2 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) 2.1.1 Definisi, Tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berawal dari dua program pendidikan yang lebih banyak dilakukan di alam dengan tujuan untuk latihan, pengamatan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan kesenangan (Ford 1981). PLH didefinisikan sebagai suatu proses untuk membangun/mengembangkan populasi dunia yang sadar dan memiliki keprihatinan akan lingkungan secara keseluruhan beserta permasalahan terkait, dan yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan bersama dalam memecahkan permasalahan yang ada dan mencegah timbulnya permasalahan baru (UNESCO 1978 diacu dalam Monroe, Day dan Grieser 2000; Braus dan Wood 1994). Rekomendasi No. 1 dari Konferensi Antar-Pemerintah mengenai PLH yang diadakan di Tbilisi, USSR, pada Oktober 1977 (UNESCO 1980 diacu dalam Biswas dan Biswas 1982) menyatakan bahwa tujuan dasar PLH adalah keberhasilan dalam membuat individu dan masyarakat memahami sifat alamiah lingkungan alam dan buatan yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi aspekaspek biologis, fisik, sosial, ekonomi dan budaya, dan agar individu dan masyarakat tersebut mendapatkan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan praktis untuk berperan serta secara bertanggungjawab dan efektif dalam mengantisipasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dan mengelola kualitas lingkungan. PLH pada dasarnya ditujukan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola lingkungan hidupnya secara berkelanjutan. Ada lima sasaran PLH yang diidentifikasi dalam Konferensi Antarpemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai PLH (Unesco 1978 diacu dalam Monroe, Day, dan Grieser 2000 dan Brauss dan Wood 1994), yaitu: 1. Kesadaran – membantu peserta didik untuk mendapatkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan dan permasalahan terkait. 8 2. Pengetahuan – untuk mendapatkan beragam pengalaman dan pemahaman mendasar mengenai lingkungan dan permasalahan terkait. 3. Sikap – untuk mendapatkan serangkaian nilai dan rasa keprihatinan akan lingkungan dan motivasi untuk berperan secara aktif dalam pengembangan dan perlindungan lingkungan. 4. Keterampilan – untuk mendapatkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan lingkungan. 5. Partisipasi – untuk mendorong warga masyarakat agar terlibat aktif pada semua level dalam mencari resolusi permasalahan lingkungan. Perkembangan PLH di Indonesia tidak terlepas dari Konferensi PBB tentang lingkungan hidup sedunia yang dikenal dengan Konferensi Stockholm, Juni 1972 (Pokja PKSDHL 1998). Pokja PKSDHL (1998) menguraikan bahwa berbagai usaha telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap deklarasi Stockholm, antara lain pengembangan Lembaga Ekologi oleh Universitas Padjajaran Bandung, berbagai kebijakan pemerintah, penyusunan Garis-garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Dalam perkembangannya PLH terwujud dalam berbagai bentuk, seperti Pendidikan Hutan dan Lingkungan (PHL), Pendidikan Konservasi (PK), Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), serta Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (PuPB). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2004 menerbitkan Kebijakan PLH yang menguraikan bahwa PLH dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal maupun informal. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009) menyatakan bahwa umumnya PLH formal lebih efektif daripada PLH informal. PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun kurikulum yang monolitik/tersendiri (KLH 2004). Pada tahun 2007 Gubernur Jawa Barat telah menerbitkan kebijakan yang mendorong pelaksanaan PLH formal di sekolah secara lebih intensif, sehingga semakin meningkatkan peran guru dalam penerapan PLH di sekolah. 9 2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan guru sebagai pendidik, yaitu tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut menguraikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Guru adalah orang yang menterjemahkan filosofi dan tujuan pendidikan menjadi pengetahuan dan keterampilan dan mentransfernya kepada siswa (Ofoegbu 2004). Muntasib (2002) menyebutkan bahwa guru sebagai motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian. Guru memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk sikap anak (sebagai siswanya), karena masa sekolah merupakan masa peletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pengembangan kepribadian, nilai dan sikap seseorang (Siagian 2004). Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru merupakan salah satu faktor kunci dalam penerapan PLH melalui jalur formal di sekolah (Muntasib et al. 2009). Kurangnya tenaga guru yang terlatih merupakan salah satu hal yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah pada Negara-negara Asia Pasifik (Nirarita 2003), sedangkan pelaksanaan PLH di sekolah sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan komitmen guru serta dukungan yang didapat guru dari kepala sekolah dan sesama rekan guru. Sedemikian besar peran guru dalam penerapan PLH di sekolah sehingga guru perlu mendapatkan perhatian besar, terutama dalam hal peningkatan kemampuan guru untuk menerapkan PLH. 10 2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH 2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus, baik berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu, yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan individu terhadap stimulus tersebut (Langevelt 1966 diacu dalam Harihanto 2001). Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses aktif yang dilakukan seseorang untuk memberikan makna tertentu kepada lingkungannya (manusia, obyek, peristiwa, situasi dan fenomena-fenomena lainnya) dengan memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan lingkungan tersebut (Robbins 2003; Siagian 2004; Robbins 2005; Wood 2007). Proses aktif tersebut terdiri dari tiga proses yang kontinyu dan saling berpadu, yaitu seleksi/pemilihan, pengorganisasian, dan interpretasi stimulasi terhadap sensori/indera sehingga menjadi suatu gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Berelson dan Steiner 1964 diacu dalam Severin dan Tankard 1979; Wood 2007). Faktor Individu: Sikap Motif Minat/keinginan Pengalaman Harapan Faktor Situasi: Waktu Suasana/Kondisi kerja Kondisi Sosial Persepsi Faktor Obyek/Sasaran: Kebaharuan/Novelty Pergerakan Suara Ukuran Latarbelakang Kedekatan Kemiripan Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003). 11 Persepsi (kognisi/pandangan) terbentuk saat seseorang melihat obyek yang terorganisasi dan mengenalinya sebagai obyek yang bermakna, memilih obyek, dan memilih karakteristik obyek yang sesuai dengan konsepsinya mengenai dunia (Krech et al. 1965). Severin dan Tankard (1979) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi sejumlah faktor psikologis yang meliputi asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman masa lalu (yang seringkali bekerja pada suatu tingkatan yang hampir tidak disadari), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), mood/suasana hati, dan sikap. Robbins (2003, 2005) dan Siagian (2004) menguraikan bahwa persepsi dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan karakteristik individu, obyek atau sasaran, dan situasi (Gambar 1). Wood (2007) menjelaskan bahwa individu-individu berbeda dalam menangkap suatu situasi dan orang, dan perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor fisiologis (kemampuan alat indera dan kondisi fisiologis), umur (dan pengalaman), budaya, peran dalam masyarakat (pengaruh sosial), kemampuan kognitif, dan kepribadian individu. Dengan demikian, semua persepsi selalu parsial dan subyektif; parsial karena individu tidak mampu menangkap semua hal, dan subyektif karena persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut. Guru membawa dua persepsi dalam dirinya di dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran. Persepsi guru tentang lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran akan mempengaruhi guru dalam memilih metode dan media untuk menyampaikan materi kepada siswa, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil belajar siswa. 2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya Ilmu lingkungan mengenal konsep “persepsi mengenai lingkungan (environmental perception)”, yang didefinisikan sebagai cerminan penglihatan, kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan Letey 1973 diacu dalam Harihanto 2001). Haryadi dan Setiawan (1995) diacu dalam Harihanto (2001) menguraikan persepsi tentang lingkungan adalah interpretasi tentang suatu seting (lingkungan) oleh individu, yang didasarkan pada latar belakang budaya, nalar dan pengalaman, sehingga setiap individu dapat 12 memiliki persepsi lingkungan yang berbeda meskipun dimungkinkan beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip. Persepsi tentang lingkungan juga diuraikan sebagai model mental atau gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai lingkungan yang digunakannya untuk memberikan makna bagi peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar tentang lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan (Surata 1993 diacu dalam Muntasib 2002). Hal tersebut dapat dijelaskan dengan pernyataan Heathcote (1980) bahwa persepsi tentang lingkungan tidak hanya mencerminkan skala peristiwa dan hubungan individu dengan peristiwa tersebut, namun juga mencerminkan beragam motif yang tersirat dalam sikap individu terhadap lingkungan. Siagian (2004) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang mengenai lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilakunya dan akan menentukan faktor-faktor apa yang dipandang sebagai faktor motivasional yang kuat. Edmund & Letey (1973) diacu dalam Muntasib (2002) menyampaikan bahwa salah satu sebab timbulnya masalah lingkungan adalah kegagalan untuk memiliki persepsi-persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai suatu keseluruhan dan untuk memahami serta menerima ketergantungan dasar dalam sistem ekologi termasuk manusia. Asngari (1984) diacu dalam Harihanto (2001) mengatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor penting, karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Guru meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Potensi terjadinya kesalahpahaman dan pembentukan konsepsi yang salah mengenai lingkungan pada siswa akan dapat diidentifikasi dengan memahami persepsi guru tentang lingkungan. Guru yang memiliki persepsi yang benar/positif mengenai lingkungan kemungkinan besar akan berperilaku positif terhadap lingkungan, yaitu perilaku yang ramah lingkungan. Perilaku yang positif/ramah lingkungan ini akan dapat menjadi teladan/contoh yang baik dan tepat bagi siswa. Keteladanan dari guru merupakan 13 salah satu cara yang baik dalam mengajarkan PLH kepada siswa, karena belajar PLH juga belajar melalui keteladanan. Penelitian ini menggali persepsi guru tentang lingkungan yang dibatasi pada gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Persepsi guru tentang lingkungan tersebut digali dengan menggunakan metode survey Draw-AnEnvironment Test (DAET) yang terdiri dari dua bagian, yaitu (1) guru diminta untuk membuat gambar lingkungan, dan (2) guru diminta menuliskan definisi mereka mengenai lingkungan dengan melengkapi sebuah kalimat terbuka (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Tulisan merupakan refleksi/cerminan dari persepsi dan pengetahuan guru mengenai lingkungan (Desjean-Perrotta et al. 2008) sedangkan gambar merupakan representasi atau gambaran model mental atau citra seseorang sebagai salah satu cara untuk menganalisa kepercayaan pribadi (Thomas, Pederson dan Finson 2001 diacu dalam Moseley dan Desjean-Perrotta 2010) guru terhadap lingkungan. Penilaian DAET didasarkan pada konsep mengenai lingkungan dalam NAAEE Guidelines, yaitu interdependensi, pendekatan sistem dan interaksi empat faktor pembentuk lingkungan, yaitu: manusia, organisme hidup/biotik lainnya, lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan buatan (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). 2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont 1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah, seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan, skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000; Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar) dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan 14 menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar (Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri. Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk mendapatkan pengalaman di alam. Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD) contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di 15 SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas pengajaran PLH. Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi guru dalam mengajar PLH Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah (Ofoegbu 2004). Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri (Self- Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2). Perilaku Non determinasi diri Tipe Motivasi Amotivasi Determinasi-diri Motivasi Ekstrinsik Motivasi Intrinsik Tipe Regulasi Regulasi ter- Regulasi ter- Regulasi ter- Regulasi Non-regulasi Pengaturan/ Eksternal introjeksi identifikasi integrasi intrinsik Regulasi Lokus Agak Agak Impersonal Eksternal internal internal Kausalitas eksternal internal Gambar 2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001). 16 Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al. 1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001). Motivasi intrinsik mengacu pada perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam (deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009). Motivasi ekstrinsik merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan 2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: 1) Regulasi eksternal. Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan (reward) atau menghindari hukuman (punishment). 2) Regulasi terintrojeksi. Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya. Ego memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa diri berguna. 3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau penting bagi individu tersebut. 4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal dari diri seseorang. Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008) menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik 17 akan memberikan luaran yang paling positif. Motivasi intrinsik dapat diukur dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai dayatarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz 1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence (kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan sebagai berikut: 1. Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai. 2. Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil melakukan aktivitas tugas yang dipilih. 3. Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar. 4. Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata dalam mencapai tujuan tugas. Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH, upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH. Ryan (1982) telah mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness, pressure/tension, dan perceived choice. Sikap guru terhadap PLH Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek, orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada 18 dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2) sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi sosial. Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971; Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005). Variabel bebas terukur Variabel antara AFEKSI STIMULI (individu, situasi, isu-isu sosial, kelompok-kelompok sosial, dan “obyekobyek sikap” lainnya) Variabel terikat/tak bebas terukur Respon sistem syaraf simpatetik Pernyataan verbal afeksi Respon perseptual SIKAP KOGNISI PERILAKU Pernyataan verbal tentang kepercayaan Tindakan nyata Pernyataan verbal terkait perilaku Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Triandis 1971) Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaanketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang 19 individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar (1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruhpengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah, meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah. Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati (dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan, sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap lainnya (Shavitt dan Brock 1994). Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu selfefficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu, sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang 20 ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa (Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley 2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990, Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar (selfefficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam Moseley et al. 2002). Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002) menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa, sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks. Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH, dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metodemetode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan 21 efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa. Sia (1992) telah mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.