Peranan Bakteri Wolbachia pada Patogenesis Filariasis

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Bakteri Wolbachia pada
Patogenesis Filariasis
Suriyani
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Diperkirakan saat ini sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia terinfeksi filariasis terutama penduduk di kantong-kantong kemiskinan di daerah
tropis termasuk Indonesia. Penyebab filariasis berupa nematoda jaringan, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wolbachia
pipientis sebagai bakteri yang diketahui berendosimbion dengan cacing filaria mempunyai peranan pada patogenesis inflamasi filariasis.
Inflamasi diakibatkan oleh lipoprotein Wolbachia yang terpapar pada respon imun manusia diperantarai jalur TLR2/6 saat bakteri Wolbachia
terbebas ke peredaran darah setelah kematian dan degenerasi cacing dewasa maupun microfilaria. Bakteri Wolbachia hanya mempunyai gen
Ltg dan LspA untuk biosintesis lipoprotein, tetapi tidak mempunyai gen Lnt mengisyaratkan bahwa lipoprotein Wolbachia berbentuk diasil
sehingga merupakan ligan yang cocok dengan TLR2/6. Inflamasi akibat lipoprotein Wolbachia akan memicu peningkatan sitokin proinflamasi.
Sitokin proinflamasi akan meningkatkan induksi VEGF-A dan VEGF-C yang sangat berkontribusi pada patogenesis limfedema dan hidrokel pada
penderita filariasis.
Kata kunci: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia
ABSTRACT
It is estimated that more than 150 million people in the world are infected by the filarial disease, especially among poor communities in tropic
regions, including Indonesia. The cause of this lymphatic filariasis are Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. Wolbachia pipientis, an
obligate intracellular bacterium, is an endosymbiont of the filarial parasite, have a very important role in the pathogenesis of lymphatic filariasis.
Inflammation is caused by the Wolbachia lipoprotein which are liberated after the death of adult parasite or microfilariae and exposed to the host
immune system and is mediated by TLR2/6. Wolbachia only have Ltg dan LspA genes for the lipoprotein biosynthesis, but do not possess the
Lnt gene. These findings confirm that Wolbachia lipoprotein is diacylated, so it is a match ligand with TLR2/6. Inflammation caused by Wolbachia
lipoprotein increased pro-inflammation cytokine. The pro-inflammation cytokine will cause induction of VEGF-A dan VEGF-C, contributing to
the lymphedema and hydrocele pathogenesis in lymphatic filariasis. Suriyani. Role of Wolbachia on Filariasis Pathogenesis.
Key words: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia
PENDAHULUAN
Nematoda jaringan filaria adalah cacing parasit
manusia yang umumnya terdapat di daerah
tropis. Cacing filaria menyebabkan penyakit
yang dikenal dengan filariasis. Filariasis limfatik
dikenal sebagai salah satu penyakit penyebab
kecacatan yang sangat hebat di seluruh dunia.
Diperkirakan lebih dari 150 juta penduduk
dunia di daerah miskin dan kumuh terinfeksi
oleh cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori, dan lebih
dari 1,3 milyar penduduk dunia dan tersebar
pada lebih dari 80 negara mempunyai risiko
terinfeksi filariasis limfatik. Filariasis limfatik
adalah infeksi parasit pada pembuluh atau
kelenjar limfe yang disebabkan oleh ketiga
Alamat korespondensi
parasit yang telah disebutkan terdahulu.
Sembilan puluh persen dari total keseluruhan
penyakit filariasis limfatik pada seluruh dunia
disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti
dan sisanya oleh spesies Brugia. Infeksi cacing
Wuchereria bancrofti menyebabkan hidrokel,
kiluria ataupun limfedema, sedangkan infeksi
cacing Brugia menyebabkan limfedema
ataupun elefantiasis tetapi tidak pernah
melibatkan organ genital. Lebih dari 27 juta pria
di seluruh dunia diketahui menderita hidrokel,
serta lebih dari 15 juta penduduk dunia
menderita elefantiasis dan limfedema.1-4
Di Indonesia, prevalensi filariasis ternyata
tetap tinggi dan sampai saat ini, masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Berdasarkan survei tahun 2000-2004, terdapat
lebih dari 8.000 penderita elefantiasis dan
tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara
epidemiologi, data ini mengindikasikan bahwa
lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada
di daerah berisiko tinggi tertular filariasis, 6
juta di antaranya telah terinfeksi. Meskipun
sejak tahun 1970 sudah dilaksanakan
pemberantasan filaria, upaya tersebut agaknya
masih menemui kendala sehingga angka
penularan filariasis masih tinggi. Walaupun
penyakit ini diketahui tidak menyebabkan
kematian, berkurangnya produktivitas kerja
dan cacat yang ditimbulkan akan menjadi
beban sosial ekonomi, baik bagi penderita,
email: [email protected]
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
107
TINJAUAN PUSTAKA
waktu lebih lama untuk menjadi cacing
dewasa, yaitu sekitar 9-12 bulan. Pada tahap
berikutnya, terjadi pembentukan mikrofilaria
dalam tubuh cacing betina dewasa yang telah
difertilisasi oleh cacing jantan. Diperkirakan
cacing betina dapat mengeluarkan mikrofilaria
sekitar 5 sampai 8 tahun. Sebagian mikrofilaria
akan masuk ke peredaran darah dan bertahan
selama 1 sampai 2 tahun. Siklus hidup tersebut
terulang kembali jika mikrofilaria dalam darah
manusia terhisap lagi oleh nyamuk.4-6
Negara endemis
Gambar 1 Gambaran endemisitas filariasis
(Sumber: http://sprojects.mmi.mcgill.ca/tropmed/disease/fila/geo.htm)
keluarga, maupun masyarakat.4,5
SIKLUS HIDUP FILARIA
Jika mikrofilaria dalam darah perifer penderita
filariasis terhisap oleh nyamuk, di dalam
lambung nyamuk mikrofilaria tersebut akan
segera melepaskan sarung/selubungnya
dan menembus dinding lambung nyamuk
agar tidak tercerna. Selanjutnya, setelah
menembus dinding lambung nyamuk,
mikrofilaria akan bergerak menuju otot toraks
nyamuk dan akhirnya berturut-turut berubah
menjadi larva stadium I, II, dan III. Setelah
terbentuk larva stadium III, larva tersebut
akan segera meninggalkan otot toraks,
menuju serta masuk ke dalam kelenjar liur
nyamuk. Selanjutnya, ketika nyamuk tersebut
mengisap darah manusia lain, larva stadium III
dalam kelenjar liur akan keluar dan tinggal di
kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat
nyamuk menarik probosisnya, larva III akan
masuk secara aktif melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak melalui vena menuju
sistem limfe untuk kemudian bersarang dalam
pembuluh atau kelenjar limfe setempat.4-6
Gambar 3 Mikrofilaria Wuchereria bancrofi
(Sumber: http://www.stanford.edu/class/humbio103/
ParaSites2006/Lymphatic_filariasis/Introduction.htm)
Larva stadium III Brugia malayi dan Brugia timori
akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan larva
stadium III Wuchereria bancrofti memerlukan
Gambar 4 A. Mikrofilaria Brugia malayi. B. Mikrofilaria Brugia
timori.
(Sumber: http://www.phsource.us/PH/PARA/Chapter_10.
htm)
Gambar 2 Siklus hidup cacing filaria
(Sumber: http://www.btinternet.com/~ukneqas.parasitologyscheme)
108
BAKTERI WOLBACHIA SEBAGAI
ENDOSIMBION FILARIA
Suatu fenomena unik cacing filaria adalah
ketergantungan mutlak pada bakteri
intraseluler Wolbachia, yang sangat diperlukan
untuk menunjang perkembangan dan
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
bertahan hidup dengan meningkatkan
kemampuan cacing filaria untuk bertahan
hidup juga pada tubuh manusia. Kemampuan
menyediakan riboflavin, flavin adenin
dinukleotida (FAD), haem, nukleotida, dan
glutation adalah kontribusi bakteri Wolbachia,
sebaliknya filaria akan menyediakan asam
amino yang diperlukan oleh Wolbachia untuk
pertumbuhan bakteri tersebut. Hanya ada
satu asam amino yang disintesis sendiri oleh
Wolbachia, yaitu meso-diaminopimelate yang
merupakan komponen utama peptidoglikan
bakteri ini. Glutation diperlukan oleh cacing
filaria untuk bertahan melawan stres oksidatif
ataupun molekul efektor imunologi yang
dikeluarkan oleh tubuh manusia. Haem dari
Wolbachia juga merupakan komponen vital
untuk proses embriogenesis cacing filaria.
Proses perubahan stadium larva serta proses
reproduksi cacing filaria dikontrol oleh hormon
mirip ecdysteroid, dan proses sintesis hormon
ini memerlukan haem yang telah disediakan
oleh Wolbachia.1,6
Gambar 5 Philogeny Wolbachia berdasarkan sekuens gen ftsZ
(Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Wolbachia_pipientis)
fertilitas cacing filaria. Bakteri ini ditemukan
pada semua stadium hidup cacing filaria, yaitu
dari stadium cacing dewasa dan mikrofilaria
pada tubuh hospes (dalam hal ini manusia)
serta pada stadium larva I, II, III pada nyamuk.
Bakteri Wolbachia ini berbentuk pleiomorfik
dengan panjang antara 0,2-4 μm. Bakteri tidak
akan bertambah (jumlah bakteri bersifat statis)
pada mikrofilaria dan pada stadium larva II
dan III pada tubuh nyamuk. Pada stadium II
dan III di tubuh nyamuk inilah jumlah bakteri
Wolbachia sebagai endosimbion pada cacing
filaria mencapai titik paling rendah. Pada
minggu pertama post infeksi terutama pada
hari ke-9 pasca-infeksi pada manusia, jumlah
bakteri akan bertambah secara drastis dan
akan mencapai jumlah terbanyak sepanjang
siklus hidup filaria. Pertumbuhan bakteri
yang cepat ini akan terus berlanjut sampai
larva stadium IV dan kemudian stabil pada
stadium cacing dewasa. Pada cacing betina
khususnya, jumlah bakteri akan bertambah
seiring dengan maturitas cacing dan organ
genital cacing betina tersebut.1
Genus Wolbachia termasuk grup bakteri
intraseluler yang umumnya terdapat
pada arthropoda (serangga, laba-laba,
kutu, dan crustacea). Genus ini termasuk
famili Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales
(alphaproteobacteria). Hanya ada 1 spesies
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
yang termasuk dalam genus ini, yaitu
Wolbachia pipientis. Meskipun hanya 1 spesies,
genus ini mempunyai diversitas molekular
yang sangat bervariasi. Berdasarkan analisis
berbagai gen (16S rDNA; ftsZ; dnaA; wsp),
terdapat 6 garis pilogenetik utama, yaitu
supergrup A – F. Dari keenam supergrup ini,
yang menjadi perhatian hanyalah supergrup
C – D karena kedua supergrup ini mencakup
hampir seluruh bakteri Wolbachia yang
menjadi endosimbion dengan cacing filaria
yang menginfeksi manusia. Perbedaan
divergenitas antara keenam supergrup ini
sekitar 3%.1
Pada cacing filaria dewasa, Wolbachia
terutama didapati pada sel hipodermal di
corda lateral. Pada cacing betina, bakteri
ini didapati pada ovarium, oosit, stadium
embriogenik yang sedang berkembang
dalam uterus, tetapi Wolbachia tidak pernah
didapati pada sistem reproduksi cacing jantan.
Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri ini
diturunkan secara vertikal melalui sitoplasma
ovum dan tidak melalui sperma. Keberadaan
Wolbachia hanya terbatas pada cacing filaria
dari Onchocercinae dan Dirofilariinae.1
Hubungan simbiosis antara Wolbachia
dengan cacing filaria bersifat mutualis;
melalui simbiosis ini, bakteri akan mampu
PERAN BAKTERI WOLBACHIA PADA
PATOGENESIS FILARIASIS
Patologi filariasis dihubungkan dengan
cakupan kondisi inflamasi yang luas. Pada
filariasis limfatik, patologi inflamasi dapat
timbul dalam bentuk serangan berulang
dari adenolimfangitis yang dikaitkan dengan
kematian cacing dewasa, ataupun dalam
bentuk inflamasi kronik yang berkaitan
dengan hidrokel, limfedema dan elefantiasis.
Respon inflamasi juga berkaitan dengan reaksi
lanjut pengobatan filariasis.2
Semua cacing filaria patogen yang menginfeksi
manusia telah mengembangkan simbiosis
dengan bakteri Wolbachia. Pada filariasis,
kematian cacing dewasa atau mikrofilaria
secara alami ataupun karena pengaruh obat
akan menyebabkan reaksi inflamasi sistemik
berat. Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri
yang terlepas ke peredaran darah dan
terpajan ke sistem imunologi manusia. Fakta
di atas mengonfirmasi bahwa antigen dari
bakteri endosimbion ini akan dikenali oleh
sistem imun manusia, baik bawaan (innate)
maupun yang adaptif dan sangat berperan
pada patogenesis penyakit filariasis.1,2,8
Lipoprotein Wolbachia akan menstimulasi
sistem imun bawaan dan adaptif melalui Toll-like
Receptor 2 dan 6 dan menginduksi manifestasi
klinis filariasis. Jika bakteri Wolbachia, lemak
109
TINJAUAN PUSTAKA
pada mencit dengan TLR 1 -/-.8
Gambar 6 Diasil WoLP menginduksi infiltrasi netrofil setelah injeksi intrakorneal pada mencit8
Gambar 7 Diasil WoLP menginduksi kerusakan kornea setelah injeksi intrakorneal pada mencit8
atau protein Wolbachia dihilangkan dari
peredaran darah, segala reaksi inflamasi akan
mereda dan menghilang. Beberapa pola
molekul tertentu akan berikatan dengan TLR 2
dan mengaktivasi jalur MyD88. Secara umum,
TLR 2 bisa berikatan dengan koreseptor TLR1
ataupun TLR6, yang masing-masing jalur
akan sangat berbeda spesifisitasnya dalam
pengenalan akan lipoprotein mikroba. TLR2/6
akan mengenali lipoprotein diasil, sedangkan
TLR2/1 akan mengenali lipoprotein triasil.
Lebih lanjut, aktivasi makrofag oleh lipoprotein
Wolbachia juga melalui TLR2/6.8-11
Dengan menggunakan genom Wolbachia
pada Brugia malayi (genom wBm) untuk
identifikasi gen yang mengkode biosintesis
lipoprotein, didapatkan dua gen, yaitu Ltg
(proplipoprotein diasilgliseril transferase)
dan LspA (lipoprotein sinyal peptidase).
Berlawanan dengan genom bakteri secara
umum, pada bakteri Wolbachia tidak didapati
adanya gen Lnt (apolipoprotein aminoasil
transferase). Gen Lnt pada bakteri secara
umum bertanggung jawab untuk menyandi
enzim yang berfungsi untuk proses asetilasi
pada terminal N gugus amida. Tanpa adanya
gen Lnt ini, lipoprotein pada Wolbachia berupa
diasil, bukan triasil, sehingga fenomena ini
konsisten dengan pengenalan sistem imun
melalui TLR2/6.8-10
Penelitian dengan ocular onchocerciasis
pada mencit dengan ekstrak Onchorcerca
volvulus atau dengan Wolbachia yang
diisolasi menunjukkan bahwa neutrofil
110
dan makrofag yang berkumpul di stroma
kornea dan kerusakan kornea bergantung
pada jalur TLR2. Untuk memastikan apakah
efek lipoprotein Wolbachia/WoLP, seperti
wBmPAL (contoh WoLP adalah wBmPAL
= Brugia malayi Wollbachia peptidoglycanassociated lipoprotein) mempunyai peran
pada kerusakan kornea, mencit WT (wild type)
disuntik dengan protein diasil WoLP (protein
sintetik lipopeptida Wolbachia) dalam
konsentrasi yang meningkat. Protein diasil
WoLP akan menginduksi infiltasi neutrofil
sesuai peningkatan konsentrasi. Fenomena
yang sama juga terlihat pada kerusakan
kornea seiring dengan kenaikan konsentrasi
diasil WoLP yang diinjeksikan ke mencit.8
Untuk melihat peran TLR pada penyakit
kornea yang diinduksi oleh WoLP (lipoprotein
Wolbachia), penelitian dilanjutkan dengan
injeksi diasil WoLP sebanyak 1 μg ke stroma
kornea mencit-mencit yang mempunyai
profil TLR1 -/-, TLR2 -/-, TLR6 -/-, untuk
kemudian diukur tingkat infiltrasi neutrofil
serta kerusakan kornea yang terjadi. Hasil
percobaan ini menunjukkan bahwa tingkat
infiltrasi neutrofil turun bermakna pada mencit
yang mempunyai profil TLR 2 -/- dan TLR6
-/- dibandingkan dengan mencit wild type,
tetapi fenomena penurunan infiltasi neutrofil
tidak terjadi pada mencit dengan profil
TLR1 -/-. Fenomena yang sama juga terjadi
dengan gambaran kerusakan kornea. Tingkat
kerusakan kornea yang diinduksi oleh Diasil
WoLP turun bermakna pada mencit dengan
profil TLR 2-/- dan TLR6 -/- dibandingkan
dengan mencit wild type, tetapi tidak terjadi
Percobaan dengan mencit di atas memberikan gambaran bahwa kelainan berupa
infiltasi netrofil serta kerusakan kornea yang
disebabkan oleh Diasil WoLP membutuhkan
TLR 2 dan TLR 6 sebagai koreseptor.
Serangkaian fenomena pada penyakit kornea
dimulai dengan kematian dan degenerasi
mikrofilaria dan diikuti oleh pemaparan
lipoprotein Wolbachia yang terlepas ke
peredaran darah terhadap fibroblas, makrofag
dan dendritik sel melalui TLR2/6. Sinyal melalui
TLR2/6 akan mengaktivasi jalur MyD88/Mal
dengan hasil akhir induksi produksi sitokin
pro inflamasi yang akan memediasi penarikan
dan aktivasi netrofil di kornea.8,9
Pemaparan terhadap lipoprotein Wolbachia/
WoLP juga menimbulkan reaksi inflamasi yang
jauh dari tempat inokulasi. Hal ini dibuktikan
oleh adanya peningkatan produksi TNF α
sistemik 6 jam setelah inokulasi. Fenomena
ini terjadi pada mencit wild type, tetapi tidak
pada mencit dengan TLR2 -/-.8
Gambar 8 Diasil WoLP menginduksi produksi TNF α
sistemik pada mencit wild type8
Lipoprotein Wolbachia melalui jalur TLR2 juga
sangat berpengaruh terhadap patogenesis
limfedema pada pasien filariasis. Beberapa
studi memperlihatkan bahwa vascular
endothelial growth factor (VEGF) mengkontrol
angiogenesis dan limfangiogenesis pada
manusia. Famili dari VEGF (vascular endothelial
growth factor) terdiri dari 5 jenis VEGF, di
antaranya VEGF-A serta VEGF-C.7,12
VEGF-A
adalah
regulator
potensial
angiogenesis yang normal maupun abnormal.
Penelitian dengan mencit membuktikan
bahwa ekspresi berlebih dari VEGF-A akan
meningkatkan densitas vaskular, meningkatkan
adhesi leukosit dan meningkatkan limfangiogenesis. VEGF-C menstimulasi migrasi sel
endotel, meningkatkan permeabilitas vaskuler,
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1 Stadium hidrokel11
Stadium I
Hidrokel subklinis
Stadium II
Diameter maksimal longitudinal dan
transversal pada hidrokel tidak melebihi 1,9
dan 1,6 cm
Stadium III Diameter maksimal longitudinal dan
transversal pada hidrokel tidak melebihi 3,8
dan 3,2 cm
Stadium IV Diameter maksimal longitudinal dan
transversal pada hidrokel melebihi 3,8 dan
3,2 cm
Gambar 9 Kadar VEGF-A dalam plasma penderita filariasis dan kontrol11
Program eliminasi filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis yang dicanangkan oleh WHO adalah kombinasi DEC 6 mg/
kgBB serta albendazol 400 mg yang diberikan
sekali setiap tahun selama 5 -10 tahun pada
penduduk di atas usia 2 tahun. Terapi yang
sekarang banyak diteliti adalah penggunaan
antibiotik. Beberapa efek antibiotik berupa
hambatan perkembangan larva infektif
menjadi cacing dewasa, penghambatan
embriogenesis pada cacing betina secara
jangka panjang dengan efek toksik pada
embrio sehingga menghambat transmisi
secara transovarian, dan efek membunuh
cacing dewasa. Studi Sabine Mand et al pada
tahun 2009 menyimpulkan bahwa pemberian
doksisiklin 200 mg/hari selama 21 hari
sebelum pemberian terapi standar filariasis
ternyata menurunkan jumlah Wolbachia
lebih dari 90 % pada Wuchereria bancofti.
Kombinasi doksisiklin selama 21 hari diikuti
dengan dosis tunggal DEC meningkatkan efek
makrofilarisidal serta meningkatkan kondisi
fisik penderita filariasis.1,13
Gambar 10 Kadar VEGF-A plasma berhubungan dengan stadium hidrokel11
serta meningkatkan proliferasi endotel kelenjar
limfe. Jika dibandingkan dengan VEGF-A,
semua efek VEGF-C baru terlihat jika terdapat
konsentrasi yang tinggi dalam plasma. Ekspresi
yang berlebih pada penelitian dengan mencit
transgenik akan berakibat pada proliferasi
endotel kelenjar limfe dan pembesaran kelenjar
limfe.7,12
Seperti dinyatakan di atas, adanya lipoprotein
Wolbachia yang terpapar pada peredaran
darah setelah kematian dan degenarasi
cacing dewasa serta mikrofilaria akan memicu
stimulasi sitokin proinflamasi melalui jalur
TLR2. Sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1ß,
IL-6, IL-17, dan nitric oxide, akan meningkatkan
regulasi VEGF-A dan VEGF-C. VEGF-A,
endotelin-1, VEGF-C, dan VEGFR-3 pada
serum plasma diketahui meningkat pada
penderita filariasis. VEGFR-3 akan meningkat
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
secara signifikan, terutama pada penderita
elefantiasis.7,12
Hidrokel pada penderita filariasis juga
akan berkaitan dengan penanda (marker)
limfangiogenesis, terutama berkaitan dengan
VEGF-A. Sekresi VEGF-A sekitar daerah skrotum
pada pasien hidrokel akan meningkatkan
ekstravasasi dan akumulasi protein plasma,
cairan limfe dari pembuluh darah dan kelenjar
limfe ke jaringan sekitar skrotum berakibat
pada pembentukan hidrokel, kilokel (chylocele),
limfokel. Akibat lain berupa pembentukan
nodul mendahului pembentukan hidrokel
jika penderita filariasis diterapi dengan DEC.
Pembentukan nodul ini diduga sebagai akibat
kematian cacing dewasa setelah pemberian
DEC, yang membebaskan Wolbachia ke
peredaran darah dan pada akhirnya akan
meningkatkan produksi VEGF-A.7,12
PENUTUP
Lipoprotein Wolbachia akan memediasi
terjadinya respon imun innate dan adaptif
(terutama Th1). Konsekuensi pemaparan
Wolbachia pada respon imun adaptif
terhadap infeksi filaria belum sepenuhnya
dimengerti, meskipun pada saat ini diketahui
bahwa respons antibodi terhadap Wolbachia
menjadi sangat nyata peranannya pada
individu yang telah terpapar dan juga pada
pasien simptomatis. Saat cacing dewasa filaria
maupun mikrofilaria mati berdegenerasi,
produk Wolbachia termasuk lipoprotein
Wolbachia dilepaskan ke peredaran darah
dan berikatan dengan TLR2 pada Antigen
presenting cells (APC). Lipoprotein Wolbachia
merupakan ligan utama yang akan berikatan
dengan TLR2/6 serta mengaktifkan respons
imun bawaan maupun adaptif yang pada
akhirnya akan memengaruhi patogenesis
penyakit.
111
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Taylor MJ, Bandi C, Hoerauf A. Wolbachia bacterial endosymbionts of filarial nematodes. Advances in Parasitology. 2005;60:246-74.
2.
Taylor MJ. Wolbachia endosymbiotic bacteria of filarial nematodes. A new insight into diasease pathogenesis and control. Arch. Medical Res. 2002;33: 422-24.
3.
Debrah AY, Mand S, Debrekyei YM, Batsa L, Pfarr K, Lawson B, et al. Reduction in level of plasma vascular endothelial growth factor-A and improvement in hydrocele patients by targeting
4.
Rahmad A. Manifestasi klinik dan respons imun pada filariasis bancrofti. Ebers papyrus. 2008;14(3):159-68
5.
Direktorat Jenderal PP&PL. Pedoman program eliminasi filariasis di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
endosymbiotic Wolbachia sp in Wuchereria bancrofti with doxycycline. Am J Trop Med Hyg. 2009;80(6):956-63.
6.
Supali T, Kurniawan A, Partono F. Wuchereria bancrofti. Dalam: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2008. 32-38.
7.
8.
Pfarr KM, Debrah AY, Specht S, Hoerauf A. Filariasis and lymphoedema. Parasite Immunol. 2009;31:661-72.
Turner JD, Langley RS, Johnston KL, Gentil K, Ford L, Wu B, et al. Wolbachia lipoprotein stimulates innate and adaptive immunity through toll-like receptors2 and 6 to induce disease
manifestations of filariasis. J Biol Chem. 2009 Aug;284(33):22364-78.
9.
Hise AG, Daehnel K, Ferguson IG, Cho E, McGarry HF, Taylor MJ, et al. Innate immune responses to endosuymbiotic Wolbachia bacteria in Brugia malayi and Onchocerca volvulus are
dependent on TLR2, TLR6, MyD88, and Mal, but not TLR4, TRIF, or TRAM. J Immunol. 2007;178:1068-76.
10. Turner JD, Langley RS, Johnston KL, Egerton G, Wanji S, Taylor MJ. Wolbachia endosymbiotic bacteria of Brugia malayi mediate macrophage tolerance to TLR- and CD40-spesific stimuli in
a MyD88/TLR2-dependent manner. J Immunol. 2006;177:1240-49.
11. Venugopal PG, Nutman TB, Semnani RT. Activation and regulation of Toll-Like Receptors (TLRs) by helminth parasites. Immunol Res. 2009; 43(1-3):252–63. doi:10.1007/s12026-0088079-0.
12. Debrah AY, Mand S, Toliat MR, Debrehyei YM, Batsa L, Nurnberg P, et al. Plasma vascular endothelial growth factor-A (VEGF-A) and VEGF-A gene polymorphism are associated with
hydrocele development in lymphatic filariasis. Am J Trop Med Hyg. 2007;77(4):601-8.
13. Mand S, Pfarr K, Sahoo PK, Satapathy AK, Specht S, Klarmann U, et al. Macrofilaricidal activity and amelioration of lymphatic pathology in bancroftian filariasis after 3 weeks of doxycycline
followed by single-dose diethylcarbamazine Am J Trop Med Hyg. 2009;81(4):702-11
112
CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014
Download