petunjuk praktis penerapan p3b

advertisement
BAB IV
HARMFUL TAX PRACTICES
Era globalisasi telah secara positif mempengaruhi negara-negara untuk mereformasi sistem
perpajakannya agar dapat mengakomodasi perkembangan usaha dunia internasional.
Namun, sebagai efek negatif, era globalisasi juga memberi peluang bagi negara-negara
tertentu untuk menjadi tax haven country atau negara-negara yang menjanjikan
keistimewaan-keistimewaan dalam bidang perpajakan (preferential tax regime) dalam
rangka menarik arus investasi dari negara lain.
Lahirnya tax haven country dan preferential tax regime country ini kemudian memicu
munculnya praktik-praktik tidak sehat dalam lingkup perpajakan internasional.
Penggunaan controlled foreign corporation serta praktik transfer pricing, thin
capitalization, dan treaty shopping merupakan praktik yang populer dalam rangka
penghematan pajak yang melibatkan transaksi multinasional.
Lahirnya tax haven country dan preferential tax regime country ini kemudian memicu
munculnya praktik-praktik tidak sehat dalam lingkup perpajakan internasional.
Penggunaan controlled foreign corporation serta praktik transfer pricing, thin
capitalization, dan treaty shopping merupakan praktik yang populer untuk penghematan
pajak yang melibatkan transaksi multinasional.
Bab ini akan mencoba mengulas beberapa praktik tidak sehat tersebut. Ulasan dimulai
dengan pembahasan tentang pengertian dari praktik-praktik tersebut, kemudian dilanjutkan
dengan potensi permasalahan yang ditimbulkan oleh praktik-praktik tersebut, dan terakhir
kajian tentang solusi yang tersedia di Indonesia.
Sebagai pendahuluan, perlu diketahui bahwa dalam transaksi multinasional yang biasanya
terkait dengan keputusan penduduk suatu negara (misalnya Negara D) untuk menempatkan
holding company pada suatu negara (misalnya Negara X) yang mengoperasikan
perusahaan (subsidiary) di negara lainnya lagi (misalnya Negara Y), ada tiga level pajak
yang ditanggung, yaitu:

Pertama, pajak di negara tempat subsidiary dioperasikan (Negara Y), yaitu withholding
tax atas dividen yang dibayar oleh subsidiary kepada holding company-nya.
50

Kedua, pajak di negara tempat holding company berkedudukan (Negara X), yaitu PPh
atas penghasilan holding company serta withholding tax atas dividen yang dibayar oleh
holding company kepada pemegang sahamnya.

Ketiga, pajak di negara tempat pemegang saham berkedudukan (Negara D), yaitu PPh
atas penghasilan dividen yang diterima oleh pemegang saham dari holding company.
A. Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime Country
1. Pengertian
Sebetulnya Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),
dalam laporannya tentang Harmful Tax Competition, memberikan pengertian
terpisah antara Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime Country. Namun,
karena tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya, untuk
ringkasnya, Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime Country akan
dianggap sebagai satu hal yang identik.
Dalam pengertian klasik, sebuah negara dapat dikategorikan sebagai tax haven atau
preferential tax regime apabila negara tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Menerapkan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama
sekali;

Menerapkan aturan tentang kerahasiaan (misalnya rahasia bank atau rahasia
dagang) secara ketat sehingga mempersulit arus pertukaran informasi
antarnegara; bahkan menolak bekerja sama dengan tax authority negara lain
dan tidak mempunyai tax treaty (atau sangat terbatas jumlahnya);

Kurang transparan dalam penerapan peraturan perundang-undangannya;

Menawarkan fasilitas-fasilitas tertentu, seperti tidak mewajibkan perusahaan
yang didirikan di sana untuk melakukan aktivitas yang berarti (paper
company).
Sebagai ganti dari penerimaan negara berupa pajak, yang menjadi sumber
penghasilan utama bagi tax haven country adalah:

Biaya pendirian perusahaan

Iuran tahunan

Biaya untuk jasa-jasa tambahan lainnya
51
Contoh: Bahama menawarkan biaya-biaya sehubungan dengan pendirian
perusahaan di sana sebagai berikut:
Jenis Biaya
US$
Cost of Incorporation (Includes all first year fees for Registered
888,88
Agent/Registered Office and Government fees):
Annual Registered Agent/Office/Government Fees:
500,00
Nominee Directors/Officer/Shareholders (If required):
500,00
Additional Services:
 Company Name Searches
Free Service Provided
 Bank Account Openings
US$200 Set-up Fee (Minimum Deposit Required)
 Offshore Credit Cards
US$200 Set-up Fee (Excl. Credit Card Annual Fees)
 Offshore Trusts
US$888,88 Set-up Fee (Excl. Annual Trustee Fees)
 Annual Trustee Fee
US$500 Annual Trustee Fee to maintain "Trust"
 Offshore Mutual Funds
US$100 Set-up Fee Plus 5.25% Commission-Front Load
(Standard Rate for Offshore Funds - Non-Negotiable)
 Brokerage Accounts
US$300 Set-up Fee (Minimum Deposit Required)
 "OS" Mail Forwarding
US$500 Annual Maintenance Service Fee
 "OS" Phone/Fax Service
US$500 Annual Maintenance Service Fee
2. Potensi Permasalahan
Dengan penempatan holding company pada tax haven country atau preferential tax
regime country, suatu grup dapat melakukan beberapa penghematan pajak karena:

Pada level pengenaan pajak di negara tempat holding company berkedudukan
(level kedua), tax haven country memberikan pembebasan pajak atau
pengenaan pajak yang sangat kecil.

Pada level pengenaan pajak di negara tempat pemegang saham berkedudukan
(level ketiga), grup dapat menunda pengenaan pajak dengan cara menunda
pendistribusian keuntungan holding company kepada pemegang sahamnya.
Kompetisi antar negara dalam bidang perpajakan dengan cara menjadi tax haven
country atau preferential tax regime country tidak dapat dibenarkan karena praktik
ini dapat menciptakan distorsi pada pola perdagangan dan investasi serta
mengurangi kesejahteraan manusia secara global.
Praktik ini juga dapat mengikis penerimaan pajak negara lain sehingga ada
kepincangan dalam pelayanan publik. Investor pada tax haven country akan
menjadi free rider di negaranya sendiri karena dia tidak membayar pajak di
negaranya tetapi di tax haven country. Pemerintah dan penduduk tax haven country
juga menjadi free rider atas produk-produk publik yang disediakan oleh negaranegara non tax haven.
52
3. Alternatif Pemecahan Masalah
Masih dari laporan OECD tentang Harmful Tax Competition, ada beberapa
rekomendasi yang ditawarkan OECD dalam rangka me-minimize potensi negatif
yang mungkin ditimbulkan dengan adanya tax haven country atau preferential tax
regime country, yaitu antara lain:
a. Rekomendasi yang terkait dengan aturan domestik suatu negara
Kepada negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang mau
bekerjasama dengan OECD, disarankan agar melengkapi aturan domestiknya
dengan:

Controlled Foreign Corporations (CFC) rule

Thin capitalization rule

Transfer pricing rule

Pembatasan penggunaan exemption method dalam metode penghindaran
pajak berganda

Keharusan bagi penduduknya untuk melaporkan transaksi internasional dan
kegiatan usaha di luar negeri
b. Rekomendasi yang terkait dengan tax treaty
Tax treaty yang dibuat hendaknya memuat:

Perjanjian tentang pertukaran informasi

Pengaturan pihak-pihak yang berhak untuk menikmati manfaat tax treaty
Apabila suatu negara telah menjalin tax treaty dengan tax haven country, maka
OECD menyarankan untuk membatalkannya.
c. Rekomendasi untuk kerjasama
OECD juga merekomendasikan untuk lebih mengintensifkan kerjasama
internasional sebagai respon terhadap harmful tax competition.
B. Controlled Foreign Corporations (CFC)
1. Pengertian CFC
CFC merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menentukan derajat
penguasaan atas suatu offshore company. Secara umum, perusahaan yang
berkedudukan di luar negeri (offshore company) akan dianggap sebagai CFC oleh
53
suatu negara apabila perusahaan luar negeri tersebut dikuasai oleh penduduk
negara tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat menganggap suatu perusahaan luar negeri sebagai
CFC apabila lebih dari 50% saham perusahaan tersebut dimiliki oleh penduduk
Amerika Serikat.
2. Potensi Permasalahan
Dengan menempatkan perusahaan di negara lain (CFC), investor dapat menunda
pemajakan penghasilan yang berasal dari pengoperasian perusahaan di luar negeri
dengan cara menunda pendistribusian laba (dividen) kepadanya.
3. CFC Rules
Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company)
telah dianggap sebagai CFC oleh suatu negara, maka negara tersebut berwenang
menentukan saat perolehan penghasilan yang berasal dari CFC tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan penduduknya yang merupakan pemegang
saham CFC untuk memasukkan penghasilan bruto CFC (sesuai dengan porsi
kepemilikannya) dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya meskipun bagian
penghasilan CFC tersebut belum didistribusikan kepadanya dalam bentuk dividen.
4. CFC Rules di Indonesia
Pemerintah Indonesia tidak secara eksplisit mengadopsi CFC Rules, namun
Pemerintah Indonesia mempunyai aturan yang identik dengan CFC Rules, yaitu:
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 menetapkan aturan
penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri sebagai berikut:
Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang
berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar
negeri dilakukan sebagai berikut:

untuk penghasilan dari usaha: dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut;

untuk penghasilan lainnya: dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut.
54
Pengecualian:
Untuk penghasilan berupa dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
dividen tersebut.
Saat perolehan dividen tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994.
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 berlaku apabila:
1) Wajib Pajak dalam negeri:

memiliki sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau

secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
memiliki sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
2) Saham badan usaha di luar negeri tidak diperdagangkan di bursa efek
3) Badan usaha dimaksud bertempat kedudukan di negara atau tempat berikut
ini:
1. Argentina
2. Bahama
3. Bahrain
4. Balize
5. Bermuda
6. British Isle
7. British Virgin Island
8. Cayman Island
9. Channel Island Greensey
10. Channel Island Jersey
11. Cook Island
12. El Salvador
13. Estonia
14. Hongkong
15. Liechtenstein
16. Lithuania
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Macau
Mauritius
Mexico
Nederland Antiles
Nikaragua
Panama
Paraguay
Peru
Qatar
St.Lucia
Saudi Arabia
Uruguay
Venezuela
Vanuatu
Yunani
Zambia
Penetapan saat diperolehnya dividen tersebut:
55

pada bulan ke empat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan usaha
di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, saat diperolehnya dividen
ditetapkan pada bulan ke tujuh setelah tahun pajak berakhir.
c. Contoh:
PT A di Jakarta dalam tahun pajak 1995 menerima dan memperoleh
penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
1) Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp
800.000.000,00;
2) Dividen atas pemilikan saham pada ''X Ltd.'' di Australia sebesar Rp
200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan Tahun 1992 yang ditetapkan
dalam rapat pemegang saham Tahun 1994 dan baru dibayar dalam Tahun
1995;
3) Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada ''Y Corporation'' di
Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp
75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1994 yang berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh Tahun 1995;
4) Bunga kwartal IV Tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 dari ''Z Sdn Bhd''
di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Mei 1996.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan
dalam negeri dalam tahun pajak 1995 adalah penghasilan pada butir 1), 2), dan
3), sedangkan penghasilan pada butir 4) digabungkan dengan penghasilan
dalam negeri dalam tahun pajak 1996.
C. Transfer Pricing
1. Pengertian Transfer Pricing
Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga
transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
56
yaitu intra-company dan inter-company transfer pricing. Intra-company transfer
pricing merupakan transfer pricing antar divisi dalam satu perusahaan. Sedangkan
inter-company transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa. Kedua perusahaan tersebut bisa berada
dalam satu negara (domestic transfer pricing), bisa juga berada di negara yang
berbeda (international transfer pricing).
Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan
permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan
international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada pada negara
yang berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa sehingga perusahaan
di negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggitingginya, sedangkan perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi
mendapatkan keuntungan yang serendah-rendahnya.
Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak, meskipun
dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga transfer
sedemikian rupa sehingga:

Penghasilan Kena Pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait
untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi.

Laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati
kompensasi kerugian.
2. Transfer Pricing Rules
Untuk mencegah penghindaran pajak melalui transfer pricing ini, OECD
merekomendasikan agar negara-negara mengadopsi transfer pricing rules, yaitu
memberikan kewenangan kepada negara untuk mendistribusikan, membagikan,
atau mengalokasikan gross income, pengurang penghasilan, credits atau
allowances, atau item lain yang mempengaruhi Penghasilan Kena Pajak di antara
Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan
Penghasilan Kena Pajak yang sebenarnya dari tiap Wajib Pajak tersebut.
Tujuan dari transfer pricing rules ini adalah untuk menempatkan Wajib PajakWajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa menjadi Wajib Pajak yang
independen sehingga harga-harga yang digunakan di antara Wajib Pajak-Wajib
Pajak tersebut dapat dipastikan kewajarannya (arm’s length).
57
3. Transfer Pricing Rules di Indonesia
Melalui UU PPh, Indonesia telah mengadopsi transfer pricing rules. Dalam Pasal
18 (3) UU PPh diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Sebagai aturan pelaksanaannya, ada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer Pricing.
Dalam Surat Edaran ini diatur antara lain:
a. Konsep Hubungan Istimewa
Sesuai dengan Pasal 18 (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung;
3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
b. Konsep Transfer Pricing
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dikenal dengan istilah transfer pricing. Hubungan istimewa dimaksud
dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang
direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau
dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak
lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak
58
terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut.
Kekurangwajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada:
1) Harga penjualan;
2) Harga pembelian;
3) Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
4) Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
(shareholder loan)
5) Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
6) Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak
yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
7) Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company
atau reinvoicing center).
c. Metode dan Teknis Penghitungan Harga Wajar
1) Comparable Uncontrolled Price (Harga Pasar Sebanding)
Membandingkan harga yang terjadi pada transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dan transaksi yang dilakukan oleh pihakpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam lingkungan atau
situasi yang setara
Contoh:
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B,
PT A membebankan harga jual Rp160 per unit, berbeda dengan harga yang
diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X (tidak ada
hubungan istimewa) yaitu Rp200 per unit.
Perlakuan Perpajakan:
Dalam contoh tersebut, harga pasar sebanding (comparable uncontrolled
price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT X yang tidak
59
ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp200
per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan atau
pengenaan pajak.
2) Resale price
Mengurangkan suatu markup wajar dari harga jual barang yang sama pada
mata
rantai
berikutnya.
Mark-up
wajar
diperoleh
dengan
membandingkannya dengan transaksi yang tidak ada hubungan istimewa
3) Cost Plus
Menambahkan tingkat laba kotor wajar (yang diperoleh dari perusahaan
yang sejenis yang tidak mempunyai hubungan istimewa) pada harga pokok
4) Profit Split
Menentukan laba yang akan dibagi antara anggota grup dari transaksi yang
dipengaruhi hubungan istimewa, selanjutnya laba tersebut dibagi antara
perusahaan
yang
mempunyai
hubungan
istimewa
dengan
dasar
pertimbangan ekonomis sehingga pembagian itu mencerminkan laba
seandainya transaksi itu tidak dipengaruhi hubungan istimewa
5) Transactional Net Margin
Menetapkan persentase laba bersih yang didasarkan atas perbandingan laba
bersih terhadap biaya-biaya, laba bersih penjualan atau laba bersih terhadap
aktiva yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa
D. Thin Capitalization
1. Pengertian Thin Capitalization
Thin capitalization adalah pembentukan struktur permodalan suatu perusahaan
dengan kontribusi hutang sebanyak mungkin dan modal sesedikit mungkin.
Praktik thin capitalization didasarkan pada adanya perbedaan perlakuan perpajakan
atas bunga (sebagai imbalan atas hutang) dan dividen (sebagai imbalan atas modal).
Biaya bunga merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak. Sedangkan dividen bukan merupakan unsur pengurang dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
60
Dengan praktik thin capitalization ini, yang biasanya melibatkan holding company
di negara dengan tarif pajak rendah, pajak yang seharusnya menjadi hak suatu
negara dapat dialihkan ke negara lain. Modusnya adalah bahwa dalam membiayai
subsidiary-nya, suatu holding company akan memberikan kontribusi berupa hutang
(bukan modal). Dengan demikian subsidiary akan terbebani biaya bunga yang
merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak,
sehingga pajak yang ditanggung oleh subsidiary tersebut dapat ikut mengecil.
2. Thin Capitalization Rules
Dalam laporannya per tahun 1979, OECD menyoroti perbedaan pengaruh antara
kontribusi hutang dan modal tersebut. Waktu itu OECD melihat bahwa penyertaan
modal oleh induk perusahaan di suatu negara sering disamarkan sebagai hutang
dalam rangka menghemat pajak di negara tempat subsidiary berkedudukan.
Untuk mencegah terjadinya pengalihan penghasilan dari suatu negara ke negara
lain melalui praktik thin capitalization ini, OECD merekomendasikan agar negaranegara melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan kewenangan untuk
menentukan tingkat kewajaran perbandingan hutang dan modal dalam struktur
permodalan, serta sekaligus membatasi jumlah biaya bunga yang dapat dijadikan
unsur pengurang penghasilan.
3. Thin Capitalization Rules di Indonesia
Indonesia mengadopsi prinsip Thin Capitalization Rules ini melalui UU PPh-nya.
Dalam Pasal 18 (1) UU PPh diatur bahwa Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Peraturan yang kemudian dikeluarkan oleh Menteri Keuangan tersebut adalah
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Dalam keputusan ini
diatur bahwa:

Perbandingan antara hutang dan modal tidak boleh melebihi 3:1. Tiga untuk
hutang, dan satu untuk modal.

Untuk menghitung perbandingan tersebut, jumlah hutang dimaksud adalah
jumlah rata-rata hutang pada tiap akhir bulan (yang meliputi hutang jangka
pendek dan hutang jangka panjang). Sedangkan jumlah modal adalah sebesar
61
penyertaan modal oleh pemegang saham pada akhir tahun (termasuk Laba
Ditahan).

Apabila perbandingan antara hutang dan modal tersebut melebihi 3:1, maka
biaya bunga yang dapat menjadi unsur pengurang harus dihitung kembali
dengan mengoreksi terlebih dahulu jumlah hutang yang diizinkan sebesar 3 x
jumlah modal.
Contoh:

Biaya bunga:
Rp
1.000.000.000

Rata-rata jumlah hutang:
Rp
5.000.000.000

Jumlah modal pada akhir tahun:
Rp
1.000.000.000
Biaya bunga yang dapat menjadi unsur pengurang dihitung kembali sebagai
berikut:

Jumlah hutang yang diizinkan = 3 x jumlah modal
= 3 x Rp1.000.000.000
= Rp3.000.000.000

Biaya bunga yang diizinkan
= Rp1.000.000.000 x (Rp3.000.000.000/Rp5.000.000.000) = Rp600.000.000
Hanya saja, dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.01/1985, dengan alasan bahwa penentuan besarnya perbandingan antara
hutang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1002/KMK.04/1984 dikuatirkan dapat menghambat perkembangan dunia
usaha,
maka
pelaksanaan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
1002/KMK.04/1984 ditangguhkan sampai saat yang ditentukan kemudian oleh
Menteri Keuangan.
E. Treaty Shopping
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah suatu
kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan
perpajakannya masing-masing. Salah satu tujuan utama yang ingin diraih oleh kedua
Contracting States melalui P3B adalah untuk memfasilitasi perdagangan internasional
dan arus investasi antarnegara dengan cara memberikan pengurangan tarif pajak di
negara sumber atas beberapa bentuk penghasilan tertentu (biasanya passive income).
62
Benefit berupa pengurangan tarif pajak ini mungkin dapat dimanfaatkan oleh pihak
yang tidak berhak melalui praktik treaty shopping.
1. Pengertian Treaty Shopping
Treaty shopping merupakan suatu cara untuk mendapatkan manfaat suatu tax treaty
oleh pihak yang tidak berhak atas manfaat tax treaty tersebut. Treaty shopping
melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berkedudukan
di beberapa negara. Treaty shopping dilakukan oleh pihak yang merupakan
penduduk suatu negara (misalnya Negara A) yang tidak mempunyai tax treaty
dengan suatu negara lain (misalnya Negara C) dengan cara membuat suatu entitas
pada negara (misalnya Negara B) yang mempunyai tax treaty dengan Negara C.
Contoh: Kasus Aiken Industries, Inc. v. Comr.
Kasus Aiken Industries melibatkan suatu perusahaan di Bahama ("B") yang
menguasai seluruh saham suatu perusahaan di Amerika Serikat ("U") dan suatu
perusahaan di Ecuador ("E").
Semula B meminjamkan uang kepada U. Atas pembayaran bunga dari U kepada B
terutang 30% withholding tax berdasarkan ketentuan yang berlaku di Amerika
Serikat Kemudian, E mendirikan anak perusahaan di Honduras ("H"). Setelah itu, B
mengalihkan utang U kepada H dan H menjadi berhutang kepada B. Kalau
sebelumnya U langsung berhutang kepada B, maka sekarang U menjadi berhutang
kepada H, dan H berhutang kepada B dengan jumlah pinjaman dan tingkat bunga
yang sama.
H akan meng-offset pendapatan bunga dari U dengan biaya bunga yang dibayarkan
kepada B. Dan berdasarkan ketentuan yang berlaku di Honduras, bunga yang
dibayarkan kepada B tidak terutang pajak. Pada saat itu pula, tax treaty antara
Amerika Serikat dan Honduras mengatakan bahwa “pendapatan bunga yang
diterima oleh satu Contracting State yang bersumber pada Contracting State
lainnya, dibebaskan dari pengenaan pajak.
Jadi dengan praktik treaty shopping seperti di atas, B mengklaim dapat
menghindari pajak yang sebelumnya dibebankan kepadanya sebesar 30% U.S.
withholding tax.
2. Penanggulangan Masalah Treaty Shopping
63
Untuk menghadapi praktik treaty shopping, mulai tahun 1977, OECD menerbitkan
OECD Model Treaty dan memperkenalkan terminologi “beneficial owner of
income” sebagai pengganti “recipient of income.”
Sesuai dengan OECD Commentary, maksud dari perubahan terminologi tersebut
adalah untuk menangkal praktik treaty shopping dengan cara menghalangi
penduduk yang tidak mempunyai treaty menikmati manfaat suatu treaty. Dengan
OECD Model Treaty ini, pada pasal yang mengatur pengurangan tarif pajak oleh
negara sumber atas passive income (dividen, bunga, dan royalti) disebutkan bahwa
pengurangan tarif pajak akan diberikan apabila beneficial owner dari dividen,
bunga, atau royalti adalah penduduk dari negara treaty partner.
Seandainya dividen, bunga, atau royalti tersebut diterima oleh penduduk negara
treaty partner tetapi beneficial owner dari penghasilan bukan penduduk negara
treaty partner, maka penerima penghasilan tersebut tidak berhak mendapatkan
pengurangan tarif pajak.
Di Amerika Serikat, pihak yang akan mengklaim pengurangan tarif pajak
berdasarkan tax treaty diwajibkan untuk menyampaikan Form W-8BEN
(Certificate of Foreign Status of Beneficial Owner for United States Tax
Withholding) sebagai alat pembuktian bahwa pihak tersebut benar-benar beneficial
owner dari penghasilan dimaksud.
3. Treaty Shopping di Indonesia
Dalam Indonesia Model Treaty, yaitu konsep P3B yang ditawarkan Indonesia
dalam setiap negosiasi penyusunan tax treaty dengan negara lain, juga sudah
digunakan terminologi “beneficial owner” seperti yang ada pada OECD Model
Treaty.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah penggunaan terminologi tersebut
efektif dalam mencegah praktik treaty shopping. Pertanyaan ini terkait dengan
mekanisme pengenaan tarif withholding tax berdasarkan tax treaty di Indonesia
berlangsung dengan sangat sederhana.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996
tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, untuk dapat
menerapkan tarif pemotongan pajak sesuai dengan tax treaty, Wajib Pajak luar
negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang
64
berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan
fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.
F. Daftar Pustaka
1. Gunadi, Pajak Internasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997
2. Michael L. Moore, C.P.A., Ph.D. dan Edmund Outslay, C.P.A., Ph.D., U.S. Tax
Aspect of Doing Business Abroad, AICPA, 2000.
3. OECD Report, Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue, OECD, 1999
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar
Negeri.
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan
Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan
Pajak Penghasilan.
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985 tentang Penundaan
Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1002/KMK.04/1984 Tanggal 8 Oktober 1984 Tentang Penentuan Perbandingan
Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat
Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri
Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan Di Bursa Efek.
8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk
Penanganan Kasus-kasus Transfer Pricing.
65
Download