SURAT PERJANJIAN DAN SURAT BERHARGA Disusun Oleh : Anshoruddin.- I. SURAT PERJANJIAN A. PENGERTIAN PERJANJIAN Secara etimologis perjanjian (yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu'ahadah, Ittifaq, Akad) atau kontrak dapat diartikan sebagai berikut : "Perjanjian atau persetujuan adalah sesuatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih". (Yan Pramadya Puspa, 1977 : 248). (pasal 1313 KUH Perdata). Sedangkan WJS. Poerwadarminta dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan definisi/pengertian Perjanjian tersebut sebagai berikut : "Persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu..." (WJS. Poerwadasminta, 1986 :402). Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa, Perjanjian adalah sesuatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal perbuatan hukum ini dapat dikemukakan sebagai berikut (C.S.T. Kansil. 1986 : 199); Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak-satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula misalnya : a. Pembuatan surat wasiat. b. Pemberian hadiah sesuatu benda (hibah). Perbuatan hukum dua pihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi pihak (timbale balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa perbuatan hukum itu juga meliputi perjanjian-Perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Menyangkut apa yang telah di perjanjikan, masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan sebab di dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam AlQur'an antara lain dalam surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya berbunyi sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. (Dewan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990 : 156). Adapun yang dimaksud dengan akad atau Perjanjian adalah janji setia kepada Allah SWT, dan juga meliputi Perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya seharihari. Dari ketentuan hukum diatas dapat dilihat, bahwa apa pun alasannya merupakan suatu perbuatan melanggar hukum dan apabila seseorang itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, maka kepada pelakunya dapat dijatuhkan sesuatu sanksi. Penjatuhan sanksi tersebut dengan alasan melanggar Perjanjian atau yang dalam Istilah lain dinamakan dengan "wanprestasi". (Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, 1996 : 1-2). 2 B. SYARAT-SYARAT PERJANJIAN 1. Dalam Islam Secara umum yang menjadi syarat sahnya sesuatu Perjanjian adalah (Syyid Sabiq, 11. 1987:178-179): 1. Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati adanya. 2. Harus sama ridha dan ada pilihan. 3. Harus jelas dan gamblang. 1) Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati adanya. Maksudnya bahwa Perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari'ah, sebab Perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari'ah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati dan melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi Perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syari'ah), maka Perjanjian diadakan dengan sendirinya batal demi hukum. Dasar hukum tentang kebatalan sesuatu Perjanjian yang melawan hukum ini dapat dirujuki ketentuan hukum yang terdapat dalam Hadis Rasulullah SAW, yang artinya berbunyi sebagai berikut : "Segala sesuatu persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah bathil, sekalipun seratus syarat". (Sayid Sabiq. 11. 1987 : 178). 2) Harus sama ridha dan ada pilihan. Maksudnya Perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada ikatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha/rela akan isi perjajian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dan pihak yang satu 3 kepada pihak yang lain, dengan sendirinya Perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian. 3) Harus jelas dan gamblang. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi Perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian pada saat pelaksanaan / penerapan Perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam Perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh Perjanjian itu. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 1996:3-4). 2. Menurut Hukum Positif. Untuk sahnya suatu Perjanjian diperlukan empat syarat : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian: 3) Mengenai suatu hal tertentu: 4) Suatu sebab yang halal: Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau yang mengadakan Perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai Perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dengan sepakat, atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan Perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian 4 yang diadakan itu. Apa itu dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik : si penjual menginginkan sejumlah uang sedangkan si pembeli menginginkan sesuatu barang dari si penjual. Orang yang membuat sesuatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan: 3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UndangUndang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat peijanjia-perjanjian tertentu. Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu Perjanjian dan nantinya akan terikat oleh Perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatanya itu. Sedangkan dan sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu Perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung-jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu Perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh 5 pengampu atau kuratornya. (Subekti, 2004 : 17-18). C. BATALNYA PERJANJIAN 1. Dalam Islam. Secara umum tentang pembatalan Perjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar Perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam Perjanjian tersebut. Namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila : 1) Jangka waktu perjanjian telah berakhir 2) Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan; dan 3) Jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan) 1) Jangka waktu perjanjian telah berakhir. Lazimnya suatu Perjanjian selalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu (mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila telah sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis (langsung tanpa ada perbuatan hukum lain) batallah Perjanjian yang telah diadakan para pihak. Dasar hukum tentang hal ini dapat dilihat dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 4 yang artinya berbunyi sebagai berikut: "Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan Perjanjian (dengan mereka), dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi Perjanjianmu) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa". (Dewan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990:278). Dari ketentuan ayat diatas, khususnya dengan kalimat "penuhilah janji sampai batas waktunya”, terlihat bahwa kewajiban untuk memenuhi 6 perjanjian itu hanya sampai batas waktu yang telah diperjanjikan, dengan demikian setelah berlalunya waktu yang diperjanjikan maka Perjanjian itu batal dengan sendirinya. 2) Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian. Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan Perjanjian tersebut. Pembolehan untuk membatalkan Perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 7 yang artinya berbunvi sebagai berikut: "Maka selama mereka berlaku jujur (lurus, pen) terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus. pula terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa". (Dewan Penyelenggara penerjemah/Penafsir Al-Qura’n, 1990:278). Dari ketentuan ayat diatas, khususnya dalam kalimat "Selama mereka berlaku lurus terhadapmu hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka", dalam hal ini terkandung pengertian bahwa apabila salah satu pihak tidak berlaku lurus, maka pihak yang lain boleh membatalkan Perjanjian yang telah disepakati. Ketentuan hukum lain yang dapat dijadikan sebagai landasan pembatalan ini adalah surah At-Taubah ayat 12 dan 13 yang artinya berbunyi sebagai berikut: Ayat 12, artinya sebagai berikut: "Jika mereka merusak janji, sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin orang-orang yang ingkar tersebut (kafir), karena sesungguhnya mereka itu orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti". (Dewan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990:279). 7 Ayat 13, artinya sebagai berikut: "Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak janji, padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangimu. Apakah kamu takut kepada mereka?, padahal Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman". (Dewan Penyelenggara Penerjemah / Penafsiran Al-Qur'an, 1990:279). Dari ketentuan hukum yang terdapat dalam ketentuan surat AtTaubah ayat 12 tersebut bahwa boleh mengadakan pembatalan Perjanjian didasarkan kepada kalimat "perangilah pemimpin- pemimpin orang yang ingkar tersebut". Sedangkan dalam surat AtTaubah ayat 13 pembolehannya tergambar dalam kalimat "Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak janji". 3) Jika ada kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan): Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan telah pula ada bukti-bukti pengkhianatan bahwa terhadap apa salah satu yang telah pihak mengadakan diperjanjikan, maka Perjanjian yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak yang lainnya. Dasar hukum tentang ini dapat dipedomani ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Anfal ayat 58 yang artinya berbunyi sebagai berikut: "Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) ada pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat". (Dewan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1990:270). Pembolehan pembatalan dalam hal adanya kelancangan dan bukti 8 pengkhianatan ini dapat dipahamkan dari bunyi kalimat : "jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan...., maka kembalikanlah Perjanjian itu". Dari bunyi kalimat yang demikian berarti Perjanjian itu dapat dibatalkan apabila ada suatu bukti pengkhianatan. 2. Menurut Hukum Positif Dalam bab mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu Perjanjian, telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal), maka Perjanjianya adalah batal demi hukum (bahasa Inggris: null and void). Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada sesuatu Perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat Perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain didepan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatanya, menyatakan bahwa tidak pernah ada sesuatu Perjanjian atau perikatan. Apabila pada waktu pembuatan Perjanjian. ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif sebagaimana sudah kita lihat, maka Perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : Pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui Perjanjian itu secara tidak bebas. Sebab apa diadakan perbedaan antara Perjanjian-Perjanjian yang batal demi hukum dan Perjanjian-Perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan?. Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, dapat dikatakan bahwa Perjanjian yang demikian tidak dapat 9 dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masingmasing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang Perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa perjanjian-Perjanjian seperti itu harus dicegah. Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subyektifnya yang menyangkut kepentingan seorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya, seorang yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap Perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan Perjanjiannya atau tidak. Jadi Perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan. (Subekti, 2004 : 22-23). D. PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN Suatu Perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, Perjanjian- 10 Perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu: 1) Perjanjian untuk memberikan /menyerahkan suatu barang; 2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu; 3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan : prestasi. Perjanjian macam pertama misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, pinjam pakai. Perjanjian macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, Perjanjian untuk membikin sebuah garasi, dan lain sebagainya. Perjanjian macam ketiga, misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, Perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain, dan lain sebagainya. Suatu persoalan dalam hukum perjanjian, ialah apakah, jika si berutang (si debitur) tidak menetapi janjinya, si berpiutang (kreditur) dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu. Artinya : apakah si berpiutang (kreditur) dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut Perjanjian? Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan Perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi, tetapi bila seorang mendapat apa yang dijanjikan, itu adalah yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah- olah hanyalah suatu pengarem-arem saja. Dari itu apa yang dijanjikan itu, dinamakan : prestasi primair, sedangkan ganti rugi dinamakan : prestasi subsidair. Barang yang subsidair adalah barang yang menggantikan sesuatu barang lain, yang lebih berharga ! Kitab Undang-undang Hukum Perdata, memberikan sekedar petunjuk dalam menjawab persoalan tersebut diatas. Apakah suatu Perjanjian 11 mungkin dieksekusi dilaksanakan) secara riil itu ? petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. pasal-pasal ini, mengenai perjanjian-Perjanjian yang diatas tadi kita sebutkan tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjianPerjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan ) dan Perjanjian-Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan sesuatu perbuatan). Mengenai Perjanjian macam-macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. (Subekti, 2004 : 36-37). E. ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN 1) Asas kebebasan mengadakan Perjanjian (partij otonomi). 2) Asas konsensualisme(persesuaian kehendak) 3) Asas kepercayaan. 4) Asas kekuatan mengikat. 5) Asas persamaan hukum. 6) Asas keseimbangan 7) Asas kepastian hukum. 8) Asas moral 9) Asas kepatutan 10) Asas kebiasaan. F. MACAM SURAT PERJANJIAN Lahirnya suatu Perjanjian menurut pasal 1233 BW, yaitu dari 1). Persetujuan 2). Dan Undang-Undang. Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tertulis/surat dan lain-lain, berikut ini mengenai macam surat Perjanjian antara lain : 1) Surat wasiat, pasal 954 BW. 2) Surat Hibah, pasal 1666 BW. 3) Surat Perjanjian nikah, pasal 147 BW. 12 4) Surat Perjanjian perdamaian pemisahan harta, pasal 128 Jo 232 BW dan pasal 1066 BW. 5) Surat Perjanjian perdamaian dan pembagian warisan, pasal 1852 BW. 6) Akta persetujuan dimuka sidang, pasal 130 HER.. 7) Surat Kuasa (untuk membuat perjanjian perdamaian) pasal 1796 ayat 2 Jo pasal 1851 BW. 8) Surat Perjanjian sewa menyewa (persil), pasal 1548 BW. 9) Surat Perjanjian sewa-menyewa pekarangan, pasal 1548 BW. 10) Surat Perjanjian Jual-Beli (Rumah), pasal 1457 BW. 11) Surat Perjanjian CREDIET VER BAND (ikatan kridit). S. 1908 / 542 Jo. S. 1909/586; s. 1909/584. II. SURAT BERHARGA A. PENGERTIAN Dalam teori dan praktik maupun perundang-undangan, ada berbagai Istilah kata Surat Berharga yang sering digunakan terutama dalam literature Hukum Bisnis/Dagang, seperti Commercial Paper / CP, Negotiable Instrument, Waarde van Papieren. Selain itu Istilah surat berharga sendiri, dalam Mata kuliah Hukum Surat Berharga di fakultas Hukum, ada yang menggunakan Istilah surat berharga, kertas berharga, dan surat perniagaan. Pada awalnya Istilah atau nama mata kuliah ini digunakan nama Hukum Surat Berharga, kemudian sejak lima tahun lalu (kurikulum 1995) Istilah yang digunakan adalah Hukum Kertas Berharga. Istilah kertas berharga terjemahan dari bahasa belanda waarde van papieren, waarde berarti nilai dalam kitab undang-undang Hukum Dagang (KUHD), waarde diartikan "berharga", papier berarti kertas, yang berarti 'kertas berharga’ menurut penulis Istilah yang lebih tepat adalah Surat Berharga, karena pada dasarnya surat berharga adalah surat tanda bukti pembayaran utang yang 13 dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan selembar surat yang berisi keterangan berupa perintah atau janji si penerbit kepada siapa saja yang berhak terhadap surat tersebut, oleh karena itu, untuk selanjutnya dalam buku ini Istilah yang digunakan adalah Surat Berharga. Kalau kita cermati Istilah-istilah yang digunakan. Baik surat berharga, kertas berharga, dan surat perniagaan tersebut memiliki makna yang sama. Dalam praktik, kita juga mengenai Istilah "Surat Mempunyai Harga atau Surat yang Berharga", secara yuridis Istilah surat berharga dan surat yang berharga sangat berbeda fungsi dan penggunaannya. Surat berharga diterbitkan untuk alat bayar, sedangkan surat yang mempunyai harga (surat yang berharga) diterbitkan hanya sebagai alat bukti bagi orang yang namanya tertera dalam surat tersebut atau sebagai alat bukti diri bagi si pemegang atau orang yang menguasai surat yang mempunyai harga tersebut, misalnya surat Ijazah, hanya orang yang namanya tersebut dalam ijazah tersebut mempunyai hak untuk menggunakannya, demikian juga surat-surat yang mempunyai harga lainnya seperti : Kartu Tanda Penduduk atau KTP, Sertifikat, Piagam, tiket, surat deposito berjangka, tabanas, tiket, dan lain sebagainya. Perbedaan pokok lainnya antara surat berharga dengan surat mempunyai harga adalah terletak pada sifat mudah atau sukar diperjualbelikan, surat berharga bersifat mudah diperjualbelikan, sedangkan surat diperjualbelikan. yang Seperti mempunyai halnya Surat harga bersifat Berharga surat sukar yang mempunyai harga terdiri beberapa jenis, yaitu: 1. Surat Rekta. Surat rekta (rekta papieren) adalah suatu hak yang menurut undangundang dapat diberi bentuk sebagai surat berharga, tetapi karena para pihak menghendaki agar akta itu sukar untuk diperjualbelikan, maka akta itu diberikan bentuk tertentu sehingga menjadi yang 14 berharga atau yang mempunyai harga, misalnya wesel, menurut undang-undang dapat diberi bentuk sebagai surat berharga, tetapi bila surat wesel itu diberi bentuk "tidak kepada pengganti", maka surat wesel itu menjadi surat yang mempunyai harga. Hal ini diatur dalam pasal 110 ayat 2 KUHD, demikian juga halnya surat cek yang berklausula tidak kepada pengganti (pasal 191 ayat 2 KUHD), Carter partai dengan klausul atas nama (pasal 457 ayat 2 KUHD). Konosemen dengan klausula atas nama (pasal 506 ayat 2), saham atas nama (pasal 40 ayat 1 jo. Pasal 40 KUHD) dan lain-lain. 2. Surat Bukti Diri (LEGITIMATIE PAPER) Adalah surat tuntutan utang biasanya nama pemiliknya tidak disebutkan dalam akta, yang menimbulkan anggapan bahwa pemegangnya adalah yang berhak. Surat bukti diri itu diterbitkan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk sekedar mempermudah debitur dalam mengenai krediturnya, surat jenis ini mungkin ditandatangani, mungkin tidak. 3. Surat Pengakuan / Perintah Hutang Atas Nama Ada surat pengakuan utang atas nama yang diterbitkan dan ditandatangani oleh debitur dan diserahkan kepada kreditur dengan maksud untuk tidak diperjualbelikan. Jika surat pengakuan utang atas nama ini mau dialihkan kepada orang lain, maka penyerahannya harus dengan sesi, yang agak sulit dan selalu dapat diawasi oleh debitur, sebab surat itu harus ditandatangani oleh debitur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau KUHD, tidak diberikan pengertian atau definisi tentang Surat Berharga, demikian juga Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, hanya saja dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, definisi surat berharga berbeda dengan lazimnya pengertian yang disampaikan berbagai pakar hukum surat berharga. Menurut 15 ketentuan tersebut, "Surat berharga" adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. Dalam lalu lintas perdagangan surat berharga dapat dipeijualbelikan, karena surat tersebut merupakan penjelmaan dari suatu hak untuk mendapatkan suatu kekayaan berupa uang atau barang. Pada umumnya definisi yang lazim disampaikan oleh berbagai pakar hukum surat berharga lebih menunjukkan pada fungsi surat berharga, seperti: HMN. Purwosutjipto berpendapat, surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah dijual belikan. Abdul kadir Muhammad, surat berharga adalah suatu surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang. CST. Kansil, menggunakan Istilah surat berharga dengan surat perniagaan, menurut beliau surat perniagaan adalah surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan dalam dunia perniagaan, guna untuk memudahkan pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak ketiga. H. Boerhanoeddin Soetan Batoeah, surat berharga adalah suatu alat bukti dari suatu tagihan atas orang yang menandatangani surat itu, tagihan mana dipindahtangankan dengan penyerahan surat itu dan akan dilunasi sesudah surat itu ditunjukkan. Dalam kamus Istilah Ekonomi dan Pasar Modal, Negotiable Instrument adalah permintaan atau janji tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang yang mudah ditransfer dari satu orang kepada orang lain, misalnya cek, Promisorry note, draft. (KH. Munansa, 1995 : 259). Dalam kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, Waardepapier adalah suatu tanda bukti yang pembayarannya utangnya sudah dapat dilakukan hanya dengan cara memperlihatkan 16 surat, pemegangnya sudah dianggap sebagai penagih utang berhak. (1977:673). Dari beberapa definisi yang dijelaskan diatas, pada dasarnya memiliki kesamaan makna, bahwa surat berharga tersebut adalah alat bayar atau instrument pembayaran, dalam berbagai transaksi perdagangan sebagai pengganti uang pemegang surat berharga orang yang berhak atau dianggap berhak melakukan penagihan. (Joni Emirzon, 2002 : 14-17) B. FUNGSI SURAT BERHARGA Seperti halnya fungsi uang sebagai alat bayar, surat berharga juga berfungsi sebagai alat bayar yang kedudukannya menggantikan uang. Oleh karena itu, fungsi pokok surat berharga tersebut adalah alat bayar, selain surat berharga berfungsi sebagai alat bayar, berdasarkan beberapa pengertian atau defminisi yang disampaikan para ahli dan kamus hukum, secara ringkas dapat disimpulkan surat berharga mempunyai beberapa fungsi yaitu: 1. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi), artinya pemegang (holder) surat berharga berhak atas jumlah uang tertentu yang tercantum dalam surat berharga itu. Pemegang Surat Berharga dapat ditafsirkan dua acam yaitu pertama, pemegang yang secara formil, bahwa dia yang dianggap menguasai surat berharga tersebut, walaupun bukan nama yang memegang surat berharga tersebut, biasanya hal ini terjadi bila pemegang surat berharga tersebut mendapatnya dari pemegang pertama melalui peralihan yang sah, kedua, pemegang adalah orang tersebut namanya didalam surat berharga tersebut, secara material pemegang surat berharga ini adalah orang yang sesungguhnya pemilik dan berhak terhadap surat berharga tersebut, misalnya dapat kita baca dalam surat berharga berbunyi: "Bayarlah surat cek ini kepada Tuan Amir/pengganti sejumlah" 17 pada saat itu tuan Amir pemegang surat tersebut, maka Tuan Amir cukup menunjukkan surat tersebut kepada tersangkut tanpa perlu pembuktian apakah ia pemegang sesungguhnya atau tidak. Surat berharga yang berbentuk demikian terbuka kemungkinan dimiliki oleh pihak lain (pemegang berikutnya) apabila pemegang oleh orang (pemegang kedua) yang namanya bukan tersebut dalam surat berharga itu, maka ada cara peralihan telah ditentukan, bahwa dia mendapat surat berharga tersebut secara sah, misalnya peralihannya berdasarkan endosemen dari pemegang pertama, pemegang ini yang dikenal dengan legitimasi formil. 2. Alat memindahkan hak tagih, artinya pemegang dapat mengalihkan surat berharga kepada orang lain, baik dengan alasan jual beli maupun alasan lain yang sah menurut hukum peralihan surat berharga. 3. Alat pembayaran, artinya untuk kemudahan alat pembayaran, aman, praktis, lancar, dan mudah dalam lalu lintas bisnis. Dalam praktek hal ini terbukti, bahwa sangat membantu masyarakat, khususnya masyarakat pengusaha, mereka tidak perlu membawa uang tunai, cukup dengan lembaran surat berharga saja, seperti Surat Cek, Wesel, Surat Sanggup. 4. Pembawa Hak, artinya siapa saja pembawa surat berharga itu adalah berhak untuk menguangkan, tanpa dibuktikan lebih dahulu keabsahan perikatan dasar, maupun tanpa bukti itikad baik pemegangnya artinya hak atas surat berharga itu, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, dengan kata lain sepanjang pemegang surat berharga dapat membuktikan bahwa dia pemegang yang sah, maka dia secara hukum orang yang berhak terhadap surat tersebut. 5. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualkan dengan mudah atau sederhana), artinya bahwa siapa yang memiliki surat 18 berharga tersebut dapat dengan mudah memindahkan hak tagih kepada pihak lain, hal ini tergantung dengan bentuk klausula yang terdapat pada surat berharga tersebut. Apabila surat berharga tersebut berklausula atas tunjuk, maka dapat dengan mudah memindahkan kepada pihak lain, cukup dari tangan ke tangan saja, seperti memindahkan uang tunai, sedangkan surat berharga atas pengganti peralihannya melalui endosemen. Dalam perkembangan terakhir ini fungsi surat berharga tidak saja kelima fungsi di atas, namun telah berkembang ada beberapa surat berharga berfungsi sebagai objek perjanjian jual beli, misalnya Surat Berharga Komersial (Commercial Paper/CP), diterbitkan oleh penerbit untuk dipeijualbelikan di Pasar Uang dan Pasar Modal. Dengan demikian eksistensi surat berharga tersebut telah menjadi komoditi perdagangan yang cukup menguntungkan. Hal ini terbukti makin meningkatnya penggunaan surat berharga komersial dalam kegiatan bisnis di Indonesia. C. SYARAT-SYARAT UMUM SURAT BERHARGA. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, surat berharga berfungsi sebagai alat bayar, alat bukti untuk melakukan penagihan dan sebagainya. Untuk memenuhi fungsi tersebut suatu surat berharga harus memenuhi beberapa persyaratan. Kitab UndangUndang hukum Dagang (KUHD) tidak mengatur secara khusus mengenai persyaratan pokok suatu surat berharga, hanya saja mengatur tentang bentuk-bentuk surat berharga, dan hal-hal yang larus dimuat dalam suatu surat berharga seperti wesel, surat sanggup, cek, namun demikian, dari beberapa ketentuan yang mengatur isi surat-surat berharga tersebut dapat disimpulkan secara garis besar bahwa suatu surat berharga yang dimaksud dalam KUHD memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama surat berharga seperti: Wesel, Cek, Dll. 19 b. Perintah/janji takbersyarat c. Nama orang yang harus membayar d. Penunjukan hari gugur e. Penunjukan tempat, dimana pembayaran harus dilakukan. f. Nama orang, kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran itu harus dilakukan. g. Penyebutan tanggal, tempat surat berharga diterbitkan. h. Tanda tangan Penerbit. D. SYARAT KHUSUS SURAT BERHARGA Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap surat berharga harus memenuhi persyaratan umum, apabila tidak terpenuhi, maka surat berharga tersebut cacat, misalnya dengan isi surat berharga tidak sinkron atau tanda tangan penerbit palsu, dan lain sebagainya, sedangkan syarat khusus yang dapat dilihat pada masing bentuk surat berharga. tHD tidak menjelaskan apa saja syarat khusus pada setiap surat berharga. Syarat khusus ini dapat kita lihat dari bentuk surat berharga itu sendiri. Syarat khusus merupakan syarat yang membedakan surat berharga yang satu dengan yang lain atau ciri khas yang dimiliki setiap surat berharga, misalnya surat wesel harus ada kata "perintah" yang berbunyi "Bayarlah surat Wesel ini kepada dst". surat sanggup ada kata kesanggupan untuk membayar, yang berbunyi : “saya berjanji akan membayar sejumlah uang kepada dst". kemudian Bilyet Giro, adanya kata perintah pemindahan buku dari rekening penerbit kerekening orang yang disebutkan pada Bilyet Giro tersebut. Sertifikat Bank Indonesia, ada kata "Bank Indonesia mengikatkan diri untuk membayar pada tanggal....... kepada Pembawa jumlah....... dst". sertifikat Deposito, adanya kata "Dapat diperdagangkan", apabila sertifikat deposito tersebut tidak ada kata dapat diperdagangkan maka sertifikat Deposito tersebut bukan merupakan surat berharga. 20 Selain itu syarat khusus yang dapat kita ketahui dari setiap surat berharga adalah "Nomor seri" Setiap surat berharga apapun bentuknya memiliki nomor seri penerbitan sendiri, sehingga surat berharga yang satu dengan yang lain tidak akan memiliki nomor seri yang sama. Adanya nomor seri pada surat berharga adalah untuk alat kontrol baik bagi penerbit maupun tersangkut. Nomor-nomor seri adalah dibuat oleh tersangkut, karena tersangkut menyediakan blanko atau formulir surat berharga, sehingga Penerbit hanya mengisi kolom yang telah tersedia. E. BENTUK - BENTUK SURAT BERHARGA 1. Surat Wesel adalah surat yang memuat kata wesel didaiamnya, ditanggaii dan ditandatangani di suatu tempat, penerbit memberi perintah tanpa syarat kepada tersangkut untuk pada hari bayar membayar sejumlah uang kepada orang (penerima) yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu. 2. Surat sanggup adalah surat berharga yang memuat kata aksep atau promes, penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang disebut dalam surat sanggup itu penggantinya atau pembawanya pada hari bayar. 3. Surat Cek adalah surat berharga yang memuat kata cek, penerbitnya memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut dalam cek, penggantinya atau pembawanya pada saat ditunjukkan. 4. Carte partai adalah surat berharga yang memuat kata charterparty, yang membuktikan tentang adanya Perjanjian itu pencarteran kapal dalam mana sipenandatangan mengikatkan diri untuk menyerahkan sebagian atau seluruh ruangan kapal kepada pencarter untuk dioperasikan, sedangkan pencarter mengikatkan diri untuk membayar uang carter. 21 5. Konosemen adalah surat berharga yang memuat kata konosemen atau Bill of lading, yang merupakan tanda bukti penerima barang dari pengirim, ditandatangani oleh pengangkut dan yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barang yang disebut dalam konosemen itu.; 6. Delivery-order adalah surat berharga yang mencantumkan kata deliver-order (d/o) didalamnya dan merupakan surat perintah dari pemegang konosemen kepada pengangkut agar kepada pemegang d/o diserahkan barang-barang sebagai yang disebut dalam d/o, yang diambil dari konosemennya. 7. Surat Saham adalah surat berharga yang mencantumkan kata saham didalamnya, sebagai tanda bukti pemilikan sebagian dari modal perseroan. 8. Promes atas unjuk atau promes untuk pembawa adalah surat berharga yang ditanggali dimana penandatangannya sendiri berjanji akan membayar sejumlah uang yang ditentukan di dalamnya kepada tertunjuk, pada waktu diperlihatkan pada suatu waktu tertentu. Sedangkan bentuk-bentuk surat berharga yang diatur di luar KUHD meliputi: 1. Ceel adalah surat berharga sebagai tanda bukti penerimaan barang-barang untuk disimpan dalam veem, ditandatangani oleh pengusaha veem, yang memberi hak kepada pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barang sebagai disebut dalam ceel kepada pengusaha veem. 2. Surat Obligasi adalah surat berharga yang mencantumkan kata "obligasi" di dalamnya dan menyanggupi membayar/ mengembalikan jumlah pokok dengan bunga tertentu sebagai yang disebutkan dalam surat obligasi itu. 3. Sertifikat adalah surat berharga yang mencantumkan kata sertifikat di dalamnya dan merupakan tanda bukti penerimaan 22 uang, yang diterbitkan oleh bank-bank atau Badan Hukum lainnya atas sejumlah uang yang diserahkan kepada Bank atau badan hukum itu untuk suatu jangka waktu tertentu atau tidak terbatas, denagn membayar bunga atau uang pengganti deviden sebagai imbalannya dan dapat diperjualbelikan. 4. Sertifikat Deposito adalah surat berharga atas tunjuk dalam rupiah yang merupakan surat pengakuan hutang dari Bank dan LKBB dapat diperjualbelikan dalam pasar uang. 5. Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga atas tunjuk dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan system diskonto. 6. Bilyet Giro adalah surat perintah dan nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindah bukukan sejumlah dana yang tersebut namanya. 7. Surat berharga komersial (Commercial Paper/CP) adalah surat sanggup tanpa jaminan spesifik yang diterbitkan oleh perusahaan bukan Bank dan diperdagangkan melalui Bank atau perusahaan efek, berjangka waktu pendek dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. 8. Kartu Kredit, adalah suatu kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastic, dengan dibubuhi identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan hak terhadap.siapa kartu kredit diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran harga dan jasa atau barang yang dibeli ditempat-tempat tertentu. III. SURAT PERJANJIAN DAN SURAT BERHARGA MERUPAKAN ALAT BUKTI TULISAN A. Alat Bukti Tulisan / Surat. Dalam hukum Islam bukti tulisan adalah merupakan salah satu alat bukti selain pengakuan dan saksi, bukti tulisan merupakan akta yang 23 kuat sebagai alat bukti di pengadilan dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak. Pentingnya bukti tulisan / surat ini berdasarkan pada firman Allah Swt Q. S. Al Baqaroh (2) : 282 yang berbunyi: Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengaimlakan (apa yang ditulis itu) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya". Dan firman Allah Swt, Q. S. Al- Baqaroh (2): 283 yang berbunyi: Artinya : "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)". Para fuqaha dalam memahami ayat tersebut diatas berselisih pendapat tentang penggunaan alat bukti tulisan / surat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa alat bukti tulisan / surat sama dengan saksi adalah hal yang diajukan saja bukan diwajibkan. Sedangkan Daud Adz-Dzahiry mewajibkan bukti tertulis itu sama dengan saksi. Cukup beralasan jika tulisan / surat - surat dijadikan sebagai alat bukti disamping berdasarkan ayat Al-Qur'an tersebut diatas, sampainya AlQur'an dan Hadits kepada kita sekarang ini yang merupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui tulisan. Rosulullah Saw. mengirim surat-suratnya kepada raja-raja dan yang lainnya. Beliau menyampaikan 24 argumentasinya melalui surat- suratnya. Dan beliau tidak pernah memperlihatkan isi suratnya kepada orang yang diperintah untuk mengirimnya. Tidak pernah terjadi sekalipun sepanjang sejarah hidup beliau. Beliau menyerahkan suratnya yang telah disegelnya dan memerintahkan untuk diserahkan ke alamat yang dituju. Dan yang demikian itu sudah dimaklumi oleh orang yang mengetahui sejarah hidup beliau sehari-hari. Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : Artinya : "Tidak ada hak bagi seorang muslim wemasiatkan sesuatu miliknya ketika dia terbaring dua malam, kecuali hendaknya dia menuliskan wasiatnya itu disisinya". Maka sekiranya tidak dibenarkan berpegang pada bukti tulisan tertentu tidak ada artinya penuhsan wasiat. Menurut Ibnu Qayyim alJauziyyah, mengenai bukti tulisan ini ada tiga bentuk yaitu : Pertama : Bukti tulisan didalamnya oleh hakim dinilai telah terdapat sesuatu yang bisa dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan terhadap seseorang, sehingga impreative sebagai bukti yang mengikat. Para ulama dalam masalah ini telah berselisih pendapat, ada tiga riwayat dari Ahmad yang salah satunya menyebutkan bahwa apabila bukti tulisan itu telah diyakini sebagai tulisannya, dipandang sebagai bukti yang sah meskipun dia lupa apa isinya. Kedua : bukti tulisan tersebut tidak dipandang sebagai bukti yang sah, sampai dia telah mengingatnya. Ketiga : Bukti tulisan tersebut dipandang sebagai bukti yang sah apabila didapati arsipnya dan dia telah menyimpannya, jika tidak demikian maka tidak bisa dijadikan bukti yang sah. Yang menjadi patokan ialah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak boleh mengorbankan hukum material Islam, sudah seharusnya hukum 25 formal itu semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum material. Contoh alat bukti surat atau tulisan yang tidak boleh mengorbankan hukum material Islam adalah sebagai dibawah ini : A beragama Islam, sebelum wafat ia membuat akta Hibah dimuka notaries B, yang isinya memberikan dua pertiga bagian harta A kepada C (anak angkatnya) sedangkan masih banyak ahli waris yang lain yang belum mendapat bagian wansan dari A, karena kemudian A meninggal dunia. (kasus perkara No. 69 / Pdt. G / 2004 / PA. Sby.). menurut pasal 165 HIR/285 R.Bg/1868 BW, hibah tersebut otentik / sah oleh karena itu hakim harus menganggap hibah tersebut sah dan dapat dilaksanakan, sebab akta itu mempunyai kekuatan mengikat, yaitu harus dianggap benar tulisannya, sungguh-sungguh teijadi peristiwanya dan berlaku terhadap pihak ke tiga ataupun siapa saja. Tetapi bagaimana hukum material Islam, apakah sudah seperti yang dibuktikan oleh pasal 165 HIR/285 R.Bg/1868 BW itu? Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat 2, menyatakan : "Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya". Dalam pasal 210 nya menyatakan : orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Menurut hukum materiil Islam berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas surat hibah itu, tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan, karena maksimal hibah harta hanyalah sepertiga saja dari seluruh harta yang membuat hibah. Ada juga sebagian kecil ahli hukum Islam berpendapat surat hibah itu sah tetapi tidak dapat dilaksanakan. Hibah dua pertiga harta itu terjadi kemungkinan karena notaris tempat A membuat surat hibah tidak mengerti akan hukum Islam, atau mungkin 26 tidak beragama Islam, inilah yang penulis maksudkan bahwa pemakaian alat bukti tulisan atau surat tidak boleh megorbankan hukum material Islam. Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan / surat tercantum dalam pasal 138, 165, 167 HIR/pasal 164, 285-305 R.Bg dan pasal 18671894 BW serta pasal 138-147 RV. Pada asasnya didalam persoalan perdata, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya. Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainya sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formal maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. Yang dimaksud alat bukti tertulis atau surat menurut Ali Afandi adalah "sesuatu yang memuat suatu tanda yang dapat dibaca dan yang menyatakan suatu buah pikiran". Bukti surat menurut Abdul Kadir Muhammad adalah merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Menurut Sudikno Mertokusumo alat bukti tulisan / surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan ataupun meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis/surat. Bukti surat menurut I. Rubini dan Chidir Ali adalah suatu benda (bisa 27 berupa kertas, kayu, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tandatanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat). Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu : a. Akta b. Tulisan atau surat-surat lain Akta ialah : surat atau tulusan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatannya. Akta ini ada dua macam pula yaitu: a. Akta otentik dan b. Akta dibawah tangan. Berdasarkan definisi diatas dapat dipahami bahwa suatu surat dapat dianggap sebagai akta bilamana memiliki ciri sengaja dibuat dan ditanda tangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam KUH Perdata pasal 1867 sampai dengan pasal 1880 dan dalam pasal 165, pasal 167 HIR. akta otentik yaitu : surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisannya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut didalam surat itu. (pasal 165 HIR) 285 R.Bg/186 dan 1870 KUHPerdata). Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, panitera pengadilan, pegawai pencatat mkah, pegawai pencatat sipil, jurusita, hakim dan sebagainya. Menyimak dari apa yang tercantum dalam pasal 165 HIR dan pasal 1868 KUHPerdata, maka akta otentik dapat dibedakan lagi menjadi 28 dua bentuk, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu yang mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, singkatnya pembuatan akta itu inisatifhya datang dari pejabat itu sendiri bukan dari pihak yang namanya tercantum dalam akta tersebut tercantum dalam akta tersebut. Contohnya berita acara yang dibuat oleh panitera pengganti dipersidangan. Sedangkan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu adalah akta yang mana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukannya. Dengan ini akta dibuat oleh para pihak dan inisiatifnya datang dari pihak yang memerlukannya. Contohnya adalah akta jual beli yang dibuat dihadapan notaris. akta dibawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan yang dibuat dengan maksud dijadikan sebagai bukti, tetapi tidak dengan perantaraan seorang pejabat umum. Ketentuan mengenai akta dibawah tangan diatur dalam pasal dibawah tangan diatur dalam pasal 1874 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: "Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan surat-surat, register-register, suratsurat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum". Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan keduanya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hanya saja bila orang mengajukan suatu akta otentik maka ia tidak dibebani lagi pembuktian dan bagi siapa yang menyangkalnya maka harus mengadakan pembuktian. Sedangkan di dalam hal akta di bawah tangan kalau akta itu 29 disangkal, maka orang yang mempergunakan akta itu harus dibebani pembuktian. (Anshoruddin, 2004 : 64 - 73) B. Kekuatan Pembuktian Akta (alat bukti tulisan/Surat) Bila diperhatikan pasal 164 HIR, pasal 283 Rbg, dan pasal 1865 KUH Perdata, maka jelaslah bahwa bukti tulisan ditempatkan yang paling atas dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undangundang itu bukan imperative, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern, seperti dikatakan Prof. Subekti, dalam masyarakat yang sudah maju, tanda-tanda atau bukti yang paling tepat memanglah tulisan. Di atas telah penulis uraikan bahwa alat bukti tulisan (akta) itu dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan, dimana kedua jenis akta ini sama- sama diperuntukkan guna pembuktian, hanya saja kekuatan pembuktiannya tidak sama. Semua akta, baik akta autentik maupun akta dibawah tangan mempunyai funsi yang terpenting dari setiap akta. Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu: 1. Kekuatan pembuktian lahir. 2. Kekuatan pembuktian formil 3. Kekuatan pembuktian materiil. 1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracht) Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa bahwa sutu surat yang kelihatannya seperti akta, 30 harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Akta autentik mempunyai kekuatan lahir sesuai dengan asas "acta publica probant seseipsa", yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta autentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Beban pembuktian tentang otentisitas dari akta autentik terletak pada orang yang menyangkalnya, beban pembuktian mana terikat pada ketentuan-ketentuan khusus sebagai mana diatur dalam pasal 138 PUR (PASAL 164 Rbg, dan pasal 148 BW). Kekuatan pembuktian lahir dari akta autentik ini berlaku bagi keuntungan atau kepentingan setiap orang dan tidak terbatas pada kepentingan para pihak saja, di mana tanda tangan dari pejabat yang menandatangani akta itu diterima keabsahannya. "sebagai alat bukti maka akta autentik, baik akta pejabat (ambtelijke akten) maupun akta para pihak (partij akten) ini, keistimewaannya terletak pada kekuatan pembuktian lahir". 2. Kekuatan Pembuktian Formil (Formil Bewijskracht) Kekuatan pembuktian formal itu menyangkut pertanvaan : "benarkah bahwa ada pertanyaan?" jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pemyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. dalam akta autentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan didalamnya. Pada ambtelijke akten, pejabat pembuat aktalah yang menerangkan apa-apa yang dikonstatia oleh pejabat itu dan menuliskannya dalam akta, dan oleh sebab itu apa yang diterangkan oleh pejabat tadi telah pasti bagi siapapun, sepanjang mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan akta dan isi/keterangan dalam akta itu dalam party akten 31 sebagai akta autentik, bagi siapa pun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis di atas tanda tangan mereka. Dalam hal ini yang sudah pasti adalah : tanggal pembuatan akta, tempat pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para pihak serta saksi-saksi yang turut menandatangani akta tersebut, serta kepastian bahwa para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan / dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antar mereka sendiri. Akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian fotmal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui/tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta dibawah tangan, maka kekuatan pembuktian, formal dari akta dibawah tangan. Itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta autentik, dan dengan demikian dapat diterima kebenaran ucapan A. Pitlo yang menyatakan bahwa akta autentik dibawah tangan yang diperkuat. 3. Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele Bewijskracht). Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan: "benarkah apa yang dinyatakan /diterangkan" dalam akta itu? jadi menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Akta pejabat sebagai akta autentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu didalam menjalankan jabatannya. (Victor M. Situmorang & chormentyna Sitanggang, 1993 : 108-1 13). 32 Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Surat Perjanjian dan Surat Berharga merupakan alat bukti tulisan dan salah satu alat bukti selain pengakuan dan saksi serta merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti di pengadialan dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak .Demikian tulisan ini , semoga bermanfaat .- 33 DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, HUKUM DAGANG TENTANG SURAT-SURAT BERHARGA, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Anshoruddin, HUKUM PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA ISLAM DAN HUKUM POSITIF, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2004. Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, HUKUM PERJANJIAN DALAM ISLAM, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Imam Prayogo S & Djoko Prakoso, SURAT BERHARGA ALAT PEMBAYARAN DALAM MASYARAKAT MODERN, Rineka Cipta, Jakarta, 1995. Joni Emirzo, HUKUM SURAT BERHARGA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA, PT. Prenhallindo, Kakarta. Mariam Darus B. Dkk, KOMPILASI HUKUM PERIKATAN, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. M. Yahya Harahap, SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN, Penerbit Alumni, Bandung, 1986. S. Gautama, CONTOH-CONTOH KONTRAK, REKES & SURAT RESMI SEHARI-HARI, Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Subekti & R. Tjitrosudibio, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG DAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Subekti, HUKUM PERJANJIAN, PT. Intermas, Jakarta, 2004. Subekti dkk, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, Pradnya Paramita, Madiun & Djakarta, 1970. Victor M.S. & Chormentyna S. GROSSE AKTA DALAM PEMBUKTIAN DAN EKSEKUSI, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. 34