mikroba di bidang pertanian dan pangan

advertisement
Tugas Kelompok
MIKROBA DI BIDANG PERTANIAN DAN PANGAN
( Makalah Mikrobiologi )
Dosen Pembimbing :
Marlina Kamelia, M.Sc
Disusun Oleh :
DESNALIA WANJANI
PUTRI OKTARIANI
PRAMONO
ARIZAL GUSNERA
INTAN YULIANA
DINDA YUTI M.
WENI HIDAYANTI
JIESTA NURAHMI
Kelas : Biologi B
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi Rahmat dan Karunia-Nya khususnya
kesehatan kepada kita semua. Dalam makalah ini saya selaku penyusun mengkaji tentang
“Mikroba di Bidang Pertanian dan Pangan” untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
mata pelajaran MIKROBIOLOGI.
Saya selaku penyusun berharap semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi para pembaca, amin.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan dem kesempurnaan
makalah ini.
Bandar Lampung, 4 Juni 2015
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil. Setiap sel
tunggal mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan
antara lain dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan
sendirinya. Akan tetapi karena ukurannya yang kecil, maka tidak ada tempat untuk
menyimpan enzim-enzim yang telah dihasilkan. Dengan demikian enzim yang tidak
diperlukan tidak akan disimpan dalam bentuk persediaan.enzim-enzim tertentu yang
diperlukan untuk pengolahan bahan makanan akan diproduksi bila bahan makanan
tersebut sudah ada.
Ada dua jenis mikroba dilihat dari manfaatnya, yaitu mikroba yang menguntungkan dan
mikroba yang merugikan. Mikroba yang baik bagi manusia diantaranya adalah mikroba
pangan dan industri yang membantu manusia dalam pembuatan keju, yoghurt, tempe,
oncom, kecap, tape, ragi roti, asam amino, asam organik, pelarut organik, enzim, obatobatan, dan sebagainya. Sedangkan mikroba yang merugikan biasanya mikroba yang
parasit dan mengandung toksik, seperti jamur roti, bakteri E. coli penyebab diare pada
manusia dan masih banyak lagi, oleh karena itu untuk lebih memahami berbagai macam
peranan mikroba di bidang pertanian dan pangan kami menulis makalah yang berjudul
“Mikroba di Bidang Pertanian dan Pangan” ini.
1.2 Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui dan memahami berbagai jenis mikroba yang berperan dalam bidang
pertanian dan pangan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Bakteri Pembuat Keju
Keju pada umumnya dibuat dengan menambahkan bakteri asam laktat (BAL) sebagai
pengasamnya, sekaligus berperan sebagai agen probiotik untuk meningkatkan nilai
fungsional keju. Salah satu peran fungsional keju yang ditambahkan BAL probiotik adalah
membantu menjaga kesehatan saluran pencernaan. Kadar lemak yang relatif tinggi pada keju
mampu memproteksi bakteri probiotik hingga berada di dalam saluran pencernaan dan
bertahan hidup selama lebih kurang 6 bulan pemeraman.1
Keju adalah sebuah makanan yang dihasilkan dengan memisahkan zat-zat padat
dalam susu melalui proses pengentalan atau koagulasi. Proses pengentalan ini dilakukan
dengan bantuan bakteri atau enzim tertentu yang disebut rennet. Hasil dari proses tersebut
nantinya akan dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai macam cara. Dari
sebuah susu dapat diproduksi berbagai variasi produk keju. Produk-produk keju bervariasi
ditentukan dari tipe susu, metode pengentalan, temperatur, metode pemotongan, pengeringan,
pemanasan, juga proses pematangan keju dan pengawetan. Umumnya, hewan yang dijadikan
sumber air susu adalah sapi. Air susu unta, kambing, domba, kuda, atau kerbau digunakan
pada beberapa tipe keju lokal.2
a. Lactobacillus casei
Merupakan bakteri basili gram positif, yang tidak berspora. Jenis yang termasuk
dalam kelompok ini misalnya Lactobacillus, tergolong dalam famili Lactobacillaceae. Bakteri
ini berbentuk batang yang panjang, anaerobik fakultatif dan katalase negatif. Bakteri ini
menyerupai streptokoki dalam kebutuhannya akan nutrien. Spesies dalam jenis Lactobacillus
banyak yang dapat mensintesis vitamin sehingga digunakan dalam analisis vitamin, dan
banyak yang bersifat termodurik, yaitu tahan suhu pasteurisasi. Nama genus Lactobacillus
berasal dari bahasa latin, yang mana Lac artinya susu, bacillum artinya batang dan
1
Kosikowski, F. 1997. Cheese and fermented milk foods. Edwards Brothers Inc., Ann Arbor, Mich , hal.
228 – 230.
2
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 87-88.
Lactobacillus diartikan sebagai mikroorganisme berbentuk batang yang berasal dari susu.
Berdasarkan
karakteristik
fermentasinya,
beberapa
spesies
laktobasili
bersifat
homofermentatif dan beberapa spesies laktobasili lainnya bersifat heterofermentatif.
Spesies dari genus Lactobacillus yang digunakan sebagai kultur untuk starter keju
adalah
spesies
yang
bersifat
homofermentatif
misalnya
Lactobacillus
bulgaricus,
Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis dan Lactobacillus helveticum. Semua spesies
laktobasili ini kecuali Lactobacillus casei, tumbuh baik pada temperatur 37oC atau lebih
tinggi, sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan Lactobacillus casei adalah sekitar
30oC.
Berikut klasifikasi Lactobacillus casei :
klasifikasi:
Kingdom
: Bacteria
Divisi
: Fimicutes
Kelas
: Bacilli
Order
: Lactobacillales
Family
: Lactobacillaceae
Genus
: Lactobacillus
Spesies
: L. caseii
Bakteri ini berukuran 0,7 – 1,1 x 2,0 – 4,0 µm dan merupakan bakteri yang penting
dalam pembentukan asam laktat. Seperti bakteri asam laktat lain, Lactobacillus casei toleran
terhadap asam, tidak bisa mensintesis perfirin, dan melakukan fermentasi dengan asam laktat
sebagai metabolit akhir yang utama. Bakteri ini membentuk gerombolan dan merupakan
bagian dari spesies heterofermentatif fakultatif, dimana bakteri ini memproduksi asam laktat
dari gula heksosa dengan jalur Emblen-Meyerlhof dan dari pentose dengan jalur 6fosfoglukonat, fosfoketolase. pertumbuhan Lactobacillus casei pada suhu 15oC, dan
membutuhkan riboflavin, asam folat, kalsium pantotenat, dan faktor pertumbuhan lain.3
Lactobacillus casei adalah spesies yang mudah beradaptasi, dan bisa diisolasi dari
produk ternak segar dan fermentasi, produk pangan segar dan fermentasi. Dari segi
industrial, Lactobacillus casei mempunyai peran dalam probiotik manusia, kultur starter
3
Op.cit, hal. 89-91.
pemroduksi asam untuk fermentasi susu, dan kultur khas untuk intensifikasi dan akselerasi
perkembangan rasa dalam varietas keju yang dibubuhi bakteri. Lactobacillus casei adalah
bakteri Gram-positif, anaerob, tidak memiliki alat gerak, tidak menghasilkan spora, berbentuk
batang dan menjadi salah satu bakteri yang berperan penting dalam pencernaan.
Lactobacillus adalah bakteri yang bisa memecah protein, karbohidrat, dan lemak dalam
makanan, dan menolong penyerapan elemen penting dan nutrisi seperti mineral, asam amino,
dan vitamin yang dibutuhkan manusia dan hewan untuk bertahan hidup.
Beberapa kriteria bakteri probiotik antara lain tidak pathogen, tahan terhadap asam
dan racun empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri patogen, aman digunakan untuk
manusia, memiliki sifat kebal dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan bersifat antagonis ini
adalah selama fermentasi bakteri asam laktat menghasilkan asam-asam organik dan senyawa
bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogenik dan mikroba
pembusuk. Makanan dapat disebut sebagai makanan probiotik jika ada sekitar 107cfu/g
bakteri
probiotik
yang
hidup.
Lactobacillus
casei
merupakan
homofermentatif
mikroorganisme dan tahan terhadap asam serta dapat bertahan selama proses penuaan keju.
b. Peran Lactobacillus casei dalam proses fermentasi keju
Keju dadih sejati adalah massa susu fermentasi yang dipadatkan. Susu biasanya dari
sapi, namun susu kambing dan susu domba juga digunakan sebagai bahan baku keju.
Fermentasi dilakukan oleh bakteri yang menghasilkan laktat dengan fermentasi laktosa (gula
susu). Laktat menghambat pertumbuhan organisme lain yang akan merusak makanan atau
menyebabkan penyakit. Dalam pembuatan keju, pada perlakuan awal, 2 spesies yang paling
umum digunakan bakteri Lactobacillus casei dan Streptococcus lactis. Pembuatan keju
modern menggunakan susu bebas bakteri yang kultur bakteri murni ditambahkan sehingga
populasi bakteri dalam keju mudah diprediksi dan aman untuk dimakan.4
Proses mengental selama pembuatan keju yang terjadi dalam kondisi asam disebabkan
oleh (asam laktat) laktat yang diekskresikan oleh bakteri. Selama waktu pematangan keju,
bakteri dalam dadih (curd) mati dan dicerna oleh enzim mereka sendiri (suatu proses yang
disebut dengan otolisis). Ini mengeluarkan zat yang rasa keju. Bakteri yang menghasilkan
4
Sukotjo, Setiarti. 2003. Proses Pembuatan Keju Lunak. Serpong: CV. Chitra Delima, hal. 36-37.
asam propionat bertanggung jawab atas rasa khas tersebut, dan karbon dioksida bertanggung
jawab atas ‘lubang-lubang’ yang terdapat pada keju.
Prinsip pembuatan keju adalah bahwa protein dalam keju mengalami flokulasi dan
mengikutkan 90% lemak susu dalam pengolahan. Keju dapat dibuat dengan mengendapkan
protein menggunakan suatu asam. Asam tersebut dapat dihasilkan oleh bakteri atau asam
yang ditambahkan. Apabila menggunakan asam, dapat digunakan asam asetat, asam laktat,
asam sitrat dan dapat pula digunakan asam alami seperti sari buah sitrun. Susu dipanaskan
80-90ºC dan asam ditambahkan berupa tetesan sambil dilakukan pengadukan sampai massa
terpisah, setelah curd ditiriskan, dapat diproses lebih lanjut. Teknik dan variasi pembuatan
keju dapat dilakukan/dikembangkan menurut kreativitas yang tak terbatas. Misalnya dengan
penambahan biji-bijian, herba, minuman beralkohol, potongan buah-buahan dan pewarna ke
dalam curd. Pewarna yang digunakan biasanya adalah merah annatto. Penambahan garam ke
dalam keju biasanya adalah untuk menurunkan kadar air dan sebagai pengawet.5
Di dunia terdapat beragam jenis keju. Menurut Daulay (1991), seluruhnya memiliki
prinsip dasar yang sama dalam proses pembuatannya, yaitu:

Pasteurisasi susu: dilakukan pada susu 70°C, untuk membunuh seluruh bakteri pathogen.

Pengasaman susu. Tujuannya adalah agar enzim rennet dapat bekerja optimal.
Pengasaman dapat dilakukan dengan penambahan lemon jus, asam tartrat, cuka, atau
bakteri Streptococcus lactis. Proses fementasi oleh streptococcus lactis akan mengubah
laktosa (gula susu) menjadi asam laktat sehingga derajat keasaman (pH) susu menjadi
rendah dan rennet efektif bekerja.

Penambahan enzim rennet. Rennet memiliki daya kerja yang kuat, dapat digunakan dalam
konsentrasi yang kecil. Perbandingan antara rennet dan susu adalah 1:5.000. Kurang lebih
30 menit setelah penambahan rennet ke dalam susu yang asam, maka terbentuklah curd.
Bila temperatur sistem dipertahankan 40 derajat celcius, akan terbentuk curd yang padat.
Kemudian dilakukan pemisahan curd dari whey.
5
Daulay, Djundjung. 1990. Buku/Monograf Fermentasi Keju. Bogor: Universitas Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, hal. 55-58.

Pematangan keju (ripening). Untuk menghasilkan keju yang berkualitas, dilakukan proses
pematangan dengan cara menyimpan keju ini selama periode tertentu. Dalam proses ini,
mikroba mengubah komposisi curd, sehingga menghasilkan keju dengan rasa, aroma, dan
tekstur yang spesifik. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi penyimpangan seperti temperatur
dan kelembaban udara di ruang tempat pematangan. Dalam beberapa jenis keju, bakteri
dapat mengeluarkan gelembung udara sehingga dihasilkan keju yang berlubang-lubang.
Modifikasi enzim yang diperoleh dari Lactobacillus casei sp. Ketika ditambahkan
Neutrase mampu mengurangi rasa pahit pada keju cheddar.
Penelitian yang dilakukan oleh Hynes, et al (2002) menunjukkan sepuluh strain dari
Lactobacillus yang ditambahkan pada proses pembuatan keju mampu mempengaruhi proses
pemasakan keju. Hal itu juga didukung oleh hasil penelitian dari Gummala dan Broadbent
(1999), bahwa catabolisme dari Lactobacillus helveticus dan L. Casei yang ditambahkan pada
saat starvasi karbohidrat dan menjelang proses pemasakan, akan mempengaruhi rasa dari keju
yang dihasilkan. Enzim yang di ekstrak dari Lactobacillus dapat meningkatkan reaksi
transaminasi
dan
dehidrogenasi.
Enzim
dari
Lactobacillus
mengandung triptofan
dekarboksilase. Degradasi triptofan akan mempengaruhi formasi kandungan aromatik.6
6
Gummalla, S. and Broadbent, J. R. 1999. Tryptophan catabolism by Lactobacillus casei and
Lactobacillus helveticus cheese flavor adjuncts. Journal Dairy Science. 82 : 84.
2. Bakteri yang Berperan dalam Pembuatan Oncom
Oncom adalah makanan tradisional Indonesia yang berasal dari daerah Jawa
Barat. Oncom merupakan sumber gizi yang potensial untuk masyarakat, karena dengan
adanya proses fermentasi, maka struktur kimia bahan-bahan yang tadinya bersifat
kompleks, akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih
mudah dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh (Hesseltine, 1961).
Saat ini dikenal dua jenis oncom, yaitu merah dan hitam. Perbedaan kedua jenis
oncom tersebut terletak pada jenis kapang. Oncom merah dihasilkan oleh kapang
Neurospora sitophila yang mempunyai strain jingga, merah, merah muda, dan warna
peach. Sedangkan oncom hitam dihasilkan oleh kapang Rhizopus oligosporus. Jadi,
warna merah atau hitam pada oncom ditentukan oleh warna pigmen yang dihasilkan
oleh kapang yang digunakan dalam proses fermentasi.
Oncom dapat dibuat dari kacang kedelai dan kacang tanah. Bahan baku lainnya
yang diperlukan dalam pembuatan oncom adalah kapang. Kapang oncom dapat
mengeluarkan enzim lipase dan protease yang aktif selama proses fermentasi dan
memegang peranan penting dalam penguraian pati menjadi gula, penguraian bahanbahan dinding sel kacang, dan penguraian lemak, serta pembentukan sedikit alkohol
dan berbagai ester yang berbau sedap dan harum. (James M. Jay, 2000).
Pada saat pembuatan oncom, sangat penting untuk memperhatikan masalah
sanitasi dan higiene untuk mencegah timbulnya pencemaran dari mikroba-mikroba lain,
terutama kapang Aspergillus flavus yang mampu memproduksi racun aflatoksin.
Kapang Aspergillus flavus juga biasanya tumbuh pada kacang-kacangan dan biji-bijian
yang sudah jelek mutunya sehingga sangat dianjurkan menggunakan bahan baku yang
baik mutunya untuk mencegah terbentuknya racun aflatoksin. Akan tetapi kita tidak
perlu terlalu khawatir dengan racun aflatoksin, karena kapang Neurospora sitophila dan
Rhizopus oligosporus mampu berperan sebagai penekan produksi aflatoksin (James
M. Jay, 2000).
Oncom segar yang baru jadi hanya dapat bertahan selama 1 – 2 hari pada suhu
ruang, setelah itu oncom akan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh enzim
proteolitik yang mendegradasi protein seingga terbentuk ammonia, yang menyebabkan
oncom tidak layak lagi dikonsumsi (Sarwono, 2005).
Ragi Atau Inokulum Oncom
Ragi yang digunakan dalam pembuatan oncom merupakan ragi jenis campuran
fungi/mixed culture. Penggunaan ragi yang baik sangat penting sehingga akan
dihasilkan oncom dengan kualitas baik. Ragi mixed culture yang digunakan dalam
fermentasi oncom terdiri dari campuran kelompok mikroba diantaranya adalah
Neurospora sitophila dan Rhizopus. Jenis kapang yang berperan penting dalam
pembuatan oncom adalah Neurospora sithophila.
a. Neurospora sitophila
Gambar 2.1. Neurospora sitophila
Neurospora sitophila (Neuron : urat saraf
atau berurat loreng-loreng,
spora, sitsos :
makanan, dan philos : menyukai) merupakan
salah satu spesies dari genus Neurospora yang
memiliki spora berbentuk seperti urat saraf
berloreng-loreng
(Alexopaulos,
1979).
Neurospora sithophila juga dikenal sebagai jamur
oncom. Dalam proses fermentasi Neurospora
sitophila berkembang biak dan menjadikan
makanan menjadi berwarna kuning-kemerahan. Sehingga oncom yang dihasilkan
adalah oncom merah.
Neurospora
sitophila
dapat
mengeluarkan
enzim-enzim
yang
dapat
menghidrolisa senyawa-senyawa sakarida (Matsuo, 2003) sehingga semakin banyak
Neurospora sitophila yang tumbuh maka kadar karbohidrat dalam substrat akan
semakin berkurang. Neurospora sitophila juga dapat mengurangi kandungan
oligosakarida, rafinosa dan stakiosa, yang terdapat pada kedelai dan kacang tanah
sehingga dapat menghilangkan efek flatulensi pada perut (usus) yang disebabkan oleh
senyawa oligosakarida tersebut (Matsuo, 1999).
Kapang oncom, Neurospora sitophila, memproduksi enzim lipase yang aktif
selama proses fermentasi (Siswono, 2002). Enzim lipase ini memegang peranan penting
dalam menguraikan lemak yang terdapat pada substrat menjadi gliserol dan asam lemak
bebas, serta pembentukan sedikit alkohol dan berbagai ester yang berbau sedap dan
harum (Svendsen, 2000).
Kadar protein yang tinggi mengindikasikan proses pertumbuhan yeast berjalan
dengan baik karena selama proses pertumbuhan, dihasilkan berbagai macam enzim oleh
yeast. (Sastraatmadja et al., 2002). Kadar lemak yang cukup dibutuhkan karena
senyawa ester (yang merupakan lemak) berguna untuk memberikan flavour yang sedap
dan khas bagi produk. Kadar karbohidrat yang semakin rendah mengindikasikan
pertumbuhan yeast yang semakin baik. Glukosa yang diperoleh dari pemecahan
karbohidrat, dibutuhkan oleh yeast sebagai sumber makanan. Untuk memecah
karbohidrat tersebut, yeast menghasilkan enzim – enzim yang merupakan protein
globular, terutama enzim protease. Enzim protease ini berfungsi untuk menghidrolisis
asam amino dalam ikatan peptida menjadi polipeptida yang merupakan rantai protein
yang lebih pendek. Oleh karena itu kadar protein semakin meningkat (Pauling et al.,
1951).
b. Rhizopus sp.
Gambar 2.3. Rhizopus oligosporus
Rhizopus sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dalam
pembuatan tempe. Rhizopus microsporus var. microsporus dan var. oligosporus
digunakan dalam pembuatan berbagai makanan fermentasi Asia (tempe, oncom hitam,
sufu) (Robert dan Bei, 2000). Oncom yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus
oligosporus adalah oncom yang berwarna hitam dikarenakan Sporangia terbentuk
pertama-tama berwarna putih, kemudian saat dewasa berubah menjadi hitam kebiruan.
3. Bakteri yang Berperan dalam Pembuatan Yoghurt
Streptococcus thermophilus memiliki bentuk sel yang bulat atau elips dengan
diameter 0,7-0,9 run, tumbuh secara berpasangan atau berbentuk rantai pendek. Suhu
pertumbuhan optimum untuk Streptococcus thermophilus adalah 37-42°C.
Streptococcus thermophilus merupakan bakteri gram positif, katalase negatif, tidak
berspora, uniseluler, anaerob, heterotropik, tumbuh baik pada media berisi karbohidrat dan
ekstrak yeast. Tumbuh optimum pada pH 6,5 dan akan terhenti pertumbuhanrya pada pH 4,24,4.
Klasifikasi:
Kingdom
: Bacteria
Divisi
: Fimicutes
Kelas
: Bacilli
Order
: Lactobacillales
Family
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus thermophilus
Streptococcus thermophilus memfermentasi gula terutama menjadi asam laktat, dan
karena itu ia termasuk golongan bakteri asam laktat. la merupakan salah satu dari dua bakteri
yang dibutuhkan untuk memproduksi yogurt dan susu fermentasi lainnya, dan memiliki peran
penting terutama dalam pembentukan tekstur dan citarasa yogurt. Streptococcus thermophilus
menghasilkan ATP (adenosin trifosfat) dari respirasi serta menghasilkan senyawa nitrogen
dari hidrolisis protein susu. S.thermophilus memiliki peran sebagai probiotik, mengurangi
gejala intoleransi laktosa dan gangguan gastrointestinal lainnya.
Campuran atau kombinasi dari Lactobasillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophilus sering digunakan pada beberapa macam produksi yoghurt. Walaupun kedua
mikroorganisme tersebut dapat digunakan secara terpisah, namun penggunaan keduanya
dalam kultur starter yoghurt secara bersama-sama terbukti telah bersimbiosis dan
meningkatkan efisiensi kerja kedua bakteri tersebut. Selain menyebabkan tingkat produksi
asam yang lebih tinggi, Streptococcus thermophilus tumbuh lebih cepat dan menghasilkan
asam dan karbondioksida.
Format dan karbondioksida yang dihasilkan ini menstimulasi pertumbuhan
Lactobasillus bulgaricus. Disamping itu, aktivitas proteolitik dari Lactobasillus bulgaricus
ternyata juga menghasilkan peptide dan asam amino yang digunakan oleh Streptococcus
thermophilus. Seperti diketahui pula, dalam proses pembuatan yoghurt, susu menggumpal
disebabkan oleh derajat keasaman yang turun. Streptococcus thermophilus berperan dahulu
untuk menurunkan pH sampai sekitar 5,0 dan baru kemudian disusul menurunkan lagi sampai
mencapai 4,0. Selain itu beberapa zat hasil fermentasi mikroorganisme yang berperan dalam
menentukan rasa produk adalah asam laktat, asetaldehida, asam asetat dan diasetil. Intinya
adalah jenis dan jumlah mikroorganisme dalam starter yang digunakan sangat berperan dalam
pembentukan dan formasi rasa serta tekstur yoghurt. Selain tentunya lama fermentasi dan
suhu lingkungan.
4. Bakteri yang Berperan dalam Pembuatan Nata de Coco
Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai
panjang 2 mikron dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk
rantai pendek dengan satuan 6-8 sel, bersifat non motil dan dengan pewarnaan gram
menunjukkan gram negatif. Bakteri Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa
menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama. Sifat yang paling
menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa
sehingga menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal
sebagai nata (Nadiya, Krisdianto, Aulia Ajizah, 2005).
Bakteri pembentuk nata pertama-tama diduga Leuconostoc sp., akan tetapi kemudian
dipastikan bahwa bakteri pembentuk nata adalah Acetobacter xylinum. Klasifikasi ilmiah
bakteri nata adalah :
Kerajaan
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Alpha Proteobacteria
Ordo
: Rhodospirillales
Familia
: Psedomonadaceae
Genus
: Acetobacter
Spesies
: Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk nata termasuk golongan Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri
antara lain gram negatif untuk kultur yang masih muda, gram positif untuk kultur yang sudah
tua, Obligat aerobic, membentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium
alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu
mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak mereduksi nitrat dan Termal death point
pada suhu 65-70°C.
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel
didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup.
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi,
fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase
pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian.
Apabila bakteri dipindah ke media baru maka bakteri tidak langsung tumbuh
melainkan beradaptasi terlebih dahulu. Pada fase ini terjadi aktivitas metabolisme dan
pembesaran sel, meskipun belum mengalami pertumbuhan. Fase pertumbuhan adaptasi
dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan
sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial
dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase
sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa (matrik nata). Fase
ini sangat menentukan kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata.
Fase pertumbuhan lambat terjadi karena nutrisi telah berkurang, terdapat metabolit
yang bersifat racun yang menghambat pertumbuhan bakteri dan umur sel sudah tua. Pada fase
ini pertumbuhan tidak stabil, tetapi jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dibanding
jumlah sel mati. Fase pertumbuhan tetap terjadi keseimbangan antara sel yang tumbuh dan
yang mati. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini. Fase menuju kematian terjadi
akibat nutrisi dalam media sudah hamper habis. Setelah nutrisi harbi, maka bakteri akan
mengalami fase kematian. Pada fase kematian sel dengan cepat mengalami kematian. Bakteri
hasil dari fase ini tidak baik untuk strain nata.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan
adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, serta tingkat keasaman media temperatur,
dan udara (oksigen). Bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5– ,5, namun
akan tumbuh optimal bila pH nya 4,3 sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri C.
Bakteri ini sangat memerlukan Acetobacter xylinum pada suhu 28–31 oksigen sehingga
dalam fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun hanya ditutup untuk mencegah kotoran
masuk kedalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi.
5. Bakteri yang Berperan dalam Pembuatan Sosis
Pediococcus Sp.
Kerajaan:
Bacteria
Divisi:
Firmicutes
Kelas:
Bacilli
Ordo:
Lactobacillales
Famili:
Lactobacillaceae
Genus:
Pediococcus
Spesies:
Pediococcus Sp.
Pediococcus adalah genus bakteri yang termasuk bakteri asam laktat (BAL) dengan ciri
non-motil (tidak bergerak) dan memiliki bentuk sferis. Sel bakteri ini terbagi ke dalam
dua bidang sehingga membentuk pasangan, tetrad (terususun empat), atau gumpalan sel
sferis yang lebih besar. Genus Pediococcus termasuk golongan fakultatif anaerob dan
untuk hidup memerlukan lingkungan yang kaya nutrisi serta mengandung faktor
pertumbuhan dan gula yang dapat difermentasi. Bakteri ini termasuk homofermentatif
(hanya menghasilkan asam laktat) dan tidak dapat menggunakan pentosa (karbohidrat
beratom C5).7
Suhu optimum untuk pertumbuhan Pediococcus adalah 25-30 °C dan pH optimum ± 6.8
Spesies dan galur dari genus ini berbeda dalam toleransi atau ketahanannya terhadap
oksigen, pH, suhu, resistensi antibiotik, dan NaCl. Beberapa galur dari Pediococcus telah
diketahui memiliki satu atau lebih plasmid dalam berbagai ukuran, yang sebagian di
antaranya mengkodekan gen untuk fermentasi karbohidrat dan produksi bakteriosin. 9
Pediococcus dalam makanan
Tapai, makanan tradisional Indonesia yang merupakan hasil fermentasi Pediococcus.
Daging dan produk olahan daging merupakan habitat yang disukai oleh beberapa galur
Pediococcus, contohnya sosis dan ham. Saat tumbuh pada daging, Pediococcus dapat
menghasilkan diasetil yang berperan sebagai antimikroba, namun juga dapat
menghilangkan rasa makanan meskipun dalam jumlah kecil. Genus Pediococcus banyak
terlibat dalam fermentasi bagian tanaman, di antaranya adalah P. acidilactici, P.
dextrinicus, P. inopinatus, P. parvulus, dan P. pentosaceus. Contoh produk fermentasi
sayuran tersebut adalah sauerkraut, bubur serealia, mentimun, zaitun, dan kacang
fermentasi. Selain itu, Pediococcus juga banyak terlibat dalam fermentasi berbagai
7
M. Victoria Moreno-Arribas, Carmen Polo, María Carmen Polo (2008). Wine chemistry and biochemistry.
Springer. ISBN 978-0-387-74116-1.Page.39
8
Ibid
9
Yiu H. Hui, George G. Khachatourians (1994). Food Biotechnology: Microorganisms. Wiley-Interscience. ISBN
978-0-471-18570-3
makanan tradisional di dunia, seperti ragi untuk tapai (Indonesia), hussuwa - hasil
fermentasi sorgum (Sudan), Togwa (Tanzania), dan lain-lain. 10
Sejak tahun 1985, telah diteliti bahwa kemampuan Pediococcus spp. untuk membunuh
mikroorganisme pembusuk dan patogen dalam fermentasi daging dikarenakan
kemampuannya menghasilkan asam organik. Selain itu, fermentasi dengan bakteri ini
juga meningkatkan kestabilan makanan dalam masa penyimpanan dan menghasilkan
produk yang lebih banyak mengandung protein. 11
P. pentosaceus diketahui berperan dalam fermentasi dan pematangan keju. Selain
berdampak positif, bakteri ini juga dapat merusak makanan, contohnya P. damnosus yang
berperan dalam kerusakan bir. Spesies bakteri tersebut dapat menyebabkan timbulnya
kekeruhan pada bir dan beberapa perubahan lain, seperti kehilangan rasa atau perubahan
rasa akibat pembentukan diasetil. 12
6. Beauvaria bassiana (Membunuh Hama)
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Subkingdom
: Dikarya
Phylum
: Ascomycota
Subphylum
: Pezizomycotina
Class
: Ascomycetes
Subclass
: Hypocreomycetidae
Order
: Hypocreales
Family
: Clavicipitaceae
Genus
: Beauveria (Bals.)
Spesies
: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill
10
Stanley Falkow, Martin Dworkin, Stanley Falkow, Eugene Rosenberg, Karl-Heinz Schleifer, Erko
Stackebrandt (2004). The Prokaryotes: a handbook on the biology of bacteria. springer. ISBN 978-0-38725494-4
11
H. Hui, George G. Khachatourians (1994). Food Biotechnology: Microorganisms. Wiley-Interscience. ISBN
978-0-471-18570-3.
12
Stanley Falkow, Martin Dworkin, Stanley Falkow, Eugene Rosenberg, Karl-Heinz Schleifer, Erko
Stackebrandt (2004). The Prokaryotes: a handbook on the biology of bacteria. springer. ISBN 978-0-38725494-4
Beauvaria bassiana merupakan cendawan entomopatogen yaitu cendawan
yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. B. bassiana berasal dari kingdom
Fungi, filum Ascomycota, kelas Sordariomycetes, orde Hypocreales, famili
Clavicipitaceae, dan genus Beauvaria.
Habitat
Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur
saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah,
seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga,
adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 °C,
kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal atau pestisida dapat
menghambat pertumbuhannya.
Cara infeksi
Cara cendawan Beauveria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai
dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau
lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru.
B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan,
spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga
inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian
masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau
kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan
bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan
menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus
ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam
hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan
mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan
warna putih.
Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga
terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmensegmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan
abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari
kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa
jamur yang berwarna putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada
membran antara kapsul kepala dengan toraks atau di antara segmen-segmen
apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian
tersebut.
Serangga yang telah terinfeksi B.bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi
lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh
inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan
terinfeksi. Jalur ini dinamakan transmisi horizontal patogen (inter/intra generasi).
Aplikasi
Dilaporkan telah diketahui lebih dari 175 jenis serangga hama yang menjadi
inang jamur B. bassiana. Berdasarkan hasil kajian jamur ini efektif mengendalikan
hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat (Nilaparvata
lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran.
Sebagian contoh lain yang menjadi inang jamur B. bassiana adalah jangkrik, ulat
sutra, dan semut merah. Karena B.bassiana dapat menyerang hampir semua jenis
serangga, cendawan ini digolongkan ke dalam non-selektif pestisida sehingga
dianjurkan tidak digunakan pada tanaman yang pembuahannya dibantu oleh serangga.
Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Jamur ini bisa dipakai untuk jebakan hama. Adapun cara
penggunaanya yaitu dengan memasukkan Beauveria bassiana beserta alat pemikat
berupa aroma yang diminati serangga (feromon) ke dalam botol mineral. Serangga
akan masuk ke dalam botol dan terkena spora. Akhirnya menyebabkan serangga
tersebut terinfeksi. Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, ternyata Beauveria bassiana bukan
parasit bagi manusia dan invertebrata lain. Tapi, bila terjadi kontak dengan spora yang
terbuka bisa menyebabkan alergi kulit bagi individu yang peka.
Jamur entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini (salah satunya
Orchidophilus atterimus) pertama kali ditemukan oleh Agostino Bassi di Beauce,
Perancis. Menurut Steinhaus (1975) yang telah mengujinya pada ulat sutera (Bombyx
mori) menyatakan bahwa penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit
pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang. Sebagai
penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama B.
bassiana. Jamur B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena
miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan
tumbuh secara zig zag pada konidiofornya Pada konidia B. bassiana akan tumbuh
suatu tabung yang makin lama makin panjang mirip seuntai benang dan pada suatu
waktu benang itu mulai bercabang .Cabang-cabang yang timbul selalu akan tumbuh
menjauhi hifa utama atau hifa yang pertama. Cabang-cabang tersebut akan saling
bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding sel (anastomosis)
sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium yang
terbentuk akan makin banyak dan membentuk suatu koloni Konidia jamur bersel satu,
berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur, berwarna hialin dengan diameter
2-3 μm Konidia dihasilkan dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti
pada ujungnya. Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah itu,
spora tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan berfungsi sebagai titik
tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya dimulai di bawah konidia berikutnya, setiap saat
konidia dihasilkan pada ujung hifa dan dipakai terus, selanjutnya ujungnya akan terus
tumbuh. Dengan cara seperti ini, rangkaian konidia dihasilkan oleh konidia-konidia
muda (rangkaian akropetal), dengan kepala konidia menjadi lebih panjang. Ketika
seluruh konidia dihasilkan, ujung konidia penghubung dari sel-sel konidiogenus
mempunyai pertumbuhan zig-zag dan mengikuti pertumbuhan asal.
7. Bakteri yang Berperan dalam Penguraian (Trichoderma sp.)
Trichoderma sp merupakan mikroorganisme tanah bersifat saprofit yang
secara alami menyerang cendawan patogen dan bersifat menguntungkan bagi
tanaman.Cendawan Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang
banyak dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang
merupakan salah satu jenis cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati
pengendali patogen tanah. Cendawan ini dapat berkembang biak dengan cepat pada
daerah perakaran tanaman. Spesies Trichoderma sp. disamping sebaga organisme
pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agens hayati. Trichoderma sp. Dalam
panannya sebagai agens hayati bekerja berdasarkan mekanisme antagonis yang
dimilikinya Trichoderma sp merupakan cendawan parasit yang dapat menyerang dan
mengambil nutrisi dari cendawan lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu
mampu memarasi cendawan patogen tanaman dan bersifat antagonis, karena miliki
kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan lain.
Mekanisme yang dilakukan oleh agens antagonis Trichoderma sp. terhadap patogen
adalah mikoparasit dan antibiosis selain itu cendawan Trichoderma sp. juga memiliki
beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi, daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan
cepat pada berbagai substrat, cendawan ini juga memiliki kisaran mikroparasitisme
yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman. Beberapa hasil penelitian
dilaporkan bahwa Trichoderma sp. dapat mengendalikan patogen pada tanaman
diantaranya Rhizoctonia oryzae yang menyebabkan rebah kecambah pada tanaman
padi. Trichoderma sp. menggantikan pupuk kimia agar tanaman padi berhasil
memanfaatkan jamur Trichoderma sp. yang dapat menguraikan jerami padi menjadi
kompos(pupuk organik).
Trichoderma sp. merupakan sejenis cendawan yang termasuk kelas
ascomycetes, dan memiliki aktivitas antifugal yang tinggi. Trichoderma spp. dapat
memproduksi enzim litik dan antibiotik antifugal. Selain itu Trichoderma spp. juga
dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan tanaman, serta
memiliki kisaran penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis
fungi. Trichoderma spp. memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol dan
berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase dan kitinase. Hasil metabolit ini
dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. Trichoderma spp. dapat
memproduksi beberapa pigmen yang bervariasi pada media tertentu seperti pigmen
ungu yang dihasilkan pada media yang mengandung amonium oksalat, dan pigmen
jingga yang dihasilkan pada media yang mengandung gelatin atau glukosa, serta
pigmen merah pada medium cair yang mengandung glisin dan urea. Saat berada pada
kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma spp. memproduksi protein kitinolitik dan
enzim kitinase. Enzim ini berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol
terhadap patogen yang mengandung kitin.
Trichoderma, sp akan tumbuh dengan baik pada suhu 6ºC sampai dengan 41ºC
dengan ph optimum 3 sampai dengan 7 dan Sukrosa dan glukosa merupakan karbon
utama.
Ada beberapa spesies yang dapat tumbuh pada temperatur rendah ada pula yang
tumbuh pad temperatur cukup tinggi, kisarannya sekitar 70C-410C. Trichoderma yang
dikultur dapat bertumbuh cepat pada suhu 25-300C, namun pada suhu 350C cendawan
ini tidak dapat tumbuh. Perbedaan suhu mempengaruhi produksi beberapa enzim
seperti karboksimetilselulase dan xilanase. Kemampuan merespon kondisi pH dan
kandungan CO2 juga bervariasi. Namun secara umum apabila kandungan CO2
meningkat maka kondisi pH untuk pertumbuhan akan bergeser menjadi semakin basa.
Di udara, pH optimum bagi Trichoderma spp. berkisar antara 3-7. Faktor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan Trichoderma spp. adalah kelembaban, sedangkan
kandungan garam tidak terlalu mempengaruhi. Penambahan
HCO3- dapat
menghambat mekanisme kerja Trichoderma spp. Melalui uji biokimia diketahui
bahwa dibandingkan sukrosa, glukosa merupakan sumber karbon utama bagi
Trichoderma spp., sedangkan pada beberapa spesies sumber nitrogennya berasal dari
ekstrak khamir dan tripton.
Mekanisme antagonis jamur ini dapat dipahami saat mikroba patogen sedang dalam
masa dorman, serangan antagonis jamur Trichoderma dapat menyebabkan kerusakan
biologis inokulum patogen. Mekanisme antagonis ini dapat berupa predasi, perparasi,
dan parasitisme propagul. Bentuk lain dari antagonisme adalah dengan penekanan
perkecambahan propagul melalui kompetisi karbon, nitrogen, ion besi, oksigen dan
unsur penting lainnya. Sedangkan antagonis pada permukaan tanman meliputi
antibiosis,
kompetisi
dan
predasi.
Sifat antagonis Trichoderma spp. meliputi tiga tipe :
1.
Trichoderma menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler beta (1,3)
glukonase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel patogen.
2.
Beberapa
anggota
Trichoderma
spp.
menghasilkan
toksin
trichodermin. Toksin tersebut dapat menyerang dan menghancurkan propagul yang
berisi spora-spora patogen disekitarnya.
3.
Jenis Trichoderma viridae menghasilkan antibiotik gliotoksin dan
viridin yang dapat melindungi bibit tanaman dari serangan penyakit rebah kecambah.
Seringkali penyakit layu dan busuk pangkal batang pada tanaman disebabkan
oleh jamur fusarium dan sulit dikendalikan dengan fungisida kimia.
Klasifikasi Trichoderma sp.
Kingdom
: Fungi
Devisio
: Amastigomycota
class
: Deutromycetes
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliaceae
Genus
: trichoderma
Spesies : Trichoderma sp.
Manfaat Jamur Trichoderma sp.
Jamur Trichoderma sp. memiliki banyak manfaat diantaranya adalah sebagai
berikut sebagai organisme pengurai, membantu proses dekomposer dalam pembuatan
pupuk bokashi dan kompos. Pengomposan secara alami akan memakan waktu 2-3
bulan akan tetapi jika menggunakan jamur sebagai dekomposer memakan waktu 1421 hari. Selain itu jamur Trichoderma sp. sebagai agensia hayati, sebagai aktifator
bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Biakan
jamur trichoderma dalam media aplikatif dedak bertindak sebagai biodekomposer
yaitu mendekomposisi limbah organik menjadi kompos yang bermutu, serta dapat
juga berlaku sebagai biofungisida yaitu menghambat pertumbuhan beberapa jamur
penyebab penyakit pada tanaman
Selain itu meningkatkan produksi padi, Trichoderma sp. juga dapat
memperbaiki struktur tanah, memperbaiki daya ikat tanah dan daya ikat air,
meningkatkan ketersediaan unsur hara, menguragi ancaman kekeringan, memperbaiki
drainase dan tata udara mikro tanah, mengikat besi, membantu proses pelapukan
bahan mineral, mengurangi pembakaran lahan, dan ramah lingkungan.
Bacillus thuringiensis ditemukan pertama kali pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (flour
moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai produk insektisida komersial
pertama kali pada tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada tahun 1960-
an, produk tersebut telah digantikan dengan galur bakteri yang lebih patogen dan efektif melawan
berbagai jenis insekta. Pada lingkungan dengan kondisi yang baik dan nutrisi yang cukup, spora
bakteri ini dapat terus hidup dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya. Bacillus thuringiensis dapat
ditemukan pada berbagai jenis tanaman, termasuk sayuran,kapas, tembakau, dan tanaman hutan.
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan
membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi
serangga. Sejak diketahui potensi dari protein Kristal atau cry Bt sebagai agen pengendali serangga,
berbagai isolasi Bt mengandung berbagai jenis protein kristal. Dan sampai saat ini telah diidentifikasi
protein kristal yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada
tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari protein kristal tersebut lebih ramah lingkungan
karena mempunyai target yang spesifik yaitu tidak mematikan serangga dan mudah terurai sehingga
tidak menumpuk dan mencemari lingkungan (Agus Krisno,, 2011). Oleh karena itu Bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt) banyak digunakan sebagai alternatif tanaman yang resisten terhadap hama.
Hingga pada tahun 1998, Bacillus thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies berdasarkan fenotipe
dari flagela (H). Ciri khas bakteri Bacillus yang membedakan dengan yang lainnya adalah
kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi.
Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam
glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan
glukosa. Kristal protein tersusun dari subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter,
mempunyai berat molekul 130 – 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin
setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan serangga. Hidrolisis
ini melepaskan protein kecil dengan berat molekul sekitar 60 kDa dan bersifat toksik (Bulla, Kramer
dan Davidson, 1977).
Bacillus thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan
toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan
untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry
telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan
sekuens penyusunnya.
Bacillus thuringiensis berbentuk sel batang dengan ukuran lebar 1,0-1,2 mikron dan panjang 35 mikron, membentuk delta-endospora, dan membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5-6 sel dan
berwarna merah ungu. Bacillus thuringiensis menghasilkan kristal protein yang disebut dengan toksin
Bt yang beracun bagi ulat dan ngengat (Madison, 2009). Namun, terdapat varietas lain yang beracun
bagi larva lalat dan nyamuk
Klasifikasi Bacillus thuringiensis :
Kerajaan
: Eubacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis atau biasa disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan
zat kimia yang beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam tanah, pada
serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga akan mengeluarkan racun
yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh karena itu BT biasanya disemprotkan pada
permukaan tanaman yang menjadi makanan serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun,
bunga, atau buah yang telah disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan
infeksi. Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan dengan
serangga dewasa.
Beberapa subspesies BT dikenal menghasilkan racun yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu.
Telah dikenal BT yang menghasilkan racun spesifik terhadap kupu-kupu, ngengat, nyamuk, lalat, dan
kumbang. Hewan-hewan lain seperti ikan, kadal, mupun burung tidak akan terpengaruh dengan racun
BT. Manusia yang memakan tanaman yang telah disemprot BT juga tidak akan mengalami gangguan
atau keracunan karena racunnya hanya berdampak pada serangga.
BT yang digunakan sebagai pembasmi serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara invitro
di laboratorium. Dengan medium tertentu akan dihasilkan BT dalam jumlah banyak yang dapat
digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan. Penggunaan BT dapat digunakan sebagai
alternatif membasmi serangga yang tidak membahayakan organisme lain, sebagai pengganti
penggunaan pestisida yang berbahaya.
Bagaimana cara Bacillus thuringiensis bekerja?
Larutan Bt dan spora di semprotkan ke tanaman. Bacillus thuringiensis akan menghasilkan
kristal protein saat sporulasi. Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut dengan deltaendotoksin (Deacon, 2010). Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya
merupakan pro-toksin yang jika larut . kristal protein tidak dapat larut pada kondisi normal, sehingga
aman bagi manusia, atau hewan tingkat tinggi lainnya. Namun, dapat larut pada kondisi pH sekitar
9.5. Kondisi ini ditemukan didalam usus serangga (dalam hal ini, ulat). Hal ini lah yang menyebabkan
Bt merupakan agen insektisida yang spesifik.
Bacillus thuringiensis bekerja secara spesifik, karena hanya akan berikatan dengan reseptor dari
sel usus serangga (ulat) berikatan dengan reseptor dinding sel usus dan akan membuat lubang dan
menyebabkan tidak seimbangnya pH. Sehingga usus lumpuh dan serangga berhenti makan. Ph usus
dan darah menjadi tidak seimbang dan mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak inang.
1.
Seranggga memakan tanaman yang telah di semprotkan Bt, sehingga kristal dan spora masuk
kedalam tubuhnya.
2.
Toksin akan berikatan denga reseptor tertentu di usus.
3.
Toksin akan merusak dinding sel epitel dan merusak keseimbangan pH,sehingga mengakibatkan
spora berkecambah dan bakteri merusak sel inang (serangga)
4.
Serangga mati
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai bakteri dalam bidang pertanian dan pangan tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa :
1. Ada mikro organisme yang parasit dan ada mikroorganisme yang
menguntungkan.
2. Lactobacillus casei adalah mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan
keju
3. Rhizopus oligosporus adalah mikroorganisme yang berperan dalam
pembuatan oncom
4. Streptococcus thermophilua adalah mikroorganisme yang berperan dalam
pembuatan yoghurt
5. Acetobacter xylinum adalah mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan
Nata de coco
6. Pediococcus Sp. Adalah mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan
sosis
7. Beauvaria bassiana adalah mikroorganisme yang berperan sebagai pembasmi
hama pertanian
8. Trichoderma sp. Adalah mikroorganisme yang berperan dalam membantu
penguraian di bidang pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M dan Mita W, Teknologi pengolahan pangan nabati tepat guna. Jakarta :
Akademika Hasil Fermentasi. UGM, Yogyakarta.
Daulay, Djundjung. 1990. Buku/Monograf Fermentasi Keju. Bogor: Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gummalla, S. and Broadbent, J. R. 1999. Tryptophan catabolism by Lactobacillus casei and
Lactobacillus helveticus cheese flavor adjuncts. Journal Dairy Science.
Hidayat, Nur, Masdiana C. Padaga dan Sri Suhartini. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi,
http://faperta.uho.ac.id/agroteknos/Daftar_Jurnal/2014/2014-2-03 GUSNAWATY.pdf. Vol 4
No. 2. Hal 87-93 ISSN: 2087-7706 diambil pada tgl 27 mei 2015 pukul 21.00 WIB.
Kosikowski, F. 1997. Cheese and fermented milk foods. Edwards Brothers Inc., Ann Arbor,
Mich.
M. Victoria Moreno-Arribas, Carmen Polo, María Carmen Polo (2008). Wine chemistry and
biochemistry. Springer. ISBN 978-0-387-74116-1.Page.39
Rahayu, Endang S, Retno Indrati, Eni Harmayani dan M. Nur Cahyanto.1993. Bahan Pangan
Stanley Falkow, Martin Dworkin, Stanley Falkow, Eugene Rosenberg, Karl-Heinz Schleifer,
Erko Stackebrandt (2004). The Prokaryotes: a handbook on the biology of bacteria.
springer. ISBN 978-0-387-25494-4
Sukotjo, Setiarti. 2003. Proses Pembuatan Keju Lunak. Serpong: CV. Chitra Delima.
Yiu H. Hui, George G. Khachatourians (1994). Food Biotechnology: Microorganisms.
Wiley-Interscience. ISBN 978-0-471-18570-3
Yogyakarta, 2006
Download