7 TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food) ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan. Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak. Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MPASI) (Hartoyo et al., 2000). MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin, 1992). Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi, yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997). Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat 8 bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul. Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak, tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000). Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4 bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat. Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000) Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan 9 lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur sebanyak 1 kali/ha Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan, disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko : 1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality 2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas 3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut 4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi) 5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan pengawet yang tidak diinginkan 6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya. Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut (Pudjiadi, 2001). Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan. 10 Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa. Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita Makanan Umur Makanan Makanan ASI Lumat (bulan) Lumat Lunak Halus 0-4 X 4-6 X X 6-9 X X 9-12 X X 12-24 X Sumber : Depkes RI, 2000 Makanan Padat X Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai gizi makanan. Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1 kali sehari. Makanan Anak Umur 12-24 bulan. Pemberian ASI juga tetap diteruskan, dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan Kessos RI, 2000). Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 46 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994). 11 Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti, 2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada bayi. Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan Jenis dan bentuk MP-ASI n % (persen) yang diberikan pertama kali Jenis MP-ASI Bubur tepung beras 2 3.4 Bubur beras 3 5.1 Sun/Promina/Milna 44 74.6 Pisang mas 7 11.9 Popeda 1 1.7 Biskuit 2 3.4 Total 59 100.0 Bentuk MP-ASI Lumat halus 58 98.3 Cair 1 1.7 Total 59 100.0 Sumber : Sitti, 2004 Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan, yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4) sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial, makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang beredar di pasaran adalah SUN, Promina, Milna, Goodmil, Cerelac, dan 12 sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000). Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain : 1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) Clostridium botulinum. 2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram, Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/gram dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple, fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari Clostridium botulinum. 3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang menggunakan madu atau sirup gula. 4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus negatif dan Clostridium botulinum menggunakan madu atau sirup gula. negatif untuk produk yang 13 Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya. Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi (dalam CFU). Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam CFU/g). Nama Peraturan Standar Codex standard dalam Code of Hygienic - bakteri aerob mesofilik/g Practice for Powdered - Enterobacteriaceae/10 g Formulae for Infants and - E. sakazakii/10g Young Children, - Salmonella negatif/25g CAC/RCP 66-2008, perbaikan CAC/RCP 21-1979 (CAC 2008) Canadian standard dalam Health Products - Mikroba aerob/g and Food Branch - E. coli/g Standards and Guidelines - Salmonella negatif/25g For Microbiological - S. aureus/g Safety of Food (HPFB - Bacillus cereus/g 2008) - C. perfringens/g FDA dalam 21 Current Federal Rules (CFR)106107 (FDA 1996) Australia-New Zealand dalam Standard 1.6.1 Microbiological Limit for Food (FSANZ 2001) n 5 10 30 60 n 5 10 20 10 10 10 c 2 1 0 1 1 1 m M 1.0 x 103 1.0 x 104 < 1.8 1.0 x 10 0 0 1.0 x 10 1.0 x 102 1.0 x 102 1.0 x 104 1.0 x 102 1.0 x 103 ≤ 1.0 x 104 ≤ 3.05 MPN ≤ 3.05 MPN n=60, c=0, m=0, negatif ≤ 3.05 MPN ≤ 1.0 x 102 - Mikroba aerob/g - Koliform/g - Fekal koliform/g Salmonella negatif/25 g L. monocytogenes/g S. aureus/g B. cereus/g - B. cereus/g - Koagulase positif staphylococci/g - Kolifrom/g - Salmonella negatif/25 g - C. perfringens/g - L. monocytogenes/25 g - SPC* / g c m M 2 5.0 x 102 5.0 x 103 2 0 0 0 0 0 0 0 0 n 5 5 c 1 1 m 1.0 x 102 0 M 1.0 x 103 1.0 x 10 5 5 5 5 5 2 0 2 0 2 <3 0 <1 0 1.0 x 104 1.0 x 102 0 1.0 x 10 0 1.0 x 105 M=0 Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c = jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m = 14 konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar (>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel. Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000). Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus Parameter Nilai data Referensi pH minimal 4.3 Reed, 1994 pH maksimal 9.3 Fluer and Ezepchuk, 1970 % maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985 Suhu minimal 4◦C FDA, 1998 ◦ Suhu maksimal 50 C FDA, 1998 Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30◦C adalah 15 26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.910.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara strain. Secara umum, D 100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974). Gambar 1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP 16 Sifat Biokimiawi Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim (protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air (Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002). Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦C, selama 48 jam akan membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat αhemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999). Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu, mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005). Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP). Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain, sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan 17 motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp. Bacillus Bacillus Bacillus Bacillus Ciri-ciri cereus thuringiensis mycoides anthracis Reaksi gram + + + + Katalase + + + + Motil +/+/Reduksi nitrat + + + + Pengurai + + +/tirosin Resisten + + + + lisozim Reaksi terhadap + + + + kuning telur Uji fermentasi glukosa + + + + anaerob Reaksi VP + + + + Produksi asam dari manitol Hemolysis + + + (domba RBC) Kristal Patogen Produksi endotoksin Karakteristik Rhizoidal terhadap enterotoksi patogen sifat patogen growth manusia n terhadap dan hewan serangga Sumber : BAM, 2001 Habitat Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya 18 ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah (Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau spora per gram (Beattie et al., 1999). Endospora Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan, penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan mati dengan temperatur di atas 70◦C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal, rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003). Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi. Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai 19 mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba, Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997). Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk (mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat. Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase. Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan mati karena lisis (Dahl, 1999). Germinasi Spora Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel dapat tumbuh (Fardiaz, 1992). Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001). Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi korteks, ekskresi Ca2+ dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil. Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik, aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl 20 (konsentrasi tinggi), NO 2 , dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi. Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004). Patogenesis Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5 menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107 sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran sel karena adanya ion Ca2+ (Beattie et al., 1999). Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu yang mencapai 120◦C selama 1 jam. Toksin ini biasanya dapat ditemukan pada 21 nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105 – 108 sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al., 1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide. Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990), mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel. Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung ileum kelinci (Beecher et al., 1995). Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al., 1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang disebabkan oleh Bacillus cereus dapat dilihat pada Tabel 6. 22 Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus Sindrom diare 7 Sindrom emetik Dosis infektif Produksi toksin 10 – 10 sel/g Di usus halus penderita 105 – 108 sel/g Terbentuk di dalam makanan Tipe toksin Masa inkubasi Lama penyakit Gejala Protein 8-16 jam (bisa > 24 jam) 12-24 jam (bisa beberapa hari) Sakit perut, diare encer dan ada mual Produk daging, sup, sayuran, susu dan produk susu, pudding/sausnya Peptide siklik 0,5-5 jam 6-24 jam Mual, muntah dan lesu Makanan yang sering terlibat 5 Nasi, nasi goring, pastry, dan mie pasta, Sumber : Granum dan Lund, 1997 Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus. Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002). Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi yang dilarutkan kemudian dibiarkan selama 4 jam pada suhu 25⁰C. Baru-baru ini 23 beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. EhlingSchulz et al., 2005). Fitting Model Pertumbuhan DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel 97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase) sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameterparameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor, yang dikembangkan oleh DMFit.