surat perjanjian dan surat berharga

advertisement
SURAT PERJANJIAN DAN SURAT BERHARGA
Disusun Oleh : Anshoruddin.-
I.
SURAT PERJANJIAN
A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa Arab diistilahkan
dengan Mu'ahadah, Ittifaq, Akad) atau kontrak dapat diartikan
sebagai berikut :
"Perjanjian atau persetujuan adalah sesuatu perbuatan dimana
seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain
atau lebih". (Yan Pramadya Puspa, 1977 : 248). (pasal 1313 KUH
Perdata).
Sedangkan WJS. Poerwadarminta dalam bukunya Kamus Umum
Bahasa Indonesia memberikan definisi/pengertian Perjanjian tersebut
sebagai berikut :
"Persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih
yang mana berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan
itu..." (WJS. Poerwadasminta, 1986 :402).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa, Perjanjian adalah sesuatu perbuatan kesepakatan antara
seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa
orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam
hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan
tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala
perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk
menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal perbuatan hukum ini
dapat dikemukakan sebagai berikut (C.S.T. Kansil. 1986 : 199);
Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh satu pihak-satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban
pada satu pihak pula misalnya :
a. Pembuatan surat wasiat.
b. Pemberian hadiah sesuatu benda (hibah).
Perbuatan hukum dua pihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bagi pihak (timbale balik) misalnya membuat persetujuan jual beli,
sewa-menyewa dan lain-lain.
Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa perbuatan hukum itu juga
meliputi perjanjian-Perjanjian yang diadakan oleh para pihak.
Menyangkut apa yang telah di perjanjikan, masing-masing pihak
haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka
perjanjikan sebab di dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam AlQur'an antara lain dalam surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya berbunyi
sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. (Dewan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990 : 156).
Adapun yang dimaksud dengan akad atau Perjanjian adalah janji setia
kepada Allah SWT, dan juga meliputi Perjanjian yang dibuat oleh
manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya seharihari.
Dari ketentuan hukum diatas dapat dilihat, bahwa apa pun alasannya
merupakan suatu perbuatan melanggar hukum dan apabila seseorang
itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, maka
kepada pelakunya dapat dijatuhkan sesuatu sanksi. Penjatuhan
sanksi tersebut dengan alasan melanggar Perjanjian atau yang dalam
Istilah lain dinamakan dengan "wanprestasi". (Chairuman Pasaribu,
Suhrawardi K. Lubis, 1996 : 1-2).
2
B. SYARAT-SYARAT PERJANJIAN
1. Dalam Islam
Secara umum yang menjadi syarat sahnya sesuatu Perjanjian adalah
(Syyid Sabiq, 11. 1987:178-179):
1. Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati adanya.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan.
3. Harus jelas dan gamblang.
1) Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati adanya.
Maksudnya bahwa Perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah
perbuatan
yang
bertentangan
dengan
hukum
atau
perbuatan yang melawan hukum syari'ah, sebab Perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan hukum syari'ah adalah tidak sah, dan
dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menepati dan melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan
perkataan lain apabila isi Perjanjian itu merupakan perbuatan yang
melawan hukum (hukum syari'ah), maka Perjanjian diadakan dengan
sendirinya batal demi hukum.
Dasar hukum tentang kebatalan sesuatu Perjanjian yang melawan
hukum ini dapat dirujuki ketentuan hukum yang terdapat dalam Hadis
Rasulullah SAW, yang artinya berbunyi sebagai berikut :
"Segala sesuatu persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah
bathil, sekalipun seratus syarat". (Sayid Sabiq. 11. 1987 : 178).
2) Harus sama ridha dan ada pilihan.
Maksudnya Perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah
didasarkan kepada ikatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing
pihak ridha/rela akan isi perjajian tersebut, atau dengan perkataan lain
harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dan pihak yang satu
3
kepada pihak yang lain, dengan sendirinya Perjanjian yang diadakan
tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada
kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian.
3) Harus jelas dan gamblang.
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang
tentang
apa
yang
menjadi
isi
Perjanjian,
sehingga
tidak
mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.
Dengan demikian pada saat pelaksanaan / penerapan Perjanjian
masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian atau yang
mengikatkan diri dalam Perjanjian haruslah mempunyai interpretasi
yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap
isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh Perjanjian itu. (Chairuman
Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 1996:3-4).
2. Menurut Hukum Positif.
Untuk sahnya suatu Perjanjian diperlukan empat syarat :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian:
3) Mengenai suatu hal tertentu:
4) Suatu sebab yang halal:
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai
orang-orangnya
atau
yang
mengadakan
Perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif
karena mengenai Perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan
hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat, atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa
kedua subyek yang mengadakan Perjanjian itu harus bersepakat,
setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
4
yang diadakan itu. Apa itu dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik : si penjual menginginkan sejumlah uang
sedangkan si pembeli menginginkan sesuatu barang dari si penjual.
Orang yang membuat sesuatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan
sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan:
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UndangUndang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah
melarang membuat peijanjia-perjanjian tertentu.
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang
membuat suatu Perjanjian dan nantinya akan terikat oleh Perjanjian
itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar
akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatanya itu.
Sedangkan dan sudut ketertiban hukum, karena seorang yang
membuat suatu Perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya,
maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh
berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi
tanggung-jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
Perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum
tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada
dibawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum
dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang telah ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh
5
pengampu atau kuratornya. (Subekti, 2004 : 17-18).
C. BATALNYA PERJANJIAN
1. Dalam Islam.
Secara
umum
tentang
pembatalan
Perjanjian
tidak
mungkin
dilaksanakan, sebab dasar Perjanjian adalah kesepakatan kedua
belah pihak yang terikat dalam Perjanjian tersebut. Namun demikian
pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila :
1) Jangka waktu perjanjian telah berakhir
2) Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan; dan
3) Jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan)
1) Jangka waktu perjanjian telah berakhir.
Lazimnya suatu Perjanjian selalu didasarkan kepada jangka waktu
tertentu (mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila telah
sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis
(langsung tanpa ada perbuatan hukum lain) batallah Perjanjian yang
telah diadakan para pihak.
Dasar hukum tentang hal ini dapat dilihat dalam ketentuan hukum
yang terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 4 yang artinya
berbunyi sebagai berikut:
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
Perjanjian (dengan mereka), dan mereka tidak mengurangi sesuatu
pun (dari isi Perjanjianmu) dan tidak (pula) mereka membantu
seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa". (Dewan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990:278).
Dari ketentuan ayat diatas, khususnya dengan kalimat "penuhilah janji
sampai batas waktunya”, terlihat bahwa kewajiban untuk memenuhi
6
perjanjian itu hanya sampai batas waktu yang telah diperjanjikan,
dengan demikian setelah berlalunya waktu yang diperjanjikan maka
Perjanjian itu batal dengan sendirinya.
2) Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian.
Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari
apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan
Perjanjian tersebut.
Pembolehan untuk membatalkan Perjanjian oleh salah satu pihak
apabila pihak yang lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan
adalah didasarkan kepada ketentuan Al-Qur'an surat At-Taubah ayat
7 yang artinya berbunvi sebagai berikut:
"Maka selama mereka berlaku jujur (lurus, pen) terhadapmu,
hendaklah kamu berlaku lurus. pula terhadap mereka. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertakwa". (Dewan Penyelenggara
penerjemah/Penafsir Al-Qura’n, 1990:278).
Dari ketentuan ayat diatas, khususnya dalam kalimat "Selama mereka
berlaku lurus terhadapmu hendaklah kamu berlaku lurus pula
terhadap mereka", dalam hal ini terkandung pengertian bahwa apabila
salah satu pihak tidak berlaku lurus, maka pihak yang lain boleh
membatalkan Perjanjian yang telah disepakati.
Ketentuan hukum lain yang dapat dijadikan sebagai landasan
pembatalan ini adalah surah At-Taubah ayat 12 dan 13 yang artinya
berbunyi sebagai berikut:
Ayat 12, artinya sebagai berikut:
"Jika mereka merusak janji, sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin orang-orang yang
ingkar tersebut (kafir), karena sesungguhnya mereka itu orang yang
tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti". (Dewan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990:279).
7
Ayat 13, artinya sebagai berikut:
"Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak
janji, padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul
dan merekalah yang pertama kali memulai memerangimu. Apakah
kamu takut kepada mereka?, padahal Allahlah yang lebih berhak
untuk kamu takuti jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman".
(Dewan
Penyelenggara
Penerjemah
/
Penafsiran
Al-Qur'an,
1990:279).
Dari ketentuan hukum yang terdapat dalam ketentuan surat AtTaubah ayat 12 tersebut bahwa boleh mengadakan pembatalan
Perjanjian
didasarkan
kepada
kalimat
"perangilah
pemimpin-
pemimpin orang yang ingkar tersebut". Sedangkan dalam surat AtTaubah
ayat
13
pembolehannya
tergambar
dalam
kalimat
"Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak
janji".
3) Jika ada kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan):
Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan telah
pula
ada
bukti-bukti
pengkhianatan
bahwa
terhadap
apa
salah
satu
yang
telah
pihak
mengadakan
diperjanjikan,
maka
Perjanjian yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak yang lainnya.
Dasar hukum tentang ini dapat dipedomani ketentuan yang terdapat
dalam Al-Qur'an surat Al-Anfal ayat 58 yang artinya berbunyi sebagai
berikut:
"Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) ada pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka
dengan jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat". (Dewan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an,
1990:270).
Pembolehan pembatalan dalam hal adanya kelancangan dan bukti
8
pengkhianatan ini dapat dipahamkan dari bunyi kalimat : "jika kamu
khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan...., maka kembalikanlah
Perjanjian itu". Dari bunyi kalimat yang demikian berarti Perjanjian itu
dapat dibatalkan apabila ada suatu bukti pengkhianatan.
2. Menurut Hukum Positif
Dalam bab mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu Perjanjian,
telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi
(hal tertentu atau causa yang halal), maka Perjanjianya adalah batal
demi hukum (bahasa Inggris: null and void). Dalam hal yang demikian,
secara yuridis dari semula tidak ada sesuatu Perjanjian dan tidak ada
pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
Perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan
yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak
yang satu menuntut pihak yang lain didepan hakim, karena dasar
hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatanya,
menyatakan bahwa tidak pernah ada sesuatu Perjanjian atau
perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan Perjanjian. ada kekurangan mengenai
syarat yang subyektif sebagaimana sudah kita lihat, maka Perjanjian
itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan
(canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : Pihak yang tidak
cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri
apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan
perizinannya atau menyetujui Perjanjian itu secara tidak bebas.
Sebab apa diadakan perbedaan antara Perjanjian-Perjanjian yang
batal demi hukum dan Perjanjian-Perjanjian yang dapat dimintakan
pembatalan?.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu,
dapat dikatakan bahwa Perjanjian yang demikian tidak dapat
9
dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masingmasing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.
Tentang Perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian
yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh
hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa
perjanjian-Perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subyektifnya yang
menyangkut kepentingan seorang, yang mungkin tidak mengingini
perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya, seorang yang oleh
undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali
sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap Perjanjian
yang telah dibuatnya. Atau seorang yang telah memberikan
persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau
malu meminta perlindungan hukum.
Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu
saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali
disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat
subyektif,
undang-undang
menyerahkan
kepada
pihak
yang
berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan Perjanjiannya
atau tidak. Jadi Perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi
hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan. (Subekti, 2004 : 22-23).
D. PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu Perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, Perjanjian-
10
Perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1) Perjanjian untuk memberikan /menyerahkan suatu barang;
2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan : prestasi.
Perjanjian macam pertama misalnya jual beli, tukar menukar,
penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, pinjam pakai.
Perjanjian macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan,
perjanjian perburuhan, Perjanjian untuk membikin sebuah garasi, dan
lain sebagainya.
Perjanjian macam ketiga, misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan
tembok, Perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
sejenis dengan kepunyaan seorang lain, dan lain sebagainya.
Suatu persoalan dalam hukum perjanjian, ialah apakah, jika si
berutang (si debitur) tidak menetapi janjinya, si berpiutang (kreditur)
dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu. Artinya :
apakah si berpiutang (kreditur) dapat dikuasakan oleh hakim untuk
mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya
menurut Perjanjian? Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan
Perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada
kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi, tetapi bila seorang
mendapat apa yang dijanjikan, itu adalah yang paling memuaskan.
Suatu ganti rugi seolah- olah hanyalah suatu pengarem-arem saja.
Dari itu apa yang dijanjikan itu, dinamakan : prestasi primair,
sedangkan ganti rugi dinamakan : prestasi subsidair. Barang yang
subsidair adalah barang yang menggantikan sesuatu barang lain,
yang lebih berharga !
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, memberikan sekedar petunjuk
dalam menjawab persoalan tersebut diatas. Apakah suatu Perjanjian
11
mungkin dieksekusi dilaksanakan) secara riil itu ? petunjuk itu kita
dapatkan dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. pasal-pasal ini,
mengenai perjanjian-Perjanjian yang diatas tadi kita sebutkan
tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjianPerjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan ) dan
Perjanjian-Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan
sesuatu perbuatan). Mengenai Perjanjian macam-macam inilah
disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. (Subekti,
2004 : 36-37).
E. ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN
1) Asas kebebasan mengadakan Perjanjian (partij otonomi).
2) Asas konsensualisme(persesuaian kehendak)
3) Asas kepercayaan.
4) Asas kekuatan mengikat.
5) Asas persamaan hukum.
6) Asas keseimbangan
7) Asas kepastian hukum.
8) Asas moral
9) Asas kepatutan
10) Asas kebiasaan.
F. MACAM SURAT PERJANJIAN
Lahirnya suatu Perjanjian menurut pasal 1233 BW, yaitu dari 1).
Persetujuan 2). Dan Undang-Undang.
Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan
dengan lisan, tertulis/surat dan lain-lain, berikut ini mengenai macam
surat Perjanjian antara lain :
1) Surat wasiat, pasal 954 BW.
2) Surat Hibah, pasal 1666 BW.
3) Surat Perjanjian nikah, pasal 147 BW.
12
4) Surat Perjanjian perdamaian pemisahan harta, pasal 128 Jo 232
BW dan pasal 1066 BW.
5) Surat Perjanjian perdamaian dan pembagian warisan, pasal 1852
BW.
6) Akta persetujuan dimuka sidang, pasal 130 HER..
7) Surat Kuasa (untuk membuat perjanjian perdamaian) pasal 1796
ayat 2 Jo pasal 1851 BW.
8) Surat Perjanjian sewa menyewa (persil), pasal 1548 BW.
9) Surat Perjanjian sewa-menyewa pekarangan, pasal 1548 BW.
10) Surat Perjanjian Jual-Beli (Rumah), pasal 1457 BW.
11) Surat Perjanjian CREDIET VER BAND (ikatan kridit). S. 1908 /
542 Jo. S. 1909/586; s. 1909/584.
II.
SURAT BERHARGA
A. PENGERTIAN
Dalam teori dan praktik maupun perundang-undangan, ada berbagai
Istilah kata Surat Berharga yang sering digunakan terutama dalam
literature Hukum Bisnis/Dagang, seperti Commercial Paper / CP,
Negotiable Instrument, Waarde van Papieren. Selain itu Istilah surat
berharga sendiri, dalam Mata kuliah Hukum Surat Berharga di fakultas
Hukum, ada yang menggunakan Istilah surat berharga, kertas
berharga, dan surat perniagaan. Pada awalnya Istilah atau nama
mata kuliah ini digunakan nama Hukum Surat Berharga, kemudian
sejak lima tahun lalu (kurikulum 1995) Istilah yang digunakan adalah
Hukum Kertas Berharga. Istilah kertas berharga terjemahan dari
bahasa belanda waarde van papieren, waarde berarti nilai dalam kitab
undang-undang Hukum Dagang (KUHD), waarde diartikan "berharga",
papier berarti kertas, yang berarti 'kertas berharga’ menurut penulis
Istilah yang lebih tepat adalah Surat Berharga, karena pada dasarnya
surat berharga adalah surat tanda bukti pembayaran utang yang
13
dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan selembar surat yang
berisi keterangan berupa perintah atau janji si penerbit kepada siapa
saja yang berhak terhadap surat tersebut, oleh karena itu, untuk
selanjutnya dalam buku ini Istilah yang digunakan adalah Surat
Berharga. Kalau kita cermati Istilah-istilah yang digunakan. Baik surat
berharga, kertas berharga, dan surat perniagaan tersebut memiliki
makna yang sama.
Dalam praktik, kita juga mengenai Istilah "Surat Mempunyai Harga
atau Surat yang Berharga", secara yuridis Istilah surat berharga dan
surat yang berharga sangat berbeda fungsi dan penggunaannya.
Surat berharga diterbitkan untuk alat bayar, sedangkan surat yang
mempunyai harga (surat yang berharga) diterbitkan hanya sebagai
alat bukti bagi orang yang namanya tertera dalam surat tersebut atau
sebagai alat bukti diri bagi si pemegang atau orang yang menguasai
surat yang mempunyai harga tersebut, misalnya surat Ijazah, hanya
orang yang namanya tersebut dalam ijazah tersebut mempunyai hak
untuk menggunakannya, demikian juga surat-surat yang mempunyai
harga lainnya seperti : Kartu Tanda Penduduk atau KTP, Sertifikat,
Piagam, tiket, surat deposito berjangka, tabanas, tiket, dan lain
sebagainya. Perbedaan pokok lainnya antara surat berharga dengan
surat mempunyai harga adalah terletak pada sifat mudah atau sukar
diperjualbelikan, surat berharga bersifat mudah diperjualbelikan,
sedangkan
surat
diperjualbelikan.
yang
Seperti
mempunyai
halnya
Surat
harga
bersifat
Berharga
surat
sukar
yang
mempunyai harga terdiri beberapa jenis, yaitu:
1. Surat Rekta.
Surat rekta (rekta papieren) adalah suatu hak yang menurut undangundang dapat diberi bentuk sebagai surat berharga, tetapi karena
para pihak menghendaki agar akta itu sukar untuk diperjualbelikan,
maka akta itu diberikan bentuk tertentu sehingga menjadi yang
14
berharga atau yang mempunyai harga, misalnya wesel, menurut
undang-undang dapat diberi bentuk sebagai surat berharga, tetapi
bila surat wesel itu diberi bentuk "tidak kepada pengganti", maka surat
wesel itu menjadi surat yang mempunyai harga. Hal ini diatur dalam
pasal 110 ayat 2 KUHD, demikian juga halnya surat cek yang
berklausula tidak kepada pengganti (pasal 191 ayat 2 KUHD), Carter
partai dengan klausul atas nama (pasal 457 ayat 2 KUHD).
Konosemen dengan klausula atas nama (pasal 506 ayat 2), saham
atas nama (pasal 40 ayat 1 jo. Pasal 40 KUHD) dan lain-lain.
2. Surat Bukti Diri (LEGITIMATIE PAPER)
Adalah surat tuntutan utang biasanya nama pemiliknya tidak
disebutkan dalam akta, yang menimbulkan anggapan bahwa
pemegangnya adalah yang berhak. Surat bukti diri itu diterbitkan tidak
dimaksudkan
untuk
diperjualbelikan,
tetapi
untuk
sekedar
mempermudah debitur dalam mengenai krediturnya, surat jenis ini
mungkin ditandatangani, mungkin tidak.
3. Surat Pengakuan / Perintah Hutang Atas Nama
Ada surat pengakuan utang atas nama yang diterbitkan dan
ditandatangani oleh debitur dan diserahkan kepada kreditur dengan
maksud untuk tidak diperjualbelikan. Jika surat pengakuan utang atas
nama ini mau dialihkan kepada orang lain, maka penyerahannya
harus dengan sesi, yang agak sulit dan selalu dapat diawasi oleh
debitur, sebab surat itu harus ditandatangani oleh debitur.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau KUHD, tidak
diberikan pengertian atau definisi tentang Surat Berharga, demikian
juga Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, hanya saja
dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998,
definisi surat berharga berbeda dengan lazimnya pengertian yang
disampaikan berbagai pakar hukum surat berharga. Menurut
15
ketentuan tersebut, "Surat berharga" adalah surat pengakuan hutang,
wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau
kepentingan dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan
dalam pasar modal dan pasar uang.
Dalam lalu lintas perdagangan surat berharga dapat dipeijualbelikan,
karena surat tersebut merupakan penjelmaan dari suatu hak untuk
mendapatkan suatu kekayaan berupa uang atau barang. Pada
umumnya definisi yang lazim disampaikan oleh berbagai pakar hukum
surat berharga lebih menunjukkan pada fungsi surat berharga,
seperti: HMN. Purwosutjipto berpendapat, surat berharga adalah surat
bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah dijual belikan. Abdul
kadir Muhammad, surat berharga adalah suatu surat yang oleh
penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan
suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. CST. Kansil,
menggunakan Istilah surat berharga dengan surat perniagaan,
menurut beliau surat perniagaan adalah surat-surat berharga yang
dapat
diperdagangkan
dalam
dunia
perniagaan,
guna
untuk
memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga
dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga. H.
Boerhanoeddin Soetan Batoeah, surat berharga adalah suatu alat
bukti dari suatu tagihan atas orang yang menandatangani surat itu,
tagihan mana dipindahtangankan dengan penyerahan surat itu dan
akan dilunasi sesudah surat itu ditunjukkan.
Dalam kamus Istilah Ekonomi dan Pasar Modal, Negotiable
Instrument adalah permintaan atau janji tanpa syarat untuk membayar
sejumlah uang yang mudah ditransfer dari satu orang kepada orang
lain, misalnya cek, Promisorry note, draft. (KH. Munansa, 1995 : 259).
Dalam kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia,
Waardepapier adalah suatu tanda bukti yang pembayarannya
utangnya sudah dapat dilakukan hanya dengan cara memperlihatkan
16
surat, pemegangnya sudah dianggap sebagai penagih utang berhak.
(1977:673).
Dari beberapa definisi yang dijelaskan diatas, pada dasarnya memiliki
kesamaan makna, bahwa surat berharga tersebut adalah alat bayar
atau instrument pembayaran, dalam berbagai transaksi perdagangan
sebagai pengganti uang pemegang surat berharga orang yang berhak
atau dianggap berhak melakukan penagihan. (Joni Emirzon, 2002 :
14-17)
B. FUNGSI SURAT BERHARGA
Seperti halnya fungsi uang sebagai alat bayar, surat berharga juga
berfungsi sebagai alat bayar yang kedudukannya menggantikan
uang. Oleh karena itu, fungsi pokok surat berharga tersebut adalah
alat bayar, selain surat berharga berfungsi sebagai alat bayar,
berdasarkan beberapa pengertian atau defminisi yang disampaikan
para ahli dan kamus hukum, secara ringkas dapat disimpulkan surat
berharga mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi), artinya pemegang
(holder) surat berharga berhak atas jumlah uang tertentu yang
tercantum dalam surat berharga itu. Pemegang Surat Berharga
dapat ditafsirkan dua acam yaitu pertama, pemegang yang secara
formil, bahwa dia yang dianggap menguasai surat berharga
tersebut, walaupun bukan nama yang memegang surat berharga
tersebut, biasanya hal ini terjadi bila pemegang surat berharga
tersebut mendapatnya dari pemegang pertama melalui peralihan
yang sah, kedua, pemegang adalah orang tersebut namanya
didalam surat berharga tersebut, secara material pemegang surat
berharga ini adalah orang yang sesungguhnya pemilik dan berhak
terhadap surat berharga tersebut, misalnya dapat kita baca dalam
surat berharga berbunyi:
"Bayarlah surat cek ini kepada Tuan Amir/pengganti sejumlah"
17
pada saat itu tuan Amir pemegang surat tersebut, maka Tuan
Amir cukup menunjukkan surat tersebut kepada tersangkut tanpa
perlu pembuktian apakah ia pemegang sesungguhnya atau tidak.
Surat berharga yang berbentuk demikian terbuka kemungkinan
dimiliki oleh pihak lain (pemegang berikutnya) apabila pemegang
oleh orang (pemegang kedua) yang namanya bukan tersebut
dalam surat berharga itu, maka ada cara peralihan telah
ditentukan, bahwa dia mendapat surat berharga tersebut secara
sah,
misalnya
peralihannya
berdasarkan
endosemen
dari
pemegang pertama, pemegang ini yang dikenal dengan legitimasi
formil.
2. Alat
memindahkan
hak
tagih,
artinya
pemegang
dapat
mengalihkan surat berharga kepada orang lain, baik dengan
alasan jual beli maupun alasan lain yang sah menurut hukum
peralihan surat berharga.
3. Alat pembayaran, artinya untuk kemudahan alat pembayaran,
aman, praktis, lancar, dan mudah dalam lalu lintas bisnis. Dalam
praktek hal ini terbukti, bahwa sangat membantu masyarakat,
khususnya masyarakat pengusaha, mereka tidak perlu membawa
uang tunai, cukup dengan lembaran surat berharga saja, seperti
Surat Cek, Wesel, Surat Sanggup.
4. Pembawa Hak, artinya siapa saja pembawa surat berharga itu
adalah berhak untuk menguangkan, tanpa dibuktikan lebih dahulu
keabsahan perikatan dasar, maupun tanpa bukti itikad baik
pemegangnya artinya hak atas surat berharga itu, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya, dengan kata lain sepanjang pemegang
surat berharga dapat membuktikan bahwa dia pemegang yang
sah, maka dia secara hukum orang yang berhak terhadap surat
tersebut.
5. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualkan dengan
mudah atau sederhana), artinya bahwa siapa yang memiliki surat
18
berharga tersebut dapat dengan mudah memindahkan hak tagih
kepada pihak lain, hal ini tergantung dengan bentuk klausula yang
terdapat pada surat berharga tersebut. Apabila surat berharga
tersebut berklausula atas tunjuk, maka dapat dengan mudah
memindahkan kepada pihak lain, cukup dari tangan ke tangan
saja, seperti memindahkan uang tunai, sedangkan surat berharga
atas pengganti peralihannya melalui endosemen.
Dalam perkembangan terakhir ini fungsi surat berharga tidak saja
kelima fungsi di atas, namun telah berkembang ada beberapa surat
berharga berfungsi sebagai objek perjanjian jual beli, misalnya Surat
Berharga Komersial (Commercial Paper/CP), diterbitkan oleh penerbit
untuk dipeijualbelikan di Pasar Uang dan Pasar Modal. Dengan
demikian eksistensi surat berharga tersebut telah menjadi komoditi
perdagangan yang cukup menguntungkan. Hal ini terbukti makin
meningkatnya penggunaan surat berharga komersial dalam kegiatan
bisnis di Indonesia.
C. SYARAT-SYARAT UMUM SURAT BERHARGA.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, surat berharga
berfungsi sebagai alat bayar, alat bukti untuk melakukan penagihan
dan sebagainya. Untuk memenuhi fungsi tersebut suatu surat
berharga harus memenuhi beberapa persyaratan. Kitab UndangUndang hukum Dagang (KUHD) tidak mengatur secara khusus
mengenai persyaratan pokok suatu surat berharga, hanya saja
mengatur tentang bentuk-bentuk surat berharga, dan hal-hal yang
larus dimuat dalam suatu surat berharga seperti wesel, surat
sanggup, cek, namun demikian, dari beberapa ketentuan yang
mengatur isi surat-surat berharga tersebut dapat disimpulkan secara
garis besar bahwa suatu surat berharga yang dimaksud dalam KUHD
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama surat berharga seperti: Wesel, Cek, Dll.
19
b. Perintah/janji takbersyarat
c. Nama orang yang harus membayar
d. Penunjukan hari gugur
e. Penunjukan tempat, dimana pembayaran harus dilakukan.
f. Nama
orang,
kepada
siapa
atau
kepada
penggantinya
pembayaran itu harus dilakukan.
g. Penyebutan tanggal, tempat surat berharga diterbitkan.
h. Tanda tangan Penerbit.
D. SYARAT KHUSUS SURAT BERHARGA
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap surat berharga
harus memenuhi persyaratan umum, apabila tidak terpenuhi, maka
surat berharga tersebut cacat, misalnya dengan isi surat berharga
tidak sinkron atau tanda tangan penerbit palsu, dan lain sebagainya,
sedangkan syarat khusus yang dapat dilihat pada masing bentuk
surat berharga. tHD tidak menjelaskan apa saja syarat khusus pada
setiap surat berharga. Syarat khusus ini dapat kita lihat dari bentuk
surat berharga itu sendiri. Syarat khusus merupakan syarat yang
membedakan surat berharga yang satu dengan yang lain atau ciri
khas yang dimiliki setiap surat berharga, misalnya surat wesel harus
ada kata "perintah" yang berbunyi "Bayarlah surat Wesel ini kepada
dst". surat sanggup ada kata kesanggupan untuk membayar, yang
berbunyi : “saya berjanji akan membayar sejumlah uang kepada dst".
kemudian Bilyet Giro, adanya kata perintah pemindahan buku dari
rekening penerbit kerekening orang yang disebutkan pada Bilyet Giro
tersebut. Sertifikat Bank Indonesia, ada kata "Bank Indonesia
mengikatkan
diri
untuk
membayar
pada
tanggal.......
kepada
Pembawa jumlah....... dst". sertifikat Deposito, adanya kata "Dapat
diperdagangkan", apabila sertifikat deposito tersebut tidak ada kata
dapat diperdagangkan maka sertifikat Deposito tersebut bukan
merupakan surat berharga.
20
Selain itu syarat khusus yang dapat kita ketahui dari setiap surat
berharga adalah "Nomor seri" Setiap surat berharga apapun
bentuknya memiliki nomor seri penerbitan sendiri, sehingga surat
berharga yang satu dengan yang lain tidak akan memiliki nomor seri
yang sama. Adanya nomor seri pada surat berharga adalah untuk alat
kontrol baik bagi penerbit maupun tersangkut. Nomor-nomor seri
adalah dibuat oleh tersangkut, karena tersangkut menyediakan blanko
atau formulir surat berharga, sehingga Penerbit hanya mengisi kolom
yang telah tersedia.
E. BENTUK - BENTUK SURAT BERHARGA
1. Surat Wesel adalah surat yang memuat kata wesel didaiamnya,
ditanggaii dan ditandatangani di suatu tempat, penerbit memberi
perintah tanpa syarat kepada tersangkut untuk pada hari bayar
membayar sejumlah uang kepada orang (penerima) yang ditunjuk
oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu.
2. Surat sanggup adalah surat berharga yang memuat kata aksep
atau promes, penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah
uang kepada orang yang disebut dalam surat sanggup itu
penggantinya atau pembawanya pada hari bayar.
3. Surat Cek adalah surat berharga yang memuat kata cek,
penerbitnya
memerintahkan
kepada
bank
tertentu
untuk
membayar sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut
dalam
cek,
penggantinya
atau
pembawanya
pada
saat
ditunjukkan.
4. Carte partai adalah surat berharga yang memuat kata charterparty,
yang
membuktikan
tentang
adanya
Perjanjian
itu
pencarteran kapal dalam mana sipenandatangan mengikatkan diri
untuk menyerahkan sebagian atau seluruh ruangan kapal kepada
pencarter untuk dioperasikan, sedangkan pencarter mengikatkan
diri untuk membayar uang carter.
21
5. Konosemen
adalah
surat
berharga
yang
memuat
kata
konosemen atau Bill of lading, yang merupakan tanda bukti
penerima barang dari pengirim, ditandatangani oleh pengangkut
dan yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menuntut
penyerahan barang-barang yang disebut dalam konosemen itu.;
6. Delivery-order adalah surat berharga yang mencantumkan kata
deliver-order (d/o) didalamnya dan merupakan surat perintah dari
pemegang
konosemen
kepada
pengangkut
agar
kepada
pemegang d/o diserahkan barang-barang sebagai yang disebut
dalam d/o, yang diambil dari konosemennya.
7. Surat Saham adalah surat berharga yang mencantumkan kata
saham didalamnya, sebagai tanda bukti pemilikan sebagian dari
modal perseroan.
8. Promes atas unjuk atau promes untuk pembawa adalah surat
berharga yang ditanggali dimana penandatangannya sendiri
berjanji akan membayar sejumlah uang yang ditentukan di
dalamnya kepada tertunjuk, pada waktu diperlihatkan pada suatu
waktu tertentu.
Sedangkan bentuk-bentuk surat berharga yang diatur di luar KUHD
meliputi:
1. Ceel adalah surat berharga sebagai tanda bukti penerimaan
barang-barang untuk disimpan dalam veem, ditandatangani oleh
pengusaha veem, yang memberi hak kepada pemegangnya untuk
menuntut penyerahan barang-barang sebagai disebut dalam ceel
kepada pengusaha veem.
2. Surat Obligasi adalah surat berharga yang mencantumkan kata
"obligasi"
di
dalamnya
dan
menyanggupi
membayar/
mengembalikan jumlah pokok dengan bunga tertentu sebagai
yang disebutkan dalam surat obligasi itu.
3. Sertifikat adalah surat berharga yang mencantumkan kata
sertifikat di dalamnya dan merupakan tanda bukti penerimaan
22
uang, yang diterbitkan oleh bank-bank atau Badan Hukum lainnya
atas sejumlah uang yang diserahkan kepada Bank atau badan
hukum itu untuk suatu jangka waktu tertentu atau tidak terbatas,
denagn membayar bunga atau uang pengganti deviden sebagai
imbalannya dan dapat diperjualbelikan.
4. Sertifikat Deposito adalah surat berharga atas tunjuk dalam
rupiah yang merupakan surat pengakuan hutang dari Bank dan
LKBB dapat diperjualbelikan dalam pasar uang.
5. Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga atas tunjuk
dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan
hutang berjangka waktu pendek dengan system diskonto.
6.
Bilyet Giro adalah surat perintah dan nasabah kepada bank
penyimpan dana untuk memindah bukukan sejumlah dana yang
tersebut namanya.
7.
Surat berharga komersial (Commercial Paper/CP) adalah surat
sanggup tanpa jaminan spesifik yang diterbitkan oleh perusahaan
bukan Bank dan diperdagangkan melalui Bank atau perusahaan
efek, berjangka waktu pendek dan diperdagangkan dengan
sistem diskonto.
8.
Kartu Kredit, adalah suatu kartu yang umumnya dibuat dari
bahan plastic, dengan dibubuhi identitas dari pemegang dan
penerbitnya, yang memberikan hak terhadap.siapa kartu kredit
diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran
harga dan jasa atau barang yang dibeli ditempat-tempat tertentu.
III.
SURAT PERJANJIAN DAN SURAT BERHARGA MERUPAKAN ALAT
BUKTI TULISAN
A. Alat Bukti Tulisan / Surat.
Dalam hukum Islam bukti tulisan adalah merupakan salah satu alat
bukti selain pengakuan dan saksi, bukti tulisan merupakan akta yang
23
kuat sebagai alat bukti di pengadilan dalam menetapkan hak atau
membantah suatu hak.
Pentingnya bukti tulisan / surat ini berdasarkan pada firman Allah Swt
Q. S. Al Baqaroh (2) : 282 yang berbunyi:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengaimlakan (apa yang ditulis itu) dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Tuhannya".
Dan firman Allah Swt, Q. S. Al- Baqaroh (2): 283 yang berbunyi:
Artinya : "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang)".
Para fuqaha dalam memahami ayat tersebut diatas berselisih
pendapat tentang penggunaan alat bukti tulisan / surat.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa alat bukti tulisan / surat sama
dengan saksi adalah hal yang diajukan saja bukan diwajibkan.
Sedangkan Daud Adz-Dzahiry mewajibkan bukti tertulis itu sama
dengan saksi.
Cukup beralasan jika tulisan / surat - surat dijadikan sebagai alat bukti
disamping berdasarkan ayat Al-Qur'an tersebut diatas, sampainya AlQur'an dan Hadits kepada kita sekarang ini yang merupakan sumber
dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui tulisan.
Rosulullah Saw. mengirim surat-suratnya kepada raja-raja dan yang
lainnya.
Beliau
menyampaikan
24
argumentasinya
melalui
surat-
suratnya. Dan beliau tidak pernah memperlihatkan isi suratnya
kepada orang yang diperintah untuk mengirimnya. Tidak pernah
terjadi sekalipun sepanjang sejarah hidup beliau. Beliau menyerahkan
suratnya yang telah disegelnya dan memerintahkan untuk diserahkan
ke alamat yang dituju. Dan yang demikian itu sudah dimaklumi oleh
orang yang mengetahui sejarah hidup beliau sehari-hari.
Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda :
Artinya : "Tidak ada hak bagi seorang muslim wemasiatkan sesuatu
miliknya ketika dia terbaring dua malam, kecuali hendaknya dia
menuliskan wasiatnya itu disisinya".
Maka sekiranya tidak dibenarkan berpegang pada bukti tulisan
tertentu tidak ada artinya penuhsan wasiat. Menurut Ibnu Qayyim alJauziyyah, mengenai bukti tulisan ini ada tiga bentuk yaitu :
Pertama : Bukti tulisan didalamnya oleh hakim dinilai telah terdapat
sesuatu yang bisa dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam
menjatuhkan putusan terhadap seseorang, sehingga impreative
sebagai bukti yang mengikat.
Para ulama dalam masalah ini telah berselisih pendapat, ada tiga
riwayat dari Ahmad yang salah satunya menyebutkan bahwa apabila
bukti tulisan itu telah diyakini sebagai tulisannya, dipandang sebagai
bukti yang sah meskipun dia lupa apa isinya.
Kedua : bukti tulisan tersebut tidak dipandang sebagai bukti yang sah,
sampai dia telah mengingatnya.
Ketiga : Bukti tulisan tersebut dipandang sebagai bukti yang sah
apabila didapati arsipnya dan dia telah menyimpannya, jika tidak
demikian maka tidak bisa dijadikan bukti yang sah.
Yang menjadi patokan ialah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak
boleh mengorbankan hukum material Islam, sudah seharusnya hukum
25
formal itu semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum material.
Contoh alat bukti surat atau tulisan yang tidak boleh mengorbankan
hukum material Islam adalah sebagai dibawah ini :
A beragama Islam, sebelum wafat ia membuat akta Hibah dimuka
notaries B, yang isinya memberikan dua pertiga bagian harta A
kepada C (anak angkatnya) sedangkan masih banyak ahli waris yang
lain yang belum mendapat bagian wansan dari A, karena kemudian A
meninggal dunia. (kasus perkara No. 69 / Pdt. G / 2004 / PA. Sby.).
menurut pasal 165 HIR/285 R.Bg/1868 BW, hibah tersebut otentik /
sah oleh karena itu hakim harus menganggap hibah tersebut sah dan
dapat dilaksanakan, sebab akta itu mempunyai kekuatan mengikat,
yaitu harus dianggap benar tulisannya, sungguh-sungguh teijadi
peristiwanya dan berlaku terhadap pihak ke tiga ataupun siapa saja.
Tetapi bagaimana hukum material Islam, apakah sudah seperti yang
dibuktikan oleh pasal 165 HIR/285 R.Bg/1868 BW itu?
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat 2, menyatakan :
"Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya".
Dalam pasal 210 nya menyatakan : orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk
dimiliki.
Menurut hukum materiil Islam berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas
surat hibah itu, tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan, karena
maksimal hibah harta hanyalah sepertiga saja dari seluruh harta yang
membuat hibah. Ada juga sebagian kecil ahli hukum Islam
berpendapat surat hibah itu sah tetapi tidak dapat dilaksanakan. Hibah
dua pertiga harta itu terjadi kemungkinan karena notaris tempat A
membuat surat hibah tidak mengerti akan hukum Islam, atau mungkin
26
tidak beragama Islam, inilah yang penulis maksudkan bahwa
pemakaian alat bukti tulisan atau surat tidak boleh megorbankan
hukum material Islam.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan / surat tercantum dalam
pasal 138, 165, 167 HIR/pasal 164, 285-305 R.Bg dan pasal 18671894 BW serta pasal 138-147 RV. Pada asasnya didalam persoalan
perdata, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti
yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika
dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.
Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan
pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainya sedangkan dikatakan utama
oleh karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran
formal maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat
dipergunakan sebagai alat pembuktian utama.
Yang dimaksud alat bukti tertulis atau surat menurut Ali Afandi adalah
"sesuatu yang memuat suatu tanda yang dapat dibaca dan yang
menyatakan suatu buah pikiran". Bukti surat menurut Abdul Kadir
Muhammad adalah merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan
untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti.
Menurut Sudikno Mertokusumo alat bukti tulisan / surat ialah segala
sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. dengan demikian
maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan ataupun
meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung
buah
pikiran
tidaklah
termasuk
dalam
pengertian
alat
bukti
tertulis/surat.
Bukti surat menurut I. Rubini dan Chidir Ali adalah suatu benda (bisa
27
berupa kertas, kayu, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tandatanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran
(diwujudkan dalam suatu surat).
Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :
a. Akta
b. Tulisan atau surat-surat lain
Akta ialah : surat atau tulusan yang dibuat dengan sengaja untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh
pembuatannya. Akta ini ada dua macam pula yaitu:
a. Akta otentik dan
b. Akta dibawah tangan.
Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami bahwa suatu surat dapat
dianggap sebagai akta bilamana memiliki ciri sengaja dibuat dan
ditanda tangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan
siapa surat itu dibuat.
Pengaturan mengenai akta diatur dalam KUH Perdata pasal 1867
sampai dengan pasal 1880 dan dalam pasal 165, pasal 167 HIR. akta
otentik yaitu : surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang
oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat
surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan
ahli warisannya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya
tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu. (pasal 165 HIR)
285 R.Bg/186 dan 1870 KUHPerdata).
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris,
presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, panitera pengadilan,
pegawai pencatat mkah, pegawai pencatat sipil, jurusita, hakim dan
sebagainya.
Menyimak dari apa yang tercantum dalam pasal 165 HIR dan pasal
1868 KUHPerdata, maka akta otentik dapat dibedakan lagi menjadi
28
dua bentuk, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat dan akta yang
dibuat oleh para pihak.
Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu yang mana pejabat
tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya,
singkatnya pembuatan akta itu inisatifhya datang dari pejabat itu
sendiri bukan dari pihak yang namanya tercantum dalam akta
tersebut tercantum dalam akta tersebut. Contohnya berita acara yang
dibuat oleh panitera pengganti dipersidangan.
Sedangkan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu adalah akta yang mana pejabat menerangkan
juga apa yang dilihat serta dilakukannya. Dengan ini akta dibuat oleh
para pihak dan inisiatifnya datang dari pihak yang memerlukannya.
Contohnya adalah akta jual beli yang dibuat dihadapan notaris. akta
dibawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan yang
dibuat dengan maksud dijadikan sebagai bukti, tetapi tidak dengan
perantaraan seorang pejabat umum.
Ketentuan mengenai akta dibawah tangan diatur dalam pasal
dibawah tangan diatur dalam pasal 1874 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi:
"Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan surat-surat, register-register, suratsurat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pegawai umum".
Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan keduanya mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Hanya saja bila orang mengajukan
suatu akta otentik maka ia tidak dibebani lagi pembuktian dan bagi
siapa yang menyangkalnya maka harus mengadakan pembuktian.
Sedangkan di dalam hal akta di bawah tangan kalau akta itu
29
disangkal, maka orang yang mempergunakan akta itu harus dibebani
pembuktian. (Anshoruddin, 2004 : 64 - 73)
B. Kekuatan Pembuktian Akta (alat bukti tulisan/Surat)
Bila diperhatikan pasal 164 HIR, pasal 283 Rbg, dan pasal 1865 KUH
Perdata, maka jelaslah bahwa bukti tulisan ditempatkan yang paling
atas dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal-pasal
undang-undang tersebut.
Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undangundang itu bukan imperative, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti
tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan
penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern, seperti dikatakan
Prof. Subekti, dalam masyarakat yang sudah maju, tanda-tanda atau
bukti yang paling tepat memanglah tulisan.
Di atas telah penulis uraikan bahwa alat bukti tulisan (akta) itu dapat
dibedakan atas dua golongan, yaitu akta autentik dan akta di bawah
tangan, dimana kedua jenis akta ini sama- sama diperuntukkan guna
pembuktian, hanya saja kekuatan pembuktiannya tidak sama. Semua
akta, baik akta autentik maupun akta dibawah tangan mempunyai
funsi yang terpenting dari setiap akta.
Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat
dibedakan atas tiga,
yaitu:
1. Kekuatan pembuktian lahir.
2. Kekuatan pembuktian formil
3. Kekuatan pembuktian materiil.
1.
Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracht)
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu,
maksudnya bahwa bahwa sutu surat yang kelihatannya seperti akta,
30
harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Akta
autentik mempunyai kekuatan lahir sesuai dengan asas "acta publica
probant seseipsa", yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak
sebagai akta autentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta autentik,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Beban pembuktian tentang otentisitas dari akta autentik terletak pada
orang yang menyangkalnya, beban pembuktian mana terikat pada
ketentuan-ketentuan khusus sebagai mana diatur dalam pasal 138
PUR (PASAL 164 Rbg, dan pasal 148 BW).
Kekuatan pembuktian lahir dari akta autentik ini berlaku bagi
keuntungan atau kepentingan setiap orang dan tidak terbatas pada
kepentingan para pihak saja, di mana tanda tangan dari pejabat yang
menandatangani akta itu diterima keabsahannya. "sebagai alat bukti
maka akta autentik, baik akta pejabat (ambtelijke akten) maupun akta
para pihak (partij akten) ini, keistimewaannya terletak pada kekuatan
pembuktian lahir".
2.
Kekuatan Pembuktian Formil (Formil Bewijskracht)
Kekuatan pembuktian formal itu menyangkut pertanvaan : "benarkah
bahwa ada pertanyaan?" jadi kekuatan pembuktian formil ini
didasarkan atas benar tidaknya ada pemyataan oleh yang bertanda
tangan di bawah akta itu. dalam akta autentik, pejabat pembuat akta
menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta
itu sebagaimana telah dicantumkan didalamnya.
Pada ambtelijke akten, pejabat pembuat aktalah yang menerangkan
apa-apa yang dikonstatia oleh pejabat itu dan menuliskannya dalam
akta, dan oleh sebab itu apa yang diterangkan oleh pejabat tadi telah
pasti bagi siapapun, sepanjang mengenai tanggal pembuatan, tempat
pembuatan akta dan isi/keterangan dalam akta itu dalam party akten
31
sebagai akta autentik, bagi siapa pun telah pasti bahwa pihak-pihak
dan pejabat yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis
di atas tanda tangan mereka.
Dalam hal ini yang sudah pasti adalah : tanggal pembuatan akta,
tempat pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para
pihak serta saksi-saksi yang turut menandatangani akta tersebut,
serta kepastian bahwa para pihak ada menerangkan seperti apa yang
diuraikan / dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran dari apa
yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti
antar mereka sendiri.
Akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian fotmal,
jika
tanda
tangan
di
bawah
akta
itu
diakui/tidak
disangkal
kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta
dibawah tangan, maka kekuatan pembuktian, formal dari akta
dibawah tangan. Itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari
akta autentik, dan dengan demikian dapat diterima kebenaran ucapan
A. Pitlo yang menyatakan bahwa akta autentik dibawah tangan yang
diperkuat.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele Bewijskracht).
Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan: "benarkah
apa yang dinyatakan /diterangkan" dalam akta itu? jadi menyangkut
pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang
peristiwa
bahwa
pejabat
dan
para
pihak
melakukan
atau
melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.
Akta pejabat sebagai akta autentik, tidak lain hanya membuktikan apa
yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan
sendiri oleh pejabat itu didalam menjalankan jabatannya. (Victor M.
Situmorang & chormentyna Sitanggang, 1993 : 108-1 13).
32
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Surat
Perjanjian dan Surat Berharga merupakan alat bukti tulisan dan salah
satu alat bukti selain pengakuan dan saksi serta merupakan akta yang
kuat sebagai alat bukti di pengadialan dalam menetapkan hak atau
membantah suatu hak .Demikian tulisan ini , semoga bermanfaat .-
33
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad,
HUKUM DAGANG TENTANG SURAT-SURAT
BERHARGA, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Anshoruddin, HUKUM PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA ISLAM
DAN HUKUM POSITIF, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2004.
Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, HUKUM PERJANJIAN DALAM
ISLAM, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
Imam
Prayogo
S
&
Djoko
Prakoso,
SURAT
BERHARGA
ALAT
PEMBAYARAN DALAM MASYARAKAT MODERN, Rineka Cipta,
Jakarta, 1995.
Joni Emirzo, HUKUM SURAT BERHARGA DAN PERKEMBANGANNYA DI
INDONESIA, PT. Prenhallindo, Kakarta.
Mariam Darus B. Dkk, KOMPILASI HUKUM PERIKATAN, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
M. Yahya Harahap, SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN, Penerbit Alumni,
Bandung, 1986.
S. Gautama, CONTOH-CONTOH KONTRAK, REKES & SURAT RESMI
SEHARI-HARI, Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Subekti & R. Tjitrosudibio, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG DAN
UNDANG-UNDANG KEPAILITAN, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
2004.
Subekti, HUKUM PERJANJIAN, PT. Intermas, Jakarta, 2004.
Subekti dkk, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, Pradnya
Paramita, Madiun & Djakarta, 1970.
Victor M.S. & Chormentyna S. GROSSE AKTA DALAM PEMBUKTIAN DAN
EKSEKUSI, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
34
Download