I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1.1. Latar Belakang Pola konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia pada saat ini didominasi kelompok padi-padian, seperti padi dan gandum yang ketergantungannya pada negara lain masih cukup besar. Kekurangan pangan domestik akan gandum lebih sering diatasi secara pintas, yaitu dengan impor gandum. Dampaknya adalah program diversifikasi konsumsi pangan pokok dengan memberdayakan sumber karbohidrat lokal hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sebaliknya konsumsi gandum, dalam bentuk terigu semakin meningkat. Impor biji gandum tahun 1998/1999 masih sebesar 3,1 juta ton (Welirang, 2000 dalam Widowati, 2009) dan menunjukkan peningkatan mencapai 5 juta ton (Khudori, 2008 dalam Widowati, 2009). Konsumsi terigu saat ini diperkirakan 17 kg/kapita/tahun. Hanya dalam waktu 30 tahun konsumsi terigu meningkat hingga 500% dan Indonesia menjadi negara pengimpor gandum keenam terbesar di dunia setelah Brasil, Mesir, Iran, Jepang, dan Algeria. Permasalahan ini dapat dijawab dengan dikembangkannya teknologi pembuatan tepung atau pati termodifikasi dengan menggunakan bahan baku lokal. 1 2 Bahan baku lokal tersebut dapat berupa umbi-umbian seperti ubi jalar, ubi ganyong, garut, kimpul, ataupun suweg, yang kurang dimanfaatkan dan dikembangkan kegunaannya di Indonesia. Suweg (Amorphophallus campanulatus B) merupakan sumber bahan pangan yang sangat potensial. Setiap 100 gram suweg mengandung protein 1,0 gram; lemak 0,1 gram; karbohidrat 15,7 gram; kalsium 62 mg; besi 4,2 gram; thiamine 0,07 mg; dan asam askorbat 5 mg. Umbi suweg dapat dibuat tepung yang memiliki IG (Indeks Glisemik) sebesar 42. Pangan dengan nilai IG di bawah 55 bisa menekan peningkatan kadar gula darah, sehingga sesuai bagi penderita diabetes melitus. Tepung suweg dapat dibuat kue basah, kue kering, dan lain sebagainya. Suweg kaya serat dan konsumsi serat pangan dalam jumlah tinggi dapat menangkal berbagai penyakit seperti kanker usus besar, divertikular, kardiovaskular, kegemukan, kolesterol tinggi dalam darah, dan kencing manis. Masyarakat Filipina biasanya memanfaatkan tepung umbi suweg sebagai bahan pembuat roti. Suweg dapat dibudidayakan secara tumpangsari di bawah tanaman hutan, kelapa, jati, dan lain-lain (Kasno dkk., 2007 dan Sutomo, 2008). Pati alami memiliki keterbatasan-keterbatasan, yaitu sifatnya yang tidak larut dalam air dingin, membutuhkan waktu pemasakan yang lama, dan gel yang terbentuk cukup keras. Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang menguntungkan, sehingga dapat memperluas penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan (Setiyani, 2008 dan Kusnandar, 2006). 3 Pati termodifikasi adalah pati yang telah mengalami perlakuan fisik atau kimia secara terkendali sehingga mengubah satu atau lebih dari sifat asalnya, seperti suhu awal gelatinisasi, karakteristik selama proses gelatinisasi, ketahanan oleh pemanasan, pengasaman dan pengadukan, dan kecenderungan retrogradasi. Perubahan yang terjadi dapat terjadi pada level molekular dengan atau tanpa mengubah penampakan dari granula patinya (Kusnandar, 2006). Pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding, dan subtitusi. Menurut Musanif (2008) dalam Assegaf (2009), prinsip hidrolisis pati adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa atau monosakarida yaitu glukosa (C6H12O6). Pemutusan ikatan pada pati atau karbohidrat menjadi glukosa dapat menggunakan beberapa metode diantaranya yaitu metode kimiawi (hidrolisis asam) dan metode enzimatis (hidrolisis enzim). 1.2. Identifikasi Masalah Permasalahan yang dapat diidentifiksikan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh jenis bahan penghidrolisis pati terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan? 2. Bagaimana pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan? 3. Bagaimana pengaruh interaksi jenis bahan penghidrolisis pati dan suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan? 4 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah mempelajari pengaruh jenis bahan penghidrolisis pati dan suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemanfaatan umbi suweg sebagai diversifikasi produk pangan olahan dengan daya tahan simpan yang lebih lama dan karakteristik yang lebih baik. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah upaya penganekaragaman produk umbi-umbian sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomi serta diharapkan dapat menurunkan penggunaan tepung terigu sebagai sumber karbohidrat di mana tepung terigu di Indonesia masih impor. 1.5. Kerangka Pemikiran Pembuatan tepung dari umbi suweg dilakukan dengan cara membersihkan umbi yang sudah dicabut dari kotoran dan tanah, kemudian dikupas dan dicuci dengan air bersih. Setelah bersih, umbi diiris tipis-tipis dan dikeringkan diterik matahari atau di oven dengan suhu 50ºC selama 8 jam. Keripik umbi yang sudah kering diblender dan diayak untuk mendapatkan tepung halus ukuran 60 mesh (Kasno dkk., 2007). Penelitian yang dilakukan Putri dkk., (2008), yaitu pati ganyong dihidrolisis menggunakan tiga jenis asam yaitu asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3) dan asam klorida (HCl) dengan variasi konsentrasi 3%, 4%, 5%, 6%, dan 5 7%. Dari ketiga jenis katalis asam yang digunakan untuk menghidrolisis pati ganyong, didapatkan hasil yang paling optimum untuk menghasilkan gula pereduksi tertinggi yaitu menggunakan katalis asam HNO3 pada konsentrasi 7% (v/v) yang dapat menghasilkan gula pereduksi sebesar 48090 ppm. Hasil penelitian Setiyani (2008) menunjukkan bahwa modifikasi HCl dapat mengubah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional pati aren. Sifat fisik pati aren termodifikasi HCl memiliki derajat keputihan berkisar 76,83-85,73%. Sifat kimia pati aren termodifikasi HCl meliputi kadar air berkisar 7,82-10,58%; kadar abu berkisar 0,44-0,76%; kadar pati berkisar 3,29-16,95%, dan kadar gula yang mempunyai kisaran 0,4-2,6%. Sifat fungsional pati aren termodifikasi HCl meliputi viskositas pasta untuk pasta panas berkisar 6,5-11 Mpa.s, untuk dingin berkisar 5-8 Mpa.s; suhu gelatinisasi berkisar 38,5-73,5ºC; konsistensi gel berkisar 28,5-42,3 mm; nilai penyerapan dan kelarutan air masing-masing berkisar 15,22-39,68% dan 47,49-84,61% serta daya cerna pati yang berkisar antara 104,92-141,91%. Menurut Hartono dan Wahyudi (1999) dalam Widyastuti., dkk (2010) HCl digunakan sebagai katalis dengan pertimbangan antara lain adalah HCl merupakan salah satu jenis oksidator kuat, harganya relatif murah, dan mudah diperoleh serta lebih aman jika dibandingkan dengan jenis asam yang lain. Penggunaan dengan HNO3 dapat terbentuk gas NO2 selama proses hidrolisis berlangsung yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan, penggunaan 6 dengan H2SO4 mengakibatkan laju reaksi hidrolisisnya lebih lambat dibandingkan HCl. Industri pangan umumnya menggunakan asam klorida sebagai katalisator. Pemilihan ini didasarkan bahwa garam yang terbentuk setelah penetralan hasil merupakan garam yang tidak berbahaya yaitu garam dapur (Retno dkk., 2009). Menurut Judoamidjojo dkk., (1989) dalam Assegaf (2009), hidrolisis pati dengan dengan asam hanya memperoleh sirup glukosa dengan ekivalen dekstrosa (DE) sebesar 55, hal ini disebabkan katalis asam hanya menghidrolisis secara acak. Konversi asam untuk membuat sirup glukosa dengan DE di atas 55 akan mengakibatkan molekul gula bergabung kembali dan menghasilkan bahan pembentuk warna seperti 5-hidroksimetil furfural atau asam levulinat. Mikroorganisme penghasil enzim amilase dapat berupa bakteri dan kapang. Bakteri yang dapat menghasilkan amilase diantaranya Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis, Aspergillus sp., Bacillus sp., dan Bacillus circulans (Arcinthya, 2007 dalam Assegaf, 2009). α-amilase dari genus Bacillus, stabil pada suhu tinggi dan memiliki potensi yang diharapkan dalam industri yang menggunakan pati sebagai bahan baku (Ginting, 2009). α-amilase dalam tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50,83 pada konsentrasi α-amilase 1,75 U/g pati dengan waktu likuifikasi 210 menit (Jamil Musanif, 2008 dalam Assegaf, 2009). Menurut Pintauro (1979) dalam Rahmah (2005) menyatakan bahwa likuifikasi pati dengan α-amilase dipengaruhi oleh penggunaan α-amilase antara 0,2%-0,5% yang secara komersil 7 tersedia dari produk Bacillus subtilis. Tahap penyelesaian likuifikasi pati, yaitu dengan cara pati direaksikan pada pH 5-6 dan pada suhu 70-90°C dengan enzim yang telah diketahui. o Enzim α-amilase bekerja optimum pada pH sekitar 6 dan pada suhu 60 C. Jika suhu ditingkatkan, pH optimum juga meningkat sampai sekitar 7. Jika α-amilase berasal dari Bacillus licheniformis maka akan menghidrolisis pati dengan hasil utama maltoheksosa, malopentosa dengan jumlah glukosa yang lebih tinggi (8-10%). Enzim ini berupa cairan dengan berat jenis 1,20 – 1,25 g/ml dan o stabil dalam suhu 110 C (Novozyme, 2003 dalam Darmajana dkk., 2008). Menurut Lubis (2009), lama pengeringan 6 jam dan suhu pengeringan 50ºC memberikan pengaruh yang terbaik untuk mutu tepung pandan. Menurut Rusmayanti (2006) suhu udara yang dimasukkan ke dalam alat pengering diusahakan tidak melebihi 65ºC untuk menghindari pindah panas dan pindah massa yang terlalu besar yang dapat menyebabkan kerusakan warna dan aroma. Pengeringan dilakukan selama 7-8 jam. 1.6. Hipotesa Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil hipotesis, diduga bahwa : 1. Jenis bahan penghidrolisis pati berpengaruh terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan. 2. Suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan. 8 3. Interaksi jenis bahan penghidrolisis pati dan suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik tepung suweg termodifikasi yang akan dihasilkan. 1.7. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan, Jl. Dr. Setiabudhi No. 193 Bandung, dimulai bulan Mei 2010 sampai dengan selesai dan di Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang.