OPTIMALISASI POTENSI PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI SANTRI EKA PUSPITA SARI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri”, benar-benar hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Eka Puspita Sari NIM. I34120045 iii ABSTRAK EKA PUSPITA SARI. Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri. Dibimbing oleh SAHARRUDIN Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang khas di Indonesia. Umumnya pesantren berada di wilayah perdesaan dan kyai-nya pun berasal dari wilayah perdesaan. Globalisasi telah mengakibatkan munculnya dua tipe pesantren yaitu tipe lama (pesantren tradisional) dan tipe baru (pesantren modern). Masing-masing pesantren tersebut memiliki elemen-elemen dasar meliputi pondok, masjid, pengajaran kitab klasik, santri, dan kyai. Pesantren tradisional memandang lima elemen tersebut sebagai elemen mutlak sehingga aktor lain tidak dianggap sebagai elemen yang membangun pesantren. Padahal masyarakat merupakan aktor terdekat yang membangun pesantren. Sementara pada pesantren modern terjadi penambahan elemen yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masalah yang dihadapi pesantren saat ini adalah minimnya kompetensi santri karena proporsi belajar kitab klasik lebih banyak dibanding pelajaran umum. Sehingga ketika santri lulus dari pesantren, mereka hanya mampu pada bidang agama sementara bidang yang lain tidak. Padahal pesantren memiliki tiga modal yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi santri yaitu modal fisik, modal manusia, dan modal sosial. Kata kunci: kyai, pesantren, santri, tiga modal ABSTRACT EKA PUSPITA SARI. Optimalization of Islamic Boarding School’s Potency to Improve Students Competence. Supervised by SAHARRUDIN Islamic boarding school is a unique religious educational institutions in Indonesia. Generally, Islamic boarding school are located in rural areas and "kyai" had come from rural areas. Globalization resulted in the emergence of two types of schools, namely the old type (Traditional Islamic Boarding Schools) and a new type (Modern Islamic Boarding School). Each of these schools have the basic elements include cottage, mosques, teaching classical books, students, and kyai. Traditional Islamic school looked at five elements as an absolute element so that other actors are not considered as an element that builds schools. Whereas society is the closest actor who build schools. While the Modern Islamic School has addition of elements are public, private, and government. Problems facing Islamic schools today is the lack of competence of the students because the proportion studying classical books more than the general subjects. So that when students graduate from schools, they are only capable in the field of religion while other areas are not. Whereas Islamic school has three capital that can be developed to improve students comptence that physical capital, human capital, and social capital. Keywords: islamic boarding school, kyai, students, three capital iv OPTIMALISASI POTENSI PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI SANTRI Oleh Eka Puspita Sari I34120045 Laporan Studi Pustaka sebagai Syarat Kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Eka Puspita Sari Nomor Pokok : I34120045 Judul : Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr. Ir. Saharrudin, MS Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal pengesahan : vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Pustaka berjudul “Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Saharrudin, MS selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian Laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada ibu Samsiah, Mukhriandi, Nurul Hidayat, orang tua dan keluarga tercinta, serta Zaitun Apriyanti, Melani Kurnia Ningsih, M Arif Rahman, M Imam Hidayattullah, adik-adik tersayang, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman terdekat yaitu: Fitri Dwi Prastyanti, Sinta Herian Pawestri, Ade Febryanti, Nabilah Anada Razani, Tyagita Indahsari W dan teman-teman SKPM 49 yang telah memberi semangat dan dukungan dalam proses penulisan Laporan Studi Pustaka ini. Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Eka Puspita Sari NIM. I34120045 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN ............................................................................................................... ii ABSTRAK ....................................................................................................................... iii PRAKATA....................................................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................................... vii DAFTAR TABEL.......................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... ix PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Tujuan Penulisan........................................................................................................... 5 Metode Penulisan .......................................................................................................... 5 RINGKASAN DAN ANALIS PUSTAKA ...................................................................... 6 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 26 Pesantren ......................................................................................................................... 26 Sejarah Islam dan Pesantren di Nusantara .............................................................. 26 Pesantren dan Elemen Pesantren ............................................................................ 28 Jenis-Jenis Pesantren............................................................................................... 29 Pola Pembelajaran Pesantren .................................................................................. 30 Elemen-Elemen Pesantren ...................................................................................... 30 Pola Pembiayaan Pesantren .................................................................................... 34 Modal-Modal Pesantren .............................................................................................. 35 Modal Sosial ........................................................................................................... 36 Modal Fisik ............................................................................................................. 38 Modal Manusia ....................................................................................................... 39 SIMPULAN .................................................................................................................... 42 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ............................................................................ 42 Pertanyaan Penelitian Skripsi ..................................................................................... 43 Usulan Kerangka Analisis .......................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 46 LAMPIRAN.................................................................................................................... 48 Riwayat Hidup ............................................................................................................ 48 viii DAFTAR TABEL 2.1 Modal sosial kyai, ustadz, dan santri pada ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid dan Ponpes Ali Maksum 8 ix DAFTAR GAMBAR 2.1 Manajemen kegiatan pemberdayaan ekonomi 4.1 Kerangka analisis 10 44 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keragaman suku bangsa Indonesia telah memberi warna dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan bahasa, ras, suku, hingga agama, menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang sangat beragam. Keragaman suku bangsa Indonesia terwujud dari tumbuhnya bentuk-bentuk kelembagaan di masyarakat sesuai dengan latar belakang dan identitas etnik yang ada, misalnya kelembagaan agama, kelembagaan ekonomi, kelembagaan politik, serta kelembagaan pendidikan. Kelembagaan pendidikan termasuk sebuah representasi keragaman suku di Indonesia yang sangat mudah ditemui. Hasil penelitian Mudana (2012) menunjukkan bahwa keberagaman etnik di Desa Pakraman, Bali, diwujudkan dari tumbuhnya kelompokkelompok keagamaan, seperti PHDI bagi umat Hindu, Kelompok Pengajian Islam, serta Tempat Pembinaan Umat bagi Katolik dan Protestan. Selain itu, setiap suku diberi pula ruang publik untuk beraktivitas layaknya penduduk asli setempat1. Ruang publik pendidikan yang difasilitasi seperti PGA, STKIP Agama Hindu, Muhammadiyah, SMU Swastiastu/Kristen, Kursus Bahasa Mandarin, Kursus Bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman etnik di Indonesia telah menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan lokal sesuai identitas etnik masing-masing. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang diberikan ruang publik pendidikan hingga saat ini. Pesantren termasuk salah satu produk budaya khas Indonesia karena manajemen pengelolaannya berbeda dengan negara Islam lainnya. Menurut Dhofier (2011:82-83), kekhasan pondok di Indonesia adalah lokasinya terletak di perdesaan dan ulama nya pun berasal dari perdesaan. Hal tersebut tidak memungkinkan jika seluruh santri yang datang untuk belajar di pesantren tinggal di rumah penduduk. Mereka harus tinggal dalam kawasan tempat tinggal kyai agar bisa menggali ilmu lebih mendalam. Kondisi demikian tidak sama dengan kondisi pesantren di negara Islam lain. Kyai atau ulama2 yang berada di negara Islam lain berasal dari perkotaan. Sehingga para santri yang menempuh pendidikan tidak harus tinggal atau bermukim dalam komplek kyai. Pendidikan hanya dilakukan di masjid-masjid secara teratur dan rutin. Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia terus tumbuh sepanjang tahun. Data Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan jumlah pesantren yang tercatat sebanyak 27.230 pesantren. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data tahun 1997 yang mencatat jumlah pesantren di Indonesia hanya sebanyak 4.196 pesantren. Jumlah tersebut dikuatkan dengan data jumlah santri yang menempuh pendidikan di pesantren. Data 1 Pada masyarakat Bali, mayoritas penduduk memeluk agama Hindu sedangkan para pendatang berasal dari berbagai daerah, suku, dan agama. Meskipun terdapat perbedaan, setiap penduduk diberikan hak yang sama dengan penduduk lainnya. 2 Ulama adalah seseorang yang ahli pengetahuan Islam. Kyai adalah sebutan untuk ulama yang memimpin pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara di Jawa Barat, ulama disebut ajengan. Namun sekarang, banyak juga ulama yang disebut “Kyai” meskipun Ia tidak memiliki pesantren (Dhofier 2011:93). 2 menunjukkan bahwa terdapat 3.004.807 anak yang tercatat sebagai santri mukim (79,93%) dan 754.391 anak untuk santri non mukim (Kemenag, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren sangat tinggi. Hasil studi Dhofier (2011:91) menunjukkan sesuatu yang menarik dari pesantren. Selain lokasi dan ulama pesantren berada di perdesaan, santri-santri yang menempuh pendidikan di pesantren berasal dari kalangan menengah ke atas 3. Hal tersebut dapat ditemui pada pesantren-pesantren besar. Sebelum menjadi santri, setiap anak dididik oleh guru mengaji di pesantren-pesantren kecil atau langgar di kampung masing-masing. Anak-anak tersebut akan dipilih untuk disekolahkan di pesantren yang jauh dari kampung halaman mereka. Hanya anak-anak yang cerdas dan dinilai mempunyai kompetensi akan dikirim ke pesantren. Karena itulah anak tersebut menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat untuk menyekolahkannya. Di Kabupaten Pati, sampai tahun 1930-an, seorang anak yang akan pergi dan menetap di pesantren akan di lepas dengan suatu “upacara” yang meriah dan dihadiri oleh seluruh penduduk kampung. Tidak hanya itu, santri-santri yang belajar di pesantren besar setiap bulannya juga mendapatkan kiriman dari orang tua bahkan dari masyarakat (Dhofier 2011:90-91). Bagi masyarakat, pembiayaan yang baik untuk para santri akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang diterima santri. Harapannya setiap santri akan menjadi ulama yang mampu memimpin dan membimbing mereka dengan baik. Menurut Menteri Agama Republik Indonesia4, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan bahwa ada tiga trilogi pesantren yang khas di Indonesia yaitu pola pendidikan, aspek keagamaan, dan aspek sosial. Para santri di pesantren selain dididik dari segi agama ditunjang pula dengan aspek sosial. Santri dididik mandiri melalui peningkatan keterampilan, bakat, dan minat selain meningkatkan pengetahuan agama. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan santri yang berkompetensi didunia keagamaan maupun kompetensi duniawi lainnya. Pesantren memiliki dua paradigma. Pertama, pesantren sebagai lembaga keulamaan. Pesantren dipahami hanya sebagai tempat pengajaran dan pembelajaran agama untuk mencetak ulama. Oleh karena itu, kegiatan pesantren hanyalah mencetak ulama. Tidak ada aktivitas lain diluar kegiatan mencetak ulama. Kedua, pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat (sosial). Pada paradigma kedua masyarakat sudah menganggap bahwa pesantren merupakan lembaga strategis dan mempunyai fleksibilitas tinggi dalam mengembangkan masyarakat sekitar (Rimbawan 2013:1182). Paradigma kedua sejalan dengan aspek sosial dalam trilogi pesantren. Artinya tidak ada halangan untuk menjalankan kegiatan pengembangan masyarakat oleh pesantren. Sebab pesantren memiliki modal untuk melakukan hal tersebut. 3 Anak-anak dari keluarga miskin biasanya hanya menempuh pendidikan di pesantren kecil. Pesantren kecil menyediakan pendidikan bebas biaya untuk muslimin sehingga kehidupan di pesantren kecil tidak memerlukan biaya banyak. mereka tidak perlu membayar biaya pondok dan bisa tinggal di rumah penduduk di sekitar pesantren tanpa harus membayar. Mereka juga biasanya membantu mengerjakan sawah keluarga atau sawah orang lain untuk biaya kebutuhan sehari-hari sehingga tidak mempunyai kesempatan lebih untuk belajar (Dhofier 2011:91). 4 Acara Bincang Nasional Pemberdayaan Lembaga Pesantren dalam Rangka Peningkatan Kemandirian Ekonomi serta Mendorong Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Kantor Bank Indonesia Surabaya (Kemenag, 2014) 3 Paradigma pesantren mengakibatkan terkelompokkannya pesantren ke dalam dua tipe pesantren yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma pesantren dari tradisional menjadi modern. Meski demikian, elemen-elemen dasar pesantren tidak berubah namun terjadi penambahan elemen pendukung pesantren. Elemen dasar pembentuk pesantren adalah pondok, masjid, kyai, pembelajaran kitab klasik, dan santri (Dhofier 2011:79-99). Pada pesantren tradisional, kelima elemen tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sedangkan aktor lain tidak diakui sebagai elemen pesantren. Padahal berdasarkan hasil studi yang dilakukan Dhofier (2011) di pesantren-pesantren Jawa misalnya Tebuireng (Jombang), Ploso (Kediri), dan Darussalam (Banyuwangi), mendapatkan sumbangan atau sokongan dari masyarakat setempat. Sedangkan di kompleks pesantren Universitas Al Azhar (Kairo, Mesir) bangunan pondok merupakan sumbangan dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aktor lain yang berperan dalam pembangunan pesantren. Saat ini, pesantren-pesantren modern mulai tumbuh di masyarakat, baik yang memulai dari awal maupun hanya mengembangkan kapasitas pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern mengakui adanya peran dan kontribusi masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam membangun pesantren. Sehingga dalam pembangunan sebuah pesantren, elemen dasar tidak menjadi syarat mutlak namun harus didukung pula oleh elemen lainnya. Tradisi pesantren di Indonesia sangat menjaga hubungan silaturahim antara kyai dan santri maupun sebaliknya. Santri berusaha untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada kyai sedangkan kyai berusaha pula untuk menjadi orang tua bagi santri. Santri dapat dibedakan dari tipe permukiman maupun tingkat pengetahuan Islam. Berdasarkan permukimannya, santri dapat dibedakan menjadi santri mukim dan santri non mukim (kalongan). Santri mukim adalah santri yang tinggal bersama dalam satu lingkungan pesantren dalam periode waktu yang telah ditentukan. Santri mukim biasanya terdapat di pesantren besar karena jumlah santri yang datang dari seluruh Indonesia pun besar. Mereka tinggal mondok dalam waktu yang lama untuk mendapatkan ilmu dari kyai. Sedangkan santri non mukim (kalongan) adalah santri yang tidak tinggal di lingkungan pesantren namun mereka melakukan kegiatan belajar seperti halnya santri mukim. Mereka tidak tinggal mondok karena lokasi pesantren berdekatan dengan tempat tinggal santri. Santri kalongan hanya terdapat di pesantren-pesantren kecil. Selain letak permukiman yang berbeda, periode belajar di pesantren juga membedakan antara kedua tipe santri tersebut. Santri kalongan hanya menuntut ilmu di pesantren dalam periode tertentu, misalnya ketika bulan Ramadhan. Sementara santri mukim, mereka tetap mengikuti segala aktivitas belajar di pesantren sampai santri layak dilepas di masyarakat. Santri merupakan elemen penting untuk membangun pesantren. Pergeseran paradigma dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern menyebabkan perubahan orientasi lulusan. Pesantren tradisional memandang bahwa lulusan pesantren diharapkan akan menjadi ulama5 untuk memimpin masyarakat di segala bidang6. 5 Dhofier 2011:86 Ulama yang dihasilkan oleh pesantren tradisional tidak hanya di bidang agama. Secara tidak langsung, seorang ulama memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Karena pada zaman Kolonial Belanda, Sultan atau Raja di Jawa menyerahkan urusan keagamaan kepada kyai. Hal ini menunjukkan berarti terjadi pemisahan antara politik dan agama. Sementara bagi ulama, sesuai dengan ajaran Islam, tidak ada pemisahan antara politik dan agama. Sehingga ulama dapat memimpin di segala bidang. 6 4 Sedangkan pada paradigma modern, pesantren tetap berusaha menghasilkan ulama yang berkualitas namun juga memiliki kompetensi untuk mengembangkan masyarakat. Sebelum dilepas menjadi ulama, santri dididik tidak hanya pengetahuan dan sikap namun keterampilan santri pun ditingkatkan. Peningkatan keterampilan santri dapat dilakukan dengan cara memberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat mereka atau keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya olahraga, seni, organisasi, kewirausahaan, atau bidang pertanian. Banyak diantara pesantren-pesantren di Indonesia yang telah menerapkan pengembangan keterampilan santri. Misalnya, Pondok Pesantren Darul Falah Bendo, Desa Mungal, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Pondok Pesantren Darul Falah Bendo telah melakukan upaya pemberdayaan ekonomi di lingkungan pesantren. Kegiatan pemberdayaan ekonomi dibagi dalam dua kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem. Usaha pondok meliputi: Klik Asy Syifa’, KBIH Magfuro, toko jamu, toko palen, toko bangunan, dan pertanian. Sedangkan usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko grabah, Toserba (toko serba ada) dan rumah makan, warung makan, dan sebagainya (Rimbawan, 2013). Keberadaan santri dan kyai dibawah naungan pesantren diibaratkan seperti sebuah ikatan simpul mati yang tidak terpisahkan. Perumpaman ini menceritakan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang tidak bisa terpisahkan. Hasil penelitian Rudi dan Haikal (2014) pada dua pondok pesantren yaitu Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid dan Ponpes Ali Maksum menunjukkan bahwa terdapat modal sosial yang mengikat santri dan kyai sehingga dapat mempertahankan eksistensi pesantren. Modal sosial yang dibangun oleh kyai adalah dengan menempatkan dirinya sebagai orang tua bagi para santri dan memandang para santri sebagai amanah Allah (Dhofier 2011:83). Kyai juga dibantu oleh santri senior (ustadz) mengembangkan modal sosial dengan menjalankan perannya sebagai pendidik santri junior agar ber-akhlakul karimah. Sedangkan modal sosial yang dibangun santri junior terbentuk dari adanya kepercayaan kepada kyai dan ustadz sebagai teladan dan panutan untuk berperilaku sesuai yang diharapkan. Disamping modal sosial, ikatan santri dan kyai terbentuk oleh adanya hubungan keagamaan. Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah saudara dan sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Ikatan sosial dibangun dengan menjalin hubungan baik antar manusia (hablum minannas) dan hubungan baik dengan sang Khalik (hablum minallah). Keyakinan kuat bahwa setiap tindakan baik yang bermanfaat untuk orang lain akan menghasilkan pahala telah mengakar pada diri santri dan kyai sehingga modal sosial pun terbangun dengan baik. Dengan kata lain, terdapat tiga aspek yang berkembang dalam pesantren yaitu sosial, budaya, dan religius 7. Tiga aspek tersebut ternyata juga dapat ditemui di kelembagaan lokal seperti Subak di Bali. Subak mengembangkan tiga aspek yang sama, aspek sosial, budaya, dan religius, serta ada pula yang menambahkan bahwa aspek teknis/teknologi juga termasuk dalam aspek yang dikembangkan oleh Subak. Kelembagaan lokal seperti Subak memiliki modal sosial yang kuat. Karena dibangun oleh sistem nilai dan norma yang kuat pula. Sama halnya dengan pesantren, unsur-unsur modal sosial meliputi norma, kepercayaan, dan jaringan, juga terbangun dalam lingkungan pesantren. 7 Pesantren menekankan pentingnya aspek sosial, budaya, dan religius. Nilai-nilai agama Islam menjadi dasar berkembangnya ikatan sosial antara santri dan kyai. Ikatan sosial tersebut kemudian membentuk modal sosial berupa saling percaya, membangun jaringan sosial baik dari sisi santri maupun kyai, dengan tetap mempertahankan nilai dan norma Islam. Hal inilah yang kemudian menjadi tradisi pesantren. 5 Mengembangkan pesantren dan meningkatkan kapasitas santri adalah fokus penting dalam paradigma pesantren modern. Untuk melakukan hal tersebut, pesantren dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh pesantren, seperti: modal fisik, modal sosial, dan modal manusia. Namun hal tersebut juga harus diarahkan untuk mencetak generasi santri yang memiliki kompetensi keagamaan dan kompetensi pendukung lainnya. Pertanian dapat menjadi bidang yang dikembangkan pesantren untuk melakukan pengembangan pesantren. Pesantren telah memiliki ketiga modal yaitu modal fisik, modal sosial, dan modal manusia, yang dapat digunakan sebagai pondasi untuk membangun pesantren yang mandiri serta menghasilkan santri-santri yang berkompeten di bidang pertanian. Selain mendapatkan keterampilan bertani, pesantren maupun santri pun akan diuntungkan dengan hasil-hasil pertanian yang mereka peroleh saat panen hasil pertanian. Hasil pertanian tersebut dapat dijadikan salah satu penghasilan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pesantren. Sehingga hal ini dapat membantu pembiayaan santri namun masih dalam jalur yang disyariatkan. Berdasarkan potensi, keunikan, dan masalah yang ditemukan di pesantren mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, maka pembuktian potensi modal sosial, modal fisik, dan modal manusia terhadap peningkatan kompetensi santri dipandang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Sebab setelah terjadi pergeseran paradigma, santri diharapkan dapat memiliki kompetensi lain yang menunjang sisi keagamaannya. Maka dari itu, penelitian ini akan menganalisis Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri. Tujuan Penulisan Keunikan pesantren terletak pada kepemilikan tiga modal (modal fisik, modal manusia, modal sosial) yang mempunyai potensi untuk bisa dikembangkan. Baik di pesantren tradisional maupun pesantren modern, kedua tipe pesantren memiliki tiga modal tersebut. Sayangnya tidak semua pesantren mampu memanfaatkan tiga modal tersebut dengan baik. Pesantren tradisional misalnya, paradigma yang berkembang adalah paradigma keagamaan sehingga orientasi lulusan santri pun hanya untuk mencetak ulama-ulama berkualitas. Sementara pada pesantren modern, paradigma yang dianut tidak hanya keagamaan namun menganut juga paradigma sosial sehingga ada usaha pengintegrasian elemen-elemen pendukung lain, seperti masyarakat, pemerintah, dan swasta, dalam pembangunan pesantren. Fokus perhatian pesantren modern terletak pada peningkatan kualitas kompetensi santri, tidak hanya dibidang keagamaan namun juga dibidang lain. Sehingga santri dapat mengamalkan ilmu agama ditunjang pula dengan kompetensi pendukung yang berguna untuk masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk Menganalisis Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri. Metode Penulisan Studi literatur merupakan metode yang dipilih untuk menyusun Laporan Studi Pustaka ini. Data sekunder diambil dari rujukan ilmiah yang sesuai dengan topik penulisan Studi Pustaka. Data sekunder yang telah didapat disajikan dalam bentuk deskriptif dengan cara mengikhtisarkan dan menganalisis rujukan-rujukan ilmiah tersebut. Setelah pengikhtisaran dan analisis rujukan ilmiah, selanjutnya dilakukan penyusunan tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari pendahuluan, ringkasan dan analisis, rangkuman dan pembahasan yang menjadi cikal bakal tinjauan pustaka, serta simpulan yang akan menghasilkan kerangka ilmiah dan rumusan masalah untuk penelitian. 6 RINGKASAN DAN ANALIS PUSTAKA 1. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan Nasional; perspektif sejarah pendidikan Islam di Indonesia 2012 Artikel Jurnal Elektronik Muhammad Rais Jurnal Pendidikan 5(1):13-21 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&so urce=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA &url=http%3A%2F%2Fstain-sorong.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F01%2F2.-RaisSTAINSorong.pdf&ei=ctEGVaezMdGwuASBrIL4Bg&usg=A FQjCNG5a4qkToi6XR79m1ZGE0B5d4B7Vw&sig2=M UlR7Jy5fXkecgwBV56DoQ 16 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (452 kata) Pendidikan Islam didefinisikan sebagai upaya memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Islam di Indonesia, yang dimulai sejak kedatangan Islam di Indonesia terutama pada masa kerajaan. Sejak saat itu lembaga pendidikan Islam yang mulai muncul adalah pesantren. Secara historis, pesantren yang berbasis agama Islam merupakan lembaga pendidikan tradisional yang sengaja didirikan agar menjadi tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, pesantren merupakan bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia yang memiliki kedudukan sama seperti lembaga pendidikan Islam lainnya. Pesantren memiliki dua orientasi dalam sistem pendidikan yaitu sebagai penguatan basis keagamaan bagi masyarakat muslim serta media konsolidasi dan sosialisasi terhadap masyarakat nusantara yang belum sepenuhnya menganut agama Islam. Secara formil sistem pendidikan kelembagaan yang berlaku di pesantren merupakan hasil asimilasi dengan kelembagaan pendidikan sistem barat yang dibawa oleh Belanda. Implikasi dari asimilasi tersebut adalah lahirnya pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah sebagai madrasah negeri (state school) dan madrasah swasta (private school). Peran pesantren dalam sub sistem pendidikan nasional di Indonesia dapat dilihat dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Bab II tentang dasar, fungsi dan tujuan, pasal 2 dan 3. Inti utama tujuan pendidikan nasional adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yakni mencapai tujuan agama Islam itu sendiri. Pendidikan diharapkan dapat membentuk kepribadian mukmin yang patuh kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya dengan baik demi meraih kebahagian di akhirat dan kesejehateraan di dunia. Pada UU Sisdiknas No. 20 7 tahun 2003, Bab IV, terdiri atas sebelas bagian, khusus bagian kesembilan menjelaskan tentang pendidikan keagamaan yakni pada pasal 30 (5 ayat). Ini berarti kedudukan pesantren berada dalam posisi yang signifikan untuk dikembangkan. Terdapat 2 hal yang perlu dikembangkan dari pesantren yaitu eksternal dan internal. a. Eksternal 1. Menjaga citra pondok pesantren dimata masyarakat, khususnya mutu keluaran pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran pendidikan lain yang sederajat. 2. Santri-santri pondok disiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk. 3. Pondok hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk temuan baru dalam dunia pendidikan. b. Internal 1. Kurikulum pesantren tidak boleh memiliki anggapan yang bersifat dikotomis dan memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. 2. Tenaga pengajar pada pondok pesantren harus direkrut dengan kriteria-kriteria khusus. 3. Sarana pendidikan di pondok dipastikan merupakan sarana yang lengkap dan baik. Potensi pondok pesantren dalam pengembangan masyarakat dan transformasi sosial sangat besar. Ada beberapa alasan : 1. Potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 2. Keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar melalui kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya. 3. Upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat pengembangan potensi umat. 4. Lembaga pengembangan dan pembentukan watak yang terus berdampingan hidup dengan masyarakat. Analisis Pustaka Eksistensi pondok pesantren diuraikan dalam kutipan-kutipan UU dan hukum yang terkait, misalnya UU No. 20 tahun 2003 dan PP Nomor 55 tahun 2007. Jurnal ini menganalisis proses historis terbentuknya pondok pesantren di Indonesia. Peneliti tidak melibatkan observasi atau instrumen lain dalam melakukan penelitian. Peneliti hanya menggunakan data-data sekunder untuk mengumpulkan data terkait eksistensi pesantren dan aturan atau hukum di Indonesia yang mengatur tentang pesantren. Artinya dalam penelitian ini tidak terdapat responden yang diuji atau diamati. Peneliti tidak menjelaskan jurnal tersebut termasuk penelitian kuantitatif dan kualitatif. Peneliti juga tidak menjelaskan rumusan masalah, tujuan, serta metode yang digunakan dalam penulisan jurnal tersebut. Variabel yang ditemukan dalam jurnal ini adalah faktor yang mempengaruhi eksistensi pesantren yaitu karena ada aspek hukum dan aturan dalam UU yang mengatur. Peneliti menekankan pentingnya melakukan kegiatan pengembangan masyarakat karena pesantren mempunyai potensi besar untuk mengembangkan hal tersebut. (139 kata) 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor : : : : : : Modal sosial pendidikan pesantren 2014 Artikel Jurnal Elektronik La Rudi, Husain Haikal - 8 Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : - : : : Jurnal Harmoni Sosial 1(1):1-16 http://journal.uny.ac.id/index.php/hsjpi/article/downloa d/2426/2014 17 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (464 kata) Terdapat tiga alasan seorang santri mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren yaitu: mempelajari kitab-kitab Islam di bawah bimbingan Kyai, memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, dan memusatkan studi di pesantren tanpa kewajiban di rumah. Pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang menjadi sumber utama modal sosial disamping keluarga atau masyarakat. Santri dididik untuk menjadi anggota masyarakat baik atau agar dapat hidup bermasyarakat yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hubungan yang terjalin erat antar kyai, ustadz dan santri merupakan pengembangan dari tradisi dan nilai-nilai Islam yang ditanamkan pada ajaran Rasulullah SAW. Hubungan tersebut berhasil membangun kepercayaan, dan kerjasama yang berlandaskan nilai-nilai utama sebagai modal sosial pendidikan ponpes. Modal sosial yang terdapat di pesantren meliputi tiga yaitu: modal sosial kyai, modal sosial ustadz, dan modal sosial santri. Berikut ini adalah perbandingan ketiga modal sosial tersebut berdasarkan pondok pesantren. Tabel 2.1 Modal sosial kyai, ustadz, dan santri pada ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid dan ponpes Ali Maksum 9 Modal sosial Ponpes AlSyaikh Abdul Wahid Kyai - Ustadz Modal sosial tumbuh karena kyai menjalankan fungsinya sebagai pengganti orang tua yang menimbulkan sikap santun, hormat, serta teladan bagi santri. Sehingga terjalin hubungan erat antara santri dan kyai. - Kepercayaan ditunjukkan dalam memenuhi tanggungjawab sebagai pendidik seperti aktif mengikuti proses belajar mengajar, memantau dan mengawasi disiplinitas, mengontrol, melibatkan, dan membekali para santri sehingga mereka mampu menumbuhkan kepercayaan diri. Nilai-nilai yang dikembangkan di ponpes adalah nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan, sangat berdampak positif pada proses belajar mengajar. - Ponpes Ali Maksum Saat memasuki ponpes, terdapat serah terima atau akad antara orang tua santri kepada Kyai sehingga membangun kepercayaan dan tanggung jawab besar Santri Pada tahun pertama, santri dilibatkan dalam organisasi santri yaitu OPPS (Organisasi Pelajaran Pondok Pesantren) agar santri belajar disiplin, mengatur waktu, dan menjalankan ibadah dengan kesadaran diri sendiri. Modal sosial terbangun oleh kepatuhan santri terhadap keteladanan kyai dan ustadz sehingga semakin besar keteladanan kyai dan ustadz, maka kepatuhan santri semakin meningkat. Untuk menumbuhkan sikap empati dan simpati, santri dididik dalam lingkungan asrama selama 24 jam. Ustadz memiliki peran - Kepada setiap santri sebagai orang tua ditanamkan untuk kedua untuk para santri senantiasa sehingga Ustadz bertanggung jawab memiliki tanggung pada perbuatannya jawab untuk mendidik serta diberi dan mengawasi santri kepercayaan dalam layaknya orang tua. menjalankan Ustadz pula kegiatan-kegiatan menunjukkan perhatian positif karena setiap dan kepeduliannya perbuatan tersebut kepada para santri langsung dengan mengajarkan dipertanggungjawab akhlak dalam pelajaran kan pada Allah akhlakul karimah SWT. (ta’limun wa ta’lim). 10 Kedua ponpes tersebut memiliki kesamaan modal sosial dalam kepercayaan dan kerjasama. Kepercayaan dibangun berdasarkan pada tanggung jawab dan perhatian sedangkan kerjasama dibangun melalui komunikasi, keterlibatan, dan koordinasi. Sementara itu, untuk nilai keduanya berlainan. Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid menganut nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan. Sedangkan Ponpes Ali Maksum menganut nilai-nilai disiplin, kerja keras, kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, dan toleransi. Analisis Pustaka Peneliti fokus pada kajian financial capital dan cultural capital. Peneliti tidak mengkaji pola pengorganisasian santri dalam kegiatan-kegiatan di pesantren dilihat dari sudut pandang modal sosial. Selain itu, peneliti tidak mempertimbangkan santri sebagai salah satu subjek yang dimasukkan dalam pembangun modal sosial. Pada subjek dan objek penelitian, peneliti menyebutkan bahwa yang menjadi subjek penelitiannya adalah pendiri pondok, kyai, dan santri. Sedangkan dalam dokumentasi, peneliti juga menyebutkan data dokumentasi juga dikumpulkan dari alumni. Hasil dan pembahasan tidak menguraikan peran alumni berkaitan dengan modal sosial di pesantren. Hal terpenting dari penelitian tersebut adalah tidak ditemukan adanya kegiatan pengembangan sosial atau pengembangan masyarakat. Meskipun peneliti menyebutkan bahwa kedua ponpes tersebut memperkaya para santri dengan pelatihan keterampilan, namun tidak ditunjukkan keterampilan yang telah dikembangkan oleh santri. Dari penelitian tersebut ditemukan variabel-variabel penelitian meliputi: tiga komponen modal sosial (trust, norms, networks), civitas akademika pesantren : kyai, ustadz, santri ; komponen penyusun modal sosial : komunikasi, kerjasama, nilai, dan pengembangan sosial. (154 kata) 3. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Pesantren dan ekonomi (kajian pemberdayaan ekonomi Pesantren Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo Jawa Timur) 2013 Laporan penelitian dalam konferensi AICIS Elektronik Yoyok Rimbawan - 1180-1199 http://eprints.uinsby.ac.id/278/1/Buku%203%20Fix_14 5.pdf 03 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: ( 292 kata) Pondok pesantren mempunyai tiga fungsi utama yaitu: pusat pengkaderan pemikirpemikir agama (center of escellence), lembaga yang mencetak sumberdaya manusia (human resources), dan lembaga yang mempunyai kekuatan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat (agent of change). Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren kepada pesantren ditujukkan untuk meningkatkan kompetensi ekonomi para santri agar menjadi panutan baik dalam bidang ekonomi produktif atau kader pemberdaya ekonomi, disamping peran utamanya sebagai ustadz/ustadzah di bidang agama. Untuk 11 mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat, ada tiga pendekatan utama: 1. Pendekatan pembaharuan pengajaran yang berkembang tidak teratur dan diikuti secara terbatas yang dilakukan oleh para kyai di pesantren itu sendiri. 2. Pendekatan oleh pemerintah, Departemen Agama, melalui paket-paket bantuan 3. Pendekatan prakarsa organisasi swasta yang mengembangkan ilmu pengetahuan yang bekerjasama dengan pesantren. Ponpes Darul Falah selain memiliki kegiatan pendidikan, juga mempunyai kegiatan pengembangan masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi. Kegiatan ini dibagi dalam dua kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem. Usaha pondok meliputi: klik asy syifa’, kbih magfuro, toko jamu, toko palen, toko bangunan, dan pertanian. Sedangkan usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko grabah, toserba dan rumah makan, warung makan, dan sebagainya. Berdasarkan situasi yang terdapat di Ponpes Darul Falah, masalah sosial yang terjadi di pondok bersumber pada : a. Rendahnya kemampuan santri dalam mengakses berbagai informasi. b. Minimnya pasangan santri yang dikirim untuk menempati ponpes cabang di tanah wakaf. c. Sulitnya memilih pasangan santri yang kapabilitas untuk ditempatkan di tanah wakaf sesuai dengan karakteristik masyarakat dan wilayah. d. Kurangnya modal untuk pengembangan usaha ekonomi dan minimnya pendampingan pelatihan bagi para ustadz dan santri. Untuk menangani permasalahan tersebut, strategi yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah: meningkatkan pendidikan, meningkatkan skill, dan pemberdayaan pengembangan usaha ekonomi kepada santri serta para ustadz. Manajemen kegiatan pemberdayaan ekonomi dilaksanakan melalui kegiatan melingkar dan berkesinambungan. Social Mapping (PRA) Evaluasi Analisis Sosial Monitoring Rencana Aksi Aksi Gambar 2.1Manajemen kegiatan pemberdayaan ekonomi Analisis Pustaka Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Darul Falah Bendo, Desa Mungal Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur dan disampaikan dalam konferensi Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XII) pada tanggal 5-8 Nopember 2012 di Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode 12 deskriptif. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan deskrpisi mendalam terkait fakta dan informasi tentang usaha ekonomi dan pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren. Hasil penelitian ini sangat mendukung dengan topik yang akan dikaji dalam laporan studi pustaka yaitu tentang kelembagaan pesantren. Dalam tulisannya, peneliti menjelaskan dengan detail latar belakang serta masalah yang menginisiasi munculnya penelitian tersebut. Pada dasarnya, setiap pesantren memiliki potensi yang besar untuk melakukan pemberdayaan yaitu potensi SDM santri, kyai, dan para ustadz yang berpengaruh di masyarakat. Permasalahan utama yang kemudian timbul setelah para santri lulus adalah kurangnya kompetensi dan kapabilitas santri di masyarakat. Maka dari itu perlu diadakan pengembangan keterampilan untuk para santri. Poin penting dalam tulisan ini adalah peneliti mengutamakan teknik partisipatif untuk menentukan masalah dan tujuan pondok pesantren berdasarkan fakta dan informasi dari pesantren tersebut. namun disisi lain, hasil penelitian ini belum menjelaskan terkait usaha pemberdayaan ekonomi yang dapat dilakukan para santri. Penelitian ini hanya menjelaskan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pesantren secara umum. (197 kata) 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : Pondok pesantren dan pemberdayaan ekonomi 2013 Artikel Jurnal Elektronik Ahmad Faozan - : : : Jurnal Studi dan Islam Budaya 4(1):88-102 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4 9098&val=3909 24 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (345 kata) Kegagalan sistem perekonomian di Indonesia disebabkan oleh kebijakan pemerintah mengenai sistem konglomerasi. Sistem konglomerasi hanya menguntungkan orang atau kelompok yang memiliki kemampuan dan akses ekonomi. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki akses dan kemampuan tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Pesantren mempunyai potensi besar untuk bergerak ke arah ekonomi berbasis rakyat. Maka diperlukan usaha pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren yang tujuan akhirnya adalah mencapai kemandirian pesantren. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan pemberdayaan ekonomi ini akan menemui banyak kendala, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia (SDM): alumni-alumni pesantren termasuk dalam kategori pengangguran di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh minimnya keterampilan dari para santri. Seharusnya pesantren dapat memadukan kemampuan akademis dan skill individual–kolektif sesuai dengan prinsip utamanya yaitu center of exellence. Ada beberapa nilai yang menghambat etos orang islam : a. Khurofat dan takhayul b. Tak akan lari gunung dikejar, alon-alon asal kelakor c. Mangan ora mangan pokoke kumpul d. Nrimo fatalistis e. Kerja kasar itu hina f. Jimat atau mascot 13 2. Kelembagaan di Ponpes terdiri dari 2 kategori : a. Integrated structural: semua unit atau bidang dalam Ponpes merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Model ini berjalan efektif apabila job description-nya jelas. Jika tidak sistem organisasi tidak akan berjalan efektif karena tergantung pada satu orang yaitu Kyai. b. Integrated non structural: unit atau bidang usaha yang dikembangkan ponpes terpisah secara struktural organisasi. 3. Inovasi dan networking: kurangnya keberanian Ponpes untuk melakukan terobosan keluar, membuat jaringan antar ponpes dan institusi lain. mengatasi hal tersebut, perlu diadakan perubahan pemberdayaan yang dicirikan oleh : wawasan luas, komunikasi, kekuasaan atau kekuatan, politi, dan modalitas ekonomi. Unsur-unsur yang diberdayakan di lingkungan Ponpes sebagai sebuah potensi untuk melakukan pemberdayaan ekonomi adalah: - Kyai mempunyai potensi: (1) kedalaman ilmu agamanya, (2) panutan masyarakat dan pemerintah (penokohan), dan (3) mandiri secara ekonomi. - Santri (murid): setiap santri pasti memiliki bakat atau potensi diri. Ponpes harus mewadahi bakat-bakat santri yang dikembangkan dalam Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOPSI) agar bakat tersebut lebih berkembang. - Pendidikan: model pendidikan yang berlaku di Ponpes sangat khas, seperti sorogan, serta menerapkan multidisiplin. Tidak hanya ilmu agama yang ditekuninya namun juga pelajaran umum. Analisis Pustaka Potensi untuk melakukan pemberdayaan ekonomi di pondok pesantren sangat potensial. Menurut peneliti, jika pondok pesantren dapat menjalankan fungsi utama dengan baik, pemberdayaan ekonomi pun pasti akan lebih mudah dilaksanakan. Dalam jurnal ini, peneliti tidak menyebutkan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. secara deskriptif, peneliti hanya menjelaskan pemberdayaan ekonomi yang dapat dilakukan di pondok pesantren. Peneliti menkankan pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan di pesantren. Namun jurnal ini sangat sedikit mengulas bagaimana mengembangkan pemberdayaan ekonomi di pesantren. Sehingga informasi yang terkait cara-cara mengembangkan ekonomi pondok pesantren sangat terbatas (86 kata). 5. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : Pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan Kesejahteraan Masyarakat pada LKMS di Pondok Pesantren Al Islah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 2011 Prosiding Elektronik Ahmad Subaki, Imam Baehaqie & Faizal Ridwan Zamzany http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s& source=web&cd=1&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A 14 %2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%3 Farticle%3D98230%26val%3D5085&ei=Y_YXVYPfI ISMuAS60oLIDg&usg=AFQjCNEHc8i7wZ6lKp3xK BDTbvbmSw1Pdw 17 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (296 kata) Pondok pesantren diyakini mempunyai kemampuan untuk meneguhkan keterkaitan dan integrasi kelompok masyarakat. Aktivitas Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di pondok pesantren didasari prinsip syariah sehingga dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Prinsip syariah dilaksanakan sesuai ketentuan pokok hukum Islam yang mencakup prinsip keadilan dan kesimbangan (‘adl wa tawazun), kemashalatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba dzalim, riswah, dan obyek haram. Terdapat dua bentuk LKMS yaitu bank dan non bank. Lembaga keuangan mikro berbentuk bank misalkan bank perkreditan syariah, sementara lembaga keuangan mikro non bank misalnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Al-Ishlah dikenal dengan BMT Al-Ishlah. Secara kognisi, modal sosial mewujud dalam bentuk budaya sipil dan memiliki sifat mempengaruhi (predispose). Interaksi antara nasabah dengan LKMS melibatkan proses mental (internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma, nilai-nilai, sikap atau perilaku, keyakinan, dan sebagainya. Proses internalisasi tersebut akan mempengaruhi kualitas: kepercayaan, solidaritas, keterpaduan, kerjasama, kedermawanan, yang disebut sebagai faktor dinamis. Luaran yang diharapkan dari proses tersebut adalah gagasan atau harapan yang mengarah pada perilaku kolektif untuk mencapai keuntungan kolektif pula (mutually beneficial collective action, MBCA). Hasil analisis Biplot menunjukkan bahwa peubah kelompok, norma, keterpaduan, kepercayaan vertikal, solidaritas vertikal, kepercayaan, kharisma, dan solidaritas, memiliki keragaman data tinggi. Sedangkan peubah dengan keragaman data rendah adalah jaringan dan jaringan vertikal. Apabila dilihat dari hubungan antar objek, kinerja dan dampak terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT AlIshlah pada kuadran yang sama. Artinya persepsi masyarakat di Kecamatan Dukupuntang tentang kinerja pembiayaan oleh BMT Al-Ishlah sangat membantu kehidupan mereka. Dari kedekatan peubah dengan obyek dapat dikatakan bahwa BMT Al-Ishlah baik kinerja organisasinya, kinerja pembiayaan, serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT AlIshlah dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran jaringan, peran norma, peran keterpaduan, dan peran kepercayaan vertikal. Analisis Pustaka Penelitian ini melihat hubungan antara modal sosial terhadap kinerja LKMS yang dikelola oleh pondok pesantren dengan tujuan peningkatan kesejahteraan hidup. Peubah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kelompok, norma, keterpaduan, kepercayaan vertikal, solidaritas vertikal, kepercayaan, kharisma, solidaritas, jaringan, dan jaringan vertikal. Peneliti mengoreksi penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya melihat modal sosial dalam tiga aspek yaitu norma, kepercayaan, dan jaringan. Dengan topik yang sama, modal sosial dimasukkan dalam aspek budaya lokal yaitu norma, kepercayaan horisontal dan vertikal, jaringan horisontal dan vertikal, serta solidaritas horisontal dan vertikal. Jenis penelitian ini: kuantitatif dengan menggunakan analisis Biplot untuk menjelaskan hubungan antar peubah, hubungan antar objek, dan hubungan antar peubah dan objek, dengan menggunakan analisis Biplot. Penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja dan dampak organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik organisasi. Faktor intrinsik tersebut adalah modal sosial yang dalam hal ini dapat mempengaruhi objek atau peubah 15 lainnya. (140 kata) 6. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Pengembangan kapasitas kelembagaan lokal subak dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di pedesaan (studi kasus: subak Desa Loka Sari, Sidemen, Karangaem) 2014 Artikel jurnal Elektronik Eka Mita Suputra Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Universitas Udayana 1(1):1-20 http://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/893 4/7081 29 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (282 kata) Eksistensi kelembagaan lokal Subak mulai terancam sejak munculnya SIMANTRI (sistem manajemen pertanian terintegrasi). Simantri merupakan program pemerintah yang dibentuk karena kelompok atau kelembagaan sebelumnya tidak mampu memaksimalkan SDA dan SDM yang ada. Kehadiran Simantri mengakibatkan terbentuknya dualisme kelembagaan di Desa Loka Sari yaitu: kelembagaan lokal Subak dan kelembagaan formal Simantri, yang berakibat pada tumpang tindihnya peran kedua kelembagaan tersebut di masyarakat. Sebelum masuknya program Simantri, kelembagaan lokal Subak mendapakan hibah rutin dari provinsi Bali untuk pengembangan pertanian sebesar Rp20.000.000 per tahun, ditambah bantuan sosial yang selalu bermuara ke kelembagaan lokal. Pasca munculnya program Simantri, alokasi dana yag diterima oleh kelembagaan lokal Subak berkurang. Pada dasarnya, dua kelembagaan ini memiliki struktur yang relatif sama. Namun karena posisi yang berbeda dimana Subak berada di bawah naungan desa adat sedangkan Simantri berada di bawah naungan desa dinas, maka kinerja dan sistem administrasinya pun berbeda. Subak dilaksanakan sesuai ketentuan adat tanpa ada ketentuan tertulis yang mengikatnya. Sehingga dampaknya kinerja menjadi kurang efektif dan kurang terarah. Berbeda dengan Simantri, kelembagaan ini menyusun sebuah proposal pengajuan bantuan dana setiap kali membuat kegiatan. Simantri pun diawasi dan dibina langsung oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Provinsi Bali yang memberikan motivasi dan pembinaan terhadap keberlanjutan kegiatan Simantri. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas yang berbeda pada dua kelembagaan tersebut. Untuk mengatasi dualisme kelembagaan tersebut, dibutuhkan konsep strategis untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan di perdesaan. Pertama, mengintegrasikan kelembagaan lokal Subak sebagai bentuk modal sosial dengan aspek lingkungan. Kedua, memaksimalkan peran dan fungsi Subak yang belum dikembangkan oleh Simantri. Ketiga, memanfaatkan seluruh aktivitas kelembagaan lokal Subak sebagai agrowisata. Dan Keempat, memosisikan program Simantri berada di bawah naungan kelembagaan lokal Subak, sehingga mampu memperdayakan petani perdesaan dan melestarikan kelembagaan lokal Subak. 16 Analisis Pustaka Penelitian ini menjelaskan dualisme kelembagaan akibat dualisme pemerintahan di Desa Loka Sari secara deskriptif. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk menjelaskan permasalahan antara kelembahaan lokal Subak dan program Simantri dari pemerintah. Peneliti menjelaskan dengan baik faktor-faktor yang menyebabkan eksistensi kelembagaan lokal Subak semakin memudar sedangkan program Simantri semakin berkembang berkat bantuan pemerintah. Namun sayangnya penelitian ini hanya mengumpulkan data primer dari elit lokal di masing-masing kelembagaan tersebut. sehingga argumentasi-argumentasi yang dikemukakan pun kurang meyakinkan. Seharusnya peneliti juga melibatkan anggota-anggota dari masing-masing kelembagaan tersebut agar data tersebut valid dan dapat menguatkan data sebelumnya. Selain itu, secara tidak langsung dalam pembahasannya, peneliti lebih banyak menggunakan sudut pandangnya tanpa didukung bukti-bukti dari penelitian. (111 kata) 7. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Kajian aspek lingkungan dalam pengembangan agroekowisata pada sistem Subak 2012 Artikel Jurnal Elektronik Sumiyati, Lilik Sutiarso, Wayan Windia, Putu Sudira Jurnal Bumi Lestari 12(2): 294-302 http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/4820/3 621 30 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: ( 313 kata) Pembangunan berkelanjutan adalah sebuah isu penting dan strategis saat ini. kerusakan lingkungan sudah mulai terjadi dan mengakibatkan fenomena kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan. Kelembagaan lokal Subak memegang peranan penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Subak memiliki tiga karakteristik yaitu sosio, agraris, dan religius. Disamping mengelola sistem irigasi pertanian, Subak pun melibatkan aspek keagaman dalam aktivitas pertanian. Untuk menunjang terwujudnya pembangunan berkelanjutan, Subak dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan citacita tersebut yakni dengan menerapkan agroekowisata yang dikembangkan melalui sistem subak. Manajemen agroekowisata dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip ekowisata. Hal ini dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan pematang sawah sebagai fasilitas jogging track alami, kegiatan usaha tani sebagai objek wisata, akomodasi di rumah-rumah petani anggota subak, menu makanan lokal setempat dan penyediaan makanan di balai subak, serta pengadaan souvenir oleh penduduk anggota subak. Untuk mengembangkan agroekowisata berbasis subak, terdapat tiga aspek yang dipertimbangkan yaitu sebagai berikut. a. Kualitas air irigasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila dilakukan pengembangan agroekowisata berbasis sistem subak, kualitas air irigasi masih dapat dipertahankan dalam kondisi baik. Hal ini sesuai dengan tujuan yang dicapai 17 yaitu keberlanjutan sistem subak sebagai wujud kelestarian alam dan budaya serta kesejahteraan masyarakat. prinsip ekowisata yang diterapkan adalah prinsip kepedulian terhadap lingkungan (ecological friendly). b. Kondisi fisik irigasi dan fasilitas sistem subak hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan irigasi di Subak lodtunduh maupun subak anggabaya relatif sama. Kedua subak tersebut berada dalam kondisi baik. Jika dilakukan pengembangan agroekowisata, kondisi fisik sistem subak akan meningkat. c. Kondisi sosial budaya sistem subak hasil penelitian di dua subak sampel yaitu Subak Anggabaya dan Subak Lodtunduh memiliki nilai rutinitas upacara agama dan keaktifan anggota dalam kegiatan upacara agama pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual keagamaan didukung oleh anggota subak. Kondisi yang ditunjukkan oleh masyarakat berada pada nilai 2,00 (subak Anggabaya) dan 2,03 (Subak Lodtunduh) jika tidak ada pengaruh dari luar. sementara yang diharapkan dari agroekowisata, pengunjung diharapkan dapat memberikan pengaruh positif (3,0) terhadap masyarakat lokal. Analisis Pustaka Penelitian ini spesifik mengkaji aspek lingkungan (fisik dan sosial) dalam pengembangan agroekowisata berbasis sistem Subak. Secara kuantitatif, peneliti menguraikan fakta-fakta yang berkaitan dengan potensi yang dapat dikembangkan dari sistem subak untuk menunjangkan pembangunan agroekowisata yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya. Didalam pendahuluan, peneliti telah menggambarkan prediksi yang akan terjadi jika agroekowisata dilaksanakan. Prediksi tersebut didukung oleh fakta-fakta kuantitatif yang jelas mempertimbangkan potensi atau kemungkinan potensi yang dikembangkan untuk sistem subak. Dengan menggunakan metode kuantitatif-pendekatan logika (fuzzy logic) sebagai alat analisis dari variabel-variabel, peneliti mampu memprediksikan akibat-akibat yang akan terjadi jika aspek lingkungan tidak diperhatikan. Selain itu, secara realistis peneliti pun menyebutkan cara-cara yang dapat diterapkan untuk menjalankan agroekowisata. (112 kata) 8. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Modal sosial dalam pengintegrasian Etnis Tionghoa pada masyarakat Desa Pakraman Bali 2012 Artikel Jurnal Elektronik I W Mudana Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 1(1):30-40 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&s ource=web&cd=6&ved=0CD4QFjAF&url=http%3A %2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJIS H%2Farticle%2Fdownload%2F4494%2F3467&ei=CB kIVdP7CoSUuAT4qIE4&usg=AFQjCNEI4-vXVT_sMJBSfIaMCkeQJIKZQ&sig2=y19GK4Dga- 18 IA1iOjgtlv0Q 17 Maret 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (482 kata) Desa Pakraman di Bali telah merepresentasikan keberagaman etnik di Indonesia. Berbagai etnik hidup dan tinggal di tempat tersebut dengan harmonis. Meskipun terdapat perbedaan identitas dan latar belakang, mereka dapat hidup berdampingan dan bertetangga. Hal ini tergambar dari pola permukiman yang sengaja dibuat menurut etnik, seperti Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bugis, dan lain sebagainya. Tujuan pembuatan pola permukiman berdasarkan etnis adalah memudahkan etnik-etnik untuk dikenali dan memberikan rasa aman untuk hidup dengan nyaman. Dengan kata lain, pola permukiman etnik merupakan sebuah strategi dalam mempertahankan identitas sosiokultural dan untuk menciptakan keamanan sosial. Kemultietnikan Desa Pakraman, Bali juga terepresentasi dari adanya berbagai kelompok keagamaan seperti: Hindu, Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Kong Hu-Tsu. Hal ini terlihat dari adanya tempat-tempat ibadah sesuai kelompok keagamaan tersebut seperti Masjid, Gereja, Pura, dan Wihara. Tidak ketinggalan pula, semua kelompok keagamaan telah membentuk kelembagaankelembagaan berbasis keagaman pula. PHDI bagi umat Hindu, kelompok pengajian Islam, serta tempat pembinaan umat bagi Katolik dan Protestan. Pada intinya, kemultietnikan di Desa Pakraman, Bali dapat dilihat tidak hanya dari pola permukiman, kelompok keagamaan dan kelembagaan keagamaan, namun ditataran masyarakat umum mereka juga diberikan pelayanan layaknya masyarakat asli. Mereka disediakan ruang publik sesuai latar belakang etnisnya masing-masing, misalnya kuburan (Kuburan Cina, Kuburan Muslim, Kuburan Kristen, Kuburan Hindu), pendidikam (PGA, STKIP Agama Hindu, Muhamadiyah, SMU Swastiastu/Kristen, Kursus Bahasa Mandarin, Kursus Bahasa Arab, dll). Selain ruang publik, mereka juga diberi pelayanan publik yang berbasis etnik/ikatan primordial seperti Warung Muslim, Budha ha-ha, Bakso Bali, Rumah Makan Padang, Bakso Solo, Warung Sate Madura, Warung Jawa, dll. Kondisi kemajemukan masyarakat Desa Pakraman sangat bervariasi sehingga dapat dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara horisontal masyarakat menampakkan variasi etnik, variasi agama, variasi klan/wangsa, variasi politik, dan variasi pekerjaan. Sedangkan secara vertikal menampakkan variasi jenjang kehidupan dalam berbagai dimensi, baik dari dimensi ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan. Masing-masing kelompok tersebut menunjukkan pola budaya, identitas, jaringan sosial, dan perilaku sosial yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Kondisi ini dapat menjadi suatu kebanggan jika etnik-etnik tersebut dapat hidup harmonis dan berdampingan. Namun disisi lain sekaligus menimbulkan sumber kerawanan sosial. Jaringan hubungan sosial antar etnik terbangun dari pola permukiman serta wujud kemultietnikan lainnya. Jaringan sosial dari pola permukiman dibangun karena adanya kedekatan tempat tinggal dan hubungan kekerabatan antar etnik, misalnya etnik Tionghoa dan etnik Bali. Keyakinan masyarakat setempat mengatakan bahwa etnik Tionghoa dan etnik Bali mempunyai hubungan kerabat seperti kakak/adik kandung. Selain itu, identitas sosial, kepentingan masyarakat, aktivitas keagamaan, dan pelayanan publik pun telah menunjang terbangunnya jaringan hubungan sosial antara etnik Tionghoa dan etnik Bali. Bentuk integrasi antar etnik adalah hal penting yang membangun modal sosial. Bentuk integrasi sosialnya dalam bentuk perkawinan, hubungan pertetanggaan, hubungan tempat tinggal, dan persatuan/perkumpulan/organisasi etnik baik yang berbasis sosial maupun budaya. Bentuk-bentuk integrasi tersebut telah menyediakan ruang untuk membangun modal sosial. Sosialisasi di keluarga inti (Kuren) dan keluarga besar dari garis keturunan laki-laki (Dadia) serta di kelembagaan formal lainnya telah membangun modal sosial sekaligus pengendalian sosial di etnik-etnik tersebut. 19 Analisis Pustaka Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik purposivesnowball. Proses pengumpulan data diambil dari tiga lokasi yang berbeda yaitu Desa Pakraman Buleleng, Desa Catur, dan Desa Pempetan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Uraian terkait kemultietnikan telah menambah pengetahuan penting dalam ranah antropologi. Dari uraian peneliti, diketahui bahwa modal sosial dapat terbangun dari bentuk integrasi sosial dari masyarakat yang berbeda latar belakang dan identitas sosial. Pola permukiman, perkumpulan, serta perkawinan antar etnis telah membentuk sebuah jejaring sosial dalam masyarakat. Meskipun menguraikan dengan baik bagaimana modal sosial terbangun dari kemultietnikan masyarakat, namun peneliti kurang menjelaskan responden atau informan kunci yang diambil dari penelitian ini. Apabila menggunakan metode kualitatif (purposivesnowball), peneliti sebaiknya juga menjelaskan identitas responden, jumlah responden, serta informan kunci yang diambil. Peneliti juga dapat menambahkan hasil wawancara (bila memungkinkan) sebagai data primer untuk menguatkan pendapatnya. Sehingga hal ini dapat mengurangi subjektifitas penelitian. (146 kata) 9. Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):Hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Pengembangan sumber daya manusia santri di pesantren untuk memasuki kehidupan masyarakat (studi pada Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang) 2012 Artikel Jurnal Elektronik M Miftahusyain El-Qudwah: Jurnal Integrasi Sains dan Islam 10: 87-109 http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/lemlit/article/view/2055/pdf 03 April 2015 Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka: (453 kata) Konsep pengembangan sumber daya manusia merupakan hal penting yang diperhatikan oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Kegiatan pengembangan sumber daya manusia direalisasikan melalui kegiatan-kegiatan spiritual, seperti: pengajian malam ahad (mingguan), pengajian malam kamis dan istighotsah (mingguan), pengajian malam jumat (mingguan), Tambih Am (bulanan), serta amaliyah agama. Dalam hal pengelolaan sumber daya manusia, KH. Drs. Hasyim Muzadi terbilang berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan jalannya program secara terencana. Selain itu, keberhasilan pesantren juga ditunjukkan oleh peningkatan jumlah santri baru dari tahun ke tahun. Konsep pengembangan sumber daya manusia ditekankan pada membangun kualitas santri agar mampu mengamalkan syariat, berprestasi tinggi, dan pandai dalam menghadapi persoalan hidup. Maka dari itu, setiap santri dibekali untuk mempertinggi kualitas keimanan dan ketaqwaan melalui ibadah umum dan ibadah khusus yang sesuai syariat agama Islam. Pesma Al-Hikam mengajarkan kepada santrinya bahwa kualitas iman yang tinggi senantiasa akan menyemangati dan menginspirasi untuk terus berjuang tanpa pamrih di masyarakat kelak. Hal unik dari ajaran setiap pondok pesantren, termasuk Pesma Al-Hikam, adalah 20 mengajarkan dan mengutamakan peribadatan yang harus dilakukan secara berjamaah terutama untuk ibadah yang bersifat umum (Ibadah Madlah). Tujuannya agar setiap santri menyadari esensi dari sebuah pekerjaan yang dilakukan bersama dan kontinu (istiqomah). Sementara untuk ibadah Ghairu Madlah ditekankan pada amal sholeh dan muamalah atau hubungan sesama manusia. Pesantren memiliki peranan penting dalam melakukan transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana di Pesma Al-Hikam, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menjalankan perintah agama. Transformasi kultural hanya bisa dilakukan apabila pesantren masih memegang teguh nilai-nilai berikut: a. Hidup adalah sebuah peribadatan, baik dilakukan untuk urusan ibadah murni (hablum minallah) maupun untuk pengadian masyarakat (hablum minannas). b. Kecintaan dan penghormatan pada pengabdian masyarakat. c. Berkorban untuk kepentingan masyarakat. Strategi yang dikembangkan oleh Pesma Al-Hikam untuk mempersiapkan para santri memasuki kehidupan masyarakat dilakukan melalui tiga sistem yaitu pengasuhan, pengajaran (dirosah), dan pelatihan (kesantrian). 1. Pengasuhan dilaksanakan melalui penciptaan kedisiplinan beribadah, pengembangan tingkah laku akhlakul karimah dan pengabdian masyarakat. Wujud konkrit pengasuhan : tata tertib pesantren. 2. Pengajaran (dirosah) dilaksanakan melalui pengajaran baca tulis Al-Quran, dasardasar keilmuan agama dalam disiplin ilmu para santri, perangkat metodologi ilmu keislaman, serta pengembangan agama dalam wawasan nasional. Sistem pengajaran menggunakan sistem semester dengan tiga jenjang pendidikan meliputi: tingkat basic, tingkat intermediet, dan tingkat advance. 3. Pelatihan (kesantrian) dilaksanakan melalui pemberian keterampilan, pengembangan kemandirian dengan cara mengembangkan minat dan bakat, serta alat operasional pengabdian masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, motivasi santri untuk bergerak dan berubah merupakan hal penting. Kyai merupakan faktor utama dalam menggerakkan dan memotivasi mahasiswa. Disamping itu, para santri juga membangun motivasi antar sesama santri pula melalui organisasi atau koordinasi kegiatan. Terdapat tiga faktor yang memotivasi Pesma AlHikam mengambil peran dalam pengembangan SDM santri yaitu: kualitas dan profesionalitas pendidikan, solidaritas sosial, menghindari kekufuran, serta krisis mental dan moral. Analisis Pustaka Penelitian ini menambah pengetahuan penting bagaimana mengembangkan santrisantri di pesantren. Metode penelitian kualitatif memang memberikan nilai tambah tersendiri dalam sebuah penelitian. Dalam tulisannya, peneliti menggambarkan sebuah kondisi yang langsung dialami saat melakukan penelitian di Pesma Al-Hikam. Peneliti secara langsung mengalami bagaimana solidaritas di pesantren tumbuh kuat karena konsepkonsep keagamaan. Selama 11 bulan penelitian, peneliti mampu mengolah informasi terkait pengembangan sumberdaya manusia dengan baik. Hasil penelitian ini dinilai baik sebab telah memenuhi kaidah sebuah penelitian ilmiah. Peneliti juga dengan jelas dan baik menguraikan hasil-hasil temuan berdasarkan teknik pengumpulan data metode kualitatif yaitu wawancara mendalam dan analisis dokumen. Selain itu, secara tidak langsung peneliti telah membukan pandangan bahwa terdapat korelasi positif antara motivasi yang dikembangkan santri, peran komponen pesantren seperti kyai, sistem pendidikan terhadap pengembangan SDM santri. (125 kata) 21 10. Judul : Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik 2013 Artikel Jurnal Cetak Antonius Purwanto - Tahun : Jenis Pustaka : Bentuk Pustaka : Nama Penulis : Nama Editor : Judul Buku : Kota Dan Nama : Penerbit Jurnal Sosiologi Masyarakat Nama Jurnal : 18(2):233-261 Volume(Edisi):Hal : Alamat URL/Doi : Tanggal Diunduh : Ringkasan Pustaka: ( 484 Kata) Kasongan merupakan subdusun Kajen di Kelurahan Bangun Jiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul ,Yogyakarta. Sejarah klaster keramik Kasongan dapat ditelusuri hingga zaman sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Sebelum tahun 1970-an, kondisi penduduk di Kasongan sangat memprihatinkan. Kondisi sosial ekonomi lebih buruk dibandingkan daerah lainnya di Bantul. Rumah mereka terbuat dari gedeg (anyaman bambu), tidak memiliki aliran listik, jalanan tidak beraspal, dan tingkat pendidikan yang rendah. Perubahan pun terjadi sekitar awal 1970-an atau akhir 1960-an. Seorang seniman bernama Sapto Hudoyo memperkenalkan teknik dekorasi baru dalam membuat keramik. Sapto melatih para perajin keramik untuk membuat desain keramik dan kemudian dipamerkan di galeri seni. Hasilnya para wisatawan tertarik pada desain keramik dari para perajin dan memutuskan untuk langsung berkunjung ke Kasongan. Selain Sapto, Larasati Sulianto Soelaiman juga berkontribusi dalam meningkatkan keterampilan pengrajin. Sama seperti Sapto, Larasati juga mengembangkan keterampilan perajin yaitu dengan mengajarkan dekorasi keramik dan mengajarkan perajin merangkai bunga. Distribusi hasil kerajinan dipasarkan melalui jaringan sosial keluarga dan tetangga. Selain dua aktor tersebut, pemerintah juga mengambil peran dalam pengembangan keterampilan perajin. Melalui Unit Pelayanan Teknis (UPT), pada tahun 1979, pemerintah telah menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan kepada perajin keramik. Terdapat empat modal penting yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal ekonomi, seperti tanah, merupakan hal penting bagi para perajin. Tanah difungsikan sebagai tempat bangunan pemasaran keramik perajin atau galeri (showroom). Diantara para pengusaha, hanya pengusaha kaya yang mampu membuat atau memiliki sebuah galeri pemasaran (showroom). Sementara pengusaha kecil kesulitan memasarkan kerajinan yang telah dibuat. Keadaan ini mengakibatkan para pengusaha kecil menjual kerajinan kepada pengusaha kaya. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya differensiasi dalam klaster keramik. Differensiasi tersebut sekaligus mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial diantara para pengusaha : 1. Pengusaha yang memproduksi terakota, terakota menjadi keramik finishing, dan memamerkannya ke showroom (KTFS). 2. Pengusaha yang memproses terakota menjadi keramik finishing dan memamerkan produk di showroom (KFS). 3. Pengusaha yang memproduksi terakota (KTK). 22 4. Pengusaha yang yang memproses keramik terakita (KF) atau sub kontrak (KS). 5. Pengusaha yang menyediakan bahan baku keramik (KBK) Ada dua jenis pengusaha keramik yaitu dominan dan resistensi. Pengusaha dominan adalah pengusaha yang mengakumulasi modal budaya dan modal ekonomi sehingga dengan mudah meningkatkan usahanya. Pengusaha dengan banyak modal akan mudah berekspansi di pameran nasional maupun internasional, membangun jaringan sosial, dan memiliki sumber keuangan yang terjamin. Sementara pengusaha kecil (resistensi) mengalami kesulitan dalam meningkatkan usahanya. Mereka tidak mampu berekspansi seperti yang dilakukan pengusaha dominan. Mereka hanya mampu meniru desain keramik dari pengusaha dominan. Dengan memanfaatkan koperasi, pengusaha kecil mampu mengembangkan jaringan melalui koperasi. Solidaritas sosial dibangun di setiap kelas sosial para perajin. Para perajin mempertahankan tradisi-tradisi yang mampu memperkuat solidaritas perajin. Menghadiri selamatan, hajatan, dan sambatan merupakan tradisi yang masih perajin pertahankan. Selain itu, modal sosial juga dibangun dengan pernikahan antara pengusaha. Pengusaha yang mampu mengakumulasi modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial, juga akan mendapatkan modal simbolik. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pengusaha yang mempunyai modal banyak akan menghasilkan mobilitas vertikal lebih cepat. Analisis Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa akumulasi modal akan menghasilkan mobilitas vertikal. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan informasi perkembangan modal yang dilakukan para perajin keramik. Peneliti membandingkan berbagai hasil penelitian untuk menopang validitas penelitian. Hasil penelitian telah menambah informasi mengenai modal sosial dalam masyarakat. Modal sosial dapat berkembang karena ada akumulasi modal lainnya yaitu modal ekonomi, modal budaya, dan kemudian akan berwujud sebagai modal simbolik. Peneliti menganalisis perkembangan modal sosial dan modal budaya perajin dengan membuktikan salah satu teori modal sosial yaitu teori modal sosial putnam. Putnam menyebutkan bahwa komponen dalam modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, dan organisasi. Dalam jurnal ini, peneliti menemukan bahwa komponen-komponen tersebut telah berkembang dalam kegiatan para perajin. (113 kata) Pondok pesantren : ciri khas, perkembangan, dan 11. Judul : sistem pendidikannya 2013 Tahun : Artikel Jurnal Jenis Pustaka : elektronik Bentuk Pustaka : B. Marjani Alwi Nama Penulis : Nama Editor : Judul Buku : Kota Dan Nama : Penerbit Jurnal Lentera Pendidikan Nama Jurnal : 16(2):205-219 Volume(Edisi):Hal : http://www.uin-alauddin.ac.id/downloadAlamat URL/Doi : 08%20Pondok%20Pesantren%20Center.pdf 26 April 2015 Tanggal Diunduh : Ringkasan Pustaka: ( 512 Kata) Pondok pesantren dibangun dan diperkenalkan di tanah Jawa oleh salah seorang Wali Songo, Maulanan Malik Ibrahim (Gresik). Cikal bakal berdirinya pesantren dapat dilihat di daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), 23 Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya. Pesantren telah mengalami berbagai tantangan zaman dan berkontribusi dalam kemerdekaan Indonesia. Saat kolonialisme Belanda, tidak sedikit pesantren melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh kyai-kyai, seperti perlawanan Kyai Mojo di Tegalrejo, Kyai Rifa’ie di Kalisasak Batang, Kyai Haji Zaenal Mustafa di Sukamamah Tasikmalaya. Menurut perkembangan pesantren, Dhofier mengelompokkan pesantren menjadi dua tipe besar, yaitu: tipe lama (klasik) yaitu inti pendidikannya mengajarkan kitab Islam klasik, sedangkan tipe baru mendirikan sekolah umum dan madrasah yang mayoritas pelajarannya dikembangkan bukan dari kitab Islam klasik. Pola pendidikan Islam tradisional diidentifikasikan sebagai berikut: a. Hubungan yang akrab antara kyai dan santri b. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai c. Pola hidup sederhana d. Kemandirian atau independensi e. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan f. Disiplin ketat g. Berani menderita untuk mencapai tujuan h. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi Metodologi pengajaran di pesantren yaitu metode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hapalan serta menggunakan sistem halaqah. Selain halaqah, metode pengajalan hapalan (tahfidz), musyawarah (hiwar), muzakarah (bahts al-masail), fath alkutub, muqaranah, dan muhawarah atau musahadah. a. Metode tahfidz mengharuskan setiap kali tatap muka, seorang santri harus membacakan tugas hapalannya kepada kyai. b. Metode hiwar membimbing para santri untuk melakukan kegiatan belajar secara berkelompok untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. c. Metode muzakarah dilakukan dengan membuat pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan agama lainnya yang menyertakan kyai dan juga santri. Terdapat dua tipe muzakarah yaitu muzakarah yang diadakan antar sesama kyai atau ustad, dan muzakarah yang diadakan antar sesama santri tetapi dipimpin oleh santri senior yang ditunjuk kyai atau langsung oleh ustad. d. Metode fath al-kutub diberikan pada santri senior yang ditugaskan untuk membaca kitab-kitab klasik. e. Metode muqaranah adalah metode yang fokus pada kegiatan perbandingan, baik materi, paham (mazhab), maupun perbandingan kitab, yang diterapkan pada kelas santri senior. Metode ini dibagi menjadi dua yaitu muqoronat al-adyan untuk perbandingan agama, dan muqoronat al-mazahib untuk perbandingan paham atau aliran. f. Metode muhawarah atau muhasadah merupakan latihan bercakap menggunakan bahasa Arab. Aplikasi metode muhawarah mewajibkan para santri untuk berbicara bahasa Arab baik antar santri maupun kepada ustad maupun kyai. Berdasarkan perkembangannya, sistem pendidikan pondok pesantren digolongkan sebagai berikut: 1. Pondok pesantren yang terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pesantren tipe ini sangat sederhana dan merupakan tingkatan awal dari berdirinya pesantren. 2. Pesantren memiliki masjid, rumah kyai, dan asrama tempat tinggal santri serta menyelenggarakan pengajian kitab klasik dengan metode hapalan, tuntunan, dan resitasi. 24 3. Pesantren dengan komponen pesantren tradisional dan juga menyelenggarakan pendidikan formal. 4. Pesantren dengan komponen pola ketiga, juga mengembangkan keterampilan seperti peternakan, kerajinan rakyat, koperasi, sawah, dan ladang. 5. Pesantren modern yaitu pesantren yang telah maju. Indikatornya terlihat dari fasilitas pesantren yang telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang tamu, ruang makan, kantor administrasi, toko atau koperasi, gedung pertemuan, kamar mandi dan WC, serta laboratorium. Analisis Pustaka Dalam jurnal ini, peneliti menjelaskan bahwa pondok pesantren telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Metode penelitian yang digunakan digunakan untuk berasal dari pustaka-pustaka yang berhubungan dengan judul yaitu Pondok Pesantren : Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya. Peneliti hanya menggunakan studi literatur sebagai untuk mengumpulkan data dan informasi yang berhubungan dengan judul penelitian. Secara eksplisit, penelitian ini telah menambah informasi terkait kehidupan pesantren dan unsur-unsur penyusunnya. Meskipun pola pendidikannya telah didasarkan pada basis agama, peneliti menemukan bahwa dalam pondok pesantren pun ditemukan kelemaham-kelemahan dalam hal perencanaan yang rinci dan rasional, kurikulum yang terarah, serta standar khusus yang kelas untuk jenjang pendidikan. Kelemahan pola pendidikan pesantren yang dikemukan oleh peneliti telah menambah pengetahuan dalam memahami kehidupan pesantren. Disamping itu, kelemahan tersebut juga dapat dijadikan potensi untuk memperbaiki kinerja pendidikan di pesantren yang dapat diintegrasikan dengan peran unsur SDM penyusunnya yaitu kyai, ustadz, dan santri. ( 143 kata) Pesantren Menghadapi Era Globalisasi 12. Judul : 2008 Tahun : Jenis Pustaka : Cetak Bentuk Pustaka : Ahmad Mustofa Haroen Nama Penulis : Amin Haedari Nama Editor : Khazanah Intelektual Pesantren Judul Buku : Jakarta [ID]: Badan Litbang dan Diklat Departemen Kota Dan Nama : Agama Penerbit Nama Jurnal : Volume(Edisi):Hal : Alamat URL/Doi : Tanggal Diunduh : Ringkasan Pustaka: (502 Kata) Pesantren mulai berdiri sejak periode Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Kemudian dilanjutkan oleh Sunan Giri dan sampai hingga periode kerajaan Islam berdiri. Metode pendidikan yang diberikan oleh kyai kepada santri dilakukan dengan menggabungkan dua metode yaitu tulisan dan lisan. Metode tulisan digunakan untuk mengajarkan kitab-kitab Islam (kitab kuning). Pendidikan inti yang diajarkan periode Sunan Giri adalah Al-Quran, Hadits, dan kitab kuning yang berjudul Sittiina’ tentang hukum-hukum ibadah. Sedangkan metode lisan digunakan untuk menyampaikan isi dari kitab-kitab Islam klasik kepada santri dan masyarakat. Kyai menggunakan metode lisan untuk menerjemahkan tulisan dalam kitab klasik yang ditulis dengan bahasa Arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab Jawi. Globalisasi memberikan dampak yang besar dalam pembangunan nasional pun terhadap kehidupan di pesantren. Meskipun pesantren merupakan sebuah lembaga 25 pendidikan keagamaan, pesantren tidak luput dari pengaruh globalisasi. Dampak yang terlihat terletak pada arus informasi di pesantren. Jika dulu informasi didapat dari tulisan dan lisan yang terbatas, saat ini informasi dapat diakses dengan mudah melalui perangkat TIK (Teknologi, Komunikasi, dan Informasi) misalnya internet. Semua informasi telah tersedia dan santri pun dapat belajar setiap waktu. Namun kehadiran internet bukan berarti menghilangkan tradisi tulisan dan lisan, internet mengkombinasikan kedua tradisi sebelumnya dalam satu media yang mudah diakses. Model pengajaran di pesantren dilakukan melalui 4 tahapan yaitu sorogan, bandongan, kelas musyawarah, dan bathsul masaail. Bahtsul masaail merupakan representasi yang memadai untuk memetakan pola penalaran keilmuan pesantren. Haroen (2009:24) merangkum dari berbagai literatur tentang pengertian bahtsul masaail. Bahtsul masaail mencerminkan proses istinbath (mencari dasar hukum). Istinbath dalam tradisi pesantren tidak langsung merujuk pada Al-Quran dan Hadits, akan tetapi memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Pola penalaran bahtsul masaail terbagi menjadi dua yaitu pola penalaran deduktif (istidlaliyah) dan pola penalaran induktif (istiqraiyyah). Dua realitas yang dapat dianalisis adalah realitas kasar dan realitas lunak. Kedua realitas tersebut ditemui pada pesantren tradisional dimana arus informasi masih terbatas oleh tradisi lisan dan tulisan. Realitas di zaman globalisasi telah dipengaruhi perkembangan media sehingga realitas keras dan lunak melebur menjadi realitas media. Realitas ini menjadi objek dakwah pesantren. Posisi pesantren berada dalam posisi memberi dan menerima globalisasi. Konflikkonflik nilai budaya dan sosial bermunculan di pesantren. Tantangan dakwah semakin kompleks karena arus informasi sangat cepat. Di saat situasi seperti ini, pesantren dipandang terkesan eksklusif. Pesantren dianggap hanya mencetak ulama-ulama dan tidak mementingkan aspek-aspek duniawi. Dengan kata lain, terdapat dikotomi ilmu di pesantren. Hal inilah yang menurut Haroen (2009:39-40) membuat pesantren dianggap terbelakang dan anti kemajuan. Hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam berupa rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi sekalian alam. Maka pesantren pun harus dapat menggunakan teknologi dan informasi untuk melakukan akselerasi pendidikan. Terdapat 4 tahapan pengembangan pesantren dengan TIK : 1. Fase emerging : warga pesantren memandang penting TIK 2. Fase applying : warga pesantren belajar TIK 3. Fase infusing : pengelola pesantren mengetahui kapan mengelola dan menerapkan TIK 4. Fase transforming : warga pesantren menggunakan TIK dengan baik. Untuk melakukan ke empat tahapan perlu mengadakan identifikasi terhadap SDM, manajemen, sarana dan prasarana, serta pemanfaatan TIK (media pembelajaran, pengembangan sistem pendidikan, sarana dakwah). Analisis Pustaka Studi yang dilakukan oleh penliti telah menambah informasi tentang orientasi pesantren saat ini. globalisasi telah mengakibatkan peleburan objek dakwah pesantren. Pesantren yang bersifat adaptif harus dapat melihat globalisasi sebagai hal yang positif dalam mengembangkan pendidikan. Peneliti melakukan penelitian jenis studi pustaka dengan mengumpulkan informasi terkait topik penelitian dari data primer maupun sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis sehingga dalam tulisannya peneliti menguraikan secara rinci terkait perubahan orientasi pada pesantren. Tulisan ini menambah pula informasi bagaimana saat ini pesantren telah mengedepankan kompetensi penguasaan perangkat TIK. Harapannya lulusan pesantren di masa depan mempunyai kompetensi tidak hanya dibidang agama namun juga TIK. (99 kata) 26 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Pesantren Sejarah Islam dan Pesantren di Nusantara Pertumbuhan dan perkembangan pesantren tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di Indonesia8. Islam memasuki kehidupan Indonesia dimulai pada masa menjelang dan perluasan Kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari catatan sejarah yang menyebutkan bahwa orang-orang Indonesia banyak melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Kegiatan perdagangan pada saat itu didominasi oleh pedagang-pedagang muslim dari wilayah India. Saat itu, kerajaan Islam di India yang disimbolkan dengan kemegahan Taj Mahal telah mempengaruhi hubungan antara pedagang Indonesia dengan pedagang muslim dari wilayah India. Dengan demikian, semakin kuat kerajaan Majapahit, maka perdagangan antara pedagang Indonesia dan pedagang Islam India pun semakin intensif. Namun ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran9, kerajaan Demak mengambil alih hal tersebut. Memasuki abad ke-15, Islam telah menggantikan Hinduisme sebagai kerajaan yang paling kuat pada waktu itu sehingga Islam mulai mampu mengekspansi penyebaran Islam di Indonesia10. Pada abad ke 16, penduduk Indonesia telah dapat di-Islam-kan meskipun tidak sepenuhnya dari masyarakat mengerti dan mengamalkan ajaran Islam dengan benar (Dhofier 2011:15-16). Islam mulai masuk dan menyebar di Indonesia pada abad ke 13 dan abad ke 16 setelah terjadi persaingan antara empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi’i. Diantara keempat mazhab tersebut, Mazhab Imam Syafi’i merupakan mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Mazhab Syafi’i dinilai oleh para kyai terdahulu sebagai madzhab yang paling sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang cenderung homogen. Mazhab Syafi’i mengajarkan jalan tengah (tawasuth), toleran (tatsamuh), dan menjaga keseimbangan (tawazun)11. 8 Islam masuk ke Indonesia melalui kegiatan perdagangan laut oleh para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India. Kapal-kapal para pedagang singgah dan menepi di pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di pesisir pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Para pedagang tersebut membawa berbagai hasil bumi. Pelabuhan-pelabuhan yang sering disinggahi kapal asing adalah pelabuhan Lamuri di Aceh, pelabuhan Barus dan Palembang di Sumatera (Yatim 2008-191-192). 9 Terjadi kekacauan politik di Kerajaan Majapahit setelah meninggalnya Patih Gajah Mada (1364 M) dan Hayam Wuruk (1389 M). Setelah Hayam Wuruk meninggal, kekuasaan jatuh pada putri mahkota Kusumawardhani yang menikah dengan sepupunya sendiri yaitu Pangeran Wikramawardhana. Di sisi lain, Hayam Wuruk memiliki putra dari seorang selir yang bernama Bhre Wirabumi. Karena merasa memiliki hak, Wirabhumi tidak terima jika Wikramawardhana menjadi penguasa tertinggi. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabumi pun berlangsung lebih dari sepuluh tahun dan berakhir pada Perang Paregreg yang mengakibatkan mangkatnya Bhre Wirabhumi. Setelah Bhre Wirabhumi meninggal, perebutan kekuasaan pun masih terus berlangsung. Pada tahun 1468 M, Majapahit diserang oleh Girindrawardhana dari Kediri. Sejak itulah, kerajaan Majapahit berakhir (Yatim 2008:196 dan Zarkhoviche 2015:15-17). 10 Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan dengan jatuhnya kerajaam Majapahit. Sebelum jatuhnya Majapahit, proses Islamisasi di Jawa telah dimulai sejak abad ke-11 M meskipun belum meluas. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik yang berumur 475 H (1082 M). Pada saat kejayaan Majapahit pun Islam telah menyebar di pulau Jawa terutama di daerah-daerah pesisir karena menjadi lokasi permukiman pedagang-pedagang muslim. Di bawah bimbingan Sunan Kudus, ketika Majapahit jatuh, Islam dapat menggantikan pusat kerajaan di tanah Jawa (Yatim 2008:197-199). 11 Dhofier 2011:1-2 27 Sepanjang periode tahun 1200-1650, Islam (termasuk pesantren) telah berkembang di Indonesia melalui para kyai-kyai, syekh, atau ulama terdahulu. Perkembangan Islam juga ditunjang oleh pengaruh perubahan zaman pada periode 1200-1650 tersebut. Pada abad ke-14 dan ke-15, Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia. Kekuatan besar pada saat itu adalah Islam. Selain perdagangan, Islam juga berfokus pada lembaga pendidikan yang berkualitas. Kondisi pada waktu itu, masyarakat masih lemah tradisi menulisnya sehingga Islam pun semakin mudah terlembaga dan diterapkan masyarakat. Proses terbentunya Islam sebagai agama baru mulai muncul setelah kegagalan imperium Kerajaan Majapahit12. Sejarah awal mula berdirinya pesantren di Indonesia diawali dari kisah seorang ulama bernama Hamzah Fansuri. Beliau merupakan seorang budayawan agung Nusantara yang memungkinkan dirinya berhasil menjadi guru besar di Masjidil Haram, Mekkah. Hamzah Fansuri sangat dihormati di Mekah. Saat meninggal, beliau dimakamkannya pun di Mekah. Berdasarkan temuan batu nisan pada tahun 1999 oleh peneliti arkeologi Indonesia-Perancis, Hamzah Fansuri lahir pada pertengahan abad ke15 di Barus, Sumatera Utara. Hasil penggalian dan penilitian di Barus yang dilakukan selama lima tahun (1998-2003) tersebut menjelaskan bahwa antara abad ke-9 dan 14, Barus adalah sebuah kota metropolitan. Berbagai ideologi dan agama berinteraksi di Barus. Sebagian penduduk beragama Hindu Brahma, Buddha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Saat ini, hasil pertemuan budaya dan agama penduduk dapat dilihat dari sejumlah kuburan Islam yang lengkap dengan inskripsinya. Kebanyakan perkuburan itu berasal dari abad ke-14 dan awal ke-15, dan diantaranya ada yang bergelar syekh. Selain syekh, nama-nama yang ditemukan adalah Mahligai, Tuan Ambar, dan Papan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang mengajar, bermukim dan mendirikan pusat pendidikan Islam (Pesantren)13. Periode abad ke-11 sampai abad ke-14 merupakan periode penting dalam peradaban Islam di Nusantara. Pada periode tersebut terjadi transisi dari peradaban Hindu Buddha yang ditandai dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pasca turunnya Patih Gajah Mada ke masa periode peradaban Melayu Nusantara. Abad ke-15, Islam merupakan agama yang sedang berkembang dengan kekuatan yang besar dan menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang paling dinamis. Pada waktu itu, Barus terkenal sebagai eksportir minyak wangi yang disukai oleh pangeran dan bangsawan dari Arab, Parsi dan Cina14. Bangsawan Cina menyukai minyak wangi Barus sejak abad ke-615. Harga minyak wangi Barus sangat mahal sehingga penggunanya pun adalah kalangan menengah atas atau bangsawan. Maka dari itu, hanya para pedagang yang mempunyai modal besarlah yang mampu menjual minyak tersebut. Dalam tradisi perdagangan dunia muslim, para pedagang muslim di Barus menyediakan amal jariyah bagi ulama yang bersedia menemani perjalanan mereka ke tempat yang jauh untuk menyebarkan pendidikan Islam. Ulama-ulama tersebut dipastikan adalah ulama yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi. Ulama-ulama tersebut membangun permukiman di sepanjang pantai sebagai tempat untuk mengajarkan Islam. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya pesantren. Sehingga pada tahun 1200 terbentuklah kesultanan Lamreh di Barus yang menjadi titik tolak berkembangnya 12 Dhofier 2011 28-29 Dhofier (2011:29-30) 14 Guillot dan Kalus (2007:3-6;24-27) dalam Dhofier (2011:31) 15 Ibid no. 3 13 28 sejarah Indonesia modern yang Islami. Oleh karena itu, situs Barus dianggap sebagai situs pertama dalam mengenal tradisi pesantren di Nusantara (Dhofier 2011:31). Penemuan inskripsi pada nisan Hamzah Fansuri16 telah menunjukkan bahwa situs Barus pada abad ke-10 sampai abad ke-15, menjadi pusat pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia dilakukan dengan menyertakan ulama-ulama atau syekh yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi pada saat pedagang berlayar dan singgah ke Indonesia. Hal ini terbukti dari berdirinya Kesultanan Lamreh yang lahir menjelang tahun 1200 dan batu nisan Hamzah Fansuri yang meninggal di area perkuburan elit Bab al-Ma’ala di Mekah, yang membuktikan bahwa beliau adalah seorang alim yang dihormati. Perjuangan Hamzah Fansuri dilanjutkan oleh Wali Songo17 atau sembilan wali di tanah Jawa. Kesembilan wali tersebut telah berhasil mengislamkan seluruh penduduk Jawa sejak wali pertama sampai wali terakhir, dimulai dari Malik Ibrahim (822 H/1419 M) kemudian dilanjutkan oleh wali ke sembilan yaitu Syekh Nurullah (Dhofier 2011:30-36). Perkuburan para syekh atau ulama seperti Hamzah Fansuri, Wali Songo, maupun ulama-ulama lainnya menjadi bukti bahwa mereka berperan penting dalam pendirian pesantren pertama kali di Indonesia. Pesantren dan Elemen Pesantren Pendidikan Islam didefinisikan sebagai upaya memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Islam di Indonesia. Sejak saat itu lembaga pendidikan Islam yang mulai muncul adalah pesantren. Secara historis, pesantren yang berbasis agama Islam merupakan lembaga pendidikan tradisional yang sengaja didirikan agar menjadi tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, pesantren merupakan bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia yang memiliki kedudukan sama seperti lembaga pendidikan Islam lainnya (Rais 2012:13-21). Perkataan “pesantren” berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Lembaga pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia yang sebelumnya menganut agama Hindu Buddha bernama “mandala” kemudian diislamkan oleh para kyai. Seseorang yang meyakini Islam sebagai agamanya, sejak kecil akan diberi pemahaman tentang kehidupan-kehidupan Islam yang dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Orang tua akan mengajarkan syahadat18 sebagai dasar keyakinan Islam. Tidak cukup dengan syahadat, setiap muslim diharuskan mendapatkan pendidikan diluar keluarga. Sebab terdapat empat rukun Islam lagi yang harus dijalankan, yaitu: shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Maka diperlukan latihan dan pendidikan elementer yang diberikan dari pengajian-pengajian oleh guru di masjid, langgar, atau di rumah guru tersebut. Dalam periode saat ini, lembaga pengajian tersebut telah dilengkapi dengan 16 Hamzah Fansuri adalah ulama dan budayawan Indonesia. Beliau kelahiran Barus pada pertengahan abad ke-15. Hamzah Fansuri meninggal di Mekah pada tahun 9 Rajab atau 11 April 1527 17 Wali songo adalah lembaga dakwah islam yang beranggotakan sembilan orang wali dan digantikan secara periodik bila ada anggotanya yang meninggal atau kembali ke negara asalnya (Zarkhoviche 2015:21). 18 Asyhaduu alla ilaha illallah wa asyhaduu anna muhammadurrosulullah : Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat merupakan rukun Islam pertama sebagai perjanjian antara hamba dengan Tuhannya. 29 bentuk sekolah formal, seperti madrasah. Meskipun demikian, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia masih berada pada sistem pesantren19. Jenis-Jenis Pesantren Kelompok pesantren dapat dibedakan berdasarkan periode dan ukurannya. Berdasarkan periodenya20, terdapat dua tipe besar pesantren di Indonesia. 1. Tipe lama (klasik). Inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik melalui sistem pengajaran sorogan dan juga menerapkan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan. Tipe ini tidak mengajarkan pengetahuan umum. Pesantren yang menerapkan sistem ini adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati, dan Pesantren Tremas di Pacitan. 2. Tipe baru. Tipe ini mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrasah yang mayoritas mata pelajarannya dikembangkan bukan dari kitab-kitab Islam klasik. Hal ini disebabkan oleh porsi pengajaran untuk kitab-kitab Islam klasik tidak cukup memadai karena keterbatasan jumlah pengajar dan santri yang besar. Pesantren yang menerapkan sistem ini adalah Pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang. Sedangkan kelompok pesantren menurut ukurannya adalah pesantren kecil, menengah, dan besar. Pesantren yang tergolong kecil mempunyai jumlah santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai santri 1000 sampai 2000 orang, memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2000 yang berasal dari kabupaten dan provinsi. Biasanya pesantren besar memiliki popularitas yang dapat menarik santri-santri dari seluruh Indonesia. Saat ini terdapat 22 pesantren yang memiliki santri lebih dari 5000 orang. Pesantren dengan jumlah santri terbesar adalah pesantren Raudhotul tholibin (Gresik) yang memiliki jumlah santri mencapai 16.000 orang (Dhofier 2011:79). Berdasarkan perkembangannya, sistem pendidikan pondok pesantren digolongkan sebagai berikut21: a. Pondok pesantren yang terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pesantren tipe ini sangat sederhana dan merupakan tingkatan awal dari berdirinya pesantren. b. Pesantren memiliki masjid, rumah kyai, dan asrama tempat tinggal santri serta menyelenggarakan pengajian kitab klasik dengan metode hapalan, tuntunan, dan resitasi. c. Pesantren dengan komponen pesantren tradisional dan juga menyelenggarakan pendidikan formal. d. Pesantren dengan komponen pola ketiga, juga mengembangkan keterampilan seperti peternakan, kerajinan rakyat, koperasi, sawah, dan ladang. Pesantren modern yaitu pesantren yang telah maju. Indikatornya terlihat dari fasilitas pesantren yang telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang tamu, ruang makan, kantor administrasi, toko atau koperasi, gedung pertemuan, kamar mandi dan WC, serta laboratorium. 19 Dhoffier 2011:42-43 Pada awal-awal kemerdekaan RI, dominasi pesantren mengalami penurunan setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Pemerintah Indonesia menurunkan dominasi pesantren dengan cara membuka sekolah umum seluas-luasnya dan jabatan-jabatan dalam administrasi modern yang terbuka. Hal ini berakibat pada jumlah pesantren yang mengalami peningkatan dari 2300 pada tahun 1942 menjadi 7600 pada tahun1998 (Dhofier 2011:75). 21 Alwi 2013:205-219 20 30 Pola Pembelajaran Pesantren Pesantren mulai berdiri di Indonesia sejak periode Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Kemudian dilanjutkan oleh Sunan Giri hingga periode kerajaan Islam berdiri. Metode pendidikan yang diberikan oleh kyai kepada santri dilakukan dengan menggabungkan dua metode yaitu tulisan dan lisan. Metode tulisan digunakan untuk mengajarkan kitab-kitab Islam (kitab kuning). Pendidikan inti yang diajarkan periode Sunan Giri adalah Al-Quran, Hadits, dan kitab kuning yang berjudul Sittiina’ tentang hukum-hukum ibadah. Sedangkan metode lisan digunakan untuk menyampaikan isi dari kitab-kitab Islam klasik kepada santri dan masyarakat. Kyai menggunakan metode lisan untuk menerjemahkan tulisan dalam kitab klasik yang ditulis dengan Bahasa Arab lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab Jawi (Haroen 2008:11-13). Metodologi pengajaran di pesantren yaitu metode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hapalan serta menggunakan sistem halaqah. Selain halaqah, metode pengajalan hapalan (tahfidz), musyawarah (hiwar), muzakarah (bahts almasail), fath al-kutub, muqaranah, dan muhawarah atau musahadah. a. Metode tahfidz mengharuskan setiap kali tatap muka, seorang santri harus membacakan tugas hapalannya kepada kyai. b. Metode hiwar membimbing para santri untuk melakukan kegiatan belajar secara berkelompok untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. c. Metode muzakarah dilakukan dengan membuat pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan agama lainnya yang menyertakan kyai dan juga santri. Terdapat dua tipe muzakarah yaitu muzakarah yang diadakan antar sesama kyai, dan muzakarah yang diadakan antar sesama santri tetapi dipimpin oleh santri senior yang ditunjuk kyai. d. Metode fath al-kutub diberikan pada santri senior yang ditugaskan untuk membaca kitab-kitab klasik. e. Metode muqaranah adalah metode yang fokus pada kegiatan perbandingan, baik materi, paham (mazhab), maupun perbandingan kitab, yang diterapkan pada kelas santri senior. Metode ini dibagi menjadi dua yaitu muqoronat al-adyan untuk perbandingan agama, dan muqoronat al-mazahib untuk perbandingan paham atau aliran. f. Metode muhawarah atau muhasadah merupakan latihan bercakap menggunakan bahasa Arab. Aplikasi metode muhawarah mewajibkan para santri untuk berbicara bahasa Arab baik antar santri maupun kepada kyai. (Alwi 2013:205-219) Elemen-Elemen Pesantren Pesantren tidak akan berjalan tanpa elemen-elemen penyusunnya. Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik, dan kyai merupakan elemen dasar dari sebuah pesantren. a. Pondok Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren di Indonesia. Keragaman etnik Indonesia memberi pengaruh terhadap perkembangan pondok. Masyarakat Minangkabau atau Dayah di Aceh menerapkan sistem pendidikan surau yang pada dasarnya sama dengan sistem pondok. Tidak hanya di Indonesia, di Afghanistan pun sistem pondok ditemukan namun dengan sistem dan pola manajemen yang berbeda dengan di Indonesia. Afghanistan mewajibkan murid atau santri yang belum menikah tinggal di masjid. Jika masjid tersebut luas, akan tersedia satu atau dua kamar yang disebut 31 hujrah untuk tempat tidur para guru atau murid. Namun kebanyakan para murid tinggal di langgar-langgar yang berada di sekitar masjid. Mereka bertugas untuk memimpin shalat lima waktu bagi masyarakat setempat. Sebagai bentuk apresiasi, masyarakat akan menanggung kebutuhan makan kepada tullab (murid). Tidak hanya ditanggung makanan, setiap kali panen masyarakat akan memberikan sebagian hasil panennya kepada tullab karena dianggap sebagai hak Allah (Dhofier 2011:79-81). Menurut Dhofier, ada tiga alasan utama diperlukan asrama bagi para santri: a. Kemasyhuran dan kedalaman pengetahuan kyai menarik santri-santri dari seluruh Indonesia berdatangan ke pondok pesantren. Cara yang harus ditempuh oleh santri-santri tersebut dalam menggali ilmu pengetahuan dari Kyai adalah tinggal di kawasan tinggal kyai secara teratur dan dalam waktu yang lama. b. Hampir semua pesantren berada di perdesaan. Kondisi di perdesaan tidak sama dengan kondisi perkotaan. Permukiman penduduk tidak akan cukup menampung para santri yang akan menempuh pendidikan di pesantren. Maka pondoklah sebagai tempat untuk menampung para santri tersebut. c. Sikap timbal balik antara santri dan kyai. Kyai menganggap bahwa para santri merupakan titipan Allah yang harus dijaga sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab. Sedangkan santri menganggap bahwa Kyai merupakan pengganti orang tuanya sendiri sehingga santri mampu menumbuhkan sikap pengabdian kepada kyai. Sikap timbal balik inilah yang menjadi penguat modal sosial di pesantren. Di negara muslim lain, seperti Mekah dan Madinah, pesantren umumnya berada di perkotaan sehingga tidak ditemukan pondok seperti halnya di Indonesia. para santri dapat menyewa tempat tinggal yang berada di sekitar masjid, sedangkan pusat belajar tetap berada di Masjid Haram dan Masjid Nabawi. Di Indonesia, pentingnya keberadaan pondok pesantren sangat tergantung pada jumlah santri. Untuk pesantren yang kecil, para santri biasanya tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar pesantren. Sedangkan untuk pesantren yang besar, seperti Pesantren Tebuireng (Jombang), santri akan ditempatkan dalam sebuah kamar yang berisi sepuluh sampai dengan lima belas orang santri lain. kehidupan sehari-hari para santri sangat sederhana. Tidak ada pembedaan perhatian terhadap santri senior dan santri yunior. Santri senior tetap tinggal dan tidur bersama dengan santri yunior. Sementara itu untuk kebutuhan makan, para santri memiliki dua pilihan yaitu membeli dan memasak secara bergantian. b. Masjid Masjid merupakan tempat pertama untuk mendidik para santri. Di zaman Rasulullah SAW, masjid Al-Aqsa didirikan pertama kali dengan tujuan untuk mendidik para sahabat yang telah memeluk agama Islam. Keberadaan masjid sampai saat ini terus dijaga oleh pesantren dan masyarakat. masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin pada santri dalam mengerjakan shalat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama lainnya. Kyai biasanya mulai mengembangkan pesantren dengan mendirikan sebuah masjid di dekat rumah. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren (Dhofier 2011:85-86). 32 c. Pengajaran kitab klasik Pengajaran kitab klasik formal yang diberikan di pesantren adalah karangan-karangan ulama penganut mazhab Imam Syafi’i. Tujuannya adalah menjadikan para santri sebagai ulama-ulama yang berkualitas. Santri akan belajar di pesantren melalui tiga sistem pengajaran yakni sistem sorogan, sistem bandongan atau weton, dan sistem kelas musyawarah. Santri sebelum memasuki pesantren, telah dipersiapkan dengan bekal dari kampung oleh seorang guru mengaji. Di kampung, seorang calon santri mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Al-Quran atau kitab-kitab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Santri diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan seperti yang telah disampaikan oleh guru. Sistem ini disebut sorogan. Sorogan merupakan tingkatan dasar dan tersulit diantara sistem lainnya. Sebab sistem sorogan menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi guru pembimbing dan santri. Kebanyakan santri-santri di perdesaan gagal dalam pendidikan dasar karena tidak menyadari pentingnya mematangkan diri pada tingkat dasar ini. sistem ini dinilai efektif untuk para santri yang bercita-cita menjadi ulama. Sistem ini memungkinkan seorang guru untuk mengawasi dan menilai kemampuan bahasa arab santri. Hal ini sangat penting untuk diketahui sebab pada sistem sorogan dan bandongan, kitab-kitab yang diajarkan tanpa huruf hidup sehingga santri diwajibkan untuk memahami kaidah bahasa Arab22. Sistem kedua adalan bandongan atau weton. Sistem ini umum ditemui di lingkungan pesantren. Dalam tipe ini, sekelompok santri (5-500 santri) akan mendengarkan guru yang membaca, menerjemahkan, mendengarkan, serta seringkali mengulas buku-buku dalam bahasa Arab. Setiap santri diwajibkan untuk menyimak bukunya sendiri dan menuliskannya dalam catatan. Kelompok sistem ini disebut halaqah yang berarti lingkaran murid. Dalam sistem Bandongan, seorang santri tidak harus menunjukkan bakat bahwa ia sudha mengerti. Kyai biasanya membacakan dan menerjemahkan kitab secara cepat dan tidak menerjemahkan per kata sehingga dalam seminggu informasi tersebut cepat hilang. Sistem bandongan hanya efektif bagi murid-murid yang teah mengikuti sistem sorogan secara intensif23. Sedangkan kelas musyawarah dibentuk untuk mewadahi para santri senior yang belajar. Mereka diberikan kitab-kitab tingkat tinggi untuk dibaca dan diulas dalam forum. Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang telah dirujuk oleh kyai. Kyai memimpin kelas musayawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak sesi tanya jawab yang diselenggarakan dalam bahasa Arab. Sebelum kelas musyawarah diselenggarakan, biasanya kyai dan santri menyiapkan sejumla pertanyaan (masaail diniyyah) sebelum kelompok musyarawah sidang. Kelas musyawarah membantu kyai untuk menilai kematangan ilmu para santri senior. Jika dinilai bahwa santri senior telah matang dalam menggali sumber-sumber referensi, memiliki kekuasaan bahan bacaan, dan mampu menemukan atau menyelesaikan masalah menurut sistem jurisprudensi madzhab Syafi’i, maka santri tersebut diwajibkan untuk mengajar kitab-kitab tingkat tinggi. Dari sistem pelajaran tersebut, ditemukan jenjang didasarkan kematangan ilmu pengetahuan Agama Islam yaitu : 22 23 Dhofier 2011:89-90 Ibid no.22 33 Santri yunior ïƒ santri senior ïƒ asatid ïƒ kyai muda ïƒ kyai d. Santri Menurut tradisi pesantren, santri terdiri dari dua24: Santri mukim, yaitu santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. a. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren bertanggungjawab untuk mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari serta mengajar santri-santri muda yang belajar kitab dasar dan menengah. b. Santri kalong, yaitu santri-santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka harus bolak balik (nglaju) dari rumahnya sendiri. besar kecilnya jumlah santri kalong menentukan perbedaan pesantren besar dan pesantren kecil. Semakin banyak santri kalong maka disebut pesantren kecil, jika semakin kecil jumlah santri kalong maka disebut pesantren besar. Keberadaan para santri di pesantren adalah sebuah keunikan tersendiri dalam tradisi pesantren di Jawa. Dulu, setiap anak di kampung memiliki guru mengaji di langgar maupun surau. Anak-anak dipersiapkan untuk bisa mengenyam pendidikan di pesantren. Di zaman dulu, pendidikan pesantren di luar kampung adalah kebanggaan tersendiri. Sehingga ketika seorang anak meninggalkan kampung untuk pergi ke pesantren, yang membiayai kepergiannya bukan hanya keluarga melainkan masyarakat. masyarakat menaruh harapan besar pada setiap anak yang berkesempatan sekolah untuk kembali mendidik dan membimbing mereka. selain itu, ada pula masyarakat yang memberikan kiriman dari kampung untuk santri. Hal ini dilakukan oleh masyarakat karena terdapat anggapan bahwa harta yang mereka miliki adalah harta Allah maka harus dikembalikan pula untuk Allah. Uniknya setiap santri yang datang dan menuntut ilmu di pesantren bukan berasal dari golongan menengah ke bawah melainkan menengah ke atas. Mereka berasal dari petani kaya, pedagang, pemilik perusahaan, para pejabat, atau pemimpin agama. Tidak sedikit pula diantara santri-santri tersebut merupakan anak para kyai. Masyarakat menengah ke bawah tidak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Mereka lebih memilih sekolah di pesantren kecil karena lebih hemat biaya, tidak mengeluarkan biaya untuk tempat tiggal, uang pondok, dan keperluan lainnya. Namun realitanya, kebanyakan santri-santri dari golongan menengah ke bawah harus membantu mengerjakan sawah dan kebun penduduk sehingga waktu yang tersedia sangat terbatas. “...teman saya yang belajar di pesantren tersebut (Pesantren Tegalsari) adalah anak yang berkecukupan di desa sekitar pesantren. Barangkali anak keluarga miskin tidak mempunyai waktu yang cukup karena harus membantu orang tua bekerja di sawah”25 e. Kyai Menurut Dhofier (2011:93), ahli pengetahuan Islam di kalangan umat Islam disebut ulama. Istilah di Jawa Barat menyebut ulama dengan ajengan, sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyebut ulama yang memimpin pesantren dengan kyai. Namun sekarang banyak ulama yang berpengaruh di masyarakat dan tidak memimpin pesantren mendapatkan gelar kyai. Dengan 24 25 Ibid no. 23 Dhofier 2011:91 34 kata lain, gelar kyai menunjuk pada ulama yang memimpin pesantren tradisional. Kata kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang berbeda, yaitu26: a. Gelar kehormatan bagi barang-barang keramat, misalnya: “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c. Gelar untuk ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab Islam klasik kepada santri. Selain gelar kyai, Ia juga disebut sebagai orang alim (orang yang dalam ilmu pengetahuan Islamnya). Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa pesantren diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak (power and authority). Tidak ada seorang pun yang bisa melawan kyai kecuali pemimpin pesantren lain yang lebih kuat. Sebab para kyai memiliki pengaruh yang besar di kalangan pesantren maupun masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya akumulasi modal fisik oleh kyai terutama tanah. Asal munculnya akumulasi modal fisik tersebut adalah sokongan atau sumbangan yang diberikan murid biasanya langsung dibelikan tanah atau sawah. Meskipun mereka membelinya, tanah tersebut dikelola oleh orang lain. Fenomena ini sangat erat hubungannya dengan anggapan bahwa kyai menguasai kerajaan kecil di perdesaan. Pandangan kyai ini menyebabkan struktur kekuasaan di Jawa semakin rumit. Sejak Islam masuk ke Indonesia, terjadi perubahan cara pandang terhadap siapa yang dianggap mewakili Tuhan. Pada masa kerajaan Hindu, raja dianggap sebagai manifestasi ketuhanan dalam mikrokosmos (dunia nyata) kehidupan. Islam tidak mengakui adanya seorang manusia sebagai simbol dari kekuatan makrokosmos atau alam ghaib (Dhofier 2011:96-97). Pola Pembiayaan Pesantren Pesantren yang berkembang saat ini tidak akan tumbuh tanpa ada pasokan modal ekonomi yang kuat. Menariknya kehidupan di pesantren seperti tidak pernah kehabisan pasokan modal ekonomi. Bantuan-bantuan masyarakat selalu hadir untuk mensukseskan pembangunan dan peningkatan kualitas pesantren yang nantinya akan berdampak pada peningkatan santri-santri pesantren. Dalam lembaga pendidikan tradisional, peran kyai bukan hanya seorang guru namun kyai juga memegang peranan penting dalam hal pembiayaan pesantren. Umumnya masyarakat menganggap bahwa kyai memiliki hubungan yang kuat dengan Tuhan, Allah SWT, sehingga kharisma yang muncul dari diri kyai berlandaskan ideologis atau kepercayaan ketuhanan. Hal ini berdampak pada kecenderungan masyarakat yang mengagungkan peran seorang kyai. Masyarakat percaya bahwa apapun yang mereka berikan untuk pesantren akan sampai pada Tuhan. Dhofier (2011:80) mengatakan bahwa dalam sistem pemilikan pesantren, para kyai mendapatkan bantuan modal ekonomi dari masyarakat. Para penyumbang dana beranggapan bahwa para kyai berhak memperoleh dana dari masyarakat karena dana tersebut dianggap sebagai dana Tuhan. Para kyai diakui memiliki intuisi ataupun kepribadian yang dapat mengurus dana-dana tersebut atas nama Tuhan. Sehingga dalam praktiknya, masyarakat tidak banyak bercampur tangan dalam mengurus dana-dana di pesantren. 26 Dhofier 2011:93 35 Pembiayaan pesantren erat hubungannya dengan sistem pemilikan pesantren. Perkembangan zaman telah mengakibatkan transisi ataupun perubahan sistem kepemilikan pesantren. Ada dua alasan utama perubahan sistem pemilikan pesantren. Pertama, dulu pesantren tidak memerlukan biaya besar karena jumlah santri tidak banyak, kebutuhan jenis dan jumlah alat-alat bangunan untuk pembangunan pesantren pun relatif kecil. Kedua, kyai dan tenaga pendidik di pesantren berasal dari orang-orang yang mampu di perdesaan sehingga mereka mampu membiayai hidup mereka sendiri dan pesantren. Namun dalam realitas yang ada, tidak semua kyai adalah orang kaya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kyai harus berjuang keras untuk membangun sebuah pesantren. Ada keyakinan bahwa kekayaan sejati hanya milik Allah SWT sehingga manusia harus berjuang untuk mendapatkan amanah kekayaan tersebut (Dhofier 2011:80-81). Pesantren menyadari bahwa tanpa pembiayaan dan kondisi keuangan yang baik, pendidikan serta aktivitas ibadah di lingkungan pesantren tidak akan berjalan. Mengatasi masalah tersebut, pesantren-pesantren di Indonesia mulai mengembangkan usaha-usaha pesantren sebagai sumber keuangan dan investasi masa depan. Ponpes Darul Falah Bendo Mungal, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan salah satu dari pesantren di Indonesia yang telah melakukan hal tersebut. Ponpes Darul Falah Bendo Mungal selain memiliki kegiatan pendidikan, juga mempunyai kegiatan pengembangan masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi. Kegiatan ini dibagi dalam dua kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem. Usaha pondok meliputi: Klik Asy Syifa’, KBIH Magfuro, toko jamu, toko palen, toko bangunan, dan pertanian. Sedangkan usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko grabah, toserba dan rumah makan, warung makan, dan sebagainya (Rimbawan 2013:1189). Namun, berdasarkan situasi yang terdapat di Ponpes Darul Falah, masalah sosial kemudian muncul yang bersumber pada : a. Rendahnya kemampuan santri dalam mengakses berbagai informasi. b. Minimnya pasangan santri yang dikirim untuk menempati ponpes cabang di tanah wakaf. c. Sulitnya memilih pasangan santri yang kapabilitas untuk ditempatkan di tanah wakaf sesuai dengan karakteristik masyarakat dan wilayah. d. Kurangnya modal untuk pengembangan usaha ekonomi dan minimnya pendampingan pelatihan bagi para ustadz dan santri. (Rimbawan 2013:1190) Modal-Modal Pesantren Keunikan pesantren terletak pada adanya tiga modal yang digunakan untuk mengembangkan pesantren yaitu modal sosial, modal fisik, dan modal manusia. Modal pada dasarnya adalah sebuah konsep ekonomi. Jenis-jenis modal yang umumnya dipahami adalah modal finansial, modal fisik (barang), modal manusia, modal personal (modal psikologik, modal konsumsi), modal politik, modal budaya dan modal simbolik. Diantara jenis modal tersebut, sering terjadi perdebatan di kalangan ahli ekonomi dan ahli sosial dalam mendefinisikan modal dari modal sosial. Konsep utama dalam ekonomi menganggap bahwa modal berhubungan dengan modal fisik, modal manusia dan modal finansial. Sementara ahli sosial mempunyai pandangan berbeda tentang masalah ini (Lawang 2005:8-9). Modal menurut ahli ekonomi mengandung pengertian : (1) investasi jangka pendek, menengah, dan panjang (2) pengorbanan saat ini untuk memperoleh keuntungan masa depan, (3) wujudnya jelas, artinya dapat diamati, dipegang, dibuktikan melalui uji tindakan, (4) sumbangan terhadap proses produksi dapat diandalkan, diukur, dan keberhasilan dapat diramalkan, (5) produk buatan 36 manusia yang disesuaikan dengan fungsinya dalam proses produksi (Nasdian 2014:213). Kata “sosial” dalam modal sosial harus dilihat sebagai kata sifat yang menyifati modal di satu pihak dan sekaligus merubah esensi modal dalam proses produksi. Karena itulah modal sosial tidak sama dengan modal lain dalam ilmu ekonomi. Dalam pandangan ekonomi, kata “sosial” bersifat efisien dan efektif atau sebaliknya dapat bersifat tidak efisien (boros) dan tidak efektif. Sifat sosial bukan lagi diartikan sebagai sifat umum dari suatu masyarakat namun dalam konsep ini sosial berarti sesuatu yang bisa diuangkan sehingga dapat diukur dan pasti. Sementara dalam pandangan sosiologi, kata sosial berarti berteman, bersahabat. Sosial adalah kata sifatnya socius, dalam Bahasa Latin, yang berarti teman, sekutu, peserta. Sahabat dalam bahasa Latin berarti amicus (asal kata amare) yang artinya mencintai. Jadi dalam hubungan persahabatan pasti ada unsur mencintai sehingga kata sosial mengandung nilai positif (Lawang 2005:30). Modal Sosial Konsep modal sosial (social capital) menjadi bahan diskusi dalam pengembangan kelompok-kelompok di masyarakat. Modal sosial diyakini sebagai penentu kedekatan setiap anggota dalam sebuah kelompok. Pengembangan modal sosial untuk mengembangkan kelompok dilakukan dengan mensinergikan fungsi-fungsi stakeholders. Fungsi-fungsi stakeholders diintegrasikan ke dalam aspek pembangunan kelompok baik di tingkat komunitas maupun sampai ke tingkat lokalitas. Hal ini dilakukan dengan mengutamakan prinsip kesetaraan, informal, partisipatif, komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan yang ada untuk menyelesaikan suatu masalah (Nasdian 2014:205-206). Fukuyama (2007:37-38) menyebutkan bahwa modal sosial yang ada di masyarakat muncul karena adanya kepercayaan umum pada bagian-bagian tertentu masyarakat. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar maupun pada kelompok yang lebih besar seperti negara. Modal sosial dapat diciptakan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, dan kebiasaan sejarah. Organisasi atau kelompok masyarakat terbentuk oleh adanya kontak antar individu yang mempunyai kepentingan berbeda. Interaksi antar individu semakin rasional dan selalu mempertimbangkan kepentingan masing-masing. Namun selain kontak dan kepentingan individu, organisasi pun didasarkan pada nilainilai etis bersama. Komunitas dengan seperangkat nilai etis tersebut tidak memerlukan aturan hukum yang legal untuk mengatur hubungan. Karena pada dasarnya normanorma dan konsensus moral yang dimiliki cukup memberikan basis bagi anggota komunitas untuk saling percaya. Komunitas moral tersebut tidak dapat diciptakan dari sebuah sistem pendidikan konvensional melainkan memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral komunitas sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang memiliki modal sosial yang kuat. Santri dididik untuk menjadi anggota masyarakat baik atau agar dapat hidup bermasyarakat yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hubungan yang terjalin erat antar kyai, ustadz (santri senior) dan santri merupakan pengembangan dari tradisi dan nilai-nilai Islam yang ditanamkan pada ajaran Rasulullah SAW. Hubungan tersebut berhasil membangun kepercayaan, dan kerjasama yang berlandaskan nilai-nilai utama sebagai modal sosial pendidikan ponpes (Rudi dan Haikal 2014:1-16). Pada dasarnya, pesantren telah memiliki tiga konsep dasar yaitu kepercayaan, norma, dan jaringan. Lawang (2005:45) menambahkan konsep dasar 37 modal sosial yaitu tindakan sosial, interaksi sosial dan sikap. Konsep-konsep tersebut mengikuti orientasi perkembangan zaman termasuk di pesantren dan saling berhubungan satu sama lain. 1. Kepercayaan (trust) Suatu komunitas sangat bergantung kepada kepercayaan dan kepercayaan tersebut ditentukan secara kultural. Masyarakat akan bertindak sesuai dengan tingkat budaya mereka yang dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dalam modal sosial di masyarakat luas. Masyarakat yang berkepercayaan tinggi (High trust) seperti di Jepang berhasil menciptakan jaringan dengan baik sebelum revolusi informasi memasuki kecepatan yang lebih tinggi. Sedangkan masyarakat yang berkepercayaan rendah (low trust) mungkin tidak akan mampu meningkatkan kapasitas diri. Dengan demikian, kepercayaan (trust) adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dalam kelompok itu. Norma-norma yang dimaksud boleh jadi nilai-nilai ketuhanan atau keadilan atau norma-norma sekular berupa aturan berperilaku dan standar profesional dalam bekerja (Fukuyama 2007:36-37). Pesantren merupakan lembaga yang adaptif terhadap perubahan sosial sehingga tiga konsep pun ikut bertransformasi untuk menjelaskan modal sosial yang kompleks. Nasdian (2014:211-212) mengemukakan empat dimensi modal sosial yaitu dimensi integrasi, dimensi pertalian, dimensi integritas organisasional, dan dimensi sinergi. Keempat dimensi tersebut merupakan dimensi-dimensi yang umum ditemui di lingkungan pesantren. a. Dimensi Integrasi Dimensi ini menjelaskan bahwa modal sosial yang paling kuat ditemukan pada lingkungan terdekat, baik antaranggota keluarga maupun antara keluarga dengan tetangga sekitarnya. Ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama merupakan contoh dari dimensi integrasi ini. Hasil studi Dhofier (2011:101) menunjukkan bahwa anak-anak kyai juga menuntut ilmu di pesantren. Hal ini bertujuan untuk melestarikan kekayaan intelektual kyai dan juga mengekalkan kekuasaan kyai. Sarana yang digunakan kyai untuk melestarikan kekayaan intelektual dan mengekalkan kekuasaan dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama. Cara praktis yang mereka tempuh untuk membangun solidaritas dan kerjasama tersebut ialah : 1. Mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren. 2. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamaus antara keluarga kyai. 3. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antar sesama kyai dan keluarga. b. Dimensi Pertalian Pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal. Misalnya asosiasi-asosiasi yang bersifat kekeluargaan maupun jejaring sosial. Pertalian yang bersifat kekeluargaan dalam pesantren terlihat dalam sistem pemilihan santri dari setiap kampung. Setiap anak yang mondok di pesantren kecil di masjid, surau atau langgar di perdesaan belum mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di pesantren besar. Kaum bangsawan, orang kaya, dan keluarga kyai lah yang dapat menikmati pendidikan di 38 pesantren. Hal ini berhubungan dengan jaringan aliansi perkawinan endogamaus yang dibentuk untuk menjaga kekuatan kyai di pesantren. Biasanya santri-santri yang dikirim telah disiapkan untuk menjadi menantu dari kyai-kyai tempat ia belajar. Semua biaya pendidikan dan biaya hidup menjadi tanggung jawab pesantren. Selanjutnya setelah dirasa mumpuni, kyai akan menikahkan santri dan anaknya sebagai realisasi dari jaringan aliansi perkawinan keluarga kyai. Hal inilah yang disebut Dhofier (2011:102-108) sebagai genealogi sosial pemimpin pesantren. c. Dimensi Integritas Organisasional Keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjelaskan fungsinya termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan memberikan ruang publik kepada berbagai stakeholders untuk berpartisipasi dalam pengembangan pesantren. Artinya siapapun dapat terintegrasi dalam pembangunan pesantren. d. Dimensi Sinergi Keempat, sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas. Integrasi dengan berbagai stakeholders berlangsung secara berkelanjutan dengan cara memelihara sinergi antar organisasi. Di lingkungan pesantren tradisional, integrasi dan sinergi dengan berbagai stakeholders belum banyak ditemui sehingga menimbulkan kesan tertutup bagi masyarakat luas. Modal Fisik Modal fisik berarti modal yang bersifat nyata (tangible), dapat dipegang, dapat dinilai, dapat diukur daya tahan dan kekuatannya dalam proses produksi (Lawang 2005:10-11, Nasdian 2014:214). Bentuknya dapat berupa prasarana dan sarana fisik. Akan tetapi perlu dibedakan dari segi kepemilikan dan penguasaan yaitu modal fisik dari penguasaan pribadi, milik dan penguasaan kelompok terbatas, dan penguasaan terbatas. Orang atau kelompok dapat memperhitungkan modal fisik dalam proses produksi (Nasdian 2014:214). Modal fisik sengaja dibuat oleh manusia untuk keperluan tertentu dalam proses produksi barang atau jasa yang memungkinkan orang memperoleh keuntungan pendapatan di masa datang. Robinson et.all (2003:9-17) dalam Lawang (2005:11-13) menjelaskan sembilan karakteristik modal fisik yang dapat menjadi dasar identifikasi modal lainnya, yaitu kapasitas transformasi, kemampuan mempertahankan identitas diri, fleksibilitas, dapat menggantikan (substitutable), kemampuan pelayanan yang dapat berkurang, kehandalan yang dapat diramalkan, dapat menciptakan barang modal fisik lainnya, peluang investasi dan disinvestasi, dan susah diterjemahkan (alienable). a. Kapasitas tranformasi (transformation capability) merujuk pada kemampuan barang modal fisik untuk merubah bentuk input menjadi output tanpa harus ada tranformasi pada barang itu sendiri. misalnya pabrik rokok merubah bentuk daun tembakau, kertas dan rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output). b. Kemampuan mempertahankan identitas diri (durability) menunjuk pada kemampuan barang modal fisik untuk tetap mempertahankan identitasnya dalam memberikan pelayanan. Barang tersebut tidak berubah menjadi barang lain selama dan setelah proses pelayanannya sebagai modal. Misalnya seekor sapi akan tetap menjadi sapi meski menghasilkan susu sepanjang tahun dan kemudian akan mati sebagai sapi juga. c. Fleksibilitas merujuk pada kemungkinan memberikan pelayanan lebih dari satu. Misalnya mobil dapat mengangkut berbagai jenis barang, tidak hanya manusia, hewan dan barang lain pun dapat diangkut oleh mobil. 39 d. Bersifat menggantikan (substitutable) merujuk pada kemampuan barang modal fisik untuk menggantikan pelayanan barang yang lain. misalnya jika kerbau yang digunakan untuk membajak sawah tidak dapat melakukan tugasnya, maka tugas tersebut dapat digantikan oleh traktor. e. Kemampuan pelayanan yang diberikan oleh barang modal fisik dapat berkurang (decay) karena umur, atau karena penggunaan terlalu lama, dan kurang pemeliharaan. f. Kehandalan (relaibility) terletak pada kemampuan pelayanan yang dapat diramalkan ata diharapkan. Jika hari ini barang tersebut memberikan layanan seperti ini, maka harapan tersebut terus dipertahankan. Ada dua dimensi pelayanan yaitu lamanya (longevity) dan intensitas. g. Suatu barang modal fisik dapat menciptakan barang modal fisik lainnya. h. Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan disinvestasi. Peluang investasi suatu barang merujuk pada kemampuannya untuk menciptakan barang baru atau menghancurkan barang lainnnya. Menciptakan barang baru berarti mendekatkan atau menggabungkan dua barang menjadi satu barang. Kalau keduanya mendekat maka akan ada kemungkinan untuk investasi. Sebaliknya jika kedua barang menjauh, maka peluang yang muncul adalah disinvestasi. i. Barang bersifat susah diterjemahkan (alienable) jika terjadi perpindahan hak melalui pemberian, pewarisan, penjualan atau penyewaan. Pengalihan seperti ini dilakukan dalam proses penjualan barang bekas kepada pihak lain. Modal Manusia Modal manusia adalah latar belakang pendidikan, pelatihan, dan keterampilan individu yang membuat individu tersebut profesional dalam menjalankan perannya. Pendidikan dikategorikan menjadi dua yaitu pendidikan non-formal dan pendidikan informal. Individu yang dituntut profesional dengan mengombinasikan teori dan praktek yang seimbang, kurikulum yang ketat, dan fasilitas lengkap, termasuk kategori pendidikan informal. Hasil akhir dari pendidikan non-formal adalah keterampilan individu, sertifikat atau ijazah. Sedangkan pada pendidikan informal (les) dilaksanakan dalam bentuk pendidikan informal alamiah. Berbeda dengan pendidikan non-formal, pada pendidikan informal individu tidak mendapatkan sertifikat seperti pada pendidikan non-formal (Lawang 2005:13). Santri dan kyai merupakan modal manusia yang dimiliki oleh pesantren. Modal manusia termasuk modal penting karena peranannya menentukan arah perkembangan pesantren. Pesantren-pesantren besar memiliki jumlah santri lebih dari 2000 yang berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi di Indonesia. Pesantren Raudlotut Tholibin, Gresik, memiliki jumlah santri lebih dari 16.000. Jumlah tersebut merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pesantren. Di samping jumlah yang besar, santri-santri tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan personal masing-masing. Namun tidak semua pesantren memberikan pengajaran keterampilan dan pengembangan bakat minat santri sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Pesantren-pesantren tradisional masih mengajarkan kitab-kitab klasik sementara pesantren modern sudah mulai mengembangkan keterampilan dan bakat santri. Data statistik Departemen Agama RI menunjukkan bahwa sekitar 30 persen lembaga pesantren masih mengkhususkan pengkajian kitab-kitab karangan ulama klasik. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa pesantren sangat tertutup pada dunia luar sehingga pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia masih lemah dalam pengembangan program pembangunan sumber daya manusia. Pada tahun 2010, PBB 40 menempatkan Indonesia sebagai negara nomor 106 dalam hal program pembangunan manusia (Dhofier 2011:165-167). Program pengembangan sumber daya manusia pernah dilakukan oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang. Kegiatan pengembangan sumber daya manusia direalisasikan melalui kegiatan-kegiatan spiritual, seperti: pengajian malam ahad (mingguan), pengajian malam kamis dan istighotsah (mingguan), pengajian malam jumat (mingguan), Tambih Am (bulanan), serta amaliyah agama. Dalam hal pengelolaan sumber daya manusia, KH. Drs. Hasyim Muzadi sebagai pimpinan pesantren terbilang berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan jalannya program secara terencana. Selain itu, keberhasilan pesantren juga ditunjukkan oleh peningkatan jumlah santri baru dari tahun ke tahun. Konsep pengembangan sumber daya manusia ditekankan pada membangun kualitas santri agar mampu mengamalkan syariat, berprestasi tinggi, dan pandai dalam menghadapi persoalan hidup. Maka dari itu, setiap santri dibekali untuk mempertinggi kualitas keimanan dan ketaqwaan melalui ibadah umum dan ibadah khusus yang sesuai syariat Agama Islam. Pesma Al-Hikam mengajarkan kepada santrinya bahwa kualitas iman yang tinggi senantiasa akan menyemangati dan menginspirasi untuk terus berjuang tanpa pamrih di masyarakat kelak (Miftahusyain 2012:87-109). Kasus-kasus alumni pesantren yang minim kompetensi pendukung menjadi perhatian penting setiap pemimpin pesantren. Mereka menyadari bahwa terjadi kelambanan pengembangan program sumberdaya manusia, terutama di lingkungan pesantren. Maka dari itu, sejak tahun 2005 para pimpinan pesantren telah menugasbelajarkan 3000 santrinya untuk mengikuti pendidikan sarjana strata satu (S1) dan strata dua (S2) dalam berbagai bidang sains dan teknologi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN), meliputi : Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan Universitas Airlangga (Unair). Tiga ribu santri tersebut diberikan beasiswa oleh Departemen Agama RI setiap tahunnya hanya untuk enam perguruan tinggi negeri (PTN). Para kyai memilih dan menyiapkan calon-calon santri berprestasi untuk mengikuti program beasiswa unggulan dari Departemen Agama RI. Program beasiswa ini diharapkan menjadi langkah bagi para kyai untuk memadukan tradisi pesantren dengan modernitas untuk mempercepat keberhasilan pembangunan peradaban Indonesia modern27. Sebelum adanya pengiriman santri berprestasi ke PTN, antara tahun 1998 sampai 2008 telah mengembangkan berbagai jenis pendidikan modern di lembagalembaga pesantrennya. Sepanjang tahun 1998 sampai 2008, jumlah lembaga pesantren meningkat drastis dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Lonjakan tersebut hanya berlangsung selama setahun. Selama setahun itu, jumlah pesantren baru mencapai 4.015 sehingga diperkirakan jumlah pesantren dalam 10 tahun ke depan diperkirakan mencapai sekitar 35.000. dari jumlah pesantren tersebut, sudah ada 1.078 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan 625 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Umum (PTU)28. Pengembangan sumber daya manusia telah dilakukan Pesma Al-Hikam dengan tujuan untuk mempersiapkan para santri memasuki kehidupan masyarakat. sehingga dipilih strategi-strategi yang mampu melaksanakan tujuan tersebut yaitu: pengasuhan, pengajaran (dirosah), dan pelatihan (kesantrian). 27 28 Dhofier 2011:167-168 Ibid no. 12 41 a. Pengasuhan dilaksanakan melalui penciptaan kedisiplinan beribadah, pengembangan tingkah laku akhlakul karimah dan pengabdian masyarakat. Wujud konkrit pengasuhan : tata tertib pesantren. b. Pengajaran (dirosah) dilaksanakan melalui pengajaran baca tulis Al-Quran, dasar-dasar keilmuan agama dalam disiplin ilmu para santri, perangkat metodologi ilmu keislaman, serta pengembangan agama dalam wawasan nasional. Sistem pengajaran menggunakan sistem semester dengan tiga jenjang pendidikan meliputi: tingkat basic, tingkat intermediet, dan tingkat advance. c. Pelatihan (kesantrian) dilaksanakan melalui pemberian keterampilan, pengembangan kemandirian dengan cara mengembangkan minat dan bakat, serta atat operasional pengabdian masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, motivasi santri untuk bergerak dan berubah merupakan hal penting. Kyai merupakan faktor utama dalam menggerakkan dan memotivasi mahasiswa. Disamping itu, para santri juga membangun motivasi antar sesama santri pula melalui organisasi atau koordinasi kegiatan. Terdapat tiga faktor yang memotivasi Pesma Al-Hikam mengambil peran dalam pengembangan SDM santri yaitu: kualitas dan profesionalitas pendidikan, solidaritas sosial, menghindari kekufuran, serta krisis mental dan moral (Miftahusyain 2012:87-109). 42 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang khas di Indonesia. Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pola perkembangan pesantren hingga saat ini. Sejarah membuktikan bahwa pesantren mengalami transisi sesuai dengan perkembangan zamannya. Hal inilah yang mempengaruhi tipe, paradigma, pola, dan orientasi pesantren. Era globalisasi yang dicirikan dengan teknologi dan informasi yang semakin canggih telah mengelompokkan pesantren-pesantren di Indonesia menjadi dua tipe yaitu tipe lama (klasik) dan tipe baru. Bukan hanya itu, paradigma dan orientasi pesantren pun terpengaruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren mengalami pergeseran paradigma dari paradigma keagamaan menjadi paradigma sosial. Paradigma keagamaan menganggap bahwa pesantren hanya bertanggung jawab pada aspek keagaaman untuk mencetak ulama tanpa mempertimbangkan aspek sosial. Sementara pada paradigma sosial, pesantren mempunyai peranan dalam mengembangkan elemenelemen pesantren dan juga masyarakat. Pergeseran paradigma tersebut kembali mengelompokkan pesantren menjadi dua tipe yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional dan pesantren modern memiliki perbedaan dan persamaan yang sifatnya saling melengkapi. Pesantren tradisional melakukan kegiatan belajar mengajar yang masih tradisional, misalnya menggunakan bahasa lisan oleh kyai kepada santri atau dengan menugaskan santri untuk membaca buku atau kitab. Paradigma yang berkembang pada pesantren tradisional adalah paradigma keagamaan sehingga orientasi lulusan pesantren hanya menghasilkan lulusan-lulusan pesantren untuk menjadi ulama. Padahal setiap santri memiliki potensi dan bakat yang dapat dikembangkan lebih. Hal inilah yang memicu terjadinya pergeseran paradigma. Para pimpinan pesantren menyadari bahwa pendidikan keterampilan dan kompetensi pendukung mempunyai peranan penting pasca pendidikan di pesantren. Oleh karena itu, saat ini mulai berkembang pesantren-pesantren modern, baik yang baru didirikan sebagai pesantren modern maupun perkembangan dari pesantren tradisional. Selain paradigma dan orientasi, elemen-elemen pesantren pada kedua tipe pesantren pun berbeda. Lima elemen dasar pesantren yaitu: pondok, masjid, pengajaran kitab klasik, santri, dan kyai, merupakan elemen dasar yang ada di pesantren tradisional. Pesantren tradisional berpandangan bahwa kelima elemen itu bersifat mutlak dan tidak mengintegrasikan elemen pendukung lainnya. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya pesantren di Indonesia, peran masyarakat, pemerintah, dan swasta sangat membantu dalam pengembangan pesantren. Maka dari itu, pesantren modern menambahkan tiga elemen pendukung yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah sebagai pelengkap dari elemen-elemen dasar pesantren. Kepemilikan tiga modal pada pesantren merupakan sebuah potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kompetensi santri. Tiga modal yang dimiliki pesantren adalah modal fisik (pondok, masjid, tanah, dan aset lain), modal manusia (jumlah santri, kyai), dan modal sosial (kepercayaan, norma, dan jaringan pesantren). Modal-modal tersebut dapat digunakan untuk menjalankan paradigmaparadigma yang dianut pesantren. Namun saat ini, secara umum pesantren telah terintegrasi ke dalam dunia global sehingga pesantren pun dituntut untuk adaptif dengan kondisi zaman dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam. 43 Berbagai penelitian yang telah dirangkum, sebagian besar berfokus pada penelitian modal sosial di pesantren. Kuatnya modal sosial di pesantren disebabkan oleh kepemimpinan kharismatik yang digunakan oleh para kyai. Kyai mampu mengontrol pesantren dan menarik santri-santri dari seluruh Nusantara dengan kharismatiknya. Kharismatik kyai pula yang menyebabkan sumber pembiayaan pesantren didapat dari hasil sumbangan masyarakat. Apabila ditelaah kembali, belum ditemukan hasil penelitian yang mengintegrasikan posisi masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengembangan pesantren. Selain itu, belum juga ditemukan hasil penelitian yang mengembangkan kompetensi santri selain bidang keagamaan. Maka dari itu, peneliti ingin menganalisis peran masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengembangan kompetensi santri, serta menganalisis penggunaan tiga modal pesantren dalam meningkatkan kompetensi santri. Pertanyaan Penelitian Skripsi Ringkasan penelitian, rangkuman dan pembahasan, serta kesimpulan yang telah dibuat memunculkan pertanyaan analisis baru terkait potensi-potensi pesantren dalam meningkatkan kompetensi santri. Pertanyaan analisis baru muncul sebagai dasar untuk melakukan penelitian. Pertanyaan tersebut diantaranya: 1. Bagaimanakah pesantren menggunakan potensi-potensi tiga modal? 2. Bagaimanakah strategi pesantren dalam meningkatkan kompetensi santri? 3. Sejauhmana tiga modal yang dimiliki pesantren dapat meningkatkan kompetensi santri? 44 Usulan Kerangka Analisis Pemerintah Masyarakat Swasta Modal Fisik (pondok, masjid, SDA di lingkungan pesantren) Modal Sosial (Norma/Nilai, Kepercayaan, Jaringan pesantren berdasarkan syariat Islam) Pesantren a. Pesantren tradisional b. Pesantren modern Lingkungan Pesantren Peningkatan Kompetensi Santri Lingkungan Luar Pesantren (Globalisasi) Gambar 3.1 Kerangka Analisis Keterangan : : hubungan mempengaruhi : lingkungan luar pesantren (globalisasi) : aktor pendukung pengembangan pesantren : lingkungan pesantren : hubungan integrasi Modal Manusia (Santri dan Kyai) 45 Pesantren berada dalam lingkup interaksi sosial yang begitu luas. Kondisi zaman dulu tidak dapat lagi disamakan dengan kondisi saat ini. Globalisasi telah mengakibatkan banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat termasuk pesantren. Dalam menghadapi globalisasi, tiga modal yang dimiliki pesantren (modal fisik, modal manusia, dan modal sosial) harus dapat dioptimalkan. Karena pengaruh globalisasi telah mengakibatkan terjadinya pengelompokkan dua tipe pesantren di Indonesia yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Kedua tipe pesantren tersebut berbeda dalam orientasi menghasilkan lulusan pesantren. Pesantren tradisional berorientasi pada kompetensi keagamaan sementara pesantren modern menggabungkan kompetensi keagamaan dan kompetensi pendukung sesuai dengan bakat dan minat santri. Saat ini, pesantren perlu memperhatikan kompetensi-kompetensi santri yang dibutuhkan oleh masyarakat. Alumni-alumni pesantren dituntut untuk mampu bersaing dengan murid-murid sekolah umum. Maka dari itu, perlu dilakukan pengoptimalisasian tiga modal pesantren dengan mengintegrasikan peran masyarakat, pemerintah dan swasta sebagai aktor yang mendukung peningkatan kompetensi santri. 46 DAFTAR PUSTAKA Alwi BM. 2013. Pondok Pesantren : Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya. Jurnal Lentera Pendidikan. [Internet]. [diunduh pada 2015 April 26]; 16(2):205-219 Tersedia pada : http://www.uin-alauddin.ac.id/download08%20Pondok%20Pesantren%20Center.pdf Faozan A. 2013. Pondok pesantren dan pemberdayaan ekonomi. Jurnal Studi dan Islam Budaya. [Internet].[diunduh pada 2015 Maret 24]; 4(1):88-102. Tersedia pada : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49098&val=3909 Fukuyama F. 2007. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan. Ruslani. Judul asli : the social virtues and the creation of prosperity. Yogyakarta [ID] : Qalam Haroen AM. 2008. Pesantren Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta [ID]: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama [Kemenag] Kementerian Agama RI. 2014. Mengapa masyarakat harus memilih pesantren? Ini jawabannya. [Internet]. [diunduh 2015 April 03]. Tersedia pada: www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=221030 Miftahusyain M. 2012. Pengembangan sumber daya manusia santri di pesantren untuk memasuki kehidupan masyarakat (studi pada Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang). Jurnal Integrasi Sains dan Islam. [Internet]. [diunduh pada 2015 April 03]; 10:87-109. Tersedia pada : http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/lemlit/article/view/2055/pdf Mudana IW. 2012. Modal sosial dalam pengintegrasian Etnis Tionghoa pada masyarakat Desa Pakraman Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. [Internet]. [diunduh pada 2015 Maret 17]; 1(1):30-40. Tersedia pada : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0 CD4QFjAF&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJIS H%2Farticle%2Fdownload%2F4494%2F3467&ei=CBkIVdP7CoSUuAT4qIE4& usg=AFQjCNEI4-vXVT_s-MJBSfIaMCkeQJIKZQ&sig2=y19GK4DgaIA1iOjgtlv0Q Purwanto A. 2013. Modal budaya dan modal sosial dalam industri seni kerajinan keramik. Jurnal Sosilogi Masyarakat. 18(2):233-261. Depok [ID]:LabSosio FISIP UI Rais M. 2012. Eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional; perspektif sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan. [Internet].[diunduh 2015 Mar 16]; 5(1):13-21. Tersedia pada : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja &uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstain-sorong.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F01%2F2.-Rais-STAINSorong.pdf&ei=ctEGVaezMdGwuASBrIL4Bg&usg=AFQjCNG5a4qkToi6XR79 m1ZGE0B5d4B7Vw&sig2=MUlR7Jy5fXkecgwBV56DoQ 47 Rimbawan Y. 2013. Pesantren dan ekonomi (kajian pemberdayaan ekonomi Pesantren Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo Jawa Timur). [Internet].[diunduh pada 2015 maret 03]. Tersedia pada : http://eprints.uinsby.ac.id/278/1/Buku%203%20Fix_145.pdf Rudi L, Haikal H. 2014. Modal sosial pendidikan pondok pesantren. Jurnal Harmoni Sosial. [Internet].[diunduh 2015 Mar 17]; 1(1): 1-16. Tersedia pada : http://journal.uny.ac.id/index.php/hsjpi/article/download/2426/2014 Subaki A, Baehaqie I, Zamzany FR. 2011. Pengaruh modal sosial terhadap kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan kesejahteraan masyarakat pada lkms di Pondok Pesantren Al Islah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. [Internet]. [diunduh pada 2015 maret 17]. Tersedia pada : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0 CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php% 3Farticle%3D98230%26val%3D5085&ei=Y_YXVYPfIISMuAS60oLIDg&usg= AFQjCNEHc8i7wZ6lKp3xKBDTbvbmSw1Pdw Sumiyati, Sutiarso L, Windia W, Sudira P. 2012. Kajian aspek lingkungan dalam pengembangan agroekowisata pada sistem subak. Jurnal Bumi Lestari. [Internet]. [diunduh pada 2015 Maret 30]; 12(2):294-302. Tersedia pada : http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/4820/3621 Suputra EM. 2014. Pengembangan kapasitas kelembagaan lokal subak dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di pedesaan (studi kasus: Subak Desa Loka Sari, Sidemen, Karangasem). Jurnal Ilmiah Mahasiswa. [Internet]. [diunduh pada 2015 Maret 29]; 1(1):1-20. Tersedia pada : http://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/8934/7081 Yatim B. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada Zarkhoviche B. 2015. Laksamana Cheng Ho Panglima Islam Penakluk Dunia. Yogyakarta [ID]: Araska 48 LAMPIRAN Riwayat Hidup Penulis dilahirkan di Tanjung Lubuk pada tanggal 11 Agustus 1994 dari ayah Mukhriandi dan ibu Masning (alm). Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara. Sejak kecil, penulis tidak tinggal bersama orang tua melainkan bersama nenek dan bibi. Tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 3 Kayuagung (OKI) dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk nasional perguruan tinggi (SMNPTN) Undangan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi, kepanitiaan, dan volunteer pada beberapa kegiatan. Organisasi pertama yang penulis ikuti adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Alhurriyyah dari kepengurusan tahun 2012-2013 hingga sekarang di departemen Media Online. Saat ini penulis menjabat sebagai sekretaris Departemen di Media Online Kabinet Struggle 1436 H. Selain di LDK, penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Forsia Fema sebagai kepala divisi Kemuslimahan. Penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum Pengantar Ilmu Kependudukan (PIK) pada tahun ajaran 2014/2015. Tidak hanya organisasi, penulis aktif di berbagai kepanitiaan. Setiap tahunnya penulis mengikuti satu atau dua kepanitiaan, diantaranya: Roadshow Palestina (2013), Beauty in Action (2013), IPB Islamic Festival (2013 dan 2014), Bidikmisi Turun Desa (2013), dan Forsia Islamic Festival (2014). Adapun kegiatan volunteer yang penulis ikuti adalah Komunitas Mahasiswa Cinta Palestina (Komala IPB). Tahun 2013, penulis pernah berkesempatan mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa yang diadakan oleh Universitas Brawijaya, Malang. Penulis berhasil masuk 10 besar finalis dengan menyisihkan peserta-peserta lainnya. Di tahun yang sama, penulis juga berhasil menjadi Runner Up II Duta Bidikmisi 2013 dan Juara III Vokal Grup Bidikmisi 2013. Selanjutnya pada tahun 2014, penulis kembali mengukir prestasinya dengan menjadi Juara I Debat Bahasa Indonesia Bidikmisi.