IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM: Kajian Kebutuhan Tema Riset Prioritas i IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM: Kajian Kebutuhan Tema Riset Prioritas © Penerbit Dewan Riset Nasional Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2 Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Penyusun: Tusy A. Adibroto Wahyu Purwanta Ressy Oktivia Diah Asri Erowati Feddy Suryanto Sudaryono Rudy Nugroho Hartaya Saraswati Diah Rini H. Penyunting: Tusy A.Adibroto Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dewan Riset Nasional Jakarta, 2011 www.drn.go.id Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN 978-979-9017-30-7 ii KATA PENGANTAR Berbagai dokumen kebijakan, penelitian dan laporan kegiatan menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mendapatkan perhatian di Indonesia. Dampak perubahan iklim memang dirasakan oleh kita semua, seperti terjadinya banyak bencana alam seperti curah hujan yang tidak biasa, kebanjiran, kekeringan, yang menunjukkan adanya peningkatan baik dari sisi frekuensi maupun intensitasnya. Dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014, perubahan iklim juga mendapatkan perhatian, terlihat dengan adanya topik riset khususnya pada bidang fokus Ketahanan Pangan melalui tema riset adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan iklim. Topik-topik tersebut antara lain ialah pengembangan model prediksi perubahan iklim yang berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman pangan, investigasi pola migrasi dan daerah pemijahan ikan akibat perubahan iklim, serta pengkajian pengaruh pengembangan pola pertanian, peternakan dan perikanan terhadap emisi dan penyerapan karbon. Demikian pula beberapa topik riset mengenai adaptasi terhadap perubahan iklim dicantumkan pada bidang fokus Kesehatan dan Obat. Di samping itu, dalam ARN 2010-2014 tertera Semangat Pembangunan Iptek yang meliputi 3 aspek dengan pendekatan lintas sektor, yaitu pertama pro-poor technology, dimaksudkan agar pengembangan bidang iptek juga berkontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Kedua, berorientasi pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara maritim, serta ketiga, berorientasi pada upaya agar dalam pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat juga memperhatikan kelestarian lingkungan khususnya yang berhubungan dengan perubahan iklim. Kajian yang dituangkan di dalam buku Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia ini memberikan perhatian khususnya untuk aspek ketiga. Kajian yang dilakukan mencoba melihat sejauh mana hasil-hasil riset anak bangsa yang berkaitan dengan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah dilakukan. Juga meninjau bagaimana seharusnya riset dapat iii berkontribusi pada upaya-upaya pemerintah dalam menangani dampak perubahan iklim, maupun dikaitkan dengan aktivitas yang serupa pada skala global, serta upaya-upaya apa yang sebaiknya dilakukan agar seluruh lapisan masyarakat dapat ikut serta dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih atas kerjasama, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang memungkjinkan terbitnya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat Jakarta, Oktober 2011 Ketua Dewan Riset Nasional Prof.Dr.Ir. Andrianto Handojo iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ...........................................................................................III DAFTAR ISI...........................................................................................................V DAFTAR GAMBAR..............................................................................................VII DAFTAR TABEL....................................................................................................IX DAFTAR SINGKATAN............................................................................................X BAB I ............................................................................ .......................................1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1 1.1. LATAR BELAKANG....................................................................................................1 1.2. TINJAUAN ASPEK ILMIAH PERUBAHAN IKLIM.................................................................4 1.2.1 FENOMENA DAN PENYEBAB PERUBAHAN IKLIM...........................................................4 1.2.2 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM..................................................................................10 1.3. KONVENSI PBB DAN PROTOKOL PERUBAHAN IKLIM.....................................................21 BAB II..................................................................................................................27 PROGRAM NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM.......................27 2.1. RENCANA AKSI NASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM.........................................27 2.2. INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA NASIONAL....................................................28 2.3. KAJIAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI.................................32 2.4. ROADMAP SEKTORAL UNTUK PERUBAHAN IKLIM........................................................44 2.5. KEBIJAKAN NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA.......................................48 BAB III................................................................................................................52 PERAN IPTEK DALAM ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM........................52 3.1. PENTINGNYA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM BAGI INDONESIA.........................................52 3.2. PERAN IPTEK DALAM MENJAWAB PERUBAHAN IKLIM...................................................55 3.3. KAPASITAS LITBANG NASIONAL................................................................................60 3.4. PENDEKATAN KAJIAN IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM...................................94 v BAB IV ...............................................................................................................97 PRIORITAS TEMA RISET DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM..........................97 4.1. RISET BIDANG KEAMANAN PANGAN.......................................................................97 4.1.1. SUMBERDAYA PANGAN.....................................................................................98 4.1.1. SUMBERDAYA AIR............................................................................................98 4.2. RISET BIDANG KERENTANAN PESISIR.......................................................................99 4.3. RISET BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT...............................................................101 4.4. RISET LINTAS BIDANG (CROSS-CUTTING ISSUES).......................................................120 BAB V...............................................................................................................122 PENUTUP..........................................................................................................122 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................126 vi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Teori Hipotetis Proses Terjadinya Efek Rumah 5 Kaca Gambar 1.2 Tren peningkatan suhu atmosfer (kiri) identik 8 dengan tren kenaikan emisi CO2 (kanan) Gambar 1.3 Dampak Perubahan Iklim Yang Terus Meningkat 12 Gambar 1.4 Hubungan dan 13 Perubahan Iklim dan Dampaknya Bagi Pesisir dan 16 Kasualitas Perubahan Iklim Keamanan Pangan Gambar 1.5 Pantai Gambar 1.6 Perubahan Iklim Ancaman Bagi Kesehatan 18 Manusia Gambar 1.7 Jumlah Kejadian DBD di Kota-kota (Catatan: 19 tahun 1973, 1988 dan 1998 adalah tahun LaNina) Gambar 1.8 Tren Tahunan Kejadian DBD di Beberapa Wilayah 20 di Jawa Gambar 2.1 Proses Mainstreaming Perubahan Iklim dalam 32 Pembangunan Gambar 2.2 Potensi Bahan Bakar Nabati (atas) dan Energi 36 Alternatif (bawah) vii Gambar 2.3 Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Bidang 39 Pertanian Gambar 2.4 Potensi Penerapan Teknologi Daur Panas di 42 Industri Sawit Gambar 2.5 Keterkaitan ICCSR dengan Rencana 46 Roadmap Nasional Untuk Mitigasi dan Adaptasi 47 Pembangunan Gambar 2.6 Perubahan Iklim Gambar 3.1 Skema Hubungan Keterkaitan Dalam Perubahan 58 Iklim Gambar 3.2 Skema peralatan yang telah terpasang dalam 66 program HARIMAU di Benua Maritim Indonesia (BMI) Gambar 3.3 Fotobioreaktor Penyerap CO2 (kiri) dan Konversi 68 Alga Menjadi Biofuel (kanan) Gambar 3.4 Mobil Listrik Rancangan LIPI 71 Gambar 3.5 Sistem Peringatan Dini Banjir 79 Gambar 3.6 Jejaring Berbagi Informasi Rancangan Combine 92 Insitute Gambar 3.7 Diagram Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi 96 Perubahan Iklim Gambar 5.1 Konsep Jejaring Arus Informasi dan Diseminasi 125 Hasil Riset Adaptasi Perubahan Iklim viii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1a Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam 30 Gg) Tabel 2.1b Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000- 30 2005 (dalam Gg) Tabel 2.2 Target dan Sasaran Mitigasi GRK Nasional Tabel 4.1 Tema-tema Riset Untuk Adaptasi Perubahan Iklim 103 Tabel 4.2 Matrik Keterkaitan 118 Riset Adaptasi Perubahan 49 Iklim ix DAFTAR SINGKATAN ARN Agenda Riset Nasional Bakornas PB Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana BAU Bussiness As Usual BMI Benua Maritim Indonesia CCS Carbon Capture Storage CDM Clean Development Mechanism COP Conference of Parties CRED Centre for Research on the Epidemiology of Disasters CSO Civil Society Organization DME Dimethyl Ether DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim ETS Emission Trading Scheme ENSO El Niño/La Niña-Southern Oscillation GOSAT Greenhouse gases Observing Satellite GRK Gas Rumah Kaca (CH4, CO2, SF6, N2O, HFC, PFC) ICCSR Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap IOC Intergovernmental Oceanographic Commission IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change LFG Landfill Gas LULUCF Land Use and Land Use Change Forestry MDGs Millennium Development Goals MRV Measurable, Reportable, Verifiable OFDA The Office of U.S Foreign Disaster Assistance x OPT Organisme Pengganggu Tanaman PPO Pure plant oil RAN PI Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim RAN PRB Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana REDD Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation SABSTA Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SNC Second National Communication TMC Teknologi Modifikasi Cuaca TNA Technology Need Assessment UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNFCCC United Nation Framework Convention on Climate Change UNIDO United Nations Industrial Development Organization xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal abad 21, suatu panel ilmiah yang terdiri dari 100 ahli dari berbagai disiplin ilmu diminta UNEP untuk memeringkat berbagai permasalahan lingkungan hidup yang timbul berdasarkan skala dampaknya pada abad 21. Ternyata peringkat teratas dari permasalahan lingkungan tersebut adalah Perubahan Iklim (climate change). Kini, apa yang diramalkan para ahli tersebut bukan lagi sekedar wacana tetapi telah menjadi nyata dalam skala kejadian, dampaknya, serta intensitasnya bukan lagi bersifat linier dari waktu ke waktu tetapi bisa mendadak menjadi bencana dengan skala yang tak teramalkan. Perubahan iklim telah secara ilmiah dan banyak bukti adalah diakibatkan oleh apa yang dikenal dengan pemanasan global (global warming) sebagai akibat terjadinya efek rumah kaca pada atmosfer kita. Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK) yang memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa oleh permukaan bumi. Pada dasarnya GRK ini dapat bersumber dari alam itu sendiri maupun dari aktivitas manusia. Namun berbagai data yang ada menunjukkan bahwa emisi GRK berasal juga 1 dari aktivitas manusialah yang meningkatkan konsentrasinya di atmosfer. Naiknya suhu atmosfer global ini terjadi perlahan tapi pasti membawa dampak yang merugikan bagi kehidupan di bumi. Peningkatan suhu membawa pada besarnya evaporasi air di permukaan bumi dan ini akan merubah berbagai elemen iklim seperti kelembaban, kondensasi uap air dan curah hujan. Perubahan iklim ini dapat berdampak pada perubahan pada pola tanam yang berarti mengancam keamanan pangan, mempercepat proses mutasi hama tanaman dan juga membuat suatu daerah mengalami kekeringan berkepanjangan dan di wilayah lain terjadi banjir yang besar. Berubahnya iklim juga berdampak pada kesehatan manusia akibat peningkatan kuantitas dan kualitas serta persebaran vektor penyakit. Pada suhu bumi yang mencapai titik tertentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak gunung tinggi dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penghuni di negara-negara berkembang. Jutaan orang rakyat miskin yang rentan di negara-negara kekurangan air bersih itu makin terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, kebun dan perikanan serta meningkatnya gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana kelaparan dan wabah penyakit. 2 Secara umum, perubahan iklim akan berdampak pada perekonomian dunia termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia sebagai negara agraris yang rakyatnya banyak bergantung pada aktivitas pertanian serta sebagai negara kepulauan, maka perubahan iklim akan membawa dampak yang signifikan. Berbagai peristiwa kelangkaan air belakangan ini juga ditengarai akibat perubahan iklim. Dengan garis pantai sepanjang ± 95.181 km serta sebagian rakyat berprofesi sebagai nelayan, maka dampak perubahan iklim bagi sektor perikanan dan kerentanan pesisir dan ekosistemnya menjadi signifikan untuk menjadi perhatian. Berbagai negara melalui kerangka PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) telah mencoba mengambil tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ini di bawah perundingan dan negosiasi internasional yang hingga kini masih terus berlangsung. Walau Indonesia termasuk bukan negara yang wajib menurunkan emisi GRK sesuai Protokol Kyoto, namun Pemerintah RI telah secara resmi menyampaikan target penurunan emisi sebesar 16% atau menjadi 41% jika ada bantuan pembiayaan dari negara lain pada taun 2020. Namun terlepas dari upaya mitigasi, adaptasi perubahan iklim menjadi mendesak untuk segera dilakukan mengingat dampak perubahan iklim yang jauh lebih cepat kita rasakan dibanding hasil dari upaya mitigasinya. 3 Upaya-upaya mitigasi selain memerlukan perhatian kembali terhadap local wisdom yang telah ada juga butuh dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) guna memperbesar manfaat dan mempercepat implementasinya. Walau kebutuhan iptek untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara umum juga terdapat dalam beberapa hasil studi lembaga atau roadmap kementerian, namun rincian akan tema riset yang dibutuhkan dalam rangka upaya yang fokus, masih belum dilakukan. Dalam konteks merumuskan berbagai kebutuhan akan tema-tema riset terkait adaptasi perubahan iklim, maka Dewan Riset Nasional bekerjasama dengan Pusat Teknologi Lingkungan BPPT melakukan kajian atas hal tersebut. Buku ini berisi hasil kajian tersebut terutama untuk adaptasi di sektor keamanan pangan, kerentanan pesisir dan kesehatan masyarakat. 1.2. Tinjauan Aspek Ilmiah Perubahan Iklim 1.2.1 Fenomena dan Penyebab Perubahan Iklim Perubahan iklim telah dibuktikan secara ilmiah adalah disebabkan oleh apa yang dikenal sebagai pemanasan global (global warming) yang merupakan akibat terjadinya efek rumah kaca pada atmosfer kita. Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK) yang memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa oleh permukaan bumi seperti diilustrasikan dalam Gambar 1.1. Pada dasarnya GRK ini dapat bersumber dari alam itu sendiri maupun dari aktivitas manusia. Namun berbagai data yang ada menunjukkan 4 bahwa emisi GRK dari aktivitas manusialah yang meningkatkan konsentrasinya di atmosfer. Gambar 1.1 Teori Hipotetis Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca Perubahan iklim dicirikan adanya beberapa fenomena seperti berubahnya nilai rata-rata atau median dan keragaman unsur iklim. Dalam kasus ini misal telah terjadi kenaikan dari data suhu dalam jangka panjang dan ada kecenderungan naik dari waktu ke waktu, 5 maka dapat dikatakan perubahan iklim telah terjadi. Cara lain dalam pengamatan suhu ini juga dapat dilihat dari fenomena hilangnya lapisan es di wilayah kutub. Selain suhu udara yang meningkat, ada dua indikator lain dari perubahan iklim yakni perbahan pola curah hujan dan kenaikan paras muka air laut (sea level rise). Perubahan pola curah hujan ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan dan akhir musim hujan yang terjadi lebih cepat. Musim hujan menjadi lebih singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Perubahan pola curah hujan semacam ini sudah terasa di pantai utara Jawa. BMKG melaporkan ada beberapa wilayah yang musim hujannya lebih lambat dan ada yang justru maju. Sedangkan indikator kenaikan paras muka laut sampai saat ini ada perdebatan di kalangan para ahli perubahan iklim. Memang sulit disimpulkan bahwa perubahan iklim merupakan penyebab satu-satunya kenaikan muka laut. Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan paras muka air laut akibat meningkatnya suhu adalah sekitar 1 mm/tahun di dekade terakhir ini. Studi yang didasarkan pada pengamatan dan pemodelan hilangnya massa glasier dan tutupan es menunjukkan kontribusinya terhadap naiknya mula laut rata-rata 0,2 sampai 0,4 mm/tahun pada abad ke 20. IPCC (2007) menyatakan bahwa sejak tahun 1961 sampai 1993, laut dunia telah mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun. 6 Sejauh ini telah disepakati oleh banyak ilmuwan dari berbagai negara, bahwa efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim global adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal baik dari alam maupun kegiatan manusia (anthropogenic). Adapaun GRK yang disepakati hingga 2012 ada 6 (enam) jenis yakni karbon dioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorkarbon (PFC5), dan hidrofluorokarbon (HFC5). Berdasarkan data yang terangkum dalam laporan IPCC tahun 2007, keseluruhan GRK terus mengalami peningkatan konsentrasi di atmosfer. Peningkatan konsentrasi GRK ini diikuti pula meningkatnya suhu atmosfer bumi. Hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan 20012005 adalah 0,760C. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju 1,8 mm per tahun. Jika pada awalnya banyak ahli iklim yang skeptis terhadap laporan IPCC ini, namun kini justru para ahli menjadi khawatir akan laju pemanasan global yang tidak terkendali ini. Sejumlah bukti kuantitatif juga makin mempertegas andilnya GRK ini sebagai biang pemanasan global. Kita simak sebagian data dari 7 Working Group I to Fourth Assessment Report of the IPCC (2007) berikut. Emisi karbon dioksida (CO2) – sebagai GRK terbesar secara persentase – akibat aktivitas manusia (anthropogenic) terus meningkat dari tingkatan yang kurang signifikan pada dua abad lalu hingga mencapai lebih dari 25 Milyar Ton di seluruh dunia saat ini. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) non-CO2 (methane, nitrous oxides dan fluorocarbon refrigerants) juga terus meningkat mencapai 30 Milyar Ton di tahun 2004 lalu (CDIAC USA, 2004). Jumlah GRK di atmosfer ini terbilang meningkat tajam jika dibandingkan dengan level di masa pra-revolusi industri. Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari pra-industri 280 ppm menjadi 379 ppm di tahun 2005. Laju peningkatan konsentrasi CO2 ini selama masa 10 tahun (1995 – 2005) rata-rata 1,9 ppm/tahun. Sumber : UNEP & WMO (2007) Gambar 1.2 Tren peningkatan suhu atmosfer (kiri) identik dengan trend kenaikan emisi CO2 (kanan) 8 Konsentrasi global metana (CH4) di atmosfer pada pra-industri sebesar 715 ppb menjadi sekitar 1732 ppb di awal tahun 1900-an dan 1774 ppb di tahun 2005. Konsentrasi CH4 di atmosfer pada 2005 jauh melebihi dari konsentrasi di alam pada 650.000 tahun yang lalu (320 sampai 790 ppb) sebagaimana terdeteksi dari inti es (ice core). Sumber-sumber emisi CH4 dari aktivitas manusia antara lain dari pertanian sawah tergenang, peternakan, tempat pembuangan akhir sampah maupun dari beberapa jenis industri. Konsentrasi N2O di atmosfer global sebesar 270 ppb pada masa praindsutri menjadi sekitar 319 ppb di tahun 2005. Pola peningkatannya relatif konstan sejak 1980. Lebih dari sepertiga emisi global N2O berasal dari aktivitas manusia. Sumber emisi N2O ini antara lain dari perubahan fungsi lahan, deforestasi, pertanian, penggunaan energi fosil untuk pembangkit listrik, transportasi maupun industri, selain itu sektor limbah juga mulai diperhitungkan sebagai sumber emisi N2O. Dalam kondisi normal radiasi matahari akan sampai ke bumi dan diserap bumi serta menghangatkannya. Selanjutnya radiasi tadi oleh bumi diubah menjadi gelombang panjang yang dipancarkan ke atmosfer. Namun dengan tingginya konsentrasi GRK di atmosfer, maka gelombang panjang tadi malah balik dipantulkan lagi ke bumi, sehingga permukaan bumi semakin bertambah hangat. Inilah yang disebut efek 9 rumah kaca. Sebagian besar ilmuwan percaya bahwa suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. IPCC menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. 1.2.2 Dampak Perubahan Iklim Saat ini warga dunia tengah dihadapkan pada tiga eksperimen besar dan masif dalam keberadaannya di bumi. Eksperimen ini tidak terencanakan sekaligus tidak teramalkan hasilnya. Pertama adalah eksperimen geofisik, kedua eksperimen biologi dan ketiga eksperimen politik (Hempel, L.C, 1995). Pada eksperimen geofisik, sedang diuji batas kemampuan atmosfer dalam menampung gas polutan, peningkatan konsentrasi GRK penyebab pemanasan global serta menipisnya lapisan ozon akibat penggunaan ODS (ozone-depleting substances), diantaranya CFCs, HCFCs, halons, methyl bromide, carbon tetrachloride, dan methyl chloroform. 10 Pada eksperimen biologi, sedang diuji ‘daya lenting’ (resilience) spesies bumi terhadap ancaman bertambahnya populasi manusia yang terus menekan jumlah keanekaragaman hayati (biodiversity). Apa yang terjadi ke depan dengan spesies yang terus punah? Sungguh tidak teramalkan. Di sisi lain manusia yang dikaruniai kemampuan dalam mengelola bumi juga sedang bereksperimen di bidang politik. Eksperimen politik akan menguji demokrasi dan kedaulatan nasional, dengan implikasi nyata pada kualitas lingkungan masa depan. Melalui uji politik ini akan nampak apakah sains dan politik dapat bersatu dalam pengelolaan lintas negara serta dalam situasi technoscientific yang komplek dan terus meningkat. Pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim merupakan fenomena multidimensi sebagai peristiwa geofisik yang dipicu aktivitas ekonomi yang membawa dampak pada kehidupan (biologis) serta upaya penanganannya perlu peran dan kemauan politik. Laporan dari Stern Review (2006) memperingatkan kita bahwa jika pada akhir abad ini tidak ada upaya serius untuk mengendalikan emisi GRK, maka suhu atmosfer diprediksi mengalami kenaikan 60C, padahal dampak suhu naik 30C saja berakibat pada turunnya hasil panen di Afrika dan Timur Tengah sebesar 35%. Ini artinya sekitar 550 juta orang 11 terancam kelaparan. Jika kenaikan suhu diskenariokan naik 2 0C, maka diramalkan 40% spesies dunia akan punah, 4 miliar orang menderita kekurangan air. Di bagian lain 200 juta orang akan terkena kelaparan dan 60 juta orang Afrika bakal terpapar malaria. (a) Banjir di Bangkok (2011) (b) Kekeringan di NTT (2011) (c) Es Mencair di Kutub Utara (d) Badai Irene di atas AS Gambar 1.3 Dampak Perubahan Iklim Yang Terus Meningkat 12 Perubahan iklim akan membawa dampak pada berbagai sektor pembangunan. Dampak paling serius adalah pada sektor ketahanan pangan akibat berubahnya atau bergesernya waktu tanam dan waktu panen, meningkatnya serangan hama baru serta kelangkaan dan berlebihnya air yang menyebabkan genangan (banjir). Sedangkan diketahui bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah (KLH RAN-PI, 2007); (a) perubahan pola hujan dan iklim ekstrem yang mengakibatkan banjir dan kekeringan, (b) peningkatan suhu udara yang menyebabkan naiknya respirasi tanaman, (c) meningkatnya pola serangan hama dan penyakit tanaman dan (d) naiknya paras muka air laut yang menekan luasan lahan pertanian di pesisir. Perubahan Perubahan Iklim Iklim Masa Masa Pertumbuhan Pertumbuhan Pertanian Pertanian Kesuburan Kesuburan Tanah Tanah Suplai Suplai Makanan Makanan Peningkatan Peningkatan Populasi Populasi Kebutuhan Kebutuhan Makanan Makanan Harga Harga Makanan Makanan Sumber : www.future-agriculture.org Gambar 1.4 Hubungan Kasualitas Perubahan Iklim dan Keamanan Pangan 13 Perubahan iklim mengakibatkan pola hujan menjadi sulit untuk diprediksi, kondisi cuaca ekstrem, intensitas hujan tinggi dengan periode waktu yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya musibah banjir melanda areal tanaman pertanian yang cukup luas sehingga dapat mengancam kegagalan panen. Pola perubahan musim mulai tidak beraturan sejak 1991, yang akan memberikan dampak negatif terhadap produksi pertanian. Terjadinya perubahan pola hujan menjadikan petani sulit untuk menentukan waktu tanam, apakah bulan sudah memasuki musim penghujan atau masih musim kemarau, demikian pula sebaliknya. Hal ini berimbas pada kesulitan petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. Salah satu sektor yang secara langsung terancam terhadap bahaya kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim adalah sektor pesisir dan laut. Manusia dan ekosisitem wilayah pesisir dan laut menghadapi bahaya akibat kenaikan muka air laut serta perubahan parameterparameter laut lainnya seperti badai pasut (rob), gelombang badai, ENSO terhadap wilayah pesisir, yang dapat menyebabkan perubahan lingkungan berupa (KLH, GTZ & WWF, 2007): 14 a. Penggenangan lahan basah dan dataran rendah serta hilangnya pulau-pulau kecil b. Erosi pantai dan pengurangan lahan pesisir c. Perubahan kisaran pasut di teluk dan di muara sungai d. Kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) e. Intrusi air asin dan penurunan kualitas air. f. Banjir dan suplai sedimen ke wilayah pesisir akibat perubahan curah hujan dan limpasan permukaan g. Meningkatkan frekuensi overtoping pada bangunan pantai h. Perubahan pola arus, baik secara horisontal maupun vertikal (upwelling dan downwelling). Naiknya paras muka laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. Akibatnya, nelayan pembudidaya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber kehidupannya. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, walaupun masih perlu kajian mendalam (Diposaptono et al., 2009). 15 Pemanasan Global Suhu Air Laut Badai kuat Terumbu karang Erosi pantai Top soil (sand) runoff Es meleleh Sea level rise Luas lahan Ekspansi thermal air laut Salinitas tanah Pertanian Migrasi Sumber : IPCC, 2007 Gambar 1.5 Perubahan Iklim dan Dampaknya Bagi Pesisir dan Pantai Selain memberikan dampak pada perubahan fisik ekosistem, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan dan keselamatan manusia mengingat lingkungan tempat manusia tinggal juga berubah. Timbulnya masalah kesehatan secara tidak langsung juga diakibatkan dari perubahan-perubahan fisik ekosistem akibat pemanasan global. Beberapa perubahan fisik lingkungan tersebut antara lain: (a) meningkatnya suhu lingkungan, (b) meluasnya area kerja vektor penyakit, (c) meningkatnya muka air laut dan (d) meningkatnya polusi 16 udara. Gambar 1.6 memperlihatkan secara skematis ancaman perubahan iklim dan dampaknya bagi kesehatan manusia. Meningkatnya suhu lingkungan menjadi media yang baik bagi mikroba non patogen dalam saluran cerna, sehingga mikroba ini dapat berkembang biak dengan baik. Contoh mikroba tersebut antara lain bakteri E. Coli yang berkembang dengan cepat sebagai penyebab penyakit diare. Suhu lingkungan yang meningkat, berarti juga meningkatnya suhu di wilayah-wilayah yang tadinya tidak layak untuk vektor penyakit. Contoh kasus ini adalah meningkatnya suhu wilayah pegunungan yang tadinya dingin. Suhu udara di pegunungan yang menghangat akan menyebabkan nyamuk dapat berkembangbiak dengan baik. Ini berarti telah terjadi perluasan area penyebaran vektor penyakit nyamuk seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Gambar 1.7 memperlihatkan tingkat kejadian DBD di perkotaan di Indonesia sedang Gambar 1.8 adalah pola penyebaran DBD di Jawa. 17 Sumber : Bappenas dalam ICCSR, 2010 Gambar 1.6 Perubahan Iklim Ancaman Bagi Kesehatan Manusia Berbagai penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan pada tahun 2000, ditemukan terjadi 150.000 kematian prematur di seluruh dunia karena perubahan iklim. 18 Faktanya, fenomena itu terus bertambah dan akan semakin bertambah lagi. Kejadian ini membuktikan bahwa dampak tersebut sedang menyebar ke seluruh dunia dan 88% dari orang yang menerima dampak tersebut adalah anak-anak di dunia ketiga, karena mereka adalah pihak yang paling rentan, mereka adalah orang yang kekurangan gizi makanan, mereka yang tidak memiliki pelayanan kesehatan, dan mereka hidup di lingkungan yang buruk. Sumber : Kemenkes dalam SNC, 2009. Gambar 1.7 Jumlah Kejadian DBD di Kota-kota (Catatan: tahun 1973, 1988 dan 1998 adalah tahun La-Nina) 19 Sumber : KLH dalam SNC, 2009 Gambar 1.8 Tren Tahunan Kejadian DBD di Beberapa Wilayah di Jawa Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam OFDA/CRED International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit (RAN PI, 2007). Di Indonesia, dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang 20 pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996; IPCC, 2007; Indonesia Country Report 2007). Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim. Mengingat dampak yang begitu besar dan nyata, maka 164 negara melalui PBB pada 1990 menandatangani traktat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat aman. Masalahnya hingga kini melalui serangkaian negosiasi dalam Conference of the Parties (COP) yang diselenggarakan belum juga terdapat titik temu akan angka konsentrasi aman CO2 ini. James Hansen salah satu pakar cuaca terkenal mengatakan bahwa CO2 dalam jumlah 350 ppm mungkin mencerminkan ambang atas dari zona aman yang sebenarnya – dan kita telah berada 10% melampaui angka itu (National Geographic, 2008). 1.3. Konvensi PBB dan Protokol Perubahan Iklim Mengingat perubahan iklim hanya dapat ditangani secara multilateral, PBB menyusun konvensi Perubahan Iklim yang disahkan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau perjanjian multilateral itu adalah untuk ”…menstabilkan konsentrasi gas-gas 21 rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim”. Tingkat konsentrasi emisi yang hendak distabilkan harus dicapai dalam “..suatu kerangka waktu yang memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alamiah dengan perubahan iklim, yang memberi kepastian bahwa produksi pangan tidak terganggu, dan yang memungkinkan pembangunan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan”. KTT ini juga melahirkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bekerja dengan memegang dan menerapkan prinsip bahwa semua negara memiliki tanggung jawab bersama mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas masing-masing dan prinsip keadilan. Atas dasar prinsip itu, Konvensi Perubahan Iklim telah menyepakati bahwa negara-negara industri maju harus membuat komitmen, memimpin, dan mengambil langkah lebih dahulu dalam hal pengurangan emisi GRK. Negara industri maju Eropa, negara-negara bekas Uni Soviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru, adalah negara-negara yang termasuk dalam daftar Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Mereka berkewajiban mengurangi emisi karbon masing-masing pada akhir millenium (tahun 2000), sehingga emisi kolektif mereka berada di bawah tingkat emisi tahun 1990. 22 Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalam kerangka waktu dan sasaran penuruan emisi yang disepakati bersama, Konvensi Perubahan Iklim kemudian dilengkapi dengan suatu perangkat atau aturan tata cara pelaksanaan konvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebih spesifik dan mengikat secara hukum. Sesuai dengan prinsip common but differentiated responsibilities, Protokol Kyoto memuat pernyataan komitmen negara-negara industri maju (Annex I) untuk mengurangi emisi GRK kolektif mereka paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode 2008-2012. Negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen menurunkan emisi pada periode tersebut, namun perlu menerapkan pola pembangunan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya kenaikan emisi GRK di negara masing-masing. Guna mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penuruanan emisi negara maju, Protokol Kyoto menyediakan tiga macam instrument yang bersifat fleksibel, yaitu (1) Joint Implementation (JI); (2) Clean Development Mechanism (CDM); dan (3) Emission Trading Scheme (ETS). Semua skema penurunan emisi GRK itu berlaku sampai dengan 2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol Kyoto. Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaan perjanjian tentang perubahan iklim ditanda tangani di Kyoto, Jepang, pada 1997 dan berlaku sejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130 negara. 23 Namun, Protokol itu tidak diratifikasi Pemerintah Amerika Serikan dan Australia, sehingga sampai kini AS tidak terikat dengan ketentuan Protokol Kyoto. Join Implementation memungkinkan Negara-negara Annex I melaksanakan kewajiban, selain dari upaya sendiri untuk menurunkan emisi di dalam negeri, juga bisa menjalin kerjasama dengan sesama negara maju dalam pelaksanaan proyek bersama untuk menurunkan emisi GRK mereka. Emission Trading Scheme merupakan mekanisme pertukangan atau perdagangan karbon yang bisa digunakan negara maju untuk mengurangi emisi karbon di negara sendiri dengan cara “membeli” jatah emisi GRK negara maju lain yang belum terpakai. Sedangkan Clean Development Mechanism merupakan satu-satunya instrumen yang memungkinkan Negara berkembang bisa ikut serta dalam kegiatan penurunan emisi GRK melalui proyek bantuan kerja sama negara maju dengan negara berkembang di bidang efisiensi energi atau pengembangan energi terbarukan. Lembaga pengambil keputusan tertinggi di dalam UNFCCC adalah Konferensi Para Pihak (Conferensi of Parties/COP) yang selalu mengadakan pertemuan tahunan yang diikuti lebih dari 170 negara anggota. Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP-13 di Bali untuk membahas kesepakatan baru menjelang berakhirnya Protokol Kyoto 24 pada 2012. Fokus pertemuan di Bali lebih ditujukan untuk memecahkan berbagai isu jangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkan rezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnya Protokol Kyoto. Namun demikian, ada beberapa isu mendesak yang belum terselesaikan selama periode Protokol 2008-2012, yaitu belum terpenuhinya komitmen dan target penurunan emisi negara-negara Annex I serta kejelasan arah dan pedoman penyelesaiannya. Salah satu hasil COP-13 di Bali di antaranya mengenai diterimanya upaya mencegah deforestasi sektor kehutanan, khususnya REDD-plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebagai mekanisme/ instrumen yang diadopsi konvensi dalam upaya mitigasi menurunkan emisi GRK negara-negara berkembang. Indonesia selaku ketua COP-13 terus melanjutkan peranan sebagai Troika (tiga serangkai). Bersama Polandia selaku ketua COP-14 dan Denmark selaku ketua COP-15, Indonesia diberi tugas oleh Sekjen PBB untuk mengawal Bali Action Plan agar berhasil merintis a new and legally binding agreement pada COP-15 di Kopenhagen. Bagaimanapun juga, peristiwa di Bali akhir 2007 itu merupakan tonggak perjalanan Indonesia yang tak kalah penting bagi terciptanya momentum baru di dalam negeri. Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakan, dan liputan media massa terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim makin gencar dan meluas. 25 Dalam perjalanannya, hingga COP-15 di Denmark, kesepakatan baru perjanjian iklim pasca Protokol Kyoto tetap belum tersusun. Di Kopenhagen akhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumen politis yang disebut Dokumen ini Copenhagen Accord (kesepakatan merupakan catatan hasil Kopenhagen). perundingan tingkat tinggi/kepala negara yang difasilitasi Perdana Menteri Denmark selaku Ketua COP-15 yang hanya melibatkan 29 negara dari 189 negara peserta Konvensi. Statusnya sekadar “catatan” COP-15 yang sama sekali tidak mengikat secara hukum. Dua belas butir kesepakatan yang teruang dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan setelah proses perundingan yang alot dan panas, terutama antara AS, China, dan negara kelompok ALBA dari Amerika Latin menjelang sidang penutupan Konvensi1. Di tengah kebuntuan perundingan iklim, pada KTT G-20 di Pittsburgh (AS) September 2009, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan target Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Adapun sektor-sektor yang ditetapkan untuk mencapai target tersebut adalah sektor kehutanan, sektor energi dan sektor limbah. Apabila ada bantuan pendanaan dari pihak luar, maka target penurunan emisi bisa menjadi 41%. 1 Lihat, Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan”, dalam PRISMA Vol.29 April 2010. 26 BAB II PROGRAM NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM 2.1 Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim Sebagai hasil yang tangible dari KTT Bumi tahun 1992 adalah adanya kesepakatan untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Kesepakatan ini dicapai tahun 1997 di Kyoto yang kemudian dikenal sebagai Protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani/diakses sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara industri untuk memotong emisi GRK mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat GRK mereka di tahun 1990. Walaupun Indonesia tidak termasuk yang dikenai kewajiban menurunkan emisi, Desember 2004, Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU no. 17 tahun 2004. Sebagai langkah awal dalam memberi arah pembangunan yang berkelanjutan serta bervisi rendah emisi, maka Pemerintah RI pada tahun 2007 melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup (kala itu) meluncurkan dokumen Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI). Dokumen 27 ini merupakan instrumen kebijakan yang melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009. RAN MAPI sudah berisi tentang rencana aksi baik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari beberapa sektor walau belum terlalu detail targetnya. Upaya mitigasi diuraikan seperti untuk sektor energi, perubahan lahan dan perubahan lahan kehutanan (LULUCF), kelautan dan perikanan. Sedangkan upaya rencana adaptasi melipui sektor sumberdaya air, pertanian, kelautan dan perikanan, infrastruktur, kesehatan dan kehutanan dan keanekaragaman hayati. RAN MAPI bisa disebut sebagai dokumen tonggak awal kepedulian Pemerintah RI dalam hal menyusun rencana dalam merespon perubahan iklim. 2.2 Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Nasional Salah satu faktor penting dalam negosiasi internasional terkait upaya penurunan emisi GRK adalah keberadaan data emisi GRK tiap negara baik di masa lalu, masa kini dan perkiraan masa datang. Untuk itu inventarisasi emisi GRK secara nasional menjadi penting setidaknya untuk dapat diketahui posisi kita dalam daftar emitor di dunia serta mempersiapkan target penurunan sesuai kemampuan. Data emisi juga 28 penting sebagai counter bagi kemungkinan tuduhan terkait urutan negara pengemisi besar khususnya dari lahan gambut misalnya2. UNFCCC mewajibkan negara anggota untuk mensubmit National Communication yang berisi kuantitas emisi dari berbagai sektor di tiap negara. Pada tahun 1999, Indonesia pernah menyampaikan data emisi melalui First National Communication. Seiring dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan perundingan iklim, maka dimulailah upaya meningkatkan kualitas data emisi yang diperbaharui dengan Second National Communication (SNC). Sesuai panduan UNFCCC, dokumen SNC merupakan sarana bagi negara untuk menyampaikan informasi tentang emisi dan berbagai potensi bagi pengurangannya. Penyusunan SNC didasarkan pada The 2006 IPCC Reporting Guideline. Dari data di SNC, total emisi GRK Indonesia tahun 2000 untuk CO2, CH4 dan N2O diluar sektor LULUCF mencapai 594,738 Gg CO2e. Dengan memasukkan emisi dari LULUCF maka terjadi kenaikan total emisi yang signifikan yakni menjadi 1.415.988 Gg CO2e, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1a dan Tabel 2.1b. 2 Pada November 2006, LSM Wetland Internasional menempatkan Indonesia sebagai pengemisi karbon no.3 di dunia setelah Amerika dan China. Namun sejumlah kalangan ilmuwan menolak laporan itu seperti Prof. Ir. Said Jenie, ScD, Dr. Edvin Aldrian (keduanya dari BPPT) dan juga Prof. Mezak A. Ratag dari BMKG. Keberatan umumnya karena validitas data dan tahun yang digunakan LSM tadi hanya didasarkan pada laporan tahun 1996 saat terjadi EL-Nino (kemarau panjang). 29 Tabel 2.1a. Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam Gg) Source/Sink CO2 CO2 (Emisi) (Diserap) CH4 N2O CO2e Energi 305,983 1,221 6 333,540 Industri 31,938 104 0 34,197 Pertanian 2,178 2,419 72 75,419 3 0 649,254 Perubahan Hutan Lahan dan Kebakaran Gambut Limbah 1,060,766 411,593 172,000 172,000 1,662 7,020 8,05 TOTAL 151,578 1,415,988 Sumber : SNC, 2009 Tabel 2.1b. Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000-2005 (dalam Gg) Sektor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Energi 333,540 348,331 354,246 364,925 384,668 395,990 Industri 34,197 45,545 33,076 35,073 36,242 37,036 Pertanian 75,419 77,501 77,030 79,829 77,863 80,179 Limbah 151,578 153,299 154,334 154,874 155,390 155,609 Perubahan Lahan dan Hutan (LULUCF) 649,254 560,546 1,287,495 345,489 617,280 N.E. Kebakaran Gambut 172,000 194,000 678,000 246,000 440,000 451,000 30 TOTAL LULUCF + TOTAL Tanpa LULUCF 1,451,988 1,379,222 2,584,181 1,226,191 1,711,443 1,119,814 + LUCF 594,734 624,676 618,686 634,701 654,162 668,814 – LUCF Sumber : SNC, 2009 Keseluruhan emisi GRK tersebut (dalam CO2 equivalen), terdiri atas gas CO2 sebesar 1.162.935 Gg (80% dari total GRK), gas CH4 sebesar 226.104 Gg (15%) dan N2O sebesar 26.948 Gg (2%). Emisi GRK tersebut dalam urutan tiga besar berasal dari sektor kehutanan dan perubahan lahan diikuti energi dan emisi dari kebakaran hutan. Total emisi GRK yang dilaporkan SNC di bawah angka yang disampaikan lembaga PEACE tahun 2007, World Bank maupun studi Department for International Development (DFID) Inggris, yang menempatkan Indonesia sebagai negara pengemisi no.3 di dunia. Dalam SNC juga diuraikan lebih rinci emisi dari tiap sektor seperti pembangkit dan pengguna energi, proses di industri, pertanian, penggunaan lahan, perubahan guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land-Use Change and Forestry/LULUCF) serta limbah. Sebagai hasil kajian, SNC tidak saja menyampaikan hasil inventarisasi emisi GRK tetapi juga berbagai data tentang dampak perubahan iklim seperti ketahanan pangan, penyakit, energi serta dampak sosial ekonomi serta berbagai upaya yang harus dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi tiap sektor. Hal terpenting dalam kaitan mitigasi dan 31 adaptasi perubahan iklim ini adalah bagaimana mengintegrasikan setiap rencana tersebut ke dalam rencana besar pembangunan nasional melalui sebuah roadmap. Gambar 2.1 memperlihatkan roadmap bagaimana pengarus utamaan respon terhadap perubahan iklim dalam rencana pembangunan nasional yang terdapat dalam SNC. Kebijakan & Peraturan KONDISI EKSISTING Program Proyek Skema Pembiayaan Pembangunan Kapasitas TUJUAN Tim Koordinasi untuk Dialog Kebijakan (BAPPENAS) ROADMAP Pengarusutamaan Perubahan Iklim ke dalam Rencana Pembangunan Sumber : Bappenas, 2010 Gambar 2.1 Proses Mainstreaming Perubahan Iklim dalam Pembangunan 2.3 Kajian Kebutuhan Teknologi Untuk Mitigasi dan Adaptasi Adalah fakta bahwa meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer mulai signifikan sejak terjadinya revolusi industri (abad 18), ini artinya emisi GRK dari aktivitas manusia (anthropogenic) ikut berkontribusi 32 menambah konsentrasi GRK dari sumber alam itu sendiri. Angka-angka dalam Gambar 1.2, khususnya peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer berkorelasi juga dengan berkembangnya teknologi proses produksi dan teknologi transportasi yang intensif menggunakan bahan bakar fosil. Ini berarti dengan teknologi, kenyamanan hidup meningkat dan mengubah pola hidup kita, namun perlahan tapi pasti teknologi (yang tidak ramah lingkungan) juga menyimpan potensi bencana berupa ‘sisa’ proses (spent resources) di atmosfer kita3. Kalau teknologi sebagai pemicunya, seharusnya diharapkan teknologi juga menjadi pengerem laju atau meminimalisir meningkatnya GRK di atmosfer kita. Seperti diketahui, Indonesia memang tidak termasuk dalam negara Annex I yang berarti tidak dikenai kewajiban penurunan emisi GRK per target waktu, tetapi mengingat kondisi Indonesia yang rentan terhadap terhadap perubahan iklim maka kita harus turut melakukan upaya baik mitigasi maupun adaptasi yang tentu memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala upaya mitigasi dan adaptasi yang kita lakukan harus dikomunikasikan ke Conference of the Parties 3 (COP), ini penting dalam rangka kebutuhan negosiasi Lamont C. Hempel, dalam Environmental Governance: The Global Challenge.1996. Hal.70, menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan global menjadi signifikan dampaknya juga antara lain disebabkan oleh pertambahan populasi dan perkembangan teknologi. Keduanya disebutnya sebagai ”ampifliers” dalam proses kerusakan lingkungan. 33 internasional khususnya pasca 2012 yang mungkin akan terjadi regrouping Para Pihak dalam UNFCCC. Sebagai negara berkembang upaya mitigasi dan adaptasi penting untuk ditindaklanjuti dengan kebijakan dan dukungan teknologi yang tepat. Melalui Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) – UNFCCC, negara berkembang termasuk Indonesia diwajibkan membuat Technology Needs Assessment (TNA) dalam rangka isu transfer teknologi. Indonesia untuk pertama kalinya mendaftarkan dokumen kebutuhan teknologi ini ke UNFCCC di tahun 2001 dengan judul Identification of Less Greenhouse Gases Emissions Technologies in Indonesia. Seiring dengan dinamika di dalam negosiasi iklim termasuk dalam isu transfer teknologi maka menjelang COP-13 di Bali tahun 2007, melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan GTZ (Jerman), memperbaharui TNA awal dengan menyusun dokumen TNA yang baru dengan melibatkan lebih banyak sektor. Dalam TNA kali ini diuraikan kebutuhan teknologi mitigasi sektor kehutanan, energi, industri, transportasi, pertanian, limbah dan kelautan. Khusus sektor pertanian dan kelautan juga disampaikan kebutuhan teknologi adaptasi. 34 TNA kedua yang diluncurkan pada tahun 2009 tersebut disusun melalui metodologi mulai dari pertemuan stakeholder, expert judgement hingga workshop dengan beberapa kriteria umum teknologi antara lain; (a) mengurangi emisi GRK, (b) maksimalisasi komponen lokal, (c) meningkatkan konservasi sumberdaya, (d) meningkatkan green energy dan energi alternatif (e) mendukung keamanan pangan dan (f) menekan kemiskinan. Selain itu setiap sektor secara khusus juga mengembangkan kriteria spesifik tersendiri. Secara umum gambaran peta kebutuhan teknologi yang potensial dikembangkan dan diaplikasikan dalam upaya mitigasi di beberapa sektor utama dalam TNA antara lain; a. Sektor Energi Berdasar data tahun 2003 komposisi konsumsi energi di Indonesia adalah: bahan bakar minyak (54,4%), gas alam (26,5%) , batubara (14,1%) dan energi terbarukan (5%). Akibat krisis energi tahun 2005, Pemerintah mengeluarkan Perpres no. 5/2006 tentang kebijakan nasional energi, dengan menurunkan penggunaan bahan bakar minyak dan menaikkan penggunaan batubara dari 14% menjadi 33% dan energi terbarukan dari 5% menjadi 17% (SNC, 2009). Sebagai implikasi kebijakan ini kita membutuhkan teknologi di antaranya energi terbarukan untuk pembangkitan seperti panas bumi (geothermal), 35 turbin angin, small hydro (< 2 MW), mini hydro, fuel cell, gelombang laut, biofuel dan biomass (limbah dan sampah). Dari sisi pertambangan energi (eksplorasi & eksploitasi) diperlukan teknologi yang terus menekan angka kebocoran (peningkatan efisensi), mengurangi emisi dan teknologi penangkap karbon (Carbon Capture & Storage/CCS). Sedangkan dari sisi pengguna energi (end use technology) diperlukan teknologi yang makin hemat energi baik dalam segala peralatan rumah tangga, komersial dan industri serta teknologi proses yang low carbon fuels. Aplikasi peralatan rendah emisi karbon/hemat energi ini dapat diterapkan untuk penerangan (lampu), alat memasak, alat pemanas, pendingin ruangan, motor dan lain-lain (TNA, 2009). (a) Sawit (b) Jarak 36 (c) Tenaga surya (d) Panas bumi Gambar 2.2 Potensi Bahan Bakar Nabati (atas) dan Energi Alternatif (bawah) b. Sektor Kehutanan Dari berbagai data emisi nasional yang dirilis sejak tahun 1990-an maupun terkini, hutan hampir pasti selalu menjadi kontributor utama GRK di Indonesia. Mengingat peran besar hutan sebagai penyerap karbon maka sangat diperlukan beberapa teknologi yang berbasis pada ‘penurunan emisi’ dan peningkatan kemampuan penyerapan (sink enhancement). Teknik-teknik pengelolaan hutan yang baik meliputi hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung akan mampu menekan emisi. Sedangkan sink enhancement melalui penanaman kembali (HTI, HTR, HR) dan rehabilitasi hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan produksi mampu menyerap karbon hampir 200 ton/ha (̴ 736 ton CO2/ha). Untuk itu teknologi monitoring yang 37 real time terhadap emisi dan penyerapan karbon di hutan menjadi penting apalagi mengingat skema proyek REDD/REDD+ yang memerlukan data dan laporan yang dapat diukur (measurable), dilaporkan (reportable) dan diverifikasi (verifiable) atau disingkat MRV (TNA, 2009). c. Sektor Pertanian Emisi GRK khususnya CH4 dari pertanian umumnya berasal dari lahan sawah (paddy field) dan peternakan (enteric fermentation & manure management). Emisi N2O umumnya berasal dari pemupukan lahan pertanian dengan pupuk nitrogen. Berdasar perhitungan tim SNC 2009, emisi CH4 dari persawahan di Indonesia mencapai 1.723 Gg CH4/tahun. Sektor pertanian khususnya padi paling rentan terhadap perubahan iklim, oleh karena itu pengembangan teknologi prediksi iklim menjadi penting untuk mengantisipasi kegagalan panen. Selain itu dari sisi adaptasi perlu diteliti ketersediaan bibit tanaman yang lebih tahan perubahan iklim serta penerapan integrated crop management. Sedangkan pengelolaan sumberdaya air yang tepat, appropriate fertillizing dan no tillage farming juga turut berperan dalam mitigasi pemanasan global. Untuk peternakan, pengurangan emisi hanya dapat dilakukan melalui penerapan teknologi pakan ternak dan manajemen peternakan 38 terpadu serta pengelolaan kotoran dengan memanfaatkannya sebagai biogas atau pupuk. Adaptasi dapat dilakukan dengan menerapkan communal livestock sheltering dan integrated crop livestock management (TNA, 2009). (a) Peta Wilayah Rawan Kekeringan (Sumber: http://deptan.go.id) 39 (b) Padi tahan banjir (c) Varietas padi tahan kekeringan Gambar 2.3 Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Pertanian d. Sektor Industri Emisi GRK dari industri umumnya bersumber pada penggunaan energi bahan bakar (fosil) dan pada proses produksinya. Ada beberapa jenis industri yang sangat intensif menggunakan energi fosil ini seperti industri semen, pulp & kertas, besi & baja, pupuk dan keramik. Dengan mengurangi emisi dari industri-industri di atas, akan cukup signifikan dalam menekan angka emisi CO2. Teknologi yang diperlukan dalam hal ini adalah teknologi peningkatan efisiensi boiler dan furnace. Sementara dari proses di industri umumnya menghasilkan emisi gas perfluorocarbons, PFCs (CF4 dan C2F6), HFCs (HFC-125 dan HFC-134a), sulphur hexafluoride (SF6), direct GHG (CO2, CH4, dan N2O), ozon dan aerosol precursors (SO2, NOx, CO, dan NMVOC). Penerapan teknologi 40 produksi bersih akan dapat menekan emisi gas-gas polutan tersebut (TNA, 2009). e. Sektor Limbah Ruang lingkup sektor limbah dalam 2006 IPCC Guidelines ditujukan untuk mitigasi emisi dari sub sektor persampahan kota (di TPA, dibakar dan dikomposkan) dan limbah cair (domestik dan industri). Sesuai semangat UU no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka pengurangan sampah di sumber, daur ulang dan guna ulang merupakan cara yang sangat dianjurkan untuk mengurangi sampah di TPA. Sampah di TPA merupakan sumber emisi CH4 yang dapat dimitigasi hanya dengan mengumpulkannya untuk kemudian di bakar atau dimanfaatkan lebih lanjut. Untuk itu teknologi persampahan yang prospektif untuk menekan emisi GRK adalah Reduce, Reuse dan Recycle (3R) untuk intermediate treatment plant dan sanitary landfill ( + LFG recovery) untuk sisi pembuangan akhir4. Untuk limbah cair domestik penerapan teknologi yang bersifat komunal sangat baik untuk upaya mitigasi pencemaran. Sedangkan kontrol gas CH4 akan efektif diterapkan pada Instalasi Pengolahan Air 4 Lihat, UU no.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, penekanan penanganan sampah adalah pada program 3R dan Extended Producer Responsiblity (EPR). Untuk pembuangan akhir (TPA), paling lambat di tahun 2013 harus sudah menutup Open Dumping dan menggantinya dengan Controlled Landfill atau Sanitary Landfill. 41 Limbah (IPAL) dengan skala besar. Untuk limbah cair industri khususnya agroindustri banyak sekali ditemui kolam-kolam penampungan limbah yang stagnan yang menjadi sumber emisi GRK. Industri kelapa sawit dan tapioka memiliki potensi pengemisi CH4 terbesar di Indonesia. Beberapa teknologi yang diperlukan untuk mengurangi emisi di agroindustri antara lain dengan anaerobic treatment, aerobic treatment (atau kombinasi anaerobic-aerobic), dan covered lagoon. Pada dasarnya teknologi-teknologi tersebut ditujukan juga untuk menangkap dan memanfaatkan gas CH4. Bahkan untuk industri kelapa sawit akan sangat disarankan untuk mendaur limbah panas yang dihasilkan bagi keperluan energi di pabriknya sendiri, ini yang disebut Advanced, Efficient and Integrated Technology for Steam & Power Generation yang telah diterapkan di Thailand (Gambar 2.4). Sumber : E3 Agro Thailand Gambar 2.4. Potensi Penerapan Teknologi Daur Panas di Industri Sawit 42 f. Sektor Kelautan Laut merupakan wahana CO2 sink yang cukup potensial di samping hutan. Di forum internasional menyangkut perubahan iklim, sektor laut relatif belum banyak dibicarakan, namun Indonesia beserta beberapa negara kepulauan berusaha mengangkat wacana sektor ini. Laut sebagai penyerap CO2 juga paling rentan terhadap pemanasan global menyangkut kehidupan ekosistemnya. Sayangnya hingga saat ini berdasar laporan IPCC tentang carbon flux global dari laut ke atmosfer dan sebaliknya belum ada data dari wilayah laut Indonesia. Ini berarti sangat diperlukannya teknologi yang mampu mendapatkan data dasar laut kita untuk keperluan antisipasi perubahan iklim. Beberapa teknologi mitigasi yang perlu dikembangkan dalam sektor ini antara lain bagaimana mengoptimalkan kemampuan laut menyerap CO2, atau yang dikenal dengan fertilisasi laut dan juga teknologi biopumping. Teknologi monitoring Emisi-CO2 sink di lautan juga belum kita kembangkan serta kemampuan inderaja untuk mengetahui net primary production di laut. Teknologi adaptasi diperlukan antara lain untuk mengantisipasi naiknya suhu permukaan laut misalnya dengan terumbu karang buatan (artificial reef) dan teknologi fish apartment. Selain itu naiknya muka air laut (sea level rise) juga harus diantisipasi misalnya dengan model penataan kawasan pesisir yang adaptif, teknologi groyne (krib) dan bangunan pantai (sea wall). Teknik-teknik 43 pemodelan sea level rise untuk wilayah Indonesia harus terus ditingkatkan akurasinya, demikian pula model respon ekosistem pesisir akibat kenaikan muka laut perlu dikembangkan untuk mendukung pengambilan kebijakan. 2.4 Roadmap Sektoral Untuk Perubahan Iklim Dengan telah adanya dokumen nasional hasil inventarisasi emisi GRK dan studi kebutuhan teknologi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, maka sangat diperlukan adanya rencana dari tiap sektor pembangunan dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bappenas dalam hal ini telah menerbitkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) tahun 2010. Untuk memastikan bahwa setiap kegiatan terkait perubahan iklim sudah sesuai (tepat sektor) dengan kementeriannya, maka ICCSR disusun oleh tiga pihak yakni Bappenas, Kementerian/Lembaga serta Tim teknis. Kebutuhan akan ICCSR didasari kenyataan bahwa pembangunan rendah karbon dalam konteks perubahan iklim mempunyai keterkaitan dengan perencanaan pembangunan nasional (lihat Gambar 2.5). Secara singkat, ICCSR adalah upaya pengarusutamaan (mainstreaming) perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). ICCSR ini menguraikan visi dan strategi nasional dengan penekanan khusus pada upaya mengatasi hambatan dalam 44 pembangunan rendah karbon di sektor-sektor energi, kehutanan, transportasi, industri, pertanian, wilayah pesisir, air, limbah dan sektor kesehatan. Sebagai upaya nasional terpadu untuk mengatasi perubahan iklim, ICCSR menetapkan tiga kategori kegiatan di setiap sektor pembangunan yakni sebagai berikut; 1. Data, Information and Knowledge Management (KNOW-MANAGE) 2. Planning and Policy, Regulation and Institutional Development (PLAN-PRIDE) 3. Implementation and Control of Plans and Programs with Monitoring and Evaluation (ICON-MONEV) 45 RPJPN RPJPN 2005-2025 2005-2025 PEMANASAN PEMANASAN GLOBAL GLOBAL RENSTRA RENSTRA K/L K/L RENJA RENJA K/L K/L RPJMN RPJMN 2010-2014 2010-2014 RKP RKP APBN APBN RPJMD RPJMD RKPD RKPD APBD APBD RENSTRA RENSTRA SKPD SKPD RENJA RENJA SKPD SKPD ROAD ROAD MAP MAP PERUBAHAN PERUBAHAN IKLIM2010-2030 IKLIM2010-2030 MODEL MODEL IPCC IPCC PENILAIAN PENILAIAN RESIKO RESIKO DAERAH DAERAH RPJPD RPJPD Gambar 2.5 Keterkaitan ICCSR dengan Rencana Pembangunan (sumber: ICCSR, 2009) 46 Roadmap nasional untuk pengarusutamaan iklim dalam perencanaan pembangunan ini secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 2.6. KNOW-MANAGE Pemetaan Kerentanan Lokal KNOW-MANAGE Pendirian Sistem Informasi Adaptasi PLAN-PRIDE ICON-MONEV Kebijakan & Peraturan Berbasis Iklim PLAN-PRIDE Re-Inventarisasi GRK Menghitung Ulang Pengurangan Emisi GRK ICON-MONEV 2015 Data Information and Knowledge Management (KNOW-MANAGE) KNOW-MANAGE Optimasi Pembangunan dan Bentuk Adaptasi PLAN-PRIDE Pengurangan Emisi GRK 26% dari BAU ICON-MONEV 2020 Planning and Policy. Regulation and Institutional Development (PLAN-PRIDE) KNOW-MANAGE Pembangunan Berbasis Adaptasi PLAN-PRIDE Peningkatan Penggunaan Energi Alternatif 2025 ICON-MONEV Pembangunan Rendah Karbon 2030 Implementation and Control with Monitorng and Evaluation (ICON_MONEV) Sumber : Bappenas, 2010 Gambar 2.6 Roadmap Nasional Untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim ICCSR memang menitikberatkan pada rencana mitigasi dan adaptasi emisi GRK tiap sektor. Untuk mitigasi diuraikan besarnya emisi GRK dari sektor serta potensi mitigasinya. Sedangkan untuk adaptasi, selain diuraikan aktivitas apa saja terkait ancaman peubahan iklim terhadap sektro tersebut dan berbagai tindakan dalam bentuk program yang harus diadakan. 47 2.5 Kebijakan Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Walaupun Indonesia tidak termasuk ke dalam negara Annex-I yang berkewajiban menurunkan emisi karbon, namun kenyataannya Indonesia adalah negara yang rentan terhadap perubahan ikllim khususnya sektor pertanian, kesehatan dan kelautan/perikanan. Untuk itu Indonesia perlu melakukan upaya penanggulangan melalui mitigasi perubahan iklim. Upaya mitigasi ini diwujudkan melalui Peraturan Presiden No.61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) berisi target-target kuantitatif penurunan emisi per sektor dan subsektor serta waktu pencapaiannya. Pada dasarnya RAN-GRK adalah dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada The Conferences of Parties (COP) ke13 UNFCCC dan hasil COP-15 di Copenhagen maupun COP-16 di Cancun. Target di dalam RAN-GRK sendiri didasarkan pada komitmen Presiden RI dalam KTT G-20 di Pittsburg untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi BAU. Penurunan emisi 26% tersebut akan dicapai melalui sektor kehutanan sebesar 87,38% (dari total penurunan 26%), sektor energi sebesar 5,13% dan limbah sebesar 6,56%. Selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 2.1. Dokumen RAN- GRK ini menjadi acuan setiap upaya penurunan emisi GRK bagi masyarakat dan pelaku usaha, sedangkan bagi Pemerintah Daerah 48 sebagai acuan dalam menyusun Rencana Aksi Daerah penurunan emisi GRK (RAD-GRK). Dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 disebutkan, kegiatan RAN-GRK meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. Menteri dan pimpinan lembaga akan melaksanakan RAN-GRK sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Pelaksanaan dan pemantauan akan dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Untuk wilayah provinsi, Gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah penurunan emisi GRK (RAD-GRK) yang berpedoman kepada RAN-GRK dan disesuaikan dengan prioritas pembangunan daerah. Tabel 2.2 Target dan Sasaran Mitigasi GRK Nasional Sektor dan Subsektor Emisi *) BAU (2020) Gt CO2 Target Emisi (26%) 2020 GtCO2 Tambahan Target Emisi (15%) 2020 GtCO2 Target Emisi (41%) 2020 GtCO2 Persentase (%) Energi Sektor pembangkit (Suplai dan trnasmisi energi) 1.070 0.039 0.022 0.061 1 0.03 0.010 0.040 Industri 0.06 Transportasi 0.01 5.13% 49 Kehutanan 1.570 0.672 0.367 1.039 1.44 0.28 0.057 0.337 Peningkatan rosot karbon, HUtan berkelanjutan, Mencegah kebakaran hutan dan Mengurangi deforestasi 0.13 0.392 0.310 0.702 Pertanian 0.060 0.008 0.003 0.011 Mengurangi pembakaran ilalang saat budidaya 0.06 0.008 0.003 0.011 0.25 0.048 0.030 0.078 2.950 0.767 0.422 1.189 Konservasi Gambut Lahan 87.38% 0.93% Mengurangi penggunaan pupuk kimia Limbah 6.56% Lainnya Wilayah pesisir, Pulau kecil, Lautan, Perikanan termasuk Peningkatan penyerapan karbon laut dan energi agro di pesisir Total *) BAU : Business As Usual (tidak dilakukan tindakan apapun) Sumber : Bappenas, 2010. 50 Dengan bekal arah kebijakan baru (RAN-GRK), Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mulai melakukan kajian dan dialog lintas sektor agar kebijakan dan program pembangunan yang akan memasukkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dilakukan dengan pola konvensional atau “business as usual”, akan tetapi harus ada perubahan pendekatan yang menjamin terlaksananya pola pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu selain melihat kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan kenaikan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP), hasil pembangunan juga harus dilihat dari turunnya tingkat emisi karbon dalam mencapai tingkat GDP tersebut. Ukuran rendahnya emisi GRK merupakan salah satu syarat penting terlaksananya pembangunan berkelanjutan di masa depan. Karena itu diperkenalkan pengertian “pembangunan rendah karbon” (Low Carbon Development) sebagai alternatif pola pembangunan konvensional yang selama ini dilakukan dengan mengandalkan bahan bakar energi sarat emisi karbon. 51 BAB III PERAN IPTEK DALAM ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM 3.1 Pentingnya Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Bagi Indonesia Dampak perubahan iklim saat ini sudah semakin nyata dengan laju yang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dengan tidak mengecilkan arti mitigasi – dimana perundingan global cenderung alot – suatu upaya dalam bentuk rencana adaptasi menjadi mendesak bagi Indonesia. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Saat ini, Indonesia yang sudah rentan terhadap resiko bencana alam, seperti banjir, longsor, erosi, badai tropis, dan kekeringan, akan menghadapi resiko yang lebih besar lagi ke depan akibat perubahan iklim. Apabila langkah-langkah penanganan yang konkret tidak segera dilaksanakan, maka target-target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) untuk bidang-bidang yang berkaitan 52 dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan akan sulit dicapai. Bahkan, ada kemungkinan, target-target pembangunan yang telah tercapai selama puluhan tahun ini, juga terancam Oleh karena itu, agenda adaptasi perubahan iklim harus diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembangunan yang hanya mementingkan pencapaian tujuan ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestarian alam akan menambah kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Pelaksanaan kegiatan adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pembangunan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim di masa depan harus didasarkan pengalaman dan kemampuan yang dibangun dalam mengatasi resiko iklim saat ini. Dengan demikian, penyusunan agenda adaptasi terhadap perubahan iklim harus dikaitkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB). RANPRB yang telah disusun oleh Pemerintah Indonesia merupakan bentuk komitmen terhadap Resolusi PBB 63/1999. RAN-PRB bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana termasuk yang 53 berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti perubahan iklim. Keberhasilan penerapan agenda adaptasi juga sangat ditentukan oleh watak dari kerangka adaptasi: apakah ia tergolong ke dalam apa yang disebut sebagai ”adaptasi reaktif” yang dipandu oleh munculnya perubahan-perubahan mutakhir dalam variabel klimatik atau nonklimatik/sosial, atau ”adaptasi antisipatif”, yang berpedoman kepada sebuah perkiraan ambang-batas kritis/genting dari perubahanperubahan kedua jenis variabel tersebut di atas yang masih bisa ditanggung oleh kemampuan sosial ekologis serta kelembagaan pemerintahan setempat. Penting bagi semua pihak pelaku adaptasi untuk juga mempertimbangkan kemungkinan munculnya distorsi kompetitif didalam penggunaan sumber-sumber daya publik termasuk ruang/lahan untuk keperluan mitigasi di satu pihak dengan tuntutan adaptasi. Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak perubahan iklim memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pembangunan yang tahan (resilience) terhadap goncangan variabilitas iklim saat ini (anomali iklim) dan antisipasi dampak perubahan iklim di masa depan. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, 54 pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Perlu ditekankan juga bahwa pelaksanaan agenda adaptasi pada dasarnya juga memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sampai saat ini tidak ada dokumen nasional yang secara tegas memetakan kemampuan penguasaan iptek bangsa Indonesia terhadap kebutuhan teknologi adaptasi. Beberapa dokumen nasional yang disampaikan ke UNFCCC ada beberapa yang menyinggung rencana adaptasi seperti di TNA tahun 2009 dan itupun terbatas pada sektor pertanian dan kelautan. Sementara dalam ICCSR telah mulai dijabarkan rencana adaptasi beberapa sektor termasuk kesehatan. Ada hal yang juga penting dalam kaitan ini adalah perlunya kita memetakan tematema riset untuk adaptasi perubahan iklim serta mengetahui kapasitas lembaga riset kita saat ini. Hal ini perlu karena perkembangan dampak perubahan iklim yang cepat serta tidak selamanya kita bergantung dalam hal iptek perubahan iklim kepada negara maju. 3.2 Peran Iptek Dalam Menjawab Perubahan Iklim Jika dalam uraian sebelumnya disampaikan bahwa perubahan iklim yang terjadi akibat naiknya suhu atmosfer semenjak revolusi industri, maka perkembangan iptek kala itu menjadi pemicunya. Kini harapan manusia untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak perubahan 55 iklim juga kembali tertuju pada peran iptek. Berbagai pusat riset dunia saat ini hampir pasti bersinggungan dengan tema riset perubahan iklim, termasuk di Indonesia sendiri. Hasil kajian DRN tahun 2010 yang dituangkan dalam dokumen Peranan Iptek Dalam Menjawab Pemanasan Global misalnya sudah disampaikan berbagai peran iptek dalam kaitan merespon perubahan iklim di Indonesia5. Sebagai contoh, apa yang telah dilakukan BMKG dengan membuat zona musim (ZOM) di Indonesia agar mudah dalam prediksi luasan area persawahan. ZOM juga didasarkan atas rekomendasi Kelompok Kerja Prakiraan Musim Nasional (KKPMN) yang terdiri dari BMKG, LAPAN, BPPT, Balitklim, ITB dan IPB. Dokumen ZOM sangat penting bagi sektor pertanian. Contoh lain peran iptek antara lain dalam penerapan teknologi modifikasi cuaca yang dilakukan di BPPT baik dalam mengatasi kekeringan atau mencegah hujan (memindah awan) agar tidak terjadi volume hujan yang berlebih (banjir). Di sektor energi saat ini juga banyak penerapan iptek dalam riset energi baru dan terbarukan. Dua iptek utama dalam penerapannya bidang energi ini adalah pembangkit 5 Lihat “Peran Iptek Dalam Menjawab Pemanasan Global”-DRN (2010), tentang hasil FGD para periset ITB dan UNPAD yang menyimpulkan bahwa banyak riset yang telah mereka lakukan tidak langsung berkaitan dengan perubahan iklim, walaupun mereka sadar akan isu perubahan iklim. 56 listrik non bahan bakar fosil seperti tenaga surya, panas bumi dan hidro serta pengembangan bahan bakar nabati (biofuel). Pengembangan biofuel, dengan sentuhan iptek saat ini juga berasal dari mikroalga. Pada tema ini, saat ini LIPI fokus pada pencarian spesies yang optimum, sedangkan BPPT fokus pada optimasi teknologi fotobioreaktor sedangkan ITB juga fokus pada teknologi konversi menjadi minyak diesel. Iptek sistem informasi geografi yang digabungkan dengan teknologi inderaja juga diterapkan dalam penentuan lokasi perikanan tangkap yang sangat berguna bagi nelayan 6 . Respon perubahan iklim memerlukan kebijakan, sedangkan iptek perubahan iklim memerlukan riset baik dasar maupun terapan. Hubungan keterkaitan antara permasalahan perubahan iklim, kebijakan antisipasi dan perlunya riset ditunjukkan dalam Gambar 3.1. 6 SIKBES-Ikan (Intelligent Fish Tracker) dikembangkan oleh TISDA-BPPT 57 Riset yang telah dihasilkan PT, Litbang, LPNK, LSM dan Lainnya Terintegrasi? Sesuai Trend? Overlap? DRIVING FORCE PRESSURES STATES IMPACT Kondisi Lingkungan Fisik EKONOMI Industri Pertanian Energi Transportasi Produksi & Struktur produksi Aplikasi teknologi Emisi & polusi Hidrologi, bentang alam, ketersediaan sumberdaya SDA dan lahan Kualitas Air, udara, tanah Perubahan Iklim Konsumsi Perdagangan Kimia Biologi Biodiversity, species Ekosistem Dampak ekosistem Dampak lingkungan Dampak sosial Riset mengenai dampak dan respon terutama mikro/lokal ?? (Makro & mikro) Pesisir, kelautan, hutan Ada relasi? TARGET Kebijakan Makro ekonomi Kebijakan Sektoral Kebijakan Lingkungan Penurunan Emisi 26% pada tahun 2020 PRIORITAS (RAN-GRK) KEBIJAKAN RESPONSES Dokumen (kebijakan, roadmap dll) yg telah dikeluarkan oleh Pemerintah, DNPI, Kementerian dll. Overlap? Difusi iptek? Respon daerah? Gambar 3.1 Skema Hubungan Keterkaitan Dalam Perubahan Iklim (DRN, 2010b) Dari uraian sebelumnya, masalah adaptasi perubahan iklim merupakan agenda yang harus segera dilaksanakan mengingat posisi Indonesia yang rentan terhadap bencana iklim. Dewan Riset Nasional (DRN) 58 dalam dokumen Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014 telah memetakan kebutuhan tema-tema riset untuk adaptasi perubahan iklim. Dapat dikutip di sini beberapa tema riset tersebut dalam bidang keamanan pangan dan kesehatan dan obat sebagai berikut; a. Keamanan Pangan 1. Pengembangan model prediksi perubahan iklim, terutama untuk unsur-unsur iklim yang berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman pangan. 2. Pengembangan teknologi memanen air hujan (rainwater harvesting) dan mengurangi kehilangan air tanah dalam sistem produksi pertanian pangan dan budidaya perikanan. 3. Pemodelan respon tanaman pangan dan hortikultura terhadap perubahan iklim 4. Investigasi pola migrasi dan daerah pemijahan ikan akibat perubahan iklim. 5. Pengkajian pengaruh pengembangan pola pertanian, peternakan, perikanan terhadap emisi dan penyerapan karbon. b. Kesehatan dan Obat 1. Pengembangan teknologi keamanan pangan, khususnya dalam metode deteksi cemaran pangan. 2. Pengembangan teknik deteksi dini dan prognosis penyakit menular/tidak menular. 59 3. Penelitian keterkaitan antara vektor, reservoir dan penyakit. 4. Pengembangan teknologi tepat guna untuk pengelolaan limbah rumah tangga, unit yankes dan industri. 5. Pengembangan teknologi tepat guna untuk penyediaan air bersih di lingkungan dengan kondisi kesehatan yang buruk. 6. Pengembangan vaksin sesuai dengan pola/karakter patogen Indonesia. 3.3 Kapasitas Litbang Nasional Agenda riset adaptasi perubahan iklim tidak hanya membutuhkan spesifikasi tema riset agar dicapai efektivitas sasaran, namun juga perlu melihat sudah sejauh mana institusi-institusi riset yang ada di Indonesia memiliki kesiapan sumberdaya dalam masalah ini. Beberapa lembaga riset mungkin sudah mampu melakukan riset atau menghasilkan teknologi adaptasi perubahan iklim, atau beberapa teknologi mungkin masih harus ditransfer dari negara maju lainnya. Dalam kajian singkat yang dibatasi waktu dan sumberdaya, melalui survei langsung maupun data sekunder, didapati kemampuan dan potensi beberapa lembaga dalam melakukan riset atau pengembangan teknologi adaptasi, yang diuraikan sebagai berikut; 60 a. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sejak isu perubahan iklim mengemuka, BPPT sebagai agen pemerintah yang memiliki tugas mengkaji dan menerapkan teknologi juga telah bergerak dengan serangkaian program yang langsung atau tidak langsung merespon isu perubahan iklim. Pada tahun 2009 dan 2010, BPPT melalui program Pengembangan Teknologi Mitigasi dan Dampak Pemanasan Global (GW-BPPT), telah mengukur emisi karbon dari hutan khususnya lahan gambut dan sawah padi oleh Pusat Teknologi Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana (PTLWB) guna mendapatkan angka faktor emisi. Angka faktor emisi penting guna memperhitungkan besaran emisi karbon. Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan REDD/REDD+ adalah bahwa seluruh data emisi maupun penyerapan karbon haruslah dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable & veriviable, MRV). Melakukan serangkaian workshop melalui working group yang diprakarsai baik oleh DNPI maupun Kementerian Kehutanan, BPPT telah berpartisipasi aktif terutama dalam pengembangan usulan teknologi seperti melalui satelit (inderaja). Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, pengukuran secara insitu yang berkesinambungan sulit dilakukan karena luasnya hutan dan sumberdaya manusia yang ada. Salah satu cara adalah pemanfaatan teknologi pengideraan jauh dan GIS. Pemantauan faktor emisi atau 61 carbon stock dapat dilakukan dengan melihat konsisi eksisting tataguna lahan dimana hal ini dapat dilakukan dengan teknologi Synthetic Apperature Radar (SAR) dan sensor satelit optik (Landsat). Sedangkan perhitungan fluks eksisting karbon hanya dapat dilakukan dengan perhitungan langsung atau dengan memanfaatkan satelit terbaru yang dinamakan GOSAT (Greenhouse gases Observing Satellite). Salah satu kajian tim dari Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) dalam MRV ini adalah untuk observasi gas CO2 dengan munculnya satelit GOSAT. Untuk mendapatkan parameter gas CO2 dan CH4 maka di satelit GOSAT dilengkapi dengan Fourier Transform Spectrometer. Sejak awal 2000-an, penelitian dan pengembangan bidang pangan untuk adaptasi perubahan iklim yang dilakukan di BPPT dengan arah peningkatan kemampuan teknologi produksi bahan baku industri berbasis pati, teknologi pasca panen dan diversifikasi hasil pertanian, peternakan dan perikanan. Selain itu juga dikembangkan teknologi budidaya non konvensional dan teknologi produksi produk derivatif pertanian, peternakan dan perikanan. Seluruh kajian di atas dilaksanakan Kedeputian Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB)-BPPT. Riset lain dalam konteks ketahanan pangan, adalah pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan peternakan, prototipe ikan nila salin unggul sekaligus prototipe 62 vaksin DNA streptococcus dan prototipe protein recombinant growth hormon ikan nila, remediasi lahan pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu. Untuk teknologi serta rekayasa dan rancang bangun bidang energi dalam kaitan mitigasi emisi GRK, di kelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu, Teknologi energi untuk bahan bakar dan Teknologi energi untuk Kelistrikan. Kegiatan pengembangan sumberdaya energi di BPPT diarahkan untuk mencari dan memanfaatkan energi alternatif yang berbasis pada sumberdaya energi terbarukan dan ramah lingkungan serta mengoptimalkan Sedangkan pemilihan potensi teknologi sumberdaya pemanfaatan energi setempat. energinya lebih ditekankan untuk substitusi BBM dan teknologi peningkatan efisiensi serta peningkatan kandungan lokal dalam negeri (TKDN). Perekayasaan teknologi energi untuk bahan bakar dikoordinir oleh Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE)-BPPT. Sumber energi bahan bakar berasal dari fosil (batubara) dan nabati (biomassa). Pengkajian teknologi pengembangan bahan bakar yang berasal dari batubara, diantaranya adalah teknologi pencairan batubara, teknologi gasifikasi dan coal up grading. Sedangkan pengkajian teknologi pengembangan bahan bakar dari nabati adalah: pemanfaatan biodiesel pada kendaraan dan mesin stationer, 63 pemanfaatan ethanol di sektor transportasi dan pemanfaatan bio-oil/ pure plant oil (PPO) pada kendaraan, PLTD dan kompor serta pengembangan teknologi pemanfaatan Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG untuk kompor rumah tangga. Untuk pengkajian dan penerapan teknologi energi kelistrikan dikoordinir oleh Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE)-BPPT. Berbagai sumberdaya energi terbarukan yang saat ini dikembangkan, diantaranya: surya, angin/ bayu, panasbumi, arus laut, dan energi gelombang laut serta biomassa. Selain mendorong pemanfaatan energi terbarukan, BPPT juga melakukan pengkajian teknologi untuk meningkatkan kehandalan sistem kelistrikan dan penerapan sistem manajemen energi. Beberapa teknologi yang sedang dikembangkan, diantaranya: teknologi hibrida (surya-bayubiofuel), teknologi untuk mengontrol kualitas daya listrik (power quality), penerapan sistem manajemen teknologi efisiensi energi dan penerapan teknologi optimasi sumberdaya energi setempat. Pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dan penerapan teknologi listrik ramah lingkungan, dapat menekan ataupun mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Penerapan teknologi sistem integrasi kelistrikan seperti hybrid dan grid connected, baik secara langsung ataupun tidak, juga dapat menekan laju emisi GRK. Besarnya 64 pengurangan emisi GRK pada penggunaan teknologi-teknologi pembangkit tersebut sangat tergantung pada besaran kontribusi energi alternatif (angin, surya, dll) di dalam memproduksi listrik. Semakin besar kontribusi energi terbarukan di dalam memproduksi listrik berarti mengurangi operasional pembangkit diesel (BBM). Dengan demikian emisi GRK dari pembangkit diesel (BBM) dapat ditekan. Salah satu dampak perubahan iklim yang paling nyata adalah adanya kelangkaan air (water scarcity) di satu wilayah dan kelebihan air (banjir) di wilayah lain. Salah satu teknologi yang dapat mengantisipasi ini adalah pemodelan cuaca. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) telah menjadi andalan BPPT termasuk dalam program adaptasi perubahan iklim. Peran BPPT dalam teknologi modifikasi cuaca ini sudah termasuk kategori solusi teknologi atau pelayanan jasa teknologi, khususnya pada program-program pengisian waduk/badan air di musim kemarau dalam mengantisipasi kebutuhan air bagi PLTA. Riset-riset UPT Hujan Buatan (UPT HB) dalam kaitan ini antara lain pembuatan flares dalam negeri, laboratorium udara (FLARes) maupun prediksi iklim dan banjir, serta stasiun Ground Based Generator (GBG). Selain untuk pengisian waduk, teknologi hujan buatan juga sering digunakan dalam pemadaman kebakaran hutan pada musim kemarau. 65 Sumber : BPPT, 2011 Gambar 3.2 Skema peralatan yang telah terpasang dalam program HARIMAU di Benua Maritim Indonesia (BMI). Dampak perubahan iklim selain meningkatnya intensitas banjir juga timbulnya organisme penganggu tanaman (OPT), ini menjadi latar belakang aplikasi riset HARIMAU (Hydrometeorological ARray for Intraseasonal Variations Monsoon AUtomonitoring) merupakan bagian 66 dari kegiatan 5 tahun (2005 – 2009) dari program “Japan Earth Observation System [EOS] Promotion Program (JEPP). Kegiatan utama program HARIMAU adalah instalasi radar cuaca di sepanjang ekuator Benua Maritim Indonesia (BMI) untuk memahami variasi antar musiman yang berpengaruh terhadap fenomena cuaca dan iklim BMI yang untuk pihak Indonesia dikoordinir oleh BPPT. Melalui Pusat Teknologi Lingkungan (PTL)-BPPT, beberapa kajian terkait mitigasi perubahan iklim telah beberapa tahun terakhir dilakukan. Di bidang mitigasi, penelitian tentang penangkapan gas metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah telah dimulai sejak 2008 hingga saat ini. Untuk limbah cair baik domestik maupun industri (khususnya untuk beberapa jenis industri), PTL telah mampu merancang dan menginstalasi berbagai IPAL baik skala rumah tangga dan komunal (domestik), skala individu dan kawasan (industri). Pengembangan teknologi biofiltrasi aerob-anaerob sudah diaplikasikan baik untuk limbah cair rumah tangga dan perkantoran dan juga di industri. IPAL biofilter aerob-anaerob telah banyak di instalasi di berbagai perkantoran, hotel, rumah sakit dan industri tertentu. 67 Gambar 3.3 Fotobioreaktor Penyerap CO2 (kiri) dan Konversi Alga Menjadi Biofuel (kanan) Sementara itu tahun 2010 PTL telah merintis kerjasama dengan industri pengemisi CO2 melalui kegiatan teknologi penangkapan dan penyerapan karbon secara biologis dengan mikroalga, melalui uji fotobioreaktor dan kolam kultur dalam menyerap gas-gas emisi dari cerobong boiler industri mitra. Ujicoba masih akan berlanjut dan pada tahun 2011, fotobioreaktor akan di aplikasikan di industri akan dimodifikasi berdasarkan pengalaman perawatan dan operasional selama ini. Selain itu juga telah dilakukan kegiatan kajian pemanfaatan hasil panen mikroalga sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Penelitian 68 pemanfaatan mikroalgae sebagai biofuel ini masih akan berlanjut untuk tahun-tahun mendatang. Walau hanya dalam penggambaran yang tidak terlalu detail, terlihat BPPT sebagai lembaga perekayasaan dan penerapan teknologi sudah cukup maju dan siap dalam mengembangkan teknologi mitgasi dan adaptasi perubahan iklim. Prasayarat utama seperti program, sumberdaya manusia dan peralatan dalam skala tertentu terbilang mencukupi. Permasalahannya tinggal bagaimana terjalin hubungan dengan sektor atau kementerian selaku penanggungjawab pelaksanaan program mitigasi dan adaptasi dapat berjalan baik dan efektif. b. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Beberapa riset terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilaksanakan di LIPI antara lain fokus pada keamanan pangan, energi alternatif, manajemen transportasi serta kesehatan dan obat-obatan. Masalah kerentanan pesisir dalam kasus perubahan iklim juga pernah diteliti di Pusat Oseanografi dengan mengambil kasus di pantura Cirebon. Tujuan riset ini untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerentanan pesisir terhadap penggenangan (inundation) dan pengasaman (acidification). 69 Untuk riset adaptasi bidang keamanan pangan, ditujukan pada rekayasa dan diversifikasi produk pangan berbasis pada komoditas lokal yang potensial dan kaya nutrisi serta berfungsi sebagai aditif. Selain itu kegiatan riset pangan di daerah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Di bidang energi, LIPI fokus pada penemuan dan pengembangan sumber daya energi alternatif (matahari, angin, panas bumi, dan bahan bakar nabati) dan konservasi energi sangat penting sebagai substitusi dari bahan bakar fosil yang terbatas. Bahan bakar alternatif untuk mesin bersumber dari tanaman dan minyak hewan yang memiliki beberapa keuntungan seperti meningkatnya umur mesin hidup, mengurangi polutan, dan limbah beracun sedangkan mikro-hidro dikembangkan sebagai sumber energi bagi desa-desa terpencil yang belum teraliri listrik. Dalam ARN 2010-2014, salah satu fokus riset yang penting bagi mitigasi perubahan iklim adalah transportasi. Tema riset yang diarahkan adalah pengembangan sistem transportasi perkotaan yang berwawasan lingkungan, dalam hal ini selain mengembangkan sistem transportasi massal juga penggunaan energi alternatif untuk angkutan umum dan mobil pribadi. 70 Sumber : www.lipi.go.id Gambar 3.4 Mobil Listrik Rancangan LIPI Dalam kaitan penghematan bahan bakar fosil dan memenuhi transportasi masyarakat, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI di Bandung, juga telah memperkenalkan dua kendaraan hasil rekayasanya, yaitu mobil hybrid dan mobil elektrik. Di Pusat ini para peneliti juga sedang merancang sistem transportasi, sistem transmisi kereta, dan mobil listrik. 71 Sementara di Pusat Penelitian Biologi LIPI juga dilakukan riset terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim khususnya terkait pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Penelitian mengenai keanekaragaman hayati ditujukan pada empat tingkatan komponen biologi yang merupakan kompetensi P2 Biologi LIPI, yaitu penelitian tingkat molekuler, spesies, komunitas dan ekosistem. Seperti kita ketahui salah satu dampak dari perubahan iklim adalah hilangnya keanekaragaman hayati akibat naiknya suhu udara dan kenaikan muka laut. Masalah sumberdaya air juga dikaji dan dikembangkan di Pusat penelitian Geoteknologi yang meliputi inventarisasi dan konservasi sumber daya air, pencemaran dan remediasi air tercemar, pengamatan pasang surut air laut yang mempengaruhi daerah pesisir. Sebagai lembaga riset yang cukup perpengalaman, LIPI memiliki kapasitas yang mencukupi untuk mengembangkan riset-riset adaptasi perubahan iklim. c. Lembaga Litbang Kementerian Pertanian Setidaknya ada 4 (empat) unit litbang sebagai ujung tombak dalam riset adaptasi perubahan iklim sektor keamanan pangan, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) serta Balai Besar 72 Penelitian Tanaman Padi. Salah satu fokus perhatian lembaga-lembaga ini adalah bagaimana mewujudkan keberadaan varietas tanaman (khususnya padi) yang tahan terhadap perubahan iklim. Sebagaimana diketahui perubahan iklim membawa dampak buruk terhadap pertanian di Indonesia, antara lain mempengaruhi pola tanam dan juga kenaikan paras muka laut yang akan berpengaruh terhadap varietas tanaman. Ada varietas yang tahan dan ada yang tidak tahan terhadap garam (salinitas). Dampak yang paling nyata adalah kerusakan (degradasi) dan penurunan kualitas sumberdaya lahan dan air, infrastruktur pertanian, penurunan produksi dan produktivitas tanaman pangan, yang dapat mengancam kerentanan dan kerawanan terhadap keamanan pangan dan bahkan kemiskinan penduduk. Ketidakpastian cuaca mengakibatkan petani kesulitan dalam merencanakan dan mengelola budidaya pertanian. Serangan hama dan penyakit yang mengganas berakibat menurunnya produksi hasil pertanian. Bencana alam seperti banjir pada area sentra pertanian menimbulkan kerusakan baik pada tanaman, infrastruktur pertanian maupun mengganggu kelancaran distribusi saprotan dan hasil panenan. Hingga saat ini lembaga penelitian di bawah Kementerian Pertanian ini telah menghasilkan lebih dari 200 varietas padi unggul. Kementan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan yang ada, juga telah merekayasa dan menghasilkan varietas padi yang tahan kering 73 (INPAGO), tahan rendaman (INPARA), maupun untuk daerah yang beririgasi (INPARI). Varietas jagung hibrida unggul berumur sedang (90100 hari) dan berpotensi hasil tinggi (>13 ton/ha) toleran kekeringan dan kemasaman tanah serta jagung hibrida umur genjah ± 85 hari setelah tanam (HST) dengan potensi hasil 11 ton/ha7. 7 Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS – Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan , Kementerian Pertanian pada Juli 2011. 74 Selama periode 1992-2001, Badan Litbang Pertanian, telah merilis 10 jenis jagung hibrida silang tiga jalur yaitu; varietas Semar-1 sampai dengan Semar-10 dan satu hibrida silang tunggal yaitu varietas Bima-1. Penyampaian varietas jagung hibrida unggul baru berjalan agak lambat dan baru dikeluarkan lagi pada tahun 2007 dengan nama Bima2 Bantimurung dan Bima-3 Bantimurung. Tahun 2008 dikeluarkan lagi tiga varietas jagung hibrida unggul baru yaitu Bima-4, Bima-5 dan Bima-6. Untuk tahun 2010 sebanyak 5 varietas jagung hibrida unggul baru yang dirilis yaitu; Bima-7, Bima-8, Bima-9, Bima-10, dan Bima-11. Bima-2 Bantimurung atau yang lebih dikenal dengan nama dagang “Jagung Hibrida Pak Tani-2” telah dilisensi dan dikembangkan oleh perusahaan swasta. Beberapa varietas yang lain juga telah dilisiensi oleh berbagai usaha swasta dengan nama dagang tertentu. Dari sejumlah varietas jagung hibrida yang telah dikeluarkan oleh Badan Litbang Pertanian, dua varietas tergolong berumur genjah (umur ≤ 90 HST) yaitu Bima 7 dan Bima 8. Selain tanaman pangan (padi dan jagung), Kementerian Pertanian juga merilis empat varietas cabai yang tahan terhadap perubahan cuaca dan hama. Produktivitas cabai unggul tersebut hampir sama dengan jenis cabe yang lain yakni 0.8-1 kilogram per pohon. Varietas baru ini diharapkan dapat menjadi jawaban atas kegagalan panen cabai akibat hujan yang berlangsung terus menerus. Dengan demikian boleh 75 dikatakan lembaga-lembaga litbang di bawah Kementerian Pertanian memiliki kapasitas yang memadai dalam adaptasi perubahan iklim terlepas dari persoalan diluar yakni mulai menyempitnya lahan pertanian. d. Balitbang Sumberdaya Air –Kementerian Pekerjaan Umum Selain varietas bibit padinya sendiri, permasalahan keamanan pangan juga terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Hal ini penting mengingat peran air baik seagai sumber minuman juga sebagai air pengairan dalam sistem pertanian. Salah satu institusi litbang yang memegang peranan penting dalam bidang sumberdaya air adalah Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air – Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, Puslitbang SDA PU memiliki 8 balai yakni: Balai Hidrologi dan Tata Air, Balai Lingkungan Keairan, Balai Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan, Balai Pantai, Balai Rawa, Balai Sungai, Balai Sabo dan Balai Irigasi. Puslitbang SDA PU sudah memfokuskan riset berkaitan dengan perubahan iklim sejak diluncurkannya RAN MAPI Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2008. Riset tersebut dilakukan oleh 8 76 balai yang bernaung di bawah Puslitbang PU dengan cakupan riset secara garis besarnya sebagai berikut8: Balai Hidrologi dan Tata Air (HTA) merupakan salah satu balai yang melakukan riset inovasi dan perekayasaan teknologi tentang banjir, kekeringan, peramalan dan peringatan dini banjir, erosi, sedimentasi, hujan-aliran, air tanah, instrumentasi hidrologi, klimatologi dan tata air. Hasil riset ini dipakai untuk mendukung pembangunan prasarana sumberdaya air seperti untuk pengendalian sungai, pembangunan bendungan, pengendalian bencana alam, pengelolaan operasional bangunan pengairan dan sebagainya serta penyusunan norma, standar, pedoman, manual yang berkaitan dengan hidrologi tata air. Untuk pengendalian waduk, Balai HTA telah melakukan riset green belt yakni melakukan treatment terhadap air yang masuk ke waduk dengan menanami tanaman yang dapat menyerap polutan seperti fosfat dan senyawa nitrogen. Riset juga dilakukan dalam skala laboratorium untuk memilih jenis tanaman yang cocok terhadap polutan tertentu. Selain dengan tanaman, perbaikan kualitas waduk juga dilakukan dengan mengolah air limbah yang masuk ke waduk tersebut dengan teknologi trickling filter, lumpur aktif dan lain sebagainya. Sebagai 8 Hasil wawancara dengan Dr. Ir. Fransisca Mulyantari, Kepala Bidang Program dan Kerjasama – Puslitbang SDA PU bulan Juni 2011 77 contoh Waduk Cirata, dimana air limbah dari peternakan yang ada di sekitar waduk sebagai sumber polutan, setelah dilakukan proses pengolahan, kualitasnya lebih baik yang pada akhirnya pencemaran waduk dapat berkurang. Balai HTA ini juga melakukan pemantauan secara periodik terhadap kualitas air waduk agar supaya bila terjadi penurunan kualitas, dapat segera dilakukan langkah-langkah antisipasinya. Beberapa riset yang dilakukan Balai Hidraulik dan Geoteknik keairan antara lain untuk mengantisipasi banjir yang diramalkan akan semakin sering terjadi. Riset yang telah dilakukan meliputi, pengembangan sistem peramalan dan peringatan dini banjir, yakni upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dengan menggunakan peralatan telemetri yang didesain murni menggunakan produk nasional yang kompetitif sehingga tidak menjadikan ketergantungan terhadap pihak luar. Kemudian riset polder, yakni suatu bangunan air untuk mengatasi banjir. sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air yang tak terpisahkan. Manajemen sistem tata air dilakukan dengan mengendalikan volume, debit, muka air, tata guna lahan dan lansekap. Riset lain adalah ASR (Artificial Storage and Recovery) yakni teknologi 78 terapan sumur imbuhan berbasis akuifer yang terintegrasi dengan sumur resapan. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan akuifer sebagai underground reservoir tempat penyimpanan dan pengambilan air. Teknologi ini berbasis pemanenan air hujan yang dikombinasikan dengan pemanfaatan air permukaan secara optimum. Sumber : Survei lembaga Gambar 3.5 Sistem Peringatan Dini Banjir Sementara di Balai Lingkungan Keairan banyak dilakukan riset-riset terkait penyediaan dan pengolahan air bersih dan air limbah. Sebagai contoh riset tentang instalasi pengolahan air gambut untuk penyediaan air bersih, yakni pengolahan air gambut dengan metode koagulasi, flokulasi, sedimentasi dan penyaringan. Kemudian IPASS 79 yakni instalasi pengolahan air sangat sederhana untuk daerah-daerah yang tidak terjangkau PDAM yang terdiri dari bak pengendapan, sistem perata aliran, saringan pasir lambat, dan bak desinfeksi. Lalu ada SPAB Dasab, yakni sistem sederhana pengolahan air bersih darurat saat banjir menggunakan bahan kimia tawas, kaporit dan filter. Di bidang pengolahan air limbah dilakukan riset teknologi pengolahan air limbah rumah tangga ”grey water” dengan ecotech garden, yakni pengolahan air limbah di selokan atau efluen tangki septik dengan menggunakan tanaman hias air agar BOD, COD, deterjen, nitrogen dan fosfat dapat berkurang konsentrasinya. Kapasitas iptek untuk puslitbang di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum boleh dikatakan sangat siap untuk melaksanakan riset dan perekayasaan teknologi adaptasi perubahan iklim. d. Balitbang Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir merupakan lembaga garda depan dalam mengembangkan arah dan strategi mitigasi dan adaptasi wilayah pesisir dan lautan dalam menghadapi perubahan iklim. Selain itu Direktorat Pesisir dan Lautan juga memegang peran kunci dengan diluncurkannya rencana aksi dalam dokumen “Strategi Adaptasi dan Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir dan Pulau-pulau Kecil” Kementerian Kelautan dan Perikanan. 80 Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi kenaikan muka air laut, perubahan suhu permukaan air laut, perubahan pola cuaca dan iklim setempat. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan adanya potensi bahaya alam lainnya seperti banjir, gempa, tsunami, dan badai tropis. Kondisikondisi tersebut memicu permasalahan lain seperti meningkatnya erosi pantai, instrusi air laut, penggenangan lahan-lahan produktif dan fasilitas publik, hilangnya ekosistem lahan basah, perubahan pola hujan dan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai. Dengan demikian, perubahan iklim yang dikombinasikan dengan berbagai faktor anthropogenik telah dan akan menjadi faktor utama dalam meningkatkan kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap dampak-dampak tersebut di atas harus dilakukan agar keberlanjutan kegiatan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dijaga. Sejak tahun 2008 Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir mulai memberi perhatian pada perubahan iklim yang mengarah kepada riset-riset mitigasi dan adaptasi, dengan hasil utama database dan analisis data dari hasil pengambilan data primer maupun pengumpulan 81 data sekunder di lokasi kajian. Selain itu dilakukan juga kajian dan analisis dampak perubahan iklim yang terdiri atas analisis kemunduran garis pantai, analisis potensi bahaya, analisis kerentanan pantai, analisis resiko dan valuasi ekonomi. Sebagai contoh, beberapa judul/tema riset terkait perubahan iklim yang dilakukan sebelum dan sampai dengan tahun 2011 antara lain: (1) Interaksi Laut Atmosfer, (2) Sea Level Rise (SLR), (3) Karbon Laut dan Pesisir, (4) Perubahan Temperatur Air Laut, (5) Monitoring Coral Bleaching, (6) Kerentanan Pesisir (dampaknya ke masyarakat pesisir), dan (7) Blue carbon. Adapun output dari kegiatan sebelum dan sampai dengan tahun 2011 tersebut adalah sebagai berikut: (1) Data dan Informasi, (2) Rekomendasi (Daerah dan Nasional), (3) Atlas Oceanografi dan Atmosfer, (4) Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, (5) Peta Prediksi Daerah Penangkapan Ikan, (6) Magang Mahasiswa dan (7) Teknologi Pemurnian Garam. Lokasi riset-riset tersebut di perairan Indonesia, dengan mitra antara lain LIPI, Pemprov, Pemkot/Pemkab serta IOC dan UNESCO sebagai mitra internasional. Sarana dan prasarana pendukung untuk terlaksananya kegiatan riset tersebut diantaranya Laboratorium Kualitas Air di Perancak Bali, Laboratorium Pemodelan Laut dan Laboratorium Remote Sensing. 82 Sejauh ini untuk melaksanakan riset-riset tersebut dirasa masih ada kekurangan dari sisi SDM sehingga masih dibutuhkan ahli dari disiplin ilmu seperti Anthropologi dan Sosial dan Ekonomi. Perkiraan anggaran untuk kegiatan riset perubahan iklim ini berkisar 25 % - 30 % dari total anggaran unit/pusat. Khusus pengembangan sarana dan prasarana serta SDM riset perubahan iklim ini dilakukan kerjasama dengan Florida Institut Oceanography (FIO) sejak tahun 2007 sampai tahun 2014 meliputi analisa data, survei dan training. Serta bekerjasama dengan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) dari Amerika periode tahun 2003 sampai 2012 dengan output analisa laboratorium. Puslitbang Sumberdaya Pesisir dan Laut juga telah menyusun roadmap riset perubahan iklim, dengan prioritas pada dua hal, yaitu: 1. The Marine & Coastal Characteristics & Climate Change (Blue Carbon). 2. The development of spatial data network for the national marine (Implementation of INAGOOS, Ocean & Climate Research Institute/Center & the capacity research/building). Walau tergolong paling muda diantara Kementerian lain, sektor kelautan dan perikanan cukup sigap dan siap dalam mengantisipasi perubahan iklim termasuk menyiapkan “software” dan “hardware” bagi adaptasi perubahan iklim. 83 e. Balitbang Kesehatan – Kementerian Kesehatan Salah satu lembaga riset yang menjadi ujung tombak guna merespon perubahan iklim sektor kesehatan masyarakat adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan yang terdiri atas 4 lembaga (pusat) yakni; 1. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan 2. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik 3. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat 4. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan serta Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik merupakan Pusat yang mempunyai otoritas dalam hal melakukan penelitian yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat dan juga litbang yang melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan telah banyak melakukan kegiatan riset untuk menanggulangi penyakit menular yang disebabkan oleh vektor. Hasil penelitian pun telah menjadi dasar produksi vaksin dan obat-obatan. Biofarma misalnya, siap 84 memproduksi vaksin flu burung pada tahun 2012 secara mandiri dan ini penting guna mengantisipasi pandemi flu burung9. Biofarma hingga lima tahun ke depan juga akan mengembangkan sejumlah vaksin lain, yakni vaksin pentavalent untuk mencegah difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemophilus influenzae tipe B (Hib). Vaksin lain yang tengah dikembangkan juga ialah vaksin rotavirus untuk mengatasi masalah diare pada anak dan vaksin polio dalam bentuk injeksi. Mengingat kemampuan lembaga yang sangat terbatas dalam meneliti kasus kesehatan yang sangat banyak di seluruh Indonesia, maka telah didirikan laboratorium yang ada di 8 daerah regional, yakni; (a) Laboratorium UISU di Medan, (b) Labkesda Palembang, (c) Laboratorium Mikrobiologi UI di Depok, (d) Laboratorium Mirobiologi Undip di Semarang,(e) Labkes Ubaya di Surabaya, (f) Laboratorium Mikrobiologi Unud di Denpasar, (g) Labkesda Bandung, dan (h) Laboratorium Mirobiologi Unhas di Makassar. Laboratorium- laboratorium yang telah disiapkan ini sudah dilengkapi dengan tenaga medis yang dilatih secara khusus di Jakarta dan Singapura. Mereka yang telah dilatih itu nantinya diharapkan akan mampu menangani 9 Drs. Iskandar, Apt. MM pada acara temu media bertema ”121 Tahun PT (Persero) Biofarma: Mewujudkan Strategi Riset Nasional Dalam Kemandirian Produksi Vaksin” dalam Kompas 13 Mei 2011 85 kasus-kasus kesehatan yang dianggap sulit ditangani, terutama kasus flu burung yang saat ini sudah semakin menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa penelitian yang telah dikembangkan dalam kapasitas menanggulangi penyakit akibat perubahan iklim adalah penelitianpenelitian tentang penyakit menular akibat vektor seperti: flu burung, malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Penelitian lain adalah penyakit akibat gizi buruk dan penyakit akibat banjir seperti diare. Salah satu penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan mengalami penyebaran yang sangat cepat adalah flu burung. Penyakit ini timbul akibat lingkungan dan iklim yang berubah. Penyakit lain yang akhir-akhir ini mengalami perubahan dalam pola penyebaran dan intensitas kejadian adalah malaria. Nyamuk Anopheles yang semula hanya berada di dataran rendah, kini juga mulai berkembang ke arah dataran tinggi. Upaya pemberantasan malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab malaria yaitu nyamuk Anopheles. Untuk membunuh nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan penyemprotan rumah dan sekeliling rumah dengan racun serangga. Untuk membunuh larva dapat dilakukan dengan cara kimiawi dan hayati. Pemberantasan larva nyamuk Anopheles secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan larvasida. Pemberantasan 86 larva nyamuk Anopheles secara hayati dilakukan dengan menggunakan beberapa agen biologis seperti ikan pemakan jentik. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu udara dan curah hujan pada suatu daerah. Dengan tidak adanya sistem drainase yang baik maka akan terbentuk genangan-genangan air yang sangat cocok untuk tempat perkembangbiakan nyamuk – nyamuk tersebut. Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata pun dapat mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari fase telur menjadi nyamuk dewasa. Pada suhu 260 C diperlukan 25 hari untuk virus dari saat pertama nyamuk terinfeksi virus sama dengan virus dengue berada dalam kelenjar liurnya dan siap untuk disebarkan kepada calon penderita demam berdarah. Sebaliknya, hanya diperlukan waktu yang relatif pendek yaitu 10 hari pada suhu 30 0C. Faktor iklim yang panas dan lembab akibat musim hujan dapat memperpanjang umur nyamuk Aedes aegypti. Dengan berubahnya lingkungan dan iklim, nyamuk sebagai vektor penyakit juga terus mengalami pola perkembangbiakan sehingga mempengaruhi timbulnya penyakit-penyakit yang disebarkan olehnya. Dari berbagai riset di litbang Kemenkes, saat ini di Indonesia telah diketahui adanya 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, 87 Mansonia, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penularan penyakit kaki gajah. Perubahan iklim global juga dapat mengganggu ketahanan pangan. Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2oC sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akan berdampak besar terhadap sektor pertanian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Hal tersebut juga menyebabkan keterlambatan musim tanam yang berdampak pada hasil panen. Riset di berbagai lembaga kesehatan merekomendasikan perlunya penyusunan aksi terkait gizi buruk dan ketahanan pangan ini. Kementerian Kesehatan pernah menyusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk yang dikaitkan dengan target MDGs. Di bidang kesehatan masyarakat terkait dengan isu perubahan iklim, telah dilakukan berbagai program penelitian terkait vektor penyakit dan pengendaliannya serta upaya mengatasi gizi buruk dan manajemen wilayah terkait persebaran penyakit. Masalah utama untuk sektor ini adalah belum lengkapnya laboratorium di semua daerah apalagi dengan standar yang diharapkan. Namun bagusnya adalah walau tanpa isu perubahan iklim, riset-riset bidang kesehatan 88 masyarakat pada dasarnya akan selalu mengantisipasi munculnya penyakit baru dan menemukan obat atau vaksin penangkal serta pengembangan pengelolaan kesehatan masyarakat yang efektif dan efisien. f. Lembaga Swadaya Masyarakat ( Civil Society Organization - CSO) Selain lembaga atau sektor pemerintahan yang aktif dalam perencanaan maupun pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ada beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat maupun organisasi masyarakat lainnya yang peduli atau fokus pada aktivitas terkait perubahan iklim. Apa yang disajikan di sini hanyalah sebagian terutama yang cukup lama berkiprah atau memiliki fokus pada isu lingkungan, mengingat sebenarnya ribuan organisasi sejenis eksis di Indonesia. Yayasan Pelangi misalnya, adalah CSO yang banyak bergerak di isu-isu perubahan iklim khususnya sektor energi dan transportasi. Selain publikasi hasil kajian di sektor-sektor tersebut, Yayasan Pelangi sering mengikuti berbagai pertemuan internasional bidang perubahan iklim atau menjadi bagian dari delegasi resmi Pemerintah RI. Kemudian ada organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang sudah sejak lama berkiprah dalam isu lingkungan hidup khususnya isu-isu kehutanan (termasuk REDD/REDD+), Ruang Terbuka Hijau (RTH), 89 kasus-kasus pertambangan serta penegakan hukum lingkungan. Walhi termasuk memiliki sumberdaya dalam penelitian dan pengembangan yang hasil-hasilnya sering dipublikasikan. Kemudian ada CSO yang juga sudah cukup lama eksis dalam isu lingkungan hidup di Indonesia yakni Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Kehati banyak bergerak di tataran praktis seperti upaya konservasi dan pelestarian hutan serta keanekaragaman hayati. Terkini, Kehati juga bekerjasama dengan dunia usaha yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan meluncurkan suatu indeks yang sudah berlaku umum di negara-negara maju dengan mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI) dengan nama SRI-KEHATI. Indeks ini juga diciptakan sebagai barometer dimana investor dapat menginvestasikan dananya kepada perusahaan yang memiliki kesadaran terhadap lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan yang baik. Selain beberapa CSO yang ada di ibu kota negara, ada beberapa yang justru eksis dan memiliki pengaruh di daerah, sebagai contoh Combine Institute di Yogyakarta. Sejak tahun 2001, Combine Institute bergerak mendukung pengembangan media komunitas dan pemanfaatan Teknologi Informasi-Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari sistem dan jaringan pengembangan informasi dan komunikasi 90 komunitas. Pada awalnya, Combine melakukan fasilitasi dan bantuan teknis secara langsung bagi komunitas untuk mengembangkan sistem komunikasinya, salah satunya melalui radio komunitas. Sejalan dengan pesatnya perkembangan radio komunitas, maka sejak tahun 2004, Combine mulai mengintegrasikan dan membangun jaringan antar media komunitas untuk mempermudah proses pertukaran informasi dan pengetahuan dengan mengandalkan jaringan internet. Dengan membangun infrastruktur jaringan informasi berbasis komunitas akan memungkinkan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan dua arah, baik antar anggota komunitas maupun antara komunitas-komunitas dengan pihak lain seperti pengurus publik, penyusun kebijakan, pengambil keputusan publik (lihat Gambar 3.6). Bagi komunitas, pertukaran informasi dan pengetahuan (lokal) secara swakelola menguntungkan bukan hanya sebagai alternatif terhadap informasi arus utama sebagaimana ditampilkan dalam media nasional dan internasional, tetapi juga sebagai basis lokal untuk melakukan perubahan dalam kehidupannya. Selain itu mengartikulasikan kepentingan melalui wacana dan proses pengambilan keputusan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Bagi pemerintah dan pelaku ekonomi, jaringan ini turut menguntungkan dalam hal 91 diseminasi/sosialisasi kebijakan pemerintah secara efektif, penginderaan dini terhadap aspirasi masyarakat, dan pengembangan pengertian terhadap potensi produksi dan konsumsi masyarakat yang berada di dasar piramida ekonomi. Walau CSO ini tidak bergerak secara khusus dalam isu perubahan iklim, namun konsep jaringan kerjanya dapat menginspirasi bagi proses pertukaran dan diseminasi metode adaptasi perubahan iklim ke masyarakat atau kelompok-kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. up asi se ort as Nelayan e Pemerintah ora i n iinform rta asi l ap Habitat informas po rep n re ad lo inform as e o rt ora Pemerintah Media Komunitas i l ap Sekolah Media Komunitas d re p rma s d up info oa oa Pertanian l wn nl w do do lo ad www.suarakomunitas.net Pelaku Bisnis Komunitas Umum Mahasiswa Sumber : Combine Institute, 2010 Gambar 3.6 Jejaring Berbagi Informasi Rancangan Combine 92 Dalam kaitan ini pengalaman Australia juga bisa dijadikan contoh, tentang bagaimana organisasi non pemerintah dapat berperan dalam diseminasi pengetahuan dan teknologi terkait perubahan iklim khususnya bagi para petani. Jika dalam 3 tahun lalu (2008) kebanyakan petani di Australia masih belum menganggap perubahan iklim akan berpengaruh pada produktivitas mereka, tetapi kini mereka mulai yakin bahwa diperlukan teknik dan metode baru dalam pertanian untuk beradaptasi dengan iklim yang telah berubah. Melalui program Managing Climate Variability dilakukan tiga pendekatan program yang diluncurkan organisasi non-pemerintah Econnect yakni10; (a) mengkaji keinginan dan pemahaman perubahan iklim di mata petani, (b) meluncurkan website yang inovatif yang didesain khusus untuk keperluan petani bernama Climate Kelpie (www.climatekelpie.com.au), dan (c) merancang program ‘Climate Champion’. Program tersebut dibangun atas asumsi dan pemahaman bahwa banyak petani akan mengubah kebiasaan mereka berdasarkan apa yang dilakukan pimpinan petani di wilayah mereka. Adapun tujuan program adalah: (a) Mendapatkan informasi atau hasil suatu penelitian yang berkaitan dengan iklim dari petani lain atau dari wilayah pertanian lainnya, (b) Mendapatkan informasi langsung dari petani 10 Jenni Metcalfe (Econnect Australia), pada Public Communication of Science & Technology International Symposium 2011, “Science communication research informing practice; Case Study: Australia farmers involved in climate change introduction”, Jakarta November 2011 93 tentang apa yang mereka butuhkan agar lebih baik lagi dalam mengelola resiko iklim termasuk alat dan teknologinya. 3.4 Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim Buku Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim ini merupakan hasil kajian Dewan Riset Nasional guna memberi masukan, arah dan prioritas riset nasional khususnya dalam adaptasi perubahan iklim. Kajian dilakukan dengan pendekatan merujuk dan mempertimbangkan beberapa dokumen nasional yang telah ada seperti Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN PI, 2007) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup, kemudian adanya Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR, 2009) yang dikeluarkan Bappenas. Pada sisi lain juga telah disusun dan didaftarkan ke IPCC dokumen Second National Communication (SNC, 2009) yang berisi posisi besaran emisi tiap sektor di Indonesia yang disusun KLH dan UNIDO. Untuk kajian kebutuhan teknologi baik mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim telah ada Technology Needs Assessment (TNA, 2009) yang disusun BPPT beserta beberapa instansi terkait, dimana saat ini sedang dilakukan review dalam bentuk TNA Global dengan mempertajam kebutuhan teknologi untuk mitigasi sektor hutan, energi dan limbah serta adaptasi untuk sektor pertanian, sumberdaya air dan kelautan. Rujukan yang juga penting untuk diperhatikan adalah arah dan 94 prioritas riset nasional yang ada dalam ARN 2010-2014, sehingga hasil kajian ini bersifat saling melengkapi dengan ARN. Rujukan di atas berguna dalam menentukan arah kajian agar identifikasi dan prioritasi riset yang direkomendasikan dapat efektif serta mendukung pada sasaran dari Rencana Aksi Nasional. Sebagai referensi juga dilakukan kajian pustaka dan data sekunder dari kajian sejenis di luar negeri. Setelah seluruh identifikasi tema riset dilaksanakan maka tahap selanjutnya adalah melakukan survei ke lembaga-lembaga riset terkait kapasitasnya dalam melaksanakan riset adaptasi perubahan iklim. Melalui analisis kesenjangan (gap analysis), tema-tema riset yang telah diidentifikasi lalu dilakukan prioritasi dan pengelompokkan didukung expert judgement. Gambar 3.6 memperjelas pendekatan kajian dalam menentukan arah dan prioritas riset adaptasi perubahan iklim ini. 95 Kerangka Rujukan: - RAN PI 2007 (KLH) - ICCSR 2009 (Bappenas) - SNC 2009 (KLH & UNIDO) - TNA 2009 (BPPT & GTZ) - Studi-studi DNPI - RAN – GRK - ARN 2010 - 2014 Pengalaman/Studi eksisting: - Peranan Iptek Dalam Menjawab Perubahan Iklim - Iptek Untuk Pengurangan Emisi GRK dalam Mendukung Low Carbon Growth - Penyusunan ARN - dll Iptek IptekUntuk UntukAdaptasi Adaptasi Perubahan PerubahanIklim Iklim (DRN) (DRN) Isu-Isu Lintas Sektor (Cross cutting issues), kapasitas teknologi sektor dan aspek kebijakan Tugas, Fungsi dan PeranDRN National Research Council negara lain (benchmarking) Gambar 3.7 Diagram Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim 96 BAB IV PRIORITAS TEMA RISET DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 4.1 Riset Bidang Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam Prioritas Kabinet Indonesia Bersatu II, pembangungan sektor pangan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan melanjutkan revitalisasi pertanian dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Salah satu ancaman terkini terhadap sasaran sektor ini adalah perubahan iklim yang membawa dampak negatif bagi sektor pertanian. Walau pangan tidak hanya padi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia yang makanan pokoknya beras, menjadi penting untuk memberi perhatian lebih pada riset-riset terkait sistem tanam padi. Dari berbagai dokumen resmi yang ada serta hasil survei dan wawancara dengan pemangku kepentingan serta sektor pertanian itu sendiri, maka fokus riset adaptasi untuk keamanan pangan ditujukan 97 pada ketersediaan sumberdaya pangan dan sumberdaya air. Kata kunci untuk sumberdaya pangan adalah adanya bibit padi unggul, lahan yang sesuai, serta kalender pola tanam. Penyediaan bibit padi yang tahan perubahan iklim seperti banjir dan kekeringan sudah disebut dalam dokumen TNA (2009) dan ICCSR Bappenas (2010). Sedangkan untuk sumberdaya lahan, misal dalam pemanfaatan lahan sub optimal atau rehabilitasi lahan, selain tercantum dalam ICCSR juga telah disebut dalam ARN 2010-2014. 4.1.1 Sumberdaya Pangan Untuk riset bidang sumberdaya pangan bagi adaptasi perubahan iklim, setidaknya ada 5 (lima) tema riset yang menjadi prioritas yakni; (a) teknologi rekayasa iklim mikro, (b) pengembangan varietas tanaman pangan dan hortikultura yang adaptif melalui kultur jaringan, (c) pembuatan peta kalender pola tanam, (d) teknologi diversifikasi pangan dan (e) pengembangan ternak dan pakan ternak yang adaptif terhadap perubahan iklim. Ke lima tema riset tersebut perlu dapat dirinci apa yang menjadi tema utama dan pendukung serta lembaga mana yang berkompeten, selengkapnya disajikan dalam Tabel 4.1 4.1.2 Sumberdaya Air Bidang sumberdaya air sangat vital dalam menunjang sistem pertanian dan karenanya juga faktor penting dalam keamanan pangan. Pada TNA 98 2009, bidang ini tidak muncul dalam satu sektor tersendiri namun berada dalam sektor pertanian. Namun demikian dalam dokumen ICCSR, sumberdaya air justru muncul dalam satu sektor tersendiri. Pentingnya sumberdaya air terkait pada dua hal yakni ketersediaan air bersih untuk dikonsumsi dan pengelolaan air pengairan (irigasi) bagi sawah. Semakin langkanya air yang layak dikonsumsi maka memunculkan wacana untuk memanen air hujan dan mendaur ulang air di perkotaan. Setidak ada 5 (lima) teknologi adaptasi sumberdaya air yang harus didukung dengan berbagai riset, yakni; (a) teknologi pemanenan air hujan (rainwater harvesting), (b) teknologi peningkatan kualitas air permukaan (waduk, sungai, danau), (c) teknologi daur ulang air, (d) water resource management, (e) teknologi pengolahan air. Tabel 4.1 memperlihatkan prioritas riset adaptasi bidang sumberdaya air, termasuk lembaga litbang mana yang berkompeten untuk melakukannya. 4.2 Riset Bidang Kerentanan Pesisir Seperti dalam pembahasan sebelumnya setidaknya ada tiga hal yang perlu diwaspadai dalam kaitan perubahan iklim terhadap wilayah pesisir dan lautan yakni kenaikan temperatur air laut, kenaikan paras muka laut dan produktivitas perikanan. Metode adaptasi yang penting 99 dalam mengantisipasi kenaikan temperatur air laut ini antara lain dengan membuat sistem peringatan dini untuk coral bleaching dan membuat terumbu karang buatan. Sedangkan terjadinya kenaikan paras muka laut diantisipasi dengan perlindungan pantai secara fisik (hard structure, soft structure dan alamiah) kemudian juga perlindungan pantai secara non fisik misalnya dengan membuat peta rawan bencana dan kajian tingkat resiko dari kenaikan muka laut. Selain itu penting juga diperhatikan tentang aspek tata ruang beserta pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu. Pengelolaan kawasan yang berbasis penataan ruang dengan prinsip Integrated Coastal Zone Management perlu didukung dengan berbagai kajian atau riset seperti sistem penataan untuk penetapan kawasan mundur, dampak sosial ekonomi akibat pemunduran kawasan termasuk penataan utilitas seperti drainase dan penyediaan air bersih. Sementara untuk produktivitas perikanan yang rentan terhadap perubahan lingkungan perlu didukung riset-riset seperti budidaya dalam keramba jaring apung, vaksin ikan dan penanganan terhadap hama dan penyakit ikan. Selain itu kita juga perlu memiliki peta potensi kawasan budidaya baru serta optimasi sistem penangkapan ikan misal dengan memanfaatkan teknologi satelit. Tabel 4.1 menampilkan beberapa riset utama dan pendukung dalam sektor kerentanan pesisir terhadap dampak perubahan iklim. 100 4.3 Riset Bidang Kesehatan Masyarakat Dalam ARN 2010-2014 fokus utama riset kesehatan masyarakat merupakan bagian dari tema-tema riset dari salah satu 6 bidang fokus yakni teknologi kesehatan dan obat. Dasar perumusan tema riset dalam ARN adalah target MDGs tahun 2015 yang tertuang dalam strategi pembangunan Iptek RPJMN 2010-2014. Adapun arah kebijakan umum riset bidang fokus pembangunan kesehatan dan obat tahun 2010-2014 adalah; (1) Perbaikan gizi masyarakat, (2) Peningkatan ketersediaan obat dan pemanfaatan obat tradisional, (3) Pengendalian penyakit menular, (4) Penganggulangan penyakit tidak menular, (5) Peningkatan kampanye hidup sehat dan lingkungan bersih, (6) Peningkatan kualitas dan utilisasi kesehatan dasar dan rujukan. Berdasarkan arah kebijakan umum riset tersebut dan kajian atas berbagai dokumen nasional seperti ICCSR 2010 dan TNA 2009, maka riset-riset strategis sektor kesehatan masyarakat yang bersinggungan dengan perubahan iklim meliputi tema-tema pola penyebaran dan penanggulangan penyakit menular (malaria, TBC, HIV/AIDS dan BDB), penyakit degeneratif (jantung, diabetes, hipertensi dan kanker), perbaikan gizi dan penanggulangan malnutrisi, penyakit zoonosis, dan peningkatan promosi hidup sehat melalui pemberdayaan masyarakat terkait memburuknya sanitasi lingkungan akibat berbagai bencana. 101 Riset terhadap penyakit menular difokuskan pada penyakit-penyakit yang rentan terjadinya perubahan pola penyebaran maupun intensitas penularan seperti malaria, tuberkulosis, HIV dan demam berdarah dengue. Sementara untuk penyakit tidak menular utamanya adalah penyakit penyebab kematian tertinggi seperti jantung, diabetes, hipertensi dan kanker. Tabel 4.1 memperlihatkan riset-riset tematik untuk adaptasi perubahan iklim sektor kesehatan masyarakat. 102 Tabel 4.1 Tema-tema Riset Untuk Adaptasi Perubahan Iklim NO. 1. SEKTOR Keamanan Pangan POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT Ketersedia. aan sumberda ya pangan Penerapan teknologi rekayasa iklim mikro Riset utama: Sistem penciptaan iklim mikro yang khas wilayah dan khas tanaman Balitbang Pertanian (Kementan), Perguruan Tinggi, Batan, BMKG b. Pengemban gan varietas tanaman pangan dan hortikultura yang adaptif melalui kultur jaringan c. Riset pendukung: - Pengaruh modifikasi iklim mikro terhadap tanaman pangan dan hortikultura - Konservasi lengas tanah melalui rekayasa lingkungan pada lahan pantai berpasir Balitbang Pertanian (Kementan), Perguruan Tinggi, Batan Riset utama: Penemuan varietas tanaman pangan dan hortikultura tahan terhadap kekeringan dan banjir 103 Riset pendukung: - Pemetaan wilayah prioritas untuk pengembanga n dan introduksi varietas tahan tekanan iklim - Kajian aspek sosial ekonomi dari varietas baru Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT d. Pengemban gan dan penyusunan peta dan kalender pola tanam. Riset utama: Pengembangan kalender tanaman dinamik, pada wilayah sensitif terhadap perubahan iklim Balitbang Pertanian (Kementan), Balitbang SDA PU, Perguruan Tinggi, BMKG e. Diversifikasi pangan Riset pendukung: Penyusunan peta wilayah rawan kekeringan dan banjir Balitbang Pertanian (Kementan), Perguruan Tinggi, BPPT, LIPI f. 104 g. Pengemban gan ternak dan pakan ternak yang adaptif terhadap perubahan iklim Riset utama: Penemuan sumber pangan alternatif (sagu, ubi-ubian dan bijibijian). Balitbang Pertanian (Kementan), Perguruan Tinggi, Riset pendukung: - Pangan praktis untuk darurat bencana . - Aspek Sosekbu d pangan alternati f Riset utama: Penelitian galur ternak ruminansia dan yang sesuai untuk dibudidayakan pada kondisi lahan sub-optimal Riset pendukung: Teknik budidaya tanaman pakan ternak menghadapi kondisi kekeringan 105 Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI Sumberdah. Pemanenan ya Air Air Hujan (Rainwater harvesting) i. Peningkatan kualitas air permukaan (waduk, sungai, danau) RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT Riset utama: Pemulihan tinggi muka air tanah (aquifer recovery) Balitbang Pertanian, ESDM Balitbang PU Riset pendukung: - Teknik imbuhan air tanah dangkal dengan sumur resapan - Teknik imbuhan air tanah dalam dengan injeksi pompa - Konstruksi/mod el embung - Struktur kolam resapan - Water harvesting skala rumah tangga BPPT, LIPI, Litbang PU, Libang Pertanian Riset utama: - Pengolahan air limbah perkotaan (domestik dan industrial) - Model sedimentasi akibat erosi 106 Riset pendukung: - Pengaruh green belt - Fitoteknologi untuk purifikasi air - Biomonitoring perairan Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT j. Penerapan teknologi daur ulang air Riset utama: Sistem daur ulang air domestik dan industrial efisiensi tinggi Balitbang Pertanian, ESDM, BPPT, LIPI Balitbang SDA PU Integrated manageme nt water resource manageme nt Riset pendukung: Riset material membran Riset bahan kimia pengolah air Riset sosekbud penggunaa n air daur ulang Litbang SDA PU, Litbang Pertanian, BPPT, Perguruan Tinggi 107 Teknologi pengolahan air baku menjadi air minum Riset utama: Inventarisasi sumberdaya air dan pembuatan neraca air Litbang SDA PU, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi, Litbanng Swasta Riset pendukung: - Pemodelan sumberdaya air - Teknologi modifikasi cuaca - Sistem informasi sumberdaya air Riset utama: Peningkatan efisiensi sistem pengolahan air Riset pendukung: - Penanganan sludge sisa pengolahan - Air minum mobile kawasan bencana 108 Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. 2 SEKTOR Kerentanan Pesisir POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI Kenaikan k. Sistem Temperat peringatan ur Air Laut dini terjadinya coral bleaching. Terumbu karang buatan (artificial coral reef) Kenaikan paras muka laut Pembuatan bangunan fisik pelindung pantai RISET UTAMA DAN PENDUKUNG Riset utama: Parameter penting dalam coral bleaching dan pengembangan sistem monitoring kontinyu. Riset pendukung: Korelasi coral bleaching dan produktivit as perikanan Riset sensor dan telemetri Riset utama: Inovasi material terumbu karang buatan LEMBAGA LITBANG TERKAIT Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, LEN Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi Balitbang KKP, Balitbang SDA PU, BPPT, Perguruan Tinggi Riset pendukung: Kajian sosekbud terumbu karang buatan Peta potensi penerapan terumbu 109 karang buatan Riset utama: Pemodelan kenaikan muka air laut pada beberapa tipologi pantai di Indonesia Riset pendukung: Kajian kesesua ian sea wall tiap wilayah Material bangun an pantai yang efektif Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG l. Perlindunga n pantai secara nonfisik Riset utama: Pemetaan wilayah-wilayah pesisir rawan bencana LEMBAGA LITBANG TERKAIT Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, LEN Riset pendukung: Kajian 110 Pengelolaa n kawasan pesisir tingkat resiko dan dampak kenaikan muka laut Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi Riset utama: Tata ruang dan geospasial dalam antisipasi perubahan iklim Riset pendukung: Pemodelan akibat intrusi air laut Penataan ulang terkait pemundura n kawasan dan dampak sosekbud. Model pemberday aan masyarakat pesisir 111 Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI Produktivim. Penerapan tas teknologi perikanan marikultur Penerapan budidaya perikanan adaptif perubahan iklim RISET UTAMA DAN PENDUKUNG Riset utama: Pengembangan konsep Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) Riset pendukung: - Kajian hama dan penyakit baru ikan - Teknologi keramba jaring apung Riset utama: Bioteknologi untuk pembibitan ikan yang adaptif perubahan iklim LEMBAGA LITBANG TERKAIT Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, Fakultas Kelautan & Perikanan Universitas Balitbang Kelautan Perikanan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi Riset pendukung: Peta kawasan potensi budidaya Kajian budidaya ikan laut tangkap Kajian pangan alternatif berbasis 112 perikanan Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. 3 SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT Kesehatan Masyarakat Intensitas Kejadian Penyakit Menular Penerapan Bioteknologi dan biologi molekuler Riset utama: Riset kandidat vaksin dan kit diagnostik potensial penyakit menular utama (Malaria, DBD, HIV, TB, SARS) Balitbang Kesehatan, Biofarma, Lembaga Eikjman Penerapan Epidemiologi klinis Riset pendukung: - Teknik deteksi dini dan penentuan prognosis penyakit - Pengembang an model EWORS (early warning outbreak recognition Balitbang Kesehatan, Biofarma, Universitas Balitbang Kesehatan, BPPT, Perguruan Tinggi 113 system) Riset utama: Pola penyebaran dan intensitas penularan dari penyakit malaria, DBD, HIV, TB, SARS Riset pendukung: Model hubungan parameter fisik iklim dan intensitas penularan Pemanfaat an GIS/RS untuk pengelolaa n wilayah untuk tujuan kesehatan 114 Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT Peningkat an Kasus Penyakit Degenerat if Pengemban gan segi klinis praktis, tata laksana dan eksperimen tal molekuler. Riset utama: Pengembangan sel punca-dewasa (adult stem cell) Balitbang Kesehatan, Biofarma, Lembaga Eikjman, FK Universitas Masalah gizi dan malnutrisi Peningkatan status gizi masyarakat Riset pendukung: - Riset sistem metabolik Riset utama: Pengembangan teknik nutrigenomik untuk melihat korelasi genetik dan status gizi Balitbang Kesehatan, Lembaga Eijkman, FK Universitas Pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) berbasis masyarakat Riset pendukung: Riset-riset pangan alternatif Sosial kemanusiaa n menuju paradigma hidup sehat Pengemban gan bahan 115 - alami untuk pangan atau obat Teknikteknik SKPG agar lebih efektif Tabel 4.1 (Lanjutan) NO. SEKTOR POTENSI DAMPAK METODE ADAPTASI RISET UTAMA DAN PENDUKUNG LEMBAGA LITBANG TERKAIT Peningkat an Kasus Penyakit Zoonosis Promotif, preventif dan pengendalia n faktor risiko zoon osi Riset utama: Penelitian korelasi antar vektor, reservoir dan penyakit Badan Pengembangan Penelitian Vektor dan Reservoir (B2P2VRP), Balitbang Kesehatan Masalah sanitasi lingkunga n dan tingkat kesehatan masyarak at Pengemban gan teknologi tepat guna untuk sanitasi lingkungan Riset pendukung: - Model pengendalian vektor, reservoir dan penyakit - Identifikasi spesies organisme penyakit yang bersifat patogen bagi manusia Balitbang Kesehatan, Balitbang SDA PU, BPPT, LIPI, Universitas Riset utama: 116 Pengembangan teknologi tepat guna untuk pengolahan air dan pengolahan limbah rumah tangga unit yankes dan industri. Riset pendukung: Model penyehatan dan Peningkata n Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Teknologi sanitasi pedesaan Pengelolaa n sampah rumah tangga dan skala kawasan 117 Metode Adaptasi*) Pengelolaan SDAir ● Pemanenan Air hujan Daur ulang air ● Diversifiasi Pangan Pakan ternak ● ● Kualitas air permukaan ● Pengolahan Air Baku ● EWS coral bleaching 118 ● ● Sanitasi lingkungan Penyakit zoonosis Gizi buruk & malnutrisi Kerentanan Pesisir Penyakit degeneratif Penyakit menular Budidaya ikan adaptif iklim Teknologi marokultur Pengelolaan kawasan Perlindungan non-fisik Perlindungan fisik Keamanan Pangan Artificial reef EWS coral bleaching Pengolahan Air Baku Pengelolaan SDAir Daur ulang air Kualitas air permukaan Pemanenan Air hujan Pakan ternak Diversifiasi Pangan Kalender pola tanam Varietas adaptif iklim Rekayasa Iklim Mikro Tabel 4.2 Matrik Keterkaitan Riset Adaptasi Perubahan Iklim Kesehatan Rekayasa Iklim Mikro Varietas adaptif iklim Kalender pola tanam ● ● ● ● ● ● Artificial reef Perlindungan fisik Perlindungan non-fisik ● Pengelolaan kawasan Teknologi marikultur Budidaya ikan adaptif iklim Penyakit menular ● ● ● ● ● ● ● Penyakit degeneratif Gizi buruk & malnutrisi ● ● ● Penyakit zoonosis Sanitasi lingkungan *) ● ● ● ● ● Metode adaptasi diambil dari kolom ke-4 dalam Tabel 4.1 119 4.4 Riset Lintas Bidang (Cross-cutting issues) Pendekatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia memang bersifat sektoral. Namun demikian mengingat permasalahan perubahan iklim adalah kompleks dan tidak dapat diantisipasi melalui satu sektor tertentu saja, maka kata kuncinya adalah perlunya koordinasi dan pelaksanaan program yang bersifat lintas sektoral. Ini berlaku bukan saja bagi adaptasi tetapi juga dalam tindakan mitigasi. Mengingat metode adaptasi juga bisa bersinggungan antar satu sektor dengan sektor lainnya, maka riset-riset dalam adaptasi perubahan iklim juga berpotensi terjadi overlapping. Masalah kebutuhan akan keamanan pangan akan sangat terkait erat dengan pemenuhan gizi untuk mencegah malnutrisi. Ini berarti risetriset pangan alternatif harus diarahkan untuk mendapatkan pangan dengan kandungan gizi yang tinggi. Demikian pula riset untuk pengelolaan sumberdaya air termasuk pengolahan air adalah juga dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat dan keamanan pangan. Kemudian riset-riset terkait upaya perlindungan fisik pantai atas kenaikan paras muka laut adalah juga untuk memproteksi sumberdaya lahan yang potensial sebagai sumberdaya pangan. Perlindungan pantai baik fisik dan non fisik merupakan bagian dari pengelolaan kawasan pantai yang akan meningkatkan kesehatan masyarakat pesisir misal dengan menekan salinitas air, mencegah 120 berkembangnya vektor penyakit maupun peningkatan sanitasi lingkungan secara keseluruhan. Contoh keterkaitan ini juga bisa bersifat tidak langsung, seperti perlindungan terhadap terumbu karang atau penerapan terumbu karang buatan akan meningkatkan atau memulihkan kembali potensi perikanan, ini berarti menunjang keamanan pangan dan pemenuhan gizi masyarakat. Secara matrik, hubungan antar sektor atau bidang adaptasi ini diperlihatkan dalam Tabel 4.2. Tentu akan masih banyak lagi keterkaitan antar tema riset adaptasi, termasuk juga keterkaitan antara mitagasi dan adaptasi. Namun demikian, disebabkan terbatasnya waktu dan sumberdaya, maka kajian ini dibatasi pada penentuan setidaknya 5 metode adaptasi untuk kemudian dimatrikkan sebagaimana dalam Tabel 4.2. Dengan demikian sebenarnya melalui pemetaan dalam tabel 4.2 tersebut, efektivitas dan efisiensi riset dapat dicapai. 121 BAB V PENUTUP Selain ditujukan untuk meningkatkan daya saing bangsa, pembangunan iptek hakekatnya juga untuk mengatasi berbagai persoalan terkait interaksi manusia dengan lingkungan dimana ia tinggal. Ancaman perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global merupakan problem yang harus segera diantisipasi termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama ini kita sering terfokus pada upaya mitigasi, padahal Indonesia sebenarnya termasuk negara yang tidak terkena kewajiban menurunkan emisi GRK, serta rentan dalam menerima dampak perubahan iklim. Namun kita masih kurang dalam memberikan perhatian pada upaya adaptasi termasuk dalam pengembangan iptek adaptasi perubahan iklim. Sebenarnya beberapa lembaga riset di Indonesia telah memulai risetriset atau perekayasaan dalam rangka adaptasi perubahan iklim jauh sebelum munculnya isu perubahan iklim seperti pencarian energi alternatif yang dipicu krisis energi fosil. Penelitian diversifikasi pangan terkait makin sempitnya lahan untuk tanaman padi. Demikian pula dengan riset-riset terkait air bersih yang secara alamiah dipicu makin langkanya sumber air baku, walau ini bisa diartikan sebagai riset adaptasi. Namun demikian secara umum, riset-riset terkait perubahan 122 iklim baik bersifat mitigasi atau adaptasi ini tidak terpublikasikan dengan baik serta kurang terkoordinasi sehingga sering terjadi duplikasi atau kurang tepat sasaran. Dengan demikian perlu dipikirkan bagaimana agar riset-riset yang telah dan sedang berjalan di berbagai lembaga saat ini, dapat dilaksanakan dan terkoordinir lebih baik lagi. Guna mengatasi permasalahan tersebut dan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dalam buku ini, maka rekomendasi dari hasil kajian ini antara lain; a. Perlu adanya koordinasi substansi riset oleh DNPI sebagai focal point isu Perubahan Iklim di Indonesia. b. Perlu adanya penggalangan pendanaan internasional oleh DNPI untuk kerjasama riset perubahan Iklim di Indonesia. c. Membangun suatu lembaga infrastruktur yang mengkoordinasi pengadaan dan pemanfaatan infrastruktur riset perubahan iklim, dengan cara: – Memperkuat infrastruktur lembaga riset yang sudah ada dengan diberi wewenang untuk menjadi koordinator riset perubahan iklim; atau – Membuat lembaga koordinasi baru d. Dalam jangka pendek perlu dibuat mekanisme koordinasi yang dilengkapi infrastruktur serta berbagai instrumen penunjang 123 (misal basis data bersama) yang dapat digunakan juga sebagai penunjang kerjasama atau negosisasi iklim di tingkat internasional. Dalam tataran praktis saat ini, metode koordinasi antar kegiatan riset dapat memanfaatkan fasilitas OMRC (Open Method Research Coordination) suatu aplikasi database berbasis web terintegrasi yang telah dikembangkan DRN. e. Dalam jangka pembelajaran menengah perlu masyarakat dibangun (learning pusat-pusat center) guna mengefektifkan diseminasi metode adaptasi bagi masyarakat yang rentan terkena dampak perubahan iklim bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah yang telah memiliki sistem dan jejaring berbasis masyarakat. f. Dalam jangka panjang, seluruh riset maupun kerekayasaan adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk reduction) sebagai satu kesatuan strategi adaptasi. Sebagai pelengkap rekomendasi pada butir (d) dan (e) di atas, maka suatu konsep jejaring dalam riset adaptasi perubahan iklim dan diseminasi hasil-hasil risetnya dapat diilustrasikan dalam Gambar 5.1. 124 Internet based Pusat Informasi Adaptasi Perubahan Iklim (DNPI) Balitbang Kementerian Media Komunikasi (mis. OMRC-DRN) Media Komunikasi (mis. Radio komunitas, internet dll.) BPPT Kel. Nelayan Kel. Petani BMKG LIPI LAPAN Universitas LSM/NGO Komunitas rentan Pemkot/ Pemkab Kel. Petambak Gambar 5.1 Konsep Jejaring Arus Informasi dan Diseminasi Hasil Riset Adaptasi Perubahan Iklim 125 DAFTAR PUSTAKA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) & GTZ. 2009. Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation – Synthesis Report. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2011. Grand Strategy Pengembangan Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklimn – Final Report Bappenas. 2011. Strategi Nasional REDD+. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Bappenas. 2010. National Development Responses to Climate Change. Jakarta. Planning: Indonesia Bratasida, L. 2010. Low Carbon Development Path in Indonesia: Challenges and Oppotunities. Bahan presentasi pada Asia-Pacific Business Forum (APBF) April 2010, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) Combine Resource Institution. 2010. Annual Report 2010. Yogyakarta US CDIAC. 2004. Fossil Fuel CO2 Emission by Nation. Diakses 29 April 2011 di http://co2now.org/Know-GHGs/Emissions Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). 2010. Kurva Biaya (Cost Curve) Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia. 126 Dewan Riset Nasional. 2010a. Agenda Riset Nasional 2010-2014. Jakarta Dewan Riset Nasional. 2010b. Peranan Iptek Dalam Menjawab Pemanasan Global. Jakarta Deal, C. 2007. Climate Change Technology Transfer: Opportunity in the Developing World. WISE, Washington. Diposaptono, S., Budiman, F. Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. PT. Sarana Komunitas Utama. Bogor Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA). 2007. REDD Indonesia. UNCCC, IFCA, Ministry of Forestry, Republic of Indonesia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Strategi REDD Indonesia Fase Readiness 2009 – 2012 dan Progress Implementasinya. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, AUSAID, GTZ, ITTO, The Nature Conservacy Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia 127 KLH, GTZ dan WWF. 2007. Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sektor Pesisir dan Laut. Technical Document. Ministry of Forestry, Republic of Indonesia. 2008. IFCA Consolidation Report: REDD in Indonesia. Forestry Research and Development Agency (FORDA) & Ministry of Forestry, Republic of Indonesia Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2009. Indonesia Second National Communication (SNC) Under the United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) – Final Report Ministry of Energy and Mineral Resources. 2010. National Appropriate of Mitigation Actions (NAMAs), Jakarta. Ministry of Finance, Republic of Indonesia. 2009. Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia – Ministry of Finance Green Paper. National Development Planning Agency (Bappenas). 2009. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) – Synthesis Report. National Research Council, USA. 2001. Climate Change Science: An Analysis of Some Key Questions, Washington D.C PRISMA. 2010. Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban. LP3ES. Vol.29 April 2010. UNEP & WMO. 2007. Climate Change 2007 – The Physical Science Basics, Summary for Policymakers, Technical Summary and FAQ, 2007 128 State Ministry for the Environment and UNDP. 2000. The First National Communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change, Jakarta. State Ministry for the Environment Republic of Indonesia. 2001. Identification of Less Greenhouse Gases Emissions Technologies in Indonesia, Jakarta. State Ministry for the the Environment Republic of Indonesia. 2009. Indonesia Second National Community under the UNFCCC, Jakarta. 129 TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT: Pengarah : Tusy A.Adibroto Koordinator : Hartaya Desain Sampul dan Tata Letak : Syarif Budiman 130