Pesantren - SKPM IPB

advertisement
OPTIMALISASI POTENSI PESANTREN DALAM
MENINGKATKAN KOMPETENSI SANTRI
EKA PUSPITA SARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI
DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul
“Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri”, benar-benar
hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan
tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka
yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor,
Mei 2015
Eka Puspita Sari
NIM. I34120045
iii
ABSTRAK
EKA PUSPITA SARI. Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan
Kompetensi Santri. Dibimbing oleh SAHARRUDIN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang khas di Indonesia.
Umumnya pesantren berada di wilayah perdesaan dan kyai-nya pun berasal dari wilayah
perdesaan. Globalisasi telah mengakibatkan munculnya dua tipe pesantren yaitu tipe
lama (pesantren tradisional) dan tipe baru (pesantren modern). Masing-masing
pesantren tersebut memiliki elemen-elemen dasar meliputi pondok, masjid, pengajaran
kitab klasik, santri, dan kyai. Pesantren tradisional memandang lima elemen tersebut
sebagai elemen mutlak sehingga aktor lain tidak dianggap sebagai elemen yang
membangun pesantren. Padahal masyarakat merupakan aktor terdekat yang membangun
pesantren. Sementara pada pesantren modern terjadi penambahan elemen yaitu
masyarakat, swasta, dan pemerintah. Masalah yang dihadapi pesantren saat ini adalah
minimnya kompetensi santri karena proporsi belajar kitab klasik lebih banyak dibanding
pelajaran umum. Sehingga ketika santri lulus dari pesantren, mereka hanya mampu pada
bidang agama sementara bidang yang lain tidak. Padahal pesantren memiliki tiga modal
yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi santri yaitu modal fisik,
modal manusia, dan modal sosial.
Kata kunci: kyai, pesantren, santri, tiga modal
ABSTRACT
EKA PUSPITA SARI. Optimalization of Islamic Boarding School’s Potency to
Improve Students Competence. Supervised by SAHARRUDIN
Islamic boarding school is a unique religious educational institutions in Indonesia.
Generally, Islamic boarding school are located in rural areas and "kyai" had come from
rural areas. Globalization resulted in the emergence of two types of schools, namely the
old type (Traditional Islamic Boarding Schools) and a new type (Modern Islamic
Boarding School). Each of these schools have the basic elements include cottage,
mosques, teaching classical books, students, and kyai. Traditional Islamic school looked
at five elements as an absolute element so that other actors are not considered as an
element that builds schools. Whereas society is the closest actor who build schools.
While the Modern Islamic School has addition of elements are public, private, and
government. Problems facing Islamic schools today is the lack of competence of the
students because the proportion studying classical books more than the general subjects.
So that when students graduate from schools, they are only capable in the field of
religion while other areas are not. Whereas Islamic school has three capital that can be
developed to improve students comptence that physical capital, human capital, and
social capital.
Keywords: islamic boarding school, kyai, students, three capital
iv
OPTIMALISASI POTENSI PESANTREN DALAM
MENINGKATKAN KOMPETENSI SANTRI
Oleh
Eka Puspita Sari
I34120045
Laporan Studi Pustaka
sebagai Syarat Kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI
DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Eka Puspita Sari
Nomor Pokok
: I34120045
Judul
: Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi
Santri
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr. Ir. Saharrudin, MS
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal pengesahan :
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Pustaka
berjudul “Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri” ini
dengan baik. Laporan Studi Pustaka ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK
Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Saharrudin, MS selaku
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian Laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan
terimakasih kepada ibu Samsiah, Mukhriandi, Nurul Hidayat, orang tua dan keluarga
tercinta, serta Zaitun Apriyanti, Melani Kurnia Ningsih, M Arif Rahman, M Imam
Hidayattullah, adik-adik tersayang, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan
kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasih juga penulis sampaikan kepada
teman-teman terdekat yaitu: Fitri Dwi Prastyanti, Sinta Herian Pawestri, Ade Febryanti,
Nabilah Anada Razani, Tyagita Indahsari W dan teman-teman SKPM 49 yang telah
memberi semangat dan dukungan dalam proses penulisan Laporan Studi Pustaka ini.
Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor,
Mei 2015
Eka Puspita Sari
NIM. I34120045
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ............................................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iii
PRAKATA....................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... ix
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
Tujuan Penulisan........................................................................................................... 5
Metode Penulisan .......................................................................................................... 5
RINGKASAN DAN ANALIS PUSTAKA ...................................................................... 6
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 26
Pesantren ......................................................................................................................... 26
Sejarah Islam dan Pesantren di Nusantara .............................................................. 26
Pesantren dan Elemen Pesantren ............................................................................ 28
Jenis-Jenis Pesantren............................................................................................... 29
Pola Pembelajaran Pesantren .................................................................................. 30
Elemen-Elemen Pesantren ...................................................................................... 30
Pola Pembiayaan Pesantren .................................................................................... 34
Modal-Modal Pesantren .............................................................................................. 35
Modal Sosial ........................................................................................................... 36
Modal Fisik ............................................................................................................. 38
Modal Manusia ....................................................................................................... 39
SIMPULAN .................................................................................................................... 42
Hasil Rangkuman dan Pembahasan ............................................................................ 42
Pertanyaan Penelitian Skripsi ..................................................................................... 43
Usulan Kerangka Analisis .......................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 46
LAMPIRAN.................................................................................................................... 48
Riwayat Hidup ............................................................................................................ 48
viii
DAFTAR TABEL
2.1 Modal sosial kyai, ustadz, dan santri pada ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid
dan Ponpes Ali Maksum
8
ix
DAFTAR GAMBAR
2.1 Manajemen kegiatan pemberdayaan ekonomi
4.1 Kerangka analisis
10
44
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keragaman suku bangsa Indonesia telah memberi warna dalam kehidupan
bermasyarakat. Perbedaan bahasa, ras, suku, hingga agama, menunjukkan bahwa
Indonesia adalah sebuah negara yang sangat beragam. Keragaman suku bangsa
Indonesia terwujud dari tumbuhnya bentuk-bentuk kelembagaan di masyarakat sesuai
dengan latar belakang dan identitas etnik yang ada, misalnya kelembagaan agama,
kelembagaan ekonomi, kelembagaan politik, serta kelembagaan pendidikan.
Kelembagaan pendidikan termasuk sebuah representasi keragaman suku di Indonesia
yang sangat mudah ditemui. Hasil penelitian Mudana (2012) menunjukkan bahwa
keberagaman etnik di Desa Pakraman, Bali, diwujudkan dari tumbuhnya kelompokkelompok keagamaan, seperti PHDI bagi umat Hindu, Kelompok Pengajian Islam, serta
Tempat Pembinaan Umat bagi Katolik dan Protestan. Selain itu, setiap suku diberi pula
ruang publik untuk beraktivitas layaknya penduduk asli setempat1. Ruang publik
pendidikan yang difasilitasi seperti PGA, STKIP Agama Hindu, Muhammadiyah, SMU
Swastiastu/Kristen, Kursus Bahasa Mandarin, Kursus Bahasa Arab. Hal ini
menunjukkan bahwa keberagaman etnik di Indonesia telah menumbuhkan
kelembagaan-kelembagaan lokal sesuai identitas etnik masing-masing.
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang diberikan
ruang publik pendidikan hingga saat ini. Pesantren termasuk salah satu produk budaya
khas Indonesia karena manajemen pengelolaannya berbeda dengan negara Islam
lainnya. Menurut Dhofier (2011:82-83), kekhasan pondok di Indonesia adalah lokasinya
terletak di perdesaan dan ulama nya pun berasal dari perdesaan. Hal tersebut tidak
memungkinkan jika seluruh santri yang datang untuk belajar di pesantren tinggal di
rumah penduduk. Mereka harus tinggal dalam kawasan tempat tinggal kyai agar bisa
menggali ilmu lebih mendalam. Kondisi demikian tidak sama dengan kondisi pesantren
di negara Islam lain. Kyai atau ulama2 yang berada di negara Islam lain berasal dari
perkotaan. Sehingga para santri yang menempuh pendidikan tidak harus tinggal atau
bermukim dalam komplek kyai. Pendidikan hanya dilakukan di masjid-masjid secara
teratur dan rutin.
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia
terus tumbuh sepanjang tahun. Data Kementerian Agama (Kemenag) Republik
Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan jumlah pesantren yang tercatat sebanyak
27.230 pesantren. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data tahun 1997 yang mencatat
jumlah pesantren di Indonesia hanya sebanyak 4.196 pesantren. Jumlah tersebut
dikuatkan dengan data jumlah santri yang menempuh pendidikan di pesantren. Data
1
Pada masyarakat Bali, mayoritas penduduk memeluk agama Hindu sedangkan para pendatang berasal
dari berbagai daerah, suku, dan agama. Meskipun terdapat perbedaan, setiap penduduk diberikan hak
yang sama dengan penduduk lainnya.
2
Ulama adalah seseorang yang ahli pengetahuan Islam. Kyai adalah sebutan untuk ulama yang
memimpin pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara di Jawa Barat, ulama disebut ajengan.
Namun sekarang, banyak juga ulama yang disebut “Kyai” meskipun Ia tidak memiliki pesantren (Dhofier
2011:93).
2
menunjukkan bahwa terdapat 3.004.807 anak yang tercatat sebagai santri mukim
(79,93%) dan 754.391 anak untuk santri non mukim (Kemenag, 2014). Hal ini
menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke
pesantren sangat tinggi.
Hasil studi Dhofier (2011:91) menunjukkan sesuatu yang menarik dari
pesantren. Selain lokasi dan ulama pesantren berada di perdesaan, santri-santri yang
menempuh pendidikan di pesantren berasal dari kalangan menengah ke atas 3. Hal
tersebut dapat ditemui pada pesantren-pesantren besar. Sebelum menjadi santri, setiap
anak dididik oleh guru mengaji di pesantren-pesantren kecil atau langgar di kampung
masing-masing. Anak-anak tersebut akan dipilih untuk disekolahkan di pesantren yang
jauh dari kampung halaman mereka. Hanya anak-anak yang cerdas dan dinilai
mempunyai kompetensi akan dikirim ke pesantren. Karena itulah anak tersebut menjadi
tanggung jawab seluruh masyarakat untuk menyekolahkannya. Di Kabupaten Pati,
sampai tahun 1930-an, seorang anak yang akan pergi dan menetap di pesantren akan di
lepas dengan suatu “upacara” yang meriah dan dihadiri oleh seluruh penduduk
kampung. Tidak hanya itu, santri-santri yang belajar di pesantren besar setiap bulannya
juga mendapatkan kiriman dari orang tua bahkan dari masyarakat (Dhofier 2011:90-91).
Bagi masyarakat, pembiayaan yang baik untuk para santri akan berpengaruh terhadap
kualitas pendidikan yang diterima santri. Harapannya setiap santri akan menjadi ulama
yang mampu memimpin dan membimbing mereka dengan baik.
Menurut Menteri Agama Republik Indonesia4, Lukman Hakim Saifuddin,
mengatakan bahwa ada tiga trilogi pesantren yang khas di Indonesia yaitu pola
pendidikan, aspek keagamaan, dan aspek sosial. Para santri di pesantren selain dididik
dari segi agama ditunjang pula dengan aspek sosial. Santri dididik mandiri melalui
peningkatan keterampilan, bakat, dan minat selain meningkatkan pengetahuan agama.
Hal ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan santri yang berkompetensi didunia
keagamaan maupun kompetensi duniawi lainnya.
Pesantren memiliki dua paradigma. Pertama, pesantren sebagai lembaga
keulamaan. Pesantren dipahami hanya sebagai tempat pengajaran dan pembelajaran
agama untuk mencetak ulama. Oleh karena itu, kegiatan pesantren hanyalah mencetak
ulama. Tidak ada aktivitas lain diluar kegiatan mencetak ulama. Kedua, pesantren
sebagai pusat pengembangan masyarakat (sosial). Pada paradigma kedua masyarakat
sudah menganggap bahwa pesantren merupakan lembaga strategis dan mempunyai
fleksibilitas tinggi dalam mengembangkan masyarakat sekitar (Rimbawan 2013:1182).
Paradigma kedua sejalan dengan aspek sosial dalam trilogi pesantren. Artinya tidak ada
halangan untuk menjalankan kegiatan pengembangan masyarakat oleh pesantren. Sebab
pesantren memiliki modal untuk melakukan hal tersebut.
3
Anak-anak dari keluarga miskin biasanya hanya menempuh pendidikan di pesantren kecil. Pesantren
kecil menyediakan pendidikan bebas biaya untuk muslimin sehingga kehidupan di pesantren kecil tidak
memerlukan biaya banyak. mereka tidak perlu membayar biaya pondok dan bisa tinggal di rumah
penduduk di sekitar pesantren tanpa harus membayar. Mereka juga biasanya membantu mengerjakan
sawah keluarga atau sawah orang lain untuk biaya kebutuhan sehari-hari sehingga tidak mempunyai
kesempatan lebih untuk belajar (Dhofier 2011:91).
4
Acara Bincang Nasional Pemberdayaan Lembaga Pesantren dalam Rangka Peningkatan Kemandirian
Ekonomi serta Mendorong Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Kantor Bank Indonesia
Surabaya (Kemenag, 2014)
3
Paradigma pesantren mengakibatkan terkelompokkannya pesantren ke dalam
dua tipe pesantren yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Saat ini, telah
terjadi pergeseran paradigma pesantren dari tradisional menjadi modern. Meski
demikian, elemen-elemen dasar pesantren tidak berubah namun terjadi penambahan
elemen pendukung pesantren. Elemen dasar pembentuk pesantren adalah pondok,
masjid, kyai, pembelajaran kitab klasik, dan santri (Dhofier 2011:79-99). Pada
pesantren tradisional, kelima elemen tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi. Sedangkan aktor lain tidak diakui sebagai elemen pesantren. Padahal
berdasarkan hasil studi yang dilakukan Dhofier (2011) di pesantren-pesantren Jawa
misalnya Tebuireng (Jombang), Ploso (Kediri), dan Darussalam (Banyuwangi),
mendapatkan sumbangan atau sokongan dari masyarakat setempat. Sedangkan di
kompleks pesantren Universitas Al Azhar (Kairo, Mesir) bangunan pondok merupakan
sumbangan dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aktor lain yang
berperan dalam pembangunan pesantren. Saat ini, pesantren-pesantren modern mulai
tumbuh di masyarakat, baik yang memulai dari awal maupun hanya mengembangkan
kapasitas pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Pesantren modern mengakui
adanya peran dan kontribusi masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam membangun
pesantren. Sehingga dalam pembangunan sebuah pesantren, elemen dasar tidak menjadi
syarat mutlak namun harus didukung pula oleh elemen lainnya.
Tradisi pesantren di Indonesia sangat menjaga hubungan silaturahim antara kyai
dan santri maupun sebaliknya. Santri berusaha untuk mengabdikan diri sepenuhnya
pada kyai sedangkan kyai berusaha pula untuk menjadi orang tua bagi santri. Santri
dapat dibedakan dari tipe permukiman maupun tingkat pengetahuan Islam. Berdasarkan
permukimannya, santri dapat dibedakan menjadi santri mukim dan santri non mukim
(kalongan). Santri mukim adalah santri yang tinggal bersama dalam satu lingkungan
pesantren dalam periode waktu yang telah ditentukan. Santri mukim biasanya terdapat
di pesantren besar karena jumlah santri yang datang dari seluruh Indonesia pun besar.
Mereka tinggal mondok dalam waktu yang lama untuk mendapatkan ilmu dari kyai.
Sedangkan santri non mukim (kalongan) adalah santri yang tidak tinggal di lingkungan
pesantren namun mereka melakukan kegiatan belajar seperti halnya santri mukim.
Mereka tidak tinggal mondok karena lokasi pesantren berdekatan dengan tempat tinggal
santri. Santri kalongan hanya terdapat di pesantren-pesantren kecil. Selain letak
permukiman yang berbeda, periode belajar di pesantren juga membedakan antara kedua
tipe santri tersebut. Santri kalongan hanya menuntut ilmu di pesantren dalam periode
tertentu, misalnya ketika bulan Ramadhan. Sementara santri mukim, mereka tetap
mengikuti segala aktivitas belajar di pesantren sampai santri layak dilepas di
masyarakat.
Santri merupakan elemen penting untuk membangun pesantren. Pergeseran
paradigma dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern menyebabkan
perubahan orientasi lulusan. Pesantren tradisional memandang bahwa lulusan pesantren
diharapkan akan menjadi ulama5 untuk memimpin masyarakat di segala bidang6.
5
Dhofier 2011:86
Ulama yang dihasilkan oleh pesantren tradisional tidak hanya di bidang agama. Secara tidak langsung,
seorang ulama memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Karena pada zaman Kolonial Belanda, Sultan atau
Raja di Jawa menyerahkan urusan keagamaan kepada kyai. Hal ini menunjukkan berarti terjadi
pemisahan antara politik dan agama. Sementara bagi ulama, sesuai dengan ajaran Islam, tidak ada
pemisahan antara politik dan agama. Sehingga ulama dapat memimpin di segala bidang.
6
4
Sedangkan pada paradigma modern, pesantren tetap berusaha menghasilkan ulama yang
berkualitas namun juga memiliki kompetensi untuk mengembangkan masyarakat.
Sebelum dilepas menjadi ulama, santri dididik tidak hanya pengetahuan dan sikap
namun keterampilan santri pun ditingkatkan. Peningkatan keterampilan santri dapat
dilakukan dengan cara memberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat mereka
atau keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya olahraga, seni, organisasi,
kewirausahaan, atau bidang pertanian. Banyak diantara pesantren-pesantren di
Indonesia yang telah menerapkan pengembangan keterampilan santri. Misalnya,
Pondok Pesantren Darul Falah Bendo, Desa Mungal, Kecamatan Krian, Kabupaten
Sidoarjo. Pondok Pesantren Darul Falah Bendo telah melakukan upaya pemberdayaan
ekonomi di lingkungan pesantren. Kegiatan pemberdayaan ekonomi dibagi dalam dua
kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem. Usaha pondok meliputi: Klik
Asy Syifa’, KBIH Magfuro, toko jamu, toko palen, toko bangunan, dan pertanian.
Sedangkan usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko grabah, Toserba (toko
serba ada) dan rumah makan, warung makan, dan sebagainya (Rimbawan, 2013).
Keberadaan santri dan kyai dibawah naungan pesantren diibaratkan seperti
sebuah ikatan simpul mati yang tidak terpisahkan. Perumpaman ini menceritakan bahwa
keduanya mempunyai hubungan yang tidak bisa terpisahkan. Hasil penelitian Rudi dan
Haikal (2014) pada dua pondok pesantren yaitu Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid dan
Ponpes Ali Maksum menunjukkan bahwa terdapat modal sosial yang mengikat santri
dan kyai sehingga dapat mempertahankan eksistensi pesantren. Modal sosial yang
dibangun oleh kyai adalah dengan menempatkan dirinya sebagai orang tua bagi para
santri dan memandang para santri sebagai amanah Allah (Dhofier 2011:83). Kyai juga
dibantu oleh santri senior (ustadz) mengembangkan modal sosial dengan menjalankan
perannya sebagai pendidik santri junior agar ber-akhlakul karimah. Sedangkan modal
sosial yang dibangun santri junior terbentuk dari adanya kepercayaan kepada kyai dan
ustadz sebagai teladan dan panutan untuk berperilaku sesuai yang diharapkan.
Disamping modal sosial, ikatan santri dan kyai terbentuk oleh adanya hubungan
keagamaan. Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah saudara dan sebaik-baik
manusia adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Ikatan sosial dibangun dengan
menjalin hubungan baik antar manusia (hablum minannas) dan hubungan baik dengan
sang Khalik (hablum minallah). Keyakinan kuat bahwa setiap tindakan baik yang
bermanfaat untuk orang lain akan menghasilkan pahala telah mengakar pada diri santri
dan kyai sehingga modal sosial pun terbangun dengan baik. Dengan kata lain, terdapat
tiga aspek yang berkembang dalam pesantren yaitu sosial, budaya, dan religius 7. Tiga
aspek tersebut ternyata juga dapat ditemui di kelembagaan lokal seperti Subak di Bali.
Subak mengembangkan tiga aspek yang sama, aspek sosial, budaya, dan religius, serta
ada pula yang menambahkan bahwa aspek teknis/teknologi juga termasuk dalam aspek
yang dikembangkan oleh Subak. Kelembagaan lokal seperti Subak memiliki modal
sosial yang kuat. Karena dibangun oleh sistem nilai dan norma yang kuat pula. Sama
halnya dengan pesantren, unsur-unsur modal sosial meliputi norma, kepercayaan, dan
jaringan, juga terbangun dalam lingkungan pesantren.
7
Pesantren menekankan pentingnya aspek sosial, budaya, dan religius. Nilai-nilai agama Islam menjadi
dasar berkembangnya ikatan sosial antara santri dan kyai. Ikatan sosial tersebut kemudian membentuk
modal sosial berupa saling percaya, membangun jaringan sosial baik dari sisi santri maupun kyai, dengan
tetap mempertahankan nilai dan norma Islam. Hal inilah yang kemudian menjadi tradisi pesantren.
5
Mengembangkan pesantren dan meningkatkan kapasitas santri adalah fokus
penting dalam paradigma pesantren modern. Untuk melakukan hal tersebut, pesantren
dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh pesantren, seperti: modal fisik, modal
sosial, dan modal manusia. Namun hal tersebut juga harus diarahkan untuk mencetak
generasi santri yang memiliki kompetensi keagamaan dan kompetensi pendukung
lainnya. Pertanian dapat menjadi bidang yang dikembangkan pesantren untuk
melakukan pengembangan pesantren. Pesantren telah memiliki ketiga modal yaitu
modal fisik, modal sosial, dan modal manusia, yang dapat digunakan sebagai pondasi
untuk membangun pesantren yang mandiri serta menghasilkan santri-santri yang
berkompeten di bidang pertanian. Selain mendapatkan keterampilan bertani, pesantren
maupun santri pun akan diuntungkan dengan hasil-hasil pertanian yang mereka peroleh
saat panen hasil pertanian. Hasil pertanian tersebut dapat dijadikan salah satu
penghasilan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pesantren. Sehingga hal ini dapat
membantu pembiayaan santri namun masih dalam jalur yang disyariatkan.
Berdasarkan potensi, keunikan, dan masalah yang ditemukan di pesantren
mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, maka pembuktian potensi modal sosial,
modal fisik, dan modal manusia terhadap peningkatan kompetensi santri dipandang
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Sebab setelah terjadi pergeseran paradigma, santri
diharapkan dapat memiliki kompetensi lain yang menunjang sisi keagamaannya. Maka
dari itu, penelitian ini akan menganalisis Optimalisasi Potensi Pesantren dalam
Meningkatkan Kompetensi Santri.
Tujuan Penulisan
Keunikan pesantren terletak pada kepemilikan tiga modal (modal fisik, modal
manusia, modal sosial) yang mempunyai potensi untuk bisa dikembangkan. Baik di
pesantren tradisional maupun pesantren modern, kedua tipe pesantren memiliki tiga
modal tersebut. Sayangnya tidak semua pesantren mampu memanfaatkan tiga modal
tersebut dengan baik. Pesantren tradisional misalnya, paradigma yang berkembang
adalah paradigma keagamaan sehingga orientasi lulusan santri pun hanya untuk
mencetak ulama-ulama berkualitas. Sementara pada pesantren modern, paradigma yang
dianut tidak hanya keagamaan namun menganut juga paradigma sosial sehingga ada
usaha pengintegrasian elemen-elemen pendukung lain, seperti masyarakat, pemerintah,
dan swasta, dalam pembangunan pesantren. Fokus perhatian pesantren modern terletak
pada peningkatan kualitas kompetensi santri, tidak hanya dibidang keagamaan namun
juga dibidang lain. Sehingga santri dapat mengamalkan ilmu agama ditunjang pula
dengan kompetensi pendukung yang berguna untuk masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut, maka tujuan dari penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk Menganalisis
Optimalisasi Potensi Pesantren dalam Meningkatkan Kompetensi Santri.
Metode Penulisan
Studi literatur merupakan metode yang dipilih untuk menyusun Laporan Studi
Pustaka ini. Data sekunder diambil dari rujukan ilmiah yang sesuai dengan topik
penulisan Studi Pustaka. Data sekunder yang telah didapat disajikan dalam bentuk
deskriptif dengan cara mengikhtisarkan dan menganalisis rujukan-rujukan ilmiah
tersebut. Setelah pengikhtisaran dan analisis rujukan ilmiah, selanjutnya dilakukan
penyusunan tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari
pendahuluan, ringkasan dan analisis, rangkuman dan pembahasan yang menjadi cikal
bakal tinjauan pustaka, serta simpulan yang akan menghasilkan kerangka ilmiah dan
rumusan masalah untuk penelitian.
6
RINGKASAN DAN ANALIS PUSTAKA
1.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan
Nasional; perspektif sejarah pendidikan Islam di
Indonesia
2012
Artikel Jurnal
Elektronik
Muhammad Rais
Jurnal Pendidikan
5(1):13-21
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&so
urce=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA
&url=http%3A%2F%2Fstain-sorong.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F01%2F2.-RaisSTAINSorong.pdf&ei=ctEGVaezMdGwuASBrIL4Bg&usg=A
FQjCNG5a4qkToi6XR79m1ZGE0B5d4B7Vw&sig2=M
UlR7Jy5fXkecgwBV56DoQ
16 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (452 kata)
Pendidikan Islam didefinisikan sebagai upaya memberikan pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Islam di Indonesia,
yang dimulai sejak kedatangan Islam di Indonesia terutama pada masa kerajaan. Sejak saat
itu lembaga pendidikan Islam yang mulai muncul adalah pesantren. Secara historis,
pesantren yang berbasis agama Islam merupakan lembaga pendidikan tradisional yang
sengaja didirikan agar menjadi tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kini,
pesantren merupakan bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia yang
memiliki kedudukan sama seperti lembaga pendidikan Islam lainnya.
Pesantren memiliki dua orientasi dalam sistem pendidikan yaitu sebagai penguatan
basis keagamaan bagi masyarakat muslim serta media konsolidasi dan sosialisasi terhadap
masyarakat nusantara yang belum sepenuhnya menganut agama Islam. Secara formil sistem
pendidikan kelembagaan yang berlaku di pesantren merupakan hasil asimilasi dengan
kelembagaan pendidikan sistem barat yang dibawa oleh Belanda. Implikasi dari asimilasi
tersebut adalah lahirnya pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah sebagai
madrasah negeri (state school) dan madrasah swasta (private school).
Peran pesantren dalam sub sistem pendidikan nasional di Indonesia dapat dilihat
dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Bab II tentang dasar, fungsi dan
tujuan, pasal 2 dan 3. Inti utama tujuan pendidikan nasional adalah beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yakni
mencapai tujuan agama Islam itu sendiri. Pendidikan diharapkan dapat membentuk
kepribadian mukmin yang patuh kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya dengan baik demi
meraih kebahagian di akhirat dan kesejehateraan di dunia. Pada UU Sisdiknas No. 20
7
tahun 2003, Bab IV, terdiri atas sebelas bagian, khusus bagian kesembilan menjelaskan
tentang pendidikan keagamaan yakni pada pasal 30 (5 ayat). Ini berarti kedudukan
pesantren berada dalam posisi yang signifikan untuk dikembangkan. Terdapat 2 hal yang
perlu dikembangkan dari pesantren yaitu eksternal dan internal.
a. Eksternal
1. Menjaga citra pondok pesantren dimata masyarakat, khususnya mutu keluaran
pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran pendidikan lain yang
sederajat.
2. Santri-santri pondok disiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat
yang majemuk.
3. Pondok hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan pengetahuan dan
temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk temuan baru dalam dunia
pendidikan.
b. Internal
1. Kurikulum pesantren tidak boleh memiliki anggapan yang bersifat dikotomis
dan memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.
2. Tenaga pengajar pada pondok pesantren harus direkrut dengan kriteria-kriteria
khusus.
3. Sarana pendidikan di pondok dipastikan merupakan sarana yang lengkap dan
baik.
Potensi pondok pesantren dalam pengembangan masyarakat dan transformasi sosial sangat
besar. Ada beberapa alasan :
1. Potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar melalui
kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya.
3. Upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat pengembangan potensi umat.
4. Lembaga pengembangan dan pembentukan watak yang terus berdampingan hidup
dengan masyarakat.
Analisis Pustaka
Eksistensi pondok pesantren diuraikan dalam kutipan-kutipan UU dan hukum yang
terkait, misalnya UU No. 20 tahun 2003 dan PP Nomor 55 tahun 2007. Jurnal ini
menganalisis proses historis terbentuknya pondok pesantren di Indonesia. Peneliti tidak
melibatkan observasi atau instrumen lain dalam melakukan penelitian. Peneliti hanya
menggunakan data-data sekunder untuk mengumpulkan data terkait eksistensi pesantren
dan aturan atau hukum di Indonesia yang mengatur tentang pesantren. Artinya dalam
penelitian ini tidak terdapat responden yang diuji atau diamati. Peneliti tidak menjelaskan
jurnal tersebut termasuk penelitian kuantitatif dan kualitatif. Peneliti juga tidak menjelaskan
rumusan masalah, tujuan, serta metode yang digunakan dalam penulisan jurnal tersebut.
Variabel yang ditemukan dalam jurnal ini adalah faktor yang mempengaruhi
eksistensi pesantren yaitu karena ada aspek hukum dan aturan dalam UU yang mengatur.
Peneliti menekankan pentingnya melakukan kegiatan pengembangan masyarakat karena
pesantren mempunyai potensi besar untuk mengembangkan hal tersebut. (139 kata)
2.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
:
:
:
:
:
:
Modal sosial pendidikan pesantren
2014
Artikel Jurnal
Elektronik
La Rudi, Husain Haikal
-
8
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
-
:
:
:
Jurnal Harmoni Sosial
1(1):1-16
http://journal.uny.ac.id/index.php/hsjpi/article/downloa
d/2426/2014
17 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (464 kata)
Terdapat tiga alasan seorang santri mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren
yaitu: mempelajari kitab-kitab Islam di bawah bimbingan Kyai, memperoleh pengalaman
kehidupan pesantren, dan memusatkan studi di pesantren tanpa kewajiban di rumah.
Pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang menjadi sumber utama
modal sosial disamping keluarga atau masyarakat. Santri dididik untuk menjadi anggota
masyarakat baik atau agar dapat hidup bermasyarakat yang bermanfaat bagi diri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Hubungan yang terjalin erat antar kyai, ustadz dan santri
merupakan pengembangan dari tradisi dan nilai-nilai Islam yang ditanamkan pada ajaran
Rasulullah SAW. Hubungan tersebut berhasil membangun kepercayaan, dan kerjasama
yang berlandaskan nilai-nilai utama sebagai modal sosial pendidikan ponpes.
Modal sosial yang terdapat di pesantren meliputi tiga yaitu: modal sosial kyai,
modal sosial ustadz, dan modal sosial santri. Berikut ini adalah perbandingan ketiga modal
sosial tersebut berdasarkan pondok pesantren.
Tabel 2.1 Modal sosial kyai, ustadz, dan santri pada ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid dan
ponpes Ali Maksum
9
Modal
sosial
Ponpes
AlSyaikh
Abdul
Wahid
Kyai
-
Ustadz
Modal
sosial tumbuh
karena
kyai menjalankan
fungsinya sebagai
pengganti orang
tua
yang
menimbulkan
sikap
santun,
hormat,
serta
teladan bagi santri.
Sehingga terjalin
hubungan
erat
antara santri dan
kyai.
-
Kepercayaan
ditunjukkan
dalam
memenuhi
tanggungjawab sebagai
pendidik seperti aktif
mengikuti proses belajar
mengajar,
memantau
dan
mengawasi
disiplinitas, mengontrol,
melibatkan,
dan
membekali para santri
sehingga
mereka
mampu menumbuhkan kepercayaan diri.
Nilai-nilai
yang
dikembangkan
di
ponpes adalah nilai
keikhlasan,
kesederhanaan,
kemandirian, ukhuwah
islamiyah,
dan
kebebasan,
sangat
berdampak positif pada
proses belajar mengajar. -
Ponpes
Ali
Maksum
Saat
memasuki ponpes, terdapat
serah terima atau
akad antara orang
tua santri kepada
Kyai
sehingga
membangun
kepercayaan dan
tanggung
jawab
besar
Santri
Pada tahun pertama,
santri
dilibatkan
dalam
organisasi
santri yaitu OPPS
(Organisasi Pelajaran
Pondok Pesantren)
agar santri belajar
disiplin,
mengatur
waktu,
dan
menjalankan ibadah
dengan
kesadaran
diri sendiri.
Modal
sosial
terbangun
oleh
kepatuhan
santri
terhadap keteladanan
kyai
dan
ustadz
sehingga
semakin
besar
keteladanan
kyai dan ustadz,
maka
kepatuhan
santri
semakin
meningkat.
Untuk
menumbuhkan
sikap empati dan
simpati,
santri
dididik
dalam
lingkungan
asrama selama
24 jam.
Ustadz memiliki peran - Kepada setiap santri
sebagai
orang
tua
ditanamkan untuk
kedua untuk para santri
senantiasa
sehingga
Ustadz
bertanggung jawab
memiliki
tanggung
pada perbuatannya
jawab untuk mendidik
serta
diberi
dan mengawasi santri
kepercayaan dalam
layaknya orang tua.
menjalankan
Ustadz
pula
kegiatan-kegiatan
menunjukkan perhatian
positif karena setiap
dan
kepeduliannya
perbuatan tersebut
kepada para santri
langsung
dengan
mengajarkan
dipertanggungjawab
akhlak dalam pelajaran
kan pada Allah
akhlakul
karimah
SWT.
(ta’limun wa ta’lim).
10
Kedua ponpes tersebut memiliki kesamaan modal sosial dalam kepercayaan dan
kerjasama. Kepercayaan dibangun berdasarkan pada tanggung jawab dan perhatian
sedangkan kerjasama dibangun melalui komunikasi, keterlibatan, dan koordinasi.
Sementara itu, untuk nilai keduanya berlainan. Ponpes Al-Syaikh Abdul Wahid menganut
nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan.
Sedangkan Ponpes Ali Maksum menganut nilai-nilai disiplin, kerja keras, kebersamaan,
kesederhanaan, kesabaran, dan toleransi.
Analisis Pustaka
Peneliti fokus pada kajian financial capital dan cultural capital. Peneliti tidak
mengkaji pola pengorganisasian santri dalam kegiatan-kegiatan di pesantren dilihat dari
sudut pandang modal sosial. Selain itu, peneliti tidak mempertimbangkan santri sebagai
salah satu subjek yang dimasukkan dalam pembangun modal sosial. Pada subjek dan objek
penelitian, peneliti menyebutkan bahwa yang menjadi subjek penelitiannya adalah pendiri
pondok, kyai, dan santri. Sedangkan dalam dokumentasi, peneliti juga menyebutkan data
dokumentasi juga dikumpulkan dari alumni. Hasil dan pembahasan tidak menguraikan
peran alumni berkaitan dengan modal sosial di pesantren.
Hal terpenting dari penelitian tersebut adalah tidak ditemukan adanya kegiatan
pengembangan sosial atau pengembangan masyarakat. Meskipun peneliti menyebutkan
bahwa kedua ponpes tersebut memperkaya para santri dengan pelatihan keterampilan,
namun tidak ditunjukkan keterampilan yang telah dikembangkan oleh santri. Dari
penelitian tersebut ditemukan variabel-variabel penelitian meliputi: tiga komponen modal
sosial (trust, norms, networks), civitas akademika pesantren : kyai, ustadz, santri ;
komponen penyusun modal sosial : komunikasi, kerjasama, nilai, dan pengembangan
sosial. (154 kata)
3.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pesantren dan ekonomi (kajian pemberdayaan ekonomi
Pesantren Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo
Jawa Timur)
2013
Laporan penelitian dalam konferensi AICIS
Elektronik
Yoyok Rimbawan
-
1180-1199
http://eprints.uinsby.ac.id/278/1/Buku%203%20Fix_14
5.pdf
03 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: ( 292 kata)
Pondok pesantren mempunyai tiga fungsi utama yaitu: pusat pengkaderan pemikirpemikir agama (center of escellence), lembaga yang mencetak sumberdaya manusia
(human resources), dan lembaga yang mempunyai kekuatan untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat (agent of change). Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
pesantren kepada pesantren ditujukkan untuk meningkatkan kompetensi ekonomi para
santri agar menjadi panutan baik dalam bidang ekonomi produktif atau kader pemberdaya
ekonomi, disamping peran utamanya sebagai ustadz/ustadzah di bidang agama. Untuk
11
mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat, ada tiga pendekatan
utama:
1. Pendekatan pembaharuan pengajaran yang berkembang tidak teratur dan diikuti
secara terbatas yang dilakukan oleh para kyai di pesantren itu sendiri.
2. Pendekatan oleh pemerintah, Departemen Agama, melalui paket-paket bantuan
3. Pendekatan prakarsa organisasi swasta yang mengembangkan ilmu pengetahuan
yang bekerjasama dengan pesantren.
Ponpes Darul Falah selain memiliki kegiatan pendidikan, juga mempunyai kegiatan
pengembangan masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi. Kegiatan ini dibagi dalam
dua kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem. Usaha pondok meliputi: klik
asy syifa’, kbih magfuro, toko jamu, toko palen, toko bangunan, dan pertanian. Sedangkan
usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko grabah, toserba dan rumah makan, warung
makan, dan sebagainya. Berdasarkan situasi yang terdapat di Ponpes Darul Falah, masalah
sosial yang terjadi di pondok bersumber pada :
a. Rendahnya kemampuan santri dalam mengakses berbagai informasi.
b. Minimnya pasangan santri yang dikirim untuk menempati ponpes cabang di tanah
wakaf.
c. Sulitnya memilih pasangan santri yang kapabilitas untuk ditempatkan di tanah
wakaf sesuai dengan karakteristik masyarakat dan wilayah.
d. Kurangnya modal untuk pengembangan usaha ekonomi dan minimnya
pendampingan pelatihan bagi para ustadz dan santri.
Untuk menangani permasalahan tersebut, strategi yang digunakan dalam pemberdayaan
masyarakat adalah: meningkatkan pendidikan, meningkatkan skill, dan pemberdayaan
pengembangan usaha ekonomi kepada santri serta para ustadz. Manajemen kegiatan
pemberdayaan ekonomi dilaksanakan melalui kegiatan melingkar dan berkesinambungan.
Social
Mapping
(PRA)
Evaluasi
Analisis
Sosial
Monitoring
Rencana Aksi
Aksi
Gambar 2.1Manajemen kegiatan pemberdayaan ekonomi
Analisis Pustaka
Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Darul Falah Bendo, Desa Mungal
Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur dan disampaikan dalam
konferensi Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XII) pada tanggal
5-8 Nopember 2012 di Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
12
deskriptif. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan deskrpisi
mendalam terkait fakta dan informasi tentang usaha ekonomi dan pemberdayaan ekonomi
berbasis pesantren. Hasil penelitian ini sangat mendukung dengan topik yang akan dikaji
dalam laporan studi pustaka yaitu tentang kelembagaan pesantren.
Dalam tulisannya, peneliti menjelaskan dengan detail latar belakang serta masalah
yang menginisiasi munculnya penelitian tersebut. Pada dasarnya, setiap pesantren memiliki
potensi yang besar untuk melakukan pemberdayaan yaitu potensi SDM santri, kyai, dan
para ustadz yang berpengaruh di masyarakat. Permasalahan utama yang kemudian timbul
setelah para santri lulus adalah kurangnya kompetensi dan kapabilitas santri di masyarakat.
Maka dari itu perlu diadakan pengembangan keterampilan untuk para santri. Poin penting
dalam tulisan ini adalah peneliti mengutamakan teknik partisipatif untuk menentukan
masalah dan tujuan pondok pesantren berdasarkan fakta dan informasi dari pesantren
tersebut. namun disisi lain, hasil penelitian ini belum menjelaskan terkait usaha
pemberdayaan ekonomi yang dapat dilakukan para santri. Penelitian ini hanya menjelaskan
pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pesantren secara umum. (197 kata)
4.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
Pondok pesantren dan pemberdayaan ekonomi
2013
Artikel Jurnal
Elektronik
Ahmad Faozan
-
:
:
:
Jurnal Studi dan Islam Budaya
4(1):88-102
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4
9098&val=3909
24 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (345 kata)
Kegagalan sistem perekonomian di Indonesia disebabkan oleh kebijakan pemerintah
mengenai sistem konglomerasi. Sistem konglomerasi hanya menguntungkan orang atau
kelompok yang memiliki kemampuan dan akses ekonomi. Sedangkan masyarakat yang
tidak memiliki akses dan kemampuan tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi yang
menguntungkan. Pesantren mempunyai potensi besar untuk bergerak ke arah ekonomi
berbasis rakyat. Maka diperlukan usaha pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren yang
tujuan akhirnya adalah mencapai kemandirian pesantren. Namun dalam pelaksanaannya,
kegiatan pemberdayaan ekonomi ini akan menemui banyak kendala, yaitu:
1. Sumber Daya Manusia (SDM): alumni-alumni pesantren termasuk dalam kategori
pengangguran di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh minimnya keterampilan dari
para santri. Seharusnya pesantren dapat memadukan kemampuan akademis dan
skill individual–kolektif sesuai dengan prinsip utamanya yaitu center of exellence.
Ada beberapa nilai yang menghambat etos orang islam :
a. Khurofat dan takhayul
b. Tak akan lari gunung dikejar, alon-alon asal kelakor
c. Mangan ora mangan pokoke kumpul
d. Nrimo fatalistis
e. Kerja kasar itu hina
f. Jimat atau mascot
13
2. Kelembagaan di Ponpes terdiri dari 2 kategori :
a. Integrated structural: semua unit atau bidang dalam Ponpes merupakan
bagian yang tidak terpisahkan. Model ini berjalan efektif apabila job
description-nya jelas. Jika tidak sistem organisasi tidak akan berjalan efektif
karena tergantung pada satu orang yaitu Kyai.
b. Integrated non structural: unit atau bidang usaha yang dikembangkan ponpes
terpisah secara struktural organisasi.
3. Inovasi dan networking: kurangnya keberanian Ponpes untuk melakukan
terobosan keluar, membuat jaringan antar ponpes dan institusi lain. mengatasi hal
tersebut, perlu diadakan perubahan pemberdayaan yang dicirikan oleh : wawasan
luas, komunikasi, kekuasaan atau kekuatan, politi, dan modalitas ekonomi.
Unsur-unsur yang diberdayakan di lingkungan Ponpes sebagai sebuah potensi untuk
melakukan pemberdayaan ekonomi adalah:
- Kyai mempunyai potensi: (1) kedalaman ilmu agamanya, (2) panutan masyarakat
dan pemerintah (penokohan), dan (3) mandiri secara ekonomi.
- Santri (murid): setiap santri pasti memiliki bakat atau potensi diri. Ponpes harus
mewadahi bakat-bakat santri yang dikembangkan dalam Wadah Apresiasi Potensi
Santri (WAPOPSI) agar bakat tersebut lebih berkembang.
- Pendidikan: model pendidikan yang berlaku di Ponpes sangat khas, seperti sorogan,
serta menerapkan multidisiplin. Tidak hanya ilmu agama yang ditekuninya namun
juga pelajaran umum.
Analisis Pustaka
Potensi untuk melakukan pemberdayaan ekonomi di pondok pesantren sangat
potensial. Menurut peneliti, jika pondok pesantren dapat menjalankan fungsi utama dengan
baik, pemberdayaan ekonomi pun pasti akan lebih mudah dilaksanakan. Dalam jurnal ini,
peneliti tidak menyebutkan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. secara
deskriptif, peneliti hanya menjelaskan pemberdayaan ekonomi yang dapat dilakukan di
pondok pesantren. Peneliti menkankan pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan di
pesantren. Namun jurnal ini sangat sedikit mengulas bagaimana mengembangkan
pemberdayaan ekonomi di pesantren. Sehingga informasi yang terkait cara-cara
mengembangkan ekonomi pondok pesantren sangat terbatas (86 kata).
5.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
Pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Lembaga
Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan Kesejahteraan
Masyarakat pada LKMS di Pondok Pesantren Al Islah
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
2011
Prosiding
Elektronik
Ahmad Subaki, Imam Baehaqie & Faizal Ridwan
Zamzany
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&
source=web&cd=1&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A
14
%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%3
Farticle%3D98230%26val%3D5085&ei=Y_YXVYPfI
ISMuAS60oLIDg&usg=AFQjCNEHc8i7wZ6lKp3xK
BDTbvbmSw1Pdw
17 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (296 kata)
Pondok pesantren diyakini mempunyai kemampuan untuk meneguhkan keterkaitan
dan integrasi kelompok masyarakat. Aktivitas Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di
pondok pesantren didasari prinsip syariah sehingga dikenal sebagai Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS). Prinsip syariah dilaksanakan sesuai ketentuan pokok hukum Islam
yang mencakup prinsip keadilan dan kesimbangan (‘adl wa tawazun), kemashalatan
(maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba
dzalim, riswah, dan obyek haram. Terdapat dua bentuk LKMS yaitu bank dan non bank.
Lembaga keuangan mikro berbentuk bank misalkan bank perkreditan syariah, sementara
lembaga keuangan mikro non bank misalnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Baitul Maal
Wat Tamwil (BMT) yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Al-Ishlah dikenal dengan
BMT Al-Ishlah.
Secara kognisi, modal sosial mewujud dalam bentuk budaya sipil dan memiliki sifat
mempengaruhi (predispose). Interaksi antara nasabah dengan LKMS melibatkan proses
mental (internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma, nilai-nilai, sikap atau perilaku,
keyakinan, dan sebagainya. Proses internalisasi tersebut akan mempengaruhi kualitas:
kepercayaan, solidaritas, keterpaduan, kerjasama, kedermawanan, yang disebut sebagai
faktor dinamis. Luaran yang diharapkan dari proses tersebut adalah gagasan atau harapan
yang mengarah pada perilaku kolektif untuk mencapai keuntungan kolektif pula (mutually
beneficial collective action, MBCA).
Hasil analisis Biplot menunjukkan bahwa peubah kelompok, norma, keterpaduan,
kepercayaan vertikal, solidaritas vertikal, kepercayaan, kharisma, dan solidaritas, memiliki
keragaman data tinggi. Sedangkan peubah dengan keragaman data rendah adalah jaringan
dan jaringan vertikal. Apabila dilihat dari hubungan antar objek, kinerja dan dampak
terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT AlIshlah pada kuadran yang sama. Artinya persepsi masyarakat di Kecamatan Dukupuntang
tentang kinerja pembiayaan oleh BMT Al-Ishlah sangat membantu kehidupan mereka. Dari
kedekatan peubah dengan obyek dapat dikatakan bahwa BMT Al-Ishlah baik kinerja
organisasinya, kinerja pembiayaan, serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT AlIshlah dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran jaringan, peran
norma, peran keterpaduan, dan peran kepercayaan vertikal.
Analisis Pustaka
Penelitian ini melihat hubungan antara modal sosial terhadap kinerja LKMS yang
dikelola oleh pondok pesantren dengan tujuan peningkatan kesejahteraan hidup. Peubah
yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kelompok, norma, keterpaduan, kepercayaan
vertikal, solidaritas vertikal, kepercayaan, kharisma, solidaritas, jaringan, dan jaringan
vertikal. Peneliti mengoreksi penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya melihat modal
sosial dalam tiga aspek yaitu norma, kepercayaan, dan jaringan. Dengan topik yang sama,
modal sosial dimasukkan dalam aspek budaya lokal yaitu norma, kepercayaan horisontal
dan vertikal, jaringan horisontal dan vertikal, serta solidaritas horisontal dan vertikal. Jenis
penelitian ini: kuantitatif dengan menggunakan analisis Biplot untuk menjelaskan
hubungan antar peubah, hubungan antar objek, dan hubungan antar peubah dan objek,
dengan menggunakan analisis Biplot. Penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja dan
dampak organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik organisasi. Faktor intrinsik
tersebut adalah modal sosial yang dalam hal ini dapat mempengaruhi objek atau peubah
15
lainnya. (140 kata)
6.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pengembangan kapasitas kelembagaan lokal subak
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di
pedesaan (studi kasus: subak Desa Loka Sari,
Sidemen, Karangaem)
2014
Artikel jurnal
Elektronik
Eka Mita Suputra
Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Universitas Udayana
1(1):1-20
http://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/893
4/7081
29 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (282 kata)
Eksistensi kelembagaan lokal Subak mulai terancam sejak munculnya SIMANTRI
(sistem manajemen pertanian terintegrasi). Simantri merupakan program pemerintah yang
dibentuk karena kelompok atau kelembagaan sebelumnya tidak mampu memaksimalkan
SDA dan SDM yang ada. Kehadiran Simantri mengakibatkan terbentuknya dualisme
kelembagaan di Desa Loka Sari yaitu: kelembagaan lokal Subak dan kelembagaan formal
Simantri, yang berakibat pada tumpang tindihnya peran kedua kelembagaan tersebut di
masyarakat. Sebelum masuknya program Simantri, kelembagaan lokal Subak mendapakan
hibah rutin dari provinsi Bali untuk pengembangan pertanian sebesar Rp20.000.000 per
tahun, ditambah bantuan sosial yang selalu bermuara ke kelembagaan lokal. Pasca
munculnya program Simantri, alokasi dana yag diterima oleh kelembagaan lokal Subak
berkurang.
Pada dasarnya, dua kelembagaan ini memiliki struktur yang relatif sama. Namun
karena posisi yang berbeda dimana Subak berada di bawah naungan desa adat sedangkan
Simantri berada di bawah naungan desa dinas, maka kinerja dan sistem administrasinya
pun berbeda. Subak dilaksanakan sesuai ketentuan adat tanpa ada ketentuan tertulis yang
mengikatnya. Sehingga dampaknya kinerja menjadi kurang efektif dan kurang terarah.
Berbeda dengan Simantri, kelembagaan ini menyusun sebuah proposal pengajuan bantuan
dana setiap kali membuat kegiatan. Simantri pun diawasi dan dibina langsung oleh satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) Provinsi Bali yang memberikan motivasi dan pembinaan
terhadap keberlanjutan kegiatan Simantri. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah
memberikan dukungan dan fasilitas yang berbeda pada dua kelembagaan tersebut.
Untuk mengatasi dualisme kelembagaan tersebut, dibutuhkan konsep strategis untuk
mengembangkan kapasitas kelembagaan di perdesaan. Pertama, mengintegrasikan
kelembagaan lokal Subak sebagai bentuk modal sosial dengan aspek lingkungan. Kedua,
memaksimalkan peran dan fungsi Subak yang belum dikembangkan oleh Simantri. Ketiga,
memanfaatkan seluruh aktivitas kelembagaan lokal Subak sebagai agrowisata. Dan
Keempat, memosisikan program Simantri berada di bawah naungan kelembagaan lokal
Subak, sehingga mampu memperdayakan petani perdesaan dan melestarikan kelembagaan
lokal Subak.
16
Analisis Pustaka
Penelitian ini menjelaskan dualisme kelembagaan akibat dualisme pemerintahan di
Desa Loka Sari secara deskriptif. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
deskriptif untuk menjelaskan permasalahan antara kelembahaan lokal Subak dan program
Simantri dari pemerintah. Peneliti menjelaskan dengan baik faktor-faktor yang
menyebabkan eksistensi kelembagaan lokal Subak semakin memudar sedangkan program
Simantri semakin berkembang berkat bantuan pemerintah. Namun sayangnya penelitian ini
hanya mengumpulkan data primer dari elit lokal di masing-masing kelembagaan tersebut.
sehingga argumentasi-argumentasi yang dikemukakan pun kurang meyakinkan.
Seharusnya peneliti juga melibatkan anggota-anggota dari masing-masing kelembagaan
tersebut agar data tersebut valid dan dapat menguatkan data sebelumnya. Selain itu, secara
tidak langsung dalam pembahasannya, peneliti lebih banyak menggunakan sudut
pandangnya tanpa didukung bukti-bukti dari penelitian. (111 kata)
7.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Kajian aspek lingkungan dalam pengembangan
agroekowisata pada sistem Subak
2012
Artikel Jurnal
Elektronik
Sumiyati, Lilik Sutiarso, Wayan Windia, Putu Sudira
Jurnal Bumi Lestari
12(2): 294-302
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/4820/3
621
30 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: ( 313 kata)
Pembangunan berkelanjutan adalah sebuah isu penting dan strategis saat ini.
kerusakan lingkungan sudah mulai terjadi dan mengakibatkan fenomena kerusakan
lingkungan yang mengkhawatirkan. Kelembagaan lokal Subak memegang peranan penting
dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Subak memiliki tiga karakteristik yaitu
sosio, agraris, dan religius. Disamping mengelola sistem irigasi pertanian, Subak pun
melibatkan aspek keagaman dalam aktivitas pertanian. Untuk menunjang terwujudnya
pembangunan berkelanjutan, Subak dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan citacita tersebut yakni dengan menerapkan agroekowisata yang dikembangkan melalui sistem
subak. Manajemen agroekowisata dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip ekowisata. Hal ini
dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan pematang sawah sebagai fasilitas jogging
track alami, kegiatan usaha tani sebagai objek wisata, akomodasi di rumah-rumah petani
anggota subak, menu makanan lokal setempat dan penyediaan makanan di balai subak,
serta pengadaan souvenir oleh penduduk anggota subak.
Untuk mengembangkan agroekowisata berbasis subak, terdapat tiga aspek yang
dipertimbangkan yaitu sebagai berikut.
a. Kualitas air irigasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila dilakukan pengembangan
agroekowisata berbasis sistem subak, kualitas air irigasi masih dapat
dipertahankan dalam kondisi baik. Hal ini sesuai dengan tujuan yang dicapai
17
yaitu keberlanjutan sistem subak sebagai wujud kelestarian alam dan budaya serta
kesejahteraan masyarakat. prinsip ekowisata yang diterapkan adalah prinsip
kepedulian terhadap lingkungan (ecological friendly).
b. Kondisi fisik irigasi dan fasilitas sistem subak
hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan irigasi di Subak lodtunduh
maupun subak anggabaya relatif sama. Kedua subak tersebut berada dalam
kondisi baik. Jika dilakukan pengembangan agroekowisata, kondisi fisik sistem
subak akan meningkat.
c. Kondisi sosial budaya sistem subak
hasil penelitian di dua subak sampel yaitu Subak Anggabaya dan Subak
Lodtunduh memiliki nilai rutinitas upacara agama dan keaktifan anggota dalam
kegiatan upacara agama pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan ritual keagamaan didukung oleh anggota subak. Kondisi yang
ditunjukkan oleh masyarakat berada pada nilai 2,00 (subak Anggabaya) dan 2,03
(Subak Lodtunduh) jika tidak ada pengaruh dari luar. sementara yang diharapkan
dari agroekowisata, pengunjung diharapkan dapat memberikan pengaruh positif
(3,0) terhadap masyarakat lokal.
Analisis Pustaka
Penelitian ini spesifik mengkaji aspek lingkungan (fisik dan sosial) dalam
pengembangan agroekowisata berbasis sistem Subak. Secara kuantitatif, peneliti
menguraikan fakta-fakta yang berkaitan dengan potensi yang dapat dikembangkan dari
sistem subak untuk menunjangkan pembangunan agroekowisata yang berlandaskan
pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya. Didalam
pendahuluan, peneliti telah menggambarkan prediksi yang akan terjadi jika agroekowisata
dilaksanakan. Prediksi tersebut didukung oleh fakta-fakta kuantitatif yang jelas
mempertimbangkan potensi atau kemungkinan potensi yang dikembangkan untuk sistem
subak. Dengan menggunakan metode kuantitatif-pendekatan logika (fuzzy logic) sebagai
alat analisis dari variabel-variabel, peneliti mampu memprediksikan akibat-akibat yang
akan terjadi jika aspek lingkungan tidak diperhatikan. Selain itu, secara realistis peneliti
pun menyebutkan cara-cara yang dapat diterapkan untuk menjalankan agroekowisata. (112
kata)
8.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Modal sosial dalam pengintegrasian Etnis Tionghoa
pada masyarakat Desa Pakraman Bali
2012
Artikel Jurnal
Elektronik
I W Mudana
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
1(1):30-40
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&s
ource=web&cd=6&ved=0CD4QFjAF&url=http%3A
%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJIS
H%2Farticle%2Fdownload%2F4494%2F3467&ei=CB
kIVdP7CoSUuAT4qIE4&usg=AFQjCNEI4-vXVT_sMJBSfIaMCkeQJIKZQ&sig2=y19GK4Dga-
18
IA1iOjgtlv0Q
17 Maret 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (482 kata)
Desa Pakraman di Bali telah merepresentasikan keberagaman etnik di Indonesia.
Berbagai etnik hidup dan tinggal di tempat tersebut dengan harmonis. Meskipun terdapat
perbedaan identitas dan latar belakang, mereka dapat hidup berdampingan dan bertetangga.
Hal ini tergambar dari pola permukiman yang sengaja dibuat menurut etnik, seperti
Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bugis, dan lain sebagainya.
Tujuan pembuatan pola permukiman berdasarkan etnis adalah memudahkan etnik-etnik
untuk dikenali dan memberikan rasa aman untuk hidup dengan nyaman. Dengan kata lain,
pola permukiman etnik merupakan sebuah strategi dalam mempertahankan identitas
sosiokultural dan untuk menciptakan keamanan sosial. Kemultietnikan Desa Pakraman,
Bali juga terepresentasi dari adanya berbagai kelompok keagamaan seperti: Hindu, Islam,
Katolik, Protestan, Budha, dan Kong Hu-Tsu. Hal ini terlihat dari adanya tempat-tempat
ibadah sesuai kelompok keagamaan tersebut seperti Masjid, Gereja, Pura, dan Wihara.
Tidak ketinggalan pula, semua kelompok keagamaan telah membentuk kelembagaankelembagaan berbasis keagaman pula. PHDI bagi umat Hindu, kelompok pengajian Islam,
serta tempat pembinaan umat bagi Katolik dan Protestan.
Pada intinya, kemultietnikan di Desa Pakraman, Bali dapat dilihat tidak hanya dari
pola permukiman, kelompok keagamaan dan kelembagaan keagamaan, namun ditataran
masyarakat umum mereka juga diberikan pelayanan layaknya masyarakat asli. Mereka
disediakan ruang publik sesuai latar belakang etnisnya masing-masing, misalnya kuburan
(Kuburan Cina, Kuburan Muslim, Kuburan Kristen, Kuburan Hindu), pendidikam (PGA,
STKIP Agama Hindu, Muhamadiyah, SMU Swastiastu/Kristen, Kursus Bahasa Mandarin,
Kursus Bahasa Arab, dll). Selain ruang publik, mereka juga diberi pelayanan publik yang
berbasis etnik/ikatan primordial seperti Warung Muslim, Budha ha-ha, Bakso Bali, Rumah
Makan Padang, Bakso Solo, Warung Sate Madura, Warung Jawa, dll.
Kondisi kemajemukan masyarakat Desa Pakraman sangat bervariasi sehingga dapat
dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara horisontal masyarakat menampakkan
variasi etnik, variasi agama, variasi klan/wangsa, variasi politik, dan variasi pekerjaan.
Sedangkan secara vertikal menampakkan variasi jenjang kehidupan dalam berbagai
dimensi, baik dari dimensi ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan. Masing-masing kelompok
tersebut menunjukkan pola budaya, identitas, jaringan sosial, dan perilaku sosial yang
berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Kondisi ini dapat menjadi suatu
kebanggan jika etnik-etnik tersebut dapat hidup harmonis dan berdampingan. Namun disisi
lain sekaligus menimbulkan sumber kerawanan sosial.
Jaringan hubungan sosial antar etnik terbangun dari pola permukiman serta wujud
kemultietnikan lainnya. Jaringan sosial dari pola permukiman dibangun karena adanya
kedekatan tempat tinggal dan hubungan kekerabatan antar etnik, misalnya etnik Tionghoa
dan etnik Bali. Keyakinan masyarakat setempat mengatakan bahwa etnik Tionghoa dan
etnik Bali mempunyai hubungan kerabat seperti kakak/adik kandung. Selain itu, identitas
sosial, kepentingan masyarakat, aktivitas keagamaan, dan pelayanan publik pun telah
menunjang terbangunnya jaringan hubungan sosial antara etnik Tionghoa dan etnik Bali.
Bentuk integrasi antar etnik adalah hal penting yang membangun modal sosial.
Bentuk integrasi sosialnya dalam bentuk perkawinan, hubungan pertetanggaan, hubungan
tempat tinggal, dan persatuan/perkumpulan/organisasi etnik baik yang berbasis sosial
maupun budaya. Bentuk-bentuk integrasi tersebut telah menyediakan ruang untuk
membangun modal sosial. Sosialisasi di keluarga inti (Kuren) dan keluarga besar dari garis
keturunan laki-laki (Dadia) serta di kelembagaan formal lainnya telah membangun modal
sosial sekaligus pengendalian sosial di etnik-etnik tersebut.
19
Analisis Pustaka
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik purposivesnowball. Proses pengumpulan data diambil dari tiga lokasi yang berbeda yaitu Desa
Pakraman Buleleng, Desa Catur, dan Desa Pempetan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Uraian terkait kemultietnikan telah
menambah pengetahuan penting dalam ranah antropologi. Dari uraian peneliti, diketahui
bahwa modal sosial dapat terbangun dari bentuk integrasi sosial dari masyarakat yang
berbeda latar belakang dan identitas sosial. Pola permukiman, perkumpulan, serta
perkawinan antar etnis telah membentuk sebuah jejaring sosial dalam masyarakat.
Meskipun menguraikan dengan baik bagaimana modal sosial terbangun dari
kemultietnikan masyarakat, namun peneliti kurang menjelaskan responden atau informan
kunci yang diambil dari penelitian ini. Apabila menggunakan metode kualitatif (purposivesnowball), peneliti sebaiknya juga menjelaskan identitas responden, jumlah responden,
serta informan kunci yang diambil. Peneliti juga dapat menambahkan hasil wawancara
(bila memungkinkan) sebagai data primer untuk menguatkan pendapatnya. Sehingga hal ini
dapat mengurangi subjektifitas penelitian. (146 kata)
9.
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):Hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pengembangan sumber daya manusia santri di
pesantren untuk memasuki kehidupan masyarakat
(studi pada Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang)
2012
Artikel Jurnal
Elektronik
M Miftahusyain
El-Qudwah: Jurnal Integrasi Sains dan Islam
10: 87-109
http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/lemlit/article/view/2055/pdf
03 April 2015
Tanggal diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (453 kata)
Konsep pengembangan sumber daya manusia merupakan hal penting yang
diperhatikan oleh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Kegiatan pengembangan sumber daya
manusia direalisasikan melalui kegiatan-kegiatan spiritual, seperti: pengajian malam ahad
(mingguan), pengajian malam kamis dan istighotsah (mingguan), pengajian malam jumat
(mingguan), Tambih Am (bulanan), serta amaliyah agama. Dalam hal pengelolaan sumber
daya manusia, KH. Drs. Hasyim Muzadi terbilang berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan
jalannya program secara terencana. Selain itu, keberhasilan pesantren juga ditunjukkan
oleh peningkatan jumlah santri baru dari tahun ke tahun. Konsep pengembangan sumber
daya manusia ditekankan pada membangun kualitas santri agar mampu mengamalkan
syariat, berprestasi tinggi, dan pandai dalam menghadapi persoalan hidup. Maka dari itu,
setiap santri dibekali untuk mempertinggi kualitas keimanan dan ketaqwaan melalui ibadah
umum dan ibadah khusus yang sesuai syariat agama Islam. Pesma Al-Hikam mengajarkan
kepada santrinya bahwa kualitas iman yang tinggi senantiasa akan menyemangati dan
menginspirasi untuk terus berjuang tanpa pamrih di masyarakat kelak.
Hal unik dari ajaran setiap pondok pesantren, termasuk Pesma Al-Hikam, adalah
20
mengajarkan dan mengutamakan peribadatan yang harus dilakukan secara berjamaah
terutama untuk ibadah yang bersifat umum (Ibadah Madlah). Tujuannya agar setiap santri
menyadari esensi dari sebuah pekerjaan yang dilakukan bersama dan kontinu (istiqomah).
Sementara untuk ibadah Ghairu Madlah ditekankan pada amal sholeh dan muamalah atau
hubungan sesama manusia.
Pesantren memiliki peranan penting dalam melakukan transformasi kultural yang
menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana di Pesma Al-Hikam, pesantren
adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang diharapkan dapat membantu
masyarakat untuk menjalankan perintah agama. Transformasi kultural hanya bisa dilakukan
apabila pesantren masih memegang teguh nilai-nilai berikut:
a. Hidup adalah sebuah peribadatan, baik dilakukan untuk urusan ibadah murni
(hablum minallah) maupun untuk pengadian masyarakat (hablum minannas).
b. Kecintaan dan penghormatan pada pengabdian masyarakat.
c. Berkorban untuk kepentingan masyarakat.
Strategi yang dikembangkan oleh Pesma Al-Hikam untuk mempersiapkan para santri
memasuki kehidupan masyarakat dilakukan melalui tiga sistem yaitu pengasuhan,
pengajaran (dirosah), dan pelatihan (kesantrian).
1. Pengasuhan dilaksanakan melalui penciptaan kedisiplinan beribadah,
pengembangan tingkah laku akhlakul karimah dan pengabdian masyarakat. Wujud
konkrit pengasuhan : tata tertib pesantren.
2. Pengajaran (dirosah) dilaksanakan melalui pengajaran baca tulis Al-Quran, dasardasar keilmuan agama dalam disiplin ilmu para santri, perangkat metodologi ilmu
keislaman, serta pengembangan agama dalam wawasan nasional. Sistem pengajaran
menggunakan sistem semester dengan tiga jenjang pendidikan meliputi: tingkat
basic, tingkat intermediet, dan tingkat advance.
3. Pelatihan (kesantrian) dilaksanakan melalui pemberian keterampilan,
pengembangan kemandirian dengan cara mengembangkan minat dan bakat, serta
alat operasional pengabdian masyarakat.
Untuk melakukan hal tersebut, motivasi santri untuk bergerak dan berubah merupakan hal
penting. Kyai merupakan faktor utama dalam menggerakkan dan memotivasi mahasiswa.
Disamping itu, para santri juga membangun motivasi antar sesama santri pula melalui
organisasi atau koordinasi kegiatan. Terdapat tiga faktor yang memotivasi Pesma AlHikam mengambil peran dalam pengembangan SDM santri yaitu: kualitas dan
profesionalitas pendidikan, solidaritas sosial, menghindari kekufuran, serta krisis mental
dan moral.
Analisis Pustaka
Penelitian ini menambah pengetahuan penting bagaimana mengembangkan santrisantri di pesantren. Metode penelitian kualitatif memang memberikan nilai tambah
tersendiri dalam sebuah penelitian. Dalam tulisannya, peneliti menggambarkan sebuah
kondisi yang langsung dialami saat melakukan penelitian di Pesma Al-Hikam. Peneliti
secara langsung mengalami bagaimana solidaritas di pesantren tumbuh kuat karena konsepkonsep keagamaan. Selama 11 bulan penelitian, peneliti mampu mengolah informasi
terkait pengembangan sumberdaya manusia dengan baik. Hasil penelitian ini dinilai baik
sebab telah memenuhi kaidah sebuah penelitian ilmiah. Peneliti juga dengan jelas dan baik
menguraikan hasil-hasil temuan berdasarkan teknik pengumpulan data metode kualitatif
yaitu wawancara mendalam dan analisis dokumen. Selain itu, secara tidak langsung peneliti
telah membukan pandangan bahwa terdapat korelasi positif antara motivasi yang
dikembangkan santri, peran komponen pesantren seperti kyai, sistem pendidikan terhadap
pengembangan SDM santri. (125 kata)
21
10. Judul
:
Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni
Kerajinan Keramik
2013
Artikel Jurnal
Cetak
Antonius Purwanto
-
Tahun
:
Jenis Pustaka
:
Bentuk Pustaka
:
Nama Penulis
:
Nama Editor
:
Judul Buku
:
Kota Dan Nama
:
Penerbit
Jurnal Sosiologi Masyarakat
Nama Jurnal
:
18(2):233-261
Volume(Edisi):Hal
:
Alamat URL/Doi
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan Pustaka: ( 484 Kata)
Kasongan merupakan subdusun Kajen di Kelurahan Bangun Jiwo, Kecamatan
Kasihan, Kabupaten Bantul ,Yogyakarta. Sejarah klaster keramik Kasongan dapat
ditelusuri hingga zaman sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Sebelum tahun 1970-an, kondisi penduduk di Kasongan sangat memprihatinkan. Kondisi
sosial ekonomi lebih buruk dibandingkan daerah lainnya di Bantul. Rumah mereka terbuat
dari gedeg (anyaman bambu), tidak memiliki aliran listik, jalanan tidak beraspal, dan
tingkat pendidikan yang rendah. Perubahan pun terjadi sekitar awal 1970-an atau akhir
1960-an. Seorang seniman bernama Sapto Hudoyo memperkenalkan teknik dekorasi baru
dalam membuat keramik. Sapto melatih para perajin keramik untuk membuat desain
keramik dan kemudian dipamerkan di galeri seni. Hasilnya para wisatawan tertarik pada
desain keramik dari para perajin dan memutuskan untuk langsung berkunjung ke
Kasongan. Selain Sapto, Larasati Sulianto Soelaiman juga berkontribusi dalam
meningkatkan keterampilan pengrajin. Sama seperti Sapto, Larasati juga mengembangkan
keterampilan perajin yaitu dengan mengajarkan dekorasi keramik dan mengajarkan perajin
merangkai bunga. Distribusi hasil kerajinan dipasarkan melalui jaringan sosial keluarga dan
tetangga. Selain dua aktor tersebut, pemerintah juga mengambil peran dalam
pengembangan keterampilan perajin. Melalui Unit Pelayanan Teknis (UPT), pada tahun
1979, pemerintah telah menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan kepada perajin
keramik.
Terdapat empat modal penting yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya,
dan modal simbolik. Modal ekonomi, seperti tanah, merupakan hal penting bagi para
perajin. Tanah difungsikan sebagai tempat bangunan pemasaran keramik perajin atau galeri
(showroom). Diantara para pengusaha, hanya pengusaha kaya yang mampu membuat atau
memiliki sebuah galeri pemasaran (showroom). Sementara pengusaha kecil kesulitan
memasarkan kerajinan yang telah dibuat. Keadaan ini mengakibatkan para pengusaha kecil
menjual kerajinan kepada pengusaha kaya. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya
differensiasi dalam klaster keramik. Differensiasi tersebut sekaligus mengakibatkan
terjadinya stratifikasi sosial diantara para pengusaha :
1. Pengusaha yang memproduksi terakota, terakota menjadi keramik finishing, dan
memamerkannya ke showroom (KTFS).
2. Pengusaha yang memproses terakota menjadi keramik finishing dan memamerkan
produk di showroom (KFS).
3. Pengusaha yang memproduksi terakota (KTK).
22
4. Pengusaha yang yang memproses keramik terakita (KF) atau sub kontrak (KS).
5. Pengusaha yang menyediakan bahan baku keramik (KBK)
Ada dua jenis pengusaha keramik yaitu dominan dan resistensi. Pengusaha dominan
adalah pengusaha yang mengakumulasi modal budaya dan modal ekonomi sehingga
dengan mudah meningkatkan usahanya. Pengusaha dengan banyak modal akan mudah
berekspansi di pameran nasional maupun internasional, membangun jaringan sosial, dan
memiliki sumber keuangan yang terjamin. Sementara pengusaha kecil (resistensi)
mengalami kesulitan dalam meningkatkan usahanya. Mereka tidak mampu berekspansi
seperti yang dilakukan pengusaha dominan. Mereka hanya mampu meniru desain keramik
dari pengusaha dominan. Dengan memanfaatkan koperasi, pengusaha kecil mampu
mengembangkan jaringan melalui koperasi.
Solidaritas sosial dibangun di setiap kelas sosial para perajin. Para perajin
mempertahankan tradisi-tradisi yang mampu memperkuat solidaritas perajin. Menghadiri
selamatan, hajatan, dan sambatan merupakan tradisi yang masih perajin pertahankan.
Selain itu, modal sosial juga dibangun dengan pernikahan antara pengusaha. Pengusaha
yang mampu mengakumulasi modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial, juga akan
mendapatkan modal simbolik. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pengusaha
yang mempunyai modal banyak akan menghasilkan mobilitas vertikal lebih cepat.
Analisis Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa akumulasi modal akan
menghasilkan mobilitas vertikal. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk
mendapatkan informasi perkembangan modal yang dilakukan para perajin keramik.
Peneliti membandingkan berbagai hasil penelitian untuk menopang validitas penelitian.
Hasil penelitian telah menambah informasi mengenai modal sosial dalam masyarakat.
Modal sosial dapat berkembang karena ada akumulasi modal lainnya yaitu modal ekonomi,
modal budaya, dan kemudian akan berwujud sebagai modal simbolik. Peneliti menganalisis
perkembangan modal sosial dan modal budaya perajin dengan membuktikan salah satu
teori modal sosial yaitu teori modal sosial putnam. Putnam menyebutkan bahwa komponen
dalam modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, dan organisasi. Dalam jurnal ini, peneliti
menemukan bahwa komponen-komponen tersebut telah berkembang dalam kegiatan para
perajin. (113 kata)
Pondok pesantren : ciri khas, perkembangan, dan
11. Judul
:
sistem pendidikannya
2013
Tahun
:
Artikel Jurnal
Jenis Pustaka
:
elektronik
Bentuk Pustaka
:
B. Marjani Alwi
Nama Penulis
:
Nama Editor
:
Judul Buku
:
Kota Dan Nama
:
Penerbit
Jurnal Lentera Pendidikan
Nama Jurnal
:
16(2):205-219
Volume(Edisi):Hal
:
http://www.uin-alauddin.ac.id/downloadAlamat URL/Doi
:
08%20Pondok%20Pesantren%20Center.pdf
26 April 2015
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan Pustaka: ( 512 Kata)
Pondok pesantren dibangun dan diperkenalkan di tanah Jawa oleh salah seorang Wali
Songo, Maulanan Malik Ibrahim (Gresik). Cikal bakal berdirinya pesantren dapat dilihat di
daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya),
23
Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya. Pesantren telah mengalami
berbagai tantangan zaman dan berkontribusi dalam kemerdekaan Indonesia. Saat
kolonialisme Belanda, tidak sedikit pesantren melakukan pemberontakan yang dipimpin
oleh kyai-kyai, seperti perlawanan Kyai Mojo di Tegalrejo, Kyai Rifa’ie di Kalisasak
Batang, Kyai Haji Zaenal Mustafa di Sukamamah Tasikmalaya. Menurut perkembangan
pesantren, Dhofier mengelompokkan pesantren menjadi dua tipe besar, yaitu: tipe lama
(klasik) yaitu inti pendidikannya mengajarkan kitab Islam klasik, sedangkan tipe baru
mendirikan sekolah umum dan madrasah yang mayoritas pelajarannya dikembangkan
bukan dari kitab Islam klasik.
Pola pendidikan Islam tradisional diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Hubungan yang akrab antara kyai dan santri
b. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai
c. Pola hidup sederhana
d. Kemandirian atau independensi
e. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan
f. Disiplin ketat
g. Berani menderita untuk mencapai tujuan
h. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi
Metodologi pengajaran di pesantren yaitu metode sorogan dan bandongan atau wetonan,
mengedepankan hapalan serta menggunakan sistem halaqah. Selain halaqah, metode
pengajalan hapalan (tahfidz), musyawarah (hiwar), muzakarah (bahts al-masail), fath alkutub, muqaranah, dan muhawarah atau musahadah.
a. Metode tahfidz mengharuskan setiap kali tatap muka, seorang santri harus
membacakan tugas hapalannya kepada kyai.
b. Metode hiwar membimbing para santri untuk melakukan kegiatan belajar secara
berkelompok untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau
ustadz.
c. Metode muzakarah dilakukan dengan membuat pertemuan ilmiah untuk membahas
masalah diniyah seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan agama lainnya yang
menyertakan kyai dan juga santri. Terdapat dua tipe muzakarah yaitu muzakarah
yang diadakan antar sesama kyai atau ustad, dan muzakarah yang diadakan antar
sesama santri tetapi dipimpin oleh santri senior yang ditunjuk kyai atau langsung
oleh ustad.
d. Metode fath al-kutub diberikan pada santri senior yang ditugaskan untuk membaca
kitab-kitab klasik.
e. Metode muqaranah adalah metode yang fokus pada kegiatan perbandingan, baik
materi, paham (mazhab), maupun perbandingan kitab, yang diterapkan pada kelas
santri senior. Metode ini dibagi menjadi dua yaitu muqoronat al-adyan untuk
perbandingan agama, dan muqoronat al-mazahib untuk perbandingan paham atau
aliran.
f. Metode muhawarah atau muhasadah merupakan latihan bercakap menggunakan
bahasa Arab. Aplikasi metode muhawarah mewajibkan para santri untuk berbicara
bahasa Arab baik antar santri maupun kepada ustad maupun kyai.
Berdasarkan perkembangannya, sistem pendidikan pondok pesantren digolongkan sebagai
berikut:
1. Pondok pesantren yang terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pesantren tipe ini sangat
sederhana dan merupakan tingkatan awal dari berdirinya pesantren.
2. Pesantren memiliki masjid, rumah kyai, dan asrama tempat tinggal santri serta
menyelenggarakan pengajian kitab klasik dengan metode hapalan, tuntunan, dan
resitasi.
24
3. Pesantren dengan komponen pesantren tradisional dan juga menyelenggarakan
pendidikan formal.
4. Pesantren dengan komponen pola ketiga, juga mengembangkan keterampilan
seperti peternakan, kerajinan rakyat, koperasi, sawah, dan ladang.
5. Pesantren modern yaitu pesantren yang telah maju. Indikatornya terlihat dari
fasilitas pesantren yang telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang tamu,
ruang makan, kantor administrasi, toko atau koperasi, gedung pertemuan, kamar
mandi dan WC, serta laboratorium.
Analisis Pustaka
Dalam jurnal ini, peneliti menjelaskan bahwa pondok pesantren telah mengalami
perubahan dari zaman ke zaman. Metode penelitian yang digunakan digunakan untuk
berasal dari pustaka-pustaka yang berhubungan dengan judul yaitu Pondok Pesantren : Ciri
Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya. Peneliti hanya menggunakan studi
literatur sebagai untuk mengumpulkan data dan informasi yang berhubungan dengan judul
penelitian. Secara eksplisit, penelitian ini telah menambah informasi terkait kehidupan
pesantren dan unsur-unsur penyusunnya. Meskipun pola pendidikannya telah didasarkan
pada basis agama, peneliti menemukan bahwa dalam pondok pesantren pun ditemukan
kelemaham-kelemahan dalam hal perencanaan yang rinci dan rasional, kurikulum yang
terarah, serta standar khusus yang kelas untuk jenjang pendidikan. Kelemahan pola
pendidikan pesantren yang dikemukan oleh peneliti telah menambah pengetahuan dalam
memahami kehidupan pesantren. Disamping itu, kelemahan tersebut juga dapat dijadikan
potensi untuk memperbaiki kinerja pendidikan di pesantren yang dapat diintegrasikan
dengan peran unsur SDM penyusunnya yaitu kyai, ustadz, dan santri. ( 143 kata)
Pesantren Menghadapi Era Globalisasi
12. Judul
:
2008
Tahun
:
Jenis Pustaka
:
Cetak
Bentuk Pustaka
:
Ahmad Mustofa Haroen
Nama Penulis
:
Amin Haedari
Nama Editor
:
Khazanah Intelektual Pesantren
Judul Buku
:
Jakarta [ID]: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Kota Dan Nama
:
Agama
Penerbit
Nama Jurnal
:
Volume(Edisi):Hal
:
Alamat URL/Doi
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan Pustaka: (502 Kata)
Pesantren mulai berdiri sejak periode Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik).
Kemudian dilanjutkan oleh Sunan Giri dan sampai hingga periode kerajaan Islam berdiri.
Metode pendidikan yang diberikan oleh kyai kepada santri dilakukan dengan
menggabungkan dua metode yaitu tulisan dan lisan. Metode tulisan digunakan untuk
mengajarkan kitab-kitab Islam (kitab kuning). Pendidikan inti yang diajarkan periode
Sunan Giri adalah Al-Quran, Hadits, dan kitab kuning yang berjudul Sittiina’ tentang
hukum-hukum ibadah. Sedangkan metode lisan digunakan untuk menyampaikan isi dari
kitab-kitab Islam klasik kepada santri dan masyarakat. Kyai menggunakan metode lisan
untuk menerjemahkan tulisan dalam kitab klasik yang ditulis dengan bahasa Arab lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab Jawi.
Globalisasi memberikan dampak yang besar dalam pembangunan nasional pun
terhadap kehidupan di pesantren. Meskipun pesantren merupakan sebuah lembaga
25
pendidikan keagamaan, pesantren tidak luput dari pengaruh globalisasi. Dampak yang
terlihat terletak pada arus informasi di pesantren. Jika dulu informasi didapat dari tulisan
dan lisan yang terbatas, saat ini informasi dapat diakses dengan mudah melalui perangkat
TIK (Teknologi, Komunikasi, dan Informasi) misalnya internet. Semua informasi telah
tersedia dan santri pun dapat belajar setiap waktu. Namun kehadiran internet bukan berarti
menghilangkan tradisi tulisan dan lisan, internet mengkombinasikan kedua tradisi
sebelumnya dalam satu media yang mudah diakses.
Model pengajaran di pesantren dilakukan melalui 4 tahapan yaitu sorogan,
bandongan, kelas musyawarah, dan bathsul masaail. Bahtsul masaail merupakan
representasi yang memadai untuk memetakan pola penalaran keilmuan pesantren. Haroen
(2009:24) merangkum dari berbagai literatur tentang pengertian bahtsul masaail. Bahtsul
masaail mencerminkan proses istinbath (mencari dasar hukum). Istinbath dalam tradisi
pesantren tidak langsung merujuk pada Al-Quran dan Hadits, akan tetapi memberlakukan
secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Pola
penalaran bahtsul masaail terbagi menjadi dua yaitu pola penalaran deduktif (istidlaliyah)
dan pola penalaran induktif (istiqraiyyah). Dua realitas yang dapat dianalisis adalah realitas
kasar dan realitas lunak. Kedua realitas tersebut ditemui pada pesantren tradisional dimana
arus informasi masih terbatas oleh tradisi lisan dan tulisan. Realitas di zaman globalisasi
telah dipengaruhi perkembangan media sehingga realitas keras dan lunak melebur menjadi
realitas media. Realitas ini menjadi objek dakwah pesantren.
Posisi pesantren berada dalam posisi memberi dan menerima globalisasi. Konflikkonflik nilai budaya dan sosial bermunculan di pesantren. Tantangan dakwah semakin
kompleks karena arus informasi sangat cepat. Di saat situasi seperti ini, pesantren
dipandang terkesan eksklusif. Pesantren dianggap hanya mencetak ulama-ulama dan tidak
mementingkan aspek-aspek duniawi. Dengan kata lain, terdapat dikotomi ilmu di
pesantren. Hal inilah yang menurut Haroen (2009:39-40) membuat pesantren dianggap
terbelakang dan anti kemajuan. Hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam berupa
rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi sekalian alam. Maka pesantren pun harus dapat
menggunakan teknologi dan informasi untuk melakukan akselerasi pendidikan.
Terdapat 4 tahapan pengembangan pesantren dengan TIK :
1. Fase emerging : warga pesantren memandang penting TIK
2. Fase applying : warga pesantren belajar TIK
3. Fase infusing : pengelola pesantren mengetahui kapan mengelola dan menerapkan
TIK
4. Fase transforming : warga pesantren menggunakan TIK dengan baik.
Untuk melakukan ke empat tahapan perlu mengadakan identifikasi terhadap SDM,
manajemen, sarana dan prasarana, serta pemanfaatan TIK (media pembelajaran,
pengembangan sistem pendidikan, sarana dakwah).
Analisis Pustaka
Studi yang dilakukan oleh penliti telah menambah informasi tentang orientasi
pesantren saat ini. globalisasi telah mengakibatkan peleburan objek dakwah pesantren.
Pesantren yang bersifat adaptif harus dapat melihat globalisasi sebagai hal yang positif
dalam mengembangkan pendidikan. Peneliti melakukan penelitian jenis studi pustaka
dengan mengumpulkan informasi terkait topik penelitian dari data primer maupun
sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis sehingga dalam tulisannya
peneliti menguraikan secara rinci terkait perubahan orientasi pada pesantren. Tulisan ini
menambah pula informasi bagaimana saat ini pesantren telah mengedepankan kompetensi
penguasaan perangkat TIK. Harapannya lulusan pesantren di masa depan mempunyai
kompetensi tidak hanya dibidang agama namun juga TIK. (99 kata)
26
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Pesantren
Sejarah Islam dan Pesantren di Nusantara
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren tidak terlepas dari sejarah masuknya
Islam di Indonesia8. Islam memasuki kehidupan Indonesia dimulai pada masa
menjelang dan perluasan Kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari catatan sejarah yang
menyebutkan bahwa orang-orang Indonesia banyak melakukan perdagangan dengan
bangsa lain. Kegiatan perdagangan pada saat itu didominasi oleh pedagang-pedagang
muslim dari wilayah India. Saat itu, kerajaan Islam di India yang disimbolkan dengan
kemegahan Taj Mahal telah mempengaruhi hubungan antara pedagang Indonesia
dengan pedagang muslim dari wilayah India. Dengan demikian, semakin kuat kerajaan
Majapahit, maka perdagangan antara pedagang Indonesia dan pedagang Islam India pun
semakin intensif. Namun ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran9, kerajaan
Demak mengambil alih hal tersebut. Memasuki abad ke-15, Islam telah menggantikan
Hinduisme sebagai kerajaan yang paling kuat pada waktu itu sehingga Islam mulai
mampu mengekspansi penyebaran Islam di Indonesia10. Pada abad ke 16, penduduk
Indonesia telah dapat di-Islam-kan meskipun tidak sepenuhnya dari masyarakat
mengerti dan mengamalkan ajaran Islam dengan benar (Dhofier 2011:15-16).
Islam mulai masuk dan menyebar di Indonesia pada abad ke 13 dan abad ke 16
setelah terjadi persaingan antara empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali
dan Syafi’i. Diantara keempat mazhab tersebut, Mazhab Imam Syafi’i merupakan
mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Mazhab Syafi’i dinilai
oleh para kyai terdahulu sebagai madzhab yang paling sesuai dengan watak bangsa
Indonesia yang cenderung homogen. Mazhab Syafi’i mengajarkan jalan tengah
(tawasuth), toleran (tatsamuh), dan menjaga keseimbangan (tawazun)11.
8
Islam masuk ke Indonesia melalui kegiatan perdagangan laut oleh para pedagang Muslim dari Arab,
Persia, dan India. Kapal-kapal para pedagang singgah dan menepi di pelabuhan-pelabuhan yang terdapat
di pesisir pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Para pedagang tersebut membawa berbagai hasil bumi.
Pelabuhan-pelabuhan yang sering disinggahi kapal asing adalah pelabuhan Lamuri di Aceh, pelabuhan
Barus dan Palembang di Sumatera (Yatim 2008-191-192).
9
Terjadi kekacauan politik di Kerajaan Majapahit setelah meninggalnya Patih Gajah Mada (1364 M) dan
Hayam Wuruk (1389 M). Setelah Hayam Wuruk meninggal, kekuasaan jatuh pada putri mahkota
Kusumawardhani yang menikah dengan sepupunya sendiri yaitu Pangeran Wikramawardhana. Di sisi
lain, Hayam Wuruk memiliki putra dari seorang selir yang bernama Bhre Wirabumi. Karena merasa
memiliki hak, Wirabhumi tidak terima jika Wikramawardhana menjadi penguasa tertinggi. Perebutan
kekuasaan antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabumi pun berlangsung lebih dari sepuluh tahun dan
berakhir pada Perang Paregreg yang mengakibatkan mangkatnya Bhre Wirabhumi. Setelah Bhre
Wirabhumi meninggal, perebutan kekuasaan pun masih terus berlangsung. Pada tahun 1468 M,
Majapahit diserang oleh Girindrawardhana dari Kediri. Sejak itulah, kerajaan Majapahit berakhir (Yatim
2008:196 dan Zarkhoviche 2015:15-17).
10
Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan dengan jatuhnya kerajaam Majapahit. Sebelum
jatuhnya Majapahit, proses Islamisasi di Jawa telah dimulai sejak abad ke-11 M meskipun belum meluas.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik yang berumur
475 H (1082 M). Pada saat kejayaan Majapahit pun Islam telah menyebar di pulau Jawa terutama di
daerah-daerah pesisir karena menjadi lokasi permukiman pedagang-pedagang muslim. Di bawah
bimbingan Sunan Kudus, ketika Majapahit jatuh, Islam dapat menggantikan pusat kerajaan di tanah Jawa
(Yatim 2008:197-199).
11
Dhofier 2011:1-2
27
Sepanjang periode tahun 1200-1650, Islam (termasuk pesantren) telah
berkembang di Indonesia melalui para kyai-kyai, syekh, atau ulama terdahulu.
Perkembangan Islam juga ditunjang oleh pengaruh perubahan zaman pada periode
1200-1650 tersebut. Pada abad ke-14 dan ke-15, Eropa bukanlah kawasan yang paling
maju di dunia. Kekuatan besar pada saat itu adalah Islam. Selain perdagangan, Islam
juga berfokus pada lembaga pendidikan yang berkualitas. Kondisi pada waktu itu,
masyarakat masih lemah tradisi menulisnya sehingga Islam pun semakin mudah
terlembaga dan diterapkan masyarakat. Proses terbentunya Islam sebagai agama baru
mulai muncul setelah kegagalan imperium Kerajaan Majapahit12.
Sejarah awal mula berdirinya pesantren di Indonesia diawali dari kisah seorang
ulama bernama Hamzah Fansuri. Beliau merupakan seorang budayawan agung
Nusantara yang memungkinkan dirinya berhasil menjadi guru besar di Masjidil Haram,
Mekkah. Hamzah Fansuri sangat dihormati di Mekah. Saat meninggal, beliau
dimakamkannya pun di Mekah. Berdasarkan temuan batu nisan pada tahun 1999 oleh
peneliti arkeologi Indonesia-Perancis, Hamzah Fansuri lahir pada pertengahan abad ke15 di Barus, Sumatera Utara. Hasil penggalian dan penilitian di Barus yang dilakukan
selama lima tahun (1998-2003) tersebut menjelaskan bahwa antara abad ke-9 dan 14,
Barus adalah sebuah kota metropolitan. Berbagai ideologi dan agama berinteraksi di
Barus. Sebagian penduduk beragama Hindu Brahma, Buddha, Kristen, Yahudi, dan
Islam. Saat ini, hasil pertemuan budaya dan agama penduduk dapat dilihat dari sejumlah
kuburan Islam yang lengkap dengan inskripsinya. Kebanyakan perkuburan itu berasal
dari abad ke-14 dan awal ke-15, dan diantaranya ada yang bergelar syekh. Selain syekh,
nama-nama yang ditemukan adalah Mahligai, Tuan Ambar, dan Papan tinggi. Mereka
adalah orang-orang yang mengajar, bermukim dan mendirikan pusat pendidikan Islam
(Pesantren)13.
Periode abad ke-11 sampai abad ke-14 merupakan periode penting dalam
peradaban Islam di Nusantara. Pada periode tersebut terjadi transisi dari peradaban
Hindu Buddha yang ditandai dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pasca turunnya Patih
Gajah Mada ke masa periode peradaban Melayu Nusantara. Abad ke-15, Islam
merupakan agama yang sedang berkembang dengan kekuatan yang besar dan
menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang paling dinamis. Pada waktu itu,
Barus terkenal sebagai eksportir minyak wangi yang disukai oleh pangeran dan
bangsawan dari Arab, Parsi dan Cina14. Bangsawan Cina menyukai minyak wangi
Barus sejak abad ke-615.
Harga minyak wangi Barus sangat mahal sehingga penggunanya pun adalah
kalangan menengah atas atau bangsawan. Maka dari itu, hanya para pedagang yang
mempunyai modal besarlah yang mampu menjual minyak tersebut. Dalam tradisi
perdagangan dunia muslim, para pedagang muslim di Barus menyediakan amal jariyah
bagi ulama yang bersedia menemani perjalanan mereka ke tempat yang jauh untuk
menyebarkan pendidikan Islam. Ulama-ulama tersebut dipastikan adalah ulama yang
mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi. Ulama-ulama tersebut membangun
permukiman di sepanjang pantai sebagai tempat untuk mengajarkan Islam. Inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya pesantren. Sehingga pada tahun 1200
terbentuklah kesultanan Lamreh di Barus yang menjadi titik tolak berkembangnya
12
Dhofier 2011 28-29
Dhofier (2011:29-30)
14
Guillot dan Kalus (2007:3-6;24-27) dalam Dhofier (2011:31)
15
Ibid no. 3
13
28
sejarah Indonesia modern yang Islami. Oleh karena itu, situs Barus dianggap sebagai
situs pertama dalam mengenal tradisi pesantren di Nusantara (Dhofier 2011:31).
Penemuan inskripsi pada nisan Hamzah Fansuri16 telah menunjukkan bahwa
situs Barus pada abad ke-10 sampai abad ke-15, menjadi pusat pendidikan Islam di
Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia dilakukan dengan menyertakan ulama-ulama
atau syekh yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi pada saat pedagang berlayar
dan singgah ke Indonesia. Hal ini terbukti dari berdirinya Kesultanan Lamreh yang lahir
menjelang tahun 1200 dan batu nisan Hamzah Fansuri yang meninggal di area
perkuburan elit Bab al-Ma’ala di Mekah, yang membuktikan bahwa beliau adalah
seorang alim yang dihormati. Perjuangan Hamzah Fansuri dilanjutkan oleh Wali
Songo17 atau sembilan wali di tanah Jawa. Kesembilan wali tersebut telah berhasil
mengislamkan seluruh penduduk Jawa sejak wali pertama sampai wali terakhir, dimulai
dari Malik Ibrahim (822 H/1419 M) kemudian dilanjutkan oleh wali ke sembilan yaitu
Syekh Nurullah (Dhofier 2011:30-36). Perkuburan para syekh atau ulama seperti
Hamzah Fansuri, Wali Songo, maupun ulama-ulama lainnya menjadi bukti bahwa
mereka berperan penting dalam pendirian pesantren pertama kali di Indonesia.
Pesantren dan Elemen Pesantren
Pendidikan Islam didefinisikan sebagai upaya memberikan pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Islam di
Indonesia. Sejak saat itu lembaga pendidikan Islam yang mulai muncul adalah
pesantren. Secara historis, pesantren yang berbasis agama Islam merupakan lembaga
pendidikan tradisional yang sengaja didirikan agar menjadi tempat pembinaan umat
yang utuh, lebih memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam
kehidupan bermasyarakat. Kini, pesantren merupakan bagian integral lembaga
pendidikan nasional di Indonesia yang memiliki kedudukan sama seperti lembaga
pendidikan Islam lainnya (Rais 2012:13-21).
Perkataan “pesantren” berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan
dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Lembaga pesantren dimaknai sebagai
lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia yang sebelumnya menganut agama
Hindu Buddha bernama “mandala” kemudian diislamkan oleh para kyai. Seseorang
yang meyakini Islam sebagai agamanya, sejak kecil akan diberi pemahaman tentang
kehidupan-kehidupan Islam yang dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Orang tua
akan mengajarkan syahadat18 sebagai dasar keyakinan Islam. Tidak cukup dengan
syahadat, setiap muslim diharuskan mendapatkan pendidikan diluar keluarga. Sebab
terdapat empat rukun Islam lagi yang harus dijalankan, yaitu: shalat, puasa, zakat, dan
haji bagi yang mampu. Maka diperlukan latihan dan pendidikan elementer yang
diberikan dari pengajian-pengajian oleh guru di masjid, langgar, atau di rumah guru
tersebut. Dalam periode saat ini, lembaga pengajian tersebut telah dilengkapi dengan
16
Hamzah Fansuri adalah ulama dan budayawan Indonesia. Beliau kelahiran Barus pada pertengahan
abad ke-15. Hamzah Fansuri meninggal di Mekah pada tahun 9 Rajab atau 11 April 1527
17
Wali songo adalah lembaga dakwah islam yang beranggotakan sembilan orang wali dan digantikan
secara periodik bila ada anggotanya yang meninggal atau kembali ke negara asalnya (Zarkhoviche
2015:21).
18
Asyhaduu alla ilaha illallah wa asyhaduu anna muhammadurrosulullah : Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat merupakan rukun
Islam pertama sebagai perjanjian antara hamba dengan Tuhannya.
29
bentuk sekolah formal, seperti madrasah. Meskipun demikian, kekuatan pendidikan
Islam di Indonesia masih berada pada sistem pesantren19.
Jenis-Jenis Pesantren
Kelompok pesantren dapat dibedakan berdasarkan periode dan ukurannya.
Berdasarkan periodenya20, terdapat dua tipe besar pesantren di Indonesia.
1. Tipe lama (klasik). Inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik
melalui sistem pengajaran sorogan dan juga menerapkan sistem madrasah untuk
memudahkan sistem sorogan. Tipe ini tidak mengajarkan pengetahuan umum.
Pesantren yang menerapkan sistem ini adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso di
Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati, dan Pesantren Tremas di Pacitan.
2. Tipe baru. Tipe ini mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrasah
yang mayoritas mata pelajarannya dikembangkan bukan dari kitab-kitab Islam
klasik. Hal ini disebabkan oleh porsi pengajaran untuk kitab-kitab Islam klasik
tidak cukup memadai karena keterbatasan jumlah pengajar dan santri yang
besar. Pesantren yang menerapkan sistem ini adalah Pesantren Tebuireng dan
Rejoso di Jombang.
Sedangkan kelompok pesantren menurut ukurannya adalah pesantren kecil,
menengah, dan besar. Pesantren yang tergolong kecil mempunyai jumlah santri di
bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten. Pesantren menengah
biasanya mempunyai santri 1000 sampai 2000 orang, memiliki pengaruh dan menarik
santri-santri dari beberapa kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih
dari 2000 yang berasal dari kabupaten dan provinsi. Biasanya pesantren besar memiliki
popularitas yang dapat menarik santri-santri dari seluruh Indonesia. Saat ini terdapat 22
pesantren yang memiliki santri lebih dari 5000 orang. Pesantren dengan jumlah santri
terbesar adalah pesantren Raudhotul tholibin (Gresik) yang memiliki jumlah santri
mencapai 16.000 orang (Dhofier 2011:79).
Berdasarkan perkembangannya, sistem pendidikan pondok pesantren
digolongkan sebagai berikut21:
a. Pondok pesantren yang terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pesantren tipe ini
sangat sederhana dan merupakan tingkatan awal dari berdirinya pesantren.
b. Pesantren memiliki masjid, rumah kyai, dan asrama tempat tinggal santri serta
menyelenggarakan pengajian kitab klasik dengan metode hapalan, tuntunan, dan
resitasi.
c. Pesantren dengan komponen pesantren tradisional dan juga menyelenggarakan
pendidikan formal.
d. Pesantren dengan komponen pola ketiga, juga mengembangkan keterampilan
seperti peternakan, kerajinan rakyat, koperasi, sawah, dan ladang. Pesantren
modern yaitu pesantren yang telah maju. Indikatornya terlihat dari fasilitas
pesantren yang telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang tamu, ruang
makan, kantor administrasi, toko atau koperasi, gedung pertemuan, kamar mandi
dan WC, serta laboratorium.
19
Dhoffier 2011:42-43
Pada awal-awal kemerdekaan RI, dominasi pesantren mengalami penurunan setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949. Pemerintah Indonesia menurunkan dominasi pesantren dengan cara
membuka sekolah umum seluas-luasnya dan jabatan-jabatan dalam administrasi modern yang terbuka.
Hal ini berakibat pada jumlah pesantren yang mengalami peningkatan dari 2300 pada tahun 1942 menjadi
7600 pada tahun1998 (Dhofier 2011:75).
21
Alwi 2013:205-219
20
30
Pola Pembelajaran Pesantren
Pesantren mulai berdiri di Indonesia sejak periode Syaikh Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik). Kemudian dilanjutkan oleh Sunan Giri hingga periode kerajaan Islam
berdiri. Metode pendidikan yang diberikan oleh kyai kepada santri dilakukan dengan
menggabungkan dua metode yaitu tulisan dan lisan. Metode tulisan digunakan untuk
mengajarkan kitab-kitab Islam (kitab kuning). Pendidikan inti yang diajarkan periode
Sunan Giri adalah Al-Quran, Hadits, dan kitab kuning yang berjudul Sittiina’ tentang
hukum-hukum ibadah. Sedangkan metode lisan digunakan untuk menyampaikan isi dari
kitab-kitab Islam klasik kepada santri dan masyarakat. Kyai menggunakan metode lisan
untuk menerjemahkan tulisan dalam kitab klasik yang ditulis dengan Bahasa Arab lalu
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab Jawi (Haroen 2008:11-13).
Metodologi pengajaran di pesantren yaitu metode sorogan dan bandongan atau
wetonan, mengedepankan hapalan serta menggunakan sistem halaqah. Selain halaqah,
metode pengajalan hapalan (tahfidz), musyawarah (hiwar), muzakarah (bahts almasail), fath al-kutub, muqaranah, dan muhawarah atau musahadah.
a. Metode tahfidz mengharuskan setiap kali tatap muka, seorang santri harus
membacakan tugas hapalannya kepada kyai.
b. Metode hiwar membimbing para santri untuk melakukan kegiatan belajar secara
berkelompok untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau
ustadz.
c. Metode muzakarah dilakukan dengan membuat pertemuan ilmiah untuk membahas
masalah diniyah seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan agama lainnya yang
menyertakan kyai dan juga santri. Terdapat dua tipe muzakarah yaitu muzakarah
yang diadakan antar sesama kyai, dan muzakarah yang diadakan antar sesama
santri tetapi dipimpin oleh santri senior yang ditunjuk kyai.
d. Metode fath al-kutub diberikan pada santri senior yang ditugaskan untuk membaca
kitab-kitab klasik.
e. Metode muqaranah adalah metode yang fokus pada kegiatan perbandingan, baik
materi, paham (mazhab), maupun perbandingan kitab, yang diterapkan pada kelas
santri senior. Metode ini dibagi menjadi dua yaitu muqoronat al-adyan untuk
perbandingan agama, dan muqoronat al-mazahib untuk perbandingan paham atau
aliran.
f. Metode muhawarah atau muhasadah merupakan latihan bercakap menggunakan
bahasa Arab. Aplikasi metode muhawarah mewajibkan para santri untuk berbicara
bahasa Arab baik antar santri maupun kepada kyai.
(Alwi 2013:205-219)
Elemen-Elemen Pesantren
Pesantren tidak akan berjalan tanpa elemen-elemen penyusunnya. Pondok,
masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik, dan kyai merupakan elemen dasar dari
sebuah pesantren.
a. Pondok
Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren di
Indonesia. Keragaman etnik Indonesia memberi pengaruh terhadap
perkembangan pondok. Masyarakat Minangkabau atau Dayah di Aceh
menerapkan sistem pendidikan surau yang pada dasarnya sama dengan sistem
pondok. Tidak hanya di Indonesia, di Afghanistan pun sistem pondok ditemukan
namun dengan sistem dan pola manajemen yang berbeda dengan di Indonesia.
Afghanistan mewajibkan murid atau santri yang belum menikah tinggal di
masjid. Jika masjid tersebut luas, akan tersedia satu atau dua kamar yang disebut
31
hujrah untuk tempat tidur para guru atau murid. Namun kebanyakan para murid
tinggal di langgar-langgar yang berada di sekitar masjid. Mereka bertugas untuk
memimpin shalat lima waktu bagi masyarakat setempat. Sebagai bentuk
apresiasi, masyarakat akan menanggung kebutuhan makan kepada tullab
(murid). Tidak hanya ditanggung makanan, setiap kali panen masyarakat akan
memberikan sebagian hasil panennya kepada tullab karena dianggap sebagai hak
Allah (Dhofier 2011:79-81).
Menurut Dhofier, ada tiga alasan utama diperlukan asrama bagi para
santri:
a. Kemasyhuran dan kedalaman pengetahuan kyai menarik santri-santri dari
seluruh Indonesia berdatangan ke pondok pesantren. Cara yang harus
ditempuh oleh santri-santri tersebut dalam menggali ilmu pengetahuan dari
Kyai adalah tinggal di kawasan tinggal kyai secara teratur dan dalam waktu
yang lama.
b. Hampir semua pesantren berada di perdesaan. Kondisi di perdesaan tidak
sama dengan kondisi perkotaan. Permukiman penduduk tidak akan cukup
menampung para santri yang akan menempuh pendidikan di pesantren.
Maka pondoklah sebagai tempat untuk menampung para santri tersebut.
c. Sikap timbal balik antara santri dan kyai. Kyai menganggap bahwa para
santri merupakan titipan Allah yang harus dijaga sehingga menimbulkan rasa
tanggung jawab. Sedangkan santri menganggap bahwa Kyai merupakan
pengganti orang tuanya sendiri sehingga santri mampu menumbuhkan sikap
pengabdian kepada kyai. Sikap timbal balik inilah yang menjadi penguat
modal sosial di pesantren.
Di negara muslim lain, seperti Mekah dan Madinah, pesantren umumnya
berada di perkotaan sehingga tidak ditemukan pondok seperti halnya di
Indonesia. para santri dapat menyewa tempat tinggal yang berada di sekitar
masjid, sedangkan pusat belajar tetap berada di Masjid Haram dan Masjid
Nabawi. Di Indonesia, pentingnya keberadaan pondok pesantren sangat
tergantung pada jumlah santri. Untuk pesantren yang kecil, para santri biasanya
tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar pesantren. Sedangkan untuk pesantren
yang besar, seperti Pesantren Tebuireng (Jombang), santri akan ditempatkan
dalam sebuah kamar yang berisi sepuluh sampai dengan lima belas orang santri
lain. kehidupan sehari-hari para santri sangat sederhana. Tidak ada pembedaan
perhatian terhadap santri senior dan santri yunior. Santri senior tetap tinggal dan
tidur bersama dengan santri yunior. Sementara itu untuk kebutuhan makan, para
santri memiliki dua pilihan yaitu membeli dan memasak secara bergantian.
b. Masjid
Masjid merupakan tempat pertama untuk mendidik para santri. Di zaman
Rasulullah SAW, masjid Al-Aqsa didirikan pertama kali dengan tujuan untuk
mendidik para sahabat yang telah memeluk agama Islam. Keberadaan masjid
sampai saat ini terus dijaga oleh pesantren dan masyarakat. masjid dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin pada santri dalam
mengerjakan shalat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban
agama lainnya. Kyai biasanya mulai mengembangkan pesantren dengan
mendirikan sebuah masjid di dekat rumah. Langkah ini biasanya diambil atas
perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah
pesantren (Dhofier 2011:85-86).
32
c. Pengajaran kitab klasik
Pengajaran kitab klasik formal yang diberikan di pesantren adalah
karangan-karangan ulama penganut mazhab Imam Syafi’i. Tujuannya adalah
menjadikan para santri sebagai ulama-ulama yang berkualitas. Santri akan
belajar di pesantren melalui tiga sistem pengajaran yakni sistem sorogan, sistem
bandongan atau weton, dan sistem kelas musyawarah. Santri sebelum memasuki
pesantren, telah dipersiapkan dengan bekal dari kampung oleh seorang guru
mengaji. Di kampung, seorang calon santri mendatangi seorang guru yang
membacakan beberapa baris Al-Quran atau kitab-kitab kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa daerah. Santri diharuskan menguasai pembacaan dan
terjemahan seperti yang telah disampaikan oleh guru. Sistem ini disebut
sorogan. Sorogan merupakan tingkatan dasar dan tersulit diantara sistem
lainnya. Sebab sistem sorogan menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan
disiplin pribadi guru pembimbing dan santri. Kebanyakan santri-santri di
perdesaan gagal dalam pendidikan dasar karena tidak menyadari pentingnya
mematangkan diri pada tingkat dasar ini. sistem ini dinilai efektif untuk para
santri yang bercita-cita menjadi ulama. Sistem ini memungkinkan seorang guru
untuk mengawasi dan menilai kemampuan bahasa arab santri. Hal ini sangat
penting untuk diketahui sebab pada sistem sorogan dan bandongan, kitab-kitab
yang diajarkan tanpa huruf hidup sehingga santri diwajibkan untuk memahami
kaidah bahasa Arab22.
Sistem kedua adalan bandongan atau weton. Sistem ini umum ditemui di
lingkungan pesantren. Dalam tipe ini, sekelompok santri (5-500 santri) akan
mendengarkan guru yang membaca, menerjemahkan, mendengarkan, serta
seringkali mengulas buku-buku dalam bahasa Arab. Setiap santri diwajibkan
untuk menyimak bukunya sendiri dan menuliskannya dalam catatan. Kelompok
sistem ini disebut halaqah yang berarti lingkaran murid. Dalam sistem
Bandongan, seorang santri tidak harus menunjukkan bakat bahwa ia sudha
mengerti. Kyai biasanya membacakan dan menerjemahkan kitab secara cepat
dan tidak menerjemahkan per kata sehingga dalam seminggu informasi tersebut
cepat hilang. Sistem bandongan hanya efektif bagi murid-murid yang teah
mengikuti sistem sorogan secara intensif23.
Sedangkan kelas musyawarah dibentuk untuk mewadahi para santri
senior yang belajar. Mereka diberikan kitab-kitab tingkat tinggi untuk dibaca
dan diulas dalam forum. Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
telah dirujuk oleh kyai. Kyai memimpin kelas musayawarah seperti dalam suatu
seminar dan lebih banyak sesi tanya jawab yang diselenggarakan dalam bahasa
Arab. Sebelum kelas musyawarah diselenggarakan, biasanya kyai dan santri
menyiapkan sejumla pertanyaan (masaail diniyyah) sebelum kelompok
musyarawah sidang. Kelas musyawarah membantu kyai untuk menilai
kematangan ilmu para santri senior. Jika dinilai bahwa santri senior telah matang
dalam menggali sumber-sumber referensi, memiliki kekuasaan bahan bacaan,
dan mampu menemukan atau menyelesaikan masalah menurut sistem
jurisprudensi madzhab Syafi’i, maka santri tersebut diwajibkan untuk mengajar
kitab-kitab tingkat tinggi. Dari sistem pelajaran tersebut, ditemukan jenjang
didasarkan kematangan ilmu pengetahuan Agama Islam yaitu :
22
23
Dhofier 2011:89-90
Ibid no.22
33
Santri yunior  santri senior  asatid  kyai muda  kyai
d. Santri
Menurut tradisi pesantren, santri terdiri dari dua24: Santri mukim, yaitu
santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok
pesantren.
a. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren bertanggungjawab untuk
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari serta mengajar santri-santri
muda yang belajar kitab dasar dan menengah.
b. Santri kalong, yaitu santri-santri yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka harus bolak
balik (nglaju) dari rumahnya sendiri. besar kecilnya jumlah santri kalong
menentukan perbedaan pesantren besar dan pesantren kecil. Semakin banyak
santri kalong maka disebut pesantren kecil, jika semakin kecil jumlah santri
kalong maka disebut pesantren besar.
Keberadaan para santri di pesantren adalah sebuah keunikan tersendiri
dalam tradisi pesantren di Jawa. Dulu, setiap anak di kampung memiliki guru
mengaji di langgar maupun surau. Anak-anak dipersiapkan untuk bisa
mengenyam pendidikan di pesantren. Di zaman dulu, pendidikan pesantren di
luar kampung adalah kebanggaan tersendiri. Sehingga ketika seorang anak
meninggalkan kampung untuk pergi ke pesantren, yang membiayai
kepergiannya bukan hanya keluarga melainkan masyarakat. masyarakat menaruh
harapan besar pada setiap anak yang berkesempatan sekolah untuk kembali
mendidik dan membimbing mereka. selain itu, ada pula masyarakat yang
memberikan kiriman dari kampung untuk santri. Hal ini dilakukan oleh
masyarakat karena terdapat anggapan bahwa harta yang mereka miliki adalah
harta Allah maka harus dikembalikan pula untuk Allah.
Uniknya setiap santri yang datang dan menuntut ilmu di pesantren bukan
berasal dari golongan menengah ke bawah melainkan menengah ke atas. Mereka
berasal dari petani kaya, pedagang, pemilik perusahaan, para pejabat, atau
pemimpin agama. Tidak sedikit pula diantara santri-santri tersebut merupakan
anak para kyai. Masyarakat menengah ke bawah tidak mempunyai kesempatan
untuk mengenyam pendidikan. Mereka lebih memilih sekolah di pesantren kecil
karena lebih hemat biaya, tidak mengeluarkan biaya untuk tempat tiggal, uang
pondok, dan keperluan lainnya. Namun realitanya, kebanyakan santri-santri dari
golongan menengah ke bawah harus membantu mengerjakan sawah dan kebun
penduduk sehingga waktu yang tersedia sangat terbatas.
“...teman saya yang belajar di pesantren tersebut (Pesantren Tegalsari) adalah anak
yang berkecukupan di desa sekitar pesantren. Barangkali anak keluarga miskin
tidak mempunyai waktu yang cukup karena harus membantu orang tua bekerja di
sawah”25
e. Kyai
Menurut Dhofier (2011:93), ahli pengetahuan Islam di kalangan umat
Islam disebut ulama. Istilah di Jawa Barat menyebut ulama dengan ajengan,
sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyebut ulama yang memimpin
pesantren dengan kyai. Namun sekarang banyak ulama yang berpengaruh di
masyarakat dan tidak memimpin pesantren mendapatkan gelar kyai. Dengan
24
25
Ibid no. 23
Dhofier 2011:91
34
kata lain, gelar kyai menunjuk pada ulama yang memimpin pesantren
tradisional. Kata kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang berbeda, yaitu26:
a. Gelar kehormatan bagi barang-barang keramat, misalnya: “Kyai Garuda
Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton
Yogyakarta.
b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
c. Gelar untuk ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin
pesantren dan mengajarkan kitab Islam klasik kepada santri. Selain gelar
kyai, Ia juga disebut sebagai orang alim (orang yang dalam ilmu
pengetahuan Islamnya).
Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa pesantren diibaratkan sebagai
suatu kerajaan kecil yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak
(power and authority). Tidak ada seorang pun yang bisa melawan kyai kecuali
pemimpin pesantren lain yang lebih kuat. Sebab para kyai memiliki pengaruh
yang besar di kalangan pesantren maupun masyarakat. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya akumulasi modal fisik oleh kyai terutama tanah. Asal
munculnya akumulasi modal fisik tersebut adalah sokongan atau sumbangan
yang diberikan murid biasanya langsung dibelikan tanah atau sawah. Meskipun
mereka membelinya, tanah tersebut dikelola oleh orang lain. Fenomena ini
sangat erat hubungannya dengan anggapan bahwa kyai menguasai kerajaan kecil
di perdesaan. Pandangan kyai ini menyebabkan struktur kekuasaan di Jawa
semakin rumit. Sejak Islam masuk ke Indonesia, terjadi perubahan cara pandang
terhadap siapa yang dianggap mewakili Tuhan. Pada masa kerajaan Hindu, raja
dianggap sebagai manifestasi ketuhanan dalam mikrokosmos (dunia nyata)
kehidupan. Islam tidak mengakui adanya seorang manusia sebagai simbol dari
kekuatan makrokosmos atau alam ghaib (Dhofier 2011:96-97).
Pola Pembiayaan Pesantren
Pesantren yang berkembang saat ini tidak akan tumbuh tanpa ada pasokan modal
ekonomi yang kuat. Menariknya kehidupan di pesantren seperti tidak pernah kehabisan
pasokan modal ekonomi. Bantuan-bantuan masyarakat selalu hadir untuk mensukseskan
pembangunan dan peningkatan kualitas pesantren yang nantinya akan berdampak pada
peningkatan santri-santri pesantren. Dalam lembaga pendidikan tradisional, peran kyai
bukan hanya seorang guru namun kyai juga memegang peranan penting dalam hal
pembiayaan pesantren. Umumnya masyarakat menganggap bahwa kyai memiliki
hubungan yang kuat dengan Tuhan, Allah SWT, sehingga kharisma yang muncul dari
diri kyai berlandaskan ideologis atau kepercayaan ketuhanan. Hal ini berdampak pada
kecenderungan masyarakat yang mengagungkan peran seorang kyai. Masyarakat
percaya bahwa apapun yang mereka berikan untuk pesantren akan sampai pada Tuhan.
Dhofier (2011:80) mengatakan bahwa dalam sistem pemilikan pesantren, para kyai
mendapatkan bantuan modal ekonomi dari masyarakat. Para penyumbang dana
beranggapan bahwa para kyai berhak memperoleh dana dari masyarakat karena dana
tersebut dianggap sebagai dana Tuhan. Para kyai diakui memiliki intuisi ataupun
kepribadian yang dapat mengurus dana-dana tersebut atas nama Tuhan. Sehingga dalam
praktiknya, masyarakat tidak banyak bercampur tangan dalam mengurus dana-dana di
pesantren.
26
Dhofier 2011:93
35
Pembiayaan pesantren erat hubungannya dengan sistem pemilikan pesantren.
Perkembangan zaman telah mengakibatkan transisi ataupun perubahan sistem
kepemilikan pesantren. Ada dua alasan utama perubahan sistem pemilikan pesantren.
Pertama, dulu pesantren tidak memerlukan biaya besar karena jumlah santri tidak
banyak, kebutuhan jenis dan jumlah alat-alat bangunan untuk pembangunan pesantren
pun relatif kecil. Kedua, kyai dan tenaga pendidik di pesantren berasal dari orang-orang
yang mampu di perdesaan sehingga mereka mampu membiayai hidup mereka sendiri
dan pesantren. Namun dalam realitas yang ada, tidak semua kyai adalah orang kaya.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kyai harus berjuang keras untuk membangun
sebuah pesantren. Ada keyakinan bahwa kekayaan sejati hanya milik Allah SWT
sehingga manusia harus berjuang untuk mendapatkan amanah kekayaan tersebut
(Dhofier 2011:80-81).
Pesantren menyadari bahwa tanpa pembiayaan dan kondisi keuangan yang baik,
pendidikan serta aktivitas ibadah di lingkungan pesantren tidak akan berjalan.
Mengatasi masalah tersebut, pesantren-pesantren di Indonesia mulai mengembangkan
usaha-usaha pesantren sebagai sumber keuangan dan investasi masa depan. Ponpes
Darul Falah Bendo Mungal, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
merupakan salah satu dari pesantren di Indonesia yang telah melakukan hal tersebut.
Ponpes Darul Falah Bendo Mungal selain memiliki kegiatan pendidikan, juga
mempunyai kegiatan pengembangan masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi.
Kegiatan ini dibagi dalam dua kategori usaha yaitu: usaha pondok dan usaha ndalem.
Usaha pondok meliputi: Klik Asy Syifa’, KBIH Magfuro, toko jamu, toko palen, toko
bangunan, dan pertanian. Sedangkan usaha ndalem meliputi: fotocopy, palen dan toko
grabah, toserba dan rumah makan, warung makan, dan sebagainya (Rimbawan
2013:1189). Namun, berdasarkan situasi yang terdapat di Ponpes Darul Falah, masalah
sosial kemudian muncul yang bersumber pada :
a. Rendahnya kemampuan santri dalam mengakses berbagai informasi.
b. Minimnya pasangan santri yang dikirim untuk menempati ponpes cabang di
tanah wakaf.
c. Sulitnya memilih pasangan santri yang kapabilitas untuk ditempatkan di tanah
wakaf sesuai dengan karakteristik masyarakat dan wilayah.
d. Kurangnya modal untuk pengembangan usaha ekonomi dan minimnya
pendampingan pelatihan bagi para ustadz dan santri.
(Rimbawan 2013:1190)
Modal-Modal Pesantren
Keunikan pesantren terletak pada adanya tiga modal yang digunakan untuk
mengembangkan pesantren yaitu modal sosial, modal fisik, dan modal manusia. Modal
pada dasarnya adalah sebuah konsep ekonomi. Jenis-jenis modal yang umumnya
dipahami adalah modal finansial, modal fisik (barang), modal manusia, modal personal
(modal psikologik, modal konsumsi), modal politik, modal budaya dan modal simbolik.
Diantara jenis modal tersebut, sering terjadi perdebatan di kalangan ahli ekonomi dan
ahli sosial dalam mendefinisikan modal dari modal sosial. Konsep utama dalam
ekonomi menganggap bahwa modal berhubungan dengan modal fisik, modal manusia
dan modal finansial. Sementara ahli sosial mempunyai pandangan berbeda tentang
masalah ini (Lawang 2005:8-9). Modal menurut ahli ekonomi mengandung pengertian :
(1) investasi jangka pendek, menengah, dan panjang (2) pengorbanan saat ini untuk
memperoleh keuntungan masa depan, (3) wujudnya jelas, artinya dapat diamati,
dipegang, dibuktikan melalui uji tindakan, (4) sumbangan terhadap proses produksi
dapat diandalkan, diukur, dan keberhasilan dapat diramalkan, (5) produk buatan
36
manusia yang disesuaikan dengan fungsinya dalam proses produksi (Nasdian
2014:213).
Kata “sosial” dalam modal sosial harus dilihat sebagai kata sifat yang menyifati
modal di satu pihak dan sekaligus merubah esensi modal dalam proses produksi. Karena
itulah modal sosial tidak sama dengan modal lain dalam ilmu ekonomi. Dalam
pandangan ekonomi, kata “sosial” bersifat efisien dan efektif atau sebaliknya dapat
bersifat tidak efisien (boros) dan tidak efektif. Sifat sosial bukan lagi diartikan sebagai
sifat umum dari suatu masyarakat namun dalam konsep ini sosial berarti sesuatu yang
bisa diuangkan sehingga dapat diukur dan pasti. Sementara dalam pandangan sosiologi,
kata sosial berarti berteman, bersahabat. Sosial adalah kata sifatnya socius, dalam
Bahasa Latin, yang berarti teman, sekutu, peserta. Sahabat dalam bahasa Latin berarti
amicus (asal kata amare) yang artinya mencintai. Jadi dalam hubungan persahabatan
pasti ada unsur mencintai sehingga kata sosial mengandung nilai positif (Lawang
2005:30).
Modal Sosial
Konsep modal sosial (social capital) menjadi bahan diskusi dalam
pengembangan kelompok-kelompok di masyarakat. Modal sosial diyakini sebagai
penentu kedekatan setiap anggota dalam sebuah kelompok. Pengembangan modal sosial
untuk mengembangkan kelompok dilakukan dengan mensinergikan fungsi-fungsi
stakeholders. Fungsi-fungsi stakeholders diintegrasikan ke dalam aspek pembangunan
kelompok baik di tingkat komunitas maupun sampai ke tingkat lokalitas. Hal ini
dilakukan dengan mengutamakan prinsip kesetaraan, informal, partisipatif, komitmen
yang kuat, dan mensinergikan kekuatan yang ada untuk menyelesaikan suatu masalah
(Nasdian 2014:205-206).
Fukuyama (2007:37-38) menyebutkan bahwa modal sosial yang ada di
masyarakat muncul karena adanya kepercayaan umum pada bagian-bagian tertentu
masyarakat. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling
mendasar maupun pada kelompok yang lebih besar seperti negara. Modal sosial dapat
diciptakan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama,
tradisi, dan kebiasaan sejarah. Organisasi atau kelompok masyarakat terbentuk oleh
adanya kontak antar individu yang mempunyai kepentingan berbeda. Interaksi antar
individu semakin rasional dan selalu mempertimbangkan kepentingan masing-masing.
Namun selain kontak dan kepentingan individu, organisasi pun didasarkan pada nilainilai etis bersama. Komunitas dengan seperangkat nilai etis tersebut tidak memerlukan
aturan hukum yang legal untuk mengatur hubungan. Karena pada dasarnya normanorma dan konsensus moral yang dimiliki cukup memberikan basis bagi anggota
komunitas untuk saling percaya. Komunitas moral tersebut tidak dapat diciptakan dari
sebuah sistem pendidikan konvensional melainkan memerlukan pembiasaan terhadap
norma-norma moral komunitas sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti
kesetiaan, kejujuran, dan dependability.
Pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang memiliki
modal sosial yang kuat. Santri dididik untuk menjadi anggota masyarakat baik atau agar
dapat hidup bermasyarakat yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Hubungan yang terjalin erat antar kyai, ustadz (santri senior) dan santri
merupakan pengembangan dari tradisi dan nilai-nilai Islam yang ditanamkan pada
ajaran Rasulullah SAW. Hubungan tersebut berhasil membangun kepercayaan, dan
kerjasama yang berlandaskan nilai-nilai utama sebagai modal sosial pendidikan ponpes
(Rudi dan Haikal 2014:1-16). Pada dasarnya, pesantren telah memiliki tiga konsep dasar
yaitu kepercayaan, norma, dan jaringan. Lawang (2005:45) menambahkan konsep dasar
37
modal sosial yaitu tindakan sosial, interaksi sosial dan sikap. Konsep-konsep tersebut
mengikuti orientasi perkembangan zaman termasuk di pesantren dan saling
berhubungan satu sama lain.
1. Kepercayaan (trust)
Suatu komunitas sangat bergantung kepada kepercayaan dan
kepercayaan tersebut ditentukan secara kultural. Masyarakat akan bertindak
sesuai dengan tingkat budaya mereka yang dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan
dalam modal sosial di masyarakat luas. Masyarakat yang berkepercayaan tinggi
(High trust) seperti di Jepang berhasil menciptakan jaringan dengan baik
sebelum revolusi informasi memasuki kecepatan yang lebih tinggi. Sedangkan
masyarakat yang berkepercayaan rendah (low trust) mungkin tidak akan mampu
meningkatkan kapasitas diri. Dengan demikian, kepercayaan (trust) adalah
pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal,
jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi
kepentingan anggota yang lain dalam kelompok itu. Norma-norma yang
dimaksud boleh jadi nilai-nilai ketuhanan atau keadilan atau norma-norma
sekular berupa aturan berperilaku dan standar profesional dalam bekerja
(Fukuyama 2007:36-37).
Pesantren merupakan lembaga yang adaptif terhadap perubahan sosial sehingga
tiga konsep pun ikut bertransformasi untuk menjelaskan modal sosial yang kompleks.
Nasdian (2014:211-212) mengemukakan empat dimensi modal sosial yaitu dimensi
integrasi, dimensi pertalian, dimensi integritas organisasional, dan dimensi sinergi.
Keempat dimensi tersebut merupakan dimensi-dimensi yang umum ditemui di
lingkungan pesantren.
a. Dimensi Integrasi
Dimensi ini menjelaskan bahwa modal sosial yang paling kuat
ditemukan pada lingkungan terdekat, baik antaranggota keluarga maupun antara
keluarga dengan tetangga sekitarnya. Ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan
agama merupakan contoh dari dimensi integrasi ini. Hasil studi Dhofier
(2011:101) menunjukkan bahwa anak-anak kyai juga menuntut ilmu di
pesantren. Hal ini bertujuan untuk melestarikan kekayaan intelektual kyai dan
juga mengekalkan kekuasaan kyai. Sarana yang digunakan kyai untuk
melestarikan kekayaan intelektual dan mengekalkan kekuasaan dilakukan
dengan membangun solidaritas dan kerjasama. Cara praktis yang mereka
tempuh untuk membangun solidaritas dan kerjasama tersebut ialah :
1. Mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi
calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren.
2. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamaus antara
keluarga kyai.
3. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi
intelektual antar sesama kyai dan keluarga.
b. Dimensi Pertalian
Pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas
asal. Misalnya asosiasi-asosiasi yang bersifat kekeluargaan maupun jejaring
sosial. Pertalian yang bersifat kekeluargaan dalam pesantren terlihat dalam
sistem pemilihan santri dari setiap kampung. Setiap anak yang mondok di
pesantren kecil di masjid, surau atau langgar di perdesaan belum mendapatkan
kesempatan yang sama untuk belajar di pesantren besar. Kaum bangsawan,
orang kaya, dan keluarga kyai lah yang dapat menikmati pendidikan di
38
pesantren. Hal ini berhubungan dengan jaringan aliansi perkawinan endogamaus
yang dibentuk untuk menjaga kekuatan kyai di pesantren. Biasanya santri-santri
yang dikirim telah disiapkan untuk menjadi menantu dari kyai-kyai tempat ia
belajar. Semua biaya pendidikan dan biaya hidup menjadi tanggung jawab
pesantren. Selanjutnya setelah dirasa mumpuni, kyai akan menikahkan santri
dan anaknya sebagai realisasi dari jaringan aliansi perkawinan keluarga kyai.
Hal inilah yang disebut Dhofier (2011:102-108) sebagai genealogi sosial
pemimpin pesantren.
c. Dimensi Integritas Organisasional
Keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjelaskan fungsinya
termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan memberikan ruang publik kepada berbagai
stakeholders untuk berpartisipasi dalam pengembangan pesantren. Artinya
siapapun dapat terintegrasi dalam pembangunan pesantren.
d. Dimensi Sinergi
Keempat, sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan
komunitas. Integrasi dengan berbagai stakeholders berlangsung secara
berkelanjutan dengan cara memelihara sinergi antar organisasi. Di lingkungan
pesantren tradisional, integrasi dan sinergi dengan berbagai stakeholders belum
banyak ditemui sehingga menimbulkan kesan tertutup bagi masyarakat luas.
Modal Fisik
Modal fisik berarti modal yang bersifat nyata (tangible), dapat dipegang, dapat
dinilai, dapat diukur daya tahan dan kekuatannya dalam proses produksi (Lawang
2005:10-11, Nasdian 2014:214). Bentuknya dapat berupa prasarana dan sarana fisik.
Akan tetapi perlu dibedakan dari segi kepemilikan dan penguasaan yaitu modal fisik
dari penguasaan pribadi, milik dan penguasaan kelompok terbatas, dan penguasaan
terbatas. Orang atau kelompok dapat memperhitungkan modal fisik dalam proses
produksi (Nasdian 2014:214). Modal fisik sengaja dibuat oleh manusia untuk keperluan
tertentu dalam proses produksi barang atau jasa yang memungkinkan orang
memperoleh keuntungan pendapatan di masa datang. Robinson et.all (2003:9-17) dalam
Lawang (2005:11-13) menjelaskan sembilan karakteristik modal fisik yang dapat
menjadi dasar identifikasi modal lainnya, yaitu kapasitas transformasi, kemampuan
mempertahankan identitas diri, fleksibilitas, dapat menggantikan (substitutable),
kemampuan pelayanan yang dapat berkurang, kehandalan yang dapat diramalkan, dapat
menciptakan barang modal fisik lainnya, peluang investasi dan disinvestasi, dan susah
diterjemahkan (alienable).
a. Kapasitas tranformasi (transformation capability) merujuk pada kemampuan
barang modal fisik untuk merubah bentuk input menjadi output tanpa harus ada
tranformasi pada barang itu sendiri. misalnya pabrik rokok merubah bentuk daun
tembakau, kertas dan rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output).
b. Kemampuan mempertahankan identitas diri (durability) menunjuk pada
kemampuan barang modal fisik untuk tetap mempertahankan identitasnya dalam
memberikan pelayanan. Barang tersebut tidak berubah menjadi barang lain
selama dan setelah proses pelayanannya sebagai modal. Misalnya seekor sapi
akan tetap menjadi sapi meski menghasilkan susu sepanjang tahun dan
kemudian akan mati sebagai sapi juga.
c. Fleksibilitas merujuk pada kemungkinan memberikan pelayanan lebih dari satu.
Misalnya mobil dapat mengangkut berbagai jenis barang, tidak hanya manusia,
hewan dan barang lain pun dapat diangkut oleh mobil.
39
d. Bersifat menggantikan (substitutable) merujuk pada kemampuan barang modal
fisik untuk menggantikan pelayanan barang yang lain. misalnya jika kerbau
yang digunakan untuk membajak sawah tidak dapat melakukan tugasnya, maka
tugas tersebut dapat digantikan oleh traktor.
e. Kemampuan pelayanan yang diberikan oleh barang modal fisik dapat berkurang
(decay) karena umur, atau karena penggunaan terlalu lama, dan kurang
pemeliharaan.
f. Kehandalan (relaibility) terletak pada kemampuan pelayanan yang dapat
diramalkan ata diharapkan. Jika hari ini barang tersebut memberikan layanan
seperti ini, maka harapan tersebut terus dipertahankan. Ada dua dimensi
pelayanan yaitu lamanya (longevity) dan intensitas.
g. Suatu barang modal fisik dapat menciptakan barang modal fisik lainnya.
h. Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan
disinvestasi. Peluang investasi suatu barang merujuk pada kemampuannya untuk
menciptakan barang baru atau menghancurkan barang lainnnya. Menciptakan
barang baru berarti mendekatkan atau menggabungkan dua barang menjadi satu
barang. Kalau keduanya mendekat maka akan ada kemungkinan untuk investasi.
Sebaliknya jika kedua barang menjauh, maka peluang yang muncul adalah
disinvestasi.
i. Barang bersifat susah diterjemahkan (alienable) jika terjadi perpindahan hak
melalui pemberian, pewarisan, penjualan atau penyewaan. Pengalihan seperti ini
dilakukan dalam proses penjualan barang bekas kepada pihak lain.
Modal Manusia
Modal manusia adalah latar belakang pendidikan, pelatihan, dan keterampilan
individu yang membuat individu tersebut profesional dalam menjalankan perannya.
Pendidikan dikategorikan menjadi dua yaitu pendidikan non-formal dan pendidikan
informal. Individu yang dituntut profesional dengan mengombinasikan teori dan praktek
yang seimbang, kurikulum yang ketat, dan fasilitas lengkap, termasuk kategori
pendidikan informal. Hasil akhir dari pendidikan non-formal adalah keterampilan
individu, sertifikat atau ijazah. Sedangkan pada pendidikan informal (les) dilaksanakan
dalam bentuk pendidikan informal alamiah. Berbeda dengan pendidikan non-formal,
pada pendidikan informal individu tidak mendapatkan sertifikat seperti pada pendidikan
non-formal (Lawang 2005:13).
Santri dan kyai merupakan modal manusia yang dimiliki oleh pesantren. Modal
manusia termasuk modal penting karena peranannya menentukan arah perkembangan
pesantren. Pesantren-pesantren besar memiliki jumlah santri lebih dari 2000 yang
berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi di Indonesia. Pesantren Raudlotut
Tholibin, Gresik, memiliki jumlah santri lebih dari 16.000. Jumlah tersebut merupakan
potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pesantren. Di samping
jumlah yang besar, santri-santri tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan
personal masing-masing. Namun tidak semua pesantren memberikan pengajaran
keterampilan dan pengembangan bakat minat santri sesuai dengan perkembangan
zaman saat ini. Pesantren-pesantren tradisional masih mengajarkan kitab-kitab klasik
sementara pesantren modern sudah mulai mengembangkan keterampilan dan bakat
santri. Data statistik Departemen Agama RI menunjukkan bahwa sekitar 30 persen
lembaga pesantren masih mengkhususkan pengkajian kitab-kitab karangan ulama
klasik. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa pesantren sangat
tertutup pada dunia luar sehingga pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang
terbelakang. Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia masih lemah dalam
pengembangan program pembangunan sumber daya manusia. Pada tahun 2010, PBB
40
menempatkan Indonesia sebagai negara nomor 106 dalam hal program pembangunan
manusia (Dhofier 2011:165-167).
Program pengembangan sumber daya manusia pernah dilakukan oleh Pesantren
Mahasiswa Al-Hikam, Malang. Kegiatan pengembangan sumber daya manusia
direalisasikan melalui kegiatan-kegiatan spiritual, seperti: pengajian malam ahad
(mingguan), pengajian malam kamis dan istighotsah (mingguan), pengajian malam
jumat (mingguan), Tambih Am (bulanan), serta amaliyah agama. Dalam hal
pengelolaan sumber daya manusia, KH. Drs. Hasyim Muzadi sebagai pimpinan
pesantren terbilang berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan jalannya program secara
terencana. Selain itu, keberhasilan pesantren juga ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
santri baru dari tahun ke tahun. Konsep pengembangan sumber daya manusia
ditekankan pada membangun kualitas santri agar mampu mengamalkan syariat,
berprestasi tinggi, dan pandai dalam menghadapi persoalan hidup. Maka dari itu, setiap
santri dibekali untuk mempertinggi kualitas keimanan dan ketaqwaan melalui ibadah
umum dan ibadah khusus yang sesuai syariat Agama Islam. Pesma Al-Hikam
mengajarkan kepada santrinya bahwa kualitas iman yang tinggi senantiasa akan
menyemangati dan menginspirasi untuk terus berjuang tanpa pamrih di masyarakat
kelak (Miftahusyain 2012:87-109).
Kasus-kasus alumni pesantren yang minim kompetensi pendukung menjadi
perhatian penting setiap pemimpin pesantren. Mereka menyadari bahwa terjadi
kelambanan pengembangan program sumberdaya manusia, terutama di lingkungan
pesantren. Maka dari itu, sejak tahun 2005 para pimpinan pesantren telah
menugasbelajarkan 3000 santrinya untuk mengikuti pendidikan sarjana strata satu (S1)
dan strata dua (S2) dalam berbagai bidang sains dan teknologi di berbagai perguruan
tinggi negeri (PTN), meliputi : Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor,
Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi
Surabaya (ITS), dan Universitas Airlangga (Unair). Tiga ribu santri tersebut diberikan
beasiswa oleh Departemen Agama RI setiap tahunnya hanya untuk enam perguruan
tinggi negeri (PTN). Para kyai memilih dan menyiapkan calon-calon santri berprestasi
untuk mengikuti program beasiswa unggulan dari Departemen Agama RI. Program
beasiswa ini diharapkan menjadi langkah bagi para kyai untuk memadukan tradisi
pesantren dengan modernitas untuk mempercepat keberhasilan pembangunan peradaban
Indonesia modern27.
Sebelum adanya pengiriman santri berprestasi ke PTN, antara tahun 1998
sampai 2008 telah mengembangkan berbagai jenis pendidikan modern di lembagalembaga pesantrennya. Sepanjang tahun 1998 sampai 2008, jumlah lembaga pesantren
meningkat drastis dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008.
Lonjakan tersebut hanya berlangsung selama setahun. Selama setahun itu, jumlah
pesantren baru mencapai 4.015 sehingga diperkirakan jumlah pesantren dalam 10 tahun
ke depan diperkirakan mencapai sekitar 35.000. dari jumlah pesantren tersebut, sudah
ada 1.078 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan
625 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Umum (PTU)28.
Pengembangan sumber daya manusia telah dilakukan Pesma Al-Hikam dengan
tujuan untuk mempersiapkan para santri memasuki kehidupan masyarakat. sehingga
dipilih strategi-strategi yang mampu melaksanakan tujuan tersebut yaitu: pengasuhan,
pengajaran (dirosah), dan pelatihan (kesantrian).
27
28
Dhofier 2011:167-168
Ibid no. 12
41
a. Pengasuhan dilaksanakan melalui penciptaan kedisiplinan beribadah,
pengembangan tingkah laku akhlakul karimah dan pengabdian masyarakat.
Wujud konkrit pengasuhan : tata tertib pesantren.
b. Pengajaran (dirosah) dilaksanakan melalui pengajaran baca tulis Al-Quran,
dasar-dasar keilmuan agama dalam disiplin ilmu para santri, perangkat
metodologi ilmu keislaman, serta pengembangan agama dalam wawasan
nasional. Sistem pengajaran menggunakan sistem semester dengan tiga jenjang
pendidikan meliputi: tingkat basic, tingkat intermediet, dan tingkat advance.
c. Pelatihan (kesantrian) dilaksanakan melalui pemberian keterampilan,
pengembangan kemandirian dengan cara mengembangkan minat dan bakat,
serta atat operasional pengabdian masyarakat.
Untuk melakukan hal tersebut, motivasi santri untuk bergerak dan berubah
merupakan hal penting. Kyai merupakan faktor utama dalam menggerakkan dan
memotivasi mahasiswa. Disamping itu, para santri juga membangun motivasi antar
sesama santri pula melalui organisasi atau koordinasi kegiatan. Terdapat tiga faktor
yang memotivasi Pesma Al-Hikam mengambil peran dalam pengembangan SDM santri
yaitu: kualitas dan profesionalitas pendidikan, solidaritas sosial, menghindari kekufuran,
serta krisis mental dan moral (Miftahusyain 2012:87-109).
42
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang khas di Indonesia.
Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pola perkembangan pesantren hingga saat
ini. Sejarah membuktikan bahwa pesantren mengalami transisi sesuai dengan
perkembangan zamannya. Hal inilah yang mempengaruhi tipe, paradigma, pola, dan
orientasi pesantren. Era globalisasi yang dicirikan dengan teknologi dan informasi yang
semakin canggih telah mengelompokkan pesantren-pesantren di Indonesia menjadi dua
tipe yaitu tipe lama (klasik) dan tipe baru. Bukan hanya itu, paradigma dan orientasi
pesantren pun terpengaruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren mengalami
pergeseran paradigma dari paradigma keagamaan menjadi paradigma sosial. Paradigma
keagamaan menganggap bahwa pesantren hanya bertanggung jawab pada aspek
keagaaman untuk mencetak ulama tanpa mempertimbangkan aspek sosial. Sementara
pada paradigma sosial, pesantren mempunyai peranan dalam mengembangkan elemenelemen pesantren dan juga masyarakat. Pergeseran paradigma tersebut kembali
mengelompokkan pesantren menjadi dua tipe yaitu pesantren tradisional dan pesantren
modern.
Pesantren tradisional dan pesantren modern memiliki perbedaan dan persamaan
yang sifatnya saling melengkapi. Pesantren tradisional melakukan kegiatan belajar
mengajar yang masih tradisional, misalnya menggunakan bahasa lisan oleh kyai kepada
santri atau dengan menugaskan santri untuk membaca buku atau kitab. Paradigma yang
berkembang pada pesantren tradisional adalah paradigma keagamaan sehingga orientasi
lulusan pesantren hanya menghasilkan lulusan-lulusan pesantren untuk menjadi ulama.
Padahal setiap santri memiliki potensi dan bakat yang dapat dikembangkan lebih. Hal
inilah yang memicu terjadinya pergeseran paradigma. Para pimpinan pesantren
menyadari bahwa pendidikan keterampilan dan kompetensi pendukung mempunyai
peranan penting pasca pendidikan di pesantren. Oleh karena itu, saat ini mulai
berkembang pesantren-pesantren modern, baik yang baru didirikan sebagai pesantren
modern maupun perkembangan dari pesantren tradisional. Selain paradigma dan
orientasi, elemen-elemen pesantren pada kedua tipe pesantren pun berbeda. Lima
elemen dasar pesantren yaitu: pondok, masjid, pengajaran kitab klasik, santri, dan kyai,
merupakan elemen dasar yang ada di pesantren tradisional. Pesantren tradisional
berpandangan bahwa kelima elemen itu bersifat mutlak dan tidak mengintegrasikan
elemen pendukung lainnya. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak awal
berdirinya pesantren di Indonesia, peran masyarakat, pemerintah, dan swasta sangat
membantu dalam pengembangan pesantren. Maka dari itu, pesantren modern
menambahkan tiga elemen pendukung yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah
sebagai pelengkap dari elemen-elemen dasar pesantren.
Kepemilikan tiga modal pada pesantren merupakan sebuah potensi besar yang
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kompetensi santri. Tiga modal yang
dimiliki pesantren adalah modal fisik (pondok, masjid, tanah, dan aset lain), modal
manusia (jumlah santri, kyai), dan modal sosial (kepercayaan, norma, dan jaringan
pesantren). Modal-modal tersebut dapat digunakan untuk menjalankan paradigmaparadigma yang dianut pesantren. Namun saat ini, secara umum pesantren telah
terintegrasi ke dalam dunia global sehingga pesantren pun dituntut untuk adaptif dengan
kondisi zaman dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam.
43
Berbagai penelitian yang telah dirangkum, sebagian besar berfokus pada
penelitian modal sosial di pesantren. Kuatnya modal sosial di pesantren disebabkan oleh
kepemimpinan kharismatik yang digunakan oleh para kyai. Kyai mampu mengontrol
pesantren dan menarik santri-santri dari seluruh Nusantara dengan kharismatiknya.
Kharismatik kyai pula yang menyebabkan sumber pembiayaan pesantren didapat dari
hasil sumbangan masyarakat. Apabila ditelaah kembali, belum ditemukan hasil
penelitian yang mengintegrasikan posisi masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam
pengembangan pesantren. Selain itu, belum juga ditemukan hasil penelitian yang
mengembangkan kompetensi santri selain bidang keagamaan. Maka dari itu, peneliti
ingin menganalisis peran masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengembangan
kompetensi santri, serta menganalisis penggunaan tiga modal pesantren dalam
meningkatkan kompetensi santri.
Pertanyaan Penelitian Skripsi
Ringkasan penelitian, rangkuman dan pembahasan, serta kesimpulan yang telah
dibuat memunculkan pertanyaan analisis baru terkait potensi-potensi pesantren dalam
meningkatkan kompetensi santri. Pertanyaan analisis baru muncul sebagai dasar untuk
melakukan penelitian. Pertanyaan tersebut diantaranya:
1. Bagaimanakah pesantren menggunakan potensi-potensi tiga modal?
2. Bagaimanakah strategi pesantren dalam meningkatkan kompetensi santri?
3. Sejauhmana tiga modal yang dimiliki pesantren dapat meningkatkan kompetensi
santri?
44
Usulan Kerangka Analisis
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
Modal Fisik
(pondok, masjid,
SDA di lingkungan
pesantren)
Modal Sosial
(Norma/Nilai,
Kepercayaan,
Jaringan pesantren
berdasarkan syariat
Islam)
Pesantren
a. Pesantren
tradisional
b. Pesantren
modern
Lingkungan Pesantren
Peningkatan
Kompetensi Santri
Lingkungan Luar Pesantren (Globalisasi)
Gambar 3.1 Kerangka Analisis
Keterangan :
: hubungan mempengaruhi
: lingkungan luar pesantren (globalisasi)
: aktor pendukung pengembangan pesantren
: lingkungan pesantren
: hubungan integrasi
Modal Manusia
(Santri dan Kyai)
45
Pesantren berada dalam lingkup interaksi sosial yang begitu luas. Kondisi zaman
dulu tidak dapat lagi disamakan dengan kondisi saat ini. Globalisasi telah
mengakibatkan banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat termasuk pesantren.
Dalam menghadapi globalisasi, tiga modal yang dimiliki pesantren (modal fisik, modal
manusia, dan modal sosial) harus dapat dioptimalkan. Karena pengaruh globalisasi telah
mengakibatkan terjadinya pengelompokkan dua tipe pesantren di Indonesia yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Kedua tipe pesantren tersebut berbeda
dalam orientasi menghasilkan lulusan pesantren. Pesantren tradisional berorientasi pada
kompetensi keagamaan sementara pesantren modern menggabungkan kompetensi
keagamaan dan kompetensi pendukung sesuai dengan bakat dan minat santri.
Saat ini, pesantren perlu memperhatikan kompetensi-kompetensi santri yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Alumni-alumni pesantren dituntut untuk mampu bersaing
dengan murid-murid sekolah umum. Maka dari itu, perlu dilakukan pengoptimalisasian
tiga modal pesantren dengan mengintegrasikan peran masyarakat, pemerintah dan
swasta sebagai aktor yang mendukung peningkatan kompetensi santri.
46
DAFTAR PUSTAKA
Alwi BM. 2013. Pondok Pesantren : Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem
Pendidikannya. Jurnal Lentera Pendidikan. [Internet]. [diunduh pada 2015 April
26]; 16(2):205-219 Tersedia pada : http://www.uin-alauddin.ac.id/download08%20Pondok%20Pesantren%20Center.pdf
Faozan A. 2013. Pondok pesantren dan pemberdayaan ekonomi. Jurnal Studi dan Islam
Budaya. [Internet].[diunduh pada 2015 Maret 24]; 4(1):88-102. Tersedia pada :
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49098&val=3909
Fukuyama F. 2007. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan.
Ruslani. Judul asli : the social virtues and the creation of prosperity. Yogyakarta
[ID] : Qalam
Haroen AM. 2008. Pesantren Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta [ID]: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama
[Kemenag] Kementerian Agama RI. 2014. Mengapa masyarakat harus memilih
pesantren? Ini jawabannya. [Internet]. [diunduh 2015 April 03]. Tersedia pada:
www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=221030
Miftahusyain M. 2012. Pengembangan sumber daya manusia santri di pesantren untuk
memasuki kehidupan masyarakat (studi pada Pesantren Mahasiswa Al Hikam
Malang). Jurnal Integrasi Sains dan Islam. [Internet]. [diunduh pada 2015 April
03];
10:87-109.
Tersedia
pada
:
http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/lemlit/article/view/2055/pdf
Mudana IW. 2012. Modal sosial dalam pengintegrasian Etnis Tionghoa pada
masyarakat Desa Pakraman Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. [Internet].
[diunduh pada 2015 Maret 17]; 1(1):30-40. Tersedia pada :
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0
CD4QFjAF&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJIS
H%2Farticle%2Fdownload%2F4494%2F3467&ei=CBkIVdP7CoSUuAT4qIE4&
usg=AFQjCNEI4-vXVT_s-MJBSfIaMCkeQJIKZQ&sig2=y19GK4DgaIA1iOjgtlv0Q
Purwanto A. 2013. Modal budaya dan modal sosial dalam industri seni kerajinan
keramik. Jurnal Sosilogi Masyarakat. 18(2):233-261. Depok [ID]:LabSosio FISIP
UI
Rais M. 2012. Eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional; perspektif
sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan. [Internet].[diunduh
2015
Mar
16];
5(1):13-21.
Tersedia
pada
:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja
&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstain-sorong.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F01%2F2.-Rais-STAINSorong.pdf&ei=ctEGVaezMdGwuASBrIL4Bg&usg=AFQjCNG5a4qkToi6XR79
m1ZGE0B5d4B7Vw&sig2=MUlR7Jy5fXkecgwBV56DoQ
47
Rimbawan Y. 2013. Pesantren dan ekonomi (kajian pemberdayaan ekonomi Pesantren
Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo Jawa Timur). [Internet].[diunduh pada
2015
maret
03].
Tersedia
pada
:
http://eprints.uinsby.ac.id/278/1/Buku%203%20Fix_145.pdf
Rudi L, Haikal H. 2014. Modal sosial pendidikan pondok pesantren. Jurnal Harmoni
Sosial. [Internet].[diunduh 2015 Mar 17]; 1(1): 1-16. Tersedia pada :
http://journal.uny.ac.id/index.php/hsjpi/article/download/2426/2014
Subaki A, Baehaqie I, Zamzany FR. 2011. Pengaruh modal sosial terhadap kinerja
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan kesejahteraan masyarakat pada
lkms di Pondok Pesantren Al Islah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. [Internet].
[diunduh
pada
2015
maret
17].
Tersedia
pada
:
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0
CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%
3Farticle%3D98230%26val%3D5085&ei=Y_YXVYPfIISMuAS60oLIDg&usg=
AFQjCNEHc8i7wZ6lKp3xKBDTbvbmSw1Pdw
Sumiyati, Sutiarso L, Windia W, Sudira P. 2012. Kajian aspek lingkungan dalam
pengembangan agroekowisata pada sistem subak. Jurnal Bumi Lestari. [Internet].
[diunduh pada 2015 Maret 30]; 12(2):294-302. Tersedia pada :
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/4820/3621
Suputra EM. 2014. Pengembangan kapasitas kelembagaan lokal subak dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di pedesaan (studi kasus: Subak Desa
Loka Sari, Sidemen, Karangasem). Jurnal Ilmiah Mahasiswa. [Internet]. [diunduh
pada
2015
Maret
29];
1(1):1-20.
Tersedia
pada
:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/8934/7081
Yatim B. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada
Zarkhoviche B. 2015. Laksamana Cheng Ho Panglima Islam Penakluk Dunia.
Yogyakarta [ID]: Araska
48
LAMPIRAN
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Tanjung Lubuk pada tanggal 11 Agustus 1994 dari ayah
Mukhriandi dan ibu Masning (alm). Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara.
Sejak kecil, penulis tidak tinggal bersama orang tua melainkan bersama nenek dan bibi.
Tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 3 Kayuagung (OKI) dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk nasional perguruan tinggi (SMNPTN) Undangan di Institut
Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi, kepanitiaan,
dan volunteer pada beberapa kegiatan. Organisasi pertama yang penulis ikuti adalah
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Alhurriyyah dari kepengurusan tahun 2012-2013
hingga sekarang di departemen Media Online. Saat ini penulis menjabat sebagai
sekretaris Departemen di Media Online Kabinet Struggle 1436 H. Selain di LDK,
penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Forsia Fema sebagai kepala
divisi Kemuslimahan. Penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum
Pengantar Ilmu Kependudukan (PIK) pada tahun ajaran 2014/2015. Tidak hanya
organisasi, penulis aktif di berbagai kepanitiaan. Setiap tahunnya penulis mengikuti satu
atau dua kepanitiaan, diantaranya: Roadshow Palestina (2013), Beauty in Action (2013),
IPB Islamic Festival (2013 dan 2014), Bidikmisi Turun Desa (2013), dan Forsia Islamic
Festival (2014). Adapun kegiatan volunteer yang penulis ikuti adalah Komunitas
Mahasiswa Cinta Palestina (Komala IPB).
Tahun 2013, penulis pernah berkesempatan mengikuti Lomba Karya Tulis
Ilmiah (LKTI) Mahasiswa yang diadakan oleh Universitas Brawijaya, Malang. Penulis
berhasil masuk 10 besar finalis dengan menyisihkan peserta-peserta lainnya. Di tahun
yang sama, penulis juga berhasil menjadi Runner Up II Duta Bidikmisi 2013 dan Juara
III Vokal Grup Bidikmisi 2013. Selanjutnya pada tahun 2014, penulis kembali
mengukir prestasinya dengan menjadi Juara I Debat Bahasa Indonesia Bidikmisi.
Download