keterkaitan antara faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor budaya

advertisement
1
PELUANG DAN TANTANGAN MENGGUNAKAN LAHAN BASAH DALAM
MEMBELAJARKAN KONSEP EKOLOGI DAN KESADARAN
LINGKUNGAN 1
H. Muhammad Zaini 
Abstrak
Bersahabat dengan alam menjadi lebih populer karena sejalan dengan
ungkapan environment-friendly, jika diterjemahkan secara bebas berarti ramah
lingkungan; yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah di Negara Australia.
Topik ini diangkat secara kebetulan beriringan dengan Hari Lahan Basah dunia
yang ditetapkan setiap tanggal 2 Pebruari. Lahan basah menjadi penting ditinjau dari
aspek apa saja, baik dari sisi habitat, flora, fauna, maupun biologi sosial. Bahkan
menjadi mata kuliah wajib pada jenjang Progam Magister Pendidikan Biologi Unlam.
Mengingat nilainya yang tinggi itu pula di Provinsi Kalimantan Selatan lahan
basah menjadi “rebutan” berbagai kepentingan, masalahnya adalah apakah lahan basah
dikelola menjadi lebih baik atau menuju kerusakan? Konversi lahan basah memang
tidak dapat dihindari, dan hal ini sudah berlangsung sejak zaman dulu, baik sebagai
tempat pemukiman, perkebunan, persawahan pengembangan pusat kota, dan
sebagainya. Tentu saja cara-cara pengelolaan ketika itu penuh dengan kearifan.
Pengelolaan lahan basah yang spektakuler telah dimulai sejak abad ke-19.
Adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menerapkan konsep ihya-ul mawat
(menghidupkan tanah mati) Konsep ini pada dasarnya mengeringkan rawa secara
periodik melalui pembuatan sungai dan anak-anak sungai. Bagi lahan basah yang
dipengaruhi pasang surut, maka ketika air pasang ia memasuki rawa-rawa, dan ketika
surut kembali ke sungai induk dengan membawa logam-logam berat yang ada di air dan
keasaman air. Melalui cara ini dikenal orang persawahan tumpang sari. Bagian yang
berair ditanami padi dan tanah hasil tabukan ditanami tanaman keras.
Pendidikan tentang lahan basah khususnya yang ada di Provinsi Kalimantan
Selatan perlu diperhatikan, agar keanekaragaman hayati yang ada pada lahan basah
tidak rusak dan punah. Perlunya pendidikan ini guna memperbaiki dan melestarikan
lahan basah untuk bekal generasi selanjutnya yang akan meneruskan pelestarian
keanekaragaman hayati lahan basah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan
Pendidikan lingkungan telah diintegrasikan pada kurikulum sekolah, bukan
pada satu mata pelajaran, akan tetapi melalui subyek lain (pengetahuan, bahasa,
berhitung, dan sebagainya. Hal ini diartikan dengan menuangkan (infussion) materi
pendidikan lingkungan ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga pendidikan di
sekolah bernuansa lingkungan, yang diharapkan implikasinya berpengaruh positif bagi
siswa dalam mengadopsi dimensi laten pendidikan lingkungan.
Kata Kunci: pendidikan lingkungan, pendekatan lingkungan, lahan basah,
pengetahuan sikap, keterampilan, kesadaran
1

Disampaikan pada Seminar “Pentingnya Bersahabat dengan Alam untuk Mengembalikan
Keanekaragaman Hayati Lingkungan Lahan Basah di Kalimantan”, Diselenggarakan dalam Rangka
Gebyar Sains Pendidikan Biologi HIMBIO FKIP Unlam Banjarmasin tanggal 8-13 Pebruari 2010.
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin
2
Ketika panitia mengirimkan pos-e tentang tema seminar “Pentingnya
Bersahabat dengan Alam untuk Mengembalikan Keanekaragaman Hayati Lingkungan
Lahan Basah di Kalimantan”, saya merasa ragu apakah bisa menghadirkan sebuah
makalah yang akan disampaikan kepada peseta seminar. Masalahnya adalah saya
bukan ahlinya, dan sepengatahuan saya masih banyak para dosen yang menguasai
bidang tersebut. Meskipun demikian saya mencoba memasuki celah kecil dari tema
tersebut yakni dengan menggarisbawahi ungkapan “bersahabat dengan alam”.
Ungkapan ini boleh jadi diangkat dari sepotong lirik lagu Ebiet G. Ade. Pada awal
tahun 90-an, menjadi lebih populer karena sejalan dengan ungkapan environmentfriendly (Gough,1992). Jika diterjemahkan secara bebas berarti ramah lingkungan;
yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah di Negara Australia. Seminar sehari
ini merupakan momen yang tepat, entah suatu kebetulan karena beriringan dengan
Hari Lahan Basah dunia yang ditetapkan setiap tanggal 2 Pebruari.
Lahan basah menjadi penting ditinjau dari aspek apa saja, baik dari sisi
habitat, flora, fauna, maupun biologi sosial. Bahkan menjadi mata kuliah wajib pada
jenjang Progam Magister Pendidikan Biologi Unlam. Lahan basah di Kalimantan
Selatan berupa daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan
tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim
kemarau airnya menjadi kering (Panitia Gebyar Sains, 2010). Salah satu lahan basah
di Provinsi Kalimantan Selatan menurut sumber di atas dijumpai di Desa Tungkaran
Kabupaten Banjar.
Konsep Lahan Basah
Konsep lahan basah sedang dirintis menjadi program konsentrasi pada
Program Magister Pendidikan Biologi. Alasannya adalah sebagian besar lahan di
Provinsi Kalimantan Selatan didominasi olah lahan basah. Tentu saja dengan definisi
yang lebih luas dibanding definisi di atas.
Menurut Konvensi Ramsar (www.ramsar.org) lahan basah (wetlands) dapat
diartikan sebagai lahan yang secara alami atau buatan selalu tergenang, baik secara
terus-menerus ataupun musiman, dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang
menggenangi lahan basah dapat berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air
laut yang menggenangi lahan basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6
meter pada kondisi surut. Menurut Center for Wetlands People and Biodiversity
(http.www.ppkmlb.page.tl/Sekilas-Lahan-Basah.htm) lahan basah tersebar dari
dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan basah alami seperti sungai, danau, delta,
hutan rawa gambut, hutan bakau, kerapa, koral, dan laguna. Sedangkan lahan basah
buatan seperti waduk, saluran irigasi, sawah, kolam dan parit. Berdasarkan kedua
definisi ini maka jelas bahwa sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan
didominasi oleh lahan basah.
Menurut Inseklopedia bebas lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayahwilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau
musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya terkadang tergenangi oleh
lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah
rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan
basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.
3
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah
tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa
air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa
penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah
seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan;
hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.
Manusia memperoleh berbagai manfaat dari lahan basah, baik secara ekonomi,
ekologi, maupun budaya. Sebagian besar penduduk dunia bermukim dalam kawasan
atau dekat dengan lahan basah. Banyak kota-kota di dunia yang dibangun pada
kawasan lahan basah. Kota Banjarmasin terletak di ambang Sungai Barito.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang
subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan
pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun sebagai
wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di banyak negara lahanlahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam
program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati
seperti Biodiversity Action Plan.
Bagaimana dengan lahan basah di Indonesia, dan bagaimana pula di Provinsi
Kalimantan Seatan? Mengingat nilainya yang tinggi itu pula di Provinsi Kalimantan
Selatan lahan basah menjadi “rebutan” berbagai kepentingan, masalahnya adalah
apakah lahan basah dikelola menjadi lebih baik atau menuju kerusakan? Konversi
lahan basah memang tidak dapat dihindari, dan hal ini sudah berlangsung sejak zaman
dulu, baik sebagai tempat pemukiman, perkebunan, persawahan pengembangan pusat
kota, dan sebagainya. Tentu saja cara-cara pengelolaan ketika itu penuh dengan
kearifan.
.
Pengelolaan Lahan Basah Ramah Lingkungan
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang tidak
lagi memandang lahan basah sebagai apa adanya. Mereka cenderung mengelolanya,
dan bahkan mengubah menjadi kondisi yang diinginkan masyarakat masa kini.
Dapatkah masyarakat pengguna lahan basah memanfaatkan ruang terbuka tanpa
merusaknya? Sejarah membuktikan, dan ini dapat dilaksanakan. Sungai, kanal, dan
perairan alam lain, ketinggian permukaan airnya setiap hari dipengaruhi langsung
oleh pasang surut air laut. Kondisi hidrologis seperti ini mengakibatkan ketika air
pasang dan musim hujan sering terjadi genangan air, masyarakat beradaptasi dengan
mendirikan perumahan di sepanjang aliran sungai, baik rumah panggung maupun
rumah lanting
Rumah lanting yang memiliki nilai ekologis karena dapat meredam
gelombang air, bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai toko menjual
barang dagangan, kegiatan usaha, pandai besi dan lain-lain (Saleh, 1986:18). Rumah
lanting pada awal abad ke-21 ini, juga berfungsi sebagai stasiun pengisian bahan
bakar bagi kapal motor, tempat pandai besi, dan bengkel.
Thomas Karsten seorang ahli tata kota Belanda sebelum Perang Dunia II juga
menyarankan agar rumah lanting tetap diizinkan bertambat di tepi sungai, karena
4
mampu meredam gelombang yang ditimbulkan oleh hiruk-pikuk lalu lintas air
(Banjarmasin Kota Air, 1988). Sifat mampu meredam gelombang air diduga belum
dipahami betul oleh pemerintah setempat. Pembuatan siring (beram, tanggul) yang
berfungsi menyelamatkan tepi sungai dengan biaya besar sangat digalakkan,
sedangkan rumah lanting dengan peran yang sama justru digusur. Permukiman
penduduk di rumah lanting terkesan kumuh, tetapi bila ditata rapi dan dengan
sentuhan estetika justru menjadi daya tarik wisatawan.
Pengelolaan lahan basah yang spektakuler telah dimulai sejak abad ke-19.
Adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menerapkan konsep ihya-ul
mawat (menghidupkan tanah mati) (Jamalie, 2005; Daudi, 1996). Konsep ini pada
dasarnya mengeringkan rawa secara periodik melalui pembuatan sungai dan anakanak sungai. Bagi lahan basah yang dipengaruhi pasang surut, maka ketika air pasang
ia memasuki rawa-rawa, dan ketika surut kembali ke sungai induk dengan membawa
logam-logam berat yang ada di air dan keasaman air. Melalui cara ini dikenal orang
persawahan tumpang sari. Bagian yang berair ditanami padi dan tanah hasil tabukan
ditanami tanaman keras.
Konsep ini merambah ke segenap penjuru tanah air yang memiliki lahan basah
seperti Sumatera bagian Timur, Kalimantan Tengah bagian selatan, Kalimantan Barat
bagian barat dan Malaysia. Ketika itu istilah paten belum dikenal, sehingga ada
seorang pembicara dalam seminar di provinsi ini mengaku sebagai gagasan miliknya.
Bandingkan dengan Proyek Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, samasama lahan basah, seandainya maun belajar melalui konsep menghidupkan tanah
mati, mungkin Provinsi Kalimantan Tengah menjadi lumbung padi nusantara.
Banyak isitilah-istilah muncul belakangan sehubungan dengan pengelolaan
lahan basah seperti di atas, sebut saja kanal, muara, kuala, dan tatah Kanal (disebut
juga antasan, terusan, anjir, handil) banyak dijumpai di sungai Martapura, baik terjadi
secara alami maupun buatan manusia. Pembuatan kanal tidak dapat dipisahkan dari
pemanfaatan potensi lingkungan perairan. Bagi Masyarakat Banjarmasin, kanal lebih
populer disebut antasan (berasal dari bahasa Banjar artinya melintas atau memotong)
yakni alur sungai yang menghubungkan 2 buah sungai besar dengan jarak terdekat.
Sayangnya di Kota Banjarmasin sampai awal tahun 2004 sebagian besar tertutup
bangunan rumah. Padahal adanya kanal mempercepat alat transportasi air sampai ke
daerah tujuan. Meskipun antasan kurang berfungsi saat ini, akan tetapi sebutan
antasan sudah melekat bagi masyarakat sebagai nama tempat, seperti Antasan Kecil,
Antasan Bondan, Antasan Bromo, Antasan Raden, dan Antasan Pengambangan
(Zaini, 2005).
Pengertian muara dan kuala memiliki kerancuan, muara pada dasarnya
merupakan pertemuan beberapa sungai seperti Muara Muning (pertemuan Sungai
Tapin dan Sungai Negara), Muara Habirau (pertemuan Sungai Amandit dan Sungai
Balangan), dan Muara Mantuil (pertemuan Sungai Martapura dan Sungai Barito).
Sedangkan kuala adalah alur sungai bagian hilir setelah mempertemukan sungaisungai tadi. Kuala Lupak merupakan alur Sungai Tamban yang berakhir di Laut Jawa.
Kuala Barito seharusnya alur Sungai Barito yang bermuara di Laut Jawa, tetapi pada
saat ini Kuala Barito (Barito Kuala) mempertemukan Sungai Barito dan Sungai
Negara, dan menjadi nama salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan
(Zaini, 2005).
5
Keadaan lahan basah yang unik telah menggugah rektor Unlam tahun 70-an
angkat bicara. Ia menulis dalam sebuah artikel ilmiah kala itu agar rawa gambut
jangan dikonversi, biarkan apa adanya sebagai habitat hewan liar beserta floranya
yang khas. Karena bila dikonversi menjadi lahan pertanian tidak produktif. Sekarang
memang tidak dijadikan lahan pertanian, akan tetapi menjadi pemukiman. Akhirnya
jebakan air yang seharusnya dapa mengendalikan banjir menjadi kurang berfungsi.
Hal ini tentu akan berakibat terjadinya perubahan keanekaragaman hayati di lahan
basah.
Dapatkah pengelolaan lahan basah ramah lingkungan digalakkan kembali?
Tidak sekedar mengenang ceritera masa lalu, tentu saja dapat. Hal ini tergantung dari
kesadaran pengambil kebijakan untuk menyusun langkah strategis penyelamatan
lingkungan lahan basah yang mendominasi wilayah provinsi ini. Bukan berarti secaa
individual tidak dapat dilaksanakan, sebagai mana yang dilakukan Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari. Cara yang dianggap efektif adalah melalui pendidikan lingkungan.
Pendidikan Lingkungan
Penyelesaian masalah lingkungan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri
tetapi menuntut kerjasama multipihak secara serentak dan menyangkut seluruh
lapisan masyarakat. Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi
solusi utama yang harus dilakukan, agar generasi muda memiliki bekal pemahaman
tentang lingkungan hidup yang kokoh. Pendidikan lingkungan diharapkan mampu
menjembatani dan mendidik manusia agar berperilaku bijak. Dengan demikian
sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan hidup sejak
dini melalui anak-anak secara terprogram dan berkelanjutan, hingga pada saatnya
akan tercipta insan-insan pribadi bangsa yang utuh.
Pendidikan lingkungan muncul karena manusia yang kurang bijaksana di
dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan/atau diakibatkan oleh bencana alam yang
sering kali sulit diduga. Hal ini disebabkan 1) rasa tidak tahu (unawareness) akan
akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, 2) tidak
memahami fungsi dari komponen-komponen ekosistem di alam, 3) tingkat
pendapatan yang rendah sehingga cenderung mendorong masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya alam tanpa terkendali dan 4) rasa tidak peduli terhadap
kerusakan lingkungan karena akibatnya tidak langsung dapat dilihat dan dirasakan
oleh si pelaku pencemar (Suryadiputra 1997). Dengan kata lain manusia memiliki
peran yang sangat besar dalam menimbulkan kerusakan lingkungan dan oleh karena
itu adalah sangat tepat dijadikan sasaran pendidikan agar mereka memiliki tingkat
pemahaman yang luas akan arti dan fungsi lingkungan.
Pendidikan Lingkungan secara formal dilakukan melalui kurikulum sekolah
dan pemanfaatan potensi lingkungan yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini guru yang
menyampaikan juga tidak selalu harus seorang ekolog atau ilmuwan, melainkan
cukup seseorang yang mampu menjadi pemandu dalam berpikir tentang lingkungan
yang ada di sekitarnya dan mempunyai semangat dalam menemukan hubungan yang
ada dalam ekosistem kita.
Penyelenggaraan paket pendidikan ini dapat bersifat outdoor education
(pendidikan di luar kelas), yang dilakukan dengan mengajak siswa untuk menyatu
dengan alam dan melakukan beberapa aktivitas yang mengarah pada terwujudnya
perubahan perilaku siswa terhadap lingkungan melalui tahap-tahap penyadaran,
6
pengertian, perhatian, tanggungjawab dan aksi atau tingkah laku. Outdoor tidak
berarti sekedar memindahkan pelajaran ke luar kelas, melainkan lebih pada
pemanfaatan potensi lingkungan yang ada sebagai objek dalam materi yang
disampaikan. Aktivitas yang disampaikan berupa permainan, cerita (dongeng),
olahraga, eksperimen, perlombaan, mengenal kasus-kasus lingkungan di sekitarnya
dan diskusi penggalian solusi, aksi lingkungan, dan jelajah lingkungan. Dalam
kegiatan ini siswa dibimbing untuk menemukan sendiri maksud yang terkandung di
dalamnya, sehingga transfer materi bisa lebih mengena dan lebih mudah diingat siswa
(Putri, 2006).
Pendidikan tentang lahan basah khususnya yang ada di Provinsi Kalimantan
Selatan perlu diperhatikan, agar keanekaragaman hayati yang ada pada lahan basah
tidak rusak dan punah. Perlunya pendidikan ini guna memperbaiki dan melestarikan
lahan basah untuk bekal generasi selanjutnya yang akan meneruskan pelestarian
keanekaragaman hayati lahan basah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, agar
kita dan generasi kita selanjutnya nanti bisa bersahabat dengan alam untuk
mengembalikan keanekaragaman hayati lingkungan basah di Kalimantan, yang
nantinya sangat bermanfaat bagi kelangsungan makhluk hidup yang ada (Panitia
Gebyar Sains, 2010) .
Pendidikan lingkungan merupakan suatu proses untuk mengembangkan
kesadaran dan pemahaman terhadap lingkungan, memiliki sikap positif dan memiliki
keterampilan yang memungkinkan para siswa berpartisipasi dalam menetapkan
kualitas lingkungan dari tingkat lokal sampai tingkat internasional (Gough, 1992).
Beberapa kata kunci dari definisi di atas adalah lingkungan, pengetahuan, sikap,
keterampilan yang mengarah pada kesadaran. Mengingat pendidikan lingkungan
merupakan suatu proses maka harus ada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
siswa yakni pendekatan lingkungan. Pendekatan lingkungan adalah strategi
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan
lingkungan nyata guna memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
bermuara pada kesadaran lingkungan.
Pendekatan lingkungan di dalam pelaksanaan pembelajaran berarti mengajak
para siswa belajar langsung di lapangan tentang topik-topik pelajaran. Tang (2002)
mengemukakan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan
hubungan yang saling mempengaruhi sehingga lahir interaksi. Pendekatan lingkungan
berpangkal pada adanya hubungan antara perkembangan fisik dengan lingkungan
sekitarnya (Yulianto, 2002). Pendekatan lingkungan tidak melakukan eksploitasi
alam, akan tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat di sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan. Dalam menggunakan pendekatan ini, materi
pelajaran telah disesuaikan dengan lingkungan sebagai konteks pembelajaran, baik
berupa benda, peristiwa, atau keadaan yang dapat mempengaruhi siswa sebagai
subyek pembelajar. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan akan
lebih bermakna bila dikombinasikan dengan lain misalnya pendekatan kooperatif.
Karena pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks pembelajaran.
Pendekatan lingkungan pada dasarnya sama dengan pendekatan keterampilan
proses, yaitu merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan anak untuk belajar
fakta dan konsep. Perbedaan antara kedua pendekatan ini terletak pada kapan
pendekatan tersebut diberikan. Pendekatan lingkungan bersifat lebih khusus yaitu
berorientasi ke lingkungan atau konsep-konsep yang bernuansa lingkungan sehingga
7
tidak semua konsep pada mata pelajaran biologi dapat digunakan dengan pendekatan
ini. Sebaliknya pendekatan keterampilan proses bersifat lebih umum karena tidak
berorientasi pada satu cara seperti pada pendekatan lingkungan.
Menurut Gough (1992) ada empat komponen besar yang berkaitan dengan
lingkungan yakni 1) lingkungan alam, termasuk di dalamnya udara, air, kehidupan,
buli, dan sinar matahari, 2) lingkungan buatan, seperti perubahan bentang alam,
perkotaan, lahan pertanian, trasportasi, dan system komunikasi, 3) lingkungan
social/budaya seperti system yang berlaku dan institusi yang berpengaruh terhadap
individu dan kelompok. Termasuk di dalamnya adalah agama, system legal yang
terkait dengan politik, ekonomi, pemdidikan, pertalian keluarga, demografi,
estetika, dan berbagai aktivitas manusia lainnya, 4) lingkungan ruang, termasik
unsur-unsur yang ada di suatu lokasi atau yang berada jauh, kerapatan, keteraturan,
dan ariasi di dalam lingkungan.
Kapan Seharusnya Pendidikan Lingkungan Diberikan kepada Anak?
Pertanyaan ini muncul karena tidak ada keseragaman waktu yang tepat mulai
diberikan kepada anak. Apakah pendidikan lingkungan mulai dapat diberikan, pada
anak kelas 3, kelas 1 atau sejak TK? Atau bahkan lebih awal lagi? Pengetahuan
lingkungan yang berdasar pengalaman hidup harus dimulai sejak kehidupan yang
sedini mungkin. Pengalaman-pengalaman seperti itu memainkan peranan yang
sangat kritis dalam membentuk sikap hidup, nilai dan pola perilaku terhadap
lingkungan alami (Tilbury, 1994; Wilson, 1994 dalam Wilson, 1996).
Latar belakang perlunya pendidikan lingkungan diberikan sejak tahun-tahun awal
didasarkan atas 2 pendapat: Pendapat pertama menekankan bahwa anak perlu
mengembangkan perasaan hormat dan tanggap terhadap lingkungan sekitar sejak
masa anak-anak atau menanggung resiko tidak pernah mengembangkan sikap
tersebut (Stapp, 1978, Tilbury, 1994, Wilson, 1994 Wilson, 1996). Munculnya
pendidikan lingkungan bagi anak prasekolah mencerminkan makin meningkatnya
kesadaran bahwa pengalaman-pengalaman dalam lingkungan selama fase kritis
yakni pada tahun-tahun pertama kehidupan anak dapat menentukan pengembangan
berikutnya dalam pendidikan lingkungan dan tahun-tahun pertama prasekolah; akan
terbukti kritis bagi pengembangan pendidikan lingkungan anak (Tilbury, 1994, hal.
11 dalam Wilson, 1996).
Latar belakang pendidikan lingkungan pada awal masa kanak-kanak juga
dilandasi oleh pendapat bahwa interaksi positif dengan lingkungan alam merupakan
bagian penting bagi pengembangan kesehatan anak (Carson, 1956, Cobb, 1977,
Crampton, dan Sellar, 1981, Mils, 1986/87, Patridge, 1984, Sebba, 1991, Wilson,
1994 dalam Wilson, 1996) dan bahwa interaksi semacam ini meningkatkan
kemampuan belajar dan kualitas hidup sepanjang sejarah hidup seseorang (Wilson,
1994). Anak yang dekat dengan alam cenderung memandang alam sebagai sumber
kekaguman, kegembiraan dan pesona. Jiwa mereka diperkaya oleh alam dan
melalui alam mereka menemukan sumber-sumber “kepekaan manusia” (Wilson,
1992 hal. 348 dalam Wilson, 1996).
Pengalaman bersahabat dengan alam cenderung menyiapkan perasaan anak
terhadap keajaiban-keajaiban seperti dikemukakan oleh Plato sebagai sumber
pengetahuan, dan oleh Cobb (1977 dalam Wilson, 1996) sebagai sumber imaginasi.
Menurut Cobb, melalui kekaguman kita mengenal dunia luar, alih-alih dilakukan
8
melalui kajian buku-buku teks, kosa kata atau belajar fakta, kekaguman yang
memberikan arah dan mendorong pemberian pendidikan lingkungan agar diberikan
pada awal kehidupan anak.
Pendidikan lingkungan bagi anak prasekolah hendaknya didasarkan pada
penanaman perasaan kagum dan kegembiraan atas berbagai penemuan. Konsisten
dengan berbagai pendekatan ini. Wilson (1996) memberikan arahan kerangka pikir
untuk pengembangan dan implementasi program pendidikan lingkungan bagi anak
prasekolah yakni 1) Mulailah dengan pengalaman-pengalaman sederhana, anak kecil
belajar paling berhasil melalui pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan
apa yang sudah mereka kenal dan ketahui. 2) Sering memberikan pengalaman positif
di luar rumah, karena anak belajar paling baik melalui pengalaman langsung dan
konkrit, 3) Fokuskan pada pengalaman, bukan pengajaran, anak belajar melalui
penemuan dan kegiatan yang dilakukan atas inisiatif sendiri, karenanya orang tua
hendaknya dapat bertindak sebagai fasilitator. 4) Tunjukkan minat pribadi terhadap
lingkungan dan kesenangan berada di alam nyata, ekspresi ketertarikan guru terhadap
alam dan kesenangan terhadap alam merupakan hal kritis untuk mencapai
kesuksesan bagi program pendidikan lingkungan anak. 5) Model memelihara dan
menghargai lingkungan alam, para guru hendaknya menjadi model dalam
memelihara dan menghargai lingkungan. Berbicara dengan anak mengenai
memelihara bumi jauh kurang efektif jika dibandingkan dengan menunjukkan caracara yang sederhana bagaimana memelihara bumi.
Kemampuan memelihara dan menghargai lingkungan dapat dicontohkan
melalui pemeliharaan tumbuhan dan hewan di dalam kelas, mengadakan dan
memelihara habitat-habitat untuk binatang liar di luar ruangan. Cara lain adalah
membuang sampah dengan baik serta mendaur ulang dan menggunakan kembali
bahan-bahan yang telah dipakai.
Bagaimana Keefektifan Pendidikan Lingkungan untuk Memperoleh
Kesadaran Lingkungan?
Di atas telah dijelaskan untuk memperoleh kesadaran lingkungan melalui
perolehan pengetahuan sikap dan keterampilan. Pada awal tahun 2000-an, Herawati
Susilo; seorang pakar pendidikan lingkungan dari Universitas Negeri Malang
mengatakan bahwa Indonesia ketinggalan dalam melaksanakan pendidikan
lingkungan sudah 40 tahun, berarti kini tertinggal sudah 50 tahun. Ini bisa dipahami
karena banyak laporan penelitian didominasi oleh peneliti-peneliti luar negeri. Di
bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian pembelajaran di dalam menciptakan
kesadaran terhadap isu-isu lingkungan (Disinger, 1985) .
Di dalam kelas tradisional, penelitian dilaporkan oleh NCEER berupa
ringkasan penelitian keefektivan kurikulum dan berbagai metode untuk menyajikan
pengetahuan isu-isu lingkungan dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti
model interdisiplin, berbagai simulasi dan berbagai permainan.
Penelitian eksperimental ini dipimpin oleh Bryant dan Hungerfort (1977) yang
mengevaluasi satu unit pembelajaran untuk siswa Taman Kanak-Kanak, yang
difokuskan kepada pemahaman istilah ”lingkungan” yang terkait dengan masalahmasalah polusi udara dan pemulihannya. Hasil-hasil menunjukkan bahwa siswa TK
dapat membentuk konsep tentang isu-isu lingkungan dan tanggung jawab masyarakat
sehubungan dengan adanya isu-isu tersebut. Siswa tidak hanya mampu mengenali
9
tindakan-tindakan apa yang dapat mereka perbuat, tetapi juga mampu mengenali
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan para orang tua. Para peneliti sepakat, bahwa
pendidikan lingkungan pada tingkat TK dapat menghasilkan beberapa pengalaman
perilaku konseptual yang merupakan bagian dari kehidupan siswa yang terlibat.
Pengaruh-pengaruh unit lingkungan terhadap konsep-konsep dan pengetahuan
siswa SD kelas tinggi tentang lingkungan hutan dan masalah-masalah lingkungan
yang terkait telah disediki oleh Gross dan Pizzini (1979). Unit ini disajikan selama
dua bulan sebelum karya wisata ke suatu cagar alam. Tujuh puluh siswa tingkat lima
dipilih secara acak dari 295 orang populasi siswa untuk diberikan pretes. Sisanya
diberi postes, bersama 85 orang siswa tingkat enam, yang juga menerima perlakuan
satu tahun sebelumnya. Para peneliti melaporkan bahwa perlakuan ini meningkatkan
secara positif orientasi siswa tentang penggunaan dan pengrusakan hutan. Namun
pengaruh-pengaruh sejarah dan pematangan tidak dapat dikontrol di dalam studi ini.
Juga keterangan tentang perubahan di dalam kesadaran sensori dan sikap terhadap
komunitas alam dari yang diperoleh dari karya wisata sehari. Untuk memaksimalkan
pengaruh-pengaruh dengan waktu yang terbatas di lapangan, pengarang
merekomendasikan aktivitas pengajaran di kelas, untuk memudahkan pembentukan
konsep sebelum pengalaman di lapangan.
Kefektivan proyek dirancang untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu
lingkungan telah diteliti oleh De Luca, Kiser, dan Frazer (1978). Tujuh puluh lima
orang siswa laki-laki dan 75 orang siswa perempuan dari setiap tingkat 10 hingga 12,
dan 100 orang siswa laki-laki dan 100 orang siswa perempuan dari masing-masing
tingkat 4 sampai 9, dipilih secara acak untuk berpartisipasi. Sekolah yang berdekatan
tanpa diberi program serupa sebagai kelompok kontrol. Tes mengenai pengetahuan
lingkungan dan sikap terhadap lingkungan dibeerikan kepada semua tingkatan,
setelah diberikan perlakuan, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan secara
statistik, dengan kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Berbagai pengaruh penggunaan pendekatan interdisiplin yang dipertentangkan
dengan pendekatan tradisional, terhadap kemampuan mengkaji permasalahan
dikemukakan oleh Hepburrn (1978). Dia telah menemukan adanya perbedaan skor
postes antara modul-modul studi sosial/sains yang diajarkan pada tingkat sembilan
dan permulaan tingkat sepuluh. Ada empat perlakuan yang diperbandingkan
sesamanya: meliputi penggunaan modul-modul sains, modul studi sosial, dan modul
interdisiplin, serta kontrol. Hasil-hasil menunjukkan bahwa kelompok perlakukan
dengan menggunakan pendekatan modul interdisiplin mencapai skor yang tertinggi.
Kefektivan penggunaan modul pemecahan masalah di dalam membantu
partisipan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah lingkungan telah
dilakukan penelitian oleh Andren (1979), yang menggunakan sampel kelompok
mahasiswa dari suatu lembaga pendidikan tinggi. Model pemecahan masalah berisi
21 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi enam wilayah identifikasi masalah,
konteks sejarah, usulan dan pemecahan masalah. Analisis berisi laporan penyelidikan
oleh para mahasiswa yang memperlihatkan bahwa kajian kelompok eksperimen yang
meliputi bidang ekonomi, hukum, isu-isu transportasi, dan isu-isu populasi, secara
signifikan lebih luas dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa model
yang digunakan bermanfaat karena secara sistematis memfokuskan perhatian
10
mahasiswa pada beberapa komponen yang diperlukan untuk memecahkan masalahmasalah lingkungan.
Penelitian deskriptif dilakukan oleh Supreka dan Harms (1977) dengan
membandingkan dua metode untuk menyajikan pendidikan lingkungan untuk
menetapkan pengaruh-pengaruhnya teerhadap pengetahuan dan sikap siswa terhadap
isu-isu energi dan lingkungan. Delapan orang guru menggunakan pendekatan inkuari
(tidak berorientasi nilai), dan delapan orang guru lainnya menggunakan pendekatan
yang berorientasi nilai-nilai yang mengajarkan selama enam minggu suatu unit
pendidikan lingkungan kepada lebih dari 600 orang siswa SMU. Kedua perlakuan
memperoleh hasil-hasil kognetif yang signifikan, dibanding dengan kelompok
kontrol. Pengarang menyarankan bahwa tidak ada beda dalam perolehan pengetahuan
siswa semata, antara dua pendekatan sementara perbedaan dalam sikap terhadap isuisu lingkungan hanya sedikit.
Studi oleh Case (1979) untuk menentukan pengaruh dari kurikulum
pendidikan lingkungan yang diberikan secara terpadu selama delapan minggu yang
diitegrasikan ke dalam kurikulum sekolah reguler menghasilkan penemuan
sebaliknya. Di dalam studi ini, siswa-siswa tingkat enam pada Sekolah Advent Hari
Ketujuh dipilih secara acak dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok A
diberi perlakuan dengan kurikulum terpadu selama lima minggu, satu minggu
diberikan pengalaman lapangan, dan ditambahkan dua minggu pemberian kurikulum
terpadu. Kelompok B diberi perlakuan dengan hanya kurikulum terpadu selama
delapan minggu; Kelompok C ditetapkan sebagai kontrol, yang tidak diberi kegiatan
pengetahuan lingkungan. Tes dirancang untuk mengukur pengetahuan lingkungan.
Pada tes pengetahuan, menghasilkan perbedaan signifikan secara statistik yaitu
kelompok B lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok A dan kelompok C. Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kelompok A dan kelompok C.
Studi yang mengkaji pengaruh program-program lingkungan di luar kelas
menghasilkan perubahan yang signifikan secara statistik pada kelompok yang
mengikuti perkemahan dalam hal pengetahuan mengenai isu-isu lingkungan.
Chitwood (1977) memperoleh adanya perubahan pengetahuan lingkungan dari
pengalaman berkemah. Dalam studi ini, diukur pengaruh-pengaruh pada 58 siswa
sebelah sesi pada minggu ke delapan di Youth Conservation Camp (YCC) terhadap
pengetahuan lingkungan, locus of control dan sikap-sikap terhadap lingkungan atau
keterkaitan antara ketiganya. Pretes dan postes diberikan untuk mengetahui
banyaknya perubahan-perubahan dalam berbagai variabel. Analisis statistik
menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, ke arah positif dicapai dalam
pengetahuan lingkungan dan sikap-sikap terhadap lingkungan, tetapi tidak di dalam
locus control.
Studi oleh Davis, Doran, dan Farr (1980) mendukung hasil-hasil yang dicapai
oleh Chitwood’s: 14.796 orang peserta perkemahan YCC dari 194 buah perkemahan
dijadikan sampel untuk mengases kesadaran lingkungan sebelum dan sesudah
pengalaman berkemah. Setiap peserta perkemahan diberikan pertanyaan yang
lengkap, yakni sebelum dan sesudah berkemah. Sebelas buah ranah telah
dikembangkan, enam buah ranah pengetahuan menunjukkan perolehan yang
signifikan secara statistik, begitu pula dengan ranah sikap. Reliabilitas tes dan
homogenitas ranah telah diketahui sebelum dilakukan penelitian.
11
Berkaitan dengan menanamkan kesadaran lingkungan kepada anak,
Wiesenmayer dan kawan-kawannya menyimpulkan 1) Pengajaran tradisional dapat
meningkatkan pengetahuan lingkungan para siswa, 2) Pendekatan interdisiplin untuk
mengkaji masalah lingkungan tampaknya lebih efektiv dari pada pendekatan
tradisional, 3) Permainan simulasi cenderung menyenangkan para partisipan, tetapi
tidak seefektif di dalam mengajarkan konsep-konsep tentang lingkungan atau untuk
membentuk sikap positif dibandingkanpada pendekatan trasidional, 4) Kombinasi
antara pengajaran di dalam kelas dan karya wisata barangkali merupakan cara sangat
efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang isu-isu lingkungan para siswa, 5)
Karya wisata berdampak positip terhadap belajar siswa bilamana dilaksanakan
sebelum pengajaran di kelas, 6) Aktivitas belajar lingkungan di luar kelas dapat
meningkatkan pengetahuan para siswa tentang isu-isu lingkungan.
Beberapa artikel yang penulis pelajari perkuliahan formal menjadi bahan
untuk mengembangkan pendidikan lingkungan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebagian besar dalam bentuk bimbingan skripsi, dan sebagian kecil penelitian
kelompok. Dengan mengikuti jejak para peneliti terdahulu, maka sejak tahun 2004
penulis telah membimbing sekitar 25 judul penelitian pendidikan lingkungan di
lingkungan FKIP unlam Banjarmasin, dan sekitar 10 judul penelitian pendidikan
lingkungan di lingkungan STKIP PGRI Banjarmasin. Di samping itu ada 3 buah
penelitian pendidikan lingkungan secara kelompok yang didanai oleh dikti. Semua
penelitian pendidikan lingkungan ini berorientasi lahan basah di Provinsi Kalimantan
Selatan. Semua naskah ini masih penulis simpan dan dapat dijadikan rujukan bagi
para peneliti berikutnya.
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber bagi
pengembangan pendidikan lingkungan di provinsi ini, khususnya bagi calon magister
pendidikan biologi dan calon doktor pendidikan biologi. .
Peluang dan Tantangan
Di atas telah diutarakan bahwa kepedulian lingkungan di berbagai Negara
cukup tinggi, bahkan jauh-jauh hari sudah dimulai. Dikatakan pula negera kita
tertinggal 50 tahun. Pertanyaannya adalah maukah kita berbenah diri untuk mengejar
ketertinggalan? Pendidikan lingkungan memiliki peluang yang besar untuk
dikembangkan, bukan saja melalui cara ini juga akan dapat memperoleh pengetahuan,
sikap, keterampilan, dan kesadaran, akan tetapi berbagai perangkat lainnya sudah
tersedia.
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki hampir semua ragam lahan basah,
bahkan mendominasi luar propinsi ini. Kondisi ini tentu member peluang yang besar
bagi guru untuk menetapkan perangkat pembelajaran sesuai dengan lingkungan
sekitarnya. Di samping itu akan menjadi lebih mudah dalam menyusunnya, karena
beberapa daerah memiliki lahan basah yang sama. Sebagai contoh Kabupaten Batola,
Kabupaten Banjar, Kota Banjarmasin, Kabupaten Tala, Kabupaten Tanah Bumbu,
dan Kabupaten Kotabaru secara bersama-sama dapat merancang bahan ajar berbasis
pesisir pantai (costal area) dan pesisir sungai (riparian). Kabupaten Tapin,
Kabupaten HSS, Kabupaten HST, Kabupaten HSU, dan Kabupaten Tabalong secara
bersama-sama dapat merancang bahan ajar berbasis lebak dalam.
Guru saat ini hanya dibebankan sejumlah kmpetensi dasar (KD), sedangkan
pengembangan tujuan dirancang sendiri oleh guru. Hal ini menguntungkan bagi guru
12
karena dapat merancang bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah tempat
mereka bertugas.
Materi IPA yang berkaitan dengan topik lingkungan cukup banyak dijumpai,
bahkan pada hampir semua tingkatan. Hal ini merupakan bagian penting dari
pendidikan lingkungan yang memberikan kesempatan lebih besar pada IPA. Akan
tetapi bukan berarti bahwa pendidikan lingkungan dan IPA adalah sama. Dua
komponen utama dalam pendidikan IPA dengan pendidikan lingkungan adalah
keduanya menekankan kepada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dan
mempelajari hubungan antara IPA, teknologi, dan masyarakat.
Hasil analisis KTSP IPA SD dan buku-buku yang telah memuat nuansa
lingkungan dalam pembelajaran seperti pada Tabel 1. Pada Tabel 1, isu-isu tentang
Tabel 1. Hasil Analisis KTSP IPA SD dan Buku-buku yang Bernuansa Lingkungan
4
35
∑ KD IPABiologi
13
5
23
16
14
87,5
6
23
11
5
45,5
kelas
∑ KD
∑ KD IPA-Biologi
bernuansa lingkungan
9
%
69,0
Sumber Buku
(Penerbit)
1. Balai Pustaka
2. Mediatama
3. Titian Ilmu
4. Tropika
5. Intan Pariwara
6. Sahabat
7. Regina
8. Armandelta
Pendidikan lingkungan menjadi marginal sudah diantisipasi oleh sumber
belajar siswa. Bahkan pada pembelajaran IPA di kelas 5 sudah mendekati 100%.
Masalahnya adalah pembelajaran konsep-konsep IPA dengan nuansa lingkungan
belum akrab di kalangan para guru. Hasil analisis KTSP IPA SMP seperti Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis KTSP IPA SMP yang Bernuansa Lingkungan
kelas
VII
VIII
IX
∑ KD
26
27
19
∑ KD Biologi
11
10
7
∑ KD Biologi bernuansa lingkungan
6
2
1
%
54,5
20
14,2
Pada Tabel 2, di kelas X, pembelajaran biologi bernuansa lingkungan di kelas VIII
masih besar (54,5%), sedangkan kelas XI dan XII sudah dikurangi. Hasil analisis
KTSP SMA seperti Tabel 3. Pada Tabel 3, di kelas X. pembelajaran biologi
Tabel 3. Hasil Analisis KTSP SMA yang Bernuansa Lingkungan
kelas
X
XI
XII
∑ Kompetensi
Dasar (KD)
14
13
16
∑ KD Biologi bernuansa lingkungan
7
0
0
%
50
0
0
13
bernuansa lingkungan masih besar (50%),sedangkan kelas XI dan XII sudah tidak
disajikan lagi. Berdasarkan ketiga jenjang sekolah, maka pendekatan lingkungan
memberi peluang besar untuk dikembangkan, baik oleh guru, peneliti, mahasiswa,
dan para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini.
Sekalipun KTSP member peluang besar dalam pengembangan pendidikan
lingkungan, bukan berarti tanpa tantangan. Saat ini sekolah masih berupaya
menanamkan konsep kepada anak, tentu saja ini berkaitan dengan kepentingan ujian
akhir. Pendidikan lingkungan kurang mendapat perhatian karena berbagai alasan
sehingga perkembangannya terasa lambat. Belajar di luar kelas terkesan banyak
menyita waktu, sehingga mata pelajaran lain terabaikan. Belajar di luar kelas
cenderung tidak serius, dan yang lebih ekstrim lagi belajar di luar kelas adalah tidak
belajar, terutama pandangan guru-guru lain yang tidak mengajar mata pelajaran
biologi. Para guru mengenal belajar di luar kelas hanya terbatas pada mata pelajaran
olahraga saja. Pandangan ini harus segera diubah karena merugikan para murid dan
sekolah pada umumnya. Para guru enggan mengajak siswa belajar di luar kelas,
apalagi di luar lingkungan sekolah.
Faktor waktu ebagai kendala dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
lingkungan sebenarnya dapat diatasi dengan memformulasikan keterpaduan antara
intrakuriker dan kokurikuler. Lagi pula KTSP tidak memberikan alokasi waktu
masing-masing KD. Untuk mengatasi kendala biaya dapat diatasi pihak sekolah
dengan memanfaatkan lingkungan spesifik yang terdekat, akan tetapi sesuai dengan
konteks pembelajaran dan tidak menjadi konteks bagi sekolah lainnya. Dengan
mengatasi kedua kendala di atas, maka pendekatan lingkungan dengan konsep-konsep
yang bernuansa lingkungan akan dapat memperkaya wawasan siswa, sehingga tidak
sekedar penanaman konsep saja tetapi kemampuan berpikir, keterampilan proses, dan
kelak dapat mengatasi masalah sosial di lingkungan para siswa sesuai tuntutan
kurikulum akan terlaksana. Partisipasi para orang tua masih diharapkan karena
berdasarkan pengamatan mereka memberi respon positif terhadap pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan lingkungan.
Pendidikan lingkungan adalah pendidikan yang bertujuan untuk
mengembangkan sekelompok masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan motivasi untuk menyelesaikan masalah lingkungan menuju pembangunan
berkelanjutan. Menurut Gough (1992) pendidikan lingkungan idealnya harus
dicantumkan dalam kurikulum sekolah, dengan menyajikan topik terkini sesuai
dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan lingkungan telah diintegrasikan pada
kurikulum sekolah, bukan pada satu mata pelajaran, akan tetapi melalui subyek lain
(pengetahuan, bahasa, berhitung, dan sebagainya (Bijoux, 2008). Hal ini diartikan
dengan menuangkan (infussion) materi pendidikan lingkungan ke dalam berbagai
mata pelajaran, sehingga pendidikan di sekolah bernuansa lingkungan, yang
diharapkan implikasinya berpengaruh positif bagi siswa dalam mengadopsi dimensi
laten pendidikan lingkungan.
Berdasarkan beberapa pengalaman, telah ditemukan metode yang dianggap
efektif yakni melibatkan siswa secara langsung berupa 1) kompetisi: lagu, penulisan
kreatif, puisi, lukisan, kuis, 2) rekreasi seperti menjelajahi bakau, 3) keikutsertaan
dalam pameran, dan 4) diskusi menggunakan kelas utuh). Diskusi menggunakan kelas
utuh merupakan cermin pembelajaran di kelas. Dalam konteks lingkungan alami,
siswa berinteraksi di alam terbuka, jadi pengertian kelas tidak lagi dibatasi oleh
14
tembok tebal dan perangkat di dalamnya. Pembelajaran semacam ini menggunakan
pendekatan lingkungan. Masalahnya adalah pendidikan lingkungan merupakan suatu
dimensi dan tidak terkait dengan satu mata pelajaran saja, jadi sifat-sifat pendidikan
lingkungan yang multidisiplin dan interdisiplin perlu mendapat perhatian oleh para
guru dalam menyajikan kepada siswa.
Simpulan
1. Pendidikan lingkungan di Provinsi Kalimantan Selatan sudah selayaknya
dikembangkan, khususnya pendidikan lingkungan berbasis lahan basah. Karena
melalui pendidikan lingkungan dapat memperoleh pengetahuan, sikap,
keterampilan, dan kesadaran.
2. Pendidikan lingkungan sudah dirintis di beberapa negara, yang dibuktikan
melalui tulisan-tulisan ilmiah, di provinsi ini sudah dilakukan kajian-kajian
bersifat parsial yang diharapkan dapat dijadikan rujuan untuk mengembangkan
pendidikan lingkungan berbasis lahan basah lebih mendalam.
3. Pendidikan lingkungan idealnya harus dicantumkan dalam kurikulum sekolah
sudah diantisipasi melalui KTSP, dari tingkat SD sampai SMA.
Download