MODUL PERKULIAHAN ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI Modul Standar untuk digunakan dalam Perkuliahan di Universitas Mercu Buana Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Btoadcasting Tatap Muka 02 Kode MK Disusun Oleh 85009 Dr (C) Afdal Makkuraga Putra, M.Si Abstract Kompetensi Pada bab ini mehasiswa akan mempelajari tentang konsep pengertian filsafat dan cara berfikir filsafat Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiwa diharapkan dapat menjelaskan kembali tentang konsep pengertian filsafat dan cara berfikir filsafat PENGENALAN KEPADA BIDANG FILSAFAT A. Apa Itu Filsafat Secara etimologis filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu Philosofy, sedangkan dalam bahasa Yunani “philen” atau philos dan sofien atau sophi. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “Falsafah” yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut awalnya berasal dari basa Yunani Philos artiya cinta, sedangkan sophiah artinya kebijaksaaan. Oleh karena itu filsafat dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arabnya diistilahkan dengan alhikmah. Para ahli filsafat disebut dengan filosof , yakni orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Filosofi bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijasanaan. Pencarian kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijakasaan adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh Karena itu, kebenaran filofofis tidak lebih dari kebenaran berpikir yang rasional dan radikal. Menurut Sutarjo A. Wiramiharja dalam Hakim dan Sabaeni (2008:15) filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tetang cara berpikir terhadap segala sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya semua, materi pembicaraan filsafat adalah segala pengetahuan menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis yang tak pernah berujung dengan kepuasaan, apabila memutlakkan sebuah kebenaran. Bahkan, untuk sesuatu yang sudah dianggap benar pun masih diragukan kebenarannya. Tidak ada kata puas apalagi final karena kebenaran akan mengikuti situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia. Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan ‘13 2 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala hal sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti system yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berpikir sistematis tentu tidak loncatloncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar. Secara terminoogis, filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S Pradja dalam Hakim dan Sabaeni (2008:15) mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat adalah sesuatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari. Sikap itu merupakan sikap toleran dan terbuka dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa prasangka. Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi. OLeh karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai karena itulah memang sebenaranya berfilsafat. Filsafat adalah Seni kritik yang bukan semata-mata membatasi diri pada destruksi atau seakan-akan takut membawa pandangan positifnya sendiri. Frans Magnis Suseno menegaskan bahwa krtisinya filsafat adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, bahkan senang, untuk membuka kembali perdebatan, selalu da secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis dan sintesa (antitestisnya atitetesis). Sifat kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat, yakni pendekatan ontologis, epistemology dan aksiologi. Ahli filsafat selalu berpikir kritis dengan melakukan pemeriksaan kedua (a second look) terhaap bahan-bahan yang disajikan oleh paham awam (common sense). Memikirkan sebagai problem kehidupan dengan menghadapi fakta-fakta yang ada hubungannya dengan masalah yang muncul. Berbeda dengan science yang menggunakan asumsi sebelum bekerja, filsafat membangun dan memperbincangkannya. Filsafat mengejar substansi dalam kebenaran dan kebenaran substansi. OLeh karena itu, yang ditemukan adalah hakikat kebenaran dan kebenara hakiki tentang segala sesuatu. Hakikat merupakan istilah yang menjadi cirri khas filsafat. Hakikat ‘13 3 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar. Jadi, filsafat tidak hanya berbicara tentang wujud atau materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang terdapat dibelakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai akibat dari berpikir radikal. Filsafat juga merupakan kebebasan berpikir manusia terhadap segala sesuatu tanpa b atas dengan mengacu pada hokum keraguan atau segala hal. Segala hal tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut melalui kotemplasi pemikiran sistematis, logis dan radikal. Segala hal yang dipikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Sesuatu yang bersifat metafisik yang tidak dapat diihat oleh mata kepala manusia 2. Alam semesta yang fisikal dan terbentuk oleh hokum perubahan 3. segala sesuatu yang rasional dan irasional 4. semua yang bersifat natural maupun supranatural 5. akal, rasa, pikiran, intuisi dan persepsi 6. hakikat yang terbatas dan yang tidak tidak terbatas 7. teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang objektif maupun subjektif 8. fungsi dan mafaat segala sesuatu yang didambakan manusia atau dihindarinya 9. keberadaan spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku pemahaman dialektis terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia. Tesis yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintesis Empat hal yang melahirkan filsafat yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya dan keraguan. Ketakjuban terhadap segala sesuatu (terlihat/tidak) dan dapat diamati (de-ngan mata dan akal budi) serta ketidakpuasan akan penjelasan berdasarkan mitos membuat manusia mencari penjelasan yang lebih meyakinkan dan berpikir rasional. Hasrat bertanya membuat manusia terus mempertanyakan segalanya, tentang wujud sesuatu serta dasar dan hakikatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh penjelasan yang lebih pasti menunjukkan adanya keraguan (ketidakpastian) dan kebingungan pada manusia yang bertanya. B. Ciri-ciri berfikir filsafat Ciri berpikir secara filsafati adalah radikal (berpikir tuntas, atau mendalam sampai ke akar masalah; sistematis (berfikir logis dan terarah, setahap demi setahap); dan universal (berpikir umum dan menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi melihat masalah secara utuh) dan ranah makna (memikirkan makna terdalam berupa nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan). Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan- ‘13 4 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pernyataan untuk mene-mukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta. Ketika menyelesaikan masalah se-cara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain tapi hendaknya bisa menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal budinya, dengan pikiran yang bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika menghadapi suatu masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, maka orang itu dapat dikatakan telah berpikir secara filsafati dan kajian yang tersusun oleh pemikirannya itu disebut falsafah. Objek material dari suatu kajian filsafat adalah segala yang ada mencakup apa yang tampak (dunia empiris) dan apa yang tidak tampak (dunia metafisik) sementara objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada (objek material). Suatu masalah akan menjadi masalah falsafah jika masalah tersebut tidak bisa diselesaikan dengan kaidah pengamatan atau kaidah sains. Masalah falsafah biasanya melibatkan masalah tentang konsep, ideologi, dan masalah-masalah lain yang abstrak, contohnya apakah kebenaran? Apakah ilmu pengetahuan? bersifat Berpikir filsafati biasanya bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah yang sifatnya baik dan bisa memajukan umat manusia. Berikut ini adalah cirri-ciri berfikir filsafat Radikal; sampai ke akar persoalan Kritis; tanggap terhadap persoalan yang berkembang Rasional; sejauh dapat dijangkau akal manusia Reflektif; mencerminkan pengalaman pribadi. Konseptual; hasil konstruksi pemikiran Koheren; runtut, berurutan. Konsisten; berpikir lurus/tidak berlawanan. Sistematis; saling berkaitan. Metodis; adalah cara untuk memperoleh kebenaran. Komprehensif; menyeluruh Bebas & bertanggungjawab C. Cabang-Cabang Filsafat Berikut ini akan dipaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab ‘13 5 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciriciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu? I. Ontologi Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala ‘13 6 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sesuatu itu berasal daru satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang: 1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak 2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kriti Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. 1. Objek Formal Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental. 2. Metode dalam Ontologi Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. ‘13 7 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan terma tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P) Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt) Jadi, badan itu fana’ (S-P) Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut: Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S) Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P) Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P) Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan. II. Epistemologi Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity". Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge." Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir ‘13 8 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi. Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu. Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satusatunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme. Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis. Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-naturalintelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara ‘13 9 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan. Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah menghasilkan suasana krisi budaya. Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. ‘13 10 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”? III. Aksiologi Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.” Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaanpertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (15641642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. ‘13 11 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?). Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? Daftar Pustaka Stephen W. Littlejhon & Karen A.Fross, Teori Komunikasi. Salemba Komunika: Jakarta, 2010 West, Richard & Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi Salemba Komunika: Jakarta, 2009. Black, James & Dean Champion, 1992 Metode dan Masalah Penelitian Sosial . (terjemahan), Bandung : Eresco Denzin, Norman & Yvonna. Lincoln, 2005, The Sage Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication Moleong, Lexy J. 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Ritzer, George & Douglas J.Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Jakarta: Kencana Prenada: Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Kanisius: Yogyakarta, 2007. Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar Kanisius: Yogyakarta, 1989. ‘13 12 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id West, Richard & Lynn H, Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika, Jakarta, 2008. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Anees. Filsafat Imu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media, Bandung, ‘13 13 Nama Mata Kuliah dari Modul Dosen Pengampu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id