Modul Etika Filsafat [TM2]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
ETIKA DAN FILSAFAT
KOMUNIKASI
Modul Standar untuk
digunakan dalam Perkuliahan
di Universitas Mercu Buana
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Btoadcasting
Tatap Muka
02
Kode MK
Disusun Oleh
85009
Dr (C) Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Abstract
Kompetensi
Pada bab ini mehasiswa akan
mempelajari tentang konsep
pengertian filsafat dan cara berfikir
filsafat
Setelah mengikuti mata kuliah ini
mahasiwa diharapkan dapat
menjelaskan kembali tentang konsep
pengertian filsafat dan cara berfikir
filsafat
PENGENALAN KEPADA BIDANG FILSAFAT
A. Apa Itu Filsafat
Secara etimologis filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa
Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu Philosofy, sedangkan dalam bahasa Yunani
“philen”
atau philos dan sofien atau sophi. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari
bahasa Arab, yaitu “Falsafah” yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut awalnya
berasal dari basa Yunani Philos artiya cinta, sedangkan sophiah artinya kebijaksaaan. Oleh
karena itu filsafat dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arabnya
diistilahkan dengan alhikmah.
Para ahli filsafat disebut dengan filosof , yakni orang yang mencintai atau mencari
kebijaksanaan atau kebenaran. Filosofi bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan
melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijasanaan. Pencarian
kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk
menemukan kebijakasaan adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh
Karena itu, kebenaran filofofis tidak lebih dari kebenaran berpikir yang rasional dan radikal.
Menurut Sutarjo A. Wiramiharja dalam Hakim dan Sabaeni (2008:15) filsafat dapat diartikan
sebagai pengetahuan tetang cara berpikir terhadap segala sesuatu atau sarwa sekalian
alam. Artinya semua, materi pembicaraan filsafat adalah segala pengetahuan menyangkut
keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis yang
tak pernah berujung dengan kepuasaan, apabila memutlakkan sebuah kebenaran. Bahkan,
untuk sesuatu yang sudah dianggap benar pun masih diragukan kebenarannya. Tidak ada
kata puas apalagi final karena kebenaran akan mengikuti situasi dan kondisi dan alam
pikiran manusia.
Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan
filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan
meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu
dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik
ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan
kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh
pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak
mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan
‘13
2
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa
kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.
Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis, artinya
perbincangan mengenai segala hal sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti system yang
berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berpikir sistematis tentu tidak loncatloncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar.
Secara terminoogis, filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S Pradja dalam Hakim
dan Sabaeni (2008:15) mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat adalah
sesuatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap dijunjung tinggi. Suatu
sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari. Sikap itu merupakan sikap
toleran dan terbuka dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa
prasangka.
Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak pernah
abadi. OLeh karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir
sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai karena itulah memang
sebenaranya berfilsafat.
Filsafat adalah Seni kritik yang bukan semata-mata membatasi diri pada destruksi atau
seakan-akan takut membawa pandangan positifnya sendiri. Frans Magnis Suseno
menegaskan bahwa krtisinya filsafat adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah puas
diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, bahkan senang,
untuk
membuka kembali perdebatan, selalu da secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa
setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis dan sintesa
(antitestisnya atitetesis).
Sifat kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat, yakni pendekatan
ontologis, epistemology dan aksiologi. Ahli filsafat selalu berpikir kritis dengan melakukan
pemeriksaan kedua (a second look) terhaap bahan-bahan yang disajikan oleh paham awam
(common sense). Memikirkan sebagai problem kehidupan dengan menghadapi fakta-fakta
yang ada hubungannya dengan masalah yang muncul.
Berbeda dengan science yang menggunakan asumsi sebelum bekerja, filsafat membangun
dan memperbincangkannya. Filsafat mengejar substansi dalam kebenaran dan kebenaran
substansi. OLeh karena itu, yang ditemukan adalah hakikat kebenaran dan kebenara hakiki
tentang segala sesuatu. Hakikat merupakan istilah yang menjadi cirri khas filsafat. Hakikat
‘13
3
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar. Jadi, filsafat tidak hanya berbicara
tentang wujud atau materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang
terdapat dibelakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai akibat dari berpikir radikal.
Filsafat juga merupakan kebebasan berpikir manusia terhadap segala sesuatu tanpa b atas
dengan mengacu pada hokum keraguan atau segala hal. Segala hal tersebut dapat dilihat
dari berbagai sudut melalui kotemplasi pemikiran sistematis, logis dan radikal. Segala hal
yang dipikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Sesuatu yang bersifat metafisik yang tidak dapat diihat oleh mata kepala manusia
2.
Alam semesta yang fisikal dan terbentuk oleh hokum perubahan
3.
segala sesuatu yang rasional dan irasional
4.
semua yang bersifat natural maupun supranatural
5.
akal, rasa, pikiran, intuisi dan persepsi
6.
hakikat yang terbatas dan yang tidak tidak terbatas
7.
teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang objektif
maupun subjektif
8.
fungsi dan mafaat segala sesuatu yang didambakan manusia atau dihindarinya
9.
keberadaan spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku
pemahaman dialektis terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia. Tesis
yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintesis
Empat hal yang melahirkan filsafat yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya dan keraguan. Ketakjuban terhadap segala sesuatu (terlihat/tidak) dan dapat diamati (de-ngan
mata dan akal budi) serta ketidakpuasan akan penjelasan berdasarkan mitos membuat
manusia mencari penjelasan yang lebih meyakinkan dan berpikir rasional. Hasrat bertanya
membuat manusia terus mempertanyakan segalanya, tentang wujud sesuatu serta dasar
dan hakikatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh penjelasan yang
lebih pasti menunjukkan adanya keraguan (ketidakpastian) dan kebingungan pada manusia
yang bertanya.
B. Ciri-ciri berfikir filsafat
Ciri berpikir secara filsafati adalah radikal (berpikir tuntas, atau mendalam sampai ke akar
masalah; sistematis (berfikir logis dan terarah, setahap demi setahap); dan universal
(berpikir umum dan menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi melihat
masalah secara utuh) dan ranah makna (memikirkan makna terdalam berupa nilai
kebenaran, keindahan dan kebaikan). Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan-
‘13
4
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pernyataan untuk mene-mukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta.
Ketika
menyelesaikan masalah se-cara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain
tapi hendaknya bisa menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal budinya,
dengan pikiran yang bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika menghadapi suatu
masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, maka orang itu dapat dikatakan telah
berpikir secara filsafati dan kajian yang tersusun oleh pemikirannya itu disebut falsafah.
Objek material dari suatu kajian filsafat adalah segala yang ada mencakup apa yang tampak
(dunia empiris) dan apa yang tidak tampak (dunia metafisik) sementara objek formalnya
adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada
(objek material). Suatu masalah akan menjadi masalah falsafah jika masalah tersebut tidak
bisa diselesaikan dengan kaidah pengamatan atau kaidah sains. Masalah falsafah biasanya
melibatkan masalah tentang konsep, ideologi, dan masalah-masalah lain yang
abstrak, contohnya apakah kebenaran? Apakah ilmu pengetahuan?
bersifat
Berpikir filsafati
biasanya bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah yang sifatnya baik dan bisa
memajukan umat manusia.
Berikut ini adalah cirri-ciri berfikir filsafat

Radikal; sampai ke akar persoalan

Kritis; tanggap terhadap persoalan yang berkembang

Rasional; sejauh dapat dijangkau akal manusia

Reflektif; mencerminkan pengalaman pribadi.

Konseptual; hasil konstruksi pemikiran

Koheren; runtut, berurutan.

Konsisten; berpikir lurus/tidak berlawanan.

Sistematis; saling berkaitan.

Metodis; adalah cara untuk memperoleh kebenaran.

Komprehensif; menyeluruh

Bebas & bertanggungjawab
C. Cabang-Cabang Filsafat
Berikut ini akan dipaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut
landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap
manusia
(sepert
berpikir,
merasa
dan
mengindera)
yang
membuakan
pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab
‘13
5
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini
maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat
dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai
pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada
tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciriciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya
secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan
dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih
menyedihkan dari itu?
I.
Ontologi
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme
yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya
menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing masing mengenai apa dan
bagaimana
(yang)
ada
sebagaimana
manifestasi
kebenaran
yang
kita
cari.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala
sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala
‘13
6
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sesuatu itu berasal daru satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kriti
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan,
atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas
dalam semua bentuknya.
1.
Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas
akan
tampil
menjadi
aliran-aliran
materialisme,
idealisme,
naturalisme,
atau
hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya
dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan
diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam
bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai
upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari
mental.
2.
Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan
sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik
mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi
yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
‘13
7
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan terma tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri
(S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik
sebagai berikut:
Contoh :
Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan
(S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori
di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.
II.
Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan
logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian
epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of
method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity". Paul
Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah
"the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi
merupakan "the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of
knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge."
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir
‘13
8
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran,
dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut
Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok
Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang
disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk
menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata
Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili
pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme
sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak
diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika
orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa
pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan
kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena.
Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satusatunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan
Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar
sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam
pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut,
khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan
pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-naturalintelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa
pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum
intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh
akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya
pada masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara
‘13
9
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi
intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga
pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh
berkembang selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya
supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat
memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang
bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan
Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem
pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan
Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia
secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang
kelewat dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran
sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah
menghasilkan suasana krisi budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam
dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar
seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh
pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek
atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian
adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Jadi Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan
bagaimana
dan
dengan
sarana
apakah
kita
dapat
memperoleh
pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba
untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang
sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita
meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
‘13
10
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat
mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?
III. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan
itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu
sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu
jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan?
Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya;
namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali
perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaanpertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan
berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam
sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang
keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik
ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (15641642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.
‘13
11
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sejarah
kemanusiaan
di
hiasi
dengan
semangat
para
martir
yang
rela
mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar.
Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar.
Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk
menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir
dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang
bersifat
mendustakan
kebenaran.
“segalanya
punya
moral,”
kata
Alice
dalam
petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih
kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?
Daftar Pustaka
Stephen W. Littlejhon & Karen A.Fross, Teori Komunikasi. Salemba Komunika: Jakarta,
2010
West, Richard & Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi Salemba Komunika: Jakarta,
2009.
Black, James & Dean Champion, 1992 Metode dan Masalah Penelitian Sosial .
(terjemahan), Bandung : Eresco
Denzin, Norman & Yvonna. Lincoln, 2005, The Sage Handbook of Qualitative Research.
London : Sage Publication
Moleong, Lexy J. 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
Ritzer, George & Douglas J.Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Jakarta:
Kencana Prenada:
Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Kanisius:
Yogyakarta, 2007.
Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar Kanisius: Yogyakarta, 1989.
‘13
12
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
West, Richard & Lynn H, Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.
Salemba Humanika, Jakarta, 2008.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti, Bandung
2003
Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Anees. Filsafat Imu Komunikasi. Simbiosa Rekatama
Media, Bandung,
‘13
13
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download