Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia

advertisement
SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas
Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan dalam
percaturan politik di kawasan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat strategis.1 Kondisi
tersebut di atas itulah yang oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai “Kebangkitan Islam”
dimulai dari kawasan Asia (Indonesia) menemui maknanya.
Secara sosiologis, Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mustahil untuk tidak
terlibat dalam proses pembangunan masyarakat, bangsa dan negara baik yang terjadi pada
masa pemerintahan Soekarno maupun pada masa pemerintahan Soeharto. Kontribusi,
partisipasi dan prilaku sosial Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara tersebut niscaya
dilandaskan pada pola pemahaman keyakinan (agama) yang dianut.
Proses pengejawantahan pemahaman agama (Islam) berupa ajaran-ajaran moral Islam
dan etika politik yang berkaitan dengan soal-soal kenegaraan itulah yang disebut sebagai
realitas politik Muslim (Islam). Atau Islam sebagai realitas politik sebagaimana
dimanifestasikan orang Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jadi yang dimaksud
politik Islam adalah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai
acuan nilai (value reference) dan basis solidaritas (solidarity basic) kelompok.
Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang
melahirkan sikap dan prilaku politik (political behavior) serta budaya politik (political
culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.2 Sikap dan prilaku serta budaya politik yang
memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu kepribadian moral
dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.3 Senada dengan Din Syamsuddin,
Azyumardi Azra mengemukakan pandangan antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik
James Piscatori yang menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam (Muslim) di seluruh dunia
dewasa ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan
lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”.
Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang Islam yang pada
gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan.4
Keinginan komunitas Muslim untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam berupa moral
Islam dan teori etika politik sebagai prilaku kenegaraan dan pemerintahan, bahkan
menjadikan syari’ah (Islam) dasar negara, acap kali melahirkan ketegangan-ketegangan
1
Meski Islam di Asia Tenggara sering disebut sebagai Islam periferal (Islam Pinggiran), dalam kenyataannya
perhatian Barat terhadap dunia Islam tidak saja terfokus kepada wilayah Timur Tengah. Islam di Asia Tenggara
kini menjadi perhatian Barat setelah perkembangan Islam yang luar biasa di Malaysia, Indonesia, dan Filipina.
Karena itu, Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja dalam percaturan politik global dewasa ini. Lihat
Khamami Zada, Politik Islam Radikal Survei wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam Jurnal Demokrasi
dan HAM, The Habibie Center, Jakarta, Vol. 3, No. 1 Januari – April 2003, hal. 38.
2
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta,
2000, Cet. 1, hal. 3
3
M. Din Syamsuddin, ibid., hal. 3
4
Azyumardi Azra, Kata Pengantar” (hal. XVI) dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius, Mizan, Bandung, 2005,
Cet. 1.
hubungan politik antara agama (Islam) di satu sisi dan negara di sisi lain. Bahkan hubungan
yang tegang itu bisa memuncak pada konflik antara keduanya.5
Kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis antara praktik dan pemikiran politik
Islam dengan negara tidak hanya dialami oleh penduduk Muslim di Indonesia saja, hal serupa
pun dialami oleh negara-negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan,
Malaysia dan Aljazair. 6 Jika bukan permusuhan, maka ketegangan yang tajam adalah
fenomena yang mewarnai hubungan politik antara agama (Islam) dengan negara sebagai
konsekwensi logis dari upaya pengembangan sintesis tersebut di atas.
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif dalam konteks hubungan politik antara Islam
dan negara di negara-negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti
Indonesia. Kedua hal tersebut yakni; Pertama, posisi Islam yang menonjol karena
kedududukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk negara setempat.
Kedua, sekalipun dominan Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik
negara bersangkutan.
Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur
yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting
dalam politik Indonesia. Namun demikian Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah
kehidupan politik nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “politik Islam” dan
“non politik Islam” di kalangan umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama.7
Pertentangan atau konflik antara Islam dengan birokrasi (negara) bukanlah suatu hal
yang baru, tetapi telah mempunyai akar-akar sejarah dan kultural sejak lama.8 Hal itu berarti
bahwa konflik tersebut telah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno maupun masa
pemerintahan Soeharto.
Pada masa Soekarno, sebagai contoh, kekuatan-kekuatan politik yang berdasarkan
Islam dipandang sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat mengancam,
mengganggu, dan bahkan merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan
tersebut, rezim penguasa selalu berupaya untuk melemahkan dan menjinakan kekuatankekuatan politik Islam saat itu karena dicurigai menentang idiologi negara, Pancasila. 9
Kecurigaan tersebut terus berlangsung sampai masa Orde Baru (1966 – 1998) sehingga pada
tahun 1983, Soeharto menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan
bernegara bagi semua organisasi massa dan organisasi politik.10
Penentapan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut mengundang perdebatan yang luas
dan tajam di kalangan parpol, ormas Islam maupun pemerhati perpolitikan Islam di Indonesia.
Menurut Bahtiar Effendi, alasan penetapan tersebut bukan karena eksklusivisme partai-partai
politik yang ada, yang dalam hal ini PPP dan PDI, namun karena pola yang dikembangkan
Orde Baru sendiri yang tidak mentolelir perbedaan.11
5
Lihat Akh. Muzakki, Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi, Lentera,
Jakarta, 2004, Cet. 1, hal. 21 dan 22.
6
Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia,
Paramadina, Jakarta, 1998, Cet. 1, hal. 2
7
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, Cet. 1, hal. 21
8
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim
Orde Baru, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 4
9
Bahtiar Effendy, op.cit., hal. 2 – 3
10
Banyak sumber tulisan yang membicarakan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi
sosial dan politik diantaranya saja M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 9; lihat juga Moerdiono, Infrastruktur Politik
Kita Masih Lemah dalam Elza Peldi Taher (ed), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Paramadina,
Jakarta, 1994, Cet. 1, hal. 16.
11
Akh Muzakki, op.cit., hal. 23
Pemerintah Orde Baru yang sangat menekankan pembangunan ekonomi memandang
bahwa kegagalan Orde Lama terletak pada kenyataan terlalu banyaknya partai politik, yang
secara idiologis bukan hanya berbeda tetapi bahkan sering bertolak belakang satu sama lain,
yang pada gilirannya menciptakan friksi-friksi dan konflik di masyarakat secara
keseluruhan.12 Strategi pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan
ekonomi hanya bisa dilakukan dalam iklim politik yang stabil dan mantap. Untuk itu, tegas
Azyumardi Azra, pemerintah melakukan penataan kembali (restrukturisasi) politik guna
menciptakan format baru politik yang dapat mendukung pembangunan ekonomi.13
Intoleransi pemerintah Orde Baru terhadap perbedaan, terbukti dari penolakannya
terhadap rehabilitasi Masyumi dan pengajuan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII),
penyederhanaan partai politik dari sembilan menjadi tiga partai, dan penetapan Pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial dan politik sebagai puncak restrukturisasi
yang juga sering diartikan sebagai proses “depolitisasi” Islam.14
Penolakan terhadap organisasi dan partai berlabel “Islam yang kental”, seperti PDII
dan Masyumi di atas, menurut Ridwan Saidi, beralasan karena dibalik itu muncul itikad
politik pemerintah untuk menata kembali sistem kepartaian warisan Orde Lama. Sedangkan
penyederhanaan partai-partai politik itu, seperti diamati oleh Deliar Noer “dilakukan sebagai
salah satu upaya untuk memudahkan sosialisasi asas tunggal Pancasila”. Senada dengannya,
Amien Rais, 15 menegaskan, proses penyederhanaan kepartaian yang terjadi di masa Orde
Baru sudah tentu juga dilakukan dalam rangka mencapai stabilitas politik.
Berbeda dengan dekade 60-an dan 70-an, dimana pemerintah Orde Baru bertindak
kooptatif dan represif terhadap gerakan politik Islam yang bersifat legal formal (idiologispolitis) seperti tersebut di atas, memasuki pertengahan tahun 80-an hingga pertengahan 90-an
terjadi pergeseran paradigma politik pemerintah; dari kooptasi-represi ke paradigma politik
akomodasi.16 Perubahan itu seiring dengan pergeseran paradigma politik Islam dari format
legalistik formal ke substansialistik-kultural.17 Pergeseran format politik Islam itu didasarkan
pada asumsi bahwa kepentingan Islam tidak mesti dibatasi pada partai-partai yang secara
formal berasaskan Islam, tetapi juga partai-partai yang secara kultural memperjuangkan nilainilai Islam.
12
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, op.cit., hal. 138.
Azyumardi Azra, Kata Pengantar dalam Ridwan Saidi, Islam Pembangunan Politik dan Politik
Pembangunan, Pustaka Panjimas, Jakarta, Cet. 1. hal. XI.
14
Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 32 dan 33. Menurut Kuntowijoyo dan
M. Din Syamsuddin, “Depolitisasi” Islam bukan “Deislamisasi”. Bagi keduanya, “depolitisasi” Islam akan
semakin memberikan ruang gerak kekuasa kepada Muslim untuk mengartikulasikan cita-cita Politik Islam
melalui gerakan kultural. Lihat Kuntowijoyo, Strategi Baru Politik Umat Islam dalam Erlangga dlk (ed),
Indonesia di simpang jalan, Mizan, Bandung, 1998, Cet. II, hal. 189. Lihat Din Syamsuddin, op.cit., hal. 18.
15
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1991, Cet. III, hal. 150.
16
“Politik Kooptasi-represi“ dan “Politik Akomodasi” adalah dua istilah yagn digunakan pemerintah Orde Baru
untuk merespon format politik Islam dekade 60-an–90-an. Untuk istilah pertama, negara menggunakan
kebijakan “domestikasi”. Kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Dalam
konteks parpol kepakuman terjadi, dan tidak untuk dinamika pemikiran politik. Pada saat itu Soeharto menjadi
sosok yang sangat dominan. Untuk istilah kedua, negara membuat sejumlah kebijakan yang dinilai
menguntungkan umat Islam. Diantaranya saja; disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988),
Undang-Undang Peradilan Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI).
Untuk lebih lengkapnya, lihat M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 12; Erlangga, dkk (ed), op.cit., hal. 188; Idris
Thoha, op.cit., hal. 190; Khumami Zada, op.cit., hal. 36; R. William Lidle, Skripturalisme Media Dakwah :
Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru dalam Mark R. Wood Ward,
Jalan Baru Islam, 1999, Cet. II, hal. 308; Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema
Insani Press, Jakarta, 1996, Cet. I, hal. 28.
17
Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 31
13
Sekalipun di satu sisi, dengan politik “akomodasi” pemerintah Orde Baru
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang boleh jadi menguntungkan “umat Islam”, namun di
sisi lain pada saat yang sama (sejak pertengahan tahun 1980-an) suasana Orde Baru ditandai
dengan menurunnya toleransi publik secara drastis akibat adanya praktik ketidakadilan
ekonomi dan politik. Gejala tersebut diperkuat oleh beberapa indikasi protes menuntut adanya
perubahan politik menggema di beberapa daerah, pada akhir 1988, mahasiswa memprotes dan
menuntut adanya pergantian kepemimpinan nasional, dan pada pertengahan 1989, protes
datang dari berbagai lapisan masyarakat (intelektual, purnawirawan maupun para buruh.18
Berbeda dengan legitimasi pemerintah Orde Baru yang semakin menurun, justru
dinamika pemikiran Muslim memberikan harapan yang optimistik, seperti disinyalir oleh R.
William Lidle, 19 tidak diragukan lagi, dalam kurun waktu itu, kaum modernis Islam di
Indonesia telah menunjukkan kreativitas yang besar. Hal itu ditandai oleh tampilnya
kelompok pemikir substansialis yang anti kelompok skripturalis.
Dalam konteks hubungan Islam dan negara, kelompok yang disebut terakhir, memiliki
kecenderungan untuk menekankan aspek legal-formal idealisme politik Islam yang ditandai
oleh keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara (nation
state). Sedangkan kelompok pertama, lebih menekankan substansi daripada bentuk negara
yang legal dan formal. Model ini lebih cenderung menekankan nilai-nilai keadilan,
persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam.20 Karenanya, model teoritis politik Islam ini menawarkan banyak kemungkinan yang
menjanjikan mengenai revitalisasi umat Islam, penyelesaian atas masalah ketegangan yang
berkepanjangan antara Islam dan negara dan hubungan yang lebih diwarnai oleh sikap saling
menghargai dan toleransi dengan umat Kristen dan umat agama non-Islam lainnya.21
Karenanya, rezim Orde Baru yang didukung oleh kekuatan militer secara konsisten
menentang ekspresi politik skripturalisme, terutama gagasan negara Islam, dan pada saat yang
sama mendukung banyak kegiatan kaum substansialis. Langkah-langkah tersebut didorong
oleh berbagai alasan historis yang terekam dalam dinamika politik Indonesia masa merdeka.22
Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 atas
dukungan rezim Orde Baru merupakan bukti paling penting yang menunjukkan melunaknya
sikap Soeharto terhadap politik Islam. (hal ini, semakin memperkuat wacana politik
akomodasi rezim Orde Baru). 23 Dukungan dan penerimaan rezim Soeharto terhadap
keberadaan ICMI merupakan proses pencarian dukungan besar dan potensial dari umat
Islam.24
Sementara itu, wacana politik akomodasi rezim Orde Baru yang semakin menguat
(dekade 90-an) akhirnya tidak mapu merobohkan gelombang demontrasi yang terjadi hampir
di seluruh negeri, terutama di kota-kota besar yang dipicu oleh krisis moneter pada akhir
1997. Ketidakmampuan rezim Orde Baru dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, nilai
rupiah yang anjlok, harga BBM yang membumbung tinggi, kebutuhan pokok rakyat yang
melangit dan kemiskinan kian merajarela di mana-mana, semakin mendorong gerakan
18
Lihat Akh. Muzakki, op.cit., hal. 24
R. William Lidle dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, op.cit., hal. 284.
20
Bahtiar Effendi, op.cit., hal. 14 dan 15.
21
Lidle, op.cit., hal. 284
22
Salah satu sebab pemerintah mengapresiasi kalangan substansialisme adalah adanya kesamaan pandangan
antara kaum substansialis dengan pemerintah, khususnya dalam hal menentang dijadikannya syari’ah sebagai
hukum positif. Sedangkan keinginan kaum skipturalisme menjadikan syari’ah sebagai hukum positif negara
dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan negara. Lihat Lidle, ibid., hal. 299.
23
Lihat Lidle, ibid., hal. 309.
24
Arief Budiman, Cendekiawan dan Penguasa, dalam Mukhaer Pakkanna, Embrio Cendikiawan
Muhammadiyah, Yayasan Penerbit Pers Suara IMM, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 34
19
reformasi. Amien Rais bersama komponen masyarakat (mahasiswa, akademisi dan
masyarakat umumnya) menyuarakan pentingnya melakukan reformasi ekonomi, politik dan
hukum. Puncak dari perjuangan gerakan reformasi adalah lengsernya Soeharto pada tanggal
20 Mei 1998. 25 Dalam konteks ini gagasan “Suksesi” yang digunakan Amien sejak 1993
menemui salah satu maknanya dalam wacana perpolitikan Islam Indonesia.
Di tengah respon pemerintah Orde Baru terhadap kedua model teoritis politik islam
yang bersifat kontradiktif satu sama lain dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara itu,
tampil M. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh Universalis yang berpandangan bahwa
Islam, adalah agama Universal yang berdasar pada tauhid. Islam sejak awal punya sifat
revolusioner yang memungkinkan umat Islam ambil bagian dalam perubahan sosial.
Karenanya, Amien Rais senantiasa mengaitkan pemikirannya dengan benang merah AlQur’an. Dan dari sinilah akar filsafat pemikirannya menghablur dalam bingkai “Tauhid
Sosial”, begitu ungkap Idi Subandi Ibrahim.26
Pemikiran-pemikiran Amien tentunya ikut mewarnai komunitas Islam yang cukup
besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Hal tersebut diperkuat oleh posisi dan peran
Amien yang dalam kurun waktu 13 tahun menduduki beberapa jabatan strategis di
kepengurusan Muhammadiyah Tingkat Pusat.27
Atas pertimbangan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi masa Islam terbesar
setelah NU di Indonesia, dengan sebagian besar pengikutnya berada di perkotaan yang
memiliki akses informasi lebih baik ketimbang masyarakat pedesaan, posisi dan daya tawar
Amien semakin diperhitungkan. Selain itu, kapasitas intelektualnya yang dianggap sebagai
“lokomotif” organisasi Muhammadiyah menjadi saksi atas kebijakan politik akomodasi
pemerintah Orde Baru terhadap format politik Islam. Dalam konteks ini, dan dalam kaitannya
dengan persoalan relasi Islam dengan negara dalam pengertian model bangunan politik negara
Indonesia, pemikiran dan aksi Amien menjadi sangat menarik untuk diteliti secara mendalam.
Ditetapkannya Amien Rais sebagai subjek penelitian, disamping didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, juga atas alasan-alasan sebagai berikut : langkah
dan aksi politik Amien Rais tampak berani, terbuka, blak-blakan, vokal, tegas dan
mendobrak; Amien adalah intelektual Sunni yang kritis; beberapa posisi dan peran yagn
diemban dalam kontelasi politik nasional; Ketua Umum PAN dan MPR Periode (1999 –
2004); Pembentukan Poros Tengah yang berhasil merangkul partai-partai berbasis massa
Islam, hingga melahirkan manuver yang bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi
Presiden RI (1999); dan langkah Amien Rais mengikuti bursa pencalonan Presiden Indonesia
pada Pemilu 1999 dan 2004 mendapatkan respon dan reaksi berbagai kalangan masyarakat.
Mengingat bahwa karakter suatu pemikiran tidak tetap atau dapat berubah, karena
bagaimana pun ia merupakan hasil olah akal-budi manusia atas pemahaman suatu “realitas”
yang terikat oleh ruang dan waktu, dan karena tokoh yang diteliti masih hidup, maka
penelitian yang dilakukan dibatasi dalam kurun waktu (1985 – 2000). Hal ini dilakukan
supaya pembahasan tidak bias sehingga suatu pemikiran yang utuh tentang “Politik Islam
Indonesia dari seorang tokoh M. Amien Rais dapat ditemukan.
25
Lihat Kholid O. Santoso D. Chaerul Salam, Menuju Presiden RI 2004, Pertarungan Strategi, Koalisi dan
Kompromi, Sega Arsy, Bandung, 2004, Cet. I, hal. 38; Abd. Rohim Ghazali (ed), M. Amien Rais dalam Sorotan
Generasi Muhammadiyah, Mizan, Bandung, 1998, Cet. I, hal. 77; Kholid Novianto dan Acehaidar, Era Baru
Indonesia Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori Abdul Djalil, Nurmahmud, Yusril Ihza
Mahendra, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, Cet. I, hal. 34.
26
Idi Subandy Ibrahim, Sekapur Sirih Editor, dalam M. Amien Rais Membangun Politik Adiluhung
Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998,
Cet. 1, hal. 23.
27
Lihat Idris Thaha, op.cit., hal. 136
Atas dasar beberapa alasan tersebut di atas, penulis mencoba meneliti pemikiran
politik Amien Rais dalam konteks keIndonesiaan yang diformulasikan ke dalam sebuah judul
“PANDANGAN M. AMIEN RAIS TENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA
PERIODE 1985 – 2000”.
B. Identifikasi Masalah
Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia memiliki
makna yang strategis dalam konstelasi politik Indonesia. Hal ini, menunjukkan pentingnya
posisi agama dalam kehidupan negara, sosial, ekonomi, maupun politik. Karenanya hampirhampir tidak mungkin untuk memisahkan antara kehidupan agama dan kehidupan negara.
Ungkapan tersebut mengisyaratkan betapa sulitnya kegiatan keduniawian sepenuhnya
terbebaskan dari pengaruh nilai-nilai agama. Atas dasar itu, politik di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari Islam. Sebaliknya komunitas Islam sendiri tidak mungkin melepaskan
kegiatan mereka dari pengaruh agama yang dianutnya.
Hal di atas menunjukkan betapa politik memiliki posisi tersendiri dalam ajaran Islam.
Karena itu, politik merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam hingga dapat dipahami bahwa
perjuangan politik seakan-akan perjuangan agama itu sendiri. Sejarah mencatat sejak awal
mulanya dalam Islam, politik dan agama sedemikian erat jalin menjalin sehingga tidak dapat
dipisahkan.
Namun demikian, tidak berarti bahwa perjalanan hubungan antara Islam dan politik
dalam realisasi kehidupan masyarakat Islam steriil dari problematika. Bagaimana menata
posisi agama dan negara merupakan salah satu persoalan yagn tergolong krusial dan
menimbulkan kontroversi dalam wacana politik Islam, berkenaan dengan pemikiran agama
dan politik (negara). Hal itu lebih terasa pada masa modern dimana antara Islam dan negara
merupakan salah satu buyek penting yang –meski telah diperdebatkan para pemikir Islam
sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini—tetap belum terselesaikan secara tuntas.
C. Perumusan Masalah
Teologi Islam dalam pengertian bagaimana Islam dipahami dan dihayati, pada
dasarnya adalah cara-cara Islam harus memberi respon terhadap realitas di sekitarnya pada
suatu saat tertentu.28 Dengan teologi yang dinamis itu memungkinkan bagi seorang Muslim
untuk mencoba merumuskan kembali ajaran Islam ke dalam program keduniaan yang lebih
aktual. Termasuk perumusan hubungan antara agama (Islam) dan negara sebagai salah satu
persoalan dalam diskursus politik Islam.
Sementara itu, wahyu sebagai sumber ajaran Islam, dalam hubungannya dengan
realitas tidak selalu bersifat dialektis, tetapi lebih bersifat interpretatif, artinya pemahaman
seseorang terhadap wahyu yang menghasilkan suatu pemikiran, dalam hubungannya dengan
realitas bersifat dialogis. Begitu pun halnya dengan model teoritisi politik Islam sebagai
produk pemahaman atas ajaran-ajaran Islam berada dalam kerangka dialogis. Karena itu,
untuk memahami gagasan atau pemikiran politik M. Amien Rais, terlebih dahulu harus
dipahami pandangan keagamaannya, karena hubungan antara keduanya bersifat dialogis.
Atas pertimbangan asumsi di atas, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana pandangan keagamaan Amien Rais?
2. Bagiamana pandangan Amien Rais tentang negara?
3. Bagaimana pandangan Amien Rais tentang hubungan politik antara Islam dan negara?
D. Tujuan Penelitian
28
Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, Cet. II, hal. 140
Berdasar pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang dilakukan
adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan keagamaan Amien Rais.
2. Untuk mengetahui pandangan Amien Rais tentang negara.
3. Untuk mengetahui pandangan Amien Rais tentang hubungan politik antara Islam dan
negara.
E. Metode dan Pendekatan
Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan
metode deskriptif analisis-eksplanatoris, artinya penulis berupaya untuk memaparkan politik
Indonesia secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pemikiran Amien
Rais tentang “Politik Islam Indonesia”. Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi
tentang substansi pemikiran Amien Rais.
Sesuai dengan sifat studi pustaka, penelitian diawali dengan menelusuri dan
merecover bukub-buku atau tulisan-tulisan yang disusun oleh Amien Rais serta karya-karya
orang lain yang ada kaitannya dengan pokok penelitian. Sejumlah karya Amien Rais, baik
yang berupa buku, artikel, brosur, dan catatan pribadi, dijadikan sebagai sumber primer.
Sedangkan tulisan atau informasi lain yang berhasil dihimpun dari para simpatisan atau
peneliti lainnya dijadikan sumber data sekunder.
Langkah selanjutnya, penelitian ditempuh dengan cara mengemukakan pemikiranpemikiran Amien Rais tentang politik, disertai dengan melakukan analisis dalam bingkai
pemikiran agama, untuk mencari pola hubungan politik antara Islam dan negara dalam tata
bangunan politik Indonesia secara umum. Sehingga dengan demikian, maka dapat diketahui
paradigma pemikiran Amien Rais tentang “Politik Islam Indonesia”.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologi dan hermeneutik
(penafsiran). Pendekatan teologi yang dimaksud adalah bagaimana Islam dihayati dan
dipahami, sehingga Islam bisa memberikan respon terhadap realitas di sekitarnya berdasarkan
setting yang mengkondisikannya. Sedangkan teori hermeneutik yang memiliki tujuan untuk
memberikan penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding), berdasarkan pada
tujuan ini, ungkap Michael T. Gibbons,29 dipandang sebagai serangkaian teknik metodologis
yang dibutuhkan untuk mengatasi tipe pemahaman tekstual menjadi sebuah pemahaman yang
sifatnya kontekstual.
Kaitannya dengan persoalan yang diteliti, kedua pendekatan di atas digunakan untuk
mengetahui pemahaman keagamaan Amien Rais tentang sosial-politik, dan
kontekstualisasinya dengan politik sebagai praktik, terutama persoalan hubungan politik
antara Islam dan negara.
29
Michael T. Gibbons (ed), Tafsir Politik Interpretasi Hermeneutis Wacana Sosial – Politik Kontemporer,
Qalam, Yogyakarta, 2002, Cet. I, hal. xxviii.
BAB II
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
PANDANGAN M. AMIEN RAISTENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA
(Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)
1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais
Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pendekatan yang dilakukan Amien
dalam memahami persoalan keyakinan keagamaan. Orientasi model pendekatan dalam rumusan
awal ini, lebih difokuskan pada pandangan-pandangan intelektual Amien terhadap persoalanpersoalan mendasar agama yang mencakup konsep-konsep : 1) Tauhid; 2) Syari’ah, 3) Agama
sebagai suatu “citra” (normativitas) dan sebagai suatu “fakta” (historisitas).
a. Tauhid; sumber dan dasar penegakkan keadilan sosial
Menurut Amien Rais, ada dua jenis tauhid, yakni tauhid aqidah (tauhidullah) dan tauhid
sosial. Yang dimaksud dengan tauhid aqidah adalah dua kategori tauhid yang lazim dikenal dalam
ilmu ushuluddin yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Adapun tauhid sosial adalah
dimensi sosial dari tauhidullah (tauhid aqidah). Konsep tauhid sosial ini dimaksudkan agar
tauhidullah yang sudah tertanam dalam pemikiran umat Islam dapat direalisasikan ke dalam
realitas sosial secara kongkret.30
Konsep tauhid secara sosio-kultural memiliki misi untuk menbangun suatu orde
masyarakat yang egaliter atau memiliki kesamaan derajat.31 Untuk itu, konsep tauhid memiliki
implikasi sosial yang sangat bermakna. Dengan pengertian yang lebih luas, melalui konsep tauhid
sosial, Amien terpanggil untuk menerapkan keadilan sosial. Artinya, tujuan inti dari gagasan
tauhid sosial adalah terwujudnya masyarakat yang adil sekaligus mendapat ridha Tuhan. Konsep
ini didasarkan pada pemahaman bahwa benang merah Islam itu adalah keadilan.32 Bahkan dengan
tegas Amien mengatakan bahwa hal pertama yang harus ditegakkan menurut al-Qur’an adalah
keadilan, baru kemudian berbuat kebajikan.33
Karena “masyarakat yang adil” adalah tujuan utama konsep tauhid sosial, maka
diskriminasi atas masyarakat manusia berdasrakan ras, jenis kelamin, agama, bahasa dan
pertimbangan etnis, tidak dikenal dan dibenarkan adanya. Oleh karena itu keadilan sosial yang
konprehensif harus ditegakkan oleh manusia-manusia beriman.34
Penegakkan keadilan sosial, menurut Amien Rais dapat ditempuh dua cara. Pertama,
bersifat jangka pendek (sementara), yakni dengan cara menyantuni orang-orang yang serba
kekurangan. Dalam hal ini, sikap kedermawanan, menurut hemat penulis lebih menunjukkan pada
pemenuhan kesalehan individual yang bersifat karatif ketimbang perwujudan solidaritas sosial
yang lebih mendasar. Karenanya, cara pertama ini dipandang kurang mengatasi persoalan
(kesenjangan sosial) secara mendasar. Kedua, upaya-upaya yang berdimensi jangka panjang,
yakni penyelesaian persoalan melalui cara pelacakan dan pembongakaran terhadap fondasi dan
bangunan yang menjadi sumber persoalan ketidakadilan sosial tersebut. Cara kedua ini lebih
merupakan penemuan dan atau penataan kembali terhadap struktur-struktur sosial, ekonomi dan
politik yang lebih berkeadilan, sehingga lebih berdimensi jangka panjang ketimbang cara pertama.
30
M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 107-108; lihat juga Membangun Politik Adiluhung, op.cit., hal.
127.
31
Firdaus Syam, Amien Rais Politik yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,
2003, Cet. I, hal. 188; Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern,
Khaerul Bayan, Jakarta, 2003, hal. 180.
32
M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 110
33
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, op.cit., hal. 10; M. Amien
Rais, Membangun Politik Adiluhung, op.cit., hal. 127
34
M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 110
Betapa penting tauhid sosial dalam pemahaman Amien, semakin membuktikan asumsi
dasar Amien bahwa tauhid merupakan sentrum suara hati dan pikiran setiap Muslim. Tauhid
(sosial) merupakan sentrum dan esensi dari seluruh ajaran Islam.35 Tauhid adalah platform
seluruh nilai-nilai luhur Islam, jika platform itu sendiri tidak jelas, maka seluruh nilai yang
dibangun di atasnya akan menjadi centang perenang. 36 Oleh karenanya, seluruh dimensi
kehidupan Muslim mesti dijiwai oleh dan bertumpu pada tauhid. Hanya dengan mendasarkan
seluruh aktivitas kegiatan hidup pada tauhid, umat Islam dapat mencapai suatu kesatuan
monoteistik (monotheistic unity) yang meliputi semua bidang dan kegiatan hidup, termasuk
kehidupan berbangsa dan berpemerintahan.37
b. Syari’ah sebagai Sistem Hukum
Dalam pengertian yang longgar, syari’at bisa merujuk kepada Islam sebagai agama
Tuhan. Sebagai hukum Tuhan syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat
Islam. Sebab syari’ah mencakup moral, prilaku, tata aturan mulai dari peribadatan hingga
urusan kenegaraan, yang secara keseluruhan sangat bergantung pada kesadaran manusia.38
Sebagai sistem hukum, syari’ah menurut Amien merupakan hukum yang lengkap dan
terpadu.39
Dengan menetapkan tauhid sebagai sentrum kehidupan, umat Islam dapat menarik
atau mendeduksi nilai-nilai etik, moral, dan norma-norma pokok dalam ajaran Islam sebagia
patokan dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Amien, ajaran pokok
yang dideduksi atau paradigma bagi aturan-aturan yang lebih rendah derajatnya yang dibuat
berdasarkan akal manusia. Dalam konteks ini, hubungan antara tauhid dengan aturan-aturan
sosial, seperti hubungan antara ushul (pokok) dengan furu’ (cabang). Karenanya aturan-aturan
atau sistem sosial sebagia “cabang” tidak boleh bertentangan dengan ajaran pokok tauhid
sebagai “pokok”.
Pemikiran yang berpusat pada tauhid kemudian melahirkan teori-teori yang
kesemuanya bertumpu pada syariah. Syari’ah merupakan prinsip-prinsip atau aturan universal
yang mendeduksi tauhid ke dalam sistem ajaran yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi
umat Islam. Suatu masyarakat Islam, dengan demikian tidak mungkin mengambil sitem
kehidupan selain syari’ah. Syari’ah yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits telah
memberikan sekema kehidupan (scheme of life) yang sangat jelas.
Dalam pemahaman Amien, Syari’ah bukan hanya menunjukkan apa yang termasuk
ma’rufat dan apa yang tergolong dalam munkara, melainkan juga menentukan sekema
kehidupan untuk menumbuhkan ma’rufat dan mencegah agar munkarat tidak merancukan
kehidupan manusia. Akibat logisnya, syari’ah mengatur kehidupan individual dan kolektif
manusia, baik yang berhubungan dengan ibadat ritual maupun masalah-masalah sosial.
Dalam pandangan Amien Rais, syari’ah yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan
masyarakat dan sebagai hasil pewahyuan Al-Qur’an dan Sunnah, merupakan sekema atau
kode kehidupan yang bersifat fleksibel dan dinamis yang diberikan Islam kepada manusia
untuk mengatur kehidupannya.Syari’ah, ungkapnya adalah kehendak Allah yang harus
dijadikan sumber hukum dalam masyarakat Islam, dan bukan kehendak manusia. Karena itu,
mereka sudah semestinya tidak mengambil sistem kehidupan selain syari’ah. Jika mereka
mengambil sistem kehidupan selain syari’ah seperti sistem kapitalisme atau sosialisme –
35
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais, op.cit., hal. 88-89.
M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donahue John L Esposito, Islam dan Pembaharuan
Ensiklopedi Masalah-Masalah (Terj. Machnun Husein), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, Cet. 3, hal. xiv.
37
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 42
38
Mustolah Maufur, Pengantar Penerjemah, dalam Salim Ali Al-Bahnasawi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1996,
Cet. I, hal. ii
39
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 52.
36
Marxis, 40 sudah pasti mereka bukan masyarakat Islam lagi. Hal demikian karena syari’ah
adalah suatu kesatuan organis yang harus diteirma secara utuh. Jika diambil sebagian dan
dilepas yang lainnya, maka syari’ah akan kehilangan fungsinya.
Bagi Amien Rais, syari’ah merupakan sistem hukum yang lengkap dan terpadu, yang
telah meletakkan dasar-dasar (fundamental), tidak hanya bagi hukum konstitusional, tetapi
juga hukum administratif, pidana, perdata, bahkan hukum internasional. Sekalipun demikian,
syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, mengingat masyarakat manusia
tumbuh secara dinamis dan selalu menghendaki keluwesan,kreativitas, dan dinamika hukum.
karenanya, yang harus diingat bahwa dalam syari’ah, disamping terdapat bagian-bagian yang
tidak dapat diubah ada pula bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tentunya
perubahan zaman yang dinamis.
Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori hukum Islam yang tidak berubah
dan tidak dapat diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat menentukan nasib dan
kehidupan manusia. Kategori hukum ini bersifat permanen dan tidak menerima amandemen
dan modifikasi, sekedar contoh : larangan riba dan judi, serta peraturan hukum waris. 2)
Elemen-elemen hukum yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan
perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Mengamati pemikiran-pemikiran Amien di atas, secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa pandangan keagamaannya terhadap persoalan-persoalan hukum yang ketentuannya
sudah ditetapkan secara eksplisit dan qath’i dalam al-Qur’an dan Hadits, tampaknya bersifat
legalistik-formalistik (hukum waris). Sementara itu, berkenaan dengan hukum-hukum yang
ketentuannya tidak dijelaskan oleh al-Qur’an maupun Hadits, menurut Amien persoalan
tersebut memungkinkan sekali untuk dilakukan penafsiran dan pemaknaan ulang, sepanjang
hal itu berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang menjadi pesan inti
agama (seperti ketentuan zakat sebanyak 2,5 %).
Ketentuan zakat sebanyak 2,5% sebagaimana diketahui selama ini, bukan merupakan
harga mati, dalam arti batas ukuran maksimal, karena ketentuan itu menurut Amien bukan
penjelasan eksplisit al-Qur’an dan Hadits, melainkan hanya merupakan hasil ijtihad ulama
terdahulu. Untuk itu, ketentuan zakat bisa berubah lebih besar dari ketentuan awal (2,5%)
dalam kasus-kasus tertentu dan sesuai dengan kondisinya.
c. Agama; Antara Cita (Normativitas) dan Fakta (Historisitas)
Islam pada hakekatnya adalah suatu agama, ia juga suatu budaya dalam dirinya sendiri
dan peradaban yang menopang dirinya sendiri.41 Yang berarti juga bahwa agama bukan soal
sebagian-sebagian; ia bukanlah akal semata-mata, tidak pula hanya perasaan saja, atau pun
tindakan semata-mata, ia adalah ekspresi dari seluruh manusia. 42 Totalitas makna agama
tersebut menunjukkan pada pengertian bahwa agama (Islam) selain memiliki dimensi
spiritual-transendental juga memiliki dimensi sosial-historikal.
Dengan demikian, secara garis besarnya prinsip agama Islam terdiri dari dua pilar.
Pertama, nilai spiritualitas tauhid. Kedua, nilai-nilai keadilan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. 43 Wilayah yang pertama disebut sebagai wilayah “doktrin”, “ajaran”,
“normativitas”, atau “das sollen”. Sedangkan wilayah kedua disebut wilayah “historisitas”,
40
M. Amien Rais mengemukakan 7 kelemahan sistem kapitalisme dan 6 kelemahan sosialisme Marxis,
penjelasan lebih lanjut, lihat M. Amien Rais, Cakrawala Islam, ibid., hal. 92-93 dan 94-95
41
Falurrahman Anshari, Gambaran Dasar Ideologi Islam, dalam Agah D. Garnadi (terj), Benturan Barat dengan
Islam, Mizan, Bandung, 1989, Cet. III, hal. 135.
42
M. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, (Terj. Osman Raliby), Bulan Bintang, Jakarta, 1983,
Cet. III, hal. 33
43
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan,
Bandung, 2000, Cet. I, hal. 203.
atau wilayah das sein, yakni praktik ajaran agama secara kongkret dalam wilayah kesejarahan
manusia Muslim pada era, wilayah, dan budaya tertentu.
Dialektika atau proses dialog antara agama dengan realitas dalam bentuk penghadapan
secara dialogis antara “normativitas” wahyu di satu sisi dan “historisitas” berupa pemahaman
manusia terhadap wahyu di sisi lain, pada tataran realitas kongkret kehidupan manusia atau
pada tataran historisitas-empiris ini dimungkinkan sekali terjadinya anomali-anomali,
ketidaktepatan-ketidaktepatan antara “wahyu” sebagia sumber ajaran dengan “praktek
keagamaan” manusia sebagai hasil pemahamannya terhadap wahyu tadi.
Dalam konteks anomali dan ketidaktepatan di atas, “pembaharuan”, sebagai upaya
reinterpretasi, pemaknaan ulang, atau penyegaran kembali pemahaman keagamaan manusia
(umat), dipandang memiliki makna yang signifikan, sehingga kesesuaian antara dimensi
“normativitas” wahyu dengan dimensi “historisitas” pemahaman keagamana mendekati nilai
idealisme Islam. Signifikansi upaya pembaruan pemahaman Islam, oleh Amin Abdullah
diibaratkan dengan kebutuhan menemukan “ventilasi” untuk sebuah ruangan agar tidak terjadi
“kepengapan”.44
Sementara itu, “Pembaruan Islam” (tajdidul Islam) dalam pandangan Amien Rais,
tidak berarti Islam lantas diubah, dimodifikasi, ditambah dan dikurangi. Melainkan yang
dimaksud dengan pembaruan adalah sebagai upaya penyegaran kembali pemahaman Islam,
yakni penyegaran pemahaman dalam cara menyikapi al-Qur’an dan Sunnah, cara
mengaplikasikan ajaran dalam kehidupan modern, dan termasuk cara memandang berbagai
persoalan dan cara kerja.45
Menurut Amien, paling tidak ada lima agenda utama terkait dengan pembaruan Islam
yang harus direalisasikan secara serius. Pertama, pembaruan aqidah. Kedua, pembaruan
teologi Islam. Ketiga, pembaruan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keempat, pembaruan
organisasi dan manajemen. Kelima, pembaruan etos kerja. Menurut Amien rais, umat Islam
berada dalam kesenjangan antara wilayah “normativitas-idealitas” wahyu sebagai sumber
ajaran, dengan wilayah “historisitas-realitas” sebagai praktek keberagamaan umat.
Wacana dialogis antara Islam sebagai suatu doktrin (normatif) dan ekspresi
keberagamaan manusia-manusia Muslim (historis), disamping akan melahirkan anomalianomali, ketidaktepatan-ketidaktepatan juga akan menciptakan perbedaan titik tekan dan
perbedaan aksentuasi sehingga artikulasi ajaran dari suatu tradisi masyarakat di satu tempat
dan waktu dapat saja berbeda dengan tradisi masyarakat di suatu waktu dan tempat lainnya.
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa Islam pada tahapan pemahaman, sikap, prilaku dan
tindakan masyarakat pemeluknya di suatu waktu dan tempat memungkinkan sekali untuk
berbeda dengan Islam di suatu waktu dan tempat lainnya. Dalam konteks ini, tradisi Islam
dalam bidang pemikiran dengan sendirinya adalah suatu budaya Islam yang merupakan hasil
dialog antara universalitas Islam dengan partikularitas tuntunan ruang dan waktu, melalui para
pemeluknya.46
Berkenaan dengan pengaruh tradisi lokal dalam ekspresi keberagamaan Muslim,
Amien Rais pun tidak menolak kenyataan tersebut. Senada dengan pandangan beberapa
intelektual di atas, Amien membedakan antara Islam orisinil (ideal Islam) dan Islam sejarah
(historical Islam). Menurut Amien, Islam orisinil adalah Islam yang ajarannya terkandung
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Islam sejarah merupakan yang dipraktekkan oleh
44
M. Amin Abdullah, Islam Indonesia Lebih Pluralistik dan Demokratis, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI,
1995, hal. 74-75.
45
M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 53
46
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Misi Baru Islam Indonesia,
Paramadina, Jakarta, 2003, Cet. II, hal. 44.
umat Islam.47 Dengan kata lain, “Islam Ideal” adalah Islam dalam teori, dan “Islam Sejarah”
adalah Islam dalam praktek.
2. Pandangan Amien Rais tentang Konsep Negara
a. Konsep Politik dan Kekuasaan
Konsep adalah suatu rangkaian kata yang digunakan untuk menerangkan sesuatu
secara tepat sehingga dapat dipahami apa yang dimaksud.48 Oleh karena itu pandangan Amien
tentang negara berarti serangkaian kata (pandangan) yang digunakan oleh Amien untuk
menjelaskan makna negara dengan cakupannya, sehingga hal tersebut dapat dipahami dengan
jelas dan tepat.
Terdapat pandangan yang membedakan antara kekuasaan yang bernuansa politis dan
yang tidak. Konsep kekuasaan dalam perspektif politik berarti merupakan kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berprilaku sesuai dengan kehendak yang
mempengaruhinya. Dalam konteks ini, kekuasaan berkaitan dengan pemerintah selaku
pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai.sementara kekuasaan yang tidak
bernuansa politik dapat diketemukan seperti kemampuan para kiai atau pendeta maupun yang
lainnya untuk mempengaruhi jama’ah agar melaksanakan ajaran agama. Dalam hal ini,
kekuasaan tidak menyangkut kewenangan pemerintahan, melainkan menyangkut lingkungan
masyarakat yang lebih terbatas.49
Sementara itu politik dalam makna yang lebih luas, dipandang sebagai kegiatan
mencari, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat dimanapun
kekuasaan itu ditemukan. Politik dalam pengertian ini, tidak hanya menjadi hak istimewa
lembaga formal seperti negara, namunia terbuka bagi siapapun, atau merupakan hak bagi
setiap individu warga negara. Oleh karena itu, menuntut hak pribadi yang asasi seperti
kebebasan misalnya, merupakan salah satu bentuk partisipasi sosial-politik yang amat penting
dalam suatu tatanan masyarakat, begitu tegas Nurcholis Madjid.50
Senada dengan pandangan di atas, Amien menegaskan bahwa partisipasi politik yang
berujung pada pencapaian kekuasaan bukan merupakan hak monopoli kalangan tertentu saja,
melainkan terbuka bagi siapa pun. Lebih dari itu, dalam pandangannya, masyarakat Muslim
pun sejatinya harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Hal tersebut karena Islam
merupakan agama yang bersifat komprehensif, menyentuh segala bidang kehidupan, termasuk
di dalamnya menganjurkan umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan politik. Akan tetapi
politik yang dikehendaki oleh Islam, menurut Amien, politik yang wajar, konstitusional, legal,
terbuka, demokratis dengan mengindahkan akhlak dan moral agama itu sendiri. Kegiatan
politik menurut Amien harus menjadi bagian integral bagi kehidupan seorang Muslim.
Mengherankan jika seorang Muslim menjauhi, apalagi membenci politik, padahal politik
sangat menentukan arah dan nasibnya sendiri. 51 Kegiatan politik menurut Amien harus
menajdi bagian integral bagi kehidupan seorang Muslim. Mengherankan jika seorang Muslim
menjauhi, apalagi membenci politik, padahal politik sangat menentukan arah dan nasibnya
sendiri.52 Gerakan Islam tidak boleh alergi terhadap politik, bahkan wawasan kekuasaannya
harus diintegrasikan dengan wawasan keagamaannya.
Selanjutnya Amien menegaskan bahwa persoalan politik mesti mencakup sumber
otoritas. Justeru wilayah inilah yang sering mengundang perdebatan antar sesama aliran
47
M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohue & John L. Esposito, op.cit., hal. X.
William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional Suatu Tela’ah Teoritis, (Edisi Kedua), (Terj. Marsedes
Marabun), CV. Sinar Baru, Bandung, 1992, Cet. I, hal. 8
49
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta, 1997, Cet. IV, hal. 6
50
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban …, op.cit., hal. 565
51
M. Amien Rais, Tauhid Sosial..., op.cit., hal. 228
52
M. Amien Rais, Cakrawala Islam …, op.cit., hal. 27
48
politik, baik antara politik islam dan sekuler maupun politik demokratis liberal dan politik
Marxis-Leninis Sekuler. Menurut Amien dalam wawasan politik Islam, sumber otoritas,
kekuasaan dan legitimasi adalah Allah. Legitimasi segala kekuasaan dikembalikan kepada
Allah sebagai sumber utama. Sedangkan dalam pandangan politik sekuler, hakekat kekuasaan
dikembalikan kepada rakyat. Rakyat merupakan sumber kekuasaan yang final. Dan sistem
republik merupakan wujud kongkret dari pandangan kekuasaan seperti itu. Model negara
republik meyakini bahwa kedaulatan harus dikembalikan secara total atau mutlak kepada
kehendak rakyat.53
Menurut Amien, Islam dapat menerima sistem pemerintahan republik selama
kehendak rakyat masih cocok dengan ketentuan al-Qur’an. Akan tetapi, jika berbenturan
dengan kebenaran dan wahyu Ilahi sebagaimana termuat dalam al-Qur’an, apa pun ketetapan
yang sudah dikehendaki seratus persen oleh masyarakat model republik, dalam
pandangannya, harus dilawan dan ditolak secara tegas dengan mati-matian. Untuk itu Islam
bisa menerima musyawarah, demokrasi dan republik, jika ukuran akhiran adalah kebenaran
mutlak dari Allah SWT. Dalam konteks ini, Amien memiliki pandangan yang sama dengan
al-Wawdudi, bahwa demokrasi atau musyawarah benar, sepanjang didasarkan pada wahyu.
Indikasi yang menunjuk ke arah itu, tampak pada penegasan Amien sebagai berikut :
Kalau dalam musyawarah yang dianut hawa nafsu, maka walaupun suara mayoritas,
mereka bisa keliru juga. Sehingga Abul A’la al-Mawdudi mengatakan, demokrasi atau
musyawarah benar sepanjang dilandaskan pada wahyu. Jika tidak, dan dilandaskan
pada pikiran manusia, bisa saja kita terjerumus pada keputusan yang sangat keliru.
Pandangan normatif-idealis Amien di atas banyak mempengaruhi dirinya dalam
memandang dan bersikap tegas terhadap persoalan penyelenggaraan kekuasaan politik. Hal
ini bisa dilihat dari pendapat Amien bahwa seseorang dituntut untuk tetap bersikap kritis,
korektif dan bersandar pada kebenaran dan petunjuk Illahi dalam setiap aktivitas politiknya.
Atas dasar alasan karena legitimasi kekuasaan didasarkan kepada kebenaran wahyu Ilahi,
bukan kehendak manusia, maka sikap kritis dan korektif harus senantiasa dilakukan.
Sikap politik yang kritis merupakan ciri dari politik yang didasarkan pada tauhid,
sementara sikap politik yang tidak kritis karena adanya rasa takut terhadap kekuasaan, oleh
Amien disebut dengan “syirik politik”, yakni sikap kompromistik seseorang yang dilakukan
dengan cara lebih suka menyandarkan diri pada sesama makhluk daripada bersandar pada
Allah SWT. Sikap ketidakkritisan yang merupakan salah satu ciri syirik politik ini, bisa saja
mewujud dalam bentuk pengkultusan terhadap seseorang. Sikap kritis dan tegas terhadap
fenomena syirik politik merupakan fokus perhatian Amien. Kekuasaan, menurutnya bukanlah
segala-galanya dan tidak boleh disakralkan karena bisa menimbulkan syiriksosial dan
politik. 54 Langkah desakralisasi kekuasaan itu merupakan metode high politics yang par
excellence, yang indah dan anggun, karena bagaimana pun kekuasaan pada dasarnya
merupakan sesuatu yang bersifat temporal, begitu tegas Amien.
b. Prinsip-prinsip Dasar Negara
Amien Rais mendasarkan wacana tentang pemerintahan (negara) lebih pada konsepkonsep dasar tekstual Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini terlihat dari
kuatnya Amien untuk merujuk kepada dua sumber dasar Islam ketika ia berbicara tentang
unsur-unsur yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar negara. Menurut Amien, Al-Qur’an dan
Sunnah menekankan beberapa nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus
ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintah (negara). Prinsip-prinsip
ajaran sosial politik islam tersebut mencakup musyawarah (al-syura), keadilan (al ‘adalah),
53
Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., ihal. 69
M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, …, op.cit., hal. 161-162; M. Amien Rais, Desakralisasi
Kekuasaan : High Politics yangPar Excellence, dalam Amien Rais Menjawab …,op.cit. hal. 108
54
kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), dan pertanggung
jawaban penguasa terhadap masyarakat.55
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, hal lain yang harus menjadi prinsip dasar negara
adalah keterbukaan. Menurut Amien, keterbukaan merupakan tuntutan mutlak yang mesti
dipenuhi dalam pengelolaan negara, khususnya dalam sebuah negara modern.56 Negara tidak
bisa dibangun di atas eksklusivitas suatu kelompok bangsa tertentu, sementara kesempatan
yang sama untuk memberikan partisipasi sosial politik dan mendapatkan hak dari negara tidak
didapat oleh kelompok bangsa lainnya. Artinya penegakkan negara harus melibatkan
partisipasi seluruh potensi bangsa sesuai dengan kapasitas dan prioritasnya masing-masing.
Prinsip keterbukaan itu akhirnya menuntut adanya kejujuran dari penyelenggara
negara, karena bagaimana pun kejujuran dipandang sebagai suatu keharusan dalam
pengelolaan negara. Jika kejujuran lenyap, dapat dipastikan akan muncul berbagai macam
penyimpangan. Munculnya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sebenarnya
merupakan bagian dari serangkaian conth akibat hilangnya kejujuran dari penyelenggaraan
negara. Atas dasar itu, Amien pernah menggagas perlunya clean and grand coalition dalam
penyelenggaraan negara, yakni koalisi yang anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.pada
akhirnya, prinsi keterbukaan tersebut menuntut adanya (accountability) yang optimal dari
penyelenggara negara.
Pertanggungjawaban penguasa terhadap rakyat merupakan prinsip dasar yang terakhir
bagi penegakkan suatu negara. Prinsip ini mengharuskan penguasa untuk senantiasa dapat
mempertanggungjawabkan setiap kebijakan dan mekanisme penyelenggaraan negara seara
transparan, baik terhadap masyarakat maupun di hadapan Allah. Menurut Amien, prinsip
pertanggungjawaban ini termasuk prinsip penting dalam wawasan Syari’ah. Menurutnya,
dalam pandangan Islam, prosedur penentuan pertanggungjawaban (Impeachment procedure)
terhadap penguasa yang gagal memenuhi kewajibannya, sepenuhnya dibenarkan. Model
penguasa demikian tidak perlu ditaati lagi dan harus diturunkan.57
Prinsip-prinsip dasar politik atau prinsip konstitusional di atas, harus dijadikan
pedoman dalam membangun suatu negara yang Islami. Sekalipun demikian, menurut Amien,
syari’ah tidak berbicara secara rinci mengenai aspek-aspek kelembagaan, teknik, dan prosedur
pengelolaan suatu negara. Tidak dirincinya persoalan-persoalan itu, menurutnya, agar
masyarakat Islam secara cerdas, kreatif dan inovatif dapat merumuskan keperluankeperluannya. Akhirnya dapat ditegaskan bahwa tidak ada yang lebih penting dalam
pengelolaan negara, kecuali tegaknya beberapa prinsip dasar seperti diungkapkan di atas.
c. Signifikansi Negara
Negara merupakan institusi politik sebagai wadah penyelenggaraan pemerintahan
(berhubungan dengan bentuk atau format politik).58 Negara sebagai wadah penyelenggaraan
pemerintahan, dapat dipandang sebagai alat dan bukan tujuan itu sendiri.59 Oleh karena itu,
dari sisi fungsi, negara disamping dipandang memiliki kewenangan yang sah untuk
mempertahankan sistem dominasi sosial, juga selalu menjadi fokus pengorganisasian
konsensus mengenai kepentingan umum dalam masyarakat, karena hal ini menjadi basis
legitimasi masyarakat.60
55
M. Amien Rais, Cakrawala Islam …,op.cit., hal. 56
M. Amien Rais, Kebersamaan Merupakan Rahasia Kekuatan Kita, dalam Imron Nasri (Ed)., Amien Rais
Menjawab …, op.cit., hal. 155
57
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, …, op.cit., hal. 56
58
M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, op.cit., hal. 40
59
Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Terj. Harimukti), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 1996, Cet. I, hal. 17
60
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, op.cit., hal. 49
56
Sementara itu, Amien mencatat ada dua tujuan pokok dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, yakni tegaknya keyakinan agama terjamin dan terpenuhinya keyakinan
rakyat. Kedua tujuan pokok itu mesti diorientasikan pada pencapaian tujuan akhir, kebahagian
di akhirat. Dengan ungkapan lain, kedua tujuan pokok pemerintahan itu bukan tujuan akhir
hidup, melainkan hanya tujuan antara menuju kebahagiaan yang bersifat abadi. Atas dasar itu,
Amien mengkritisi pandangan Ali Abdul Razik,61 tentang pemerintahan.
Tentu saja argumen Razik sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena
pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syari’ah Islamiyah)
mempunyai tujuan gandayang tipikal, yaitu menjamin tegaknya keyakinan (ad-din)
dan menjamin terpenuhinya kepentingan rakyat. Namun kedua tujuan ini bukanlah
tujuan akhir, melainkan merupakan tujuan-antara untuk mencapai kebahagian (falah)
di akhirat.62
Tegaknya keyakinan agama sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan negara,
menurut Amien dapat dicapai melalui prinsip-prinsip legislatif yang meletakkan aturan-aturan
universal yang mencakup berbagai kasus secara luas. Sementara tujuan yang berkenaan
dengan terpenuhinya kepentingan rakyat dapat dicapai melalui as-syiasah asy-syariyah, yakni
politik atau kebijakan untuk menerapkan syari’ah sesuai dengan konteks permasalahan.
Terealisasinya keyakinan agama dan terpenuhinya kepentingan rakyat secara bersamaan,
sejatinya merupakan tugas dan kewajiban yang senantiasa harus dijalankan oleh
penyelenggara negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif secara sinergis.
Terkait dengan fungsi (pertama), negara sebagai penjamin tegaknya keyakinan agama,
Amien menilai negara sebagai institusi yang sangat signifikan bagi implementasi syari’ah.63
Dalam hal ini, Amien tampaknya menghendaki idealisasi fungsi negara bagi syari’ah, artinya
suatu hukum hanya bisa dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum
(law enfocement). Otoritas yang dimaksud adalah kekuasan politik negara.
Tampak jelas dari pemikiran Amien di atas, bahwa yang memiliki kekuatan untuk
melaksanakan penerapan hukum itu adalah negara, sehingga lahir pemahaman dari dirinya;
“Negara adalah penjaga syari’ah”, supaya syari’ah tidak mengalami deteriorasi (pembusukan)
dan penyelewengan; 64 negara merupakan “alat syar’ah” yang mengatur seluruh dimensi
kehidupan manusia; negara berfungsi sebagai penjaga keteraturan dan tertib hukum, politik,
budaya, akhlak, dan lain-lain.
Begitu pun Amien memandang bahwa implementasi syari’ah berarti ibadah kepada
Allah. Dalam Islam ibadah kepada Allah merupakan tugas hidup manusia, bahkan penciptaan
manusia itu sendiri didasarkan pada suatu hikmah agar manusia beribadah kepada
Tuhan.65Akibat logis dari pandangan Amien tersebut adalah bahwa penyelenggaraan negara
termasuk ibadah kepada Allah. Tentunya dengan catatan selama mekanisme penyelenggaraan
negara masih dalam koridor penjagaan terhadap syari’ah. Untuk itu, masyarakat Muslim harus
memberikan perhatian yang ekstra serius terhadp proses penyelenggaraan negara. Hal itu
karena negara memiliki fungsi yang strategis bagi pengaturan kehidupan masyarakat,
sebagiamana perhatian syari’ah terhadapnya. Lantas, menurut Amien, masyarakat Muslim
mesti menjadi pengendali dan pengontrol penyelenggaraan negara.
61
Kritikan Amien di atas, disebabkan oleh pandangan Razik, bahwa Rasul SAW hanya bertugas mendakwahkan
agama, dan tidak ada kaitan apa pun dengan urusan kenegaraan. Karenanya, “pemerintahan “ dalam Islam, boleh
mengambil bentuk apa saja. Lihat M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 53
62
M. Amien Rais, ibid., hal. 53
63
M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohued John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan …,
op.cit., hal. ix.
64
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 52.
65
M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam Islam dan Pembaharuan …, op.cit., hal. ix.
3. Hubungan Politik Antara Islam dan Negara
a. Politik Sebagai Media Dakwah
Seperti terungkap dalam pembahasan terdahulu, Amien Rais mendasarkan
pemikirannya pada konsep tauhid. Tauhid dalam pandangan Amien, tidak saja mengandung
semangat pembebasan diri (self liberation) namun juga mengandung semangat pembebasan
sosial (social liberation). Dengan demikian, dalam pemahaman Amien, semangat
pembebasan dan transformasi merupakan sesuatu yang inheren dalam rumusan tauhid, yang
berarti juga bahwa Islam telah membawa watak revolusioner sejak kelahirannya.
Kendatipun demikian, ia tetap saja menolak revolusi politik atau tindakan-tindakan
radikal-destruktif yang hanya akan berdampak negatif terhadap perubahan-perubahan evolutif
yan telah dicapai selama ini. Dalam pandangannya, aksentuasi perubahan tidak diarahkan
pada perubahan bentuk (form) namun lebih pada perubahan isi (substansi). Dalam makna
yang lebih kongkrit, suatu sistem politik, bisa saja dipertahankan bentuknya, akan tetapi harus
diubah maknanya secara revolusioner-fundamental. 66 Dalam konteks ini, perubahan mesti
dilakukan secara bertahap. Kalaupun ada konsensus untuk merubah bentuk atau sistem yang
ada, maka hal itu harus merupakan suatu keharusan yang lahir dari keputusan dan untuk
kepentingan (kemaslahatan) bersama juga.
Menurut Amien, sebenarnya revolusi bukan sesuatu yang tak terelakkan, ia bisa
dihindari, misalnya dengan cara mendukung terealisirnya nilai-nilai dan praktek demokrasi.
Atas dasar alasan ini, politik dalam pandangan Amien, harus dijalankan dengan prinsipprinsip seperti halnya yang digunakan oleh dakwah. Jika tidak, politik justeru akan bersifat
kontra produktif terhadap terwujudnya kehendak bersama sebagai masyarakat yang utama.
Karena aplikasi prinsip-prinsip dakwah dalam kehidupan politik dianggap penting,
Amien memandang adanya kedekatan prinsipal antara dakwah dengan politik. Menurutnya,
politik dan dakwah memiliki hubungan fungsional yang bersifat integral. Kegiatan politik
tidak berdiri sendiri, terpisah sama sekali dari kegiatan dakwah. Dengan kata lain, terdapat
hubungan organik yang snagat erat antara dakwah dan politik. Dalam konteks ini, politik
harus senantiasa terkait erat dengan moralitas agama. Jika moralitas agama sealu ditegakkan
dalam realitas politik, maka tidak semestinya ada kesan kurang positif terhadap kegiatan
politik, seakan-akan politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta,
penghianatan, penipuan, atau yang semakna dengannya. Dengan demikian, pemisahan politik
dari moralitas agama adalah hal yang membahayakan sekaligus merugikan prinsip-prinsip
dakwah.
Kegiatan dakwah dalam Islam, menurut Amien sesungguhnya meliputi semua dimensi
kehidupan manusia, karena amar ma’ruf dan nahi munkar juga meliputi segala bidang
kehidupan. Dengan demikian, aktivitas budaya, politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, dapat
dijadikan sebagai sarana kegiatan dakwah. Berdasar atas pemahaman seperti ini, dapat
dimengerti kalau Amien meyakini bahwa politik pada hakekatnya merupakan bagian dari
dakwah, bahkan sebagai alat dakwah. Dengan demikian, aktivitas politik juga dijalankan
sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah (benar) tidak perlu bertentangan dengan aktivitas
dakwah. Untuk itu, bagi seorang Muslim, kegiatna politik harus menjadi kegiatan integral dari
kehidupannya yang utuh. Secara mendasar, Amien memaknai politik sebagai perihal yang
menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Begitu pun politik berhubungan
dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara.
Dengan pemahaman bahwa politik tidak terpisahkan dari kehidupan Muslim, bagi
Amien mengherankan kalau ada Muslim yang menjauhi apalagi membenci kegiatan tertentu
yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya sendiri seperti menjauhi kehidupan ekonomi
66
M. Amien Rais, Cakrawala Islam …, op.cit., hal. 137
dan politik. Kehidupan dunia, termasuk politik harus direbut dan dikendalikan sesuai dengan
ajaran-ajaran Tuhan.
Kendatipun demikian, karena politik adalah alat dakwah, maka partisipasi politik
Muslim harus mengindahkan aturan permainan sebagaimana yang berlaku juga dalam
aktivitas dakwah. Misalnya saja tidak menggunakan paksaan atau kekerasan, tidak
menyesatkan, tidak boleh menjungkirbalikan kebenaran, dan juga tidak dibolehkan
menggunakan induksi-induksi psikotropik yang mengelabuhi masyarakat. Di samping itu
aktivitas politik harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung
jawab, serta keberanian menyatakan yang benar adalah benar dan yang batil adalah batil.
Singkat kata, politik dalam pandangannya harus berdasarkan pada moralitas dan etika tauhid,
sehingga politik yang Islami tidak memberikan tempat bagi sekularisasi atau sekularisme.
Berhubung politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) yang mencakup
hubungan antara “yang memerintah” dengan “yang diperintah” dan juga menyingkat
kehidupan masyarakat, maka secara sosiologis, aktivitas politik tidak mungkin dapat
dilepaskan dari fondasi moral dan etika yang dianut oleh komunitas yang terlibat dalam
politik tersebut. Amien memberikan contoh, bagi seorang Marxis, suatu tindakan politik
dipandang baik jika menguntungkan kaum proletar, memperlemah kelas borjuis, dan
mengarah ke revolusi masyarakat tanpa kelas. Sedangkan bagi seorang sekularis-pragmatis,
suatu tindakan politik dianggap baik jika dapat memberikan keuntungan praktis dan manfaat
material, meskipun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Berbeda dari
kedua pandangan tersebut, bagi seorang Muslim, suatu tindakan politik dianggap baik jika
berguna bagi seluruh rakyat, sesuai dengan ajaran, Islam rahmatan lil ‘alamin (Islam
merupakan rahmat bagi semesta).
b. Paradigma Hubungan Islam dan Negara
Seperti terungkap dalam pembahasan terdahulu, Amien Rais sebagaimana halnya Abul
A’la al-Mawdudi mendasarkan pemikirannya pada konsep tauhid. Tauhid menurut Mawdudu,
selain menjadi inti ajaran Islam juga merupakan asas dalam politik. Hal ini dapat dilihat dari
konsepsi bahwa kedaulatan mutlak adalah milik Tuhan, sementara manusia sebagai khalifahNya dipandang hanya sebagai pelaksana kedaulatan tersebut. Pandangan tersebut
dimaksudkan terutama sebagai dasar rasional bagi pendapat Mawdudi bahwa kekuasaan
rakyat itu terbatas (tidak mutlak),67 yang dalam teori politik, pandangan itu disebut sebagai
“teo-demokrasi”.
Paradigma pemikiran politik Amien Rais yang didasarkan pada konsep tauhid,
sebenarnya mempunyai korelasi historis dengan pemikiran kaum modernis sebelumnya yang
sangat diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadits (semangat kembali pada Qur’anHadits) dan respon yang rigid terhadap Barat.68 Hal tersebut terlihat dari pemikiran politik
Amien yang disatu sisi menerima konsep demokrasi dipandang dapat mendukung penegakkan
prinsip-prinsip fundamental Islam, namun di sisi lain menolak konsep sekularisasi karena
dianggap dapat mengancam konsep iman.
Persoalan hubungan Islam dan negara (politik) merupakan salah stu dimensi sejarah
politik Islam yang menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan. Kontroversi itu
terutama berkembang di seputar masalah yang bersangkut paut dengan sistem atau struktur
politik yang diidealisasikan. Bahwa Islam merupakan agama yang tidak memisahkan antara
urusan agama secara partikular dan urusan negara (politik) secara universal adalah suatu
aksioma yang telah diterima oleh hampir semua umat Islam. Tidak ada kesepakatan tentang
ada tidaknya sistem politik atau negara Islam yang di dalamnya tersedia secara lengkap
suprastruktur dan infrastruktur formal yang berfungsi praktis.
67
68
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, …, op.cit., hal. 173.
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais, …, op.cit. hal. 161
Berkenaan dengan hubungan antara Islam dan negara, paradigma yang dibangun dan
dikembangkan oleh Amien lebih ditekankan pada aspek substansi daripada bentuk. Amien
memandang bahwa Islam tidak pernah menentukan bentuk negara yang harus dibangun oleh
masyarakat Muslim. Yang terpenting bagi Islam dari penyelenggaraan negara adalah
substansi. Bagaimanapun secara historis-realitas suatu negara bisa saja secara formal
berbentuk demokratis, namun implementasinya bersumber otoriter atau bahkan totaliter.
Adapun yang dimaksud Amien sebagai substansi dalam penyelenggaraan negara adalah
penegakkan semua prinsip dasar Islam. Penegakkan keadilan merupakan prinsip terpenting
dalam seluruh kehidupan bernegara. Artinya prinsip keadilan sebagiamana prinsip-prinsip
lainnya harus ditegakkan, karena keadilan merupakan konsep yang utuh dan terpadu, karena
itu penegakkannya tidak bisa sebagian-sebagian sehingga akan melahirkan kesenjangan hidup
dan stratifikasi sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian pembahasan hasil penelitian di atas, beberapa kesimpulan
penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, Pemikiran keagamaan dan politik Amien Rais tersibak dalam dua wilayah
yang berbeda, wilayah normativitas-idealis dan wilayah historitas-realistis. Dengan ungkapan
yang lebih tegas, Amien di satu sisi, tampil sebagai seorang substansialis, namun di sisi lain,
ia juga terkadang tampail sebagai seorang skripturalis. Skripturalitas Amien paling tidak dapat
ditelusuri dan dicermati dari beberapa tulisan dan pendapatnya yang mendukung pesan-pesan
tekstual (legal-formal), terutama berkenaan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah
ditetapkan secara pasti (qath’i) di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, ia pun
menolak reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran agama yang ketentuannya telah dijelaskan
seara tekstual dalam al-Qur’an dan Sunnah (ketentuan hukum waris 1 laki-laki berbanding
dengan 2 orang perempuan). Sementara itu, substansialitas dirinya dapat dilihat dari
pandangannya yang mendukung pengembangan nilai-nilai ajaran agama Islam tanpa harus
terjebak pada unsur simbolisme dan legal-formal ajaran agama tersebut (ketentuan zakat
sebanyak 2,5% tidak bersifat kaku dan harga mati).
Kedua, seperti halnya Ibnu Taimiyah dan al-Mawdudi, Amien Rais berpendapat
bahwa mendirikan negara merupakan suatu kewajiban agama demi terjaganya dan
terlaksananya prinsip-prinsip syari’ah. Negara adalah penjaga syari’ah agar tidak mengalami
deteriorasi dan penyelewengan. Dalam hal ini, Amien memandang negara sebagian institusi
paling penting untuk mengimplementasikan syari’ah, dan implementasi syari’ah berarti juga
ibadah kepada Allah. Pandangan Amien tersebut berimplikasi pada suatu pemahaman bahwa
sejauh mekanisme penyelenggaraan suatu negara menjaga pelaksanaan syari’ah, sejauh itu
pula mekanismenya dipandang sebagai suatu ibadah, dan pandangan itu pun menunjuk pada
pentingnya meraih kekuasan dalam rangka implementasi syari’ah.
Ketiga, model pemikiran atau pandangan yang dibangun dan dikembangkan Amien
dalam hubungannya dengan politik, terutama berkenaan dengan paradigma hubungan politik
antara Islam dan negara, tidak bergerak dalam kerangka legal-formalistik, melainkan lebih
cenderung bersifat substansialistik. Selama penyelenggaraan suatu negara didasarkan pada
realisasi prinsip-prinsip fundamental : keadilan, musyawarah, persamaan, persaudarana,
kebebasan, dan pertanggungjawaban penguasa di hadapan rakyat, atau tetap terjaminnya
tegaknya keyakinan agama dan terpenuhinya kepentingan rakyat, menurut Amien selama itu
pula mekanismenya dipandang sebagai yang Islami. Kendatipun pemikiran yang
dikembangkan Amien lebih menekankan substansi dari pada bentuk, Dia dipandang juga
salah satu pendukung utama pendekatan struktural berkenaan dengan ekspresi danperjuangan
kepentingan Muslim dalam proses transformasi sosial.
Penyebutan Amien sebagai salah satu pemikir strukturalis, terkait dengan
pandangannya bahwa politik merupakan medium untuk merealisasikan dakwah serta
kekuasaan (politik) harus direbut untuk kepentingan syari’at dan masyarakat. Dikarenakan
politik dalam arti kekuasaan (negara), sebagai medium dakwah yang berarti harus
berlandaskan moralitas dan etika tauhidi, maka paradigma hubungan politis antara Islam dan
negara dalam pandangan Amien, pada dasarnya menolak sekularisasi atau sekularisme yang
berujung pada pemisahan antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rohim Ghazali (ed.)
1998 M. Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah, Mizan,
Bandung, Cet. I.
Abd. Rohim Ghazali (ed.)
2000 Dua Yang Satu Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU, Mizan,
Bandung. Cet. I.
Abul A’la al-Maududi
1998 Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Terj. Asep Hikmat), Mizan,
Bandung, Cet. VI.
Abdul Aziz Thaba
1996 Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.
Abd. Muin Salim
1995 Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cet. II.
Ahmad Bahar
1998 Biografi Cendekiawan Politik Amien Rais Gagasan dan Pemikiran Menggapai
Masa Depan Indonesia Baru, Pena Cendekia, Yogyakarta, Cet. I.
Ahmad Bahar (penyunting)
1998 Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan, Pena Cendekia, Yogyakarta, Cet.
I.
Ahmad Syafi’i Ma’arfi
1995 Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III.
Ahmad Syafi’i Ma’arif
1996 Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan,
LP3ES, Jakarta, Cet. III.
Akh. Muzakki
2004 Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Sang Pahlawan Reformasi, Lentera
Basritama, Jakarta, Cet. I.
Ali Syari’ati
1994 Agama Versus Agama, (Terj. Afif Muhammad& Abdul Syukur), Pustaka
Hidayah, Bandung.
Andi Wahyudi
1999 Muhammadiyah dalam Gonjang-Ganjing Politik Tela’ah Kepemimpinan
Muhammadiyah Era 1990-an, Media Pressindo, Yogyakarta, Cet. I.
Arief Affandi
1996 Islam Demokrasi Atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Model Gus Dur
dan Amien Rais, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. III.
Azyumardi Azra
1996 Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga PostModernisme, Paramadina, Jakarta, Cet. I.
Azyumardi Azra
1999 Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, Rosda Karya,
Bandung, Cet. I.
Abu Zahra (ed),
1999 Politik Demi Tuhan Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka Hidayah,
Bandung, Cet. I.
Bahtiar Effendy
1998 Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Paramadina, Jakarta, Cet. I.
Budhy Munawar-Rachman
2001 Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Paramadina, Jakarta, Cet.
I.
Chaerul Salam dan Kholid O. Santosa
2003 Menjemput Ratu Adil Evaluasi Kritis terhadap Proses Reformasi Menuju
Paradigma Baru, Suksesi Kepemimpinan Nasional, LP2EPI, Bandung, Cet. I.
Cholid O. Santosa – Chaerul Salam
2004 Memilih Presiden RI 2004 Putaran Kedua Pertarungan Sipil – Militer?, Sega
Arsy, Bandung, Cet. I.
Cholid O. Santosa – Chaerul Salam
2004 Menuju Presiden RI 2004 Pertarungan Strategi Koalisi dan Kompromi, Sega
Arsy, Bandung, Cet. I.
Dale F. Eickelman-James Piscatori
1998 Ekspresi Politik Muslim, (Terj. Rofik Suhud), Mizan, Bandung, Cet. I.
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim
1998 Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid,
M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Zaman Wacana Mulia,
Bandung, Cet. I.
Djohan Effendi & Ismed Natsir (ed.)
1993 Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib, LP3ES, Jakarta, Cet. IV.
Edy Effendy (ed.)
1999 Dekontruksi Islam Mazhab Ciputat, Zaman Wacana, Bandung, Cet. I.
Elza Peldi Taher (ed.),
1994 Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia Masa
Orde Baru, Paramadina, Jakarta, Cet. I.
Ernest Gellner
1995 Membangun Masyarakat Sipil Pra Syarat Menuju Kebebasan, (Terj. Ilyas
Hasan), Mizan, Bandung, Cet. I.
Fahmi Huwaydi
1996 Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani Isu-isu Dasar Politik Islam, (Terj.
Muhammad Abdul Goffar), Mizan Bandung, Cet. I.
Fazlur Rahman
1985 Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsin
Mohammad), Pustaka, Bandung, Cet. I.
Firdaus Syam
2003 Amien Rais & Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern,
Khaerul Bayan, Cet. I.
Firdaus Syam
2003 Amien Rais Politik Yang Merakyat & Intelektual Yang Saleh, Pustaka AlKautsar, Jakarta, Cet. I.
Haidar Bagir (Penyunting)
1988 Satu Islam Sebuah Dilema, Mizan, Bandung, Cet. II.
Haidar Bagir (ed.)
1989 Benturan Barat Dengan Islam, Mizan, Bandung, Cet. III.
Ibnu Taimiyah
1995 Siyasah Syar’iyah Etika Politik Islam, (Terj. Rofi Munawwar), Risalah Gusti,
Surabaya, Cet. I.
Idri Thaha
2005
Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais,
Teraju, Jakarta, Cet. I.
Imran Nasri (ed.)
1999 Amien Rais Menjawab Isu-isu Politis Seputar Kiprah Kontroversialnya, Mizan,
Bandung, Cet. I.
Iwan Karmawan Arie (Penyunting)
1999 Cikal Bakal Kepemimpinan Amien Rais Legenda Reformasi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cet. I.
Jalaluddin Rakhmat
1996 Islam Aktual, Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, Bandung,
Cet. IX.
John J. Donohue & John L. Esposito
1993 Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia Masalah-masalah, (Terj. Machnun
Husein), Rajawali Pers, Jakarta, Cet. III.
Kamaruzaman
2001 Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Indonesia
Tera, Magelang, Cet. I.
Kelompok Studi Lingkaran (ed.)
1995 Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung,
Cet. I.
Kazuo Shimogaki
2000 Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme Tela’ah Kritis Pemikiran
Hassan Hanafi, (Terj. M. Imam Aziz & M. Jadul Maula), LKIS, Yogyakarta,
Cet. IV.
Khamami Zada
2003 Politik Islam Radikal : Survei Wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 3, No. 1, Januari – April, The Habibie
Centre, Jakarta.
Kholid Novianto – Al Chaidar
1999 “Era Baru” Indonesia Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori
Abdul Djalil, Nur Mahmudi, Yusril Ihza Mahendra, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet. I.
Khalid Ibrahim Jindan
1994 Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Terj. Mufid), PT. Rineka
Cipta, Jakarta, Cet. I.
Khalid Ibrahim Jindan
1999 Teori Politik Islam : Tela’ah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan
Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. III.
Komaruddin Hidayat
1998 Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Paramadina,
Jakarta, Cet. I.
Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono
2004 Manuver Politik Ulama Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama –
Negara, Jalasutra, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah
1995 Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I.
M. Amin Abdullah
1996 Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet.
I.
M. Amin Abdullah
2000 Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer,
Mizan, Bandung, Cet. I.
Masdar F. Mas’udi
1997 Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan,
Mizan, Bandung, Cet. II.
Ma’mun Murod Al-Brebesy
1999 Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I.
M. Amien Rais,
1991 Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, Cet. III.
M. Amien Rais
1998 Tauhid Sosial Formula Menggempur Kesenjangan, Mizan, Bandung, Cet. III.
M. Amien Rais
1998 Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, Zaman Wacana Mulia, Bandung, Cet. I.
M. Amien Rais
1998 Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Calon Presiden, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, Cet. III.
M. Amien Rais
2000 Reformasi Termehek-mehek, Aditya, Yogyakarta, Cet. I.
M. Amien Rais (ed.)
1994 Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengacu Diri, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet. IV.
M. Deden Ridwan & Asep Gunawan (ed.)
1999 Demokrasi Kekuasaan Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun
Indonesia Baru, LSAF, Jakarta, Cet. I.
Masykuri Abdillah
1999 Demokrasi di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim terhadap
Konsep Demokrasi (1966 – 1993), PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.
Muhammad Arskal Salim G.P.,
1998 Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, Cet. I.
Muhammad Abid Al-Jabiri
2001 Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, (Terj. Mujiburrahman), Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, Cet. I.
Muhammad Iqbal
1983 Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, (Terj. Osman Raliby), Bulan
Bintang, Jakarta, Cet. III.
M. Nasir Tamara & Elaza Peldi Taher (ed.)
1996 Agama dan Dialog Antar Peradaban, Paramadina, Jakarta, Cet. I.
Muhammad Najib & Kuat Sukardiyono (ed.)
1998 Amien Rais Sang Demokrat, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.
Muhammad Najib – K.S. Himmaty
1999 Amien Rais dari Yogya ke Bina Graha, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.
Moelim Abdurrahman
1995 Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II.
M. Din Syamsuddin
2000 Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta, Cet. I.
M. Din Syamsuddin
2001 Islam dan Politik Era Orde Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. I.
Mukhaer Pakkana (Penyunting)
1995 Embrio Cendekiawan Muhammadiyah, Perkasa Press, Jakarta, Cet. I.
Mark R. Woodward (ed.)
1999 Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Mizan,
Bandung, Cet. II.
M. Syafi’i Anwar
1995 Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Kontemporer,
Qalam, Yogyakarta, Cet. I.
Munawir Sjadzali
1993 Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, Cet.
V.
Musthofa W. Hasyim & Luthfi Effendi (Ed.)
1999 Amien Rais Siap Gantikan Habibie, Titian Ilahi Press, Cet. I.
Nurcholis Madjid
1992 Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Tela’ah Kritis Tentang Masalah
Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, Cet. II.
Nurcholis Madjid
1998 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, Cet. XI.
Nurcholis Madjid
2003 Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Paramadina, Jakarta, Cet. II.
Oliver Roy
1996
Gagalnya Islam Politik, (Terj. Harimurti & Qamaruddin SP), PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta, Cet. I.
Qamaruddin Khan
1983 Pemikiran Islam Ibnu Taimiyah, (Terj. Anas Mahyudin), Pustaka, Bandung,
Cet. I.
Ramlan Surbakti
1999 Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. IV.
Ridwan Saidi
1983 Islam Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan, Pustaka Panjimas,
Jakarta, Cet. I.
Salim Ali Al-Bahnasawi
1996 Wawasan Sistem Politik Islam, (terj. Mustolah Maufur), Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, Cet. I.
Sudirman Tebba
2001 Islam Menuju Era Reformasi, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.
Sufyanto
2001
Masyarakat Tamaddun Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis
Madjid, LP2IF, Yogyakarta, Cet. I.
Syahrin Harahap
1994 Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein,
PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.
Takdir Ali Mukti dkk (Penyunting)
1998 Membangun Moralitas Bangsa, LPPI UMY, Yogyakarta, Cet. I.
Taufik Abdullah (ed.)
1998 Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta, Cet. I.
Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean
2004 Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, Pustaka Alvabet, Jakarta,
Cet. I.
Taufik Alimi (penyunting)
1997 Refleksi Amien Rais dari Persoalan Semut Sampai Gajah, Gema Insani Press,
Jakarta, Cet. II.
Tim Kahmi Jaya
1998 Indonesia di Simpang jalan, Reformasi dan Rekontruksi Pemikiran di Bidang
Politik, Sosial, Budaya dan Ekonomi Menjelang Milennium Ketiga, Mizan,
Bandung, Cet. II.
Umaruddin Masdar
1999 Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Cet. I.
William D. Coplin & Marsedes Marbun
1992 Pengantar Politik Internasional Suatu Tela’ah Teoritis, CV. Sinar Baru,
Bandung, Cet. I.
Zainuddin Maliki
2000 Agama Rakyat Agama Penguasa –Konstruksi tentang Realitas Agama dan
Demokratisasi, Galang Press, Yogyakarta.
ABSTRAKSI
SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas
Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)
Adalah hal yang sulit (mustahil) bahwa suatu aktivitas keduniaan sepenuhnya
terbebaskan atau terlepas dari pengaruh nilai-nilai agama. Dalam konteks keindonesiaan,
politik sebagai salah satu segmen kegiatan dimaksud, juga tidak dapat dilepaskan dari Islam,
sebagaimana aktivitas politik Muslim sendiri itu pun mustahil kosong dari pengaruh agama.
Atas dasar pertimbangan bahwa pandangan seseorang terhadap realitas politik tidak terlepas
dari pengaruh cara pandang terhadap agamanya, maka begitu pun pemahaman Amien Rais
tentang politik terkait dengan relasi antara Islam dan negara, juga tidak terlepas dari
pemahamannya terhadap agama.
Atas dasar itu, penelitian pemikiran Amien difokuskan pada tiga bahasan utama.
Pertama, pandangan Amien tentang keagamaan yang mencakup tauhid, syari’ah, dan
normativitas historisitas agama. Kedua, pandangan Amien tentang konsep negara yang
meliputi politik dan kekuasaan, prinsip-prinsip dasar negara dan signifikansi negara. Ketiga,
hubungan politika ntara Islam dan negara yang terdiri dari politik sebagai media dakwah,
paradigma relasi Islam dan negara, relasi Islam dan negara dalam bangunan politik negara.
Paradigma pemikiran Amien, pada dasarnya bermuara pada konsep tauhid, yang
mewujud dalam kerangka syari’ah. Dalam pandangannya, tauhid melahirkan prinsip-prinsip
universal yang dapat dijadikan sebagai sumber etik-moral bagi seluruh tatanan kehidupan,
baik kehidupan keagamaan, ekonomi, sosio-kultural, maupun politik dan kenegaraan.
Model pemahaman keagamaan Amien bertumpu pada dua pendekatan. Pertama,
pendekatan skripturalistik, digunakan untuk memahami persoalan-persoalan yang secara
tekstual dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunnah, seperti ketentuan ukuran waris 1 berbanding 2.
Untuk persoalan ini, Amien tidak menerima penafsiran ulang. Kedua, pendekatan
subtansialistik, digunakan untuk memahami persoalan-persoalan yang ketentuannya tidak
dijelaskan secara eksplisit oleh kedua sumber ajaran Islam tersebut, seperti ketentuan model
dan penyelenggaraan suatu negara. Dalam hal ini, Amien menerima penafsiran ulang.
Berhubung tauhid dipahami Amien sebagai sentrum bagi seluruh kehidupan Muslim,
maka politik menurutnya harus bersumber dari moralitas dan etika tauhid. Jika tidak, politik
akan berjalan tanpa arah dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak. Dalam konteks ini,
hubungan politik antara Islam dan negara dalam pandangan Amien tidak mengenal adanya
sekularisasi dalam artian pemisahan negara dari moralitas agama secara ekstrem. Karena hal
ini, dalam keyakinanya bertentangan dengan konsep tauhid.
Berdasar pada argumentasi bahwa persoalan relasi Islam dan negara tidak termasuk
yang dijelaskan ketentuannya secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Sunnah, serta syari’ah hanya
memberikan prinsip-prinsip dasar bagi pengelolaan suatu negara, maka konsep pemahaman
persoalan ini, menurut Amien masih tetap dapat ditafsirkan kembali. Model pandangan
keagamaan ini berimplikasi pada paradigma pemikiran politik Amien, terutama relasi antara
Islam dan negara, tidak bersifat legal-formalistik, melainkan lebih bersifat substansialistik.
Oleh karena itu, dalam pandangannya, selama penyelenggaraan suatu negara ditegakkan di
atas prinsip-prinsip dasar Islam (keadilan, persamaan, musyawarah, persaudaraan, kebebasan
dan pertanggungjawaban, selama itu pula mekanismenya dipandang sebagai Islami.
i
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .......................................................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................
B. Identifikasi Masalah .................................................................................
C. Perumusan Masalah ...................................................................................
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................
E. Metode dan Pendekatan .............................................................................
BAB II PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ...............................................
PANDANGAN M. AMIEN RAIS TENTANG POLITIK ISLAM
INDONESIA (Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985–
2000)
1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais ......................................
2. Pandangan Amien Rais tentang Konsep Negara ......................................
3. Hubungan Politik Antara Islam dan Negara .............................................
BAB III KESIMPULAN ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
i
ii
1
1
6
6
6
7
8
8
12
16
19
PANDANGAN M. AMIEN RAIS
TENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA
(Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)
EXECUTIVE SUMMARY
Mendapat Bantuan Dana Dari DIPA UIN SGD Bandung
Tahun Akademik 2007
SOLIHIN
NIP. 150 326 993
LEMBAGA PENELITIAN UIN SGD
BANDUNG
2007
Download