Organisasi Perburuhan Internasional Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Penjabaran skema jaminan sosial dan perlindungan sosial yang ada berdasarkan empat jaminan dalam Landasan Perlindungan Sosial (Social Protection Floor), identifikasi kekurangan dalam kebijakan dan dan implementasi, rekomendasi ke depan, perhitungan perkiraan biaya (costing) cepat untuk memperkirakan biaya yang diperlukan untuk menyediakan perlindungan sosial yang belum ada. Laporan ini disusun oleh Sinta Satriana dan Valerie Schmitt (ILO), bekerjasama dengan Bappenas dan sub kelompok kerja badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. Selain kedua penulis diatas, Tauvik Muhamad (ILO) memberi dukungan dalam proses implementasi penilaian. Copyright © International Labour Organization 2012 Cetakan Pertama 2012 Publikasi-publikasi International Labour Office memperoleh hak cipta yang dilindung oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, kutipan-kutipan singkat dari publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO Publications (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: pubdroit@ ilo.org. International Labour Office menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Perpustakaan, lembaga dan pengguna lain yang terdaftar di Inggris Raya dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham Court Road, London W1T 4LP [Fax: (+44) (0)20 7631 5500; email: [email protected]], di Amerika Serikat dengan Copyright Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 [Fax: (+1) (978) 750 4470; email: [email protected]] arau di negara-negara lain dengan Reproduction Rights Organizations terkait, dapat membuat fotokopi sejalan dengan lisensi yang diberikan kepada mereka untuk tujuan ini. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia/Kantor Perburuhan Internasional – Jakarta: ILO, 2011 xiv, 82 p ISBN 978-92-2-027008-0 (print) 978-92-2-027009-7 (web pdf) Juga tersedia dalam bahasa Inggris: Social protection assessment based national dialogue: Towards a nationally defined social protection floor in Indonesia; ISBN: 978-92-2-027008-0 (print); 978-92-2-027009-7 (web pdf)/International Labour Office – Jakarta: ILO, 2012 ILO Katalog dalam terbitan Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang ada di dalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International Labour Office mengenai status hukum negara, wilayah atau teritori manapun atau otoritasnya, atau mengenai batas-batas negara tersebut. Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi, dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggung jawab penulis, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Office atas opini-opini yang terdapat di dalamnya. Rujukan ke nama perusahaan dan produk komersil dan proses tidak menunjukkan dukungan dari International Labour Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan. Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor lokal ILO di berbagai negara, atau secara langsung dari ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland; atau Kantor ILO Jakarta, Menara Thamrin, Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250, Indonesia. Katalog atau daftar publikasi tersedia secara cuma-cuma dari alamat di atas, atau melalui email: [email protected] Kunjungi halaman web kami: www.ilo.org/publns ii Editor (bahasa Indonesia): Tauvik Muhamad Dicetak di Indonesia Daftar Isi Daftar Isi iii Daftar Tabel dan Gambar iv Kata Pengantar v Ucapan Terimakasih vi Ringkasan Eksekutif vii Daftar Singkatan xi 1 Pengantar 1 2 Konteks 2.1 Konteks nasional 2.2 Konteks global dan regional 3 3 11 3 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia Berdasarkan Dialog Nasional: tujuan, proses, dan metodologi 3.1 Tujuan 3.2 Proses 3.3. Metodologi 13 13 13 14 Presentasi matriks penilaian: struktur perlindungan sosial, program yang ada, kekurangan dari sisi kebijakan dan implementasi, rekomendasi 4.1 Struktur matriks penilaian 4.2 Program-program yang ada saat ini 4.3 Kekurangan dari sisi Kebijakan dan Implementasi 4.4 Rekomendasi 17 17 18 35 42 Metodologi Costing (perkiraan pembiayaan), penjabaran opsi (“skenario”) kebijakan untuk melengkapi LPS, dan penghitungan biayanya 5.1 Metodologi costing menggunakan RAP Protocol 5.2 Jaminan Kesehatan 5.3 Anak-anak 5.4 Penduduk usia kerja 5.5 Lanjut usia dan penyandang disabilitas 5.6 Paket gabungan untuk menutupi kekurangan LPS 49 49 49 61 64 66 70 Indikasi Awal untuk Ruang Fiskal 73 4 5 6 Lampiran 1: Matriks Penilaian LPS 75 Lampiran 2: Kerangka Hukum dan Hak Azasi di Indonesia 76 Lampiran 3: UU dan Peraturan 77 Daftar Pustaka 79 iii Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Daftar Tabel dan Gambar iv Tabel 1: Program-Program Jaminan Sosial 4 Tabel 2: Bantuan Sosial dan Subsidi 5 Tabel 3: Kerangka Hukum 6 Gambar 1: Struktur Model RAP 14 Gambar 2: Proses Kegiatan Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia 15 Tabel 4: Matriks Penilaian 17 Tabel 5: Rangkuman program-program jaminan kesehatan 21 Tabel 6: Manfaat program PKH 23 Tabel 7. Jumlah sasaran PKSA dibanding estimasi jumlah anak yang membutuhkan 24 Table 8: Rangkuman program jaminan sosial untuk anak-anak 26 Tabel 9: Rangkuman program-program untuk kelompok usia kerja 31 Tabel 10: Rangkuman program untuk lansia dan orang dengan disabilitas 34 Tabel 11: Proyeksi biaya skenario jaminan kesehatan 53 Gambar 3: Proyeksi biaya skenario kesehatan dalam persentasi PDB 55 Tabel 12: 59 Proyeksi biaya skenario pengobatan HIV Gambar 4: Proyeksi biaya skenario HIV dalam persentasi PDB 60 Table 13: Manfaat dalam skenario 1 61 Tabel 14: Manfaat dalam skenario 2 62 Tabel 15: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak 63 Gambar 5: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak dalam persentasi PDB 64 Tabel 16: 65 Proyeksi biaya skenario untuk kelompok usia kerja Gambar 6: Proyeksi biaya skenario kelompok usia kerja dalam persentasi PDB 65 Tabel 17: Proyeksi biaya skenario untuk lansia dan orang dengan disabilitas berat 69 Gambar 7: Proyeksi biaya skenario untuk orang dengan disabilitas berat dan lansia 70 Tabel 18: Tabel 19: Kombinasi skenario rendah dan kombinasi skenario tinggi untuk melengkapi LPS di Indonesia 70 Proyeksi biaya untuk skenario kombinasi rendah dan tinggi untuk melengkapi Landasan Perllindungan Sosial di Indonesia (dalam persentasi PDB) 71 Gambar 8: Proyeksi biaya skenario kombinasi rendah dan tinggi (dalam persentasi PDN) Tabel 20. 72 Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya oleh anggaran pemerintah 73 Gambar 9. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya oleh anggaran pemerintah (% PDB) 73 Tabel 21. 76 Kerangka kerja hukum dan Hak Azasi Manusia di Indonesia Kata Pengantar Landasan Perlindungan Sosial (LPS) atau Social Protection Floor (SPF) merupakan sejumlah jaminan sosial dasar yang perlu disediakan untuk seluruh masyarakat. Sejalan dengan amanat amandemen UUD 1945, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Indonesia saat ini tengah mengembangkan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang lebih komprehensif untuk menjangkau seluruh penduduk. Komitmen Indonesia terhadap perlindungan sosial juga tereflesikan dalam Pakta Lapangan Kerja (Indonesian Jobs Pact) 2011-2014 yang ditandatangani secara tripartit pada tanggal 13 April 2011. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bekerjasama dengan Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) telah melaksanakan kegiatan penilaian terhadap perlindungan sosial di Indonesia, untuk mempelajari seberapa jauh Landasan Perlindungan Sosial (LPS) sudah terlaksana bagi warga Indonesia. Kegiatan penilaian ini dilakukan dengan berkonsultasi dengan kementerian-kementerian terkait, Kelompok Kerja Kantor PBB Indonesia untuk Perlindungan Sosial, perwakilan pekerja dan pengusaha serta lembaga-lembaga terkait lainnya. Konsultasi dilakukan di tingkat nasional dan di tiga provinsi; Provinsi Maluku, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Perlindungan sosial di Indonesia yang terdiri dari berbagai program skema kontribusi maupun non-kontribusi telah berkembang sangat pesat. Namun demikian masih ditemukan sejumlah kekurangan dari segi kebijakan maupun implementasi. Penilaian ini mengidentifikasi kekurangan-kekurangan tersebut serta memformulasi rekomendasi kebijakan spesifik untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. Selain itu, juga disusun perkiraan dan proyeksi biaya untuk beberapa rekomendasi yang diajukan, disajikan dalam persentasi PDB dan persentasi anggaran belanja pemerintah. Proyeksi biaya tersebut memberi gambaran awal sebagai bahan diskusi mengenai mengenai pembiayaan perlindungan sosial tambahan yang masih diperlukan. Kami berharap hasil dari penilaian serta rekomendasi kebijakan yang disajikan dalam laporan ini dapat menjadi acuan yang berguna dalam mengambil langkah-langkah kedepan untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia, dan rekomendasi yang diusulkan dapat direalisasikan. Kami yakin bahwa pendekatan partisipatif yang digunakan dalam proses penilaian ini juga telah meningkatkan pemahaman bersama antara pihak-pihak yang terlibat baik dari pemerintah, pekerja, pengusaha, LSM dan lembaga PBB mengenai konsep Landasan Perlindungan Sosial, relevansinya bagi Indonesia serta pentingnya pendekatan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terkoordinasi. v Ceppie K. Sumadilaga, Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Bappenas Peter Van Rooij Direktur ILO Indonesia Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Ucapan Terimakasih vi Penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan semua pihak yang terlibat dalam proses Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia: Kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait kebijakan perlindungan sosial (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Bappenas, TNP2K, BPS serta lembaga terkait lainnya), PT Jamsostek, perwakilan pekerja dan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi yang terlibat, serta rekan-rekan lembaga PBB yang terlibat dalam inisiatif Landasan Perlindungan Sosial. Secara khusus penulis berterimakasih kepada: • Dr. Lukita Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, • Dr. Ceppie K. Sumadilaga, MA, Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Bappenas, • Dr. Vivi Yulaswati, MSc., Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, • Dra. Rahma Iryanti MA, Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas, • Dharendra Wardhana, SE, MSc, di Direktorat Kesejahteraan dan Perlindungan Sosial Bappenas • Prof. Suahasil Nazara, PhD, Koordinator Pokja Kebijakan, TNP2K, • Isnavodiar Jatmiko, di Biro Renbang, PT. Jamsostek, • Nancy Fee, Koordinator UNAIDS Indonesia, • Mitchell Wiener, Spesialis Senior Jaminan Sosial , Bank Dunia. • Nurholis Majid, FHI 360, • Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Jawa Timur. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Peter Van Rooij, Direktur ILO Indonesia atas dukungan yang terus menerus diberikan selama pelaksanaan kegiatan, serta Hiroshi Yamabana, aktuaris di Departemen Jaminan Sosial ILO di Jenewa atas kontribusi eknis yang diberikan. Namun demikian penulis bertanggungjawab sepenuhnya atas keseluruhan isi serta pendapat yang dikemukakan dalam laporan ini. Ringkasan Eksekutif Indonesia sedang berupaya memperluas cakupan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Sejak diamendemen pada 2002, Undang-undang Dasar 1945 mengakui hak seluruh penduduk untuk mendapatkan jaminan sosial dan pengembangan jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara. Meskipun berbagai program perlindungan sosial yang ada saat ini masih terpisah-pisah dan tidak terintegrasi, banyak kemajuan yang telah dicapai yang mengarah kepada sistem perlindungan sosial yang komprehensif. Salah satu pencapaian yang sangat penting adalah pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap. Undang-undang ini mengamanatkan perluasan cakupan kepesertaan jaminan sosial terhadap seluruh penduduk berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Pendekatan yang dipakai bersifat progresif, mencakup skema bantuan pemerintah bagi penduduk miskin, skema iuran bagi pekerja di luar hubungan kerja dan iuran (persentasi upah) bagi pekerja formal. Jaminan kesehatan universal, di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2014 dan jaminan sosial pekerja, di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2015. Selain jaminan sosial, program-program bantuan sosial juga terus dikembangkan untuk dapat mencakup seluruh warga yang paling miskin dan rentan, serta meningkatkan koordinasi antarprogram. Landasan perlindungan Sosial (LPS) atau Social Protection Floor (SPF) merupakan pendekatan yang menggambarkan Perlindungan Sosial yang integratif untuk menjamin penghidupan dan akses semua anggota masyarakat terhadap fasilitas/jasa pelayanan sosial dasar, khususnya bagi kelompok yang rentan, dan melindungi serta memberdayakan setiap orang pada berbagai jenjang umur atau siklus kehidupan. Konsep Landasan Perlindungan Sosial dituangkan kedalam Rekomendasi ILO mengenai Landasan Perlindungan Sosial (Rekomendasi 202) tahun 2012 yang disetujui oleh seluruh anggota yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha dari 185 negara dalam Konferensi Perburuhan Internasional pada tanggal 14 Juni 2012. Rekomendasi 202 merupakan acuan bagi negara anggota dalam upaya membuat dan melaksanakan landasan perlindungan sosial nasional sebagai salah satu bagian utama dalam sistem jaminan sosial yang komprehensif. Rekomendasi ini juga memberi arahan dalam membuat strategi perluasan cakupan dan peningkatan manfaat jaminan sosial bagi seluruh warga secara progresif. Langkahlangkah yang diambil disesuaikan dengan situasi di masing-masing negara serta kapasitas fiskal dan ekonomi, serta sejalan dengan standar-standar jaminan sosial ILO. Dengan menegaskan kembali bahwa jaminan sosial merupakan hak seluruh warga dan sekaligus syarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi, Rekomendasi 202 menyatakan bahwa negara anggota perlu menentukan dan melaksanakan landasan perlindungan sosial nasional mereka. LPS terdiri dari sejumlah skema jaminan sosial yang didefinisikan oleh masing-masing negara, yang bertujuan untuk mencapai situasi di mana: (i) seluruh penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, termasuk persalinan; (ii) semua anak memiliki jaminan penghidupan khususnya untuk memenuhi kebutuhan gizi, pendidikan dan kesehatan; (iii) seluruh penduduk usia kerja memiliki jaminan penghidupan melalui dukungan fasilitasi maupun skema jaminan ketenagakerjaan dan (iv) seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas mendapatkan jaminan penghidupan dalam bentuk bantuan dan fasilitasi. vii Komponen-komponen Landasan Perlindungan Sosial tersebut sifatnya fleksibel dan dapat diselaraskan dengan perkembangan sistem perlindungan sosial nasional. Empat jaminan tersebut di atas hanya menetapkan standar minimum terkait akses, cakupan dan tingkat jaminan pendapatan, dan layanan kesehatan dalam sistem perlindungan sosial nasional. Meskipun belum semua negara dapat segera melaksanakan seluruh komponen dan mencakup semua penduduk, LPS memberikan kerangka perencanaan pelaksanaan secara progresif untuk memastikan visi yang menyeluruh dari sistem perlindungan sosial melalui sinergi berbagai komponen yang berbeda. Kerangka LPS juga dirancang untuk mengidentifikasi kekurangan dari segi kebijakan dan implementasi, serta rekomendasi bagi pengembangan kebijakan perlindungan sosial, termasuk pembiayaan (costing) bagi pengembangan Landasan Perlindungan Sosial dengan menggunakan metode Rapid Assessment Protocol (RAP) yang dikembangkan ILO. Hasil dari perkiraan biaya tersebut merupakan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan prioritas program-program perlindungan sosial maupun realokasi anggaran pemerintah dan ruang fiskal yang diperlukan selama 10 tahun mendatang. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Proses dan Hasil Penilaian viii Selama April 2011 sampai dengan November 2012, ILO bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait dan Sub Kelompok Kerja Kantor PBB Indonesia untuk Landasan Perlindungan Sosial menyelenggarakan Penilaian atas Landasan Perlindungan Sosial berbasis Dialog Nasional (ABND) di Indonesia. Penilaian ini mencakup program-program yang terkait akses terhadap pelayanan kesehatan, jaminan tunjangan bagi anak-anak, jaminan pendapatan bagi penduduk usia kerja, dan jaminan pendapatan bagi penduduk lanjut usia (lansia) dan penyandang disabilitas. Pelaksanaan Dialog Nasional ini meliputi tahap-tahap berikut ini: Tahap 1 – Pembuatan Matriks Penilaian Matriks penilaian disusun menggunakan kerangka kerja Landasan Perlindungan Sosial dan bertujuan untuk menilai perkembangan program perlindungan dan jaminan sosial, serta mengidentifikasi celah kebijakan maupun implementasi. Dari proses tersebut juga diidentifikasi rekomendasi nyata untuk perbaikan rancangan dan implementasi program-program perlindungan sosial, untuk menutup celah dalam mewujudkan Landasan Perlindungan Sosial (LPS) bagi seluruh masyarakat. Tahap 2 – Protokol RAP Perangkat pembiayaan (costing) ILO atau Rapid Assessment Protocol (RAP) digunakan untuk membuat perkiraan kasar mengenai biaya yang diperlukan untuk membuat program baru atau memperluas program yang sudah ada untuk membangun Landasan Perlindungan Sosial yang komprehensif di Indonesia. Biaya tersebut dipresentasikan dalam jumlah rupiah maupun dalam persentasi PDB (Produk Domestik Bruto), maupun dalan persentasi pengeluaran pemerintah. Hasil dari costing atau perhitungan tersebut dijadikan bahan untuk mendukung diskusidiskusi mengenai prioritas kebijakan perlindungan sosial dan diskusi terkait ruang fiskal dan alokasi anggaran. Tahap 3 – Finalisasi Sejumlah rekomendasi dan hasil perhitungan biaya, termasuk didalamnya identifikasi langkah-lakang yang mungkin untuk meningkatkan ruang fiskal bagi perlindungan sosial, didiskusikan dengan seluruh pemangku kepentingan dalam lokakarya-lokakarya. Laporan akhir yang memuat prioritas kebijakan perlindungan sosial disusun, untuk dibagikan dengan Pemerintah Indonesia. Hasil Utama dari Penilaian Kekurangan dan berbagai persoalan umum yang ditemukan dalam berbagai program antara lain: keterbatasan cakupan program; keterbatasan akses terutama di wilayah Indonesia Timur; keterkaitan yang terbatas antara program ketenagakerjaan dengan program jaminan sosial; hampir tidak ada jaminan sosial untuk pekerja sektor informal; penghindaran jaminan sosial di sektor swasta formal; keterbatasan data dan persoalan penetapan sasaran (targeting); serta permasalahan koordinasi dan tumpang tindih antarprogram, termasuk juga dalam data dan informasi. Rekomendasi utama mencakup antara lain: • merancang dan mengujicoba Layanan Program Perlindungan Sosial Satu Atap (Single Window Service) di tingkat lokal untuk memfasilitasi informasi dan akses warga kepada berbagai program dan meningkatkan koordinasi antarprogram perlindungan sosial; • memastikan paket manfaat Jaminan Kesehatan memiliki tingkat perlindungan yang memadai; • memperluas cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai basis jaminan pendidikan dan kesehatan bagi anak keluarga miskin; • mendukung implementasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; • melakukan studi kelayakan asuransi pengangguran dan mengaitkannya dengan program-program ketenagakerjaan dan pengembangan keterampilan; • memperluas jangkauan program untuk lanjut usia telantar dan panyandang disabilitas berat; dan • pengembangan basis data (database) kelompok sasaran yang lengkap untuk memfasilitasi pelaksanaan berbagai program. Untuk keempat jaminan yang ada dalam LPS ( jaminan kesehatan, jaminan penghidupan bagi anak-anak, kelompok usia kerja, serta lansia dan orang dengan disabilitas), beberapa rekomendasi yang diajukan diterjemahkan menjadi pilihan-pilihan kebijakan yang disebut “skenario” dan masing-masing skenario tersebut diperkirakan biayanya untuk beberapa tahun kedepan. Berdasarkan pilihan skenario yang dibuat, diperkirakan tambahan jaminan sosial untuk melengkapi landasan perlindungan sosial di Indonesia akan membutuhkan biaya antara 0,74 persen dari PDB (pilihan skenario rendah) sampai 2,45 persen PDB (pilihan skenario tinggi) pada tahun 2020. Perkiraan biaya untuk skenario jaminan kesehatan - Berdasarkan berbagai perhitungan, untuk menutup kekurangan untuk mencapai LPS dalam hal jaminan kesehatan, diperkirakan akan membutuhkan biaya sebesar 0,17 persen dari Produk Domestik Bruto (skenario rendah), dan 0,98 persen (skenario tinggi) pada tahun 2020. Jumlah iuran jaminan kesehatan yang digunakan dalam skenario didasarkan pada perkiraan paket manfaat yang saat ini tengah dirancang. • “Skenario rendah” meliputi perluasan asuransi kesehatan yang iurannya ditanggung pemerintah untuk orang miskin, hampir miskin dan rentan miskin (40 persen terbawah) dengan standar manfaat tingkat 3 (moderat), termasuk pemeriksaan HIV bagi penduduk yang berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/ AIDS (ODHA), pengobatan ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat, dan penyediaan paket universal untuk mengurangi penularan ibu kepada anak khususnya untuk HIV dan sipilis. • “Skenario Tinggi” meliputi penyediaan asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk di sektor ekonomi informal, menyediakan pemeriksaan HIV bagi penduduk usia aktif (usia 15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi semua penderita HIV, dan pengobatan ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat, dan paket universal untuk menurunkan penularan dari ibu ke anak khususnya untuk HIV dan Spilis. Perkiraan biaya untuk skenario jaminan tunjangan bagi anak-anak - Untuk menutup kekurangan LPS bagi anak-anak diperkirakan memerlukan biaya 0,03 persen dari PDB (skenario rendah), dan 0,18 persen (skenario tinggi) pada 2020. ix • “Skenario rendah” meliputi perluasan program PKH bagi semua penduduk miskin (bukan hanya untuk penduduk yang sangat miskin). • “Skenario tinggi” termasuk pemberian tunjangan anak bagi semua anak secara universal. Perkiraan biaya jaminan pendapatan bagi penduduk usia kerja - Untuk menutup kekurangan LPS bagi penduduk usia kerja melalui program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan pelatihan kejuruan diperkirakan akan menghabiskan biaya 0,47 persen dari PDB pada tahun 2020. • Studi kelayakan yang lebih terperinci mengenai skema Asuransi Pengangguran dan Layanan Satu Atap perlu dilakukan; dan peta jalan untuk implementasi BPJS Ketenagakerjaan perlu disusun dengan melibatkan seluruh pihak terkait. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Perkiraan biaya skenario jaminan pendapatan bagi penduduk usia tua dan penyandang disabilitas - Untuk menutup kekurangan jaminan sosial bagi lansia maupun jaminan sosial bagi penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 0,08 persen dari PDB (“skenario rendah”), dan 0,82 persen dari PDB (“skenario tinggi) pada 2020. x • “Skenario rendah” meliputi perluasan skema jaminan sosial bagi penyandang disabilitas berat dan jaminan sosial bagi lansia rentan. • “Skenario tinggi” mencakup perluasan skema pensiun nonkontribusi bagi semua penyandang disabilitas dan skema pensiun universal bagi penduduk berusia di atas 55 tahun (usia pensiun di sektor formal). Rekomendasi kebijakan di atas diharapkan dapat dieksplorasi lebih lanjut oleh berbagai pihak yang terkait untuk memperkuat pengembangan perlindungan sosial yang tengah berjalan. Daftar Singkatan ABND Assessment based national dialogue AIDS Acquired immunodeficiency syndrome APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ART Anti-Retroviral Treatment ARV Anti-Retroviral BAPPENAS Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BLK Balai Latihan Kerja BLT Bantuan Langsung Tunai BOS Bantuan Operasional Sekolah BPS Badan Pusat Statistik BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BULOG Badan Urusan Logistik CCT Conditional Cash Transfer CD4 Cluster of Differentiation 4 DJSN Dewan Jaminan Sosial Nasional DPLK Dana Pensiun Lembaga Keuangan DPPK Dana Pensiun Pencari Kerja EAST Education and Skills Training for Youth Employment FAO Food and Agriculture Organization of the United Nations G20 Kelompok 20 GDP Gross Domestic Product Gini coefficient Ukuran ketidaksetaraan dari distribusi, nilai 0 mencerminkan total keseteraan dan nilai 1 merupakan batas maksimum ketidaksetaraan HIV Human immunodeficiency virus IDR Indonesian Rupiah (1 US $ = approx. IDR 8,500) ILO International Labour Organization IMF International Monetary Fund INA- CBG Indonesia-Case Based Group INA-DRG Indonesia-Diagnosis Related Group JHT Jaminan Hari Tua JK Jaminan Kematian JKA Jaminan Kesehatan Aceh JKK Jaminan Kecelakaan Kerja JPS Jaring Pengaman Sosial KUR Kredit Usaha Rakyat Kemenakertrans Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemendagri Kementerian Dalam Negeri Kemenkes Kementerian Kesehatan Kemensos Kementerian Sosial KPA Komisi Penanggulangan AIDS xi Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia xii LHK Luar Hubungan Kerja LPS Landasan Perlindungan Sosial Menko Kesra Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat MTCT Mother To Child Transmission NGO Non Governmental Organization NTT Nusa Tenggara Timur ODHA Orang dengan HIV/AIDS OHCHR Office of the High Commissioner for Human Rights P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan PBB Persatuan Bangsa-Bangsa PKH Program Keluarga Harapan PKSA Program Kesejahteraan Sosial Anak PMTAS Program Makanan Tambahan Anak Sekolah PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Polri Kepolisian Republik Indonesia PPA-PKH Pengurangan Pekerja Anak untuk Mendukung Program Keluarga Harapan PPK Program Pengembangan Kecamatan PPP Purchasing Power Parity PT Perseroan Terbatas RAP Rapid Assessment Protocol (Protokol Penilaian Cepat) Raskin Beras untuk Orang Miskin RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah SD Sekolah Dasar SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional SMERU Lembaga Penelitian Independen SMP Sekolah Menegah Pertama SPF Social Protection Floor (Landasan Perlindungan Sosial) SSM Subsidi untuk Siswa Miskin SWS Single Window Service (Layanan Satu Atap) TNI Tentara Nasional Indonesia TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan TKPK Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan TVET Technical and Vocational Education and Training UN United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa) UNAIDS Joint United Nations Program on HIV/AIDS, UNDESA United Nations Department of Economic and Social Affairs UNDP United Nations Development Programme UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNFPA United Nations Population Fund UN-HABITAT United Nations Human Settlements Programme UNHCR UN Refugee Agency UNICEF United Nations Children’s Fund UNODC United Nations Office on Drugs and Crime UNRWA United Nations Relief and Works Agency USD United States Dollars VCT Voluntary counseling and testing WFP United Nations World Food Programme WHO World Health Organization WMO World Meteorological Organization xiii xiv Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Pengantar I Sejak diamandemen pada tahun 2002, UUD 1945 mengakui hak seluruh penduduk untuk mendapatkan jaminan sosial, dan negara bertanggung jawab dalam penyediaan jaminan sosial bagi warga negara. Perlindungan sosial tidak hanya sebatas pemenuhan hak, tetapi juga sebagai syarat terlaksananya pembangunan ekonomi dan pertumbuhan yang setara dan berkelanjutan. Perlindungan sosial memiliki peran penting dalam pengembangan tenaga kerja yang produktif, terdidik, terampil, dan sehat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014) telah memprioritaskan dan mendorong pengembangan program-program yang dapat meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan bagi semua penduduk, akses terhadap pendidikan dan nutrisi bagi keluarga dengan anak, peluang kerja dan pendapatan berkelanjutan bagi penduduk usia kerja (produktif), dan jaminan pendapatan minimum bagi penduduk rentan, seperti penyandang disabilitas dan lansia telantar (Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014). Saat ini, lebih dari setengah penduduk di Indonesia memiliki akses terhadap asuransi kesehatan, baik dengan skema kontribusi maupun nonkontribusi. Salah satunya adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), yaitu skema asuransi kesehatan nonkontribusi yang telah menjangkau 32 persen penduduk miskin dan hampir miskin. Selain itu juga terdapat Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk menjamin semua anak, termasuk dari keluarga miskin, mendapatkan pendidikan dasar. Untuk memfasilitasi akses pendidikan dan kesehatan anak dan ibu dari keluarga sangat miskin, juga diberikan bantuan tunai bersyarat melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Berbagai program peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia telantar juga diberikan dalam skala terbatas. Lebih lanjut, dikembangkan pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mendukung masyarakat dalam merancang prioritas pembangunan di wilayah mereka sendiri, termasuk melalui kegiatan pengembangan infrastruktur skala kecil, kegiatan ekonomi produktif dan layanan sosial bagi penduduk. Peluang kewirausahaan juga dikembangkan melalui program-program kredit usaha mikro. Program-program penanggulangan kemiskinan yang ada saat ini dikelompokkan dalam tiga kelompok (kluster). Kelompok 1 meliputi bantuan sosial baik dalam bentuk tunai atau non tunai. Kelompok 2 mencakup programprogram pemberdayaan masyarakat. Kelompok 3 meliputi program-program yang berupaya mendorong penciptaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah, misalnya melalui program keuangan mikro (Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014). Pemerintah Indonesia juga memprioritaskan pengembangan lebih lanjut sistem jaminan sosial yang diamanatkan oleh UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004). Undang-undang ini memberikan mandat perluasan cakupan kepesertaan jaminan sosial terhadap seluruh penduduk dalam hal jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Pendekatan yang dipakai bersifat progresif, mencakup skema bantuan iuran pemerintah bagi penduduk miskin, skema iuran ( jumlah nominal) bagi pekerja di luar hubungan kerja dan skema iuran (persentasi upah) bagi pekerja formal. Sebagai tindak lanjutnya, UU No. 24 Tahun 2011 mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai tahun 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan mulai tahun 2015. Saat laporan ini ditulis, persiapan pembentukan BPJS tengah berjalan, mencakup 1 antara lain penyusunan peraturan pendukung dan kajian yang diperlukan, serta penyiapan skema transisi berbagai jaminan kesehatan yang ada ke dalam pengelolaan BPJS kesehatan yang terintegrasi. Keseluruhan proses transisi akan berjalan sampai dengan tahun 2029. Lebih lanjut, komitmen Indonesia terhadap perlindungan sosial juga tercermin dalam Pakta Lapangan Kerja Indonesia 2011-2014 yang ditandatangani secara tripartit pada 13 April 2011 (Indonesian Jobs Pact, 2011). Pakta ini memprioritaskan penciptaan lapangan kerja dan perlindungan sosial sebagai respon terhadap krisis dan untuk mendukung pembangunan sosial-ekonomi. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Kerangka Social Protection Floor (SPF) atau Landasan Perlindungan Sosial (LPS) yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara G20 merupakan perangkat untuk menggambarkan program-program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan, serta untuk mengidentifikasi opsi-opsi prioritas masa depan, dan mencari cara untuk meningkatkan sinergi kebijakan lintas program, meningkatkan efisiensi dan mengurangi fragmentasi melalui mekanisme penargetan yang lebih baik dan koordinasi antarprogram untuk mengurangi kerentanan orang miskin dan peningkatan kesejahteraan seluruh penduduk. 2 Konsep SPF atau LPS dirumuskan dalam bentuk rekomendasi ILO (Rekomendasi no.202) dan disetujui oleh seluruh peserta Konferensi Perburuhan Internasional ke-101 pada 14 Juni 2012. Peserta konferensi ini adalah perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha dari seluruh anggota ILO. Dalam G-20, juga telah disepakati bahwa SPF akan diimplementasikan sesuai kondisi masing-masing negara. Untuk itu, beberapa negara tengah menyiapkan penilaian kebutuhan terhadap SPF yang sesuai dengan perkembangan kondisi dan kebutuhan masing-masing negara. Konteks 2 2.1. Konteks nasional 2.1.1. Peningkatan prioritas perlindungan sosial Sebelum tahun 1997, Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kinerja ekonomi tinggi dengan rata-rata tingkat pertumbuhan (PDB) sebesar 7,4 persen per tahun (Bank Dunia, 1993). Perlindungan sosial saat itu belum menjadi bagian dari prioritas pemerintah dan belanja sosial pemerintah terkonsentrasi pada layanan sosial (Sumarto & Suryahadi, 2002). Krisis keuangan Asia pada tahun 1997 telah membuka mata semua pihak tentang kerentanan ekonomi Indonesia, serta pentingnya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Meningkatnya tingkat pengangguran dan menurunnya upah riil yang dramatis telah menyebabkan 25 persen penduduk tidak miskin jatuh ke dalam jurang kemiskinan (Bank Dunia 2006). Sebagai respon terhadap krisis ini, Pemerintah meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial nasional (JPS) pada tahun 1998. Program ini memberikan subsidi makanan pokok, pendidikan dasar, dan layanan kesehatan dasar, serta peluang kerja melalui kegiatan padat karya dan kredit usaha. Setelah pulih dari krisis 1997, pertumbuhan ekonomi kembali menguat dan tingkat kemiskinan terus menurun. Tingkat kemiskinan nasional1 turun dari 24,23 persen pada tahun 1998 menjadi 11,96 persen pada 2012 (BPS, 2012). Rata-rata konsumsi per kapita selama periode 1996-2010 tumbuh 1,4 persen. Sayangnya, pertumbuhan ini tidak selalu pro-rakyat miskin. Pada saat 10 persen orang terkaya menikmati pertumbuhan lebih dari 1,7 persen konsumsi rata-rata per kapita, 10 persen orang termiskin hanya mendapatkan 0,6 persen pertumbuhan (Bank Dunia, 2011a). Ketimpangan, sebagaimana ditunjukkan (secara nasional) oleh Indeks Gini, telah meningkat dari 0,32 di tahun 1996, menjadi 0,34 pada tahun 2007 dan berlanjut menjadi 0,41 pada tahun 2011. Saat ini, meskipun kemiskinan ekstrim (extreme poverty) – yang ditandai dengan pengeluaran rata-rata per hari US$ 1 (purchasing power parity, PPP) atau kurang — relatif rendah, hampir separuh populasi mendekati kemiskinan (43,3 persen berada dalam batasan PPP sebesar US$ 2 per hari) (Bank Dunia, 2001a). Analisis atas data pendapatan dan konsumsi menunjukkan, besarnya pergerakan keluar-masuk dari kemiskinan, mencapai lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004, dan pada 2003 mereka belum masuk dalam kategori miskin (Bank Dunia, 2006); “Tiap tahun, banyak rumah tangga memiliki risiko tinggi untuk jatuh miskin, meskipun sebelumnya mereka tidak berada dalam kategori miskin”. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami kemajuan pesat terkait perluasan cakupan kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh populasi, melalui amandemen UUD 1945 mengenai perluasan jaminan sosial bagi 1 Tingkat kemiskinan nasional dihitung berdasarkan proporsi orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan oleh BPS didefinisikan sebagai “nilai per kapita pengeluaran per bulan untuk menyediakan makanan dan kebutuhan-kebutuhan nonpangan dasar.” Mengingat besar dan beragamnya negeri ini, garis kemiskinan ditetapkan dengan tingkat yang berbeda untuk provinsi dan daerah perkotaan maupun pedesaan di setiap provinsi. Rata-rata garis kemiskinan nasional pada 2011 adalah Rp 211.000. 3 seluruh penduduk dan dengan diundangkannya UU No. 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hal ini memperlihatkan komitmen pemerintah terhadap perlindungan sosial bagi semua. Perkembangan terakhir menuju penerapan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah disahkannya UU No. 24/2011 yang memberikan mandat perubahan kepada empat penyedia jasa jaminan sosial milik negara (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri) menjadi dua penyedia, yakni penyedia jasa asuransi kesehatan mulai tahun 2014, dan penyedia jasa jaminan sosial tenaga kerja mulai pertengahan tahun 2015. 2.1.2. Tinjauan skema kebijakan yang ada Sistem perlindungan sosial pada prinsipnya terdiri atas jaminan sosial, bantuan sosial (yang merupakan bagian dari program anti kemiskinan yang lebih luas), dan subsidi pemerintah2. Skema dan program yang ada cenderung terfragmentasi dan tersebar di beberapa kementerian yang berbeda seperti Kementerian Kesehatan, Pendidikan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sosial, Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, dan sebagainya. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 2.1.2.1. Skema Jaminan Sosial 4 Penyelenggaraan jaminan sosial yang ada saat ini dikelola oleh empat BUMN yang berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas)3 yaitu: 1. PT Jamsostek mengelola dana asuransi sosial bagi pekerja sektor swasta. Jamsostek memiliki empat skema: jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan hari tua. 2. PT Taspen mengelola program tabungan hari tua dan dana pensiun bagi pegawai negeri. 3. PT Askes menyediakan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan PNS serta pensiunan TNI/Polri. Tabel 1: Program-Program Jaminan Sosial Kelompok Sasaran Jenis Manfaat Institusi Pengawas Kementerian TNI dan Polri Dana Pensiun, Tabungan hari tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, Disabilitas PT Asabri Kementerian Pertahanan, Kementerian BUMN Perawatan Kesehatan Rumah Sakit TNI PT Askes (bagi pensiunan) Dana Pensiun, Tabungan hari Tua, Kematian, Disabilitas PT Taspen Kementerian Keuangan Asuransi Kesehatan PT Askes Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan Tabungan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja PT Jamsostek Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi, Kementerian BUMN Perawatan Kesehatan PT Jamsostek (opsional) Pegawai Negeri Karyawan Sektor Swasta 2 Dalam beberapa literatur misalnya Grosh et al (2008), subsidi pemerintah tidak dimasukkan sebagai bagian dari sistem perlindungan sosial. Terdapat kontroversi pada subsidi komoditas terutama yang sebagian besar dinikmati oleh kelompok nonmiskin (misalnya subsidi BBM dan subsidi listrik). 3 Penyelenggaraan jaminan sosial oleh keempat BUMN akan beralih kepada dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 4. PT Asabri menyediakan program tabungan hari tua dan program pensiun serta asuransi kematian dan kecelakaan kerja bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan pegawai negeri di lingkungan Kementerian Pertahanan. Angkatan bersenjata juga memiliki beberapa fasilitas kesehatan tersendiri. Sementara itu, mayoritas pekerja sektor informal belum tercakup dalam sistem jaminan sosial. Secara terbatas, Program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) dari Kementerian Sosial bekerja sama dengan PT Jamsostek saat ini menyediakan skema asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian kepada beberapa kelompok pekerja informal seperti pedagang keliling dan pengusaha mikro. Selain itu, juga terdapat inisiatif berupa program percontohan berskala kecil dari PT Jamsostek untuk pekerja di luar hubungan kerja (Jamsostek LHK) yang menyediakan asuransi kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan kematian. 2.1.2.2. Bantuan Sosial dan subsidi Bantuan sosial disediakan melalui berbagai program yang menyediakan akses terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, pangan, infrastruktur sosial dan peluang kerja. Berbagai program ini diimplementasikan oleh berbagai kementerian terkait. Subsidi pemerintah, baik yang sifatnya universal maupun yang ditargetkan, terdiri dari subsidi energi (bahan bakar dan listrik) yang bersifat universal dan subsidi nonenergi (raskin, pupuk, bibit, kredit, kedelai, minyak goreng dsb) yang ditargetkan untuk kategori penduduk tertentu. Tabel 2: Bantuan Sosial dan Subsidi 4 5 Kelompok Sasaran Jenis manfaat Program Pengawas Kementerian Rumah tangga miskin Perawatan Kesehatan Gratis Jamkesmas Kementerian Kesehatan Beras bersubsidi Raskin Kemenko Kesra Bantuan Langsung Tunai bersyarat PKH, PKSA Kemensos Bantuan tunai Rp 300.000 per bulan bagi penyandang disabilitas berat JSPACA Kemensos Bantuan tunai Rp 300.000 per bulan bagi lansia rentan telantar JSLU Kemensos Beasiswa yang mencakup biaya buku, seragam dsb Beasiswa untuk siswa miskin Kementerian Pendidikan Masyarakat miskin Dana Langsung (Block grant) kepada masyarakat untuk pembangunan infrastruktur sosial dan fisik di kecamatan dan desa/kelurahan. PNPM Kemenko Kesra (PNPM pedesaan di bawah Kementerian Dalam Negeri, PNPM perkotaan di bawah Kementerian Pekerjaan Umum4 Usaha kecil dan mikro Pemberdayaan usaha kecil dan mikro melalui program kredit mikro Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kemenko Perekonomian 5 Bersifat Umum/ Universal Persalinan Gratis Jampersal Kementerian Kesehatan Bantuan Langsung Sekolah BOS Kementerian Pendidikan Juga didukung beberapa sektor lainya seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pariwisata) Beserta instansi-instansi pembina, di antaranya Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, serta Instansi terkait lainnya (sebagaimana tercantum dalam skema penyaluran KUR, dalam http:// www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351) 5 2.1.2.3. Dari subsidi ke program pengentasan kemiskinan Berawal dari pengalihan alokasi subsidi BBM ke program perlindungan sosial, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 (dalam Peraturan Pemerintah No. 5/2010) mempertajam fokus pengentasan kemiskinan melalui pengelompokan program-program penanggulangan kemiskinan. Melalui Peraturan Presiden No. 15/2010 koordinasi program-program pengentasan kemiskinan nasional ditingkatkan langsung di bawah kantor Sekretariat Wakil Presiden untuk mempermudah sinergi multi sektor dan agenda penanggulangan kemiskinan yang beragam di bawah kementerian yang berbeda. Dengan transformasi ini, TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang sebelumnya di bawah Kementerian Koordinator Kesra berubah nama menjadi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Koordinasi program-program pengentasan kemiskinan dikelola dalam tiga kelompok (kluster) sebagai berikut: (i) Kelompok bantuan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kaum miskin, dengan menyasar unitunit rumah tangga. Instrumen kelompok ini antara lain asuransi kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas), subsidi beras untuk orang miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai Bersyarat (Program Keluarga Harapan/ PKH), beasiswa bagi kaum miskin, dan bantuan sosial bagi penyandang disabilitas, lansia dan anak telantar. (ii) Kelompok pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan pendapatan kaum miskin, dan untuk melibatkan masyarakat miskin dalam proses-proses pembangunan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah instrumen utama dari Kelompok ini. (iii) Kelompok pemberdayaan usaha kecil dan mikro bertujuan untuk mendukung pengembangan usaha kecil dan mikro. Instrumen utama kluster ini adalah program kredit usaha rakyat (KUR). 2.1.3 Kerangka Hukum Dasar hukum dari berbagai program perlindungan sosial yang ada saat ini adalah sebagai berikut: Tabel 3: Kerangka Hukum Nama skema atau program dan manfaat utama Kerangka Hukum JAMSOSTEK (kecelakaan kerja, kematian, jaminan hari tua untuk sektor formal) • • UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ASKES (kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, pensiunan ABRI dan veteran) • Peraturan Pemerintah No. 69/1991 mengenai Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta Keluarganya Peraturan Pemerintah No. 28/2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun JAMKESMAS • • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan No. 686/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas JAMPERSAL • • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan JAMSOSTEK (pemeliharaan kesehatan bagi sektor formal) • 6 Nama skema atau program dan manfaat utama Kerangka Hukum TASPEN • • UU No. 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/ Duda Pegawai Peraturan Pemerintah No 25/1981 tentang Asuransi Sosial bagi PNS ASABRI • Peraturan Pemerintah No. 67/1991 tentang Asuransi Sosial untuk ABRI JAMSOSTEK untuk pekerja informal • • • UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Kemenakertrans No. 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja ASKESOS (Asuransi kesejahteraan sosial bagi pekerja informal) • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Keputusan Menteri Sosial No. 51/2003 tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu melalui Pola Asuransi Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen BOS (Bantuan Operasional Sekolah untuk kelas I-IX) • • • UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan Pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011 • Beasiswa untuk siswa miskin (sekolah dasar – universitas) • • • UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan Pendidikan PKH (Program Keluarga Harapan) • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang berkeadilan sosial RASKIN (subsidi beras untuk kaum miskin) • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Keputusan Menko Kesra No. 35/2008 tentang Tim Koordinasi Raskin PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Instruksi Presiden No. 3/2010 Program Pembangunan yang berkeadilan Keputusan Kemenko Kesra No. 25/2007 tentang Pedoman PNPM Mandiri • KUR (kredit mikro, skema jaminan dengan subsidi Pemerintah) • • • • Bantuan bagi Penyandang disabilitas • • • UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UKM Peraturan Menteri Keuangan No. 135/2008 tentang fasilitasi jaminan untuk KUR UU No. 19/2011 tentang Ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Penyandang Disabilitas UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat 7 Nama skema atau program dan manfaat utama Kerangka Hukum • • • Bantuan untuk Lanjut Usia yang rentan • • • Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia • 8 • Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) • • • • • Peraturan Pemerintah No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat Peraturan Dirjen Perbendahaaran Negara, Kementerian Keuangan No. 20/2006 tentang Pencairan Tunai bagi Penyandang disabilitas Parah dan Orang Tua Telantar Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 13/1998 tentang Lanjut Usia Peraturan Pemerintah No. 43/2004 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia Peraturan Dirjen Perbendahaaran Negara, Kementerian Keuangan No. 20/2006 tentang Pencairan Tunai bagi Penyandang Cacat Parah dan Orang Tua Terlantar Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005 tentang Pedoman Umum untuk Pelaksanaan PKSA Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan Catatan: Tabel kerangka hukum di atas berdasarkan program-program yang berjalan saat laporan ini ditulis, belum mencakup UU SJSN beserta peraturan pendukungnya (antara lain Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang PBI Jaminan Kesehatan). Lihat Lampiran 2 untuk Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, yang relevan dengan prinsip-prinsip Landasan Perlindungan Sosial. Lampiran tersebut juga berisi kerangka hukum nasional berdasarkan konvensikonvensi tersebut 2.1.3.1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang-undang Jaminan Sosial yang berlaku saat ini adalah UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja6. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap karyawan memiliki hak atas jaminan sosial tenaga kerja dan bahwa setiap perusahaan wajib menyediakan jaminan sosial kepada karyawannya yang melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja. Sedangkan program jaminan sosial untuk pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Iuran jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian ditanggung oleh pengusaha dan iuran jaminan hari tua ditanggung bersama oleh pengusaha dan karyawan. Undang-undang ini mencakup skema-skema jaminan sosial berikut ini: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian bagi pekerja dan tanggungan mereka. 2.1.3.2. Jaminan sosial untuk tenaga kerja sektor swasta formal Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan penjabaran dari UU No. 3/1992, khususnya untuk pekerja dalam hubungan kerja. Peraturan ini menyatakan bahwa partisipasi dalam Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian dalam Program Jamsostek adalah wajib, dan 6 UU No. 3 Tahun 1992 akan disesuaikan dengan substansi UU SJSN dan UU BPJS. pengusaha dapat memilih untuk memberi skema asuransi kesehatan di luar Jamsostek (asuransi swasta ataupun layanan kesehatan sendiri) sepanjang skema tersebut menyediakan manfaat yang lebih baik. 2.1.3.3. Jaminan sosial Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI, Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69/1991, PNS aktif, pensiunan PNS, pensiunan TNI dan Polri, veteran dan tanggungan mereka berhak atas asuransi kesehatan yang dikelola oleh PT Askes. Iuran Askes ditanggung bersama antara pekerja dan pemerintah (dinyatakan dalam peraturan Pemerintah No. 28/2003). Anggota TNI, Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan yang masih aktif mendapat perawatan kesehatan tersendiri, melalui pelayanan kesehatan dan rumah sakit khusus. Pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri saat ini merupakan satu-satunya kelompok yang menerima skema pensiun bulanan, yang dibayarkan kepada pensiunan maupun ahli waris bagi pensiunan yang sudah meninggal. Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan tabungan hari tua yang diterima sekaligus saat mencapai usia pensiun. Dana pensiun dan tabungan hari tua untuk PNS dikelola oleh PT Taspen (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25/1981). Dana pensiun dan tabungan hari tua maupun asuransi sosial anggota TNI dan Polri dikelola oleh PT Asabri (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 67/1991). 2.1.3.4. Jaminan sosial bagi pekerja di sektor informal Dalam UU No. 3/1992, ketentuan mengenai jaminan sosial bagi pekerja sektor informal masih terbatas. UU tersebut menyatakan bahwa program jaminan sosial bagi pekerja di luar hubungan kerja akan diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah (pasal 4, ayat 2). Kemenakertrans mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial untuk pekerja di luar hubungan kerja. Berdasarkan peraturan ini, sebuah program ujicoba dilakukan untuk memperluas jangkauan jaminan sosial ke pekerja informal melalui skema sukarela yang dikelola oleh PT Jamsostek. Skema ini menawarkan empat manfaat: kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua. Melalui pilot project ini, pemerintah memberi bantuan subsidi iuran untuk beberapa bulan pertama, dengan harapan setelah proyek percontohan selesai, para pekerja akan melanjutkan keanggotaan mereka dan membayar iuran sendiri. Namun demikian, kemajuan dalam perluasan jangkauan melalui proyek percontohan ini masih lambat. Dari sekitar 70 juta pekerja di sektor informal, jumlah keseluruhan peserta baru mencapai 400.000 pada 2010. Kebanyakan peserta juga tidak melanjutkan kepesertaan mereka setelah tidak lagi menerima subsidi. Keluar masuknya peserta dalam program ini juga sangat tinggi. Peserta dapat dengan mudah mendaftar dan keluar kapan saja. Jamsostek mengakui bahwa lambatnya pertumbuhan program tersebut adalah karena sejumlah permasalahan baik dari sisi permintaan dan penawaran. Kapasitas administrasi dan SDM Jamsostek, dan juga kurangnya pemahaman pekerja dan ketidakmampuan membayar kontribusi secara teratur, menyebabkan rendahnya tingkat kepesertaan (Jamsostek, 2010). Konsultasi di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan kurangnya keberlanjutan program ini setelah masa ujicoba berakhir. Kebanyakan pekerja dalam program ini tidak melanjutkan keanggotaan mereka. Karakteristik dari pekerjaan di sektor informal, juga permasalahan dalam pendaftaran, kepatuhan pembayaran kontribusi, dan pendataan peserta masih menjadi tantangan bagi Jamsostek. Masih diperlukan eksplorasi lebih lanjut terkait mekanisme pembayaran dan metode administrasi yang dapat menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pekerja sektor informal, begitu juga dengan desain paket manfaat yang dapat menjawab kebutuhan mereka dengan lebih baik. Kementerian Sosial melaksanakan program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) sebagai skema pengganti pendapatan bagi para pekerja sektor informal, yang menyediakan manfaat berupa uang tunai jika terjadi kondisi sakit, kecelakaan kerja, atau kematian. Dana dikelola oleh organisasi lokal (mengelola paling sedikit 150 anggota/ peserta) yang diseleksi oleh Kementerian Sosial (Pedoman Pelaksanaan Askesos Kementerian Sosial). Kemensos menyediakan Rp 30 juta kepada organisasi tersebut selama 3 tahun dan setiap anggota memberikan iuran sebesar 9 Rp 5.000 per bulan kepada organisasi tersebut. Jika terjadi kondisi sakit atau kecelakaan, pekerja mendapatkan manfaat sebesar Rp 300.000 (maksimum untuk satu klaim per orang dan per manfaat per tahun). Manfaat/ tunjangan kematian sebesar Rp 400.000 jika anggota meninggal pada tahun pertama keanggotaan, dan Rp 600.000 jika meninggal di tahun kedua keanggotaan atau Rp 800.000 jika kematian terjadi di tahun ketiga keanggotaan. Pada 2011, skema Askesos memiliki 358.000 anggota dengan melibatkan sebanyak 1.790 Organisasi sosial di 33 provinsi. Saat ini program Askesos tengah dalam fase ujicoba untuk menyesuaikan dengan pronsip-prinsip asuransi sebagaimana diamanatkan dalam berbagai peraturan terkait jaminan sosial serta meningkatkan kapasitas lembaga pelaksana melalui kerjasama kemitraan dengan PT Jamsostek. Melalui kerjasama ini, manfaat disesuaikan menjadi asuransi kecelakaan kerja dan kematian. 2.1.3.5. Amendemen UUD 1945 dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Upaya mencapai sistem perlindungan sosial yang komprehensif dan universal di Indonesia ditandai dengan dua pijakan penting: amendemen UUD 1945 tentang perluasan jaminan sosial bagi seluruh penduduk dan diundangkannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional/ UU SJSN). 10 Pada 2002, Pemerintah Indonesia mengamendemen UUD 1945 tentang jaminan sosial. Pasal 28 H, Sub-bagian 3, menyatakan: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34, Sub-bagian 2, menyatakan: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan pada 19 Oktober 2004, dirancang untuk menciptakan sistem jaminan sosial yang mencakup semua pekerja Indonesia beserta tanggungan mereka, baik di sektor formal maupun informal dengan lima program berikut: • Jaminan Kesehatan disediakan untuk semua orang yang membayar iuran atau orang miskin dan tidak mampu yang kontribusinya dibayar oleh Pemerintah. Peserta yang menerima upah akan membayar kontribusi berdasarkan persentasi dari upahnya, ditanggung bersama dengan pengusaha yang mempekerjakan. Peserta yang tidak menerima upah akan membayar dalam jumlah nominal tertentu. Kontribusi untuk orang miskin akan dibayar oleh Pemerintah, juga berdasarkan jumlah nominal tertentu. • Jaminan kecelakaan kerja memastikan bahwa jika terjadi kecelakaan kerja atau sakit yang berhubungan dengan pekerjaan, peserta menerima layanan kesehatan, serta kompensasi tunai jika kecelakaan atau penyakit tersebut menyebabkan kematian atau cacat permanen. Iuran untuk pekerja penerima upah diatur berdasarkan persentasi upah dan untuk yang tidak menerima upah berdasarkan jumlah nominal. • Jaminan hari tua memberi manfaat bagi para pekerja yang mencapai usia pensiun atau mengalami cacat, dan apabila pekerja meninggal maka diberikan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Jumlah manfaat ditentukan berdasarkan total akumulasi kontribusi ditambah hasil pengembangannya. • Jaminan pensiun menyediakan manfaat bulanan tetap kepada para pekerja yang mencapai usia pensiun atau mengalami cacat permanen, dan keluarga yang ditinggal apabila pekerja meninggal. Pesertanya berhak menerima manfaat bulanan secara tetap setelah membayar iuran minimal 15 tahun. Jika peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi kontribusi minimal 15 tahun, mereka akan menerima total akumulasi kontribusi ditambah dengan hasil pengembangannya. Skema ini hanya tersedia bagi pekerja yang menerima upah, dan iurannya diatur berdasarkan persentasi upah dan ditanggung bersama oleh pekerja dan pengusaha. • Jaminan kematian menyediakan manfaat tunai kepada ahli waris dari pekerja yang meninggal dunia. Iuran dibayar oleh pengusaha dalam hal pekerja penerima upah dan untuk pekerjaan bukan penerima upah ditetapkan berdasarkan jumlah nominal. Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden dengan fungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Dengan diundangkannya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, DJSN mengkoordinasikan transformasi empat BUMN (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri) menjadi dua institusi publik nonprofit (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yang akan bekerja langsung di bawah pengawasan presiden. PT Askes akan ditransformasikan menjadi BPJS Kesehatan untuk menyediakan skema asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk dimulai pada 1 Januari 2014. Sedangkan PT Jamsostek akan ditransformasikan menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan akan menyediakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. BPJS Ketenagakerjaan ditargetkan sudah beroperasi pada Juli 2015. Dua perusahaan lain, PT Taspen dan PT Asabri diperintahkan oleh UU BPJS untuk merancang peta jalan (road map) pengalihan bertahap ke BPJS Ketenagakerjaan. Sejalan upaya menyiapkan implementasi BPJS Kesehatan, telah disusun peta jalan (road map) untuk mencapai cakupan menyeluruh (universal coverage) asuransi kesehatan di Indonesia yang dimulai pada 1 Januari 2014. Peta jalan ini akan memberikan arah dan tahapan untuk mencapai cakupan kesehatan universal. 2.2. Konteks global dan regional Pada bulan April 2009, Komite Tingkat Tinggi untuk Program-Program PBB mengadopsi Landasan Perlindungan Sosial sebagai satu inisiatif bersama untuk menghadapi krisis finansial dan percepatan pemulihannya. Inisiatif ini memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk merencanakan dan melaksanakan skema perlindungan sosial secara berkesinambungan. Kemudian dibentuklah sebuah koalisi global yang terdiri dari lembaga-lembaga PBB (FAO, OHCHR, UNAIDS, UNDESA, UNDP, UNESCO, UNFPA, UN-HABITAT, UNHCR, UNICEF, UNODC, UN Regional Commissions, UNRWA, WFP, WMO), IMF dan Bank Dunia, serta para mitra pembangunan dan LSM-LSM terkemuka. Dalam Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-101 tahun 2012, negara-negara anggota sepakat untuk mengadopsi Rekomendasi mengenai Landasan Perlindungan Sosial (Rekomendasi No. 202), yang menegaskan kembali jaminan sosial sebagai hak asasi dan sekaligus kebutuhan bagi terlaksananya pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Rekomendasi 202 memberi arahan dalam membuat strategi perluasan cakupan dan peningkatan manfaat jaminan sosial bagi seluruh warga secara progresif. Rekomendasi ini didukung oleh hampir seluruh negara anggota (453 suara setuju dan satu suara abstain) setelah melalui diskusi antara konstituen (perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha). Konferensi Perburuhan Internasional ke-101 juga mengadopsi Resolusi mengenai upaya untuk merealisasikan Landasan Perlindungan Sosial di seluruh dunia7, yang menghimbau pemerintah, pekerja dan pengusaha untuk bekerja sama melaksanakan Rekomendasi No. 202 sesegera mungkin sesuai dengan kemampuan nasional masing-masing. Landasan Perlindungan Sosial menggunakan pendekatan yang menyeluruh terhadap perlindungan sosial. Landasan Perlindungan Sosial mensyaratkan adanya akses terhadap barang dan jasa minimum bagi semua kelompok usia, dengan perhatian khusus pada kelompok yang terpinggirkan dan rentan (seperti masyarakat adat dan penyandang disabilitas). Negara kemudian dapat memilih upaya untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada penduduknya, melalui tingkat layanan sosial yang lebih baik dan cakupan yang lebih komprehensif (manfaat yang lebih besar melalui skema campuran kontribusi dan nonkontribusi.) Landasan Perlindungan Sosial mengedepankan jaminan pendapatan melalui serangkaian jaminan dasar yang bertujuan untuk mencapai: • seluruh penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar; • semua anak memiliki jaminan penghidupan, minimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi, pendidikan dan kesehatan; • seluruh penduduk usia kerja memiliki jaminan pendapatan minimum, secara tunai atau dalam bentuk barang atau program-program ketenagakerjaan dan 7 Dokumen terdapat dalam “Resolution concerning efforts to make social protection floors a national reality worldwide”, dalam Provisional Record No.14, International Labour Conference, sesi 101 (Jenewa, 2012). 11 • Seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas juga mendapatkan jaminan pendapatan paling tidak pada tingkat minimum. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Komponen-komponen Landasan Perlindungan Sosial tersebut bersifat fleksibel dan dapat diselaraskan dengan perkembangan sistem perlindungan sosial nasional. Empat jaminan tersebut hanya menetapkan standar minimum terkait akses, cakupan, dan tingkat jaminan pendapatan dan kesehatan dalam sistem perlindungan sosial nasional. Meskipun belum semua negara dapat segera melaksanakan seluruh komponen dan mencakup semua penduduk, LPS memberikan kerangka perencanaan pelaksanaan secara progresif untuk memastikan visi yang menyeluruh dari sistem perlindungan sosial melalui sinergi di antara berbagai komponen yang berbeda. 12 LPS juga mendukung pemberdayaan perempuan. Di seluruh dunia perempuan lebih banyak berada dalam posisi miskin dan rentan dibanding laki-laki. Mereka menghadapi banyak hambatan sosial maupun legal yang membatasi akses mereka ke pasar kerja, aset produktif, pekerjaan dengan upah yang labih tinggi, atau upah yang sama dengan pekerja laki-laki. Perempuan cenderung lebih banyak berada pada pekerjaan diluar hubungan kerja dan tidak tetap serta pekerjaan beresiko tinggi tanpa memiliki jaminan sosial. LPS bertujuan untuk meningkatkan cakupan perlindungan sosial dasar kepada kelompok yang belum tercakup, dan hal ini dapat berdampak langsung pada keseimbangan gender. Meskipun kawasan Asia Pasifik telah mencapai kemajuan ekonomi yang cukup pesat dalam dua dekade terakhir dan telah mengangkat jutaan orang dari kemiskinan, tetapi tidak semua orang menikmati pencapaian tersebut. Jutaan orang masih miskin, tidak mendapatkan hak-hak dasarnya, dan rentan terhadap risiko yang meningkat karena krisis ekonomi global dan perubahan iklim. Hal ini mengancam terjadinya kemunduran dalam kerangka pembangunan manusia dari dekade sebelumnya. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika perlindungan sosial, yang merujuk pada serangkaian instrumen kebijakan untuk memastikan bahwa semua orang memiliki hak atas jaminan pendapatan dan akses terhadap layanan sosial dasar, masih menjadi prioritas agenda kebijakan kawasan tersebut. Pada sesi ke-67 di bulan Mei 2011, negara anggota Komisi Ekonomi Sosial PBB untuk Asia Pasifik telah mengesahkan sebuah resolusi untuk “memperkuat sistem perlindungan sosial di Asia dan Pasifik”. Landasan Perlindungan Sosial juga merupakan prioritas dalam agenda G20. Pertemuan KTT Kepala Negara G20 pada bulan September 2011 merekomendasikan untuk “Memperkuat perlindungan sosial dengan melaksanakan landasan perlindungan sosial yang disesuaikan untuk setiap negara”. Dalam Pertemuan Regional Asia Pasifik ke-15 di Kyoto, Jepang, pada 4-7 Desember 2011, pemerintah, pekerja, dan pengusaha di Asia Pasifik mengakui bahwa “Membangun LPS yang efektif, yang selaras dengan situasi nasional”, merupakan prioritas kebijakan nasional utama dalam Dekade Pekerjaan yang Layak di Asia Pasifik. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia Berdasarkan Dialog Nasional: Tujuan, proses, dan metodologi 3 3.1. Tujuan Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial menggunakan kerangka LPS untuk menilai situasi jaminan sosial secara keseluruhan (dan tidak hanya pada skema perlindungan sosial nonkontribusi) yang ada saat ini di Indonesia. Dalam dialog nasional dilakukan identifikasi kekurangan dan permasalahan jaminan sosial saat ini, identifikasi langkah-langkah untuk meningkatkan koherensi antar program, mengurangi fragmentasi dan meningkatkan efisiensi melalui mekanisme penargetan yang lebih baik dan bersinergi dengan strategi-strategi lain (penciptaan lapangan kerja, pengembangan keterampilan, dan sebagainya) untuk mengurangi kerentanan kaum miskin, dan identifikasi opsi-opsi prioritas masa depan. Penilaian ini kemudian dilengkapi dengan kegiatan penghitungan biaya (costing) secara cepat untuk memperkirakan biaya yang diperlukan untuk memperluas program yang sudah ada atau untuk membuat program baru. Tujuan utama dari Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial adalah: 1. untuk memicu dialog nasional mengenai perlindungan sosial antara para pemangku kepentingan – kementerian terkait, mitra sosial, LSM, kalangan akademis, dan lembaga-lembaga PBB serta membangun pemahaman bersama mengenai konsep landasan perllindungan sosial dan meningkatkan kapasitas dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan; 2. untuk mengidentifikasi opsi prioritas intervensi pemerintah di bidang perlindungan sosial dan upaya bersama untuk membangun perlindungan sosial Indoneisa yang komprehensif, sistematis dan berbasis hak asasi; 3. untuk mendukung pembuatan kebijakan yang mengarah kepada terbangunnya landasan perlindungan sosial nasional, sembari memastikan bahwa skema perlindungan sosial yang diusulkan berjalan berkelanjutan dan pendanaannya terjangkau; 4. sebagai informasi awal (baseline) yang dapat digunakan untuk memonitor realisasi progresif LPS di masa depan. 3.2. Proses Penilaian untuk memperoleh rekomendasi desain dan pelaksanaan Landasan Perlindungan Sosial bagi semua penduduk dilakukan melalui proses dan metodologi sebagai berikut: Langkah 1 – Pembuatan matriks penilaian - Pengumpulan informasi mengenai sistem dan skema perlindungan sosial yang ada, termasuk strategi dan peraturan-peraturan yang terkait, yang disusun dalam suatu matriks; Langkah 2 – Protokol RAP - Dari rekomendasi yang diajukan, disusun beberapa skenario program yang dapat dihitung perkiraan biayanya untuk periode 2014-2020 dengan menggunakan metode perhitungan Rapid 13 Assessment Protocol (RAP) ILO. Perhitungan tersebut juga menggunakan beberapa asumsi ekonomi. Hasil kegiatan costing tersebut digunakan sebagai dasar untuk diskusi mengenai ruang fiskal, realokasi anggaran pemerintah, dan pembuatan prioritas program-program perlindungan sosial. Gambar 1: Struktur Model RAP MODEL PASAR KERJA KERANGKA KERJA DEMOGRAFI MODEL EKONOMI MAKRO Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia MODEL OPERASI UMUM PEMERINTAH 14 “COSTING” MANFAAT RINGKASAN DAN HASIL Langkah 3 – Finalisasi - Membahas rekomendasi dengan pihak tripartit (pemerintah, pekerja dan pengusaha), untuk memvalidasi rekomendasi dan asumsi serta mempersiapkan tahapan-tahapan selanjutnya seperti antara lain melakukan studi kelayakan untuk desain skema-skema baru atau perluasan skema yang sudah ada, analisa ruang fiskal secara mendalam, pembuatan mekanisme koordinasi, atau langkah lain yang diperlukan. 3.3. Metodologi Penilaian menggunakan berbagai metodologi yang mencakup: 1. Studi literatur atas laporan-laporan sebelumnya, perundang-undangan, data statistik; 2. Konsultasi teknis (tatap muka dan melalui lokakarya atau perorangan) tentang skema-skema yang sudah ada dan status pelaksanaannya; 3. Dialog nasional tentang prioritas kebijakan dan langkah-langkah yang harus diambil; 4. Pengembangan kepasitas mengenai pembuatan dan prioritas kebijakan serta lokakarya dan pelatihan; 5. Pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) teknis dalam organisasi PBB untuk Perlindungan Sosial, bekerjasama dengan berbagai kementerian, badan statistik dan institusi-institusi jaminan sosial; 6. Memvalidasi hasil dari masing-masing tahapan dan dialog nasional. Dalam menyelenggarakan penilaian, serangkaian konsultasi individual dan publik dilaksanakan di tingkat nasional dan provinsi selama Mei sampai November 2011. Di tingkat provinsi, lokakarya diselenggarakan untuk melengkapi matriks penilaian, di Ambon (Maluku), Kupang (NTT-Nusa Tenggara Timur), dan Surabaya (Jawa Timur). Konsultasi ini melibatkan peserta dari kementerian yang terkait program jaminan sosial dan program pengentasan kemiskinan, lembaga penyedia jaminan sosial, dan juga perwakilan dari pekerja dan pengusaha. Temuan awal dari penilaian ini dibahas dan divalidasi dalam lokakarya validasi nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Perwakilan dari pemerintah, organisasi pekerja, dan organisasi pengusaha memperkuat temuan awal dan rekomendasi, termasuk mengenai kebutuhan untuk memiliki sistem perlindungan sosial terpadu, dan membuat percontohan layanan satu atap untuk melaksanakan Landasan Perlindungan Sosial di beberapa daerah. Penilaian ini juga dipresentasikan dalam “Pertemuan Para Ahli tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial” yang mengangkat pelajaran dan praktek-paktek terbaik dalam penerapan Landasan Perlindungan Sosial di berbagai negara di Asia Pasifik, yang diselenggarakan pada tanggal 12-15 Desember 2011 di Jakarta dan di tingkat ASEAN telah dilaksanakan pelatihan mengenai penilaian dan perhitungan pembiayaan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh kantor ILO Asia Pasifik bekerja sama dengan Universitas Chulalongkorn pada tanggal 15-19 Oktober 2012 in Bangkok, Thailand. Aktivitas penguatan kapasitas serikat pekerja juga dilaksanakan di tingkat provinsi. Tujuh puluh (70) pemimpin serikat pekerja dari konfederasi serikat pekerja diundang untuk berpartisipasi pada pelatihan ini. Tujuannya adalah untuk membekali serikat pekerja agar dapat berkontribusi pada proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan reformasi jaminan sosial. Draf laporan penilaian ini dipresentasikan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Bappenas pada tanggal 24 Juli 2012, untuk mendapatkan masukan akhir dan persetujuan dari lembaga-lembaga terkait. Lokakarya dihadiri oleh perwakilan dari kementrian terkait, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), serta beberapa lembaga nonpemerintah (LSM) nasional dan internasional. Proses Penilaian digambarkan dalam diagram di bawah ini. Gambar 2: Proses Kegiatan Dialog Nasional Penilaian atas Perlindungan Sosial di Indonesia 15 16 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Presentasi matriks penilaian: Struktur perlindungan sosial, program yang ada, kekurangan dari sisi kebijakan dan implementasi, rekomendasi 4 Matriks penilaian (assesment matrix) adalah sebuah alat untuk menganalisis sejauh mana perlindungan sosial yang sudah ada dan yang direncanakan berjalan sesuai dengan empat jaminan dalam Kerangka Kerja Landasan Perlindungan Sosial. Matriks ini juga membantu identifikasi prioritas kebijakan untuk melengkapi LPS. Matriks penilaian ini berisi analisis situasi perlindungan sosial, serta identifikasi kekurangan) dalam kebijakan maupun implementasi. Matriks penilaian menunjukkan kekuatan relatif dari sistem perlindungan sosial Indonesia, karena kita lihat bahwa sejumlah perlindungan sosial sudah dapat dinikmati oleh banyak penduduk. Namun demikian, penilaian ini juga mengidentifikasi beberapa perbaikan yang perlu dilakukan. 4.1. Struktur matriks penilaian Tabel 4: Matriks Penilaian Tujuan LPS Perlindungan sosial yang ada Cakupan Perlindungan sosial yang ada Strategi ke depan Lembaga terkait Gap/kekurangan Kebijakan Implementasi Rekomendasi Skenario untuk costing Kesehatan Anak-anak Gambaran strategi perlindungan yang berjalan dan yang direncanakan Usia Produktif Kerangka LPS Lansia dan penyandang disabilitas Identitas kekurangan dalam kebijakan dan implementasi Rekomendasi kebijakan berdasarkan penilaian dan diputuskan melalui dialog Skenario dari rekomendasi yang dapat diperkirakan biayanya 17 4.2. Program-program yang ada saat ini 4.2.1. Layanan kesehatan “semua penduduk memiliki akses terhadap serangkaian layanan kesehatan dasar yang didefinisikan secara nasional” Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Dengan diundangkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2004 dan Badan Penyenglenggara Jaminan Sosial pada tahun 2011, Pemerintah telah membuat komitmen untuk tercapainya asuransi kesehatan secara universal. Peta Jalan (Roadmap) Pencapaian Kepesertaan Menyeluruh (universal coverage) Program Jaminan Kesehatan di Indonesia yang telah disusun menargetkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS I) mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 dan cakupan kepesertaan secara bertahap akan menjangkau seluruh masyarakat (universal coverage) pada tahun 2019. 18 Namun demikian, sebelum SJSN ini benar-benar terlaksana, masih banyak warga Indonesia yang belum menikmati jaminan kesehatan. Meskipun asuransi kesehatan yang ada saat ini sudah banyak meningkatkan jangkauan kepesertaannya, masih ada sekitar 41 persen penduduk yang belum terjangkau asuransi kesehatan. Dari mereka yang memiliki akses terhadap perlindungan kesehatan, 32 persen dari total penduduk adalah peserta Jamkesmas, sebuah skema asuransi kesehatan untuk penduduk miskin dan hampir miskin yang dibiayai oleh pemerintah. Jenis asuransi lainnya yang tersedia saat ini mencakup asuransi kesehatan wajib bagi PNS (pegawai Negeri Sipil), asuransi kesehatan untuk pekerja swasta formal, dan asuransi swasta atau program-program serupa lainnya yang sebagian besar melayani penduduk yang lebih kaya (Bank Dunia, 2011). Asuransi Kesehatan bagi penduduk miskin Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sebelumnya dikenal dengan Askeskin, menyasar penduduk miskin dan hampir miskin. Penentuan penduduk miskin dan hampir miskin tersebut dilakukan melalui Sensus Pendataan Program-program Perlindungan Sosial (PPLS) dengan metode penargetan proxy means-testing. Jamkesmas memberi akses layanan kesehatan gratis di Puskesmas, juga ruang perawatan kelas 3 di rumah sakit pemerintah dan beberapa rumah sakit swasta yang bekerjasama. Skema ini meneruskan program kartu sehat (1998-2001) dan program kompensasi BBM (2001-2005), yang merealokasikan dana anggaran subsidi bahan bakar ke programprogram kesehatan dan bantuan sosial lainnya pada tahun 2005. Anggaran APBN untuk Jamkesmas pada tahun 2012 sebesar Rp 7,3 triliun (atau hampir setara dengan 0,09 persen PDB), yang menargetkan 76,4 juta penerima manfaat (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Pembayaran untuk puskesmas dilakukan berdasarkan sistem fee-for-service claim (Pembiayaan untuk klaim karyawan), menggantikan sistem kapitasi (pembayaran per orang) yang diterapkan sebelumnya. Untuk rumah sakit, sistem pembayaran menggunakan Case Based Group (CBG), menggantikan sistem Diagnosis Related Group (DRG) yang digunakan sebelumnya. Sejak dimulainya program Jamkesmas pada 2005, jangkauan asuransi kesehatan untuk tiga puluh persen kelompok pengeluaran terbawah meningkat dari 16,5 persen pada tahun 2004 menjadi lebih dari 43 persen di tahun 2010 (World Bank, 2011b). Namun demikian, ditambah dengan 4,4 persen warga dari kelompok ini yang memiliki asuransi lain, masih ada 52,6 persen penduduk miskin yang belum memiliki asuransi kesehatan. Di sisi lain, 28 persen dari kelompok pengeluaran menengah dan 11,8 dari kelompok pengeluaran teratas terdata sebagai penerima Jamkesmas (World Bank, 2011b). Program Jamkesmas saat ini belum memiliki paket manfaat yang definitif, dan estimasi biayanya belum didasarkan atas perhitungan aktuaria yang komprehensif. Basis data (Database) yang komprehensif terkait penerima manfaatnya, tingkat insiden, dan tingkat utilisasi dari layanan kesehatan yang disediakan juga belum sempurna. Kurangnya data dan perhitungan aktuaria yang terperinci menyebabkan penerima manfaat tidak tahu paket pelayanan apa saja yang menjadi hak mereka, mungkin ragu atau tidak bisa mengajukan keluhan apabila mereka ditolak untuk mendapatkan layanan. Jamkesda Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, banyak pemerintah daerah memiliki program Jamkesda, program asuransi kesehatan untuk penduduk miskin yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Jamkesda secara khusus menyasar orang-orang yang diidentifikasi oleh pemerintah setempat sebagai orang miskin, namun tidak dijangkau oleh Jamkesmas (karena tidak terdata sebagai orang miskin atau karena mereka baru saja jatuh miskin). Berbeda dengan Jamkesmas yang layanannya berlaku secara nasional, manfaat Jamkesda hanya disediakan melalui layanan kesehatan di provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Tingkat dan jenis perlindungan Jamkesda berbeda-beda di setiap wilayah. Beberapa provinsi mengalokasikan dana pemerintah daerah untuk memperluas jangkauan ke kelompok yang lebih luas (bukan hanya warga miskin), atau bahkan untuk semua penduduk. Program Perawatan Kesehatan Mandara di Provinsi Bali dimulai pada Januari 2010 misalnya, menyediakan akses gratis terhadap perawatan kesehatan untuk semua penduduk. Pengumpulan dana dilakukan di tingkat provinsi. Perawatan terkait HIV/AIDS sampai sekarang masih belum masuk dalam paket manfaat (Dinas Provinsi Bali, 2011). Sumatera Selatan dan Aceh juga telah melaksanakan skema perlindungan kesehatan sosial nonkontribusi yang menjangkau semua penduduk yang belum dijangkau (ekonomi informal, baik miskin dan tidak miskin). Di Sumatera Selatan, dana di-pooling di tingkat kabupaten/kota (yang membatasi wilayah manfaat). Di Aceh, pelaksanaan skema universal telah dikelola oleh PT Askes. Program Asuransi Kesehatan Sosial (Jamkesos) Yogyakarta saat ini menyediakan akses gratis untuk perawatan kesehatan hanya bagi penduduk miskin, namun direncanakan untuk diperluas jangkauannya kepada pekerja ekonomi formal dan informal yang tidak dicakup oleh asuransi kesehatan. Untuk kelompok ini, pola kontribusi yang berbeda akan diterapkan (Kantor Kesehatan Provinsi Yogyakarta, 2011). Menurut Kementerian Kesehatan, total jangkauan program asuransi provinsi dan kab/kota adalah sekitar 13,5 persen dari total penduduk Indonesia. Berbagai program ini, dengan tingkat yang berbeda, ditemukan di hampir semua provinsi dengan pengecualian Provinsi Gorontalo, Papua, dan Papua Barat (Pusat Pembiayaan Kesehatan dan Asuransi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, data 2010). Meskipun program Jamkesda dirancang untuk menutupi kekurangan cakupan Jamkesmas, metode penargetan dan data yang digunakan biasanya berbeda dengan yang digunakan Jamkesmas. Beberapa daerah melaporkan adanya tumpang tindih antara penerima manfaat Jamkesmas dan Jamkesda, dan crosscheck data peserta sering kali sulit dilakukan. Asuransi Kesehatan untuk PNS dan Anggota TNI/Polri Pegawai negeri sipil aktif, pensiunan PNS, pensiunan TNI dan Polri, veteran, dan perintis kemerdekaan nasional serta tanggungannya memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT Askes. Jumlah anggota Askes pada tahun 2011 adalah 16.482.331 orang (sekitar 7 persen dari penduduk), termasuk pegawai negeri sipil aktif dan tanggungannya (total 11.661.743 penerima manfaat), pensiunan PNS dan tanggungannya (3.042.573 penerima manfaat), pensiunan TNI/Polri dan tanggungannya (1.148.666 penerima manfaat), veteran dan tanggungannya (582.790 penerima manfaat), dokter & bidan PTT dengan tanggungannya (41.313 penerima manfaat), serta Menteri dan pejabat tertentu dengan tanggungannya (5.246 penerima manfaat) (laporan tahunan PT Askes, 2011). Peserta menerima manfaat melalui mekanisme layanan kesehatan yang terstruktur yang tersedia di seluruh Indonesia. Iuran ditanggung bersama antara pegawai negeri dan Pemerintah dalam perannya sebagai pemberi kerja. Pegawai negeri membayar kontribusi 2 persen dari gaji dan Pemerintah membayar dalam jumlah yang sama. Pada 2009, total premi berjumlah Rp 9,2 triliun. Anggota TNI dan Polri yang masih aktif mendapat perawatan kesehatan sendiri dan memiliki rumah sakit khusus. Kesehatan untuk Pekerja PT Jamsostek, badan usaha milik negara yang ditugasi mengelola dana asuransi sosial bagi sektor swasta, menyediakan asuransi kesehatan (khususnya untuk pekerja formal). Pengusaha dapat memilih untuk tidak menggunakan asuransi kesehatan Jamsostek dengan syarat ia menyediakan manfaat/perlindungan yang lebih 19 tinggi melalui skema-skema lain kepada karyawannya. Beberapa pengusaha memilih untuk memakai asuransi swasta, beberapa memiliki layanan kesehatan sendiri. Namun demikian, masih banyak perusahaan yang menghindar dan tidak memberikan perlindungan kesehatan bagi para pekerja mereka. Menurut laporan tahunan 2011 Jamsostek, peserta aktif dari program Jaminan Perawatan Kesehatan (JPK) berjumlah 2.567.671 pekerja (sekitar 6 persen dari pekerja sektor formal, atau 2 persen dari total angkatan kerja), atau 5.884.528 total penerima manfaat (sekitar 2 persen dari penduduk). Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Menurut basis data (database) Kementerian Kesehatan, jumlah total peserta asuransi kesehatan Jamsostek dan asuransi kesehatan lain yang disediakan oleh pengusaha berjumlah 6 persen dari penduduk. Angka ini sangat kecil mengingat proporsinya hanya sepertiga dari angkatan kerja di sektor formal. Ini memperlihatkan masih lemahnya penegakkan Undang-undang Jaminan Sosial Pekerja. 20 Iuran asuransi kesehatan PT Jamsostek adalah 6 persen dari gaji untuk pekerja yang memiliki tanggungan (hingga 4 anggota keluarga) dan 3 persen dari gaji untuk pekerja yang tidak memiliki tanggungan. Sampai tahun 2011, beberapa perawatan/tindakan berbiaya besar seperti operasi jantung, cuci darah, pengobatan kanker dan pengobatan HIV/AIDS tidak termasuk dalam jaminan. Pada akhir tahun 2011, dengan diberlakukannya Keputusan Direktur No. Kep/310/102011, Jamsostek meningkatkan paket manfaat perawatan kesehatan (menyertakan operasi jantung, cuci darah dan pengobatan HIV/AIDS), seiring dengan meningkatkan kontribusi rata-rata dengan meningkatkan plafon gaji untuk kontribusi dari Rp 1 juta menjadi Rp 3 juta. Perawatan-perawatan yang disebutkan di atas masih belum dijamin oleh kebanyakan asuransi swasta. Jaminan Persalinan Jampersal (Jaminan Persalinan) adalah sebuah program yang dimulai pada awal 2011, yang menjamin perawatan persalinan gratis, termasuk pemeriksaan prapersalinan dan pasca persalinan, yang dapat dimanfaatkan oleh ibu hamil. Pemeriksaan dan persalinan disediakan di Puskesmas atau ruang perawatan kelas 3 di rumah sakit. Anggaran untuk tahun 2011 dialokasikan sebesar Rp 1,2 triliun, menyasar 2,6 juta persalinan atau 60 persen dari total estimasi persalinan (4,8 juta). Skema tersebut menggunakan mekanisme pembayaran langsung ke fasilitas kesehatan (sehingga pasien tidak membayar apapun). Total paket biaya persalinan normal adalah Rp 420.000, termasuk Rp 350.000 untuk persalinan, Rp 40.000 untuk 4 layanan pra persalinan dan 3 layanan pasca persalinan. Kasus-kasus persalinan dilakukan di rumah sakit rujukan dan klaim biayanya ditentukan oleh Indonesia Case Base Group (INA-CBGs). Program uji coba Jamsostek untuk pekerja ekonomi Informal Program ujicoba Jamsostek untuk pekerja sektor informal, diluncurkan pada 2006, memiliki empat skema termasuk di antaranya skema jaminan kesehatan. Jumlah total peserta sampai tahun 2011 sebanyak 400.000 orang, tetapi keanggotaannya selalu berubah, karena peserta seringkali masuk dan keluar dari program tersebut kapan saja. Program ini mensasar pekerja ekonomi informal yang berpenghasilan setara upah minimum provinsi (UMP) atau lebih (sekitar Rp 1.000.000/per bulan, tapi bervariasi tergantung provinsi). Iuran untuk jaminan kesehatan adalah 3 persen dari pendapatan untuk pekerja tanpa tanggungan dan 6 persen dari pendapatan untuk pekerja dengan tanggungan. “Pendapatan” tersebut ditentukan berdasarkan standar UMP. Tabel Rangkuman Tabel 5: Rangkuman program-program jaminan kesehatan Skema atau program Kontribusi atau pendanaan Jumlah orang yang dicakup PT Jamsostek -Program Jaminan Perawatan Kesehatan (JPK) Pekerja dengan tanggungannya (total maksimum 5 anggota keluarga) Pengusaha: 6 persen dari upah Pekerja tanpa tanggungan Pengusaha: 3 persen dari upah 2.180.825 kontributor pada 2010 (5,7% dari pekerja sektor formal, atau 1,8% dari total angkatan kerja) 5.044.375 penerima manfaat (2,1% dari total penduduk) PT Askes Pekerja (PNS): 2 persen dari gaji Pemberi Kerja (Pemerintah): 2 persen dari gaji 16.559.025 penerima manfaat pada tahun 2010 (7 persen dari total penduduk) Jamkesmas Anggaran Pemerintah Pusat Rp 5,1 triliun pada 2010 0,07 persen dari PDB 20 persen dari anggaran kesehatan Pemerintah pusat 76,4 juta penerima manfaat (32 persen dari total penduduk) Jampersal Anggaran Pemerintah Pusat Rp 1,2 triliun pada 2011 0,017 persen dari PDB Target di 2011: 2,6 juta persalinan atau 60 persen dari total estimasi persalinan (4,8 juta) Jamsostek (program percontohan) Pekerja dengan tanggungan (total maks. 5 anggota keluarga) Pekerja: 6 persen dari upah < 400.000 orang (Anggota dapat memilih salah satu sampai dengan empat skema program percontohan) Pekerja tanpa tanggungan Pekerja: 3 persen dari upah (“upah” ditentukan setara dengan upah minimum Rp 1 juta/bulan) 21 4.2.3. Anak-anak “Semua anak harus menikmati jaminan penghidupan untuk memastikan akses terhadap nutrisi, pendidikan dan perawatan/pengasuhan”. 4.2.3.1. Program pendidikan (BOS dan beasiswa untuk siswa miskin) Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Program-program bantuan sosial Pemerintah dalam bidang pendidikan mencakup di antaranya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin dan program pembangunan serta rehabilitasi sekolah. Sesuai dengan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan anggaran pendidikan setidaknya sebesar 20 persen dari total anggaran belanja negara, pengeluaran untuk pendidikan pada tahun 2012 dianggarkan sebasar Rp 308 triliun (Nota Keuangan dan APBN-P 2012) dan pada tahun 2013 diperkirakan sebesar Rp 331,8 triliun (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). 22 Bantuan operasional sekolah (BOS) adalah komponen utama dari program bantuan sosial Pemerintah di bidang pendidikan. Pemerintah memberikan block grant ke sekolah dengan tujuan untuk menyediakan pendidikan dasar (dari kelas 1 sampai kelas 9) secara cuma-cuma dan memastikan bahwa semua pelajar bisa mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas. Alokasi anggaran untuk program BOS dalam lima tahun terakhir telah meningkat dari Rp 4,8 triliun pada 2005 menjadi Rp 23,6 triliun pada 2012. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah penerima manfaat dan juga jumlah bantuan per kapita. Program tersebut menjangkau 34,5 juta siswa pada 2005, 41,9 juta siswa pada tahun 2008, dan 44,7 juta siswa pada tahun 2012. Dana bantuan per kapita yang diterima sekolah dasar (SD) adalah Rp 235.000 per siswa per tahun pada 2005 dan Rp 254.000 per siswa per tahun pada 2008. Pada tingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP), bantuan yang diberikan meningkat dari Rp 324.500 per siswa per tahun pada 2005 menjadi Rp 354.000 per siswa per tahun pada 2008. Sejak 2010, program tersebut membedakan jumlah dana bantuan per kapita untuk siswa di perkotaan dan pedesaan. Alokasi untuk sekolah-sekolah di perkotaan berjumlah Rp 400.000 per siswa per tahun untuk siswa sekolah dasar (SD) dan Rp 575.000 per siswa per tahun untuk siswa sekolah menengah pertama (SMP) sedangkan untuk sekolah-sekolah di pedesaan menerima dana bantuan sebesar Rp 397.000 per siswa per tahun untuk tingkat SD dan Rp 570.000 per tahun untuk siswa sekolah menengah pertama. Subsidi untuk Siswa Miskin (SSM) Program Subsidi Siswa Miskin merupakan kelanjutan dari program yang sebelumnya dinamai Beasiswa untuk Siswa Miskin (BSM). Program ini menargetkan pelajar miskin dari tingkat dasar hingga universitas. Saat diluncurkan pada 2008, program tersebut memiliki anggaran Rp 2,2 triliun dan menjangkau 2,7 juta siswa. Pada 2012, anggaran yang dialokasikan untuk program ini adalah Rp 5,9 triliun, dan jangkauannya lebih luas, sekitar 6,3 juta siswa (APBN-P 2012). Uang untuk siswa ditransfer langsung dari kementrian ke siswa yang bersangkutan, biasanya melalui layanan pos. Penargetan program BSM masih kurang jelas. Jumlah penerima manfaat didasarkan atas ketersediaan dana yang diterima provinsi dari Kementerian Pendidikan, dan seleksi penerima manfaat seringkali diserahkan pada dinas pendidikan daerah atau kepala sekolah. Di tingkat nasional, ada kesepakatan bahwa beasiswa harus diprioritaskan untuk siswa yang keluarganya merupakan penerima Program Keluarga Harapan (PKH) karena mereka dari keluarga sangat miskin. Meskipun demikian, pada prakteknya sekolah atau dinas pendidikan daerah mungkin memiliki pertimbangan lain, seperti pemerataan bantuan kepada siswa miskin yang belum mendapatkan bantuan dari program PKH. Program BSM tidak mengikuti siswa penerimanya. Artinya siswa yang menerima beasiswa sewaktu di bangku SD mungkin tidak lagi menerima bantuan ketika ia masuk SMP, meskipun keadaan ekonominya tetap sama. Bahkan juga ditemukan (di NTT) bahwa di sekolah yang sama penerima dapat berubah-ubah. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode penargetan perlu diperjelas dan database penerima perlu diperbaiki. Sebagian pemerintah provinsi atau kabupaten memiliki program pendidikan yang bertujuan untuk melengkapi program BOS dan beasiswa. Di Maluku, misalnya, pemerintah provinsi memperluas jangkauan program BOS ke sekolah menengah atas (untuk siswa usia 15-18 tahun). Diskusi-diskusi yang berlangsung di Maluku selama proses Penilaian mengarah pada rekomendasi untuk juga membuat program beasiswa dengan menggunakan anggaran provinsi, untuk melengkapi program beasiswa nasional. Pemerintah provinsi Jawa Timur memperluas program BOS ke pondok-pondok pesantren yang saat ini tidak menjadi bagian dari program BOS pemerintah pusat. 4.2.3.2. Program Bantuan Tunai Bersyarat Program Keluarga Harapan (PKH) Program Keluarga Harapan utamanya dirancang untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan bayi serta pendidikan dasar bagi rumah tangga miskin. Dalam Penilaian ini, PKH ditempatkan di bawah judul jaminan pendapatan untuk anak, karena anak-anak merupakan kelompok yang paling banyak menerima manfaat dari program ini, baik dalam hal jumlah bantuan maupun lamanya pemberian bantuan. Namun demikian, kita dapat melihat bahwa program ini juga memberikan jaminan pendapatan bagi perempuan di usia produktif pada saat kehamilan dan persalinan. Saat pertama diperkenalkan pada tahun 2007, program ini merupakan proyek percontohan di tujuh provinsi. Pada tahun 2012, PKH telah menjangkau 1,5 juta rumah tangga sangat miskin di 1.462 Kabupaten/Kota pada 33 provinsi, dengan alokasi anggaran Rp 1,8 triliun. Program ini ditargetkan menjangkau 3 juta rumah tangga sangat miskin pada tahun 2014 (RKP 2013, APBN 2012). Saat ini, prioritas diberikan pada daerah-daerah miskin (daerah dengan jumlah rumah tangga sangat miskin yang tinggi, tetapi terdapat fasilitas perawatan kesehatan dan pendidikan). Wilayah yang saat ini disasar oleh PKH merupakan wilayah yang dianggap memiliki pelayanan sosial (kesehatan dan pendidikan) yang relatif memadai. Namun tantangan besar akan dihadapi ketika memperluas jangkauan ke wilayah baru, terutama yang terletak di Indonesia Timur, mengingat layanan kesehatan dan pendidikan masih terbatas dan perlu perbaikan. Penerima manfaat terdiri atas rumah tangga yang memiliki anak usia kurang dari 15 tahun (atau 15-18 tahun, apabila belum menyelesaikan kelas 9) dan/atau perempuan hamil atau menyusui. Jumlah yang diterima bervariasi berdasarkan struktur keluarga dan kepatuhan mereka dalam persyaratan pendidikan dan kesehatan. Setiap rumah tangga menerima antara Rp 600.000 hingga Rp 2.200.000 per tahun. Syarat-syarat pemberian bantuan ini di antaranya: (1) anak bersekolah dan hadir paling tidak 85 persen hari sekolah; (2) ibu hamil/menyusui dan bayi 0-6 tahun secara teratur mengunjungi fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan. Tabel 6: Manfaat program PKH Skema Manfaat Manfaat per Rumah Tangga (Rp per tahun) Manfaat Tetap 200 000 Anak di bawah usia 6 tahun, ibu hamil/menyusui 800 000 Anak di sekolah dasar 400 000 Anak di sekolah menengah pertama 800 000 Rata-rata manfaat per rumah tangga miskin 1 390 000 Manfaat minimum per rumah tangga miskin 600 000 Manfaat maksimum per rumah tangga miskin Sumber: Kementerian Sosial, 2010 2 200 000 23 Sebuah studi oleh Febriany, Toyamah dan Sodo (2010) memperlihatkan bahwa PKH telah memotivasi rumah tangga perdesaan untuk mempertahankan anak-anak di sekolah dan berkontribusi untuk meningkatkan tingkat partisipasi sekolah. Untuk ibu hamil dan menyusui, pemberian bantuan tunai yang disertai keharusan untuk memeriksa kesehatan juga telah meningkatkan tingkat pemeriksaan kehamilan dan bayi. Tetapi, studi tersebut mengungkapkan bahwa dampak program PKH masih terhambat oleh keterbatasan ketersediaan pelayanan kesehatan. Studi dampak Bank Dunia (2011) menunjukkan terjadinya “spill-over effect” terhadap tetangga para peserta yang tidak menerima bantuan tunai melalui peningkatan kunjungan ke puskesmas dan pola hidup yang lebih sehat. Hal ini terjadi melalui peranan yang kuat dari pendamping PKH dalam memotivasi masyarakat. Studi juga menemukan adanya perbaikan kesejahteran rumah tangga penerima antara lain dengan meningkatnya pengeluaran sebesar rata-rata Rp. 190.000 per orang atau sebesar 10 persen lebih tinggi dari saat sebelum masuk program. Peserta umumnya menggunakannya untuk membeli makanan yang lebih bergizi, dan pemeliharaan kesehatan. Tidak ada bukti peserta menggunakannya untuk barang non produktif seperti rokok dan alkohol. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Program Pengurangan Pekerja Anak untuk Mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) 24 Program PPA-PKH bertujuan untuk mengurangi jumlah pekerja anak di antara rumahtangga target PKH. Anak-anak dari keluarga target PKH yang bekerja dan tidak lagi sekolah akan difasiliasi transisinya untuk kembali ke sekolah. Anak-anak ini ditempatkan di shelter/pusat pelatihan di mana mereka diberi pelatihan akademis dan motivasi selama satu bulan, dan diikuti dengan pendampingan di luar shelter oleh petugas sosial, untuk mempersiapkan mereka kembali ke sekolah. Program ini dijalankan oleh Kemenakertrans dan berkoordinasi dengan Kemendiknas, Kemenkes, Kemenag, serta Kemensos yang terlibat dalam program PKH. Program ini dimulai pada tahun 2008, dengan menyasar 4.853 anak di 48 kabupaten di 7 provinsi. Di tahun pertama pencapaian jumlah anak yang kembali ke sekolah (return to school rate) baru mencapai 32%. Jumlah sasaran di tahun 2010 adalah 3.000 anak di 50 Kabupaten di 13 provinsi, dan 74% berhasil dikembalikan ke sekolah (Kemenakertrans, 2012). Di tahun 2012 jumlah sasaran meningkat menjadi 10.750 anak di 84 kabupaten di 21 provinsi. Hingga saat ini, belum ada evaluasi terkait pelaksanaan program ini. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah bantuan tunai bersyarat khusus bagi anak-anak dengan masalah sosial. Program ini menargetkan lima kelompok anak: balita telantar atau balita dengan kebutuhan khusus, anak telantar (6-18 tahun), anak jalanan (6-18 tahun), anak yang bermasalah dengan hukum (6-16 tahun) dan anak penyandang disabilitas (0-18 tahun) (Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005). Program ini menyediakan rekening tabungan (Rp 1,8 juta/tahun pada 2011) yang dapat dicairkan untuk keperluan apapun, dengan persetujuan dari pekerja sosial yang ditugaskan. Persyaratan yang berlaku berbeda-beda untuk masing-masing kelompok sasaran (tetap sekolah, berhenti bekerja di jalan, tidak melakukan tindakan kriminal dan seterusnya). Total anggaran untuk 2011 adalah Rp 287,1 miliar. Tabel 7. Jumlah sasaran PKSA dibanding estimasi jumlah anak yang membutuhkan Jumlah sasaran program (Berdasarkan Perpres No. 3/2010) 142.530 anak terlantar 6.925 Balita terlantar 4.200 anak jalanan 930 anak yang berhadapan dengan hukum 1.750 anak dengan disabilitas Estimasi jumlah anak yang membutuhkan program PKSA (Pedoman Operasional PKSA, 2010) 230.000 anak jalanan Lebih dari 10.000 anak yang berhadapan dengan hukum 46.000 anak dengan disabilitas 180.000 anak korban kekerasan Instruksi Presiden No. 3/2010 menetapkan target jumlah penerima manfaat pada 2011 mencakup 6.925 balita telantar/berkebutuhan khusus, 142.530 anak telantar, 4.200 anak jalanan, 930 anak dengan masalah kriminal dan 1.750 anak penyandang disabilitas. Pusat informasi Kementerian Sosial memberikan estimasi jumlah anak yang membutuhkan program tersebut sebanyak: 230.000 anak jalanan, lebih dari 10.000 anak yang menghadapi dakwaan pidana, 46.000 anak penyandang disabilitas berat dan lebih dari 180.000 anak korban kekerasan (Pedoman Operasional PKSA, 2010). Jumlah capaian sasaran PKSA secara kumulatif selama 2010-2012 sebanyak 446.706 anak, yang terdiri dari 15.790 anak dan balita telantar, 408.051 anak telantar, 5.010 anak disabilitas, 12.715 anak jalanan, 1.930 anak yang berhadapan dengan hukum, dan 3.210 anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Melihat angka tersebut, program ini baru menjangkau sebagian kecil dari jumlah anak yang membutuhkan. Selain itu, program ini juga menghadapi tantangan kurangnya data mengenai anak-anak dengan karakteristik yang menjadi target program sehingga menghambat pengawasan yang efektif (Puska UI dan Bank Dunia, 2011). 4.2.3.3. Program Makanan Pokok (Subsidi beras untuk masyarakat miskin -- Raskin) Pada akhir dekade 1990-an, penduduk miskin, yang rata-rata seperempat penghasilannya digunakan untuk konsumsi beras, adalah kelompok yang paling terkena dampak naiknya harga beras selama krisis (Smeru, 2010). Krisis tersebut mengakibatkan menurunnya konsusmsi beras dan menurunnya status kesehatan anak (Bank Dunia, 2006). Untuk dapat mempertahankan tingkat konsumsi makanan keluarga, sebagian anak keluar dari sekolah dan bekerja (Smeru, 2010). Untuk melindungi konsumsi makanan pokok, mulai tahun 1998 pemerintah memperkenalkan program beras subsidi yang menyediakan 1,05 juta ton beras pada tahun fiskal tersebut. Meskipun program ini menargetkan unit rumah tangga, kami memilih untuk memasukkannya di bawah jaminan pendapatan untuk anak, mengingat anak dilihat sebagai penerima manfaat utama dari program ini. Pada 2002, nama program tersebut diubah menjadi Beras untuk Orang Miskin – Raskin. Pada 2012, anggaran Rp 15,7 triliun dialokasikan untuk mensubsidi 3,41 juta ton beras, guna didistribusikan kepada 17,5 juta rumah tangga (APBN-P, 2012). Sebuah studi oleh Sumarto, Suryahadi & Widiyanti (2005) melaporkan bahwa kepesertaan dalam program beras subsidi meningkatkan konsumsi rumah tangga sebanyak 4,4 persen dan hasilnya adalah bahwa rumah tangga penerima berkurang kemungkinannya untuk menjadi miskin sebanyak 3,83 persen dibanding dengan rumah tangga serupa yang tidak menerima. Meskipun demikian, beberapa evaluasi yang telah dilakukan terhadap pelaksanaan Raskin mengemukakan bahwa program tersebut menghadapi persoalan dalam hal penargetan dan efisiensi. Hastuti et al (2009), misalnya menemukan “banyak masalah muncul saat pendistribusian beras dari titik distribusi utama ke penerima manfaat” dan ada masalah “kurangnya informasi dan transparansi; penargetan, jumlah dan frekuensi dari beras yang diterima serta harga beras sering tidak jelas; pengelolaan program berbiaya tinggi, monitoring dan evaluasi tidak efektif; dan mekanisme penanganan keluhan yang tidak efektif”. 4.2.3.4. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah Kementerian Pendidikan, berkoordinasi dengan enam kementerian lain, meluncurkan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah pada tahun 2010. Program ini menyediakan makanan tambahan bagi anak TK dan SD di 27 kabupaten/kota yang tertinggal dan terisolir. Pada 2011, program menargetkan sekitar 1,4 juta siswa TK/SD di bawah Kementerian Pendidikan serta Madrasah Ibtidaiyah (RA) dan Madrasah Aliyah (MI) di bawah Kementerian Agama. Para pelajar menerima tiga kali makan setiap minggu. Anggaran dialokasikan sebesar Rp 250 miliar. Estimasi biaya dari satu kali makan adalah Rp 2.600 di Indonesia bagian Timur dan Rp 2.250 di bagian Barat. Program ini memprioritaskan pemberian makanan lokal. 25 4.2.3.5. Imunisasi Dasar untuk Balita Imunisasi Dasar disediakan secara gratis kepada balita. Imunisasi terdiri dari BCG, DPT1-3, HepB3, Polio dan Campak. Cakupan di beberapa wilayah masih terhambat oleh kurangnya akses maupun kurangnya kesadaran masyarakat. Estimasi oleh UNICEF dan WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jangkauan vaksinasi adalah 82 persen untuk BCG, 86 persen untuk DPT1 dan 63 persen DPT3, 63 persen untuk HepB3, 70 persen untuk Polio3, and 89 persen untuk Campak (WHO dan Unicef, 2012). Estimasi WHO tersebut menunjukan cakupan imunisasi di atas selama sepuluh tahun terakhir umumnya menunjukkan tren yang cukup stabil, dengan sedikit variasi dari tahun ke tahun. Grafik estimasi untuk Campak menunjukkan kenaikan yang relatif lebih tinggi, sementara DPT3 menunjukkan penurunan sejak tahun 2006.8 4.3.3.6. Tabel Rangkuman Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Table 8: Rangkuman program jaminan sosial untuk anak-anak Skema atau program Kontribusi atau pendanaan Jumlah orang yang dicakup Bantuan Operasional Sekolah (BOS) APBN Rp 23,6 triliun tahun 2012 0,3 persen dari PDB (2012) 44,7 juta pelajar pada tahun 2012 Beasiswa untuk siswa miskin (BSM) APBN Rp 5,9 triliun tahun 2012 0,07 persen dari PDB (2012) 6,3 juta siswa pada tahun 2012 Program Keluarga Harapan (PKH) APBN Rp 1,8 triliun. Tahun 2012 0,02 persen dari PDB (2012) 1,5 juta rumah tangga sangat miskin tahun 2012 Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) Rp 287 miliar tahun 2011 0,004 persen dari PDB (2011) 156,335 anak pada tahun 2011 Beras untuk Orang Miskin (Raskin) APBN RP 15,7 triliun tahun 2012 0,2 persen dari PDB (2012) 17,5 juta rumah tangga tahun 2012 Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) APBN RP 250 miliar tahun 2011 0,003 persen dari PDB (2011) 1.4 juta siswa pada tahun 2011 Imunisasi dasar untuk Balita APBN BCG: 82%; DPT1: 86%; DPT3: 63%, HepB3: 63%; Polio3: 70%; Campak: 89% (tahun 2011) 26 8 Laporaan tersedia di http://apps.who.int/immunization_monitoring/en/globalsummary/timeseries/ tswucoveragebycountry.cfm?country=IDN dan diperbarui secara berkala. 4.2.3. Penduduk usia kerja “Penduduk usia kerja yang tidak bisa memperoleh pendapatan yang memadai dalam pasar kerja (karena menganggur, pekerjaan kurang, maupun dalam kondisi sakit atau hamil) menikmati jaminan pendapatan minimum melalui bantuan maupun melalui program-program ketenagakerjaan’ 4.2.3.1. Jaminan pendapatan jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) Menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, semua karyawan sektor swasta yang telah menyelesaikan masa percobaan empat bulan berhak mendapatkan pesangon. Pada saat dilakukan PHK, terlepas apapun alasannya, pengusaha wajib memberikan pesangon dan uang penghargaan masa kerja dalam bentuk lump sum. Jumlah uang pesangon berbeda-beda, tergantung masa kerja. Menurut UU ketenagakerjaan, jumlahnya adalah 1 bulan gaji untuk masa kerja kurang dari 1 tahun, 2 bulan gaji untuk masa kerja antara 1 dan 2 tahun, 3 bulan gaji untuk masa kerja 2 sampai 3 tahun, dan seterusnya sampai maksimal 8 tahun masa kerja. Karyawan yang sudah bekerja lebih dari 8 tahun akan menerima pesangon 9 bulan gaji. 4.2.3.2. Jaminan pendapatan jika sakit atau hamil Menurut UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib membayar gaji penuh kepada karyawannya dalam hal mereka absen karena sakit. Karyawan tidak dapat dipecat karena sakit kecuali kalau hari tidak masuknya sudah melebihi 12 bulan. Karyawan perempuan harus diberikan 3 bulan cuti dengan bayaran pada saat hamil/melahirkan. Program Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial) adalah program Kementerian Sosial berupa skema penggantian pendapatan untuk pekerja sektor informal, yang dikelola melalui yayasan lokal selama 3 tahun. Dengan membayar iuran RP 5.000 per bulan, program ini menyediakan bantuan tunai kepada anggotanya pada saat sakit, mengalami kecelakaan kerja atau meninggal. Jika sakit, pekerja menerima Rp 300.000, tetapi dibatasi klaim per manfaat per tahun. Sampai saat ini jangkauan wilayah Askesos maupun jumlah pesertanya masih terbatas. Saat ini tengah dikembangkan inisiatif baru untuk mentransformasi Askesos agar lebih sejalan dengan prinsipprinsip asuransi sosial sesuai dengan peraturan perundangan mengenai jaminan sosial. Inisiatif tersebut saat ini tengah dalam percobaan dan pelaksanaannya bekerjasama dengan PT Jamsostek. 4.2.3.3. Kecelakaan kerja Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Jamsostek untuk Pekerja Formal Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program jaminan sosial pekerja, semua karyawan sektor swasta formal wajib menjadi peserta program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek. Asuransi kecelakaan kerja mencakup kecelakaan di tempat kerja, penyakit yang disebabkan karena pekerjaan, dan kecelakaan yang terjadi pada saat melakukan perjalanan dari dan ke tempat kerja melalui rute yang biasa. Kontribusi dibayar penuh oleh pengusaha dan jumlahnya beragam mulai dari 0,24 hingga 1,74 persen dari gaji, tergantung pada tingkat risiko bidang pekerjaan. Jamsostek untuk Pekerja Konstruksi Jamsostek menyediakan paket khusus untuk pekerja konstruksi yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Berdasarkan Keputusan Menakertrans No. 196/1999, semua kontraktor atau subkontraktor yang melakukan pekerjaan konstruksi harus mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program khusus Jamsostek untuk Pekerja Konstruksi. Para pekerja mendapat perlindungan selama periode kontrak kerja mereka berlaku. Di tahun 2010, 4.330.383 pekerja konstruksi terdaftar dalam program ini. Program Ujicoba Jamsostek untuk Pekerja di Luar Hubungan Kerja (Jamsostek LHK) Salah satu skema yang disediakan dalam program percontohan Jamsostek untuk pekerja informal dilakukan adalah jaminan kecelakaan kerja. Kontribusi untuk jaminan kecelakaan kerja ditetapkan 1 persen dari pendapatan (“pendapatan” ditetapkan dengan upah minimum Rp 1 juta/bulan). 27 Askesos Dalam pelaksanaan program Askesos tahun 2012, peserta menerima manfaat berupa asuransi kecelakaan maksimum Rp. 20 juta, penggantian gigi palsu Rp. 2 juta, cacat sebagian 70% x 80 bulan gaji dan santunan Rp. 200 ribu x 24 bulan. Untuk itu, pemerintah membayarkan iuran. Ke Jamsostek sebesar Rp. 10.400/orang/bulan. Pendaftaran dan pengelolaan administrasinya di lakukan oleh Lembaga Pelaksana Askesos (LPA/organisasi sosial) yang mendapatkan biaya operasional 12,5% dari total premi peserta yang diterima Jamsostek. 4.2.3.4. Jaminan Kematian Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Jaminan Kematian (JK) Jamsostek untuk Pekerja Formal 28 Jaminan kematian merupakan salah satu program Jamsostek yang wajib diikuti oleh seluruh karyawan sektor swasta (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang program jaminan sosial pekerja). Jika terjadi kematian saat aktif bekerja (karena sebab apapun), keluarga yang menjadi tanggungan pekerja yang meninggal dunia menerima manfaat yang terdiri dari Rp. 10 juta santunan tunai dalam bentuk lump sum, santunan biaya penguburan Rp. 2 juta dan santunan tunai Rp. 200.000 per bulan selama 24 bulan. Kontribusi untuk jaminan kematian sebesar 0,3 persen dari gaji ditanggung oleh pengusaha. Askesos untuk Pekerja Informal Program Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial) untuk pekerja sektor informal menyediakan santunan kematian sebesar Rp. 14 juta, biaya pemakaman Rp. 2 juta, dan santunan berkala Rp.200 ribu x 24 bulan, yang dibayarkan melalui Jamsostek. Jamsostek di Luar Hubungan Kerja (LHK) Program percontohan Jamsostek untuk pekerja ekonomi informal juga mencakup jaminan kematian. Program tersebut menyasar pekerja ekonomi informal yang berpenghasilan paling tidak upah minimum (sekitar Rp. 1.000.000, tetapi berbeda-beda tergantung provinsinya). Kontribusi untuk jaminan kematian ditetapkan 0,3 persen dari upah minimum. 4.2.3.5. Skema Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Dalam SJSN yang akan berlaku (Berdasarkan UU No. 40/2004 & UU No. 24/2011) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, undang-undang mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU No 24/2011), sebagai bagian dari pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang akan datang, mengatur bahwa jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian akan diberlakukan untuk semua pekerja, baik yang di sektor formal maupun informal. Skema jaminan tersebut nantinya akan menjadi bagian dari Jaminan sosial Ketenagakerjaan yang menjadi domain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). BPJS Ketenagakerjaan ditargetkan mulai beroperasi pada Juli 2015. Berdasarkan pengalaman program yang telah berjalan (khususnya Jamsostek LHK dan Askesos), kita dapat mengantisipasi bahwa memperluas cakupan jaminan sosial kepada pekerja informal melalui skema iuran penuh akan sulit dilakukan. 4.2.3.6. Jaminan pendapatan untuk penduduk usia kerja yang tidak bekerja atau tidak cukup bekerja: pemberdayaan masyarakat, pelatihan kerja, program usaha kecil Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Indonesia memiliki pengalaman cukup panjang dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Mulai tahun 2007, berbagai program pemberdayaan masyarakat diharmonisasi melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Melalui bantuan stimulan dan fasilitasi, masyarakat dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan dan melaksanakannya sehingga dapat tercipta kesempatan kerja di wilayah tersebut. PNPM saat ini terdiri atas dua sub program: PNPM inti dan PNPM Penguatan. PNPM inti adalah program pemberdayaan masyarakat berdasarkan jenis wilayah, termasuk di dalamnya adalah PNPM-Pedesaan, PNPM-Perkotaan, PNPM untuk Daerah tertinggal dan Daerah Khusus, PNPM-Infrastruktur Pedesaan, dan PNPM-Infrastruktur Sosial dan Ekonomi. Sedangkan PNPM Penguatan adalah program pemberdayaan masyarakat terkait pencapaian sektor tertentu, seperti PNPM-Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan, PNPM Perikanan dan Kelautan, dan PNPM Pariwisata. Pada tahun 2012, alokasi anggaran untuk PNPM sebesar Rp 13,4 triliun. Dari jumlah tersebut, alokasi PNPM Pedesaan sebesar Rp 10 triliun untuk didistribusikan ke 6.622 kecamatan. Setiap kecamatan menerima Rp 1,5 miliar-Rp 3 miliar, atau secara keseluruhan anggaran PNPM Pedesaan dan Perkotaan kira-kira setara dengan 0,18 persen dari PDB (APBN 2012). Lebih dari 60% pemanfaatannya adalah kegiatan infrastruktur yang memberikan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat. Program Balai Latihan Kerja (BLK) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengawasi Pusat Pelatihan Teknis dan Kejuruan yang dikenal dengan Balai Latihan Kerja (BLK). Balai ini menyediakan pelatihan kejuruan dan layanan penempatan kerja untuk pekerja formal dan informal. Pelatihan umumnya diberikan tanpa dipungut bayaran, meskipun beberapa BLK juga menyediakan kursus-kursus nonsubsidi. Pusat-pusat BLK ada di semua provinsi dan di beberapa kab/kota. Sejak adanya desentralisasi pemerintah pada 2001, 11 BLK dikelola oleh pemerintah pusat, 33 dikelola oleh pemerintah provinsi dan 141 dikelola oleh pemkab/pemkot. Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (dikutip oleh Kantor Berita Antara, 2011), lulusan BLK memiliki peluang dipekerjakan (employability) yang tinggi. Pada 2009, dari 107.051 lulusan, 95.094 atau 89 persen terserap di pasar tenaga kerja. Sayangnya banyak pusat BLK, khususnya yang dikelola oleh Pemerintah daerah, kekurangan staf dan kurang terpakai. Kebanyakan fasilitas tidak berfungsi optimal dan perlu revitalisasi yang serius. Diperkirakan sekitar 6 persen dari perlengkapan pelatihan di BLK kabupaten/kota perlu perbaikan besar (Kementerian Tenaga Kerja, 2010). Tetapi, data lengkap mengenai kapasitas BLK, pendanaan dan kinerjanya sulit didapatkan di tingkat pusat. Menurut survei yang dilaksanakan oleh Bank Dunia di sejumlah BLK, biaya per kapita untuk pelatihan sangat beragam. Rata-rata biaya per lulusan (pelatihan sekitar tiga bulan) di BLK yang dikelola oleh pusat adalah Rp 17 juta, sementara biaya per lulusan adalah di BLK provinsi Rp 9 juta dan di BLK kabupaten/kota Rp 4 juta. Jumlah rata-rata lulusan pada tahun 2009 untuk tiga jenis BLK kisarannya mendekati 1.300 per BLK untuk BLK yang dikelola oleh pusat, dan 650 di tingkat provinsi serta 340 di tingkat kabupaten/kota (World Bank, 2011C). Pendanaan untuk BLK pusat semuanya berasal dari pemerintah pusat, sementara untuk BLK provinsi dan kab/kota didanai secara bersama antara pemerintah pusat dengan provinsi atau kabupaten/kota. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengawali program revitalisasi BLK untuk meningkatkan kinerja BLK. Untuk mendukung program revitalisasi ini, proyek ILO EAST bekerja sama dengan BLK di beberapa provinsi. Menaker memberikan estimasi bahwa paling tidak dibutuhkan Rp 2 triliun per tahun untuk merevitalisasi seluruh BLK yang ada. Alokasi anggaran Pemerintah untuk pengoperasian BLK berjumlah Rp 540 miliar pada 2010 dan Rp 786 miliar pada 2011. Rata-rata, BLK pusat menghabiskan Rp 20,7 miliar per tahun sementara BLK provinsi menghabiskan Rp 5,8 miliar dan BLK kab/kota menghabiskan Rp 1,5 millar per tahun. Program kredit mikro Program kredit mikro pemerintah dimaksudkan untuk menyediakan akses terhadap kredit yang dapat dijangkau oleh orang miskin dan pengusaha kecil (yang biasanya tidak dapat mengajukan pinjaman ke bank karena kurangnya agunan). Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah sebuah program yang dilaksanakan oleh enam bank yang berpartisipasi menyediakan pinjaman kepada usaha mikro dan koperasi dengan skema jaminan 70 persen disubsidi oleh Pemerintah (Bank Indonesia, 2012). Sampai 2011, total pinjaman berjumlah Rp 29 triliun telah dipinjamkan kepada sekitar 6 juta pengusaha (Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian seperti dikutip Antara, 10 Januari 2012). Program Padat Karya Padat Karya merupakan sebutan yang sudah digunakan setidaknya sejak tahun 1970-an untuk program-program pembangunan infrastruktur desa yang secara khusus menciptakan lapangan kerja bagi warga setempat (Perdana 29 dan Maxwell, 2004). Padat Karya kemudian dikenal luas sebagai program besar di bawah Jaminan Pengaman Sosial selama krisis 1990-an, yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja bagi penganggur dan orang miskin (Sumarto, Suryahadi and Widyanti, 2002). Selama tahun fiskal 1998/1999 Padat karya terdiri dari 16 program yang dikategorikan sebagai program penciptaan lapangan kerja. Namun di tahun fiskal 1999/2000 program tersebut berkurang dan hanya dua program yang tersisa (Sumarto, Suryahadi and Widyanti, 2002). Setelah itu, pemerintah meneruskan program padat karya dalam skala yang lebik kecil tetapi lebih berjangka panjang. Tujuan padat karya utamanya adalah “memberikan dukungan penghasilan bagi penganggur dan orang miskin sembari membangun infrastruktur lokal” (OECD Employment Outlook, 2010). Permasalahan seputar penargetan dan efisiensi sering menjadi kritikan terhadap program Padat Karya (lihat antara lain: Ausaid, 1998; URDI, 1999; EPWSP, 2007) Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Program pembangunan infrastruktur 30 Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan sebuah program pembangunan infrastruktur dengan total anggaran US$ 47 miliar yang tersebar di 23 provinsi. Program infrastruktur tersebut “bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dan meraih daya saing bagi produk-produk Indonesia” (Bappenas, 2011). Proyek-proyek tersebut akan dilaksanakan oleh sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta. Program ini dapat dilihat sebagai program yang memberi peluang kerja bagi penduduk usia kerja. Namun demikian, meskipun proyek ini berpotensi menyediakan lapangan kerja, tidak dapat dikategorikan sebagai program lapangan kerja publik (public employment) karena tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur demikian (bersifat padat karya atau tidak). Program-program mata pencaharian oleh berbagai dinas dan kementerian Beberapa kementerian (bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan sebagainya) memiliki program yang ditujukan untuk mendukung mata pencarian penduduk pedesaan. Program-program tersebut terdiri dari pelatihan, penyuluhan, hibah atau permodalan (dalam bentuk tunai atau barang seperti bibit, alat, atau irigasi). Program-program tersebut dilaksanakan secara terpisah-pisah dan penetapan targetnya dilakukan sendiri-sendiri. Jumlah program dan penerima manfaat juga berbeda-beda stiap tahunnya, tergantung dana yang dialokasikan pada tahun tersebut. Di tingkat lokal informasi mengenai program-program tersebut bersifat parsial dan sulit diintegrasikan. Program Daerah Pemerintah daerah sering kali memiliki program jaminan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk orang miskin. Program-program yang dijalankan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, secara umum menyasar rumah tangga atau masyarakat yang tidak tercakup oleh program-program nasional. Di Jawa Timur misalnya, pemerintah provinsi menyediakan bantuan tunai dan beras untuk rumah tangga yang tidak produktif dan dana hibah untuk memulai usaha serta program keuangan mikro bagi kelompok produktif. Kabupaten Tabanan di Bali memiliki program kesempatan kerja, di mana para pemimpin masyarakat setempat membantu orang-orang yang menganggur untuk mendapatkan pekerjaan, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki Program Desa Mandiri “Anggur Merah” yang mengalokasikan Rp 250 juta (2011) untuk setiap desa yang menjadi target untuk mendukung aktivitas ekonomi produktif. Program mata pencaharian oleh sejumlah kementerian Sejumlah kementerian memiliki porgram mata pencaharian dan penciptaan pendapatan sendiri-sendiri, untuk komunitas perdesaan (beberapa contoh misalnya di sektor pertanian dan perkebunan, perikanan, pemeliharaan hewan). Program-program tersebut terdiri atas program pelatihan, hibah dan pinjaman untuk modal kerja (tunai atau non-tunai seperti bibit, ternak atau irigasi). Program program tersebut, kebanyakan dilakukan tanpa koordinasi dengan penargetan terpisah. Jumlah program dan pemangku kepentingan program tersebut berfluktuasi dari tahun ke tahun, tergantung kondisi dan anggaran. Informasi di tingkat lokal atas program tersebut juga tercecer. 4.2.3.7. Tabel Rangkuman Tabel 9: Rangkuman program-program untuk kelompok usia kerja Skema atau program Kontribusi atau pendanaan Jumlah orang yang dicakup Pesangon (pemutusan hubungan kerja) Pengusaha Secara teoritis semua karyawan swasta formal Sakit dan hamil/ melahirkan Pengusaha Secara teoritis semua karyawan swasta formal Program pemberdayaan masyarakat (PNPM) Anggaran pemerintah pusat Rp 13,4 triliun 0,18 persen dari PDB 6.622 kecamatan dalam PNPM Pedesaan (2012) Kredit Mikro (KUR) Anggaran Pemerintah Pusat Bank: menyediakan pinjaman Pemerintah: skema penggaransi subsidi 70 persen 2 juta wirausahawan Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial untuk pekerja informal) Pemerintah: 10.400/orang/bulan Tabungan anggota: Rp 5.000/bulan 280.800 anggota (2010) Kecelakaan kerja (PT Jamsostek) Pengusaha: 0,24 persen- 1,74 persen (tergantung pada tingkat perlindungan) 10.311.669 peserta aktif (2011) Kematian (PT Jamsostek) Pengusaha: 0,3 persen dari upah/gaji 10.311.669 peserta aktif (2011) Program Ujicoba Jamsostek LHK – jaminan kecelakaan kerja Pekerja: 1 persen dari pendapatan (“pendapatan” ditentukan menurut tingkat upah minimum Rp 1 juta / bulan) Sekitar 400.000 telah berpartisipasi selama ujicoba (sampai 2011) Program Ujicoba Jamsostek LHK – jaminan kematian Pekerja: 0,3 persen dari pendapatan (“pendapatan” ditentukan dengan tingkat upah minimum Rp 1 juta / bulan) Sekitar 400.000 telah berpartisipasi selama uji coba (sampai 2011) 31 4.2.4 Lanjut usia dan penyandang disabilitas “Seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas berat mendapatkan jaminan pendapatan setidaknya dalam jumlah setara dengan tingkat kemiskinan yang didefinisikan secara nasional dalam bentuk pensiun atau bantuan nontunai” Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Baru sekitar 13 persen dari seluruh warga negara Indonesia saat ini dijangkau oleh tunjangan hari tua. Kelompok ini mayoritas berada di sektor formal. Pegawai Negeri (sekitar 4 persen dari angkatan kerja) dan anggota TNI/Polri (sekitar 1 persen dari angkatan kerja) menerima jaminan pensiun yang diterima bulanan serta dana tabungan hari tua yang diterima sekaligus. Kedua program tersebut dikelola dengan skema defined-benefit (manfaat pasti) dan partially funded (didanai sebagian). Sekitar seperempat (10.311.699) dari pekerja sektor swasta, atau 8 persen dari penduduk usia kerja, dijangkau oleh program dana simpanan Jamsostek yang berupa skema tabungan hari tua dengan skema defined contribution (iuran pasti) dan fully funded (didanai sepenuhnya), yang manfaatnya akan dibayarkan sekaligus pada saat pensiun (Laporan Tahunan Jamsostek 2010). Sejumlah kecil pekerja sektor swasta secara sukarela bergabung dengan skema pensiun swasta. Program sukarela ada yang memiliki skema defined benefit dan ada yang defined contribution. 32 4.2.4.1. Program Pensiun dan Simpanan Hari Tua untuk Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/Polri Pensiunan PNS menerima pensiun (yang dibayarkan bulanan) dan dana simpanan hari tua (yang dibayarkan sekaligus saat pensiun). Jaminan pensiun bulanan dihitung sebesar 2,5 persen dari upah per bulan terakhir dikalikan dengan jumlah tahun masa kerja dengan maksimal 80 persen, sementara dana simpanan hari tua berjumlah perkalian jumlah tahun masa kerja, gaji terakhir, dan faktor pengali 0,6 (ditentukan oleh Menteri Keuangan). Usia pensiun antara 56 hingga 60 tahun, tergantung jabatan yang dipegang. Pensiun dini juga dimungkinkan bagi pegawai yang berusia 50 tahun atau lebih dan telah bekerja sebagai PNS paling tidak 20 tahun. Iuran pekerja ditentukan sebesar 4,75 persen dari gaji bulanan untuk dana pensiun dan 3,25 persen untuk program Simpanan Hari Tua. Karena skema dari kedua program tersebut adalah manfaat pasti, iuran pemerintah tergantung pengeluaran aktual. PT Taspen bertanggungjawab mengelola kedua program tersebut. Program pensiun bulanan menggunakan sistem pay-as-you-go di mana PT Taspen mengumpulkan iuran PNS tetapi tidak berhak mengelola dana tersebut. PT Taspen bertindak hanya sebagai kolektor dan agen pembayaran manfaat dan tidak bertanggung jawab secara hukum terhadap tanggungan/liabilitas dalam program tersebut. Manfaat dibayar oleh anggaran negara. Total jumlah jaminan (pensiun yang dibayar) pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 51,2 triliun (sekitar 0.7 persen dari PDB). Dalam program simpanan hari tua, dana dikelola dan diinvestasikan oleh PT Taspen. Liabilitas (kewajiban) yang tidak terdanai, misalnya akibat dari perubahan kebijakan remunerasi, dibayar oleh negara. Tanggungan yang tidak terdanai untuk Program Simpanan Hari Tua pada 2011 mencapai Rp 1,6 triliun, karena kontribusi karyawan saat itu tidak mencukupi pembayaran bagi para pensiunan di tahun yang sama (Kompas, 2011). Pengeluaran untuk manfaat pensiun diperkirakan akan naik cukup besar dalam 10 tahun ke depan. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenaikan gaji pegawai negeri sejak 2003 dan sebagian karena persoalan populasi yang menua (aging population), yang berakibat meningkatnya rasio ketergantungan. Rasio ketergantungan saat ini adalah 20 persen dan diperkirakan akan mencapai 50 persen pada tahun 2050 (ADB, 2007). Jaminan serupa disediakan bagi 1,16 juta anggota TNI/Polri dibawah pengelolaan PT Asabri (Laporan Tahunan Asabri 2010). Usia pensiun untuk anggota militer muda, yakni 50 tahun. Penelahaan yang dilakukan oleh ADB pada tahun 2007 menyebutkan bahwa masalah yang dihadapi oleh program-program di bawah PT Asabri umumnya serupa dengan yang dihadapi oleh PT Taspen. Pegawai negeri sipil juga berhak untuk mendapatkan pensiun dan tabungan/simpanan hari tua jika mengalami disabilitas permanen (UU No. 11/1969). 4.2.4.2. Jaminan hari tua untuk karyawan sektor swasta formal Program Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek untuk karyawan sektor swasta merupakan dana simpanan yang hasilnya akan diterima sekaligus sesuai dengan akumulasi iuran dan pengembangannya. Manfaat JHT dapat diterima apabila: mencapai usia pensiun 55 tahun; disabilitas total dan permanen; karyawan meninggal sebelum usia pensiun; atau tidak lagi bekerja tetapi telah memberikan kontribusi selama 5 tahun atau lebih. Pekerja membanyar iuran 2 persen dari upah dan pengusaha membayar iuran 3,7 persen dari upah. Tidak seperti pegawai negeri, jaminan hari tua untuk karyawan swasta bersifat defined contribution (iuran pasti) dan PT Jamsostek berperan mengelola dan mengembangkan dana tersebut sesuai dengan tujuan investasi anggota dan toleransi risikonya. 4.2.4.3. Skema pensiun swasta sukarela Sebagian pekerja mengikuti skema pensiun yang sifatnya sukarela. Dana pensiun ini dapat dikelola oleh pengusaha (DPPK/Dana Pensiun Pencari Kerja) atau lembaga keuangan (DPLK/Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Program yang tersedia bermacam-macam, ada yang dikelola dengan skema manfaat pasti (defined benefit) atau iuran pasti (defined contribution). Pengelolaan diatur berdasarkan UU No. 11/1992 mengenai Dana Pensiun. Batas maksimum untuk program manfaat pasti adalah 2,5 persen dari gaji per tahun masa kerja dan secara keseluruhan maksimal 80 persen. Dalam hal program iuran pasti, iuran tidak boleh melebihi 20 persen dari upah karyawan, dan kontribusi yang ditanggung karyawan tidak boleh melebihi 7,5 persen. Dana pensiun pemberi kerja seringkali bersifat manfaat pasti, sementara dana pensiun lembaga keuangan semua dikelola dengan skema iuran pasti. 4.2.4.4. Jamsostek LHK Program Jamsostek untuk pekerja LHK juga menyediakan skema jaminan hari tua. Program ini menyasar pekerja ekonomi informal yang berpenghasilan sekurang-kurangnya upah minimum (kira-kira Rp 1.000.000, berbedabeda tergantung provinsi). Kontribusi ditetapkan sebesar minimum 2 persen dari pendapatan. Manfaat merupakan akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya. Di antara skema-skema yang ada dalam program Jamsostek LHK, skema jaminan hari tua ini yang paling sedikit diminati oleh pekerja informal. Selain itu, skema ini juga tidak termasuk dalam skema yang iurannya disubsidi selama masa ujicoba. Dengan demikian, peserta yang tergabung dalam skema ini sangat sedikit. 4.2.4.5. Program Jaminan Sosial Untuk Lansia Telantar Kementerian Sosial mengelola program bantuan tunai kepada orang tua tidak potensial (orang tua yang tidak produktif dan/atau telantar, tidak punya penghidupan yang memadai) yang disebut Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Bantuan tunai berjumlah Rp 300.000 per bulan. Di tahun 2011 program ini menyasar 13.250 lansia (Instruksi Presiden No.3/2010). Jumlah penerima manfaat ditentukan berdasarkan jumlah dana yang tersedia, sehingga cakupan program ini masih sangat rendah karena hanya menjangkau sebagian kecil dari jumlah lansia yang membutuhkan. Saat ini, diperkirakan terdapat 1,7 juta lansia telantar. Angka ini angka perkiraan yang disampaikan di media dan situs Kementerian Sosial. Beberapa kriteria orang tua rentan yang disebutkan dalam Pedoman Pelaksanaan JSLU Kementerian Sosial (2008) mencakup antara lain usia lebih dari 60 tahun, miskin, tidak dapat melakukan mobilitas, dan tidak menerima bantuan dari program lain. Kementerian Sosial juga menyediakan subsidi untuk panti jompo (Panti Sosial Tresna Wredha) (Petunjuk Teknis Kementerian Sosial mengenai JSLU, 2008). Program tersebut memberikan bantuan tunai langsung ke panti-panti tersebut sejumlah Rp 3.000 per orang per hari (Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, 2010). Jumlah subsidi ini dianggap sangat rendah, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan makanan sehari-hari. Beberapa pemerintah provinsi juga memiliki subsidi atau mendanai panti-panti jompo. 33 4.2.4.6. Program Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas Berat Jaminan Sosial Penyandang Cacat (JSPACA) adalah program bantuan tunai dengan target para penyandang disabilitas berat. Pengelolaan dan manfaat JSPACA serupa dengan JSLU (Lansia). Instruksi Presiden No. 3/2010 menyatakan bahwa target tahun 2011 adalah 19.500 penyandang disabilitas. Seperti halnya JSLU, jumlah penerima manfaat JSPACA ditentukan oleh dana yang tersedia di tingkat pusat. Perkiraan yang ada menunjukkan saat ini terdapat 163 ribu penyandang disabilitas berat di seluruh Indonesia. Berdasarkan data PPLS 2011, terdapat 1.105.675 penyandang disabilitas diantara kelompok 40% penduduk berpendapatan terendah, yang sebagian besar berada pada usia produktif. Kementerian Sosial juga menyediakan subsidi untuk pusat rehabilitasi atau panti bagi penyandang disabilitas, dengan jumlah Rp 3.000 per hari (Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, 2010). Sejumlah pemerintah provinsi juga memiliki program subsidi atau mendanai panti-panti untuk disabilitas. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Cacat yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas disediakan oleh Jasa Raharja. Santunan Jasa Raharja dibayarkan sekaligus setelah mengalami kecelakaan. 4.2.4.7. Tabel Rangkuman Tabel 10: Rangkuman program untuk lansia dan orang dengan disabilitas Skema atau program Kontribusi atau pendanaan Jumlah orang yang dicakup PT Taspen (Dana Pensiun untuk PNS) Pekerja: 4,75 persen dari gaji bulanan mereka Kontribusi pemerintah beragam tergantung pengeluaran aktual. Anggaran pemerintah dialokasikan untuk pembayaran pensiun tahun 2011 = Rp 50 triliun – 0,7 persen PDB (estimasi PDB 2011). 2.361.408 pensiunan menerima pensiun (2011) 4.598.100 PNS aktif : kontributor (2011) PT Taspen (Tabungan hari tua untuk PNS) Pekerja: 3,25 persen dari gaji bulanan kontribusi pemerintah beragam tergantung pengeluaran aktual. Tanggungan tidak terdanai untuk program Tabungan Hari Tua pada tahun 2011 mencapai Rp 1,6 triliun – 0,02 persen dari PDB (estimasi 2011) 4.598.100 PNS aktif + sekitar 120.000 karyawan BUMN berada dalam program ini (2011) PT Asabri (Dana Pensiun dan Tabungan Hari tua untuk militer dan polisi) Mirip dengan Taspen 1.159.715 anggota pada 2010 (sekitar 0,5% dari angkatan kerja) Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek Pekerja (2 persen dari gaji) dan pengusaha (7,24–11,74 persen dari gaji) 10.311.669 peserta aktif (2011) Program percontohan Jamsostek untuk pekerja ekonomi informal Pekerja: 2 persen dari pendapatan (“pendapatan” ditetapkan dengan tingkat upah minimum Rp 1 juta/ bulan) Keanggotaan sekitar 400.000 anggota untuk paling tidak satu dari empat program 34 Skema atau program Kontribusi atau pendanaan Jumlah orang yang dicakup Jaminan sosial untuk orang tua telantar Anggaran Pemerintah Pusat 13.250 orang tua (2011) Jaminan sosial untuk penyandang disabilitas Anggaran Pemerintah Pusat 19.500 penyandang disabilitas berat (2011) 4.3. Kekurangan dari sisi Kebijakan dan Implementasi 4.3.1. Kekurangan umum di berbagai program Bagian ini mengidentifikasi beberapa kekurangan umum yang ditemukan di berbagai program, sementara permasalahan yang sifatnya spesifik dalam program tertentu akan dibahas di bagian berikutnya. 4.3.1.1. Hampir tidak ada perlindungan sosial untuk pekerja sektor informal yang tidak masuk kategori miskin Pekerja di sektor informal merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat perlindungan. Sebelum Sistem Jaminan Sosial Nasional nantinya berjalan, program jaminan sosial yang ada saat ini hanya terfokus pada pekerja formal seperti pegawai negeri sipil (Askes, Taspen), anggota TNI dan Polri (Asabri, Askes) dan pekerja swasta di sektor formal (Jamsostek). Walaupun pekerja sektor informal jumlahnya sekitar dua per tiga dari keseluruhan angkatan kerja, program yang menyasar mereka masih sangat sedikit dan tidak komprehensif. Program Jamsostek untuk pekerja di luar hubungan kerja dan Askesos cakupan dan tingkat perlindungannya relatif rendah, dan sejauh ini perkembangannya masih lambat. Setelah masa ujicoba, program Jamsostek untuk pekerja di luar hubungan kerja tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kebanyakan peserta tidak melanjutkan kepesertaan mereka setelah periode ujicoba selesai. Tidak lanjut dari ujicoba tersebut lemah atau bahkan tidak ada. Para pekerja kekurangan informasi/ petunjuk mengenai cara untuk mendaftarkan dirinya secara individu, dan kalaupun mereka tahu, banyak yang merasa kesulitan untuk mendaftar atau membayar iuran apabila mereka berada di wilayah yang tidak dekat dengan pelayanan Jamsostek. Di sisi lain, Jamsostek memiliki keterbatasan kapasitas untuk menjangkau pekerja informal yang tersebar di mana-mana, khususnya mereka yang berada di daerah terpencil. Ada sebagian kecil pekerja yang melanjutkan keanggotaan setelah masa ujicoba selesai (contohnya 50 orang pekerja yang ditemui di Kota Kupang). Dalam hal ini mereka memiliki keadaan khusus, di mana ada asosiasi pekerja yang berfungsi sebagai lembaga penghubung untuk memfasilitasi pendaftaran, pembayaran iuran dan pengajuan klaim. Program Askesos juga baru menjangkau sejumlah kecil pekerja informal dan tingkat perlindungan yang disediakan juga relatif rendah. Banyak pihak masih mempertanyakan keberlanjutan program tersebut, karena program berjalan melalui yayasan lokal yang akuntabilitasnya belum tertata baik. Penyempurnaan Askesos yang dilakukan mulai tahun 2012 masih perlu dibuktikan efektivitasnya. UU SJSN merupakan fondasi yang menjanjikan bagi tercapainya jaminan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia. Namun demikian, SJSN belum mencapai tahap pelaksanaan dan masih dalam tahap persiapan. Tantangan besar ke depan adalah untuk mendapatkan mekanisme yang efektif untuk menjangkau pekerja sektor informal yang sebagian besar belum pernah menjadi bagian program jamianan sosial apapun. Perkembangan terakhir menuju penerapan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah disusunnya peta jalan (roadmap) untuk BPJS I (Kesehatan) dan BPJS II (Ketenagakerjaan), melengkapi penyusunan berbagai peraturan 35 perundang-undangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan BPJS. Mekanisme untuk pendaftaran, pembayaran iuran dan klaim, sumber pendanaan dan lain-lain untuk pekerja informal merupakan bagian dari pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh peraturan-peraturan tersebut. Kesuksesan maupun kegagalan dari program yang pernah berjalan perlu dijadikan sebagai pembelajaran bagi desain program ke depan. 4.3.1.2. Tingginya penghindaran di sektor swasta formal Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Di sektor swasta, rendahnya jangkauan karena penghindaran membutuhkan perhatian khusus. Meskipun seluruh pekerja formal wajib diikutsertakan dalam program Jamsostek, keanggotaan Jamsostek saat ini masih rendah. Di tahun 2011, hanya 10.311.669 pekerja yang menjadi peserta aktif program Jamsostek untuk JKK, JK dan JHT. Di tahun yang sama, jumlah peserta aktif Jamsostek JPK berjumlah 2.567.672 pekerja (Laporan Tahunan Jamsostek 2011). Berdasar data dari Kementerian Kesehatan, jumlah total pekerja swasta serta keluarganya yang memiliki asuransi (baik Jamsostek, asuransi swasta maupun layanan kesehatan yang disediakan pengusaha dan lain-lain) berjumlah 6 persen dari populasi. Salah satu penyebab yang diungkapkan oleh pihak Kemenakertrans adalah kurangnya petugas pengawasan dan inspeksi di tingkat pusat dan di daerah. Berbeda dengan Jamsostek, berdasarkan UU No 24/2011, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan diberi peran pengawasan. Mekanisme kontrol dan monitoring perlu ditingkatkan, dan perlu dikembangkan cara-cara yang inovatif untuk pelaksanaanya. 4.3.1.3. Keterbatasan data dan permasalahan penyasaran Sejumlah program dihadapkan pada masalah kurangnya data, dan berakibat pada penetapan sasaran yang kurang akurat. Program yang menyasar kelompok khusus seperti orang dengan kecacatan, anak dengan kebutuhan khusus atau lansia telantar memerlukan infomasi khusus mengenai warga dengan karakteristik tersebut. Sejauh ini belum ada data akurat mengenai kelompok-kelompok sasaran tersebut. Terlebih lagi, definisi yang digunakan juga sering tidak jelas atau tidak seragam. Misalnya, untuk JSPACA dan program lain yang menyasar disabilitas saat ini belum ada klasifikasi kecacatan yang seragam. Berbagai lembaga atau kementerian memiliki definisi yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan JSLU. Meskipun Pedoman Pelaksanaan JSLU mencantumkan kriteria sasaran namun definisi tersebut masih terlalu luas dan belum didukung database yang akurat. Penargetan program seperti JSPACA, JSLU dan PKSA hanya mengandalkan identifikasi yang dilakukan oleh dinas sosial atau pekerja sosial, yang kapasitasnya tidak cukup untuk melakukan pengumpulan data secara sistematis. Upaya untuk memperbaiki pendataan terus dilakukan. Diantaranya adalah penetapan database terpadu untuk program perlindungan sosial (berdasarkan dataset PPLS 2011) yang berisi data mengenai 40 persen masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi terendah. Data tersebut tersedia mulai awal tahun 2012. Database tersebut dirancang untuk dijadikan dasar penetapan target program perlindungan sosial dan akan diadopsi oleh berbagai program secara bertahap. Karena proses adopsi masih berlangsung, saat ini kita belum dapat menilai dampaknya terhadap efektifitas dan efisiensi program. Pertanyaan yang masih ada seputar data tersebut diantaranya apakah informasi yang ada dalam database tersebut cukup detail untuk dapat digunakan oleh semua program , dan seberapa sering database tersebut akan diperbarui, sehingga mampu mengimbangi keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat dinamis. 4.3.1.4. Masalah koordinasi dan tumpang-tindih antarprogram 36 Banyak program perlindungan sosial yang fungsinya saling melengkapi satu sama lain. Namun, masalah koordinasi sering menghambat kerjasama, sehingga dampaknya tidak optimal. Jamkesda, misanya, yang dirancang untuk melengkapi program Jamkesmas, memiliki sistem pendataan dan penetapan target yang benar-benar terpisah dari Jamkesmas. Tumpang tindih penerima dapat terjadi (sebagaimana ditemukan di beberapa wilayah seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT di mana penilaian ini dilakukan dan pemeriksaan silang (crosscheck) data penerima sering sulit dilakukan. Program BSM dan PKH merupakan program bantuan tunai dengan sasaran serupa. Namun, kedua program tersebut dikelola secara terpisah dan identifikasi penerima juga dilakukan terpisah. Di tingkat nasional, ada persetujuan bahwa BSM harus memprioritaskan siswa dari keluarga penerima PKH, namun di tingkat kabupaten hal itu sering tidak diimplementasikan. Berbagai program, walaupun memiliki sasaran penerima yang sama, dikelola secara sendiri-sendiri, (ada yang dikelola langsung dari pusat, ada yang melalui pemerintah provinsi, dan ada yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten) meskipun program dapat berjalan jauh lebih efisien apabila saling bersinergi. Di sisi lain, pertukaran informasi (secara vertikal antardinas maupun secara horizontal) kadang tidak berjalan. Petugas di salah satu kantor kabupaten yang diwawancara mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapat informasi mengenai sebagian program yang dijalankan oleh pusat maupun provinsi, sehingga sinkronisasi program sullit dilakukan. 4.3.2. Kekurangan dan masalah dalam penyediaan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk 4.3.2.1. Kekurangan dari sisi jangkauan program Lebih dari 40 persen rakyat Indonesia belum terjangkau asuransi kesehatan Meskipun beberapa tahun belakangan ini Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam peningkatan jangkauan asuransi kesehatan, jumlah warga yang belum memiliki asuransi kesehatan masih cukup besar. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan jangkauan berbagai asuransi kesehatan sebagai berikut (tahun 2010): • Orang miskin: Jamkesmas (32% populasi ), Jamkesda (13% populasi) • PNS, pensiunan PNS dan Pensiunan TNI/Polri serta anggota keluarganya : PT Askes (7% populasi) • Pekerja swasta formal dan anggota keluarganya: PT Jamsostek, asuransi swasta, layanan kesehatan oleh pengusaha (6% populasi) • Pekerja informal yang tidak miskin beserta keluarganya: Jamsostek LHK (< 1% populasi) Angka tersebut menunjukkan adanya kekurangan di mana 41 persen populasi tidak memiliki asuransi kesehatan. Kelompok ini didominasi oleh orang-orang di sektor informal yang tidak masuk kategori miskin, selain juga pekerja swasta formal yang tidak mendapat asuransi kesehatan akibat tingginya penghindaran oleh pengusaha. Kesalahan penargetan dan tumpang tindih penerima Di luar angka resmi yang tertera di atas, ada juga orang-orang yang tidak tercakup dalam asuransi kesehatan. Kesalahan tidak memasukkan target atau salah sasaran masih merupakan masalah yang cukup penting dalam Jamkesmas, sebagaimana temuan beberapa studi mengenai sejumlah warga miskin yang tidak menerima manfaat program sementara sebagian warga yang lebih kaya menerima (lihat World Bank, 2011b). Koordinasi, integrasi database, serta frekuensi pembaruan data sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Karena pendataan program Jamkesmas dan Jamkesda dilakukan terpisah, tumpang tindih mungkin terjadi sementara pemeriksaan silang belum pernah dilakukan secara sistematis. Dalam wawancara di tingkat kabupaten, beberapa pejabat setempat mengemukakan mereka menemukan warga yang menjadi penerima Jamkesmas dan Jamkesda sekaligus, namun jumlahnya sulit diketahui karena tidak dilakukan cek silang secara sistematis. Bahkan ditemukan juga kasus warga yang memiliki Askes dan Jamkesmas sekaligus, walaupun hal ini merupakan kasus yang cukup jarang (berdasarkan wawancara dengan petugas PT Askes dan Dinkes di NTT). Akses Geografis dan Finansial terhadap Layanan Kesehatan Warga yang sudah memiliki Jamkesmas kadang masih mengalami hambatan lain seperti biaya transportasi atau urun biaya (out-of-pocket payments) yang harus dikeluarkan. Di daerah pedesaan di mana kebanyakan orang miskin tinggal, khususnya yang berada di pulau kecil atau daerah terpencil, palayanan kesehatan dan tenaga medis sangat 37 terbatas atau bahkan tidak ada (Sparrow, Suryahadi and Widyanti 2010; MoH, 2009). Bagi para penduduk desa tersebut, puskemas terdekat biasanya terletak di pusat kota kecamatan. Untuk mencapai puskesmas, sering kali warga memerlukan banyak waktu dan biaya transportasi, dan harus kehilangan pendapatan karena waktu yang terpakai. Di luar itu, ketika mereka mengakses layanan tersebut, masih ada biaya yang harus ditanggung sendiri (out-of-poket), meskipun sudah ada asuransi. Walaupun biaya sendiri sudah sangat berkurang karena adanya Jamkesmas, biaya tersebut masih dianggap mahal bagi mereka yang sangat miskin (Sparrow, Suryahadi, Widyanti, 2010). Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Data PODES 2011 menunjukkan sebaran pelayanan kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Wilayah yang minim layanan dasar (primary care) banyak terdapat di daerah timur Indonesia dan wilayah yang minim layanan sekunder (secondary care) cukup tersebar di berbagai wilayah di luar Jawa. 38 Persoalan asuransi kesehatan sangat erat kaitannya dengan penyediaan perawatan kesehatan. Sebuah penilaian terhadap program kartu sehat yang dilaksanakan 1999-2002, sebelum Jamkesmas (Pradhan, Saadah & Sparrow, 2007), memperlihatkan bahwa kombinasi distribusi kartu sehat dan dukungan anggaran tambahan untuk infrastruktur perawatan kesehatan berkontribusi meningkatkan akses dan penggunaan layanan perawatan kesehatan lima kali lebih banyak dari distribusi kartu sehat saja. Ini memperlihatkan bahwa perbaikan di sisi demand (permintaan) harus dibarengi dengan perbaikan di sisi supply (penawaran). Pada saat konsultasi di sejumlah provinsi, beberapa persoalan terkait diskriminasi diungkapkan. Ada persepsi bahwa pasien Jamkesmas mendapat perawatan/pengobatan yang lebih rendah kualitasnya atau mereka harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan perawatan atau syarat admisnistrasi yang ketat. Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan dalam memperluas jangkauan Transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan dibarengi dengan perluasan jangkauan layanan dari hanya PNS dan pensiunan TNI/Polri menjadi seluruh masyarakat. Dengan demikian juga diperlukan peningkatan kapasitas layanan yang cukup besar. Melalui konsultasi dan wawancara, pegawai PT Askes di tingkat provinsi dan kabupaten mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar untuk PT Askes saat ini adalah untuk meningkatkan kapasitasnya agar dapat menjangkau seluruh masyarakat, dan melebur berbagai jaminan kesehatan yang saat ini berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, perluasan cakupan kepada pekerja informal diperkirakan akan sulit dilakukan apabila peserta diharuskan menanggung iuran spenuhnya. Khusus untuk pegawai sektor formal yang akan berpindah dari program Jamsostek JPK, akan ada perubahan dalam iuran: iuran Jamsostek JPK dibayar sepenuhnya oleh pengusaha, sementara iuran untuk asuransi kesehatan yang baru akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pengusaha. Hal ini memerlukan sosialisasi di kalangan pekerja agar tidak terjadi penolakan akibat ketidaktahuan. 4.3.2.2. Kekurangan dari sisi tingkat perlindungan Beberapa penyakit tidak ditanggung oleh mayoritas program asuransi yang ada Beberapa penyakit seperti HIV saat ini masih dikecualikan dari kebanyakan skema asuransi yang ada. Meskipun Jamsostek baru-baru ini mengubah kebijakannya dengan memasukkan penyakit tersebut, asuransi lain masih belum belum terlihat bergerak ke arah yang sama. Berdasarkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, beberapa jenis penyakit yang sebelumnya tidak ditanggung akan masuk dalam paket manfaat, termasuk di dalamnya HIV. Undang-Undang No. 24/2011 mengamanatkan bahwa manfaat yang diterima tidak boleh kurang dari manfaat yang disediakan oleh program sebelumnya. Dalam perkembangannya, HIV terus mendapat perhatian khusus. Selain menjadi salah satu indikator Tujuan Pembangunan Milineum (MDG), para pemangku kepentingan merasa bahwa pengobatan dan pencegahan penyakit HIV harus menjadi bagian dari strategi jaminan kesehatan nasional. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit tersebut juga dipandang sebagai investasi untuk mencegah biaya yang lebih besar di masa depan. Selain itu, ODHA yang mendapat perawatan kesehatan yang diperlukan dapat tetap aktif dan berkontribusi terhadap perekonomian. Diskusi dan konsultasi yang diselenggarakan selama proses penilaian juga menyatakan perlunya upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak dengan menyediakan tes dan upaya pengobatan bagi ibu hamil untuk penyakit serius yang dapat ditularkan dari sang ibu kepada anaknya, seperti HIV dan Sipilis. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PMTCT) merupakan langkah krusial untuk mengurangi prevalensi HIV di kalangan anak-anak. Di samping itu, Sipilis, yang sebenarnya biaya tes dan pengobatannya sangat murah, terbukti dapat menyebabkan kematian bayi, abortus spontan, kematian sebelum lahir, infeksi kelahiran dan bayi lahir dengan berat rendah (WHO, 2005). Belum ada paket manfaat yang jelas serta data aktuaria yang mendalam dalam program jamkesmas yang sekarang Perkiraan biaya Jamkesmas saat ini belum didasarkan pada perhitungan aktuaria yang mendalam, dan belum memiliki data komprehensif mengenai penerima manfaat, utilisasi, dan lain sebagainya. Program ini juga belum memiliki paket manfaat yang definitif. Kurangnya data dan tidak adanya kalkulasi yang memadai terkait biaya manfaat, mengancam keberlangsungan dari skema tersebut (yang sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah). Lebih dari itu, penerima manfaat, yang tidak tahu layanan apa saja yang menjadi hak mereka mungkin akan ragu atau tidak berani untuk mengajukan keluhan apabila mereka tidak mendapat layanan tertentu. Upaya yang tengah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait lain adalah memperbaiki database dan mendesain paket-paket manfaat khusus yang merupakan langkah krusial terhadap pengembangan sistem asuransi kesehatan sosial yang berkelanjutan. 4.3.3. Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan untuk Anak-anak 4.3.3.1. Kekurangan dari sisi jangkauan Banyak program masih menghadapi masalah keterbatasan jangkauan, baik dalam hal jumlah penerima manfaat maupun dalam hal jangkauan wilayah. Di antaranya yang dialami oleh Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), yang menyasar anak-anak dengan permasalahan sosial. Meskipun program ini terus berkembang, saat ini jumlah penerima manfaat masih jauh di bawah perkiraan jumlah anak yang membutuhkan (lihat paragraf mengenai PKSA di bagian 4.2.2.2). Dalam program PKH, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan di sebagian wilayah—khususnya wilayah timur Indonesia, menjadi penghambat perluasan program ini. Program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS), meskipun ditargetkan kepada seluruh siswa TK dan SD di wilayah yang dituju, di beberapa wilayah masih belum menjangkau seluruhnya. Di salah satu Kabupaten (TTS di NTT), pada tahun 2010 tidak semua sekolah menerima bantuan, dan di sekolah yang menerima, anggarannya lebih rendah dari jumlah total siswa. Pada tahun 2011 program tersebut sudah menjangkau seluruh sekolah, tetapi jumlah siswa yang dianggarkan lebih rendah dari jumlah siswa yang ada (untuk SD dianggarkan 64.725 siswa dibandingkan dengan 81.774 total jumlah siswa SD berdasarkan data BOS). 4.3.3.2. Perlunya perbaikan data dan mekanisme penetapan target Keterbatasan jangkauan seringkali diperparah oleh ketiadaan data yang dapat diandalkan dan mekanisme penetapan target yang efisien. Beberapa program seperti PKSA tidak memiliki data dasar yang lengkap mengenai kelompok target yang dimaksud. Akibatnya, identifikasi penerima bantuan tidak dapat dilakukan dengan sistematis. Anak yang masuk dalam program umumnya diidentifikasi dan didaftarkan oleh LSM/lembaga sosial. 39 4.3.3.3. Kebutuhan akan koordinasi dan sinkronisasi program Kurangnya koordinasi menyebabkan kurang sinkronnya pelaksanaan antar program untuk anak-anak. Di tingkat nasional, ada persetujuan bahwa BSM harus memprioritaskan siswa dari keluarga penerima PKH, namun di tingkat daerah hal ini sering tidak terjadi. Hal ini antara lain disebabkan penetapan target dilakukan secara terpisah: PKH berdasarkan data nasional, sementara pemilihan penerima BSM dilakukan oleh sekolah berdasarkan rekomendasi komite sekolah dan komunitas. Seringkali sekolah maupun dinas pendidikan setempat memiliki pertimbangan lain, misalnya pemerataan kepada siswa yang belum menerima bantuan program. Untuk itu, kedua program tersebut perlu diharmonisasi demi penyelenggaraan yang lebih efektif. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 4.3.3.4. Permasalahan dalam manajemen dan penyaluran manfaat 40 Salah satu permasalahan dalam implementasi program adalah keterlambatan penyaluran bantuan dan manajemen yang kurang efisien. PMTAS mengalami keterlambatan penyaluran dana, sehingga dana terebut tidak dapat terserap secara maksimal karena jumlah hari pemberian makanan menjadi sangat terbatas. Berdasarkan wawancara dan konsultasi dengan pihak dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di NTT, didapatkan informasi bahwa dana PMTAS 2011 baru didistribusikan di bulan Agustus sehingga tidak dapat digunakan semuanya dan pada akhir tahun dana yang tidak digunakan harus dikembalikan. Raskin juga menghadapi permasalahan dalam ketepatan sasaran dan efisiensi program. Warga tidak tahu mengenai berapa banyak beras yang menjadi hak mereka maupun mengenai jadwal penyaluran. Selain itu, manajemen program mahal, monitoring dan evaluasi tidak efektif, dan mekanisme pengaduan tidak efektif (Hastuti et al, 2009). 4.3.4. Kekurangan dalam Jaminan Sosial untuk Penduduk Usia Kerja 4.3.4.1. Program ketenagakerjaan kurang dikaitkan dengan program jaminan sosial Agar tercapai hasil yang optimal, perlu adanya kaitan yang erat antara program ketenagakerjaan dengan program jaminan sosial. Program bantuan perlu dihubungkan dengan upaya meningkatkan kemampuan memperoleh pekerjaan (employability) melalui pelatihan dan fasilitasi lain yang membantu mereka mendapat pekerjaan, penciptaan lapangan kerja maupun return to employment apabila mereka tidak lagi bekerja (misalnya karena PHK atau karena disabilitas dan lain-lain) sehingga peserta dapat meningkat ke pekerjaan yang lebih layak, dan dengan demikian mampu menjadi peserta jaminan sosial dan membayar iuran. Program yang mempekerjakan warga juga perlu memprioritaskan jaminan sosial bagi pekerjanya. Sebagai contoh, PNPM belum memiliki informasi apakah pekerja maupun kontraktornya menjadi peserta program jaminan sosial, dan tidak ada mekanisme untuk memeriksa atau mewajibkan mereka. Program ketenagakerjaan dan program perlindungan sosial harus sejalan-seiring. Di samping itu, program-program pekerjaan umum atau yang sifatnya padat karya juga perlu dikaitkan dengan pelatihan kerja, sehingga dampaknya lebih berkesinambungan. 4.3.4.2. Program pelatihan seringkali dilaksanakan secara parsial Berbagai pelatihan yang behubungan dengan kegiatan produktif dilaksanakan oleh beberapa dinas kementerian (misalnya dinas pertanian dan perkebunan, peternakan, perikanan, pemberdayaan perempuan dan lain-lain). Namun pelatihan-pelatihan tersebut seringkali diselenggarakan secara parsial dan kurang berkesinambungan. Selain itu, kualitas pendampingan, pelatihan dan monitoring untuk memastikan bahwa keterampilan yang didapatkan terus berkembang dan bermanfaat juga masih banyak yang belum memadai. 4.3.4.3. Pesangon memberi perlindungan yang lebih rendah dibandingkan asuransi pengangguran (unemployment insurance) Pesangon yang diterima sekaligus saat terjadi PHK memberi perlindungan yang lebih rendah bagi pekerja, dan membuat biaya rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mahal untuk pengusaha. Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi asuransi pengangguran (unemployment insurance) agar pengeluaran bagi pengusaha dapat lebih diperkirakan dan perlindungan bagi pekerja lebih lama. 4.3.4.4. Tantangan yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan dalam memperluas jangkauan Sebagaimana halnya BPJS Kesehatan, salah satu tantangan BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk memperluas jangkauan jaminan sosial ke pekerja di sektor informal. PT Jamsostek, yang akan ditransfomasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, saat ini hanya memfokuskan pelayanan mereka kepada pekerja swasta formal. Transformasi tersebut mengharuskan Jamsostek meningkatkan kapasitasnya agar dapat menjangkau seluruh pekrja di semua wilayah Indonesia, terutama pekerja informal yang saat ini belum tercakup. Hal ini juga berarti harus ada skema yang efektif dan sesuai dengan karakteristik para pekerja informal tersebut. 4.3.5. Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan bagi Lansia dan Penyandang disabilitas 4.3.5.1. Kekurangan dari sisi jangkauan Mayoritas pekerja Indonesia belum memiliki jaminan hari tua Kekurangan yang paling jelas terlihat dari jaminan pendapatan lansia dan orang cacat adalah dari sisi jangkauan program. Hanya sekitar 13 persen dari seluruh warga Indonesia saat ini yang memiliki jaminan hari tua dan sebagian besar merupakan pekerja sektor formal. Di antara pekerja yang memiliki jaminan hari tua, hanya PNS dan anggota TNI/Polri yang mendapat pensiun bulanan (di samping juga dana tabungan hari tua yang diterima sekaligus). Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk menutupi kekurangan ini dengan menyediakan skema tabungan hari tua bagi semua pekerja (baik formal maupun informal) dan program pensiun khusus untuk pekerja sektor formal. Hal ini akan dilaksanakan secara bertahap di bawah manajemen BPJS Ketenagakerjaan. Jangkauan program bantuan sosial untuk disabilitas dan lansia telantar masih rendah Program bantuan tunai untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai untuk penyandang disabilitas berat (JSPACA) menyasar anggota masyarakat yang kehidupannya sangat berat. Dan di antara kelompok sasaran tersebut, baru sebagian kecil yang sudah dijangkau oleh program. Saat ini pemerintah (melalui TNP2K) tengah mengeksplorasi kemungkinan untuk memperluas jangkauan program JSPACA dan JSLU kepada lebih banyak penerima. 4.3.5.2. Keterbatasan Data Belum ada definisi yang seragam mengenai kecacatan (di antara kementerian, BPS, maupun lembaga lain) serta belum ada database yang komprehensif mengenai orang dengan disabilitas. Hal ini membuat penetapan target JSPACA sulit dilaksanakan dengan akurat9. Data BPJS mengenai orang cacat tidak memiliki klasifikasi terperinci ( jenis, tingkat keparahan dll). JSLU mengalami permasalahan serupa di mana tidak ada database mengenai lansia telantar atau lansia rentan. 9 Definisi yang ada, berdasarkan UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, adalah sebagai berikut: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental, dimana cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; cacat mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus” (Colbran, 2010). 41 4.3.5.3. Jaminan hari tua yang manfaatnya diterima sekaligus memberi perlindungan rendah dibandingkan dengan pensiun bulanan Manfaat jaminan hari tua yang dimiliki kebanyakan pekerja swasta formal, di mana manfaatnya dibayarkan satu kali, memberi perlindungan lebih rendah. Hal ini karena jumlahnya rata-rata kecil dan manfaat dibayarkan sekaligus, sehingga cenderung dihabiskan dalam waktu singkat. Orang yang menerima lump sum biasanya tidak akan membuat anuitas (pengeluaran secara bulanan atau tahunan) untuk dirinya sendiri. Di tahun 2009, jumlah manfaat rata-rata Jamsostek JHT yang diterima per orang adalah Rp 6.5 juta10. Iuran sebesar 5.7 persen upah masih terlalu kecil untuk menghasilkan manfaat yang memadai. 4.4. Rekomendasi Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 4.4.1. Rekomendasi umum 42 4.4.1.1. Penegakan hukum untuk mengurangi penghindaran jaminan sosial Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan dan UU Jaminan Sosial sangatlah penting untuk mencapai tujuan-tujuan perlindungan sosial. Meskipun keanggotaan Jamsostek bersifat wajib, banyak pekerja dan pengusaha yang tidak terdaftar dalam Jamsostek. Tanpa perbaikan signifikan dalam upaya penegakan hukum, permasalahan yang sama juga akan dihadapi dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan berlaku. Pengawasan dan inspeksi perlu ditingkatkan secara intensif, dan perlu diciptakan mekanisme yang inovatif dan efisien untuk meningkatkan kapasitas pengawasan. Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain, salah satunya dari sistem TWIN yang diterapkan di Cina. Sistem TWIN menggunakan jaringan petugas lapangan yang mendatangi perusahaan di wilayah perkotaan maupun pedesaan untuk mendata informasi mengenai tenaga kerja, keadaan lingkungan kerja dan lain-lain. Data tersebut dimasukan ke dalam database dan informasi dalam data tersebut dibandingkan dengan informasi yang dimiliki oleh lembaga jaminan sosial, dan dengan demikian penghindaran jaminan sosial dapat teridentifikasi. 4.4.1.2. Dukungan terhadap pembuatan peraturan-peraturan untuk implementasi UU No. 40/2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya dalam hal: Perluasan jangkauan ke pekerja informal Sistem Jaminan Sosial Nasional, berdasarkan UU No. 40/2004 dan UU No. 24/2011, akan menyediakan asuransi kesehatan bagi seluruh warga dan skema jaminan sosial ketenagakerjaan bagi seluruh pekerja melalui BPJS I dan BPJS II. Pekerja di sektor informal, yang saat ini hampir tidak tersentuh oleh skema jaminan sosial, memiliki karakteristik tersendiri yang memberi tantangan dalam mekanisme pendaftaran, pembayaran iuran, dan penyaluran manfaat. Perlu adanya analisis mendalam untuk merancang sistem pendaftaran dan pembayaran yang disesuaikan dengan karakteristik tersebut. Perlu dipertimbangkan untuk memanfaatkan organisasi tertentu misalnya perkumpulan/ asosiasi pekerja berdasarkan jenis pekerjaan atau berdasarkan wilayah ataupun skema asuransi mikro yang dapat berperan sebagai “agen” penghubung bagi badan penyelenggara. Pembelajaran dari program yang pernah/tengah berjalan maupun pembelajaran dari negara lain perlu dipertimbangan dalam merancang skema dan peraturan kedepan. Untuk mendukung perancangan mekanisme yang efektif, database, dan pemetaan mengenai ekonomi formal perlu dibuat. 10 Pada 2009, ada 898.886 pencairan untuk program jaminan hari tua dan Jamsostek melakukan pembayaran total sebesar Rp 5.789,84 miliar dana jaminan (laporan tahunan Jamsostek 2009). Penyusunan Peta Jalan (roadmap) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) beserta lembaga terkait lainnya (Kemenkes, Bappenas, Kemenakertrans dan lain-lain) tengah menyusun peta jalan untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Upaya bersama dan koordinasi yang erat antarlembaga sangat diperlukan agar peta jalan yang dihasilkan menjadi dokumen yang komprehensif. 4.4.1.3. Perbaikan database dan mekanisme penargetan Database yang andal serta mekanisme penargetan yang jelas merupakan syarat bagi kesusksesan program perlindungan sosial. Sebagaimana kita ketahui, masih banyak program yang belum memiliki komponen tersebut dan hal ini perlu menjadi perhatian. Program-program yang menyasar kelompok khusus seperti PKSA, JSLU atau JSPACA akan sangat terbantu apabila kedua komponen tersebut diperbaiki. Perlu juga diperhatikan juga bahwa database memiliki informasi mengenai jenis kelamin, sehingga sensitifitas jender dalam program dapat dimonitor. Sebagai contoh, dalam konsultasi Penilaian ini sempat diutarakan kekhawatiran adanya bias jender dalam program beasiswa miskin, di mana siswa laki-laki lebih banyak menerima manfaat ketimbang siswa perempuan. Isu-isu semacam ini perlu dipertimbangkan ketika membuat database. Upaya untuk memperbaiki database telah berjalan, salah satunya dengan dibuatnya basis data terpadu untuk program perlindungan sosial yang berisi informasi mengenai 40 persen pendidik dengan kondisi sosial eonomi terendah (dataset PPLS 2011, dikelola oleh TNP2K). Database yang baru itu dimaksudkan untuk dijadikan dasar penargetan oleh semua program perlindungan sosial. Pengadopsian database tersebut tengah dalam proses, sehingga kegunaannya serta dampaknya terhadap efektifitas program baru akan terlihat beberapa tahun ke depan. Masih ada beberapa pertanyaan mengenai apakah informasi yang terkandung dalam database tersebut cukup terperinci untuk digunakan oleh semua program, khususnya program yang membutuhkan informasi khusus mengenai sasarannya (misalnya PKSA, JSLU). Selain itu, perlu diingat bahwa penggunaan database harus disertai dengan mekanisme penargetan yang andal. Hal lain yang perlu diingat mengenai database adalah metode dan frekuensi pembaruan (updating) data. Indonesia merupakan negara besar dengan kondisi sosial-ekonimu yang sangat dinamis, sehingga mekanisme pembaruan data harus responsif. 4.4.1.4. Merancang dan mengujicoba Layanan Satu Atap program-program perlindungan sosial, yang bertujuan untuk: Mempermudah akses warga terhadap sistem perlindungan sosial Keterbatasan akses merupakan persoalan yang cukup besar, khususnya untuk orang-orang di sektor informal. Kapasitas PT Askes dan PT Jamsostek, dua BUMN yang akan ditransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, saat ini hanya mengakomodasi sektor formal. Layanan mereka juga belum menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Banyak program perlindungan sosial menghadapi masalah serupa, di mana jangkauan program terhambat terbatasnya akses. Perlu adanya mekanisme untuk memudahkan pendaftaran, pemungutan iuran, dan pembayaran klaim yang bertempat di tingkat lokal dan terjangkau oleh seluruh warga. Sistem “Layanan Satu Atap” untuk program perlindungan sosial dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut. Sebuah sistem yang ditempatkan di struktur yang sudah ada (misalnya di kecamatan), berfungsi untuk memberi informasi tentang program yang ada kepada masyarakat, melakukan penilaian kerentanan dan keterampilan yang dimiliki calon penerima manfaat, memfasilitasi pendaftaran ke program perlindungan sosial maupun program ketenagakerjaan yang sesuai dengan kondisi mereka, meyimpan dan meperbarui database di wilayah tersebut, dan menggunakan data untuk monitoring dan evaluasi program. Mekanisme ini perlu dirancang dan diujicoba di beberapa daerah sebelum menemukan bentuk yang sesuai. 43 Memfasilitasi koordinasi untuk menghindari tumpang tindih antar program Layanan satu atap tersebut menyimpan database mengenai berbagai program dan penerima manfaat di wilayahnya. Hal ini akan memudahkan pelaksana program melakukan penargetan, implementasi serta monitoring yang lebih koheren satu sama lain. Informasi mengenai penerima manfaat dari masing-masing program dapat diuji silang dan diverifikasi di tingkat lokal, untuk menghindari tumpang tindih. Mengaitkan perlindungan sosial dengan program-program ketenagakerjaan Integrasi pelayanan program-program perlindungan sosial dengan program-program ketenagakerjaan di bawah pelayanan satu atap dapat memberi peluang bagi penerima manfaat untuk meningkat secara progresif dari sekedar penerima bantuan sosial dasar, menjadi peserta pelatihan dan penempatan kerja, dan kemudian mendapat (atau menciptakan) pekerjaan yang layak sehingga mereka dapat menjadi peserta jaminan sosial dan membayar iuran. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia *Catatan: Rekomendasi mengenai studi kelayakan Pelayanan Satu Atap menjadi salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan dibawah proyek ILO-Korea yang berjudul “Promoting income security and return to employment for workers in vulnerable employment and the formal sector in ASEAN”. 44 4.4.2. Rekomendasi untuk Jaminan Kesehatan 4.4.2.1. Membuat dan mengaplikasikan paket manfaat yang spesifik dan jelas Belajar dari pengalaman Jamkesmas, asuransi kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu memiliki paket manfaat yang menyebutkan secara spesifik layanan apa saja yang ditanggung, disertakan daftar (checklist) layanan apa saja yang tersedia di masing-masing penyedia layanan di tiap level (puskesmas, klinik, rumah sakil dan seterusnya) dan memastikan ada petugas kesehatan yang dapat memberi layanan tersebut. Para penerima manfaat harus mengetahui mengenai apa saja yang terdapat dalam paket manfaat, dan perlu ada mekanisme kontrol atau pengaduan (hotline). Paket manfaat untuk asuransi kesehatan di bawah SJSN tengah dirancang oleh beberapa lembaga (DJSN, TNP2K, Kemensos) 4.4.2.2. Memasukkan pengobatan dan pencegahan beberapa penyakit yang saat ini tidak ditanggung, dan memastikan paket manfaat yang diterapkan BPJS Kesehatan memiliki tingkat perlindungan yang setara atau lebih baik dari program-program yang sudah ada. Beberapa penyakit seperti antiretroviral untuk HIV dan hemodialisis saat ini tidak ditanggung oleh kebanyakan asuransi, terkecuali Jamsostek JPK (yang baru-baru ini menambahkan operasi jantung, hemodialisis, pengobatan kanker, dan HIV dalam paket asuransi mereka). Penting untuk ditekankan bahwa berdasarkan UU SJSN, sistem yang baru nanti tidak boleh memiliki perlindungan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang sudah diterima. Dengan demikian, paket manfaatnya harus mencakup pengobatan penyakit-penyakit yang ada dalam paket Jamsostek. Pengobatan antiretroviral untuk ODHA Tidak tercakupnya HIV dalam banyak asuransi yang ada mendapat perhatian khusus dari para pemangku kepentingan, salah satunya karena penanggulangan HIV merupakan bagian dari indikator Tujuan Pembangunan Milenium. Mereka juga menekankan bahwa peanggulangan infeksi tersebut bukan hanya meningkatkan kualitas hidup pengidapnya, tetapi juga membantu mengurangi penyebaran virus tersebut. Pencegahan dan pengobatan harus berjalan bersama dan menjadi bagian dari strategi jaminan kesehatan nasional. Biaya untuk pengobatan dan pencegahan virus tersebut dilihat sebagai investasi untuk mencegah pengeluaran yang lebih besar dimasa depan apabila virus tersebut tidak ditangani dengan baik. Pencegahan penularan virus serius dari ibu ke bayi, seperti HIV dan Sipilis Seiring pentingnya investasi dalam pencegahan virus, para pemangku kepentingan (khususnya lembaga yang berhubungan dengan HIV seperti UNAIDS, KPA, WHO, UNICEF dan lain-lain) mengutarakan perlunya meningkatkan kesehatan ibu dan anak dengan menyediakan pemeriksaan dan pengobatan virus yang dapat ditularkan dari ibu kepada bayinya, seperti HIV dan Sipilis, untuk semua wanita hamil. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (mother to child transmission—PMTCT) untuk virus HIV sangatlah penting untuk mengurangi prevalensi HIV pada anakanak. Sipilis, yang pemeriksaan dan pengobatannya sebenarnya sangat murah, terbukti dapat ‘mengakibatkan dampak yang sangat buruk terhadap kehamilan seperti kematian bayi dalam kandungan, keguguran, maupun infeksi serius pada bayi dan berat badan bayi rendah’ (WHO, 2005). 4.4.3. Rekomendasi untuk jaminan tunjangan bagi anak-anak 4.4.3.1. Perluasan jangkauan program bantuan bersyarat (PKH dan PKSA) dari segi wilayah maupun jumlah penerima Program PKH saat ini menyasar 1,5 juta rumah tangga sangat miskin di seluruh Indonesia. Target wilayahnya menjangkau seluruh provinsi, tetapi belum semua kabupaten/kota. PKH masih terus berkembang dan pemerintah bermaksud memperluas jangkauan ke 3 juta rumah tangga pada tahun 2014. Program ini perlu terus berkembang sehingga dapat mencapai semua rumah tangga sangat miskin di seluruh kabupaten/kota. Lebih dari itu, PKH perlu juga diperluas bukan hanya menjangkau rumah tangga sangat miskin, tetapi seluruh keluarga miskin. Melihat rencana rancangan awalnya, PKH dimaksudkan untuk menjangkau rumah tangga miskin (tidak terbatas pada rumah tangga sangat miskin). Target awal program tersebut, sebagaimana tercantum dalam Panduan Umum Program Keluarga Harapan (2010), direncanakan mencapai 6.5 juta rumah tangga. Program ini perlu terus berkembang untuk menjangkau semua rumah tangga yang membutuhkan. Perkembangan program PKH tentunya perlu disertai dengan peningkatan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan, selama anggaran negara memungkinkan. Kurangnya pasokan layanan kesehatan dan pendidikan di daerah terpencil, yang sering ditemukan di wilayah timur Indonesia, dapat menghambat dampak program. 4.4.3.2. Sinkronisasi atau eksplorasi kemungkinan penyatuan program beasiswa miskin dengan program lain yang sejalan Apabila program BOS terlaksana dengan baik, serta dananya mencukupi untuk memberi pendidikan gratis, dan apabila program bantuan tunai untuk anak (baik melalui program bersyarat seperti PKH ataupun sistem tunjangan anak universal) sudah berjalan optimal, program beasiswa miskin di tingkat SD dan SMP dapat menjadi tidak relevan. Program beasiswa dapat diharmonisasi dengan program PKH menjadi satu program. Demi efisiensi pelaksanaan maupun targeting program, direkomendasikan untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk menyatukan program beasiswa dengan PKH. 4.4.3.3. Menjajagi kemungkinan program tunjangan anak universal, dan hitung biayanya Program universal seringkali lebih mudah dilaksanakan karena administrasi dan biaya yang dibutuhkan jauh lebih rendah tanpa adanya targeting, di samping dampaknya yang positif. Kemungkinan program tunjangan anak universal ini perlu dipertimbangkan. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan perkiraan biayanya dalam persentasi pengeluaran pemerintah maupun persentasi PDB, untuk memulai diskusi. 45 4.4.3.4. Perbaikan mekanisme penargetan dan efisiensi manajemen untuk program Raskin Permasalahan yang dihadapi program Raskin banyak yang berhubungan dengan tingginya biaya dan kurang efisiennya sistem penyaluran bantuan. Program ini dikelola secara terpusat oleh Badan Usaha Logistik (Bulog). Biaya admisnistrasi dapat dikurangi secara signifikan dengan lebih banyak melibatkan pasar lokal dalam menyediakan beras. 4.4.4. Rekomendasi untuk Jaminan Pendapatan bagi Usia Kerja Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 4.4.4.1. Melakukan studi kelayakan (feasibility study) asuransi pengangguran dan mengaitkannya dengan program-program ketenagakerjaan. Asuransi pengangguran dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja dan lebih efisien biayanya bagi pengusaha. Seiring dengan meningkatnya perlindungan tenaga kerja di Indonesia, saat ini penting untuk mempertimbangkan diterapkannya asuransi pengangguran. Studi kelayakan merupakan langkah selanjutnya untuk mengeksplorasi kemungkinan ini. Hal ini dapat menjadi langkah selanjutnya setelah implementasi SJSN. 4.4.4.2. Menjajagi program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan program pengembangan keterampilan bagi pekerja di sektor informal Untuk mencapai hasil yang lebih optimal, program-program pekerjaan umum perlu dikaitkan dengan program pengembangan keterampilan. Penerima manfaat, yang berasal dari sektor informal, tidak hanya mendapat pekerjaan yang membantu menopang hidup mereka, tetapi juga menerima pelatihan dan pengembangan kapasitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Dengan demikian hasil yang didapatkan lebih berkesinambungan. Perhitungan untuk memperkirakan biaya perlu dibuat untuk menjadi input dalam mendiskusikan hal ini. 4.4.4.3. Menjajagi kemungkinan untuk membuat program manfaat kehamilan untuk perempuan yang bekerja di sektor informal Perempuan yang bekerja di sektor formal menerima manfaat kehamilan/cuti hamil ketika mereka tidak bisa bekerja karena melahirkan. Namun demikian, perempuan yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan perlindungan serupa. Hal ini dapat berakibat buruk pada kesejahteraan ibu dan bayinya, bahkan juga seluruh keluarganya (karena kurangnya penghasilan saat sang ibu tidak dapat bekerja, atau dampak buruk terhadap kesehatan apabila sang ibu kembali bekerja terlalu cepat karena ingin tetap mendapat penghasilan). Jaminan pendapatan saat melahirkan perlu dinikmati oleh semua perempuan yang bekerja, bukan hanya yang bekerja di sektor formal. Untuk itu, perlu dilakukan studi kelayakan untuk menemukan skema jaminan penghasilan saat melahirkan yang sesuai untuk sektor informal. 4.4.5. Rekomendasi untuk Jaminan Pendapatan bagi Penyandang Disabilitas dan Lansia 4.4.5.1. Studi kelayakan untuk skema pensiun manfaat tetap bagi pekerja sektor formal 46 UU SJSN menyatakan bahwa skema pensiun akan disediakan bagi seluruh pekerja sektor formal. Untuk itu, perlu ada studi mendalam mengenai rancangan skema tersebut. DJSN bersama dengan lembaga terkait lainnya saat ini tengah meneliti hal ini dan diharapkan segera menghasilkan rencana implementasi. 4.4.5.2. Mengeksplorasi perluasan jangkauan program bantuan tunai untuk lansia terlantar (JSLU) dan bantuan tunai untuk panyandang disabilitas berat (JSPACA), dan hitung biayanya Program bantuan tunai tetap untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai tetap untuk penyandang disabillitas berat (JSPACA) saat ini hanya menjangkau sebagian kecil dari jumlah orang yang sebenarnya membutuhkan. Program-program tersebut perlu diperluas untuk menjangkau lebih banyak penerima dan pada akhirnya menjangkau seluruh lansia telantar dan seluruh penyandang disabilitas. 4.4.5.3. Pembuatan database lengkap mengenai penyandang disabilitas serta database lengkap mengenai lansia, guna memperbaiki penargetan Untuk mendukung perluasan program JSPACA dan JSLU, sangatlah penting untuk memiliki informasi mengenai jumlah orang yang masuk kategori sasaran program. Hanya dengan itu, penargetan dapat dilakukan dengan efektif. 4.4.5.4. Meningkatkan jumlah nominal subsidi panti Subsidi panti yang saat ini berjumlah Rp 3,000 per hari per orang dirasakan terlalu rendah untuk menutupi kebutuhan mereka. Jumlah tersebut perlu ditingkatkan. 47 48 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Metodologi costing (perkiraan pembiayaan), penjabaran opsi (“skenario”) kebijakan untuk melengkapi LPS, dan penghitungan biayanya 5 5.1. Metodologi costing menggunakan RAP Protocol Sebuah perangkat costing – RAP/Rapid Assessment Protocol (protokol penilaian cepat) – yang dikembangkan oleh ILO, berdasarkan perangkat costing UNICEF/ILO sebelumnya, akan digunakan untuk kegiatan costing ini. Langkah pertama adalah mengidentifikasi dan mendefinisikan opsi kebijakan yang akan melengkapi Landasan Perlindungan Sosial (LPS) sesuai dengan rekomendasi penilaian, kemudian membuat estimasi biaya dari masingmasing opsi dan mengaitkannya dengan proyeksi anggaran pemerintah dan PDB di tahun-tahun mendatang. Rapid Assessment Protocol menggunakan metodologi yang sederhana dan mudah berdasarkan proyeksi populasi dari per kelompok umur, estimasi angkatan kerja per kelompok umur, skenario ekonomi yang relatif kasar berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan PDB, tingkat produktifitas, inflasi dan kenaikan upah, tingkat bunga serta angka kemiskinan. Model ini menggunakan variabel-variabel tersebut sebagai indikator pengeluaran dan pemasukan, yang diterapkan kepada data-data statistik tahun-tahun sebelumnya. Asumsi rinci semuanya dicatat dalam model tersebut dan dapat tersedia bagi semua pembaca yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut. Kegiatan costing menyediakan estimasi kasar biaya yang diperlukan untuk perlindungan sosial tambahan guna mengembangkan Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. Biaya tersebut tersedia dalam rupiah, begitu juga dalam persentasi dari PDB dan persentasi dari pengeluaran pemerintah . Hasil dari costing ini kemudian akan digunakan untuk mendukung pembahasan-pembahasan terkait prioritas kebijakan perlindungan sosial dan menjadi dasar bagi pembahasan tentang ruang fiskal dan realokasi anggaran dengan berbagai lembaga pemerintah. Perlu diperhatikan bahwa kegiatan costing ini bertujuan untuk memperkirakan biaya yang diperlukan untuk skema bersangkutan, tetapi tidak mengarahkan kepada metode pendanaannya. Pendanaan dapat dilakukan melalui subsidi penuh dari pemerintah, kontribusi penuh dari peserta maupun perpaduan kontribusi dan subsidi. 5.2. Jaminan Kesehatan Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan yang dapat dihitung: • Membuat dan menerapkan paket manfaat asuransi kesehatan yang spesifik • Pengobatan dan pencehagan penyakit tertentu, misalnya: - Pengobatan Antiretroviral untuk ODHA - Pencegahan penularan penyakit serius dari ibu ke anak seperti HIV and Sipilis Rekomendasi-rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi skenario berikut: 49 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 50 • Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 moderat • Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk warga miskin, hampir miskin dan rentan di level kelas 3 tinggi • Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat ekonomi informal, di level kelas 3 moderat • Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat ekonomi informal, di level kelas 3 tinggi • Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi • Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi kelompok berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan. • Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi usia produktir (15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan. • Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari Ibu kepada anak (MTCT) untuk HIV dan Sipilis. Kita kemudian menghitung biaya dari skenario-skenario tersebut menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasil dari penghitungan biaya disajikan dalam tabel-tabel di bawah ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam rangka persiapan pelaksanaan UU SJSN, beberapa lembaga (TNP2K, Kemenkes, Bappenas maupun lembaga lainnya) tengah menyusun pilihan paket manfaat untuk asuransi kesehatan yang akan berlaku. Ada beberapa versi yang memungkinkan, dan pemerintah belum memutuskan paket mana yang akan resmi dipakai. Untuk kegiatan costing ini, kami menggunakan versi yang dibuat oleh TNP2K. Pilihan paket beragam dari pelayanan kelas 3 hingga kelas 1, dan untuk masing-masing kelas dibuat perkiraan moderat dan perkiraan tinggi. Biaya tersebut diperkirakan untuk tahun 2014 dan 2019. Skenario 1 sampai 5 di bawah ini dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tersebut. Asumsi dan hasil costing disajikan di bawah ini. 5.2.1. Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin dan rentan di level kelas 3 moderat 5.2.1.1. Asumsi: • Biaya per anggota per bulan untuk estimasi moderat kelas 3 adalah Rp 16.560 di tahun 2014 dan Rp 29.279 di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dll) • Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan. • Target sekitar 40 persen dari populasi (berdasarkan PPLS 2011) atau sekitar 96,14 juta jiwa di tahun 2014, dan diasumsikan meningkat sejalan dengan perkiraan peningkatan penduduk. • Skenario ini akan mulai berlaku pada tahun 2014, saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi. 5.2.1.2. Hasil Biaya total per tahun untuk perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan miskin di level kelas 3 moderat diproyeksikan pada kurun waktu 2014-2020 dan kemudian diungkapkan dalam persentasi PDB dan pengeluaran pemerintah. Diperkirakan bahwa penyediaan paket jaminan kesehatan ini akan memerlukan total biaya sebesar 0,19 persen dari PDB atau 1,12 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. Dibandingkan dengan asumsi biaya Jamkesmas saat ini, diperlukan biaya tambahan sebesar 0,14 persen dari PDB atau 0,80 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.2.2. Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 tinggi 5.2.2.1. Asumsi: • Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 3 adalah Rp 21.970 di tahun 2014 dan Rp 40.366 di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dan lain-lain) • Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan. • Target sekitar 40 persen dari populasi (berdasarkan PPLS 2011) atau sekitar 96,14 juta jiwa di tahun 2014, dan diasumsikan meningkat sejalan dengan perkiraan peningkatan penduduk. • Skenario ini akan mulai berlaku pada tahun 2014, saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi. 5.2.2.2. Hasil Biaya total per tahun untuk perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan miskin di level kelas 3 tinggi diproyeksikan pada kurun waktu 2014-2020 dan kemudian diungkapkan dalam persentasi PDB dan pengeluaran pemerintah. Diperkirakan bahwa penyediaan paket jaminan kesehatan ini akan memerlukan total biaya sebesar 0,27 persen dari PDB atau 1,55 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. Dibandingkan dengan asumsi biaya Jamkesmas saat ini, diperlukan biaya tambahan sebesar 0,21 persen dari PDB atau 1,22 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.2.3. Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3 moderat. 5.2.3.1. Asumsi: • Biaya per anggota per bulan untuk estimasi moderat kelas 3 adalah Rp 16.560 di tahun 2014 dan Rp 29.279 di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dan lain-lain) • Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan. • Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020. • Kepesertaan akan meningkat dari 40 persen populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun 2016 5.2.3.2. Hasil Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 3 moderat diperkirakan akan mencapai 0,31 persen dari PDB dan 1,79 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,25 persen PDB dan 1,47 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang. 51 5.2.4. Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3 tinggi 5.2.4.1. Asumsi: • Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 3 adalah Rp 21.970 di tahun 2014 dan Rp 40.366 di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dll) • Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan. • Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020. • Kepesertaan akan meningkat dari 40 persen populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun 2016 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 5.2.4.2. Hasil 52 Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 3 tinggi diperkirakan akan mencapai 0,43 persen dari PDB dan 2,48 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,37 persen PDB dan 2,15 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang. 5.2.5 Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi 5.2.5.1. Asumsi: • Biaya per anggota per bulan untuk estimasi tinggi kelas 1 adalah Rp 59.071 di tahun 2014 dan Rp 92.303 di tahun 2019. Biaya tersebut sudah termasuk loading factors (administrasi, pemasaran, peningkatan utilisasi dan lain-lain). • Kenaikan biaya antara 2014 sampai 2019 maupun dari 2019 sampai 2020 diasumsikan konstan. • Target 62,9 persen dari populasi (proporsi populasi pekerja ekonomi informal— berdasarkan definisi ekonomi informal BPS saat ini), dan diasumsikan stabil sampai 2020. • Kepesertaan akan meningkat dari 40 populasi di tahun 2014 menjadi 62,9 persen populasi di tahun 2016 5.2.5.2. Hasil Total biaya untuk mencakup pekerja di sektor informal dan keluarganya, pada tingkat kelas 1 tinggi diperkirakan akan mencapai 0,96 persen dari PDB dan 5,57 persen dari belanja pemerintah pada 2020 atau ada tambahan 0,90 persen PDB dan 5,25 persen belanja pemerintah dibandingkan anggaran Jamkesmas yang ada sekarang. 16 560 96 142 12 665 889 0,12% 0,66% Biaya per anggota per bulan Jangkauan (40% populasi) dalam ribu Total biaya tambahan dalam juta Rp. Total biaya tambahan dalam % PDB Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran. pemerintah 0,70% 0,13% 15 207 496 97 162 19 104 2015 0,74% 0,14% 17 765 184 98 229 21 648 2016 0,77% 0,14% 20 317 623 99 307 24 191 2017 2014 21 970 96 142 18 907 432 0,18% 0,98% Tahun Biaya per anggota per bulan Jangkauan (40% populasi) dalam ribu Total biaya tambahan dalam juta Rp. Total biaya tambahan dalam % PDB Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran. pemerintah 1,05% 0,20% 22 823 746 97 162 25 636 2015 1,12% 0,21% 26 787 872 98 229 29 302 2016 1,17% 0,21% 30 776 626 99 307 32 968 2017 1,20% 0,21% 34 777 415 100 368 36 634 2018 0,79% 0,14% 22 855 063 100 368 26 735 2018 Skenario 2: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 tinggi 2014 Tahun Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 moderat Tabel 11: Proyeksi biaya skenario jaminan kesehatan 53 1,22% 0,21% 38 776 394 101 402 40 300 2019 0,80% 0,14% 25 365 694 101 402 29 279 2019 1,22% 0,21% 42 763 511 102 413 43 966 2020 0,80% 0,14% 27 839 936 102 413 31 823 2020 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 0,67% Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran. pemerintah 0,98% 0,19% 21 316 560 50,0% 19 104 2015 1,39% 0,26% 33 152 815 62,9% 21 648 2016 1,44% 0,26% 37 702 123 62,9% 24 191 2017 1,00% Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran. pemerintah 1,43% 0,27% 31 021 694 50,0% 25 636 2015 1,99% 0,37% 47 616 432 62,9% 29 302 2016 2,07% 0,38% 54 468 194 62,9% 32 968 2017 0,62% 3,26% Total biaya tambahan dalam % PDB Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran. pemerintah 40,0% Jangkauan (% populasi) 63 034 072 59 071 Biaya per anggota per bulan Total biaya tambahan dalam juta Rp. 2014 Tahun 4,17% 0,79% 90 572 129 50,0% 65 717 2015 5,40% 1,00% 128 985 242 62,9% 72 364 2016 5,42% 0,99% 142 423 300 62,9% 79 010 2017 5,40% 0,96% 156 033 872 62,9% 85 657 2018 2,12% 0,38% 61 384 722 62,9% 36 634 2018 1,46% 0,26% 42 272 863 62,9% 26 735 2018 Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi 0,19% Total biaya tambahan dalam % PDB 40,0% Jangkauan (% populasi) 19 399 503 21 970 Biaya per anggota per bulan Total biaya tambahan dalam juta Rp. 2014 Tahun Skenario 4: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3 0,13% Total biaya tambahan dalam % PDB 40,0% Jangkauan (% populasi) 13 036 790 16 560 Biaya per anggota per bulan Total biaya tambahan dalam juta Rp. 2014 Tahun Skenario 3: Perluasan jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 3 moderat 54 5,34% 0,94% 169 785 658 62,9% 92 303 2019 2,15% 0,38% 68 347 850 62,9% 40 300 2019 1,47% 0,26% 46 850 127 62,9% 29 279 2019 5,25% 0,90% 183 667 634 62,9% 98 949 2020 2,15% 0,37% 75 346 721 62,9% 43 966 2020 1,47% 0,25% 51 423 819 62,9% 31 823 2020 0.00% 0.20% 0.40% 0.60% 0.80% 1.00% 1.20% 2014 2015 2016 2017 2018 Gambar 3:Proyeksi biaya skenario kesehatan dalam persentasi PDB 55 2019 2020 kelas 1 tinggi untuk seluruh ekonomi formal kelas 3 tinggi untuk seluruh ekonomi formal kelas 3 moderat untuk seluruh ekonomi formal kelas 3 tinggi untuk 40% termiskin kelas 3 moderat untuk 40% termiskin 5.2.6. Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi kelompok berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 5.2.6.1. Asumsi: 56 • Populasi orang dengan risiko tinggi adalah 6 juta pada 2011 (berdasarkan pada konsultasi dengan UNAIDS). Populasi ini diasumsikan bertambah dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan populasi usia produktif. Jumlah penduduk yang melakukan konseling dan tes sukarela (VCT) pada 2010 mencapai 220 ribu orang atau 3,7 persen dari total populasi berisiko. • Pada 2010, jumlah ODHA sebanyak 371.800 dan jumlah orang yang baru terinveksi HIV sebanyak 55.700. Semua ODHA harus secara rutin menjalani cek kesehatan (kandungan virus dan jumlah CD4). Di antara ODHA, 50.400 orang membutuhkan ART (Anti-Retroviral Treatment. Data (2008-2014) diambil dari “Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia” (Kementerian Kesehatan, 2008). Data 2015-2020 mengasumsikan pertumbuhan yang konstan berdasarkan pertumbuhan rata-rata pada tahun sebelumnya. • Prevalensi di antara penduduk yang memiliki risiko tinggi adalah 2,5 persen. • Pada 2011, dari total ODHA dewasa yang membutuhkan pengobatan, hanya 44 persen dapat mengakses tindakan tersebut (Kementerian Kesehatan, 2011). Pemerintah menargetkan dapat meningkatkan jangkauan hingga 80 persen pada 2015. • Biaya VCT (konseling dan tes sukarela) adalah Rp 171.044 pada 2010 jika hasilnya positif, jika hasilnya negatif biayanya sepertiganya, yakni Rp 57.015 Jumlah tes dengan hasil positif diperkirakan berdasarkan prevalensi 2,5 persen. • Pada 2010, biaya untuk penghitungan CD4 adalah Rp 170.000 dan biaya untuk menghitung virus (viral load) adalah Rp 850.000. Biaya untuk ARV line 1 adalah Rp 350.000 / bulan / orang dan untuk ARV line 2 adalah Rp 1.650.000 / bulan / orang. Dari pasien yang menjalani tindakan, 3 persen membutuhkan ARV line-2 dan persentasi ini naik dari tahun-tahun sebelumnya (“Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia”, Kementerian Kesehatan, 2008). Paket manfaat/jaminan termasuk: • Dua kali gratis VCT (konseling dan tes sukarela) per tahun untuk populasi yang berisiko tinggi –target diasumsikan bertambah 3,3 persen pada 2011 menjadi 20 persen pada 2012, dan 100 persen pada 2020. • Dua kali tes viral load dan dua kali tes CD4 untuk ODHA per tahun –50 persen dari ODHA akan menerima cek kesehatan gratis pada 2012, dan proporsinya meningkat 10 persen per tahun sampai akan tercapai 100 persen pada 2017. • Tindakan ARV untuk ODHA yang membutuhkan tindakan (baik line-1 maupun line-2 tergantung pada kebutuhan pasien) –50 persen dari ODHA yang membutuhkan tindakan akan menerima ART pada 2012 dan proporsinya akan bertmbah 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2017. Populasi diproyeksikan selama 2012-2020 dan biaya pengujian dan tindakan diindeks dengan angka inflasi. 5.2.6.2. Hasil Memasukkan tes HIV pada kelompok sangat berisiko, cek kesehatan rutin bagi semua ODHA, dan tindakan ARV bagi semua ODHA yang membutuhkannya akan berbiaya 0,02 persen dari PDB atau 0,14 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.2.7 Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi usia produktif (15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan terapi ARV bagi ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penanganan 5.2.7.1. Asumsi: • Total populasi usia produktif (15-49 tahun) pada 2010 adalah 132.144.900 orang. Jumlah penduduk yang melakukan konseling dan tes sukarela (VCT) pada 2011 adalah 220 ribu orang atau 0,17 persen dari total populasi usia aktif. Di antara populasi yang aktif tersebut, tingkat prevalensinya diperkirakan mencapai 0,3 persen. • Asumsi lainnya sama dengan Skenario 6. Paket manfaat termasuk: • Satu VCT gratis per tahun untuk semua usia produktif. Sebanyak 20 persen dari total usia produktif (15-49 tahun) akan mendapatkan tes gratis pada 2012 dan proporsinya akan meningkat 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2020. • Dua tes kandungan virus dan dua tes CD4 untuk ODHA –50 persen dari ODHA akan mendapatkan cek kesehatan gratis pada 2012 dan proporsinya akan meningkat 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2017. • Tindakan ARV bagi PLWA yang membutuhkan tindakan (baik line-1 maupun line-2 tergantung pada pasien) –50 persen PLWA yang membutuhkan tindakan akan menerima ART pada 2012, dan proporsinya bertambah 10 persen per tahun sampai tercapai angka 100 persen pada 2017. Populasi diproyeksinya selama kurun waktu 2012-2020 dan biaya tes dan tindakan diindeks dengan angka inflasi. 5.2.7.2. Hasil Penyediaan tes HIV bagi seluruh usia produktif (usia 15-49 tahun), cek kesehatan rutin bagi ODHA dan pengobatan ARV bagi semua ODHA yang membutuhkan akan memerlukan biaya 0,08 persen dari PDB atau 0,44 persen dari belanja Pemerintah pada 2020. 5.2.8. Skenario 8: Pengenalan paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari ibu ke anak (MTCT) untuk HIV dan Sipilis. 5.2.8.1. Asumsi: • Total kelahiran pada 2010 adalah 4.485.000 dan kami mengasumsikan angka tersebut merupakan representasi dari jumlah ibu melahirkan pada 2010. • Jumlah kelahiran yang membutuhkan prosedur pencegahan MTCT diperkirakan mencapai 5.730 pada 2010, 6.340 pada 2011, 6.890 pada 2012, dan 8.170 pada 2013 (“Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia”, Kementerian Kesehatan, 2008). Data 2015-2020 diasumsikan memiliki angka pertumbuhan konstan didasarkan pada pertumbuhan rata-rata tahun sebelumnya. • Biaya VCT (konseling dan tes sukarela) untuk HIV adalah Rp 171.044 pada 2010 jika hasilnya positif, jika hasilnya negatif biayanya sepertiganya yakni Rp 57.015. Kami mengasumsikan jumlah kelahiran yang membutuhkan MTCT sesuai dengan hasil tes positif. Prophylaxis ART dalam kasus ibu yang terdeteksi HIV+ akan menelan biaya Rp 6.512.833 pada 2010. • Prevalensi Sipilis di antara wanita hamil diperkirakan mencapai 1,7 persen (WHO, 2009: 6.) Biaya tes Sipilis adalah Rp 25 ribu jika hasilnya positif dan Rp 2.000 kalau hasilnya negatif. Asumsi jumlah hasil tes positif menggunakan jumlah prevalensi. 57 • Biaya tindakan antibiotik untuk Sipilis sekitar Rp 10 ribu (2010). Paket manfaat meliputi: • Satu kali gratis VCT (konseling dan tes sukarela) untuk HIV dan satu kali gratis tes Sipilis bagi semua ibu melahirkan –20 persen dari calon ibu akan menerima tes gratis pada 2012, dan akan bertambah 10 persen setiap tahun sampai tercapai 100 persen pada 2020. • Orang dengan HIV/AIDS akan menerima Prophylaxis ART untuk mengurangi penularan ibu kepada anak, dan yang terkena Sipilis akan mendapatkan tindakan antibiotik –20 persen akan mendapatkan tindakan pada 2012, dan jumlahnya akan bertambah 10 persen sampai tercapai 100 persen pada 2020. 5.2.8.2. Hasil Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Paket universal untuk mengurangi penularan Ibu kepada Anak (HIV dan Sipilis) diperkirakan membutuhkan biaya 0,002 persen dari PDB atau 0,014 persen dari belanja pemerintah pada 2020. 58 143 670 96 593 0,09% Total dalam % pengeluaran pemerintah 0,10% 0,02% 2 208 957 0,12% 0,02% 2 778 482 204 970 439 616 1 251 807 250 361 631 729 90% 60% 2016 0,05% 0,27% Total dalam % PDB Total dalam % pengeluaran pemerintah Total (dalam juta rupiah) 0,31% 0,06% 6 663 558 143 670 96 593 ARV line 2 5 152 179 350 468 272 218 ARV lline 1 1 007 524 793 127 Dua kali “viral loads” per ODHA per tahun 201 505 158 625 4 960 391 Satu kali VCT gratis per tahun untuk usia kerja 3 831 616 Dua kali CD4 per ODHA per tahun 80% 70% ART untuk ODHA 50% 2015 40% 2014 VCT untuk seluruh populasi usia produktif Tahun 0,35% 0,06% 8 342 251 204 970 439 616 1 251 807 250 361 6 195 498 90% 60% 2016 Skenario 7: Tes HIV untuk seluruh populasi produktif dan pengobatan ARV untuk ODHA 0,02% Total dalam % PDB Total (dalam juta rupiah) ARV lline 2 1 711 257 350 468 272 218 ARV line 1 1 007 524 793 127 Dua kali “viral loads” per ODHA per tahun 201 505 158 625 Dua kali CD4 per ODHA per tahun 505 790 80% 390 694 70% ART untuk ODHA 50% 2015 Dua kali VCT per tahun untuk populasi berisiko tinggi 40% 2014 VCT untuk populasi berisiko tinggi Tahun Skenario 6: Tes HIV untuk kelompok berisiko tinggi dan pengobatan ARV untuk ODHA Tabel 12: Proyeksi biaya scenario pengobatan HIV 59 0,39% 0,07% 10 144 660 283 230 540 711 1 529 728 305 946 7 485 046 100% 70% 2017 0,13% 0,02% 3 422 833 283 230 540 711 1,529 728 305 946 763 218 100% 70% 2017 0,41% 0,07% 11 803 374 346 492 594 669 1 675 638 335 128 8 851 448 100% 80% 2018 0,13% 0,02% 3 854 471 346 492 594 669 1 675 638 335 128 902 545 100% 80% 2018 0,43% 0,07% 13 557 637 418 089 650 360 1 828 925 365 785 10 294 478 100% 90% 2019 0,14% 0,02% 4 312 844 418 089 650 360 1 828 925 365 785 1 049 684 100% 90% 2019 0,44% 0,08% 15 408 570 498 606 707 811 1 989 902 397 980 11 814 270 100% 100% 2020 0,14% 0,02% 4 798 951 498 606 707 811 1989 902 397 980 1 204 651 100% 100% 2020 5 304 Test sipilis gratis untuk semua perempuan hamil 0,002% 0,008% Total dalam % PDB Total % dalam pengeluaran pemerintah. 0,009% 0,002% 200 473 1 077 6 703 36 258 156 435 50% 2015 0,010% 0,002% 244 243 1 287 8 011 47 908 187 037 60% 2016 0.00% 0.01% 0.02% 0.03% 0.04% 0.05% 0.06% 0.07% 0.08% 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Gambar 4. Proyeksi Skenario Biaya Usulan Manfaat terkait HIV (% PDB) 156 074 Total (dalam juta rupiah) 852 26 187 ART prophylaxis untuk mengurangi penularan ibu ke anak bagi ibu dengan HIV+ Pengobatan antibiotik untuk sipilis 123 731 40% 2014 Satu kali VCT gratis untuk seluruh perempuan hamil Tingkat cakupan Tahun 0,012% 0,002% 354 458 1 820 11 333 76 572 264 733 80% 2018 Pencegahan penularan dari ibu ke anak untuk HIV dan Sipilis Tes HIV untuk seluruh usia produktif dan pengobatan ARV untuk ODHA Tes HIV untuk kelompok risiko tinggi dan pengobatan ARV untuk ODHA 0,011% 0,002% 297 362 1 547 9 629 61 309 224 877 70% 2017 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi transmisi HIV dan Sipilis dari Ibu ke Anak 60 0,013% 0,002% 415 703 2 108 13 123 93 829 306 643 90% 2019 0,014% 0,002% 481 131 2 408 14 996 113 220 350 507 100% 2020 5.3. Anak-anak Di antara rekomendasi untuk jaminan pendapatan anak-anak, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan yang dapat dihitung: • Perluasan jangkauan program bantuan bersyarat (PKH dan PKSA) dari segi wilayah maupun jumlah penerima • Eksplorasi kemungkinan program tunjangan anak universal, dan perkirakan biayanya Rekomendasi-rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi skenario berikut: • Skenario 1: Memperluas PKH untuk semua rumah tangga miskin (dan tidak hanya rumah tangga yang sangat miskin), sesuai dengan kebijakan pemerintah. • Skenario 2: Skenario 1 + paket manfaat yang ditingkatkan untuk anak-anak usia 13 hingga 15 tahun (karena kelompok target beasiswa SD dan SMP sama dengan PKH, kami sarankan untuk menjadi satu program saja). • Skenario 3: Program tunjangan anak secara universal untuk semua anak. Kita kemudian dapat menghitung biaya skenario-skenario ini dengan menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasi dari penghitungan biaya disajikan di bawah ini. 5.3.1. Skenario 1: Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin (tidak hanya rumah tangga sangat miskin) 5.3.1.1. Asumsi: • Jumlah rumah tangga miskin yang dicakup akan meningkat (sesuai rencana awal Pemerintah yang dituangkan dalam Pedoman Umum Program Keluarga Harapan 2010 dari Kementerian Sosial) menjadi 6,5 juta rumah tangga, dan secara progresif akan menurun karena beberapa diasumsikan akan “lulus” dari kemiskinan. Menurut rencana awal, 6,5 juta akan dijangkau pada 2010. Tetapi mengingat kecenderungan yang ada sekarang, kami berasumsi bahwa hal tersebut baru akan bisa dicapai pada 2016. • Penerima manfaat PKH termasuk anak di bawah lima tahun (28,81 persen dari total penerima manfaat), anak usia sekolah dasar (50,85 persen), anak usia sekolah menengah pertama (18,64 persen) dan ibu hamil/menyusui (1,69 persen). Kami berasumsi bahwa komposisi ini akan tetap konstan dari waktu ke waktu, sesuai proporsi penerima manfaat yang ada saat ini. • Paket manfaat dan biaya administrasi pada tahun 2012 adalah sebagai berikut dan kami berasumsi bahwa manfaat dan biaya administrasi akan meningkat sesuai dengan inflasi: Table 13: Manfaat dalam skenario 1 Jenis penerima manfaat Jumlah Tahunan (Rp) Balita 800 000 Siswa SD 400 000 Siswa SMP 800 000 Ibu hamil/menyusui 800 000 Manfaat tetap per rumah tangga 200 000 Biaya administrasi (estimasi) 220 000 61 5.3.1.2. Hasil Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin akan memerlukan tambahan biaya sebesar 0,03 persen PDB atau 0,20 persen belanja pemerintah pada 2020, di luar dari belanja PKH untuk jumlah penerima saat ini. Total biaya program PKH akan mencapai 0,05 persen dari PDB atau 0,27 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.3.2. Skenario 2: Skenario 1 + peningkatan paket manfaat untuk anak-anak usia SMP Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 5.3.2.1. Asumsi: 62 • Sama dengan skenario 1. • Paket manfaat dan biaya administrasi sama dengan skenario 1 kecuali untuk anak usia SMP; untuk kategori ini, paket manfaatnya adalah Rp 1.200.000 per tahun dan tidak Rp 800.000. Tabel 14: Manfaat dalam skenario 2 Jenis penerima manfaat Jumlah Tahunan (Rp) Balita 800.000 Usia SD 400.000 SMP 1.200.000 Ibu hamil/menyusui 800.000 Jumlah tetap per rumah tangga 200.000 Biaya admin (estimasi) 220.000 5.3.2.2. Hasil Perluasan program PKH untuk semua rumah tangga miskin (dan tidak hanya untuk rumah tangga yang sangat miskin) termasuk paket manfaat yang ditingkatkan untuk anak sekolah menengah pertama akan memberikan tambahan biaya sebesar 0,04 persen PDB atau 0,22 persen belanja pemerintah pada 2020. Total biaya program PKH akan menjadi 0,05 persen dari PDB dan 0,28 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.3.3. Skenario 3: Pengadaan tunjangan anak universal untuk semua anak 5.3.3.1. Asumsi: • Besarnya tunjangan anak adalah Rp 400.000 per anak per tahun (sesuai dengan manfaat PKH yang diterima sekarang untuk anak-anak sekolah dasar) dan biaya administrasi serupa dengan program bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah dilaksanakan (5 persen dari manfaat). • Tingkat pencapaian adalah 20 persen pada 2012, 30 persen pada 2013, dan akan mencapai 100 persen pada 2020. • Jumlah manfaat dan administrasi meningkat sesuai dengan inflasi. 5.3.3.2. Hasil Program tunjangan anak universal untuk semua anak akan berbiaya 0,18 persen dari PDB atau 1,04 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 0,26% Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran pemerintah 0,32% 0,06% 7 034 167 1 785 5 000 2015 0,42% 0,08% 9 998 876 1 838 6 500 2016 1 891 Biaya rata-rata per rumah tangga (ribuan Rp.) 0,30% Total biaya tambahan dalam % Pengeluaran pemerintah 0,12% 0,64% Total dalam % PDB Total dalam % Pengeluaran Pemerintah Total biaya dalam jutaan Rp. 0,73% 0,14% 15 868 069 40% 12 274 777 50% 67 229 Jumlah anak-anak yang dicakup (dalam ribu) Tingkat cakupan 67 456 2014 2015 0,36% 0,07% 7 855 629 1 949 5 000 2015 Tahun Skenario 3: Tunjangan universal untuk anak-anak 0,06% Total biaya tambahan dalam % PDB 5 730 214 4 000 Jumlah rumah tangga yang dicakup (dalam ribu) Total biaya tambahan dalam jutaan Rp. 2014 Tahun 0,80% 0,15% 19 165 347 60% 65 945 2016 0,46% 0,09% 11 098 333 2 007 6 500 2016 1 893 6 500 2017 0,88% 0,16% 23 089 339 70% 66 114 2017 0,44% 0,08% 11 431 283 2 067 6 500 2017 0,39% 0,07% 10 298 842 Skenario 2: Skenario 1 + paket manfaat tambahan untuk anak-anak dari usia 13 s.d. 15 tahun 0,05% Total tambahan biaya dalam % PDB 1 732 Biaya rata-rata per Rumah Tangga (Ribuan Rp.) 5 092 625 4 000 Jumlah rumah tangga yang dicakup (dalam ribu) Total biaya tambahan dalam juta Rp. 2014 Tahun 0,94% 0,17% 27 237 323 80% 66 255 2018 0,41% 0,07% 11 774 221 2 129 6 500 2018 0,37% 0,07% 10 607 807 1 950 6 500 2018 0,99% 0,17% 31 613 933 90% 66 365 2019 0,31% 0,05% 9 934 294 2 193 5 500 2019 0,28% 0,05% 8 917 719 2 008 5 500 2019 Skenario 1: Perluasan program PKH untuk seluruh rumah tangga miskin (dan tidak hanya untuk rumah tangga yang sangat miskin) Tabel 15: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak 63 1,04% 0,18% 36 216 506 100% 66 432 2020 0,22% 0,04% 7 677 299 2 193 4 500 2020 0,20% 0,03% 7 116 679 2 069 4 500 2020 Gambar 5: Proyeksi biaya skenario untuk anak-anak dalam persentasi PDB 0.20% 0.18% 0.16% 0.14% Perluasan PKH ke 6,5 juta rumahtangga miskin pada tahun 2016 0.12% Perluasan PKH ke rumahtangga miskin dan penambahan manfaat untuk anak usia 12-15 0.10% 0.08% Tunjangan anak universal 0.06% Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 0.04% 64 0.02% 0.00% 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 5.4. Penduduk usia kerja Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan yang dapat dihitung: • Membuat program pekerjaan umum yang dikaitkan dengan program pengembangan keterampilan untuk pekerja di sektor informal Rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi: Skenario 1 - “Pembuatan jaminan pekerjaan umum (public works) yang dikaitkan dengan pelatihan kejuruan.”. Biaya dari skenario ini kemudian dihitung menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasil penghitungan biaya disajikan di bawah ini. 5.4.1.1. Asumsi: • Cakupan program secara progresif meningkat menjadi 25 persen dari pekerja ekonomi informal pada tahun 2020. • Program menyediakan jaminan 30 hari kerja per orang per tahun dan dibayar dengan upah minimum per hari (yang kita asumsikan akan meningkat sesuai dengan inflasi) . • Di samping itu, penerima manfaat dari program ini berhak mendapatkan 10 hari pelatihan setiap lima tahun. • Estimasi biaya pelatihan adalah Rp 1.700.000 per orang per pelatihan (didasarkan atas hasil dari survei Bank Dunia terhadap program BLK). • Biaya administrasi diasumsikan 15 persen. 5.4.1.2. Hasil Pembuatan program pekerjaan umum akan memakan biaya 0,47 persen dari PDB dan 2,72 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 1,06% Total dalam % Pengeluaran Pemerintah 1,29% 0,24% 27 964 527 3 647 547 2 155 869 2 311 72 674 30 1,53% 0,28% 36 634 430 4 778 404 2 219 575 2 372 78 857 30 11 240 13,9% 2016 1,99% 0,36% 52 365 013 6 830 219 2 286 162 4 553 85 638 30 13 672 16,7% 2017 0.00% 0.05% 0.10% 0.15% 0.20% 0.25% 0.30% 0.35% 0.40% 0.45% 0.50% 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 4 676 93 039 30 16 162 19,4% 2018 2,23% 0,40% 64 539 939 8 418 253 2 354 747 Pekerjaan umum dikaitkan dengan pelatihan kerja Gambar 6: Proyeksi biaya skenario kelompok usia kerja dalam persentasi PDB 0,20% Total dalam % PDB 20 548 636 2 680 257 Total Biaya Admin (15%) Total biaya dalam jutaan Rp. 2 091 635 2 249 66 927 Biaya pelatihan/ per orang (Rp.) Jumlah peserta latih per tahun (dalam ribuan) Upah minimum per hari (Rp.) 30 6 556 Jumlah orang yang dicakup (dalam ribuan) Jumlah hari kerja/ per orang per tahun 11,1% 8,3% Cakupan 8 868 2015 2014 Tahun Skenario 1: Pembuatan Jaminan Pekerjaan Umum terkait dengan pelatihan kerja Tabel 16: Proyeksi biaya skenario untuk kelompok usia kerja 65 2,47% 0,43% 78 637 654 10 257 085 2 425 389 4 795 101 122 30 18 707 22,2% 2019 2,72% 0,47% 94 936 160 12 382 977 2 498 151 4 912 109 951 30 21 308 25% 2020 5.5. Lanjut usia dan penyandang disabilitas Di antara rekomendasi untuk jaminan kesehatan, rekomendasi berikut berhubungan dengan kegiatan pembiayaan yang dapat dihitung: • Perluasan jangkauan program bantuan tunai untuk lansia telantar (JSLU) dan bantuan tunai untuk panyandang cacat berat (JSPACA), dan perkirakan biayanya Rekomendasi tersebut diterjemahkan menjadi: • Skenario 1: Perluasan dari pensiun nonkontribusi untuk semua penyandang disabilitas berat. • Skenario 2: Perluasan pensiun nonkontribusi untuk semua orang tua yang rentan (tanpa dukungan keluarga). • Skenario 3: Pengadaan pensiun nonkontribusi untuk semua orang tua berusia 55 tahun ke atas. • Skenario 4: Pengadaan pensiun nonkontribsi untuk semua orang tua berusia 65 tahun ke atas. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Biaya dari skenario ini kemudian dihitung menggunakan Alat Costing ILO (Protokol RAP). Asumsi dan hasil penghitungan biaya disajikan di bawah ini. 66 5.5.1. Skenario 1: perluasan dari skema bantuan sosial (Program JSPACA) untuk semua penyandang disabilitas berat 5.5.1.1. Asumsi: • Estimasi jumlah penyandang disabilitas berat adalah 163.000 pada 2010 dan akan meningkat sebagaimana tingkat pertumbuhan populasi normal (Kemensos menyatakan jumlah penyandang disabilitas parah yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi, tetapi data yang pasti belum tersedia). • Persentasi orang yang dicakup akan meningkat dari 11,8 persen saat ini menjadi 100 persen pada 2020. • Besar jaminan Rp 300.000 per bulan pada 2011 dan meningkat sesuai dengan inflasi (berdasarkan manfaat yang diberikan JSPACA). • Biaya administrasi 15 persen. 5.5.1.2. Hasil Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada bagi semua penyandang disabilitas berat akan memerlukan tambahan biaya sebesar 0.005 persen PDB atau 0,026 persen belanja pemerintah pada 2020, di luar biaya untuk jumlah penerima yang ada saat ini. Total belanja program ini akan memakan biaya 0,005 persen dari PDB GDP dan 0,029 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.5.2. Skenario 2: Perluasan pensiun nonkontribusi (Program JSLU) untuk semua orang tua rentan 5.5.2.1. Asumsi: • Persentasi orang tua dalam situasi rentan diasumsikan sebesar 9,2 persen dari total populasi orang tua (60 tahun dan lebih) dan tetap konstan dari waktu ke waktu. Jumlah tersebut didasarkan pada perkiraan jumlah orang tua rentan pada 2010. • Persentasi orang tua rentan yang dicakup akan tumbuh dari 0,75 persen pada 2011 menjadi 100 persen pada 2020. • Besarnya jaminan adalah Rp 300.000 per bulan pada 2011 (sesuai dengan program JLSU saat ini) dan meningkat sesuai dengan inflasi. • Biaya administrasi 15 persen. 5.5.2.2. Hasil Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan memakan biaya 0,074 persen dari PDB atau 0,43 persen dari pengeluaran pemerintah pada 2020 (berbasis angka JLSU pada saat ini). Karena belanja JLSU saat ini sangat rendah, tambahan biaya ini akan mendekati keseluruhan biaya yag diperlukan program. 5.5.3. Skenario 3: Pengadaan pensiun universal bagi orang tua usia 55 tahun ke atas (usia pensiun sah di sektor formal) 5.5.3.1. Asumsi : • Persentasi dari orang tua yang dicakup oleh pensiun universal akan mencapai 100 persen pada 2020. • Besar manfaat setara dengan rata-rata tingkat garis kemiskinan yakni Rp 226.335 per orang per bulan dan meningkat sesuai dengan inflasi. • Biaya administrasi adalah 5 persen (biaya administrasi relatif kecil karena tidak ada targeting dan biaya ini digunakan untuk transfer dana). 5.5.3.2. Hasil • Perluasan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan berbiaya 0,82 persen dari PDB atau 4,75 persen dari pengeluaran Pemerintah pada 2020. 5.5.4. Skenario 4: Pengadaan pensiun universal bagi orang tua usia 65 tahun ke atas. 5.5.4.1. Asumsi : • Persentasi dari orang tua yang dicakup oleh pensiun universal akan mencapai 100 persen pada 2020. • Besarnya manfaat setara dengan tingkat rata-rata garis kemiskinan yakni Rp 226.335 per orang per bulan dan meningkat sesuai dengan inflasi. • Biaya administrasi adalah 5 persen (biaya admin relatif kecil karena tidak ada targeting dan biaya ini digunakan untuk transfer dana). 5.5.4.2. Hasil Perluaan dari skema pensiun nonkontribusi yang sudah ada akan memakan biaya 0,35 persen dari PDB atau 2,03 persen dari Pengeluaran Pemerintah pada 2020. 67 231 344 0,002% 0,012% Total biaya tambahan (dalam jutaan Rp.) Total biaya tambahan dalam % PDB Total biaya tambahan dalam % pengeluaran Pemerintah 0,015% 0,003% 326 352 354 670 50% 172 356 2015 Total biaya tambahan dalam % pengeluaran pemerintah 0,19% 0,036% 3 704 554 Total biaya tambahan (dalam jutaan Rp.) Total biaya tambahan dalam % PDB 344 103 Manfaat/ orang/ bulan (setelah inflasi) 40% 1 983 Estimasi usia lanjut yang rentan (dalam ribu) Persentasi penduduk yang dicakup 2014 Tahun 0,23% 0,043% 4 985 918 354 670 50% 2 064 2015 Skenario 2: Perluasan pensiun non-kontribusi untuk seluruh lansia terlantar 344 103 40% 170 545 2014 Manfaat/ /orang/bulan (setelah inflasi) Persentasi penduduk yang dicakup Estimasi populasi orang dengan kecacatan berat Tahun 0,28% 0,051% 6 585 551 365 151 60% 2 200 2016 0,018% 0,003% 428 570 365 151 60% 174 249 2016 0,31% 0,057% 8 271 742 376 105 70% 2 296 2017 0,021% 0,004% 538 813 376 105 70% 176 161 Skenario 1: Perluasan slema pensiun non kontribusi untuk seluruh orang dengan disabilitas berat 2017 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Tabel 17: Proyeksi biaya skenario untuk lansia dan orang dengan disabilitas berat 68 0,35% 0,063% 10 210 066 387 388 80% 2 404 2018 0,023% 0,004% 657 201 387 388 80% 178 043 2018 0,39% 0,068% 12 429 739 399 010 90% 2 523 2019 0,025% 0,004% 784 043 399 010 90% 179 877 2019 0,43% 0,074% 14 970 513 410 980 100% 2 653 2020 0,026% 0,005% 919 755 410 980 100% 181 671 2020 2,20% Total biaya dalam % pengeluaran Pemerintah 0,93% Dalam % pengeluaran Pemerintah 1,10% 0,21% 0,18% Dalam % PDB 267 581 23 874 106 259 609 50% 14 162 2015 2,63% 0,50% 57 092 225 267 581 50% 33 867 2015 17 913 167 TOTAL (dalam jutaan Rp.) Manfaat/ orang /bulan (setelah inflasi) 40% 13 691 Populasi 65+(dalam ribu) Persentasi penduduk yang dicakup 2014 Tahun Skenario 4: Penerapan pensiun universal untuk usia di atas 65 0,42% 42 567 618 259 609 Total biaya dalam % PDB Total biaya (dalam jutaan Rp.) Manfaat/ orang/ bulan (setelah inflasi) 40% 32 533 Penduduk 55+(dalam ribu) Persentasi penduduk yang dicakup 2014 Tahun 1,33% 0,25% 31 708 364 275 488 60% 15 225 2016 3,14% 0,58% 74 947 136 275 488 60% 35 986 2016 1,50% 0,27% 39 534 179 283 753 70% 15 797 2017 3,57% 0,65% 93 775 735 283 753 70% 37 470 2017 1,68% 0,30% 48 469 977 292,266 80% 16,453 2018 3,98% 0,71% 115 082 536 292 266 80% 39 064 2018 Skenario 3: Penerapan pensiun universal untuk penduduk usia diatas 55 (usia pensiun secara legal dalam sektor formal) 69 1,85% 0,32% 58 821 143 301 034 90% 17 231 2019 4,38% 0,77% 139 111 519 301 034 90% 40 751 2019 2,03% 0,35% 71 056 352 310 065 100% 18 188 2020 4,75% 0,82% 166 208 369 310 065 100% 42 543 2020 Gambar 7: Proyeksi biaya skenario untuk orang dengan disabilitas berat dan lansia 9000 8000 7000 Perluasan JSPACA 6000 Perluasan JSPALU 5000 Pensiun universal untuk 55 tahun 4000 Pensiun universal untuk 65 tahun 3000 2000 70 0 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 5.6. Paket gabungan untuk menutupi kekurangan LPS Untuk menutupi kekurangan untuk mencapai Landasan Perlindungan Sosial di Indonesia. kami sajikan dua kemungkinan kombinasi skema yang dapat dipertimbangkan, skenario “rendah” dan skenario “tinggi”: Tabel 18: Kombinasi skenario rendah dan kombinasi skenario tinggi untuk melengkapi LPS di Indonesia Rendah Skenario 1: Perluasan jaminan kesehatan untuk warga miskin, hampir miskin, dan rentan di level kelas 3 moderat; Kesehatan Anakanak Usia produktif Skenario 6: Menyediakan tes HIV bagi populasi berisiko tinggi, cek kesehatan rutin bagi ODHA, dan tindakan ARV bagi semua ODHA yang memenuhi syarat untuk mendapatkannya; Tinggi X X Skenario 5: Perluasan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk seluruh masyarakat di ekonomi informal, di level kelas 1 tinggi; Lansia penyandang disabilitas Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 1000 X X Skenario 7: Menyediakan tes HIV bagi seluruh penduduk usia produktif (umur 15-49 tahun), serta cek kesehatan rutin bagi ODHA; Skenario 8: Paket universal untuk mengurangi penyakit menular dari Ibu kepada Anak (MTCT), khususnya untuk HIV dan Sipilis. X Skenario 1: Perluasan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk semua rumah tangga miskin (dan tidak hanya rumah tangga yang sangat miskin) X Skenario 3: Tunjangan anak universal X X Skenario 1: Program jaminan pekerjaan umum (padat karya) yang dikaitkan dengan pelatihan kejuruan X X Skenario 1: Perluasan JSPACA untuk semua penyandang disabilitas berat; X X Skenario 2: Perluasan JSLU untuk semua orang tua rentan X Skenario 3: Menyediakan dana pensiun universal untuk orang tua usia 55 tahun ke atas X Berdasarkan atas dua kombinasi ini. untuk mencapai LPS akan memakan biaya antara 0.74 persen dan 2.45 persen dari PDB tahun 2020. 0,50% 0,05% 0,20% 0,04% 0,43% Skenario- Anak-anak Skenario- Usia kerja SKenario 1 & 2-Disabilitas dan usia lanjut 0,24% 0,06% 0,02% 0,58% 0,05% 0,28% 0,08% 0,02% 0,14% 2016 0,50% 1,73% 0,12% 0,20% 0,42% 1,41% Skenario 3-Anak-anak Skenario 1-Usia kerja - Skenario 1&3- Disabilitas dan usia lanjut Total 0,06% 0,05% Skenario 7&8 0,24% 0,14% 0,79% 0,62% Skenario 5- Kesehatan 2015 2014 Tahun 2,09% 0,59% 0,28% 0,15% 0,07% 1,00% 2016 Kemungkinan “Skenario Tinggi” untuk menutup gap SPF di Indonesia (Biaya dalam % PDB) Total 0,05% 0,02% Skenario HIV- 6&8 0,13% 0,12% Skenario 1-Kesehatan 2015 2014 Tahun 2,23% 0,65% 0,36% 0,16% 0,07% 0,99% 2017 0,66% 0,06% 0,36% 0,07% 0,03% 0,14% 2017 Kemungkinan “Skenario Rendah” untuk menutup kekurangan SPF di in Indonesia (Biaya dalam % PDB) 2,32% 0,71% 0,40% 0,17% 0,08% 0,96% 2018 0,70% 0,07% 0,40% 0,07% 0,03% 0,14% 2018 2,39% 0,77% 0,43% 0,17% 0,08% 0,94% 2019 0,72% 0,07% 0,43% 0,05% 0,03% 0,14% 2019 Tabel 19: Proyeksi biaya untuk skenario kombinasi rendah dan tinggi untuk melengkapi Landasan Perllindungan Sosial di Indonesia (dalam persentasi PDB) 71 2,45% 0,82% 0,47% 0,18% 0,08% 0,90% 2020 0,74% 0,08% 0,47% 0,03% 0,03% 0,14% 2020 Gambar 8: Proyeksi biaya skenario kombinasi rendah dan tinggi (dalam persentasi PDB) Penyandang disabilitas dan orang lanjut usia Usia kerja Anak-anak HIV Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Kesehatan 72 6 Indikasi Awal Ruang Fiskal Kami menambahkan proyeksi biaya diatas kepada proyeksi anggaran belanja negara dan melihat perubahannya terhadap neraca (surplus/defisit anggaran), dalam rupiah maupun dalam persentasi PDB. Perbandingan ini merupakan indikasi awal untuk ruang fiskal, apabila diasumsikan seluruh skenario yang diusulkan dibiayai seluruhnya oleh anggaran pemerintah. Tabel 20. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya oleh anggaran pemerintah Kemungkinan “Skenario Rendah” untuk menutup kekurangan LPS di Indonesia (Biaya dalam % PDB) Tahun Neraca (dalam juta rupiah) – Status Quo 2014 2016 2018 2020 (140 786 015) (189 656 153) (243 974 955) (312 648 307) Neraca (dalam juta rupiah) – Skenario Rrendah (183 164 434) (261 334 641) (357 053 961) (463 711 433) Neraca (dalam juta rupiah) – Skenario Tinggi (619 683 659) (810 486 432) (284 750 716) (458 403 373) Neraca (dalam % PDB) - Status Quo -1,38% -1,47% -1,51% -1,54% Neraca (dalam % PDB) – Skenario Rendah -1,79% -2,03% -2,20% -2,28% Neraca (dalam % PDB) – Skenario Tinggi -2,79% -3,56% -3,83% -3,98% Gambar 9. Ruang fiskal: skenario rendah dan skenario tinggi bila diasumsikan dibiayai sepenuhnya oleh anggaran pemerintah (% PDB) 73 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia Model diatas menunjukkan bahwa neraca belanja negara dalam status quo akan memiliki defisit sekitar 1,38 persen PDB pada tahun 2014. Biaya tambahan untuk melengkapi landasan perlindungan sosial berdasarkan skenario rendah akan menambah defisit sebanyak 0,4 persen PDB dan biaya tembahan berdasarkan skenario tinggi akan menambah defisit sebanyak 1,4 persen PDB. Penambahan defisit tersebut akan berlanjut setelah 2020. Untuk kedua skenario tersebut diperlukan adanya realokasi anggaran, perubahan struktur pajak dan/atau pemungutan iuran sosial. Implementasi secara bertahap maupun penambahan komponen-komponen landasan perlindungan sosial selanjutnya dapat pula dipertimbangkan, sejalan dengan Rekomendasi No. 202 tentang Landasan Perlindungan Sosial, 2012. 74 Lampiran 1: Matriks Penilaian LPS 7 http://www.ilo.org/gimi/gess/RessShowRessource.do?ressourceId=26262 75 Lampiran 2: Kerangka Hukum dan Hak Azasi di Indonesia 8 Tabel 21. Kerangka kerja hukum dan Hak Azasi Manusia di Indonesia No. Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 1 76 4 Jaminan LPS Seluruh penduduk memiliki akses terhadap Pelayanan Kesehatan Dasar Konvensi Internasional yang tandatangani Indonesia 1. ICCPR. diratifikasi 2005 pasal 25 2. ICESCR. diratifikasi 2005 pasal 12 3. CRC. diratifikasi 1990 pasal 3 (3). pasal 23. pasal 24 4. CEDAW. diratifikasi 1984 pasal 5 5. CERD. diratifikasi 1999 pasal 5 6. UDHR 7. Konvensi ILO No. 19 tentang Persamaan dalam Pengibatan 8. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Kebijakan dan Peraturan Nasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 2 3 4 Semua anak memiliki jaminan penghidupan melalui Bantuan Tunai atau natura, yang memungkinkan akses terhadap nutrisi, pendidikan dan kesehatan 1. ICESCR. pasal 9. 10 2. CRC. pasal 26. 28 3. Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum 4. Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak 1. 2. Seluruh penduduk usia kerja yang tidak memperoleh pendapatan yang memadai, memilik jaminan penghidupan 1. ICESCR. pasal 9. 11 2. UDHR. pasal 23 1. 2. Seluruh penduduk lanjut usia dan penyandang disabilitas mendapat jaminan pendapatan melalui pensiun dan bantuan natura 1. 2. 3. 4. Sumber: UNAIDS 3. 4. 3. ICESCR. pasal 9. 11 CEDAW. pasal 11 UDHR. pasal 23. 25 CRPD. diratifikasi Oktober 2011. pasal 28 1. 2. 3. 4. 5. UU No. 12/2005 tentang ratifikasi ICCPR UU No. 11/2005 tentang ratifikasi ICESCR Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang ratifikasi CRC UU No. 7/1984 tentang ratifikasi CEDAW UU No. 29/1999 tentang ratifikasi CERD UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnik dan Rasial UU No. 36/2009 tentang Kesehatan UU No. 39/1999 tentang Hak-hak Asasi UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional UU No. 17/2004 tentang RPJM UU No. 35/2009 tentang Narkotika Draf Keputusan Presiden tentang Program Nasional untuk anak-anak, 2005 (meliputi 4 area: pendidikan, kesehatan, HIV/AIDS, perlindungan) Instruksi Presiden No. 9/2009 tentang Gender Mainstreaming UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Program Pemerintah tentang Pendidikan Dasar Wajib 9 tahun, bantuan PBB untuk Kerangka Kerja Pembangunan di Indonesia 2006-2010 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial UU No. 3/1992 tentang Jaminan Pekerja Sosial UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun UU No. 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial Lampiran 3: UU dan Peraturan 9 • UU Republik Indonesia No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja • UU Republik Indonesia No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat • UU Republik Indonesia No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak • UU Republik Indonesia No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial • UU Republik Indonesia No. 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai • UU Republik Indonesia No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan • UU Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional • UU Republik Indonesia No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak • UU Republik Indonesia No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional • UU Republik Indonesia No. 36/2009 tentang Kesehatan • UU Republik Indonesia No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial • Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan • Peraturan Presiden No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan • Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 20102014 • Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro. Kecil. dan Menengah • Peraturan Pemerintah No. 14/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja • Peraturan Pemerintah No. 25/1981 tentang Asuransi Pegawai Negeri Sipil • Peraturan Pemerintah No. 28/2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun • Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar • Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang Pembiayaan Pendidikan • Peraturan Pemerintah No. 67/1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia • Peraturan Pemerintah No. 69/1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil. Penerima Pensiun. Veteran. Perintis Kemerdekaan beserta Keluarganya • Keputusan Menteri Sosial No. 15/2005 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) • Keputusan Menteri Sosial No. 51/2003 tentang Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu melalui Pola Asuransi Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen 77 Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia 78 • Keputusan Menteri Kesehatan No.686/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas • Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 35/2008 tentang Tim Koordinasi Raskin • Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 25/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri • Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. • Peraturan Menteri Keuangan No. 135/2008 tentang Penjaminan Fasilitas Kredit Usaha Rakyat • Peraturan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan No. 20/2006 tentang Petunjuk Penyaluran dan Pencairan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat bagi Penyandang Cacat Berat dan Jaminan Sosial Lanjut Usia Bagi Lanjut Usia Telantar Daftar Pustaka 10 Angelini, J.; Hirose K. 2004. Extension of social security coverage for the informal economy in Indonesia: Surveys in the urban and rural informal economy, Working Paper 11 (Manila, ILO). Asian Development Bank (ADB). 2007. Preparatory studies on national social security system in Indonesia (Manila). AusAID. 1998. Review of Padat Karya implementation (unpublished). Bali Province Health Office. 2011. Bali Mandara Social Health Insurance, available at http://www.diskes. baliprov. go.id/informasi/2010/10/jaminan-kesehatan-bali-mandara-jkbm. Bachelet, M. 2011. Social protection floor for a fair and inclusive globalization: Report of the Advisory Group chaired by Michelle Bachelet, Convened by the ILO with the collaboration of the WHO (Geneva, ILO). BPS. 2011. Trends of the selected socio-economic indicators of Indonesia February 2011, Katalog BPS 3101015 (Jakarta). Central Bank of the Republic of Indonesia. 2012. Skim kredit program yang dikeluarkan pemerintah [Credit scheme programs issued by the government], available at http://www.bi.go.id/web/id/UMKMBI/Kredit+Perbankan/ Skim+Kredit/. Centre for Health Financing and Health Insurance, the Ministry of Health of the Republic of Indonesia. 2010. 2010 Health Insurance Coverage data. Excel sheet. Colbran, N. 2010. Access to justice for persons with disabilities in Indonesia: Background assessment report (AusAID). EPWSP. 2007. EPWP mid-term review Component 1: International PWP comparative study. Research Report. Febriany, V.; Toyamah N.; Sodo J. 2010. Studi dualitatif dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan pendidikan dasar: Ringkasan eksekutif [Qualitative Study of the Impact of PNPM Generasi and PKH on the Availability and Use of the Maternal and Neonatal Health Services and Basic Education Services: Executive Summary]. Research Report (Jakarta, SMERU Research Institute). Guerard, Y.; et al. Actuarial costing of universal health insurance coverage in Indonesia Options and Preliminary Results. Health, Nutrition and Population Discussion Paper, (Washington, DC, World Bank). Hastuti, S.; et al. 2009. The role of social protection programs in reducing the impact of the global financial crisis 2008/2009. Research Report (Jakarta, SMERU Research Institute). International Labor Organization (ILO); Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 2011. Towards national social protection floors: A policy note for the G20 meeting of labour and employment ministers. Policy Note (Geneva, ILO and Paris, OECD). 79 International Labor Organization (ILO); PT JAMSOSTEK. 2008. Social security in Indonesia: Advancing the development agenda (Jakarta). Jogjakarta Provincial Health Office. 2011. Jogjakarta Social Health Insurance, available at http://www. dinkes. jogjaprov.go.id/index.php/cjamkes/read/55.html. Kompas Daily Newspaper. 2011. “Alokasi APBN buat pensiun makin bengkak” [State budget allocation for pension expands], 20 April. Ministry of Cooperatives and SMEs. 2012. Skema Penyaluran KUR [Method of disbursement for KUR], available at http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=351. Ministry of Health of the Republic of Indonesia. 2008. Mathematical Model of HIV Epidemic in Indonesia 2008-2014 (Jakarta). —. 2009. Rancangan final Sistem Kesehatan Nasional [Final design of the National Health System] (Jakarta). —. 2009. Size estimation of MARP (Most-at-risk population) (Jakarta). Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia —. 2001. Surveilans terpadu biologis dan perilaku [Integrated biological and behavioural surveillance] (Jakarta). 80 —. 2011. Progress report on HIV and AIDS in Indonesia , Second Quarter 2011 (Jakarta). Ministry of Health of the Republic of Indonesia; World Health Organization (WHO); University of Indonesia. 2009. The Indonesian National Health Account 2002-2004, available at http://siteresources.worldbank.org/ INTHSD/ Resources/376278-1261143298590/6660179-1280173228245/ Indonesia_ExSumNHA_0204.pdf. Ministry of Manpower and Transmigration. 2011. Indonesian Jobs Pact 2011-2014, available at http://www.ilo.org/ wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_157805.pdf. —. 2011. Tahun 2012, kemenakertrans prioritaskan pengembangan Balai Latihan Kerja (BLK) daerah [In 2012 The Ministry of Manpower and Transmigration Prioritises the Development of Vocational Training Centers (BLK)], available at http://menteri.depnakertrans.go.id/?show=news&news_id=728. Ministry of National Education of the Republic of Indonesia. 2011. Policy brief of the directorate general of primary education. Ministry of Social Affairs. 2005. Implementation guideline of social welfare insurance for vulnerable people through Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS) program, in Decree of the Director General of Social Assistance and Social Security No. 25/BJS/V/2005. —. 2010. Pedoman umum Program Keluarga Harapan [General guideline of the PKH program]. —. 2011. Asuransi kesejahteraan sosial dan rakyat miskin [Social welfare insurance for poor people], available at http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=71. —., Directorate General of Social Rehabilitation. 2010. Pemerintah kembali meluncurkan program subsidi panti tahun 2010., available at http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name= News&file=article&sid=668. National Development Planning Agency (BAPPENAS). 2011. Public private partnership infrastructure project plans in Indonesia (Jakarta). —.; Puska UI; World Bank. 2011. Building a social protection system for children in Indonesia: an Assessment on the implementation of the Ministry of Social Affairs’ social assistance program PKSA and its contribution to the child protection system. Research Report. Organization for Economic Co-operation and Economic Development (OECD). 2010. The Global Crisis in Emerging Economies: The Jobs Impact and Policy Response – Supporting Material for Chapter 2 of the 2010 OECD Employment Outlook, available at http://www.oecd.org/els/ employmentpoliciesanddata/45600980.pdf. Perdana, A.; Maxwell J. 2004. Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lessons Learned, Economics Working Paper Series, available at www.csis.or.id/papers/wpe083. Pradhan, M.; Saadah F.; Sparrow R. 2007. “Did the Health Card Program Ensure Access to Medical Care for the Poor during Indonesia’s Economic Crisis?” in World Bank Economic Review, Vol. 21, No. 1, pp. 125–150. PT Asabri. 2011. PT Asabri Annual Report of 2010 (Jakarta). PT Askes. 2011. PT Askes Annual Report of 2010 (Jakarta). PT Jamsostek. 2011. PT Jamsostek Annual Report of 2010 (Jakarta). PT Jamsostek. 2010. PT Jamsostek Annual Report of 2009 (Jakarta). PT Taspen. 2011. PT Taspen Financial Report of 2010 (Jakarta). Republic of Indonesia. 2011. Indonesian financial note and revised budget: Fiscal year 2011. (Jakarta). Sparrow, R.; Suryahadi A.; Widyanti, W. 2010. Social Health Insurance for the Poor: Targeting and Impact of Indonesia’s Askeskin Program. SMERU Research Institute Working Paper, (Jakarta, SMERU Research Institute). Sumarto, S., Suryahadi A.; Widyanti, W. 2002, “Design and implementation of Indonesian social safety net program,” in Journal of the Developing Economies, Vol. 40, No. 1, pp. 3-31. Suryahadi, A.; et al. 2010. Review of government’s poverty reduction strategies, policies and programs in Indonesia. Research Report, (Jakarta, SMERU Research Institute Research). Suara Pembaruan News. 2011. “1.7 Lansia Terlantar di Indonesia” [1.7 vulnerable elderly in Indonesia], 9 June. Available at http://www.suarapembaruan.com/home/17-juta-lansia-terlantar-di-indonesia/7688. State News Agency Antara. 2011. “Dibutuhkan Rp10 triliun untuk revitalisasi BLK” [Rp 10 trillion is needed to revitalize Vocational Training Centres], 6 Oct. Available at http://www.antaranews.com /berita/278575/dibutuhkanrp10-triliun-untuk-revitalisasi-blk. —. 2012. “Penyaluran Kredit Usaha Rakyat 2011 capai Rp29 triliun” [Disbursement of KUR in 2011 reaches RP 29 trillion] 10 Jan. Available at http://www.antaranews.com/berita/292067/penyaluran-kredit-usaha-rakyat2011-capai-rp29-triliun. Sumarto, S.; Suryahadi A.; W. Widyanti. 2005. “Assessing the impact of Indonesian social safety net programs on household welfare and poverty dynamics.” in European Journal of Development Research, Vol. 17, No. 1, pp. 155-177. Suryahadi, A.; Sumarto S. 2002. Social protection in an insecure era: A south-south exchange on alternative social policies responses to globalization. (Santiago). Urban and Regional Development Institute (URDI). 1999. Documentation and Evaluation of Several Social Safety Net Programs in Yogyakarta (Unpublished Report). Van der Loop, T.; Andadari R. 2009. Social security for informal economy workers in Indonesia: Looking for flexible and highly targeted programmes (Jakarta, ILO and PT Jamsostek), available at http://www.ilo.org/jakarta/ whatwedo/publications/lang--en/docName--WCMS_142763/index.htm. Widarti, D. 2008. Extending social security coverage to informal economy workers: Way forward (Jakarta, ILO). World Bank. 1993. The East Asian miracle: Economic growth and public policy. (New York, New York University Press). —. 2006. Making the new Indonesia work for the poor (Jakarta). —. 2011a. Indonesia economic quarterly: 2008 Again? (Jakarta). —. 2011b. Indonesia health sector review February 2011 (Jakarta). —. 2011c. Revitalizing public training centers in Indonesia: Challenges and way forward (Jakarta). World Health Organization (WHO). 2005. Action for the global elimination of congenital syphilis: rationale and strategy (Geneva, WHO Department of Reproductive Health and Research). 81 —. 2009. Regional strategy for the elimination of congenital syphilis (India, WHO Regional Office for South-East Asia). —. 2001. Macroeconomics and health: Investing in health for economic development WHO-Harvard Report of the Commission on Macroeconomics and Health (Canada). Penilaian Landasan Perlindungan Sosial Berdasarkan Dialog Nasional di Indonesia: : Menuju Landasan Perlindungan Sosial Indonesia —; United Nations Children’s Fund (UNICEF). 2010. Immunization Monitoring Data, available at http:// apps. who. int/ immunization_monitoring/en/globalsummary/timeseries/tswucoveragebycountry. cfm?country=IDN. 82