkan 1) Pengajaran tradisional dapat meningkatkan pengetahuan lingkungan para siswa, 2) Pendekatan interdisiplin untuk mengkaji masalah lingkungan tampaknya lebih efektiv dari pada pendekatan tradisional, 3) Permainan simulasi cenderung menyenangkan para partisipan, tetapi tidak seefektif di dalam mengajarkan konsep-konsep tentang lingkungan atau untuk membentuk sikap positif dibandingkanpada pendekatan trasidional, 4) Kombinasi antara pengajaran di dalam kelas dan karya wisata barangkali merupakan cara sangat efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang isu-isu lingkungan para siswa, 5) Karya wisata berdampak positip terhadap belajar siswa bilamana dilaksanakan sebelum pengajaran di kelas, 6) Aktivitas belajar lingkungan di luar kelas dapat meningkatkan pengetahuan para siswa tentang isu-isu lingkungan. Beberapa artikel yang penulis pelajari perkuliahan formal menjadi bahan untuk mengembangkan pendidikan lingkungan di Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagian besar dalam bentuk bimbingan skripsi, dan sebagian kecil penelitian kelompok. Dengan mengikuti jejak para peneliti terdahulu, maka sejak tahun 2004 penulis telah membimbing sekitar 25 judul penelitian pendidikan lingkungan di lingkungan FKIP unlam Banjarmasin, dan sekitar 10 judul penelitian pendidikan lingkungan di lingkungan STKIP PGRI Banjarmasin. Di samping itu ada 3 buah penelitian pendidikan lingkungan secara kelompok yang didanai oleh dikti. Semua penelitian pendidikan lingkungan ini berorientasi lahan basah di Provinsi Kalimantan Selatan. Semua naskah ini masih penulis simpan dan dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti berikutnya. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber bagi pengembangan pendidikan lingkungan di provinsi ini, khususnya bagi calon magister pendidikan biologi dan calon doktor pendidikan biologi. . Peluang dan Tantangan Di atas telah diutarakan bahwa kepedulian lingkungan di berbagai Negara cukup tinggi, bahkan jauh-jauh hari sudah dimulai. Dikatakan pula negera kita tertinggal 50 tahun. Pertanyaannya adalah maukah kita berbenah diri untuk mengejar ketertinggalan? Pendidikan lingkungan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, bukan saja melalui cara ini juga akan dapat memperoleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kesadaran, akan tetapi berbagai perangkat lainnya sudah tersedia. Provinsi Kalimantan Selatan memiliki hampir semua ragam lahan basah, bahkan mendominasi luar propinsi ini. Kondisi ini tentu member peluang yang besar bagi guru untuk menetapkan perangkat pembelajaran sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Di samping itu akan menjadi lebih mudah dalam menyusunnya, karena beberapa daerah memiliki lahan basah yang sama. Sebagai contoh Kabupaten Batola, Kabupaten Banjar, Kota Banjarmasin, Kabupaten Tala, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Kotabaru secara bersama-sama dapat merancang bahan ajar berbasis pesisir pantai (costal area) dan pesisir sungai (riparian). Kabupaten Tapin, Kabupaten HSS, Kabupaten HST, Kabupaten HSU, dan Kabupaten Tabalong secara bersama-sama dapat merancang bahan ajar berbasis lebak dalam. Guru saat ini hanya dibebankan sejumlah kmpetensi dasar (KD), sedangkan pengembangan tujuan dirancang sendiri oleh guru. Hal ini menguntungkan bagi guru 12 karena dapat merancang bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah tempat mereka bertugas. Materi IPA yang berkaitan dengan topik lingkungan cukup banyak dijumpai, bahkan pada hampir semua tingkatan. Hal ini merupakan bagian penting dari pendidikan lingkungan yang memberikan kesempatan lebih besar pada IPA. Akan tetapi bukan berarti bahwa pendidikan lingkungan dan IPA adalah sama. Dua komponen utama dalam pendidikan IPA dengan pendidikan lingkungan adalah keduanya menekankan kepada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dan mempelajari hubungan antara IPA, teknologi, dan masyarakat. Hasil analisis KTSP IPA SD dan buku-buku yang telah memuat nuansa lingkungan dalam pembelajaran seperti pada Tabel 1. Pada Tabel 1, isu-isu tentang Tabel 1. Hasil Analisis KTSP IPA SD dan Buku-buku yang Bernuansa Lingkungan 4 35 ∑ KD IPABiologi 13 5 23 16 14 87,5 6 23 11 5 45,5 kelas ∑ KD ∑ KD IPA-Biologi bernuansa lingkungan 9 % 69,0 Sumber Buku (Penerbit) 1. Balai Pustaka 2. Mediatama 3. Titian Ilmu 4. Tropika 5. Intan Pariwara 6. Sahabat 7. Regina 8. Armandelta Pendidikan lingkungan menjadi marginal sudah diantisipasi oleh sumber belajar siswa. Bahkan pada pembelajaran IPA di kelas 5 sudah mendekati 100%. Masalahnya adalah pembelajaran konsep-konsep IPA dengan nuansa lingkungan belum akrab di kalangan para guru. Hasil analisis KTSP IPA SMP seperti Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis KTSP IPA SMP yang Bernuansa Lingkungan kelas VII VIII IX ∑ KD 26 27 19 ∑ KD Biologi 11 10 7 ∑ KD Biologi bernuansa lingkungan 6 2 1 % 54,5 20 14,2 Pada Tabel 2, di kelas X, pembelajaran biologi bernuansa lingkungan di kelas VIII masih besar (54,5%), sedangkan kelas XI dan XII sudah dikurangi. Hasil analisis KTSP SMA seperti Tabel 3. Pada Tabel 3, di kelas X. pembelajaran biologi Tabel 3. Hasil Analisis KTSP SMA yang Bernuansa Lingkungan kelas X XI XII ∑ Kompetensi Dasar (KD) 14 13 16 ∑ KD Biologi bernuansa lingkungan 7 0 0 % 50 0 0 13 bernuansa lingkungan masih besar (50%),sedangkan kelas XI dan XII sudah tidak disajikan lagi. Berdasarkan ketiga jenjang sekolah, maka pendekatan lingkungan memberi peluang besar untuk dikembangkan, baik oleh guru, peneliti, mahasiswa, dan para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini. Sekalipun KTSP member peluang besar dalam pengembangan pendidikan lingkungan, bukan berarti tanpa tantangan. Saat ini sekolah masih berupaya menanamkan konsep kepada anak, tentu saja ini berkaitan dengan kepentingan ujian akhir. Pendidikan lingkungan kurang mendapat perhatian karena berbagai alasan sehingga perkembangannya terasa lambat. Belajar di luar kelas terkesan banyak menyita waktu, sehingga mata pelajaran lain terabaikan. Belajar di luar kelas cenderung tidak serius, dan yang lebih ekstrim lagi belajar di luar kelas adalah tidak belajar, terutama pandangan guru-guru lain yang tidak mengajar mata pelajaran biologi. Para guru mengenal belajar di luar kelas hanya terbatas pada mata pelajaran olahraga saja. Pandangan ini harus segera diubah karena merugikan para murid dan sekolah pada umumnya. Para guru enggan mengajak siswa belajar di luar kelas, apalagi di luar lingkungan sekolah. Faktor waktu ebagai kendala dalam pembelajaran menggunakan pendekatan lingkungan sebenarnya dapat diatasi dengan memformulasikan keterpaduan antara intrakuriker dan kokurikuler. Lagi pula KTSP tidak memberikan alokasi waktu masing-masing KD. Untuk mengatasi kendala biaya dapat diatasi pihak sekolah dengan memanfaatkan lingkungan spesifik yang terdekat, akan tetapi sesuai dengan konteks pembelajaran dan tidak menjadi konteks bagi sekolah lainnya. Dengan mengatasi kedua kendala di atas, maka pendekatan lingkungan dengan konsep-konsep yang bernuansa lingkungan akan dapat memperkaya wawasan siswa, sehingga tidak sekedar penanaman konsep saja tetapi kemampuan berpikir, keterampilan proses, dan kelak dapat mengatasi masalah sosial di lingkungan para siswa sesuai tuntutan kurikulum akan terlaksana. Partisipasi para orang tua masih diharapkan karena berdasarkan pengamatan mereka memberi respon positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan. Pendidikan lingkungan adalah pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan sekelompok masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai, dan motivasi untuk menyelesaikan masalah lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan. Menurut Gough (1992) pendidikan lingkungan idealnya harus dicantumkan dalam kurikulum sekolah, dengan menyajikan topik terkini sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan lingkungan telah diintegrasikan pada kurikulum sekolah, bukan pada satu mata pelajaran, akan tetapi melalui subyek lain (pengetahuan, bahasa, berhitung, dan sebagainya (Bijoux, 2008). Hal ini diartikan dengan menuangkan (infussion) materi pendidikan lingkungan ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga pendidikan di sekolah bernuansa lingkungan, yang diharapkan implikasinya berpengaruh positif bagi siswa dalam mengadopsi dimensi laten pendidikan lingkungan. Berdasarkan beberapa pengalaman, telah ditemukan metode yang dianggap efektif yakni melibatkan siswa secara langsung berupa 1) kompetisi: lagu, penulisan kreatif, puisi, lukisan, kuis, 2) rekreasi seperti menjelajahi bakau, 3) keikutsertaan dalam pameran, dan 4) diskusi menggunakan kelas utuh). Diskusi menggunakan kelas utuh merupakan cermin pembelajaran di kelas. Dalam konteks lingkungan alami, siswa berinteraksi di alam terbuka, jadi pengertian kelas tidak lagi dibatasi oleh 14 tembok tebal dan perangkat di dalamnya. Pembelajaran semacam ini menggunakan pendekatan lingkungan. Masalahnya adalah pendidikan lingkungan merupakan suatu dimensi dan tidak terkait dengan satu mata pelajaran saja, jadi sifat-sifat pendidikan lingkungan yang multidisiplin dan interdisiplin perlu mendapat perhatian oleh para guru dalam menyajikan kepada siswa. Simpulan 1. Pendidikan lingkungan di Provinsi Kalimantan Selatan sudah selayaknya dikembangkan, khususnya pendidikan lingkungan berbasis lahan basah. Karena melalui pendidikan lingkungan dapat memperoleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kesadaran. 2. Pendidikan lingkungan sudah dirintis di beberapa negara, yang dibuktikan melalui tulisan-tulisan ilmiah, di provinsi ini sudah dilakukan kajian-kajian bersifat parsial yang diharapkan dapat dijadikan rujuan untuk mengembangkan pendidikan lingkungan berbasis lahan basah lebih mendalam. 3. Pendidikan lingkungan idealnya harus dicantumkan dalam kurikulum sekolah sudah diantisipasi melalui KTSP, dari tingkat SD sampai SMA.