BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pierce & Cheney (2003) membagi remaja menjadi dua tahap yakni remaja awal berusia 13-15 tahun dan remaja akhir berusia 15-17 tahun. Pada perkembangan di usia remaja ini akan diikuti oleh sejumlah perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Diantara perubahan-perubahan biologis yang ada misalnya pertambahan tinggi badan, perubahan hormonal, dan kematangan seksual ketika mencapai masa pubertas. Sementara itu perubahan kognitif pada remaja seperti meningkatnya berpikir abstrak, logis, dan idealistik. Hal ini mengakibatkan remaja berpikir cenderung egosentris. Perubahan sosioemosional di masa remaja meliputi adanya konflik dengan orang tua dan keinginan untuk meluangkan lebih banyak waktu dengan temanteman sebaya. Ketika remaja mulai banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya, percakapan yang muncul biasanya akan lebih intim dan mendalam (Santrock, 2012). Remaja yang telah matang secara seksual memiliki keinginan untuk berinteraksi dan menjalin hubungan yang lebih bermakna dengan lawan jenisnya. Hurlock (dalam Santrock, 2012) menambahkan bahwa pengalaman seksual yang menyenangkan ketika berpacaran menyebabkan masing-masing individu menganggap bahwa perilaku dan aktivitas seksual sebagai suatu hal yang menyenangkan untuk dilakukan dengan pasangan. Perilaku menurut Lahey (2009) merupakan tindakan yang tampak pada seseorang dan dapat diukur. Selanjutnya Bandura (1977) menambahkan perilaku merupakan suatu respon atau reaksi dari hasil pembelajaran seseorang terhadap interaksinya dengan beberapa faktor yang saling mempengaruhinya. Salah satu faktor yang dikemukakan 1 2 ` Bandura (1977) dalam teorinya ialah faktor lingkungan yakni faktor yang berkaitan dengan lingkungan dimana individu beroperasi secara interaktif, misalnya kelompok teman sebaya dan lain sebagainya. Bandura (dalam Santrock, 2003) mempercayai bahwa perilaku manusia didapatkan dari proses pembelajaran dengan mengamati dan bahkan meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Proses meniru perilaku orang lain ini dikenal juga dengan modelling. Menurut Bandura (1977) modelling merupakan proses pembelajaran yang melibatkan atensi, retensi, reproduksi, serta motivasi dengan tujuan untuk meniru perilaku tertentu. Modelling dapat menjadi dasar seseorang dalam berperilaku tertentu, salah satunya adalah perilaku seksual pranikah. Menurut Sarwono (dalam Taufik, 2013) perilaku seksual pranikah adalah aktifitas seksual yang dilakukan antara lawan jenis tanpa adanya ikatan pernikahan yang resmi baik secara agama maupun hukum. Umumnya perilaku seks pranikah terjadi dikalangan remaja. Hal ini dikarenakan oleh perubahan-perubahan yang disebabkan oleh masa pubertas. Perubahanperubahan tersebut meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2012). Santrock (2003) juga menambahkan remaja cenderung akan lebih terbuka terhadap informasi dan pendapat dari teman-temannya sehingga tak jarang membuat remaja meniru perilaku yang didorong oleh teman-temannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam penelitian yang diakukan oleh Wang’eri dan Otanga (2013) pada 217 remaja perempuan dan laki-laki mengenai peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah remaja, bahwa terdapat 30% remaja yang didorong oleh teman-temannya untuk berpacaran, 15,2% didorong teman-temannya untuk menonton pornografi dan 15,7% diantaranya didorong untuk melakukan aktifitas seksual. Mendukung hasil tersebut, dalam penelitiannya Maryatun (2013) menyebutkan bahwa 31 dari 42 remaja awal di Surakarta menyebutkan perilaku seksual pranikah yang mereka lakukan didasari oleh peran teman- 3 ` teman sebayanya. Hal tersebut berarti bahwa remaja cenderung meniru perilaku teman-teman sebayanya agar dapat diterima oleh kelompoknya (Maryatun, 2013). Dalam penelitiannya, Damayanti (2004) menemukan adanya 11 perilaku pacaran remaja sekolah menengah di Jakarta. Kesebelas perilaku pacaran tersebut adalah mencurahkan perasaan dengan bercerita, berpengangan tangan, berangkulan, berpelukan, berciuman pipi, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba-raba alat kelamin, menggesekkan alat kelamin, dan intercourse. Pendapat tesebut sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurhidayah dan Setiawan (2008) pada remaja SMA di Bekasi bahwa terdapat hubungan antara perilaku berpacaran dengan perilaku seksual pranikah, yang berarti perilaku berpacaran yang dilakukan remaja akan semakin mengarah pada perilaku seksual pranikah. Howard menyebutkan (dalam Nurhidayah & Setiawan, 2008) umumnya remaja ingin mengetahui hubungan antar pribadi dengan sesamanya, dimulai dengan keinginan untuk mengenal lawan jenis dan memulai persahabatan khusus lalu berlanjut menjadi hubungan yang lebih bermakna. Ketertarikan seksual pada remaja merupakan hal lazim dalam proses perkembangannya akan tetapi Berger (1998) menilai pada kebanyakan remaja, terutama masa remaja awal mereka cenderung lebih aktif secara seksual. Hal ini terlihat dari sejumlah fenomena yang dilansir oleh Romadoni (2013), mengenai tindakan asusila yang melibatkan beberapa pelajar sekolah menengah pertama di Jakarta pada September 2013 silam. Sebelumnya pada tahun 2009 beberapa media massa memuat berita terdapat 18 remaja di SMPN “X” Jakarta yang menjadi pekerja seks komersil (Yulianto, 2010). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2011) mencatat terdapat 65,3% remaja berusia 16-24 tahun di Jakarta. Pada tahun-tahun berikutnya dalam hasil survei BKKBN (dalam Banun & Setyorogo, 2013) sebanyak 51% remaja di wilayah Jabodetabek mengaku sudah tidak perawan, 4% diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah 4 ` sejak usia 16-18 tahun dan 16% melakukan pada usia 13-15 tahun. Sejalan dengan data tersebut, Uddin (dalam Utomo & Utomo, 2013) menambahkan di Indonesia sendiri terdapat 2.5 juta wanita yang melakukan aborsi dan setengah jutanya adalah remaja. The Australian National University (dalam Utomo & Utomo, 2013) menyebutkan bahwa setidaknya 27% remaja putri di Jabodetabek hamil pada usia dini. Selanjutnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (dalam Dewi, 2009) melakukan penelitian terhadap 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang mengenai sikap permisif terhadap perilaku seks dalam berpacaran. Sebanyak 45,9% memandang berpelukan antar lawan jenis merupakan hal wajar, 47,3% membolehkan cium pipi, 22% melakukan ciuman bibir, 11% membolehkan necking, 4,5% tidak mengharamkan kegiatan merabaraba alat kelamin, 2,8% menganggap petting merupakan hal wajar, dan 1,3% menyetujui hubungan seksual pranikah. Hubungan seks pranikah dikalangan remaja menjadi masalah yang semakin hari semakin mencemaskan dan semakin meningkat. Tidak jarang dari hubungan seks pranikah tersebut menimbulkan dampak yang cukup serius, seperti kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 2008 dari 405 kasus kehamilan yang tidak direncanakan, 95% dilakukan oleh remaja usia 15-25 tahun di Jakarta (Solihat, 2013). Menurut BKKBN (2010), kasus aborsi di Indonesia meningkat mencapai 2,4 juta jiwa per tahun dan 1,5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja. Kehamilan yang tidak diinginkan tersebut juga tak jarang membuat remaja putus sekolah dan orang tua dalam hal ini terpaksa menikahkan anaknya, hal ini tidak banyak diberitakan di media massa karena dipandang sebagai aib (Setyanti, 2013). Selanjutnya Lutfihayati (dalam Pratiwi, 2013) menambahkan dampak kehamilan akibat hubungan seksual pranikah adalah kemungkinan pengangguran yang tinggi, hal ini dikarenakan remaja putus sekolah dan terpaksa harus 5 ` menikah dibawah umur sebelum menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah dapat kita jumpai pada kota-kota besar, seperti ketika peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu remaja SMPN “X” di Jakarta. Ia yang menyatakan dirinya telah melakukan aktivitas seksual pranikah. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataannya yang mengkaitkan aktivitas seksual pranikah yang ia lakukan tersebut terjadi karena rasa ingin tahu atas percakapan-percakapan yang muncul antara ia dan teman-temannya. Peneliti merangkum bahwa rasa ingin tahu tersebut sebagai attention, dimana responden memberi perhatian terhadap apa yang disampaikan teman-temannya mengenai aktivitas seksual. Attention merupakan tahap awal proses modelling yang dikemukakan oleh Bandura (1977). Dari penjelasan dan data yang telah diuraikan tersebut, perilaku seksual pranikah mayoritas dilakukan oleh remaja dan tidak jarang perilaku tersebut merupakan hasil dari proses modelling remaja terhadap kelompok teman sebayanya. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran modelling perilaku seksual pranikah dan bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah apa sajakah yang terjadi pada remaja SMPN “X” Jakarta? 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan data-data yang telah dijabarkan, penulis tertarik untuk melihat bagaimana gambaran modelling perilaku seksual pranikah dan bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah pada remaja SMPN “X” Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menggambaran modelling perilaku seksual pranikah dan bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah pada remaja SMPN “X” Jakarta.