MODUL PERKULIAHAN Pedologi Gangguan Mood dan Bunuh Diri Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Abstract Tatap Muka 07 Kode MK Disusun Oleh 61077 Yenny, M.Psi., Psikolog Kompetensi Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengkomunikasikan : Gangguan Mood dan Bunuh Diri Kita mungkin berpikir bahwa masa kanak-kanak merupakan masa paling bahagia dalam kehidupan. Sebagian besar anak-anak dilindungi oleh orang tua mereka dan tidak dibebani dengan tanggung jawab orang dewasa. Dari perspektif dewasa lanjut, tubuh anak-anak tampak terbuat dari karet dan bebas rasa sakit. Mereka tampaknya punya tenaga yang tidak terbatas. Di samping adanya stereotip tentang masa kanak-kanak yang bahagia, depresi klinis biasa terjadi pada anak-anak dan remaja. Diperkirakan 8%-9% anak-anak usia 10-13 tahun pernah mengalami depresi mayor selama setahun (Goleman, 1994a dalam Nevid, 2005). Walaupun jarang, depresi mayor bahkan ditemukan pula pada anak-anak prasekolah. Meskipun tidak ada perbedaan gender dalam risiko munculnya depresi pada masa kanak-kanak, perbedaan gender yang jelas tampak setelah usia 15 tahun, di mana jumlah remaja perempuan yang mengalami depresi dua kali lebih banyak daripada laki-laki (Hankin dkk., 1998; Lewinsohn, Rohde, & Seeley, 1994 dalam Nevid, 2005). Depresi pada Masa Kanak-kanak dan Remaja Anak-anak dan remaja dapat menderita gangguan mood, termasuk gangguan bipolar dan depresi mayor. Seperti orang dewasa yang depresi, anak-anak dan remaja ini memiliki perasaan tidak berdaya, pola berpikir yang lebih terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri sehubungan dengan kejadian-kejadian negatif, serta self-esteem, self-confidence, dan persepsi akan kompetensi yang lebih rendah dibandingkan temanteman sebayanya yang tidak depresi (Lewinsohn dkk., 1994; Kovacs, 1996 dalam Nevid, 2005). Mereka sering melaporkan adanya episode kesedihan dan menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan kurang nafsu makan. Mereka juga memiliki pikiran-pikiran untuk bunuh diri dan bahkan mencoba untuk bunuh diri. Namun depresi pada anak-anak juga memiliki ciri yang berbeda, seperti menolak masuk sekolah, takut akan kematian orang tua, dan terikat pada orang tua. Depresi juga dapat tersamarkan oleh perilaku yang tampaknya tidak berhubungan langsung dengan depresi. CD, masalah akademik, keluhan fisik, dan bahkan hiperaktivitas dapat bersumber dari depresi yang tidak disadari. Di antara para remaja, agresivitas dan perilaku seksual yang berlebihan juga dapat menjadi tanda adanya depresi. Satu hal yang harus kita ketahui yaitu bahwa anak-anak atau remaja yang depresi mungkin gagal untuk melabel perasaan mereka sebagai depresi. Mereka mungkin tidak melaporkan perasaan sedih walaupun mereka tampak sedih bagi orang lain dan menangis (Goleman, 1994a dalam Nevid, 2005). Sebagian dari masalahnya adalah perkembangan kognitif. Anak-anak biasanya tidak mampu mengenali perasaan-perasaan internal sampai mencapai usia 7 tahun. Mereka mungkin tidak dapat mengidentifikasikan perasaan negatif pada dirinya, termasuk depresi, sampai usia remaja (Larson dkk., 1990 dalam Nevid, 2005). 2016 2 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Bahkan para remaja mungkin juga tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah depresi. Lamanya episode depresi mayor pada anak-anak dan remaja kira-kira 11 bulan, tetapi episode individual bisa berlangsung sampai dengan 18 bulan pada beberapa kasus (Goleman, 1994a dalam Nevid, 2005). Depresi dengan tingkat sedang dapat bertahan sampai beberapa tahun dan amat mempengaruhi prestasi sekolah dan fungsi sosial (NolenHoeksema & Girgus, 1994 dalam Nevid, 2005). Depresi pada remaja diasosiasikan dengan meningkatnya risiko terjadinya episode depresi mayor di masa mendatang dan percobaan bunuh diri pada masa dewasa (Weissman, 1999 dalam Nevid, 2005). Sekitar tiga dari empat anak yang mengalami depresi pada rentang usia 8 hingga 13 tahun akan mengalaminya lagi di masa depan (Goleman, 1994a dalam Nevid, 2005). Anak-anak yang depresi juga kurang memiliki berbagai keterampilan, termasuk keterampilan akademik, atletik, dan sosial (Seroczynski, Cole & Maxwell, 1997 dalam Nevid, 2005). Mereka merasa kesulitan untuk berkonsentrasi di sekolah dan mengalami hendaya memori sehingga sulit untuk meningkatkan nilai mereka (Goleman, 1994a dalam Nevid, 2005). Mereka sering menyimpan sendiri perasaan-perasaan mereka dan menyebabkan orang tua tidak menyadari masalah yang terjadi dan kemudian mencari pertolongan. Perasaan-perasaan negatif juga dapat diekspresikan dalam bentuk kemarahan, cemberut, atau perasaan tidak sabar, sehingga mengakibatkan konflik dengan orang tua yang selanjutnya memperpanjang masa depresi. Depresi pada anak-anak jarang terjadi dengan sendirinya. Mereka umumnya mengalami gangguan psikologis lain, terutama gangguan kecemasan dan CD atau ODD (Hammen & Compas, 1994 dalam Nevid, 2005). Gangguan makan juga sering terjadi pada remaja depresi, paling tidak pada remaja perempuan (Rohde, Lewinsohn & Seeley, 1991 dalam Nevid, 2005). Secara keseluruhan, depresi masa kanak-kanak meningkatkan kesempatan anak untuk mengembangkan gangguan psikologis lain paling tidak dalam 20 bagian (Angold & Costello, 1993 dalam Nevid, 2005). Persentase yang cukup besar dari remaja depresi (antara 20%-40%) nantinya akan mengembangkan gangguan bipolar (USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). Korelasi dan Penanganan Depresi pada Masa Kanak-kanak dan Remaja Depresi dan perilaku bunuh diri pada anak-anak sering kali berhubungan dengan masalah dan konflik keluarga. Anak-anak yang dipaparkan pada kejadian-kejadian yang menimbulkan stres pada keluarga, seperti konflik orang tua atau pengangguran, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi, terutama pada anak-anak yang lebih muda (Nolen-Hoeksema, Girgus & Seligman, 1992 dalam Nevid, 2005). Kejadian-kejadian yang menimbulkan stres dan kurangnya dukungan sosial dari teman dan keluarga juga 2016 3 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mempengaruhi remaja yang kemudian menjadi depresi (Lewinsohn dkk., 1994 dalam Nevid, 2005). Depresi pada masa remaja dapat dipicu oleh kejadian-kejadian seperti konflik dengan orang tua dan ketidakpuasan dengan nilai-nilai di sekolah. Pada anak perempuan, gangguan pola makan dan ketidakpuasan pada tubuh setelah masa pubertas sering kali memprediksi siapa yang akan mengembangkan depresi mayor selama masa remaja (Stice dkk., 2000). Menariknya, hubungan antara kehilangan orang tua pada masa kanak-kanak dengan depresi pada masa kanak-kanak atau remaja ternyata tidak konsisten; sebagian penelitian menunjukkan hubungan tetapi yang lainnya tidak (Lewinsohn dkk., 1994 dalam Nevid, 2005). Dengan semakin matangnya anak-anak dan meningkatnya kemampuan kognitif mereka, faktor-faktor kognitif, seperti cara atribusi, tampaknya memainkan peran yang lebih besar dalam perkembangan depresi. Anak-anak yang lebih besar (kelas 6 atau SMP) yang mengadopsi gaya penjelasan yang lebih tidak berdaya atau pesimistis (mengatribusikan kejadian-kejadian negatif pada penyebab internal, stabil dan umum, serta mengatribusikan kejadian-kejadian positif pada penyebab eksternal, tidak stabil, dan khusus) lebih besar kemungkinannya untuk mengembangkan depresi dibandingkan mereka yang memiliki gaya penjelasan yang lebih optimistik (Noleh-Hoeksema dkk., 1992 dalam Nevid, 2005). Para peneliti juga menemukan bahwa remaja-remaja yang depresi cenderung memiliki sikap yang lebih disfungsional dan mengadopsi gaya penjelasan yang lebih tidak berdaya daripada teman sebayanya yang tidak depresi (Lewinsohn dkk., 1994 dalam Nevid, 2005). Seperti halnya orang dewasa, anak-anak dan remaja depresi cenderung mengadopsi gaya kognitif yang ditandai oleh sikap negatif terhadap diri sendiri dan masa depan (Garber, Weiss, & Shanley, 1993 dalam Nevid, 2005). Secara keseluruhan, perubahan kognisi pada anak-anak yang depresi meliputi hal-hal berikut : 1. Mengharapkan yang terburuk (pesimis) 2. Membesar-besarkan konsekuensi dari kejadian-kejadian negatif 3. Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif, walaupun tidak beralasan 4. Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek negatif dari berbagai kejadian Walaupun terdapat hubungan antara faktor kognitif dan depresi, masih belum diketahui apakah anak-anak menjadi depresi karena pola berpikir depresi atau depresi yang menyebabkan perubahan-perubahan pada pola berpikir (USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). Faktor genetis juga tampak memainkan peran dalam menjelaskan simtom depresi, paling tidak di antara remaja (O’Connor dkk., 1998 dalam Nevid, 2005). Walaupun demikian, peran genetis pada anak-anak masih perlu diteliti lebih lanjut (Kovacs dkk., 1997 dalam Nevid, 2005). 2016 4 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Remaja perempuan menghadapi risiko yang lebih besar untuk mengalami depresi dibandingkan laki-laki, mungkin karena umumnya mereka menghadapi lebih banyak tantangan sosial dibandingkan remaja laki-laki – seperti tekanan untuk mempersempit minat mereka dan melakukan aktivitas-aktivitas yang feminin (Nolen-Hoeksema & Girgus, 1994 dalam Nevid, 2005). Perempuan yang mengadopsi gaya coping yang labih pasif dan banyak merenung lebih besar risikonya untuk menjadi depresi. Perbedaan gender pada remaja depresi mungkin mengandung komponen budaya. Makin banyak bukti-bukti yang mendukung efektivitas dari terapi kognitif – behavioral dalam menangani anak-anak dan remaja yang depresi (Berman dkk., 2000; Braswell & Kendall, 2001; Lewinsohn & Clarke, 1999 dalam Nevid, 2005). Walaupun pendekatan individual bervariasi, terapi kognitif-behavioral biasanya melibatkan model keterampilan coping di mana anak-anak dan remaja memperoleh pelatihan keterampilan sosial (misalnya, belajar bagaimana memulai percakapan atau berteman) untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh reinforcement sosial (Kazdin & Weisz, 1998 dalam Nevid, 2005). Terapi ini biasanya juga mencakup pelatihan dalam keterampilan pemecahan masalah dan cara-cara untuk meningkatkan frekuensi dari aktivitas yang menyenangkan serta mengubah gaya berpikir depresi. Di samping itu, terapi keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan konflik-konflik dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga dapat menjadi lebih suportif satu sama lain. Kita sebaiknya tidak berasumsi bahwa karena antidepresan efektif dalam menangani depresi pada orang dewasa, obat ini juga akan efektif dan aman bagi anak-anak (Bitiello & Jensen, 1997 dalam Nevid, 2005). Walaupun demikian, antidepresan tipe SSRI, seperti Prozac, cukup menjanjikan dalam mengatasi depresi pada anak-anak dan remaja (USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). Litium juga digunakan dan umumnya memberikan hasil yang baik dalam mengatasi anak-anak dan remaja dengan gangguan bipolar (USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). Bunuh Diri pada Anak-anak dan Remaja Bunuh diri relatif jarang terjadi pada anak-anak dan remaja, statistik memperlihatkan kurang dari 1 kasus per 100.000 orang pada anak-anak yang lebih muda dan kurang dari 2 kasus di antara 100.000 orang pada anak usia 10-14 tahun (Brody, 1992b; “Report : Adolescent Suicide,” 1995). Walau frekuensinya rendah, angka bunuh diri pada remaja usia 10-14 tahun sudah bertambah lebih dari dua kalinya dari tahun 1980 sampai awal 1990, meskipun pada populasi usia di bawah 25 tahun secara keseluruhan agak berkurang (Gelman, 1994 dalam Nevid, 2005). Tingkat bunuh diri pada remaja usia 15-19 tahun lebih tinggi, sekitar 8 di 2016 5 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id antara 100.000 orang (UDSHHS, 1991b dalam Nevid, 2005) dan telah meningkat dengan tajam sejak pertengahan abad ke-20. Mudahnya memperoleh senjata, ditambah dengan meningkatnya insiden gangguan dan disintegrasi dalam keluarga, dapat membantu menjelaskan peningkatan angka bunuh diri pada remaja. Data statistik yang resmi tersebut hanya menghitung kasus bunuh diri yang dilaporkan; padahal beberapa kematian akibat kecelakaan seperti jatuh dari jendela, dapat pula merupakan usaha bunuh diri. Terlepas dari adanya pandangan umum bahwa anak-anak dan remaja yang bicara tentang bunuh diri hanyalah mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, anak-anak muda yang benar-benar berniat bunuh diri kemungkinan besar membicarakan hal itu sebelumnya (Brody, 1992b dalam Nevid, 2005). Pada kenyataannya, mereka yang mendiskusikan rencana-rencana mereka adalah yang paling mungkin melakukannya. Anak-anak dan remaja yang lolos dari percobaan bunuh diri akan sangat mungkin mencobanya lagi (Brody, 1992b dalam Nevid, 2005). Sayangnya, orang tua cenderung tidak menganggap pembicaraan tentang bunuh diri pada anak-anaknya sebagai sesuatu yang serius. Mereka sering kali menolak penanganan bagi anak-anak mereka, atau menghentikan penanganan sebelum waktunya. Beberapa faktor diasosiasikan dengan peningkatan risiko bunuh diri di antara anakanak dan remaja (Levy, Jurkovic, & Spirito, 1995; Lewinsohn dkk., 1994, 2001; Neiger, 1988 dalam Nevid, 2005), yaitu : 1. Gender. Anak perempuan, seperti halnya wanita dewasa, kemungkinannya tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk melakukan usaha bunuh diri. Namun demikian anak laki-laki, seperti halnya pria dewasa, cenderung lebih berhasil melakukannya, mungkin karena mereka lebih memilih cara-cara yang mematikan, seperti dengan pistol. Adanya pistol di dalam rumah ternyata merupakan faktor risiko terbesar terjadinya bunuh diri pada anak-anak, bahkan pada mereka yang berusia 5 tahun (Brody, 1992b dalam Nevid, 2005). 2. Usia. Mereka yang berada pada usia remaja akhir atau dewasa awal (15-24 tahun) berisiko lebih besar dibandingkan remaja awal. 3. Geografi. Remaja yang tinggal pada daerah yang tidak terlalu padat lebih cenderung melakukan bunuh diri. Remaja di daerah pertanian bagian barat Amerika Serikat memiliki tingkat bunuh diri tertinggi. 4. Ras. Tingkat bunuh diri pada remaja Afrika Amerika, Asia Amerika, dan Hispanik Amerika sekitar 30%-60% lebih rendah daripada remaja kulit putih nonHispanik (USDHHS, 1991a dalam Nevid, 2005). Di antara dewasa muda berusia 15-24 tahun, orang Amerika asli yang melakukan bunuh diri hampir dua kali lebih banyak dibandingkan orang Eropa Amerika. Walaupun remaja Eropa Amerika lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding remaja Afrika Amerika, angka bunuh diri pada remaja 2016 6 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id laki-laki Afrika Amerika meningkat lebih cepat (Shaffer, Gould, & Hicks, 1994 dalam Nevid, 2005). 5. Depresi dan keputusasaan. Depresi mayor dengan ciri-ciri keputusasaan dan selfesteem rendah merupakan faktor risiko utama pada usaha bunuh diri di antara remaja dan juga orang dewasa (USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). 6. Perilaku bunuh diri sebelumnya. Seperempat dari remaja yang melakukan percobaan bunuh diri sudah pernah mencoba sebelumnya. Lebih dari 80% remaja yang bunuh diri sudah pernah membicarakan hal tersebut sebelumnya. Remaja yang cenderung bunuh diri mungkin membawa senjata mematikan, bicara tentang kematian, membuat rencana bunuh diri, atau melibatkan diri pada perilaku berisiko atau berbahaya. Sejauh bunuh diri dalam keluarga juga meningkatkan risiko bunuh diri pada remaja (Mann dkk., 1996 dalam Nevid, 2005). 7. Masalah-masalah keluarga. Terdapat masalah keluarga pada sekitar 75% remaja yang melakukan usaha bunuh diri. Masalah-masalah itu termasuk ketidakstabilan dan konflik keluarga, kekerasan fisik atau seksual, kehilangan orang tua akibat kematian atau perpisahan, dan komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak (Asarnow, Carlson, & Guthrie, 1987; Wagner, 1997 dalam Nevid, 2005). 8. Kejadian-kejadian yang menimbulkan stres. Banyak kematian pada orang-orang muda yang secara langsung disebabkan oleh kejadian-kejadian yang menimbulkan stres atau trauma, misalnya putus cinta dengan pacar, kehamilan di luar nikah, ditahan oleh polisi, masalah di sekolah, pindah ke sekolah baru, atau harus mengikuti tes penting. 9. Penyalahgunaan obat. Adiksi dalam keluarga remaja atau pada remaja itu sendiri merupakan faktor. 10. Penularan sosial. Bunuh diri pada remaja kadang-kadang terjadi dalam suatu rangkaian, terutama bila suatu usaha bunuh diri atau bunuh diri kelompok memperoleh publisitas yang luas (Kessler dkk., 1990; USDHHS, 1999a dalam Nevid, 2005). Remaja dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu aksi kepahlawanan yang menantang. Sering kali terdapat bunuh diri atau usaha bunuh diri di antara saudara sekandung, teman, orang tua, atau anggota keluarga besar dari remaja yang cenderung bunuh diri. Pada suatu komunitas, bunuh diri pada remaja dapat terjadi bersamaan, terutama bila remajaremaja ini mengalami tekanan akademik yang terus meningkat, seperti kompetisi untuk masuk universitas. Mungkin anggota keluarga atau teman sekolah yang bunuh diri menjadikan bunuh diri sebagai pilihan yang lebih “nyata” untuk menangani stres atau menghukum orang lain. Mungkin bunuh diri yang dilakukan orang lain memberikan impresi pada remaja bahwa ia “ditakdirkan” untuk melakukan bunuh diri. Perhatikan kasus Pam : 2016 7 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pam, Kim, dan Sekarang Brian Pam adalah remaja berusia 17 tahun yang amat menarik, yang masuk rumah sakit setelah memotong pergelangan tangannya. “Sebelum kami pindah (ke kota dengan penduduk kelas menengah ke atas di Westchester Country),” dia mengatakan kepada psikolog, “Saya adalah gadis paling pandai di kelas. Guru-guru menyukai saya. Kalau saja kami memiliki buku tahunan, saya akan menjadi seseorang yang memiliki kemungkinan paling besar untuk berhasil. Kemudian kami pindah, dan tiba-tiba saya tersadar, semua orang pandai, atau mencoba untuk menjadi pandai. Tiba-tiba saya hanya seorang murid biasa yang mencoba untuk masuk universitas. ”Guru-guru baik pada saya, tetapi saya tidak lagi spesial, dan itu menyakitkan. Dan kemudian kami semua mendaftar ke universitas. Tahukah kamu bahwa 90 persen anak SMA masuk universitas? Maksud saya empat tahun di universitas? Dan kita semua tahu – atau menduga – bahwa universitas-universitas yang bermutu mempunyai kuota untuk anakanak dari SMA ini. Maksud saya, tidak mungkin 30 anak dari kelas 3 SMA masuk ke Yale atau Princeton atau Wellesley, ya kan? Kamu lebih baik tidak mendaftar ke Utah.” “Kemudian Kim menerima surat penolakan awal dari Brown. Kim adalah murid nomor satu di kelas. Tidak ada yang bisa percaya. Ayahnya pernah kuliah di Brown dan nilai SAT Kim hampir mencapai 1500. Kim tidak muncul selama beberapa hari – maksud saya ia tidak ke sekolah atau apa pun – dan kemudian, boom, ia meninggal. Ia bunuh diri, hancur, tidak ada lagi, tamat. Kemudian Brian ditolak dari Cornell. Beberapa hari kemudian ia juga meninggal. Saya merasa, ‘Anak-anak ini lebih baik daripada saya.’ Maksud saya, nilai dan SAT mereka lebih baik daripada saya, dan saya akan mendaftar ke Brown dan Cornell. Saya pikir, ‘Saya punya kesempatan apa? Kenapa mesti susah-susah?” Kasus ini menunjukkan bagaimana kognisi yang berfokus pada malapetaka dapat berperan dalam kasus-kasus tragis tersebut. Konsisten dengan literatur tentang bunuh diri pada orang dewasa, anak-anak yang punya kecenderungan bunuh diri hampir tidak pernah menggunakan strategi-strategi pemecahan masalah aktif dalam mengatasi situasi stres. Mereka melihat tidak ada jalan keluar dari kegagalan atau stres yang mereka persepsikan. Seperti pada orang dewasa, satu pendekatan untuk membantu anak-anak yang ingin bunuh diri melibatkan usaha menantang cara berpikir mereka yang terdistorsi serta membuat strategi-strategi alternatif untuk menangani masalah dan sumber stres yang mereka hadapi. 2016 8 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga. 2016 9 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id