Hubungan Antara Religiusitas Dengan Perilaku Seksual Pranikah

advertisement
8
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa yang penting dan rawan dalam
perkembangan kehidupan seseorang. Pada masa ini, dorongan seksual seorang
anak yang memasuki usia remaja akan meningkat. Hal ini disebabkan karena
remaja sedang mengalami perubahan dalam hal seksual, yaitu matangnya kelenjar
hipofisis yang merangsang pengeluaran hormon kelamin (Monks et. al., 1996).
Hormon inilah yang menyebabkan tingginya libido atau dorongan seksual pada
remaja.
Remaja memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan banyak minat
yang berkembang. Hurlock (1990) mengungkapkan bahwa pada masa remaja,
seseorang mulai peduli dengan daya tarik seksual dan mulai merasakan campuran
antara cinta dan nafsu birahi. Akibatnya remaja mulai sensitif dengan hal-hal yang
berkaitan dengan seksualitas. Ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya
memenuhi rasa ingin tahunya mengenai masalah seksual, yaitu pembicaraan
tentang proses hubungan seksual, pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan
perkawinan, serta penyakit seksual (Luthfiedalam Fitriansary dan Muslimin,
2009).
Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang merupakan usia antara masa
kanak kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal proses reproduksi, sehingga
perlu dipersiapkan sejak dini (Suryati, 2010)
Menurut Undang Undang No 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,
remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
Istilah remaja berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere (kata bendanya,
adolescentia yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Wirawan,
2008). Dalam bahasa Inggris remaja disebut adolensence yang dalam bahasa Arab
disebut at-tadarruj (berangsur angsur). Jadi artinya adalah berangsur angsur
menuju kematangan fisik, akal, kejiwaan, dan sosial serta emosional (AlMighwar, 2006).
Menurut pendapat Root, masa puber adalah suatu tahap perkembangan
saat terjadi kematangan alat alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi.
Tahap ini disertai dengan perubahan dalam pertumbuhan somatis dan perspektif
9
(Wilis, 2010). Sedangkan menurut pendapat Hurlock, masa puber adalah fase
dalam rentang perkembangan ketika anak anak berubah dari makhluk aseksual
menjadi makhluk seksual. (Al-Mighwar, 2006).
Masa remaja akhir ialah masa ketika seseorang individu berada pada usia
1718 tahun sampai dengan 21-22 tahun, dimana saat usia ini rata-rata setiap
remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas (Santrock, 2003). Ketika remaja
duduk dikelas terakhir biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan
berada diambang perbatasan untuk memasuki dunia kerja orang dewasa.
Masa remaja akhir adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja
menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 17-22 tahun. Pada masa
ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan
proses pembentukan orientasi masa depan. (Hurlock, 2005)
Adolessense berasal dari kata adolescere yang artinya: “tumbuh”, atau
”tumbuh
menjadi
dewasa”
untuk
mencapai
“kematangan”,
kematangan
adolessense mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional,
seksual dan fisik. Pada masa adolessense ini adalah masa terjadinya proses
peralihan dari masa remaja atau pemuda ke masa dewasa. Jadi masa ini
merupakan masa penutup dari masa remaja atau pemuda. Masa ini tidak
berlangsung lama, oleh karena itu dengan kepandaiannya, seseorang yang dalam
waktu relatif singkat sekali telah sampai kemasa dewasa.
Banyak pendapat tentang masa adolescence ini akan tetapi pada
umumnya, berkisar 17-19 / 20-21 tahun. Pada masa adolescence ini sudah mulai
stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, anak mengenal akunya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya,
pendiriannya sudah mulai jelas dengan cara tertentu. sikap kritis sudah semakin
nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke
dalam kegiatan-kegiatan dunia luar. Juga dia sudah mulai mencoba mendidik diri
sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Maka dalam hal ini terjadi
pembangunan yang esensial terhadap pandangan hidupnya, dan masa ini
merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya.
10
Adapun sifat-sifat yang dialami pada masa adolescence ini adalah sebagai
berikut (Santrock, 2003):
a. Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai
yang ada.
b. Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupannya.
c. Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik, waktu ia puber itu mudah
tetapi melaksanakannya sulit.
d. Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan.
e. Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama,
kultur, etis dan estetis serta ekonomis.
f. Ia sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka dalam mentukan calon
teman hidup, akan tetapi atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai
aspek.
g. Ia mulai mengambil atau menentukan sikap hidup berdasarkan system nilai
yang diyakininya.
h. Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebar antara erotik
dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah.
Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami
tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya,
antara lain boleh atau tidaknya pacaran, melakukan onani, nonton film porno, atau
berciuman. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang
kurang sehat di kalangan remaja. Pemahaman yang benar tentang seksualitas
manusia amat diperlukan khususnya para remaja demi perilaku seksualnya di
masa dewasa sampai mereka menikah dan memilki anak (Soetjiningsih, 2007)
Menurut Soetjiningsih (dalam Prajaningtyas, 2009) faktor-faktor yang
memengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu faktor individual (self
esteem dan religiusitas), faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), faktor
diluar keluarga (pergaulan dengan teman sebaya dan media pornografi).
Salah
satu faktor yang memengaruhi perilaku seks pranikah yaitu faktor religiusitas.
Faktor religiusitas menjadi penting guna menanggulangi perilaku seks bebas
karena ideologi agama menjadi pokok pemecahan dalam penanganan seks bebas.
11
Hal yang mendasari terjadinya seks bebas salah satunya adalah kurangnya
pemahaman tentang agama. Sifat dari agama ialah mengatur, menjadi pendorong,
penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan manusia agar tetap sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan di masyarakat. Ajaran moral yang diajarkan agama
dapat menjadi pegangan utama bagi para pemeluknya, sehingga dengan agama
itulah manusia akan menahan diri dari perilaku seks bebas. Apabila rasa cinta
kepada Tuhan tertanam pada diri seseorang, diharapkan seseorang akan takut serta
menghindari segala perbuatan yang dilarang oleh agamanya.
Religiusitas diartikan sebagai pengalaman religius yaitu pengalaman emosi
yang diperoleh melalui interpretasi religius atau spiritual. Pengalaman spiritual
menurut Maslow (dalam Jaenudin, 2012) adalah puncak tertinggi yang dapat
dicapai manusia serta merupakan peneguhan dan keberadaaanya sebagai makhluk
spiritual.
Sedangkan
Allport
(1967)
mendefinisikan
religiusitas
sebagai
kematangan beragama. Kematangan beragama adalah sebuah karakter utama yang
dilandasi tiga faktor, yaitu kemampuan memahami sifat kepribadian, melalui
objektivikasi diri atau memahami filsafat kehidupan.
Menurut Delamater (dalam Widyastuti, 2009) orang yang tekun dalam
beribadah cenderung lebih rendah perilaku seksualnya dibandingkan yang kurang
tekun dalam beribadah. Delamater juga mengungkapkan bahwa institusi yang
terorganisasi salah satunya agama sangat berperan dalam membentuk nilai dan
standard pada diri seseorang. Sedangkan menurut Hewatdan Baets (dalam
Theresia, 2012) agama tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan
kejahatan. Hanya dengan rajin sembahyang atau berdoa belum tentu seseorang
tidak akan berbuat dosa. Banyak orang yang rajin sembahyang hanya sekedar
untuk mengikuti arus saja, banyak juga yang menggunakan agama hanya sebagai
sebuah identitas yang tertera pada kartu penduduk (KTP). Namun tidak menutup
kemungkinan bila seseorang sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran
agamanya kejahatan akan menurun. Sebab tidak ada satu agamapun yang
membenarkan perilaku pencurian, perampokan, dan perilaku kejahatan lainnya.
Beberapa penelitian telah dilakukan diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh Indriastuti (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada
12
hubungan negatif dan signifikan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan
untuk melakukan hubungan seks pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh
Bhakti (2010) mendukung penelitian Indriastuti (2005) yaitu ada hubungan
negatif antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks bebas pada remaja di
lokalisasi Bawen. Namun, dalam penelitian Theresia (2012), menunjukkan hasil
yang bertentangan yaitu tidak ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan
perilaku seksual pada remaja.
Dari studi/ survei pendahuluan yang diperoleh penulis melalui wawancara
terhadap 15 mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW yang didapatkan bahwa 5
orang mahasiswa pernah menonton film porno dari telepon genggamnya, situs
internet, dan melalui kaset hasil rekaman. Di samping itu juga menyatakan bahwa
perilaku berpacaran mahasiswa yang melibihi batas seperti berciuman dan meraba
bagian tubuh.
Adanya perbedaan pendapat dan hasil penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti terdahulu mengenai tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pranikah
pada remaja, maka penulis tertarik untuk mengkaji ulang apakah ada hubungan
antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Perilaku Seks Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah (Sarwono, 2005). Lebih lanjut Sarwono mengatakan bahwa perilaku
seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses
pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Semantara Luthfie (dalam Amrillah dkk, 2001) mengungkapkan bahwa
perilaku seksual pranikah adalah prilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses
pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan
masing-masing individu. Simanjuntak (dalam Prastawa & Lailatushifah, 2009)
menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan
seperti bergandengan tangan, berciuman sampai dengan bersenggama yang
13
dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada
ikatan pernikahan yang sah.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual seperti bergandengan tangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama
yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi
menurut hukum dan agama.
Tahap Perilaku Seks Pranikah
Tahap perilaku seksual remaja pada diagram group dalam buku Sex: A
user’s Manual yang dimodifikasi Soetjiningsih (dalam Prajaningtyas, 2009) dapat
dirinci sebagai berikut: (a). Berpegangan tangan; (b). Memeluk/dipeluk bahu; (c).
Memeluk/dipeluk pinggang; (d). Ciuman bibir; (e). Ciuman bibir sambil pelukan;
(f). Meraba/diraba di daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian; (g). Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan berpakaian;
(h). Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian; (i).
Meraba/diraba di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian; (j). Mencium/
dicium di daerah erogen dalam keadaan tidak berpakaian; (k). Saling
menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak berpakaian; (l). Berhubungan
seksual.
Pengertian Religiusitas
Glock dan Stark (2003) menyatakan bahwa religiusitas merupakan sistem
timbul, nilai, keyakinan dan sistem perilaku yang terlembaga yang semuanya
terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.
Hawari menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau
kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehri-hari,
berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan berupa aktivitas yang tidak tampak dalam hati seseorang (Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, 2005 dalam Kurniawan, 2008). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa religiusitas adalah ketaatan, kesolehan perilaku, dan
14
keyakinan seseorang di dalam menjalankan ajaran agamanya, yang diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan ibadah.
Aspek-aspek Religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam
Prajaningtyas, 2009)dimensi religiusitas
meliputi lima hal yaitu:
a. Ideologis atau keyakinan yang menunjuk pada tingkat keyakinan atau
keimanan seseorang
b. Ritualistik atau peribadatan menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan
seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan
oleh agamanya.
c. Eksperiensial atau pengalaman menunjuk pada seberapa jauh tingkat
kepekaan seseorang dalam merasakan pengalaman-pengalaman religiusnya.
d. Intelektual atau pengetahuan menunjuk pada tingkat pengetahuan dan
pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya.
e. Konsekuensial atau penerapan menunjuk pada seberapa jauh seseorang
mampu menerapkan ajaran-ajaran agamanya dalam perilaku kehidupan
sehari-hari.
Pengertian Remaja Akhir
Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) masa remaja akhir ialah
masa ketika seseorang individu berada pada usia 18 tahun sampai 23 tahun,
dimana saat usia ini rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat
atas atau perguruan tinggi. Ketika remaja duduk dikelas terakhir biasanya orang
tua menganggapnya hampir dewasa dan berada diambang perbatasan untuk
memasuki dunia kerja orang dewasa.
Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja
menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12-23 tahun. Pada masa
ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan
proses pembentukan orientasi masa depan. (Hurlock, 2005)
15
Adolessense berasal dari kata adolescere yang artinya: “tumbuh”, atau
”tumbuh menjadi dewasa” untuk mencapai “kematanga”, kematangan adolessense
mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, seksual dan fisik.
Pada masa adolessense ini adalah masa terjadinya proses peralihan dari masa
remaja atau pemuda ke masa dewasa. Jadi masa ini merupakan masa penutup dari
masa remaja atau pemuda. Masa ini tidak berlangsung lama, oleh karena itu
dengan kepandaiannya, seseorang yang dalam waktu relatif singkat sekali telah
sampai kemasa dewasa.
Banyak pendapat tentang masa adolescence ini akan tetapi pada
umumnya, berkisar 17-19 atau 20-21 tahun. Pada masa adolescence ini sudah
mulai stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, anak mengenal
aku-nya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya,
pendiriannya sudah mulai jelas dengan cara tertentu. sikap kritis sudah semakin
nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke
dalam kegiatan-kegiatan dunia luar. Juga dia sudah mulai mencoba mendidik diri
sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Maka dalam hal ini terjadi
pembangunan yang esensial terhadap pandangan hidupnya, dan masa ini
merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya.
Adapun sifat-sifat yang dialami pada masa adolescence ini adalah sebagai
berikut (Santrock, 2003):
a. Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai
yang ada.
b. Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupannya.
c. Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik, waktu ia puber itu mudah
tetapi melaksanakannya sulit.
d. Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan.
e. Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama,
kultur, etis dan estetis serta ekonomis.
f. Ia sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka dalam mentukan calon
teman hidup, akan tetapi atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai
aspek.
16
g. Ia mulai mengambil atau menentukan sikap hidup berdasarkan system nilai
yang diyakininya.
h. Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebar antara erotik
dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah.
Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja
Akhir
Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan
sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan
penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat
dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja
dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas
luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan
teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa
remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi
dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan
remaja tentang seksual (Santrock, 2003).
Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum
nikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran, meskipun tidak
semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi fakta menunjukkan
kecenderungan
yang
mengkhawatirkan
dan
memprihatinkan.
Ironisnya,
bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan perilaku
seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, lingkungan
keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau keimanan yang kurang kuat serta
terinspirasi dari film dan media massa (Kosmopolitan dalam Mayasari, 2000).
Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang memengaruhi
perilaku seksual pada remaja yaitu yang pertama, hubungan keluarga dimana
kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
anak, kurangnya kasih sayang orangtua, banyaknya konflik dalam keluarga dapat
memicu munculnya perilaku seksual pranikah. Kedua, Pengaruh penyebaran
17
informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih sering kali
diimitási
oleh
remaja
dalam
perilakunya
sehari-hari.
Ketiga,
Adanya
kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat juga
memicu perilaku seksual pranikah pada remaja. Keempat, Perubahan-perubahan
hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja menyebabkan remaja
membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Kelima, Perbedaan
jenis kelamin, dimana remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual
yang lebih agresif, terbuka, serta sulit menahan diri dibandingkan remaja
perempuan. Keenam, Norma-norma agama dimana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Norma-norma agama yang
berlaku,
yang merupakan
mekanisme
kontrol
sosial
akan
mengurangi
kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan
agama.
Faturrochman (dalam Rahmawati, 2002) juga menyatakan bahwa sumber
utama dari faktor eksternal yang memengaruhi perilaku seksual pranikah
adalah adanya kontrol sosial berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat.
Individu yang rajin beribadah akan semakin sering menerima pesan-pesan yang
melarang hubungan seks sebelum menikah sehingga individu akan cenderung
kurang permisif dalam sikap dan perilaku seksual.
Hal senada juga dinyatakan oleh Pratiwi (dalam Sinuhaji, 2006) yang
mengatakan bahwa perilaku seksual remaja disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, dimana
remaja yang memiliki penghayatan yang kuat mengenai nilai-nilai keagamaan,
integritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan perilaku seksual yang
selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari perilaku yang
produktif.
Penelitian yang di lakukan Shirazi dan Morowatisharifabad, (2009)
menggunakan 2 metode yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif,
peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan 15 mahasiswa yang
bertujuan untuk mengetahui pandangan mereka tentang Human Immunodeficiency
Virus (HIV) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), data yang didapat
18
menunjukkan bahwa rata-rata dari mereka cukup baik didalam menerima
informasi tentang cara mencegah HIV AIDS . Sebagian besar dari partisipan
setuju bahwa keterlibatan agama memiliki peran penting dalam mencegah AIDS.
Partisipan memiliki sikap yang positif didalam melakukan perilaku seks yang
aman. Sekitar 50% dari partisipan meyakini bahwa seorang laki-laki yang belum
menikah tidak boleh berhubungan seks. Semua partisipan adalah Muslim Syiah
dan rata-rata berusia 23 tahun, dilaporkan bahwa mayoritas dari mereka yaitu
sebanyak 55% memiliki nilai religiusitas yang tinggi, dan 20% dari mereka
memiliki hubungan seksual. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa mahasiswa
yang belum pernah berhubungan sex memiliki sikap yang lebih mendukung
terhadap norma-norma untuk tidak melakukan hubungan sex sebelum menikah
dibanding mereka yang aktif secara seksual. Selain itu, partisipan yang sudah
melakukan seks memiliki self-efficaccy yang lebih rendah didalam menolak
hubungan seks.
Selanjutnya, Shirazi dan Morowatisharifabad (2009) ditemukan bahwa
skor religiusitas yang lebih tinggi berkorelasi dengan kontak seksual yang lebih
rendah, self-efficay yang lebih tinggi, serta sikap yang lebih positif untuk tidak
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Mahasiswa yang memiliki
religiusitas tinggi 5 kali lebih mungkin untuk tidak berhubungan seksual sebelum
menikah. 3,04 kali lebih mungkin memiliki self-efficacy untuk menolak seks
sampai mereka menikah, dan 4,55 kali lebih mungkin untuk memiliki sikap positif
untuk tidak melakukan seks sebelum menikah.
Penelitian lain juga membahas tentang pengaruh religiusitas, peran orang
tua, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual beresiko pada remaja. Di dalam
penelitian yang di lakukan oleh Landor, Simons, Brody, dan Gibbons (2011)
dipaparkan bahwa perilaku seksual beresiko di kalangan remaja adalah sebuah
masalah sosial yang sering mengakibatkan berbagai hasil negatif pada kesehatan.
Hasil negatif yang mungkin saja ditimbulkan dari perilaku seks beresiko ini antara
lain seperti Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak
diinginkan.
19
Menurut Landor, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) salah satu faktor
yang dapat mengurangi perilaku seks beresiko adalah agama. Pada penelitian ini
sampel berjumlah 612 orang yang di dalamnya adalah remaja dan orang tua
keturunan Afrika Amerika yaitu 277 berjenis kelamin laki-laki dan 335
perempuan. Di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 89% dari orang
tua menganggap pentingnya sebuah agama dan keyakinan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa komitmen
beragama pada orang tua berhubungan positif terhadap meningkatnya pola asuh
otoritatif dan religiusitas remaja. Landor, Simons, Simons, Brody, dan Gibbons
(2011) juga menemukan bahwa remaja yang religius cenderung berafiliasi dengan
kelompok sebayanya yang menolak perilaku seksual yang beresiko. Pada akhirnya
penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas orang tua berfungsi sebagai faktor
pelindung dan kontrol sosial bagi para remaja di dalam mengurangi kemungkinan
melakukan perilaku seksual beresiko.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif
antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di Fakultas
Psikologi UKSW
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional dengan variabel bebas
Religiusitas dan variabel tergantung perilaku seksual pranikah pada remaja.
Dengan teknik korelasional, peneliti dapat mengetahui hubungan variasi dalam
sebuah variabel dengan variabel lain. Besar atau tingginya hubungan tersebut
dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi.
20
Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Mahasiswa Psikologi UKSW
yang aktif sebanyak 553 orang. Dengan sampel penelitian Mahasiswa Psikologi
UKSW mulai dari angkatan 2010 sampai angkatan 2013. Dalam melakukan
pengambilan
sampel,
dilakukan
dengan
cara
purposivesampling
yaitu
pengambilan sampel dengan ciri atau sifat tertentu. Adapun ciri-ciri sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Remaja yang berusia antara 19-23 tahun
2. Sedang menjalani hubungan dengan pacar
3. Belum menikah
Instrumen Penelitian
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan skala penilaian, yaitu
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi karakteristik dan aspek yang
diukur dan harus dijawab oleh orang yang menjadi subyek penelitian. Skala
penilaian yang digunakan ada dua buah, untuk mengukur religiusitas berdasarkan
kisi-kisi dari Glock dan Stark (2003). Sedangkan skala penilaian yang satunya
mengukur perilaku seksual pranikah berdasarkan kisi-kisi Soetjiningsih (dalam
Prajaningtyas, 2009).
Pengujian validitas untuk kuesioner religiusitas, dari 40 butir item yang
diujikan kepada 56 responden, diperoleh 36 butir item kuesioner dinyatakan valid,
sedangkan 4 butir item tidak valid, yaitu item soal nomer 9, 23, 25 dan 27. Azwar
(2012) menjelaskan batas valid item butir > 0,30, dikarenakan item soal nomer 9,
23, 25 dan 27 memiliki nilai r hitung dibawah 0,30 maka dianggap gugur. Pada
kuesioner religiusitas, koefisien korelasi bergerak dari 0,376 sampai dengan
0,654.
21
Tabel 1.
Item Valid dan Gugur Pada Skala Religiusitas
No.
1.
Aspek
Ritual Involvement
(Praktek Agama)
2.
Ideological Involvement
(Keyakinan)
3.
Intelectual Involvement
(Pengetahuan beragama)
4.
Experential Involvement
(Pengalaman Beragama)
5.
Item
Favourable
Unfavourable
1, 11, 21, 31
6, 16, 26, 36
8
8, 18, 28, 38
2, 12, 22, 32
8
9*, 19, 29, 39
3, 13, 23*, 33
6
10, 20, 30, 40
4, 14, 24, 34
8
5, 15, 25*, 35
7, 17, 27*, 37
6
Valid
Consequential
Involvement
(Pengamalan)
Jumlah
20
20
36
Sedangkan untuk uji validitas kuesioner perilaku seks pranikah,
didapatkan 12 butir kuesioner semuanya dinyatakan valid, artinya keduabelas item
butir angket tidak ada yang gugur karena nilai r hitung lebih besar dari 0,30. Pada
kuesioner perilaku seks pranikah, koefisien korelasi bergerak dari 0,543 sampai
dengan 0,849.
22
Tabel 2.
Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah
No.
Aspek
1.
Berpegangan tangan
2.
Memeluk/ dipeluk bahu
3.
Memeluk/ dipeluk pinggang
4.
Ciuman bibir
5.
Ciuman bibir sambil pelukan
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Sudah
Belum
12
12
Meraba/diraba di daerah erogen (payudara, alat
kelamin) dalam keadaan berpakaian
Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan
berpakaian
Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
berpakaian
Meraba/diraba di daerah erogen dalam keadaan tidak
berpakaian
Mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan
tidak berpakaian
Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak
berpakaian
Berhubungan seksual
Jumlah
23
Tabel 3.
Blue Print Skala Perilaku Seksual Pranikah
No.
Aspek
1
Ritual Involvement
(Praktek Agama)
Indikator
F
UF Item
a. Berdoa sebelum melakukan
sesuatu
b. Mengikuti upacara keagamaaan
c. Membaca kitab suci setiap hari
4
4
8
4
4
8
4
4
8
4
4
8
4
4
8
d. Menjalankan kewajiban agama
e. Meluangkan waktu untuk berdoa
2
Ideological
a. Percaya akan adanya surga/neraka
Involvement
b. Percaya akan kebenaran firman
(Keyakinan)
c. Meyakini bahwa setelah
kehidupan ada kehidupan yang
kekal
d. Meyakini bahwa Tuhan
memberikan petunjuk
e. Meyakini adanya hari kiamat
3
Intelectual
Involvement
a. Mengikuti pengajian/khotbah
keagamaan
(Pengetahuan
b. Mempelajari kitab suci
beragama)
c. Membaca buku rohani
d. Mengikuti acara keagamaan
e. Memahami ajaran agama yang
dianut
4
Experential
a. Merasa Tuhan mendengar doanya
Involvement
b. Merasa Tuhan menyayangi
(Pengalaman
c. Merasa pernah mendapat anugrah
Beragama)
dari Tuhan
d. Merasa Tuhan ada dalam
hidupnya
5
Consequential
Involvement
(Pengamalan)
a. Memaafkan orang lain yang
berbuat salah
b. Mendoakan orang lain
24
c. Mengucap syukur dalam segala
situasi
d. Menolong orang lain
Jumlah
20
20
40
Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang
menyatakan minimal koefisien internal paling tidak setinggi 0,80. Sesuai dengan
standar reliabilitas menurut Azwar maka dari kedua tabel dapat diambil
kesimpulan bahwa Skala Religiusitas dan Skala Perilaku SeksualPranikah adalah
reliabel dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,927 untuk Skala
Religiusitas dan 0,921 untuk Skala Perilaku Seksual Pranikah.
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini menggunakan perhitungan
statistik, yaitu uji korelasi Spearman karena menguji keeratan pengaruh antara dua
variabel yang datanya ordinal. Alasan digunakannya analisis Spearman
dikarenakan salah satu skala penelitian memiliki data yang tidak normal. Pada
pengujian normalitas data, Skala Religiusitas dengan nilai signifikansi 0,918 dan
Skala Perilaku Seksual Pranikah dengan nilai signifikansi 0,017. Data dikatakan
normal jika nilai signifikansi p > 0,050, oleh karena Perilaku Seksual Pranikah di
bawah 0,050, yaitu 0,07 < 0,050 maka data dikatakantidak normal. Sedangkan
untuk pengolahan data dilakukan dengan program komputer SPSS for Windows
Release 17.0.
Prosedur Pengambilan Data
Sebelum dilakukan penelitian, penulis melakukan ujicoba angket terlebih
dahulu demi kelancaran proses sebelum angket tersebut benar-benar disebarkan,
dan hasilnya dari sepuluh angket yang di uji cobakan kepada sepuluh mahasiswa
laki-laki dan perempuan, mereka rata-rata memiliki perilaku seksual yang cukup
tinggi dengan tingkat religiusitas yang relatif rendah.
Penelitian dilaksanakan pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW dari
angkatan 2010 sampai dengan angkatan 2013. Populasinya adalah mahasiswa
Fakultas Psikologi UKSW. Sedangkan sampel yang diperoleh sebanyak 56 orang
responden yang ditemui secara purposive sampling, yaitu mahasiswa fakulas
Psikologi yang ditemui dan memenuhi kriteria dalam fase remaja dijadikan
25
sebagai sampel penelitian. Peneliti melakukan pengambilan data dengan cara
menyebar angket religiusitas dan perilaku seksual pranikah pada tanggal 17 juli
2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penyebaran data dilaksanakan tanggal 17sampai 21bulan Juli tahun 2014,
di area sekitar Fakultas Psikologi UKSW. Penelitian dilakukan dengan teknik
purposivesampling, yaitu pengambilan sampel dengan ciri mahasiswa psikologi
UKSW berusia 19-23 tahun. Populasi adalah seluruh mahasiswa psikologi
UKSW, dengan sampel yang berjumlah 56 orang berstatus “aktif berkuliah” yang
terdiri dari mahasiswa angkatan 2010 sampai angkatan 2013.
Berdasarkan uji validitas, koefisien korelasi yang bergerak dari 0,376
sampai dengan 0,654 pada Skala Religiusitas dan koefisien korelasi bergerak dari
0,543 sampai dengan 0,849 pada Skala Perilaku Seksual Pranikah.Skala penelitian
dikatakan valid jika nilai r hitung yang diperoleh melebihi r tabel 5% yaitu 0,361.
Oleh karena Skala Religiusitas dan Skala Perilaku memiliki nilai r hitung di atas
0,361 maka dinyatakan valid. Kemudian pengujian reliabilitas alat ukur
menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan minimal koefisien internal
paling tidak setinggi 0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar maka
dari kedua tabel dapat diambil kesimpulan bahwa Skala Religiusitas dan Skala
Perilaku SeksualPranikah adalah reliabel dengan koefisien konsistensi internal
sebesar 0,927 untuk Skala Religiusitas dan 0,921 untuk Skala Perilaku Seksual
Pranikah.
Berdasarkan Analisa Deskriptif Statistik, didapatkan kategori tingkat
religiusitas sebagai berikut, 1 mahasiswa berada pada rentang 36 < x ≤ 63 dengan
tingkat religiusitas sangat rendah. Sedangkan pada tingkat religiusitas rendah
dengan rentang 64 < x ≤ 90 yang berjumlah 11 mahasiswa. Pada rentang 91 < x ≤
117 dengan tingkat religiusitas Tinggi berjumlah 20 orang. Tingkat religiusitas
sangat tinggi dengan rentang 118 < x < 144 yang berjumlah 24 mahasiswa.
26
Dengan demikian 78,6% atau 44 Mahasiswa Psikologi UKSW memiliki tingkat
religiusitas sangat tinggi sampai tinggi pada rentang 91 < x < 144.
Tabel 4
Kategorisasi Tingkat Religiusitas Mahasiswa Psikologi UKSW
No.
Interval
Kategori
N
Prosentase
Kumulatif
Prosentase
1.
Sangat Tinggi
(118 < x < 144)
24
42.9
42.9
2.
Tinggi
(91 < x ≤ 117)
20
35.7
78.6
3.
Rendah
(64 < x ≤ 90)
11
19.6
98.2
4.
Sangat Rendah
(36 < x ≤ 63)
1
1.8
100
56
100
Min: 36
Max: 144
Total
Sedangkan pada kategorisasi perilaku seksual pranikah didapatkan hasil
sebagai berikut, 3 mahasiswa berada pada rentang 1 < x ≤ 3 dengan perilaku
seksual pranikah yang sangat rendah. Sedangkan pada perilaku seksual pranikah
yang rendah dengan rentang 4 < x ≤ 6 berjumlah 3 mahasiswa. Pada rentang 7 < x
≤ 9 dengan perilaku seksual pranikah tinggi berjumlah 16 orang. Perilaku seksual
pranikah sangat tinggi berada pada rentang 10 < x < 12 yang berjumlah 34
mahasiswa.
Dengan
demikian
89,2%
atau
50
Mahasiswa
Psikologi
UKSWmemiliki perilaku seksual pranikah sangat tinggi sampai tinggi pada
rentang7 ≤ x ≤ 12.
27
Tabel 5
Kategorisasi Perilaku Seksual Pranikah Mahasiswa Psikologi UKSW
No.
Kumulatif
Interval
Kategori
N
Prosentase
1.
Sangat Tinggi
(10≤ x ≤ 12)
34
60.6
60.6
2.
Tinggi
(7≤ x ≤9)
16
28.6
89.2
3.
Rendah
(4≤ x ≤6)
3
5.4
94.6
4.
Sangat Rendah
(1≤ x ≤3)
3
5.4
100
56
100
Min: 1
Max: 12
Total
Prosentase
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Religiusitas signifikan berkorelasi
dengan Perilaku Seksual Pranikah dengan r = 0,286 dengan p = 0,033 < 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pula sumbangan efektif Perilaku Seksual
Pranikah sebesar 0,082% (didapatkan darir2 = 0,2862)pada Tingkat Religiusitas
Mahasiswa Psikologi UKSW. Sedangkan 99,918% pada Tingkat Religiusitas
Mahasiswa Psikologi UKSW dipengaruhi oleh variabel-variabel lain.
Tabel 6
Uji Spearman
Correlations
Skor
Religiusitas
Spearman's Skor
rho
Religiusitas
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Skor
Correlation Coefficient
Perilaku Seksual Sig. (2-tailed)
Pranikah
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Skor
Seksual
1.000
.286*
.
.033
56
56
.286*
1.000
.033
.
56
56
28
Pembahasan
Berdasarkan hasil uji spearman yang diperoleh bahwa nilai koefisien
korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,286 dengan signifikansi
p = 0,033< 0,05. Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1
ditolak dan H0 diterima yang artinya menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah remaja
akhir di Fakultas Psikologi UKSW. Dari hasil penelitian ini mengejutkan bagi
peneliti, dikarenakan penelitian oleh Theresia (2012) mengungkapkan hal yang
sebaliknya “ada hubungan negatif dan signifikan antara religiusitas dengan
perilaku seksual pada remaja yang berpacaran”.
Hasil penelitian ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Indriastuti (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada
hubungan negatif dan signifikan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan
untuk melakukan hubungan seks pada remaja. Begitu pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bhakti (2010) mendukung penelitian Indriastuti (2005) yaitu ada
hubungan negatif antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks bebas pada
remaja di lokalisasi Bawen.
Lebih lanjut, adanya hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat
religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di Fakultas
Psikologi UKSW diduga disebabkan oleh beberapa alasan, pertama prinsipprinsip religiusitas yang tertanam dalam diri remaja akhir di Fakultas Psikologi
UKSW sudah terinternalisasi dengan baik, namun tidak menjadi acuan atau
pedoman dalam berprilaku. Karena dalam kenyataannya remaja akhir di Fakultas
Psikologi UKSW masih tetap melakukan perilaku seksual pranikah dan tidak ragu
untuk melanggar norma-norma dan aturan agama. Hal ini dikuatkan Koentjoro
(dalam Wijayanto, 2003) yang berpendapat bahwa agama belum bisa
dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan moral secara maksimal oleh remaja
dalam mengatur sikap dan tingkah laku.
Kedua, rangsang lingkungan yang buruk dan terbuka dalam hal
seksualitas seperti lingkungan kost atau rumah kontrakan sangat memengaruhi
tingkat religiusitas remaja akhir terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perilaku
29
seksual pranikah serta memberikan dampak yang negatif bagi perkembangan
kepribadiannnya, mengingat remaja akhir merupakan pihak yang mudah
terpengaruh dan sedang berada pada periode ingin tahu serta ingin mencoba apa
yang dilihat dan didengarnya tanpa menghiraukan norma-norma dan aturan agama
yang berlaku (Masrun dalam Kusumaningrum, 2002)
Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan
sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan
penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat
dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja
dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas
luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan
teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa
remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi
dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan
remaja tentang seksual (Santrock, 2003).
Periode remaja merupakan masa yang telah matang dari segi biologis dan
dapat menjalankan fungsi seksualnya. Sesuai dengan kematangannya itu maka
muncul pada diri remaja yaitu dorongan-dorongan ingin berkenalan dan bergaul
dengan lawan jenis. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian diwujudkan dalam
bentuk berpacaran di antara mereka (Sarwono, 2005). Adanya rasa cinta membuat
remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik antara remaja dengan
pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang
sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara
remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya
akan
mengarah pada perilaku seksual pranikah dalam pacaran Rahman dan
Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000).
Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua
orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Kasus mengenai perilaku
seksual pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Sementara
30
di masyarakat terjadi pergeseran nilai–nilai moral yang semakin jauh sehingga
masalah tersebut sepertinya sudah menjadi hal biasa, padahal perilaku seksual
pranikah merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu.
Penelitian ini juga didukung oleh hasil Baseline survei Lentera-Sahaja
PKBI Yogyakarta memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan
mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking (berciuman
sampai ke daerah dada), petting ( hubungan seksual dengan melibatkan kontak
badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung), sampai hubungan seksual (Potret remaja,
2002). Penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja (CMR) Medan,
Sumatra Utara, diperoleh ada lima tahapan yang sering dilakukan oleh remaja
yaitu: dating ( berkencan), kissing(berciuman), necking (berciuman sampai ke
daerah dada), petting (hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara
dua orang dengan masih menggunakan celana dalam dan alat kelamin tidak
bersentuhan secara langsung) dan coitus (hubungan seksual secara langsung).
Data yang diperoleh bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan
hubungan seks. Penelitian PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 menunjukkan
data angka sebesar 722 kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut
Fakta HAM
2002 data PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap
tahun dimana 1 % diantaranya dilakukan oleh remaja (belum menikah). Faktor
penyebab dari perilaku tersebut antara lain yaitu informasi tentang seks yang
terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan terhadap agama serta lemahnya
hubungan dengan orang tua(dalam Amrillah, 2005).
Penelitian sahabat remaja (2002) menunjukkan bahwa 3,6% remaja di kota
Medan, 8,5% remaja di kota Yogyakarta, 3,4% remaja di kota Surabaya dan
31,1% remaja di kota Kupang telah terlibat melakukan hubungan seks pranikah.
Angka-angka tersebut sekaligus menunjukkan seberapa besar remaja terancam
penyakit menular HIV, atau AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak
kalah pentingnya adalah tanggung jawab moral yang tidak hanya ditanggung oleh
remaja itu sendiri tapi juga keluarga, pendidik, dan masyarakat.
31
Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum
nikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran, meskipun tidak
semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi fakta menunjukkan
kecenderungan
bujukan
yang
mengkhawatirkan
dan
memprihatinkan.
Ironisnya,
atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan perilaku
seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, lingkungan
keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau keimanan yang kurang kuat serta
terinspirasi dari film dan media massa (Mayasari, 2000).
Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang memengaruhi
perilaku seksual pada remaja yaitu yang pertama, hubungan keluarga dimana
kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
anak, kurangnya kasih sayang orangtua, banyaknya konflik dalam keluarga dapat
memicu munculnya perilaku seksual pranikah. Kedua, Pengaruh penyebaran
informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih sering kali
diimitási
oleh
remaja
dalam
perilakunya
sehari-hari.
Ketiga,
Adanya
kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat juga
memicu perilaku seksual pranikah pada remaja. Keempat, Perubahan-perubahan
hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja menyebabkan remaja
membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Kelima, Perbedaan
jenis kelamin, dimana remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual
yang lebih agresif, terbuka, serta sulit menahan diri dibandingkan remaja
perempuan. Keenam, Norma-norma agama dimana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Norma-norma agama yang
berlaku,
yang merupakan
mekanisme
kontrol
sosial
akan
mengurangi
kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan
agama.
Faturrochman (dalam Rahmawati, 2002) juga menyatakan bahwa sumber
utama dari faktor eksternal yang memengaruhi perilaku seksual pranikah adalah
adanya kontrol sosial berupa agama, keluarga, teman dan masyarakat. Individu
yang rajin beribadah akan semakin sering menerima pesan-pesan yang melarang
hubungan seks sebelum menikah sehingga individu akan cenderung kurang
32
permisif dalam sikap dan perilaku seksual. Hal senada juga dinyatakan oleh
Pratiwi (dalam Sinuhaji 2006) yang mengatakan bahwa perilaku seksual remaja
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pemahaman dan penghayatan
nilai-nilai keagamaan, dimana remaja yang memiliki penghayatan yang kuat
mengenai nilai-nilai keagamaan, integritas yang baik juga cenderung mampu
menampilkan perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta
mencari kepuasan dari perilaku yang produktif.
Menurut Dradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari
kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan, perkataan,
bahkan perasaannya, pada saat seseorang tertarik pada sesuatu yang tampaknya
menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti
apakah hal tersebut boleh atau tidak boleh oleh agamanya.
Mangunwijaya (1982) membedakan antara istilah religi atau agama
dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk
pada aspek yang telah dihayati oleh individu. Hal ini selaras dengan pendapat
Dister (1990) yang mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan, yang berarti
adanya unsur internalisasi agama itu dalam diri individu.
Orang-orang yang mempunyai nilai religiusitas yang tinggi akan selalu
mencoba
agama,
patuh
terhadap
ajaran-ajaran
agama,
menjalankan
ritual
meyakini doktrin-doktrin agama, beramal dan selanjutnya merasakan
pengalaman-pengalaman beragama. Pola pergaulan bebas bertentangan dengan
agama, oleh karena itulah orang yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi
akan takut melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Makin tinggi religiusitas
remaja, makin dapat pula remaja mengatur perilaku seksual sejalan dengan nilai
dan norma yang ada (Jalaludin, 1996).Setiap agama memiliki hukum dan nilainilai yang mengatur tentang kehidupan. Keyakinan seseorang terhadap hukum dan
nilai-nilai agama tersebut dapat menjadi benteng moral karena nilai-nilai moral
yang datang dari agama bersifat tetap dan universal. Individu akan menggunakan
pertimbanganpertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang datang dari agama,
dimanapun individu tersebut berada dan pada posisi apapun, ia akan tetap
33
memegang prinsip moral yang telah tertanam (Drajat, 1991). Benteng moral inilah
yang akan diterapkan oleh individu tersebut dalam setiap aspek kehidupannya
termasuk perilaku seksualnya. Dapat dikatakan apabila remaja dapat mengubah
cara berpikir dan merasakan nilai-nilai agama serta kemudian mengamalkannya
dalam perilaku terutama perilaku seksualnya, diharapkan dapat menghindari
perilaku seksual pranikah.
Remaja juga sedang mengalami perubahan pada aspek religiusitas.
Menurut teori Piaget bahwa perkembangan kognitif remaja sudah mencapai taraf
formal operasional, Taraf ini sudah menjadikan remaja untuk berpikir secara
abstrak, teoritik dan kritis sehingga pada masa remaja ada kecenderungan untuk
mengubah cara berpikir dan merasakan nilai-nilai agama sesuai dengan taraf
perkembangan intelektualnya. Ide dan dasar keyakinan tentang agama yang
diterima remaja dari
masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik lagi bagi
mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul dan membuat remaja
mengalami keraguan terhadap ajaran agamanya (Rahmawati, 2002).
Perilaku seksual pranikah yang biasa disebut zina dalam Islam secara
nyata dilarang keras, bahkan perbuatan tersebut disetarakan dengan perbuatan keji
dan terkutuk. Islam, sebagai salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia,
sangat mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan sampai pada
permasalahan yang sangat detail.
Periode remaja merupakan masa yang telah matang dari segi biologis dan
dapat menjalankan fungsi seksualnya. Sesuai dengan kematangannya itu maka
muncul pada diri remaja yaitu dorongan-dorongan ingin berkenalan dan bergaul
dengan lawan jenis. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian diwujudkan dalam
bentuk berpacaran di antara mereka (Sarwono, 2005). Adanya rasa cinta membuat
remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik antara remaja dengan
pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang
sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara
remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya
akanmengarah pada perilaku seksual pranikah dalam pacaran Rahman dan
Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000).
34
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakuakan,
maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Dari hasil Uji Spearman diperoleh nilai koefisien korelasi Spearman
menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,286 dengan signifikansi p = 0,033 < 0,05.
Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1 ditolak dan H0
diterima yang artinya menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan
antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir di
Fakultas Psikologi UKSW Salatiga.
Tingkat Religiusitas Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW berada dalam
2.
kategori tinggi dengan prosentase 78,6% atau 44 Mahasiswa. Dengan kata lain
sebagian besar mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW mempunyai religiusitas
yang tinggi.
3.
Tingkat Perilaku Seksual Pranikah Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW
berada dalam kategori tinggi yaitu dengan prosentase sebesar 89,2% atau 50
Mahasiswa. Dengan kata lain sebagian besar mahasiswa Fakultas Psikologi
UKSW mempunyai perilaku seksual pranikah yang tinggi.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dikemukakan saran-saran sebagai
berikut:
1. Bagi mahasiswa pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang tinggi perlu
ditunjukkan dalam berbagai aktivitas agar dengan tingginya tingkat religiusitas
tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau benteng agar hasrat
yang timbul untuk melakukan perilaku seks pranikah semakin menurun.
2. Bagi orangtua hendaknya membekali anak dengan nilai agama dan
pengawasan yang baik sehingga tidak timbul permasalahan berkaitan dengan
perilaku seks pranikah. Pendidikan seks dalam keluarga hendaknya diterapkan
sehingga anak mengetahui nilai dan norma agama serta orangtua memiliki
kepedulian terhadap pendidikan anak-anaknya.
3. Untuk penelitian selanjutnya
35
Bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
religiusitas dan perilaku seksual pranikah hendaknya menyertakan variabelvariabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini serta memperluas
ruamg lingkup penelitian ini yang terkait dengan beberapa faktor seperti usia,
tempat tinggal, dan jenis kelamin.
36
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W. & J. M, Ross. (1967). Personal religious orientation and
prejudice. Journal of personality and social psychology. Diakses di
http://web.ebscohost.com,15September 2012.
Al-Mighwar, M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia
Ashar, Rizky. (2011). Pentingnya agama dalam penanganan seks bebas. Artikel.
Diakses darihttp://akudanaids.blogspot.com, 29 Oktober 2012.
Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bhakti, A.K. (2010). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks
bebas pada
remaja
tengah
di
lokalisasi
bawen(Skripsi).
Salatiga:Fakultas PsikologiUniversitas Kristen Satya Wacana.
Dewi, W. (2010). Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika
Fitriasary, Endah. & Muslimin, Z.I. (2009). Intensitas mengakses situs porno dan
perilaku
seksual remaja (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana. Diakses http://portalgaruda.org, 25 Oktober
2012.
Hana, B.( 2009). Ayo ajarkan anak seks. Jakarta: Elex Media Komputindo
Hasan, S. (2008). Let’s talk about love. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Hurlock, E. B. (1990). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang
rentangkehidupan.Erlangga:Jakarta.
Indriastuti,
M.
(2005).
Hubungan
antara
tingkat
religiusitas
dengan
kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pada remaja yang
berpacaran(Skripsi). Salatiga:Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya
Wacana.
Irianto, Koes. 2010. Memahami seksologi. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Jalaluddin. (1997). Psikologi agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Kurniawan, Helmi. (2008). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan tingkat
kecemasan
siswa
dalam
menghadapi
ujian
nasional
(Skripsi).
37
Yogyakarta: Fakultas Agama Islam UniversitasMuhammadiyah. Diakses
di http://www-.umy.ac.id/, 20 September 2012
Mangunwidjaya,
Y.B.
(1986).Menumbuhkan
sikap
religius
pada
anak.Jakarta:Gramedia.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., &Haditono, S.R. (1996). Psikologi perkembangan.
Yogyakarta: GadjahMada University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Prajaningtyas, B.H. (2009). Hubungan antara tekanan teman sebaya dengan
perilaku seksual pranikah pada remaja(Skripsi). Salatiga: Fakultas
Psikologi Universitas Kristen SatyaWacana.
Romauli, S. (2009). Kesehatan reproduksi untuk mahasiswi
kebidanan.
Yogyakarta: Nuha Medika
Santrock, J. W. (1995). Perkembangan masa hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda
Damanikadan Ach Chusairi. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2004). Psikologi remajaedisi revisi 8. Jakarta: Raja Grafindo
Pustaka.
Soetjiningsih dkk, (2004). Buku ajar: Tumbuh kembang remaja dan
permasalahannya. Jakarta : Sagung seto
Soetjiningsih, (2006). Remaja usia 15-18 tahun banyak lakukan perilaku seksual
pranikah. online
Theresia, L. (2012).Hubungan antara religiusitas dengan perilaku seksual pada
remaja yang berpacaran(Skripsi). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I.2010. Kesehatan remaja problem dan
solusinya. Jakarta: Salemba Medika
Widyastuti, E.S.A. (2009). Faktor personal dan sosial yang memengaruhi sikap
remajaterhadap hubungan seks pranikah: sebuah studi di lokalisasi sunan
kuning dan gambilangu semarang (thesis). semarang:program studi
magister
promosi
kesehatan
program
pascasarjana
Universitas
Diponegoro. Diunduh di http://eprints-.undip.ac.id/, 10 Agustus 2012.
38
Wirawanti, W. (2006). Hubungan antara perilaku seksual dengan sikap remaja
terhadap pornografi pada siswa kelas xi sma theresiana salatiga(Skripsi).
Salatiga: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Program Studi
Bimbingan Dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi perkembangan anak dan remaja. bandung:
remaja Rosdakarya
Download