Assesment SPF - bahasarev Januari 13.indd

advertisement
Organisasi
Perburuhan
Internasional
Penilaian Landasan Perlindungan
Sosial Berdasarkan Dialog Nasional
di Indonesia:
Menuju Landasan Perlindungan
Sosial Indonesia
Penjabaran skema jaminan sosial dan perlindungan sosial yang ada
berdasarkan empat jaminan dalam Landasan Perlindungan Sosial
(Social Protection Floor), identifikasi kekurangan dalam kebijakan
dan dan implementasi, rekomendasi ke depan, perhitungan
perkiraan biaya (costing) cepat untuk memperkirakan biaya yang
diperlukan untuk menyediakan perlindungan sosial yang belum
ada.
Laporan ini disusun oleh Sinta Satriana dan Valerie Schmitt (ILO),
bekerjasama dengan Bappenas dan sub kelompok kerja badan
Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Landasan Perlindungan Sosial di
Indonesia.
Selain kedua penulis diatas, Tauvik Muhamad (ILO) memberi
dukungan dalam proses implementasi penilaian.
Copyright © International Labour Organization 2012
Cetakan Pertama 2012
Publikasi-publikasi International Labour Office memperoleh hak cipta yang dilindung oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta
Universal. Meskipun demikian, kutipan-kutipan singkat dari publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama
terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO
Publications (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: pubdroit@
ilo.org. International Labour Office menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Perpustakaan, lembaga dan pengguna lain yang terdaftar di Inggris Raya dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham
Court Road, London W1T 4LP [Fax: (+44) (0)20 7631 5500; email: [email protected]], di Amerika Serikat dengan Copyright
Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 [Fax: (+1) (978) 750 4470; email: [email protected]] arau di
negara-negara lain dengan Reproduction Rights Organizations terkait, dapat membuat fotokopi sejalan dengan lisensi yang
diberikan kepada mereka untuk tujuan ini.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: Menuju Landasan Perlindungan Sosial
Indonesia/Kantor Perburuhan Internasional – Jakarta: ILO, 2011
xiv, 82 p
ISBN
978-92-2-027008-0 (print)
978-92-2-027009-7 (web pdf)
Juga tersedia dalam bahasa Inggris: Social protection assessment based national dialogue: Towards a nationally defined
social protection floor in Indonesia; ISBN: 978-92-2-027008-0 (print); 978-92-2-027009-7 (web pdf)/International Labour
Office – Jakarta: ILO, 2012
ILO Katalog dalam terbitan
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang ada di dalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International
Labour Office mengenai status hukum negara, wilayah atau teritori manapun atau otoritasnya, atau mengenai batas-batas
negara tersebut.
Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi, dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan
tanggung jawab penulis, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Office atas opini-opini
yang terdapat di dalamnya.
Rujukan ke nama perusahaan dan produk komersil dan proses tidak menunjukkan dukungan dari International Labour
Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan
tanda ketidaksetujuan.
Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor lokal ILO di berbagai negara, atau secara langsung dari
ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland; atau Kantor ILO Jakarta, Menara Thamrin,
Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250, Indonesia. Katalog atau daftar publikasi tersedia secara cuma-cuma dari
alamat di atas, atau melalui email: [email protected]
Kunjungi halaman web kami: www.ilo.org/publns
ii
Editor (bahasa Indonesia): Tauvik Muhamad
Dicetak di Indonesia
Daftar Isi
Daftar Isi
iii
Daftar Tabel dan Gambar
iv
Kata Pengantar
v
Ucapan Terimakasih
vi
Ringkasan Eksekutif
vii
Daftar Singkatan
xi
1
Pengantar
1
2
Konteks
2.1 Konteks nasional
2.2 Konteks global dan regional
3
3
11
3
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia Berdasarkan Dialog Nasional:
tujuan, proses, dan metodologi
3.1 Tujuan
3.2 Proses
3.3. Metodologi
13
13
13
14
Presentasi matriks penilaian: struktur perlindungan sosial, program yang ada, kekurangan
dari sisi kebijakan dan implementasi, rekomendasi
4.1 Struktur matriks penilaian
4.2 Program-program yang ada saat ini
4.3 Kekurangan dari sisi Kebijakan dan Implementasi
4.4 Rekomendasi
17
17
18
35
42
Metodologi Costing (perkiraan pembiayaan), penjabaran opsi (“skenario”) kebijakan
untuk melengkapi LPS, dan penghitungan biayanya
5.1 Metodologi costing menggunakan RAP Protocol
5.2 Jaminan Kesehatan
5.3 Anak-anak
5.4 Penduduk usia kerja
5.5 Lanjut usia dan penyandang disabilitas
5.6 Paket gabungan untuk menutupi kekurangan LPS
49
49
49
61
64
66
70
Indikasi Awal untuk Ruang Fiskal
73
4
5
6
Lampiran 1: Matriks Penilaian LPS
75
Lampiran 2: Kerangka Hukum dan Hak Azasi di Indonesia
76
Lampiran 3: UU dan Peraturan
77
Daftar Pustaka
79
iii
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Daftar Tabel dan Gambar
iv
Tabel 1:
Program-Program Jaminan Sosial
4
Tabel 2:
Bantuan Sosial dan Subsidi
5
Tabel 3:
Kerangka Hukum
6
Gambar 1: Struktur Model RAP
14
Gambar 2: Proses Kegiatan Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia
15
Tabel 4:
Matriks Penilaian
17
Tabel 5:
Rangkuman program-program jaminan kesehatan
21
Tabel 6:
Manfaat program PKH
23
Tabel 7.
Jumlah sasaran PKSA dibanding estimasi jumlah anak yang membutuhkan
24
Table 8:
Rangkuman program jaminan sosial untuk anak-anak
26
Tabel 9:
Rangkuman program-program untuk kelompok usia kerja
31
Tabel 10:
Rangkuman program untuk lansia dan orang dengan disabilitas
34
Tabel 11:
Proyeksi biaya skenario jaminan kesehatan
53
Gambar 3: Proyeksi biaya skenario kesehatan dalam persentasi PDB
55
Tabel 12:
59
Proyeksi biaya skenario pengobatan HIV
Gambar 4: Proyeksi biaya skenario HIV dalam persentasi PDB
60
Table 13:
Manfaat dalam skenario 1
61
Tabel 14:
Manfaat dalam skenario 2
62
Tabel 15:
Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak
63
Gambar 5: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak dalam persentasi PDB
64
Tabel 16:
65
Proyeksi biaya skenario untuk kelompok usia kerja
Gambar 6: Proyeksi biaya skenario kelompok usia kerja dalam persentasi PDB
65
Tabel 17:
Proyeksi biaya skenario untuk lansia dan orang dengan disabilitas berat
69
Gambar 7: Proyeksi biaya skenario untuk orang dengan disabilitas berat dan lansia
70
Tabel 18:
Tabel 19:
Kombinasi skenario rendah dan kombinasi skenario tinggi untuk melengkapi LPS
di Indonesia
70
Proyeksi biaya untuk skenario kombinasi rendah dan tinggi untuk melengkapi
Landasan Perllindungan Sosial di Indonesia (dalam persentasi PDB)
71
Gambar 8: Proyeksi biaya skenario kombinasi rendah dan tinggi (dalam persentasi PDN)
Tabel 20.
72
Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai
sepenuhnya oleh anggaran pemerintah
73
Gambar 9. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai
sepenuhnya oleh anggaran pemerintah (% PDB)
73
Tabel 21.
76
Kerangka kerja hukum dan Hak Azasi Manusia di Indonesia
Kata Pengantar
Landasan Perlindungan Sosial (LPS) atau Social Protection Floor (SPF) merupakan sejumlah jaminan sosial dasar
yang perlu disediakan untuk seluruh masyarakat. Sejalan dengan amanat amandemen UUD 1945, UU No. 40
tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Indonesia saat ini tengah mengembangkan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang lebih
komprehensif untuk menjangkau seluruh penduduk. Komitmen Indonesia terhadap perlindungan sosial juga
tereflesikan dalam Pakta Lapangan Kerja (Indonesian Jobs Pact) 2011-2014 yang ditandatangani secara tripartit
pada tanggal 13 April 2011.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bekerjasama dengan Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional) telah melaksanakan kegiatan penilaian terhadap perlindungan sosial di Indonesia, untuk mempelajari
seberapa jauh Landasan Perlindungan Sosial (LPS) sudah terlaksana bagi warga Indonesia. Kegiatan penilaian ini
dilakukan dengan berkonsultasi dengan kementerian-kementerian terkait, Kelompok Kerja Kantor PBB Indonesia
untuk Perlindungan Sosial, perwakilan pekerja dan pengusaha serta lembaga-lembaga terkait lainnya. Konsultasi
dilakukan di tingkat nasional dan di tiga provinsi; Provinsi Maluku, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Perlindungan sosial di Indonesia yang terdiri dari berbagai program skema kontribusi maupun non-kontribusi telah
berkembang sangat pesat. Namun demikian masih ditemukan sejumlah kekurangan dari segi kebijakan maupun
implementasi. Penilaian ini mengidentifikasi kekurangan-kekurangan tersebut serta memformulasi rekomendasi
kebijakan spesifik untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. Selain itu, juga disusun perkiraan
dan proyeksi biaya untuk beberapa rekomendasi yang diajukan, disajikan dalam persentasi PDB dan persentasi
anggaran belanja pemerintah. Proyeksi biaya tersebut memberi gambaran awal sebagai bahan diskusi mengenai
mengenai pembiayaan perlindungan sosial tambahan yang masih diperlukan.
Kami berharap hasil dari penilaian serta rekomendasi kebijakan yang disajikan dalam laporan ini dapat menjadi
acuan yang berguna dalam mengambil langkah-langkah kedepan untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial
di Indonesia, dan rekomendasi yang diusulkan dapat direalisasikan. Kami yakin bahwa pendekatan partisipatif yang
digunakan dalam proses penilaian ini juga telah meningkatkan pemahaman bersama antara pihak-pihak yang
terlibat baik dari pemerintah, pekerja, pengusaha, LSM dan lembaga PBB mengenai konsep Landasan Perlindungan
Sosial, relevansinya bagi Indonesia serta pentingnya pendekatan perlindungan sosial yang menyeluruh dan
terkoordinasi.
v
Ceppie K. Sumadilaga,
Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan,
dan UKM Bappenas
Peter Van Rooij
Direktur ILO Indonesia
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Ucapan Terimakasih
vi
Penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan semua pihak yang terlibat dalam proses Dialog Nasional
Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia: Kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait kebijakan
perlindungan sosial (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial,
Kementerian Pendidikan, Bappenas, TNP2K, BPS serta lembaga terkait lainnya), PT Jamsostek, perwakilan pekerja
dan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi yang terlibat, serta rekan-rekan lembaga PBB yang
terlibat dalam inisiatif Landasan Perlindungan Sosial.
Secara khusus penulis berterimakasih kepada:
•
Dr. Lukita Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas,
•
Dr. Ceppie K. Sumadilaga, MA, Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Bappenas,
•
Dr. Vivi Yulaswati, MSc., Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas,
•
Dra. Rahma Iryanti MA, Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas,
•
Dharendra Wardhana, SE, MSc, di Direktorat Kesejahteraan dan Perlindungan Sosial Bappenas
•
Prof. Suahasil Nazara, PhD, Koordinator Pokja Kebijakan, TNP2K,
•
Isnavodiar Jatmiko, di Biro Renbang, PT. Jamsostek,
•
Nancy Fee, Koordinator UNAIDS Indonesia,
•
Mitchell Wiener, Spesialis Senior Jaminan Sosial , Bank Dunia.
•
Nurholis Majid, FHI 360,
•
Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Jawa Timur.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Peter Van Rooij, Direktur ILO Indonesia atas dukungan yang terus
menerus diberikan selama pelaksanaan kegiatan, serta Hiroshi Yamabana, aktuaris di Departemen Jaminan Sosial
ILO di Jenewa atas kontribusi eknis yang diberikan.
Namun demikian penulis bertanggungjawab sepenuhnya atas keseluruhan isi serta pendapat yang dikemukakan
dalam laporan ini.
Ringkasan Eksekutif
Indonesia sedang berupaya memperluas cakupan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Sejak diamendemen
pada 2002, Undang-undang Dasar 1945 mengakui hak seluruh penduduk untuk mendapatkan jaminan sosial dan
pengembangan jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara. Meskipun berbagai program perlindungan sosial
yang ada saat ini masih terpisah-pisah dan tidak terintegrasi, banyak kemajuan yang telah dicapai yang mengarah
kepada sistem perlindungan sosial yang komprehensif.
Salah satu pencapaian yang sangat penting adalah pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional secara bertahap. Undang-undang ini mengamanatkan perluasan cakupan kepesertaan jaminan
sosial terhadap seluruh penduduk berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan
jaminan kematian. Pendekatan yang dipakai bersifat progresif, mencakup skema bantuan pemerintah bagi
penduduk miskin, skema iuran bagi pekerja di luar hubungan kerja dan iuran (persentasi upah) bagi pekerja
formal. Jaminan kesehatan universal, di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2014 dan jaminan sosial pekerja, di bawah Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2015. Selain jaminan
sosial, program-program bantuan sosial juga terus dikembangkan untuk dapat mencakup seluruh warga yang
paling miskin dan rentan, serta meningkatkan koordinasi antarprogram.
Landasan perlindungan Sosial (LPS) atau Social Protection Floor (SPF) merupakan pendekatan yang menggambarkan
Perlindungan Sosial yang integratif untuk menjamin penghidupan dan akses semua anggota masyarakat terhadap
fasilitas/jasa pelayanan sosial dasar, khususnya bagi kelompok yang rentan, dan melindungi serta memberdayakan
setiap orang pada berbagai jenjang umur atau siklus kehidupan. Konsep Landasan Perlindungan Sosial dituangkan
kedalam Rekomendasi ILO mengenai Landasan Perlindungan Sosial (Rekomendasi 202) tahun 2012 yang disetujui
oleh seluruh anggota yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha dari 185 negara dalam
Konferensi Perburuhan Internasional pada tanggal 14 Juni 2012. Rekomendasi 202 merupakan acuan bagi negara
anggota dalam upaya membuat dan melaksanakan landasan perlindungan sosial nasional sebagai salah satu bagian
utama dalam sistem jaminan sosial yang komprehensif. Rekomendasi ini juga memberi arahan dalam membuat
strategi perluasan cakupan dan peningkatan manfaat jaminan sosial bagi seluruh warga secara progresif. Langkahlangkah yang diambil disesuaikan dengan situasi di masing-masing negara serta kapasitas fiskal dan ekonomi, serta
sejalan dengan standar-standar jaminan sosial ILO. Dengan menegaskan kembali bahwa jaminan sosial merupakan
hak seluruh warga dan sekaligus syarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi, Rekomendasi 202 menyatakan
bahwa negara anggota perlu menentukan dan melaksanakan landasan perlindungan sosial nasional mereka.
LPS terdiri dari sejumlah skema jaminan sosial yang didefinisikan oleh masing-masing negara, yang bertujuan untuk
mencapai situasi di mana: (i) seluruh penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, termasuk
persalinan; (ii) semua anak memiliki jaminan penghidupan khususnya untuk memenuhi kebutuhan gizi, pendidikan
dan kesehatan; (iii) seluruh penduduk usia kerja memiliki jaminan penghidupan melalui dukungan fasilitasi maupun
skema jaminan ketenagakerjaan dan (iv) seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas mendapatkan
jaminan penghidupan dalam bentuk bantuan dan fasilitasi.
vii
Komponen-komponen Landasan Perlindungan Sosial tersebut sifatnya fleksibel dan dapat diselaraskan dengan
perkembangan sistem perlindungan sosial nasional. Empat jaminan tersebut di atas hanya menetapkan standar
minimum terkait akses, cakupan dan tingkat jaminan pendapatan, dan layanan kesehatan dalam sistem perlindungan
sosial nasional. Meskipun belum semua negara dapat segera melaksanakan seluruh komponen dan mencakup
semua penduduk, LPS memberikan kerangka perencanaan pelaksanaan secara progresif untuk memastikan visi
yang menyeluruh dari sistem perlindungan sosial melalui sinergi berbagai komponen yang berbeda.
Kerangka LPS juga dirancang untuk mengidentifikasi kekurangan dari segi kebijakan dan implementasi,
serta rekomendasi bagi pengembangan kebijakan perlindungan sosial, termasuk pembiayaan (costing) bagi
pengembangan Landasan Perlindungan Sosial dengan menggunakan metode Rapid Assessment Protocol (RAP)
yang dikembangkan ILO. Hasil dari perkiraan biaya tersebut merupakan informasi yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan prioritas program-program perlindungan sosial maupun realokasi anggaran pemerintah dan ruang
fiskal yang diperlukan selama 10 tahun mendatang.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Proses dan Hasil Penilaian
viii
Selama April 2011 sampai dengan November 2012, ILO bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait dan
Sub Kelompok Kerja Kantor PBB Indonesia untuk Landasan Perlindungan Sosial menyelenggarakan Penilaian
atas Landasan Perlindungan Sosial berbasis Dialog Nasional (ABND) di Indonesia. Penilaian ini mencakup
program-program yang terkait akses terhadap pelayanan kesehatan, jaminan tunjangan bagi anak-anak, jaminan
pendapatan bagi penduduk usia kerja, dan jaminan pendapatan bagi penduduk lanjut usia (lansia) dan penyandang
disabilitas.
Pelaksanaan Dialog Nasional ini meliputi tahap-tahap berikut ini:
Tahap 1 – Pembuatan Matriks Penilaian
Matriks penilaian disusun menggunakan kerangka kerja Landasan Perlindungan Sosial dan bertujuan untuk
menilai perkembangan program perlindungan dan jaminan sosial, serta mengidentifikasi celah kebijakan
maupun implementasi. Dari proses tersebut juga diidentifikasi rekomendasi nyata untuk perbaikan rancangan
dan implementasi program-program perlindungan sosial, untuk menutup celah dalam mewujudkan Landasan
Perlindungan Sosial (LPS) bagi seluruh masyarakat.
Tahap 2 – Protokol RAP
Perangkat pembiayaan (costing) ILO atau Rapid Assessment Protocol (RAP) digunakan untuk membuat perkiraan
kasar mengenai biaya yang diperlukan untuk membuat program baru atau memperluas program yang sudah ada
untuk membangun Landasan Perlindungan Sosial yang komprehensif di Indonesia. Biaya tersebut dipresentasikan
dalam jumlah rupiah maupun dalam persentasi PDB (Produk Domestik Bruto), maupun dalan persentasi
pengeluaran pemerintah. Hasil dari costing atau perhitungan tersebut dijadikan bahan untuk mendukung diskusidiskusi mengenai prioritas kebijakan perlindungan sosial dan diskusi terkait ruang fiskal dan alokasi anggaran.
Tahap 3 – Finalisasi
Sejumlah rekomendasi dan hasil perhitungan biaya, termasuk didalamnya identifikasi langkah-lakang yang mungkin
untuk meningkatkan ruang fiskal bagi perlindungan sosial, didiskusikan dengan seluruh pemangku kepentingan
dalam lokakarya-lokakarya. Laporan akhir yang memuat prioritas kebijakan perlindungan sosial disusun, untuk
dibagikan dengan Pemerintah Indonesia.
Hasil Utama dari Penilaian
Kekurangan dan berbagai persoalan umum yang ditemukan dalam berbagai program antara lain: keterbatasan
cakupan program; keterbatasan akses terutama di wilayah Indonesia Timur; keterkaitan yang terbatas antara
program ketenagakerjaan dengan program jaminan sosial; hampir tidak ada jaminan sosial untuk pekerja sektor
informal; penghindaran jaminan sosial di sektor swasta formal; keterbatasan data dan persoalan penetapan sasaran
(targeting); serta permasalahan koordinasi dan tumpang tindih antarprogram, termasuk juga dalam data dan
informasi.
Rekomendasi utama mencakup antara lain:
•
merancang dan mengujicoba Layanan Program Perlindungan Sosial Satu Atap (Single Window Service) di
tingkat lokal untuk memfasilitasi informasi dan akses warga kepada berbagai program dan meningkatkan
koordinasi antarprogram perlindungan sosial;
•
memastikan paket manfaat Jaminan Kesehatan memiliki tingkat perlindungan yang memadai;
•
memperluas cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai basis jaminan pendidikan dan kesehatan
bagi anak keluarga miskin;
•
mendukung implementasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan;
•
melakukan studi kelayakan asuransi pengangguran dan mengaitkannya dengan program-program
ketenagakerjaan dan pengembangan keterampilan;
•
memperluas jangkauan program untuk lanjut usia telantar dan panyandang disabilitas berat; dan
•
pengembangan basis data (database) kelompok sasaran yang lengkap untuk memfasilitasi pelaksanaan
berbagai program.
Untuk keempat jaminan yang ada dalam LPS ( jaminan kesehatan, jaminan penghidupan bagi anak-anak, kelompok
usia kerja, serta lansia dan orang dengan disabilitas), beberapa rekomendasi yang diajukan diterjemahkan menjadi
pilihan-pilihan kebijakan yang disebut “skenario” dan masing-masing skenario tersebut diperkirakan biayanya
untuk beberapa tahun kedepan. Berdasarkan pilihan skenario yang dibuat, diperkirakan tambahan jaminan sosial
untuk melengkapi landasan perlindungan sosial di Indonesia akan membutuhkan biaya antara 0,74 persen dari
PDB (pilihan skenario rendah) sampai 2,45 persen PDB (pilihan skenario tinggi) pada tahun 2020.
Perkiraan biaya untuk skenario jaminan kesehatan - Berdasarkan berbagai perhitungan, untuk menutup
kekurangan untuk mencapai LPS dalam hal jaminan kesehatan, diperkirakan akan membutuhkan biaya sebesar
0,17 persen dari Produk Domestik Bruto (skenario rendah), dan 0,98 persen (skenario tinggi) pada tahun 2020.
Jumlah iuran jaminan kesehatan yang digunakan dalam skenario didasarkan pada perkiraan paket manfaat yang
saat ini tengah dirancang.
•
“Skenario rendah” meliputi perluasan asuransi kesehatan yang iurannya ditanggung pemerintah untuk orang
miskin, hampir miskin dan rentan miskin (40 persen terbawah) dengan standar manfaat tingkat 3 (moderat),
termasuk pemeriksaan HIV bagi penduduk yang berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/
AIDS (ODHA), pengobatan ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat, dan penyediaan paket universal untuk
mengurangi penularan ibu kepada anak khususnya untuk HIV dan sipilis.
•
“Skenario Tinggi” meliputi penyediaan asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk di sektor ekonomi
informal, menyediakan pemeriksaan HIV bagi penduduk usia aktif (usia 15-49 tahun), cek kesehatan rutin
bagi semua penderita HIV, dan pengobatan ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat, dan paket universal
untuk menurunkan penularan dari ibu ke anak khususnya untuk HIV dan Spilis.
Perkiraan biaya untuk skenario jaminan tunjangan bagi anak-anak - Untuk menutup kekurangan LPS bagi
anak-anak diperkirakan memerlukan biaya 0,03 persen dari PDB (skenario rendah), dan 0,18 persen (skenario
tinggi) pada 2020.
ix
•
“Skenario rendah” meliputi perluasan program PKH bagi semua penduduk miskin (bukan hanya untuk
penduduk yang sangat miskin).
•
“Skenario tinggi” termasuk pemberian tunjangan anak bagi semua anak secara universal.
Perkiraan biaya jaminan pendapatan bagi penduduk usia kerja - Untuk menutup kekurangan LPS bagi
penduduk usia kerja melalui program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan pelatihan kejuruan diperkirakan
akan menghabiskan biaya 0,47 persen dari PDB pada tahun 2020.
•
Studi kelayakan yang lebih terperinci mengenai skema Asuransi Pengangguran dan Layanan Satu Atap
perlu dilakukan; dan peta jalan untuk implementasi BPJS Ketenagakerjaan perlu disusun dengan melibatkan
seluruh pihak terkait.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Perkiraan biaya skenario jaminan pendapatan bagi penduduk usia tua dan penyandang disabilitas - Untuk
menutup kekurangan jaminan sosial bagi lansia maupun jaminan sosial bagi penyandang disabilitas diperkirakan
mencapai 0,08 persen dari PDB (“skenario rendah”), dan 0,82 persen dari PDB (“skenario tinggi) pada 2020.
x
•
“Skenario rendah” meliputi perluasan skema jaminan sosial bagi penyandang disabilitas berat dan jaminan
sosial bagi lansia rentan.
•
“Skenario tinggi” mencakup perluasan skema pensiun nonkontribusi bagi semua penyandang disabilitas dan
skema pensiun universal bagi penduduk berusia di atas 55 tahun (usia pensiun di sektor formal).
Rekomendasi kebijakan di atas diharapkan dapat dieksplorasi lebih lanjut oleh berbagai pihak yang terkait untuk
memperkuat pengembangan perlindungan sosial yang tengah berjalan.
Daftar Singkatan
ABND
Assessment based national dialogue
AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ART
Anti-Retroviral Treatment
ARV
Anti-Retroviral
BAPPENAS
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BLK
Balai Latihan Kerja
BLT
Bantuan Langsung Tunai
BOS
Bantuan Operasional Sekolah
BPS
Badan Pusat Statistik
BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BULOG
Badan Urusan Logistik
CCT
Conditional Cash Transfer
CD4
Cluster of Differentiation 4
DJSN
Dewan Jaminan Sosial Nasional
DPLK
Dana Pensiun Lembaga Keuangan
DPPK
Dana Pensiun Pencari Kerja
EAST
Education and Skills Training for Youth Employment
FAO
Food and Agriculture Organization of the United Nations
G20
Kelompok 20
GDP
Gross Domestic Product
Gini coefficient
Ukuran ketidaksetaraan dari distribusi, nilai 0 mencerminkan total
keseteraan dan nilai 1 merupakan batas maksimum ketidaksetaraan
HIV
Human immunodeficiency virus
IDR
Indonesian Rupiah (1 US $ = approx. IDR 8,500)
ILO
International Labour Organization
IMF
International Monetary Fund
INA- CBG
Indonesia-Case Based Group
INA-DRG
Indonesia-Diagnosis Related Group
JHT
Jaminan Hari Tua
JK
Jaminan Kematian
JKA
Jaminan Kesehatan Aceh
JKK
Jaminan Kecelakaan Kerja
JPS
Jaring Pengaman Sosial
KUR
Kredit Usaha Rakyat
Kemenakertrans Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri
Kemenkes
Kementerian Kesehatan
Kemensos
Kementerian Sosial
KPA
Komisi Penanggulangan AIDS
xi
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
xii
LHK
Luar Hubungan Kerja
LPS
Landasan Perlindungan Sosial
Menko Kesra
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
MTCT
Mother To Child Transmission
NGO
Non Governmental Organization
NTT
Nusa Tenggara Timur
ODHA
Orang dengan HIV/AIDS
OHCHR
Office of the High Commissioner for Human Rights
P2KP
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
PBB
Persatuan Bangsa-Bangsa
PKH
Program Keluarga Harapan
PKSA
Program Kesejahteraan Sosial Anak
PMTAS
Program Makanan Tambahan Anak Sekolah
PNPM
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Polri
Kepolisian Republik Indonesia
PPA-PKH
Pengurangan Pekerja Anak untuk Mendukung Program Keluarga
Harapan
PPK
Program Pengembangan Kecamatan
PPP
Purchasing Power Parity
PT
Perseroan Terbatas
RAP
Rapid Assessment Protocol (Protokol Penilaian Cepat)
Raskin
Beras untuk Orang Miskin
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
SD
Sekolah Dasar
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
SMERU
Lembaga Penelitian Independen
SMP
Sekolah Menegah Pertama
SPF
Social Protection Floor (Landasan Perlindungan Sosial)
SSM
Subsidi untuk Siswa Miskin
SWS
Single Window Service (Layanan Satu Atap)
TNI
Tentara Nasional Indonesia
TNP2K
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
TKPK
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
TVET
Technical and Vocational Education and Training
UN
United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa)
UNAIDS
Joint United Nations Program on HIV/AIDS,
UNDESA
United Nations Department of Economic and Social Affairs
UNDP
United Nations Development Programme
UNESCO
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
UNFPA
United Nations Population Fund
UN-HABITAT
United Nations Human Settlements Programme
UNHCR
UN Refugee Agency
UNICEF
United Nations Children’s Fund
UNODC
United Nations Office on Drugs and Crime
UNRWA
United Nations Relief and Works Agency
USD
United States Dollars
VCT
Voluntary counseling and testing
WFP
United Nations World Food Programme
WHO
World Health Organization
WMO
World Meteorological Organization
xiii
xiv
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Pengantar
I
Sejak diamandemen pada tahun 2002, UUD 1945 mengakui hak seluruh penduduk untuk mendapatkan jaminan
sosial, dan negara bertanggung jawab dalam penyediaan jaminan sosial bagi warga negara.
Perlindungan sosial tidak hanya sebatas pemenuhan hak, tetapi juga sebagai syarat terlaksananya pembangunan
ekonomi dan pertumbuhan yang setara dan berkelanjutan. Perlindungan sosial memiliki peran penting dalam
pengembangan tenaga kerja yang produktif, terdidik, terampil, dan sehat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) telah memprioritaskan dan mendorong pengembangan program-program yang dapat
meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan bagi semua penduduk, akses terhadap pendidikan dan nutrisi
bagi keluarga dengan anak, peluang kerja dan pendapatan berkelanjutan bagi penduduk usia kerja (produktif), dan
jaminan pendapatan minimum bagi penduduk rentan, seperti penyandang disabilitas dan lansia telantar (Peraturan
Presiden No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014).
Saat ini, lebih dari setengah penduduk di Indonesia memiliki akses terhadap asuransi kesehatan, baik dengan skema
kontribusi maupun nonkontribusi. Salah satunya adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), yaitu skema
asuransi kesehatan nonkontribusi yang telah menjangkau 32 persen penduduk miskin dan hampir miskin. Selain
itu juga terdapat Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk menjamin
semua anak, termasuk dari keluarga miskin, mendapatkan pendidikan dasar. Untuk memfasilitasi akses pendidikan
dan kesehatan anak dan ibu dari keluarga sangat miskin, juga diberikan bantuan tunai bersyarat melalui Program
Keluarga Harapan (PKH).
Berbagai program peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia telantar juga
diberikan dalam skala terbatas. Lebih lanjut, dikembangkan pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mendukung masyarakat dalam merancang prioritas
pembangunan di wilayah mereka sendiri, termasuk melalui kegiatan pengembangan infrastruktur skala kecil,
kegiatan ekonomi produktif dan layanan sosial bagi penduduk. Peluang kewirausahaan juga dikembangkan melalui
program-program kredit usaha mikro.
Program-program penanggulangan kemiskinan yang ada saat ini dikelompokkan dalam tiga kelompok (kluster).
Kelompok 1 meliputi bantuan sosial baik dalam bentuk tunai atau non tunai. Kelompok 2 mencakup programprogram pemberdayaan masyarakat. Kelompok 3 meliputi program-program yang berupaya mendorong
penciptaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah, misalnya melalui program keuangan mikro (Peraturan
Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014).
Pemerintah Indonesia juga memprioritaskan pengembangan lebih lanjut sistem jaminan sosial yang diamanatkan
oleh UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004). Undang-undang ini memberikan mandat perluasan
cakupan kepesertaan jaminan sosial terhadap seluruh penduduk dalam hal jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Pendekatan yang dipakai bersifat progresif, mencakup skema
bantuan iuran pemerintah bagi penduduk miskin, skema iuran ( jumlah nominal) bagi pekerja di luar hubungan
kerja dan skema iuran (persentasi upah) bagi pekerja formal. Sebagai tindak lanjutnya, UU No. 24 Tahun 2011
mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai tahun 2014 dan BPJS
Ketenagakerjaan mulai tahun 2015. Saat laporan ini ditulis, persiapan pembentukan BPJS tengah berjalan, mencakup
1
antara lain penyusunan peraturan pendukung dan kajian yang diperlukan, serta penyiapan skema transisi berbagai
jaminan kesehatan yang ada ke dalam pengelolaan BPJS kesehatan yang terintegrasi. Keseluruhan proses transisi
akan berjalan sampai dengan tahun 2029. Lebih lanjut, komitmen Indonesia terhadap perlindungan sosial juga
tercermin dalam Pakta Lapangan Kerja Indonesia 2011-2014 yang ditandatangani secara tripartit pada 13 April
2011 (Indonesian Jobs Pact, 2011). Pakta ini memprioritaskan penciptaan lapangan kerja dan perlindungan sosial
sebagai respon terhadap krisis dan untuk mendukung pembangunan sosial-ekonomi.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Kerangka Social Protection Floor (SPF) atau Landasan Perlindungan Sosial (LPS) yang dipromosikan oleh PBB dan
negara-negara G20 merupakan perangkat untuk menggambarkan program-program perlindungan sosial dan
pengentasan kemiskinan, serta untuk mengidentifikasi opsi-opsi prioritas masa depan, dan mencari cara untuk
meningkatkan sinergi kebijakan lintas program, meningkatkan efisiensi dan mengurangi fragmentasi melalui
mekanisme penargetan yang lebih baik dan koordinasi antarprogram untuk mengurangi kerentanan orang miskin
dan peningkatan kesejahteraan seluruh penduduk.
2
Konsep SPF atau LPS dirumuskan dalam bentuk rekomendasi ILO (Rekomendasi no.202) dan disetujui oleh seluruh
peserta Konferensi Perburuhan Internasional ke-101 pada 14 Juni 2012. Peserta konferensi ini adalah perwakilan
pemerintah, pekerja dan pengusaha dari seluruh anggota ILO. Dalam G-20, juga telah disepakati bahwa SPF akan
diimplementasikan sesuai kondisi masing-masing negara. Untuk itu, beberapa negara tengah menyiapkan penilaian
kebutuhan terhadap SPF yang sesuai dengan perkembangan kondisi dan kebutuhan masing-masing negara.
Konteks
2
2.1. Konteks nasional
2.1.1. Peningkatan prioritas perlindungan sosial
Sebelum tahun 1997, Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kinerja ekonomi tinggi dengan
rata-rata tingkat pertumbuhan (PDB) sebesar 7,4 persen per tahun (Bank Dunia, 1993). Perlindungan sosial saat itu
belum menjadi bagian dari prioritas pemerintah dan belanja sosial pemerintah terkonsentrasi pada layanan sosial
(Sumarto & Suryahadi, 2002). Krisis keuangan Asia pada tahun 1997 telah membuka mata semua pihak tentang
kerentanan ekonomi Indonesia, serta pentingnya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Meningkatnya
tingkat pengangguran dan menurunnya upah riil yang dramatis telah menyebabkan 25 persen penduduk tidak
miskin jatuh ke dalam jurang kemiskinan (Bank Dunia 2006). Sebagai respon terhadap krisis ini, Pemerintah
meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial nasional (JPS) pada tahun 1998. Program ini memberikan subsidi
makanan pokok, pendidikan dasar, dan layanan kesehatan dasar, serta peluang kerja melalui kegiatan padat karya
dan kredit usaha.
Setelah pulih dari krisis 1997, pertumbuhan ekonomi kembali menguat dan tingkat kemiskinan terus menurun.
Tingkat kemiskinan nasional1 turun dari 24,23 persen pada tahun 1998 menjadi 11,96 persen pada 2012 (BPS,
2012). Rata-rata konsumsi per kapita selama periode 1996-2010 tumbuh 1,4 persen. Sayangnya, pertumbuhan ini
tidak selalu pro-rakyat miskin. Pada saat 10 persen orang terkaya menikmati pertumbuhan lebih dari 1,7 persen
konsumsi rata-rata per kapita, 10 persen orang termiskin hanya mendapatkan 0,6 persen pertumbuhan (Bank
Dunia, 2011a). Ketimpangan, sebagaimana ditunjukkan (secara nasional) oleh Indeks Gini, telah meningkat dari
0,32 di tahun 1996, menjadi 0,34 pada tahun 2007 dan berlanjut menjadi 0,41 pada tahun 2011.
Saat ini, meskipun kemiskinan ekstrim (extreme poverty) – yang ditandai dengan pengeluaran rata-rata per hari
US$ 1 (purchasing power parity, PPP) atau kurang — relatif rendah, hampir separuh populasi mendekati kemiskinan
(43,3 persen berada dalam batasan PPP sebesar US$ 2 per hari) (Bank Dunia, 2001a). Analisis atas data pendapatan
dan konsumsi menunjukkan, besarnya pergerakan keluar-masuk dari kemiskinan, mencapai lebih dari 38 persen
rumah tangga miskin pada tahun 2004, dan pada 2003 mereka belum masuk dalam kategori miskin (Bank Dunia,
2006); “Tiap tahun, banyak rumah tangga memiliki risiko tinggi untuk jatuh miskin, meskipun sebelumnya mereka
tidak berada dalam kategori miskin”.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami kemajuan pesat terkait perluasan cakupan kepesertaan
jaminan sosial bagi seluruh populasi, melalui amandemen UUD 1945 mengenai perluasan jaminan sosial bagi
1
Tingkat kemiskinan nasional dihitung berdasarkan proporsi orang yang berada di bawah garis
kemiskinan. Garis kemiskinan oleh BPS didefinisikan sebagai “nilai per kapita pengeluaran per bulan
untuk menyediakan makanan dan kebutuhan-kebutuhan nonpangan dasar.” Mengingat besar dan
beragamnya negeri ini, garis kemiskinan ditetapkan dengan tingkat yang berbeda untuk provinsi dan
daerah perkotaan maupun pedesaan di setiap provinsi. Rata-rata garis kemiskinan nasional pada 2011
adalah Rp 211.000.
3
seluruh penduduk dan dengan diundangkannya UU No. 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Hal ini memperlihatkan komitmen pemerintah terhadap perlindungan sosial bagi semua. Perkembangan terakhir
menuju penerapan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah disahkannya UU No. 24/2011 yang memberikan
mandat perubahan kepada empat penyedia jasa jaminan sosial milik negara (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen,
dan PT Asabri) menjadi dua penyedia, yakni penyedia jasa asuransi kesehatan mulai tahun 2014, dan penyedia jasa
jaminan sosial tenaga kerja mulai pertengahan tahun 2015.
2.1.2. Tinjauan skema kebijakan yang ada
Sistem perlindungan sosial pada prinsipnya terdiri atas jaminan sosial, bantuan sosial (yang merupakan bagian
dari program anti kemiskinan yang lebih luas), dan subsidi pemerintah2. Skema dan program yang ada cenderung
terfragmentasi dan tersebar di beberapa kementerian yang berbeda seperti Kementerian Kesehatan, Pendidikan,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, dan sebagainya.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
2.1.2.1. Skema Jaminan Sosial
4
Penyelenggaraan jaminan sosial yang ada saat ini dikelola oleh empat BUMN yang berbadan hukum PT (Perseroan
Terbatas)3 yaitu:
1.
PT Jamsostek mengelola dana asuransi sosial bagi pekerja sektor swasta. Jamsostek memiliki empat skema:
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan hari tua.
2.
PT Taspen mengelola program tabungan hari tua dan dana pensiun bagi pegawai negeri.
3.
PT Askes menyediakan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan PNS serta pensiunan
TNI/Polri.
Tabel 1: Program-Program Jaminan Sosial
Kelompok Sasaran
Jenis Manfaat
Institusi
Pengawas Kementerian
TNI dan Polri
Dana Pensiun, Tabungan
hari tua, Kematian,
Kecelakaan Kerja,
Disabilitas
PT Asabri
Kementerian Pertahanan,
Kementerian BUMN
Perawatan Kesehatan
Rumah Sakit TNI
PT Askes (bagi
pensiunan)
Dana Pensiun, Tabungan
hari Tua, Kematian,
Disabilitas
PT Taspen
Kementerian Keuangan
Asuransi Kesehatan
PT Askes
Kementerian Kesehatan,
Kementerian BUMN,
Kementerian Keuangan
Tabungan Hari Tua,
Kematian, Kecelakaan
Kerja
PT Jamsostek
Kementerian Tenaga
Kerja & Transmigrasi,
Kementerian BUMN
Perawatan Kesehatan
PT Jamsostek (opsional)
Pegawai Negeri
Karyawan Sektor
Swasta
2
Dalam beberapa literatur misalnya Grosh et al (2008), subsidi pemerintah tidak dimasukkan sebagai
bagian dari sistem perlindungan sosial. Terdapat kontroversi pada subsidi komoditas terutama yang
sebagian besar dinikmati oleh kelompok nonmiskin (misalnya subsidi BBM dan subsidi listrik).
3
Penyelenggaraan jaminan sosial oleh keempat BUMN akan beralih kepada dua Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), yaitu BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli
2015 sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2011
4.
PT Asabri menyediakan program tabungan hari tua dan program pensiun serta asuransi kematian dan
kecelakaan kerja bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) dan pegawai negeri di lingkungan Kementerian Pertahanan. Angkatan bersenjata juga memiliki
beberapa fasilitas kesehatan tersendiri.
Sementara itu, mayoritas pekerja sektor informal belum tercakup dalam sistem jaminan sosial. Secara terbatas,
Program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) dari Kementerian Sosial bekerja sama dengan PT Jamsostek saat ini
menyediakan skema asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian kepada beberapa kelompok pekerja informal
seperti pedagang keliling dan pengusaha mikro. Selain itu, juga terdapat inisiatif berupa program percontohan
berskala kecil dari PT Jamsostek untuk pekerja di luar hubungan kerja (Jamsostek LHK) yang menyediakan asuransi
kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan kematian.
2.1.2.2. Bantuan Sosial dan subsidi
Bantuan sosial disediakan melalui berbagai program yang menyediakan akses terhadap pendidikan, perawatan
kesehatan, pangan, infrastruktur sosial dan peluang kerja. Berbagai program ini diimplementasikan oleh berbagai
kementerian terkait.
Subsidi pemerintah, baik yang sifatnya universal maupun yang ditargetkan, terdiri dari subsidi energi (bahan bakar
dan listrik) yang bersifat universal dan subsidi nonenergi (raskin, pupuk, bibit, kredit, kedelai, minyak goreng dsb)
yang ditargetkan untuk kategori penduduk tertentu.
Tabel 2: Bantuan Sosial dan Subsidi
4
5
Kelompok Sasaran
Jenis manfaat
Program
Pengawas Kementerian
Rumah tangga
miskin
Perawatan Kesehatan Gratis
Jamkesmas
Kementerian Kesehatan
Beras bersubsidi
Raskin
Kemenko Kesra
Bantuan Langsung Tunai
bersyarat
PKH, PKSA
Kemensos
Bantuan tunai
Rp 300.000 per bulan bagi
penyandang disabilitas berat
JSPACA
Kemensos
Bantuan tunai
Rp 300.000 per bulan bagi
lansia rentan telantar
JSLU
Kemensos
Beasiswa yang mencakup biaya
buku, seragam dsb
Beasiswa untuk
siswa miskin
Kementerian Pendidikan
Masyarakat miskin
Dana Langsung (Block grant)
kepada masyarakat untuk
pembangunan infrastruktur
sosial dan fisik di kecamatan
dan desa/kelurahan.
PNPM
Kemenko Kesra (PNPM
pedesaan di bawah
Kementerian Dalam
Negeri, PNPM perkotaan
di bawah Kementerian
Pekerjaan Umum4
Usaha kecil dan
mikro
Pemberdayaan usaha kecil dan
mikro melalui program kredit
mikro
Kredit Usaha
Rakyat (KUR)
Kemenko Perekonomian 5
Bersifat Umum/
Universal
Persalinan Gratis
Jampersal
Kementerian Kesehatan
Bantuan Langsung Sekolah
BOS
Kementerian Pendidikan
Juga didukung beberapa sektor lainya seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, dan Kementerian Pariwisata)
Beserta instansi-instansi pembina, di antaranya Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan,
serta Instansi terkait lainnya (sebagaimana tercantum dalam skema penyaluran KUR, dalam http://
www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351)
5
2.1.2.3. Dari subsidi ke program pengentasan kemiskinan
Berawal dari pengalihan alokasi subsidi BBM ke program perlindungan sosial, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 (dalam Peraturan Pemerintah No. 5/2010) mempertajam fokus pengentasan
kemiskinan melalui pengelompokan program-program penanggulangan kemiskinan. Melalui Peraturan Presiden
No. 15/2010 koordinasi program-program pengentasan kemiskinan nasional ditingkatkan langsung di bawah
kantor Sekretariat Wakil Presiden untuk mempermudah sinergi multi sektor dan agenda penanggulangan
kemiskinan yang beragam di bawah kementerian yang berbeda. Dengan transformasi ini, TKPK (Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan yang sebelumnya di bawah Kementerian Koordinator Kesra berubah nama menjadi
TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan).
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Koordinasi program-program pengentasan kemiskinan dikelola dalam tiga kelompok (kluster) sebagai berikut:
(i)
Kelompok bantuan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kaum miskin, dengan menyasar unitunit rumah tangga. Instrumen kelompok ini antara lain asuransi kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas),
subsidi beras untuk orang miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai Bersyarat (Program Keluarga Harapan/
PKH), beasiswa bagi kaum miskin, dan bantuan sosial bagi penyandang disabilitas, lansia dan anak telantar.
(ii)
Kelompok pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan pendapatan kaum
miskin, dan untuk melibatkan masyarakat miskin dalam proses-proses pembangunan. Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah instrumen utama dari Kelompok ini.
(iii)
Kelompok pemberdayaan usaha kecil dan mikro bertujuan untuk mendukung pengembangan usaha kecil
dan mikro. Instrumen utama kluster ini adalah program kredit usaha rakyat (KUR).
2.1.3 Kerangka Hukum
Dasar hukum dari berbagai program perlindungan sosial yang ada saat ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3: Kerangka Hukum
Nama skema atau program
dan manfaat utama
Kerangka Hukum
JAMSOSTEK (kecelakaan
kerja, kematian, jaminan hari
tua untuk sektor formal)
•
•
UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
ASKES (kesehatan bagi PNS,
pensiunan PNS, pensiunan
ABRI dan veteran)
•
Peraturan Pemerintah No. 69/1991 mengenai Pemeliharaan
Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran,
Perintis Kemerdekaan beserta Keluarganya
Peraturan Pemerintah No. 28/2003 tentang Subsidi dan Iuran
Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi
Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun
JAMKESMAS
•
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 686/2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jamkesmas
JAMPERSAL
•
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan
Persalinan
JAMSOSTEK (pemeliharaan
kesehatan bagi sektor formal)
•
6
Nama skema atau program
dan manfaat utama
Kerangka Hukum
TASPEN
•
•
UU No. 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/
Duda Pegawai
Peraturan Pemerintah No 25/1981 tentang Asuransi Sosial bagi
PNS
ASABRI
•
Peraturan Pemerintah No. 67/1991 tentang Asuransi Sosial untuk
ABRI
JAMSOSTEK untuk pekerja
informal
•
•
•
UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Peraturan Kemenakertrans No. 24/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi
Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja
ASKESOS (Asuransi
kesejahteraan sosial bagi
pekerja informal)
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Keputusan Menteri Sosial No. 51/2003 tentang Program Jaminan
Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu melalui Pola
Asuransi Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial
Permanen
BOS (Bantuan Operasional
Sekolah untuk kelas I-IX)
•
•
•
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar
Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan
Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.37/2010 tentang
Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011
•
Beasiswa untuk siswa miskin
(sekolah dasar – universitas)
•
•
•
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar
Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan
Pendidikan
PKH (Program Keluarga
Harapan)
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan
yang berkeadilan sosial
RASKIN (subsidi beras untuk
kaum miskin)
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Keputusan Menko Kesra No. 35/2008 tentang Tim Koordinasi
Raskin
PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat)
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Instruksi Presiden No. 3/2010 Program Pembangunan yang
berkeadilan
Keputusan Kemenko Kesra No. 25/2007 tentang Pedoman PNPM
Mandiri
•
KUR (kredit mikro, skema
jaminan dengan subsidi
Pemerintah)
•
•
•
•
Bantuan bagi Penyandang
disabilitas
•
•
•
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan
yang Berkeadilan
Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Percepatan Pengembangan
Sektor Riil dan Pemberdayaan UKM
Peraturan Menteri Keuangan No. 135/2008 tentang fasilitasi
jaminan untuk KUR
UU No. 19/2011 tentang Ratifikasi Konvensi PBB atas Hak
Penyandang Disabilitas
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat
7
Nama skema atau program
dan manfaat utama
Kerangka Hukum
•
•
•
Bantuan untuk Lanjut Usia
yang rentan
•
•
•
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
•
8
•
Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA)
•
•
•
•
•
Peraturan Pemerintah No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Penyandang Cacat
Peraturan Dirjen Perbendahaaran Negara, Kementerian Keuangan
No. 20/2006 tentang Pencairan Tunai bagi Penyandang disabilitas
Parah dan Orang Tua Telantar
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan
Berkeadilan
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 13/1998 tentang Lanjut Usia
Peraturan Pemerintah No. 43/2004 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Lansia
Peraturan Dirjen Perbendahaaran Negara, Kementerian Keuangan
No. 20/2006 tentang Pencairan Tunai bagi Penyandang Cacat
Parah dan Orang Tua Terlantar
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan
Berkeadilan
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak
UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005 tentang Pedoman Umum
untuk Pelaksanaan PKSA
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan
yang Berkeadilan
Catatan: Tabel kerangka hukum di atas berdasarkan program-program yang berjalan saat laporan ini ditulis, belum
mencakup UU SJSN beserta peraturan pendukungnya (antara lain Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan
Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang PBI Jaminan Kesehatan).
Lihat Lampiran 2 untuk Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, yang relevan dengan prinsip-prinsip
Landasan Perlindungan Sosial. Lampiran tersebut juga berisi kerangka hukum nasional berdasarkan konvensikonvensi tersebut
2.1.3.1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang-undang Jaminan Sosial yang berlaku saat ini adalah UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja6. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap karyawan memiliki hak atas jaminan sosial tenaga kerja
dan bahwa setiap perusahaan wajib menyediakan jaminan sosial kepada karyawannya yang melakukan pekerjaan
dalam hubungan kerja. Sedangkan program jaminan sosial untuk pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Iuran jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan
jaminan kematian ditanggung oleh pengusaha dan iuran jaminan hari tua ditanggung bersama oleh pengusaha
dan karyawan. Undang-undang ini mencakup skema-skema jaminan sosial berikut ini: jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian bagi pekerja dan tanggungan mereka.
2.1.3.2. Jaminan sosial untuk tenaga kerja sektor swasta formal
Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan penjabaran dari UU
No. 3/1992, khususnya untuk pekerja dalam hubungan kerja. Peraturan ini menyatakan bahwa partisipasi dalam
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian dalam Program Jamsostek adalah wajib, dan
6
UU No. 3 Tahun 1992 akan disesuaikan dengan substansi UU SJSN dan UU BPJS.
pengusaha dapat memilih untuk memberi skema asuransi kesehatan di luar Jamsostek (asuransi swasta ataupun
layanan kesehatan sendiri) sepanjang skema tersebut menyediakan manfaat yang lebih baik.
2.1.3.3. Jaminan sosial Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI, Polri, dan PNS Kementerian
Pertahanan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69/1991, PNS aktif, pensiunan PNS, pensiunan TNI dan Polri, veteran dan
tanggungan mereka berhak atas asuransi kesehatan yang dikelola oleh PT Askes. Iuran Askes ditanggung bersama
antara pekerja dan pemerintah (dinyatakan dalam peraturan Pemerintah No. 28/2003). Anggota TNI, Polri, dan PNS
Kementerian Pertahanan yang masih aktif mendapat perawatan kesehatan tersendiri, melalui pelayanan kesehatan
dan rumah sakit khusus.
Pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri saat ini merupakan satu-satunya kelompok yang menerima skema
pensiun bulanan, yang dibayarkan kepada pensiunan maupun ahli waris bagi pensiunan yang sudah meninggal.
Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan tabungan hari tua yang diterima sekaligus saat mencapai usia pensiun.
Dana pensiun dan tabungan hari tua untuk PNS dikelola oleh PT Taspen (berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
25/1981). Dana pensiun dan tabungan hari tua maupun asuransi sosial anggota TNI dan Polri dikelola oleh PT
Asabri (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 67/1991).
2.1.3.4. Jaminan sosial bagi pekerja di sektor informal
Dalam UU No. 3/1992, ketentuan mengenai jaminan sosial bagi pekerja sektor informal masih terbatas. UU tersebut
menyatakan bahwa program jaminan sosial bagi pekerja di luar hubungan kerja akan diatur lebih lanjut oleh
peraturan pemerintah (pasal 4, ayat 2). Kemenakertrans mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24/2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial untuk pekerja di luar hubungan kerja. Berdasarkan peraturan ini,
sebuah program ujicoba dilakukan untuk memperluas jangkauan jaminan sosial ke pekerja informal melalui skema
sukarela yang dikelola oleh PT Jamsostek. Skema ini menawarkan empat manfaat: kesehatan, kecelakaan kerja,
kematian, dan hari tua. Melalui pilot project ini, pemerintah memberi bantuan subsidi iuran untuk beberapa bulan
pertama, dengan harapan setelah proyek percontohan selesai, para pekerja akan melanjutkan keanggotaan mereka
dan membayar iuran sendiri.
Namun demikian, kemajuan dalam perluasan jangkauan melalui proyek percontohan ini masih lambat. Dari sekitar
70 juta pekerja di sektor informal, jumlah keseluruhan peserta baru mencapai 400.000 pada 2010. Kebanyakan
peserta juga tidak melanjutkan kepesertaan mereka setelah tidak lagi menerima subsidi. Keluar masuknya peserta
dalam program ini juga sangat tinggi. Peserta dapat dengan mudah mendaftar dan keluar kapan saja. Jamsostek
mengakui bahwa lambatnya pertumbuhan program tersebut adalah karena sejumlah permasalahan baik dari
sisi permintaan dan penawaran. Kapasitas administrasi dan SDM Jamsostek, dan juga kurangnya pemahaman
pekerja dan ketidakmampuan membayar kontribusi secara teratur, menyebabkan rendahnya tingkat kepesertaan
(Jamsostek, 2010). Konsultasi di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan kurangnya keberlanjutan program
ini setelah masa ujicoba berakhir. Kebanyakan pekerja dalam program ini tidak melanjutkan keanggotaan mereka.
Karakteristik dari pekerjaan di sektor informal, juga permasalahan dalam pendaftaran, kepatuhan pembayaran
kontribusi, dan pendataan peserta masih menjadi tantangan bagi Jamsostek. Masih diperlukan eksplorasi lebih
lanjut terkait mekanisme pembayaran dan metode administrasi yang dapat menyesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pekerja sektor informal, begitu juga dengan desain paket manfaat yang dapat menjawab kebutuhan
mereka dengan lebih baik.
Kementerian Sosial melaksanakan program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) sebagai skema pengganti
pendapatan bagi para pekerja sektor informal, yang menyediakan manfaat berupa uang tunai jika terjadi kondisi
sakit, kecelakaan kerja, atau kematian. Dana dikelola oleh organisasi lokal (mengelola paling sedikit 150 anggota/
peserta) yang diseleksi oleh Kementerian Sosial (Pedoman Pelaksanaan Askesos Kementerian Sosial). Kemensos
menyediakan Rp 30 juta kepada organisasi tersebut selama 3 tahun dan setiap anggota memberikan iuran sebesar
9
Rp 5.000 per bulan kepada organisasi tersebut. Jika terjadi kondisi sakit atau kecelakaan, pekerja mendapatkan
manfaat sebesar Rp 300.000 (maksimum untuk satu klaim per orang dan per manfaat per tahun). Manfaat/
tunjangan kematian sebesar Rp 400.000 jika anggota meninggal pada tahun pertama keanggotaan, dan Rp 600.000
jika meninggal di tahun kedua keanggotaan atau Rp 800.000 jika kematian terjadi di tahun ketiga keanggotaan.
Pada 2011, skema Askesos memiliki 358.000 anggota dengan melibatkan sebanyak 1.790 Organisasi sosial di 33
provinsi. Saat ini program Askesos tengah dalam fase ujicoba untuk menyesuaikan dengan pronsip-prinsip asuransi
sebagaimana diamanatkan dalam berbagai peraturan terkait jaminan sosial serta meningkatkan kapasitas lembaga
pelaksana melalui kerjasama kemitraan dengan PT Jamsostek. Melalui kerjasama ini, manfaat disesuaikan menjadi
asuransi kecelakaan kerja dan kematian.
2.1.3.5. Amendemen UUD 1945 dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Upaya mencapai sistem perlindungan sosial yang komprehensif dan universal di Indonesia ditandai dengan
dua pijakan penting: amendemen UUD 1945 tentang perluasan jaminan sosial bagi seluruh penduduk dan
diundangkannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional/ UU SJSN).
10
Pada 2002, Pemerintah Indonesia mengamendemen UUD 1945 tentang jaminan sosial. Pasal 28 H, Sub-bagian 3,
menyatakan: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34, Sub-bagian 2, menyatakan: “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”
Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan pada 19 Oktober 2004, dirancang untuk
menciptakan sistem jaminan sosial yang mencakup semua pekerja Indonesia beserta tanggungan mereka, baik di
sektor formal maupun informal dengan lima program berikut:
•
Jaminan Kesehatan disediakan untuk semua orang yang membayar iuran atau orang miskin dan tidak
mampu yang kontribusinya dibayar oleh Pemerintah. Peserta yang menerima upah akan membayar kontribusi
berdasarkan persentasi dari upahnya, ditanggung bersama dengan pengusaha yang mempekerjakan. Peserta
yang tidak menerima upah akan membayar dalam jumlah nominal tertentu. Kontribusi untuk orang miskin
akan dibayar oleh Pemerintah, juga berdasarkan jumlah nominal tertentu.
•
Jaminan kecelakaan kerja memastikan bahwa jika terjadi kecelakaan kerja atau sakit yang berhubungan
dengan pekerjaan, peserta menerima layanan kesehatan, serta kompensasi tunai jika kecelakaan atau
penyakit tersebut menyebabkan kematian atau cacat permanen. Iuran untuk pekerja penerima upah diatur
berdasarkan persentasi upah dan untuk yang tidak menerima upah berdasarkan jumlah nominal.
•
Jaminan hari tua memberi manfaat bagi para pekerja yang mencapai usia pensiun atau mengalami cacat,
dan apabila pekerja meninggal maka diberikan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Jumlah manfaat
ditentukan berdasarkan total akumulasi kontribusi ditambah hasil pengembangannya.
•
Jaminan pensiun menyediakan manfaat bulanan tetap kepada para pekerja yang mencapai usia pensiun
atau mengalami cacat permanen, dan keluarga yang ditinggal apabila pekerja meninggal. Pesertanya berhak
menerima manfaat bulanan secara tetap setelah membayar iuran minimal 15 tahun. Jika peserta mencapai usia
pensiun sebelum memenuhi kontribusi minimal 15 tahun, mereka akan menerima total akumulasi kontribusi
ditambah dengan hasil pengembangannya. Skema ini hanya tersedia bagi pekerja yang menerima upah, dan
iurannya diatur berdasarkan persentasi upah dan ditanggung bersama oleh pekerja dan pengusaha.
•
Jaminan kematian menyediakan manfaat tunai kepada ahli waris dari pekerja yang meninggal dunia. Iuran
dibayar oleh pengusaha dalam hal pekerja penerima upah dan untuk pekerjaan bukan penerima upah
ditetapkan berdasarkan jumlah nominal.
Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden dengan fungsi
merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Dengan diundangkannya UU No. 24
Tahun 2011 tentang BPJS, DJSN mengkoordinasikan transformasi empat BUMN (PT Askes, PT Jamsostek, PT
Taspen, PT Asabri) menjadi dua institusi publik nonprofit (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yang akan
bekerja langsung di bawah pengawasan presiden. PT Askes akan ditransformasikan menjadi BPJS Kesehatan
untuk menyediakan skema asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk dimulai pada 1 Januari 2014. Sedangkan
PT Jamsostek akan ditransformasikan menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan akan menyediakan jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. BPJS Ketenagakerjaan ditargetkan sudah beroperasi pada
Juli 2015. Dua perusahaan lain, PT Taspen dan PT Asabri diperintahkan oleh UU BPJS untuk merancang peta jalan
(road map) pengalihan bertahap ke BPJS Ketenagakerjaan.
Sejalan upaya menyiapkan implementasi BPJS Kesehatan, telah disusun peta jalan (road map) untuk mencapai
cakupan menyeluruh (universal coverage) asuransi kesehatan di Indonesia yang dimulai pada 1 Januari 2014. Peta
jalan ini akan memberikan arah dan tahapan untuk mencapai cakupan kesehatan universal.
2.2. Konteks global dan regional
Pada bulan April 2009, Komite Tingkat Tinggi untuk Program-Program PBB mengadopsi Landasan Perlindungan
Sosial sebagai satu inisiatif bersama untuk menghadapi krisis finansial dan percepatan pemulihannya. Inisiatif
ini memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk merencanakan dan melaksanakan skema
perlindungan sosial secara berkesinambungan. Kemudian dibentuklah sebuah koalisi global yang terdiri dari
lembaga-lembaga PBB (FAO, OHCHR, UNAIDS, UNDESA, UNDP, UNESCO, UNFPA, UN-HABITAT, UNHCR, UNICEF,
UNODC, UN Regional Commissions, UNRWA, WFP, WMO), IMF dan Bank Dunia, serta para mitra pembangunan
dan LSM-LSM terkemuka.
Dalam Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-101 tahun 2012, negara-negara anggota sepakat untuk
mengadopsi Rekomendasi mengenai Landasan Perlindungan Sosial (Rekomendasi No. 202), yang menegaskan
kembali jaminan sosial sebagai hak asasi dan sekaligus kebutuhan bagi terlaksananya pembangunan sosial dan
ekonomi yang berkelanjutan. Rekomendasi 202 memberi arahan dalam membuat strategi perluasan cakupan
dan peningkatan manfaat jaminan sosial bagi seluruh warga secara progresif. Rekomendasi ini didukung oleh
hampir seluruh negara anggota (453 suara setuju dan satu suara abstain) setelah melalui diskusi antara konstituen
(perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha). Konferensi Perburuhan Internasional ke-101 juga mengadopsi
Resolusi mengenai upaya untuk merealisasikan Landasan Perlindungan Sosial di seluruh dunia7, yang menghimbau
pemerintah, pekerja dan pengusaha untuk bekerja sama melaksanakan Rekomendasi No. 202 sesegera mungkin
sesuai dengan kemampuan nasional masing-masing.
Landasan Perlindungan Sosial menggunakan pendekatan yang menyeluruh terhadap perlindungan sosial. Landasan
Perlindungan Sosial mensyaratkan adanya akses terhadap barang dan jasa minimum bagi semua kelompok usia,
dengan perhatian khusus pada kelompok yang terpinggirkan dan rentan (seperti masyarakat adat dan penyandang
disabilitas). Negara kemudian dapat memilih upaya untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada penduduknya,
melalui tingkat layanan sosial yang lebih baik dan cakupan yang lebih komprehensif (manfaat yang lebih besar
melalui skema campuran kontribusi dan nonkontribusi.)
Landasan Perlindungan Sosial mengedepankan jaminan pendapatan melalui serangkaian jaminan dasar yang
bertujuan untuk mencapai:
•
seluruh penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar;
•
semua anak memiliki jaminan penghidupan, minimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi,
pendidikan dan kesehatan;
•
seluruh penduduk usia kerja memiliki jaminan pendapatan minimum, secara tunai atau dalam bentuk barang
atau program-program ketenagakerjaan dan
7
Dokumen terdapat dalam “Resolution concerning efforts to make social protection floors a national
reality worldwide”, dalam Provisional Record No.14, International Labour Conference, sesi 101 (Jenewa,
2012).
11
•
Seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas juga mendapatkan jaminan pendapatan paling
tidak pada tingkat minimum.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Komponen-komponen Landasan Perlindungan Sosial tersebut bersifat fleksibel dan dapat diselaraskan dengan
perkembangan sistem perlindungan sosial nasional. Empat jaminan tersebut hanya menetapkan standar minimum
terkait akses, cakupan, dan tingkat jaminan pendapatan dan kesehatan dalam sistem perlindungan sosial nasional.
Meskipun belum semua negara dapat segera melaksanakan seluruh komponen dan mencakup semua penduduk,
LPS memberikan kerangka perencanaan pelaksanaan secara progresif untuk memastikan visi yang menyeluruh dari
sistem perlindungan sosial melalui sinergi di antara berbagai komponen yang berbeda.
12
LPS juga mendukung pemberdayaan perempuan. Di seluruh dunia perempuan lebih banyak berada dalam posisi
miskin dan rentan dibanding laki-laki. Mereka menghadapi banyak hambatan sosial maupun legal yang membatasi
akses mereka ke pasar kerja, aset produktif, pekerjaan dengan upah yang labih tinggi, atau upah yang sama dengan
pekerja laki-laki. Perempuan cenderung lebih banyak berada pada pekerjaan diluar hubungan kerja dan tidak
tetap serta pekerjaan beresiko tinggi tanpa memiliki jaminan sosial. LPS bertujuan untuk meningkatkan cakupan
perlindungan sosial dasar kepada kelompok yang belum tercakup, dan hal ini dapat berdampak langsung pada
keseimbangan gender. Meskipun kawasan Asia Pasifik telah mencapai kemajuan ekonomi yang cukup pesat dalam
dua dekade terakhir dan telah mengangkat jutaan orang dari kemiskinan, tetapi tidak semua orang menikmati
pencapaian tersebut. Jutaan orang masih miskin, tidak mendapatkan hak-hak dasarnya, dan rentan terhadap risiko
yang meningkat karena krisis ekonomi global dan perubahan iklim. Hal ini mengancam terjadinya kemunduran
dalam kerangka pembangunan manusia dari dekade sebelumnya. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika
perlindungan sosial, yang merujuk pada serangkaian instrumen kebijakan untuk memastikan bahwa semua orang
memiliki hak atas jaminan pendapatan dan akses terhadap layanan sosial dasar, masih menjadi prioritas agenda
kebijakan kawasan tersebut. Pada sesi ke-67 di bulan Mei 2011, negara anggota Komisi Ekonomi Sosial PBB untuk
Asia Pasifik telah mengesahkan sebuah resolusi untuk “memperkuat sistem perlindungan sosial di Asia dan Pasifik”.
Landasan Perlindungan Sosial juga merupakan prioritas dalam agenda G20. Pertemuan KTT Kepala Negara G20
pada bulan September 2011 merekomendasikan untuk “Memperkuat perlindungan sosial dengan melaksanakan
landasan perlindungan sosial yang disesuaikan untuk setiap negara”.
Dalam Pertemuan Regional Asia Pasifik ke-15 di Kyoto, Jepang, pada 4-7 Desember 2011, pemerintah, pekerja, dan
pengusaha di Asia Pasifik mengakui bahwa “Membangun LPS yang efektif, yang selaras dengan situasi nasional”,
merupakan prioritas kebijakan nasional utama dalam Dekade Pekerjaan yang Layak di Asia Pasifik.
Penilaian Landasan Perlindungan
Sosial di Indonesia Berdasarkan
Dialog Nasional: Tujuan, proses,
dan metodologi
3
3.1. Tujuan
Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial menggunakan kerangka LPS untuk menilai situasi jaminan sosial
secara keseluruhan (dan tidak hanya pada skema perlindungan sosial nonkontribusi) yang ada saat ini di Indonesia.
Dalam dialog nasional dilakukan identifikasi kekurangan dan permasalahan jaminan sosial saat ini, identifikasi
langkah-langkah untuk meningkatkan koherensi antar program, mengurangi fragmentasi dan meningkatkan
efisiensi melalui mekanisme penargetan yang lebih baik dan bersinergi dengan strategi-strategi lain (penciptaan
lapangan kerja, pengembangan keterampilan, dan sebagainya) untuk mengurangi kerentanan kaum miskin, dan
identifikasi opsi-opsi prioritas masa depan. Penilaian ini kemudian dilengkapi dengan kegiatan penghitungan biaya
(costing) secara cepat untuk memperkirakan biaya yang diperlukan untuk memperluas program yang sudah ada
atau untuk membuat program baru.
Tujuan utama dari Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial adalah:
1.
untuk memicu dialog nasional mengenai perlindungan sosial antara para pemangku kepentingan –
kementerian terkait, mitra sosial, LSM, kalangan akademis, dan lembaga-lembaga PBB serta membangun
pemahaman bersama mengenai konsep landasan perllindungan sosial dan meningkatkan kapasitas dalam
perencanaan dan pembuatan kebijakan;
2.
untuk mengidentifikasi opsi prioritas intervensi pemerintah di bidang perlindungan sosial dan upaya
bersama untuk membangun perlindungan sosial Indoneisa yang komprehensif, sistematis dan berbasis hak
asasi;
3.
untuk mendukung pembuatan kebijakan yang mengarah kepada terbangunnya landasan perlindungan sosial
nasional, sembari memastikan bahwa skema perlindungan sosial yang diusulkan berjalan berkelanjutan dan
pendanaannya terjangkau;
4.
sebagai informasi awal (baseline) yang dapat digunakan untuk memonitor realisasi progresif LPS di masa
depan.
3.2. Proses
Penilaian untuk memperoleh rekomendasi desain dan pelaksanaan Landasan Perlindungan Sosial bagi semua
penduduk dilakukan melalui proses dan metodologi sebagai berikut:
Langkah 1 – Pembuatan matriks penilaian - Pengumpulan informasi mengenai sistem dan skema perlindungan
sosial yang ada, termasuk strategi dan peraturan-peraturan yang terkait, yang disusun dalam suatu matriks;
Langkah 2 – Protokol RAP - Dari rekomendasi yang diajukan, disusun beberapa skenario program yang dapat
dihitung perkiraan biayanya untuk periode 2014-2020 dengan menggunakan metode perhitungan Rapid
13
Assessment Protocol (RAP) ILO. Perhitungan tersebut juga menggunakan beberapa asumsi ekonomi. Hasil kegiatan
costing tersebut digunakan sebagai dasar untuk diskusi mengenai ruang fiskal, realokasi anggaran pemerintah, dan
pembuatan prioritas program-program perlindungan sosial.
Gambar 1: Struktur Model RAP
MODEL
PASAR KERJA
KERANGKA KERJA
DEMOGRAFI
MODEL
EKONOMI MAKRO
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
MODEL OPERASI
UMUM PEMERINTAH
14
“COSTING”
MANFAAT
RINGKASAN DAN
HASIL
Langkah 3 – Finalisasi - Membahas rekomendasi dengan pihak tripartit (pemerintah, pekerja dan pengusaha),
untuk memvalidasi rekomendasi dan asumsi serta mempersiapkan tahapan-tahapan selanjutnya seperti antara lain
melakukan studi kelayakan untuk desain skema-skema baru atau perluasan skema yang sudah ada, analisa ruang
fiskal secara mendalam, pembuatan mekanisme koordinasi, atau langkah lain yang diperlukan.
3.3. Metodologi
Penilaian menggunakan berbagai metodologi yang mencakup:
1.
Studi literatur atas laporan-laporan sebelumnya, perundang-undangan, data statistik;
2.
Konsultasi teknis (tatap muka dan melalui lokakarya atau perorangan) tentang skema-skema yang sudah
ada dan status pelaksanaannya;
3.
Dialog nasional tentang prioritas kebijakan dan langkah-langkah yang harus diambil;
4.
Pengembangan kepasitas mengenai pembuatan dan prioritas kebijakan serta lokakarya dan pelatihan;
5.
Pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) teknis dalam organisasi PBB untuk Perlindungan Sosial, bekerjasama
dengan berbagai kementerian, badan statistik dan institusi-institusi jaminan sosial;
6.
Memvalidasi hasil dari masing-masing tahapan dan dialog nasional.
Dalam menyelenggarakan penilaian, serangkaian konsultasi individual dan publik dilaksanakan di tingkat nasional
dan provinsi selama Mei sampai November 2011. Di tingkat provinsi, lokakarya diselenggarakan untuk melengkapi
matriks penilaian, di Ambon (Maluku), Kupang (NTT-Nusa Tenggara Timur), dan Surabaya (Jawa Timur). Konsultasi
ini melibatkan peserta dari kementerian yang terkait program jaminan sosial dan program pengentasan kemiskinan,
lembaga penyedia jaminan sosial, dan juga perwakilan dari pekerja dan pengusaha. Temuan awal dari penilaian
ini dibahas dan divalidasi dalam lokakarya validasi nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Perwakilan dari
pemerintah, organisasi pekerja, dan organisasi pengusaha memperkuat temuan awal dan rekomendasi, termasuk
mengenai kebutuhan untuk memiliki sistem perlindungan sosial terpadu, dan membuat percontohan layanan satu
atap untuk melaksanakan Landasan Perlindungan Sosial di beberapa daerah. Penilaian ini juga dipresentasikan
dalam “Pertemuan Para Ahli tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial” yang mengangkat pelajaran
dan praktek-paktek terbaik dalam penerapan Landasan Perlindungan Sosial di berbagai negara di Asia Pasifik, yang
diselenggarakan pada tanggal 12-15 Desember 2011 di Jakarta dan di tingkat ASEAN telah dilaksanakan pelatihan
mengenai penilaian dan perhitungan pembiayaan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh kantor ILO Asia
Pasifik bekerja sama dengan Universitas Chulalongkorn pada tanggal 15-19 Oktober 2012 in Bangkok, Thailand.
Aktivitas penguatan kapasitas serikat pekerja juga dilaksanakan di tingkat provinsi. Tujuh puluh (70) pemimpin
serikat pekerja dari konfederasi serikat pekerja diundang untuk berpartisipasi pada pelatihan ini. Tujuannya adalah
untuk membekali serikat pekerja agar dapat berkontribusi pada proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan
reformasi jaminan sosial.
Draf laporan penilaian ini dipresentasikan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Bappenas pada tanggal 24
Juli 2012, untuk mendapatkan masukan akhir dan persetujuan dari lembaga-lembaga terkait. Lokakarya dihadiri
oleh perwakilan dari kementrian terkait, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), serta beberapa lembaga nonpemerintah (LSM) nasional dan internasional.
Proses Penilaian digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Gambar 2: Proses Kegiatan Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia
15
16
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Presentasi matriks penilaian:
Struktur perlindungan sosial,
program yang ada, kekurangan
dari sisi kebijakan dan
implementasi, rekomendasi
4
Matriks penilaian (assesment matrix) adalah sebuah alat untuk menganalisis sejauh mana perlindungan sosial
yang sudah ada dan yang direncanakan berjalan sesuai dengan empat jaminan dalam Kerangka Kerja Landasan
Perlindungan Sosial. Matriks ini juga membantu identifikasi prioritas kebijakan untuk melengkapi LPS. Matriks
penilaian ini berisi analisis situasi perlindungan sosial, serta identifikasi kekurangan) dalam kebijakan maupun
implementasi.
Matriks penilaian menunjukkan kekuatan relatif dari sistem perlindungan sosial Indonesia, karena kita lihat bahwa
sejumlah perlindungan sosial sudah dapat dinikmati oleh banyak penduduk. Namun demikian, penilaian ini juga
mengidentifikasi beberapa perbaikan yang perlu dilakukan.
4.1. Struktur matriks penilaian
Tabel 4: Matriks Penilaian
Tujuan
LPS
Perlindungan
sosial yang
ada
Cakupan
Perlindungan sosial
yang ada
Strategi
ke
depan
Lembaga
terkait
Gap/kekurangan
Kebijakan
Implementasi
Rekomendasi
Skenario
untuk
costing
Kesehatan
Anak-anak
Gambaran strategi perlindungan
yang berjalan dan yang
direncanakan
Usia
Produktif
Kerangka LPS
Lansia dan
penyandang
disabilitas
Identitas kekurangan
dalam kebijakan dan
implementasi
Rekomendasi
kebijakan
berdasarkan
penilaian dan
diputuskan melalui
dialog
Skenario dari
rekomendasi
yang dapat
diperkirakan
biayanya
17
4.2. Program-program yang ada saat ini
4.2.1. Layanan kesehatan “semua penduduk memiliki akses terhadap serangkaian layanan
kesehatan dasar yang didefinisikan secara nasional”
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Dengan diundangkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2004 dan Badan Penyenglenggara Jaminan
Sosial pada tahun 2011, Pemerintah telah membuat komitmen untuk tercapainya asuransi kesehatan secara
universal. Peta Jalan (Roadmap) Pencapaian Kepesertaan Menyeluruh (universal coverage) Program Jaminan
Kesehatan di Indonesia yang telah disusun menargetkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
I) mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 dan cakupan kepesertaan secara bertahap akan menjangkau seluruh
masyarakat (universal coverage) pada tahun 2019.
18
Namun demikian, sebelum SJSN ini benar-benar terlaksana, masih banyak warga Indonesia yang belum menikmati
jaminan kesehatan. Meskipun asuransi kesehatan yang ada saat ini sudah banyak meningkatkan jangkauan
kepesertaannya, masih ada sekitar 41 persen penduduk yang belum terjangkau asuransi kesehatan. Dari mereka
yang memiliki akses terhadap perlindungan kesehatan, 32 persen dari total penduduk adalah peserta Jamkesmas,
sebuah skema asuransi kesehatan untuk penduduk miskin dan hampir miskin yang dibiayai oleh pemerintah.
Jenis asuransi lainnya yang tersedia saat ini mencakup asuransi kesehatan wajib bagi PNS (pegawai Negeri Sipil),
asuransi kesehatan untuk pekerja swasta formal, dan asuransi swasta atau program-program serupa lainnya yang
sebagian besar melayani penduduk yang lebih kaya (Bank Dunia, 2011).
Asuransi Kesehatan bagi penduduk miskin
Jamkesmas
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sebelumnya dikenal dengan Askeskin, menyasar penduduk miskin
dan hampir miskin. Penentuan penduduk miskin dan hampir miskin tersebut dilakukan melalui Sensus Pendataan
Program-program Perlindungan Sosial (PPLS) dengan metode penargetan proxy means-testing. Jamkesmas
memberi akses layanan kesehatan gratis di Puskesmas, juga ruang perawatan kelas 3 di rumah sakit pemerintah
dan beberapa rumah sakit swasta yang bekerjasama. Skema ini meneruskan program kartu sehat (1998-2001) dan
program kompensasi BBM (2001-2005), yang merealokasikan dana anggaran subsidi bahan bakar ke programprogram kesehatan dan bantuan sosial lainnya pada tahun 2005.
Anggaran APBN untuk Jamkesmas pada tahun 2012 sebesar Rp 7,3 triliun (atau hampir setara dengan 0,09 persen
PDB), yang menargetkan 76,4 juta penerima manfaat (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Pembayaran untuk
puskesmas dilakukan berdasarkan sistem fee-for-service claim (Pembiayaan untuk klaim karyawan), menggantikan
sistem kapitasi (pembayaran per orang) yang diterapkan sebelumnya. Untuk rumah sakit, sistem pembayaran
menggunakan Case Based Group (CBG), menggantikan sistem Diagnosis Related Group (DRG) yang digunakan
sebelumnya.
Sejak dimulainya program Jamkesmas pada 2005, jangkauan asuransi kesehatan untuk tiga puluh persen kelompok
pengeluaran terbawah meningkat dari 16,5 persen pada tahun 2004 menjadi lebih dari 43 persen di tahun 2010
(World Bank, 2011b). Namun demikian, ditambah dengan 4,4 persen warga dari kelompok ini yang memiliki asuransi
lain, masih ada 52,6 persen penduduk miskin yang belum memiliki asuransi kesehatan. Di sisi lain, 28 persen
dari kelompok pengeluaran menengah dan 11,8 dari kelompok pengeluaran teratas terdata sebagai penerima
Jamkesmas (World Bank, 2011b).
Program Jamkesmas saat ini belum memiliki paket manfaat yang definitif, dan estimasi biayanya belum didasarkan
atas perhitungan aktuaria yang komprehensif. Basis data (Database) yang komprehensif terkait penerima manfaatnya,
tingkat insiden, dan tingkat utilisasi dari layanan kesehatan yang disediakan juga belum sempurna. Kurangnya
data dan perhitungan aktuaria yang terperinci menyebabkan penerima manfaat tidak tahu paket pelayanan apa
saja yang menjadi hak mereka, mungkin ragu atau tidak bisa mengajukan keluhan apabila mereka ditolak untuk
mendapatkan layanan.
Jamkesda
Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, banyak pemerintah daerah memiliki program Jamkesda, program asuransi
kesehatan untuk penduduk miskin yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Jamkesda
secara khusus menyasar orang-orang yang diidentifikasi oleh pemerintah setempat sebagai orang miskin, namun
tidak dijangkau oleh Jamkesmas (karena tidak terdata sebagai orang miskin atau karena mereka baru saja jatuh
miskin). Berbeda dengan Jamkesmas yang layanannya berlaku secara nasional, manfaat Jamkesda hanya disediakan
melalui layanan kesehatan di provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan.
Tingkat dan jenis perlindungan Jamkesda berbeda-beda di setiap wilayah. Beberapa provinsi mengalokasikan
dana pemerintah daerah untuk memperluas jangkauan ke kelompok yang lebih luas (bukan hanya warga miskin),
atau bahkan untuk semua penduduk. Program Perawatan Kesehatan Mandara di Provinsi Bali dimulai pada Januari
2010 misalnya, menyediakan akses gratis terhadap perawatan kesehatan untuk semua penduduk. Pengumpulan
dana dilakukan di tingkat provinsi. Perawatan terkait HIV/AIDS sampai sekarang masih belum masuk dalam paket
manfaat (Dinas Provinsi Bali, 2011). Sumatera Selatan dan Aceh juga telah melaksanakan skema perlindungan
kesehatan sosial nonkontribusi yang menjangkau semua penduduk yang belum dijangkau (ekonomi informal,
baik miskin dan tidak miskin). Di Sumatera Selatan, dana di-pooling di tingkat kabupaten/kota (yang membatasi
wilayah manfaat). Di Aceh, pelaksanaan skema universal telah dikelola oleh PT Askes. Program Asuransi Kesehatan
Sosial (Jamkesos) Yogyakarta saat ini menyediakan akses gratis untuk perawatan kesehatan hanya bagi penduduk
miskin, namun direncanakan untuk diperluas jangkauannya kepada pekerja ekonomi formal dan informal yang
tidak dicakup oleh asuransi kesehatan. Untuk kelompok ini, pola kontribusi yang berbeda akan diterapkan (Kantor
Kesehatan Provinsi Yogyakarta, 2011).
Menurut Kementerian Kesehatan, total jangkauan program asuransi provinsi dan kab/kota adalah sekitar 13,5
persen dari total penduduk Indonesia. Berbagai program ini, dengan tingkat yang berbeda, ditemukan di hampir
semua provinsi dengan pengecualian Provinsi Gorontalo, Papua, dan Papua Barat (Pusat Pembiayaan Kesehatan dan
Asuransi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, data 2010). Meskipun program Jamkesda dirancang untuk menutupi
kekurangan cakupan Jamkesmas, metode penargetan dan data yang digunakan biasanya berbeda dengan yang
digunakan Jamkesmas. Beberapa daerah melaporkan adanya tumpang tindih antara penerima manfaat Jamkesmas
dan Jamkesda, dan crosscheck data peserta sering kali sulit dilakukan.
Asuransi Kesehatan untuk PNS dan Anggota TNI/Polri
Pegawai negeri sipil aktif, pensiunan PNS, pensiunan TNI dan Polri, veteran, dan perintis kemerdekaan nasional
serta tanggungannya memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT Askes. Jumlah anggota Askes pada
tahun 2011 adalah 16.482.331 orang (sekitar 7 persen dari penduduk), termasuk pegawai negeri sipil aktif dan
tanggungannya (total 11.661.743 penerima manfaat), pensiunan PNS dan tanggungannya (3.042.573 penerima
manfaat), pensiunan TNI/Polri dan tanggungannya (1.148.666 penerima manfaat), veteran dan tanggungannya
(582.790 penerima manfaat), dokter & bidan PTT dengan tanggungannya (41.313 penerima manfaat), serta Menteri
dan pejabat tertentu dengan tanggungannya (5.246 penerima manfaat) (laporan tahunan PT Askes, 2011). Peserta
menerima manfaat melalui mekanisme layanan kesehatan yang terstruktur yang tersedia di seluruh Indonesia.
Iuran ditanggung bersama antara pegawai negeri dan Pemerintah dalam perannya sebagai pemberi kerja. Pegawai
negeri membayar kontribusi 2 persen dari gaji dan Pemerintah membayar dalam jumlah yang sama. Pada 2009,
total premi berjumlah Rp 9,2 triliun. Anggota TNI dan Polri yang masih aktif mendapat perawatan kesehatan sendiri
dan memiliki rumah sakit khusus.
Kesehatan untuk Pekerja
PT Jamsostek, badan usaha milik negara yang ditugasi mengelola dana asuransi sosial bagi sektor swasta,
menyediakan asuransi kesehatan (khususnya untuk pekerja formal). Pengusaha dapat memilih untuk tidak
menggunakan asuransi kesehatan Jamsostek dengan syarat ia menyediakan manfaat/perlindungan yang lebih
19
tinggi melalui skema-skema lain kepada karyawannya. Beberapa pengusaha memilih untuk memakai asuransi
swasta, beberapa memiliki layanan kesehatan sendiri. Namun demikian, masih banyak perusahaan yang menghindar
dan tidak memberikan perlindungan kesehatan bagi para pekerja mereka.
Menurut laporan tahunan 2011 Jamsostek, peserta aktif dari program Jaminan Perawatan Kesehatan (JPK)
berjumlah 2.567.671 pekerja (sekitar 6 persen dari pekerja sektor formal, atau 2 persen dari total angkatan kerja),
atau 5.884.528 total penerima manfaat (sekitar 2 persen dari penduduk).
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Menurut basis data (database) Kementerian Kesehatan, jumlah total peserta asuransi kesehatan Jamsostek dan
asuransi kesehatan lain yang disediakan oleh pengusaha berjumlah 6 persen dari penduduk. Angka ini sangat kecil
mengingat proporsinya hanya sepertiga dari angkatan kerja di sektor formal. Ini memperlihatkan masih lemahnya
penegakkan Undang-undang Jaminan Sosial Pekerja.
20
Iuran asuransi kesehatan PT Jamsostek adalah 6 persen dari gaji untuk pekerja yang memiliki tanggungan
(hingga 4 anggota keluarga) dan 3 persen dari gaji untuk pekerja yang tidak memiliki tanggungan. Sampai tahun
2011, beberapa perawatan/tindakan berbiaya besar seperti operasi jantung, cuci darah, pengobatan kanker dan
pengobatan HIV/AIDS tidak termasuk dalam jaminan. Pada akhir tahun 2011, dengan diberlakukannya Keputusan
Direktur No. Kep/310/102011, Jamsostek meningkatkan paket manfaat perawatan kesehatan (menyertakan
operasi jantung, cuci darah dan pengobatan HIV/AIDS), seiring dengan meningkatkan kontribusi rata-rata dengan
meningkatkan plafon gaji untuk kontribusi dari Rp 1 juta menjadi Rp 3 juta. Perawatan-perawatan yang disebutkan
di atas masih belum dijamin oleh kebanyakan asuransi swasta.
Jaminan Persalinan
Jampersal (Jaminan Persalinan) adalah sebuah program yang dimulai pada awal 2011, yang menjamin perawatan
persalinan gratis, termasuk pemeriksaan prapersalinan dan pasca persalinan, yang dapat dimanfaatkan oleh
ibu hamil. Pemeriksaan dan persalinan disediakan di Puskesmas atau ruang perawatan kelas 3 di rumah sakit.
Anggaran untuk tahun 2011 dialokasikan sebesar Rp 1,2 triliun, menyasar 2,6 juta persalinan atau 60 persen dari
total estimasi persalinan (4,8 juta). Skema tersebut menggunakan mekanisme pembayaran langsung ke fasilitas
kesehatan (sehingga pasien tidak membayar apapun). Total paket biaya persalinan normal adalah Rp 420.000,
termasuk Rp 350.000 untuk persalinan, Rp 40.000 untuk 4 layanan pra persalinan dan 3 layanan pasca persalinan.
Kasus-kasus persalinan dilakukan di rumah sakit rujukan dan klaim biayanya ditentukan oleh Indonesia Case Base
Group (INA-CBGs).
Program uji coba Jamsostek untuk pekerja ekonomi Informal
Program ujicoba Jamsostek untuk pekerja sektor informal, diluncurkan pada 2006, memiliki empat skema termasuk
di antaranya skema jaminan kesehatan. Jumlah total peserta sampai tahun 2011 sebanyak 400.000 orang, tetapi
keanggotaannya selalu berubah, karena peserta seringkali masuk dan keluar dari program tersebut kapan saja.
Program ini mensasar pekerja ekonomi informal yang berpenghasilan setara upah minimum provinsi (UMP) atau
lebih (sekitar Rp 1.000.000/per bulan, tapi bervariasi tergantung provinsi). Iuran untuk jaminan kesehatan adalah
3 persen dari pendapatan untuk pekerja tanpa tanggungan dan 6 persen dari pendapatan untuk pekerja dengan
tanggungan. “Pendapatan” tersebut ditentukan berdasarkan standar UMP.
Tabel Rangkuman
Tabel 5: Rangkuman program-program jaminan kesehatan
Skema atau program
Kontribusi atau pendanaan
Jumlah orang yang dicakup
PT Jamsostek -Program
Jaminan Perawatan
Kesehatan (JPK)
Pekerja dengan
tanggungannya (total
maksimum 5 anggota keluarga)
Pengusaha: 6 persen dari upah
Pekerja tanpa tanggungan
Pengusaha: 3 persen dari upah
2.180.825 kontributor pada 2010
(5,7% dari pekerja sektor formal,
atau 1,8% dari total angkatan
kerja)
5.044.375 penerima manfaat (2,1%
dari total penduduk)
PT Askes
Pekerja (PNS): 2 persen dari
gaji
Pemberi Kerja (Pemerintah): 2
persen dari gaji
16.559.025 penerima manfaat
pada tahun 2010 (7 persen dari
total penduduk)
Jamkesmas
Anggaran Pemerintah Pusat
Rp 5,1 triliun pada 2010
0,07 persen dari PDB
20 persen dari anggaran
kesehatan Pemerintah pusat
76,4 juta penerima manfaat
(32 persen dari total penduduk)
Jampersal
Anggaran Pemerintah Pusat
Rp 1,2 triliun pada 2011
0,017 persen dari PDB
Target di 2011: 2,6 juta persalinan
atau 60 persen dari total estimasi
persalinan (4,8 juta)
Jamsostek (program
percontohan)
Pekerja dengan tanggungan
(total maks. 5 anggota
keluarga)
Pekerja: 6 persen dari upah
< 400.000 orang
(Anggota dapat memilih salah
satu sampai dengan empat skema
program percontohan)
Pekerja tanpa tanggungan
Pekerja: 3 persen dari upah
(“upah” ditentukan setara
dengan upah minimum Rp 1
juta/bulan)
21
4.2.3. Anak-anak “Semua anak harus menikmati jaminan penghidupan untuk memastikan
akses terhadap nutrisi, pendidikan dan perawatan/pengasuhan”.
4.2.3.1. Program pendidikan (BOS dan beasiswa untuk siswa miskin)
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Program-program bantuan sosial Pemerintah dalam bidang pendidikan mencakup di antaranya program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), program beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin dan program pembangunan serta
rehabilitasi sekolah. Sesuai dengan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan anggaran pendidikan setidaknya
sebesar 20 persen dari total anggaran belanja negara, pengeluaran untuk pendidikan pada tahun 2012 dianggarkan
sebasar Rp 308 triliun (Nota Keuangan dan APBN-P 2012) dan pada tahun 2013 diperkirakan sebesar Rp 331,8
triliun (Nota Keuangan dan RAPBN 2013).
22
Bantuan operasional sekolah (BOS) adalah komponen utama dari program bantuan sosial Pemerintah di bidang
pendidikan. Pemerintah memberikan block grant ke sekolah dengan tujuan untuk menyediakan pendidikan dasar
(dari kelas 1 sampai kelas 9) secara cuma-cuma dan memastikan bahwa semua pelajar bisa mendapatkan pendidikan
dasar yang berkualitas. Alokasi anggaran untuk program BOS dalam lima tahun terakhir telah meningkat dari Rp
4,8 triliun pada 2005 menjadi Rp 23,6 triliun pada 2012. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah
penerima manfaat dan juga jumlah bantuan per kapita. Program tersebut menjangkau 34,5 juta siswa pada 2005,
41,9 juta siswa pada tahun 2008, dan 44,7 juta siswa pada tahun 2012. Dana bantuan per kapita yang diterima
sekolah dasar (SD) adalah Rp 235.000 per siswa per tahun pada 2005 dan Rp 254.000 per siswa per tahun pada
2008.
Pada tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP), bantuan yang diberikan meningkat dari Rp 324.500 per siswa per
tahun pada 2005 menjadi Rp 354.000 per siswa per tahun pada 2008. Sejak 2010, program tersebut membedakan
jumlah dana bantuan per kapita untuk siswa di perkotaan dan pedesaan. Alokasi untuk sekolah-sekolah di perkotaan
berjumlah Rp 400.000 per siswa per tahun untuk siswa sekolah dasar (SD) dan Rp 575.000 per siswa per tahun
untuk siswa sekolah menengah pertama (SMP) sedangkan untuk sekolah-sekolah di pedesaan menerima dana
bantuan sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun untuk tingkat SD dan Rp 570.000 per tahun untuk siswa sekolah
menengah pertama.
Subsidi untuk Siswa Miskin (SSM)
Program Subsidi Siswa Miskin merupakan kelanjutan dari program yang sebelumnya dinamai Beasiswa untuk Siswa
Miskin (BSM). Program ini menargetkan pelajar miskin dari tingkat dasar hingga universitas. Saat diluncurkan pada
2008, program tersebut memiliki anggaran Rp 2,2 triliun dan menjangkau 2,7 juta siswa. Pada 2012, anggaran yang
dialokasikan untuk program ini adalah Rp 5,9 triliun, dan jangkauannya lebih luas, sekitar 6,3 juta siswa (APBN-P
2012). Uang untuk siswa ditransfer langsung dari kementrian ke siswa yang bersangkutan, biasanya melalui layanan
pos.
Penargetan program BSM masih kurang jelas. Jumlah penerima manfaat didasarkan atas ketersediaan dana yang
diterima provinsi dari Kementerian Pendidikan, dan seleksi penerima manfaat seringkali diserahkan pada dinas
pendidikan daerah atau kepala sekolah. Di tingkat nasional, ada kesepakatan bahwa beasiswa harus diprioritaskan
untuk siswa yang keluarganya merupakan penerima Program Keluarga Harapan (PKH) karena mereka dari keluarga
sangat miskin. Meskipun demikian, pada prakteknya sekolah atau dinas pendidikan daerah mungkin memiliki
pertimbangan lain, seperti pemerataan bantuan kepada siswa miskin yang belum mendapatkan bantuan dari
program PKH.
Program BSM tidak mengikuti siswa penerimanya. Artinya siswa yang menerima beasiswa sewaktu di bangku SD
mungkin tidak lagi menerima bantuan ketika ia masuk SMP, meskipun keadaan ekonominya tetap sama. Bahkan
juga ditemukan (di NTT) bahwa di sekolah yang sama penerima dapat berubah-ubah. Keadaan ini menunjukkan
bahwa metode penargetan perlu diperjelas dan database penerima perlu diperbaiki.
Sebagian pemerintah provinsi atau kabupaten memiliki program pendidikan yang bertujuan untuk melengkapi
program BOS dan beasiswa. Di Maluku, misalnya, pemerintah provinsi memperluas jangkauan program BOS ke
sekolah menengah atas (untuk siswa usia 15-18 tahun). Diskusi-diskusi yang berlangsung di Maluku selama proses
Penilaian mengarah pada rekomendasi untuk juga membuat program beasiswa dengan menggunakan anggaran
provinsi, untuk melengkapi program beasiswa nasional. Pemerintah provinsi Jawa Timur memperluas program BOS
ke pondok-pondok pesantren yang saat ini tidak menjadi bagian dari program BOS pemerintah pusat.
4.2.3.2. Program Bantuan Tunai Bersyarat
Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan utamanya dirancang untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan bayi serta pendidikan
dasar bagi rumah tangga miskin. Dalam Penilaian ini, PKH ditempatkan di bawah judul jaminan pendapatan untuk
anak, karena anak-anak merupakan kelompok yang paling banyak menerima manfaat dari program ini, baik dalam
hal jumlah bantuan maupun lamanya pemberian bantuan. Namun demikian, kita dapat melihat bahwa program ini
juga memberikan jaminan pendapatan bagi perempuan di usia produktif pada saat kehamilan dan persalinan.
Saat pertama diperkenalkan pada tahun 2007, program ini merupakan proyek percontohan di tujuh provinsi. Pada
tahun 2012, PKH telah menjangkau 1,5 juta rumah tangga sangat miskin di 1.462 Kabupaten/Kota pada 33 provinsi,
dengan alokasi anggaran Rp 1,8 triliun. Program ini ditargetkan menjangkau 3 juta rumah tangga sangat miskin
pada tahun 2014 (RKP 2013, APBN 2012). Saat ini, prioritas diberikan pada daerah-daerah miskin (daerah dengan
jumlah rumah tangga sangat miskin yang tinggi, tetapi terdapat fasilitas perawatan kesehatan dan pendidikan).
Wilayah yang saat ini disasar oleh PKH merupakan wilayah yang dianggap memiliki pelayanan sosial (kesehatan
dan pendidikan) yang relatif memadai. Namun tantangan besar akan dihadapi ketika memperluas jangkauan ke
wilayah baru, terutama yang terletak di Indonesia Timur, mengingat layanan kesehatan dan pendidikan masih
terbatas dan perlu perbaikan.
Penerima manfaat terdiri atas rumah tangga yang memiliki anak usia kurang dari 15 tahun (atau 15-18 tahun,
apabila belum menyelesaikan kelas 9) dan/atau perempuan hamil atau menyusui. Jumlah yang diterima bervariasi
berdasarkan struktur keluarga dan kepatuhan mereka dalam persyaratan pendidikan dan kesehatan. Setiap rumah
tangga menerima antara Rp 600.000 hingga Rp 2.200.000 per tahun. Syarat-syarat pemberian bantuan ini di
antaranya: (1) anak bersekolah dan hadir paling tidak 85 persen hari sekolah; (2) ibu hamil/menyusui dan bayi 0-6
tahun secara teratur mengunjungi fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan.
Tabel 6: Manfaat program PKH
Skema Manfaat
Manfaat per Rumah Tangga
(Rp per tahun)
Manfaat Tetap
200 000
Anak di bawah usia 6 tahun, ibu hamil/menyusui
800 000
Anak di sekolah dasar
400 000
Anak di sekolah menengah pertama
800 000
Rata-rata manfaat per rumah tangga miskin
1 390 000
Manfaat minimum per rumah tangga miskin
600 000
Manfaat maksimum per rumah tangga miskin
Sumber: Kementerian Sosial, 2010
2 200 000
23
Sebuah studi oleh Febriany, Toyamah dan Sodo (2010) memperlihatkan bahwa PKH telah memotivasi rumah tangga
perdesaan untuk mempertahankan anak-anak di sekolah dan berkontribusi untuk meningkatkan tingkat partisipasi
sekolah. Untuk ibu hamil dan menyusui, pemberian bantuan tunai yang disertai keharusan untuk memeriksa
kesehatan juga telah meningkatkan tingkat pemeriksaan kehamilan dan bayi. Tetapi, studi tersebut mengungkapkan
bahwa dampak program PKH masih terhambat oleh keterbatasan ketersediaan pelayanan kesehatan. Studi
dampak Bank Dunia (2011) menunjukkan terjadinya “spill-over effect” terhadap tetangga para peserta yang tidak
menerima bantuan tunai melalui peningkatan kunjungan ke puskesmas dan pola hidup yang lebih sehat. Hal ini
terjadi melalui peranan yang kuat dari pendamping PKH dalam memotivasi masyarakat. Studi juga menemukan
adanya perbaikan kesejahteran rumah tangga penerima antara lain dengan meningkatnya pengeluaran sebesar
rata-rata Rp. 190.000 per orang atau sebesar 10 persen lebih tinggi dari saat sebelum masuk program. Peserta
umumnya menggunakannya untuk membeli makanan yang lebih bergizi, dan pemeliharaan kesehatan. Tidak ada
bukti peserta menggunakannya untuk barang non produktif seperti rokok dan alkohol.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Program Pengurangan Pekerja Anak untuk Mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH)
24
Program PPA-PKH bertujuan untuk mengurangi jumlah pekerja anak di antara rumahtangga target PKH. Anak-anak
dari keluarga target PKH yang bekerja dan tidak lagi sekolah akan difasiliasi transisinya untuk kembali ke sekolah.
Anak-anak ini ditempatkan di shelter/pusat pelatihan di mana mereka diberi pelatihan akademis dan motivasi
selama satu bulan, dan diikuti dengan pendampingan di luar shelter oleh petugas sosial, untuk mempersiapkan
mereka kembali ke sekolah. Program ini dijalankan oleh Kemenakertrans dan berkoordinasi dengan Kemendiknas,
Kemenkes, Kemenag, serta Kemensos yang terlibat dalam program PKH.
Program ini dimulai pada tahun 2008, dengan menyasar 4.853 anak di 48 kabupaten di 7 provinsi. Di tahun
pertama pencapaian jumlah anak yang kembali ke sekolah (return to school rate) baru mencapai 32%. Jumlah
sasaran di tahun 2010 adalah 3.000 anak di 50 Kabupaten di 13 provinsi, dan 74% berhasil dikembalikan ke sekolah
(Kemenakertrans, 2012). Di tahun 2012 jumlah sasaran meningkat menjadi 10.750 anak di 84 kabupaten di 21
provinsi. Hingga saat ini, belum ada evaluasi terkait pelaksanaan program ini.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah bantuan tunai bersyarat khusus bagi anak-anak dengan masalah
sosial. Program ini menargetkan lima kelompok anak: balita telantar atau balita dengan kebutuhan khusus, anak
telantar (6-18 tahun), anak jalanan (6-18 tahun), anak yang bermasalah dengan hukum (6-16 tahun) dan anak
penyandang disabilitas (0-18 tahun) (Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005). Program ini menyediakan rekening
tabungan (Rp 1,8 juta/tahun pada 2011) yang dapat dicairkan untuk keperluan apapun, dengan persetujuan dari
pekerja sosial yang ditugaskan. Persyaratan yang berlaku berbeda-beda untuk masing-masing kelompok sasaran
(tetap sekolah, berhenti bekerja di jalan, tidak melakukan tindakan kriminal dan seterusnya). Total anggaran untuk
2011 adalah Rp 287,1 miliar.
Tabel 7. Jumlah sasaran PKSA dibanding estimasi jumlah anak yang membutuhkan
Jumlah sasaran program (Berdasarkan Perpres
No. 3/2010)
142.530 anak terlantar
6.925 Balita terlantar
4.200 anak jalanan
930 anak yang berhadapan dengan hukum
1.750 anak dengan disabilitas
Estimasi jumlah anak yang membutuhkan
program PKSA (Pedoman Operasional PKSA,
2010)
230.000 anak jalanan
Lebih dari 10.000 anak yang berhadapan dengan
hukum
46.000 anak dengan disabilitas
180.000 anak korban kekerasan
Instruksi Presiden No. 3/2010 menetapkan target jumlah penerima manfaat pada 2011 mencakup 6.925 balita
telantar/berkebutuhan khusus, 142.530 anak telantar, 4.200 anak jalanan, 930 anak dengan masalah kriminal
dan 1.750 anak penyandang disabilitas. Pusat informasi Kementerian Sosial memberikan estimasi jumlah anak
yang membutuhkan program tersebut sebanyak: 230.000 anak jalanan, lebih dari 10.000 anak yang menghadapi
dakwaan pidana, 46.000 anak penyandang disabilitas berat dan lebih dari 180.000 anak korban kekerasan (Pedoman
Operasional PKSA, 2010).
Jumlah capaian sasaran PKSA secara kumulatif selama 2010-2012 sebanyak 446.706 anak, yang terdiri dari 15.790
anak dan balita telantar, 408.051 anak telantar, 5.010 anak disabilitas, 12.715 anak jalanan, 1.930 anak yang
berhadapan dengan hukum, dan 3.210 anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Melihat angka tersebut,
program ini baru menjangkau sebagian kecil dari jumlah anak yang membutuhkan. Selain itu, program ini juga
menghadapi tantangan kurangnya data mengenai anak-anak dengan karakteristik yang menjadi target program
sehingga menghambat pengawasan yang efektif (Puska UI dan Bank Dunia, 2011).
4.2.3.3. Program Makanan Pokok (Subsidi beras untuk masyarakat miskin -- Raskin)
Pada akhir dekade 1990-an, penduduk miskin, yang rata-rata seperempat penghasilannya digunakan untuk
konsumsi beras, adalah kelompok yang paling terkena dampak naiknya harga beras selama krisis (Smeru, 2010).
Krisis tersebut mengakibatkan menurunnya konsusmsi beras dan menurunnya status kesehatan anak (Bank Dunia,
2006). Untuk dapat mempertahankan tingkat konsumsi makanan keluarga, sebagian anak keluar dari sekolah dan
bekerja (Smeru, 2010). Untuk melindungi konsumsi makanan pokok, mulai tahun 1998 pemerintah memperkenalkan
program beras subsidi yang menyediakan 1,05 juta ton beras pada tahun fiskal tersebut. Meskipun program ini
menargetkan unit rumah tangga, kami memilih untuk memasukkannya di bawah jaminan pendapatan untuk anak,
mengingat anak dilihat sebagai penerima manfaat utama dari program ini.
Pada 2002, nama program tersebut diubah menjadi Beras untuk Orang Miskin – Raskin. Pada 2012, anggaran Rp
15,7 triliun dialokasikan untuk mensubsidi 3,41 juta ton beras, guna didistribusikan kepada 17,5 juta rumah tangga
(APBN-P, 2012).
Sebuah studi oleh Sumarto, Suryahadi & Widiyanti (2005) melaporkan bahwa kepesertaan dalam program beras
subsidi meningkatkan konsumsi rumah tangga sebanyak 4,4 persen dan hasilnya adalah bahwa rumah tangga
penerima berkurang kemungkinannya untuk menjadi miskin sebanyak 3,83 persen dibanding dengan rumah
tangga serupa yang tidak menerima.
Meskipun demikian, beberapa evaluasi yang telah dilakukan terhadap pelaksanaan Raskin mengemukakan bahwa
program tersebut menghadapi persoalan dalam hal penargetan dan efisiensi. Hastuti et al (2009), misalnya
menemukan “banyak masalah muncul saat pendistribusian beras dari titik distribusi utama ke penerima manfaat”
dan ada masalah “kurangnya informasi dan transparansi; penargetan, jumlah dan frekuensi dari beras yang diterima
serta harga beras sering tidak jelas; pengelolaan program berbiaya tinggi, monitoring dan evaluasi tidak efektif;
dan mekanisme penanganan keluhan yang tidak efektif”.
4.2.3.4. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah
Kementerian Pendidikan, berkoordinasi dengan enam kementerian lain, meluncurkan Program Makanan
Tambahan Anak Sekolah pada tahun 2010. Program ini menyediakan makanan tambahan bagi anak TK dan SD di
27 kabupaten/kota yang tertinggal dan terisolir. Pada 2011, program menargetkan sekitar 1,4 juta siswa TK/SD di
bawah Kementerian Pendidikan serta Madrasah Ibtidaiyah (RA) dan Madrasah Aliyah (MI) di bawah Kementerian
Agama. Para pelajar menerima tiga kali makan setiap minggu. Anggaran dialokasikan sebesar Rp 250 miliar. Estimasi
biaya dari satu kali makan adalah Rp 2.600 di Indonesia bagian Timur dan Rp 2.250 di bagian Barat. Program ini
memprioritaskan pemberian makanan lokal.
25
4.2.3.5. Imunisasi Dasar untuk Balita
Imunisasi Dasar disediakan secara gratis kepada balita. Imunisasi terdiri dari BCG, DPT1-3, HepB3, Polio dan Campak.
Cakupan di beberapa wilayah masih terhambat oleh kurangnya akses maupun kurangnya kesadaran masyarakat.
Estimasi oleh UNICEF dan WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jangkauan vaksinasi adalah 82 persen untuk
BCG, 86 persen untuk DPT1 dan 63 persen DPT3, 63 persen untuk HepB3, 70 persen untuk Polio3, and 89 persen
untuk Campak (WHO dan Unicef, 2012).
Estimasi WHO tersebut menunjukan cakupan imunisasi di atas selama sepuluh tahun terakhir umumnya menunjukkan
tren yang cukup stabil, dengan sedikit variasi dari tahun ke tahun. Grafik estimasi untuk Campak menunjukkan
kenaikan yang relatif lebih tinggi, sementara DPT3 menunjukkan penurunan sejak tahun 2006.8
4.3.3.6. Tabel Rangkuman
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Table 8: Rangkuman program jaminan sosial untuk anak-anak
Skema atau program
Kontribusi atau pendanaan
Jumlah orang yang dicakup
Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)
APBN
Rp 23,6 triliun tahun 2012
0,3 persen dari PDB (2012)
44,7 juta pelajar pada tahun 2012
Beasiswa untuk siswa
miskin (BSM)
APBN
Rp 5,9 triliun tahun 2012
0,07 persen dari PDB (2012)
6,3 juta siswa pada tahun 2012
Program Keluarga
Harapan (PKH)
APBN
Rp 1,8 triliun. Tahun 2012
0,02 persen dari PDB (2012)
1,5 juta rumah tangga sangat
miskin tahun 2012
Program Kesejahteraan
Sosial Anak (PKSA)
Rp 287 miliar tahun 2011
0,004 persen dari PDB (2011)
156,335 anak pada tahun 2011
Beras untuk Orang Miskin
(Raskin)
APBN
RP 15,7 triliun tahun 2012
0,2 persen dari PDB (2012)
17,5 juta rumah tangga tahun
2012
Program Makanan
Tambahan Anak Sekolah
(PMTAS)
APBN
RP 250 miliar tahun 2011
0,003 persen dari PDB (2011)
1.4 juta siswa pada tahun 2011
Imunisasi dasar untuk
Balita
APBN
BCG: 82%; DPT1: 86%; DPT3: 63%,
HepB3: 63%; Polio3: 70%; Campak:
89% (tahun 2011)
26
8
Laporaan tersedia di http://apps.who.int/immunization_monitoring/en/globalsummary/timeseries/
tswucoveragebycountry.cfm?country=IDN dan diperbarui secara berkala.
4.2.3. Penduduk usia kerja “Penduduk usia kerja yang tidak bisa memperoleh pendapatan
yang memadai dalam pasar kerja (karena menganggur, pekerjaan kurang, maupun
dalam kondisi sakit atau hamil) menikmati jaminan pendapatan minimum melalui
bantuan maupun melalui program-program ketenagakerjaan’
4.2.3.1. Jaminan pendapatan jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK)
Menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, semua karyawan sektor swasta yang telah menyelesaikan masa
percobaan empat bulan berhak mendapatkan pesangon. Pada saat dilakukan PHK, terlepas apapun alasannya,
pengusaha wajib memberikan pesangon dan uang penghargaan masa kerja dalam bentuk lump sum. Jumlah uang
pesangon berbeda-beda, tergantung masa kerja. Menurut UU ketenagakerjaan, jumlahnya adalah 1 bulan gaji
untuk masa kerja kurang dari 1 tahun, 2 bulan gaji untuk masa kerja antara 1 dan 2 tahun, 3 bulan gaji untuk masa
kerja 2 sampai 3 tahun, dan seterusnya sampai maksimal 8 tahun masa kerja. Karyawan yang sudah bekerja lebih
dari 8 tahun akan menerima pesangon 9 bulan gaji.
4.2.3.2. Jaminan pendapatan jika sakit atau hamil
Menurut UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib membayar gaji penuh kepada karyawannya dalam hal mereka
absen karena sakit. Karyawan tidak dapat dipecat karena sakit kecuali kalau hari tidak masuknya sudah melebihi 12
bulan. Karyawan perempuan harus diberikan 3 bulan cuti dengan bayaran pada saat hamil/melahirkan.
Program Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial) adalah program Kementerian Sosial berupa skema penggantian
pendapatan untuk pekerja sektor informal, yang dikelola melalui yayasan lokal selama 3 tahun. Dengan membayar
iuran RP 5.000 per bulan, program ini menyediakan bantuan tunai kepada anggotanya pada saat sakit, mengalami
kecelakaan kerja atau meninggal. Jika sakit, pekerja menerima Rp 300.000, tetapi dibatasi klaim per manfaat per
tahun. Sampai saat ini jangkauan wilayah Askesos maupun jumlah pesertanya masih terbatas.
Saat ini tengah dikembangkan inisiatif baru untuk mentransformasi Askesos agar lebih sejalan dengan prinsipprinsip asuransi sosial sesuai dengan peraturan perundangan mengenai jaminan sosial. Inisiatif tersebut saat ini
tengah dalam percobaan dan pelaksanaannya bekerjasama dengan PT Jamsostek.
4.2.3.3. Kecelakaan kerja
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Jamsostek untuk Pekerja Formal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program jaminan sosial pekerja, semua karyawan sektor
swasta formal wajib menjadi peserta program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK) dan Jaminan
Hari Tua (JHT) Jamsostek. Asuransi kecelakaan kerja mencakup kecelakaan di tempat kerja, penyakit yang disebabkan
karena pekerjaan, dan kecelakaan yang terjadi pada saat melakukan perjalanan dari dan ke tempat kerja melalui
rute yang biasa. Kontribusi dibayar penuh oleh pengusaha dan jumlahnya beragam mulai dari 0,24 hingga 1,74
persen dari gaji, tergantung pada tingkat risiko bidang pekerjaan.
Jamsostek untuk Pekerja Konstruksi
Jamsostek menyediakan paket khusus untuk pekerja konstruksi yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian. Berdasarkan Keputusan Menakertrans No. 196/1999, semua kontraktor atau subkontraktor yang
melakukan pekerjaan konstruksi harus mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program khusus Jamsostek untuk
Pekerja Konstruksi. Para pekerja mendapat perlindungan selama periode kontrak kerja mereka berlaku. Di tahun
2010, 4.330.383 pekerja konstruksi terdaftar dalam program ini.
Program Ujicoba Jamsostek untuk Pekerja di Luar Hubungan Kerja (Jamsostek LHK)
Salah satu skema yang disediakan dalam program percontohan Jamsostek untuk pekerja informal dilakukan
adalah jaminan kecelakaan kerja. Kontribusi untuk jaminan kecelakaan kerja ditetapkan 1 persen dari pendapatan
(“pendapatan” ditetapkan dengan upah minimum Rp 1 juta/bulan).
27
Askesos
Dalam pelaksanaan program Askesos tahun 2012, peserta menerima manfaat berupa asuransi kecelakaan
maksimum Rp. 20 juta, penggantian gigi palsu Rp. 2 juta, cacat sebagian 70% x 80 bulan gaji dan santunan Rp.
200 ribu x 24 bulan. Untuk itu, pemerintah membayarkan iuran. Ke Jamsostek sebesar Rp. 10.400/orang/bulan.
Pendaftaran dan pengelolaan administrasinya di lakukan oleh Lembaga Pelaksana Askesos (LPA/organisasi sosial)
yang mendapatkan biaya operasional 12,5% dari total premi peserta yang diterima Jamsostek.
4.2.3.4. Jaminan Kematian
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Jaminan Kematian (JK) Jamsostek untuk Pekerja Formal
28
Jaminan kematian merupakan salah satu program Jamsostek yang wajib diikuti oleh seluruh karyawan sektor swasta
(berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program jaminan sosial pekerja). Jika terjadi kematian saat
aktif bekerja (karena sebab apapun), keluarga yang menjadi tanggungan pekerja yang meninggal dunia menerima
manfaat yang terdiri dari Rp. 10 juta santunan tunai dalam bentuk lump sum, santunan biaya penguburan Rp. 2 juta
dan santunan tunai Rp. 200.000 per bulan selama 24 bulan. Kontribusi untuk jaminan kematian sebesar 0,3 persen
dari gaji ditanggung oleh pengusaha.
Askesos untuk Pekerja Informal
Program Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial) untuk pekerja sektor informal menyediakan santunan kematian
sebesar Rp. 14 juta, biaya pemakaman Rp. 2 juta, dan santunan berkala Rp.200 ribu x 24 bulan, yang dibayarkan
melalui Jamsostek.
Jamsostek di Luar Hubungan Kerja (LHK)
Program percontohan Jamsostek untuk pekerja ekonomi informal juga mencakup jaminan kematian. Program
tersebut menyasar pekerja ekonomi informal yang berpenghasilan paling tidak upah minimum (sekitar Rp.
1.000.000, tetapi berbeda-beda tergantung provinsinya). Kontribusi untuk jaminan kematian ditetapkan 0,3 persen
dari upah minimum.
4.2.3.5. Skema Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Dalam SJSN yang akan berlaku
(Berdasarkan UU No. 40/2004 & UU No. 24/2011)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, undang-undang mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU No
24/2011), sebagai bagian dari pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang akan datang, mengatur bahwa
jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian akan diberlakukan untuk semua pekerja, baik yang di sektor formal
maupun informal. Skema jaminan tersebut nantinya akan menjadi bagian dari Jaminan sosial Ketenagakerjaan
yang menjadi domain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). BPJS
Ketenagakerjaan ditargetkan mulai beroperasi pada Juli 2015. Berdasarkan pengalaman program yang telah
berjalan (khususnya Jamsostek LHK dan Askesos), kita dapat mengantisipasi bahwa memperluas cakupan jaminan
sosial kepada pekerja informal melalui skema iuran penuh akan sulit dilakukan.
4.2.3.6. Jaminan pendapatan untuk penduduk usia kerja yang tidak bekerja atau tidak cukup bekerja:
pemberdayaan masyarakat, pelatihan kerja, program usaha kecil
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Indonesia memiliki pengalaman cukup panjang dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Mulai tahun
2007, berbagai program pemberdayaan masyarakat diharmonisasi melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Melalui bantuan stimulan dan fasilitasi, masyarakat dapat menentukan sendiri prioritas
pembangunan dan melaksanakannya sehingga dapat tercipta kesempatan kerja di wilayah tersebut. PNPM saat
ini terdiri atas dua sub program: PNPM inti dan PNPM Penguatan. PNPM inti adalah program pemberdayaan
masyarakat berdasarkan jenis wilayah, termasuk di dalamnya adalah PNPM-Pedesaan, PNPM-Perkotaan, PNPM
untuk Daerah tertinggal dan Daerah Khusus, PNPM-Infrastruktur Pedesaan, dan PNPM-Infrastruktur Sosial dan
Ekonomi. Sedangkan PNPM Penguatan adalah program pemberdayaan masyarakat terkait pencapaian sektor
tertentu, seperti PNPM-Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan, PNPM Perikanan dan Kelautan, dan PNPM
Pariwisata.
Pada tahun 2012, alokasi anggaran untuk PNPM sebesar Rp 13,4 triliun. Dari jumlah tersebut, alokasi PNPM
Pedesaan sebesar Rp 10 triliun untuk didistribusikan ke 6.622 kecamatan. Setiap kecamatan menerima Rp 1,5
miliar-Rp 3 miliar, atau secara keseluruhan anggaran PNPM Pedesaan dan Perkotaan kira-kira setara dengan 0,18
persen dari PDB (APBN 2012). Lebih dari 60% pemanfaatannya adalah kegiatan infrastruktur yang memberikan
banyak kesempatan kerja bagi masyarakat.
Program Balai Latihan Kerja (BLK)
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengawasi Pusat Pelatihan Teknis dan Kejuruan yang dikenal dengan
Balai Latihan Kerja (BLK). Balai ini menyediakan pelatihan kejuruan dan layanan penempatan kerja untuk pekerja
formal dan informal. Pelatihan umumnya diberikan tanpa dipungut bayaran, meskipun beberapa BLK juga
menyediakan kursus-kursus nonsubsidi. Pusat-pusat BLK ada di semua provinsi dan di beberapa kab/kota. Sejak
adanya desentralisasi pemerintah pada 2001, 11 BLK dikelola oleh pemerintah pusat, 33 dikelola oleh pemerintah
provinsi dan 141 dikelola oleh pemkab/pemkot.
Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (dikutip oleh Kantor Berita Antara, 2011), lulusan BLK memiliki
peluang dipekerjakan (employability) yang tinggi. Pada 2009, dari 107.051 lulusan, 95.094 atau 89 persen terserap
di pasar tenaga kerja. Sayangnya banyak pusat BLK, khususnya yang dikelola oleh Pemerintah daerah, kekurangan
staf dan kurang terpakai. Kebanyakan fasilitas tidak berfungsi optimal dan perlu revitalisasi yang serius. Diperkirakan
sekitar 6 persen dari perlengkapan pelatihan di BLK kabupaten/kota perlu perbaikan besar (Kementerian Tenaga
Kerja, 2010). Tetapi, data lengkap mengenai kapasitas BLK, pendanaan dan kinerjanya sulit didapatkan di tingkat
pusat.
Menurut survei yang dilaksanakan oleh Bank Dunia di sejumlah BLK, biaya per kapita untuk pelatihan sangat
beragam. Rata-rata biaya per lulusan (pelatihan sekitar tiga bulan) di BLK yang dikelola oleh pusat adalah Rp 17
juta, sementara biaya per lulusan adalah di BLK provinsi Rp 9 juta dan di BLK kabupaten/kota Rp 4 juta. Jumlah
rata-rata lulusan pada tahun 2009 untuk tiga jenis BLK kisarannya mendekati 1.300 per BLK untuk BLK yang dikelola
oleh pusat, dan 650 di tingkat provinsi serta 340 di tingkat kabupaten/kota (World Bank, 2011C). Pendanaan untuk
BLK pusat semuanya berasal dari pemerintah pusat, sementara untuk BLK provinsi dan kab/kota didanai secara
bersama antara pemerintah pusat dengan provinsi atau kabupaten/kota.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengawali program revitalisasi BLK untuk meningkatkan kinerja
BLK. Untuk mendukung program revitalisasi ini, proyek ILO EAST bekerja sama dengan BLK di beberapa provinsi.
Menaker memberikan estimasi bahwa paling tidak dibutuhkan Rp 2 triliun per tahun untuk merevitalisasi seluruh
BLK yang ada. Alokasi anggaran Pemerintah untuk pengoperasian BLK berjumlah Rp 540 miliar pada 2010 dan
Rp 786 miliar pada 2011. Rata-rata, BLK pusat menghabiskan Rp 20,7 miliar per tahun sementara BLK provinsi
menghabiskan Rp 5,8 miliar dan BLK kab/kota menghabiskan Rp 1,5 millar per tahun.
Program kredit mikro
Program kredit mikro pemerintah dimaksudkan untuk menyediakan akses terhadap kredit yang dapat dijangkau
oleh orang miskin dan pengusaha kecil (yang biasanya tidak dapat mengajukan pinjaman ke bank karena
kurangnya agunan). Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah sebuah program yang dilaksanakan oleh enam bank yang
berpartisipasi menyediakan pinjaman kepada usaha mikro dan koperasi dengan skema jaminan 70 persen disubsidi
oleh Pemerintah (Bank Indonesia, 2012). Sampai 2011, total pinjaman berjumlah Rp 29 triliun telah dipinjamkan
kepada sekitar 6 juta pengusaha (Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian seperti dikutip Antara, 10 Januari
2012).
Program Padat Karya
Padat Karya merupakan sebutan yang sudah digunakan setidaknya sejak tahun 1970-an untuk program-program
pembangunan infrastruktur desa yang secara khusus menciptakan lapangan kerja bagi warga setempat (Perdana
29
dan Maxwell, 2004). Padat Karya kemudian dikenal luas sebagai program besar di bawah Jaminan Pengaman Sosial
selama krisis 1990-an, yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja bagi penganggur dan orang miskin
(Sumarto, Suryahadi and Widyanti, 2002). Selama tahun fiskal 1998/1999 Padat karya terdiri dari 16 program yang
dikategorikan sebagai program penciptaan lapangan kerja. Namun di tahun fiskal 1999/2000 program tersebut
berkurang dan hanya dua program yang tersisa (Sumarto, Suryahadi and Widyanti, 2002).
Setelah itu, pemerintah meneruskan program padat karya dalam skala yang lebik kecil tetapi lebih berjangka
panjang. Tujuan padat karya utamanya adalah “memberikan dukungan penghasilan bagi penganggur dan orang
miskin sembari membangun infrastruktur lokal” (OECD Employment Outlook, 2010). Permasalahan seputar
penargetan dan efisiensi sering menjadi kritikan terhadap program Padat Karya (lihat antara lain: Ausaid, 1998;
URDI, 1999; EPWSP, 2007)
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Program pembangunan infrastruktur
30
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) meluncurkan sebuah program pembangunan infrastruktur dengan total anggaran US$ 47 miliar yang
tersebar di 23 provinsi. Program infrastruktur tersebut “bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
dan meraih daya saing bagi produk-produk Indonesia” (Bappenas, 2011). Proyek-proyek tersebut akan dilaksanakan
oleh sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta. Program ini dapat dilihat sebagai program yang memberi
peluang kerja bagi penduduk usia kerja. Namun demikian, meskipun proyek ini berpotensi menyediakan lapangan
kerja, tidak dapat dikategorikan sebagai program lapangan kerja publik (public employment) karena tidak ada
ketentuan yang secara khusus mengatur demikian (bersifat padat karya atau tidak).
Program-program mata pencaharian oleh berbagai dinas dan kementerian
Beberapa kementerian (bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan sebagainya) memiliki program
yang ditujukan untuk mendukung mata pencarian penduduk pedesaan. Program-program tersebut terdiri dari
pelatihan, penyuluhan, hibah atau permodalan (dalam bentuk tunai atau barang seperti bibit, alat, atau irigasi).
Program-program tersebut dilaksanakan secara terpisah-pisah dan penetapan targetnya dilakukan sendiri-sendiri.
Jumlah program dan penerima manfaat juga berbeda-beda stiap tahunnya, tergantung dana yang dialokasikan
pada tahun tersebut. Di tingkat lokal informasi mengenai program-program tersebut bersifat parsial dan sulit
diintegrasikan.
Program Daerah
Pemerintah daerah sering kali memiliki program jaminan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat yang
ditujukan untuk orang miskin. Program-program yang dijalankan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota,
secara umum menyasar rumah tangga atau masyarakat yang tidak tercakup oleh program-program nasional.
Di Jawa Timur misalnya, pemerintah provinsi menyediakan bantuan tunai dan beras untuk rumah tangga yang
tidak produktif dan dana hibah untuk memulai usaha serta program keuangan mikro bagi kelompok produktif.
Kabupaten Tabanan di Bali memiliki program kesempatan kerja, di mana para pemimpin masyarakat setempat
membantu orang-orang yang menganggur untuk mendapatkan pekerjaan, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur
memiliki Program Desa Mandiri “Anggur Merah” yang mengalokasikan Rp 250 juta (2011) untuk setiap desa yang
menjadi target untuk mendukung aktivitas ekonomi produktif.
Program mata pencaharian oleh sejumlah kementerian
Sejumlah kementerian memiliki porgram mata pencaharian dan penciptaan pendapatan sendiri-sendiri, untuk
komunitas perdesaan (beberapa contoh misalnya di sektor pertanian dan perkebunan, perikanan, pemeliharaan
hewan). Program-program tersebut terdiri atas program pelatihan, hibah dan pinjaman untuk modal kerja (tunai
atau non-tunai seperti bibit, ternak atau irigasi). Program program tersebut, kebanyakan dilakukan tanpa koordinasi
dengan penargetan terpisah. Jumlah program dan pemangku kepentingan program tersebut berfluktuasi dari
tahun ke tahun, tergantung kondisi dan anggaran. Informasi di tingkat lokal atas program tersebut juga tercecer.
4.2.3.7. Tabel Rangkuman
Tabel 9: Rangkuman program-program untuk kelompok usia kerja
Skema atau program
Kontribusi atau pendanaan
Jumlah orang yang dicakup
Pesangon (pemutusan
hubungan kerja)
Pengusaha
Secara teoritis semua karyawan
swasta formal
Sakit dan hamil/
melahirkan
Pengusaha
Secara teoritis semua karyawan
swasta formal
Program pemberdayaan
masyarakat (PNPM)
Anggaran pemerintah pusat
Rp 13,4 triliun
0,18 persen dari PDB
6.622 kecamatan dalam PNPM
Pedesaan (2012)
Kredit Mikro (KUR)
Anggaran Pemerintah Pusat
Bank: menyediakan pinjaman
Pemerintah: skema penggaransi
subsidi 70 persen
2 juta wirausahawan
Askesos (Asuransi
Kesejahteraan Sosial untuk
pekerja informal)
Pemerintah: 10.400/orang/bulan
Tabungan anggota: Rp 5.000/bulan
280.800 anggota (2010)
Kecelakaan kerja (PT
Jamsostek)
Pengusaha: 0,24 persen- 1,74
persen (tergantung pada tingkat
perlindungan)
10.311.669 peserta aktif (2011)
Kematian (PT Jamsostek)
Pengusaha: 0,3 persen dari upah/gaji
10.311.669 peserta aktif (2011)
Program Ujicoba
Jamsostek LHK – jaminan
kecelakaan kerja
Pekerja: 1 persen dari pendapatan
(“pendapatan” ditentukan menurut
tingkat upah minimum Rp 1 juta /
bulan)
Sekitar 400.000 telah berpartisipasi
selama ujicoba (sampai 2011)
Program Ujicoba
Jamsostek LHK – jaminan
kematian
Pekerja: 0,3 persen dari pendapatan
(“pendapatan” ditentukan dengan
tingkat upah minimum Rp 1 juta /
bulan)
Sekitar 400.000 telah berpartisipasi
selama uji coba (sampai 2011)
31
4.2.4 Lanjut usia dan penyandang disabilitas “Seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang
disabilitas berat mendapatkan jaminan pendapatan setidaknya dalam jumlah setara
dengan tingkat kemiskinan yang didefinisikan secara nasional dalam bentuk pensiun
atau bantuan nontunai”
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Baru sekitar 13 persen dari seluruh warga negara Indonesia saat ini dijangkau oleh tunjangan hari tua. Kelompok
ini mayoritas berada di sektor formal. Pegawai Negeri (sekitar 4 persen dari angkatan kerja) dan anggota TNI/Polri
(sekitar 1 persen dari angkatan kerja) menerima jaminan pensiun yang diterima bulanan serta dana tabungan hari
tua yang diterima sekaligus. Kedua program tersebut dikelola dengan skema defined-benefit (manfaat pasti) dan
partially funded (didanai sebagian). Sekitar seperempat (10.311.699) dari pekerja sektor swasta, atau 8 persen dari
penduduk usia kerja, dijangkau oleh program dana simpanan Jamsostek yang berupa skema tabungan hari tua
dengan skema defined contribution (iuran pasti) dan fully funded (didanai sepenuhnya), yang manfaatnya akan
dibayarkan sekaligus pada saat pensiun (Laporan Tahunan Jamsostek 2010). Sejumlah kecil pekerja sektor swasta
secara sukarela bergabung dengan skema pensiun swasta. Program sukarela ada yang memiliki skema defined
benefit dan ada yang defined contribution.
32
4.2.4.1. Program Pensiun dan Simpanan Hari Tua untuk Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/Polri
Pensiunan PNS menerima pensiun (yang dibayarkan bulanan) dan dana simpanan hari tua (yang dibayarkan sekaligus
saat pensiun). Jaminan pensiun bulanan dihitung sebesar 2,5 persen dari upah per bulan terakhir dikalikan dengan
jumlah tahun masa kerja dengan maksimal 80 persen, sementara dana simpanan hari tua berjumlah perkalian
jumlah tahun masa kerja, gaji terakhir, dan faktor pengali 0,6 (ditentukan oleh Menteri Keuangan). Usia pensiun
antara 56 hingga 60 tahun, tergantung jabatan yang dipegang. Pensiun dini juga dimungkinkan bagi pegawai yang
berusia 50 tahun atau lebih dan telah bekerja sebagai PNS paling tidak 20 tahun.
Iuran pekerja ditentukan sebesar 4,75 persen dari gaji bulanan untuk dana pensiun dan 3,25 persen untuk program
Simpanan Hari Tua. Karena skema dari kedua program tersebut adalah manfaat pasti, iuran pemerintah tergantung
pengeluaran aktual. PT Taspen bertanggungjawab mengelola kedua program tersebut.
Program pensiun bulanan menggunakan sistem pay-as-you-go di mana PT Taspen mengumpulkan iuran PNS
tetapi tidak berhak mengelola dana tersebut. PT Taspen bertindak hanya sebagai kolektor dan agen pembayaran
manfaat dan tidak bertanggung jawab secara hukum terhadap tanggungan/liabilitas dalam program tersebut.
Manfaat dibayar oleh anggaran negara. Total jumlah jaminan (pensiun yang dibayar) pada tahun 2010 adalah
sebesar Rp 51,2 triliun (sekitar 0.7 persen dari PDB).
Dalam program simpanan hari tua, dana dikelola dan diinvestasikan oleh PT Taspen. Liabilitas (kewajiban) yang
tidak terdanai, misalnya akibat dari perubahan kebijakan remunerasi, dibayar oleh negara. Tanggungan yang tidak
terdanai untuk Program Simpanan Hari Tua pada 2011 mencapai Rp 1,6 triliun, karena kontribusi karyawan saat itu
tidak mencukupi pembayaran bagi para pensiunan di tahun yang sama (Kompas, 2011).
Pengeluaran untuk manfaat pensiun diperkirakan akan naik cukup besar dalam 10 tahun ke depan. Hal ini sebagian
disebabkan oleh kenaikan gaji pegawai negeri sejak 2003 dan sebagian karena persoalan populasi yang menua
(aging population), yang berakibat meningkatnya rasio ketergantungan. Rasio ketergantungan saat ini adalah 20
persen dan diperkirakan akan mencapai 50 persen pada tahun 2050 (ADB, 2007).
Jaminan serupa disediakan bagi 1,16 juta anggota TNI/Polri dibawah pengelolaan PT Asabri (Laporan Tahunan
Asabri 2010). Usia pensiun untuk anggota militer muda, yakni 50 tahun. Penelahaan yang dilakukan oleh ADB pada
tahun 2007 menyebutkan bahwa masalah yang dihadapi oleh program-program di bawah PT Asabri umumnya
serupa dengan yang dihadapi oleh PT Taspen.
Pegawai negeri sipil juga berhak untuk mendapatkan pensiun dan tabungan/simpanan hari tua jika mengalami
disabilitas permanen (UU No. 11/1969).
4.2.4.2. Jaminan hari tua untuk karyawan sektor swasta formal
Program Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek untuk karyawan sektor swasta merupakan dana simpanan yang hasilnya
akan diterima sekaligus sesuai dengan akumulasi iuran dan pengembangannya. Manfaat JHT dapat diterima apabila:
mencapai usia pensiun 55 tahun; disabilitas total dan permanen; karyawan meninggal sebelum usia pensiun; atau
tidak lagi bekerja tetapi telah memberikan kontribusi selama 5 tahun atau lebih.
Pekerja membanyar iuran 2 persen dari upah dan pengusaha membayar iuran 3,7 persen dari upah. Tidak seperti
pegawai negeri, jaminan hari tua untuk karyawan swasta bersifat defined contribution (iuran pasti) dan PT Jamsostek
berperan mengelola dan mengembangkan dana tersebut sesuai dengan tujuan investasi anggota dan toleransi
risikonya.
4.2.4.3. Skema pensiun swasta sukarela
Sebagian pekerja mengikuti skema pensiun yang sifatnya sukarela. Dana pensiun ini dapat dikelola oleh pengusaha
(DPPK/Dana Pensiun Pencari Kerja) atau lembaga keuangan (DPLK/Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Program
yang tersedia bermacam-macam, ada yang dikelola dengan skema manfaat pasti (defined benefit) atau iuran pasti
(defined contribution). Pengelolaan diatur berdasarkan UU No. 11/1992 mengenai Dana Pensiun. Batas maksimum
untuk program manfaat pasti adalah 2,5 persen dari gaji per tahun masa kerja dan secara keseluruhan maksimal
80 persen. Dalam hal program iuran pasti, iuran tidak boleh melebihi 20 persen dari upah karyawan, dan kontribusi
yang ditanggung karyawan tidak boleh melebihi 7,5 persen. Dana pensiun pemberi kerja seringkali bersifat manfaat
pasti, sementara dana pensiun lembaga keuangan semua dikelola dengan skema iuran pasti.
4.2.4.4. Jamsostek LHK
Program Jamsostek untuk pekerja LHK juga menyediakan skema jaminan hari tua. Program ini menyasar pekerja
ekonomi informal yang berpenghasilan sekurang-kurangnya upah minimum (kira-kira Rp 1.000.000, berbedabeda tergantung provinsi). Kontribusi ditetapkan sebesar minimum 2 persen dari pendapatan. Manfaat merupakan
akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya. Di antara skema-skema yang ada dalam program Jamsostek
LHK, skema jaminan hari tua ini yang paling sedikit diminati oleh pekerja informal. Selain itu, skema ini juga tidak
termasuk dalam skema yang iurannya disubsidi selama masa ujicoba. Dengan demikian, peserta yang tergabung
dalam skema ini sangat sedikit.
4.2.4.5. Program Jaminan Sosial Untuk Lansia Telantar
Kementerian Sosial mengelola program bantuan tunai kepada orang tua tidak potensial (orang tua yang tidak
produktif dan/atau telantar, tidak punya penghidupan yang memadai) yang disebut Jaminan Sosial Lanjut Usia
(JSLU). Bantuan tunai berjumlah Rp 300.000 per bulan. Di tahun 2011 program ini menyasar 13.250 lansia (Instruksi
Presiden No.3/2010). Jumlah penerima manfaat ditentukan berdasarkan jumlah dana yang tersedia, sehingga
cakupan program ini masih sangat rendah karena hanya menjangkau sebagian kecil dari jumlah lansia yang
membutuhkan. Saat ini, diperkirakan terdapat 1,7 juta lansia telantar. Angka ini angka perkiraan yang disampaikan
di media dan situs Kementerian Sosial. Beberapa kriteria orang tua rentan yang disebutkan dalam Pedoman
Pelaksanaan JSLU Kementerian Sosial (2008) mencakup antara lain usia lebih dari 60 tahun, miskin, tidak dapat
melakukan mobilitas, dan tidak menerima bantuan dari program lain.
Kementerian Sosial juga menyediakan subsidi untuk panti jompo (Panti Sosial Tresna Wredha) (Petunjuk Teknis
Kementerian Sosial mengenai JSLU, 2008). Program tersebut memberikan bantuan tunai langsung ke panti-panti
tersebut sejumlah Rp 3.000 per orang per hari (Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, 2010). Jumlah subsidi
ini dianggap sangat rendah, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan makanan sehari-hari. Beberapa
pemerintah provinsi juga memiliki subsidi atau mendanai panti-panti jompo.
33
4.2.4.6. Program Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas Berat
Jaminan Sosial Penyandang Cacat (JSPACA) adalah program bantuan tunai dengan target para penyandang
disabilitas berat. Pengelolaan dan manfaat JSPACA serupa dengan JSLU (Lansia). Instruksi Presiden No. 3/2010
menyatakan bahwa target tahun 2011 adalah 19.500 penyandang disabilitas. Seperti halnya JSLU, jumlah penerima
manfaat JSPACA ditentukan oleh dana yang tersedia di tingkat pusat. Perkiraan yang ada menunjukkan saat
ini terdapat 163 ribu penyandang disabilitas berat di seluruh Indonesia. Berdasarkan data PPLS 2011, terdapat
1.105.675 penyandang disabilitas diantara kelompok 40% penduduk berpendapatan terendah, yang sebagian
besar berada pada usia produktif.
Kementerian Sosial juga menyediakan subsidi untuk pusat rehabilitasi atau panti bagi penyandang disabilitas,
dengan jumlah Rp 3.000 per hari (Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, 2010). Sejumlah pemerintah
provinsi juga memiliki program subsidi atau mendanai panti-panti untuk disabilitas.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Cacat yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas disediakan oleh Jasa Raharja. Santunan Jasa Raharja dibayarkan
sekaligus setelah mengalami kecelakaan.
4.2.4.7.
Tabel Rangkuman
Tabel 10: Rangkuman program untuk lansia dan orang dengan disabilitas
Skema atau program
Kontribusi atau pendanaan
Jumlah orang yang dicakup
PT Taspen (Dana Pensiun
untuk PNS)
Pekerja: 4,75 persen dari gaji
bulanan mereka
Kontribusi pemerintah beragam
tergantung pengeluaran aktual.
Anggaran pemerintah dialokasikan
untuk pembayaran pensiun tahun
2011 = Rp 50 triliun – 0,7 persen
PDB (estimasi PDB 2011).
2.361.408 pensiunan menerima
pensiun (2011)
4.598.100 PNS aktif : kontributor
(2011)
PT Taspen (Tabungan hari
tua untuk PNS)
Pekerja: 3,25 persen dari gaji
bulanan kontribusi pemerintah
beragam tergantung pengeluaran
aktual.
Tanggungan tidak terdanai untuk
program Tabungan Hari Tua pada
tahun 2011 mencapai Rp 1,6 triliun –
0,02 persen dari PDB (estimasi 2011)
4.598.100 PNS aktif + sekitar
120.000 karyawan BUMN berada
dalam program ini (2011)
PT Asabri (Dana Pensiun
dan Tabungan Hari tua
untuk militer dan polisi)
Mirip dengan Taspen
1.159.715 anggota pada 2010
(sekitar 0,5% dari angkatan kerja)
Jaminan Hari Tua (JHT)
Jamsostek
Pekerja (2 persen dari gaji) dan
pengusaha (7,24–11,74 persen dari
gaji)
10.311.669 peserta aktif (2011)
Program percontohan
Jamsostek untuk pekerja
ekonomi informal
Pekerja: 2 persen dari pendapatan
(“pendapatan” ditetapkan dengan
tingkat upah minimum Rp 1 juta/
bulan)
Keanggotaan sekitar 400.000
anggota untuk paling tidak satu
dari empat program
34
Skema atau program
Kontribusi atau pendanaan
Jumlah orang yang dicakup
Jaminan sosial untuk
orang tua telantar
Anggaran Pemerintah Pusat
13.250 orang tua (2011)
Jaminan sosial untuk
penyandang disabilitas
Anggaran Pemerintah Pusat
19.500 penyandang disabilitas
berat (2011)
4.3. Kekurangan dari sisi Kebijakan dan Implementasi
4.3.1. Kekurangan umum di berbagai program
Bagian ini mengidentifikasi beberapa kekurangan umum yang ditemukan di berbagai program, sementara
permasalahan yang sifatnya spesifik dalam program tertentu akan dibahas di bagian berikutnya.
4.3.1.1. Hampir tidak ada perlindungan sosial untuk pekerja sektor informal yang tidak masuk kategori
miskin
Pekerja di sektor informal merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat perlindungan. Sebelum Sistem
Jaminan Sosial Nasional nantinya berjalan, program jaminan sosial yang ada saat ini hanya terfokus pada pekerja
formal seperti pegawai negeri sipil (Askes, Taspen), anggota TNI dan Polri (Asabri, Askes) dan pekerja swasta di
sektor formal (Jamsostek). Walaupun pekerja sektor informal jumlahnya sekitar dua per tiga dari keseluruhan
angkatan kerja, program yang menyasar mereka masih sangat sedikit dan tidak komprehensif. Program Jamsostek
untuk pekerja di luar hubungan kerja dan Askesos cakupan dan tingkat perlindungannya relatif rendah, dan sejauh
ini perkembangannya masih lambat.
Setelah masa ujicoba, program Jamsostek untuk pekerja di luar hubungan kerja tidak menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Kebanyakan peserta tidak melanjutkan kepesertaan mereka setelah periode
ujicoba selesai. Tidak lanjut dari ujicoba tersebut lemah atau bahkan tidak ada. Para pekerja kekurangan informasi/
petunjuk mengenai cara untuk mendaftarkan dirinya secara individu, dan kalaupun mereka tahu, banyak yang
merasa kesulitan untuk mendaftar atau membayar iuran apabila mereka berada di wilayah yang tidak dekat
dengan pelayanan Jamsostek. Di sisi lain, Jamsostek memiliki keterbatasan kapasitas untuk menjangkau pekerja
informal yang tersebar di mana-mana, khususnya mereka yang berada di daerah terpencil. Ada sebagian kecil
pekerja yang melanjutkan keanggotaan setelah masa ujicoba selesai (contohnya 50 orang pekerja yang ditemui di
Kota Kupang). Dalam hal ini mereka memiliki keadaan khusus, di mana ada asosiasi pekerja yang berfungsi sebagai
lembaga penghubung untuk memfasilitasi pendaftaran, pembayaran iuran dan pengajuan klaim.
Program Askesos juga baru menjangkau sejumlah kecil pekerja informal dan tingkat perlindungan yang disediakan
juga relatif rendah. Banyak pihak masih mempertanyakan keberlanjutan program tersebut, karena program berjalan
melalui yayasan lokal yang akuntabilitasnya belum tertata baik. Penyempurnaan Askesos yang dilakukan mulai
tahun 2012 masih perlu dibuktikan efektivitasnya.
UU SJSN merupakan fondasi yang menjanjikan bagi tercapainya jaminan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia.
Namun demikian, SJSN belum mencapai tahap pelaksanaan dan masih dalam tahap persiapan. Tantangan besar
ke depan adalah untuk mendapatkan mekanisme yang efektif untuk menjangkau pekerja sektor informal yang
sebagian besar belum pernah menjadi bagian program jamianan sosial apapun.
Perkembangan terakhir menuju penerapan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah disusunnya peta jalan
(roadmap) untuk BPJS I (Kesehatan) dan BPJS II (Ketenagakerjaan), melengkapi penyusunan berbagai peraturan
35
perundang-undangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan BPJS. Mekanisme untuk pendaftaran,
pembayaran iuran dan klaim, sumber pendanaan dan lain-lain untuk pekerja informal merupakan bagian dari
pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh peraturan-peraturan tersebut. Kesuksesan maupun kegagalan dari
program yang pernah berjalan perlu dijadikan sebagai pembelajaran bagi desain program ke depan.
4.3.1.2. Tingginya penghindaran di sektor swasta formal
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Di sektor swasta, rendahnya jangkauan karena penghindaran membutuhkan perhatian khusus. Meskipun seluruh
pekerja formal wajib diikutsertakan dalam program Jamsostek, keanggotaan Jamsostek saat ini masih rendah. Di
tahun 2011, hanya 10.311.669 pekerja yang menjadi peserta aktif program Jamsostek untuk JKK, JK dan JHT. Di
tahun yang sama, jumlah peserta aktif Jamsostek JPK berjumlah 2.567.672 pekerja (Laporan Tahunan Jamsostek
2011). Berdasar data dari Kementerian Kesehatan, jumlah total pekerja swasta serta keluarganya yang memiliki
asuransi (baik Jamsostek, asuransi swasta maupun layanan kesehatan yang disediakan pengusaha dan lain-lain)
berjumlah 6 persen dari populasi.
Salah satu penyebab yang diungkapkan oleh pihak Kemenakertrans adalah kurangnya petugas pengawasan dan
inspeksi di tingkat pusat dan di daerah. Berbeda dengan Jamsostek, berdasarkan UU No 24/2011, BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan diberi peran pengawasan. Mekanisme kontrol dan monitoring perlu ditingkatkan, dan
perlu dikembangkan cara-cara yang inovatif untuk pelaksanaanya.
4.3.1.3. Keterbatasan data dan permasalahan penyasaran
Sejumlah program dihadapkan pada masalah kurangnya data, dan berakibat pada penetapan sasaran yang kurang
akurat. Program yang menyasar kelompok khusus seperti orang dengan kecacatan, anak dengan kebutuhan khusus
atau lansia telantar memerlukan infomasi khusus mengenai warga dengan karakteristik tersebut. Sejauh ini belum
ada data akurat mengenai kelompok-kelompok sasaran tersebut. Terlebih lagi, definisi yang digunakan juga sering
tidak jelas atau tidak seragam.
Misalnya, untuk JSPACA dan program lain yang menyasar disabilitas saat ini belum ada klasifikasi kecacatan yang
seragam. Berbagai lembaga atau kementerian memiliki definisi yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan
JSLU. Meskipun Pedoman Pelaksanaan JSLU mencantumkan kriteria sasaran namun definisi tersebut masih terlalu
luas dan belum didukung database yang akurat. Penargetan program seperti JSPACA, JSLU dan PKSA hanya
mengandalkan identifikasi yang dilakukan oleh dinas sosial atau pekerja sosial, yang kapasitasnya tidak cukup
untuk melakukan pengumpulan data secara sistematis.
Upaya untuk memperbaiki pendataan terus dilakukan. Diantaranya adalah penetapan database terpadu untuk
program perlindungan sosial (berdasarkan dataset PPLS 2011) yang berisi data mengenai 40 persen masyarakat
dengan kondisi sosial-ekonomi terendah. Data tersebut tersedia mulai awal tahun 2012. Database tersebut dirancang
untuk dijadikan dasar penetapan target program perlindungan sosial dan akan diadopsi oleh berbagai program
secara bertahap. Karena proses adopsi masih berlangsung, saat ini kita belum dapat menilai dampaknya terhadap
efektifitas dan efisiensi program. Pertanyaan yang masih ada seputar data tersebut diantaranya apakah informasi
yang ada dalam database tersebut cukup detail untuk dapat digunakan oleh semua program , dan seberapa sering
database tersebut akan diperbarui, sehingga mampu mengimbangi keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia
yang sangat dinamis.
4.3.1.4. Masalah koordinasi dan tumpang-tindih antarprogram
36
Banyak program perlindungan sosial yang fungsinya saling melengkapi satu sama lain. Namun, masalah koordinasi
sering menghambat kerjasama, sehingga dampaknya tidak optimal. Jamkesda, misanya, yang dirancang untuk
melengkapi program Jamkesmas, memiliki sistem pendataan dan penetapan target yang benar-benar terpisah
dari Jamkesmas. Tumpang tindih penerima dapat terjadi (sebagaimana ditemukan di beberapa wilayah seperti
Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT di mana penilaian ini dilakukan dan pemeriksaan silang (crosscheck) data
penerima sering sulit dilakukan.
Program BSM dan PKH merupakan program bantuan tunai dengan sasaran serupa. Namun, kedua program tersebut
dikelola secara terpisah dan identifikasi penerima juga dilakukan terpisah. Di tingkat nasional, ada persetujuan
bahwa BSM harus memprioritaskan siswa dari keluarga penerima PKH, namun di tingkat kabupaten hal itu sering
tidak diimplementasikan.
Berbagai program, walaupun memiliki sasaran penerima yang sama, dikelola secara sendiri-sendiri, (ada yang
dikelola langsung dari pusat, ada yang melalui pemerintah provinsi, dan ada yang dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten) meskipun program dapat berjalan jauh lebih efisien apabila saling bersinergi. Di sisi lain, pertukaran
informasi (secara vertikal antardinas maupun secara horizontal) kadang tidak berjalan. Petugas di salah satu kantor
kabupaten yang diwawancara mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapat informasi mengenai sebagian program
yang dijalankan oleh pusat maupun provinsi, sehingga sinkronisasi program sullit dilakukan.
4.3.2. Kekurangan dan masalah dalam penyediaan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk
4.3.2.1. Kekurangan dari sisi jangkauan program
Lebih dari 40 persen rakyat Indonesia belum terjangkau asuransi kesehatan
Meskipun beberapa tahun belakangan ini Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam peningkatan jangkauan
asuransi kesehatan, jumlah warga yang belum memiliki asuransi kesehatan masih cukup besar. Data dari Kementerian
Kesehatan menunjukkan jangkauan berbagai asuransi kesehatan sebagai berikut (tahun 2010):
•
Orang miskin: Jamkesmas (32% populasi ), Jamkesda (13% populasi)
•
PNS, pensiunan PNS dan Pensiunan TNI/Polri serta anggota keluarganya : PT Askes (7% populasi)
•
Pekerja swasta formal dan anggota keluarganya: PT Jamsostek, asuransi swasta, layanan kesehatan oleh
pengusaha (6% populasi)
•
Pekerja informal yang tidak miskin beserta keluarganya: Jamsostek LHK (< 1% populasi)
Angka tersebut menunjukkan adanya kekurangan di mana 41 persen populasi tidak memiliki asuransi kesehatan.
Kelompok ini didominasi oleh orang-orang di sektor informal yang tidak masuk kategori miskin, selain juga pekerja
swasta formal yang tidak mendapat asuransi kesehatan akibat tingginya penghindaran oleh pengusaha.
Kesalahan penargetan dan tumpang tindih penerima
Di luar angka resmi yang tertera di atas, ada juga orang-orang yang tidak tercakup dalam asuransi kesehatan.
Kesalahan tidak memasukkan target atau salah sasaran masih merupakan masalah yang cukup penting dalam
Jamkesmas, sebagaimana temuan beberapa studi mengenai sejumlah warga miskin yang tidak menerima manfaat
program sementara sebagian warga yang lebih kaya menerima (lihat World Bank, 2011b). Koordinasi, integrasi
database, serta frekuensi pembaruan data sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Karena pendataan program Jamkesmas dan Jamkesda dilakukan terpisah, tumpang tindih mungkin terjadi
sementara pemeriksaan silang belum pernah dilakukan secara sistematis. Dalam wawancara di tingkat kabupaten,
beberapa pejabat setempat mengemukakan mereka menemukan warga yang menjadi penerima Jamkesmas dan
Jamkesda sekaligus, namun jumlahnya sulit diketahui karena tidak dilakukan cek silang secara sistematis. Bahkan
ditemukan juga kasus warga yang memiliki Askes dan Jamkesmas sekaligus, walaupun hal ini merupakan kasus
yang cukup jarang (berdasarkan wawancara dengan petugas PT Askes dan Dinkes di NTT).
Akses Geografis dan Finansial terhadap Layanan Kesehatan
Warga yang sudah memiliki Jamkesmas kadang masih mengalami hambatan lain seperti biaya transportasi atau
urun biaya (out-of-pocket payments) yang harus dikeluarkan. Di daerah pedesaan di mana kebanyakan orang miskin
tinggal, khususnya yang berada di pulau kecil atau daerah terpencil, palayanan kesehatan dan tenaga medis sangat
37
terbatas atau bahkan tidak ada (Sparrow, Suryahadi and Widyanti 2010; MoH, 2009). Bagi para penduduk desa
tersebut, puskemas terdekat biasanya terletak di pusat kota kecamatan. Untuk mencapai puskesmas, sering kali
warga memerlukan banyak waktu dan biaya transportasi, dan harus kehilangan pendapatan karena waktu yang
terpakai. Di luar itu, ketika mereka mengakses layanan tersebut, masih ada biaya yang harus ditanggung sendiri
(out-of-poket), meskipun sudah ada asuransi. Walaupun biaya sendiri sudah sangat berkurang karena adanya
Jamkesmas, biaya tersebut masih dianggap mahal bagi mereka yang sangat miskin (Sparrow, Suryahadi, Widyanti,
2010).
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Data PODES 2011 menunjukkan sebaran pelayanan kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Wilayah yang minim
layanan dasar (primary care) banyak terdapat di daerah timur Indonesia dan wilayah yang minim layanan sekunder
(secondary care) cukup tersebar di berbagai wilayah di luar Jawa.
38
Persoalan asuransi kesehatan sangat erat kaitannya dengan penyediaan perawatan kesehatan. Sebuah penilaian
terhadap program kartu sehat yang dilaksanakan 1999-2002, sebelum Jamkesmas (Pradhan, Saadah & Sparrow,
2007), memperlihatkan bahwa kombinasi distribusi kartu sehat dan dukungan anggaran tambahan untuk infrastruktur
perawatan kesehatan berkontribusi meningkatkan akses dan penggunaan layanan perawatan kesehatan lima kali
lebih banyak dari distribusi kartu sehat saja. Ini memperlihatkan bahwa perbaikan di sisi demand (permintaan)
harus dibarengi dengan perbaikan di sisi supply (penawaran).
Pada saat konsultasi di sejumlah provinsi, beberapa persoalan terkait diskriminasi diungkapkan. Ada persepsi
bahwa pasien Jamkesmas mendapat perawatan/pengobatan yang lebih rendah kualitasnya atau mereka harus
menunggu lebih lama untuk mendapatkan perawatan atau syarat admisnistrasi yang ketat.
Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan dalam memperluas jangkauan
Transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan dibarengi dengan perluasan jangkauan layanan dari hanya PNS dan
pensiunan TNI/Polri menjadi seluruh masyarakat. Dengan demikian juga diperlukan peningkatan kapasitas layanan
yang cukup besar.
Melalui konsultasi dan wawancara, pegawai PT Askes di tingkat provinsi dan kabupaten mengungkapkan bahwa salah
satu tantangan terbesar untuk PT Askes saat ini adalah untuk meningkatkan kapasitasnya agar dapat menjangkau
seluruh masyarakat, dan melebur berbagai jaminan kesehatan yang saat ini berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan
pengalaman sebelumnya, perluasan cakupan kepada pekerja informal diperkirakan akan sulit dilakukan apabila
peserta diharuskan menanggung iuran spenuhnya.
Khusus untuk pegawai sektor formal yang akan berpindah dari program Jamsostek JPK, akan ada perubahan dalam
iuran: iuran Jamsostek JPK dibayar sepenuhnya oleh pengusaha, sementara iuran untuk asuransi kesehatan yang
baru akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pengusaha. Hal ini memerlukan sosialisasi di kalangan pekerja
agar tidak terjadi penolakan akibat ketidaktahuan.
4.3.2.2. Kekurangan dari sisi tingkat perlindungan
Beberapa penyakit tidak ditanggung oleh mayoritas program asuransi yang ada
Beberapa penyakit seperti HIV saat ini masih dikecualikan dari kebanyakan skema asuransi yang ada. Meskipun
Jamsostek baru-baru ini mengubah kebijakannya dengan memasukkan penyakit tersebut, asuransi lain masih
belum belum terlihat bergerak ke arah yang sama. Berdasarkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan
Kesehatan, beberapa jenis penyakit yang sebelumnya tidak ditanggung akan masuk dalam paket manfaat, termasuk
di dalamnya HIV. Undang-Undang No. 24/2011 mengamanatkan bahwa manfaat yang diterima tidak boleh kurang
dari manfaat yang disediakan oleh program sebelumnya.
Dalam perkembangannya, HIV terus mendapat perhatian khusus. Selain menjadi salah satu indikator Tujuan
Pembangunan Milineum (MDG), para pemangku kepentingan merasa bahwa pengobatan dan pencegahan
penyakit HIV harus menjadi bagian dari strategi jaminan kesehatan nasional. Selain itu, biaya yang dikeluarkan
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit tersebut juga dipandang sebagai investasi untuk mencegah biaya
yang lebih besar di masa depan. Selain itu, ODHA yang mendapat perawatan kesehatan yang diperlukan dapat
tetap aktif dan berkontribusi terhadap perekonomian.
Diskusi dan konsultasi yang diselenggarakan selama proses penilaian juga menyatakan perlunya upaya meningkatkan
kesehatan ibu dan anak dengan menyediakan tes dan upaya pengobatan bagi ibu hamil untuk penyakit serius
yang dapat ditularkan dari sang ibu kepada anaknya, seperti HIV dan Sipilis. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak (PMTCT) merupakan langkah krusial untuk mengurangi prevalensi HIV di kalangan anak-anak. Di samping itu,
Sipilis, yang sebenarnya biaya tes dan pengobatannya sangat murah, terbukti dapat menyebabkan kematian bayi,
abortus spontan, kematian sebelum lahir, infeksi kelahiran dan bayi lahir dengan berat rendah (WHO, 2005).
Belum ada paket manfaat yang jelas serta data aktuaria yang mendalam dalam program jamkesmas yang
sekarang
Perkiraan biaya Jamkesmas saat ini belum didasarkan pada perhitungan aktuaria yang mendalam, dan belum
memiliki data komprehensif mengenai penerima manfaat, utilisasi, dan lain sebagainya. Program ini juga belum
memiliki paket manfaat yang definitif.
Kurangnya data dan tidak adanya kalkulasi yang memadai terkait biaya manfaat, mengancam keberlangsungan
dari skema tersebut (yang sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah). Lebih dari itu, penerima manfaat, yang tidak
tahu layanan apa saja yang menjadi hak mereka mungkin akan ragu atau tidak berani untuk mengajukan keluhan
apabila mereka tidak mendapat layanan tertentu.
Upaya yang tengah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait lain adalah memperbaiki database
dan mendesain paket-paket manfaat khusus yang merupakan langkah krusial terhadap pengembangan sistem
asuransi kesehatan sosial yang berkelanjutan.
4.3.3. Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan untuk Anak-anak
4.3.3.1. Kekurangan dari sisi jangkauan
Banyak program masih menghadapi masalah keterbatasan jangkauan, baik dalam hal jumlah penerima manfaat
maupun dalam hal jangkauan wilayah. Di antaranya yang dialami oleh Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA),
yang menyasar anak-anak dengan permasalahan sosial. Meskipun program ini terus berkembang, saat ini jumlah
penerima manfaat masih jauh di bawah perkiraan jumlah anak yang membutuhkan (lihat paragraf mengenai
PKSA di bagian 4.2.2.2). Dalam program PKH, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan
di sebagian wilayah—khususnya wilayah timur Indonesia, menjadi penghambat perluasan program ini. Program
makanan tambahan anak sekolah (PMTAS), meskipun ditargetkan kepada seluruh siswa TK dan SD di wilayah yang
dituju, di beberapa wilayah masih belum menjangkau seluruhnya. Di salah satu Kabupaten (TTS di NTT), pada
tahun 2010 tidak semua sekolah menerima bantuan, dan di sekolah yang menerima, anggarannya lebih rendah
dari jumlah total siswa. Pada tahun 2011 program tersebut sudah menjangkau seluruh sekolah, tetapi jumlah siswa
yang dianggarkan lebih rendah dari jumlah siswa yang ada (untuk SD dianggarkan 64.725 siswa dibandingkan
dengan 81.774 total jumlah siswa SD berdasarkan data BOS).
4.3.3.2. Perlunya perbaikan data dan mekanisme penetapan target
Keterbatasan jangkauan seringkali diperparah oleh ketiadaan data yang dapat diandalkan dan mekanisme penetapan
target yang efisien. Beberapa program seperti PKSA tidak memiliki data dasar yang lengkap mengenai kelompok
target yang dimaksud. Akibatnya, identifikasi penerima bantuan tidak dapat dilakukan dengan sistematis. Anak
yang masuk dalam program umumnya diidentifikasi dan didaftarkan oleh LSM/lembaga sosial.
39
4.3.3.3. Kebutuhan akan koordinasi dan sinkronisasi program
Kurangnya koordinasi menyebabkan kurang sinkronnya pelaksanaan antar program untuk anak-anak. Di tingkat
nasional, ada persetujuan bahwa BSM harus memprioritaskan siswa dari keluarga penerima PKH, namun di tingkat
daerah hal ini sering tidak terjadi. Hal ini antara lain disebabkan penetapan target dilakukan secara terpisah: PKH
berdasarkan data nasional, sementara pemilihan penerima BSM dilakukan oleh sekolah berdasarkan rekomendasi
komite sekolah dan komunitas. Seringkali sekolah maupun dinas pendidikan setempat memiliki pertimbangan lain,
misalnya pemerataan kepada siswa yang belum menerima bantuan program. Untuk itu, kedua program tersebut
perlu diharmonisasi demi penyelenggaraan yang lebih efektif.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
4.3.3.4. Permasalahan dalam manajemen dan penyaluran manfaat
40
Salah satu permasalahan dalam implementasi program adalah keterlambatan penyaluran bantuan dan manajemen
yang kurang efisien. PMTAS mengalami keterlambatan penyaluran dana, sehingga dana terebut tidak dapat terserap
secara maksimal karena jumlah hari pemberian makanan menjadi sangat terbatas. Berdasarkan wawancara dan
konsultasi dengan pihak dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di NTT, didapatkan informasi bahwa dana
PMTAS 2011 baru didistribusikan di bulan Agustus sehingga tidak dapat digunakan semuanya dan pada akhir
tahun dana yang tidak digunakan harus dikembalikan.
Raskin juga menghadapi permasalahan dalam ketepatan sasaran dan efisiensi program. Warga tidak tahu mengenai
berapa banyak beras yang menjadi hak mereka maupun mengenai jadwal penyaluran. Selain itu, manajemen
program mahal, monitoring dan evaluasi tidak efektif, dan mekanisme pengaduan tidak efektif (Hastuti et al,
2009).
4.3.4. Kekurangan dalam Jaminan Sosial untuk Penduduk Usia Kerja
4.3.4.1. Program ketenagakerjaan kurang dikaitkan dengan program jaminan sosial
Agar tercapai hasil yang optimal, perlu adanya kaitan yang erat antara program ketenagakerjaan dengan program
jaminan sosial. Program bantuan perlu dihubungkan dengan upaya meningkatkan kemampuan memperoleh
pekerjaan (employability) melalui pelatihan dan fasilitasi lain yang membantu mereka mendapat pekerjaan,
penciptaan lapangan kerja maupun return to employment apabila mereka tidak lagi bekerja (misalnya karena PHK
atau karena disabilitas dan lain-lain) sehingga peserta dapat meningkat ke pekerjaan yang lebih layak, dan dengan
demikian mampu menjadi peserta jaminan sosial dan membayar iuran.
Program yang mempekerjakan warga juga perlu memprioritaskan jaminan sosial bagi pekerjanya. Sebagai contoh,
PNPM belum memiliki informasi apakah pekerja maupun kontraktornya menjadi peserta program jaminan sosial,
dan tidak ada mekanisme untuk memeriksa atau mewajibkan mereka. Program ketenagakerjaan dan program
perlindungan sosial harus sejalan-seiring. Di samping itu, program-program pekerjaan umum atau yang sifatnya
padat karya juga perlu dikaitkan dengan pelatihan kerja, sehingga dampaknya lebih berkesinambungan.
4.3.4.2. Program pelatihan seringkali dilaksanakan secara parsial
Berbagai pelatihan yang behubungan dengan kegiatan produktif dilaksanakan oleh beberapa dinas kementerian
(misalnya dinas pertanian dan perkebunan, peternakan, perikanan, pemberdayaan perempuan dan lain-lain). Namun
pelatihan-pelatihan tersebut seringkali diselenggarakan secara parsial dan kurang berkesinambungan. Selain itu,
kualitas pendampingan, pelatihan dan monitoring untuk memastikan bahwa keterampilan yang didapatkan terus
berkembang dan bermanfaat juga masih banyak yang belum memadai.
4.3.4.3. Pesangon memberi perlindungan yang lebih rendah dibandingkan asuransi pengangguran
(unemployment insurance)
Pesangon yang diterima sekaligus saat terjadi PHK memberi perlindungan yang lebih rendah bagi pekerja, dan
membuat biaya rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mahal untuk pengusaha. Karena itu,
perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi asuransi pengangguran (unemployment insurance) agar pengeluaran
bagi pengusaha dapat lebih diperkirakan dan perlindungan bagi pekerja lebih lama.
4.3.4.4. Tantangan yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan dalam memperluas jangkauan
Sebagaimana halnya BPJS Kesehatan, salah satu tantangan BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk memperluas
jangkauan jaminan sosial ke pekerja di sektor informal. PT Jamsostek, yang akan ditransfomasi menjadi BPJS
Ketenagakerjaan, saat ini hanya memfokuskan pelayanan mereka kepada pekerja swasta formal. Transformasi
tersebut mengharuskan Jamsostek meningkatkan kapasitasnya agar dapat menjangkau seluruh pekrja di semua
wilayah Indonesia, terutama pekerja informal yang saat ini belum tercakup. Hal ini juga berarti harus ada skema
yang efektif dan sesuai dengan karakteristik para pekerja informal tersebut.
4.3.5. Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan bagi Lansia dan Penyandang disabilitas
4.3.5.1. Kekurangan dari sisi jangkauan
Mayoritas pekerja Indonesia belum memiliki jaminan hari tua
Kekurangan yang paling jelas terlihat dari jaminan pendapatan lansia dan orang cacat adalah dari sisi jangkauan
program. Hanya sekitar 13 persen dari seluruh warga Indonesia saat ini yang memiliki jaminan hari tua dan
sebagian besar merupakan pekerja sektor formal. Di antara pekerja yang memiliki jaminan hari tua, hanya PNS
dan anggota TNI/Polri yang mendapat pensiun bulanan (di samping juga dana tabungan hari tua yang diterima
sekaligus). Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk menutupi kekurangan ini dengan menyediakan
skema tabungan hari tua bagi semua pekerja (baik formal maupun informal) dan program pensiun khusus untuk
pekerja sektor formal. Hal ini akan dilaksanakan secara bertahap di bawah manajemen BPJS Ketenagakerjaan.
Jangkauan program bantuan sosial untuk disabilitas dan lansia telantar masih rendah
Program bantuan tunai untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai untuk penyandang disabilitas berat (JSPACA)
menyasar anggota masyarakat yang kehidupannya sangat berat. Dan di antara kelompok sasaran tersebut, baru
sebagian kecil yang sudah dijangkau oleh program. Saat ini pemerintah (melalui TNP2K) tengah mengeksplorasi
kemungkinan untuk memperluas jangkauan program JSPACA dan JSLU kepada lebih banyak penerima.
4.3.5.2. Keterbatasan Data
Belum ada definisi yang seragam mengenai kecacatan (di antara kementerian, BPS, maupun lembaga lain) serta
belum ada database yang komprehensif mengenai orang dengan disabilitas. Hal ini membuat penetapan target
JSPACA sulit dilaksanakan dengan akurat9. Data BPJS mengenai orang cacat tidak memiliki klasifikasi terperinci
( jenis, tingkat keparahan dll). JSLU mengalami permasalahan serupa di mana tidak ada database mengenai lansia
telantar atau lansia rentan.
9
Definisi yang ada, berdasarkan UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, adalah sebagai berikut:
“Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan
mental, dimana cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara
lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; cacat mental adalah kelainan
mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; cacat fisik dan mental
adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus” (Colbran, 2010).
41
4.3.5.3. Jaminan hari tua yang manfaatnya diterima sekaligus memberi perlindungan rendah
dibandingkan dengan pensiun bulanan
Manfaat jaminan hari tua yang dimiliki kebanyakan pekerja swasta formal, di mana manfaatnya dibayarkan
satu kali, memberi perlindungan lebih rendah. Hal ini karena jumlahnya rata-rata kecil dan manfaat dibayarkan
sekaligus, sehingga cenderung dihabiskan dalam waktu singkat. Orang yang menerima lump sum biasanya tidak
akan membuat anuitas (pengeluaran secara bulanan atau tahunan) untuk dirinya sendiri. Di tahun 2009, jumlah
manfaat rata-rata Jamsostek JHT yang diterima per orang adalah Rp 6.5 juta10. Iuran sebesar 5.7 persen upah masih
terlalu kecil untuk menghasilkan manfaat yang memadai.
4.4. Rekomendasi
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
4.4.1. Rekomendasi umum
42
4.4.1.1. Penegakan hukum untuk mengurangi penghindaran jaminan sosial
Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan dan UU Jaminan Sosial sangatlah penting untuk mencapai tujuan-tujuan
perlindungan sosial. Meskipun keanggotaan Jamsostek bersifat wajib, banyak pekerja dan pengusaha yang tidak
terdaftar dalam Jamsostek. Tanpa perbaikan signifikan dalam upaya penegakan hukum, permasalahan yang sama
juga akan dihadapi dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan berlaku.
Pengawasan dan inspeksi perlu ditingkatkan secara intensif, dan perlu diciptakan mekanisme yang inovatif dan
efisien untuk meningkatkan kapasitas pengawasan. Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain, salah
satunya dari sistem TWIN yang diterapkan di Cina. Sistem TWIN menggunakan jaringan petugas lapangan yang
mendatangi perusahaan di wilayah perkotaan maupun pedesaan untuk mendata informasi mengenai tenaga
kerja, keadaan lingkungan kerja dan lain-lain. Data tersebut dimasukan ke dalam database dan informasi dalam
data tersebut dibandingkan dengan informasi yang dimiliki oleh lembaga jaminan sosial, dan dengan demikian
penghindaran jaminan sosial dapat teridentifikasi.
4.4.1.2. Dukungan terhadap pembuatan peraturan-peraturan untuk implementasi UU No. 40/2004,
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya dalam hal:
Perluasan jangkauan ke pekerja informal
Sistem Jaminan Sosial Nasional, berdasarkan UU No. 40/2004 dan UU No. 24/2011, akan menyediakan asuransi
kesehatan bagi seluruh warga dan skema jaminan sosial ketenagakerjaan bagi seluruh pekerja melalui BPJS I dan BPJS
II. Pekerja di sektor informal, yang saat ini hampir tidak tersentuh oleh skema jaminan sosial, memiliki karakteristik
tersendiri yang memberi tantangan dalam mekanisme pendaftaran, pembayaran iuran, dan penyaluran manfaat.
Perlu adanya analisis mendalam untuk merancang sistem pendaftaran dan pembayaran yang disesuaikan dengan
karakteristik tersebut. Perlu dipertimbangkan untuk memanfaatkan organisasi tertentu misalnya perkumpulan/
asosiasi pekerja berdasarkan jenis pekerjaan atau berdasarkan wilayah ataupun skema asuransi mikro yang dapat
berperan sebagai “agen” penghubung bagi badan penyelenggara. Pembelajaran dari program yang pernah/tengah
berjalan maupun pembelajaran dari negara lain perlu dipertimbangan dalam merancang skema dan peraturan
kedepan.
Untuk mendukung perancangan mekanisme yang efektif, database, dan pemetaan mengenai ekonomi formal
perlu dibuat.
10
Pada 2009, ada 898.886 pencairan untuk program jaminan hari tua dan Jamsostek melakukan
pembayaran total sebesar Rp 5.789,84 miliar dana jaminan (laporan tahunan Jamsostek 2009).
Penyusunan Peta Jalan (roadmap) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) beserta lembaga terkait lainnya (Kemenkes, Bappenas, Kemenakertrans
dan lain-lain) tengah menyusun peta jalan untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Upaya bersama dan
koordinasi yang erat antarlembaga sangat diperlukan agar peta jalan yang dihasilkan menjadi dokumen yang
komprehensif.
4.4.1.3. Perbaikan database dan mekanisme penargetan
Database yang andal serta mekanisme penargetan yang jelas merupakan syarat bagi kesusksesan program
perlindungan sosial. Sebagaimana kita ketahui, masih banyak program yang belum memiliki komponen tersebut
dan hal ini perlu menjadi perhatian. Program-program yang menyasar kelompok khusus seperti PKSA, JSLU atau
JSPACA akan sangat terbantu apabila kedua komponen tersebut diperbaiki. Perlu juga diperhatikan juga bahwa
database memiliki informasi mengenai jenis kelamin, sehingga sensitifitas jender dalam program dapat dimonitor.
Sebagai contoh, dalam konsultasi Penilaian ini sempat diutarakan kekhawatiran adanya bias jender dalam program
beasiswa miskin, di mana siswa laki-laki lebih banyak menerima manfaat ketimbang siswa perempuan. Isu-isu
semacam ini perlu dipertimbangkan ketika membuat database.
Upaya untuk memperbaiki database telah berjalan, salah satunya dengan dibuatnya basis data terpadu untuk
program perlindungan sosial yang berisi informasi mengenai 40 persen pendidik dengan kondisi sosial eonomi
terendah (dataset PPLS 2011, dikelola oleh TNP2K). Database yang baru itu dimaksudkan untuk dijadikan dasar
penargetan oleh semua program perlindungan sosial. Pengadopsian database tersebut tengah dalam proses,
sehingga kegunaannya serta dampaknya terhadap efektifitas program baru akan terlihat beberapa tahun ke
depan. Masih ada beberapa pertanyaan mengenai apakah informasi yang terkandung dalam database tersebut
cukup terperinci untuk digunakan oleh semua program, khususnya program yang membutuhkan informasi khusus
mengenai sasarannya (misalnya PKSA, JSLU). Selain itu, perlu diingat bahwa penggunaan database harus disertai
dengan mekanisme penargetan yang andal.
Hal lain yang perlu diingat mengenai database adalah metode dan frekuensi pembaruan (updating) data. Indonesia
merupakan negara besar dengan kondisi sosial-ekonimu yang sangat dinamis, sehingga mekanisme pembaruan
data harus responsif.
4.4.1.4. Merancang dan mengujicoba Layanan Satu Atap program-program perlindungan sosial, yang
bertujuan untuk:
Mempermudah akses warga terhadap sistem perlindungan sosial
Keterbatasan akses merupakan persoalan yang cukup besar, khususnya untuk orang-orang di sektor informal.
Kapasitas PT Askes dan PT Jamsostek, dua BUMN yang akan ditransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan, saat ini hanya mengakomodasi sektor formal. Layanan mereka juga belum menjangkau masyarakat
di daerah terpencil. Banyak program perlindungan sosial menghadapi masalah serupa, di mana jangkauan program
terhambat terbatasnya akses. Perlu adanya mekanisme untuk memudahkan pendaftaran, pemungutan iuran, dan
pembayaran klaim yang bertempat di tingkat lokal dan terjangkau oleh seluruh warga.
Sistem “Layanan Satu Atap” untuk program perlindungan sosial dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut. Sebuah
sistem yang ditempatkan di struktur yang sudah ada (misalnya di kecamatan), berfungsi untuk memberi informasi
tentang program yang ada kepada masyarakat, melakukan penilaian kerentanan dan keterampilan yang dimiliki calon
penerima manfaat, memfasilitasi pendaftaran ke program perlindungan sosial maupun program ketenagakerjaan
yang sesuai dengan kondisi mereka, meyimpan dan meperbarui database di wilayah tersebut, dan menggunakan
data untuk monitoring dan evaluasi program. Mekanisme ini perlu dirancang dan diujicoba di beberapa daerah
sebelum menemukan bentuk yang sesuai.
43
Memfasilitasi koordinasi untuk menghindari tumpang tindih antar program
Layanan satu atap tersebut menyimpan database mengenai berbagai program dan penerima manfaat di wilayahnya.
Hal ini akan memudahkan pelaksana program melakukan penargetan, implementasi serta monitoring yang lebih
koheren satu sama lain. Informasi mengenai penerima manfaat dari masing-masing program dapat diuji silang dan
diverifikasi di tingkat lokal, untuk menghindari tumpang tindih.
Mengaitkan perlindungan sosial dengan program-program ketenagakerjaan
Integrasi pelayanan program-program perlindungan sosial dengan program-program ketenagakerjaan di bawah
pelayanan satu atap dapat memberi peluang bagi penerima manfaat untuk meningkat secara progresif dari sekedar
penerima bantuan sosial dasar, menjadi peserta pelatihan dan penempatan kerja, dan kemudian mendapat (atau
menciptakan) pekerjaan yang layak sehingga mereka dapat menjadi peserta jaminan sosial dan membayar iuran.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
*Catatan: Rekomendasi mengenai studi kelayakan Pelayanan Satu Atap menjadi salah satu kegiatan yang akan
dilaksanakan dibawah proyek ILO-Korea yang berjudul “Promoting income security and return to employment for
workers in vulnerable employment and the formal sector in ASEAN”.
44
4.4.2. Rekomendasi untuk Jaminan Kesehatan
4.4.2.1. Membuat dan mengaplikasikan paket manfaat yang spesifik dan jelas
Belajar dari pengalaman Jamkesmas, asuransi kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu memiliki
paket manfaat yang menyebutkan secara spesifik layanan apa saja yang ditanggung, disertakan daftar (checklist)
layanan apa saja yang tersedia di masing-masing penyedia layanan di tiap level (puskesmas, klinik, rumah sakil
dan seterusnya) dan memastikan ada petugas kesehatan yang dapat memberi layanan tersebut. Para penerima
manfaat harus mengetahui mengenai apa saja yang terdapat dalam paket manfaat, dan perlu ada mekanisme
kontrol atau pengaduan (hotline).
Paket manfaat untuk asuransi kesehatan di bawah SJSN tengah dirancang oleh beberapa lembaga (DJSN, TNP2K,
Kemensos)
4.4.2.2. Memasukkan pengobatan dan pencegahan beberapa penyakit yang saat ini tidak ditanggung,
dan memastikan paket manfaat yang diterapkan BPJS Kesehatan memiliki tingkat perlindungan
yang setara atau lebih baik dari program-program yang sudah ada.
Beberapa penyakit seperti antiretroviral untuk HIV dan hemodialisis saat ini tidak ditanggung oleh kebanyakan
asuransi, terkecuali Jamsostek JPK (yang baru-baru ini menambahkan operasi jantung, hemodialisis, pengobatan
kanker, dan HIV dalam paket asuransi mereka). Penting untuk ditekankan bahwa berdasarkan UU SJSN, sistem
yang baru nanti tidak boleh memiliki perlindungan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang sudah diterima.
Dengan demikian, paket manfaatnya harus mencakup pengobatan penyakit-penyakit yang ada dalam paket
Jamsostek.
Pengobatan antiretroviral untuk ODHA
Tidak tercakupnya HIV dalam banyak asuransi yang ada mendapat perhatian khusus dari para pemangku
kepentingan, salah satunya karena penanggulangan HIV merupakan bagian dari indikator Tujuan Pembangunan
Milenium. Mereka juga menekankan bahwa peanggulangan infeksi tersebut bukan hanya meningkatkan kualitas
hidup pengidapnya, tetapi juga membantu mengurangi penyebaran virus tersebut. Pencegahan dan pengobatan
harus berjalan bersama dan menjadi bagian dari strategi jaminan kesehatan nasional. Biaya untuk pengobatan dan
pencegahan virus tersebut dilihat sebagai investasi untuk mencegah pengeluaran yang lebih besar dimasa depan
apabila virus tersebut tidak ditangani dengan baik.
Pencegahan penularan virus serius dari ibu ke bayi, seperti HIV dan Sipilis
Seiring pentingnya investasi dalam pencegahan virus, para pemangku kepentingan (khususnya lembaga yang
berhubungan dengan HIV seperti UNAIDS, KPA, WHO, UNICEF dan lain-lain) mengutarakan perlunya meningkatkan
kesehatan ibu dan anak dengan menyediakan pemeriksaan dan pengobatan virus yang dapat ditularkan dari ibu
kepada bayinya, seperti HIV dan Sipilis, untuk semua wanita hamil. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (mother
to child transmission—PMTCT) untuk virus HIV sangatlah penting untuk mengurangi prevalensi HIV pada anakanak. Sipilis, yang pemeriksaan dan pengobatannya sebenarnya sangat murah, terbukti dapat ‘mengakibatkan
dampak yang sangat buruk terhadap kehamilan seperti kematian bayi dalam kandungan, keguguran, maupun
infeksi serius pada bayi dan berat badan bayi rendah’ (WHO, 2005).
4.4.3. Rekomendasi untuk jaminan tunjangan bagi anak-anak
4.4.3.1. Perluasan jangkauan program bantuan bersyarat (PKH dan PKSA) dari segi wilayah maupun
jumlah penerima
Program PKH saat ini menyasar 1,5 juta rumah tangga sangat miskin di seluruh Indonesia. Target wilayahnya
menjangkau seluruh provinsi, tetapi belum semua kabupaten/kota. PKH masih terus berkembang dan pemerintah
bermaksud memperluas jangkauan ke 3 juta rumah tangga pada tahun 2014. Program ini perlu terus berkembang
sehingga dapat mencapai semua rumah tangga sangat miskin di seluruh kabupaten/kota.
Lebih dari itu, PKH perlu juga diperluas bukan hanya menjangkau rumah tangga sangat miskin, tetapi seluruh
keluarga miskin. Melihat rencana rancangan awalnya, PKH dimaksudkan untuk menjangkau rumah tangga miskin
(tidak terbatas pada rumah tangga sangat miskin). Target awal program tersebut, sebagaimana tercantum dalam
Panduan Umum Program Keluarga Harapan (2010), direncanakan mencapai 6.5 juta rumah tangga. Program ini
perlu terus berkembang untuk menjangkau semua rumah tangga yang membutuhkan.
Perkembangan program PKH tentunya perlu disertai dengan peningkatan akses pelayanan kesehatan dan
pendidikan, selama anggaran negara memungkinkan. Kurangnya pasokan layanan kesehatan dan pendidikan di
daerah terpencil, yang sering ditemukan di wilayah timur Indonesia, dapat menghambat dampak program.
4.4.3.2. Sinkronisasi atau eksplorasi kemungkinan penyatuan program beasiswa miskin dengan
program lain yang sejalan
Apabila program BOS terlaksana dengan baik, serta dananya mencukupi untuk memberi pendidikan gratis, dan
apabila program bantuan tunai untuk anak (baik melalui program bersyarat seperti PKH ataupun sistem tunjangan
anak universal) sudah berjalan optimal, program beasiswa miskin di tingkat SD dan SMP dapat menjadi tidak relevan.
Program beasiswa dapat diharmonisasi dengan program PKH menjadi satu program. Demi efisiensi pelaksanaan
maupun targeting program, direkomendasikan untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk menyatukan program
beasiswa dengan PKH.
4.4.3.3. Menjajagi kemungkinan program tunjangan anak universal, dan hitung biayanya
Program universal seringkali lebih mudah dilaksanakan karena administrasi dan biaya yang dibutuhkan jauh lebih
rendah tanpa adanya targeting, di samping dampaknya yang positif. Kemungkinan program tunjangan anak
universal ini perlu dipertimbangkan. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan perkiraan biayanya dalam persentasi
pengeluaran pemerintah maupun persentasi PDB, untuk memulai diskusi.
45
4.4.3.4. Perbaikan mekanisme penargetan dan efisiensi manajemen untuk program Raskin
Permasalahan yang dihadapi program Raskin banyak yang berhubungan dengan tingginya biaya dan kurang
efisiennya sistem penyaluran bantuan. Program ini dikelola secara terpusat oleh Badan Usaha Logistik (Bulog). Biaya
admisnistrasi dapat dikurangi secara signifikan dengan lebih banyak melibatkan pasar lokal dalam menyediakan
beras.
4.4.4. Rekomendasi untuk Jaminan Pendapatan bagi Usia Kerja
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
4.4.4.1. Melakukan studi kelayakan (feasibility study) asuransi pengangguran dan mengaitkannya dengan
program-program ketenagakerjaan.
Asuransi pengangguran dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja dan lebih efisien biayanya
bagi pengusaha. Seiring dengan meningkatnya perlindungan tenaga kerja di Indonesia, saat ini penting untuk
mempertimbangkan diterapkannya asuransi pengangguran. Studi kelayakan merupakan langkah selanjutnya untuk
mengeksplorasi kemungkinan ini. Hal ini dapat menjadi langkah selanjutnya setelah implementasi SJSN.
4.4.4.2. Menjajagi program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan program pengembangan keterampilan
bagi pekerja di sektor informal
Untuk mencapai hasil yang lebih optimal, program-program pekerjaan umum perlu dikaitkan dengan program
pengembangan keterampilan. Penerima manfaat, yang berasal dari sektor informal, tidak hanya mendapat
pekerjaan yang membantu menopang hidup mereka, tetapi juga menerima pelatihan dan pengembangan
kapasitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Dengan demikian hasil yang didapatkan
lebih berkesinambungan. Perhitungan untuk memperkirakan biaya perlu dibuat untuk menjadi input dalam
mendiskusikan hal ini.
4.4.4.3. Menjajagi kemungkinan untuk membuat program manfaat kehamilan untuk perempuan yang
bekerja di sektor informal
Perempuan yang bekerja di sektor formal menerima manfaat kehamilan/cuti hamil ketika mereka tidak bisa bekerja
karena melahirkan. Namun demikian, perempuan yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan perlindungan
serupa. Hal ini dapat berakibat buruk pada kesejahteraan ibu dan bayinya, bahkan juga seluruh keluarganya (karena
kurangnya penghasilan saat sang ibu tidak dapat bekerja, atau dampak buruk terhadap kesehatan apabila sang
ibu kembali bekerja terlalu cepat karena ingin tetap mendapat penghasilan). Jaminan pendapatan saat melahirkan
perlu dinikmati oleh semua perempuan yang bekerja, bukan hanya yang bekerja di sektor formal. Untuk itu, perlu
dilakukan studi kelayakan untuk menemukan skema jaminan penghasilan saat melahirkan yang sesuai untuk sektor
informal.
4.4.5. Rekomendasi untuk Jaminan Pendapatan bagi Penyandang Disabilitas dan Lansia
4.4.5.1. Studi kelayakan untuk skema pensiun manfaat tetap bagi pekerja sektor formal
46
UU SJSN menyatakan bahwa skema pensiun akan disediakan bagi seluruh pekerja sektor formal. Untuk itu, perlu
ada studi mendalam mengenai rancangan skema tersebut. DJSN bersama dengan lembaga terkait lainnya saat ini
tengah meneliti hal ini dan diharapkan segera menghasilkan rencana implementasi.
4.4.5.2. Mengeksplorasi perluasan jangkauan program bantuan tunai untuk lansia terlantar (JSLU) dan
bantuan tunai untuk panyandang disabilitas berat (JSPACA), dan hitung biayanya
Program bantuan tunai tetap untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai tetap untuk penyandang disabillitas
berat (JSPACA) saat ini hanya menjangkau sebagian kecil dari jumlah orang yang sebenarnya membutuhkan.
Program-program tersebut perlu diperluas untuk menjangkau lebih banyak penerima dan pada akhirnya
menjangkau seluruh lansia telantar dan seluruh penyandang disabilitas.
4.4.5.3. Pembuatan database lengkap mengenai penyandang disabilitas serta database lengkap
mengenai lansia, guna memperbaiki penargetan
Untuk mendukung perluasan program JSPACA dan JSLU, sangatlah penting untuk memiliki informasi mengenai
jumlah orang yang masuk kategori sasaran program. Hanya dengan itu, penargetan dapat dilakukan dengan
efektif.
4.4.5.4. Meningkatkan jumlah nominal subsidi panti
Subsidi panti yang saat ini berjumlah Rp 3,000 per hari per orang dirasakan terlalu rendah untuk menutupi
kebutuhan mereka. Jumlah tersebut perlu ditingkatkan.
47
48
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Metodologi costing (perkiraan
pembiayaan), penjabaran
opsi (“skenario”) kebijakan
untuk melengkapi LPS, dan
penghitungan biayanya
5
5.1. Metodologi costing menggunakan RAP Protocol
Sebuah perangkat costing – RAP/Rapid Assessment Protocol (protokol penilaian cepat) – yang dikembangkan oleh
ILO, berdasarkan perangkat costing UNICEF/ILO sebelumnya, akan digunakan untuk kegiatan costing ini.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi dan mendefinisikan opsi kebijakan yang akan melengkapi Landasan
Perlindungan Sosial (LPS) sesuai dengan rekomendasi penilaian, kemudian membuat estimasi biaya dari masingmasing opsi dan mengaitkannya dengan proyeksi anggaran pemerintah dan PDB di tahun-tahun mendatang. Rapid
Assessment Protocol menggunakan metodologi yang sederhana dan mudah berdasarkan proyeksi populasi dari
per kelompok umur, estimasi angkatan kerja per kelompok umur, skenario ekonomi yang relatif kasar berdasarkan
asumsi tingkat pertumbuhan PDB, tingkat produktifitas, inflasi dan kenaikan upah, tingkat bunga serta angka
kemiskinan. Model ini menggunakan variabel-variabel tersebut sebagai indikator pengeluaran dan pemasukan,
yang diterapkan kepada data-data statistik tahun-tahun sebelumnya. Asumsi rinci semuanya dicatat dalam model
tersebut dan dapat tersedia bagi semua pembaca yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut.
Kegiatan costing menyediakan estimasi kasar biaya yang diperlukan untuk perlindungan sosial tambahan guna
mengembangkan Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. Biaya tersebut tersedia dalam rupiah, begitu juga
dalam persentasi dari PDB dan persentasi dari pengeluaran pemerintah . Hasil dari costing ini kemudian akan
digunakan untuk mendukung pembahasan-pembahasan terkait prioritas kebijakan perlindungan sosial dan menjadi
dasar bagi pembahasan tentang ruang fiskal dan realokasi anggaran dengan berbagai lembaga pemerintah. Perlu
diperhatikan bahwa kegiatan costing ini bertujuan untuk memperkirakan biaya yang diperlukan untuk skema
bersangkutan, tetapi tidak mengarahkan kepada metode pendanaannya. Pendanaan dapat dilakukan melalui
subsidi penuh dari pemerintah, kontribusi penuh dari peserta maupun perpaduan kontribusi dan subsidi.
5.2. Jaminan Kesehatan
Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan
yang dapat dihitung:
•
Membuat dan menerapkan paket manfaat asuransi kesehatan yang spesifik
•
Pengobatan dan pencehagan penyakit tertentu, misalnya:
-
Pengobatan Antiretroviral untuk ODHA
-
Pencegahan penularan penyakit serius dari ibu ke anak seperti HIV and Sipilis
Rekomendasi-rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi skenario berikut:
49
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
50
•
Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk warga miskin, hampir miskin,
dan rentan di level kelas 3 moderat
•
Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk warga miskin, hampir miskin
dan rentan di level kelas 3 tinggi
•
Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat ekonomi
informal, di level kelas 3 moderat
•
Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat ekonomi
informal, di level kelas 3 tinggi
•
Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat di ekonomi
informal, di level kelas 1 tinggi
•
Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi kelompok berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/
AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan.
•
Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi usia produktir (15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan.
•
Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari Ibu kepada anak (MTCT) untuk HIV dan
Sipilis.
Kita kemudian menghitung biaya dari skenario-skenario tersebut menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP).
Asumsi dan hasil dari penghitungan biaya disajikan dalam tabel-tabel di bawah ini.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam rangka persiapan pelaksanaan UU SJSN, beberapa lembaga (TNP2K,
Kemenkes, Bappenas maupun lembaga lainnya) tengah menyusun pilihan paket manfaat untuk asuransi kesehatan
yang akan berlaku. Ada beberapa versi yang memungkinkan, dan pemerintah belum memutuskan paket mana
yang akan resmi dipakai. Untuk kegiatan costing ini, kami menggunakan versi yang dibuat oleh TNP2K. Pilihan
paket beragam dari pelayanan kelas 3 hingga kelas 1, dan untuk masing-masing kelas dibuat perkiraan moderat
dan perkiraan tinggi. Biaya tersebut diperkirakan untuk tahun 2014 dan 2019. Skenario 1 sampai 5 di bawah ini
dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tersebut.
Asumsi dan hasil costing disajikan di bawah ini.
5.2.1. Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin dan rentan
di level kelas 3 moderat
5.2.1.1. Asumsi:
•
Biaya per anggota per bulan untuk estimasi moderat kelas 3 adalah Rp 16.560 di tahun 2014 dan Rp 29.279 di
tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dll)
•
Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan.
•
Target sekitar 40 persen dari populasi (berdasarkan PPLS 2011) atau sekitar 96,14 juta jiwa di tahun 2014, dan
diasumsikan meningkat sejalan dengan perkiraan peningkatan penduduk.
•
Skenario ini akan mulai berlaku pada tahun 2014, saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi.
5.2.1.2. Hasil
Biaya total per tahun untuk perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan miskin di
level kelas 3 moderat diproyeksikan pada kurun waktu 2014-2020 dan kemudian diungkapkan dalam persentasi
PDB dan pengeluaran pemerintah. Diperkirakan bahwa penyediaan paket jaminan kesehatan ini akan memerlukan
total biaya sebesar 0,19 persen dari PDB atau 1,12 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. Dibandingkan
dengan asumsi biaya Jamkesmas saat ini, diperlukan biaya tambahan sebesar 0,14 persen dari PDB atau 0,80
persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020.
5.2.2. Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan
rentan di level kelas 3 tinggi
5.2.2.1. Asumsi:
•
Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 3 adalah Rp 21.970 di tahun 2014 dan Rp 40.366 di
tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dan
lain-lain)
•
Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan.
•
Target sekitar 40 persen dari populasi (berdasarkan PPLS 2011) atau sekitar 96,14 juta jiwa di tahun 2014, dan
diasumsikan meningkat sejalan dengan perkiraan peningkatan penduduk.
•
Skenario ini akan mulai berlaku pada tahun 2014, saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi.
5.2.2.2. Hasil
Biaya total per tahun untuk perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan miskin
di level kelas 3 tinggi diproyeksikan pada kurun waktu 2014-2020 dan kemudian diungkapkan dalam persentasi
PDB dan pengeluaran pemerintah. Diperkirakan bahwa penyediaan paket jaminan kesehatan ini akan memerlukan
total biaya sebesar 0,27 persen dari PDB atau 1,55 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. Dibandingkan
dengan asumsi biaya Jamkesmas saat ini, diperlukan biaya tambahan sebesar 0,21 persen dari PDB atau 1,22
persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020.
5.2.3. Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi
informal, di level kelas 3 moderat.
5.2.3.1. Asumsi:
•
Biaya per anggota per bulan untuk estimasi moderat kelas 3 adalah Rp 16.560 di tahun 2014 dan Rp 29.279
di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi
dan lain-lain)
•
Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan.
•
Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi
informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020.
•
Kepesertaan akan meningkat dari 40 persen populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun
2016
5.2.3.2. Hasil
Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 3 moderat diperkirakan
akan mencapai 0,31 persen dari PDB dan 1,79 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,25
persen PDB dan 1,47 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang.
51
5.2.4. Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi
informal, di level kelas 3 tinggi
5.2.4.1. Asumsi:
•
Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 3 adalah Rp 21.970 di tahun 2014 dan Rp 40.366 di
tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dll)
•
Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan.
•
Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi
informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020.
•
Kepesertaan akan meningkat dari 40 persen populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun
2016
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
5.2.4.2. Hasil
52
Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 3 tinggi diperkirakan
akan mencapai 0,43 persen dari PDB dan 2,48 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,37
persen PDB dan 2,15 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang.
5.2.5 Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi
informal, di level kelas 1 tinggi
5.2.5.1. Asumsi:
•
Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 1 adalah Rp 59.071 di tahun 2014 dan Rp 92.303 di
tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dan
lain-lain).
•
Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan.
•
Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi
informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020.
•
Kepesertaan akan meningkat dari 40 populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun 2016
5.2.5.2. Hasil
Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 1 tinggi diperkirakan
akan mencapai 0,96 persen dari PDB dan 5,57 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,90
persen PDB dan 5,25 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang.
16 560
96 142
12 665 889
0,12%
0,66%
Biaya per anggota per bulan
Jangkauan (40% populasi) dalam ribu
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
Total biaya tambahan dalam % PDB
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran.
pemerintah
0,70%
0,13%
15 207 496
97 162
19 104
2015
0,74%
0,14%
17 765 184
98 229
21 648
2016
0,77%
0,14%
20 317 623
99 307
24 191
2017
2014
21 970
96 142
18 907 432
0,18%
0,98%
Tahun
Biaya per anggota per bulan
Jangkauan (40% populasi) dalam ribu
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
Total biaya tambahan dalam % PDB
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran.
pemerintah
1,05%
0,20%
22 823 746
97 162
25 636
2015
1,12%
0,21%
26 787 872
98 229
29 302
2016
1,17%
0,21%
30 776 626
99 307
32 968
2017
1,20%
0,21%
34 777 415
100 368
36 634
2018
0,79%
0,14%
22 855 063
100 368
26 735
2018
Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 tinggi
2014
Tahun
Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 moderat
Tabel 11: Proyeksi biaya skenario jaminan kesehatan
53
1,22%
0,21%
38 776 394
101 402
40 300
2019
0,80%
0,14%
25 365 694
101 402
29 279
2019
1,22%
0,21%
42 763 511
102 413
43 966
2020
0,80%
0,14%
27 839 936
102 413
31 823
2020
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
0,67%
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran.
pemerintah
0,98%
0,19%
21 316 560
50,0%
19 104
2015
1,39%
0,26%
33 152 815
62,9%
21 648
2016
1,44%
0,26%
37 702 123
62,9%
24 191
2017
1,00%
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran.
pemerintah
1,43%
0,27%
31 021 694
50,0%
25 636
2015
1,99%
0,37%
47 616 432
62,9%
29 302
2016
2,07%
0,38%
54 468 194
62,9%
32 968
2017
0,62%
3,26%
Total biaya tambahan dalam % PDB
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran.
pemerintah
40,0%
Jangkauan (% populasi)
63 034 072
59 071
Biaya per anggota per bulan
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
2014
Tahun
4,17%
0,79%
90 572 129
50,0%
65 717
2015
5,40%
1,00%
128 985 242
62,9%
72 364
2016
5,42%
0,99%
142 423 300
62,9%
79 010
2017
5,40%
0,96%
156 033 872
62,9%
85 657
2018
2,12%
0,38%
61 384 722
62,9%
36 634
2018
1,46%
0,26%
42 272 863
62,9%
26 735
2018
Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi
0,19%
Total biaya tambahan dalam % PDB
40,0%
Jangkauan (% populasi)
19 399 503
21 970
Biaya per anggota per bulan
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
2014
Tahun
Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3
0,13%
Total biaya tambahan dalam % PDB
40,0%
Jangkauan (% populasi)
13 036 790
16 560
Biaya per anggota per bulan
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
2014
Tahun
Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3 moderat
54
5,34%
0,94%
169 785 658
62,9%
92 303
2019
2,15%
0,38%
68 347 850
62,9%
40 300
2019
1,47%
0,26%
46 850 127
62,9%
29 279
2019
5,25%
0,90%
183 667 634
62,9%
98 949
2020
2,15%
0,37%
75 346 721
62,9%
43 966
2020
1,47%
0,25%
51 423 819
62,9%
31 823
2020
0.00%
0.20%
0.40%
0.60%
0.80%
1.00%
1.20%
2014
2015
2016
2017
2018
Gambar 3:Proyeksi biaya skenario kesehatan dalam persentasi PDB
55
2019
2020
kelas 1 tinggi untuk seluruh ekonomi formal
kelas 3 tinggi untuk seluruh ekonomi formal
kelas 3 moderat untuk seluruh ekonomi formal
kelas 3 tinggi untuk 40% termiskin
kelas 3 moderat untuk 40% termiskin
5.2.6. Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi kelompok berisiko tinggi, cek kesehatan rutin
bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan penanganan
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
5.2.6.1. Asumsi:
56
•
Populasi orang dengan risiko tinggi adalah 6 juta pada 2011 (berdasarkan pada konsultasi dengan UNAIDS).
Populasi ini diasumsikan bertambah dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan populasi usia produktif.
Jumlah penduduk yang melakukan konseling dan tes sukarela (VCT) pada 2010 mencapai 220 ribu orang atau
3,7 persen dari total populasi berisiko.
•
Pada 2010, jumlah ODHA sebanyak 371.800 dan jumlah orang yang baru terinveksi HIV sebanyak 55.700.
Semua ODHA harus secara rutin menjalani cek kesehatan (kandungan virus dan jumlah CD4). Di antara ODHA,
50.400 orang membutuhkan ART (Anti-Retroviral Treatment. Data (2008-2014) diambil dari “Mathematic Model
of HIV Epidemic in Indonesia” (Kementerian Kesehatan, 2008). Data 2015-2020 mengasumsikan pertumbuhan
yang konstan berdasarkan pertumbuhan rata-rata pada tahun sebelumnya.
•
Prevalensi di antara penduduk yang memiliki risiko tinggi adalah 2,5 persen.
•
Pada 2011, dari total ODHA dewasa yang membutuhkan pengobatan, hanya 44 persen dapat mengakses
tindakan tersebut (Kementerian Kesehatan, 2011). Pemerintah menargetkan dapat meningkatkan jangkauan
hingga 80 persen pada 2015.
•
Biaya VCT (konseling dan tes sukarela) adalah Rp 171.044 pada 2010 jika hasilnya positif, jika hasilnya negatif
biayanya sepertiganya, yakni Rp 57.015 Jumlah tes dengan hasil positif diperkirakan berdasarkan prevalensi
2,5 persen.
•
Pada 2010, biaya untuk penghitungan CD4 adalah Rp 170.000 dan biaya untuk menghitung virus (viral
load) adalah Rp 850.000. Biaya untuk ARV line 1 adalah Rp 350.000 / bulan / orang dan untuk ARV line
2 adalah Rp 1.650.000 / bulan / orang. Dari pasien yang menjalani tindakan, 3 persen membutuhkan ARV
line-2 dan persentasi ini naik dari tahun-tahun sebelumnya (“Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia”,
Kementerian Kesehatan, 2008).
Paket manfaat/jaminan termasuk:
•
Dua kali gratis VCT (konseling dan tes sukarela) per tahun untuk populasi yang berisiko tinggi –target
diasumsikan bertambah 3,3 persen pada 2011 menjadi 20 persen pada 2012, dan 100 persen pada 2020.
•
Dua kali tes viral load dan dua kali tes CD4 untuk ODHA per tahun –50 persen dari ODHA akan menerima cek
kesehatan gratis pada 2012, dan proporsinya meningkat 10 persen per tahun sampai akan tercapai 100 persen
pada 2017.
•
Tindakan ARV untuk ODHA yang membutuhkan tindakan (baik line-1 maupun line-2 tergantung pada
kebutuhan pasien) –50 persen dari ODHA yang membutuhkan tindakan akan menerima ART pada 2012 dan
proporsinya akan bertmbah 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2017.
Populasi diproyeksikan selama 2012-2020 dan biaya pengujian dan tindakan diindeks dengan angka inflasi.
5.2.6.2. Hasil
Memasukkan tes HIV pada kelompok sangat berisiko, cek kesehatan rutin bagi semua ODHA, dan tindakan ARV
bagi semua ODHA yang membutuhkannya akan berbiaya 0,02 persen dari PDB atau 0,14 persen dari pengeluaran
Pemerintah pada 2020.
5.2.7 Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi usia produktif (15-49 tahun), cek kesehatan
rutin bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan penanganan
5.2.7.1. Asumsi:
•
Total populasi usia produktif (15-49 tahun) pada 2010 adalah 132.144.900 orang. Jumlah penduduk yang
melakukan konseling dan tes sukarela (VCT) pada 2011 adalah 220 ribu orang atau 0,17 persen dari total
populasi usia aktif. Di antara populasi yang aktif tersebut, tingkat prevalensinya diperkirakan mencapai 0,3
persen.
•
Asumsi lainnya sama dengan Skenario 6.
Paket manfaat termasuk:
•
Satu VCT gratis per tahun untuk semua usia produktif. Sebanyak 20 persen dari total usia produktif (15-49
tahun) akan mendapatkan tes gratis pada 2012 dan proporsinya akan meningkat 10 persen per tahun sampai
tercapai angka 100 persen pada 2020.
•
Dua tes kandungan virus dan dua tes CD4 untuk ODHA –50 persen dari ODHA akan mendapatkan cek
kesehatan gratis pada 2012 dan proporsinya akan meningkat 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100
persen pada 2017.
•
Tindakan ARV bagi PLWA yang membutuhkan tindakan (baik line-1 maupun line-2 tergantung pada pasien)
–50 persen PLWA yang membutuhkan tindakan akan menerima ART pada 2012, dan proporsinya bertambah
10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2017.
Populasi diproyeksinya selama kurun waktu 2012-2020 dan biaya tes dan tindakan diindeks dengan angka inflasi.
5.2.7.2. Hasil
Penyediaan tes HIV bagi seluruh usia produktif (usia 15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi ODHA dan pengobatan
ARV bagi semua ODHA yang membutuhkan akan memerlukan biaya 0,08 persen dari PDB atau 0,44 persen dari
belanja Pemerintah pada 2020.
5.2.8. Skenario 8: Pengenalan paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari ibu
ke anak (MTCT) untuk HIV dan Sipilis.
5.2.8.1. Asumsi:
•
Total kelahiran pada 2010 adalah 4.485.000 dan kami mengasumsikan angka tersebut merupakan representasi
dari jumlah ibu melahirkan pada 2010.
•
Jumlah kelahiran yang membutuhkan prosedur pencegahan MTCT diperkirakan mencapai 5.730 pada 2010,
6.340 pada 2011, 6.890 pada 2012, dan 8.170 pada 2013 (“Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia”,
Kementerian Kesehatan, 2008). Data 2015-2020 diasumsikan memiliki angka pertumbuhan konstan didasarkan
pada pertumbuhan rata-rata tahun sebelumnya.
•
Biaya VCT (konseling dan tes sukarela) untuk HIV adalah Rp 171.044 pada 2010 jika hasilnya positif, jika hasilnya
negatif biayanya sepertiganya yakni Rp 57.015. Kami mengasumsikan jumlah kelahiran yang membutuhkan
MTCT sesuai dengan hasil tes positif. Prophylaxis ART dalam kasus ibu yang terdeteksi HIV+ akan menelan
biaya Rp 6.512.833 pada 2010.
•
Prevalensi Sipilis di antara wanita hamil diperkirakan mencapai 1,7 persen (WHO, 2009: 6.) Biaya tes Sipilis
adalah Rp 25 ribu jika hasilnya positif dan Rp 2.000 kalau hasilnya negatif. Asumsi jumlah hasil tes positif
menggunakan jumlah prevalensi.
57
•
Biaya tindakan antibiotik untuk Sipilis sekitar Rp 10 ribu (2010).
Paket manfaat meliputi:
•
Satu kali gratis VCT (konseling dan tes sukarela) untuk HIV dan satu kali gratis tes Sipilis bagi semua ibu
melahirkan –20 persen dari calon ibu akan menerima tes gratis pada 2012, dan akan bertambah 10 persen
setiap tahun sampai tercapai 100 persen pada 2020.
•
Orang dengan HIV/AIDS akan menerima Prophylaxis ART untuk mengurangi penularan ibu kepada anak, dan
yang terkena Sipilis akan mendapatkan tindakan antibiotik –20 persen akan mendapatkan tindakan pada 2012,
dan jumlahnya akan bertambah 10 persen sampai tercapai 100 persen pada 2020.
5.2.8.2. Hasil
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Paket universal untuk mengurangi penularan Ibu kepada Anak (HIV dan Sipilis) diperkirakan membutuhkan biaya
0,002 persen dari PDB atau 0,014 persen dari belanja pemerintah pada 2020.
58
143 670
96 593
0,09%
Total dalam % pengeluaran pemerintah
0,10%
0,02%
2 208 957
0,12%
0,02%
2 778 482
204 970
439 616
1 251 807
250 361
631 729
90%
60%
2016
0,05%
0,27%
Total dalam % PDB
Total dalam % pengeluaran pemerintah
Total (dalam juta rupiah)
0,31%
0,06%
6 663 558
143 670
96 593
ARV line 2
5 152 179
350 468
272 218
ARV lline 1
1 007 524
793 127
Dua kali “viral loads” per ODHA per tahun
201 505
158 625
4 960 391
Satu kali VCT gratis per tahun untuk usia kerja 3 831 616
Dua kali CD4 per ODHA per tahun
80%
70%
ART untuk ODHA
50%
2015
40%
2014
VCT untuk seluruh populasi usia produktif
Tahun
0,35%
0,06%
8 342 251
204 970
439 616
1 251 807
250 361
6 195 498
90%
60%
2016
Skenario 7: Tes HIV untuk seluruh populasi produktif dan pengobatan ARV untuk ODHA
0,02%
Total dalam % PDB
Total (dalam juta rupiah)
ARV lline 2
1 711 257
350 468
272 218
ARV line 1
1 007 524
793 127
Dua kali “viral loads” per ODHA per tahun
201 505
158 625
Dua kali CD4 per ODHA per tahun
505 790
80%
390 694
70%
ART untuk ODHA
50%
2015
Dua kali VCT per tahun untuk populasi
berisiko tinggi
40%
2014
VCT untuk populasi berisiko tinggi
Tahun
Skenario 6: Tes HIV untuk kelompok berisiko tinggi dan pengobatan ARV untuk ODHA
Tabel 12: Proyeksi biaya scenario pengobatan HIV
59
0,39%
0,07%
10 144 660
283 230
540 711
1 529 728
305 946
7 485 046
100%
70%
2017
0,13%
0,02%
3 422 833
283 230
540 711
1,529 728
305 946
763 218
100%
70%
2017
0,41%
0,07%
11 803 374
346 492
594 669
1 675 638
335 128
8 851 448
100%
80%
2018
0,13%
0,02%
3 854 471
346 492
594 669
1 675 638
335 128
902 545
100%
80%
2018
0,43%
0,07%
13 557 637
418 089
650 360
1 828 925
365 785
10 294 478
100%
90%
2019
0,14%
0,02%
4 312 844
418 089
650 360
1 828 925
365 785
1 049 684
100%
90%
2019
0,44%
0,08%
15 408 570
498 606
707 811
1 989 902
397 980
11 814 270
100%
100%
2020
0,14%
0,02%
4 798 951
498 606
707 811
1989 902
397 980
1 204 651
100%
100%
2020
5 304
Test sipilis gratis untuk semua perempuan hamil
0,002%
0,008%
Total dalam % PDB
Total % dalam pengeluaran pemerintah.
0,009%
0,002%
200 473
1 077
6 703
36 258
156 435
50%
2015
0,010%
0,002%
244 243
1 287
8 011
47 908
187 037
60%
2016
0.00%
0.01%
0.02%
0.03%
0.04%
0.05%
0.06%
0.07%
0.08%
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Gambar 4. Proyeksi Skenario Biaya Usulan Manfaat terkait HIV (% PDB)
156 074
Total (dalam juta rupiah)
852
26 187
ART prophylaxis untuk mengurangi penularan
ibu ke anak bagi ibu dengan HIV+
Pengobatan antibiotik untuk sipilis
123 731
40%
2014
Satu kali VCT gratis untuk seluruh perempuan
hamil
Tingkat cakupan
Tahun
0,012%
0,002%
354 458
1 820
11 333
76 572
264 733
80%
2018
Pencegahan penularan dari ibu ke
anak untuk HIV dan Sipilis
Tes HIV untuk seluruh usia produktif
dan pengobatan ARV untuk ODHA
Tes HIV untuk kelompok risiko tinggi
dan pengobatan ARV untuk ODHA
0,011%
0,002%
297 362
1 547
9 629
61 309
224 877
70%
2017
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi transmisi HIV dan Sipilis dari Ibu ke Anak
60
0,013%
0,002%
415 703
2 108
13 123
93 829
306 643
90%
2019
0,014%
0,002%
481 131
2 408
14 996
113 220
350 507
100%
2020
5.3. Anak-anak
Di antara rekomendasi untuk jaminan pendapatan anak-anak, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan
pembiayaan yang dapat dihitung:
•
Perluasan jangkauan program bantuan bersyarat (PKH dan PKSA) dari segi wilayah maupun jumlah penerima
•
Eksplorasi kemungkinan program tunjangan anak universal, dan perkirakan biayanya
Rekomendasi-rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi skenario berikut:
•
Skenario 1: Memperluas PKH untuk semua rumah tangga miskin (dan tidak hanya rumah tangga yang sangat
miskin), sesuai dengan kebijakan pemerintah.
•
Skenario 2: Skenario 1 + paket manfaat yang ditingkatkan untuk anak-anak usia 13 hingga 15 tahun (karena
kelompok target beasiswa SD dan SMP sama dengan PKH, kami sarankan untuk menjadi satu program saja).
•
Skenario 3: Program tunjangan anak secara universal untuk semua anak.
Kita kemudian dapat menghitung biaya skenario-skenario ini dengan menggunakan Alat Costing ILO (Protokol
RAP). Asumsi dan hasi dari penghitungan biaya disajikan di bawah ini.
5.3.1. Skenario 1: Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin (tidak hanya
rumah tangga sangat miskin)
5.3.1.1. Asumsi:
•
Jumlah rumah tangga miskin yang dicakup akan meningkat (sesuai rencana awal Pemerintah yang dituangkan
dalam Pedoman Umum Program Keluarga Harapan 2010 dari Kementerian Sosial) menjadi 6,5 juta rumah
tangga, dan secara progresif akan menurun karena beberapa diasumsikan akan “lulus” dari kemiskinan. Menurut
rencana awal, 6,5 juta akan dijangkau pada 2010. Tetapi mengingat kecenderungan yang ada sekarang, kami
berasumsi bahwa hal tersebut baru akan bisa dicapai pada 2016.
•
Penerima manfaat PKH termasuk anak di bawah lima tahun (28,81 persen dari total penerima manfaat), anak
usia sekolah dasar (50,85 persen), anak usia sekolah menengah pertama (18,64 persen) dan ibu hamil/menyusui
(1,69 persen). Kami berasumsi bahwa komposisi ini akan tetap konstan dari waktu ke waktu, sesuai proporsi
penerima manfaat yang ada saat ini.
•
Paket manfaat dan biaya administrasi pada tahun 2012 adalah sebagai berikut dan kami berasumsi bahwa
manfaat dan biaya administrasi akan meningkat sesuai dengan inflasi:
Table 13: Manfaat dalam skenario 1
Jenis penerima manfaat
Jumlah Tahunan (Rp)
Balita
800 000
Siswa SD
400 000
Siswa SMP
800 000
Ibu hamil/menyusui
800 000
Manfaat tetap per rumah tangga
200 000
Biaya administrasi (estimasi)
220 000
61
5.3.1.2. Hasil
Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin akan memerlukan tambahan biaya sebesar 0,03 persen
PDB atau 0,20 persen belanja pemerintah pada 2020, di luar dari belanja PKH untuk jumlah penerima saat ini.
Total biaya program PKH akan mencapai 0,05 persen dari PDB atau 0,27 persen dari pengeluaran Pemerintah pada
2020.
5.3.2. Skenario 2: Skenario 1 + peningkatan paket manfaat untuk anak-anak usia SMP
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
5.3.2.1. Asumsi:
62
•
Sama dengan skenario 1.
•
Paket manfaat dan biaya administrasi sama dengan skenario 1 kecuali untuk anak usia SMP; untuk kategori ini,
paket manfaatnya adalah Rp 1.200.000 per tahun dan tidak Rp 800.000.
Tabel 14: Manfaat dalam skenario 2
Jenis penerima manfaat
Jumlah Tahunan (Rp)
Balita
800.000
Usia SD
400.000
SMP
1.200.000
Ibu hamil/menyusui
800.000
Jumlah tetap per rumah tangga
200.000
Biaya admin (estimasi)
220.000
5.3.2.2. Hasil
Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin (dan tidak hanya untuk rumah tangga yang sangat
miskin) termasuk paket manfaat yang ditingkatkan untuk anak sekolah menengah pertama akan memberikan
tambahan biaya sebesar 0,04 persen PDB atau 0,22 persen belanja pemerintah pada 2020. Total biaya program PKH
akan menjadi 0,05 persen dari PDB dan 0,28 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020.
5.3.3. Skenario 3: Pengadaan tunjangan anak universal untuk semua anak
5.3.3.1. Asumsi:
•
Besarnya tunjangan anak adalah Rp 400.000 per anak per tahun (sesuai dengan manfaat PKH yang diterima
sekarang untuk anak-anak sekolah dasar) dan biaya administrasi serupa dengan program bantuan langsung
tunai (BLT) yang pernah dilaksanakan (5 persen dari manfaat).
•
Tingkat pencapaian adalah 20 persen pada 2012, 30 persen pada 2013, dan akan mencapai 100 persen pada
2020.
•
Jumlah manfaat dan administrasi meningkat sesuai dengan inflasi.
5.3.3.2. Hasil
Program tunjangan anak universal untuk semua anak akan berbiaya 0,18 persen dari PDB atau 1,04 persen dari
pengeluaran Pemerintah pada 2020.
0,26%
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran
pemerintah
0,32%
0,06%
7 034 167
1 785
5 000
2015
0,42%
0,08%
9 998 876
1 838
6 500
2016
1 891
Biaya rata-rata per rumah tangga (ribuan Rp.)
0,30%
Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran
pemerintah
0,12%
0,64%
Total dalam % PDB
Total dalam % Pengeluaran Pemerintah
Total biaya dalam jutaan Rp.
0,73%
0,14%
15 868 069
40%
12 274 777
50%
67 229
Jumlah anak-anak yang dicakup (dalam ribu)
Tingkat cakupan
67 456
2014
2015
0,36%
0,07%
7 855 629
1 949
5 000
2015
Tahun
Skenario 3: Tunjangan universal untuk anak-anak
0,06%
Total biaya tambahan dalam % PDB
5 730 214
4 000
Jumlah rumah tangga yang dicakup (dalam ribu)
Total biaya tambahan dalam jutaan Rp.
2014
Tahun
0,80%
0,15%
19 165 347
60%
65 945
2016
0,46%
0,09%
11 098 333
2 007
6 500
2016
1 893
6 500
2017
0,88%
0,16%
23 089 339
70%
66 114
2017
0,44%
0,08%
11 431 283
2 067
6 500
2017
0,39%
0,07%
10 298 842
Skenario 2: Skenario 1 + paket manfaat tambahan untuk anak-anak dari usia 13 s.d. 15 tahun
0,05%
Total tambahan biaya dalam % PDB
1 732
Biaya rata-rata per Rumah Tangga (Ribuan Rp.)
5 092 625
4 000
Jumlah rumah tangga yang dicakup (dalam ribu)
Total biaya tambahan dalam juta Rp.
2014
Tahun
0,94%
0,17%
27 237 323
80%
66 255
2018
0,41%
0,07%
11 774 221
2 129
6 500
2018
0,37%
0,07%
10 607 807
1 950
6 500
2018
0,99%
0,17%
31 613 933
90%
66 365
2019
0,31%
0,05%
9 934 294
2 193
5 500
2019
0,28%
0,05%
8 917 719
2 008
5 500
2019
Skenario 1: Perluasan program PKH untuk seluruh rumah tangga miskin (dan tidak hanya untuk rumah tangga yang sangat miskin)
Tabel 15: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak
63
1,04%
0,18%
36 216 506
100%
66 432
2020
0,22%
0,04%
7 677 299
2 193
4 500
2020
0,20%
0,03%
7 116 679
2 069
4 500
2020
Gambar 5: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak dalam persentasi PDB
0.20%
0.18%
0.16%
0.14%
Perluasan PKH ke 6,5 juta
rumahtangga miskin pada tahun 2016
0.12%
Perluasan PKH ke rumahtangga
miskin dan penambahan manfaat
untuk anak usia 12-15
0.10%
0.08%
Tunjangan anak universal
0.06%
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
0.04%
64
0.02%
0.00%
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
5.4. Penduduk usia kerja
Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan
yang dapat dihitung:
•
Membuat program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan program pengembangan keterampilan untuk
pekerja di sektor informal
Rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi: Skenario 1 - “Pembuatan jaminan pekerjaan umum (public works)
yang dikaitkan dengan pelatihan kejuruan.”.
Biaya dari skenario ini kemudian dihitung menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasil
penghitungan biaya disajikan di bawah ini.
5.4.1.1. Asumsi:
•
Cakupan program secara progresif meningkat menjadi 25 persen dari pekerja ekonomi informal pada tahun
2020.
•
Program menyediakan jaminan 30 hari kerja per orang per tahun dan dibayar dengan upah minimum per hari
(yang kita asumsikan akan meningkat sesuai dengan inflasi) .
•
Di samping itu, penerima manfaat dari program ini berhak mendapatkan 10 hari pelatihan setiap lima tahun.
•
Estimasi biaya pelatihan adalah Rp 1.700.000 per orang per pelatihan (didasarkan atas hasil dari survei Bank
Dunia terhadap program BLK).
•
Biaya administrasi diasumsikan 15 persen.
5.4.1.2. Hasil
Pembuatan program pekerjaan umum akan memakan biaya 0,47 persen dari PDB dan 2,72 persen dari pengeluaran
Pemerintah pada 2020.
1,06%
Total dalam % Pengeluaran Pemerintah
1,29%
0,24%
27 964 527
3 647 547
2 155 869
2 311
72 674
30
1,53%
0,28%
36 634 430
4 778 404
2 219 575
2 372
78 857
30
11 240
13,9%
2016
1,99%
0,36%
52 365 013
6 830 219
2 286 162
4 553
85 638
30
13 672
16,7%
2017
0.00%
0.05%
0.10%
0.15%
0.20%
0.25%
0.30%
0.35%
0.40%
0.45%
0.50%
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
4 676
93 039
30
16 162
19,4%
2018
2,23%
0,40%
64 539 939
8 418 253
2 354 747
Pekerjaan umum dikaitkan
dengan pelatihan kerja
Gambar 6: Proyeksi biaya skenario kelompok usia kerja dalam persentasi PDB
0,20%
Total dalam % PDB
20 548 636
2 680 257
Total Biaya Admin (15%)
Total biaya dalam jutaan Rp.
2 091 635
2 249
66 927
Biaya pelatihan/ per orang (Rp.)
Jumlah peserta latih per tahun (dalam ribuan)
Upah minimum per hari (Rp.)
30
6 556
Jumlah orang yang dicakup (dalam ribuan)
Jumlah hari kerja/ per orang per tahun
11,1%
8,3%
Cakupan
8 868
2015
2014
Tahun
Skenario 1: Pembuatan Jaminan Pekerjaan Umum terkait dengan pelatihan kerja
Tabel 16: Proyeksi biaya skenario untuk kelompok usia kerja
65
2,47%
0,43%
78 637 654
10 257 085
2 425 389
4 795
101 122
30
18 707
22,2%
2019
2,72%
0,47%
94 936 160
12 382 977
2 498 151
4 912
109 951
30
21 308
25%
2020
5.5. Lanjut usia dan penyandang disabilitas
Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan
yang dapat dihitung:
•
Perluasan jangkauan program bantuan tunai untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai untuk panyandang
cacat berat (JSPACA), dan perkirakan biayanya
Rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi:
•
Skenario 1: Perluasan dari pensiun nonkontribusi untuk semua penyandang disabilitas berat.
•
Skenario 2: Perluasan pensiun nonkontribusi untuk semua orang tua yang rentan (tanpa dukungan keluarga).
•
Skenario 3: Pengadaan pensiun nonkontribusi untuk semua orang tua berusia 55 tahun ke atas.
•
Skenario 4: Pengadaan pensiun nonkontribsi untuk semua orang tua berusia 65 tahun ke atas.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Biaya dari skenario ini kemudian dihitung menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasil
penghitungan biaya disajikan di bawah ini.
66
5.5.1. Skenario 1: perluasan dari skema bantuan sosial (Program JSPACA) untuk semua
penyandang disabilitas berat
5.5.1.1. Asumsi:
•
Estimasi jumlah penyandang disabilitas berat adalah 163.000 pada 2010 dan akan meningkat sebagaimana
tingkat pertumbuhan populasi normal (Kemensos menyatakan jumlah penyandang disabilitas parah yang
sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi, tetapi data yang pasti belum tersedia).
•
Persentasi orang yang dicakup akan meningkat dari 11,8 persen saat ini menjadi 100 persen pada 2020.
•
Besar jaminan Rp 300.000 per bulan pada 2011 dan meningkat sesuai dengan inflasi (berdasarkan manfaat
yang diberikan JSPACA).
•
Biaya administrasi 15 persen.
5.5.1.2. Hasil
Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada bagi semua penyandang disabilitas berat akan
memerlukan tambahan biaya sebesar 0.005 persen PDB atau 0,026 persen belanja pemerintah pada 2020, di luar
biaya untuk jumlah penerima yang ada saat ini. Total belanja program ini akan memakan biaya 0,005 persen dari
PDB GDP dan 0,029 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020.
5.5.2. Skenario 2: Perluasan pensiun nonkontribusi (Program JSLU) untuk semua orang tua
rentan
5.5.2.1. Asumsi:
•
Persentasi orang tua dalam situasi rentan diasumsikan sebesar 9,2 persen dari total populasi orang tua (60
tahun dan lebih) dan tetap konstan dari waktu ke waktu. Jumlah tersebut didasarkan pada perkiraan jumlah
orang tua rentan pada 2010.
•
Persentasi orang tua rentan yang dicakup akan tumbuh dari 0,75 persen pada 2011 menjadi 100 persen pada
2020.
•
Besarnya jaminan adalah Rp 300.000 per bulan pada 2011 (sesuai dengan program JLSU saat ini) dan meningkat
sesuai dengan inflasi.
•
Biaya administrasi 15 persen.
5.5.2.2. Hasil
Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan memakan biaya 0,074 persen dari PDB atau 0,43
persen dari pengeluaran pemerintah pada 2020 (berbasis angka JLSU pada saat ini). Karena belanja JLSU saat ini
sangat rendah, tambahan biaya ini akan mendekati keseluruhan biaya yag diperlukan program.
5.5.3. Skenario 3: Pengadaan pensiun universal bagi orang tua usia 55 tahun ke atas (usia
pensiun sah di sektor formal)
5.5.3.1. Asumsi :
•
Persentasi dari orang tua yang dicakup oleh pensiun universal akan mencapai 100 persen pada 2020.
•
Besar manfaat setara dengan rata-rata tingkat garis kemiskinan yakni Rp 226.335 per orang per bulan dan
meningkat sesuai dengan inflasi.
•
Biaya administrasi adalah 5 persen (biaya administrasi relatif kecil karena tidak ada targeting dan biaya ini
digunakan untuk transfer dana).
5.5.3.2. Hasil
•
Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan berbiaya 0,82 persen dari PDB atau 4,75
persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020.
5.5.4. Skenario 4: Pengadaan pensiun universal bagi orang tua usia 65 tahun ke atas.
5.5.4.1. Asumsi :
•
Persentasi dari orang tua yang dicakup oleh pensiun universal akan mencapai 100 persen pada 2020.
•
Besarnya manfaat setara dengan tingkat rata-rata garis kemiskinan yakni Rp 226.335 per orang per bulan dan
meningkat sesuai dengan inflasi.
•
Biaya administrasi adalah 5 persen (biaya admin relatif kecil karena tidak ada targeting dan biaya ini digunakan
untuk transfer dana).
5.5.4.2. Hasil
Perluaan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan memakan biaya 0,35 persen dari PDB atau 2,03
persen dari Pengeluaran Pemerintah pada 2020.
67
231 344
0,002%
0,012%
Total biaya tambahan (dalam jutaan Rp.)
Total biaya tambahan dalam % PDB
Total biaya tambahan dalam % pengeluaran
Pemerintah
0,015%
0,003%
326 352
354 670
50%
172 356
2015
Total biaya tambahan dalam % pengeluaran
pemerintah
0,19%
0,036%
3 704 554
Total biaya tambahan (dalam jutaan Rp.)
Total biaya tambahan dalam % PDB
344 103
Manfaat/ orang/ bulan (setelah inflasi)
40%
1 983
Estimasi usia lanjut yang rentan (dalam ribu)
Persentasi penduduk yang dicakup
2014
Tahun
0,23%
0,043%
4 985 918
354 670
50%
2 064
2015
Skenario 2: Perluasan pensiun non-kontribusi untuk seluruh lansia terlantar
344 103
40%
170 545
2014
Manfaat/ /orang/bulan (setelah inflasi)
Persentasi penduduk yang dicakup
Estimasi populasi orang dengan kecacatan berat
Tahun
0,28%
0,051%
6 585 551
365 151
60%
2 200
2016
0,018%
0,003%
428 570
365 151
60%
174 249
2016
0,31%
0,057%
8 271 742
376 105
70%
2 296
2017
0,021%
0,004%
538 813
376 105
70%
176 161
Skenario 1: Perluasan slema pensiun non kontribusi untuk seluruh orang dengan disabilitas berat
2017
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Tabel 17: Proyeksi biaya skenario untuk lansia dan orang dengan disabilitas berat
68
0,35%
0,063%
10 210 066
387 388
80%
2 404
2018
0,023%
0,004%
657 201
387 388
80%
178 043
2018
0,39%
0,068%
12 429 739
399 010
90%
2 523
2019
0,025%
0,004%
784 043
399 010
90%
179 877
2019
0,43%
0,074%
14 970 513
410 980
100%
2 653
2020
0,026%
0,005%
919 755
410 980
100%
181 671
2020
2,20%
Total biaya dalam % pengeluaran Pemerintah
0,93%
Dalam % pengeluaran Pemerintah
1,10%
0,21%
0,18%
Dalam % PDB
267 581
23 874 106
259 609
50%
14 162
2015
2,63%
0,50%
57 092 225
267 581
50%
33 867
2015
17 913 167
TOTAL (dalam jutaan Rp.)
Manfaat/ orang /bulan (setelah inflasi)
40%
13 691
Populasi 65+(dalam ribu)
Persentasi penduduk yang dicakup
2014
Tahun
Skenario 4: Penerapan pensiun universal untuk usia di atas 65
0,42%
42 567 618
259 609
Total biaya dalam % PDB
Total biaya (dalam jutaan Rp.)
Manfaat/ orang/ bulan (setelah inflasi)
40%
32 533
Penduduk 55+(dalam ribu)
Persentasi penduduk yang dicakup
2014
Tahun
1,33%
0,25%
31 708 364
275 488
60%
15 225
2016
3,14%
0,58%
74 947 136
275 488
60%
35 986
2016
1,50%
0,27%
39 534 179
283 753
70%
15 797
2017
3,57%
0,65%
93 775 735
283 753
70%
37 470
2017
1,68%
0,30%
48 469 977
292,266
80%
16,453
2018
3,98%
0,71%
115 082 536
292 266
80%
39 064
2018
Skenario 3: Penerapan pensiun universal untuk penduduk usia diatas 55 (usia pensiun secara legal dalam sektor formal)
69
1,85%
0,32%
58 821 143
301 034
90%
17 231
2019
4,38%
0,77%
139 111 519
301 034
90%
40 751
2019
2,03%
0,35%
71 056 352
310 065
100%
18 188
2020
4,75%
0,82%
166 208 369
310 065
100%
42 543
2020
Gambar 7: Proyeksi biaya skenario untuk orang dengan disabilitas berat dan lansia
9000
8000
7000
Perluasan JSPACA
6000
Perluasan JSPALU
5000
Pensiun universal untuk 55 tahun
4000
Pensiun universal untuk 65 tahun
3000
2000
70
0
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
5.6. Paket gabungan untuk menutupi kekurangan LPS
Untuk menutupi kekurangan untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. kami sajikan dua
kemungkinan kombinasi skema yang dapat dipertimbangkan, skenario “rendah” dan skenario “tinggi”:
Tabel 18: Kombinasi skenario rendah dan kombinasi skenario tinggi untuk melengkapi LPS di Indonesia
Rendah
Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin,
dan rentan di level kelas 3 moderat;
Kesehatan
Anakanak
Usia
produktif
Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi populasi berisiko tinggi, cek kesehatan
rutin bagi ODHA, dan tindakan ARV bagi semua ODHA yang memenuhi
syarat untuk mendapatkannya;
Tinggi
X
X
Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah
untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi;
Lansia penyandang
disabilitas
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
1000
X
X
Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi seluruh penduduk usia produktif
(umur 15-49 tahun), serta cek kesehatan rutin bagi ODHA;
Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari Ibu
kepada Anak (MTCT), khususnya untuk HIV dan Sipilis.
X
Skenario 1: Perluasan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk semua rumah
tangga miskin (dan tidak hanya rumah tangga yang sangat miskin)
X
Skenario 3: Tunjangan anak universal
X
X
Skenario 1: Program jaminan pekerjaan umum (padat karya) yang dikaitkan
dengan pelatihan kejuruan
X
X
Skenario 1: Perluasan JSPACA untuk semua penyandang disabilitas berat;
X
X
Skenario 2: Perluasan JSLU untuk semua orang tua rentan
X
Skenario 3: Menyediakan dana pensiun universal untuk orang tua usia 55
tahun ke atas
X
Berdasarkan atas dua kombinasi ini. untuk mencapai LPS akan memakan biaya antara 0.74 persen dan
2.45 persen dari PDB tahun 2020.
0,50%
0,05%
0,20%
0,04%
0,43%
Skenario- Anak-anak
Skenario- Usia kerja
SKenario 1 & 2-Disabilitas dan usia lanjut
0,24%
0,06%
0,02%
0,58%
0,05%
0,28%
0,08%
0,02%
0,14%
2016
0,50%
1,73%
0,12%
0,20%
0,42%
1,41%
Skenario 3-Anak-anak
Skenario 1-Usia kerja -
Skenario 1&3- Disabilitas dan usia lanjut
Total
0,06%
0,05%
Skenario 7&8
0,24%
0,14%
0,79%
0,62%
Skenario 5- Kesehatan
2015
2014
Tahun
2,09%
0,59%
0,28%
0,15%
0,07%
1,00%
2016
Kemungkinan “Skenario Tinggi” untuk menutup gap SPF di Indonesia (Biaya dalam % PDB)
Total
0,05%
0,02%
Skenario HIV- 6&8
0,13%
0,12%
Skenario 1-Kesehatan
2015
2014
Tahun
2,23%
0,65%
0,36%
0,16%
0,07%
0,99%
2017
0,66%
0,06%
0,36%
0,07%
0,03%
0,14%
2017
Kemungkinan “Skenario Rendah” untuk menutup kekurangan SPF di in Indonesia (Biaya dalam % PDB)
2,32%
0,71%
0,40%
0,17%
0,08%
0,96%
2018
0,70%
0,07%
0,40%
0,07%
0,03%
0,14%
2018
2,39%
0,77%
0,43%
0,17%
0,08%
0,94%
2019
0,72%
0,07%
0,43%
0,05%
0,03%
0,14%
2019
Tabel 19: Proyeksi biaya untuk skenario kombinasi rendah dan tinggi untuk melengkapi Landasan Perllindungan Sosial di Indonesia (dalam persentasi PDB)
71
2,45%
0,82%
0,47%
0,18%
0,08%
0,90%
2020
0,74%
0,08%
0,47%
0,03%
0,03%
0,14%
2020
Gambar 8: Proyeksi biaya skenario kombinasi rendah dan tinggi (dalam persentasi PDB)
Penyandang disabilitas
dan orang lanjut usia
Usia kerja
Anak-anak
HIV
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Kesehatan
72
6
Indikasi Awal Ruang Fiskal
Kami menambahkan proyeksi biaya diatas kepada proyeksi anggaran belanja negara dan melihat perubahannya
terhadap neraca (surplus/defisit anggaran), dalam rupiah maupun dalam persentasi PDB. Perbandingan ini
merupakan indikasi awal untuk ruang fiskal, apabila diasumsikan seluruh skenario yang diusulkan dibiayai
seluruhnya oleh anggaran pemerintah.
Tabel 20. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya oleh anggaran
pemerintah
Kemungkinan “Skenario Rendah” untuk menutup kekurangan LPS di Indonesia (Biaya dalam % PDB)
Tahun
Neraca (dalam juta rupiah) – Status Quo
2014
2016
2018
2020
(140 786 015) (189 656 153)
(243 974 955)
(312 648 307)
Neraca (dalam juta rupiah) – Skenario Rrendah (183 164 434) (261 334 641)
(357 053 961)
(463 711 433)
Neraca (dalam juta rupiah) – Skenario Tinggi
(619 683 659)
(810 486 432)
(284 750 716) (458 403 373)
Neraca (dalam % PDB) - Status Quo
-1,38%
-1,47%
-1,51%
-1,54%
Neraca (dalam % PDB) – Skenario Rendah
-1,79%
-2,03%
-2,20%
-2,28%
Neraca (dalam % PDB) – Skenario Tinggi
-2,79%
-3,56%
-3,83%
-3,98%
Gambar 9. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya
oleh anggaran pemerintah (% PDB)
73
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
Model diatas menunjukkan bahwa neraca belanja negara dalam status quo akan memiliki defisit sekitar 1,38 persen
PDB pada tahun 2014. Biaya tambahan untuk melengkapi landasan perlindungan sosial berdasarkan skenario
rendah akan menambah defisit sebanyak 0,4 persen PDB dan biaya tembahan berdasarkan skenario tinggi akan
menambah defisit sebanyak 1,4 persen PDB. Penambahan defisit tersebut akan berlanjut setelah 2020. Untuk kedua
skenario tersebut diperlukan adanya realokasi anggaran, perubahan struktur pajak dan/atau pemungutan iuran
sosial. Implementasi secara bertahap maupun penambahan komponen-komponen landasan perlindungan sosial
selanjutnya dapat pula dipertimbangkan, sejalan dengan Rekomendasi No. 202 tentang Landasan Perlindungan
Sosial, 2012.
74
Lampiran 1:
Matriks Penilaian LPS
7
http://www.ilo.org/gimi/gess/RessShowRessource.do?ressourceId=26262
75
Lampiran 2: Kerangka Hukum
dan Hak Azasi di Indonesia
8
Tabel 21. Kerangka kerja hukum dan Hak Azasi Manusia di Indonesia
No.
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
1
76
4 Jaminan LPS
Seluruh penduduk
memiliki akses
terhadap Pelayanan
Kesehatan Dasar
Konvensi Internasional yang
tandatangani Indonesia
1. ICCPR. diratifikasi 2005 pasal 25
2. ICESCR. diratifikasi 2005 pasal
12
3. CRC. diratifikasi 1990 pasal 3
(3). pasal 23. pasal 24
4. CEDAW. diratifikasi 1984 pasal 5
5. CERD. diratifikasi 1999 pasal 5
6. UDHR
7. Konvensi ILO No. 19 tentang
Persamaan dalam Pengibatan
8. Konvensi ILO No. 111 tentang
Diskriminasi
Kebijakan dan
Peraturan Nasional
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
2
3
4
Semua anak memiliki
jaminan penghidupan
melalui Bantuan Tunai
atau natura, yang
memungkinkan akses
terhadap nutrisi,
pendidikan dan
kesehatan
1. ICESCR. pasal 9. 10
2. CRC. pasal 26. 28
3. Konvensi ILO No. 138 tentang
Usia Minimum
4. Konvensi ILO No. 182 tentang
Bentuk-bentuk Terburuk
Pekerjaan untuk Anak
1.
2.
Seluruh penduduk
usia kerja yang
tidak memperoleh
pendapatan yang
memadai, memilik
jaminan penghidupan
1. ICESCR. pasal 9. 11
2. UDHR. pasal 23
1.
2.
Seluruh penduduk
lanjut usia dan
penyandang
disabilitas mendapat
jaminan pendapatan
melalui pensiun dan
bantuan natura
1.
2.
3.
4.
Sumber: UNAIDS
3.
4.
3.
ICESCR. pasal 9. 11
CEDAW. pasal 11
UDHR. pasal 23. 25
CRPD. diratifikasi Oktober 2011.
pasal 28
1.
2.
3.
4.
5.
UU No. 12/2005 tentang ratifikasi ICCPR
UU No. 11/2005 tentang ratifikasi ICESCR
Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang ratifikasi CRC
UU No. 7/1984 tentang ratifikasi CEDAW
UU No. 29/1999 tentang ratifikasi CERD
UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Etnik dan Rasial
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
UU No. 39/1999 tentang Hak-hak Asasi
UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
UU No. 17/2004 tentang RPJM
UU No. 35/2009 tentang Narkotika
Draf Keputusan Presiden tentang Program Nasional
untuk anak-anak, 2005 (meliputi 4 area: pendidikan,
kesehatan, HIV/AIDS, perlindungan)
Instruksi Presiden No. 9/2009 tentang Gender
Mainstreaming
UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Program Pemerintah tentang Pendidikan Dasar
Wajib 9 tahun, bantuan PBB untuk Kerangka Kerja
Pembangunan di Indonesia 2006-2010
UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 3/1992 tentang Jaminan Pekerja Sosial
UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas
UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Lampiran 3: UU dan Peraturan
9
•
UU Republik Indonesia No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
•
UU Republik Indonesia No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat
•
UU Republik Indonesia No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak
•
UU Republik Indonesia No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial
•
UU Republik Indonesia No. 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai
•
UU Republik Indonesia No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
•
UU Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
•
UU Republik Indonesia No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
•
UU Republik Indonesia No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
•
UU Republik Indonesia No. 36/2009 tentang Kesehatan
•
UU Republik Indonesia No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
•
Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan
•
Peraturan Presiden No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
•
Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 20102014
•
Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan
Usaha Mikro. Kecil. dan Menengah
•
Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
•
Peraturan Pemerintah No. 25/1981 tentang Asuransi Pegawai Negeri Sipil
•
Peraturan Pemerintah No. 28/2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi
Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun
•
Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar
•
Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan Pendidikan
•
Peraturan Pemerintah No. 67/1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
•
Peraturan Pemerintah No. 69/1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil. Penerima Pensiun.
Veteran. Perintis Kemerdekaan beserta Keluarganya
•
Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
•
Keputusan Menteri Sosial No. 51/2003 tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak
Mampu melalui Pola Asuransi Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen
77
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
78
•
Keputusan Menteri Kesehatan No.686/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas
•
Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 35/2008 tentang Tim Koordinasi Raskin
•
Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 25/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
•
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja
•
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun
Anggaran 2011.
•
Peraturan Menteri Keuangan No. 135/2008 tentang Penjaminan Fasilitas Kredit Usaha Rakyat
•
Peraturan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan No. 20/2006 tentang Petunjuk Penyaluran dan
Pencairan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat bagi Penyandang Cacat Berat dan Jaminan Sosial Lanjut
Usia Bagi Lanjut Usia Telantar
Daftar Pustaka
10
Angelini, J.; Hirose K. 2004. Extension of social security coverage for the informal economy in Indonesia: Surveys in the
urban and rural informal economy, Working Paper 11 (Manila, ILO).
Asian Development Bank (ADB). 2007. Preparatory studies on national social security system in Indonesia (Manila).
AusAID. 1998. Review of Padat Karya implementation (unpublished).
Bali Province Health Office. 2011. Bali Mandara Social Health Insurance, available at http://www.diskes. baliprov.
go.id/informasi/2010/10/jaminan-kesehatan-bali-mandara-jkbm.
Bachelet, M. 2011. Social protection floor for a fair and inclusive globalization: Report of the Advisory Group chaired
by Michelle Bachelet, Convened by the ILO with the collaboration of the WHO (Geneva, ILO).
BPS. 2011. Trends of the selected socio-economic indicators of Indonesia February 2011, Katalog BPS 3101015
(Jakarta).
Central Bank of the Republic of Indonesia. 2012. Skim kredit program yang dikeluarkan pemerintah [Credit scheme
programs issued by the government], available at http://www.bi.go.id/web/id/UMKMBI/Kredit+Perbankan/
Skim+Kredit/.
Centre for Health Financing and Health Insurance, the Ministry of Health of the Republic of Indonesia. 2010. 2010
Health Insurance Coverage data. Excel sheet.
Colbran, N. 2010. Access to justice for persons with disabilities in Indonesia: Background assessment report
(AusAID).
EPWSP. 2007. EPWP mid-term review Component 1: International PWP comparative study. Research Report.
Febriany, V.; Toyamah N.; Sodo J. 2010. Studi dualitatif dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap ketersediaan
dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan pendidikan dasar: Ringkasan eksekutif [Qualitative
Study of the Impact of PNPM Generasi and PKH on the Availability and Use of the Maternal and Neonatal
Health Services and Basic Education Services: Executive Summary]. Research Report (Jakarta, SMERU Research
Institute).
Guerard, Y.; et al. Actuarial costing of universal health insurance coverage in Indonesia Options and Preliminary
Results. Health, Nutrition and Population Discussion Paper, (Washington, DC, World Bank).
Hastuti, S.; et al. 2009. The role of social protection programs in reducing the impact of the global financial crisis
2008/2009. Research Report (Jakarta, SMERU Research Institute).
International Labor Organization (ILO); Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 2011.
Towards national social protection floors: A policy note for the G20 meeting of labour and employment ministers.
Policy Note (Geneva, ILO and Paris, OECD).
79
International Labor Organization (ILO); PT JAMSOSTEK. 2008. Social security in Indonesia: Advancing the development
agenda (Jakarta).
Jogjakarta Provincial Health Office. 2011. Jogjakarta Social Health Insurance, available at http://www. dinkes.
jogjaprov.go.id/index.php/cjamkes/read/55.html.
Kompas Daily Newspaper. 2011. “Alokasi APBN buat pensiun makin bengkak” [State budget allocation for pension
expands], 20 April.
Ministry of Cooperatives and SMEs. 2012. Skema Penyaluran KUR [Method of disbursement for KUR], available at
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351.
Ministry of Health of the Republic of Indonesia. 2008. Mathematical Model of HIV Epidemic in Indonesia 2008-2014
(Jakarta).
—. 2009. Rancangan final Sistem Kesehatan Nasional [Final design of the National Health System] (Jakarta).
—. 2009. Size estimation of MARP (Most-at-risk population) (Jakarta).
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
—. 2001. Surveilans terpadu biologis dan perilaku [Integrated biological and behavioural surveillance] (Jakarta).
80
—. 2011. Progress report on HIV and AIDS in Indonesia , Second Quarter 2011 (Jakarta).
Ministry of Health of the Republic of Indonesia; World Health Organization (WHO); University of Indonesia. 2009.
The Indonesian National Health Account 2002-2004, available at http://siteresources.worldbank.org/ INTHSD/
Resources/376278-1261143298590/6660179-1280173228245/ Indonesia_ExSumNHA_0204.pdf.
Ministry of Manpower and Transmigration. 2011. Indonesian Jobs Pact 2011-2014, available at http://www.ilo.org/
wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_157805.pdf.
—. 2011. Tahun 2012, kemenakertrans prioritaskan pengembangan Balai Latihan Kerja (BLK) daerah [In 2012 The
Ministry of Manpower and Transmigration Prioritises the Development of Vocational Training Centers (BLK)],
available at http://menteri.depnakertrans.go.id/?show=news&news_id=728.
Ministry of National Education of the Republic of Indonesia. 2011. Policy brief of the directorate general of primary
education.
Ministry of Social Affairs. 2005. Implementation guideline of social welfare insurance for vulnerable people through
Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS) program, in Decree of the Director General of Social Assistance and
Social Security No. 25/BJS/V/2005.
—. 2010. Pedoman umum Program Keluarga Harapan [General guideline of the PKH program].
—. 2011. Asuransi kesejahteraan sosial dan rakyat miskin [Social welfare insurance for poor people], available at
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=71.
—., Directorate General of Social Rehabilitation. 2010. Pemerintah kembali meluncurkan program subsidi panti
tahun 2010., available at http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name= News&file=article&sid=668.
National Development Planning Agency (BAPPENAS). 2011. Public private partnership infrastructure project plans
in Indonesia (Jakarta).
—.; Puska UI; World Bank. 2011. Building a social protection system for children in Indonesia: an Assessment on the
implementation of the Ministry of Social Affairs’ social assistance program PKSA and its contribution to the
child protection system. Research Report.
Organization for Economic Co-operation and Economic Development (OECD). 2010. The Global Crisis in Emerging
Economies: The Jobs Impact and Policy Response – Supporting Material for Chapter 2 of the 2010 OECD
Employment Outlook, available at http://www.oecd.org/els/ employmentpoliciesanddata/45600980.pdf.
Perdana, A.; Maxwell J. 2004. Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lessons Learned, Economics
Working Paper Series, available at www.csis.or.id/papers/wpe083.
Pradhan, M.; Saadah F.; Sparrow R. 2007. “Did the Health Card Program Ensure Access to Medical Care for the Poor
during Indonesia’s Economic Crisis?” in World Bank Economic Review, Vol. 21, No. 1, pp. 125–150.
PT Asabri. 2011. PT Asabri Annual Report of 2010 (Jakarta).
PT Askes. 2011. PT Askes Annual Report of 2010 (Jakarta).
PT Jamsostek. 2011. PT Jamsostek Annual Report of 2010 (Jakarta).
PT Jamsostek. 2010. PT Jamsostek Annual Report of 2009 (Jakarta).
PT Taspen. 2011. PT Taspen Financial Report of 2010 (Jakarta).
Republic of Indonesia. 2011. Indonesian financial note and revised budget: Fiscal year 2011. (Jakarta).
Sparrow, R.; Suryahadi A.; Widyanti, W. 2010. Social Health Insurance for the Poor: Targeting and Impact of Indonesia’s
Askeskin Program. SMERU Research Institute Working Paper, (Jakarta, SMERU Research Institute).
Sumarto, S., Suryahadi A.; Widyanti, W. 2002, “Design and implementation of Indonesian social safety net program,”
in Journal of the Developing Economies, Vol. 40, No. 1, pp. 3-31.
Suryahadi, A.; et al. 2010. Review of government’s poverty reduction strategies, policies and programs in Indonesia.
Research Report, (Jakarta, SMERU Research Institute Research).
Suara Pembaruan News. 2011. “1.7 Lansia Terlantar di Indonesia” [1.7 vulnerable elderly in Indonesia], 9 June.
Available at http://www.suarapembaruan.com/home/17-juta-lansia-terlantar-di-indonesia/7688.
State News Agency Antara. 2011. “Dibutuhkan Rp10 triliun untuk revitalisasi BLK” [Rp 10 trillion is needed to revitalize
Vocational Training Centres], 6 Oct. Available at http://www.antaranews.com /berita/278575/dibutuhkanrp10-triliun-untuk-revitalisasi-blk.
—. 2012. “Penyaluran Kredit Usaha Rakyat 2011 capai Rp29 triliun” [Disbursement of KUR in 2011 reaches RP
29 trillion] 10 Jan. Available at http://www.antaranews.com/berita/292067/penyaluran-kredit-usaha-rakyat2011-capai-rp29-triliun.
Sumarto, S.; Suryahadi A.; W. Widyanti. 2005. “Assessing the impact of Indonesian social safety net programs on
household welfare and poverty dynamics.” in European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 1, pp.
155-177.
Suryahadi, A.; Sumarto S. 2002. Social protection in an insecure era: A south-south exchange on alternative social
policies responses to globalization. (Santiago).
Urban and Regional Development Institute (URDI). 1999. Documentation and Evaluation of Several Social Safety
Net Programs in Yogyakarta (Unpublished Report).
Van der Loop, T.; Andadari R. 2009. Social security for informal economy workers in Indonesia: Looking for flexible
and highly targeted programmes (Jakarta, ILO and PT Jamsostek), available at http://www.ilo.org/jakarta/
whatwedo/publications/lang--en/docName--WCMS_142763/index.htm.
Widarti, D. 2008. Extending social security coverage to informal economy workers: Way forward (Jakarta, ILO).
World Bank. 1993. The East Asian miracle: Economic growth and public policy. (New York, New York University
Press).
—. 2006. Making the new Indonesia work for the poor (Jakarta).
—. 2011a. Indonesia economic quarterly: 2008 Again? (Jakarta).
—. 2011b. Indonesia health sector review February 2011 (Jakarta).
—. 2011c. Revitalizing public training centers in Indonesia: Challenges and way forward (Jakarta).
World Health Organization (WHO). 2005. Action for the global elimination of congenital syphilis: rationale and
strategy (Geneva, WHO Department of Reproductive Health and Research).
81
—. 2009. Regional strategy for the elimination of congenital syphilis (India, WHO Regional Office for South-East
Asia).
—. 2001. Macroeconomics and health: Investing in health for economic development WHO-Harvard Report of the
Commission on Macroeconomics and Health (Canada).
Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia
—; United Nations Children’s Fund (UNICEF). 2010. Immunization Monitoring Data, available at http:// apps. who.
int/ immunization_monitoring/en/globalsummary/timeseries/tswucoveragebycountry. cfm?country=IDN.
82
Download