- Dewan Riset Nasional

advertisement
IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM:
Kajian Kebutuhan Tema Riset Prioritas
i
IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM:
Kajian Kebutuhan Tema Riset Prioritas
© Penerbit Dewan Riset Nasional
Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340
Penyusun:
Tusy A. Adibroto
Wahyu Purwanta
Ressy Oktivia
Diah Asri Erowati
Feddy Suryanto
Sudaryono
Rudy Nugroho
Hartaya
Saraswati Diah Rini H.
Penyunting:
Tusy A.Adibroto
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Dewan Riset Nasional
Jakarta, 2011
www.drn.go.id
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978-979-9017-30-7
ii
KATA PENGANTAR
Berbagai dokumen kebijakan, penelitian dan laporan kegiatan
menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mendapatkan perhatian di
Indonesia. Dampak perubahan iklim memang dirasakan oleh kita semua,
seperti terjadinya banyak bencana alam seperti curah hujan yang tidak biasa,
kebanjiran, kekeringan, yang menunjukkan adanya peningkatan baik dari sisi
frekuensi maupun intensitasnya.
Dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014, perubahan iklim juga
mendapatkan perhatian, terlihat dengan adanya topik riset khususnya pada
bidang fokus Ketahanan Pangan melalui tema riset adaptasi dan antisipasi
terhadap perubahan iklim.
Topik-topik tersebut antara lain ialah
pengembangan model prediksi perubahan iklim yang berpengaruh nyata
terhadap produksi tanaman pangan, investigasi pola migrasi dan daerah
pemijahan ikan akibat perubahan iklim, serta pengkajian pengaruh
pengembangan pola pertanian, peternakan dan perikanan terhadap emisi
dan penyerapan karbon. Demikian pula beberapa topik riset mengenai
adaptasi terhadap perubahan iklim dicantumkan pada bidang fokus
Kesehatan dan Obat.
Di samping itu, dalam ARN 2010-2014 tertera Semangat
Pembangunan Iptek yang meliputi 3 aspek dengan pendekatan lintas sektor,
yaitu pertama pro-poor technology, dimaksudkan agar pengembangan
bidang iptek juga berkontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan.
Kedua, berorientasi pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara maritim,
serta ketiga, berorientasi pada upaya agar dalam pembangunan ekonomi
untuk kesejahteraan rakyat juga memperhatikan kelestarian lingkungan
khususnya yang berhubungan dengan perubahan iklim. Kajian yang
dituangkan di dalam buku Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim di
Indonesia ini memberikan perhatian khususnya untuk aspek ketiga.
Kajian yang dilakukan mencoba melihat sejauh mana hasil-hasil riset
anak bangsa yang berkaitan dengan adaptasi terhadap perubahan iklim
sudah dilakukan.
Juga meninjau bagaimana seharusnya riset dapat
iii
berkontribusi pada upaya-upaya pemerintah dalam menangani dampak
perubahan iklim, maupun dikaitkan dengan aktivitas yang serupa pada skala
global, serta upaya-upaya apa yang sebaiknya dilakukan agar seluruh lapisan
masyarakat dapat ikut serta dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih atas kerjasama,
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang memungkjinkan terbitnya
buku ini. Semoga buku ini bermanfaat
Jakarta, Oktober 2011
Ketua Dewan Riset Nasional
Prof.Dr.Ir. Andrianto Handojo
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... ...........................................................................................III
DAFTAR ISI...........................................................................................................V
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................VII
DAFTAR TABEL....................................................................................................IX
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................X
BAB I ............................................................................ .......................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG....................................................................................................1
1.2. TINJAUAN ASPEK ILMIAH PERUBAHAN IKLIM.................................................................4
1.2.1 FENOMENA DAN PENYEBAB PERUBAHAN IKLIM...........................................................4
1.2.2 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM..................................................................................10
1.3. KONVENSI PBB DAN PROTOKOL PERUBAHAN IKLIM.....................................................21
BAB II..................................................................................................................27
PROGRAM NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM.......................27
2.1. RENCANA AKSI NASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM.........................................27
2.2. INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA NASIONAL....................................................28
2.3. KAJIAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI.................................32
2.4. ROADMAP SEKTORAL UNTUK PERUBAHAN IKLIM........................................................44
2.5. KEBIJAKAN NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA.......................................48
BAB III................................................................................................................52
PERAN IPTEK DALAM ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM........................52
3.1. PENTINGNYA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM BAGI INDONESIA.........................................52
3.2. PERAN IPTEK DALAM MENJAWAB PERUBAHAN IKLIM...................................................55
3.3. KAPASITAS LITBANG NASIONAL................................................................................60
3.4. PENDEKATAN KAJIAN IPTEK UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM...................................94
v
BAB IV ...............................................................................................................97
PRIORITAS TEMA RISET DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM..........................97
4.1. RISET BIDANG KEAMANAN PANGAN.......................................................................97
4.1.1. SUMBERDAYA PANGAN.....................................................................................98
4.1.1. SUMBERDAYA AIR............................................................................................98
4.2. RISET BIDANG KERENTANAN PESISIR.......................................................................99
4.3. RISET BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT...............................................................101
4.4. RISET LINTAS BIDANG (CROSS-CUTTING ISSUES).......................................................120
BAB V...............................................................................................................122
PENUTUP..........................................................................................................122
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................126
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Teori Hipotetis Proses Terjadinya Efek Rumah
5
Kaca
Gambar 1.2
Tren peningkatan suhu atmosfer (kiri) identik
8
dengan tren kenaikan emisi CO2 (kanan)
Gambar 1.3
Dampak Perubahan Iklim Yang Terus Meningkat
12
Gambar 1.4
Hubungan
dan
13
Perubahan Iklim dan Dampaknya Bagi Pesisir dan
16
Kasualitas
Perubahan
Iklim
Keamanan Pangan
Gambar 1.5
Pantai
Gambar 1.6
Perubahan
Iklim
Ancaman
Bagi
Kesehatan
18
Manusia
Gambar 1.7
Jumlah Kejadian DBD di Kota-kota (Catatan:
19
tahun 1973, 1988 dan 1998 adalah tahun LaNina)
Gambar 1.8
Tren Tahunan Kejadian DBD di Beberapa Wilayah
20
di Jawa
Gambar 2.1
Proses Mainstreaming Perubahan Iklim dalam
32
Pembangunan
Gambar 2.2
Potensi Bahan Bakar Nabati (atas) dan Energi
36
Alternatif (bawah)
vii
Gambar 2.3
Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Bidang
39
Pertanian
Gambar 2.4
Potensi Penerapan Teknologi Daur Panas di
42
Industri Sawit
Gambar 2.5
Keterkaitan
ICCSR
dengan
Rencana
46
Roadmap Nasional Untuk Mitigasi dan Adaptasi
47
Pembangunan
Gambar 2.6
Perubahan Iklim
Gambar 3.1
Skema Hubungan Keterkaitan Dalam Perubahan
58
Iklim
Gambar 3.2
Skema peralatan yang telah terpasang dalam
66
program HARIMAU di Benua Maritim Indonesia
(BMI)
Gambar 3.3
Fotobioreaktor Penyerap CO2 (kiri) dan Konversi
68
Alga Menjadi Biofuel (kanan)
Gambar 3.4
Mobil Listrik Rancangan LIPI
71
Gambar 3.5
Sistem Peringatan Dini Banjir
79
Gambar 3.6
Jejaring Berbagi Informasi Rancangan Combine
92
Insitute
Gambar 3.7
Diagram Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi
96
Perubahan Iklim
Gambar 5.1
Konsep Jejaring Arus Informasi dan Diseminasi
125
Hasil Riset Adaptasi Perubahan Iklim
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1a
Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam
30
Gg)
Tabel 2.1b
Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000-
30
2005 (dalam Gg)
Tabel 2.2
Target dan Sasaran Mitigasi GRK Nasional
Tabel 4.1
Tema-tema Riset Untuk Adaptasi Perubahan Iklim
103
Tabel 4.2
Matrik Keterkaitan
118
Riset
Adaptasi
Perubahan
49
Iklim
ix
DAFTAR SINGKATAN
ARN
Agenda Riset Nasional
Bakornas PB
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
BAU
Bussiness As Usual
BMI
Benua Maritim Indonesia
CCS
Carbon Capture Storage
CDM
Clean Development Mechanism
COP
Conference of Parties
CRED
Centre for Research on the Epidemiology of Disasters
CSO
Civil Society Organization
DME
Dimethyl Ether
DNPI
Dewan Nasional Perubahan Iklim
ETS
Emission Trading Scheme
ENSO
El Niño/La Niña-Southern Oscillation
GOSAT
Greenhouse gases Observing Satellite
GRK
Gas Rumah Kaca (CH4, CO2, SF6, N2O, HFC, PFC)
ICCSR
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
IOC
Intergovernmental Oceanographic Commission
IPCC
Intergovernmental Panel on Climate Change
LFG
Landfill Gas
LULUCF
Land Use and Land Use Change Forestry
MDGs
Millennium Development Goals
MRV
Measurable, Reportable, Verifiable
OFDA
The Office of U.S Foreign Disaster Assistance
x
OPT
Organisme Pengganggu Tanaman
PPO
Pure plant oil
RAN PI
Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim
RAN PRB
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana
REDD
Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation
SABSTA
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
SNC
Second National Communication
TMC
Teknologi Modifikasi Cuaca
TNA
Technology Need Assessment
UNESCO
United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization
UNFCCC
United Nation Framework Convention on Climate
Change
UNIDO
United Nations Industrial Development Organization
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awal abad 21, suatu panel ilmiah yang terdiri dari 100 ahli dari
berbagai disiplin ilmu diminta UNEP untuk memeringkat berbagai
permasalahan lingkungan hidup yang timbul berdasarkan skala
dampaknya pada abad 21. Ternyata peringkat teratas dari
permasalahan lingkungan tersebut adalah Perubahan Iklim (climate
change). Kini, apa yang diramalkan para ahli tersebut bukan lagi
sekedar wacana tetapi telah menjadi nyata dalam skala kejadian,
dampaknya, serta intensitasnya bukan lagi bersifat linier dari waktu
ke waktu tetapi bisa mendadak menjadi bencana dengan skala yang
tak teramalkan.
Perubahan iklim telah secara ilmiah dan banyak bukti adalah
diakibatkan oleh apa yang dikenal dengan pemanasan global (global
warming) sebagai akibat terjadinya efek rumah kaca pada atmosfer
kita. Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK)
yang memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali
ke angkasa oleh permukaan bumi. Pada dasarnya GRK ini dapat
bersumber dari alam itu sendiri maupun dari aktivitas manusia. Namun
berbagai data yang ada menunjukkan bahwa emisi GRK berasal juga
1
dari aktivitas manusialah yang meningkatkan konsentrasinya di
atmosfer.
Naiknya suhu atmosfer global ini terjadi perlahan tapi pasti membawa
dampak yang merugikan bagi kehidupan di bumi. Peningkatan suhu
membawa pada besarnya evaporasi air di permukaan bumi dan ini
akan merubah berbagai elemen iklim seperti kelembaban, kondensasi
uap air dan curah hujan. Perubahan iklim ini dapat berdampak pada
perubahan pada pola tanam yang berarti mengancam keamanan
pangan, mempercepat proses mutasi hama tanaman dan juga
membuat suatu daerah mengalami kekeringan berkepanjangan dan di
wilayah lain terjadi banjir yang besar. Berubahnya iklim juga
berdampak pada kesehatan manusia akibat peningkatan kuantitas dan
kualitas serta persebaran vektor penyakit.
Pada suhu bumi yang mencapai titik tertentu, bongkahan es di kutub
dan salju di puncak gunung tinggi dapat mencair dan menimbulkan
gejala pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan kemampuan
menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil
padat penghuni di negara-negara berkembang. Jutaan orang rakyat
miskin yang rentan di negara-negara kekurangan air bersih itu makin
terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, kebun dan perikanan
serta meningkatnya gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana
kelaparan dan wabah penyakit.
2
Secara umum, perubahan iklim akan berdampak pada perekonomian
dunia termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia sebagai negara agraris
yang rakyatnya banyak bergantung pada aktivitas pertanian serta
sebagai negara kepulauan, maka perubahan iklim akan membawa
dampak yang signifikan. Berbagai peristiwa kelangkaan air belakangan
ini juga ditengarai akibat perubahan iklim. Dengan garis pantai
sepanjang ± 95.181 km serta sebagian rakyat berprofesi sebagai
nelayan, maka dampak perubahan iklim bagi sektor perikanan dan
kerentanan pesisir dan ekosistemnya menjadi signifikan untuk menjadi
perhatian.
Berbagai negara melalui kerangka PBB untuk perubahan iklim
(UNFCCC) telah mencoba mengambil tindakan mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim ini di bawah perundingan dan negosiasi
internasional yang hingga kini masih terus berlangsung. Walau
Indonesia termasuk bukan negara yang wajib menurunkan emisi GRK
sesuai Protokol Kyoto, namun Pemerintah RI telah secara resmi
menyampaikan target penurunan emisi sebesar 16% atau menjadi 41%
jika ada bantuan pembiayaan dari negara lain pada taun 2020. Namun
terlepas dari upaya mitigasi, adaptasi perubahan iklim menjadi
mendesak untuk segera dilakukan mengingat dampak perubahan iklim
yang jauh lebih cepat kita rasakan dibanding hasil dari upaya
mitigasinya.
3
Upaya-upaya mitigasi selain memerlukan perhatian kembali terhadap
local wisdom yang telah ada juga butuh dukungan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) guna memperbesar manfaat dan mempercepat
implementasinya. Walau kebutuhan iptek untuk mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim secara umum juga terdapat dalam beberapa hasil
studi lembaga atau roadmap kementerian, namun rincian akan tema
riset yang dibutuhkan dalam rangka upaya yang fokus, masih belum
dilakukan. Dalam konteks merumuskan berbagai kebutuhan akan
tema-tema riset terkait adaptasi perubahan iklim, maka Dewan Riset
Nasional bekerjasama dengan Pusat Teknologi Lingkungan BPPT
melakukan kajian atas hal tersebut. Buku ini berisi hasil kajian tersebut
terutama untuk adaptasi di sektor keamanan pangan, kerentanan
pesisir dan kesehatan masyarakat.
1.2. Tinjauan Aspek Ilmiah Perubahan Iklim
1.2.1 Fenomena dan Penyebab Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah dibuktikan secara ilmiah adalah disebabkan oleh
apa yang dikenal sebagai pemanasan global (global warming) yang
merupakan akibat terjadinya efek rumah kaca pada atmosfer kita.
Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK) yang
memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke
angkasa oleh permukaan bumi seperti diilustrasikan dalam Gambar 1.1.
Pada dasarnya GRK ini dapat bersumber dari alam itu sendiri maupun
dari aktivitas manusia. Namun berbagai data yang ada menunjukkan
4
bahwa emisi GRK dari aktivitas manusialah yang meningkatkan
konsentrasinya di atmosfer.
Gambar 1.1 Teori Hipotetis Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca
Perubahan iklim dicirikan adanya beberapa fenomena seperti
berubahnya nilai rata-rata atau median dan keragaman unsur iklim.
Dalam kasus ini misal telah terjadi kenaikan dari data suhu dalam
jangka panjang dan ada kecenderungan naik dari waktu ke waktu,
5
maka dapat dikatakan perubahan iklim telah terjadi. Cara lain dalam
pengamatan suhu ini juga dapat dilihat dari fenomena hilangnya
lapisan es di wilayah kutub. Selain suhu udara yang meningkat, ada
dua indikator lain dari perubahan iklim yakni perbahan pola curah
hujan dan kenaikan paras muka air laut (sea level rise).
Perubahan pola curah hujan ditandai dengan terlambatnya awal
musim hujan dan akhir musim hujan yang terjadi lebih cepat. Musim
hujan menjadi lebih singkat namun memiliki intensitas curah hujan
yang tinggi. Perubahan pola curah hujan semacam ini sudah terasa di
pantai utara Jawa. BMKG melaporkan ada beberapa wilayah yang
musim hujannya lebih lambat dan ada yang justru maju. Sedangkan
indikator kenaikan paras muka laut sampai saat ini ada perdebatan di
kalangan para ahli perubahan iklim. Memang sulit disimpulkan bahwa
perubahan iklim merupakan penyebab satu-satunya kenaikan muka
laut. Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan paras muka air laut
akibat meningkatnya suhu adalah sekitar 1 mm/tahun di dekade
terakhir ini. Studi yang didasarkan pada pengamatan dan pemodelan
hilangnya massa glasier dan tutupan es menunjukkan kontribusinya
terhadap naiknya mula laut rata-rata 0,2 sampai 0,4 mm/tahun pada
abad ke 20. IPCC (2007) menyatakan bahwa sejak tahun 1961 sampai
1993, laut dunia telah mengalami kenaikan dengan laju rata-rata 1,8
mm/tahun.
6
Sejauh ini telah disepakati oleh banyak ilmuwan dari berbagai negara,
bahwa efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim global
adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal baik dari alam
maupun kegiatan manusia (anthropogenic). Adapaun GRK yang
disepakati hingga 2012 ada 6 (enam) jenis yakni karbon dioksida (CO2),
dinitroksida
(N2O),
metana
(CH4),
sulfurheksafluorida
(SF6),
perfluorkarbon (PFC5), dan hidrofluorokarbon (HFC5). Berdasarkan data
yang terangkum dalam laporan IPCC tahun 2007, keseluruhan GRK
terus mengalami peningkatan konsentrasi di atmosfer.
Peningkatan konsentrasi GRK ini diikuti pula meningkatnya suhu
atmosfer bumi. Hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas
sejak tahun 1850 terjadi dalam kurun waktu
12 tahun terakhir.
Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan 20012005 adalah 0,760C. Muka air laut rata-rata global telah meningkat
dengan laju 1,8 mm per tahun. Jika pada awalnya banyak ahli iklim
yang skeptis terhadap laporan IPCC ini, namun kini justru para ahli
menjadi khawatir akan laju pemanasan global yang tidak terkendali ini.
Sejumlah bukti kuantitatif juga makin mempertegas andilnya GRK ini
sebagai biang pemanasan global. Kita simak sebagian data dari
7
Working Group I to Fourth Assessment Report of the IPCC (2007)
berikut.
Emisi karbon dioksida (CO2) – sebagai GRK terbesar secara persentase
– akibat aktivitas manusia (anthropogenic) terus meningkat dari
tingkatan yang kurang signifikan pada dua abad lalu hingga mencapai
lebih dari 25 Milyar Ton di seluruh dunia saat ini. Emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) non-CO2 (methane, nitrous oxides dan fluorocarbon
refrigerants) juga terus meningkat mencapai 30 Milyar Ton di tahun
2004 lalu (CDIAC USA, 2004). Jumlah GRK di atmosfer ini terbilang
meningkat tajam jika dibandingkan dengan level di masa pra-revolusi
industri. Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari pra-industri 280
ppm menjadi 379 ppm di tahun 2005. Laju peningkatan konsentrasi
CO2 ini selama masa 10 tahun (1995 – 2005) rata-rata 1,9 ppm/tahun.
Sumber : UNEP & WMO (2007)
Gambar 1.2 Tren peningkatan suhu atmosfer (kiri) identik dengan
trend kenaikan emisi CO2 (kanan)
8
Konsentrasi global metana (CH4) di atmosfer pada pra-industri sebesar
715 ppb menjadi sekitar 1732 ppb di awal tahun 1900-an dan 1774
ppb di tahun 2005. Konsentrasi CH4 di atmosfer pada 2005 jauh
melebihi dari konsentrasi di alam pada 650.000 tahun yang lalu (320
sampai 790 ppb) sebagaimana terdeteksi dari inti es (ice core).
Sumber-sumber emisi CH4 dari aktivitas manusia antara lain dari
pertanian sawah tergenang, peternakan, tempat pembuangan akhir
sampah maupun dari beberapa jenis industri.
Konsentrasi N2O di atmosfer global sebesar 270 ppb pada masa praindsutri menjadi sekitar 319 ppb di tahun 2005. Pola peningkatannya
relatif konstan sejak 1980. Lebih dari sepertiga emisi global N2O
berasal dari aktivitas manusia. Sumber emisi N2O ini antara lain dari
perubahan fungsi lahan, deforestasi, pertanian, penggunaan energi
fosil untuk pembangkit listrik, transportasi maupun industri, selain itu
sektor limbah juga mulai diperhitungkan sebagai sumber emisi N2O.
Dalam kondisi normal radiasi matahari akan sampai ke bumi dan
diserap bumi serta menghangatkannya. Selanjutnya radiasi tadi oleh
bumi diubah menjadi gelombang panjang yang dipancarkan ke
atmosfer. Namun dengan tingginya konsentrasi GRK di atmosfer, maka
gelombang panjang tadi malah balik dipantulkan lagi ke bumi, sehingga
permukaan bumi semakin bertambah hangat. Inilah yang disebut efek
9
rumah kaca. Sebagian besar ilmuwan percaya bahwa suhu rata-rata
global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ±
0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. IPCC menyimpulkan bahwa,
"sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan
abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek
rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya
30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains
nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa
ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang
dikemukakan IPCC tersebut.
1.2.2 Dampak Perubahan Iklim
Saat ini warga dunia tengah dihadapkan pada tiga eksperimen besar
dan masif dalam keberadaannya di bumi. Eksperimen ini tidak
terencanakan sekaligus tidak teramalkan hasilnya. Pertama adalah
eksperimen geofisik, kedua eksperimen biologi dan ketiga eksperimen
politik (Hempel, L.C, 1995). Pada eksperimen geofisik, sedang diuji
batas kemampuan atmosfer dalam menampung gas polutan,
peningkatan konsentrasi GRK penyebab pemanasan global serta
menipisnya lapisan ozon akibat penggunaan ODS (ozone-depleting
substances), diantaranya CFCs, HCFCs, halons, methyl bromide, carbon
tetrachloride, dan methyl chloroform.
10
Pada eksperimen biologi, sedang diuji ‘daya lenting’ (resilience) spesies
bumi terhadap ancaman bertambahnya populasi manusia yang terus
menekan jumlah keanekaragaman hayati (biodiversity). Apa yang
terjadi ke depan dengan spesies yang terus punah? Sungguh tidak
teramalkan. Di sisi lain manusia yang dikaruniai kemampuan dalam
mengelola bumi juga sedang bereksperimen di bidang politik.
Eksperimen politik akan menguji demokrasi dan kedaulatan nasional,
dengan implikasi nyata pada kualitas lingkungan masa depan. Melalui
uji politik ini akan nampak apakah sains dan politik dapat bersatu
dalam pengelolaan lintas negara serta dalam situasi technoscientific
yang komplek dan terus meningkat.
Pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim merupakan
fenomena multidimensi sebagai peristiwa geofisik yang dipicu aktivitas
ekonomi yang membawa dampak pada kehidupan (biologis) serta
upaya penanganannya perlu peran dan kemauan politik.
Laporan dari Stern Review (2006) memperingatkan kita bahwa jika
pada akhir abad ini tidak ada upaya serius untuk mengendalikan emisi
GRK, maka suhu atmosfer diprediksi mengalami kenaikan 60C, padahal
dampak suhu naik 30C saja berakibat pada turunnya hasil panen di
Afrika dan Timur Tengah sebesar 35%. Ini artinya sekitar 550 juta orang
11
terancam kelaparan. Jika kenaikan suhu diskenariokan naik 2 0C, maka
diramalkan 40% spesies dunia akan punah, 4 miliar orang menderita
kekurangan air. Di bagian lain 200 juta orang akan terkena kelaparan
dan 60 juta orang Afrika bakal terpapar malaria.
(a) Banjir di Bangkok (2011)
(b) Kekeringan di NTT (2011)
(c) Es Mencair di Kutub Utara
(d) Badai Irene di atas AS
Gambar 1.3 Dampak Perubahan Iklim Yang Terus Meningkat
12
Perubahan iklim akan membawa dampak pada berbagai sektor
pembangunan. Dampak paling serius adalah pada sektor ketahanan
pangan akibat berubahnya atau bergesernya waktu tanam dan waktu
panen, meningkatnya serangan hama baru serta kelangkaan dan
berlebihnya air yang menyebabkan genangan (banjir). Sedangkan
diketahui bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada sektor
pertanian. Faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim yang
berdampak terhadap sektor pertanian adalah (KLH RAN-PI, 2007); (a)
perubahan pola hujan dan iklim ekstrem yang mengakibatkan banjir
dan kekeringan, (b) peningkatan suhu udara yang menyebabkan
naiknya respirasi tanaman, (c) meningkatnya pola serangan hama dan
penyakit tanaman dan (d) naiknya paras muka air laut yang menekan
luasan lahan pertanian di pesisir.
Perubahan
Perubahan
Iklim
Iklim
Masa
Masa
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Pertanian
Pertanian
Kesuburan
Kesuburan
Tanah
Tanah
Suplai
Suplai
Makanan
Makanan
Peningkatan
Peningkatan
Populasi
Populasi
Kebutuhan
Kebutuhan
Makanan
Makanan
Harga
Harga
Makanan
Makanan
Sumber : www.future-agriculture.org
Gambar 1.4 Hubungan Kasualitas Perubahan Iklim dan Keamanan Pangan
13
Perubahan iklim mengakibatkan pola hujan menjadi sulit untuk
diprediksi, kondisi cuaca ekstrem, intensitas hujan tinggi dengan
periode waktu yang singkat serta musim kemarau yang panjang.
Tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya
musibah banjir
melanda areal tanaman pertanian yang cukup luas sehingga dapat
mengancam kegagalan panen. Pola perubahan musim mulai tidak
beraturan sejak 1991, yang akan memberikan dampak negatif
terhadap produksi pertanian. Terjadinya perubahan pola hujan
menjadikan petani sulit untuk menentukan waktu tanam, apakah
bulan sudah memasuki musim penghujan atau masih musim kemarau,
demikian pula sebaliknya. Hal ini berimbas pada kesulitan petani untuk
menentukan jenis tanaman yang akan ditanam.
Salah satu sektor yang secara langsung terancam terhadap bahaya
kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim adalah sektor pesisir
dan laut. Manusia dan ekosisitem wilayah pesisir dan laut menghadapi
bahaya akibat kenaikan muka air laut serta perubahan parameterparameter laut lainnya seperti badai pasut (rob), gelombang badai,
ENSO terhadap wilayah pesisir, yang dapat menyebabkan perubahan
lingkungan berupa (KLH, GTZ & WWF, 2007):
14
a. Penggenangan lahan basah dan dataran rendah serta hilangnya
pulau-pulau kecil
b. Erosi pantai dan pengurangan lahan pesisir
c. Perubahan kisaran pasut di teluk dan di muara sungai
d. Kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang,
padang lamun, dan estuari)
e. Intrusi air asin dan penurunan kualitas air.
f. Banjir dan suplai sedimen ke wilayah pesisir akibat perubahan
curah hujan dan limpasan permukaan
g. Meningkatkan frekuensi overtoping pada bangunan pantai
h. Perubahan pola arus, baik secara horisontal maupun vertikal
(upwelling dan downwelling).
Naiknya paras muka laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga
akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh,
Kalimantan dan Sulawesi. Akibatnya, nelayan pembudidaya akan
mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber
kehidupannya. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta
Mahakam Kalimantan Timur, walaupun masih perlu kajian mendalam
(Diposaptono et al., 2009).
15
Pemanasan Global
Suhu Air
Laut
Badai
kuat
Terumbu karang
Erosi pantai
Top soil
(sand) runoff
Es meleleh
Sea level rise
Luas lahan
Ekspansi thermal
air laut
Salinitas tanah
Pertanian
Migrasi
Sumber : IPCC, 2007
Gambar 1.5 Perubahan Iklim dan Dampaknya Bagi Pesisir dan Pantai
Selain memberikan dampak pada perubahan fisik ekosistem,
perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan dan keselamatan
manusia mengingat lingkungan tempat manusia tinggal juga berubah.
Timbulnya masalah kesehatan secara tidak langsung juga diakibatkan
dari perubahan-perubahan fisik ekosistem akibat pemanasan global.
Beberapa perubahan fisik lingkungan tersebut antara lain: (a)
meningkatnya suhu lingkungan, (b) meluasnya area kerja vektor
penyakit, (c) meningkatnya muka air laut dan (d) meningkatnya polusi
16
udara. Gambar 1.6 memperlihatkan secara skematis ancaman
perubahan iklim dan dampaknya bagi kesehatan manusia.
Meningkatnya suhu lingkungan menjadi media yang baik bagi mikroba
non patogen dalam saluran cerna, sehingga mikroba ini dapat
berkembang biak dengan baik. Contoh mikroba tersebut antara lain
bakteri E. Coli yang berkembang dengan cepat sebagai penyebab
penyakit diare. Suhu lingkungan yang meningkat, berarti juga
meningkatnya suhu di wilayah-wilayah yang tadinya tidak layak untuk
vektor penyakit. Contoh kasus ini adalah meningkatnya suhu wilayah
pegunungan yang tadinya dingin. Suhu udara di pegunungan yang
menghangat akan menyebabkan nyamuk dapat berkembangbiak
dengan baik. Ini berarti telah terjadi perluasan area penyebaran vektor
penyakit nyamuk seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD).
Gambar 1.7 memperlihatkan tingkat kejadian DBD di perkotaan di
Indonesia sedang Gambar 1.8 adalah pola penyebaran DBD di Jawa.
17
Sumber : Bappenas dalam ICCSR, 2010
Gambar 1.6 Perubahan Iklim Ancaman Bagi Kesehatan Manusia
Berbagai penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap
kesehatan pada tahun 2000, ditemukan terjadi 150.000 kematian
prematur
di
seluruh
dunia
karena
perubahan
iklim.
18
Faktanya, fenomena itu terus bertambah dan akan semakin bertambah
lagi. Kejadian ini membuktikan
bahwa dampak tersebut sedang
menyebar ke seluruh dunia dan 88% dari orang yang menerima
dampak tersebut adalah anak-anak di dunia ketiga, karena mereka
adalah pihak yang paling rentan, mereka adalah orang yang
kekurangan gizi makanan, mereka yang tidak memiliki pelayanan
kesehatan, dan mereka hidup di lingkungan yang buruk.
Sumber : Kemenkes dalam SNC, 2009.
Gambar 1.7 Jumlah Kejadian DBD di Kota-kota (Catatan: tahun 1973,
1988 dan 1998 adalah tahun La-Nina)
19
Sumber : KLH dalam SNC, 2009
Gambar 1.8 Tren Tahunan Kejadian DBD di Beberapa Wilayah di Jawa
Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam OFDA/CRED
International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana
terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara 1907
dan 2007 terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan
bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan,
kebakaran hutan dan ledakan penyakit (RAN PI, 2007). Di Indonesia,
dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar
53,3% adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi (Bappenas
dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering
terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan
global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang
20
pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih
besar (Trenberth dan Houghton, 1996; IPCC, 2007; Indonesia Country
Report 2007). Laporan United Nations Office for the Coordination of
Humanitarian Affairs mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan
salah satu Negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.
Mengingat dampak yang begitu besar dan nyata, maka 164 negara
melalui PBB pada 1990 menandatangani traktat United Nations
Framework
Convention
on
Climate
Change
(UNFCCC)
guna
menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat aman.
Masalahnya hingga kini melalui serangkaian negosiasi dalam
Conference of the Parties (COP) yang diselenggarakan belum juga
terdapat titik temu akan angka konsentrasi aman CO2 ini. James
Hansen salah satu pakar cuaca terkenal mengatakan bahwa CO2 dalam
jumlah 350 ppm mungkin mencerminkan ambang atas dari zona aman
yang sebenarnya – dan kita telah berada 10% melampaui angka itu
(National Geographic, 2008).
1.3. Konvensi PBB dan Protokol Perubahan Iklim
Mengingat perubahan iklim hanya dapat ditangani secara multilateral,
PBB menyusun konvensi Perubahan Iklim yang disahkan KTT Bumi di
Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau perjanjian
multilateral itu adalah untuk ”…menstabilkan konsentrasi gas-gas
21
rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia
yang membahayakan sistem iklim”. Tingkat konsentrasi emisi yang
hendak distabilkan harus dicapai dalam “..suatu kerangka waktu yang
memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alamiah dengan
perubahan iklim, yang memberi kepastian bahwa produksi pangan
tidak terganggu, dan yang memungkinkan pembangunan ekonomi
berlangsung secara berkelanjutan”. KTT ini juga melahirkan United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang
bekerja dengan memegang dan menerapkan prinsip bahwa semua
negara memiliki tanggung jawab bersama mencegah perubahan iklim
sesuai dengan kapasitas masing-masing dan prinsip keadilan.
Atas dasar prinsip itu, Konvensi Perubahan Iklim telah menyepakati
bahwa negara-negara industri maju harus membuat komitmen,
memimpin, dan mengambil langkah lebih dahulu dalam hal
pengurangan emisi GRK. Negara industri maju Eropa, negara-negara
bekas Uni Soviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan
Selandia Baru, adalah negara-negara yang termasuk dalam daftar
Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Mereka berkewajiban mengurangi
emisi karbon masing-masing pada akhir millenium (tahun 2000),
sehingga emisi kolektif mereka berada di bawah tingkat emisi tahun
1990.
22
Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalam kerangka waktu dan
sasaran penuruan emisi yang disepakati bersama, Konvensi Perubahan
Iklim kemudian dilengkapi dengan suatu perangkat atau aturan tata
cara pelaksanaan konvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebih spesifik
dan mengikat secara hukum. Sesuai dengan prinsip common but
differentiated responsibilities, Protokol Kyoto memuat pernyataan
komitmen negara-negara industri maju (Annex I) untuk mengurangi
emisi GRK kolektif mereka paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun
1990 yang harus dicapai pada periode 2008-2012. Negara-negara
berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen menurunkan
emisi pada periode tersebut, namun perlu menerapkan pola
pembangunan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya kenaikan
emisi GRK di negara masing-masing.
Guna mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu
penuruanan emisi negara maju, Protokol Kyoto menyediakan tiga
macam
instrument
yang
bersifat
fleksibel,
yaitu
(1)
Joint
Implementation (JI); (2) Clean Development Mechanism (CDM); dan
(3) Emission Trading Scheme (ETS). Semua skema penurunan emisi GRK
itu berlaku sampai dengan 2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol
Kyoto. Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaan perjanjian
tentang perubahan iklim ditanda tangani di Kyoto, Jepang, pada 1997
dan berlaku sejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130 negara.
23
Namun, Protokol itu tidak diratifikasi Pemerintah Amerika Serikan dan
Australia, sehingga sampai kini AS tidak terikat dengan ketentuan
Protokol Kyoto.
Join
Implementation
memungkinkan
Negara-negara
Annex
I
melaksanakan kewajiban, selain dari upaya sendiri untuk menurunkan
emisi di dalam negeri, juga bisa menjalin kerjasama dengan sesama
negara maju dalam pelaksanaan proyek bersama untuk menurunkan
emisi GRK mereka. Emission Trading Scheme merupakan mekanisme
pertukangan atau perdagangan karbon yang bisa digunakan negara
maju untuk mengurangi emisi karbon di negara sendiri dengan cara
“membeli” jatah emisi GRK negara maju lain yang belum terpakai.
Sedangkan Clean Development Mechanism merupakan satu-satunya
instrumen yang memungkinkan Negara berkembang bisa ikut serta
dalam kegiatan penurunan emisi GRK melalui proyek bantuan kerja
sama negara maju dengan negara berkembang di bidang efisiensi
energi atau pengembangan energi terbarukan.
Lembaga pengambil keputusan tertinggi di dalam UNFCCC adalah
Konferensi Para Pihak (Conferensi of Parties/COP) yang selalu
mengadakan pertemuan tahunan yang diikuti lebih dari 170 negara
anggota. Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP-13 di Bali untuk
membahas kesepakatan baru menjelang berakhirnya Protokol Kyoto
24
pada 2012. Fokus pertemuan di Bali lebih ditujukan untuk
memecahkan
berbagai
isu
jangka
panjang,
yaitu
bagaimana
mewujudkan rezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnya Protokol
Kyoto. Namun demikian, ada beberapa isu mendesak yang belum
terselesaikan selama periode Protokol 2008-2012, yaitu belum
terpenuhinya komitmen dan target penurunan emisi negara-negara
Annex I serta kejelasan arah dan pedoman penyelesaiannya. Salah satu
hasil COP-13 di Bali di antaranya mengenai diterimanya upaya
mencegah deforestasi sektor kehutanan, khususnya REDD-plus
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation),
sebagai mekanisme/ instrumen yang diadopsi konvensi dalam upaya
mitigasi menurunkan emisi GRK negara-negara berkembang.
Indonesia selaku ketua COP-13 terus melanjutkan peranan sebagai
Troika (tiga serangkai). Bersama Polandia selaku ketua COP-14 dan
Denmark selaku ketua COP-15, Indonesia diberi tugas oleh Sekjen PBB
untuk mengawal Bali Action Plan agar berhasil merintis a new and
legally binding agreement pada COP-15 di Kopenhagen. Bagaimanapun
juga, peristiwa di Bali akhir 2007 itu merupakan tonggak perjalanan
Indonesia yang tak kalah penting bagi terciptanya momentum baru di
dalam negeri. Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakan, dan liputan
media massa terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim makin
gencar dan meluas.
25
Dalam perjalanannya, hingga COP-15 di Denmark, kesepakatan baru
perjanjian iklim pasca Protokol Kyoto tetap belum tersusun. Di
Kopenhagen akhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumen politis
yang
disebut
Dokumen
ini
Copenhagen
Accord
(kesepakatan
merupakan
catatan
hasil
Kopenhagen).
perundingan
tingkat
tinggi/kepala negara yang difasilitasi Perdana Menteri Denmark selaku
Ketua COP-15 yang hanya melibatkan 29 negara dari 189 negara
peserta Konvensi. Statusnya sekadar “catatan” COP-15 yang sama
sekali tidak mengikat secara hukum. Dua belas butir kesepakatan yang
teruang dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan setelah proses
perundingan yang alot dan panas, terutama antara AS, China, dan
negara kelompok ALBA dari Amerika Latin menjelang sidang
penutupan Konvensi1.
Di tengah kebuntuan perundingan iklim, pada KTT G-20 di Pittsburgh
(AS) September 2009, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan target Indonesia untuk menurunkan emisi karbon
sebesar 26% pada tahun 2020. Adapun sektor-sektor yang ditetapkan
untuk mencapai target tersebut adalah sektor kehutanan, sektor
energi dan sektor limbah. Apabila ada bantuan pendanaan dari pihak
luar, maka target penurunan emisi bisa menjadi 41%.
1
Lihat, Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan”, dalam PRISMA
Vol.29 April 2010.
26
BAB II
PROGRAM NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN
IKLIM
2.1 Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim
Sebagai hasil yang tangible dari KTT Bumi tahun 1992 adalah adanya
kesepakatan untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer. Kesepakatan ini dicapai tahun 1997 di Kyoto yang kemudian
dikenal sebagai Protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 84 negara
dan tetap terbuka untuk ditandatangani/diakses sampai Maret 1999
oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini
berkomitmen bagi 38 negara industri untuk memotong emisi GRK
mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat
GRK mereka di tahun 1990.
Walaupun Indonesia tidak termasuk yang dikenai kewajiban
menurunkan emisi, Desember 2004, Indonesia meratifikasi Protokol
Kyoto melalui UU no. 17 tahun 2004. Sebagai langkah awal dalam
memberi arah pembangunan yang berkelanjutan serta bervisi rendah
emisi, maka Pemerintah RI pada tahun 2007 melalui Kementerian
Negara Lingkungan Hidup (kala itu) meluncurkan dokumen Rencana
Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI). Dokumen
27
ini merupakan instrumen kebijakan yang melengkapi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009.
RAN MAPI sudah berisi tentang rencana aksi baik mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim dari beberapa sektor walau belum terlalu detail
targetnya. Upaya mitigasi diuraikan seperti untuk sektor energi,
perubahan lahan dan perubahan lahan kehutanan (LULUCF), kelautan
dan perikanan. Sedangkan upaya rencana adaptasi melipui sektor
sumberdaya air, pertanian, kelautan dan perikanan, infrastruktur,
kesehatan dan kehutanan dan keanekaragaman hayati. RAN MAPI bisa
disebut sebagai dokumen tonggak awal kepedulian Pemerintah RI
dalam hal menyusun rencana dalam merespon perubahan iklim.
2.2 Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Nasional
Salah satu faktor penting dalam negosiasi internasional terkait upaya
penurunan emisi GRK adalah keberadaan data emisi GRK tiap negara
baik di masa lalu, masa kini dan perkiraan masa datang. Untuk itu
inventarisasi emisi GRK secara nasional menjadi penting setidaknya
untuk dapat diketahui posisi kita dalam daftar emitor di dunia serta
mempersiapkan target penurunan sesuai kemampuan. Data emisi juga
28
penting sebagai counter bagi kemungkinan tuduhan terkait urutan
negara pengemisi besar khususnya dari lahan gambut misalnya2.
UNFCCC mewajibkan negara anggota untuk mensubmit National
Communication yang berisi kuantitas emisi dari berbagai sektor di tiap
negara. Pada tahun 1999, Indonesia pernah menyampaikan data emisi
melalui First National Communication. Seiring dengan perkembangan
pembangunan dan kemajuan perundingan iklim, maka dimulailah
upaya meningkatkan kualitas data emisi yang diperbaharui dengan
Second National Communication (SNC). Sesuai panduan UNFCCC,
dokumen SNC merupakan sarana bagi negara untuk menyampaikan
informasi tentang emisi dan berbagai potensi bagi pengurangannya.
Penyusunan SNC didasarkan pada The 2006 IPCC Reporting Guideline.
Dari data di SNC, total emisi GRK Indonesia tahun 2000 untuk CO2, CH4
dan N2O diluar sektor LULUCF mencapai 594,738 Gg CO2e. Dengan
memasukkan emisi dari LULUCF maka terjadi kenaikan total emisi yang
signifikan yakni menjadi
1.415.988 Gg CO2e, selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 2.1a dan Tabel 2.1b.
2
Pada November 2006, LSM Wetland Internasional menempatkan Indonesia sebagai
pengemisi karbon no.3 di dunia setelah Amerika dan China. Namun sejumlah kalangan
ilmuwan menolak laporan itu seperti Prof. Ir. Said Jenie, ScD, Dr. Edvin Aldrian (keduanya
dari BPPT) dan juga Prof. Mezak A. Ratag dari BMKG. Keberatan umumnya karena validitas
data dan tahun yang digunakan LSM tadi hanya didasarkan pada laporan tahun 1996 saat
terjadi EL-Nino (kemarau panjang).
29
Tabel 2.1a. Ringkasan Emisi GRK Indonesia Tahun 2000 (dalam Gg)
Source/Sink
CO2
CO2
(Emisi)
(Diserap)
CH4
N2O
CO2e
Energi
305,983
1,221
6
333,540
Industri
31,938
104
0
34,197
Pertanian
2,178
2,419
72
75,419
3
0
649,254
Perubahan
Hutan
Lahan
dan
Kebakaran Gambut
Limbah
1,060,766
411,593
172,000
172,000
1,662
7,020
8,05
TOTAL
151,578
1,415,988
Sumber : SNC, 2009
Tabel 2.1b. Ringkasan Emisi GRK Seluruh Sektor Tahun 2000-2005
(dalam Gg)
Sektor
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Energi
333,540
348,331
354,246
364,925
384,668
395,990
Industri
34,197
45,545
33,076
35,073
36,242
37,036
Pertanian
75,419
77,501
77,030
79,829
77,863
80,179
Limbah
151,578
153,299
154,334
154,874
155,390
155,609
Perubahan
Lahan dan
Hutan
(LULUCF)
649,254
560,546
1,287,495
345,489
617,280
N.E.
Kebakaran
Gambut
172,000
194,000
678,000
246,000
440,000
451,000
30
TOTAL
LULUCF
+
TOTAL Tanpa
LULUCF
1,451,988
1,379,222
2,584,181
1,226,191
1,711,443
1,119,814
+ LUCF
594,734
624,676
618,686
634,701
654,162
668,814 –
LUCF
Sumber : SNC, 2009
Keseluruhan emisi GRK tersebut (dalam CO2 equivalen), terdiri atas gas
CO2 sebesar 1.162.935 Gg (80% dari total GRK), gas CH4 sebesar
226.104 Gg (15%) dan N2O sebesar 26.948 Gg (2%). Emisi GRK tersebut
dalam urutan tiga besar berasal dari sektor kehutanan dan perubahan
lahan diikuti energi dan emisi dari kebakaran hutan. Total emisi GRK
yang dilaporkan SNC di bawah angka yang disampaikan lembaga
PEACE tahun 2007, World Bank maupun studi Department for
International Development (DFID) Inggris,
yang menempatkan
Indonesia sebagai negara pengemisi no.3 di dunia. Dalam SNC juga
diuraikan lebih rinci emisi dari tiap sektor seperti pembangkit dan
pengguna energi, proses di industri, pertanian, penggunaan lahan,
perubahan guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land-Use Change
and Forestry/LULUCF) serta limbah.
Sebagai hasil kajian, SNC tidak saja menyampaikan hasil inventarisasi
emisi GRK tetapi juga berbagai data tentang dampak perubahan iklim
seperti ketahanan pangan, penyakit, energi serta dampak sosial
ekonomi serta berbagai upaya yang harus dilakukan melalui mitigasi
dan adaptasi tiap sektor. Hal terpenting dalam kaitan mitigasi dan
31
adaptasi perubahan iklim ini adalah bagaimana mengintegrasikan
setiap rencana tersebut ke dalam rencana besar pembangunan
nasional melalui sebuah roadmap. Gambar 2.1 memperlihatkan
roadmap bagaimana pengarus utamaan respon terhadap perubahan
iklim dalam rencana pembangunan nasional yang terdapat dalam SNC.
Kebijakan
&
Peraturan
KONDISI
EKSISTING
Program
Proyek
Skema
Pembiayaan
Pembangunan
Kapasitas
TUJUAN
Tim Koordinasi untuk Dialog Kebijakan
(BAPPENAS)
ROADMAP
Pengarusutamaan
Perubahan
Iklim ke dalam
Rencana
Pembangunan
Sumber : Bappenas, 2010
Gambar 2.1 Proses Mainstreaming Perubahan Iklim dalam Pembangunan
2.3 Kajian Kebutuhan Teknologi Untuk Mitigasi dan Adaptasi
Adalah fakta bahwa meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer mulai
signifikan sejak terjadinya revolusi industri (abad 18), ini artinya emisi
GRK dari aktivitas manusia (anthropogenic) ikut berkontribusi
32
menambah konsentrasi GRK dari sumber alam itu sendiri. Angka-angka
dalam Gambar 1.2, khususnya peningkatan konsentrasi karbon di
atmosfer berkorelasi juga dengan berkembangnya teknologi proses
produksi dan teknologi transportasi yang intensif menggunakan bahan
bakar fosil. Ini berarti dengan teknologi, kenyamanan hidup meningkat
dan mengubah pola hidup kita, namun perlahan tapi pasti teknologi
(yang tidak ramah lingkungan) juga menyimpan potensi bencana
berupa ‘sisa’ proses (spent resources) di atmosfer kita3. Kalau teknologi
sebagai pemicunya, seharusnya diharapkan teknologi juga menjadi
pengerem laju atau meminimalisir meningkatnya GRK di atmosfer kita.
Seperti diketahui, Indonesia memang tidak termasuk dalam negara
Annex I yang berarti tidak dikenai kewajiban penurunan emisi GRK per
target waktu, tetapi mengingat kondisi Indonesia yang rentan
terhadap terhadap perubahan iklim maka kita harus turut melakukan
upaya baik mitigasi maupun adaptasi yang tentu memerlukan
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala upaya mitigasi dan
adaptasi yang kita lakukan harus dikomunikasikan ke Conference of the
Parties
3
(COP), ini penting dalam rangka kebutuhan negosiasi
Lamont C. Hempel, dalam Environmental Governance: The Global Challenge.1996. Hal.70,
menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan global menjadi signifikan dampaknya juga
antara lain disebabkan oleh pertambahan populasi dan perkembangan teknologi. Keduanya
disebutnya sebagai ”ampifliers” dalam proses kerusakan lingkungan.
33
internasional khususnya pasca 2012 yang mungkin akan terjadi regrouping Para Pihak dalam UNFCCC.
Sebagai negara berkembang upaya mitigasi dan adaptasi penting
untuk ditindaklanjuti dengan kebijakan dan dukungan teknologi yang
tepat. Melalui Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
(SBSTA) – UNFCCC, negara berkembang termasuk Indonesia diwajibkan
membuat Technology Needs Assessment (TNA) dalam rangka isu
transfer teknologi. Indonesia untuk pertama kalinya mendaftarkan
dokumen kebutuhan teknologi ini ke UNFCCC di tahun 2001 dengan
judul Identification of Less Greenhouse Gases Emissions Technologies in
Indonesia.
Seiring dengan dinamika di dalam negosiasi iklim termasuk dalam isu
transfer teknologi maka menjelang COP-13 di Bali tahun 2007, melalui
Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan GTZ (Jerman), memperbaharui TNA awal dengan
menyusun dokumen TNA yang baru dengan melibatkan lebih banyak
sektor. Dalam TNA kali ini diuraikan kebutuhan teknologi mitigasi
sektor kehutanan, energi, industri, transportasi, pertanian, limbah dan
kelautan. Khusus sektor pertanian dan kelautan juga disampaikan
kebutuhan teknologi adaptasi.
34
TNA kedua
yang diluncurkan pada tahun 2009 tersebut disusun
melalui metodologi mulai dari pertemuan stakeholder, expert
judgement
hingga workshop dengan beberapa kriteria umum
teknologi antara lain; (a) mengurangi emisi GRK, (b) maksimalisasi
komponen lokal, (c) meningkatkan konservasi sumberdaya, (d)
meningkatkan green energy dan energi alternatif (e) mendukung
keamanan pangan dan (f) menekan kemiskinan. Selain itu setiap sektor
secara khusus juga mengembangkan kriteria spesifik tersendiri.
Secara umum gambaran peta kebutuhan teknologi yang potensial
dikembangkan dan diaplikasikan dalam upaya mitigasi di beberapa
sektor utama dalam TNA antara lain;
a. Sektor Energi
Berdasar data tahun 2003 komposisi konsumsi energi di Indonesia
adalah: bahan bakar minyak (54,4%), gas alam (26,5%) , batubara
(14,1%) dan energi terbarukan (5%). Akibat krisis energi tahun 2005,
Pemerintah mengeluarkan Perpres no. 5/2006 tentang kebijakan
nasional energi, dengan menurunkan penggunaan bahan bakar minyak
dan menaikkan penggunaan batubara dari 14% menjadi 33% dan
energi terbarukan dari 5% menjadi 17% (SNC, 2009). Sebagai implikasi
kebijakan ini kita membutuhkan teknologi di antaranya
energi
terbarukan untuk pembangkitan seperti panas bumi (geothermal),
35
turbin angin, small hydro (< 2 MW), mini hydro, fuel cell, gelombang
laut, biofuel dan biomass (limbah dan sampah).
Dari sisi pertambangan energi (eksplorasi & eksploitasi) diperlukan
teknologi yang terus menekan angka kebocoran (peningkatan efisensi),
mengurangi emisi dan teknologi penangkap karbon (Carbon Capture &
Storage/CCS). Sedangkan dari sisi pengguna energi (end use
technology) diperlukan teknologi yang makin hemat energi baik dalam
segala peralatan rumah tangga, komersial dan industri serta teknologi
proses yang low carbon fuels. Aplikasi peralatan rendah emisi
karbon/hemat energi ini dapat diterapkan untuk penerangan (lampu),
alat memasak, alat pemanas, pendingin ruangan, motor dan lain-lain
(TNA, 2009).
(a) Sawit
(b) Jarak
36
(c) Tenaga surya
(d) Panas bumi
Gambar 2.2 Potensi Bahan Bakar Nabati (atas) dan Energi Alternatif (bawah)
b. Sektor Kehutanan
Dari berbagai data emisi nasional yang dirilis sejak tahun 1990-an
maupun terkini, hutan hampir pasti selalu menjadi kontributor utama
GRK di Indonesia. Mengingat peran besar hutan sebagai penyerap
karbon maka sangat diperlukan beberapa teknologi yang berbasis
pada ‘penurunan emisi’ dan peningkatan kemampuan penyerapan
(sink enhancement).
Teknik-teknik pengelolaan hutan yang baik
meliputi hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung akan
mampu menekan emisi. Sedangkan sink enhancement melalui
penanaman kembali (HTI, HTR, HR) dan rehabilitasi hutan lindung dan
hutan konservasi. Hutan produksi mampu menyerap karbon hampir
200 ton/ha (̴ 736 ton CO2/ha). Untuk itu teknologi monitoring yang
37
real time terhadap emisi dan penyerapan karbon di hutan menjadi
penting apalagi mengingat skema proyek REDD/REDD+ yang
memerlukan data dan laporan yang dapat diukur (measurable),
dilaporkan (reportable) dan diverifikasi (verifiable) atau disingkat MRV
(TNA, 2009).
c. Sektor Pertanian
Emisi GRK khususnya CH4 dari pertanian umumnya berasal dari lahan
sawah (paddy field) dan peternakan (enteric fermentation & manure
management). Emisi N2O umumnya berasal dari pemupukan lahan
pertanian dengan pupuk nitrogen. Berdasar perhitungan tim SNC 2009,
emisi CH4 dari persawahan di Indonesia mencapai 1.723 Gg CH4/tahun.
Sektor pertanian khususnya padi paling rentan terhadap perubahan
iklim, oleh karena itu pengembangan teknologi prediksi iklim menjadi
penting untuk mengantisipasi kegagalan panen. Selain itu dari sisi
adaptasi perlu diteliti ketersediaan bibit tanaman yang lebih tahan
perubahan iklim serta penerapan integrated crop management.
Sedangkan pengelolaan sumberdaya air yang tepat, appropriate
fertillizing dan no tillage farming juga turut berperan dalam mitigasi
pemanasan global.
Untuk peternakan, pengurangan emisi hanya dapat dilakukan melalui
penerapan teknologi pakan ternak dan manajemen peternakan
38
terpadu serta pengelolaan kotoran dengan memanfaatkannya sebagai
biogas atau pupuk. Adaptasi dapat dilakukan dengan menerapkan
communal
livestock
sheltering
dan
integrated
crop
livestock
management (TNA, 2009).
(a) Peta Wilayah Rawan Kekeringan (Sumber: http://deptan.go.id)
39
(b) Padi tahan banjir
(c) Varietas padi tahan kekeringan
Gambar 2.3 Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Pertanian
d. Sektor Industri
Emisi GRK dari industri umumnya bersumber pada penggunaan energi
bahan bakar (fosil) dan pada proses produksinya. Ada beberapa jenis
industri yang sangat intensif menggunakan energi fosil ini seperti
industri semen, pulp & kertas, besi & baja,
pupuk dan keramik.
Dengan mengurangi emisi dari industri-industri di atas, akan cukup
signifikan dalam menekan angka emisi CO2. Teknologi yang diperlukan
dalam hal ini adalah teknologi peningkatan efisiensi boiler dan furnace.
Sementara dari proses di industri umumnya menghasilkan emisi gas
perfluorocarbons, PFCs (CF4 dan C2F6), HFCs (HFC-125 dan HFC-134a),
sulphur hexafluoride (SF6), direct GHG (CO2, CH4, dan N2O), ozon dan
aerosol precursors (SO2, NOx, CO, dan NMVOC). Penerapan teknologi
40
produksi bersih akan dapat menekan emisi gas-gas polutan tersebut
(TNA, 2009).
e. Sektor Limbah
Ruang lingkup sektor limbah dalam 2006 IPCC Guidelines ditujukan
untuk mitigasi emisi dari sub sektor persampahan kota (di TPA, dibakar
dan dikomposkan) dan limbah cair (domestik dan industri). Sesuai
semangat UU no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka
pengurangan sampah di sumber, daur ulang dan guna ulang
merupakan cara yang sangat dianjurkan untuk mengurangi sampah di
TPA. Sampah di TPA merupakan sumber emisi CH4 yang dapat
dimitigasi hanya dengan mengumpulkannya untuk kemudian di bakar
atau dimanfaatkan lebih lanjut. Untuk itu teknologi persampahan yang
prospektif untuk menekan emisi GRK adalah Reduce, Reuse dan Recycle
(3R) untuk intermediate treatment plant dan sanitary landfill ( + LFG
recovery) untuk sisi pembuangan akhir4.
Untuk limbah cair domestik penerapan teknologi yang bersifat
komunal sangat baik untuk upaya mitigasi pencemaran. Sedangkan
kontrol gas CH4 akan efektif diterapkan pada Instalasi Pengolahan Air
4
Lihat, UU no.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, penekanan penanganan sampah
adalah pada program 3R dan Extended Producer Responsiblity (EPR). Untuk pembuangan
akhir (TPA), paling lambat di tahun 2013 harus sudah menutup Open Dumping dan
menggantinya dengan Controlled Landfill atau Sanitary Landfill.
41
Limbah (IPAL) dengan skala besar. Untuk limbah cair industri
khususnya
agroindustri
banyak
sekali
ditemui
kolam-kolam
penampungan limbah yang stagnan yang menjadi sumber emisi GRK.
Industri kelapa sawit dan tapioka memiliki potensi pengemisi CH4
terbesar di Indonesia. Beberapa teknologi yang diperlukan untuk
mengurangi emisi di agroindustri antara lain dengan anaerobic
treatment, aerobic treatment (atau kombinasi anaerobic-aerobic), dan
covered lagoon. Pada dasarnya teknologi-teknologi tersebut ditujukan
juga untuk menangkap dan memanfaatkan gas CH4. Bahkan untuk
industri kelapa sawit akan sangat disarankan untuk mendaur limbah
panas yang dihasilkan bagi keperluan energi di pabriknya sendiri, ini
yang disebut Advanced, Efficient and Integrated Technology for Steam
& Power Generation yang telah diterapkan di Thailand (Gambar 2.4).
Sumber : E3 Agro Thailand
Gambar 2.4. Potensi Penerapan Teknologi Daur Panas di Industri Sawit
42
f. Sektor Kelautan
Laut merupakan wahana CO2 sink yang cukup potensial di samping
hutan. Di forum internasional menyangkut perubahan iklim, sektor laut
relatif belum banyak dibicarakan, namun Indonesia beserta beberapa
negara kepulauan berusaha mengangkat wacana sektor ini. Laut
sebagai penyerap CO2 juga paling rentan terhadap pemanasan global
menyangkut kehidupan ekosistemnya. Sayangnya hingga saat ini
berdasar laporan IPCC tentang carbon flux global dari laut ke atmosfer
dan sebaliknya belum ada data dari wilayah laut Indonesia. Ini berarti
sangat diperlukannya teknologi yang mampu mendapatkan data dasar
laut kita untuk keperluan antisipasi perubahan iklim.
Beberapa teknologi mitigasi yang perlu dikembangkan dalam sektor ini
antara lain bagaimana mengoptimalkan kemampuan laut menyerap
CO2, atau yang dikenal dengan fertilisasi laut dan juga teknologi
biopumping. Teknologi monitoring Emisi-CO2 sink di lautan juga belum
kita kembangkan serta kemampuan inderaja untuk mengetahui net
primary production di laut. Teknologi adaptasi diperlukan antara lain
untuk mengantisipasi naiknya suhu permukaan laut misalnya dengan
terumbu karang buatan (artificial reef) dan teknologi fish apartment.
Selain itu naiknya muka air laut (sea level rise) juga harus diantisipasi
misalnya dengan model penataan kawasan pesisir yang adaptif,
teknologi groyne (krib) dan bangunan pantai (sea wall). Teknik-teknik
43
pemodelan sea level rise untuk wilayah Indonesia harus terus
ditingkatkan akurasinya, demikian pula model respon ekosistem pesisir
akibat kenaikan muka laut perlu dikembangkan untuk mendukung
pengambilan kebijakan.
2.4 Roadmap Sektoral Untuk Perubahan Iklim
Dengan telah adanya dokumen nasional hasil inventarisasi emisi GRK
dan studi kebutuhan teknologi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, maka sangat diperlukan adanya rencana dari tiap sektor
pembangunan dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Bappenas dalam hal ini telah menerbitkan Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR) tahun 2010. Untuk memastikan bahwa
setiap kegiatan terkait perubahan iklim sudah sesuai (tepat sektor)
dengan kementeriannya, maka ICCSR disusun oleh tiga pihak yakni
Bappenas, Kementerian/Lembaga serta Tim teknis.
Kebutuhan akan ICCSR didasari kenyataan bahwa pembangunan
rendah karbon dalam konteks perubahan iklim mempunyai keterkaitan
dengan perencanaan pembangunan nasional (lihat Gambar 2.5).
Secara singkat, ICCSR adalah upaya pengarusutamaan (mainstreaming)
perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM). ICCSR ini menguraikan visi dan strategi nasional dengan
penekanan
khusus
pada
upaya
mengatasi
hambatan
dalam
44
pembangunan rendah karbon di sektor-sektor
energi, kehutanan,
transportasi, industri, pertanian, wilayah pesisir, air, limbah dan sektor
kesehatan.
Sebagai upaya nasional terpadu untuk mengatasi perubahan iklim,
ICCSR
menetapkan
tiga
kategori
kegiatan
di
setiap
sektor
pembangunan yakni sebagai berikut;
1. Data, Information and Knowledge Management (KNOW-MANAGE)
2. Planning and Policy, Regulation and Institutional Development
(PLAN-PRIDE)
3. Implementation and Control of Plans and Programs with
Monitoring and Evaluation (ICON-MONEV)
45
RPJPN
RPJPN
2005-2025
2005-2025
PEMANASAN
PEMANASAN
GLOBAL
GLOBAL
RENSTRA
RENSTRA
K/L
K/L
RENJA
RENJA
K/L
K/L
RPJMN
RPJMN
2010-2014
2010-2014
RKP
RKP
APBN
APBN
RPJMD
RPJMD
RKPD
RKPD
APBD
APBD
RENSTRA
RENSTRA
SKPD
SKPD
RENJA
RENJA
SKPD
SKPD
ROAD
ROAD MAP
MAP
PERUBAHAN
PERUBAHAN
IKLIM2010-2030
IKLIM2010-2030
MODEL
MODEL IPCC
IPCC
PENILAIAN
PENILAIAN RESIKO
RESIKO
DAERAH
DAERAH
RPJPD
RPJPD
Gambar 2.5 Keterkaitan ICCSR dengan Rencana Pembangunan
(sumber: ICCSR, 2009)
46
Roadmap nasional untuk pengarusutamaan iklim dalam perencanaan
pembangunan ini secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 2.6.
KNOW-MANAGE
Pemetaan
Kerentanan Lokal KNOW-MANAGE
Pendirian Sistem
Informasi
Adaptasi
PLAN-PRIDE
ICON-MONEV
Kebijakan &
Peraturan
Berbasis Iklim
PLAN-PRIDE
Re-Inventarisasi
GRK Menghitung
Ulang
Pengurangan
Emisi GRK
ICON-MONEV
2015
Data Information and
Knowledge Management
(KNOW-MANAGE)
KNOW-MANAGE
Optimasi
Pembangunan
dan Bentuk
Adaptasi
PLAN-PRIDE
Pengurangan
Emisi GRK
26% dari BAU
ICON-MONEV
2020
Planning and Policy.
Regulation and
Institutional Development
(PLAN-PRIDE)
KNOW-MANAGE
Pembangunan
Berbasis
Adaptasi
PLAN-PRIDE
Peningkatan
Penggunaan
Energi
Alternatif
2025
ICON-MONEV
Pembangunan
Rendah
Karbon
2030
Implementation and
Control with Monitorng
and Evaluation
(ICON_MONEV)
Sumber : Bappenas, 2010
Gambar 2.6 Roadmap Nasional Untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
ICCSR memang menitikberatkan pada rencana mitigasi dan adaptasi
emisi GRK tiap sektor. Untuk mitigasi diuraikan besarnya emisi GRK
dari sektor serta potensi mitigasinya. Sedangkan untuk adaptasi, selain
diuraikan aktivitas apa saja terkait ancaman peubahan iklim terhadap
sektro tersebut dan berbagai tindakan dalam bentuk program yang
harus diadakan.
47
2.5 Kebijakan Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Walaupun Indonesia tidak termasuk ke dalam negara Annex-I yang
berkewajiban menurunkan emisi karbon, namun kenyataannya
Indonesia adalah negara yang rentan terhadap perubahan ikllim
khususnya sektor pertanian, kesehatan dan kelautan/perikanan. Untuk
itu Indonesia perlu melakukan upaya penanggulangan melalui mitigasi
perubahan iklim. Upaya mitigasi ini diwujudkan melalui Peraturan
Presiden No.61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional penurunan
emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) berisi target-target kuantitatif
penurunan emisi per sektor dan subsektor serta waktu pencapaiannya.
Pada dasarnya RAN-GRK adalah dalam rangka menindaklanjuti
kesepakatan Bali Action Plan pada The Conferences of Parties (COP) ke13 UNFCCC dan hasil COP-15 di Copenhagen maupun COP-16 di
Cancun. Target di dalam RAN-GRK sendiri didasarkan pada komitmen
Presiden RI dalam KTT G-20 di Pittsburg untuk mengurangi emisi GRK
sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% jika mendapat bantuan
internasional pada tahun 2020 dari kondisi BAU. Penurunan emisi 26%
tersebut akan dicapai melalui sektor kehutanan sebesar 87,38% (dari
total penurunan 26%), sektor energi sebesar 5,13% dan limbah sebesar
6,56%. Selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Dokumen RAN-
GRK ini menjadi acuan setiap upaya penurunan emisi GRK bagi
masyarakat dan pelaku usaha, sedangkan bagi Pemerintah Daerah
48
sebagai acuan dalam menyusun Rencana Aksi Daerah penurunan emisi
GRK (RAD-GRK).
Dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 disebutkan, kegiatan RAN-GRK
meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan
transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung
lainnya. Menteri dan pimpinan lembaga akan melaksanakan RAN-GRK
sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Pelaksanaan dan pemantauan
akan dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Untuk wilayah
provinsi, Gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah penurunan
emisi GRK (RAD-GRK) yang berpedoman kepada RAN-GRK dan
disesuaikan dengan prioritas pembangunan daerah.
Tabel 2.2 Target dan Sasaran Mitigasi GRK Nasional
Sektor dan
Subsektor
Emisi
*)
BAU
(2020) Gt
CO2
Target
Emisi
(26%)
2020
GtCO2
Tambahan
Target Emisi
(15%) 2020
GtCO2
Target Emisi (41%)
2020
GtCO2
Persentase
(%)
Energi
Sektor pembangkit
(Suplai dan
trnasmisi energi)
1.070
0.039
0.022
0.061
1
0.03
0.010
0.040
Industri
0.06
Transportasi
0.01
5.13%
49
Kehutanan
1.570
0.672
0.367
1.039
1.44
0.28
0.057
0.337
Peningkatan rosot
karbon, HUtan
berkelanjutan,
Mencegah
kebakaran hutan
dan Mengurangi
deforestasi
0.13
0.392
0.310
0.702
Pertanian
0.060
0.008
0.003
0.011
Mengurangi
pembakaran ilalang
saat budidaya
0.06
0.008
0.003
0.011
0.25
0.048
0.030
0.078
2.950
0.767
0.422
1.189
Konservasi
Gambut
Lahan
87.38%
0.93%
Mengurangi
penggunaan pupuk
kimia
Limbah
6.56%
Lainnya
Wilayah pesisir,
Pulau kecil, Lautan,
Perikanan termasuk
Peningkatan
penyerapan karbon
laut dan energi agro
di pesisir
Total
*)
BAU : Business As Usual (tidak dilakukan tindakan apapun)
Sumber : Bappenas, 2010.
50
Dengan bekal arah kebijakan baru (RAN-GRK), Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) mulai melakukan kajian dan dialog lintas sektor
agar kebijakan dan program pembangunan yang akan memasukkan
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dilakukan
dengan pola konvensional atau “business as usual”, akan tetapi harus
ada perubahan pendekatan yang menjamin terlaksananya pola
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu selain melihat
kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan kenaikan Produk
Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP), hasil pembangunan
juga harus dilihat dari turunnya tingkat emisi karbon dalam mencapai
tingkat GDP tersebut. Ukuran rendahnya emisi GRK merupakan salah
satu syarat penting terlaksananya pembangunan berkelanjutan di
masa depan. Karena itu diperkenalkan pengertian “pembangunan
rendah karbon” (Low Carbon Development) sebagai alternatif pola
pembangunan konvensional yang selama ini dilakukan dengan
mengandalkan bahan bakar energi sarat emisi karbon.
51
BAB III
PERAN IPTEK DALAM ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN
IKLIM
3.1 Pentingnya Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Bagi Indonesia
Dampak perubahan iklim saat ini sudah semakin nyata dengan laju
yang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dengan tidak mengecilkan
arti mitigasi – dimana perundingan global cenderung alot – suatu
upaya dalam bentuk rencana adaptasi menjadi mendesak bagi
Indonesia. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci
yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka
mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak
perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan
antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda
adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi
perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Saat ini, Indonesia yang sudah rentan terhadap resiko bencana alam,
seperti banjir, longsor, erosi, badai tropis, dan kekeringan, akan
menghadapi resiko yang lebih besar lagi ke depan akibat perubahan
iklim. Apabila langkah-langkah penanganan yang konkret tidak segera
dilaksanakan, maka target-target Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals/MDGs) untuk bidang-bidang yang berkaitan
52
dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan akan sulit dicapai.
Bahkan, ada kemungkinan, target-target pembangunan yang telah
tercapai selama puluhan tahun ini, juga terancam
Oleh
karena
itu,
agenda
adaptasi
perubahan
iklim
harus
diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan
dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.
Pembangunan yang hanya mementingkan pencapaian tujuan ekonomi
semata tanpa memperhatikan kelestarian alam akan menambah
kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Pelaksanaan kegiatan
adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan
kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat
miskin merupakan golongan masyarakat yang paling rentan terhadap
dampak perubahan iklim.
Pembangunan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim di masa
depan harus didasarkan pengalaman dan kemampuan yang dibangun
dalam mengatasi resiko iklim saat ini. Dengan demikian, penyusunan
agenda adaptasi terhadap perubahan iklim harus dikaitkan dengan
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB). RANPRB yang telah disusun oleh Pemerintah Indonesia merupakan bentuk
komitmen terhadap Resolusi PBB 63/1999. RAN-PRB bertujuan untuk
mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana termasuk yang
53
berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti
perubahan iklim.
Keberhasilan penerapan agenda adaptasi juga sangat ditentukan oleh
watak dari kerangka adaptasi: apakah ia tergolong ke dalam apa yang
disebut sebagai ”adaptasi reaktif” yang dipandu oleh munculnya
perubahan-perubahan mutakhir dalam variabel klimatik atau nonklimatik/sosial, atau ”adaptasi antisipatif”, yang berpedoman kepada
sebuah perkiraan ambang-batas kritis/genting dari perubahanperubahan kedua jenis variabel tersebut di atas yang masih bisa
ditanggung oleh kemampuan sosial ekologis serta kelembagaan
pemerintahan setempat. Penting bagi semua pihak pelaku adaptasi
untuk juga mempertimbangkan kemungkinan munculnya distorsi
kompetitif didalam penggunaan sumber-sumber daya publik termasuk
ruang/lahan untuk keperluan mitigasi di satu pihak dengan tuntutan
adaptasi.
Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak
perubahan
iklim
memiliki
tujuan
untuk
menciptakan
sistem
pembangunan yang tahan (resilience) terhadap goncangan variabilitas
iklim saat ini (anomali iklim) dan antisipasi dampak perubahan iklim di
masa depan. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area
yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air,
54
pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman,
kesehatan, dan kehutanan.
Perlu ditekankan juga bahwa pelaksanaan agenda adaptasi pada
dasarnya juga memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sampai saat ini tidak ada dokumen nasional yang secara tegas
memetakan kemampuan penguasaan iptek bangsa Indonesia terhadap
kebutuhan teknologi adaptasi. Beberapa dokumen nasional yang
disampaikan ke UNFCCC ada beberapa yang menyinggung rencana
adaptasi seperti di TNA tahun 2009 dan itupun terbatas pada sektor
pertanian dan kelautan. Sementara dalam ICCSR telah mulai dijabarkan
rencana adaptasi beberapa sektor termasuk kesehatan. Ada hal yang
juga penting dalam kaitan ini adalah perlunya kita memetakan tematema riset untuk adaptasi perubahan iklim serta mengetahui kapasitas
lembaga riset kita saat ini. Hal ini perlu karena perkembangan dampak
perubahan iklim yang cepat serta tidak selamanya kita bergantung
dalam hal iptek perubahan iklim kepada negara maju.
3.2 Peran Iptek Dalam Menjawab Perubahan Iklim
Jika dalam uraian sebelumnya disampaikan bahwa perubahan iklim
yang terjadi akibat naiknya suhu atmosfer semenjak revolusi industri,
maka perkembangan iptek kala itu menjadi pemicunya. Kini harapan
manusia untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak perubahan
55
iklim juga kembali tertuju pada peran iptek. Berbagai pusat riset dunia
saat ini hampir pasti bersinggungan dengan tema riset perubahan iklim,
termasuk di Indonesia sendiri.
Hasil kajian DRN tahun 2010 yang dituangkan dalam dokumen Peranan
Iptek
Dalam
Menjawab
Pemanasan
Global
misalnya
sudah
disampaikan berbagai peran iptek dalam kaitan merespon perubahan
iklim di Indonesia5. Sebagai contoh, apa yang telah dilakukan BMKG
dengan membuat zona musim (ZOM) di Indonesia agar mudah dalam
prediksi luasan area persawahan. ZOM juga didasarkan atas
rekomendasi Kelompok Kerja Prakiraan Musim Nasional (KKPMN) yang
terdiri dari BMKG, LAPAN, BPPT, Balitklim, ITB dan IPB. Dokumen ZOM
sangat penting bagi sektor pertanian.
Contoh lain peran iptek antara lain dalam penerapan teknologi
modifikasi cuaca yang dilakukan di BPPT baik dalam mengatasi
kekeringan atau mencegah hujan (memindah awan) agar tidak terjadi
volume hujan yang berlebih (banjir). Di sektor energi saat ini juga
banyak penerapan iptek dalam riset energi baru dan terbarukan. Dua
iptek utama dalam penerapannya bidang energi ini adalah pembangkit
5
Lihat “Peran Iptek Dalam Menjawab Pemanasan Global”-DRN (2010), tentang hasil FGD para
periset ITB dan UNPAD yang menyimpulkan bahwa banyak riset yang telah mereka lakukan
tidak langsung berkaitan dengan perubahan iklim, walaupun mereka sadar akan isu
perubahan iklim.
56
listrik non bahan bakar fosil seperti tenaga surya, panas bumi dan
hidro
serta
pengembangan
bahan
bakar
nabati
(biofuel).
Pengembangan biofuel, dengan sentuhan iptek saat ini juga berasal
dari mikroalga. Pada tema ini, saat ini LIPI fokus pada pencarian
spesies yang optimum, sedangkan BPPT fokus pada optimasi teknologi
fotobioreaktor sedangkan ITB juga fokus pada teknologi konversi
menjadi minyak diesel.
Iptek sistem informasi geografi yang digabungkan dengan teknologi
inderaja juga diterapkan dalam penentuan lokasi perikanan tangkap
yang sangat berguna bagi nelayan 6 . Respon perubahan iklim
memerlukan kebijakan, sedangkan iptek perubahan iklim memerlukan
riset baik dasar maupun terapan. Hubungan keterkaitan antara
permasalahan perubahan iklim, kebijakan antisipasi dan perlunya riset
ditunjukkan dalam Gambar 3.1.
6
SIKBES-Ikan (Intelligent Fish Tracker) dikembangkan oleh TISDA-BPPT
57
Riset yang telah dihasilkan PT, Litbang,
LPNK, LSM dan Lainnya
Terintegrasi? Sesuai Trend? Overlap?
DRIVING FORCE
PRESSURES
STATES
IMPACT
Kondisi Lingkungan
Fisik
EKONOMI
Industri
Pertanian
Energi
Transportasi
Produksi &
Struktur
produksi
Aplikasi
teknologi
Emisi &
polusi
Hidrologi, bentang alam,
ketersediaan sumberdaya
SDA dan
lahan
Kualitas Air, udara, tanah
Perubahan
Iklim
Konsumsi
Perdagangan
Kimia
Biologi
Biodiversity, species
Ekosistem
Dampak
ekosistem
Dampak
lingkungan
Dampak
sosial
Riset
mengenai
dampak dan
respon
terutama
mikro/lokal ??
(Makro &
mikro)
Pesisir, kelautan, hutan
Ada relasi?
TARGET
Kebijakan
Makro
ekonomi
Kebijakan
Sektoral
Kebijakan
Lingkungan
Penurunan Emisi 26%
pada tahun 2020
PRIORITAS
(RAN-GRK)
KEBIJAKAN
RESPONSES
Dokumen (kebijakan, roadmap dll) yg telah
dikeluarkan oleh Pemerintah, DNPI,
Kementerian dll.
Overlap? Difusi iptek? Respon daerah?
Gambar 3.1 Skema Hubungan Keterkaitan Dalam Perubahan Iklim
(DRN, 2010b)
Dari uraian sebelumnya, masalah adaptasi perubahan iklim merupakan
agenda yang harus segera dilaksanakan mengingat posisi Indonesia
yang rentan terhadap bencana iklim. Dewan Riset Nasional (DRN)
58
dalam dokumen Agenda
Riset Nasional (ARN) 2010-2014 telah
memetakan kebutuhan tema-tema riset untuk adaptasi perubahan
iklim. Dapat dikutip di sini beberapa tema riset tersebut dalam bidang
keamanan pangan dan kesehatan dan obat sebagai berikut;
a. Keamanan Pangan
1.
Pengembangan model prediksi perubahan iklim, terutama
untuk unsur-unsur iklim yang berpengaruh nyata terhadap
produksi tanaman pangan.
2.
Pengembangan teknologi memanen air hujan (rainwater
harvesting) dan mengurangi kehilangan air tanah dalam sistem
produksi pertanian pangan dan budidaya perikanan.
3.
Pemodelan respon tanaman pangan dan hortikultura terhadap
perubahan iklim
4.
Investigasi pola migrasi dan daerah pemijahan ikan akibat
perubahan iklim.
5.
Pengkajian
pengaruh
pengembangan
pola
pertanian,
peternakan, perikanan terhadap emisi dan penyerapan karbon.
b. Kesehatan dan Obat
1.
Pengembangan teknologi keamanan pangan, khususnya dalam
metode deteksi cemaran pangan.
2.
Pengembangan teknik deteksi dini dan prognosis penyakit
menular/tidak menular.
59
3.
Penelitian keterkaitan antara vektor, reservoir dan penyakit.
4.
Pengembangan teknologi tepat guna untuk pengelolaan limbah
rumah tangga, unit yankes dan industri.
5.
Pengembangan teknologi tepat guna untuk penyediaan air
bersih di lingkungan dengan kondisi kesehatan yang buruk.
6.
Pengembangan vaksin sesuai dengan pola/karakter patogen
Indonesia.
3.3 Kapasitas Litbang Nasional
Agenda riset adaptasi perubahan iklim tidak hanya membutuhkan
spesifikasi tema riset agar dicapai efektivitas sasaran, namun juga
perlu melihat sudah sejauh mana institusi-institusi riset yang ada di
Indonesia memiliki kesiapan sumberdaya dalam masalah ini. Beberapa
lembaga riset mungkin sudah mampu melakukan riset atau
menghasilkan teknologi adaptasi perubahan iklim, atau beberapa
teknologi mungkin masih harus ditransfer dari negara maju lainnya.
Dalam kajian singkat yang dibatasi waktu dan sumberdaya, melalui
survei langsung maupun data sekunder, didapati kemampuan dan
potensi beberapa lembaga dalam melakukan riset atau pengembangan
teknologi adaptasi, yang diuraikan sebagai berikut;
60
a. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Sejak isu perubahan iklim mengemuka, BPPT sebagai agen pemerintah
yang memiliki tugas mengkaji dan menerapkan teknologi juga telah
bergerak dengan serangkaian program yang langsung atau tidak
langsung merespon isu perubahan iklim. Pada tahun 2009 dan 2010,
BPPT melalui program Pengembangan Teknologi Mitigasi dan Dampak
Pemanasan Global (GW-BPPT), telah mengukur emisi karbon dari
hutan khususnya lahan gambut dan sawah padi oleh Pusat Teknologi
Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana (PTLWB) guna mendapatkan
angka faktor emisi. Angka faktor emisi penting guna memperhitungkan
besaran emisi karbon. Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan
REDD/REDD+ adalah bahwa seluruh data emisi maupun penyerapan
karbon haruslah dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable,
reportable & veriviable, MRV). Melakukan serangkaian workshop
melalui working group yang diprakarsai baik oleh DNPI maupun
Kementerian Kehutanan, BPPT telah berpartisipasi aktif terutama
dalam pengembangan usulan teknologi seperti melalui satelit
(inderaja).
Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, pengukuran secara insitu yang
berkesinambungan
sulit dilakukan karena luasnya hutan dan
sumberdaya manusia yang ada. Salah satu cara adalah pemanfaatan
teknologi pengideraan jauh dan GIS. Pemantauan faktor emisi atau
61
carbon stock dapat dilakukan dengan melihat konsisi eksisting
tataguna lahan dimana hal ini dapat dilakukan dengan teknologi
Synthetic Apperature Radar (SAR) dan sensor satelit optik (Landsat).
Sedangkan perhitungan fluks eksisting karbon hanya dapat dilakukan
dengan perhitungan langsung atau dengan memanfaatkan satelit
terbaru yang dinamakan GOSAT (Greenhouse gases Observing
Satellite). Salah satu kajian tim dari Pusat Teknologi Inventarisasi
Sumberdaya Alam (PTISDA) dalam MRV ini adalah untuk observasi gas
CO2 dengan munculnya satelit GOSAT. Untuk mendapatkan parameter
gas CO2 dan CH4 maka di satelit GOSAT dilengkapi dengan Fourier
Transform Spectrometer.
Sejak awal 2000-an, penelitian dan pengembangan bidang pangan
untuk adaptasi perubahan iklim yang dilakukan di BPPT dengan arah
peningkatan kemampuan teknologi produksi bahan baku industri
berbasis pati, teknologi pasca panen dan diversifikasi hasil pertanian,
peternakan dan perikanan. Selain itu juga dikembangkan teknologi
budidaya non konvensional dan teknologi produksi produk derivatif
pertanian, peternakan dan perikanan. Seluruh kajian di atas
dilaksanakan Kedeputian Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi
(TAB)-BPPT. Riset lain dalam konteks ketahanan pangan, adalah
pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan
dan peternakan, prototipe ikan nila salin unggul sekaligus prototipe
62
vaksin DNA streptococcus dan prototipe protein recombinant growth
hormon ikan nila, remediasi lahan pertanian dan pengelolaan
sumberdaya air secara terpadu.
Untuk teknologi serta rekayasa dan rancang bangun bidang energi
dalam kaitan mitigasi emisi GRK, di kelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu,
Teknologi energi untuk bahan bakar dan Teknologi energi untuk
Kelistrikan. Kegiatan pengembangan sumberdaya energi di BPPT
diarahkan untuk mencari dan memanfaatkan energi alternatif yang
berbasis pada sumberdaya energi terbarukan dan ramah lingkungan
serta
mengoptimalkan
Sedangkan
pemilihan
potensi
teknologi
sumberdaya
pemanfaatan
energi
setempat.
energinya
lebih
ditekankan untuk substitusi BBM dan teknologi peningkatan efisiensi
serta peningkatan kandungan lokal dalam negeri (TKDN).
Perekayasaan teknologi energi untuk bahan bakar dikoordinir oleh
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE)-BPPT.
Sumber energi bahan bakar berasal dari fosil (batubara) dan nabati
(biomassa). Pengkajian teknologi pengembangan bahan bakar yang
berasal dari batubara, diantaranya adalah teknologi pencairan
batubara, teknologi gasifikasi dan coal up grading. Sedangkan
pengkajian teknologi pengembangan bahan bakar dari nabati adalah:
pemanfaatan biodiesel pada kendaraan dan mesin stationer,
63
pemanfaatan ethanol di sektor transportasi dan pemanfaatan bio-oil/
pure plant oil (PPO)
pada kendaraan, PLTD dan kompor serta
pengembangan teknologi pemanfaatan Dimethyl Ether (DME) sebagai
pengganti LPG untuk kompor rumah tangga.
Untuk pengkajian dan penerapan teknologi energi kelistrikan
dikoordinir oleh Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi
(PTKKE)-BPPT. Berbagai sumberdaya energi terbarukan yang saat ini
dikembangkan, diantaranya: surya, angin/ bayu, panasbumi, arus laut,
dan energi gelombang laut serta biomassa. Selain mendorong
pemanfaatan energi terbarukan, BPPT juga melakukan pengkajian
teknologi untuk meningkatkan kehandalan sistem kelistrikan dan
penerapan sistem manajemen energi.
Beberapa teknologi yang
sedang dikembangkan, diantaranya: teknologi hibrida (surya-bayubiofuel), teknologi untuk mengontrol kualitas daya listrik (power
quality), penerapan sistem manajemen teknologi efisiensi energi dan
penerapan teknologi optimasi sumberdaya energi setempat.
Pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dan penerapan
teknologi
listrik
ramah
lingkungan,
dapat
menekan
ataupun
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Penerapan teknologi sistem
integrasi kelistrikan seperti hybrid dan grid connected, baik secara
langsung ataupun tidak, juga dapat menekan laju emisi GRK. Besarnya
64
pengurangan emisi GRK pada penggunaan teknologi-teknologi
pembangkit tersebut sangat tergantung pada besaran kontribusi
energi alternatif (angin, surya, dll) di dalam memproduksi listrik.
Semakin besar kontribusi energi terbarukan di dalam memproduksi
listrik berarti mengurangi operasional pembangkit diesel (BBM).
Dengan demikian emisi GRK dari pembangkit diesel (BBM) dapat
ditekan.
Salah satu dampak perubahan iklim yang paling nyata adalah adanya
kelangkaan air (water scarcity) di satu wilayah dan kelebihan air
(banjir) di wilayah lain. Salah satu teknologi yang dapat mengantisipasi
ini adalah pemodelan cuaca. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) telah
menjadi andalan BPPT termasuk dalam program adaptasi perubahan
iklim. Peran BPPT dalam teknologi modifikasi cuaca ini sudah termasuk
kategori solusi teknologi atau pelayanan jasa teknologi, khususnya
pada program-program pengisian waduk/badan air di musim kemarau
dalam mengantisipasi kebutuhan air bagi PLTA. Riset-riset UPT Hujan
Buatan (UPT HB) dalam kaitan ini antara lain pembuatan flares dalam
negeri, laboratorium udara (FLARes) maupun prediksi iklim dan banjir,
serta stasiun Ground Based Generator (GBG). Selain untuk pengisian
waduk, teknologi hujan buatan juga sering digunakan dalam
pemadaman kebakaran hutan pada musim kemarau.
65
Sumber : BPPT, 2011
Gambar 3.2 Skema peralatan yang telah terpasang dalam program HARIMAU
di Benua Maritim Indonesia (BMI).
Dampak perubahan iklim selain meningkatnya intensitas banjir juga
timbulnya organisme penganggu tanaman (OPT), ini menjadi latar
belakang aplikasi riset HARIMAU (Hydrometeorological ARray for
Intraseasonal Variations Monsoon AUtomonitoring) merupakan bagian
66
dari kegiatan 5 tahun (2005 – 2009) dari program
“Japan Earth
Observation System [EOS] Promotion Program (JEPP). Kegiatan utama
program HARIMAU adalah instalasi radar cuaca di sepanjang ekuator
Benua Maritim Indonesia (BMI) untuk memahami variasi antar
musiman yang berpengaruh terhadap fenomena cuaca dan iklim BMI
yang untuk pihak Indonesia dikoordinir oleh BPPT.
Melalui Pusat Teknologi Lingkungan (PTL)-BPPT, beberapa kajian
terkait mitigasi perubahan iklim telah beberapa tahun terakhir
dilakukan. Di bidang mitigasi, penelitian tentang penangkapan gas
metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah telah dimulai
sejak 2008 hingga saat ini. Untuk limbah cair baik domestik maupun
industri (khususnya untuk beberapa jenis industri), PTL telah mampu
merancang dan menginstalasi berbagai IPAL baik skala rumah tangga
dan komunal (domestik), skala individu dan kawasan (industri).
Pengembangan teknologi biofiltrasi aerob-anaerob sudah diaplikasikan
baik untuk limbah cair rumah tangga dan perkantoran dan juga di
industri. IPAL biofilter aerob-anaerob telah banyak di instalasi di
berbagai perkantoran, hotel, rumah sakit dan industri tertentu.
67
Gambar 3.3 Fotobioreaktor Penyerap CO2 (kiri) dan Konversi Alga Menjadi
Biofuel (kanan)
Sementara itu tahun 2010 PTL telah merintis kerjasama dengan
industri pengemisi CO2 melalui kegiatan teknologi penangkapan dan
penyerapan karbon secara biologis dengan mikroalga,
melalui uji
fotobioreaktor dan kolam kultur dalam menyerap gas-gas emisi dari
cerobong boiler industri mitra. Ujicoba masih akan berlanjut dan pada
tahun 2011, fotobioreaktor akan di aplikasikan di industri akan
dimodifikasi berdasarkan pengalaman perawatan dan operasional
selama ini. Selain itu juga telah dilakukan kegiatan kajian pemanfaatan
hasil panen mikroalga sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Penelitian
68
pemanfaatan mikroalgae sebagai biofuel ini masih akan berlanjut
untuk tahun-tahun mendatang.
Walau hanya dalam penggambaran yang tidak terlalu detail, terlihat
BPPT sebagai lembaga perekayasaan dan penerapan teknologi sudah
cukup maju dan siap dalam mengembangkan teknologi mitgasi dan
adaptasi perubahan iklim. Prasayarat utama seperti program,
sumberdaya manusia dan peralatan dalam skala tertentu terbilang
mencukupi. Permasalahannya tinggal bagaimana terjalin hubungan
dengan
sektor
atau
kementerian
selaku
penanggungjawab
pelaksanaan program mitigasi dan adaptasi dapat berjalan baik dan
efektif.
b. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Beberapa riset terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang
dilaksanakan di LIPI antara lain fokus pada keamanan pangan, energi
alternatif, manajemen transportasi serta kesehatan dan obat-obatan.
Masalah kerentanan pesisir dalam kasus perubahan iklim juga pernah
diteliti di Pusat Oseanografi dengan mengambil kasus di pantura
Cirebon. Tujuan riset ini untuk mengetahui seberapa besar tingkat
kerentanan
pesisir
terhadap
penggenangan
(inundation)
dan
pengasaman (acidification).
69
Untuk riset adaptasi bidang keamanan pangan, ditujukan pada
rekayasa dan diversifikasi produk pangan berbasis pada komoditas
lokal yang potensial dan kaya nutrisi serta berfungsi sebagai aditif.
Selain itu kegiatan riset pangan di daerah sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Di bidang energi, LIPI fokus
pada penemuan dan pengembangan sumber daya energi alternatif
(matahari, angin, panas bumi, dan bahan bakar nabati) dan konservasi
energi sangat penting sebagai substitusi dari bahan bakar fosil yang
terbatas. Bahan bakar alternatif untuk mesin bersumber dari tanaman
dan minyak hewan yang memiliki beberapa keuntungan
seperti
meningkatnya umur mesin hidup, mengurangi polutan, dan limbah
beracun sedangkan mikro-hidro dikembangkan sebagai sumber energi
bagi desa-desa terpencil yang belum teraliri listrik.
Dalam ARN 2010-2014, salah satu fokus riset yang penting bagi
mitigasi perubahan iklim adalah transportasi. Tema riset yang
diarahkan adalah pengembangan sistem transportasi perkotaan yang
berwawasan lingkungan, dalam hal ini selain mengembangkan sistem
transportasi massal juga penggunaan energi alternatif untuk angkutan
umum dan mobil pribadi.
70
Sumber : www.lipi.go.id
Gambar 3.4 Mobil Listrik Rancangan LIPI
Dalam kaitan penghematan bahan bakar fosil dan memenuhi
transportasi masyarakat, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronik - LIPI di Bandung, juga telah
memperkenalkan dua
kendaraan hasil rekayasanya, yaitu mobil hybrid dan mobil elektrik. Di
Pusat ini para peneliti juga sedang merancang sistem transportasi,
sistem transmisi kereta, dan mobil listrik.
71
Sementara di Pusat Penelitian Biologi LIPI juga dilakukan riset terhadap
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim khususnya terkait pengelolaan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Penelitian mengenai
keanekaragaman hayati ditujukan pada empat tingkatan komponen
biologi yang merupakan kompetensi P2 Biologi LIPI, yaitu penelitian
tingkat molekuler, spesies, komunitas dan ekosistem. Seperti kita
ketahui salah satu dampak dari perubahan iklim adalah hilangnya
keanekaragaman hayati akibat naiknya suhu udara dan kenaikan muka
laut.
Masalah sumberdaya air juga dikaji dan dikembangkan di Pusat
penelitian Geoteknologi yang meliputi inventarisasi dan konservasi
sumber daya air, pencemaran dan remediasi air tercemar, pengamatan
pasang surut air laut yang mempengaruhi daerah pesisir. Sebagai
lembaga riset yang cukup perpengalaman, LIPI memiliki kapasitas yang
mencukupi untuk mengembangkan riset-riset adaptasi perubahan
iklim.
c. Lembaga Litbang Kementerian Pertanian
Setidaknya ada 4 (empat) unit litbang sebagai ujung tombak dalam
riset adaptasi perubahan iklim sektor keamanan pangan, yakni Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) serta Balai Besar
72
Penelitian Tanaman Padi. Salah satu fokus perhatian lembaga-lembaga
ini adalah bagaimana mewujudkan keberadaan varietas tanaman
(khususnya padi) yang tahan terhadap perubahan iklim. Sebagaimana
diketahui perubahan iklim membawa dampak buruk
terhadap
pertanian di Indonesia, antara lain mempengaruhi pola tanam dan
juga kenaikan paras muka laut yang
akan berpengaruh terhadap
varietas tanaman. Ada varietas yang tahan dan ada yang tidak tahan
terhadap garam (salinitas). Dampak yang paling nyata adalah
kerusakan (degradasi) dan penurunan kualitas sumberdaya lahan dan
air, infrastruktur pertanian, penurunan produksi dan produktivitas
tanaman pangan, yang dapat mengancam kerentanan dan kerawanan
terhadap keamanan pangan dan bahkan kemiskinan penduduk.
Ketidakpastian
cuaca
mengakibatkan
petani
kesulitan
dalam
merencanakan dan mengelola budidaya pertanian. Serangan hama dan
penyakit yang mengganas berakibat menurunnya
produksi hasil
pertanian. Bencana alam seperti banjir pada area sentra pertanian
menimbulkan kerusakan baik pada tanaman, infrastruktur pertanian
maupun mengganggu kelancaran distribusi saprotan dan hasil panenan.
Hingga saat ini lembaga penelitian di bawah Kementerian Pertanian ini
telah menghasilkan lebih dari 200 varietas padi unggul. Kementan
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan yang ada, juga telah
merekayasa dan menghasilkan varietas padi yang tahan kering
73
(INPAGO), tahan rendaman (INPARA), maupun untuk daerah yang
beririgasi (INPARI). Varietas jagung hibrida unggul berumur sedang (90100 hari) dan berpotensi hasil tinggi (>13 ton/ha) toleran kekeringan
dan kemasaman tanah serta jagung hibrida umur genjah ± 85 hari
setelah tanam (HST) dengan potensi hasil 11 ton/ha7.
7
Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS – Kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan , Kementerian Pertanian pada Juli 2011.
74
Selama periode 1992-2001, Badan Litbang Pertanian, telah merilis 10
jenis jagung hibrida silang tiga jalur yaitu; varietas Semar-1 sampai
dengan Semar-10 dan satu hibrida silang tunggal yaitu varietas Bima-1.
Penyampaian
varietas jagung hibrida unggul baru berjalan agak
lambat dan baru dikeluarkan lagi pada tahun 2007 dengan nama Bima2 Bantimurung dan Bima-3 Bantimurung. Tahun 2008 dikeluarkan lagi
tiga varietas jagung hibrida unggul baru yaitu Bima-4, Bima-5 dan
Bima-6. Untuk tahun 2010 sebanyak 5 varietas jagung hibrida unggul
baru yang dirilis yaitu; Bima-7, Bima-8, Bima-9, Bima-10, dan Bima-11.
Bima-2 Bantimurung atau yang lebih dikenal dengan nama dagang
“Jagung Hibrida Pak Tani-2” telah dilisensi dan dikembangkan oleh
perusahaan swasta. Beberapa varietas yang lain juga telah dilisiensi
oleh berbagai usaha swasta dengan nama dagang tertentu. Dari
sejumlah varietas jagung hibrida yang telah dikeluarkan oleh Badan
Litbang Pertanian, dua varietas tergolong berumur genjah (umur ≤ 90
HST) yaitu Bima 7 dan Bima 8.
Selain tanaman pangan (padi dan jagung), Kementerian Pertanian juga
merilis empat varietas cabai yang tahan terhadap perubahan cuaca
dan hama. Produktivitas cabai unggul tersebut hampir sama dengan
jenis cabe yang lain yakni 0.8-1 kilogram per pohon. Varietas baru ini
diharapkan dapat menjadi jawaban atas kegagalan panen cabai akibat
hujan yang berlangsung terus menerus. Dengan demikian boleh
75
dikatakan lembaga-lembaga litbang di bawah Kementerian Pertanian
memiliki kapasitas yang memadai dalam adaptasi perubahan iklim
terlepas dari persoalan diluar yakni mulai menyempitnya lahan
pertanian.
d. Balitbang Sumberdaya Air –Kementerian Pekerjaan Umum
Selain varietas bibit padinya sendiri, permasalahan keamanan pangan
juga terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Hal ini penting
mengingat peran air baik seagai sumber minuman juga sebagai air
pengairan dalam sistem pertanian. Salah satu institusi litbang yang
memegang peranan penting dalam bidang sumberdaya air adalah Balai
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air – Kementerian
Pekerjaan Umum. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya,
Puslitbang SDA PU memiliki 8 balai yakni: Balai Hidrologi dan Tata Air,
Balai Lingkungan Keairan, Balai Bangunan Hidraulik dan Geoteknik
Keairan, Balai Pantai, Balai Rawa, Balai Sungai, Balai Sabo dan Balai
Irigasi.
Puslitbang SDA PU sudah memfokuskan riset berkaitan dengan
perubahan iklim sejak diluncurkannya RAN MAPI Departemen
Pekerjaan Umum pada tahun 2008. Riset tersebut dilakukan oleh 8
76
balai yang bernaung di bawah Puslitbang PU dengan cakupan riset
secara garis besarnya sebagai berikut8:
Balai Hidrologi dan Tata Air (HTA) merupakan salah satu balai yang
melakukan riset inovasi dan perekayasaan teknologi tentang banjir,
kekeringan, peramalan dan peringatan dini banjir, erosi, sedimentasi,
hujan-aliran, air tanah, instrumentasi hidrologi, klimatologi dan tata air.
Hasil riset ini dipakai untuk mendukung pembangunan prasarana
sumberdaya air seperti untuk pengendalian sungai, pembangunan
bendungan, pengendalian bencana alam, pengelolaan operasional
bangunan pengairan dan sebagainya serta penyusunan norma, standar,
pedoman, manual yang berkaitan dengan hidrologi tata air.
Untuk pengendalian waduk, Balai HTA telah melakukan riset green belt
yakni melakukan treatment terhadap air yang masuk ke waduk dengan
menanami tanaman yang dapat menyerap polutan seperti fosfat dan
senyawa nitrogen. Riset
juga dilakukan dalam skala laboratorium
untuk memilih jenis tanaman yang cocok terhadap polutan tertentu.
Selain dengan tanaman, perbaikan kualitas waduk juga dilakukan
dengan mengolah air limbah yang masuk ke waduk tersebut dengan
teknologi trickling filter, lumpur aktif dan lain sebagainya. Sebagai
8
Hasil wawancara dengan Dr. Ir. Fransisca Mulyantari, Kepala Bidang Program dan
Kerjasama – Puslitbang SDA PU bulan Juni 2011
77
contoh Waduk Cirata, dimana air limbah dari peternakan yang ada di
sekitar waduk sebagai sumber polutan, setelah
dilakukan proses
pengolahan, kualitasnya lebih baik yang pada akhirnya pencemaran
waduk dapat berkurang. Balai HTA ini juga melakukan pemantauan
secara periodik terhadap kualitas air waduk agar supaya bila terjadi
penurunan
kualitas,
dapat
segera
dilakukan
langkah-langkah
antisipasinya.
Beberapa riset yang dilakukan Balai Hidraulik dan Geoteknik keairan
antara lain untuk mengantisipasi banjir yang diramalkan akan semakin
sering terjadi. Riset yang telah dilakukan meliputi, pengembangan
sistem peramalan dan peringatan dini banjir, yakni upaya pencegahan,
mitigasi dan kesiapsiagaan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana
dengan menggunakan peralatan telemetri yang didesain murni
menggunakan produk nasional yang kompetitif sehingga tidak
menjadikan ketergantungan terhadap pihak luar.
Kemudian riset polder, yakni suatu bangunan air untuk mengatasi
banjir. sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling
kawasan, pompa dan pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata
air yang tak terpisahkan. Manajemen sistem tata air dilakukan dengan
mengendalikan volume, debit, muka air, tata guna lahan dan lansekap.
Riset lain adalah ASR (Artificial Storage and Recovery) yakni teknologi
78
terapan sumur imbuhan berbasis akuifer yang terintegrasi dengan
sumur resapan. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan akuifer sebagai
underground reservoir tempat penyimpanan dan pengambilan air.
Teknologi ini berbasis pemanenan air hujan yang dikombinasikan
dengan pemanfaatan air permukaan secara optimum.
Sumber : Survei lembaga
Gambar 3.5 Sistem Peringatan Dini Banjir
Sementara di Balai Lingkungan Keairan banyak dilakukan riset-riset
terkait penyediaan dan pengolahan air bersih dan air limbah. Sebagai
contoh riset tentang instalasi pengolahan air gambut untuk
penyediaan air bersih, yakni pengolahan air gambut dengan metode
koagulasi, flokulasi, sedimentasi dan penyaringan. Kemudian IPASS
79
yakni instalasi pengolahan air sangat sederhana untuk daerah-daerah
yang tidak terjangkau PDAM yang terdiri dari bak pengendapan, sistem
perata aliran, saringan pasir lambat, dan bak desinfeksi. Lalu ada SPAB
Dasab, yakni sistem sederhana pengolahan air bersih darurat saat
banjir menggunakan bahan kimia tawas, kaporit dan filter. Di bidang
pengolahan air limbah dilakukan riset teknologi pengolahan air limbah
rumah tangga ”grey water” dengan ecotech garden, yakni pengolahan
air limbah di selokan atau efluen tangki septik dengan menggunakan
tanaman hias air agar BOD, COD, deterjen, nitrogen dan fosfat dapat
berkurang konsentrasinya. Kapasitas iptek untuk puslitbang di
lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum boleh dikatakan sangat siap
untuk melaksanakan riset dan perekayasaan teknologi adaptasi
perubahan iklim.
d. Balitbang Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir merupakan lembaga garda
depan dalam mengembangkan arah dan strategi mitigasi dan adaptasi
wilayah pesisir dan lautan dalam menghadapi perubahan iklim. Selain
itu Direktorat Pesisir dan Lautan juga memegang peran kunci dengan
diluncurkannya rencana aksi dalam dokumen “Strategi Adaptasi dan
Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil” Kementerian Kelautan dan Perikanan.
80
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia merupakan salah satu
wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dampak tersebut meliputi kenaikan muka air laut, perubahan suhu
permukaan air laut, perubahan pola cuaca dan iklim setempat. Hal ini
semakin diperparah dengan kenyataan adanya potensi bahaya alam
lainnya seperti banjir, gempa, tsunami, dan badai tropis. Kondisikondisi tersebut memicu
permasalahan lain seperti meningkatnya
erosi pantai, instrusi air laut, penggenangan lahan-lahan produktif dan
fasilitas publik, hilangnya ekosistem lahan basah, perubahan pola
hujan dan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai.
Dengan demikian, perubahan iklim yang dikombinasikan dengan
berbagai faktor anthropogenik telah dan akan menjadi faktor utama
dalam meningkatkan kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil. Upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap dampak-dampak
tersebut di atas harus dilakukan agar keberlanjutan kegiatan sosial
ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dijaga.
Sejak tahun 2008 Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir mulai
memberi perhatian pada perubahan iklim yang mengarah kepada
riset-riset mitigasi dan adaptasi, dengan hasil utama database dan
analisis data dari hasil pengambilan data primer maupun pengumpulan
81
data sekunder di lokasi kajian. Selain itu dilakukan juga kajian dan
analisis dampak perubahan iklim yang terdiri atas analisis kemunduran
garis pantai, analisis potensi bahaya, analisis kerentanan pantai,
analisis resiko dan valuasi ekonomi. Sebagai contoh, beberapa
judul/tema riset terkait perubahan iklim yang dilakukan sebelum dan
sampai dengan tahun 2011 antara lain: (1) Interaksi Laut Atmosfer, (2)
Sea Level Rise (SLR), (3) Karbon Laut dan Pesisir, (4) Perubahan
Temperatur Air Laut, (5) Monitoring Coral Bleaching, (6) Kerentanan
Pesisir (dampaknya ke masyarakat pesisir), dan (7) Blue carbon.
Adapun output dari kegiatan sebelum dan sampai dengan tahun 2011
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Data dan Informasi, (2)
Rekomendasi (Daerah dan Nasional), (3)
Atlas Oceanografi dan
Atmosfer, (4) Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, (5) Peta
Prediksi Daerah Penangkapan Ikan, (6) Magang Mahasiswa dan (7)
Teknologi Pemurnian Garam. Lokasi riset-riset tersebut di perairan
Indonesia, dengan mitra antara lain LIPI, Pemprov, Pemkot/Pemkab
serta IOC dan UNESCO sebagai mitra internasional. Sarana dan
prasarana pendukung untuk terlaksananya kegiatan riset tersebut
diantaranya Laboratorium Kualitas Air di Perancak Bali, Laboratorium
Pemodelan Laut dan Laboratorium Remote Sensing.
82
Sejauh ini untuk melaksanakan riset-riset tersebut dirasa masih ada
kekurangan dari sisi SDM sehingga masih dibutuhkan ahli dari disiplin
ilmu seperti Anthropologi dan Sosial dan Ekonomi. Perkiraan anggaran
untuk kegiatan riset perubahan iklim ini berkisar 25 % - 30 % dari total
anggaran unit/pusat. Khusus pengembangan sarana dan prasarana
serta SDM riset perubahan iklim ini dilakukan kerjasama dengan
Florida Institut Oceanography (FIO) sejak tahun 2007 sampai tahun
2014 meliputi analisa data, survei dan training. Serta bekerjasama
dengan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) dari Amerika
periode tahun 2003 sampai 2012 dengan output analisa laboratorium.
Puslitbang Sumberdaya Pesisir dan Laut juga telah menyusun roadmap
riset perubahan iklim, dengan prioritas pada dua hal, yaitu:
1. The Marine & Coastal Characteristics & Climate Change
(Blue Carbon).
2. The development of spatial data network for the national marine
(Implementation of INAGOOS, Ocean & Climate Research
Institute/Center & the capacity research/building).
Walau tergolong paling muda diantara Kementerian lain, sektor
kelautan dan perikanan cukup sigap dan siap dalam mengantisipasi
perubahan iklim termasuk menyiapkan “software” dan “hardware”
bagi adaptasi perubahan iklim.
83
e. Balitbang Kesehatan – Kementerian Kesehatan
Salah satu lembaga riset yang menjadi ujung tombak guna merespon
perubahan iklim sektor kesehatan masyarakat adalah Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan
yang terdiri atas 4 lembaga (pusat) yakni;
1. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
2. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
3. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat
4. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan serta Pusat Teknologi
Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik merupakan Pusat yang
mempunyai
otoritas
dalam
hal
melakukan
penelitian
yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat dan juga litbang yang
melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan telah banyak
melakukan kegiatan riset untuk menanggulangi penyakit menular yang
disebabkan oleh vektor. Hasil penelitian pun telah menjadi dasar
produksi
vaksin
dan
obat-obatan.
Biofarma
misalnya,
siap
84
memproduksi vaksin flu burung pada tahun 2012 secara mandiri dan
ini penting guna mengantisipasi pandemi flu burung9.
Biofarma hingga lima tahun ke depan juga akan mengembangkan
sejumlah vaksin lain, yakni vaksin pentavalent untuk mencegah difteri,
pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemophilus influenzae tipe B (Hib).
Vaksin lain yang tengah dikembangkan juga ialah vaksin rotavirus
untuk mengatasi masalah diare pada anak dan vaksin polio dalam
bentuk injeksi.
Mengingat kemampuan lembaga yang sangat terbatas dalam meneliti
kasus kesehatan yang sangat banyak di seluruh Indonesia, maka telah
didirikan laboratorium yang ada di 8 daerah regional, yakni; (a)
Laboratorium UISU di Medan, (b) Labkesda Palembang, (c)
Laboratorium Mikrobiologi UI di Depok, (d) Laboratorium Mirobiologi
Undip di Semarang,(e) Labkes Ubaya di Surabaya, (f) Laboratorium
Mikrobiologi Unud di Denpasar, (g) Labkesda Bandung, dan (h)
Laboratorium
Mirobiologi
Unhas
di
Makassar. Laboratorium-
laboratorium yang telah disiapkan ini sudah dilengkapi dengan tenaga
medis yang dilatih secara khusus di Jakarta dan Singapura. Mereka
yang telah dilatih itu nantinya diharapkan akan mampu menangani
9
Drs. Iskandar, Apt. MM pada acara temu media bertema ”121 Tahun PT (Persero) Biofarma:
Mewujudkan Strategi Riset Nasional Dalam Kemandirian Produksi Vaksin” dalam Kompas 13
Mei 2011
85
kasus-kasus kesehatan yang dianggap sulit ditangani, terutama kasus
flu burung yang saat ini sudah semakin menyebar luas di seluruh
wilayah Indonesia.
Beberapa penelitian yang telah dikembangkan dalam kapasitas
menanggulangi penyakit akibat perubahan iklim adalah penelitianpenelitian tentang penyakit menular akibat vektor seperti: flu burung,
malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Penelitian lain adalah
penyakit akibat gizi buruk dan penyakit akibat banjir seperti diare.
Salah satu penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan
mengalami penyebaran yang sangat cepat adalah flu burung. Penyakit
ini timbul akibat lingkungan dan iklim yang berubah.
Penyakit lain yang akhir-akhir ini mengalami perubahan dalam pola
penyebaran dan intensitas kejadian adalah malaria. Nyamuk Anopheles
yang semula hanya berada di dataran rendah, kini juga mulai
berkembang ke arah dataran tinggi. Upaya pemberantasan malaria
dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab malaria yaitu
nyamuk Anopheles. Untuk membunuh nyamuk dewasa dapat
dilakukan dengan penyemprotan rumah dan sekeliling rumah dengan
racun serangga. Untuk membunuh larva dapat dilakukan dengan cara
kimiawi dan hayati. Pemberantasan larva nyamuk Anopheles secara
kimiawi dilakukan dengan menggunakan larvasida. Pemberantasan
86
larva nyamuk Anopheles secara hayati dilakukan dengan menggunakan
beberapa agen biologis seperti ikan pemakan jentik.
Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu udara dan curah
hujan pada suatu daerah. Dengan tidak adanya sistem drainase yang
baik maka akan terbentuk genangan-genangan air yang sangat cocok
untuk tempat perkembangbiakan nyamuk – nyamuk tersebut.
Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata pun
dapat mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti dengan
memperpendek waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari fase
telur menjadi nyamuk dewasa. Pada suhu 260 C diperlukan 25 hari
untuk virus dari saat pertama nyamuk terinfeksi virus sama dengan
virus dengue berada dalam kelenjar liurnya dan siap untuk disebarkan
kepada calon penderita demam berdarah. Sebaliknya, hanya
diperlukan waktu yang relatif pendek yaitu 10 hari pada suhu 30 0C.
Faktor iklim yang panas dan lembab akibat musim hujan dapat
memperpanjang umur nyamuk Aedes aegypti.
Dengan berubahnya lingkungan dan iklim, nyamuk sebagai vektor
penyakit juga terus mengalami pola perkembangbiakan sehingga
mempengaruhi timbulnya penyakit-penyakit yang disebarkan olehnya.
Dari berbagai riset di litbang Kemenkes, saat ini di Indonesia telah
diketahui adanya 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex,
87
Mansonia, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor
penularan penyakit kaki gajah.
Perubahan iklim global juga dapat mengganggu ketahanan pangan.
Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami
penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2oC
sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Pergeseran musim
dan perubahan pola hujan, akan berdampak besar terhadap sektor
pertanian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Hal
tersebut juga menyebabkan keterlambatan musim tanam yang
berdampak pada hasil panen. Riset di berbagai lembaga kesehatan
merekomendasikan perlunya penyusunan aksi terkait gizi buruk dan
ketahanan pangan ini. Kementerian Kesehatan pernah menyusun
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk
yang dikaitkan dengan target MDGs.
Di bidang kesehatan masyarakat terkait dengan isu perubahan iklim,
telah dilakukan berbagai program penelitian terkait vektor penyakit
dan pengendaliannya
serta upaya mengatasi gizi buruk dan
manajemen wilayah terkait persebaran penyakit. Masalah utama
untuk sektor ini adalah belum lengkapnya laboratorium di semua
daerah apalagi dengan standar yang diharapkan. Namun bagusnya
adalah walau tanpa isu perubahan iklim, riset-riset bidang kesehatan
88
masyarakat pada dasarnya akan selalu mengantisipasi munculnya
penyakit baru dan menemukan obat atau vaksin penangkal serta
pengembangan pengelolaan kesehatan masyarakat yang efektif dan
efisien.
f. Lembaga Swadaya Masyarakat ( Civil Society Organization - CSO)
Selain lembaga atau sektor pemerintahan yang aktif dalam
perencanaan maupun pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim, ada beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat maupun organisasi
masyarakat lainnya yang peduli atau fokus pada aktivitas terkait
perubahan iklim. Apa yang disajikan di sini hanyalah sebagian
terutama yang cukup lama berkiprah atau memiliki fokus pada isu
lingkungan, mengingat sebenarnya ribuan organisasi sejenis eksis di
Indonesia.
Yayasan Pelangi misalnya, adalah CSO yang banyak bergerak di isu-isu
perubahan iklim khususnya sektor energi dan transportasi. Selain
publikasi hasil kajian di sektor-sektor tersebut, Yayasan Pelangi sering
mengikuti berbagai pertemuan internasional bidang perubahan iklim
atau menjadi bagian dari delegasi resmi Pemerintah RI. Kemudian ada
organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang sudah
sejak lama berkiprah dalam isu lingkungan hidup khususnya isu-isu
kehutanan (termasuk REDD/REDD+), Ruang Terbuka Hijau (RTH),
89
kasus-kasus pertambangan serta penegakan hukum lingkungan. Walhi
termasuk memiliki sumberdaya dalam penelitian dan pengembangan
yang hasil-hasilnya sering dipublikasikan.
Kemudian ada CSO yang juga sudah cukup lama eksis dalam isu
lingkungan hidup di Indonesia yakni Yayasan Keanekaragaman Hayati
(Kehati). Kehati banyak bergerak di tataran praktis seperti upaya
konservasi dan pelestarian hutan serta keanekaragaman hayati. Terkini,
Kehati juga bekerjasama dengan dunia usaha yang diwujudkan dalam
bentuk kerjasama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan
meluncurkan suatu indeks yang sudah berlaku umum di negara-negara
maju dengan mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible
Investment (SRI) dengan nama SRI-KEHATI. Indeks ini juga diciptakan
sebagai barometer dimana investor dapat menginvestasikan dananya
kepada perusahaan yang memiliki kesadaran terhadap lingkungan,
sosial dan tata kelola perusahaan yang baik.
Selain beberapa CSO yang ada di ibu kota negara, ada beberapa yang
justru eksis dan memiliki pengaruh di daerah, sebagai contoh Combine
Institute di Yogyakarta. Sejak tahun 2001, Combine Institute
bergerak
mendukung
pengembangan
media
komunitas
dan
pemanfaatan Teknologi Informasi-Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari
sistem dan jaringan pengembangan informasi dan komunikasi
90
komunitas. Pada awalnya, Combine melakukan fasilitasi dan bantuan
teknis secara langsung bagi komunitas untuk mengembangkan sistem
komunikasinya, salah satunya melalui radio komunitas.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan radio komunitas, maka sejak
tahun 2004, Combine mulai mengintegrasikan dan membangun
jaringan antar media komunitas untuk mempermudah proses
pertukaran informasi dan pengetahuan dengan mengandalkan jaringan
internet.
Dengan membangun infrastruktur jaringan informasi
berbasis komunitas akan memungkinkan terjadinya aliran informasi
dan pengetahuan dua arah, baik antar anggota komunitas maupun
antara komunitas-komunitas dengan pihak lain seperti pengurus
publik, penyusun kebijakan, pengambil keputusan publik (lihat Gambar
3.6).
Bagi komunitas, pertukaran informasi dan pengetahuan (lokal) secara
swakelola menguntungkan bukan hanya sebagai alternatif terhadap
informasi arus utama sebagaimana ditampilkan dalam media nasional
dan internasional, tetapi juga sebagai basis lokal untuk melakukan
perubahan
dalam
kehidupannya.
Selain
itu
mengartikulasikan
kepentingan melalui wacana dan proses pengambilan keputusan
publik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Bagi pemerintah dan
pelaku ekonomi, jaringan ini turut menguntungkan dalam hal
91
diseminasi/sosialisasi
kebijakan
pemerintah
secara
efektif,
penginderaan dini terhadap aspirasi masyarakat, dan pengembangan
pengertian terhadap potensi produksi dan konsumsi masyarakat yang
berada di dasar piramida ekonomi.
Walau CSO ini tidak bergerak secara khusus dalam isu perubahan iklim,
namun konsep jaringan kerjanya dapat menginspirasi bagi proses
pertukaran dan diseminasi metode adaptasi perubahan iklim ke
masyarakat
atau
kelompok-kelompok
yang
rentan
terhadap
perubahan iklim.
up
asi
se
ort
as
Nelayan
e
Pemerintah
ora
i
n
iinform
rta
asi
l ap
Habitat
informas
po
rep
n
re
ad
lo
inform
as e
o rt
ora
Pemerintah
Media
Komunitas
i
l ap
Sekolah
Media
Komunitas
d
re p
rma
s
d
up
info
oa
oa
Pertanian
l
wn
nl
w
do
do
lo
ad
www.suarakomunitas.net
Pelaku
Bisnis
Komunitas
Umum
Mahasiswa
Sumber : Combine Institute, 2010
Gambar 3.6 Jejaring Berbagi Informasi Rancangan Combine
92
Dalam kaitan ini pengalaman Australia juga bisa dijadikan contoh,
tentang bagaimana organisasi non pemerintah dapat berperan dalam
diseminasi pengetahuan dan teknologi terkait perubahan iklim
khususnya bagi para petani. Jika dalam 3 tahun lalu (2008) kebanyakan
petani di Australia masih belum menganggap perubahan iklim akan
berpengaruh pada produktivitas mereka, tetapi kini mereka mulai
yakin bahwa diperlukan teknik dan metode baru dalam pertanian
untuk beradaptasi dengan iklim yang telah berubah. Melalui program
Managing Climate Variability dilakukan tiga pendekatan program yang
diluncurkan organisasi non-pemerintah Econnect yakni10; (a) mengkaji
keinginan dan pemahaman perubahan iklim di mata petani, (b)
meluncurkan website yang inovatif yang didesain khusus untuk
keperluan petani bernama Climate Kelpie (www.climatekelpie.com.au),
dan (c) merancang program ‘Climate Champion’.
Program tersebut dibangun atas asumsi dan pemahaman bahwa
banyak petani akan mengubah kebiasaan mereka berdasarkan apa
yang dilakukan pimpinan petani di wilayah mereka. Adapun tujuan
program adalah: (a) Mendapatkan informasi atau hasil suatu penelitian
yang berkaitan dengan iklim dari petani lain atau dari wilayah
pertanian lainnya, (b) Mendapatkan informasi langsung dari petani
10
Jenni Metcalfe (Econnect Australia), pada Public Communication of Science & Technology
International Symposium 2011, “Science communication research informing practice; Case
Study: Australia farmers involved in climate change introduction”, Jakarta November 2011
93
tentang apa yang mereka butuhkan agar lebih baik lagi dalam
mengelola resiko iklim termasuk alat dan teknologinya.
3.4 Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim
Buku Iptek Untuk Adaptasi Perubahan Iklim ini merupakan hasil kajian
Dewan Riset Nasional guna memberi masukan, arah dan prioritas riset
nasional khususnya dalam adaptasi perubahan iklim. Kajian dilakukan
dengan pendekatan merujuk dan mempertimbangkan beberapa
dokumen nasional yang telah ada seperti Rencana Aksi Nasional
Perubahan Iklim (RAN PI, 2007) yang diterbitkan Kementerian
Lingkungan Hidup, kemudian adanya Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR, 2009) yang dikeluarkan Bappenas. Pada sisi
lain juga telah disusun dan didaftarkan ke IPCC dokumen Second
National Communication (SNC, 2009) yang berisi posisi besaran emisi
tiap sektor di Indonesia yang disusun KLH dan UNIDO. Untuk kajian
kebutuhan teknologi baik mitigasi dan adaptasi dampak perubahan
iklim telah ada Technology Needs Assessment (TNA, 2009) yang
disusun BPPT beserta beberapa instansi terkait, dimana saat ini sedang
dilakukan review dalam bentuk TNA Global dengan mempertajam
kebutuhan teknologi untuk mitigasi sektor hutan, energi dan limbah
serta adaptasi untuk sektor pertanian, sumberdaya air dan kelautan.
Rujukan yang juga penting untuk diperhatikan adalah arah dan
94
prioritas riset nasional yang ada dalam ARN 2010-2014, sehingga hasil
kajian ini bersifat saling melengkapi dengan ARN.
Rujukan di atas berguna dalam menentukan arah kajian agar
identifikasi dan prioritasi riset yang direkomendasikan dapat efektif
serta mendukung pada sasaran dari Rencana Aksi Nasional. Sebagai
referensi juga dilakukan kajian pustaka dan data sekunder dari kajian
sejenis di luar negeri. Setelah seluruh identifikasi tema riset
dilaksanakan maka tahap selanjutnya adalah melakukan survei ke
lembaga-lembaga riset terkait kapasitasnya dalam melaksanakan riset
adaptasi perubahan iklim. Melalui analisis kesenjangan (gap analysis),
tema-tema riset yang telah diidentifikasi lalu dilakukan prioritasi dan
pengelompokkan
didukung
expert
judgement.
Gambar
3.6
memperjelas pendekatan kajian dalam menentukan arah dan prioritas
riset adaptasi perubahan iklim ini.
95
Kerangka Rujukan:
- RAN PI 2007 (KLH)
- ICCSR 2009 (Bappenas)
- SNC 2009 (KLH & UNIDO)
- TNA 2009 (BPPT & GTZ)
- Studi-studi DNPI
- RAN – GRK
- ARN 2010 - 2014
Pengalaman/Studi eksisting:
- Peranan Iptek Dalam
Menjawab Perubahan Iklim
- Iptek Untuk Pengurangan
Emisi GRK dalam Mendukung
Low Carbon Growth
- Penyusunan ARN
- dll
Iptek
IptekUntuk
UntukAdaptasi
Adaptasi
Perubahan
PerubahanIklim
Iklim
(DRN)
(DRN)
Isu-Isu Lintas Sektor (Cross
cutting issues), kapasitas
teknologi sektor dan aspek
kebijakan
Tugas, Fungsi dan
PeranDRN
National Research
Council negara lain
(benchmarking)
Gambar 3.7 Diagram Pendekatan Kajian Iptek Untuk Adaptasi Perubahan
Iklim
96
BAB IV
PRIORITAS TEMA RISET DALAM ADAPTASI PERUBAHAN
IKLIM
4.1 Riset Bidang Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam
Prioritas Kabinet Indonesia Bersatu II, pembangungan sektor pangan
diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan melanjutkan
revitalisasi pertanian dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan,
peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan
petani, serta kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Salah satu
ancaman terkini terhadap sasaran sektor ini adalah perubahan iklim
yang membawa dampak negatif bagi sektor pertanian. Walau pangan
tidak hanya padi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas
penduduk Indonesia yang makanan pokoknya beras, menjadi penting
untuk memberi perhatian lebih pada riset-riset terkait sistem tanam
padi.
Dari berbagai dokumen resmi yang ada serta hasil survei dan
wawancara dengan pemangku kepentingan serta sektor pertanian itu
sendiri, maka fokus riset adaptasi untuk keamanan pangan ditujukan
97
pada ketersediaan sumberdaya pangan dan sumberdaya air. Kata kunci
untuk sumberdaya pangan adalah adanya bibit padi unggul, lahan yang
sesuai, serta kalender pola tanam. Penyediaan bibit padi yang tahan
perubahan iklim seperti banjir dan kekeringan sudah disebut dalam
dokumen TNA (2009) dan ICCSR Bappenas (2010). Sedangkan untuk
sumberdaya lahan, misal dalam pemanfaatan lahan sub optimal atau
rehabilitasi lahan, selain tercantum dalam ICCSR juga telah disebut
dalam ARN 2010-2014.
4.1.1 Sumberdaya Pangan
Untuk riset bidang sumberdaya pangan bagi adaptasi perubahan iklim,
setidaknya ada 5 (lima) tema riset yang menjadi prioritas yakni; (a)
teknologi rekayasa iklim mikro, (b) pengembangan varietas tanaman
pangan dan hortikultura yang adaptif melalui kultur jaringan, (c)
pembuatan peta kalender pola tanam, (d) teknologi diversifikasi
pangan dan (e) pengembangan ternak dan pakan ternak yang adaptif
terhadap perubahan iklim. Ke lima tema riset tersebut perlu dapat
dirinci apa yang menjadi tema utama dan pendukung serta lembaga
mana yang berkompeten, selengkapnya disajikan dalam Tabel 4.1
4.1.2 Sumberdaya Air
Bidang sumberdaya air sangat vital dalam menunjang sistem pertanian
dan karenanya juga faktor penting dalam keamanan pangan. Pada TNA
98
2009, bidang ini tidak muncul dalam satu sektor tersendiri namun
berada dalam sektor pertanian. Namun demikian dalam dokumen
ICCSR, sumberdaya air justru muncul dalam satu sektor tersendiri.
Pentingnya sumberdaya air terkait pada dua hal yakni ketersediaan air
bersih untuk dikonsumsi dan pengelolaan air pengairan (irigasi) bagi
sawah. Semakin langkanya air yang layak dikonsumsi maka
memunculkan wacana untuk memanen air hujan dan mendaur ulang
air di perkotaan.
Setidak ada 5 (lima) teknologi adaptasi sumberdaya air yang harus
didukung dengan berbagai riset, yakni; (a) teknologi pemanenan air
hujan (rainwater harvesting), (b) teknologi peningkatan kualitas air
permukaan (waduk, sungai, danau), (c) teknologi daur ulang air, (d)
water resource management, (e) teknologi pengolahan air. Tabel 4.1
memperlihatkan prioritas riset adaptasi bidang sumberdaya air,
termasuk
lembaga
litbang
mana
yang
berkompeten
untuk
melakukannya.
4.2 Riset Bidang Kerentanan Pesisir
Seperti dalam pembahasan sebelumnya setidaknya ada tiga hal yang
perlu diwaspadai dalam kaitan perubahan iklim terhadap wilayah
pesisir dan lautan yakni kenaikan temperatur air laut, kenaikan paras
muka laut dan produktivitas perikanan. Metode adaptasi yang penting
99
dalam mengantisipasi kenaikan temperatur air laut ini antara lain
dengan membuat sistem peringatan dini untuk coral bleaching dan
membuat terumbu karang buatan. Sedangkan terjadinya kenaikan
paras muka laut diantisipasi dengan perlindungan pantai secara fisik
(hard structure, soft structure dan alamiah) kemudian juga
perlindungan pantai secara non fisik misalnya dengan membuat peta
rawan bencana dan kajian tingkat resiko dari kenaikan muka laut.
Selain itu penting juga diperhatikan tentang aspek tata ruang beserta
pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu.
Pengelolaan kawasan yang berbasis penataan ruang dengan prinsip
Integrated Coastal Zone Management perlu didukung dengan berbagai
kajian atau riset seperti sistem penataan untuk penetapan kawasan
mundur, dampak sosial ekonomi akibat pemunduran kawasan
termasuk penataan utilitas seperti drainase dan penyediaan air bersih.
Sementara untuk produktivitas perikanan yang rentan terhadap
perubahan lingkungan perlu didukung riset-riset seperti budidaya
dalam keramba jaring apung, vaksin ikan dan penanganan terhadap
hama dan penyakit ikan. Selain itu kita juga perlu memiliki peta potensi
kawasan budidaya baru serta optimasi sistem penangkapan ikan misal
dengan memanfaatkan teknologi satelit. Tabel 4.1 menampilkan
beberapa riset utama dan pendukung dalam sektor kerentanan pesisir
terhadap dampak perubahan iklim.
100
4.3 Riset Bidang Kesehatan Masyarakat
Dalam ARN 2010-2014 fokus utama riset kesehatan masyarakat
merupakan bagian dari tema-tema riset dari salah satu 6 bidang fokus
yakni teknologi kesehatan dan obat. Dasar perumusan tema riset
dalam ARN adalah target MDGs tahun 2015 yang tertuang dalam
strategi pembangunan Iptek RPJMN 2010-2014. Adapun arah
kebijakan umum riset bidang fokus pembangunan kesehatan dan obat
tahun 2010-2014 adalah; (1) Perbaikan gizi masyarakat, (2)
Peningkatan ketersediaan obat dan pemanfaatan obat tradisional, (3)
Pengendalian penyakit menular, (4) Penganggulangan penyakit tidak
menular, (5) Peningkatan kampanye hidup sehat dan lingkungan bersih,
(6) Peningkatan kualitas dan utilisasi kesehatan dasar dan rujukan.
Berdasarkan arah kebijakan umum riset tersebut dan kajian atas
berbagai dokumen nasional seperti ICCSR 2010 dan TNA 2009, maka
riset-riset strategis sektor kesehatan masyarakat yang bersinggungan
dengan perubahan iklim meliputi tema-tema pola penyebaran dan
penanggulangan penyakit menular (malaria, TBC, HIV/AIDS dan BDB),
penyakit degeneratif (jantung, diabetes, hipertensi dan kanker),
perbaikan gizi dan penanggulangan malnutrisi, penyakit zoonosis, dan
peningkatan promosi hidup sehat melalui pemberdayaan masyarakat
terkait memburuknya sanitasi lingkungan akibat berbagai bencana.
101
Riset terhadap penyakit menular difokuskan pada penyakit-penyakit
yang rentan terjadinya perubahan pola penyebaran maupun intensitas
penularan seperti malaria, tuberkulosis, HIV dan demam berdarah
dengue. Sementara untuk penyakit tidak menular utamanya adalah
penyakit penyebab kematian tertinggi seperti jantung, diabetes,
hipertensi dan kanker. Tabel 4.1 memperlihatkan riset-riset tematik
untuk adaptasi perubahan iklim sektor kesehatan masyarakat.
102
Tabel 4.1 Tema-tema Riset Untuk Adaptasi Perubahan Iklim
NO.
1.
SEKTOR
Keamanan
Pangan
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Ketersedia.
aan
sumberda
ya pangan
Penerapan
teknologi
rekayasa
iklim mikro
Riset utama:
Sistem
penciptaan iklim
mikro yang khas
wilayah dan khas
tanaman
Balitbang
Pertanian
(Kementan),
Perguruan Tinggi,
Batan, BMKG
b. Pengemban
gan varietas
tanaman
pangan dan
hortikultura
yang adaptif
melalui
kultur
jaringan
c.
Riset pendukung:
- Pengaruh
modifikasi
iklim mikro
terhadap
tanaman
pangan dan
hortikultura
- Konservasi
lengas tanah
melalui
rekayasa
lingkungan
pada lahan
pantai
berpasir
Balitbang
Pertanian
(Kementan),
Perguruan Tinggi,
Batan
Riset utama:
Penemuan
varietas tanaman
pangan dan
hortikultura
tahan terhadap
kekeringan dan
banjir
103
Riset pendukung:
- Pemetaan
wilayah
prioritas
untuk
pengembanga
n dan
introduksi
varietas tahan
tekanan iklim
- Kajian aspek
sosial
ekonomi dari
varietas baru
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
d. Pengemban
gan dan
penyusunan
peta dan
kalender
pola tanam.
Riset utama:
Pengembangan
kalender tanaman
dinamik, pada
wilayah sensitif
terhadap
perubahan iklim
Balitbang
Pertanian
(Kementan),
Balitbang SDA PU,
Perguruan Tinggi,
BMKG
e. Diversifikasi
pangan
Riset pendukung:
Penyusunan peta
wilayah rawan
kekeringan dan
banjir
Balitbang
Pertanian
(Kementan),
Perguruan Tinggi,
BPPT, LIPI
f.
104
g. Pengemban
gan ternak
dan pakan
ternak yang
adaptif
terhadap
perubahan
iklim
Riset utama:
Penemuan
sumber pangan
alternatif (sagu,
ubi-ubian dan bijibijian).
Balitbang
Pertanian
(Kementan),
Perguruan Tinggi,
Riset pendukung:
- Pangan
praktis
untuk
darurat
bencana
.
- Aspek
Sosekbu
d
pangan
alternati
f
Riset utama:
Penelitian galur
ternak ruminansia
dan yang sesuai
untuk
dibudidayakan
pada kondisi
lahan sub-optimal
Riset pendukung:
Teknik budidaya
tanaman pakan
ternak
menghadapi
kondisi
kekeringan
105
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
Sumberdah. Pemanenan
ya Air
Air Hujan
(Rainwater
harvesting)
i.
Peningkatan
kualitas air
permukaan
(waduk,
sungai,
danau)
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Riset utama:
Pemulihan tinggi
muka air tanah
(aquifer recovery)
Balitbang
Pertanian, ESDM
Balitbang PU
Riset pendukung:
- Teknik imbuhan
air tanah
dangkal dengan
sumur resapan
- Teknik imbuhan
air tanah dalam
dengan injeksi
pompa
- Konstruksi/mod
el embung
- Struktur kolam
resapan
- Water
harvesting
skala rumah
tangga
BPPT, LIPI, Litbang
PU, Libang
Pertanian
Riset utama:
- Pengolahan air
limbah
perkotaan
(domestik dan
industrial)
- Model
sedimentasi
akibat erosi
106
Riset pendukung:
- Pengaruh green
belt
- Fitoteknologi
untuk purifikasi
air
- Biomonitoring
perairan
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
j.
Penerapan
teknologi
daur ulang
air
Riset utama:
Sistem daur ulang
air domestik dan
industrial efisiensi
tinggi
Balitbang
Pertanian, ESDM,
BPPT, LIPI
Balitbang SDA PU
Integrated
manageme
nt water
resource
manageme
nt
Riset pendukung:
Riset
material
membran
Riset bahan
kimia
pengolah
air
Riset
sosekbud
penggunaa
n air daur
ulang
Litbang SDA PU,
Litbang Pertanian,
BPPT, Perguruan
Tinggi
107
Teknologi
pengolahan
air baku
menjadi air
minum
Riset utama:
Inventarisasi
sumberdaya air
dan pembuatan
neraca air
Litbang SDA PU,
BPPT, LIPI,
Perguruan Tinggi,
Litbanng Swasta
Riset pendukung:
- Pemodelan
sumberdaya
air
- Teknologi
modifikasi
cuaca
- Sistem
informasi
sumberdaya
air
Riset utama:
Peningkatan
efisiensi sistem
pengolahan air
Riset pendukung:
- Penanganan
sludge sisa
pengolahan
- Air minum
mobile
kawasan
bencana
108
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
2
SEKTOR
Kerentanan
Pesisir
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
Kenaikan k. Sistem
Temperat
peringatan
ur Air Laut dini
terjadinya
coral
bleaching.
Terumbu
karang
buatan
(artificial
coral reef)
Kenaikan
paras
muka laut
Pembuatan
bangunan
fisik
pelindung
pantai
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
Riset utama:
Parameter
penting dalam
coral bleaching
dan
pengembangan
sistem monitoring
kontinyu.
Riset pendukung:
Korelasi
coral
bleaching
dan
produktivit
as
perikanan
Riset
sensor dan
telemetri
Riset utama:
Inovasi material
terumbu karang
buatan
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, LEN
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, Perguruan
Tinggi
Balitbang KKP,
Balitbang SDA PU,
BPPT, Perguruan
Tinggi
Riset pendukung:
Kajian
sosekbud
terumbu
karang
buatan
Peta
potensi
penerapan
terumbu
109
karang
buatan
Riset utama:
Pemodelan
kenaikan muka air
laut pada
beberapa tipologi
pantai di
Indonesia
Riset pendukung:
Kajian
kesesua
ian sea
wall
tiap
wilayah
Material
bangun
an
pantai
yang
efektif
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
l.
Perlindunga
n pantai
secara nonfisik
Riset utama:
Pemetaan
wilayah-wilayah
pesisir rawan
bencana
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, LEN
Riset pendukung:
Kajian
110
Pengelolaa
n kawasan
pesisir
tingkat
resiko dan
dampak
kenaikan
muka laut
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, Perguruan
Tinggi
Riset utama:
Tata ruang dan
geospasial dalam
antisipasi
perubahan iklim
Riset pendukung:
Pemodelan
akibat
intrusi air
laut
Penataan
ulang
terkait
pemundura
n kawasan
dan
dampak
sosekbud.
Model
pemberday
aan
masyarakat
pesisir
111
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
Produktivim. Penerapan
tas
teknologi
perikanan marikultur
Penerapan
budidaya
perikanan
adaptif
perubahan
iklim
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
Riset utama:
Pengembangan
konsep Integrated
Multi Trophic
Aquaculture
(IMTA)
Riset pendukung:
- Kajian hama
dan penyakit baru
ikan
- Teknologi
keramba jaring
apung
Riset utama:
Bioteknologi
untuk pembibitan
ikan yang adaptif
perubahan iklim
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, Fakultas
Kelautan &
Perikanan
Universitas
Balitbang
Kelautan
Perikanan, BPPT,
LIPI, Perguruan
Tinggi
Riset pendukung:
Peta
kawasan
potensi
budidaya
Kajian
budidaya
ikan laut
tangkap
Kajian
pangan
alternatif
berbasis
112
perikanan
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
3
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Kesehatan
Masyarakat
Intensitas
Kejadian
Penyakit
Menular
Penerapan
Bioteknologi
dan biologi
molekuler
Riset utama:
Riset kandidat
vaksin dan kit
diagnostik
potensial
penyakit menular
utama (Malaria,
DBD, HIV, TB,
SARS)
Balitbang
Kesehatan,
Biofarma,
Lembaga Eikjman
Penerapan
Epidemiologi
klinis
Riset pendukung:
- Teknik
deteksi dini
dan
penentuan
prognosis
penyakit
- Pengembang
an model
EWORS (early
warning
outbreak
recognition
Balitbang
Kesehatan,
Biofarma,
Universitas
Balitbang
Kesehatan, BPPT,
Perguruan Tinggi
113
system)
Riset utama:
Pola penyebaran
dan intensitas
penularan dari
penyakit malaria,
DBD, HIV, TB,
SARS
Riset pendukung:
Model
hubungan
parameter
fisik iklim
dan
intensitas
penularan
Pemanfaat
an GIS/RS
untuk
pengelolaa
n wilayah
untuk
tujuan
kesehatan
114
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Peningkat
an Kasus
Penyakit
Degenerat
if
Pengemban
gan segi
klinis
praktis, tata
laksana dan
eksperimen
tal
molekuler.
Riset utama:
Pengembangan
sel punca-dewasa
(adult stem cell)
Balitbang
Kesehatan,
Biofarma,
Lembaga Eikjman,
FK Universitas
Masalah
gizi dan
malnutrisi
Peningkatan
status gizi
masyarakat
Riset pendukung:
- Riset sistem
metabolik
Riset utama:
Pengembangan
teknik
nutrigenomik
untuk melihat
korelasi genetik
dan status gizi
Balitbang
Kesehatan,
Lembaga Eijkman,
FK Universitas
Pengembangan
sistem
kewaspadaan
pangan dan gizi
(SKPG) berbasis
masyarakat
Riset pendukung:
Riset-riset
pangan
alternatif
Sosial
kemanusiaa
n menuju
paradigma
hidup sehat
Pengemban
gan bahan
115
-
alami untuk
pangan
atau obat
Teknikteknik SKPG
agar lebih
efektif
Tabel 4.1 (Lanjutan)
NO.
SEKTOR
POTENSI
DAMPAK
METODE
ADAPTASI
RISET UTAMA
DAN
PENDUKUNG
LEMBAGA
LITBANG TERKAIT
Peningkat
an Kasus
Penyakit
Zoonosis
Promotif,
preventif
dan
pengendalia
n faktor
risiko zoon
osi
Riset utama:
Penelitian korelasi
antar vektor,
reservoir dan
penyakit
Badan
Pengembangan
Penelitian Vektor
dan Reservoir
(B2P2VRP),
Balitbang
Kesehatan
Masalah
sanitasi
lingkunga
n dan
tingkat
kesehatan
masyarak
at
Pengemban
gan
teknologi
tepat guna
untuk
sanitasi
lingkungan
Riset pendukung:
- Model
pengendalian
vektor,
reservoir dan
penyakit
- Identifikasi
spesies
organisme
penyakit
yang bersifat
patogen bagi
manusia
Balitbang
Kesehatan,
Balitbang SDA PU,
BPPT, LIPI,
Universitas
Riset utama:
116
Pengembangan
teknologi tepat
guna untuk
pengolahan air
dan pengolahan
limbah rumah
tangga unit
yankes dan
industri.
Riset pendukung:
Model
penyehatan
dan
Peningkata
n Perilaku
Hidup
Bersih dan
Sehat
(PHBS)
Teknologi
sanitasi
pedesaan
Pengelolaa
n sampah
rumah
tangga dan
skala
kawasan
117
Metode
Adaptasi*)
Pengelolaan SDAir
●
Pemanenan Air hujan
Daur ulang air
●
Diversifiasi Pangan
Pakan ternak
● ●
Kualitas air permukaan
●
Pengolahan Air Baku
●
EWS coral bleaching
118
●
●
Sanitasi lingkungan
Penyakit zoonosis
Gizi buruk & malnutrisi
Kerentanan Pesisir
Penyakit degeneratif
Penyakit menular
Budidaya ikan adaptif iklim
Teknologi marokultur
Pengelolaan kawasan
Perlindungan non-fisik
Perlindungan fisik
Keamanan Pangan
Artificial reef
EWS coral bleaching
Pengolahan Air Baku
Pengelolaan SDAir
Daur ulang air
Kualitas air permukaan
Pemanenan Air hujan
Pakan ternak
Diversifiasi Pangan
Kalender pola tanam
Varietas adaptif iklim
Rekayasa Iklim Mikro
Tabel 4.2 Matrik Keterkaitan Riset Adaptasi Perubahan Iklim
Kesehatan
Rekayasa Iklim Mikro
Varietas adaptif iklim
Kalender pola tanam
●
●
●
●
● ●
Artificial reef
Perlindungan fisik
Perlindungan non-fisik
●
Pengelolaan kawasan
Teknologi marikultur
Budidaya ikan adaptif
iklim
Penyakit menular
●
●
●
●
● ●
●
Penyakit degeneratif
Gizi buruk & malnutrisi
● ●
●
Penyakit zoonosis
Sanitasi lingkungan
*)
●
●
●
●
●
Metode adaptasi diambil dari kolom ke-4 dalam Tabel 4.1
119
4.4 Riset Lintas Bidang (Cross-cutting issues)
Pendekatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia memang bersifat
sektoral. Namun demikian mengingat permasalahan perubahan iklim
adalah kompleks dan tidak dapat diantisipasi melalui satu sektor
tertentu saja, maka kata kuncinya adalah perlunya koordinasi dan
pelaksanaan program yang bersifat lintas sektoral. Ini berlaku bukan
saja bagi adaptasi tetapi juga dalam tindakan mitigasi. Mengingat
metode adaptasi juga bisa bersinggungan antar satu sektor dengan
sektor lainnya, maka riset-riset dalam adaptasi perubahan iklim juga
berpotensi terjadi overlapping.
Masalah kebutuhan akan keamanan pangan akan sangat terkait erat
dengan pemenuhan gizi untuk mencegah malnutrisi. Ini berarti risetriset pangan alternatif harus diarahkan untuk mendapatkan pangan
dengan kandungan gizi yang tinggi. Demikian pula riset untuk
pengelolaan sumberdaya air termasuk pengolahan air adalah juga
dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat dan keamanan
pangan. Kemudian riset-riset terkait upaya perlindungan fisik pantai
atas kenaikan paras muka laut adalah juga untuk memproteksi
sumberdaya lahan yang potensial sebagai sumberdaya pangan.
Perlindungan pantai baik fisik dan non fisik merupakan bagian dari
pengelolaan kawasan pantai yang akan meningkatkan kesehatan
masyarakat pesisir misal dengan menekan salinitas air, mencegah
120
berkembangnya vektor penyakit maupun peningkatan sanitasi
lingkungan secara keseluruhan.
Contoh keterkaitan ini juga bisa bersifat tidak langsung, seperti
perlindungan terhadap terumbu karang atau penerapan terumbu
karang buatan akan meningkatkan atau memulihkan kembali potensi
perikanan, ini berarti menunjang keamanan pangan dan pemenuhan
gizi masyarakat. Secara matrik, hubungan antar sektor atau bidang
adaptasi ini diperlihatkan dalam Tabel 4.2. Tentu akan masih banyak
lagi keterkaitan antar tema riset adaptasi, termasuk juga keterkaitan
antara
mitagasi
dan
adaptasi.
Namun
demikian,
disebabkan
terbatasnya waktu dan sumberdaya, maka kajian ini dibatasi pada
penentuan setidaknya 5 metode adaptasi untuk kemudian dimatrikkan
sebagaimana dalam Tabel 4.2. Dengan demikian sebenarnya melalui
pemetaan dalam tabel 4.2 tersebut, efektivitas dan efisiensi riset dapat
dicapai.
121
BAB V
PENUTUP
Selain
ditujukan
untuk
meningkatkan
daya
saing
bangsa,
pembangunan iptek hakekatnya juga untuk mengatasi berbagai
persoalan terkait interaksi manusia dengan lingkungan dimana ia
tinggal. Ancaman perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global
merupakan problem yang harus segera diantisipasi termasuk dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama ini kita sering
terfokus pada upaya mitigasi, padahal Indonesia sebenarnya termasuk
negara yang tidak terkena kewajiban menurunkan emisi GRK, serta
rentan dalam menerima dampak perubahan iklim. Namun kita masih
kurang dalam memberikan perhatian pada upaya adaptasi termasuk
dalam pengembangan iptek adaptasi perubahan iklim.
Sebenarnya beberapa lembaga riset di Indonesia telah memulai risetriset atau perekayasaan dalam rangka adaptasi perubahan iklim jauh
sebelum munculnya isu perubahan iklim seperti pencarian energi
alternatif yang dipicu krisis energi fosil. Penelitian diversifikasi pangan
terkait makin sempitnya lahan untuk tanaman padi. Demikian pula
dengan riset-riset terkait air bersih yang secara alamiah dipicu makin
langkanya sumber air baku, walau ini bisa diartikan sebagai riset
adaptasi. Namun demikian secara umum, riset-riset terkait perubahan
122
iklim baik bersifat mitigasi atau adaptasi ini tidak terpublikasikan
dengan baik serta kurang terkoordinasi sehingga sering terjadi
duplikasi atau kurang tepat sasaran. Dengan demikian perlu dipikirkan
bagaimana agar riset-riset yang telah dan sedang berjalan di berbagai
lembaga saat ini, dapat dilaksanakan dan terkoordinir lebih baik lagi.
Guna
mengatasi
permasalahan
tersebut
dan
dengan
mempertimbangkan berbagai hal yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya dalam buku ini, maka rekomendasi dari hasil kajian ini
antara lain;
a. Perlu adanya koordinasi substansi riset oleh DNPI sebagai focal
point isu Perubahan Iklim di Indonesia.
b. Perlu adanya penggalangan pendanaan internasional oleh DNPI
untuk kerjasama riset perubahan Iklim di Indonesia.
c. Membangun suatu lembaga infrastruktur yang mengkoordinasi
pengadaan dan pemanfaatan infrastruktur riset perubahan
iklim, dengan cara:
– Memperkuat infrastruktur lembaga riset yang sudah ada
dengan diberi wewenang untuk menjadi koordinator riset
perubahan iklim; atau
– Membuat lembaga koordinasi baru
d. Dalam jangka pendek perlu dibuat mekanisme koordinasi yang
dilengkapi infrastruktur serta berbagai instrumen penunjang
123
(misal basis data bersama) yang dapat digunakan juga sebagai
penunjang kerjasama atau negosisasi iklim
di tingkat
internasional. Dalam tataran praktis saat ini, metode koordinasi
antar kegiatan riset dapat memanfaatkan fasilitas OMRC (Open
Method Research Coordination) suatu aplikasi database
berbasis web terintegrasi yang telah dikembangkan DRN.
e. Dalam
jangka
pembelajaran
menengah
perlu
masyarakat
dibangun
(learning
pusat-pusat
center)
guna
mengefektifkan diseminasi metode adaptasi bagi masyarakat
yang rentan terkena dampak perubahan iklim bekerjasama
dengan organisasi non-pemerintah yang telah memiliki sistem
dan jejaring berbasis masyarakat.
f. Dalam jangka panjang, seluruh riset maupun kerekayasaan
adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan program
kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat (community based
disaster risk reduction) sebagai satu kesatuan strategi adaptasi.
Sebagai pelengkap rekomendasi pada butir (d) dan (e) di atas, maka
suatu konsep jejaring dalam riset adaptasi perubahan iklim dan
diseminasi hasil-hasil risetnya dapat diilustrasikan dalam Gambar 5.1.
124
Internet based
Pusat Informasi Adaptasi
Perubahan Iklim
(DNPI)
Balitbang
Kementerian
Media Komunikasi
(mis. OMRC-DRN)
Media Komunikasi
(mis. Radio komunitas,
internet dll.)
BPPT
Kel.
Nelayan
Kel. Petani
BMKG
LIPI
LAPAN
Universitas
LSM/NGO
Komunitas
rentan
Pemkot/
Pemkab
Kel.
Petambak
Gambar 5.1 Konsep Jejaring Arus Informasi dan Diseminasi Hasil Riset
Adaptasi Perubahan Iklim
125
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) & GTZ. 2009.
Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change
Mitigation – Synthesis Report.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2011. Grand
Strategy Pengembangan Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklimn – Final Report
Bappenas. 2011. Strategi Nasional REDD+. Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional. Jakarta.
Bappenas. 2010. National Development
Responses to Climate Change. Jakarta.
Planning:
Indonesia
Bratasida, L. 2010. Low Carbon Development Path in Indonesia:
Challenges and Oppotunities. Bahan presentasi pada Asia-Pacific
Business Forum (APBF) April 2010, United Nations Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific (ESCAP)
Combine Resource Institution. 2010. Annual Report 2010. Yogyakarta
US CDIAC. 2004. Fossil Fuel CO2 Emission by Nation. Diakses 29 April
2011 di http://co2now.org/Know-GHGs/Emissions
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). 2010. Kurva Biaya (Cost
Curve) Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia.
126
Dewan Riset Nasional. 2010a. Agenda Riset Nasional 2010-2014.
Jakarta
Dewan Riset Nasional. 2010b. Peranan Iptek Dalam Menjawab
Pemanasan Global. Jakarta
Deal, C. 2007. Climate Change Technology Transfer: Opportunity in
the Developing World. WISE, Washington.
Diposaptono, S., Budiman, F. Agung. 2009. Menyiasati Perubahan
Iklim Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. PT. Sarana Komunitas
Utama. Bogor
Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA). 2007. REDD Indonesia.
UNCCC, IFCA, Ministry of Forestry, Republic of Indonesia
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011-2025.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Strategi REDD
Indonesia Fase Readiness 2009 – 2012 dan Progress Implementasinya.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, AUSAID, GTZ, ITTO, The
Nature Conservacy
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2007. Rencana
Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia
127
KLH, GTZ dan WWF. 2007. Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap
Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sektor
Pesisir dan Laut. Technical Document.
Ministry of Forestry, Republic of Indonesia. 2008. IFCA Consolidation
Report: REDD in Indonesia. Forestry Research and Development
Agency (FORDA) & Ministry of Forestry, Republic of Indonesia
Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2009. Indonesia
Second National Communication (SNC) Under the United Nation
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) – Final Report
Ministry of Energy and Mineral Resources. 2010. National Appropriate
of Mitigation Actions (NAMAs), Jakarta.
Ministry of Finance, Republic of Indonesia. 2009. Economic and Fiscal
Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia –
Ministry of Finance Green Paper.
National Development Planning Agency (Bappenas). 2009. Indonesia
Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) – Synthesis Report.
National Research Council, USA. 2001. Climate Change Science: An
Analysis of Some Key Questions, Washington D.C
PRISMA. 2010. Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban. LP3ES.
Vol.29 April 2010.
UNEP & WMO. 2007. Climate Change 2007 – The Physical Science
Basics, Summary for Policymakers, Technical Summary and FAQ, 2007
128
State Ministry for the Environment and UNDP. 2000. The First National
Communication under the United Nations Framework Convention on
Climate Change, Jakarta.
State Ministry for the Environment Republic of Indonesia. 2001.
Identification of Less Greenhouse Gases Emissions Technologies in
Indonesia, Jakarta.
State Ministry for the the Environment Republic of Indonesia. 2009.
Indonesia Second National Community under the UNFCCC, Jakarta.
129
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT:
Pengarah
: Tusy A.Adibroto
Koordinator
: Hartaya
Desain Sampul dan Tata Letak
: Syarif Budiman
130
Download