manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana yang baik

advertisement
21
manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana yang baik dan buruk,
dapat pula memilih ana yang benar dan mana yang salah. Karena itu manusia
dapat memilih dan menentukan sikap dan tingkah laku mana yang baik dan
buruk serta mana yang benar dan salah dalam pembentukana watak pribadi
seseorang.
Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan yang telah
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya, dan yang menentukan pola
perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota. Santrock (2003 : 441) menyatakan
bahwa kunci dalam memahami konsep perkembangan moral adalah internalisasi
perubahan perkembangan dari perilaku yang kontrol secara eksternal menjadi
perilaku yang kontrol oleh standar dan prinsip internal.
Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu
dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral
dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau dalam penalaran moralnya
serta pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika (Selly
Tikan,1999). Artinya ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku
moralnya. Dengan kata lain, bermanfaat sekali suatu perilaku moral terhadap nilai
kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada
penalaran moral, maka prilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku
moral yang mengandung nilai moral.
22
Dengan demikian suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika
perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari
pemikiran atau penalaran moral yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971).
Menurut Blasi (1980) :
“Perilaku moral akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku
moral yang dapat dilihat saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang tidak dapat
dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam melakukan
suatu tindakan moral adalah perilaku moral yang tidak dapat dilihat, tetapi
dapat ditelusuri dan diukur.”
Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral merupakan
faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Oleh karena itu, untuk
menemukan perilaku moral yang sebenarnya tidak sekedar mengamati perilaku
moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari
keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat penalaran moral
akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut.
Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran moral, rasionalitas
moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan
keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Ini sering kali disebut dengan penalaran
moral atau pemikiran moral, atau pertimbangan moral, yang merupakan segi
kognitif dari nilai moral. Tindakan moral atau kemampuan untuk melakukan
keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakantindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam
kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Lingkungan sosial yang kondusif untuk
memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran
23
moral. Ketiga unsur tersebut yaitu: penalaran, perasaan dan tindakan moral harus
ada dan dikembangkan dalam pendidikan moral.
Walupun Kohlberg menyatakan bahwa perkembangan moral merupakan
suatu yang bersifat universal, tidak tergantung pada kebudayaan (Mischel,
1971;Cremers, 1995 C) dan hal tersebut telah dibuktikan melalui penelitian pada
beberapa negara, namun ia juga mencatat bahwa faktor kebudayaan mempunyai
peran penting dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo atau kecepatan
perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya pencapaian
tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap
perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai
latar belakang budaya tertentu dapat berbeda perkembangan moralnya dengan
individu lain yang berasal dari kebudayaan lain (White, dkk. 1978) atau
perkembangan moral dipengaruhi oleh faktor kebudayaan (Mantani dalam
Pratidarmanastiti, 1991).
1. Komponen-komponen utama moralitas
Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku
moral, dan perkembangan moral : 37) dalam moralitas terdapat 4 komponen
utama diantaranya :
a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral
(mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan
bagaimana masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh
oleh berbagai tindakan tertentu,
24
b. Memperkirakan
apa
yang
seharusnya
dilakukan
oleh
seseorang,
merumuskan suatu rencana tindakan yamg merujuk kepada suatu standar
moral atau sustu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan,
pertimbangan moral, penerapan nilai moral sosial);
c. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan
bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau yang
bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan
dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model
integrasi nilai, perilaku mempertahankan diri)
d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan
yang
berbobot moral (mencakup “ego-strength” dan proses pengaturan diri)
Komponen pertama menafsirkan tentang situasi dan mambayangkan
rangkaian tindakan yang mungkin timbul serta menelusuri kemungkinan
konsekuensinya, artinya seberapa jauh tindakan-tindakan tersebut mampu
mnelusuri perasaan sejahtera yang mungkin timbul pada mereka yang terlibat
dalam situasi yang bersangkutan.
Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku
moral, dan perkembangan moral : 37) Ada empat temuan dari penelitian psikologi
yang berkaitan dengan komponen pertama ini :
a. Temuan pertama menyatakan bahwa banyak orang merasa sangat sulit
untuk menafsirkan situasi yang sangat sederhana sekalipun. Penelitian
menganai bagaimana reaksi seseorang yang melihat sustu peristiwa gawat,
manunjukan kesulitan yang dirasakan orang dalam menafsirkan situasi itu.
25
Misalnya penelitian yang dilakukan Staub (1978), menjelaskan bahwa
perilaku menolong bertautan dengan ambiguitas atau sifat ganda dari situasi
yang bersangkutan; apabila seseorang tidak menagkap secara jelas apa yang
sebenarnya terjadi, maka ia tidak akan turun tangan untuk memberikan
pertolongan.
b. Penelitian kedua menunjukan, bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
diantara berbagai orang dalam kepekaannya, berkaitan dengan kebutuhan
dan kesejahteraan orang lain. Hal ini misalnya terungkap dalam penelitian
yang dilakukan oleh Schwartz (1997) dalam variabel yang disebutkannya
“kesadaran akan konsekuensi”.
c. Penelitian ketiga menyikapkan bahwa kemampuan untuk menyikap
kebutuhan atau kemauan orang lain serta bagaimana tindakan seseorang
mungkin mempengaruhi orang lain, merupakan suatu fenomena yang
berkembang; artinya bahwa dengan bertambah usianya akan dapat lebih
memahami orang lain. Adanya pemunculan bidang “kognisi sosial” dalam
penelitian tersebut cukup relevan dan terdokumentasi.
d. Temuan keempat dari berbagai penelitian itu mengungkapkan bahwa situasi
sosial dapat melahirkan berbagai perasaan yang cukup kuat, bahkan
sebelum muncul secara jelas dalam kognisi yang bersangkutan. Suatu
perasaan dapat menjadi sangat aktif sebelum orang yang bersangkutan
menyadari situasi yang dialaminya itu (Zajonc, 1980). Misalnya Hoffman
(1977) menekankan peranan empati dalam kaitan dengan moralitas dan ia
memandang lahirnya empati sebagai proses primer yang tidak memerlukan
26
perantara kognisi yang serba kompleks. Pandangan Hoffman ini terutama
menarik perhatian dalam hal bagaimana respons primer yang berupa afeksi
ini bertautan serta dimodifikasi oleh perkembangan kognisi sehingga dapat
melahirkan empati dalam bentuk yang lebih kompleks. Akan tetapi yang
menjadi persoalan pokok di sini bahwa afeksi atau perasaan yang timbul itu
merupakan bagian dari apa yang sebenarnya harus ditafsirkan dalam situasi
yang bersangkutan, dan karena itu merupakan bagian dari apa yang
diproses.
Dalam komponen kedua di dalamnya mencakup persoalan penentuan
perangkat tindakan manakah yang paling memenuhi, moral yang ideal, apa yang
seharusnya dilakukan dalam situasi yang bersangkutan. Ada dua tradisi penelitian
pokok yang memberikan deskripsi mekanisme yang tercakup dalam dua
komponen diantaranya adalah :
a. Tradisi pertama berasal dari postulat psikologi sosial yang menyatakan
bahwa norma-norma sosial menentukan bagaimana suatu perangkat
tindakan itu hendaknya didefinisikan. Norma-norma sosial itu tersikap
dalam bentuk “dalam suatu situasi dengan keadaan X, seseorang harus
melakukan Y. Ada berbagai norma sosial yang dijadikan sebagai postulat :
pertanggungjawaban sosial, keadilan, perasaan timbal balik, dan norma
pemberian. Sebagai contoh, norma pertanggungjawaban sosial (Berkowitz
dan Daniels, 1963) menuntut bahwa apabila Anda menangkap kebutuhan
yang dirasakan orang lain sedang ia tergantung pada Anda, maka Anda
berkewajiban untuk menolongnya. Menurut ungkapan norma sosial,
27
manakala seseorang dihadapkan pada suatu masalah moral, maka ia akan
menafsirkan situasi tersebut dan dalam tafsiran itu, ia akan menagkap suatu
konfigurasi keadaan selaras dengan suatu konfigurasi dalam selaras dengan
suatu norma sosial tertentu. Berkenaan dengan keadaan itu, maka
“berlakulah” suatu norma sosial. Demikianlah pendekatan “norma sosial”
itu menjelaskan bagaimana seseorang menentukan perangkat tindakan mana
yang hendak diambil dalam situasi tertentu. Sejalan dengan pendekatan
norma sosial, perkembangan moral hanya merupakan suatu cara bagaimana
mendapatkan sejumlah norma sosial tertentu, dan bagaimana norma-norma
itu menjadi aktif dengan situasi khusus serta bagaimana pemunculannya.
b. Tradisi penelitian pokok kedua yang bersangkutan dengan komponen dua
ialah penelitian perkembangan kognisi, yang ternyata pendekatan “norma
sosial” yang memusatkan perhatiannya dengan cara kognisi memfokuskan
pada peningkatan pemahaman akan tujuan, fungsi serta esensi penataan
sosial. Pusat perhatiannya tertuju pada alasan pemantapan penataan
bersama, khususnya bagaimana masing-masing peserta dalam perbuatan
bersama itu dapat bekerjasama dan saling menguntungkan.
Komponen ketiga yaitu tentang persoalan pengambilan keputusan
mengenai apa saja yang sebenarnya diharapkan seseorang dengan menyeleksi
berbagai perangkat nilai yang dihadapi serentak. Menarik perhatian bahwa
seseorang mungkin menyadari kemungkinan apa yang dapat timbul sebagai hasil
rangkaian perbuatannya, dan masing-masing perbuatannya itu mewakili perangkat
nilai dan motif tertentu. Dan tidak jarang pula bahwa suatu nilai yang tidak sejalan
28
dengan kaidah moral, dengan demikian kuat dan menarik, sehingga orang
memilih-milih apakah ia hendak melakukan perangkat tindakan yang tetap
menaati citra moralnya atau memilih untuk mengadakan komfromi dengan nilai
tersebut. Misalkan seseorag menyadari bahwa sejumlah perangkat tindakan dalam
suatu situasi tertentu, maka masing-masing yang membawa kapada jenis hasil
atau tujuan yang berbeda, persoalan mengapa orang memilih alternatif yang
berbobot moral, lebih-lebih apabila tindakan tersebut bersangkutan dengan
penghalusan perhatian seseorang atau ketahanan menghadapi tekanan, apakah
yang memotivasi perilaku moral itu. Di bawah ini diajukan beberapa teori tentang
motivasi moral secara singkat, diantaranya :
a. Orang berlaku secara moral, karena evolusi telah menelorkan sikap
altruisme ke dalam gen keturunan kita (misalnya, E. Willson, 1975).
b. “kesadaran telah membuat kita jadi pengecut” itu adalah sifat-sifat pemalu,
rasa bersalah, perasaan negatif yang telah dikondisinisasikan, dan ketakutan
terhadap Tuhan (misalnya, Aronfreed, 1968; 1976).
c. Tidak ada motivasi khusus untuk menjadi manusia yang bermoral; manusia
hanya memberikan respons terhadap berbagai penguatan (reinforcement)
atau kesempatan untuk meniru serta mempelajari prilaku sosial (Bandura,
1997, Goldiamond, 1968).
d. Pemahaman sosial tentang bagaimana kebersamaan berfungsi dan
pengorbanan orang untuk memungkinkan hal tersebut terlaksana, menuntun
kepada motivasi moral (misalnya, Dewey, 1959; Piaget, 1932/1965;
“pencerahan liberal”)
29
e. Motivasi moral dijabarkan dari rasa kagum atau takut dan mengabdikan diri
kepada sesuatu yang dirasakan atau dipandang lebih besar dari dirinya
sendiri, mengidentifikasikan diri dengan sikap berkorban atau dedikasi
terhadap negara dan masyarakat, ataupun sikap hormat dan memuja kepada
yang dipandang suci (misalnya Durkheim, 1992/1961; Erikson, 1958)
f. Empati merupakan dasar dari motivasi altruistik (misalnya, Hoffman 1977)
g. Pengalaman hidup dalam keadilan dan masyarakat yang menunjukan
kepedulian, dapat membewa kita kepada pemahaman tentang kemungkinan
timbulnya masyarakat yang kooperatif dan hal ini selanjutnya dapat
membawa kepada kesetiaan terhadap moral (misalnya, Rawis, 1971)
h. Yang memotivasi tindakan moral ini adalah kepedulian terhadap integrasi
diri dan integritas orang sebagai suatu perantara moral.
Kedelapan teori tentang motivasi moral ini menunjukan terdapatnya
keragaman pandangan mengenai masalah ini diantara berbagai ahli.
Komponen
keempat
mengimplementasikan
suatu
yaitu
mengambil
rencana
kegiatan
keputusan
mencakup
serta
persoalan
memperkirakan urutan langkah atau tindakan yang kongkret yang harus diambil,
memperkirakan bagaimana mengatasi hambatan serta kesulitan yang tidak
terduga, menghindarkan rasa jemu dan frustasi, menolak penyimpangan dan
berbagai bujukan, serta tidak melepaskan diri dari wawasan dan tujuan. Para
psikolog ada kalanya merujuk kepada anggapan bahwa hal-hal tersebut diatas
mencakup persoalan ego-strength atau keterampilan mengetur diri. Penelitian
mengenai hal ini mencakup penelitian Mischel dan Mischel (1976), yang
30
termasuk memiliki anggapan seperti itu menunjukan tentang adanya perbedaan
individual dalam ego-strength dan penurunan dalam keputusan serta keterampilan
pengaturan diri. Krebs (catatan 1) melaporkan bahwa orang-orang yang tergolong
kepada tahapan 4 dari pola Kohlberg, yang termasuk tinggi ukuran ego-strength
nya, menunjukkan kurang perilaku serongnya dibanding dengan orang-orang yang
tergolong ke dalam tahapan 4 yang termasuk rendah ego-strength nya, hal ini
menimbulkan dugaan bahwa mereka tinggi ego-strength nya itu memiliki pula
rasa bersalah yang lebih kuat, sedang mereka yang tergolong kepada tahapan 4
dengan ego-strength yang rendah mempunyai pula rasa bersalah tersebut, akan
tetapi ia tidak menuangkannya ke dalam tindakan.
Berbagai jalur penelitian mengandung juga anggapan bahwa suatu kekuatan
batin tertentu, suatu kemampuan untuk memaksakan diri bertindak, merupakan
suatu faktor dari lahirnya perilaku moral.
2. Kesadaran Moral dan Unsur Kesadaran Moral
Kehidupan manusia dari waktu ke waktu tidak terlepas dari turan –aturan
yang tentunya mengikat, untuk hidup sesuai dengan aturan tersebut manusia
memerlukan kesadaran hakiki yang melandasi setiap sikap dan gerak dalam
kehidupanny. Seperti halnya dalam kehidupan di masyarakat, dimana normanorma atau aturan moral harus dijalankan maka manusia dapat dikatakan bermoral
jika manusia tersebut memiliki kesadaran moral.
Kesadaran merupakan suatu hal yang bersifat fundamental, menyangkut
hati nurani manusia. Pada prinsipnya manusia memiliki kesadaran yang berbedabea, karena kesadaran yang dimilikinya berdasarkan pada tingkat kematangan
31
manusia itu sendiri. Beberapa sarjana mengamukakan sejumlah tingkat kesadaran
yang dimiliki manusia. Seperti yang diutarakan oleh N.Y Bull (dalam A. Kosasih
Djahiri, 1985:24) menunjukan tingkat kesadaran sebagai berikut :
a. Kesadaran yang bersifat Anomus, kesadaran atau kepatuhan yang tidak
jelas dasar dan alasan orientasinya. Tentunya ini yang paling rendah dan
sangat labil.
b. Yang bersifat Heteronomus, yaitu kesadaran/kepatuhan yang
berlandaskan dasar/orientasi/motivasi yang beraneka ragan atau bergantiganti. Inipun kurang mantap sebab mudah berubah oleh kesadaran atau
suasana.
c. Kepatuhan yang bersifat Sosionomus, yaitu yang berorientasi kepada
kiprah umum karena khalayak ramai.
d. Kesadaran yang bersifat Autonomus, adalah terbaik karena didasari oleh
konsep atau landasan yang ada dalam diri sendiri.
Keempat tingkat kesadaran tersebut jika kita pahami ari sifat dan
pengertiannya maka dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangan individu.
Tentunya dalam hal ini kesadaran bersifat Autonomus merupakan tingkatan yang
paling tinggi dan baik karena individu melakukan tindakan dalam kehidupannya
didasarkan atas kesadaran yang datang dari dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi
kesadaran moral, maka kesadaran yang bersifat Autonomus inilah yang dikatakan
sebagai kesadaran moral.
Sementara itu A. Kosasih Djahiri (1985:25) mengemukakan bahwa
beberapa sarjana membagi tingkat kesadaran menjadi tujuh tingkatan, yaitu
sebagai berikut:
a. Patuh/sadar karena takut pada orang/kekuasaan/paksaan (Authority
Oriented)
b. Patuh karena ingin dipuji (Good boy-Nice girl)
c. Patuh karena kiprah umum/masyarakat (Contract Legality)
d. Taat atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (Law &
Order Oriented)
e. Taat atas dasar keuntungan dan kepentingan (Utilitis=Hedonis)
32
f. Taat karena hal tersebut memuaskan baginya
g. Patuh karena dasar prinsi ethis yang layak universal (Universal Ethical
Priciple)
Tingkatan
kesadaran
tersebut
mendeskripsikan
bahwa
kesadaran
didasarkan pada beberapa situasai dimana individu berada yang tentunya menjadi
motivasi untuk mengambil tindakan moral yang harus dilakukan.
Kesadaran moral pada dasarnya dapat dikatakan sebagai hati nurani yang
dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah conscience diambil dari Bahasa
Yunani yang merupakan terjemahan dari Suneidesis yang ditujukan kepada
kesadaran akan perbuatannya sendiri.
Selain dikatakan sebagai hatu nurani, kesadaran dapat dikataan pula
sebagai suara hati. Kesadaran moral/suara hati menurut F. Magnis. S (1990:53)
adalah kesadaran moral kita dalam situasai kongkret, dimana secara moral kita
akirnya harus memutukan sendiri apa yang akan kita lakukan.
Dalam hal ini kesadaran moral/suara hati menjadi tolaik ukur kesadaran
individu, dimana individu dapat dinilai bermoral. Dengan kata lain manusia yang
memiliki kesadaran moral adalah manusia yang yang menggunakan suara hatinya
dalam melakukan setiap tindakan dengan menggunakan keyakinan hati tanpa
adanya motivasi untuk mendapat pujian dari orang lain. Pada dasarnya suara hati
memuat anasir positif, dimana seseorang dituntuk untuk selalu berbuat baik, jujur,
wajar, dan adil serta semua yang bersifat baik. Suara hati memberikan suatu
penilaian moral seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa apa yang
dilakukan seseorang mencerminkan suara hatinya, sehingga menentukan pula
sejauhmana kesadaran moral yang dimilikinya.
33
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh F. Magnis. Suseno,
seorang pakar yaitu W. Poespoprodjo (1999:242) mengartikan kesadaran moral
sebagai hati nurani. Menurutnya hatu nurani adalah intelek sendiri dalam suatu
fungsi istimewa, yaitu fungsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatanperbuatan individu kita sendiri. Hati nurani adalah suatu fungsi intelek.
Fungsi intelek sendiri mengandung arti bahwa dalam mengambil suatu
keputusan atau tindakan moral yang berdasarkan kesadaran/hati nurani, harus
bertolak dari pemikiran atau akal. Moral yang berkembang di masyarakat harus
diikuti oleh kesadaran moral setiap individu dalam menjalankan kehidupan yang
berdasar atas norma dan moral yang berkembang di masyarakat. Hati nurani
(kesadaran moral) dapat diberi batasan sebagai keputuan praktis akal budi yang
mengatakan bahwa suatu perbuatan individual adalah baik yang harus dikerjakan
atau suatu perbuatan buruk maka harus dihindari.
Tiga hal tercakup dalam hati nurani adalah pertama
intelek sebagai
kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan
individual yang benar dan salah. Kedua, proses pemikiran yang ditempuh intelek
guna mencapai keputusan semacam itu. Ketoga, keputusannya sendiri yang
merupakan kesimpulan proses pemikiran ini. Hati nurani sebenarnya hanya
mengatakan yang paling akhir itu, tetapi memuat kedua hal lainnya diatas. Maka
hati nurani bisa berati tiga hal tersebut diatas (W Poesporodjo, 1999:243).
Pada prinsipnya hati nurani dengan kenyataan menimbulkan pertentangan
dalam individu. Dalam kehidupan manusia kebebasan sosial dibatasi oleh
masyarakat yang disatu sisi dibatasi ula oleh moral, sehingga kesadaran moral
34
diperlukan sebagai jembatan bagi dua kenyataan yang bertolak belakang serta
untuk
mempertanggungjawabkan
sikap
dan
tindakan
setiap
individu.
Pembentukan kesadaran moral sangatlah penting karena awal pembelajaran bagi
setiap individu untuk hidup (berinteraksi) di masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat A. Charris Zubair (1990:51) bahwa:
Kesadaran moral merupakan faktor pnting untuk memungkinkan tindakan
manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakan akan sesuai
dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai
yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan
atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu direalisasikan sebagaimana
seharusnya, kapan saja dan dimana saja.
Perkembangan kesadaran moral setidaknya dilakukan pada tiga lemabaga
normativ. Keluarga merupakan gerbang pertama bagi pembentukan kesadaran
moral setiap individu. Menurut Frans Magnis Suseno (1990:49-50) didalam
keluarga untuk pertama kalinya kita belajar apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan, apa yang harus dianggap baik dan apayang tidak baik. Yang
kedua adalah agama yang menurut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan
sikap-sikap amat dasariah bagi individu dan masyarakat. Sedangkan yang ketiga
adalah Negara yang menetapkan norma-norma hukum dan peraturan –peraturan
yang wajib ditaati.
Menurut Frans Magnis (dalam Endang Soemantri 1993:31) menyebut tiga
unsur kesadaran moral yaitu:
a. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan moral,
melakukan tindakan moral itu ada dan terjadi di dalam setiap hati
sanubari manusia.
b. Rasional, karena beraku umum, lagipula terbuka bagi pembenaran dan
pengangkalan.
35
c. Kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk menaatinya.
Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu
sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Sedangkan Poedjawijatna (dalam Endang S. 1993:31) berpendapat kata
hati (istilah lain bagi kesadaran moral) bertindak sebagai berikut:
a. Index atau petunjuk
Memberi petunjuk tentang baik buruknya suatu tidakan yang mungkin
akan dilakukan seseorang.
b. Iudex atau hakim
Sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik buruknya
tindakan.
c. Vindex atau menghukum
Jika ternyata tindakan itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan
berulangkali bahwa buruklah itu.
Sementara Prof. Notonegoro (dalam Endang S. 1993:32) menguraikan
unsur kesadaran moral menjadi dua bagian yaitu:
a. Sebelum
Sebelum melakukan tindakan, kata hai sudah memutuskan suatu diantara
empat hal, yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau
membiarkan.
b. Sesudah
Sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila
tidak bermoral dicela atau dihukum.
Vernon J Bourke (dalam A. H. Zubair, 1990:57) menampilkan bagan
tentang petunjuk rasional mengenai proses penalaran praktis dalam tindakan
manusia yaitu pada tahap conscience (kesadaran kata hati), tahap mana
merupakan prinsip keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat
atas kedudukan akal manusia di dalam konteks semesta lainnya, yaitu dalam
urutan jenjang mahluk alami yang paling rendah sampai pda suatu yang tertinggi,
36
dari mahluk alami sampai akal abadi Tuhan. Dengan melihat bagan tersebut,
ternyata kesadaran mora memuat adanya kewajiban, rasional, objektif dan adanya
kebebasan.
Dari ketiga pendapat diatas dapat ditari kesimpulan bahwa kesadaran moral
lahir dari jiwa setiap individu dimana setiap tindakan yang bermoral atau tidak
ditentukan oleh hati nurani, maka tindakan yang bermoral akan muncul apabila
manusia sebagai mahluk individu memiliki kesadaran moral untuk melakukan
tindakan tersebut. Selain memiliki kesadaran moral, individu harus pula memiliki
rasa empati dalam dirinya. Karena dengan adanya rasa empati, maka individu
dapat mengontrol tindakannya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
BAGAN
Skema Kesadaran Moral Venon J Burke
37
3. Perkembangan Moralitas
Pada dasarnya perkembangan moral di dominasi oleh perilaku prososial yaitu
suatu perilaku yang positif, perilaku yang menguntungkan orang lain. (Wiliam M.
Kurtines dan Jacob. L.G, 1992:677). Perkembangan moral manusia terjadi melalui
bberapa tahapan, tahapan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg
(dalam Ceppy.H, 1995:231) dibagi kedalam tiga tahapan yaitu:
a. Tingkat Pra Konvensional, pada tahap ini anak tanggap terhadap aturanaturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik
dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini inti dari segi akibat fisik
atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan).
Terdapat dua tahap pada tingkat ini yaitu :
Tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa
menghiraukan arti dan nilai-nilai manusiawi dari akibat tersebut.
Tahap II orientasi relativis instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga
kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti
hubungan dipasar terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat
resiprositas dan pembagian sama rata tetapi ditafsirkan secara fisik dan
pragmatis.
b. Tingkat Konvensional, pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan
keluarga, kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai al yang bernilai
dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang segara dan nyata.
Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib
itu serta mengidentifikaskan diri dengan orang atau kelompok yang
terlibat. Tingkat ini mempunyai suatu harapan yaitu:
Tahap III : orientasi keepakata antara pribadi atau orientasi anak manis
dimana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui mereka.
Tahap IV : orientasi hukum dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata
tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
38
kewajiban sendiri. Menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial
yang ada sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri .
c. Tingkat pasca konvensional, otonom atau yang berlandaskan prinsip.
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsipprinsip itu dan terlepas pula identifikasi individu itu sendiri. Ada dua
tahap pada tingkatan ini yaitu:
Tahap V : orintasi kontak sosial legalitas
Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat
pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan apa
yang telah disepakati.
Tahap VI : orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis,
universal, konsistensi dan logis.
Dengan teori ini terlihat baha kohlberg lebih menitikberatkan pada tingkat
kognitif individu akan mempengaruhi pada kematangan moral. Hal ini didasarkan
bahwa perkembangan moral melalui tingkat kognitif berjaln tahap demi tahap.
Sedangkan tingkah laku individu tidak akan mempengaruhi perkembangan moral
individu. Bebeda halnya dengan Piaget yang lebih menitikberatkan perkembangan
pertimbangan moral pada usia permulaan. Menurut Piaget (Cheppy Haricahyono,
1995:266) ada dua tahapan yang harus dilewati setiap individu yaitu:
a.
b.
Heteronomus atau realisme moral. Dalam tahap ini anak cenderung
menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang
yang dianggap kompeten untuk itu.
Autonomous Morality atau indenpendensi moral. Dalam tahap ini anak
sudah mempunyai pemikiran dan perlunya memodifikasi aturan-aturan
untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Adapun tahap perkembangan moral menurut Piaget tersusun berdasarkan
usia-usia permulaan anak (dalam Ceppy H. 1995:266) :
39
a. Tahap pertama
Anak yang paling muda daru usia kira-kira 0-2 tahun. Dalam usia ini
tidak ada aturan yang mengendalikan aktivitas mereka, semata-mata
hanyalah aktivitas motorik yang tidak dikendalikan oleh tujuan akal
manapun. Jadi dari segi pelaksanaan peraturan kita dapati bahwa pada
tahapan ini hanyalah aktivitas motorik dan tidak ada kesadaran akan
peraturan yang harus diataati.
b. Tahap kedua
Antara usia 2-6 tahun dia mulai menirukan tata cara yang diamatinya.
Sekarang dia sadar bahwa ada aturan-aturan yang mengatur kegiatan ini,
dan walaupun pengetahuannya mengenai aturan ini masih sangat kurang
lengkap. Ia menganggap bahwa aturan suci dan tidak dapat diganggu
gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris artinya dia
menirukan apa yang dilihatnya untuk tujuan sendiri, tanpa sadar bahwa ia
terpisah dari permainan itu sebagai suatu aktivitas bersama.
c. Tahap ketiga
Antara umur 7-10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan
psikomotorik murni ke arah kesenangan yang didapatkan dari persaingan
dengan teman-temannya sesuai dengan peraturan yang disetujui. Anakanak yang lebih muda dalam tahap ini masih dipengaruhi oleh kepatuhan
heteronomy kepada peraturan, tetapi berbeda dari tahap egisentris
peraturan di sini dianggap esensial untuk mengatur permainan sebagai
suatu aktivitas sosial.
Teori Piaget ini didasarkan pada kesadaran manusia untuk memenuhi
peraturan dan pelaksanaan peraturan tersebut. Hal ini disesuaikan dengan tingkat
umur seta orientasi masing-masing individu. Orientasi tersebut berkembang dari
sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar seseorang) ke sikap yang
otonom (bahwa peraturan ditentukan pula ole subjek yang bersangkutan).
Dengan demikian bagi seorang anak semua peraturan adalah sama,
sehingga perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama dengan
perkembangan rasa hormat pada peraturan bemain anak-anak. Dari kedua teori
diatas, tahap perkembangan moral menuju kematangan moral ditentukan oleh
faktor usia serta pendidikan moral di lingkungan keluarga.
40
4. Pendidikan Moral
Pendidikan meupakan suatu dimensi dalam kehidupan manusia yang
sangat penting, dikatakan penting karena dimensi tersebut mempengaruhi
kelangsungan hidup manusia. Pendidikan memuat makna universal dan memiliki
nilai untuk mancerdaskan umat manusia. Beberapa pakar memberikan definisi
menganai pendidikan secara berbeda salah satunya pendapat yang dikemukakan
oleh A. Kosasi Djahiri (1985:3) bahwa “pendidikan adalah merupakan upaya
yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang
hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan
berbudaya (Civilized).” Dalam pengertian ini, pendidikan dijadikan sebagai suatu
proses hidup manusia, dimana manusia tersebut dibina dan mendapatkan
pengalaman yang berbeda. Proses tersebut dilakukan sepanjang hayat, yang
didalamnya memuat perubahan ke arah yang lebih positif.
Pendidikan moral di zaman modern menjadi sebuah fenomena
kemasyarakatan untuk menangkal pengikisan nilai-nilai budaya serta normanorma yang ada di masyarakat sebagai dampak globalisasi. Pendidikan moral
ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem kepandidikannya. Latar belakang
timbulnya pendidikan moral pada masyarakat modern (Haricahyono, 1995:2-3)
antara lain :
1. Sulitnya menemukan satu model moral yang boleh dikatakan kohern
yang dengan mudah dapat di imitasi oleh anak-anak
2. Adanya kecenderungan masyarakat masyarakat modern untuk mulai
memisahkan kehidupan keagamaannya dari aktivitas hidup sehariharinya.
41
Proses pengembangan sistem nilai antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain bervariasi, sebab setiap masyarakat biasanya akan
mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan polanya sendiri-sendiri, sesuai
dengan situasi kondisi yang dimilikinya. Ilustrasi tersebut tentunya akan
mempengaruhi pada upaya pengembangan moral.
Pada abad ke-21 ini atau zaman globalisasi dan modernisasi menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan termasuk pendidikan nilai dan moral. Pendidikan
nilai dan moral diperlukan sebagai upaya mempertahankan jati diri bangsa serta
melastarikan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang berlaku di masyrakat.
Pendidikan nilai moral sangat diperlukan oleh generasi muda sebagai penerus
bangsa dan perangkat efek negatif dari globalisasi. Hal ini sependapat dengan A.
Kosasih Djahiri (1995:21) bahwa :
Pengajaran nilai moral menghendaki lahirnya generasi muda yang
memiliki sejumlah bekal sistem nilai bku yang positif sebagai landasan dan
barometer kehidupan yang lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan
pembaharuan nilai/moral menuju nilai dan moral yang diinginkan, yitu nilai
dan moral pancasila.
Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat yangg dikemukakan oleh
Numan Somantri (2001:220-225) bahwa :
Pendidikan moral di Indonesia adalah suatu pogram pendidikan
(Sekolah dan Luar Sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan
sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan
psikologis untuk tujuan pendidikan. Pendidikan moral harus memuat public
culture dan privat culture yang tidak bisa dilepaskan dari upaya
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam
pendidikan moral, isi harus memuat latihan moral, pengkondisian moral,
ditambah bahan pengetahuan dan masalah sosial agar terjadi moral
reasoning dan cognitif moral develpment, dengan metode field psychology
42
melalui pendekatan problem solving dan inquiry. Sehingga keberhasilan
dalam pendidikan moral merupakan tanggung jawab bersama.
Dari pernyataan diatas, maka pandidikan nilai dan moral meliputi seluruh
aspek dari pengetahuan (kognotif), baik dan buruk (afektif), ikap (psikomotor)
dengan melibatkan lingkungan kehidupan fisik dan nonfisik. Oleh karenanya
apabila tujuan pendidikan moral akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral
maka yang penting ialah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri
dengan tujuan hidup di masyarakat (Dreeben, dalam Numan S. 2001:220).
Pendidikan nilai moral dapat dilakukan di tiga lingkungan yakni lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Pendidikan Nilai Moral dalam Keluarga
Keluarga sebagai tempat berkumpul dan tempat berkumpul dan tempat
curahan kasih sayang menjadi alat yang utamadalam menambahkan nilai dan
norma pada anak. Namun, saat ini pendidikan nilai moral dalam keluarga tergerus.
Menurut A Kosasih Djahiri (2006:4) mengungkapkan bahwa :
Proses emoting-minding, spritualizing, valuing dan mental round trip
dikalahkan oleh proses thinking dan rationalizing. Pmbelajaran berlanskan
nilai moral yang normative/luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran
theoritic-conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional-keilmuan
dan atau yuridis formal. Potret ini sudah nampak dalam pendidikan informal
dalam keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi
luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah diserahkan kepada instansi lain
yakni guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan
role behaviour bakunya (agama & cultural) dan hanya menjadi “symbol
terminal berkumpul dan sumber status sosial-ekonomi.”
Dengan demikian, fungsi pendidikan keluarga mulai berkurang yang
berimbas pada perilaku generasi muda. Hal ini tentunya sangat bertentangan
dengan ajaran agama islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh M.A Priyatno
43
(1996: 51) bahwa perlu disadari maju mundurnya suatu negara, tenag tentramnya
suatu negara atau aman tidaknya suatu negara pada hakikatnya adalah terletak
pada aman dan tidaknya tiap-tiap ruma tangga. Maka, kasus dekandensi moral
pada remaja/ generasi muda terkait dengan lingkungan keluarga menurut
Sudarsono (dalam W. Poespoprodjo, 1999:23) yakni menanamkan dasar
pendidikan moral dan memberikan dasar pendidikan sosial. Pembinaan moral
pertama kali harus dilakukan di rumah, sekolah hanya menambahan pemahaman
moral yang kurang dalam keluarga.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga merupakan
gerbang pertama dalam penanaman pendidikan nilai terhadap anak. Di dalam
keluarga pembelajaran pendidikan nilai moral ditanamkan melalui aturan-aturan
moral yang disepakati. Tentunya hal ini akan membuat pengalaman bagi anak
berupa interaksi sosial serta menentukan pola tigkah laku pada anak di masa yang
akan datang
A. Konsep Etika Pergaulan
1. Pengertian etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos",
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya
berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,
yaitu "Mos" dan dalam bentuk jamaknya "Mores", yang berarti juga adat
kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik
(kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
44
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan
sehari hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian
perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilainilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
a. Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip,
aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
b.
Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Terminius Techicus mengemukakan pengertian etika dalam hal ini adalah,
etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau
tindakan manusia.
Manner dan Custom membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan
kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature)
yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda
dalam pokok perhatiannya, antara lain :
Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan
sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the
nature of the right). Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan
memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia (The rules of conduct,
recognize in respect to a particular class of human actions). Ilmu watak manusia
yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual (The science of human
45
character in its ideal state, and moral principles as of an individual). Merupakan
ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan
kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia
disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk
berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai
atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf:
1991: 23), sebagai berikut:
Etika deskriptif adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional
tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang
dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya yakni mengenai nilai
dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan
realitas yang membudaya.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau
tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku
yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya
dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi
Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
46
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai
pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi
tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
a.
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus
membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan
yang
membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman
norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika
menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologi
c.
Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat
normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya
terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan
adanya fakta, cukup informasi, menganjurka dan merefleksikan. Definisi
etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
2. Etika Pergaulan
Dalam buku Pedoman Perilaku Mahasiswa (Keputusan SA No.002/SenatAkd./UPI-SK/VIII/2007)
47
BAB IV
Sikap dan Perilaku mahasiswa
Bagian Pertama
Bagian Umum
Pasal 6
(1) Mahasiswa sebagai anggota sivilitas akademik Universitas menaati norma
umum yang berlaku.
(2) Mahasiswa memelihara dan menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban,
serta keamanan sarana dan prasarana di lingkungan Universitas
(3) Mahasiswa mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap kehidupan
kampus yang edukatif, ilmiah, dan religius
(4) Mahasiswa menaati tata tertib, baik dalam kegiatan akademik maupun non
akademik
Bagian Kedua
Sikap Hidup
Pasal 7
(1) Mahasiswa selalu berorientasi pada kebermaknaan dan kebermanfaatan
dengan yang memandang hidup sebagai kesempatan melakukan pengabdian
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
48
(2) Mahasiswa memiliki sikap hidup optimis, aktif kreatif, positif dan terbuka
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks),
serta senantiasa memperluas jejaring keilmuannya.
(3) Mahasiswa sebagai calon pendidik yang ilmuwan dan calon ilmuwan yang
pendidik memiliki integritas pribadi dalam performansi, hangat dalam
berinteraksi, menghargai waktu, memiliki sikap simpati dan empati kepada
kehidupan orang lain, serta komunikatif dalam bertutur kata.
(4) Mahasiswa senantiasa mengendalikan diri dan tidak mementingkan diri
sendiri.
(5) Mahasiswa menjauhkan diri dari sikap perasaan rendah diri, tidak percaya
diri, sombong dan angkuh (arogan), apriori pada pendapat orang lain, serta
pesimistik dalam memandang keadaan, kehidupan, dan masa depan.
Bagian Ketiga
Etika Penampilan
Pasal 8
Sesuai dengan motto Universitas sebagai kampus yang Edukatif, ilmiah,
dan religius, etika penampilan mahasiswa di dalam kampus sebagai berikut :
(1). Berbusana dan berdandan yang bersih, rapi, sopan, dan serasi sesuai dengan
martabatnya sebagai calon pendidik dan/atau ilmuwan, dengan
memperhatikan situasi dan kondisi, serta budaya dan agama.
49
(2). Tidak diperbolehkan menggunakan sandal, selop, kaos oblong, dan/atau
pakaian yang kurang sopan dalam proses pembelajaran dan/atau kegiatan
akademik lainnya.
(3). Mahasiswa perempuan dalam berbusana tidak diperbolehkan menggunakan
busana yang mini, ketat, dan tembus pandang, serta menggunakan
perhiasan dan ber-make up berlebihan.
(4). Mahasiswa laki-laki tidak diperbolehkan menggunakan perhiasan seperti
perempuan dan berambut panjang.
Bagian Keempat
Perilaku Bertutur Kata, Memanggil, dan berpendapat
Pasal 9
(1) Mahasiswa dalam bertutur kata menggunakan bahasa yang memiliki makna
dan pesan yang jelas, serta menghindari bahasa yang menyindir,
melecehkan, mengejek, dan menyinggung perasaan orang lain.
(2) Mahasiswa dalam bertegur sapa, memanggil, dan bercengkrama
menggunakan bahasa dan cara yang sopan, wajar dan menyenangkan.
(3) Mahasiswa dalam memanggil perlu memperhatikan jarak yang wajar
dengan menggunakan bahasa dan cara yang santun.
(4) Mahasiswa dalam berpendapat bersikap terbuka dengan memperhatikan
kebenaran hakiki, kebenaran ilmiah, dan kebenaran umum.
50
Bagian kelima
Perilaku Berkreasi
Pasal 10
(1) Mahasiswa dalam berkreasi menjaga kebersihan, kaindahan, ketertiban, dan
keamanan.
(2) Mahasiswa dapat berkreasi tidak mengganggu proses pembelajaran dan
kegiatan akademik lainnya.
Bagian keenam
Perilaku Mobilitas
Pasal 11
(1) Mahasiswa dalam berkendaraan di kampus
a. Kecepatan maksimum 20 km/jam
b. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan yang telah ditentukan
c. Menjaga ketertiban, keselamatan, dan kemanan
d. Memarkir kendaraan dengan tertib pada tempat yang telah disediakan
e. Tidak menimbulkan polusi suara dan/atau udara
(2) Mahasiswa di kampus :
a. Berjalan di pinggir jalan dan tidak bergerombol sehingga menutupi
badan jalan;
b. Tidak berbincang-bincang dengan kawan di tengan pintu, koridor, atau
jalan;
c. Tidak duduk-duduk di pintu, tangga, jalan, dan koridor
51
Etika dalam berperilaku mahasiswa dalam rangka menciptakan kehidupan
ilmiah yang kondusif di dalam dan di luar lingkungan kampus, maka perlu
diketahui etika perilaku sebagai mahasiswa adalah sebagai berikut :
1). Etika Pergaulan di Lingkungan Kampus
a. Berpakaian dan bersepatu rapi di lingkungan kampus;
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah;
c. Mengetahui, memahami dan melaksanakan peraturan-peraturan yang
berlaku di lingkungan kampus dan berusaha tidak melanggar;
d. Memberi contoh yang baik dalam berperilaku kepada adik tingkat,
teman setingkat dan kakak tingkat;
e. Saling menghormati dan menghargai terhadap sesama mahasiswa;
f. Berperilaku dan bertutur kata yang sopan, baik di dalam kelas dan di
luar kelas yang mencerminkan perilaku sebagai mahasiswa dan
dijiwai oleh nilainilai agama / kepercayaan yang dianut;
g. Tidak berperilaku asusila atau tidak bermoral;
h. Bersedia menerima sanksi yang ditetapkan atas pelanggaran terhadap
peraturan yang berlaku sebagai bagian dari pendidikan disiplin.
2). Etika Pergaulan di Luar Kampus
a. Menjadi contoh yang baik di lingkungan dimana mahasiswa tersebut
berada
b. Berperilaku dan bertutur kata yang baik yang mencerminkan sebagai
mahasiswa
52
c. Berupaya mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
dipelajarinya di masyarakat sebagai wujud pengabdian
d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar kampus.
Tata krama dalam pergaulan merupakan aturan kehidupan yang mengatur
hubungan antar sesama manusia. Tata krama pergaulan berkaitan erat dengan
etiket atau etika. Kata etiket berasal dari bahasa perancis Etiquette yang berarti
tata cara bergaul yang baik, dan etika berasal dari bahasa latin Ethic merupakan
pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sudut Budaya, Susila dan Agama.
Dasar - dasar etiket terdiri dari :
1. Bersikap sopan dan ramah kepada siapa saja.
2. Memberi perhatian kepada orang lain.
2. Berusaha selalu menjaga perasaan orang lain.
3. Bersikap ingin membantu.
4. Memiliki rasa toleransi yang tinggi.
5. Dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam situasi apapun.
Jadi pada prinsipnya dalam etiket anda harus ' Selalu berusaha untuk
menyenangkan orang lain. Manfaat etiket dalam kehidupan seorang manusia
adalah :
a. Membuat anda menjadi disegani, dihormati, disenangi orang lain.
b. Memudahkan hubungan baik anda dengan orang lain (Better Human
Relation).
c. Memberi keyakinan pada diri sendiri dalam setiap situasi.
53
d. Menjadikan anda dapat memelihara suasana yang baik dalam berbagai
lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, pergaulan, dan tempat dimana
anda bekerja.
3. Pergaulan bebas
Moralitas remaja saat ini, tampak nya terus menjadi fakta yang layak
disesali. Berbagai aksi penyimpangan dari kalangan remaja telah menjadi wacana
mengerikan, mulai dari tawuran, free seks, narkoba, perampokan, sampai para
pemerkosaan yang dilakukan oleh kalangan remaja kita semakin membenarkan
akan begitu parahnya kondisi moralitas remaja kita saat ini. Remaja telah mulai
kehilangan kekuataan moralitasnya, sehingga degradasi moralitas di kalangan
mereka sangat sulit untuk diselesaikan. Masalah tersebut, sebenarnya tidak bisa
terlepas akibat faktor yang tidak asing lagi di telinga kita, yaitu pergaulan bebas
yang tidak lagi terkontrol.
Pergaulan bebas yang biasanya terjadi di kalangan remaja, mudah
dilakukan, karena pada masa ini, para remaja memiliki kondisi mental dan
pemikiran yang sangat labil, sehingga mudah terjebak pada hal-hal yang tidak
baik dilakukan. Kondisi labil tersebut, sangat berpengaruh terhadap kehidupan
remaja, sehingga mereka sangat mudah terjebak dengan arus kehidupan yang
dihadapinya, sekalipun arus tersebut akan membuat dirinya menyesal di hari
kemudian, termasuk melakukan hal-hal yang abnormal sekalipun.
Remaja cenderung tidak pernah menyadari bahwa setiap perilaku asosial
dan tanpa etika, akibat dari pergaulan yang dilakukan tanpa kontrol.
54
Oleh karenanya, ketika pergaualan yang menjadi akar masalah, perlu diupayakan
agar remaja dapat menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik, sehingga akan
tercipta satu model pergaulan yang bahkan akan dapat memberikan dampak nyata
terhadap pergaulan. Untuk memutus masalah pergaulan yang tidak baik, yang
harus dilakukan adalah mengarahkan kembali pola pergaulan remaja dari pola
pergaulan yang tidak berorientasi pada basis moralitas ke arah pergaulan yang
sesuai dengan etika pergaulan, yaitu dengan cara menghindarkan remaja dari pola
pergaulan tanpa moral, dengan pola pergaulan dirnana nilai-nilai moral dapat
menjadi pegangan pergaulan mereka.
4. Akibat pergaulan bebas
Pengertian pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk perilaku
menyimpang, yang mana “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas
norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar baik di
lingkungan maupun dari media massa. Remaja adalah individu labil yang
emosinya rentan tidak terkontrol oleh pengendalian diri yang benar. Masalah
keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang minim, dan ajakan teman-teman yang
bergaul bebas membuat makin berkurangnya potensi generasi muda Indonesia
dalam kemajuan bangsa.
Dampak-dampak dari pergaulan bebas pergaulan bebas identik sekali dengan
yang namanya “dugem” (dunia gemerlap)
yang menurut aturan hukum dan
norma tidak ada hal positifnya karena dari situlah akan muncul berbagai perbuatan
negatif seperti minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan bisa
melakukan free sex dan semua itu bisa berawal dari dugem.
55
Mengkonsumsi minuman keras tidak ada manfaatnya dari segi agama dan
kesehatan, sudah sangat jelas bahwa minuman keras banyak sekali dampak
negatifnya dilihat dari segi kesehatan, diantaranya bisa menyebabkan berat badan
menjadi naik, tekanan darah tinggi, sistem kekebalan tubuh menurun, kangker,
penyakit jantung, gangguan pernafasan dan gangguan hati, dan dalam ajaran
agama islam pun minuman keras diharamkan karena banyak sekali dampak
negatifnya dan diterangkan dalam Q.S Al baqarah ayat 219, dan Q.S Al Maa-idah
ayat 90. Dalam kedua surat tersebut khamar (minuman keras) didalamnya terdapat
dosa besar dan tidak bernanfaat bagi manusia dan termasuk perbuatan yang keji
perbuatan syaitan. Sex bebas atau zina, adalah perbuatan yang dilarang agama,
hukum dan kesehatan. Agama menjelaskannya dalam Q.S Al israa’ janganlah
sekali-kali mendekati zina karena zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk. Dari segi kesehatan free sex atau sex bebas bisa memimbulkan
berbagai penyakit diantaranya penyakit kelamin dan HIV AIDS.
Dalam hal berpakaian pula islam menganjurkan menutup rapat-rapat aurat
bagi laki-laki maupun perempuan yang fungsinya untuk menjaga dari hal-hal yang
tidak diinginkan dan menjaga pandangan seseorang terhadap perbuatan jahat.
Dengan memakai pakaian yang sopan dan menutup aurat maka akan terjaga
perbuatan jahat seperti perkosaan, karena yang sering terjadi saat ini seseorang
tidak bisa menahan hawa nafsunya ketika melihat seorang perempuan memakai
pakaian yang sangat minim atau kurang sopan dan tidak menutup auratnya. Disini
dijalaskan dalam Q.S Annur
beriman
hendaklah
mereka
dan Q.S Al a’raf yang intinya kepada wanita
menahan
pandangannya
dan
memelihara
56
kemaluannya, serta hendaklah menutup auratnya, kecuali pada suami, ayah,
ataupun putera puteri suami mereka,atau saudara laki-laki mereka, dan allah telah
menurunkan pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan,
dan pakaian taqwalah yang paling baik.
C. Pendekatan Mengenai Konsep diri
1. Definisi konsep diri
Bentuk kepribadian anak menurut Hurlock (1999) bahwa dukungan
khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi kepribadian
anak melalui konsep diri yang terbentuk, disamping itu menurut Brehm & Kassin
(1989) konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari diri sosial secara
keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana individu memahami
perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri.
Secara lebih rinci Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri
merupakan jumlah keseluruhan dari keyakinan individu tentang dirinya sendiri.
Pendapat senada diberikan oleh Gecas (dalam Albrecht, Chadwick & Jacobson,
1987) bahwa konsep diri lebih tepat diartikan sebagai persepsi individu terhadap
diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral. Sementara Calhoun &
Cocella (1995) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang diri
sendiri, yang meliputi dimensi: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan
mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri. Menurut Shavelson &
Roger (1982), konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman
57
dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku
dirinya.
Sejalan dengan pendapat Brooks (dalam Rakhmat, 2002) konsep diri
disini dimengerti sebagai pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik
bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting
dalam hidupnya.
Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan, tetapi faktor yang
dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang
lain, sebagaimana dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai
dirinya dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang
di sekitarnya. Partosuwido, dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah
cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap
diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari
segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial.
Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran
deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi- fungsi manusia
karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan
dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang
dirinya, seberapa efektif fungsi- fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang
mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep
diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar
oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono & Gulo, 1987).
58
Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari
aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai
diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan
harapannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan
atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial,
maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.
2. Pembentukan Konsep Diri
Pembentukan konsep diri dimulai dari bayi kemudian terus berkembang
sesuai pertumbuhan seorang individu yang berawal pada konsep-konsep
pengertian disekitarnya. Walaupun awalnya terbentuk pengertian samar-samar,
yang merupakan pengalaman berulang-ulang, yang berkaitan dengan kenyamanan
atau ketidaknyamanan fisik, sehingga pada akhirnya akan membentuk konsep
dasar sebagai bibit dari konsep diri (Asch dalam Calhoun & Cocella, 1990).
Seperti dicontohkan bila anak diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep
dasar yang muncul mungkin berupa perasaan positif terhadap diri sendiri,
sebaliknya jika anak mengalami penolakan, yang tertanam adalah bibit penolakandiri di masa yang akan datang (Coopersmith dalam Calhoun & Cocella, 1990).
Selain itu dijelaskan oleh Taylor, Peplau, & Sears (1994), bahwa
pengetahuan tentang diri dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain praktek
sosialisasi, umpan balik yang diterima dari orang lain, serta bagaimana individu
merefleksikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu, Cooley
(dalam Albrecht dkk, 1987) mengatakan bahwa konsep diri seseorang
59
berkembang melalui reaksi orang lain, dalam artian bahwa konsep diri individu
terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan orang lain.
Maka bila respon dari sesorang positif maka individu akan menerima respon
positif menjadi perilaku yang positif sedangkan responnya negatif, individu
tersebut akan menerima respon tersebut menjadi perilaku negatif.
Albrecht, dkk (1987) yang mengatakan bahwa umpan balik terhadap
perilaku individu yang didapat dari orang-orang yang cukup berarti (significant
others) akan menjadi sangat penting, baik itu berupa hadiah maupun hukuman.
Dalam perkembangannya, significant others dapat meliputi semua orang yang
mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita (Rakhmat, 2002). Lebih lanjut
dijelaskan, pada masa kanak-kanak, orangtualah yang berperan sebagai significant
others.
Pada masa selanjutnya, masa sekolah sampai remaja, peran teman sebaya
menjadi lebih penting, dan ketika individu berada pada masa dewasa serta telah
mencapai kemandirian secara ekonomi, peran orangtua secara berangsur-angsur
menurun, dan digantikan oleh teman, rekan kerja, dan pasangan hidup (Albrecht
dkk, 1987). Sedangkan Andayani & Afiatin (1996) menjelaskan bahwa konsep
diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam interaksinya dengan
lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan memberikan pengalamanpengalaman atau umpan balik yang diterima dari lingkungannya, sehingga
individu akan mendapatkan gambaran tentang dirinya. Begitu pentingnya
penilaian orang lain terhadap pembentukan konsep diri ini, sehingga Allport
60
(dalam Helmi & Ramdhani, 1992) mengemukakan bahwa seorang anak akan
melihat siapa dirinya melalui penilaian orang lain terhadap dirinya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa mekanisme
psikologis yang terjadi pada permasalahan tersebut adalah bagaimana remaja yang
mempersepsi keluarganya harmonis cenderung mempunyai konsep diri yang
positif. Selain itu konsep diri terbentuk melalui proses berkembang melalui
interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya yang diterima dari orang-orang
yang berarti bagi individu dan bukan merupakan faktor bawaan.
3. Aspek-aspek Konsep Diri
Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri
meliputi:
a. Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.
b. Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh
individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya.
c. Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti
dan arah bagi kehidupan individu.
d. Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap
individu terhadap dirinya sendiri.
Sementara itu melengkapi pendapat di atas, Fitts (dalam Burns, 1979)
mengajukan aspek-aspek konsep diri, yaitu :
a. Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu
memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
61
b. Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu
memandang nilai-nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik atau
sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan.
c. Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan
berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.
d. Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai
seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya
engan orang lain.
e. Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga
dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan dalam menjelaskan aspek-aspek konsep diri, tampak bahwa pendapat
para ahli saling melengkapi meskipun ada sedikit perbedaan, sehingga dapat
dikatakan bahwa aspek-aspek konsep diri mencakup diri fisik, diri psikis, diri
sosial, diri moral, dan diri keluarga.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
a. Usia
Grinder (1978) berpendapat bahwa konsep diri pada masa anak-anak akan
mengalami peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi
oleh meningkatnya faktor usia. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil
penelitiannya Thompson (dalam Partosuwido, 1992) yang menunjukkan bahwa
nilai konsep diri secara umum berkembang sesuai dengan semakin bertambahnya
tingkat usia.
62
b. Tingkat Pendidikan
Pengetahuan merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan
diyakini sebagai pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses
pembentukan konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seorang individu tidak
dapat datang begitu saja dan diperlukan suatu proses belajar atau adanya suatu
mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik,
sehingga kemampuan kognitif seorang individu dapat dengan sendirinya
meningkat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Epstein (1973) bahwa konsep
diri adalah sebagai suatu self theory, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan diri
yang tersusun atas dasar pengalaman diri, fungsi, dan kemampuan diri sepanjang
hidupnya.
c. Lingkungan
Shavelson & Roger (1982) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dan
berkembang berdasarkan pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama
dipengaruhi oleh penguatan-penguatan, penilain orang lain, dan atribut seseorang
bagi tingkah lakunya.
D. Kajian Tentang Remaja/mahasiswa
1. Definisi Remaja
Secara umum masa usia mahsiswa terentang dari 18/19 tahunn sampai
24/25 tahun. Rentang usia tersebut masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19
tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan
semester IV; dan periode usia 21/22ntahun sampai 24/25 tahun yaitu mahasiswa
dari semester V sampai dengan smester VII (Winkel, 2004 : 175).
63
Pada rentangan umum yang pertama (18/19 tahun sampai 20/21 tahun)
pada umumnya menampakan ciri-ciri :
a) Stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat;
b) Pandangan yang relistik tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya;
c) Keterampilan untuk menghadapi segala macam permasalahan secaralebih
matang;
d) Gejolak-gejolak dalam alam perasaan mulai berkurang (Winkel,
2004:178)
Rentang umur yang kedua (21/22 tahun sampai 24/25 tahun) pada
umumnya tampak ciri-ciri:
a) Usaha memantapkan diri dalam bidang keahlian yang telah dipilih dan
dalam menbina hubungan percintaan;
b) Memutarbalikan pikiran untuk mengatasi aneka ragam masalah, seperti
kesulitan ekonomi, kesulitan mendapat kepastian tentag bidang pekerjaan
kela, kesulitan membegi perhatian secara simbang antara tuntutan
akademik dan tuntutan kehidupan perkawinan (jika sudah menikah);
c) Ketegangan atau stres karena belum berhasil memecahkan berbagai
persoalan mendesak secara memuaskan (Winkel, 2004:178).
Mahasiswa merupakan individu yang sedang berada dalam proses
berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan,
kedewasaan atau kemandirian yang terkait dengan pemaknaan dirinya sebagai
mahluk yang berdimensi biopsikososiospiritual. Selain dituntut untuk mampu
menyalesaikan tugas-tugas akademis, mahasiswa yang berada dalam rentang usia
64
sebagai sosok remaja akhir menuju dewasa awal, dituntut untuk mampu
menyalesaikan tugas-tugas perkembangannya. Berikut penjelasn mengenai
karakteristik mahasiswa dan tugas-tugas perkembangannya.
a. Karakteristik perkembangan mahasiswa
1) Perkembangan fisik
Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan
masa remaja, yang berdampak pada perubahan-perubahan psikologis (Sarwono,
1994). Perkembangan fisik mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis.
Perkembangan anatomis ialah perubahan kuantitatif pada struktur tulang-belulang.
Diantaranya indeks tinggi dan berat bada, proporsi tinggi kepala dengan tinggi
garis kaajengan badan secara keseluruhan. Pada usia remaja akhir menjelang
dewasa tulang belulang menjadi 200 integrasi, persenyawaan dan pergeseran;
berat badan dan tinggi badan kepesatan perubahan berkurang bahkan menjadi
mapan; proporsi tinggi kepala dan badan pada masa remaja akhir menjelang
dewasa menjadi 1:8 atau 1:10.
Perkembangan fisiologis ialah perubahan-perubahan secara kuantitatif,
kualitatif dan fungsional dari sitem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot
peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan.
Otot sebagai pengontrol motorik, proprsi bobotnya 2:5 pada masa remaja akhir
menjelang dewasa; frekuensi denyut jantung 72; persentase tingkat kesempurnaan
perkembangan secara fungsional dari cortex (bagian otak) sebgai pusat susunan
saraf yang mempunyai fungsi pengontrol kegiatan organism infragranular
65
(peengontrol reflex) mencapai 80% supragranular (erat hubungannya dengan
intelegensi) baru 50%.
Perkembangan fisik berlangsung mengikuti prinsip-prinsip cepalocaudal
(mulai dari bagian kepala menuju ekor atau kaki) dan proximodistal (mulai dari
bagian tengah ke tepi atau tangan). Laju perkembangan berjalan secara berirama,
pada masa remaja akhir menjelang dewasa laju perkembanagn fisik menurun
sangat lambat.
2) Perkembangan kognitif
Ditinjau dari kurva perkembangan intelegensi, laju perkembangan
intelegensi berangsur menurun. Dimana puncak perkembangan pada umumnya
dicapai di penghujung masa remaja akhir menjelang dewasa (Syamsudin, 2007:
101). Sedangkan ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget, maka pemikiran
masa remaja akhir menjelang telah mencapai tahap pemikiran operasional formal
yang sempurna. Pada remaja akhir, banyak yang mulai memantapkan pemikiran
operasional formalnya, dan menggunakan lebih konsisten. Pemikiran operasional
formal cenderung dipakai remaja akhir dalam menghadapi masalah , bila remaja
cukup memiliki pengalaman atau pengetahuan tentang bidangtersebut (Santrock,
2003:111).
3) Perkembangan moral
Individu menyadari bahwa ia merupakan bagian anggota dari kelompoknya,
secepat itu pula pada umumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan-aturan
perilaku yang boleh, harus atau terlarang melakukannya.
66
Proses penyadaran tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dengan
lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau
persetujuan, kecaman atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang
mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Berdasarkan teori Kohlberg, remaja akhir menjelang dewasa pada tingkat
perkembangan moral pasca-konvensional dan tahap orientasi control sosial–
legalistik. Artinya pada tingkat perkembangan pasca-konvensional ini yaitu aturan
dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi
diperlukan sebagai subjek. Individu manaati aturan untuk menghindari hukuman
kata hati. Pada tahap orientasi kontrol sosial-legalistik yaitu artinya ada semacam
perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
4) Perkembangan emosi
Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu
serta keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Masa remaja merupakan
puncak emosinalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pada remaja akhir
sudah mampu mengendalikan emosiny. Emosi remaja seringkali sangat kuat,
tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umunya dari tahun ke tahun
terjadi pengabaikan perilaku emosional.
Pada emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanakkanak. Perbedaanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan
derajat, khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi
67
mereka. Misalnya, perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” akan
membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain.
Karakteristik perkembangan emosi remaja sejalan dengan perkembangan
masa remaja itu sendiri, yaitu sebagai berikut: a) perubahan fisik terhadap awal
pada periode praremaja disertai sifat kepakaan terhadap rangsangan dari
luarmenyebabkan respons berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan
cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; b)
Perubahan fisik yang semakin jelas pada periode remaja awal menyebankan
mereka cenderung menyendiri sehingga tidak jarang merasa terasing, kurang
perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau
mempedulikannya; c) Periode remaja sudah semakin menyadari pentingnya nilainilai yang dapat dipegang teguh sehingga jika melihat fenomena yang terjadi di
masyarakat yang menunjukan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang
mereka ketahui menyebabkan remaja seringkali secara emosional ingin
membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas
untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau
orang dewasa di sekitarnya ingin memaksimalkan nilai-nilainya; d) Periode
remaja akhir mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu
menunjukan pemikiran, silkap, dan perilaku yang semakin dewasa.
5) Perkembangan sosial
Perkembangan sosial berkaitan erat dengan sosialisasi. Sosialisasi
merupakan atau proses di mana individu melatih kepekaan individu terhadap
rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan
68
(kelomponya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain,
bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya. Dengan demikian,
perkembangan sosial yaitu rangkaian dari perubahan yang bersimanbungan dalam
perilaku individu untuk menjadi mahluk sosial yang dewasa.
Perkembangan sosial pada remaja lebih melibatkan kelompok teman
sebaya disbanding orang tua (Conger. 1999; Papali & Olds, 2001). Pada masa
remaja berkembang keterampilan untuk memehami orang lain, keterampilan ini
mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya. Masa
remaja juga ditandai dengan berkembangnya konformitas dan akan mengalami
penurunan kembali pada masa akhir renaja, yaitu kecenderungan untuk meniru,
mengikuti opini dan pendapat, nilai-nilai kebiasaan dan keinginan orang lain.
Perkembangan sosial pada masa remaja ditandai dengan kuatnya pengaruh
kelompok teman sebaya. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama
dengan teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dipahami bahwa
pengeruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku
lebih besar dari pada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980:213). Karena keremajaan
itu selalu berkembang, maka pengaruh kelompok teman sebaya pun mulai
berkurang. Adapun faktor penyebabnya adalah pertama karena sebagian besar
remaja ingin menjadi dan dikenal sebagi individu yang mandiri.
Kedua timbul karena pemilihan sahabat. Pada masa remaja ada
kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja
menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatankegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan
69
persahabatan pribadi yang lebih erat., maka pengaruh kelompok sosial yang besar
menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh sahabat.
Perubahan yang paling menonjol dalam sikap dan perilaku remaja adalah
mulai berkembangnya hubungan heteroseksual. Dalam waktu singkat remaja
menjadi lebih menyukai lawan jenis untuk dijadikan sebagai teman meskipun
tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis. Kemudian
geng pada masa kanak-kanak berangsur bubar pada masa puber dan awal masa
remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain menjadi minat pada
kegiatan sosial yang lebih formal, maka terjadi pengelompokan sosial baru.
Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau
akrab dibandingkan pengelompokan sosial anak perempuan yang lebih kecil
terumus lebih pasti.
Remaja tidak lagi memilih teman berdasarkan kemudahannya baik di
sekolah, ataupun di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanakkanak, dan kegemarannya pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi menjadi
factor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang
mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan
membuatnya merasa aman, dan kepadanya ia dapat mempercayakan masalahmasalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua
maupun guru.
Remaja akhir sudah memandang dirinya dan orang lain atau hubungan
subjektif-objektif berbeda pada objektif, artinya remaja sudah memulai
memandang dirinya dan orang lain objektif.
70
6) Perkembangan religi
Perkembangan religi pada periode remaja disebut sebagai periode
keraguan religi. Maksudnya yaitu banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu
sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para remaja ingin mempelajari
agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak igin menerimanya secara
begitu saja. Mereka mergukan agama buka karena ingin menjadi agnostic atau
atheis, melainka karena ingin menerima agama sebagai suatu yang bermakna
berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusankeputusan mereka sendiri.
Sejalan dengan perkembangan moralitas, perkembangan penghayatan
keagamaan erat hubungannya dengan perkembangan kematangan intelektual
disamping emosional dan psikomotorik yang mengalami perkembangan pesat.
Pada masa aremaja, penghayatan keagamaanterbagi menjadi dua tahap
berdasarkan tingkatan usia remajanya yaitu :
1) Masa remaja awal, ditandai antara lain oleh:
(a) sikap negatif yang disebabkan oleh daya pikirnya yang kritis melihat
kenyatan orang-orang beragama hanya pura-pura tentang pengakuan dan
ucapannya tidak selaras dengan perbuatanya;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhannya menjadi kacau karena ia banyak
membaca dan mendengar berbagai konsep dan pemikiran tentang paham
aliran yang tidak cocok dan bertentangan satu sama lain;
71
(c) penghayatan ronhaniah cenderung skeptic (diliputi waswas) sehingga
banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini
dilakukannya karena kepatuhan.
2) Masa remaja akhir ditandai antara lain oleh:
(a) sikap kembali, pada umumnya ke arah positif dengan tercapainya
kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan
hidupnya ketika dewasa;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkan dalam konteks agama
yang dianut dan pilihannya;
(c) penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses
identifikasi, iamungkin dapat membedakan agama sebagai doktrin
ajaran dan individu penganutnya, yang shaleh dan yang tidak.ia juga
memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan
yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dalam
hidup.
b. Karakteristik Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolescence, yang dipergunakan saat ini, memiliki arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik.
Masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani
seseorang yang terbentuk sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya
72
awal masa dewasanya. Secara tentatif rentangan masa remaja berkisar 11-13 tahun
sampai 18-20 tahun. (Makmum, 2002:130).
Hurlock (1994:2070 mengungkapkan remaja dalam perkembangannya
memiliki cirri-ciri yang membedakannya dengan rentang kehidupan lainnya,
yaitu:
(a) masa remaja merupakan masa yang penting. Masa remaja
merupakan masa yang penting karena akibat perubahan fisik yang cepat dan
disertai dengan perkembangan psikologis yang cepat sehingga perlunya
penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
(b) masa remaja merupakan masa peralihan. Pada periode peralihan ini,
status individu tidaklahjelas dan terdapat keraguan terhadap peran yang
harus dijalaninya. Remaja bukanlah seorang anak dan juga bukan seorang
dewasa. Karenaya sangat penting bagi remaja untuk menemukan gaya hidup
yang berbeda dan menyesuaikan sifat dan nilai-nilai yang sesuai dengan
dirinya;
(c) masa remaja merupakan masa perubahan. Tingkat perubahan dalam
sikap dan prilaku remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Terdapat
beberapa perubahan yang terjadi pada diri remaja diantaranya perubahan
emosi, perubahan bentuk tubuh, perubahan minat, perubahan peran social;
(d) masa remaja sebagai usia bermasalah. Dimana pada masa kanakkanak, permasalahan mereka bias diselesaikan oleh orang-orang tua ataupun
gurunya, sehingga banyak remaja yang tidak berpengalaman dalam
menyalesaikan masalah yang mereka hadapi, dan cenderung menolak
73
bantuan dari orang dewasa. Karena ketidakmampuan mereka dalam
menyalesaikan masalahnya sendiri, banyak remaja menemukan bahwa
penyelesaian masalahnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan;
(e) masa remaja sebagai masa mencari identitas. Sangat penting dimasa
remaja , yang mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan
menjadi sama dengan teman-teman sebayanya, identitas yang dimaksus
adalah upaya untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranan dalam
masyarakat;
(f) masa remaja sebagai masa menimbulkan ketakutan. Banyak
anggapan popular tentang remaja yang memiliki banyak nilai dan arti yang
bersifat negative yang tidak pantas dan cenderung berprilaku merusak. Hal
ini banyak menimbulkan ketakutan pada remaja akankah mereka bias
diterima di masyarakat atau tidak, karena dalam mengatasi segala
permasalahan yang dihadapinya sering kali menimbulkan pertentangan
dengan orang dewasa;
(g) masa remaja merupakan masa yang tidak realistic. Remaja
cenderung melihat segala sesuatu sebagaimana yang ia cita-citakan dan
bukan sebagaimana adanya, dan menyababkan emosi yang meninggi dan
kecewa karena tidak realistiknya harapan yang remaja inginkan, dan jika
tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkannya. Dengan bertambahnya
pengalaman pribadi dan sosial dan dengan meningkatnya kemampuan
berfikir rasional. Remaja yang lebih besar akan mampu memandang dirinya,
74
keluarga dan teman-teman dan kehidupan pada umunya secara lebih
realistic; dan
(h) masa remaja sebagai masa ambang dewasa. Dengan semakin
mendekatnya usia kematangan, remaja mulai memusatkan diri pada prilaku
yang dihubungkan dengan status dewasa dalam hal berpakaian dan
berprilaku
c. Kosep Tugas-Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan merupakan patokan suatu perkembangan individu
yang menyatakan kesamaan
sifat dan hakikat dalam setiap tahapan
perkembangan, hal tersebut dapat mempengaruhi kematangan individu di
kemudian hari.
Havigrust (Arlizon, 1995:29) mengemukakan tentang tugas perkembangan
yaitu “Tugas perkembangan individu dengan sendirinya akan melalui ke arah
kematangan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, tetapi apabila potensi yang
ada tidak dapat dimanfaatkan, tidak dilatih dan dikuasai sebaik mungkin oleh
individu yang bersangkutan maka akan menimbulkan kegoncangan dan timbul
berbagai kesulitan dalam proses perkembangan di kemudian hari”.
James C. Coleman (Arlizon, 1995:30) membagi tujuh cirri-ciri tugas-tugas
perkembangan dalam perkembangan yang normal, yaitu :
(a) dari arah dependensi kea rah kebebasan
(b) dari prinsip kenikmatan ke arah prinsip kenyataan;
(c)dari inkompetensi menjadi kompetensi
(d) dari otoplastik kea rah aloplastik
75
(e) dari non-produktif manjadi produktif
(f) dari non diferensial kea rah diferensiasi
(g) dari serba tidak sadar ke serba sadar.
Labih lanjut, Havighurst (Arlizon, 1995:31) mengemukakan bahwa
pelaksanaan tugas-tugas perkembangan berdasarkan tiga hal yaitu :
a. Dasar biologis, yang berkaitan dengan kematangan jasmani seseorang
misalnya sisten syaraf individu tumbuh semakin kompleks sehingga
kemungkinan untuk melakukan panalaran dan mengerti matematika,
ataupun ketika individu belajar bertingkah laku dengan lawan jenis yang
dapat diterima pada masa remaja karena kematangan organ-organ seksual;
b. dasar psikologis, yaitu perkembangan mental seseorang yang
dihubungkan dengan tugas-tugas perkembangan, nilai-nilai dan cita-cita
individu mempengaruhi pencapaian tugas-tugas perkembangan, kemajuan
dan kegagalan dalam tugas tersebut akan mempengaruhi kepribadian
individu; dan
c. dasar budaya, yaitu tugas perkembangan berbeda dalam suatu kultur dan
kultur lainny, maka pelaksanaan tugas perkembangan berdasar pada
ketentuan yang ada dalam masyarakat.
Menurut Hurlock, tugas perkembangan memiliki tiga tujuan yaitu (a)
sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan
masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu; (b) member motivasi kepada
setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok
social pada usia tertentu sepanjang kehidupan mereka; dan (c) menunjukan
76
kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan apa yang
diharapkan dari mereka ketika sampai tingkat perkembangan selanjutnya (Arlizon,
1995:33)
Factor-faktor yang dapat membantu pencapaian tugas-tugas perkembangan
menurut Hurlock (Arlizon, 1995:33) adalah tingkat perkembangan yang normal,
kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan
bimbingan untuk menguasainy, memotivasi, kesehatan yang baik dan tidak ada
cacat tubuh, tingkat kecerdasan dan kreatifitas.
Havighurst mengungkapkan tentang tugas perkembangan yang harus
dilalui oleh seorang remaja (Makmum, 2002: 113) yaitu:
a. mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebaya, laki-laki
dan wanita;
b. mencapai peran jenis kelamin sebagai laki-laki atau perempuan,
c. menerima keadaan jasmaninya dan menggunakan jasmaninya secara
efektif;
d. mencapai kemandirian secara emosional dan ketergantungan kepada
orang tua atau orang dewasa lainnya;
e. mencapai keyakinan akan kemandirian secara ekonomi pada masa
mendatang;
f. memilih dan mempersiapkan diri untuk menjalankan sustu pekerjaan
tertentu;
g. menyiapkan diri untuk perkawinan dan berkeluarga;
h. mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual sebagai warga
masyarakat;
i. menginginkan dan melakukan tindakan-tindakan secara social
bertanggung jawab; dan
j. memilih seperangkat system tata nilai dan tata karma yang menuntun
perilakunya.
2. Gaya Hidup remaja
Dengan konsep gaya hidup (style of life) ini, Adler menjalaskan keunikan
manusia. Setap orang mempunyai tujuan, merasa inferior, berjuang menjadi
superior, dan dapat mewarnai atau tidak mawarnai usaha superiornya dengan
77
minat sosial. Namun setiap orang melakukannya dengan gaya hidup yang
berbeda-beda. Gaya hidup adalah cara unik dari setiap orang dalam berjuang
mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam berjuang mencapat
tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana ia
berada.
Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup itu tidak
hanya ditentukan oleh kemampuan intristik (hereditas) dan lingkungan objektif,
tetapi dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretasi terhadap
keduanya. Terutama hidup ditentukan oleh inferioritas-inferioritas khusus yang
dimiliki seseorang (bisa khayalan dan nyata) yakni konvensasi dari inferioritas itu.
Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis,
yaitu :
1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
2. sebagai agen perubahan (agent of change)
3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab
sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang
tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas
sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya
untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta
juga kehidupan diluar kampus.
78
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :
1.
Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
2.
Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap
tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa.
3.
Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali
untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan
yang telah mereka perjuangkan.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan
mahasiswa dalam kehidupan politik.
1. sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik,
mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
2. sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah,
sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik
yang terpanjang diantara angkatan muda.
3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan
mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah,
suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
4. mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari
susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat
dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
79
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Perubahan Moral
Pada Mahasiswa Urban
1. Pembentukan dan Perubahan Sikap
Menurut Sherif & Sherif (1956) sikap menentukan keajegan dan kekhasan
perilaku seseorang dalam hubungan dengan stimulus manusia atau kejadiankejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya
suatu perbuatan atau tingkah laku.
Pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil
interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis.
Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap. Sikap dapat pula
dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan.
Sesuai yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif (1956) bahwa sikap dapat berubah
karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Olah karena itu, hasil dari belajar
sikap tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa
akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tetantu.
Lebih tegas, menurut Bimo Walgito (1980) bahwa pembentukan dan
perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
1) Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam
menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang
datang akan diterima atau ditolak.
2) Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang
merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
80
Sementara itu, Mednick, Higgins & Kirschenbaum (1975) menyebutkan
bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
a) Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan
b) Karakter kepribadian individu
c) Informasi yang selama ini diterima individu
Ketiga faktor ini akan berinteraksi selama pembentukan sikap. Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan perubahan sikap pada
dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan faktor luar dari
individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama
perkembangan individu. Dalam paparan berikutnya akan dibahas teori-teori yang
menjalaskan bagaimana sikap itu dibentuk dan diperoleh.
2. Pengaruh Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan
individu yang lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu
yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbalbalik (Bimo Walgito,
1990). Sementara Soekanto (1997) yang mendefinisikan interaksi sosial sebagai
hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok manusia.
Interaksi social tak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat, yaitu: (1) adanya kontak social, dan (2) adanya komunikasi. Kontak sosial
dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok,
antara kelompok dengan kelompok. Kontak juga dapat bersifat primer jika itu
terjadi secara langsung atau face-to-face, dan sekunder jika hubungan itu melalui
perantara orang atau media lainnya. Sementara komunikasi baik verbal ataupun
81
nonverbal merupakan saluran untuk menyampaikan perasaan ataupun ide/pikiran
dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami pikiran
atau perasaan orang lain.
Menurut Soekanto (1997) ada empat pola interaksi social, yaitu kerjasama
(cooperation), persaingan (competition), pertentangan (conflict), dan akomodasi
(accommodation).
Menurut Gillin & Gillin (dalam Soekanto, 1997) :
“Ada dua macam proses social yang timbul sebagai akibat adanya
interaksi social, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif
terdiri dari akomodasi, asimilasi dan akulturasi, sedangkan proses disosiatif
meliputi persaingan dan pertentangan atau pertikaian yang mencakup
kontropersi dan konflik.”
Dengan demikian interaksi social akan menjadi daser bagi perilaku sosial
akan menjadi dasar bagi perilaku sosial yang lebih mendalam dengan berbagai
bentuknya.
a. bentuk-bentuk dasar interaksi sosial
Terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang terjadi seperti dikemukakan
oleh beberapa tokoh yang dirangkum sebagai berikut:
a. imitasi
Gabriel Trede menyatakan bahwa seluruh kehidupan sosial manusia didasari
oleh faktor-faktor imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam lapangan pendidikan dan
perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranan yang sangat
penting karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang
seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula. Apabila seseorang telah
82
dididik untuk mengikuti sustu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi
sosial maka orang tersebut akan memiliki kerangka tingkah laku dan sikap moral
yang dapat menjadi pokok pangkal guna memperluas perkembangan perilaku
yang positif (Gerungan, 1996).
Sedangkan dampak negatif dari pola imitasi dalam interaksi sosial adalah
apabila perilaku yang imitasi adalah perilaku yang salah, baik secara moral
maupun hokum, sehingga diperlukan upaya yang kuat untuk menolaknya. Adapun
syarat-syarat terjadinya imitasi adalah sebagai berikut:
1) Terjadinya minat, perhatian yang cukup besar terhadap sesuatu yang
ingin diimitasi
2) Adanya sikap yang minjungjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang
hendak diimitasi
3) Individu yang melakukan imitasi suatu pandangan atau tingkah laku,
biasanya karena hal tersebut mempunyai penghargaan sosial yang tinggi.
b. Sugesti
Sugesti dan Imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial mempunyai
arti yang hampir sama. Keduanya merupakan suatu proses saling pengaruh antara
individu atau kelompok yang satu dengan yang lainny; initasi merupakan sustu
proses peniruan terhadap sesuatu yang berasal dari luar dirinya, sedangkan sugesti
merupakan suatu proses pemberian pandangan atau sikap dari diri seseorang
kepada orang lain di luar dirinya (Gerungan, 1998). Artinya sugesti dapat
dilakukan dan diterima oleh individu lain tanpa adanya kritik terlebih dahulu. Hal
ini didukung oleh Soekanto (1990) yang menyatakan bahwa proses sugesti dapat
83
terjadi apabila individu yang memberikan pandangan tersebut adalah orang yang
berwibawa atau karena sifatnya yang otoriter.
Terdapat beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya sugesti dapat
diterima oleh individu lain:
1). Sugesti karena hambatan berfikir
Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa individu yang dikenai
mengambil
alih
pandangan-pandangan
dari
individu
lain tanpa
memberikan prtimbangan kritis terlebih dahulu (tanpa disertai proses
evaluasi informasi). Sugesti akan lebih mudah terjadi apabila individu
yang dikenai berada dalam kondisi yang lelah karena dalam kondisi lelah
kemampuan berfikir kritis individu menjadi terhambat.
2). Sugesti karena pikiran terpecah (disosiasi)
Sugesti akan lebih mudeh terjadi apabila individu yang dikenal berada
dalam kondisi berfikir yang terpecah, misalnya sedang mengalami
konflik. Dalam kondisi yang sedang kebingungan untuk menentukan
pilihan terhadap sustu hal, maka akan mudah bagi individu tersebut untuk
dipengaruhi.
3). Sugesti karena otoritas
Individu cenderung akan dengan mudah menerima pandangan atau
sikap tertentu dari individu lain yang dianggap ahli dalam bidangny.
Misalnya pejabat, ilmuwan atau individu yang memiliki prestise sosial
yang tinggi akan lebih mudah memberikan pengaruhnya kepada orang
lain.
84
4). Sugesti karena mayoritas
Pada umumnya individu akan lebih mudah untuk menerima pendapat
atau pandangan yang didukung oleh mayoritas kelompok atau
anggota masyarakat.
5). Sugesti karena will to believe
Diterimanya suatu pandangan atau pendapat yang diberikan oleh
individu lain karena individu yang bersangkutan telah memiliki
pendapat yang sama sebelumnya. Dengan demikian individu tersebut
akan lebih mudah dengan sadar bersedia untuk menerima pandangan
karena telah meyakini pandangan yang diterimanya itu sebelumnya.
c. Identifikasi
Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama)
denganorang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah (Ahmadi, 1990). Proses
identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar, dan selanjutnya
irrasional. Artinya, identifikasi dilakukan berdasarkan perasaan-perasaan atau
kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional dimana
identifikasi akan berguna untuk melengkapi sistem norma, cita-cita dan pedoman
bagi yang bersangkutan. Identifikasi memungkinkan terjadinya pengaruh yang
lebih mendalam daripada proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan
bahwa mulanya identifikasi diawali oleh adanya imitasi maupun sugesti.
d. Simpati
Simpati merupakan suatu betuk inetraksi yang melibatkan adanya
ketertarikan individu terhadap individu lainnya. Simpati timbul tidak berdasarkan
85
pada pertimbangan yang logis dan rasional, melainkan berdasarkan penilaian
perasaan. Soekanto (1990) menyampaikan behwa dorongan utama pada simpati
adalah adanya keinginan untuk memahami pihak lain dan bekerjasama. Smith
(1996) membedakan dua bentuk dasar simpati, yaitu :
1). Simpati yang menimbulkan respon secara cepat (hampir seperti refleks)
2). Simpati yang sifatnya lebih intelektal, artinya seseorang dapat bersimpati
pada orang lain sekalipun dia tidak dapat merasakan apa yang dirasakan.
3. Kurangnya pendidikan agama
Agama merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Daradjad
(1993) mengemukakan bahwa agama meliputi kesadaran beragama dan
pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam
pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas beragama, sedangkan
penagalaman beragama adalah perasaan yang membawa kepada keyakinan yang
dihasilkan oleh tindakan.
Hurlock (1973) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur
keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks
(1963) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan
juga pengalaman-pengalaman individual. Pembagian-pembagian dimensi-dimensi
religiusutas menurut Glock dan Stark (dalam Shaver dan Robinson, 1975;
Subandi, 1998; Afiatin, 1997) terdiri dari lima dimensi, diantaranya :
86
a). Dimensi keyakinan (the ideological dimension)
Dimana keyakinan adalah tingakatan sejauh mana sesorang menerima dan
mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakianan adanya
sifat-sifat Tuhan, adanya Malaikat, Surga, para Nabi, dan sebagainya.
b). Dimensi peribadatan atau praktik (the ritualistic dimension)
Dimensi ini adalah tingkatan sejauh mana seseorang menunaikan
kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya, alam ajaran islam
menunaikan shalat, zakat, puasa, haji, dan segainya.
c). Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension)
Dimensi penghayatan adalah perasaan-perasaan keagamaan yang pernah
dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan, tentram saat berdo’a,
tersentuh mendengar ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa, merasa senang
do’anya dikabulkan, dan sebagainya.
d). Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)
Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami
ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci, hadist, pengetahuan
tentang fikih, dan sebagainya.
e). Dimensi effect atau pengalaman (the consequential dimension)
Dimensi pengalaman adalah sejauh mana implikasi ajaran agama
mempengaruhi
perilaku
seseorang
dalam
kehidupan
sosial.
Misalnya
mendermakan harta untuk keagamaan dan sosial, menjenguk orang sakit,
mempererat silaturahmi, dan sebagaimya
87
Pendapat tersebut sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran
agama islam tentang aspek religiusitas, yaitu aspek iman sejajar dengan religious
belief; aspek islam sejajar dengan roligious practice; aspek ihsan sejajar dengan
religious feeling; aspek ilmu sejajar dengan religious knowledge; dan aspek Amal
sejajar dengan religious effect (Subandi, 1998).
Nashori (1997) menjelaskan bahwa orang religius akan mencoba patuh
terhadap ajaran-ajaran agamanya, selalu berusaha mempelajari pengetahuan
agama, menjalankan ritual agama, meyakini doktrin-doktrin agamanya, dan
selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Dapat dikatakan
bahwa seeoramg religius jika mampu melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas
tersebut dalam perilaku dan kehidupannya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas
mempunyai lima dimensi, yaitu dimensi keyakinan (the ideologikal dimension),
dimansi peribadatan praktik agama (the ritualistic dimension), dimensi feeling
atau penghayatan (the experiencal dimension), dimensi pengetahuan agama (the
intellectual dimension), dan dimensi effect atau pengalaman (the consequential
dimension).
a. Kehidupan religiusitas pada remaja
Manusia
lahir
mambawa
fitrah
keagamaan.
Akan
tetapi,
dalam
perkambangan selanjutnya dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan, struktur
kepribadian serta unsur kejiwaaan lainnya. Manusia religius adalah manusia yang
struktur mental secara keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta
nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi, yaitu Tuhan. Pemahaman terhadap ajaran
88
agama bersifat khas untuk setiap orang yang dipengaruhi oleh lingkungan serta
perkembangan internal. Pada tahap ini terdapat tiga tipe, yaitu pemahaman secara
konvensional dan konservatif, pemahaman yang murni dan bersifat personal, dan
memahami konsep tuhan secara Humanis.
Keberagamaan pada remaja adalah keadaan peralihan dari kehidupan
beragama anak-anak menuju ke arah kemantapan beragama. Sifat kritis terhadap
ajaran agama mulai timbul pada masa remaja. Mereka mulai menemukan
pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang bersifat individual. Keislaman
mulai otonom, hubungan dengan Tuhan semakin disertai kesadaran dan
kegiatannya dalam masyarakat semakin diwarnai oleh rasa keagamaan.
Daradjat (1993) mengemukakan bahwa pada masa remaja mulai akan raguragu terhadap kaidah-kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Mereka tidak
mau lagi menerima ajaran-ajaran agama begitu saja seperti pada masa kanakkanak. Powel dan Subandi (1988) menyatakan bahwa agama dapat menstabilkan
perilaku dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia serta
menawarkan perlindungan dan rasa aman. Muthahhari (1992) mengatakan
bahwwa tanpa keyakinan dan keimanan, mausia tidak dapat meyakini kehidupan
yang baik terhadap suatu yang bermanfaat baginya. Ditambahkan pula oleh Nash
(1983) bahwa manusia sangat membutuhkan agama, tanpa agama belum menjadi
manusia yang utuh.
Streng mengemukakan bahwa remaja membutuhkan agama sebagai suatu
yang bersifat personal dan penuh makna tidak hanya ketika mereka mendapatkan
kesulitan. Remaja memerlukan agama sebagai sumber pegangan dalam
89
kehidupannya bagi optimalisasi perkembangan dirinya sebagai sumber kekuatan
dan keberanian yang mutlak bagi diriny. Kebutuhan beragama pada remaja
bervariasi antara satu dengan lainnya.
Kehidupan
religiusitas
pada remaja dipengaruhi
oleh
pengalaman
keagamaan, struktur kepribadian serta unsur kepribadian lainnya. Pada masa
remaja, perkembangan keagamaan ditandai dengan adanya keragu-raguan
terhadap kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Namun pada dasarnya
sebagai manusia remaja tetap membutuhkan agama sebagai pegangan dalam
kehidupan, terutama pada saat menghadapi kesulitan.
4. Lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar
Dalam hal ini yang dimaksud lingkungan adalah segala sesuatu yang ada
disekitar kita dan mempengaruhi kehidupan kita yang berpa benda mati atau
hidup. Lingkungan sosial meliputi manusia-manusia kian yang berbeda, misalnya
teman, tetangga atau orang lain yang tidak kita kenal sekalipun. Lingkungan
sosial berkaitan dengan hubungan antara manusia-manusia yang berbeda dalam
kehidupan mereka sehari-hari, baik yang berhubungan dengan masalah sosial
secara umum, budaya, politik, dan sebagainya.
i. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan tersier (ketiga) dan lingkungan yang
terluas bagi remaja serta sekaligus paling banyak menawarkan pilihan yang tidak
jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam diri remaja itu sendiri. Sarlito
Wirawan Sarwono (2004:131) mengungkapkan bahwa: ”Pengaruh lingkungan
90
pada tahap yang pertama diawali pergaulan dengan teman. Kuatnya pengaruh
teman sering dianggap sebagai pemicu dari perilaku remaja yang buruk”.
Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan oleh Arswendo dkk.,
(dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2004:132) menyimpulkan bahwa terdapat
faktor-faktor perkelahian remaja di sekolah yaitu lawan yang mulai (31,18%) dan
solider (setia) pada kawan (24,75%). Sedangkan mengenai faktor yang paling
mempengaruhi perkelahian adalah faktor teman, pacar dan sahabat (47,4%).
Selain dari teman, dampak yang diberikan juga datang dari gaya hidup dan gaya
berpakaian masyarakat yang sudah kebarat-baratan. Pengaruh lain dari lingkungan
pada diri remaja juga tampak dalam aspek kehidupan beragama.
a. Keharmonisan Keluarga.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer
bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah ikut
memberikan nuansa pada perkembangan anak, karena itu baik buruknya struktur
keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya
pertumbuhan kepribadian anak (Kartono, 2008:57). tetapi menurut Hawari (1997)
keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam
keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis
antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Selain itu Simandjuntak
(1984) berpendapat bahwa secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada
remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal
91
yang dimaksud meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap
negatif terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil.
Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan
bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses
pembentukan konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Konsep diri
yang positif dan keluarga yang harmonis ditengarai akan mampu mencegah
seorang remaja untuk cenderung melakukan kenakalan atau perbuatan yang
negatif. Sedangkan yang kedua, faktor eksternal mencakup lingkungan rumah
atau keluarga, sekolah, media massa, dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan
pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terbentuknya pola diri
seorang individu berasal dari lingkungan keluarga, hasil bentuk kepribadina
individu tergantung dengan pola didikan yang diajarkan oleh setiap keluarga.
Sedangkan Basri (1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab
juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara
suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah
kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan
kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan
pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya
kehidupan keluarga yang harmonis.
Selanjutnya, Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan
perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai
tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar
orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan
92
keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana
keluarga ynag tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar
dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan
mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan
lainnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengaruh keharmonisan
keluarga, terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga bagi anak dimana di
dalamnya tercipta kehidupan beragama, suasana keluarga yang hangat, saling
menghargai, saling pengertian, adanya keterbukaan dalam keluarga dan anak,
saling menjaga dan adanya kasih sayang dan rasa saling percaya sehinga akan
membentuk anak untuk tumbuh kembang secara seimbang dan baik.
2. Pengaruh kendali kontrol orang dewasa
Kondisi sosial telah menyebabkan kontrol orang dewasa terhadap para
remaja dan adolesens jadi semakin menurun. Karena itu norma, control dan sanksi
sosial menjadi semakin melemah, yang membawa akibat anak-anak dan para
remaja menjadi binal tidak terkontrol dan tidak terkendali. Dalam situasi social
yang menjadi semakin longgar anak-anak muda kemudian menjauhkan diri dari
keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dirasakan
sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru
dengan subkultur baru yang delinkuen sifatnya. Selain itu remaja yang memiliki
konsep diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu spontan, kreatif
dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat
93
mengantisipasi hal negatif serta memandang dirinya secara utuh, disukai,
diinginkan dan diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam Shiffer dkk., 1977).
Anak-anak muda itu kemudian melakukan pemberontakan dengan jalan
menggabungkan diri dalam gang-gang delinkuen karena mereka merasa tidak
mempunyai peranan social yang berarti, bahkan merasa tidak dimanusiakan oleh
orang dewasa, sehingga hidupnya menjadi kosong tidak berarti. Pemberontakan
yang dilakukan anak-anak muda tersebut merupakan “keputusasaan mereka sering
menjadi anteseden atau pendahulu bagi kecenderungan rebeli (melakukan
pemberontakan) serta kriminal” (Simcombe, 1964; Toby & Toby, 1961).
Maka dalam
masyarakat modern sekarang pendidikan merupakan
mekanisme vital untuk mengalokasikan remaja dan anak muda ke dalam posisiposisi individu, terutama dalam sector pekerjaan dan jabatan. Selain hubungan
emosional antara orang tua dan anak sangat diperlukan dalam menjamin
hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua, memiliki harga diri dan
kesejahteraan emosional yang baik. Tetapi bila sebaliknya maka “ketidakdekatan
(detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan
akan penolakan oleh orang tua yang sendiri”(Santrock, 1995lebih besar serta
perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri).
5. Pengaruh globalisasi,teknologi dan informasi
Salah satu ciri masyarakat indonesia tempat sebagian besar remaja kita
tinggal adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaan yang
tradisional menuju kondisi yang lebih modern. Hanya sebagian kecil remaja
tinggal di masyarakat yang belum terjangkau prasarana komunikasi (misal di
94
kalangan suku terasing atau pedesaan yang terisolasi). Sebagian besar remaja yang
lain, apalagi yang tinggal di kota-kota besar, sudah jelas harus berhadapan dengan
masyarakat yang sedang dalam masa transisi.
Masyarakat transisi ini dalam istilah J. Useem dan R.H Useem (1968)
dinamakan modernizing society. Masyarakat seperti ini berbeda dari tradition
oriented society (masyarakat tradisional) dan modern society (masyarakat
modern). Dikatakan bahwa ciri masyarakat tradisional adalah mencoba
melegalkan nilai-nilai dari masa lalunya ke masa depan dengan cara
mempraktikan terus adat istiadat, upacara-upacara, dan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah berlaku sejak zaman nenek moyang mereka.
Masyarakat transisi, menurut Useem dan Useem adalah masyarakat yang
sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai baru atau hal-hal baru.
Masa transisi di Eropa ditandai dengan mulai dikenalnya teknologi mesin uap, alat
fotografi dan listrik, yang bersamaan terjadinya dengan dikenalnya sistem
demokrasi yang menggantikan monarki. Dalam masyarakat indonesia, tenologi
merupakan hal yang baru, yang ulai dikenal masyarakat walaupun bukan langsung
merupakan hasil ciptaan sendiri. Bersaaan dengan itu, adat istiadat mulai
ditinggalkan orang dan digantikan dengan tata cara yang lebih bebas, sesuai
dengan kondisi yang berlaku sekarang dan di masa depan. Misalnya, kartu
Lebaran atau Natal digantikan dengan SMS atau Facebook
95
Bergesernya tatanan masyarakat itu menurut Allan Schneiberg (1980 : 114)
disebabkan oleh teknologi itu sendiri, yang pada hakikatnya menagandung sifat
menimbulkan masalah pada lingkungannya jika digunakan secara meluas.
Masyarakat tidak dapat mengubah dirinya dengan cepat untuk mengimbangi
dampak lingkungan yang timbul oleh teknologi.
Download