pembiayaan kesehatan dan cakupan kesehatan semesta

advertisement
Implementing Service
Provider (ISP) Office
Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H
Implementing Service
Provider (ISP)–
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9
Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9.
Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950
Website:
www.aiphss.org
Kumpulan Nota Kebijakan
Kumpulan Nota Kebijakan
Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2
Jakarta Selatan, INDONESIA 12950
Telp +62 21 526 1289
Fax + 62 21 368 20064
Email: [email protected]
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA
Kontak kami:
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN
CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA
Didukung oleh
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Government
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
(AIPHSS)
Australian
Aid
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
(AIPHSS)
Australian
Aid
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
Australian
AID
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN
CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA
KUMPULAN NOTA KEBIJAKAN
DIDUKUNG OLEH
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP
FOR HEALTH SYSTEMS STRENGTHENING (AIPHSS)
Australian Government
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
(AIPHSS)
Australian
Aid
Kata Pengantar
Dalam kurun waktu 2012 dan 2013, lebih dari 50 “Pokja” telah dibentuk untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang merupakan cakupan kesehatan
semesta di bawah sistem asuransi kesehatan baru dengan pembayar tunggal. Proses ini merupakan
proses praktik baik yang dilakukan lintas kementerian dalam merancang dan mempersiapkan sistem
baru untuk dapat diimplementasikan pada tahun 2014. Tentu saja berbagai isu dan pertanyaan
muncul mengenai sejumlah topik, dan untuk topik-topik ini, pertanyaan yang kerap muncul adalah
mengenai apa yang merupakan cara terbaik, dan apa praktik terbaik di seluruh dunia (global best
practice) yang bisa dipelajari oleh Indonesia dalam proses ini.
Kumpulan policy note ini dibuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, dan
penyusunannya dimulai pada April 2013. Beberapa policy note mengkritisi pendekatan saat ini yang
dilakukan Pokja, sementara policy note lainnya memberikan pilihan dan pendekatan-pendekatan
alternatif. Model-model dan pengalaman dari Australia, Eropa Barat dan Asia Timur disajikan sebagai
bahan diskusi dalam seri policy note ini.
Setelah pelaksanaan JKN pada tahun 2014, muncul tantangan-tantangan baru, dan policy note ini pun
memunculkan topik-topik baru.
Policy note biasanya terdiri dari 2-10 halaman, yang dimaksudkan agar mudah dibaca (user friendly)
dan untuk mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi para pengambil keputusan di Indonesia, serta
memberikan pilihan dan alternatif serta praktik terbaik dari seluruh dunia.
Kumpulan policy note ini ditulis oleh para konsultan yang didanai oleh Pemerintah Australia (DFAT)
melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), namun
sekitar 30 persen dari policy note ini ditulis oleh para ahli dari Nossal Institute in Australia, University
of New South Wales, World Bank, WHO, UNICEF, Joint Learning Network, dan Universitas Indonesia. Seri
ini sifatnya “terbuka” bagi siapa saja yang dapat menyajikan topik yang menarik dan tepat waktu,
serta bagi para ahli dan pembuat kebijakan di Indonesia.
Policy note ini ditulis dalam bahasa Inggris, dan diterjemahkan pula kedalam bahasa Indonesia
kemudian secara rutin disebarluaskan melalui email dan website www.aiphss.org kepada publik
individu dan lembaga di Indonesia, termasuk Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), BPJS,
komunitas donor, fakultas dan mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia.
Beberapa policy note yang ditulis pada tahun 2013 diberi tanggal didasarkan atas peristiwa, peraturan
dan perundang-undangan. Setiap Policy Note mempunyai catatan kaki di bagian awal untuk
menginformasikan kepada pembaca jika aspek-aspek policy note tersebut sudah kedaluwarsa, dan
khususnya bidang apa yang telah berubah. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan policy
note ini untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam kebijakan dan peraturan, yang menunjukan
bahwa policy note memang memberikan dampak nyata bagi sektor kesehatan di Indonesia.
Akhirnya, policy note ini juga digunakan sebagai bacaan dan studi kasus untuk mahasiswa jurusan
Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, yang menunjukkan bahwa policy note ini akan dibaca
dan dikritisi dalam jangka waktu dekat dan mungkin di tahun-tahun mendatang mengingat Indonesia
kini memasuki masa transisi ke sistem kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang baru.
21 Maret 2015
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar — iii
Apa yang terjadi dengan Pembayaran Kapitasi untuk Pelayanan Kesehatan Dasar? — 1
Indonesia Harus Mengembangkan Grouper Sendiri: Penyempurnaan INA CBGs untuk Rumah Sakit
— 6
#3
Organisasi Asuransi Sosial Modern Tidak Memerlukan Pengaturan Aset dan Kewajiban — 10
#4 Sistem Informasi dan BPJS: Langkah Kunci Selanjutnya dan Kapan? — 14
#5
Prinsip-Prinsip Uji Coba (Piloting) dalam Sektor Kesehatan – Pengalaman Global — 21
#6
Di mana Indikator Pemantauannya? — 25
#7
Dari Siapa Kita Membeli? Kontrak Pelayanan Kesehatan untuk Perbaikan Biaya dan Kualitas Kesehatan
di Indonesia — 34
#8
Monitoring dan Evaluasi Cakupan Kesehatan: Ujicoba “Dashboard Informasi” Perluasan Cakupan
Kesehatan di Indonesia — 43
#9
Cakupan Kesehatan Semesta dan Akreditasi Kesehatan di Indonesia — 50
#10 Merokok dan Cakupan Kesehatan Semesta: Apa Hubungannya? — 57
#11 Pelayanan Kesehatan Dasar dan SJSN dalam Konteks Sistem Kesehatan di Kabupaten/Kota — 63
#12 Mendefinisikan dan Mengelola Komponen Manfaat Farmasi di bawah Program Asuransi Kesehatan
Universal Indonesia — 73
#13 Mengembangkan Faktor Pendukung atau “Pra-Kondisi” untuk Reformasi Pembayaran Provider di
bawah BPJS: Apakah Indonesia Siap? — 84
#14 Gizi dan Paket Manfaat Dasar untuk Cakupan Kesehatan Semesta — 93
#15 Aspek Ekonomi Politik dari Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) Implikasinya untuk Indonesia — 102
#16 Bagaimana Menjangkau Masyarakat yang belum Terjangkau dalam Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN)
— 109
#17 Pentahapan INA-CBGs — 123
#18 Tenaga Kesehatan di Indonesia Ketersediaan Tenaga Kesehatan untuk Penyelenggaraan Cakupan
Kesehatan Semesta — 130
#19 Menutup Kesenjangan: Pengalaman Global Penyediaan Perlindungan Asuransi bagi Pekerja Sektor
Informal — 142
#20 Siapa melakukan apa? Memetakan Masa Depan bagi Kementerian Kesehatan Indonesia — 163
#21 Dokter, Insentif dan Penempatan di Pedesaan — 176
#22 Pertimbangan-pertimbangan untuk Menetapkan Proses atau Program Penapisan Teknologi Kesehatan
(HTA) — 193
#23 Republik Korea (“Korea Selatan”) — 202
#24 Menjadi Pembeli yang memiliki Strategi: Gagasan untuk BPJS — 219
#25 Apa yang Bisa Dilakukan Terhadap Ancaman Kesehatan Masyarakat #1? — 232
#26 Mewujudkan Keberhasilan Pemerintah: Kasus BPJS — 241
#27 Riset dan Evaluasi: Peran BPJS — 249
#28 Jamkesda: atau Angsa Bertelur Emas untuk Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) — 252
#29 Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Sektor Kesehatan? Kapan? — 273
#1
#2
iv
NOTA
#1 KEBIJAKAN
Apa yang terjadi dengan
Pembayaran Kapitasi untuk
Pelayanan Kesehatan Dasar?1
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan
Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-undang
SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Undang-undang BPJS) yang meliputi lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal
2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program
kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang
didanai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan.
Penyatuan dan integrasi beberapa dana asuransi akan memungkinkan BPJS menjadi pembeli
layanan yang efektif dan adil, dengan pengeluaran administrasi yang minimal. Para pengamat
sepakat bahwa BPJS harus mendorong pelayanan kesehatan dasar untuk berkembang dan menjadi
yang terbaik, serta bertindak sebagai gatekeeper guna memastikan bahwa hanya kasus-kasus yang
perlu saja yang dirujuk ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih tinggi, sehingga pembiayaan
kesehatan secara keseluruhan menjadi efisien. Di Indonesia saat ini biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan rumah sakit memang sangat tinggi, yaitu mencapai kira-kira 60 persen, dibandingkan
dengan Kanada yang hanya 29 persen, dan negara-negara di Eropa Barat yang kurang dari 40
persen.2
Sistem pembayaran yang tepat dapat mendorong efisiensi alokasi dan efisiensi teknis yang lebih
besar. Memang, Indonesia memerlukan seperangkat sistem pembayaran yang baik untuk
membantu menciptakan sistem pembiayaan yang efisien. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.
12/2013 terdapat mandat yang menyatakan bahwa pembayaran BPJS Kesehatan kepada fasilitas
1
Nota Kebijakan ini tulis oleh Jack Langenbrunner dan Cheryl Cashin dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT)
melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Nota Kebijakan ini ditulis
berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah, pemerintah telah memperbaiki formula
kapitasi berdasarkan prinsip-prinsip yang direkomendasikan di dalam nota kebijakan ini.
2
Berdasarkan laporan lokakarya National Health Accounts pada bulan Maret 2013 dan Statistik OECD 2012.
1
kesehatan tingkat pertama dilakukan secara pra-upaya berupa kapitasi, dan bukan pembayaran
secara tunai (fee for service).
Kapitasi, didefinisikan sebagai 1 pembayaran per 1 paket pelayanan tertentu per 1 orang (per
kapita) untuk per 1 periode waktu tertentu (empat “1”). Dengan kata lain, pengertian kapitasi yang
paling sederhana adalah uang yang dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dasar dibagi jumlah
penduduk. Istilah “rata-rata keseluruhan” kadang-kadang disebut sebagai “tarif dasar” (base rate).
Jumlah dana keseluruhan yang dialokasikan untuk setiap penyedia atau fasilitas pelayanan
kesehatan dasar merupakan jumlah per kapita rata-rata (atau tarif dasar) x jumlah peserta. Saat
ini pemerintah telah menetapkan besaran kapitasi Rp. 6,000 per bulan sebagai tarif dasar, sebagai
persentase dari total premi Rp 15,500 yang dialokasikan Kementerian Keuangan.
Hal yang baik dari penetapan tarif dasar itu adalah persentase yang relatif tinggi dari jumlah total
yang diberikan untuk seluruh paket pelayanan dasar, sekunder, dan tersier.
Penyimpangan Definisi
Akan tetapi, pemerintah kini tengah mempertimbangkan untuk mendefinisikan ulang pengertian
kapitasi sebagai “Pemanfaatan x Biaya Satuan” dengan plafon terbatas. Hal ini oleh para ahli
disebut sebagai “fee-for-service with a cap” (pembayaran tunai dengan batasan). Dengan kata lain,
mereka tidak akan mengalikan Rp. 6.000,00 dengan jumlah peserta, tetapi akan membagi tarif
dasar sesuai pemanfaatan historis dan biaya satuan relatif. Hal ini tentu saja bukanlah kapitasi.
Prinsip dasar kapitasi adalah untuk memisahkan pembayaran dari pemanfaatan. Dengan cara ini,
penyedia pelayanan tidak di’hukum’ bilamana mereka menjaga populasi tetap sehat dan dapat
mengurangi pelayanan kuratif. Pemisahan pembayaran dari pemanfaatan juga penting untuk
dapat memindahkan sumber daya pelayanan kesehatan dasar ke daerah-daerah di mana
pemanfaatan fasilitas kesehatan secara historis rendah namun kebutuhan kesehatan sebenarnya
tinggi.
Apa yang akan dihasilkan dari definisi baru ini? Definisi ini akan memberikan jaminan kepada
penyedia pelayanan kesehatan dan Puskesmas bahwa pendapatan tahun lalu akan sama dengan
pendapatan untuk tahun 2014. Keuntungannya adalah definisi ini melindungi pihak penyedia
pelayanan dari kebijakan baru atau reformasi, dan menghindari risiko keuangan. Terdapat
keberagaman dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan (lihat gambar dibawah), namun alasan untuk
hal ini mungkin tidak ada hubungannya dengan status kesehatan itu sendiri melainkan disebabkan
oleh cakupan asuransi atau harapan pengguna.
Apa yang tidak dapat dihasilkan oleh definisi ini? Definisi ini tidak memberikan dasar yang adil
untuk distribusi uang antara yang kaya dan yang miskin, antara yang sakit dan yang sehat. Definisi
ini juga tidak selalu memberikan insentif bagi semua penyedia pelayanan untuk mengelola
perawatan dengan lebih baik, menekan biaya, dan menyediakan input perawatan yang hemat
biaya. Terakhir, definisi ini juga tidak memberikan insentif apapun untuk mencari dan mendaftarkan
pasien, yang sebenarnya meningkatkan daya tanggap dan distribusi penyedia pelayanan kesehatan
secara keseluruhan.
Definisi ini melindungi pihak penyedia pelayanan kesehatan di perkotaan dengan tingkat
pemanfaatan yang tinggi, namun definisi ini akan menekan pendapatan puskesmas dengan
kunjungan pasien yang sedikit, terutama di pedesaan.
2
Medical Claim (National & Provinces): OP & IP 2010
Risiko Biaya Klaim (PMPM) RJTL & RITL by propinsi
2,7 hari
DKI JKT
2,0
DIY
1,4
1,3
1,2
1,1
Bali
JaTim
SulSel
JaTeng
1,0
1,0
0,9
0,9
0,8
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,5
0,5
0,5
0,4
0,4
0,4
0,4
0,3
0,3
SumUt
SulBar
SulUt
SulSel
Lampung
KalSel
JaBar
KalTim
NAD
Gorontalo
Jambi
Banten
SulTengah
KalBar
Kep. Riau
Riau
Bengkulu
Kep. BaBel
NTB
Papua
KalTeng
IrjaBar
NTT
MalUtara
SulTeng
Maluku
SulBar
0,2
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Claim Risiks
Estimasi Klaim
MPMP (Rp)
NASIONAL
1.00
DKI JKT
2.66
26.884
71.524
DIY
2.04
54.768
Bali
1.40
37.743
JaTim
1.32
35.410
SulSel
1.18
31.969
JaTeng
1.12
30.040
SumUt
0.96
25.900
SulBar
0.95
25.608
SulUt
0.92
24.697
SulSel
0.88
23.633
Lampung
0.79
21.132
KalSel
0.75
20.083
JaBar
0.73
19.633
KalTim
0.69
18.608
NAD
0.68
18.212
Gorontalo
0.66
17.742
Jambi
0.62
17.616
Banten
0.62
16.595
SulTengah
0.60
16.260
KalBar
0.57
15.355
Kep. Riau
0.57
15.233
Riau
0.56
15.049
Bengkulu
0.55
14.825
Kep. BaBel
0.54
14.425
NTB
0.52
13.849
Papua
0.45
12.221
KalTeng
0.44
11.917
IrjaBar
0.44
11.826
NTT
0.43
11.548
MalUtara
0.41
10.919
SulTeng
0.34
9.142
Maluku
0.33
8.855
SulBar
0.21
5.527
3,0
Walaupun reformasi ditujukan untuk mendistribusikan ulang sumber daya dari yang kaya ke yang
miskin dan dari perkotaan ke pedesaan, reformasi ini akan gagal pada tingkat paket pelayanan
kesehatan dasar. Tenaga pelayanan kesehatan tidak akan tertarik untuk pindah. Lulusan baru tidak
akan mau meninggalkan Jakarta atau kota-kota lainnya. Hal ini hanya seperti apa yang telah terjadi
selama ini, sehingga timbul pertanyaan: buat apa ada reformasi?
Para kritikus mungkin beralasan bahwa masih akan ada penyesuaian untuk penempatan kotadesa, untuk case-mix peserta tertentu, dan mungkin faktor-faktor lainnya seperti tingkat kemiskinan
secara keseluruhan. Hal ini akan membantu, namun penyesuaian tidak akan cukup apabila kapitasi
tidak tepat sejak awalnya.
Pertimbangan Lain
Di samping perhitungan kapitasi, pemerintah perlu mengatasi masalah-masalah penting lainnya.
Salah satunya mengadakan kontrak dengan sektor swasta dan menarik kembali para dokter yang
berpraktek ganda, yang meninggalkan puskesmas pada siang hari untuk mengejar pasien pribadi.
Selama sebagian besar dokter melihat tarif dasar tidak memadai untuk menarik sektor swasta,
dokter pemerintah akan terus berpraktek sebagai penyedia pelayanan kesehatan pribadi pada sore
3
hari. Pendekatan “kapitasi” yang diusulkan ini hanya akan memperkuat pola-pola perilaku yang
menyimpang.
Ada pula masalah paket pelayanan. Para pengamat memperkirakan hanya 30 persen populasi yang
akan memiliki akses terhadap paket pelayanan pada tahun 2014. Salah satu solusinya adalah
memberikan pilihan kepada penyedia pelayanan untuk membentuk jaringan baru yang memberikan
paket pelayanan, atau memberikan pembayaran kapitasi kepada rumah sakit di daerah kabupaten/
kota untuk memungkinkan mereka menghasilkan cara baru dalam memberikan pelayanan,
mungkin melalui fasilitas rumah sakit yang sudah ada. Masing-masing pilihan ini memberikan
harapan untuk pemberian pelayanan kesehatan lebih dari 30 persen. Alokasi kapitasi yang benar
akan dapat memacu perubahan ini. Namun, tanpa pembayaran kapitasi yang benar, tidak mungkin
ada inovasi dalam pemberian pelayanan paket kesehatan dasar (PHC). Dan, hingga saat ini
Kementerian Kesehatan belum menunjukkan minat untuk menyimpang dari struktur puskesmas
tradisional.
Terakhir, ada isu pengaturan “tarif dasar ” di berbagai perusahaan asuransi. PT Askes dan Jamsostek
secara historis memiliki pengeluaran per kapita jauh lebih tinggi dari Jamsostek, namun memiliki
rata-rata tarif dasar per kapita sebesar Rp. 6.500,00 dan Rp. 6.300,00 (berdasarkan negosiasi oleh
daerah). Haruskah semua dana tersebut dikumpulkan pada Januari 2104, atau apakah pembuat
kebijakan perlu menetapkan tarif dasar yang berbeda untuk setiap jenis peserta. Jika pilihannya
yang pertama, artinya mungkin hanya ada sedikit redistribusi dana dari yang kaya ke yang miskin
dan dari kota ke desa.
Dan pada akhirnya, penghitungan fee-for-service with a cap (pembayaran tunai dengan batasan)
hanya akan terpaku pada masa lalu, tidak mungkin dapat menghasilkan sistem pemberian
pelayanan kesehatan yang lebih inovatif serta masa depan yang lebih adil bagi semua rakyat
Indonesia. Pilihan-pilihan lain perlu dipertimbangkan sebelum terlambat. Mungkin tidak cukup
hanya dengan melakukan penyesuaian dan penyatuan tarif dasar pada tanggal 1 Januari.
Solusi Praktis
Salah satu opsi yang mungkin bisa diambil adalah dengan mengembangkan tarif pembayaran
campuran selama beberapa tahun, misalnya 3-5 tahun, yaitu kombinasi dari pendapatan secara
historis dan pembayaran kapitasi yang benar. Hal ini akan menggerakkan dana ke arah yang tepat,
selain itu juga memungkinkan penyedia pelayanan untuk menyesuaikan diri dan merespon insentif
baru yang dikembangkan oleh BPJS. Tujuan sosial dari reformasi BPJS mungkin tertunda namun
tidak hilang, dan dampak sosialnya mungkin menjadi lebih evolusioner, bukan revolusioner. Hal
ini mungkin menjadi poin penting dalam tahun pemilihan umum.
4
NOTA
#2 KEBIJAKAN
Indonesia Harus Mengembangkan
Grouper Sendiri: Penyempurnaan
INA CBGs untuk Rumah Sakit3
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan
Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-undang
SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Undang-undang BPJS) yang meliputi lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal
2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi
badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program
kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang
dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS kesehatan.
Penyatuan skema tersebut diharapkan menjadikan sistem pembayaran lebih efektif dan
memberikan dampak yang lebih besar. Pada saat yang sama, model pembayar tunggal menempatkan
tanggung jawab besar pada pembeli untuk mengembangkan sistem yang tepat dan adil. Indonesia
secara berani telah menerapkan sistem pembayaran pra-upaya berbasis kasus (case-based) yang
baru untuk Jamkesmas beberapa tahun lalu yang disebut INA CBGs (Indonesia Case-Based Groups).
Langkah berani pemerintah menetapkan sistem pembayaran yang baik untuk mendorong efisensi
teknis yang lebih besar patut dipuji.
Akan tetapi pertemuan-pertemuan dan laporan terakhir menunjukkan bahwa perangkat lunak
(software) yang digunakan untuk menetapkan tarif final tersebut perlu disempurnakan dalam
beberapa tahun ke depan, terutama karena software tersebut akan diperluas ke penyedia layanan
kesehatan di bawah BPJS. Mengapa? Pada awalnya, software ini dikembangkan oleh sebuah
perusahaan konsultan di luar Indonesia. Namun kemudian terdapat indikasi yang menunjukkan
bahwa software tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pengalaman tindakan klinis dan struktur
biaya penyediaan layanan kesehatan di Indonesia. CBG di negara manapun di dunia harus
3
Nota Kebijakan ini tulis oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui program
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu
yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini mungkin telah berubah, walau pun pemerintah masih tetap bergantung
pada kontrak pihak luar untuk pengembangan dan penyempurnaan CBGs
6
dikembangkan berdasarkan tindakan klinis dan struktur biaya di negara yang bersangkutan.
Australia, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lainnya seperti Thailand, Kyrgyzstan, dan
Polandia kini menggunakan beberapa varian CBGs. Akan tetapi, bagi negara-negara yang membeli
software dari luar negeri, seringkali berujung pada kegagalan. Contohnya di Taiwan, Slovenia, dan
(mungkin) Indonesia yang menjadi contoh berikutnya.
Saat ini grouper Indonesia memiliki lebih dari seribu kategori dan tiga tingkat keparahan, sangat
mirip dengan grouper yang dapat diunduh dari website program Medicare Pemerintah Amerika
Serikat. Hingga saat ini tidak ada dokumentasi yang disediakan konsultan yang menunjukkan
bagaimana data klinis dan struktur biaya setempat digunakan untuk mengembangkan software
ini.
Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?
Bagaimanapun juga, PPJK telah melakukan semua yang dapat dilakukan hingga saat ini dan telah
melakukan pekerjaan yang baik, tetapi untuk ke depannya akan sangat bijaksana jika PPJK dan
BPJS mengikuti sejumlah langkah yang harus dilakukan dalam beberapa bulan ke depan. Contohnya,
apakah sudah ada evaluasi penggunaan INA CBGs hingga saat ini? Apakah tujuan sistem semula
telah tercapai? Apa yang menjadi tantangannya? Apakah rawat inap (admissions) dan rawat inap
ulang (re-admissions) telah meningkat? Apakah rata-rata lama menginap telah berubah? Apakah
perilaku rumah sakit telah berubah dan apa perubahannya? Apakah pemerintah telah menghemat
dana dari penggunaan INA CBGs? Ini adalah isu-isu kunci dasar untuk Kementerian Kesehatan,
BPJS, dan Kementerian Keuangan yang (akhirnya) akan membayar tagihan pada tahun-tahun
mendatang.
Sejumlah pertanyaan penting mengemuka. Contohnya, sistem saat ini memiliki multiple base rate
(tarif dasar ganda), dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada awalnya juga menggunakan
multiple base rate, namun lambat laun meninggalkannya dan beralih ke single base rate (tarif dasar
tunggal). Mengapa? Jawabannya sangat mudah: keadilan. Dalam single base rate artinya pihak
penyedia yang memperlakukan kasus serupa menerima tarif yang sama. Hal ini mendorong
efisiensi dan adopsi inovasi serta praktek terbaik (best practice).
Masalah kedua adalah pengkodean. Software di negara manapun menggunakan kode-kode ICD
yang terdiri lebih dari 10,000. Di Indonesia, tidak sampai 10 persen dari semua kode kini digunakan.
Penggunaan sejumlah kecil kode akan membatasi ketepatan dalam pembayaran dan dalam
mengembangkan penjaminan mutu terhadap rawat inap (admission), rawat inap ulang (readmission),
dan perbaikan pelayanan yang buruk selama pasien menginap.
Bagaimana pengkodean berubah seiring waktu? Di kebanyakan negara, praktik pengkodean
berubah seiring waktu untuk mendapatkan tarif penggantian yang lebih menguntungkan. Ada
yang dikenal sebagai “upcoding”, dan perilaku ini harus dilacak dan ditangani melalui perbaruan
software dan melalui sanksi administratif oleh pembeli. BPJS perlu mengetahui apa yang telah
terjadi sejak grouper konsultan tersebut diterapkan.
Masalah ketiga adalah peran – sekarang dan masa depan – dari protokol klinis dalam menetapkan
tarif dan menyempurnakan software. Banyak negara yang berusaha untuk mengintegrasikan
protokol dan tarif ternyata menemukan kegagalan. Mengapa? Protokol perlu waktu lama untuk
berkembang, dan cepat usang. Protokol adalah pedoman dan tidak mungkin menentukan kepu-
7
tusan pengobatan untuk setiap pasien, sehingga memberikan ruang untuk melakukan penilaian
klinis (clinical judgement). Selain itu, protokol dikembangkan untuk pasien yang ideal, bukan pasien
dengan komplikasi dan komorbiditas (comorbidities). Terakhir, penghitungan biaya untuk protokol
tidak selalu tepat dan juga memakan waktu. Negara-negara seperti Cina, Bulgaria,Vietnam, dan
Slovania telah membuktikan bahwa kedua pendekatan tersebut sebaiknya dipisahkan dan tidak
digabungkan.
Kemudian, software di semua negara SELALU disimulasikan dengan pendapatan penyedia layanan
sebelum diterapkan, sehingga dapat memasikan bahwa tarif tidak berdampak negatif terhadap
struktur biaya yang diperlukan untuk perawatan yang memadai. Latihan simulasi sering membantu
dalam memperbaiki dan meningkatkan tarif serta mengidentifikasi kesenjangan dalam memprediksi
penggunaan sumber daya sebagaimana yang harus dilakukan oleh software.
Begitu tarif ditetapkan, BPJS harus menjangkau komunitas klinis dan komunitas kualitas perawatan.
Perlu ada reformasi pengembangan indikator kualitas dan indikator pemanfaatan, termasuk ratarata lama menginap, perubahan dalam rawat inap (admission) per kapita, rawat inap (admissions)
yang tidak perlu, discharge yang prematur, rawat inap ulang (readmissions) lebih dari 30/60/90
hari, perubahan dalam indeks case-mix dari waktu ke waktu, dan pola rujukan pasca akut. Suatu
format (template) akuntansi baru bagi pihak penyedia layanan mungkin diperlukan, atau yang ada
saat ini mungkin perlu dilembagakan. Kegagalan untuk mematuhi informasi pelaporan dapat
dijadikan alasan tidak dilakukannya pembayaran rawat inap (admission) oleh BPJS. Ini merupakan
pasal yang mudah untuk dicantumkan dalam kontrak.
Apa yang Harus Dilakukan tahun 2014 dan Setelahnya
Kedepannya, BPJS perlu mengambil langkah untuk peningkatan kapasitas, data, analisis, dan
penyempurnaan yang menyasar persoalan diatas. BPJS perlu mengembangkan strategi yang cukup
rinci untuk pengembangan kapasitas dalam 2-3 tahun ke depan di bidang data, pengembangan
software grouper yang lebih baik, pengembangan tim ahli internal terkait dengan pengkodean dan
kebutuhan teknologi informasi, penyempurnaan case-mix, penghitungan biaya, mutu, pemutakhiran, dan pemantauan di berbagai tingkatan sistem (pusat, provinsi, kabupaten/kota, rumah
sakit, pelayanan kesehatan dasar).
Program kemitraan dapat dibentuk melalui bekerjasama dengan satu atau lebih universitas di
Australia dan negara lain seperti Thailand, Polandia, dan Amerika Serikat, untuk memungkinkan
para ahli dari Indonesia bekerja di Australia dan negara lain selama 6-9 bulan dalam kerangka
kemitraan dengan institusi di sektor publik dan kalangan akademisi yang melakukan pembayaran
rumah sakit, atau bekerja di bidang utama yang terkait dengan pembayaran seperti pengembangan
grouper, pembiayaan, analisis dampak, pengembangan kerangka regulasi, dan sistem pengkodean
baru. Kegiatan lainnya dalam kemitraan ini termasuk pelatihan di Indonesia yang dilaksanakan
oleh para ahli dari Australia dan negara lainnya tentang topik khusus yang berhubungan dengan
INA CBGs, dan studi banding ke Australia bagi pejabat Indonesia guna melihat proses pembayaran
dan bertemu para ahli disana.
8
NOTA
#3 KEBIJAKAN
Organisasi Asuransi Sosial Modern
Tidak Memerlukan Pengaturan
Aset dan Kewajiban4
Perusahaan asuransi milik negara, PT. JAMSOSTEK memperoleh pendapatan Rp. 4,7 triliun (US$484
juta) dari investasinya pada kuartal pertama 2013, memperbesar akumulasi dana investasinya
menjadi Rp 140 triliun per 31 Maret. Sebagian dari dana tersebut, akan digunakan PT. JAMSOSTEK
untuk membangun sebuah rumah sakit di Jakarta Utara untuk para pegawainya. PT. JAMSOSTEK
juga semakin meningkatkan investasinya dalam obligasi perusahaan swasta sebagai suatu cara
untuk menghasilkan pendapatan jangka pendek yang lebih besar.5,6
Awal tahun ini, pemerintah menyusun rancangan peraturan Aset dan Kewajiban. Kunci dalam
peraturan baru yang diusulkan ini adalah penggunaan aset dan kewajiban perusahaan asuransi
“swasta” (tapi bentuknya BUMN) PT ASKES dan PT JAMSOSTEK. Ini merupakan bagian dari proses
reformasi yang lebih besar. Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial
dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU
BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara
BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara
jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan
oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah
ke dalam BPJS Kesehatan.
4
Ini adalah Nota Kebijakan #3, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk
mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan kunjungi www.aiphss.org Penulis mengucapkan terimakasih
karena beberapa ide dalam Nota Kebijakan ini diperoleh dari percakapan sebelumnya dengan Yves Gerard, Asian
Development Bank dan Mitch Wiener, World Bank. Akan tetapi, jika ada kekeliruan yang muncul dalam tulisan ini adalah
sepenuhnya tanggung jawab penulis. Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi
saat ini telah berubah. Pemerintah telah merubah cara berpikir tentang pengelolaan aset dan kewajiban BPJS serta
penyatuan aset (pooling assets) di bawah BPJS.
5
6
Jakarta Post, “Jamsostek makes Rp 4.7t in Q1”, Page 13, April 23, 2013.
Sekitar 30% dana sisa berasal dari asuransi untuk pelayanan kesehatan, berdasarkan hasil diskusi dengan ahli-ahli
Jamsostek.
10
Jika peraturan tersebut dibaca untuk pertama kali, kesan yang muncul agak menakutkan. Peraturan
yang diusulkan memiliki potensi yang membahayakan karena peraturan ini nampaknya membagi
dana BPJS menjadi dua kelompok – yaitu dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan dana non
Penerima Bantuan Iuran. Aset dan Kewajiban serta penggunaan dana surplus setiap kelompok
akan ditangani secara terpisah, demikian pula investasi dana sisa dalam masing-masing kelompok
dana.
Dengan melakukan hal ini, dana dapat secara efektif membatasi pengeluaran untuk orang kaya
dan orang miskin pada tingkat historis. Tingkat pengeluaran per kapita untuk PBI akan didorong
oleh kontribusi pemerintah, dan tingkat pengeluaran untuk non-PBI didorong oleh kontribusi
perusahaan/majikan dan karyawan. Akibatnya, akan ada dua dana terpisah, satu ditetapkan oleh
pemerintah (seperti sekarang) dan satu lagi ditentukan berdasarkan premi.
Pada saat yang sama, harus disampaikan pula bahwa UU SJSN melarang subsidi silang antar dana,
namun tidak melarang subsidi silang di antara kelompok-kelompok ini. Dan ini hal yang penting.
Inti dari asuransi kesehatan sosial adalah untuk menyatukan yang kaya dan yang miskin, yang
sehat dan yang sakit. Peraturan ini memisahkan kelompok-kelompok tersebut dan memberikan
pengelolaan dana secara terpisah. Jika diambil ekstrimnya, peraturan ini dapat menciptakan model
pembayar tunggal seperti di Vietnam dengan beberapa kelompok berbeda dalam satu dana.
Vietnam memiliki enam kelompok penduduk yang berbeda dan 60 propinsi yang masing-masing
memiliki dana provinsi, jadi total ada 360 kelompok risiko di bawah “model pembayar tunggal”
nya, di mana istilah “pembayar tunggal” hanya sekedar nama. Atau, bahkan mirip dengan situasi
di Thailand di mana tiga kelompok yang berbeda memiliki berbagai tingkat pendanaan yang
mereka kuasai, tanpa memperhatikan kebutuhannya. Sistem di Thailand dibagi menjadi PNS,
swasta, asuransi pekerja formal, dan kelompok lainnya. Variasi skema dalam hal manfaat,
pemanfaatan, akses, insentif pembayaran, dan obat-obatan yang tersedia cukup signifikan. Jadi
peraturan ini berpotensi mengganti model pembayar tunggal di Indonesia ke model seperti di
Thailand, suatu model yang kurang disukai karena adanya ketidakadilan dan inefisiensi serta
berbagai insentif yang berbeda. Undang-undang BPJS memungkinkan penyatuan penggunaan
dana, namun, juga memungkinkan pemerintah menghindari keterbatasan sektor kesehatan seperti
Thailand yang seakan menjadi “noda hitam” dalam serangkaian langkah reformasi progresif untuk
mencapai cakupan kesehatan semesta selama 10 tahun terakhir.
Tentu saja pendekatan yang lebih baik adalah dengan tidak memisahkan dana tersebut dalam hal
penggunaan, melainkan mempertahankan pengelolaan dana ini di bawah satu akun gabungan,
seperti yang dilakukan di sebagian besar negara Eropa Barat (Inggris, Perancis, Swedia) atau dalam
satu akun di tingkat provinsi (Kanada, Spanyol, Australia). Apakah hal ini bisa dilakukan sekaligus?
Mungkin tidak, karena subsidi silang mungkin tetap signifikan. Sebaliknya, pendekatan itu bisa
dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun, sebagaimana dilakukan di Kyrgzstan, sebuah
negara miskin di Asia Tengah dengan penduduk mayoritas Muslim, yang menyatukan dana selama
lebih dari 10 tahun, dimulai pada 1990-an. Di Cina, dana dari beberapa perusahaan asuransi akan
dikumpulkan selama jangka waktu yang sama, dan tidak mengharapkan untuk mencapai
pengumpulan penuh sebagaimana yang dimaksud hingga tahun 2020.
Pada tingkatan berikutnya yang lebih luas, mengapa organisasi asuransi sosial yang baru ini
bahkan mempertimbangkan pengelolaan dana surplus untuk investasi (swasta)? Di organisasiorganisasi asuransi sosial modern di Eropa, seperti di Denmark, Belanda, Jerman, dan Inggris, aset
dalam dana kesehatan akan minimal dan biaya harus ditetapkan semata-mata sebagai persentase
atas kontribusi. BPJS, sebagai badan dana asuransi sosial bukanlah organisasi yang berorientasi
11
memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya, akan tetapi merupakan organisasi sosial dan
“publik” sama seperti di negara-negara Eropa atau Kanada. Biaya administrasi pengelolaan dana
kesehatan adalah untuk pengumpulan kontribusi dan pembayaran klaim.
Organisasi asuransi sosial bukanlah perusahaan swasta dengan upaya untuk investasi dan bukan
juga badan investasi terpisah. Kelebihan dana harus dikembalikan ke Kas Negara. Kebanyakan
pemerintah akan memiliki dana cadangan pada akuntansi sektor publik, namun bukan untuk
investasi swasta. Bahkan Undang-undang jaminan kesehatan baru era Obama telah mengembangkan
ketentuan yang sama di Amerika Serikat
Jika kelebihan dana tersimpan sebagai dana sisa dalam sumber keuangan organisasi asuransi
sosial, maka ada dua kemungkinan skenario yang harus dipertimbangkan oleh Presiden (pihak
yang harus mendapat laporan resmi dari BPJS). Salah satu kemungkinan adalah bahwa klaim tidak
dibayar untuk layanan sebagaimana mestinya. Ini bisa berarti kurangnya akses yang memadai atau
kualitas layanan kesehatan yang buruk, dan mungkin harus diperiksa atau bahkan diselidiki.
Kemungkinan kedua adalah bahwa tingkat kontribusi terlalu tinggi. Jika kemungkinan kedua yang
terjadi, maka tingkat kontribusi dapat diturunkan. Tentu saja, kontribusi dari gaji – sebagaimana
dijelaskan dalam undang-undang – merupakan alat pencegah yang ampuh terhadap pembentukan
modal sektor swasta, terhadap pembentukan tenaga kerja sektor swasta, dan terhadap informalisasi
yang lebih besar dalam perekonomian seperti yang ditemukan oleh Wagstaff (2010, 2012) dan yang
lainnya dalam beberapa dekade terakhir.
Pilihan ketiga dan terakhir adalah dengan menggunakan dana tersebut untuk memperluas cakupan
ke pihak yang tidak diasuransikan, atau mensubsidi sebagian premi di tahun pertama untuk
mendorong sektor informal mendaftar guna mendapatkan cakupan pelayanan. Hal ini
mengakibatkan investasi dalam sumber daya manusia di Indonesia, yang nantinya menuai ‘dividen’
dalam bentuk keuntungan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi makro. Bisa jadi hal ini adalah
pendekatan yang lebih disukai dalam masalah kelebihan dana tersebut.
Kelebihan dana bisa menimbulkan bahaya moral (moral hazard), korupsi, atau penggunaan dana
yang berbeda dengan tujuan reformasi BPJS. Salah satu contoh yang mencolok adalah janji untuk
membangun Rumah sakit sendiri dengan sistem tertutup bagi para pekerja PT. JAMSOSTEK di
Jakarta Utara, yang mana hal ini bertentangan dengan Undang-undang BPJS yang baru.
Apakah ada yang menginginkan surplus besar dalam Dana BPJS, yang dapat menurunkan
pertumbuhan ekonomi? Surplus yang sangat besar akan merubah sifat dari Dana tersebut, dan
menimbulkan risiko penyalahgunaan aset. Akan lebih masuk akal untuk memiliki beberapa jenis
aturan mengenai akumulasi - jika surplus terakumulasi lebih dari persentase tertentu dari klaim
yang diharapkan, maka kelebihannya harus dikembalikan ke Kas Negara, atau (pilihan yang
mungkin lebih disukai) tingkat fee harus disesuaikan (diturunkan) di tahun-tahun mendatang.
Akhirnya, setiap kelebihan dana sisa yang tidak berlebihan dan bersifat jangka pendek harus
diinvestasikan dengan bijaksana, dalam surat berharga yang dikeluarkan pemerintah Republik
Indonesia atau surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia. Harapannya, tidak ada obligasi
perusahaan swasta di BPJS.
12
NOTA
#4 KEBIJAKAN
Sistem Informasi dan BPJS:
Langkah Kunci Selanjutnya dan
Kapan?7
Apa yang menjadi langkah penting pertama untuk integrasi asuransi? Negara-negara yang
telah melakukannya, seperti Korea Selatan atau Taiwan atau Kyrgzstan, masing-masing
akan setuju kalau langkah penting pertama adalah infrastruktur informasi dasar. Tanpa
langkah pertama yang penting dan mendasar ini, penyatuan, migrasi informasi, kemampuan
untuk menggabungkan banyak hal menjadi satu akan gagal.
Indonesia berada di tengah-tengah jalan menuju integrasi asuransi. Pemerintah Indonesia telah
memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus
terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan
2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi
semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program
lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan.
Dari mana pembangunan infrastruktur teknologi informasi untuk BPJS dimulai? Pemerintah
telah mengambil langkah-langkah penting dan baik yang perlu juga kita uraikan berikut ini.
Komponen Utama Sistem Kesehatan (Key Building Blocks)
Pertama dan yang terpenting adalah, database pintar (smart database) akan dibangun
berdasarkan Nomor Induk Kependudukan nasional/NIK (National Unique Identifier). Hal ini
7
Ini adalah Nota Kebijakan #4, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), dan oleh
Anis Fuad dibawah pendanaan Joint Learning Network. Untuk mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan
kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini
telah berubah. Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan kamus data dan membangun sistem manajemen informasi
BPJS, walau pun beberapa masalah tetap ada, misalnya pelacakan obat.
14
untuk memastikan bahwa orang yang sama tidak akan dihitung dua kali ketika berpindah
ke kategori atau lokasi lain. Untuk dapat menyesuaikan klaim terhadap kontribusi, dan
pada akhirnya membuat analisis longitudinal biaya, maka diperlukan NIK “pintar” yang
menggabungkan beberapa infomasi dasar. Hal ini juga akan sangat memudahkan penentuan kelayakan dan administrasi ketentuan mengenai penundaan, interupsi dan pemulihan
(reinstatement). Penilaian risiko yang tepat dalam hal keadilan dan efisiensi serta pengeluaran fiskal akan memerlukan kapasitas BPJS untuk menghasilkan agregat kustom (custom
aggregate) untuk risiko khusus.
NIK perlu dikoordinasikan dengan setiap sistem yang akan digunakan untuk tujuan penagihan, pengumpulan premi, atau pengumpulan statistik medis/administrasi oleh BPJS.
Karena database NIK sedang dibangun, akan relatif mudah untuk membuat tautan NIK
dari istri/suami dan orang tua serta anak-anak yang kemungkinan besar berbagi risiko
yang sama. Faktor genetika menjadi kian penting baik untuk keperluan diagnostik dan
pemilihan obat yang optimal yang dapat meningkatkan hasil kesehatan dengan biaya lebih
rendah. Hal ini juga akan memudahkan penelitian yang memfokuskan pada studi longitudinal efek genetika.
NIK sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Dalam Negeri diperkirakan siap pada 1
Januari 2014, tapi mungkinkah hal itu terjadi? Isu-isu yang berkembang saat ini menunjukkan
bahwa rencana tersebut tidak akan siap pada waktu yang ditargetkan. Jika pemberlakukan
NIK nasional tidak siap pada Januari 2014, maka alternatif lain perlu dibuat dan segera
dimulai. Konsolidasi database keanggotaan di antara masing-masing skema (minimal
Askes, Jamsostek dan Jamkesmas) yang dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam
Negeri harus segera disiapkan. PT Askes dan PT Jamsostek telah menandatangani nota
kesepahaman (MOU) penggunaan NIK tersebut. Tahap yang lebih menantang adalah pada
konsolidasi database Jamkesmas dengan BPS (Biro Pusat Statistik), dan TNP2K(Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di bawah pimpinan Wakil Presiden).
Pada tahap kedua, masing-masing penyedia layanan kesehatan– rumah sakit dan Puskesmas – perlu memiliki pengenal unik pula. Untungnya, Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan (BUK) telah menyediakan pendaftaran rumah sakit baru berbasiskan web.
Sampai saat ini (Mei 2013), sekitar 2.103 telah terdaftar. Semua rumah sakit telah menerima
ID selama proses pengajuan di dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi. Pusat Data
dan Informasi juga telah menyimpan database Puskesmas termasuk ID nya. Akan tetapi,
database nasional apotek belum tersedia untuk publik. Proses pemberian ijin apotek ada
dalam kewenangan dinas kesehatan kabupaten/kota, namun setiap perijinan baru harus
dilaporkan ke tingkat pusat. Menurut database pendaftaran rumah sakit (diperbarui Mei
2013), hanya 1.180 rumah sakit yang telah terakreditasi. Untuk yang belum terakreditasi,
apakah mereka akan menjadi bagian layanan penyedia yang dikontrak BPJS? Apakah akan
ada persoalan khusus disini?
Pada tahap ketiga, kamus data. Bagaimana pihak penyedia dan pembayar mendefinisikan
istilah mereka, dan menyepakati bahasa mereka? Jika mereka tidak membuat kamus data,
ibaratnya seseorang berbicara dalam bahasa Inggris sementara yang lainnya berbicara
15
dalam Bahasa Indonesia. Ada banyak fungsi dan interaksi yang harus dilaksanakan masingmasing pihak. Artinya, kamus data adalah platform dasar untuk komunikasi, dan cara
penting untuk menghindari risiko fiskal dan masalah kualitas, baik untuk pihak pembeli
maupun penyedia.
Penyedia:
Rumah sakit
Klinik
Dokter
Kelompok Medis
Penyedia lainnya
Pembayar:
BATAS
PEMBAYAR-PENYEDIA
Asuransi kesehatan
Asuransi sosial
Otoritas kesehatan
Pemerintah daerah
Pembeli lainnya
KAMUS DATA KESEHATAN
Proses kontrak kamus data di bawah Kementerian Kesehatan baru-baru ini telah dibatalkan
dan perlu dimulai kembali. Jadwalnya belum pasti, tapi secara realistis sulit untuk
mengharapkan kamus data akan selesai pada tahun 2013. Jika tidak, sekali lagi, diperlukan
rencana cadangan (back-up). Bahkan jika kamus data selesai, perlu ada konsultasi publik,
sosialisasi, dan pelatihan baik untuk pihak pembeli maupun penyedia. Proses terakhir ini
bisa memakan waktu paling sedikit satu tahun.
Pada tahap keempat, pelayanan harus dibayar berdasarkan klaim. Klaim akan berjalan
berdasarkan sistem pengkodean yang disepakati yang berasal dari kamus data. Suatu
ringkasan kepulangan pasien (discharge abstract) standar akan diperlukan untuk pemberian
kode setiap klaim. Berikut ini model dari rumah sakit Australia:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Diagnosis pokok
Diagnosis tambahan (komplikasi dan komorbiditas), hingga 10
Prosedur signifikan
Usia pasien
Status pemisahan (separation status)
Jenis kelamin
Lama menginap
Berat bayi baru lahir ketika masuk rumah sakit (newborn’s admission weight)
Lama kebutuhan akan ventilasi mekanis
Status hari yang sama, dan
Status hukum kesehatan mental
Untuk memudahkan penanganan informasi, diagnosis pokok dan tambahan serta prosedur
yang signifikan diberi kode alphanumerics oleh Manajer Informasi Kesehatan menggunakan
sistem klasifikasi penyakit dan prosedur, ICD-10-AM (Klasifikasi Statistik Internasional
Penyakit dan Masalah Kesehatan. Modifikasi Australia )
16
Indonesia, melalui PT Askes dan Jamkesmas, juga telah mengembangkan lembar pengkodean standar. Namun, hingga saat ini, hanya 800 kode dari 14.000 kode ICD yang benarbenar digunakan. Di beberapa rumah sakit pengkodean hanya terbatas di bawah 200
kode. Hal ini bisa menjadi masalah dalam menelusuri penyakit-penyakit tidak menular dan
mengembangkan tingkat kewajaran pembayaran serta menyusun sistem penelusuran
untuk menyusun profil kualitas dan penjaminan mutu.
Seiring dengan pengkodean klaim, BPJS akan memerlukan informasi biaya standar dan
rutin dari pihak penyedia layanan. Suatu tanda keberhasilan sistem pembayaran di Eropa
adalah adanya format baku (template) standar biaya dan pelaporan rutin informasi biaya
sebagai bagian dari kontrak pembayaran. Di Indonesia, memang ada template, namun
pelaporan masih belum merupakan bagian dari kontrak. Ini HARUS berubah mulai tahun
2014 dalam kontrak yang ditandatangani pada tahun 2013 ini.
Dan bagaimana dengan Puskesmas? Pada saat ini, sebagian besar Puskesmas TIDAK
memiliki sistem data untuk tingkat individu. Hal ini dapat menghambat upaya untuk
mengembangkan penyesuaian (adjuster) kapitasi yang tepat, sistem pembayaran berbasis
kinerja (pay-for-performance), dan sistem manajemen keuangan, serta upaya menelusuri
rujukan.
Kunjungan ke Rumah Sakit Tersier
Baru-baru ini kami mengunjungi fasilitas kesehatan tersier yang sudah maju di pulau Jawa.
Rumah sakit tersebut memiliki beberapa fitur yang baik yang layak disebutkan - staf
pengkodean yang terlatih (para Manajer Informasi Kesehatan) masing-masing telah mengikuti tiga bulan pelatihan, yang melakukan pengkodean hingga 100 kepulangan pasien
(discharge) setiap hari dengan membuat ringkasan kepulangan pasien (discharge abstract)
yang diberi kode dan dikomputerisasi dan dikirimkan ke Jamkesmas untuk pengajuan
klaim. Tetapi, pengkodean dapat diperlambat dengan rangkaian proses yang harus dilewati,
yaitu pengumpulan, pengkodean, pengindeksan, komputerisasi.
Perangkat lunak (software) rumah sakit dikembangkan secara mengesankan oleh rumah
sakit itu sendiri dan digunakan untuk pembayaran, manajemen dan sistem mutu. Protokol
dikembangkan oleh staf dokter dan perawat, meskipun sampai saat ini hanya sedikit yang
dikembangkan. Berdasarkan pengalaman, hal ini terjadi karena pengambangan protokol
menyita waktu dan tenaga.
Sisi kekurangannya, rumah sakit tersebut hanya menggunakan 800 kode dari 14.000 kode
ICD-10 yang mungkin bisa digunakan, artinya sulit untuk menetapkan profil pasien dengan
kasus komplikasi dan komorbiditas. Kedua – dan isu yang berkaitan – adalah bahwa
software di rumah sakit tersebut berbeda dengan di rumah sakit-rumah sakit lainnya, dan
saat ini tidak ada standar untuk sistem informasi rumah sakit yang dikembangkan oleh
pemerintah pusat. Artinya, jika protokol dikembangkan oleh Pusat, maka protokol ini tidak
akan dapat digunakan oleh rumah sakit dengan sistem software yang tidak kompatibel.
17
Persoalan terakhir adalah kurangnya penggunaan data. Memang mengesankan sekali
melihat bahwa setiap pasien memiliki file yang terkomputerisasi, namun bagaimana data
tersebut digunakan untuk manajemen dan sistem mutu? Saat ini tidak ada, atau sedikit
sekali dimanfaatkan. Manajer sedikit sekali mengetahui perubahan pengkodean, lama
menginap atan bahkan jumlah rawat inap (admission) dan rawat inap ulang (readmission)
dari waktu ke waktu. Bagaikan duduk di tumpukan harta karun informasi, namun tidak
menyadarinya.
Sistem informasi di tingkat pasien merupakan alat yang sangat berguna untuk mendukung
efisiensi pembayaran dan sistem mutu. Data ini juga diperlukan untuk monitoring dan
evaluasi nasional. Namun hal ini hanya akan terjadi bilamana kamus data dan standar
nasional telah dikembangkan, disebarluaskan dan diikuti. Sekalipun hal itu tersedia, perlu
diadakan pelatihan pengelola informasi rumah sakit yang professional bagi pihak pembayar
dan penyedia serta bagi auditor professional untuk memastikan pengkodean dilakukan
dengan benar dan tidak dimanipulasi untuk tingkat penggantian (reimbursement) yang
lebih menguntungkan suatu pihak. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyelaraskan bantuan hibah untuk provinsi guna memulai pelatihan pengkodean professional,
namun hal ini hanya dapat dilakukan bilamana kamus data dan sistem pengkodean sudah
diumumkan dan tersedia.
Kapan dan Apa yang harus Dilakukan?
Singkatnya, pengembangan sistem teknologi informasi sudah berlangsung, namun beberapa
pertanyaan yang masih perlu dijawab:
•
•
•
•
•
Kapan sistem pengenal unik (unique identifier) akan tersedia?
Kapan sistem ID provider akan untuk penyedia layanan publik dan swasta?
Kapan kamus data akan siap digunakan?
Kapan pihak penyedia akan menetapkan kode klaim secara konsisten dan melaporkan biaya?
Kapan data, setelah diperoleh, akan mulai diintegrasikan ke dalam sistem monitoring rutin
bagi Presiden dan Menteri Kesehatan dan semua pemangku kepentingan kunci lainnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Indonesia juga harus menyepakati siapa yang akan
memimpin teknologi informasi/sistem informasi dalam JKN, karena perlunya keterlibatan para
pemangku kepentingan utama termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri,
BPS, TNP2K, dan pemerintah daerah terutama untuk konsolidasi database keanggotaan serta untuk
memastikan kepemilikan proses ini. Dalam pertemuan Pokja terakhir telah diperoleh kemajuan
nyata dengan memutuskan bahwa PT Askes yang akan memimpin dari pihak pembeli dan
Kementerian Kesehatan dari pihak penyedia. Kami menghargai dan mendukung diskusi yang baik
dan resolusi tentang arah ke depannya.
Akan tetapi, solusi untuk sebagian besar pertanyaan di atas tidak akan terjadi lebih cepat dari
tahun 2015, mungkin tahun 2016, dan penggunaan data secara penuh bahkan lebih lama lagi baru
terwujud. Kita tidak boleh melupakan pengalaman global. Di negara-negara OECD, kadang-kadang
memerlukan waktu 5-10 tahun untuk menuai manfaat dari penggunaan informasi secara
menyeluruh. Pada awal abad ini, dua rencana kesehatan masyarakat (HMO) berskala menengah
18
digabungkan di Boston, Massachusetts (AS). Dua organisasi tersebut memerlukan waktu lima
tahun untuk menggabungkan sistem sistem informasi manajemen mereka. Untuk sementara,
mereka menjalankan sistem paralel. Hal ini merupakan pelajaran yang baik untuk Indonesia, bahwa
setelah 1 Januari mungkin Indonesia perlu menjalankan sistem paralel.
Intinya, untuk saat ini, Indonesia harus memutuskan langkah sementara apa yang diperlukan dan
memadai untuk melaksanakan jaminan kesehatan semesta pada 1 Januari 2014.
19
NOTA
#5 KEBIJAKAN
Prinsip-Prinsip Uji Coba (Piloting)
dalam Sektor Kesehatan –
Pengalaman Global8
Piloting (uji coba) bisa dilakukan untuk mempelajari, menguji, mengevaluasi dan menyempurnakan
ide-ide dan model baru pada sektor kesehatan. Di Amerika Serikat, misalnya, ratusan uji coba
dilakukan pada sektor kesehatan dalam satu kesempatan. Uji coba ini dilakukan untuk mengkaji
teknologi baru, sistem pembayaran baru, paket manfaat baru dan sebagainya. Uji coba ternyata
dianggap berguna di negara-negara desentralisasi besar seperti Cina, Brasil, Kazakhstan, Rusia,
dan Amerika Serikat.
Indonesia dan Pokja BPJS serta PPJK kini tengah serius mengkaji uji coba pembayaran di bidang
kesehatan, yaitu kapitasi pelayanan kesehatan dasar dan INA-CBGs, sebagai suatu cara untuk
menguji model pembayaran baru. Beberapa wilayah geografis yang kini tengah dipertimbangkan
adalah Gorontolo, Aceh, Jawa Barat, Lampung, Jakarta. Beberapa prasyarat akan dibutuhkan
seperti:
•
•
•
•
sistem manajemen informasi yang baik;
langkah-langkah penjaminan mutu;
otonomi fasilitas untuk merespons insentif baru; dan,
sistem manajemen keuangan yang baik.
Ada juga beberapa pertanyaan penting yang belum terjawab seperti sektor publik saja atau sektor
publik plus swasta. Akan tetapi, langkah maju yang berani dari PPJK untuk memulai patut dipuji.
Prinsip-prinsip piloting tertentu yang perlu diketahui dari pengalaman global adalah:
1) Harus ada kesepakatan umum secara luas mengenai desain dan tujuan antara daerah uji coba
(pilot area), provinsi dan pemerintah pusat. Contohnya, uji coba untuk memberikan paket
pelayanan kesehatan dasar, atau untuk menguji sistem rujukan baru di semua tingkat pelayanan kesehatan.
8
Ini adalah Nota Kebijakan #5, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strenghtening (AIPHSS). Untuk
mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan
isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah karena BPJS telah diimplementasikan. Namun
demikian, piloting diakui sebagai cara untuk menguji dan menilai reformasi kesehatan di Indonesia.
21
2) Seringkali pemerintah pusat yang pertama kali mengembangkan pedoman uji coba secara
luas, menerbitkan atau mengumumkan permohonan proposal dari daerah setempat dan
mendorong daerah untuk mengirimkan proposal singkat 5-10 halaman yang memuat desain,
tujuan, metode atau pendekatan, kurun waktu, kesepakatan dengan pemimpin setempat,
serta anggaran, berikut rencana pemantauan dan evaluasi.
3) Yang penting, uji coba tidak berdampak negatif terhadap kualitas atau akses, dan harus
mendorong pemberian pelayanan yang lebih hemat biaya.
4) Pemerintah daerah atau penyedia layanan kesehatan yang berminat mengirimkan proposal
dengan tanggal jatuh tempo yang diberikan pemerintah pusat.
5) Pemerintah pusat melalui sebuah komite melakukan peninjauan proposal, mengidentifikasi
pemenang, dan kemudian berkoordinasi dengan kementerian lain yang diperlukan. Contohnya,
beberapa uji coba mungkin memerlukan otonomisasi fasilitas dan hal ini perlu dikoordinasikan
dengan Kementerian Dalam Negeri.
6) Jika lebih dari dua kementerian yang terlibat, maka lembaga yang lebih tinggi harus berkoordinasi dan memberikan persetujuan, misalnya Wakil Presiden. Jika biaya akan meningkat,
maka Menteri Keuangan harus memberikan tinjauan dan persetujuan. Dalam kasus Indonesia,
nota kesepakatan (MoU) sedang dibahas.
7) Uji coba harus dilakukan minimal di 3-5 tempat, untuk menguji salah satu intervensi, karena
kalau uji coba diadakan hanya di satu atau dua tempat, maka tidak dapat “digeneralisasikan”
ke daerah dan situasi lain. Dalam kasus di Indonesia, jumlah ini sedang dipertimbangkan.
8) Harus ada dana hibah kecil dari tingkat pusat untuk melaksanakan program-program ini.
9) Program-program ini harus dijalankan untuk jangka waktu yang memungkinkan pelaksanaan
dan evaluasi, atau minimal 1-2 tahun, namun bisa kurang dari itu. Sedapat mungkin, harus ada
kelompok kontrol, bukan hanya membandingkan antara kelompok sebelum dan kelompok
sesudah uji coba, sehingga mengabaikan prinsip penelitian ilmiah. Dalam kasus Indonesia,
mungkin BPJS dapat menjalankan uji coba, tapi PPJK dapat mengevaluasi uji coba.
10) Setiap uji coba harus dipantau seandainya ada dampak negatif – untuk memperbaiki atau
menghentikan uji coba tersebut.
11) Setiap uji coba harus dievaluasi dalam hal perubahan kualitas, akses, efisiensi dan keadilan.
Evaluasi harus dilakukan oleh beberapa kelompok di luar program ujicoba, dan didanai oleh
tingkat Pusat. Peneliti atau kalangan akademisi adalah evaluator yang baik dan dapat lebih
obyektif dibandingkan penyedia lokal atau pemimpin kebijakan (policy leader).
12) Hasil-hasil harus disosialisasikan dan tersedia di website Kementerian Kesehatan.
Uji coba juga membangun konsensus politik. Seringkali, begitu uji coba di mata para pemimpin
lokal dan konsumen, uji coba tersebut terhenti dan diperluas bahkan sebelum evaluasi dilakukan.
Di lain pihak, kadang uji coba tersebut berhasil, namun secara politis tidak populer. Walaupun
mengecewakan, kita tahu bahwa kesehatan sangatlah pribadi dan jelas dimensi ini tidak dapat
diabaikan.
Secara umum, PPJK patut mendapatkan apresiasi atas langkah maju ini. PPJK dan daerah uji coba
tentu akan membutuhkan pendanaan. Uji coba tidaklah gratis. Anggaran diperlukan untuk:
•
•
•
•
•
22
Mendesain uji coba;
Mengevaluasi dan memodifikasi proposal;
Mengembangkan kesepakatan lintas kementerian dan tingkat pemerintahan;
Melaksanakan, termasuk dana untuk peralatan atau staf baru atau berbagai hal untuk memulai
uji coba;
Memonitor dan mengevaluasi serta mensosialisasikan hasil-hasilnya.
Cakupan Kesehatan Semesta bukanlah upaya satu kali jadi, tetapi merupakan suatu cerita yang
terus berkembang mengenai cakupan dan kinerja sektor kesehatan yang lebih baik, dilihat dari
segi keadilan maupun efisiensi. Uji coba merupakan satu metode yang digunakan oleh beberapa
negara untuk terus memperbarui dan memodernisasi sektor di mana uji coba dilakukan. Indonesia
dapat menjadi pemimpin global dalam hal bagaimana mengujicobakan dan mengintegrasikan
ide-ide dan pendekatan baru ke sektor kesehatan untuk mengimbangi perubahan di bidang
ekonomi, profil penyakit, piramida penduduk yang berubah, perilaku mengakses kesehatan, dan
faktor lainnya yang tengah berkembang.
23
NOTA
#6 KEBIJAKAN
Di mana Indikator
Pemantauannya?9
Tantangan
Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan
Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN)
dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang
meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara
BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan
penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program
kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal
yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan.
Tujuan utama dari reformasi jaminan sosial adalah untuk membangun sistem kesehatan
yang mendukung inisiatif peningkatan kesehatan yang memadai, efisien, berkelanjutan,
berkualitas tinggi, dan memberikan perlindungan finansial. Program Kesehatan harus
menciptakan cakupan kesehatan yang dapat diakses masyarakat miskin maupun tidak
miskin, yang merupakan tujuan keadilan. Program Kesehatan sangat penting terutama
dilihat dari sudut pandang pengentasan kemiskinan karena membantu mencegah orang
jatuh di bawah garis kemiskinan karena beban biaya kesehatan yang begitu tinggi.
Pada saat dikeluarkan, Undang-undang SJSN 2004 tidak didukung oleh sejumlah analisis
atau proyeksi yang kredibel tentang dampak bagi kesehatan atau bagi pengeluaran dan
prioritas fiskal. Selain itu, tidak ada analisis ke depan mengenai kondisi demografis negara,
profil penyakit, kapasitas persediaan (supply), pasar tenaga kerja, dan struktur ekonomi
termasuk parameter penting seperti upah di masa depan, partisipasi pasar tenaga kerja,
9
Nota Kebijakan (Policy Note) #6, ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Penulis
menyampaikan terimakasih kepada Dr. Yunita Nugrahani dari Universitas Indonesia atas komentar nya pada tulisan
awal. Kesalahan yang ada dalam penulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. Untuk salinan Nota Kebijakan
(policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat
penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah menyusun indikator; DJSN dan BPJS telah memiliki “dashboard”.
Namun indikator perlu berubah seiring perbaikan data dan informasi.
25
dan hasil investasi. Dampak pada anggaran pemerintah akan tergantung pada bagaimana
biaya ditanggung bersama di luar premi dasar untuk kelompok penerima bantuan iuran
(PBI). Yang juga tidak kalah pentingnya adalah beban kontribusi kesehatan pada
perusahaan/majikan, pekerja dan wiraswasta termasuk sektor informal. Ini akan mempengaruhi daya saing dengan naiknya biaya produksi pada perusahaan/majikan, dan alokasi
sumber daya, dan dengan demikian berdampak pula terhadap kinerja perekonomian.
Ketidakpastian tentang dampak awal pada kesehatan, keadilan, kualitas, akses, perlindungan finansial, dan biaya, dan evolusinya menandakan bahwa program tersebut - mengingat
ukuran dan ruang lingkupnya yang bersifat nasional - memberikan risiko besar bagi
Pemerintah Indonesia, dan untuk badan usaha serta peserta yang menanggung biaya.
Berbagai proyeksi telah diajukan baru-baru ini, namun perkiraan saja tidak akan dapat
mengendalikan dampak sebenarnya dari program yang akan bervariasi tergantung pada
pengalaman yang muncul. Hal ini terjadi di setiap negara yang menjalankan reformasi
kesehatan. Beberapa dampak terjadi seperti yang diperkirakan sebelumnya, namun setiap
negara menemukan satu “kejutan” atau lebih dan “konsekuensi yang tidak disengaja”
begitu reformasi diimplementasikan. Sebagai contoh, di banyak negara, rawat inap rumah
sakit meningkat tajam. Beberapa peningkatan ini mencerminkan kebutuhan yang belum
terpenuhi, namun dalam kasus lain rawat inap didorong oleh kepentingan pendapatan
pihak penyedia layanan kesehatan. Di Cina, ada isu lainnya: pengenalan asuransi gagal
meningkatkan perlindungan keuangan. Hal ini sangat mengagetkan para pembuat kebijakan, namun juga membuat marah masyarakat dan individu. Hasilnya: hingga saat ini,
“keuntungan politik” (political dividend) untuk memberikan cakupan pelayanan kesehatan
semesta (UHC) belum benar-benar tercapai di Cina.
Selanjutnya, bagaimana hal itu akan berdampak pada komunitas penyedia layanan
kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan? Apakah akan menciptakan tantangan karena
kurangnya sosialisasi? Akankah kartu baru yang menyediakan “layanan gratis” akan
membuat kewalahan profesional kesehatan, sebagaimana terjadi saat ini di Jakarta dengan
skema Kartu Jakarta Sehatnya?
Untuk memastikan manajemen dan tata kelola reformasi, Pemerintah Indonesia memerlukan informasi yang tepat waktu dan akurat. Para pembuat kebijakan memerlukan informasi yang memadai untuk membuat keputusan yang optimal. Program cakupan pelayanan
kesehatan semesta yang baru harus mewujudkan keseimbangan antara memberikan
perlindungan untuk kebutuhan dasar, serta kejadian tak terduga dan sumber daya yang
perlu dimobilisasi, baik pada tahap awal maupun dalam jangka panjang. Tantangan bagi
cakupan kesehatan semesta juga meliputi kesiapan dalam penyediaan sumber daya kesehatan di sektor publik, serta sumber daya sektor swasta yang dapat dimobilisasi dengan
koordinasi yang tepat.
26
Pengembangan Indikator: Koordinasi Horisontal dan Vertikal
Pemerintah perlu mulai melakukan pemantauan dan evaluasi baik secara “horizontal”, yaitu lintas
kementerian di tingkat pusat, dan secara “vertikal” yaitu, antar pemerintahan dari tingkat pusat
ke provinsi dan ke kabupaten. Koordinasi horizontal akan mencakup pengembangan prioritas di
seluruh kementerian dan pemerintahan termasuk Presiden yang mengawasi BPJS.
Horisontal
Masing-masing kementerian atau aktor akan memiliki fokus yang sedikit berbeda sesuai tanggung
jawabnya, dan begitu pula daftar inidikatornya akan akan bervariasi. Misalnya, Kementerian
Keuangan mungkin ingin memonitor unsur-unsur efisiensi dan dampak fiskal seperti:
•
•
•
•
•
•
•
pelayanan kesehatan dasar dan sekunder, sebagai tujuan untuk mempromosikan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dasar;
biaya obat dibandingkan biaya lainnya;
penelusuran perawatan kesehatan spesialis dan pasien rawat jalan dibandingkan pasien rawat
inap, yang tujuannya adalah untuk mengontrol pengunaan pelayanan lembaga yang lebih
mahal yang sebetulnya tidak perlu;
memisahkan biaya untuk penyakit menular dan tidak menular untuk mengantisipasi proyeksi
tarif yang berbeda, karena penyakit menular diharapkan akan lebih terkontrol, sedangkan
penyakit yang disebabkan “gaya hidup” (penyakit tidak menular seperti kardio vascular atau
obesitas) cenderung meningkat;
menelusuri beberapa kategori penyakit yang mungkin menyebabkan biaya tinggi;
aspek-aspek rawat inap seperti tingkat hunian, hari tempat tidur, dan rata-rata lama inap;
biaya administrasi, serta beban penagihan yang dikeluarkan untuk peserta non-miskin dengan
menggunakan persentase ilustrasi.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan mungkin ingin menelusuri jumlah unsur yang lebih luas terkait
dengan akses, keadilan, kualitas, dan perlindungan keuangan.
Sejumlah kementerian akan terlibat dalam reformasi kesehatan termasuk Kementerian Kesehatan,
Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Keuangan, TPN2K, dan lain-lain.
Terakhir, Presiden sendiri akan mempunyai “papan instrument” (dashboard) elektronik indikator
kebijakan kunci yang mungkin meliputi:
•
•
•
•
•
•
•
•
pendaftaran dan pendaftaran ulang;
pemanfaatan pelayanan kesehatan, seperti kunjungan pasien rawat jalan per kapita, dan rawat
inap per kapita;
pendapatan dan pengeluaran sebagai % pendapatan;
perluasan jumlah penyedia layanan/jumlah jaringan;
akses, seperti jumlah fasilitas kerja (dalam radius 10 kilometer dari tempat pasien)
untuk daerah pedesaan, dan waktu tunggu pasien di daerah perkotaan;
kualitas perawatan, seperti jumlah kematian per rawat inap, dan rawat inap ulang dalam waktu
30 hari dan 60 hari;
perlindungan keuangan, seperti pengeluaran langsung, pengeluaran langsung sebagai % dari
pendapatan, dan % dari keluarga miskin; serta,
perubahan tingkat kepuasan pasien.
27
Beberapa indikator ini tidak mudah untuk ditelusuri. Contohnya: pembayaran langsung, mungkin
memerlukan survei panel rumah tangga dan tidak menunjukkan tren naik pada awalnya, sematamata karena orang belum sepenuhnya mengakses layanan. Mungkin indikatornya tidak
menunjukkan ada masalah pada ukuran-ukuran OOP, namun, pada kenyataannya masih banyak
orang-orang mengalami layanan akses yang buruk. Presiden dan pihak berkepentingan lainnya
perlu memeriksa setiap indikator, serta melakukan “triangulasi” seluruh indikator.
Vertikal
Proses vertikal pengembangan indikator monitoring akan meliputi koordinasi dengan proses
serupa dalam mengidentifikasi kebutuhan yang berbeda, namun koordinasi berada di bawah
payung Kemenkes. Hal ini perlu dilakukan untuk beberapa hal seperti:
•
•
•
•
•
•
kebijakan kesehatan;
pembiayaan kesehatan/asuransi kesehatan;
o pengumpulan dana
o penyatuan dana
o pembelian
manajemen kesehatan;
perencanaan investasi;
sistem informasi kesehatan;
mutu.
Contohnya, berkenaan dengan pengadaan – di tingkat nasional perlu memfokuskan pada unsurunsur pemantauan seperti:
•
•
•
•
•
•
•
mengembangkan strategi nasional;
mengembangkan peraturan nasional untuk semua sistem pembayaran pihak penyedia;
obat-obatan untuk program-program vertikal tertentu (TB, vaksin);
pelayanan medis yang diberikan oleh klinik dan lembaga-lembaga tingkat nasional;
investasi modal untuk klinik nasional;
tenaga kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan;
status hukum penyedia layanan.
Sementara itu, tingkat provinsi dan kabupaten perlu memfokuskan pada unsur pemantauan yang
berkaitan dengan:
•
•
•
•
•
•
•
pelaksanaan aturan dan kebijakan nasional;
penyesuaian tarif atau besaran pembayaran berdasarkan biaya input lokal;
kontrak dengan penyedia layanan lokal (kabupaten);
penjaminan mutu pelayanan yang diberikan oleh penyedia layanan setempat (kabupaten, kota
atau provinsi);
pengawasan investasi modal di tingkat daerah (dalam rencana atau pedoman nasional);
kepuasan konsumen dan penyelesaian perselisihan (dinas kabupaten);
proses klaim.
Mungkin ada juga variasi dalam indikator pemantauan relatif di berbagai provinsi mengingat begitu besarnya variasi dalam profil penyakit, perilaku mencari kesehatan, pemanfaatan, fasilitas, dan penyedia layanan di seluruh daerah.
28
Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?
Pihak Kementerian perlu memulai proses identifikasi, menyepakati indikator, pengumpulan
data dasar sebelum 1 Januari, serta perkiraan tingkat perubahan dan dampak yang
diharapkan. Selisih antara dampak yang diharapkan dan kenyataannya setelah reformasi
dimulai dapat digunakan sebagai “bendera tanda bahaya” (flag)untuk mengidentifikasi
aspek yang menyimpang dari pola dampak yang diharapkan. Identifikasi bendera tanda
bahaya ini dapat menjadi langkah pertama yang dapat digunakan oleh para pemimpin
untuk menguji, menyelidiki, dan mengatasi kemungkinan konsekuensi yang tidak
diinginkan dalam reformasi. Bendera ini dapat berwarna merah (“peringatan”), kuning
(“hati-hati”), dan hijau (“sesuai yang diharapkan atau lebih dari yang diharapkan”). Panel
instrument (dashboard) simulasi untuk Presiden disediakan pada gambar berikut ini.
Indikator
Status
Persentase penerima manfaat yang terdaftar (dari penduduk yang memenuhi
persyaratan)
Pendaftaran (netto)
Persentase penerima manfaat yg terdaftar sebelumnya yang terdaftar kembali
Pendaftaran penerima manfaat baru
Jumlah kunjungan rawat jalan per kapita
Jumlah rawat inap per kapita
Rata-rata lama tinggal
Persentase perbedaan pendapatan keseluruhan dan pengeluaran
Pendapatan bersih
Pendapatan per kapita
Pengeluaran per kapita
Akreditasi
Persentase fasilitas kesehatan terakreditasi sebelumnya
Persentase fasilitas kesehatan yang terakreditasi baru
Fasilitas kesehatan per 10.000 penerima manfaat
Rata-rata jumlah rawat inap ulang dalam 30 hari
Jumlah kematian per 1,000 rawat inap di rumah sakit
Persentase penerima manfaat yang dilaporkan menyampaikan keluhan atas
pelayanan
Sumber: Joint Learning Network, 2013
29
Mungkin diperlukan indikator lainnya.
Akan bijaksana jika Pemerintah memulai serangkaian lokakarya antar Kementerian di
tingkat pusat guna mengidentifikasi dan mengkoordinasikan dimensi horizontal. Yang
kedua, Pemerintah perlu memulai serangkaian lokakarya antara pemerintah di level yang
berbeda untuk mengidentifikasi dan menyepakati indikator yang diperlukan untuk dimensi
vertikal pemantauan dan evaluasi.
Lokakarya ini akan mengembangkan program pemantauan awal berdasarkan struktur
sistem manajemen informasi saat ini yang akan diberlakukan oleh BPJS atau Kemenkes
dalam menanggapi kebutuhan mereka. Biaya dan upaya dapat diminimalkan dengan
perencanaan dan koordinasi dini diantara seluruh pemangku kepentingan (stakeholder),
terutama harus ada seperangkat definisi dan klasifikasi umum mengenai penyakit dan
prosedur klinis. Ketepatan waktu akan sangat penting, sehingga akses cepat harus
terpenuhi karena adanya kebutuhan akan akurasi. Akses cepat ke data mentah - sebaiknya
tersedia secara online - harus menjadi target, dan bukan sekedar menunggu unit pelaporan,
validasi dan audit yang datangnya terlambat. Hasil awal dalam satu periode dapat
diperbarui nantinya.
Kedua, lokakarya dapat mengidentifikasi indikator dan data yang dibutuhkan yang saat
ini belum tersedia, tetapi diperlukan untuk program pemantauan nasional.
Secara paralel, akan sangat bijaksana jika pemerintah menulis “Laporan Resmi” (white
paper) dibantu oleh seorang ahli akademisi dari Indonesia, dan ahli internasional untuk
mengidentifikasi praktik terbaik (best practice), dan indikator-indikator yang digunakan
oleh negara-negara OECD dalam upaya menuju reformasi pembiayaan kesehatan dengan
ukuran dan dimensi yang mirip dengan Indonesia. Beberapa contoh negara diantaranya:
Kanada (dengan sistem manajemen informasio yang sangat baik), Korea Selatan, Taiwan,
atau Malaysia. Laporan resmi akan memberikan panduan tolok ukur (benchmarking) jangka
pendek dan jangka menengah. Mengingat bahwa kita tidak memiliki dasar normatif untuk
mengevaluasi sistem kesehatan, maka tolok ukur komparatif diperlukan untuk penilaian
sistem. Bagian kedua dari laporan resmi akan membahas kesenjangan dalam menghasilkan
data saat ini yang diperlukan untuk mengembangkan indikator pemantauan dan evaluasi
dalam upaya reformasi.
Kemitraan OECD-Indonesia?
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan (OECD) di antara negara-negara berpenghasilan
tinggi telah menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam mengembangkan indikator
dan menetapkan pengumpulan data tahunan. Bagi OECD, perbandingan dengan negara
lain dengan menggunakan data antar negara dapat membantu mengidentifikasi masalah
dan sekaligus memotivasi upaya reformasi.
30
Di Indonesia, misalnya, cakupan kesehatan tidak setara dan rendah. Bagaimana Indonesia
dapat mengetahui bahwa penggunaan kesehatan rendah? Indonesia harus memiliki
pembanding antara penggunaan kesehatan yang diterapkan di Indonesia dengan yang
diterapkan di negara-negara dengan cakupan yang sudah baik. Bagaimana kita bisa tahu
jika di rumah sakit tidak tersedia? Dan seterusnya. Negara-negara berkembang semakin
menghargai kebutuhan dan peluang akan tolok ukur. Cina, misalnya, menggunakan tolok
ukur agresif untuk mengidentifikasi di mana mereka perlu mengejar ketertinggalan.
Banyak reformasi di China bersumber kesadaran mereka bahwa mereka tidak seperti
negara maju, dan mereka perlu melakukan sesuatu untuk menutup kesenjangan
tersebut.
Indonesia cukup beruntung karena OECD ingin melibatkan Indonesia dan mulai
memasukkan Indonesia dalam proses Data Kesehatan Tahunannya (melaporkannya
bersama dengan negara-negara OECD lainnya dalam laporan tahunannya).
Kemitraan dengan World Health Organization (WHO)?
WHO di Jenewa, bersama dengan Bank Dunia, sedang mengembangkan dan menguji
seperangkat indikator untuk mengukur dan menelusuri Cakupan Kesehatan Semesta
(UHC). WHO ingin mengidentifikasi sejumlah kecil negara percontohan dimana indikator
ini dapat diujikan. Indonesia mungkin menjadi negara yang sangat cocok untuk ujicoba
indikator ini, mengingat adanya dorongan untuk menerapkan Cakupan Kesehatan Semesta
(UHC) pada 1 Januari, dan mengingat keragaman negara Indonesia dalam hal pola penyakit,
pembiayaan, dan pemberian layanan kesehatan. Majelis Umum PBB memberikan
kesempatan kepada Menteri untuk mendiskusikan ide tersebut dengan Direktur Jenderal
WHO, Margaret Chan.
2013 dan setelahnya: Jangka-Menengah
Banyak indikator ini memerlukan survei atau penilaian cepat untuk mengevaluasi
perubahan kebijakan dan memberikan pemantauan rutin, dan analisis sekunder akan
membutuhkan peran kelompok akademisi untuk bekerja sama dengan Kemenkes, seperti
Universitas Indonesia yang bekerjasama dalam NHA pada masa transisi sebelum
ditempatkan di Kemenkes. Kelompok lain bisa melakukan hal ini, tetapi strategi tersebut
perlu dikembangkan saat ini, atau bulan-bulan berikutnya, namun yang jelas sebelum
akhir 2013. Bab terakhir dari Laporan Resmi dapat mencakup bagian yang menjelaskan
perlunya survei baru dan analisis sekunder.
Tapi apakah masih diperlukan lembaga tingkat pusat untuk merelokasi dan memfokuskan kembali
penelitian sehingga tidak akan ada tumpang tindih dan duplikasi yang tidak perlu? Selain itu,
lembaga ini perlu menetapkan standar pelaporan dan kesepakatan tentang strategi analisis, dan
menyebarluaskan aturan ini ke berbagai kelompok.
31
Banyak ketidakpastian seputar saluran penyampaian, proporsi premi biaya dan subsidi tidak
langsung akan mencakup apa saja, kendala sisi persediaan dan bagaimana pemanfaatan kapasitas
swasta dan publik dikoordinasikan. Ketidakpastian tentang biaya masa depan dapat berarti bahwa
program ini - mengingat ukuran dan ruang lingkupnya yang nasional - dapat memberikan risiko
besar bagi Pemerintah Indonesia, dan untuk badan usaha dan peserta yang menanggung biaya.
Oleh karena itu, pemantauan yang tepat waktu dan pengendalian risiko keuangan adalah sangat
penting.
32
NOTA
#7 KEBIJAKAN
Dari Siapa Kita Membeli?
Kontrak Pelayanan Kesehatan
untuk Perbaikan Biaya dan Kualitas
Kesehatan di Indonesia10
Latar Belakang
Melalui kontrak, BPJS dapat menetapkan standar minimum dalam hal kualifikasi staf dan
infrastruktur yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kontrak dengan skema BPJS. BPJS juga
dapat menetapkan standar pelayanan khusus, di mana penyedia layanan akan mendapat
penggantian biaya atas layanan tertentu hanya jika layanan tersebut diberikan oleh staf dengan
kualifikasi yang memadai dan dengan cara yang konsisten sesuai dengan protokol tindakan dan
pedoman pemberian resep yang telah ditetapkan. Pada tingkat berikutnya, kontrak dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan tolok ukur dan standar kinerja dengan organisasi seperti
rumah sakit, klinik, atau Puskesmas. Ini dapat digunakan sebagai bagian dari aturan pegawai
negeri sipil (PNS), atau di luar itu (dalam hal organisasi swasta atau LSM).
Saat ini, di wilayah ini terdapat pula kontrak eksternal yang cukup signifikan dengan pihak penyedia
antar beberapa negara. Kegiatan kontrak nampaknya terjadi antar negara di berbagai kelompok
pendapatan.
Satu hal penting dalam kontrak adalah apakah pembayar akan mengontrak sektor publik dan
swasta seperti di berbagai negara. Contoh kontrak dengan sektor publik dan swasta dapat
ditemukan di negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Mongolia, selain di negara-negara
berpendapatan tinggi, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
10
Nota Kebijakan (Policy Note) #7, ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). John
McComb, Direktur Teknis Kesehatan, Coffey International, turut memberikan masukkan yang sangat berharga. Untuk
salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu
yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah mulai mengadakan kontrak dengan
penyedia swasta. Namun masalah mengenai kontrak tetap ada, dan Kementrian Kesehatan serta BPJS belum
menggunakan sepenuhnya isu efisiensi dan mutu sebagai daya ungkit dalam kontrak.
34
Beberapa negara seperti Thailand dan Mongolia, juga memanfaatkan unsur gate-keeping dalam
kontrak dengan penyedia layanan kesehatan dasar untuk lebih mendorong pemanfaatan layanan
kesehatan dasar dan rawat jalan yang lebih hemat biaya.
Negara-negara Berpendapatan Tinggi
Di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, sistem asuransi
secara terbuka menjalin kontrak dengan penyedia layanan medis berlisensi yang tersedia, dan
pihak swasta mendominasi sektor rumah sakit (sekitar 90 persen di Taiwan dan di Korea Selatan).
Di ketiga negara ini tidak ada sistem gate-keeping, namun kontrak dapat digunakan untuk
menghentikan atau menangguhkan kontrak untuk sementara bilamana terjadi kasus klaim palsu
dan praktik yang melanggar hukum.
Negara-negara lain tampaknya kurang berhasil mengkoordinasikan dan menjalin kontrak dengan
sektor publik dan swasta. Di Hong Kong, layanan sektor publik ditugaskan, didanai dan disediakan
oleh pemerintah, melalui lembaga resmi Health Authority (kecuali untuk layanan yang sifatnya
terbatas). Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa percobaan inisiatif kemitraan swastapublik (pemerintah) berupa kontrak untuk prosedur umum bervolume tinggi untuk mengurangi
antrian yang terlalu panjang (misalnya, operasi katarak). Di bagian rawat jalan sektor swasta,
upaya penetrasi dilakukan berbagai bentuk perawatan yang dikelola (managed care), misalnya
kontrak obat-obatan, skema prabayar dan jaringan penyedia preferensial, namun terbatas dalam
ruang lingkupnya, meskipun telah cukup mengalami pertumbuhan dalam dekade terakhir.
Di Malaysia, pemerintah menjalin kontrak dengan berbagai penyedia sektor swasta, badan usaha
dan juga LSM. Kementerian Kesehatan di sana juga melakukan outsourcing pelayanan kepada
pihak swasta di bidang radioterapi, gambar kardiotoraks dan diagnostik dalam rangka meningkatkan
akses ke perawatan klinis khusus serta mengurangi waktu tunggu. Bahkan penyedia obat tradisional
di fasilitas milik Kementerian Kesehatan di Malaysia juga didatangkan atas dasar kontrak. Dalam
hal layanan pendukung, pemerintah telah mengadakan kontrak antara lain untuk pembuangan
limbah produk medis, kebersihan dan laundry, farmasi, bahan makanan, keamanan dan kampanye
pendidikan kesehatan.
Negara-negara Berpendapatan Menengah
Thailand juga menerapkan sistem gate-keeping. Skema asuransi kesehatan sosial (SHI) untuk PNS
dan pekerja formal swasta mengharuskan penerima manfaat untuk mendaftar dengan penyedia
layanan kesehatan tertentu. Rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki lebih dari 100
tempat tidur dianggap sebagai kontraktor penyedia yang memenuhi persyaratan untuk keanggotaan
SHI. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa rumah sakit swasta berperan besar sebagai
kontraktor penyedia layanan untuk SHI. Akan tetapi sistem kesehatan di tingkat pemerintah
kabupaten (rumah sakit daerah dan afiliasi puskesmas di daerah) biasanya berperan penting
sebagai kontraktor penyedia layanan kesehatan untuk PNS penerima manfaat. Skema layanan
untuk PNS dan SHI membeli layanan bagi penerima manfaat melalui kontrak tahunan ke jaringan
kontraktor perawatan dasar, biasanya sistem kesehatan kabupaten yang dimiliki oleh Kementerian
Kesehatan untuk anggota PNS, dan rumah sakit kontraktor (rumah sakit dengan lebih dari 100
tempat tidur) untuk anggota SHI.
35
Di Cina skema asuransi telah menjalin kontrak dengan pihak penyedia layanan kesehatan dengan
ketentuan tentang paket layanan yang akan diberikan, metode pembayaran, standar kualitas,
daftar obat, dan hal-hal lain. Dalam beberapa hal, kontrak mencakup ketentuan berakhirnya
kontrak, jika, misalnya pasien tidak dikenakan biaya sesuai dengan daftar harga yang telah
ditetapkan.
Di Filipina, dalam beberapa kasus yang terpisah, beberapa dinas kesehatan setempat telah memiliki
kontrak penyediaan layanan kesehatan prasejahtera dengan rumah sakit swasta atau pemerintah.
Hal ini sekarang telah bergeser ke sistem pendaftaran penduduk prasejahtera ke program SHI.
Kementerian Kesehatan sering membuat kontrak pengadaan layanan di luar kesehatan seperti
pelatihan bagi tenaga kesehatan pemerintah dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah.
Negara-negara Berpendapatan Rendah
Kamboja telah menggunakan model kontrak secara luas sejak tahun 1998, dimulai dengan pinjaman
dari Bank Pembangunan Asia (ADB), sebagai satu cara untuk meningkatkan pemberian layanan
dan kinerja staf di fasilitas pelayanan kesehatan di berbagai kabupatensetempat. Kelompok awal
yang dikontrak meliputi delapan kabupaten yang mencakup jumlah penduduk satu juta orang.
Tiga model yang berbeda diujicobakan (menggunakan pola acak) sejak saat itu sampai dengan
tahun 2003: “contracting in” (di 3 kabupaten), “contracting out” (di 2 kabupaten), dan menerapkan
kebijakan pemerintah saat ini (di 3 kabupaten).11
Belgian Development Cooperation Agency (BTC) kemudian memperkenalkan versi kesepakatan
kontrak yang baru yang disebut New Deal, suatu upaya menggunakan kabupaten sebagai
manajemen utama unit-unit yang dikontrak, bukan menggunakan LSM. Pemilihan kontraktor
dilakukan melalui penawaran dari LSM untuk mengelola berbagai kabupaten dengan menggunakan
dana dari donor.
Model kontrak yang sekarang digunakan adalah gabungan ujicoba sebelumnya, dimana LSM
menjalin kontrak dengan staf Kemenkes di tingkat pengawasan dan pemberian layanan. Peraturan
PNS berlaku bagi staf, namun LSM dapat mempekerjakan staf tambahan bilamana diperlukan.
Data dari satu kabupaten (berpenduduk 176,000) di delapan kabupaten awal yang menggunakan
model contracting-in menunjukkan peningkatan output layanan antara 100-700 persen, tergantung
jenis layanannya. Yang paling menonjol adalah peningkatan dalam perawatan antenatal dan
persalinan (masing-masing 740 dan 550 persen). Kunjungan rawat jalan menunjukkan peningkatan
terendah hanya 98 persen dalam waktu satu tahun setelah pelaksanaan. Pengeluaran kesehatan
langsung (out-of-pocket) di kabupaten juga menunjukkan penurunan, sementara gaji staf meningkat.
Beberapa penyedia menghadapi penurunan pendapatan karena mereka menerima lebih sedikit
dari praktek pribadi mereka sebelumnya, namun mereka bersedia untuk mematuhi sistem baru.
11
Contracting-out: Kontraktor bertanggung jawab penuh terhadap pemberian layanan tertentu dalam OD, langsung
mempekerjakan staf, dan sepenuhnya memegang kendali manajemen. Alokasi dana langsung dibuat sesuai dengan
penawaran.
Contracting-in: Kontraktor menyediakan dukungan manajemen bagi staf kesehatan PNS, sementara biaya berulang
(recurrent cost)disediakan pemerintah melalui jalur normal. Tambahan anggaran lainnya disediakan dari dana donor.
Kontraktor sepenuhnya memegang kendali atas alokasi dan pencairan tambahan anggaran, namun diwajibkan mengikuti
peraturan pemerintah sehubungan dengan sumber daya yang disediakan pemerintah.
36
Selain itu, kabupaten yang dikontrak menunjukkan alokasi sumberdaya yang lebih berpihak pada
masyarakat miskin dibandingkan kabupaten yang tidak dikontrak, namun kesenjangan masih
ditemui, bahkan di kabupaten-kabupaten yang dikontrak.
Beberapa tinjauan telah menganalisis faktor-faktor di balik kesuksesan kontrak di Kamboja.
Singkatnya: (i) kontrak memiliki orientasi kinerja dan menghubungkan pendanaan dengan
pencapaian target yang telah ditetapkan sebelumnya; (ii) keahlian tambahan dan keterampilan
manajemen yang dibutuhkan disediakan oleh kontraktor; (iii) tambahan insentif keuangan
dibayarkan kepada staf; (iv) Pemerintah mencairkan anggaran operasional fasilitas kesehatan
secara penuh dan tepat waktu; (v) peran LSM sebagai pihak pihak ketiga yang independen sangat
membantu dalam memantau kinerja, mengidentifikasi masalah, dan melakukan lobby ke pemerintah dan donor.
Tetapi, tinjauan hasil-hasil (outcomes) yang berkenaan dengan kontrak menunjukkan hasil yang
tidak sama. Evaluasi enam indikator hasil: cakupan antenatal, persalinan di fasilitas kesehatan, persalinan yang ditangani oleh staf kesehatan terlatih, imunisasi paripurna, pemberian vitamin A dan
jarak kelahiran menunjukkan bahwa di sekitar 50% kabupaten, hasil yang dicapai lebih tinggi dari
rata-rata nasional. Dalam banyak hal, target tidak tercapai walaupun model kontrak diterapkan.
Masalah utama dari model kontrak di Kamboja adalah tingginya pengeluaran administrasi. Sebuah
ringkasan tinjauan kontrak LSM menunjukkan bahwa pengeluaran administrasi berkisar 19%
sampai 46%. Partisipasi LSM ke depannya dapat diatur dengan membatasi biaya overhead melalui
syarat-syarat peraturan/kontrak.12
Pengaturan kontrak saat ini menggunakan beberapa mekanisme untuk meningkatkan kinerja,
termasuk: kontrak yang berorientasi output dan outcome dengan insentif kinerja antara pengelolaan
pemberian pelayanan Kementerian Kesehatan dan LSM; peningkatan otonomi keuangan dan
pengelolaan bagi kabupaten; peran LSM sebagai pihak ketiga yang independen dalam monitoring
staf dan layanan serta tata kelola; peningkatan kapasitas manajemen; pencairan block grant secara
langsung ke tingkat kabupaten; gaji dan manajemen kinerja staf. LSM yang terlibat memiliki pola
pendekatan yang berbeda-beda.
Di Mongolia, pelayanan kesehatan dasar di perkotaan dikontrakkan ke medical practitioners (Family
Group Practices, atau FGP) yang terhimpun sebagai koperasi. Terdapat 229 FGP. Koperasi-koperasi
ini dianggap sebagai badan usaha profit swasta yang didirikan atas dasar aset yang dikontribusikan
oleh anggotanya. Namun, masih ada kebingungan tentang status mereka sebenarnya, karena
badan usaha ini tidak memiliki aset bersama dan sepenuhnya didanai oleh subsidi pemerintah,
yang jelas bertentangan dengan undang-undang anggaran. Undang-undang anggaran menetapkan
12
-
Sejumlah kekurangan lain dan rekomendasi perbaikan telah dicatat, termasuk:
Penyedia layanan yang melanggar layanan praktek pribadi tidak dikenakan sanksi;
Kemenkes /dinkes setempat kadang-kadang tidak dapat memenuhi kewajiban menyediakan staf berkualitas dan
memadai;
Kadang-kadang ada konflik akuntabilitas SDM: dinkes setempat bertanggung jawab terhadap karyawan, namun LSM
juga diharapkan mengelola SDM;
Fasilitas kesehatan dasar tidak memiliki otonomi yang cukup;
Pendanaan tidak konsisten;
Target kontrak seringkali tidak sesuai dengan target nasional. Program nasional masing menerapkan pendekatan
vertikal, jadi koordinasi dengan OD terbatas;
Indikator kualitas harus dicantumkan sebagai target kinerja, dan sebagai kriteria untuk monitoring kinerja. Alat
penilaian praktis harus dikembangkan.
37
organisasi sebagai organisasi publik bilamana didanai sepenuhnya oleh APBN/pendapatan
pemerintah. Jadi, status hukum FGP ini masih belum jelas.13 Selain itu, dalam beberapa tahun
terakhir pemerintah telah mengambil keputusan untuk mengontrakkan layanan dukungan tertentu
seperti laundry, dapur, kebersihan dan keamanan.
Selain jenis perjanjian atau kontrak semacam ini, organisasi Asuransi Kesehatan Sosial
memberlakukan kontrak dengan penyedia layanan publik (sanatorium, rumah sakit swasta) untuk
penggantian biaya atas pelayanan yang diberikan kepada orang yang diasuransikan; penyedia
layanan publik harus menyelesaikan paling tidak dua kontrak dengan masing-masing organisasi.
Ada konsep kontrak lain dalam sistem publik Mongolia yang masih bersifat mekanistik dalam hal
pelaksanaannya. Undang-undang Keuangan dan Manajemen Publik (2002) mewajibkan semua
entitas anggaran untuk memiliki kontrak/perjanjian pemberian pelayanan dengan Menteri terkait.
Setiap akhir tahun, Menteri Kesehatan menandatangani kontrak dengan para kepala unit pemerintah daerah untuk menyepakati anggaran sektor kesehatan dan pelayanan yang akan diberikan
oleh masing-masing unit pemerintah daerah. Menteri Kesehatan juga mendelegasikan otoritas
kontrak kepada Sekretariat Negara untuk mengadakan perjanjian dengan rumah sakit tingkat
tersier, dan kepada gubernur setempat untuk mengadakan kontrak dengan penyedia layanan
publik tingkat sekunder dan primer. Setelah perjanjian umum atau kontrak dicapai, yang di dalamnya menguraikan layanan secara keseluruhan dan dana untuk setiap penyedia layanan, manajer
umum mengadakan perjanjian kinerja dengan para kepala bagian dan personel di bagian masingmasing secara internal dalam organisasi mereka. Undang-undang telah menghasilkan sistem
manajemen baru untuk badan usaha publik di mana kontrak bersifat intrinsik terhadap fungsi
mereka, namun kapasitasnya belum ditingkatkan untuk memastikan efektivitas dari konsep ini.
Di Vietnam, SHI membayar penggantian (reimbursement) kepada fasilitas yang disetujui, termasuk
fasilitas pribadi/swasta yang dikontrak. Pendaftar juga dapat menggunakan fasilitas yang tidak
dikontrak termasuk penyedia layanan luar negeri, namun penggantian biaya dalam hal ini adalah
kepada pasien yang membayar ke fasilitas dan yang kemudian mengajukan klaim sampai jumlah
plafon biaya rata-rata di fasilitas.
Di Laos, model kontrak lebih terbatas, di mana hanya ada satu model kontrak antara skema berbasis
masyarakat dengan pihak penyedia layanan.
Di Timor-Leste, saat ini, sektor publik menyediakan sebagian besar pelayanan kesehatan (Meeting
Health Challenge, Prime Minister’s Office, 2008). Jasa pelayanan pemerintah telah dilengkapi komponen swasta secara cukup signifikan – diperkirakan 25 persen dari semua layanan – untuk menyediakan layanan yang tidak dapat disediakan oleh sektor publik, seperti ambulans, terutama melalui
LSM lokal dan internasional (untuk LSM internasional seringkali didanai dari luar negeri) yang
seringkali berafiliasi dengan gereja (misalnya, Caritas yang terafiliasi dengan Gereja Katolik) dan
sebagian besar bergantung pada pekerja sukarela; serta dokter, perawat, dan bidan swasta.
Meskipun nampaknya tidak ada kontrak resmi antara penyedia layanan publik dan swasta, pemerintah Timor Leste bekerja untuk memperkuat kemitraan publik-swasta dalam bidang kesehatan.
Secara khusus, hal ini bertujuan untuk: memfokuskan sektor publik pada barang-barang publik
yang dapat dilakukannya secara efektif; mendorong keterlibatan yang tepat dari sektor swasta
13
Tetapi, dapat dicatat bahwa status mereka tidaklah berbeda dengan dokter umum yang dulu bekerja di UK National Health Service,
yang secara legal adalah kontraktor independen, namun biasa dianggap sebagai dokter pemerintah.
38
dalam penyediaan jasa seperti ambulan; serta memperkuat kerjasama antara publik-swasta dalam
penyediaan layanan. Hal ini memerlukan pengembangan hubungan lebih lanjut dengan kelompok
pengusaha-tenaga kerja lokal, dan peningkatan kerjasama dengan fasilitas kesehatan gereja
(misalnya, akses ke obat-obatan dan peralatan kesehatan dasar untuk meningkatkan kualitas
pelayanan di fasilitas milik gereja).
Kontrak di Indonesia
Kontrak bukanlah hal yang baru di Indonesia. AusAID telah mendanai program kesehatan maternal
dan neonatal di NTT selama kurang lebih 4,5 tahun. Dalam program tersebut, pemerintah kabupaten
mampu mengontrak tim spesialis obstretik dan pediatrik dari rumah sakit pemerintah dan swasta
di Indonesia untuk segera mengisi kesenjangan sumber daya manusia di rumah sakit-rumah sakit
kabupaten. Dalam waktu yang relatif singkat program ini mampu menurunkan rata-rata angka
kematian ibu hingga 50%. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan mengontrak pelayanan, baik dari segi kapasitas rumah sakit tersier di Indonesia untuk memenuhi permintaan akan
tenaga spesialis, dan dari segi cara bagaimana meningkatkan proses kontrak dan melakukan pemantauan hasil.
Memang, kontrak adalah hal yang umum di kawasan ini, terlepas dari tingkat pendapatan. Dan
memang, ada sebuah tradisi yang kaya di beberapa negara seperti Kamboja. Namun, tidak banyak
yang diketahui dari evaluasi kontrak di negara-negara kawasan tersebut, dan tidak ada bukti
(selain Kamboja) mengenai kontrak selektif atas dasar kualitas dan kinerja. Seringkali yang terjadi
adalah situasi kontrak yang fleksibel dan relasional, di mana ada harapan dari kedua belah pihak
(pembeli dan penyedia) untuk secara otomatis memperpanjang kontrak untuk tahun-tahun
berikutnya.
Kontrak selektif tidaklah mudah, baik secara teknis maupun politis. Pada tingkat teknis, diperlukan
informasi yang baik dan tepat waktu mengenai biaya dan kualitas layanan yang diberikan. Namun
demikian, dalam jangka waktu dekat, negara-negara dengan kapasitas yang tengah berkembang
dapat didorong seiring dengan:
•
•
Pengembangan uji coba fasilitas sistem manajemen informasi (MIS) yang akan mengadaptasi
pendekatan standar untuk mendapatkan informasi klinis dan biaya. Informasi ini dapat
digunakan sebagai dasar untuk negosiasi dengan penyedia asuransi/pembeli jasa.
Perubahan pola epidemiologi yang muncul di banyak negara (misalnya, penyakit-penyakit
tidak menular di Cina, Vietnam, Thailand) untuk mengembangkan serangkaian uji coba yang
mungkin difokuskan pada bidang manajemen penyakit kronis seperti asma dan diabetes. Hal
ini dapat didukung dengan tingkat kontrak pembayaran yang baik dan memiliki indikator
outcome dan kualitas yang terkait. Uji coba kemudian dapat diperluas. Hal ini mungkin dapat
dikembangkan bersama dengan manajemen penyakit spesifik serupa yang menjanjikan
penyediaan yang lebih hemat biaya. Bidang-bidang ini meliputi:
o diabetes;
o asma;
o hipertensi; dan,
o layanan kesehatan mental.
Contohnya, manajemen penyakit diabetes yang lebih baik akan mengurangi risiko gagal ginjal
dan meminimalkan biaya medis untuk individu dan keluarga. Kini ada uji coba manajemen
39
•
•
•
penyakit di Beijing (untuk diabetes) dan Nanjing (untuk kesehatan mental), namun tidak
banyak yang diketahui tentang hal ini.
Di wilayah geografis di mana hanya ada sedikit atau cuma ada satu penyedia layanan (daerah
pedesaan) masih terdapat kemungkinan dikembangkannya tolok ukur peningkatan kinerja.
Tolok ukur ini dapat disesuaikan dengan semacam bonus pembayaran kinerja.
Pengembangan lebih lanjut terhadap kontrak secara internal untuk organisasi-organisasi
seperti rumah sakit dan klinik. Mengenai kontrak internal dengan staf dari fasilitas publik,
tidak banyak yang didapati di kawasan ini (kecuali Vietnam). Kontrak akan digunakan dalam
2-3 tahun pertama untuk menilai kinerja dan memberikan umpan balik (feedback). Setelah 3
tahun, kontrak akan digunakan untuk meningkatkan fleksibilitas input agar lebih baik dalam
menyewa dan memberhentikan personil sesuai dengan kinerja dan kebutuhan input untuk
layanan perawatan.
Penilaian untuk mengetahui apakah lebih banyak negara (selain Mongolia, contohnya) harus
melanjutkan kontrak untuk layanan tertentu (laundry, makanan, layanan laboratorium dan
diagnostik) dalam fasilitas publik. Hal ini dapat terus meningkatkan kualitas dan menekan
biaya.
Kontrak selalu memerlukan kehati-hatian, dan mengharuskan hal-hal antara lain:
•
•
•
•
•
•
Lingkungan yang kompetitif;
Layanan yang ditetapkan secara baik;
Koordinasi dengan kegiatan sektor publik;
Penilaian kualitas manajemen sektor swasta;
Spesifikasi standar pelayanan; dan,
Monitoring yang erat mengenai kinerja kontrak
Pelajaran yang segera bisa didapat bagi Indonesia?
Indonesia sudah sangat maju dalam hal pemberian pelayanan oleh sektor swasta. Pendekatan
kontrak selektif mungkin dapat diperluas di Indonesia, dan kontrak selektif dapat digunakan di
beberapa wilayah geografis, seperti daerah perkotaan besar, dengan penyedia layanan publik dan
swasta.
Kedua, BPJS mungkin akan segera menggunakan otoritas kontrak mereka untuk menetapkan halhal seperti:
•
•
•
•
•
40
Kepatuhan terhadap pedoman rujukan;
Kepatuhan terhadap standar pengkodean untuk penggantian (reimbursement) dan mutu;
Kepatuhan terhadap sistem pengkodean farmasi yang kini tengah dikembangkan;
Kepatuhan terhadap pelaporan biaya sesuai dengan format biaya standar yang pertamakali
dikembangkan oleh skema Jamkesmas, contohnya; dan,
Kontrak untuk semua pekerja di fasilitas sektor publik. Seringkali keluhan yang muncul adalah
fasilitas sektor publik tidak responsif atau efektif. Kontrak merupakan langkah awal untuk
menjadikan fasilitas sektor publik lebih responsif. Dengan INA CBGs, rumah sakit pemerintah
tentu perlu menyewa, memberhentikan, atau mengubah kombinasi input (input mix) dari staf
mereka. Kontrak memberikan fleksibilitas kepada pengelola rumah sakit untuk sepenuhnya
merespons struktur insentif baru. Hal yang sama dapat diharapkan dalam hal kapitasi dan
fasilitas perawatan dasar.
Sebagai pembayar tunggal, BPJS harus mengontrak semua fasilitas yang mengharapkan penggantian
atas jasa yang diberikan sesuai dengan Undang-undang BPJS. Kontrak akan memungkinkan dana
langsung mengalir ke Puskesmas dan ke semua penyedia layanan. Hal ini akan membuat tenang
Kementerian Keuangan karena dana untuk kesehatan akan benar-benar dimanfaatkan untuk
pelayanan kesehatan, dan lebih memastikan bahwa semua dana sampai ke pihak penyedia –
sebagaimana mestinya.
Di masa depan, mengingat sistem data semakin berkembang dan lebih baik, maka kontrak dapat
digunakan untuk menghasilka, manajemen penyakit tidak menular yang lebih baik seperti
manajemen hipertensi dan diabetes, begitu pula dalam hal pengendalian TB dan penyakit menular
lainnya.
Kontrak merupakan alat yang ampuh untuk mewujudkan efisiensi dan keadilan, dan BPJS harus
memanfaatkannya sebaik mungkin untuk sektor publik maupun swasta.
41
NOTA
#8 KEBIJAKAN
Monitoring dan Evaluasi Cakupan
Kesehatan: Ujicoba “Dashboard
Informasi” Perluasan Cakupan
Kesehatan di Indonesia14
Latar Belakang Cakupan Kesehatan
Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan
Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU
No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima
program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus
terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru
ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT.
JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan.
Kemajuan signifikan dalam upaya untuk meningkatkan cakupan asuransi kesehatan telah ditunjukkan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun angka terbaru memperkirakan bahwa sekitar
40% penduduk masih belum memiliki asuransi kesehatan.15 Perbaikan dalam tingkat cakupan
diharapkan terwujud mulai dari sekarang sampai tahun 2019 di mana BPJS dilaksanakan secara
penuh. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa penduduk saat ini yang mendapatkan cakupan kesehatan Jamkesmas bisa meningkat jumlahnya menjadi 96,4 juta pada tahun 2014 dengan menjadi
peserta BPJS kesehatan. Akan tetapi, masih akan ada sejumlah besar penduduk yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Menurut hasil perhitungan Informal Economy Study (IES) yang dilakukan
pada 2011/2012, terdapat 31,2 juta pekerja informal tidak akan ditanggung oleh asuransi kesehatan
pada tahun 2014. Masalah ini dan masalah kesenjangan lainnya dalam cakupan kesehatan ini perlu
ditangani agar dapat mewujudkan cakupan kesehatan semesta.
14
Policy Note #8 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Annette Martin dari Joint Learning Network dan Results for Development
Institute di Washington, D.C., bekerjasama dengan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia
Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mendapatkan salinan Policy Notes sebelumnya dan yang
lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan.
Situasi saat ini telah berubah. Saat ini pemerintah telah menerapkan konsep yang dijabarkan di sini.
15
Global Extension of Social Security, 2011.
43
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan cakupan kesehatan. Sebagian besar
negara-negara yang tergabung dalam Joint Learning Network ( JLN) yang tengah berupaya menuju
cakupan kesehatan semesta mengalami kemandekan dalam hal pendaftaran – terutama untuk
penduduk miskin dan pekerja sektor informal. Didorong oleh adanya tujuan yang terpuji untuk
melakukan perubahan dramatis selama enam bulan ke depan guna mewujudkan cakupan
kesehatan secara penuh pada akhir tahun 2019, pemerintah Indonesia perlu memperlihatkan
kemajuan yang telah dicapai dari waktu ke waktu berkaitan dengan cakupan kesehatan untuk
semua penduduk Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu memiliki alat untuk
memonitor dan mengevaluasi kemajuan dalam pemenuhan target, dan terutama untuk memastikan
bahwa penduduk yang kurang beruntung dan rentan mendapatkan jaminan kesehatan. Salah satu
alat tersebut yaitu “dashboard” informasi perluasan cakupan kesehatan (Expanding Coverage
Information Dashboard) yang dapat membantu pemerintah Indonesia menelusuri dan melaporkan
perluasan cakupan kesehatan.
Dashboard Informasi
Tim teknis dari Joint Learning Network ( JLN) Expanding Coverage (EC) mengembangkan prototipe
“information dashboard” untuk tingkat negara – suatu mekanisme interface elektronik interaktif
yang secara rutin akan menggabungkan data dari berbagai sumber yang tersedia dan menampilkan
kemajuan terhadap indikator kunci yang terkait dengan perluasan cakupan untuk penduduk yang
kurang beruntung dan/atau kurang terlayani.
44
Fitur utama dashboard tersebut mengubah data menjadi informasi perluasan cakupan yang dapat
ditindaklanjuti:
•
•
•
Tampilan satu halaman yang memungkinkan pengguna untuk melihat indikator utama dan
menelusuri sekilas kemajuan secara berkala.
Fitur “drill-down” yang memungkinkam pengguna untuk mengakses dan melihat data waktu
nyata (real time) pada tingkat disagregat.
‘Bendera’ manajemen (management flags) yang memberikan tanda ketika indikator memerlukan
perhatian pengguna, sehingga memungkinkan para pengambil keputusan dengan cepat
mendeteksi dan mengoreksi kecenderungan negatif dalam kinerja.
Indikator berikut ini merupakan seperangkat sampel yang dikembangkan sebagai bagian dari
prototipe Dashboard informasi perluasan cakupan:
kategori
Indikator
•
Pendaftaran dan
pendaftaran ulang
•
•
•
Persentase penerima manfaat yang terdaftar (dari penduduk yang
memenuhi persyaratan)
Pendaftaran (netto)
Persentase penerima manfaat yang mendaftar ulang
Persentase penerima manfaat yang mendaftar baru
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
•
•
•
Jumlah kunjungan rawat jalan per kapita
Jumlah rawat inap per kapita
Rata-rata lama tinggal
Manajemen
keuangan
•
•
•
•
Total pendapatan dibandingkan total pengeluaran
Pendapatan bersih
Pendapatan per kapita
Pengeluaran per kapita
•
•
•
Akreditasi
Persentase fasilitas kesehatan yang terakreditasi sebelumnya yang
memperbaharui atau mempertahankan akreditasinya
Persentase fasilitas kesehatan yang baru terakreditasi
•
Fasilitas kesehatan per 10.000 penerima manfaat
•
•
•
Jumlah rata-rata rawat inap ulang dalam 30 hari
Jumlah kematian per 1.000 rawat inap di rumah sakit
Persentase penerima manfaat yang dilaporkan menyampaikan keluhan
atas pelayanan
Perluasan jaringan
penyedia layanan
Aksesibilitas
jaringan penyedia
layanan
Kualitas pelayanan
Diperkirakan pengguna utama dashboard perluasan cakupan kesehatan adalah para pemimpin
penentu kebijakan dan pengelola skema program yang tanggung jawabnya meliputi monitoring
perluasan cakupan kesehatan bagi penduduk yang kurang terlayani dan/atau kurang beruntung.
45
Ujicoba Dashboard di Indonesia
Pemerintah Indonesia berencana untuk mengembangkan sebuah dashboard berdasarkan
prototipe JLN untuk melacak kinerja terhadap indikator kinerja utama guna melaporkan
kemajuan cakupan kesehatan semesta. Pada saat pertemuan bulan April 2013 dengan
Wakil Menteri Kesehatan Profesor Ghufron dan para pemangku kepentingan dari Pokja
BPJS, skema asuransi, penyedia layanan, dan pemerintah provinsi Yogyakarta, dukungan
luas diberikan untuk konsep penggunaan dashboard informasi sebagai alat monitoring dan
evaluasi untuk mengukur kemajuan cakupan kesehatan semesta. Perwakilan dari berbagai
tingkat pemerintahan dan skema asuransi menyatakan minatnya untuk mengembangkan
dashboard sebagai suatu cara untuk menelusuri kinerja dan mengkoordinasikan cakupan
populasi di seluruh skema asuransi. BPJS juga menyatakan minatnya terhadap alat
monitoring kinerja untuk tujuan pelaporan.
Perwakilan dari PT. ASKES, PT. JAMSOSTEK, Jamkesda, Jamkesos, dan Jamkesmas menegaskan bahwa mereka melacak pendaftaran, pemanfaatan, dan indikator keuangan bagi anggota mereka. Patut dihargai bahwa skema asuransi sudah mengenali pentingnya pelaporan
kemajuan terhadap indikator. Akan tetapi, sistem pelacakan tidak konsisten atau otomatis,
serta tidak memberikan perspektif di luar skema tertentu atau kelompok keanggotaan.
Menanggapi permintaan yang nyata akan alat monitoring dan evaluasi, AusAID, GIZ, dan
JLN tengah bekerja sama dengan mitra dari Kementerian Kesehatan untuk memahami
kondisi, ketersediaan dan kualitas data saat ini dan mengembangkan indikator kinerja
utama pada perluasan cakupan kesehatan. Para mitra bekerja sama untuk menyesuaikan
prototipe dashboard informasi perluasan cakupan guna memastikan relevansinya untuk
konteks negara Indonesia dan tujuan reformasi. Kementerian Kesehatan berencana
mengujicobakan dashboard yang disesuaikan di empat provinsi– Aceh, Jakarta, Jawa Barat,
dan Yogyakarta – untuk awalnya difokuskan di Jakarta dan Yogyakarta. Kementerian
Kesehatan memprioritaskan pengembangan indikator dalam kategori pendaftaran dan
pendafataran ulang untuk uji coba ini, diikuti oleh indikator dalam kategori pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan manajemen keuangan.
Walau pun kerangka konseptual Dashboard Informasi peluasan cakupan akan konsisten di
seluruh provinsi, masing-masing uji coba dapat menyesuaikan dashboard untuk mengakomodasi faktor unik di masing-masing provinsi dan mungkin di setiap sistem kesehatan di
tingkat kabupaten/kota, seperti:
•
•
•
•
•
•
46
Data yang tersedia
Prioritas dan target provinsi
Prioritas dan target dinas kesehatan kabupaten/kota
Prioritas dan target skema
Kebutuhan pengguna Dashboard
Interface elektronik yang yang lebih disukai
Beberapa cara di mana Indonesia dapat menyelaraskan dashboard untuk setiap uji coba termasuk
melakukan penyesuaian terhadap:
•
•
•
•
•
•
Indikator
‘Bendera’ manajemen (management flag)
Kelompok populasi (contohnya karakteristik “populasi sasaran”)
Frekuensi pelaporan data
Tampilan data (misalnya, grafik, tabel, “hitungan mundur menuju target”)
Tingkat disagregasi data
Uji coba-uji coba tersebut akan mengintegrasikan Dashboard Informasi perluasan cakupan
ke dalam sistem informasi manajemen skema yang ada dengan perhatian khusus pada
harmonisasi format pelaporan dan desain interface yang cocok di seluruh skema yang
memungkinkan untuk diadaptasi di luar keempat provinsi uji coba. Uji coba akan dimasukkan sebagai suatu kegiatan dalam protokol uji coba dan rencana aksi Pokja teknologi
informasi BPJS. Pelaksanaan uji coba akan dipelopori oleh Tim Kepemimpinan Teknis dan
dikoordinasikan dengan masukan yang ekstensif dari PT ASKES.16
Langkah penting yang pertama adalah melakukan penilaian kondisi saat ini (analisis
situasi) dari data skema di Jakarta dan Yogyakarta, dengan memfokuskan pada ketersediaan
data, format, kualitas, dan frekuensi pelaporan. Penilaian ini juga akan meliputi dataset
minimal yang dikumpulkan, indikator yang dihitung, pembilang dan penyebut dari
indikator tersebut, berikut sumber datanya, mesin pelaporan yang mengekstrak data serta
beban analitik terkait. Upaya ini juga akan mencakup deskripsi sistem informasi skema
dan spesifikasi afiliasi vendor IT. Selain itu, deskripsi proses untuk transmisi data antara
Puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten dan propinsi akan ditentukan untuk
setiap skema. Penilaian kondisi saat ini berfungsi untuk memberikan pemahaman yang
lebih luas mengenai keanekaragaman skema, kabupaten/kota, dan provinsi, serta merupakan langkah penting pertama sebelum mulai membahas pengembangan indikator,
rancangan dashboard, dan koordinasi lintas skema. Dengan pemahaman situasi saat ini,
maka pembahasan mengenai harmonisasi pengumpulan data dan proses pelaporan
dashboard dapat dilanjutkan.
Setelah melakukan klarifikasi data dasar, sistem, dan proses, langkah berikutnya adalah
mengumpulkan perwakilan kunci dari skema, provinsi, kabupaten, dan vendor IT untuk
melakukan desain teknis dan pertemuan untuk saling bertukar dan menggunakan informasi
(interoperability). Pada pertemuan ini, diskusi akan difokuskan pada pengembangan indikator kinerja utama selain desain interface dashboard, ekstraksi data dan proses pelaporan,
serta standardisasi database. Proses operasional dan tata kelola yang berkaitan dengan
koordinasi lintas skema dan vendor IT juga akan dibahas. Bulan Juni dan Juli diusulkan
untuk penilaian kondisi saat ini, dan bulan Agustus ditargetkan untuk pertemuan kelompok
kerja teknis. Pengembangan dashboard diperkirakan pada bulan September, dan uji coba
pada bulan Oktober-Desember.
16
Kerangka acuan yang lebih rinci akan disusun setelah diterbitkannya Nota Kebijakan ini untuk memastikan upaya kerja
lebih lanjut
47
Pelajaran yang diambil dari ujicoba tersebut akan didokumentasikan dan disebarluaskan guna
memberikan informasi upaya nasional meningkatkan penggunaan dashboard informasi untuk
memonitor perluasan cakupan. Pelajaran yang didapat juga akan disebarluaskan ke negara-negara
lain yang melaksanakan reformasi cakupan kesehatan semesta.
Tantangan Utama Jangka Pendek
Tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam menelusuri cakupan kelompok populasi adalah
berkenaan dengan berbagi informasi dan koordinasi lintas skema. Sementara konsolidasi database
keanggotaan di antara masing-masing skema (minimal ASKES, Jamsostek, dan Jamkesmas) tengah
berlangsung, dan database pintar sedang dikembangkan untuk mendukung National Unique
Identifier (NUI) yang akan memastikan bahwa orang yang sama tidak dihitung dua kali ketika
berpindah ke kategori atau lokasi lain, kegiatan ini memerlukan waktu untuk mencapai hasil, dan
untuk sementara ini akan tetap menjadi tantangan untuk menelusuri cakupan berbagai kelompok
populasi. Untuk memastikan efektivitas monitoring cakupan berbagai kelompok populasi, berbagai
pilihan kreatif harus dieksplorasi selain NUI, eKTP, kartu identifikasi elektronik, dan daftar pemilih.
Berbagi informasi lintas skema akan sangat penting untuk menangkap gerakan populasi antar
kategori atau lokasi.
Pengkoordinasian skema sebelum dilakukannya konsolidasi data akan sangat penting untuk
menentukan cara terbaik berbagi informasi lintas skema dan sistem informasi untuk memastikan
pandangan holistik terhadap cakupan populasi. Akses ke data ini penting untuk upaya monitoring
provinsi dan nasional terhadap gerakan anggota di seluruh skema. Pendekatan praktis untuk
memfasilitasi koordinasi dan konsolidasi data skema yang mungkin dilakukan:
1) Mengembangkan protokol dan standar transmisi data bagi penyedia dan skema yang
berpartisipasi; dan
2) Memungkinkan pihak penyedia dan skema bertanggung jawab terhadap transmisi data dengan
menghubungkan pembayaran dengan pelaporan akurat yang menggunakan format tertentu;
3) Mempekerjakan petugas Penjaminan Mutu independen yang bertanggung jawab memonitor
kepatuhan di tingkat Puskesmas, rumah sakit, dan skema.
Tantangan penting lainnya yang akan dihadapi Indonesia adalah menyangkut kebutuhan pelatihan
untuk memastikan bahwa pendaftaran dan klaim data dicatat dan dikirim dengan benar. Pelatihan
pengelolalaan informasi Puskesmas dan rumah sakit untuk pihak pembayar dan penyedia layanan
baik yang baru dimulai maupun yang tengah berlangsung sangatlah penting. Selanjutnya,
diperlukan monitoring untuk mengetahui apakah pengumpulan data tambahan dan persyaratan
pelaporan dapat dipenuhi dengan tingkat staf Puskesmas dan rumah sakit yang ada saat ini.
48
NOTA
#9 KEBIJAKAN
Cakupan Kesehatan Semesta dan
Akreditasi Kesehatan di
Indonesia17
Latar Belakang
Tingginya proporsi biaya pengguna kesehatan di Indonesia membuat banyak orang menghadapi
kesulitan keuangan karena pengeluaran untuk perawatan kesehatan, khususnya bagi penduduk
miskin dan penduduk yang hidup mendekati garis kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terjangkau dan
berkualitas untuk semua penduduk melalui program cakupan kesehatan semesta yang akan
dilaksanakan pada Januari 2014. Tujuan program tersebut tidak semata-mata meningkatkan skala
cakupan, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah berencana untuk
mengaitkan program akreditasi dengan program cakupan pelayanan kesehatan semesta dengan
cara mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan yang dikontrak harus sudah terakreditasi.
Pengalaman Internasional: Akreditasi dengan Cakupan Kesehatan
Semesta
Pengembangan pelayanan kesehatan dasar, asuransi kesehatan universal dan akreditasi telah
menjadi rumus umum untuk reformasi kesehatan yang didukung oleh masyarakat internasional.
Banyak dari upaya kombinasi tersebut gagal mencapai potensinya, kadang-kadang dikarenakan
mereka tidak memasukkan faktor perlunya akreditasi di dalam kontrak asuransi kesehatan, atau
dalam pemilihan penyedia yang menjadi sasaran. Tanpa adanya insentif keuntungan finansial,
penyedia layanan tidak begitu tertarik dengan akreditasi sukarela dan hanya memiliki komitmen
17
Nota Kebijakan #9 ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Dewi Indriani dari WHO dan Dr. Charles Shaw dari University of South
Wales dengan pendanaan USAID dan WHO. Nota Kebijakan ini merupakan bagian dari serangkaian kerjasama dengan
Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS).
Untuk salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan
isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah membuat kemajuan dalam
akreditasi fasilitas pelayanan dasar dan rumah sakit, namun belum semua rekomendasi yang dijabarkan di sini
dilaksanakan, misalnya tentang akreaditasi oleh badan independen nasional.
50
minimal untuk akreditasi wajib. Rendahnya pemanfaatan, atau kepatuhan minimal terhadap
program akreditasi mengurangi dampak potensial terhadap kualitas dan keselamatan dalam sistem
kesehatan. Faktor-faktor tersebut juga membatasi pencapaian tingkat pendapatan yang diperlukan
untuk program akreditasi swadana.
Survei internasional yang dilakukan oleh 44 lembaga akreditasi nasional pada tahun 201018
mengidentifikasi penyebab utama kegagalan dalam program akreditasi, dan menunjukkan
beberapa faktor penentu keberhasilannya di seluruh dunia:
•
•
•
•
Akreditasi didukung oleh kebijakan pemerintah yang stabil;
Akreditasi melengkapi peraturan perundang-undangan;
Akreditasi terkait dengan insentif keuangan bagi penyedia layanan;
Badan akreditasi memiliki rencana bisnis yang realistis.
Secara global, hanya kurang dari setengah program akreditasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah, tetapi proporsi ini lebih tinggi di negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah
(Gambar 1). Proporsi yang sama melaporkan pendanaan preferensial sebagai insentif kunci
(Gambar 2).
Gambar 1:
Apakah akreditasi merupakan unsur strategi pemerintah untuk kesehatan?
Tidak perlu
Ya, di beberapa provinsi
Tidak
Ya, akreditasi kesehatan
Ya, kualitas dan keselamatan
Ya, reformasi kesehatan
18
Shaw CD, Braithwaite J, Moldovan M, Nicklin W, Grgic I, Fortune T, Whittaker S Profiling healthcare accreditation
organisations: an international survey. International Journal for Quality in Health Care 2013; pp. 1–10 10.1093/intqhc/
mzt011
51
Gambar 2:
Apa insentif bagi lembaga untuk berpartisipasi?
Regulasi yg lebih sedikit
Lain-lain
Pariwisata medis
Persyaratan legal
Pendanaan preferensial
Pemasaran
Kebijakan pemerintah
Peningkatan
Di Indonesia, akreditasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan menuju
standar internasional dan guna mematuhi undang-undang tahun 2009 yang mengharuskan semua
rumah sakit diakreditasi setiap tiga tahun. Maksudnya adalah untuk mengalihkan perhatian dari
struktur, input, dan sumber daya ke arah proses dan hasil. Akan tetapi, hubungan KARS (Komite
Akreditasi Rumah Sakit) dengan fungsi regulasi, pendidikan dan asuransi kesehatan tidak jelas.
Saat ini tidak ada strategi nasional yang eksplisit menjelaskan sinergi akreditasi dan asuransi
kesehatan. Kolaborasi dan kesepakatan beberapa prinsip diperlukan, misalnya dalam hal:
-
Standard berbasis bukti untuk tindakan klinis dan pemberian pelayanan;
Metode penilaian dan pengukuran kinerja yang divalidasi;
Strategi informasi, definisi data dan mutu; serta,
Perlindungan data dan pertukaran informasi, terutama data billing yang digunakan untuk
indikator kinerja.
Akreditasi Kesehatan di Indonesia
Indonesia masih menghadapi kendala buruknya kinerja fasilitas kesehatan, terutama di fasilitas
kesehatan milik pemerintah. Penilaian eksternal kualitas kesehatan melalui akreditasi dimulai
dengan pembentukan badan akreditasi nasional “KARS/Komite Akreditasi Rumah Sakit” pada
tahun 1996. Program awal difokuskan pada rumah sakit dan indikator input, namun gagal
mendapatkan dampak yang diinginkan terhadap kualitas pelayanan. Undang-undang Rumah Sakit
no. 44 tahun 2009 mewajibkan akreditasi bagi semua rumah sakit setiap tiga tahun. Di banyak
negara, akreditasi sifatnya sukarela, namun dengan insentif yang cukup besar. Pada tahun 2010,
pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri no. 147 yang mendorong akreditasi wajib
dengan cara menghubungkan akreditasi dan perijinan. Meskipun begitu, masih banyak rumah
sakit yang diijinkan beroperasi tanpa terakreditasi. Sementara itu, belum ada sistem akreditasi
nasional untuk fasilitas kesehatan lainnya seperti Puskesmas, klinik dan praktek swasta. Akan
tetapi, beberapa fasilitas kesehatan ini telah mengikuti program lain seperti sertifikasi ISO 9001
dan program akreditasi provinsi.
52
Akhir-akhir ini, Indonesia berada dalam tahap peningkatan sistem akreditasi. Program akreditasi
rumah sakit di Indonesia telah diluncurkan pada tahun 2011 dengan dukungan dari USAID dan
WHO. Program ini memiliki empat tujuan utama, yaitu:
1.
Mengakreditasi sembilan rumah sakit kelas “A” dengan badan akreditasi internasional (JCI/
Joint Commission International);
2. Mengakreditasi KARS dengan International Society for Quality in Health Care (ISQua);
3. Mengembangkan keahlian nasional dalam melakukan akreditasi rumah sakit sebagai langkah
peningkatan kualitas; dan,
4. Mengembangkan rencana jangka panjang untuk pemeliharaan dan peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan.
Selama dua tahun terakhir, dua rumah sakit telah mendapat akreditasi dari JCI. KARS sedang dalam
proses merestrukturisasi organisasi dan merevisi standar akreditasinya dalam rangka memenuhi
persyaratan ISQua, serta finalisasi standar akreditasi Puskesmas dan pedoman pelaksanaannya.
Untuk memiliki relevansi penjaminan mutu yang komprehensif, akreditasi rumah sakit harus
bersifat kontekstual, setidaknya dalam perspektif sistem kesehatan kabupaten. Jika pelayanan
kesehatan dasar harus menjadi “gatekeeper”, maka harus ada kerangka kerja konseptual di mana
pelayanan kesehatan dasar (pemerintah dan swasta) akan mampu menawarkan perawatan yang
berkualitas yang didukung oleh layanan rujukan.
Standar akreditasi pelayanan kesehatan dasar harus konsisten dengan prinsip-prinsip internasional
yang ditetapkan oleh ISQua19, dengan persyaratan hukum dan aturan Indonesia dan dengan
standar pelayanan yang ada seperti Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dapat digunakan.
Hal ini harus mencakup interface antara perawatan kesehatan preventif, dasar dan sekunder. Semua
standar harus dapat diakses dan dipublikasikan dalam domain publik.
Isu dan Tantangan Akreditasi Kesehatan di Indonesia
Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab dalam program akreditasi kesehatan di
Indonesia sebelum mengaitkannya dengan program cakupan kesehatan semesta. Apa implikasi
yang akan muncul dengan diwajibkannya akreditasi setiap tiga tahun bagi rumah sakit? Apakah
KARS memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas tersebut mengingat kondisi KARS saat ini?
Walaupun akreditasi Puskesmas sudah berada dalam tahap akhir pengembangan standar, alat dan
pedoman implementasinya, tetapi siapa lembaga yang akan mengakreditasinya dan bagaimana
pelaksanaannya?
Kewajiban rumah sakit untuk diakreditasi setiap tiga tahun tertulis dalam Undang-undang rumah
sakit dan tidak dapat dirubah dengan Keputusan Menteri. Namun, opini hukum dapat berguna
untuk memperjelas sifat kewajiban tersebut (insentif atau sanksi pada siapa), dan apakah setiap
rumah sakit harus terakreditasi, atau hanya dinilai (setidaknya) setiap tiga tahun.
Jika Undang-undang rumah sakit jelas-jelas mengharuskan KARS mengakreditasi (bukan hanya
menilai) rumah sakit setiap tiga tahun terlepas dari kepatuhan terhadap standar, maka tidak
19
International Society for Quality in Health Care. International Principles for Healthcare
Standards http://www.isqua.org/accreditations.htm
53
mengherankan jika begitu sedikit yang ditolak akreditasinya. Dengan penetapan ketentuan bahwa
akreditasi dilakukan setiap tiga tahun, hal ini membatasi kemampuan KARS sebagai lembaga
penilai yang independen dan kredibel. KARS hanya merupakan duplikasi yang lebih canggih dari
sistem perijinan yang dioperasikan oleh masing-masing kabupaten. Selain itu, KARS adalah satusatunya badan akreditasi kesehatan nasional yang diakui oleh pemerintah sebagaimana tercantum
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 428 tahun 2012. Mengingat banyaknya jumlah rumah
sakit di negeri ini (2.103 rumah sakit yang terdaftar di Kemenkes), keputusan ini akan memberikan
beban kerja yang berat bagi KARS jika semua penyedia yang akan dikontrak oleh BPJS harus
diakreditasi oleh KARS.
Selain itu, karena KARS tengah mempersiapkan akreditasi ISQua, maka KARS memiliki banyak
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Berdasarkan self-assessment yang telah dilakukan, banyak
dari sistem operasional di KARS memerlukan perhatian dan peningkatan. Self-assessment yang
dilakukan pada tahun 2010 menunjukkan kepatuhan hanya 20% dari standar, padahal yang standar
diharuskan untuk terakreditasi adalah 75%. Agar sesuai dengan persyaratan ISQua mengenai tata
kelola organisasi dan kemandirian, maka KARS harus melakukan perubahan besar dalam struktur
organisasi. Selain itu, beberapa masalah teknis seperti standar akreditasi, keputusan akreditasi
dan pemberian status akreditasi, perencanaan dan keuangan, manajemen sumber daya manusia
dan manajemen survei juga harus ditingkatkan.
Umumnya KARS mengenali masalah tersebut, namun belum mengkaji waktu dan upaya yang
diperlukan untuk mengatasinya. Sebuah kelompok kerja telah dibentuk untuk menjelaskan kepada
ISQua bagaimana standar JCI telah terintegrasi dan seimbang dengan kebutuhan nasional dan
dengan pencapaian MDGs; penyelesaian tugas ini diperlukan untuk mengamankan jadwal tentatif
November 2013 terkait penilaian KARS oleh ISQua.
Untuk mendapatkan akreditasi organisasi dari ISQua biasanya diperlukan waktu sekitar dua tahun
untuk self-assessment dan persiapan, tetapi bahkan beberapa organisasi harus membujuk Kemenkes
mereka untuk menangguhkan peraturan tersebut guna memenuhi standar tata kelola dan
manajemen. Bahkan jika revisi peraturan bisa cepat selesai sesuai proses yang berlaku di Indonesia,
perekrutan dan induksi badan pengelola serta restrukturisasi manajemen tidak mungkin akan
selesai pada November 2013.
Akreditasi Puskesmas
Mengenai akreditasi Puskesmas, walaupun Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar telah
memfinalisasi standar, instrumen dan pedoman pelaksanaan untuk akreditasi Puskesmas dan
fasilitas kesehatan dasar lainnya, namun masih belum ada landasan hukum untuk badan akreditasi
yang terpisah dan independen. Isu dan tantangan dalam program ini sangat mirip dengan yang
dihadapi dalam akreditasi rumah sakit. Selain itu, jumlah Puskesmas dan fasilitas kesehatan jauh
lebih besar dibanding dengan rumah sakit (Total Puskesmas ± 9000).
Saat ini mungkin sudah terlambat untuk mencoba membuat konsep akreditasi untuk pelayanan
kesehatan dasar, karena setiap program baru membutuhkan setidaknya dua tahun untuk benarbenar “lepas landas”. Akreditasi Puskesmas harus bertujuan untuk memastikan bahwa pelayanan
dasar sektor publik dapat bekerja secara efektif setidaknya untuk pelayanan kesehatan yang
penting, dan bahwa masyarakat miskin dapat mengakses pelayanan kesehatan pada waktu yang
tepat. Dinas Kesehatan Kabupaten harus mengidentifikasi semua penyedia layanan kesehatan
54
dasar di tingkat kabupaten, dikategorikan sebagai berlisensi atau tidak berlisensi. Para penyedia
layanan kesehatan dasar berlisensi harus menjadi penyedia preferensial untuk JKN.
Dampak dari berbagai intervensi yang telah terbukti - seperti indikator kinerja, pedoman klinis
dan akreditasi – diyakini lebih tergantung pada budaya organisasi dan insentif dan bukannya
bergantung pada kompetensi teknis. Setiap elemen berkontribusi untuk siklus tujuan yang telah
ditetapkan, monitoring dan pengukuran, serta manajemen perubahan. Setiap program harus
memiliki peran yang teridentifikasi dalam strategi nasional dan berkontribusi terhadap perbaikan
keseluruhan sistem kesehatan. Banyak proyek di Indonesia saat ini mau pun baru-baru ini dapat
memberikan kontribusi untuk perbaikan, tapi tampaknya tidak ada strategi nasional untuk
mengintegrasikan dan memaksimalkan manfaatnya di seluruh sistem kesehatan (baik pemerintah
maupun swasta).
Bagaimana Menghubungkan Akreditasi dengan Cakupan
Kesehatan Semesta di Indonesia?
Jelas, tidak akan ada program akreditasi universal yang persis cocok dengan cakupan kesehatan
semesta di Indonesia pada bulan Januari tahun 2014, dan banyak faktor mungkin harus lebih
akomodatif untuk mencapai hal ini, bahkan untuk mencapainya dalam waktu tiga sampai lima
tahun. Keterkaitan dana asuransi dengan status akreditasi merupakan tujuan jangka panjang yang
penting, dan harus ditetapkan menjadi faktor dalam desain dan pengoperasian kedua sistem
tersebut. Keduanya harus konsisten dengan strategi nasional secara keseluruhan untuk
meningkatkan kualitas dan keselamatan dalam kesehatan.
55
NOTA
#10 KEBIJAKAN
Merokok dan Cakupan Kesehatan
Semesta: Apa Hubungannya? 20
Tantangan
Bank Dunia telah memperkirakan bahwa Cakupan Kesehatan Semesta di Indonesia akan menelan
tambahan biaya sebesar $13-16 miliar pada saat dilaksanakan.21 Kementerian Keuangan Indonesia
saat ini tidak sanggup untuk sepenuhnya mensubsidi setiap individu dari golongan hampir miskin
dan semua sektor informal, maka strategi yang coba diterapkan adalah dengan subsidi bertahap
yang dapat menyelaraskan pendanaan pusat dengan provinsi, kabupaten dan kontribusi minimal
keluarga, sebagaimana yang berhasil diterapkan di Cina selama 5 tahun terakhir.22 Premi per kapita
akan kurang dari $30 per tahun sesuai dengan model pemerintah.
Bagian dari upaya bertahap ini mungkin sekaligus untuk mendapatkan daya ungkit dari pendapatan
baru, misalnya pendapatan dari pajak baru untuk tembakau atau penghapusan subsidi BBM.
Pajak atas konsumsi barang-barang yang merugikan kesehatan seringkali dialokasikan untuk sektor kesehatan. Pajak atas konsumsi tembakau dan minuman keras, misalnya, sering dianggap
menguntungkan tidak hanya dari perspektif kesehatan masyarakat tetapi juga dari perspektif
ekonomi.23 Bahkan jika tidak dialokasikan untuk kesehatan pun, pajak yang lebih tinggi dapat
mencegah konsumsi dan mengurangi penyakit dan kecelakaan (dalam kasus konsumsi alkohol),
serta mengurangi permintaan akan pelayanan kesehatan di masa mendatang, yang tentunya dapat
mengurangi tekanan terhadap lebih banyak sumber daya.
20
Policy Note #10, ditulis oleh tim BPJS, Dr. Yunita Nugrahani dan Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk
salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu
yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah menaikkan pajak tembakau, namun
angkanya tetap rendah dibandingkan standar global.
21
Randy Fabi and Nilufar Rizki, “Indonesia’s Nationwide Health Care Plan Stumbles at First Hurdle,” Jakarta Globe, May
20, 2013.
22
Untuk contoh, lihat Liang, L. and Langenbrunner, J. China: The Long March to Universal Health Coverage, UNICO Case
Study Series, World Bank, 2013.
23
Thailand, Australia, AS dan Korea adalah contoh negara-negara yang berhasil menerapkan pajak atas tembakau dan
mengalokasikan pendapatan pajak tersebut untuk tujuan kesehatan masyarakat.
57
Gambaran Global
Penggunaan tembakau, dalam bentuk apapun, merupakan penyebab utama kematian yang dapat
dicegah di dunia. Merokok telah membunuh hampir 6 juta orang pada tahun 2011 dimana 80
persen terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seperti Indonesia. Negaranegara penghasil tembakau besar di dunia memangsa negara-negara berpendapat menengah
seperti Rusia, Brazil, India, dan Fililpina dengan sasaran generasi muda yang tidak menaruh curiga
sama sekali. Dengan kecenderungan saat ini, angka kematian akibat merokok tersebut diperkirakan
akan meningkat menjadi 8 juta korban jiwa per tahunnya pada 2030. Kematian dan masalah
kesehatan berhubungan dengan merokok ini, termasuk penyakit kronis seperti kanker paru-paru
dan jantung, menyebabkan kerugian ekonomi ratusan miliaran dolar di seluruh dunia setiap
tahunnya.24 Sebuah analisis menunjukkan bahwa menjadi perokok di usia 20-40 berisiko 20 kali
lipat menderita kanker paru-paru dibandingkan orang-orang yang tidak merokok. Hal ini didukung
oleh fakta bahwa banyak kematian terjadi selama usia produktif kerja (30-69 tahun), yang akan
mengurangi produktivitas secara keseluruhan dan kehilangan pencari upah keluarga.25 Apakah hal
ini terdengar lazim?
Apa yang dapat dilakukan? Apa pengalaman global yang bisa kita pelajari? Terbukti di beberapa
negara bahwa metode paling efektif mengurangi konsumsi tembakau dan meningkatkan kesehatan
adalah dengan menaikkan harga produk tembakau melalui kenaikan pajak.26 Harga tembakau yang
tinggi akan efektif mendorong orang untuk berhenti merokok, mencegah anak-anak muda untuk
mulai merokok, dan mengurangi jumlah tembakau yang dikonsumsi di antara pengguna tembakau.
Selain itu, meskipun mengurangi permintaan, pendapatan pajak tembakau terus meningkat seiring
waktu.
Gambaran mengenai Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 67% pria di atas usia 15 tahun merokok. Seperempat jumlah anak laki-laki
di Indonesia usia 13-15 tahun, juga merokok. Prevalensi perempuan merokok di Indonesia di bawah
10%, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada,
Polandia atau Brazil dimana lebih dari 20% perempuan merokok. Namun demikian, prevalensi ini
meningkat dari 4% pada tahun 2006 menjadi 5.1% pada tahun 2009, dan sudah dimulai pada usia
yang relatif muda (5 tahun). Sekitar 1 dari 4 anak perempuan telah mencoba merokok untuk
pertama kalinya sebelum usia 10 tahun (WHO, 2009). Walapun prevalensi perempuan merokok
jauh lebih rendah dibanding pria, pemerintah tidak boleh mengabaikan masalah ini.
Perokok pasif juga merupakan suatu masalah. Asap tembakau mengandung 7.000 jenis racun
toksin yang terdorong masuk ke tenggorokan pria, perempuan dan anak-anak di seluruh
Indonesia.
Indonesia memiliki industri rokok terbesar di dunia. Setidaknya ada 3.800 perusahan rokok di
Indonesia, termasuk industri rokok rumahan. Sekitar 3.000 dari perusahaan tersebut berlokasi di
24
WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2011.
25
Anh PH, Efroymson D, Jones L, FitzGerald S, Thu LT, Hein LTT. Tobacco and poverty: Evidence from Vietnam, literature review.
HealthBridge Foundation of Canada; 2011. Available from: http://www.healthbridge.ca/tobacco_poverty_Appendix%207%20
Vietnam%20Final%20Research%20Report.pdf.
26
See for example, WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2011, WHO, Tobacco Free Initiative http://www.who.int/tobacco/en/,
or theTobacco Atlas, op. cit.
58
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua provinsi ini juga merupakan penghasil rokok terbesar di
Indonesia. Dalam rentang waktu dua dekade, penjualan rokok di Indonesia telah meningkat 50
kali lipat dari Rp 1,4 triliun pada tahun 1981 menjadi Rp 51,9 triliun pada tahun 2001. Pendapatan
dari industri rokok mencapai 95% dari pendapatan cukai negara.
Gambar 1:
10 negara dengan konsumsi rokok terbesar
(dalam miliar batang)
Sumber: WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008.
Industri Rokok dan Perilaku Perokok
Namun, rokok mahal harganya untuk keluarga dan paling mempengaruhi masyarakat miskin.
Rokok saat ini merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras, dan rokok
merupakan 57% anggaran konsumsi rumah tangga, dan angkanya lebih tinggi lagi bagi masyarakat
miskin.27 Tembakau dikenakan pajak sebesar 38% dari harga sebatang rokok, jauh lebih rendah
dibanding negara ASEAN lainnya, yaitu Thailand dan negara-negara kawasan Uni Eropa atau
negara-negara yang tergabung dalam OECD seperti Chili dan Kanada (Gambar 2 ). Pada tahun
2014, angka ini ditingkatkan tetapi hanya sebesar 8.5%.
Merokok juga mengakibatkan biaya mahal bagi Pemerintah. Total biaya tahunan kesehatan untuk
rawat inap yang diakibatkan merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai paling sedikit
Rp 39,5 triliun (atau USD 4,03 miliar). Jumlah ini sama dengan 0,74% Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun yang sama dan 29,83% dari total pengeluaran pelayanan kesehatan. Sebagian
dari biaya ini berhubungan dengan perawatan penyakit gangguan paru-paru kronis (Rp 35,1 triliun
atau USD 3,6 miliar per tahun), diikuti kanker paru-paru (IDR 2,6 triliun) serta penyakit iskemia
(Rp 1,68 triliun).28
27
Universitas Indonesia, Demographic Institute, sebagaimana dilaporkan dalan Demotix website, 4 Januari 2013.
28
Nugrahani, Y, Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Thabrany, H., The Impact of Smoking to Annual Economic Consequences
in Indonesia: Cost of Treatment of Tobacco Related Diseases in Indonesia, International Health Economics Association
Conference, Sydney, Australia, July 2013.
59
Gambar 2:
Pajak baru untuk Produk Tembakau?
Tax as % of Price
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
United
Kingdom
Chile
Germany
Canada
Thailand
EU-15
Indonesia
Source: WHO, 2012
Indonesia akan semakin memperkuat peringatan kesehatan dengan menggunakan gambar
pada produk tembakau. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan
Anak menghimbau DPR untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering kali terpapar
iklan rokok dari tontonan budaya, musik, olah raga, peristiwa, termasuk yang ditayangkan
di televisi pada siang hari. WHO menyatakan bahwa larangan terhadap iklan rokok atau
sponsor rokok merupakan salah satu cara yang paling efektif mengurangi permintaan
(demand). Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara di ASEAN yang masih memperbolehkan
iklan rokok. Aturan hukum baru-baru ini telah membuat terobosan dengan membatasi
secara ketat iklan tembakau atau rokok, akan tetapi penegakan hukum nampaknya masih
menjadi masalah.
Namun, sekali lagi, hanya dengan meningkatkan harga produk tembakau telah terbukti
merupakan cara yang paling efektif memangkas prevalensi penggunaan tembakau.29
Menaikkan pajak produk tembakau bisa menjadi solusi “win-win-win” dengan meningkatnya
pendapatan pemerintah dari setiap bungkus rokok yang dijual, seiring waktu dampak
positifnya juga yaitu menurunnya prevalensi merokok, serta berkurangnya biaya perawatan
kesehatan dikarenakan penduduk yang semakin sehat.
Tahun lalu Pemerintah memperoleh pemasukan Rp 79,9 triliun dari pajak rokok, sementara
di sisi lain negara melihat kerugian ekonomi dan biaya kesehatan akibat penyakit yang
berhubungan dengan merokok sebesar Rp. 240 triliun.30
29
Untuk contoh, lihat, World Bank, Impacts of Health Promotion and Disease Prevention Programs, Adeyi and others,
2009.
30
60
Nadya Natahadibrata, “Calls for a complete ban on cigarette ads,” Jakarta Post, Hal. 4, 31 Mei, 2103.
Langkah Berikutnya?
Usulan yang sederhana mungkin adalah menaikan pajak tembakau untuk menutup biaya ekonomi
dan kesehatan akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. Hal ini harus segera dilakukan,
namun kepentingan politik mungkin saja mendikte dilakukannya pentahapan selama beberapa
tahun.
Sampai saat ini, mengapa pemerintah tidak bertindak? Sebagian besar pengamat beranggapan
karena adanya bentuk “korupsi” walaupun detailnya sulit untuk dilacak. Bentuk korupsinya
mungkin saja perusahaan-perusahaan tembakau besar mendanai dan mempengaruhi anggota
parlemen dengan bentuk perjalanan/pesiar, penggalangan dana, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Apakah penjelasan ini terlalu sederhana? Isu yang kedua mungkin menyangkut industry tanaman
pertanian dan pendapatan untuk tanaman tersebut terutama di daerah-daerah miskin. Namun, di
Indonesia, sebagian besar tembakau untuk industri sebenarnya diimpor. Dan di negara-negara
lain, seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa petani, seiring waktu, dapat dengan mudah
beralih ke tanaman hasil bumi lainnya.
Persoalan terakhir adalah pekerjaan, namun ini hanya merupakan kekhawatiran jangka panjang,
bukan dalam waktu dekat. Tantangan menaikkan harga tembakau akan mengurangi keuntungan
kepada perusahaan rokok, dan mungkin mengurangi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan
tersebut, masalah yang mungkin akan disorot dalam pembahasan tentang menaikkan pajak tembakau. Program pelatihan ulang atau jenis subsidi lainnya mungkin bisa ditawarkan, dengan imbalan berupa pendapatan yang lebih tinggi ke kas negara … untuk keperluan Cakupan Kesehatan
Semesta, dan yang terpenting adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di Indonesia.
Negara-negara di Eropa dan Amerika Utara serta di Asia (Singapura, Thailand) telah mendapati
bahwa pajak tembakau yang lebih tinggi dapat memberikan jalan yang lebih lapang menuju
pendanaan yang lebih baik dan peningkatan kesehatan.
61
NOTA
#11 KEBIJAKAN
Pelayanan Kesehatan Dasar dan
SJSN dalam Konteks Sistem
Kesehatan di Kabupaten/Kota31
Latar Belakang
Gerakan Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC) Alma Ata atau “Sehat untuk semua pada tahun 2000”
telah menjadi konsep sentral dalam pengembangan sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia,
dan sekarang pun masih relevan sebagai suatu konsep yang dapat mendukung tercapainya
Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan, pelayanan kesehatan, pemerataan dan keadilan sosial.32
Bagaimana Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) diharapkan dapat
meningkatkan kinerja sistem kesehatan di kabupaten/kota?
SJSN adalah pendekatan yang diterapkan di Indonesia untuk mencapai Cakupan Kesehatan
Semesta, satu dari empat bidang yang dianjurkan untuk reformasi sistem kesehatan yang didasarkan atas pelayanan kesehatan dasar. Reformasi cakupan kesehatan semesta akan memastikan
bahwa sistem kesehatan berkontribusi terhadap kesetaraan kesehatan, keadilan sosial dan mempromosikan inklusi sosial. Dengan kata lain, orang miskin, rentan dan terpinggirkan harus diberikan
perhatian khusus dalam cakupan kesehatan semesta.
31
Policy Note #11, ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Ilsa Nelwan dibawah Pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui
Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Policy Notes
sebelumnya dan yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org
32
Mengingat begitu terkenalnya istilah PHC, ada kebingungan diantara beberapa orang yang menggunakan istilah
berbeda secara bergantian seperti Primary Health Care dan Primary Care. Primary health care adalah pendekatan
pembangunan kesehatan; yang merupakan konsep yang luas dan komprehensif yang menempatkan pembangunan
kesehatan dalam pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan. Primary care hanya mengacu pada tingkat pertama
kontak atau dekat dengan pelayanan kesehatan pasien. Kontak pertama berbeda menurut letak geografisnya. Di daerah
pedesaan, biasanya puskesmas, poskesdes, kilinik atau praktik swasta (dokter, perawat dan bidan). Di daerah perkotaan,
mayoritas kelompok berpendapatan menengah dan tinggi berobat ke dokter praktik swasta, biasanya praktik umum
(GP) atau spesialis, atau langsung ke rumah sakit.
63
Ada tiga hambatan utama untuk mengakses perawatan kesehatan dan pelayanan medis; yaitu:
faktor fisik atau geografis, ii) faktor keuangan, dan iii) faktor sosial budaya – atau gabungan dari
faktor-faktor tersebut. Ini merupakan masalah mendasar karena banyak penduduk yang mungkin
memiliki akses ke fasilitas kesehatan, namun tidak memanfaatkan pelayanan dikarenakan kurangnya permintaan atau kesadaran. Promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan sangatlah penting
dalam meningkatkan permintaan terhadap pelayanan, dan kesadaran bahwa kondisi tertentu
dapat diatasi, dan tidak perlu membatasi kesejahteraan manusia.
Istilah Cakupan Kesehatan Semesta tidak harus diartikan bahwa 100% penduduk menerima
pelayanan medis, walaupun memang ditujukan untuk hal itu, terutama jika berbicara tentang
pembiayaan perawatan medis dengan menggunakan skema asuransi kesehatan. Melindungi
masyarakat miskin, rentan, dan terpinggirkan jauh lebih penting dari sekedar upaya mencapai
100% cakupan asuransi. Alasannya adalah, dalam sistem kesehatan yang didasarkan atas Pelayanan
Kesehatan Dasar (PHC), meningkatkan kesetaraan kesehatan sama pentingnya dengan meningkatkan taraf kesehatan (WHO, SEARO, 2011).
Seperti apa gambaran Sistem Kesehatan di Kabupaten/Kota di
Indonesia pada umumnya?
Sebuah sistem kesehatan terdiri dari beberapa organisasi, orang-orang dan tindakan yang tujuan
utamanya adalah untuk mempromosikan, memulihkan, mencegah penyakit atau memelihara
kesehatan. Ini termasuk upaya untuk mempengaruhi faktor penentu kesehatan, serta kegiatan
peningkatan kesehatan yang lebih langsung. Sebuah sistem kesehatan lebih dari piramida fasilitas
publik yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan. Sistem kesehatan meliputi, misalnya,
seorang ibu yang merawat anaknya yang sakit di rumah; penyedia layanan swasta; program
perubahan perilaku; kampanye pengendalian vektor; organisasi asuransi kesehatan; kesehatan
kerja; sistem hukum dan undang-undang keselamatan. Termasuk juga dalam hal ini, kegiatan
lintas sektoral, misalnya, mendorong Kementerian Pendidikan untuk mempromosikan pendidikan
perempuan, faktor penentu yang umum untuk peningkatan kesehatan, serta Kementerian
Perhubungan untuk mempromosikan penggunaan sabuk pengaman guna menghindari luka parah
bagi pengemudi dan penumpang kendaraan bermotor.
Sistem kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan unit analisis paling bawah yang mencakup
sub unit dan fungsi yang komprehensif sebagaimana digambarkan di bawah ini:
64
Sumber: Health system analysis to make them stronger. Josefine van Olmen et al;
ITG Press, Studies in Health Service Organization and Policy 27,2010
Di Indonesia, khususnya di Jawa-Bali, satu kabupaten biasanya berpenduduk antara di bawah 1
juta sampai dengan 2 juta, minimal terdapat satu rumah sakit umum, beberapa rumah sakit swasta
(profit dan non-profit) dan banyak dokter, perawat serta bidan praktik swasta.33
Kinerja Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota
Data layanan Imunisasi dapat digunakan sebagai indikator kapasitas sistem kesehatan kabupaten/
kota untuk memberikan layanan penting kepada kelompok yang paling rentan di populasi penduduk. Data ini tersedia di tingkat kabupaten/kota, dan merupakan kegiatan kesehatan dengan
dampak yang kuat pada morbiditas dan mortalitas anak, serta melindungi anak prasekolah dengan
memberikan jaminan bahwa pada akhir tahun pertama, imunisasi telah diberikan secara lengkap.
Data dapat diperoleh dari statistik layanan, Susenas, atau Riskesdas, dan bersifat valid, serta dapat
diverifikasi. Dengan demikian, cakupan imunisasi bisa menjadi acuan yang baik dari kinerja sistem
kesehatan kabupaten/kota.
Peta berikut menunjukkan cakupan DTP3 per kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dapat dilihat
bahwa sebagian besar kabupaten dengan cakupan DTP3 yang rendah (merah) berada di kawasan
33
Sebenarnya inti masalah kependudukan di Indonesia adalah kepadatan penduduk. Pulau Jawa, Madura, dan Bali yang luasnya Cuma
7% dari total daratan Indonesia, berpenduduk 135 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta per November 2011 adalah 10,187,595 jiwa. Sebaliknya,
provinsi of Papua yang luasnya meliputi 22% total daratan Indonesia, penduduknya hanya 1% dari populasi Indonesia. Total Penduduk
pulau Sulawesi pada tahun 2005 adalah lebih dari 16 juta. Jadi, pulau-pulau besar di Indonesia memiliki jumlah penduduk yang rendah,
sementara itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa dan Bali. Banyak kabupaten di Sulawesi, NTT, berpenduduk
kurang dari 100,000. Sulbar, penduduknya kurang dari satu juta; Gorontolo sekitar satu juta. Sulawesi Tenggara, 4.5 juta di 10 kabupaten.
Apa yang betul di Jawa Bali, belum tentu betul bagi Indonesia bagian timur. Sumatera, juga sangat berbeda dibanding Jawa.
65
Indonesia Timur: Nusatenggara, Maluku, Papua. Cakupan DTP3 yang rendah juga berada di
Kalimantan Tengah.
Source: SEAR annual EPI reporting form, 2011 (administrative data)
Sebuah kajian pada tahun 2010 menunjukkan perubahan kinerja sistem kesehatan di 10 kabupaten/
kota dalam hal tiga bidang pemanfaatan: pelayanan antenatal dan persalinan, cakupan imunisasi,
serta sumber dan penggunaan kontrasepsi (Heywood dan Choi, 2010). Dalam kajian ini, ditunjukkan
bahwa ada penurunan yang signifikan untuk angka melahirkan di rumah dan peningkatan angka
melahirkan di fasilitas kesehatan swasta di 5 dari 10 kabupaten. Ada sedikit perubahan dalam
penggunaan fasilitas umum yang sudah rendah. Tidak ada peningkatan angka vaksinasi ibu dan
anak-anaknya. Bagi mereka yang menggunakan metode kontrasepsi modern, sebagian besar
pelayanan ini didapatkan dari sektor swasta di semua kabupaten/kota.
Tantangan monitoring sistem kesehatan di kabupaten/kota dilaporkan dalam sebuah penelitian
(Heywood and Harahap, 2009) yang menyurvei fasilitas pelayanan kesehatan – publik dan swasta
– menurut jenisnya di 15 kabupaten/kota di pulau Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah
fasilitas pelayanan kesehatan di masing-masing kabupaten/kota jauh lebih besar dari yang
disajikan dalam banyak laporan maupun dalam sistem informasi kesehatan yang berpusat pada
fasilitas kesehatan umum, multi provider. Sejumlah 86% fasilitas adalah fasilitas provider tunggal
untuk layanan rawat jalan; 13% fasilitas multi provider untuk layanan rawat jalan, dan 1% fasilitas
multi-provider yang menawarkan layanan rawat jalan dan rawat inap.
Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM)
Pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan menetapkan keputusan menteri mengenai Indeks
Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Indonesia. Indeks ini merupakan indeks yang komprehensif berdasarkan data kesehatan berbasis masyarakat untuk pedoman perencanaan berbasis
bukti yang spesifik. Indeks dihitung menggunakan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), Susenas
(Survei Ekonomi Nasional) dan Survei Podes (Potensi Desa), dan terdiri dari 24 indikator kesehatan.
IPKM 2010 dihitung menggunakan data Riskesdas 2007, dengan rentang nilai 0 (terburuk) dan 1
(terbaik).
66
Dari 440 kabupaten/kota dimana Riskesdas diadakan, kabupaten yang terendah dengan IPKM
0.247059 (Pegunungan Bintang Papua), dan yang tertinggi dengan IPKM 0.708959 (Kota Magelang).
Semakin rendah nilai IPKM, semakin buruk masalah kesehatan di daerah tersebut. Untuk mengatasi
permasalahan ini, maka kabupaten/kota dengan IPKM yang rendah harus mendapatkan prioritas
dalam pembangunan kesehatan. Untuk daerah yang IPKM nya lebih rendah, maka dukungan
anggaran dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih tinggi. Gambar di
bawah ini menunjukkan peringkat provinsi dengan IPKM tertinggi (DI Yogyakarta) hingga provinsi
dengan IPKM terendah (NTT). IPKM dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan
antara kabupaten/kota dan provinsi.
Rentang IPKM kabupaten/kota terendah-tertinggi untuk masing-masing provinsi; dan gap
kesenjangan (inequity gap) digambarkan dengan grafik merah diatas. Dengan menggunakan ratarata IPKM dari 440 kabupaten/kota sebagai cut off point (0.51)34 hanya empat provinsi yang berada
di atas rata-rata, yaitu DIY, DKI, Sulawesi Utara dan Bali. Di sebagian besar provinsi, banyak kabupaten/kota yang IPKMnya lebih rendah dari 0.51.
Dengan menerapkan rata-rata IPKM ke kabupaten/kota yang terendah IPKM di suatu provinsi,
maka bisa diketahui isu kesenjangan tertinggi di tingkat provinsi terdapat di Papua Barat (0,21),
Maluku dan Sumatera Utara (-0,22), NTT (-0,23), Aceh (0,24) dan Papua (-0,26).
Tabel berikut menunjukkan rincian lebih lanjut IPKM Provinsi di masing-masing kabupaten, sebagai
ilustrasi diambil empat kabupaten di NTT.
Perbedaan antara Flores Timur vs Ngada, TTU atau Sumba Barat dapat dilihat dari perbedaan
peringkat nasional. Masalah sosial ekonomi jauh lebih tinggi di TTU dan Sumba Barat dibandingkan
dengan Flores Timur dan Ngada. Imunisasi dan pelayanan kelahiran oleh tenaga kesehatan terlatih
34
Peringkat tersebut tidak diukur berdasarkan populasi, juga termasuk kota-kota yang mungkin memiliki masalah yang
berbeda dengan kabupaten.
67
lebih baik di kabupaten yang lebih tinggi peringkat IPKM nya, sementara akses air bersih dan
sanitasi yang baik menunjukkan lebih buruk di kabupaten dengan peringkat IPKM yang lebih
rendah.
Isu-isu Kesehatan Masyarakat yang dipilih per Kabupaten di NTT
Flores
Timur
Ngada
Timor
TU
Sumba
Barat
187
231
313
406
PSE (data sosial ekonomi)
14.38
17.26
30.12
42.74
Kekurangan gizi
29.82
26.64
37.55
30.34
Imunisasi lengkap
45.93
64.73
38.67
35.55
Kelahiran yang ditangani tenaga
kesehatan terlatih
76.99
74.84
61.84
39.82
Akses air bersih
40.56
23.65
6.38
3.01
Sanitasi yang baik
51.04
30.04
18.86
9.87
Aktivitas fisik
67.32
63.54
58.64
61,6
Diet buah & sayuran
7.25
2.97
5.52
4.9
Kepemililkan JPK
22.26
30.09
54.28
73.5
Merokok
27,25
30.6
30.98
37.08
Indikator
Peringkat nasional
Sumber: Data IKPM 440 Kabupaten/Kota
Dengan tingginya prevalensi kurang gizi dan rendahnya cakupan imunisasi lengkap, maka penduduk akan memiliki prevalensi tinggi penyakit menular. Dengan rendahnya akses air bersih dan
sanitasi, status kesehatan penduduk akan sangat rendah. Juga rendahnya tingkat konsumsi buah
dan sayuran menjadi risiko kesehatan yang perlu ditangani dalam konteks penyakit baru yang
muncul seperti penyakit-penyakit tidak menular (PTM). Prevalensi tingginya angka merokok di
semua kabupaten adalah perilaku berisiko tinggi lainnya yang perlu ditangani.
Dari sini dapat dilihat bahwa IPKM juga merupakan sarana potensial untuk peningkatan efisiensi
sistem kesehatan, dengan mengalokasikan dana terutama di tingkat kabupaten dan provinsi
menuju kegiatan yang lebih hemat biaya seperti program kesehatan masyarakat.
Pelayanan Kesehatan Dasar dan SJSN
Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC) dapat memberikan kontribusi terhadap hasil pelaksanaan SJSN
yang lebih optimal. PHC mengacu pada tiga perspektif atau aspek:
•
•
•
68
Paket intervensi kesehatan masyarakat;
Tingkat pelayanan; dan,
Pemberdayaan masyarakat.
Pada tahun 1978, disepakati bahwa paket pelayanan kesehatan dasar tersebut terdiri dari minimal
delapan unsur, dimana langkah-langkah preventif dan promosi kesehatan diberikan penekanan
tanpa mengabaikan langkah-langkah kuratif dan rehabilitatif. Dengan kata lain, penekanan dalam
PHC adalah pada Kesehatan Masyarakat ketimbang pada perawatan medis. Pelayanan dasar merupakan aspek penting sebagai “gate keeper”dengan dukungan rujukan yang efektif. Pendekatan PHC
meliputi:
•
•
•
•
Pembiayaan kesehatan yang lebih adil melalui adopsi pra-pembayaran dan penggabungan
risiko (risk pooling) dibandingkan dengan pembayaran langsung;
Sistem kesehatan yang lebih responsif atau lebih berpusat pada orang;
Tenaga kesehatan berbasis masyarakat dan relawan masyarakat dibandingkan dengan tenaga
kesehatan berbasis institusi; dan,
Pendekatan pengembangan dibandingkan sekedar memberikan pelayanan kesehatan.
Tantangan SJSN untuk Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Januari 2014 adalah waktu dimulainya pelaksanaan SJSN. Persiapan sejauh ini lebih menekankan
pada tataran “konseptual” di tingkat nasional. Sebanyak 63,18% penduduk Indonesia saat ini akan
menjadi peserta awal SJSN (data 2011), termasuk memastikan bahwa 32,3% dari kelompok sasaran
Jamkesmas dan 13,5% kelompok sasaran Jamkesda akan dipertahankan menjadi peserta awal SJSN.
Tindakan mendesak yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi semua anggota terdaftar dari
program asuransi yang ada (Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan Jamkesda), ditambah penduduk
miskin dan penduduk rentan yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat.
Sementara itu, peraturan dan regulasi yang ada untuk menjamin pembiayaan dan tenaga kesehatan
di berbagai tingkatan harus ditinjau ulang dan direvisi. Disamping itu, perlu adanya konsistensi
dengan tanggung jawab SJSN, dan - mekanisme penyaluran dana nasional.
Dalam peluncuran program SJSN, apa strategi terbaik bagi kepala dinas
kesehatan untuk meningkatkan kinerja Sistem Kesehatan?
Fokus konsep SJSN saat ini adalah pada pelayanan kuratif. Oleh karena itu, rumah sakit kabupaten
akan menjadi pemimpin. Akan tetapi, agar SJSN dapat efektif mempromosikan kesehatan masyarakat, perlu dilakukan upaya dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten, yang harus memfasilitasi perubahan yang akan meningkatkan kesiapan sistem kesehatan kabupaten untuk
menyambut pelaksanaan SJSN.
Pertama dan yang terpenting, bagaimana kabupaten/kota akan mencari arah selama masa transisi
tanpa adanya reformasi regulasi yang diperlukan? Keputusan kebijakan dari tingkat nasional dan
daerah harus disiapkan.
Beberapa langkah penting yang harus dilakukan melilputi:
•
Tim Dinas Kesehatan kabupaten/kota harus mempersiapkan diri dengan peran baru dalam
implementasi SJSN termasuk memastikan kepemilikan oleh pemerintah daerah untuk pelaksanaan peraturan baru yang diperlukan;
69
•
•
•
•
•
•
•
Mengembangkan tim termasuk lembaga-lembaga swasta dan organisasi profesi dalam
mengantisipasi peluncuran SJSN. PT Askes mengkoordinasi pelaksanaan dan pendanaan,
namun dinas kesehatan kabupaten harus memfasilitasi perubahan yang diperlukan, dan
beradaptasi dengan institusi dan situasi setempat;
Menyiapkan lembar fakta dan bahan-bahan informasi untuk lembaga pelayanan kesehatan
dasar dan kerjasama penyedia layanan (provider). Menyiapkan lembaga pelayanan kesehatan
dasar dan penyedia layanan kesehatan dalam menghadapi implikasi SJSN terhadap praktik
yang mereka lakukan. Lembaga-lembaga dan penyedia layanan harus mampu menggambarkan
rencana transisi kontekstual yang relevan dari situasi sekarang untuk menghadapi implementasi
SJSN pada Januari 2014;
Dalam SJSN, lembaga Pelayanan Kesehatan Dasar dan pihak penyedia layanan akan bertindak
sebagai gatekeeper. Oleh karena itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu memastikan
bahwa semua institusi pelayanan kesehatan dasar dan penyedia layanan kesehatan mengembangkan kapasitas standar dengan sesi konsultasi dan kesempatan diskusi yang memadai;
Mempersiapkan layanan hotline, dan jaringan komunikasi diantara berbagai tingkatan, dengan
policy brief mengenai konsep dan rencana peluncuran SJSN.
Merencanakan penilaian kinerja sistem kesehatan kabupaten/kota yang dapat mengungkapkan
kelebihan dan kekurangan Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota dengan fokus pada implementasi
SJSN, termasuk penjajakan kebutuhan pelatihan mengenai konsep dan rencana SJSN;
Memperkuat kapasitas kabupaten/kota dalam pengumpulan dan analisis data untuk tujuan
perencanaan. Tindak lanjut berbasis bukti diperlukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dasar
dan pihak provider, serta rumah sakit-rumah sakit di kabupaten/kota;
Meminta persetujuan pemerintah daerah untuk perubahan dalam pengelolaan dana terutama
untuk menghadapi pelaksanaan SJSN.
Selain itu, kabupaten juga harus mencari dukungan, khususnya dalam:
•
•
70
Membina hubungan yang efektif dalam tim dinas kesehatan kabupaten/kota serta dengan
semua para pemangku kepentingan kesehatan: Askes, Jamsostek, pemerintah daerah, fasilitas
pelayanan kesehatan dasar termasuk lembaga swasta dan penyedia layanan kesehatan, rumah
sakit kabupaten/kota, organisasi profesi, media dan organisasi masyarakat madani;
Dukungan pusat dan provinsi untuk kepala dinas kabupaten/kota harus tersedia, baik melalui
teknologi informasi, atau kunjungan Pusat ke Provinsi, dan kunjungan Provinsi ke Kabupaten.
Hal ini akan memudahkan komunikasi yang lebih intensif dan solusi untuk masalah implementasi.
Referensi
1.
Regional Conference on PHC Revitalization, WHO SEARO, 2009. http://www.who.int/
management/district/RevitalizingPHC2008SEARO.pdf
2. Josefine van Olmen et al ITG Press, studies in health service organization and Policy 27,2010
http://www.strengtheninghealthsystems.be/doc/SHSO&P27_HS%20ANALYSIS_FINAL.pdf
3. Regional Strategy for Universal Health Coverage, WHO SEARO 2011, unpublished paper.
4. EPI fact sheeet Indonesia 2011
http://www.searo.who.int/entity/immunization/data/indonesia_epi_factsheet_2011.pdf
5. Health system performance in Indonesia after decentralization; Heywood and Choi BMC
international health and human right 2010; 10:3.
6. Health facilities at district level; Heywood and Harahap. Australia New Zealand Health Policy
2009; 6: 13.
7. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Kementrian Kesehatan RI 2010.
Peta Jalan menuju jaminan Kesehatan Nasional,Kementrian koordinator kesejahteraan Rakyat,
GIZ, AusAID, 2012.
71
NOTA
#12 KEBIJAKAN
Mendefinisikan dan Mengelola
Komponen Manfaat Farmasi
di bawah Program Asuransi
Kesehatan Universal Indonesia35
Upaya ambisius untuk mencapai cakupan semesta di Indonesia
Indonesia saat ini sedang dalam proses mempersiapkan penggabungan sistem asuransi yang ada
(PT Askes – yang meliputi pegawai negeri, Jamsostek - yang meliputi tenaga kerja formal sektor
swasta, skema asuransi untuk militer, Jamkesmas – yang mencakup masyarakat miskin /40%
terbawah; Jamkesda - lebih dari 300 skema regional dengan cakupan yang beragam). Pemerintah
berencana memperluas cakupan asuransi kesehatan melalui skema tunggal dengan tujuan untuk
mencakup layanan asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk pada 2019.
Paket manfaat, cakupan obat dan sistem manajemen berbeda dari skema satu ke skema lainnya.
Namun demikian, semuanya mencakup beberapa bentuk atau manfaat farmasi, artinya mekanisme
pemberian resep obat untuk pasien di bawah skema tersebut dibayar sepenuhnya atau sebagian.
Hal ini dapat dicapai dengan memberikan obat gratis kepada pasien di fasilitas-fasilitas kesehatan,
atau dengan penggantian pembayaran kepada apotek-apotek pengecer yang memberikan obat
kepada pasien berdasarkan resep dokter. Dari perspektif pasien, manfaat farmasi seringkali
merupakan bagian paling penting dari paket manfaat karena biaya obat-obatan yang tinggi dapat
dengan cepat menjadi dimensi bencana dalam kasus penyakit kronis atau yang mengancam jiwa.
Secara keseluruhan, obat-obatan juga meliputi lebih dari 30% total pengeluaran kesehatan di
Indonesia menurut laporan National Health Accounts terbaru tahun 2013.
Policy note ini dimaksudkan untuk membantu para perancang dan pelaksana dari program cakupan
kesehatan semesta yang cukup ambisius di Indonesia dengan gambaran pengalaman dari negara
lain yang berjuang, dan kurang lebih berhasil, untuk memberikan manfaat farmasi bagi beberapa
atau semua warga negara mereka secara efisien dan adil tanpa membuat bangkrut sistem
35
Policy Note #12 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Andreas Seiter dari Bank Dunia (World Bank). Untuk pertanyaan dan
komentar, silakan hubungi penulis: Andreas Seiter, World Bank ([email protected]). Untuk salinan Policy Note yang
lain dan sebelumnya, silakan menghubungi website www.aiphss.org.
73
kesehatan. Fokus dari policy note ini adalah pada paket manfaat untuk obat-obatan rawat jalan,
karena obat-obatan yang diberikan kepada pasien rawat inap biasanya dibayar melalui beberapa
bentuk pembayaran berbasis kasus yang mencakup semua masukan, tidak melalui penggantian
secara terpisah. Di Indonesia, INA-CBG akan digunakan untuk pembayaran penerimaan rawat inap.
Perencanaan dan persiapan yang baik merupakan kunci untuk
menghindari penyalahgunaan dan pengeluaran biaya yang
berlebihan
Rancangan dan pengelolaan manfaat farmasi sangat penting untuk keberhasilan dan keberlanjutan
keuangan dari setiap sistem pembiayaan kesehatan. Tanpa adanya kontrol dan alat manajemen
yang memadai, insentif bagi pemasok obat-obatan, penyedia layanan dan pasien akan mendorong
naiknya konsumsi dan biaya lebih cepat daripada paket manfaat farmasi dari biaya komponen
manfaat lainnya, dan lebih cepat daripada kemampuan tumbuhnya pendanaan sistem. Banyak
negara atau kawasan di dunia yang memperkenalkan sistem pembayar pihak ketiga dengan
manfaat farmasi di masa lalu membuat kesalahan dengan meremehkan dinamika pemanfaatan
dan pengembangan biaya. Jika aturan tambahan, pembatasan atau alat manajemen diperkenalkan
pada tahap berikutnya, resistensi dari semua pemangku kepentingan akan menjadi kuat dan
mungkin akan sulit untuk mengatur kembali sistem ke jalur yang berkelanjutan. Proses yang lebih
mudah adalah dengan memulai dengan model terbatas dan melonggarkan aturan secara bertahap
segera sesudah implikasi biaya dapat lebih terkontrol.
Penggerak biaya utama untuk komponen manfaat farmasi dari suatu paket manfaat adalah:
•
•
•
•
•
•
74
Peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan: penghapusan hambatan akses keuangan
dan peningkatan jumlah serta kualitas penyedia layanan akan membawa lebih banyak pasien
ke dalam sistem tersebut. Pasien yang sebelumnya tidak diobati sekarang akan dirawat dan
mulai mengkonsumsi obat;
Penduduk yang bertambah tua: pasien berusia tua dengan penyakit-penyakit kronis
mengkonsumsi obat lebih banyak dibandingkan pasien berusia muda;
Perasaan memiliki hak: baik pasien dan pemberi resep biasanya akan bersandar kepada sikap
“lebih banyak lebih baik”. Penghapusan masalah keterjangkauan pada tingkat individu akan
menyebabkan lebih banyak resep per kapita dan beralih ke pengobatan yang lebih mahal yang
dianggap lebih baik atau lebih kuat. Praktik umum lainnya bagi penyedia layanan kesehatan
adalah memberi resep obat bermerek yang lebih mahal sekalipun obat generik yang lebih
murah akan lebih sesuai;
Pemasaran industri dan promosi: baik pasien dan pemberi resep rentan terhadap pesanpesan pemasaran dan insentif promosi yang nyata yang ditawarkan oleh perusahaan obat,
yang mana keduanya cenderung mendukung tren yang dijelaskan pada poin sebelumnya;
Insentif keuangan (sisi penawaran): jika penyedia layanan kesehatan (klinik, dokter individu,
petugas kesehatan, apoteker) mendapatkan uang sebanding dengan nilai obat-obatan yang
mereka resepkan atau jual, mereka akan mencoba untuk memaksimalkan pendapatan mereka
dengan mendorong penggunaan obat yang lebih banyak dan produk obat yang mahal (margin
yang lebih tinggi);
Inovasi: begitu obat baru dengan manfaat tambahan yang nyata atau diduga memiliki manfaat
tambahan beredar di pasar, maka akan ada tekanan untuk memasukkan obat-obat tersebut
dalam paket manfaat farmasi. Biaya per pasien bisa 100 kali atau lebih dibandingkan dengan
•
•
•
obat-obatan sebelumnya, yang dapat memunculkan masalah pendanaan yang cukup signifikan
sekalipun hanya sedikit pasien yang dirawat;
Peningkatan harga: produsen dan distributor dapat mencoba untuk meningkatkan harga di
semua tingkatan rantai suplai begitu faktor keterjangkauan individu tidak lagi relevan: selama
obat-obatan dibeli secara langsung (out-of-pocket), harga tinggi menjadi kendala untuk
memperoleh pangsa pasar;
Penipuan dan penyalahgunaan: setiap sistem yang memisahkan pengguna dari pembayar
menciptakan peluang adanya penipuan dan praktik-praktik korupsi. Contohnya adalah suap
dan sogok kepada pengambil keputusan administratif dengan kontrol atas akses ke pendanaan
dan ke pemberi resep, klaim palsu obat-obatan yang sebetulnya tidak diberikan; pasien yang
menggunakan hak individu untuk memperoleh obat-obatan untuk orang lain yang tidak
memiliki hak tersebut;
Keterlibatan yudisial: Pasien di beberapa negara dapat mengambil tindakan hukum terhadap
pemerintah mereka di bawah klausul “hak atas kesehatan” dalam konstitusi mereka, jika
pembayar terlihat membatasi akses terhadap obat-obatan baru yang mahal.
Berdasarkan pengalaman yang sebelumnya, dalam sebuah sistem yang tidak terkelola baik, semua
faktor ini akan datang dan berperan, sehingga menyebabkan sistem menjadi tidak berkelanjuta/
bertahan secara keuangan, kecuali adanya pengendalian yang efektif terhadap sistem tersebut.
Memulai dengan sistem pengumpulan data dan monitoring
Situasi awal yang khas di negara yang sejauh ini memiliki sistem pembiayaan kesehatan berbasis
pembayaran langsung oleh perorangan (out-of-pocket) ditandai dengan tidak adanya pengumpulan
data sistematis tentang penggunaan obat di tingkat penyedia. Merancang sistem tersebut
(komputerisasi), mengujikan dan memperkenalkannya kepada penyedia harus menjadi langkah
pertama menuju penetapan manfaat farmasi, dan harus ada langkah-langkah untuk memastikan
data dikumpulkan secara terus menerus. Daya komputasi yang signifikan diperlukan untuk agregasi
dan analisis data secara terus-menerus serta untuk membuat laporan yang memungkinkan
pembayar untuk memantau parameter penting secara “real time” dan melakukan langkah-langkah
untuk memperbaiki tren yang tidak diinginkan.
Indonesia telah memiliki pengalaman dalam sistem manajemen semacam itu dengan PT Askes
dan penyedia asuransi swasta. Mengintegrasikan sistem yang ada, menutup celah dan memperkenalkan sistem manajemen untuk mencakup semua penyedia layanan yang berpartisipasi dalam skema
baru merupakan suatu tugas besar dalam keseluruhan upaya integrasi. PT Askes memimpin upaya
ini. Beberapa penggerak biaya yang disebutkan di atas akan tetap tidak terkelola - cukup menyebabkan darurat dana paling lambat dua atau tiga tahun ke dalam pelaksanaan komponen manfaat
farmasi kecuali jika sistem tersbut berfungsi baik. Biaya awal untuk memperbarui dan meluncurkan
koleksi data dan sistem manajemen mungkin tampak tinggi, tetapi ketika dimasukkan ke dalam
perspektif dan dibandingkan dengan kemungkinan biaya berlebih (overrun) pada obat-obatan
dalam sistem yang dikelola dengan buruk yang dapat dengan mudah mencapai 5-10% dari total
anggaran untuk obat-obatan atau lebih, biaya ini akan teramortisasi dengan sangat cepat.
Penyedia layanan dapat diminta untuk membayar penempatan individu dan pelatihan (hardware
dan software) sebagai bagian dari lisensi/akreditasi di bawah skema pembiayaan. Data perlu dikumpulkan baik di tingkat pemberi resep atau apotek. Pembayar memiliki kesempatan satu kali
untuk menentukan persyaratan bagi penyedia yang tertarik untuk berpartisipasi dalam skema
75
pembiayaan baru dengan manfaat farmasi. Setelah penyedia terakreditasi atau dikontrak, akan
lebih sulit untuk menegakkan langkah-langkah tambahan yang dapat meningkatkan pengawasan
manajemen. Jika penyedia tidak memiliki akses ke pendanaan yang memadai untuk membuat
investasi yang sederhana ke dalam lokasi kerja (workstation) dan paket perangkat lunak, lembaga
pembayar bisa memberikan pinjaman yang diamortisasi kemudian dari reimbursement ke penyedia.
Parameter yang harus dicatat dan dimasukkan ke dalam database pusat adalah:
•
•
•
•
Tingkat Pasien: Identitas tunggal (unique identifier), usia, jenis kelamin, diagnosis berdasarkan
sistem pengkodean yang umum digunakan, kemungkinan alergi dan kontraindikasi, untuk
menentukan kelayakan obat spesialis tertentu, parameter terkait tambahan diagnostik atau
kepatuhan (misalnya: pendaftaran dalam pendidikan pasien atau program manajemen
penyakit) mungkin perlu ditambahkan, pengenal statusnya yang relevan bagi hak tertentu,
misalnya status terkait pendapatan /sosio-ekonomi, kecacatan, status veteran dll., yang dapat
mempengaruhi pemebayaran bersama atau pasien;
Identitas tunggal (unique identifier) untuk penyedia layanan/pemberi resep;
Merek dan nama generik, bentuk takaran, kekuatan dan jumlah unit obat yang diresepkan dan
dikeluarkan, harga (harga secara alternatif dapat ditarik dari database yang terpisah);
Tanggal dan waktu resep serta pengeluaran untuk mengidentifikasi pengobatan berurutan
dibandingkan perawatan ganda yang tidak perlu (misalnya dalam kasus infeksi, di mana satu
antibiotik dapat digunakan terlebih dahulu dan yang lainnya setelah itu, sehingga tidak
efektif);
Sistem seperti itu mengumpulkan data sensitif secara pribadi, sekalipun nama pasien disimpan
terpisah dari identitas tunggal (unique identifier) yang digunakan untuk agregasi data individu.
Kebijakan perlindungan data dan badan pengawas yang menjamin kerahasiaan data pasien akan
menjadi pendekatan “praktik yang baik” untuk mengatasi risiko ini. Database yang menyimpan
semua informasi harus diatur dengan cara yang membatasi akses hanya ke staf yang berwenang
saja, melacak setiap permintaan data dan mengidentifikasi siapa yang membuat permintaan
tersebut dan kapan, dengan cara yang tidak dapat dimanipulasi atau dihapus.
Apa yang harus dilakukan dengan data?
Data yang dikumpulkan dalam setiap transaksi dimasukkan ke database pusat, dimana “manajer
manfaat farmasi” - biasanya sebuah unit di lembaga pembayar atau penyedia layanan sub-kontrak
yang khusus menangani bidang ini - memiliki akses ke database tersebut. Data digunakan untuk
membuat laporan yang menyediakan informasi kinerja sistem secara teratur. Data tersebut juga
memberikan dasar bagi langkah-langkah untuk mempengaruhi perilaku penyedia dan pasien jika
diperlukan. Contoh laporan tersebut dan langkah berikutnya adalah:
•
36
76
Penelusuran belanja bulanan di tingkat pusat dan dirinci ke tingkat regional, sub-regional atau
fasilitas/pemberi resep individu. Rincian data dapat digunakan untuk memberikan umpan
balik kepada penyedia dalam kaitannya dengan target anggaran yang ditetapkan pada awal
periode fiskal. Data juga mungkin bisa digunakan untuk menghubungkan insentif, sanksi,
audit individu atau langkah-langkah pendidikan (misalnya: “detailing akademik”36) untuk
tingkat pembelanjaan;
http://en.wikipedia.org/wiki/Academic_detailing
•
•
•
•
Pencarian pola yang menunjukkan potensi penipuan atau penyalahgunaan, seperi lokasi
pemberi resep dan apotek yang salling berdekatan yang biasanya menunjukkan penggunaan
obat-obat tertentu yang mahal. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan audit individu;
Mengukur kesesuaian dengan pedoman pengobatan teknis, contohnya dengan mengidentifikasi
pemanfaatan campuran untuk baris pertama, baris kedua dan baris ketiga perawatan untuk
penyakit kronis tertentu di tingkat penyedia. Penyedia yang memanfaatkan secara berlebih
perawatan yang lebih mahal dari yang diharapkan tanpa pembenaran yang masuk akal dapat
ditargetkan untuk tindakan yang disarankan dalam poin pertama diatas;
Mengukur indikator lain penggunaan obat yang rasional, seperti pemberian resep antibiotik
untuk infeksi ringan, poli farmasi umum37, penggunaan obat generik vs obat asli bermerek
sebagaimana yang dijelaskan pada poin pertama diatas;
Menegosiasikan harga yang lebih rendah dengan pihak produsen, berdasarkan tren yang
ditemukan dalam data.
Daftar ini tentu saja belum lengkap, ada banyak kemungkinan lain seperti evaluasi pola daerah
(sangat relevan bagi Indonesia dengan struktur pemerintahan yang bersifat desentralisasi),
perbedaan berdasarkan status sosial atau struktur penyedia layanan dapat dinilai dan mungkin
relevan sebagai pemicu langkah-langkah kebijakan. Poin utamanya adalah bahwa sistem pengumpulan data yang solid merupakan pra-syarat yang diperlukan untuk berfungsinya pengelolaan
manfaat farmasi di bawah sistem pembiayaan kesehatan. Menunggu untuk peluncuran sistem
pengumpulan data setelah sistem asuransi dilaksanakan dan ketika tanda pertama pembelanjaan
yang berlebihan (overspending) dan misalokasi terlihat dapat diumpamakan dengan lepas landasnya
pesawat tanpa instrumen navigasi fungsional. Hal ini merupakan hal yang berbahaya dan dapat
menyebabkan kegagalan sistem atau biaya menjadi berlipat dari investasi awal yang diperlukan
selama bertahun-tahun.
Jika karena alasan politik pelaksanaan paket manfaat farmasi tidak bisa menunggu sampai adanya
sistem yang baik, maka menetapkan anggaran tetap obat untuk fasilitas kesehatan merupakan
cara potensial untuk membatasi risiko anggaran. Sistem akuntansi fasilitas atau kontrak farmasi
memonitor biaya semua obat-obatan yang dikeluarkan terhadap anggaran, dan menginformasikan
sisa anggaran kepada pemberi resep di fasilitas tersebut secara teratur. Setelah anggaran untuk
periode tertentu (biasanya satu kuartal) telah digunakan, pasien harus membayar langsung (out
of pocket) atau menunggu untuk periode anggaran berikutnya. Model penjatahan tersebut
digunakan secara rutin di beberapa negara di Eropa Timur dan bekerja dengan baik dalam hal
“tetap dalam anggaran” (staying within budget). Namun, ada permasalahan yang jelas menyangkut
keadilan terhadap pasien yang sakit menjelang akhir periode anggaran. Pasien sakit kronis cepat
belajar dengan mengumpulkan resep mereka pada awal periode, ketika dana masih tersedia.
Menggunakan teknologi sebagai solusi potensial di daerah yang
belum berkembang
Jaringan data seluler membuka cara-cara baru yang potensial untuk memantau transaksi dan
bahkan proses pembayaran kepada penyedia. Penyedia bisa menggunakan aplikasi ponsel pintar
untuk mendaftarkan pasien dan transaksi proses. Aplikasi ini dapat digunakan untuk memandu
37
Penggunaan terlalu banyak obat tanpa indikasi dan pertimbangan yang memadai tentang potensi efek samping,
interaksi
77
penyedia berdasarkan pedoman pengobatan standar, memverifikasi identitas pasien, misalnya
melalui foto yang diambil dengan kamera telepon, dan mengirim semua data transaksi ke server
pusat. Di tempat-tempat yang memiliki pembayaran berbasis telepon seluler dan layanan transfer
uang, pembayaran dapat dikirim ke penyedia segera setelah transaksi dilakukan. Batas anggaran
dapat dikelola secara perorangan, misalnya dengan membatasi jumlah pasien yang dapat didaftarkan satu provider dan jumlah konsultasi serta resep yang bisa didapatkan pasien. Sistem ini dapat
memberikan akses data aktual (real time) pada server pusat (data rahasia pasien perlu dipisahkan
dari data transaksi yang untuk keperluan manajemen), dan karena itu memungkinkan untuk
penyesuaian segera parameter sistem, jika hasil tidak didapat sebagaimana yang diharapkan.
Masalahnya mungkin saja kesulitan untuk mengelola program manfaat komprehensif melalui
aplikasi seperti itu – belum ada pengalaman dengan cara ini dalam mencoba untuk mengganti
sistem yang didasarkan pada komputer yang menggunakan software yang kompleks dan koneksi
internet kabel.
Mengatur parameter kunci
Manfaat farmasi dapat ditetapkan melalui parameter berikut ini:
•
•
•
•
78
Daftar inklusi (positif) atau ekslusi (negatif) obat-obatan yang memenuhi syarat untuk penggantian. Sebagian besar negara menggunakan daftar positif (formularium), yang berarti hanya
obat dalam daftar ini yang mendapatkan penggantian. Beberapa negara memiliki lebih dari
satu daftar obat - biasanya daftar prioritas untuk obat-obatan penting yang dapat diresepkan
tanpa pembatasan dan tarif pembayaran bersama (co-payment) lebih rendah, dan daftar
“spesialis” yang dapat membawa pembatasan tertentu (lihat di bawah) dan /atau co-payment
pasien dengan tarif yang lebih tinggi. Kadang-kadang ada juga daftar terpisah untuk rumah
sakit-rumah sakit seperti di Cina;
Tingkat penggantian, dinyatakan sebagai % dari harga eceran obat. Harga dapat bervariasi,
misalnya 100% penggantian untuk obat-obatan penting dan yang sifatnya untuk menyelamatkan
hidup, dan persentase yang lebih rendah untuk obat-obatan lainnya. Tingkat penggantian
dapat lebih tinggi untuk obat-obatan yang menurut anggapan pembayar hemat biaya, misalnya
jika ada perjanjian kerangka kerja dengan produsen obat generik tertentu. Perbedaan antara
tingkat penggantian dan harga eceran harus dibayar oleh pasien;
Kelayakan pasien: kelompok pasien yang berbeda mungkin memenuhi persyaratan untuk
berbagai tingkat cakupan. Dalam lingkungan dengan sumber daya rendah, cakupan mungkin
terbatas misalnya untuk wanita hamil, anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Kemungkinan
lain juga adalah sistem yang menawarkan perlindungan dalam kasus penyakit parah dan
kronis dan meninggalkan pengobatan penyakit akut dan penyakit ringan yang harus dibayar
langsung (out of pocket);
Pembayaran bersama (co-payment) pasien: dikumpulkan pada titik di mana obat itu dikeluarkan.
Beberapa sistem memiliki co-payment yang bersifat keseluruhan (flat) per resep atau per item
pada resep. Beberapa hanya memiliki persentase co-payment, melengkapi tingkat penggantian
yang disebutkan sebelumnya (80% penggantian berarti 20% co-payment). Beberapa sistem
menggabungkan co-payment flat (juga disebut sebagai dispensing fee) dengan persentase
co-payment pelengkap. Banyak sistem memiliki aturan pembebasan dari co-payment,
berdasarkan status pendapatan, kondisi yang sudah ada seperti cacat atau penyakit kronis,
usia, status veteran perang sebagai, atau yang lainnya. Biasanya orang yang termasuk dalam
klausul pengecualian memiliki beban penyakit yang lebih tinggi dan pengeluaran obat yang
lebih tinggi, yang perlu dipertimbangkan ketika memperkirakan penghematan biaya dari
diperkenalkannya co-payment pasien. Beberapa sistem membatasi co-payment untuk jumlah
•
•
•
•
•
absolut maksimal per periode pembayaran (misalnya USD 50 - kurang lebih setara IDR 660.000
per tahun) untuk mengurangi beban pada pasien dengan penyakit kronis. Sebaliknya, beberapa
sistem menetapkan cara deductible, dimana sejumlah uang (deductible) harus dibayar langsung
oleh pasien, sebelum menerima salah satu manfaat yang disebutkan.
Pembatasan untuk obat-obat tertentu pada daftar penggantian: beberapa obat-obatan hanya
dapat diganti bila diresepkan oleh dokter spesialis atau di lingkungan kelembagaan yang
ditetapkan atau setelah pra-persetujuan individual oleh spesialis yang bekerja untuk pembayar.
Beberapa pembayar membatasi akses hanya untuk perawatan mahal tertentu ke sejumlah
pasien yang ditetapkan. Pasien baru dimasukkan dalam daftar tunggu dulu. Beberapa obat
mungkin dapat diberikan hanya untuk waktu yang terbatas dan kemudian memicu evaluasi
ahli dan keputusan mengenai cakupan lebih lanjut;
Harga penggantian: persentase yang diganti, pembayar dapat menetapkan atau menegosiasikan
harga eceran untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar penggantian. Penerimaan harga
ini bisa menjadi syarat bagi produsen untuk mendapatkan obat yang termasuk dalam daftar.
Banyak digunakan model yang menggunakan keranjang produk sebanding untuk menentukan
harga maksimum penggantian;
Batas anggaran (budget cap): batas anggaran per periode pembayaran (biasanya per kuartal)
dapat diterapkan pada tingkat pusat, di tingkat regional /kabupaten, per penyedia layanan
atau bahkan per pasien. Setiap pendekatan memiliki tantangan implementasi dan kesulitan
tersendiri. Sebagai contoh, sistem yang yang menerapkan batas anggaran di tingkat kabupaten
akan mensyaratkan penyedia dan pasien untuk menggeser kegiatan ke awal periode fiskal.
Menjelang akhir, setelah anggaran habis, penggantian akan ditolak sekalipun ada indikasi
medis untuk pengobatan;
Peran dan pembayaran apoteker yang mengeluarkan obat: perlu didefinisikan apakah apoteker,
yang mengeluarkan obat-obatan baik di pusat kesehatan masyarakat atau di apotek swasta,
memiliki hak untuk mengganti satu produk untuk alternatif yang setara;
Ketentuan khusus obat-obatan mahal: Beberapa sistem mengecualikan obat mahal tertentu
dari status penggantian umum dan melakukan pengadaan secara terpisah dengan anggaran
yang ditetapkan. Pasien ditawarkan pengobatan hanya di pusat-pusat kesehatan tertentu dan
obat-obatan dapat disampaikan melalui saluran suplai terpisah. Setiap pasien harus disetujui
untuk mendapatkan pengobatan, dalam model ini mirip dengan yang dijelaskan di atas dalam
“Pembatasan untuk obat-obat tertentu.” Jika permintaan melebihi penawaran, biasanya akan
ada daftar tunggu untuk pasien.
Menetapkan daftar penggantian
Proses untuk menambahkan obat baru ke daftar penggantian, menghilangkan obat usang atau
merubah status penggantian (reimbursement) jika data baru tersedia merupakan wewenang pusat
manajemen manfaat farmasi. Produsen memerlukan status penggantian untuk produk mereka
agar memiliki penjualan di segmen pasar yang tercakup oleh pembayar. Dokter dan pasien memiliki
pendapat mereka sendiri mengenai obat mana yang penting dan akan memberi tekanan pada
produsen agar obat tersebut dimasukkan ke dalam daftar. Produsen membangun dan menggunakan
aliansi dengan pemberi resep dan kelompok pasien untuk meningkatkan tekanan terhadap
pengambil keputusan. Akibatnya, tekanan terhadap para pengambil keputusan menjadi kuat dan
proses pengambilan keputusan dapat dengan mudah dipolitisasi atau bahkan dikorupsi.
Untuk mengurangi tekanan politik, proses memasukkan obat ke dalam daftar penggantian (atau
mengubah status penggantian atau menghapuskan obat lama) harus didasarkan pada aturan-
79
aturan yang jelas dan diorganisasikan dengan cara yang transparan dan inklusif dari berbagai
sudut pandang. Banyak negara memiliki pedoman pengobatan, yang biasanya dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan masyarakat medis profesional. Jika pedoman seperti
itu ada, jelas bahwa daftar penggantian harus mencakup obat-obatan yang disebutkan dalam
pedoman ini. Akan tetapi, untuk obat-obatan inovatif, sering kali keputusan untuk memberikan
penggantian terbatas dibuat jauh-jauh hari sebelum pedoman pengobatan diperbarui. Perlu
adanya penilaian terhadap obat baru berdasarkan data awal dan pengambilan keputusan mengenai
penggantian (reimbursement). Negara-negara maju telah menetapkan lembaga khusus untuk
penilaian teknologi baru (Health Technology Assessment = Penapisan Teknologi Kesehatan).
Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah akan menghadapi dilema yang sama, bahwa
tidak semua yang diinginkan akan terjangkau, tetapi mereka mungkin tidak mampu mendanai
penuh lembaga yang berfungsi untuk melakukan penilaian produk dan pendekatan baru.
Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan paling sedikit kapasistas untuk mendapatkan
dan memahami pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga khusus dari negara-negara lain
dan memprosesnya dengan pengambilan keputusan yang rasional dan transparan dengan
mempertimbangkan prioritas nasional dan realitas ekonomi. Diagram berikut ini menggambarkan
secara sederhana bagaimana proses ini berlangsung:
Publicly available data &
analysis (example NICE)
Decisions made
by other countries
Manufacturer
provided data
Context-specific
considerations
• Health priorities
• Applicability of data
• Available funds
• Economic impact
• Subjective suffering
• Delivery capacity
• Other relevant factors
Rejection
Or
Go-ahead for negotiations
with supplier
Indonesia saat ini tengah bergerak untuk menetapkan proses penilaian teknologinya sendiri.
Menggunakan daya beli dalam negosiasi dengan pihak penyedia
Sisi lain dari tekanan politik pada pembayar yang memberikan penggantian untuk obat-obatan
adalah daya beli yang berasal dari peran sebagai pembayar utama atau pembayar monopoli.
Indonesia akan menikmati model pembayar tunggal ini dan perlu meningkatkan daya belinya.
Penggunaan daya beli ini secara bijaksana dapat menjadi kunci untuk memberikan nilai bagi
pasien yang dicakup oleh skema manfaat obat sebaik mungkin. Ini berarti bahwa pembayar perlu
memutuskan apakah akan menerima obat baru untuk penggantian untuk negosiasi dengan
pemasok. Seringkali negosiasi berfokus hanya pada harga, dan hampir semua asuransi dan skema
manfaat obat menggunakan bentuk penemuan harga dan proses penetapan harga. Akan tetapi,
untuk produsen obat-obatan inovatif, ruang untuk membuat konsesi sangat terbatas: Sistem
penetapan harga ini cenderung saling mereferensikan satu sama lain, sehingga produsen enggan
untuk menawarkan harga lebih rendah di satu negara daripada yang lain, dan bersifat independen
atau terlepas dari pendapatan per kapita.
80
Sebuah strategi negosiasi yang cerdas adalah dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini dan
bertujuan membatasi jumlah pasien yang dicakup dengan harga penuh, sementara produsen
harus menyediakan akses terhadap obat tersebut secara gratis atau dengan biaya yang dikurangi
secara tajam jika permintaan melebihi jumlah pasien yang disepakati. Variasi dari model ini bisa
juga dengan cara produsen memberikan lisensi sukarela untuk versi generik, yang kemudian
digunakan secara eksklusif di segmen pasar yang menargetkan populasi yang rentan secara
ekonomi. Rincian seperti kesepakatan “berbagi risiko” dan program akses mungkin berbeda dari
satu obat ke obat lainnya, dan dari satu negara ke negara lainnya. Yang penting adalah bahwa
proses pengambilan keputusan memaksa kedua belah pihak (pembayar dan produsen) untuk
duduk bersama dan bernegosiasi untuk menghasilkan solusi terbaik.
Peran distributor dan apoteker
Banyak sistem memungkinkan apoteker untuk mengganti obat dengan yang lebih rendah
(downwards), artinya mengganti obat asli atau generik yang lebih mahal dengan yang obat yang
setara dengan harga yang lebih rendah. Dalam beberapa sistem, apoteker harus menawarkan versi
yang paling hemat biaya kepada pasien. Unsur penting untuk keberhasilan sistem tersebut adalah
cara pembayaran kepada apoteker. Jika pembayaran adalah persentase dari harga eceran, apoteker
tidak memiliki insentif untuk merekomendasikan alternatif yang lebih hemat biaya. Sebaliknya,
jika apoteker dibayar melalui biaya pengeluaran yang flat, kepentingan diri tidak akan berbenturan
dengan pengeluaran biaya yang disadari (cost-conscious dispensing).
Ada faktor lain yang sering diabaikan dampaknya terhadap praktik pengeluaran: untuk obat yang
memiliki banyak kesetaraan generik yang bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar, kekuatan
apoteker untuk mengganti menjadi faktor penting dalam memastikan penjualan. Alih-alih
membujuk dokter untuk meresepkan merek tertentu, perwakilan perusahaan obat menawarkan
obat bebas untuk grosir/distributor dan apoteker ritel untuk menekan persaingan. Karena pembayar
biasanya tidak memiliki kontrol atas catatan transaksi grosir dan apoteker, ini bisa mendapatkan
penggantian penuh untuk obat-obatan yang mereka jual, apakah mereka membayar untuk mereka
atau menjadikannya mereka secara gratis sebagai “bonus”. Di banyak negara, sistem bonus telah
mendistorsi insentif dalam rantai distribusi.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah bernegosiasi langsung dengan produsen untuk mendapatkan harga yang rendah dan kemudian membatasi hak substitusi bagi apoteker untuk sejumlah
kecil alternatif “yang lebih disukai” yang dipilih untuk setiap obat. Status “lebih disukai” harus
dinegosiasikan ulang atau didefinisikan dalam proses tender secara berkala (misalnya setiap tahun
atau setiap dua tahun) untuk memastikan jumlah produsen yang memadai tetap berada di pasar.
Jika tidak, hasil jangka panjang akan menjadi oligopoli atau monopoli dan harga akan naik kembali.
Mengelola “politik” keputusan penggantian farmasi
Seperti dikemukakan di atas, bagi banyak stakeholder, setidaknya bagian dari eksistensi ekonomi
dan kesejahteraan mereka tergantung pada sektor farmasi. Di sisi penawaran, produsen, distributor
dan apoteker sering kali memiliki lobi kuat dan hubungan tingkat tinggi. Pasien sering menilai
kualitas dari keseluruhan paket manfaat berdasarkan pada bagian farmasi, yang merupakan bagian
yang paling nyata dan yang mereka rasakan paling langsung jika tidak memberikan seperti yang
81
diharapkan. “Melakukan kesalahan” bisa berarti akhir dari karir politik seorang menteri atau
bahkan menyebabkan kekalahan dalam pemilihan umum.
Cara terbaik untuk mengurangi gangguan/konflik secara keseluruhan dan mengelola ekspektasi
adalah dengan membangun sebuah platform dialog multipihak, yang memaksa semua pihak untuk
saling mendengarkan satu sama lain dan membuatnya lebih sulit untuk menjelek-jelekkan lawan
atau memutarbalikkan fakta. Para politisi dan staf teknis mungkin menganggapnya buang-buang
waktu dan pengalaman yang tidak menyenangkan, namun duduk satu meja dengan semua pemangku kepentingan utama dapat membantu mengatasi ketegangan sebelum mereka diperdebatkan di media; dialog ini memungkinkan untuk mengambangkan ide dan mengidentifikasi kesamaan dan memungkinkan reformis dalam pemerintahan untuk memilih perdebatan yang akan
mereka lakukan. Salah satu model yang baik untuk platform dialog multipihak di sektor farmasi
adalah Medicines Transparency Alliance (MeTA) atau aliansi transparansi Obat-obatan, yang disponsori oleh DFID di tujuh negara (di Asia Tenggara, Filipina adalah satu-satunya negara anggota MeTA).
Menyiapkan platform seperti itu tidaklah mahal. Di Indonesia, sudah ada platform pengetahuan
berbasis perguruan tinggi untuk mendukung reformasi kesehatan. Menambahkan platform dialog
seperti MeTA mungkin bisa sinergis karena data dan opini yang dikumpulkan dapat dibagi melalui
situs web yang ada. Salah satu unsur keberhasilan penting untuk MeTA adalah partisipasi aktif dari
masyarakat madani, mewakili warga biasa yang seharusnya memperoleh manfaat, tetapi memiliki
sedikit pemahaman tentang kompleksitas sektor farmasi. MeTA menyediakan pendanaan
sederhana untuk organisasi masyarakat madani sehingga mereka secara teratur bisa berpartisipasi
dalam pertemuan, melatih anggota mereka dan membantu dalam mengorganisasikan survei,
memonitor ujicoba, dll.
Dalam berkomunikasi dengan masyarakat umum, perlu berhati-hati untuk tidak memberikan
harapan yang tidak realistis yang nantinya menyebabkan reaksi dalam opini publik jika mereka
kecewa. Cara yang lebih efektif adalah dengan mempraktikkan “berbagi dilema” yang berarti
mendidik masyarakat tentang perlunya tawar menawar (trade-off) dan mengatur forum dialog atau
platform online di mana warga negara dapat mengekspresikan pandangan mereka, mengomentari
solusi potensial atau menyarankan alternatif. Proses tersebut menciptakan kepemilikan bersama
dan mengurangi kemungkinan bahwa mereka yang berkuasa harus mengambil semua kesalahan
jika terjadi kesalahan.
Reformasi tidak pernah berakhir
Sebagai pemikiran terakhir - reformasi di sektor kesehatan adalah proses yang berkelanjutan.
Solusi yang baik saat ini mungkin merupakan masalah dalam dua tahun berikutnya. Oleh karena
itu, sistem harus dirancang agar tidak terlalu “sulit “: hukum harus menentukan kerangka kerja
umum dan meninggalkan hal-hal teknis bagi peraturan yang dapat lebih mudah diubah. Kontrak
harus otomatis berakhir dan memicu negosiasi ulang. Sistem monitoring perlu menyesuaikan
fokus saat penyedia belajar untuk “bermain sistem”, dan semua pemangku kepentingan harus
dididik bahwa tidak ada yang final dan tak ada yang dapat diubah jika mereka tidak bekerja.
Seringkali, menerapkan aturan “80/20” dalam pengambilan keputusan lebih baik daripada
kehilangan banyak waktu mencoba untuk menemukan solusi optimal – yang hanya mendapati
bahwa sekali dilaksanakan, tidak lagi optimal.
82
NOTA
#13 KEBIJAKAN
Mengembangkan Faktor
Pendukung atau “Pra-Kondisi”
untuk Reformasi Pembayaran
Provider di bawah BPJS:
Apakah Indonesia Siap? 38
Model-model Pembayaran untuk Indonesia
Sistem pembayaran provider (Provider payment system) dapat menjadi alat yang ampuh untuk
mempromosikan pengembangan sistem kesehatan dan mencapai tujuan kebijakan kesehatan.
Secara sempit, sistem pembayaran provider dapat didefinisikan sebagai mekanisme yang digunakan
untuk mentransfer dana dari pembeli pelayanan kesehatan kepada penyedia pelayanan. Secara
lebih luas sistem pembayaran provider dapat didefinisikan sebagai metode pembayaran yang
dikombinasikan dengan semua sistem pendukung, seperti kontrak, mekanisme akuntabilitas
penyedia yang menyertai metode pembayaran, sistem informasi manajemen, dan mekanisme
penjaminan mutu.
Oleh karena itu, dalam konteks sistem kesehatan, sistem pembayaran provider ini pencapaiannya
jauh lebih dari sekedar transfer dana untuk menutup biaya pelayanan. Insentif yang dimunculkan
oleh metode pembayaran provider, dan tanggapan dari penyedia terhadap insentif tersebut, sistem
informasi manajemen untuk mendukung metode pembayaran provider, perubahan kualitas, serta
meknisme akuntabilitas yang ditetapkan antara penyedia dan pembeli memiliki efek yang
mendalam terhadap cara pengalokasian sumber daya kesehatan dan pemberian pelayanan.
Banyak negara telah bereksperimen dengan berbagai cara pembayaran terhadap penyedia pelayanan kesehatan. Indonesia telah memilih modal pembayaran yang baik di bawah BPJS: kapitasi
perawatan dasar dan case-based groups (CBGs) untuk rumah sakit.
38
Policy Note #13 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dan Cheryl Cashin dibawah pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk
salinan Policy Note yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org
84
Dampak yang diharapkan?
Efek dari sistem pembayaran provider terhadap sistem kesehatan sangat bervariasi tergantung
pada faktor-faktor kontekstual, termasuk tingkat ketersediaan sumber daya untuk pelayanan
kesehatan, tingkat persaingan dan pilihan, serta peluang dan kendala yang dihadapi oleh penyedia
pelayanan untuk merespons insentif pembayaran provider. Cara bagaimana sistem pembayaran
provider dirancang, diperluas, dan dijalankan, serta sejauh mana faktor-faktor kontekstual dapat
ditangani, akan sangat mempengaruhi seberapa berhasil metode pembayaran provider berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kebijakan kesehatan.
Dengan kata lain, desain pembayaran yang baik dalam Undang-undang BPJS dan peraturan saja
tidak cukup. Tiga aspek kontekstual yang diuraikan dibawah ini dan pengalaman global dapat memberikan beberapa pelajaran dan tanda-tanda peringatan bagi Indonesia. Para pengamat cenderung
mengidentifikasi ini sebagai faktor pendukung atau “pra-kondisi” untuk keberhasilan kebijakan.
Sistem Informasi dan Kendala Saat ini
Berbagai metode pembayaran provider memerlukan jenis informasi yang berbeda untuk
desain dan implementasinya, sebagaimana diuraikan pada tabel 1 di bawah. Indonesia
telah memilih dua model pembayaran yang memerlukan tingkat informasi yang canggih.
Tabel 1
Kebutuhan informasi yang berbeda untuk berbagai metode pembayaran
Payment Method
Information Needs
• Salary
• Staff characteristics
• Fixed budgets
• Budgets and case mix
• Fee for each service
• Classification of services
• Per diem payment in
• Budgets and number of
hospitals
days
• Capitation
• Population characteristics
• Episode based, eg DRGs
• Diagnoses, treatments,
• Pay for Performance
• Services/performance
costs, demographics
characteristics
Apakah Indonesia siap? Sejumlah aksi sedang dimulai.
Database pintar akan dibangun atas dasar Nomor Induk Kependudukan nasional/NIK (National
Unique Identifier). Hal ini untuk memastikan bahwa orang yang sama tidak akan dihitung dua kali
ketika berpindah ke kategori atau lokasi lain. Agar dapat menyesuaikan klaim terhadap kontribusi
dan pada akhirnya membuat analisis longitudinal biaya, maka diperlukan NIK “pintar” yang
85
menggabungkan beberapa infomasi dasar. Hal ini juga akan sangat memudahkan penentuan
kelayakan dan administrasi ketentuan mengenai penundaan, interupsi dan pemulihan (reinstatement). Penilaian risiko yang tepat dalam hal keadilan dan efisiensi serta pengeluaran fiskal menuntut kemampuan BPJS menghasilkan agregat kustom (custom aggregate) untuk risiko khusus.
NIK perlu dikoordinasikan dengan setiap sistem yang akan digunakan untuk tujuan penagihan,
pengumpulan premi, atau pengumpulan statistik medis/administrasi oleh BPJS. Akan tetapi, NIK
sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Dalam Negeri diperkirakan siap pada 1 Januari 2014,
tapi mungkinkah itu terjadi?
Jika pemberlakuan NIK nasional belum siap pada Januari 2014, maka alternatif lain perlu
dikembangkan, atau strategi jangka panjang perlu disusun.
Pada tahap kedua, masing-masing penyedia layanan kesehatan– rumah sakit dan Puskesmas – perlu memiliki pengenal unik pula. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK)
telah menyediakan pendaftaran rumah sakit baru berbasiskan web. Hingga Mei 2013,
sekitar 2.103 telah terdaftar. Semua rumah sakit telah menerima ID khusus selama proses
pengajuan di dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi.
Pada tahap ketiga, kamus data. Bagaimana pihak penyedia dan pembayar mendefinisikan
istilah mereka, dan menyepakati bahasa mereka? Jika mereka tidak melakukannya, hal itu
ibaratnya seseorang berbicara dalam bahasa Inggris dan yang lainnya dalam Bahasa
Indonesia. Ada banyak fungsi yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak, dan
interaksi di antara keduanya menunjukkan bahwa kamus data merupakan platform dasar
untuk komunikasi, dan cara penting untuk menghindari risiko fiskal dan masalah kualitas
baik untuk pihak pembeli maupun penyedia.
Proses kontrak kamus data di bawah Kementerian Kesehatan baru-baru ini telah dibatalkan
dan perlu dimulai kembali. Jadwalnya belum pasti, tapi secara realistis sulit jika hal itu
akan selesai pada tahun 2013.
Jika tidak, sekali lagi, diperlukan back-up. Bahkan jika kamus data selesai, perlu ada
konsultasi publik, diseminasi, dan pelatihan baik untuk pihak pembeli maupun penyedia.
Proses terakhir ini bisa memakan waktu paling sedikit satu tahun.
Pada tahap keempat, pelayanan harus dibayar berdasarkan klaim. Klaim akan bekerja
berdasarkan sistem pengkodean yang disepakati yang berasal dari kamus data. Ringkasan
informasi kepulangan pasien (discharge abstract) yang standar akan diperlukan untuk
pemberian kode setiap klaim. Indonesia, melalui PT Askes dan Jamkesmas, juga telah
mengembangkan lembar pengkodean standar. Namun, hingga saat ini, hanya 800 kode
dari 14.000 kode ICD yang benar-benar digunakan.. Di beberapa rumah sakit pengkodean
hanya terbatas di bawah 200 kode. Hal ini bisa menjadi masalah dalam melakukan
penelusuran penyakit-penyakit tidak menular dan mengembangkan tingkat kewajaran
pembayaran serta dalam menyusun sistem penelusuran untuk menyusun profil kualitas
dan penjaminan mutu.
86
Di Indonesia masih kurang tenaga pengkode klaim yang terlatih untuk melakukan pengkodean dengan cara yang konsisten dan standar di Indonesia. BPJS perlu mengembangkan
standar dan pedoman bagi semua penyedia, serta mengembangkan fungsi audit untuk
memeriksa bahwa standard dan pedoman pengkodean diikuti.
Seiring dengan pengkodean klaim, BPJS akan memerlukan informasi biaya standar dan
rutin dari pihak penyedia layanan. Suatu tanda keberhasilan sistem pembayaran di Eropa
adalah adanya format (template) standar biaya dan pelaporan rutin informasi biaya sebagai
bagian dari kontrak pembayaran. Di Indonesia, memang ada formatnya, namun pelaporan
masih belum merupakan bagian dari kontrak. Ini HARUS berubah mulai tahun 2014 dalam
kontrak yang tengah ditandatangani pada tahun 2013.
Dan bagaimana dengan Puskesmas? Sebagian besar Puskesmas TIDAK memiliki sistem
data untuk tingkat orang pada saat ini. Hal ini dapat menghambat upaya-upaya:
•
•
•
mengembangkan pembayaran kapitasi yang tepat berdasarkan jumlah pendaftar;
mengembangkan ajuster kapitasi yang tepat untuk case-mix di masing-masing Puskesmas;
dan,
menelusuri rujukan, yang tidak memperbolehkan penyedia pelayanan dasar untuk menjadi
gatekeeper yang sesungguhnya.
Dengan munculnya penyedia layanan swasta, maka perlu waktu untuk memastikan bahwa mereka
memiliki sistem informasi manajemen (SIM) yang memadai.
Sistem informasi di tingkat pasien akan menjadi alat yang sangat kuat untuk mendukung efisiensi
dan kualitas pembayaran. Data ini juga diperlukan untuk monitoring dan evaluasi nasional. Namun
data ini hanya akan mengalir bilamana kamus data dan standar nasional telah dikembangkan,
disebarluaskan dan diikuti. Dan, sekalipun, jika semua hal tersebut tersedia, perlu diadakan
pelatihan pengelola informasi rumah sakit yang professional bagi pihak pembayar dan penyedia
serta bagi auditor profesional untuk memastikan pengkodean dilakukan dengan benar dan tidak
dimanipulasi demi tingkat penggantian (reimbursement) yang lebih menguntungkan. Pemerintah
dapat mempertimbangkan untuk menyelaraskan bantuan hibah untuk provinsi guna memulai
pelatihan pengkodean profesional, namun hal ini hanya dapat dilakukan bilamana kamus data dan
sistem pengkodean sudah diumumkan dan tersedia, mungkin setelah tanggal 1 Januari 2014.
Penjaminan Mutu
Tidak ada satu insentif tunggal yang akan dapat mengatasi berbagai tujuan dari pembeli, penyedia,
dan pasien. Akibatnya, pembeli dan pembuat kebijakan harus memahami dan mengatasi tujuan
kebijakan secara eksplisit, sambil mengingat bahwa sistem pembayaran provider dapat memberikan
konsekuensi baik yang direncanakan (intended) maupun tidak (unintended), seperti insentif untuk
meningkatkan jumlah layanan yang diberikan diluar yang diperlukan atau mengurangi input yang
digunakan untuk memberikan pelayanan. Konsekuensi yang tidak direncanakan lainnya termasuk
“gaming” atau manipulasi aturan oleh pihak penyedia layanan, perubahan biaya, atau meningkatnya
pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis (paperwork) bagi pihak penyedia.
87
Beberapa jenis konsekuensi yang tidak direncanakan dapat diperkirakan di bawah reformasi BPJS
dengan model pembayaran barunya.
Pada tingkat perawatan primer, rujukan awal ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dan lebih
mahal. Indikator sensitif perawatan kesehatan dasar seperti asma, hipertensi, dan diabetes perlu
dikembangkan dan ditelusuri oleh BPJS dan timnya. Rujukan dari fasilitas kesehatan dasar telah
meningkat di sejumlah negara seperti Kroasia dimana terdapat desain pembayaran serupa.
Di tingkat rumah sakit, ada 3 hal menyangkut kualitas yang berdampak pada risiko fiskal:
1.
Rawat inap (admission) yang tidak perlu. Di Cina, ditemukan 51% dari seluruh rawat inap
sebetulnya tidak diperlukan. Di Rusia, pada tahun 1990, ditemukan 40% rawat inap yang tidak
perlu. Di Jakarta, dengan Kartu Jakarta Sehatnya Jokowi, para dokter memperkirakan 40% dari
semua rawat inap saat ini, mungkin tidak diperlukan. Insentif dibawah CBGs akan mendorong
penyedia layanan untuk memasukan pasien yang “mudah” dan mengungtungkan sebagai
pasien rawat inap daripada memperlakukan mereka sebagai pasien rawat jalan;
2. Skimming/tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan di rumah sakit. Pengelola dan pihak
rumah sakit saat ini akan mendapat insentif dengan tidak memberikan pelayanan yang
diperlakukan sebagaimana mestinya atau memperbolehkan pulang pasien lebih cepat, sebagai
cara untuk meningkatkan keuntungan. Tim review pemanfaatan pelayanan kesehatan independen yang dikontrak oleh BPJS, diperlukan untuk memastikan standar dan pedoman yang
ditetapkan diikuti;
3. Rawat inap ulang. Pasien yang telah pulang mungkin mendapati bahwa mereka membutuhkan
pelayanan lebih, dan kemudian akan dirawat ulang untuk pembayaran CBG kedua. Ini
memberikan dua kali lipat pendapatan bagi rumah sakit dengan mengorbankan pengusaha,
karyawan, dan Kementerian Keuangan. Peningkatan dramatis dalam volume rawat inap dan
rawat inap ulang di bawah CBG di negara lain - seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis,
Hungaria dan Ghana - telah menyebabkan kebijakan baru, seperti adanya penalti untuk rawat
ulang, penurunan pembayaran di Amerika Serikat untuk rawat inap 90 hari, dan batas anggaran
maksimal untuk rumah sakit. Kementerian Keuangan Indonesia menghadapi risiko fiskal yang
nyata di sini, dan harus memantau volume rawat inap setiap minggunya mulai tanggal 1
Januari 2014, sama seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan di AS. Hal ini memerlukan
sistem manajemen informasi (SIM) yang lumayan canggih dan aktual.
Yang terakhir, penyedia layanan swasta akan pintar dan akan menjadi yang pertama kali memanfaatkan kurangnya keakuratan dalam software CBG “Grouper”. Mereka mungkin diperkirakan akan
menolak rawat inap untuk pasien dengan nilai penggantian yang rendah, dan akan dengan senang
hati menerima pasien yang dianggap lebih menguntungkan. Hal ini akan mendorong pasien yang
lebih sakit namun dengan nilai penggantian rendah beralih ke fasilitas pelayanan kesehatan publik/pemerintah, sehingga memungkinkan terjadinya antrian, penolakan perawatan, skandal surat
kabar, dan lagi-lagi menimbulkan dampak fiskal yang merugikan bagi Kementerian Keuangan.
Kapasitas Manajemen dan Otonomi Penyedia
Negara-negara yang memiliki pengalaman sistem pembayaran baru telah mengakui bahwa semua
keuntungan efisiensi yang dicapai tidak terjadi secara otomatis. Sistem pembayaran baru tersebut
memerlukan delegasi tanggung jawab manajemen secara formal kepada klinik-klinik perawatan
kesehatan dasar dan rumah sakit. Pada gilirannya, hal ini tergantung pada rumah sakit yang
88
memiliki kapasitas pengelolaan yang memadai untuk merealisasikan potensi sistem pembayararan
baru. Desentralisasi kapasitas manajemen dan tanggung jawab merupakan prasyarat penting
untuk mendapatkan efisiensi mikro (micro-efficiency). Selanjutnya, langkah-langkah eksplisit dan
alat-alat biasanya berperan penting dan harus dibangun ke dalam kerangka pembayaran untuk
memberikan insentif untuk perilaku hemat biaya (cost-effective behavior). Jika pihak penyedia
layanan melihat insentif baru lebih efisien namun tidak memiliki otonomi dan keterampilan
manajemen untuk merespons insentif tersebut, maka sistem pembayaran baru tersebut akan
dapat merugikan. Contohnya, jika pembayaran dilakukan berdasarkan ouput, namum pihak
penyedia tidak memiliki otonomi untuk mengatur ulang input seperti staf, atau mengurangi
penggunaan ruang yang tidak efisien, maka akan lebih sedikit dana yang tersedia untuk perawatan
pasien.
Pelaksanaan CBGs dan Kapitasi berarti bahwa sistem pembayaran baru dan yang lebih canggih ini
akan menggabungkan unit-unit pembayaran dan pelayanan, dan pembayaran akan dilakukan
secara prospektif. Sebagian, atau semua risiko keuangan sekarang akan ditransfer dari pembeli
kembali ke penyedia layanan dan pasien (Gambar 1). Sebagian besar pengamat berhati-hati
terhadap pembagian risiko secara penuh, namun hanya mendorong “supply side cost sharing”
(berbagi biaya dari segi pasokan), dengan pembeli dan penyedia berbagi dalam pengaturan risiko
untuk mengatasi masalah moral hazard.
Gambar 1:
Berpindah ke CBG dan Kapitasi harus mengalihkan risiko ke pihak penyedia
Karena risiko keuangan dilimpahkan ke pihak penyedia, maka penyedia akan mencari cara untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas. Hal itu berarti adanya peralatan baru, perubahan dalam
komposisi personel (personnel mix), atau mungkin penutupan tempat tidur atau fasilitas layanan
lain yang tidak digunakan. Apakah penyedia sektor publik di Indonesia akan dapat melakukan hal
ini? Tidak. Penyedia layanan publik memiliki otonomi yang sangat terbatas untuk mengganti staf,
peralatan dan tempat tidur dalam jangka pendek.
89
Di Amerika Latin, penyedia layanan publik menghadapi hal ini dengan munculnya reformasi
pembayaran. Penyedia terkadang memperoleh pendapatan berlebih dalam sistem pembayaran
baru, yang berarti bahwa Kementerian Keuangan kehilangan dana yang dibutuhkan dari Kas
Negara. Dalam kasus lain, penyedia layanan publik kehilangan pendapatan tapi tidak bisa
menanggapinya dengan restrukturisasi dan optimalisasi dalam hal perubahan staf dan input.
Akibatnya, mereka pergi ke Kementerian Keuangan untuk mengajukan dana talangan utang di
bawah sistem pembayaran baru. Dalam kedua kasus tersebut, maka Kementerian Keuangan
kehilangan dana yang dibutuhkan, dan uang terbuang serta kurang dialokasikan untuk perawatan
pasien. Akibatnya, di banyak negara Kementerian Keuangan dengan cepat mengakhiri reformasi
pembayaran.
Apakah hal yang sama akan terjadi di Indonesia pada tahun 2014 nanti? Ya, karena dua alasan.
Pertama, software CBG “Grouper” yang sekarang digunakan Jamkesmas dikembangkan untuk
negara Amerika Serikat dan menggabungkan pola praktek dan struktur biaya yang berbeda.
Analisis dampak yang dipilih saat ini menunjukkan ayunan yang tidak teratur (wild swing) dalam
pembayaran relatif terhadap struktur tarif berbasis biaya yang dikembangkan oleh rumah sakit.
Beberapa tarif CBG dibayar rendah hanya 70 persen. Beberapa tarif dibayar tinggi hingga 300
persen. Kementerian Keuangan dihadapkan pada risiko fiskal. Alasan kedua adalah bahwa penyedia
layanan publik tidak dapat merespons struktur insentif baru kecuali jika mereka mampu melakukan
reformasi peraturan pegawai negeri sipil dan peraturan pengelolaan saat ini. Itu artinya, seharusnya
tidak ada jaminan kontrak 1 tahun untuk PNS, dan manajer harus memiliki fleksibilitas untuk
membeli peralatan, menyediakan tempat tidur (open beds) atau tidak menyediakan tempat tidur
(close beds) jika diperlukan.
Akhirnya, pada awal proses ini, semua rumah sakit dan Puskesmas pemerintah membutuhkan
sistem pengelolaan keuangan dan manajer keuangan untuk melacak aliran dana internal. Berapa
banyak fasilitas di Indonesia saat ini yang siap dengan sistem dan ahli dalam bidang ini?
Eropa Barat, Hong Kong, dan tempat-tempat lain melakukan otonomisasi dan korporatisasi rumah
sakit pada 1990-an. Di beberapa bagian di Cina, Filipina, Thailand, Turki, Eropa Timur, otonomi
rumah sakit tengah dimulai. Indonesia mungkin perlu mempercepat pemikiran saat ini di bidang
ini juga.
Melangkah ke depan
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki desain pembayaran yang baik dalam peraturan, tetapi
belum merupakan model pembayaran yang baik. Akan tetapi, model pembayaran yang baik saja
tidak cukup untuk sukses. Setidaknya ada tiga (3) bidang kebijakan pendukung yang diperlukan:
fleksibilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban, sistem informasi yang baik, serta sistem
penjaminan mutu yang baik. BPJS dan Kementerian Keuangan adalah yang paling terpengaruh,
dan perlu bekerja sama untuk memastikan tujuan dari reformasi pembayaran benar-benar dan
sepenuhnya terjadi
BPJS harus melakukan inventarisasi kesiapan pada tiga dimensi ini, dan kemudian secara perlahan
mengembangkan strategi pengenalan sistem pembayaran baru. Lampiran dokumen – Kajian Cepat
Kapasitas Pembeli – dikembangkan oleh Dr. Cheryl Cashin dari Joint Learning Network untuk
membantu berbagai negara melakukan hal seperti inventarisasi kesiapan. Indonesia merupakan
negara anggota Joint Learning Network.
90
Di Amerika Serikat, sistem pembayaran baru dilakukan secara bertahap selama 5 tahun, sebagian
untuk memberikan waktu kepada penyedia layanan untuk memberikan respons, dan di Jerman
dilakukan selama 10 tahun untuk alasan yang sama. Seperti halnya Indonesia, Jerman juga memiliki
sistem penyedia layanan campuran, publik dan swasta.
Mengapa Indonesia ingin bergerak begitu cepat sehingga dapat mengancam reformasi dan tujuan
keseluruhan cakupan kesehatan universal? Bergerak terlalu cepat hanya akan berdampak negatif
pada kualitas untuk penduduk, dan menciptakan potensi bencana dampak fiskal negatif bagi
Kementerian Keuangan.
91
NOTA
#14 KEBIJAKAN
Gizi dan Paket Manfaat Dasar
untuk Cakupan Kesehatan
Semesta39
Latar belakang
Baru-baru ini, pemerintah Indonesia bergabung dengan Gerakan Peningkatan Gizi Global untuk
mendukung upaya menurunkan angka kekurangan gizi. Di Indonesia dikenal adanya “Gerakan
Seribu Hari Pertama Kehidupan” atau Gerakan 1000 HPK, yang bertujuan untuk mempertemukan
berbagai sektor dan pemangku kepentingan guna menurunkan prevalensi anak balita kerdil
(stunting) dan bentuk-bentuk lain kekurangan gizi sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pangan
dan Gizi (RAN-PG).
Banyak intervensi gizi yang secara khusus menargetkan anak-anak dan perempuan disampaikan
melalui sektor kesehatan, tetapi pada saat ini, pencapaian cakupan kegiatan ini tidak tinggi secara
keseluruhan. Pada Januari 2014, pemerintah Indonesia akan memulai rencana ambisius untuk
meningkatkan cakupan kesehatan semesta yang ditargetkan mencakup semua warga negara pada
2019. Jika intervensi gizi dimasukkan dalam paket manfaat kesehatan dasar program cakupan
kesehatan semesta, maka akan program ini memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan
cakupan pelayanan gizi bagi anak-anak dan perempuan.
Persiapan sedang dilakukan untuk menggabungkan skema asuransi sosial kesehatan yang ada
untuk membentuk program cakupan kesehatan semesta di bawah badan administrasi tunggal,
yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Program cakupan kesehatan semesta
ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan dalam skema yang ada, termasuk perbedaan geografis
yang signifikan, baik di dalam maupun antar skema dalam hal konten, ketersediaan, dan kualitas
dari paket manfaat kesehatan dasar.
Peraturan Presiden 12/2013 tentang jaminan kesehatan menjelaskan bahwa paket manfaat
kesehatan akan mencakup pelayanan promotif dan preventif, termasuk konseling kesehatan
individu untuk mencegah penyakit dan mengelola hidup sehat dan bersih, imunisasi dasar seperti
BCG, TT, DPT-HB, polio dan campak, pengendalian kelahiran, dan skrining terhadap penyakit. Ini
39
Policy Note #14 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Harriet Torlesse dari UNICEF, Kantor Jakarta. Untuk salinan Policy Notes lainnya,
silakan mengunjungi website www.aiphss.org
93
juga menggambarkan pelayanan kesehatan tingkat pertama serta rawat inap dan rawat jalan
tingkat lanjutan juga akan dicakup. Peraturan Presiden memberikan gambaran luas mengenai isi
dari paket manfaat, namun rincian spesifik masih dalam pembahasan, dan ketentuan lebih lanjut
mengenai ruang lingkup dari paket manfaat akan disampaikan melalui Peraturan Menteri.
Karena sumber daya yang terbatas, pemerintah tidak dapat menyediakan semua intervensi bagi
penduduk melalui program cakupan kesehatan semesta ini. Oleh karena itu, perlu adanya prioritas
yang jelas untuk pemilihan layanan dalam paket manfaat. Di masa lalu, keputusan atas paket
manfaat kesehatan di beberapa negara dilakukan secara ad hoc dan tidak transparan. Akan tetapi,
semakin banyak negara, seperti Thailand, menggunakan proses penetapan prioritas untuk
menjamin adanya akuntabilitas40. Proses tersebut biasanya mempertimbangkan berbagai kriteria
termasuk beban dan tingkat keparahan penyakit, keadilan dan dampak sosial (apakah masyarakat
yang kurang beruntung, terpinggirkan dan miskin akan paling terpengaruh), efektivitas intervensi
kesehatan, dan dampak anggaran. Policy brief ini mengkaji kriteria ini guna memeriksa bukti-bukti
mengenai mengapa pelayanan gizi bagi anak dan perempuan harus menjadi komponen inti dari
paket manfaat kesehatan di Indonesia.
Beban dan tingkat keparahan gizi kurang di Indonesia
Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam mengurangi prevalensi balita dengan
berat badan rendah/kekurangan gizi, dan kemungkinan dapat mencapai (on track) target
pembangunan millenium (MDG) 1 untuk menurunkan hingga setengah prevalensi balita berat
badan rendah pada tahun 2015. Akan tetapi, prevalensi anak balita kerdil (stunting) hanya turun 1
persen antara tahun 200741 (37 %) dan 2010 (36 %)42 dan mempengaruhi sekitar 7,5 juta anak balita
pada tahun 2010, beban terbesar kelima di dunia43. Pada tahun yang sama, berat badan kurang
(wasting) mempengaruhi 13% anak balita. Berat badan kurang dengan tingkat parah yang membawa
risiko kematian tinggi, mempengaruhi 6% anak balita, atau setara dengan 1,3 juta anak.
Giji kurang seringkali berasal dari perkembangan janin, terutama jika si ibu adalah remaja atau
menderita kekurangan gizi selama masa kehamilan. Sekitar sepertiga perempuan berusia 20-45
tahun melahirkan anak pertama ketika usia remaja,44 dan 14% perempuan usia reproduksi bertubuh
kurus, sebagaimana ditentukan oleh lingkar lengan atas pertengahan bawah (<23.5 cm)45. Publikasi
terbaru di Lancet memperkirakan bahwa pada tahun 2010, sejumlah 1.042.300 bayi lahir kecil
untuk usia kehamilan di Indonesia, yang mana merupakan jumlah keenam terbesar di dunia
dibandingkan negara-negara lainnya.46
Yang menambah kekhawatiran, kelebihan berat badan muncul sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada anak-anak dan orang dewasa. Antara tahun 2007 dan 2010, prevalensi kelebihan
40
Youngkorn et al. (2012). Multcriteria decision analysis for including health interventions in the Universal Health Coverage benefit
package in Thailand. Value in Health 15, 961-970.
41
RISKDESAS (2007)
42
RISKESDAS (2010)
43
UNICEF (2013). Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress. UNICEF, New York.
44
Indonesia Demographic and Health Survey (2007)
45
RISKESDAS (2007)
46
Lee et al (2013). National and regional estimates of term and preterm babies born small for gestational age in 138 low-income and
middle-income countries in 2010. Lancet Global Health 1, e26–36.
94
berat badan meningkat dari 12 menjadi 14%pada anak-anak dan 19 hingga 22% pada orang dewasa.
“Beban ganda masalah gizi”, ini di mana kekurangan gizi dan kelebihan gizi terdapat dalam
komunitas yang sama, mendorong peningkatan yang mengkhawatirkan dalam penyakit tidak
menular seperti diabetes, stroke dan penyakit jantung.
Menurut hasil Global Burden of Disease Study atau kajian beban ganda penyakit tahun 2010,
kekurangan gizi merupakan penyebab utama years lived with disability (YLD) atau hidup dengan
cacat pada anak balita di Indonesia. Masalah kekurangan gizi merupakan penyebab 45% kematian
anak di seluruh dunia, dan menyebabkan kerusakan yang berlangsung seumur hidup. Kekurangan
gizi menandakan bahwa anak telah kehilangan nutrisi penting tidak hanya untuk pertumbuhan,
tetapi juga untuk membangun sistem kekebalan yang kuat untuk melindungi terhadap infeksi dan
untuk perkembangan otak yang sehat. Anak yang kurang gizi prestasinya kurang bagus di sekolah
dan kurang produktif sebagai pada saat dewasa, yang mana akan mengurangi pendapatan mereka
dan menjadikan keluarga mereka miskin.
Dalam kenyataanya, terdapat hubungan langsung ke pertumbuhan ekonomi juga. Kerdil (stunting)
dapat menurunkan pendapatan seumur hidup hingga 20%. Kekurangan gizi memakan cukup banyak biaya di berbagai negara sekitar 2-3 persen dari PDB47 setiap tahunnya, memperpanjang siklus
kemiskinan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Gambar 1 menunjukkan prevalensi kerdil (stunting) dan berat badan rendah (wasting) di Indonesia
jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara seperti Vietnam dan Filipina, serta sama dengan
negara-negara yang jauh lebih miskin (negara-negara berpendapatan rendah) seperti Myanmar
dan Kamboja. Prevalensi berat badan rendah lebih tinggi dibanding negara-negara lainnya. Akan
tetapi, prevalensi berat tubuh berlebihan lebih buruk dibandingkan Thailand, yang mana
pendapatan nasional brutonya (PNB) hampir dua kali lipat Indonesia. Pendek kata, Indonesia
ketinggalan dibandingkan negara-negara tetangganya.
Gambar 1:
Prevalensi kerdil (stunting), berat badan rendah (wasting) dan berat badan berlebih
di negara-negara Asia Tenggara48
47
World Bank (2006). Repositioning nutrition as central to development: a strategy for large scale action. Directions in Development.
Washington, DC.
48
UNICEF (2013). Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress. UNICEF, New York.
95
Keadilan dan Implikasi Sosial
Program cakupan kesehatan semesta lebih mungkin untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam
kesehatan bilamana hal tersebut termasuk intervensi yang dapat mencegah dan mengobati
penyakit atau kondisi yang lebih umum di kalangan kelompok yang kurang beruntung dan
terpinggirkan. Gizi kurang lebih umum terjadi di kalangan masyarakat miskin di Indonesia, dan
perbedaan dalam status gizi antar kelompok pendapatan tampaknya semakin melebar. Antara
tahun 2007 dan 2010 tingkat stunting berkurang pada kelompok kuintil terkaya dari 30 menjadi
24%, namun meningkat dari 40 menjadi 43%di kelompok kuintil termiskin. Ini berarti bahwa
kesenjangan antara kuintil termiskin dan terkaya hampir dua kali lipat selama periode ini, dari
10% menjadi 19%. Dampak kurangnya gizi pada produktivitas kerja dirasakan paling berat di
kalangan masyarakat miskin di mana perawakan fisik dan kekuatan tubuh sangat penting untuk
produktivitas kerja. Stunting dan anemia membuat orang lelah dan lemah, dan kurang mampu
melakukan kegiatan padat karya.
Perbedaan geografis juga mencolok, pada tahun 2010 prevalensi stunting berkisar dari 22% di
Yogyakarta hingga 58% di Nusa Tenggara Timur provinsi (Gambar 2). Dengan melayani kabupaten
dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi pertama, maka cakupan kesehatan semesta akan
dapat menjangkau populasi yang kurang beruntung dan meningkatkan kesetaraan kesehatan.
Gambar 2:
Prevalensi stunting di Indonesia (RISKESDAS, 2010)
Efektivitas Intervensi Gizi
Kabar baiknya adalah bahwa ada intervensi yang efektif yang dapat melindungi anak-anak dan
perempuan dari masalah kekurangan gizi. Perhatian terbesar diperlukan selama 1000 hari pertama
kehidupan antara masa pembuahan (conception) dan usia dua tahun anak karena banyak hal-hal
buruk yang terjadi selama periode pertumbuhan ini, dan perkembangan anak tidak dapat diubah
di kemudian hari
Rencana Aksi Nasional Gizi (2011-2015) menetapkan intervensi yang diperlukan untuk melindungi
anak dan perempuan dari kekurangan gizi. Serangkaian intervensi direkomendasikan untuk
96
dimasukkan kedalam paket manfaat program cakupan kesehatan nasional sebagaimana ditunjukkan
dalam Tabel 1. Serangkaian temuan terbaru Lancet pada tahun 2013 tentang kesehatan
memperkirakan bahwa intervensi gizi, jika ditingkatkan cakupannya menjadi 90%, maka dapat
menurunkan angka stunting sebanyak 61%.49 Intervensi ini merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan bagi anak dan perempuan di Indonesia. Akan tetapi, beberapa intervensi gizi saat ini
cakupannya masih sangat rendah. Contohnya, hanya 28% perempuan yang mendapatkan suplemen
zat besi folat minimal selama 90 hari kehamilan, dan hanya 45% perempuan menerima suplemen
vitamin A pasca melahirkan.50
Table 1:
Intervensi Nutrisi yang diusulkan untuk Pakat Manfaat Kesehatan dalam program
Cakupan Kesehatan Semesta 51
Preventif /Promotif
Wanita hamil
dan postpartum
Suplemen mikronutrien51
• Asam folat besi (IFA) atau suplemen Multiple
micronutrient (MMN) selama masa kehamilan
dan 40 hari postpartum
• Pemberian suplemen vitamin A post partum
Kuratif
Pengobatan gizi kurang
pada kehamilan
• Suplemen penyeimbang
protein-energi untuk wanita
hamil yang kekurangan gizi
Diet maternal
• Konseling mengenai diet yang tepat selama
kehamilan dan masa menyusui
Anak balita
Pemberian makan bayi dan balita
• Pemantauan pertumbuhan bulanan anak usia
0-23 bulan
• Promosi pemberian ASI dini dan ekslusif selama
enam bulan dan terus menyusui hingga 24
bulan
• Pendidikan mengenai makanan pendamping asi
yang tepat
Suplemen Mikronutrien
• Pemberian suplemen vitamin A dua kali setahun
untuk anak usia 6-59 bulan
• Micronutrien bubuk untuk anak usia 6 -24 bulan
• Pemberian obat cacing untuk anak usia 12-59
bulan (satu atau dua kali tergantung prevalensi
cacing yang ditularkan)
Manajemen malnutrisi akut
• Manajemen malnutrisi akut
moderat
• Manajemen malnutrisi akut
parah
Pengobatan diare
• Suplementasi zinc untuk
anak-anak yang menderita
diare.
Intervensi gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan tidak hanya penyeimbang
yang ampuh bagi anak-anak dan perempuan yang paling kurang beruntung dan terpinggirkan,
namun masuk akal secara ekonomi. Konsensus Kopenhagen telah secara konsisten menegaskan
bahwa mengambil tindakan terhadap masalah gizi kurang merupakan cara berbiaya efektif yang
49
Bhutta et al. (2003). Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost?
Lancet, diterbitkan secara online pada 6 Juni 2013.
50
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007).
51
Suplemen kalsium juga direkomendasikan selama kehamilan oleh WHO untuk mencegah pre-eclampsia dan eclampsia namun belum
dimasukan dalam pedoman Kemenkes di Indonesia; bilamana dan kapan dicantumkan, suplemen kalsium sebaiknya dimasukan juga
dalam paket manfaat.
97
paling penting untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Para ahli memperkirakan bahwa USD
1 (kurang lebih setara dengan IDR 10.000) yang diinvestasikan dalam mengurangi kekurangan gizi
kronis dapat memberikan pendapatan kembali hingga USD 30 (kurang lebih setara dengan IDR
300.000) melalui peningkatan kesehatan dan manfaat pendidikan.52
Tabel 2 memberikan estimasi global biaya per tahun hidup yang dapat dihemat dari berbagai paket
intervensi gizi dengan cakupan 90%, paket ini adalah sama dengan yang disampaikan pada Tabel
1. Biaya lebih rendah dari biaya International, $ 200 per kehidupan yang dihemat untuk masingmasing dari tiga paket yang menargetkan anak-anak balita (pemberian makan bayi dan balita,
suplemen mikronutrien dan manajemen malnutrisi akut tingkat parah) dan biaya International, $
571 untuk gizi ibu yang optimal selama kehamilan. Perkiraan tersebut termasuk suplemen gizi,
biaya sumber daya manusia, biaya non-medis lainnya langsung (seperti BBM dan alat tulis), serta
biaya tidak langsung (seperti penggunaan bangunan, manajemen, pengawasan dan monitoring
dan evaluasi).
Tabel 2:
Pengaruh paket intervensi gizi terhadap 90 persen cakupan53
Paket intervensi gizi
Biaya per tahun-hidup
yang dapat dihemat
(International $)
Gizi ibu optimal selama kehamilan
$571
Pemberian makan bayi dan balita
$175
Suplementasi micronutrien
$159
Manajemen malnutrisi akut yang parah
$125
Implikasi Anggaran
Kami memperkirakan biaya paket intervensi gizi bagi ibu hamil, ibu nifas, dan anak balita di
Indonesia. Tabel 3 dan 4 menunjukkan perkiraan biaya tahunan untuk suplemen gizi dan obat
cacingan untuk kelompok ini; biaya yang terkait dengan pelaksanaan intervensi ini untuk perempuan dan anak-anak (biaya sumber daya manusia, biaya langsung dan biaya tidak langsung lainnya)
tidak termasuk dalam perkiraan ini. Karena ada perbedaan harga yang besar antara suplemen besi
folat (IFA) dan beberapa suplemen mikronutrien (MMS), Tabel 3 memberikan dua pilihan, yang
pertama dengan suplemen besi folat (IFA), dan yang kedua dengan beberapa suplemen mikronutrien
(MMS).
MMS lebih efektif di dalam mengurangi jumlah berat lahir rendah dan bayi lahir kecil selama
kehamilan dibandingkan IFA54. Tabel 4 memberikan perkiraan terpisah untuk anak usia 0-23 bulan
52
Copenhagen Consensus, 2012: http://www.copenhagenconsensus.com/projects/copenhagen-consensus-2012/outcome
53
Bhutta et al. (2013). Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost?
Lancet. Dipublikasikan secara online pada 6 Juni 2013. http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(13)60996-4
54
98
Haider, BA & Bhutta, Z (2012). Multiple-micronutrient supplementation for women during pregnancy (Review). The Cochrane Library, Issue 11.
dan anak usia 24-59 bulan, karena micronutrient bubuk (MNP) memberikan penambahan yang
lumayan terhadap biaya paket untuk anak usia 0-23 bulan.
Tabel 3:
Biaya intervensi tahunan dalam Rupiah per perempuan selama masa kehamilan dan 40
hari pertama nifas (Postpartum)
Pilihan 1
Suplemen zat besi-folat
Pilihan 2
15.400
Beberapa suplemen mikronutrien
220.000
Suplemen protein-energi
Suplemen Vitamin A
Total
63.000
63.000
900
900
79.300
283.900
Tabel 4:
Biaya intervensi tahunan dalam Rupiah per anak balita55
Anak usia
0-23 bulan
Anak usia
24-59 bulan
Suplemen Vitamin A
675
900
Obat cacing
300
600
Suplemen zinc
20.000
20.000
MNP
67.500
-
Pengobatan MAM
51.300
63.000
Pengobatan SAM
77.000
77.000
Total
216.775
161.500
Langkah selanjutnya
Pencantuman serangkaian intervensi gizi dalam paket manfaat kesehatan dasar akan menjadi
langkah penting untuk menghilangkan hambatan keuangan dan meningkatkan akses ke pelayanan
nutrisi yang penting ini, khususnya di kalangan rumah tangga termiskin yang paling terpengaruh
oleh gizi kurang.
55
Biaya per unit untuk suplai gizi diperoleh dari http://inaproc.lkpp.go.id/v3/public/ekatalog/ekatalog.htm. Biaya tahunan untuk setiap
intervensi dihitung dengan mengalikan biaya unit suplemen gizi dengan perkiraan jumlah dosis dalam satu tahun.
99
Namun, persiapan yang signifikan diperlukan untuk memastikan bahwa fasilitas kesehatan dilengkapi untuk memenuhi peningkatan permintaan layanan gizi begitu program Cakupan Kesehatan Semesta diluncurkan. Salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi adalah bagaimana
meminimalkan kesenjangan antara paket manfaat secara teoritis dan ketersediaan yang aktual,
terutama di pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini akan membutuhkan tidak hanya pasokan
nutrisi dan peralatan, tetapi juga petugas kesehatan yang memiliki keterampilan dan pengetahuan
untuk memberikan pelayanan gizi kepada anak-anak dan perempuan, dan populasi tertentu yang
menyadari layanan yang menjadi haknya.
Persiapan dimasukkannya pelayanan gizi dalam cakupan kesehatan semesta antara sekarang atau
akhir tahun harus meliputi:
•
•
•
•
Finalisasi paket manfaat gizi untuk cakupan kesehatan semesta di Indonesia, sejalan dengan
kebijakan pemerintah dan rencana yang berkaitan dengan gizi, termasuk 1000 HPK, dan RANPG. Hal ini akan membutuhkan musyawarah antara BPJS dan Kementerian Kesehatan mengenai
intervensi gizi mana yang harus dimasukkan ke dalam paket manfaat cakupan kesehatan
semesta, dan mana yang harus dilanjutkan oleh Kementerian Kesehatan.
Penilaian kesenjangan kapasitas petugas kesehatan untuk melaksanakan paket pelayanan gizi,
khususnya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan gizi.
Pencantuman semua pelayanan gizi dalam paket manfaat dalam buklet Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) yang diberikan kepada wanita hamil dan ibu dari anak-anak bayi.
Jika pencantuman intervensi gizi dalam paket manfaat memerlukan pendanan baru dari
Kementerian Keuangan, maka premi untuk rumah tangga miskin perlu dinaikan untuk memastikan layanan ini dapat diberikan mulai dari tahun 2014.
Pemantauan dan kerangka evaluasi untuk cakupan kesehatan semesta harus memberikan perhatian
khusus terhadap pendokumentasian dampak program cakupan kesehatan semesta terhadap
pemberian pelayanan gizi serta terhadap hasil (outcome) gizi. Secara global, hanya ada sedikit bukti
tentang bagaimana program cakupan kesehatan semesta telah berkontribusi dan meningkatkan
akses anak-anak dan perempuan terhadap pelayanan gizi penting. Dengan RISKESDAS 2013 yang
menyediakan data dasar untuk kabupaten ujicoba program, maka ada kesempatan yang baik bagi
Indonesia untuk melacak dampak dari program cakupan kesehatan semesta terhadap cakupan
pelayanan gizi dan mengurangi stunting dan bentuk malnutrisi lainnya.
100
NOTA
#15 KEBIJAKAN
Aspek Ekonomi Politik dari
Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)
Implikasinya untuk Indonesia56
“Kotak UHC” mewakili aspek ekonomi politik reformasi
kesehatan
Para pembaca policy note ini akan diperkenalkan pada kotak Cakupan Kesehatan Semesta (Universal
Health Coverage/UHC) yang disajikan dalam Laporan Kesehatan Dunia 201057, yang menguraikan
pilihan-pilihan kebijakan utama yang dihadapi pemerintah saat memperluas cakupan kesehatan.
Dalam mencoba mengisi kotak UHC dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, berbagai
negara menghadapi kompromi (trade-off) antar dimensi: siapa yang akan dicakup, layanan apa
yang akan dicakup dan seberapa besar proteksi keuangan yang disediakan untuk konsumen. Akan
tetapi, bagaimana masyarakat memutuskan dimensi mana yang harus diberi prioritas dan
bagaimana mereka akan bergerak menuju UHC?
Economist
Health
Politicians
56
Policy Note #15, ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Rob Yates dari World Health Organization (WHO), kantor Jakarta. Untuk salinan Policy
Notes yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org
57
102
WHO 2010 Health Systems Financing: The Path to Universal Coverage. http://www.who.int/whr/2010/en/index.html
Cara lain untuk melihat kotak ini adalah dengan menganggap kotak ini sebagai perwakilan aspek
ekonomi politik sektor kesehatan, dimana dimensi yang berbeda mewakili prioritas pemangku
kepentingan utama yang berbeda pula dalam upaya mencapai UHC (lihat diatas). Contohnya,
poros populasi “Siapa yang dicakup?” merupakan pertanyaan politis yang tak terpisahkan dan
cenderung merupakan wilayah kepentingan utama para politisi (terutama menjelang pemilihan
umum!). Sementara itu poros vertikal yang menanyakan, “Siapa yang membayar?” cenderung
merupakan wilayah utama kepentingan para ekonom dan pelaku sektor keuangan, seperti Kementerian Keuangan dan organisasi pengusaha. Yang terakhir, tenaga kesehatan cenderung memiliki
minat terbesar pada poros pemberian pelayanan, dalam menentukan pelayanan mana yang harus
disediakan, dan sampai tingkat kualitas mana, untuk meningkatkan hasil-hasil kesehatan.
Hebatnya pendekatan UHC ini adalah memaksa semua pelaku mengakui bahwa kemajuan di satu
poros saja tidaklah cukup. Jadi para politisi harus mengetahui bahwa menjanjikan kepada setiap
orang pelayanan kesehatan gratis tidaklah efektif dalam mencapai UHC bilamana pelayanan
kesehatannya tidak tersedia atau kalaupun tersedia kualitasnya buruk. Begitupula, Kementerian
Keuangan harus memahami dampak penyesuaian beban pembiayaan pemerintah dan swasta
untuk sistem kesehatan, baik dalam hal pelayanan maupun cakupan penduduk. Yang terakhir,
pendekatan UHC dapat membantu para profesional di bidang kesehatan menghargai kewajiban
politik penting untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi penduduk dan menyadari
bahwa kadang-kadang perlu mengkompromikan masukan-masukan yang lebih mahal untuk
menjangkau lebih banyak penerima manfaat.
Cara terbaik membuat kemajuan menuju UHC adalah dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (termasuk masyarakat umum) dalam menghasilkan strategi yang sesuai dengan rute
ke arah UHC yang akan ditempuh dan paling sesuai untuk konteks negara tersebut. Strategi ini
harus menyepakati tindakan pirioritas dan investasi sepanjang poros tersebut serta mengakui
bahwa kompromi memang diperlukan. Jadi misalnya, jika lebih banyak pembiayaan tersedia,
apakah ini harus diinvestasikan untuk mencakup lebih banyak orang di sektor informal, membeli
lebih banyak peralatan medis atau mengurangi bahkan menghilangkan pembayaran bersama (copayment) untuk beberapa layanan?
Di seluruh dunia:
Prioritas politik cakupan penduduk mendorong reformasi UHC
Para peneliti kesehatan semakin mengakui bahwa dalam praktiknya, reformasi UHC lebih didorong
oleh proses politik dibandingkan proses teknis. Hal ini terutama terjadi pada reformasi pembiayaan
kesehatan.58
Dalam sebuah analisis yang sangat baik mengenai transisi global menuju UHC, Savedoff dkk.59
menunjukkan bahwa walaupun tingkat pembiayaan kesehatan secara keseluruhan cenderung
ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, pergeseran ke arah masyarakat
yang dicakup oleh pendanaan yang dikumpulkan lebih didorong oleh pertimbangan politik. Secara
58
Stuckler D et al 2010 The political economy of universal health coverage. Background paper to the First Global Symposium on Health
Systems Research: http://www.pacifichealthsummit.org/downloads/UHC/the%20political%20economy%20of%20uhc.PDF
59
Savedoff W 2012. Transitions in Health Financing and Policies for Universal Health Coverage. Results for Development Institute
Available here: http://t.co/zNdm5VdX
103
khusus, ketika ekonomi berkembang dan lebih banyak dana yang tersedia untuk membiayai
pelayanan kesehatan, ada kecenderungan tuntutan politik tumbuh dari kelompok penduduk yang
tidak tercakup jaminan kesehatan universal.
Pencapaian tujuan tidak dapat dipisahkan dari faktor politik, karena memerlukan peran negara
untuk intervensi mendesak anggota masyarakat yang lebih sehat dan kaya untuk mensubsidi
pelayanan kesehatan bagi orang sakit dan miskin.
Di berbagai negara, di semua tingkat pendapatan, para pemimpin politik mengakui bahwa respons
positif terhadap tuntutan ini merupakan suatu ide yang baik untuk meningkatkan indikator
kesehatan, meningkatkan efisiensi sektor kesehatan dan yang terpenting bagi mereka adalah:
meraup keuntungan politik yang besar.
Reformasi UHC, jika didanai dan dilaksanakan dengan baik, akan sangat populer bagi masyarakat
umum, dan para pemimpin politik yang mengasosiasikan dirinya dengan reformasi ini dapat
melihat peningkatan popularitas mereka sebagai hasilnya.
Banyak proses UHC utama dimulai oleh para pemimpin politik dalam menyongsong pemilihan
umum dan setelah masa transisi kekuasaan. Tabel berikut memberikan beberapa contoh reformasi
UHC yang signifikan dimana sebagian besar didorong oleh agenda politik:
Negara
Tahun
Inggris
1948
Jepang
104
1961
Reformasi UHC
Penetapan waktu/alasan
politik
National Health Service (layanan kesehatan
nasional) yang dibiayai pajak dengan hak
layanan universal
Reformasi negara
kesejahteraan, pemerintah
baru pasca WMII
Reformasi cakupan universal secara nasional
Memberikan manfaat sosial
yang populer bagi penduduk
dalam rangka melawan
tekanan politik komunisme
Brazil
1988
Layanan kesehatan universal (dibiayai pajak)
Kebijakan sosial yang murah
dan mudah diterapkan (Quickwin) dari pemerintah sipil yang
baru terpilih secara demokratis
Afrika
Selatan
1994
Peluncuran pelayanan gratis bari wanita
hamil dan anak di bawah 6 tahun (dibiayai
pajak)
Kebijakan sosial utama
pemerintah ANC setelah
tumbangnya apartheid
Thailand
2001
UCS memperluas cakupan ke semua sektor
informal
Platform utama populis
pemerintahan baru
Uganda
2001
Layanan kesehatan universal gratis
Diluncurkan secara tiba-tiba
10 hari sebelum pemilihan
presiden
Zambia
2006
Layanan kesehatan gratis bagi masyarakat
pedesaan (diperluas ke daerah perkotaan
pada tahun 2009)
Inisiatif presiden menjelang
pemilu
2006
Layanan kesehatan gratis bagi wanita hamil
dan anak-anak
Inisiatif presiden menanggapi
tekanan masyarakat sipil
Nepal
2008
Layanan kesehatan universal secara
gratis hingga rumah sakit tingkat distrik
(kabupaten)
Kebijakan sosial unggulan
dari partai sayap kiri dalam
pemerintahan koalisi pada
kampanye pemilu 2008
Ghana
2008
Cakupan asuransi kesehatan nasional
diperluas ke semua wanita hamil
Menjelang pemilihan presiden
2009
Peningkatan yang sangat besar dalam
pengeluaran publik untuk meningkatkan
cakupan layanan dan proteksi keuangan
Tanggapan terhadap gejolak
politik yang berkembang akan
cakupan kesehatan yang tidak
memadai
Burundi
China
Sierra
Leone
2010
Layanan kesehatan gratis bagi wanita hamil
dan anak-anak
Inisiatif presiden yang
merupakan faktor utama
dalam kampanye pemilihan
kembali presiden yang tengah
menjabat (incumbent)
AS
2010
Reformasi kesehatan nasional untk
mengurangi jumlah penduduk yang tidak
tercakup asuransi kesehatan
Kebijakan sosial dalam negeri
utama dari Presiden
Dapat terlihat berapa banyak para pemimpin politik yang memimpin proses ini, memperoleh
keuntungan politik yang besar dari keberhasilan reformasi mereka yang telah membantu mempertahankan kekuasaan pada pemilu berikutnya.
Hal ini nampaknya terjadi pula dalam terpilihnya kembali Presiden Obama di Amerika Serikat.:
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2233169/Obama-won-election-gifts-low-income-votersyoung-Americans-minorities-says-Romney.html
Memang beberapa perintis politik UHC telah menjadi pahlawan nasional di negaranya. Contohnya,
pada tahun 2004, masyarakat Kanada melakukan jajak pendapat nasional untuk memilih orang
Kanada terhebat60 dalam sejarah, dan pilihan jatuh pada arsitek reformasi UHC, Tommy Douglas.
Dia adalah mantan Gubernur Provinsi Saskatchewan. Setelah melewati perjuangan politik yang
panjang, dia berhasil menerapkan UHC di provinsinya. Ketika terbukti berhasil dan terkenal, maka
konsep UHC nya diadopsi secara nasional.
Di Inggris, arsitek sekaligus kekuatan pendorong politik di balik National Health Service (NHS),
Aneurin Bevan, juga menjadi pahlawan nasional. Program dokumenter BBC menunjukkan dengan
jelas pertarungan politik Bevan yang berjuang (terutama dengan profesi medis yang kuat) untuk
mendirikan NHS. http://liberalconspiracy.org/2011/10/11/watch-how-life-was-before-the-nhs/
Dunia menghargai rasa terima kasih Inggris terhadap Bevan atas keberhasilan perjuangannya
dengan menampilkan NHS secara menonjol pada upacara pembukaan Olimpiade London tahun
lalu.
60
http://www.cbc.ca/archives/categories/arts-entertainment/media/media-general/and-the-greatest-canadian-of-all-time-is.html
105
Belakangan ini dan lebih dekat dengan Indonesia, reformasi besar UHC di China, Thailand dan Sri
Lanka semuanya digerakkan oleh politisi yang merespons tekanan untuk memberikan cakupan
kesehatan bagi semua penduduk. Misalnya, tekanan politik berperan penting dalam mengamankan
reformasi UHC di Thailand. Peran advokasi masyarakat madani dijelaskan secara detil dalam
evaluasi independen 10 tahun skema cakupan UC di Thailand.61 Secara khusus, 11 LSM yang
dipimpin oleh seorang senator berhasil memobilisasi 50,000 tanda tangan untuk mendukung RUU
UHC yang diajukan kepada Parlemen Thailand pada tahun 2000. Hal ini mendorong pemerintah
melakukan tindakan yang kemudian menghasilkan rancangan undang-undang tersendiri dan
memilih 5 orang anggota kelompok organisasi masyarakat madani (CSO) ke dalam proses perumusan kebijakan UC.
Implikasinya untuk Indonesia
Dengan mengkaji perkembangan cakupan kesehatan saat ini di Indonesia kita bisa melihat bahwa
pertimbangan politik memegang peran kunci – seperti halnya di negara-negara bependapatan
menengah lainnya. Untuk merespons tuntutan kelompok masyarakat yang tidak tercakup jaminan
kesehatan, maka DPR pada Oktober 2011 mengesahkan Undang-undang No. 24/2011 yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memulai reformasi pembiayaan kesehatan pada tahun
2014 dengan harapan dapat mewujudkan cakupan kesehatan semesta (UHC) pada 2019.62
Sesuai dengan undang-undang yang baru, Pemerintah kini sedang merencanakan reformasi
kelembagaan dan pembiayaan penting, yang meliputi tambahan 10 juta jiwa yang akan dicakup
dalam skema asuransi Jamkesmas dan peningkatan yang cukup signifikan pada tingkat subsidi
untuk anggota pada tahun 2014.
Namun demonstrasi politik yang terus berlangsung (http://www.thejakartaglobe.com/news/
thousands-of-workers-rally-in-jakarta-for-better-health-care-wages/) cenderung menunjukkan
bahwa beberapa kalangan (terutama anggota serikat buruh) tidak merasa puas dengan langkah
perubahan tersebut dan mungkin menentang kontribusi asuransi signifikan dari para pekerja yang
berpendapatan rendah.
Selain itu, nampaknya tuntutan politik ini didengar dan direspons oleh para pemimpin politik di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bukti ini dapat dilihat dari peningkatan yang luar biasa dari
ratusan skema asuransi Jamkesda di seluruh pelosok negeri, dimana para politisi menggunakan
pendapatan pajak daerah untuk mempercepat tingkat cakupan penduduk. Bisa dilihat bahwa
banyak skema Jamkesda ini menjadi bergitu populer di provinsi-provinsi seperti Aceh, Bali, Sumatra
Selatan dan yang terbaru di Jakarta.
61
Assessment of Thailand’s Universal Coverage Scheme – Synthesis Report available here: http://www.gurn.info/en/topics/healthpolitics-and-trade-unions/development-and-health-determinants/development-and-health-determinants/thailand2019s-universalcoverage-scheme-achievements-and-challenges
62
106
http://www.thejakartaglobe.com/archive/social-security-bill-passed-at-last-gasp/474887/
Jakarta Post May 29 2013: http://www.thejakartapost.com/news/2013/05/29/healthcare-scheme-fiasco-will-beresolved-soon-assures-jokowi.html
Dengan reformasi ini jelas memberikan manfaat politik untuk pemrakarsa mereka dan dengan
bergeraknya Indonesia menuju pemilihan umum nasional, maka hal menarik yang jadi bahan
spekulasi adalah: akankah proses percepatan menuju UHC menjadi isu besar kampanye pemilu di
Indonesia pada tahun 2014? Secara khusus, akankah seorang pemimpin politik nasional membuat
komitmen kampanye populer untuk mewujudkan cakupan kesehatan bagi SEMUA masyarakat
Indonesia sebelum tahun 2019 dengan menggunakan pendapatan pajak untuk mencakup sektor
informal? Hal ini tentunya memerlukan peningkatan yang lebih besar dalam pembiayaan publik
daripada yang diperkirakan saat ini, tetapi pelajaran dari negara-negara tetangga menunjukkan
bahwa ini bisa menjadi strategi politik yang sangat efektif untuk membantu mengamankan
kemenangan pemilu.
107
NOTA
#16 KEBIJAKAN
Bagaimana Menjangkau
Masyarakat yang belum Terjangkau
dalam Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN)63
Permasalahan
JKN/SJSN Kesehatan di Indonesia merupakan upaya untuk mencapai Cakupan Kesehatan Semesta
(Universal Health Coverage/UHC) sehingga kesehatan dapat diakses oleh setiap orang dan
memungkinkan setiap orang memiliki kehidupan produktif secara sosial dan ekonomi. Masalah
ketidakadilan masih merupakan tantangan dalam kesehatan, dan secara global, terdapat kecenderungan semakin melebarnya ketidakadilan kesehatan di dalam maupun di antara negara.
Cakupan Kesehatan Semesta merupakan salah satu reformasi sistem kesehatan yang dianjurkan
dalam Laporan Kesehatan Dunia (World Health Report/WHR) 2008 untuk menyalurkan sumbersumber daya menuju keadilan dan inklusi. Deklarasi Alma Ata yang mengabadikan prinsip-prinsip
keadilan kesehatan, pelayanan yang berpusat pada masyarakat dan peran sentral masyarakat
dalam kegiatan kesehatan merupakan tindakan yang dianggap radikal pada tahun 1978. Akan
tetapi, penelitian sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai ini sekarang menjadi arus utama dalam
mewujudkan pembaharuan masyarakat. Reformasi pelayanan kesehatan dasar dimaksudkan untuk
memenuhi peningkatan harapan masyarakat tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan (WHR
2008).
Walaupun telah ada program pengentasan kemiskinan, tetap saja masih ada orang-orang atau
kelompok masyarakat yang tertinggal; dalam intervensi program masih ada kelompok-kelompok
yang “belum terjangkau”. Policy Note ini berusaha untuk menguraikan masalah bagaimana
menjangkau mereka yang belum terjangkau.
63
Policy Note #16 ini ditulis untuk tim BPJS team oleh Dr. Ilsa Nelwan dari Coffey International dan pensiunan dari World Health
Organization (WHO). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Kumara Rai, Simon Payne, Dr. Peter Heywood, dan Dr. Meiwita
Budiharsana atas masukannya pada draf sebelumnya. Untuk salinan policy note sebelumnya dan yang lainnya, silakan mengunjungi
website www.aiphss.org
109
Gambar 1:
Kerangka Konseptual: Bagaimana Menjangkau Masyarakat yang belum Terjangkau
dalam JKN/SJSN Kesehatan
Tantangan:
• 40% penduduk
rentan
• Peraturan
perundangundangan untuk
SJSN (BLT,
Raskin,
Jamkesmas,
beasiswa)
Peluang:
• Komitmen
pemerintah
terhadap
pengentasan
kemiskinan
• Pengalaman
menargetkan
penduduk miskin
• Keputusan untuk
memulai SJSN
pada tahun 2014
Situasi saat ini:
1. Penetapan sasaran
khusus
2. Penyebarluasan
informasi / bantuan
Lingkungan pendukung:
Keluaran (Output):
• Pendekatan pelayanan
kesehatan dasar
• Peraturan perundangundangan
• Pengelolaan
• Cara pandang (mindset)
• Pemberi pelayanan
(supply side) yang
berpihak kepada
kelompok masyarakyat
miskin:Insentif berbasis
kinerja
Meningkatnya akses
terhadap
- Pelayanan
kesehatan
- Informasi
kesehatan
Hasil (Outcome)
Meningkatnya taraf
kesehatan
masyarakat miskin
dan rentan
Siapakah masyarakat miskin dan yang paling rentan?
Dengan pengecualian tahun 2006 yang menunjukkan peningkatan kemiskinan akibat krisis harga
pangan internasional, penurunan angka kemiskinan resmi dari 12,5% seluruh penduduk Indonesia
pada tahun 2011 menjadi 12% pada tahun 2012 merupakan penurunan angka kemiskinan terkecil
sejak tahun 2003
Gambar 2: Tren Kemiskinan di Indonesia 1996-2012
Jumlah masyarakat miskin (juta)
% masyarakat miskin
Sumber: Indonesia poverty data governance, BPS 2012
110
Upaya-upaya untuk mengurangi angka kemiskinan sering gagal, akan tetapi, permasalahannya
adalah bagaimana mengatasi jumlah penduduk rentan secara ekonomi di Indonesia yang lebih
luas. Sebagai contoh, sementara 12% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan resmi,
hampir 40% penduduk tergolong “hampir miskin” yang hidup 1,5 kali lipat di bawah garis ini, atau
hidup dengan pendapatan kurang dari Rp12.400 per hari (sekitar US $ 1.80 disesuaikan untuk
paritas daya beli).
Ada istilah “kemiskinan dinamis” dimana masyarakat miskin dan himpir miskin merupakan
kelompok yang seringkali berubah (interchange) secara dinamis. Diperkirakan jumlah masyarakat
miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 12% dari seluruh populasi, atau sekitar 29
juta orang. Sekitar 40% masyarakat berada sedikit di atas garis kemiskinan, masih rentan terhadap
guncangan ekonomi sehingga mereka dapat dengan mudah kembali turun ke bawah garis
kemiskinan. Diduga sebab ketidakadilan ini adalah pertumbuhan yang tidak merata; sepanjang
2008-2011 masyarakat miskin tumbuh 2% per tahun sementara kelompok kaya tumbuh 9% per
tahunnya.
Tantangan lainnya adalah penyebaran kemiskinan yang tidak merata sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 3:
Gambar 3: Persentase Masyarakat Miskin per Provinsi tahun 2012
Source: Indonesia Poverty data governance, BPS 2012
Data diatas menunjukkan disparitas yang lebar diantara provinsi. NTT, Maluku, Papua Barat dan
Papua adalah provinsi miskin yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah nasional.
Tantangan ini juga ada di tingkat kecamatan, desa dan masyarakat, dan upaya khusus perlu
dilakukan pada setiap tingkat untuk menjangkau kantong-kantong kemiskinan tersebut.
111
Kerangka Konseptual Menjangkau Masyarakat yang Belum
Terjangkau
Tantangan JKN/SJSN Kesehatan adalah bagaimana menjangkau masyarakat miskin dan rentan ke
dalam cakupan semesta. Proses untuk menjangkau masyarakat yang belum tercakup dapat
dilakukan melalui:
•
•
•
•
•
•
•
penentuan sasaran khusus;
penyebarab informasi dan pendampingan bagi masyarakat miskin;
kegiatan antara dan lingkungan pendukung (pendekatan pelayanan kesehatan dasar);
perbaikan peraturan perundang-undangan;
perbaikan pengelolaan;
perubahan cara pandang; dan,
peningkatan atau perluasan penyedia pelayanan (supply side) yang berpihak kepada masyarakat
miskin melalui insentif berbasis kinerja.
Keluaran (output) yang diharapkan dari intervensi efektif menjangkau masyarakat yang belum
terjangkau adalah “tak boleh ada seorang pun yang tertinggal” dalam pelaksanaan dukungan
sosial. Walaupun yang termiskin dari masyarakat miskin adalah yang paling sulit dijangkau, akan
tetapi mereka tidak bisa dilupakan.
Peluang
Inisiatif Pemerintah
Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat miskin jelas terlihat
dari upaya pemerintah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 1 mengurangi
angka kemiskinan untuk mencapai target 8-10% pada tahun 2014. Pemerintah telah menyelenggarakan beberapa program untuk melindungi masyaraakt miskin seperti penyediaan raskin,
kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Upaya lintas sektor yang
diselaraskan dalam Peraturan Presiden 15/2010 berupaya untuk membuat kebijakan dan program
pengentasan kemiskinan, menciptakan sinergi dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan antara
kementerian dan lembaga, serta memonitor dan mengevaluasi kemajuan. Data dasar penerima
manfaat potensial (Basis Data Terpadu atau BDT) mencakup 76,4 juta jiwa nama untuk kartu JKN
baru termasuk Jamkesmas dan Jamkesda.
Pembaruan Data Penerima Manfaat. Pemerintah akan berkoordinasi dengan masyarakat
setempat untuk membantu mengidentifikasi rumah tangga miskin yang hingga saat ini belum
termasuk dalam data dasar BDT.
Sistem Jaminan Sosial. Indonesia tengah melaksanakan sistem jaminan sosial yang baru (SJSN=Sistem
Jaminan Sosial Nasional). Landasan hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 40/2004 mengenai
SJSN dan Undang-undang Nomor 24/2011 mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau
BPJS. Saat ini penerapan SJSN sedang dalam proses, termasuk transformasi kelembagaannya.
Berdasarkan Undang-undang BPJS nantinya hanya akan ada dua badan pengelola – satu untuk
112
kesehatan (PT Askes) yang akan mulai pada tahun 2014, dan satu lagi untuk program tenaga kerja
(PT Jamsostek) yang akan mulai pada tahun 2015. Dibutuhkan manfaat yang menarik dengan harga
yang wajar dan terjangkau untuk keberhasilan sistem ini.
Situasi Saat Ini
Dukungan sosial pemerintah untuk masyarakat miskin dan rentan ditargetkan melalui keluarga,
masyarakat dan usaha mikro dan kecil untuk bantuan kesehatan sosial. Salah satunya adalah JKN
(beserta Bantuan Langsung Tunai /BLT; Program Keluarga Harapan /PKH; program Bantuan Siswa
Miskin /BSM dan program Beras untuk Masyarakat Miskin /Raskin).
Gambar 5
Sumber: Presentasi TNP2K pada konferensi akademis pengentasan kemiskinan 2013, Juni 2013
Sebelumnya skema bantuan sosial diterapkan berbeda-beda di berbagai sektor; misalnya hanya
30% penduduk miskin menerima BLT, dan bahkan cakupannya lebih kecil dalam program bantuan
sosial lainnya. Tiga program penanggulangan kemiskinan terbesar belum mencakup sekitar setengah dari kelompok ini karena masalah dalam desain penetapan sasaran dan pelaksanaannya.
Walaupun program Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki sasaran program utama terbaik, lebih
dari setengah keluarga miskin dan rentan belum tercakup. Program Jamkesmas menggunakan
daftar penduduk miskin, namun penetapan target aktualnya tergantung keputusan setempat.
Kartu Jamkesmas harus diberikan kepada rumah tangga miskin berdasarkan data statistik resmi
masyarakat miskin sebagaimana halnya untuk BLT. Tetapi, bagaimana teknis pembagian kartu
tersebut berbeda-beda di berbagai tempat. Di beberapa kabupaten ada yang menggunakan daftar
resmi, sementara pejabat kesehatan di kabupaten lain menetapkan sendiri para penerima
manfaatnya. Bahkan hingga saat ini rumah tangga dapat menerima manfaat Jamkesmas hanya
dengan surat dari kepala desa. Jamkesmas mencakup 45% rumah tangga, sedangkan rumah
113
tangga tidak miskin meliputi 55% dari semua penerima manfaat. Hasilnya, target Jamkesmas
buruk, hanya 16 orang dari 100 orang yang tercakup yang benar-benar miskin.
Suatu sistem pendaftaran (registry) terpadu telah diamanatkan dalam RPJM, sehingga pada statistik
2011 di Indonesia telah dilakukan PPLS11 – pembaruan daftar rumah tangga miskin berskala besar.
Ini adalah ekspansi yang signifikan dari daftar sebelumnya yang meningkatkan jumlah rumah
tangga yang disurvei dari sekitar 19 juta pada 2008 menjadi 25 juta tumah tangga. Gambar 6 di
bawah ini membandingkan perkiraan ketepatan sasaran dari daftar 2008 dan 2011. Eksklusi
masyarakat miskin dan hampir miskin diperkirakan turun sekitar 20 persen dalam daftar 2011.
Banyak kelebihan dari PPLS11 yang menjadikannya dasar yang baik untuk daftar terpadu.
Gambar 6:
Perkiraan Ketepatan Penargetan PPLS08 dan PPLS11
1. Penetapan Target Spesifik: Kartu Perlindungan Sosial sebagai Identifikasi
Pada tahun 2011 disusun daftar rumah tangga miskin berpotensi yang benar-benar baru, yang
disebut “Sistem Penargetan Nasional” (National Targeting system/NTS). Daftar terbaru ini
menggabungkan informasi sensus terakhir dengan teknik pemetaan kemiskinan modern untuk
mengidentifikasi daerah-daerah miskin dalam skala kecil, serta menggunakan rujukan dari rumah
tangga miskin di masyarakat. NTS kini diadopsi oleh program-program utama, termasuk PKH,
Jamkesmas, Raskin dan BSM.
Penduduk miskin diberi kartu pengenal “Kartu Perlindungan Sosial”, karu ini (bisa dilihat dibawah)
telah digunakan dalam pembagian BLT tahun 2012 dan 2013. Identifikasi terpadu ini digunakan
untuk meningkatan penargetan penduduk miskin karena sebelumnya banyak masyarakat miskin
dan rentan tidak dimasukkan sebagai penerima manfaat.
114
Sumber: Presentasi TNP2K pada konferensi akademis pengentasan kemiskinan 2013, pada Juni 2013.
Koordinasi antar kementerian lini untuk saling melengkapi program sangatlah penting. Harapannya
adalah berbagai intervensi akan menghasilkan perbaikan yang seimbang bagi masyarakat
miskin.
Bagaimana Menjangkau Kelompok Termiskin dari Masyarakat Miskin atau Marjinal?
NTS masih belum menjangkau “kelompok yang tidak terlihat“; yaitu mereka yang tidak memiliki
alamat jelas dan tidak mempunyai KTP: anak jalanan, tuna wisma, orang-orang miskin yang ada
di lembaga-lembaga seperti panti asuhan, panti jompo, dan penjara. “Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat”/PNPM adalah salah satu langkah intervensi yang mencoba menjangkau
kelompok yang tidak terlihat tersebut, yang disebut dengan program “PNPM Peduli”. Dalam tahap
ujicoba, PNPM Peduli menjangkau 231 desa di 91 kabupaten meliputi 24 provinsi di Indonesia.
Mereka bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat madani (CSO) seperti Kemitraan
dan Nahdatul Ulama (NU). Program ini memberdayakan kelompok marjinal agar lebih mandiri dan
hidup lebih bermartabat, dengan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Tujuan program ini adalah untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat madani Indonesia
untuk mencapai dan memberdayakan kelompok-kelompok marjinal guna memperbaiki kondisi
sosial-ekonomi mereka. Pada tahun pertama, PNPM Peduli telah membantu lebih dari 12.000
orang terpinggirkan untuk mendapatkan keterampilan baru, akses informasi, akses layanan,
membangun kepercayaan dan menciptakan peluang baru untuk berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat.
Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi kelompok yang tidak terlihat memang
diperlukan upaya khusus. Bekerja sama dengan organisasi masyarakat madani yang ada dan lintas
sektor merupakan salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan. Meningkatkan akses ke
pelayanan perawatan kesehatan bagi kelompok khusus ini dapat dilakukan di tempat khusus.
Misalnya, di rumah singgah untuk anak-anak jalanan, sebuah kamp penampungan khusus untuk
para tunawisma, dan kunjungan terjadwal khusus ke lembaga-lembaga.
Ada beberapa langkah untuk meningkatkan pendaftaran masyarakat miskin seperti mendapatkan
daftar penerima manfaat sebagai sumber data berkualitas tinggi mengenai para penerima manfaat
potensial. Proses terpisah harus diterapkan untuk mengidentifikasi penerima manfaat dari masingmasing program.
115
Bagaimana akses kesehatan masyarakat miskin? Data Riskesdas di bawah ini (Gambar 7)
menunjukkan akses pelayanan kesehatan menurut kuintil kesejahteraan dengan memetakan
tempat melahirkan menurut kuintil kesejahteraan.
Gambar 7:
Persentase persalinan menurut tempat dan kelompok pendapatan, Indonesia 2007
Sumber: Riskesdas 2007
Dari 20% kelompok pendapatan paling rendah 5,2 % menggunakan fasilitas pemerintah dan 8,4%
fasilitas swasta tapi 84,8% melahirkan di rumah. Dari 20% kelompok pendapatan paling tinggi
12,4% menggunakan fasilitas pemerintah, 71% menggunakan fasilitas swasta dan hanya 15,5%
melahirkan di rumah. Rekomendasi pasca agenda pembangunan 2015 menunjukkan bagaimana
kemiskinan dan gender menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan. Rekomendasinya adalah:
mengurangi angka kemiskinan diantara perempuan dan anak-anak, menjamin akses terhadap
pendidikan dasar dan menegah bagi semua anak perempuan, dan pendidikan seks yang
komprehensif bagi kaum remaja. Angka kematian ibu menjadi salah satu indikator ketidaksetaraan
lintas sektor.
Isu-isu Lain
Ada juga hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan: pertama, sisi penyedia layanan kesehatan
(supply side); kedua, pertimbangan eksplisit tentang masuknya sektor swasta; dan ketiga kualitas
pelayanan.
Sisi penyedia layanan (Supply Side): ada kesepakatan pada sisi pengguna layanan kesehatan
(demand side) mengenai kemiskinan, tetapi ketika pembatasan dari sisi pengguna layanan kesehatan dicabut (dalam kasus ini pelayanan kesehatan gratis), ternyata ada masalah dengan penyediaan layanan. Selain itu, JKN bermaksud untuk membatasi penyedia layanan kesehatan yang
diakui yang dapat memperoleh pembayaran kembali (reimburse) hanya untuk layanan kesehatan
yang dilakukan oleh dokter. Batasan ini diberlakukan meskipun dokter (baik swasta dan pemerintah)
memberikan kurang dari setengah dari pelayanan rawat jalan. Pada saat yang sama, perawat tidak
diakui meskipun mereka memberikan pelayanan rawat jalan lebih dari kelompok profesional
116
lainnya. Masalahnya adalah bahwa perawat mungkin memberikan kualitas lebih rendah
dibandingkan dokter dan bidan. Faktanya tetap saja bahwa tidak terdapat cukup dokter.
Sektor Swasta: Sebagian besar pelayanan rawat jalan di Indonesia diselenggarakan oleh pihak
swasta. Maka JKN perlu menarik bagi penyedia layanan kesehatan swasta termasuk dokter, perawat
dan bidan.
Kualitas pelayanan: perlu dibuka kesempatan bagi para penyedia layanan kesehatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Hal ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar
pelatihan dan insentif serta apa yang telah diketahui pasien. Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)
harus mampu meningkatkan taraf kesehatan melalui peningkatan meningkatkan akses pelayanan
kesehatan dan cakupan serta kualitas pelayanan kesehatan.
2. Penyebaran Informasi /Pendampingan
Penyebaran informasi yang tepat diperlukan untuk memastikan masyarakat memahami manfaat
dan pentingnya sistem SJSN. Komunikasi yang efektif di kalangan pemerintah dan terhadap
masyarakat, media dan parlemen penting dilakukan untuk keberhasilan program. Bagi masyarakat
miskin, informasi kesehatan SJSN sangat lah penting, sehingga mereka tahu bagaimana mengakses
layanan yang menjadi haknya. Apa hak dan tanggung jawab mereka, dan apa lembaga yang
bertanggung jawab untuk mengoperasikan program ini? Dalam konteks desentralisasi,
kepemimpinan dari pemerintah daerah dan Dinas kesehatan kabupaten juga sangat penting.
Karakteristik penting dari strategi informasi adalah bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
kesehatan penduduk. Setiap individu harus memahami bahwa setiap orang bertanggung jawab
atas kesehatan mereka sendiri, bahwa promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sangat
diperlukan tanpa mengabaikan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif. Dinas kesehatan
kabupaten harus memastikan implementasi yang lebih baik dari program kesehatan masyarakat
sejalan dengan penerapan JKN.
Kendala sosial budaya adalah sebagian dari kendala pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, salah satu cara intervensi yang dapat dilakukan adalah melalui
program penjangkauan (outreach) dari pusat kesehatan kepada masyarakat. Kerja sama lintas
sektor juga merupakan solusi penting untuk permasalahan ini.
Upaya untuk merubah perilaku penyedia layanan kesehatan perlu dilakukan agar mereka lebih
berpihak kepada masyarakat miskin, diantaranya melalui pelatihan dan pemaparan analisis
kemiskinan.
Saran untuk Kelompok Termiskin dari Masyarakat Miskin
Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, masyarakat miskin juga memerlukan bantuan
fasilitator, yaitu, seseorang yang akan membantu untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan
pada fasilitas kesehatan pemerintah. Fasilitator ini adalah seseorang yang dapat membantu
individu miskin untuk mendapatkan hak-haknya atas akses pelayanan kesehatan. Fasilitator juga
dapat menerjemahkan pesan-pesan penyedia layanan kesehatan, melengkapi formulir-formulir
yang diperlukan, dan membantu masyarakat miskin mendapatkan bantuan rujukan.
117
Lingkungan Pendukung
1. Menggunakan Konsep Pelayanan Kesehatan Primer
Konsep gerakan Pelayanan Kesehatan Primer mengacu pada penerapan strategi pembangunan
Kesehatan menyeluruh yang memerlukan pendekatan terintegrasi dan komprehensif:
•
•
•
•
•
•
Kemampuan untuk mengakses dan mencapai cakupan semesta, hal ini diterjemahkan dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat yang rentan dan terpinggirkan. Prinsip ini juga menyiratkan
bahwa pemerataan atau keadilan sosial ditegakkan dalam upaya mencakup seluruh penduduk;
Keterlibatan individu dan masyarakat serta kemandirian. Setiap orang dan seluruh masyarakat
harus bertanggung jawab mulai dari tahap perencanaan, pendaftaran masyarakat miskin
untuk JKN hingga tahap pemantauan dan evaluasi;
Kerja sama lintas sektor untuk kesehatan. Khususnya untuk SJSN, agar intervensi dapat
berjalan secara efektif, penduduk miskin akan menerima intervensi berbeda dari berbagai
sektor. Koordinasi lintas sektor yang lebih baik akan meningkatkan penerapan JKN;
Intervensi Kesehatan Masyarakat juga merupakan aspek penting karena hal ini akan mengurangi
beban penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penduduk yang belum terjangkau. Efektivitas
biaya intervensi kesehatan masyarakat akan membuat JKN lebih efektif. Misalnya, dengan
meningkatkan akses pasokan air bersih bagi penduduk miskin akan mengurangi morbiditas
dan mortalitas penyakit yang ditularkan melalui air. Dengan tingginya cakupan persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, akan mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat persalinan;
Penyebab sakit adalah risiko kesehatan dan determinan kesehatan. Risiko kesehatan muncul
dari gaya hidup masyarakat seperti penggunaan tembakau, konsumsi alkohol, diet dan
kesehatan fisik. Determinan kesehatan mencakup spektrum yang luas dari faktor-faktor sosial,
pendidikan, ekonomi, jender, politik, keamanan dan lingkungan fisik seperti air dan sanitasi.
Kelompok masyarakat miskin lebih rentan terhadap risiko kesehatan ini dan kemiskinan
merupakan salah satu determinan kesehatan;
Teknologi tepat guna dan terjangkau akan menjamin efisiensi sistem kesehatan yang lebih baik.
Tekonologi Global Positioning System, mobile dan E-health dapat membantu proses identifikasi,
pemberian pelayanan kesehatan, serta pemantauan penduduk miskin sebagai kelompok
sasaran JKN.
2. Peraturan perundang-undangan
Perlu adanya kajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan dalam konteks JKN. Kesenjangan dalam regulasi khususnya di tingkat kabupaten dapat menjadi tantangan dalam penerapan
JKN. Fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus mampu mengelola dana untuk pengelolaan dan
peningkatan pelayanan kesehatan. Pada tahap awal harus ada regulasi sementara yang memberikan
fleksibilitas. Pengalaman ini dapat digunakan untuk memperbarui dan menyesuaikan peraturan
perundang-undangan untuk dapat melaksanakan JKN dengan lebih baik.
3. Pengelolaan
Salah satu kendala pengelolaan Jamkesmas pada pelayanan kesehatan dasar adalah sulitnya proses
klaim. Terutama di kabupaten yang berpendapatan rendah, biaya perawatan kesehatan yang
diganti mencapai sekitar 30% dari pendapatan daerah. Menurut undang-undang rumah sakit Pasal
118
7 ayat 3, rumah sakit dapat langsung menggunakan pembayaran yang diterima dari klien/pasien
untuk meningkatkan dan memperluas pelayanan kesehatan. Tetapi dana yang dikirim ke lembaga
kesehatan khususnya di Kabupaten miskin seringkali kurang dari jumlah klaim, sehingga lembaga
kesehatan akhirnya beroperasi dengan anggaran yang semakin kecil. Pada saat yang sama, biaya
perawatan masyarakat miskin sebenarnya bisa lebih mahal. Masyarakat miskin sering menunda
perawatan dan kurang mendapatkan dukungan sosial, sehingga menyebabkan tingkat perawatan
yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Klaim pelayanan kesehatan Puskesmas harus digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
Harus ada peraturan yang berbeda yang dapat lebih mendukung JKN serta pembiayaan layanan
kesehatan di tingkat kabupaten dan di bawahnya (kecamatan s/d masyarakat). Bagaimana
mendapatkan pembayaran klaim sepenuhnya pada waktu yang lebih singkat merupakan tantangan
dalam pengelolaan.
4. Pembayaran berdasarkan Kinerja
Upaya menjangkau masyarakat miskin untuk pelayanan kesehatan juga harus menarik bagi
penyedia layanan kesehatan. Konsep pembayaran berdasarkan kinerja, atau insentif berbasis
kinerja, akan mendorong pelayanan yang lebih baik dari pihak penyedia layanan bagi masyarakat
miskin. Karena penyedia layanan mungkin perlu lebih banyak waktu dan usaha untuk menjangkau
pasien yang paling miskin, maka penyedia bisa menerima tambahan subsidi untuk memberikan
pelayanan bagi kelompok termiskin diantara masyarakat miskin.
5. Cara pandang
Cara pandang yang berpihak kepada masyarakat miskin di kalangan para pengambil keputusan
dan profesi kesehatan dapat didorong oleh “pendekatan dua jalur”: penanganan pemerintah dan
kerjasama dengan masyarakat yang terpinggirkan dari bawah ke atas (bottom up). Keadilan dan
pemberdayaan merupakan faktor penting dalam membantu mengembangkan “lingkungan yang
mendukung” untuk pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan yang pro rakyat miskin. Ini adalah
konteks implementasi JKN. Perubahan cara pandang pemerintah daerah, masyarakat madani yang
semakin berdaya akan membuat perbedaan dalam pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan
yang berpihak kepada rakyat miskin.
6. Penelitian dan Uji coba
Penelitian operasional diperlukan untuk mencari pilihan yang lebih baik dalam menjangkau
masyarakat miskin. Ini dapat dilakukan melalui kemitraan antara pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten), dan perguruan tinggi setempat. Pemantauan dan Evaluasi (M & E) pelaksanaan JKN
akan diperlukan dan dapat dilakukan melalui kemitraan dengan perguruan tinggi setempat.
Melangkah Maju
Proporsi dan jumlah orang miskin di Indonesia merupakan tantangan besar. Pemerintah
menargetkan 40% dari jumlah penduduk, atau 100 juta orang, yang membutuhkan perlindungan
sosial yang komprehensif, termasuk peningkatan akses pelayanan kesehatan. Masyarakat yang
119
benar-benar miskin yaitu yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 12%, atau kurang lebih 29
juta penduduk. Tetapi, penduduk hampir miskin yang rentan terhadap goncangan ekonomi yaitu
mereka yang dapat dengan mudah kembali berada di bawah garis kemiskinan berjumlah sampai
40%.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan pendaftaran masyarakat miskin. Upaya terakhir adalah
mengembangkan data dasar dan memberikan kartu perlindungan sosial khusus untuk penduduk
miskin. Penduduk miskin akan mendapatkan berbagai manfaat sosial, salah satunya adalah JKN.
Akan tetapi, koordinasi dan kerjasama lintas sektor belum dapat diterapkan secara efektif.
Untuk menjangkau masyarakat yang belum terjangkau, JKN tidak dapat dipisahkan dari upaya
pengentasan kemiskinan. Bagi masyarakat miskin, pelayanan kesehatan bukanlah prioritas
tertinggi. Oleh karena itu, kemampuan sektor kesehatan dan kepimpinan pemerintah daerah
sangatlah penting. Jumlah masyarakat miskin yang begitu besar di Indonesia perlu dijangkau
melalui kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat. Masalah ketidakadilan dalam
kemiskinan dan kantong-kantong kemiskinan harus diidentifikasi dan dijadikan sasaran intervensi
yang terencana dengan baik.
Apa yang Dapat Dilakukan?
1.
2.
3.
4.
5.
120
Dengan menggunakan data dasar dan NTS, sektor kesehatan dapat mengidentifikasi masyarakat
miskin yang p.erlu dicakup JKN. Kerjasama dengan sektor lain dan pemerintah daerah dalam
pendaftaran masyarakat miskin untuk JKN secara dinamis sangat diperlukan.
“Yang tidak terlihat” dapat dijangkau dengan memanfaatkan pengalaman dari ujicoba PNPM
Peduli. Intervensi melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat madani berupaya untuk
menjangkau kelompok ini, - saat ini telah beroperasi di 231 desa, dan telah memberikan
kesempatan baru bagib 12.000 orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Penyebarluasan informasi JKN sebagai upaya cakupan semesta harus menjangkau pemerintah
di berbagai tingkat, pemangku kepentingan yang relevan dan masyarakat umum dengan
didukung layanan hotline. Pada tahap perorangan, setiap pasien miskin memerlukan
pendamping supaya dapat dapat memenuhi syarat-syarat administratif agar bisa mendapatkan
haknya. Sektor kesehatan perlu meningkatkan akses, cakupan serta mutu pelayanan kesehatan
juga aspek non-kesehatan seperti martabat, kerahasiaan dan perhatian segera merupakan
tantangan pelaksanaan JKN bagi masyarakat miskin. Penting untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri.
Pendekatan pelayanan kesehatan primer dalam pembangunan kesehatan memerlukan. Untuk
mendukung keberhasilan JKN, sangat penting pendekatan kesehatan primer dalam
pembangunan kesehatan yaitu akses dan cakupan semesta, keterlibatan masyarakat dan
individu, kemandirian, kerjasama lintas sektor, teknologi tepat guna dan intervensi kesehatan
masyarakat. Namun, menurut hasil NHA (National Health Accounts) terbaru sebagian dana
digunakan oleh RS.
Penelitian operasional JKN bisa mengangkat data sosial budaya yang mempengaruhi perilaku
masyarakat miskin. Penelitian ini dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan antara pemerintah
dan universitas/akademis.
Referensi
1. World Health Report 2008; http://www.who.int/whr/2008/en/
2. Reaching Indonesia’s poor and vulnerable;
http://www.eastasiaforum.org/2013/01/02/reaching-indonesias-poor-and-vulnerable/
3. PHC Revitalization; http://www.who.int/management/district/RevitalizingPHC2008SEARO.pdf
4. prsp-report-targeting-poor-ipm.pdf;
http://www.ausaid.gov.au/countries/eastasia/indonesia/Documents/prsp-report-targetingpoor-ipm.pdf
5. Protecting the poor and the vulnerable household in Indonesia;
http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/02/29/
000333037_20120229231135
6. Indonesian experience toward targeted social assistance reform;
http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Plenary%201%20-%20Bambang%20
Widianto-1.pdf
7. PKH experiences in Indonesian Quartely;
http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/IEQ-Jul2013Full%20report-English.pdf
8. Maternal Mortality: An Indicator of Intersecting Inequalities;
http://feim.org.ar/pdf/Publicaciones/Paper_desigualdades_FEIM_EN.pdf
9. PNPM Peduli news;
http://www.worldbank.org/en/results/2013/04/04/indonesia-a-nationwide-communityprogram-pnpm-peduli-caring-for-the-invisible
10. Indonesia Poverty Data governance, Kunming;
http://www.adbi.org/files/2012.10.25.cpp.sess5.10.indonesia.poverty.data.gov.pdf
11. Indonesia social monitoring ppt, BPS, Beijing;
http://www.docstoc.com/docs/123311227/MONITORING-SOCIAL-DEVELOPMENTS-ININDONESIA
12. Social Audit, a study of Jamkesmas and jamkesda membership;
http://www.lakpesdam.or.id/phocadownload/Bahasainggrisversion.pdf
13. How civil society work to promote pro poor policy Asia foundation, 2011;
http://asiafoundation.org/resources/pdfs/OccasionalPaperWorkingPoliticallyinIndonesian
citiesJune2011.pdf
Poverty reduction and pro poor growth, OECD 2012 http://cdi.mecon.gov.ar/docelec/az2249.pdf
121
NOTA
#17 KEBIJAKAN
Pentahapan INA-CBGs64
Sebuah Keanehan menurut Standar Global: Mengapa Indonesia
memilih Menerapkan 100% Sistem Baru di tahun 2014?
Beberapa bulan lagi, BPJS akan menerapkan sistem pembayaran provider baru untuk rumah sakitrumah sakit, yaitu INA-CBGs. Sistem pembayaran provider dapat menjadi alat yang ampuh untuk
mempromosikan pengembangan sistem kesehatan dan mencapai tujuan kebijakan kesehatan.
Indonesia, tidak seperti negara-negara lainnya di dunia, telah memilih untuk TIDAK menerapkan
INA-CBGs secara bertahap. Sebagian besar negara, baik negara kaya ( Jerman) dan miskin (Armenia),
besar (Amerika Serikat) dan kecil (Republik Kyrgz), menerapkan pentahapan INA-CBGs mereka
selama 3-5 tahun. Indonesia tidak akan. Namun, beberapa isyarat sistem saat ini menunjukkan
bahwa Indonesia mungkin akan mempertimbangkan pendekatan bertahap untuk meningkatkan
efisiensi dan kualitas.
Memang, Ric Marshall, dari Inggris dan Australia, baru-baru ini memberikan beberapa alasan
kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan pendekatan bertahap seputar perbaikan
tingkat data yang buruk dan tidak stabil. Dengan memperlambat penerapan selama 3-5 tahun, Dr
Marshall menawarkan beberapa kelebihan, yang meliputi:
1.
Penetapan sistem pengukuran kualitas, yang dapat mencakup sistem penelusuran kualitas
untuk i) mencegah rawat inap yang tidak perlu, ii) menjamin perawatan yang diperlukan untuk
pasien rawat inap dan iii) mencegah pemulangan pasien lebih awal yang sering kali
menyebabkan rawat inap ulang yang berbiaya mahal ke rumah sakit dalam waktu 90 hari;
2. Peningkatan sistem pengkodean, termasuk penggunaan semua kode ICD-9 dan ICD-10. Saat
ini, kode yang digunakan kurang dari 10%. Waktu yang lebih banyak akan memungkinkan
menghasilkan kader ahli pengkodean terlatih dan standar pengkodean nasional. Saat ini,
rumah sakit melatih para pengkode mereka sendiri yang mana menimbulkan perbedaan
pengkodean antar fasilitas kesehatan. Peningkatan sistem pengkodean dapat lebih mendorong
keadilan dalam pembayaran untuk pasien yang lebih sakit dan keadilan dalam penggantian di
seluruh fasilitas;
64
Policy Note #17 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner, berdasarkan pekerjaannya, dan pekerjaan serta temuan Ric
Marshall dari Inggris dan Australia. Untuk salinan Policy Note lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org
123
Tabel 1:
Data Mana yang akan Dikumpulkan untuk Setiap Rawat Inap?
Variabel yang digunakan untuk pengelompokkan sistem CBG Australia saat ini
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Diagnosis (multiple)
Prosedur (multiple)
Jenis kelamin
Usia
Kejadian dan jenis
Lama tinggal
Cuti dari perawatan (leave days)
Berat badan pada saat masuk rawat inap
Status hukum kesehatan mental
Status hari yang sama.
Grouper dapat memuat hingga 30 kode diagnosis dan 30 kode prosedur per
rawat inap
3. Perbaikan sistem biaya, termasuk template biaya baru untuk mendapatkan lebih banyak data
pemanfaatan. Model biaya saat ini terlalu bergantung pada rata-rata lama tinggal (ALOS) dan
terlalu dasar. Program perangkat lunak (software) seperti COMBO (level 1) dapat digunakan
sebagai langkah berikutnya. Ric Marshall menyarankan untuk i) mulai dengan contoh kecil
rumah sakit-rumah sakit yang memiliki sistem biaya terbaik, ii) bergerak ke sampel representatif
rumah sakit yang dikelompokkan berdasarkan semua jenis dan iii) ekstrapolasi biaya untuk
semua rumah sakit di pelosok negeri. Sampel tidak perlu besar. Dia menyarankan 10% mungkin
cukup. Di Jerman, biaya untuk 70 rumah sakit digunakan untuk semua Jerman. Di Filipina,
kurang dari 20 rumah sakit yang digunakan sebagai langkah pertama. Kementerian Kesehatan/
NIHRD saat ini memiliki data biaya untuk 200 lebih rumah sakit yang dapat dimanfaatkan saat
ini;
4. Pengaturan kontrak dan pembelian yang lebih jelas, di mana ketentuan dan aturan sifatnya
jelas serta dikembangkan dengan baik, di mana klaim diproses dengan cepat, di mana ada
pembayaran otomatis dari semua klaim dengan 5-10% sampel audit untuk dua (2) jenis klaim:
klaim berbiaya tinggi dan klaim berisiko tinggi. Saat ini, ada 100% audit klaim oleh verifikator
di bawah Jamkesmas, jelas merupakan pemborosan dana publik. Selanjutnya, harus ada aturan
yang jelas mengenai insentif untuk pelaporan biaya yang benar dan informasi klinis, serta
hukuman untuk tindak kecurangan;
5. Waktu untuk mengembangkan pemodelan netral anggaran, atau analisis dampak, untuk lebih
memahami mana fasilitas yang akan memperoleh pendapatan di bawah sistem baru ini dan
mana fasilitas yang tidak. Untuk tahun 2013, bagaimana pendapatan akan berubah untuk
setiap rumah sakit? Banyak yang akan berubah, misalnya, premi per orang akan naik,
pembayaran langsung (out of pocket) akan berkurang, alokasi tingkat dasar relatif untuk
perawatan primer dan sekunder akan berubah (meskipun alokasi yang tepatnya belum
diketahui), dan sebagainya. BPJS perlu mengetahui siapa yang akan menikmati kelebihan
pendapatan (kelebihan bayar) dan fasilitas kesehatan apa yang akan menderita kerugian
(kekurangan ibayar) karena inefisiensi relatif dalam struktur biaya mereka. Dr Marshall
menyarankan beberapa realokasi pada tahun-tahun awal dari fasilitas kesehatan yang
mendapatkan keuntungan ke fasilitas yang menderita kerugian untuk melindungi risiko fiskal
dan memberikan waktu bagi rumah sakit yang “merugi” untuk melakukan restrukturisasi dan
menjadi lebih efisien. Bagaimana Anda mengalokasikan pada tahun-tahun awal? Sebuah
pendekatan yang umum digunakan di negara-negara lain adalah dengan menggunakan
formula campuran pada tahun-tahun awal pentahapan, misalnya, 25% INA-CBG dan 75%
124
pembayaran tradisional dengan meningkatkan persentase selama 3-4 tahun. Dr Marshall
menyarankan campuran 5 % /95 % pada tahun ke-1 ( 2014 ).
Isu-isu Kebijakan yang Masih Ada
Ada beberapa isu praktis lainnya yang meliputi:
Kemampuan: Apakah ada kemampuan yang memadai dari sisi penyedia? Dari sisi pembayar? Di
sisi penyedia, sekitar 325 dari 1.600 rumah sakit hingga saat ini sama sekali tidak memiliki
pengalaman dengan CBGs. Kemampuan untuk mengelola dan menyesuaikan diri dengan persoalan
kesadaran biaya mungkin memakan waktu lama. Dan, memang, pembayar baru, PT Askes kini
mengelola skema untuk Kartu Jakarta Sehat, tetapi organisasi ini juga baru dalam mengelola
sistem baru ini.
Fasilitas Pemerintah dan Swasta: Informasi lebih lanjut tentang biaya dan case-mix diperlukan
agar lebih adil dalam membayar fasilitas umum dan swasta. Apakah tingkat keparahan dalam
case-mix berbeda di rumah sakit pemerintah dibandingkan dengan swasta? Apa yang dapat
dilakukan untuk “meningkatkan keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi sektor
swasta yang tidak menerima subsidi pemerintah untuk modal dan peralatan dan program lainnya?
Fasilitas kesehatan pemerintah akan terus menerima lebih dari setengah (mungkin sebesar 60%)
pendapatan dari subsidi selain pembayaran di bawah INA-CBGs. Pembayaran untuk swasta perlu
disesuaikan ke atas untuk memberikan subsidi yang sama, atau pembiayaan dari sisi penyedia
layanan harus berakhir di sisi publik, dengan semua dana yang terkumpul di bawah BPJS.
Batas Volume: ledakan potensi volume rawat inap dalam program UHC baru dapat terjadi ketika
sebagai hambatan keuangan berkurang, individu dan keluarga merasa diberdayakan dan akan
lebih agresif mencari pelayanan kesehatan. Di banyak negara, penggunaan CBGs sendiri telah
menyebabkan peningkatan volume rawat inap. Dengan disertai inisiatif UHC di Indonesia, mungkin
dapat terjadi ledakan volume rawat inap mulai tahun 2014, mirip dengan apa yang telah terlihat
di Jakarta di bawah skema Karu Jakarta Sehat pada tahun 2013. BPJS mungkin ingin memulai batas
volume melalui kontrak dengan fasilitas kesehatan atau dengan daerah. Hal ini dilakukan di banyak
negara lain - hampir semuanya di Eropa Barat dan beberapa di Asia (Taiwan dan Thailand).
Indonesia akan pintar untuk memulainya dengan “batas yang lunak” yang memungkinkan beberapa
fleksibilitas sekitar target batas volume.
Program Bertahap
Mengingat banyaknya tantangan, draf outline pertama mungkin disusun untuk menentukan apa
yang bisa dilakukan tahun demi tahun dalam program bertahap yang dirancang secara hati-hati.
Tahun 0: 2013
Jadwal pentahapan harus diumumkan segera kepada semua pemangku kepentingan. Tahun
pertama, misalnya, campuran formula menggunakan 5% INA-CBGs dan 95% pembayaran
125
tradisional. Laporan Ric Marshall menjabarkan pendekatan bertahap dengan persentase yang
berubah untuk 4-5 tahun ke depan.
Peta jalan (Roadmap) pentahapan akan dikembangkan dengan merinci program setahap demi
setahap untuk 3-4 tahun ke depan di bidang-bidang peningkatan:
•
•
•
•
Klasifikasi
Pengelompokkan
Pembiayaan
Kontrak
Roadmap tersebut mungkin menjabarkan rincian sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
Tahun 1: 2014
Klasifikasi:
Menyempurnakan grouper INA CBG berdasarkan beberapa analisis dampak awal dan pemodelan
netral anggaran. Hal ini dapat meliputi: i) penghapusan kelompok berbasis prosedur, ii)
penyederhanaan jumlah kategori, dan iii) strategi untuk beralih ke tarif dasar tunggal.
Pengkodean:
Mengembangkan kamus data dalam kontrak baru, dan mengujicobakannya, serta melatih orangorang untuk menggunakannya. Kini dibawah kepemimpinan Pusdatin Kementerian Kesehatan, hal
ini dianggap perlu untuk mendapatkan sistem pengkodean yang terstandardisasi dan lebih tepat.
Jadwal saat ini mengharuskan hal ini selesai pada akhir Desember.
Sistem pengenal unik dikembangkan untuk semua dokter dan semua fasilitas dengan karakteristik
seperti perkotaan/pedesaan, ukuran tempat tidur, status mengajar, jumlah tempat tidur di setiap
tingkat kelas.
Mengembangkan program pelatihan untuk para pengkode, dengan program standar dan manual
untuk pengkodean secara konsisten di semua fasilitas di Indonesia. Dokter akan bertanggung
jawab untuk penyediaan data yang digunakan untuk pengkodean. Namun, dokter TIDAK harus
diminta untuk memberikan kode
Para pengkode perlu diakreditasi dengan beberapa cara seperti halnya fasilitas diakreditasi. Proses
ini memerlukan waktu 4-5 tahun di Jerman, tetapi dengan penggunaan INA-CBG dibawah
Jamkesmas di Indonesia, waktu yang dibutuhkan untuk program ini mungkin lebih sedikit. Bantuan
hibah pemerintah bisa dimulai untuk provinsi guna memulai program pelatihan dengan para guru
dan coder terlatih, bisa perawat atau personel pendukung lainnya. Para pengkode dapat membentuk
asosiasi profesi dari waktu ke waktu.
Pengembangan program audit pengkodean baru oleh BPJS, termasuk program perangkat lunak
baru dan verifikator terlatih untuk BPJS.
Biaya:
Template biaya baru dikembangkan dengan menggunakan tingkat sistem perangkat lunak COMBO
1. Template biaya dapat dikembangkan bersama dengan konsultan ahli DRG Australia
126
Rumus Pembayaran:
Campuran INA-CBGs + Jumlah Pembayaran Historis (disesuaikan dengan inflasi). Gabungan
5%/95% direkomendasikan oleh Dr. Marshall.
Kualitas:
Pengembangan indikator monitoring penjaminan mutu, oleh Kementerian Kesehatan atau BPJS,
terkait dengan pencegahan rawat inap yang tidak perlu, berkenaan dengan pelayanan yang
diperlukan selama rawat inap, dan pencegahan pemulangan awal pasien dan rawat inap ulang
dalam 90 hari.
Kontrak:
Kontrak dengan semua penyedia layanan, dengan aturan yang jelas untuk semua pelaporan
informasi klinis dan biaya.
Monitoring dan Evaluasi:
Sistem monitoring dan evaluasi ditetapkan dengan menggunakan data dasar.
Tahun 2: 2015
Pengkodean:
Mengembangkan sistem pengkodean standar menggunakan ICD 10 – semua kode harus
dicantumkan dalam sistem pemrosesan klaim.
Mengkaji ulang software (perangkat lunak) yang dikembangkan. Laporan anekdot menunjukkan
upcoding sudah mulai dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia, hingga 20% dari tahun ke
tahun.
Biaya:
Mengembangkan template pengkodean standar yang baru untuk biaya fasilitas dan penyedia
layanan (provider).
Kontrak:
Kontrak dengan semua verifikator terakreditasi dan tim penjaminan mutu terkait.
Rumus Pembayaran:
Campuran INA-CBGs + Jumlah Pembayaran Historis (disesuaikan dengan inflasi). Gabungan
25%/75% direkomendasikan oleh Dr. Marshall.
Komunikasi:
Laporan Tahunan dimulai dan dikirim ke para pemangku kepentingan utama seperti komunitas
rumah sakit, DPR dan yang lainnya mengenai seberapa baik sistem bekerja.
127
Tahun 3: 2016
Pengkodean dan Data:
Pengumpulan informasi mengenai pola klinis dan biaya
Klasifikasi:
Penyempurnaan grouper berdasarkan data klilnis.
Penyesuaian baru, khusus untuk wilayah geografis, pengajaran, ukuran tempat tidur, dsb.
Biaya:
Analisis Dampak Berkelanjutan – di tingkat fasilitas
Template biaya direvisi berdasarkan analisis.
Perundingan dengan Kementerian Keuangan mengenai apa yang akan dilakukan dengan fasilitas
publik yang tidak efisien dan gagal secara keuangan.
Komunikasi:
Laporan Tahunan kedua diselesaikan dan dikirim ke para pemangku kepentingan utama seperti
komunitas rumah sakit, DPR dan yang lainnya mengenai seberapa baik sistem bekerja.
Pemikiran Penutup
Serangkaian langkah pentahapan ini sifatnya ilustratif, tidak untuk diambil secara literal. Roadmap
tentu akan menentukan berbagai langkah yang lebih detil dan lebih teliti. Daftar ini hanya
memberikan beberapa contoh dan ide-ide tentang bidang-bidang yang akan dibahas.
Rincian yang lebih baik disajikan dalam laporan September 2013 Dr. Ric Marshall dari tempat
kerjanya di Jakarta pada 19 Agustus 2013.
128
NOTA
#18 KEBIJAKAN
Tenaga Kesehatan di Indonesia
Ketersediaan Tenaga Kesehatan
untuk Penyelenggaraan Cakupan
Kesehatan Semesta65
Pentingnya /Relevansi Persoalan
Distribusi dan ketersediaan tenaga kesehatan semakin mengundang banyak perhatian di Indonesia,
karena pemerintah tengah mempersiapkan penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
berlaku mulai tahun 2014. Walaupun bantuan keuangan melalui SJSN akan mengurangi hambatan
keuangan untuk mengakses pelayanan kesehatan, hambatan akses geografis masih membatasi
kemampuan penduduk untuk memperoleh manfaat dari sistem nasional tersebut.
Persoalan ini diakui dalam Laporan Kesehatan Dunia 2010 yang mencatat bahwa ‘menghilangkan
hambatan keuangan implisit dalam sistem pembayaran langsung akan membantu orang miskin
mendapatkan pelayanan, tetapi tidak akan menjamin pelayanan tersebut... jika pelayanan tidak
tersedia sama sekali, atau tidak cukup dekat tersedia, artinya masyarakat tidak dapat memanfaatkan
pelayanan tersebut walaupun gratis’(WHO, 2010).
Faktor utama yang membatasi ketersediaan pelayanan kesehatan di beberapa tempat dan
kelompok masyarakat tertentu adalah kurangnya beberapa tenaga kesehatan yang penting dan
distribusi yang tidak merata, dengan kecenderungan kebanyakan penduduk terkonsentrasi di
perkotaan, serta terabaikannya daerah pedesaan atau kepulauan.
Persoalan ini telah diakui dalam ‘Roadmap menuju Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)’. ‘Pelayanan
kesehatan berkualitas yang tersedia dalam jarak yang relatif dekat adalah kebutuhan penting
kedua untuk penerapan UHC ‘(Hal. 95). Roadmap ini mencatat bahwa fasilitas kesehatan dan
tenaga kesehatan terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara mayoritas penduduk berada di
65
Policy Note #18 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Krishna Hort (Nossal Institute of Global Health), Andreasta Meliala (Universitas Gadjah
Mada), and Rohan Jayasuriya (University of NSW). Untuk mendapatkan salinan policy note sebelumnya dan yang lainnya, silakan
mengunjungi website www.aiphss.org
130
daerah pedesaan. Walaupun jumlah dokter, diperkirakan 85.000, dan dokter spesialis, 25.000,
cukup untuk rasio ideal 1:3000 penduduk, masalahnya adalah distribusinya. (Hal. 96)
Apa yang Kita Ketahui tentang Jumlah dan Distribusi Tenaga
Kesehatan?
Data yang akurat tentang tenaga kesehatan di Indonesia sulit diperoleh. Sebagaimana dicatat
dalam laporan terakhir Bank Dunia, bahkan angka resmi di Kementerian Kesehatan tidak sepenuhnya dapat diandalkan karena pelaporan yang tidak lengkap dari provinsi dan kabupaten. Data dari
Kementerian Kesehatan juga tidak meliputi tenaga kesehatan yang sepenuhnya melakukan praktik
pribadi (private), meskipun sebagian besar mereka yang praktik pribadi adalah PNS juga, dan
termasuk dalam data Kementerian Kesehatan (Rokx, Marzoeki, Harimurti 2009).
Dengan menggunakan data Kementerian Kesehatan dari Profil Kesehatan 2011, dan membandingkan
rasio tenaga kesehatan utama dengan penduduk di pulau-pulau yang lebih kaya dan lebih
cenderung ke perkotaan seperti Jawa dan Bali dengan pulau-pulau yang lebih miskin dan lebih
cenderung ke pedesaan seperti di kawasan Indonesia Timur (NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan
Papua), maka rasio dokter spesialis per penduduk di Jawa-Bali lebih tinggi dibanding di kawasan
Indonesia Timur (Tabel 1).
Tabel 1: Rasio per 10,000 penduduk
Kategori
Total (2010)
Total Rasio
Rasio target
2010
Rasio JawaBali
Rasio –
Indonesia
Timur
Spesialis
16.836
0,70
0,9
0,79
0,44
Dokter umum
32.492
1,35
3,0
1,07
1,74
Perawat
220.575
9,15
15,8
6,62
14,66
Bidan
124.164
5,15
7,5
3,58
6,26
142.202.232
33.388.786
Total
Penduduk
241.182.182
Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan 2011; Target Renstra Kementerian Kesehatan
(2010-2014)
Akan tetapi, perspektif lain tentang distribusi tenaga kesehatan, dengan memperhitungkan penyebaran penduduk yang lebih besar di wilayah Indonesia Timur, dampaknya adalah jaringan
tenaga kesehatan di wilayah ini juga harus lebih tersebar distribusinya. Tabel 2 menggunakan
jumlah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) sebagai indikator penyebaran jaringan kesehatan.
Ini menunjukkan bahwa rasio semua kategori tenaga kesehatan Puskesmas di Jawa-Bali lebih
tinggi dibandingkan di Indonesia timur, dan perbedaannya jauh lebih besar untuk dokter spesialis
(hanya seperlima rasio), dan dokter umum (60% rasio di Jawa-Bali) dibandingkan dengan perawat
dan bidan.
131
Tabel 2: Rasio Jumlah Puskesmas
Kategori
Total (2010)
Total Rasio
Rasio JawaBali
Rasio
Indonesia
timur
Dokter ahli
16.836
1,87
3,10
0,66
Dokter umum
32.492
3,61
4,19
2,57
Perawat
220.575
24,49
25,90
21,72
Bidan
124.164
13,79
14,00
9,28
9.005
3.634
(1:39.130)
2.254
(1:14.813)
Total Puskesmas
Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan 2011
Perhitungan dalam Rokx, Marzoeki dan Harimurti (2006) menggunakan data survei PODES 2006
untuk membandingkan rasio penduduk untuk dokter umum dan bidan di Jawa-Bali dan wilayah
lainnya di Indonesia, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Tabel 3: Rasio Tenaga Kerja Terpilih per 100,000 penduduk (2006)
Kategori
Lokasi
Rasio
keseluruhan
Rasio
perkotaan
Rasio
pedesaan
Dokter
umum
Jawa -Bali
18,5
34,1
4,5
Wilayah Indonesia
lainnya
18,1
40,9
8,3
Jawa -Bali
26,1
25,1
27,1
Wilayah Indonesia
lainnya
52,8
45,4
55,1
Bidan
Rasio
daerah
terpencil
6,6
58,1
Sumber: PODES (2006) pertanyaan yang diajukan kepada kepala desa mengenai jumlah bidan yang
tinggal di daerah pedesaan. (dari Rokx, Marzoeki dan Harimurti 2006)
Berdasarkan data ini, di daerah perkotaan di Jawa/Bali ada satu dokter untuk setiap 3 ribu orang,
sedangkan di daerah pedesaan, hanya ada satu dokter untuk setiap 22 ribu orang. Di luar Jawa/
Bali ada lebih banyak dokter per penduduk, tetapi di daerah pedesaan hanya ada satu dokter untuk
setiap 12 ribu orang di daerah pedesaan, di daerah terpencil hanya ada satu untuk dokter untuk
setiap 15 ribu orang, sementara di daerah perkotaannya ada satu dokter untuk setiap 2.430
orang.
132
Dokter Spesialis
Data mengenai jumlah spesialis dan dokter di 30 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia diperoleh
dari data dasar Kementerian Kesehatan 2008. Secara keseluruhan terdapat 12.295 dokter spesialis
dari 30 jenis keahlian yang dilaporkan melakukan praktik di 30 provinsi, dengan rasio rata-rata
5,38 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Hal ini sebanding dengan target Kementerian
Kesehatan, yang diuraikan dalam Indonesia Sehat 2010, dari 6 dokter spesialis per 100.000
penduduk. Rasio tertinggi per 100.000 penduduk adalah 30,95 di ibukota Jakarta dan terendah
adalah 1,61 dokter spesialis per 100.000 penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perawat dan Bidan
Distribusi bidan lebih baik di daerah pedesaan dan terpencil. Di Jawa/Bali, untuk daerah perkotaan
terdapat satu orang bidan per 4 ribu orang, sementara di daerah pedesaan terdapat satu orang
bidan untuk setiap 3.700 orang. Di luar Jawa/Bali, di daerah perkotaan terdapat satu orang bidan
2.200 orang, dan di daerah pedesaan terdapat satu orang bidan untuk setiap 1.800 orang.
Tidak banyak informasi tentang tenaga kesehatan puskesmas lainnya, meskipun tampaknya ada
kesenjangan besar dalam jumlah staf klinis lainnya, termasuk apoteker, petugas promosi kesehatan,
ahli gizi dan sanitarian.
Persoalan-persoalan Pokok di Indonesia
Ada beberapa persoalan pokok di Indonesia, termasuk:
•
•
•
Pembangunan ekonomi yang tidak merata di daerah dimana standar ekonomi di Jawa-Bali dan
kota-kota lebih tinggi dibandingkan di Indonesia timur dan daerah pedesaan. Akibatnya,
terdapat perbedaan derajat kesehatan dan masalah kesehatan utama, dan jenis/tipe pelayanan
kesehatan yang tersedia. Daerah perkotaan Jawa-Bali menghadapi dominasi penyakit tidak
menular dan kronis, dengan karakteristik sektor swasta yang mapan, memiliki sistem campuran
pelayanan kesehatan pemerintah-swasta. Sementara daerah miskin Indonesia Timur menghadapi masalah kurang gizi yang persisten, kesehatan reproduksi dan masalah penyakit menular,
dengan karakteristik keterlibatan pihak swasta yang rendah dan jaringan fasilitas kesehatan
pemerintah yang kurang didukung sumber daya.
Desentralisasi dan peraturan Pegawai Negeri Sipil (PNS): tenaga kesehatan dipekerjakan oleh
pemerintah provinsi atau kabupaten dan tidak dapat dialihkan antar kabupaten atau provinsi.
Meskipun pemerintah tingkat pusat memegang kendali sistem, mobilitas tenaga kesehatan
antar daerah sifatnya lebih terbatas pada era desentralisasi. Proses pengalihan staf dari satu
daerah ke daerah lain memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak pemerintah daerah
sebelum adanya kesepakatan dari tingkat pusat yang melibatkan birokrasi administrasi dan
pembiayaan yang rumit (Kurniati & Efendi).
Pembatasan mobilitas PNS dan penghapusan Wajib Kerja Sarjana (layanan wajib untuk lulusan
baru universitas) telah menyebabkan kesulitan dalam distribusi tenaga kesehatan mulai dari
masalah fasilitas kesehatan dengan kelebihan jumlah tenaga kesehatan sampai ke fasilitas
kesehatan yang kekurangan tenaga kesehatan (Kurniati & Efendi).
133
•
•
•
Marketisasi sektor kesehatan:
- Otonomi yang lebih luas bagi tenaga kesehatan untuk memilih dimana akan bekerja,
tanpa dialokasikan oleh Kementerian Kesehatan;
- Dorongan penawaran dan permintaan (supply and demand) pasar lebih mempengaruhi
penyebaran tenaga kesehatan – kategori tenaga kesehatan yang langka sangatlah rentan
(dokter dan dokter spesialis);
- Meningkatnya peluang sektor swasta dan pendapatan mendorong dokter-dokter untuk
bekerja di sektor swasta dan dimungkinkan adanya praktik ganda.
Dampak potensial dari penerapan asuransi kesehatan nasional terhadap permintaan akan
tenaga kesehatan. Penerapan awal asuransi kesehatan nasional di Jakarta dan Banten
mengakibatkan peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan masyarakat yang melebihi
kapasitas saat ini dan peningkatan permintaan terhadap tenaga dokter untuk memberikan
pelayanan. Pemerintah daerah di Jakarta dan Banten telah mengusulkan peningkatan
perekrutan dokter, yang berpotensi memperburuk disparitas desa-kota.
Perdebatan tentang peran masa depan Puskesmas milik pemerintah, dan sejauh mana sistem
asuransi kesehatan nasional mampu mendorong fokus yang lebih besar pada penyediaan
layanan kuratif, mengesampingkan peran Puskesmas dalam promosi kesehatan, program
kesehatan masyarakat dan pencegahan sakit, serta dalam memobilisasi masyarakat setempat
untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan.
Kebijakan-kebijakan Saat ini
Undang-undang utama yang mengatur penyebaran tenaga dokter dan rumah sakit adalah UU
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan
UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran menetapkan Konsil Kedokteran Indonesia, dan persyaratan bagi semua dokter untuk
mendaftar di Konsil Kedokteran dan mendapatkan surat izin praktik untuk setiap lokasi praktik
dari Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten terkait. Jumlah maksimum dari lokasi praktik yang
dapat diberikan untuk setiap ijin praktik adalah tiga lokasi (termasuk lokasi praktik kerja yang
ditugaskan pemerintah).
Untuk mendorong para dokter agar bersedia bekerja di pedesaan dan lokasi yang lebih terpencil,
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan peraturan untuk memberikan tunjangan tambahan
atau insentif bagi dokter spesialis dan dokter umum yang bekerja di daerah yang dikategorikan
sebagai daerhah pedesaan atau daerah terpencil. Peraturan tahun 2006 dan 2010 menetapkan
tunjangan bulanan hingga $ 750 untuk dokter spesialis dan $ 500 untuk dokter umum yang akan
dibayar oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten di daerah
tertentu telah mengeluarkan peraturan daerah untuk memberikan tunjangan tambahan bagi
dokter yang bersedia bekerja di pedesaan di wilayah pemerintah daerah mereka, dengan besaran
yang bervariasi mulai dari $ 500 sampai $ 2.500 per bulan.
Meskipun ada tunjangan ini, tampaknya bagi sebagian besar dokter, terutama dokter spesialis,
kontribusi gaji dan tunjangan pemerintah untuk pendapatan mereka kurang dari seperempat,
sementara sumber-sumber pendapatan dari sektor swasta dapat memenuhi sebagian besar
pendapatan mereka (Meliala, Hort, Trisnantoro, 2013). Tingkat insentif ini mungkin tidak memadai,
utamanya karena para dokter menghadapi persoalan harus melunasi pinjaman untuk biaya
pendidikan kedokteran mereka.
134
Kementerian Kesehatan juga telah mencoba mengatasi persoalan tersebut melalui masa wajib
tugas di pedesaan yang berbeda bagi para lulusan baru, dan memberikan insentif untuk
menyelesaikan masa wajib tugas di pedesaan. Kebijakan ini meliputi campuran atau gabungan
dari:
a. Menawarkan lowongan pekerjaan hanya untuk posisi di daerah terpencil dan sangat terpencil.
b. Mempersingkat masa jabatan. Sebelumnya, masa jabatan PTT berkisar mulai dari 3 tahun di
daerah non-terpencil hingga 2 tahun di daerah terpencil dan sangat terpencil. Lama masa
jabatan kemudian diperpendek menjadi 1 tahun untuk daerah terpencil dan 6 bulan untuk
daerah yang sangat terpencil.
c. Dokter umum di daerah-daerah yang sangat terpencil seharusnya memiliki kesempatan 90%
menjadi PNS setelah menyelesaikan masa jabatannya; Dokter Umum di daerah-daerah
terpencil memiliki kesempatan 50% sementara mereka yang bekerja di daerah biasa hanya
memiliki kesempatan 10%.
Tabel 4 (pada lampiran) menunjukkan evolusi perubahan kebijakan ini, dengan perubahan yang
terbaru yaitu untuk memperpanjang masa tugas di daerah pedesaan kembali ke 2 tahun. Walaupun
program ini telah menghasilkan lulusan-lulusan baru untuk ditugaskan di pedesaan, akan tetapi
dalam banyak kasus lulusan-lulusan tersebut kembali ke perkotaan setelah masa wajib tugasnya
selesai. Hal ini menyebabkan rotasi dokter-dokter muda yang berkelanjutan sehingga kontribusinya
kecil terhadap penguatan kualitas pelayanan kesehatan di pedesaan.
Pada tahun 2001, di era desentralisasi, pemerintah daerah didorong untuk merekrut, mengangkat
dan menggaji staf PTT melalui sumber-sumber daya lokal, sementara pemerintah pusat akan terus
merekrut dokter PTT untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil.
Pemerintah daerah dapat menetapkan dan menawarkan insentif lokal untuk menarik para dokter,
tetapi dalam praktiknya, karena kendala keuangan, sedikit sekali pemerintah daerah yang merekrut
PTT setempat untuk menjadi staf.
Kementerian Kesehatan telah berupaya membatasi keterlibatan dokter pemerintah dalam sektor
swasta (biasanya mengacu pada ‘praktik ganda’), dengan menggunakan batasan jumlah lokasi
praktik yang diijinkan. Para dokter diperkirakan mendapatkan ijin praktik untuk masing-masing
lokasi praktik, maksimal di tiga lokasi. Namun, kebijakan ini diatur secara lokal (izin praktik
dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota), dan tampaknya seringkali diabaikan (Meliala,
Hort, Trisnantoro, 2013).
Pada 2010, di Indonesia terdapat 61 fakultas kedokteran (27 fakultas kedokteran milik pemerintah
dan 34 milik swasta) dengan jumlah siswa terdaftar hampir 30.000 orang. Jumlah ini merupakan
peningkatan yang sangat besar sejak tahun 2001, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah
fakultas kedokteran swasta, dan dengan jumlah ini seharusnya dapat mengatasi kekurangan
dokter umum. Akan tetapi, kapasitas untuk memberikan pelatihan spesialis jauh lebih terbatas,
dan kesenjangan di dokter spesialis akan memakan waktu lebih lama untuk ditangani. Undangundang yang baru tentang Pendidikan Kedokteran akan memerlukan akreditasi fasilitas pendidikan
kedokteran yang mungkin akan memperlambat pertumbuhan fasilitas baru, namun harus
meningkatkan kualitas lulusan.
Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan menetapkan peningkatan akses ke layanan spesialis
sebagai target prioritas untuk sektor kesehatan, dengan beasiswa hingga 7 ribu calon spesialis
pada tahun 2010.
135
Analisis Masalah dan Identifikasi Potensi -Strategi
(1) Apakah ini masalah jumlah tenaga kerja, penyebaran, kualitas atau kinerja
atau ada masalah lain?
Penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata antara dan di dalam negara merupakan masalah
lama dan serius di seluruh dunia. Semua negara, kaya dan miskin, melaporkan proporsi tenaga
kesehatan lebih tinggi di daerah-daerah perkotaan dan kaya (Dussault and Franceschini, 2006).
Literatur menunjukkan bahwa sebaran geografis tidak dapat ditangani secara tersendiri dan
sebaiknya menghindari strategi-strategi yang terfragmentasi, tidak terkoordinasi dan kadangkadang tidak konsisten. Yang diperlukan adalah pendekatan berbagai segi yang terpadu dan
terkoordinasi.
Dussault dan Franceschini menyarankan ada dua pendekatan utama: ekonomi dan normatif.
Ekonomi: distribusi adalah fungsi pasar tenaga kerja pelayanan kesehatan. Ketidakseimbangan
merupakan ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan. Saat upah meningkat, distribusi
akan meningkat pula. Strategi utamanya adalah menetapkan pasar tenaga kerja yang kompetitif.
Normatif: dsistribusi tenaga kerja direncanakan dan dikelola, berdasarkan perbandingan kepadatan
staf dengan norma-norma yang disepakati. Variasi dari norma-norma merupakan ketidakseimbangan.
Pendekatan ini tergantung pada definisi staf dan norma-norma. Hal ini didasarkan pada rasio staf
terhadap penduduk tetapi tidak memperhitungkan produktivitas staf atau kebutuhan penduduk.
Roadmap tersebut tampaknya mengambil pendekatan ekonomi, dengan menekankan prinsip
‘penyedia manapun yang bersedia’ harus diizinkan untuk memberikan pelayanan sebagai bagian
dari sistem nasional (tanpa diskriminasi publik atau swasta); dan menunjukkan bahwa redistribusi
tenaga kerja dan fasilitas kesehatan akan terjadi secara ‘alami’ (hal. 96), melalui pembayaran harga
ekonomi untuk pelayanan di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, pendekatan kebijakan saat ini didasarkan atas pendekatan normatif dan tampaknya
tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain masalah berikut
•
•
•
Peran dan campuran layanan yang akan diberikan di Puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit
di berbagai daerah;
Bagaimana pelayanan publik dapat berinteraksi dengan layanan swasta di daerah-daerah
dimana terdapat banyak penyedia layanan swasta;
Peran berbagai tenaga kerja di Puskesmas dan potensi pengalihan tugas, khususnya termasuk
tenaga kerja pendukung yang seringkali terabaikan, dan pekerja honorer (seringkali jumlahnya
besar).
(2) Dimana tanggung jawab untuk penanganan masalah ini?
Dalam mengatasi masalah ini, penting juga untuk merujuk kembali ke peran dan tanggung jawab
berbagai tingkat sistem kesehatan, sebagaimana diatur dalam PP38/2007.
136
Menurut peraturan ini, peran tingkat Pusat adalah (a) manajemen tenaga kesehatan strategis; (b)
penguatan tenaga kesehatan di tingkat nasional; (c) pengawasan dan pemantauan pelatihan
berskala nasional dan pendidikan kedokteran; (d) pendaftaran, akreditasi dan sertifikasi pada skala
nasional; (e) pemberian izin kepada penyedia layanan kesehatan asing.
Peran Provinsi adalah: (a) penempatan tenaga kesehatan strategis dan transfer tenaga kesehatan
khusus antara kabupaten/kota dalam satu provinsi; (b) penguatan tenaga kesehatan di tingkat
provinsi; (c) pelatihan tenaga kerja di tingkat provinsi; (d) pendaftaran, akreditasi dan sertifikasi
di tingkat provinsi; (e) rekomendasi pemberian izin bagi penyedia layanan kesehatan asing.
Sementara peran pemerintah kabupaten adalah: (a) memanfaatkan tenaga kesehatan strategis,
(b) penguatan tenaga kesehatan di tingkat kabupaten, (c) pelatihan di tingkat kabupaten; (d)
registrasi, akreditasi dan sertifikasi di tingkat kabupaten (e) pemberian izin untuk tenaga kerja
yang ditentukan.
Namun sejauh ini pembuatan kebijakan sebagian besar terbatas pada tingkat pusat, dan tidak
banyak upaya untuk melibatkan provinsi dan kabupaten dalam mengelola atau mengatasi
permasalahan tersebut secara aktif. PP Nomor 38 juga menyerahkan tanggung jawab pengelolaan
penyediaan pelayanan tingkat dasar dan rujukan di kabupaten ke pemerintah kabupaten.
Sementara tingkat pusat memiliki tanggung jawab untuk pengelolaan penyediaan layanan di
daerah perbatasan, terpencil, berisiko tinggi dan daerah kepulauan, tanggung jawabnya sebaliknya
adalah memberikan pembinaan dan pengawasan atas penyediaan layanan di tingkat provinsi dan
kabupaten.
Pilihan-pilihan Kebijakan
(1) Tingkat Pusat
•
•
•
•
Fokus pada strategi untuk mengatasi bidang-bidang layanan kritis tersebut diatas seperti
perbatasan, daerah terpencil, daerah berisiko tinggi, melalui penyediaan langsung tenaga
kontrak secara rotasi/bergiliran.
Menentukan ‘tenaga kesehatan strategis’ mengutamakan pada pengelola fasilitas, dan
meningkatkan peran dan kapasitas pengelola fasilitas kesehatan.
Memberikan panduan kepada pihak provinsi dan kabupaten tentang interpretasi model
pemberian pelayanan yang lebih fleksibel, dan adaptasi model pemberian pelayanan untuk
kebutuhan kesehatan penduduk, permintaan masyarakat, ketersedian sektor swasta dan peran
khusus untuk Puskesmas.
Menyediakan regulasi dan arah secara menyeluruh untuk ‘pasar’ tenaga kesehatan melalui
perencanaan pendidikan tenaga kesehatan, persyaratan perizinan, dan akses ke pelatihan
spesialis.
(2) Tingkat Provinsi
•
Berperan lebih aktif dalam mengelola distribusi tenaga kesehatan antar kabupaten didalam
provinsi untuk memastikan tenaga kesehatan yang penting tersedia, dengan potensi untuk
rotasi antara fasilitas kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten.
137
•
Mempelajariinsentif yang tepat untuk mendorong tenaga kesehatan agar mau ditempatkan
di daerah pedesaan dan terpencil di provinsi tersebut.
(3) Tingkat Kabupaten
•
•
•
Mengkaji dan menetapkan peran puskesmas di berbagai wilayah di kabupaten, campuran
pelayanan yang akan diberikan dan kebutuhan tenaga kesehatan.
Mengelola penempatan tenaga kesehatan di antara berbagai fasilitas pelayanan kesehatan
untuk memastikan penggunaan yang paling efektif dari tenaga kesehatan yang tersedia.
Mempelajari insentif yang tepat untuk mendorong tenaga kesehatan agar mau ditempatkan
di daerah pedesaan dan daerah terpencil di kabupaten.
Perlunya Penelitian Lebih Lanjut
Sejumlah keputusan kebijakan dibuat dengan pemahaman yang terbatas tentang persepsi,
harapan, dan sikap tenaga kerja. Pengalaman internasional menekankan pentingnya penelitian
yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan, dan memantau dampak perubahan kebijakan.
Dalam konteks Indonesia, perlu untuk lebih memahami preferensi pendatang baru untuk tenaga
kesehatan (khususnya dalam hal penempatan di pedesaan; pengalaman dan preferensi mereke
menyelesaikan penempatan awal di pedesaan, dan pengalaman tenaga kesehatan mengikuti
penerapan asuransi kesehatan sosial.
138
Referensi
Kurniati A, Efendi F.(undated) Viewing Decentralization as an Opportunity: In Improving Availability
of Health Workers in Underserved Areas. Ministry of Health, The Republic of Indonesia
Rokx C, Marzoeki P, Harimurti P. Indonesia’s doctors midwives and nurses: current stock, increasing
needs, future challenges and options. Jan 2009. World Bank
Dussault G, and Franceschini MC (2006). Not enough there, too many here: understanding
geographic imbalances in the distribution of the health workforce. Human Resourcers for
Health 2006, 4:12 doi:10.1186/1478-4491-4-12
Meliala A, Hort K, Trisnantoro L. (2013). Addressing the unequal geographic distribution of specialist
doctors in Indonesia: the role of the private sector and effectiveness of current regulations.
Soc Sci Med 82: 30-34
Dolea C, Stormont L, McManus J. Increasing access to health workers in remote and rural areas
through improved retention: global policy recommendations
Dolea C, Stormont L, Braichet J-M. Evaluated strategies to increase attraction and retention of
health workers in remote and rural areas. Bull WHO 2010: 88; 379-385
139
Lampiran
Tabel 4:
Evolusi Kebijakan dalam Hal Wajib Tugas di Pedesaan untuk Dokter Kontrak baru (PTT)
1992-2001
2002-2004
2005
Dasar hukum
Keppres 37/1991
Kepmenkes
08/1992
UU No 32/1992
Keppres 37/1991
Kepmenkes
1540/2002
Kebijakan
tenaga
kesehatan
Diberlakukan
zero growth
pelayanan
publik sebagai
latar belakang
Tugas di
pedesaan untuk
dokter kontrak
baru (PTT)
bersifat wajib
Pengangkatan
berdasarkan
antrian
Periode
pengangkatan 3
x setahun
Provinsi
menentukan
kabupaten
penugasan
Permasalahan
Antrian di
provinsi favorit
Isu HAM
Keterlambatan
penerimaan gaji
140
2006
2007
UU No 23/1992
Keppres 37/1991
Kepmenkes
1540/2002
Kepmenkes
132/2006
Kepmenkes
312/2006
Kepmenkes
508/2007
Tugas di
pedesaan untuk
dokter kontrak
baru (PTT)
bersifat sukarela
3 pilihan:
menunda, masa
bakti, cara lain
Diberlakukan
provinsi terbuka
dan tertutup
Pengangkatan
berdasarkan
antrian, namun
daftar antrian
ditayangkan
di internet
(transparan)
Periode
pengangkatan 3
x setahun
Provinsi
menentukan
kabupaten
penugasan
Membuka
kembali semua
provinsi
Pengangkatan
berdasarkan
ranking dan
skoring (IPK,
tahun lulus,
domisili)
Provinsi
menentukan
kabupaten
penugasan
Jangka waktu
pengangkatan
bervariasi antara
pedesaan dan
daerah terpencil
Insentif untuk
dokter dan
bidan yang
menyetujui
untuk
ditempatkan di
daerah sangat
terpencil
Kriteria
dan lokasi
penugasan
ditentukan
oleh Biro
Kepegawaian
Kementerian
Kesehatan
Tugas di
pedesaan
bersifat sukarela
Prioritas untuk
daerah terpencil
dan sangat
terpencil
Untuk
daerah biasa,
menggunakan
PNS permanen
atau
perpanjangan
kontrak staf dari
pusat
Insentif jika
bersedia
ditempatkan di
daerah sangat
terpencil
Pengangkatan
langsung untuk
kabupaten/kota
berdasarkan
kriteria
Lama
penugasan di
daerah-daerah
terpencil:
2007: 1 tahun 6
bulan
2011: 1 tahun
2013: 2 tahun
Kabupaten tidak
mempunyai
kemampuan
untuk merekrut
dan secara
langsung
sehingga
kebutuhan tidak
terpenuhi
Setelah sampai
di provinsi
penugasan,
dokter tidak
bersedia
ditugaskan ke
daerah terpencil.
Kriteria
penempatan
tidak sesuai
dengan surat
pengangkatan
(SK) yang
relevan.
NOTA
#19 KEBIJAKAN
Menutup Kesenjangan:
Pengalaman Global Penyediaan
Perlindungan Asuransi bagi
Pekerja Sektor Informal 66
Daftar Isi
I.
Pendahuluan dan Tujuan
II. Pilihan untuk Pembiayaan Sektor Informal
a. Pembiayaan Umum Non-iuran Berbasis Pajak
b. Pembiayaan Berbasis Iuran
2
4
4
6
III. Mekanisme Identifikasi/Pemilihan Sasaran dan Prosedur Pendaftaran
a. Keikutsertaan Sukarela vs. Wajib
b. Keikutsertaan Berbasis Keluarga
c. Keikutsertaan Berbasis Kelompok
d. Keikutsertaan Berasaskan Kemudahan
e. Nomor Identitas Tunggal
7
7
8
9
10
11
IV. Desain Iuran
a. Iuran Terkait Pendapatan
b. Paket Manfaat dan Kemauan Membayar
12
12
13
V. Masalah Administrasi dan Pemungutan Iuran
a. Fleksibilitas Pemungutan Pembayaran
b. Kelompok Terorganisir
c. Kerjasama dengan Operator Jaminan Sosial Lainnya
d. Pembayaran Bergerak
e. Penguatan Sisi Pemasok
14
14
15
15
15
16
66
Ini adalah Policy Note 19, ditulis untuk tim BPJS oleh Anna Monfert, GiZ, Annette Martin, Joint Learning Network, dan
Jack Langenbrunner, dibawah pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership
for Health System Strengthening (AIPHSS). Makalah ini ditulis untuk Konferensi Sektor Informal di Yogyakarta 29 September-2 Oktober, 2103. Untuk salinan lain, Catatan Kebijakan sebelumnya, silahkan menghubungi website www.aiphss.org
142
VI. Tantangan Desentralisasi: Harmonisasi Nasional dan Subnasional
16
VII. Informasi dan Pemasaran Sosial
17
VIII. Kesimpulan
18
IX. Referensi
20
Pendahuluan dan Tujuan
Masalah pertama adalah bagaimana mendefinisikan sektor informal secara jelas agar dapat
menjadikan sektor ini sebagai sasaran secara efektif. Secara global, definisi “sektor informal” telah
diterjemahkan ke dalam berbagai definisi. Definisi yang dianut oleh Kantor Buruh Internasional
(International Labour Office/ILO) pada tahun 1993 (Konferensi Internasional Statistik Perburuhan
ke-15) menyatakan bahwa sektor informal terdiri atas entitas-entitas yang bergerak dalam produksi
barang atau jasa dengan tujuan utama menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Entitasentitas tersebut cenderung beroperasi pada tingkat organisasi yang rendah, dengan sedikit atau
tidak ada pembagian antara kerja dan modal, dan dalam skala kecil. Hubungan ketenagakerjaan
kebanyakan didasarkan pada kerja sambilan, kekerabatan, atau hubungan pribadi dan sosial,
bukan pada perjanjian kontrak dengan jaminan formal.67
Secara global, terdapat hubungan negatif secara statistik antara PDB per kapita dan perbandingan
angkatan kerja di lapangan kerja informal (Kantor Buruh Internasional, 2011): negara kaya cenderung memiliki perbandingan sektor informal yang lebih kecil daripada negara miskin, yang mengesankan bahwa dalam jangka panjang, ketika negara makin kaya, lapangan kerja informalnya akan
semakin sedikit (lihat Gambar 1). Namun kecenderungan ini akhir-akhir ini dipertanyakan karena
ternyata sektor informal, terutama di Asia Pasifik Timur, terbukti lebih kuat bertahan daripada
perkiraan (BPS Indonesia & Bank Pembangunan Asia, 2011). Selama beberapa dekade berikutnya,
kebanyakan negara berkembang akan terus memiliki sektor informal yang besar beserta masalah
yang terkait dengannya, yaitu kemampuan yang terbatas untuk meningkatkan pendapatan publik
dari pajak-pajak yang berhubungan dengan pendapatan dan ketenagakerjaan.68
67
Menurut ILO, unit produksi sektor informal memiliki ciri-ciri usaha rumah tangga sebagai berikut: (a) aset tetap dan
lainnya yang digunakan bukan milik unit produksi tapi pemiliknya; (b) unit tidak dapat melakukan transaksi atau kontrak
dengan unit lain, atau mendatangkan kewajiban, atas nama mereka sendiri; (c) pemilik harus mendapatkan pendanaan
yang dibutuhkannya dengan menanggung risiko sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi, tanpa batas, akan utang
apapun; (d) pengeluaran untuk produksi seringkali tidak dapat dibedakan dari pengeluaran rumah tangga; dan (e)
barang modal (bangunan, kendaraan, dan sebagainya) dapat dipakai tanpa pembedaan antara tujuan bisnis dan rumah
tangga.
68
Keberadaan sektor informal membatasi kemampuan otoritas pajak daerah untuk memungut pendapatan. Cobham
memperkirakan bahwa penerimaan pajak negara berkembang yang hilang dari ekonomi informal, termasuk pajak
penghasilan badan dari perusahaan yang tak terdaftar dan pajak penghasilan pribadi dari pekerjaan informal, berjumlah
setiap tahunnya sekitar US$ 285 milyar, yaitu 31 persen dari semua potensi penerimaan pajak di negara berkembang
(Cobham 2005; GTZ 2010). Entitas sektor informal tidak selalu berjalan dengan sengaja untuk menghindari pembayaran
pajak atau iuran jaminan sosial, atau melanggar undang-undang perburuhan atau ketentuan administratif lainnya.
Aktivitas sektor informal harus dibedakan dari konsep kegiatan ekonomi tersembunyi atau bawah tanah.
143
Gambar 1.
Lapangan kerja informal dan PDB per kapita di 38 negara
Sumber: ILO, Departemen Statistik (Lihat Tabel 1 untuk detilnya), dan IMF, Tinjauan Ekonomi
Dunia
Grafik ini menunjukkan untuk setiap negara persentase lapangan kerja informal dari total lapangan
kerja non-pertanian dan nilai pendapatan per kapita (dinyatakan dalam logaritma natural). Nama
negara disingkat untuk menghemat tempat. Sumbu-sumbu berpotongan pada rerata sampel tak
berbobot. Garis tren linear digambarkan, dan ukuran gelembung mencerminkan ukuran total
lapangan kerja informal (dalam logaritma). Hanya negara dengan data orang-orang dalam lapangan
kerja informal yang dimasukkan. Data PDB adalah data tahun yang sama dengan data tahun
terakhir yang tersedia mengenai lapangan pekerjaan di ekonomi informal.
Sumber: Kantor Buruh Internasional 2011, seperti dikutip dalam Bitrán 2013.
Mengingat Jamkesmas telah menargetkan sektor informal miskin di Indonesia, makalah ini
berfokus pada sektor informal yang tidak tergolong dalam kelompok miskin – yang dengan
demikian merupakan kelompok yang saat ini tidak memenuhi syarat untuk asuransi kesehatan
berbasis pajak (asuransi PBI). Pemerintah Indonesia saat ini sedang berdiskusi untuk mengidentifikasi
dan mengikutsertakan sektor informal yang tidak tergolong dalam kelompok miskin, baik melalui
pembayaran premium maupun melalu subsidi tambahan dari pendapatan pajak negara (revenue).
Makalah ini berupaya menjawab permasalahan tersebut dengan memadukan bukti-bukti global
dan secara jelas meringkas bagaimana negara lain telah mencoba untuk memasukkan sektor
informal tak-miskin dalam usaha mereka mencapai cakupan kesehatan semesta.
144
Meskipun berbagai pendekatan berbeda untuk mengatasi masalah yang kompleks ini telah
dilaksanakan di seluruh dunia, keberhasilan dalam menjangkau sektor informal masih menjadi
tantangan di banyak negara. Masalah yang paling umum dihadapi dalam penyediaan asuransi
kesehatan untuk sektor informal antara lain adalah rendahnya tingkat pendaftaran, kesulitan
dalam pengumpulan iuran dan pendaftaran ulang, dan pemilihan sakal (Van der Gaag dan Stimac,
2012). Meskipun demikian, di balik tantangan-tantangan tersebut, ada juga kisah-kisah suksesnya.
Pengalaman global dapat menjadi sumber praktik terbaik dan memberikan pelajaran mengenai
tantangan-tantangan yang ada ketika Indonesia mempertimbangkan pilihannya dalam konteks
pengalaman nasionalnya sendiri.
Pilihan untuk Pembiayaan Sektor Informal
Ada dua pendekatan dasar dalam memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk menyediakan
asuransi kesehatan bagi pekerja sektor informal. Suatu negara dapat: (1) Memperluas pembiayaan
pajak umum non-iuran dari kalangan miskin ke sektor informal, bahkan, ke seluruh populasi
(“squeezed bottom-up”); atau (2) Memperluas skema berbasis iuran dari sektor formal ke informal
(“squeezed bottom-up”) (Tangcharoensathien et al., 2011). Tidak ada dikotomi yang tegas antara
kedua mekanisme pembiayaan tersebut.
Ada juga “cara ketiga”, yaitu pembiayaan sistem perawatan kesehatan melalui campuran antara
kontribusi dan subsidi berbasis pajak69 (Kwon, 2011), yang kini makin sering diterapkan di berbagai
negara (lihat, contohnya, Kutzin, Cashin and John, 2011; Langenbrunner and Somanathan, 2011).
Keputusan memilih salah satu dari ketiga pendekatan pembiayaan ini biasanya memiliki ciri khas
untuk masing-masing negara dan dapat mencerminkan faktor politik, ekonomi, atau budaya, atau
campurannya.
Ketika suatu negara seperti Indonesia memperdebatkan tentang pendekatan yang optimal, isu
awal yang perlu dievaluasi adalah apakah lebih hemat biaya (dari sudut pandang administratif)
mengembangkan infrastuktur pengumpulan premi, atau apakah lebih baik mensubsidi saja
sepenuhnya tenaga kerja informal non-miskin juga.70 Dua bagian berikut akan membahas argumen
pro dan kontra terhadap pengumpulan iuran dari sektor informal dalam kerangka Jaminan
Kesehatan Nasional ( JKN).71
Pembiayaan Umum Non-iuran Berbasis Pajak
Salah satu cara untuk mencakup sektor informal adalah dengan mengaitkan pertanggungan
dengan status kependudukan dan mendaftarkan seluruh populasi dari sector informal (bukan
hanya yang miskin saja) dengan pembayaran dari pendapatan umum pemerintah. Menanggung
sektor informal melalui perpanjangan pembiayaan umum non-iuran berbasis pajak dapat terbukti
69
Misalnya, ada subsidi parsial di Mali dan Amerika Serikat untuk menarik mereka yang belum tertanggung melalui
pekerjaan untuk mendaftar dan membayar premi untuk keseimbangan biaya.
70
Memang dapat dikatakan bahwa hal ini terlalu menyederhanakan, dan banyak pertanyaan lain dapat ditanyakan di
suatu negara tergantung pada konteks seperti waktu, dampak pada produktivitas, atau tekanan politik, yang tidak dapat
dibahas dalam makalah ini.
71
yaitu, diasumsikan bahwa, bagi pekerja formal, suatu sistem yang wajib, dipotong di sumbernya, berbasis pendapatan
dari pekerjaan, dan berbasis iuran sudah ada.
145
lebih menghemat biaya daripada membuat suatu mekanisme iuran khusus yang mencerminkan
kemauan dan kemampuan membayar dari ragam pangsa sector informal. Pengalaman global telah
membuktikan bahwa sangat sulit untuk membedakan antara si miskin dan si non-miskin dalam
sektor informal, terkait penetapan jumlah iurannya.
Negara yang telah mulai beralih jalur pembiayaan dari sumber pendapatan pajak umum (revenue),
mengalami kenaikan tingkat pertanggungan yang signifikan dan relatif cepat. Contohnya, setelah
memperkenalkan skema cakupan semesta (UCS)72, Thailand mengalami kenaikan pertanggungan
hingga hampir 100 persen. Pembiayaan UCS melalui pendapatan pajak umum adalah pendekatan
yang pragmatis, mengingat bahwa pemerintah Thailand dengan motivasi politiknya berusaha
memperluas cakupan pertanggungan secepat mungkin. Menanggung 30% populasi yang tadinya
belum tercakup – kebanyakan pekerja informal – melalui iuran keanggotaan khusus tidak mungkin
bisa dilakukan dengan kecepatan yang sama (Li et al., 2011; Tangcharoensathien et al., 2011).
Selain manfaat dari perluasan yang cepat ke sektor informal, pembiayaan berbasis pajak (jika
didasarkan pada pajak penghasilan) menguntungkan dalam hal bahwa pajak penghasilan bisa
lebih progresif daripada asuransi kesehatan sosial, karena iuran untuk asuransi kesehatan sosial
biasanya kalau tidak sebanding dengan penghasilan saat ini hingga batas tertentu atau
menggunakan tarif rata-rata (Kwon, 2009).73 Negara lain, seperti Cina, Hungaria, Moldova, seiring
berjalannya waktu kembali mengandalkan penggunaan pendapatan pajak (revenue) untuk
menanggung sektor informal (Wagstaff et al., 2009; Kutzin, Cashin, and Jakab, 2010).
Namun demikian, sangat penting untuk tidak bergantung kepada pendekatan pembiayaan berbasis
pajak oleh sebab keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan tersebut. Pertama, bila diterapkan
tanpa memperkenalkan penerimaan pajak baru, pendekatan ini menimbulkan dampak langsung
terhadap anggaran, yaitu mengurangi ruang fiskal pemerintah secara keseluruhan di semua sektor,
serta dapat mengancam disiplin fiskal. Pendekatan ini menciptakan ketergantungan yang terus
berlangsung—dan seringkali bertambah parah—atas alokasi dari Kementerian Keuangan, yang
mana dapat membahayakan keberlanjutan keuangan. Pada kenyataannya, Thailand yang menjadi
model manajemen pengeluaran yang ketat juga menghadapi tantangan pembiayaan jangka
panjang, terutama mengingat bahwa populasinya tidak hanya menua namun juga menuntut
perawatan kesehatan yang lebih baik dan lebih luas (Tangcharoensathien et al., 2011). NHSO
bergumul dengan beragam mekanisme pemulihan biaya tambahan karena setiap tahunnya
anggaran per kapita yang disetujui makin rendah (Hanvoravongchai dan Hsiao, 2007). Korea
Selatan dan Filipina menangani masalah ini melalui “pajak dosa” (sin tax). Korea Selatan saat ini
membiayai 3,5% program asuransinya dari pajak tembakau ( Jeong, 2011), and Filipina berencana
meningkatkan pendapatan dari pajak atas penjualan tembakau dan alkohol (UU Republik No.
10606, 2012).
Selain itu, ada bukti bahwa pembiayaan dari pajak bagi sektor informal malah dapat mendorong
peningkatan informalitas. Jika jaminan kesehatan bagi pekerja informal disediakan secara cumacuma atau dengan biaya yang rendah, ada insentif bagi pengusaha dan/atau pekerja untuk tetap
informal – atau beralih ke perjanjian informal – demi menghindari kewajiban membayar iuran
yang terkait dengan pekerjaan formal. Fenomena ini muncul di berbagai negara, seperti Kolombia
72
UCS adalah skema asuransi kesehatan yang didanai pajak, menargetkan 47 juta orang yang tidak ditanggung oleh Civil
Servant Medical Benefit Scheme (CSMBS) atau Social Security Scheme (SSS) yang sudah ada.
73
Namun, pada prakteknya, progresivitas pajak pendapatan dipertanyakan karena adanya pengelakan pajak di banyak
negara berpenghasilan rendah (Kwon, 2011).
146
dan Thailand. Di Kolombia, peneliti menemukan adanya peningkatan lapangan kerja informal
antara 2-4% yang disebabkan oleh desain reformasi sektor kesehatan74 (Bitran, 2013). Penelitian
lain di Thailand menunjukkan bahwa pertanggungan universal meningkatkan lapangan kerja sektor
informal sebanyak dua poin persentase setelah reformasi, dan tumbuh menjadi 10% setelah tiga
tahun pertama (Wagstaff dan Manachotphong, 2012). Meskipun fenomena tersebut lebih mungkin
terjadi ketika pertanggungan sektor informal dibiayai sepenuhnya dari pajak, peningkatan
informalitas juga bisa terjadi akibat reformasi subsidi parsial yang mewajibkan sektor informal
membayar iuran. Selanjutnya, untuk sektor formal, pengusaha dan karyawan dapat melaporkan
gaji yang lebih rendah, atau mengalokasikan upah dalam bentuk skema bonus yang bebas pajak
seperti terjadi di negara seperti Cina, Kolombia, dan Iran (Wagstaff et al., 2009; Bitran, 2013;
Tinjauan Sektor Kesehatan Bank Dunia Iran, 2007). Pengusaha juga dapat menggunakan metode
kontrak untuk menghindari iuran dan sebagai akibatnya membuat kelompok-kelompok informal
yang lebih besar.
Pembiayaan Berbasis Iuran
Jika tidak ada sumberdaya tambahan yang disediakan dari anggaran pemerintah, perluasan
pertanggungan asuransi kesehatan bagi sektor informal non-miskin akan harus dibiayai dari iuran,
baik seluruhnya maupun sebagian. Banyak negara mensubsidi premi agar keikutsertaan dalam
program menjadi lebih menarik dan terjangkau bagi pekerja informal. Vietnam membiayai
perluasan pertanggungannya baru-baru ini melalui subsidi pajak (Tangcharoensathien et al., 2011),
mensubsidi premi bagi kaum hampir miskin sebesar 70 persen (Bank Dunia, 2013). Cina hampir
sepenuhnya (90 persen) mensubsidi premi bagi petani di bawah New Rural Cooperative Medical
Scheme (NRCMS, Skema Medis Koperasi Pedesaan Baru)75 (Yip dan Hsiao, 2008).76 Mali mensubsidi
premi sebesar 50 persen dan Amerika Serikat mengelola subsidi berdasarkan skala geser.
Demikian pula, skema asuransi kesehatan di negara-negara berpenghasilan tinggi Jepang, Korea
Selatan, dan Taiwan memberikan subsidi parsial bagi pekerja sektor informal, yang membantu
kelancaran perpanjangan asuransi kesehatan (Kwon, 2011). Keuntungan dari subsidi parsial adalah
bahwa pembayaran iuran menciptakan rasa keikutsertaan dan kepemilikan di kalangan pekerja
informal, memberdayakan mereka sedemikian rupa sehingga mereka bisa menuntut kualitas
layanan yang lebih baik, dan membuat informalitas menjadi kurang menarik karena keanggotaan
dalam sektor informal tidak berarti seseorang dapat menghindar dari membayar iuran.
Namun, memperluas pendekatan berbasis iuran ke sektor informal juga memiliki beberapa
kelemahan yang signifikan. Masalah utamanya adalah kesulitan untuk menilai pendapatan riil
pekerja sektor informal – yang akan menjadi dasar pemotongan iuran jaminan sosial. Bahkan jika
tarif premi seragam diterapkan kepada semua pekerja informal (lihat Bagian IVa di bawah), biaya
mengidentifikasi dan mendaftarkan serta mengumpulkan iuran (secara berkelanjutan) dari pekerja
informal bisa jadi tinggi mengingat mobilitas dan sering berfluktuasinya pendapatan populasi.
Selain itu, pengumpulan penghasilan untuk asuransi kesehatan sosial bisa jadi terbatas dan jatuh
di bawah perkiraan dan harapan (Kutzin, Cashin, dan Jakab, 2010). Bagian-bagian berikutnya di
74
Lihat Bitran, 2013, untuk informasi lebih lanjut mengenai desain reformasi yang diikuti model kompetisi terkelola
seperti Enthoven, tapi mencakup premi bersubsidi bagi populasi miskin dan tidak bekerja.
75
NRCMS adalah program asuransi kesehatan “sukarela” bagi penduduk pedesaan yang dirintis tahun 2003-5 dan
diluncurkan antara tahun 2006 dan 2013.
76
Sebagian karena subsidi NRCMS yang tinggi, cakupan pertanggungan bagi penduduk pedesaan naik dari 13 menjadi
19 persen antara tahun 2003 dan 2008 (Barber dan Yao, 2010).
147
bawah ini menggambarkan bagaimana berbagai negara telah melakukan penanganan atas isu-isu
yang terkait sistem berbasis iuran ini.
Mekanisme Identifikasi/Pemilihan Sasaran dan Prosedur
Pendaftaran
Keikutsertaan Sukarela vs. Wajib
Pertanyaan pertama adalah apakah keikutsertaan dalam skema berbasis iuran baiknya bersifat
sukarela atau wajib. Menurut Kwon (2009) keikutsertaan wajib lebih efisien daripada keikutsertaan
sukarela untuk menghindari masalah adverse selection. Pertanyaan yang tersisa kemudian apakah
keikutsertaan wajib dapat ditegakkan secara efektif.
Di negara Cina dan Vietnam, pekerja sektor informal dapat secara sukarela ikut serta dalam skema
jaminan kesehatan nasional, sedangkan di Kolombia mereka diharuskan mendaftar (Wagstaff et
al., 2009). Meskipun NRCMS di Cina menganut skema sukarela menurut namanya, ternyata insentif
ekonomi untuk mendaftar lebih kuat karena tingginya subsidi pemerintah.77 NRCMS disertai
dengan insentif kuat berupa pembiayaan dari tingkat pusat dan dengan target keikutsertaan
spesifik yang harus dipenuhi oleh pejabat Partai Komunis setempat sehingga secara de facto
menjadi sebuah skema wajib (Liang dan Langenbrunner, 2013).
Di Thailand, perluasan pertanggungan secara sukarela ke pekerja sektor informal dicoba dengan
skema Kartu Sehat Sukarela (voluntary health card scheme/VHCS) pada tahun 1991. Alasan utama
gagalnya program VHCS adalah sifatnya yang sukarela, yang membuat skema ini mengalami
masalah pemilihan terbalik dan penyalahgunaan sistem.78 Demikian juga di Filipina, anggota yang
mendaftar lewat Program Bayar Individu (Individual Paying Program/IPP) kebanyakan menderita
sakit kronis dan memiliki tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi daripada rata-rata penerima
PhilHealth, organisasi asuransi sosial nasional yang mengatur IPP (Tangcharoensathien et al.,
2011). Keikutsertaan dalam IPP wajib bagi semua individu yang belum tertanggung oleh program
lain, namun karena lemahnya penegakan IPP secara de facto tetap merupakan skema sukarela
(PhilHealth, 2012). Segera setelah adanya pembiayaan baru bagi kaum hampir miskin, Filipina saat
ini sedang bertransisi dari keikutsertaan sukarela ke keikutsertaan wajib (UU Republik No. 10606,
2012).
Pada tahun 1999, PhilHealth meluncurkan Individual Paying Program (IPP) untuk memperluas
cakupan asuransi kesehatan ke semua pekerja sektor informal non-miskin. Keikutsertaan melalui
IPP wajib bagi semua individu yang tidak tertanggung oleh program lain, dan skema IPP oleh sebab
itu menjadi satu-satunya pilihan pertanggungan bagi kaum hampir miskin di sektor informal. Dari
tahun 1999 sampai 2012, berbagai pendekatan dicoba untuk memaksakan keikutsertaan bagi kaum
hampir miskin dan non-miskin di sektor informal, seperti mensyaratkan bukti keanggotaan
PhilHealth untuk memperoleh dan memperbarui izin mengemudi, lisensi bisnis, dan lisensi
77
Pada tahun 2010, premi tahunan sebesar 120 RMB (kira-kira 18 USD) dengan masing-masing 50 RMB dari pemerintah
pusat dan daerah – sehingga penerima manfaat hanya perlu membayar iuran 20 RMB setahun (Barber danYao, 2010).
78
Penerima manfaat VHCS bukan hanya menggunakan layanan kesehatan lebih sering daripada populasi umumnya,
mereka juga cenderung mengikuti program setelah diagnosis (kehamilan, penyakit kronis, dll.). Akibatnya, pada tahun
2001, program ini telah dihapus (Hanvoravongchai dan Hsiao, 2007).
148
profesional lainnya. Menurut amandemen 2013 atas hukum asuransi kesehatan, kaum hampir
miskin berhak ditanggung di bawah Program Bersponsor.
Mutuelles di Rwanda beralih dari keikutsertaan sukarela menjadi wajib pada tahun 2005-2006.
Unit-unit pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mendaftarkan populasi. Pemerintah pusat
menggunakan target keikutsertaan dan insentif keuangan untuk mendorong pemerintah daerah
mendaftarkan populasinya. Dalam rangka menjalin akuntabilitas, kinerja dalam pencapaian target
keikutsertaan ditinjau oleh pejabat pemerintah tingkat tinggi, termasuk Presiden.
Keikutsertaan Berbasis Keluarga
Salah satu mekanisme identifikasi yang relatif sederhana yang dapat membantu memperluas
cakupan pertanggungan populasi adalah dengan mewajibkan keikutsertaan seluruh keluarga.
Pendekatan ini seringkali menjadi cara menghindari adverse selection dengan tidak membolehkan
individu dengan probabilitas kebutuhan perawatan yang tinggi untuk ikut serta. Di Korea Selatan,
keanggotaan berbasis keluarga berkontribusi pada perluasan yang cepat dalam cakupan
pertanggungan menuju perawatan kesehatan universal (Kwon, 2009). Banyak negara mengikuti
contoh Korea Selatan.
Di Filipina, masing-masing kategori keanggotaan PhilHealth memberi hak pada tanggungan yang
diakui secara hukum dari anggota utama atas manfaat standar. Ini mencakup pasangan, semua
anak di bawah usia 21 tahun, serta orangtua dan anak-anak di atas usia 21 tahun yang menyandang
disabilitas fisik atau mental (Obermann et al., 2006). Demikian juga, NRCMS di Cina juga
memberlakukan persyaratan bahwa keikutsertaan dalam skema tersebut berada pada tingkat
rumah tangga (Wagstaff et al., 2009). Pada umumnya, negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang
telah berhasil memperluas asuransi kesehatan sosialnya umumnya memberi penekanan kuat pada
keikutsertaan berbasis keluarga (Bank Dunia, 2013).
Keikutsertaan Berbasis Kelompok
Keikutsertaan berbasis kelompok mensyaratkan individu untuk mendaftarkan diri dalam suatu
skema jaminan kesehatan berdasarkan rumah tangga atau komunitasnya. Alasan untuk
keikutsertaan berbasis kelompok cukup meyakinkan: pengelolaannya lebih mudah dan perluasan
dapat dilakukan lebih cepat. Bila semua anggota kelompok tertentu didaftarkan, biaya administrasi
berkurang dan pemilihan sakal dapat dibatasi. Mengingat sifat pekerjaan mereka, pekerja sektor
informal mungkin tidak terorganisasi dalam kelompok atau asosiasi berdasarkan pekerjaan mereka,
tetapi mungkin mereka menjadi anggota organisasi berbasis masyarakat seperti kelompok
perempuan, kelompok swabantu, kelompok simpan pinjam, kelompok agama, dll. (Mathauer et
al., 2008). Namun, mereka mungkin terorganisasi lewat pekerjaan mereka, seperti kasus para
pedagang pasar perempuan di Senegal dan tempat-tempat lain di Afrika.
Sudah ada beberapa upaya untuk memanfaatkan potensi kelompok-kelompok tersebut. Di Vietnam,
Vietnam Social Security (VSS, Jaminan Sosial Vietnam) menjual asuransi sukarela untuk semua orang
yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan asuransi wajib; salah satu kelompok sasaran
penting dari skema ini adalah sektor informal. VSS memusatkan perhatian pada keikutsertaan
149
kelompok-kelompok terorganisasi, termasuk mahasiswa dan anggota organisasi massa seperti
serikat petani dan perempuan79 (Nguyen dan Knowles, 2010).
Filipina telah berhasil80 mengikutsertakan segmen-segmen populasi yang sebelumnya tidak
tertanggung dengan menggunakan kelompok-kelompok terorganisasi untuk mengidentifikasi
pekerja sektor informal (Oberman et al., 2006). Pada tahun 1999, PhilHealth meluncurkan Individual
Paying Program (IPP) untuk memperluas cakupan asuransi kesehatan ke semua pekerja sektor
informal non-miskin.81 Pada praktiknya, IPP adalah satu-satunya pilihan pertanggungan bagi kaum
hampir miskin di sektor informal. PhilHealth meluncurkan program KaSAPI yang menyasar
kelompok-kelompok terorganisasi, dan khususnya lembaga-lembaga yang menyediakan layanan
keuangan mikro82 bagi sektor informal. Dengan menyediakan asuransi melalui skema pembayaran
berkelompok yang terjangkau, PhilHealth menawarkan insentif kepada kelompok bila mereka
membawa minimal 70 persen dari anggota mereka yang memenuhi syarat ke dalam IPP ( Jowett
dan Hsiao, 2007). Skema-skema ini tidak hanya menyediakan akses ke sektor informal dan
menyadarkan masyarakat untuk membayar iuran, namun juga dapat merespon kebutuhan lokal
secara tepat waktu. Skema-skema yang berbeda di Filipina telah bereksperimen dengan tingkat
iuran dan paket manfaat yang fleksibel (Oberman et al., 2006). Dengan demikian, pendekatan
berbasis kelompok dapat menjadi wahana penjangkauan yang efektif.
Social Security Institute (INSS), Institut Jaminan Sosial Nikaragua) juga bertujuan untuk memperluas
program asuransi kesehatannya ke pekerja sektor informal menggunakan lembaga keuangan
mikro (LKM; microfinance institutions/MFI) sebagai agen penyampaian. Mengingat tingginya
tingkat penggunaan LKM di kalangan pekerja sektor informal di Nikaragua, para pembuat kebijakan
berhipotesis bahwa akan mudah bagi para pekerja ini untuk mendaftar dan melakukan pembayaran
iuran di LKM (Thornton et al., 2010). Namun, ditemukan bahwa ternyata ada efek negatif pada
keikutsertaan di kalangan mereka yang diserahkan ke LKM. Pekerja informal lebih memilih
mendaftar asuransi langsung dengan INSS daripada melalui LKM karena INSS dipersepsikan
sebagai lembaga yang lebih stabil yang berfokus pada penyediaan asuransi. Ada juga kurangnya
kejelasan mengenai kegunaan LKM sebagai agen untuk asuransi.83
Keikutsertaan Berasaskan Kemudahan
Penelitian Nikaragua juga menunjukkan pentingnya kemudahan akses dalam hal waktu dan
kedekatan lokasi. Bila biaya (yang dirasakan) dalam mendaftar dan membayar iuran terlalu tinggi
karena waktu dan perjalanan yang dibutuhkan, penerima manfaat potensial yang tertarik akan
menjadi enggan mendaftar. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan kecenderungan yang kuat atas
proses pendaftaran yang lebih langsung dan mudah. Kendala waktu dikutip sebagai alasan penting
79
Saat ini, hampir semua penerima manfaat sukarela adalah mahasiswa – satu indikasi bahwa VSS belum membuat
mekanisme untuk menjual asuransi ke populasi umum termasuk sektor informal.
80
Namun, bahkan dengan pendekatan ini, pekerja sektor informal non-miskin terus menjadi kelompok populasi yang
paling sedikit ditanggung dengan cakupan pertanggungan sekitar 40 persen (Weber, 2009).
81
Individual Paying Program (IPP) di bawah PhilHealth adalah untuk semua orang Filipina yang tidak termasuk salah satu
kategori ini: i) pekerja sektor formal; (ii) prasejahtera, dan (iii) pensiunan. Anggota yang membayar secara individu
mendaftar secara sukarela dan harus membayar 100 persen iuran.
82
PhilHealth menandatangani Memoranda Perjanjian dengan dua lembaga keuangan mikro terbesar di negara itu, yaitu
CARD-MBA (Centre for Agriculture and Rural Development – Mutual Benefit Association, Inc) dan TSKI (Taytay sa Kauswagan
atau Jembatan menuju Kemajuan) (Basa, 2005).
83
Selain itu, masalah koordinasi antara manajemen LKM pusat dan cabang LKM tentang proses pendaftaran tampaknya
justru menurunkan tingkat keikutsertaan.
150
mengapa orang tidak mendaftar asuransi, bahkan ketika disubsidi (Thornton et al., 2010).
Keikutsertaan berasaskan kemudahan dapat menghilangkan hambatan dalam pendaftaran: hal
tersebut menghapus biaya perjalanan penerima manfaat dan mengurangi biaya yang terkait
dengan pengambilan foto dan pembuatan salinan kartu identitas.84 Peneltiian di Nikaragua
menunjukkan bahwa menyediakan kemudahan akses bagi klien baru yang potensia untuk
mendaftar jaminan kesehatan secara langsung dari kios pasar mereka, ternyata memiliki dampak
yang besar pada tingkat keikutsertaan (Thornton et al., 2010).
Di Cina, pejabat Partai lokal sering mengunjungi warganya dari pintu ke pintu untuk mendaftarkan
anggota dari rumah tangga dan menjelaskan manfaat dari Jaminan Kesehatan yang baru (Liang
dan Langenbrunner, 2013). Di India, di bawah skema RSBY publik-swasta, organisasi asuransi
swasta ditugaskan menyasar area geografis tertentu dengan cara pergi ke masyarakat untuk
mendaftarkan penerima manfaat (LaForgia dan Nagpal, 2012). Filipina sedang menjalankan rintisan
sistem pendaftaran elektronik titik-layanan di enam rumah sakit umum. Rintisan Onsite Rapid
Enrollment Program (ORE, Program Pendaftaran Cepat di Tempat) yang dimulai pada April 2013 dan
telah menunjukkan hasil awal yang menjanjikan; lebih dari 1000 anggota yang memenuhi syarat
telah ikut serta dalam Program Bersponsor PhilHealth di enam rintisan per Juni 2013.
Nomor Identitas Tunggal
Salah satu masalah umum identifikasi adalah tidak adanya data kependudukan yang handal dan
sistematis. Memperkenalkan nomor identitas tunggal tidak hanya meningkatkan hasil pendaftaran
namun juga efisiensi administrasi di berbagai negara.
Pentingnya catatan pendaftaran dicontohkan oleh pengalaman di Thailand. Negara ini mencapai
cakupan pertanggungan universal melalui tiga program asuransi kesehatan yang berbeda: Social
Security Scheme (SSS, Skema Jaminan Sosial) untuk pegawai sektor formal swasta, Civil Service
Medical Benefit Scheme (CSMBS, Skema Manfaat Kesehatan Pelayanan Sipil) untuk pegawai
pemerintah, pensiunan dan tanggungan mereka, dan program pertanggungan universal yang
mencakup sisa populasi selebihnya. Program ketiga adalah yang terakhir dilaksanakan dan
menghadapi beberapa tantangan. Pemerintah berusaha keras mengidentifikasi orang-orang yang
belum diasuransikan karena tidak ada basisdata untuk penerima manfaat CSMBS. Menanggapi hal
tersebut, mereka menciptakan suatu sistem informasi yang komprehensif sejak tahun 2002
menggunakan basis data pendaftaran pemerintah untuk menghindari duplikasi manfaat asuransi
kesehatan di seluruh kelompok populasi yang berbeda. Lebih dari 50 juta catatan penerima
manfaat dibuat (Hanvoracongchai dan Hsiao, 2007). Hingga hari ini, basis data terpusat tersebut
meliputi seluruh populasi Thailand dan diperbarui dua kali sebulan (ILO, 2013).
Di Cina, setiap orang memiliki nomor jaminan sosial yang unik atau nomor skema pendaftaran.
Setiap orang atau keluarga (tergantung skemanya) memiliki catatan pendaftaran terkomputerisasi
untuk penyedia layanan. Banyak daerah kini mengeluarkan kartu identitas untuk memvalidasi
keikutsertaan, dengan beberapa daerah yang melakukannya sebagai kemitraan publik-swasta
84
Individu yang mendaftar untuk asuransi baik di kantor pusat INSS maupun di sebuah LKM diminta untuk memberikan
fotokopi kartu identifikasi pemerintah, dua foto ukuran paspor, dan akte kelahiran dari semua penerima manfaat.
Mereka juga harus mengisi formulir pendaftaran dan melakukan perjalanan ke kantor INSS atau LKM dan menunggu
dalam antrean untuk mendaftar secara pribadi. Menurut survei, proses ini memakan waktu sekitar satu hari, biaya yang
besar bagi pemilik bisnis kecil yang perlu mencari orang untuk menjaga toko mereka atau mengorbankan pendapatan
sehari (Thornton et al., 2010).
151
dengan bank lokal (Liang dan Langenbrunner, 2013). Di Filipina, anggota diberi PhilHealth
Identification Number (PIN, Nomor Identifikasi PhilHealth) yang permanen dan unik. Sebuah catatan
data anggota individual dibuat untuk setiap pendaftar dan kartu yang berisi PIN mereka dibagikan
kepada anggota (Basa, 2005).
Desain Iuran
Dalam desain iuran, salah satu isu utama berkaitan dengan apakah semua harus membayar satu
iuran yang sama atau iuran terkait pendapatan – iuran berdasarkan kemampuan untuk
membayar.
Iuran Terkait Pendapatan
Sektor informal sangat heterogen dan terdiri atas berbagai kelompok pendapatan. Kelompok
berpendapatan lebih baik mampu membayar iuran lebih tinggi daripada kelompok berpendapatan
rendah. Misalnya, premi tahunan tetap IPP PhilHealth relatif murah bagi wiraswasta profesional,
tapi mahal tak terjangkau bagi banyak petani dan pekerja lain di sektor informal (Obermann et al.,
2006). Jika memungkinkan, asuransi kesehatan harus disegmentasi untuk mencerminkan
kemampuan membayar yang berbeda-beda antara berbagai kelompok masyarakat (Pauly, 2008).
Hal ini membutuhkan semacam penilaian pendapatan atau aset untuk menentukan kemampuan
membayar.
Karena informasi terpercaya mengenai pendapatan kalangan wiraswasta hanya tersedia sebagian,
Korea Selatan mendasarkan rumus perhitungan iuran bagi wiraswasta pada pendapatan maupun
aset. Iuran pendapatan didasarkan pada pendapatan kena pajak (bagi mereka yang penghasilan
per tahunnya melebihi 5.000 dolar AS (USD)) ataupun pada taksiran pendapatan (bagi mereka
yang penghasilannya di bawah USD 5.000) (Kwon, 2009). Iuran aset diukur dengan kepemilikan
properti seperti rumah atau kendaraan (Kwon, 2009). Kasus Korea Selatan menunjukkan bahwa
asuransi kesehatan sosial dapat menggunakan rumus iuran terkait pendapatan atau aset bagi
wiraswasta.
Rwanda menerapkan sistem premi berjenjang untuk program Mutuelles-nya dalam rangka beralih
ke sistem iuran premi yang lebih adil. Anggota sebelumnya membayar iuran tarif rata 1000 Franc
Rwanda (FRW), yang dibayar oleh kepala rumah tangga atas nama semua anggota keluarga. Di
bawah sistem iuran yang baru, negara mensubsidi iuran (3000 FRW) untuk populasi termiskin.
Anggota lain membayar FRW 2000, FRW 5000, atau FRW 7000 berdasarkan tingkat pendapatan
mereka.
Di tingkat lebih makro, perusahaan asuransi kesehatan sosial dapat mencoba secara bertahap
membagi-bagi sektor informal menurut jenis pekerjaan dengan tujuan membedakan premi (Kwon,
2009). Pembedaan penarikan iuran juga dapat didasarkan pada karakteristik kelompok (Mathauer
et al., 2008), atau bervariasi sesuai lokasi geografis. Di Vietnam, tarif premi untuk VHI berkisar
antara 3 USD di daerah pedesaan hingga 21 USD di daerah perkotaan (Ekman et al., 2008). Namun,
ada kompromi yang penting diperhatikan dalam hal membedakan premi, baik menurut penilaian
pendapatan atau aset maupun menurut kelompok, karena penentuan kemampuan membayar itu
merepotkan, mungkin memerlukan data dan analisis yang baik dari waktu ke waktu, dan/atau
dapat mengakibatkan biaya administratif yang tinggi atau korupsi seperti yang terjadi pada aspek-
152
aspek kebijakan dan praktik pengumpulan pajak yang lain. Oleh sebab itu, ketika sejumlah besar
penduduk bekerja di sektor informal, iuran premi tarif rata mungkin lebih bisa dilakukan –
setidaknya pada awalnya – seperti pada kasus NRCMS Cina dan IPP Filipina.
Paket Manfaat dan Kemauan Membayar
Kemauan untuk membayar asuransi kesehatan tidak hanya berhubungan dengan besarnya iuran,
tetapi juga dengan paket manfaat yang akan ditawarkan kepada pekerja sektor informal. Rancangan
fitur skema asuransi, khususnya paket manfaatnya, mempengaruhi harapan orang akan penggunaan
asuransi kesehatan (Mathauer et al., 2008). Manfaat tersebut harus menarik namun juga terjangkau,
sebab bila tidak pemakaian bisa diharapkan akan rendah. Permintaan akan asuransi kesehatan
sensitif terhadap premi dan fitur-fitur rancangan asuransi, seperti apakah urun bayar (co payment)
diperlukan, pagu manfaat diterapkan, dan perawatan komprehensif ditanggung (Lofgren et al.,
2008). Cina dan Korea Selatan, misalnya, mulai dengan paket manfaat yang sangat terbatas yang
diperluas secara bertahap sejalan dengan waktu sehingga cakupan pertanggungan populasi bisa
diperlebar lebih cepat daripada dengan paket yang lebih murah hati85 ( Jeong, 2011; Liang dan
Langenbrunner, 2013). Namun paket manfaat yang terbatas mungkin memiliki dampak terbatas
pada risiko keuangan, seperti dialami di Cina, Filipina, dan Vietnam hingga tahun 2006. Adanya
perluasan yang cepat dari paket manfaat terbatas, menyebabkan perluasan yang lambat dari paket
yang lebih komprehensif. Hal tersebut juga dapat menghalangi momentum keberlanjutan, terbukti
dalam perjuangan Korea Selatan untuk menyediakan kedalaman cakupan pertanggungan yang
sebanding dengan rekan-rekan OECD-nya.
Sebuah pertanyaan terkait yang penting adalah apakah satu paket kesehatan yang seragam86 akan
ditawarkan bagi semua atau apakah manfaat akan bervariasi untuk kelompok-kelompok populasi
yang berbeda (Ekman et al., 2008). Bila paketnya banyak, para pembuat kebijakan dapat
menargetkan paket sesuai kesediaan membayar dan mungkin lebih banyak orang di sektor informal
akan tertarik untuk ikut serta. Melihat permintaan dari pekerja sektor informal di Cina,
Baerninghausen (2007) menemukan bahwa “mereka tidak menilai Basic Health Insurance87
(Asuransi Kesehatan Dasar) sebagai mekanisme untuk memulihkan biaya-biaya finansial yang
relatif sering namun kecil yang terjadi akibat penyakit umum, namun sebagai perlindungan atas
biaya finansial yang jarang namun besar yang terjadi akibat perawatan malapetaka”. Demikian
pula, di Vietnam, keselarasan dengan kebutuhan dan keinginan kelompok sasaran dianjurkan
dalam rangka meningkatkan permintaan atas asuransi kesehatan sukarela (Ekman et al., 2008).
Pada saat yang sama, sistem banyak paket menciptakan fragmentasi, ketidakadilan dan beban
layanan yang tidak ditanggung jatuh pada individu atau sistem publik.
85
Di Korea Selatan bahkan hari ini, manfaat masih relatif rendah (bila dibandingkan dengan negara yang tingkat
ekonominya mirip), tapi hal ini terutama karena tingginya penggunaan layanan yang tidak tertanggung dan teknologi
medis baru yang didorong oleh penyedia layanan swasta. Selain itu, penerima manfaat asuransi kesehatan nasional
dihadapkan pada urun bayar (copayment) sebesar 20 hingga 55 persen biaya rawat jalan.
86
Saat ini, hal ini terjadi di sebagian besar negara. Di Thailand, UCS menyediakan paket manfaat komprehensif yang
mencakup rawat jalan, rawat inap dan layanan kesehatan preventif, yang sekarang sedang dicoba distandardisasi untuk
UCS, CSMBS, dan SSS (Li et al., 2011). Di Vietnam, penerima manfaat VHI berhak atas paket manfaat yang sama dengan
pengecualian identik seperti yang tertanggung oleh program CHI (Ekman et al., 2008). Mengenai paket manfaat, sistem
asuransi kesehatan Vietnam mengidentifikasi paket manfaat yang relatif luas dan tak ditentukan yang seragam di semua
program.
87
Pemerintah pusat di Cina memperkenalkan skema asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal perkotaan pada
tahun 1998 yang dinamai Basic Health Insurance (BHI, Asuransi Kesehatan Dasar). Pemerintah kota dapat memilih untuk
menawarkan partisipasi sukarela dalam BHI bagi pekerja sektor informal.
153
Masalah Administrasi dan Pemungutan Iuran
Bukan hanya pendaftaran pekerja sektor informal yang menantang, namun juga pemungutan
iuran secara reguler begitu para individu dan rumah tangga telah ditetapkan dan diidentifikasi.
Tidak seperti pekerja sektor formal yang secara otomatis membayar iuran jaminan sosial mereka,
pekerja informal perlu secara proaktif melakukan pembayaran premi dan terus membayar dari
waktu ke waktu. Dalam rangka mendukung partisipasi dalam skema ini di kalangan pekerja
informal, mekanisme pembayaran iuran harus dibuat senyaman mungkin.
Fleksibilitas Pemungutan Pembayaran
Aliran pendapatan yang tak teratur dan bervariasi yang dialami oleh pekerja sektor informal
menyulitkan pemungutan iuran secara reguler. Untuk mengakomodasi kemampuan membayar
para pekerja informal, perlu ada fleksibilitas dalam hal frekuensi pembayaran premi. Bahkan,
fleksibilitas iuran premi seringkali lebih penting bagi pekerja sektor informal daripada jumlah
pembayarannya ( Jowett dan Hsiao, 2007). Di Kenya, pekerja sektor informal harus melakukan
pembayaran tahunan dimuka untuk memperoleh pertanggungan di bawah National Hospital
Insurance Fund (Dana Asuransi Rumah Sakit Nasional). Kelompok fokus dengan anggota dari
populasi ini menemukan kecenderungan yang kuat terhadap iuran yang lebih sering dan lebih
kecil (Mathauer et al., 2008). Oleh sebab itu, jadwal pemungutan yang lebih fleksibel dapat
meningkatkan kepatuhan. Untuk sektor informal yang bekerja di bidang pertanian, kemampuan
membayar paling besar segera setelah panen dan paling kecil tepat sebelumnya. Menata jadwal
pembayaran sesuai siklus pertanian dapat mengatasi masalah kemauan dan kemampuan
membayar.
Bekerja dengan organisasi mitra, PhilHealth berusaha menawarkan fleksibilitas pembayaran yang
lebih besar bagi penerima manfaat ( Jowett dan Hsiao, 2007). Korea Selatan sesekali menawarkan
keringanan, namun hal ini kontroversial karena ada kekhawatiran bahaya moral dan kadangkadang termotivasi oleh politik (Kwon, 2013). Namun, bahkan dengan derajat fleksibilitas yang
lebih tinggi, banyak pekerja informal yang menunggak pembayaran mereka dan menentukan
apakah mereka berhak mendapat keringanan membutuhkan mekanisme administratif yang
mungkin tidak tersedia.
Kelompok Terorganisir
Kelompok yang sama yang digunakan untuk mengidentifikasi pekerja informal dapat digunakan
untuk mengumpulkan iuran. PhilHealth di Filipina menggunakan kelompok-kelompok tidak hanya
untuk mengidentifikasi dan mendaftarkan pekerja informal, tetapi juga untuk mengumpulkan
iuran. Program KaSAPI mengembangkan aplikasi perangkat lunak keanggotaan dan iuran yang
dibuat khusus, sebuah platform berbasis web untuk menverifikasi keberhakan dan melakukan
transfer finansial secara daring. Platform ini didukung oleh institusi-institusi di banyak provinsi
dan kota untuk merespon kebutuhan kelompok-kelompok terorganisir lokal (KaSAPI, 2007).
Kerjasama dengan Operator Jaminan Sosial Lainnya
Mekanisme pemungutan iuran yang sudah ada untuk program jaminan sosial lain dapat digunakan
juga untuk memungut premi asuransi kesehatan. Di Korea Selatan, National Health Insurance
154
Service (NHIS, Layanan Asuransi Kesehatan Nasional) memungut semua iuran asuransi sosial,
termasuk perawatan jangka panjang, pensiun, pengangguran, dan kecelakaan kerja (Kwon, 2013).
Kolombia berhasil mengaitkan asuransi kesehatan nasionalnya dengan skema pensiun dalam
upaya untuk “mengurangi pengelakan dan penghindaran” pembayaran88 (Bitran, 2013).
Pembayaran Bergerak
Salah satu pendekatan inovatif untuk menjangkau sektor informal adalah melalui penggunaan
solusi mobile money, yang menawarkan mekanisme yang mudah untuk melakukan atau mengirim
pembayaran menggunakan telepon seluler (ponsel). Karena penetrasi ponsel tinggi di kebanyakan
negara dan menawarkan cara yang mudah untuk menjangkau populasi sektor informal, mekanisme
mobile money memiliki potensi untuk menjangkau populasi sektor informal dan dapat berfungsi
sebagai alat pelibatan finansial bagi kaum miskin dan hampir miskin. Contoh utama penggunaan
mobile money dalam asuransi kesehatan adalah National Hospital Insurance Fund di Kenya, yang
menjalin kerjasama dengan M-PESA – sebuah layanan transfer uang dan keuangan mikro berbasis
ponsel – agar pendaftaran dan pemungutan premi dapat dilakukan melalui ponsel. PhilHealth
meluncurkan program serupa untuk pembayaran berbasis ponsel pada tahun 2013 – BayaLoad –
yang memungkinkan pemakai membayar premi melalui pesan teks (CGAP 2013).
Penguatan Sisi Pemasok
Pekerja informal mungkin enggan membayar iuran jika mereka tidak merasa bahwa mereka
menerima nilai yang pantas untuk uang mereka (Mathauer et al., 2008). Banyak negara mengalami
masalah ini. Di Kamboja, salah satu alasan rendahnya cakupan pertanggungan skema asuransi
kesehatan sukarela berbasis komunitas (voluntary community-based health insurance/CBHI)89
adalah rendahnya persepsi terhadap mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan milik
pemerintah (Bitran, 2013). Demikian pula, di Vietnam, pekerja sektor informal dalam suatu studi
acak menerima baik subsidi maupun informasi mengenai manfaat kesehatan dari keikutsertaan
dalam skema asuransi yang baru. Namun, kelompok yang menerima perlakuan tersebut tidak lebih
tinggi kemungkinannya untuk mendaftar karena nilai asuransi kesehatan tersebut tidak
dipersepsikan sebanding dengan biaya keikutsertaan (Nguyen, Wagstaff, Dao, dan Bales, Bank
Dunia, 2013).
Agar pembayaran iuran dirasa layak, infrastruktur layanan kesehatan yang berfungsi harus tersedia.
Meningkatkan kualitas perawatan sangat penting untuk mendorong pekerja informal untuk
membayar iuran. Peningkatan kualitas tidak hanya terbatas pada kualitas medis/teknis, tetapi juga
meliputi faktor-faktor lain seperti waktu tunggu dan perlakuan yang ramah dari staf administratif.
Oleh sebab itu, untuk memperluas keanggotaan, perbaikan kualitas yang sangat terlihat dari
88
“Di Kolombia, pemerintah memutuskan untuk mengaitkan iuran kesehatan pekerja pada iuran pensiun mereka untuk
mengurangi pengelakan dan penghindaran. Karena dana pensiun bersifat individu dan tidak dikumpulkan, jumlah uang
yang akan diterima individu dari dana pensiun mereka proporsional dengan uang yang mereka bayarkan. Oleh sebab
itu, individu tidak memiliki insentif untuk merendahkan pernyataan tentang pendapatan mereka secara substansial.
Sebaliknya, manfaat kesehatan yang diterima individu dalam Rezim Iuran adalah sama, terlepas dari pendapatan yang
mereka nyatakan. Dengan mengaitkan pembayaran pensiun dan kesehatan, pemerintah Kolombia mampu mengurangi
pengelakan dan penghindaran SHI.” (Bitran, 2013).
89
Skema CBHI bertujuan untuk mencakup sektor informal non-miskin. Program tersebut diterapkan di beberapa
kabupaten dan mengandalkan secara eksklusif pada penyedia layanan kesehatan pemerintah. Saat ini, CBHI menunjukkan
keberhasilan yang terbatas dalam hal keikutsertaan sektor informal, dan cakupannya hanya di 2 persen dari populasi.
155
fasilitas-fasilitas klinis yang ikut serta harus menjadi bagian dari usaha manapun untuk menjalankan
asuransi kesehatan sukarela (Van der Gaag dan Stimac, 2012).
Tantangan Desentralisasi: Harmonisasi Nasional dan Subnasional
Perluasan perlindungan sosial mungkin akan lebih sulit tanpa keterlibatan kuat pemerintah
provinsi dan kabupaten serta adanya harmonisasi upaya di tingkat nasional dan subnasional.
Skema subnasional dapat membuat skema nasional menjadi kurang efektif akibat kumpulan risiko
yang terfragmentasi dan mengakibatkan inefisiensi seperti biaya administratif yang lebih tinggi,
misalnya. Oleh sebab itu, dalam kasus skema desentralisasi yang diprakarsai pemerintah,
pengaturan dan kepemimpinan pemerintah pusat dibutuhkan untuk menjamin harmonisasi pada
tingkat tertentu.
Pengalaman negara yang paling menonjol datang dari Cina. NRCMS di Cina memerlukan bimbingan
yang kuat dari pemerintah pusat untuk memenuhi tujuan perlindungan keuangan dan
pengikutsertaan populasi berpenghasilan rendah sebagaimana diamanatkan dalam desain NRCMS.
Di manapun ada kekurangjelasan sasaran, pelaksanaannya hanya berkembang perlahan dan
akhirnya akan berhenti samasekali (Carrin, 2002). Untuk menanggapinya, Cina menyusun iuran
premi untuk mendorong pemerintah daerah agar bertindak. Sebagian besar premi dibayar oleh
pemerintah pusat, dengan pemerintah provinsi dan kabupaten hanya menyediakan dana padanan
yang minimal. Dana asuransi dikumpulkan secara lokal, memberi kemampuan pada pemimpin
daerah untuk mengambil kepemilikan, dan menyelaraskan dana dengan kebutuhan dan tingkat
partisipasi di daerah. Pengelolaan kumpulan dana di tingkat daerah semakin memperkuat
kepentingan daerah dalam hal kinerja dan jangkauan dari sistem kesehatan. Target keikutsertaan
spesifik ditetapkan, dan otoritas daerah dinilai berdasarkan seberapa sukses mereka dalam
memenuhi target tersebut.
Namun ada manfaat peningkatan efisiensi dan pemerataan dalam mekanisme pengumpulan
tunggal (nasional), dibandingkan dengan mekanisme pengumpulan banyak (subnasional) (Kwon,
2011). Di Filipina, keseimbangan antara skala ekonomi melalui pengumpulan nasional dan
desentralisasi adalah isu yang mengundang perdebatan dan berkelanjutan. Meskipun pengumpulan
risiko kesehatan secara nasional akan meningkatkan stabilitas keuangan, dana kesehatan dengan
sasaran yang lebih baik, dan meningkatkan keadilan, beberapa bentuk kemandirian daerah dalam
hal desain manfaat dan cara penyampaian dapat membantu mendapatkan penerimaan dari
populasi (Obermann et al., 2006). Namun, kemajuan sejauh ini untuk mendapatkan penerimaan
dari populasi telah terhambat oleh dialihkannya uang yang ditargetkan untuk kesehatan ke sektor
lain oleh unit pemerintah daerah.
Informasi dan Pemasaran Sosial
Dalam kajian sistematis mengenai dampak skema asuransi kesehatan bagi sektor informal di
negara berpenghasilan rendah dan menengah, Acharya dkk. (2013) menemukan bahwa tingkat
keikutsertaan yang rendah umum didapati pada banyak skema. Keputusan untuk ikut serta
tampaknya lebih ditentukan oleh persepsi, pendidikan, dan faktor budaya populasi sasaran
daripada faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatan kesehatan (seperti
status kesehatan awal atau jarak ke pusat kesehatan). Bahkan, banyak penelitian telah menunjukkan
156
bahwa pekerja informal tidak memiliki pengetahuan mengenai skema yang ada dan manfaat
asuransi kesehatan. Di Kenya, faktor terpenting yang mencegah keikutsertaan adalah kurangnya
kesadaran pekerja informal mengenai National Hospital Insurance Fund (Mathauer et al., 2008).
Penyebaran informasi dan sensitisasi pekerja informal sangat penting dalam mempengaruhi
kesediaan mereka untuk membayar.
Secara global, telah ada upaya untuk meningkatkan permintaan akan asuransi, terutama melalui
kampanye kesadaran di radio dan televisi. Sebagian dari pesatnya perluasan cakupan di Thailand
dianggap berasal dari liputan media massa (van Lente et al., 2012). Bukti global menunjukkan
bahwa kedekatan ke operator asuransi kesehatan memiliki efek positif pada sensitisasi dan
komunikasi penerima manfaat. PhilHealth, misalnya, mengoperasikan jaringan besar kantor
regional. Awalnya diniatkan sebagai kantor perpanjangan untuk memproses klaim, sekarang
fungsinya menjadi lebih luas: kantor regional mengelola iuran, melakukan kampanye pemasaran,
dan melakukan riset operasi lokal (Oberman et al., 2006). Demikian pula, pembayar tunggal
asuransi kesehatan Korea menggunakan cabang lokal untuk pendaftaran dan pemungutan premi
(Kwon, 2009).
Di Ghana, adalah biasa bagi skema asuransi bersama tingkat kabupaten untuk mengadakan latihan
sensitisasi pada masyarakat untuk meningkatkan keikutsertaan (Chankova et al., 2010). Bagi
penduduk pedesaan di Cina, iklan media telah memberikan insentif untuk mendaftar di asuransi
kesehatan sukarela NRCMS. Penggantian klaim untuk pasien individu bahkan sering ditempelkan
di papan pengumuman desa untuk mempublikasikan manfaat moneter nyata dari program asuransi
kesehatan (Lilin dan Langenbrunner, 2013).
Untuk lebih meningkatkan penerimaan iuran, lebih banyak upaya mungkin diperlukan di negara
lain. Nguyen et al. (2012) menguji efek dari video pendidikan yang menyoroti pentingnya asuransi
kesehatan pada pengambilan asuransi sukarela, tetapi tidak menemukan dampak signifikan dari
hasil mempertunjukkan video tersebut. Mereka berhipotesis bahwa hal ini disebabkan oleh
masalah kualitas dalam sistem kesehatan Vietnam dan bukan pada efektivitas pendekatan
pemasaran sosial.
Kesimpulan
Berbagai negara telah mencoba berbagai pendekatan dan kombinasi pendekatan untuk memperluas
cakupan pertanggungan ke sektor informal. Pengalaman dari negara-negara yang dicontohkan
dalam makalah ini menggambarkan mengapa pekerja informal biasa dianggap sebagai “paling
sulit dijangkau”. Dalam sistem berbasis iuran, cakupan pertanggungan sektor informal masih
rendah di kebanyakan negara, bahkan jika diberi subsidi. Banyak negara masih terus berjuang,
termasuk Ghana, Kenya, Filipina, dan Vietnam.
Bagaimanapun, ini tidak berarti bahwa belum ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir.
Manakala negara telah memperkenalkan cara-cara inovatif dan mudah untuk mengatasi tantangan
yang berkaitan dengan perluasan asuransi kesehatan sosial ke sektor informal, hasilnya sudah
nyata. Mungkin Korea Selatan yang menunjukkan keberhasilan terbesar sambil mempertahankan
skema yang sebagian besar berbasis iuran. Mereka memanfaatkan tidak hanya satu, tapi beberapa
program yang berbeda dan inovatif untuk mengidentifikasi dan melibatkan sektor informal.
Memang dapat dikatakan bahwa Korea Selatan juga merupakan populasi yang relatif homogen
dengan struktur pemerintahan yang lebih terpusat, pembangunan ekonomi yang cepat dan jumlah
157
keseluruhan populasi yang lebih kecil yang membantu cepatnya pendaftaran para pekerja informal.
Negara lain, seperti Cina dan Thailand, telah banyak atau seluruhnya meninggalkan skema iuran
untuk menggantinya dengan pembiayaan pajak untuk memperluas cakupan pertanggungan secara
cepat. Dalam setiap kasus, ada dimensi politik penting yang menanggapi permintaan atas perbaikan
layanan dari masyarakat yang kurang terlayani. Cina menikmati ekonomi yang kuat dan berkembang
yang menyediakan ruang fiskal. Di Thailand, keruntuhan ekonomi di akhir 1990-an ditanggapi
dengan kebijakan fiskal countercyclical yang mencakup pengeluaran untuk meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja muda dan produktif.
Ketergantungan pada iuran premi oleh individu dan keluarga mungkin mencerminkan banyak
tujuan kebijakan oleh Kementerian Keuangan dan Kesehatan, namun hal tersebut mungkin
menjadi tujuan kebijakan yang saling bertentangan pada akhirnya. Cakupan populasi dan
pemungutan pendapatan keduanya diinginkan dan menjadi tujuan kebijakan kembar, tetapi biaya
tinggi dalam identifikasi dan pemungutan berarti pendapatan keseluruhan akan berkurang, atau
bahkan habis oleh biaya administrasi, terutama bila mekanisme pemungutan pendapatan yang
terpisah dikembangkan dengan progam asuransi sosial yang baru. Korea Selatan menghindari
sebagian besar beban administrasi ini dengan mengandalkan mekanisme pengumpulan pajak
yang telah ada, namun banyak negara dalam beberapa tahun terakhir memilih sistem pemungutan
yang baru dan terpisah (Kutzin, Cashin, dan Jakab, 2010) atau pun tidak menggunakan mekanisme
pemungutan pajak yang ada yang telah berfungsi baik. Di masa depan, perluasan cakupan
pertanggungan bagi pekerja informal mungkin tergantung pada seberapa baik negara dapat
menyesuaikan diri dengan situasi lokal, menawarkan berbagai pendekatan inovatif, tetapi juga
berhasil merampingkan proses pendaftaran dan pemungutan iuran.
Selain itu, harus ada sistem yang berfungsi dengan baik dalam hal perawatan kesehatan bermutu
tinggi yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang bernilai bagi pekerja dan keluarganya. Akhirnya,
mungkin diperlukan adanya program pemasaran sosial untuk meningkatkan pemanahan di
kalangan pekerja informal mengenai konsep asuransi kesehatan sosial dan bagaimana hal tersebut
akan bekerja bagi mereka. Tanpa mereka memiliki pengetahuan yang diperlukan tentang pentingnya membayar iuran dan manfaat pertanggungan, usaha perluasan ke kelompok ini kemungkinan
besar akan gagal.
158
Referensi
Annear Peter, Shakil Ahmed, Chhun E. Ros and Por Ir (2013). Strengthening Institutional and
Organizational Capacity for Social Health Protection of the Informal Sector in Lesserdeveloped Countries: A Study of Policy Barriers and Opportunities in Cambodia. Social
Science & Medicine. Forthcoming.
Acharya, Arnab; Sukmar Vellakkal, Fiona Taylor, Edoardo Masset, Ambika Satija, Margaret Burke
and Shah Ebrahim (2013). The Impact of Health Insurance Schemes for the Informal Sector
in Low- and Middle-Income Countries: A Systematic Review. The World Bank Research
Observer.
Barber, Sarah L. and Lan Yao (2010). Health Insurance Systems in China: A Briefing Note. World
Health Report 2010. Background Paper, No.37.
Basa, Ruben John (2005). Working with Community-based Groups: The Experience of the Philippine
Health Insurance Corporation. In: Extending Social Health Protection in Health: Developing
Countries’ Experiences, Lessons Learnt and Recommendations. Bonn.
Baerninghausen, Till; Yuanli Liu, Xinping Zhang and Rainer Sauerborn (2007). Willingness to pay
for social health insurance among informal sector workers in Wuhan, China: a contingent
evaluation study. BMC Health Services Research 7: 114.
Bitran, Ricardo (2013). Universal Health Coverage and the Challenge of Informal Employment:
Lessons from Developing Countries. The World Bank.
BPS - Statistics Indonesia, & Asian Development Bank. (2011). Informal Sector and Informal
Employment in Indonesia (Country Report). Mandaluyong City, Philippines: Asian
Development Bank.
Carrin, Guy (2002). Social Health Insurance in Developing Countries: A Continuing Challenge.
International Social Security Review, 55(2).
Chankova, Slavea; Chris Atim, and Laurel Hatt (2010). Ghana’s National Health Insurance Scheme.
In: Escobar, Maria-Luisa; Charles C. Griffin and R. Paul Shaw (eds.). The Impact of Health
Insurance in Low- and Middle-Income Countries. Brookings Institution. Washington D.C.
Ekman, Bjoern; Nguyen Thanh Liem, Ha Anh Duc and Henrik Axelson (2008). Health Insurance
Reform in Vietnam: A Review of Recent Developments and Future Challenges. Health Poliy
and Planning 23: 252-263.
La Forgia, G. and Somil Nagpal, Are You Covered? Health Insurance in India, World Bank, Washington,
D.C., 2012.
Hanvoravongchai, Piya and William C. Hsiao (2007). Thailand: Achieving Universal Coverage with
Social Health Insurance. In: Social Health Insurance for Developing Nations, Hsiao WC, Shaw
RP (eds). World Bank. Washington DC.
ILO (2013). Social protection assessment based national dialogue: Towards a nationally defined
social protection floor in Thailand. Online publication.
Jeong, Hyoung-Sun (2010). Expanding insurance coverage to informal sector populations:
Experience from Republic of Korea. World Health Report 2010. Background Paper No.38.
Jeong, Hyoung-Sun (2011). Korea’s National Health Insurance – Lessons From The Past Three
Decades. Health Affairs 30(1): 1-9.
Jowett, Matthew and William C. Hsiao (2007). The Philippines: Extending Coverage Beyond the
formal sector. In: Social Health Insurance for Developing Nations, Hsiao WC, Shaw RP (eds).
World Bank. Washington DC.
159
KaSAPI Program Factsheet: 2007. Kwon, Soonman (2009). Thirty Years of National Health Insurance
in South Korea: Lessons for Achieving Universal Health Care Coverage. Health Policy and
Planning 24: 63-71.
Kwon, Soonman (2011). Health Care Financing in Asia: Key Issues and Challenges. Asia-Pacific
Journal of Public Health (23:5): 651-661.
Kwon, Soonman. (2013, August 22). Telephone Interview.
Kutzin, Joseph. Cheryl Cashin, and Melitta Jakab, Implementing Health Financing Reform: Lessons
from Countries in Transition, European Observatory, World Health Organization, Brussels,
Belgium, 2010.
Lagomarsino, Gina; Alice Garabrant, Atikah Adyas, Richard Muga and Nathaniel Otoo (2012).
Moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine developing
countries in Africa and Asia. The Lancet 380: 933–43.
Langenbrunner, J., and Aparnaa Somanathan, Health Financing in East Asia and Pacific: Best Practices
and Remaining Challenges, ISBN 978-0-8213-8682-8, World Bank, Washington, July 2011.
Li, Cheng; Xuan Yu, James R.G. Butler, Vasoontara Yiengprugsawan and Min Yu (2011). Moving
towards universal health insurance in China: Performance, issues and lessons from Thailand.
Social Science & Medicine 73: 359-366.
Liang, Lilin and John C. Langenbrunner (2013). The Long March to Universal Coverage: Lessons
from China. Universal Health Coverage Studies Series (UNICO) No.9. The World Bank.
Mathauer, Inke; Jean-Olivier Schmidt and Maurice Wenyaa (2008). Extending Social Health
Insurance to the Informal Sector in Kenya. An Assessment of Factors Affecting Demand.
International Journal of Health Planning and Management 23: 51-68.
Nguyen, Ha and James Knowles (2010). Demand for voluntary health insurance in developing
countries: The case of Vietnam’s school-age children and adolescent student health insurance
program. Social Science & Medicine 71: 2074-2082.
Nguyen, Ha; Adam Wagstaff, Huyen Dao and Sarah Bales (2013). Health Insurance for the Informal
Sector: A Randomized Control Trial. iHEA Presentation Sydney.
Obermann, Konrad; Matthew R. Jowett, Maria Ofelia O. Alcantara, Eduardo P. Banzon and Claude
Bodart (2006). Social Health Insurance in a Developing Country: The Case of the Philippines.
Social Science & Medicine 62: 3177-3185.
Pauly, Mark V. (2008). The Evolution of Health Insurance in India and China. Health Affairs 27(4):
1016-1019.
PhilHealth (2012). Increasing Enrollment in the Individual Paying Program: the Biggest Challenge
in Population Coverage on the Road Towards Universal Health Care. Discussion paper by
PhilHealth, WHO and GIZ. Manila.
Republic Act No. 10606., Pub. L. No. 10606 (2012). Retrieved from http://www.gov.ph/2013/06/19/
republic-act-no-10606/.
Shafie, A.A. and Hassali, M.A. (2013). Willingness to pay for voluntary community-based health
insurance: Findings from an exploratory study in the state of Penang, Malaysia. Social Science
& Medicine. Forthcoming.
Tangcharoensathien, Viroj; Walaiporn Patcharanarumol, Por Ir, Syed Mohamed Aljunid, Ali Ghufron
Mukti, Kongsap Akkhavong, Eduardo Banzon, Dang Boi Huong, Hasbullah Thabrany and
Anne Mills (2011). Health-financing reforms in southeast Asia: challenges in achieving
universal coverage. The Lancet 377: 863-73.
160
Thornton, Rebecca L; Laurel E. Hatt, Erica M. Field, Mursaleena Islam, Freddy Solis Diaz and Martha
Azucena Gonzalez (2010). Social Security Health Insurance for the Informal Sector in
Nicaragua: A Randomized Evaluation. Health Economics 19 pp.181-206.
Van der Gaag, Jacques and Vid Stimac (2012). How Can We Increase Resources For Health Care in
the Developing World? Is (Subsidized) Voluntary Health Insurance the Answer? Health
Economics 21: 55-61.
van Lente, Jan; Pujiyanto and Michael Thiede (2012). Social Protection for Informal Workers in
Indonesia: Scenarios for the Expansion of Social Protection Coverage. Working Paper.
Wagstaff, Adam; Magnus Lindelow, Gao Lun, Xu Ling and Qian Juncheng (2009). Extending health
insurance to the rural population: An impact evaluation of China’s new cooperative medical
scheme. Journal of Health Economics 28: 1-19.
Wagstaff, Adam and Wanwiphang Manachotphong (2012). Universal Health Care and Informal
Labor Markets - The Case of Thailand. Policy Research Working Paper 6116. The World Bank.
Weber, A. (2009). The Impact of the Global Recession on the Poor and Vulnerable in the Philippines
and on the Social Health Insurance System. Discussion Paper. GTZ Health Program
Philippines.
World Bank (2013). Moving Towards Universal Coverage in Vietnam: Assessment and Options. Draft
2 May, 24 2013. The World Bank.
Yip, Winnie and William C. Hsiao (2008). The Chinese Health System At A Crossroads. Health Affairs
27(2): 460-468.
161
NOTA
#20 KEBIJAKAN
Siapa melakukan apa?
Memetakan Masa Depan
bagi Kementerian Kesehatan
Indonesia90
Tantangan
Dalam waktu beberapa bulan lagi Indonesia dan sektor kesehatannya akan memasuki tahap
pelaksanaan penuh asuransi kesehatan baru dibawah BPJS. Oleh karena itu, penting bagi
Kementerian Kesehatan untuk mengambil peran kepemimpinan baru dalam mengelola sektor
kesehatan. Kementerian Kesehatan, yang kesehariannya di bawah kepemimpinan Sekretariat
Jenderal dan Pokja, telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dengan fokus pada BPJS dan
integrasi berbagai skema asuransi selama beberapa bulan terakhir.
Setelah libur Idul Fitri lewat, Kementerian Kesehatan kini menghadapi tugas-tugas baru untuk
transisi ke era baru kepemimpinan dan pengelolaan sektor kesehatan.
Pengalaman global sekilas memberi kita sebuah model, yang mungkin dapat dipertimbangkan
Kementerian Kesehatan dalam beberapa bulan ke depan. Pengalaman global, khususnya dalam
transisi ekonomi yang mirip dengan Indonesia, adalah bahwa negara-negara yang tengah bergerak
menuju Asuransi Kesehatan Sosial menciptakan organisasi-organisasi asuransi baru yang relatif
otonom. Organisasi-organisasi ini sering kali di luar kementerian apapun, apakah itu Kesehatan,
Tenaga Kerja atau Perlindungan Sosial. Organisasi-organisasi baru ini melapor kepada sebuah
Badan atau Dewan dengan audit publik yang transparan dalam hal pengelolaan dana dan tanggung
jawab, dengan garis langsung ke sumber-sumber yang lebih tinggi seperti Kementerian Keuangan,
DPR atau Perdana Menteri maupun Presiden. Ini terjadi di negara-negara seperti Hungaria, Filipina,
Republik Ceko, Slovenia, Slovakia, dan sebagainya. Hal ini mirip dengan susunan tata kelola
pemerintahan baru di Indonesia.
90
Policy Note # 20 ini ditulis untuk tim oleh Jack Langenbrunner (DFAT) dan Anna Monfert (GiZ) Pendanaan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk
salinan Policy Notes yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org.
163
Secara global, Asuransi Kesehatan Sosial biasanya menangani beberapa hal, termasuk:
•
•
•
•
•
•
•
Pengumpulan dana (seringkali seiring dengan fungsi pengumpulan dana oleh Kas Negara
(Treasury) yang tengah diperbincangkan di Indonesia);
Pooling dan pengelolaan dana;
Paket manfaat;
Kontrak, baik dengan penyedia layanan publik/pemerintah maupun swasta;
Sistem pembayaran, termasuk modal dan biaya berulang (recurrent cost);
Penjaminan mutu dan penilaian kualitas pelayanan sehari-hari;
Monitoring dan evaluasi program pemberian pelayanan.
Kementerian kesehatan di negara-negara lain dan di Indonesia, kini sedang dan akan menyerahkan
beberapa fungsi. Pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan perlu “meningkatkan” dan
memberikan peran kepemimpinan di daerah lain, beberapa di antaranya mungkin tanggung jawab
baru atau penambahan tanggung jawab. Setelah 1 Januari 2014, berdasarkan pengalaman global,
Kementerian Kesehatan disarankan agar memfokuskan kepemimpinannya dalam beberapa hal
seperti diuraikan di bawah.
Kesehatan Masyarakat “Baru”
Kesehatan masyarakat, termasuk hal-hal seperti air minum yang aman, sanitasi, surveilans dan
respons epidemi, kegiatan pelayanan kesehatan umum, kualitas udara, keselamatan di jalan, serta
mendorong perilaku dan gaya hidup yang lebih baik di era dimana kejadian dan prevalensi penyakit
tidak menular meningkat (Gambar 1) melalui pendidikan konsumen, serta banyak lagi isu-isu
lainnya yang berkaitan dengan barang publik91 dan status kesehatan.
Gambar 1
Burden of disease by cause in Indonesia, 1990-2010
1990
2000
Non-communicable
2010
Non-communicable
Non-communicable
Injuries
Injuries
7%
Injuries
9%
9%
37%
56%
43%
49%
33%
58%
Communicable
Communicable
Communicable
Source: IHME
91
Istilah “barang publik” para ekonom umumnya mengacu kepada barang dan njasa yang berdampak tidak hanya pada
individu tetapi juga pada masyarakat. Imunisasi, udara bersih atau air bersih contoh klasiknya..
164
Secara khusus, dapatkah Kemenkes pada akhirnya mengambil peran kepemimpinan untuk
membatasi produk tembakau? Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa tahun lalu
ada sekitar 260.000 orang Indonesia meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan
tembakau. Sekitar 25.000 dari mereka yang bukan perokok terpapar asap rokok di lingkungan
mereka.
Sampai saat ini, para pengamat setuju bahwa yang dilakukan Kementerian Kesehatan belumlah
cukup. Di antara negara-negara mayoritas Muslim di dunia, hanya Somalia dan Indonesia yang
belum menandatangani Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau (FCTC). Mengapa tertunda?
Jawabannya fakta menentang logika. Rokok mahal harganya bagi keluarga di Indonesia, dan paling
merugikan penduduk miskin. Rokok saat ini merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar
kedua, setelah beras, dan rokok merupakan bagian dari anggaran 57% semua konsumsi rumah
tangga,’ dan lebih tinggi lagi untuk masyarakat miskin.92 Tembakau dikenakan pajak sebesar 38%
dari harga rokok, jauh di bawah negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, dan di
bagian dunia lainnya seperti di Uni Eropa dan negara-negara OECD seperti Chili dan Kanada. Pada
tahun 2014, pemerintah akan meningkatkan pajak cukai, tetapi hanya sebesar 8,5%. Merokok juga
mahal bagi Pemerintah. Total biaya yang dikeluarkan setahunnya untuk pelayanan rawat inap
akibat merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai paling sedikit Rp 39,5 triliun (USD
4,03 miliar). Jumlah ini sama dengan kira-kira 0,74% PDB Indonesia pada tahun yang sama dan
29,83% dari pengeluaran kesehatan keseluruhan. Sebagian besar dari biaya ini berkaitan dengan
pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Rp 35,1 triliun atau Rp 3,6 miliar per tahun),
diikuti oleh kanker paru-paru (Rp 2,6 triliun) dan penyakit iskemik (Rp 1,68 triliun).93
Menurut kepala BPPSDMK, Untung Suseno Sutarjo, lebih dari 43 juta anak hidup dengan orangtua
yang merokok, sehingga mereka setiap harinya terpapar asap rokok di rumah. “Anak-anak akan
mengalami perkembangan paru-paru lambat dan kemungkinan lebih serius terkena asma, yang
nantinya akan menghambat kinerja mereka di sekolah. Kondisi ini akan mempertaruhkan anakanak dan masa depan bangsa, “ kata Untung.94
Indonesia akan menambah peringatan kesehatan bergambar pada produk tembakau. Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menghimbau DPR
untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering kali menjadi sasaran yang tidak tepat dari even
budaya, musik atau olahraga, termasuk tayangan televisi pada siang hari. WHO telah mengatakan
bahwa larangan iklan rokok dan sponsor adalah salah satu cara yang paling hemat biaya untuk
mengurangi permintaan akan rokok. Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara di ASEAN yang
masih memperbolehkan tayangan iklan rokok. Peraturan baru-baru ini telah membuat terobosan
yang membatasi ketat iklan rokok, akan tetapi penegakkan peraturan tampaknya masih menjadi
persoalan.
Ada juga solusi sederhana yang dapat menghasilkan pendapatan lebih bagi pemerintah. Cukup
hanya dengan menaikan harga produk tembakau telah terbukti merupakan metode yang paling
92
Universitas Indonesia, Lembaga Demografi, seperti yang dilaporkan dalam situs Demotix, 4 Januari 2013.
93
Nugrahani, Y, Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Thabrany, H., Dampak Merokok terhadap Konsekuensi Ekonomi Tahunan
di Indonesia: Biaya Pengobatan Penyakit yang berkaitan dengan Tembakau di Indonesia, International Health Economics
Association Conference, Sydney, Australia, Juli 2013.
94
Jakarta Post, 11 October 2013, halaman 4.
165
efektif untuk memangkas prevalensi penggunaan tembakau secara global.95 Menaikkan pajak
produk tembakau bisa menjadi solusi yang “win-win-win” dengan peningkatan pendapatan
pemerintah untuk setiap bungkus rokok yang dijual, namun dapat menurunkan prevalensi merokok
dari waktu ke waktu, serta menurunkan biaya perawatan kesehatan dengan penduduk yang lebih
sehat, lebih produktif. Tahun lalu, pemerintah meraup pendapatan Rp 79.9 triliun dari pajak rokok,
sementara di sisi lain negara menderita kerugian ekonomi dan biaya kesehatan yang ditimbulkan
penyakit yang berkaitan dengan merokok sebesar Rp. 240 triliun.96 Apa yang mungkin menjadi
hambatan bagi Menteri untuk menangani masalah ini?
Farmasi
Peraturan mengenai farmasi meliputi identifikasi dan penilaian obat dan peralatan baru serta
pemantauan pemanfaatan dan kesesuaian obat dan peralatan yang ada, serta menarik obat dan
peralatan yang sudah ketinggalan zaman atau didapati berbahaya bagi pasien dan masyarakat
umum. Saat ini, formularium baru sedang dikembangkan untuk reformasi BPJS.
Di masa yang akan datang, Wakil Menteri telah menyerukan proses penilaian teknologi yang baru
dan diperluas. Guna memprioritaskan intervensi hemat biaya, mengoptimalkan paket manfaat,
dan memungkinkan pembaruan yang dinamis, BPJS perlu mengadakan interaksi rutin dengan
Kementerian Kesehatan yang pada gilirannya akan menetapkan proses untuk mendukung
pengambilan kebijakan di tingkat pusat dan provinsi dan untuk mengimplementasikan kebijakan
manfaat dan manajemen obat di semua tingkatan, termasuk provinsi, kabupaten dan pelayanan
kesehatan dasar.
Penilaian teknologi, sebagaimana didefinisikan di sini, berguna pada tingkat makro untuk tujuan
perencanaan dan organisasi, serta pengambilan keputusan untuk melakukan penggantian dan
cakupan. Hal ini berguna pada tingkat menengah untuk pemantauan pemanfaatan dan akuisisi.
Pada tingkat mikro, hal ini berguna untuk memantau kepatuhan terhadap pedoman perawatan,
penjaminan mutu, dan penilaian kualitas.
95
Lihat, contohnya, World Bank, Dampak Program Promosi Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Adeyi dan lain-lain,
2009.
96
Nadya Natahadibrata, “Calls for a complete ban on cigarette ads,” (Seruan untuk Larangan Menyeluruh Iklan Merokok)
Jakarta Post, Halaman 4, 31 Mei 2013.
166
Kotak 1:
Tantangan biaya terkait farmasi di negara-negara berpendapatan menengah
1.
Populasi yang menua: pasien usia tua dengan penyakit kronik akan menuntut lebih banyak
obat.
2. Perasaan memiliki hak: baik pasien maupun pemberi resep biasanya memiliki sikap “lebih banyak,
lebih baik”. Praktik umum lainnya yang dilakukan para penyedia layanan kesehatan adalah
memberikan resep obat bermerek yang mahal sekalipun obat generik yang lebih murah juga
cocok.
3. Pemasaran dan promosi industri: baik pasien dan pemberi resep rentan terhadap pesan-pesan
pemasaran dan insentif promosi nyata yang ditawarkan perusahaan-perusahaan obat.
4. Insentif keuangan (supply-side): Penggunaan Biaya untuk Pelayanan. Jika penyedia layanan
kesehatan (klinik, dokter perorangan, tenaga kesehatan, apoteker) memperoleh pendapatan sesuai
dengan harga obat yang mereka resepkan, maka mereka akan mencoba memaksimalkan pendapatan
mereka dengan mendorong penggunaan obat yang lebih banyak dan memilih produk-produk obat
yang mahal (margin yang lebih tinggi). Hal ini merupakan permasalahan besar di Cina.
5. Inovasi: begitu obat baru dengan manfaat nyata atau diduga memiliki manfaat tambahan beredar
di pasar, maka akan ada tekanan untuk memasukkan obat-obat tersebut dalam paket manfaat
farmasi.
6. Kenaikan harga: produsen dan distributor dapat mencoba meningkatkan harga di semua tingkatan
rantai suplai.
7. Kecurangan dan pelanggaran: setiap sistem yang memisahkan pengguna dan pembayar akan
menciptakan peluang terjadinya kecurangan dan korupsi. Contohnya, suap dan sogok kepada
pembuat keputusan administratif yang memiliki kontrol atas akses ke pendanaan dan ke pembuat
resep; klaim palsu atas obat-obatan yang sebetulnya tidak dikeluarkan; pasien menggunakan kartu
orang lain.
8. Keterlibatan yudisial: Pasien dapat melakukan tindakan hukum terhadap pemerintah mereka
dibawah klausul “hak atas kesehatan”dalam konstitusi mereka, jika pihak pembayar dianggap
membatasi akses ke obat-obatan baru yang mahal. Hal ini merupakan masalah yang muncul di
Amerika Selatan.
Pada saat yang sama, penilaian teknologi dapat membantu menghasilkan bukti untuk penyusunan
kebijakan farmasi yang terkait dengan:
•
•
•
Kaji ulang pemanfaatan berdasarkan data dalam sistem penyampaian untuk menilai biaya,
kesesuaian, dan kualitas pelayanan;
Harga, baik untuk produk baru maupun yang sudah ada;
Pengembangan formularium nasional dan pembaruan yang terus menerus.
Saat ini, Indonesia sedang mengkaji ulang obat-obatan baru pra-pasar dan pasca pasar untuk
keamanan dan kemanjurannya. Dengan BPJS baru yang akan dimulai tahun 2014, pembeli perlu
memasukkan obat-obatan, peralatan dan prosedur sesuai dengan keamanan dan kemanjuran,
serta kualitas, kesesuaian, dan hemat biaya.
Untuk mendukung peluncuran BPJS, tujuan pemerintah harus mencakup pengembangan progesif
dalam hal:
•
•
kapasitas manusia;
teknologi informasi, berhati-hati untuk memasukkan informasi penggunaan obat yang bisa
hilang di bawah reformasi pembayaran baru menggunakan kapitasi untuk pelayanan dasar
dan INA-CBGs;
167
•
•
kebijakan dan monitoring; dan,
kerangka kerja dan perangkat untuk pengelolaan manfaat farmasi.
Kementerian Kesehatan berharap dapat memperkuat unit yang ada dalam Kemenkes untuk
mendukung pengelolaan manfaat farmasi di bawah BPJS dan untuk penilaian teknologi yang lebih
umum.
Kualitas
Struktur
Banyak isu-isu seputar struktur dan proses layanan berkualitas yang baik. Analisis survei PODES
2011 menunjukkan bahwa 96,7% fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah (“Puskesmas”)
memiliki listrik, 88,1% memiliki-sumber air, 87,5% memiliki fasilitas cold chain untuk penyimpanan
vaksin, tetapi hanya 36,4% Puskesmas memiliki inkubator. Selain itu, sensus yang baru saja
diselesaikan (RIFASKES) memperkirakan bahwa 73,3% Puskesmas di perkotaan memiliki layanan
obstretik darurat dasar, tetapi di pedesaan jumlahnya hanya 53,4%. Dalam hal obat-obatan penting,
hanya sekitar 60% dari Puskesmas baik di pedesaan dan perkotaan yang memenuhi ketersediaan
60-79% dari 83 jenis obat esensial, dan hanya sekitar 15% yang memiliki 80% obat yang diperlukan.
Menariknya, Kemenkes saat ini tidak memiliki banyak data mengenai sektor swasta, meskipun
sektor swasta berkembang dengan pesat.
Proses Perawatan
Kualitas praktik oleh tenaga kesehatan telah menjadi isu yang biasa. Survei Riskesdas 2007 oleh
pemerintah menunjukkan bahwa jumlah salah diagnose per tahun dalam populasi sangatlah besar
- 55% - dan tingkat kesalahan alokasi sumber daya yang langka dalam sektor kesehatan sangat lah
tinggi. Tingkat kesalahan ini tidak akan ditoleransi di sektor ekonomi lainnya. Rumah tangga
menanggung beban yang besar dalam bentuk pembayaran langsung (out of pocket) hal-hal yang
mereka sebetulnya tidak harus bayar. Orang-orang membeli pengobatan untuk masalah kesehatan
mereka tidak memiliki lebih dari separuh waktu, dan, membeli pengobatan untuk masalah
kesehatan yang salah, yang mereka konsumsi tetapi tidak perlu. Apa penyebab salah diagnosis,
dan apa solusi jangka pendek dan jangka menengahnya?
Pada tahun 2007, tingkat ketidakakuratan paling lazim terjadi diantara penyakit kardio-vaskular,
yang mencakup salah satu penyakit tidak menular (PTM) paling umum yang terjadi pada penduduk
di Indonesia dan merupakan penyebab utama kematian di negara ini. Penyakit kardio vaskular
yang gejalanya didiagnosis secara akurat kurang dari 10% pada saat itu, dan, bahkan di antara
penduduk yang paling kaya hanya 16%. Dengan mempertimbangkan survei Riskesdas 2007,
diperkirakan sekitar 2 juta orang menderita penyakit kardio-vaskular, dan tingkat kesalahan dalam
diagnosis dapat memiliki dampak besar terhadap kehidupan individu, serta tantangan kinerja yang
jelas bagi sistem penyelenggaraan kesehatan. Untuk semua perawatan, diperkiraan sekitar 55%
dari seluruh diagnosis tidak akurat.
Meskipun beberapa perbaikan dapat terlihat dari perbandingan antara gambaran diagnostik dari
Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI)
1997 dan 2007, perubahannya kecil dan kualitas keseluruhan layanan masih rendah dengan hanya
168
sekitar setengah dari tenaga kesehatan yang menanggapi dengan benar pertanyaan standar dan
gambaran singkat prosedural. Ada tingkat ketidakhadiran yang tinggi, mirip dengan beberapa
kawasan di negara-negara seperti India, dengan dokter-dokter membuka praktik pribadi pada
jam-jam sore dan malam hari.
Yang terakhir, fokus pada penggunaan obat-obatan masih kurang, sehingga, informasi tentang
apakah uang untuk obat-obatan dihabiskan secara bijaksana, yaitu, untuk obat-obatan yang
dijabarkan ke dalam manfaat kesehatan, hemat biaya. Dana dianggap terbuang untuk penggunaan
antibiotik yang berlebihan, sementara penggunaan dana untuk penyakit kronis, dan khususnya
pengobatan penyakit kronis pada pelayanan dasar masih kurang. Mengingat adanya perluasan
cakupan, maka semua pihak perlu memahami pentingnya penggunaan obat yang tepat,
hubungannya dengan akses ke obat-obatan dan rumah tangga, dan obat.97
Sudah ada terobosan penting untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik. Skema Askes (PNS)
memiliki sistem teknologi informasi yang terperinci mengenai data penggunaan di tingkat pasien,
dan telah digunakan untuk mengidentifikasi biaya tinggi, perawatan yang tidak efisien, serta
digunakan untuk merancang dan mengimplementasikan paling sedikit satu program sebagai
jawabannya (penggunaan Prolanis), untuk mengalihkan perawatan diabetes dari rumah sakit ke
perawatan dasar oleh dokter puskesmas. Formularium terpadu kini tengah dikembangkan, dan
sistem e-farmasi baru akan membuat biaya farmasi yang dikenakan menjadi lebih transparan.
Perizinan dan Akreditasi
Sebuah program akreditasi baru sekarang diterapkan untuk rumah sakit dan akan diperluas ke
fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sekitar 70% dari semua rumah sakit kini telah menerima
akreditasi. Karena sistem pelayanan kesehatan di Indonesia terdiri dari pelayanan kesehatan
pemerintah/publik dan swasta, maka proses akreditasi perlu dialihkan ke luar Kemenkes dalam
beberapa tahun ke depan, namun bimbingan dan kepemimpinan kelembagaan proses masih akan
diperlukan. Pada Policy Note #9 sebelumnya merinci persoalan ini dan memberikan beberapa
langkah selanjutnya yang disarankan.
Pendidikan Kesehatan dan Tenaga Kerja
Indonesia menghadapi kekurangan jumlah dokter, perawat, bidan dan tenaga tambahan yang
signifikan. Untuk dokter saja, ada masalah besar terkait dengan pendidikan, kurikulum, pelatihan
spesialis, dan maldistribusi berkelanjutan. Sebuah undang-undang baru telah disahkan pada
reformasi pendidikan kedokteran. Kementerian kesehatan (pada kenyataannya) bukanlah pihak
yang mengeluarkan peraturan tersebut, melainkan sebagai pengguna. Tanggung jawabnya adalah
untuk memastikan perekrutan yang berkualitas dan kesempatan pelatihan in-service. Namun,
Kementerian Kesehatan perlu bergerak keluar dari peran sebelumnya. Kerjasama yang baik dengan
Kementerian Pendidikan sangat diperlukan pada masa transisi.
Kementerian Kesehatan perlu memberikan kepemimpinan dalam modernisasi kurikulum dan
menemukan cara untuk melatih dan mempertahankan dokter untuk daerah-daerah yang kurang
terlayani. Beberapa bukti internasional menunjukkan bahwa dokter-dokter yang dilatih di daerah97
Wagner, A., Harvard University, personal communication, Jakarta, Indonesia, 23 May 2013.
169
daerah yang kurang terlayani lebih mungkin untuk dipertahankan bekerja di daerah tersebut
setelah selesai pendidikan.
Inisiatif dan reformasi Pendidikan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan akan menjadi bagian utama
penguatan pelayanan kesehatan dasar untuk jangka panjang. Sementara pemerintah mengharapkah
peningkatan reformasi pelayanan kesehatan primer yang relatif cepat. Pengalaman dari negara
lain seperti Thailand menunjukkan bahwa sebetulnya perubahan pola praktik hanya mungkin
dilakukan dalam jangka waktu cukup lama hingga bertahun-tahun. Gambar 2 (bawah) memberikan
data mengenai Thailand, meskipun jangka waktu yang sama telah terjadi di Amerika Serikat di
mana reformasi pelayanan kesehatan dasar yang dimulai pada tahun 1970-an masih berjuang
untuk mendapatkan sebagian besar pemanfaatannya di Amerika Serikat. Bagaimana Thailand
melakukannya? Dan dapatkah Indonesia bergerak lebih cepat? Jika tingkat kecepatan pergerakannya
sama, dampak nyata baru bisa terwujud pada tahun 2043.
Gambar 2:
Reformasi yang lamban dalam Pelayanan Kesehatan Dasar di Thailand selama 30 Tahun
Sumber: IHPP, MOH, Thailand, 2013
Monitoring dan Evaluasi
Ketidakpastian mengenai dampak awal terhadap kesehatan, keadilan, kualitas, akses, proteksi
keuangan, biaya dan evolusinya menunjukkan bahwa program tersebut, mengingat ukuran dan
ruang lingkupnya berskala nasional, dapat memberikan risiko besar bagi pemerintah dan bagi
entitas serta peserta yang berbagi biaya.
170
Berbagai proyeksi telah diajukan baru-baru ini, tapi perkiraan tidak akan dapat mengendalikan
dampak sebenarnya dari program yang akan berbeda tergantung pengalaman yang muncul. Hal
ini terjadi di setiap negara yang mengalami reformasi kesehatan. Beberapa dampak berlalu seperti
yang diharapkan, namun setiap negara menemukan satu atau lebih “kejutan” dan “konsekuensi
yang tidak diharapkan” begitu reformasi dilaksanakan. Sebagai contoh, di banyak negara, rawat
inap rumah sakit meningkat tajam. Beberapa peningkatan ini mencerminkan kebutuhan yang
belum terpenuhi, namun dalam kasus lain peningkatan rawat inap didorong oleh kepentingan
penyedia pelayanan kesehatan untuk memperlolah pemasukan. Di Cina, ada isu lain: penerapan
asuransi gagal meningkatkan proteksi keuangan. Hal ini benar-benar mengejutkan para pembuat
kebijakan, namun juga membuat marah keluarga dan individu. Hasilnya: untuk saat ini, “dividen
politik” dengan memberikan UHC belum benar-benar tercapai di Cina.
Selanjutnya, bagaimana hal itu akan berdampak pada komunitas penyedia layanan kesehatan,
seperti dokter, perawat, dan bidan? Apakah hal itu menciptakan tantangan karena kurangnya
sosialisasi? Apakah kartu baru untuk “layanan gratis” akan merepotkan para profesional kesehatan,
sebagaimana halnya terjadi di Jakarta dengan skema Kartu Jakarta Sehat?
Untuk memastikan manajemen dan tata kelola reformasi, Kementerian Kesehatan harus menjadi
ujung tombak informasi yang tepat waktu dan akurat. Para pembuat kebijakan memerlukan
informasi yang memadai untuk membuat keputusan yang optimal. Program UHC baru harus
mengupayakan keseimbangan antara memberikan perlindungan untuk kebutuhan dasar, serta
kejadian tak terduga dan sumber daya yang perlu dimobilisasi pada awalnya dan dalam jangka
panjang. Tantangan bagi cakupan universal juga meliputi kesiapan penyediaan sumber daya
kesehatan di sektor publik dan swasta yang dapat dimobilisasi melalui koordinasi yang tepat.
Pemerintah perlu mulai melakukan monitoring dan evaluasi baik yang bersifat “horisontal” yaitu,
lintas kementerian di tingkat pusat, maupun “vertikal” yaitu, dari pemerintah pusat sampai ke
desa. Koordinasi dalam hal ini mutlak diperlukan. Koordinasi vertikal adalah koordinasi dari tingkat
pemerintahan yang berbeda dari pusat ke provinsi dan ke kabupaten. Koordinasi horisontal akan
mencakup pengembangan prioritas lintas kementerian dan pemerintah termasuk Presiden yang
mengawasi BPJS. Bukankah logis bila Kementerian Kesehatan merupakan kementerian yang
berperan untuk membantu mengidentifikasi dan mengatur indikator kunci yang berhubungan
dengan kesehatan?
Selanjutnya, diantara tujuan jangka panjang di Kemenkes, pergeseran pengelolaan penyakit kronis
ke pengaturan perawatan dasar, yang akan memerlukan sistem baru untuk pemantauan, pengeluaran, pemanfaatan, dan kualitas resep di tingkat perawatan dasar, indikator “perawatan dasar
sensitif” seperti asma, maag, hipertensi, dan diabetes perlu dikembangkan dan dilacak oleh BPJS,
dan tim kualitasnya. Rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan dasar telah meningkat di sejumlah
negara seperti Kroasia di mana terdapat desain pembayaran serupa.
Di tingkat rumah sakit, ada 3 hal berbeda menyangkut kualitas dimana indikator perlu dikembangkan:
1.
Rawat inap (admission) yang tidak perlu. Di Cina, didapati 51% dari seluruh rawat inap sebetulnya tidak diperlukan. Di Rusia, pada tahun 1990, didapati 40% rawat inap yang tidak perlu.
Di Jakarta, dengan Kartu Jakarta Sehatnya Jokowi, para dokter ahli memperkirakan 40% dari
semua rawat inap saat ini, mungkin tidak diperlukan. Insentif dibawah CBGs akan mendorong
penyedia layanan untuk memasukan pasien yang “mudah” dan menguntungkan sebagai
pasien rawat inap daripada memperlakukannya sebagai pasien rawat jalan;
171
5. Skimming/tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan di rumah sakit. Pengelola dan pihak
rumah sakit saat ini akan mendapat insentif dengan tidak memberikan pelayanan yang
diperlakukan sebagaimana mestinya atau memulangkan pasien lebih cepat, sebagai cara
untuk meningkatkan keuntungan. Tim review pemanfaatan pelayanan kesehatan independen
yang dikontrak oleh BPJS akan diperlukan untuk memastikan bahwa standar dan pedoman
yang ditetapkan diikuti;
6. Rawat inap ulang. Pasien yang telah dipulangkan dari rumah sakit mungkin mendapati bahwa
mereka membutuhkan pelayanan lebih, dan kemudian akan dirawat ulang untuk pembayaran
CBG kedua. Ini memberikan dua kali lipat pendapatan bagi rumah sakit dengan mengorbankan
pengusaha, karyawan, dan Kementerian Keuangan. Peningkatan dramatis dalam volume rawat
inap dan rawat inap ulang di bawah CBG di negara-negara lain - seperti Amerika Serikat, Jerman,
Prancis, Hungaria dan Ghana - telah menimbulkan kebijakan baru, seperti adanya penalti
untuk rawat inap ulang, penurunan pembayaran di Amerika Serikat untuk rawat inap dalam
90 hari, dan batas anggaran maksimal untuk rumah sakit. Kementerian Keuangan Indonesia
menghadapi risiko fiskal yang nyata di sini, dan harus memantau volume rawat inap setiap
minggunya mulai 1 Januari 2014, sama seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan di AS. Hal
ini memerlukan sistem informasi manajemen (MIS) yang lumayan canggih dan tepat waktu.
Koordinasi dan Peraturan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan
Swasta
Mungkin diperlukan adanya model pelayanan kesehatan yang evolusioner di Indonesia yang
mencakup campuran penyedia layanan publik dan swasta saat ini yang akan memenuhi kebutuhan
penduduk pada tahun 2020, 2030, dan setelahnya. Indonesia saat ini tengah mengkaji dan
mendukung peningkatan infrastruktur sektor publik, yang sangat penting khususnya untuk daerahdaerah pedesaan dan daerah-daerah yang kurang terlayani. Kebijkan investasi permodalan akan
terus berlangsung untuk jangka menengah. Akan tetapi, Gambar 3 menunjukkan peningkatan dampak
sektor swasta yang sangat cepat dalam pemberian pelayanan dengan beberapa kecenderungan
yang jelas bahwa kelompok berpendapatan tinggi beralih ke pelayanan sektor swasta.
Gambar 3:
Perubahan Pola Penggunaan Pelayanan Kesehatan Publik dan Swasta Penggunaan
Access to care: outpatient utilization
Visits/month#
0,30#
public#
Access to care: inpatient utilization
Days/year#
0,50#
Private#
Public#
Private#
0,45#
0,25#
0,40#
0,35#
0,20#
0,30#
0,15#
0,25#
0,20#
0,10#
0,15#
0,10#
0,05#
0,05#
0,00#
0,00#
2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010#
All#
HLPD
Poorest#20%#
2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010#
Richest#20%#
3/19/2013
All#
6
HLPD
Sumber: Robert Sparrow, Australian National University
172
Poorest#20%#
Richest#20%#
3/19/2013
7
Rumah Sakit Siloam Lippo Karawici berencana untuk menginvestasikan $500 juta pada 205 untuk
membangun 20 rumah sakit baru yang dapat menampung pasien dari kelompok pendapatan
menengah dan tinggi, dan untuk menangkap peluang pasar pariwisata medis senilai $11,5 miliar
dari warga Indonesia yang berkunjung ke Singapura untuk berobat. Persoalannya adalah apakah
undang-undang saat ini akan memperbolehkan pendirian rumah sakit non pemerintah dan nirlaba
tidak kena pajak.
Seiring dengan Indonesia bergerak maju, Kementerian Kesehatan perlu mengkoordinasikan dan
mengelola campuran publik dan swasta. Artinya harus ada peraturan yang lebih kuat dan
penelusuran kinerja penyedia layanan publik dan swasta.
Penyedia layanan kesehatan publik (pemerintah) akan diberikan otonomi yang lebih besar untuk:
•
•
•
•
•
merespons struktur insentif baru;
mempertahankan sisa dana, tetapi bertanggung jawab atas kehilangan pendapatan;
memiliki fleksibilitas dalam mempekerjakan dan memberhentikan karyawan, memulai kontrak
untuk pegawai negeri (PNS);
membeli peralatan, mengubah organisasi dan jumlah tempat tidur; tetapi,
tetap melayani kelompok penduduk miskin dan rentan
Kementerian Kesehatan dapat memimpin perubahan menuju organisasi otonom ini, dan dapat
belajar dari ujicoba yang kini dilakukan di Cina, Vietnam, Thailand, Turki, Australia, and negaranegara Eropa Barat mengenai rumah sakit yang otonom dan berstatus perusahaan.
Dapatkah kita belajar dari Jerman dan negara-negara lainnya?
Akhirnya, Kementerian Kesehatan mungkin dapat mempertimbangkan untuk belajar dari negara
lain yang telah melalui transisi serupa dalam menggerakkan asuransi kesehatan menjadi bagianbagian yang terpisah dari pemerintah, dan Jerman adalah salah satu negara tersebut. Di Jerman,
Kementerian Kesehatan Federal bertanggung jawab atas berbagai bidang kebijakan. Kegiatannya
berfokus terutama pada penyusunan tagihan, tata cara dan peraturan administrasi. Secara tematis,
kegiatan yang diupayakan oleh Kementerian Federal Kesehatan dapat dikelompokkan ke dalam
kesehatan, pencegahan dan perawatan jangka panjang. Inti dari ‘kesehatan’ terletak pada
tugas untuk menjaga dan mengembangkan lebih lanjut efektivitas asuransi kesehatan wajib.
Kementerian Kesehatan Federal melakukan kampanye dan insiatif pencegahan, seperti ‘3.000
Langkah’ (kampanye melawan kurang olah raga), ‘Hidup memiliki Bobot’ (kampanye melawan
gangguan makan), langkah-langkah inisiatif mengenai kesehatan perempuan dan anak serta
rencana aksi untuk menerapkan strategi penanggulangan HIV/AIDS. Selain kebijakan pelayanan
kesehatan nasional, tugas yang diberikan kepada Kementerian Kesehatan Federal juga mencakup
kebijakan kesehatan Eropa dan Internasional.
Penyerahan kewenangan Kementerian Kesehatan Federal meliputi lembaga-lembaga berikut yang
berada dalam pengawasan teknis dan administratif Kementerian Kesehatan:
•
•
Robert Koch Institute bertanggung jawab terhadap pengendalian penyakit menular dan
pelaporan kesehatan
Paul Ehrlich Institute adalah Lembaga Federal untuk Vaksin dan Biomedicine yang bertugas
dengan otorisasi pemasaran kelompok-kelompok produk obat tertentu dan persetujuan uji
klinis (clinical trial)
173
•
•
•
German Federal Institute of Medical Documentation and Information bertanggung jawab atas
klasifikasi dan pengelolaan informasi medis.
Federal Center for Health Education menjabarkan prinsip-prinsip dan pedoman mengenai isi
dan metode praktik pendidikan kesehatan, melatih para profesional bidang pendidikan
kesehatan, dan mengkoordinasikan pendidikan kesehatan di Jerman.
Federal Institute for Drugs and Medical Devices adalah badan pengawasan medis.
Kementerian Kesehatan Jerman lebih lanjut mengelola dan mengkoordinasikan sektor pelayanan
kesehatan yang merupakan campuran sektor publik dan swasta, sebagaimana halnya di Indonesia
(Gambar 4 dibawah).
Gambar 4:
Sumber: European Observatory, Brussels, 2011.
Kasus di Jerman menunjukkan bahwa pemerintah Pusat memainkan peran penting dalam berbagai
kegiatan di luar Asuransi Kesehatan, tetapi akan terus mendukung dan membantu meningkatkan
asuransi kesehatan karena berhubungan dengan pemberian pelayanan, dengan pengendalian
penyakit yang semakin meningkat, produk medis, perilaku manusia, dan belajar dari masa lalu
untuk meningkatkan taraf kesehatan penduduk di masa depan.
174
NOTA
#21 KEBIJAKAN
Dokter, Insentif dan Penempatan
di Pedesaan
Tantangan98
Masalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata telah berlangsung selama bertahun-tahun
dan hal ini berakibat pada “ketidaksetaraan bruto (gross inequality) dalam taraf kesehatan penduduk
terutama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, serta di dalam suatu negara”
(International Conference on Primary Health Care, 1978). Akan tetapi, ada sejumlah skema yang
terbukti berhasil dalam mengatasi persoalan ini. Permasalahan menjadi bertambah dengan adanya
kenyataan bahwa penduduk desa seringkali tergolong kelompok sosial ekonomi rendah dan
berisiko tinggi akan kesehatan yang buruk.
Distribusi tenaga penyedia layanan kesehatan yang tidak merata juga terjadi di seluruh dunia.
Akan tetapi, penduduk di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seringkali
mengalami situasi yang lebih ekstrim dibanding penduduk di negara-negar maju. Di Amerika
Serikat misalnya, 80% penduduk ada di perkotaan dan 91% dokter praktik di daerah perkotaan.
Berbeda halnya dengan di Thailand, hanya 34% penduduk saja yang tinggal di perkotaan, namun
96% dokter bekerja di perkotaan (WHO, 2011). Hal ini membuat sebagian besar penduduk hanya
terlayani oleh sedikit sekali penyedia layanan kesehatan.
Karena sedikit sekali penyedia layanan kesehatan di daerah pedesaan, mereka yang bekerja di
daerah ini sering kali kelebihan beban pekerjaan dan fasilitas pelayanan kesehatan kekurangan
tenaga kesehatan untuk melayani daerah yang secara demografis dan geografis luas, sehingga
pilihan untuk bekerja di daerah yang kurang terlayani ini kurang diminati oleh dokter-dokter yang
baru lulus.
Untuk memecah kebuntuan ini dan memberikan akses pelayanan kesehatan yang adil bagi
penduduk di pedesaan, maka diperlukan strategi kebijakan untuk merekrut dan mempertahankan
tenaga kesehatan di pedesaan.
98
Bagian pertama ini dirangkum dari “Reducing Inequities in Doctor Distribution: Literature Review, Thai Case Study and
Policy Recommendations”, by M.L. Kiernan, Journal of Global Health, 2013
176
Thailand
Thailand telah menerapkan berbagai strategi untuk mengatasi masalah penyebaran tenaga dokter
yang tidak merata. Langkah regulasi terpenting dilakukan oleh pemerintah Thailand pada tahun
1968, yang mengharuskan semua siswa kedokteran universitas milik pemerintah — yang
mendapatkan subsidi dalam jumlah besar dan meliputi 11 dari 12 fakultas kedokteran yang ada di
Thailand — untuk melayani masyarakat pedesaan selama tiga tahun setelah mereka lulus. Walaupun
para dokter baru ini masih boleh membuka praktik sendiri, tetapi mereka tidak dianjurkan untuk
melakukannya. Bagaimana caranya? Hal ini dilakukan dengan memberikan tunjangan sejumlah
USD 250 per bulannya agar mereka dapat tetap fokus memberikan pelayanan kepada penduduk
di daerah pedesaan yang kurang terlayani.
Pemerintah juga menginvestasikan dana dalam pembangunan infrastruktur kesehatan pedesaan.
Ketiga, Kementerian Kesehatan pada tahun 1994 merespons “internal brain drain”— yaitu eksodus
para dokter ke kota-kota di negara tersebut — dengan meluncurkan sebuah proyek 10 tahun yang
disebut Collaborative Project atau proyek kerjasama dengan tujuan untuk meningkatkan Produksi
Dokter Pedesaan (CPIRD). Dengan merekrut 2.982 siswa antara tahun 1995 dan 2006, program ini
telah mencapai 99,4% dari target penerimaan (admission) nya (Lertsukpresert, 2008). Program ini
telah meluluskan 1.096 mahasiswa selama tahun akademik 2000-2006, dan hanya 44 siswa atau
1,4% yang tidak melanjutkan (drop out).
Apa yang dilakukan? Mereka merekrut siswa di tingkat provinsi dan terus melatih mereka di rumah
sakit daerah dan kabupaten. Program CPIRD telah meningkatkan proporsi mahasiswa kedokteran
pedesaan dari 23% pada tahun 1994 menjadi 31,5% pada tahun 2001 (Lertsukpresert, 2008).
Program ini juga berhasil dalam hal retensi. Dari 815 lulusan 2000-2005, 613 (75%) bekerja di
rumah sakit masyarakat pedesaan, dan 152 (19%) telah bekerja di sana selama lebih dari masa
wajib kerja tiga tahun. Hanya 50 (6%) lulusan yang tidak memenuhi kontrak untuk bekerja di
daerah pedesaan, yang secara substansial kurang dari rata-rata nasional 50%.
Selain strategi regulasi dan pendidikan, terdapat juga:
•
•
•
strategi penggantian profesional (pengalihan tugas, pelatihan staf paramedis);
strategi keuangan (beasiswa sukarela, denda karena melanggar pelayanan publik wajib,
insentif keuangan langsung);
strategi sosial (penghargaan, kepuasan, jaringan dukungan Masyarakat Kedokteran Pedesaan)
semuanya telah digunakan untuk meningkatkan jumlah dokter praktik di pedesaan Thailand.
Program beasiswa TMWA menggabungkan strategi-strategi ini, dengan memberikan pendidikan, sistem bantuan keuangan dan sosial bagi dokter-dokter pedesaan yang berminat.
Program Beasiswa Pedesaan TMWA memberi dana penuh bagi kaum perempuan untuk mengikuti
sekolah kedokteran dan sebagai gantinya, mereka harus berkomitmen untuk kembali ke desa
mereka untuk melakukan praktik kedokteran. Para penerima beasiswa dipilih dari program CPIRD
oleh TMWA melalui konsultasi dengan Departemen Kesehatan Pedesaan, Kementerian Kesehatan
dan Kesejahteraan. Lamanya program kurang dari 10 tahun, dan program ini telah menghasilkan
15 penerima beasiswa sejauh ini, rata-rata sekitar tiga orang per tahun. Program dikembangkan
untuk tujuan khusus sebagai bagian dari respons terhadap kehancuran daerah pedesaan pasca
tsunami tahun 2004. Sementara beberapa penerima beasiswa sudah lulus dan kembali bekerja di
desa mereka, sebagian besar penerima masih mengikuti pelatihan medis.
177
Bukti Global
Bukti-bukti global menunjukkan tiga (3) jenis strategi utama yang digunakan untuk mengatasi
penyebaran dokter yang tidak merata di pedesaan dan perkotaan:
1) Perekrutan didasarkan atas karakteristik siswa — terutama mereka yang berlatar belakang
pedesaan;
2) Insentif keuangan— termasuk beasiswa, pengembalian pinjaman dan tunjangan; dan;
3) Strategi pendidikan— termasuk pemanfaatan sekolah pedesaan, meningkatkan rotasi pedesaan
dan membutuhkan modul kesehatan pedesaan
Karakteristik Siswa
Dari berbagai penelitan yang dilakukan untuk menilai apakah memiliki latar belakang dari daerah
pedesaan dapat meningkatkan kemungkinan para dokter untuk benar-benar praktik di pedesaan,
hampir semua studi menemukan korelasi positif atau efek prediktif (tujuh dari delapan studi yg
dilakukan). Termasuk dalam kelompok ini adalah tinjauan sistematis yang dilakukan secara teliti
yang mengkaji literatur dari Amerika Serikat, Australia dan Kanada, dan menemukan peningkatan
dua kali lipat dalam hal kemungkinan praktik di pedesaan diantara mereka yang berlatar belakang
pedesaan dalam ketiga strategi diatas.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa beberapa studi mendefinisikan memiliki latar belakang
pedesaan sebagai mengenyam pendidikan di pedesaan sejak kecil, dan studi lain juga mencantumkan
hal tersebut dengan pernah terpapar daerah pedesaan di masa lalu (selama pelatihan medis atau
sebaliknya). Kedua definisi memiliki latar belakang pedesaan tersebut dianggap meningkatkan
kemungkinan praktik pedesaan dalam berbagai studi, satu studi yang mengkaji perbedaan dalam
definisi tersebut menemukan bahwa hanya mengenyam pendidikan pedesaan sejak kecil yang
memiliki efek prediksi terhadap praktik pedesaan (Owen, Conaway, Bailey & Hayden, 2007).
Dari penelitian lainnya mengenai karakteristik, dua penelitan yang mengkaji kepuasan dokter
menunjukkan bahwa tingkat kepuasan diantara dokter pedesaan dapat memprediksikan lamanya
usia praktik di pedesaan. Penelitian pertama dari Malawi, menggunakan survei kuantitatif serta
wawancara kualitatif, menunjukkan bahwa hal-hal yang menjadi ketidakpuasan para dokter yang
disurvei meliputi “apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan
berkelanjutan dan peluang untuk peningkatan karir serta pengawasan yang tidak memadai”.
Penelitian ini menunjukan bahwa isu-isu tersebut menyebabkan demotivasi bagi para dokter di
pedesaan sehingga mereka berpikiran untuk meninggalkan praktik di pedesaan. Penelitian kedua,
yang dilakukan di Amerika Serikat dan juga menggunakan data survei menyimpulkan, “Retensi
secara independen terkait hanya dengan kepuasan para dokter berada di komunitas mereka dan
kesempatan mereka untuk meraih tujuan profesional.”
Dua penelitian, satu dari Amerika Serikat dan satunya lagi dari India, menguji “temperamen dan
sifat-sifat” dokter-dokter pedesaan, dengan mencoba untuk menerangkan sifat-sifat umum dokterdokter pedesaan dibandingkan dengan dokter-dokter perkotaan; sifat-sifat ini termasuk “mencari
hal-hal baru” dan “kesedian untuk mengubah atau mencoba sesuatu yang baru” serta “sikap,
bakat, keinginan dan dedikasi untuk beradaptasi dengan suasana atau keadaan yang tidak
secanggih di perkotaan.”
178
Insentif Keuangan
Hal umum lainnya dalam pengalaman global adalah penggunaan insentif keuangan untuk
meningkatkan jumlah dokter di pedesaan. Insentif dianggap mampu menempatkan sejumlah
besar dokter di daerah pedesaan.
Jenis insentif yang telah digunakan termasuk beasiswa, pengembalian pinjaman dan insentif
keuangan langsung atau tunjangan. Berbagai insentif ini berbeda tingkat keberhasilannya. Salah
satu isu utama yang muncul dalam membuat perbandingan antara program adalah bahwa setiap
studi atau pengaturan menggunakan nilai moneter yang berbeda, yang memiliki implikasi berbeda
pula tergantung tingkat pendapatannya.
Program insentif keuangan telah menempatkan sejumlah besar tenaga kesehatan di daerah-daerah
yang kurang terlayani dan peserta program memiliki kemungkinan lebih besar dibanding peserta
non program untuk bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani pada akhirnya”. Akan tetapi,
sebagian besar penelitian dilakukan dalam setting ekonomi pendapatan tinggi (semua kecuali
satu), dan mungkin terbatas untuk diterapkan dalam konteks ekonomi seperti di Indonesia, kecuali
ada kemampuan nyata untuk menawarkan atau mendukung skema tersebut.
Ada juga perbedaan besar dalam hal nilai insentif keuangan, yang juga dapat menyebabkan
perbedaan dalam hasilnya. Banyak negara-negara berpendapatan menengah menawarkan
pembayaran bonus sebesar 5-10-20% untuk pekerjaan di pedesaan. Bonus ini terkadang terlalu
kecil untuk dapat mempertahankan para dokter bekerja di pedesaan. Jumlah bonus perlu
ditingkatkan, mungkin mendekati tingkat upah di daerah perkotaan. Yang penting, tingkat upah
kurang lebih mencakup pembayaran resmi (formal) plus tidak resmi (informal)– “pendapatan riil”
seorang dokter di perkotaan. Di Jepang, pendapatan dokter di pedesaan lebih besar atau sama
dengan ahli bedah di Tokyo. Ini merupakan contoh terbaik di dunia mengenai pembayaran yang
adil untuk penempatan di pedesaan.
Indonesia dapat mengembangkan ujicoba atau melakukan kelompok fokus atau percobaan pilihan
secara terpisah untuk mengkaji berapa besar sebaiknya bonus yang diberikan untuk menarik para
dokter bekerja di daerah pedesaan. Berikut ini adalah studi kasus pembayaran bonus dari berbagai
negara.
Apa model pembayaran untuk pelayanan? Kapitasi atau pembayaran tunai (fee for service)?
Filipina, Cina dan Amerika Serikat telah menggunakan model pembayaran fee for service (FFS) dan
berhasil meningkatkan akses dan pemanfaatan. Akan tetapi, model FFS ini dapat meningkatkan
pengeluaran lebih dari yang diperkirakan.
Model FFS mungkin tidak dapat berjalan dengan baik di daerah-daerah yang sangat terpencil
dengan jumlah pasien yang sedikit …. di Kazakhstan, misalnya para dokter kehilangan banyak
pendapatan karena terlalu sedikit pasien. Dalam kasus Kazakhstan, mereka kembali ke model
kapitasi dan bonus.
179
Strategi Pendidikan
Jenis strategi terakhir adalah penggunaan inisiatif berbasis pendidikan termasuk meningkatkan
aplikasi dan penerimaan mahasiswa pedesaan ke fakultas-fakultas kedokteran, mendirikan lebih
banyak sekolah-sekolah di pedesaan, peningkatan magang/ rotasi di pedesaan, memperkenalkan
modul kesehatan pedesaan yang diperlukan dan memberikan lebih banyak pelatihan dan
pendidikan berkelanjutan bagi mereka yang bekerja di pedesaan.
Fakultas-fakultas kedokteran yang dirancang khusus untuk para dokter pedesaan dan
terletak di daerah pedesaan melaporkan bahwa prosentase lulusannya yang bekerja di
pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan dari fakultas-fakultas non-pedesaan,
namun hanya satu evaluasi yang melaporkan meningkatnya retensi jangka panjang.
Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) dan Remunerasi serta
Distribusi Tenaga Kesehatan
Baru-baru ini, Bank Dunia (2013) menyelesaikan 11 studi kasus negara-negara yang tengah
menuju ke UHC dan menelaah secara khusus kebijakan sumber daya manusia sebagai
bagian dari negara upaya untuk mencapai UHC. Negara-negara yang diteliti adalah dari
berbagai tingkat pendapatan yang meliputi Jepang, Indonesia, Vietnam, Thailand, Turki,
Perancis, Ghana, Ethiopia, Peru, Brasil, dan Bangladesh.
Kesebelas negara tersebut tengah berupaya keras untuk mengatasi distribusi tenaga
kesehatan yang tidak merata. Negara-negara yang relatif berhasil mengurangi kesenjangan
desa-kota melakukannya melalui berbagai strategi yang menjawab aspirasi karir tenaga
kesehatan melalui insentif keuangan dan non-keuangan serta perbaikan kondisi kerja dan
pengawasan yang mendukung dalam hal fasilitas. Strategi-strategi ini meliputi:
•
•
•
•
merekrut siswa dari daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan;
mendorong partisipasi mereka melalui beasiswa;
menetapkan kuota di sekolah-sekolah;
memastikan bahwa kurikulum pembelajaran mencakup komponen-keomponen pelayanan
pedesaan; dan
•
menawarkan bantuan keuangan dan non keuangan untuk pengembangan karir.
Wajib kerja melalui adanya suatu ikatan merupakan kebijakan umum lainnya untuk penempatan lulusan di daerah-daerah yang kurang terlayani.
Pendekatan strategis penting lainnya adalah dengan investasi pada tenaga kerja di pelayanan kesehatan dasar. Hal ini dikarenakan investasi di rumah sakit cenderung mengalihkan
distribusi tenaga kesehatan ke perkotaan dan alasan lainnya adalah investasi untuk tenaga
kerja di pelayanan kesehatan dasar mempunyai manfaat tambahan untuk hasi-hasil
kesehatan. Brazil melakukan investasi besar pada Strategi Kesehatan Keluarga (ESF) dan
Program Agen Kesehatan Keluarga (PACS), yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian cakupan kesehatan universal selama dekade terakhir. Begitu juga, Turki, telah ber-
180
hasil mengurangi kesenjangan geografis, terutama melalui Program Dokter Keluarga
(Family Medicine Program), yang menekankan pelayanan kesehatan dasar (lihat kotak 1).
Pada tahun 1979, di Thailand, perbedaan kepadatan dokter antara Bangkok dan daerah
pedesaan di timur laut mencapai 21 kali lipat. Dari tahun 1975, dan sebagaimana disebutkan
di atas, insentif keuangan dalam bentuk tunjangan kesulitan bulanan diperkenalkan untuk
merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan di pedesaan dengan fokus pada
pelayanan kesehatan dasar, dan sejak tahun 1997, tunjangan ini telah disesuaikan dengan
mempertimbangkan inflasi dan perbedaan tingkat kesulitan. Pada tahun 2009 perbedaan
kepadatan dokter telah diturunkan menjadi 5 kali lipat, dan perbedaan dalam kepadatan
perawat diturunkan dari 18 kali lipat menjadi 3 kali lipat.
Kotak 1: Strategi Turki dalam Mengurangi Kesenjangan Tenaga Kesehatan di daerah
Program Dokter Keluarga secara eksplisit mendorong para dokter dan tenaga kesehatan
untuk memberikan pelayanan kepada penduduk di pedesaan. Ketika dokter praktik keluarga
telah mendaftarkan pasien di daerah-daerah pedesaan, bidan-bidan di rumah kesehatan
pun ditugaskan untuk melayani mereka. Selain itu, disediakan juga pelayanan kesehatan
keliling untuk menjangkau penduduk ke pelosok-pelosok pedesaan. Pembayaran bulanan
dokter keluarga disesuaikan dengan tingkat sosial ekonomi daerah tempat mereka praktik.
Para dokter keluarga yang bekerja di daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan
memperoleh “kredit layanan” sesuai biaya hidup (sliding scale), dan juga terhubung dengan
indeks pembangunan sosial ekonomi di kabupaten. Di daerah-daerah yang paling tidak
menguntungkan, kredit layanan bisa sebesar 40% dari pembayaran dasar maksimum. Sejak
diterapkannya Program Dokter Keluarga, kesenjangan penyebaran tenaga kesehatan di
negara tersebut telah berkurang.
Penegakkan pelayanan wajib bagi semua lulusan fakultas kedokteran pemerintah maupun
swasta adalah faktor lain yang juga berkontribusi terhadap perbaikan penyebaran geografis.
Selanjutnya, peraturan mengenai pengangkatan dan transfer memastikan penyebaran
tenaga kesehatan yang lebih seimbang di semua fasilitas pelayanan kesehatan Kementerian
Kesehatan. Dengan peraturan ini, dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi dan apoteker
diangkat melalui semacam lotere atau pengundian berbasis komputer, dan personel lainnya
diangkat melalui ujian nasional yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketenuan umum.
Sumber: Turkey Country Summary Report 2013, World Bank.
Remunerasi untuk tenaga kesehatan di fasilitas publik perlu ditetapkan cukup tinggi guna
menarik mahasiswa yang kompeten untuk menjadi tenaga kesehatan, dan mempertahankan
mereka di sektor prioritas (yaitu, sektor publik dan pedesaan/ daerah terpencil), serta
untuk menghindari kelebihan pembayaran. Remunerasi tenaga kesehatan merupakan
salah satu faktor kunci yang mempengaruhi perekrutan (daya tarik profesi) dan kepuasan
kerja. Di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah, remunerasi bagi tenaga
kesehatan sektor publik rendah, sehingga menyebabkan banyak masalah dalam akses dan
kualitas pelayanan. Termasuk diantaranya praktik ganda (tenaga kesehatan yang bekerja
di fasilitas kesehatan pemerintah juga bekerja di klinik swasta untuk mempertahankan
181
standar hidup layak), pindahnya tenaga kesehatan ke penyedia layanan kesehatan swasta
dan luar negeri, dan beralihnya lulusan yang kompeten ke pekerjaan non-kesehatan.
Globalisasi pasar tenaga kerja kesehatan telah meningkatkan mobilitas tenaga kesehatan
lintas batas nasional, yang menuntut negara-negara mempertimbangkan pasar tenaga
kerja kesehatan global yang lebih luas ketika merumuskan kebijakan tenaga kesehatan
mereka. Emigrasi tenaga kesehatan di luar negeri cukup besar di beberapa negara. Ketika
Thailand harus bersaing dengan sektor swasta yang berkembang pesat dan daya tarik yang
kuat dari luar negeri, pemerintah menaikkan remunerasi bagi tenaga kesehatan sektor
publik (Kotak 2).
Kotak 2: Meningkatkan Tarif Remunerasi Tenaga Kesehatan Sektor Publik
di Thailand
Thailand telah membuat kemajuan yang baik dalam memperluas tenaga kesehatan untuk
memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Selain meningkatkan produksi dokter dan
perawat, pemerintah juga meningkatkan gaji pokok dan memberlakukan insentif untuk
menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan dalam upaya melawan daya tarik yang
kuat dari berbagai alternatif pekerjaan sektor swasta dan luar negeri yang kian bekembang.
Insentif praktik non swasta diperkenalkan pada tahun 1995. Tunjangan layanan jangka panjang
diperkenalkan pada tahun 2005 bagi mereka yang telah bekerja lebih dari tiga tahun dan
bagi mereka yang tinggal di empat provinsi di kawasan selatan yang didera kerusuhan.
Source: Thailand Country Summary Report 2013, World Bank
Meningkatkan Kinerja Tenaga Kesehatan untuk Produktivitas dan Kualitas
Penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami tingkat dan faktor penentu kinerja tenaga
kesehatan dalam rangka mengatasi kekurangan dan membangun kekuatannya. Sementara buktibukti global yang komprehensif masih kurang, bukti-bukti parsial menunjukkan bahwa kinerja
tenaga kesehatan di sebagian besar negara terlepas dari pendapatan nasional, masih jauh dari
optimal. Penilaian sejauh mana tenaga kesehatan menunjukan kinerja yang baik di tempat kerja
akan memberikan umpan balik yang penting untuk memandu reformasi pendidikan serta menginformasikan perubahan sistem insentif, manajemen SDM, dan isu-isu pasar tenaga kerja yang lebih
luas.
Remunerasi tenaga kesehatan yang memadai yang memperhitungkan kondisi pasar tenaga kerja,
dan sistem yang menghubungkan kinerja tenaga kesehatan dengan pembayaran disertai lingkungan
kerja yang mendukung sangatlah penting untuk meningkatkan kinerja. Menghubungkan pembayaran atau bentuk insentif lainnya dengan kinerja tenaga kesehatan menjadi semakin penting
di negara-negara pada semua tahapan UHC, tetapi bukti sejauh ini dicampur pada efektivitas
strategi ini.
Insentif non-keuangan tampaknya sampa penting dengan insentif keuangan, yang seringkali
berkaitan dengan aspirasi pengembangan karir tenaga kesehatan dan lingkungan kerja. Contoh
182
insentif non-keuangan terkait kepuasan kerja, dan secara tidak langsung berhubungan juga
dengan kualitas pelayanan, adalah:
•
•
•
•
mentoring atau pembinaan individual;
penilaian kinerja secara berkala dengan umpan balik yang spesifik dan rencana
pengembangan;
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan (termasuk waktu luang yang diperlukan); struktur
karir yang menawarkan potensi promosi ke posisi dengan tanggung jawab dan imbalan
tambahan; dan,
penghargaan verbal dan non-keuangan lainnya atas kinerja yang baik.
Negara-negara berpendapatan Tinggi99
Negara-negara di kawasan ini juga memanfaatkan strategi campuran, termasuk pemberian
bonus dan hibah. Berikut adalah gambaran singkat di Australia dan Selandia Baru.
Australia
Australia menyediakan Hibah Insentif Relokasi Pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan
jumlah dokter di daerah pedesaan dan daerah terpencil di Australia melalui pemberian hibah
relokasi. Hibah insentif dihitung berdasarkan tempat asal dan tujuan relokasi para dokter
Kedua, Australia memberikan pembayaran insentif yang dihitung berdasarkan:
•
•
•
lokasi (tingkat keterpencilan lokasi praktik);
waktu praktik (lamanya waktu pelayanan medis yang diberikan di pedesaan dan lokasi-lokasi
terpencil);
beban kerja klinis (jumlah layanan)
Para dokter umum berhak atas pembayaran insentif jika mereka memenuhi periode yang
disyaratkan untuk pelayanan dan kemajuan secara kontinyu dengan menyelesaikan
seperempat aktif dalam kategori pedesaan dan daerah terpencil yang memenuhi syarat,
dengan periode kualifikasi tergantung lokasinya.
Program Insentif Praktik (PIP) dimulai pada bulan Juli 1998 untuk menanggapi rekomendasi
dari Kelompok Review Strategi Dokter Umum yang ditunjuk oleh Menteri Pelayanan
Kesehatan dan Keluarga saat itu. Kelompok tersebut merekomendasikan suatu program
yang menuju kearah model “pembayaran campuran” kapitasi, pembayaran berbasis
kinerja, dan pembayaran tunai, yang bertujuan menciptakan insentif praktik guna
memberikan kunjungan lebih lama dan mencegah banyaknya konsultasi singkat.
Tujuan utama dari PIP ini adalah untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan dalam
praktik umum melalui insentif keuangan untuk mendukung pelayanan yang berkualitas,
dan meningkatkan akses serta hasil kesehatan bagi pasien. Praktik-praktik harus
99
Australia and New Zealand case studies based on case studies for the OECD in 2013 written by Cheryl Cashin, soon to
be published by the OECD, Paris.
183
terakreditasi atau didaftarkan untuk memperoleh akreditasi agar dapat berpartisipasi
dalam PIP. Praktik-praktik PIP berhak atas sejumlah pembayaran insentif, dengan
memberikan model pembayaran yang lebih fleksibel yang dapat mempengaruhi perubahan
jangka pendek maupun jangka panjang dalam penyediaan layanan. Program ini di bawah
payung inisiatif insentif yang lebih luas yang juga terdiri dari Program Insentif Pedesaan,
Program Insentif Perawat Kesehatan Mental, dan Skema GPII.
Program ini dirancang di sekitar 13 bidang insentif yang dilaksanakan di tiga arus utama
- kualitas pelayanan, kapasitas, dukungan pedesaan. Tidak semua insentif terkait erat
dengan kinerja, dan beberapa dari insentif tersebut dapat dianggap sebagai bantuan tunai
bersyarat untuk praktik atas pelaksanaan layanan tertentu.
Insentif Kualitas (quality stream incentives) membayar cakupan layanan yang sesuai dengan
pedoman berbasis bukti, yang diberlakukan oleh program sebagai proksi untuk hasil.
Sementara itu Insentif Kapasitas (capacity stream incentives) memberikan sumber daya
tambahan untuk praktik Dokter Umum dan berinvestasi di bidang infrastruktur, seperti
komputerisasi, atau untuk memperluas layanan, seperti menyediakan layanan setelah jam
praktik atau memberikan pelayanan di panti jompo.
Insentif Dukungan Pedesaan menyediakan sumber daya tambahan (pembayaran tambahan)
untuk praktik dokter umum di pedesaan dan daerah terpencil, dan memberikan kompensasi
kepada para dokter atas pemberian pelayanan di daerah-daerah ini yang mana penduduknya
sulit untuk mendapatkan akses ke pelayanan-pelayanan seperti beberapa prosedur bedah
dan kebidanan yang lebih khusus. PIP ini memiliki efek positif pada akses dan penyediaan
layanan di daerah pedesaan, dengan memberikan kontribusi bagi pengurangan kesenjangan
desa-kota.
Untuk beberapa praktik pedesaan, PIP merupakan sumber pendapatan penting, dan
pembayaran beban pedesaan merupakan komponen penting keberlangsungan keuangan
praktik pedesaan. Pembayaran tambahan untuk praktik tampaknya telah memberikan
kontribusi peningkatan kualitas pelayanan, terutama untuk kondisi kronis.
Selandia Baru
Sepanjang evolusinya, pelayanan kesehatan dasar di Selandia Baru secara tradisional
didanai sebagian dari pembayaran fee-for-service dari pemerintah untuk konsultasi dan
obat-obatan, disertai dengan pembayaran bersama (co-payment) dari pasien yang cukup
besar. Walaupun beberapa subsidi pemerintah menargetkan kebutuhan penduduk yang
lebih luas, kesenjangan dalam hal akses masih tetap ada, dimana kelompok-kelompok
berpendapatan rendah dan penduduk etnis Maori seringkali memiliki kebutuhan kesehatan
yang lebih tinggi tetapi pemanfaat pelayanan kesehatan mereka lebih rendah dibandingkan
penduduk lainnya.
Strategi Kesehatan baru diperkenalkan pada tahun 2000 dengan 13 prioritas kesehatan
penduduk dan termasuk tiga prioritas untuk mengurangi kesenjangan kesehatan tertentu.
184
Di bawah payung Strategi Kesehatan Selandia Baru, strategi pelayanan kesehatan dasar
secara terpisah memperkenalkan pendekatan berbasis populasi untuk mengatasi
kesenjangan yang semakin meningkat, dengan mengurangi kesenjangan kesehatan secara
etnis yang mana menjadi tujuan keseluruhan dari strategi tersebut. Struktur organisasi
baru untuk penyediaan layanan kesehatan dasar, organisasi kesehatan primer, didirikan
untuk fokus pada bidang kesehatan prioritas yang tercantum dalam Strategi Kesehatan
Selandia Baru dan untuk mengatasi masalah akses terhadap pelayanan dan kurangnya
koordinasi antara penyedia layanan.
Program pembayaran berbasis kinerja (pay-for-performance) diperkenalkan pada tahun
2006 dengan 10 indikator. Manajemen Kinerja Organisasi Kesehatan Dasar bertujuan
untuk mempertajam fokus pada prioritas kesehatan penduduk dan kesenjangan dengan
mendukung tata kelola klinis dan pemberian penghargaan atas peningkatan kualitas di
organisasi-organisasi kesehatan dasar/ primary health organization (PHO).
Beberapa indikator diukur secara terpisah untuk “populasi dengan kebutuhan tinggi,” dan
dihargai lebih tinggi. Populasi kebutuhan tinggi PHO ditentukan oleh jumlah pasien
individu terdaftar yang merupakan etnis Maori (penduduk asli Selandia Baru), penduduk
di Kepulauan Pasifik atau yang tinggal di wilayah geografis dengan kekurangan sosial
ekonomi yang relatif tinggi. Untuk memperkuat insentif guna mengurangi kesenjangan
kesehatan, pembayaran berbasis kinerja diberikan bobot lebih besar ketika mengukur
kemajuan dan hasil antara populasi berkebutuhan tinggi.
Pembayaran dengan tarif flat untuk sebagian besar indikator dibuat untuk PHO untuk
setiap periode kinerja enam bulan berdasarkan pencapaian persentase masing-masing
sasaran. Jumlah pembayaran kinerja didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
•
•
•
populasi yang terdaftar di PHO untuk periode kinerja;
kemajuan atas target untuk setiap indikator kinerja;
jumlah pembayaran yang ditetapkan dalam perjanjian PHO per periode kinerja per orang yang
terdaftar
Kesepuluh indikator kinerja telah menunjukkan peningkatan sejak program ini diperkenalkan pada tahun 2006, namun peningkatannya sedikit. Misalnya, rata-rata tingkat skrining
kanker payudara meningkat dari 55 menjadi 66 persen untuk target populasi antara tahun
2006 dan 2009, dan cakupan skrinning serviks meningkat dari 63 menjadi 73 persen.
Tingkat deteksi diabetes dan tindak lanjutnya meningkat dari 46 menjadi 55 persen untuk
total populasi. Inisiatif lain juga diperkenalkan selama kurun waktu itu, yang mungkin juga
berkontribusi terhadap perbaikan tersebut, termasuk “Paket Peningkatan Perawatan”
Kementerian Kesehatan untuk memperkuat perawatan diabetes berbasis masyarakat. Tingkat vaksinasi flu tetap hampir sama selama periode tersebut, sementara kemajuan terbesar
dicapai imunisasi, yang mengalami peningkatan dari angka dibawah 60% menjadi 87%.
Beberapa kemajuan ditunjukkan dalam upaya mengurangi kesenjangan kesehatan, karena
sejumlah indikator telah meningkat relatif lebih tinggi untuk populasi berkebutuhan tinggi
dibandingkan untuk populasi secara keseluruhan. Namun, tingkat pembayaran bonus
kecil, dan kurang dari 1% keseluruhan anggaran pelayanan kesehatan dasar. Di Inggris,
misalnya tarif ini ditetapkan sebanyak 25% dari pendapatan pelayanan kesehatan dasar.
185
Metode Campuran dan Kesimpulan Review untuk Indonesia
Banyak negara telah mengembangkan strategi pendekatan masalah dari berbagai sudut dan
mungkin menawarkan peluang keberhasilan yang terbaik. Ini termasuk negara-negara yang tengah
menuju ke Cakupan Kesehatan Semesta (UHC). Tidak semua pelajaran dapat diterapkan. Sebagai
contoh, dalam membandingkan Thailand dan Indonesia kita harus ingat heterogenitas di Indonesia
yang begitu tinggi dan perbedaan dalam karakteristik pemerintahan.
Namun demikian, Indonesia mungkin ingin melakukan tiga jenis intervensi semuanya, dengan
tingkat pembayaran yang mungkin lebih tinggi dan insentif pembayaran yang datang pertama mungkin pada awal tahun ini - dan strategi lainnya selama 3-5 tahun ke depan. Banyak kebijakan
penempatan dokter di Indonesia di masa lalu merupakan keputusan politik, dan kebijakan di masa
depan lebih baik mengikuti bukti-bukti internasional;
Tim WHO di Indonesia beru-baru ini juga telah mengembangkan beberapa strategi untuk
pemerintah khusus dalam konteks di Indonesia. Strategi tersebut termasuk:
•
•
Jangan menempatkan dokter di daerah-daerah terpencil, lebih baik tingkatkan kunjungan rutin
dokter-dokter dari kabupaten sekitar sebagai solusi jangka pendek yang lebih layak;
Tim-tim pelayanan kesehatan dasar – termasuk dokter, bidan, perawat, dan pekerja lapangan
mungkin lebih cocok daripada sekedat dokter.
Yang terakhir, dibawah ini ada tabel ringkasan dari laporan World Bank baru-baru ini
Table 1:
Ketidakseimbangan Penyebaran Tenaga Kesehatan, serta Kebijakan dan Intervensi
186
Negara
Ketidakseimbangan penyebaran
Kebijakan dan intervensi
Bangladesh
Profesional kesehatan, paraprofesional,
dan ahli teknologi medis sangat
terkonsentrasi di perkotaan, sementara di
pedesaan dan daerah terpencil sangatlah
kurang. Tingkat kekosongan posisi
tersebut pada fasilitas kesehatan publik
di pedesaan tinggi, tetapi lebih rendah di
antara pekerja lapangan kesehatan
Lebih banyak puskesmas di pedesaan dan
lebih banyak rumah sakit di perkotaan.
Hal ini menyebabkan lebih banyak
tuntutan untuk tenaga dokter dan perawat
di perkotaan, sedangkan di pedesaan
tuntutan lebih banyak pada petugas
kesehatan masyarakat dan paramedis.
Hampir semua lembaga pelatihan ada di
perkotaan. Kebanyakan peserta berasal dari
pedesaan karena kelas-kelas sains yang
dibutuhkan tidak tersedia di sekolahsekolah pedesaan.
Secara keseluruhan distribusi tenaga
kesehatan merupakan tanggung
jawab Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan Keluarga, namun
penempatan dan pengangkatan
diatur oleh beberapa unit pada
tingkat pemerintahan yang berbeda.
Pengalokasian seringkali tunduk pada
pengaruh politik, dan tidak selalu
mengikuti arahan kebijakan
Banyak intervensi menunjukkan beberapa
dampak dalam mengatasi kekurangan
tenaga kesehatan di daerah pedesaan,
termasuk pelatihan yang diadakan LSMLSM untuk petugas kesehatan masyarakat
serta peningkatan jumlah bidan terlatih.
Peningkatan intervensi akan membantu
mengatasi tantangan ini, dan harus
dilakukan secara terkoordinasi diantara
entitas yang terlibat dalam desain
kebijakan dan proses implementasi.
Negara
Ketidakseimbangan penyebaran
Kebijakan dan intervensi
Ethiopia
Terdapat perbedaan yang cukup besar
dalam hal kepadatan tenaga kesehatan
di daerah-daerah. Rasio kepadatannya
adalah 1.000 penduduk per 0,01–0,33
dokter, 0,003–0,06 petugas kesehatan,
0,07–1,18 perawat, 0,01–0,08 bidan, dan
0,23–0,70 Penyuluh kesehatan.
Penyuluh kesehatan dan petugas
kesehatan direkrut dari masyarakat
pedesaan, dan dilatih dalam konteks
pedesaan. Hal ini membantu dalam
hal penempatan dan mempertahankan
mereka. Tidak ada insentif keuangan
khusus untuk menarik petugas kesehatan
ke daerah pedesaan.
Ghana
Akses ke petugas kesehatan secara
umum telah meningkat dalam
beberapa tahun belakangan ini. Akan
tetapi, penyebarannya lebih banyak di
perkotaan, lebih banyak rumah sakit
dibandingkan klinik. Kepadatan paling
tinggi petugas kesehatan adalah di
Greater Accra dan kawasan Ashanti dan
Volta regions, dan yang terendah ada di
Utara.
Latihan prajabatan untuk dokter
masih terkonsentrasi di sejumlah
kecil perkotaan, tetapi untuk lembaga
pelatihan perawat dan bidan,
penyebarannya lebih luas.
Langkah-langkah pemerintah untuk
mengurangi kesenjangan dalam distribusi
tenaga kesehatan termasuk investasi
dalam mendirikan lembaga-lembaga
pelatihan bagi dokter di daerah-daerah
dan kabupaten, serta menawarkan paket
insentif seperti bantuan perumahan,
tunjangan tambahan, dan peluang karir.
Telah diluncurkan sebuah program ikatan
dinas lima tahun dengan komitmen
pelayanan kepada daerah prioritas tinggi,
sebagai ganti atas bantuan pra jabatan
yang telah diberikan.
Kesenjangan geografis yang signifikan
masih terjadi pada penyebaran tenaga
kesehatan, yang sebagian besar
terkonsentrasi di pulau Jawa (kecuali
Jawa bagian Utara), sementara di daerahdaerah terpencil seperti di NTT, Maluku,
dan Papua, tingkat kepadatan tenaga
kesehatan sangatlah rendah.
Rumah sakit-rumah sakit yang besar di
perkotaan telah menarik tenaga spesialis,
dan dokter, serta tingkat kepadatan
tenaga dokter yang tinggi di perkotaan
sebanding dengan penyebaraan rumah
sakit di perkotaan.
Pemerintah daerah memiliki otoritas yang
kuat untuk mengatur dan mempengaruhi
perekrutan dan penempatan tenaga
kesehatan, tetapi kekayaan provinsi dan
ketersediaan kapasitas fiskal tidak selalu
berkorelasi dengan ketersediaan dokter.
Pemerintah pusat telah mencoba
sejumlah kebijakan untuk meningkatkan
penyebaran tenaga kesehatan, termasuk
melalui UU Kesehatan, yang memberikan
tanggung jawab kepada pemerintah
untuk menangani penyebaran tenaga
kesehatan berdasarkan standar input,
proses, dan output; UU Kedokteran yang
membatasi dokter bekerja di tidak lebih
dari tiga tempat; dan UU rumah sakit
yang menetapkan standar rumah sakit
termasuk SDM.
Pemerintah pusat dan daerah
menawarkan insentif keuangan kepada
tenaga kesehatan untuk bekerja di
daerah-daerah terpencil, namun belum
menyusun strategi mengenai insentif non
keuangan.
Indonesia
187
Negara
Ketidakseimbangan penyebaran
Kebijakan dan intervensi
Peru
Tidak meratanya penyebaran tenaga
kesehatan secara geografis cukup
signifikan. Rasio kepadatan dokter
per 1.000 penduduk adalah 0,77 dan
dibawah 0,4 di sebagian besar kawasan
penggunungan Andes dan hutan Amazon.
Hal serupa juga terjadi pada tenaga
perawat dan bidan.
Terfragmentasinya tata kelola
penempatan tenaga kesehatan dan
kurangnya informasi yang akurat
mengenai jumlah dan penyebaran
penyedia layanan kesehatan
merupakan tantangan besar dalam
mengkoordinasikan pengalokasian tenaga
kesehatan.
Vietnam
Penyebaran tenaga kesehatan yang tidak
merata cukup signifikan, terutama di
daerah terpencil dan pegunungan, yang
menjadi lebih parah pada kurun waktu
2005–10: dimana 59% dokter praktik
di perkotaan, tetapi penduduk kota
hanya 27 persen dari jumlah penduduk
keseluruhan.
Pemerintah telah mengeluarkan
serangkaian keputusan untuk mengatasi
penyebaran yang tidak merata, termasuk:
pemberian insentif keuangan untuk
pekerja di daerah pedesaan, melanjutkan
pendidikan (24 jam/ tahun), akses ke
pelatihan medis empat tahun untuk
asisten dokter dari daerah pedesaan,
insentif untuk akses pelatihan medis bagi
kelompok minoritas, dan sistem rotasi
jangka pendek dari fasilitas yang lebih
tinggi ke fasilitas yang lebih rendah. Akan
tetapi inisiatif ini masih dalam tahap awal
implementasi dan belum dievaluasi.
Di masing-masing provinsi juga terjadi
ketidakseimbangan, dengan tingkat
ketersediaan tenaga kesehatan terendah
berada di tingkat kecamatan (commune):
hanya di sepertiga kecamatan (commune)
tersedia tenaga dokter.
Brazil
Kesenjangan dalam hal penyebaran
tenaga kesehatan telah banyak berkurang
dengan adanya perluasan cakupan Dokter
Keluarga, namun upaya rekrutmen dan
mempertahankan tenaga kesehatan
masih menjadi masalah, terutama di
daerah pedesaan di bagian Utara dan
Timur Laut.
Program Peningkatan Profesional
dalam Primary Health Care (PROVAB,
2011) menawarkan berbagai insentif
untuk minimal satu tahun bekerja di
pelayanan kesehatan dasar di wilayah
yang ditetapkan oleh pemerintah
federal sebagai wilayah yang kurang
mendapatkan pelayanan. (Insentif ini
adalah insentif keuangan serta poin
bonus dalam ujian masuk ke program
residensi medis dan program spesialisasi
di bidang kesehatan keluarga.).
Baru-baru ini, mengingat masih adanya
posisi lowong di daerah terpencil dan
kurang mendapat pelayanan, pemerintah
memutuskan untuk merekrut dokter
yang dilatih di luar negeri melalui
program “Mais Medicos” Program (lebih
banyak Dokter). Di samping inisiatif
federal ini, administrator di tingkat kota
mengadopsi berbagai jenis insentif
untuk merekrut tenaga kesehatan, yang
paling sering adalah dengan menaikkan
gaji dan memperkenalkan jam kerja yang
fleksibel.
188
Negara
Ketidakseimbangan penyebaran
Kebijakan dan intervensi
Thailand
Pada tahun 1979, perbedaan kepadatan
dokter antara Bangkok dan daerah
pedesaan di Timur Laut Thailand
mencapai 21 kali lipat. Pada tahun 2009
perbedaan kepadatan dokter telah
dikurangi menjadi 5 kali lipat. Pada tahun
yang sama, perbedaan dalam kepadatan
perawat diturunkan dari 18 kali lipat
menjadi 3 kali lipat
Setelah 1975, insentif keuangan
(tunjangan kesulitan bulanan)
diperkenalkan untuk perekrutan dan
mempertahankan tenaga kesehatan di
pedesaan.
Pada 1997, besaran tunjangan disesuaikan
dengan mempertimbangkan inflasi dan
perbedaan tingkat kesulitan; upaya terus
dilakukan untuk mengurangi kesenjangan
tenaga kesehatan.
Turki
Antara tahun 2002 dan 2011, kesenjangan
tenaga kesehatan antara provinsi dengan
tenaga kesehatan tertinggi dan provinsi
dengan tenaga kesehatan terendah:
untuk dokter spesialis dari 1:14 menjadi
1:2,7; untuk dokter umum dari 1:9 menjadi
1:2,3; dan untuk perawat dan bidan dari
1:8 menjadi 1:4.
Pada tahun 2011, daerah Anatolia Barat
memilliki 2,6 dokter per 1.000 penduduk;
dan Anatolia Selatan memiliki kepadatan
terendah dengan 1,16 dokter per 1.000
penduduk.
Kawasan Laut Hitam Timur memiliki
kepadatan perawat dan bidan, 1,84 kali
dari kepadatan perawat dan bidan di
Anatolia Selatan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah telah
mengurangi kesenjangan penyebaran
tenaga kesehatan. Program Dokter
Keluarga secara eksplisit mendorong
para dokter dan tenaga kesehatan
untuk memberikan pelayanan kepada
penduduk di pedesaan. Ketika dokter
praktik keluarga telah mendaftarkan
pasien di daerah-daerah pedesaan, bidanbidan rumah kesehatan pun bertugas
untuk melayani mereka. Pembayaran
bulanan dokter keluarga disesuaikan
dengan daerah tempat mereka praktik;
dan para dokter keluarga yang bekerja di
daerah-daerah yang kurang mendapatkan
pelayanan memperoleh “kredit layanan”
sesuai biaya hidup (sliding scale), dan juga
terhubung dengan indeks pembangunan
sosial ekonomi di kabupaten (kredit
layanan besarnya 40% dari pembayaran
dasar maksimum). Pelayanan wajib
diberlakukan bagi semua lulusan fakultas
kedokteran pemerintah maupun swasta.
189
Negara
Ketidakseimbangan penyebaran
Kebijakan dan intervensi
Perancis
Penyebaran tenaga kesehatan secara
geografis lebih cenderung ke daerahdaerah kaya, dengan perbedaan 1,55
kali dalam hal kepadatan tenaga dokter
antara daerah dengan kepadatan tertinggi
(Provence-Alpes-Côte d’Azur di sebelah
selatan) dan daerah-daerah dengan
kepadatan tenaga kesehatan terendah.
Langkah-langkah pemerintah untuk
mengurangi kesenjangan tenaga
kesehatan secara geografis termasuk
diantaranya dengan meningkatkan kuota
untuk masuk ke fakultas kedokteran,
menawarkan insentif keuangan (pajak,
tunjangan) untuk praktik kelompok di
daerah-daerah yang kekurangan tenaga
medis, dan menawarkan Kontrak Keterlibatan Pelayanan Publik untuk mahasiswa
kedokteran dengan ketentuan keuangan
untuk membuka praktik di daerah-daerah
yang kurang terlayani.
Untuk meningkatkan efektivitas
penggunaan sumber daya manusia,
khususnya di daerah-daerah yang
kekurangan SDM nya, pemerintah
juga telah memperkenalkan langkahlangkah untuk meningkatkan kerjasama
multidisiplin Antara dokter dan paramedic
di tingkat lokal melalui kombinasi
ketermpilan dan pengalihan tugas.
Jepang
Sebagaimana diukur melalui rasio
kepadatan dokter antara prefektur
(provinsi) dengan kepadatan tertinggi dan
prefektur dengan kepadatan terendah,
antara kurun waktu 1990 sampai dengan
2010, kesenjangan geografis dalam hal
ketersediaan tenaga dokter mengalami
penurunan dari 2,24 menjadi 2,00. Pada
tahun 2010, rasio yang sama untuk
tenaga perawat adalah 2,10 dan bidan,
2,00.
Untuk mengurangi perbedaan geografis
dalam penyebaran tenaga dokter,
pemerintah prefektur membayar uang
kuliah dan biaya hidup untuk dua hingga
tiga mahasiswa baru yang masuk ke
sekolah kedokteran khusus yang lulusan
diwajibkan bekerja di daerah terpencil,
dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa baru di fakultas kedokteran yang
dikontrak dengan ketentuan yang sama.
Dokter di rumah sakit pedesaan menerima upah yang lebih tinggi dibanding di
perkotaan, sedangkan untuk perawat
justru terbalik. Ketentuan jadwal biaya
menetapkan tarif pelayanan kesehatan
yang sama di mana pun lokasinya, yang
memungkinkan rumah sakit untuk
menetapkan upah berdasarkan kondisi
pasar tenaga kerja: karena para dokter
lebih memilih bekerja di daerah perkotaan, maka mereka harus ditawarkan
lebih. Perawat di daerah pedesaan lebih
bersedia untuk bekerja dengan upah
rendah di daerah pedesaan karena
mereka cenderung memiliki hubungan
lebih dekat dengan komunitas asal
mereka.
Sumber: Country summary reports on UHC, 2013, World Bank.
190
Referensi (dan Bacaan Tambahan)
Araújo, Edson, and A Maeda, How to Recruit and Retain Health Workers in Rural and Remote Areas
in Developing Countries: A Guidance Note, World Bank, Washington, June 2013.
Barnighausen, T., & Bloom, D,E. (2009). Financial incentives for return of service in underserved
areas: a systematic review. BMC Health Services Research, 9, 86.
Blaauw D., E. Erasmus, N. Pagaiya, V. Tangcharoensathein, K. Mullei, S. Mudhune, C. Goodman, M.
English, and M. Lagarde. 2010. “Policy Interventions that Attract Nurses to Rural Areas: A
Multicountry Discrete Choice Experiment.” Bulletin of the World Health Organization, Vol.
88: 350-6.
Buykx P., J. Humphreys, J. Wakerman and D. Pashen. 2010. “Systematic Review of Effective Retention
Incentives for Health Workers in Rural and Remote Areas: Towards Evidence-based Policy.”
Aust. J. Rural Health, Vol. 18: 102–9.
Cashin, C., Review of Pay for Performance in OECD Countries, Pre-publication draft, OECD, Paris,
2014.
Dolea C., Stormont, L., M. and Braichet J.M., “Evaluated strategies to increase attraction and
retention of health workers in remote and rural areas,” Bulletin of the World Health
Organization, May 2010, Geneva.
Dussault G., and M. C. Franceschini. 2010. “Not Enough There, Too Many Here: Understanding
Geographical Imbalances in the Distribution of the Health Workforce.” Human Resources
for Health, Vol. 4(12): 1-19.
Grobler L.A., B. J. Marais, S. A. Mabunda, P. N. Marindi, H. Reuter, and J. Volmink. 2009. Interventions
for Increasing the Proportion of Health Professionals Practising in Rural and Other Underserved
Areas. Cochrane Database of Systemic Reviews, Issue 1.
Art. No.: CD005314. 46
Inoue, K., Matsumoto, M. & Sawada, T. (2007). Evaluation of a medical school for rural doctors.
Journal of Rural Health, 23(2), 183-7.
International Conference on Primary Health Care (1978). Declaration of Alma-Ata. McPake B., and
K. Mensah. 2008. Task Shifting in Health Care in Resource-Poor Countries. Lancet, Vol.
372(9642): 870-1.
Lehmann, U., Dieleman, M., and Martineau, “Staffing remote rural areas in middle- and low-income
countries: A literature review of attraction and retention,” BMC Health Services Research
2008, 8:19.
Owen, J.A., Conaway, M.R., Bailey, B.A. & Hayden, G.F. (2007). Predicting rural practice using
different definitions to classify medical school applicants as having a rural upbringing.
Journal of Rural Health, 23(2), 133-40.
World Health Organization, 2010. “Increasing Access to Health Workers in Remote and Rural Areas
through Improved Retention: Global Recommendations.” Geneva, Switzerland.
Wibulpolprasert, S., and Pengpaibon, P. (2003). Integrated strategies to tackle the inequitable
distribution of doctors in Thailand: four decades of experience. Human Resources for Health,
1, 12.
World Health Organization. (2011b). Thailand National Health System Profile. Retrieved from http://
www.searo.who.int/LinkFiles/Thailand_Thailand_final_031005_WT.pdf
World Bank, Japan Partnership on Universal Coverage, Overview of Findings, Washington, December
2013.
191
NOTA
#22 KEBIJAKAN
100
Pertimbangan-pertimbangan untuk
Menetapkan Proses atau Program
Penapisan Teknologi Kesehatan
(HTA)
Diskusi singkat ini menetapkan beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam
menetapkan proses Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA – Health Technology Assessment) di
Indonesia.100
Definisi
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mendefinisikan penapisan
teknologi kesehatan (HTA) sebagai ‘evaluasi properti, efek dan/ dampak teknologi serta intervensi
kesehatan yang dilakukan secara sistematis…. Pendekatan ini digunakan untuk memberikan
informasi terhadap pembuatan kebijakan dan keputusan dalam pelayanan kesehatan, terutama
mengenai cara terbaik untuk mengalokasikan dana yang terbatas untuk intervensi dan teknologi
kesehatan.101
Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) didasarkan pada pendekatan multidisiplin, termasuk
epidemiologi klinis, ekonomi kesehatan, biostatistik dan metode penelitian kualitatif yang sesuai.
Tergantung pada kerangka kebijakan untuk HTA di negara tertentu, output dari penilaian dapat
berupa laporan yang kompleks, saran untuk memandu keputusan investasi kesehatan atau karya
akademis, atau gabungan dari kesemuanya ini. HTA adalah pekerjaan yang memerlukan beragam
sumber daya, keterampilan dan kapasitas untuk melaksanakan analisis. Meskipun demikian, hasil
dari HTA tidak boleh dilihat secara terpisah dari kebijakan lain untuk mengelola keputusan investasi
100
Policy Note # 22 ditulis oleh Suzanne Hill dan Profesor Budiono Santoso dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT)
melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Dokumen ini dibuat
permintaan Bappenas pada Februari 2014 untuk memberikan panduan yg relatif cepat mengenai langkah-langkah yang
mungkin dapat ditempuh Indonesia untuk isu ini di masa depan, berdasarkan bukti-bukti global evidence. Untuk
mendapatkan salinan Policy Notes lainnya, silakan mengunjungi www.aiphss.org
101
WHO Executive Board Paper, EB134/30, Jan 2014.
193
dan cakupan pelayanan kesehatan. Jenis lain dari evaluasi ekonomi kesehatan termasuk evaluasi
pharmacoeconomic, secara umum kini seharusnya dianggap sebagai bagian dalam HTA karena
teknik dasar yang digunakan adalah sama.
Keluaran-keluaran (outputs) dari HTA adalah laporan penilaian, tinjauan cepat, pedoman klinis atau
konsolidasi dari tinjauan-tinjauan (review) yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga lain. Pendekatan
ini dapat dilakukan pada tingkat nasional maupun daerah dalam suatu sistem pelayanan
kesehatan.
Kerangka Kebijakan
Kerangka kebijakan untuk menetapkan dan menggunakan HTA perlu diputuskan terlebih dahulu,
karena akan menentukan struktur dan ruang lingkup dari proses HTA tersebut.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:
•
•
•
•
•
•
Dengan memperhatikan struktur sistem kesehatan (sentralisasi/ desentralisasi/campuran)
dimana HTA akan diterapkan;
Apakah laporan HTA akan digunakan sebagai informasi dan saran, tetapi tidak sebagai alat
pengambilan keputusan penting;
Apakah HTA akan digunakan sebagai bagian dari kriteria keputusan untuk semua keputusan
penggantian biaya kembali (reimbursement) bagi semua teknologi yang disediakan melalui
skema asuransi, atau teknologi yang dipilih;
Bagaimana HTA akan digunakan dalam kaitannya dengan kebijakan pengendalian pengeluaran
lain, misalnya, harga referensi untuk obat-obatan;
Apakah proses HTA harus independen dari keterlibatan pemerintah, misalnya, berbasis di unit
akademis, dengan agenda tersendiri untuk laporan, atau apakah harus dikaitkan dengan
agenda kebijakan pemerintah;
Apakah laporan HTA akan digunakan sebagai dasar keputusan yang mengikat secara hukum
atau sebagai pemberi saran saja.
Secara historis, HTA di negara-negara berpendapatan tinggi paling sering dimulai dengan basis di
unit akademik independen, dengan penyusunan laporan penilaian mengenai topik yang menarik
bagi para penulis. Contohnya, struktur asli dari kelompok HTA Catalonia di Spanyol atau Program
Penapisan Teknologi Kesehatan NHS di Inggris yang mendahului terbentuknya National Institute
for Health and Care Excellence (NICE). Pada awal 1990-an, Australia dan Kanada mulai menggunakan
evaluasi efektivitas biaya untuk menentukan keputusan pendanaan, awalnya adalah untuk obatobatan, tetapi kemudian juga digunakan untuk teknologi dan peralatan medis. Sistem ini
berkembang menghasilkan struktur untuk mendukung Kementerian Kesehatan secara khusus
dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan serta menghubungkan dengan pusat-pusat
akademik. Keputusan-keputusan di Australia berkaitan dengan cakupan asuransi kesehatan
nasional sedangkan di Kanada keputusan akhir mengenai cakupan dibuat di tingkat provinsi.
Banyak sistem sekarang menggunakan campuran dari berbagai pendekatan.
194
Perundang-undangan
Peran HTA perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan tergantung pada kerangka
kebijakan yang digunakan.
Sebagai contoh, awalnya rekomendasi yang dibuat oleh NICE tidak mengikat otoritas pelaksana
di tingkat lokal; ini kemudian diubah sehingga Komisi Otoritas (Commissioning Authorities) sekarang
diharuskan untuk memastikan ada anggaran yang tersedia untuk teknologi kesehatan yang
direkomendasikan NICE dimana teknologi kesehatan tersebut harus digunakan. Di Australia, UU
Kesehatan Nasional telah diubah pada tahun 1989 untuk mengharuskan pertimbangan biaya dan
efektivitas oleh Komite Penasihat Manfaat Farmasi, yang merupakan komite penasihat independen
yang memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan tentang obat-obat apa saja yang harus
diganti melalui skema asuransi kesehatan nasional. Undang-undang memperbolehkan menteri
untuk mengatakan tidak atas rekomendasi positif dari panitia, tetapi tidak memperbolehkan
menteri untuk mendaftar produk jika komite telah merekomendasikan tidak menggunakannya.
Struktur
Struktur unit HTA harus mengikuti kerangka kebijakan dan perundang-undangan, tetapi juga akan
tergantung pada sumber daya manusia yang tersedia. Berbagai pilihan termasuk:
•
•
•
Memiliki sebuah unit independen dengan fokus akademis, di perguruan tinggi, yang mempersiapkan laporan HTA untuk menginformasikan para pembuat kebijakan, tetapi bukan merupakan dasar untuk keputusan mengenai cakupan atau subsidi;
Memiliki tim HTA atau unit di Kementerian Kesehatan, untuk melaksanakan HTA pada topik
yang dipilih atau menilai laporan HTA yang disampaikan oleh para produsen.
Mengembangkan otoritas atau struktur terpisah untuk melaksanakan HTA, seperti Canadian
Agency for Drugs and Technologies in Health (CADTH) atau Health Intervention and Technology
Assessment Program, (HITAP) di Thailand.
Struktur campuran juga digunakan. Sebagai contoh, di Australia, Kementerian Kesehatan memiliki
dua tim teknis yang mengkoordinasikan proses HTA - satu untuk obat-obatan dan satu lagi untuk
teknologi medis, peralatan dan uji diagnostik. Laporan disiapkan oleh produsen (dalam hal obatobatan) dan dinilai oleh kelompok akademis yang dikontrak, yang menyediakan laporan tambahan
ke Departemen dan komite penasehat untuk pengambilan keputusan. Struktur cenderung
berkembang dari waktu ke waktu karena sistem dan kebijakan juga berubah tergantung pada
ketersediaan keterampilan dan staf.
The International Network of Agencies for Health Technology Assessment (INAHTA) atau Jaringan
Internasional Lembaga-lembaga untuk Penilaian Teknologi Kesehatan and Health Technology
Assessment International (HTAi) atau Penilaian Teknologi Kesehatan Internasional adalah dua
jaringan global lembaga-lembaga HTA yang dapat memberikan contoh-contoh tambahan.
195
Ruang lingkup
Penapisan Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment - HTA) dapat mencakup semua
teknologi kesehatan. Akan tetapi, obat-obatan biasanya merupakan kelompok yang paling mudah
untuk dimulai mengingat sumber datanya mahal dan biasanya tersedia bukti-bukti yang berkualitas
bagus. Tes diagnostik, perangkat, layanan medis (seperti konsultasi atau prosedur) dan teknologi
yang rumit sifatnya lebih kompleks dan memerlukan keterampilan lebih dalam menemukan dan
menginterpretasikan bukti-bukti, yang biasanya kualitasnya rendah. Kebanyakan lembaga sudah
memulai dengan salah satu komponen HTA dan kemudian perlahan-lahan meningkat.
Sumber daya, kapasitas dan lingkungan
Seperti disebutkan di atas, pelaksanaan HTA yang efektif untuk pengambilan keputusan membutuhkan sumber daya yang banyak.
Sebelum memulai proses HTA perlu dilakukan inventarisasi kapasitas yang ada dan sumber daya
manusia. Skala lembaga-lembaga HTA berkisar mulai dari lembaga sebesar NICE – yang terdiri dari
beberapa ratus staf dan pusat kerjasama akademik – hingga ke pusat-pusat baru yang kecil-kecil
di calon negara-negara Uni Eropa, yang mungkin hanya memiliki 1 atau 2 staf di bagian kesehatannya.
Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) adalah kegiatan multidisiplin dan memerlukan keterampilanketerampilan berikut: spesialis kedokteran klinis, epidemiologi klinis, ekonomi kesehatan,
biostatistik, farmasi, informasi. Banyak kelompok/otoritas HTA berjuang untuk mempertahankan
jumlah staf yang memadai, khususnya di bidang ekonomi kesehatan. Sementara jumlah staf yang
diperlukan akan tergantung pada ruang lingkup pekerjaan. Pengalaman menunjukkan bahwa
untuk memiliki tim yang efektif, setidaknya diperlukan 10 profesional FTE. Jika output HTA adalah
untuk memberikan dasar pengambilan keputusan, sumber daya tambahan mungkin diperlukan
untuk mendukung apa pun proses pengambilan keputusan yang ditetapkan. Di Australia, PBAC
memiliki anggota sebanyak 19 orang (17 orang paruh waktu dan 1 orang purna waktu) yang sebagian
besar spesialis klinis, tetapi juga mencakup seorang perwakilan konsumen, seorang ekonom
kesehatan dan seorang apoteker masyarakat. Keanggotaan ditentukan dalam Undang-Undang
Kesehatan Nasional, dan anggotanya diangkat oleh Menteri untuk masa jabatan 4 tahun. Komite
tersebut didukung oleh sekretariat di Kementerian yang terdiri dari kurang lebih 15 staf purna
waktu, dengan latar belakang berbeda seperti farmasi, ekonomi, kebijakan dan administrasi.
Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) berfungsi dengan sangat efektif dalam lingkungan di mana
obat-obatan berbasis bukti diterima dan digunakan. HTA juga dapat menjadi alat untuk
mempromosikan penggunaan obat-obatan berbasis bukti. Perubahan budaya semcam itu biasanya
memerlukan waktu dan kepemimpinan - yang mana dapat diberikan oleh HTA yang efektif.
Jaringan Eropa untuk Penilaian Teknologi Kesehatan (EuNetHTA) telah mengembangkan ‘buku
pegangan peningkatan kapasitas HTA’ yang memberikan gambaran yang berguna berdasarkan
pengalaman dari beberapa negara di Uni Eropa.102
102
At http://www.inahta.org/upload/HTA_resources/eunethta_wp8_hb_hta_capacity_building1.pdf, diakses
21 Januari 2014
196
Proses HTA
Proses yang sebenarnya digunakan untuk HTA berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari
satu lembaga ke lembaga lain, tergantung undang-undang, ruang lingkup dan sumber daya yang
tersedia.
NICE, sebagai lembaga besar dengan sumber daya yang baik, melakukan analisis sendiri dan
mempersiapkan laporan sendiri, dengan masukan dari sponsor komersial dan para pemangku
kepentingan. NICE memilih topik dan teknologi yang akan mereka nilai berdasarkan pada proses
politik dan konsultasi formal. Semua aspek ini kemudian dipertimbangkan ketika komite penasihat
(sekarang ada beberapa) memutuskan rekomendasi. Waktu dari permintaan penyusunan laporan
ke rekomendasi bervariasi berkisar 6 bulan sampai 2 tahun, dan laporan serta rekomendasi ditinjau
setiap 4-5 tahun.
Estonia, di sisi lain, negara bependuduk 1,4 juta orang dengan satu pusat akademik, menilai
laporan HTA yang merupakan aplikasi dari perusahaan-perusahaan komersial untuk penggantian
teknologi melalui dana Asuransi Kesehatan Estonia. Hal ini diperlukan untuk memenuhi persyaratan
Uni Eropa untuk jangka waktu keputusan penggantian, sekitar 4 bulan. Estonia menilai semua
aplikasi yang diajukan oleh sponsor komersial, dan dapat berbagi beberapa pekerjaan penilaiannya,
jika memungkinkan, dengan negara-negara tetangga Baltik lainnya, Latvia dan Lithuania.
Australia, dengan penduduk 23 juta dan pengalaman dalam HTA selama 20 tahun, menggunakan
sebagian besar laporan dari sponsor komersial, namun memiliki beberapa kapasitas untuk meminta
diadakan laporan independen dari pusat-pusat akademik dalam pengambilan keputusannya. PBAC
dan Medicare Services Advisory Committee (MSAC) atau komite penasihat layanan medis menilai
semua aplikasi yang disampaikan oleh sponsor farmasi atau sponsor teknologi masing-masing.
Waktu penyerahan aplikasi untuk rekomendasi komite sekitar 4 bulan untuk hal-hal menyangkut
PBAC dan 6 sampai 12 bulan untuk hal-hal berkenaan dengan MSAC, tergantung tingkat kerumitannya.
Satu kesamaan yang dimilliki semua lembaga adalah seperangkat persyaratan lokal yang harus
dicantumkan dalam laporan HTA. Meskipun ada standar internasional untuk HTA, aplikasi perlu
dilokalisasi untuk mempertimbangkan sumber data, nilai-nilai dan preferensi serta informasi biaya
lokal.
Pilihan untuk Indonesia
Dalam konteks pelaksanaan cakupan kesehatan semesta (UHC), berikut ini ada satu pendekatan
yang dapat dipertimbangkan oleh Indonesia jika ingin berinvestasi dalam pengembangan HTA
untuk mendukung program asuransi kesehatan.
Perundang-undangan dan Kerangka kebijakan
Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) tercantum dalam Peraturan Presiden No. 111 tahun 2013
tentang jaminan kesehatan. Misalnya, dalam pasal 43 disebutkan “ Dalam rangka menjamin
kendali dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk melakukan ( i ) penapisan teknologi kesehatan, ( ii ) pertimbangan klinis, ( iii ).... “ Pasal lainnya juga menyebutkan bahwa “ pengobatan
197
komplementer, alternatif dan tradisional termasuk akupunktur, chiropractic, yang belum dinyatakan
efektif berdasarkan Penapisan Teknologi Kesehatan tidak akan ditanggung.”
Jika tidak ditentukan dalam undang-undang, maka harus dipertimbangkan apakah undang-undang
tersebut perlu diperbaiki atau diperluas untuk menentukan dengan tepat bagaimana HTA akan
memberikan kontribusi pada proses penentuan paket manfaat bagi JKN. Sebagai contoh, apakah
semua barang dan jasa yang saat ini ditanggung akan tunduk pada penilaian baru atau apakah
akan diterima pada awalnya dan kemudian ditinjau ulang secara bertahap selama beberapa tahun
ke depan? Kriteria apa yang akan digunakan untuk menentukan apakah suatu barang atau jasa
dapat diterima menurut HTA tersebut – ambang batas efektivitas biaya seperti yang digunakan
NICE atau beberapa faktor? Apakah dampak anggaran juga dinilai sebagai kriteria? Siapa yang
akan memiliki kewenangan hukum untuk mencantumkan atau menghapuskan dari daftar jenis
barang dan jasa? Langsung oleh Menteri, lembaga di Kemenkes atau HTA?103
Struktur
Jika Kemenkes sedang mempertimbangkan sebuah “Komite Nasional HTA”, maka keanggotaannya
perlu ditentukan. Komite penasihat HTA perlu melibatkan ahli klinis independen, ekonom kesehatan
dan perwakilan konsumen. Biasanya komite HTA beranggotakan 15 dan 20 orang, yang mencakup
disiplin ilmu klinis utama, juga termasuk setidaknya 2 atau 3 anggota yang memiliki keahlian
dalam epidemiologi klinis dan metode HTA. Anggota harus independen dan tidak memiliki
keterkaitan keuangan dengan produsen farmasi atau peralatan. (Idealnya, anggota keluarga
langsung dari anggota HTA juga sebaiknya tidak memiliki keterkaitan keuangan tersebut).
Peran dan fungsi komite HTA akan tergantung pada apa yang diputuskan mengenai kewenangan
untuk menambah atau menghapus item dari paket Manfaat. Jika Menteri tetap merupakan
pemegang otoritas terakhir, maka Komite dapat memberikan saran kepada Menteri, baik secara
langsung, atau melalui Kementerian Kesehatan. Cukup besar nilai yang dapat diperoleh jika
memiliki Komite yang independen dari Kementerian. Prinsip-prinsip lain yang perlu dipertimbangkan
adalah tingkat transparansi operasinal dari komite HTA, peran sponsor komersial, bagaimana
kebijakan lain untuk mengelola biaya dan pengeluaran akan dilaksanakan oleh panitia (misalnya
harga referensi untuk obat-obatan), serta hubungan antara komite HTA dan pihak-pihak yang
membuat keputusan pengadaan. Di Australia, komite HTA menetapkan harga produk untuk
103
Contohnya, Australian National Health Act 1953 memberikan kewenangan berikut kepada PBAC, jadi jika PBAC tidak
merekomendasikan daftar suatu produk, maka Menteri juga tidak dapat melakukannya:
(3A) Untuk memutuskan apakah memberikan rekomendasi kepada Menteri bahwa suatu obat atau persiapan obat, atau
kelompok obat dan persiapan kelompok obat tersedia sebagai manfaat farmasi pada Bagian ini, maka Komite akan
memberikan pertimbangan efektivitas dan biaya perawatan yang meliputi penggunaan obat, persiapan atau kelompok
obat, dengan membandingkan efektivitas dan biaya perawatan tersebut dengan perawatan alternatif, apakah yang
menggunakan obat-obatan, persiapan lain atau tidak.
(3B) Tanpa membatasi keumuman sub bagian (3A), di mana perawatan yang melibatkan penggunaan obat tertentu atau
persiapan obat, atau kelas obat dan persiapan obat, secara substansial lebih mahal daripada perawatan alternatif, apakah
yang melibatkan penggunaan obat-obatan, persiapan lainnya atau tidak, maka Komite: (a) tidak akan merekomendasikan
kepada Menteri bahwa obat, persiapan atau kelas obat tersebut tersedia sebagai manfaat farmasi pada Bagian ini
kecuali jika Komite puas bahwa perawatan yang disebut pertama, untuk beberapa pasien, memberikan peningkatan
yang signifikan dalam keberhasilan atau penurunan toksisitas selama perawatan alternatif, dan (b) jika Komite tidak
merekomendasikan kepada Menteri bahwa obat, persiapan atau kelas obat tersedia sebagai manfaat farmasi pada
Bagian ini, maka Komite harus mencantumkan pernyataan dalam rekomendasinya bahwa Komite puas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (a)
198
dimasukkan pada daftar barang yang dapat diganti; NICE akan mulai menetapkan harga obatobatan tahun ini.
Dalam konteks pendekatan Indonesia terhadap asuransi kesehatan, perlu dibuat keputusan
tentang aspek apa saja dari sistem yang dapat dicakup komite HTA. Teknologi yang digunakan
dalam pelayanan kesehatan dasar mungkin memerlukan kelompok yang sedikit berbeda dari
anggota komite dan keahlian untuk teknologi yang digunakan hanya di rumah sakit. Namun,
dalam contoh pertama dianjurkan ada komite HTA tunggal untuk menetapkan proses dan standar
untuk pengambilan keputusan.
Kebanyakan komite HTA yang memberikan saran terkait asuransi melakukan pertemuan selama
beberapa kali dalam setahun. NICE kini memiliki 4 komite penilaian, yang setiap bulannya
mengadakan pertemuan. Di Australia, PBAC dan MSAC masing-masing mengadakan pertemuan
minimal 3 kali setahun. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan tersebut perlu didukung oleh struktur
yang memadai seperti unit atau sekretariat dalam Kemenkes.
Keputusan tentang peran setiap unit pendukung di Kementerian Kesehatan perlu dibuat. Walaupun
staf di unit tersebut dituntut mempunyai keterampilan dan keahlian yang relevan dalam HTA, akan
tetapi tidak biasa bagi Kementerian untuk benar-benar melaksanakan semua penilaian, terutama
dikarenakan beban kerja mereka. (sebagai contoh, agenda PBAC untuk Maret 2104 mencakup 52
aplikasi untuk produk atau variasi farmasi baru pada daftar yang ada.104) Kemitraan dan hubungan
dengan pusat-pusat akademik diperlukan untuk mendukung pekerjaan teknis.
Lingkup kerja dan proses
Otoritas HTA yang mapan di seluruh dunia semua telah mengalami pekembangan dari waktu ke
waktu, hal ini sangat menantang untuk melaksanakan proses HTA yang mencakup semua teknologi
dan semua produk HTA yang mungkin sejak awal. Kami sangat menyarankan menerapkan HTA
secara bertahap. Farmasi adalah tempat yang paling mudah untuk memulai, ada data, banyak
penilaian yang diterbitkan yang dapat digunakan dan disesuaikan untuk kebutuhan lokal, dan
karena obat-obatan berkontribusi paling sedikit 30% terhadap pengeluaran kesehatan, maka
manajemen biaya obat-obatan akan membuat perbedaan besar untuk keberlanjutan dan
keterjangkauan dari skema asuransi.
Proses HTA yang dipilih akan tergantung pada ketersediaan keterampilan dan kapasitas, dan oleh
karena itu perlu ada inventarisasi:
Pusat-pusat akademik mana yang saat ini memililki kapasitas dan keterampilan yang relevan?
Apakah ada hubungan antara Kemenkes dengan pusat-pusat ini?
Kebijakan untuk mengurangi dan mengelola konflik kepentingan, keuangan dan akademik.
Pada awalnya, Komite HTA perlu menetapkan pedoman untuk informasi yang perlu mereka tinjau.
Ada banyak model internasional yang dapat disesuaikan, tetapi versi pertama haruslah sederhana
dan tidak menerapkan pemodelan ekonomi yang rumit karena hal ini membutuhkan kapasitas
tingkat tinggi untuk melakukan evaluasi dan penilaian secara kritis. Pemerintah Indonesia mungkin
perlu mengupayakan nasihat atau saran dari sejumlah lembaga HTA yang telah ada untuk memperoleh pendekatan terbaik dalam menetapkan pedoman sendiri.
104
See: http://pbs.gov.au/info/industry/listing/elements/pbac-meetings/agenda/03-2014
199
Komite HTA juga dapat:
Mengevaluasi data pemanfaatan untuk konsumsi dan pengeluaran, tinjauan pemanfaatan,
analisis Pareto, pemilihan, umpan balik terhadap keputusan pemilihan dan penetapan harga.
Mengembangkan kapasitas EBM untuk menilai pedoman klinis melalui hubungan dengan
Cochrane Collaboration, Guidelines International Network dan lain-lain.
Prasyarat keberhasilan adalah:
kemauan dan dukungan politik
teknologi informasi
inventarisasi kapasitas akademik nasional, identifikasi ahli
hubungan dengan organisasi yang relevan (Cochrane, GIN, HTAi, dll.)
hubungan dengan lembaga-lembaga lain – secara regional misalnya di Thailand, Filipina,
Australia, Singapura, Korea Selatan.
Pendanaan dan sumber daya
Pendanaan dan sumber daya yang dibutuhkan akan tergantung pada banyak keputusan yang
disebutkan di atas. Namun, sebagai panduan, perkiraan minimum mungkin meliputi:
•
•
•
•
•
pendanaan untuk 20 staf profesional kesehatan purna waktu di Kementerian
dukungan untuk pengembangan kapasitas dan pelatihan
dukungan untuk akses ke sumber daya elektronik (seperti Cochrane Library dan database
lainnya) serta jaringan internasional, seperti HTAi
dukungan untuk keterlibatan kelompok-kelompok akademik, misalnya melalui pengaturan
kontrak untuk mempersiapkan laporan Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA)
pendanaan yang memadai untuk melibatkan para ahli di Komite (hal ini akan tergantung pada
apa yang saat ini diterima secara lokal; misalnya, NICE membayar pengeluaran tetapi tidak
ada upah; Australia membayar sebagian gaji- untuk para anggota komitenya.)
Salah satu komponen penting adalah pelatihan untuk anggota komite. Pengalaman menunjukkan
bahwa untuk komite baru, perlu waktu dalam menetapkan metode kerja secara efisien dan
konsisten. Ada model-model pendekatan pelatihan yang dapat digunakan, dari WHO bekerja sama
dengan kelompok akademisi dari Australia dan Inggris (yang terakhir diterapkan di Filipina dan
Brunei) atau NICE International (misalnya Cina dan Kolombia), tergantung pada ruang lingkup
kegiatan yang akan dilakukan oleh Komite.
200
NOTA
#23 KEBIJAKAN
Republik Korea
(“Korea Selatan”)105
Memperluas Cakupan Kesehatan ke Sektor Informal
KONTEKS NEGARA
Jumlah Penduduk ( Juta) (2012)
Pangsa Penduduk Nasional di Sektor Informal (2011)
PDB per Kapita (USD saat ini) (2012)
50.0
28,2%
$22.590
Proporsi Penduduk Nasional yang Dilindungi oleh Asuransi (Umum dan
Swasta) (2011)
100%
Pengeluaran Tunai untuk Kesehatan (sebagai Persen dari Pengeluaran
Total untuk Kesehatan) (2012)
36,1%
Angka Harapan Hidup Saat Lahir (2012)
81
Angka Kematian Dibawah-5 per 1,000 Kelahiran Hidup (2012)
4
Sumber: OECD, 2013; Bank Dunia, 2013
KONTEKS KEBIJAKAN
1976
Undang-Undang Asuransi Kesehatan disahkan dan membutuhkan cakupan
asuransi wajib
1977
Undang-Undang Asuransi Kesehatan dilaksanakan dan asuransi kesehatan sosial
(SHI) diperkenalkan kepada karyawan perusahaan-perusahaan besar (500+
karyawan); Program Bantuan Medis (MAP) diluncurkan untuk penduduk yang
sangat miskin
105
Proses penterjemahan didanai oleh Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening (AIPHSS) dan Joint Learning Network dengan penulis: Lara Wilson, Annette Ozaltin,
Khizer Hussein, Soonman Kwon.
202
1979
Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) diperluas ke karyawan perusahaan-perusahaan
dengan 300+ karyawan; Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) juga diperluas kepada
pegawai negeri dan guru
1981
Asuransi Kesehatan Sosial( SHI) diperluas ke karyawan perusahaan-perusahaan
industri dengan 100+ karyawan; Pemerintah memulai program percontohan untuk
para wiraswastawan* di 3 daerah pedesaan.
1982
Pemerintah memulai program percontohan untuk para wiraswastawan* di 1
daerah perkotaan dan 2 daerah pedesaan lain.
1983
Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) diperluas kepada karyawan usaha dengan 16+
karyawan
1987
Presiden dipilih setelah melakukan kampanye mengenai perluasan programprogram kesejahteraan sosial
1988
Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) yang disubsidi diperluas dan diwajibkan untuk
para pekerja wiraswasta* pedesaan
1989
Pekerja wiraswasta* pedesaan adalah kelompok populasi terakhir yang dijangkau
oleh Asuransi Kesehatan Sosial (SHI)
1999
Undang-Undang Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) disahkan, menggambarkan
kerangka perlindungan kesehatan di bawah sistem pembayar tunggal
2000
Semua masyarakat asuransi kesehatan dikonsolodasi di bawah pembayar tunggal
– Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIC) – yang menyelenggarakan
Program Asuransi Kesehatan Nasional (NHIP) wajib
2003
Rekening terpisah untuk karyawan yang diasuransikan dan wiraswastawan yang
diasuransikan digabungkan
2006
Perubahan hukum mengamanatkan adanya struktur dan sumber-sumber subsidi
baru
Sumber: Kwon, 2009; Jeong, 2011; Mathauer dan Xu, 2009
* “Wiraswasta” adalah istilah yang dipakai di Korea Selatan untuk menggambarkan sektor informal.
ASURANSI KESEHATAN NASIONAL (NHI)
Jangka waktu untuk memperluas
jangkauan ke para wiraswasta*
•
•
Percontohan: 1981-88
Peningkatan nasional: 1988 untuk
wiraswastawan perdesaan dan 1989
untuk wiraswastawan perkotaan
Penduduk yang menjadi sasaran Asuransi
Kesehatan Nasional (NHI)
•
Semua penduduk yang tidak miskin
Penduduk yang menjadi sasaran yang
tercakup dalam skema (2006)
•
100%
Penduduk secara nasional yang tercakup
di bawah skema (2006)
•
96,3% (sisa penduduk yang 3,7%
dilindungi oleh MAP (Program Bantuan
Medis)
203
Karyawan yang diasuransikan yang
tercakup di bawah skema (2006)
•
57,7%
Wiraswastawan yang diasuransikan yang
tercakup di bawah skema (2006)
•
38,6%
Pendaftaran
•
Wajib
Paket manfaat
•
Paket manfaat yang sama untuk
karyawan yang diasuransikan,
wiraswastawan yang diasuransikan, dan
penduduk miskin termasuk rawat inap,
rawat jalan, obat, beberapa layanan
pencegahan dan biaya pemakaman
(penduduk miskin dibebaskan dari iuran
tambahan)
Pagu iuran tambahan sebesar 2
juta (USD1,926), dengan pagu yang
lebih rendah untuk mereka yang
berpenghasilan lebih rendah
•
Subsidi Pemerintah
•
Jumlah iuran
Karyawan yang diasuransikan:
• Iuran dibayarkan melalui pajak atas gaji
dan ditetapkan 5,33% (2010) dari gaji
kotor
• Pengusaha dan karyawan masing-masing
membayar setengah dari iuran
20% dari kontribusi Asuransi Kesehatan
Nasional (NHI) menurut undangundang: 14% kontribusi berasal dari
pendapatan umum dan 6% kontribusi
dari penerimaan pajak tembakau yang
dialokasikan
Wiraswastawan yang diasuransikan:
• Iuran diperhitungkan melalui sistem
poin yang diambil dari penghasilan kena
pajak dan penghasilan yang diperkirakan
berdasarkan penilaian atas kekayaan
Sumber: Jeong, 2010; Kwon, 2008, 2013; Mathauer dan Xu, 2011; Song, 2009; Xu dll., 2010
204
Gambar 1.
Struktur Organisasi Asuransi Kesehatan Nasional
Sumber: Chun, Kim, Lee, & Lee, 2009; Kwon, 2014; Xu dll., 2010
Hal-Hal Penting
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Wiraswastawan merupakan kelompok penduduk terakhir yang dicakup, 12 tahun setelah
asuransi kesehatan sosial diperkenalkan.
Komitmen politik, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan keanggotaan berbasis- keluarga,
merupakan faktor-faktor utama yang memberikan sumbangan terhadap pencakupan penduduk
secara cepat.
Sektor informal yang terorganisir memberikan tekanan politik agar ada subsidi dan dukungan
politis dari atas ke bawah menjamin ketersediaan dana untuk subsidi.
Pemerintah pusat memberikan sebagian subsidi kepada Asuransi Kesehatan Nasional (NHI)
yang didanai dari pajak umum dan pajak tembakau, yang terdiri dari 20% dari total pendapatan
asuransi kesehatan yang diharapkan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.
Pembayaran iuran untuk wiraswastawan dihitung dengan penghasilan yang dilaporkan pada
pajak dan penilaian terhadap nilai properti – sebuah formula yang dikritik karena kerumitannya
dan kekurangan transparansinya.
Awalnya, iuran dikumpulkan di kantor-kantor cabang Layanan Asuransi Kesehatan Nasional
setempat, namun sekarang pembayaran kebanyakan dilakukan lewat transfer bank otomatis,
deposito di bank, dan pembayaran melalui internet dengan menggunakan kartu kredit.
Sejumlah besar rumah tangga wiraswastawan terlambat membayar iuran mereka, sehingga
mereka kena denda yang dibebankan ke tagihan berikut mereka. Ini dapat berarti apakah
mereka tidak mampu membayar atau ada masalah dengan mekanisme iuran.
Rendahnya persyaratan iuran, yang menghasilkan paket manfaat dengan cakupan yang rendah
baik dari segi kedalaman maupun luasnya, mempermudah perluasan cakupan penduduk
secara cepat.
Sistem yang ada saat ini tidak memberikan perlindungan keuangan yang memadai sebab
diperlukan pembayaran uang tunai yang tinggi sehubungan dengan adanya bujuk rayu
permintaan oleh penyedia layanan yang dibayar berdasarkan layanan yang diberikan (fee-forservice) dan sejumlah besar layanan yang tidak dilindungi oleh Asuransi Kesehatan Nasional
(NHI), termasuk perangkat untuk memperbaiki penglihatan dan layanan-layanan pilihan
dengan tehnologi baru yang mahal biayanya.
205
1. Konteks Politik dan Latar Belakang
•
•
•
•
•
•
206
Korea Selatan adalah negara berpenghasilan-tinggi yang telah menikmati pertumbuhan
ekonomi yang kuat sejak tahun 1980an, dengan PDB per kapita (sekarang Dollar Amerika
Serikat) yang bertumbuh rata-rata 8,8% per tahun sejak tahun 1980 (Bank Dunia, 2013).
Asuransi kesehatan diperkenalkan pada tahun 1977, pada awal masa pertumbuhan ekonomi
negara yang paling dramatis. PDB Korea Selatan per kapita (sekarang Dollar Amerika Serikat)
bertambah lebih dari tiga kali lipat antara 1980 (tahun pertama Bank Dunia mempunyai data
PDB) dan 1989 ketika tercapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal) (Bank Dunia,
2013).
Pada tahun 1977, pertama-tama pemerintah memberikan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI)
kepada karyawan perusahaan-perusahaan besar (500+ karyawan). Penduduk miskin mendapat
perlindungan pada tahun yang sama di bawah skema yang terpisah, yang diidentifikasi melalui
kriteria penghasilan/properti yang dimilikinya dan berjumlah antara 2%-5% dari jumlah
penduduk sejak 1977 (Kwon, 2000). Secara bertahap pemerintah memperluas cakupan
Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) kepada karyawan di perusahaan-perusahaan yang lebih
kecil, guru, dan pegawai-pegawai pemerintah. Sebelas tahun setelah memperkenalkan
Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), pemerintah memberikan cakupan wajib bersubsidi kepada
wiraswastawan perdesaan, dan setahun kemudian kepada wiraswastawan perkotaan.
Percontohan-percontohan dengan sasaran wiraswastawan dilaksanakan dari tahun 1981-1988
sebelum memperluas cakupan kepada kelompok masyarakat ini (Kwon, 2003).
Baik faktor ekonomi maupun politik memberikan kontribusi kepada perluasan asuransi kepada
wiraswastawan. Tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 12% antara tahun 1986 dan
1988 menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk memperluas cakupan kepada kelompok
mayarakat ini; pemerintah menggunakan sebagian dari ruang fiskalnya yang sedang bertumbuh
untuk memberikan subsidi dan rumah tangga dapat membayar iuran dengan lebih baik.
Memperluas cakupan untuk memasukkan wiraswastawan merupakan prioritas untuk partai
politik yang sedang berkuasa. Calon presiden, Roh Taewoo, pada tahun 1987 berkampanye
mengenai perluasan program-program kesejahteraan sosial untuk menarik penduduk
perdesaan yang berjumlah besar. Ada keprihatinan tentang ketidakadilan dalam hal pembayaran
tunai untuk kesehatan antara karyawan yang diasuransikan dan wiraswastawan yang tidak
diasuransikan. Para karyawan yang diasuransikan mendapatkan manfaat dari jadwal
pembayaran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang dipakai untuk membayar penyedia
layanan; sedangkan para wiraswastawan yang tidak diasuransikan menderita akibat harga
pasar yang tidak diatur, yang ditetapkan oleh penyedia layanan.
Korea Selatan mencapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal) pada tahun 1989.
Jumlah penduduk yang tercakup pada tahun 1977 adalah 15%, kemudian naik menjadi 100%
pada tahun 1989. Saat ini, Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) mencakup 96.8% dari jumlah
penduduk, termasuk wiraswastawan. Program Bantuan Medis (MAP), yaitu program nir-iuran
yang dibeayai pajak yang mencakup penduduk miskin, melindungi sisa jumlah penduduk
sebesar 3.2% (Kwon, 2014).
Gambar 2.
Cakupan Penduduk Republik Korea, 2011
Source: Kwon, 2014
•
•
•
•
Para wiraswastawan (terutama petani) pada awalnya menolak untuk membayar iuran, mereka
meminta dibebaskan dari iuran, diberi diskon, perubahan metode iuran, meminta subsidi
pemerintah yang lebih tinggi, dan perluasan fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah perdesaan
(Kwon, 2009).
Karyawan peserta asuransi mendapat tawaran asuransi melalui semacam lembaga asuransi
umum nir-laba berdasarkan daerah tempat kerja mereka dan para peserta asuransi
wiraswastawan mendapat asuransi melalui lembaga-lembaga asuransi berdasarkan
daerah tempat tinggal mereka. Pada tahun 1998, terdapat 227 lembaga asuransi yang
memberikan jaminan asuransi kepada wiraswastawan (Kwon, 2003).
Jumlah Iuran untuk orang dengan penghasilan yang sama berbeda, tergantung pada
lembaga asuransinya meskipun manfaat yang diterimanya sama. Rumah tangga
wiraswastawan di daerah-daerah miskin membayar bagian yang lebih tinggi dari pendapatan
mereka dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah-daerah kaya. Ketidakadilan
horisontal ini, ditambah dengan masalah-masalah keuangan lembaga asuransi perdesaan
yang disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok kecil yang berisiko, mengilhami pemerintah
untuk menggabungkan semua lembaga yang ada pada tahun 2000 ke dalam Perusahaan
Asuransi Kesehatan Nasional, yang akhir-akhir ini dikenal sebagai Layanan Asuransi Kesehatan
Nasional (NHIS)106 (Kwon, 2009).
Gabungan antara masalah ekonomi negara sebagai akibat dari krisis keuangan Asia dan
pemberian bantuan IMF pada tahun 1997, serta perubahan dalam pemerintahan untuk pertama
kalinya dalam 40 tahun pada tahun 1998, memungkinkan pemerintah untuk mendorong
reformasi kesehatan dan kebijakan sosial (Kwon and Reich, 2005). Pada pemilihan Presiden
tahun 1997, Kim Dae-jung mencalonkan diri sebagai Presiden dan berhasil menggabungkan
lembaga-lembaga asuransi kesehatan untuk mengatasi ketidakadilan di bidang pembiayaan
kesehatan dan memperbaiki solidaritas sosial (Kwon, 2009).
106
Untuk menghindari kekeliruan, studi kasus ini akan menyebut organisasi sebagai NHIS meskipun mengacu pada
waktu ketika namanya masih Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional.
207
Gambar 3.
Cakupan penduduk yang dilindungi oleh asuransi kesehatan dan Bantuan Medis*
Sumber: Kwon, 2014; Bank Dunia, 2013
* Jumlah anggota dari semua program asuransi kesehatan, menggunakan jumlah dari berbagai
sumber, sedikit melebihi 100% di atas tahun 1987.
•
•
Penduduk pedesaan dan serikat-serikat buruh dari lembaga-lembaga asuransi wiraswasta
sudah lama mengusulkan penggabungan (Kwon dan Reich, 2005), sementara karyawan dan
pengusaha berkeberatan terhadap integrasi tersebut karena kekuatiran bahwa mereka harus
menanggung beaya subsidi-silang untuk para wiraswastawan. Reformasi penyesuaian
struktural yang dipaksakan oleh IMF menyita pikiran para pengusaha sehingga mereka tidak
merupakan kekuatan oposisi yang kuat untuk diperhitungkan pemerintah (Kwon, 2009).
Penggabungan menghasilkan adanya dua pendanaan terpisah di bawah satu penjamin
asuransi, satu dengan sasaran pekerja industri (yaitu karyawan) dan yang lain wiraswastawan
(Kwon, 2009). Kedua dana tersebut digabungkan pada tahun 2000 (Kwon, 2009) menjadi satu
mekanisme pendanaan terpadu pada tahun 2003 ( Jeong, 2011).
2. Identifikasi, Penentuan Sasaran, dan Pendaftaran
a. Mengidentifikasi sektor informal
•
Undang-Undang Asuransi Kesehatan Nasional tahun 1999 menetapkan dua kategori peserta
asuransi: peserta asuransi yang bekerja di perusahaan dan peserta asuransi wiraswasta.
Kategori “wiraswastawan”, yang meliputi sektor informal, menggambarkan jenis pekerja
sebagai berikut (Mathauer dan Xu, 2009):
o
o
o
o
o
o
o
208
wiraswastawan
pekerja harian yang dalam waktu setahun bekerja kurang dari sebulan
tentara
pejabat publik terpilih yang tidak menerima gaji bulanan
pekerja paruh-waktu yang bekerja kurang dari 80 jam dalam sebulan
pekerja sementara
pekerja yang tidak mempunyai tempat bekerja yang tetap
o
o
pengusaha yang tidak mempunyai tempat kerja yang tetap
pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja kurang dari 24 bulan
b. Penargetan Sektor Informal
•
•
•
•
•
Pekerja wiraswasta merupakan 28,2% dari jumlah keseluruhan tenaga kerja pada tahun 2012
(Bank Dunia, 2013).
Orang-orang yang tidak menerima asuransi kesehatan melalui pemotongan gaji otomatis
(yaitu kategori “bekerja”) atau melalui Program Bantuan Medis (MAP) untuk orang miskin
wajib didaftarkan sebagai “wiraswastawan”. Percontohan yang dilaksanakan secara intensif
pada tahun 1981-1987 melibatkan pemimpin-pemimpin masyarakat setempat untuk membantu
mendaftarkan para wiraswastawan, dan menggunakan pendaftaran rumah tangga untuk
mempermudah penentuan sasaran dan pendaftaran yang lebih cepat ( Jeong, 2010).
Dari waktu ke waktu, jumlah wiraswastawan yang diasuransikan menurun karena jumlah
usaha dengan karyawan yang terdaftar meningkat. Dari tahun 1995 sampai 2009, proporsi
wiraswastawan yang diasuransikan turun dari 51% menjadi 35% ( Jeong, 2010).
Ketika orang-orang yang dahulu bekerja kemudian memenuhi syarat untuk dilindungi oleh
asuransi wiraswastawan, mereka harus melaporkan status asuransi baru mereka kepada
Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) (Mathauer dan Xu, 2009).
Batas yang ada antara penduduk miskin, yang memenuhi syarat untuk menerima subsidi
penuh di bawah Program Bantuan Medis (MAP), dan mereka yang hampir miskin, yang
dilindungi oleh skema iuran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), mungkin perlu ditinjau
kembali karena banyak rumah tangga wiraswastawan terlambat membayar iuran mereka.
Salah satu pilihan adalah meningkatkan jumlah penduduk yang menerima subsidi penuh
dengan meninjau kembali kriteria penentuan sasaran kemiskinan (Kwon, 2013). Saat ini MAP
menargetkan mereka yang menerima penghasilan bulanan kurang dari 230.000 (USD196)
dan nilai properti yang lebih sedikit di bawah 29.000.000 (USD24.775) (Kwon, 2000).
c. Pendaftaran Sektor Informal
•
•
•
Pendaftaran dan keanggotaannya berbasis-keluarga, jadi pasangan, keturunan, saudara
laki-laki, saudara perempuan, and keturunan langsung dari wiraswastawan juga termasuk
dalam kategori wiraswastawan kecuali jika mereka, secara terpisah, dapat dianggap peserta
asuransi yang bekerja (Song, 2009). Namun, rumah tangga adalah unit yang menentukan;
tanggungan yang tidak tinggal dalam satu rumah tangga dengan peserta asuransi wiraswasta
harus membayar iuran secara terpisah (Mathauer dan Xu, 2009).
Suatu sistem pendaftaran keluarga yang kuat mengamanatkan agar anak-anak didaftarkan ke
dalam sistem perlindungan sosial dalam waktu tiga bulan setelah kelahirannya. Ketika anggota
program asuransi karyawan menjadi tidak memenuhi syarat lagi untuk program tersebut dan
dengan demikian memenuhi syarat untuk program asuransi wiraswasta, mereka harus
mendaftarkan perubahan tersebut ke kantor wilayah Asuransi Kesehatan Nasional (NHI).
Pemahaman yang baik mengenai nilai asuransi kesehatan, pengamalan cakupan kesehatan
yang menyeluruh (universal) selama dua puluh lima tahun, dan tingginya biaya kesehatan
tanpa asuransi, memberikan dorongan yang kuat untuk mematuhi peraturan ini. (Kwon,
2014).
Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) sedang mempertimbangkan untuk menyesuaikan
prosedur pendaftarannya agar dapat lebih selaras dengan keadaan sekarang. Keanggotaan
berbasis-keluarga dapat memperluas cakupan dengan baik jika sebagian besar dari rumah
209
tangga wiraswasta mempunyai satu pencari nafkah tunggal saja. Karena banyak rumah tangga
wiraswasta sekarang mempunyai beberapa pencari nafkah, ada pembicaraan untuk beralih
ke pendaftaran perorangan (Kwon, 2013).
3. Pembiayaan dan Pemberian Subsidi
a. Membiayai kesehatan dan subsidi
•
•
•
•
•
•
210
Sejak tahun 2002, pembiayaan per kapita Korea Selatan untuk kesehatan naik hampir 8,0%
per tahun, dan merupakan pertumbuhan yang paling cepat diantara negara-negara OECD
(Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebanyak dua kali lipat rata-rata
pertumbuhan mereka sebesar 3,6% per tahun (OECD, 2012).
Sementara pertumbuhan Korea Selatan secara keseluruhan dalam hal pembiayaan kesehatan
sangat berarti, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan lebih rendah dari rekan-rekan
OECDnya, yaitu 4,1% dari PDB. Ini membuat rumah tangga harus menutup 32,9% dari total
pengeluaran untuk kesehatan, salah satu satu tarif yang tertinggi dari negara-negara OECD
(Bank Dunia, 2013).
Pemerintah pusat memberikan sebagian subsudi kepada para wiraswastawan. Pada
awalnya, jumlah subsidi dikaitkan dengan pengeluaran untuk kesehatan, akan tetapi undangundang tidak menetapkan jumlah subsidi ini dan kisarannya sangat bervariasi (misalnya 54,5%
dari pengeluaran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) pada tahun 1988, 24,6% pada tahun
1999, dan 37,9% pada tahun 2001). Undang-Undang tahun 2002 mengamanatkan pemerintah
untuk membayar setengah dari pengeluaran total Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) untuk
manfaat dan biaya administrasi bagi wiraswastawan. Formulanya diperbaiki pada tahun 2006
untuk mengaitkan jumlah subsidi dengan pendapatan umum pemerintah dan bukan dengan
pengeluaran (Mathauer dan Xu, 2009).
Nilai subsidi saat ini diamanatkan sebesar 20% dari pendapatan Asuransi Kesehatan
Nasional (NHI) yang diharapkan, yang terdiri dari 14% dari pendapatan pajak umum dan
6% pajak tembakau, meskipun ini sering bervariasi sebagai bagian dari pendapatan yang
sebenarnya. Misalkan, subsidi dapat dipertanggung jawabkan 15% dari pendapatan total
Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) pada tahun 2011 – 13% dari pajak umum dan 2% dari pajak
tembakau. Subsidi ini berlaku untuk pendapatan Asuransi Kesehatan Tasional (NHI) bagi
wiraswastawan, yang menerapkan angka subsidi rata-rata yang berlaku untuk semua sektor
wiraswasta. Struktur subsidi ini timbul dari keprihatinan atas tantangan terhadap penilaian
yang saksama atas penghasilan para wiraswastawan, tapi dikritik karena tidak memberikan
lebih banyak dukungan kepada mereka yang kurang mampu membayar. Tidak ada isyarat
untuk merubah struktur subsidi tersebut karena adanya hambatan-hambatan politik, terutama
karena ada keyakinan bahwa jumlah pekerja di sektor informal berkurang dan dalam waktu
dekat tidak akan ada artinya lagi (Kwon, 2014).
Subsidi-silang dari karyawan peserta asuransi kepada wiraswastawan peserta asuransi hanya
sedikit (<2,5%) karena iuran rata-rata karyawan per kapita (iuran karyawan + pengusaha) lebih
dari rata-rata jumlah manfaat karyawan per kapita. Sebaliknya, rata-rata iuran per kapita untuk
kelompok wiraswasta hanya 57% dari rata-rata jumlah manfaat per kapita untuk kelompok
tersebut (Mathauer dan Xu, 2009).
Pengeluaran untuk kesehatan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan subsidi dan
sumbangan pemerintah (Mathauer dan Xu, 2011). Satu penyebab terhadap kecenderungan
ini adalah adanya sistem pembayaran upah-untuk-layanan pada penyedia layanan, yang
mendorong adanya bujukan terhadap permintaan yang dilakukan oleh pihak penyedia layanan
– khususnya penyedia layanan swasta (Kwon, 2014). Layanan Asuransi Kesehatan National
(NHIS) secara terus-menerus mengalami defisit antara tahun 1997 dan paling tidak tahun
2008, sebagian disebabkan karena adanya reformasi kesehatan di bidang obat-obatan (Kwon,
2007; Yang, 2008). Kemampuan keuangan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) untuk berlanjut
merupakan hal yang memprihatinkan dalam menghadapi defisit, meningkatnya biaya
perawatan kesehatan, kendala fiskal yang ketat, dan populasi yang menua serta menyusutnya
tenaga kerja (OECD, 2012).
b. Jumlah iuran
•
•
•
•
•
Iuran untuk wiraswastawan dihitung berdasarkan perkiraan atas penghasilan dan
penilaian terhadap nilai kekayaan. Pada tahun 2007, rata-rata iuran wiraswastawan per
rumah tangga kira-kira 24.065 (USD23) (Mathauer dan Xu, 2009).
Ada dua metode untuk menghitung penghasilan wiraswastawan, tergantung pada apakah
penghasilan tahunan yang dilaporkan sendiri berada di atas atau di bawah 5.000.000
(USD3.707). Perhitungan penghasilan keseluruhan kena pajak untuk mereka yang berpenghasilan di atas 5.000.000 (USD3.707) berbeda untuk kategori pendapatan yang berbeda
(misalnya pendapatan usaha, pendapatan usaha tani, pendapatan persewaan, penghasilan
kerja paruh-waktu, pensiun dll). Untuk mereka yang berpendapatan kurang dari 5.000.000,
perhitungan taksiran atas penghasilan memperhitungkan nilai sewa properti, pajak mobil yang
dibayar, dan usia serta jenis kelamin orang yang diasuransikan ( Jeong, 2010).
Iuran untuk wiraswastawan juga diperhitungkan berdasarkan kepemilikan properti yang setiap
tahun dinilai oleh administrasi pajak, termasuk nilai sewa properti, serta ukuran properti dan
mobil ( Jeong, 2010: Kwon, 2014).
Untuk menentukan jumlah iuran rumah tangga, penghasilan dan properti milik semua
anggota rumah tangga terkait digabungkan. Anggota-anggota rumah tangga yang tidak
terkait dapat memilih untuk dinilai secara terpisah sebagai perorangan atau bersama sebagai
satu rumah tangga (Mathauer dan Xu, 2009).
Iuran akhir dihitung dengan menetapkan skor poin pada faktor-faktor yang relevan, menjumlahkannya, dan mengalikannya dengan nilai poin (lihat Gambar 3) ( Jeong, 2010).
211
Gambar 4.
Perhitungan Skor Poin untuk Wiraswastawan
Sumber: Jeong, 2010
•
•
•
212
Tantangan utama untuk Korea Selatan adalah bahwa hanya sekitar 50% dari wiraswastawan
yang dilaporkan. Sementara perkiraan terhadap properti mencoba untuk menutupi sebagian
dari hal tersebut, para wiraswastawan masih dianggap membayar lebih sedikit dari
seharusnya ( Jeong, 2010).
Tantangan lain terkait dengan seringnya penerima manfaat mengajukan keberatan terhadap
iuran yang ditentukan. Karena beban kerja administratif untuk menilai penghasilan wiraswastawan itu banyak, dan orang masih sering mengajukan keberatan, maka Layanan Asuransi
Kesehatan Nasional (NHIS) berencana untuk menciptakan perhitungan iuran tunggal
baik untuk wiraswastawan maupun karyawan (Kwon, 2013; Newsworld, 2013). Disamping
itu, formula iuran yang dikaitkan dengan penghasilan dikritik karena terlalu rumit dan
telah menyebabkan ketidakadilan-ketidakadilan tertentu dalam hal iuran. Iuran sebagai bagian
dari pengeluaran rumah tangga dari semua yang dilindungi di antara kuintil termiskin dua kali
lebih tinggi dibandingkan dengan quitile terkaya (Mathauer dan Xu, 2009).
Akhirnya, telah dikemukakan keprihatinan mengenai beban iuran untuk mereka yang hampir
miskin yang tidak memenuhi syarat untuk menerima Program Bantuan Medis (MAP) untuk
orang miskin tapi masih mempunyai kemampuan terbatas untuk membayar iuran (Kwon,
2009).
Kotak 1. Percontohan Asuransi Kesehatan untuk Penduduk yang Berprofesi
sebagai Wiraswastawan, 1981 – 1987
Percontohan dianggap merupakan langkah penting untuk menguji “pembuktian konsep” dan
keberlangsungan politik dan administrasi. Tujuan khusus dari percontohan yang ditargetkan
pada penduduk yang berprofesi sebagai wiraswastawan adalah mengembangkan metode
pengumpulan iuran, merancang paket-paket manfaat asuransi, dan menentukan model untuk
penyediaan layanan kesehatan.
Percontohan pertama dimulai pada tahun 1981 dan dilaksanakan di tiga daerah pedesaan. Iuran
rumah tangga terdiri dan pembayaran rata-rata sebesar 1000 (US$1,5) dan iuran lain yang
ditetapkan oleh panitia setempat berdasarkan tingkat pajak yang dibayar, properti yang dimiliki,
standar kehidupan, dan faktor-faktor lain.
Percontohan kedua dimulai pada tahun 1982 dan dilaksanakan di dua daerah pedesaan dan satu
daerah perkotaan. Suatu pendekatan ‘empat variabel’ yang lebih rumit digunakan untuk
menghitung iuran. Iuran dasar termasuk iuran rata-rata per rumah tangga dan jumlah tambahan
yang dihitung berdasarkan jumlah orang dalam rumah tangga tersebut yang diasuransikan. Iuran
berbasis-kapasitas termasuk bagian yang dinilai berdasarkan penghasilan - yang ditetapkan oleh
tingkat penghasilan dan pajak atas tanah pertanian - dan bagian yang dinilai berdasarkan
properti, yang dihitung dari pembayaran pajak properti. Metode pengumpulan iuran yang
digunakan dalam percontohan kedua mirip dengan metode yang digunakan saat ini, dengan
beberapa perubahan. Percontohan mengungkapkan perlunya diberikan subsidi agar model
tersebut bisa berkelanjutan, karena pengumpulan terdahulu jauh di bawah target. Percontohan
dipusatkan di daerah perdesaan yang didominasi oleh pertanian dan perikanan, jadi ada
tantangan-tantangan yang terkait dengan mekanisme iuran untuk rumah tangga perkotaan
( Jeong, 2010).
c. Pengumpulan iuran
•
•
•
•
Sementara pada awalnya iuran dikumpulkan di kantor-kantor cabang Layanan Asuransi
Kesehatan Nasional (NHIS) setempat, saat ini kira-kira 90% dari rumah tangga mengirim
iuran mereka melalui sistem perbankan. Sejumlah kecil rumah tanga tetap membayar
langsung ke kantor-kantor cabang Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS), toko, atau
kantor pos. Metode pengumpulan lain, seperti transfer bank otomatis dan pembayaran internet
menggunakan kartu kredit juga ditawarkan untuk menaikkan tingkat pengumpulan iuran. Dari
peserta asuransi wiraswastawan, 60% membayar melalui transfer dana otomatis dan 9%
membayar lewat metode elektronik (Mathauer dan Xu, 2009; Jeong, 2010).
Lebih dari 1.500 karyawan Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) bertanggung
jawab atas pengumpulan iuran dimana tiap karyawan bertanggung jawab terhadap lebih
dari 10.725 peserta wiraswastawan. Karyawan-karyawan ini bertanggung jawab atas 2,4%
pengeluaran Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) pada tahun 2008 ( Jeong, 2010).
Rumah tangga wiraswastawa menerima tagihan bulanan dari Layanan Asuransi Kesehatan
Nasional (NHIS) dan dapat memilih untuk membayar iuran per bulan atau per kwartal
(Mathauer dan Xu, 2009).
Mungkin saja pengumpulan iuran secara administratif tidak effisien karena Layanan
Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) harus mengumpulkan iuran-iuran yang sangat kecil dari
jutaan rumah tangga wiraswasta. Lebih dari 75% rumah tangga membayar iuran kurang dari
100.000 (di bawah 100USD) per bulan. Disamping itu, kinerja pengumpulan tidak optimal,
karena perbedaan antara pengumpulan iuran yang sebenarnya dan yang ditargetkan untuk
213
•
•
peserta wiraswasta (26,2% pada tahun 2006) jauh lebih besar dari pengumpulan iuran peserta
karyawan (6,3% pada tahun 2006) (Mathauer dan Xu, 2009).
Lebih dari 25% rumah tangga wiraswastawa memiliki tunggakan pembayaran, akibat
dari ketidakmampuan penduduk yang hampir miskin untuk membayar iuran dan – dan lebih
parah lagi – penolakan untuk membayar dari sebagian orang yang mampu membayar tetapi
tahu bahwa mereka yang tidak membayar iuran secara tetap hanya akan dikenakan denda
kecil (Kwon, 2014). Rumah tangga-rumah tangga yang sementara tidak dapat membayar iuran
dapat mengajukan permohonan untuk diberi keringanan, jika tidak mereka akan dikenakan
denda pada saat Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) mengidentifikasi adanya
keterlambatan pembayaran pada saat mereka mengadakan peninjauan atas tagihan; denda
yang dikenakan sebesar 5-15% tergantung pada jangka waktu mereka tidak melakukan
pembayaran (Mathauer dan Xu, 2009).
Tingkat pengumpulan iuran dan cakupan penduduk untuk iuran asuransi kesehatan secara
historis lebih tinggi dari pensiun, asuransi kerja, atau asuransi kompensasi pekerja, maka pada
tahun 2011 Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) mulai mengeluarkan undang-undang
tunggal untuk wiraswastawan yang berlaku bagi semua program asuransi sosial (Kwon,
2013).
4. Paket Manfaat
•
•
•
•
•
214
Korea Selatan menawarkan satu paket menyeluruh (universal), yang jangkauannya terbatas
dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya. Dengan
menawarkan paket manfaat yang terbatas, pemerintah dapat memperluas pendaftaran secara
cepat sementara membatasi beban keuangan awal yang terkait dengan perluasan cakupan
(Kwon 2009).
Jenis asuransi dasar meliputi baik manfaat layanan (rawat inap, rawat jalan, obat-batan, dan
beberapa layanan pencegahan) maupun manfaat tunai (biaya pemakaman, kompensasi untuk
iuran tambahan yang melebihi pagu iuran tambahan. Tarif iuran tambahan untuk asuransi
rawat inap adalah 20%, rawat jalan 30-60%, dan untuk obat-obatan kira-kira 30%, termasuk
hampir semua obat resep dan beberapa obat tanpa resep (Xu dll, 2010).
Pagu iuran tambahan diperkenalkan pada tahun 2004 sebesar 3 juta (USD2.906), dan pada
tahun 2007 diturunkan menjadi 2 juta (USD1.937) (Xu dll., 2010). Ini kemudian dibedakan
menjadi 3 tingkat, tergantung pada penghasilan orang yang diasuransikan, dan lebih pada
tahun 2014 dibagi menjadi 7 tingkat (untuk kelompok berpenghasilan rendah diterapkan pagu
yang lebih rendah).
Orang-orang membeli produk-produk dan layanan yang tidak dilindungi oleh Asuransi
Kesehatan Nasional dan Individuals langsung dari penyedia layanan. Ini termasuk lensa kontak,
kacamata, prosedur-prosedur pilihan, dan layanan dengan tehnologi baru berbiaya tinggi
(misalnya, MRI, bedah robotik Da Vinci). Penyedia layanan dibayar atas dasar biaya-sesuai
dengan-layanan dan penyedia layanan swasta mewakili sebagian besar dari sistem kesehatan
di Korea Selatan. Para penyedia layanan ini memiliki dorongan yang kuat untuk menggunakan
layanan yang berhubungan- dengan tehnologi baru dan sering memberikan layanan yang
tidak diasuransikan dengan harga yang tinggi dan tidah diatur. Oleh karena itu, mengeluarkan
uang untuk Layanan Asuransi Kesehatan Nasional itu penting (Kwon, 2014).
Karena penghasilan meningkat dan penduduk menua, permintaan untuk kesehatan akan
meningkat bersamaan dengan desakan untuk memberikan cakupan manfaat yang lebih luas
dan mencakup proporsi biaya yang lebih besar (Mathauer dan Xu, 2011).
5. Informasi dan Kesadaran (Awareness)
•
Upaya penjangkauan skema ini dilakukan dengan hati-hati selama tahap skema ini mulai
digelar. Pemerintah pusat, yang pada saat itu masih sangat otoriter, menyelenggarakan
kampanye nasional dan mendorong organisasi-organisasi masyarakat setempat (misalnya,
perkumpulan wanita) untuk mempropagandakan skema dengan menggunakan metode yang
disesuaikan dengan keadaan setempat (Kwon, 2013).
6. Pelajaran yang Diperoleh
•
•
•
•
•
Campuran dari pembiayaan berbasis-pajak dan asuransi sosial berjalan dengan baik di Korea
Selatan, negara yang relatif homogen dengan wilayah geografi yang kecil, pemerintah pusat
yang kuat, dan desentralisasi yang terbatas.
Transisi yang cepat untuk mencakup seluruh penduduk mempersingkat waktu ketidakadilan
terkait dengan cakupan. Namun, kelengkapan paket manfaat (kedalaman cakupan) dan
perlindungan keuangan penduduk (luasnya cakupan) terbatas.
Komitmen politik yang kuat dan pemanfaatan waktu perluasan program-program sosial sekitar
pemilihan umum sangat menunjang.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penyusutan penduduk yang berwiraswasta secara
relatif membuat subsidi untuk wiraswastawan menjadi terjangkau dan secara politik sesuai.
Percontohan-percontohan merupakan langkah-langkah penting untuk menguji “pembuktian
konsep” dan keberlangsungan politik dan administrasi.
215
Referensi
Chun, C. B., Kim, S. Y., Lee, J. Y., & Lee, S. Y. (2009). Republik Korea: Tinjauan terhadap Sistem
Kesehatan. Sistem Kesehatan dalam Transisi, 11(7), 1–184.
Jeong HS. (2010). Memperluas cakupan asuransi ke populasi sektor informal: Pengalaman dari
Republik Korea. Laporan Kesehatan Dunia, Makalah Latar Belakang, 38. Organisasi Kesehatan
Dunia. Didapatkan kembali September 2013 dari: http://www.who.int/healthsystems/
topics/financing/healthreport/ RepKoreaNo38Final.pdf
Jeong HS. (2011). Asuransi Kesehatan Nasional Korea—Pelajaran dari Tiga Dekade Terakhir. Urusan
Kesehatan 30(1):136–144.
Kwon S. (2003). Reformasi pembiayaan kesehatan dan sistem pembayar tunggal baru di Republik
Korea: Solidaritas sosial atau effisiensi? Tinjauan terhadap Jaminan Sosial Internasional
56(1):75-94.
Kwon S dan MR Reich. (2005). Process Perubahan dan Politik Kebijakan Kesehatan di Korea. Jurnal
Politik Kesehatan, Kebijakan danUndang-Undang 30(6):1003-1025.
Kwon, S. (2000). Pembiayaan Kesehatan dan Penyampaian untuk Masyarakat Miskin di Korea.
Tinjauan Internasional mengenai Administrasi Masyarakat, 5(2), 37–45.
Kwon, S. (2007). Krisis Fiskal Asuransi Kesehatan Nasional di Korea: Mencari Paradigma Baru.
Kebijakan Sosial dan Administrasi 41(2): 162-178.
Kwon S. (2009). Tiga puluh tahun asuransi kesehatan nasional di Korea Selatan: pelajaran untuk
mencapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal). Hkebijakan dan Perencanaan Kesehatan
24(1):63–71.
Kwon S. (2013). Wawancara telepon (Agustus 22) dan presentasi pada “Forum Tingkat Tinggi
mengenai Memperluas Cakupan ke Sektor Informal” (1 Oktober di Yogyakarta, Indonesia).
Kwon S. (2014). Wawancara Telepon (21 Mei).
Mathauer I dan K Xu. (2009) Sebuah analisa terhadap sistem pembiayaan kesehatan Republik Korea
dan pilihan untuk memperkuat kinerja pembiayaan kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia.
Didapatkan kembali Oktober 2013 dari http://www.who.int/health_financing/documents/
hsfr_e_09-korea.pdf
Newsworld. (2013, November 15). Ex-Asisten Kementerian Kesehatan Menteri Kim Mengambil
Kemudi di Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIC). Newsworld. Seoul. Didapatkan
kembali April 2014 dari http://nw.newsworld.co.kr/cont/article2011/11/20111149.htm
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). (2012). OECD Tinjauan terhadap
Mutu Perawatan Kesehatan: Korea. Penilaian dan Saran. Didapatkan kembali October 2013
dari http://www.oecd.org/korea/49818570.pdf
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonom (OECD). (2013). OECD Data Kesehatan:
Perlindungan Sosial. Didapatkan kembali April 2014 from http://www.oecd-ilibrary.org/
social-issues-migration-health/data/oecd-health-statistics/oecd-health-data-socialprotection_data-00544-en
Song YJ. (2009) Sistem Perawatan Kesehatan Korea. JMAJ 52(3):206-209. Didapatkan kembali
October 2013 from http://www.coopami.org/en/countries/countries_partners/ south_korea/
social_protection/pdf/south_korean_health_care_system.pdf
Bank Dunia. (2013). Indikator-IndikatorPembangunan Dunia. Didapatkan kembali September 2013
dari data.worldbank.org
216
Xu K, Jeong HS, Saksena P, Shin JW, Mathauer I, dan Evans D. (2010). Perlindungan Resiko Keuangan
Asuransi Kesehatan Nasional di Republik Korea: 1995-2007. Laporan Kesehatan Dunia,
Makalah Latar Belakang, 23. Organisasi Kesehatan Dunia. Didapatkan kembali September
2013 dari http://www.who.int/healthsystems/topics/financing/healthreport/23RepKorXU.
pdf
Yang, B. (2008, September 7). Sistem Perawatan Kesehatan dan Asusransi Kesehatan Nasional di
Korea Selatan. Disajikan pada ISPOR Kongres Asia-Pasifik ketiga, Seoul. Didapatkan kembali
April 2014 dari http://www.ispor.org/news/articles/Oct08/HCSystemsSKorea.asp
217
NOTA
#24 KEBIJAKAN
Menjadi Pembeli yang memiliki
Strategi: Gagasan untuk BPJS107
Pengertian “Strategi Membeli”
Makna “strategi membeli” dalam sistem jaminan sosial kesehatan adalah membelanjakan uang
secara bijaksana, pro-aktif, melindungi masyarakat miskin, dan minimal meliputi tiga (3) tuas
kebijakan penting: paket manfaat, kontrak dengan fasilitas kesehatan (faskes), serta pembayaran
faskes. Karena itu, sistem kendali mutu sangatlah penting dan Indonesia dapat belajar dari Korea,
Thailand, serta Taiwan yang merupakan model sangat baik bagi Indonesia.
Paket Manfaat
Paket manfaat yang saat ini telah berintegrasi menjadi satu menunjukkan keadilan yang lebih
merata setidaknya secara normatif di atas kertas. Namun, masih terdapat perbedaan pada cakupan
rawat inap antara kelompok peserta yang satu dan yang lainnya, misalnya peserta PBI yang
mendapat kelas perawatan lebih rendah. Hal ini perlu untuk dihapuskan secara bertahap. Selain
itu, masih terjadi perlakuan istimewa bagi peserta PNS melalui cara-cara khusus.
Paket manfaat masih harus terus berekspansi dan berintegrasi pada beberapa dimensi. Salah
satunya adalah paket manfaat pada FKTP. Sesuai peraturan, paket manfaat ini mencakup pelayanan
medis, obat-obatan, tes laboratorium rutin, alokasi investasi, pelatihan, dan sertifikasi. BPJS mencakup kesehatan ibu dan bayi (mengadopsi Jampersal), vaksin dari pemerintah (tidak termasuk spuit,
jarum suntik, dll), pengobatan penyakit menular, serta obat-obatan. Pembayaran non-kapitasi
digunakan untuk obat Puskesmas dan kunjungan rumah yang masih menjadi masalah bagi faskes
di daerah terpencil serta beberapa layanan rawat jalan khusus.
Namun, pelayanan kesehatan yang penting seperti kesehatan reproduksi menjadi kurang terkoordinasi, misalnya dalam hal apa saja yang tercakup dalam pelayanan tersebut. Selain itu, terdapat
pula beberapa pelayanan primer melalui program vertikal pemerintah seperti kontrol HIV/AIDS
dan Tuberkulosis (TB). Hal ini perlu untuk ditinjau kembali dalam hal biaya serta perlunya untuk
diintegrasikan ke dalam sistem utama yang ada saat ini.
107
Catatan Kebijakan ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mengakses policy brief lainnya
silahkan mengunjungi www.aiphss.org
219
Tunjangan untuk asupan gizi bagi ibu dan anak-anak relatif murah serta memiliki potensi yang luar
biasa dalam investasi SDM bagi Bangsa di masa depan.
Paket manfaat juga dapat dikurangi di beberapa hal. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan costsharing bagi kelompok yang tidak masuk ke dalam kategori miskin. Cost sharing dapat mendorong
pertumbuhan asuransi kesehatan swasta yang dapat menyuntikkan lebih banyak dana ke dalam
sektor kesehatan.
Paket manfaat tentunya akan berproses secara dinamis dan akan terus mengalami perubahan.
Perlu untuk dilakukan pembaruan paket manfaat secara terus-menerus melalui Penapisan
Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment) serta analisa pada perubahan profil penyakit
dan selera konsumen.
Kontrak dengan Fasilitas Kesehatan
Kerja sama atau kontrak dengan faskes saat ini masih rendah. Kerja sama dengan faskes harus
terus diperluas baik dengan pihak pemerintah atau swasta. Kontrak ini dapat digunakan untuk
meningkatkan mutu dan efisiensi serta memungkinkan untuk membangun sistem informasi dan
penelusuran yang lebih baik. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia masih tertinggal
jauh dalam memanfaatkan tuas kebijakan ini.
Dalam sistem JKN ini, BPJS perlu untuk melakukan lompatan besar dalam hal peningkatan kerja
sama dengan faskes secara selektif atau cara lain. Otoritas ini dapat digunakan oleh BPJS untuk
segera menetapkan hal-hal berikut kepada faskes, antara lain:
•
•
•
•
•
•
Mengikuti pedoman rujukan;
Mematuhi standar pengkodean untuk penggantian biaya dan standar mutu INA-CBG;
Mematuhi sistem pengkodean farmasi yang saat ini sedang dikembangkan;
Mematuhi pelaporan biaya menurut template yang ada. Pelaporan ini pertama kali dikembangkan
oleh skema Jamkesmas atas dasar sukarela, tetapi template pelaporan tersebut perlu disempurnakan dan harus bersifat wajib seperti pada sistem asuransi kesehatan sosial lainnya;
Mematuhi pedoman mutu, standar, dan protokol pelayanan kesehatan, dan
Membuat kontrak dengan semua pekerja di faskes milik pemerintah, walaupun akan sering
terjadi keluhan mengenai ketidakresponsifan dan tidak efisiennya faskes milik pemerintah
tersebut.
Pembayaran Fasilitas Kesehatan
Saat ini telah tersedia model pembayaran yang canggih. Namun, model ini belum tepat dan masih
memerlukan perbaikan serta penyempurnaan. Penyesuaian terhadap variasi biaya dan berbagai
jenis/ tipe pasien dan penyakit yang ditangani (case-mix) di tingkat provinsi masih perlu untuk
dilakukan. Monitoring dan evaluasi juga perlu ditingkatkan di beberapa dimensi seperti penggunaan
obat-obatan, rujukan dini, dan lain-lain.
Ke depannya, BPJS perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas, pengembangan data, analisis, dan penyempurnaan yang mencakup daftar prioritas masalah yang memiliki
dampak jangka panjang. BPJS perlu bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan dan PPJK untuk
mengembangkan strategi komprehensif dalam waktu 2-3 tahun ke depan dalam meningkatkan
kapasitas di bidang data, pengembangan perangkat lunak grouper yang sudah disempurnakan, dan
220
pembentukan tim internal BPJS yang terdiri dari para ahli yang dapat memenuhi kebutuhan dalam
hal berikut:
•
•
•
•
•
pengkodean dan TI;
penyempurnaan case-mix;
costing;
tinjauan mutu dan utilisasi, dan,
pembaharuan serta pemantauan sistem di berbagai tingkat (tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota, rumah sakit, fasilitas kesehatan primer).
Berikut adalah beberapa gagasan lebih spesifik untuk kempemimpinan di dalam BPJS.
Kontrak
BPJS dapat segera menggunakan otoritas pembuatan kontrak mereka dengan menetapkan hal-hal
berikut:
•
•
•
•
•
Mengikuti pedoman rujukan;
Mematuhi standar pengkodean untuk penggantian biaya dan mutu INA-CBG;
Mematuhi sistem pengkodean farmasi yang saat ini sedang dikembangkan;
Mematuhi pelaporan biaya menurut template biaya standar, misalnya seperti yang pertama
kali dikembangkan oleh skema Jamkesmas; dan,
Kontrak untuk semua pekerja di fasilitas sektor publik. Keluhan yang sering diajukan adalah
faskes milik pemerintah tidak responsif atau tidak efisien.
Kontrak adalah langkah pertama untuk membuat faskes milik pemerintah lebih responsif. Dengan
aplikasi INA-CBG, Rumah Sakit pemerintah akan perlu untuk mempertimbangkan komposisi
pegawi yang ada saat ini dengan tetap mempekerjakan, memberhentikan, atau merubah susunan
staf. Kontrak akan memberikan manajer Rumah Sakit fleksibilitas dalam mengatur struktur insentif.
Sama halnya dengan FKTP dan kapitasi.
Sesuai UU BPJS, BPJS sebagai pembayar tunggal harus membuat kontrak dengan setiap faskes
yang bekerja sama dengan BPJS sebagai penggantian biaya atas layanan yang mereka sediakan.
Penggantian biaya ini termasuk fasilitas perawatan primer dan jasa dokter. Saat ini BPJS sudah
mulai mengalokasikan dana langsung ke Puskesmas tanpa melalui BOK lokal. Bentuk kontrak
langsung yang baru ini menjadi platform untuk aliran dana yang langsung menuju Puskesmas dan
semua penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberikan kemudahan bagi Kementrian
Keuangan dan dapat memastikan dana yang dialirkan akan benar-benar dimanfaatkan untuk
pelayanan kesehatan. Hal ini juga dapat memastikan bahwa semua dana benar-benar sampai ke
tangan penyedia layanan kesehatan – sebagaimana mestinya.
Untuk faskes swasta, sebaiknya kontrak hanya dilakukan dengan masing-masing faskes, bukan
dengan asosiasi faskes swasta yang bertindak sebagai perantara. Hal ini dapat menciptakan potensi
penipuan dan penyalahgunaan, dan akan sulit untuk dilakukan pemantauan dan evaluasi kinerja.
Seiring dengan sistem data yang semakin berkembang dan lebih kuat, di masa depan, pembuatan
kontrak dapat digunakan untuk menangani manajemen penyakit tidak menular secara lebih baik
seperti hipertensi dan diabetes, serta pengendalian TB dan penyakit menular lainnya. PT Askes
telah menunjukkan bukti nyata dalam hal tersebut.
221
Pembuatan kontrak adalah alat yang ampuh untuk mencapai efisiensi dan keadilan, dan BPJS harus
memanfaatkannya sejauh mungkin di tahun-tahun berikutnya untuk sektor publik maupun
swasta.
Tantangan Terbesar: Meningkatkan INA-CBG
Sistem INA-CBG Rumah Sakit untuk semua peserta BPJS perlu untuk diberikan perhatian khusus.
Perangkat lunak yang ada saat ini adalah perangkat “bajakan” yang dikembangkan dari perangkat
lunak curian yang dikembangkan di luar Indonesia berdasarkan pola praktik klinis dan struktur
biaya Amerika Serikat.
Dalam tahun-tahun mendatang, CBG harus mencerminkan struktur biaya dan pola praktik klinis
lokal. Hal ini membutuhkan sebuah tim ahli teknis nasional yang tidak beranggotakan manajer
rumah sakit (seperti saat ini, yang bisa mendorong terjadinya korupsi). Sebaliknya, perlu dibentuk
sebuah tim teknis baru di BPJS yang dapat menilai dan menyempurnakan perangkat lunak grouper
secara obyektif dan empiris untuk menghasilkan tarif. Hal ini memerlukan kerja sama antara
Kementerian Kesehatan, BPJS, dan universitas atau ahli lain di Indonesia.
Kepengurusan untuk perbaikan perangkat lunak ini harus segera dialihkan dari Kementerian Kesehatan ke BPJS.
Kotak 1:
Bagaimana Tingkat Akurasi INA CBG Saat Ini?
Seberapa akurat format klaim untuk penggantian biaya INA-CBG? Sebuah kajian oleh Universitas
Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari semua diagnosis kardiovaskular (CVD) di
Indonesia mungkin tidak akurat. Bisakah hal ini diekstrapolasikan ke bidang perawatan lain di luar
CVD?
Kajian kedua oleh WHO di berbagai negara menemukan bahwa selama ini Indonesia melakukan
perencanaan dan pengkodean dengan benar hanya sekitar 31%. Kombinasi salah diagnosis dan
format klaim yang dikodekan dengan buruk menunjukkan bahwa lebih dari 80% penggantian biaya
klaim mungkin tidak mencerminkan kebutuhan akurat pasien untuk perawatan atau penggunaan
sumber daya relatif.
Kajian-kajian tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa akurat INA CBG saat ini dan
masalah apa yang bisa timbul jika INA-CBG ini terus digunakan untuk pembayaran dalam format
saat ini.
Sumber: D. Dunlop, Universitas Indonesia dan G. Hatta, Kemenkes (2014)
Sebuah basis data analisis diperlukan untuk menyempurnakan perangkat lunak grouper. Bisa
dibentuk sebuah program kemitraan yang bekerja sama dengan satu atau lebih perguruan tinggi
di Indonesia, dengan Australia dan Negara-negara lain seperti Thailand, Polandia, dan Jerman,
yang memungkinkan para ahli Indonesia bekerja dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga di
sektor publik dan universitas yang memiliki kajian dalam pembayaran rumah sakit atau bekerja di
bidang yang terkait dengan pembayaran seperti pengembangan grouper, costing, impact analysis,
pengembangan regulasi, dan peningkatan sistem pengkodean.
222
Bagaimana Kesiapan Penyedia Layanan Kesehatan? Saat ini, sistem pembayaran kekurangan
infrastruktur informasi dan pengkodean yang baik, dan sistem jaminan mutunya mungkin masih
lemah. Rumah Sakit Pemerintah mungkin perlu otonomi yang lebih besar melalui BLUD dan
kebijakan lain untuk “bereaksi” terhadap sinyal pasar baru di bawah sistem pembayaran baru.
Pemantauan dan Evaluasi. Perlu dikembangkan sebuah rencana strategis untuk pemantauan dan
penyempurnaan sistem pembayaran selama lima (5) tahun ke depan.
Pay-for-Performance. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah pembayaran
kompensasi berbasis kinerja (pay-for-performance) untuk bidang prioritas seperti kesehatan ibu
dan anak, imunisasi, serta layanan perawatan TB dan HIV. Proyek percontohan di NTT dan Jawa
Timur masih belum dirancang. Pengalaman global dapat mengajarkan beberapa prinsip yang dapat
dilihat secara lebih mendalam di dalam laporan lengkap.
Lebih Mendalam: Menyempurnakan INA-CBG
Dapat dibentuk sebuah program kemitraan yang bekerja sama dengan satu atau lebih perguruan
tinggi di Indonesia, dengan Australia dan negara-negara lain seperti Thailand, Polandia, dan
Amerika Serikat, yang memungkinkan para ahli di Indonesia bekerja di Australia dan tempattempat lain selama 6-9 bulan dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga di sektor publik dan di
universitas yang melakukan kajian dalam pembayaran rumah sakit atau bekerja di bidang yang
terkait dengan pembayaran seperti pengembangan grouper, penetapan biaya, analisis dampak,
pengembangan regulasi, dan sistem pengkodean baru. Kegiatan tambahan dalam kemitraan ini
akan mencakup pelatihan di Indonesia yang diberikan oleh para ahli dari Australia dan ahli
internasional lainnya mengenai topik khusus yang berhubungan dengan INA CBG, dan studi
banding ke Australia oleh pejabat dari Indonesia untuk melihat proses pembayaran dan bertemu
dengan para ahli di sana.
Profesor Ric Marshall, dari Inggris dan Australia, baru-baru ini memberikan beberapa alasan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kualitas data yang saat ini masih jauh dari baik dan tidak stabil. Dengan menerapkan strategi
implementasi selama 3-5 tahun, Dr. Marshall menawarkan beberapa manfaat, antara lain:
1.
Pembentukan sistem pengukuran mutu, yang dapat mencakup sistem pelacakan mutu i)
mencegah admisi (rawat inap) yang tidak perlu, ii) menjamin perawatan yang dibutuhkan
untuk pasien yang dirawat inap dan iii) mencegah pasien keluar RS lebih awal yang seringkali
dapat menimbulkan pasien dirawat inap RS kembali yang mahal, biayanya bagi rumah sakit
dalam waktu 90 hari;
2. Peningkatan sistem pengkodean, termasuk penggunaan semua kode ICD-9 dan ICD-10. Dari
semua kode, saat ini hanya kurang dari 10 persen yang digunakan. Dibutuhkan waktu yang
panjang untuk membentuk tim ahli pengkodean yang terlatih dan mengembangkan standar
nasional untuk pengkodean. Saat ini, pihak rumah sakit melatih petugas pengkode (coder)
secara mandiri yang menghasilkan perbedaan dalam pengkodean di seluruh Rumah Sakit.
Peningkatan dalam sistem pengkodean dapat menciptakan keadilan yang lebih baik dalam
pembayaran pasien dengan kondisi sakit yang lebih buruk dan keadilan dalam penggantian
biaya di seluruh Rumah Sakit;
223
Tabel 1:
Data Apa yang Harus Diperoleh Saat Pendaftaran Pasien Masuk?
Variabel yang digunakan untuk pengelompokan dalam sistem CBG Australia saat ini
1. Diagnosis (multipel)
2. Prosedur (multipel)
3. Jenis Kelamin
4. Usia
5. Jenis event end
6. Lama dirawat
7. Hari cuti
8. Berat saat masuk
9. Status kesehatan mental
10. Status hari yang sama.
Perangkat lunak “Grouper” dapat menerima hingga 30 kode diagnosis dan 30 kode
prosedur per pendaftaran
3. Peningkatan sistem costing, termasuk template costing baru untuk memperoleh lebih banyak
data utilisasi. Model penentuan biaya saat ini terlalu bergantung pada rata-rata lamanya
dirawat (RLD) dan terlalu dasar. Program perangkat lunak seperti COMBO (level 1) dapat
digunakan sebagai langkah berikutnya. Dr. Marshall menyarankan i) memulai dengan contoh
kecil beberapa sumah sakit yang memiliki sistem penentuan biaya (costing) terbaik, ii) beralih
ke sampel rumah sakit yang representatif yang dikelompokkan berdasarkan semua jenis
rumah sakit dan iii) ekstrapolasi biaya untuk semua rumah sakit di Indonesia. Sampel tidak
perlu besar. Dr. Marshall menyarankan cukup 10%. Di Jerman, sampel biaya dari 70 rumah
sakit digunakan untuk mewakili seluruh Jerman. Di Filipina, digunakan kurang dari 20 rumah
sakit sebagai langkah pertama. Kementerian Kesehatan/Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan saat ini menyimpan data biaya 200+ rumah sakit, yang telah digunakan saat ini.
Depkes juga menyimpan lebih dari 100 data rumah sakit tetapi laporan biayanya tidak pernah
diaudit dan diverifikasi;
4. Pengaturan pembuatan kontrak dan pembelian yang lebih jelas, di mana ketentuan dan
aturannya jelas dan disusun dengan baik, di mana klaim diproses dengan cepat, di mana ada
pembayaran otomatis atas semua klaim dengan sampel audit sebesar 5-10% dari dua (2) jenis
klaim: klaim biaya tinggi dan klaim berisiko tinggi. Sebelum tahun 2014, dilakukan audit klaim
100% oleh verifikator di bawah Jamkesmas. Hal ini jelas-jelas menghambur-hamburkan dana
publik. Selanjutnya, harus ada aturan yang jelas dengan insentif dan sanksi untuk pelaporan
biaya dan informasi klinis secara benar, dengan memberlakukan hukuman untuk penipuan;
5. Saatnya untuk mengembangkan pemodelan anggaran-netral, atau analisis dampak, untuk
lebih memahami faskes mana yang akan memperoleh pendapatan di bawah sistem baru dan
fasilitas mana yang tidak. Sehubungan dengan tahun 2013, bagaimana perubahan pendapatan
untuk setiap rumah sakit? Banyak yang akan berubah... misalnya, premi per orang akan naik,
pembayaran out-of-pocket akan turun, alokasi tarif dasar relatif untuk perawatan primer dan
perawatan sekunder akan berubah (meskipun alokasi bagian yang tepat belum diketahui), dan
sebagainya. BPJS harus mengetahui siapa yang akan menikmati surplus lebih (lebih bayar) dan
faskes apa yang akan menjadi menerima pendapatan kurang (kurang bayar) karena inefisiensi
relatif dalam struktur biaya faskes tersebut. Pada akhir tahun 2013, Dr. Marshall menyarankan
beberapa realokasi di tahun-tahun awal dari pihak yang menerima lebih bayar ke pihak yang
menerima kurang bayar untuk melindungi dari risiko fiskal dan memberikan waktu bagi rumah
sakit yang “merugi” untuk melakukan restrukturisasi dan agar lebih efisien. Bagaimana
224
melakukan realokasi di tahun-tahun awal? Pendekatan yang umum digunakan di negaranegara lain adalah dengan menggunakan formula campuran di tahun-tahun awal pentahapan
(phase-in), misalnya, 25% INA-CBG dan 75% menggunakan pembayaran konvensional dengan
meningkatnya persentasenya dalam waktu 3-4 tahun. Dr. Marshall menyarankan kombinasi
5%/95% pada tahun ke-1 (2014) meskipun pemerintah menolak gagasan tersebut.
Isu Kebijakan INA-CBG Lainnya
Dan masalah praktis lainnya. Antara lain:
Kemampuan: Apakah provider memiliki kemampuan yang adekuat dalam menyediakan layanan
kesehatan? Bagaimana dari segi pembayar? Pada bulan Januari, sekitar 325 dari 1.600 rumah sakit
tidak memiliki pengalaman sama sekali dengan CBG. Kemampuan untuk mengelola dan
meningkatkan kesadaran akan isu-isu biaya dapat memakan waktu yang lama.
Fasilitas Publik dan Swasta: Diperlukan informasi lebih lanjut mengenai biaya dan variasi kasus
(case-mix) agar dapat membayar fasilitas umum dan swasta dengan lebih adil. Apakah tingkat
keparahan variasi kasus (case-mix) berbeda antara rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit
swasta? Apa yang dapat dilakukan untuk “memberikan peluang yang sama” pada rumah sakit
swasta yang tidak menerima subsidi supply side untuk modal, alkes dan pembiayaan program?
Faskes pemerintah akan terus menerima lebih dari setengah (mungkin sebesar 60%) pendapatan
dari subsidi diluar pembayaran INA-CBG. Pembayaran untuk fasilitas swasta perlu disesuaikan ke
atas untuk memberikan subsidi serupa -- atau -- pembiayaan supply side harus dihentikan kepada
RS pemerintah, dengan semua dana dikumpulkan di bawah naungan BPJS. Pendekatan kedua akan
lebih disukai.
Volume Cap: Potensi ledakan volume admisi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN/
UHC) dapat timbul saat hambatan keuangan berkurang, individu dan keluarga merasa memiliki
kemampuan finansial dan akan lebih aktif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Di banyak
negara, penggunaan CBG sendiri telah menyebabkan peningkatan volume admisi. Ditambah
dengan inisiatif JKN/UHC di Indonesia, volume admisi dapat meledak dimulai pada tahun 2014,
seperti apa yang telah terjadi di Jakarta di bawah skema Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada tahun 2013.
BPJS mungkin dapat memulai volume cap melalui pengadaan kontrak dengan fasilitas atau dengan
daerah. Hal ini dilakukan di banyak negara lain – hampir semuanya merupakan negara-negara di
Eropa Barat dan beberapa negara di Asia (Taiwan dan Thailand). Akan lebih bijak jika Indonesia
memulai dengan “soft cap” yang mungkin memberikan beberapa fleksibilitas seputar target volume
cap.
Program Bertahap (Phase-in Program) untuk Perubahan yang Dibutuhkan
Mengingat begitu banyaknya tantangan, garis besar pada draf pertama dapat mencakup apa yang
dapat dilakukan pada program bertahap (phase-in program), tahun ke tahun, secara seksama.
Tahun ke-0: 2014
Harus dikembangkan strategi Bertahap (Phase-In strategy) yang menjelaskan langkah-langkah
program 3-4 tahun ke depan di bidang peningkatan:
225
•
•
•
•
Klasifikasi
Pengkodean
Penetapan Biaya
Pembuatan kontrak
Roadmap ini dapat berisi uraian ilustrasi di bawah ini:
Tahun ke-1: 2015
Klasifikasi:
Menyempurnakan grouper INA-CBG seperti berdasarkan beberapa analisis dampak awal dan
pemodelan anggaran-netral menggunakan data BPJS untuk enam (6) bulan pertama implementasi.
Hal ini dapat mencakup i) penghapusan kelompok berdasarkan prosedur, ii) penyederhanaan
jumlah kategori, dan iii) strategi untuk berpindah ke tingkat dasar tunggal. Para ahli dari satu atau
perguruan tinggi lebih di Indonesia bisa mulai melaksanakan pekerjaan ini segera dengan
membangun kumpulan data analitik.
Pengkodean:
Diperlukan beberapa langkah.
Mengembangkan dan menyelesaikan kamus data berdasarkan kontrak baru, dan mengujinya, dan
melatih orang untuk menggunakannya. Sekarang di bawah kepengurusan Pusdatin Depkes, sangat
penting untuk memiliki sistem pengkodean terstandarisasi dan lebih tepat. Jadwal saat ini
mengharuskan agar sistem ini diselesaikan pada pertengahan 2014.
Dikembangkan sistem ID tunggal (unique identifier) untuk semua dokter dan semua fasilitas dengan
karakteristik seperti kota/desa, ukuran tempat tidur, status pengajaran, jumlah tempat tidur di
setiap tingkat kelas.
Mengembangkan program pelatihan untuk petugas pengkode (coder), dengan program terstandarisasi dan buku panduan untuk pengkodean secara konsisten di semua fasilitas di Indonesia.
Dokter akan bertanggung jawab untuk penyediaan data yang digunakan untuk pengkodean.
Namun, dokter sebaiknya TIDAK diminta untuk melakukan pengkodean.
Petugas pengkode (coder) perlu diakreditasi dalam beberapa hal, sama seperti faskes yang diakreditasi. Proses ini membutuhkan waktu 4-5 tahun di Jerman, tetapi dengan menggunakan INA-CBG
di bawah Jamkesmas di Indonesia, mungkin program ini akan membutuhkan waktu yang lebih
sedikit. Hibah pemerintah ke provinsi dapat digunakan untuk memulai program pelatihan dengan
melatih petugas pengkode (coder); petugas bisa perawat atau tenaga tambahan lainnya. Petugas
pengkode (coder) yang terlatih ini dapat membentuk asosiasi profesional di masa datang. BPJS
dapat mensyaratkan setiap rumah sakit yang dikontrak HARUS memiliki 1 orang petugas pengkode
(coder) terakreditasi mulai tahun 2017 untuk mendorong meningkatkan petugas pengkode terlatih.
Pengembangan program audit pengkodean yang baru oleh BPJS, termasuk program perangkat
lunak baru dan verifikator terlatih untuk BPJS.
Mengadopsi ICD-10 atau ICD-11. Saat ini yang digunakan adalah sistem ICD-9, namun hanya karena
sistem ini cocok dengan perangkat lunak grouper curian yang sudah ketinggalan jaman tersebut.
Penetapan biaya:
Dikembangkan template penetapan biaya yang baru dengan menggunakan sistem perangkat lunak
COMBO tingkat 1. Template penetapan biaya dapat dikembangkan bersama dengan konsultan ahli
DRG Australia.
226
Formula Pembayaran:
Jika tarif pembayaran terus menimbulkan malapetaka bagi penyedia layanan kesehatan, dapat
diterapkan campuran antara INA-CBG + Historis Jumlah Pembayaran (disesuaikan dengan inflasi).
Dapat dipertimbangkan kombinasi 50%/50%.
Mutu:
Pengembangan indikator monitoring jaminan mutu, oleh Depkes atau BPJS, untuk mencegah
admisi (rawat inap) yang tidak perlu, terkait dengan layanan perawatan yang dibutuhkan selama
rawat inap, dan untuk mencegah keluar RS lebih awal dan readmisi (rawat inap kembali) dalam
waktu 90 hari. Tabel 2 (di bawah) menunjukkan indikator untuk sistem asuransi kesehatan Korea.
Pembuatan kontrak:
Kontrak dengan semua penyedia layanan kesehatan, dengan aturan yang jelas untuk semua
pelaporan informasi klinis dan biaya.
Monitoring dan Evaluasi:
Sistem monitoring dan evaluasi yang ditetapkan menggunakan data dasar.
Tahun ke-2: 2016
Pengkodean:
Mengembangkan sistem pengkodean standar menggunakan ICD 10 – semua kode harus
dimasukkan dalam sistem pemrosesan klaim.
Dikembangkannya perangkat lunak untuk meninjau upcoding. Laporan anekdotal menunjukkan
upcoding sudah terjadi di beberapa rumah sakit di Indonesia, hingga 20% dari tahun ke tahun.
Costing:
Pengembangan standar baru untuk template pengkodean untuk faskes dan fasilitas biaya.
Pembuatan kontrak:
Kontrak dengan semua verifikator terakreditasi dan tim jaminan mutu terkait
Formula Pembayaran:
Campuran antara INA-CBG + Historis Jumlah Pembayaran (disesuaikan dengan inflasi). Dapat
direkomendasikan kombinasi 75%/25%, mirip dengan rekomendasi Dr. Marshall.
Komunikasi:
Laporan Tahunan publik mengenai kinerja sistem harus mulai disusun dan dikirimkan ke pemangku
kepentingan utama seperti pihak rumah sakit, DPR/DPRD, dan lain-lain.
Tahun ke-3: 2017
Pengkodean dan Data:
Pengumpulan informasi mengenai pola dan biaya klinis
227
Klasifikasi:
• Penyempurnaan grouper berdasarkan data klinis
• Penyesuaian khusus yang baru untuk wilayah geografis, pendidikan, kapasitas tempat tidur,
dan sebagainya
Penetapan Biaya:
• Analisis dampak yang sedang berlangsung – pada tingkat faskes
• Template biaya yang direvisi berdasarkan analisis
• Musyawarah dengan Kementrian Keuangan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pada
faskes milik pemerinyah yang tidak efisien dan gagal secara finansial
Komunikasi:
Laporan Tahunan ke-2 mengenai jalannya sistem diselesaikan dan dikirim ke para pemangku
kepentingan utama seperti pihak rumah sakit, DPR/DPRD, dan pihak lainnya.
Pengkodean harus mendapatkan perhatian khusus di luar lingkup pembiayaan kesehatan karena
pengkodean berdampak pada mutu pelayanan juga. Fakultas-fakultas Kedokteran di Indonesia
harus mengajarkan dan menekankan keterampilan kerja yang lebih praktis dalam dokumentasi
klinis. Jika jadwal perkuliahan sudah penuh, dapat diberikan alternatif kepada mahasiswa untuk
mendaftar kelas khusus dalam program dokumentasi klinis. Jika pihak fakultas belum memiliki
jenis program ini, badan lain seperti lembaga kesehatan pendidikan lain atau organisasi profesi
dapat menciptakan program tersebut. Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan
Ikatan Dokter Indonesia harus memahami pentingnya keterampilan ini.
Mahasiswa kedokteran perlu mempelajari kembali tentang bagaimana membuat diagnosis akhir
dan menyusun buku pedoman standar dalam menetapkan diagnosis.
PORMIKI (Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia, yang
didirikan tahun 1989) telah diminta untuk mengembangkan modul yang terkait dengan ICD-10,
dan modul ini akan digunakan secara nasional untuk petugas pengkode (coder). Petugas pengkode
ICD 10 harus lulus Program Diploma di bidang Manajemen Informasi Kesehatan (yang dikenal
sebagai Sekolah Manajemen Rekam Medis dan Informasi). Meskipun ada hampir 40 sekolah
Manajemen Informasi Kesehatan (“HIM”) yang tersedia di Indonesia, tutor atau dosen ICD 10 tidak
selalu memiliki latar belakang kualifikasi mengajar atau menggunakan metode mengajar yang
sama dalam pengajaran ICD 10, dan hal ini merupakan persoalan yang juga harus ditangani dalam
jangka menengah.
Proyek Percontohan Pay For Performance (“P4P”)
Proyek percontohan harus dirancang dan dikembangkan oleh BPJS dan Kemenkes untuk menguji
apa yang dapat diterapkan dan di lokasi mana di Indonesia. Jika berhasil, proyek ini harus dievaluasi
serta ditingkatkan. DFAT/AusAID juga sedang merancang program-program pembayaran kompensasi berbasis kinerja (pay-for-performance) untuk program kesehatan ibu dan anak yang baru di
berbagai provinsi, kabupaten/kota di NTT, dan di tempat-tempat lain.
Proyek percontohan ini dapat menjadi sangat penting untuk menargetkan area prioritas seperti
perawatan kesehatan ibu dan anak. Pemerintah dapat bekerja sama dengan DFAT, namun juga
harus memulai proyek percontohannya sendiri.
228
229
Hasil
(8)
% dari biaya aktual per biaya rata-rata total rumah sakit (ketika mengkonversi DRG ke FFS)
Tinjauan dari penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat untuk operasi (kriteria yang berbeda
pada setiap DRG)
Perbandingan antara biaya yang dibayarkan
oleh DRG dan biaya dikonversi dari FFS
Pemilihan waktu antibiotik profilaksis yang
tepat untuk operasi
Angka kecelakaan selama rawat inap
4
5
6
% dari jumlah kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) dalam 14 hari (atau 30 hari) setelah keluar
RS di rumah sakit yang sama
% dari jumlah pasien dengan keparahan 1 atau lebih (keparahan penyakit berkisar dari 0 sampai
4)
Rasio jumlah kasus di setiap rumah sakit dengan total jumlah kasus di seluruh rumah sakit
berdasarkan kategori penyakit
Rasio jumlah kunjungan rawat jalan dalam waktu 14 hari sebelum dan sesudah rawat inap dan
dengan total jumlah kasusnya
Angka bedah atau prosedur komplikasi selama
rawat inap
Angka kunjungan ke unit gawat darurat (UGD)
setelah keluar RS
Angka Pemanfaatan ICU selama rawat inap
Angka kematian
Angka tingkat yang parah
Indeks kasus campur (case-mix) per fasilitas
kesehatan
Jumlah kunjungan rawat jalan sebelum/
setelah keluar RS
Beban rawat jalan sebelum/ setelah keluar RS
10
11
12
13
14
15
16
17
Akurasi pengkodean & dokumentasi
% dari jumlah kasus dengan operasi atau prosedur karena komplikasi
Angka readmisi (rawat inap kembali)
9
18
% dari readmisi (rawat inap kembali) dengan diagnosis utama yang sama dari rawat inap
sebelumnya atau komplikasi dalam waktu 14 hari (atau 30 hari) setelah keluar RS di rumah sakit
yang sama atau RS lain
Komplikasi bedah atau angka kejadian buruk
8
% dari jumlah kasus konkordan antara data klaim atau pengukuran mutu dan catatan medis
Rasio biaya rawat jalan dalam waktu 14 hari sebelum dan sesudah rawat inap dan dengan total
biayanya
% dari jumlah kematian selama rawat inap atau dalam waktu 30 hari setelah keluar RS
% dari jumlah pemanfaatan Unit Perawatan Intensif/Intensive Care Unit (ICU) selama rawat inap
% dari jumlah kasus dengan komplikasi bedah atau efek samping selama rawat inap atau dalam
waktu 14 hari setelah keluar RS
Angka infeksi selama rawat inap
7
% dari jumlah kasus dengan infeksi selama rawat inap
% dari jumlah kasus dengan kecelakaan (terkait jatuh, transfusi darah, obat-obatan dan anestesi)
% dari jumlah pelayanan kesehatan dasar yang tersedia*
Rasio LD aktual dengan LD rata-rata total rumah sakit
Angka pelayanan medis pra-operasi yang
tersedia
Rasio lama dirawat (LD)
2
% dari jumlah pasien dengan masalah medis (jika ada salah satu kondisi atau lebih berikut ini
antara tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, rasa sakit, perdarahan pada luka operasi dan
infeksi pada luka operasi) dalam waktu 24 jam sebelum keluar RS
Penjelasan
3
Proporsi pasien dengan masalah medis
Indikator
1
N
Sumber: Soonman Kwan, 2014.
* Pelayanan kesehatan dasar yang termasuk dalam item tes sebelum operasi adalah sebagai berikut.
Dokumentasi Klinis(1)
Klaim atau perubahan
perilaku dokter (4)
Mutu
(13)
Proses
(5)
Kategori
Tabel 2: Indikator Pemantauan CBG Korea
A. Ketika mendapatkan anestesi umum/spinal
i.
Tujuh DRG: CBC, U/A, LFT, Elektrolit, BUN/Cr, PT/PPT atau Koagulasi, ABO/Rh, PA Dada,
EKG
ii. Prosedur lensa: (tambahan) Funduskopi, keratometri, Pemeriksaan slit lamp (lampu celah),
tonometri
iii. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi: (add) Audiometri Impedansi (untuk pasien otitis
media)
B. Ketika mendapatkan anestesi lokal
i. Tujuh DRG (kecuali prosedur lensa): CBC, PT/PPT atau Koagulasi
ii. Prosedur Lensa: (tambahan) Funduskopi, keratometri, Pemeriksaan slit lamp (lampu celah),
tonometri
iii. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi: (tambahan) Audiometri Impedansi (untuk pasien
otitis media)
230
NOTA
#25 KEBIJAKAN
Apa yang Bisa Dilakukan
Terhadap Ancaman Kesehatan
Masyarakat #1?108
Permasalahan
Bapak Presiden, saat ini rokok adalah kegawatdaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Di Indonesia, lebih dari 69% pria berusia di atas 15 tahun merokok. Seperempat dari anak laki-laki
usia 13-15 tahun juga merokok. Walapun prevalensi wanita merokok di Indonesia berada di bawah
10% - lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Polandia
atau Brazilia dengan prevalensi wanita perokok sebesar 20% - hal yang lebih mengkhawatirkan
adalah tingginya peningkatan prevalensi wanita merokok akhir-akhir ini. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan sebesar 64% dari tahun 2010 (prevalensi 4%) ke tahun 2013 (7%), dan peningkatan
sebesar 61% pada anak usia 10-14 dari tahun 2007 (prevalensi 11%) ke tahun 2010 (17%).109
Dilaporkan usia merokok termuda dimulai pada usia 5 tahun. Sekitar 1 dari 4 anak perempuan
telah mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum usia 10 tahun (WHO, 2009).110
Merokok secara pasif juga menjadi masalah. Asap tembakau mengandung 7.000 jenis racun yang
secara harafiah didorong masuk ke kerongkongan para pria, wanita, dan anak-anak di seluruh
Indonesia.
108
Policy Note Kesehatan merupakan catatan mengenai Kesehatan dan reformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia yang
ditulis oleh para akademisi, donor, dan analis kebijakan. Policy Notes ini dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT)
melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). untuk mengakses policy
notes terkait lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org
109
Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara Nations (ASEAN); Kartu Laporan Pajak Tembakau (2012).
110
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2009).
232
Gambar 1:
10 Negara di Dunia dengan Konsumsi Rokok Tertinggi
(dalam milyar batang)
Sumber: Laporan WHO mengenai Epidemi Tembakau secara Global, 2008.
Rokok merupakan pengeluaran yang mahal dalam rumah tangga dan yang sebenarnya paling
dirugikan adalah masyarakat miskin. Saat ini rokok merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar
kedua setelah beras. Konsumsi rokok ini mengambil 57% dari seluruh pengeluaran rumah tangga
dan lebih tinggi lagi bagi masyarakat miskin.111
Merokok juga mahal untuk Pemerintah. Biaya total perawatan kesehatan pasien rawat inap per
tahun akibat merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai setidaknya Rp. 39,5 triliun
(atau 4,03 miliar Dollar AS). Hal ini mewakili sekitar 0,74% dari PDB Indonesia dan 29,83% dari
keseluruhan pengeluaran untuk kesehatan pada tahun yang sama. Sebagian besar biaya ini
digunakan untuk pengobatan penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK) (Rp. 35,1 triliun atau 3,6
milyar Dollar AS per tahun), diikuti oleh kanker paru-paru (Rp. 2,6 trilyun) dan penyakit jantung
koroner (Rp. 1,68 trilyun) (Thabrany dkk, 2013).112
Pengalaman Amerika Serikat menunjukkan penghematan sebesar 100 miliar Dollar AS setiap
tahun sebagai dampak dari menurunnya biaya pengobatan bila konsumsi rokok menurun seperti
yang ditampilkan pada gambar 2.
111
Universitas Indonesia, Institut Demographi, Situs web Demotix, 2013.
112
Thabrany, H., Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Nugrahani, Y., Dampak Merokok terhadap Konsekuensi Ekonomi Tahunan
di Indonesia: Biaya Pengobatan Penyakit Terkait dengan Tembakau di Indonesia, International Health Economic Conference,
Sydney, Australia, Juli 2013.
233
Gambar 1:
United States
Negara-negara besar penghasil tembakau (rokok) mencari mangsa di negara berpenghasilan
menengah seperti Rusia, Brazilia, India, Indonesia dan Filipina dengan anggapan bahwa negaranegara tersebut memiliki generasi muda yang dapat dipengaruhi. Dengan jumlah perokok di
Indonesia saat ini, pihak luar menganggap Indonesia masih merupakan negara berpenghasilah
rendah seperti di masa yang lalu.
Banyaknya orang yang sakit berakibat pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi makro yang
rendah. Taiwan melaporkan terdapatnya jumlah hari sakit yang lebih banyak pada pekerja yang
merokok. Laporan dari Polandia menunjukkan dampak rokok terhadap PDB di negara-negara lain
meningkat sebesar 3,5% (Lu Ling 2008).113 Dampak kerugian ekonomi di Amerika Serikat dilaporkan
sebesar 50% untuk biaya perawatan kesehatan dan 50% pada produktivitas (Bank Dunia, Lokakarya
mengenai Pajak Tembakau, Manila, Februari 2014).114
Apa Yang Dapat Dilakukan, Pak Presiden?
Prevalensi perokok yang sangat tinggi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor,
terutama harga rokok yang termasuk paling rendah dan paling terjangkau di seluruh
dunia.
Apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan kecanduan pada rokok? Apa yang dapat
kita pelajari dari pengalaman negara-negara lain? Cara yang paling efektif untuk mengurangi
konsumsi rokok dan meningkatkan kesehatan telah dibuktikan di sejumlah negara dengan
cara menaikkan harga produk rokok melalui kenaikan pajak (WHO, 2011). Harga rokok
113
Lu Ling (2008) sebagaimana dilaporkan pada lokakarya mengenai Pajak Tembakau, Manila, Philippina, Februari
2014.
114
234
Bank Dunia (2014). Lokakarya Regional mengenai Pajak Tembakau dan Alkohol, Manila Philippina, Februari.
yang lebih tinggi merupakan hal yang efektif karena akan mendorong para perokok untuk
berhenti, mencegah generasi muda untuk mulai merokok, dan mengurangi jumlah rokok
yang dikonsumsi oleh mereka yang tetap ingin merokok. Walaupun akan mengurangi
permintaan, namun penerimaan pajak rokok akan meningkat seiring waktu.
Yang mengherankan, harga sebungkus rokok saat ini sangat rendah dibandingkan standar
harga internasional (Gambar 3). Misalnya, harga sebungkus Djarum Super sekitar Rp.
12.000, sedangkan di Australia yang letaknya tidak jauh dari Indonesia, harga rokok adalah
sebesar Rp. 170.000 karena adanya perbedaan pajak.
Gambar 3:
Berapa yang Pack rata Rokok Biaya di Indonesia, Singapura, dan Australia?
Sumber: Berdasarkan laporan harga oleh Duncan Graham, “By the Way…Tobacco
Road” halaman 1, Jakarta Post, January, 2014, menggunakan harga tukar Rp.
12.000 per 1 Dolar AS pada Februari 2014.
Indonesia akan memuat peringatan kesehatan bergambar pada beberapa persen kemasan rokok.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah
menyerukan para pemimpin untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering menjadi sasaran
tidak pantas pada acara-acara kesenian, musik atau olahraga, termasuk siaran iklan-iklan rokok
yang ditayangkan di televisi pada siang hari. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan
bahwa larangan terhadap iklan dan sponsor rokok merupakan salah satu cara yang paling murah
untuk mengurangi permintaan rokok. Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara ASEAN yang masih
mengizinkan iklan rokok. Undang-undang yang dibuat baru-baru ini telah membuat terobosan
dengan membatasi iklan rokok secara ketat, namun penegakan undang-undang tersebut
nampaknya masih menjadi masalah.
Sekali lagi, Pak Presiden, dengan hanya menaikkan harga produk rokok telah terbukti bisa menjadi
cara yang paling efektif untuk mengurangi kebiasaan merokok (misalnya, Bank Dunia, Adeyi dkk,
2009).115 Menaikkan pajak atas produk-produk tembakau dapat menjadi cara yang menguntungkan
bagi semua pihak (“win-win-win-win”) dengan meningkatnya penerimaan pemerintah untuk
115
Bank Dunia (2009). Dampak Program Promosi Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Adeyi, O., dkk..
235
setiap bungkus rokok yang terjual, kebiasaan merokok yang akan menurun seiring dengan waktu,
biaya perawatan kesehatan akan lebih rendah dengan terciptanya populasi yang lebih sehat, dan
meningkatnya produktivitas tenaga kerja.
Peningkatan pajak rokok dapat menjadi cara yang penting untuk meningkatkan pendapatann
pemerintah. Pada tahun 2013, dikenakan pajak sebesar 38% dari harga sebungkus rokok, jauh di
bawah negara-negara lain, misalnya Thailand yang merupakan esama wilayah Asia Tenggara, atau
pada cakupan yang lebih luas seperti negara-negara Uni Eropa dan OECD (Organisasi untuk Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan), misalnya Chili (Gambar 4 di bawah). Pada tahun 2014, Indonesia
menaikkan pajak cukai tetapi hanya sekitar 8,5%.
Gambar 4:
Beban Pajak Rokok dalam % Terhadap Harga Eceran, 2013
Sumber: Kartu Laporan Pajak Tembakau Asean, Mei 2013, dan Organisasi Kesehatan
Dunia, 2012
Pada tahun 2012, pemerintah meraup Rp. 79,9 trilyun dari penerimaan pajak rokok, sementara di
pihak lain Indonesia menanggung kerugian ekonomi dan biaya kesehatan dari penyakit-penyakit
akibat merokok sebesar Rp. 240 trilyun (Natahadibrata, 2013).116
Usulan yang sederhana adalah menaikkan pajak rokok untuk menutupi biaya kesehatan akhibat
rokok tersebut. Hal ini harus segera dilakukan, namun pengaruh politik mungkin akan memperlambat
proses menjadi beberapa tahun.
Tantangan
Beberapa masalah perlu untuk ditangani. Satu diantaranya adalah tingkat korupsi yang ada
sekarang atau dana yang dituangkan ke dalam proses politik oleh perusahaan-perusahaan rokok.
Seperti yang kita ketahui, orang terkaya di Indonesia adalah pemiliki pabrik rokok Djarum.
116 Nadya Natahadibrata (2013). Seruan Larangan Total bagi Iklan Rokok, Jakarta Post, hal. 4, 31 Mei..
236
Masalah kedua adalah hasil pertanian dan pendapatan para petani terutama di daerah miskin.
Kebanyakan tembakau yang ada di industri rokok Indonesia diperoleh melalui impor. Beberapa
negara seperti Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa seiring dengan waktu para petani
tembakau akan relatif lebih mudah untuk beralih ke jenis pertanian lain.
Kotak 1: Pajak yang Dikenakan atas Produk-Produk yang Tidak Baik Bagi Moral dan
Kesehatan (Sin Taxation) untuk Mendanai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) di Filipina
Konteks and Dasar Pemikiran
Rasio cukai tembakau dan alkohol di Filipina adalah salah satu yag terendah di Asia dan di dunia
(Kiyoshi dkk, IMF, 2011). Mungkin ini merupakan salah satu faktor yang menjelaskan mengapa negara
ini memiliki tingkat merokok yang paling tinggi dan negara dengan peminum alkohol terbanyak kedua
di Asia Tenggara. Filipina diperkirakan memiliki 17,3 juta perokok dengan konsumsi 1073 batang rokok
per kapita per tahun. 38,9% dari jumlah penduduk Filipina kadang-kadang mengkonsumsi alkohol dan
11,1% diantaranya merupakan penimum alkohol tetap (Laporan DO, GAT, Philippina 2010); situs web sintax; Labajo, PDF). Di Filipina, konsumsi rokok dan alkohol mempunyai konsekuensi sosial dan ekonomi
yang signifikan: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sepuluh orang Filipina meninggal
setiap jam karena kanker, stroke, penyakit paru-paru dan jantung akibat merokok, ditambah kerugian
negara yang diperkirakan mendekati PHP500 milyar per tahun diakibatkan oleh biaya perawatan
kesehatan dan turunnya produktivitas akibat dari merokok dan mengkonsumsi alkohol. (Berita diambil
dari info inquirer, Filipina, tanpa tanggal).
Sejak tahun 1980an, di Filipina telah diberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan terhadap
pajak atas produk-produk yang secara moral dan medis berbahaya (selanjutnya disebut “sin taxes”).
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik 8240 pada tahun 1996, Filipina memperkenalkan
jadwal berjenjang untuk cukai atas produk-produk tembakau dan alkohol berdasarkan harga eceran
bersih (diluar PPN) bagi setiap merk. Merk yang lebih murah dikenakan pajak yang lebih sedikit dari
merk yang lebih mahal. Undang-Undang Republik No. 9334 yang mulai berlaku pada tahun 2005
mengamanatkan kenaikan tarif yang bervariasi untuk semua merk produk tembakau dan alkohol setiap
dua tahun sampai tahun 2011 (Albert, 2012). Namun, sistem pajak berjenjang ini memberikan kontribusi
terhadap ketidakberhasilan upaya penerapan cukai yang berakibat pada pengikisan penerimaan cukai
ditambah dengan trik produsen dengan memproduksi berbagai jenis produk yang lebih murah.
Undang-Undang Republik 10351 (a.k.a. Reformasi Sin Tax 2012) ditandatangani pada bulan Desember
2012 dengan tujuan merestrukturisasi cukai atas alkohol dan rokok serta meningkatkan pendapatan
pemerintah dalam rangka perluasan pendanaan Cakupan Kesehatan Semesta. Hal-hal utama dari
Reformasi Sin Tax 2012 mencakup perubahan secara bertahap dari struktur pajak berjenjang ke struktur
pajak dengan bentuk kesatuan dan bentuk khusus (untuk menjaga agar produsen dan konsumen tidak
beralih ke barang yang lebih rendah pajak dan menerapkan harga produk yang terlalu murah, mempunyai
pendapatan yang lebih bisa diperkirakan, dan administrasi pajak yang lebih mudah); kenaikan tingkat
pajak secara otomatis sebesar 4% per tahun untuk minuman keras sulingan mulai tahun 2016, untuk
rokok dan bir mulai tahun 2018 (untuk mencegah erosi inflasi); penentuan klasifikasi pajak yang
benar atas produk-produk rokok dan alkohol yang ditentukan setiap dua tahun (untuk menghapus
pembekuan klasifikasi harga); kepatuhan terhadap keputusan WTO mengenai minuman keras sulingan
dan Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dilaporkan bahwa pengumpulan sin tax telah
mencapai PHP 21,75 milyar (504,2 juta Dollar AS) dalam empat bulan pertama di tahun 2013, yang
merupakan kenaikan sebanyak hampir 25% dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun 2012,
meskipun dilaporkan terdapat kenaikan dalam penyelundupan dan produksi ilegal setelah dinaikannya
cukai (tax new.com, tanpa tanggal). Cakupan untuk penduduk miskin dan hampir miskin meningkat
hampir 10 juta keluarga.
Sumber: Bi, dkk., Bank Dunia, 2013
237
Masalah terakhir adalah mengenai pekerjaan yang merupakan kekhawatiran jangka panjang,
bukan jangka pendek. Indonesia mempunyai industri rokok terbesar di dunia. Di Indonesia paling
sedikit terdapat 3.800 perusahaan rokok termasuk industri rokok rumahan. Sekitar 3.000 dari
perusahaan-perusahaan tersebut berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua provinsi ini juga
merupakan penghasil tembakau terbesar secara nasional. Selama dua dekade, penjualan rokok di
Indonesia meningkat hampir 50 kali lipat dari Rp. 1,4 trilyun pada tahun 1981 menjadi Rp. 51,9
trilyun pada tahun 2001.
Tantangan untuk menaikkan harga rokok akan mengurangi keuntungan perusahaan-perusahaan
rokok, dan mungkin akan mengurangi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Ini
merupakan isu yang dapat dikemukakan dalam pembahasan mengenai peningkatan pajak rokok.
Program restrukturisasi atau jenis subsidi lain dapat ditawarkan sebagai imbalan yang diberikan
atas masuknya pendapatan yang lebih tinggi ke kas pemerintah... untuk Cakupan Kesehatan
Semesta, dan yang terpenting untuk taraf kesehatan rakyat Indonesia yang lebih baik. Negaranegara Eropa, Amerika Utara dan Asia (Singapura, Thailand, dan akhir-akhir ini Filipina) telah
menetapkan pajak tembakau yang jauh lebih tinggi yang merupakan jalan untuk mendapatkan
dana yang lebih banyak sekaligus memberikan dampak pada kesehatan yang lebih baik.
Langkah Pertama
Sistem pajak yang ada saat ini dengan kontribusi sebesar 95% dari semua cukai (excise taxes) di
Indonesia masih terlalu rumit dan kinerjanya tidak sebaik yang diharapkan. Sistem pajak rokok
dan alkohol yang rumit ini mempunyai struktur pajak berjenjang. Kenaikan pada pemasukan pajak
akhir-akhir ini sebagian akan digunakan oleh pemerintah lokal untuk program-program promosi
kesehatan. Namun, model yang ada saat ini mungkin akan memiliki peran dalam memperburuk
upaya meningkatkan cukai. Selain itu, tidak akan dilakukan penelusuran pada pendapatan cukai
yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal realisasinya. Pemerintah juga tidak dapat
memastikan bahwa dengan adanya dana baru tidak akan mengurangi komitmen program-program
kesehatan dibanding program lokal lainnya.
Akan sangat berguna apabila Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan bekerja sama
dalam membuat usulan untuk reformasi sin tax, terutama dalam konteks rencana lima tahun yang
baru. Analisis terbaru yang dilakukan oleh World Bank Jakarta pada bulan September menunjukkan
bahwa peningkatan pajak tertentu secara bertahap menjadi 70% akan menaikkan pendapatan
sebesar 14 triliun di tahun 2019 yang akan cukup untuk membiayai penduduk yang belum memiliki
jaminan kesehatan. Analisa lebih lanjut hendaknya dapat mencakup hal-hal seperti
•
•
•
•
238
Kerangka konsep untuk menyederhanakan struktur pajak dan membuat analisa elastisitas
untuk mengoptimalkan peningkatan pendapatan dan mendorong perubahan sikap;
Memastikan mengenai perlu atau tidaknya dilakukan pengalokasian (earmark). Di kebanyakan
negara pengalokasian (earmark) yang dilakukan adalah pengalokasian lunak (soft earmarking).
Dari sudut pandang analisis, hal ini merupakan masalah yang relatif kecil;
Melakukan analisa dari sisi industri untuk memprediksi pemasukan pajak sekaligus mencegah
prilaku yang tidak diharapkan seperti menghindari pajak dengan cara “mengirimkan rokok
(frontloading)” ke gudang dan membungkusnya kembali dengan jumlah batang yang lebih
sedikit untuk menghindari pajak yang dikenakan untuk bungkus ukuran standar;
Mempertimbangkan dampak pada petani dan buruh rokok serta mengembangkan programprogram pelatihan ulang atau subsidi pertanian;
•
•
Memperhitungkan kemampuan untuk menghentikan penyelundupan dan menyelenggarakan
program-program penegakan hukum di bawah undang-undang yang baru;
Menyusun strategi pengimplementasian bertahap.
Namun, terdapat perbedaan penting antara Indonesia dan Filipina. Presiden Acquino selalu
memberikan dukungan pada langkah yang diambil, sedangkan Presiden Indonesia saat ini tidak
pernah memberikan dukungan secara penuh pada gagasan mengenai cukai ini.
Akan Dikemanakan Uang yang Diperoleh?
Haruskah dilakukan pengalokasian (earmark) pada pajak tembakau yang baru? Meskipun pajak
yang dialokasikan dapat membantu menambah ruang fiskal, pajak tersebut juga dapat menggantikan
dana yang sudah ada dan pada akhirnya tidak memberikan dampak yang berarti pada pendapatan
kesehatan secara menyeluruh (Bank Dunia, 2001; Schieber and Cashin, 2012).117
Pajak khusus lainnya dapat dieksplorasi sebagai sumber ruang fiskal untuk kesehatan di Indonesia.
Beberapa negara seperti Ghana telah mengalokasikan pajak PPN untuk membiayai Cakupan
Kesehatan Semesta (UHC). Pendapatan dari alokasi PPN telah terbukti menjadi sumber pendapatan
yang sangat stabil dan progresif di Ghana (Schiever dan Cashin, 2012).118 Walaupun dengan
meningkatkan pendapatan melalui pajak lainnya untuk tujuan khusus dapat mengurangi kendala
fiskal Cakupan Kesehatan Semesta, menemukan cara bagaimana pendapatan tersebut dapat
dikumpulkan adalah hal yang lebih penting: pajak yang regresif, tidak efisien dan berlebihan dapat
lebih merugikan dari pada membawa kebaikan pada ekonomi secara keseluruhan. Dalam
mengembangkan beberapa gagasan yang dipaparkan ini, tentunya diperlukan analisis terhadap
latar belakang dan pembahasan mendalam mengenai pro dan kontra dari setiap pilihan.
117
Schieber G, Cashin, C. (2012). Pembiayaan Kesehatan di Ghana. Bank Dunia, Washington, D.C.: Bank Dunia.
118
Schieber and Cashin (2012) op. cit.
239
NOTA
#26 KEBIJAKAN
Mewujudkan Keberhasilan
Pemerintah: Kasus BPJS119
Model Perencanaan Nasional
Koordinasi pemerintahan seringkali menjadi masalah sulit yang dihadapi oleh banyak negara.
Namun di Indonesia, hal ini merupakah tantangan yang sangat besar. Setiap orang mengeluhkan
sulitnya mencapai tindakan pemerintah yang terkoordinasi. Model lama pemerintahan yang
melibatkan komando pusat yang kuat, dilaksanakan melalui tiga jalur: tentara, ‘kroni-kroni’
penguasa, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Yang demikian adalah pengaturan
yang memungkinkan segelintir pihak tertentu untuk mengendalikan bangsa ini tanpa melibatkan
pihak lain sama sekali. Rencana Nasional menjadi komponen penting dalam jenis pengaturan
politik tersebut, juga penggunaan kekuasaan. Untungnya, masa itu sudah berakhir.
Negara-negara lain yang baru merdeka sering mengikuti model pemerintahan yang sama pada
tahun-tahun awal mereka. Beberapa jenis model Perencanaan Nasional digunakan hampir di
mana-mana pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ketika banyak negara pertama kali memperoleh kemerdekaannya. Awalnya, pendekatan untuk membangun negara ini dapat membantu
berdirinya perekonomian yang lebih modern, melalui intervensi terhadap proyek secara langsung.
Namun, seiring waktu, permasalahan ekonomi, masyarakat, dan pemerintah secara bertahap
menjadi terlalu rumit untuk dipecahkan dengan cara tersebut, dan kondisi politik juga berevolusi.
Pendekatan Perencanaan Nasional terbukti semakin tidak efektif dalam menangani kompleksitas
pembangunan, dan tidak cocok untuk bentuk pemerintahan demokratis. Sekitar empat puluh
tahun lalu, beberapa negara mulai meraba-raba berbagai cara untuk mengkoordinasikan pembangunan, dan sejak saat itu, pergeseran dari “Rencana” sebagai alat pemerintahan pun terjadi
semakin cepat. Dengan terbukanya pintu demokrasi secara tiba-tiba dua puluh tahun yang lalu di
Indonesia, negara ini turut memulai perjalanan ke arah yang jauh dari Model Rencana.
Pertanyaannya adalah: dimanakah proses perubahan itu terjadi di Indonesia dan bagaimana kemajuan Indonesia dalam penerapan perubahan tersebut? Untuk bisa memahami proses perubahan
119
Policy Note ini ditulis oleh Kenneth Sigrist dan Jack Langenbrunner dari organisasi PRSF/TNP2K dengan dukungan
Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
untuk dokumen policy notes lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org. Pandangan-pandangan yang disampaikan
dalam nota kebijakan tersebut semata-mata merupakan tanggung jawab penulis.
241
dan kemajuan Indonesia dari sudut pandang yang tepat (dan untuk menilai kemajuan tersebut
jika dibandingkan dengan negara-negara lain), kita perlu melihat situasi di beberapa negara lain
terlebih dahulu. Jika kita mengamati negara-negara yang telah meninggalkan Model Perencanaan
Nasional, dapat dilihat bahwa umumnya negara-negara tersebut berjalan menuju suatu model
yang disebut Manajemen Kebijakan Nasional. Situasi serupa kelihatannya juga sedang terjadi di
Indonesia meskipun implementasinya masih berupa langkah-langkah kecil. Indonesia seolah
berada di antara dua sisi yang sulit, yaitu sisi yang tidak mungkin dipijak kembali (model Rencana
Nasional lama) dan satu sisi yang belum sepenuhnya dapat dicapai (Model Manajemen Kebijakan
baru). Pada kenyataannya, Indonesia telah membuat masa transisi ini menjadi lebih sulit dengan
menerapkan desentralisasi kebijakan dan lokalisasi politik yang kadang-kadang menghambat
upaya pemerintah pusat dalam mengkoordinasi penerapan kebijakan pemerintah.
Walau begitu, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami masalah tersebut. Banyak
negara lain juga mengalami proses transisi yang sama rumitnya karena berbagai alasan berebeda.
Sebagian dari kesulitan yang dihadapi disebabkan perencanaan yang tetap harus dibuat, namun
di satu sisi Model Perencanaan Nasional sudah tidak digunakan lagi. Dengan demikian, kesulitan
untuk memahami dan membedakan hal-hal yang benar-benar perlu dilakukan dan hal-hal kecil
yang bukan merupakan masalah mendasar sering dialami oleh negara-negara dalam masa transisi
tersebut. Bahkan, beberapa negara tetap membuat Rencana Nasional secara resmi karena sudah
menjadi hal yang rutin meski pada prakteknya rencana tersebut tidak benar-benar digunakan.
Keputusan-keputusan penting mengenai alokasi sumber daya dibuat tanpa merujuk lagi ke
Rencana Nasional resmi tersebut sehingga rencana yang “seolah-olah” merupakan rencana nasional ini menjadi hanya semacam “hiasan” saja meskipun fakta ini tidak selalu disadari. Negaranegara yang berhasil menggabungkan kegiatan perencanaan dengan proses Manajemen Kebijakan
menggunakan serangkaian teknik perencanaan lintas sektor sebagai suatu cara untuk mengkoordinasi keputusan-keputusan pemerintah. Pendekatan-pendekatan yang digunakan mencakup,
rencana “perspektif” atau rencana “indikatif” yang tidak mengikat, atau Program Investasi Nasional
Multi-Tahun (multi-year national investment program).
Walau sejumlah kegiatan perencanaan terus dilanjutkan, jenis-jenis perencanaan yang digunakan
telah berubah. Bagi para pejabat senior, “kebijakan dan program” saat ini telah menggantikan
“proyek” konvensional. Para “perencana” juga memahami dan melaksanakan peran barunya yang
merupakan pergeseran dari “perencana” menjadi “pengelola kebijakan”. Saat ini, kekangan
Rencana Nasional Lima Tahun yang tidak bisa diubah telah ditiadakan sehingga penekanan dapat
diberikan pada proses eksplorasi yang bersifat adaptif untuk menerapkan berbagai jenis kebijakan
dan intensi kebijakan yang berbeda. Perencanaan juga secara ideal dilakukan dengan menggunakan
suatu proses manajemen kebijakan yang sifatnya merangkul berbagai aspek.
Pergeseran Menuju Siklus Masa Berlaku Kebijakan (Policy Life
Cycle)
Dalam beberapa kasus yang lebih berhasil, beberapa negara telah memperlihatkan kesuksesan
dalam pergeseran dari rencana nasional yang bersifat tidak bisa diubah menuju manajemen
kebijakan. Negara-negara tersebut menerapkan setidaknya tiga unsur organisasi untuk mengatur
dan mengelola manajemen kebijakan mereka. Ketiga unsur tersebut adalah:
i.
242
Proses perancangan yang bertujuan untuk menghasilkan kebijakan dan program baru yang
nantinya akan diputuskan oleh pemerintah,
ii. Proses strategi yang bertujuan untuk membuat penggunaan sumber daya langka menjadi
ekonomis dalam penerapan kebijakan sesuai dengan yang telah diputuskan oleh pemerintah,
iii. Proses penerapan untuk mengawasi penerapan kebijakan dan meminta pertanggungjawaban
berbagai institusi berbeda terhadap hasil penerapan kebijakan yang nantinya harus dilaporkan
kepada pemerintah.
Ketiga proses di atas merupakan proses yang digunakan oleh pemerintah untuk mengelola tiga
tahap paling penting dalam “masa berlaku (life cycle)” kebijakan. Suatu pemerintahan yang bertekad untuk mengelola proses-proses tersebut secara koheren perlu memiliki sejumlah perangkat
atau, bisa dikatakan, harus memiliki “mesin” yang tepat untuk mengawasi agar ketiga proses
tersebut bekerja bersama-sama. Dalam literatur profesional, perangkat atau “mesin” tersebut
disebut sebagai “Pusat Pemerintahan atau centre of government”. Perangkat tersebut bertugas
untuk menggabungkan ketiga unsur yang telah dipaparkan sebelumnya untuk mengelola kebijakan
publik negara. Istilah “Pusat Pemerintahan” ini tidak merujuk pada suatu lokasi, melainkan merujuk
pada suatu organisasi puncak. Namun, seperti yang mungkin telah kita ketahui bersama, tidak
semua negara memiliki organisasi puncak semacam itu meskipun untuk bisa mengelola kebijakan
secara koheren dan efektif, pusat pemerintahan yang kuat selalu diperlukan. Indonesia baru memiliki sebagian dari perangkat yang diperlukan, yaitu di bawah Kepresidenan dan Kewakilpresidenan,
tetapi perangkat-perangkat yang sudah ada tersebut belum dipadukan ke dalam suatu perangkat
fungsional.
Jika kita melihat reformasi kebijakan di sektor kesehatan Indonesia, kita akan melihat bahwa telah
banyak kebijakan dan program baru diterapkan oleh negara ini untuk menuju Cakupan Kesehatan
Semesta (Universal Health Coverage, UHC). BPJS, sebagai organisasi jaminan kesehatan sosial,
diundangkan pada tahun 2004 untuk menyediakan UHC kepada semua warga negara Indonesia
pada tahun 2019. Dimensi-dimensi utama dalam upaya mencapai tujuan kebijakan ini adalah:
peningkatan akses layanan, peningkatan kualitas layanan, kesetaraan dalam pemberian layanan,
dan perlindungan finansial terhadap biaya tinggi atau katastropik.
Pemerintah Indonesia kemudian menyusun “Peta Jalan Jaminan Kesehatan” pada tahun 2013 yang
memaparkan keputusan kebijakan penjaminan kesehatan dan langkah-langkah yang harus
dilakukan. Meskipun peta jalan ini mungkin tidak secara kaku dipatuhi setiap saat, peta jalan ini
telah mengidentifikasi prioritas-prioritas penting dan proses-proses yang diperlukan untuk
mencapai tujuan kebijakan disertai sejumlah analisis mengenai bagaimana pencapaian tersebut
dapat direalisasikan. Penerapan peta jalan yang fleksibel ini konsisten dengan pendekatan adaptif
modern terhadap manajemen kebijakan seperti yang telah dipaparkan di atas.
Pada saat pemerintahan “Jokowi” dilantik, BPJS masih berada dalam tahap formatif terkait proses
pelaksanaan penjaminan kesehatan. BPJS telah mencapai salah satu dari tujuan operasionalnya
yang sangat penting untuk kredibilitas institusi yaitu pembayaran klaim secara tepat waktu.
Tujuan-tujuan operasional utama lainnya masih belum dapat dicapai saat ini, termasuk di antaranya:
ketepatan sistem pembayaran, pengembangan sistem jaminan mutu kesehatan, dan prediksi/
estimasi klaim (claim forecasting) yang bisa diandalkan dalam organisasi BPJS. Yang paling penting
saat ini, BPJS tengah menghadapi suatu tantangan strategis yaitu BPJS harus dengan cepat
memperluas cakupan dengan menambah cakupan hingga 60 juta orang lagi. Selain itu, BPJS juga
tengah menangani (dalam hal ini, menangani berarti menyelaraskan, merangkul, dan menyerap
atau, jika memungkinkan, menyisihkan dan mengganti) sekitar 400 organisasi asuransi daerah
yang harus dipadukan ke dalam model organisasi pembayar jaminan kesehatan tunggal sesuai
243
dengan kebijakan nasional. Bagaimana semua ini dapat dilakukan ketika sistem manajemen
kebijakan nasional untuk mengawasi implementasi kebijakan itu sendiri masih belum lengkap?
Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali mengkaji sistem manajemen
kebijakan secara menyeluruh terlebih dahulu.
Jadi, seperti apakah model manajemen kebijakan ini ketika dimplementasikan? Jawabannya sangat
bervariasi dan setiap negara memperlihatkan kondisi yang berbeda.
Fitur Rancangan Sistem
Berbeda dengan Rencana Nasional model lama yang memiliki kesederhanaan yang jelas dan logis
sehingga mudah untuk dibangun dan dikelola, dalam manajemen kebijakan terpusat (central policy
management) tidak terdapat model tunggal yang dominan. Meski demikian, sejumlah fitur penting
ditemui di berbagai negara. Dengan kata lain, suatu “genotipe” dapat dikenali sehingga bisa
digunakan sebagai template yang memandu pemahaman terhadap rancangan sistem yang akan
digunakan di Indonesia.
Salah satu hal yang ditemui dalam sistem manajemen kebijakan nasional yang baik adalah bahwa
kebijakan, seperti halnya proyek, memiliki masa berlaku yang harus dikelola. Beberapa kebijakan
mungkin akan berlaku dalam waktu lama, tetapi di dunia modern, kebijakan nasional tertentu
mungkin hanya akan berlaku secara efektif selama lima atau sepuluh tahun sebelum kemudian
kebijakan itu menjadi usang dan perlu diperbaiki atau diganti. Alasan-alasan yang melatarbelakangi
mengapa kebijakan tersebut dianggap menjadi usang harus dipelajari untuk menjadi dasar dan
rujukan dalam pembuatan kebijakan penggantinya. Proses ini hanya akan menjadi efisien jika
suatu perangkat manajemen telah dibangun dan berfungsi untuk “mengawasi” seluruh siklus
kebijakan secara strategis dan menyeluruh.
Berikut ini adalah sejumlah fitur penting sistem manajemen kebijakan yang digunakan di beberapa
negara yang telah menjalankannya dengan baik. Negara-negara tersebut adalah negara-negara
anggota Uni Eropa, Kanada, Australia, Chili, Kolombia, Ghana, Korea, Malaysia, Taiwan, dan lainlain.
•
•
244
Para pemimpin politik diikutsertakan dalam poin-poin penting dalam siklus kebijakan, terutama
yang terkait dengan (a) keputusan koletif terkait pilihan kebijakan dan rancangan kebijakan
mana yang akan diterapkan, dan (b) pengawasan langsung terhadap bagaimana kebijakan
tersebut dilaksanakan. Dalam kasus BPJS, Presiden telah mengindikasikan bahwa Beliau
mengawasi secara saksama penerapan jaminan kesehatan dan telah meminta agar dibuat
Kartu Indonesia Sehat (KIS) baru untuk 1,6 juta orang yang belum tercakup dalam skema UHC
hingga saat ini. Dalam hal ini, perkembangan penggunaan kartu ini perlu dilaporkan kepada
Presiden secara rutin karena perkembangan-perkembangan baru yang penting terkait
kebijakan ini akan muncul sejalan dengan waktu.
Penekanan yang kuat perlu diberikan kepada implementasi atau ‘pelaksanaan’ kebijakan
sebagai ujian sesungguhnya dari proses pembuatan kebijakan yang baik. Penekanan harus
diberikan kepada pertanggungjawaban terhadap kinerja dan hasil kebijakan. Dalam kasus
BPJS, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan jaminan sosial oleh BPJS diperkuat dengan
didirikannya Dewan Pengawas yang terdiri dari tujuh profesional yang bertujuan untuk
membantu pimpinan BPJS dalam menentukan arah strategi. Dewan ini dapat memimpin
proses penjangkauan ke 19.000 lebih pulau, memimpin penyusunan benchmark untuk kinerja
•
•
•
organisasi, dan menyediakan visi jangka panjang untuk tim pengelola BPJS dalam hal isu-isu
kebijakan sulit seperti cakupan sektor informal dan cara memadukan 400+ skema jaminan
kesehatan daerah ( Jamkesda). Sejujurnya, manajemen internal BPJS tidak memiliki banyak
waktu untuk melakukan pemikiran strategis semacam akibat beratnya beban tuntutan
penerapan standard operasional secara tepat dan pemrosesan klaim sehari-hari.
Suatu arsitektur informasi untuk pembuatan kebijakan yang didasarkan pada bukti (evidencebased) perlu dibangun dengan hati-hati. BPJS telah meluncurkan suatu program ambisius yaitu
sistem HMIS nasional yang mencakup identifier unik serta data demografis, klinis, dan penggunaan layanan. Sistem ini dapat menjadi suatu sistem yang serupa dengan sistem strategic
purchasing yang digunakan di Eropa Barat. Namun, masih banyak masalah yang belum terpecahkan seperti tidak adanya indikator terkait obat-obatan dan admisi/ rawat inap ulang
(readmission). Walaupun demikian, setidaknya dasar untuk sistem ini telah dibuat;
Secara umum, arsitektur proses kebijakan yang terbuka mendukung adanya partisipasi,
pengusulan gagasan, akuntabilitas, dan transparansi tanpa menghilangkan kontrol pusat.
Dalam kasus BPJS, konsep arsitektur terbuka menentukan dua aspek penting terkait bagaimana
sistem asuransi kesehatan dapat berjalan: (1) sistem asuransi kesehatan dapat diterapkan
dengan secara terbuka membandingkan kinerja penyedia layanan kesehatan terhadap semua
penyedia layanan kesehatan lainnya dan terhadap norma-norma internasional; dan (2) sistem
asuransi kesehatan dapat memastikan bahwa perbandingan atau benchmarking ini dapat
diamati secara terbuka oleh para pembuat kebijakan dan oleh masyarakat Indonesia dalam
upaya memberikan tekanan untuk dilakukannya peningkatan kinerja yang berkesinambungan.
Pembelajaran institusi diperlukan untuk peningkatan berkesinambungan dalam pembuatan
kebijakan dan untuk peningkatan kebijakan-kebijakan yang ada secara individual. Namun,
dalam kasus BPJS, BPJS merupakan penyedia jaminan kesehatan nasional tunggal sehingga
tidak ada organisasi pembanding untuk membandingkan aktivitas utama BPJS. Meskipun
demikian, Dewan Pengawas dapat mengkompensasi kelemahan ini dengan cara menerapkan
perbandingan antara sistem asuransi kesehatan nasional dengan pembanding-pembanding
internasional (international benchmarks). Untuk dapat melaksanakan perbandingan ini, perlu
dibuat suatu upaya mandiri, mungkin di bawah payung DJSN.
Mungkinkah BPJS Indonesia dapat mencapai hal-hal tersebut, dan jika ya, bagaimana caranya?
Sebetulnya, unsur-unsur utama organisasi yang dibutuhkan telah tersedia di Indonesia dan hanya
perlu dipadukan. Tidak ada cetak biru yang pasti untuk melakukan perpaduan ini, namun ada halhal tertentu yang jelas-jelas harus dilakukan, seperti pencakupan sektor informal. Semua negara
membangun sistemnya dengan memadukan unsur-unsur yang telah mereka miliki. Indonesia juga
mengalami hal yang sama. Di tingkat nasional, badan-badan seperti Bappenas, TNP2K, Kesra, dan
UK4P memiliki peran dan fungsi yang sesuai dengan tugas-tugas yang telah dipaparkan di atas.
Jika dipadukan, maka badan-badan tersebut akan dapat mencakup serangkaian kegiatan yang
dibutuhkan untuk menjalankan sistem jaminan kesehatan nasional. Di sektor kesehatan, ditemui
berbagai institusi seperti Kementerian Keuangan, DJSN, BPJS, Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi
Kesehatan Kota/Kabupaten, Jamkesda, dll. yang juga mencakup fungsi dan peran penting untuk
menjalankan sistem jaminan kesehatan nasional. Namun, penyesuaian badan-badan dan institusiinstitusi tersebut agar dapat bekerja sama dengan baik merupakan masalah rumit yang melibatkan
aksi bersama dan memerlukan upaya serta itikad dari pimpinan yang ada.
Misalnya, akankah proses penilaian teknologi dapat dilaksanakan secara terkoordinasi dengan baik
antara departemen dan institusi? Saat ini, BPJS bahkan tidak memiliki peran dalam hal penilaian
kemajuan teknologi meskipun akan banyak obat baru, alat baru, dan prosedur baru teridentifikasi
245
dalam klaim ke BPJS. Demikian pula, jika Kemenkes memutuskan bahwa suatu obat baru lebih
efektif tetapi lebih mahal harganya, siapa yang akan mengatur diskusi antara Kemenkes dan BPJS
untuk menilai apakah memungkinkan untuk memasukkan obat baru tersebut ke dalam paket
jaminan kesehatan? Contoh lain, jika fasilitas layanan kesehatan yang ada jelas-jelas tidak memadai,
siapa yang harus memutuskan bahwa sudah waktunya sektor swasta perlu berperan dalam
pemberian layanan kesehatan? Bagaimana setiap institusi dan departemen yang terlibat di sektor
ini bekerja sama dalam merespon masalah-masalah yang muncul, seperti profil penyakit baru,
berkembangnya sektor swasta, dan keadilan sistem penggantian (reimbursement) yang
memungkinkan kompetisi antara penyedia layanan pemerintah dan swasta? Saat ini, masih banyak
isu-isu yang sulit untuk dipecahkan dan, tidak diragukan lagi, perlu kepemimpinan yang kuat
untuk mengatasinya.
Pemimpin seperti Jokowi harus menuntut dilakukannya perubahan, dan Beliau memang sudah
menuntut dilakukan perubahan tersebut namun Beliau tentunya terlalu sibuk untuk terlibat dalam
jalannya Kemenkes dan BPJS secara mendalam. Pemimpin-pemimpin yang tangguh (champion)
akan diperlukan untuk memimpin perubahan ini dan suatu jejaring ahli yang memiliki motivasi
tinggi dan cerdas akan diperlukan untuk melaksanakan perubahan tersebut. Dengan memandang
situasi tersebut, tidak ada alasan mendasar untuk membantah bahwa pusat pemerintahan dapat
memberikan jenis kepemimpinan berdedikasi tersebut sesuai dengan kebutuhan negara
modern.
Evaluasi Keberhasilan
Akhirnya, siapa yang akan memutuskan bahwa suatu misi telah tercapai dan bagaimana pencapaian
tersebut akan disebarluaskan dan diintegrasikan ke dalam proses sehingga perubahan yang
konstan dan berkesinambungan dapat tercapai? Kita masih mendapatkan jawaban terhadap
pertanyaan ini.
Meskipun demikian, Gambar 1 di bawah ini memaparkan proses yang digunakan oleh organisasi
jaminan kesehatan sosial lain di dunia. BPJS, dengan menggunakan parameter-parameter
kebijakannya, menggunakan arsitektur informasi yang dimilikinya untuk mengumpulkan informasi
mengenai klaim, mutu, dan juga kinerja secara rutin. Data dengan indikator-indikator yang tepat
dapat digunakan untuk menilai tata kelola layanan di tingkat fasilitas, menilai trend penggunaan
layanan, dan menilai mutu layanan di tingkat fasilitas kesehatan. Perbandingan atau benchmarking
dapat dilakukan antar fasilitas kesehatan atau antar periode waktu tertentu. Data yang tepat dapat
membantu pembayaran klaim, memantau kinerja, dan memberikan panduan terhadap kebijakan
secara terus menerus dalam upaya meningkatkan layanan.
246
Apakah kita yakin bahwa BPJS dapat menerapkan semua ini sendiri? Jika kita melihat pengalaman
negara-negara lain, jawaban untuk pertanyaan ini jelas “tidak”. Para peneliti dan evaluator
independen harus diberi akses secara rutin terhadap data set publik BPJS yang biasanya bisa diperoleh
dengan membayar dalam jumlah kecil. Dengan demikian, para peneliti dan evaluator tersebut dapat
secara independen menilai kinerja BPJS dan mempublikasikan hasil mereka serta memberikan bukti
yang diperlukan untuk perubahan kebijakan sesuai dengan yang dibutuhkan. Para peneliti dan
evaluator ini juga harus mampu melakukan dan mendukung proses pengkajian dan evaluasi
kinerja pemerintah secara independen. Siapa yang mampu melakukan mengatur hal ini di
Indonesia? Apakah Bappenas merupakan organisasi yang tepat untuk mengatur masalah ini?
TNP2K? Ataukah badan atau institusi lain lebih sesuai? Pelaksanaan pengawasan tata kelola
pemerintah untuk sektor ini secara keseluruhan tidak mungkin dilakukan hanya oleh Dewan
Pengawas. Dengan demikian, masalah ini masih perlu diklarifikasi dan suatu bentuk yang konkrit
perlu diputuskan dalam beberapa bulan ke depan. Tentunya, kita tidak mungkin menunggu
bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian terkait masalah ini. Jika keputusan diambil terlalu
lama, BPJS akan dipandang bagaikan suatu janji yang indah, tapi tidak pernah ditepati.
247
NOTA
#27 KEBIJAKAN
Riset dan Evaluasi:
Peran BPJS120
Pengalaman Global
Fungsi dari sistem asuransi kesehatan sosial modern lebih dari sekadar berkutat pada klaim. Lingkup
sistem ini termasuk melakukan riset dan evaluasi. Seiring dengan munculnya obat-obatan, alat
kesehatan dan prosedur pengobatan baru di pasar global, konsistensi dalam perbaikan, peningkatan
dan pembaruan sangat penting untuk dilakukan pada sistem yang ada saat ini.
Selain itu, inovasi dalam bidang manajemen juga bermunculan, misalnya pembayaran untuk
“pelayanan terpadu” di seluruh tingkat fasilitas kesehatan yang telah diterapkan di Inggris, Jerman,
Denmark, Belanda, Kanada dan Amerika Serikat. Model Pelayanan Terpadu ini sangat penting
untuk perawatan penyakit kronis.
Sistem asuransi kesehatan sosial modern biasanya menghabiskan anggaran setidaknya 1-2% dari
biaya klaim untuk melakukan evaluasi dan riset. Kegiatan dan pendanaan tersebut dialokasikan
untuk penelitian yang bersifat intramural (dalam BPJS) maupun ekstramural (di luar BPJS).
Riset intramural dapat dilakukan oleh staf internal BPJS menggunakan data internal BPJS seperti
data klaim. Tim peneliti internal juga dapat menyusun data set untuk keperluan analisis yang lebih
luas. Selain itu, tim juga dapat melakukan monitoring dan analisis kualitatif.
Riset ekstramural dapat dilakukan oleh setiap individu atau lembaga yang mengajukan proposal
kajian yang dapat memberikan manfaat secara ilmiah serta menarik bagi BPJS. Penelitian semacam
ini akan lebih baik hasilnya jika menggunakan data klaim BPJS sesungguhnya dengan komponen
identitas individu yang telah dihilangkan. Setelah itu, dapat dikembangkan antara lain survei untuk
menilai dampak terhadap penyedia layanan (provider) atau konsumen.
120
Nota Kebijakan ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dari organisasi PRSF/TNP2K dengan dukungan Pemerintah
Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk
Salinan policy notes terkait lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org Pandangan-pandangan yang disampaikan
dalam nota kebijakan tersebut semata-mata merupakan tanggung jawab penulis.
249
10 Langkah Menuju Kebijakan Berbasis Bukti:
Penelitian dan Evaluasi Ekstramural
Ke depan, BPJS perlu mempertimbangkan untuk:
1. Menyusun proses aplikasi grant dan kontrak ekstramural;
2. Menyusun ringkasan sepanjang 3—5 halaman bidang penelitian dan evaluasi yang perlu
menjadi perhatian seperti penyempurnaan sistem pembayaran, kualitas, MIS, prediksi/ estimasi (forecasting) berdasarkan aktuaria, dampak program COB, dampak KIS sebagai program
baru, dan sebagainya. Rangkuman mengenai bidang yang diminati ini perlu direvisi setiap 6-12
bulan;
3. Mempublikasikan area yang menjadi minat dan prioritas riset dan evaluasi melalui situs BPJS;
4. Menentukan tanggal jatuh tempo untuk pengiriman proposal ke BPJS;
5. Melakukan proses pengkajian proposal secara ketat, ilmiah serta transparan;
6. Memberikan grant riset dan evaluasi melalui kontrak selama 1-2-3 tahun;
7. Mengelola dan memantau grant oleh staf BPJS;
8. Mendorong publikasi pada jurnal yang dikaji oleh mitra bestari (peer-review) setelah laporan
akhir riset dan evaluasi disampaikan dan diterima oleh BPJS.
9. Menjadi sponsor forum penyampaian hasil dan temuan riset;
10. Membuat situs web mengenai kegiatan riset dan evaluasi yang sedang berlangsung.
Sepuluh langkah ini akan menjadi investasi untuk BPJS yang terus berkembang secara dinamis.
Riset dan evaluasi dapat mencakup dampak sosial, konsumen, masyarakat miskin, kelompok
penyedia layanan, peningkatan sisi pasokan (supply side) - semua area yang menarik bagi sistem
asuransi kesehatan sosial yang terus berkembang.
Kompetisi harus terbuka untuk setiap individu dan lembaga - baik di Indonesia maupun manca
negara. BPJS dapat mendorong kemitraan bersama dan menarik para ahli dari luar negeri. Semua
hasil perlu disajikan dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian dalam bahasa
asing.
Tidak ada istilah terlalu dini untuk memulai proses penting ini.
250
NOTA
#28 KEBIJAKAN
Jamkesda: atau Angsa Bertelur
Emas untuk Cakupan Kesehatan
Semesta (UHC)121
1. Latar Belakang dan Sejarah Jaminan Kesehatan Daerah di
Indonesia
Jaminan kesehatan sudah menjadi bagian dari berbagai skema pembiayaan kesehatan di Indonesia
selama lebih dari 75 tahun, yang dimulai ketika pegawai negeri semasa pemerintahan kolonial
Belanda mendapatkan jaminan kesehatan di pertengahan tahun 1930-an. Di Indonesia, skema
jaminan kesehatan daerah mulai muncul di awal tahun 1970-an melalui program Dana Sehat, suatu
bentuk jaminan kesehatan berbasis masyarakat dalam skala kecil, serta program-program tabungan
masyarakat yang dibentuk oleh beberapa kelompok masyarakat untuk membantu warga yang
kekurangan, termasuk untuk keperluan berobat. Di awal tahun 1980-an, terbentuk banyak skema
jaminan kesehatan yang didasarkan pada model Organisasi Pemeliharaan Kesehatan (HMO, Health
Maintenance Organizations) yang pada saat itu amat populer di Amerika Serikat.
Di awal tahun 1990-an, Kementerian Kesehatan RI mendirikan unit khusus untuk mengawasi,
memantau, dan melaporkan perkembangan berbagai skema jaminan kesehatan tersebut. Unit
tersebut saat ini dikenal dengan PPJK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan) yang terus menjadi
salah satu pusat di bidang pembiayaan kesehatan di Indonesia.
Berbagai upaya untuk melakukan reformasi jaminan sosial di Indonesia menunjukkan kemajuan
semasa pemerintahan presiden Megawati, dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 2004 yang
mengatur tentang pembentukan skema pembayar tunggal (single payer) untuk asuransi kesehatan
121
Policy Note ini disusun oleh David W. Dunlop dengan bantuan Ibu Kurnia Sari dan beberapa anggota tim peneliti
Jamkesda dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK), Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, yang memberikan masukan berharga pada draft awal dokumen ini. Prof. Ascobat Gani turut membantu
memastikan kebenaran faktual dalam dokumen ini. Dr. Jack Langebrunner memberi beberapa catatan yang berguna
pada beberapa versi awal dokumen ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Ibu Rachael Cintron dari USAID,
yang saat ini bertugas di Afrika Barat, yang membantu mencarikan pendanaan bagi penulisan dokumen ini. Penelitian
ini didanai oleh USAID melalui proyek TRAction yang dilaksanakan oleh URC, Bethesda, MD. Pendanaan untuk penerjemahan dokumen ini diperoleh dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia
Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS).
252
sosial yang berlaku nasional. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan Jaminan Kesehatan
Nasional ( JKN) yang mulai dilaksanakan sejak awal Januari 2014. UU 24/2011 menjadi dasar
dibentuknya badan penyelenggara/ pembayar tunggal (single payer) yang lebih dikenal dengan
nama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang menggabungkan beberapa program
jaminan/ asuransi kesehatan nasional yang dirancang untuk melayani berbagai jenis pengguna
yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Berdasarkan informasi terakhir dari BPJS, saat ini
terdapat lebih dari 128 juta peserta.
Namun demikian, ada sekitar 460 skema serupa di tingkat daerah, atau yang dikenal dengan nama
Jamkesda ( Jaminan Kesehatan Daerah) yang masih bertahan. Berdasarkan studi terbaru, Jamkesda
memberikan perlindungan bagi 65 s.d. 70 juta orang. Dokumen ini menjelaskan berbagai hal
tentang Jamkesda serta memaparkan bagaimana Jamkesda, dalam proses integrasinya dengan
JKN, dapat turut berkontribusi pada tercapainya Jaminan Kesehatan Semesta (UHC, atau Universal
Health Care) yang merupakan tujuan nasional sampai dengan tahun 2019.
2. Kerangka Hukum Jaminan Kesehatan Daerah
Suatu kajian nasional yang baru saja dirampungkan, yaitu studi tentang Jamkesda yang diminta
disiapkan bagi DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) untuk memberi informasi tentang status
terkini Jamkesda, menemukan bahwa tiap Jamkesda telah melakukan berbagai upaya di daerahnya
untuk meningkatkan status hukum mereka 122/. Per tahun 2013, hampir 80% kabupaten/kota yang
dijadikan sampel dalam studi tersebut sudah memiliki dasar hukum bagi keberadaan Jamkesda di
daerahnya, yaitu dalam bentuk peraturan daerah yang telah dibahas dan kemudian disahkan oleh
DPRD, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi; bandingkan dengan jumlah Jamkesda
yang sejak awal terbentuknya sudah memiliki dasar/status hukum (umumnya setelah tahun 2008),
yang hanya mencapai 65%.
Selain itu, banyak Jamkesda (55%) mengubah status hukum mereka sampai lebih dari tiga kali
semasa keberadaan mereka yang memang belum lama, dan hal ini terutama disebabkan oleh
perubahan dalam sumber-sumber yang dapat digunakan untuk membiayai skema jaminan tersebut
(banyak daerah memasukkan pendanaan dari pemerintah provinsi dalam skema Jamkesda mereka).
Alasan utama lainnya di balik perubahan status hukum ini ialah: a) perubahan pimpinan daerah
(dari segi perpolitikan), atau b) perubahan teknis, seperti misalnya perubahan dalam peraturan
kepesertaan. Di akhir tahun 2013, sebagian besar Jamkesda sudah lebih mantap dari segi hukum
dan dapat mulai merencanakan kegiatan di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memahami perubahan terkait status hukum Jamkesda setelah satu
tahun pertama pelaksanaan program JKN, sebab haluan (roadmap) pelaksanaan JKN menyebutkan
bahwa Jamkesda “akan diintegrasikan” dengan JKN sebelum akhir tahun 2016.
122
Lihat laporan akhir yang disusun PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing
a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi
Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014)
253
3. Manfaat Jamkesda
A. Meningkatnya Jumlah Warga yang Terlindungi (Mendapat Jaminan)
Tabel 1 menunjukkan pentingnya Jamkesda dalam mencapai tujuan nasional mewujudkan Cakupan
Kesehatan Semesta (UHC) di tahun 2019. Tabel 1 juga menunjukkan perubahan besar dalam sistem
jaminan kesehatan di Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu satu dekade sejak tahun 2003.
Jumlah cakupan asuransi kesehatan yang hanya mencapai sekitar 10% dari total penduduk di
tahun 2003 meningkat menjadi hampir 85% di pertengahan tahun 2014. Perkembangan yang
terjadi, baik dalam hal dibentuknya badan pembayar tunggal bagi skema jaminan kesehatan di
tingkat nasional dan dengan terus bertumbuhnya Jamkesda dari segi jumlah dan cakupan, berarti
bahwa cakupan jaminan kesehatan di Indonesia kini hampir mendekati kesemestaan. Tanpa
mekanisme Jamkesda, yang saat ini terdapat di setidaknya 460 kabupaten/kota (naik dari 367
kabupaten/kota di tahun 2010), banyak warga yang kini menjadi peserta Jamkesda tidak akan
dapat memiliki akses langsung pada BPJS, sebab pihak penyelenggara jaminan kesehatan
sebelumnya, yaitu Askes, pada tahun 2013 hanya memiliki kontrak untuk menyelenggarakan
Jamkesda di sekitar 175 kabupaten/kota dari sekitar 540 kabupaten/kota di Indonesia.
B. Meningkatnya Jumlah Jamkesda di Indonesia
Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah Jamkesda. Berdasarkan studi
yang disebutkan sebelumnya, dari sampel Jamkesda yang diambil secara acak berstrata (stratified
random sample) dapat ditarik perkiraan kenaikan jumlah Jamkesda untuk keseluruhan Indonesia.
Dari hanya sejumlah kecil Jamkesda yang terbentuk sebelum diundangkannya UU 40/2004,
jumlah Jamkesda mulai meningkat pesat setelah uji materi terhadap UU No. 40 tersebut di
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005 yang mendukung kepentingan Jamkesda, yang kemudian
diikuti dengan imbauan Kementerian Kesehatan di tahun 2008 agar daerah membentuk skema
jaminan kesehatan di daerah masing-masing. Peningkatan besar-besaran jumlah Jamkesda terjadi
antara tahun 2008 dan 2010, yaitu periode terbentuknya lebih dari 70% Jamkesda yang dijadikan
sampel. Sejak tahun 2011 hingga akhir 2013, sebanyak 14% dari total Jamkesda yang dijadikan
sampel terbentuk.
Di akhir tahun 2010, Kementerian Kesehatan melakukan survei tentang Jamkesda untuk mengetahui
berapa banyak jumlah Jamkesda yang ada dan seperti apa bentuk perlindungan yang diberikan.
Survei tersebut mencatat ada sebanyak 367 Jamkesda yang beroperasi. Melalui ekstrapolasi
menggunakan data dari hasil survei tersebut dan dengan data hasil survei PKEKK di tahun 2014,
saat ini kemungkinan terdapat 460 Jamkesda, meskipun angka pastinya masih belum jelas. Hal
ini khususnya terkait dengan ketidakjelasan jumlah Jamkesda di kabupaten hasil pemekaran. Satu
hal yang pasti ialah bahwa terdapat sejumlah besar Jamkesda yang tersebar di hampir seluruh
wilayah Indonesia123/.
123
Sebanyak 27 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia terwakili oleh 72 Jamkesda yang dijadikan sampel pada
studi PKEKK di tahun 2013.
254
Tabel 1:
Cakupan Asuransi Kesehatan di Indonesia, 2003 s.d. Pertengahan 2014, per Juta Orang
2003
2008
2012
Pertengahan
2014
Tidak berlaku
Tidak berlaku
Tidak berlaku
124,0
0
76,4
76,4
BPJS
3. Asuransi Kesehatan Swasta
2,0
7,0
15,4
>15,4
4. Jamkesda
0,8
4,0
31,8
65,0
5. Askes (untuk PNS)
13,0
15,0
17,3
BPJS
6. Jamsostek (untuk pegawai
swasta)
2,5
2,9
5,6
BPJS
7. Asabri & Taspen (TNI & Polisi)
4,5
5,0
2,2
BPJS
8. Asuransi Kesehatan Komersial
oleh Askes
Data Tidak
Tersedia
1,0
2,9
BPJS
9. Karyawan perusahaan swasta
Data Tidak
Tersedia
Data Tidak
Tersedia
6,4
6,4
22,8
111,3
158,0
>210,8
~230
~245,0
~252,0
46,8
64,5
>83,6
Skema Asuransi
1. BPJS 1/
2. Jamkesmas/ Askeskin
Cakupan Total
Total Populasi
Proporsi Populasi yang Masuk
dalam Cakupan Asuransi (dalam %)
~10,0
Catatan: 1. Di awal tahun 2014, BPJS mengambil alih penyelenggaraan beberapa program asuransi kesehatan
sebagai berikut: a) Jamkesmas, b) Askes (untuk PNS), c) Jamsostek (untuk pekerja sektor swasta yang bekerja
di perusahaan besar), d) Asabri dan Taspen (untuk TNI dan polisi), dan e) program asuransi kesehatan
komersial di bawah Askes.
C. Mobilisasi Dana Pemerintah Provinsi
Pencapaian besar ketiga terkait dengan program Jamkesda terlihat pada kenyataan bahwa pada
periode 2008 sampai 2014, Jamkesda telah memanfaatkan anggaran kesehatan dari pemerintah
provinsi sebagai sumber tambahan dalam pendanaan. Tabel 2 menunjukkan kecenderungan dalam
mobilisasi sumber daya oleh Jamkesda, yang dipilah berdasarkan sumber dana.
Data ini menunjukkan kapan sumber pembiayaan Jamkesda mengalami perubahan, dari yang
awalnya banyak bersumber dari pemerintah kabupaten/ kota menjadi bersumber dari pemerintah
provinsi. Perubahan besar terjadi di tahun 2010 ketika bagian terbesar penerimaan Jamkesda
mulai berasal dari belanja pemerintah provinsi. Hampir 80% total penerimaan Jamkesda di tahun
2013 berasal dari pemerintah provinsi.
255
Tabel 2:
Pendanaan Jamkesda Menurut Sumber Dana pada Tahun 2008 s.d. 2013 Berdasarkan
Jamkesda pada Kabupaten/Kota yang Dijadikan Sampel dalam Studi, dalam Juta Rupiah.
Tahun
APBD Kab/Kota
Proporsi
dari Total
Anggaran
APBD Provinsi
Proporsi
dari Total
Anggaran
Total
Pendanaan
2008
14,841
83
3,040
17
17,881
2009
44,764
65
24,492
35
69,256
2010
155,085
16
797,236
84
952,321
2011
857,175
40
1.277,592
60
2.134,767
2012
990,593
42
1.374,694
58
2.365,288
2013
763,868
21
2.866,807
79
3.630,674
Sumber: Data dari laporan akhir studi PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for
Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan
Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/
UI, 24 Desember 2014).
D. Jamkesda Sejalan dengan Desentralisasi
Terakhir, Jamkesda sejalan dengan rancang bangun desentralisasi di bidang kesehatan berdasarkan
peraturan perundangan yang disahkan setelah pergantian pemerintahan di tahun 1998. Per tahun
2013, hampir 30% penduduk di kabupaten/ kota yang menyelenggarakan Jamkesda terdaftar
dalam skema jaminan kesehatan tersebut, dan hal ini merupakan pencapaian yang signifikan.
4. Tantangan Jamkesda
Terlepas dari berbagai pencapaian penting yang diraih Jamkesda, terdapat beberapa isu tambahan
yang memerlukan arah kebijakan lebih lanjut. Isu-isu ini turut mencakup: a) perbedaan keluasan
paket manfaat, b) digunakannya pembayaran jasa per pelayanan (FFS, fee for service) yang
mendominasi bentuk penggantian biaya bagi penyedia pelayanan kesehatan (PPK), alih-alih
menggunakan pembayaran kapitasi ataupun DRG – yang di Indonesia dikenal dengan CBG (Case
Based Groups), dan c) kurangnya transparansi dalam penggunaan dana yang diperoleh Jamkesda.
Isu-isu ini diuraikan pada bagian berikut.
A. Paket Manfaat
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang seberapa menyeluruh cakupan perlindungan dalam paket
manfaat yang ditawarkan Jamkesda, PKEKK menyusun suatu paket manfaat rekaan yang terdiri
atas 26 layanan yang seyogyanya masuk dalam paket komprehensif yang dianggap sejalan dengan
Peta Jalan (Roadmap) DJSN dalam mewujudkan UHC hingga tahun 2019 melalui pelaksanaan
256
jaminan kesehatan nasional 124/. Layanan tersebut memiliki kisaran mulai dari layanan pengobatan
untuk sakit kepala dan diare hingga perawatan HIV/AIDS dan transplantasi organ tubuh. Tiap
Jamkesda dalam survei tersebut diminta memberikan keterangan apakah masing-masing layanan
yang disebutkan juga masuk dalam paket manfaat yang mereka berikan, dan bila memang
demikian, apakah ada pembatasan atas manfaat yang dapat digunakan, seperti misalnya batas
maksimum dalam hal jumlah layanan yang digunakan atau batas waktu untuk dapat menggunakan
layanan, yaitu batas waktu maksimum tahunan. Keterangan yang disampaikan kemudian dianalisis
dan disusun menjadi indeks keluasan paket manfaat. Sebaran skor yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3:
Sebaran Frekuensi atas Skor Paket Manfaat di Kabupaten/Kota
yang Dijadikan Sampel, 2013.
Skor Kedalaman Paket Manfaat
Jumlah Kabupaten/Kota
100%
2
90 - 99%
10
80 - 89%
19
70 - 79%
8
60 - 69%
13
50 - 59%
11
40 - 49%
4
30 - 39%
3
Kurang dari 30%
2
Total Kabupaten/Kota
72
Rata-rata mean
71%
Sumber: laporan akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for
Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam
Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga
2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014).
Data tersebut menunjukkan adanya sebaran bimodal pada kabupaten/ kota yang dijadikan sampel,
namun dengan perbedaan besar pada seluruh sampel yang diambil. Pertanyaan penting yang juga
perlu diajukan ialah seberapa besar biaya yang diperlukan agar seluruh Jamkesda memberikan
paket manfaat yang komprehensif. Kementerian Keuangan jelas merupakan salah satu pemangku
kepentingan dalam hal ini. Berdasarkan sampel yang diambil, jenis layanan yang banyak tidak
dimasukkan dalam paket manfaat Jamkesda ialah layanan yang memakan biaya besar dan layanan
pengobatan yang kurang dapat dipastikan mampu mendatangkan status kesehatan yang positif.
124
Lihat DJSN, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012 -2019, ( Jakarta: DJSN, 2012).
257
Salah satu tantangan kebijakan bagi DJSN ialah penyusunan peraturan untuk melakukan
harmonisasi atas aneka paket manfaat yang ditawarkan, sekalipun terdapat perbedaan kemampuan
di kalangan pemerintah daerah dalam membiayai paket manfaat tersebut. Perbedaan kemampuan
ini dapat diukur dari rasio yang menunjukkan perbandingan antara angka tertinggi dalam belanja
APBD per kapita di bidang kesehatan dan angka terendahnya. Berdasarkan data nasional dari
Kementerian Keuangan tentang belanja pemerintah daerah di tahun 2012, diperoleh rasio sebesar
164 berbanding 1, yang berarti bahwa pengeluaran kabupaten/ kota dengan jumlah belanja
terbesar per kapita di bidang kesehatan ialah 164 kali lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran
kabupaten/kota dengan jumlah belanja terkecil 125/ per kapita di bidang kesehatan. Isu ini juga
menjadi penting untuk diatasi agar peserta mendapat kemudahan apabila berpindah lokasi
kepesertaan (portability).
Ketika dilakukan analisis terkait hal-hal yang menjadi faktor penentu (determinan) bagi skor paket
manfaat tersebut, terdapat dua variabel (peubah) yang terkait signifikan (secara negatif) dengan
skor paket manfaat. Variabel pertama ialah tingkat ketercakupan warga, yang diukur berdasarkan
jumlah penduduk yang menjadi peserta Jamkesda, dan variabel kedua ialah apakah DPR setempat
turut terlibat dalam menentukan layanan apa saja yang akan dimasukkan dalam paket manfaat.
Dalam kasus ini, kedua variabel independen tersebut secara negatif terkait dengan skor paket
manfaat Jamkesda. Temuan pertama, terkait ketercakupan warga sebagai peserta Jamkesda,
menunjukkan bahwa terdapat trade-off antara jumlah peserta dan jumlah layanan yang dapat
dimasukkan dalam paket layanan. Temuan kedua, sehubungan dengan hubungan negatif antara
keterlibatan DPR setempat dalam proses pengambilan keputusan untuk menetapkan layanan apa
saja yang masuk dalam paket manfaat, menunjukkan bahwa DPR cenderung menolak memasukkan
aneka jenis layanan dalam paket manfaat, mengingat salah satu peran DPR dalam kepemerintahan
daerah ialah sebagai pengontrol anggaran. Kedua temuan sejalan dengan prediksi yang bisa ditarik
dari teori ekonomi.
B. Pembayaran bagi Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK)
Isu kedua yang perlu dipikirkan dengan seksama ialah metode yang digunakan untuk membayar
penyedia pelayanan kesehatan (PPK) atas layanan yang diberikan. Studi yang dilakukan juga
menjajaki isu ini. Skema JKN yang berlaku nasional menerapkan dua cara pembayaran: untuk
layanan rawat jalan yang diberikan di Puskesmas dan di praktik dokter keluarga, cara pembayaran
yang cenderung lebih disukai ialah pembayaran kapitasi (per jumlah orang yang dilayani). Untuk
layanan rawat inap, BPJS menggunakan penghitungan berdasarkan case based group (CBG), yang
di negara lain dikenal dengan sebutan diagnostic related groups (DRG). Berdasarkan praktik di dunia
internasional, berbagai pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan yang efektif dari segi biaya.
Masalah dengan pernyataan tersebut ialah tidak adanya fakta pembanding, sehingga sesungguhnya
tidak ada siapapun yang bisa memastikan kebenaran pernyataan tersebut126/. Akan tetapi berbagai
temuan dari studi tersebut bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin beralih menggunakan
metode pembayaran dimaksud. Temuan-temuan ini dapat diihat pada Tabel 4.
125
Lihat hal.130, Bab 10, Laporan Akhir Studi Jamkesda yang disusun oleh PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop
National Guidelines for Implementing a national Social Health Insurance Program (Mendukung DJSN dalam Penyusunan
Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), op. cit., 2014)
126
Indonesia mungkin perlu melakukan uji coba klinis secara acak atas berbagai cara pembayaran tersebut untuk
menyelesaikan masalah ini.
258
Tabel 4:
Mekanisme Pembayaran yang Digunakan pada Jamkesda yang Dijadikan Sampel, 2013.
Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK)
Total
Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi
Pembayaran Pembayaran Pembayaran
Sistem
Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan Pembayaran
Kapitasi
FFS
CBG
yang
Digunakan
1. Rumah Sakit Umum
1 (1,3)
49 (62,8)
28 (35,9)
78
2. Rumah Sakit Umum Daerah (Provinsi)
1 (1,8)
33 (57,9)
23 (40,4)
57
3. Rumah Sakit Pusat Rujukan
1 (3,1)
15 (46,9)
16 (50,0)
32
4. Rumah Sakit Swasta
0 (0,0)
7 (36,8)
12 (63,2)
19
5. Puskesmas
26 (40,6)
37 (57,8)
1 (1,6)
64
6. Dokter Keluarga
13 (92,9)
1 (7,1)
14
7. Penyedia Layanan Khusus Lainnya
8 (47,1)
9 (52,9)
17
8. Lainnya
2 (50,0)
2 (50,0)
4
151 (53,0)
92 (32,3)
285
Total
42 (14,7)
Catatan: Yang dimaksud dengan penyedia layanan khusus lainnya ialah: a) apotek, b) unit transfusi darah,
c) klinik gigi, dan d) klinik swasta kebidanan dan keperawatan.
Tabel 4 menunjukkan betapa pentingnya bentuk pembayaran jasa per pelayanan (FFS, Fee-forService) di kalangan penyedia pelayanan kesehatan pada kabupaten/kota penyelenggara Jamkesda
yang dijadikan sampel. Temuan seperti ini masih didapati meskipun dalam hampir sepuluh tahun
terakhir ini ada upaya-upaya besar yang dilancarkan oleh penyusun program JKN untuk menghapuskan bentuk pembayaran FFS dan menggantinya dengan pembayaran kapitasi dan/atau CBG.
Sebagian besar penyedia pelayanan kesehatan (PPK) lebih memahami dan merasa lebih nyaman
dengan pembayaran dalam bentuk FFS. Akan sulit sekali menjadikan pembayaran (dalam bentuk
kapitasi dan CBG) ini dapat diterima dan digunakan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya
ketika: a) pembayaran kapitasi ditetapkan dengan tidak selayaknya yaitu dalam besaran yang amat
rendah, dan b) masih terdapat ketidakjelasan di kalangan penyedia fasilitas kesehatan yang
mungkin akan dibayar berdasarkan CBG terkait antara pembayaran yang dilakukan dengan biaya
pemberian layanan.
C. Transparansi Pengeluaran
Selain melakukan kajian atas seberapa besar dana yang diperoleh Jamkesda berasal dari sumbersumber di pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, studi Jamkesda tersebut juga mencari tahu
seberapa besar pengeluaran Jamkesda yang bersangkutan. Temuan studi tersebut tidak didasarkan
pada seluruh Jamkesda yang disurvei, karena ada beberapa Jamkesda yang tidak menyampaikan
informasi ini. Akan tetapi informasi dari seluruh strata sampel yang diambil sudah cukup untuk
melaporkan beberapa temuan penting. Temuan-temuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
259
Tabel 5:
Perkiraan Total Penerimaan dan Pengeluaran pada Seluruh Jamkesda
di Indonesia (N=460), per Awal 2014
Penerimaan dan Pengeluaran dalam Laporan
Keuangan Jamkesda yang “Lazim”/
Pada Umumnya Dijumpai
Jumlah dalam
Triliun Rupiah
(Triliun Rp)
Persentase dari
Total Penerimaan
(%)
1. Perkiraan Total Penerimaan
13,155
100,0
2. Perkiraan Total Pengeluaran
2,238
12,2
0,619
5,3
3. Penerimaan Bersih setelah Dikurangi Pengeluaran
10,916
87,8
4. Perkiraan Biaya Penyelenggaraan Umum (Overhead)
3,070
24,1
5. Penerimaan Bersih setelah Dikurangi Biaya Biaya
Penyelenggaraan Umum (Overhead)
7,847
63,7
A. Perkiraan Total Pembayaran Klaim
Berbagai temuan ini didasarkan pada informasi dari 43 kabupaten/kota yang menjadi sub-sampel
yang memang menyampaikan banyak informasi terkait data ini, yang kemudian diekstrapolasi
untuk memunculkan perkiraan jumlah Jamkesda di Indonesia per awal 2014.
Data tersebut dapat dipahami dengan gamblang. Perkiraan total pembayaran klaim jelas tidak
berjumlah besar secara relatif bila dibandingkan dengan total penerimaan. Perkiraan total
pengeluaran oleh Jamkesda cukup rendah secara relatif bila dibandingkan dengan total penerimaan.
Pembayaran biaya penyelenggaraan umum (overhead) merupakan satu bentuk pengeluaran
terbesar, mencapai lebih dari 5 kali lipat besarnya perkiraan pembayaran klaim. Setelah semua
pembayaran dilakukan, jumlah saldo-lebih (surplus) bersih ternyata lebih besar dari 60% total
penerimaan. Apa yang terjadi dengan saldo-lebih bersih ini? Tidak banyak yang diketahui tentang
hal tersebut. Apakah saldo ini tersimpan di bank? [ Jika demikian,] Mungkin tidak apa-apa. Apakah
kemudian digunakan untuk keperluan lain ……..?
Pada tahun 2007, muncul kekhawatiran besar di kalangan media dan pengambil kebijakan tentang
belanja pemerintah daerah. Pada saat itu Bank Dunia memperkirakan bahwa sejumlah besar
penerimaan daerah yang berasal dari DAU/ DAK tidak dibelanjakan dan justru dianggurkan di
Bank127/. Pada saat itu, hal tersebut mengkhawatirkan karena berbagai pembiayaan penting di
tingkat daerah menjadi tertahan, dan akibatnya efek pengganda (multiplier effect) perekonomian
daerah yang seharusnya terjadi menjadi tidak terwujud.
Di tahun 2012, isu ini sudah tidak lagi membayangi dan tidak lagi dikhawatirkan pengambil
kebijakan. Berdasarkan data keuangan kabupaten/ kota yang masuk dalam survei Jamkesda di
tahun 2012 yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, sebagian besar kabupaten/ kota mengalami
defisit sekitar 5% dari penerimaan 128/. Akan tetapi studi tersebut tetap merasa perlu memahami
aliran sumber dana bagi program Jamkesda dan memonitor aliran tersebut seiring waktu.
127
128
Kutipan studi Bank Dunia tentang pembiayaan daerah (kabupaten/kota) ( Jakarta: Bank Dunia, 2008).
Bab 6, “Analisis Pembiayaan Jamkesda”, Laporan Akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National
Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan
260
D. Tantangan dari Sisi Pasokan
Pertama, tampaknya cukup banyak tersedia tenaga kesehatan primer yang terlatih untuk memberikan layanan kesehatan dasar kuratif di kebanyakan Puskesmas pada kabupaten/ kota yang
dijadikan sampel dalam kajian ini (Lihat Tabel 6). Hanya sedikit saja puskesmas yang tidak memiliki
dokter. Dari kabupaten/ kota yang dijadikan sampel, tak ada satupun puskesmas yang tidak
memiliki dokter, dan hanya 3 dari 72 kabupaten/ kota yang memiliki kurang dari satu dokter per
Puskesmas. Angka simpang baku (standar deviasi) dari jumlah dokter yang tersedia menunjukkan
bahwa perbedaan antarkabupaten dalam hal jumlah staf dokter tidaklah besar.
Kedua, Tabel 6 menunjukkan bahwa tersedia perawat dan bidan dalam jumlah yang cukup, dengan
rata-rata 4 orang kader dari tiap jenis tenaga ini berada di Puskesmas sepanjang hari (dan malam),
dengan mengasumsikan bahwa tiap staf bekerja bergiliran per 8 jam129/. Ketersediaan perawat dan
bidan dalam jumlah yang paling kecil pun menunjukkan bahwa kedua jenis staf ini tersedia dalam
jumlah yang memadai130/.
Ketiga, data menunjukkan bahwa terjadi kekurangan staf dalam jumlah besar di keseluruhan
sistem layanan kesehatan primer di Puskesmas untuk layanan yang bersifat khusus seperti misalnya
tenaga ahli di bidang farmasi dan tenaga ahli untuk uji laboratorium atau radiografi. Tanpa
ketersediaan staf semacam ini, layanan-layanan penting untuk tiap jenis masalah kesehatan
kemungkinan tidak dapat disediakan sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan ekspektasi profesi
kesehatan yang bersangkutan. Ada kemungkinan bahwa jenis layanan khusus ini diberikan oleh
orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang cara menjalankan kegiatan
pelayanan tersebut dengan kualitas tinggi.
Tabel 6:
Staf Puskesmas pada 72 Kabupaten/Kota Penyelenggara Jamkesda
yang Dijadikan Sampel, Survei Risfasdas 2011
Jumlah
rata-rata/
Puskesmas
Simpang
Baku (SD)
Jumlah
Kabupaten/
Kota Tanpa
Staf
Jumlah
Kabupaten/
Kota dengan
< 1 Staf
Jumlah
Kabupaten/
Kota dengan
>= 1 Staf
1. Dokter
2,14
0,06
0
3
69
2. Dokter gigi
0,82
0,27
3
49
23
3. Perawat
12,81
2,61
0
0
72
4. Bidan
12,15
3,49
0
0
72
Jenis Staf
Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: CHEPS/FKM/UI, 24
Desember 2014).
129
Pernyataan ini didasarkan pada asumsi bahwa staf bekerja bergiliran dalam putaran 8 jam. Beberapa studi yang belum
lama ini rampung memberikan bukti yang menunjukkan bahwa rata-rata lamanya hari kerja di puskesmas kemungkinan
jauh di bawah 8 jam kerja. Lihat misalnya makalah yang disusun oleh Tim Ensor, et al., “Budgeting Based on Need: A
Model to Determine Sub-National Allocation of Resources for Health Services in Indonesia” (Penganggaran Berbasis
Kebutuhan: Model Penetapan Alokasi Sumber Daya Daerah untuk Layanan Kesehatan di Indonesia), Cost-Effectiveness
and Resource Allocation (Efektivitas Biaya dan Alokasi Sumber Daya), (2012), Vol 10-11, 1478.
130
Kecuali apabila staf ini juga menggantikan staf lain yang tidak tersedia dalam memberikan layanan. Hal ini menjadi
topik yang perlu didalami lebih lanjut.
261
5. Perawat gigi
1,24
0,22
0
23
49
6. Apoteker
0,25
0,18
18
69
3
7. Asisten
Apoteker
1,12
0,15
0
31
41
8. Ahli gizi
1,33
0,30
0
24
48
9. Tenaga Sanitasi
(Kesehatan
Lingkungan)
1,64
0,33
0
15
57
10. Penyuluh
Kesehatan
0,45
0,16
8
66
6
11. Ahli Rekam
Medis
0,19
0,13
29
69
3
12. Teknisi Lab
0,87
0,38
5
45
27
13. Teknisi Ronsen
0,64
0,64
2
57
15
14. Tenaga
Administrasi
(TU) Terlatih
4,51
0,34
0
3
69
40,16
7,65
0
0
0
15. Total Staf
Terlatih
Data dari Survei Nasional Risfaskes yang dilakukan oleh Litbangkes tahun 2011.
Keempat, tanpa tersedianya staf layanan penting seperti yang disebutkan sebelumnya di tingkat
Puskesmas, akan sulit membuat kemajuan dalam upaya mengurangi tingkat kesalahan diagnosis
sebagaimana ditemukan dari data survei Riskesdas 2007 131/. Dalam studi tersebut, tingkat
kesalahan diagnosis pada masing-masing penyakit yang dilaporkan secara keseluruhan dalam
survei itu (baik penyakit menular maupun tidak menular) lebih besar dari 50%, dan tingkat
kesalahan diagnosis untuk berbagai jenis penyakit jantung mencapai 92%! Perlu diterapkan suatu
standar layanan di Puskesmas agar layanan diagnostik mendasar seperti ini dapat terlebih dahulu
dilakukan sebelum dana dari asuransi/ jaminan kesehatan apapun di daerah tersebut dikucurkan
sebagai pembayaran untuk mengganti biaya terkait. Tanpa adanya staf layanan penting ini,
kekurangan dalam pemberian layanan penting tersebut akan menghambat terwujudnya UHC dan
tersedianya layanan kesehatan primer yang berkualitas.
Kelima, untuk layanan-layanan penting yang dapat masuk dalam klaim, program asuransi/ jaminan
kesehatan mensyaratkan dilakukannya verifikasi. Akan tetapi secara umum proses verifikasi ini
kemungkinan tidak dapat berjalan baik akibat kurangnya tenaga khusus di bidang rekam medis,
131
David W. Dunlop, “Riskesdas Survey Results Regarding Income Group Disparities and Quality of Care Implications (Hasil
Survei Riskesdas terkait Ketimpangan di Kalangan Kelompok Masyarakat dengan Pendapatan Berbeda dan Implikasinya
pada Mutu Layanan Kesehatan), 2008”, ( Jakarta: AusAID Working Paper, 22 April 2009). Kekhawatiran tentang mutu
layanan kesehatan sudah menjadi topik perhatian selama beberapa tahun. Lihat misalnya, Bank Dunia, Changes in the
Supply and Quality of Health Services in Indonesia (1996 to 2007), A Health Work force study (Studi Tenaga Kesehatan terkait
Perubahan dalam Ketersediaan dan Mutu Layanan Kesehatan di Indonesia (1996 – 2007), ( Jakarta: Bank Dunia, 26
Oktober 2009). Dari kumpulan data IFLS, mereka memperkirakan kualitas diagnosis mencapai sekitar 50% secara
keseluruhan.
262
karena hanya sedikit sekali tenaga rekam medis yang tersedia Puskesmas. Mengingat sebagian
besar Puskesmas kekurangan tenaga terlatih untuk keperluan ini, kegiatan layanan yang
mengharuskan verifikasi menjadi tidak dilakukan, atau dilakukan oleh orang yang tidak dilatih
untuk melakukan pekerjaan tersebut. Karena pemrosesan klaim merupakan aspek penting dalam
jaminan kesehatan untuk memastikan tersedianya layanan yang berkualitas bagi peserta oleh
penyedia pelayanan kesehatan (PPK), fungsi verifikasi layanan ini perlu didukung oleh staf secara
lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan apa yang terjadi saat ini, khususnya karena lebih
dari seperempat klaim awalnya ditolak karena buruknya verifikasi atas klaim tersebut.
Keenam, staf utama di bidang kesehatan masyarakat, seperti misalnya tenaga promosi/ penyuluh
kesehatan yang memiliki peran penting dalam meningkatkan pemeliharaan status kesehatan
dalam jangka panjang pada pasien-pasien yang terkena penyakit tidak menular, tidak tersedia
dalam jumlah yang memadai di sebagian besar Puskesmas. Saat ini hanya sedikit sekali tenaga
kesehatan yang memiliki latar pendidikan khusus seperti ini bekerja di Indonesia, apabila dilihat
pada kabupaten/ kota penyelenggara Jamkesda yang dijadikan sampel. Kader ini menjadi penting
khususnya untuk meningkatkan pemberian layanan bagi warga yang terkena penyakit tidak
menular yang jumlahnya kian meningkat.
Terakhir, secara umum tampaknya staf di bagian administrasi/ tata usaha di sebagian besar
Puskesmas di kabupaten/ kota sudah tersedia dalam jumlah yang memadai. Akan tetapi, ada 15
kabupaten/kota yang rata-rata hanya didukung oleh tidak lebih dari 2 orang staf bagian administrasi
(TU), dan setidaknya 4 kabupaten/ kota secara rata-rata hanya memiliki kurang dari satu orang
staf untuk melakukan tugas-tugas administratif.
Indikator lain yang terkait dengan kekurangan dari sisi pasokan di tempat tertentu ialah seberapa
jauh pihak pengasuransi kesehatan memiliki kontrak kerja sama dengan penyedia pelayanan
kesehatan (PPK) di tempat tersebut. Tabel 7 memberikan gambaran tentang seberapa jauh
penetrasi pasar oleh Jamkesda di 72 kabupaten/ kota. Dengan pengecualian pada Rumah Sakit
Umum, sesungguhnya hampir tidak ada kelompok penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang
terintegrasi baik dengan Jamkesda.
Tabel 7:
Proporsi Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) di Kabupaten/Kota Penyelenggara
Jamkesda yang Dijadikan Sampel yang Memiliki Kontrak Kerja Sama dengan Jamkesda
Jenis Penyedia Pelayanan
Kesehatan (PPK)
Jumlah PPK
yang Menerima
Pembayaran
Jamkesda di
Kabupaten/Kota
yang Dijadikan
Sampel 1/
Jumlah PPK
di Seluruh
Kabupaten/Kota
Penyelenggara
Jamkesda yang
DIjadikan Sampel
2
/
Proporsi Kolom 2
terhadap Kolom 3.
Indikator Penetrasi
Pasar
1. Semua Rumah Sakit Umum/
Pemerintah 3/
167
124
134,7
2. Semua Rumah Sakit Swasta
19
247
7,7
3. Puskesmas
64
1.326
4,8
4. Dokter keluarga/swasta
14
11.432
0,1
263
5. Bidan swasta
1
2.054
< 0,1
6. Apotek Swasta
1
3.916
< 0,1
7. Toko Obat Swasta
3
98
3,1
8. Laboratorium Klinis Swasta
2
566
0,4
9. Lainnya
4
81
4,9
10. Total
275
19.844
1,4
Catatan: 1. Angka ini sama dengan angka yang terdapat pada Tabel 5-4 Kolom 5.
2. Angka-angka ini berasal dari Tabel 1-5 pada Bab 1.
3. Termasuk rumah sakit rujukan.
Masalah penetrasi pasar ini memang benar terjadi, khususnya untuk jenis pembayaran kapitasi,
karena jenis penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang dibayar menggunakan sistem kapitasi ini
hanyalah Puskesmas dan dokter keluarga/swasta. Jamkesda sudah memasuki segmen pasar ini
(yaitu kedua jenis PPK tersebut) hingga 0,6 dari satu persen jumlah penyedia pelayanan kesehatan
yang mungkin dibayar dengan cara tersebut.
Meskipun data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa penetrasi pasar terkait rumah sakit umum sudah
hampir paripurna, lebih dari separuh penyedia pelayanan kesehatan (PPK) tersebut dibayar
menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (FFS) dan bukannya berdasarkan CBG. Temuan
ini makin memperkuat kenyataan bahwa banyak fasilitas kesehatan terus dibayar menggunakan
cara-cara yang tidak sejalan dengan apa yang telah digariskan dalam pedoman pada Peta Jalan
(Road Map) untuk mencapai jaminan kesehatan semesta sampai dengan 2019.
5. Arah Ke Depan?
A. Apa yang ada di Benak Dinas Kesehatan dan Pemda di tingkat Kabupaten/
Kota?
Apa yang harus dilakukan dengan Jamkesda? Dalam studi yang dilakukan, ada dua pengambil
keputusan penting yang diminta menjawab pertanyaan tersebut, yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota (Dinkes) dan Pemda (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Tingkat Daerah/
Bappeda). Kedua pihak ini dimintai pendapat terkait: a) seperti apa masa depan Jamkesda sesudah
batas waktu pengintegrasian Jamkesda dengan BPJS, yaitu di akhir tahun 2016, dan b) apabila para
responden menganggap Jamkesda perlu dilanjutkan, peran apa yang akan mereka ambil?
Jawaban para responden atas pertanyaan pertama, yaitu apakah Jamkesda sebaiknya terus
dilanjutkan, terbelah dua, yaitu separuh menyatakan ya ( Jamkesda harus dilanjutkan) dan separuh
menyatakan tidak. Lebih banyak jawaban Pemda yang mengindikasikan bahwa Jamkesda sebaiknya
ditutup (55% dibandingkan dengan 45%) 132/. Jawaban atas pertanyaan kedua mungkin juga tidak
132
Bab 10, Integrasi Jamkesda dengan JKN dan BPJS: Peluang, Tantangan, dan Hambatan, dalam Laporan Akhir PKEKK,
Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by
2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia
Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014).
264
kalah pentingnya, yaitu apa peran yang akan mereka mainkan sekiranya Jamkesda tidak ditutup?
Jawaban yang paling banyak muncul atas pertanyaan ini ialah a) Jamkesda hendaknya terus
berperan dalam menentukan kepesertaan di tingkat daerah (35%), diikuti dengan jawaban
terbanyak berikutnya yaitu b) tanggung jawab pengawasan terkait urusan keuangan dan aturanaturan yang mempengaruhi Jamkesda (20%), dan c) sekitar 17% berpendapat bahwa Jamkesda
dapat menjadi entitas kepanjangan tangan BPJS, yaitu menjadi perwakilan setempat atas nama
BPJS di tingkat daerah. Sisa sepertiga jawaban lainnya berisi beraneka macam tanggapan. Dari
telaah ini, tidak ada satu pandangan yang jelas tentang masa depan Jamkesda sebagai suatu
entitas. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada kepastian dasar hukum untuk menutup
Jamkesda.
B. Evaluasi Pencapaian Program
Tinjauan atas berbagai capaian Jamkesda telah diuraikan pada bagian 3, yang menunjukkan bahwa
setidaknya terdapat dua peran penting bagi masa depan Jamkesda. Pertama, Jamkesda telah
memobilisasi sumber daya baru dari tingkat provinsi untuk keperluan jaminan sosial di bidang
kesehatan. Kedua, Jamkesda telah memperluas cakupan perlindungan hingga sebanyak 65 sampai
dengan 70 juta peserta tambahan di Indonesia. Peserta tambahan ini utamanya adalah orangorang yang tidak tercakup program-program lain yang terbentuk sebelum 2014. Mereka tidak
membayar iuran/premi secara langsung (kecuali melalui pajak yang mereka bayarkan dalam
bentuk berbagai pungutan dan cukai). Ada kemungkinan besar bahwa apa yang dibayarkan oleh
masyarakat miskin dalam bentuk berbagai jenis pajak atau cukai tersebut setidaknya setara dengan
besarnya iuran/premi tahunan yang diusulkan dalam skema BPJS bagi masyarakat miskin, yaitu
sekitar Rp240.000 per orang per tahun.
Data Susenas 2012 menunjukkan bahwa melalui pembayaran dalam bentuk pajak, pungutan, dan
cukai, masyarakat sesungguhnya mengeluarkan uang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
dengan angka iuran/ premi tersebut. Data ini memunculkan pertanyaan terkait apakah pemerintah
Indonesia pada saat ini seharusnya mencoba menarik iuran/premi resmi dari warga yang bekerja
di sektor informal. Apabila jaminan kesehatan semesta memang menjadi prioritas utama bagi
pemerintah Indonesia saat ini, penagihan iuran/premi hendaknya dikesampingkan dulu untuk
sementara, dan biarkan masyarakat terbiasa memperoleh akses yang lebih luas pada layanan
kesehatan, khususnya layanan rawat inap. Selain pajak produk tembakau - yang seharusnya mulai
diterapkan sekarang, terjadinya pertumbuhan ekonomi lebih lanjut - yang akan dapat mendorong
kenaikan seluruh tingkat pendapatan, nantinya akan mendorong penetapan pajak dan cukai yang
menjadi sasaran lebih lanjut dan yang dapat diperkenalkan dalam waktu dua puluh tahun ke
depan. Pendekatan ini memang sejalan dengan sejarah evolusi jaminan sosial di bidang kesehatan
di Asia, yaitu ketika terjadi penurunan jumlah peserta pada negara-negara yang memperkenalkan
bentuk pembayaran iuran/premi dalam program mereka yang tengah berjalan. Contoh yang paling
perlu diingat di antaranya ialah Mongolia dan Korea Selatan 133/.
133
Lihat Aviva Ron, Dorjsuren Bayarsaikhan, dan Thunen Sein, Social Health insurance: Selected Case Studies From Asia and
the Pacific ( Jaminan Sosial di Bidang Kesehatan: Studi Kasus Terpilih dari Asia-Pasifik) (Delhi dan Manila: WHO, 2005).
Turut mengutip kajian tentang jaminan sosial di bidang kesehatan yang belum lama ini dirampungkan oleh Bank Dunia,
2013.
265
C. Pembiayaan-Bersama di Sektor Kesehatan
Pada konteks Indonesia, sektor kesehatan merupakan urusan pemerintahan yang dialihkan ke
pemerintah daerah melalui desentralisasi 134/. Mengingat situasi ini, apa cara terbaik bagi
pemerintah Indonesia agar dapat mencapai tujuan sosial yang dianggap penting, seperti misalnya
UHC? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan tinjauan seksama tentang seberapa jauh
kontribusi tiap tingkatan pemerintahan pada pembiayaan di sektor kesehatan. Analisis ini
menunjukkan kenyataan bahwa pemerintah pusat bukanlah pemain terdepan. Yang justru menjadi
pemain yang jauh terdepan ialah pemerintah daerah (kabupaten/kota). Lihat Tabel 6 untuk
mendapat informasi lebih lanjut tentang hal ini.
Data dari Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari separuh pengeluaran publik untuk bidang
kesehatan di tahun 2012 berasal dari belanja pemerintah kabupaten/kota. Belanja pemerintah
pusat hanya mencapai kurang dari seperempat pengeluaran di bidang kesehatan, sedangkan
sisanya berasal dari belanja pemerintah provinsi.
Studi Jamkesda melakukan analisis untuk menentukan apa yang akan terjadi seandainya sistem
ini menerapkan pembiayaan-bersama (co-financing) untuk meningkatkan jumlah belanja
pemerintah secara keseluruhan di bidang kesehatan sekaligus untuk mendistribusikan kembali
dana kepada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki belanja kesehatan per kapita yang paling
rendah.
Tabel 8:
Jumlah dan Proporsi Belanja di Bidang Kesehatan berdasarkan Tingkatan
Pemerintahan di Indonesia, 2012, dalam Triliun Rupiah.
Perkiraan
Jumlah
Pengeluaran
Proporsi
dari Total
Pengeluaran
Belanja pemerintah pusat
18,1
24,4
Belanja pemerintah provinsi
14,2
19,1
Belanja pemerintah kabupaten/kota
41,9
56,5
Total
74,2
100,0
Sumber pengeluaran publik
Catatan untuk Tabel 6. Data belanja pemerintah bersumber dari data APBD 2012 dari
Kementerian Keuangan. Data tahun 2012 yang disajikan oleh Tim NHA (National Health
Account - Neraca Kesehatan Nasional) Indonesia pada presentasi yang disampaikan di
pertemuan NHA di Paris, April 2014, NHA, Indonesian National Health Accounts: Updates and
Challenges (Data Terbaru dan Tantangan terkait Akun Biaya Kesehatan Nasional Indonesia),
menunjukkan angka yang berbeda untuk pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota
karena tim NHA mengalokasikan proporsi belanja pemerintah pusat pada kabupaten/kota
atau provinsi tempat dana tersebut digunakan.
Data Kementerian Keuangan tahun 2012 yang menunjukkan besarnya anggaran yang dibelanjakan
oleh tiap kabupaten/kota di Indonesia digunakan sebagai titik awal untuk melalukan analisis ini
134
266
Lihat penjelasan awal tentang dasar hukum di sektor ini.
135
/. Untuk keperluan ilustrasi, dalam menyusun dua skenario yang telah dianalisis hingga saat ini,
kabupaten/kota dikelompokkan ke dalam 5 kategori berdasarkan total APBD per kapita di tahun
2012. Lihat Tabel 9 untuk mendapat informasi lebih lanjut tentang kedua skenario ini.
Tabel 9:
Perbandingan Skenario Pembiayaan-Bersama untuk Meningkatkan Pembiayaan
bagi Sistem Kesehatan di Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia
Skenario
1: Tingkat
PembiayaanBersama 2/
Skenario
2: Tingkat
PembiayaanBersama
Jumlah
Kabupaten/
Kota
Kelompok 1: Belanja APBD/Kapita/Tahun <
Rp 1 juta
1% K/K, 9% Pusat
1% K/K, 9% Pusat
29
Kelompok 2: Belanja APBD/ Kapita/Tahun
antara Rp 1 juta & Rp 1,499 juta
1% K/K, 3% Pusat
1% K/K, 5% Pusat
79
Kelompok 3: Belanja APBD/ Kapita/Tahun
antara Rp 1,5 juta & Rp 1,99 juta
1% K/K, 2% Pusat
1% K/K, 3% Pusat
68
1% K/K, 1% Pusat
282
Kelompok 1/
Kelompok 4: Belanja APBD/Kapita/Tahun
>= Rp 2 juta, & <2SD (simpang baku) dari
rata-rata mean untuk belanja sektor
kesehatan dalam nominal Rupiah pada
belanja APBD/ Kapita/Tahun
Kelompok 5: >2SD (simpang baku) dari ratarata mean untuk belanja sektor kesehatan
dalam nominal Rupiah pada belanja APBD/
Kapita/Tahun
1% K/K,
1,5% Pusat
1% K/K,
1% K/K,
Tanpa Dana Pusat
Tanpa Dana Pusat
28
Total
486
Tahun
2012
Catatan: 1. Pengelompokan didasarkan pada APBD per kapita dan belanja sektor kesehatan per kapita. 2.
K/K = tingkat pembiayaan dari pemerintah kabupaten/kota, Pusat = tingkat pembiayaan dari pemerintah
pusat.
Jadi, untuk kelompok dengan tingkat pengeluaran terendah, tawaran pembiayaan-bersama dalam
skenario dimaksud ialah, untuk setiap penambahan belanja kesehatan sebesar 1% di atas jumlah
yang telah dibelanjakan pada tahun sebelumnya untuk: a) pertanggungan asuransi/ jaminan
kesehatan setempat (layanan upaya kesehatan pribadi), atau b) program upaya kesehatan
masyarakat yang berupaya mengatasi masalah-masalah kesehatan utama yang terkait dengan
MDG ataupun penyakit tidak menular yang terus berkembang, maka pemerintah pusat akan
menambahkan dana sebesar 9% pada total belanja mereka di bidang kesehatan. Kelompok dengan
tingkat pengeluaran tertinggi dapat meningkatkan jumlah belanja mereka, namun tidak akan ada
135
Lihat Bab 9, Laporan Akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a
National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi
Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014).
267
dana tambahan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Tiga kelompok dengan tingkat pengeluaran
menengah akan dapat memperoleh tambahan dana dari pemerintah pusat dalam jumlah yang
berbeda-beda, tergantung pada angka awal APBD per kapita mereka. Lihat Tabel 9 untuk informasi
lebih lanjut.
PKEKK mengembangkan analisis dengan mencakup rentang waktu 5 tahun. Analisis tersebut
menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan besar dalam total belanja di sektor layanan
kesehatan dan khususnya dalam hal dukungan bagi jaminan sosial di bidang kesehatan dan
pemberian layanan primer. Bila seluruh kabupaten/ kota memutuskan untuk mendapatkan
dukungan keuangan dari pemerintah pusat pada tingkat maksimal sebagaimana dibayangkan
dalam salah satu dari kedua skenario yang dikaji, rata-rata tingkat belanja kesehatan per kapita
akan naik dari sekitar Rp320.000 per orang per tahun menjadi sekitar Rp750.000 per orang per
tahun dalam waktu 5 tahun. Selain itu, proporsi belanja pemerintah pusat yang merupakan
kontribusi publik bagi sektor kesehatan juga akan naik menjadi lebih dari 50% pada periode yang
sama. Terakhir, indeks perbandingan antara pengeluaran tertinggi dan terendah secara teori akan
turun dari 164:1 menjadi 15:1 dalam periode tersebut. Simpang baku (deviasi standar) dari sebaran
total juga akan turun secara relatif terhadap rata-rata mean.
Catatan-catatan terakhir ini menjabarkan opsi kebijakan yang menarik bagi pemerintah Indonesia
untuk dapat dimasukkan pada periode perencanaan [pembangunan] untuk 5 tahun ke depan
(2014-2019). Hal ini dapat menandai perubahan dalam pemikiran tentang bentuk dukungan
pembiayaan. Model ini bukanlah model baru, karena model ini sudah digunakan dalam skema
jaminan kesehatan di daerah perdesaan di Cina. Asuransi atau jaminan diselenggarakan di tingkat
kabupaten/ kota, dan beberapa tingkatan pemerintahan turut berkontribusi membayarkan iuran/
premi. Petani kecil hanya membayar iuran dalam jumlah sangat kecil.
D. Status Hukum Jamkesda Saat Ini di Tingkat Nasional
Meskipun UU 40/2004 disahkan sebagai dasar pembentukan skema asuransi/jaminan kesehatan
dengan badan pembayar tunggal untuk keseluruhan wilayah Indonesia, beberapa kabupaten/kota
yang sebelum tahun 2004 telah menerapkan skema Jamkesda bagi seluruh atau sebagian penduduk
mereka mengajukan keberatan atas UU ini. Mahkamah Konstitusi, melalui putusannya (atas
Perkara No. 007/PUU-III/2005), menyatakan bahwa beberapa bagian dalam UU 40/2004 yang
mengharuskan dibentuknya mekanisme badan penyelenggara/pembayar tunggal (single payer)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini didasarkan pada UU Pemerintahan
Daerah tahun 1999 dan tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan. UU Pemerintah Daerah (UU No. 32/2004) pada Pasal 167 Ayat 2 menyatakan
bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial
demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. UU tersebut kemudian diubah dengan UU No.
23/2014 yang menyatakan bahwa peran pemerintah daerah dalam perlindungan dan jaminan
sosial ialah: a) menanggung orang yang tergolong miskin yang ditetapkan oleh daerah tersebut
(status PBI) dan/ atau yang merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan b) pendataan
dan pengelolaan data fakir miskin cakupan daerah tersebut (yang menjadi kekhawatiran banyak
kabupaten/kota sebagaimana terungkap dalam survei ini terkait peran mereka dalam pengembangan JKN ke depan). Selain itu, UU No. 23/2014 tidak menyebutkan adanya perubahan fungsi pemerintah daerah dalam hal pembiayaan jaminan sosial daerah, sebagaimana telah ditetapkan
sebelumnya pada UU No. 32/2004.
268
Sokongan dana dari pemerintah daerah untuk menanggung warga yang oleh pemerintah daerah
digolongkan sebagai orang miskin (warga dengan status PBI – Penerima Bantuan Iuran) akan terus
diberikan dalam bentuk pembayaran iuran/premi tahunan. Hal ini dinyatakan dalam peraturan
Kementerian Kesehatan (No.28/2014) yaitu bahwa “Iuran bagi peserta yang didaftarkan oleh
pemerintah daerah dibayarkan oleh pemerintah daerah dengan besaran iuran sama dengan besar iuran
untuk peserta PBI yang telah ditetapkan oleh BPJS di tingkat nasional bagi masyarakat miskin
sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah pusat.” Akan tetapi peraturan tersebut tidak menyatakan
siapa yang akan menerima pembayaran iuran/ premi tersebut, yang bisa saja dibayarkan ke Jamkesda atau ke BPJS.
Peraturan Kementerian Kesehatan No. 28/2014 juga memberikan kewenangan dan tanggung
jawab pada pemerintah daerah (PEMDA) untuk menetapkan warga yang dianggap sebagai orang
“miskin” di daerah (PBI daerah) atau yang dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan
sosial, serta kewajiban pemda untuk menanggung asuransi kesehatan bagi mereka. Selain itu,
Peraturan Presiden yang belum lama ini diterbitkan (Perpres 12/2013) memberikan kewenangan
dan tanggung jawab bagi PEMDA untuk menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan yang dapat
memenuhi kebutuhan warga miskin dan/atau PMKS.
UU yang baru (UU 23/2014), sejalan dengan Perpres 12/2013 dan Permenkes 28/2014, mendukung
dasar putusan MK tahun 2005 (Putusan atas Perkara No. 007/PUU-III/2005), yang menegaskan
adanya pembagian urusan pemerintah (desentralisasi) di bidang kesehatan kepada pemerintah
daerah sekaligus menyatakan bahwa bagian-bagian dalam UU No. 40/2004 tentang badan pembayar/penyelenggara tunggal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena tidak sejalan
dengan ketentuan tentang pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang (UU
No. 32/2004). UU tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tersebut disusun untuk mengatasi
berbagai isu yang muncul pada UU pemerintahan daerah sebelumnya (UU No. 22/1999 dan UU
No. 25/1999) yang mengatur peran dan tanggung jawab pemerintah daerah setelah terjadinya
perubahan pemerintahan di Indonesia di akhir masa pemerintahan Soeharto136/.
Meskipun sebagian orang berpendapat bahwa aturan tentang badan penyelenggara/pembayar
tunggal (UU 24/2011) telah menyelesaikan isu desentralisasi di bidang jaminan kesehatan, tidak
ada keterangan apapun dalam undang-undang tersebut yang menjelaskan tentang status hukum
Jamkesda. Status Jamkesda sama sekali tidak disinggung dalam Undang-undang tersebut. Apakah
perlu dibuat UU baru untuk membalikkan putusan MK tahun 2005? Mengingat komposisi anggota
parlemen yang baru terpilih saat ini, dengan cukup besarnya jumlah kursi yang dikuasai oleh
utusan daerah (anggota DPD) (132 dari 692 kursi, atau 19,1%) 137/ undang-undang semacam itu
akan lebih sulit terwujud.
Dengan penerapan skema pembiayaan-bersama dengan pemerintah pusat untuk bidang kesehatan
ini (lihat bagian 5.B di atas), paket manfaat BPJS dengan segera akan menjangkau lebih dari 60
juta orang, dan dengan demikian meningkatkan tingkat cakupan nasional menjadi lebih dari 85%.
Ini menjadi kemenangan bagi tim Jokowi. Peserta Jamkesda sendiri langsung menikmati peningkatan dari sisi manfaat dan perlindungan finansial. Bagi para pemimpin daerah di tingkat provinsi,
manfaat baru semacam ini berarti adanya penerimaan politik yang lebih besar oleh konstituen
136
Lihat Bambang Brodjonegoro, “The Indonesian Decentralization After Law Revision: Toward a Better future?” (Desentralisasi
di Indonesia Setelah Perubahan Undang-undang: Menuju Masa Depan yang Lebih Baik?) Dokumen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2005.
137
Kompas, 8 Oktober 2014 hal.1.
269
mereka di daerah. Hal ini menjadi situasi yang sama-sama saling menguntungkan bagi ketiga
pihak (win-win-win).
Seiring dengan waktu, mungkin pemerintah pusat nantinya dapat memiliki posisi finansial yang
lebih baik yang dapat mempengaruhi pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat akan dapat
meyakinkan sebagian besar pemda bahwa pemerintah pusat sebenarnya bersedia bekerja sama
dengan pemda demi mencapai tujuan yang sama. Sistem teknologi informasi yang digunakan
hendaknya distandarkan agar sesuai dengan yang digunakan BPJS, untuk memastikan tidak terjadi
duplikasi cakupan, yang berdasarkan studi Jamkesda jumlahnya mencapai sekitar 23%. Sistem
pembayaran klaim juga dapat dibuat standar guna menelusuri akses dan pemanfaatan yang
sepatutnya serta standar minimum dalam pemberian layanan berkualitas. Peraturan dapat
memastikan terjadinya peningkatan rasio pembayaran klaim. Audit/ pemeriksaan mungkin
diperlukan untuk mengkaji Jamkesda yang memakan biaya administrasi yang amat tinggi 138/.
Bila memang dikehendaki oleh Jamkesda, maka dalam waktu 5-10 tahun, sistem Jamkesda yang
terstandarisasi dapat kemudian digabungkan dengan basis data tunggal yang berlaku nasional
untuk pembayaran klaim dan kualitas layanan. Jamkesda dapat dimanfaatkan untuk memberikan
layanan-layanan penting terkait dengan pendaftaran, penyuluhan, kepuasan peserta, pemrosesan
klaim, dan tim jaminan mutu di tingkat daerah.
Bila Jamkesda tidak digabungkan (dengan JKN), maka Jamkesda – melalui sistem administrasi yang
sudah dibuat standar – akan perlu menunjukkan bahwa akses dan layanan yang mereka berikan
setidaknya setara dengan akses dan layanan yang diberikan melalui sistem BPJS. Bila tidak, BPJS
akan menganggap Jamkesda sebagai program “perlindungan sosial daerah”, yang tidak memberikan
manfaat yang sama dengan skema yang berlaku nasional. Informasi ketimpangan semacam ini
dapat tersebar luas pada masyarakat di daerah. Kumpulan risiko (risk pools) Jamkesda yang lebih
kecil umumnya akan menjadi penghalang bagi kesinambungan Jamkesda – apabila semua kondisi
disamaratakan, biaya administrasi Jamkesda akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan BPJS.
Terakhir, masyarakat di daerah-daerah yang tidak mengikuti aturan BPJS juga dapat diberi
pemahaman bahwa seluruh peserta mendapat opsi “kesempatan sekali seumur hidup” untuk
beralih dari Jamkesda ke BPJS tanpa dikenakan denda/ penalti berupa uang. Akan tetapi penerapan
denda/ penalti tidak akan berdampak apapun dalam jangka pendek karena sebagian besar peserta
Jamkesda saat ini tidak membayar iuran apapun.
Sebagian pihak di Jakarta mempercayai bahwa pemerintah daerah akan bersedia melepaskan
kendali mereka atas peluang dan sumber daya keuangan yang ada demi memberikan manfaat
secara politik dalam bentuk layanan kesehatan. Namun harapan semacam itu bisa saja hanya
menjadi impian semata. Alih-alih, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan mengambil langkah
strategis dalam jangka waktu 5-10 tahun agar semua orang mendapat manfaat dan perlindungan
finansial yang memenuhi standar minimal. Pada titik itulah Jamkesda akan perlu menunjukkan
kinerjanya, atau tutup.
Dengan adanya pembiayaan-bersama, Kementerian Keuangan dapat menghemat dana karena
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota membayar sebagian iuran atau biaya manfaat kesehatan
peserta. Presiden Jokowi dapat meningkatkan cakupan. Provinsi dapat tetap menjalankan programnya. Skema di tingkat daerah ini menjadi laboratorium kecil tempat menguji berbagai potensi
inovasi. Akan tetapi bila kinerja mereka tidak memenuhi standar, pemerintah pusat akan mema-
138
270
Studi Jamkesda menemukan bahwa lebih dari 90% Jamkesda menjalani audit/pemeriksaan keuangan tahunan.
sukkan skema ini di bawah skema BPJS, atau nantinya Jamkesda akan mengemban peran baru
sebagai kantor perwakilan daerah BPJS.
Yang menjadi pihak yang diutamakan kepentingannya di sini ialah masyarakat. Menutup Jamkesda
bisa menjadi hal yang amat mengganggu dan menakutkan bagi warga setempat. Dan tanpa adanya
manfaat secara politik yang signifikan dari pemerintah pusat, para pimpinan di daerah mungkin
akan menentang penutupan Jamkesda dalam beberapa tahun ke depan.
271
NOTA
#29 KEBIJAKAN
Kemitraan Pemerintah-Swasta
dalam Sektor Kesehatan?
Kapan?139
Menteri Kesehatan, Nila Moeloek baru baru ini menyerukan perlunya Kemitraan Pemerintah
Swasta di sektor Kesehatan. Hal ini sudah lama tertunda.
Sektor swasta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Namun, belum ada kebijakan yang
jelas mengenai peran sektor swasta dalam kesehatan. Memang, sedikit sekali yang diketahui
mengenai peran swasta tersebut. Sementara sektor swasta mengelami perkembangan pesat di sisi
penyediaan (supply side), pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta tidak ada atau terbatas
sekali, dan tidak banyak informasi mengenai jumlah, distribusi, ruang lingkup dan kualitas layanan
sektor swasta. Kementerian Kesehatan relatif ‘buta’ terhadap informasi sektor swasta, hingga pada
awal 2014 ketika Presiden meminta untuk mengontrak lebih banyak sektor swasta dalam JKN.
Sabagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1, ini merupakan jenis Kemitraan Pemerintah- Swasta
(KPS) yang pertama.
Sektor swasta dapat menjadi salah satu pilihan untuk menyediakan sistem pelayanan yang lebih
cepat dan lebih responsif bagi negara. Pemerintah harus segera mengupayakan cara untuk
mempromosikan sistem pelayanan publik/ pemerintah dan swasta yang harmonis. Dengan
mempertimbangkan kasus-kasus korupsi masa lalu, Pemerintah harus mengkaji cara untuk fokus
pada pembiayaan di sisi permintaan (demand side), dan mendorong sektor swasta dan nirlaba
untuk mengembangkan sisi persediannya (supply side). Salah satu pilihan radikal adalah dengan
menghentikan atau membekukan alokasi modal untuk faskes-faskes baru milik pemerintah hingga
rencana induk untuk pengelolaan sisi persediaan selesai dikembangkan.
139
Policy Note ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mengakses policy notes terkait
lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org
273
Gambar 1:
Dua jenis Kemitraan Pemerintah Swasta
Source: April Harding, World Bank, 2012140
Secara global, ada beberapa pengaturan kemitraan pemerintah-swasta dimana pemerintah
menyediakan kredit pajak, subsidi, dan bahkan menunjuk ‘mitra’ swasta untuk membiayai
pembangunan fasilitas kesehatan - dan terkadang mengoperasikannya. Pengaturan tersebut dapat
berupa inisiatif keuangan swasta (private finance initiative/ PFI) yang pernah populer di beberapa
negara kaya seperti di Inggris lebih dari satu dekade yang lalu, yang mana dengan pengaturan
tersebut, perusahaan swasta membiayai dan membangun rumah sakit untuk sektor publik. Sektor
swasta membangun dan mengoperasikan rumah sakit pemerintah dengan mempekerjakan stafnya
sendiri untuk jangka waktu panjang. Dalam kebanyakan pengaturan, pemerintah selalu menjadi
pihak pemilik rumah sakit dan pengaturan kontrak diupayakan untuk memastikan adanya akses
‘biaya netral’ bagi pasien publik dan bagi pengeluaran rutin pemerintah. Pemerintah menggunakan
PFI untuk menggalang dana ‘off budget’ yaitu, dari neraca keuangan publik dan tidak menunjukkannya
dalam persyaratan pinjaman sektor publik.
Konsumen semakin menginginkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan minat dan persepsi
mereka. Tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara-negara berpendapatan menengah
(Brazil, Chili, Meksiko, Afrika Selatan, Thailand) dan bahkan negara-negara berpenghasilan rendah
(Ghana, Rwanda, Kyrgyzstan) ketika berupaya untuk menerapkan pendekatan dan skema cakupan
140
274
Private Sector Flagship Course, Hong Kong, 2012.
kesehatan semesta, yang bertujuan untuk memberikan layanan berkualitas kepada (idealnya)
seluruh penduduk.
Dalam hal peran sektor swasta, banyak diskusi mengenai “Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS)”
berasal dari pengalaman di negara-negara Eropa dan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya
(AS, Kanada, Australia, dan lain-lain). Singkatnya, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
mengubah kontrak yang biasanya “Rancang, Bangun, Danai dan Jalankan” menjadi proyek investasi
jangka panjang. Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) adalah model bisnis yang dapat direplikasikan
dan diukur dan suatu hubungan berbagi risiko jangka panjang (misalnya, 25-30 tahun) antara
pemerintah dan swasta, dengan tujuan
memberikan hasil kebijakan publik dalam bentuk layanan yang diharapkan dalam kendali
mitra sektor publik/ pemerintah secara keseluruhan; serta
menghasilkan keuntungan bagi mitra sektor swasta
Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) mengubah kepemilikan (tradisional) atas aset menjadi pembelian jasa - pemerintah tidak lagi memiliki rumah sakit tetapi membeli akses secara berkelanjutan
ke berbagai rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Hal ini berarti adanya perubahan dalam
memutuskan di lingkungan pengembangan proyek dari spesifikasi input (klien negara menetapkan
ukuran fasilitas yang akan dibangun dan bagaimana fasilitas itu dikelola) ke basis output (jaminan
akses ke aliran layanan tertentu dengan kualitas tertentu, dengan cara apapun yang dipilih mitra
kontraktor swasta untuk menyelenggarakan layanan tersebut). Pengalaman internasional dalam
hal KPS dalam pelayanan kesehatan menurut Antonio Duran dari European Observatory,141 dapat
dikategorikan dengan cara berikut:
1.
Pengadaan “Accommodation-only” Dengan KPS cara ini, dan mungkin yang paling umum di
seluruh dunia (dan efektif, sewa dikelola), mitra swasta menyediakan bangunan-dan mungkin
peralatan-berikut pemeliharaanya selama masa kontrak. Semua ketentuan medis tetap di
tangan negara. Inggris misalnya telah membangun lebih dari 100 unit rumah sakit dengan
cara ini menggunakan apa yang disebut Inisiatif Keuangan Swasta (private finance initiative/
PFI). Dalam beberapa kasus, perusahaan inkorporasi sektor publik menjalankan usaha real
estate, dan mengoperasikan ruang layanan untuk organisasi rumah sakit sektor publik/ pemerintah;
2. “Twin-Special Purpose Vehicles”. adalah penyediaan property/ area jenis PFI melalui satu
kontraktor swasta yang gabungkan (twinned) dengan satu perusahaan layanan medis swasta
terpisah, yang bertanggung jawab atas semua layanan klinis dan peralatan medis;
3. “Clinic/ Hospital Full-Service Franchise”. Kebanyakan rumah sakit di negara-negara Eropa - bukan
di AS - dimiliki, dikembangkan dan dikelola oleh negara. Kadang-kadang ada rumah sakit
nirlaba (misalnya gereja) dalam sistem tersebut. Hal yang baru adalah kelompok klinik dan
perusahaan rumah sakit swasta, komersial, dan berorientasi keuntungan masuk ke pasar yang
pada dasarnya dikontrak 100% untuk organisasi asuransi kesehatan sosial atau dana publik
lainnya. Rumah sakit swasta kemudian menyesuaikan sistem perencanaan rumah sakit dan
klinik sektor publik (yaitu, harus menyediakan layanan yang sebanding), dan tidak boleh
melakukan praktik “cream-skim” (menerima pasien semata-mata karena kemampuan membayar
pasien) terhadap pasien yang diterimanya, memperoleh pendapatan atas dasar yang sama
dengan rumah sakit pemerintah (melalui CBGs yang dipublikasikan atau tarif lainnya). Perusahaan komersial yang bersangkutan mempunyai kebebasan operasional yang cukup lengkap
141
Readers may go to the European Health Observatory website for a deeper discussion by Duran and others.
275
untuk proses klilnis dan proses lainnya, terlepas dari apakah perusahaan tersebut membutuhkan
dana modal publik untuk konstruksi atau tidak;
4. “Regional Healthcare Franchise”. Ini merupakan perluasan dari ke 3 cara di atas, dengan
perusahaan swasta yang memiliki konsesi untuk penyediaan pelayanan kesehatan dasar
maupun rumah sakit – Pelayanan bekesinambungan secara penuh (full continuum of care). Ada
pengalaman berharga di Spanyol dengan model ini. Sistem pembayarannya adalah “kapitasi”,
yang diukur terhadap pembanding sektor publik dan dengan perlindungan untuk pilihan
pasien. Pemegang hak konsesi tidak dapat memilih pasien yang akan diterima pada setiap
tingkatan sistem, tetapi dapat memberi insentif pasien untuk dikelola pada tingkat layanan
kesehatan yang paling efisien (perawatan dasar biasanya lebih murah bagi perusahaan
daripada memasukkan pasien ke rumah sakit)
Informasi lebih lanjut mengenai model Kemitraan Pemerintah Swasta dapat diperoleh di makalahmakalah Bappanas yang didanai DFAT tahun 2014 untuk rencana lima tahun kedepan. Pembaca yang
berminat dapat merujuk ke makalah-makalah ini.
Sebagian besar keberhasilan modernisasi intervensi tergantung pada kemampuan untuk berinovasi
dalam melayani kebutuhan kesehatan, juga tergantung pada integrasi desain dan tata letak fisik
pusat-pusat kesehatan.
Setiap penggunaan mekanisme inovatif di Indonesia perlu diatur sesuai konteks negara. Sistem
kesehatan Indonesia pada dasarnya sudah merupakan gabungan (yaitu, memiliki sektor kesehatan
swasta yang terorgansiasi secara mandiri). Sehingga, penerapan mekanisme KPS merupakan
keuntungan di Indonesia.
Sebaliknya, konteks tata kelola publik yang agak lemah saat ini dapat menjadi lebih problematis
ketika lembaga-lembaga selain sektor publik memberikan pelayanan kepada masyarakat (dengan
kemungkinan melepaskan diri dari kewajiban negara jika dengan struktur pelayanan publik saat
ini dialihkan ke sektor swasta). Untuk alasan ini, maka penerapan mekanisme KPS di Indonesia
akan memerlukan unsur-unsur penyeimbang regulasi, monitoring dan pengawasan yang harus
dirancang dengan seksama.
Walaupun demikian, pimpinan kesehatan di Indonesia dapat mempertimbangkan ujicoba dan
memulai serta:
•
•
•
•
•
Mengidentifikasi wilayah geografis tempat ujicoba mungkin dapat diselenggarakan;
Menjajaki cara yang akan dikembangkan untuk penyelenggaraan layanan kesehatan yang
lebih disukai;
Memilih skema tata kelola dan manajemen yang lebih disukai untuk melakukan ujicoba;
menetapkan jangka waktu dan kondisi pengalaman ujicoba akan diselenggarakan;
Menyampaikan isu-isu relevan lain yang mungkin untuk dibahas
Akhirnya, sistem kesehatan di Indonesia dan aparat pelayanan tetap akan sangat rentan terhadap
semua jenis bencana alam, mengingat letak Indonesia yang berada di “Ring of Fire” pasifik dan
sebagai akibat dari perubahan iklim yang meningkat baik frekuensi maupun intensitas bencana
alam.
276
Langkah selanjutnya
Kementerian Kesehatan dan Bappenas dapat mengadakan global call for proposal untuk KPS.
Pemerintah harus menjelaskan kriteria dan tujuan, wilayah geografis, kerangka waktu dan tanggal
jatuh tempo. Setelah proposal diterima, mintalah panel ahli memilih proposal yang terbaik, dan
undang lah mereka yang mengajukan proposal untuk menjelaskan ide-ide mereka dihadapan
panel ahli pemerintah dalam sebuah acara simposium 2-3 hari. Ini akan menjadi awal dari dialog
dan ujicoba KPS di Indonesia.
Setelah disepakati dan dimulai, ujicoba harus dipantau dengan seksama, dievaluasi dan kemudian
diperbaiki.
277
Implementing Service
Provider (ISP) Office
Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H
Implementing Service
Provider (ISP)–
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9
Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9.
Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950
Website:
www.aiphss.org
Kumpulan Nota Kebijakan
Kumpulan Nota Kebijakan
Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2
Jakarta Selatan, INDONESIA 12950
Telp +62 21 526 1289
Fax + 62 21 368 20064
Email: [email protected]
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA
Kontak kami:
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN
CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA
Didukung oleh
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Government
Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
(AIPHSS)
Australian
Aid
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
(AIPHSS)
Australian
Aid
Australia Indonesia Partnership
for Health Systems Strengthening
Australian
AID
Download