RESUME SKRIPSI LEGALISASI ABORSI BAGI PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI SARI DUMA ELISABET TAMBUNAN NIM : 02111097 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015 Abstrak Aborsi selalu menjadi kontroversi sejak jaman dahulu. Di Indonesia topik aborsi muncul kembali menjadi perdebatan setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang pada Pasal 31 melegalkan aborsi untuk kedaruratan medis dan korban perkosaan. Angka Kematian Ibu di Indonesia sangat tinggi, dan aborsi tidak aman menjadi salah satu penyebabnya. Aborsi tidak aman dilakukan karena perempuan tidak mendapatkan akses untuk pelayanan aborsi yang aman sebab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara tegas menyatakan bahwa aborsi adalah suatu tindak pidana. Namun larangan tersebut tidak mengurangi terjadinya aborsi, justru memicu aborsi dilakukan secara diam-diam yang kemungkinan besar pelaksanaanya tidak sesuai prosedur kesehatan reproduksi serta sulit untuk dikendalikan. Aborsi yang tidak aman dapat membahayakan bagi perempuan yang melakukannya. Pemerintah harus secara serius menangani masalah kesehatan reproduksi perempuan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Undang-undang ini membuka akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan yang tidak dapat diperoleh jika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak memberikan celah untuk dilakukannya tindakan aborsi. Perlakuan aparat hukum terhadap korban perkosaan dalam kenyataannya seringkali tidak adil. Korban hanya diperlakukan sebagai saksi dan bukan sebagai korban yang mengalami dampak psikologis pada dirinya. Dengan undang-undang ini perempuan korban perkosaan memperoleh dukungan dan bantuan untuk pemulihan dari pemerintah yang belum diberikan jika hanya mengacu pada KUHP. Perkosaan adalah suatu kekerasan seksual yang melanggar hak asasi manusia. Dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, fokus hanya diberikan kepada pelaku dan belum mempertimbangkan pengalaman yang dialami perempuan korban perkosaan. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak perempuan dan memberikan keadilan kepada korban perkosaan sebab negara berkewajiban menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Jika terjadi pembiaran, maka suatu negara dianggap gagal untuk melindungi hak asasi perempuan atas kesehatan reproduksi. Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana teknis agar yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat berjalan efektif. Peraturan teknis itu dapat berupa prosedur standar operasional baku yang harus dijalankan ketika menghadapi korban perkosaan Hal ini diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan peraturan legalisasi aborsi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada semua perempuan agar sadar akan haknya atas kesehatan reproduksi serta mengetahui tersedianya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya kepada perempuan korban perkosaan. Kata kunci : legalisasi, aborsi, perkosaan A. PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Hamil merupakan kodrat seorang perempuan disamping melahirkan dan menyusui. Kehamilan seorang perempuan pada umumnya sangat dinantikan ketika suatu keluarga terbentuk karena dianggap sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa. tetapi tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Hal yang menyebabkan seorang wanita tidak menginginkan kehamilannya antara lain karena merupakan hasil perkosaan. Pada saat seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (untuk selanjutnya disingkat KTD), salah satu jalan keluar yang diambil adalah tindakan aborsi. Secara jelas Badan Kesehatan Dunia (World Health Orgnization) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 20 minggu atau berat janin 500 gram. 1 Menurut Fact About Abourtion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social, Studies, and Action, dalam istilah kesehatan, aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Pada dasarnya ada dua jenis aborsi, pertama, aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya tindakan medis, dan kedua, aborsi yang dilakukan secara sengaja baik dengan tindakan medis maupun upaya lainnya. Aborsi di Indonesia masih dalam perdebatan yang panjang, dan selama ini pula perempuan berada dalam posisi yang dirugikan. Aborsi merupakan tindakan yang dilarang di sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Hal ini dinyatakan antara lain dalam KUHP Pasal 346, 347,348 dan 349 dan 535. Secara tertulis, tidak ada satu pasal pun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) yang memperbolehkan seorang dokter untuk melakukan abortus atas indikasi medis, sekalipun untuk menyelamatkan nyawa ibu. Dalam prakteknya, dokter yang melakukan abortus tidak dihukum jika dapat memberikan alasan yang dapat diterima hakim. Dasar yang digunakan adalah pasal 48 KUHP yang dinyatakan sebagai berikut : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana.” Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa peraturan di Indonesia sama sekali tidak memberikan celah untuk tindakan aborsi. Implikasinya, tidak diberikan celah juga untuk pelayanan kesehatan terhadap tindakan aborsi, sehingga banyak terjadi aborsi yang ilegal atau diam-diam. Hal ini disebabkan tidak adanya akses untuk mendapat pelayanan kesehatan. Pelaksanaan aborsi yang diam-diam sangat berisiko karena dilakukan tanpa prosedur yang tepat. Hal ini sering disebut sebagai aborsi yang tidak aman (unsafe abortion). Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi 1 Zumratin K Susilo dan Herna Lestari, Aborsi : Fakta, Kebutuhan dan Tantangan Serta Pengaruhnya dalam Profil Kesehatan Perempuan, disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002, diakses di http://www.mitrainti.org pada tanggal 18 Oktober 2014 dan lain-lain. Sebab lainnya, ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya. Hal ini dapat membahayakan nyawa si ibu dan menimbulkan penderitaan pada saat prosesnya. Angka Kematian Ibu (untuk selanjutnya disingkat AKI) hamil di Indonesia sangat tinggi dan aborsi tidak aman menyumbang 15 % – 30 % sebagai penyebabnya. 2 Angka ini terlalu besar untuk diabaikan, sehingga sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah, yang telah meratifikasi Convention of The Elemination of All Forms of Discrimination Against Woman/CEDAW), juga berdasarkan masukan dari masyarakat terutama dari aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengadopsi kebutuhan perlindungan atas hak kesehatan reproduksi. Undang-undang ini tetap menyatakan larangan tindakan aborsi, namun memperbolehkan aborsi dengan persyaratan tertentu. Hal ini tercantum dalam pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada pasal 31. Peraturan pemerintah ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat diantaranya para pegiat hak asasi manusia, ulama, bahkan dari kalangan dokter. Ini berkaitan dengan aborsi untuk korban perkosaan. Ada kekhawatiran bahwa peraturan ini akan rawan disalahgunakan apabila tidak diberikan ukuran yang jelas yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Pemerintah dalam hal ini menyatakan bahwa peraturan pemerintah ini merupakan wujud pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi hak perempuan, yang juga mengacu pada program aksi International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo 1994 yaitu kesepakatan Internasional dimana Indonesia juga menandatanganinya. Dalam isi kesepakatan itu, fakta tentang aborsi tidak aman merupakan pelanggaran atas dua hak asasi manusia, yaitu : hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses produksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecatatan dan kematian akibat tindakan aborsi tidak aman; dan hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas standar, termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi yang terkait, tanpa diskriminasi apapun. Pada saat terjadi perkosaan, perempuan sering mendapat perlakuan tidak adil. Hukum lebih fokus kepada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan menempatkan korban sebagai objek. Padahal korban perkosaan perlu mendapat perhatian yang lebih. Perlu dikaji juga dari segi Viktimologi yang menjadikan korban sebagai fokus. J.E. Sahetapy menyatakan bahwa orientasi viktimologi adalah kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau di mana para anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti yang luas.3 2 Prakarsa Policy Preview,Angka Kematian Ibu (AKI) Melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun, Oktober 2014, diakses di http://theprakarsa.org pada tanggal 8 Oktober 2014 3 J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 1987, hlm 26 Masih dipandang dari sudut Viktimologi, Arif Gosita menyatakan korban perkosaan yang hamil sebagai korban ganda (double/multiple victimization), yaitu korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.4 2. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : a. Apabentuk legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan? b. Bagaimana relevansi legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan hak kesehatan reproduksi? 3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian tersebut : a. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan b. Untuk mengetahui dan menjelaskan relevansi legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan perlindungan hak kesehatan reproduksi. 4. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan menggunakan analisis terhadap peraturan perundangundangan. b. Pendekatan (approach) Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah : 1) Pendekatan undang-undang Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut dengan isu hukum yang sedang ditangani.5 Peraturan perundang-undangan yang ditelaah yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya terdapat pasal yang memperbolehkan aborsi dengan syarat tertentu. 2)Pendekatan Konseptual Pendekatan Konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.6 Didasarkan dari pada konsep pemikiran tentang hak asasi manusia secara universal serta lahirnya konvensi-konvensi dan deklarasi internasional tentang hak asasi baik tentang hak asasi manusia secara umum maupun 4 Hukum dan Viktimologi, diakses di http://bahankuliyah.blogspot.com pada tanggal 17 Nopember 2014 dalam Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014, hlm 133 6 Ibid, hlm 135 hak asasi perempuan secara khusus. 3) Pendekatan historikal. Pendekatan historikal (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang yang dipelajari dan perkembangan pengaturan tentang isu yang dihadapi.7 c. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari : 1) Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer diambil dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia secara umum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hak asasi perempuan tentang kesehatan reproduksi antara lain : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan d) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan e) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 2) Bahan Hukum Sekunder Berasal dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik, buku-buku teks hukum, buku lain non hukum yang dapat mendukung pembahasan serta hasil penelitian non hukum yang dilakukan yang juga dapat dijadikan data pendukung, antara lain : a) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence Against Women/DEVAW) b) Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Confrence on Population and Depelopment/ICPD) c) Laporan dari Komnas Perempuan d) Laporan/Jurnal dari Yayasan Kesehatan Perempuan tentang topik kesehatan perempuan dan aborsi e) Buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi manusia f) Buku-buku yang berkaitan dengan topik kekerasan terhadap perempuan g) Data dan berita dari media yang mendukung topik hak asasi perempuan tentang kesehatan reproduksi. B. PEMBAHASAN 1. Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan Aborsi menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya dari jaman dahulu hingga sekarang. Akhir-akhir ini di Indonesia topik tentang aborsi kembali ramai 7 Ibid, hlm 134 dibicarakan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Hal yang menjadi perdebatan adalah Pasal 31 yang melegalkan aborsi dengan indikasi medis dan kehamilan akibat perkosaan. Untuk indikasi medis, secara umum tidak banyak yang mempertentangkan, namun untuk aborsi pada kehamilan akibat perkosaan mengundang banyak reaksi di masyarakat. a. Aborsi Dalam menelaah aborsi ada beberapa istilah yang digunakan yang seringkali tumpang tindih antara satu dengan yang lain. C.B. Kusmuryanto, S.C.B dalam buku Kontroversi Aborsi menuliskan beberapa istilah yang digunakan untuk aborsi, antara lain8 : 1). Aborsi / Pengguguran / Procured Abortion / Abortus Provocstus / Induced Abortion. Secara medis, aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan (viability), antara 20 - 24 minggu.. 2). Keguguran (Miscarriage) Secara natural sekitar 30 – 50 % dari jumlah sel telur yang dibuahi (zygot) akan mengalami keguguran karena berbagai sebab alamiah. Keguguran ini sering disebut sebagai aborsi spontan. 3). Aborsi Therapeutic/Medicinalis Aborsi therapeutic adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau menghindarkan si ibu dari kerusakan fatal pada kesehatan/tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan lagi. 4).Aborsi Kriminalis Aborsi Kriminalis adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain selain therapeutic dan dilarang oleh hukum. 5). Aborsi Eugenetic Aborsi eugenetic adalah penghentian kehamilan untuk menghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis. 6). Aborsi Langsung – Tak langsung Aborsi langsung adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung menyebabkan kematian janin, sedangkan aborsi tak langsung adalah suatu tindakan (intervansi medis) yang tidak dimaksudkan menjadi tujuan dalam tindakan itu. 7).Selective Abortion Selective Abortion adalah penghentian kehamilan karena janin yang dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. 8).Embryo Reduction (Pengurangan Embrio) 9). Partial Birth Abortion Dalam istilah medis disebut intact dilation dan extraction. Tindakan ini biasanya dilakukan pada janin dengan umur di atas 20 minggu yang sudah cukup kuat, sehingga tidak dapat digugurkan dengan obat-obatan tanpa 8C.B. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, PT. Grasindo, Jakarta, 2002, hlm 37 membahayakan keselamatan si ibu. b. Aborsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Pengaturan tindak pidana di Indonesia merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang aborsi. Aborsi juga diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. 1). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP), pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan aborsi adalah pasal 346 sampai dengan pasal 349. Bila membaca pasal-pasal KUHP di atas, subjek hukum yang dapat disanksi pidana dalam kasus aborsi adalah : a) Pelaksana aborsi, yaitu tenaga medis, atau dukun atau orang lain. b) Perempuan yang menggugurkan kandungannya c) Orang-orang yang terlibat langsung dan menyebabkan terjadinya aborsi. Uraian ini memperlihatkan bahwa KUHP secara tegas menyatakan segala macam aborsi dilarang, termasuk aborsi atas indikasi medis. Walaupun demikian dalam prakteknya, dokter yang melakukan abortus tidak dihukum jika dapat memberikan alasan yang dapat diterima hakim. Dasar hukum yang digunakan adalah pasal 48 KUHP yang dinyatakan sebagai berikut “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana.” Dengan tidak dibenarkannya segala tindakan aborsi dalam KUHP, maka akibatnya tidak ada juga akses pelayanan kesehatan untuk aborsi. Hal ini menyebabkan ketika perempuan hendak melakukan aborsi, maka tindakan itu dilakukan secara diam-diam dan hal tersebut adalah hal yang beresiko tinggi terhadap kesehatan maupun nyawa seorang perempuan. Kekerasan terhadap perempuan menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan setiap tahunnya semakin meningkat. Kemudian perlakuan yang diberikan kepada korban juga masih diskriminatif dan belum cukup memberikan perlindungan kepada perempuan.Sebagai contoh yang terjadi pada kasus perkosaan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap anak tiri, keponakan dan anak kandungnya sendiri yang dilakukan berulang sejak korban masih kecil. Aborsi telah dilakukan anak tiri dan keponakannya masing-masing sebanyak dua kali. Jika hal ini kemudian dipidana, maka akan sangat tidak adil bagi korban yang sudah mengalami penderitaan bertahun-tahun. Selain itu aborsi dilakukan secara diam-diam yang kemungkinan besar merupakan aborsi yang tidak aman yang dapat mempunyai resiko besar terhadap kesehatan korban dan juga nyawanya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah peninggalan dari masa kolonial Belanda. Pada saat itu ideologi yang mendominasi adalah ideologi patriarki dengan pola pikir patriarki, yang mengasumsikan sudut pandang laki-laki yang menjadi korban dan tidak mewakili cara berpikir perempuan yang juga dapat menjadi korban kekerasan dengan alasan dan dampak yang berbeda. Dalam perkembangannya muncullah isu feminis yang selanjutnya melahirkan Teori Hukum Feminis. Patricia Cain menyatakan pengkajian hukum secara feminis bukan sebagai teori feminis kecuali didasarkan pada pengalaman perempuan. 9 Penekanan pada pengalaman perempuan perlu untuk mengidentifikasi eksklusivitas hukum khususnya penderitaan-penderitaan (perempuan) yang tidak dikenali (dipahami dan direfleksikan) oleh peraturan perundangan atau terminimalisir, karena pengalaman perempuan tidak secara cukup terekspresikan dalam hukum.10Hal ini perlu menjadi penekanan karena sulit untuk diabaikan bahwa dalam kenyataannya populasi perempuan adalah lebih dari separuh populasi masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, dunia tidak pernah menyadari bahwa sistem hukum memang berkelamin laki-laki, walaupun kesadaran itu bisa muncul bila orang bergerak dalam ranah sosiologi hukum. Sebaliknya studi hukum posivistik, dogmatis, dan analistis justru tidak mampu membawa manusia ke kesadaran seperti itu. 11 Dalam pelaksanaan tindakan aborsi, perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan dan sekaligus juga menjadi korban utama. Contohnya pada kasus aborsi dilakukan oleh Miranti Tri Dianningsih Binti Suhendri, 18 tahun yang hamil karena berhubungan intim dengan Deni yang tidak lain adalah iparnya (suami dari kakaknya). Pelaku dengan putusan Nomor 118/Pid.Sus/2014/PN.KNG dikenai pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Sanksi ini diberikan karena pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah telah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan aborsi Ketika Ahli pernah melakukan pemeriksaan terhadap pelaku sekitar akhir bulan Mei atau awal Juni 2014, pelaku didiagnosa mengalami aborsi incomplete, mengalami pendarahan dan sudah mulai lemas. Aaat Ahli melakukan pemeriksaan, pada rahim pelaku masih ada sisa dari konsepsi yang tertinggal berupa jaringan pesudial (sisa kandungan) yang bentuknya sudah tidak teratur. Hal ini menyebabkan pelaku mengalami pendarahan juga demam, lalu Ahli melakukan tindakan kuret untuk membersihkan rahim pelaku untuk kepentingan kesehatan pelaku.12 Pada kasus ini terlihat bahwa jika suatu tindakan aborsi dilakukan kemudian diketahui orang lain, yang umumnya diseret ke pengadilan adalah perempuan yang melakukan aborsi. Padahal peran masyarakat sekitarnya mempengaruhi perempuan tersebut untuk melakukan aborsi. Dengan adanya dua keterangan yang berbeda antara pelaku dan Deni tentang terjadinya hubungan intim, seharusnya hakim mempertimbangkan kemungkinan terjadi subordinasi pelaku terhadap korban sehingga korban tidak melawan ketika perbuatan itu dilakukan,sehingga 9 Niken Savitri, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika Aditama,Bandung, 2008, hlm 29 dikutipdan Martha Chamallas, Introduction to Feminist Legal Theory, second edition, Aspen Publisher, 2003 10 Ibid 11 Ibid, hlm 8 12 Putusan Mahkamah Agung, Op. Cit meyebabkan tidak adanya bukti kekerasan. Pada kenyataannya dalam banyak kasus, tidak adanya bukti kekerasan sering membuat kasus perkosaan tidak dapat dibuktikan. Deklarasi Penghapusan Kekerasan tahun 1995 telah memperluas pengertian jenis kekerasan, tidak hanya mencakup kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis dan seksual. Dalam KUHP belum ada pasal yang mengatur tentang kekerasan psikis dan seksual. Kekerasan terhadap perempuan diatur pada Bab XIV yang mengatur tentang kejahatan kesusilaan, padahal kejahatan pada kesusilaan lebih menitikberatkan kejahatan tersebut dilakukan di daerah publik, sehingga jika terjadi di daerah domestik pelaku tidak tersentuh oleh KUHP. Akibatnya banyak perkara perkosaan putusannya menjadi kasus pelecehan seksual dan hukuman yang diberikan relatif ringan dibandingkan dampak yang dihasilkan dari tindakan perkosaan atau karena tidak dapat dibuktikan pelaku bebas dari hukuman. Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan mencatat bahwa kejahatan terhadap perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun, utamanya kekerasan yang berkaitan dengan hak reproduksi seksual perempuan. Data tersebut mereflesikan bahwa KUHP belum dapat memenuhi rasa keadilan perempuan korban kekerasan seperti yang diharapkan, atau KUHP belum menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan. 2). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Sebelum pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, telah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 ini perlu penulis uraikan sebab di dalamnya terdapat pasal yang mengatur tentang aborsi.Di dalamnya diatur tentang kesehatan keluarga, yang diantaranya mengatur tentang kesehatan istri. Pasal 14 menyatakan bahwa kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan. Undang-undang ini ditafsirkan memperbolehkan aborsi dengan indikasi medis yang dinyatakan pada pasal 15. Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan tertentu. Dengan demikian pasal ini sebenarnya tidak secara jelas menyatakan tentang pengaturan aborsi.Pasal ini hanya menyatakan bahwa sebagai upaya penyelamatan ibu, dapat diambil tindakan medis tertentu, namun tidak dijelaskan hal yang dimaksud sebagai tindakan medis tertentu dan yang dikategorikan darurat. Bila dihubungkan dengan kata keselamatan ibu dan janin, maka secara umum tafsiran yang berkembang yang dimaksud adalah aborsi. Bila hal itu dianggap aborsi, maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara medis aborsi didefinisikan sebagai pengeluaran hasil pembuahan (kehamilan) dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Berdasarkan definisi tersebut, jika terjadi tindakan pengeluaran janin dari rahim, maka janin tersebut akan mati. Padahal pada Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat diadakan tindakan medis tertentu. Konsekuensinya, bila ibu dan janinnya dapat diselamatkan, berarti tidak terjadi aborsi. Demikian pula jika akhirnya yang selamat janinnya, juga tidak terjadi aborsi. Pasal 15 menyatakan bahwa tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan ibu. Bertentangan dengan pengertian ini, padabagian penjelasandinyatakan setiap tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang. Dengan adanya pelarangan tersebut, maka harapan perempuan yang ingin memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi seperti menghentikan kehamilan dengan cara yang aman menjadi hilang. Pengaturan yang tidak konsisten pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 memicu keinginan dan dorongan bagi pemerintah dan legislatif untuk mengubah undang-undang ini. Kemudian pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 sebagai pengganti dari undang-undang ini. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, pengaturan masalah aborsilebih tegasdibandingkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang di dalamnya diinyatakan bahwa : a. aborsi adalah tindakan yang dilarang. b. untuk kondisi medis tertentu dan pada kehamilan korban perkosaan hal itu diperbolehkan untuk dilakukan. Sejumlah penelitian menunjukkan beberapa alasan perempuan melakukan aborsi. Pertama, karena alasan kesehatan/fisik; kedua alasan psikososial seperti hamil di luar nikah, kegagalan kontrasepsi, anak sudah banyak, jarak anak terlalu dekat, ibu terlalu tua; ketiga, kehamilan tak diinginkan seperti karena perkosaaan, incest.13 Dari ketiga hal tersebut, alasan psikososial adalah yang tertinggi menjadi sebab perempuan melakukan aborsi. Walaupun menjadi penyebab aborsi yang tertinggi, alasan psikososial tidak diterima untuk dimasukkan ke dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009. Dari semua sebab perempuan melakukan aborsi di atas, yang akhirnya diterima untuk dilegalkan dan dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan adalah aborsi pada kehamilan akibat perkosaan. Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan ini untuk hadir melindungi hak kesehatan reproduksi bagi kaum perempuan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini, baik tenaga medis yang melakukan aborsi ataupun si ibu memperoleh perlindungan ketika melakukan tindakan tersebut. 3). Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tidak langsung dapat dijalankan karena belum mempunyai peraturan pelaksanaan. Setelah diundangkan, undangundang ini belum dapat dilaksanakan karena memerlukan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksananya. Dengan memperoleh masukan dari berbagai pihak terutama dari pihak pemerhati kesehatan reproduksi dan pihak ulama, untuk menghasilkan peraturan pemerintah tersebut, akhirnya setelah 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 diundangkan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. 13 Yayasan Kesehatan Perempuan, Op. Cit. Peraturan pemerintah tentang kesehatan reproduksi ini merinci tanggung jawab dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melakukan aksi pencegahan kematian ibu melahirkan dengan memberikan layanan bermutu, aman dan dapat dipertanggungjawabkan semasa hamil, melahirkan dan pasca kehamilan, termasuk pendidikan reproduksi bagi remaja. Pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, diatur tentang legalisasi aborsi. Sebagai aturan pelaksananya secara khusus diatur pada Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang menyatakan : Pasal 31 : Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan : a. indikasi kedaruratan medis b. kehamilan akibat perkosaan c. Pengaturan Tentang Pelaksanaan Aborsi Negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, tetapi kenyataannya, tindakan aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan. Kemudian dengan semakin diperhatikannya hak-hak perempuan, maka negara mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan tindakan aborsi untuk kehamilan pada perempuan korban perkosaan. 1). Aborsi Tidak Aman (unsafe abortion) Aborsi yang dilakukan dengan diam-diam untuk menghindari sanksi pidana kemungkinan besar adalah aborsi tidak aman. Aborsi tidak aman (unsafe abortion) adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, memakai metode dan peralatan yang tidak tepat dan tidak steril, dilakukan di tempat yang yang tidak terjamin secara higyenis, serta dilakukan tanpa konseling untuk menimbang keamanan pisik dan psikisnya.14 2). Aborsi Aman (safe abortion) Tindakan aborsi diperbolehkan untuk dilakukan jika sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah.Bagi kehamilan perempuan akibat korban perkosaan pengaturannya diatur mulai dari Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Ketentuan pada peraturan pemerintah ini juga menjamin perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi atas aborsi yang aman. Aborsi yang aman (safe abortion) diatur di dalam pasal 35. Selanjutnya Pasal 36 mengatur tentang syarat tenaga medis yang diperbolehkan melakukan tindakan aborsi, pasal 37 mengatur bahwa untuk suatu tindakan aborsi harus disertai konseling sebelum dan sesudah aborsi. Konseling sebelum aborsi diperlukan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan aborsi dan mengetahui kesiapan perempuan yang akan melakukan aborsi. Konseling setelah aborsi diperlukan untuk membantu mengevaluasi kondisi perempuan setelah tindakan aborsi, membantu perempuan tersebut untuk 14 Yayasan Kesehatan Perempuan, Aborsi : Apa dan Mengapa, Lembar Fakta, Seri 2011, Nomor 1 memahami kondisi fisiknya sekarang serta jika memang diperlukan dilakukan pemeriksaan dan konseling lanjutan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 ini maka buka juga akses bagi perempuan dengan kehamilan akibat perkosaan untuk untuk memperoleh konseling. Pada konseling pra tindakan, perempuan yang ingin melakukan aborsi diberi kesempatan untuk memilih sendiri apakah ingin melakukan aborsi atau meneruskan kehamilannya. Pemerintah mengatur pemberian pendampingan kepada korban perkosaan selama kehamilan bagi perempuan yang membatalkan keinginannya untuk melakukan aborsi. Pemerintah juga membuka kemungkinan untuk mengasuh anak tersebut jika ibu atau keluarganya menolak untuk mengasuh, yang akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Untuk menghindari penyalahgunaan aturan tersebut, pelaksanaan legalisasi aborsi juga akan dipantau oleh pemerintah dengan mewajibkan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota untuk memberikan laporan setiap pelaksanaan aborsi. Aturan mengenai pengecualian atas larangan aborsi dalam kasus perkosaan adalah terobosan penting dalam memberikan jaminan perlindungan hukum bagi korban perkosaan. Terobosan lain aturan ini adalah penegasan tanggungjawab negara memberikan dukungan bagi pemulihan korban perkosaan. d. Pelaksanaan Peraturan Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang merupakan peraturan pelaksana dari UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang isinya antara lain memberikan legalisasi terhadap pelaksanaan aborsi ini ada hal yang perlu diperhatikan. 1). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak membenarkan dilakukannya aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juga melarang dilakukannya aborsi namun memberikan pengecualian pada keadaaan darurat medis dan kehamilan korban perkosaan. Namun kedua undang-undang ini tidak bertentangan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pada pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa aborsi adalah tindakan yang dilarang. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa diberikan pengecualian untuk indikasi darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan. Hal ini berarti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 sejalan dengan KUHP, pemberian pengecualian adalah untuk memenuhi rasa keadilan kepada perempuan yang mengalami darurat medis yang dapat mengancam nyawanya serta kepada perempuan korban perkosaan yang mengalami beban yang berat sebagai dampak kejahatan seksual atas dirinya. Menurut Mardjono, tujuan tujuan sistem hukum pidana pidana adalah : a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya15 Jika hanya merujuk pada ketentuan KUHP, maka perempuan korban perkosaan belum memperoleh kepuasan dan keadilan belum ditegakkan, karena sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tidak mengurangi penderitaan korban. Untuk itu pengecualian diperlukan untuk membuka akses bagi perempuan yang telah mengalami kejahatan perkosaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pemulihan. Karena itu, Undang-Undang Kesehatan tidak bertentangan dengan KUHP dan legalisasi aborsi kepada perempuan yang mengalami kehamilan dengan indikasi darurat medis dan perempuan korban perkosaan adalah upaya untuk menegakkan keadilan di masyarakat. 2). Sosialisasi Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan di Masyarakat Pemerintah melalui Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, dalam pelaksanaan aborsi karena korban perkosaan harus melalui beberapa tahap yaitu : kehamilan <40 hari setelah haid terakhir, berdasarkan surat pernyataan kepolisian, mendapatkan konseling dari psikolog dan pemuka agama serta lembaga terkait. Kehamilan akibat pemerkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya pemerkosaan. Ketika peraturan ini dikeluarkan, terjadi reaksi di masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra.Indonesia adalah negara dimana agama memiliki pengaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat, maka perlu dipertimbangkan pendapat para ulama. Menurut Majelis Ulama Indonesia perkosaan dan incest bisa menjadi salah satu alasan untuk membolehkan aborsi. Pemuka agama Kristen mengeluarkan pernyataan yang menolak aborsi, karena menganggap bahwa setiap kehidupan yang terjadi adalah atas kehendak Pencipta. Ulama Islam diwakili Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkanFatwa MUI No. 4 Tahun 2005 yang didasari kekhawatiran terhadap masa depan anak korban perkosaan.16 Nahdatul Ulama juga menyusul mengeluarkan fatwa yang isinya, aborsi diperbolehkan dalam situasi daruratdan janin dalam kandungan diperbolehkan digugurkan jika janin itu merupakan hasil pemerkosaan. NU membolehkan aborsi dengan catatan usia janin itu dibawah 40 hari terhitung sejak terjadi pembuahan. Bagi sebagian besar umat muslim Indonesia, fatwa MUI masih memiliki kekuatan hukum. Pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa usia janin yang diperbolehkan untuk diaborsi adalah dibawah 40 hari merujuk pada fatwa MUI. Dari pihak Ikatan Dokter Indonesia sendiri sebagian ada yang kontra karena menganggap bertentangan dengan kode etik kedokteran yaitu pasal 10 Kode Etik Kedokteran “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidu mahluk insani”. Ada juga kekhawatiran bahwa nantinya dokter 15 Niken Savitri, Op. Cit., hlm 94, dikutip dan Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm 84 16 Rahmi Yuningsih, Legalisasi Abosi Korban Pemerkosaan diakses di http://berkas.dpr.go.idpada 5 Januari 2014 yang akan dipersalahkan jika melakukan pengguguran. Sebaliknya bagi yang setuju, karena memandang dari aspek kemanusiaan. Dari pihak pemerhati hak asasi anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa KPAI secara garis besar tidak menentang PP ini, tapi menuntut agar PP ini seimbang, baik hak ibu maupun hak anak (dalam hal ini masih berbentuk janin). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan peraturan pemerintah ini : a). Masih sempitnya pengertian KUHP tentang pengertian perkosaan dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan proses hukumnya. b). Belum adanya peraturan pelaksana yang mengatur teknis pelaksanaan peraturan pemerintah ini sehingga masih rawan untuk diselewengkan. c). Waktu Aborsi yang diperbolehkan adalah jika usia janin di bawah 40 hari. Hal yang sering terjadi adalah korban tidak segera melapor kepada pihak yang berwajib. Jika korban terlambat melapor, maka dikhawatirkan proses pembuktiannya usia janin akan melebihi 40 hari. Hal ini yang menjadi perhatian dari kepolisian melalui Kapolri, yaitu permasalahan jangka waktu bisa dilakukannya aborsi, yaitu minimal 40 hari, sedangkan ada kemungkinan proses penyidikan cukup sulit.17 2. Relevansi Legalisasi Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan dengan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memberikan kontribusi yang besar dalam sejarah eksistensi umat manusia. Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan mengakui dan menghormati hak asasi perempuan. Hal ini perlu dipahami agar dapat memberikan posisi yang bermartabat bagi perempuan sebagai manusia. a. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Perempuan dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinyakarena berdasarkan kajian dan pengaturan dalam beberapa konvensi internasional, perempuan dimasukkan dalam kelompok vulnerable (kelompok rentan), bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, kelompok pengungsi dan kelompok rentan lainnya. Kelompok rentan adalah kelompok yang lemah,tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko dan sangat rentan terhadap bahaya.Bahaya tersebut berasal dari kelompok lain, salah satunya dapat datang dari kelompok laki-laki yang dalam berbagai hal dianggap masyarakat sebagai kelompok yang lebih kuat dan karenanya memiliki kekuasaan lebih atas kelompok perempuan. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit. Ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar dari kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam hal ini relasi itu adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan semakin 17 Aliansi Remaja Independen, Sosialisasi PP No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, diakses di http://aliansiremajaindependen.org pada tanggal 13 Nopember 2014 diperparah bila pelaku memiliki kendali atas korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, ekonomi maupun status sosial. Termasuk pula kendali dalam bentuk hubungan seperti orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakatwarga, kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipill. Dalam KUHP kekerasan seksual termasuk di dalamnya perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual ataupun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.18 Dampak yang dialami seorang perempuan korban perkosaan sangat besar, terhadap fisik, psikis maupun sosial. Pada umumnya korban perkosaan mengalami trauma dan hal tersebut bukan hal yang mudah diatasi. Beban tersebut akan bertambah berat, jika perempuan korban perkosaan tersebut mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini juga menjadi alasan yang mendorong seorang perempuan korban perkosaan mengambil keputusan untuk menghentikan kehamilannya dengan melakukan tindakan aborsi. Pada kenyataannya, perempuan yang melakukan aborsi adalah pihak yang paling dirugikan. Korban perkosaan mengalami penderitaan baik fisik maupun mental. Korban seringkali mengalami trauma, dan pada sebagian korban yang tidak mampu bangkit secara emosional, bahkan dapat mengakhiri hidupnya. Beratnya beban psikologis korban perkosaan dapat dibaca pada contoh kasus seorang perempuan, sebut saja Y korban perkosaan berkelompok (gang rape) pada hari Kamis, 1 Mei 2014 dinihari di Gampong, Langsa, Aceh. Perkosaan dilakukan oleh 8 orang, yang merupakan bagian dari aksi main hakim sendiri terhadap korban yang digerebek karena dituduh melanggar peraturan yang melarang perempuan berduaan dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan perkawinan dengannyawalaupun belum diperiksa apakah tuduhan itu benar atau tidak. Walaupun mengalami perkosaan, Y tetap dikriminalisasi atas pelanggaran peraturan daerah oleh para pemerkosanya itu. Y dihukum cambuk, namun hukuman ini belum dilaksanakan karena Y ternyata berada dalam kondisi hamil. Kasus ini adalah salah satu contoh kejadianyang harus dialami seorang perempuan korban perkosaan. Dalam banyak kasus juga disertai penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat korban. Dampaknya sangat berpengaruh besar pada korban secara fisik, psikis maupun sosial. Pada korban perkosaan, reaksi yang umum terjadi adalah19 : 18 Komnas Perempuan, Loc. Cit M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 66 19 1) Timbul rasa takut dan cemas yang menetap pada korban. 2) Depresi. 3) Korban mengalami gangguan pada penyesuaian sosialnya. 4) Gangguan fungsi seksual 5) Keluhan pada fisik 6) Stres Paska Traumatik (Post-traumatic Stress Disorder). Pada kondisi terjadi pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Secara fisik, bisa terjadi perlukaan baik tubuh atau organ reproduksi, secara psikis korban perkosaan akan mengalami dampak psikologis yang berat, dan secara sosial korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan dan reaksi yang tidak mengenakkan dari masyarakat maupun keluarganya sendiri. Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan : “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berdasarkan gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi. Perkosaan menurut pasal 2 dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. Walaupun tidak sama dengan pemberlakuan hukum di Aceh, perlakuan terhadap korban perkosaan yang memakai KUHP sebagai landasan hukumnya juga tidak jauh berbeda. Hanya, hal itu terjadi di kantor polisi dan ruang pengadilan. Proses hukum yang dilakukan tidak berpihak pada korban. Korban harus menjelaskan berulangkali peristiwa traumatis yang dialaminya kepada aparat hukum. Demikian juga ketika di pengadilan dan korban harus bersaksi. Pertanyaan yang ditimbulkan bukan saja tidak netral tetapi mengandung “male sense” secara khusus, misalnya pembelaan pelaku bahwa korban (perempuan) menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut. Korban yang harus berusaha membuktikan bahwa terjadi pemerkosaan dan bukan pelaku yang berusaha membuktikan tidak melakukannya. Aparat hukum baik polisi hingga hakim juga sering tidak menunjukkan simpati kepada korban perkosaan sehingga korban perkosaan mengalami yang disebut secondary victimization. Terbukti dari ungkapan Lees yang menganggap sidang pemerkosaan sebagai suatu proses yang menghasilkan jenis kesesuaian tertentu, bahwa persidangan merupakan pemerkosaan kedua oleh peradilan dalam profesi hukum.20 Dalam penjatuhan sanksi pidana, seringkali hakim memberikan sanksi pidana yang terlalu ringan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana perkosaan atau justru membebaskan terdakwa dengan alasan tidak ada pembuktian. Seperti yang terjadi pada kasus tentang perkosaan terhadap perempuan di bawah umur (15 tahun) di desa Moti, Kecamatan Tobelo, Adrianus Meliala, Dukungan dan Pemulihan Bagi Korban Kejahatan Serta Praktik-Praktik Terbaik Perlakuan Untuk Korban, Disampaikan pada Rapat Koordinasi Para Pemangku Kepentingan 20 dalam Aktivitas Perlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Kejahatan pada Proses Peradilan Pidana dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dengan tema “Membangun Sinergitas Kewenangan, Kemampuan, dan Fasilitas dalam Aktivitas Layanan Perlindungan dan Bantuan Pemenuhan Hak-hak Korban Kejahatan” oleh LPSK di Jakarta 31 Oktober 2013 Kabupaten Maluku Utara. Pada awalnya jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan primai melanggar pasal 285 KUHP dan dakwaan subsidair melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP yaitu bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya sedang diketahui bahwa wanita itu belum cukup umur (15 tahun). Hakim menilai bahwa dakwaan jaksa atas pelanggaran Pasal 285 KUHP tidak terbukti, karena tidak adanya bukti kekerasan dan ancaman dalam perbuatan tersebut. Kemudian atas dakwaan terhadap pelanggaran Pasal 187 KUHP telah terbukti, dengan demikian terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan tersebut. Namun karena Pasal 287 ayat (2) KUHP mensyaratkan adanya “pengaduan” atas kasus tersebut, sementara itu ternyata yang ditemukan pada kasus ini hanyalah surat laporan dari kepala desa Moti kepada kepolisian setempat yang kemudian dibawa oleh ayah korban. Ternyata ayah korban adalah seorang yang buta huruf dan buta hukum, yang melaporkan perbuatan tersebut kepada kepala desa. Dengan dasar ini, hakim berpendapat bahwa meskipun dakwaan atas pasal 287 ayat (1) KUHP terpenuhi, tetapi karena tidak ada “pengaduan” yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan (ayah korban), maka dakwaan jaksa tidak dapat diterima dan hakim membebaskan terdakwa. Dalam putusan ini hakim hanya mendasarkan pada keterangan terdakwa dan tidak mempertimbangkan terjadinya subordinasi terdakwa terhadap korban, sehingga bukti kekerasan secara fisik tidak terlihat pada korban karena korban tidak melakukan perlawanan berarti. Putusan tersebut menunjukkan bahwa hakim lebih menekankan kepada adanya legalitas formal atau dokumen pengaduan daripada adanya perbuatan pidana persetubuhan dengan anak di bawah umur. Dalam hukum pidana, perlu untuk memandang dari sisi korban (viktimologi). J.E. Sahetapy menyatakan bahwa orientasi viktimologi adalah kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau di mana para anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti yang luas.21 Berdasarkan kerugian yang diderita korban, pemberian bantuan atau santunan kepada korban bukan saja menjadi kewajiban dari pelaku kejahatan itu, tetapi juga masyarakat umum dan negara. Terjadinya kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. 22 b. Hak Asasi Perempuan Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat, merupakan suatu kelompok yang wajib mendapatkan jaminan atas hak-haknya. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Setiap manusia berhak memiliki hak tersebut. Istilah Hak Asasi manusia itu sendiri berarti hak tersebut ditemukan dalam hakekat kemanusiaan dan demi kemanusiaan. Hak-hak itu mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat, dan merdeka dari segala bentuk penindasan.23 Hak asasi tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap individu dari suatu negara yang mengakui dan menghargai HAM itu sendiri. Negara juga harus menjamin setiap individu memiliki hak tersebut tanpa ada perkecualian. 21 J.E. Sahetapy, Op. Cit, hlm 26 J.E. Sahetapy, Op. Cit, hlm 37 23 Niken Savitri, Op. Cit, hlm 1 22 Secara khusus hak asasi perempuan dijamin dengan diratifikasinya Konvensi PBBmengenai Hak-Hak Politik Perempuan Tahun 1953 dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence Against Women/DEVAW) pada bulan Desember 1993, Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Confrence on Population and Depelopment/ICPD) di Kairo, Mesir tahun 1994. Di Indonesia, jaminan atas HAM secara umum dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28 A-J, terutama dalam Pasal 28I ayat (4) yang menegaskan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.Undang-Undang ini merupakan Pengesahan Konvensi Perempuan (Convention of The Elemination of All Forms of Discrimination Against Woman/CEDAW) yang dikeluarkan Majelis Umum PBB tanggal 18 Desember 1979. Konvensi ini merupakan langkah maju untuk memposisikan kaum perempuan dalam perlindungan dan pemenuhan HAM. PadaUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dinyatakan, negara seharusnya melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda dengan pria, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui; suatu proses yang sangat menentukan derajat kesehatan dirinya dan anak yang dikandungnya. Organ reproduksi perempuan harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan jati diri perempuan. Jika demikian, maka perlindungan terhadap perempuan juga bermakna perlindungan terhadap organ reproduksi dan proses reproduksivitas seorang perempuan.24 c. Hak Kesehatan Reproduksi Aborsi adalah perbuatan yang dilarang. Ini terlihat pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 75 yang melarang perbuatan aborsi. Namun undang-undang ini memperbolehkan aborsi untuk indikasi medis tertentu dan korban perkosaan. Hal yang mendasarinya adalah bahwa kehamilan akibat pemerkosaan menimbulkan penderitaan, memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.Trauma ini juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya. Para ahli yang melakukan penelitian mempunyai data tentang jumlah aborsi di Indonesia. Hull, Sarwono dan Widyantoro memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan, Saifuddinmemperkirakan sekitar 2,3 juta, sedangkan sebuah studi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka aborsi di 24Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hlm 245 Indonesia sebesar 2.000.000 per tahun.25 Data ini belum termasuk aborsi spontan yang terjadi. Dengan kenyataan seperti ini, maka perhatian dari pemerintah sangat dibutuhkan mengatasi hal tersebut, karena aborsi yang tidak aman menjadi salah satu penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi. Pada awal 2014, angka kematian ibu yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 359 per 100 ribu kelahiran, atau hampir dua kali lipat dari tahun 2007 sebesar 228 per 100 ribu kelahiran.26 Aborsi yang dilakukan secara diam-diam besar kemungkinan adalah aborsi yang tidak aman karena tidak dilakukan dengan orang, prosedur dan tempat yang tepat dan benar. Aborsi tidak aman adalah tindakan yang sangat beresiko terhadap kesehatan organ reproduksi perempuan dan dapat membahayakan nyawa perempuan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang melarang tindakan aborsi, mengakibatkan akses untuk pelayanan aborsi yang aman juga tidak tersedia. Hak perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan khususnya organ reproduksi juga tertutup. Di pihak lain, agar dapat menekan angka kematian ibu yang disebabkan aborsi, perlu akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan. Aborsi yang tidak aman memang memerlukan penanganan yang serius dari semua pihak, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Secara moral negara akan dianggap tidak bertanggung jawab bila hal itu dibiarkan berlangsung terus dan membiarkan perempuan mati karena tindakan aborsi. Apalagi mengacu pada Program Aksi ICPD 1994 yang merupakan kesepakatan internasional di mana Indonesia turut menanda-tanganinya, fakta banyaknya aborsi tidak aman di atas merupakan pelanggaran atas dua hak asasi manusia yaitu : 1) hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya menghadapi risiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian akibat tindakan aborsi tidak aman; dan 2)hak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas standar, termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi yang terkait, tanpa diskriminasi apa pun. Kesehatan Reproduksi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 pasal 1 angka 2 adalahkeadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun kondisi atau akibatnya, setiap perempuan sebagai warganegara memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan merupakan kewajiban suatu negara untuk menyediakan hal itu.Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan). Sesuai dengan rekomendasi nomor 24 tentang Kesehatan Perempuan pada Deklarasi Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan bahwa Negara harus menjamin hak perempuan dalam memperoleh pelayanan kesehatan 25 26 Zumratin K Susilo dan Herna Lestari,Op. Cit. Policy Preview, Prakarsa, Op. Cit. reproduksi.27 Pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 49 ayat (3) dinyatakan : “Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dalam kaitan dengan hukum, perlindungan dapat diartikan sebagai suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum. yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. d. Relevansi Legalisasi Aborsi pada Korban Perkosaan dengan Hak Kesehatan Reproduks Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan dilegalkan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan dengan cara menyediakan akses layanan kesehatan reproduksi. Dengan demikian perempuan yang telah mengalami kekerasan, tidak menjadi korban ganda (double/multiple victimization). Arif Gosita menyatakan korban perkosaan yang hamil sebagai korban ganda (double/multiple victimization), yaitu korban yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial. Saparinah Sadli mengungkapkan bahwa korban perkosaan sangat membutuhkan pertolongan karena mengalami penderitaan fisik dan psikis yang luar biasa dan yang terjadi menyangkut hari depan generasi berikutnya. Karena itu mereka berhak memilih untuk meneruskan atau menghentikan bila terjadi kehamilan.28 Pada KUHP, yang menjadi fokus adalah kepada pelaku kejahatan. Sanksi pidana akan dikenakan kepada pelaku kekerasan kepada perempuan jika dapat kejahatan itu dapat dibuktikan di pengadilan. Tetapi sanksi yang dikenakan kepada pelaku tidak memberi keadilan kepada korban perkosaan. Karena itu pemerintah perlu hadir untuk memberikan hak tersebut kepada perempuan korban kekerasan khususnya dalam hal ini korban perkosaan. Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pelaku tindak pidana (offenders) dan korban kejahatan (victims). Kedua pihak harusnya memperoleh perhatian yang seimbang, sehingga proses penyelesaian perkara pidana tidak ada pihak yang dirugikan baik dari sudut penegakan hukum pidana mapun dalam penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Penegakan hukum yang tidak seimbang akan mengakibatkan kejahatan semakin meningkat. Indikasi ini terlihat dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 ada 4.336 kasus kekerasan seksual dari total 211.822 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di ranah publik, dengan 2.920 kasus. Sebanyak 1.416 kasus kasus kekerasan seksual Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia, Op. Cit., hal 121 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Op.Cit., hlm 81 27Pusat 28 terjadi di ranah personal. Bentuk kekerasan seksual paling banyak terjadi adalah pencabulan dan perkosaan 1620 kasus ( > 50% ).29 Perlindungan korban merupakan suatu masalah yang mendapat perhatian dari dunia Internasional. Dalam Kongres PBB ke VII tahun 1985 di Milan tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dikemukakan bahwa hak-hak korban seharusnya dilihat sebagai bagian yang integral dari keseluruhan hukum pidana. Pertemuan ini menghasilkan rancangan resolusi yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB Nomor 40/34 tanggal 29 Nopember 1985 tentangDeclaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse Of Power. Dalam resolusi ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengertian korban ini termasuk juga orangorang yang menjadi korban dari perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional.30Pengertian kerugian dalam resolusi tersebut meliputi kerugian fisik maupun mental, emosional, kerugian ekonomi atau perusakan hak-hak asasi korban. Legalisasi aborsi untuk perempuan korban perkosaan merupakan upaya pemerintah untuk tidak melakukan pembiaran terhadap belum terpenuhinya rasa keadilan terhadap perempuan korban perkosaan. Bila negara tidak berbuat, maka negara melakukan pembiaran terhadap tidak terpenuhinya hak asasi perempuan, Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, hak asasi perempuan adalah hak yang melekat pada dirinya, termasuk organ reproduksi. Jadi menjamin hak kesehatan reproduksi perempuan adalah wujud perlindungan terhadap hak asasi perempuan. 29 Komnas Perempuan, Peluncuran Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25 Nopember-10 Desember 2013), Lembar Fakta, 2013 30 Tri Wahyu Widiastuti, Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap Korban Perkosaan, Thesis, 2008, hlm. 14, dikutip dan Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 54. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari uraian di atas adalah sebagai berikut : a. Legalisasi aborsi bagi perempuan korban perkosaan diberikan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi yang merupakan upaya pemerintah untuk memberikan akses pelayanan kesehatan reproduksi kepada perempuan. Undang-Undang ini memberikan jaminan perlindungan hukum bagi korban perkosaan dan penegasan tanggungjawab negara dalam memberikan dukungan bagi pemulihan korban perkosaan. b.Perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda dengan pria, yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Organ reproduksi perempuan harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan jati diri perempuan.Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak lahir.Legalisasi aborsi bagi korban perkosaan merupakan perlindungan terhadap hak asasi perempuan atas kesehatan reproduksi. 2. Saran a. Pemerintah harus segera membuat aturan pelaksana teknis, sehingga Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dapat berjalan efektif mengingat pentingnya penanganan atas kesehatan reproduksi perempuan. Peraturan teknis itu dapat berupa prosedur standar operasional baku yang harus dijalankan ketika menghadapi korban perkosaan yang meminta layanan kesehatan reproduksi penghentian kehamilan (aborsi). Hal ini diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan peraturan legalisasi aborsi. b. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada semua perempuan agar sadar akan haknya atas kesehatan reproduksi serta mengetahui tersedianya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, secara khusus bagi korban perkosaan dapat memperoleh bantuan atas pemulihan dan penghentian kehamilan yang aman. DAFTAR PUSTAKA Buku Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2011, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung C.B. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,2002, PT. Grasindo, Jakarta Peter MahmudMarzuki, 2014, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, 2010, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika Aditama,Bandung Sahetapy, J.E., 1987, Viktimologi : Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta Pusat Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia, 2007, Hak azasi perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia Yayasan Kesehatan Perempuan, Seri 2011, Aborsi : Apa dan Mengapa, Lembar Fakta, No.1 Peraturan Perundang-Undangan ________, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 ________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ________, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ________, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ________, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Makalah Aliansi Remaja Independen, 2014, Sosialisasi PP No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Laporan Diah Irawati, 2009, Kematian Ibu dan Anak dan Beberapa Persoalan Mendasar Kesehatan
dan Hak Reproduksi, Naskah, Komnas Perempuan Guttmacher Institute, Seri 2008, Aborsi di Indonesia, Buletin, No.2 Komnas Perempuan, 2013,Kekerasan Seksual Kenali dan Tangani, Naskah Komnas Perempuan, 2013, Pernyataan Sikap terkait Proses Hukum terhadap Korban Perkosaan yang Dituduh Melakukan Pelanggaran Aturan Daerah (Qanun) tentang Khalwat di Aceh, Naskah Prakarsa Policy Preview, Oktober 2014, Angka Kematian Ibu (AKI) Melonjak, Indonesia Mundur 15 Tahun, Buletin 05 Zumratin, Herna Lestari dan K Susilo, 6 Oktober 2002, Aborsi : Fakta, Kebutuhan dan Tantangan Serta Pengaruhnya dalam Profil Kesehatan Perempuan, disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Nomor 19/Pid.Sus/2013/PN.Cbn. Putusan Pengadilan Nomor 118/Pid.Sus/2014/PN.Kng. Kamus Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ketujuh, Edisi IV Media Tempo, Nopember2014, NU Halalkan Aborsi Janin Hasil Perkosaan