BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Antibiotik 2.1.1 Sejarah Antibiotik Antibiotik pertama (penisilin) ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming, seorang ahli mikrobiologi dari Inggris. Tahun 1930-an, penisilin mulai diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi. Sebelum antibiotik ditemukan, banyak infeksi yang tidak bisa disembuhkan dan menyebabkan kematian. Namun sejak penisilin ditemukan, jutaan penderita infeksi di seluruh dunia, bisa diselamatkan nyawanya. Begitu hebatnya antibiotik, sehingga sejak tahun 1944–1972, rata-rata harapan hidup manusia meningkat delapan tahun (Nurrachmi, 2009). Antibiotik, seperti yang kita ketahui saat ini ternyata berasal dari bakteri yang dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri lemah tersebut mampu membunuh bakteri lain yang berkembang dalam tubuh makhluk hidup. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroba lain (Schwartz dkk, 2000). Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai kebal terhadap antibiotik. Tahun 1950-an, telah muncul jenis bakteri baru yang tidak lagi bisa dilawan dengan penisilin. Untungnya, para ilmuwan terus-menerus melakukan penelitian. Untuk sementara waktu, dunia masih boleh bergembira karena para ilmuwan berhasil menemukan antibiotik - antibiotik baru. Antara tahun 1950 – 1960-an, jenis bakteri yang resisten masih belum mengkhawatirkan, karena penemuan antibiotik baru masih bisa membasminya. Namun sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan baru yang bisa diandalkan. Dan pada tahun 1999, ilmuwan berhasil mengembangkan antibiotik baru. Meskipun cepat dengan semakin banyaknya bakteri-bakteri super yang kebal antibiotik (Nurrachmi, 2009). Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotik khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotik bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup (Schwartz dkk, 1995). Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotik dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotik yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotik oral mudah digunakan bila efektif, dan antibiotik intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotik kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep (Schwartz dkk, 1995). Istilah antibiotik muncul pada literatur mikrobiologi awal tahun 1928. Menurut Selman Waksman, antibiotik adalah substansi kimia yang diperoleh dari mikroorganisme, dalam larutan encer mereka mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan dan membinasakan mikroba lain. Pada tahun 1929, Fleming mengamati substansi bakteri-ostatik yang dihasilkan jamur Penicillium notatum dan diberi nama Penicillin. Sejak itu penisilin dikenal dan diketahui dapat diproduksi oleh berbagai jamur. Namun karena kurang stabil terutama bioaktivitasnya akan hilang bila diuapkan sampai kering, maka penisilin kemudian ditinggalkan. Sekitar tahun 1939, Florey dan kawan-kawan melakukan percobaan kembali terhadap kemungkinan penggunaan penisilin Fleming untuk terapi. Tahun 1940, Chain dan kawan-kawan juga melakukan penelitian penisilin, mereka membiakkan organisme Fleming dan pada waktu ekstraksi dikontrol pada temperatur rendah, akhirnya mereka mampu memekatkan penisilin sampai 1000 kali, serta dapat menghasilkan garam penisilin berbentuk bubuk kering yang mempunyai stabilitas baik terutama bila disimpan. Hasil ini merupakan kemajuan besar dalam perkembangan produksi antibiotik terutama penisilin dan merupakan tonggak sejarah manusia dalam memerangi penyakit infeksi (Pudjaworto, 2002). Pada waktu yang hampir sama, di Rockefeller Institute for Medical Research New York. Dubos menemukan antibiotik komplek tyrothricin yang diproduksi oleh bakteri tanah Baccilus brevis. Selanjutnya Dubos, Waksman dan Woodruff menemukan aktinomisin yang diperoleh dari biakan aktinomisetes. Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin yang merupakan salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces anggota dari aktinomisetes. Streptomisin merupakan anti tuberkulosis yang mujarab, perkembangan ini merangsang penelitian lebih lanjut terhadap genus streptomises dalam usaha mencari mikroorganisme penghasil antibiotik. Sejak itu aktinomisetes terutama streptomises menjadi gudang utama untuk memperoleh antibiotik baru. Pada berbagai lembaga penelitian dilakukan pencarian antibiotik dari berbagai tipe mikroorganisme terutama aktinomisetes dan telah berhasil mendapatkan antibiotik baru. Pada tahun 1945 telah ditemukan basitrasin yang dihasilkan oleh Bacillus, diikuti khloramfenikol oleh Strepto-myces venezuelae dan polimiksin oleh B. polymyxa pada tahun 1947, khlortetrasiklin oleh S. aureofaciens pada tahun 1948 dan neomisin oleh S. fradiae tahun 1949, oksitetrasiklin 1950 dan eritromisin 1952, keduanya dihasilkan oleh Streptomyces. Kanamisin ditemukan oleh Umezawa dan koleganya tahun 1957 dari biakan streptomyces. Semua ini merupakan antibiotik yang sangat penting dan sampai saat ini masih diperhitungkan sebagai salah satu antibiotik untuk melawan infeksi (Nurrachmi, 2009). Pada tahun enam puluhan, penemuan antibiotik agak berkurang tetapi usaha penemuan dilakukan untuk aplikasi yang lebih luas yaitu untuk mencari antifungal, anti mikoplasmal, anti spirochetal, anti protozoal, anti tumor, anti virus, dan antibiotik untuk penggunaan non-medis. Pada dekade ini problem resistensi bakteri terhadap antibiotik mulai muncul dan telah berkembang, sehingga memacu mencari antibiotik baru atau derivat antibiotik yang telah dikenal untuk menggantikan antibiotik yang sudah ada (Nurrachmi, 2009). 2.1.2 Definisi Antibiotik Antimikroba adalah obat yang membunuh mikroorgamisme atau menekan pertumbuhan atau perkembangbiakannya, khususnya yang merugikan manusia. Antibiotik adalah substansi kimiawi antimikroba yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme, terutama fungi yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain, dimana dalam hal ini mikroorganisme yang dimaksud adalah bakteri. Saat ini istilah antibiotik juga telah digunakan secara luas pada jenis-jenis antimikroba sintetik, yang tidak diturunkan dari produk mikroorganisme, seperti golongan sulfonamid dan kuinolon (Chambers, 2006). 2.1.3 Mekanisme Kerja Antibiotik Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat dikelompokkan atas enam kelompok : 1. Bekerja lansung pada membran sel mikroorganisme. Agen-agen antimikroba yang termasuk kelompok ini bekerja dengan cara bereaksi dengan fosfat pada lapisan fosfolipid membran sel bakteri sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel dan berakibat bocornya komponen intraseluler. Kelompok ini terutama efektif pada bekteri-bakteri gram negatif yang mempunyai lapisan fosfor yang lebih banyak. 2. Bekerja dalam menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme. Antibiotik dalam kelompok ini bekerja dengan menghambat dinding sel bakteri, terutama yang mengandung peptidoglikan, yang dimulai dari sintesis paling dini hingga reaksi terakhir (transpeptidase) dalam rangkaian proses tersebut. Kerusakan dinding sel akan menyebabkan lisisnya bakteri akibat perbedaan tekanan osmotik dalam sel dan lingkungan. 3. Bekerja dalam mengacaukan sintesis protein sel mikroorganisme. Antibiotik kelompok ini bekerja melalui ikatan yang terbentuk dengan subunit ribosom 30S yang mengakibatkan terbacanya kode protein yang salah oleh tRNA sehingga terbentuk protein abnormal. Secara umum antibiotik yang termasuk kelompok ini bersifat bakterisid. 4. Bekerja dalam menghambat sintesis protein sel mikroorganisme. Agen-agen yang termasuk kelompok ini mengacaukan fungsi subunit ribosom 30S atau 50S yang secara reversible menghambat sintesis protein dengan cara menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptide, akibatnya rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang. Secara umum kelompok ini bersifat bakteriostatik. 5. Bekerja dalam mengganggu metabolisme asam nukleat pada mikroorganisme. Ada dua mekanisme penghambat metabolisme asam nukleat. Mekanisme pertama adalah dengan berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA bakteri. Sedangkan mekanisme kedua adalah dengan menghambat topoisomerase. 6. Bekerja menghambat metabolisme sel mikroorganisme. Kelompok ini bekerja memblok enzim esensial untuk pembentukan asam folat. Ada yang bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang digunakan oleh bakteri untuk mereduksi dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional. Mekanisme lain dengan bersaing secara kompetitif dengan PABA (para amino benzoat) dalam pembentukan asam folat. Kedua mekanisme tersebut akan berdampak pada terbentuknya asam folat non fungsional sehingga akan mengganggu kehidupan bakteri (Setiabudi dan Gan, 1995). 2.1.4 Klasifikasi Antibiotik Secara umum antibiotik dikelompokkan berdasarkan toksisitas selektifnya, ada antibiotik yang tergolong bakterisid, yaitu jenis-jenis antibiotik yang bersifat membunuh bakteri; dan ada yang tergolong bakteriostatik, yaitu jenis-jenis antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri. Namun ada pula pengelompokkan antibiotik yang didasarkan pada struktur kimia, efek farmakologi, dan mekanisme kerja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. 1. Penghambat metabolisme sel Kelompok ini termasuk golongan sulfonamid, trimetoprim, asam paminosalisilat (PAS), dan sulfon. Yang termasuk golongan sulfonamid antara lain sulfisoksazol, sulfametoksazol, silfasitin, sulfametizol, sulfasalazin, suksinilsulfatiazol, sulfasetamid, Ag-sulfadiazin, mafenid, dan sulfadoksin. Kombinasi antara trimetoprin dan sulfametoksazol dikenal dengan nama kotrimoksazol. 2. Penghambat sintesis dinding sel Yang termasuk kelompok ini antara lain : a. Golongan beta laktam 1) Penisillin : oksasillin, kloksasillin, penisillin G, penisillin V, nafsillin, dikloksasillin, ampisillin, amoksisillin, karbenisillin, tikarsillin, piperasillin, mezlosillin, dan azllosillin. 2) Sefalosporin : i. Generasi pertama antara lain cefazolin, cefadroksil, cefaleksim, cefalotin, cefapirin, cefradin. ii. Generasi kedua antara lain cefaklor, cefamandol, cefonisid, cefmetazol, cefotetam, cefoksitin, cefuroksim. iii. Generasi ketiga antara lain cefiksim, cefoperazon, cefotaksim, ceftazidim, ceftizoksim, ceftriakson, moksalaktam, cefdinir, cefditoren, cefpodoxim. b. Golongan lain antara lain : 1) Golongan karbapenem yaitu imipenem/cilastin, meropenem, ertapenem. 2) Golongan glikopeptida yaitu vankomisin dan teiklopanin. 3) Golongan polipeptida yaitu basitrasin, colistin dan polimiksin B. 4) Golongan monobaktam contohnya azetronam. 5) Sikloserin. 3. Perusak keutuhan membran sel Yang termasuk kelompok ini adalah golongan polimiksin dan polien. 4. Pengacau sintesis protein sel Secara umum yang termasuk dalam kelompok ini bersifat bakterisid. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : golongan aminoglikosida yang antara lain amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin, streptimisin, tobramisin, dan kanamisin. 5. Penghambat sintesis protein sel Secara umum antibiotik kelompok ini bersifat bakteriostatik, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : golongan tetrasiklin antara lain tetrasiklin, minosiklin, doksisiklin, demeklosiklin, dan oksitetrasiklin. a. Golongan makrolid antara lain azitromizin, klaritromizin, eritromisin, diritromisin, roksitromisin, dan troleandromisin. b. Golongan kloramfenikol dan klindamisin. 6. Pengganggu metabolisme asam nukleat Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini yaitu : a. Golongan rifamisin, seperti rifampin dan rifabutin. b. Golongan kuinolon misalnya asam nalidiksat. c. Golongan florokuinolon antara lain ciprofoksisin, enoksasin, gatifloksasin, levofloksasin, lamefloksasin, mokasifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, dan trovafloksasin (Chambers, 2006). 2.1.5 Mekanisme Obat Pada Anak Dua pertimbangan dalam penggunaan obat-obatan pada anak, yang pertama disebabkan oleh variabilitas genetik, dimana kecepatan metabolisme atau efek farmakologik beberapa zat ditentukan secara genetik melalui efektifitas asetilasi, metilasi, dimetilasi, dan proses-proses lain. Pertimbangan kedua adalah kecepatan anak memperoleh kapasitas normal untuk memetabolisme obat-obatan yang lintasan normal metaboliknya tidak lengkap atau belum selesai digiatkan pada waktu lahir. Aktifitas normal glukoronidase, fenilalanin, transaminase dan enzimenzim lain mungkin baru tercapai setelah berhai-hari atau berbulan-bulan kemudian (Berhman dan Vaughn, 1997). Aspek-aspek lain yang tidak sepenuhnya diketahui mengenai aspek farmakologis meliputi reaksi paradox sebagian anak terhadap beberapa obat, selain itu kepekaan anak agaknya meningkat terhadap beberapa obat pada keadaan-keadaan lain; misalnya anak dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase biasanya mengalami reaksi yang lebih berat akibat meminum obatobatan tertentu dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang rentan (Berhman dan Vaughn, 1997). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa metabolisme obat-obatan berlangsung secara kurang efisien pada fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang masih dini. Namun, sistem metabolisme tersebut mencapai kematangan masing-masing dengan kecepatan yang berbeda-beda serta beberapa jenis obatobatan mungkin dimetabolisme dengan lebih cepat selama masa pasca lahir bayi, jika dibandingkan dengan metabolisme orang dewasa atau anak-anak yang berusia lebih lanjut. Meskipun demikian dalam kebanyakan hal, penurunan dosis masih tetap diperlukan selama masa bayi serta mungkin sekali juga dalam masa kanakkanak yang masih dini sebagai akibat ketidakefisien proses-proses metabolik dan eliminasi obat pada kelompok usia ini (Berhman dan Vaughn, 1997). 2.2 Tinjauan Tentang Spektrum Kemoterapeutik dan Resistensi Antibiotik 2.2.1 Spektrum Kemoterapeutik Spektrum kemoterapeutik dari suatu antibiotik tertentu mengacu pada spesies organisme yang dipengaruhi oleh obat tersebut. Spektrum kemoterapeutik dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu : 1. Spektrum sempit, yaitu antibiotik yang hanya bekerja pada suatu jenis bakteri tertentu atau pada suatu grup bakteri tertentu. Misalnya isoniazid yang hanya efektif terhadap mikrobakteri. 2. Spektrum sedang, yaitu antibiotik yang efektif melawan bakteri gram positif dan sebagian atau sejumlah bakteri gram negatif, misalnya golongan beta laktam (ampisilin). 3. Spektrum luas, antibiotik ini mempengaruhi speses bakteri secara luas. Misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin. Namun pemberian antibiotik spectrum ini secara drastis dapat mengubah flora normal secara alamiah dan dapat mencetuskan superinfeksi suatu organisme seperti kandida yang perkembangannya secara normal dipengaruhi oleh adanya mikroorganisme lain (Setiabudi dan Gan, 1995). 2.2.2 Resistensi Idealnya suatu antibiotik dikatakan mempunyai efek terapeutik jika efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dalam tubuh atau dengan kata lain idealnya suatu antibiotik harus bersifat bakterisid. Namun untuk mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan dari suatu antibiotik ada dua faktor utama yang sangat berpengaruh. Kedua faktor tersebut adalah konsentrasi dan sistem imunitas host. Jika imunitas host intak dan aktif, bahkan antibiotik yang bersifat bakteriostatik sudah cukup untuk terapi suatu penyakit infeksi. Sebaliknya, jika sistem imun host kurang baik, maka sebaiknya terapi dilakukan dengan antibiotik yang bersifat bakterisid. Konsentrasi yang cukup pada daerah infeksi harus tercapai agar suatu antibiotik dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Tetapi konsentrasi tersebut harus tetap lebih rendah dari level yang bersifat toksik terhadap sel-sel tubuh host. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa konsentrasi yang sesuai untuk suatu antibiotik adalah konsentrasi dimana cukup untuk mengeradikasi bakteri patogen tetapi tetap berada pada level yang aman bagi tubuh host. Pada kondisi tersebut bakteri dikatakan sensitif terhadap antibiotik itu Sedangkan jika konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan suatu bakteri melampaui level aman untuk tubuh host, maka dikatakan bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik itu (Dawson, 2002; Katsung, 2004; Mycek dkk, 2002). Agar suatu antibiotik dapat dikatakan efektif, maka antibiotik tersebut harus dapat mencapai targetnya dalam bentuk aktif, dapat berikatan dengan targetnya, dan dapat menginterfensi fungsi-sungsi targetnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka resistensi suatu bakteri terhadap suatu antibiotik dapat dikaitkan dengan tiga mekanisme, yaitu (1) tidak sampainya antibiotik tersebut pada targetnya, (2) tidak aktifnya antibiotik tersebut, atau (3) berubahnya target. Terjadinya mutasi pada dinding sel target menyebabkan tidak sampainya ataupun berkurangnya konsentrasi antibiotik pada tragetnya, terutama jika target tersebut berada intraseluler. Kebanyakan antibiotik bermolekul kecil yang secara alamiah dapat menembus dinding sel bakteri melalui suatu struktur kanalis protein yang disebut porin yang terutama ditemukan pada bakteri-bakteri gram negatif. Terjadinya mutasi pada struktur ini akan menghambat masuknya molekul antibiotik ke dalam sel. Begitupun dengan antibiotik yang masuk melalui transport aktif. Misalnya gentamisin yang bekerja pada ribosom yang adalah komponen intraseluler. Untuk dapat sampai pada target kerjanya molekul gentamisin memerlukan trasnpor aktif melewati membran sel bakteri dengan energi yang dihasilkan dari gradien elektrokimia yang dihasilkan oleh suatu enzim respirasi. Oleh karena itu, jika terjadi mutasi pada enzim ini ataupun pada proses respirasi bakteri, maka kerja gentamisin akan terhambat dan berakibat terjadinya resistensi pada obat ini (Dawson 2002, Katsung 2004). Mekanisme resistensi lainnya adalah inaktivasi molekul antibiotik oleh bakteri, seperti yang terjadi pada golongan beta laktam dan aminoglokosida. Salah satu contohnya adalah dengan adanya bakteri-bakteri tertentu yang dapat menghasilkan enzim betalaktamase (Dawson 2002, Katsung 2004). 2.3 Tinjauan Tentang Pemilihan Antibiotik Penggunaan antibiotik secara umum dapat dibagi menjadi tiga untuk terapi empiris, terapi definitive dan terapi profilaksis atau preventif. Jika bakteri penyebab suatu penyakit infeksi belum dapat diidentifikasi secara pasti, maka penggunaan antibiotik dilakukan secara empiris dimana jenis antibiotik yang digunakan harus dapat memberi efek pada semua jenis bakteri patogen yang dicurigai. Pada banyak keadaan infeksi, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui atau dipastikan pada saat terapi antibiotika dimulai. Dalam hal ini pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan kemungkinan kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang layak (pengalaman klinis) atau berdasarkan pada pola epidemiologi kuman setempat. Pertimbangan utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya, misalnya dalam menghadapi kasus-kasus infeksi berat, infeksi pada pasien dengan kondisi depresi imunologik. Kelemahan dari terapi empiris ini meliputi, jika pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau jika kepastian kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab tertentu (misalnya tidak diperoleh spesimen), maka terapi antibiotika seolah-olah dilakukan menggunakan jenis antibiotik yang berspektrum luas, baik digunakan secara kombinasi ataupun tunggal. Untuk terapi Profilaksis atau preventif yaitu jika bakteri penyebab infeksi belum diketahui namun dilakukan upaya pemberian antibiotik secara dini untuk mencegah penyebaran infeksi menjadi lebih parah sehingga sering juga diberikan antibiotik yang berspektrum luas.Tetapi jika bakteri penyebab suatu penyakit infeksi telah dapat diidentifikasi secara pasti, maka terapi definitif-lah yang harus digunakan. Jenis antibiotik yang digunakan harus yang berspektrum sempit untuk bakteri patogen tertentu (Katsung, 2004; Mycek dkk, 2002). Salah satu penyebab timbul dan meluasnya resistensi antibiotik adalah karena pemilihan maupun penggunaan antibiotik yang inappropriate, misalnya pemilihan antibiotik yang tidak sesuai dengan bakteri penyebab infeksi maupun yang telah resisten. Selain itu penggunaan dosis yang tidak adekuat/suboptimal, lama pemberian yang tidak sesuai, serta penggunaan secara berlebihan suatu jenis antibiotik juga meningkatkan prevalensi resistensi antibiotik (Anonim, 2001). Beberapa prinsip dasar pemilihan dan penggunaan antibiotik antara lain : a. memilih antibiotik yang paling sesuai dengan penyebab suatu penyakit infeksi dan dengan memperhatikan prevalensi resistensi lokal; b. menggunakan dosis terapi yang adekuat; dan c. memastikan penderita menyelesaikan terapi secara lengkap. Untuk kebanyakan infeksi bakteri penggunaan satu macam antibiotik sudah cukup. Namun, untuk beberapa kondisi tertentu pemakaian dua atau lebih regimen antibiotik diperlukan untuk meminimalkan bahaya resistensi, misalnya pada terapi infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Anonim, 2001). Berdasarkan WHO tahun 2001, prinsip-prinsip umum peresepan antibiotik adalah sebagai berikut : 1. Spektrum antibiotik 2. Farmakokinetik dan farmakodinamik 3. Pemilihan oral dan parenteral 4. Kepatuhan dan kemudahan penggunaan 5. Dampak pada flora normal tubuh 6. Biaya pengobatan 7. Kombinasi antibiotik 8. Efek dari promosi komersial 9. Daftar obat 2.4 Masalah Penggunaan Antibiotik Proses pemilihan antibiotik yang paling efektif untuk suatu infeksi semakin sulit, oleh karena makin banyaknya antibiotik baru yang ditawarkan dan masingmasing memiliki kelebihan dan kelemahan. Penggunaan antibiotik secara irasional telah banyak dilaporkan, baik di tingkat pelayanan kesehatan primer, rumah sakit, maupun di praktek-peraktek swasta. Bentuk keirasionalan ini sangat beragam, mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, dosis yang tidak adekurat, cara pemberian yang tidak tepat, frekuensi pemberian yang keliru hingga terlalu lamanya pemberian antibiotik untuk pengobatan infeksi. Beberapa penelitian menemukan bahwa sekitar 25-60% peresepan antibiotik di rumah sakit dianggap irasional oleh karena beberapa alasan, antara lain (1) tidak terbuktinya adanya infeksi bakterial; (2) pemilihan antibiotik tidak tepat; (3) dosis yang kurang atau justru berlebihan; (4) pemberian dalam jangka waktu yang terlalu lama ; dan (5) cenderung diresepkannya antibiotik yang relatif mahal (Anonim, 1995). 1.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keirasionalan Penggunaan Antibiotik Adapun Faktor-faktor tersebut yaitu: a) Ketidaktepatan Diagnosis b) Tidak ditaatinya pedoman pengobatan c) Terlalu mengandalkan pengalamn klinik (tidak berdasarkan bukti ilmiah) d) Shot-gun approach e) Terbatasnya informasi mengenai perkembangan antibiotik f) Promosi obat yang berlebihan g) Kurangnnya kepedulian mengenai isu biaya pengobatan h) Tekanan dari pasien (Anonim, 1995) 1.1.2 Dampak Penggunaan Antibiotik Yang Irasional Adapun dampak penggunaan antibiotik yang irasional adalah : a. Dampak terhadap risiko efek samping. b. Dampak terhadap resistensi bakteri. c. Dampak terhadap upaya penurunan morbiditas dan mortilitas infeksi. d. Dampak terhadap biaya pengobatan. e. Dampak terhadap suplai obat (Anonim, 1995). 2.5 Rasionalitas Pengobatan Rasionalitas pengobatan pada umumnya hanya mencakup lima aspek yaitu tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping. Namun, secara praktis menyatakan penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi criteria sebagai berikut : 1. Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. 2. Tepat dengan indikasi penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik misalnyadiindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian pemberian ini hanyadianjurkan untuk pasien yang memiliki gejala adanya infeksi bakteri 3. Tepat Pemilihan Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Pemilihan obat yang tepat adalah penggunaan obat yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, drug combination (fixed), individualisasi, serta pemilihan obat atas dasar daftar obat yang telah ditentukan bersama. 4. Tepat Dosis Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi yang sempit (narrow therapeutic margin) akan sangat beresiko timbulnya efek samping 5. Tepat Cara Pemberian Obat antasida dalam bentuk tablet seharusnya dikunyah baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorbsi sehingga menurunkan efektifitasnya. 6. Tepat Interval Waktu pemberian/cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Obat yang harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. 7. Tepat Lama Pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing, misalnya untuk tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. 8. Waspada Terhadap Efek Samping Pemberian Obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. 9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin, dan aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini. 10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga terjangkau. 11. Tepat Informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. 12. Tepat Tindak Lanjut (Follow Up) Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. 13. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan obat harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimana seharusnya. 14. Pasien Patuh Terhadap Perintah Pengobatan Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/ supervisi dapatmenurunkan kepatuhan penderita (Anonim, 1995). 2.6 Profil Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda Limboto Kabupaten Gorontalo 1. Sejarah Rumah Sakit Badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda yang semula bernama Rumah Sakit Umum Limboto adalah rumah sakit milik pemerintah kabupaten Gorontalo yang berlokasi di wilayah kabupaten Gorontalo, didirikan pada tanggal 25 November 1963 dengan kapasitas awal tempat tidur 29 buah. Melalui surat keputusan menteri kesehatan nomor 171/Menkes/SK/1994 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda ditetapkan menjadi rumah sakit kelas B. Dunda yang diambil dari nama seorang perintis kemerdekaan yang telah mengabdikan dirinya dibidang kesehatan sehingga diabadikan menjadi nama rumah sakit umum daerah milik pemerintah daerah kabupaten gorontalo yang berkedudukan sebagai unit pelaksana pemerintah kabupaten gorontalo dibidang pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Visi dan Misi Untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik dan bermutu, maka pihak rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda memiliki komitmen untuk mewujudkan pelayanan optimal (pelayanan prima) dengan memformulasikan dalam visi dan misi, dengan program unggulannya. Visi : “Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Yang Optimal” Misi : Untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik dan rancangan untuk mendukung visi rumah sakit, maka misi yang digunakan oleh pihak rumah sakit yaitu : 1) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. 2) Menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia. 3) Kerja sama dengan mitra rumah sakit. 4) Mendukung sarana dan prasarana rumah sakit yang berkualitas dan bermanfaat secara optimal. 5) Meningkatkan pendapatan rumah sakit. 6) Meningkatkan kesejahteraan karyawan. 3. Tujuan dan Filosofi Rumah Sakit Tujuan Rumah Sakit adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan Visi Departemen Kesehatan “Membuat Rakyat Sehat”. Filosofi : “Keselamatan, Kesembuhan dan Kepuasan Pasien adalah Kebanggaan Kami”. 4. Tugas dan Fungsi Tugas pokok badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda Kabupaten Gorontalo, yaitu : 1) Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. 2) Melaksanakan pelayanan umum yang bermutu sesuai standar pelayanan rumah sakit. Adapun fungsi badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda Kabupaten Gorontalo, yaitu : 1) Pelayanan medis 2) Pelayanan penunjang medis dan non medis 3) Pelayanan dan asuhan keperawatan 4) Pelayanan rujukan 5) Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan 6) Penelitian dan pengembangan 7) Pelayanan administrasi umum dan keuangan 2.7 Skema kerangka konseptual Tepat Indikasi Tepat Obat Tepat Dosis Kerasionalan Penggunaan Antibiotik