8 PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa yang penting dan rawan dalam perkembangan kehidupan seseorang. Pada masa ini, dorongan seksual seorang anak yang memasuki usia remaja akan meningkat. Hal ini disebabkan karena remaja sedang mengalami perubahan dalam hal seksual, yaitu matangnya kelenjar hipofisis yang merangsang pengeluaran hormon kelamin (Monks et. al., 1996). Hormon inilah yang menyebabkan tingginya libido atau dorongan seksual pada remaja. Remaja memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan banyak minat yang berkembang. Hurlock (1990) mengungkapkan bahwa pada masa remaja, seseorang mulai peduli dengan daya tarik seksual dan mulai merasakan campuran antara cinta dan nafsu birahi. Akibatnya remaja mulai sensitif dengan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya memenuhi rasa ingin tahunya mengenai masalah seksual, yaitu pembicaraan tentang proses hubungan seksual, pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan perkawinan, serta penyakit seksual (Luthfiedalam Fitriansary dan Muslimin, 2009). Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang merupakan usia antara masa kanak kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal proses reproduksi, sehingga perlu dipersiapkan sejak dini (Suryati, 2010) Menurut Undang Undang No 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Istilah remaja berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Wirawan, 2008). Dalam bahasa Inggris remaja disebut adolensence yang dalam bahasa Arab disebut at-tadarruj (berangsur angsur). Jadi artinya adalah berangsur angsur menuju kematangan fisik, akal, kejiwaan, dan sosial serta emosional (AlMighwar, 2006). Menurut pendapat Root, masa puber adalah suatu tahap perkembangan saat terjadi kematangan alat alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi. Tahap ini disertai dengan perubahan dalam pertumbuhan somatis dan perspektif 9 (Wilis, 2010). Sedangkan menurut pendapat Hurlock, masa puber adalah fase dalam rentang perkembangan ketika anak anak berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual. (Al-Mighwar, 2006). Masa remaja akhir ialah masa ketika seseorang individu berada pada usia 1718 tahun sampai dengan 21-22 tahun, dimana saat usia ini rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas (Santrock, 2003). Ketika remaja duduk dikelas terakhir biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan berada diambang perbatasan untuk memasuki dunia kerja orang dewasa. Masa remaja akhir adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 17-22 tahun. Pada masa ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. (Hurlock, 2005) Adolessense berasal dari kata adolescere yang artinya: “tumbuh”, atau ”tumbuh menjadi dewasa” untuk mencapai “kematangan”, kematangan adolessense mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, seksual dan fisik. Pada masa adolessense ini adalah masa terjadinya proses peralihan dari masa remaja atau pemuda ke masa dewasa. Jadi masa ini merupakan masa penutup dari masa remaja atau pemuda. Masa ini tidak berlangsung lama, oleh karena itu dengan kepandaiannya, seseorang yang dalam waktu relatif singkat sekali telah sampai kemasa dewasa. Banyak pendapat tentang masa adolescence ini akan tetapi pada umumnya, berkisar 17-19 / 20-21 tahun. Pada masa adolescence ini sudah mulai stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, anak mengenal akunya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya, pendiriannya sudah mulai jelas dengan cara tertentu. sikap kritis sudah semakin nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan dunia luar. Juga dia sudah mulai mencoba mendidik diri sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Maka dalam hal ini terjadi pembangunan yang esensial terhadap pandangan hidupnya, dan masa ini merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya. 10 Adapun sifat-sifat yang dialami pada masa adolescence ini adalah sebagai berikut (Santrock, 2003): a. Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai yang ada. b. Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupannya. c. Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik, waktu ia puber itu mudah tetapi melaksanakannya sulit. d. Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan. e. Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama, kultur, etis dan estetis serta ekonomis. f. Ia sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka dalam mentukan calon teman hidup, akan tetapi atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai aspek. g. Ia mulai mengambil atau menentukan sikap hidup berdasarkan system nilai yang diyakininya. h. Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebar antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah. Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya, antara lain boleh atau tidaknya pacaran, melakukan onani, nonton film porno, atau berciuman. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang kurang sehat di kalangan remaja. Pemahaman yang benar tentang seksualitas manusia amat diperlukan khususnya para remaja demi perilaku seksualnya di masa dewasa sampai mereka menikah dan memilki anak (Soetjiningsih, 2007) Menurut Soetjiningsih (dalam Prajaningtyas, 2009) faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu faktor individual (self esteem dan religiusitas), faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), faktor diluar keluarga (pergaulan dengan teman sebaya dan media pornografi). Salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seks pranikah yaitu faktor religiusitas. Faktor religiusitas menjadi penting guna menanggulangi perilaku seks bebas karena ideologi agama menjadi pokok pemecahan dalam penanganan seks bebas. 11 Hal yang mendasari terjadinya seks bebas salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang agama. Sifat dari agama ialah mengatur, menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan manusia agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan di masyarakat. Ajaran moral yang diajarkan agama dapat menjadi pegangan utama bagi para pemeluknya, sehingga dengan agama itulah manusia akan menahan diri dari perilaku seks bebas. Apabila rasa cinta kepada Tuhan tertanam pada diri seseorang, diharapkan seseorang akan takut serta menghindari segala perbuatan yang dilarang oleh agamanya. Religiusitas diartikan sebagai pengalaman religius yaitu pengalaman emosi yang diperoleh melalui interpretasi religius atau spiritual. Pengalaman spiritual menurut Maslow (dalam Jaenudin, 2012) adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai manusia serta merupakan peneguhan dan keberadaaanya sebagai makhluk spiritual. Sedangkan Allport (1967) mendefinisikan religiusitas sebagai kematangan beragama. Kematangan beragama adalah sebuah karakter utama yang dilandasi tiga faktor, yaitu kemampuan memahami sifat kepribadian, melalui objektivikasi diri atau memahami filsafat kehidupan. Menurut Delamater (dalam Widyastuti, 2009) orang yang tekun dalam beribadah cenderung lebih rendah perilaku seksualnya dibandingkan yang kurang tekun dalam beribadah. Delamater juga mengungkapkan bahwa institusi yang terorganisasi salah satunya agama sangat berperan dalam membentuk nilai dan standard pada diri seseorang. Sedangkan menurut Hewatdan Baets (dalam Theresia, 2012) agama tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan kejahatan. Hanya dengan rajin sembahyang atau berdoa belum tentu seseorang tidak akan berbuat dosa. Banyak orang yang rajin sembahyang hanya sekedar untuk mengikuti arus saja, banyak juga yang menggunakan agama hanya sebagai sebuah identitas yang tertera pada kartu penduduk (KTP). Namun tidak menutup kemungkinan bila seseorang sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya kejahatan akan menurun. Sebab tidak ada satu agamapun yang membenarkan perilaku pencurian, perampokan, dan perilaku kejahatan lainnya. Beberapa penelitian telah dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Indriastuti (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada 12 hubungan negatif dan signifikan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan untuk melakukan hubungan seks pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Bhakti (2010) mendukung penelitian Indriastuti (2005) yaitu ada hubungan negatif antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks bebas pada remaja di lokalisasi Bawen. Namun, dalam penelitian Theresia (2012), menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu tidak ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pada remaja. Dari studi/ survei pendahuluan yang diperoleh penulis melalui wawancara terhadap 15 mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW yang didapatkan bahwa 5 orang mahasiswa pernah menonton film porno dari telepon genggamnya, situs internet, dan melalui kaset hasil rekaman. Di samping itu juga menyatakan bahwa perilaku berpacaran mahasiswa yang melibihi batas seperti berciuman dan meraba bagian tubuh. Adanya perbedaan pendapat dan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu mengenai tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, maka penulis tertarik untuk mengkaji ulang apakah ada hubungan antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Perilaku Seks Pranikah Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah (Sarwono, 2005). Lebih lanjut Sarwono mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Semantara Luthfie (dalam Amrillah dkk, 2001) mengungkapkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah prilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu. Simanjuntak (dalam Prastawa & Lailatushifah, 2009) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai dengan bersenggama yang 13 dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah. Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual seperti bergandengan tangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama. Tahap Perilaku Seks Pranikah Tahap perilaku seksual remaja pada diagram group dalam buku Sex: A user’s Manual yang dimodifikasi Soetjiningsih (dalam Prajaningtyas, 2009) dapat dirinci sebagai berikut: (a). Berpegangan tangan; (b). Memeluk/dipeluk bahu; (c). Memeluk/dipeluk pinggang; (d). Ciuman bibir; (e). Ciuman bibir sambil pelukan; (f). Meraba/diraba di daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian; (g). Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan berpakaian; (h). Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian; (i). Meraba/diraba di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian; (j). Mencium/ dicium di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian; (k). Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak berpakaian; (l). Berhubungan seksual. Pengertian Religiusitas Glock dan Stark (2003) menyatakan bahwa religiusitas merupakan sistem timbul, nilai, keyakinan dan sistem perilaku yang terlembaga yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Hawari menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehri-hari, berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas yang tidak tampak dalam hati seseorang (Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, 2005 dalam Kurniawan, 2008). Jadi, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah ketaatan, kesolehan perilaku, dan 14 keyakinan seseorang di dalam menjalankan ajaran agamanya, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan ibadah. Aspek-aspek Religiusitas Menurut Glock dan Stark (dalam Prajaningtyas, 2009)dimensi religiusitas meliputi lima hal yaitu: a. Ideologis atau keyakinan yang menunjuk pada tingkat keyakinan atau keimanan seseorang b. Ritualistik atau peribadatan menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agamanya. c. Eksperiensial atau pengalaman menunjuk pada seberapa jauh tingkat kepekaan seseorang dalam merasakan pengalaman-pengalaman religiusnya. d. Intelektual atau pengetahuan menunjuk pada tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. e. Konsekuensial atau penerapan menunjuk pada seberapa jauh seseorang mampu menerapkan ajaran-ajaran agamanya dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Pengertian Remaja Akhir Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) masa remaja akhir ialah masa ketika seseorang individu berada pada usia 18 tahun sampai 23 tahun, dimana saat usia ini rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas atau perguruan tinggi. Ketika remaja duduk dikelas terakhir biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan berada diambang perbatasan untuk memasuki dunia kerja orang dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12-23 tahun. Pada masa ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. (Hurlock, 2005) 15 Adolessense berasal dari kata adolescere yang artinya: “tumbuh”, atau ”tumbuh menjadi dewasa” untuk mencapai “kematanga”, kematangan adolessense mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, seksual dan fisik. Pada masa adolessense ini adalah masa terjadinya proses peralihan dari masa remaja atau pemuda ke masa dewasa. Jadi masa ini merupakan masa penutup dari masa remaja atau pemuda. Masa ini tidak berlangsung lama, oleh karena itu dengan kepandaiannya, seseorang yang dalam waktu relatif singkat sekali telah sampai kemasa dewasa. Banyak pendapat tentang masa adolescence ini akan tetapi pada umumnya, berkisar 17-19 atau 20-21 tahun. Pada masa adolescence ini sudah mulai stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, anak mengenal aku-nya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya, pendiriannya sudah mulai jelas dengan cara tertentu. sikap kritis sudah semakin nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan dunia luar. Juga dia sudah mulai mencoba mendidik diri sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Maka dalam hal ini terjadi pembangunan yang esensial terhadap pandangan hidupnya, dan masa ini merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya. Adapun sifat-sifat yang dialami pada masa adolescence ini adalah sebagai berikut (Santrock, 2003): a. Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai yang ada. b. Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupannya. c. Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik, waktu ia puber itu mudah tetapi melaksanakannya sulit. d. Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan. e. Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama, kultur, etis dan estetis serta ekonomis. f. Ia sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka dalam mentukan calon teman hidup, akan tetapi atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai aspek. 16 g. Ia mulai mengambil atau menentukan sikap hidup berdasarkan system nilai yang diyakininya. h. Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebar antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah. Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Akhir Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual (Santrock, 2003). Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum nikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran, meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi fakta menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan perilaku seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, lingkungan keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa (Kosmopolitan dalam Mayasari, 2000). Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual pada remaja yaitu yang pertama, hubungan keluarga dimana kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap anak, kurangnya kasih sayang orangtua, banyaknya konflik dalam keluarga dapat memicu munculnya perilaku seksual pranikah. Kedua, Pengaruh penyebaran 17 informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih sering kali diimitási oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Ketiga, Adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat juga memicu perilaku seksual pranikah pada remaja. Keempat, Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Kelima, Perbedaan jenis kelamin, dimana remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Keenam, Norma-norma agama dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Norma-norma agama yang berlaku, yang merupakan mekanisme kontrol sosial akan mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan agama. Faturrochman (dalam Rahmawati, 2002) juga menyatakan bahwa sumber utama dari faktor eksternal yang memengaruhi perilaku seksual pranikah adalah adanya kontrol sosial berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat. Individu yang rajin beribadah akan semakin sering menerima pesan-pesan yang melarang hubungan seks sebelum menikah sehingga individu akan cenderung kurang permisif dalam sikap dan perilaku seksual. Hal senada juga dinyatakan oleh Pratiwi (dalam Sinuhaji, 2006) yang mengatakan bahwa perilaku seksual remaja disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, dimana remaja yang memiliki penghayatan yang kuat mengenai nilai-nilai keagamaan, integritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari perilaku yang produktif. Penelitian yang di lakukan Shirazi dan Morowatisharifabad, (2009) menggunakan 2 metode yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan 15 mahasiswa yang bertujuan untuk mengetahui pandangan mereka tentang Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), data yang didapat 18 menunjukkan bahwa rata-rata dari mereka cukup baik didalam menerima informasi tentang cara mencegah HIV AIDS . Sebagian besar dari partisipan setuju bahwa keterlibatan agama memiliki peran penting dalam mencegah AIDS. Partisipan memiliki sikap yang positif didalam melakukan perilaku seks yang aman. Sekitar 50% dari partisipan meyakini bahwa seorang laki-laki yang belum menikah tidak boleh berhubungan seks. Semua partisipan adalah Muslim Syiah dan rata-rata berusia 23 tahun, dilaporkan bahwa mayoritas dari mereka yaitu sebanyak 55% memiliki nilai religiusitas yang tinggi, dan 20% dari mereka memiliki hubungan seksual. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa mahasiswa yang belum pernah berhubungan sex memiliki sikap yang lebih mendukung terhadap norma-norma untuk tidak melakukan hubungan sex sebelum menikah dibanding mereka yang aktif secara seksual. Selain itu, partisipan yang sudah melakukan seks memiliki self-efficaccy yang lebih rendah didalam menolak hubungan seks. Selanjutnya, Shirazi dan Morowatisharifabad (2009) ditemukan bahwa skor religiusitas yang lebih tinggi berkorelasi dengan kontak seksual yang lebih rendah, self-efficay yang lebih tinggi, serta sikap yang lebih positif untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Mahasiswa yang memiliki religiusitas tinggi 5 kali lebih mungkin untuk tidak berhubungan seksual sebelum menikah. 3,04 kali lebih mungkin memiliki self-efficacy untuk menolak seks sampai mereka menikah, dan 4,55 kali lebih mungkin untuk memiliki sikap positif untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Penelitian lain juga membahas tentang pengaruh religiusitas, peran orang tua, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual beresiko pada remaja. Di dalam penelitian yang di lakukan oleh Landor, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) dipaparkan bahwa perilaku seksual beresiko di kalangan remaja adalah sebuah masalah sosial yang sering mengakibatkan berbagai hasil negatif pada kesehatan. Hasil negatif yang mungkin saja ditimbulkan dari perilaku seks beresiko ini antara lain seperti Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan. 19 Menurut Landor, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) salah satu faktor yang dapat mengurangi perilaku seks beresiko adalah agama. Pada penelitian ini sampel berjumlah 612 orang yang di dalamnya adalah remaja dan orang tua keturunan Afrika Amerika yaitu 277 berjenis kelamin laki-laki dan 335 perempuan. Di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 89% dari orang tua menganggap pentingnya sebuah agama dan keyakinan spiritual dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa komitmen beragama pada orang tua berhubungan positif terhadap meningkatnya pola asuh otoritatif dan religiusitas remaja. Landor, Simons, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) juga menemukan bahwa remaja yang religius cenderung berafiliasi dengan kelompok sebayanya yang menolak perilaku seksual yang beresiko. Pada akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas orang tua berfungsi sebagai faktor pelindung dan kontrol sosial bagi para remaja di dalam mengurangi kemungkinan melakukan perilaku seksual beresiko. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW METODE PENELITIAN Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional dengan variabel bebas Religiusitas dan variabel tergantung perilaku seksual pranikah pada remaja. Dengan teknik korelasional, peneliti dapat mengetahui hubungan variasi dalam sebuah variabel dengan variabel lain. Besar atau tingginya hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. 20 Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Mahasiswa Psikologi UKSW yang aktif sebanyak 553 orang. Dengan sampel penelitian Mahasiswa Psikologi UKSW mulai dari angkatan 2010 sampai angkatan 2013. Dalam melakukan pengambilan sampel, dilakukan dengan cara purposivesampling yaitu pengambilan sampel dengan ciri atau sifat tertentu. Adapun ciri-ciri sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Remaja yang berusia antara 19-23 tahun 2. Sedang menjalani hubungan dengan pacar 3. Belum menikah Instrumen Penelitian Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan skala penilaian, yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi karakteristik dan aspek yang diukur dan harus dijawab oleh orang yang menjadi subyek penelitian. Skala penilaian yang digunakan ada dua buah, untuk mengukur religiusitas berdasarkan kisi-kisi dari Glock dan Stark (2003). Sedangkan skala penilaian yang satunya mengukur perilaku seksual pranikah berdasarkan kisi-kisi Soetjiningsih (dalam Prajaningtyas, 2009). Pengujian validitas untuk kuesioner religiusitas, dari 40 butir item yang diujikan kepada 56 responden, diperoleh 36 butir item kuesioner dinyatakan valid, sedangkan 4 butir item tidak valid, yaitu item soal nomer 9, 23, 25 dan 27. Azwar (2012) menjelaskan batas valid item butir > 0,30, dikarenakan item soal nomer 9, 23, 25 dan 27 memiliki nilai r hitung dibawah 0,30 maka dianggap gugur. Pada kuesioner religiusitas, koefisien korelasi bergerak dari 0,376 sampai dengan 0,654. 21 Tabel 1. Item Valid dan Gugur Pada Skala Religiusitas No. 1. Aspek Ritual Involvement (Praktek Agama) 2. Ideological Involvement (Keyakinan) 3. Intelectual Involvement (Pengetahuan beragama) 4. Experential Involvement (Pengalaman Beragama) 5. Item Favourable Unfavourable 1, 11, 21, 31 6, 16, 26, 36 8 8, 18, 28, 38 2, 12, 22, 32 8 9*, 19, 29, 39 3, 13, 23*, 33 6 10, 20, 30, 40 4, 14, 24, 34 8 5, 15, 25*, 35 7, 17, 27*, 37 6 Valid Consequential Involvement (Pengamalan) Jumlah 20 20 36 Sedangkan untuk uji validitas kuesioner perilaku seks pranikah, didapatkan 12 butir kuesioner semuanya dinyatakan valid, artinya keduabelas item butir angket tidak ada yang gugur karena nilai r hitung lebih besar dari 0,30. Pada kuesioner perilaku seks pranikah, koefisien korelasi bergerak dari 0,543 sampai dengan 0,849. 22 Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah No. Aspek 1. Berpegangan tangan 2. Memeluk/ dipeluk bahu 3. Memeluk/ dipeluk pinggang 4. Ciuman bibir 5. Ciuman bibir sambil pelukan 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Sudah Belum 12 12 Meraba/diraba di daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan berpakaian Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian Meraba/diraba di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak berpakaian Berhubungan seksual Jumlah 23 Tabel 3. Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah No. Aspek 1 Ritual Involvement (Praktek Agama) Indikator F UF Item a. Berdoa sebelum melakukan sesuatu b. Mengikuti upacara keagamaaan c. Membaca kitab suci setiap hari 4 4 8 4 4 8 4 4 8 4 4 8 4 4 8 d. Menjalankan kewajiban agama e. Meluangkan waktu untuk berdoa 2 Ideological a. Percaya akan adanya surga/neraka Involvement b. Percaya akan kebenaran firman (Keyakinan) c. Meyakini bahwa setelah kehidupan ada kehidupan yang kekal d. Meyakini bahwa Tuhan memberikan petunjuk e. Meyakini adanya hari kiamat 3 Intelectual Involvement a. Mengikuti pengajian/khotbah keagamaan (Pengetahuan b. Mempelajari kitab suci beragama) c. Membaca buku rohani d. Mengikuti acara keagamaan e. Memahami ajaran agama yang dianut 4 Experential a. Merasa Tuhan mendengar doanya Involvement b. Merasa Tuhan menyayangi (Pengalaman c. Merasa pernah mendapat anugrah Beragama) dari Tuhan d. Merasa Tuhan ada dalam hidupnya 5 Consequential Involvement (Pengamalan) a. Memaafkan orang lain yang berbuat salah b. Mendoakan orang lain 24 c. Mengucap syukur dalam segala situasi d. Menolong orang lain Jumlah 20 20 40 Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan minimal koefisien internal paling tidak setinggi 0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar maka dari kedua tabel dapat diambil kesimpulan bahwa Skala Religiusitas dan Skala Perilaku SeksualPranikah adalah reliabel dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,927 untuk Skala Religiusitas dan 0,921 untuk Skala Perilaku Seksual Pranikah. Untuk menganalisa data dalam penelitian ini menggunakan perhitungan statistik, yaitu uji korelasi Spearman karena menguji keeratan pengaruh antara dua variabel yang datanya ordinal. Alasan digunakannya analisis Spearman dikarenakan salah satu skala penelitian memiliki data yang tidak normal. Pada pengujian normalitas data, Skala Religiusitas dengan nilai signifikansi 0,918 dan Skala Perilaku Seksual Pranikah dengan nilai signifikansi 0,017. Data dikatakan normal jika nilai signifikansi p > 0,050, oleh karena Perilaku Seksual Pranikah di bawah 0,050, yaitu 0,07 < 0,050 maka data dikatakantidak normal. Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan dengan program komputer SPSS for Windows Release 17.0. Prosedur Pengambilan Data Sebelum dilakukan penelitian, penulis melakukan ujicoba angket terlebih dahulu demi kelancaran proses sebelum angket tersebut benar-benar disebarkan, dan hasilnya dari sepuluh angket yang di uji cobakan kepada sepuluh mahasiswa laki-laki dan perempuan, mereka rata-rata memiliki perilaku seksual yang cukup tinggi dengan tingkat religiusitas yang relatif rendah. Penelitian dilaksanakan pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW dari angkatan 2010 sampai dengan angkatan 2013. Populasinya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW. Sedangkan sampel yang diperoleh sebanyak 56 orang responden yang ditemui secara purposive sampling, yaitu mahasiswa fakulas Psikologi yang ditemui dan memenuhi kriteria dalam fase remaja dijadikan 25 sebagai sampel penelitian. Peneliti melakukan pengambilan data dengan cara menyebar angket religiusitas dan perilaku seksual pranikah pada tanggal 17 juli 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penyebaran data dilaksanakan tanggal 17sampai 21bulan Juli tahun 2014, di area sekitar Fakultas Psikologi UKSW. Penelitian dilakukan dengan teknik purposivesampling, yaitu pengambilan sampel dengan ciri mahasiswa psikologi UKSW berusia 19-23 tahun. Populasi adalah seluruh mahasiswa psikologi UKSW, dengan sampel yang berjumlah 56 orang berstatus “aktif berkuliah” yang terdiri dari mahasiswa angkatan 2010 sampai angkatan 2013. Berdasarkan uji validitas, koefisien korelasi yang bergerak dari 0,376 sampai dengan 0,654 pada Skala Religiusitas dan koefisien korelasi bergerak dari 0,543 sampai dengan 0,849 pada Skala Perilaku Seksual Pranikah.Skala penelitian dikatakan valid jika nilai r hitung yang diperoleh melebihi r tabel 5% yaitu 0,361. Oleh karena Skala Religiusitas dan Skala Perilaku memiliki nilai r hitung di atas 0,361 maka dinyatakan valid. Kemudian pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan minimal koefisien internal paling tidak setinggi 0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar maka dari kedua tabel dapat diambil kesimpulan bahwa Skala Religiusitas dan Skala Perilaku SeksualPranikah adalah reliabel dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,927 untuk Skala Religiusitas dan 0,921 untuk Skala Perilaku Seksual Pranikah. Berdasarkan Analisa Deskriptif Statistik, didapatkan kategori tingkat religiusitas sebagai berikut, 1 mahasiswa berada pada rentang 36 < x ≤ 63 dengan tingkat religiusitas sangat rendah. Sedangkan pada tingkat religiusitas rendah dengan rentang 64 < x ≤ 90 yang berjumlah 11 mahasiswa. Pada rentang 91 < x ≤ 117 dengan tingkat religiusitas Tinggi berjumlah 20 orang. Tingkat religiusitas sangat tinggi dengan rentang 118 < x < 144 yang berjumlah 24 mahasiswa. 26 Dengan demikian 78,6% atau 44 Mahasiswa Psikologi UKSW memiliki tingkat religiusitas sangat tinggi sampai tinggi pada rentang 91 < x < 144. Tabel 4 Kategorisasi Tingkat Religiusitas Mahasiswa Psikologi UKSW No. Interval Kategori N Prosentase Kumulatif Prosentase 1. Sangat Tinggi (118 < x < 144) 24 42.9 42.9 2. Tinggi (91 < x ≤ 117) 20 35.7 78.6 3. Rendah (64 < x ≤ 90) 11 19.6 98.2 4. Sangat Rendah (36 < x ≤ 63) 1 1.8 100 56 100 Min: 36 Max: 144 Total Sedangkan pada kategorisasi perilaku seksual pranikah didapatkan hasil sebagai berikut, 3 mahasiswa berada pada rentang 1 < x ≤ 3 dengan perilaku seksual pranikah yang sangat rendah. Sedangkan pada perilaku seksual pranikah yang rendah dengan rentang 4 < x ≤ 6 berjumlah 3 mahasiswa. Pada rentang 7 < x ≤ 9 dengan perilaku seksual pranikah tinggi berjumlah 16 orang. Perilaku seksual pranikah sangat tinggi berada pada rentang 10 < x < 12 yang berjumlah 34 mahasiswa. Dengan demikian 89,2% atau 50 Mahasiswa Psikologi UKSWmemiliki perilaku seksual pranikah sangat tinggi sampai tinggi pada rentang7 ≤ x ≤ 12. 27 Tabel 5 Kategorisasi Perilaku Seksual Pranikah Mahasiswa Psikologi UKSW No. Kumulatif Interval Kategori N Prosentase 1. Sangat Tinggi (10≤ x ≤ 12) 34 60.6 60.6 2. Tinggi (7≤ x ≤9) 16 28.6 89.2 3. Rendah (4≤ x ≤6) 3 5.4 94.6 4. Sangat Rendah (1≤ x ≤3) 3 5.4 100 56 100 Min: 1 Max: 12 Total Prosentase Hasil penelitian menunjukkan bahwa Religiusitas signifikan berkorelasi dengan Perilaku Seksual Pranikah dengan r = 0,286 dengan p = 0,033 < 0,05. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pula sumbangan efektif Perilaku Seksual Pranikah sebesar 0,082% (didapatkan darir2 = 0,2862)pada Tingkat Religiusitas Mahasiswa Psikologi UKSW. Sedangkan 99,918% pada Tingkat Religiusitas Mahasiswa Psikologi UKSW dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Tabel 6 Uji Spearman Correlations Skor Religiusitas Spearman's Skor rho Religiusitas Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Skor Correlation Coefficient Perilaku Seksual Sig. (2-tailed) Pranikah N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Skor Seksual 1.000 .286* . .033 56 56 .286* 1.000 .033 . 56 56 28 Pembahasan Berdasarkan hasil uji spearman yang diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,286 dengan signifikansi p = 0,033< 0,05. Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1 ditolak dan H0 diterima yang artinya menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW. Dari hasil penelitian ini mengejutkan bagi peneliti, dikarenakan penelitian oleh Theresia (2012) mengungkapkan hal yang sebaliknya “ada hubungan negatif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku seksual pada remaja yang berpacaran”. Hasil penelitian ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriastuti (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan untuk melakukan hubungan seks pada remaja. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhakti (2010) mendukung penelitian Indriastuti (2005) yaitu ada hubungan negatif antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks bebas pada remaja di lokalisasi Bawen. Lebih lanjut, adanya hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW diduga disebabkan oleh beberapa alasan, pertama prinsipprinsip religiusitas yang tertanam dalam diri remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW sudah terinternalisasi dengan baik, namun tidak menjadi acuan atau pedoman dalam berprilaku. Karena dalam kenyataannya remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW masih tetap melakukan perilaku seksual pranikah dan tidak ragu untuk melanggar norma-norma dan aturan agama. Hal ini dikuatkan Koentjoro (dalam Wijayanto, 2003) yang berpendapat bahwa agama belum bisa dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan moral secara maksimal oleh remaja dalam mengatur sikap dan tingkah laku. Kedua, rangsang lingkungan yang buruk dan terbuka dalam hal seksualitas seperti lingkungan kost atau rumah kontrakan sangat memengaruhi tingkat religiusitas remaja akhir terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perilaku 29 seksual pranikah serta memberikan dampak yang negatif bagi perkembangan kepribadiannnya, mengingat remaja akhir merupakan pihak yang mudah terpengaruh dan sedang berada pada periode ingin tahu serta ingin mencoba apa yang dilihat dan didengarnya tanpa menghiraukan norma-norma dan aturan agama yang berlaku (Masrun dalam Kusumaningrum, 2002) Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual (Santrock, 2003). Periode remaja merupakan masa yang telah matang dari segi biologis dan dapat menjalankan fungsi seksualnya. Sesuai dengan kematangannya itu maka muncul pada diri remaja yaitu dorongan-dorongan ingin berkenalan dan bergaul dengan lawan jenis. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian diwujudkan dalam bentuk berpacaran di antara mereka (Sarwono, 2005). Adanya rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik antara remaja dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual pranikah dalam pacaran Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000). Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Kasus mengenai perilaku seksual pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Sementara 30 di masyarakat terjadi pergeseran nilai–nilai moral yang semakin jauh sehingga masalah tersebut sepertinya sudah menjadi hal biasa, padahal perilaku seksual pranikah merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu. Penelitian ini juga didukung oleh hasil Baseline survei Lentera-Sahaja PKBI Yogyakarta memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking (berciuman sampai ke daerah dada), petting ( hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung), sampai hubungan seksual (Potret remaja, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja (CMR) Medan, Sumatra Utara, diperoleh ada lima tahapan yang sering dilakukan oleh remaja yaitu: dating ( berkencan), kissing(berciuman), necking (berciuman sampai ke daerah dada), petting (hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam dan alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung) dan coitus (hubungan seksual secara langsung). Data yang diperoleh bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 menunjukkan data angka sebesar 722 kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 1 % diantaranya dilakukan oleh remaja (belum menikah). Faktor penyebab dari perilaku tersebut antara lain yaitu informasi tentang seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan terhadap agama serta lemahnya hubungan dengan orang tua(dalam Amrillah, 2005). Penelitian sahabat remaja (2002) menunjukkan bahwa 3,6% remaja di kota Medan, 8,5% remaja di kota Yogyakarta, 3,4% remaja di kota Surabaya dan 31,1% remaja di kota Kupang telah terlibat melakukan hubungan seks pranikah. Angka-angka tersebut sekaligus menunjukkan seberapa besar remaja terancam penyakit menular HIV, atau AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak kalah pentingnya adalah tanggung jawab moral yang tidak hanya ditanggung oleh remaja itu sendiri tapi juga keluarga, pendidik, dan masyarakat. 31 Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum nikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran, meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi fakta menunjukkan kecenderungan bujukan yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Ironisnya, atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan perilaku seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, lingkungan keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa (Mayasari, 2000). Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual pada remaja yaitu yang pertama, hubungan keluarga dimana kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap anak, kurangnya kasih sayang orangtua, banyaknya konflik dalam keluarga dapat memicu munculnya perilaku seksual pranikah. Kedua, Pengaruh penyebaran informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih sering kali diimitási oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Ketiga, Adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat juga memicu perilaku seksual pranikah pada remaja. Keempat, Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Kelima, Perbedaan jenis kelamin, dimana remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Keenam, Norma-norma agama dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Norma-norma agama yang berlaku, yang merupakan mekanisme kontrol sosial akan mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan agama. Faturrochman (dalam Rahmawati, 2002) juga menyatakan bahwa sumber utama dari faktor eksternal yang memengaruhi perilaku seksual pranikah adalah adanya kontrol sosial berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat. Individu yang rajin beribadah akan semakin sering menerima pesan-pesan yang melarang hubungan seks sebelum menikah sehingga individu akan cenderung kurang 32 permisif dalam sikap dan perilaku seksual. Hal senada juga dinyatakan oleh Pratiwi (dalam Sinuhaji 2006) yang mengatakan bahwa perilaku seksual remaja disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, dimana remaja yang memiliki penghayatan yang kuat mengenai nilai-nilai keagamaan, integritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari perilaku yang produktif. Menurut Dradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaannya, pada saat seseorang tertarik pada sesuatu yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak boleh oleh agamanya. Mangunwijaya (1982) membedakan antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek yang telah dihayati oleh individu. Hal ini selaras dengan pendapat Dister (1990) yang mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan, yang berarti adanya unsur internalisasi agama itu dalam diri individu. Orang-orang yang mempunyai nilai religiusitas yang tinggi akan selalu mencoba agama, patuh terhadap ajaran-ajaran agama, menjalankan ritual meyakini doktrin-doktrin agama, beramal dan selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Pola pergaulan bebas bertentangan dengan agama, oleh karena itulah orang yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi akan takut melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Makin tinggi religiusitas remaja, makin dapat pula remaja mengatur perilaku seksual sejalan dengan nilai dan norma yang ada (Jalaludin, 1996).Setiap agama memiliki hukum dan nilainilai yang mengatur tentang kehidupan. Keyakinan seseorang terhadap hukum dan nilai-nilai agama tersebut dapat menjadi benteng moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap dan universal. Individu akan menggunakan pertimbanganpertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang datang dari agama, dimanapun individu tersebut berada dan pada posisi apapun, ia akan tetap 33 memegang prinsip moral yang telah tertanam (Drajat, 1991). Benteng moral inilah yang akan diterapkan oleh individu tersebut dalam setiap aspek kehidupannya termasuk perilaku seksualnya. Dapat dikatakan apabila remaja dapat mengubah cara berpikir dan merasakan nilai-nilai agama serta kemudian mengamalkannya dalam perilaku terutama perilaku seksualnya, diharapkan dapat menghindari perilaku seksual pranikah. Remaja juga sedang mengalami perubahan pada aspek religiusitas. Menurut teori Piaget bahwa perkembangan kognitif remaja sudah mencapai taraf formal operasional, Taraf ini sudah menjadikan remaja untuk berpikir secara abstrak, teoritik dan kritis sehingga pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengubah cara berpikir dan merasakan nilai-nilai agama sesuai dengan taraf perkembangan intelektualnya. Ide dan dasar keyakinan tentang agama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul dan membuat remaja mengalami keraguan terhadap ajaran agamanya (Rahmawati, 2002). Perilaku seksual pranikah yang biasa disebut zina dalam Islam secara nyata dilarang keras, bahkan perbuatan tersebut disetarakan dengan perbuatan keji dan terkutuk. Islam, sebagai salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, sangat mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan sampai pada permasalahan yang sangat detail. Periode remaja merupakan masa yang telah matang dari segi biologis dan dapat menjalankan fungsi seksualnya. Sesuai dengan kematangannya itu maka muncul pada diri remaja yaitu dorongan-dorongan ingin berkenalan dan bergaul dengan lawan jenis. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian diwujudkan dalam bentuk berpacaran di antara mereka (Sarwono, 2005). Adanya rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik antara remaja dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya akanmengarah pada perilaku seksual pranikah dalam pacaran Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000). 34 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakuakan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Dari hasil Uji Spearman diperoleh nilai koefisien korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,286 dengan signifikansi p = 0,033 < 0,05. Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1 ditolak dan H0 diterima yang artinya menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di Fakultas Psikologi UKSW Salatiga. Tingkat Religiusitas Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW berada dalam 2. kategori tinggi dengan prosentase 78,6% atau 44 Mahasiswa. Dengan kata lain sebagian besar mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW mempunyai religiusitas yang tinggi. 3. Tingkat Perilaku Seksual Pranikah Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW berada dalam kategori tinggi yaitu dengan prosentase sebesar 89,2% atau 50 Mahasiswa. Dengan kata lain sebagian besar mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW mempunyai perilaku seksual pranikah yang tinggi. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi mahasiswa pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang tinggi perlu ditunjukkan dalam berbagai aktivitas agar dengan tingginya tingkat religiusitas tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau benteng agar hasrat yang timbul untuk melakukan perilaku seks pranikah semakin menurun. 2. Bagi orangtua hendaknya membekali anak dengan nilai agama dan pengawasan yang baik sehingga tidak timbul permasalahan berkaitan dengan perilaku seks pranikah. Pendidikan seks dalam keluarga hendaknya diterapkan sehingga anak mengetahui nilai dan norma agama serta orangtua memiliki kepedulian terhadap pendidikan anak-anaknya. 3. Untuk penelitian selanjutnya 35 Bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang religiusitas dan perilaku seksual pranikah hendaknya menyertakan variabelvariabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini serta memperluas ruamg lingkup penelitian ini yang terkait dengan beberapa faktor seperti usia, tempat tinggal, dan jenis kelamin. 36 DAFTAR PUSTAKA Allport, G. W. & J. M, Ross. (1967). Personal religious orientation and prejudice. Journal of personality and social psychology. Diakses di http://web.ebscohost.com,15September 2012. Al-Mighwar, M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia Ashar, Rizky. (2011). Pentingnya agama dalam penanganan seks bebas. Artikel. Diakses darihttp://akudanaids.blogspot.com, 29 Oktober 2012. Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bhakti, A.K. (2010). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks bebas pada remaja tengah di lokalisasi bawen(Skripsi). Salatiga:Fakultas PsikologiUniversitas Kristen Satya Wacana. Dewi, W. (2010). Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika Fitriasary, Endah. & Muslimin, Z.I. (2009). Intensitas mengakses situs porno dan perilaku seksual remaja (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Diakses http://portalgaruda.org, 25 Oktober 2012. Hana, B.( 2009). Ayo ajarkan anak seks. Jakarta: Elex Media Komputindo Hasan, S. (2008). Let’s talk about love. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Hurlock, E. B. (1990). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentangkehidupan.Erlangga:Jakarta. Indriastuti, M. (2005). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pada remaja yang berpacaran(Skripsi). Salatiga:Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Irianto, Koes. 2010. Memahami seksologi. Bandung: Sinar Baru Algensindo Jalaluddin. (1997). Psikologi agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Kurniawan, Helmi. (2008). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional (Skripsi). 37 Yogyakarta: Fakultas Agama Islam UniversitasMuhammadiyah. Diakses di http://www-.umy.ac.id/, 20 September 2012 Mangunwidjaya, Y.B. (1986).Menumbuhkan sikap religius pada anak.Jakarta:Gramedia. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., &Haditono, S.R. (1996). Psikologi perkembangan. Yogyakarta: GadjahMada University Press. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Prajaningtyas, B.H. (2009). Hubungan antara tekanan teman sebaya dengan perilaku seksual pranikah pada remaja(Skripsi). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen SatyaWacana. Romauli, S. (2009). Kesehatan reproduksi untuk mahasiswi kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika Santrock, J. W. (1995). Perkembangan masa hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda Damanikadan Ach Chusairi. Jakarta: Erlangga. Sarwono, S. W. (2004). Psikologi remajaedisi revisi 8. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka. Soetjiningsih dkk, (2004). Buku ajar: Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta : Sagung seto Soetjiningsih, (2006). Remaja usia 15-18 tahun banyak lakukan perilaku seksual pranikah. online Theresia, L. (2012).Hubungan antara religiusitas dengan perilaku seksual pada remaja yang berpacaran(Skripsi). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I.2010. Kesehatan remaja problem dan solusinya. Jakarta: Salemba Medika Widyastuti, E.S.A. (2009). Faktor personal dan sosial yang memengaruhi sikap remajaterhadap hubungan seks pranikah: sebuah studi di lokalisasi sunan kuning dan gambilangu semarang (thesis). semarang:program studi magister promosi kesehatan program pascasarjana Universitas Diponegoro. Diunduh di http://eprints-.undip.ac.id/, 10 Agustus 2012. 38 Wirawanti, W. (2006). Hubungan antara perilaku seksual dengan sikap remaja terhadap pornografi pada siswa kelas xi sma theresiana salatiga(Skripsi). Salatiga: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan Dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi perkembangan anak dan remaja. bandung: remaja Rosdakarya