ARTI NILAI DALAM SENI Hamdan Akromullah Dosen Prodi Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Padangpanjang Jln. Bahder Johan, Padangpanjang, Sumatera Barat [email protected] Abstrak: Nilai merupakan suatu topik yang tidak habis-habisnya dan selalu relevan untuk diperbincangkan. Begitu juga halnya kaitan nilai dengan seni. Dilihat dalam perjalanan sejarah filsafat, sudah banyak sumbangan pemikiran para filsuf yang berkaitan dengan nilai, dan ini juga menandakan bahwa nilai adalah topik yang tidak pernah-pernah habisnya untuk diperbincangkan. Adanya jurang pemisah antara subjek di satu sisi dengan objek di sisi yang lain merupakan titik awal bagi munculnya perdebatan yang berkaitan dengan nilai. Subjektivisme sebagai aliran yang mewakili subjek sebagai titik tolak dalam nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada dalam real objektif, melainkan merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan. Di lain pihak objektivisme, sebagai aliran yang mendukung objek sebagai titik tolak dalam nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai, kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitaskualitas, atau hubungan nyata dalam bentuk yang sama sebagaimana dapat ditemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubunganhubungan. Selanjutnya pendukung teori objektivisme juga menegaskan bahwa nilai-nilai adalah objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Kata kunci: Nilai, aksiologi, subjektivisme, dan objektivisme. didiskusikan. I. PENDAHULUAN Membaca judul tulisan ini spontan menimbulkan tanda tanya, apakah membincangkan nilai dalam seni merupakan suatau persoalan yang masih relevan membicarakan Karena memang persoalan nilai merupakan suatu persoalan yang relatif sudah lama menjadi topik pembicaraan dalam kajian filsafat. untuk 15 Memasuki abad pertengahan pada periode perkembangan sejarah idamkan manusia modern di awal pertumbuhannya, zaman Renaisans. Filsafat Barat persoalan nilai mulai memasuki fase dimana agama Kondisi yang demikian membawa manusia kembali kepada memegang peranan penting dalam makhluk menentukan kemampuan rasionya, manusia ingin apakah nilai itu subjektif atau objektif. Selepas abad berdiri pertengahan, sehingga memasuki periode otonom, di yang atas setiap dengan kemandiriannya, persoalan pada modern, agama mulai kehilangan dasarnya dapat diselesaikan oleh wibawanya mengawal manusia, termasuk persoalan nilai. pemikiran yang berkembang pada Nilai yang pada zaman pertengahan awal periode ini, terutama di tangan merupakan dalam Humanisme dan Sekularisme, yang agama, proses deduksi mulai dari diinduksikan, merupakan diantara gerakan yang sedemikian mempelopori lahirnya Renaisans. pandangan relativitas terhadap nilai rupa sehingga yang mulai hangat kembali dibicarakan merupakan suatu gerakan yang ingin dalam kajian filsafat. Yaitu apakah mengembalikan kejayaan ada nilai objektif dalam nilai, Yunani dimana Adalah Renaisans, Kuno, zaman manusia ataukah nilai hanya merupakan memegang peranan penting dalam persoalan subjektif pada masing- menentukan produk pemikiran yang masing akan dihasilkan. Sehingga pada subjektivitas dan objektivitas nilai zaman Yunani Kuno ini, manusia kedua-duanya masih membukakan dengan otonominya ingin terlepas diri dari autoritas agama, yang pada saat perdebatan dalam dunia akademis. itu masih penuh dengan mitos- Siapakah yang lebih atau paling mitos. Dengan kekuatan rasio yang dominan dalam menentukan bernilai dimiliki atau manusia merobohkan semua berusaha mitos yang individu. untuk tidak Siapakah dijadikan bernilainya yang paling Persoalan wacana sesuatu? berhak diyakini pada saat ini. Kondisi inilah mengatakan bahwa ini adalah indah agaknya sementara yang lain tidak? Siapakah yang sangat diidam- 16 untuk Parmenides). Menengahi dua kubu mengatakan ini baik dan itu buruk, di atas, Plato mengatakan bahwa, subjekkah atau objekkah? tanpa bermaksud menegasi salah yang memegang kuasa satu di antara kedua, “ada” yang II. PEMBAHASAN serba berubah diperoleh melalui A. Perdebatan yang Tidak Berkesudahan Dalam filsafat proses pengamatan, sementara yang tidak berubah dikenal melalui akal. sejarah persoalan pemikiran adalah yang tidak berubah yang kekal itu persoalan yang relatif sudah lama adalah ide. Bagi Plato ide bukanlah dibicarakan. Berawal dari Plato gagasan yang hanya terdapat di dengan idealismenya dalam pikiran saja, yang berifat ide subjektif. Ide juga bukan merupakan pemikiran menyatakan bahwa nilai Oleh karena itu bagi Plato “ada” adalah sesuatu yang ada secara objektif. gagasan Kemunculan ide-ide itu adanya karena ide bersifat objektif, berdiri dengan sendirinya tanpa tergantung sendiri, lepas dari subjek yang kepada objek yang berada di luar berpikir dan tidak tergantung kepada dirinya sendiri, baik itu melalui pemikiran proses pemikiran, interaksi subjek rupa pemikiran Plato tentang ide, dengan objek melalui pencerapan sehingga Plato membagi Dunia inderawi. Ide itu adalah sesuatu (Dunia digunakan huruf kapital, yang tetap, dan tidak berubah. untuk membuat jelas, bahwa istilah Berbeda dengan “ada” yang ada di Dunia sedang digunakan dalam dunia ini, yang selalui berubah-ubah pengertian (seperti macam: pertama Dunia jasmani, pada Herakleitos) dan mengalami kebinasan. yang dibuat manusia. Plato) manusia, Sedemikian kepada dua yaitu dunia yang serba berubah, dan Selain bahwa ada sesuatu serba plural, tidak yang berubah-ubah dalam “ada” merupakan yang ada di dunia ini, ada dipahami inderawi, karena hanya terbuka bagi sebagai sesuatu yang tidak dapat pengamatan inderawi. Kedua adalah berubah-ubah Dunia (seperti pada ide, proses sempurna, yang pengamatan kekal, tidak 17 mengalami perubahan, tunggal, dan memperkuat kelekatan emosional tidak manusia mengalami perubahan, kepada kefanaan, kenisbian. Dunia ide hanya terbuka karenanya bagi mencapai realitas hidup yang abadi dunia rasional (Harun non-inderawi, Hadiwijono, 1995: 39-41). Hubungan Dunia ini merupakan bagai antara adalah, model berbagai kedua bahwa ide (paradeigma) benda Benda-benda konkret menghalangi dan konkret. merupakan manusia sedemikian rupa sehingga seni dianggap sebagai ancaman bagi jiwa, dan doktrin Plato ini juga dijadikan alasan bagi mereka yang ingin mengontrol dan, bahkan, melarang seni. yang Berbeda dengan pandangan menyerupai model tersebut. Kalau gurunya, Plato, Aristoteles yang partisipasi (methexis) benda-benda menjadi murid Plato kurang lebih konkret itu pada ide-ide semakin selama 20 tahun, berusaha membuat besar atau kalau mereka semakin antitesis terhadap pemikiran idealis meniru dan semakin meyerupai ide- Plato. Bagi Aristoteles, ide-ide, ala ide, semakin indah dan semakin Plato, baiklah benda-benda itu. Dengan membantu manusia, baik untuk demikian maka menurut Plato, ide- mengenali ide adalah ukuran untuk segala- untuk galanya (Simon Petrus L.Tjahjadi, Karena ide-ide, tidak terdapat dalam 2008: 50-51). Hubungan antara dua benda-benda (berpartisipasi menurut Dunia inilah yang menjadi salah Plato), maka menurut Aristoteles satu Plato hakikat suatu benda itu berada seni dalam benda itu sendiri, bukan pada gambaran tidak sempurna alasan memusuhi mengapa seni. Karya merupakan penipuan ganda, sebab hal-hal yang sebenarnya sama benda-benda memahami yang sekali maupun “ada”. ide, seperti pada Plato. karya seni merupakan tiruan palsu dari tidaklah Aristoteles dengan ajaran Hylemorfisme mengatakan, bahwa merupakan tiruan palsu juga. Seni setiap sekaligus juga memeriahkan hal-hal pengejewantahan dari materi (hyle) yang fana (Dunia benda selalu merupakan jasmani), 18 dan bentuk (morphe). Materi adalah kejadian. Keempat adalah penyebab prinsip yang sama sekali tidak material (causa materials), yaitu ditentukan, sama sekali terbuka, bahan dari mana suatu benda dibuat materi (Simon Petrus L.Tjahjadi, 2008: 65- adalah kemungkinan (potentia) belaka untuk menerima 67). suatu bentuk. Sementara bentuk Berangkat dari pemikiran adalah prinsip yang menentukan metafisikanya, Aristoteles melihat atau memberikan aktualita pada seni materi. Bentuk membutuhkan materi (mimesis) realita konkret. Dalam agar mewujudkan seni, khususnya drama, sama seperti kemungkinannya menjadi realitas realitas konkret, perlu diupayakan yang kesatuan yang jelas, utuh, dan runtut dapat sesungguhnya Berkat materi, merupakan (aktualitas). suatu konkret, sebagai peniruan dari tindakan, waktu dan tempat. dan Kedua seni juga harus merupakan berkat bentuk, suatu benda konkret suatu proses pemurnian (katharsis), mempunyai yaitu termasuk benda benda pertama kodrat jenis tertentu, tertentu. Maka lewat menjernihkan seni, pikiran seni harus dan jiwa menurut Aristoteles, segala yang penonton. Dari cuplikan kehidupan “ada” biasa berkembang dari suatu yang ditirukan dan kemungkinan menjadi kenyataan. ditampilkan dalam kesenian, dapat Perubahan-perubahan dari materi dihasilkan sesuatu yang luar biasa menjadi bentuk dalam jiwa para penikmat seni. adanya penyebab. membedakan terjadi karena Aristoteles empat pertama penyebab formal (causa formalis), yaitu bentuk yang menyusun bahan. Kedua penyebab final (causa finalis) tujuan yang menjadi arah seluruh Perdebatan guru murid, Plato penyebab, kejadian. Ketiga penyebab efesien (causa efficiens), yaitu yang menjalankan Aristoteles, berlanjut hingga zaman modern, seperti yang disinggung oleh Alfred N. Whitehead, bahwa sejarah filsafat zaman modern adalah catatan kaki dari filsafat Aristoteles. Perdebatan antara Rasionalisme dan Empirisme, yang 19 dilanjutkan oleh Kritisisme dan mengenai]), yang biasa diartikan Positivisme, bahkan pada Idealisme, studi yang menyangkut teori umum mulai dari Kant, dilanjutkan oleh tentang nilai atau suatu studi yang Fichte, Schelling, dan Hegel, yang menyangkut segala yang bernilai dikembangkan selanjutnya oleh Karl (Lorens Marx. Bahkan sampai pada zaman Dengan kata lain aksilogi adalah kontemporer perdebatan dialektis di studi filosofis tentang hakikat nila- antara para pemikir tersebut tetap nilai. Aksiologi muncul sebagai berlanjut, kaum cabang kajian pertama kali pada bahkan paroh kedua abad ke-19 (Riseiri seperti fenomenologi, pada pragmatis digaris Nilai yang dalam bahasa Inggrisnya value berasal dari bahasa diartikan sebagai berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Sehingga nilai sering diartikan sebagai suatu kualitas hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan (Lorens Bagus, 2005: h. 713) Cabang membicarakan h. 33). relatif baru. Namun demikian perlu B. Apa Nilai Itu? valere 2005: Frondizi, 2001: h. 1), dan ini adalah sampai postmodernisme. Latin Bagus, bawahi, bahwa sebagai pembicaraan persoalan nilai sudah mulai didiskusikan semenjak zaman Yunani, seperti telah disinggung di atas. Dan Frondizi sendiri telah menyatakan dalam bukunya, bahwa persoalan nilai telah diilhami, mulai dari Plato yang telah membahas secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang filsafat yang penting persoalan nilai sepanjang jaman (Riseiri Frondizi, adalah aksiologi. Pembicaraan nilai dalam ranah filsafat merupakan tema yang realatif baru. Aksiologi (axiology [bahasa Inggris], berasal dari kata Yunani yaitu: axios [layak, pantas] dan logos [ilmu, studi bagi para pemikir di 2001: h. 1). Loren Bagus lebih lanjut mengatakan mengenai bahwa hakikat pertanyaan nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara, nilai sepenuhnya bersifat subjektif, 20 nilai merupakan suatu kenyataan, dapat dan nilai bersifat objektif (Lorens Fenomenologi Bagus, 2005: h. 35). Pertama, nilai pengembangan sepenuhnya subjektif. idealisme. Dengan demikian maka Ditinjau dari sudut ini, nilai-nilai yang ketiga, nilai-nilai merupakan merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun berhakikat reaksi-reaksi yang dirujuk ke pemikiran Husserl, dari sebagai pemikiran diberikan oleh individu sebagai kenyataan. pelaku. Teorinya biasanya disebut selanjutnya dikembangkan dalam dengan teori subjektifitas nilai, suatu teori pandangan yang menyatakan bahwa mengatakan nilai-nilai, kebaikan, kebenaran, keindahan, ada seperti kebaikan, Pandangan objektifitas nilai, bahwa nilai-nilai, dalam dalam ditemukan sebagai entitas-entitas, objektif, merupakan melainkan perasaan-perasaan, nyata yang kebenaran, keindahan, tidak ada real dunia ini kualitas-kualitas, dan atau dapat hubungan sikap-sikap pribadi, dan merupakan nyata dalam bentuk yang sama penafsiran atas kenyataan (Lorens sebagaimana Bagus, 2005: h. 718). Pengikut teori objek-objek, kualitas-kualitas, atau idealisme (positivisme hubungan-hubungan. Teori ini juga logis, emotivisme, analisis linguistik mengatakan bahwa nilai-nilai adalah dalam etika) yang menganggap nilai objektif dalam arti bahwa nilai-nilai sebagai sebuah fenomen kesadaran itu dapat didukung oleh argumentasi dan cermat subjektif memandang nilai sebagai dan dapat ditemukan rasional konsisten pengungkapan perasaan psikologis, sebagai yang terbaik dalam situasi sikap subjektif manusia kepada itu (Lorens Bagus, 2005: h. 717). objek yang dinilainya. Kedua nilai Uraian-uraian merupakan memperlihatkan di atas pengklasifikasian kenyataan, namun tidak terdapat nilai ke dalam beberapa teori. Teori- dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai teori merupakan esensi-esensi logis dan memperlihatkan bahwa persoalan dapat subjektivitas dan objektivitas nilai diketahui melalui akal. Agaknya sikap terhadap nilai ini masih tersebut terbuka sekaligus lebar untuk 21 didiskusikan lebih jauh, yaitu penahu secara aktif siapakah yang lebih atau paling mengkonstruksikan dominan dalam menentukan bernilai sebagaimana atau Sudarminta, 2008: h. 119). tidak siapakah bernilainya yang sesuatu, paling berhak objek diketahui (J. Objektivitas yang biasanya mengatakan bahwa ini adalah indah dipahami sementara yang lain tidak, siapakah pengetahuan, yang dengan nilai yaitu penilaian, yang memegang kuasa untuk sebagai sifat apabila suatu dikaitkan mengatakan ini baik dan itu buruk, secara subjekkah atau objekkah. merepresentasikan objek atau hal Perkembangan sains ilmiah yang setia diselidiki dan (J. akurat Sudarminta, berkaitan dengan perosoalan di atas 2008: h. 122). Sementara tolok ukur juga masih tetap menjadi pertanyaan derajat besar. pengetahuan Diakibatkan perkembangan revolusi pemikiran yang objektivitas pengertian sebuah (nilai) ini dalam adalah derajat temuan- kesesuaian atau korespodensi antara temuan baru dalam fisika modern teori yang dikemukakan dengan pada abad ke-19 dan awal abad ke- objek dalam dunia yang dirujuk oleh 20. Teori ilmiah tidak lagi dapat teori tersebut. Sebagai indikasinya dipahami sebagai suatu yang secara adalah ada atau tidaknya kesesuaian ontologi merujuk kepada kenyataan antara alam kalau prediksi yang dibuat oleh teori dilatar belakangi itu oleh sendiri, tetapi lebih keduanya adalah merupakan suatu model dan alat saja tersebut untuk menjelaskan kenyataan empiris memang terjadi yang nampak Sedemikian yang rupa terjadi gejala-gejala pada manusia. dalam demikian atau tidak. perkembangan Lalu bagaimana dengan hasil subjek? Bukankah seluruh kegiatan pengetahuan manusia dalam hal dalam pengetahuan dan penilaian apapun tidak pernah melulu selalu adalah objektif, keniscayaan tetapi sehingga dipraktikan apakah selalu bersifat merupakan adanya suatu keterlibatan subjektif-objektif. Artinya sebjek 22 personal sang subjek? Karena mempunyai kesamaan dalam merupakan suatu fakta yang tidak tujuan. dapat untuk dipungkiri menetapkan bahwa suatu dalam nilai atau Dimensi keinginan menyenangkan menempati posisi utama dalam penilaian terlibat di dalamnya kerja tujuan para imaginasi kreatif akal budi manusia, berkesenian. Sedemikian rupa sebagai subjek. sehingga secara sederhana seni dapat C. Nilai dalam Seni didefinisikan usaha 1. Seni dan Sains Ilmiah senimana untuk sebagai menciptakan bentuk-bentuk Apabila pertanyaan di yang menyenangkan. Bentuk yang atas dikaitkan dengan seni, sedemikian berkenaan dengan nilai yang kesadaran keindahan manusia ada dalamnya, bagaimana posisi dan rasa indah ini terpenuhi bila objek manusia dan subjek. menjawab Untuk pertanyaan itu memuaskan bisa menemukan ini kesatuan atau harmoni dalam terlebih dahulu didudukan apa hubungan bentuk-bentuk dari yang dimaksud dengan seni. kesadaran Dalam tulisannya Herbert Read (Herbert Read, 1959: h. 2). memulai uraiannya berkenaan dengan seni dengan terlelbih dahulu melihat seni secara etimologinya, seni yang dalam bahasa Inggris art umumnya hanya dikaitkan dengan bagian seni yang diembel-embeli dengan kata plastic atau visual (Herbert Read, 1959: h. 1). Namun demikian menambahkan inplisit bahwa semua Read dalam seniman persepsi manusia Ketika suatu karya seni bertujuan untuk berkeinginan mempersembahkan kesenangan kepada subjek sebagai audien, pada keadaan seperti ini, lagilagi dalam penilaian, dengan antara seni, kita dalam bersentuhan persoalan hubungan subjek-objek. Antara subjektivitas dan objektivitas. Jikalau demikian kembali lagi pertanyaan yang sama 23 Sains mengemuka, yaitu apakah indah ilmiah secara tidak indahnya suatu karya seni epistemologis ditentukan seni relasional. Dalam artian bahwa sebagai suatu produk seni atau terbentuknya suatu sains karena subjek sebagai penikmat seni. adanya Apakah sama standar yang subjek dan objek. Layaknya digunakan dalam memecahkan suatu persoalan ini dengan standar berangkat dari definisi Read di yang berlaku dalam dunia sains atas, juga terbentuk dari adanya ilmiah. demikian relasional antara subjek dan bukankah objek. oleh objek Jika pertanyaannya, sifatnya suatu sains relasi antara ilmiah, Perbedaan seni, yang terlebih dahulu harus didudukan mendasar di antara keduanya bagaimana antara adalah, bahwa sains ilmiah pada sains dengan ilmu, apakah sains dasarnya adalah usaha manusia sama dengan ilmu ataukah dua untuk menangkap gejala-gejala hal yang berbeda. alam ke dalam suatu susunan hubungan Sekedar menjemput pengertian di atas, bahwa seni adalah apa saja yang dicipta dengan indah. Dalam hal ini seni didefiniskan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk- bentuk yang menyenangkan. Bentuk-bentuk yang demikian itu memuaskan kesadaran keindahan individu, dan rasa indah ini terpenuhi bila bisa menemukan harmoni kesatuan dalam atau hubungan bentuk-bentuk dari kesadaran teori yang sistematis, sementara seni adalah untuk usaha menangkap perasaannya manusia perasaan- ke dalam seperangkat karya-karya seni. Jadi sains ilmiah memasukkan dunia lahir yang ada di luar manusia (gejala-gejala alam) ke dalam dunia batin di dalam dirinya (teori-teori ilmiah). Sedangkan seni mengeluarkan gejala-gejala dunia batin manusia (perasaan) ke dunia lahir (karya seni). persepsi individu. 24 Secara epistemologi, temporer. Kebenaran ilmiah, lanjut Sudarminta berlawanan, namun demikian menambahkan, bahkan yang keduanya memiliki seni dan sains ilmiah mempunyai lebih kadar objektivitas persamaan, persamaan dalam tinggi sekalipun, selalu hanya hal tujuan. Tujuan seni maupun berarti sains ilmiah sama-sama berupa pegangan kepuasan batin, sekalipun yang bertanggung jawab sementara satu belum ada bukti lain, atau bersifat emosional dapat dijadikan untuk bertindak sementara yang lain bersifat penemuan intelektual. menggugurkannya.sedemikian 2. Adakah Objektivitas dalam lain yang rupa sehingga suatu teori sain ilmiah dipandang benar bila Nilai Seni? diakui oleh komunitas para Pembahasan perumusan tentang ulang objektivitas pengertian ilmiah, dikatakan seperti Sudarminta, sebenarnya telah mengungkapkan kemungkinan adanya objektivitas kebenaran ilmiuwan dalam bidang yang bersangkutan sebagai memberikan penjelasan yang terbaik sampai saat itu atau belum ada alternatif penjelasan lain yang lebih baik (J. Sudarminta, 2008: h. 124-125). ilmiah pada umumnya, baik Objektivitas merupakan menyangkut objektivitas yang menandai ilmuwan. komunitas Kebenaran para ilmiah memang bukan kebenaran yang bersifat mutlak, seratus persen pasti, dan tak pernah berubah. Kebenaran ilmiah selalu bersifat nisbi, memuat unsur ketidakpastian dan bersifat suatu yang amat bernilai dan umumnya dicita-citakan berwujudannya, baik dalam ilmu-ilmu alam maupun dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk di sini seni. Objektivitas itu sendiri diidentifikasikan sebagai suatu nilai yang berhubungan dengan salah satu atau ketiga 25 aspek proses, pertama, suatu bersifat subjektif, karena sering sikap akal budi yang dianggap berangkat semestinya pribadi. dimiliki seorang dari pengalaman Dalam mengamati, pelaku sains, yakni sikap jujur, menikmati, terbuka terhadap kritik dan menafsirkan, tidak membiarkan diri dibawa misalnya sadar atau tidak sadar oleh emosi dan dibutakan oleh selalu ideologi dalam seluruh aspek pengalaman pribadi. Sementara kegiatannya. metode perspektif pengalaman pribadi memuat sebelumnya yang Kedua, digunakan hipotesis dan penikmat membawa seni perspektif mempengaruhi yang kegiatannya. Namun demikian pengujian kendati warna personal dalam langkah-langkah memungkinkan bahkan teori secara melaksanakan kegiatan akan intersubjektif dan dengan cara terus menyertai, namun melalui yang tidak bias atau penuh pendidikan yang membentuk prasangka. Ketiga pengetahuan disiplin ilmiah, para penikmat saintifik yang dihasilkan dari seni dapat melatih diri untuk penggabungan menghindarkan diri dari bias- keduanya (J. bias Sudarminta, 2008: h. 125). Setelah melihat bagaimana objektivitas dalam sains ilmiah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan nilai seni. Seni sering dilihat sebagai suatu hubungan yang sangat subjektif produk subjektif dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari kekeliruan Pengamatan manusiawi. yang terlatih memampukan individu untuk mendeteksi hal-hal yang secara objektif memang terdapat pada objek. dan Lalu bagaimana dengan penikmat seni sebagai subjek. nilai-nilai lokal yang biasanya Karena dalam penilaian seni selalu pertimbangan putusan dalam seni. Standar penilaian subjek sebagai penikmat selalu dihasilkan oleh suatu kelompok seni sebagai objek dan mengiringi penilaian 26 sosial tertentu dan terbatas keberlakuannya untuk sebagai suatu kisah panjang sejarah dan kebudayaan kelompok sosial tertentu itu manusia yang penuh dengan sendiri. nilai. Asumsi yang objektivitas di sini terkandung dalam argumen ini dipahami sebagai reliabilitas adalah bahwa penilaian itu (bersifat dapat diandalkan bila selalu dan diterapkan) dari pada sebagai ditentukan oleh hal-hal yang sesuatu yang dapat dibuktikan bersifat partikular dalam suatu adanya secara publik melulu kelompok sosial. berdasarkan bersifat lokal Objektivitas melulu yang dipahami sebagai kesesuaian dengan objek fisik yang dapat diamati secara empiris pengamatan maupun konsistensi penalaran, sebagaimana biasa diandaikan oleh objektivitas dalam sains positivisme. publik oleh siapapun secara Sebagai penutup, di sini imparsial maupun impersonal, penulis mengutip apa yang akan mengakibatkan dikotomi disampaikan Hillary Putnam, antara subjek-objek, dualisme pemisahan tegas antara fakta antara bersifat yang dianggap objektif dan nilai subjektif dan fakta yang bersifat yang selalu dianggap subjektif objektif. demikian, muncul dari anggapan yang realitas tidaklah harus selalu keliru bahwa “kebenaran” dan dipahami “pengetahuan” nilai yang Namun demikian, realitas merupakan hendaknya dipahami sebagai milik khusus sains, dan sains suatu proses dan peristiwa yang lah yang dapat menegaskan diungkap diungkapkan mana yang fakta mana yang dalam bahasa manusia dengan bukan. Segala sesuatu yang berbagai bukan dan sistem simbolnya sains bukanlah (C.A. Van Peursen, 1990: h. pengetahuan dan tidak dapat 89). Dengan demikian suatu ditegaskan karya Anggapan ini keliru, karena seni akan dipahami benar salahnya. 27