DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum Prinsip Perancangan Bahan Ajar Multimedia Berdasarkan Teori Beban Kognitif Hari Wibawanto Pendahuluan Multimedia adalah sajian informasi yang memanfaatkan lebih dari satu medium. Dalam pengertian ini, buku ajar yang berisi gambar dan teks dapat dikategorikan sebagai bahan ajar multimedia. Meskipun demikian, lazimnya yang disebut bahan ajar multimedia adalah bahan ajar yang dalam penyajiannya memanfaatkan rangsang terhadap indera penglihat dan indera pendengar. Istilah multimedia pada mulanya berlaku untuk tayangan audiovisual yang menggunakan perangkat penyaji audio-visual misalnya kaset video (video cassette player/decoder), laser disc, VCD (video compact disc) player, DVD (digital versatile disc) player. Saat ini, istilah multimedia lazim diberikan untuk mendeskripsikan sajian bahan ajar yang menggunakan lebih dari satu media dan bersifat interaktif. Di dalam sajian multimedia, yang umumnya menggunakan perangkat komputer, diintegrasikan informasi dalam bentuk teks, gambar, video, audio, dan animasi. Penggunaan komputer atau perangkat lain berbasis komputer memungkinkan penayangan sajian informasi bersifat interaktif. Sekuen atau runtutan jalannya informasi bergantung pada respon yang diberikan oleh pengguna atau penikmat informasi. Integrasi berbagai bentuk informasi dalam bahan ajar multimedia berpotensi menimbulkan kejenuhan kognitif bagi penggunanya apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dan berpegang pada teori belajar yang sesuai. Pada penayangan informasi melalui slide presentasi (misalnya PowerPoint, Macromedia Flash, Corel Presentation), sering terjadi perancang mengintegrasikan begitu saja tayangan slide lengkap dengan latar belakang musik atau efek suara yang tidak sesuai dengan konteks tayangan. Maksud perancang mungkin ingin menjadikan tayangan informasinya lebih ‘menarik’. Masalahnya, di balik tayangan yang ‘menarik’ tersembunyi potensi munculnya kejenuhan kognitif akibat sibuknya saluran informasi pada penikmat tayangan dalam menyalurkan dan mengolah informasi. Artikel ini membahas potensi timbulnya kejenuhan kognitif pada pengguna bahan ajar multimedia dan upaya untuk mengatasinya melalui perancangan yang memperhatikan aspek beban kognitif. Teori Kognitif Pembelajaran dengan Multimedia Mayer mengemukakan teori pembelajaran dengan berdasarkan tiga asumsi, yakni: 1. Asumsi dual kanal, yang menyatakan bahwa manusia menggunakan kanal pemrosesan informasi terpisah yakni untuk informasi yang disajikan secara visual dan informasi yang disajikan secara auditif. Pemrosesan informasi terjadi dalam tiga tahap. Pertama, informasi memasuki sistem pemrosesan informasi baik melalui kanal visual maupun melalui kanal auditif. Kedua, informasi-informasi ini kemudian diproses secara terpisah tetapi bersamaan di dalam memori kerja (working memory), di mana isyarat tutur (speech) yang bersifat auditif maupun gambar (termasuk di dalamnya video) dipilih dan ditata. Kemudian, tahap ketiga, informasi dari kedua 66 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 2. 3. Kurikulum kanal tersebut disatukan dan dikaitkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di dalam memori jangka panjang. Tahap ketiga inilah yang bertanggungjawab mengenai bagaimana informasi yang sama bisa diinterpretasi secara berbeda oleh masing-masing pembelajar. Penyebabnya adalah pengalaman belajar yang dimiliki oleh masing-masing pembelajar tidaklah sama. Asumsi keterbatasan kapasitas, yang menyatakan adanya keterbatasan kemampuan manusia memproses informasi dalam setiap kanal pada satu waktu. Dalam satu sesi presentasi, audiens hanya bisa menyimpan beberapa informasi visual (gambar, video, diagram, dsb) dan beberapa informasi tutur (auditif). Asumsi inilah yang mendasari riset dan teori yang disebut teori beban kognitif (cognitive load theory). Meskipun beban maksimal tiap individu bervariasi, beberapa penelitian menunjukkan bahawa rata-rata manusia hanya mampu menyimpan 5-7 ‘potongan’ informasi saja pada satu saat. Asumsi pemprosesan aktif, yang menyatakan bahwa manusia secara aktif melakukan pemprosesan kognitif untuk mengkonstruksi gambaran mental dari pengalaman-pengalamannya. Manusia tidak seperti tape recorder yang secara pasif merekam informasi melainkan secara terus-menerus memilih, menata, dan mengintegrasikan informasi dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hasilnya adalah terciptanya model mental dari informasi yang tersajikan. Ada tiga proses utama untuk pembelajaran secara aktif ini, yakni: pemilihan bahan atau materi yang relevan, penataan materi-materi terpilih, dan pengintegrasian materi-materi tersebut ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Proses ini terjadi di dalam memori kerja yang terbatas kapasitasnya. Mengikuti asumsi Mayer (Mayer R. E., 1989), Gambar 1 berikut ini menunjukkan model bagaimana manusia belajar dalam lingkungan pembelajaran multimedia. Model belajar ini mengasumsikan manusia memiliki dua kanal menuju memori kerja. Satu kanal berasal dari indera pendengaran dan kanal yang lain berasal dari indera penglihatan. Bahan ajar multimedia mungkin berisi gambar dan kata-kata (baik dalam bentuk tekstual maupun tuturan). Gambar dan narasi tekstual (printed word) masuk menuju sistem pemroses kognitif pembelajar melalui indera penglihatan, sedangkan narasi tuturan (spoken words) masuk melalui indera pendengaran. Pembelajar tidak menerima semua informasi yang disajikan melainkan memilih dan menyaring sesuai minat dan kepentingannya. Informasiinformasi yang terpilih lebih lanjut diproses dalam memori kerja pembelajar. Memori kerja ini memiliki keterbatasan dalam hal menyimpan dan memanipulasi informasi di setiap kanal. Dalam memori kerja ini, pembelajar secara mental mengorganisasikan gambargambar terpilih kedalam model piktorial dan beberapa tuturan ke dalam model verbal. Kedua jenis informasi ini dipadukan dengan informasi yang telah dimiliki pembelajar dari memori jangka panjang yang merupakan gudang penyimpanan pengetahuan pembelajar. 67 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum Presentasi Multimedia Tuturan Telinga Memori Jangka Panjang Memori Kerja Pengindera Pemilihan Tutur Penataan Tutur Bunyi Model Verbal Pengetahuan Sebelumnya Gambar Mata Pemilihan Citra Citra Penataan Citra Model Piktorial Dipadukan Gambar 1 Model belajar multimedia (Clark & Mayer, 2008: 52) Memori kerja berfungsi bukan saja menyimpan sementara informasi tetapi juga berlaku sebagai mesin pengolah informasi. Kapasitas memori kerja sangat terbatas dan masa simpannya juga sangat singkat. Keterbatasan ini hanya berlaku untuk informasi yang sama sekali baru bagi penggunanya atau yang memerlukan pengolahan dengan cara berbeda dari informasi yang pernah diterimanya. Informasi yang telah dipelajari akan tersimpan dalam memori jangka panjang, tidak lagi memiliki keterbatasan baik dalam banyaknya maupun lamanya masa simpan informasi tersebut, ketika dibawa kembali ke memori kerja melalui proses pemanggilan kembali (recall/retrieval) (Ericsson & Kintsch, 1995: 211-245). Memori kerja diasumsikan terdiri atas dua kanal atau dua bagian terpisah. Satu bagian yang disebut disebut prosesor visual bekerja menerima dan mengolah informasi yang berupa diagram 2 dimensi atau benda 3 dimensi dan bagian lain disebut prosesor auditif yang bekerja mengolah informasi auditif. Kedua kanal atau bagian memori bekerja secara koordinatif sebelum akhirnya informasi yang telah diolah menjadi pengetahuan dan keterampilan disimpan dalam bentuk jaringan hirarkis dalam memori jangka panjang. Gambar 1. Model Arsitektur Memori Manusia Memori jangka panjang adalah terminal akhir proses penerimaan dan pengolahan informasi serta merupakan tempat penyimpanan informasi secara permanen. Proses mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang baru merupakan proses mengintegrasikan informasi yang diterima oleh memori kerja dengan informasi yang telah tersimpan dalam memori jangka panjang sehingga menjadi model pengetahuan baru yang kemudian disimpan kembali dalam memori jangka panjang. Proses pengintegrasian informasi dari memori kerja ke dalam memori jangka panjang disebut proses pengekodan (encoding) dan pengolahan informasi yang terjadi dalam memori kerja untuk membantu pengekodan 68 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum disebut proses pelatihan atau pengulangan (rehearsal). Bila diperlukan, pengetahuan yang telah terorganisasi dalam memori jangka panjang dapat dipanggil kembali dan diaplikasikan dalam konteks kehidupan nyata. Proses ini disebut proses pemanggilan kembali (retrieval). Proses belajar dikatakan berhasil apabila pengetahuan yang telah dipelajari tersimpan dalam memori jangka panjang dan dapat dengan mudah dipanggil kembali ke memori kerja (Ericsson & Kintsch, 1995). Prinsip-prinsip Perancangan Bahan Ajar Multimedia Pada proses belajar dengan multimedia, pembelajar mengalami 3 (tiga) proses kognitif penting. Proses kognitif pertama adalah proses memilah yang diterapkan terhadap informasi verbal atau informasi visual, tergantung jenis informasi yang diterima oleh indera pembelajar. Proses kognitif kedua adalah mengorganisasikan informasi ke dalam model verbal (untuk informasi auditif) atau model visual (untuk informasi visual). Proses ketiga adalah proses pemaduan atau pengintegrasian, yang terjadi apabila pembelajar membangun jalinan antara model verbal dan model visual atas informasi yang diterima. Informasi visual yang berupa teks, misalnya, akan dijalin dengan model verbal yang umumnya berupa ucapan. Demikian juga, obyek verbal atau auditif yang berupa deskripsi mengenai obyek visual, akan dijalin dengan model visual yang dimiliki oleh pembelajar. Terkait dengan fakta-fakta mengenai proses kognitif yang terjadi pada pembelajar dan struktur kognitif yang diasumsikan ada pada pembelajar, dapat digeneralisasi prinsipprinsip perancangan bahan ajar multimedia yang sesuai. Prinsip Representasi Ganda Prinsip representasi ganda (multiple representation principle) atau disebut juga prinsip multimedia ini secara singkat dapat dinyatakan “lebih baik menyajikan penjelasan dengan kata (verbal) dan gambar daripada hanya dengan kata (verbal).” Prinsip pertama ini secara sederhana menyatakan bahwa lebih baik menyajikan penjelasan mengenai sesuatu dengan menggunakan dua modus penyajian daripada satu modus saja. Dalam menjelaskan mengenai cara kerja rem cakram misalnya. Daripada menjelaskan secara verbal saja, lebih baik bila kepada pembelajar juga disajikan animasi atau potongan video mengenai proses pengereman dengan rem cakram. Mayer & Anderson (Mayer & Anderson, 1991) (Mayer & Anderson, 1992) dalam penelitiannya membuktikan bahwa siswa yang mendengarkan narasi dan melihat animasi mampu menyelesaikan soal-soal terkait dua kali lebih baik dibandingkan siswa yang hanya mendengarkan narasi tanpa melihat animasi. Demikian juga, siswa yang membaca teks dilengkapi ilustrasi di dekatnya mampu menyelesaikan soal-soal terkait 65% lebih baik dibandingkan siswa yang hanya membaca teks saja (Mayer R. E., 1989) (Mayer & Gallini, 1990). Efek yang disebut efek multimedia ini konsisten dengan teori kognitif mengenai pembelajaran multimedia karena siswa yang menerima penjelasan secara multimedia mampu membangun dua representasi mental, yakni model verbal dan model visual, dan membangun jalinan diantara keduanya dengan lebih baik. Contoh lain dari prinsip multimedia bisa juga dijelaskan melalui Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini. Keduanya bermaksud menjelaskan apa dan bagaimana cara membuat surat kuasa itu. Gambar 2 menunjukkan penjelasan tekstual saja mengenai apa itu dan 69 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum bagaimana surat kuasa dibuat, melalui contoh bagian-bagian (yang bisa saja dijelaskan kemudian prosedur atau tata urutan pembuatannya). Gambar 2 Penjelasan tekstual mengenai apa dan bagaimana membuat surat kuasa Presentasi yang lebih baik ditunjukkan pada Gambar 3. Alih-alih menjelaskan secara tekstual saja, contoh berikut ini menunjukkan bentuk surat kuasa yang sebenarnya ditambah dengan gambar bentuk call out untuk menunjukkan bagian-bagian penting dari surat kuasa. Gambar 3 Contoh surat kuasa dengan gambar call-out penjelas 70 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum Prinsip Kedekatan Prinsip kedekatan (contiguity principle) menyatakan: bila memberikan penjelasan secara multimedia, lebih baik kata dan gambar disajikan berdekatan (lokasi atau waktu) daripada disajikan terpisah. Prinsip kedekatan ini pada dasarnya menunjukkan bahwa siswa akan lebih memahami penjelasan bila kata dan gambar disajikan pada waktu bersamaan. Siswa yang mendengarkan penjelasan naratif-verbal tentang cara kerja pompa angin bersamaan dengan melihat animasinya mampu menyelesaikan soal 50% lebih baik dibandingkan dengan siswa yang yang melihat animasi sebelum atau sesudah mendengarkan narasiverbal (Mayer & Anderson, 1991; Mayer & Anderson, 1992; Mayer & Sims, 1994) Demikian juga, siswa yang membaca teks tentang cara kerja pompa angin dengan ilustrasi yang ditempatkan di dekatnya, mampu menyelesaikan soal 75% lebih baik dibandingkan dengan siswa yang membaca teks dengan gambar berada di halaman terpisah (Mayer 1989). Efek ini disebut efek kedekatan dan konsisten dengan teori kognitif pembelajaran multimedia karena tutur (verbal) dan gambar harus berada dalam memori kerja pada waktu bersamaan agar mendukung proses pembentukan jalinan referensial di antara keduanya. Gambar 2 berikut ini menunjukkan contoh penempatan teks penjelas dan gambar yang dijelaskan. Pada gambar sebelah kiri, penjelasan dan gambar disajikan terpisah. Penyajian informasi seperti itu melanggar prinsip kedekatan yang berpotensi mempercepat terjadinya kejenuhan kognitif. Gambar sebelah kanan adalah solusi yang lebih baik, di mana gambar dan penjelasannya menyatu pada satu ruang visual. Gambar 4 Ilustrasi yang melanggar prinsip kedekatan (kiri), menyatukan gambar dan teks penjelasan dalam satu ruang pandang jauh lebih baik (kanan) 71 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum Prinsip Perhatian-Terbelah Prinsip perhatian-terbelah (split-attention) menyatakan: bila memberikan penjelasan secara multimedia, lebih kata-kata sebagai narasi-verbal (narasi auditif) daripada sebagai narasi tekstual (visual). Penelitian Mayer dan Moreno (1998) membuktikan bahwa siswa yang menyaksikan animasi tentang terjadinya petir sekaligus mendengarkan narasi verbalnya mampu menyelesaikan soal terkait 50% lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menyaksikan animasi (yang sama) dengan narasi tekstual. Sweller menyebut efek ini sebagai efek perhatian-terbelah (split-attention effect) (Kalyuga, Chandler, & Sweller, 1999). Hasil penelitian ini konsisten dengan teori kognitif tentang pembelajaran multimedia, karena narasi tekstual (yang tersaji pada layar monitor) dan animasi (yang juga tersaji pada layar monitor) dapat menyebabkan terjadinya beban-lebih kognitif pada kanal visual. Prinsip Koherens Prinsip koherens (coherence principle) menyatakan: bila memberikan penjelasan secara multimedia, lebih baik menggunakan kata dan gambar secukupnya, tidak berlebihan. Prinsip koherens ini menunjukkan bahwa siswa memahami dengan lebih baik penjelasan ringkas dengan kata dan gambar yang relevan daripada penjelasan panjang lebar. Sebagai contoh, siswa yang membaca penjelasan mengenai langkah-langkah proses terbentuknya petir dengan ilustrasi yang terkait dengannya mampu menyelesaikan soal 50% lebih baik daripada siswa yang memperoleh informasi serupa dengan detil tambahan disertakan dalam informasi tersebut (Harp & Mayer, 1997). Sweller menyebut efek ini sebagai efek redundansi (redundancy effect), dan temuan ini konsisten dengan teori kognitif pembelajaran pembelajaran multimedia yang menjelaskan bahwa presentasi yang singkat mengarahkan pembelajar memilih dan mengorganisir informasi secara produktif Kesimpulan Pemahaman mengenai proses kognitif yang terjadi pada pembelajar memungkinkan kita merancang bahan ajar multimedia yang efektif. Meskipun hasil-hasil penelitian yang mendukung prinsip-prinsip perancangan multimedia yang dipaparkan masih mungkin untuk diteliti ulang dan hasilnya bisa saja berbeda, namun sejauh ini dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip yang dijelaskan di atas dapat dijadikan pegangan dalam merancang bahan ajar multimedia. Harus tetap disadari bahwa perbedaan individu pembelajar, baik karakter yang melekat padanya maupun potensi kemampuan pembelajar terkait dengan pengetahuan awal yang dimilikinya, berpengaruh besar dalam keberhasilan pembelajaran, termasuk pembelajaran dengan multimedia. 72 DP. Jilid 11, Bil 1/2011 Kurikulum Rujukan Baddeley, A., & Hitch, G. (1974). Working Memory. In G. Bower, Recent advances in learning and motivation (pp. 47-90). New York: Academic Press. Clark, R. C., & Mayer, R. E. (2008). e-Learning and the Science of Instruction Proven Guidelines for Consumers and Designers of Multimedia Learning. Second Edition. Pfeiffer. Ericsson, K. A., & Kintsch, W. (1995). Long-term working memory. Psychological Review, 89, 211-245. Harp, S., & Mayer, R. E. (1997). Role of interest in learning from scientific text and illustrations: On the distinction between emotional interest and cognitive interest. Journal of Educational Psychology, 92-102. Kalyuga, S., Chandler, P., & Sweller, J. (1999). Managing Split-attention and Redundancy in Multimedia Instruction. Applied Cognitive Psychology, 351-371. Mayer, R. E. (1989). Systematic thinking fostered by illustrations in scientific text. Journal of Educational Psycholog , 81, 240-246. Mayer, R. E., & Anderson, R. B. (1991). Animations need narrations: An experimental test of a dual-coding hypothesis. Journal of Educational Psychology, 484-490. Mayer, R. E., & Anderson, R. B. (1992). The instructive animation: Helping students build connections between words and pictures in multimedia learning. Journal of Educational Psychology, 444-452. Mayer, R. E., & Gallini, J. K. (1990). When is an illustration worth ten thousand words? Journal of Educational Psychology (82), 715-720. Mayer, R. E., & Sims, V. K. (1994). For whom is a picture worth a thousand words? Extentions of a dual-coding theory of multimedia learning. Journal of Educational Psychology, 86, 389-401. 73