resume skripsi legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan

advertisement
RESUME SKRIPSI
LEGALISASI ABORSI BAGI PEREMPUAN
KORBAN PERKOSAAN DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN
HAK KESEHATAN REPRODUKSI
SARI DUMA ELISABET TAMBUNAN
NIM : 02111097
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2015
Abstrak
Aborsi selalu menjadi kontroversi sejak jaman dahulu. Di Indonesia topik
aborsi muncul kembali menjadi perdebatan setelah dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang pada Pasal 31 melegalkan aborsi untuk
kedaruratan medis dan korban perkosaan. Angka Kematian Ibu di Indonesia
sangat tinggi, dan aborsi tidak aman menjadi salah satu penyebabnya. Aborsi
tidak aman dilakukan karena perempuan tidak mendapatkan akses untuk
pelayanan aborsi yang aman sebab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara
tegas menyatakan bahwa aborsi adalah suatu tindak pidana. Namun larangan
tersebut tidak mengurangi terjadinya aborsi, justru memicu aborsi dilakukan
secara diam-diam yang kemungkinan besar pelaksanaanya tidak sesuai prosedur
kesehatan reproduksi serta sulit untuk dikendalikan. Aborsi yang tidak aman dapat
membahayakan bagi perempuan yang melakukannya. Pemerintah harus secara
serius menangani masalah kesehatan reproduksi perempuan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur
tentang legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Undang-undang ini
membuka akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan yang
tidak dapat diperoleh jika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang tidak memberikan celah untuk dilakukannya tindakan aborsi. Perlakuan
aparat hukum terhadap korban perkosaan dalam kenyataannya seringkali tidak
adil. Korban hanya diperlakukan sebagai saksi dan bukan sebagai korban yang
mengalami dampak psikologis pada dirinya. Dengan undang-undang ini
perempuan korban perkosaan memperoleh dukungan dan bantuan untuk
pemulihan dari pemerintah yang belum diberikan jika hanya mengacu pada
KUHP.
Perkosaan adalah suatu kekerasan seksual yang melanggar hak asasi
manusia. Dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, fokus hanya diberikan kepada
pelaku dan belum mempertimbangkan pengalaman yang dialami perempuan
korban perkosaan. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak
perempuan dan memberikan keadilan kepada korban perkosaan sebab negara
berkewajiban menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Jika terjadi pembiaran,
maka suatu negara dianggap gagal untuk melindungi hak asasi perempuan atas
kesehatan reproduksi.
Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana teknis agar yang
diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat
berjalan efektif. Peraturan teknis itu dapat berupa prosedur standar operasional
baku yang harus dijalankan ketika menghadapi korban perkosaan Hal ini
diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan peraturan legalisasi aborsi.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan kesehatan
reproduksi pada semua perempuan agar sadar akan haknya atas kesehatan
reproduksi serta mengetahui tersedianya akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan reproduksi, khususnya kepada perempuan korban perkosaan.
Kata kunci : legalisasi, aborsi, perkosaan
A. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Hamil merupakan kodrat seorang perempuan disamping melahirkan dan
menyusui. Kehamilan seorang perempuan pada umumnya sangat dinantikan
ketika suatu keluarga terbentuk karena dianggap sebagai berkah dari Yang Maha
Kuasa. tetapi tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Hal yang
menyebabkan seorang wanita tidak menginginkan kehamilannya antara lain
karena merupakan hasil perkosaan. Pada saat seorang perempuan mengalami
kehamilan tak diinginkan (untuk selanjutnya disingkat KTD), salah satu jalan
keluar yang diambil adalah tindakan aborsi.
Secara jelas Badan Kesehatan Dunia (World Health Orgnization)
mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan atau kurang dari 20 minggu atau berat janin 500 gram. 1
Menurut Fact About Abourtion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for
Social, Studies, and Action, dalam istilah kesehatan, aborsi didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam
rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Pada dasarnya ada dua jenis aborsi, pertama, aborsi yang terjadi secara
alami tanpa adanya tindakan medis, dan kedua, aborsi yang dilakukan secara
sengaja baik dengan tindakan medis maupun upaya lainnya.
Aborsi di Indonesia masih dalam perdebatan yang panjang, dan selama ini
pula perempuan berada dalam posisi yang dirugikan.
Aborsi merupakan tindakan yang dilarang di sejumlah negara, salah satunya
Indonesia. Hal ini dinyatakan antara lain dalam KUHP Pasal 346, 347,348 dan
349 dan 535.
Secara tertulis, tidak ada satu pasal pun di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) yang memperbolehkan seorang
dokter untuk melakukan abortus atas indikasi medis, sekalipun untuk
menyelamatkan nyawa ibu. Dalam prakteknya, dokter yang melakukan abortus
tidak dihukum jika dapat memberikan alasan yang dapat diterima hakim. Dasar
yang digunakan adalah pasal 48 KUHP yang dinyatakan sebagai berikut :
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat
dipidana.”
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa peraturan di Indonesia sama sekali tidak
memberikan celah untuk tindakan aborsi. Implikasinya, tidak diberikan celah juga
untuk pelayanan kesehatan terhadap tindakan aborsi, sehingga banyak terjadi
aborsi yang ilegal atau diam-diam. Hal ini disebabkan tidak adanya akses untuk
mendapat pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan aborsi yang diam-diam sangat berisiko karena dilakukan tanpa
prosedur yang tepat. Hal ini sering disebut sebagai aborsi yang tidak aman (unsafe
abortion).
Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya
pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi aborsi dikategorikan tanpa indikasi
medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi
1
Zumratin K Susilo dan Herna Lestari, Aborsi : Fakta, Kebutuhan dan Tantangan Serta
Pengaruhnya dalam Profil Kesehatan Perempuan, disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002, diakses di
http://www.mitrainti.org pada tanggal 18 Oktober 2014
dan lain-lain. Sebab lainnya, ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari
keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan
pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya. Hal
ini dapat membahayakan nyawa si ibu dan menimbulkan penderitaan pada saat
prosesnya.
Angka Kematian Ibu (untuk selanjutnya disingkat AKI) hamil di Indonesia
sangat tinggi dan aborsi tidak aman menyumbang 15 % – 30 % sebagai
penyebabnya. 2 Angka ini terlalu besar untuk diabaikan, sehingga sangat perlu
diperhatikan oleh pemerintah.
Pemerintah, yang telah meratifikasi Convention of The Elemination of All
Forms of Discrimination Against Woman/CEDAW), juga berdasarkan masukan
dari masyarakat terutama dari aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak
perempuan, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, yang mengadopsi kebutuhan perlindungan atas hak kesehatan
reproduksi. Undang-undang ini tetap menyatakan larangan tindakan aborsi,
namun memperbolehkan aborsi dengan persyaratan tertentu. Hal ini tercantum
dalam pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi pada pasal 31.
Peraturan pemerintah ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat diantaranya
para pegiat hak asasi manusia, ulama, bahkan dari kalangan dokter. Ini berkaitan
dengan aborsi untuk korban perkosaan. Ada kekhawatiran bahwa peraturan ini
akan rawan disalahgunakan apabila tidak diberikan ukuran yang jelas yang dapat
menjadi acuan pelaksanaannya.
Pemerintah dalam hal ini menyatakan bahwa peraturan pemerintah ini
merupakan wujud pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi hak perempuan,
yang juga mengacu pada program aksi International Conference on Population
and Development (ICPD) Kairo 1994 yaitu kesepakatan Internasional dimana
Indonesia juga menandatanganinya. Dalam isi kesepakatan itu, fakta tentang
aborsi tidak aman merupakan pelanggaran atas dua hak asasi manusia, yaitu : hak
untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses produksinya menghadapi resiko
gangguan fisik dan mental, kecatatan dan kematian akibat tindakan aborsi tidak
aman; dan hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas standar, termasuk
pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi yang terkait, tanpa
diskriminasi apapun.
Pada saat terjadi perkosaan, perempuan sering mendapat perlakuan tidak adil.
Hukum lebih fokus kepada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan
menempatkan korban sebagai objek. Padahal korban perkosaan perlu mendapat
perhatian yang lebih.
Perlu dikaji juga dari segi Viktimologi yang menjadikan korban sebagai
fokus. J.E. Sahetapy menyatakan bahwa orientasi viktimologi adalah
kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau di mana para
anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti yang luas.3
2
Prakarsa Policy Preview,Angka Kematian Ibu (AKI) Melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun,
Oktober 2014, diakses di http://theprakarsa.org pada tanggal 8 Oktober 2014
3
J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 1987, hlm 26
Masih dipandang dari sudut Viktimologi, Arif Gosita menyatakan korban
perkosaan yang hamil sebagai korban ganda (double/multiple victimization), yaitu
korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga
mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami
ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak
baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian,
mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat
khusus, dan lain-lain.4
2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apabentuk legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan?
b. Bagaimana relevansi legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan
dengan hak kesehatan reproduksi?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tersebut :
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk legalisasi aborsi bagi
perempuan korban perkosaan
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan relevansi legalisasi aborsi bagi
perempuan korban perkosaan dengan perlindungan hak kesehatan
reproduksi.
4. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif,
yaitu dengan menggunakan analisis terhadap peraturan perundangundangan.
b. Pendekatan (approach)
Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah :
1) Pendekatan undang-undang
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.5
Peraturan perundang-undangan yang ditelaah yaitu Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya
terdapat pasal yang memperbolehkan aborsi dengan syarat tertentu.
2)Pendekatan Konseptual
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.6
Didasarkan dari pada konsep pemikiran tentang hak asasi manusia secara
universal serta lahirnya konvensi-konvensi dan deklarasi internasional
tentang hak asasi baik tentang hak asasi manusia secara umum maupun
4
Hukum dan Viktimologi, diakses di http://bahankuliyah.blogspot.com pada tanggal 17 Nopember
2014 dalam Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014, hlm 133
6
Ibid, hlm 135
hak asasi perempuan secara khusus.
3) Pendekatan historikal.
Pendekatan historikal (historical approach) dilakukan dengan menelaah
latar belakang yang dipelajari dan perkembangan pengaturan tentang isu
yang dihadapi.7
c. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer diambil dari peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia secara umum dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur hak asasi perempuan tentang
kesehatan reproduksi antara lain :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan
d) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
e) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi
2) Bahan Hukum Sekunder
Berasal dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik, buku-buku
teks hukum, buku lain non hukum yang dapat mendukung pembahasan
serta hasil penelitian non hukum yang dilakukan yang juga dapat
dijadikan data pendukung, antara lain :
a) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
(Declaration on the Elimination of Violence Against
Women/DEVAW)
b) Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan
(International Confrence on Population and Depelopment/ICPD)
c) Laporan dari Komnas Perempuan
d) Laporan/Jurnal dari Yayasan Kesehatan Perempuan tentang topik
kesehatan perempuan dan aborsi
e) Buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi manusia
f) Buku-buku yang berkaitan dengan topik kekerasan terhadap
perempuan
g) Data dan berita dari media yang mendukung topik hak asasi
perempuan tentang kesehatan reproduksi.
B. PEMBAHASAN
1. Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan
Aborsi menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya dari jaman dahulu hingga
sekarang. Akhir-akhir ini di Indonesia topik tentang aborsi kembali ramai
7
Ibid, hlm 134
dibicarakan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan berupa
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Hal
yang menjadi perdebatan adalah Pasal 31 yang melegalkan aborsi dengan indikasi
medis dan kehamilan akibat perkosaan. Untuk indikasi medis, secara umum tidak
banyak yang mempertentangkan, namun untuk aborsi pada kehamilan akibat
perkosaan mengundang banyak reaksi di masyarakat.
a. Aborsi
Dalam menelaah aborsi ada beberapa istilah yang digunakan yang seringkali
tumpang tindih antara satu dengan yang lain. C.B. Kusmuryanto, S.C.B dalam
buku Kontroversi Aborsi menuliskan beberapa istilah yang digunakan untuk
aborsi, antara lain8 :
1). Aborsi / Pengguguran / Procured Abortion / Abortus Provocstus / Induced
Abortion.
Secara medis, aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari
rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan (viability), antara 20 - 24
minggu..
2). Keguguran (Miscarriage)
Secara natural sekitar 30 – 50 % dari jumlah sel telur yang dibuahi (zygot)
akan mengalami keguguran karena berbagai sebab alamiah. Keguguran ini
sering disebut sebagai aborsi spontan.
3). Aborsi Therapeutic/Medicinalis
Aborsi therapeutic adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis
untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau menghindarkan si ibu dari kerusakan
fatal pada kesehatan/tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan lagi.
4).Aborsi Kriminalis
Aborsi Kriminalis adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di
luar kandungan dengan alasan-alasan lain selain therapeutic dan dilarang oleh
hukum.
5). Aborsi Eugenetic
Aborsi eugenetic adalah penghentian kehamilan untuk menghindari kelahiran
bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis.
6). Aborsi Langsung – Tak langsung
Aborsi langsung adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara
langsung menyebabkan kematian janin, sedangkan aborsi tak langsung adalah
suatu tindakan (intervansi medis) yang tidak dimaksudkan menjadi tujuan
dalam tindakan itu.
7).Selective Abortion
Selective Abortion adalah penghentian kehamilan karena janin yang
dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan.
8).Embryo Reduction (Pengurangan Embrio)
9). Partial Birth Abortion
Dalam istilah medis disebut intact dilation dan extraction. Tindakan ini
biasanya dilakukan pada janin dengan umur di atas 20 minggu yang sudah
cukup kuat, sehingga tidak dapat digugurkan dengan obat-obatan tanpa
8C.B.
Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, PT. Grasindo, Jakarta, 2002, hlm 37
membahayakan keselamatan si ibu.
b. Aborsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Pengaturan tindak pidana di Indonesia merujuk pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang mengatur
tentang aborsi. Aborsi juga diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi.
1). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut
KUHP), pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan aborsi adalah pasal 346
sampai dengan pasal 349.
Bila membaca pasal-pasal KUHP di atas, subjek hukum yang dapat disanksi
pidana dalam kasus aborsi adalah :
a) Pelaksana aborsi, yaitu tenaga medis, atau dukun atau orang lain.
b) Perempuan yang menggugurkan kandungannya
c) Orang-orang yang terlibat langsung dan menyebabkan terjadinya aborsi.
Uraian ini memperlihatkan bahwa KUHP secara tegas menyatakan segala macam
aborsi dilarang, termasuk aborsi atas indikasi medis. Walaupun demikian dalam
prakteknya, dokter yang melakukan abortus tidak dihukum jika dapat memberikan
alasan yang dapat diterima hakim. Dasar hukum yang digunakan adalah pasal 48
KUHP yang dinyatakan sebagai berikut “Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana.”
Dengan tidak dibenarkannya segala tindakan aborsi dalam KUHP, maka
akibatnya tidak ada juga akses pelayanan kesehatan untuk aborsi. Hal ini
menyebabkan ketika perempuan hendak melakukan aborsi, maka tindakan itu
dilakukan secara diam-diam dan hal tersebut adalah hal yang beresiko tinggi
terhadap kesehatan maupun nyawa seorang perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi
Perempuan setiap tahunnya semakin meningkat. Kemudian perlakuan yang
diberikan kepada korban juga masih diskriminatif dan belum cukup memberikan
perlindungan kepada perempuan.Sebagai contoh yang terjadi pada kasus
perkosaan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap anak tiri, keponakan dan
anak kandungnya sendiri yang dilakukan berulang sejak korban masih kecil.
Aborsi telah dilakukan anak tiri dan keponakannya masing-masing sebanyak dua
kali. Jika hal ini kemudian dipidana, maka akan sangat tidak adil bagi korban
yang sudah mengalami penderitaan bertahun-tahun. Selain itu aborsi dilakukan
secara diam-diam yang kemungkinan besar merupakan aborsi yang tidak aman
yang dapat mempunyai resiko besar terhadap kesehatan korban dan juga
nyawanya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah
peninggalan dari masa kolonial Belanda. Pada saat itu ideologi yang mendominasi
adalah ideologi patriarki dengan pola pikir patriarki, yang mengasumsikan sudut
pandang laki-laki yang menjadi korban dan tidak mewakili cara berpikir
perempuan yang juga dapat menjadi korban kekerasan dengan alasan dan dampak
yang berbeda.
Dalam perkembangannya muncullah isu feminis yang selanjutnya melahirkan
Teori Hukum Feminis. Patricia Cain menyatakan pengkajian hukum secara
feminis bukan sebagai teori feminis kecuali didasarkan pada pengalaman
perempuan. 9 Penekanan pada pengalaman perempuan perlu untuk
mengidentifikasi eksklusivitas hukum khususnya penderitaan-penderitaan
(perempuan) yang tidak dikenali (dipahami dan direfleksikan) oleh peraturan
perundangan atau terminimalisir, karena pengalaman perempuan tidak secara
cukup terekspresikan dalam hukum.10Hal ini perlu menjadi penekanan karena sulit
untuk diabaikan bahwa dalam kenyataannya populasi perempuan adalah lebih dari
separuh populasi masyarakat.
Satjipto Rahardjo mengatakan, dunia tidak pernah menyadari bahwa sistem
hukum memang berkelamin laki-laki, walaupun kesadaran itu bisa muncul bila
orang bergerak dalam ranah sosiologi hukum. Sebaliknya studi hukum posivistik,
dogmatis, dan analistis justru tidak mampu membawa manusia ke kesadaran
seperti itu. 11
Dalam pelaksanaan tindakan aborsi, perempuan selalu menjadi pihak yang
dirugikan dan sekaligus juga menjadi korban utama. Contohnya pada kasus aborsi
dilakukan oleh Miranti Tri Dianningsih Binti Suhendri, 18 tahun yang hamil
karena berhubungan intim dengan Deni yang tidak lain adalah iparnya (suami dari
kakaknya).
Pelaku dengan putusan Nomor 118/Pid.Sus/2014/PN.KNG dikenai pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Sanksi ini diberikan karena pelaku
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah telah melakukan
tindak pidana dengan sengaja melakukan aborsi
Ketika Ahli pernah melakukan pemeriksaan terhadap pelaku sekitar akhir
bulan Mei atau awal Juni 2014, pelaku didiagnosa mengalami aborsi incomplete,
mengalami pendarahan dan sudah mulai lemas. Aaat Ahli melakukan
pemeriksaan, pada rahim pelaku masih ada sisa dari konsepsi yang tertinggal
berupa jaringan pesudial (sisa kandungan) yang bentuknya sudah tidak teratur.
Hal ini menyebabkan pelaku mengalami pendarahan juga demam, lalu Ahli
melakukan tindakan kuret untuk membersihkan rahim pelaku untuk kepentingan
kesehatan pelaku.12
Pada kasus ini terlihat bahwa jika suatu tindakan aborsi dilakukan kemudian
diketahui orang lain, yang umumnya diseret ke pengadilan adalah perempuan
yang melakukan aborsi. Padahal peran masyarakat sekitarnya mempengaruhi
perempuan tersebut untuk melakukan aborsi. Dengan adanya dua keterangan yang
berbeda antara pelaku dan Deni tentang terjadinya hubungan intim, seharusnya
hakim mempertimbangkan kemungkinan terjadi subordinasi pelaku terhadap
korban sehingga korban tidak melawan ketika perbuatan itu dilakukan,sehingga
9
Niken Savitri, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika
Aditama,Bandung, 2008, hlm 29 dikutipdan Martha Chamallas, Introduction to Feminist Legal
Theory, second edition, Aspen Publisher, 2003
10
Ibid
11
Ibid, hlm 8
12
Putusan Mahkamah Agung, Op. Cit
meyebabkan tidak adanya bukti kekerasan. Pada kenyataannya dalam banyak
kasus, tidak adanya bukti kekerasan sering membuat kasus perkosaan tidak dapat
dibuktikan.
Deklarasi Penghapusan Kekerasan tahun 1995 telah memperluas pengertian
jenis kekerasan, tidak hanya mencakup kekerasan fisik, namun juga kekerasan
psikis dan seksual. Dalam KUHP belum ada pasal yang mengatur tentang
kekerasan psikis dan seksual. Kekerasan terhadap perempuan diatur pada Bab
XIV yang mengatur tentang kejahatan kesusilaan, padahal kejahatan pada
kesusilaan lebih menitikberatkan kejahatan tersebut dilakukan di daerah publik,
sehingga jika terjadi di daerah domestik pelaku tidak tersentuh oleh KUHP.
Akibatnya banyak perkara perkosaan putusannya menjadi kasus pelecehan seksual
dan hukuman yang diberikan relatif ringan dibandingkan dampak yang dihasilkan
dari tindakan perkosaan atau karena tidak dapat dibuktikan pelaku bebas dari
hukuman.
Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan mencatat bahwa kejahatan terhadap
perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun, utamanya kekerasan yang
berkaitan dengan hak reproduksi seksual perempuan. Data tersebut mereflesikan
bahwa KUHP belum dapat memenuhi rasa keadilan perempuan korban kekerasan
seperti yang diharapkan, atau KUHP belum menimbulkan efek jera bagi pelaku
tindak kekerasan terhadap perempuan.
2). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Sebelum pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, telah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan yang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 ini perlu
penulis uraikan sebab di dalamnya terdapat pasal yang mengatur tentang aborsi.Di
dalamnya diatur tentang kesehatan keluarga, yang diantaranya mengatur tentang
kesehatan istri. Pasal 14 menyatakan bahwa kesehatan istri meliputi kesehatan
pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan masa di luar kehamilan,
dan persalinan. Undang-undang ini ditafsirkan memperbolehkan aborsi dengan
indikasi medis yang dinyatakan pada pasal 15.
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil
tindakan tertentu. Dengan demikian pasal ini sebenarnya tidak secara jelas
menyatakan tentang pengaturan aborsi.Pasal ini hanya menyatakan bahwa sebagai
upaya penyelamatan ibu, dapat diambil tindakan medis tertentu, namun tidak
dijelaskan hal yang dimaksud sebagai tindakan medis tertentu dan yang
dikategorikan darurat. Bila dihubungkan dengan kata keselamatan ibu dan janin,
maka secara umum tafsiran yang berkembang yang dimaksud adalah aborsi. Bila
hal itu dianggap aborsi, maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara
medis aborsi didefinisikan sebagai pengeluaran hasil pembuahan (kehamilan) dari
rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Berdasarkan definisi tersebut,
jika terjadi tindakan pengeluaran janin dari rahim, maka janin tersebut akan mati.
Padahal pada Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat diadakan tindakan medis tertentu.
Konsekuensinya, bila ibu dan janinnya dapat diselamatkan, berarti tidak terjadi
aborsi. Demikian pula jika akhirnya yang selamat janinnya, juga tidak terjadi
aborsi.
Pasal 15 menyatakan bahwa tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan
dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan ibu. Bertentangan dengan
pengertian ini, padabagian penjelasandinyatakan setiap tindakan medis dalam
bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang. Dengan adanya
pelarangan tersebut, maka harapan perempuan yang ingin memperoleh pelayanan
kesehatan reproduksi seperti menghentikan kehamilan dengan cara yang aman
menjadi hilang. Pengaturan yang tidak konsisten pada Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 memicu keinginan dan dorongan bagi pemerintah dan legislatif untuk
mengubah undang-undang ini. Kemudian pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 sebagai pengganti dari undang-undang ini.
Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, pengaturan masalah
aborsilebih tegasdibandingkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 yang di dalamnya diinyatakan bahwa :
a. aborsi adalah tindakan yang dilarang.
b. untuk kondisi medis tertentu dan pada kehamilan korban perkosaan hal itu
diperbolehkan untuk dilakukan.
Sejumlah penelitian menunjukkan beberapa alasan perempuan melakukan aborsi.
Pertama, karena alasan kesehatan/fisik; kedua alasan psikososial seperti hamil di
luar nikah, kegagalan kontrasepsi, anak sudah banyak, jarak anak terlalu dekat,
ibu terlalu tua; ketiga, kehamilan tak diinginkan seperti karena perkosaaan,
incest.13 Dari ketiga hal tersebut, alasan psikososial adalah yang tertinggi menjadi
sebab perempuan melakukan aborsi. Walaupun menjadi penyebab aborsi yang
tertinggi, alasan psikososial tidak diterima untuk dimasukkan ke dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009. Dari semua sebab perempuan melakukan aborsi
di atas, yang akhirnya diterima untuk dilegalkan dan dimasukkan ke dalam
peraturan perundang-undangan adalah aborsi pada kehamilan akibat perkosaan.
Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan ini untuk hadir
melindungi hak kesehatan reproduksi bagi kaum perempuan. Dengan
dikeluarkannya peraturan ini, baik tenaga medis yang melakukan aborsi ataupun
si ibu memperoleh perlindungan ketika melakukan tindakan tersebut.
3). Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tidak langsung dapat dijalankan
karena belum mempunyai peraturan pelaksanaan. Setelah diundangkan, undangundang ini belum dapat dilaksanakan karena memerlukan peraturan pemerintah
sebagai peraturan pelaksananya. Dengan memperoleh masukan dari berbagai
pihak terutama dari pihak pemerhati kesehatan reproduksi dan pihak ulama, untuk
menghasilkan peraturan pemerintah tersebut, akhirnya setelah 5 (lima) tahun
setelah Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 diundangkan, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi.
13
Yayasan Kesehatan Perempuan, Op. Cit.
Peraturan pemerintah tentang kesehatan reproduksi ini merinci tanggung
jawab dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melakukan aksi pencegahan
kematian ibu melahirkan dengan memberikan layanan bermutu, aman dan dapat
dipertanggungjawabkan semasa hamil, melahirkan dan pasca kehamilan, termasuk
pendidikan reproduksi bagi remaja. Pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014, diatur tentang legalisasi aborsi. Sebagai aturan pelaksananya secara
khusus diatur pada Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang
menyatakan :
Pasal 31 :
Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan :
a. indikasi kedaruratan medis
b. kehamilan akibat perkosaan
c. Pengaturan Tentang Pelaksanaan Aborsi
Negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, tetapi kenyataannya, tindakan
aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang harus
dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang
mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat
kehamilan. Kemudian dengan semakin diperhatikannya hak-hak perempuan,
maka negara mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan tindakan aborsi
untuk kehamilan pada perempuan korban perkosaan.
1). Aborsi Tidak Aman (unsafe abortion)
Aborsi yang dilakukan dengan diam-diam untuk menghindari sanksi pidana
kemungkinan besar adalah aborsi tidak aman. Aborsi tidak aman (unsafe
abortion) adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan
oleh tenaga yang tidak terlatih, memakai metode dan peralatan yang tidak tepat
dan tidak steril, dilakukan di tempat yang yang tidak terjamin secara higyenis,
serta dilakukan tanpa konseling untuk menimbang keamanan pisik dan
psikisnya.14
2). Aborsi Aman (safe abortion)
Tindakan aborsi diperbolehkan untuk dilakukan jika sesuai dengan
ketentuan yang diatur pemerintah.Bagi kehamilan perempuan akibat korban
perkosaan pengaturannya diatur mulai dari Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor
61 Tahun 2014
Ketentuan pada peraturan pemerintah ini juga menjamin perempuan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi atas aborsi yang aman. Aborsi yang
aman (safe abortion) diatur di dalam pasal 35.
Selanjutnya Pasal 36 mengatur tentang syarat tenaga medis yang diperbolehkan
melakukan tindakan aborsi, pasal 37 mengatur bahwa untuk suatu tindakan aborsi
harus disertai konseling sebelum dan sesudah aborsi. Konseling sebelum aborsi
diperlukan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan
aborsi dan mengetahui kesiapan perempuan yang akan melakukan aborsi.
Konseling setelah aborsi diperlukan untuk membantu mengevaluasi kondisi
perempuan setelah tindakan aborsi, membantu perempuan tersebut untuk
14
Yayasan Kesehatan Perempuan, Aborsi : Apa dan Mengapa, Lembar Fakta, Seri 2011, Nomor 1
memahami kondisi fisiknya sekarang serta jika memang diperlukan dilakukan
pemeriksaan dan konseling lanjutan.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 ini
maka buka juga akses bagi perempuan dengan kehamilan akibat perkosaan untuk
untuk memperoleh konseling. Pada konseling pra tindakan, perempuan yang ingin
melakukan aborsi diberi kesempatan untuk memilih sendiri apakah ingin
melakukan aborsi atau meneruskan kehamilannya. Pemerintah mengatur
pemberian pendampingan kepada korban perkosaan selama kehamilan bagi
perempuan yang membatalkan keinginannya untuk melakukan aborsi. Pemerintah
juga membuka kemungkinan untuk mengasuh anak tersebut jika ibu atau
keluarganya menolak untuk mengasuh, yang akan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Untuk menghindari penyalahgunaan aturan tersebut, pelaksanaan legalisasi
aborsi juga akan dipantau oleh pemerintah dengan mewajibkan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota untuk memberikan laporan setiap pelaksanaan aborsi.
Aturan mengenai pengecualian atas larangan aborsi dalam kasus perkosaan adalah
terobosan penting dalam memberikan jaminan perlindungan hukum bagi korban
perkosaan. Terobosan lain aturan ini adalah penegasan tanggungjawab negara
memberikan dukungan bagi pemulihan korban perkosaan.
d. Pelaksanaan Peraturan Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban
Perkosaan
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi yang merupakan peraturan pelaksana dari UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang isinya antara lain memberikan legalisasi
terhadap pelaksanaan aborsi ini ada hal yang perlu diperhatikan.
1). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak membenarkan dilakukannya
aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juga melarang dilakukannya
aborsi namun memberikan pengecualian pada keadaaan darurat medis dan
kehamilan korban perkosaan. Namun kedua undang-undang ini tidak
bertentangan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pada pasal 75 ayat (1)
menyatakan bahwa aborsi adalah tindakan yang dilarang. Kemudian pada ayat (2)
dinyatakan bahwa diberikan pengecualian untuk indikasi darurat medis dan
kehamilan akibat perkosaan. Hal ini berarti Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 sejalan dengan KUHP, pemberian pengecualian adalah untuk memenuhi
rasa keadilan kepada perempuan yang mengalami darurat medis yang dapat
mengancam nyawanya serta kepada perempuan korban perkosaan yang
mengalami beban yang berat sebagai dampak kejahatan seksual atas dirinya.
Menurut Mardjono, tujuan tujuan sistem hukum pidana pidana adalah :
a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas,
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya15
Jika hanya merujuk pada ketentuan KUHP, maka perempuan korban
perkosaan belum memperoleh kepuasan dan keadilan belum ditegakkan, karena
sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tidak mengurangi penderitaan
korban. Untuk itu pengecualian diperlukan untuk membuka akses bagi perempuan
yang telah mengalami kejahatan perkosaan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan pemulihan. Karena itu, Undang-Undang Kesehatan tidak
bertentangan dengan KUHP dan legalisasi aborsi kepada perempuan yang
mengalami kehamilan dengan indikasi darurat medis dan perempuan korban
perkosaan adalah upaya untuk menegakkan keadilan di masyarakat.
2). Sosialisasi Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan di
Masyarakat
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, dalam
pelaksanaan aborsi karena korban perkosaan harus melalui beberapa tahap yaitu :
kehamilan <40 hari setelah haid terakhir, berdasarkan surat pernyataan kepolisian,
mendapatkan konseling dari psikolog dan pemuka agama serta lembaga terkait.
Kehamilan akibat pemerkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual
tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai
dengan kejadian pemerkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan
keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya
pemerkosaan.
Ketika peraturan ini dikeluarkan, terjadi reaksi di masyarakat. Ada yang pro
dan ada yang kontra.Indonesia adalah negara dimana agama memiliki pengaruh
besar dalam kehidupan bermasyarakat, maka perlu dipertimbangkan pendapat
para ulama. Menurut Majelis Ulama Indonesia perkosaan dan incest bisa menjadi
salah satu alasan untuk membolehkan aborsi. Pemuka agama Kristen
mengeluarkan pernyataan yang menolak aborsi, karena menganggap bahwa setiap
kehidupan yang terjadi adalah atas kehendak Pencipta. Ulama Islam diwakili
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkanFatwa MUI No. 4 Tahun 2005 yang
didasari kekhawatiran terhadap masa depan anak korban perkosaan.16
Nahdatul Ulama juga menyusul mengeluarkan fatwa yang isinya, aborsi
diperbolehkan dalam situasi daruratdan janin dalam kandungan diperbolehkan
digugurkan jika janin itu merupakan hasil pemerkosaan. NU membolehkan aborsi
dengan catatan usia janin itu dibawah 40 hari terhitung sejak terjadi pembuahan.
Bagi sebagian besar umat muslim Indonesia, fatwa MUI masih memiliki kekuatan
hukum. Pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa usia janin yang
diperbolehkan untuk diaborsi adalah dibawah 40 hari merujuk pada fatwa MUI.
Dari pihak Ikatan Dokter Indonesia sendiri sebagian ada yang kontra karena
menganggap bertentangan dengan kode etik kedokteran yaitu pasal 10 Kode Etik
Kedokteran “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidu mahluk insani”. Ada juga kekhawatiran bahwa nantinya dokter
15
Niken Savitri, Op. Cit., hlm 94, dikutip dan Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi dalam Sistem
Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994,
hlm 84
16
Rahmi Yuningsih, Legalisasi Abosi Korban Pemerkosaan diakses di http://berkas.dpr.go.idpada
5 Januari 2014
yang akan dipersalahkan jika melakukan pengguguran. Sebaliknya bagi yang
setuju, karena memandang dari aspek kemanusiaan.
Dari pihak pemerhati hak asasi anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyatakan bahwa KPAI secara garis besar tidak menentang PP ini, tapi
menuntut agar PP ini seimbang, baik hak ibu maupun hak anak (dalam hal ini
masih berbentuk janin).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan peraturan pemerintah ini :
a). Masih sempitnya pengertian KUHP tentang pengertian perkosaan dapat
menjadi kendala dalam pelaksanaan proses hukumnya.
b). Belum adanya peraturan pelaksana yang mengatur teknis pelaksanaan
peraturan pemerintah ini sehingga masih rawan untuk diselewengkan.
c). Waktu
Aborsi yang diperbolehkan adalah jika usia janin di bawah 40 hari. Hal yang
sering terjadi adalah korban tidak segera melapor kepada pihak yang
berwajib. Jika korban terlambat melapor, maka dikhawatirkan proses
pembuktiannya usia janin akan melebihi 40 hari.
Hal ini yang menjadi perhatian dari kepolisian melalui Kapolri, yaitu
permasalahan jangka waktu bisa dilakukannya aborsi, yaitu minimal 40 hari,
sedangkan ada kemungkinan proses penyidikan cukup sulit.17
2. Relevansi Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan dengan
Hak Kesehatan Reproduksi
Perempuan adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memberikan kontribusi yang
besar dalam sejarah eksistensi umat manusia. Pengakuan dan penghormatan
terhadap perempuan sebagai manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan
mengakui dan menghormati hak asasi perempuan. Hal ini perlu dipahami agar
dapat memberikan posisi yang bermartabat bagi perempuan sebagai manusia.
a. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan
Perempuan dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak
asasinyakarena berdasarkan kajian dan pengaturan dalam beberapa konvensi
internasional, perempuan dimasukkan dalam kelompok vulnerable (kelompok
rentan), bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, kelompok
pengungsi dan kelompok rentan lainnya. Kelompok rentan adalah kelompok yang
lemah,tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko dan
sangat rentan terhadap bahaya.Bahaya tersebut berasal dari kelompok lain, salah
satunya dapat datang dari kelompok laki-laki yang dalam berbagai hal dianggap
masyarakat sebagai kelompok yang lebih kuat dan karenanya memiliki kekuasaan
lebih atas kelompok perempuan.
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit. Ketimpangan relasi kuasa antara
pelaku dan korban adalah akar dari kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam
hal ini relasi itu adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan semakin
17
Aliansi Remaja Independen, Sosialisasi PP No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi,
diakses di http://aliansiremajaindependen.org pada tanggal 13 Nopember 2014
diperparah bila pelaku memiliki kendali atas korban. Kendali ini bisa berupa
sumber daya, ekonomi maupun status sosial. Termasuk pula kendali dalam bentuk
hubungan seperti orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakatwarga, kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipill.
Dalam KUHP kekerasan seksual termasuk di dalamnya perkosaan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja
mengurangi derajat perkosaan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan, namun
juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas
semata.
Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan
seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ
seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh
lainnya yang bukan organ seksual ataupun benda-benda lainnya. Serangan
itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan
pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah
paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan
atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau
serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang
sesungguhnya.18
Dampak yang dialami seorang perempuan korban perkosaan sangat besar,
terhadap fisik, psikis maupun sosial. Pada umumnya korban perkosaan mengalami
trauma dan hal tersebut bukan hal yang mudah diatasi. Beban tersebut akan
bertambah berat, jika perempuan korban perkosaan tersebut mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan. Hal ini juga menjadi alasan yang mendorong seorang
perempuan korban perkosaan mengambil keputusan untuk menghentikan
kehamilannya dengan melakukan tindakan aborsi. Pada kenyataannya, perempuan
yang melakukan aborsi adalah pihak yang paling dirugikan.
Korban perkosaan mengalami penderitaan baik fisik maupun mental.
Korban seringkali mengalami trauma, dan pada sebagian korban yang tidak
mampu bangkit secara emosional, bahkan dapat mengakhiri hidupnya. Beratnya
beban psikologis korban perkosaan dapat dibaca pada contoh kasus seorang
perempuan, sebut saja Y korban perkosaan berkelompok (gang rape) pada hari
Kamis, 1 Mei 2014 dinihari di Gampong, Langsa, Aceh. Perkosaan dilakukan
oleh 8 orang, yang merupakan bagian dari aksi main hakim sendiri terhadap
korban yang digerebek karena dituduh melanggar peraturan yang melarang
perempuan berduaan dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan perkawinan
dengannyawalaupun belum diperiksa apakah tuduhan itu benar atau tidak.
Walaupun mengalami perkosaan, Y tetap dikriminalisasi atas pelanggaran
peraturan daerah oleh para pemerkosanya itu. Y dihukum cambuk, namun
hukuman ini belum dilaksanakan karena Y ternyata berada dalam kondisi hamil.
Kasus ini adalah salah satu contoh kejadianyang harus dialami seorang
perempuan korban perkosaan. Dalam banyak kasus juga disertai penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat korban. Dampaknya sangat berpengaruh
besar pada korban secara fisik, psikis maupun sosial.
Pada korban perkosaan, reaksi yang umum terjadi adalah19 :
18
Komnas Perempuan, Loc. Cit
M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam
Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 66
19
1) Timbul rasa takut dan cemas yang menetap pada korban.
2) Depresi.
3) Korban mengalami gangguan pada penyesuaian sosialnya.
4) Gangguan fungsi seksual
5) Keluhan pada fisik
6) Stres Paska Traumatik (Post-traumatic Stress Disorder).
Pada kondisi terjadi pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan
menderita secara fisik, mental, dan sosial. Secara fisik, bisa terjadi perlukaan baik
tubuh atau organ reproduksi, secara psikis korban perkosaan akan mengalami
dampak psikologis yang berat, dan secara sosial korban perkosaan seringkali
mendapat tanggapan dan reaksi yang tidak mengenakkan dari masyarakat maupun
keluarganya sendiri.
Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan :
“Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan
berdasarkan gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman terjadinya
perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.
Perkosaan menurut pasal 2 dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak
kekerasan terhadap perempuan.
Walaupun tidak sama dengan pemberlakuan hukum di Aceh, perlakuan terhadap
korban perkosaan yang memakai KUHP sebagai landasan hukumnya juga tidak
jauh berbeda. Hanya, hal itu terjadi di kantor polisi dan ruang pengadilan. Proses
hukum yang dilakukan tidak berpihak pada korban. Korban harus menjelaskan
berulangkali peristiwa traumatis yang dialaminya kepada aparat hukum. Demikian
juga ketika di pengadilan dan korban harus bersaksi. Pertanyaan yang ditimbulkan
bukan saja tidak netral tetapi mengandung “male sense” secara khusus, misalnya
pembelaan pelaku bahwa korban (perempuan) menghendaki dilakukannya
perbuatan tersebut. Korban yang harus berusaha membuktikan bahwa terjadi
pemerkosaan dan bukan pelaku yang berusaha membuktikan tidak melakukannya.
Aparat hukum baik polisi hingga hakim juga sering tidak menunjukkan simpati
kepada korban perkosaan sehingga korban perkosaan mengalami yang disebut
secondary victimization. Terbukti dari ungkapan Lees yang menganggap sidang
pemerkosaan sebagai suatu proses yang menghasilkan jenis kesesuaian tertentu,
bahwa persidangan merupakan pemerkosaan kedua oleh peradilan dalam profesi
hukum.20
Dalam penjatuhan sanksi pidana, seringkali hakim memberikan sanksi
pidana yang terlalu ringan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak
pidana perkosaan atau justru membebaskan terdakwa dengan alasan tidak ada
pembuktian. Seperti yang terjadi pada kasus tentang perkosaan terhadap
perempuan di bawah umur (15 tahun) di desa Moti, Kecamatan Tobelo,
Adrianus Meliala, Dukungan dan Pemulihan Bagi Korban Kejahatan Serta Praktik-Praktik
Terbaik Perlakuan Untuk Korban, Disampaikan pada Rapat Koordinasi Para Pemangku Kepentingan
20
dalam Aktivitas Perlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Kejahatan pada Proses Peradilan Pidana
dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dengan tema “Membangun Sinergitas Kewenangan, Kemampuan,
dan Fasilitas dalam Aktivitas Layanan Perlindungan dan Bantuan Pemenuhan Hak-hak Korban
Kejahatan” oleh LPSK di Jakarta 31 Oktober 2013
Kabupaten Maluku Utara. Pada awalnya jaksa mendakwa terdakwa dengan
dakwaan primai melanggar pasal 285 KUHP dan dakwaan subsidair melanggar
pasal 287 ayat (1) KUHP yaitu bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya
sedang diketahui bahwa wanita itu belum cukup umur (15 tahun). Hakim menilai
bahwa dakwaan jaksa atas pelanggaran Pasal 285 KUHP tidak terbukti, karena
tidak adanya bukti kekerasan dan ancaman dalam perbuatan tersebut. Kemudian
atas dakwaan terhadap pelanggaran Pasal 187 KUHP telah terbukti, dengan
demikian terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan tersebut. Namun
karena Pasal 287 ayat (2) KUHP mensyaratkan adanya “pengaduan” atas kasus
tersebut, sementara itu ternyata yang ditemukan pada kasus ini hanyalah surat
laporan dari kepala desa Moti kepada kepolisian setempat yang kemudian dibawa
oleh ayah korban. Ternyata ayah korban adalah seorang yang buta huruf dan buta
hukum, yang melaporkan perbuatan tersebut kepada kepala desa. Dengan dasar
ini, hakim berpendapat bahwa meskipun dakwaan atas pasal 287 ayat (1) KUHP
terpenuhi, tetapi karena tidak ada “pengaduan” yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan (ayah korban), maka dakwaan jaksa tidak dapat diterima dan
hakim membebaskan terdakwa.
Dalam putusan ini hakim hanya mendasarkan pada keterangan terdakwa dan tidak
mempertimbangkan terjadinya subordinasi terdakwa terhadap korban, sehingga
bukti kekerasan secara fisik tidak terlihat pada korban karena korban tidak
melakukan perlawanan berarti.
Putusan tersebut menunjukkan bahwa hakim lebih menekankan kepada
adanya legalitas formal atau dokumen pengaduan daripada adanya perbuatan
pidana persetubuhan dengan anak di bawah umur.
Dalam hukum pidana, perlu untuk memandang dari sisi korban
(viktimologi). J.E. Sahetapy menyatakan bahwa orientasi viktimologi adalah
kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau di mana para
anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti yang luas.21
Berdasarkan kerugian yang diderita korban, pemberian bantuan atau
santunan kepada korban bukan saja menjadi kewajiban dari pelaku kejahatan itu,
tetapi juga masyarakat umum dan negara. Terjadinya kejahatan dapat dianggap
gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. 22
b. Hak Asasi Perempuan
Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat, merupakan suatu
kelompok yang wajib mendapatkan jaminan atas hak-haknya.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia
sejak lahir. Setiap manusia berhak memiliki hak tersebut. Istilah Hak Asasi
manusia itu sendiri berarti hak tersebut ditemukan dalam hakekat kemanusiaan
dan demi kemanusiaan. Hak-hak itu mencakup antara lain hak atas kehidupan,
keamanan, kebebasan berpendapat, dan merdeka dari segala bentuk penindasan.23
Hak asasi tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap individu dari suatu negara
yang mengakui dan menghargai HAM itu sendiri. Negara juga harus menjamin
setiap individu memiliki hak tersebut tanpa ada perkecualian.
21
J.E. Sahetapy, Op. Cit, hlm 26
J.E. Sahetapy, Op. Cit, hlm 37
23
Niken Savitri, Op. Cit, hlm 1
22
Secara khusus hak asasi perempuan dijamin dengan diratifikasinya
Konvensi PBBmengenai Hak-Hak Politik Perempuan Tahun 1953 dengan
Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Deklarasi Penghapusan Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence
Against Women/DEVAW) pada bulan Desember 1993, Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (International Confrence on Population and
Depelopment/ICPD) di Kairo, Mesir tahun 1994.
Di Indonesia, jaminan atas HAM secara umum dapat ditemukan di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28 A-J,
terutama dalam Pasal 28I ayat (4) yang menegaskan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.Undang-Undang
ini merupakan Pengesahan Konvensi Perempuan (Convention of The Elemination
of All Forms of Discrimination Against Woman/CEDAW) yang dikeluarkan
Majelis Umum PBB tanggal 18 Desember 1979. Konvensi ini merupakan langkah
maju untuk memposisikan kaum perempuan dalam perlindungan dan pemenuhan
HAM. PadaUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dinyatakan, negara seharusnya
melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.
Perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda dengan
pria, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui; suatu proses yang sangat
menentukan derajat kesehatan dirinya dan anak yang dikandungnya. Organ
reproduksi perempuan harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan jati diri perempuan. Jika demikian, maka perlindungan terhadap
perempuan juga bermakna perlindungan terhadap organ reproduksi dan proses
reproduksivitas seorang perempuan.24
c. Hak Kesehatan Reproduksi
Aborsi adalah perbuatan yang dilarang. Ini terlihat pada Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 75 yang melarang perbuatan aborsi.
Namun undang-undang ini memperbolehkan aborsi untuk indikasi medis tertentu
dan korban perkosaan. Hal yang mendasarinya adalah bahwa kehamilan akibat
pemerkosaan menimbulkan penderitaan, memperparah kondisi mental korban
yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan
tersebut.Trauma ini juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang
dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami
reaksi penolakan terhadap kehamilannya.
Para ahli yang melakukan penelitian mempunyai data tentang jumlah aborsi
di Indonesia. Hull, Sarwono dan Widyantoro memperkirakan antara 750.000
hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan, Saifuddinmemperkirakan
sekitar 2,3 juta, sedangkan sebuah studi yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka aborsi di
24Majda
El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT.
Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hlm 245
Indonesia sebesar 2.000.000 per tahun.25 Data ini belum termasuk aborsi spontan
yang terjadi. Dengan kenyataan seperti ini, maka perhatian dari pemerintah sangat
dibutuhkan mengatasi hal tersebut, karena aborsi yang tidak aman menjadi salah
satu penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi. Pada awal 2014, angka
kematian ibu yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 359 per 100 ribu kelahiran, atau
hampir dua kali lipat dari tahun 2007 sebesar 228 per 100 ribu kelahiran.26
Aborsi yang dilakukan secara diam-diam besar kemungkinan adalah aborsi
yang tidak aman karena tidak dilakukan dengan orang, prosedur dan tempat yang
tepat dan benar. Aborsi tidak aman adalah tindakan yang sangat beresiko terhadap
kesehatan organ reproduksi perempuan dan dapat membahayakan nyawa
perempuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang melarang tindakan aborsi,
mengakibatkan akses untuk pelayanan aborsi yang aman juga tidak tersedia. Hak
perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan khususnya organ reproduksi
juga tertutup. Di pihak lain, agar dapat menekan angka kematian ibu yang
disebabkan aborsi, perlu akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan.
Aborsi yang tidak aman memang memerlukan penanganan yang serius dari semua
pihak, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Secara moral
negara akan dianggap tidak bertanggung jawab bila hal itu dibiarkan berlangsung
terus dan membiarkan perempuan mati karena tindakan aborsi. Apalagi mengacu
pada Program Aksi ICPD 1994 yang merupakan kesepakatan internasional di
mana Indonesia turut menanda-tanganinya, fakta banyaknya aborsi tidak aman di
atas merupakan pelanggaran atas dua hak asasi manusia yaitu :
1) hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya
menghadapi risiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian akibat
tindakan aborsi tidak aman; dan
2)hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas standar, termasuk pemanfaatan
teknologi kesehatan reproduksi dan informasi yang terkait, tanpa diskriminasi
apa pun.
Kesehatan Reproduksi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 pasal 1 angka 2 adalahkeadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat memprihatinkan.
Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan masyarakat tentang
hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun kondisi atau akibatnya,
setiap perempuan sebagai warganegara memiliki hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai dan merupakan kewajiban suatu negara untuk
menyediakan hal itu.Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula dalam
Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
(Konvensi Perempuan).
Sesuai dengan rekomendasi nomor 24 tentang Kesehatan Perempuan pada
Deklarasi Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan bahwa Negara
harus menjamin hak perempuan dalam memperoleh pelayanan kesehatan
25
26
Zumratin K Susilo dan Herna Lestari,Op. Cit.
Policy Preview, Prakarsa, Op. Cit.
reproduksi.27
Pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 49 ayat (3) dinyatakan :
“Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya,
dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Dalam kaitan dengan hukum, perlindungan dapat diartikan sebagai suatu
perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu
gambaran dari fungsi hukum. yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
d. Relevansi Legalisasi Aborsi pada Korban Perkosaan dengan Hak
Kesehatan Reproduks
Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan dilegalkan untuk memberikan
perlindungan bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan dengan cara
menyediakan akses layanan kesehatan reproduksi. Dengan demikian perempuan
yang telah mengalami kekerasan, tidak menjadi korban ganda (double/multiple
victimization). Arif Gosita menyatakan korban perkosaan yang hamil sebagai
korban ganda (double/multiple victimization), yaitu korban yang selain mengalami
penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik,
dan sosial. Saparinah Sadli mengungkapkan bahwa korban perkosaan sangat
membutuhkan pertolongan karena mengalami penderitaan fisik dan psikis yang
luar biasa dan yang terjadi menyangkut hari depan generasi berikutnya. Karena itu
mereka berhak memilih untuk meneruskan atau menghentikan bila terjadi
kehamilan.28
Pada KUHP, yang menjadi fokus adalah kepada pelaku kejahatan. Sanksi pidana
akan dikenakan kepada pelaku kekerasan kepada perempuan jika dapat kejahatan
itu dapat dibuktikan di pengadilan. Tetapi sanksi yang dikenakan kepada pelaku
tidak memberi keadilan kepada korban perkosaan. Karena itu pemerintah perlu
hadir untuk memberikan hak tersebut kepada perempuan korban kekerasan
khususnya dalam hal ini korban perkosaan.
Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang
terkait di dalamnya, yaitu pelaku tindak pidana (offenders) dan korban kejahatan
(victims). Kedua pihak harusnya memperoleh perhatian yang seimbang, sehingga
proses penyelesaian perkara pidana tidak ada pihak yang dirugikan baik dari sudut
penegakan hukum pidana mapun dalam penanggulangan kejahatan yang terjadi
dalam masyarakat. Penegakan hukum yang tidak seimbang akan mengakibatkan
kejahatan semakin meningkat. Indikasi ini terlihat dari Catatan Tahunan
(CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 ada
4.336 kasus kekerasan seksual dari total 211.822 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di
ranah publik, dengan 2.920 kasus. Sebanyak 1.416 kasus kasus kekerasan seksual
Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia, Op. Cit., hal 121
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Op.Cit., hlm 81
27Pusat
28
terjadi di ranah personal. Bentuk kekerasan seksual paling banyak terjadi adalah
pencabulan dan perkosaan 1620 kasus ( > 50% ).29
Perlindungan korban merupakan suatu masalah yang mendapat perhatian dari
dunia Internasional. Dalam Kongres PBB ke VII tahun 1985 di Milan tentang
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dikemukakan bahwa hak-hak
korban seharusnya dilihat sebagai bagian yang integral dari keseluruhan hukum
pidana. Pertemuan ini menghasilkan rancangan resolusi yang kemudian menjadi
Resolusi MU-PBB Nomor 40/34 tanggal 29 Nopember 1985 tentangDeclaration
of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse Of Power. Dalam
resolusi ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang,
baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan
(tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara,
termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengertian korban ini termasuk juga orangorang yang menjadi korban dari perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum
merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi
sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara
internasional.30Pengertian kerugian dalam resolusi tersebut meliputi kerugian fisik
maupun mental, emosional, kerugian ekonomi atau perusakan hak-hak asasi
korban.
Legalisasi aborsi untuk perempuan korban perkosaan merupakan upaya
pemerintah untuk tidak melakukan pembiaran terhadap belum terpenuhinya rasa
keadilan terhadap perempuan korban perkosaan. Bila negara tidak berbuat, maka
negara melakukan pembiaran terhadap tidak terpenuhinya hak asasi perempuan,
Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, hak asasi perempuan adalah hak yang
melekat pada dirinya, termasuk organ reproduksi. Jadi menjamin hak kesehatan
reproduksi perempuan adalah wujud perlindungan terhadap hak asasi perempuan.
29
Komnas Perempuan, Peluncuran Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25
Nopember-10 Desember 2013), Lembar Fakta, 2013
30
Tri Wahyu Widiastuti, Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap Korban
Perkosaan, Thesis, 2008, hlm. 14, dikutip dan Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.
54.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari uraian di atas adalah sebagai berikut :
a. Legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan diberikan pemerintah
dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi yang merupakan upaya pemerintah untuk
memberikan akses pelayanan kesehatan reproduksi kepada perempuan.
Undang-Undang ini memberikan jaminan perlindungan hukum bagi
korban perkosaan dan penegasan tanggungjawab negara dalam
memberikan dukungan bagi pemulihan korban perkosaan.
b.Perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda
dengan pria, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Organ
reproduksi perempuan harus dipahami sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan jati diri perempuan.Hak Asasi Manusia adalah hak
dasar yang melekat pada diri manusia sejak lahir.Legalisasi aborsi bagi
korban perkosaan merupakan perlindungan terhadap hak asasi
perempuan atas kesehatan reproduksi.
2. Saran
a. Pemerintah harus segera membuat aturan pelaksana teknis, sehingga
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dapat
berjalan efektif mengingat pentingnya penanganan atas kesehatan
reproduksi perempuan. Peraturan teknis itu dapat berupa prosedur
standar operasional baku yang harus dijalankan ketika menghadapi
korban perkosaan yang meminta layanan kesehatan reproduksi
penghentian kehamilan (aborsi). Hal ini diperlukan agar tidak terjadi
penyalahgunaan peraturan legalisasi aborsi.
b. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan
kesehatan reproduksi pada semua perempuan agar sadar akan haknya
atas kesehatan reproduksi serta mengetahui tersedianya akses untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, secara khusus bagi korban
perkosaan dapat memperoleh bantuan atas pemulihan dan penghentian
kehamilan yang aman.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2011, Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung
C.B. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,2002, PT. Grasindo, Jakarta
Peter MahmudMarzuki, 2014, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta
Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, 2010, Kekerasan Terhadap Perempuan
Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika
Aditama, Bandung
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap
KUHP, PT. Refika Aditama,Bandung
Sahetapy, J.E., 1987, Viktimologi : Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar
Harapan,Jakarta
Pusat Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia, 2007, Hak azasi
perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender,
Yayasan Obor Indonesia
Yayasan Kesehatan Perempuan, Seri 2011, Aborsi : Apa dan Mengapa, Lembar
Fakta, No.1
Peraturan Perundang-Undangan
________, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
________, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan
________, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
________, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi
Makalah
Aliansi Remaja Independen, 2014, Sosialisasi PP No.61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi, Laporan
Diah Irawati, 2009, Kematian Ibu dan Anak dan Beberapa Persoalan Mendasar
Kesehatan
dan Hak Reproduksi, Naskah, Komnas Perempuan
Guttmacher Institute, Seri 2008, Aborsi di Indonesia, Buletin, No.2
Komnas Perempuan, 2013,Kekerasan Seksual Kenali dan Tangani, Naskah
Komnas Perempuan, 2013, Pernyataan Sikap terkait Proses Hukum terhadap
Korban Perkosaan yang Dituduh Melakukan Pelanggaran Aturan
Daerah (Qanun) tentang Khalwat di Aceh, Naskah
Prakarsa Policy Preview, Oktober 2014, Angka Kematian Ibu (AKI) Melonjak,
Indonesia Mundur 15 Tahun, Buletin 05
Zumratin, Herna Lestari dan K Susilo, 6 Oktober 2002, Aborsi : Fakta,
Kebutuhan dan Tantangan Serta Pengaruhnya dalam Profil Kesehatan
Perempuan, disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Nomor 19/Pid.Sus/2013/PN.Cbn.
Putusan Pengadilan Nomor 118/Pid.Sus/2014/PN.Kng.
Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.T.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ketujuh, Edisi IV
Media
Tempo, Nopember2014, NU Halalkan Aborsi Janin Hasil Perkosaan
Download