Implementing Service Provider (ISP) Office Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H Implementing Service Provider (ISP)– Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9 Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950 Website: www.aiphss.org Kumpulan Nota Kebijakan Kumpulan Nota Kebijakan Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2 Jakarta Selatan, INDONESIA 12950 Telp +62 21 526 1289 Fax + 62 21 368 20064 Email: [email protected] PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA Kontak kami: PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA Didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Government Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Department of Foreign Affairs and Trade Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Aid Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Aid Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening Australian AID PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA KUMPULAN NOTA KEBIJAKAN DIDUKUNG OLEH AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR HEALTH SYSTEMS STRENGTHENING (AIPHSS) Australian Government Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Department of Foreign Affairs and Trade Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Aid Kata Pengantar Dalam kurun waktu 2012 dan 2013, lebih dari 50 “Pokja” telah dibentuk untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang merupakan cakupan kesehatan semesta di bawah sistem asuransi kesehatan baru dengan pembayar tunggal. Proses ini merupakan proses praktik baik yang dilakukan lintas kementerian dalam merancang dan mempersiapkan sistem baru untuk dapat diimplementasikan pada tahun 2014. Tentu saja berbagai isu dan pertanyaan muncul mengenai sejumlah topik, dan untuk topik-topik ini, pertanyaan yang kerap muncul adalah mengenai apa yang merupakan cara terbaik, dan apa praktik terbaik di seluruh dunia (global best practice) yang bisa dipelajari oleh Indonesia dalam proses ini. Kumpulan policy note ini dibuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, dan penyusunannya dimulai pada April 2013. Beberapa policy note mengkritisi pendekatan saat ini yang dilakukan Pokja, sementara policy note lainnya memberikan pilihan dan pendekatan-pendekatan alternatif. Model-model dan pengalaman dari Australia, Eropa Barat dan Asia Timur disajikan sebagai bahan diskusi dalam seri policy note ini. Setelah pelaksanaan JKN pada tahun 2014, muncul tantangan-tantangan baru, dan policy note ini pun memunculkan topik-topik baru. Policy note biasanya terdiri dari 2-10 halaman, yang dimaksudkan agar mudah dibaca (user friendly) dan untuk mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi para pengambil keputusan di Indonesia, serta memberikan pilihan dan alternatif serta praktik terbaik dari seluruh dunia. Kumpulan policy note ini ditulis oleh para konsultan yang didanai oleh Pemerintah Australia (DFAT) melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), namun sekitar 30 persen dari policy note ini ditulis oleh para ahli dari Nossal Institute in Australia, University of New South Wales, World Bank, WHO, UNICEF, Joint Learning Network, dan Universitas Indonesia. Seri ini sifatnya “terbuka” bagi siapa saja yang dapat menyajikan topik yang menarik dan tepat waktu, serta bagi para ahli dan pembuat kebijakan di Indonesia. Policy note ini ditulis dalam bahasa Inggris, dan diterjemahkan pula kedalam bahasa Indonesia kemudian secara rutin disebarluaskan melalui email dan website www.aiphss.org kepada publik individu dan lembaga di Indonesia, termasuk Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), BPJS, komunitas donor, fakultas dan mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa policy note yang ditulis pada tahun 2013 diberi tanggal didasarkan atas peristiwa, peraturan dan perundang-undangan. Setiap Policy Note mempunyai catatan kaki di bagian awal untuk menginformasikan kepada pembaca jika aspek-aspek policy note tersebut sudah kedaluwarsa, dan khususnya bidang apa yang telah berubah. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan policy note ini untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam kebijakan dan peraturan, yang menunjukan bahwa policy note memang memberikan dampak nyata bagi sektor kesehatan di Indonesia. Akhirnya, policy note ini juga digunakan sebagai bacaan dan studi kasus untuk mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, yang menunjukkan bahwa policy note ini akan dibaca dan dikritisi dalam jangka waktu dekat dan mungkin di tahun-tahun mendatang mengingat Indonesia kini memasuki masa transisi ke sistem kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang baru. 21 Maret 2015 iii Daftar Isi Kata Pengantar — iii Apa yang terjadi dengan Pembayaran Kapitasi untuk Pelayanan Kesehatan Dasar? — 1 Indonesia Harus Mengembangkan Grouper Sendiri: Penyempurnaan INA CBGs untuk Rumah Sakit — 6 #3 Organisasi Asuransi Sosial Modern Tidak Memerlukan Pengaturan Aset dan Kewajiban — 10 #4 Sistem Informasi dan BPJS: Langkah Kunci Selanjutnya dan Kapan? — 14 #5 Prinsip-Prinsip Uji Coba (Piloting) dalam Sektor Kesehatan – Pengalaman Global — 21 #6 Di mana Indikator Pemantauannya? — 25 #7 Dari Siapa Kita Membeli? Kontrak Pelayanan Kesehatan untuk Perbaikan Biaya dan Kualitas Kesehatan di Indonesia — 34 #8 Monitoring dan Evaluasi Cakupan Kesehatan: Ujicoba “Dashboard Informasi” Perluasan Cakupan Kesehatan di Indonesia — 43 #9 Cakupan Kesehatan Semesta dan Akreditasi Kesehatan di Indonesia — 50 #10 Merokok dan Cakupan Kesehatan Semesta: Apa Hubungannya? — 57 #11 Pelayanan Kesehatan Dasar dan SJSN dalam Konteks Sistem Kesehatan di Kabupaten/Kota — 63 #12 Mendefinisikan dan Mengelola Komponen Manfaat Farmasi di bawah Program Asuransi Kesehatan Universal Indonesia — 73 #13 Mengembangkan Faktor Pendukung atau “Pra-Kondisi” untuk Reformasi Pembayaran Provider di bawah BPJS: Apakah Indonesia Siap? — 84 #14 Gizi dan Paket Manfaat Dasar untuk Cakupan Kesehatan Semesta — 93 #15 Aspek Ekonomi Politik dari Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) Implikasinya untuk Indonesia — 102 #16 Bagaimana Menjangkau Masyarakat yang belum Terjangkau dalam Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) — 109 #17 Pentahapan INA-CBGs — 123 #18 Tenaga Kesehatan di Indonesia Ketersediaan Tenaga Kesehatan untuk Penyelenggaraan Cakupan Kesehatan Semesta — 130 #19 Menutup Kesenjangan: Pengalaman Global Penyediaan Perlindungan Asuransi bagi Pekerja Sektor Informal — 142 #20 Siapa melakukan apa? Memetakan Masa Depan bagi Kementerian Kesehatan Indonesia — 163 #21 Dokter, Insentif dan Penempatan di Pedesaan — 176 #22 Pertimbangan-pertimbangan untuk Menetapkan Proses atau Program Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) — 193 #23 Republik Korea (“Korea Selatan”) — 202 #24 Menjadi Pembeli yang memiliki Strategi: Gagasan untuk BPJS — 219 #25 Apa yang Bisa Dilakukan Terhadap Ancaman Kesehatan Masyarakat #1? — 232 #26 Mewujudkan Keberhasilan Pemerintah: Kasus BPJS — 241 #27 Riset dan Evaluasi: Peran BPJS — 249 #28 Jamkesda: atau Angsa Bertelur Emas untuk Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) — 252 #29 Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Sektor Kesehatan? Kapan? — 273 #1 #2 iv NOTA #1 KEBIJAKAN Apa yang terjadi dengan Pembayaran Kapitasi untuk Pelayanan Kesehatan Dasar?1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-undang SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Undang-undang BPJS) yang meliputi lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang didanai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan. Penyatuan dan integrasi beberapa dana asuransi akan memungkinkan BPJS menjadi pembeli layanan yang efektif dan adil, dengan pengeluaran administrasi yang minimal. Para pengamat sepakat bahwa BPJS harus mendorong pelayanan kesehatan dasar untuk berkembang dan menjadi yang terbaik, serta bertindak sebagai gatekeeper guna memastikan bahwa hanya kasus-kasus yang perlu saja yang dirujuk ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih tinggi, sehingga pembiayaan kesehatan secara keseluruhan menjadi efisien. Di Indonesia saat ini biaya yang dikeluarkan untuk perawatan rumah sakit memang sangat tinggi, yaitu mencapai kira-kira 60 persen, dibandingkan dengan Kanada yang hanya 29 persen, dan negara-negara di Eropa Barat yang kurang dari 40 persen.2 Sistem pembayaran yang tepat dapat mendorong efisiensi alokasi dan efisiensi teknis yang lebih besar. Memang, Indonesia memerlukan seperangkat sistem pembayaran yang baik untuk membantu menciptakan sistem pembiayaan yang efisien. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 12/2013 terdapat mandat yang menyatakan bahwa pembayaran BPJS Kesehatan kepada fasilitas 1 Nota Kebijakan ini tulis oleh Jack Langenbrunner dan Cheryl Cashin dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah, pemerintah telah memperbaiki formula kapitasi berdasarkan prinsip-prinsip yang direkomendasikan di dalam nota kebijakan ini. 2 Berdasarkan laporan lokakarya National Health Accounts pada bulan Maret 2013 dan Statistik OECD 2012. 1 kesehatan tingkat pertama dilakukan secara pra-upaya berupa kapitasi, dan bukan pembayaran secara tunai (fee for service). Kapitasi, didefinisikan sebagai 1 pembayaran per 1 paket pelayanan tertentu per 1 orang (per kapita) untuk per 1 periode waktu tertentu (empat “1”). Dengan kata lain, pengertian kapitasi yang paling sederhana adalah uang yang dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dasar dibagi jumlah penduduk. Istilah “rata-rata keseluruhan” kadang-kadang disebut sebagai “tarif dasar” (base rate). Jumlah dana keseluruhan yang dialokasikan untuk setiap penyedia atau fasilitas pelayanan kesehatan dasar merupakan jumlah per kapita rata-rata (atau tarif dasar) x jumlah peserta. Saat ini pemerintah telah menetapkan besaran kapitasi Rp. 6,000 per bulan sebagai tarif dasar, sebagai persentase dari total premi Rp 15,500 yang dialokasikan Kementerian Keuangan. Hal yang baik dari penetapan tarif dasar itu adalah persentase yang relatif tinggi dari jumlah total yang diberikan untuk seluruh paket pelayanan dasar, sekunder, dan tersier. Penyimpangan Definisi Akan tetapi, pemerintah kini tengah mempertimbangkan untuk mendefinisikan ulang pengertian kapitasi sebagai “Pemanfaatan x Biaya Satuan” dengan plafon terbatas. Hal ini oleh para ahli disebut sebagai “fee-for-service with a cap” (pembayaran tunai dengan batasan). Dengan kata lain, mereka tidak akan mengalikan Rp. 6.000,00 dengan jumlah peserta, tetapi akan membagi tarif dasar sesuai pemanfaatan historis dan biaya satuan relatif. Hal ini tentu saja bukanlah kapitasi. Prinsip dasar kapitasi adalah untuk memisahkan pembayaran dari pemanfaatan. Dengan cara ini, penyedia pelayanan tidak di’hukum’ bilamana mereka menjaga populasi tetap sehat dan dapat mengurangi pelayanan kuratif. Pemisahan pembayaran dari pemanfaatan juga penting untuk dapat memindahkan sumber daya pelayanan kesehatan dasar ke daerah-daerah di mana pemanfaatan fasilitas kesehatan secara historis rendah namun kebutuhan kesehatan sebenarnya tinggi. Apa yang akan dihasilkan dari definisi baru ini? Definisi ini akan memberikan jaminan kepada penyedia pelayanan kesehatan dan Puskesmas bahwa pendapatan tahun lalu akan sama dengan pendapatan untuk tahun 2014. Keuntungannya adalah definisi ini melindungi pihak penyedia pelayanan dari kebijakan baru atau reformasi, dan menghindari risiko keuangan. Terdapat keberagaman dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan (lihat gambar dibawah), namun alasan untuk hal ini mungkin tidak ada hubungannya dengan status kesehatan itu sendiri melainkan disebabkan oleh cakupan asuransi atau harapan pengguna. Apa yang tidak dapat dihasilkan oleh definisi ini? Definisi ini tidak memberikan dasar yang adil untuk distribusi uang antara yang kaya dan yang miskin, antara yang sakit dan yang sehat. Definisi ini juga tidak selalu memberikan insentif bagi semua penyedia pelayanan untuk mengelola perawatan dengan lebih baik, menekan biaya, dan menyediakan input perawatan yang hemat biaya. Terakhir, definisi ini juga tidak memberikan insentif apapun untuk mencari dan mendaftarkan pasien, yang sebenarnya meningkatkan daya tanggap dan distribusi penyedia pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Definisi ini melindungi pihak penyedia pelayanan kesehatan di perkotaan dengan tingkat pemanfaatan yang tinggi, namun definisi ini akan menekan pendapatan puskesmas dengan kunjungan pasien yang sedikit, terutama di pedesaan. 2 Medical Claim (National & Provinces): OP & IP 2010 Risiko Biaya Klaim (PMPM) RJTL & RITL by propinsi 2,7 hari DKI JKT 2,0 DIY 1,4 1,3 1,2 1,1 Bali JaTim SulSel JaTeng 1,0 1,0 0,9 0,9 0,8 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 SumUt SulBar SulUt SulSel Lampung KalSel JaBar KalTim NAD Gorontalo Jambi Banten SulTengah KalBar Kep. Riau Riau Bengkulu Kep. BaBel NTB Papua KalTeng IrjaBar NTT MalUtara SulTeng Maluku SulBar 0,2 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 Claim Risiks Estimasi Klaim MPMP (Rp) NASIONAL 1.00 DKI JKT 2.66 26.884 71.524 DIY 2.04 54.768 Bali 1.40 37.743 JaTim 1.32 35.410 SulSel 1.18 31.969 JaTeng 1.12 30.040 SumUt 0.96 25.900 SulBar 0.95 25.608 SulUt 0.92 24.697 SulSel 0.88 23.633 Lampung 0.79 21.132 KalSel 0.75 20.083 JaBar 0.73 19.633 KalTim 0.69 18.608 NAD 0.68 18.212 Gorontalo 0.66 17.742 Jambi 0.62 17.616 Banten 0.62 16.595 SulTengah 0.60 16.260 KalBar 0.57 15.355 Kep. Riau 0.57 15.233 Riau 0.56 15.049 Bengkulu 0.55 14.825 Kep. BaBel 0.54 14.425 NTB 0.52 13.849 Papua 0.45 12.221 KalTeng 0.44 11.917 IrjaBar 0.44 11.826 NTT 0.43 11.548 MalUtara 0.41 10.919 SulTeng 0.34 9.142 Maluku 0.33 8.855 SulBar 0.21 5.527 3,0 Walaupun reformasi ditujukan untuk mendistribusikan ulang sumber daya dari yang kaya ke yang miskin dan dari perkotaan ke pedesaan, reformasi ini akan gagal pada tingkat paket pelayanan kesehatan dasar. Tenaga pelayanan kesehatan tidak akan tertarik untuk pindah. Lulusan baru tidak akan mau meninggalkan Jakarta atau kota-kota lainnya. Hal ini hanya seperti apa yang telah terjadi selama ini, sehingga timbul pertanyaan: buat apa ada reformasi? Para kritikus mungkin beralasan bahwa masih akan ada penyesuaian untuk penempatan kotadesa, untuk case-mix peserta tertentu, dan mungkin faktor-faktor lainnya seperti tingkat kemiskinan secara keseluruhan. Hal ini akan membantu, namun penyesuaian tidak akan cukup apabila kapitasi tidak tepat sejak awalnya. Pertimbangan Lain Di samping perhitungan kapitasi, pemerintah perlu mengatasi masalah-masalah penting lainnya. Salah satunya mengadakan kontrak dengan sektor swasta dan menarik kembali para dokter yang berpraktek ganda, yang meninggalkan puskesmas pada siang hari untuk mengejar pasien pribadi. Selama sebagian besar dokter melihat tarif dasar tidak memadai untuk menarik sektor swasta, dokter pemerintah akan terus berpraktek sebagai penyedia pelayanan kesehatan pribadi pada sore 3 hari. Pendekatan “kapitasi” yang diusulkan ini hanya akan memperkuat pola-pola perilaku yang menyimpang. Ada pula masalah paket pelayanan. Para pengamat memperkirakan hanya 30 persen populasi yang akan memiliki akses terhadap paket pelayanan pada tahun 2014. Salah satu solusinya adalah memberikan pilihan kepada penyedia pelayanan untuk membentuk jaringan baru yang memberikan paket pelayanan, atau memberikan pembayaran kapitasi kepada rumah sakit di daerah kabupaten/ kota untuk memungkinkan mereka menghasilkan cara baru dalam memberikan pelayanan, mungkin melalui fasilitas rumah sakit yang sudah ada. Masing-masing pilihan ini memberikan harapan untuk pemberian pelayanan kesehatan lebih dari 30 persen. Alokasi kapitasi yang benar akan dapat memacu perubahan ini. Namun, tanpa pembayaran kapitasi yang benar, tidak mungkin ada inovasi dalam pemberian pelayanan paket kesehatan dasar (PHC). Dan, hingga saat ini Kementerian Kesehatan belum menunjukkan minat untuk menyimpang dari struktur puskesmas tradisional. Terakhir, ada isu pengaturan “tarif dasar ” di berbagai perusahaan asuransi. PT Askes dan Jamsostek secara historis memiliki pengeluaran per kapita jauh lebih tinggi dari Jamsostek, namun memiliki rata-rata tarif dasar per kapita sebesar Rp. 6.500,00 dan Rp. 6.300,00 (berdasarkan negosiasi oleh daerah). Haruskah semua dana tersebut dikumpulkan pada Januari 2104, atau apakah pembuat kebijakan perlu menetapkan tarif dasar yang berbeda untuk setiap jenis peserta. Jika pilihannya yang pertama, artinya mungkin hanya ada sedikit redistribusi dana dari yang kaya ke yang miskin dan dari kota ke desa. Dan pada akhirnya, penghitungan fee-for-service with a cap (pembayaran tunai dengan batasan) hanya akan terpaku pada masa lalu, tidak mungkin dapat menghasilkan sistem pemberian pelayanan kesehatan yang lebih inovatif serta masa depan yang lebih adil bagi semua rakyat Indonesia. Pilihan-pilihan lain perlu dipertimbangkan sebelum terlambat. Mungkin tidak cukup hanya dengan melakukan penyesuaian dan penyatuan tarif dasar pada tanggal 1 Januari. Solusi Praktis Salah satu opsi yang mungkin bisa diambil adalah dengan mengembangkan tarif pembayaran campuran selama beberapa tahun, misalnya 3-5 tahun, yaitu kombinasi dari pendapatan secara historis dan pembayaran kapitasi yang benar. Hal ini akan menggerakkan dana ke arah yang tepat, selain itu juga memungkinkan penyedia pelayanan untuk menyesuaikan diri dan merespon insentif baru yang dikembangkan oleh BPJS. Tujuan sosial dari reformasi BPJS mungkin tertunda namun tidak hilang, dan dampak sosialnya mungkin menjadi lebih evolusioner, bukan revolusioner. Hal ini mungkin menjadi poin penting dalam tahun pemilihan umum. 4 NOTA #2 KEBIJAKAN Indonesia Harus Mengembangkan Grouper Sendiri: Penyempurnaan INA CBGs untuk Rumah Sakit3 Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-undang SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Undang-undang BPJS) yang meliputi lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS kesehatan. Penyatuan skema tersebut diharapkan menjadikan sistem pembayaran lebih efektif dan memberikan dampak yang lebih besar. Pada saat yang sama, model pembayar tunggal menempatkan tanggung jawab besar pada pembeli untuk mengembangkan sistem yang tepat dan adil. Indonesia secara berani telah menerapkan sistem pembayaran pra-upaya berbasis kasus (case-based) yang baru untuk Jamkesmas beberapa tahun lalu yang disebut INA CBGs (Indonesia Case-Based Groups). Langkah berani pemerintah menetapkan sistem pembayaran yang baik untuk mendorong efisensi teknis yang lebih besar patut dipuji. Akan tetapi pertemuan-pertemuan dan laporan terakhir menunjukkan bahwa perangkat lunak (software) yang digunakan untuk menetapkan tarif final tersebut perlu disempurnakan dalam beberapa tahun ke depan, terutama karena software tersebut akan diperluas ke penyedia layanan kesehatan di bawah BPJS. Mengapa? Pada awalnya, software ini dikembangkan oleh sebuah perusahaan konsultan di luar Indonesia. Namun kemudian terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa software tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pengalaman tindakan klinis dan struktur biaya penyediaan layanan kesehatan di Indonesia. CBG di negara manapun di dunia harus 3 Nota Kebijakan ini tulis oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini mungkin telah berubah, walau pun pemerintah masih tetap bergantung pada kontrak pihak luar untuk pengembangan dan penyempurnaan CBGs 6 dikembangkan berdasarkan tindakan klinis dan struktur biaya di negara yang bersangkutan. Australia, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lainnya seperti Thailand, Kyrgyzstan, dan Polandia kini menggunakan beberapa varian CBGs. Akan tetapi, bagi negara-negara yang membeli software dari luar negeri, seringkali berujung pada kegagalan. Contohnya di Taiwan, Slovenia, dan (mungkin) Indonesia yang menjadi contoh berikutnya. Saat ini grouper Indonesia memiliki lebih dari seribu kategori dan tiga tingkat keparahan, sangat mirip dengan grouper yang dapat diunduh dari website program Medicare Pemerintah Amerika Serikat. Hingga saat ini tidak ada dokumentasi yang disediakan konsultan yang menunjukkan bagaimana data klinis dan struktur biaya setempat digunakan untuk mengembangkan software ini. Apa yang Harus Dilakukan Sekarang? Bagaimanapun juga, PPJK telah melakukan semua yang dapat dilakukan hingga saat ini dan telah melakukan pekerjaan yang baik, tetapi untuk ke depannya akan sangat bijaksana jika PPJK dan BPJS mengikuti sejumlah langkah yang harus dilakukan dalam beberapa bulan ke depan. Contohnya, apakah sudah ada evaluasi penggunaan INA CBGs hingga saat ini? Apakah tujuan sistem semula telah tercapai? Apa yang menjadi tantangannya? Apakah rawat inap (admissions) dan rawat inap ulang (re-admissions) telah meningkat? Apakah rata-rata lama menginap telah berubah? Apakah perilaku rumah sakit telah berubah dan apa perubahannya? Apakah pemerintah telah menghemat dana dari penggunaan INA CBGs? Ini adalah isu-isu kunci dasar untuk Kementerian Kesehatan, BPJS, dan Kementerian Keuangan yang (akhirnya) akan membayar tagihan pada tahun-tahun mendatang. Sejumlah pertanyaan penting mengemuka. Contohnya, sistem saat ini memiliki multiple base rate (tarif dasar ganda), dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada awalnya juga menggunakan multiple base rate, namun lambat laun meninggalkannya dan beralih ke single base rate (tarif dasar tunggal). Mengapa? Jawabannya sangat mudah: keadilan. Dalam single base rate artinya pihak penyedia yang memperlakukan kasus serupa menerima tarif yang sama. Hal ini mendorong efisiensi dan adopsi inovasi serta praktek terbaik (best practice). Masalah kedua adalah pengkodean. Software di negara manapun menggunakan kode-kode ICD yang terdiri lebih dari 10,000. Di Indonesia, tidak sampai 10 persen dari semua kode kini digunakan. Penggunaan sejumlah kecil kode akan membatasi ketepatan dalam pembayaran dan dalam mengembangkan penjaminan mutu terhadap rawat inap (admission), rawat inap ulang (readmission), dan perbaikan pelayanan yang buruk selama pasien menginap. Bagaimana pengkodean berubah seiring waktu? Di kebanyakan negara, praktik pengkodean berubah seiring waktu untuk mendapatkan tarif penggantian yang lebih menguntungkan. Ada yang dikenal sebagai “upcoding”, dan perilaku ini harus dilacak dan ditangani melalui perbaruan software dan melalui sanksi administratif oleh pembeli. BPJS perlu mengetahui apa yang telah terjadi sejak grouper konsultan tersebut diterapkan. Masalah ketiga adalah peran – sekarang dan masa depan – dari protokol klinis dalam menetapkan tarif dan menyempurnakan software. Banyak negara yang berusaha untuk mengintegrasikan protokol dan tarif ternyata menemukan kegagalan. Mengapa? Protokol perlu waktu lama untuk berkembang, dan cepat usang. Protokol adalah pedoman dan tidak mungkin menentukan kepu- 7 tusan pengobatan untuk setiap pasien, sehingga memberikan ruang untuk melakukan penilaian klinis (clinical judgement). Selain itu, protokol dikembangkan untuk pasien yang ideal, bukan pasien dengan komplikasi dan komorbiditas (comorbidities). Terakhir, penghitungan biaya untuk protokol tidak selalu tepat dan juga memakan waktu. Negara-negara seperti Cina, Bulgaria,Vietnam, dan Slovania telah membuktikan bahwa kedua pendekatan tersebut sebaiknya dipisahkan dan tidak digabungkan. Kemudian, software di semua negara SELALU disimulasikan dengan pendapatan penyedia layanan sebelum diterapkan, sehingga dapat memasikan bahwa tarif tidak berdampak negatif terhadap struktur biaya yang diperlukan untuk perawatan yang memadai. Latihan simulasi sering membantu dalam memperbaiki dan meningkatkan tarif serta mengidentifikasi kesenjangan dalam memprediksi penggunaan sumber daya sebagaimana yang harus dilakukan oleh software. Begitu tarif ditetapkan, BPJS harus menjangkau komunitas klinis dan komunitas kualitas perawatan. Perlu ada reformasi pengembangan indikator kualitas dan indikator pemanfaatan, termasuk ratarata lama menginap, perubahan dalam rawat inap (admission) per kapita, rawat inap (admissions) yang tidak perlu, discharge yang prematur, rawat inap ulang (readmissions) lebih dari 30/60/90 hari, perubahan dalam indeks case-mix dari waktu ke waktu, dan pola rujukan pasca akut. Suatu format (template) akuntansi baru bagi pihak penyedia layanan mungkin diperlukan, atau yang ada saat ini mungkin perlu dilembagakan. Kegagalan untuk mematuhi informasi pelaporan dapat dijadikan alasan tidak dilakukannya pembayaran rawat inap (admission) oleh BPJS. Ini merupakan pasal yang mudah untuk dicantumkan dalam kontrak. Apa yang Harus Dilakukan tahun 2014 dan Setelahnya Kedepannya, BPJS perlu mengambil langkah untuk peningkatan kapasitas, data, analisis, dan penyempurnaan yang menyasar persoalan diatas. BPJS perlu mengembangkan strategi yang cukup rinci untuk pengembangan kapasitas dalam 2-3 tahun ke depan di bidang data, pengembangan software grouper yang lebih baik, pengembangan tim ahli internal terkait dengan pengkodean dan kebutuhan teknologi informasi, penyempurnaan case-mix, penghitungan biaya, mutu, pemutakhiran, dan pemantauan di berbagai tingkatan sistem (pusat, provinsi, kabupaten/kota, rumah sakit, pelayanan kesehatan dasar). Program kemitraan dapat dibentuk melalui bekerjasama dengan satu atau lebih universitas di Australia dan negara lain seperti Thailand, Polandia, dan Amerika Serikat, untuk memungkinkan para ahli dari Indonesia bekerja di Australia dan negara lain selama 6-9 bulan dalam kerangka kemitraan dengan institusi di sektor publik dan kalangan akademisi yang melakukan pembayaran rumah sakit, atau bekerja di bidang utama yang terkait dengan pembayaran seperti pengembangan grouper, pembiayaan, analisis dampak, pengembangan kerangka regulasi, dan sistem pengkodean baru. Kegiatan lainnya dalam kemitraan ini termasuk pelatihan di Indonesia yang dilaksanakan oleh para ahli dari Australia dan negara lainnya tentang topik khusus yang berhubungan dengan INA CBGs, dan studi banding ke Australia bagi pejabat Indonesia guna melihat proses pembayaran dan bertemu para ahli disana. 8 NOTA #3 KEBIJAKAN Organisasi Asuransi Sosial Modern Tidak Memerlukan Pengaturan Aset dan Kewajiban4 Perusahaan asuransi milik negara, PT. JAMSOSTEK memperoleh pendapatan Rp. 4,7 triliun (US$484 juta) dari investasinya pada kuartal pertama 2013, memperbesar akumulasi dana investasinya menjadi Rp 140 triliun per 31 Maret. Sebagian dari dana tersebut, akan digunakan PT. JAMSOSTEK untuk membangun sebuah rumah sakit di Jakarta Utara untuk para pegawainya. PT. JAMSOSTEK juga semakin meningkatkan investasinya dalam obligasi perusahaan swasta sebagai suatu cara untuk menghasilkan pendapatan jangka pendek yang lebih besar.5,6 Awal tahun ini, pemerintah menyusun rancangan peraturan Aset dan Kewajiban. Kunci dalam peraturan baru yang diusulkan ini adalah penggunaan aset dan kewajiban perusahaan asuransi “swasta” (tapi bentuknya BUMN) PT ASKES dan PT JAMSOSTEK. Ini merupakan bagian dari proses reformasi yang lebih besar. Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan. 4 Ini adalah Nota Kebijakan #3, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan kunjungi www.aiphss.org Penulis mengucapkan terimakasih karena beberapa ide dalam Nota Kebijakan ini diperoleh dari percakapan sebelumnya dengan Yves Gerard, Asian Development Bank dan Mitch Wiener, World Bank. Akan tetapi, jika ada kekeliruan yang muncul dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah merubah cara berpikir tentang pengelolaan aset dan kewajiban BPJS serta penyatuan aset (pooling assets) di bawah BPJS. 5 6 Jakarta Post, “Jamsostek makes Rp 4.7t in Q1”, Page 13, April 23, 2013. Sekitar 30% dana sisa berasal dari asuransi untuk pelayanan kesehatan, berdasarkan hasil diskusi dengan ahli-ahli Jamsostek. 10 Jika peraturan tersebut dibaca untuk pertama kali, kesan yang muncul agak menakutkan. Peraturan yang diusulkan memiliki potensi yang membahayakan karena peraturan ini nampaknya membagi dana BPJS menjadi dua kelompok – yaitu dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan dana non Penerima Bantuan Iuran. Aset dan Kewajiban serta penggunaan dana surplus setiap kelompok akan ditangani secara terpisah, demikian pula investasi dana sisa dalam masing-masing kelompok dana. Dengan melakukan hal ini, dana dapat secara efektif membatasi pengeluaran untuk orang kaya dan orang miskin pada tingkat historis. Tingkat pengeluaran per kapita untuk PBI akan didorong oleh kontribusi pemerintah, dan tingkat pengeluaran untuk non-PBI didorong oleh kontribusi perusahaan/majikan dan karyawan. Akibatnya, akan ada dua dana terpisah, satu ditetapkan oleh pemerintah (seperti sekarang) dan satu lagi ditentukan berdasarkan premi. Pada saat yang sama, harus disampaikan pula bahwa UU SJSN melarang subsidi silang antar dana, namun tidak melarang subsidi silang di antara kelompok-kelompok ini. Dan ini hal yang penting. Inti dari asuransi kesehatan sosial adalah untuk menyatukan yang kaya dan yang miskin, yang sehat dan yang sakit. Peraturan ini memisahkan kelompok-kelompok tersebut dan memberikan pengelolaan dana secara terpisah. Jika diambil ekstrimnya, peraturan ini dapat menciptakan model pembayar tunggal seperti di Vietnam dengan beberapa kelompok berbeda dalam satu dana. Vietnam memiliki enam kelompok penduduk yang berbeda dan 60 propinsi yang masing-masing memiliki dana provinsi, jadi total ada 360 kelompok risiko di bawah “model pembayar tunggal” nya, di mana istilah “pembayar tunggal” hanya sekedar nama. Atau, bahkan mirip dengan situasi di Thailand di mana tiga kelompok yang berbeda memiliki berbagai tingkat pendanaan yang mereka kuasai, tanpa memperhatikan kebutuhannya. Sistem di Thailand dibagi menjadi PNS, swasta, asuransi pekerja formal, dan kelompok lainnya. Variasi skema dalam hal manfaat, pemanfaatan, akses, insentif pembayaran, dan obat-obatan yang tersedia cukup signifikan. Jadi peraturan ini berpotensi mengganti model pembayar tunggal di Indonesia ke model seperti di Thailand, suatu model yang kurang disukai karena adanya ketidakadilan dan inefisiensi serta berbagai insentif yang berbeda. Undang-undang BPJS memungkinkan penyatuan penggunaan dana, namun, juga memungkinkan pemerintah menghindari keterbatasan sektor kesehatan seperti Thailand yang seakan menjadi “noda hitam” dalam serangkaian langkah reformasi progresif untuk mencapai cakupan kesehatan semesta selama 10 tahun terakhir. Tentu saja pendekatan yang lebih baik adalah dengan tidak memisahkan dana tersebut dalam hal penggunaan, melainkan mempertahankan pengelolaan dana ini di bawah satu akun gabungan, seperti yang dilakukan di sebagian besar negara Eropa Barat (Inggris, Perancis, Swedia) atau dalam satu akun di tingkat provinsi (Kanada, Spanyol, Australia). Apakah hal ini bisa dilakukan sekaligus? Mungkin tidak, karena subsidi silang mungkin tetap signifikan. Sebaliknya, pendekatan itu bisa dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun, sebagaimana dilakukan di Kyrgzstan, sebuah negara miskin di Asia Tengah dengan penduduk mayoritas Muslim, yang menyatukan dana selama lebih dari 10 tahun, dimulai pada 1990-an. Di Cina, dana dari beberapa perusahaan asuransi akan dikumpulkan selama jangka waktu yang sama, dan tidak mengharapkan untuk mencapai pengumpulan penuh sebagaimana yang dimaksud hingga tahun 2020. Pada tingkatan berikutnya yang lebih luas, mengapa organisasi asuransi sosial yang baru ini bahkan mempertimbangkan pengelolaan dana surplus untuk investasi (swasta)? Di organisasiorganisasi asuransi sosial modern di Eropa, seperti di Denmark, Belanda, Jerman, dan Inggris, aset dalam dana kesehatan akan minimal dan biaya harus ditetapkan semata-mata sebagai persentase atas kontribusi. BPJS, sebagai badan dana asuransi sosial bukanlah organisasi yang berorientasi 11 memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya, akan tetapi merupakan organisasi sosial dan “publik” sama seperti di negara-negara Eropa atau Kanada. Biaya administrasi pengelolaan dana kesehatan adalah untuk pengumpulan kontribusi dan pembayaran klaim. Organisasi asuransi sosial bukanlah perusahaan swasta dengan upaya untuk investasi dan bukan juga badan investasi terpisah. Kelebihan dana harus dikembalikan ke Kas Negara. Kebanyakan pemerintah akan memiliki dana cadangan pada akuntansi sektor publik, namun bukan untuk investasi swasta. Bahkan Undang-undang jaminan kesehatan baru era Obama telah mengembangkan ketentuan yang sama di Amerika Serikat Jika kelebihan dana tersimpan sebagai dana sisa dalam sumber keuangan organisasi asuransi sosial, maka ada dua kemungkinan skenario yang harus dipertimbangkan oleh Presiden (pihak yang harus mendapat laporan resmi dari BPJS). Salah satu kemungkinan adalah bahwa klaim tidak dibayar untuk layanan sebagaimana mestinya. Ini bisa berarti kurangnya akses yang memadai atau kualitas layanan kesehatan yang buruk, dan mungkin harus diperiksa atau bahkan diselidiki. Kemungkinan kedua adalah bahwa tingkat kontribusi terlalu tinggi. Jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka tingkat kontribusi dapat diturunkan. Tentu saja, kontribusi dari gaji – sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang – merupakan alat pencegah yang ampuh terhadap pembentukan modal sektor swasta, terhadap pembentukan tenaga kerja sektor swasta, dan terhadap informalisasi yang lebih besar dalam perekonomian seperti yang ditemukan oleh Wagstaff (2010, 2012) dan yang lainnya dalam beberapa dekade terakhir. Pilihan ketiga dan terakhir adalah dengan menggunakan dana tersebut untuk memperluas cakupan ke pihak yang tidak diasuransikan, atau mensubsidi sebagian premi di tahun pertama untuk mendorong sektor informal mendaftar guna mendapatkan cakupan pelayanan. Hal ini mengakibatkan investasi dalam sumber daya manusia di Indonesia, yang nantinya menuai ‘dividen’ dalam bentuk keuntungan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi makro. Bisa jadi hal ini adalah pendekatan yang lebih disukai dalam masalah kelebihan dana tersebut. Kelebihan dana bisa menimbulkan bahaya moral (moral hazard), korupsi, atau penggunaan dana yang berbeda dengan tujuan reformasi BPJS. Salah satu contoh yang mencolok adalah janji untuk membangun Rumah sakit sendiri dengan sistem tertutup bagi para pekerja PT. JAMSOSTEK di Jakarta Utara, yang mana hal ini bertentangan dengan Undang-undang BPJS yang baru. Apakah ada yang menginginkan surplus besar dalam Dana BPJS, yang dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi? Surplus yang sangat besar akan merubah sifat dari Dana tersebut, dan menimbulkan risiko penyalahgunaan aset. Akan lebih masuk akal untuk memiliki beberapa jenis aturan mengenai akumulasi - jika surplus terakumulasi lebih dari persentase tertentu dari klaim yang diharapkan, maka kelebihannya harus dikembalikan ke Kas Negara, atau (pilihan yang mungkin lebih disukai) tingkat fee harus disesuaikan (diturunkan) di tahun-tahun mendatang. Akhirnya, setiap kelebihan dana sisa yang tidak berlebihan dan bersifat jangka pendek harus diinvestasikan dengan bijaksana, dalam surat berharga yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia atau surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia. Harapannya, tidak ada obligasi perusahaan swasta di BPJS. 12 NOTA #4 KEBIJAKAN Sistem Informasi dan BPJS: Langkah Kunci Selanjutnya dan Kapan?7 Apa yang menjadi langkah penting pertama untuk integrasi asuransi? Negara-negara yang telah melakukannya, seperti Korea Selatan atau Taiwan atau Kyrgzstan, masing-masing akan setuju kalau langkah penting pertama adalah infrastruktur informasi dasar. Tanpa langkah pertama yang penting dan mendasar ini, penyatuan, migrasi informasi, kemampuan untuk menggabungkan banyak hal menjadi satu akan gagal. Indonesia berada di tengah-tengah jalan menuju integrasi asuransi. Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan. Dari mana pembangunan infrastruktur teknologi informasi untuk BPJS dimulai? Pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dan baik yang perlu juga kita uraikan berikut ini. Komponen Utama Sistem Kesehatan (Key Building Blocks) Pertama dan yang terpenting adalah, database pintar (smart database) akan dibangun berdasarkan Nomor Induk Kependudukan nasional/NIK (National Unique Identifier). Hal ini 7 Ini adalah Nota Kebijakan #4, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), dan oleh Anis Fuad dibawah pendanaan Joint Learning Network. Untuk mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan kamus data dan membangun sistem manajemen informasi BPJS, walau pun beberapa masalah tetap ada, misalnya pelacakan obat. 14 untuk memastikan bahwa orang yang sama tidak akan dihitung dua kali ketika berpindah ke kategori atau lokasi lain. Untuk dapat menyesuaikan klaim terhadap kontribusi, dan pada akhirnya membuat analisis longitudinal biaya, maka diperlukan NIK “pintar” yang menggabungkan beberapa infomasi dasar. Hal ini juga akan sangat memudahkan penentuan kelayakan dan administrasi ketentuan mengenai penundaan, interupsi dan pemulihan (reinstatement). Penilaian risiko yang tepat dalam hal keadilan dan efisiensi serta pengeluaran fiskal akan memerlukan kapasitas BPJS untuk menghasilkan agregat kustom (custom aggregate) untuk risiko khusus. NIK perlu dikoordinasikan dengan setiap sistem yang akan digunakan untuk tujuan penagihan, pengumpulan premi, atau pengumpulan statistik medis/administrasi oleh BPJS. Karena database NIK sedang dibangun, akan relatif mudah untuk membuat tautan NIK dari istri/suami dan orang tua serta anak-anak yang kemungkinan besar berbagi risiko yang sama. Faktor genetika menjadi kian penting baik untuk keperluan diagnostik dan pemilihan obat yang optimal yang dapat meningkatkan hasil kesehatan dengan biaya lebih rendah. Hal ini juga akan memudahkan penelitian yang memfokuskan pada studi longitudinal efek genetika. NIK sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Dalam Negeri diperkirakan siap pada 1 Januari 2014, tapi mungkinkah hal itu terjadi? Isu-isu yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa rencana tersebut tidak akan siap pada waktu yang ditargetkan. Jika pemberlakukan NIK nasional tidak siap pada Januari 2014, maka alternatif lain perlu dibuat dan segera dimulai. Konsolidasi database keanggotaan di antara masing-masing skema (minimal Askes, Jamsostek dan Jamkesmas) yang dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri harus segera disiapkan. PT Askes dan PT Jamsostek telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) penggunaan NIK tersebut. Tahap yang lebih menantang adalah pada konsolidasi database Jamkesmas dengan BPS (Biro Pusat Statistik), dan TNP2K(Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di bawah pimpinan Wakil Presiden). Pada tahap kedua, masing-masing penyedia layanan kesehatan– rumah sakit dan Puskesmas – perlu memiliki pengenal unik pula. Untungnya, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) telah menyediakan pendaftaran rumah sakit baru berbasiskan web. Sampai saat ini (Mei 2013), sekitar 2.103 telah terdaftar. Semua rumah sakit telah menerima ID selama proses pengajuan di dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi. Pusat Data dan Informasi juga telah menyimpan database Puskesmas termasuk ID nya. Akan tetapi, database nasional apotek belum tersedia untuk publik. Proses pemberian ijin apotek ada dalam kewenangan dinas kesehatan kabupaten/kota, namun setiap perijinan baru harus dilaporkan ke tingkat pusat. Menurut database pendaftaran rumah sakit (diperbarui Mei 2013), hanya 1.180 rumah sakit yang telah terakreditasi. Untuk yang belum terakreditasi, apakah mereka akan menjadi bagian layanan penyedia yang dikontrak BPJS? Apakah akan ada persoalan khusus disini? Pada tahap ketiga, kamus data. Bagaimana pihak penyedia dan pembayar mendefinisikan istilah mereka, dan menyepakati bahasa mereka? Jika mereka tidak membuat kamus data, ibaratnya seseorang berbicara dalam bahasa Inggris sementara yang lainnya berbicara 15 dalam Bahasa Indonesia. Ada banyak fungsi dan interaksi yang harus dilaksanakan masingmasing pihak. Artinya, kamus data adalah platform dasar untuk komunikasi, dan cara penting untuk menghindari risiko fiskal dan masalah kualitas, baik untuk pihak pembeli maupun penyedia. Penyedia: Rumah sakit Klinik Dokter Kelompok Medis Penyedia lainnya Pembayar: BATAS PEMBAYAR-PENYEDIA Asuransi kesehatan Asuransi sosial Otoritas kesehatan Pemerintah daerah Pembeli lainnya KAMUS DATA KESEHATAN Proses kontrak kamus data di bawah Kementerian Kesehatan baru-baru ini telah dibatalkan dan perlu dimulai kembali. Jadwalnya belum pasti, tapi secara realistis sulit untuk mengharapkan kamus data akan selesai pada tahun 2013. Jika tidak, sekali lagi, diperlukan rencana cadangan (back-up). Bahkan jika kamus data selesai, perlu ada konsultasi publik, sosialisasi, dan pelatihan baik untuk pihak pembeli maupun penyedia. Proses terakhir ini bisa memakan waktu paling sedikit satu tahun. Pada tahap keempat, pelayanan harus dibayar berdasarkan klaim. Klaim akan berjalan berdasarkan sistem pengkodean yang disepakati yang berasal dari kamus data. Suatu ringkasan kepulangan pasien (discharge abstract) standar akan diperlukan untuk pemberian kode setiap klaim. Berikut ini model dari rumah sakit Australia: • • • • • • • • • • • Diagnosis pokok Diagnosis tambahan (komplikasi dan komorbiditas), hingga 10 Prosedur signifikan Usia pasien Status pemisahan (separation status) Jenis kelamin Lama menginap Berat bayi baru lahir ketika masuk rumah sakit (newborn’s admission weight) Lama kebutuhan akan ventilasi mekanis Status hari yang sama, dan Status hukum kesehatan mental Untuk memudahkan penanganan informasi, diagnosis pokok dan tambahan serta prosedur yang signifikan diberi kode alphanumerics oleh Manajer Informasi Kesehatan menggunakan sistem klasifikasi penyakit dan prosedur, ICD-10-AM (Klasifikasi Statistik Internasional Penyakit dan Masalah Kesehatan. Modifikasi Australia ) 16 Indonesia, melalui PT Askes dan Jamkesmas, juga telah mengembangkan lembar pengkodean standar. Namun, hingga saat ini, hanya 800 kode dari 14.000 kode ICD yang benarbenar digunakan. Di beberapa rumah sakit pengkodean hanya terbatas di bawah 200 kode. Hal ini bisa menjadi masalah dalam menelusuri penyakit-penyakit tidak menular dan mengembangkan tingkat kewajaran pembayaran serta menyusun sistem penelusuran untuk menyusun profil kualitas dan penjaminan mutu. Seiring dengan pengkodean klaim, BPJS akan memerlukan informasi biaya standar dan rutin dari pihak penyedia layanan. Suatu tanda keberhasilan sistem pembayaran di Eropa adalah adanya format baku (template) standar biaya dan pelaporan rutin informasi biaya sebagai bagian dari kontrak pembayaran. Di Indonesia, memang ada template, namun pelaporan masih belum merupakan bagian dari kontrak. Ini HARUS berubah mulai tahun 2014 dalam kontrak yang ditandatangani pada tahun 2013 ini. Dan bagaimana dengan Puskesmas? Pada saat ini, sebagian besar Puskesmas TIDAK memiliki sistem data untuk tingkat individu. Hal ini dapat menghambat upaya untuk mengembangkan penyesuaian (adjuster) kapitasi yang tepat, sistem pembayaran berbasis kinerja (pay-for-performance), dan sistem manajemen keuangan, serta upaya menelusuri rujukan. Kunjungan ke Rumah Sakit Tersier Baru-baru ini kami mengunjungi fasilitas kesehatan tersier yang sudah maju di pulau Jawa. Rumah sakit tersebut memiliki beberapa fitur yang baik yang layak disebutkan - staf pengkodean yang terlatih (para Manajer Informasi Kesehatan) masing-masing telah mengikuti tiga bulan pelatihan, yang melakukan pengkodean hingga 100 kepulangan pasien (discharge) setiap hari dengan membuat ringkasan kepulangan pasien (discharge abstract) yang diberi kode dan dikomputerisasi dan dikirimkan ke Jamkesmas untuk pengajuan klaim. Tetapi, pengkodean dapat diperlambat dengan rangkaian proses yang harus dilewati, yaitu pengumpulan, pengkodean, pengindeksan, komputerisasi. Perangkat lunak (software) rumah sakit dikembangkan secara mengesankan oleh rumah sakit itu sendiri dan digunakan untuk pembayaran, manajemen dan sistem mutu. Protokol dikembangkan oleh staf dokter dan perawat, meskipun sampai saat ini hanya sedikit yang dikembangkan. Berdasarkan pengalaman, hal ini terjadi karena pengambangan protokol menyita waktu dan tenaga. Sisi kekurangannya, rumah sakit tersebut hanya menggunakan 800 kode dari 14.000 kode ICD-10 yang mungkin bisa digunakan, artinya sulit untuk menetapkan profil pasien dengan kasus komplikasi dan komorbiditas. Kedua – dan isu yang berkaitan – adalah bahwa software di rumah sakit tersebut berbeda dengan di rumah sakit-rumah sakit lainnya, dan saat ini tidak ada standar untuk sistem informasi rumah sakit yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Artinya, jika protokol dikembangkan oleh Pusat, maka protokol ini tidak akan dapat digunakan oleh rumah sakit dengan sistem software yang tidak kompatibel. 17 Persoalan terakhir adalah kurangnya penggunaan data. Memang mengesankan sekali melihat bahwa setiap pasien memiliki file yang terkomputerisasi, namun bagaimana data tersebut digunakan untuk manajemen dan sistem mutu? Saat ini tidak ada, atau sedikit sekali dimanfaatkan. Manajer sedikit sekali mengetahui perubahan pengkodean, lama menginap atan bahkan jumlah rawat inap (admission) dan rawat inap ulang (readmission) dari waktu ke waktu. Bagaikan duduk di tumpukan harta karun informasi, namun tidak menyadarinya. Sistem informasi di tingkat pasien merupakan alat yang sangat berguna untuk mendukung efisiensi pembayaran dan sistem mutu. Data ini juga diperlukan untuk monitoring dan evaluasi nasional. Namun hal ini hanya akan terjadi bilamana kamus data dan standar nasional telah dikembangkan, disebarluaskan dan diikuti. Sekalipun hal itu tersedia, perlu diadakan pelatihan pengelola informasi rumah sakit yang professional bagi pihak pembayar dan penyedia serta bagi auditor professional untuk memastikan pengkodean dilakukan dengan benar dan tidak dimanipulasi untuk tingkat penggantian (reimbursement) yang lebih menguntungkan suatu pihak. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyelaraskan bantuan hibah untuk provinsi guna memulai pelatihan pengkodean professional, namun hal ini hanya dapat dilakukan bilamana kamus data dan sistem pengkodean sudah diumumkan dan tersedia. Kapan dan Apa yang harus Dilakukan? Singkatnya, pengembangan sistem teknologi informasi sudah berlangsung, namun beberapa pertanyaan yang masih perlu dijawab: • • • • • Kapan sistem pengenal unik (unique identifier) akan tersedia? Kapan sistem ID provider akan untuk penyedia layanan publik dan swasta? Kapan kamus data akan siap digunakan? Kapan pihak penyedia akan menetapkan kode klaim secara konsisten dan melaporkan biaya? Kapan data, setelah diperoleh, akan mulai diintegrasikan ke dalam sistem monitoring rutin bagi Presiden dan Menteri Kesehatan dan semua pemangku kepentingan kunci lainnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Indonesia juga harus menyepakati siapa yang akan memimpin teknologi informasi/sistem informasi dalam JKN, karena perlunya keterlibatan para pemangku kepentingan utama termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, BPS, TNP2K, dan pemerintah daerah terutama untuk konsolidasi database keanggotaan serta untuk memastikan kepemilikan proses ini. Dalam pertemuan Pokja terakhir telah diperoleh kemajuan nyata dengan memutuskan bahwa PT Askes yang akan memimpin dari pihak pembeli dan Kementerian Kesehatan dari pihak penyedia. Kami menghargai dan mendukung diskusi yang baik dan resolusi tentang arah ke depannya. Akan tetapi, solusi untuk sebagian besar pertanyaan di atas tidak akan terjadi lebih cepat dari tahun 2015, mungkin tahun 2016, dan penggunaan data secara penuh bahkan lebih lama lagi baru terwujud. Kita tidak boleh melupakan pengalaman global. Di negara-negara OECD, kadang-kadang memerlukan waktu 5-10 tahun untuk menuai manfaat dari penggunaan informasi secara menyeluruh. Pada awal abad ini, dua rencana kesehatan masyarakat (HMO) berskala menengah 18 digabungkan di Boston, Massachusetts (AS). Dua organisasi tersebut memerlukan waktu lima tahun untuk menggabungkan sistem sistem informasi manajemen mereka. Untuk sementara, mereka menjalankan sistem paralel. Hal ini merupakan pelajaran yang baik untuk Indonesia, bahwa setelah 1 Januari mungkin Indonesia perlu menjalankan sistem paralel. Intinya, untuk saat ini, Indonesia harus memutuskan langkah sementara apa yang diperlukan dan memadai untuk melaksanakan jaminan kesehatan semesta pada 1 Januari 2014. 19 NOTA #5 KEBIJAKAN Prinsip-Prinsip Uji Coba (Piloting) dalam Sektor Kesehatan – Pengalaman Global8 Piloting (uji coba) bisa dilakukan untuk mempelajari, menguji, mengevaluasi dan menyempurnakan ide-ide dan model baru pada sektor kesehatan. Di Amerika Serikat, misalnya, ratusan uji coba dilakukan pada sektor kesehatan dalam satu kesempatan. Uji coba ini dilakukan untuk mengkaji teknologi baru, sistem pembayaran baru, paket manfaat baru dan sebagainya. Uji coba ternyata dianggap berguna di negara-negara desentralisasi besar seperti Cina, Brasil, Kazakhstan, Rusia, dan Amerika Serikat. Indonesia dan Pokja BPJS serta PPJK kini tengah serius mengkaji uji coba pembayaran di bidang kesehatan, yaitu kapitasi pelayanan kesehatan dasar dan INA-CBGs, sebagai suatu cara untuk menguji model pembayaran baru. Beberapa wilayah geografis yang kini tengah dipertimbangkan adalah Gorontolo, Aceh, Jawa Barat, Lampung, Jakarta. Beberapa prasyarat akan dibutuhkan seperti: • • • • sistem manajemen informasi yang baik; langkah-langkah penjaminan mutu; otonomi fasilitas untuk merespons insentif baru; dan, sistem manajemen keuangan yang baik. Ada juga beberapa pertanyaan penting yang belum terjawab seperti sektor publik saja atau sektor publik plus swasta. Akan tetapi, langkah maju yang berani dari PPJK untuk memulai patut dipuji. Prinsip-prinsip piloting tertentu yang perlu diketahui dari pengalaman global adalah: 1) Harus ada kesepakatan umum secara luas mengenai desain dan tujuan antara daerah uji coba (pilot area), provinsi dan pemerintah pusat. Contohnya, uji coba untuk memberikan paket pelayanan kesehatan dasar, atau untuk menguji sistem rujukan baru di semua tingkat pelayanan kesehatan. 8 Ini adalah Nota Kebijakan #5, dan ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strenghtening (AIPHSS). Untuk mendapatkan salinan Nota Kebijakan lainnya, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah karena BPJS telah diimplementasikan. Namun demikian, piloting diakui sebagai cara untuk menguji dan menilai reformasi kesehatan di Indonesia. 21 2) Seringkali pemerintah pusat yang pertama kali mengembangkan pedoman uji coba secara luas, menerbitkan atau mengumumkan permohonan proposal dari daerah setempat dan mendorong daerah untuk mengirimkan proposal singkat 5-10 halaman yang memuat desain, tujuan, metode atau pendekatan, kurun waktu, kesepakatan dengan pemimpin setempat, serta anggaran, berikut rencana pemantauan dan evaluasi. 3) Yang penting, uji coba tidak berdampak negatif terhadap kualitas atau akses, dan harus mendorong pemberian pelayanan yang lebih hemat biaya. 4) Pemerintah daerah atau penyedia layanan kesehatan yang berminat mengirimkan proposal dengan tanggal jatuh tempo yang diberikan pemerintah pusat. 5) Pemerintah pusat melalui sebuah komite melakukan peninjauan proposal, mengidentifikasi pemenang, dan kemudian berkoordinasi dengan kementerian lain yang diperlukan. Contohnya, beberapa uji coba mungkin memerlukan otonomisasi fasilitas dan hal ini perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri. 6) Jika lebih dari dua kementerian yang terlibat, maka lembaga yang lebih tinggi harus berkoordinasi dan memberikan persetujuan, misalnya Wakil Presiden. Jika biaya akan meningkat, maka Menteri Keuangan harus memberikan tinjauan dan persetujuan. Dalam kasus Indonesia, nota kesepakatan (MoU) sedang dibahas. 7) Uji coba harus dilakukan minimal di 3-5 tempat, untuk menguji salah satu intervensi, karena kalau uji coba diadakan hanya di satu atau dua tempat, maka tidak dapat “digeneralisasikan” ke daerah dan situasi lain. Dalam kasus di Indonesia, jumlah ini sedang dipertimbangkan. 8) Harus ada dana hibah kecil dari tingkat pusat untuk melaksanakan program-program ini. 9) Program-program ini harus dijalankan untuk jangka waktu yang memungkinkan pelaksanaan dan evaluasi, atau minimal 1-2 tahun, namun bisa kurang dari itu. Sedapat mungkin, harus ada kelompok kontrol, bukan hanya membandingkan antara kelompok sebelum dan kelompok sesudah uji coba, sehingga mengabaikan prinsip penelitian ilmiah. Dalam kasus Indonesia, mungkin BPJS dapat menjalankan uji coba, tapi PPJK dapat mengevaluasi uji coba. 10) Setiap uji coba harus dipantau seandainya ada dampak negatif – untuk memperbaiki atau menghentikan uji coba tersebut. 11) Setiap uji coba harus dievaluasi dalam hal perubahan kualitas, akses, efisiensi dan keadilan. Evaluasi harus dilakukan oleh beberapa kelompok di luar program ujicoba, dan didanai oleh tingkat Pusat. Peneliti atau kalangan akademisi adalah evaluator yang baik dan dapat lebih obyektif dibandingkan penyedia lokal atau pemimpin kebijakan (policy leader). 12) Hasil-hasil harus disosialisasikan dan tersedia di website Kementerian Kesehatan. Uji coba juga membangun konsensus politik. Seringkali, begitu uji coba di mata para pemimpin lokal dan konsumen, uji coba tersebut terhenti dan diperluas bahkan sebelum evaluasi dilakukan. Di lain pihak, kadang uji coba tersebut berhasil, namun secara politis tidak populer. Walaupun mengecewakan, kita tahu bahwa kesehatan sangatlah pribadi dan jelas dimensi ini tidak dapat diabaikan. Secara umum, PPJK patut mendapatkan apresiasi atas langkah maju ini. PPJK dan daerah uji coba tentu akan membutuhkan pendanaan. Uji coba tidaklah gratis. Anggaran diperlukan untuk: • • • • • 22 Mendesain uji coba; Mengevaluasi dan memodifikasi proposal; Mengembangkan kesepakatan lintas kementerian dan tingkat pemerintahan; Melaksanakan, termasuk dana untuk peralatan atau staf baru atau berbagai hal untuk memulai uji coba; Memonitor dan mengevaluasi serta mensosialisasikan hasil-hasilnya. Cakupan Kesehatan Semesta bukanlah upaya satu kali jadi, tetapi merupakan suatu cerita yang terus berkembang mengenai cakupan dan kinerja sektor kesehatan yang lebih baik, dilihat dari segi keadilan maupun efisiensi. Uji coba merupakan satu metode yang digunakan oleh beberapa negara untuk terus memperbarui dan memodernisasi sektor di mana uji coba dilakukan. Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam hal bagaimana mengujicobakan dan mengintegrasikan ide-ide dan pendekatan baru ke sektor kesehatan untuk mengimbangi perubahan di bidang ekonomi, profil penyakit, piramida penduduk yang berubah, perilaku mengakses kesehatan, dan faktor lainnya yang tengah berkembang. 23 NOTA #6 KEBIJAKAN Di mana Indikator Pemantauannya?9 Tantangan Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan. Tujuan utama dari reformasi jaminan sosial adalah untuk membangun sistem kesehatan yang mendukung inisiatif peningkatan kesehatan yang memadai, efisien, berkelanjutan, berkualitas tinggi, dan memberikan perlindungan finansial. Program Kesehatan harus menciptakan cakupan kesehatan yang dapat diakses masyarakat miskin maupun tidak miskin, yang merupakan tujuan keadilan. Program Kesehatan sangat penting terutama dilihat dari sudut pandang pengentasan kemiskinan karena membantu mencegah orang jatuh di bawah garis kemiskinan karena beban biaya kesehatan yang begitu tinggi. Pada saat dikeluarkan, Undang-undang SJSN 2004 tidak didukung oleh sejumlah analisis atau proyeksi yang kredibel tentang dampak bagi kesehatan atau bagi pengeluaran dan prioritas fiskal. Selain itu, tidak ada analisis ke depan mengenai kondisi demografis negara, profil penyakit, kapasitas persediaan (supply), pasar tenaga kerja, dan struktur ekonomi termasuk parameter penting seperti upah di masa depan, partisipasi pasar tenaga kerja, 9 Nota Kebijakan (Policy Note) #6, ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Yunita Nugrahani dari Universitas Indonesia atas komentar nya pada tulisan awal. Kesalahan yang ada dalam penulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. Untuk salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah menyusun indikator; DJSN dan BPJS telah memiliki “dashboard”. Namun indikator perlu berubah seiring perbaikan data dan informasi. 25 dan hasil investasi. Dampak pada anggaran pemerintah akan tergantung pada bagaimana biaya ditanggung bersama di luar premi dasar untuk kelompok penerima bantuan iuran (PBI). Yang juga tidak kalah pentingnya adalah beban kontribusi kesehatan pada perusahaan/majikan, pekerja dan wiraswasta termasuk sektor informal. Ini akan mempengaruhi daya saing dengan naiknya biaya produksi pada perusahaan/majikan, dan alokasi sumber daya, dan dengan demikian berdampak pula terhadap kinerja perekonomian. Ketidakpastian tentang dampak awal pada kesehatan, keadilan, kualitas, akses, perlindungan finansial, dan biaya, dan evolusinya menandakan bahwa program tersebut - mengingat ukuran dan ruang lingkupnya yang bersifat nasional - memberikan risiko besar bagi Pemerintah Indonesia, dan untuk badan usaha serta peserta yang menanggung biaya. Berbagai proyeksi telah diajukan baru-baru ini, namun perkiraan saja tidak akan dapat mengendalikan dampak sebenarnya dari program yang akan bervariasi tergantung pada pengalaman yang muncul. Hal ini terjadi di setiap negara yang menjalankan reformasi kesehatan. Beberapa dampak terjadi seperti yang diperkirakan sebelumnya, namun setiap negara menemukan satu “kejutan” atau lebih dan “konsekuensi yang tidak disengaja” begitu reformasi diimplementasikan. Sebagai contoh, di banyak negara, rawat inap rumah sakit meningkat tajam. Beberapa peningkatan ini mencerminkan kebutuhan yang belum terpenuhi, namun dalam kasus lain rawat inap didorong oleh kepentingan pendapatan pihak penyedia layanan kesehatan. Di Cina, ada isu lainnya: pengenalan asuransi gagal meningkatkan perlindungan keuangan. Hal ini sangat mengagetkan para pembuat kebijakan, namun juga membuat marah masyarakat dan individu. Hasilnya: hingga saat ini, “keuntungan politik” (political dividend) untuk memberikan cakupan pelayanan kesehatan semesta (UHC) belum benar-benar tercapai di Cina. Selanjutnya, bagaimana hal itu akan berdampak pada komunitas penyedia layanan kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan? Apakah akan menciptakan tantangan karena kurangnya sosialisasi? Akankah kartu baru yang menyediakan “layanan gratis” akan membuat kewalahan profesional kesehatan, sebagaimana terjadi saat ini di Jakarta dengan skema Kartu Jakarta Sehatnya? Untuk memastikan manajemen dan tata kelola reformasi, Pemerintah Indonesia memerlukan informasi yang tepat waktu dan akurat. Para pembuat kebijakan memerlukan informasi yang memadai untuk membuat keputusan yang optimal. Program cakupan pelayanan kesehatan semesta yang baru harus mewujudkan keseimbangan antara memberikan perlindungan untuk kebutuhan dasar, serta kejadian tak terduga dan sumber daya yang perlu dimobilisasi, baik pada tahap awal maupun dalam jangka panjang. Tantangan bagi cakupan kesehatan semesta juga meliputi kesiapan dalam penyediaan sumber daya kesehatan di sektor publik, serta sumber daya sektor swasta yang dapat dimobilisasi dengan koordinasi yang tepat. 26 Pengembangan Indikator: Koordinasi Horisontal dan Vertikal Pemerintah perlu mulai melakukan pemantauan dan evaluasi baik secara “horizontal”, yaitu lintas kementerian di tingkat pusat, dan secara “vertikal” yaitu, antar pemerintahan dari tingkat pusat ke provinsi dan ke kabupaten. Koordinasi horizontal akan mencakup pengembangan prioritas di seluruh kementerian dan pemerintahan termasuk Presiden yang mengawasi BPJS. Horisontal Masing-masing kementerian atau aktor akan memiliki fokus yang sedikit berbeda sesuai tanggung jawabnya, dan begitu pula daftar inidikatornya akan akan bervariasi. Misalnya, Kementerian Keuangan mungkin ingin memonitor unsur-unsur efisiensi dan dampak fiskal seperti: • • • • • • • pelayanan kesehatan dasar dan sekunder, sebagai tujuan untuk mempromosikan pemanfaatan pelayanan kesehatan dasar; biaya obat dibandingkan biaya lainnya; penelusuran perawatan kesehatan spesialis dan pasien rawat jalan dibandingkan pasien rawat inap, yang tujuannya adalah untuk mengontrol pengunaan pelayanan lembaga yang lebih mahal yang sebetulnya tidak perlu; memisahkan biaya untuk penyakit menular dan tidak menular untuk mengantisipasi proyeksi tarif yang berbeda, karena penyakit menular diharapkan akan lebih terkontrol, sedangkan penyakit yang disebabkan “gaya hidup” (penyakit tidak menular seperti kardio vascular atau obesitas) cenderung meningkat; menelusuri beberapa kategori penyakit yang mungkin menyebabkan biaya tinggi; aspek-aspek rawat inap seperti tingkat hunian, hari tempat tidur, dan rata-rata lama inap; biaya administrasi, serta beban penagihan yang dikeluarkan untuk peserta non-miskin dengan menggunakan persentase ilustrasi. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan mungkin ingin menelusuri jumlah unsur yang lebih luas terkait dengan akses, keadilan, kualitas, dan perlindungan keuangan. Sejumlah kementerian akan terlibat dalam reformasi kesehatan termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Keuangan, TPN2K, dan lain-lain. Terakhir, Presiden sendiri akan mempunyai “papan instrument” (dashboard) elektronik indikator kebijakan kunci yang mungkin meliputi: • • • • • • • • pendaftaran dan pendaftaran ulang; pemanfaatan pelayanan kesehatan, seperti kunjungan pasien rawat jalan per kapita, dan rawat inap per kapita; pendapatan dan pengeluaran sebagai % pendapatan; perluasan jumlah penyedia layanan/jumlah jaringan; akses, seperti jumlah fasilitas kerja (dalam radius 10 kilometer dari tempat pasien) untuk daerah pedesaan, dan waktu tunggu pasien di daerah perkotaan; kualitas perawatan, seperti jumlah kematian per rawat inap, dan rawat inap ulang dalam waktu 30 hari dan 60 hari; perlindungan keuangan, seperti pengeluaran langsung, pengeluaran langsung sebagai % dari pendapatan, dan % dari keluarga miskin; serta, perubahan tingkat kepuasan pasien. 27 Beberapa indikator ini tidak mudah untuk ditelusuri. Contohnya: pembayaran langsung, mungkin memerlukan survei panel rumah tangga dan tidak menunjukkan tren naik pada awalnya, sematamata karena orang belum sepenuhnya mengakses layanan. Mungkin indikatornya tidak menunjukkan ada masalah pada ukuran-ukuran OOP, namun, pada kenyataannya masih banyak orang-orang mengalami layanan akses yang buruk. Presiden dan pihak berkepentingan lainnya perlu memeriksa setiap indikator, serta melakukan “triangulasi” seluruh indikator. Vertikal Proses vertikal pengembangan indikator monitoring akan meliputi koordinasi dengan proses serupa dalam mengidentifikasi kebutuhan yang berbeda, namun koordinasi berada di bawah payung Kemenkes. Hal ini perlu dilakukan untuk beberapa hal seperti: • • • • • • kebijakan kesehatan; pembiayaan kesehatan/asuransi kesehatan; o pengumpulan dana o penyatuan dana o pembelian manajemen kesehatan; perencanaan investasi; sistem informasi kesehatan; mutu. Contohnya, berkenaan dengan pengadaan – di tingkat nasional perlu memfokuskan pada unsurunsur pemantauan seperti: • • • • • • • mengembangkan strategi nasional; mengembangkan peraturan nasional untuk semua sistem pembayaran pihak penyedia; obat-obatan untuk program-program vertikal tertentu (TB, vaksin); pelayanan medis yang diberikan oleh klinik dan lembaga-lembaga tingkat nasional; investasi modal untuk klinik nasional; tenaga kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan; status hukum penyedia layanan. Sementara itu, tingkat provinsi dan kabupaten perlu memfokuskan pada unsur pemantauan yang berkaitan dengan: • • • • • • • pelaksanaan aturan dan kebijakan nasional; penyesuaian tarif atau besaran pembayaran berdasarkan biaya input lokal; kontrak dengan penyedia layanan lokal (kabupaten); penjaminan mutu pelayanan yang diberikan oleh penyedia layanan setempat (kabupaten, kota atau provinsi); pengawasan investasi modal di tingkat daerah (dalam rencana atau pedoman nasional); kepuasan konsumen dan penyelesaian perselisihan (dinas kabupaten); proses klaim. Mungkin ada juga variasi dalam indikator pemantauan relatif di berbagai provinsi mengingat begitu besarnya variasi dalam profil penyakit, perilaku mencari kesehatan, pemanfaatan, fasilitas, dan penyedia layanan di seluruh daerah. 28 Apa yang Harus Dilakukan Sekarang? Pihak Kementerian perlu memulai proses identifikasi, menyepakati indikator, pengumpulan data dasar sebelum 1 Januari, serta perkiraan tingkat perubahan dan dampak yang diharapkan. Selisih antara dampak yang diharapkan dan kenyataannya setelah reformasi dimulai dapat digunakan sebagai “bendera tanda bahaya” (flag)untuk mengidentifikasi aspek yang menyimpang dari pola dampak yang diharapkan. Identifikasi bendera tanda bahaya ini dapat menjadi langkah pertama yang dapat digunakan oleh para pemimpin untuk menguji, menyelidiki, dan mengatasi kemungkinan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam reformasi. Bendera ini dapat berwarna merah (“peringatan”), kuning (“hati-hati”), dan hijau (“sesuai yang diharapkan atau lebih dari yang diharapkan”). Panel instrument (dashboard) simulasi untuk Presiden disediakan pada gambar berikut ini. Indikator Status Persentase penerima manfaat yang terdaftar (dari penduduk yang memenuhi persyaratan) Pendaftaran (netto) Persentase penerima manfaat yg terdaftar sebelumnya yang terdaftar kembali Pendaftaran penerima manfaat baru Jumlah kunjungan rawat jalan per kapita Jumlah rawat inap per kapita Rata-rata lama tinggal Persentase perbedaan pendapatan keseluruhan dan pengeluaran Pendapatan bersih Pendapatan per kapita Pengeluaran per kapita Akreditasi Persentase fasilitas kesehatan terakreditasi sebelumnya Persentase fasilitas kesehatan yang terakreditasi baru Fasilitas kesehatan per 10.000 penerima manfaat Rata-rata jumlah rawat inap ulang dalam 30 hari Jumlah kematian per 1,000 rawat inap di rumah sakit Persentase penerima manfaat yang dilaporkan menyampaikan keluhan atas pelayanan Sumber: Joint Learning Network, 2013 29 Mungkin diperlukan indikator lainnya. Akan bijaksana jika Pemerintah memulai serangkaian lokakarya antar Kementerian di tingkat pusat guna mengidentifikasi dan mengkoordinasikan dimensi horizontal. Yang kedua, Pemerintah perlu memulai serangkaian lokakarya antara pemerintah di level yang berbeda untuk mengidentifikasi dan menyepakati indikator yang diperlukan untuk dimensi vertikal pemantauan dan evaluasi. Lokakarya ini akan mengembangkan program pemantauan awal berdasarkan struktur sistem manajemen informasi saat ini yang akan diberlakukan oleh BPJS atau Kemenkes dalam menanggapi kebutuhan mereka. Biaya dan upaya dapat diminimalkan dengan perencanaan dan koordinasi dini diantara seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama harus ada seperangkat definisi dan klasifikasi umum mengenai penyakit dan prosedur klinis. Ketepatan waktu akan sangat penting, sehingga akses cepat harus terpenuhi karena adanya kebutuhan akan akurasi. Akses cepat ke data mentah - sebaiknya tersedia secara online - harus menjadi target, dan bukan sekedar menunggu unit pelaporan, validasi dan audit yang datangnya terlambat. Hasil awal dalam satu periode dapat diperbarui nantinya. Kedua, lokakarya dapat mengidentifikasi indikator dan data yang dibutuhkan yang saat ini belum tersedia, tetapi diperlukan untuk program pemantauan nasional. Secara paralel, akan sangat bijaksana jika pemerintah menulis “Laporan Resmi” (white paper) dibantu oleh seorang ahli akademisi dari Indonesia, dan ahli internasional untuk mengidentifikasi praktik terbaik (best practice), dan indikator-indikator yang digunakan oleh negara-negara OECD dalam upaya menuju reformasi pembiayaan kesehatan dengan ukuran dan dimensi yang mirip dengan Indonesia. Beberapa contoh negara diantaranya: Kanada (dengan sistem manajemen informasio yang sangat baik), Korea Selatan, Taiwan, atau Malaysia. Laporan resmi akan memberikan panduan tolok ukur (benchmarking) jangka pendek dan jangka menengah. Mengingat bahwa kita tidak memiliki dasar normatif untuk mengevaluasi sistem kesehatan, maka tolok ukur komparatif diperlukan untuk penilaian sistem. Bagian kedua dari laporan resmi akan membahas kesenjangan dalam menghasilkan data saat ini yang diperlukan untuk mengembangkan indikator pemantauan dan evaluasi dalam upaya reformasi. Kemitraan OECD-Indonesia? Organisasi Kerjasama dan Pembangunan (OECD) di antara negara-negara berpenghasilan tinggi telah menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam mengembangkan indikator dan menetapkan pengumpulan data tahunan. Bagi OECD, perbandingan dengan negara lain dengan menggunakan data antar negara dapat membantu mengidentifikasi masalah dan sekaligus memotivasi upaya reformasi. 30 Di Indonesia, misalnya, cakupan kesehatan tidak setara dan rendah. Bagaimana Indonesia dapat mengetahui bahwa penggunaan kesehatan rendah? Indonesia harus memiliki pembanding antara penggunaan kesehatan yang diterapkan di Indonesia dengan yang diterapkan di negara-negara dengan cakupan yang sudah baik. Bagaimana kita bisa tahu jika di rumah sakit tidak tersedia? Dan seterusnya. Negara-negara berkembang semakin menghargai kebutuhan dan peluang akan tolok ukur. Cina, misalnya, menggunakan tolok ukur agresif untuk mengidentifikasi di mana mereka perlu mengejar ketertinggalan. Banyak reformasi di China bersumber kesadaran mereka bahwa mereka tidak seperti negara maju, dan mereka perlu melakukan sesuatu untuk menutup kesenjangan tersebut. Indonesia cukup beruntung karena OECD ingin melibatkan Indonesia dan mulai memasukkan Indonesia dalam proses Data Kesehatan Tahunannya (melaporkannya bersama dengan negara-negara OECD lainnya dalam laporan tahunannya). Kemitraan dengan World Health Organization (WHO)? WHO di Jenewa, bersama dengan Bank Dunia, sedang mengembangkan dan menguji seperangkat indikator untuk mengukur dan menelusuri Cakupan Kesehatan Semesta (UHC). WHO ingin mengidentifikasi sejumlah kecil negara percontohan dimana indikator ini dapat diujikan. Indonesia mungkin menjadi negara yang sangat cocok untuk ujicoba indikator ini, mengingat adanya dorongan untuk menerapkan Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) pada 1 Januari, dan mengingat keragaman negara Indonesia dalam hal pola penyakit, pembiayaan, dan pemberian layanan kesehatan. Majelis Umum PBB memberikan kesempatan kepada Menteri untuk mendiskusikan ide tersebut dengan Direktur Jenderal WHO, Margaret Chan. 2013 dan setelahnya: Jangka-Menengah Banyak indikator ini memerlukan survei atau penilaian cepat untuk mengevaluasi perubahan kebijakan dan memberikan pemantauan rutin, dan analisis sekunder akan membutuhkan peran kelompok akademisi untuk bekerja sama dengan Kemenkes, seperti Universitas Indonesia yang bekerjasama dalam NHA pada masa transisi sebelum ditempatkan di Kemenkes. Kelompok lain bisa melakukan hal ini, tetapi strategi tersebut perlu dikembangkan saat ini, atau bulan-bulan berikutnya, namun yang jelas sebelum akhir 2013. Bab terakhir dari Laporan Resmi dapat mencakup bagian yang menjelaskan perlunya survei baru dan analisis sekunder. Tapi apakah masih diperlukan lembaga tingkat pusat untuk merelokasi dan memfokuskan kembali penelitian sehingga tidak akan ada tumpang tindih dan duplikasi yang tidak perlu? Selain itu, lembaga ini perlu menetapkan standar pelaporan dan kesepakatan tentang strategi analisis, dan menyebarluaskan aturan ini ke berbagai kelompok. 31 Banyak ketidakpastian seputar saluran penyampaian, proporsi premi biaya dan subsidi tidak langsung akan mencakup apa saja, kendala sisi persediaan dan bagaimana pemanfaatan kapasitas swasta dan publik dikoordinasikan. Ketidakpastian tentang biaya masa depan dapat berarti bahwa program ini - mengingat ukuran dan ruang lingkupnya yang nasional - dapat memberikan risiko besar bagi Pemerintah Indonesia, dan untuk badan usaha dan peserta yang menanggung biaya. Oleh karena itu, pemantauan yang tepat waktu dan pengendalian risiko keuangan adalah sangat penting. 32 NOTA #7 KEBIJAKAN Dari Siapa Kita Membeli? Kontrak Pelayanan Kesehatan untuk Perbaikan Biaya dan Kualitas Kesehatan di Indonesia10 Latar Belakang Melalui kontrak, BPJS dapat menetapkan standar minimum dalam hal kualifikasi staf dan infrastruktur yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kontrak dengan skema BPJS. BPJS juga dapat menetapkan standar pelayanan khusus, di mana penyedia layanan akan mendapat penggantian biaya atas layanan tertentu hanya jika layanan tersebut diberikan oleh staf dengan kualifikasi yang memadai dan dengan cara yang konsisten sesuai dengan protokol tindakan dan pedoman pemberian resep yang telah ditetapkan. Pada tingkat berikutnya, kontrak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan tolok ukur dan standar kinerja dengan organisasi seperti rumah sakit, klinik, atau Puskesmas. Ini dapat digunakan sebagai bagian dari aturan pegawai negeri sipil (PNS), atau di luar itu (dalam hal organisasi swasta atau LSM). Saat ini, di wilayah ini terdapat pula kontrak eksternal yang cukup signifikan dengan pihak penyedia antar beberapa negara. Kegiatan kontrak nampaknya terjadi antar negara di berbagai kelompok pendapatan. Satu hal penting dalam kontrak adalah apakah pembayar akan mengontrak sektor publik dan swasta seperti di berbagai negara. Contoh kontrak dengan sektor publik dan swasta dapat ditemukan di negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Mongolia, selain di negara-negara berpendapatan tinggi, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. 10 Nota Kebijakan (Policy Note) #7, ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). John McComb, Direktur Teknis Kesehatan, Coffey International, turut memberikan masukkan yang sangat berharga. Untuk salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah mulai mengadakan kontrak dengan penyedia swasta. Namun masalah mengenai kontrak tetap ada, dan Kementrian Kesehatan serta BPJS belum menggunakan sepenuhnya isu efisiensi dan mutu sebagai daya ungkit dalam kontrak. 34 Beberapa negara seperti Thailand dan Mongolia, juga memanfaatkan unsur gate-keeping dalam kontrak dengan penyedia layanan kesehatan dasar untuk lebih mendorong pemanfaatan layanan kesehatan dasar dan rawat jalan yang lebih hemat biaya. Negara-negara Berpendapatan Tinggi Di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, sistem asuransi secara terbuka menjalin kontrak dengan penyedia layanan medis berlisensi yang tersedia, dan pihak swasta mendominasi sektor rumah sakit (sekitar 90 persen di Taiwan dan di Korea Selatan). Di ketiga negara ini tidak ada sistem gate-keeping, namun kontrak dapat digunakan untuk menghentikan atau menangguhkan kontrak untuk sementara bilamana terjadi kasus klaim palsu dan praktik yang melanggar hukum. Negara-negara lain tampaknya kurang berhasil mengkoordinasikan dan menjalin kontrak dengan sektor publik dan swasta. Di Hong Kong, layanan sektor publik ditugaskan, didanai dan disediakan oleh pemerintah, melalui lembaga resmi Health Authority (kecuali untuk layanan yang sifatnya terbatas). Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa percobaan inisiatif kemitraan swastapublik (pemerintah) berupa kontrak untuk prosedur umum bervolume tinggi untuk mengurangi antrian yang terlalu panjang (misalnya, operasi katarak). Di bagian rawat jalan sektor swasta, upaya penetrasi dilakukan berbagai bentuk perawatan yang dikelola (managed care), misalnya kontrak obat-obatan, skema prabayar dan jaringan penyedia preferensial, namun terbatas dalam ruang lingkupnya, meskipun telah cukup mengalami pertumbuhan dalam dekade terakhir. Di Malaysia, pemerintah menjalin kontrak dengan berbagai penyedia sektor swasta, badan usaha dan juga LSM. Kementerian Kesehatan di sana juga melakukan outsourcing pelayanan kepada pihak swasta di bidang radioterapi, gambar kardiotoraks dan diagnostik dalam rangka meningkatkan akses ke perawatan klinis khusus serta mengurangi waktu tunggu. Bahkan penyedia obat tradisional di fasilitas milik Kementerian Kesehatan di Malaysia juga didatangkan atas dasar kontrak. Dalam hal layanan pendukung, pemerintah telah mengadakan kontrak antara lain untuk pembuangan limbah produk medis, kebersihan dan laundry, farmasi, bahan makanan, keamanan dan kampanye pendidikan kesehatan. Negara-negara Berpendapatan Menengah Thailand juga menerapkan sistem gate-keeping. Skema asuransi kesehatan sosial (SHI) untuk PNS dan pekerja formal swasta mengharuskan penerima manfaat untuk mendaftar dengan penyedia layanan kesehatan tertentu. Rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki lebih dari 100 tempat tidur dianggap sebagai kontraktor penyedia yang memenuhi persyaratan untuk keanggotaan SHI. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa rumah sakit swasta berperan besar sebagai kontraktor penyedia layanan untuk SHI. Akan tetapi sistem kesehatan di tingkat pemerintah kabupaten (rumah sakit daerah dan afiliasi puskesmas di daerah) biasanya berperan penting sebagai kontraktor penyedia layanan kesehatan untuk PNS penerima manfaat. Skema layanan untuk PNS dan SHI membeli layanan bagi penerima manfaat melalui kontrak tahunan ke jaringan kontraktor perawatan dasar, biasanya sistem kesehatan kabupaten yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan untuk anggota PNS, dan rumah sakit kontraktor (rumah sakit dengan lebih dari 100 tempat tidur) untuk anggota SHI. 35 Di Cina skema asuransi telah menjalin kontrak dengan pihak penyedia layanan kesehatan dengan ketentuan tentang paket layanan yang akan diberikan, metode pembayaran, standar kualitas, daftar obat, dan hal-hal lain. Dalam beberapa hal, kontrak mencakup ketentuan berakhirnya kontrak, jika, misalnya pasien tidak dikenakan biaya sesuai dengan daftar harga yang telah ditetapkan. Di Filipina, dalam beberapa kasus yang terpisah, beberapa dinas kesehatan setempat telah memiliki kontrak penyediaan layanan kesehatan prasejahtera dengan rumah sakit swasta atau pemerintah. Hal ini sekarang telah bergeser ke sistem pendaftaran penduduk prasejahtera ke program SHI. Kementerian Kesehatan sering membuat kontrak pengadaan layanan di luar kesehatan seperti pelatihan bagi tenaga kesehatan pemerintah dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah. Negara-negara Berpendapatan Rendah Kamboja telah menggunakan model kontrak secara luas sejak tahun 1998, dimulai dengan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB), sebagai satu cara untuk meningkatkan pemberian layanan dan kinerja staf di fasilitas pelayanan kesehatan di berbagai kabupatensetempat. Kelompok awal yang dikontrak meliputi delapan kabupaten yang mencakup jumlah penduduk satu juta orang. Tiga model yang berbeda diujicobakan (menggunakan pola acak) sejak saat itu sampai dengan tahun 2003: “contracting in” (di 3 kabupaten), “contracting out” (di 2 kabupaten), dan menerapkan kebijakan pemerintah saat ini (di 3 kabupaten).11 Belgian Development Cooperation Agency (BTC) kemudian memperkenalkan versi kesepakatan kontrak yang baru yang disebut New Deal, suatu upaya menggunakan kabupaten sebagai manajemen utama unit-unit yang dikontrak, bukan menggunakan LSM. Pemilihan kontraktor dilakukan melalui penawaran dari LSM untuk mengelola berbagai kabupaten dengan menggunakan dana dari donor. Model kontrak yang sekarang digunakan adalah gabungan ujicoba sebelumnya, dimana LSM menjalin kontrak dengan staf Kemenkes di tingkat pengawasan dan pemberian layanan. Peraturan PNS berlaku bagi staf, namun LSM dapat mempekerjakan staf tambahan bilamana diperlukan. Data dari satu kabupaten (berpenduduk 176,000) di delapan kabupaten awal yang menggunakan model contracting-in menunjukkan peningkatan output layanan antara 100-700 persen, tergantung jenis layanannya. Yang paling menonjol adalah peningkatan dalam perawatan antenatal dan persalinan (masing-masing 740 dan 550 persen). Kunjungan rawat jalan menunjukkan peningkatan terendah hanya 98 persen dalam waktu satu tahun setelah pelaksanaan. Pengeluaran kesehatan langsung (out-of-pocket) di kabupaten juga menunjukkan penurunan, sementara gaji staf meningkat. Beberapa penyedia menghadapi penurunan pendapatan karena mereka menerima lebih sedikit dari praktek pribadi mereka sebelumnya, namun mereka bersedia untuk mematuhi sistem baru. 11 Contracting-out: Kontraktor bertanggung jawab penuh terhadap pemberian layanan tertentu dalam OD, langsung mempekerjakan staf, dan sepenuhnya memegang kendali manajemen. Alokasi dana langsung dibuat sesuai dengan penawaran. Contracting-in: Kontraktor menyediakan dukungan manajemen bagi staf kesehatan PNS, sementara biaya berulang (recurrent cost)disediakan pemerintah melalui jalur normal. Tambahan anggaran lainnya disediakan dari dana donor. Kontraktor sepenuhnya memegang kendali atas alokasi dan pencairan tambahan anggaran, namun diwajibkan mengikuti peraturan pemerintah sehubungan dengan sumber daya yang disediakan pemerintah. 36 Selain itu, kabupaten yang dikontrak menunjukkan alokasi sumberdaya yang lebih berpihak pada masyarakat miskin dibandingkan kabupaten yang tidak dikontrak, namun kesenjangan masih ditemui, bahkan di kabupaten-kabupaten yang dikontrak. Beberapa tinjauan telah menganalisis faktor-faktor di balik kesuksesan kontrak di Kamboja. Singkatnya: (i) kontrak memiliki orientasi kinerja dan menghubungkan pendanaan dengan pencapaian target yang telah ditetapkan sebelumnya; (ii) keahlian tambahan dan keterampilan manajemen yang dibutuhkan disediakan oleh kontraktor; (iii) tambahan insentif keuangan dibayarkan kepada staf; (iv) Pemerintah mencairkan anggaran operasional fasilitas kesehatan secara penuh dan tepat waktu; (v) peran LSM sebagai pihak pihak ketiga yang independen sangat membantu dalam memantau kinerja, mengidentifikasi masalah, dan melakukan lobby ke pemerintah dan donor. Tetapi, tinjauan hasil-hasil (outcomes) yang berkenaan dengan kontrak menunjukkan hasil yang tidak sama. Evaluasi enam indikator hasil: cakupan antenatal, persalinan di fasilitas kesehatan, persalinan yang ditangani oleh staf kesehatan terlatih, imunisasi paripurna, pemberian vitamin A dan jarak kelahiran menunjukkan bahwa di sekitar 50% kabupaten, hasil yang dicapai lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dalam banyak hal, target tidak tercapai walaupun model kontrak diterapkan. Masalah utama dari model kontrak di Kamboja adalah tingginya pengeluaran administrasi. Sebuah ringkasan tinjauan kontrak LSM menunjukkan bahwa pengeluaran administrasi berkisar 19% sampai 46%. Partisipasi LSM ke depannya dapat diatur dengan membatasi biaya overhead melalui syarat-syarat peraturan/kontrak.12 Pengaturan kontrak saat ini menggunakan beberapa mekanisme untuk meningkatkan kinerja, termasuk: kontrak yang berorientasi output dan outcome dengan insentif kinerja antara pengelolaan pemberian pelayanan Kementerian Kesehatan dan LSM; peningkatan otonomi keuangan dan pengelolaan bagi kabupaten; peran LSM sebagai pihak ketiga yang independen dalam monitoring staf dan layanan serta tata kelola; peningkatan kapasitas manajemen; pencairan block grant secara langsung ke tingkat kabupaten; gaji dan manajemen kinerja staf. LSM yang terlibat memiliki pola pendekatan yang berbeda-beda. Di Mongolia, pelayanan kesehatan dasar di perkotaan dikontrakkan ke medical practitioners (Family Group Practices, atau FGP) yang terhimpun sebagai koperasi. Terdapat 229 FGP. Koperasi-koperasi ini dianggap sebagai badan usaha profit swasta yang didirikan atas dasar aset yang dikontribusikan oleh anggotanya. Namun, masih ada kebingungan tentang status mereka sebenarnya, karena badan usaha ini tidak memiliki aset bersama dan sepenuhnya didanai oleh subsidi pemerintah, yang jelas bertentangan dengan undang-undang anggaran. Undang-undang anggaran menetapkan 12 - Sejumlah kekurangan lain dan rekomendasi perbaikan telah dicatat, termasuk: Penyedia layanan yang melanggar layanan praktek pribadi tidak dikenakan sanksi; Kemenkes /dinkes setempat kadang-kadang tidak dapat memenuhi kewajiban menyediakan staf berkualitas dan memadai; Kadang-kadang ada konflik akuntabilitas SDM: dinkes setempat bertanggung jawab terhadap karyawan, namun LSM juga diharapkan mengelola SDM; Fasilitas kesehatan dasar tidak memiliki otonomi yang cukup; Pendanaan tidak konsisten; Target kontrak seringkali tidak sesuai dengan target nasional. Program nasional masing menerapkan pendekatan vertikal, jadi koordinasi dengan OD terbatas; Indikator kualitas harus dicantumkan sebagai target kinerja, dan sebagai kriteria untuk monitoring kinerja. Alat penilaian praktis harus dikembangkan. 37 organisasi sebagai organisasi publik bilamana didanai sepenuhnya oleh APBN/pendapatan pemerintah. Jadi, status hukum FGP ini masih belum jelas.13 Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah mengambil keputusan untuk mengontrakkan layanan dukungan tertentu seperti laundry, dapur, kebersihan dan keamanan. Selain jenis perjanjian atau kontrak semacam ini, organisasi Asuransi Kesehatan Sosial memberlakukan kontrak dengan penyedia layanan publik (sanatorium, rumah sakit swasta) untuk penggantian biaya atas pelayanan yang diberikan kepada orang yang diasuransikan; penyedia layanan publik harus menyelesaikan paling tidak dua kontrak dengan masing-masing organisasi. Ada konsep kontrak lain dalam sistem publik Mongolia yang masih bersifat mekanistik dalam hal pelaksanaannya. Undang-undang Keuangan dan Manajemen Publik (2002) mewajibkan semua entitas anggaran untuk memiliki kontrak/perjanjian pemberian pelayanan dengan Menteri terkait. Setiap akhir tahun, Menteri Kesehatan menandatangani kontrak dengan para kepala unit pemerintah daerah untuk menyepakati anggaran sektor kesehatan dan pelayanan yang akan diberikan oleh masing-masing unit pemerintah daerah. Menteri Kesehatan juga mendelegasikan otoritas kontrak kepada Sekretariat Negara untuk mengadakan perjanjian dengan rumah sakit tingkat tersier, dan kepada gubernur setempat untuk mengadakan kontrak dengan penyedia layanan publik tingkat sekunder dan primer. Setelah perjanjian umum atau kontrak dicapai, yang di dalamnya menguraikan layanan secara keseluruhan dan dana untuk setiap penyedia layanan, manajer umum mengadakan perjanjian kinerja dengan para kepala bagian dan personel di bagian masingmasing secara internal dalam organisasi mereka. Undang-undang telah menghasilkan sistem manajemen baru untuk badan usaha publik di mana kontrak bersifat intrinsik terhadap fungsi mereka, namun kapasitasnya belum ditingkatkan untuk memastikan efektivitas dari konsep ini. Di Vietnam, SHI membayar penggantian (reimbursement) kepada fasilitas yang disetujui, termasuk fasilitas pribadi/swasta yang dikontrak. Pendaftar juga dapat menggunakan fasilitas yang tidak dikontrak termasuk penyedia layanan luar negeri, namun penggantian biaya dalam hal ini adalah kepada pasien yang membayar ke fasilitas dan yang kemudian mengajukan klaim sampai jumlah plafon biaya rata-rata di fasilitas. Di Laos, model kontrak lebih terbatas, di mana hanya ada satu model kontrak antara skema berbasis masyarakat dengan pihak penyedia layanan. Di Timor-Leste, saat ini, sektor publik menyediakan sebagian besar pelayanan kesehatan (Meeting Health Challenge, Prime Minister’s Office, 2008). Jasa pelayanan pemerintah telah dilengkapi komponen swasta secara cukup signifikan – diperkirakan 25 persen dari semua layanan – untuk menyediakan layanan yang tidak dapat disediakan oleh sektor publik, seperti ambulans, terutama melalui LSM lokal dan internasional (untuk LSM internasional seringkali didanai dari luar negeri) yang seringkali berafiliasi dengan gereja (misalnya, Caritas yang terafiliasi dengan Gereja Katolik) dan sebagian besar bergantung pada pekerja sukarela; serta dokter, perawat, dan bidan swasta. Meskipun nampaknya tidak ada kontrak resmi antara penyedia layanan publik dan swasta, pemerintah Timor Leste bekerja untuk memperkuat kemitraan publik-swasta dalam bidang kesehatan. Secara khusus, hal ini bertujuan untuk: memfokuskan sektor publik pada barang-barang publik yang dapat dilakukannya secara efektif; mendorong keterlibatan yang tepat dari sektor swasta 13 Tetapi, dapat dicatat bahwa status mereka tidaklah berbeda dengan dokter umum yang dulu bekerja di UK National Health Service, yang secara legal adalah kontraktor independen, namun biasa dianggap sebagai dokter pemerintah. 38 dalam penyediaan jasa seperti ambulan; serta memperkuat kerjasama antara publik-swasta dalam penyediaan layanan. Hal ini memerlukan pengembangan hubungan lebih lanjut dengan kelompok pengusaha-tenaga kerja lokal, dan peningkatan kerjasama dengan fasilitas kesehatan gereja (misalnya, akses ke obat-obatan dan peralatan kesehatan dasar untuk meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas milik gereja). Kontrak di Indonesia Kontrak bukanlah hal yang baru di Indonesia. AusAID telah mendanai program kesehatan maternal dan neonatal di NTT selama kurang lebih 4,5 tahun. Dalam program tersebut, pemerintah kabupaten mampu mengontrak tim spesialis obstretik dan pediatrik dari rumah sakit pemerintah dan swasta di Indonesia untuk segera mengisi kesenjangan sumber daya manusia di rumah sakit-rumah sakit kabupaten. Dalam waktu yang relatif singkat program ini mampu menurunkan rata-rata angka kematian ibu hingga 50%. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan mengontrak pelayanan, baik dari segi kapasitas rumah sakit tersier di Indonesia untuk memenuhi permintaan akan tenaga spesialis, dan dari segi cara bagaimana meningkatkan proses kontrak dan melakukan pemantauan hasil. Memang, kontrak adalah hal yang umum di kawasan ini, terlepas dari tingkat pendapatan. Dan memang, ada sebuah tradisi yang kaya di beberapa negara seperti Kamboja. Namun, tidak banyak yang diketahui dari evaluasi kontrak di negara-negara kawasan tersebut, dan tidak ada bukti (selain Kamboja) mengenai kontrak selektif atas dasar kualitas dan kinerja. Seringkali yang terjadi adalah situasi kontrak yang fleksibel dan relasional, di mana ada harapan dari kedua belah pihak (pembeli dan penyedia) untuk secara otomatis memperpanjang kontrak untuk tahun-tahun berikutnya. Kontrak selektif tidaklah mudah, baik secara teknis maupun politis. Pada tingkat teknis, diperlukan informasi yang baik dan tepat waktu mengenai biaya dan kualitas layanan yang diberikan. Namun demikian, dalam jangka waktu dekat, negara-negara dengan kapasitas yang tengah berkembang dapat didorong seiring dengan: • • Pengembangan uji coba fasilitas sistem manajemen informasi (MIS) yang akan mengadaptasi pendekatan standar untuk mendapatkan informasi klinis dan biaya. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk negosiasi dengan penyedia asuransi/pembeli jasa. Perubahan pola epidemiologi yang muncul di banyak negara (misalnya, penyakit-penyakit tidak menular di Cina, Vietnam, Thailand) untuk mengembangkan serangkaian uji coba yang mungkin difokuskan pada bidang manajemen penyakit kronis seperti asma dan diabetes. Hal ini dapat didukung dengan tingkat kontrak pembayaran yang baik dan memiliki indikator outcome dan kualitas yang terkait. Uji coba kemudian dapat diperluas. Hal ini mungkin dapat dikembangkan bersama dengan manajemen penyakit spesifik serupa yang menjanjikan penyediaan yang lebih hemat biaya. Bidang-bidang ini meliputi: o diabetes; o asma; o hipertensi; dan, o layanan kesehatan mental. Contohnya, manajemen penyakit diabetes yang lebih baik akan mengurangi risiko gagal ginjal dan meminimalkan biaya medis untuk individu dan keluarga. Kini ada uji coba manajemen 39 • • • penyakit di Beijing (untuk diabetes) dan Nanjing (untuk kesehatan mental), namun tidak banyak yang diketahui tentang hal ini. Di wilayah geografis di mana hanya ada sedikit atau cuma ada satu penyedia layanan (daerah pedesaan) masih terdapat kemungkinan dikembangkannya tolok ukur peningkatan kinerja. Tolok ukur ini dapat disesuaikan dengan semacam bonus pembayaran kinerja. Pengembangan lebih lanjut terhadap kontrak secara internal untuk organisasi-organisasi seperti rumah sakit dan klinik. Mengenai kontrak internal dengan staf dari fasilitas publik, tidak banyak yang didapati di kawasan ini (kecuali Vietnam). Kontrak akan digunakan dalam 2-3 tahun pertama untuk menilai kinerja dan memberikan umpan balik (feedback). Setelah 3 tahun, kontrak akan digunakan untuk meningkatkan fleksibilitas input agar lebih baik dalam menyewa dan memberhentikan personil sesuai dengan kinerja dan kebutuhan input untuk layanan perawatan. Penilaian untuk mengetahui apakah lebih banyak negara (selain Mongolia, contohnya) harus melanjutkan kontrak untuk layanan tertentu (laundry, makanan, layanan laboratorium dan diagnostik) dalam fasilitas publik. Hal ini dapat terus meningkatkan kualitas dan menekan biaya. Kontrak selalu memerlukan kehati-hatian, dan mengharuskan hal-hal antara lain: • • • • • • Lingkungan yang kompetitif; Layanan yang ditetapkan secara baik; Koordinasi dengan kegiatan sektor publik; Penilaian kualitas manajemen sektor swasta; Spesifikasi standar pelayanan; dan, Monitoring yang erat mengenai kinerja kontrak Pelajaran yang segera bisa didapat bagi Indonesia? Indonesia sudah sangat maju dalam hal pemberian pelayanan oleh sektor swasta. Pendekatan kontrak selektif mungkin dapat diperluas di Indonesia, dan kontrak selektif dapat digunakan di beberapa wilayah geografis, seperti daerah perkotaan besar, dengan penyedia layanan publik dan swasta. Kedua, BPJS mungkin akan segera menggunakan otoritas kontrak mereka untuk menetapkan halhal seperti: • • • • • 40 Kepatuhan terhadap pedoman rujukan; Kepatuhan terhadap standar pengkodean untuk penggantian (reimbursement) dan mutu; Kepatuhan terhadap sistem pengkodean farmasi yang kini tengah dikembangkan; Kepatuhan terhadap pelaporan biaya sesuai dengan format biaya standar yang pertamakali dikembangkan oleh skema Jamkesmas, contohnya; dan, Kontrak untuk semua pekerja di fasilitas sektor publik. Seringkali keluhan yang muncul adalah fasilitas sektor publik tidak responsif atau efektif. Kontrak merupakan langkah awal untuk menjadikan fasilitas sektor publik lebih responsif. Dengan INA CBGs, rumah sakit pemerintah tentu perlu menyewa, memberhentikan, atau mengubah kombinasi input (input mix) dari staf mereka. Kontrak memberikan fleksibilitas kepada pengelola rumah sakit untuk sepenuhnya merespons struktur insentif baru. Hal yang sama dapat diharapkan dalam hal kapitasi dan fasilitas perawatan dasar. Sebagai pembayar tunggal, BPJS harus mengontrak semua fasilitas yang mengharapkan penggantian atas jasa yang diberikan sesuai dengan Undang-undang BPJS. Kontrak akan memungkinkan dana langsung mengalir ke Puskesmas dan ke semua penyedia layanan. Hal ini akan membuat tenang Kementerian Keuangan karena dana untuk kesehatan akan benar-benar dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan, dan lebih memastikan bahwa semua dana sampai ke pihak penyedia – sebagaimana mestinya. Di masa depan, mengingat sistem data semakin berkembang dan lebih baik, maka kontrak dapat digunakan untuk menghasilka, manajemen penyakit tidak menular yang lebih baik seperti manajemen hipertensi dan diabetes, begitu pula dalam hal pengendalian TB dan penyakit menular lainnya. Kontrak merupakan alat yang ampuh untuk mewujudkan efisiensi dan keadilan, dan BPJS harus memanfaatkannya sebaik mungkin untuk sektor publik maupun swasta. 41 NOTA #8 KEBIJAKAN Monitoring dan Evaluasi Cakupan Kesehatan: Ujicoba “Dashboard Informasi” Perluasan Cakupan Kesehatan di Indonesia14 Latar Belakang Cakupan Kesehatan Pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang meliputi dari lima program. BPJS Kesehatan harus terbentuk pada awal 2014, sementara BPJS ketenagakerjaan harus terbentuk pada pertengahan 2015. Implementasi badan penyelenggara jaminan sosial yang baru ini memerlukan konsolidasi semua program kesehatan yang disediakan oleh PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK serta 300 program lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah ke dalam BPJS Kesehatan. Kemajuan signifikan dalam upaya untuk meningkatkan cakupan asuransi kesehatan telah ditunjukkan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun angka terbaru memperkirakan bahwa sekitar 40% penduduk masih belum memiliki asuransi kesehatan.15 Perbaikan dalam tingkat cakupan diharapkan terwujud mulai dari sekarang sampai tahun 2019 di mana BPJS dilaksanakan secara penuh. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa penduduk saat ini yang mendapatkan cakupan kesehatan Jamkesmas bisa meningkat jumlahnya menjadi 96,4 juta pada tahun 2014 dengan menjadi peserta BPJS kesehatan. Akan tetapi, masih akan ada sejumlah besar penduduk yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Menurut hasil perhitungan Informal Economy Study (IES) yang dilakukan pada 2011/2012, terdapat 31,2 juta pekerja informal tidak akan ditanggung oleh asuransi kesehatan pada tahun 2014. Masalah ini dan masalah kesenjangan lainnya dalam cakupan kesehatan ini perlu ditangani agar dapat mewujudkan cakupan kesehatan semesta. 14 Policy Note #8 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Annette Martin dari Joint Learning Network dan Results for Development Institute di Washington, D.C., bekerjasama dengan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mendapatkan salinan Policy Notes sebelumnya dan yang lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Saat ini pemerintah telah menerapkan konsep yang dijabarkan di sini. 15 Global Extension of Social Security, 2011. 43 Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan cakupan kesehatan. Sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam Joint Learning Network ( JLN) yang tengah berupaya menuju cakupan kesehatan semesta mengalami kemandekan dalam hal pendaftaran – terutama untuk penduduk miskin dan pekerja sektor informal. Didorong oleh adanya tujuan yang terpuji untuk melakukan perubahan dramatis selama enam bulan ke depan guna mewujudkan cakupan kesehatan secara penuh pada akhir tahun 2019, pemerintah Indonesia perlu memperlihatkan kemajuan yang telah dicapai dari waktu ke waktu berkaitan dengan cakupan kesehatan untuk semua penduduk Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu memiliki alat untuk memonitor dan mengevaluasi kemajuan dalam pemenuhan target, dan terutama untuk memastikan bahwa penduduk yang kurang beruntung dan rentan mendapatkan jaminan kesehatan. Salah satu alat tersebut yaitu “dashboard” informasi perluasan cakupan kesehatan (Expanding Coverage Information Dashboard) yang dapat membantu pemerintah Indonesia menelusuri dan melaporkan perluasan cakupan kesehatan. Dashboard Informasi Tim teknis dari Joint Learning Network ( JLN) Expanding Coverage (EC) mengembangkan prototipe “information dashboard” untuk tingkat negara – suatu mekanisme interface elektronik interaktif yang secara rutin akan menggabungkan data dari berbagai sumber yang tersedia dan menampilkan kemajuan terhadap indikator kunci yang terkait dengan perluasan cakupan untuk penduduk yang kurang beruntung dan/atau kurang terlayani. 44 Fitur utama dashboard tersebut mengubah data menjadi informasi perluasan cakupan yang dapat ditindaklanjuti: • • • Tampilan satu halaman yang memungkinkan pengguna untuk melihat indikator utama dan menelusuri sekilas kemajuan secara berkala. Fitur “drill-down” yang memungkinkam pengguna untuk mengakses dan melihat data waktu nyata (real time) pada tingkat disagregat. ‘Bendera’ manajemen (management flags) yang memberikan tanda ketika indikator memerlukan perhatian pengguna, sehingga memungkinkan para pengambil keputusan dengan cepat mendeteksi dan mengoreksi kecenderungan negatif dalam kinerja. Indikator berikut ini merupakan seperangkat sampel yang dikembangkan sebagai bagian dari prototipe Dashboard informasi perluasan cakupan: kategori Indikator • Pendaftaran dan pendaftaran ulang • • • Persentase penerima manfaat yang terdaftar (dari penduduk yang memenuhi persyaratan) Pendaftaran (netto) Persentase penerima manfaat yang mendaftar ulang Persentase penerima manfaat yang mendaftar baru Pemanfaatan pelayanan kesehatan • • • Jumlah kunjungan rawat jalan per kapita Jumlah rawat inap per kapita Rata-rata lama tinggal Manajemen keuangan • • • • Total pendapatan dibandingkan total pengeluaran Pendapatan bersih Pendapatan per kapita Pengeluaran per kapita • • • Akreditasi Persentase fasilitas kesehatan yang terakreditasi sebelumnya yang memperbaharui atau mempertahankan akreditasinya Persentase fasilitas kesehatan yang baru terakreditasi • Fasilitas kesehatan per 10.000 penerima manfaat • • • Jumlah rata-rata rawat inap ulang dalam 30 hari Jumlah kematian per 1.000 rawat inap di rumah sakit Persentase penerima manfaat yang dilaporkan menyampaikan keluhan atas pelayanan Perluasan jaringan penyedia layanan Aksesibilitas jaringan penyedia layanan Kualitas pelayanan Diperkirakan pengguna utama dashboard perluasan cakupan kesehatan adalah para pemimpin penentu kebijakan dan pengelola skema program yang tanggung jawabnya meliputi monitoring perluasan cakupan kesehatan bagi penduduk yang kurang terlayani dan/atau kurang beruntung. 45 Ujicoba Dashboard di Indonesia Pemerintah Indonesia berencana untuk mengembangkan sebuah dashboard berdasarkan prototipe JLN untuk melacak kinerja terhadap indikator kinerja utama guna melaporkan kemajuan cakupan kesehatan semesta. Pada saat pertemuan bulan April 2013 dengan Wakil Menteri Kesehatan Profesor Ghufron dan para pemangku kepentingan dari Pokja BPJS, skema asuransi, penyedia layanan, dan pemerintah provinsi Yogyakarta, dukungan luas diberikan untuk konsep penggunaan dashboard informasi sebagai alat monitoring dan evaluasi untuk mengukur kemajuan cakupan kesehatan semesta. Perwakilan dari berbagai tingkat pemerintahan dan skema asuransi menyatakan minatnya untuk mengembangkan dashboard sebagai suatu cara untuk menelusuri kinerja dan mengkoordinasikan cakupan populasi di seluruh skema asuransi. BPJS juga menyatakan minatnya terhadap alat monitoring kinerja untuk tujuan pelaporan. Perwakilan dari PT. ASKES, PT. JAMSOSTEK, Jamkesda, Jamkesos, dan Jamkesmas menegaskan bahwa mereka melacak pendaftaran, pemanfaatan, dan indikator keuangan bagi anggota mereka. Patut dihargai bahwa skema asuransi sudah mengenali pentingnya pelaporan kemajuan terhadap indikator. Akan tetapi, sistem pelacakan tidak konsisten atau otomatis, serta tidak memberikan perspektif di luar skema tertentu atau kelompok keanggotaan. Menanggapi permintaan yang nyata akan alat monitoring dan evaluasi, AusAID, GIZ, dan JLN tengah bekerja sama dengan mitra dari Kementerian Kesehatan untuk memahami kondisi, ketersediaan dan kualitas data saat ini dan mengembangkan indikator kinerja utama pada perluasan cakupan kesehatan. Para mitra bekerja sama untuk menyesuaikan prototipe dashboard informasi perluasan cakupan guna memastikan relevansinya untuk konteks negara Indonesia dan tujuan reformasi. Kementerian Kesehatan berencana mengujicobakan dashboard yang disesuaikan di empat provinsi– Aceh, Jakarta, Jawa Barat, dan Yogyakarta – untuk awalnya difokuskan di Jakarta dan Yogyakarta. Kementerian Kesehatan memprioritaskan pengembangan indikator dalam kategori pendaftaran dan pendafataran ulang untuk uji coba ini, diikuti oleh indikator dalam kategori pemanfaatan pelayanan kesehatan dan manajemen keuangan. Walau pun kerangka konseptual Dashboard Informasi peluasan cakupan akan konsisten di seluruh provinsi, masing-masing uji coba dapat menyesuaikan dashboard untuk mengakomodasi faktor unik di masing-masing provinsi dan mungkin di setiap sistem kesehatan di tingkat kabupaten/kota, seperti: • • • • • • 46 Data yang tersedia Prioritas dan target provinsi Prioritas dan target dinas kesehatan kabupaten/kota Prioritas dan target skema Kebutuhan pengguna Dashboard Interface elektronik yang yang lebih disukai Beberapa cara di mana Indonesia dapat menyelaraskan dashboard untuk setiap uji coba termasuk melakukan penyesuaian terhadap: • • • • • • Indikator ‘Bendera’ manajemen (management flag) Kelompok populasi (contohnya karakteristik “populasi sasaran”) Frekuensi pelaporan data Tampilan data (misalnya, grafik, tabel, “hitungan mundur menuju target”) Tingkat disagregasi data Uji coba-uji coba tersebut akan mengintegrasikan Dashboard Informasi perluasan cakupan ke dalam sistem informasi manajemen skema yang ada dengan perhatian khusus pada harmonisasi format pelaporan dan desain interface yang cocok di seluruh skema yang memungkinkan untuk diadaptasi di luar keempat provinsi uji coba. Uji coba akan dimasukkan sebagai suatu kegiatan dalam protokol uji coba dan rencana aksi Pokja teknologi informasi BPJS. Pelaksanaan uji coba akan dipelopori oleh Tim Kepemimpinan Teknis dan dikoordinasikan dengan masukan yang ekstensif dari PT ASKES.16 Langkah penting yang pertama adalah melakukan penilaian kondisi saat ini (analisis situasi) dari data skema di Jakarta dan Yogyakarta, dengan memfokuskan pada ketersediaan data, format, kualitas, dan frekuensi pelaporan. Penilaian ini juga akan meliputi dataset minimal yang dikumpulkan, indikator yang dihitung, pembilang dan penyebut dari indikator tersebut, berikut sumber datanya, mesin pelaporan yang mengekstrak data serta beban analitik terkait. Upaya ini juga akan mencakup deskripsi sistem informasi skema dan spesifikasi afiliasi vendor IT. Selain itu, deskripsi proses untuk transmisi data antara Puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten dan propinsi akan ditentukan untuk setiap skema. Penilaian kondisi saat ini berfungsi untuk memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai keanekaragaman skema, kabupaten/kota, dan provinsi, serta merupakan langkah penting pertama sebelum mulai membahas pengembangan indikator, rancangan dashboard, dan koordinasi lintas skema. Dengan pemahaman situasi saat ini, maka pembahasan mengenai harmonisasi pengumpulan data dan proses pelaporan dashboard dapat dilanjutkan. Setelah melakukan klarifikasi data dasar, sistem, dan proses, langkah berikutnya adalah mengumpulkan perwakilan kunci dari skema, provinsi, kabupaten, dan vendor IT untuk melakukan desain teknis dan pertemuan untuk saling bertukar dan menggunakan informasi (interoperability). Pada pertemuan ini, diskusi akan difokuskan pada pengembangan indikator kinerja utama selain desain interface dashboard, ekstraksi data dan proses pelaporan, serta standardisasi database. Proses operasional dan tata kelola yang berkaitan dengan koordinasi lintas skema dan vendor IT juga akan dibahas. Bulan Juni dan Juli diusulkan untuk penilaian kondisi saat ini, dan bulan Agustus ditargetkan untuk pertemuan kelompok kerja teknis. Pengembangan dashboard diperkirakan pada bulan September, dan uji coba pada bulan Oktober-Desember. 16 Kerangka acuan yang lebih rinci akan disusun setelah diterbitkannya Nota Kebijakan ini untuk memastikan upaya kerja lebih lanjut 47 Pelajaran yang diambil dari ujicoba tersebut akan didokumentasikan dan disebarluaskan guna memberikan informasi upaya nasional meningkatkan penggunaan dashboard informasi untuk memonitor perluasan cakupan. Pelajaran yang didapat juga akan disebarluaskan ke negara-negara lain yang melaksanakan reformasi cakupan kesehatan semesta. Tantangan Utama Jangka Pendek Tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam menelusuri cakupan kelompok populasi adalah berkenaan dengan berbagi informasi dan koordinasi lintas skema. Sementara konsolidasi database keanggotaan di antara masing-masing skema (minimal ASKES, Jamsostek, dan Jamkesmas) tengah berlangsung, dan database pintar sedang dikembangkan untuk mendukung National Unique Identifier (NUI) yang akan memastikan bahwa orang yang sama tidak dihitung dua kali ketika berpindah ke kategori atau lokasi lain, kegiatan ini memerlukan waktu untuk mencapai hasil, dan untuk sementara ini akan tetap menjadi tantangan untuk menelusuri cakupan berbagai kelompok populasi. Untuk memastikan efektivitas monitoring cakupan berbagai kelompok populasi, berbagai pilihan kreatif harus dieksplorasi selain NUI, eKTP, kartu identifikasi elektronik, dan daftar pemilih. Berbagi informasi lintas skema akan sangat penting untuk menangkap gerakan populasi antar kategori atau lokasi. Pengkoordinasian skema sebelum dilakukannya konsolidasi data akan sangat penting untuk menentukan cara terbaik berbagi informasi lintas skema dan sistem informasi untuk memastikan pandangan holistik terhadap cakupan populasi. Akses ke data ini penting untuk upaya monitoring provinsi dan nasional terhadap gerakan anggota di seluruh skema. Pendekatan praktis untuk memfasilitasi koordinasi dan konsolidasi data skema yang mungkin dilakukan: 1) Mengembangkan protokol dan standar transmisi data bagi penyedia dan skema yang berpartisipasi; dan 2) Memungkinkan pihak penyedia dan skema bertanggung jawab terhadap transmisi data dengan menghubungkan pembayaran dengan pelaporan akurat yang menggunakan format tertentu; 3) Mempekerjakan petugas Penjaminan Mutu independen yang bertanggung jawab memonitor kepatuhan di tingkat Puskesmas, rumah sakit, dan skema. Tantangan penting lainnya yang akan dihadapi Indonesia adalah menyangkut kebutuhan pelatihan untuk memastikan bahwa pendaftaran dan klaim data dicatat dan dikirim dengan benar. Pelatihan pengelolalaan informasi Puskesmas dan rumah sakit untuk pihak pembayar dan penyedia layanan baik yang baru dimulai maupun yang tengah berlangsung sangatlah penting. Selanjutnya, diperlukan monitoring untuk mengetahui apakah pengumpulan data tambahan dan persyaratan pelaporan dapat dipenuhi dengan tingkat staf Puskesmas dan rumah sakit yang ada saat ini. 48 NOTA #9 KEBIJAKAN Cakupan Kesehatan Semesta dan Akreditasi Kesehatan di Indonesia17 Latar Belakang Tingginya proporsi biaya pengguna kesehatan di Indonesia membuat banyak orang menghadapi kesulitan keuangan karena pengeluaran untuk perawatan kesehatan, khususnya bagi penduduk miskin dan penduduk yang hidup mendekati garis kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas untuk semua penduduk melalui program cakupan kesehatan semesta yang akan dilaksanakan pada Januari 2014. Tujuan program tersebut tidak semata-mata meningkatkan skala cakupan, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah berencana untuk mengaitkan program akreditasi dengan program cakupan pelayanan kesehatan semesta dengan cara mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan yang dikontrak harus sudah terakreditasi. Pengalaman Internasional: Akreditasi dengan Cakupan Kesehatan Semesta Pengembangan pelayanan kesehatan dasar, asuransi kesehatan universal dan akreditasi telah menjadi rumus umum untuk reformasi kesehatan yang didukung oleh masyarakat internasional. Banyak dari upaya kombinasi tersebut gagal mencapai potensinya, kadang-kadang dikarenakan mereka tidak memasukkan faktor perlunya akreditasi di dalam kontrak asuransi kesehatan, atau dalam pemilihan penyedia yang menjadi sasaran. Tanpa adanya insentif keuntungan finansial, penyedia layanan tidak begitu tertarik dengan akreditasi sukarela dan hanya memiliki komitmen 17 Nota Kebijakan #9 ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Dewi Indriani dari WHO dan Dr. Charles Shaw dari University of South Wales dengan pendanaan USAID dan WHO. Nota Kebijakan ini merupakan bagian dari serangkaian kerjasama dengan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah membuat kemajuan dalam akreditasi fasilitas pelayanan dasar dan rumah sakit, namun belum semua rekomendasi yang dijabarkan di sini dilaksanakan, misalnya tentang akreaditasi oleh badan independen nasional. 50 minimal untuk akreditasi wajib. Rendahnya pemanfaatan, atau kepatuhan minimal terhadap program akreditasi mengurangi dampak potensial terhadap kualitas dan keselamatan dalam sistem kesehatan. Faktor-faktor tersebut juga membatasi pencapaian tingkat pendapatan yang diperlukan untuk program akreditasi swadana. Survei internasional yang dilakukan oleh 44 lembaga akreditasi nasional pada tahun 201018 mengidentifikasi penyebab utama kegagalan dalam program akreditasi, dan menunjukkan beberapa faktor penentu keberhasilannya di seluruh dunia: • • • • Akreditasi didukung oleh kebijakan pemerintah yang stabil; Akreditasi melengkapi peraturan perundang-undangan; Akreditasi terkait dengan insentif keuangan bagi penyedia layanan; Badan akreditasi memiliki rencana bisnis yang realistis. Secara global, hanya kurang dari setengah program akreditasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah, tetapi proporsi ini lebih tinggi di negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah (Gambar 1). Proporsi yang sama melaporkan pendanaan preferensial sebagai insentif kunci (Gambar 2). Gambar 1: Apakah akreditasi merupakan unsur strategi pemerintah untuk kesehatan? Tidak perlu Ya, di beberapa provinsi Tidak Ya, akreditasi kesehatan Ya, kualitas dan keselamatan Ya, reformasi kesehatan 18 Shaw CD, Braithwaite J, Moldovan M, Nicklin W, Grgic I, Fortune T, Whittaker S Profiling healthcare accreditation organisations: an international survey. International Journal for Quality in Health Care 2013; pp. 1–10 10.1093/intqhc/ mzt011 51 Gambar 2: Apa insentif bagi lembaga untuk berpartisipasi? Regulasi yg lebih sedikit Lain-lain Pariwisata medis Persyaratan legal Pendanaan preferensial Pemasaran Kebijakan pemerintah Peningkatan Di Indonesia, akreditasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan menuju standar internasional dan guna mematuhi undang-undang tahun 2009 yang mengharuskan semua rumah sakit diakreditasi setiap tiga tahun. Maksudnya adalah untuk mengalihkan perhatian dari struktur, input, dan sumber daya ke arah proses dan hasil. Akan tetapi, hubungan KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit) dengan fungsi regulasi, pendidikan dan asuransi kesehatan tidak jelas. Saat ini tidak ada strategi nasional yang eksplisit menjelaskan sinergi akreditasi dan asuransi kesehatan. Kolaborasi dan kesepakatan beberapa prinsip diperlukan, misalnya dalam hal: - Standard berbasis bukti untuk tindakan klinis dan pemberian pelayanan; Metode penilaian dan pengukuran kinerja yang divalidasi; Strategi informasi, definisi data dan mutu; serta, Perlindungan data dan pertukaran informasi, terutama data billing yang digunakan untuk indikator kinerja. Akreditasi Kesehatan di Indonesia Indonesia masih menghadapi kendala buruknya kinerja fasilitas kesehatan, terutama di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Penilaian eksternal kualitas kesehatan melalui akreditasi dimulai dengan pembentukan badan akreditasi nasional “KARS/Komite Akreditasi Rumah Sakit” pada tahun 1996. Program awal difokuskan pada rumah sakit dan indikator input, namun gagal mendapatkan dampak yang diinginkan terhadap kualitas pelayanan. Undang-undang Rumah Sakit no. 44 tahun 2009 mewajibkan akreditasi bagi semua rumah sakit setiap tiga tahun. Di banyak negara, akreditasi sifatnya sukarela, namun dengan insentif yang cukup besar. Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri no. 147 yang mendorong akreditasi wajib dengan cara menghubungkan akreditasi dan perijinan. Meskipun begitu, masih banyak rumah sakit yang diijinkan beroperasi tanpa terakreditasi. Sementara itu, belum ada sistem akreditasi nasional untuk fasilitas kesehatan lainnya seperti Puskesmas, klinik dan praktek swasta. Akan tetapi, beberapa fasilitas kesehatan ini telah mengikuti program lain seperti sertifikasi ISO 9001 dan program akreditasi provinsi. 52 Akhir-akhir ini, Indonesia berada dalam tahap peningkatan sistem akreditasi. Program akreditasi rumah sakit di Indonesia telah diluncurkan pada tahun 2011 dengan dukungan dari USAID dan WHO. Program ini memiliki empat tujuan utama, yaitu: 1. Mengakreditasi sembilan rumah sakit kelas “A” dengan badan akreditasi internasional (JCI/ Joint Commission International); 2. Mengakreditasi KARS dengan International Society for Quality in Health Care (ISQua); 3. Mengembangkan keahlian nasional dalam melakukan akreditasi rumah sakit sebagai langkah peningkatan kualitas; dan, 4. Mengembangkan rencana jangka panjang untuk pemeliharaan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan. Selama dua tahun terakhir, dua rumah sakit telah mendapat akreditasi dari JCI. KARS sedang dalam proses merestrukturisasi organisasi dan merevisi standar akreditasinya dalam rangka memenuhi persyaratan ISQua, serta finalisasi standar akreditasi Puskesmas dan pedoman pelaksanaannya. Untuk memiliki relevansi penjaminan mutu yang komprehensif, akreditasi rumah sakit harus bersifat kontekstual, setidaknya dalam perspektif sistem kesehatan kabupaten. Jika pelayanan kesehatan dasar harus menjadi “gatekeeper”, maka harus ada kerangka kerja konseptual di mana pelayanan kesehatan dasar (pemerintah dan swasta) akan mampu menawarkan perawatan yang berkualitas yang didukung oleh layanan rujukan. Standar akreditasi pelayanan kesehatan dasar harus konsisten dengan prinsip-prinsip internasional yang ditetapkan oleh ISQua19, dengan persyaratan hukum dan aturan Indonesia dan dengan standar pelayanan yang ada seperti Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dapat digunakan. Hal ini harus mencakup interface antara perawatan kesehatan preventif, dasar dan sekunder. Semua standar harus dapat diakses dan dipublikasikan dalam domain publik. Isu dan Tantangan Akreditasi Kesehatan di Indonesia Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab dalam program akreditasi kesehatan di Indonesia sebelum mengaitkannya dengan program cakupan kesehatan semesta. Apa implikasi yang akan muncul dengan diwajibkannya akreditasi setiap tiga tahun bagi rumah sakit? Apakah KARS memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas tersebut mengingat kondisi KARS saat ini? Walaupun akreditasi Puskesmas sudah berada dalam tahap akhir pengembangan standar, alat dan pedoman implementasinya, tetapi siapa lembaga yang akan mengakreditasinya dan bagaimana pelaksanaannya? Kewajiban rumah sakit untuk diakreditasi setiap tiga tahun tertulis dalam Undang-undang rumah sakit dan tidak dapat dirubah dengan Keputusan Menteri. Namun, opini hukum dapat berguna untuk memperjelas sifat kewajiban tersebut (insentif atau sanksi pada siapa), dan apakah setiap rumah sakit harus terakreditasi, atau hanya dinilai (setidaknya) setiap tiga tahun. Jika Undang-undang rumah sakit jelas-jelas mengharuskan KARS mengakreditasi (bukan hanya menilai) rumah sakit setiap tiga tahun terlepas dari kepatuhan terhadap standar, maka tidak 19 International Society for Quality in Health Care. International Principles for Healthcare Standards http://www.isqua.org/accreditations.htm 53 mengherankan jika begitu sedikit yang ditolak akreditasinya. Dengan penetapan ketentuan bahwa akreditasi dilakukan setiap tiga tahun, hal ini membatasi kemampuan KARS sebagai lembaga penilai yang independen dan kredibel. KARS hanya merupakan duplikasi yang lebih canggih dari sistem perijinan yang dioperasikan oleh masing-masing kabupaten. Selain itu, KARS adalah satusatunya badan akreditasi kesehatan nasional yang diakui oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 428 tahun 2012. Mengingat banyaknya jumlah rumah sakit di negeri ini (2.103 rumah sakit yang terdaftar di Kemenkes), keputusan ini akan memberikan beban kerja yang berat bagi KARS jika semua penyedia yang akan dikontrak oleh BPJS harus diakreditasi oleh KARS. Selain itu, karena KARS tengah mempersiapkan akreditasi ISQua, maka KARS memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Berdasarkan self-assessment yang telah dilakukan, banyak dari sistem operasional di KARS memerlukan perhatian dan peningkatan. Self-assessment yang dilakukan pada tahun 2010 menunjukkan kepatuhan hanya 20% dari standar, padahal yang standar diharuskan untuk terakreditasi adalah 75%. Agar sesuai dengan persyaratan ISQua mengenai tata kelola organisasi dan kemandirian, maka KARS harus melakukan perubahan besar dalam struktur organisasi. Selain itu, beberapa masalah teknis seperti standar akreditasi, keputusan akreditasi dan pemberian status akreditasi, perencanaan dan keuangan, manajemen sumber daya manusia dan manajemen survei juga harus ditingkatkan. Umumnya KARS mengenali masalah tersebut, namun belum mengkaji waktu dan upaya yang diperlukan untuk mengatasinya. Sebuah kelompok kerja telah dibentuk untuk menjelaskan kepada ISQua bagaimana standar JCI telah terintegrasi dan seimbang dengan kebutuhan nasional dan dengan pencapaian MDGs; penyelesaian tugas ini diperlukan untuk mengamankan jadwal tentatif November 2013 terkait penilaian KARS oleh ISQua. Untuk mendapatkan akreditasi organisasi dari ISQua biasanya diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk self-assessment dan persiapan, tetapi bahkan beberapa organisasi harus membujuk Kemenkes mereka untuk menangguhkan peraturan tersebut guna memenuhi standar tata kelola dan manajemen. Bahkan jika revisi peraturan bisa cepat selesai sesuai proses yang berlaku di Indonesia, perekrutan dan induksi badan pengelola serta restrukturisasi manajemen tidak mungkin akan selesai pada November 2013. Akreditasi Puskesmas Mengenai akreditasi Puskesmas, walaupun Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar telah memfinalisasi standar, instrumen dan pedoman pelaksanaan untuk akreditasi Puskesmas dan fasilitas kesehatan dasar lainnya, namun masih belum ada landasan hukum untuk badan akreditasi yang terpisah dan independen. Isu dan tantangan dalam program ini sangat mirip dengan yang dihadapi dalam akreditasi rumah sakit. Selain itu, jumlah Puskesmas dan fasilitas kesehatan jauh lebih besar dibanding dengan rumah sakit (Total Puskesmas ± 9000). Saat ini mungkin sudah terlambat untuk mencoba membuat konsep akreditasi untuk pelayanan kesehatan dasar, karena setiap program baru membutuhkan setidaknya dua tahun untuk benarbenar “lepas landas”. Akreditasi Puskesmas harus bertujuan untuk memastikan bahwa pelayanan dasar sektor publik dapat bekerja secara efektif setidaknya untuk pelayanan kesehatan yang penting, dan bahwa masyarakat miskin dapat mengakses pelayanan kesehatan pada waktu yang tepat. Dinas Kesehatan Kabupaten harus mengidentifikasi semua penyedia layanan kesehatan 54 dasar di tingkat kabupaten, dikategorikan sebagai berlisensi atau tidak berlisensi. Para penyedia layanan kesehatan dasar berlisensi harus menjadi penyedia preferensial untuk JKN. Dampak dari berbagai intervensi yang telah terbukti - seperti indikator kinerja, pedoman klinis dan akreditasi – diyakini lebih tergantung pada budaya organisasi dan insentif dan bukannya bergantung pada kompetensi teknis. Setiap elemen berkontribusi untuk siklus tujuan yang telah ditetapkan, monitoring dan pengukuran, serta manajemen perubahan. Setiap program harus memiliki peran yang teridentifikasi dalam strategi nasional dan berkontribusi terhadap perbaikan keseluruhan sistem kesehatan. Banyak proyek di Indonesia saat ini mau pun baru-baru ini dapat memberikan kontribusi untuk perbaikan, tapi tampaknya tidak ada strategi nasional untuk mengintegrasikan dan memaksimalkan manfaatnya di seluruh sistem kesehatan (baik pemerintah maupun swasta). Bagaimana Menghubungkan Akreditasi dengan Cakupan Kesehatan Semesta di Indonesia? Jelas, tidak akan ada program akreditasi universal yang persis cocok dengan cakupan kesehatan semesta di Indonesia pada bulan Januari tahun 2014, dan banyak faktor mungkin harus lebih akomodatif untuk mencapai hal ini, bahkan untuk mencapainya dalam waktu tiga sampai lima tahun. Keterkaitan dana asuransi dengan status akreditasi merupakan tujuan jangka panjang yang penting, dan harus ditetapkan menjadi faktor dalam desain dan pengoperasian kedua sistem tersebut. Keduanya harus konsisten dengan strategi nasional secara keseluruhan untuk meningkatkan kualitas dan keselamatan dalam kesehatan. 55 NOTA #10 KEBIJAKAN Merokok dan Cakupan Kesehatan Semesta: Apa Hubungannya? 20 Tantangan Bank Dunia telah memperkirakan bahwa Cakupan Kesehatan Semesta di Indonesia akan menelan tambahan biaya sebesar $13-16 miliar pada saat dilaksanakan.21 Kementerian Keuangan Indonesia saat ini tidak sanggup untuk sepenuhnya mensubsidi setiap individu dari golongan hampir miskin dan semua sektor informal, maka strategi yang coba diterapkan adalah dengan subsidi bertahap yang dapat menyelaraskan pendanaan pusat dengan provinsi, kabupaten dan kontribusi minimal keluarga, sebagaimana yang berhasil diterapkan di Cina selama 5 tahun terakhir.22 Premi per kapita akan kurang dari $30 per tahun sesuai dengan model pemerintah. Bagian dari upaya bertahap ini mungkin sekaligus untuk mendapatkan daya ungkit dari pendapatan baru, misalnya pendapatan dari pajak baru untuk tembakau atau penghapusan subsidi BBM. Pajak atas konsumsi barang-barang yang merugikan kesehatan seringkali dialokasikan untuk sektor kesehatan. Pajak atas konsumsi tembakau dan minuman keras, misalnya, sering dianggap menguntungkan tidak hanya dari perspektif kesehatan masyarakat tetapi juga dari perspektif ekonomi.23 Bahkan jika tidak dialokasikan untuk kesehatan pun, pajak yang lebih tinggi dapat mencegah konsumsi dan mengurangi penyakit dan kecelakaan (dalam kasus konsumsi alkohol), serta mengurangi permintaan akan pelayanan kesehatan di masa mendatang, yang tentunya dapat mengurangi tekanan terhadap lebih banyak sumber daya. 20 Policy Note #10, ditulis oleh tim BPJS, Dr. Yunita Nugrahani dan Jack Langenbrunner dengan pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Nota Kebijakan (policy notes) lain, silakan kunjungi www.aiphss.org Nota Kebijakan ini ditulis berdasarkan isu yang berkembang saat penulisan. Situasi saat ini telah berubah. Pemerintah telah menaikkan pajak tembakau, namun angkanya tetap rendah dibandingkan standar global. 21 Randy Fabi and Nilufar Rizki, “Indonesia’s Nationwide Health Care Plan Stumbles at First Hurdle,” Jakarta Globe, May 20, 2013. 22 Untuk contoh, lihat Liang, L. and Langenbrunner, J. China: The Long March to Universal Health Coverage, UNICO Case Study Series, World Bank, 2013. 23 Thailand, Australia, AS dan Korea adalah contoh negara-negara yang berhasil menerapkan pajak atas tembakau dan mengalokasikan pendapatan pajak tersebut untuk tujuan kesehatan masyarakat. 57 Gambaran Global Penggunaan tembakau, dalam bentuk apapun, merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Merokok telah membunuh hampir 6 juta orang pada tahun 2011 dimana 80 persen terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seperti Indonesia. Negaranegara penghasil tembakau besar di dunia memangsa negara-negara berpendapat menengah seperti Rusia, Brazil, India, dan Fililpina dengan sasaran generasi muda yang tidak menaruh curiga sama sekali. Dengan kecenderungan saat ini, angka kematian akibat merokok tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 8 juta korban jiwa per tahunnya pada 2030. Kematian dan masalah kesehatan berhubungan dengan merokok ini, termasuk penyakit kronis seperti kanker paru-paru dan jantung, menyebabkan kerugian ekonomi ratusan miliaran dolar di seluruh dunia setiap tahunnya.24 Sebuah analisis menunjukkan bahwa menjadi perokok di usia 20-40 berisiko 20 kali lipat menderita kanker paru-paru dibandingkan orang-orang yang tidak merokok. Hal ini didukung oleh fakta bahwa banyak kematian terjadi selama usia produktif kerja (30-69 tahun), yang akan mengurangi produktivitas secara keseluruhan dan kehilangan pencari upah keluarga.25 Apakah hal ini terdengar lazim? Apa yang dapat dilakukan? Apa pengalaman global yang bisa kita pelajari? Terbukti di beberapa negara bahwa metode paling efektif mengurangi konsumsi tembakau dan meningkatkan kesehatan adalah dengan menaikkan harga produk tembakau melalui kenaikan pajak.26 Harga tembakau yang tinggi akan efektif mendorong orang untuk berhenti merokok, mencegah anak-anak muda untuk mulai merokok, dan mengurangi jumlah tembakau yang dikonsumsi di antara pengguna tembakau. Selain itu, meskipun mengurangi permintaan, pendapatan pajak tembakau terus meningkat seiring waktu. Gambaran mengenai Indonesia Di Indonesia, lebih dari 67% pria di atas usia 15 tahun merokok. Seperempat jumlah anak laki-laki di Indonesia usia 13-15 tahun, juga merokok. Prevalensi perempuan merokok di Indonesia di bawah 10%, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Polandia atau Brazil dimana lebih dari 20% perempuan merokok. Namun demikian, prevalensi ini meningkat dari 4% pada tahun 2006 menjadi 5.1% pada tahun 2009, dan sudah dimulai pada usia yang relatif muda (5 tahun). Sekitar 1 dari 4 anak perempuan telah mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum usia 10 tahun (WHO, 2009). Walapun prevalensi perempuan merokok jauh lebih rendah dibanding pria, pemerintah tidak boleh mengabaikan masalah ini. Perokok pasif juga merupakan suatu masalah. Asap tembakau mengandung 7.000 jenis racun toksin yang terdorong masuk ke tenggorokan pria, perempuan dan anak-anak di seluruh Indonesia. Indonesia memiliki industri rokok terbesar di dunia. Setidaknya ada 3.800 perusahan rokok di Indonesia, termasuk industri rokok rumahan. Sekitar 3.000 dari perusahaan tersebut berlokasi di 24 WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2011. 25 Anh PH, Efroymson D, Jones L, FitzGerald S, Thu LT, Hein LTT. Tobacco and poverty: Evidence from Vietnam, literature review. HealthBridge Foundation of Canada; 2011. Available from: http://www.healthbridge.ca/tobacco_poverty_Appendix%207%20 Vietnam%20Final%20Research%20Report.pdf. 26 See for example, WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2011, WHO, Tobacco Free Initiative http://www.who.int/tobacco/en/, or theTobacco Atlas, op. cit. 58 Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua provinsi ini juga merupakan penghasil rokok terbesar di Indonesia. Dalam rentang waktu dua dekade, penjualan rokok di Indonesia telah meningkat 50 kali lipat dari Rp 1,4 triliun pada tahun 1981 menjadi Rp 51,9 triliun pada tahun 2001. Pendapatan dari industri rokok mencapai 95% dari pendapatan cukai negara. Gambar 1: 10 negara dengan konsumsi rokok terbesar (dalam miliar batang) Sumber: WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008. Industri Rokok dan Perilaku Perokok Namun, rokok mahal harganya untuk keluarga dan paling mempengaruhi masyarakat miskin. Rokok saat ini merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras, dan rokok merupakan 57% anggaran konsumsi rumah tangga, dan angkanya lebih tinggi lagi bagi masyarakat miskin.27 Tembakau dikenakan pajak sebesar 38% dari harga sebatang rokok, jauh lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, yaitu Thailand dan negara-negara kawasan Uni Eropa atau negara-negara yang tergabung dalam OECD seperti Chili dan Kanada (Gambar 2 ). Pada tahun 2014, angka ini ditingkatkan tetapi hanya sebesar 8.5%. Merokok juga mengakibatkan biaya mahal bagi Pemerintah. Total biaya tahunan kesehatan untuk rawat inap yang diakibatkan merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai paling sedikit Rp 39,5 triliun (atau USD 4,03 miliar). Jumlah ini sama dengan 0,74% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun yang sama dan 29,83% dari total pengeluaran pelayanan kesehatan. Sebagian dari biaya ini berhubungan dengan perawatan penyakit gangguan paru-paru kronis (Rp 35,1 triliun atau USD 3,6 miliar per tahun), diikuti kanker paru-paru (IDR 2,6 triliun) serta penyakit iskemia (Rp 1,68 triliun).28 27 Universitas Indonesia, Demographic Institute, sebagaimana dilaporkan dalan Demotix website, 4 Januari 2013. 28 Nugrahani, Y, Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Thabrany, H., The Impact of Smoking to Annual Economic Consequences in Indonesia: Cost of Treatment of Tobacco Related Diseases in Indonesia, International Health Economics Association Conference, Sydney, Australia, July 2013. 59 Gambar 2: Pajak baru untuk Produk Tembakau? Tax as % of Price 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 United Kingdom Chile Germany Canada Thailand EU-15 Indonesia Source: WHO, 2012 Indonesia akan semakin memperkuat peringatan kesehatan dengan menggunakan gambar pada produk tembakau. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak menghimbau DPR untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering kali terpapar iklan rokok dari tontonan budaya, musik, olah raga, peristiwa, termasuk yang ditayangkan di televisi pada siang hari. WHO menyatakan bahwa larangan terhadap iklan rokok atau sponsor rokok merupakan salah satu cara yang paling efektif mengurangi permintaan (demand). Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara di ASEAN yang masih memperbolehkan iklan rokok. Aturan hukum baru-baru ini telah membuat terobosan dengan membatasi secara ketat iklan tembakau atau rokok, akan tetapi penegakan hukum nampaknya masih menjadi masalah. Namun, sekali lagi, hanya dengan meningkatkan harga produk tembakau telah terbukti merupakan cara yang paling efektif memangkas prevalensi penggunaan tembakau.29 Menaikkan pajak produk tembakau bisa menjadi solusi “win-win-win” dengan meningkatnya pendapatan pemerintah dari setiap bungkus rokok yang dijual, seiring waktu dampak positifnya juga yaitu menurunnya prevalensi merokok, serta berkurangnya biaya perawatan kesehatan dikarenakan penduduk yang semakin sehat. Tahun lalu Pemerintah memperoleh pemasukan Rp 79,9 triliun dari pajak rokok, sementara di sisi lain negara melihat kerugian ekonomi dan biaya kesehatan akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok sebesar Rp. 240 triliun.30 29 Untuk contoh, lihat, World Bank, Impacts of Health Promotion and Disease Prevention Programs, Adeyi and others, 2009. 30 60 Nadya Natahadibrata, “Calls for a complete ban on cigarette ads,” Jakarta Post, Hal. 4, 31 Mei, 2103. Langkah Berikutnya? Usulan yang sederhana mungkin adalah menaikan pajak tembakau untuk menutup biaya ekonomi dan kesehatan akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. Hal ini harus segera dilakukan, namun kepentingan politik mungkin saja mendikte dilakukannya pentahapan selama beberapa tahun. Sampai saat ini, mengapa pemerintah tidak bertindak? Sebagian besar pengamat beranggapan karena adanya bentuk “korupsi” walaupun detailnya sulit untuk dilacak. Bentuk korupsinya mungkin saja perusahaan-perusahaan tembakau besar mendanai dan mempengaruhi anggota parlemen dengan bentuk perjalanan/pesiar, penggalangan dana, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Apakah penjelasan ini terlalu sederhana? Isu yang kedua mungkin menyangkut industry tanaman pertanian dan pendapatan untuk tanaman tersebut terutama di daerah-daerah miskin. Namun, di Indonesia, sebagian besar tembakau untuk industri sebenarnya diimpor. Dan di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa petani, seiring waktu, dapat dengan mudah beralih ke tanaman hasil bumi lainnya. Persoalan terakhir adalah pekerjaan, namun ini hanya merupakan kekhawatiran jangka panjang, bukan dalam waktu dekat. Tantangan menaikkan harga tembakau akan mengurangi keuntungan kepada perusahaan rokok, dan mungkin mengurangi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan tersebut, masalah yang mungkin akan disorot dalam pembahasan tentang menaikkan pajak tembakau. Program pelatihan ulang atau jenis subsidi lainnya mungkin bisa ditawarkan, dengan imbalan berupa pendapatan yang lebih tinggi ke kas negara … untuk keperluan Cakupan Kesehatan Semesta, dan yang terpenting adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di Indonesia. Negara-negara di Eropa dan Amerika Utara serta di Asia (Singapura, Thailand) telah mendapati bahwa pajak tembakau yang lebih tinggi dapat memberikan jalan yang lebih lapang menuju pendanaan yang lebih baik dan peningkatan kesehatan. 61 NOTA #11 KEBIJAKAN Pelayanan Kesehatan Dasar dan SJSN dalam Konteks Sistem Kesehatan di Kabupaten/Kota31 Latar Belakang Gerakan Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC) Alma Ata atau “Sehat untuk semua pada tahun 2000” telah menjadi konsep sentral dalam pengembangan sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia, dan sekarang pun masih relevan sebagai suatu konsep yang dapat mendukung tercapainya Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan, pelayanan kesehatan, pemerataan dan keadilan sosial.32 Bagaimana Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) diharapkan dapat meningkatkan kinerja sistem kesehatan di kabupaten/kota? SJSN adalah pendekatan yang diterapkan di Indonesia untuk mencapai Cakupan Kesehatan Semesta, satu dari empat bidang yang dianjurkan untuk reformasi sistem kesehatan yang didasarkan atas pelayanan kesehatan dasar. Reformasi cakupan kesehatan semesta akan memastikan bahwa sistem kesehatan berkontribusi terhadap kesetaraan kesehatan, keadilan sosial dan mempromosikan inklusi sosial. Dengan kata lain, orang miskin, rentan dan terpinggirkan harus diberikan perhatian khusus dalam cakupan kesehatan semesta. 31 Policy Note #11, ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Ilsa Nelwan dibawah Pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Policy Notes sebelumnya dan yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 32 Mengingat begitu terkenalnya istilah PHC, ada kebingungan diantara beberapa orang yang menggunakan istilah berbeda secara bergantian seperti Primary Health Care dan Primary Care. Primary health care adalah pendekatan pembangunan kesehatan; yang merupakan konsep yang luas dan komprehensif yang menempatkan pembangunan kesehatan dalam pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan. Primary care hanya mengacu pada tingkat pertama kontak atau dekat dengan pelayanan kesehatan pasien. Kontak pertama berbeda menurut letak geografisnya. Di daerah pedesaan, biasanya puskesmas, poskesdes, kilinik atau praktik swasta (dokter, perawat dan bidan). Di daerah perkotaan, mayoritas kelompok berpendapatan menengah dan tinggi berobat ke dokter praktik swasta, biasanya praktik umum (GP) atau spesialis, atau langsung ke rumah sakit. 63 Ada tiga hambatan utama untuk mengakses perawatan kesehatan dan pelayanan medis; yaitu: faktor fisik atau geografis, ii) faktor keuangan, dan iii) faktor sosial budaya – atau gabungan dari faktor-faktor tersebut. Ini merupakan masalah mendasar karena banyak penduduk yang mungkin memiliki akses ke fasilitas kesehatan, namun tidak memanfaatkan pelayanan dikarenakan kurangnya permintaan atau kesadaran. Promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan sangatlah penting dalam meningkatkan permintaan terhadap pelayanan, dan kesadaran bahwa kondisi tertentu dapat diatasi, dan tidak perlu membatasi kesejahteraan manusia. Istilah Cakupan Kesehatan Semesta tidak harus diartikan bahwa 100% penduduk menerima pelayanan medis, walaupun memang ditujukan untuk hal itu, terutama jika berbicara tentang pembiayaan perawatan medis dengan menggunakan skema asuransi kesehatan. Melindungi masyarakat miskin, rentan, dan terpinggirkan jauh lebih penting dari sekedar upaya mencapai 100% cakupan asuransi. Alasannya adalah, dalam sistem kesehatan yang didasarkan atas Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC), meningkatkan kesetaraan kesehatan sama pentingnya dengan meningkatkan taraf kesehatan (WHO, SEARO, 2011). Seperti apa gambaran Sistem Kesehatan di Kabupaten/Kota di Indonesia pada umumnya? Sebuah sistem kesehatan terdiri dari beberapa organisasi, orang-orang dan tindakan yang tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan, memulihkan, mencegah penyakit atau memelihara kesehatan. Ini termasuk upaya untuk mempengaruhi faktor penentu kesehatan, serta kegiatan peningkatan kesehatan yang lebih langsung. Sebuah sistem kesehatan lebih dari piramida fasilitas publik yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan. Sistem kesehatan meliputi, misalnya, seorang ibu yang merawat anaknya yang sakit di rumah; penyedia layanan swasta; program perubahan perilaku; kampanye pengendalian vektor; organisasi asuransi kesehatan; kesehatan kerja; sistem hukum dan undang-undang keselamatan. Termasuk juga dalam hal ini, kegiatan lintas sektoral, misalnya, mendorong Kementerian Pendidikan untuk mempromosikan pendidikan perempuan, faktor penentu yang umum untuk peningkatan kesehatan, serta Kementerian Perhubungan untuk mempromosikan penggunaan sabuk pengaman guna menghindari luka parah bagi pengemudi dan penumpang kendaraan bermotor. Sistem kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan unit analisis paling bawah yang mencakup sub unit dan fungsi yang komprehensif sebagaimana digambarkan di bawah ini: 64 Sumber: Health system analysis to make them stronger. Josefine van Olmen et al; ITG Press, Studies in Health Service Organization and Policy 27,2010 Di Indonesia, khususnya di Jawa-Bali, satu kabupaten biasanya berpenduduk antara di bawah 1 juta sampai dengan 2 juta, minimal terdapat satu rumah sakit umum, beberapa rumah sakit swasta (profit dan non-profit) dan banyak dokter, perawat serta bidan praktik swasta.33 Kinerja Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota Data layanan Imunisasi dapat digunakan sebagai indikator kapasitas sistem kesehatan kabupaten/ kota untuk memberikan layanan penting kepada kelompok yang paling rentan di populasi penduduk. Data ini tersedia di tingkat kabupaten/kota, dan merupakan kegiatan kesehatan dengan dampak yang kuat pada morbiditas dan mortalitas anak, serta melindungi anak prasekolah dengan memberikan jaminan bahwa pada akhir tahun pertama, imunisasi telah diberikan secara lengkap. Data dapat diperoleh dari statistik layanan, Susenas, atau Riskesdas, dan bersifat valid, serta dapat diverifikasi. Dengan demikian, cakupan imunisasi bisa menjadi acuan yang baik dari kinerja sistem kesehatan kabupaten/kota. Peta berikut menunjukkan cakupan DTP3 per kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dapat dilihat bahwa sebagian besar kabupaten dengan cakupan DTP3 yang rendah (merah) berada di kawasan 33 Sebenarnya inti masalah kependudukan di Indonesia adalah kepadatan penduduk. Pulau Jawa, Madura, dan Bali yang luasnya Cuma 7% dari total daratan Indonesia, berpenduduk 135 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta per November 2011 adalah 10,187,595 jiwa. Sebaliknya, provinsi of Papua yang luasnya meliputi 22% total daratan Indonesia, penduduknya hanya 1% dari populasi Indonesia. Total Penduduk pulau Sulawesi pada tahun 2005 adalah lebih dari 16 juta. Jadi, pulau-pulau besar di Indonesia memiliki jumlah penduduk yang rendah, sementara itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa dan Bali. Banyak kabupaten di Sulawesi, NTT, berpenduduk kurang dari 100,000. Sulbar, penduduknya kurang dari satu juta; Gorontolo sekitar satu juta. Sulawesi Tenggara, 4.5 juta di 10 kabupaten. Apa yang betul di Jawa Bali, belum tentu betul bagi Indonesia bagian timur. Sumatera, juga sangat berbeda dibanding Jawa. 65 Indonesia Timur: Nusatenggara, Maluku, Papua. Cakupan DTP3 yang rendah juga berada di Kalimantan Tengah. Source: SEAR annual EPI reporting form, 2011 (administrative data) Sebuah kajian pada tahun 2010 menunjukkan perubahan kinerja sistem kesehatan di 10 kabupaten/ kota dalam hal tiga bidang pemanfaatan: pelayanan antenatal dan persalinan, cakupan imunisasi, serta sumber dan penggunaan kontrasepsi (Heywood dan Choi, 2010). Dalam kajian ini, ditunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan untuk angka melahirkan di rumah dan peningkatan angka melahirkan di fasilitas kesehatan swasta di 5 dari 10 kabupaten. Ada sedikit perubahan dalam penggunaan fasilitas umum yang sudah rendah. Tidak ada peningkatan angka vaksinasi ibu dan anak-anaknya. Bagi mereka yang menggunakan metode kontrasepsi modern, sebagian besar pelayanan ini didapatkan dari sektor swasta di semua kabupaten/kota. Tantangan monitoring sistem kesehatan di kabupaten/kota dilaporkan dalam sebuah penelitian (Heywood and Harahap, 2009) yang menyurvei fasilitas pelayanan kesehatan – publik dan swasta – menurut jenisnya di 15 kabupaten/kota di pulau Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah fasilitas pelayanan kesehatan di masing-masing kabupaten/kota jauh lebih besar dari yang disajikan dalam banyak laporan maupun dalam sistem informasi kesehatan yang berpusat pada fasilitas kesehatan umum, multi provider. Sejumlah 86% fasilitas adalah fasilitas provider tunggal untuk layanan rawat jalan; 13% fasilitas multi provider untuk layanan rawat jalan, dan 1% fasilitas multi-provider yang menawarkan layanan rawat jalan dan rawat inap. Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan menetapkan keputusan menteri mengenai Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Indonesia. Indeks ini merupakan indeks yang komprehensif berdasarkan data kesehatan berbasis masyarakat untuk pedoman perencanaan berbasis bukti yang spesifik. Indeks dihitung menggunakan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), Susenas (Survei Ekonomi Nasional) dan Survei Podes (Potensi Desa), dan terdiri dari 24 indikator kesehatan. IPKM 2010 dihitung menggunakan data Riskesdas 2007, dengan rentang nilai 0 (terburuk) dan 1 (terbaik). 66 Dari 440 kabupaten/kota dimana Riskesdas diadakan, kabupaten yang terendah dengan IPKM 0.247059 (Pegunungan Bintang Papua), dan yang tertinggi dengan IPKM 0.708959 (Kota Magelang). Semakin rendah nilai IPKM, semakin buruk masalah kesehatan di daerah tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka kabupaten/kota dengan IPKM yang rendah harus mendapatkan prioritas dalam pembangunan kesehatan. Untuk daerah yang IPKM nya lebih rendah, maka dukungan anggaran dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih tinggi. Gambar di bawah ini menunjukkan peringkat provinsi dengan IPKM tertinggi (DI Yogyakarta) hingga provinsi dengan IPKM terendah (NTT). IPKM dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kabupaten/kota dan provinsi. Rentang IPKM kabupaten/kota terendah-tertinggi untuk masing-masing provinsi; dan gap kesenjangan (inequity gap) digambarkan dengan grafik merah diatas. Dengan menggunakan ratarata IPKM dari 440 kabupaten/kota sebagai cut off point (0.51)34 hanya empat provinsi yang berada di atas rata-rata, yaitu DIY, DKI, Sulawesi Utara dan Bali. Di sebagian besar provinsi, banyak kabupaten/kota yang IPKMnya lebih rendah dari 0.51. Dengan menerapkan rata-rata IPKM ke kabupaten/kota yang terendah IPKM di suatu provinsi, maka bisa diketahui isu kesenjangan tertinggi di tingkat provinsi terdapat di Papua Barat (0,21), Maluku dan Sumatera Utara (-0,22), NTT (-0,23), Aceh (0,24) dan Papua (-0,26). Tabel berikut menunjukkan rincian lebih lanjut IPKM Provinsi di masing-masing kabupaten, sebagai ilustrasi diambil empat kabupaten di NTT. Perbedaan antara Flores Timur vs Ngada, TTU atau Sumba Barat dapat dilihat dari perbedaan peringkat nasional. Masalah sosial ekonomi jauh lebih tinggi di TTU dan Sumba Barat dibandingkan dengan Flores Timur dan Ngada. Imunisasi dan pelayanan kelahiran oleh tenaga kesehatan terlatih 34 Peringkat tersebut tidak diukur berdasarkan populasi, juga termasuk kota-kota yang mungkin memiliki masalah yang berbeda dengan kabupaten. 67 lebih baik di kabupaten yang lebih tinggi peringkat IPKM nya, sementara akses air bersih dan sanitasi yang baik menunjukkan lebih buruk di kabupaten dengan peringkat IPKM yang lebih rendah. Isu-isu Kesehatan Masyarakat yang dipilih per Kabupaten di NTT Flores Timur Ngada Timor TU Sumba Barat 187 231 313 406 PSE (data sosial ekonomi) 14.38 17.26 30.12 42.74 Kekurangan gizi 29.82 26.64 37.55 30.34 Imunisasi lengkap 45.93 64.73 38.67 35.55 Kelahiran yang ditangani tenaga kesehatan terlatih 76.99 74.84 61.84 39.82 Akses air bersih 40.56 23.65 6.38 3.01 Sanitasi yang baik 51.04 30.04 18.86 9.87 Aktivitas fisik 67.32 63.54 58.64 61,6 Diet buah & sayuran 7.25 2.97 5.52 4.9 Kepemililkan JPK 22.26 30.09 54.28 73.5 Merokok 27,25 30.6 30.98 37.08 Indikator Peringkat nasional Sumber: Data IKPM 440 Kabupaten/Kota Dengan tingginya prevalensi kurang gizi dan rendahnya cakupan imunisasi lengkap, maka penduduk akan memiliki prevalensi tinggi penyakit menular. Dengan rendahnya akses air bersih dan sanitasi, status kesehatan penduduk akan sangat rendah. Juga rendahnya tingkat konsumsi buah dan sayuran menjadi risiko kesehatan yang perlu ditangani dalam konteks penyakit baru yang muncul seperti penyakit-penyakit tidak menular (PTM). Prevalensi tingginya angka merokok di semua kabupaten adalah perilaku berisiko tinggi lainnya yang perlu ditangani. Dari sini dapat dilihat bahwa IPKM juga merupakan sarana potensial untuk peningkatan efisiensi sistem kesehatan, dengan mengalokasikan dana terutama di tingkat kabupaten dan provinsi menuju kegiatan yang lebih hemat biaya seperti program kesehatan masyarakat. Pelayanan Kesehatan Dasar dan SJSN Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC) dapat memberikan kontribusi terhadap hasil pelaksanaan SJSN yang lebih optimal. PHC mengacu pada tiga perspektif atau aspek: • • • 68 Paket intervensi kesehatan masyarakat; Tingkat pelayanan; dan, Pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1978, disepakati bahwa paket pelayanan kesehatan dasar tersebut terdiri dari minimal delapan unsur, dimana langkah-langkah preventif dan promosi kesehatan diberikan penekanan tanpa mengabaikan langkah-langkah kuratif dan rehabilitatif. Dengan kata lain, penekanan dalam PHC adalah pada Kesehatan Masyarakat ketimbang pada perawatan medis. Pelayanan dasar merupakan aspek penting sebagai “gate keeper”dengan dukungan rujukan yang efektif. Pendekatan PHC meliputi: • • • • Pembiayaan kesehatan yang lebih adil melalui adopsi pra-pembayaran dan penggabungan risiko (risk pooling) dibandingkan dengan pembayaran langsung; Sistem kesehatan yang lebih responsif atau lebih berpusat pada orang; Tenaga kesehatan berbasis masyarakat dan relawan masyarakat dibandingkan dengan tenaga kesehatan berbasis institusi; dan, Pendekatan pengembangan dibandingkan sekedar memberikan pelayanan kesehatan. Tantangan SJSN untuk Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Januari 2014 adalah waktu dimulainya pelaksanaan SJSN. Persiapan sejauh ini lebih menekankan pada tataran “konseptual” di tingkat nasional. Sebanyak 63,18% penduduk Indonesia saat ini akan menjadi peserta awal SJSN (data 2011), termasuk memastikan bahwa 32,3% dari kelompok sasaran Jamkesmas dan 13,5% kelompok sasaran Jamkesda akan dipertahankan menjadi peserta awal SJSN. Tindakan mendesak yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi semua anggota terdaftar dari program asuransi yang ada (Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan Jamkesda), ditambah penduduk miskin dan penduduk rentan yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat. Sementara itu, peraturan dan regulasi yang ada untuk menjamin pembiayaan dan tenaga kesehatan di berbagai tingkatan harus ditinjau ulang dan direvisi. Disamping itu, perlu adanya konsistensi dengan tanggung jawab SJSN, dan - mekanisme penyaluran dana nasional. Dalam peluncuran program SJSN, apa strategi terbaik bagi kepala dinas kesehatan untuk meningkatkan kinerja Sistem Kesehatan? Fokus konsep SJSN saat ini adalah pada pelayanan kuratif. Oleh karena itu, rumah sakit kabupaten akan menjadi pemimpin. Akan tetapi, agar SJSN dapat efektif mempromosikan kesehatan masyarakat, perlu dilakukan upaya dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten, yang harus memfasilitasi perubahan yang akan meningkatkan kesiapan sistem kesehatan kabupaten untuk menyambut pelaksanaan SJSN. Pertama dan yang terpenting, bagaimana kabupaten/kota akan mencari arah selama masa transisi tanpa adanya reformasi regulasi yang diperlukan? Keputusan kebijakan dari tingkat nasional dan daerah harus disiapkan. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan melilputi: • Tim Dinas Kesehatan kabupaten/kota harus mempersiapkan diri dengan peran baru dalam implementasi SJSN termasuk memastikan kepemilikan oleh pemerintah daerah untuk pelaksanaan peraturan baru yang diperlukan; 69 • • • • • • • Mengembangkan tim termasuk lembaga-lembaga swasta dan organisasi profesi dalam mengantisipasi peluncuran SJSN. PT Askes mengkoordinasi pelaksanaan dan pendanaan, namun dinas kesehatan kabupaten harus memfasilitasi perubahan yang diperlukan, dan beradaptasi dengan institusi dan situasi setempat; Menyiapkan lembar fakta dan bahan-bahan informasi untuk lembaga pelayanan kesehatan dasar dan kerjasama penyedia layanan (provider). Menyiapkan lembaga pelayanan kesehatan dasar dan penyedia layanan kesehatan dalam menghadapi implikasi SJSN terhadap praktik yang mereka lakukan. Lembaga-lembaga dan penyedia layanan harus mampu menggambarkan rencana transisi kontekstual yang relevan dari situasi sekarang untuk menghadapi implementasi SJSN pada Januari 2014; Dalam SJSN, lembaga Pelayanan Kesehatan Dasar dan pihak penyedia layanan akan bertindak sebagai gatekeeper. Oleh karena itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu memastikan bahwa semua institusi pelayanan kesehatan dasar dan penyedia layanan kesehatan mengembangkan kapasitas standar dengan sesi konsultasi dan kesempatan diskusi yang memadai; Mempersiapkan layanan hotline, dan jaringan komunikasi diantara berbagai tingkatan, dengan policy brief mengenai konsep dan rencana peluncuran SJSN. Merencanakan penilaian kinerja sistem kesehatan kabupaten/kota yang dapat mengungkapkan kelebihan dan kekurangan Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota dengan fokus pada implementasi SJSN, termasuk penjajakan kebutuhan pelatihan mengenai konsep dan rencana SJSN; Memperkuat kapasitas kabupaten/kota dalam pengumpulan dan analisis data untuk tujuan perencanaan. Tindak lanjut berbasis bukti diperlukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan pihak provider, serta rumah sakit-rumah sakit di kabupaten/kota; Meminta persetujuan pemerintah daerah untuk perubahan dalam pengelolaan dana terutama untuk menghadapi pelaksanaan SJSN. Selain itu, kabupaten juga harus mencari dukungan, khususnya dalam: • • 70 Membina hubungan yang efektif dalam tim dinas kesehatan kabupaten/kota serta dengan semua para pemangku kepentingan kesehatan: Askes, Jamsostek, pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan dasar termasuk lembaga swasta dan penyedia layanan kesehatan, rumah sakit kabupaten/kota, organisasi profesi, media dan organisasi masyarakat madani; Dukungan pusat dan provinsi untuk kepala dinas kabupaten/kota harus tersedia, baik melalui teknologi informasi, atau kunjungan Pusat ke Provinsi, dan kunjungan Provinsi ke Kabupaten. Hal ini akan memudahkan komunikasi yang lebih intensif dan solusi untuk masalah implementasi. Referensi 1. Regional Conference on PHC Revitalization, WHO SEARO, 2009. http://www.who.int/ management/district/RevitalizingPHC2008SEARO.pdf 2. Josefine van Olmen et al ITG Press, studies in health service organization and Policy 27,2010 http://www.strengtheninghealthsystems.be/doc/SHSO&P27_HS%20ANALYSIS_FINAL.pdf 3. Regional Strategy for Universal Health Coverage, WHO SEARO 2011, unpublished paper. 4. EPI fact sheeet Indonesia 2011 http://www.searo.who.int/entity/immunization/data/indonesia_epi_factsheet_2011.pdf 5. Health system performance in Indonesia after decentralization; Heywood and Choi BMC international health and human right 2010; 10:3. 6. Health facilities at district level; Heywood and Harahap. Australia New Zealand Health Policy 2009; 6: 13. 7. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Kementrian Kesehatan RI 2010. Peta Jalan menuju jaminan Kesehatan Nasional,Kementrian koordinator kesejahteraan Rakyat, GIZ, AusAID, 2012. 71 NOTA #12 KEBIJAKAN Mendefinisikan dan Mengelola Komponen Manfaat Farmasi di bawah Program Asuransi Kesehatan Universal Indonesia35 Upaya ambisius untuk mencapai cakupan semesta di Indonesia Indonesia saat ini sedang dalam proses mempersiapkan penggabungan sistem asuransi yang ada (PT Askes – yang meliputi pegawai negeri, Jamsostek - yang meliputi tenaga kerja formal sektor swasta, skema asuransi untuk militer, Jamkesmas – yang mencakup masyarakat miskin /40% terbawah; Jamkesda - lebih dari 300 skema regional dengan cakupan yang beragam). Pemerintah berencana memperluas cakupan asuransi kesehatan melalui skema tunggal dengan tujuan untuk mencakup layanan asuransi kesehatan bagi seluruh penduduk pada 2019. Paket manfaat, cakupan obat dan sistem manajemen berbeda dari skema satu ke skema lainnya. Namun demikian, semuanya mencakup beberapa bentuk atau manfaat farmasi, artinya mekanisme pemberian resep obat untuk pasien di bawah skema tersebut dibayar sepenuhnya atau sebagian. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan obat gratis kepada pasien di fasilitas-fasilitas kesehatan, atau dengan penggantian pembayaran kepada apotek-apotek pengecer yang memberikan obat kepada pasien berdasarkan resep dokter. Dari perspektif pasien, manfaat farmasi seringkali merupakan bagian paling penting dari paket manfaat karena biaya obat-obatan yang tinggi dapat dengan cepat menjadi dimensi bencana dalam kasus penyakit kronis atau yang mengancam jiwa. Secara keseluruhan, obat-obatan juga meliputi lebih dari 30% total pengeluaran kesehatan di Indonesia menurut laporan National Health Accounts terbaru tahun 2013. Policy note ini dimaksudkan untuk membantu para perancang dan pelaksana dari program cakupan kesehatan semesta yang cukup ambisius di Indonesia dengan gambaran pengalaman dari negara lain yang berjuang, dan kurang lebih berhasil, untuk memberikan manfaat farmasi bagi beberapa atau semua warga negara mereka secara efisien dan adil tanpa membuat bangkrut sistem 35 Policy Note #12 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Andreas Seiter dari Bank Dunia (World Bank). Untuk pertanyaan dan komentar, silakan hubungi penulis: Andreas Seiter, World Bank ([email protected]). Untuk salinan Policy Note yang lain dan sebelumnya, silakan menghubungi website www.aiphss.org. 73 kesehatan. Fokus dari policy note ini adalah pada paket manfaat untuk obat-obatan rawat jalan, karena obat-obatan yang diberikan kepada pasien rawat inap biasanya dibayar melalui beberapa bentuk pembayaran berbasis kasus yang mencakup semua masukan, tidak melalui penggantian secara terpisah. Di Indonesia, INA-CBG akan digunakan untuk pembayaran penerimaan rawat inap. Perencanaan dan persiapan yang baik merupakan kunci untuk menghindari penyalahgunaan dan pengeluaran biaya yang berlebihan Rancangan dan pengelolaan manfaat farmasi sangat penting untuk keberhasilan dan keberlanjutan keuangan dari setiap sistem pembiayaan kesehatan. Tanpa adanya kontrol dan alat manajemen yang memadai, insentif bagi pemasok obat-obatan, penyedia layanan dan pasien akan mendorong naiknya konsumsi dan biaya lebih cepat daripada paket manfaat farmasi dari biaya komponen manfaat lainnya, dan lebih cepat daripada kemampuan tumbuhnya pendanaan sistem. Banyak negara atau kawasan di dunia yang memperkenalkan sistem pembayar pihak ketiga dengan manfaat farmasi di masa lalu membuat kesalahan dengan meremehkan dinamika pemanfaatan dan pengembangan biaya. Jika aturan tambahan, pembatasan atau alat manajemen diperkenalkan pada tahap berikutnya, resistensi dari semua pemangku kepentingan akan menjadi kuat dan mungkin akan sulit untuk mengatur kembali sistem ke jalur yang berkelanjutan. Proses yang lebih mudah adalah dengan memulai dengan model terbatas dan melonggarkan aturan secara bertahap segera sesudah implikasi biaya dapat lebih terkontrol. Penggerak biaya utama untuk komponen manfaat farmasi dari suatu paket manfaat adalah: • • • • • • 74 Peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan: penghapusan hambatan akses keuangan dan peningkatan jumlah serta kualitas penyedia layanan akan membawa lebih banyak pasien ke dalam sistem tersebut. Pasien yang sebelumnya tidak diobati sekarang akan dirawat dan mulai mengkonsumsi obat; Penduduk yang bertambah tua: pasien berusia tua dengan penyakit-penyakit kronis mengkonsumsi obat lebih banyak dibandingkan pasien berusia muda; Perasaan memiliki hak: baik pasien dan pemberi resep biasanya akan bersandar kepada sikap “lebih banyak lebih baik”. Penghapusan masalah keterjangkauan pada tingkat individu akan menyebabkan lebih banyak resep per kapita dan beralih ke pengobatan yang lebih mahal yang dianggap lebih baik atau lebih kuat. Praktik umum lainnya bagi penyedia layanan kesehatan adalah memberi resep obat bermerek yang lebih mahal sekalipun obat generik yang lebih murah akan lebih sesuai; Pemasaran industri dan promosi: baik pasien dan pemberi resep rentan terhadap pesanpesan pemasaran dan insentif promosi yang nyata yang ditawarkan oleh perusahaan obat, yang mana keduanya cenderung mendukung tren yang dijelaskan pada poin sebelumnya; Insentif keuangan (sisi penawaran): jika penyedia layanan kesehatan (klinik, dokter individu, petugas kesehatan, apoteker) mendapatkan uang sebanding dengan nilai obat-obatan yang mereka resepkan atau jual, mereka akan mencoba untuk memaksimalkan pendapatan mereka dengan mendorong penggunaan obat yang lebih banyak dan produk obat yang mahal (margin yang lebih tinggi); Inovasi: begitu obat baru dengan manfaat tambahan yang nyata atau diduga memiliki manfaat tambahan beredar di pasar, maka akan ada tekanan untuk memasukkan obat-obat tersebut dalam paket manfaat farmasi. Biaya per pasien bisa 100 kali atau lebih dibandingkan dengan • • • obat-obatan sebelumnya, yang dapat memunculkan masalah pendanaan yang cukup signifikan sekalipun hanya sedikit pasien yang dirawat; Peningkatan harga: produsen dan distributor dapat mencoba untuk meningkatkan harga di semua tingkatan rantai suplai begitu faktor keterjangkauan individu tidak lagi relevan: selama obat-obatan dibeli secara langsung (out-of-pocket), harga tinggi menjadi kendala untuk memperoleh pangsa pasar; Penipuan dan penyalahgunaan: setiap sistem yang memisahkan pengguna dari pembayar menciptakan peluang adanya penipuan dan praktik-praktik korupsi. Contohnya adalah suap dan sogok kepada pengambil keputusan administratif dengan kontrol atas akses ke pendanaan dan ke pemberi resep, klaim palsu obat-obatan yang sebetulnya tidak diberikan; pasien yang menggunakan hak individu untuk memperoleh obat-obatan untuk orang lain yang tidak memiliki hak tersebut; Keterlibatan yudisial: Pasien di beberapa negara dapat mengambil tindakan hukum terhadap pemerintah mereka di bawah klausul “hak atas kesehatan” dalam konstitusi mereka, jika pembayar terlihat membatasi akses terhadap obat-obatan baru yang mahal. Berdasarkan pengalaman yang sebelumnya, dalam sebuah sistem yang tidak terkelola baik, semua faktor ini akan datang dan berperan, sehingga menyebabkan sistem menjadi tidak berkelanjuta/ bertahan secara keuangan, kecuali adanya pengendalian yang efektif terhadap sistem tersebut. Memulai dengan sistem pengumpulan data dan monitoring Situasi awal yang khas di negara yang sejauh ini memiliki sistem pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran langsung oleh perorangan (out-of-pocket) ditandai dengan tidak adanya pengumpulan data sistematis tentang penggunaan obat di tingkat penyedia. Merancang sistem tersebut (komputerisasi), mengujikan dan memperkenalkannya kepada penyedia harus menjadi langkah pertama menuju penetapan manfaat farmasi, dan harus ada langkah-langkah untuk memastikan data dikumpulkan secara terus menerus. Daya komputasi yang signifikan diperlukan untuk agregasi dan analisis data secara terus-menerus serta untuk membuat laporan yang memungkinkan pembayar untuk memantau parameter penting secara “real time” dan melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki tren yang tidak diinginkan. Indonesia telah memiliki pengalaman dalam sistem manajemen semacam itu dengan PT Askes dan penyedia asuransi swasta. Mengintegrasikan sistem yang ada, menutup celah dan memperkenalkan sistem manajemen untuk mencakup semua penyedia layanan yang berpartisipasi dalam skema baru merupakan suatu tugas besar dalam keseluruhan upaya integrasi. PT Askes memimpin upaya ini. Beberapa penggerak biaya yang disebutkan di atas akan tetap tidak terkelola - cukup menyebabkan darurat dana paling lambat dua atau tiga tahun ke dalam pelaksanaan komponen manfaat farmasi kecuali jika sistem tersbut berfungsi baik. Biaya awal untuk memperbarui dan meluncurkan koleksi data dan sistem manajemen mungkin tampak tinggi, tetapi ketika dimasukkan ke dalam perspektif dan dibandingkan dengan kemungkinan biaya berlebih (overrun) pada obat-obatan dalam sistem yang dikelola dengan buruk yang dapat dengan mudah mencapai 5-10% dari total anggaran untuk obat-obatan atau lebih, biaya ini akan teramortisasi dengan sangat cepat. Penyedia layanan dapat diminta untuk membayar penempatan individu dan pelatihan (hardware dan software) sebagai bagian dari lisensi/akreditasi di bawah skema pembiayaan. Data perlu dikumpulkan baik di tingkat pemberi resep atau apotek. Pembayar memiliki kesempatan satu kali untuk menentukan persyaratan bagi penyedia yang tertarik untuk berpartisipasi dalam skema 75 pembiayaan baru dengan manfaat farmasi. Setelah penyedia terakreditasi atau dikontrak, akan lebih sulit untuk menegakkan langkah-langkah tambahan yang dapat meningkatkan pengawasan manajemen. Jika penyedia tidak memiliki akses ke pendanaan yang memadai untuk membuat investasi yang sederhana ke dalam lokasi kerja (workstation) dan paket perangkat lunak, lembaga pembayar bisa memberikan pinjaman yang diamortisasi kemudian dari reimbursement ke penyedia. Parameter yang harus dicatat dan dimasukkan ke dalam database pusat adalah: • • • • Tingkat Pasien: Identitas tunggal (unique identifier), usia, jenis kelamin, diagnosis berdasarkan sistem pengkodean yang umum digunakan, kemungkinan alergi dan kontraindikasi, untuk menentukan kelayakan obat spesialis tertentu, parameter terkait tambahan diagnostik atau kepatuhan (misalnya: pendaftaran dalam pendidikan pasien atau program manajemen penyakit) mungkin perlu ditambahkan, pengenal statusnya yang relevan bagi hak tertentu, misalnya status terkait pendapatan /sosio-ekonomi, kecacatan, status veteran dll., yang dapat mempengaruhi pemebayaran bersama atau pasien; Identitas tunggal (unique identifier) untuk penyedia layanan/pemberi resep; Merek dan nama generik, bentuk takaran, kekuatan dan jumlah unit obat yang diresepkan dan dikeluarkan, harga (harga secara alternatif dapat ditarik dari database yang terpisah); Tanggal dan waktu resep serta pengeluaran untuk mengidentifikasi pengobatan berurutan dibandingkan perawatan ganda yang tidak perlu (misalnya dalam kasus infeksi, di mana satu antibiotik dapat digunakan terlebih dahulu dan yang lainnya setelah itu, sehingga tidak efektif); Sistem seperti itu mengumpulkan data sensitif secara pribadi, sekalipun nama pasien disimpan terpisah dari identitas tunggal (unique identifier) yang digunakan untuk agregasi data individu. Kebijakan perlindungan data dan badan pengawas yang menjamin kerahasiaan data pasien akan menjadi pendekatan “praktik yang baik” untuk mengatasi risiko ini. Database yang menyimpan semua informasi harus diatur dengan cara yang membatasi akses hanya ke staf yang berwenang saja, melacak setiap permintaan data dan mengidentifikasi siapa yang membuat permintaan tersebut dan kapan, dengan cara yang tidak dapat dimanipulasi atau dihapus. Apa yang harus dilakukan dengan data? Data yang dikumpulkan dalam setiap transaksi dimasukkan ke database pusat, dimana “manajer manfaat farmasi” - biasanya sebuah unit di lembaga pembayar atau penyedia layanan sub-kontrak yang khusus menangani bidang ini - memiliki akses ke database tersebut. Data digunakan untuk membuat laporan yang menyediakan informasi kinerja sistem secara teratur. Data tersebut juga memberikan dasar bagi langkah-langkah untuk mempengaruhi perilaku penyedia dan pasien jika diperlukan. Contoh laporan tersebut dan langkah berikutnya adalah: • 36 76 Penelusuran belanja bulanan di tingkat pusat dan dirinci ke tingkat regional, sub-regional atau fasilitas/pemberi resep individu. Rincian data dapat digunakan untuk memberikan umpan balik kepada penyedia dalam kaitannya dengan target anggaran yang ditetapkan pada awal periode fiskal. Data juga mungkin bisa digunakan untuk menghubungkan insentif, sanksi, audit individu atau langkah-langkah pendidikan (misalnya: “detailing akademik”36) untuk tingkat pembelanjaan; http://en.wikipedia.org/wiki/Academic_detailing • • • • Pencarian pola yang menunjukkan potensi penipuan atau penyalahgunaan, seperi lokasi pemberi resep dan apotek yang salling berdekatan yang biasanya menunjukkan penggunaan obat-obat tertentu yang mahal. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan audit individu; Mengukur kesesuaian dengan pedoman pengobatan teknis, contohnya dengan mengidentifikasi pemanfaatan campuran untuk baris pertama, baris kedua dan baris ketiga perawatan untuk penyakit kronis tertentu di tingkat penyedia. Penyedia yang memanfaatkan secara berlebih perawatan yang lebih mahal dari yang diharapkan tanpa pembenaran yang masuk akal dapat ditargetkan untuk tindakan yang disarankan dalam poin pertama diatas; Mengukur indikator lain penggunaan obat yang rasional, seperti pemberian resep antibiotik untuk infeksi ringan, poli farmasi umum37, penggunaan obat generik vs obat asli bermerek sebagaimana yang dijelaskan pada poin pertama diatas; Menegosiasikan harga yang lebih rendah dengan pihak produsen, berdasarkan tren yang ditemukan dalam data. Daftar ini tentu saja belum lengkap, ada banyak kemungkinan lain seperti evaluasi pola daerah (sangat relevan bagi Indonesia dengan struktur pemerintahan yang bersifat desentralisasi), perbedaan berdasarkan status sosial atau struktur penyedia layanan dapat dinilai dan mungkin relevan sebagai pemicu langkah-langkah kebijakan. Poin utamanya adalah bahwa sistem pengumpulan data yang solid merupakan pra-syarat yang diperlukan untuk berfungsinya pengelolaan manfaat farmasi di bawah sistem pembiayaan kesehatan. Menunggu untuk peluncuran sistem pengumpulan data setelah sistem asuransi dilaksanakan dan ketika tanda pertama pembelanjaan yang berlebihan (overspending) dan misalokasi terlihat dapat diumpamakan dengan lepas landasnya pesawat tanpa instrumen navigasi fungsional. Hal ini merupakan hal yang berbahaya dan dapat menyebabkan kegagalan sistem atau biaya menjadi berlipat dari investasi awal yang diperlukan selama bertahun-tahun. Jika karena alasan politik pelaksanaan paket manfaat farmasi tidak bisa menunggu sampai adanya sistem yang baik, maka menetapkan anggaran tetap obat untuk fasilitas kesehatan merupakan cara potensial untuk membatasi risiko anggaran. Sistem akuntansi fasilitas atau kontrak farmasi memonitor biaya semua obat-obatan yang dikeluarkan terhadap anggaran, dan menginformasikan sisa anggaran kepada pemberi resep di fasilitas tersebut secara teratur. Setelah anggaran untuk periode tertentu (biasanya satu kuartal) telah digunakan, pasien harus membayar langsung (out of pocket) atau menunggu untuk periode anggaran berikutnya. Model penjatahan tersebut digunakan secara rutin di beberapa negara di Eropa Timur dan bekerja dengan baik dalam hal “tetap dalam anggaran” (staying within budget). Namun, ada permasalahan yang jelas menyangkut keadilan terhadap pasien yang sakit menjelang akhir periode anggaran. Pasien sakit kronis cepat belajar dengan mengumpulkan resep mereka pada awal periode, ketika dana masih tersedia. Menggunakan teknologi sebagai solusi potensial di daerah yang belum berkembang Jaringan data seluler membuka cara-cara baru yang potensial untuk memantau transaksi dan bahkan proses pembayaran kepada penyedia. Penyedia bisa menggunakan aplikasi ponsel pintar untuk mendaftarkan pasien dan transaksi proses. Aplikasi ini dapat digunakan untuk memandu 37 Penggunaan terlalu banyak obat tanpa indikasi dan pertimbangan yang memadai tentang potensi efek samping, interaksi 77 penyedia berdasarkan pedoman pengobatan standar, memverifikasi identitas pasien, misalnya melalui foto yang diambil dengan kamera telepon, dan mengirim semua data transaksi ke server pusat. Di tempat-tempat yang memiliki pembayaran berbasis telepon seluler dan layanan transfer uang, pembayaran dapat dikirim ke penyedia segera setelah transaksi dilakukan. Batas anggaran dapat dikelola secara perorangan, misalnya dengan membatasi jumlah pasien yang dapat didaftarkan satu provider dan jumlah konsultasi serta resep yang bisa didapatkan pasien. Sistem ini dapat memberikan akses data aktual (real time) pada server pusat (data rahasia pasien perlu dipisahkan dari data transaksi yang untuk keperluan manajemen), dan karena itu memungkinkan untuk penyesuaian segera parameter sistem, jika hasil tidak didapat sebagaimana yang diharapkan. Masalahnya mungkin saja kesulitan untuk mengelola program manfaat komprehensif melalui aplikasi seperti itu – belum ada pengalaman dengan cara ini dalam mencoba untuk mengganti sistem yang didasarkan pada komputer yang menggunakan software yang kompleks dan koneksi internet kabel. Mengatur parameter kunci Manfaat farmasi dapat ditetapkan melalui parameter berikut ini: • • • • 78 Daftar inklusi (positif) atau ekslusi (negatif) obat-obatan yang memenuhi syarat untuk penggantian. Sebagian besar negara menggunakan daftar positif (formularium), yang berarti hanya obat dalam daftar ini yang mendapatkan penggantian. Beberapa negara memiliki lebih dari satu daftar obat - biasanya daftar prioritas untuk obat-obatan penting yang dapat diresepkan tanpa pembatasan dan tarif pembayaran bersama (co-payment) lebih rendah, dan daftar “spesialis” yang dapat membawa pembatasan tertentu (lihat di bawah) dan /atau co-payment pasien dengan tarif yang lebih tinggi. Kadang-kadang ada juga daftar terpisah untuk rumah sakit-rumah sakit seperti di Cina; Tingkat penggantian, dinyatakan sebagai % dari harga eceran obat. Harga dapat bervariasi, misalnya 100% penggantian untuk obat-obatan penting dan yang sifatnya untuk menyelamatkan hidup, dan persentase yang lebih rendah untuk obat-obatan lainnya. Tingkat penggantian dapat lebih tinggi untuk obat-obatan yang menurut anggapan pembayar hemat biaya, misalnya jika ada perjanjian kerangka kerja dengan produsen obat generik tertentu. Perbedaan antara tingkat penggantian dan harga eceran harus dibayar oleh pasien; Kelayakan pasien: kelompok pasien yang berbeda mungkin memenuhi persyaratan untuk berbagai tingkat cakupan. Dalam lingkungan dengan sumber daya rendah, cakupan mungkin terbatas misalnya untuk wanita hamil, anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Kemungkinan lain juga adalah sistem yang menawarkan perlindungan dalam kasus penyakit parah dan kronis dan meninggalkan pengobatan penyakit akut dan penyakit ringan yang harus dibayar langsung (out of pocket); Pembayaran bersama (co-payment) pasien: dikumpulkan pada titik di mana obat itu dikeluarkan. Beberapa sistem memiliki co-payment yang bersifat keseluruhan (flat) per resep atau per item pada resep. Beberapa hanya memiliki persentase co-payment, melengkapi tingkat penggantian yang disebutkan sebelumnya (80% penggantian berarti 20% co-payment). Beberapa sistem menggabungkan co-payment flat (juga disebut sebagai dispensing fee) dengan persentase co-payment pelengkap. Banyak sistem memiliki aturan pembebasan dari co-payment, berdasarkan status pendapatan, kondisi yang sudah ada seperti cacat atau penyakit kronis, usia, status veteran perang sebagai, atau yang lainnya. Biasanya orang yang termasuk dalam klausul pengecualian memiliki beban penyakit yang lebih tinggi dan pengeluaran obat yang lebih tinggi, yang perlu dipertimbangkan ketika memperkirakan penghematan biaya dari diperkenalkannya co-payment pasien. Beberapa sistem membatasi co-payment untuk jumlah • • • • • absolut maksimal per periode pembayaran (misalnya USD 50 - kurang lebih setara IDR 660.000 per tahun) untuk mengurangi beban pada pasien dengan penyakit kronis. Sebaliknya, beberapa sistem menetapkan cara deductible, dimana sejumlah uang (deductible) harus dibayar langsung oleh pasien, sebelum menerima salah satu manfaat yang disebutkan. Pembatasan untuk obat-obat tertentu pada daftar penggantian: beberapa obat-obatan hanya dapat diganti bila diresepkan oleh dokter spesialis atau di lingkungan kelembagaan yang ditetapkan atau setelah pra-persetujuan individual oleh spesialis yang bekerja untuk pembayar. Beberapa pembayar membatasi akses hanya untuk perawatan mahal tertentu ke sejumlah pasien yang ditetapkan. Pasien baru dimasukkan dalam daftar tunggu dulu. Beberapa obat mungkin dapat diberikan hanya untuk waktu yang terbatas dan kemudian memicu evaluasi ahli dan keputusan mengenai cakupan lebih lanjut; Harga penggantian: persentase yang diganti, pembayar dapat menetapkan atau menegosiasikan harga eceran untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar penggantian. Penerimaan harga ini bisa menjadi syarat bagi produsen untuk mendapatkan obat yang termasuk dalam daftar. Banyak digunakan model yang menggunakan keranjang produk sebanding untuk menentukan harga maksimum penggantian; Batas anggaran (budget cap): batas anggaran per periode pembayaran (biasanya per kuartal) dapat diterapkan pada tingkat pusat, di tingkat regional /kabupaten, per penyedia layanan atau bahkan per pasien. Setiap pendekatan memiliki tantangan implementasi dan kesulitan tersendiri. Sebagai contoh, sistem yang yang menerapkan batas anggaran di tingkat kabupaten akan mensyaratkan penyedia dan pasien untuk menggeser kegiatan ke awal periode fiskal. Menjelang akhir, setelah anggaran habis, penggantian akan ditolak sekalipun ada indikasi medis untuk pengobatan; Peran dan pembayaran apoteker yang mengeluarkan obat: perlu didefinisikan apakah apoteker, yang mengeluarkan obat-obatan baik di pusat kesehatan masyarakat atau di apotek swasta, memiliki hak untuk mengganti satu produk untuk alternatif yang setara; Ketentuan khusus obat-obatan mahal: Beberapa sistem mengecualikan obat mahal tertentu dari status penggantian umum dan melakukan pengadaan secara terpisah dengan anggaran yang ditetapkan. Pasien ditawarkan pengobatan hanya di pusat-pusat kesehatan tertentu dan obat-obatan dapat disampaikan melalui saluran suplai terpisah. Setiap pasien harus disetujui untuk mendapatkan pengobatan, dalam model ini mirip dengan yang dijelaskan di atas dalam “Pembatasan untuk obat-obat tertentu.” Jika permintaan melebihi penawaran, biasanya akan ada daftar tunggu untuk pasien. Menetapkan daftar penggantian Proses untuk menambahkan obat baru ke daftar penggantian, menghilangkan obat usang atau merubah status penggantian (reimbursement) jika data baru tersedia merupakan wewenang pusat manajemen manfaat farmasi. Produsen memerlukan status penggantian untuk produk mereka agar memiliki penjualan di segmen pasar yang tercakup oleh pembayar. Dokter dan pasien memiliki pendapat mereka sendiri mengenai obat mana yang penting dan akan memberi tekanan pada produsen agar obat tersebut dimasukkan ke dalam daftar. Produsen membangun dan menggunakan aliansi dengan pemberi resep dan kelompok pasien untuk meningkatkan tekanan terhadap pengambil keputusan. Akibatnya, tekanan terhadap para pengambil keputusan menjadi kuat dan proses pengambilan keputusan dapat dengan mudah dipolitisasi atau bahkan dikorupsi. Untuk mengurangi tekanan politik, proses memasukkan obat ke dalam daftar penggantian (atau mengubah status penggantian atau menghapuskan obat lama) harus didasarkan pada aturan- 79 aturan yang jelas dan diorganisasikan dengan cara yang transparan dan inklusif dari berbagai sudut pandang. Banyak negara memiliki pedoman pengobatan, yang biasanya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan masyarakat medis profesional. Jika pedoman seperti itu ada, jelas bahwa daftar penggantian harus mencakup obat-obatan yang disebutkan dalam pedoman ini. Akan tetapi, untuk obat-obatan inovatif, sering kali keputusan untuk memberikan penggantian terbatas dibuat jauh-jauh hari sebelum pedoman pengobatan diperbarui. Perlu adanya penilaian terhadap obat baru berdasarkan data awal dan pengambilan keputusan mengenai penggantian (reimbursement). Negara-negara maju telah menetapkan lembaga khusus untuk penilaian teknologi baru (Health Technology Assessment = Penapisan Teknologi Kesehatan). Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah akan menghadapi dilema yang sama, bahwa tidak semua yang diinginkan akan terjangkau, tetapi mereka mungkin tidak mampu mendanai penuh lembaga yang berfungsi untuk melakukan penilaian produk dan pendekatan baru. Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan paling sedikit kapasistas untuk mendapatkan dan memahami pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga khusus dari negara-negara lain dan memprosesnya dengan pengambilan keputusan yang rasional dan transparan dengan mempertimbangkan prioritas nasional dan realitas ekonomi. Diagram berikut ini menggambarkan secara sederhana bagaimana proses ini berlangsung: Publicly available data & analysis (example NICE) Decisions made by other countries Manufacturer provided data Context-specific considerations • Health priorities • Applicability of data • Available funds • Economic impact • Subjective suffering • Delivery capacity • Other relevant factors Rejection Or Go-ahead for negotiations with supplier Indonesia saat ini tengah bergerak untuk menetapkan proses penilaian teknologinya sendiri. Menggunakan daya beli dalam negosiasi dengan pihak penyedia Sisi lain dari tekanan politik pada pembayar yang memberikan penggantian untuk obat-obatan adalah daya beli yang berasal dari peran sebagai pembayar utama atau pembayar monopoli. Indonesia akan menikmati model pembayar tunggal ini dan perlu meningkatkan daya belinya. Penggunaan daya beli ini secara bijaksana dapat menjadi kunci untuk memberikan nilai bagi pasien yang dicakup oleh skema manfaat obat sebaik mungkin. Ini berarti bahwa pembayar perlu memutuskan apakah akan menerima obat baru untuk penggantian untuk negosiasi dengan pemasok. Seringkali negosiasi berfokus hanya pada harga, dan hampir semua asuransi dan skema manfaat obat menggunakan bentuk penemuan harga dan proses penetapan harga. Akan tetapi, untuk produsen obat-obatan inovatif, ruang untuk membuat konsesi sangat terbatas: Sistem penetapan harga ini cenderung saling mereferensikan satu sama lain, sehingga produsen enggan untuk menawarkan harga lebih rendah di satu negara daripada yang lain, dan bersifat independen atau terlepas dari pendapatan per kapita. 80 Sebuah strategi negosiasi yang cerdas adalah dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini dan bertujuan membatasi jumlah pasien yang dicakup dengan harga penuh, sementara produsen harus menyediakan akses terhadap obat tersebut secara gratis atau dengan biaya yang dikurangi secara tajam jika permintaan melebihi jumlah pasien yang disepakati. Variasi dari model ini bisa juga dengan cara produsen memberikan lisensi sukarela untuk versi generik, yang kemudian digunakan secara eksklusif di segmen pasar yang menargetkan populasi yang rentan secara ekonomi. Rincian seperti kesepakatan “berbagi risiko” dan program akses mungkin berbeda dari satu obat ke obat lainnya, dan dari satu negara ke negara lainnya. Yang penting adalah bahwa proses pengambilan keputusan memaksa kedua belah pihak (pembayar dan produsen) untuk duduk bersama dan bernegosiasi untuk menghasilkan solusi terbaik. Peran distributor dan apoteker Banyak sistem memungkinkan apoteker untuk mengganti obat dengan yang lebih rendah (downwards), artinya mengganti obat asli atau generik yang lebih mahal dengan yang obat yang setara dengan harga yang lebih rendah. Dalam beberapa sistem, apoteker harus menawarkan versi yang paling hemat biaya kepada pasien. Unsur penting untuk keberhasilan sistem tersebut adalah cara pembayaran kepada apoteker. Jika pembayaran adalah persentase dari harga eceran, apoteker tidak memiliki insentif untuk merekomendasikan alternatif yang lebih hemat biaya. Sebaliknya, jika apoteker dibayar melalui biaya pengeluaran yang flat, kepentingan diri tidak akan berbenturan dengan pengeluaran biaya yang disadari (cost-conscious dispensing). Ada faktor lain yang sering diabaikan dampaknya terhadap praktik pengeluaran: untuk obat yang memiliki banyak kesetaraan generik yang bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar, kekuatan apoteker untuk mengganti menjadi faktor penting dalam memastikan penjualan. Alih-alih membujuk dokter untuk meresepkan merek tertentu, perwakilan perusahaan obat menawarkan obat bebas untuk grosir/distributor dan apoteker ritel untuk menekan persaingan. Karena pembayar biasanya tidak memiliki kontrol atas catatan transaksi grosir dan apoteker, ini bisa mendapatkan penggantian penuh untuk obat-obatan yang mereka jual, apakah mereka membayar untuk mereka atau menjadikannya mereka secara gratis sebagai “bonus”. Di banyak negara, sistem bonus telah mendistorsi insentif dalam rantai distribusi. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah bernegosiasi langsung dengan produsen untuk mendapatkan harga yang rendah dan kemudian membatasi hak substitusi bagi apoteker untuk sejumlah kecil alternatif “yang lebih disukai” yang dipilih untuk setiap obat. Status “lebih disukai” harus dinegosiasikan ulang atau didefinisikan dalam proses tender secara berkala (misalnya setiap tahun atau setiap dua tahun) untuk memastikan jumlah produsen yang memadai tetap berada di pasar. Jika tidak, hasil jangka panjang akan menjadi oligopoli atau monopoli dan harga akan naik kembali. Mengelola “politik” keputusan penggantian farmasi Seperti dikemukakan di atas, bagi banyak stakeholder, setidaknya bagian dari eksistensi ekonomi dan kesejahteraan mereka tergantung pada sektor farmasi. Di sisi penawaran, produsen, distributor dan apoteker sering kali memiliki lobi kuat dan hubungan tingkat tinggi. Pasien sering menilai kualitas dari keseluruhan paket manfaat berdasarkan pada bagian farmasi, yang merupakan bagian yang paling nyata dan yang mereka rasakan paling langsung jika tidak memberikan seperti yang 81 diharapkan. “Melakukan kesalahan” bisa berarti akhir dari karir politik seorang menteri atau bahkan menyebabkan kekalahan dalam pemilihan umum. Cara terbaik untuk mengurangi gangguan/konflik secara keseluruhan dan mengelola ekspektasi adalah dengan membangun sebuah platform dialog multipihak, yang memaksa semua pihak untuk saling mendengarkan satu sama lain dan membuatnya lebih sulit untuk menjelek-jelekkan lawan atau memutarbalikkan fakta. Para politisi dan staf teknis mungkin menganggapnya buang-buang waktu dan pengalaman yang tidak menyenangkan, namun duduk satu meja dengan semua pemangku kepentingan utama dapat membantu mengatasi ketegangan sebelum mereka diperdebatkan di media; dialog ini memungkinkan untuk mengambangkan ide dan mengidentifikasi kesamaan dan memungkinkan reformis dalam pemerintahan untuk memilih perdebatan yang akan mereka lakukan. Salah satu model yang baik untuk platform dialog multipihak di sektor farmasi adalah Medicines Transparency Alliance (MeTA) atau aliansi transparansi Obat-obatan, yang disponsori oleh DFID di tujuh negara (di Asia Tenggara, Filipina adalah satu-satunya negara anggota MeTA). Menyiapkan platform seperti itu tidaklah mahal. Di Indonesia, sudah ada platform pengetahuan berbasis perguruan tinggi untuk mendukung reformasi kesehatan. Menambahkan platform dialog seperti MeTA mungkin bisa sinergis karena data dan opini yang dikumpulkan dapat dibagi melalui situs web yang ada. Salah satu unsur keberhasilan penting untuk MeTA adalah partisipasi aktif dari masyarakat madani, mewakili warga biasa yang seharusnya memperoleh manfaat, tetapi memiliki sedikit pemahaman tentang kompleksitas sektor farmasi. MeTA menyediakan pendanaan sederhana untuk organisasi masyarakat madani sehingga mereka secara teratur bisa berpartisipasi dalam pertemuan, melatih anggota mereka dan membantu dalam mengorganisasikan survei, memonitor ujicoba, dll. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat umum, perlu berhati-hati untuk tidak memberikan harapan yang tidak realistis yang nantinya menyebabkan reaksi dalam opini publik jika mereka kecewa. Cara yang lebih efektif adalah dengan mempraktikkan “berbagi dilema” yang berarti mendidik masyarakat tentang perlunya tawar menawar (trade-off) dan mengatur forum dialog atau platform online di mana warga negara dapat mengekspresikan pandangan mereka, mengomentari solusi potensial atau menyarankan alternatif. Proses tersebut menciptakan kepemilikan bersama dan mengurangi kemungkinan bahwa mereka yang berkuasa harus mengambil semua kesalahan jika terjadi kesalahan. Reformasi tidak pernah berakhir Sebagai pemikiran terakhir - reformasi di sektor kesehatan adalah proses yang berkelanjutan. Solusi yang baik saat ini mungkin merupakan masalah dalam dua tahun berikutnya. Oleh karena itu, sistem harus dirancang agar tidak terlalu “sulit “: hukum harus menentukan kerangka kerja umum dan meninggalkan hal-hal teknis bagi peraturan yang dapat lebih mudah diubah. Kontrak harus otomatis berakhir dan memicu negosiasi ulang. Sistem monitoring perlu menyesuaikan fokus saat penyedia belajar untuk “bermain sistem”, dan semua pemangku kepentingan harus dididik bahwa tidak ada yang final dan tak ada yang dapat diubah jika mereka tidak bekerja. Seringkali, menerapkan aturan “80/20” dalam pengambilan keputusan lebih baik daripada kehilangan banyak waktu mencoba untuk menemukan solusi optimal – yang hanya mendapati bahwa sekali dilaksanakan, tidak lagi optimal. 82 NOTA #13 KEBIJAKAN Mengembangkan Faktor Pendukung atau “Pra-Kondisi” untuk Reformasi Pembayaran Provider di bawah BPJS: Apakah Indonesia Siap? 38 Model-model Pembayaran untuk Indonesia Sistem pembayaran provider (Provider payment system) dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempromosikan pengembangan sistem kesehatan dan mencapai tujuan kebijakan kesehatan. Secara sempit, sistem pembayaran provider dapat didefinisikan sebagai mekanisme yang digunakan untuk mentransfer dana dari pembeli pelayanan kesehatan kepada penyedia pelayanan. Secara lebih luas sistem pembayaran provider dapat didefinisikan sebagai metode pembayaran yang dikombinasikan dengan semua sistem pendukung, seperti kontrak, mekanisme akuntabilitas penyedia yang menyertai metode pembayaran, sistem informasi manajemen, dan mekanisme penjaminan mutu. Oleh karena itu, dalam konteks sistem kesehatan, sistem pembayaran provider ini pencapaiannya jauh lebih dari sekedar transfer dana untuk menutup biaya pelayanan. Insentif yang dimunculkan oleh metode pembayaran provider, dan tanggapan dari penyedia terhadap insentif tersebut, sistem informasi manajemen untuk mendukung metode pembayaran provider, perubahan kualitas, serta meknisme akuntabilitas yang ditetapkan antara penyedia dan pembeli memiliki efek yang mendalam terhadap cara pengalokasian sumber daya kesehatan dan pemberian pelayanan. Banyak negara telah bereksperimen dengan berbagai cara pembayaran terhadap penyedia pelayanan kesehatan. Indonesia telah memilih modal pembayaran yang baik di bawah BPJS: kapitasi perawatan dasar dan case-based groups (CBGs) untuk rumah sakit. 38 Policy Note #13 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner dan Cheryl Cashin dibawah pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Policy Note yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 84 Dampak yang diharapkan? Efek dari sistem pembayaran provider terhadap sistem kesehatan sangat bervariasi tergantung pada faktor-faktor kontekstual, termasuk tingkat ketersediaan sumber daya untuk pelayanan kesehatan, tingkat persaingan dan pilihan, serta peluang dan kendala yang dihadapi oleh penyedia pelayanan untuk merespons insentif pembayaran provider. Cara bagaimana sistem pembayaran provider dirancang, diperluas, dan dijalankan, serta sejauh mana faktor-faktor kontekstual dapat ditangani, akan sangat mempengaruhi seberapa berhasil metode pembayaran provider berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kebijakan kesehatan. Dengan kata lain, desain pembayaran yang baik dalam Undang-undang BPJS dan peraturan saja tidak cukup. Tiga aspek kontekstual yang diuraikan dibawah ini dan pengalaman global dapat memberikan beberapa pelajaran dan tanda-tanda peringatan bagi Indonesia. Para pengamat cenderung mengidentifikasi ini sebagai faktor pendukung atau “pra-kondisi” untuk keberhasilan kebijakan. Sistem Informasi dan Kendala Saat ini Berbagai metode pembayaran provider memerlukan jenis informasi yang berbeda untuk desain dan implementasinya, sebagaimana diuraikan pada tabel 1 di bawah. Indonesia telah memilih dua model pembayaran yang memerlukan tingkat informasi yang canggih. Tabel 1 Kebutuhan informasi yang berbeda untuk berbagai metode pembayaran Payment Method Information Needs • Salary • Staff characteristics • Fixed budgets • Budgets and case mix • Fee for each service • Classification of services • Per diem payment in • Budgets and number of hospitals days • Capitation • Population characteristics • Episode based, eg DRGs • Diagnoses, treatments, • Pay for Performance • Services/performance costs, demographics characteristics Apakah Indonesia siap? Sejumlah aksi sedang dimulai. Database pintar akan dibangun atas dasar Nomor Induk Kependudukan nasional/NIK (National Unique Identifier). Hal ini untuk memastikan bahwa orang yang sama tidak akan dihitung dua kali ketika berpindah ke kategori atau lokasi lain. Agar dapat menyesuaikan klaim terhadap kontribusi dan pada akhirnya membuat analisis longitudinal biaya, maka diperlukan NIK “pintar” yang 85 menggabungkan beberapa infomasi dasar. Hal ini juga akan sangat memudahkan penentuan kelayakan dan administrasi ketentuan mengenai penundaan, interupsi dan pemulihan (reinstatement). Penilaian risiko yang tepat dalam hal keadilan dan efisiensi serta pengeluaran fiskal menuntut kemampuan BPJS menghasilkan agregat kustom (custom aggregate) untuk risiko khusus. NIK perlu dikoordinasikan dengan setiap sistem yang akan digunakan untuk tujuan penagihan, pengumpulan premi, atau pengumpulan statistik medis/administrasi oleh BPJS. Akan tetapi, NIK sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Dalam Negeri diperkirakan siap pada 1 Januari 2014, tapi mungkinkah itu terjadi? Jika pemberlakuan NIK nasional belum siap pada Januari 2014, maka alternatif lain perlu dikembangkan, atau strategi jangka panjang perlu disusun. Pada tahap kedua, masing-masing penyedia layanan kesehatan– rumah sakit dan Puskesmas – perlu memiliki pengenal unik pula. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) telah menyediakan pendaftaran rumah sakit baru berbasiskan web. Hingga Mei 2013, sekitar 2.103 telah terdaftar. Semua rumah sakit telah menerima ID khusus selama proses pengajuan di dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi. Pada tahap ketiga, kamus data. Bagaimana pihak penyedia dan pembayar mendefinisikan istilah mereka, dan menyepakati bahasa mereka? Jika mereka tidak melakukannya, hal itu ibaratnya seseorang berbicara dalam bahasa Inggris dan yang lainnya dalam Bahasa Indonesia. Ada banyak fungsi yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak, dan interaksi di antara keduanya menunjukkan bahwa kamus data merupakan platform dasar untuk komunikasi, dan cara penting untuk menghindari risiko fiskal dan masalah kualitas baik untuk pihak pembeli maupun penyedia. Proses kontrak kamus data di bawah Kementerian Kesehatan baru-baru ini telah dibatalkan dan perlu dimulai kembali. Jadwalnya belum pasti, tapi secara realistis sulit jika hal itu akan selesai pada tahun 2013. Jika tidak, sekali lagi, diperlukan back-up. Bahkan jika kamus data selesai, perlu ada konsultasi publik, diseminasi, dan pelatihan baik untuk pihak pembeli maupun penyedia. Proses terakhir ini bisa memakan waktu paling sedikit satu tahun. Pada tahap keempat, pelayanan harus dibayar berdasarkan klaim. Klaim akan bekerja berdasarkan sistem pengkodean yang disepakati yang berasal dari kamus data. Ringkasan informasi kepulangan pasien (discharge abstract) yang standar akan diperlukan untuk pemberian kode setiap klaim. Indonesia, melalui PT Askes dan Jamkesmas, juga telah mengembangkan lembar pengkodean standar. Namun, hingga saat ini, hanya 800 kode dari 14.000 kode ICD yang benar-benar digunakan.. Di beberapa rumah sakit pengkodean hanya terbatas di bawah 200 kode. Hal ini bisa menjadi masalah dalam melakukan penelusuran penyakit-penyakit tidak menular dan mengembangkan tingkat kewajaran pembayaran serta dalam menyusun sistem penelusuran untuk menyusun profil kualitas dan penjaminan mutu. 86 Di Indonesia masih kurang tenaga pengkode klaim yang terlatih untuk melakukan pengkodean dengan cara yang konsisten dan standar di Indonesia. BPJS perlu mengembangkan standar dan pedoman bagi semua penyedia, serta mengembangkan fungsi audit untuk memeriksa bahwa standard dan pedoman pengkodean diikuti. Seiring dengan pengkodean klaim, BPJS akan memerlukan informasi biaya standar dan rutin dari pihak penyedia layanan. Suatu tanda keberhasilan sistem pembayaran di Eropa adalah adanya format (template) standar biaya dan pelaporan rutin informasi biaya sebagai bagian dari kontrak pembayaran. Di Indonesia, memang ada formatnya, namun pelaporan masih belum merupakan bagian dari kontrak. Ini HARUS berubah mulai tahun 2014 dalam kontrak yang tengah ditandatangani pada tahun 2013. Dan bagaimana dengan Puskesmas? Sebagian besar Puskesmas TIDAK memiliki sistem data untuk tingkat orang pada saat ini. Hal ini dapat menghambat upaya-upaya: • • • mengembangkan pembayaran kapitasi yang tepat berdasarkan jumlah pendaftar; mengembangkan ajuster kapitasi yang tepat untuk case-mix di masing-masing Puskesmas; dan, menelusuri rujukan, yang tidak memperbolehkan penyedia pelayanan dasar untuk menjadi gatekeeper yang sesungguhnya. Dengan munculnya penyedia layanan swasta, maka perlu waktu untuk memastikan bahwa mereka memiliki sistem informasi manajemen (SIM) yang memadai. Sistem informasi di tingkat pasien akan menjadi alat yang sangat kuat untuk mendukung efisiensi dan kualitas pembayaran. Data ini juga diperlukan untuk monitoring dan evaluasi nasional. Namun data ini hanya akan mengalir bilamana kamus data dan standar nasional telah dikembangkan, disebarluaskan dan diikuti. Dan, sekalipun, jika semua hal tersebut tersedia, perlu diadakan pelatihan pengelola informasi rumah sakit yang professional bagi pihak pembayar dan penyedia serta bagi auditor profesional untuk memastikan pengkodean dilakukan dengan benar dan tidak dimanipulasi demi tingkat penggantian (reimbursement) yang lebih menguntungkan. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyelaraskan bantuan hibah untuk provinsi guna memulai pelatihan pengkodean profesional, namun hal ini hanya dapat dilakukan bilamana kamus data dan sistem pengkodean sudah diumumkan dan tersedia, mungkin setelah tanggal 1 Januari 2014. Penjaminan Mutu Tidak ada satu insentif tunggal yang akan dapat mengatasi berbagai tujuan dari pembeli, penyedia, dan pasien. Akibatnya, pembeli dan pembuat kebijakan harus memahami dan mengatasi tujuan kebijakan secara eksplisit, sambil mengingat bahwa sistem pembayaran provider dapat memberikan konsekuensi baik yang direncanakan (intended) maupun tidak (unintended), seperti insentif untuk meningkatkan jumlah layanan yang diberikan diluar yang diperlukan atau mengurangi input yang digunakan untuk memberikan pelayanan. Konsekuensi yang tidak direncanakan lainnya termasuk “gaming” atau manipulasi aturan oleh pihak penyedia layanan, perubahan biaya, atau meningkatnya pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis (paperwork) bagi pihak penyedia. 87 Beberapa jenis konsekuensi yang tidak direncanakan dapat diperkirakan di bawah reformasi BPJS dengan model pembayaran barunya. Pada tingkat perawatan primer, rujukan awal ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dan lebih mahal. Indikator sensitif perawatan kesehatan dasar seperti asma, hipertensi, dan diabetes perlu dikembangkan dan ditelusuri oleh BPJS dan timnya. Rujukan dari fasilitas kesehatan dasar telah meningkat di sejumlah negara seperti Kroasia dimana terdapat desain pembayaran serupa. Di tingkat rumah sakit, ada 3 hal menyangkut kualitas yang berdampak pada risiko fiskal: 1. Rawat inap (admission) yang tidak perlu. Di Cina, ditemukan 51% dari seluruh rawat inap sebetulnya tidak diperlukan. Di Rusia, pada tahun 1990, ditemukan 40% rawat inap yang tidak perlu. Di Jakarta, dengan Kartu Jakarta Sehatnya Jokowi, para dokter memperkirakan 40% dari semua rawat inap saat ini, mungkin tidak diperlukan. Insentif dibawah CBGs akan mendorong penyedia layanan untuk memasukan pasien yang “mudah” dan mengungtungkan sebagai pasien rawat inap daripada memperlakukan mereka sebagai pasien rawat jalan; 2. Skimming/tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan di rumah sakit. Pengelola dan pihak rumah sakit saat ini akan mendapat insentif dengan tidak memberikan pelayanan yang diperlakukan sebagaimana mestinya atau memperbolehkan pulang pasien lebih cepat, sebagai cara untuk meningkatkan keuntungan. Tim review pemanfaatan pelayanan kesehatan independen yang dikontrak oleh BPJS, diperlukan untuk memastikan standar dan pedoman yang ditetapkan diikuti; 3. Rawat inap ulang. Pasien yang telah pulang mungkin mendapati bahwa mereka membutuhkan pelayanan lebih, dan kemudian akan dirawat ulang untuk pembayaran CBG kedua. Ini memberikan dua kali lipat pendapatan bagi rumah sakit dengan mengorbankan pengusaha, karyawan, dan Kementerian Keuangan. Peningkatan dramatis dalam volume rawat inap dan rawat inap ulang di bawah CBG di negara lain - seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Hungaria dan Ghana - telah menyebabkan kebijakan baru, seperti adanya penalti untuk rawat ulang, penurunan pembayaran di Amerika Serikat untuk rawat inap 90 hari, dan batas anggaran maksimal untuk rumah sakit. Kementerian Keuangan Indonesia menghadapi risiko fiskal yang nyata di sini, dan harus memantau volume rawat inap setiap minggunya mulai tanggal 1 Januari 2014, sama seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan di AS. Hal ini memerlukan sistem manajemen informasi (SIM) yang lumayan canggih dan aktual. Yang terakhir, penyedia layanan swasta akan pintar dan akan menjadi yang pertama kali memanfaatkan kurangnya keakuratan dalam software CBG “Grouper”. Mereka mungkin diperkirakan akan menolak rawat inap untuk pasien dengan nilai penggantian yang rendah, dan akan dengan senang hati menerima pasien yang dianggap lebih menguntungkan. Hal ini akan mendorong pasien yang lebih sakit namun dengan nilai penggantian rendah beralih ke fasilitas pelayanan kesehatan publik/pemerintah, sehingga memungkinkan terjadinya antrian, penolakan perawatan, skandal surat kabar, dan lagi-lagi menimbulkan dampak fiskal yang merugikan bagi Kementerian Keuangan. Kapasitas Manajemen dan Otonomi Penyedia Negara-negara yang memiliki pengalaman sistem pembayaran baru telah mengakui bahwa semua keuntungan efisiensi yang dicapai tidak terjadi secara otomatis. Sistem pembayaran baru tersebut memerlukan delegasi tanggung jawab manajemen secara formal kepada klinik-klinik perawatan kesehatan dasar dan rumah sakit. Pada gilirannya, hal ini tergantung pada rumah sakit yang 88 memiliki kapasitas pengelolaan yang memadai untuk merealisasikan potensi sistem pembayararan baru. Desentralisasi kapasitas manajemen dan tanggung jawab merupakan prasyarat penting untuk mendapatkan efisiensi mikro (micro-efficiency). Selanjutnya, langkah-langkah eksplisit dan alat-alat biasanya berperan penting dan harus dibangun ke dalam kerangka pembayaran untuk memberikan insentif untuk perilaku hemat biaya (cost-effective behavior). Jika pihak penyedia layanan melihat insentif baru lebih efisien namun tidak memiliki otonomi dan keterampilan manajemen untuk merespons insentif tersebut, maka sistem pembayaran baru tersebut akan dapat merugikan. Contohnya, jika pembayaran dilakukan berdasarkan ouput, namum pihak penyedia tidak memiliki otonomi untuk mengatur ulang input seperti staf, atau mengurangi penggunaan ruang yang tidak efisien, maka akan lebih sedikit dana yang tersedia untuk perawatan pasien. Pelaksanaan CBGs dan Kapitasi berarti bahwa sistem pembayaran baru dan yang lebih canggih ini akan menggabungkan unit-unit pembayaran dan pelayanan, dan pembayaran akan dilakukan secara prospektif. Sebagian, atau semua risiko keuangan sekarang akan ditransfer dari pembeli kembali ke penyedia layanan dan pasien (Gambar 1). Sebagian besar pengamat berhati-hati terhadap pembagian risiko secara penuh, namun hanya mendorong “supply side cost sharing” (berbagi biaya dari segi pasokan), dengan pembeli dan penyedia berbagi dalam pengaturan risiko untuk mengatasi masalah moral hazard. Gambar 1: Berpindah ke CBG dan Kapitasi harus mengalihkan risiko ke pihak penyedia Karena risiko keuangan dilimpahkan ke pihak penyedia, maka penyedia akan mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas. Hal itu berarti adanya peralatan baru, perubahan dalam komposisi personel (personnel mix), atau mungkin penutupan tempat tidur atau fasilitas layanan lain yang tidak digunakan. Apakah penyedia sektor publik di Indonesia akan dapat melakukan hal ini? Tidak. Penyedia layanan publik memiliki otonomi yang sangat terbatas untuk mengganti staf, peralatan dan tempat tidur dalam jangka pendek. 89 Di Amerika Latin, penyedia layanan publik menghadapi hal ini dengan munculnya reformasi pembayaran. Penyedia terkadang memperoleh pendapatan berlebih dalam sistem pembayaran baru, yang berarti bahwa Kementerian Keuangan kehilangan dana yang dibutuhkan dari Kas Negara. Dalam kasus lain, penyedia layanan publik kehilangan pendapatan tapi tidak bisa menanggapinya dengan restrukturisasi dan optimalisasi dalam hal perubahan staf dan input. Akibatnya, mereka pergi ke Kementerian Keuangan untuk mengajukan dana talangan utang di bawah sistem pembayaran baru. Dalam kedua kasus tersebut, maka Kementerian Keuangan kehilangan dana yang dibutuhkan, dan uang terbuang serta kurang dialokasikan untuk perawatan pasien. Akibatnya, di banyak negara Kementerian Keuangan dengan cepat mengakhiri reformasi pembayaran. Apakah hal yang sama akan terjadi di Indonesia pada tahun 2014 nanti? Ya, karena dua alasan. Pertama, software CBG “Grouper” yang sekarang digunakan Jamkesmas dikembangkan untuk negara Amerika Serikat dan menggabungkan pola praktek dan struktur biaya yang berbeda. Analisis dampak yang dipilih saat ini menunjukkan ayunan yang tidak teratur (wild swing) dalam pembayaran relatif terhadap struktur tarif berbasis biaya yang dikembangkan oleh rumah sakit. Beberapa tarif CBG dibayar rendah hanya 70 persen. Beberapa tarif dibayar tinggi hingga 300 persen. Kementerian Keuangan dihadapkan pada risiko fiskal. Alasan kedua adalah bahwa penyedia layanan publik tidak dapat merespons struktur insentif baru kecuali jika mereka mampu melakukan reformasi peraturan pegawai negeri sipil dan peraturan pengelolaan saat ini. Itu artinya, seharusnya tidak ada jaminan kontrak 1 tahun untuk PNS, dan manajer harus memiliki fleksibilitas untuk membeli peralatan, menyediakan tempat tidur (open beds) atau tidak menyediakan tempat tidur (close beds) jika diperlukan. Akhirnya, pada awal proses ini, semua rumah sakit dan Puskesmas pemerintah membutuhkan sistem pengelolaan keuangan dan manajer keuangan untuk melacak aliran dana internal. Berapa banyak fasilitas di Indonesia saat ini yang siap dengan sistem dan ahli dalam bidang ini? Eropa Barat, Hong Kong, dan tempat-tempat lain melakukan otonomisasi dan korporatisasi rumah sakit pada 1990-an. Di beberapa bagian di Cina, Filipina, Thailand, Turki, Eropa Timur, otonomi rumah sakit tengah dimulai. Indonesia mungkin perlu mempercepat pemikiran saat ini di bidang ini juga. Melangkah ke depan Secara keseluruhan, Indonesia memiliki desain pembayaran yang baik dalam peraturan, tetapi belum merupakan model pembayaran yang baik. Akan tetapi, model pembayaran yang baik saja tidak cukup untuk sukses. Setidaknya ada tiga (3) bidang kebijakan pendukung yang diperlukan: fleksibilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban, sistem informasi yang baik, serta sistem penjaminan mutu yang baik. BPJS dan Kementerian Keuangan adalah yang paling terpengaruh, dan perlu bekerja sama untuk memastikan tujuan dari reformasi pembayaran benar-benar dan sepenuhnya terjadi BPJS harus melakukan inventarisasi kesiapan pada tiga dimensi ini, dan kemudian secara perlahan mengembangkan strategi pengenalan sistem pembayaran baru. Lampiran dokumen – Kajian Cepat Kapasitas Pembeli – dikembangkan oleh Dr. Cheryl Cashin dari Joint Learning Network untuk membantu berbagai negara melakukan hal seperti inventarisasi kesiapan. Indonesia merupakan negara anggota Joint Learning Network. 90 Di Amerika Serikat, sistem pembayaran baru dilakukan secara bertahap selama 5 tahun, sebagian untuk memberikan waktu kepada penyedia layanan untuk memberikan respons, dan di Jerman dilakukan selama 10 tahun untuk alasan yang sama. Seperti halnya Indonesia, Jerman juga memiliki sistem penyedia layanan campuran, publik dan swasta. Mengapa Indonesia ingin bergerak begitu cepat sehingga dapat mengancam reformasi dan tujuan keseluruhan cakupan kesehatan universal? Bergerak terlalu cepat hanya akan berdampak negatif pada kualitas untuk penduduk, dan menciptakan potensi bencana dampak fiskal negatif bagi Kementerian Keuangan. 91 NOTA #14 KEBIJAKAN Gizi dan Paket Manfaat Dasar untuk Cakupan Kesehatan Semesta39 Latar belakang Baru-baru ini, pemerintah Indonesia bergabung dengan Gerakan Peningkatan Gizi Global untuk mendukung upaya menurunkan angka kekurangan gizi. Di Indonesia dikenal adanya “Gerakan Seribu Hari Pertama Kehidupan” atau Gerakan 1000 HPK, yang bertujuan untuk mempertemukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan guna menurunkan prevalensi anak balita kerdil (stunting) dan bentuk-bentuk lain kekurangan gizi sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG). Banyak intervensi gizi yang secara khusus menargetkan anak-anak dan perempuan disampaikan melalui sektor kesehatan, tetapi pada saat ini, pencapaian cakupan kegiatan ini tidak tinggi secara keseluruhan. Pada Januari 2014, pemerintah Indonesia akan memulai rencana ambisius untuk meningkatkan cakupan kesehatan semesta yang ditargetkan mencakup semua warga negara pada 2019. Jika intervensi gizi dimasukkan dalam paket manfaat kesehatan dasar program cakupan kesehatan semesta, maka akan program ini memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan cakupan pelayanan gizi bagi anak-anak dan perempuan. Persiapan sedang dilakukan untuk menggabungkan skema asuransi sosial kesehatan yang ada untuk membentuk program cakupan kesehatan semesta di bawah badan administrasi tunggal, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Program cakupan kesehatan semesta ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan dalam skema yang ada, termasuk perbedaan geografis yang signifikan, baik di dalam maupun antar skema dalam hal konten, ketersediaan, dan kualitas dari paket manfaat kesehatan dasar. Peraturan Presiden 12/2013 tentang jaminan kesehatan menjelaskan bahwa paket manfaat kesehatan akan mencakup pelayanan promotif dan preventif, termasuk konseling kesehatan individu untuk mencegah penyakit dan mengelola hidup sehat dan bersih, imunisasi dasar seperti BCG, TT, DPT-HB, polio dan campak, pengendalian kelahiran, dan skrining terhadap penyakit. Ini 39 Policy Note #14 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Harriet Torlesse dari UNICEF, Kantor Jakarta. Untuk salinan Policy Notes lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 93 juga menggambarkan pelayanan kesehatan tingkat pertama serta rawat inap dan rawat jalan tingkat lanjutan juga akan dicakup. Peraturan Presiden memberikan gambaran luas mengenai isi dari paket manfaat, namun rincian spesifik masih dalam pembahasan, dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dari paket manfaat akan disampaikan melalui Peraturan Menteri. Karena sumber daya yang terbatas, pemerintah tidak dapat menyediakan semua intervensi bagi penduduk melalui program cakupan kesehatan semesta ini. Oleh karena itu, perlu adanya prioritas yang jelas untuk pemilihan layanan dalam paket manfaat. Di masa lalu, keputusan atas paket manfaat kesehatan di beberapa negara dilakukan secara ad hoc dan tidak transparan. Akan tetapi, semakin banyak negara, seperti Thailand, menggunakan proses penetapan prioritas untuk menjamin adanya akuntabilitas40. Proses tersebut biasanya mempertimbangkan berbagai kriteria termasuk beban dan tingkat keparahan penyakit, keadilan dan dampak sosial (apakah masyarakat yang kurang beruntung, terpinggirkan dan miskin akan paling terpengaruh), efektivitas intervensi kesehatan, dan dampak anggaran. Policy brief ini mengkaji kriteria ini guna memeriksa bukti-bukti mengenai mengapa pelayanan gizi bagi anak dan perempuan harus menjadi komponen inti dari paket manfaat kesehatan di Indonesia. Beban dan tingkat keparahan gizi kurang di Indonesia Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam mengurangi prevalensi balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi, dan kemungkinan dapat mencapai (on track) target pembangunan millenium (MDG) 1 untuk menurunkan hingga setengah prevalensi balita berat badan rendah pada tahun 2015. Akan tetapi, prevalensi anak balita kerdil (stunting) hanya turun 1 persen antara tahun 200741 (37 %) dan 2010 (36 %)42 dan mempengaruhi sekitar 7,5 juta anak balita pada tahun 2010, beban terbesar kelima di dunia43. Pada tahun yang sama, berat badan kurang (wasting) mempengaruhi 13% anak balita. Berat badan kurang dengan tingkat parah yang membawa risiko kematian tinggi, mempengaruhi 6% anak balita, atau setara dengan 1,3 juta anak. Giji kurang seringkali berasal dari perkembangan janin, terutama jika si ibu adalah remaja atau menderita kekurangan gizi selama masa kehamilan. Sekitar sepertiga perempuan berusia 20-45 tahun melahirkan anak pertama ketika usia remaja,44 dan 14% perempuan usia reproduksi bertubuh kurus, sebagaimana ditentukan oleh lingkar lengan atas pertengahan bawah (<23.5 cm)45. Publikasi terbaru di Lancet memperkirakan bahwa pada tahun 2010, sejumlah 1.042.300 bayi lahir kecil untuk usia kehamilan di Indonesia, yang mana merupakan jumlah keenam terbesar di dunia dibandingkan negara-negara lainnya.46 Yang menambah kekhawatiran, kelebihan berat badan muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat pada anak-anak dan orang dewasa. Antara tahun 2007 dan 2010, prevalensi kelebihan 40 Youngkorn et al. (2012). Multcriteria decision analysis for including health interventions in the Universal Health Coverage benefit package in Thailand. Value in Health 15, 961-970. 41 RISKDESAS (2007) 42 RISKESDAS (2010) 43 UNICEF (2013). Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress. UNICEF, New York. 44 Indonesia Demographic and Health Survey (2007) 45 RISKESDAS (2007) 46 Lee et al (2013). National and regional estimates of term and preterm babies born small for gestational age in 138 low-income and middle-income countries in 2010. Lancet Global Health 1, e26–36. 94 berat badan meningkat dari 12 menjadi 14%pada anak-anak dan 19 hingga 22% pada orang dewasa. “Beban ganda masalah gizi”, ini di mana kekurangan gizi dan kelebihan gizi terdapat dalam komunitas yang sama, mendorong peningkatan yang mengkhawatirkan dalam penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke dan penyakit jantung. Menurut hasil Global Burden of Disease Study atau kajian beban ganda penyakit tahun 2010, kekurangan gizi merupakan penyebab utama years lived with disability (YLD) atau hidup dengan cacat pada anak balita di Indonesia. Masalah kekurangan gizi merupakan penyebab 45% kematian anak di seluruh dunia, dan menyebabkan kerusakan yang berlangsung seumur hidup. Kekurangan gizi menandakan bahwa anak telah kehilangan nutrisi penting tidak hanya untuk pertumbuhan, tetapi juga untuk membangun sistem kekebalan yang kuat untuk melindungi terhadap infeksi dan untuk perkembangan otak yang sehat. Anak yang kurang gizi prestasinya kurang bagus di sekolah dan kurang produktif sebagai pada saat dewasa, yang mana akan mengurangi pendapatan mereka dan menjadikan keluarga mereka miskin. Dalam kenyataanya, terdapat hubungan langsung ke pertumbuhan ekonomi juga. Kerdil (stunting) dapat menurunkan pendapatan seumur hidup hingga 20%. Kekurangan gizi memakan cukup banyak biaya di berbagai negara sekitar 2-3 persen dari PDB47 setiap tahunnya, memperpanjang siklus kemiskinan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Gambar 1 menunjukkan prevalensi kerdil (stunting) dan berat badan rendah (wasting) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara seperti Vietnam dan Filipina, serta sama dengan negara-negara yang jauh lebih miskin (negara-negara berpendapatan rendah) seperti Myanmar dan Kamboja. Prevalensi berat badan rendah lebih tinggi dibanding negara-negara lainnya. Akan tetapi, prevalensi berat tubuh berlebihan lebih buruk dibandingkan Thailand, yang mana pendapatan nasional brutonya (PNB) hampir dua kali lipat Indonesia. Pendek kata, Indonesia ketinggalan dibandingkan negara-negara tetangganya. Gambar 1: Prevalensi kerdil (stunting), berat badan rendah (wasting) dan berat badan berlebih di negara-negara Asia Tenggara48 47 World Bank (2006). Repositioning nutrition as central to development: a strategy for large scale action. Directions in Development. Washington, DC. 48 UNICEF (2013). Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress. UNICEF, New York. 95 Keadilan dan Implikasi Sosial Program cakupan kesehatan semesta lebih mungkin untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam kesehatan bilamana hal tersebut termasuk intervensi yang dapat mencegah dan mengobati penyakit atau kondisi yang lebih umum di kalangan kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan. Gizi kurang lebih umum terjadi di kalangan masyarakat miskin di Indonesia, dan perbedaan dalam status gizi antar kelompok pendapatan tampaknya semakin melebar. Antara tahun 2007 dan 2010 tingkat stunting berkurang pada kelompok kuintil terkaya dari 30 menjadi 24%, namun meningkat dari 40 menjadi 43%di kelompok kuintil termiskin. Ini berarti bahwa kesenjangan antara kuintil termiskin dan terkaya hampir dua kali lipat selama periode ini, dari 10% menjadi 19%. Dampak kurangnya gizi pada produktivitas kerja dirasakan paling berat di kalangan masyarakat miskin di mana perawakan fisik dan kekuatan tubuh sangat penting untuk produktivitas kerja. Stunting dan anemia membuat orang lelah dan lemah, dan kurang mampu melakukan kegiatan padat karya. Perbedaan geografis juga mencolok, pada tahun 2010 prevalensi stunting berkisar dari 22% di Yogyakarta hingga 58% di Nusa Tenggara Timur provinsi (Gambar 2). Dengan melayani kabupaten dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi pertama, maka cakupan kesehatan semesta akan dapat menjangkau populasi yang kurang beruntung dan meningkatkan kesetaraan kesehatan. Gambar 2: Prevalensi stunting di Indonesia (RISKESDAS, 2010) Efektivitas Intervensi Gizi Kabar baiknya adalah bahwa ada intervensi yang efektif yang dapat melindungi anak-anak dan perempuan dari masalah kekurangan gizi. Perhatian terbesar diperlukan selama 1000 hari pertama kehidupan antara masa pembuahan (conception) dan usia dua tahun anak karena banyak hal-hal buruk yang terjadi selama periode pertumbuhan ini, dan perkembangan anak tidak dapat diubah di kemudian hari Rencana Aksi Nasional Gizi (2011-2015) menetapkan intervensi yang diperlukan untuk melindungi anak dan perempuan dari kekurangan gizi. Serangkaian intervensi direkomendasikan untuk 96 dimasukkan kedalam paket manfaat program cakupan kesehatan nasional sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1. Serangkaian temuan terbaru Lancet pada tahun 2013 tentang kesehatan memperkirakan bahwa intervensi gizi, jika ditingkatkan cakupannya menjadi 90%, maka dapat menurunkan angka stunting sebanyak 61%.49 Intervensi ini merupakan bagian dari pelayanan kesehatan bagi anak dan perempuan di Indonesia. Akan tetapi, beberapa intervensi gizi saat ini cakupannya masih sangat rendah. Contohnya, hanya 28% perempuan yang mendapatkan suplemen zat besi folat minimal selama 90 hari kehamilan, dan hanya 45% perempuan menerima suplemen vitamin A pasca melahirkan.50 Table 1: Intervensi Nutrisi yang diusulkan untuk Pakat Manfaat Kesehatan dalam program Cakupan Kesehatan Semesta 51 Preventif /Promotif Wanita hamil dan postpartum Suplemen mikronutrien51 • Asam folat besi (IFA) atau suplemen Multiple micronutrient (MMN) selama masa kehamilan dan 40 hari postpartum • Pemberian suplemen vitamin A post partum Kuratif Pengobatan gizi kurang pada kehamilan • Suplemen penyeimbang protein-energi untuk wanita hamil yang kekurangan gizi Diet maternal • Konseling mengenai diet yang tepat selama kehamilan dan masa menyusui Anak balita Pemberian makan bayi dan balita • Pemantauan pertumbuhan bulanan anak usia 0-23 bulan • Promosi pemberian ASI dini dan ekslusif selama enam bulan dan terus menyusui hingga 24 bulan • Pendidikan mengenai makanan pendamping asi yang tepat Suplemen Mikronutrien • Pemberian suplemen vitamin A dua kali setahun untuk anak usia 6-59 bulan • Micronutrien bubuk untuk anak usia 6 -24 bulan • Pemberian obat cacing untuk anak usia 12-59 bulan (satu atau dua kali tergantung prevalensi cacing yang ditularkan) Manajemen malnutrisi akut • Manajemen malnutrisi akut moderat • Manajemen malnutrisi akut parah Pengobatan diare • Suplementasi zinc untuk anak-anak yang menderita diare. Intervensi gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan tidak hanya penyeimbang yang ampuh bagi anak-anak dan perempuan yang paling kurang beruntung dan terpinggirkan, namun masuk akal secara ekonomi. Konsensus Kopenhagen telah secara konsisten menegaskan bahwa mengambil tindakan terhadap masalah gizi kurang merupakan cara berbiaya efektif yang 49 Bhutta et al. (2003). Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost? Lancet, diterbitkan secara online pada 6 Juni 2013. 50 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007). 51 Suplemen kalsium juga direkomendasikan selama kehamilan oleh WHO untuk mencegah pre-eclampsia dan eclampsia namun belum dimasukan dalam pedoman Kemenkes di Indonesia; bilamana dan kapan dicantumkan, suplemen kalsium sebaiknya dimasukan juga dalam paket manfaat. 97 paling penting untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Para ahli memperkirakan bahwa USD 1 (kurang lebih setara dengan IDR 10.000) yang diinvestasikan dalam mengurangi kekurangan gizi kronis dapat memberikan pendapatan kembali hingga USD 30 (kurang lebih setara dengan IDR 300.000) melalui peningkatan kesehatan dan manfaat pendidikan.52 Tabel 2 memberikan estimasi global biaya per tahun hidup yang dapat dihemat dari berbagai paket intervensi gizi dengan cakupan 90%, paket ini adalah sama dengan yang disampaikan pada Tabel 1. Biaya lebih rendah dari biaya International, $ 200 per kehidupan yang dihemat untuk masingmasing dari tiga paket yang menargetkan anak-anak balita (pemberian makan bayi dan balita, suplemen mikronutrien dan manajemen malnutrisi akut tingkat parah) dan biaya International, $ 571 untuk gizi ibu yang optimal selama kehamilan. Perkiraan tersebut termasuk suplemen gizi, biaya sumber daya manusia, biaya non-medis lainnya langsung (seperti BBM dan alat tulis), serta biaya tidak langsung (seperti penggunaan bangunan, manajemen, pengawasan dan monitoring dan evaluasi). Tabel 2: Pengaruh paket intervensi gizi terhadap 90 persen cakupan53 Paket intervensi gizi Biaya per tahun-hidup yang dapat dihemat (International $) Gizi ibu optimal selama kehamilan $571 Pemberian makan bayi dan balita $175 Suplementasi micronutrien $159 Manajemen malnutrisi akut yang parah $125 Implikasi Anggaran Kami memperkirakan biaya paket intervensi gizi bagi ibu hamil, ibu nifas, dan anak balita di Indonesia. Tabel 3 dan 4 menunjukkan perkiraan biaya tahunan untuk suplemen gizi dan obat cacingan untuk kelompok ini; biaya yang terkait dengan pelaksanaan intervensi ini untuk perempuan dan anak-anak (biaya sumber daya manusia, biaya langsung dan biaya tidak langsung lainnya) tidak termasuk dalam perkiraan ini. Karena ada perbedaan harga yang besar antara suplemen besi folat (IFA) dan beberapa suplemen mikronutrien (MMS), Tabel 3 memberikan dua pilihan, yang pertama dengan suplemen besi folat (IFA), dan yang kedua dengan beberapa suplemen mikronutrien (MMS). MMS lebih efektif di dalam mengurangi jumlah berat lahir rendah dan bayi lahir kecil selama kehamilan dibandingkan IFA54. Tabel 4 memberikan perkiraan terpisah untuk anak usia 0-23 bulan 52 Copenhagen Consensus, 2012: http://www.copenhagenconsensus.com/projects/copenhagen-consensus-2012/outcome 53 Bhutta et al. (2013). Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost? Lancet. Dipublikasikan secara online pada 6 Juni 2013. http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(13)60996-4 54 98 Haider, BA & Bhutta, Z (2012). Multiple-micronutrient supplementation for women during pregnancy (Review). The Cochrane Library, Issue 11. dan anak usia 24-59 bulan, karena micronutrient bubuk (MNP) memberikan penambahan yang lumayan terhadap biaya paket untuk anak usia 0-23 bulan. Tabel 3: Biaya intervensi tahunan dalam Rupiah per perempuan selama masa kehamilan dan 40 hari pertama nifas (Postpartum) Pilihan 1 Suplemen zat besi-folat Pilihan 2 15.400 Beberapa suplemen mikronutrien 220.000 Suplemen protein-energi Suplemen Vitamin A Total 63.000 63.000 900 900 79.300 283.900 Tabel 4: Biaya intervensi tahunan dalam Rupiah per anak balita55 Anak usia 0-23 bulan Anak usia 24-59 bulan Suplemen Vitamin A 675 900 Obat cacing 300 600 Suplemen zinc 20.000 20.000 MNP 67.500 - Pengobatan MAM 51.300 63.000 Pengobatan SAM 77.000 77.000 Total 216.775 161.500 Langkah selanjutnya Pencantuman serangkaian intervensi gizi dalam paket manfaat kesehatan dasar akan menjadi langkah penting untuk menghilangkan hambatan keuangan dan meningkatkan akses ke pelayanan nutrisi yang penting ini, khususnya di kalangan rumah tangga termiskin yang paling terpengaruh oleh gizi kurang. 55 Biaya per unit untuk suplai gizi diperoleh dari http://inaproc.lkpp.go.id/v3/public/ekatalog/ekatalog.htm. Biaya tahunan untuk setiap intervensi dihitung dengan mengalikan biaya unit suplemen gizi dengan perkiraan jumlah dosis dalam satu tahun. 99 Namun, persiapan yang signifikan diperlukan untuk memastikan bahwa fasilitas kesehatan dilengkapi untuk memenuhi peningkatan permintaan layanan gizi begitu program Cakupan Kesehatan Semesta diluncurkan. Salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi adalah bagaimana meminimalkan kesenjangan antara paket manfaat secara teoritis dan ketersediaan yang aktual, terutama di pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini akan membutuhkan tidak hanya pasokan nutrisi dan peralatan, tetapi juga petugas kesehatan yang memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk memberikan pelayanan gizi kepada anak-anak dan perempuan, dan populasi tertentu yang menyadari layanan yang menjadi haknya. Persiapan dimasukkannya pelayanan gizi dalam cakupan kesehatan semesta antara sekarang atau akhir tahun harus meliputi: • • • • Finalisasi paket manfaat gizi untuk cakupan kesehatan semesta di Indonesia, sejalan dengan kebijakan pemerintah dan rencana yang berkaitan dengan gizi, termasuk 1000 HPK, dan RANPG. Hal ini akan membutuhkan musyawarah antara BPJS dan Kementerian Kesehatan mengenai intervensi gizi mana yang harus dimasukkan ke dalam paket manfaat cakupan kesehatan semesta, dan mana yang harus dilanjutkan oleh Kementerian Kesehatan. Penilaian kesenjangan kapasitas petugas kesehatan untuk melaksanakan paket pelayanan gizi, khususnya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan gizi. Pencantuman semua pelayanan gizi dalam paket manfaat dalam buklet Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diberikan kepada wanita hamil dan ibu dari anak-anak bayi. Jika pencantuman intervensi gizi dalam paket manfaat memerlukan pendanan baru dari Kementerian Keuangan, maka premi untuk rumah tangga miskin perlu dinaikan untuk memastikan layanan ini dapat diberikan mulai dari tahun 2014. Pemantauan dan kerangka evaluasi untuk cakupan kesehatan semesta harus memberikan perhatian khusus terhadap pendokumentasian dampak program cakupan kesehatan semesta terhadap pemberian pelayanan gizi serta terhadap hasil (outcome) gizi. Secara global, hanya ada sedikit bukti tentang bagaimana program cakupan kesehatan semesta telah berkontribusi dan meningkatkan akses anak-anak dan perempuan terhadap pelayanan gizi penting. Dengan RISKESDAS 2013 yang menyediakan data dasar untuk kabupaten ujicoba program, maka ada kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk melacak dampak dari program cakupan kesehatan semesta terhadap cakupan pelayanan gizi dan mengurangi stunting dan bentuk malnutrisi lainnya. 100 NOTA #15 KEBIJAKAN Aspek Ekonomi Politik dari Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) Implikasinya untuk Indonesia56 “Kotak UHC” mewakili aspek ekonomi politik reformasi kesehatan Para pembaca policy note ini akan diperkenalkan pada kotak Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC) yang disajikan dalam Laporan Kesehatan Dunia 201057, yang menguraikan pilihan-pilihan kebijakan utama yang dihadapi pemerintah saat memperluas cakupan kesehatan. Dalam mencoba mengisi kotak UHC dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, berbagai negara menghadapi kompromi (trade-off) antar dimensi: siapa yang akan dicakup, layanan apa yang akan dicakup dan seberapa besar proteksi keuangan yang disediakan untuk konsumen. Akan tetapi, bagaimana masyarakat memutuskan dimensi mana yang harus diberi prioritas dan bagaimana mereka akan bergerak menuju UHC? Economist Health Politicians 56 Policy Note #15, ditulis untuk tim BPJS oleh Dr. Rob Yates dari World Health Organization (WHO), kantor Jakarta. Untuk salinan Policy Notes yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 57 102 WHO 2010 Health Systems Financing: The Path to Universal Coverage. http://www.who.int/whr/2010/en/index.html Cara lain untuk melihat kotak ini adalah dengan menganggap kotak ini sebagai perwakilan aspek ekonomi politik sektor kesehatan, dimana dimensi yang berbeda mewakili prioritas pemangku kepentingan utama yang berbeda pula dalam upaya mencapai UHC (lihat diatas). Contohnya, poros populasi “Siapa yang dicakup?” merupakan pertanyaan politis yang tak terpisahkan dan cenderung merupakan wilayah kepentingan utama para politisi (terutama menjelang pemilihan umum!). Sementara itu poros vertikal yang menanyakan, “Siapa yang membayar?” cenderung merupakan wilayah utama kepentingan para ekonom dan pelaku sektor keuangan, seperti Kementerian Keuangan dan organisasi pengusaha. Yang terakhir, tenaga kesehatan cenderung memiliki minat terbesar pada poros pemberian pelayanan, dalam menentukan pelayanan mana yang harus disediakan, dan sampai tingkat kualitas mana, untuk meningkatkan hasil-hasil kesehatan. Hebatnya pendekatan UHC ini adalah memaksa semua pelaku mengakui bahwa kemajuan di satu poros saja tidaklah cukup. Jadi para politisi harus mengetahui bahwa menjanjikan kepada setiap orang pelayanan kesehatan gratis tidaklah efektif dalam mencapai UHC bilamana pelayanan kesehatannya tidak tersedia atau kalaupun tersedia kualitasnya buruk. Begitupula, Kementerian Keuangan harus memahami dampak penyesuaian beban pembiayaan pemerintah dan swasta untuk sistem kesehatan, baik dalam hal pelayanan maupun cakupan penduduk. Yang terakhir, pendekatan UHC dapat membantu para profesional di bidang kesehatan menghargai kewajiban politik penting untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi penduduk dan menyadari bahwa kadang-kadang perlu mengkompromikan masukan-masukan yang lebih mahal untuk menjangkau lebih banyak penerima manfaat. Cara terbaik membuat kemajuan menuju UHC adalah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (termasuk masyarakat umum) dalam menghasilkan strategi yang sesuai dengan rute ke arah UHC yang akan ditempuh dan paling sesuai untuk konteks negara tersebut. Strategi ini harus menyepakati tindakan pirioritas dan investasi sepanjang poros tersebut serta mengakui bahwa kompromi memang diperlukan. Jadi misalnya, jika lebih banyak pembiayaan tersedia, apakah ini harus diinvestasikan untuk mencakup lebih banyak orang di sektor informal, membeli lebih banyak peralatan medis atau mengurangi bahkan menghilangkan pembayaran bersama (copayment) untuk beberapa layanan? Di seluruh dunia: Prioritas politik cakupan penduduk mendorong reformasi UHC Para peneliti kesehatan semakin mengakui bahwa dalam praktiknya, reformasi UHC lebih didorong oleh proses politik dibandingkan proses teknis. Hal ini terutama terjadi pada reformasi pembiayaan kesehatan.58 Dalam sebuah analisis yang sangat baik mengenai transisi global menuju UHC, Savedoff dkk.59 menunjukkan bahwa walaupun tingkat pembiayaan kesehatan secara keseluruhan cenderung ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, pergeseran ke arah masyarakat yang dicakup oleh pendanaan yang dikumpulkan lebih didorong oleh pertimbangan politik. Secara 58 Stuckler D et al 2010 The political economy of universal health coverage. Background paper to the First Global Symposium on Health Systems Research: http://www.pacifichealthsummit.org/downloads/UHC/the%20political%20economy%20of%20uhc.PDF 59 Savedoff W 2012. Transitions in Health Financing and Policies for Universal Health Coverage. Results for Development Institute Available here: http://t.co/zNdm5VdX 103 khusus, ketika ekonomi berkembang dan lebih banyak dana yang tersedia untuk membiayai pelayanan kesehatan, ada kecenderungan tuntutan politik tumbuh dari kelompok penduduk yang tidak tercakup jaminan kesehatan universal. Pencapaian tujuan tidak dapat dipisahkan dari faktor politik, karena memerlukan peran negara untuk intervensi mendesak anggota masyarakat yang lebih sehat dan kaya untuk mensubsidi pelayanan kesehatan bagi orang sakit dan miskin. Di berbagai negara, di semua tingkat pendapatan, para pemimpin politik mengakui bahwa respons positif terhadap tuntutan ini merupakan suatu ide yang baik untuk meningkatkan indikator kesehatan, meningkatkan efisiensi sektor kesehatan dan yang terpenting bagi mereka adalah: meraup keuntungan politik yang besar. Reformasi UHC, jika didanai dan dilaksanakan dengan baik, akan sangat populer bagi masyarakat umum, dan para pemimpin politik yang mengasosiasikan dirinya dengan reformasi ini dapat melihat peningkatan popularitas mereka sebagai hasilnya. Banyak proses UHC utama dimulai oleh para pemimpin politik dalam menyongsong pemilihan umum dan setelah masa transisi kekuasaan. Tabel berikut memberikan beberapa contoh reformasi UHC yang signifikan dimana sebagian besar didorong oleh agenda politik: Negara Tahun Inggris 1948 Jepang 104 1961 Reformasi UHC Penetapan waktu/alasan politik National Health Service (layanan kesehatan nasional) yang dibiayai pajak dengan hak layanan universal Reformasi negara kesejahteraan, pemerintah baru pasca WMII Reformasi cakupan universal secara nasional Memberikan manfaat sosial yang populer bagi penduduk dalam rangka melawan tekanan politik komunisme Brazil 1988 Layanan kesehatan universal (dibiayai pajak) Kebijakan sosial yang murah dan mudah diterapkan (Quickwin) dari pemerintah sipil yang baru terpilih secara demokratis Afrika Selatan 1994 Peluncuran pelayanan gratis bari wanita hamil dan anak di bawah 6 tahun (dibiayai pajak) Kebijakan sosial utama pemerintah ANC setelah tumbangnya apartheid Thailand 2001 UCS memperluas cakupan ke semua sektor informal Platform utama populis pemerintahan baru Uganda 2001 Layanan kesehatan universal gratis Diluncurkan secara tiba-tiba 10 hari sebelum pemilihan presiden Zambia 2006 Layanan kesehatan gratis bagi masyarakat pedesaan (diperluas ke daerah perkotaan pada tahun 2009) Inisiatif presiden menjelang pemilu 2006 Layanan kesehatan gratis bagi wanita hamil dan anak-anak Inisiatif presiden menanggapi tekanan masyarakat sipil Nepal 2008 Layanan kesehatan universal secara gratis hingga rumah sakit tingkat distrik (kabupaten) Kebijakan sosial unggulan dari partai sayap kiri dalam pemerintahan koalisi pada kampanye pemilu 2008 Ghana 2008 Cakupan asuransi kesehatan nasional diperluas ke semua wanita hamil Menjelang pemilihan presiden 2009 Peningkatan yang sangat besar dalam pengeluaran publik untuk meningkatkan cakupan layanan dan proteksi keuangan Tanggapan terhadap gejolak politik yang berkembang akan cakupan kesehatan yang tidak memadai Burundi China Sierra Leone 2010 Layanan kesehatan gratis bagi wanita hamil dan anak-anak Inisiatif presiden yang merupakan faktor utama dalam kampanye pemilihan kembali presiden yang tengah menjabat (incumbent) AS 2010 Reformasi kesehatan nasional untk mengurangi jumlah penduduk yang tidak tercakup asuransi kesehatan Kebijakan sosial dalam negeri utama dari Presiden Dapat terlihat berapa banyak para pemimpin politik yang memimpin proses ini, memperoleh keuntungan politik yang besar dari keberhasilan reformasi mereka yang telah membantu mempertahankan kekuasaan pada pemilu berikutnya. Hal ini nampaknya terjadi pula dalam terpilihnya kembali Presiden Obama di Amerika Serikat.: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2233169/Obama-won-election-gifts-low-income-votersyoung-Americans-minorities-says-Romney.html Memang beberapa perintis politik UHC telah menjadi pahlawan nasional di negaranya. Contohnya, pada tahun 2004, masyarakat Kanada melakukan jajak pendapat nasional untuk memilih orang Kanada terhebat60 dalam sejarah, dan pilihan jatuh pada arsitek reformasi UHC, Tommy Douglas. Dia adalah mantan Gubernur Provinsi Saskatchewan. Setelah melewati perjuangan politik yang panjang, dia berhasil menerapkan UHC di provinsinya. Ketika terbukti berhasil dan terkenal, maka konsep UHC nya diadopsi secara nasional. Di Inggris, arsitek sekaligus kekuatan pendorong politik di balik National Health Service (NHS), Aneurin Bevan, juga menjadi pahlawan nasional. Program dokumenter BBC menunjukkan dengan jelas pertarungan politik Bevan yang berjuang (terutama dengan profesi medis yang kuat) untuk mendirikan NHS. http://liberalconspiracy.org/2011/10/11/watch-how-life-was-before-the-nhs/ Dunia menghargai rasa terima kasih Inggris terhadap Bevan atas keberhasilan perjuangannya dengan menampilkan NHS secara menonjol pada upacara pembukaan Olimpiade London tahun lalu. 60 http://www.cbc.ca/archives/categories/arts-entertainment/media/media-general/and-the-greatest-canadian-of-all-time-is.html 105 Belakangan ini dan lebih dekat dengan Indonesia, reformasi besar UHC di China, Thailand dan Sri Lanka semuanya digerakkan oleh politisi yang merespons tekanan untuk memberikan cakupan kesehatan bagi semua penduduk. Misalnya, tekanan politik berperan penting dalam mengamankan reformasi UHC di Thailand. Peran advokasi masyarakat madani dijelaskan secara detil dalam evaluasi independen 10 tahun skema cakupan UC di Thailand.61 Secara khusus, 11 LSM yang dipimpin oleh seorang senator berhasil memobilisasi 50,000 tanda tangan untuk mendukung RUU UHC yang diajukan kepada Parlemen Thailand pada tahun 2000. Hal ini mendorong pemerintah melakukan tindakan yang kemudian menghasilkan rancangan undang-undang tersendiri dan memilih 5 orang anggota kelompok organisasi masyarakat madani (CSO) ke dalam proses perumusan kebijakan UC. Implikasinya untuk Indonesia Dengan mengkaji perkembangan cakupan kesehatan saat ini di Indonesia kita bisa melihat bahwa pertimbangan politik memegang peran kunci – seperti halnya di negara-negara bependapatan menengah lainnya. Untuk merespons tuntutan kelompok masyarakat yang tidak tercakup jaminan kesehatan, maka DPR pada Oktober 2011 mengesahkan Undang-undang No. 24/2011 yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memulai reformasi pembiayaan kesehatan pada tahun 2014 dengan harapan dapat mewujudkan cakupan kesehatan semesta (UHC) pada 2019.62 Sesuai dengan undang-undang yang baru, Pemerintah kini sedang merencanakan reformasi kelembagaan dan pembiayaan penting, yang meliputi tambahan 10 juta jiwa yang akan dicakup dalam skema asuransi Jamkesmas dan peningkatan yang cukup signifikan pada tingkat subsidi untuk anggota pada tahun 2014. Namun demonstrasi politik yang terus berlangsung (http://www.thejakartaglobe.com/news/ thousands-of-workers-rally-in-jakarta-for-better-health-care-wages/) cenderung menunjukkan bahwa beberapa kalangan (terutama anggota serikat buruh) tidak merasa puas dengan langkah perubahan tersebut dan mungkin menentang kontribusi asuransi signifikan dari para pekerja yang berpendapatan rendah. Selain itu, nampaknya tuntutan politik ini didengar dan direspons oleh para pemimpin politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bukti ini dapat dilihat dari peningkatan yang luar biasa dari ratusan skema asuransi Jamkesda di seluruh pelosok negeri, dimana para politisi menggunakan pendapatan pajak daerah untuk mempercepat tingkat cakupan penduduk. Bisa dilihat bahwa banyak skema Jamkesda ini menjadi bergitu populer di provinsi-provinsi seperti Aceh, Bali, Sumatra Selatan dan yang terbaru di Jakarta. 61 Assessment of Thailand’s Universal Coverage Scheme – Synthesis Report available here: http://www.gurn.info/en/topics/healthpolitics-and-trade-unions/development-and-health-determinants/development-and-health-determinants/thailand2019s-universalcoverage-scheme-achievements-and-challenges 62 106 http://www.thejakartaglobe.com/archive/social-security-bill-passed-at-last-gasp/474887/ Jakarta Post May 29 2013: http://www.thejakartapost.com/news/2013/05/29/healthcare-scheme-fiasco-will-beresolved-soon-assures-jokowi.html Dengan reformasi ini jelas memberikan manfaat politik untuk pemrakarsa mereka dan dengan bergeraknya Indonesia menuju pemilihan umum nasional, maka hal menarik yang jadi bahan spekulasi adalah: akankah proses percepatan menuju UHC menjadi isu besar kampanye pemilu di Indonesia pada tahun 2014? Secara khusus, akankah seorang pemimpin politik nasional membuat komitmen kampanye populer untuk mewujudkan cakupan kesehatan bagi SEMUA masyarakat Indonesia sebelum tahun 2019 dengan menggunakan pendapatan pajak untuk mencakup sektor informal? Hal ini tentunya memerlukan peningkatan yang lebih besar dalam pembiayaan publik daripada yang diperkirakan saat ini, tetapi pelajaran dari negara-negara tetangga menunjukkan bahwa ini bisa menjadi strategi politik yang sangat efektif untuk membantu mengamankan kemenangan pemilu. 107 NOTA #16 KEBIJAKAN Bagaimana Menjangkau Masyarakat yang belum Terjangkau dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)63 Permasalahan JKN/SJSN Kesehatan di Indonesia merupakan upaya untuk mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC) sehingga kesehatan dapat diakses oleh setiap orang dan memungkinkan setiap orang memiliki kehidupan produktif secara sosial dan ekonomi. Masalah ketidakadilan masih merupakan tantangan dalam kesehatan, dan secara global, terdapat kecenderungan semakin melebarnya ketidakadilan kesehatan di dalam maupun di antara negara. Cakupan Kesehatan Semesta merupakan salah satu reformasi sistem kesehatan yang dianjurkan dalam Laporan Kesehatan Dunia (World Health Report/WHR) 2008 untuk menyalurkan sumbersumber daya menuju keadilan dan inklusi. Deklarasi Alma Ata yang mengabadikan prinsip-prinsip keadilan kesehatan, pelayanan yang berpusat pada masyarakat dan peran sentral masyarakat dalam kegiatan kesehatan merupakan tindakan yang dianggap radikal pada tahun 1978. Akan tetapi, penelitian sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai ini sekarang menjadi arus utama dalam mewujudkan pembaharuan masyarakat. Reformasi pelayanan kesehatan dasar dimaksudkan untuk memenuhi peningkatan harapan masyarakat tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan (WHR 2008). Walaupun telah ada program pengentasan kemiskinan, tetap saja masih ada orang-orang atau kelompok masyarakat yang tertinggal; dalam intervensi program masih ada kelompok-kelompok yang “belum terjangkau”. Policy Note ini berusaha untuk menguraikan masalah bagaimana menjangkau mereka yang belum terjangkau. 63 Policy Note #16 ini ditulis untuk tim BPJS team oleh Dr. Ilsa Nelwan dari Coffey International dan pensiunan dari World Health Organization (WHO). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Kumara Rai, Simon Payne, Dr. Peter Heywood, dan Dr. Meiwita Budiharsana atas masukannya pada draf sebelumnya. Untuk salinan policy note sebelumnya dan yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 109 Gambar 1: Kerangka Konseptual: Bagaimana Menjangkau Masyarakat yang belum Terjangkau dalam JKN/SJSN Kesehatan Tantangan: • 40% penduduk rentan • Peraturan perundangundangan untuk SJSN (BLT, Raskin, Jamkesmas, beasiswa) Peluang: • Komitmen pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan • Pengalaman menargetkan penduduk miskin • Keputusan untuk memulai SJSN pada tahun 2014 Situasi saat ini: 1. Penetapan sasaran khusus 2. Penyebarluasan informasi / bantuan Lingkungan pendukung: Keluaran (Output): • Pendekatan pelayanan kesehatan dasar • Peraturan perundangundangan • Pengelolaan • Cara pandang (mindset) • Pemberi pelayanan (supply side) yang berpihak kepada kelompok masyarakyat miskin:Insentif berbasis kinerja Meningkatnya akses terhadap - Pelayanan kesehatan - Informasi kesehatan Hasil (Outcome) Meningkatnya taraf kesehatan masyarakat miskin dan rentan Siapakah masyarakat miskin dan yang paling rentan? Dengan pengecualian tahun 2006 yang menunjukkan peningkatan kemiskinan akibat krisis harga pangan internasional, penurunan angka kemiskinan resmi dari 12,5% seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2011 menjadi 12% pada tahun 2012 merupakan penurunan angka kemiskinan terkecil sejak tahun 2003 Gambar 2: Tren Kemiskinan di Indonesia 1996-2012 Jumlah masyarakat miskin (juta) % masyarakat miskin Sumber: Indonesia poverty data governance, BPS 2012 110 Upaya-upaya untuk mengurangi angka kemiskinan sering gagal, akan tetapi, permasalahannya adalah bagaimana mengatasi jumlah penduduk rentan secara ekonomi di Indonesia yang lebih luas. Sebagai contoh, sementara 12% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan resmi, hampir 40% penduduk tergolong “hampir miskin” yang hidup 1,5 kali lipat di bawah garis ini, atau hidup dengan pendapatan kurang dari Rp12.400 per hari (sekitar US $ 1.80 disesuaikan untuk paritas daya beli). Ada istilah “kemiskinan dinamis” dimana masyarakat miskin dan himpir miskin merupakan kelompok yang seringkali berubah (interchange) secara dinamis. Diperkirakan jumlah masyarakat miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 12% dari seluruh populasi, atau sekitar 29 juta orang. Sekitar 40% masyarakat berada sedikit di atas garis kemiskinan, masih rentan terhadap guncangan ekonomi sehingga mereka dapat dengan mudah kembali turun ke bawah garis kemiskinan. Diduga sebab ketidakadilan ini adalah pertumbuhan yang tidak merata; sepanjang 2008-2011 masyarakat miskin tumbuh 2% per tahun sementara kelompok kaya tumbuh 9% per tahunnya. Tantangan lainnya adalah penyebaran kemiskinan yang tidak merata sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3: Gambar 3: Persentase Masyarakat Miskin per Provinsi tahun 2012 Source: Indonesia Poverty data governance, BPS 2012 Data diatas menunjukkan disparitas yang lebar diantara provinsi. NTT, Maluku, Papua Barat dan Papua adalah provinsi miskin yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah nasional. Tantangan ini juga ada di tingkat kecamatan, desa dan masyarakat, dan upaya khusus perlu dilakukan pada setiap tingkat untuk menjangkau kantong-kantong kemiskinan tersebut. 111 Kerangka Konseptual Menjangkau Masyarakat yang Belum Terjangkau Tantangan JKN/SJSN Kesehatan adalah bagaimana menjangkau masyarakat miskin dan rentan ke dalam cakupan semesta. Proses untuk menjangkau masyarakat yang belum tercakup dapat dilakukan melalui: • • • • • • • penentuan sasaran khusus; penyebarab informasi dan pendampingan bagi masyarakat miskin; kegiatan antara dan lingkungan pendukung (pendekatan pelayanan kesehatan dasar); perbaikan peraturan perundang-undangan; perbaikan pengelolaan; perubahan cara pandang; dan, peningkatan atau perluasan penyedia pelayanan (supply side) yang berpihak kepada masyarakat miskin melalui insentif berbasis kinerja. Keluaran (output) yang diharapkan dari intervensi efektif menjangkau masyarakat yang belum terjangkau adalah “tak boleh ada seorang pun yang tertinggal” dalam pelaksanaan dukungan sosial. Walaupun yang termiskin dari masyarakat miskin adalah yang paling sulit dijangkau, akan tetapi mereka tidak bisa dilupakan. Peluang Inisiatif Pemerintah Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat miskin jelas terlihat dari upaya pemerintah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 1 mengurangi angka kemiskinan untuk mencapai target 8-10% pada tahun 2014. Pemerintah telah menyelenggarakan beberapa program untuk melindungi masyaraakt miskin seperti penyediaan raskin, kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Upaya lintas sektor yang diselaraskan dalam Peraturan Presiden 15/2010 berupaya untuk membuat kebijakan dan program pengentasan kemiskinan, menciptakan sinergi dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan antara kementerian dan lembaga, serta memonitor dan mengevaluasi kemajuan. Data dasar penerima manfaat potensial (Basis Data Terpadu atau BDT) mencakup 76,4 juta jiwa nama untuk kartu JKN baru termasuk Jamkesmas dan Jamkesda. Pembaruan Data Penerima Manfaat. Pemerintah akan berkoordinasi dengan masyarakat setempat untuk membantu mengidentifikasi rumah tangga miskin yang hingga saat ini belum termasuk dalam data dasar BDT. Sistem Jaminan Sosial. Indonesia tengah melaksanakan sistem jaminan sosial yang baru (SJSN=Sistem Jaminan Sosial Nasional). Landasan hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 40/2004 mengenai SJSN dan Undang-undang Nomor 24/2011 mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Saat ini penerapan SJSN sedang dalam proses, termasuk transformasi kelembagaannya. Berdasarkan Undang-undang BPJS nantinya hanya akan ada dua badan pengelola – satu untuk 112 kesehatan (PT Askes) yang akan mulai pada tahun 2014, dan satu lagi untuk program tenaga kerja (PT Jamsostek) yang akan mulai pada tahun 2015. Dibutuhkan manfaat yang menarik dengan harga yang wajar dan terjangkau untuk keberhasilan sistem ini. Situasi Saat Ini Dukungan sosial pemerintah untuk masyarakat miskin dan rentan ditargetkan melalui keluarga, masyarakat dan usaha mikro dan kecil untuk bantuan kesehatan sosial. Salah satunya adalah JKN (beserta Bantuan Langsung Tunai /BLT; Program Keluarga Harapan /PKH; program Bantuan Siswa Miskin /BSM dan program Beras untuk Masyarakat Miskin /Raskin). Gambar 5 Sumber: Presentasi TNP2K pada konferensi akademis pengentasan kemiskinan 2013, Juni 2013 Sebelumnya skema bantuan sosial diterapkan berbeda-beda di berbagai sektor; misalnya hanya 30% penduduk miskin menerima BLT, dan bahkan cakupannya lebih kecil dalam program bantuan sosial lainnya. Tiga program penanggulangan kemiskinan terbesar belum mencakup sekitar setengah dari kelompok ini karena masalah dalam desain penetapan sasaran dan pelaksanaannya. Walaupun program Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki sasaran program utama terbaik, lebih dari setengah keluarga miskin dan rentan belum tercakup. Program Jamkesmas menggunakan daftar penduduk miskin, namun penetapan target aktualnya tergantung keputusan setempat. Kartu Jamkesmas harus diberikan kepada rumah tangga miskin berdasarkan data statistik resmi masyarakat miskin sebagaimana halnya untuk BLT. Tetapi, bagaimana teknis pembagian kartu tersebut berbeda-beda di berbagai tempat. Di beberapa kabupaten ada yang menggunakan daftar resmi, sementara pejabat kesehatan di kabupaten lain menetapkan sendiri para penerima manfaatnya. Bahkan hingga saat ini rumah tangga dapat menerima manfaat Jamkesmas hanya dengan surat dari kepala desa. Jamkesmas mencakup 45% rumah tangga, sedangkan rumah 113 tangga tidak miskin meliputi 55% dari semua penerima manfaat. Hasilnya, target Jamkesmas buruk, hanya 16 orang dari 100 orang yang tercakup yang benar-benar miskin. Suatu sistem pendaftaran (registry) terpadu telah diamanatkan dalam RPJM, sehingga pada statistik 2011 di Indonesia telah dilakukan PPLS11 – pembaruan daftar rumah tangga miskin berskala besar. Ini adalah ekspansi yang signifikan dari daftar sebelumnya yang meningkatkan jumlah rumah tangga yang disurvei dari sekitar 19 juta pada 2008 menjadi 25 juta tumah tangga. Gambar 6 di bawah ini membandingkan perkiraan ketepatan sasaran dari daftar 2008 dan 2011. Eksklusi masyarakat miskin dan hampir miskin diperkirakan turun sekitar 20 persen dalam daftar 2011. Banyak kelebihan dari PPLS11 yang menjadikannya dasar yang baik untuk daftar terpadu. Gambar 6: Perkiraan Ketepatan Penargetan PPLS08 dan PPLS11 1. Penetapan Target Spesifik: Kartu Perlindungan Sosial sebagai Identifikasi Pada tahun 2011 disusun daftar rumah tangga miskin berpotensi yang benar-benar baru, yang disebut “Sistem Penargetan Nasional” (National Targeting system/NTS). Daftar terbaru ini menggabungkan informasi sensus terakhir dengan teknik pemetaan kemiskinan modern untuk mengidentifikasi daerah-daerah miskin dalam skala kecil, serta menggunakan rujukan dari rumah tangga miskin di masyarakat. NTS kini diadopsi oleh program-program utama, termasuk PKH, Jamkesmas, Raskin dan BSM. Penduduk miskin diberi kartu pengenal “Kartu Perlindungan Sosial”, karu ini (bisa dilihat dibawah) telah digunakan dalam pembagian BLT tahun 2012 dan 2013. Identifikasi terpadu ini digunakan untuk meningkatan penargetan penduduk miskin karena sebelumnya banyak masyarakat miskin dan rentan tidak dimasukkan sebagai penerima manfaat. 114 Sumber: Presentasi TNP2K pada konferensi akademis pengentasan kemiskinan 2013, pada Juni 2013. Koordinasi antar kementerian lini untuk saling melengkapi program sangatlah penting. Harapannya adalah berbagai intervensi akan menghasilkan perbaikan yang seimbang bagi masyarakat miskin. Bagaimana Menjangkau Kelompok Termiskin dari Masyarakat Miskin atau Marjinal? NTS masih belum menjangkau “kelompok yang tidak terlihat“; yaitu mereka yang tidak memiliki alamat jelas dan tidak mempunyai KTP: anak jalanan, tuna wisma, orang-orang miskin yang ada di lembaga-lembaga seperti panti asuhan, panti jompo, dan penjara. “Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat”/PNPM adalah salah satu langkah intervensi yang mencoba menjangkau kelompok yang tidak terlihat tersebut, yang disebut dengan program “PNPM Peduli”. Dalam tahap ujicoba, PNPM Peduli menjangkau 231 desa di 91 kabupaten meliputi 24 provinsi di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat madani (CSO) seperti Kemitraan dan Nahdatul Ulama (NU). Program ini memberdayakan kelompok marjinal agar lebih mandiri dan hidup lebih bermartabat, dengan kualitas kehidupan yang lebih baik. Tujuan program ini adalah untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat madani Indonesia untuk mencapai dan memberdayakan kelompok-kelompok marjinal guna memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka. Pada tahun pertama, PNPM Peduli telah membantu lebih dari 12.000 orang terpinggirkan untuk mendapatkan keterampilan baru, akses informasi, akses layanan, membangun kepercayaan dan menciptakan peluang baru untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi kelompok yang tidak terlihat memang diperlukan upaya khusus. Bekerja sama dengan organisasi masyarakat madani yang ada dan lintas sektor merupakan salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan. Meningkatkan akses ke pelayanan perawatan kesehatan bagi kelompok khusus ini dapat dilakukan di tempat khusus. Misalnya, di rumah singgah untuk anak-anak jalanan, sebuah kamp penampungan khusus untuk para tunawisma, dan kunjungan terjadwal khusus ke lembaga-lembaga. Ada beberapa langkah untuk meningkatkan pendaftaran masyarakat miskin seperti mendapatkan daftar penerima manfaat sebagai sumber data berkualitas tinggi mengenai para penerima manfaat potensial. Proses terpisah harus diterapkan untuk mengidentifikasi penerima manfaat dari masingmasing program. 115 Bagaimana akses kesehatan masyarakat miskin? Data Riskesdas di bawah ini (Gambar 7) menunjukkan akses pelayanan kesehatan menurut kuintil kesejahteraan dengan memetakan tempat melahirkan menurut kuintil kesejahteraan. Gambar 7: Persentase persalinan menurut tempat dan kelompok pendapatan, Indonesia 2007 Sumber: Riskesdas 2007 Dari 20% kelompok pendapatan paling rendah 5,2 % menggunakan fasilitas pemerintah dan 8,4% fasilitas swasta tapi 84,8% melahirkan di rumah. Dari 20% kelompok pendapatan paling tinggi 12,4% menggunakan fasilitas pemerintah, 71% menggunakan fasilitas swasta dan hanya 15,5% melahirkan di rumah. Rekomendasi pasca agenda pembangunan 2015 menunjukkan bagaimana kemiskinan dan gender menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan. Rekomendasinya adalah: mengurangi angka kemiskinan diantara perempuan dan anak-anak, menjamin akses terhadap pendidikan dasar dan menegah bagi semua anak perempuan, dan pendidikan seks yang komprehensif bagi kaum remaja. Angka kematian ibu menjadi salah satu indikator ketidaksetaraan lintas sektor. Isu-isu Lain Ada juga hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan: pertama, sisi penyedia layanan kesehatan (supply side); kedua, pertimbangan eksplisit tentang masuknya sektor swasta; dan ketiga kualitas pelayanan. Sisi penyedia layanan (Supply Side): ada kesepakatan pada sisi pengguna layanan kesehatan (demand side) mengenai kemiskinan, tetapi ketika pembatasan dari sisi pengguna layanan kesehatan dicabut (dalam kasus ini pelayanan kesehatan gratis), ternyata ada masalah dengan penyediaan layanan. Selain itu, JKN bermaksud untuk membatasi penyedia layanan kesehatan yang diakui yang dapat memperoleh pembayaran kembali (reimburse) hanya untuk layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter. Batasan ini diberlakukan meskipun dokter (baik swasta dan pemerintah) memberikan kurang dari setengah dari pelayanan rawat jalan. Pada saat yang sama, perawat tidak diakui meskipun mereka memberikan pelayanan rawat jalan lebih dari kelompok profesional 116 lainnya. Masalahnya adalah bahwa perawat mungkin memberikan kualitas lebih rendah dibandingkan dokter dan bidan. Faktanya tetap saja bahwa tidak terdapat cukup dokter. Sektor Swasta: Sebagian besar pelayanan rawat jalan di Indonesia diselenggarakan oleh pihak swasta. Maka JKN perlu menarik bagi penyedia layanan kesehatan swasta termasuk dokter, perawat dan bidan. Kualitas pelayanan: perlu dibuka kesempatan bagi para penyedia layanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Hal ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pelatihan dan insentif serta apa yang telah diketahui pasien. Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) harus mampu meningkatkan taraf kesehatan melalui peningkatan meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan cakupan serta kualitas pelayanan kesehatan. 2. Penyebaran Informasi /Pendampingan Penyebaran informasi yang tepat diperlukan untuk memastikan masyarakat memahami manfaat dan pentingnya sistem SJSN. Komunikasi yang efektif di kalangan pemerintah dan terhadap masyarakat, media dan parlemen penting dilakukan untuk keberhasilan program. Bagi masyarakat miskin, informasi kesehatan SJSN sangat lah penting, sehingga mereka tahu bagaimana mengakses layanan yang menjadi haknya. Apa hak dan tanggung jawab mereka, dan apa lembaga yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan program ini? Dalam konteks desentralisasi, kepemimpinan dari pemerintah daerah dan Dinas kesehatan kabupaten juga sangat penting. Karakteristik penting dari strategi informasi adalah bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan penduduk. Setiap individu harus memahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri, bahwa promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sangat diperlukan tanpa mengabaikan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif. Dinas kesehatan kabupaten harus memastikan implementasi yang lebih baik dari program kesehatan masyarakat sejalan dengan penerapan JKN. Kendala sosial budaya adalah sebagian dari kendala pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Untuk mengatasi kesenjangan ini, salah satu cara intervensi yang dapat dilakukan adalah melalui program penjangkauan (outreach) dari pusat kesehatan kepada masyarakat. Kerja sama lintas sektor juga merupakan solusi penting untuk permasalahan ini. Upaya untuk merubah perilaku penyedia layanan kesehatan perlu dilakukan agar mereka lebih berpihak kepada masyarakat miskin, diantaranya melalui pelatihan dan pemaparan analisis kemiskinan. Saran untuk Kelompok Termiskin dari Masyarakat Miskin Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, masyarakat miskin juga memerlukan bantuan fasilitator, yaitu, seseorang yang akan membantu untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan pemerintah. Fasilitator ini adalah seseorang yang dapat membantu individu miskin untuk mendapatkan hak-haknya atas akses pelayanan kesehatan. Fasilitator juga dapat menerjemahkan pesan-pesan penyedia layanan kesehatan, melengkapi formulir-formulir yang diperlukan, dan membantu masyarakat miskin mendapatkan bantuan rujukan. 117 Lingkungan Pendukung 1. Menggunakan Konsep Pelayanan Kesehatan Primer Konsep gerakan Pelayanan Kesehatan Primer mengacu pada penerapan strategi pembangunan Kesehatan menyeluruh yang memerlukan pendekatan terintegrasi dan komprehensif: • • • • • • Kemampuan untuk mengakses dan mencapai cakupan semesta, hal ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang rentan dan terpinggirkan. Prinsip ini juga menyiratkan bahwa pemerataan atau keadilan sosial ditegakkan dalam upaya mencakup seluruh penduduk; Keterlibatan individu dan masyarakat serta kemandirian. Setiap orang dan seluruh masyarakat harus bertanggung jawab mulai dari tahap perencanaan, pendaftaran masyarakat miskin untuk JKN hingga tahap pemantauan dan evaluasi; Kerja sama lintas sektor untuk kesehatan. Khususnya untuk SJSN, agar intervensi dapat berjalan secara efektif, penduduk miskin akan menerima intervensi berbeda dari berbagai sektor. Koordinasi lintas sektor yang lebih baik akan meningkatkan penerapan JKN; Intervensi Kesehatan Masyarakat juga merupakan aspek penting karena hal ini akan mengurangi beban penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penduduk yang belum terjangkau. Efektivitas biaya intervensi kesehatan masyarakat akan membuat JKN lebih efektif. Misalnya, dengan meningkatkan akses pasokan air bersih bagi penduduk miskin akan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang ditularkan melalui air. Dengan tingginya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat persalinan; Penyebab sakit adalah risiko kesehatan dan determinan kesehatan. Risiko kesehatan muncul dari gaya hidup masyarakat seperti penggunaan tembakau, konsumsi alkohol, diet dan kesehatan fisik. Determinan kesehatan mencakup spektrum yang luas dari faktor-faktor sosial, pendidikan, ekonomi, jender, politik, keamanan dan lingkungan fisik seperti air dan sanitasi. Kelompok masyarakat miskin lebih rentan terhadap risiko kesehatan ini dan kemiskinan merupakan salah satu determinan kesehatan; Teknologi tepat guna dan terjangkau akan menjamin efisiensi sistem kesehatan yang lebih baik. Tekonologi Global Positioning System, mobile dan E-health dapat membantu proses identifikasi, pemberian pelayanan kesehatan, serta pemantauan penduduk miskin sebagai kelompok sasaran JKN. 2. Peraturan perundang-undangan Perlu adanya kajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan dalam konteks JKN. Kesenjangan dalam regulasi khususnya di tingkat kabupaten dapat menjadi tantangan dalam penerapan JKN. Fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus mampu mengelola dana untuk pengelolaan dan peningkatan pelayanan kesehatan. Pada tahap awal harus ada regulasi sementara yang memberikan fleksibilitas. Pengalaman ini dapat digunakan untuk memperbarui dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan untuk dapat melaksanakan JKN dengan lebih baik. 3. Pengelolaan Salah satu kendala pengelolaan Jamkesmas pada pelayanan kesehatan dasar adalah sulitnya proses klaim. Terutama di kabupaten yang berpendapatan rendah, biaya perawatan kesehatan yang diganti mencapai sekitar 30% dari pendapatan daerah. Menurut undang-undang rumah sakit Pasal 118 7 ayat 3, rumah sakit dapat langsung menggunakan pembayaran yang diterima dari klien/pasien untuk meningkatkan dan memperluas pelayanan kesehatan. Tetapi dana yang dikirim ke lembaga kesehatan khususnya di Kabupaten miskin seringkali kurang dari jumlah klaim, sehingga lembaga kesehatan akhirnya beroperasi dengan anggaran yang semakin kecil. Pada saat yang sama, biaya perawatan masyarakat miskin sebenarnya bisa lebih mahal. Masyarakat miskin sering menunda perawatan dan kurang mendapatkan dukungan sosial, sehingga menyebabkan tingkat perawatan yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Klaim pelayanan kesehatan Puskesmas harus digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan. Harus ada peraturan yang berbeda yang dapat lebih mendukung JKN serta pembiayaan layanan kesehatan di tingkat kabupaten dan di bawahnya (kecamatan s/d masyarakat). Bagaimana mendapatkan pembayaran klaim sepenuhnya pada waktu yang lebih singkat merupakan tantangan dalam pengelolaan. 4. Pembayaran berdasarkan Kinerja Upaya menjangkau masyarakat miskin untuk pelayanan kesehatan juga harus menarik bagi penyedia layanan kesehatan. Konsep pembayaran berdasarkan kinerja, atau insentif berbasis kinerja, akan mendorong pelayanan yang lebih baik dari pihak penyedia layanan bagi masyarakat miskin. Karena penyedia layanan mungkin perlu lebih banyak waktu dan usaha untuk menjangkau pasien yang paling miskin, maka penyedia bisa menerima tambahan subsidi untuk memberikan pelayanan bagi kelompok termiskin diantara masyarakat miskin. 5. Cara pandang Cara pandang yang berpihak kepada masyarakat miskin di kalangan para pengambil keputusan dan profesi kesehatan dapat didorong oleh “pendekatan dua jalur”: penanganan pemerintah dan kerjasama dengan masyarakat yang terpinggirkan dari bawah ke atas (bottom up). Keadilan dan pemberdayaan merupakan faktor penting dalam membantu mengembangkan “lingkungan yang mendukung” untuk pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan yang pro rakyat miskin. Ini adalah konteks implementasi JKN. Perubahan cara pandang pemerintah daerah, masyarakat madani yang semakin berdaya akan membuat perbedaan dalam pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin. 6. Penelitian dan Uji coba Penelitian operasional diperlukan untuk mencari pilihan yang lebih baik dalam menjangkau masyarakat miskin. Ini dapat dilakukan melalui kemitraan antara pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), dan perguruan tinggi setempat. Pemantauan dan Evaluasi (M & E) pelaksanaan JKN akan diperlukan dan dapat dilakukan melalui kemitraan dengan perguruan tinggi setempat. Melangkah Maju Proporsi dan jumlah orang miskin di Indonesia merupakan tantangan besar. Pemerintah menargetkan 40% dari jumlah penduduk, atau 100 juta orang, yang membutuhkan perlindungan sosial yang komprehensif, termasuk peningkatan akses pelayanan kesehatan. Masyarakat yang 119 benar-benar miskin yaitu yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 12%, atau kurang lebih 29 juta penduduk. Tetapi, penduduk hampir miskin yang rentan terhadap goncangan ekonomi yaitu mereka yang dapat dengan mudah kembali berada di bawah garis kemiskinan berjumlah sampai 40%. Pemerintah terus berupaya meningkatkan pendaftaran masyarakat miskin. Upaya terakhir adalah mengembangkan data dasar dan memberikan kartu perlindungan sosial khusus untuk penduduk miskin. Penduduk miskin akan mendapatkan berbagai manfaat sosial, salah satunya adalah JKN. Akan tetapi, koordinasi dan kerjasama lintas sektor belum dapat diterapkan secara efektif. Untuk menjangkau masyarakat yang belum terjangkau, JKN tidak dapat dipisahkan dari upaya pengentasan kemiskinan. Bagi masyarakat miskin, pelayanan kesehatan bukanlah prioritas tertinggi. Oleh karena itu, kemampuan sektor kesehatan dan kepimpinan pemerintah daerah sangatlah penting. Jumlah masyarakat miskin yang begitu besar di Indonesia perlu dijangkau melalui kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat. Masalah ketidakadilan dalam kemiskinan dan kantong-kantong kemiskinan harus diidentifikasi dan dijadikan sasaran intervensi yang terencana dengan baik. Apa yang Dapat Dilakukan? 1. 2. 3. 4. 5. 120 Dengan menggunakan data dasar dan NTS, sektor kesehatan dapat mengidentifikasi masyarakat miskin yang p.erlu dicakup JKN. Kerjasama dengan sektor lain dan pemerintah daerah dalam pendaftaran masyarakat miskin untuk JKN secara dinamis sangat diperlukan. “Yang tidak terlihat” dapat dijangkau dengan memanfaatkan pengalaman dari ujicoba PNPM Peduli. Intervensi melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat madani berupaya untuk menjangkau kelompok ini, - saat ini telah beroperasi di 231 desa, dan telah memberikan kesempatan baru bagib 12.000 orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Penyebarluasan informasi JKN sebagai upaya cakupan semesta harus menjangkau pemerintah di berbagai tingkat, pemangku kepentingan yang relevan dan masyarakat umum dengan didukung layanan hotline. Pada tahap perorangan, setiap pasien miskin memerlukan pendamping supaya dapat dapat memenuhi syarat-syarat administratif agar bisa mendapatkan haknya. Sektor kesehatan perlu meningkatkan akses, cakupan serta mutu pelayanan kesehatan juga aspek non-kesehatan seperti martabat, kerahasiaan dan perhatian segera merupakan tantangan pelaksanaan JKN bagi masyarakat miskin. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri. Pendekatan pelayanan kesehatan primer dalam pembangunan kesehatan memerlukan. Untuk mendukung keberhasilan JKN, sangat penting pendekatan kesehatan primer dalam pembangunan kesehatan yaitu akses dan cakupan semesta, keterlibatan masyarakat dan individu, kemandirian, kerjasama lintas sektor, teknologi tepat guna dan intervensi kesehatan masyarakat. Namun, menurut hasil NHA (National Health Accounts) terbaru sebagian dana digunakan oleh RS. Penelitian operasional JKN bisa mengangkat data sosial budaya yang mempengaruhi perilaku masyarakat miskin. Penelitian ini dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan antara pemerintah dan universitas/akademis. Referensi 1. World Health Report 2008; http://www.who.int/whr/2008/en/ 2. Reaching Indonesia’s poor and vulnerable; http://www.eastasiaforum.org/2013/01/02/reaching-indonesias-poor-and-vulnerable/ 3. PHC Revitalization; http://www.who.int/management/district/RevitalizingPHC2008SEARO.pdf 4. prsp-report-targeting-poor-ipm.pdf; http://www.ausaid.gov.au/countries/eastasia/indonesia/Documents/prsp-report-targetingpoor-ipm.pdf 5. Protecting the poor and the vulnerable household in Indonesia; http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/02/29/ 000333037_20120229231135 6. Indonesian experience toward targeted social assistance reform; http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Plenary%201%20-%20Bambang%20 Widianto-1.pdf 7. PKH experiences in Indonesian Quartely; http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/IEQ-Jul2013Full%20report-English.pdf 8. Maternal Mortality: An Indicator of Intersecting Inequalities; http://feim.org.ar/pdf/Publicaciones/Paper_desigualdades_FEIM_EN.pdf 9. PNPM Peduli news; http://www.worldbank.org/en/results/2013/04/04/indonesia-a-nationwide-communityprogram-pnpm-peduli-caring-for-the-invisible 10. Indonesia Poverty Data governance, Kunming; http://www.adbi.org/files/2012.10.25.cpp.sess5.10.indonesia.poverty.data.gov.pdf 11. Indonesia social monitoring ppt, BPS, Beijing; http://www.docstoc.com/docs/123311227/MONITORING-SOCIAL-DEVELOPMENTS-ININDONESIA 12. Social Audit, a study of Jamkesmas and jamkesda membership; http://www.lakpesdam.or.id/phocadownload/Bahasainggrisversion.pdf 13. How civil society work to promote pro poor policy Asia foundation, 2011; http://asiafoundation.org/resources/pdfs/OccasionalPaperWorkingPoliticallyinIndonesian citiesJune2011.pdf Poverty reduction and pro poor growth, OECD 2012 http://cdi.mecon.gov.ar/docelec/az2249.pdf 121 NOTA #17 KEBIJAKAN Pentahapan INA-CBGs64 Sebuah Keanehan menurut Standar Global: Mengapa Indonesia memilih Menerapkan 100% Sistem Baru di tahun 2014? Beberapa bulan lagi, BPJS akan menerapkan sistem pembayaran provider baru untuk rumah sakitrumah sakit, yaitu INA-CBGs. Sistem pembayaran provider dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempromosikan pengembangan sistem kesehatan dan mencapai tujuan kebijakan kesehatan. Indonesia, tidak seperti negara-negara lainnya di dunia, telah memilih untuk TIDAK menerapkan INA-CBGs secara bertahap. Sebagian besar negara, baik negara kaya ( Jerman) dan miskin (Armenia), besar (Amerika Serikat) dan kecil (Republik Kyrgz), menerapkan pentahapan INA-CBGs mereka selama 3-5 tahun. Indonesia tidak akan. Namun, beberapa isyarat sistem saat ini menunjukkan bahwa Indonesia mungkin akan mempertimbangkan pendekatan bertahap untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas. Memang, Ric Marshall, dari Inggris dan Australia, baru-baru ini memberikan beberapa alasan kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan pendekatan bertahap seputar perbaikan tingkat data yang buruk dan tidak stabil. Dengan memperlambat penerapan selama 3-5 tahun, Dr Marshall menawarkan beberapa kelebihan, yang meliputi: 1. Penetapan sistem pengukuran kualitas, yang dapat mencakup sistem penelusuran kualitas untuk i) mencegah rawat inap yang tidak perlu, ii) menjamin perawatan yang diperlukan untuk pasien rawat inap dan iii) mencegah pemulangan pasien lebih awal yang sering kali menyebabkan rawat inap ulang yang berbiaya mahal ke rumah sakit dalam waktu 90 hari; 2. Peningkatan sistem pengkodean, termasuk penggunaan semua kode ICD-9 dan ICD-10. Saat ini, kode yang digunakan kurang dari 10%. Waktu yang lebih banyak akan memungkinkan menghasilkan kader ahli pengkodean terlatih dan standar pengkodean nasional. Saat ini, rumah sakit melatih para pengkode mereka sendiri yang mana menimbulkan perbedaan pengkodean antar fasilitas kesehatan. Peningkatan sistem pengkodean dapat lebih mendorong keadilan dalam pembayaran untuk pasien yang lebih sakit dan keadilan dalam penggantian di seluruh fasilitas; 64 Policy Note #17 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Jack Langenbrunner, berdasarkan pekerjaannya, dan pekerjaan serta temuan Ric Marshall dari Inggris dan Australia. Untuk salinan Policy Note lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 123 Tabel 1: Data Mana yang akan Dikumpulkan untuk Setiap Rawat Inap? Variabel yang digunakan untuk pengelompokkan sistem CBG Australia saat ini • • • • • • • • • • Diagnosis (multiple) Prosedur (multiple) Jenis kelamin Usia Kejadian dan jenis Lama tinggal Cuti dari perawatan (leave days) Berat badan pada saat masuk rawat inap Status hukum kesehatan mental Status hari yang sama. Grouper dapat memuat hingga 30 kode diagnosis dan 30 kode prosedur per rawat inap 3. Perbaikan sistem biaya, termasuk template biaya baru untuk mendapatkan lebih banyak data pemanfaatan. Model biaya saat ini terlalu bergantung pada rata-rata lama tinggal (ALOS) dan terlalu dasar. Program perangkat lunak (software) seperti COMBO (level 1) dapat digunakan sebagai langkah berikutnya. Ric Marshall menyarankan untuk i) mulai dengan contoh kecil rumah sakit-rumah sakit yang memiliki sistem biaya terbaik, ii) bergerak ke sampel representatif rumah sakit yang dikelompokkan berdasarkan semua jenis dan iii) ekstrapolasi biaya untuk semua rumah sakit di pelosok negeri. Sampel tidak perlu besar. Dia menyarankan 10% mungkin cukup. Di Jerman, biaya untuk 70 rumah sakit digunakan untuk semua Jerman. Di Filipina, kurang dari 20 rumah sakit yang digunakan sebagai langkah pertama. Kementerian Kesehatan/ NIHRD saat ini memiliki data biaya untuk 200 lebih rumah sakit yang dapat dimanfaatkan saat ini; 4. Pengaturan kontrak dan pembelian yang lebih jelas, di mana ketentuan dan aturan sifatnya jelas serta dikembangkan dengan baik, di mana klaim diproses dengan cepat, di mana ada pembayaran otomatis dari semua klaim dengan 5-10% sampel audit untuk dua (2) jenis klaim: klaim berbiaya tinggi dan klaim berisiko tinggi. Saat ini, ada 100% audit klaim oleh verifikator di bawah Jamkesmas, jelas merupakan pemborosan dana publik. Selanjutnya, harus ada aturan yang jelas mengenai insentif untuk pelaporan biaya yang benar dan informasi klinis, serta hukuman untuk tindak kecurangan; 5. Waktu untuk mengembangkan pemodelan netral anggaran, atau analisis dampak, untuk lebih memahami mana fasilitas yang akan memperoleh pendapatan di bawah sistem baru ini dan mana fasilitas yang tidak. Untuk tahun 2013, bagaimana pendapatan akan berubah untuk setiap rumah sakit? Banyak yang akan berubah, misalnya, premi per orang akan naik, pembayaran langsung (out of pocket) akan berkurang, alokasi tingkat dasar relatif untuk perawatan primer dan sekunder akan berubah (meskipun alokasi yang tepatnya belum diketahui), dan sebagainya. BPJS perlu mengetahui siapa yang akan menikmati kelebihan pendapatan (kelebihan bayar) dan fasilitas kesehatan apa yang akan menderita kerugian (kekurangan ibayar) karena inefisiensi relatif dalam struktur biaya mereka. Dr Marshall menyarankan beberapa realokasi pada tahun-tahun awal dari fasilitas kesehatan yang mendapatkan keuntungan ke fasilitas yang menderita kerugian untuk melindungi risiko fiskal dan memberikan waktu bagi rumah sakit yang “merugi” untuk melakukan restrukturisasi dan menjadi lebih efisien. Bagaimana Anda mengalokasikan pada tahun-tahun awal? Sebuah pendekatan yang umum digunakan di negara-negara lain adalah dengan menggunakan formula campuran pada tahun-tahun awal pentahapan, misalnya, 25% INA-CBG dan 75% 124 pembayaran tradisional dengan meningkatkan persentase selama 3-4 tahun. Dr Marshall menyarankan campuran 5 % /95 % pada tahun ke-1 ( 2014 ). Isu-isu Kebijakan yang Masih Ada Ada beberapa isu praktis lainnya yang meliputi: Kemampuan: Apakah ada kemampuan yang memadai dari sisi penyedia? Dari sisi pembayar? Di sisi penyedia, sekitar 325 dari 1.600 rumah sakit hingga saat ini sama sekali tidak memiliki pengalaman dengan CBGs. Kemampuan untuk mengelola dan menyesuaikan diri dengan persoalan kesadaran biaya mungkin memakan waktu lama. Dan, memang, pembayar baru, PT Askes kini mengelola skema untuk Kartu Jakarta Sehat, tetapi organisasi ini juga baru dalam mengelola sistem baru ini. Fasilitas Pemerintah dan Swasta: Informasi lebih lanjut tentang biaya dan case-mix diperlukan agar lebih adil dalam membayar fasilitas umum dan swasta. Apakah tingkat keparahan dalam case-mix berbeda di rumah sakit pemerintah dibandingkan dengan swasta? Apa yang dapat dilakukan untuk “meningkatkan keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi sektor swasta yang tidak menerima subsidi pemerintah untuk modal dan peralatan dan program lainnya? Fasilitas kesehatan pemerintah akan terus menerima lebih dari setengah (mungkin sebesar 60%) pendapatan dari subsidi selain pembayaran di bawah INA-CBGs. Pembayaran untuk swasta perlu disesuaikan ke atas untuk memberikan subsidi yang sama, atau pembiayaan dari sisi penyedia layanan harus berakhir di sisi publik, dengan semua dana yang terkumpul di bawah BPJS. Batas Volume: ledakan potensi volume rawat inap dalam program UHC baru dapat terjadi ketika sebagai hambatan keuangan berkurang, individu dan keluarga merasa diberdayakan dan akan lebih agresif mencari pelayanan kesehatan. Di banyak negara, penggunaan CBGs sendiri telah menyebabkan peningkatan volume rawat inap. Dengan disertai inisiatif UHC di Indonesia, mungkin dapat terjadi ledakan volume rawat inap mulai tahun 2014, mirip dengan apa yang telah terlihat di Jakarta di bawah skema Karu Jakarta Sehat pada tahun 2013. BPJS mungkin ingin memulai batas volume melalui kontrak dengan fasilitas kesehatan atau dengan daerah. Hal ini dilakukan di banyak negara lain - hampir semuanya di Eropa Barat dan beberapa di Asia (Taiwan dan Thailand). Indonesia akan pintar untuk memulainya dengan “batas yang lunak” yang memungkinkan beberapa fleksibilitas sekitar target batas volume. Program Bertahap Mengingat banyaknya tantangan, draf outline pertama mungkin disusun untuk menentukan apa yang bisa dilakukan tahun demi tahun dalam program bertahap yang dirancang secara hati-hati. Tahun 0: 2013 Jadwal pentahapan harus diumumkan segera kepada semua pemangku kepentingan. Tahun pertama, misalnya, campuran formula menggunakan 5% INA-CBGs dan 95% pembayaran 125 tradisional. Laporan Ric Marshall menjabarkan pendekatan bertahap dengan persentase yang berubah untuk 4-5 tahun ke depan. Peta jalan (Roadmap) pentahapan akan dikembangkan dengan merinci program setahap demi setahap untuk 3-4 tahun ke depan di bidang-bidang peningkatan: • • • • Klasifikasi Pengelompokkan Pembiayaan Kontrak Roadmap tersebut mungkin menjabarkan rincian sebagaimana dijelaskan di bawah ini: Tahun 1: 2014 Klasifikasi: Menyempurnakan grouper INA CBG berdasarkan beberapa analisis dampak awal dan pemodelan netral anggaran. Hal ini dapat meliputi: i) penghapusan kelompok berbasis prosedur, ii) penyederhanaan jumlah kategori, dan iii) strategi untuk beralih ke tarif dasar tunggal. Pengkodean: Mengembangkan kamus data dalam kontrak baru, dan mengujicobakannya, serta melatih orangorang untuk menggunakannya. Kini dibawah kepemimpinan Pusdatin Kementerian Kesehatan, hal ini dianggap perlu untuk mendapatkan sistem pengkodean yang terstandardisasi dan lebih tepat. Jadwal saat ini mengharuskan hal ini selesai pada akhir Desember. Sistem pengenal unik dikembangkan untuk semua dokter dan semua fasilitas dengan karakteristik seperti perkotaan/pedesaan, ukuran tempat tidur, status mengajar, jumlah tempat tidur di setiap tingkat kelas. Mengembangkan program pelatihan untuk para pengkode, dengan program standar dan manual untuk pengkodean secara konsisten di semua fasilitas di Indonesia. Dokter akan bertanggung jawab untuk penyediaan data yang digunakan untuk pengkodean. Namun, dokter TIDAK harus diminta untuk memberikan kode Para pengkode perlu diakreditasi dengan beberapa cara seperti halnya fasilitas diakreditasi. Proses ini memerlukan waktu 4-5 tahun di Jerman, tetapi dengan penggunaan INA-CBG dibawah Jamkesmas di Indonesia, waktu yang dibutuhkan untuk program ini mungkin lebih sedikit. Bantuan hibah pemerintah bisa dimulai untuk provinsi guna memulai program pelatihan dengan para guru dan coder terlatih, bisa perawat atau personel pendukung lainnya. Para pengkode dapat membentuk asosiasi profesi dari waktu ke waktu. Pengembangan program audit pengkodean baru oleh BPJS, termasuk program perangkat lunak baru dan verifikator terlatih untuk BPJS. Biaya: Template biaya baru dikembangkan dengan menggunakan tingkat sistem perangkat lunak COMBO 1. Template biaya dapat dikembangkan bersama dengan konsultan ahli DRG Australia 126 Rumus Pembayaran: Campuran INA-CBGs + Jumlah Pembayaran Historis (disesuaikan dengan inflasi). Gabungan 5%/95% direkomendasikan oleh Dr. Marshall. Kualitas: Pengembangan indikator monitoring penjaminan mutu, oleh Kementerian Kesehatan atau BPJS, terkait dengan pencegahan rawat inap yang tidak perlu, berkenaan dengan pelayanan yang diperlukan selama rawat inap, dan pencegahan pemulangan awal pasien dan rawat inap ulang dalam 90 hari. Kontrak: Kontrak dengan semua penyedia layanan, dengan aturan yang jelas untuk semua pelaporan informasi klinis dan biaya. Monitoring dan Evaluasi: Sistem monitoring dan evaluasi ditetapkan dengan menggunakan data dasar. Tahun 2: 2015 Pengkodean: Mengembangkan sistem pengkodean standar menggunakan ICD 10 – semua kode harus dicantumkan dalam sistem pemrosesan klaim. Mengkaji ulang software (perangkat lunak) yang dikembangkan. Laporan anekdot menunjukkan upcoding sudah mulai dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia, hingga 20% dari tahun ke tahun. Biaya: Mengembangkan template pengkodean standar yang baru untuk biaya fasilitas dan penyedia layanan (provider). Kontrak: Kontrak dengan semua verifikator terakreditasi dan tim penjaminan mutu terkait. Rumus Pembayaran: Campuran INA-CBGs + Jumlah Pembayaran Historis (disesuaikan dengan inflasi). Gabungan 25%/75% direkomendasikan oleh Dr. Marshall. Komunikasi: Laporan Tahunan dimulai dan dikirim ke para pemangku kepentingan utama seperti komunitas rumah sakit, DPR dan yang lainnya mengenai seberapa baik sistem bekerja. 127 Tahun 3: 2016 Pengkodean dan Data: Pengumpulan informasi mengenai pola klinis dan biaya Klasifikasi: Penyempurnaan grouper berdasarkan data klilnis. Penyesuaian baru, khusus untuk wilayah geografis, pengajaran, ukuran tempat tidur, dsb. Biaya: Analisis Dampak Berkelanjutan – di tingkat fasilitas Template biaya direvisi berdasarkan analisis. Perundingan dengan Kementerian Keuangan mengenai apa yang akan dilakukan dengan fasilitas publik yang tidak efisien dan gagal secara keuangan. Komunikasi: Laporan Tahunan kedua diselesaikan dan dikirim ke para pemangku kepentingan utama seperti komunitas rumah sakit, DPR dan yang lainnya mengenai seberapa baik sistem bekerja. Pemikiran Penutup Serangkaian langkah pentahapan ini sifatnya ilustratif, tidak untuk diambil secara literal. Roadmap tentu akan menentukan berbagai langkah yang lebih detil dan lebih teliti. Daftar ini hanya memberikan beberapa contoh dan ide-ide tentang bidang-bidang yang akan dibahas. Rincian yang lebih baik disajikan dalam laporan September 2013 Dr. Ric Marshall dari tempat kerjanya di Jakarta pada 19 Agustus 2013. 128 NOTA #18 KEBIJAKAN Tenaga Kesehatan di Indonesia Ketersediaan Tenaga Kesehatan untuk Penyelenggaraan Cakupan Kesehatan Semesta65 Pentingnya /Relevansi Persoalan Distribusi dan ketersediaan tenaga kesehatan semakin mengundang banyak perhatian di Indonesia, karena pemerintah tengah mempersiapkan penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berlaku mulai tahun 2014. Walaupun bantuan keuangan melalui SJSN akan mengurangi hambatan keuangan untuk mengakses pelayanan kesehatan, hambatan akses geografis masih membatasi kemampuan penduduk untuk memperoleh manfaat dari sistem nasional tersebut. Persoalan ini diakui dalam Laporan Kesehatan Dunia 2010 yang mencatat bahwa ‘menghilangkan hambatan keuangan implisit dalam sistem pembayaran langsung akan membantu orang miskin mendapatkan pelayanan, tetapi tidak akan menjamin pelayanan tersebut... jika pelayanan tidak tersedia sama sekali, atau tidak cukup dekat tersedia, artinya masyarakat tidak dapat memanfaatkan pelayanan tersebut walaupun gratis’(WHO, 2010). Faktor utama yang membatasi ketersediaan pelayanan kesehatan di beberapa tempat dan kelompok masyarakat tertentu adalah kurangnya beberapa tenaga kesehatan yang penting dan distribusi yang tidak merata, dengan kecenderungan kebanyakan penduduk terkonsentrasi di perkotaan, serta terabaikannya daerah pedesaan atau kepulauan. Persoalan ini telah diakui dalam ‘Roadmap menuju Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)’. ‘Pelayanan kesehatan berkualitas yang tersedia dalam jarak yang relatif dekat adalah kebutuhan penting kedua untuk penerapan UHC ‘(Hal. 95). Roadmap ini mencatat bahwa fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara mayoritas penduduk berada di 65 Policy Note #18 ini ditulis untuk tim BPJS oleh Krishna Hort (Nossal Institute of Global Health), Andreasta Meliala (Universitas Gadjah Mada), and Rohan Jayasuriya (University of NSW). Untuk mendapatkan salinan policy note sebelumnya dan yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org 130 daerah pedesaan. Walaupun jumlah dokter, diperkirakan 85.000, dan dokter spesialis, 25.000, cukup untuk rasio ideal 1:3000 penduduk, masalahnya adalah distribusinya. (Hal. 96) Apa yang Kita Ketahui tentang Jumlah dan Distribusi Tenaga Kesehatan? Data yang akurat tentang tenaga kesehatan di Indonesia sulit diperoleh. Sebagaimana dicatat dalam laporan terakhir Bank Dunia, bahkan angka resmi di Kementerian Kesehatan tidak sepenuhnya dapat diandalkan karena pelaporan yang tidak lengkap dari provinsi dan kabupaten. Data dari Kementerian Kesehatan juga tidak meliputi tenaga kesehatan yang sepenuhnya melakukan praktik pribadi (private), meskipun sebagian besar mereka yang praktik pribadi adalah PNS juga, dan termasuk dalam data Kementerian Kesehatan (Rokx, Marzoeki, Harimurti 2009). Dengan menggunakan data Kementerian Kesehatan dari Profil Kesehatan 2011, dan membandingkan rasio tenaga kesehatan utama dengan penduduk di pulau-pulau yang lebih kaya dan lebih cenderung ke perkotaan seperti Jawa dan Bali dengan pulau-pulau yang lebih miskin dan lebih cenderung ke pedesaan seperti di kawasan Indonesia Timur (NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua), maka rasio dokter spesialis per penduduk di Jawa-Bali lebih tinggi dibanding di kawasan Indonesia Timur (Tabel 1). Tabel 1: Rasio per 10,000 penduduk Kategori Total (2010) Total Rasio Rasio target 2010 Rasio JawaBali Rasio – Indonesia Timur Spesialis 16.836 0,70 0,9 0,79 0,44 Dokter umum 32.492 1,35 3,0 1,07 1,74 Perawat 220.575 9,15 15,8 6,62 14,66 Bidan 124.164 5,15 7,5 3,58 6,26 142.202.232 33.388.786 Total Penduduk 241.182.182 Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan 2011; Target Renstra Kementerian Kesehatan (2010-2014) Akan tetapi, perspektif lain tentang distribusi tenaga kesehatan, dengan memperhitungkan penyebaran penduduk yang lebih besar di wilayah Indonesia Timur, dampaknya adalah jaringan tenaga kesehatan di wilayah ini juga harus lebih tersebar distribusinya. Tabel 2 menggunakan jumlah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) sebagai indikator penyebaran jaringan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa rasio semua kategori tenaga kesehatan Puskesmas di Jawa-Bali lebih tinggi dibandingkan di Indonesia timur, dan perbedaannya jauh lebih besar untuk dokter spesialis (hanya seperlima rasio), dan dokter umum (60% rasio di Jawa-Bali) dibandingkan dengan perawat dan bidan. 131 Tabel 2: Rasio Jumlah Puskesmas Kategori Total (2010) Total Rasio Rasio JawaBali Rasio Indonesia timur Dokter ahli 16.836 1,87 3,10 0,66 Dokter umum 32.492 3,61 4,19 2,57 Perawat 220.575 24,49 25,90 21,72 Bidan 124.164 13,79 14,00 9,28 9.005 3.634 (1:39.130) 2.254 (1:14.813) Total Puskesmas Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan 2011 Perhitungan dalam Rokx, Marzoeki dan Harimurti (2006) menggunakan data survei PODES 2006 untuk membandingkan rasio penduduk untuk dokter umum dan bidan di Jawa-Bali dan wilayah lainnya di Indonesia, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan. Tabel 3: Rasio Tenaga Kerja Terpilih per 100,000 penduduk (2006) Kategori Lokasi Rasio keseluruhan Rasio perkotaan Rasio pedesaan Dokter umum Jawa -Bali 18,5 34,1 4,5 Wilayah Indonesia lainnya 18,1 40,9 8,3 Jawa -Bali 26,1 25,1 27,1 Wilayah Indonesia lainnya 52,8 45,4 55,1 Bidan Rasio daerah terpencil 6,6 58,1 Sumber: PODES (2006) pertanyaan yang diajukan kepada kepala desa mengenai jumlah bidan yang tinggal di daerah pedesaan. (dari Rokx, Marzoeki dan Harimurti 2006) Berdasarkan data ini, di daerah perkotaan di Jawa/Bali ada satu dokter untuk setiap 3 ribu orang, sedangkan di daerah pedesaan, hanya ada satu dokter untuk setiap 22 ribu orang. Di luar Jawa/ Bali ada lebih banyak dokter per penduduk, tetapi di daerah pedesaan hanya ada satu dokter untuk setiap 12 ribu orang di daerah pedesaan, di daerah terpencil hanya ada satu untuk dokter untuk setiap 15 ribu orang, sementara di daerah perkotaannya ada satu dokter untuk setiap 2.430 orang. 132 Dokter Spesialis Data mengenai jumlah spesialis dan dokter di 30 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia diperoleh dari data dasar Kementerian Kesehatan 2008. Secara keseluruhan terdapat 12.295 dokter spesialis dari 30 jenis keahlian yang dilaporkan melakukan praktik di 30 provinsi, dengan rasio rata-rata 5,38 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Hal ini sebanding dengan target Kementerian Kesehatan, yang diuraikan dalam Indonesia Sehat 2010, dari 6 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi per 100.000 penduduk adalah 30,95 di ibukota Jakarta dan terendah adalah 1,61 dokter spesialis per 100.000 penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Perawat dan Bidan Distribusi bidan lebih baik di daerah pedesaan dan terpencil. Di Jawa/Bali, untuk daerah perkotaan terdapat satu orang bidan per 4 ribu orang, sementara di daerah pedesaan terdapat satu orang bidan untuk setiap 3.700 orang. Di luar Jawa/Bali, di daerah perkotaan terdapat satu orang bidan 2.200 orang, dan di daerah pedesaan terdapat satu orang bidan untuk setiap 1.800 orang. Tidak banyak informasi tentang tenaga kesehatan puskesmas lainnya, meskipun tampaknya ada kesenjangan besar dalam jumlah staf klinis lainnya, termasuk apoteker, petugas promosi kesehatan, ahli gizi dan sanitarian. Persoalan-persoalan Pokok di Indonesia Ada beberapa persoalan pokok di Indonesia, termasuk: • • • Pembangunan ekonomi yang tidak merata di daerah dimana standar ekonomi di Jawa-Bali dan kota-kota lebih tinggi dibandingkan di Indonesia timur dan daerah pedesaan. Akibatnya, terdapat perbedaan derajat kesehatan dan masalah kesehatan utama, dan jenis/tipe pelayanan kesehatan yang tersedia. Daerah perkotaan Jawa-Bali menghadapi dominasi penyakit tidak menular dan kronis, dengan karakteristik sektor swasta yang mapan, memiliki sistem campuran pelayanan kesehatan pemerintah-swasta. Sementara daerah miskin Indonesia Timur menghadapi masalah kurang gizi yang persisten, kesehatan reproduksi dan masalah penyakit menular, dengan karakteristik keterlibatan pihak swasta yang rendah dan jaringan fasilitas kesehatan pemerintah yang kurang didukung sumber daya. Desentralisasi dan peraturan Pegawai Negeri Sipil (PNS): tenaga kesehatan dipekerjakan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten dan tidak dapat dialihkan antar kabupaten atau provinsi. Meskipun pemerintah tingkat pusat memegang kendali sistem, mobilitas tenaga kesehatan antar daerah sifatnya lebih terbatas pada era desentralisasi. Proses pengalihan staf dari satu daerah ke daerah lain memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak pemerintah daerah sebelum adanya kesepakatan dari tingkat pusat yang melibatkan birokrasi administrasi dan pembiayaan yang rumit (Kurniati & Efendi). Pembatasan mobilitas PNS dan penghapusan Wajib Kerja Sarjana (layanan wajib untuk lulusan baru universitas) telah menyebabkan kesulitan dalam distribusi tenaga kesehatan mulai dari masalah fasilitas kesehatan dengan kelebihan jumlah tenaga kesehatan sampai ke fasilitas kesehatan yang kekurangan tenaga kesehatan (Kurniati & Efendi). 133 • • • Marketisasi sektor kesehatan: - Otonomi yang lebih luas bagi tenaga kesehatan untuk memilih dimana akan bekerja, tanpa dialokasikan oleh Kementerian Kesehatan; - Dorongan penawaran dan permintaan (supply and demand) pasar lebih mempengaruhi penyebaran tenaga kesehatan – kategori tenaga kesehatan yang langka sangatlah rentan (dokter dan dokter spesialis); - Meningkatnya peluang sektor swasta dan pendapatan mendorong dokter-dokter untuk bekerja di sektor swasta dan dimungkinkan adanya praktik ganda. Dampak potensial dari penerapan asuransi kesehatan nasional terhadap permintaan akan tenaga kesehatan. Penerapan awal asuransi kesehatan nasional di Jakarta dan Banten mengakibatkan peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan masyarakat yang melebihi kapasitas saat ini dan peningkatan permintaan terhadap tenaga dokter untuk memberikan pelayanan. Pemerintah daerah di Jakarta dan Banten telah mengusulkan peningkatan perekrutan dokter, yang berpotensi memperburuk disparitas desa-kota. Perdebatan tentang peran masa depan Puskesmas milik pemerintah, dan sejauh mana sistem asuransi kesehatan nasional mampu mendorong fokus yang lebih besar pada penyediaan layanan kuratif, mengesampingkan peran Puskesmas dalam promosi kesehatan, program kesehatan masyarakat dan pencegahan sakit, serta dalam memobilisasi masyarakat setempat untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan. Kebijakan-kebijakan Saat ini Undang-undang utama yang mengatur penyebaran tenaga dokter dan rumah sakit adalah UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menetapkan Konsil Kedokteran Indonesia, dan persyaratan bagi semua dokter untuk mendaftar di Konsil Kedokteran dan mendapatkan surat izin praktik untuk setiap lokasi praktik dari Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten terkait. Jumlah maksimum dari lokasi praktik yang dapat diberikan untuk setiap ijin praktik adalah tiga lokasi (termasuk lokasi praktik kerja yang ditugaskan pemerintah). Untuk mendorong para dokter agar bersedia bekerja di pedesaan dan lokasi yang lebih terpencil, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan peraturan untuk memberikan tunjangan tambahan atau insentif bagi dokter spesialis dan dokter umum yang bekerja di daerah yang dikategorikan sebagai daerhah pedesaan atau daerah terpencil. Peraturan tahun 2006 dan 2010 menetapkan tunjangan bulanan hingga $ 750 untuk dokter spesialis dan $ 500 untuk dokter umum yang akan dibayar oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten di daerah tertentu telah mengeluarkan peraturan daerah untuk memberikan tunjangan tambahan bagi dokter yang bersedia bekerja di pedesaan di wilayah pemerintah daerah mereka, dengan besaran yang bervariasi mulai dari $ 500 sampai $ 2.500 per bulan. Meskipun ada tunjangan ini, tampaknya bagi sebagian besar dokter, terutama dokter spesialis, kontribusi gaji dan tunjangan pemerintah untuk pendapatan mereka kurang dari seperempat, sementara sumber-sumber pendapatan dari sektor swasta dapat memenuhi sebagian besar pendapatan mereka (Meliala, Hort, Trisnantoro, 2013). Tingkat insentif ini mungkin tidak memadai, utamanya karena para dokter menghadapi persoalan harus melunasi pinjaman untuk biaya pendidikan kedokteran mereka. 134 Kementerian Kesehatan juga telah mencoba mengatasi persoalan tersebut melalui masa wajib tugas di pedesaan yang berbeda bagi para lulusan baru, dan memberikan insentif untuk menyelesaikan masa wajib tugas di pedesaan. Kebijakan ini meliputi campuran atau gabungan dari: a. Menawarkan lowongan pekerjaan hanya untuk posisi di daerah terpencil dan sangat terpencil. b. Mempersingkat masa jabatan. Sebelumnya, masa jabatan PTT berkisar mulai dari 3 tahun di daerah non-terpencil hingga 2 tahun di daerah terpencil dan sangat terpencil. Lama masa jabatan kemudian diperpendek menjadi 1 tahun untuk daerah terpencil dan 6 bulan untuk daerah yang sangat terpencil. c. Dokter umum di daerah-daerah yang sangat terpencil seharusnya memiliki kesempatan 90% menjadi PNS setelah menyelesaikan masa jabatannya; Dokter Umum di daerah-daerah terpencil memiliki kesempatan 50% sementara mereka yang bekerja di daerah biasa hanya memiliki kesempatan 10%. Tabel 4 (pada lampiran) menunjukkan evolusi perubahan kebijakan ini, dengan perubahan yang terbaru yaitu untuk memperpanjang masa tugas di daerah pedesaan kembali ke 2 tahun. Walaupun program ini telah menghasilkan lulusan-lulusan baru untuk ditugaskan di pedesaan, akan tetapi dalam banyak kasus lulusan-lulusan tersebut kembali ke perkotaan setelah masa wajib tugasnya selesai. Hal ini menyebabkan rotasi dokter-dokter muda yang berkelanjutan sehingga kontribusinya kecil terhadap penguatan kualitas pelayanan kesehatan di pedesaan. Pada tahun 2001, di era desentralisasi, pemerintah daerah didorong untuk merekrut, mengangkat dan menggaji staf PTT melalui sumber-sumber daya lokal, sementara pemerintah pusat akan terus merekrut dokter PTT untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil. Pemerintah daerah dapat menetapkan dan menawarkan insentif lokal untuk menarik para dokter, tetapi dalam praktiknya, karena kendala keuangan, sedikit sekali pemerintah daerah yang merekrut PTT setempat untuk menjadi staf. Kementerian Kesehatan telah berupaya membatasi keterlibatan dokter pemerintah dalam sektor swasta (biasanya mengacu pada ‘praktik ganda’), dengan menggunakan batasan jumlah lokasi praktik yang diijinkan. Para dokter diperkirakan mendapatkan ijin praktik untuk masing-masing lokasi praktik, maksimal di tiga lokasi. Namun, kebijakan ini diatur secara lokal (izin praktik dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota), dan tampaknya seringkali diabaikan (Meliala, Hort, Trisnantoro, 2013). Pada 2010, di Indonesia terdapat 61 fakultas kedokteran (27 fakultas kedokteran milik pemerintah dan 34 milik swasta) dengan jumlah siswa terdaftar hampir 30.000 orang. Jumlah ini merupakan peningkatan yang sangat besar sejak tahun 2001, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah fakultas kedokteran swasta, dan dengan jumlah ini seharusnya dapat mengatasi kekurangan dokter umum. Akan tetapi, kapasitas untuk memberikan pelatihan spesialis jauh lebih terbatas, dan kesenjangan di dokter spesialis akan memakan waktu lebih lama untuk ditangani. Undangundang yang baru tentang Pendidikan Kedokteran akan memerlukan akreditasi fasilitas pendidikan kedokteran yang mungkin akan memperlambat pertumbuhan fasilitas baru, namun harus meningkatkan kualitas lulusan. Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan menetapkan peningkatan akses ke layanan spesialis sebagai target prioritas untuk sektor kesehatan, dengan beasiswa hingga 7 ribu calon spesialis pada tahun 2010. 135 Analisis Masalah dan Identifikasi Potensi -Strategi (1) Apakah ini masalah jumlah tenaga kerja, penyebaran, kualitas atau kinerja atau ada masalah lain? Penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata antara dan di dalam negara merupakan masalah lama dan serius di seluruh dunia. Semua negara, kaya dan miskin, melaporkan proporsi tenaga kesehatan lebih tinggi di daerah-daerah perkotaan dan kaya (Dussault and Franceschini, 2006). Literatur menunjukkan bahwa sebaran geografis tidak dapat ditangani secara tersendiri dan sebaiknya menghindari strategi-strategi yang terfragmentasi, tidak terkoordinasi dan kadangkadang tidak konsisten. Yang diperlukan adalah pendekatan berbagai segi yang terpadu dan terkoordinasi. Dussault dan Franceschini menyarankan ada dua pendekatan utama: ekonomi dan normatif. Ekonomi: distribusi adalah fungsi pasar tenaga kerja pelayanan kesehatan. Ketidakseimbangan merupakan ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan. Saat upah meningkat, distribusi akan meningkat pula. Strategi utamanya adalah menetapkan pasar tenaga kerja yang kompetitif. Normatif: dsistribusi tenaga kerja direncanakan dan dikelola, berdasarkan perbandingan kepadatan staf dengan norma-norma yang disepakati. Variasi dari norma-norma merupakan ketidakseimbangan. Pendekatan ini tergantung pada definisi staf dan norma-norma. Hal ini didasarkan pada rasio staf terhadap penduduk tetapi tidak memperhitungkan produktivitas staf atau kebutuhan penduduk. Roadmap tersebut tampaknya mengambil pendekatan ekonomi, dengan menekankan prinsip ‘penyedia manapun yang bersedia’ harus diizinkan untuk memberikan pelayanan sebagai bagian dari sistem nasional (tanpa diskriminasi publik atau swasta); dan menunjukkan bahwa redistribusi tenaga kerja dan fasilitas kesehatan akan terjadi secara ‘alami’ (hal. 96), melalui pembayaran harga ekonomi untuk pelayanan di seluruh Indonesia. Akan tetapi, pendekatan kebijakan saat ini didasarkan atas pendekatan normatif dan tampaknya tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain masalah berikut • • • Peran dan campuran layanan yang akan diberikan di Puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit di berbagai daerah; Bagaimana pelayanan publik dapat berinteraksi dengan layanan swasta di daerah-daerah dimana terdapat banyak penyedia layanan swasta; Peran berbagai tenaga kerja di Puskesmas dan potensi pengalihan tugas, khususnya termasuk tenaga kerja pendukung yang seringkali terabaikan, dan pekerja honorer (seringkali jumlahnya besar). (2) Dimana tanggung jawab untuk penanganan masalah ini? Dalam mengatasi masalah ini, penting juga untuk merujuk kembali ke peran dan tanggung jawab berbagai tingkat sistem kesehatan, sebagaimana diatur dalam PP38/2007. 136 Menurut peraturan ini, peran tingkat Pusat adalah (a) manajemen tenaga kesehatan strategis; (b) penguatan tenaga kesehatan di tingkat nasional; (c) pengawasan dan pemantauan pelatihan berskala nasional dan pendidikan kedokteran; (d) pendaftaran, akreditasi dan sertifikasi pada skala nasional; (e) pemberian izin kepada penyedia layanan kesehatan asing. Peran Provinsi adalah: (a) penempatan tenaga kesehatan strategis dan transfer tenaga kesehatan khusus antara kabupaten/kota dalam satu provinsi; (b) penguatan tenaga kesehatan di tingkat provinsi; (c) pelatihan tenaga kerja di tingkat provinsi; (d) pendaftaran, akreditasi dan sertifikasi di tingkat provinsi; (e) rekomendasi pemberian izin bagi penyedia layanan kesehatan asing. Sementara peran pemerintah kabupaten adalah: (a) memanfaatkan tenaga kesehatan strategis, (b) penguatan tenaga kesehatan di tingkat kabupaten, (c) pelatihan di tingkat kabupaten; (d) registrasi, akreditasi dan sertifikasi di tingkat kabupaten (e) pemberian izin untuk tenaga kerja yang ditentukan. Namun sejauh ini pembuatan kebijakan sebagian besar terbatas pada tingkat pusat, dan tidak banyak upaya untuk melibatkan provinsi dan kabupaten dalam mengelola atau mengatasi permasalahan tersebut secara aktif. PP Nomor 38 juga menyerahkan tanggung jawab pengelolaan penyediaan pelayanan tingkat dasar dan rujukan di kabupaten ke pemerintah kabupaten. Sementara tingkat pusat memiliki tanggung jawab untuk pengelolaan penyediaan layanan di daerah perbatasan, terpencil, berisiko tinggi dan daerah kepulauan, tanggung jawabnya sebaliknya adalah memberikan pembinaan dan pengawasan atas penyediaan layanan di tingkat provinsi dan kabupaten. Pilihan-pilihan Kebijakan (1) Tingkat Pusat • • • • Fokus pada strategi untuk mengatasi bidang-bidang layanan kritis tersebut diatas seperti perbatasan, daerah terpencil, daerah berisiko tinggi, melalui penyediaan langsung tenaga kontrak secara rotasi/bergiliran. Menentukan ‘tenaga kesehatan strategis’ mengutamakan pada pengelola fasilitas, dan meningkatkan peran dan kapasitas pengelola fasilitas kesehatan. Memberikan panduan kepada pihak provinsi dan kabupaten tentang interpretasi model pemberian pelayanan yang lebih fleksibel, dan adaptasi model pemberian pelayanan untuk kebutuhan kesehatan penduduk, permintaan masyarakat, ketersedian sektor swasta dan peran khusus untuk Puskesmas. Menyediakan regulasi dan arah secara menyeluruh untuk ‘pasar’ tenaga kesehatan melalui perencanaan pendidikan tenaga kesehatan, persyaratan perizinan, dan akses ke pelatihan spesialis. (2) Tingkat Provinsi • Berperan lebih aktif dalam mengelola distribusi tenaga kesehatan antar kabupaten didalam provinsi untuk memastikan tenaga kesehatan yang penting tersedia, dengan potensi untuk rotasi antara fasilitas kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten. 137 • Mempelajariinsentif yang tepat untuk mendorong tenaga kesehatan agar mau ditempatkan di daerah pedesaan dan terpencil di provinsi tersebut. (3) Tingkat Kabupaten • • • Mengkaji dan menetapkan peran puskesmas di berbagai wilayah di kabupaten, campuran pelayanan yang akan diberikan dan kebutuhan tenaga kesehatan. Mengelola penempatan tenaga kesehatan di antara berbagai fasilitas pelayanan kesehatan untuk memastikan penggunaan yang paling efektif dari tenaga kesehatan yang tersedia. Mempelajari insentif yang tepat untuk mendorong tenaga kesehatan agar mau ditempatkan di daerah pedesaan dan daerah terpencil di kabupaten. Perlunya Penelitian Lebih Lanjut Sejumlah keputusan kebijakan dibuat dengan pemahaman yang terbatas tentang persepsi, harapan, dan sikap tenaga kerja. Pengalaman internasional menekankan pentingnya penelitian yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan, dan memantau dampak perubahan kebijakan. Dalam konteks Indonesia, perlu untuk lebih memahami preferensi pendatang baru untuk tenaga kesehatan (khususnya dalam hal penempatan di pedesaan; pengalaman dan preferensi mereke menyelesaikan penempatan awal di pedesaan, dan pengalaman tenaga kesehatan mengikuti penerapan asuransi kesehatan sosial. 138 Referensi Kurniati A, Efendi F.(undated) Viewing Decentralization as an Opportunity: In Improving Availability of Health Workers in Underserved Areas. Ministry of Health, The Republic of Indonesia Rokx C, Marzoeki P, Harimurti P. Indonesia’s doctors midwives and nurses: current stock, increasing needs, future challenges and options. Jan 2009. World Bank Dussault G, and Franceschini MC (2006). Not enough there, too many here: understanding geographic imbalances in the distribution of the health workforce. Human Resourcers for Health 2006, 4:12 doi:10.1186/1478-4491-4-12 Meliala A, Hort K, Trisnantoro L. (2013). Addressing the unequal geographic distribution of specialist doctors in Indonesia: the role of the private sector and effectiveness of current regulations. Soc Sci Med 82: 30-34 Dolea C, Stormont L, McManus J. Increasing access to health workers in remote and rural areas through improved retention: global policy recommendations Dolea C, Stormont L, Braichet J-M. Evaluated strategies to increase attraction and retention of health workers in remote and rural areas. Bull WHO 2010: 88; 379-385 139 Lampiran Tabel 4: Evolusi Kebijakan dalam Hal Wajib Tugas di Pedesaan untuk Dokter Kontrak baru (PTT) 1992-2001 2002-2004 2005 Dasar hukum Keppres 37/1991 Kepmenkes 08/1992 UU No 32/1992 Keppres 37/1991 Kepmenkes 1540/2002 Kebijakan tenaga kesehatan Diberlakukan zero growth pelayanan publik sebagai latar belakang Tugas di pedesaan untuk dokter kontrak baru (PTT) bersifat wajib Pengangkatan berdasarkan antrian Periode pengangkatan 3 x setahun Provinsi menentukan kabupaten penugasan Permasalahan Antrian di provinsi favorit Isu HAM Keterlambatan penerimaan gaji 140 2006 2007 UU No 23/1992 Keppres 37/1991 Kepmenkes 1540/2002 Kepmenkes 132/2006 Kepmenkes 312/2006 Kepmenkes 508/2007 Tugas di pedesaan untuk dokter kontrak baru (PTT) bersifat sukarela 3 pilihan: menunda, masa bakti, cara lain Diberlakukan provinsi terbuka dan tertutup Pengangkatan berdasarkan antrian, namun daftar antrian ditayangkan di internet (transparan) Periode pengangkatan 3 x setahun Provinsi menentukan kabupaten penugasan Membuka kembali semua provinsi Pengangkatan berdasarkan ranking dan skoring (IPK, tahun lulus, domisili) Provinsi menentukan kabupaten penugasan Jangka waktu pengangkatan bervariasi antara pedesaan dan daerah terpencil Insentif untuk dokter dan bidan yang menyetujui untuk ditempatkan di daerah sangat terpencil Kriteria dan lokasi penugasan ditentukan oleh Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan Tugas di pedesaan bersifat sukarela Prioritas untuk daerah terpencil dan sangat terpencil Untuk daerah biasa, menggunakan PNS permanen atau perpanjangan kontrak staf dari pusat Insentif jika bersedia ditempatkan di daerah sangat terpencil Pengangkatan langsung untuk kabupaten/kota berdasarkan kriteria Lama penugasan di daerah-daerah terpencil: 2007: 1 tahun 6 bulan 2011: 1 tahun 2013: 2 tahun Kabupaten tidak mempunyai kemampuan untuk merekrut dan secara langsung sehingga kebutuhan tidak terpenuhi Setelah sampai di provinsi penugasan, dokter tidak bersedia ditugaskan ke daerah terpencil. Kriteria penempatan tidak sesuai dengan surat pengangkatan (SK) yang relevan. NOTA #19 KEBIJAKAN Menutup Kesenjangan: Pengalaman Global Penyediaan Perlindungan Asuransi bagi Pekerja Sektor Informal 66 Daftar Isi I. Pendahuluan dan Tujuan II. Pilihan untuk Pembiayaan Sektor Informal a. Pembiayaan Umum Non-iuran Berbasis Pajak b. Pembiayaan Berbasis Iuran 2 4 4 6 III. Mekanisme Identifikasi/Pemilihan Sasaran dan Prosedur Pendaftaran a. Keikutsertaan Sukarela vs. Wajib b. Keikutsertaan Berbasis Keluarga c. Keikutsertaan Berbasis Kelompok d. Keikutsertaan Berasaskan Kemudahan e. Nomor Identitas Tunggal 7 7 8 9 10 11 IV. Desain Iuran a. Iuran Terkait Pendapatan b. Paket Manfaat dan Kemauan Membayar 12 12 13 V. Masalah Administrasi dan Pemungutan Iuran a. Fleksibilitas Pemungutan Pembayaran b. Kelompok Terorganisir c. Kerjasama dengan Operator Jaminan Sosial Lainnya d. Pembayaran Bergerak e. Penguatan Sisi Pemasok 14 14 15 15 15 16 66 Ini adalah Policy Note 19, ditulis untuk tim BPJS oleh Anna Monfert, GiZ, Annette Martin, Joint Learning Network, dan Jack Langenbrunner, dibawah pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health System Strengthening (AIPHSS). Makalah ini ditulis untuk Konferensi Sektor Informal di Yogyakarta 29 September-2 Oktober, 2103. Untuk salinan lain, Catatan Kebijakan sebelumnya, silahkan menghubungi website www.aiphss.org 142 VI. Tantangan Desentralisasi: Harmonisasi Nasional dan Subnasional 16 VII. Informasi dan Pemasaran Sosial 17 VIII. Kesimpulan 18 IX. Referensi 20 Pendahuluan dan Tujuan Masalah pertama adalah bagaimana mendefinisikan sektor informal secara jelas agar dapat menjadikan sektor ini sebagai sasaran secara efektif. Secara global, definisi “sektor informal” telah diterjemahkan ke dalam berbagai definisi. Definisi yang dianut oleh Kantor Buruh Internasional (International Labour Office/ILO) pada tahun 1993 (Konferensi Internasional Statistik Perburuhan ke-15) menyatakan bahwa sektor informal terdiri atas entitas-entitas yang bergerak dalam produksi barang atau jasa dengan tujuan utama menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Entitasentitas tersebut cenderung beroperasi pada tingkat organisasi yang rendah, dengan sedikit atau tidak ada pembagian antara kerja dan modal, dan dalam skala kecil. Hubungan ketenagakerjaan kebanyakan didasarkan pada kerja sambilan, kekerabatan, atau hubungan pribadi dan sosial, bukan pada perjanjian kontrak dengan jaminan formal.67 Secara global, terdapat hubungan negatif secara statistik antara PDB per kapita dan perbandingan angkatan kerja di lapangan kerja informal (Kantor Buruh Internasional, 2011): negara kaya cenderung memiliki perbandingan sektor informal yang lebih kecil daripada negara miskin, yang mengesankan bahwa dalam jangka panjang, ketika negara makin kaya, lapangan kerja informalnya akan semakin sedikit (lihat Gambar 1). Namun kecenderungan ini akhir-akhir ini dipertanyakan karena ternyata sektor informal, terutama di Asia Pasifik Timur, terbukti lebih kuat bertahan daripada perkiraan (BPS Indonesia & Bank Pembangunan Asia, 2011). Selama beberapa dekade berikutnya, kebanyakan negara berkembang akan terus memiliki sektor informal yang besar beserta masalah yang terkait dengannya, yaitu kemampuan yang terbatas untuk meningkatkan pendapatan publik dari pajak-pajak yang berhubungan dengan pendapatan dan ketenagakerjaan.68 67 Menurut ILO, unit produksi sektor informal memiliki ciri-ciri usaha rumah tangga sebagai berikut: (a) aset tetap dan lainnya yang digunakan bukan milik unit produksi tapi pemiliknya; (b) unit tidak dapat melakukan transaksi atau kontrak dengan unit lain, atau mendatangkan kewajiban, atas nama mereka sendiri; (c) pemilik harus mendapatkan pendanaan yang dibutuhkannya dengan menanggung risiko sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi, tanpa batas, akan utang apapun; (d) pengeluaran untuk produksi seringkali tidak dapat dibedakan dari pengeluaran rumah tangga; dan (e) barang modal (bangunan, kendaraan, dan sebagainya) dapat dipakai tanpa pembedaan antara tujuan bisnis dan rumah tangga. 68 Keberadaan sektor informal membatasi kemampuan otoritas pajak daerah untuk memungut pendapatan. Cobham memperkirakan bahwa penerimaan pajak negara berkembang yang hilang dari ekonomi informal, termasuk pajak penghasilan badan dari perusahaan yang tak terdaftar dan pajak penghasilan pribadi dari pekerjaan informal, berjumlah setiap tahunnya sekitar US$ 285 milyar, yaitu 31 persen dari semua potensi penerimaan pajak di negara berkembang (Cobham 2005; GTZ 2010). Entitas sektor informal tidak selalu berjalan dengan sengaja untuk menghindari pembayaran pajak atau iuran jaminan sosial, atau melanggar undang-undang perburuhan atau ketentuan administratif lainnya. Aktivitas sektor informal harus dibedakan dari konsep kegiatan ekonomi tersembunyi atau bawah tanah. 143 Gambar 1. Lapangan kerja informal dan PDB per kapita di 38 negara Sumber: ILO, Departemen Statistik (Lihat Tabel 1 untuk detilnya), dan IMF, Tinjauan Ekonomi Dunia Grafik ini menunjukkan untuk setiap negara persentase lapangan kerja informal dari total lapangan kerja non-pertanian dan nilai pendapatan per kapita (dinyatakan dalam logaritma natural). Nama negara disingkat untuk menghemat tempat. Sumbu-sumbu berpotongan pada rerata sampel tak berbobot. Garis tren linear digambarkan, dan ukuran gelembung mencerminkan ukuran total lapangan kerja informal (dalam logaritma). Hanya negara dengan data orang-orang dalam lapangan kerja informal yang dimasukkan. Data PDB adalah data tahun yang sama dengan data tahun terakhir yang tersedia mengenai lapangan pekerjaan di ekonomi informal. Sumber: Kantor Buruh Internasional 2011, seperti dikutip dalam Bitrán 2013. Mengingat Jamkesmas telah menargetkan sektor informal miskin di Indonesia, makalah ini berfokus pada sektor informal yang tidak tergolong dalam kelompok miskin – yang dengan demikian merupakan kelompok yang saat ini tidak memenuhi syarat untuk asuransi kesehatan berbasis pajak (asuransi PBI). Pemerintah Indonesia saat ini sedang berdiskusi untuk mengidentifikasi dan mengikutsertakan sektor informal yang tidak tergolong dalam kelompok miskin, baik melalui pembayaran premium maupun melalu subsidi tambahan dari pendapatan pajak negara (revenue). Makalah ini berupaya menjawab permasalahan tersebut dengan memadukan bukti-bukti global dan secara jelas meringkas bagaimana negara lain telah mencoba untuk memasukkan sektor informal tak-miskin dalam usaha mereka mencapai cakupan kesehatan semesta. 144 Meskipun berbagai pendekatan berbeda untuk mengatasi masalah yang kompleks ini telah dilaksanakan di seluruh dunia, keberhasilan dalam menjangkau sektor informal masih menjadi tantangan di banyak negara. Masalah yang paling umum dihadapi dalam penyediaan asuransi kesehatan untuk sektor informal antara lain adalah rendahnya tingkat pendaftaran, kesulitan dalam pengumpulan iuran dan pendaftaran ulang, dan pemilihan sakal (Van der Gaag dan Stimac, 2012). Meskipun demikian, di balik tantangan-tantangan tersebut, ada juga kisah-kisah suksesnya. Pengalaman global dapat menjadi sumber praktik terbaik dan memberikan pelajaran mengenai tantangan-tantangan yang ada ketika Indonesia mempertimbangkan pilihannya dalam konteks pengalaman nasionalnya sendiri. Pilihan untuk Pembiayaan Sektor Informal Ada dua pendekatan dasar dalam memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk menyediakan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor informal. Suatu negara dapat: (1) Memperluas pembiayaan pajak umum non-iuran dari kalangan miskin ke sektor informal, bahkan, ke seluruh populasi (“squeezed bottom-up”); atau (2) Memperluas skema berbasis iuran dari sektor formal ke informal (“squeezed bottom-up”) (Tangcharoensathien et al., 2011). Tidak ada dikotomi yang tegas antara kedua mekanisme pembiayaan tersebut. Ada juga “cara ketiga”, yaitu pembiayaan sistem perawatan kesehatan melalui campuran antara kontribusi dan subsidi berbasis pajak69 (Kwon, 2011), yang kini makin sering diterapkan di berbagai negara (lihat, contohnya, Kutzin, Cashin and John, 2011; Langenbrunner and Somanathan, 2011). Keputusan memilih salah satu dari ketiga pendekatan pembiayaan ini biasanya memiliki ciri khas untuk masing-masing negara dan dapat mencerminkan faktor politik, ekonomi, atau budaya, atau campurannya. Ketika suatu negara seperti Indonesia memperdebatkan tentang pendekatan yang optimal, isu awal yang perlu dievaluasi adalah apakah lebih hemat biaya (dari sudut pandang administratif) mengembangkan infrastuktur pengumpulan premi, atau apakah lebih baik mensubsidi saja sepenuhnya tenaga kerja informal non-miskin juga.70 Dua bagian berikut akan membahas argumen pro dan kontra terhadap pengumpulan iuran dari sektor informal dalam kerangka Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN).71 Pembiayaan Umum Non-iuran Berbasis Pajak Salah satu cara untuk mencakup sektor informal adalah dengan mengaitkan pertanggungan dengan status kependudukan dan mendaftarkan seluruh populasi dari sector informal (bukan hanya yang miskin saja) dengan pembayaran dari pendapatan umum pemerintah. Menanggung sektor informal melalui perpanjangan pembiayaan umum non-iuran berbasis pajak dapat terbukti 69 Misalnya, ada subsidi parsial di Mali dan Amerika Serikat untuk menarik mereka yang belum tertanggung melalui pekerjaan untuk mendaftar dan membayar premi untuk keseimbangan biaya. 70 Memang dapat dikatakan bahwa hal ini terlalu menyederhanakan, dan banyak pertanyaan lain dapat ditanyakan di suatu negara tergantung pada konteks seperti waktu, dampak pada produktivitas, atau tekanan politik, yang tidak dapat dibahas dalam makalah ini. 71 yaitu, diasumsikan bahwa, bagi pekerja formal, suatu sistem yang wajib, dipotong di sumbernya, berbasis pendapatan dari pekerjaan, dan berbasis iuran sudah ada. 145 lebih menghemat biaya daripada membuat suatu mekanisme iuran khusus yang mencerminkan kemauan dan kemampuan membayar dari ragam pangsa sector informal. Pengalaman global telah membuktikan bahwa sangat sulit untuk membedakan antara si miskin dan si non-miskin dalam sektor informal, terkait penetapan jumlah iurannya. Negara yang telah mulai beralih jalur pembiayaan dari sumber pendapatan pajak umum (revenue), mengalami kenaikan tingkat pertanggungan yang signifikan dan relatif cepat. Contohnya, setelah memperkenalkan skema cakupan semesta (UCS)72, Thailand mengalami kenaikan pertanggungan hingga hampir 100 persen. Pembiayaan UCS melalui pendapatan pajak umum adalah pendekatan yang pragmatis, mengingat bahwa pemerintah Thailand dengan motivasi politiknya berusaha memperluas cakupan pertanggungan secepat mungkin. Menanggung 30% populasi yang tadinya belum tercakup – kebanyakan pekerja informal – melalui iuran keanggotaan khusus tidak mungkin bisa dilakukan dengan kecepatan yang sama (Li et al., 2011; Tangcharoensathien et al., 2011). Selain manfaat dari perluasan yang cepat ke sektor informal, pembiayaan berbasis pajak (jika didasarkan pada pajak penghasilan) menguntungkan dalam hal bahwa pajak penghasilan bisa lebih progresif daripada asuransi kesehatan sosial, karena iuran untuk asuransi kesehatan sosial biasanya kalau tidak sebanding dengan penghasilan saat ini hingga batas tertentu atau menggunakan tarif rata-rata (Kwon, 2009).73 Negara lain, seperti Cina, Hungaria, Moldova, seiring berjalannya waktu kembali mengandalkan penggunaan pendapatan pajak (revenue) untuk menanggung sektor informal (Wagstaff et al., 2009; Kutzin, Cashin, and Jakab, 2010). Namun demikian, sangat penting untuk tidak bergantung kepada pendekatan pembiayaan berbasis pajak oleh sebab keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan tersebut. Pertama, bila diterapkan tanpa memperkenalkan penerimaan pajak baru, pendekatan ini menimbulkan dampak langsung terhadap anggaran, yaitu mengurangi ruang fiskal pemerintah secara keseluruhan di semua sektor, serta dapat mengancam disiplin fiskal. Pendekatan ini menciptakan ketergantungan yang terus berlangsung—dan seringkali bertambah parah—atas alokasi dari Kementerian Keuangan, yang mana dapat membahayakan keberlanjutan keuangan. Pada kenyataannya, Thailand yang menjadi model manajemen pengeluaran yang ketat juga menghadapi tantangan pembiayaan jangka panjang, terutama mengingat bahwa populasinya tidak hanya menua namun juga menuntut perawatan kesehatan yang lebih baik dan lebih luas (Tangcharoensathien et al., 2011). NHSO bergumul dengan beragam mekanisme pemulihan biaya tambahan karena setiap tahunnya anggaran per kapita yang disetujui makin rendah (Hanvoravongchai dan Hsiao, 2007). Korea Selatan dan Filipina menangani masalah ini melalui “pajak dosa” (sin tax). Korea Selatan saat ini membiayai 3,5% program asuransinya dari pajak tembakau ( Jeong, 2011), and Filipina berencana meningkatkan pendapatan dari pajak atas penjualan tembakau dan alkohol (UU Republik No. 10606, 2012). Selain itu, ada bukti bahwa pembiayaan dari pajak bagi sektor informal malah dapat mendorong peningkatan informalitas. Jika jaminan kesehatan bagi pekerja informal disediakan secara cumacuma atau dengan biaya yang rendah, ada insentif bagi pengusaha dan/atau pekerja untuk tetap informal – atau beralih ke perjanjian informal – demi menghindari kewajiban membayar iuran yang terkait dengan pekerjaan formal. Fenomena ini muncul di berbagai negara, seperti Kolombia 72 UCS adalah skema asuransi kesehatan yang didanai pajak, menargetkan 47 juta orang yang tidak ditanggung oleh Civil Servant Medical Benefit Scheme (CSMBS) atau Social Security Scheme (SSS) yang sudah ada. 73 Namun, pada prakteknya, progresivitas pajak pendapatan dipertanyakan karena adanya pengelakan pajak di banyak negara berpenghasilan rendah (Kwon, 2011). 146 dan Thailand. Di Kolombia, peneliti menemukan adanya peningkatan lapangan kerja informal antara 2-4% yang disebabkan oleh desain reformasi sektor kesehatan74 (Bitran, 2013). Penelitian lain di Thailand menunjukkan bahwa pertanggungan universal meningkatkan lapangan kerja sektor informal sebanyak dua poin persentase setelah reformasi, dan tumbuh menjadi 10% setelah tiga tahun pertama (Wagstaff dan Manachotphong, 2012). Meskipun fenomena tersebut lebih mungkin terjadi ketika pertanggungan sektor informal dibiayai sepenuhnya dari pajak, peningkatan informalitas juga bisa terjadi akibat reformasi subsidi parsial yang mewajibkan sektor informal membayar iuran. Selanjutnya, untuk sektor formal, pengusaha dan karyawan dapat melaporkan gaji yang lebih rendah, atau mengalokasikan upah dalam bentuk skema bonus yang bebas pajak seperti terjadi di negara seperti Cina, Kolombia, dan Iran (Wagstaff et al., 2009; Bitran, 2013; Tinjauan Sektor Kesehatan Bank Dunia Iran, 2007). Pengusaha juga dapat menggunakan metode kontrak untuk menghindari iuran dan sebagai akibatnya membuat kelompok-kelompok informal yang lebih besar. Pembiayaan Berbasis Iuran Jika tidak ada sumberdaya tambahan yang disediakan dari anggaran pemerintah, perluasan pertanggungan asuransi kesehatan bagi sektor informal non-miskin akan harus dibiayai dari iuran, baik seluruhnya maupun sebagian. Banyak negara mensubsidi premi agar keikutsertaan dalam program menjadi lebih menarik dan terjangkau bagi pekerja informal. Vietnam membiayai perluasan pertanggungannya baru-baru ini melalui subsidi pajak (Tangcharoensathien et al., 2011), mensubsidi premi bagi kaum hampir miskin sebesar 70 persen (Bank Dunia, 2013). Cina hampir sepenuhnya (90 persen) mensubsidi premi bagi petani di bawah New Rural Cooperative Medical Scheme (NRCMS, Skema Medis Koperasi Pedesaan Baru)75 (Yip dan Hsiao, 2008).76 Mali mensubsidi premi sebesar 50 persen dan Amerika Serikat mengelola subsidi berdasarkan skala geser. Demikian pula, skema asuransi kesehatan di negara-negara berpenghasilan tinggi Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan memberikan subsidi parsial bagi pekerja sektor informal, yang membantu kelancaran perpanjangan asuransi kesehatan (Kwon, 2011). Keuntungan dari subsidi parsial adalah bahwa pembayaran iuran menciptakan rasa keikutsertaan dan kepemilikan di kalangan pekerja informal, memberdayakan mereka sedemikian rupa sehingga mereka bisa menuntut kualitas layanan yang lebih baik, dan membuat informalitas menjadi kurang menarik karena keanggotaan dalam sektor informal tidak berarti seseorang dapat menghindar dari membayar iuran. Namun, memperluas pendekatan berbasis iuran ke sektor informal juga memiliki beberapa kelemahan yang signifikan. Masalah utamanya adalah kesulitan untuk menilai pendapatan riil pekerja sektor informal – yang akan menjadi dasar pemotongan iuran jaminan sosial. Bahkan jika tarif premi seragam diterapkan kepada semua pekerja informal (lihat Bagian IVa di bawah), biaya mengidentifikasi dan mendaftarkan serta mengumpulkan iuran (secara berkelanjutan) dari pekerja informal bisa jadi tinggi mengingat mobilitas dan sering berfluktuasinya pendapatan populasi. Selain itu, pengumpulan penghasilan untuk asuransi kesehatan sosial bisa jadi terbatas dan jatuh di bawah perkiraan dan harapan (Kutzin, Cashin, dan Jakab, 2010). Bagian-bagian berikutnya di 74 Lihat Bitran, 2013, untuk informasi lebih lanjut mengenai desain reformasi yang diikuti model kompetisi terkelola seperti Enthoven, tapi mencakup premi bersubsidi bagi populasi miskin dan tidak bekerja. 75 NRCMS adalah program asuransi kesehatan “sukarela” bagi penduduk pedesaan yang dirintis tahun 2003-5 dan diluncurkan antara tahun 2006 dan 2013. 76 Sebagian karena subsidi NRCMS yang tinggi, cakupan pertanggungan bagi penduduk pedesaan naik dari 13 menjadi 19 persen antara tahun 2003 dan 2008 (Barber dan Yao, 2010). 147 bawah ini menggambarkan bagaimana berbagai negara telah melakukan penanganan atas isu-isu yang terkait sistem berbasis iuran ini. Mekanisme Identifikasi/Pemilihan Sasaran dan Prosedur Pendaftaran Keikutsertaan Sukarela vs. Wajib Pertanyaan pertama adalah apakah keikutsertaan dalam skema berbasis iuran baiknya bersifat sukarela atau wajib. Menurut Kwon (2009) keikutsertaan wajib lebih efisien daripada keikutsertaan sukarela untuk menghindari masalah adverse selection. Pertanyaan yang tersisa kemudian apakah keikutsertaan wajib dapat ditegakkan secara efektif. Di negara Cina dan Vietnam, pekerja sektor informal dapat secara sukarela ikut serta dalam skema jaminan kesehatan nasional, sedangkan di Kolombia mereka diharuskan mendaftar (Wagstaff et al., 2009). Meskipun NRCMS di Cina menganut skema sukarela menurut namanya, ternyata insentif ekonomi untuk mendaftar lebih kuat karena tingginya subsidi pemerintah.77 NRCMS disertai dengan insentif kuat berupa pembiayaan dari tingkat pusat dan dengan target keikutsertaan spesifik yang harus dipenuhi oleh pejabat Partai Komunis setempat sehingga secara de facto menjadi sebuah skema wajib (Liang dan Langenbrunner, 2013). Di Thailand, perluasan pertanggungan secara sukarela ke pekerja sektor informal dicoba dengan skema Kartu Sehat Sukarela (voluntary health card scheme/VHCS) pada tahun 1991. Alasan utama gagalnya program VHCS adalah sifatnya yang sukarela, yang membuat skema ini mengalami masalah pemilihan terbalik dan penyalahgunaan sistem.78 Demikian juga di Filipina, anggota yang mendaftar lewat Program Bayar Individu (Individual Paying Program/IPP) kebanyakan menderita sakit kronis dan memiliki tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi daripada rata-rata penerima PhilHealth, organisasi asuransi sosial nasional yang mengatur IPP (Tangcharoensathien et al., 2011). Keikutsertaan dalam IPP wajib bagi semua individu yang belum tertanggung oleh program lain, namun karena lemahnya penegakan IPP secara de facto tetap merupakan skema sukarela (PhilHealth, 2012). Segera setelah adanya pembiayaan baru bagi kaum hampir miskin, Filipina saat ini sedang bertransisi dari keikutsertaan sukarela ke keikutsertaan wajib (UU Republik No. 10606, 2012). Pada tahun 1999, PhilHealth meluncurkan Individual Paying Program (IPP) untuk memperluas cakupan asuransi kesehatan ke semua pekerja sektor informal non-miskin. Keikutsertaan melalui IPP wajib bagi semua individu yang tidak tertanggung oleh program lain, dan skema IPP oleh sebab itu menjadi satu-satunya pilihan pertanggungan bagi kaum hampir miskin di sektor informal. Dari tahun 1999 sampai 2012, berbagai pendekatan dicoba untuk memaksakan keikutsertaan bagi kaum hampir miskin dan non-miskin di sektor informal, seperti mensyaratkan bukti keanggotaan PhilHealth untuk memperoleh dan memperbarui izin mengemudi, lisensi bisnis, dan lisensi 77 Pada tahun 2010, premi tahunan sebesar 120 RMB (kira-kira 18 USD) dengan masing-masing 50 RMB dari pemerintah pusat dan daerah – sehingga penerima manfaat hanya perlu membayar iuran 20 RMB setahun (Barber danYao, 2010). 78 Penerima manfaat VHCS bukan hanya menggunakan layanan kesehatan lebih sering daripada populasi umumnya, mereka juga cenderung mengikuti program setelah diagnosis (kehamilan, penyakit kronis, dll.). Akibatnya, pada tahun 2001, program ini telah dihapus (Hanvoravongchai dan Hsiao, 2007). 148 profesional lainnya. Menurut amandemen 2013 atas hukum asuransi kesehatan, kaum hampir miskin berhak ditanggung di bawah Program Bersponsor. Mutuelles di Rwanda beralih dari keikutsertaan sukarela menjadi wajib pada tahun 2005-2006. Unit-unit pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mendaftarkan populasi. Pemerintah pusat menggunakan target keikutsertaan dan insentif keuangan untuk mendorong pemerintah daerah mendaftarkan populasinya. Dalam rangka menjalin akuntabilitas, kinerja dalam pencapaian target keikutsertaan ditinjau oleh pejabat pemerintah tingkat tinggi, termasuk Presiden. Keikutsertaan Berbasis Keluarga Salah satu mekanisme identifikasi yang relatif sederhana yang dapat membantu memperluas cakupan pertanggungan populasi adalah dengan mewajibkan keikutsertaan seluruh keluarga. Pendekatan ini seringkali menjadi cara menghindari adverse selection dengan tidak membolehkan individu dengan probabilitas kebutuhan perawatan yang tinggi untuk ikut serta. Di Korea Selatan, keanggotaan berbasis keluarga berkontribusi pada perluasan yang cepat dalam cakupan pertanggungan menuju perawatan kesehatan universal (Kwon, 2009). Banyak negara mengikuti contoh Korea Selatan. Di Filipina, masing-masing kategori keanggotaan PhilHealth memberi hak pada tanggungan yang diakui secara hukum dari anggota utama atas manfaat standar. Ini mencakup pasangan, semua anak di bawah usia 21 tahun, serta orangtua dan anak-anak di atas usia 21 tahun yang menyandang disabilitas fisik atau mental (Obermann et al., 2006). Demikian juga, NRCMS di Cina juga memberlakukan persyaratan bahwa keikutsertaan dalam skema tersebut berada pada tingkat rumah tangga (Wagstaff et al., 2009). Pada umumnya, negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang telah berhasil memperluas asuransi kesehatan sosialnya umumnya memberi penekanan kuat pada keikutsertaan berbasis keluarga (Bank Dunia, 2013). Keikutsertaan Berbasis Kelompok Keikutsertaan berbasis kelompok mensyaratkan individu untuk mendaftarkan diri dalam suatu skema jaminan kesehatan berdasarkan rumah tangga atau komunitasnya. Alasan untuk keikutsertaan berbasis kelompok cukup meyakinkan: pengelolaannya lebih mudah dan perluasan dapat dilakukan lebih cepat. Bila semua anggota kelompok tertentu didaftarkan, biaya administrasi berkurang dan pemilihan sakal dapat dibatasi. Mengingat sifat pekerjaan mereka, pekerja sektor informal mungkin tidak terorganisasi dalam kelompok atau asosiasi berdasarkan pekerjaan mereka, tetapi mungkin mereka menjadi anggota organisasi berbasis masyarakat seperti kelompok perempuan, kelompok swabantu, kelompok simpan pinjam, kelompok agama, dll. (Mathauer et al., 2008). Namun, mereka mungkin terorganisasi lewat pekerjaan mereka, seperti kasus para pedagang pasar perempuan di Senegal dan tempat-tempat lain di Afrika. Sudah ada beberapa upaya untuk memanfaatkan potensi kelompok-kelompok tersebut. Di Vietnam, Vietnam Social Security (VSS, Jaminan Sosial Vietnam) menjual asuransi sukarela untuk semua orang yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan asuransi wajib; salah satu kelompok sasaran penting dari skema ini adalah sektor informal. VSS memusatkan perhatian pada keikutsertaan 149 kelompok-kelompok terorganisasi, termasuk mahasiswa dan anggota organisasi massa seperti serikat petani dan perempuan79 (Nguyen dan Knowles, 2010). Filipina telah berhasil80 mengikutsertakan segmen-segmen populasi yang sebelumnya tidak tertanggung dengan menggunakan kelompok-kelompok terorganisasi untuk mengidentifikasi pekerja sektor informal (Oberman et al., 2006). Pada tahun 1999, PhilHealth meluncurkan Individual Paying Program (IPP) untuk memperluas cakupan asuransi kesehatan ke semua pekerja sektor informal non-miskin.81 Pada praktiknya, IPP adalah satu-satunya pilihan pertanggungan bagi kaum hampir miskin di sektor informal. PhilHealth meluncurkan program KaSAPI yang menyasar kelompok-kelompok terorganisasi, dan khususnya lembaga-lembaga yang menyediakan layanan keuangan mikro82 bagi sektor informal. Dengan menyediakan asuransi melalui skema pembayaran berkelompok yang terjangkau, PhilHealth menawarkan insentif kepada kelompok bila mereka membawa minimal 70 persen dari anggota mereka yang memenuhi syarat ke dalam IPP ( Jowett dan Hsiao, 2007). Skema-skema ini tidak hanya menyediakan akses ke sektor informal dan menyadarkan masyarakat untuk membayar iuran, namun juga dapat merespon kebutuhan lokal secara tepat waktu. Skema-skema yang berbeda di Filipina telah bereksperimen dengan tingkat iuran dan paket manfaat yang fleksibel (Oberman et al., 2006). Dengan demikian, pendekatan berbasis kelompok dapat menjadi wahana penjangkauan yang efektif. Social Security Institute (INSS), Institut Jaminan Sosial Nikaragua) juga bertujuan untuk memperluas program asuransi kesehatannya ke pekerja sektor informal menggunakan lembaga keuangan mikro (LKM; microfinance institutions/MFI) sebagai agen penyampaian. Mengingat tingginya tingkat penggunaan LKM di kalangan pekerja sektor informal di Nikaragua, para pembuat kebijakan berhipotesis bahwa akan mudah bagi para pekerja ini untuk mendaftar dan melakukan pembayaran iuran di LKM (Thornton et al., 2010). Namun, ditemukan bahwa ternyata ada efek negatif pada keikutsertaan di kalangan mereka yang diserahkan ke LKM. Pekerja informal lebih memilih mendaftar asuransi langsung dengan INSS daripada melalui LKM karena INSS dipersepsikan sebagai lembaga yang lebih stabil yang berfokus pada penyediaan asuransi. Ada juga kurangnya kejelasan mengenai kegunaan LKM sebagai agen untuk asuransi.83 Keikutsertaan Berasaskan Kemudahan Penelitian Nikaragua juga menunjukkan pentingnya kemudahan akses dalam hal waktu dan kedekatan lokasi. Bila biaya (yang dirasakan) dalam mendaftar dan membayar iuran terlalu tinggi karena waktu dan perjalanan yang dibutuhkan, penerima manfaat potensial yang tertarik akan menjadi enggan mendaftar. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan kecenderungan yang kuat atas proses pendaftaran yang lebih langsung dan mudah. Kendala waktu dikutip sebagai alasan penting 79 Saat ini, hampir semua penerima manfaat sukarela adalah mahasiswa – satu indikasi bahwa VSS belum membuat mekanisme untuk menjual asuransi ke populasi umum termasuk sektor informal. 80 Namun, bahkan dengan pendekatan ini, pekerja sektor informal non-miskin terus menjadi kelompok populasi yang paling sedikit ditanggung dengan cakupan pertanggungan sekitar 40 persen (Weber, 2009). 81 Individual Paying Program (IPP) di bawah PhilHealth adalah untuk semua orang Filipina yang tidak termasuk salah satu kategori ini: i) pekerja sektor formal; (ii) prasejahtera, dan (iii) pensiunan. Anggota yang membayar secara individu mendaftar secara sukarela dan harus membayar 100 persen iuran. 82 PhilHealth menandatangani Memoranda Perjanjian dengan dua lembaga keuangan mikro terbesar di negara itu, yaitu CARD-MBA (Centre for Agriculture and Rural Development – Mutual Benefit Association, Inc) dan TSKI (Taytay sa Kauswagan atau Jembatan menuju Kemajuan) (Basa, 2005). 83 Selain itu, masalah koordinasi antara manajemen LKM pusat dan cabang LKM tentang proses pendaftaran tampaknya justru menurunkan tingkat keikutsertaan. 150 mengapa orang tidak mendaftar asuransi, bahkan ketika disubsidi (Thornton et al., 2010). Keikutsertaan berasaskan kemudahan dapat menghilangkan hambatan dalam pendaftaran: hal tersebut menghapus biaya perjalanan penerima manfaat dan mengurangi biaya yang terkait dengan pengambilan foto dan pembuatan salinan kartu identitas.84 Peneltiian di Nikaragua menunjukkan bahwa menyediakan kemudahan akses bagi klien baru yang potensia untuk mendaftar jaminan kesehatan secara langsung dari kios pasar mereka, ternyata memiliki dampak yang besar pada tingkat keikutsertaan (Thornton et al., 2010). Di Cina, pejabat Partai lokal sering mengunjungi warganya dari pintu ke pintu untuk mendaftarkan anggota dari rumah tangga dan menjelaskan manfaat dari Jaminan Kesehatan yang baru (Liang dan Langenbrunner, 2013). Di India, di bawah skema RSBY publik-swasta, organisasi asuransi swasta ditugaskan menyasar area geografis tertentu dengan cara pergi ke masyarakat untuk mendaftarkan penerima manfaat (LaForgia dan Nagpal, 2012). Filipina sedang menjalankan rintisan sistem pendaftaran elektronik titik-layanan di enam rumah sakit umum. Rintisan Onsite Rapid Enrollment Program (ORE, Program Pendaftaran Cepat di Tempat) yang dimulai pada April 2013 dan telah menunjukkan hasil awal yang menjanjikan; lebih dari 1000 anggota yang memenuhi syarat telah ikut serta dalam Program Bersponsor PhilHealth di enam rintisan per Juni 2013. Nomor Identitas Tunggal Salah satu masalah umum identifikasi adalah tidak adanya data kependudukan yang handal dan sistematis. Memperkenalkan nomor identitas tunggal tidak hanya meningkatkan hasil pendaftaran namun juga efisiensi administrasi di berbagai negara. Pentingnya catatan pendaftaran dicontohkan oleh pengalaman di Thailand. Negara ini mencapai cakupan pertanggungan universal melalui tiga program asuransi kesehatan yang berbeda: Social Security Scheme (SSS, Skema Jaminan Sosial) untuk pegawai sektor formal swasta, Civil Service Medical Benefit Scheme (CSMBS, Skema Manfaat Kesehatan Pelayanan Sipil) untuk pegawai pemerintah, pensiunan dan tanggungan mereka, dan program pertanggungan universal yang mencakup sisa populasi selebihnya. Program ketiga adalah yang terakhir dilaksanakan dan menghadapi beberapa tantangan. Pemerintah berusaha keras mengidentifikasi orang-orang yang belum diasuransikan karena tidak ada basisdata untuk penerima manfaat CSMBS. Menanggapi hal tersebut, mereka menciptakan suatu sistem informasi yang komprehensif sejak tahun 2002 menggunakan basis data pendaftaran pemerintah untuk menghindari duplikasi manfaat asuransi kesehatan di seluruh kelompok populasi yang berbeda. Lebih dari 50 juta catatan penerima manfaat dibuat (Hanvoracongchai dan Hsiao, 2007). Hingga hari ini, basis data terpusat tersebut meliputi seluruh populasi Thailand dan diperbarui dua kali sebulan (ILO, 2013). Di Cina, setiap orang memiliki nomor jaminan sosial yang unik atau nomor skema pendaftaran. Setiap orang atau keluarga (tergantung skemanya) memiliki catatan pendaftaran terkomputerisasi untuk penyedia layanan. Banyak daerah kini mengeluarkan kartu identitas untuk memvalidasi keikutsertaan, dengan beberapa daerah yang melakukannya sebagai kemitraan publik-swasta 84 Individu yang mendaftar untuk asuransi baik di kantor pusat INSS maupun di sebuah LKM diminta untuk memberikan fotokopi kartu identifikasi pemerintah, dua foto ukuran paspor, dan akte kelahiran dari semua penerima manfaat. Mereka juga harus mengisi formulir pendaftaran dan melakukan perjalanan ke kantor INSS atau LKM dan menunggu dalam antrean untuk mendaftar secara pribadi. Menurut survei, proses ini memakan waktu sekitar satu hari, biaya yang besar bagi pemilik bisnis kecil yang perlu mencari orang untuk menjaga toko mereka atau mengorbankan pendapatan sehari (Thornton et al., 2010). 151 dengan bank lokal (Liang dan Langenbrunner, 2013). Di Filipina, anggota diberi PhilHealth Identification Number (PIN, Nomor Identifikasi PhilHealth) yang permanen dan unik. Sebuah catatan data anggota individual dibuat untuk setiap pendaftar dan kartu yang berisi PIN mereka dibagikan kepada anggota (Basa, 2005). Desain Iuran Dalam desain iuran, salah satu isu utama berkaitan dengan apakah semua harus membayar satu iuran yang sama atau iuran terkait pendapatan – iuran berdasarkan kemampuan untuk membayar. Iuran Terkait Pendapatan Sektor informal sangat heterogen dan terdiri atas berbagai kelompok pendapatan. Kelompok berpendapatan lebih baik mampu membayar iuran lebih tinggi daripada kelompok berpendapatan rendah. Misalnya, premi tahunan tetap IPP PhilHealth relatif murah bagi wiraswasta profesional, tapi mahal tak terjangkau bagi banyak petani dan pekerja lain di sektor informal (Obermann et al., 2006). Jika memungkinkan, asuransi kesehatan harus disegmentasi untuk mencerminkan kemampuan membayar yang berbeda-beda antara berbagai kelompok masyarakat (Pauly, 2008). Hal ini membutuhkan semacam penilaian pendapatan atau aset untuk menentukan kemampuan membayar. Karena informasi terpercaya mengenai pendapatan kalangan wiraswasta hanya tersedia sebagian, Korea Selatan mendasarkan rumus perhitungan iuran bagi wiraswasta pada pendapatan maupun aset. Iuran pendapatan didasarkan pada pendapatan kena pajak (bagi mereka yang penghasilan per tahunnya melebihi 5.000 dolar AS (USD)) ataupun pada taksiran pendapatan (bagi mereka yang penghasilannya di bawah USD 5.000) (Kwon, 2009). Iuran aset diukur dengan kepemilikan properti seperti rumah atau kendaraan (Kwon, 2009). Kasus Korea Selatan menunjukkan bahwa asuransi kesehatan sosial dapat menggunakan rumus iuran terkait pendapatan atau aset bagi wiraswasta. Rwanda menerapkan sistem premi berjenjang untuk program Mutuelles-nya dalam rangka beralih ke sistem iuran premi yang lebih adil. Anggota sebelumnya membayar iuran tarif rata 1000 Franc Rwanda (FRW), yang dibayar oleh kepala rumah tangga atas nama semua anggota keluarga. Di bawah sistem iuran yang baru, negara mensubsidi iuran (3000 FRW) untuk populasi termiskin. Anggota lain membayar FRW 2000, FRW 5000, atau FRW 7000 berdasarkan tingkat pendapatan mereka. Di tingkat lebih makro, perusahaan asuransi kesehatan sosial dapat mencoba secara bertahap membagi-bagi sektor informal menurut jenis pekerjaan dengan tujuan membedakan premi (Kwon, 2009). Pembedaan penarikan iuran juga dapat didasarkan pada karakteristik kelompok (Mathauer et al., 2008), atau bervariasi sesuai lokasi geografis. Di Vietnam, tarif premi untuk VHI berkisar antara 3 USD di daerah pedesaan hingga 21 USD di daerah perkotaan (Ekman et al., 2008). Namun, ada kompromi yang penting diperhatikan dalam hal membedakan premi, baik menurut penilaian pendapatan atau aset maupun menurut kelompok, karena penentuan kemampuan membayar itu merepotkan, mungkin memerlukan data dan analisis yang baik dari waktu ke waktu, dan/atau dapat mengakibatkan biaya administratif yang tinggi atau korupsi seperti yang terjadi pada aspek- 152 aspek kebijakan dan praktik pengumpulan pajak yang lain. Oleh sebab itu, ketika sejumlah besar penduduk bekerja di sektor informal, iuran premi tarif rata mungkin lebih bisa dilakukan – setidaknya pada awalnya – seperti pada kasus NRCMS Cina dan IPP Filipina. Paket Manfaat dan Kemauan Membayar Kemauan untuk membayar asuransi kesehatan tidak hanya berhubungan dengan besarnya iuran, tetapi juga dengan paket manfaat yang akan ditawarkan kepada pekerja sektor informal. Rancangan fitur skema asuransi, khususnya paket manfaatnya, mempengaruhi harapan orang akan penggunaan asuransi kesehatan (Mathauer et al., 2008). Manfaat tersebut harus menarik namun juga terjangkau, sebab bila tidak pemakaian bisa diharapkan akan rendah. Permintaan akan asuransi kesehatan sensitif terhadap premi dan fitur-fitur rancangan asuransi, seperti apakah urun bayar (co payment) diperlukan, pagu manfaat diterapkan, dan perawatan komprehensif ditanggung (Lofgren et al., 2008). Cina dan Korea Selatan, misalnya, mulai dengan paket manfaat yang sangat terbatas yang diperluas secara bertahap sejalan dengan waktu sehingga cakupan pertanggungan populasi bisa diperlebar lebih cepat daripada dengan paket yang lebih murah hati85 ( Jeong, 2011; Liang dan Langenbrunner, 2013). Namun paket manfaat yang terbatas mungkin memiliki dampak terbatas pada risiko keuangan, seperti dialami di Cina, Filipina, dan Vietnam hingga tahun 2006. Adanya perluasan yang cepat dari paket manfaat terbatas, menyebabkan perluasan yang lambat dari paket yang lebih komprehensif. Hal tersebut juga dapat menghalangi momentum keberlanjutan, terbukti dalam perjuangan Korea Selatan untuk menyediakan kedalaman cakupan pertanggungan yang sebanding dengan rekan-rekan OECD-nya. Sebuah pertanyaan terkait yang penting adalah apakah satu paket kesehatan yang seragam86 akan ditawarkan bagi semua atau apakah manfaat akan bervariasi untuk kelompok-kelompok populasi yang berbeda (Ekman et al., 2008). Bila paketnya banyak, para pembuat kebijakan dapat menargetkan paket sesuai kesediaan membayar dan mungkin lebih banyak orang di sektor informal akan tertarik untuk ikut serta. Melihat permintaan dari pekerja sektor informal di Cina, Baerninghausen (2007) menemukan bahwa “mereka tidak menilai Basic Health Insurance87 (Asuransi Kesehatan Dasar) sebagai mekanisme untuk memulihkan biaya-biaya finansial yang relatif sering namun kecil yang terjadi akibat penyakit umum, namun sebagai perlindungan atas biaya finansial yang jarang namun besar yang terjadi akibat perawatan malapetaka”. Demikian pula, di Vietnam, keselarasan dengan kebutuhan dan keinginan kelompok sasaran dianjurkan dalam rangka meningkatkan permintaan atas asuransi kesehatan sukarela (Ekman et al., 2008). Pada saat yang sama, sistem banyak paket menciptakan fragmentasi, ketidakadilan dan beban layanan yang tidak ditanggung jatuh pada individu atau sistem publik. 85 Di Korea Selatan bahkan hari ini, manfaat masih relatif rendah (bila dibandingkan dengan negara yang tingkat ekonominya mirip), tapi hal ini terutama karena tingginya penggunaan layanan yang tidak tertanggung dan teknologi medis baru yang didorong oleh penyedia layanan swasta. Selain itu, penerima manfaat asuransi kesehatan nasional dihadapkan pada urun bayar (copayment) sebesar 20 hingga 55 persen biaya rawat jalan. 86 Saat ini, hal ini terjadi di sebagian besar negara. Di Thailand, UCS menyediakan paket manfaat komprehensif yang mencakup rawat jalan, rawat inap dan layanan kesehatan preventif, yang sekarang sedang dicoba distandardisasi untuk UCS, CSMBS, dan SSS (Li et al., 2011). Di Vietnam, penerima manfaat VHI berhak atas paket manfaat yang sama dengan pengecualian identik seperti yang tertanggung oleh program CHI (Ekman et al., 2008). Mengenai paket manfaat, sistem asuransi kesehatan Vietnam mengidentifikasi paket manfaat yang relatif luas dan tak ditentukan yang seragam di semua program. 87 Pemerintah pusat di Cina memperkenalkan skema asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal perkotaan pada tahun 1998 yang dinamai Basic Health Insurance (BHI, Asuransi Kesehatan Dasar). Pemerintah kota dapat memilih untuk menawarkan partisipasi sukarela dalam BHI bagi pekerja sektor informal. 153 Masalah Administrasi dan Pemungutan Iuran Bukan hanya pendaftaran pekerja sektor informal yang menantang, namun juga pemungutan iuran secara reguler begitu para individu dan rumah tangga telah ditetapkan dan diidentifikasi. Tidak seperti pekerja sektor formal yang secara otomatis membayar iuran jaminan sosial mereka, pekerja informal perlu secara proaktif melakukan pembayaran premi dan terus membayar dari waktu ke waktu. Dalam rangka mendukung partisipasi dalam skema ini di kalangan pekerja informal, mekanisme pembayaran iuran harus dibuat senyaman mungkin. Fleksibilitas Pemungutan Pembayaran Aliran pendapatan yang tak teratur dan bervariasi yang dialami oleh pekerja sektor informal menyulitkan pemungutan iuran secara reguler. Untuk mengakomodasi kemampuan membayar para pekerja informal, perlu ada fleksibilitas dalam hal frekuensi pembayaran premi. Bahkan, fleksibilitas iuran premi seringkali lebih penting bagi pekerja sektor informal daripada jumlah pembayarannya ( Jowett dan Hsiao, 2007). Di Kenya, pekerja sektor informal harus melakukan pembayaran tahunan dimuka untuk memperoleh pertanggungan di bawah National Hospital Insurance Fund (Dana Asuransi Rumah Sakit Nasional). Kelompok fokus dengan anggota dari populasi ini menemukan kecenderungan yang kuat terhadap iuran yang lebih sering dan lebih kecil (Mathauer et al., 2008). Oleh sebab itu, jadwal pemungutan yang lebih fleksibel dapat meningkatkan kepatuhan. Untuk sektor informal yang bekerja di bidang pertanian, kemampuan membayar paling besar segera setelah panen dan paling kecil tepat sebelumnya. Menata jadwal pembayaran sesuai siklus pertanian dapat mengatasi masalah kemauan dan kemampuan membayar. Bekerja dengan organisasi mitra, PhilHealth berusaha menawarkan fleksibilitas pembayaran yang lebih besar bagi penerima manfaat ( Jowett dan Hsiao, 2007). Korea Selatan sesekali menawarkan keringanan, namun hal ini kontroversial karena ada kekhawatiran bahaya moral dan kadangkadang termotivasi oleh politik (Kwon, 2013). Namun, bahkan dengan derajat fleksibilitas yang lebih tinggi, banyak pekerja informal yang menunggak pembayaran mereka dan menentukan apakah mereka berhak mendapat keringanan membutuhkan mekanisme administratif yang mungkin tidak tersedia. Kelompok Terorganisir Kelompok yang sama yang digunakan untuk mengidentifikasi pekerja informal dapat digunakan untuk mengumpulkan iuran. PhilHealth di Filipina menggunakan kelompok-kelompok tidak hanya untuk mengidentifikasi dan mendaftarkan pekerja informal, tetapi juga untuk mengumpulkan iuran. Program KaSAPI mengembangkan aplikasi perangkat lunak keanggotaan dan iuran yang dibuat khusus, sebuah platform berbasis web untuk menverifikasi keberhakan dan melakukan transfer finansial secara daring. Platform ini didukung oleh institusi-institusi di banyak provinsi dan kota untuk merespon kebutuhan kelompok-kelompok terorganisir lokal (KaSAPI, 2007). Kerjasama dengan Operator Jaminan Sosial Lainnya Mekanisme pemungutan iuran yang sudah ada untuk program jaminan sosial lain dapat digunakan juga untuk memungut premi asuransi kesehatan. Di Korea Selatan, National Health Insurance 154 Service (NHIS, Layanan Asuransi Kesehatan Nasional) memungut semua iuran asuransi sosial, termasuk perawatan jangka panjang, pensiun, pengangguran, dan kecelakaan kerja (Kwon, 2013). Kolombia berhasil mengaitkan asuransi kesehatan nasionalnya dengan skema pensiun dalam upaya untuk “mengurangi pengelakan dan penghindaran” pembayaran88 (Bitran, 2013). Pembayaran Bergerak Salah satu pendekatan inovatif untuk menjangkau sektor informal adalah melalui penggunaan solusi mobile money, yang menawarkan mekanisme yang mudah untuk melakukan atau mengirim pembayaran menggunakan telepon seluler (ponsel). Karena penetrasi ponsel tinggi di kebanyakan negara dan menawarkan cara yang mudah untuk menjangkau populasi sektor informal, mekanisme mobile money memiliki potensi untuk menjangkau populasi sektor informal dan dapat berfungsi sebagai alat pelibatan finansial bagi kaum miskin dan hampir miskin. Contoh utama penggunaan mobile money dalam asuransi kesehatan adalah National Hospital Insurance Fund di Kenya, yang menjalin kerjasama dengan M-PESA – sebuah layanan transfer uang dan keuangan mikro berbasis ponsel – agar pendaftaran dan pemungutan premi dapat dilakukan melalui ponsel. PhilHealth meluncurkan program serupa untuk pembayaran berbasis ponsel pada tahun 2013 – BayaLoad – yang memungkinkan pemakai membayar premi melalui pesan teks (CGAP 2013). Penguatan Sisi Pemasok Pekerja informal mungkin enggan membayar iuran jika mereka tidak merasa bahwa mereka menerima nilai yang pantas untuk uang mereka (Mathauer et al., 2008). Banyak negara mengalami masalah ini. Di Kamboja, salah satu alasan rendahnya cakupan pertanggungan skema asuransi kesehatan sukarela berbasis komunitas (voluntary community-based health insurance/CBHI)89 adalah rendahnya persepsi terhadap mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan milik pemerintah (Bitran, 2013). Demikian pula, di Vietnam, pekerja sektor informal dalam suatu studi acak menerima baik subsidi maupun informasi mengenai manfaat kesehatan dari keikutsertaan dalam skema asuransi yang baru. Namun, kelompok yang menerima perlakuan tersebut tidak lebih tinggi kemungkinannya untuk mendaftar karena nilai asuransi kesehatan tersebut tidak dipersepsikan sebanding dengan biaya keikutsertaan (Nguyen, Wagstaff, Dao, dan Bales, Bank Dunia, 2013). Agar pembayaran iuran dirasa layak, infrastruktur layanan kesehatan yang berfungsi harus tersedia. Meningkatkan kualitas perawatan sangat penting untuk mendorong pekerja informal untuk membayar iuran. Peningkatan kualitas tidak hanya terbatas pada kualitas medis/teknis, tetapi juga meliputi faktor-faktor lain seperti waktu tunggu dan perlakuan yang ramah dari staf administratif. Oleh sebab itu, untuk memperluas keanggotaan, perbaikan kualitas yang sangat terlihat dari 88 “Di Kolombia, pemerintah memutuskan untuk mengaitkan iuran kesehatan pekerja pada iuran pensiun mereka untuk mengurangi pengelakan dan penghindaran. Karena dana pensiun bersifat individu dan tidak dikumpulkan, jumlah uang yang akan diterima individu dari dana pensiun mereka proporsional dengan uang yang mereka bayarkan. Oleh sebab itu, individu tidak memiliki insentif untuk merendahkan pernyataan tentang pendapatan mereka secara substansial. Sebaliknya, manfaat kesehatan yang diterima individu dalam Rezim Iuran adalah sama, terlepas dari pendapatan yang mereka nyatakan. Dengan mengaitkan pembayaran pensiun dan kesehatan, pemerintah Kolombia mampu mengurangi pengelakan dan penghindaran SHI.” (Bitran, 2013). 89 Skema CBHI bertujuan untuk mencakup sektor informal non-miskin. Program tersebut diterapkan di beberapa kabupaten dan mengandalkan secara eksklusif pada penyedia layanan kesehatan pemerintah. Saat ini, CBHI menunjukkan keberhasilan yang terbatas dalam hal keikutsertaan sektor informal, dan cakupannya hanya di 2 persen dari populasi. 155 fasilitas-fasilitas klinis yang ikut serta harus menjadi bagian dari usaha manapun untuk menjalankan asuransi kesehatan sukarela (Van der Gaag dan Stimac, 2012). Tantangan Desentralisasi: Harmonisasi Nasional dan Subnasional Perluasan perlindungan sosial mungkin akan lebih sulit tanpa keterlibatan kuat pemerintah provinsi dan kabupaten serta adanya harmonisasi upaya di tingkat nasional dan subnasional. Skema subnasional dapat membuat skema nasional menjadi kurang efektif akibat kumpulan risiko yang terfragmentasi dan mengakibatkan inefisiensi seperti biaya administratif yang lebih tinggi, misalnya. Oleh sebab itu, dalam kasus skema desentralisasi yang diprakarsai pemerintah, pengaturan dan kepemimpinan pemerintah pusat dibutuhkan untuk menjamin harmonisasi pada tingkat tertentu. Pengalaman negara yang paling menonjol datang dari Cina. NRCMS di Cina memerlukan bimbingan yang kuat dari pemerintah pusat untuk memenuhi tujuan perlindungan keuangan dan pengikutsertaan populasi berpenghasilan rendah sebagaimana diamanatkan dalam desain NRCMS. Di manapun ada kekurangjelasan sasaran, pelaksanaannya hanya berkembang perlahan dan akhirnya akan berhenti samasekali (Carrin, 2002). Untuk menanggapinya, Cina menyusun iuran premi untuk mendorong pemerintah daerah agar bertindak. Sebagian besar premi dibayar oleh pemerintah pusat, dengan pemerintah provinsi dan kabupaten hanya menyediakan dana padanan yang minimal. Dana asuransi dikumpulkan secara lokal, memberi kemampuan pada pemimpin daerah untuk mengambil kepemilikan, dan menyelaraskan dana dengan kebutuhan dan tingkat partisipasi di daerah. Pengelolaan kumpulan dana di tingkat daerah semakin memperkuat kepentingan daerah dalam hal kinerja dan jangkauan dari sistem kesehatan. Target keikutsertaan spesifik ditetapkan, dan otoritas daerah dinilai berdasarkan seberapa sukses mereka dalam memenuhi target tersebut. Namun ada manfaat peningkatan efisiensi dan pemerataan dalam mekanisme pengumpulan tunggal (nasional), dibandingkan dengan mekanisme pengumpulan banyak (subnasional) (Kwon, 2011). Di Filipina, keseimbangan antara skala ekonomi melalui pengumpulan nasional dan desentralisasi adalah isu yang mengundang perdebatan dan berkelanjutan. Meskipun pengumpulan risiko kesehatan secara nasional akan meningkatkan stabilitas keuangan, dana kesehatan dengan sasaran yang lebih baik, dan meningkatkan keadilan, beberapa bentuk kemandirian daerah dalam hal desain manfaat dan cara penyampaian dapat membantu mendapatkan penerimaan dari populasi (Obermann et al., 2006). Namun, kemajuan sejauh ini untuk mendapatkan penerimaan dari populasi telah terhambat oleh dialihkannya uang yang ditargetkan untuk kesehatan ke sektor lain oleh unit pemerintah daerah. Informasi dan Pemasaran Sosial Dalam kajian sistematis mengenai dampak skema asuransi kesehatan bagi sektor informal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, Acharya dkk. (2013) menemukan bahwa tingkat keikutsertaan yang rendah umum didapati pada banyak skema. Keputusan untuk ikut serta tampaknya lebih ditentukan oleh persepsi, pendidikan, dan faktor budaya populasi sasaran daripada faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatan kesehatan (seperti status kesehatan awal atau jarak ke pusat kesehatan). Bahkan, banyak penelitian telah menunjukkan 156 bahwa pekerja informal tidak memiliki pengetahuan mengenai skema yang ada dan manfaat asuransi kesehatan. Di Kenya, faktor terpenting yang mencegah keikutsertaan adalah kurangnya kesadaran pekerja informal mengenai National Hospital Insurance Fund (Mathauer et al., 2008). Penyebaran informasi dan sensitisasi pekerja informal sangat penting dalam mempengaruhi kesediaan mereka untuk membayar. Secara global, telah ada upaya untuk meningkatkan permintaan akan asuransi, terutama melalui kampanye kesadaran di radio dan televisi. Sebagian dari pesatnya perluasan cakupan di Thailand dianggap berasal dari liputan media massa (van Lente et al., 2012). Bukti global menunjukkan bahwa kedekatan ke operator asuransi kesehatan memiliki efek positif pada sensitisasi dan komunikasi penerima manfaat. PhilHealth, misalnya, mengoperasikan jaringan besar kantor regional. Awalnya diniatkan sebagai kantor perpanjangan untuk memproses klaim, sekarang fungsinya menjadi lebih luas: kantor regional mengelola iuran, melakukan kampanye pemasaran, dan melakukan riset operasi lokal (Oberman et al., 2006). Demikian pula, pembayar tunggal asuransi kesehatan Korea menggunakan cabang lokal untuk pendaftaran dan pemungutan premi (Kwon, 2009). Di Ghana, adalah biasa bagi skema asuransi bersama tingkat kabupaten untuk mengadakan latihan sensitisasi pada masyarakat untuk meningkatkan keikutsertaan (Chankova et al., 2010). Bagi penduduk pedesaan di Cina, iklan media telah memberikan insentif untuk mendaftar di asuransi kesehatan sukarela NRCMS. Penggantian klaim untuk pasien individu bahkan sering ditempelkan di papan pengumuman desa untuk mempublikasikan manfaat moneter nyata dari program asuransi kesehatan (Lilin dan Langenbrunner, 2013). Untuk lebih meningkatkan penerimaan iuran, lebih banyak upaya mungkin diperlukan di negara lain. Nguyen et al. (2012) menguji efek dari video pendidikan yang menyoroti pentingnya asuransi kesehatan pada pengambilan asuransi sukarela, tetapi tidak menemukan dampak signifikan dari hasil mempertunjukkan video tersebut. Mereka berhipotesis bahwa hal ini disebabkan oleh masalah kualitas dalam sistem kesehatan Vietnam dan bukan pada efektivitas pendekatan pemasaran sosial. Kesimpulan Berbagai negara telah mencoba berbagai pendekatan dan kombinasi pendekatan untuk memperluas cakupan pertanggungan ke sektor informal. Pengalaman dari negara-negara yang dicontohkan dalam makalah ini menggambarkan mengapa pekerja informal biasa dianggap sebagai “paling sulit dijangkau”. Dalam sistem berbasis iuran, cakupan pertanggungan sektor informal masih rendah di kebanyakan negara, bahkan jika diberi subsidi. Banyak negara masih terus berjuang, termasuk Ghana, Kenya, Filipina, dan Vietnam. Bagaimanapun, ini tidak berarti bahwa belum ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Manakala negara telah memperkenalkan cara-cara inovatif dan mudah untuk mengatasi tantangan yang berkaitan dengan perluasan asuransi kesehatan sosial ke sektor informal, hasilnya sudah nyata. Mungkin Korea Selatan yang menunjukkan keberhasilan terbesar sambil mempertahankan skema yang sebagian besar berbasis iuran. Mereka memanfaatkan tidak hanya satu, tapi beberapa program yang berbeda dan inovatif untuk mengidentifikasi dan melibatkan sektor informal. Memang dapat dikatakan bahwa Korea Selatan juga merupakan populasi yang relatif homogen dengan struktur pemerintahan yang lebih terpusat, pembangunan ekonomi yang cepat dan jumlah 157 keseluruhan populasi yang lebih kecil yang membantu cepatnya pendaftaran para pekerja informal. Negara lain, seperti Cina dan Thailand, telah banyak atau seluruhnya meninggalkan skema iuran untuk menggantinya dengan pembiayaan pajak untuk memperluas cakupan pertanggungan secara cepat. Dalam setiap kasus, ada dimensi politik penting yang menanggapi permintaan atas perbaikan layanan dari masyarakat yang kurang terlayani. Cina menikmati ekonomi yang kuat dan berkembang yang menyediakan ruang fiskal. Di Thailand, keruntuhan ekonomi di akhir 1990-an ditanggapi dengan kebijakan fiskal countercyclical yang mencakup pengeluaran untuk meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja muda dan produktif. Ketergantungan pada iuran premi oleh individu dan keluarga mungkin mencerminkan banyak tujuan kebijakan oleh Kementerian Keuangan dan Kesehatan, namun hal tersebut mungkin menjadi tujuan kebijakan yang saling bertentangan pada akhirnya. Cakupan populasi dan pemungutan pendapatan keduanya diinginkan dan menjadi tujuan kebijakan kembar, tetapi biaya tinggi dalam identifikasi dan pemungutan berarti pendapatan keseluruhan akan berkurang, atau bahkan habis oleh biaya administrasi, terutama bila mekanisme pemungutan pendapatan yang terpisah dikembangkan dengan progam asuransi sosial yang baru. Korea Selatan menghindari sebagian besar beban administrasi ini dengan mengandalkan mekanisme pengumpulan pajak yang telah ada, namun banyak negara dalam beberapa tahun terakhir memilih sistem pemungutan yang baru dan terpisah (Kutzin, Cashin, dan Jakab, 2010) atau pun tidak menggunakan mekanisme pemungutan pajak yang ada yang telah berfungsi baik. Di masa depan, perluasan cakupan pertanggungan bagi pekerja informal mungkin tergantung pada seberapa baik negara dapat menyesuaikan diri dengan situasi lokal, menawarkan berbagai pendekatan inovatif, tetapi juga berhasil merampingkan proses pendaftaran dan pemungutan iuran. Selain itu, harus ada sistem yang berfungsi dengan baik dalam hal perawatan kesehatan bermutu tinggi yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang bernilai bagi pekerja dan keluarganya. Akhirnya, mungkin diperlukan adanya program pemasaran sosial untuk meningkatkan pemanahan di kalangan pekerja informal mengenai konsep asuransi kesehatan sosial dan bagaimana hal tersebut akan bekerja bagi mereka. Tanpa mereka memiliki pengetahuan yang diperlukan tentang pentingnya membayar iuran dan manfaat pertanggungan, usaha perluasan ke kelompok ini kemungkinan besar akan gagal. 158 Referensi Annear Peter, Shakil Ahmed, Chhun E. Ros and Por Ir (2013). Strengthening Institutional and Organizational Capacity for Social Health Protection of the Informal Sector in Lesserdeveloped Countries: A Study of Policy Barriers and Opportunities in Cambodia. Social Science & Medicine. Forthcoming. Acharya, Arnab; Sukmar Vellakkal, Fiona Taylor, Edoardo Masset, Ambika Satija, Margaret Burke and Shah Ebrahim (2013). The Impact of Health Insurance Schemes for the Informal Sector in Low- and Middle-Income Countries: A Systematic Review. The World Bank Research Observer. Barber, Sarah L. and Lan Yao (2010). Health Insurance Systems in China: A Briefing Note. World Health Report 2010. Background Paper, No.37. Basa, Ruben John (2005). Working with Community-based Groups: The Experience of the Philippine Health Insurance Corporation. In: Extending Social Health Protection in Health: Developing Countries’ Experiences, Lessons Learnt and Recommendations. Bonn. Baerninghausen, Till; Yuanli Liu, Xinping Zhang and Rainer Sauerborn (2007). Willingness to pay for social health insurance among informal sector workers in Wuhan, China: a contingent evaluation study. BMC Health Services Research 7: 114. Bitran, Ricardo (2013). Universal Health Coverage and the Challenge of Informal Employment: Lessons from Developing Countries. The World Bank. BPS - Statistics Indonesia, & Asian Development Bank. (2011). Informal Sector and Informal Employment in Indonesia (Country Report). Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank. Carrin, Guy (2002). Social Health Insurance in Developing Countries: A Continuing Challenge. International Social Security Review, 55(2). Chankova, Slavea; Chris Atim, and Laurel Hatt (2010). Ghana’s National Health Insurance Scheme. In: Escobar, Maria-Luisa; Charles C. Griffin and R. Paul Shaw (eds.). The Impact of Health Insurance in Low- and Middle-Income Countries. Brookings Institution. Washington D.C. Ekman, Bjoern; Nguyen Thanh Liem, Ha Anh Duc and Henrik Axelson (2008). Health Insurance Reform in Vietnam: A Review of Recent Developments and Future Challenges. Health Poliy and Planning 23: 252-263. La Forgia, G. and Somil Nagpal, Are You Covered? Health Insurance in India, World Bank, Washington, D.C., 2012. Hanvoravongchai, Piya and William C. Hsiao (2007). Thailand: Achieving Universal Coverage with Social Health Insurance. In: Social Health Insurance for Developing Nations, Hsiao WC, Shaw RP (eds). World Bank. Washington DC. ILO (2013). Social protection assessment based national dialogue: Towards a nationally defined social protection floor in Thailand. Online publication. Jeong, Hyoung-Sun (2010). Expanding insurance coverage to informal sector populations: Experience from Republic of Korea. World Health Report 2010. Background Paper No.38. Jeong, Hyoung-Sun (2011). Korea’s National Health Insurance – Lessons From The Past Three Decades. Health Affairs 30(1): 1-9. Jowett, Matthew and William C. Hsiao (2007). The Philippines: Extending Coverage Beyond the formal sector. In: Social Health Insurance for Developing Nations, Hsiao WC, Shaw RP (eds). World Bank. Washington DC. 159 KaSAPI Program Factsheet: 2007. Kwon, Soonman (2009). Thirty Years of National Health Insurance in South Korea: Lessons for Achieving Universal Health Care Coverage. Health Policy and Planning 24: 63-71. Kwon, Soonman (2011). Health Care Financing in Asia: Key Issues and Challenges. Asia-Pacific Journal of Public Health (23:5): 651-661. Kwon, Soonman. (2013, August 22). Telephone Interview. Kutzin, Joseph. Cheryl Cashin, and Melitta Jakab, Implementing Health Financing Reform: Lessons from Countries in Transition, European Observatory, World Health Organization, Brussels, Belgium, 2010. Lagomarsino, Gina; Alice Garabrant, Atikah Adyas, Richard Muga and Nathaniel Otoo (2012). Moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine developing countries in Africa and Asia. The Lancet 380: 933–43. Langenbrunner, J., and Aparnaa Somanathan, Health Financing in East Asia and Pacific: Best Practices and Remaining Challenges, ISBN 978-0-8213-8682-8, World Bank, Washington, July 2011. Li, Cheng; Xuan Yu, James R.G. Butler, Vasoontara Yiengprugsawan and Min Yu (2011). Moving towards universal health insurance in China: Performance, issues and lessons from Thailand. Social Science & Medicine 73: 359-366. Liang, Lilin and John C. Langenbrunner (2013). The Long March to Universal Coverage: Lessons from China. Universal Health Coverage Studies Series (UNICO) No.9. The World Bank. Mathauer, Inke; Jean-Olivier Schmidt and Maurice Wenyaa (2008). Extending Social Health Insurance to the Informal Sector in Kenya. An Assessment of Factors Affecting Demand. International Journal of Health Planning and Management 23: 51-68. Nguyen, Ha and James Knowles (2010). Demand for voluntary health insurance in developing countries: The case of Vietnam’s school-age children and adolescent student health insurance program. Social Science & Medicine 71: 2074-2082. Nguyen, Ha; Adam Wagstaff, Huyen Dao and Sarah Bales (2013). Health Insurance for the Informal Sector: A Randomized Control Trial. iHEA Presentation Sydney. Obermann, Konrad; Matthew R. Jowett, Maria Ofelia O. Alcantara, Eduardo P. Banzon and Claude Bodart (2006). Social Health Insurance in a Developing Country: The Case of the Philippines. Social Science & Medicine 62: 3177-3185. Pauly, Mark V. (2008). The Evolution of Health Insurance in India and China. Health Affairs 27(4): 1016-1019. PhilHealth (2012). Increasing Enrollment in the Individual Paying Program: the Biggest Challenge in Population Coverage on the Road Towards Universal Health Care. Discussion paper by PhilHealth, WHO and GIZ. Manila. Republic Act No. 10606., Pub. L. No. 10606 (2012). Retrieved from http://www.gov.ph/2013/06/19/ republic-act-no-10606/. Shafie, A.A. and Hassali, M.A. (2013). Willingness to pay for voluntary community-based health insurance: Findings from an exploratory study in the state of Penang, Malaysia. Social Science & Medicine. Forthcoming. Tangcharoensathien, Viroj; Walaiporn Patcharanarumol, Por Ir, Syed Mohamed Aljunid, Ali Ghufron Mukti, Kongsap Akkhavong, Eduardo Banzon, Dang Boi Huong, Hasbullah Thabrany and Anne Mills (2011). Health-financing reforms in southeast Asia: challenges in achieving universal coverage. The Lancet 377: 863-73. 160 Thornton, Rebecca L; Laurel E. Hatt, Erica M. Field, Mursaleena Islam, Freddy Solis Diaz and Martha Azucena Gonzalez (2010). Social Security Health Insurance for the Informal Sector in Nicaragua: A Randomized Evaluation. Health Economics 19 pp.181-206. Van der Gaag, Jacques and Vid Stimac (2012). How Can We Increase Resources For Health Care in the Developing World? Is (Subsidized) Voluntary Health Insurance the Answer? Health Economics 21: 55-61. van Lente, Jan; Pujiyanto and Michael Thiede (2012). Social Protection for Informal Workers in Indonesia: Scenarios for the Expansion of Social Protection Coverage. Working Paper. Wagstaff, Adam; Magnus Lindelow, Gao Lun, Xu Ling and Qian Juncheng (2009). Extending health insurance to the rural population: An impact evaluation of China’s new cooperative medical scheme. Journal of Health Economics 28: 1-19. Wagstaff, Adam and Wanwiphang Manachotphong (2012). Universal Health Care and Informal Labor Markets - The Case of Thailand. Policy Research Working Paper 6116. The World Bank. Weber, A. (2009). The Impact of the Global Recession on the Poor and Vulnerable in the Philippines and on the Social Health Insurance System. Discussion Paper. GTZ Health Program Philippines. World Bank (2013). Moving Towards Universal Coverage in Vietnam: Assessment and Options. Draft 2 May, 24 2013. The World Bank. Yip, Winnie and William C. Hsiao (2008). The Chinese Health System At A Crossroads. Health Affairs 27(2): 460-468. 161 NOTA #20 KEBIJAKAN Siapa melakukan apa? Memetakan Masa Depan bagi Kementerian Kesehatan Indonesia90 Tantangan Dalam waktu beberapa bulan lagi Indonesia dan sektor kesehatannya akan memasuki tahap pelaksanaan penuh asuransi kesehatan baru dibawah BPJS. Oleh karena itu, penting bagi Kementerian Kesehatan untuk mengambil peran kepemimpinan baru dalam mengelola sektor kesehatan. Kementerian Kesehatan, yang kesehariannya di bawah kepemimpinan Sekretariat Jenderal dan Pokja, telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dengan fokus pada BPJS dan integrasi berbagai skema asuransi selama beberapa bulan terakhir. Setelah libur Idul Fitri lewat, Kementerian Kesehatan kini menghadapi tugas-tugas baru untuk transisi ke era baru kepemimpinan dan pengelolaan sektor kesehatan. Pengalaman global sekilas memberi kita sebuah model, yang mungkin dapat dipertimbangkan Kementerian Kesehatan dalam beberapa bulan ke depan. Pengalaman global, khususnya dalam transisi ekonomi yang mirip dengan Indonesia, adalah bahwa negara-negara yang tengah bergerak menuju Asuransi Kesehatan Sosial menciptakan organisasi-organisasi asuransi baru yang relatif otonom. Organisasi-organisasi ini sering kali di luar kementerian apapun, apakah itu Kesehatan, Tenaga Kerja atau Perlindungan Sosial. Organisasi-organisasi baru ini melapor kepada sebuah Badan atau Dewan dengan audit publik yang transparan dalam hal pengelolaan dana dan tanggung jawab, dengan garis langsung ke sumber-sumber yang lebih tinggi seperti Kementerian Keuangan, DPR atau Perdana Menteri maupun Presiden. Ini terjadi di negara-negara seperti Hungaria, Filipina, Republik Ceko, Slovenia, Slovakia, dan sebagainya. Hal ini mirip dengan susunan tata kelola pemerintahan baru di Indonesia. 90 Policy Note # 20 ini ditulis untuk tim oleh Jack Langenbrunner (DFAT) dan Anna Monfert (GiZ) Pendanaan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk salinan Policy Notes yang lainnya, silakan mengunjungi website www.aiphss.org. 163 Secara global, Asuransi Kesehatan Sosial biasanya menangani beberapa hal, termasuk: • • • • • • • Pengumpulan dana (seringkali seiring dengan fungsi pengumpulan dana oleh Kas Negara (Treasury) yang tengah diperbincangkan di Indonesia); Pooling dan pengelolaan dana; Paket manfaat; Kontrak, baik dengan penyedia layanan publik/pemerintah maupun swasta; Sistem pembayaran, termasuk modal dan biaya berulang (recurrent cost); Penjaminan mutu dan penilaian kualitas pelayanan sehari-hari; Monitoring dan evaluasi program pemberian pelayanan. Kementerian kesehatan di negara-negara lain dan di Indonesia, kini sedang dan akan menyerahkan beberapa fungsi. Pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan perlu “meningkatkan” dan memberikan peran kepemimpinan di daerah lain, beberapa di antaranya mungkin tanggung jawab baru atau penambahan tanggung jawab. Setelah 1 Januari 2014, berdasarkan pengalaman global, Kementerian Kesehatan disarankan agar memfokuskan kepemimpinannya dalam beberapa hal seperti diuraikan di bawah. Kesehatan Masyarakat “Baru” Kesehatan masyarakat, termasuk hal-hal seperti air minum yang aman, sanitasi, surveilans dan respons epidemi, kegiatan pelayanan kesehatan umum, kualitas udara, keselamatan di jalan, serta mendorong perilaku dan gaya hidup yang lebih baik di era dimana kejadian dan prevalensi penyakit tidak menular meningkat (Gambar 1) melalui pendidikan konsumen, serta banyak lagi isu-isu lainnya yang berkaitan dengan barang publik91 dan status kesehatan. Gambar 1 Burden of disease by cause in Indonesia, 1990-2010 1990 2000 Non-communicable 2010 Non-communicable Non-communicable Injuries Injuries 7% Injuries 9% 9% 37% 56% 43% 49% 33% 58% Communicable Communicable Communicable Source: IHME 91 Istilah “barang publik” para ekonom umumnya mengacu kepada barang dan njasa yang berdampak tidak hanya pada individu tetapi juga pada masyarakat. Imunisasi, udara bersih atau air bersih contoh klasiknya.. 164 Secara khusus, dapatkah Kemenkes pada akhirnya mengambil peran kepemimpinan untuk membatasi produk tembakau? Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa tahun lalu ada sekitar 260.000 orang Indonesia meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan tembakau. Sekitar 25.000 dari mereka yang bukan perokok terpapar asap rokok di lingkungan mereka. Sampai saat ini, para pengamat setuju bahwa yang dilakukan Kementerian Kesehatan belumlah cukup. Di antara negara-negara mayoritas Muslim di dunia, hanya Somalia dan Indonesia yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau (FCTC). Mengapa tertunda? Jawabannya fakta menentang logika. Rokok mahal harganya bagi keluarga di Indonesia, dan paling merugikan penduduk miskin. Rokok saat ini merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar kedua, setelah beras, dan rokok merupakan bagian dari anggaran 57% semua konsumsi rumah tangga,’ dan lebih tinggi lagi untuk masyarakat miskin.92 Tembakau dikenakan pajak sebesar 38% dari harga rokok, jauh di bawah negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, dan di bagian dunia lainnya seperti di Uni Eropa dan negara-negara OECD seperti Chili dan Kanada. Pada tahun 2014, pemerintah akan meningkatkan pajak cukai, tetapi hanya sebesar 8,5%. Merokok juga mahal bagi Pemerintah. Total biaya yang dikeluarkan setahunnya untuk pelayanan rawat inap akibat merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai paling sedikit Rp 39,5 triliun (USD 4,03 miliar). Jumlah ini sama dengan kira-kira 0,74% PDB Indonesia pada tahun yang sama dan 29,83% dari pengeluaran kesehatan keseluruhan. Sebagian besar dari biaya ini berkaitan dengan pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Rp 35,1 triliun atau Rp 3,6 miliar per tahun), diikuti oleh kanker paru-paru (Rp 2,6 triliun) dan penyakit iskemik (Rp 1,68 triliun).93 Menurut kepala BPPSDMK, Untung Suseno Sutarjo, lebih dari 43 juta anak hidup dengan orangtua yang merokok, sehingga mereka setiap harinya terpapar asap rokok di rumah. “Anak-anak akan mengalami perkembangan paru-paru lambat dan kemungkinan lebih serius terkena asma, yang nantinya akan menghambat kinerja mereka di sekolah. Kondisi ini akan mempertaruhkan anakanak dan masa depan bangsa, “ kata Untung.94 Indonesia akan menambah peringatan kesehatan bergambar pada produk tembakau. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menghimbau DPR untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering kali menjadi sasaran yang tidak tepat dari even budaya, musik atau olahraga, termasuk tayangan televisi pada siang hari. WHO telah mengatakan bahwa larangan iklan rokok dan sponsor adalah salah satu cara yang paling hemat biaya untuk mengurangi permintaan akan rokok. Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara di ASEAN yang masih memperbolehkan tayangan iklan rokok. Peraturan baru-baru ini telah membuat terobosan yang membatasi ketat iklan rokok, akan tetapi penegakkan peraturan tampaknya masih menjadi persoalan. Ada juga solusi sederhana yang dapat menghasilkan pendapatan lebih bagi pemerintah. Cukup hanya dengan menaikan harga produk tembakau telah terbukti merupakan metode yang paling 92 Universitas Indonesia, Lembaga Demografi, seperti yang dilaporkan dalam situs Demotix, 4 Januari 2013. 93 Nugrahani, Y, Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Thabrany, H., Dampak Merokok terhadap Konsekuensi Ekonomi Tahunan di Indonesia: Biaya Pengobatan Penyakit yang berkaitan dengan Tembakau di Indonesia, International Health Economics Association Conference, Sydney, Australia, Juli 2013. 94 Jakarta Post, 11 October 2013, halaman 4. 165 efektif untuk memangkas prevalensi penggunaan tembakau secara global.95 Menaikkan pajak produk tembakau bisa menjadi solusi yang “win-win-win” dengan peningkatan pendapatan pemerintah untuk setiap bungkus rokok yang dijual, namun dapat menurunkan prevalensi merokok dari waktu ke waktu, serta menurunkan biaya perawatan kesehatan dengan penduduk yang lebih sehat, lebih produktif. Tahun lalu, pemerintah meraup pendapatan Rp 79.9 triliun dari pajak rokok, sementara di sisi lain negara menderita kerugian ekonomi dan biaya kesehatan yang ditimbulkan penyakit yang berkaitan dengan merokok sebesar Rp. 240 triliun.96 Apa yang mungkin menjadi hambatan bagi Menteri untuk menangani masalah ini? Farmasi Peraturan mengenai farmasi meliputi identifikasi dan penilaian obat dan peralatan baru serta pemantauan pemanfaatan dan kesesuaian obat dan peralatan yang ada, serta menarik obat dan peralatan yang sudah ketinggalan zaman atau didapati berbahaya bagi pasien dan masyarakat umum. Saat ini, formularium baru sedang dikembangkan untuk reformasi BPJS. Di masa yang akan datang, Wakil Menteri telah menyerukan proses penilaian teknologi yang baru dan diperluas. Guna memprioritaskan intervensi hemat biaya, mengoptimalkan paket manfaat, dan memungkinkan pembaruan yang dinamis, BPJS perlu mengadakan interaksi rutin dengan Kementerian Kesehatan yang pada gilirannya akan menetapkan proses untuk mendukung pengambilan kebijakan di tingkat pusat dan provinsi dan untuk mengimplementasikan kebijakan manfaat dan manajemen obat di semua tingkatan, termasuk provinsi, kabupaten dan pelayanan kesehatan dasar. Penilaian teknologi, sebagaimana didefinisikan di sini, berguna pada tingkat makro untuk tujuan perencanaan dan organisasi, serta pengambilan keputusan untuk melakukan penggantian dan cakupan. Hal ini berguna pada tingkat menengah untuk pemantauan pemanfaatan dan akuisisi. Pada tingkat mikro, hal ini berguna untuk memantau kepatuhan terhadap pedoman perawatan, penjaminan mutu, dan penilaian kualitas. 95 Lihat, contohnya, World Bank, Dampak Program Promosi Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Adeyi dan lain-lain, 2009. 96 Nadya Natahadibrata, “Calls for a complete ban on cigarette ads,” (Seruan untuk Larangan Menyeluruh Iklan Merokok) Jakarta Post, Halaman 4, 31 Mei 2013. 166 Kotak 1: Tantangan biaya terkait farmasi di negara-negara berpendapatan menengah 1. Populasi yang menua: pasien usia tua dengan penyakit kronik akan menuntut lebih banyak obat. 2. Perasaan memiliki hak: baik pasien maupun pemberi resep biasanya memiliki sikap “lebih banyak, lebih baik”. Praktik umum lainnya yang dilakukan para penyedia layanan kesehatan adalah memberikan resep obat bermerek yang mahal sekalipun obat generik yang lebih murah juga cocok. 3. Pemasaran dan promosi industri: baik pasien dan pemberi resep rentan terhadap pesan-pesan pemasaran dan insentif promosi nyata yang ditawarkan perusahaan-perusahaan obat. 4. Insentif keuangan (supply-side): Penggunaan Biaya untuk Pelayanan. Jika penyedia layanan kesehatan (klinik, dokter perorangan, tenaga kesehatan, apoteker) memperoleh pendapatan sesuai dengan harga obat yang mereka resepkan, maka mereka akan mencoba memaksimalkan pendapatan mereka dengan mendorong penggunaan obat yang lebih banyak dan memilih produk-produk obat yang mahal (margin yang lebih tinggi). Hal ini merupakan permasalahan besar di Cina. 5. Inovasi: begitu obat baru dengan manfaat nyata atau diduga memiliki manfaat tambahan beredar di pasar, maka akan ada tekanan untuk memasukkan obat-obat tersebut dalam paket manfaat farmasi. 6. Kenaikan harga: produsen dan distributor dapat mencoba meningkatkan harga di semua tingkatan rantai suplai. 7. Kecurangan dan pelanggaran: setiap sistem yang memisahkan pengguna dan pembayar akan menciptakan peluang terjadinya kecurangan dan korupsi. Contohnya, suap dan sogok kepada pembuat keputusan administratif yang memiliki kontrol atas akses ke pendanaan dan ke pembuat resep; klaim palsu atas obat-obatan yang sebetulnya tidak dikeluarkan; pasien menggunakan kartu orang lain. 8. Keterlibatan yudisial: Pasien dapat melakukan tindakan hukum terhadap pemerintah mereka dibawah klausul “hak atas kesehatan”dalam konstitusi mereka, jika pihak pembayar dianggap membatasi akses ke obat-obatan baru yang mahal. Hal ini merupakan masalah yang muncul di Amerika Selatan. Pada saat yang sama, penilaian teknologi dapat membantu menghasilkan bukti untuk penyusunan kebijakan farmasi yang terkait dengan: • • • Kaji ulang pemanfaatan berdasarkan data dalam sistem penyampaian untuk menilai biaya, kesesuaian, dan kualitas pelayanan; Harga, baik untuk produk baru maupun yang sudah ada; Pengembangan formularium nasional dan pembaruan yang terus menerus. Saat ini, Indonesia sedang mengkaji ulang obat-obatan baru pra-pasar dan pasca pasar untuk keamanan dan kemanjurannya. Dengan BPJS baru yang akan dimulai tahun 2014, pembeli perlu memasukkan obat-obatan, peralatan dan prosedur sesuai dengan keamanan dan kemanjuran, serta kualitas, kesesuaian, dan hemat biaya. Untuk mendukung peluncuran BPJS, tujuan pemerintah harus mencakup pengembangan progesif dalam hal: • • kapasitas manusia; teknologi informasi, berhati-hati untuk memasukkan informasi penggunaan obat yang bisa hilang di bawah reformasi pembayaran baru menggunakan kapitasi untuk pelayanan dasar dan INA-CBGs; 167 • • kebijakan dan monitoring; dan, kerangka kerja dan perangkat untuk pengelolaan manfaat farmasi. Kementerian Kesehatan berharap dapat memperkuat unit yang ada dalam Kemenkes untuk mendukung pengelolaan manfaat farmasi di bawah BPJS dan untuk penilaian teknologi yang lebih umum. Kualitas Struktur Banyak isu-isu seputar struktur dan proses layanan berkualitas yang baik. Analisis survei PODES 2011 menunjukkan bahwa 96,7% fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah (“Puskesmas”) memiliki listrik, 88,1% memiliki-sumber air, 87,5% memiliki fasilitas cold chain untuk penyimpanan vaksin, tetapi hanya 36,4% Puskesmas memiliki inkubator. Selain itu, sensus yang baru saja diselesaikan (RIFASKES) memperkirakan bahwa 73,3% Puskesmas di perkotaan memiliki layanan obstretik darurat dasar, tetapi di pedesaan jumlahnya hanya 53,4%. Dalam hal obat-obatan penting, hanya sekitar 60% dari Puskesmas baik di pedesaan dan perkotaan yang memenuhi ketersediaan 60-79% dari 83 jenis obat esensial, dan hanya sekitar 15% yang memiliki 80% obat yang diperlukan. Menariknya, Kemenkes saat ini tidak memiliki banyak data mengenai sektor swasta, meskipun sektor swasta berkembang dengan pesat. Proses Perawatan Kualitas praktik oleh tenaga kesehatan telah menjadi isu yang biasa. Survei Riskesdas 2007 oleh pemerintah menunjukkan bahwa jumlah salah diagnose per tahun dalam populasi sangatlah besar - 55% - dan tingkat kesalahan alokasi sumber daya yang langka dalam sektor kesehatan sangat lah tinggi. Tingkat kesalahan ini tidak akan ditoleransi di sektor ekonomi lainnya. Rumah tangga menanggung beban yang besar dalam bentuk pembayaran langsung (out of pocket) hal-hal yang mereka sebetulnya tidak harus bayar. Orang-orang membeli pengobatan untuk masalah kesehatan mereka tidak memiliki lebih dari separuh waktu, dan, membeli pengobatan untuk masalah kesehatan yang salah, yang mereka konsumsi tetapi tidak perlu. Apa penyebab salah diagnosis, dan apa solusi jangka pendek dan jangka menengahnya? Pada tahun 2007, tingkat ketidakakuratan paling lazim terjadi diantara penyakit kardio-vaskular, yang mencakup salah satu penyakit tidak menular (PTM) paling umum yang terjadi pada penduduk di Indonesia dan merupakan penyebab utama kematian di negara ini. Penyakit kardio vaskular yang gejalanya didiagnosis secara akurat kurang dari 10% pada saat itu, dan, bahkan di antara penduduk yang paling kaya hanya 16%. Dengan mempertimbangkan survei Riskesdas 2007, diperkirakan sekitar 2 juta orang menderita penyakit kardio-vaskular, dan tingkat kesalahan dalam diagnosis dapat memiliki dampak besar terhadap kehidupan individu, serta tantangan kinerja yang jelas bagi sistem penyelenggaraan kesehatan. Untuk semua perawatan, diperkiraan sekitar 55% dari seluruh diagnosis tidak akurat. Meskipun beberapa perbaikan dapat terlihat dari perbandingan antara gambaran diagnostik dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) 1997 dan 2007, perubahannya kecil dan kualitas keseluruhan layanan masih rendah dengan hanya 168 sekitar setengah dari tenaga kesehatan yang menanggapi dengan benar pertanyaan standar dan gambaran singkat prosedural. Ada tingkat ketidakhadiran yang tinggi, mirip dengan beberapa kawasan di negara-negara seperti India, dengan dokter-dokter membuka praktik pribadi pada jam-jam sore dan malam hari. Yang terakhir, fokus pada penggunaan obat-obatan masih kurang, sehingga, informasi tentang apakah uang untuk obat-obatan dihabiskan secara bijaksana, yaitu, untuk obat-obatan yang dijabarkan ke dalam manfaat kesehatan, hemat biaya. Dana dianggap terbuang untuk penggunaan antibiotik yang berlebihan, sementara penggunaan dana untuk penyakit kronis, dan khususnya pengobatan penyakit kronis pada pelayanan dasar masih kurang. Mengingat adanya perluasan cakupan, maka semua pihak perlu memahami pentingnya penggunaan obat yang tepat, hubungannya dengan akses ke obat-obatan dan rumah tangga, dan obat.97 Sudah ada terobosan penting untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik. Skema Askes (PNS) memiliki sistem teknologi informasi yang terperinci mengenai data penggunaan di tingkat pasien, dan telah digunakan untuk mengidentifikasi biaya tinggi, perawatan yang tidak efisien, serta digunakan untuk merancang dan mengimplementasikan paling sedikit satu program sebagai jawabannya (penggunaan Prolanis), untuk mengalihkan perawatan diabetes dari rumah sakit ke perawatan dasar oleh dokter puskesmas. Formularium terpadu kini tengah dikembangkan, dan sistem e-farmasi baru akan membuat biaya farmasi yang dikenakan menjadi lebih transparan. Perizinan dan Akreditasi Sebuah program akreditasi baru sekarang diterapkan untuk rumah sakit dan akan diperluas ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sekitar 70% dari semua rumah sakit kini telah menerima akreditasi. Karena sistem pelayanan kesehatan di Indonesia terdiri dari pelayanan kesehatan pemerintah/publik dan swasta, maka proses akreditasi perlu dialihkan ke luar Kemenkes dalam beberapa tahun ke depan, namun bimbingan dan kepemimpinan kelembagaan proses masih akan diperlukan. Pada Policy Note #9 sebelumnya merinci persoalan ini dan memberikan beberapa langkah selanjutnya yang disarankan. Pendidikan Kesehatan dan Tenaga Kerja Indonesia menghadapi kekurangan jumlah dokter, perawat, bidan dan tenaga tambahan yang signifikan. Untuk dokter saja, ada masalah besar terkait dengan pendidikan, kurikulum, pelatihan spesialis, dan maldistribusi berkelanjutan. Sebuah undang-undang baru telah disahkan pada reformasi pendidikan kedokteran. Kementerian kesehatan (pada kenyataannya) bukanlah pihak yang mengeluarkan peraturan tersebut, melainkan sebagai pengguna. Tanggung jawabnya adalah untuk memastikan perekrutan yang berkualitas dan kesempatan pelatihan in-service. Namun, Kementerian Kesehatan perlu bergerak keluar dari peran sebelumnya. Kerjasama yang baik dengan Kementerian Pendidikan sangat diperlukan pada masa transisi. Kementerian Kesehatan perlu memberikan kepemimpinan dalam modernisasi kurikulum dan menemukan cara untuk melatih dan mempertahankan dokter untuk daerah-daerah yang kurang terlayani. Beberapa bukti internasional menunjukkan bahwa dokter-dokter yang dilatih di daerah97 Wagner, A., Harvard University, personal communication, Jakarta, Indonesia, 23 May 2013. 169 daerah yang kurang terlayani lebih mungkin untuk dipertahankan bekerja di daerah tersebut setelah selesai pendidikan. Inisiatif dan reformasi Pendidikan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan akan menjadi bagian utama penguatan pelayanan kesehatan dasar untuk jangka panjang. Sementara pemerintah mengharapkah peningkatan reformasi pelayanan kesehatan primer yang relatif cepat. Pengalaman dari negara lain seperti Thailand menunjukkan bahwa sebetulnya perubahan pola praktik hanya mungkin dilakukan dalam jangka waktu cukup lama hingga bertahun-tahun. Gambar 2 (bawah) memberikan data mengenai Thailand, meskipun jangka waktu yang sama telah terjadi di Amerika Serikat di mana reformasi pelayanan kesehatan dasar yang dimulai pada tahun 1970-an masih berjuang untuk mendapatkan sebagian besar pemanfaatannya di Amerika Serikat. Bagaimana Thailand melakukannya? Dan dapatkah Indonesia bergerak lebih cepat? Jika tingkat kecepatan pergerakannya sama, dampak nyata baru bisa terwujud pada tahun 2043. Gambar 2: Reformasi yang lamban dalam Pelayanan Kesehatan Dasar di Thailand selama 30 Tahun Sumber: IHPP, MOH, Thailand, 2013 Monitoring dan Evaluasi Ketidakpastian mengenai dampak awal terhadap kesehatan, keadilan, kualitas, akses, proteksi keuangan, biaya dan evolusinya menunjukkan bahwa program tersebut, mengingat ukuran dan ruang lingkupnya berskala nasional, dapat memberikan risiko besar bagi pemerintah dan bagi entitas serta peserta yang berbagi biaya. 170 Berbagai proyeksi telah diajukan baru-baru ini, tapi perkiraan tidak akan dapat mengendalikan dampak sebenarnya dari program yang akan berbeda tergantung pengalaman yang muncul. Hal ini terjadi di setiap negara yang mengalami reformasi kesehatan. Beberapa dampak berlalu seperti yang diharapkan, namun setiap negara menemukan satu atau lebih “kejutan” dan “konsekuensi yang tidak diharapkan” begitu reformasi dilaksanakan. Sebagai contoh, di banyak negara, rawat inap rumah sakit meningkat tajam. Beberapa peningkatan ini mencerminkan kebutuhan yang belum terpenuhi, namun dalam kasus lain peningkatan rawat inap didorong oleh kepentingan penyedia pelayanan kesehatan untuk memperlolah pemasukan. Di Cina, ada isu lain: penerapan asuransi gagal meningkatkan proteksi keuangan. Hal ini benar-benar mengejutkan para pembuat kebijakan, namun juga membuat marah keluarga dan individu. Hasilnya: untuk saat ini, “dividen politik” dengan memberikan UHC belum benar-benar tercapai di Cina. Selanjutnya, bagaimana hal itu akan berdampak pada komunitas penyedia layanan kesehatan, seperti dokter, perawat, dan bidan? Apakah hal itu menciptakan tantangan karena kurangnya sosialisasi? Apakah kartu baru untuk “layanan gratis” akan merepotkan para profesional kesehatan, sebagaimana halnya terjadi di Jakarta dengan skema Kartu Jakarta Sehat? Untuk memastikan manajemen dan tata kelola reformasi, Kementerian Kesehatan harus menjadi ujung tombak informasi yang tepat waktu dan akurat. Para pembuat kebijakan memerlukan informasi yang memadai untuk membuat keputusan yang optimal. Program UHC baru harus mengupayakan keseimbangan antara memberikan perlindungan untuk kebutuhan dasar, serta kejadian tak terduga dan sumber daya yang perlu dimobilisasi pada awalnya dan dalam jangka panjang. Tantangan bagi cakupan universal juga meliputi kesiapan penyediaan sumber daya kesehatan di sektor publik dan swasta yang dapat dimobilisasi melalui koordinasi yang tepat. Pemerintah perlu mulai melakukan monitoring dan evaluasi baik yang bersifat “horisontal” yaitu, lintas kementerian di tingkat pusat, maupun “vertikal” yaitu, dari pemerintah pusat sampai ke desa. Koordinasi dalam hal ini mutlak diperlukan. Koordinasi vertikal adalah koordinasi dari tingkat pemerintahan yang berbeda dari pusat ke provinsi dan ke kabupaten. Koordinasi horisontal akan mencakup pengembangan prioritas lintas kementerian dan pemerintah termasuk Presiden yang mengawasi BPJS. Bukankah logis bila Kementerian Kesehatan merupakan kementerian yang berperan untuk membantu mengidentifikasi dan mengatur indikator kunci yang berhubungan dengan kesehatan? Selanjutnya, diantara tujuan jangka panjang di Kemenkes, pergeseran pengelolaan penyakit kronis ke pengaturan perawatan dasar, yang akan memerlukan sistem baru untuk pemantauan, pengeluaran, pemanfaatan, dan kualitas resep di tingkat perawatan dasar, indikator “perawatan dasar sensitif” seperti asma, maag, hipertensi, dan diabetes perlu dikembangkan dan dilacak oleh BPJS, dan tim kualitasnya. Rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan dasar telah meningkat di sejumlah negara seperti Kroasia di mana terdapat desain pembayaran serupa. Di tingkat rumah sakit, ada 3 hal berbeda menyangkut kualitas dimana indikator perlu dikembangkan: 1. Rawat inap (admission) yang tidak perlu. Di Cina, didapati 51% dari seluruh rawat inap sebetulnya tidak diperlukan. Di Rusia, pada tahun 1990, didapati 40% rawat inap yang tidak perlu. Di Jakarta, dengan Kartu Jakarta Sehatnya Jokowi, para dokter ahli memperkirakan 40% dari semua rawat inap saat ini, mungkin tidak diperlukan. Insentif dibawah CBGs akan mendorong penyedia layanan untuk memasukan pasien yang “mudah” dan menguntungkan sebagai pasien rawat inap daripada memperlakukannya sebagai pasien rawat jalan; 171 5. Skimming/tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan di rumah sakit. Pengelola dan pihak rumah sakit saat ini akan mendapat insentif dengan tidak memberikan pelayanan yang diperlakukan sebagaimana mestinya atau memulangkan pasien lebih cepat, sebagai cara untuk meningkatkan keuntungan. Tim review pemanfaatan pelayanan kesehatan independen yang dikontrak oleh BPJS akan diperlukan untuk memastikan bahwa standar dan pedoman yang ditetapkan diikuti; 6. Rawat inap ulang. Pasien yang telah dipulangkan dari rumah sakit mungkin mendapati bahwa mereka membutuhkan pelayanan lebih, dan kemudian akan dirawat ulang untuk pembayaran CBG kedua. Ini memberikan dua kali lipat pendapatan bagi rumah sakit dengan mengorbankan pengusaha, karyawan, dan Kementerian Keuangan. Peningkatan dramatis dalam volume rawat inap dan rawat inap ulang di bawah CBG di negara-negara lain - seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Hungaria dan Ghana - telah menimbulkan kebijakan baru, seperti adanya penalti untuk rawat inap ulang, penurunan pembayaran di Amerika Serikat untuk rawat inap dalam 90 hari, dan batas anggaran maksimal untuk rumah sakit. Kementerian Keuangan Indonesia menghadapi risiko fiskal yang nyata di sini, dan harus memantau volume rawat inap setiap minggunya mulai 1 Januari 2014, sama seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan di AS. Hal ini memerlukan sistem informasi manajemen (MIS) yang lumayan canggih dan tepat waktu. Koordinasi dan Peraturan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Swasta Mungkin diperlukan adanya model pelayanan kesehatan yang evolusioner di Indonesia yang mencakup campuran penyedia layanan publik dan swasta saat ini yang akan memenuhi kebutuhan penduduk pada tahun 2020, 2030, dan setelahnya. Indonesia saat ini tengah mengkaji dan mendukung peningkatan infrastruktur sektor publik, yang sangat penting khususnya untuk daerahdaerah pedesaan dan daerah-daerah yang kurang terlayani. Kebijkan investasi permodalan akan terus berlangsung untuk jangka menengah. Akan tetapi, Gambar 3 menunjukkan peningkatan dampak sektor swasta yang sangat cepat dalam pemberian pelayanan dengan beberapa kecenderungan yang jelas bahwa kelompok berpendapatan tinggi beralih ke pelayanan sektor swasta. Gambar 3: Perubahan Pola Penggunaan Pelayanan Kesehatan Publik dan Swasta Penggunaan Access to care: outpatient utilization Visits/month# 0,30# public# Access to care: inpatient utilization Days/year# 0,50# Private# Public# Private# 0,45# 0,25# 0,40# 0,35# 0,20# 0,30# 0,15# 0,25# 0,20# 0,10# 0,15# 0,10# 0,05# 0,05# 0,00# 0,00# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# All# HLPD Poorest#20%# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# 2004# 2007# 2010# Richest#20%# 3/19/2013 All# 6 HLPD Sumber: Robert Sparrow, Australian National University 172 Poorest#20%# Richest#20%# 3/19/2013 7 Rumah Sakit Siloam Lippo Karawici berencana untuk menginvestasikan $500 juta pada 205 untuk membangun 20 rumah sakit baru yang dapat menampung pasien dari kelompok pendapatan menengah dan tinggi, dan untuk menangkap peluang pasar pariwisata medis senilai $11,5 miliar dari warga Indonesia yang berkunjung ke Singapura untuk berobat. Persoalannya adalah apakah undang-undang saat ini akan memperbolehkan pendirian rumah sakit non pemerintah dan nirlaba tidak kena pajak. Seiring dengan Indonesia bergerak maju, Kementerian Kesehatan perlu mengkoordinasikan dan mengelola campuran publik dan swasta. Artinya harus ada peraturan yang lebih kuat dan penelusuran kinerja penyedia layanan publik dan swasta. Penyedia layanan kesehatan publik (pemerintah) akan diberikan otonomi yang lebih besar untuk: • • • • • merespons struktur insentif baru; mempertahankan sisa dana, tetapi bertanggung jawab atas kehilangan pendapatan; memiliki fleksibilitas dalam mempekerjakan dan memberhentikan karyawan, memulai kontrak untuk pegawai negeri (PNS); membeli peralatan, mengubah organisasi dan jumlah tempat tidur; tetapi, tetap melayani kelompok penduduk miskin dan rentan Kementerian Kesehatan dapat memimpin perubahan menuju organisasi otonom ini, dan dapat belajar dari ujicoba yang kini dilakukan di Cina, Vietnam, Thailand, Turki, Australia, and negaranegara Eropa Barat mengenai rumah sakit yang otonom dan berstatus perusahaan. Dapatkah kita belajar dari Jerman dan negara-negara lainnya? Akhirnya, Kementerian Kesehatan mungkin dapat mempertimbangkan untuk belajar dari negara lain yang telah melalui transisi serupa dalam menggerakkan asuransi kesehatan menjadi bagianbagian yang terpisah dari pemerintah, dan Jerman adalah salah satu negara tersebut. Di Jerman, Kementerian Kesehatan Federal bertanggung jawab atas berbagai bidang kebijakan. Kegiatannya berfokus terutama pada penyusunan tagihan, tata cara dan peraturan administrasi. Secara tematis, kegiatan yang diupayakan oleh Kementerian Federal Kesehatan dapat dikelompokkan ke dalam kesehatan, pencegahan dan perawatan jangka panjang. Inti dari ‘kesehatan’ terletak pada tugas untuk menjaga dan mengembangkan lebih lanjut efektivitas asuransi kesehatan wajib. Kementerian Kesehatan Federal melakukan kampanye dan insiatif pencegahan, seperti ‘3.000 Langkah’ (kampanye melawan kurang olah raga), ‘Hidup memiliki Bobot’ (kampanye melawan gangguan makan), langkah-langkah inisiatif mengenai kesehatan perempuan dan anak serta rencana aksi untuk menerapkan strategi penanggulangan HIV/AIDS. Selain kebijakan pelayanan kesehatan nasional, tugas yang diberikan kepada Kementerian Kesehatan Federal juga mencakup kebijakan kesehatan Eropa dan Internasional. Penyerahan kewenangan Kementerian Kesehatan Federal meliputi lembaga-lembaga berikut yang berada dalam pengawasan teknis dan administratif Kementerian Kesehatan: • • Robert Koch Institute bertanggung jawab terhadap pengendalian penyakit menular dan pelaporan kesehatan Paul Ehrlich Institute adalah Lembaga Federal untuk Vaksin dan Biomedicine yang bertugas dengan otorisasi pemasaran kelompok-kelompok produk obat tertentu dan persetujuan uji klinis (clinical trial) 173 • • • German Federal Institute of Medical Documentation and Information bertanggung jawab atas klasifikasi dan pengelolaan informasi medis. Federal Center for Health Education menjabarkan prinsip-prinsip dan pedoman mengenai isi dan metode praktik pendidikan kesehatan, melatih para profesional bidang pendidikan kesehatan, dan mengkoordinasikan pendidikan kesehatan di Jerman. Federal Institute for Drugs and Medical Devices adalah badan pengawasan medis. Kementerian Kesehatan Jerman lebih lanjut mengelola dan mengkoordinasikan sektor pelayanan kesehatan yang merupakan campuran sektor publik dan swasta, sebagaimana halnya di Indonesia (Gambar 4 dibawah). Gambar 4: Sumber: European Observatory, Brussels, 2011. Kasus di Jerman menunjukkan bahwa pemerintah Pusat memainkan peran penting dalam berbagai kegiatan di luar Asuransi Kesehatan, tetapi akan terus mendukung dan membantu meningkatkan asuransi kesehatan karena berhubungan dengan pemberian pelayanan, dengan pengendalian penyakit yang semakin meningkat, produk medis, perilaku manusia, dan belajar dari masa lalu untuk meningkatkan taraf kesehatan penduduk di masa depan. 174 NOTA #21 KEBIJAKAN Dokter, Insentif dan Penempatan di Pedesaan Tantangan98 Masalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata telah berlangsung selama bertahun-tahun dan hal ini berakibat pada “ketidaksetaraan bruto (gross inequality) dalam taraf kesehatan penduduk terutama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, serta di dalam suatu negara” (International Conference on Primary Health Care, 1978). Akan tetapi, ada sejumlah skema yang terbukti berhasil dalam mengatasi persoalan ini. Permasalahan menjadi bertambah dengan adanya kenyataan bahwa penduduk desa seringkali tergolong kelompok sosial ekonomi rendah dan berisiko tinggi akan kesehatan yang buruk. Distribusi tenaga penyedia layanan kesehatan yang tidak merata juga terjadi di seluruh dunia. Akan tetapi, penduduk di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seringkali mengalami situasi yang lebih ekstrim dibanding penduduk di negara-negar maju. Di Amerika Serikat misalnya, 80% penduduk ada di perkotaan dan 91% dokter praktik di daerah perkotaan. Berbeda halnya dengan di Thailand, hanya 34% penduduk saja yang tinggal di perkotaan, namun 96% dokter bekerja di perkotaan (WHO, 2011). Hal ini membuat sebagian besar penduduk hanya terlayani oleh sedikit sekali penyedia layanan kesehatan. Karena sedikit sekali penyedia layanan kesehatan di daerah pedesaan, mereka yang bekerja di daerah ini sering kali kelebihan beban pekerjaan dan fasilitas pelayanan kesehatan kekurangan tenaga kesehatan untuk melayani daerah yang secara demografis dan geografis luas, sehingga pilihan untuk bekerja di daerah yang kurang terlayani ini kurang diminati oleh dokter-dokter yang baru lulus. Untuk memecah kebuntuan ini dan memberikan akses pelayanan kesehatan yang adil bagi penduduk di pedesaan, maka diperlukan strategi kebijakan untuk merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan di pedesaan. 98 Bagian pertama ini dirangkum dari “Reducing Inequities in Doctor Distribution: Literature Review, Thai Case Study and Policy Recommendations”, by M.L. Kiernan, Journal of Global Health, 2013 176 Thailand Thailand telah menerapkan berbagai strategi untuk mengatasi masalah penyebaran tenaga dokter yang tidak merata. Langkah regulasi terpenting dilakukan oleh pemerintah Thailand pada tahun 1968, yang mengharuskan semua siswa kedokteran universitas milik pemerintah — yang mendapatkan subsidi dalam jumlah besar dan meliputi 11 dari 12 fakultas kedokteran yang ada di Thailand — untuk melayani masyarakat pedesaan selama tiga tahun setelah mereka lulus. Walaupun para dokter baru ini masih boleh membuka praktik sendiri, tetapi mereka tidak dianjurkan untuk melakukannya. Bagaimana caranya? Hal ini dilakukan dengan memberikan tunjangan sejumlah USD 250 per bulannya agar mereka dapat tetap fokus memberikan pelayanan kepada penduduk di daerah pedesaan yang kurang terlayani. Pemerintah juga menginvestasikan dana dalam pembangunan infrastruktur kesehatan pedesaan. Ketiga, Kementerian Kesehatan pada tahun 1994 merespons “internal brain drain”— yaitu eksodus para dokter ke kota-kota di negara tersebut — dengan meluncurkan sebuah proyek 10 tahun yang disebut Collaborative Project atau proyek kerjasama dengan tujuan untuk meningkatkan Produksi Dokter Pedesaan (CPIRD). Dengan merekrut 2.982 siswa antara tahun 1995 dan 2006, program ini telah mencapai 99,4% dari target penerimaan (admission) nya (Lertsukpresert, 2008). Program ini telah meluluskan 1.096 mahasiswa selama tahun akademik 2000-2006, dan hanya 44 siswa atau 1,4% yang tidak melanjutkan (drop out). Apa yang dilakukan? Mereka merekrut siswa di tingkat provinsi dan terus melatih mereka di rumah sakit daerah dan kabupaten. Program CPIRD telah meningkatkan proporsi mahasiswa kedokteran pedesaan dari 23% pada tahun 1994 menjadi 31,5% pada tahun 2001 (Lertsukpresert, 2008). Program ini juga berhasil dalam hal retensi. Dari 815 lulusan 2000-2005, 613 (75%) bekerja di rumah sakit masyarakat pedesaan, dan 152 (19%) telah bekerja di sana selama lebih dari masa wajib kerja tiga tahun. Hanya 50 (6%) lulusan yang tidak memenuhi kontrak untuk bekerja di daerah pedesaan, yang secara substansial kurang dari rata-rata nasional 50%. Selain strategi regulasi dan pendidikan, terdapat juga: • • • strategi penggantian profesional (pengalihan tugas, pelatihan staf paramedis); strategi keuangan (beasiswa sukarela, denda karena melanggar pelayanan publik wajib, insentif keuangan langsung); strategi sosial (penghargaan, kepuasan, jaringan dukungan Masyarakat Kedokteran Pedesaan) semuanya telah digunakan untuk meningkatkan jumlah dokter praktik di pedesaan Thailand. Program beasiswa TMWA menggabungkan strategi-strategi ini, dengan memberikan pendidikan, sistem bantuan keuangan dan sosial bagi dokter-dokter pedesaan yang berminat. Program Beasiswa Pedesaan TMWA memberi dana penuh bagi kaum perempuan untuk mengikuti sekolah kedokteran dan sebagai gantinya, mereka harus berkomitmen untuk kembali ke desa mereka untuk melakukan praktik kedokteran. Para penerima beasiswa dipilih dari program CPIRD oleh TMWA melalui konsultasi dengan Departemen Kesehatan Pedesaan, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan. Lamanya program kurang dari 10 tahun, dan program ini telah menghasilkan 15 penerima beasiswa sejauh ini, rata-rata sekitar tiga orang per tahun. Program dikembangkan untuk tujuan khusus sebagai bagian dari respons terhadap kehancuran daerah pedesaan pasca tsunami tahun 2004. Sementara beberapa penerima beasiswa sudah lulus dan kembali bekerja di desa mereka, sebagian besar penerima masih mengikuti pelatihan medis. 177 Bukti Global Bukti-bukti global menunjukkan tiga (3) jenis strategi utama yang digunakan untuk mengatasi penyebaran dokter yang tidak merata di pedesaan dan perkotaan: 1) Perekrutan didasarkan atas karakteristik siswa — terutama mereka yang berlatar belakang pedesaan; 2) Insentif keuangan— termasuk beasiswa, pengembalian pinjaman dan tunjangan; dan; 3) Strategi pendidikan— termasuk pemanfaatan sekolah pedesaan, meningkatkan rotasi pedesaan dan membutuhkan modul kesehatan pedesaan Karakteristik Siswa Dari berbagai penelitan yang dilakukan untuk menilai apakah memiliki latar belakang dari daerah pedesaan dapat meningkatkan kemungkinan para dokter untuk benar-benar praktik di pedesaan, hampir semua studi menemukan korelasi positif atau efek prediktif (tujuh dari delapan studi yg dilakukan). Termasuk dalam kelompok ini adalah tinjauan sistematis yang dilakukan secara teliti yang mengkaji literatur dari Amerika Serikat, Australia dan Kanada, dan menemukan peningkatan dua kali lipat dalam hal kemungkinan praktik di pedesaan diantara mereka yang berlatar belakang pedesaan dalam ketiga strategi diatas. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa beberapa studi mendefinisikan memiliki latar belakang pedesaan sebagai mengenyam pendidikan di pedesaan sejak kecil, dan studi lain juga mencantumkan hal tersebut dengan pernah terpapar daerah pedesaan di masa lalu (selama pelatihan medis atau sebaliknya). Kedua definisi memiliki latar belakang pedesaan tersebut dianggap meningkatkan kemungkinan praktik pedesaan dalam berbagai studi, satu studi yang mengkaji perbedaan dalam definisi tersebut menemukan bahwa hanya mengenyam pendidikan pedesaan sejak kecil yang memiliki efek prediksi terhadap praktik pedesaan (Owen, Conaway, Bailey & Hayden, 2007). Dari penelitian lainnya mengenai karakteristik, dua penelitan yang mengkaji kepuasan dokter menunjukkan bahwa tingkat kepuasan diantara dokter pedesaan dapat memprediksikan lamanya usia praktik di pedesaan. Penelitian pertama dari Malawi, menggunakan survei kuantitatif serta wawancara kualitatif, menunjukkan bahwa hal-hal yang menjadi ketidakpuasan para dokter yang disurvei meliputi “apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan berkelanjutan dan peluang untuk peningkatan karir serta pengawasan yang tidak memadai”. Penelitian ini menunjukan bahwa isu-isu tersebut menyebabkan demotivasi bagi para dokter di pedesaan sehingga mereka berpikiran untuk meninggalkan praktik di pedesaan. Penelitian kedua, yang dilakukan di Amerika Serikat dan juga menggunakan data survei menyimpulkan, “Retensi secara independen terkait hanya dengan kepuasan para dokter berada di komunitas mereka dan kesempatan mereka untuk meraih tujuan profesional.” Dua penelitian, satu dari Amerika Serikat dan satunya lagi dari India, menguji “temperamen dan sifat-sifat” dokter-dokter pedesaan, dengan mencoba untuk menerangkan sifat-sifat umum dokterdokter pedesaan dibandingkan dengan dokter-dokter perkotaan; sifat-sifat ini termasuk “mencari hal-hal baru” dan “kesedian untuk mengubah atau mencoba sesuatu yang baru” serta “sikap, bakat, keinginan dan dedikasi untuk beradaptasi dengan suasana atau keadaan yang tidak secanggih di perkotaan.” 178 Insentif Keuangan Hal umum lainnya dalam pengalaman global adalah penggunaan insentif keuangan untuk meningkatkan jumlah dokter di pedesaan. Insentif dianggap mampu menempatkan sejumlah besar dokter di daerah pedesaan. Jenis insentif yang telah digunakan termasuk beasiswa, pengembalian pinjaman dan insentif keuangan langsung atau tunjangan. Berbagai insentif ini berbeda tingkat keberhasilannya. Salah satu isu utama yang muncul dalam membuat perbandingan antara program adalah bahwa setiap studi atau pengaturan menggunakan nilai moneter yang berbeda, yang memiliki implikasi berbeda pula tergantung tingkat pendapatannya. Program insentif keuangan telah menempatkan sejumlah besar tenaga kesehatan di daerah-daerah yang kurang terlayani dan peserta program memiliki kemungkinan lebih besar dibanding peserta non program untuk bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani pada akhirnya”. Akan tetapi, sebagian besar penelitian dilakukan dalam setting ekonomi pendapatan tinggi (semua kecuali satu), dan mungkin terbatas untuk diterapkan dalam konteks ekonomi seperti di Indonesia, kecuali ada kemampuan nyata untuk menawarkan atau mendukung skema tersebut. Ada juga perbedaan besar dalam hal nilai insentif keuangan, yang juga dapat menyebabkan perbedaan dalam hasilnya. Banyak negara-negara berpendapatan menengah menawarkan pembayaran bonus sebesar 5-10-20% untuk pekerjaan di pedesaan. Bonus ini terkadang terlalu kecil untuk dapat mempertahankan para dokter bekerja di pedesaan. Jumlah bonus perlu ditingkatkan, mungkin mendekati tingkat upah di daerah perkotaan. Yang penting, tingkat upah kurang lebih mencakup pembayaran resmi (formal) plus tidak resmi (informal)– “pendapatan riil” seorang dokter di perkotaan. Di Jepang, pendapatan dokter di pedesaan lebih besar atau sama dengan ahli bedah di Tokyo. Ini merupakan contoh terbaik di dunia mengenai pembayaran yang adil untuk penempatan di pedesaan. Indonesia dapat mengembangkan ujicoba atau melakukan kelompok fokus atau percobaan pilihan secara terpisah untuk mengkaji berapa besar sebaiknya bonus yang diberikan untuk menarik para dokter bekerja di daerah pedesaan. Berikut ini adalah studi kasus pembayaran bonus dari berbagai negara. Apa model pembayaran untuk pelayanan? Kapitasi atau pembayaran tunai (fee for service)? Filipina, Cina dan Amerika Serikat telah menggunakan model pembayaran fee for service (FFS) dan berhasil meningkatkan akses dan pemanfaatan. Akan tetapi, model FFS ini dapat meningkatkan pengeluaran lebih dari yang diperkirakan. Model FFS mungkin tidak dapat berjalan dengan baik di daerah-daerah yang sangat terpencil dengan jumlah pasien yang sedikit …. di Kazakhstan, misalnya para dokter kehilangan banyak pendapatan karena terlalu sedikit pasien. Dalam kasus Kazakhstan, mereka kembali ke model kapitasi dan bonus. 179 Strategi Pendidikan Jenis strategi terakhir adalah penggunaan inisiatif berbasis pendidikan termasuk meningkatkan aplikasi dan penerimaan mahasiswa pedesaan ke fakultas-fakultas kedokteran, mendirikan lebih banyak sekolah-sekolah di pedesaan, peningkatan magang/ rotasi di pedesaan, memperkenalkan modul kesehatan pedesaan yang diperlukan dan memberikan lebih banyak pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi mereka yang bekerja di pedesaan. Fakultas-fakultas kedokteran yang dirancang khusus untuk para dokter pedesaan dan terletak di daerah pedesaan melaporkan bahwa prosentase lulusannya yang bekerja di pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan dari fakultas-fakultas non-pedesaan, namun hanya satu evaluasi yang melaporkan meningkatnya retensi jangka panjang. Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) dan Remunerasi serta Distribusi Tenaga Kesehatan Baru-baru ini, Bank Dunia (2013) menyelesaikan 11 studi kasus negara-negara yang tengah menuju ke UHC dan menelaah secara khusus kebijakan sumber daya manusia sebagai bagian dari negara upaya untuk mencapai UHC. Negara-negara yang diteliti adalah dari berbagai tingkat pendapatan yang meliputi Jepang, Indonesia, Vietnam, Thailand, Turki, Perancis, Ghana, Ethiopia, Peru, Brasil, dan Bangladesh. Kesebelas negara tersebut tengah berupaya keras untuk mengatasi distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Negara-negara yang relatif berhasil mengurangi kesenjangan desa-kota melakukannya melalui berbagai strategi yang menjawab aspirasi karir tenaga kesehatan melalui insentif keuangan dan non-keuangan serta perbaikan kondisi kerja dan pengawasan yang mendukung dalam hal fasilitas. Strategi-strategi ini meliputi: • • • • merekrut siswa dari daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan; mendorong partisipasi mereka melalui beasiswa; menetapkan kuota di sekolah-sekolah; memastikan bahwa kurikulum pembelajaran mencakup komponen-keomponen pelayanan pedesaan; dan • menawarkan bantuan keuangan dan non keuangan untuk pengembangan karir. Wajib kerja melalui adanya suatu ikatan merupakan kebijakan umum lainnya untuk penempatan lulusan di daerah-daerah yang kurang terlayani. Pendekatan strategis penting lainnya adalah dengan investasi pada tenaga kerja di pelayanan kesehatan dasar. Hal ini dikarenakan investasi di rumah sakit cenderung mengalihkan distribusi tenaga kesehatan ke perkotaan dan alasan lainnya adalah investasi untuk tenaga kerja di pelayanan kesehatan dasar mempunyai manfaat tambahan untuk hasi-hasil kesehatan. Brazil melakukan investasi besar pada Strategi Kesehatan Keluarga (ESF) dan Program Agen Kesehatan Keluarga (PACS), yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian cakupan kesehatan universal selama dekade terakhir. Begitu juga, Turki, telah ber- 180 hasil mengurangi kesenjangan geografis, terutama melalui Program Dokter Keluarga (Family Medicine Program), yang menekankan pelayanan kesehatan dasar (lihat kotak 1). Pada tahun 1979, di Thailand, perbedaan kepadatan dokter antara Bangkok dan daerah pedesaan di timur laut mencapai 21 kali lipat. Dari tahun 1975, dan sebagaimana disebutkan di atas, insentif keuangan dalam bentuk tunjangan kesulitan bulanan diperkenalkan untuk merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan di pedesaan dengan fokus pada pelayanan kesehatan dasar, dan sejak tahun 1997, tunjangan ini telah disesuaikan dengan mempertimbangkan inflasi dan perbedaan tingkat kesulitan. Pada tahun 2009 perbedaan kepadatan dokter telah diturunkan menjadi 5 kali lipat, dan perbedaan dalam kepadatan perawat diturunkan dari 18 kali lipat menjadi 3 kali lipat. Kotak 1: Strategi Turki dalam Mengurangi Kesenjangan Tenaga Kesehatan di daerah Program Dokter Keluarga secara eksplisit mendorong para dokter dan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kepada penduduk di pedesaan. Ketika dokter praktik keluarga telah mendaftarkan pasien di daerah-daerah pedesaan, bidan-bidan di rumah kesehatan pun ditugaskan untuk melayani mereka. Selain itu, disediakan juga pelayanan kesehatan keliling untuk menjangkau penduduk ke pelosok-pelosok pedesaan. Pembayaran bulanan dokter keluarga disesuaikan dengan tingkat sosial ekonomi daerah tempat mereka praktik. Para dokter keluarga yang bekerja di daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan memperoleh “kredit layanan” sesuai biaya hidup (sliding scale), dan juga terhubung dengan indeks pembangunan sosial ekonomi di kabupaten. Di daerah-daerah yang paling tidak menguntungkan, kredit layanan bisa sebesar 40% dari pembayaran dasar maksimum. Sejak diterapkannya Program Dokter Keluarga, kesenjangan penyebaran tenaga kesehatan di negara tersebut telah berkurang. Penegakkan pelayanan wajib bagi semua lulusan fakultas kedokteran pemerintah maupun swasta adalah faktor lain yang juga berkontribusi terhadap perbaikan penyebaran geografis. Selanjutnya, peraturan mengenai pengangkatan dan transfer memastikan penyebaran tenaga kesehatan yang lebih seimbang di semua fasilitas pelayanan kesehatan Kementerian Kesehatan. Dengan peraturan ini, dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi dan apoteker diangkat melalui semacam lotere atau pengundian berbasis komputer, dan personel lainnya diangkat melalui ujian nasional yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketenuan umum. Sumber: Turkey Country Summary Report 2013, World Bank. Remunerasi untuk tenaga kesehatan di fasilitas publik perlu ditetapkan cukup tinggi guna menarik mahasiswa yang kompeten untuk menjadi tenaga kesehatan, dan mempertahankan mereka di sektor prioritas (yaitu, sektor publik dan pedesaan/ daerah terpencil), serta untuk menghindari kelebihan pembayaran. Remunerasi tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi perekrutan (daya tarik profesi) dan kepuasan kerja. Di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah, remunerasi bagi tenaga kesehatan sektor publik rendah, sehingga menyebabkan banyak masalah dalam akses dan kualitas pelayanan. Termasuk diantaranya praktik ganda (tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan pemerintah juga bekerja di klinik swasta untuk mempertahankan 181 standar hidup layak), pindahnya tenaga kesehatan ke penyedia layanan kesehatan swasta dan luar negeri, dan beralihnya lulusan yang kompeten ke pekerjaan non-kesehatan. Globalisasi pasar tenaga kerja kesehatan telah meningkatkan mobilitas tenaga kesehatan lintas batas nasional, yang menuntut negara-negara mempertimbangkan pasar tenaga kerja kesehatan global yang lebih luas ketika merumuskan kebijakan tenaga kesehatan mereka. Emigrasi tenaga kesehatan di luar negeri cukup besar di beberapa negara. Ketika Thailand harus bersaing dengan sektor swasta yang berkembang pesat dan daya tarik yang kuat dari luar negeri, pemerintah menaikkan remunerasi bagi tenaga kesehatan sektor publik (Kotak 2). Kotak 2: Meningkatkan Tarif Remunerasi Tenaga Kesehatan Sektor Publik di Thailand Thailand telah membuat kemajuan yang baik dalam memperluas tenaga kesehatan untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Selain meningkatkan produksi dokter dan perawat, pemerintah juga meningkatkan gaji pokok dan memberlakukan insentif untuk menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan dalam upaya melawan daya tarik yang kuat dari berbagai alternatif pekerjaan sektor swasta dan luar negeri yang kian bekembang. Insentif praktik non swasta diperkenalkan pada tahun 1995. Tunjangan layanan jangka panjang diperkenalkan pada tahun 2005 bagi mereka yang telah bekerja lebih dari tiga tahun dan bagi mereka yang tinggal di empat provinsi di kawasan selatan yang didera kerusuhan. Source: Thailand Country Summary Report 2013, World Bank Meningkatkan Kinerja Tenaga Kesehatan untuk Produktivitas dan Kualitas Penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami tingkat dan faktor penentu kinerja tenaga kesehatan dalam rangka mengatasi kekurangan dan membangun kekuatannya. Sementara buktibukti global yang komprehensif masih kurang, bukti-bukti parsial menunjukkan bahwa kinerja tenaga kesehatan di sebagian besar negara terlepas dari pendapatan nasional, masih jauh dari optimal. Penilaian sejauh mana tenaga kesehatan menunjukan kinerja yang baik di tempat kerja akan memberikan umpan balik yang penting untuk memandu reformasi pendidikan serta menginformasikan perubahan sistem insentif, manajemen SDM, dan isu-isu pasar tenaga kerja yang lebih luas. Remunerasi tenaga kesehatan yang memadai yang memperhitungkan kondisi pasar tenaga kerja, dan sistem yang menghubungkan kinerja tenaga kesehatan dengan pembayaran disertai lingkungan kerja yang mendukung sangatlah penting untuk meningkatkan kinerja. Menghubungkan pembayaran atau bentuk insentif lainnya dengan kinerja tenaga kesehatan menjadi semakin penting di negara-negara pada semua tahapan UHC, tetapi bukti sejauh ini dicampur pada efektivitas strategi ini. Insentif non-keuangan tampaknya sampa penting dengan insentif keuangan, yang seringkali berkaitan dengan aspirasi pengembangan karir tenaga kesehatan dan lingkungan kerja. Contoh 182 insentif non-keuangan terkait kepuasan kerja, dan secara tidak langsung berhubungan juga dengan kualitas pelayanan, adalah: • • • • mentoring atau pembinaan individual; penilaian kinerja secara berkala dengan umpan balik yang spesifik dan rencana pengembangan; kesempatan untuk melanjutkan pendidikan (termasuk waktu luang yang diperlukan); struktur karir yang menawarkan potensi promosi ke posisi dengan tanggung jawab dan imbalan tambahan; dan, penghargaan verbal dan non-keuangan lainnya atas kinerja yang baik. Negara-negara berpendapatan Tinggi99 Negara-negara di kawasan ini juga memanfaatkan strategi campuran, termasuk pemberian bonus dan hibah. Berikut adalah gambaran singkat di Australia dan Selandia Baru. Australia Australia menyediakan Hibah Insentif Relokasi Pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah dokter di daerah pedesaan dan daerah terpencil di Australia melalui pemberian hibah relokasi. Hibah insentif dihitung berdasarkan tempat asal dan tujuan relokasi para dokter Kedua, Australia memberikan pembayaran insentif yang dihitung berdasarkan: • • • lokasi (tingkat keterpencilan lokasi praktik); waktu praktik (lamanya waktu pelayanan medis yang diberikan di pedesaan dan lokasi-lokasi terpencil); beban kerja klinis (jumlah layanan) Para dokter umum berhak atas pembayaran insentif jika mereka memenuhi periode yang disyaratkan untuk pelayanan dan kemajuan secara kontinyu dengan menyelesaikan seperempat aktif dalam kategori pedesaan dan daerah terpencil yang memenuhi syarat, dengan periode kualifikasi tergantung lokasinya. Program Insentif Praktik (PIP) dimulai pada bulan Juli 1998 untuk menanggapi rekomendasi dari Kelompok Review Strategi Dokter Umum yang ditunjuk oleh Menteri Pelayanan Kesehatan dan Keluarga saat itu. Kelompok tersebut merekomendasikan suatu program yang menuju kearah model “pembayaran campuran” kapitasi, pembayaran berbasis kinerja, dan pembayaran tunai, yang bertujuan menciptakan insentif praktik guna memberikan kunjungan lebih lama dan mencegah banyaknya konsultasi singkat. Tujuan utama dari PIP ini adalah untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan dalam praktik umum melalui insentif keuangan untuk mendukung pelayanan yang berkualitas, dan meningkatkan akses serta hasil kesehatan bagi pasien. Praktik-praktik harus 99 Australia and New Zealand case studies based on case studies for the OECD in 2013 written by Cheryl Cashin, soon to be published by the OECD, Paris. 183 terakreditasi atau didaftarkan untuk memperoleh akreditasi agar dapat berpartisipasi dalam PIP. Praktik-praktik PIP berhak atas sejumlah pembayaran insentif, dengan memberikan model pembayaran yang lebih fleksibel yang dapat mempengaruhi perubahan jangka pendek maupun jangka panjang dalam penyediaan layanan. Program ini di bawah payung inisiatif insentif yang lebih luas yang juga terdiri dari Program Insentif Pedesaan, Program Insentif Perawat Kesehatan Mental, dan Skema GPII. Program ini dirancang di sekitar 13 bidang insentif yang dilaksanakan di tiga arus utama - kualitas pelayanan, kapasitas, dukungan pedesaan. Tidak semua insentif terkait erat dengan kinerja, dan beberapa dari insentif tersebut dapat dianggap sebagai bantuan tunai bersyarat untuk praktik atas pelaksanaan layanan tertentu. Insentif Kualitas (quality stream incentives) membayar cakupan layanan yang sesuai dengan pedoman berbasis bukti, yang diberlakukan oleh program sebagai proksi untuk hasil. Sementara itu Insentif Kapasitas (capacity stream incentives) memberikan sumber daya tambahan untuk praktik Dokter Umum dan berinvestasi di bidang infrastruktur, seperti komputerisasi, atau untuk memperluas layanan, seperti menyediakan layanan setelah jam praktik atau memberikan pelayanan di panti jompo. Insentif Dukungan Pedesaan menyediakan sumber daya tambahan (pembayaran tambahan) untuk praktik dokter umum di pedesaan dan daerah terpencil, dan memberikan kompensasi kepada para dokter atas pemberian pelayanan di daerah-daerah ini yang mana penduduknya sulit untuk mendapatkan akses ke pelayanan-pelayanan seperti beberapa prosedur bedah dan kebidanan yang lebih khusus. PIP ini memiliki efek positif pada akses dan penyediaan layanan di daerah pedesaan, dengan memberikan kontribusi bagi pengurangan kesenjangan desa-kota. Untuk beberapa praktik pedesaan, PIP merupakan sumber pendapatan penting, dan pembayaran beban pedesaan merupakan komponen penting keberlangsungan keuangan praktik pedesaan. Pembayaran tambahan untuk praktik tampaknya telah memberikan kontribusi peningkatan kualitas pelayanan, terutama untuk kondisi kronis. Selandia Baru Sepanjang evolusinya, pelayanan kesehatan dasar di Selandia Baru secara tradisional didanai sebagian dari pembayaran fee-for-service dari pemerintah untuk konsultasi dan obat-obatan, disertai dengan pembayaran bersama (co-payment) dari pasien yang cukup besar. Walaupun beberapa subsidi pemerintah menargetkan kebutuhan penduduk yang lebih luas, kesenjangan dalam hal akses masih tetap ada, dimana kelompok-kelompok berpendapatan rendah dan penduduk etnis Maori seringkali memiliki kebutuhan kesehatan yang lebih tinggi tetapi pemanfaat pelayanan kesehatan mereka lebih rendah dibandingkan penduduk lainnya. Strategi Kesehatan baru diperkenalkan pada tahun 2000 dengan 13 prioritas kesehatan penduduk dan termasuk tiga prioritas untuk mengurangi kesenjangan kesehatan tertentu. 184 Di bawah payung Strategi Kesehatan Selandia Baru, strategi pelayanan kesehatan dasar secara terpisah memperkenalkan pendekatan berbasis populasi untuk mengatasi kesenjangan yang semakin meningkat, dengan mengurangi kesenjangan kesehatan secara etnis yang mana menjadi tujuan keseluruhan dari strategi tersebut. Struktur organisasi baru untuk penyediaan layanan kesehatan dasar, organisasi kesehatan primer, didirikan untuk fokus pada bidang kesehatan prioritas yang tercantum dalam Strategi Kesehatan Selandia Baru dan untuk mengatasi masalah akses terhadap pelayanan dan kurangnya koordinasi antara penyedia layanan. Program pembayaran berbasis kinerja (pay-for-performance) diperkenalkan pada tahun 2006 dengan 10 indikator. Manajemen Kinerja Organisasi Kesehatan Dasar bertujuan untuk mempertajam fokus pada prioritas kesehatan penduduk dan kesenjangan dengan mendukung tata kelola klinis dan pemberian penghargaan atas peningkatan kualitas di organisasi-organisasi kesehatan dasar/ primary health organization (PHO). Beberapa indikator diukur secara terpisah untuk “populasi dengan kebutuhan tinggi,” dan dihargai lebih tinggi. Populasi kebutuhan tinggi PHO ditentukan oleh jumlah pasien individu terdaftar yang merupakan etnis Maori (penduduk asli Selandia Baru), penduduk di Kepulauan Pasifik atau yang tinggal di wilayah geografis dengan kekurangan sosial ekonomi yang relatif tinggi. Untuk memperkuat insentif guna mengurangi kesenjangan kesehatan, pembayaran berbasis kinerja diberikan bobot lebih besar ketika mengukur kemajuan dan hasil antara populasi berkebutuhan tinggi. Pembayaran dengan tarif flat untuk sebagian besar indikator dibuat untuk PHO untuk setiap periode kinerja enam bulan berdasarkan pencapaian persentase masing-masing sasaran. Jumlah pembayaran kinerja didasarkan pada hal-hal sebagai berikut: • • • populasi yang terdaftar di PHO untuk periode kinerja; kemajuan atas target untuk setiap indikator kinerja; jumlah pembayaran yang ditetapkan dalam perjanjian PHO per periode kinerja per orang yang terdaftar Kesepuluh indikator kinerja telah menunjukkan peningkatan sejak program ini diperkenalkan pada tahun 2006, namun peningkatannya sedikit. Misalnya, rata-rata tingkat skrining kanker payudara meningkat dari 55 menjadi 66 persen untuk target populasi antara tahun 2006 dan 2009, dan cakupan skrinning serviks meningkat dari 63 menjadi 73 persen. Tingkat deteksi diabetes dan tindak lanjutnya meningkat dari 46 menjadi 55 persen untuk total populasi. Inisiatif lain juga diperkenalkan selama kurun waktu itu, yang mungkin juga berkontribusi terhadap perbaikan tersebut, termasuk “Paket Peningkatan Perawatan” Kementerian Kesehatan untuk memperkuat perawatan diabetes berbasis masyarakat. Tingkat vaksinasi flu tetap hampir sama selama periode tersebut, sementara kemajuan terbesar dicapai imunisasi, yang mengalami peningkatan dari angka dibawah 60% menjadi 87%. Beberapa kemajuan ditunjukkan dalam upaya mengurangi kesenjangan kesehatan, karena sejumlah indikator telah meningkat relatif lebih tinggi untuk populasi berkebutuhan tinggi dibandingkan untuk populasi secara keseluruhan. Namun, tingkat pembayaran bonus kecil, dan kurang dari 1% keseluruhan anggaran pelayanan kesehatan dasar. Di Inggris, misalnya tarif ini ditetapkan sebanyak 25% dari pendapatan pelayanan kesehatan dasar. 185 Metode Campuran dan Kesimpulan Review untuk Indonesia Banyak negara telah mengembangkan strategi pendekatan masalah dari berbagai sudut dan mungkin menawarkan peluang keberhasilan yang terbaik. Ini termasuk negara-negara yang tengah menuju ke Cakupan Kesehatan Semesta (UHC). Tidak semua pelajaran dapat diterapkan. Sebagai contoh, dalam membandingkan Thailand dan Indonesia kita harus ingat heterogenitas di Indonesia yang begitu tinggi dan perbedaan dalam karakteristik pemerintahan. Namun demikian, Indonesia mungkin ingin melakukan tiga jenis intervensi semuanya, dengan tingkat pembayaran yang mungkin lebih tinggi dan insentif pembayaran yang datang pertama mungkin pada awal tahun ini - dan strategi lainnya selama 3-5 tahun ke depan. Banyak kebijakan penempatan dokter di Indonesia di masa lalu merupakan keputusan politik, dan kebijakan di masa depan lebih baik mengikuti bukti-bukti internasional; Tim WHO di Indonesia beru-baru ini juga telah mengembangkan beberapa strategi untuk pemerintah khusus dalam konteks di Indonesia. Strategi tersebut termasuk: • • Jangan menempatkan dokter di daerah-daerah terpencil, lebih baik tingkatkan kunjungan rutin dokter-dokter dari kabupaten sekitar sebagai solusi jangka pendek yang lebih layak; Tim-tim pelayanan kesehatan dasar – termasuk dokter, bidan, perawat, dan pekerja lapangan mungkin lebih cocok daripada sekedat dokter. Yang terakhir, dibawah ini ada tabel ringkasan dari laporan World Bank baru-baru ini Table 1: Ketidakseimbangan Penyebaran Tenaga Kesehatan, serta Kebijakan dan Intervensi 186 Negara Ketidakseimbangan penyebaran Kebijakan dan intervensi Bangladesh Profesional kesehatan, paraprofesional, dan ahli teknologi medis sangat terkonsentrasi di perkotaan, sementara di pedesaan dan daerah terpencil sangatlah kurang. Tingkat kekosongan posisi tersebut pada fasilitas kesehatan publik di pedesaan tinggi, tetapi lebih rendah di antara pekerja lapangan kesehatan Lebih banyak puskesmas di pedesaan dan lebih banyak rumah sakit di perkotaan. Hal ini menyebabkan lebih banyak tuntutan untuk tenaga dokter dan perawat di perkotaan, sedangkan di pedesaan tuntutan lebih banyak pada petugas kesehatan masyarakat dan paramedis. Hampir semua lembaga pelatihan ada di perkotaan. Kebanyakan peserta berasal dari pedesaan karena kelas-kelas sains yang dibutuhkan tidak tersedia di sekolahsekolah pedesaan. Secara keseluruhan distribusi tenaga kesehatan merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, namun penempatan dan pengangkatan diatur oleh beberapa unit pada tingkat pemerintahan yang berbeda. Pengalokasian seringkali tunduk pada pengaruh politik, dan tidak selalu mengikuti arahan kebijakan Banyak intervensi menunjukkan beberapa dampak dalam mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di daerah pedesaan, termasuk pelatihan yang diadakan LSMLSM untuk petugas kesehatan masyarakat serta peningkatan jumlah bidan terlatih. Peningkatan intervensi akan membantu mengatasi tantangan ini, dan harus dilakukan secara terkoordinasi diantara entitas yang terlibat dalam desain kebijakan dan proses implementasi. Negara Ketidakseimbangan penyebaran Kebijakan dan intervensi Ethiopia Terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal kepadatan tenaga kesehatan di daerah-daerah. Rasio kepadatannya adalah 1.000 penduduk per 0,01–0,33 dokter, 0,003–0,06 petugas kesehatan, 0,07–1,18 perawat, 0,01–0,08 bidan, dan 0,23–0,70 Penyuluh kesehatan. Penyuluh kesehatan dan petugas kesehatan direkrut dari masyarakat pedesaan, dan dilatih dalam konteks pedesaan. Hal ini membantu dalam hal penempatan dan mempertahankan mereka. Tidak ada insentif keuangan khusus untuk menarik petugas kesehatan ke daerah pedesaan. Ghana Akses ke petugas kesehatan secara umum telah meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Akan tetapi, penyebarannya lebih banyak di perkotaan, lebih banyak rumah sakit dibandingkan klinik. Kepadatan paling tinggi petugas kesehatan adalah di Greater Accra dan kawasan Ashanti dan Volta regions, dan yang terendah ada di Utara. Latihan prajabatan untuk dokter masih terkonsentrasi di sejumlah kecil perkotaan, tetapi untuk lembaga pelatihan perawat dan bidan, penyebarannya lebih luas. Langkah-langkah pemerintah untuk mengurangi kesenjangan dalam distribusi tenaga kesehatan termasuk investasi dalam mendirikan lembaga-lembaga pelatihan bagi dokter di daerah-daerah dan kabupaten, serta menawarkan paket insentif seperti bantuan perumahan, tunjangan tambahan, dan peluang karir. Telah diluncurkan sebuah program ikatan dinas lima tahun dengan komitmen pelayanan kepada daerah prioritas tinggi, sebagai ganti atas bantuan pra jabatan yang telah diberikan. Kesenjangan geografis yang signifikan masih terjadi pada penyebaran tenaga kesehatan, yang sebagian besar terkonsentrasi di pulau Jawa (kecuali Jawa bagian Utara), sementara di daerahdaerah terpencil seperti di NTT, Maluku, dan Papua, tingkat kepadatan tenaga kesehatan sangatlah rendah. Rumah sakit-rumah sakit yang besar di perkotaan telah menarik tenaga spesialis, dan dokter, serta tingkat kepadatan tenaga dokter yang tinggi di perkotaan sebanding dengan penyebaraan rumah sakit di perkotaan. Pemerintah daerah memiliki otoritas yang kuat untuk mengatur dan mempengaruhi perekrutan dan penempatan tenaga kesehatan, tetapi kekayaan provinsi dan ketersediaan kapasitas fiskal tidak selalu berkorelasi dengan ketersediaan dokter. Pemerintah pusat telah mencoba sejumlah kebijakan untuk meningkatkan penyebaran tenaga kesehatan, termasuk melalui UU Kesehatan, yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menangani penyebaran tenaga kesehatan berdasarkan standar input, proses, dan output; UU Kedokteran yang membatasi dokter bekerja di tidak lebih dari tiga tempat; dan UU rumah sakit yang menetapkan standar rumah sakit termasuk SDM. Pemerintah pusat dan daerah menawarkan insentif keuangan kepada tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah-daerah terpencil, namun belum menyusun strategi mengenai insentif non keuangan. Indonesia 187 Negara Ketidakseimbangan penyebaran Kebijakan dan intervensi Peru Tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan secara geografis cukup signifikan. Rasio kepadatan dokter per 1.000 penduduk adalah 0,77 dan dibawah 0,4 di sebagian besar kawasan penggunungan Andes dan hutan Amazon. Hal serupa juga terjadi pada tenaga perawat dan bidan. Terfragmentasinya tata kelola penempatan tenaga kesehatan dan kurangnya informasi yang akurat mengenai jumlah dan penyebaran penyedia layanan kesehatan merupakan tantangan besar dalam mengkoordinasikan pengalokasian tenaga kesehatan. Vietnam Penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata cukup signifikan, terutama di daerah terpencil dan pegunungan, yang menjadi lebih parah pada kurun waktu 2005–10: dimana 59% dokter praktik di perkotaan, tetapi penduduk kota hanya 27 persen dari jumlah penduduk keseluruhan. Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian keputusan untuk mengatasi penyebaran yang tidak merata, termasuk: pemberian insentif keuangan untuk pekerja di daerah pedesaan, melanjutkan pendidikan (24 jam/ tahun), akses ke pelatihan medis empat tahun untuk asisten dokter dari daerah pedesaan, insentif untuk akses pelatihan medis bagi kelompok minoritas, dan sistem rotasi jangka pendek dari fasilitas yang lebih tinggi ke fasilitas yang lebih rendah. Akan tetapi inisiatif ini masih dalam tahap awal implementasi dan belum dievaluasi. Di masing-masing provinsi juga terjadi ketidakseimbangan, dengan tingkat ketersediaan tenaga kesehatan terendah berada di tingkat kecamatan (commune): hanya di sepertiga kecamatan (commune) tersedia tenaga dokter. Brazil Kesenjangan dalam hal penyebaran tenaga kesehatan telah banyak berkurang dengan adanya perluasan cakupan Dokter Keluarga, namun upaya rekrutmen dan mempertahankan tenaga kesehatan masih menjadi masalah, terutama di daerah pedesaan di bagian Utara dan Timur Laut. Program Peningkatan Profesional dalam Primary Health Care (PROVAB, 2011) menawarkan berbagai insentif untuk minimal satu tahun bekerja di pelayanan kesehatan dasar di wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah federal sebagai wilayah yang kurang mendapatkan pelayanan. (Insentif ini adalah insentif keuangan serta poin bonus dalam ujian masuk ke program residensi medis dan program spesialisasi di bidang kesehatan keluarga.). Baru-baru ini, mengingat masih adanya posisi lowong di daerah terpencil dan kurang mendapat pelayanan, pemerintah memutuskan untuk merekrut dokter yang dilatih di luar negeri melalui program “Mais Medicos” Program (lebih banyak Dokter). Di samping inisiatif federal ini, administrator di tingkat kota mengadopsi berbagai jenis insentif untuk merekrut tenaga kesehatan, yang paling sering adalah dengan menaikkan gaji dan memperkenalkan jam kerja yang fleksibel. 188 Negara Ketidakseimbangan penyebaran Kebijakan dan intervensi Thailand Pada tahun 1979, perbedaan kepadatan dokter antara Bangkok dan daerah pedesaan di Timur Laut Thailand mencapai 21 kali lipat. Pada tahun 2009 perbedaan kepadatan dokter telah dikurangi menjadi 5 kali lipat. Pada tahun yang sama, perbedaan dalam kepadatan perawat diturunkan dari 18 kali lipat menjadi 3 kali lipat Setelah 1975, insentif keuangan (tunjangan kesulitan bulanan) diperkenalkan untuk perekrutan dan mempertahankan tenaga kesehatan di pedesaan. Pada 1997, besaran tunjangan disesuaikan dengan mempertimbangkan inflasi dan perbedaan tingkat kesulitan; upaya terus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan tenaga kesehatan. Turki Antara tahun 2002 dan 2011, kesenjangan tenaga kesehatan antara provinsi dengan tenaga kesehatan tertinggi dan provinsi dengan tenaga kesehatan terendah: untuk dokter spesialis dari 1:14 menjadi 1:2,7; untuk dokter umum dari 1:9 menjadi 1:2,3; dan untuk perawat dan bidan dari 1:8 menjadi 1:4. Pada tahun 2011, daerah Anatolia Barat memilliki 2,6 dokter per 1.000 penduduk; dan Anatolia Selatan memiliki kepadatan terendah dengan 1,16 dokter per 1.000 penduduk. Kawasan Laut Hitam Timur memiliki kepadatan perawat dan bidan, 1,84 kali dari kepadatan perawat dan bidan di Anatolia Selatan. Kebijakan-kebijakan pemerintah telah mengurangi kesenjangan penyebaran tenaga kesehatan. Program Dokter Keluarga secara eksplisit mendorong para dokter dan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kepada penduduk di pedesaan. Ketika dokter praktik keluarga telah mendaftarkan pasien di daerah-daerah pedesaan, bidanbidan rumah kesehatan pun bertugas untuk melayani mereka. Pembayaran bulanan dokter keluarga disesuaikan dengan daerah tempat mereka praktik; dan para dokter keluarga yang bekerja di daerah-daerah yang kurang mendapatkan pelayanan memperoleh “kredit layanan” sesuai biaya hidup (sliding scale), dan juga terhubung dengan indeks pembangunan sosial ekonomi di kabupaten (kredit layanan besarnya 40% dari pembayaran dasar maksimum). Pelayanan wajib diberlakukan bagi semua lulusan fakultas kedokteran pemerintah maupun swasta. 189 Negara Ketidakseimbangan penyebaran Kebijakan dan intervensi Perancis Penyebaran tenaga kesehatan secara geografis lebih cenderung ke daerahdaerah kaya, dengan perbedaan 1,55 kali dalam hal kepadatan tenaga dokter antara daerah dengan kepadatan tertinggi (Provence-Alpes-Côte d’Azur di sebelah selatan) dan daerah-daerah dengan kepadatan tenaga kesehatan terendah. Langkah-langkah pemerintah untuk mengurangi kesenjangan tenaga kesehatan secara geografis termasuk diantaranya dengan meningkatkan kuota untuk masuk ke fakultas kedokteran, menawarkan insentif keuangan (pajak, tunjangan) untuk praktik kelompok di daerah-daerah yang kekurangan tenaga medis, dan menawarkan Kontrak Keterlibatan Pelayanan Publik untuk mahasiswa kedokteran dengan ketentuan keuangan untuk membuka praktik di daerah-daerah yang kurang terlayani. Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya manusia, khususnya di daerah-daerah yang kekurangan SDM nya, pemerintah juga telah memperkenalkan langkahlangkah untuk meningkatkan kerjasama multidisiplin Antara dokter dan paramedic di tingkat lokal melalui kombinasi ketermpilan dan pengalihan tugas. Jepang Sebagaimana diukur melalui rasio kepadatan dokter antara prefektur (provinsi) dengan kepadatan tertinggi dan prefektur dengan kepadatan terendah, antara kurun waktu 1990 sampai dengan 2010, kesenjangan geografis dalam hal ketersediaan tenaga dokter mengalami penurunan dari 2,24 menjadi 2,00. Pada tahun 2010, rasio yang sama untuk tenaga perawat adalah 2,10 dan bidan, 2,00. Untuk mengurangi perbedaan geografis dalam penyebaran tenaga dokter, pemerintah prefektur membayar uang kuliah dan biaya hidup untuk dua hingga tiga mahasiswa baru yang masuk ke sekolah kedokteran khusus yang lulusan diwajibkan bekerja di daerah terpencil, dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa baru di fakultas kedokteran yang dikontrak dengan ketentuan yang sama. Dokter di rumah sakit pedesaan menerima upah yang lebih tinggi dibanding di perkotaan, sedangkan untuk perawat justru terbalik. Ketentuan jadwal biaya menetapkan tarif pelayanan kesehatan yang sama di mana pun lokasinya, yang memungkinkan rumah sakit untuk menetapkan upah berdasarkan kondisi pasar tenaga kerja: karena para dokter lebih memilih bekerja di daerah perkotaan, maka mereka harus ditawarkan lebih. Perawat di daerah pedesaan lebih bersedia untuk bekerja dengan upah rendah di daerah pedesaan karena mereka cenderung memiliki hubungan lebih dekat dengan komunitas asal mereka. Sumber: Country summary reports on UHC, 2013, World Bank. 190 Referensi (dan Bacaan Tambahan) Araújo, Edson, and A Maeda, How to Recruit and Retain Health Workers in Rural and Remote Areas in Developing Countries: A Guidance Note, World Bank, Washington, June 2013. Barnighausen, T., & Bloom, D,E. (2009). Financial incentives for return of service in underserved areas: a systematic review. BMC Health Services Research, 9, 86. Blaauw D., E. Erasmus, N. Pagaiya, V. Tangcharoensathein, K. Mullei, S. Mudhune, C. Goodman, M. English, and M. Lagarde. 2010. “Policy Interventions that Attract Nurses to Rural Areas: A Multicountry Discrete Choice Experiment.” Bulletin of the World Health Organization, Vol. 88: 350-6. Buykx P., J. Humphreys, J. Wakerman and D. Pashen. 2010. “Systematic Review of Effective Retention Incentives for Health Workers in Rural and Remote Areas: Towards Evidence-based Policy.” Aust. J. Rural Health, Vol. 18: 102–9. Cashin, C., Review of Pay for Performance in OECD Countries, Pre-publication draft, OECD, Paris, 2014. Dolea C., Stormont, L., M. and Braichet J.M., “Evaluated strategies to increase attraction and retention of health workers in remote and rural areas,” Bulletin of the World Health Organization, May 2010, Geneva. Dussault G., and M. C. Franceschini. 2010. “Not Enough There, Too Many Here: Understanding Geographical Imbalances in the Distribution of the Health Workforce.” Human Resources for Health, Vol. 4(12): 1-19. Grobler L.A., B. J. Marais, S. A. Mabunda, P. N. Marindi, H. Reuter, and J. Volmink. 2009. Interventions for Increasing the Proportion of Health Professionals Practising in Rural and Other Underserved Areas. Cochrane Database of Systemic Reviews, Issue 1. Art. No.: CD005314. 46 Inoue, K., Matsumoto, M. & Sawada, T. (2007). Evaluation of a medical school for rural doctors. Journal of Rural Health, 23(2), 183-7. International Conference on Primary Health Care (1978). Declaration of Alma-Ata. McPake B., and K. Mensah. 2008. Task Shifting in Health Care in Resource-Poor Countries. Lancet, Vol. 372(9642): 870-1. Lehmann, U., Dieleman, M., and Martineau, “Staffing remote rural areas in middle- and low-income countries: A literature review of attraction and retention,” BMC Health Services Research 2008, 8:19. Owen, J.A., Conaway, M.R., Bailey, B.A. & Hayden, G.F. (2007). Predicting rural practice using different definitions to classify medical school applicants as having a rural upbringing. Journal of Rural Health, 23(2), 133-40. World Health Organization, 2010. “Increasing Access to Health Workers in Remote and Rural Areas through Improved Retention: Global Recommendations.” Geneva, Switzerland. Wibulpolprasert, S., and Pengpaibon, P. (2003). Integrated strategies to tackle the inequitable distribution of doctors in Thailand: four decades of experience. Human Resources for Health, 1, 12. World Health Organization. (2011b). Thailand National Health System Profile. Retrieved from http:// www.searo.who.int/LinkFiles/Thailand_Thailand_final_031005_WT.pdf World Bank, Japan Partnership on Universal Coverage, Overview of Findings, Washington, December 2013. 191 NOTA #22 KEBIJAKAN 100 Pertimbangan-pertimbangan untuk Menetapkan Proses atau Program Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) Diskusi singkat ini menetapkan beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan proses Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA – Health Technology Assessment) di Indonesia.100 Definisi Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mendefinisikan penapisan teknologi kesehatan (HTA) sebagai ‘evaluasi properti, efek dan/ dampak teknologi serta intervensi kesehatan yang dilakukan secara sistematis…. Pendekatan ini digunakan untuk memberikan informasi terhadap pembuatan kebijakan dan keputusan dalam pelayanan kesehatan, terutama mengenai cara terbaik untuk mengalokasikan dana yang terbatas untuk intervensi dan teknologi kesehatan.101 Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) didasarkan pada pendekatan multidisiplin, termasuk epidemiologi klinis, ekonomi kesehatan, biostatistik dan metode penelitian kualitatif yang sesuai. Tergantung pada kerangka kebijakan untuk HTA di negara tertentu, output dari penilaian dapat berupa laporan yang kompleks, saran untuk memandu keputusan investasi kesehatan atau karya akademis, atau gabungan dari kesemuanya ini. HTA adalah pekerjaan yang memerlukan beragam sumber daya, keterampilan dan kapasitas untuk melaksanakan analisis. Meskipun demikian, hasil dari HTA tidak boleh dilihat secara terpisah dari kebijakan lain untuk mengelola keputusan investasi 100 Policy Note # 22 ditulis oleh Suzanne Hill dan Profesor Budiono Santoso dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Dokumen ini dibuat permintaan Bappenas pada Februari 2014 untuk memberikan panduan yg relatif cepat mengenai langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh Indonesia untuk isu ini di masa depan, berdasarkan bukti-bukti global evidence. Untuk mendapatkan salinan Policy Notes lainnya, silakan mengunjungi www.aiphss.org 101 WHO Executive Board Paper, EB134/30, Jan 2014. 193 dan cakupan pelayanan kesehatan. Jenis lain dari evaluasi ekonomi kesehatan termasuk evaluasi pharmacoeconomic, secara umum kini seharusnya dianggap sebagai bagian dalam HTA karena teknik dasar yang digunakan adalah sama. Keluaran-keluaran (outputs) dari HTA adalah laporan penilaian, tinjauan cepat, pedoman klinis atau konsolidasi dari tinjauan-tinjauan (review) yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga lain. Pendekatan ini dapat dilakukan pada tingkat nasional maupun daerah dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Kerangka Kebijakan Kerangka kebijakan untuk menetapkan dan menggunakan HTA perlu diputuskan terlebih dahulu, karena akan menentukan struktur dan ruang lingkup dari proses HTA tersebut. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah: • • • • • • Dengan memperhatikan struktur sistem kesehatan (sentralisasi/ desentralisasi/campuran) dimana HTA akan diterapkan; Apakah laporan HTA akan digunakan sebagai informasi dan saran, tetapi tidak sebagai alat pengambilan keputusan penting; Apakah HTA akan digunakan sebagai bagian dari kriteria keputusan untuk semua keputusan penggantian biaya kembali (reimbursement) bagi semua teknologi yang disediakan melalui skema asuransi, atau teknologi yang dipilih; Bagaimana HTA akan digunakan dalam kaitannya dengan kebijakan pengendalian pengeluaran lain, misalnya, harga referensi untuk obat-obatan; Apakah proses HTA harus independen dari keterlibatan pemerintah, misalnya, berbasis di unit akademis, dengan agenda tersendiri untuk laporan, atau apakah harus dikaitkan dengan agenda kebijakan pemerintah; Apakah laporan HTA akan digunakan sebagai dasar keputusan yang mengikat secara hukum atau sebagai pemberi saran saja. Secara historis, HTA di negara-negara berpendapatan tinggi paling sering dimulai dengan basis di unit akademik independen, dengan penyusunan laporan penilaian mengenai topik yang menarik bagi para penulis. Contohnya, struktur asli dari kelompok HTA Catalonia di Spanyol atau Program Penapisan Teknologi Kesehatan NHS di Inggris yang mendahului terbentuknya National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Pada awal 1990-an, Australia dan Kanada mulai menggunakan evaluasi efektivitas biaya untuk menentukan keputusan pendanaan, awalnya adalah untuk obatobatan, tetapi kemudian juga digunakan untuk teknologi dan peralatan medis. Sistem ini berkembang menghasilkan struktur untuk mendukung Kementerian Kesehatan secara khusus dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan serta menghubungkan dengan pusat-pusat akademik. Keputusan-keputusan di Australia berkaitan dengan cakupan asuransi kesehatan nasional sedangkan di Kanada keputusan akhir mengenai cakupan dibuat di tingkat provinsi. Banyak sistem sekarang menggunakan campuran dari berbagai pendekatan. 194 Perundang-undangan Peran HTA perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan tergantung pada kerangka kebijakan yang digunakan. Sebagai contoh, awalnya rekomendasi yang dibuat oleh NICE tidak mengikat otoritas pelaksana di tingkat lokal; ini kemudian diubah sehingga Komisi Otoritas (Commissioning Authorities) sekarang diharuskan untuk memastikan ada anggaran yang tersedia untuk teknologi kesehatan yang direkomendasikan NICE dimana teknologi kesehatan tersebut harus digunakan. Di Australia, UU Kesehatan Nasional telah diubah pada tahun 1989 untuk mengharuskan pertimbangan biaya dan efektivitas oleh Komite Penasihat Manfaat Farmasi, yang merupakan komite penasihat independen yang memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan tentang obat-obat apa saja yang harus diganti melalui skema asuransi kesehatan nasional. Undang-undang memperbolehkan menteri untuk mengatakan tidak atas rekomendasi positif dari panitia, tetapi tidak memperbolehkan menteri untuk mendaftar produk jika komite telah merekomendasikan tidak menggunakannya. Struktur Struktur unit HTA harus mengikuti kerangka kebijakan dan perundang-undangan, tetapi juga akan tergantung pada sumber daya manusia yang tersedia. Berbagai pilihan termasuk: • • • Memiliki sebuah unit independen dengan fokus akademis, di perguruan tinggi, yang mempersiapkan laporan HTA untuk menginformasikan para pembuat kebijakan, tetapi bukan merupakan dasar untuk keputusan mengenai cakupan atau subsidi; Memiliki tim HTA atau unit di Kementerian Kesehatan, untuk melaksanakan HTA pada topik yang dipilih atau menilai laporan HTA yang disampaikan oleh para produsen. Mengembangkan otoritas atau struktur terpisah untuk melaksanakan HTA, seperti Canadian Agency for Drugs and Technologies in Health (CADTH) atau Health Intervention and Technology Assessment Program, (HITAP) di Thailand. Struktur campuran juga digunakan. Sebagai contoh, di Australia, Kementerian Kesehatan memiliki dua tim teknis yang mengkoordinasikan proses HTA - satu untuk obat-obatan dan satu lagi untuk teknologi medis, peralatan dan uji diagnostik. Laporan disiapkan oleh produsen (dalam hal obatobatan) dan dinilai oleh kelompok akademis yang dikontrak, yang menyediakan laporan tambahan ke Departemen dan komite penasehat untuk pengambilan keputusan. Struktur cenderung berkembang dari waktu ke waktu karena sistem dan kebijakan juga berubah tergantung pada ketersediaan keterampilan dan staf. The International Network of Agencies for Health Technology Assessment (INAHTA) atau Jaringan Internasional Lembaga-lembaga untuk Penilaian Teknologi Kesehatan and Health Technology Assessment International (HTAi) atau Penilaian Teknologi Kesehatan Internasional adalah dua jaringan global lembaga-lembaga HTA yang dapat memberikan contoh-contoh tambahan. 195 Ruang lingkup Penapisan Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment - HTA) dapat mencakup semua teknologi kesehatan. Akan tetapi, obat-obatan biasanya merupakan kelompok yang paling mudah untuk dimulai mengingat sumber datanya mahal dan biasanya tersedia bukti-bukti yang berkualitas bagus. Tes diagnostik, perangkat, layanan medis (seperti konsultasi atau prosedur) dan teknologi yang rumit sifatnya lebih kompleks dan memerlukan keterampilan lebih dalam menemukan dan menginterpretasikan bukti-bukti, yang biasanya kualitasnya rendah. Kebanyakan lembaga sudah memulai dengan salah satu komponen HTA dan kemudian perlahan-lahan meningkat. Sumber daya, kapasitas dan lingkungan Seperti disebutkan di atas, pelaksanaan HTA yang efektif untuk pengambilan keputusan membutuhkan sumber daya yang banyak. Sebelum memulai proses HTA perlu dilakukan inventarisasi kapasitas yang ada dan sumber daya manusia. Skala lembaga-lembaga HTA berkisar mulai dari lembaga sebesar NICE – yang terdiri dari beberapa ratus staf dan pusat kerjasama akademik – hingga ke pusat-pusat baru yang kecil-kecil di calon negara-negara Uni Eropa, yang mungkin hanya memiliki 1 atau 2 staf di bagian kesehatannya. Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) adalah kegiatan multidisiplin dan memerlukan keterampilanketerampilan berikut: spesialis kedokteran klinis, epidemiologi klinis, ekonomi kesehatan, biostatistik, farmasi, informasi. Banyak kelompok/otoritas HTA berjuang untuk mempertahankan jumlah staf yang memadai, khususnya di bidang ekonomi kesehatan. Sementara jumlah staf yang diperlukan akan tergantung pada ruang lingkup pekerjaan. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk memiliki tim yang efektif, setidaknya diperlukan 10 profesional FTE. Jika output HTA adalah untuk memberikan dasar pengambilan keputusan, sumber daya tambahan mungkin diperlukan untuk mendukung apa pun proses pengambilan keputusan yang ditetapkan. Di Australia, PBAC memiliki anggota sebanyak 19 orang (17 orang paruh waktu dan 1 orang purna waktu) yang sebagian besar spesialis klinis, tetapi juga mencakup seorang perwakilan konsumen, seorang ekonom kesehatan dan seorang apoteker masyarakat. Keanggotaan ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan Nasional, dan anggotanya diangkat oleh Menteri untuk masa jabatan 4 tahun. Komite tersebut didukung oleh sekretariat di Kementerian yang terdiri dari kurang lebih 15 staf purna waktu, dengan latar belakang berbeda seperti farmasi, ekonomi, kebijakan dan administrasi. Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) berfungsi dengan sangat efektif dalam lingkungan di mana obat-obatan berbasis bukti diterima dan digunakan. HTA juga dapat menjadi alat untuk mempromosikan penggunaan obat-obatan berbasis bukti. Perubahan budaya semcam itu biasanya memerlukan waktu dan kepemimpinan - yang mana dapat diberikan oleh HTA yang efektif. Jaringan Eropa untuk Penilaian Teknologi Kesehatan (EuNetHTA) telah mengembangkan ‘buku pegangan peningkatan kapasitas HTA’ yang memberikan gambaran yang berguna berdasarkan pengalaman dari beberapa negara di Uni Eropa.102 102 At http://www.inahta.org/upload/HTA_resources/eunethta_wp8_hb_hta_capacity_building1.pdf, diakses 21 Januari 2014 196 Proses HTA Proses yang sebenarnya digunakan untuk HTA berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu lembaga ke lembaga lain, tergantung undang-undang, ruang lingkup dan sumber daya yang tersedia. NICE, sebagai lembaga besar dengan sumber daya yang baik, melakukan analisis sendiri dan mempersiapkan laporan sendiri, dengan masukan dari sponsor komersial dan para pemangku kepentingan. NICE memilih topik dan teknologi yang akan mereka nilai berdasarkan pada proses politik dan konsultasi formal. Semua aspek ini kemudian dipertimbangkan ketika komite penasihat (sekarang ada beberapa) memutuskan rekomendasi. Waktu dari permintaan penyusunan laporan ke rekomendasi bervariasi berkisar 6 bulan sampai 2 tahun, dan laporan serta rekomendasi ditinjau setiap 4-5 tahun. Estonia, di sisi lain, negara bependuduk 1,4 juta orang dengan satu pusat akademik, menilai laporan HTA yang merupakan aplikasi dari perusahaan-perusahaan komersial untuk penggantian teknologi melalui dana Asuransi Kesehatan Estonia. Hal ini diperlukan untuk memenuhi persyaratan Uni Eropa untuk jangka waktu keputusan penggantian, sekitar 4 bulan. Estonia menilai semua aplikasi yang diajukan oleh sponsor komersial, dan dapat berbagi beberapa pekerjaan penilaiannya, jika memungkinkan, dengan negara-negara tetangga Baltik lainnya, Latvia dan Lithuania. Australia, dengan penduduk 23 juta dan pengalaman dalam HTA selama 20 tahun, menggunakan sebagian besar laporan dari sponsor komersial, namun memiliki beberapa kapasitas untuk meminta diadakan laporan independen dari pusat-pusat akademik dalam pengambilan keputusannya. PBAC dan Medicare Services Advisory Committee (MSAC) atau komite penasihat layanan medis menilai semua aplikasi yang disampaikan oleh sponsor farmasi atau sponsor teknologi masing-masing. Waktu penyerahan aplikasi untuk rekomendasi komite sekitar 4 bulan untuk hal-hal menyangkut PBAC dan 6 sampai 12 bulan untuk hal-hal berkenaan dengan MSAC, tergantung tingkat kerumitannya. Satu kesamaan yang dimilliki semua lembaga adalah seperangkat persyaratan lokal yang harus dicantumkan dalam laporan HTA. Meskipun ada standar internasional untuk HTA, aplikasi perlu dilokalisasi untuk mempertimbangkan sumber data, nilai-nilai dan preferensi serta informasi biaya lokal. Pilihan untuk Indonesia Dalam konteks pelaksanaan cakupan kesehatan semesta (UHC), berikut ini ada satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan oleh Indonesia jika ingin berinvestasi dalam pengembangan HTA untuk mendukung program asuransi kesehatan. Perundang-undangan dan Kerangka kebijakan Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) tercantum dalam Peraturan Presiden No. 111 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan. Misalnya, dalam pasal 43 disebutkan “ Dalam rangka menjamin kendali dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk melakukan ( i ) penapisan teknologi kesehatan, ( ii ) pertimbangan klinis, ( iii ).... “ Pasal lainnya juga menyebutkan bahwa “ pengobatan 197 komplementer, alternatif dan tradisional termasuk akupunktur, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan Penapisan Teknologi Kesehatan tidak akan ditanggung.” Jika tidak ditentukan dalam undang-undang, maka harus dipertimbangkan apakah undang-undang tersebut perlu diperbaiki atau diperluas untuk menentukan dengan tepat bagaimana HTA akan memberikan kontribusi pada proses penentuan paket manfaat bagi JKN. Sebagai contoh, apakah semua barang dan jasa yang saat ini ditanggung akan tunduk pada penilaian baru atau apakah akan diterima pada awalnya dan kemudian ditinjau ulang secara bertahap selama beberapa tahun ke depan? Kriteria apa yang akan digunakan untuk menentukan apakah suatu barang atau jasa dapat diterima menurut HTA tersebut – ambang batas efektivitas biaya seperti yang digunakan NICE atau beberapa faktor? Apakah dampak anggaran juga dinilai sebagai kriteria? Siapa yang akan memiliki kewenangan hukum untuk mencantumkan atau menghapuskan dari daftar jenis barang dan jasa? Langsung oleh Menteri, lembaga di Kemenkes atau HTA?103 Struktur Jika Kemenkes sedang mempertimbangkan sebuah “Komite Nasional HTA”, maka keanggotaannya perlu ditentukan. Komite penasihat HTA perlu melibatkan ahli klinis independen, ekonom kesehatan dan perwakilan konsumen. Biasanya komite HTA beranggotakan 15 dan 20 orang, yang mencakup disiplin ilmu klinis utama, juga termasuk setidaknya 2 atau 3 anggota yang memiliki keahlian dalam epidemiologi klinis dan metode HTA. Anggota harus independen dan tidak memiliki keterkaitan keuangan dengan produsen farmasi atau peralatan. (Idealnya, anggota keluarga langsung dari anggota HTA juga sebaiknya tidak memiliki keterkaitan keuangan tersebut). Peran dan fungsi komite HTA akan tergantung pada apa yang diputuskan mengenai kewenangan untuk menambah atau menghapus item dari paket Manfaat. Jika Menteri tetap merupakan pemegang otoritas terakhir, maka Komite dapat memberikan saran kepada Menteri, baik secara langsung, atau melalui Kementerian Kesehatan. Cukup besar nilai yang dapat diperoleh jika memiliki Komite yang independen dari Kementerian. Prinsip-prinsip lain yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat transparansi operasinal dari komite HTA, peran sponsor komersial, bagaimana kebijakan lain untuk mengelola biaya dan pengeluaran akan dilaksanakan oleh panitia (misalnya harga referensi untuk obat-obatan), serta hubungan antara komite HTA dan pihak-pihak yang membuat keputusan pengadaan. Di Australia, komite HTA menetapkan harga produk untuk 103 Contohnya, Australian National Health Act 1953 memberikan kewenangan berikut kepada PBAC, jadi jika PBAC tidak merekomendasikan daftar suatu produk, maka Menteri juga tidak dapat melakukannya: (3A) Untuk memutuskan apakah memberikan rekomendasi kepada Menteri bahwa suatu obat atau persiapan obat, atau kelompok obat dan persiapan kelompok obat tersedia sebagai manfaat farmasi pada Bagian ini, maka Komite akan memberikan pertimbangan efektivitas dan biaya perawatan yang meliputi penggunaan obat, persiapan atau kelompok obat, dengan membandingkan efektivitas dan biaya perawatan tersebut dengan perawatan alternatif, apakah yang menggunakan obat-obatan, persiapan lain atau tidak. (3B) Tanpa membatasi keumuman sub bagian (3A), di mana perawatan yang melibatkan penggunaan obat tertentu atau persiapan obat, atau kelas obat dan persiapan obat, secara substansial lebih mahal daripada perawatan alternatif, apakah yang melibatkan penggunaan obat-obatan, persiapan lainnya atau tidak, maka Komite: (a) tidak akan merekomendasikan kepada Menteri bahwa obat, persiapan atau kelas obat tersebut tersedia sebagai manfaat farmasi pada Bagian ini kecuali jika Komite puas bahwa perawatan yang disebut pertama, untuk beberapa pasien, memberikan peningkatan yang signifikan dalam keberhasilan atau penurunan toksisitas selama perawatan alternatif, dan (b) jika Komite tidak merekomendasikan kepada Menteri bahwa obat, persiapan atau kelas obat tersedia sebagai manfaat farmasi pada Bagian ini, maka Komite harus mencantumkan pernyataan dalam rekomendasinya bahwa Komite puas sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) 198 dimasukkan pada daftar barang yang dapat diganti; NICE akan mulai menetapkan harga obatobatan tahun ini. Dalam konteks pendekatan Indonesia terhadap asuransi kesehatan, perlu dibuat keputusan tentang aspek apa saja dari sistem yang dapat dicakup komite HTA. Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dasar mungkin memerlukan kelompok yang sedikit berbeda dari anggota komite dan keahlian untuk teknologi yang digunakan hanya di rumah sakit. Namun, dalam contoh pertama dianjurkan ada komite HTA tunggal untuk menetapkan proses dan standar untuk pengambilan keputusan. Kebanyakan komite HTA yang memberikan saran terkait asuransi melakukan pertemuan selama beberapa kali dalam setahun. NICE kini memiliki 4 komite penilaian, yang setiap bulannya mengadakan pertemuan. Di Australia, PBAC dan MSAC masing-masing mengadakan pertemuan minimal 3 kali setahun. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan tersebut perlu didukung oleh struktur yang memadai seperti unit atau sekretariat dalam Kemenkes. Keputusan tentang peran setiap unit pendukung di Kementerian Kesehatan perlu dibuat. Walaupun staf di unit tersebut dituntut mempunyai keterampilan dan keahlian yang relevan dalam HTA, akan tetapi tidak biasa bagi Kementerian untuk benar-benar melaksanakan semua penilaian, terutama dikarenakan beban kerja mereka. (sebagai contoh, agenda PBAC untuk Maret 2104 mencakup 52 aplikasi untuk produk atau variasi farmasi baru pada daftar yang ada.104) Kemitraan dan hubungan dengan pusat-pusat akademik diperlukan untuk mendukung pekerjaan teknis. Lingkup kerja dan proses Otoritas HTA yang mapan di seluruh dunia semua telah mengalami pekembangan dari waktu ke waktu, hal ini sangat menantang untuk melaksanakan proses HTA yang mencakup semua teknologi dan semua produk HTA yang mungkin sejak awal. Kami sangat menyarankan menerapkan HTA secara bertahap. Farmasi adalah tempat yang paling mudah untuk memulai, ada data, banyak penilaian yang diterbitkan yang dapat digunakan dan disesuaikan untuk kebutuhan lokal, dan karena obat-obatan berkontribusi paling sedikit 30% terhadap pengeluaran kesehatan, maka manajemen biaya obat-obatan akan membuat perbedaan besar untuk keberlanjutan dan keterjangkauan dari skema asuransi. Proses HTA yang dipilih akan tergantung pada ketersediaan keterampilan dan kapasitas, dan oleh karena itu perlu ada inventarisasi: Pusat-pusat akademik mana yang saat ini memililki kapasitas dan keterampilan yang relevan? Apakah ada hubungan antara Kemenkes dengan pusat-pusat ini? Kebijakan untuk mengurangi dan mengelola konflik kepentingan, keuangan dan akademik. Pada awalnya, Komite HTA perlu menetapkan pedoman untuk informasi yang perlu mereka tinjau. Ada banyak model internasional yang dapat disesuaikan, tetapi versi pertama haruslah sederhana dan tidak menerapkan pemodelan ekonomi yang rumit karena hal ini membutuhkan kapasitas tingkat tinggi untuk melakukan evaluasi dan penilaian secara kritis. Pemerintah Indonesia mungkin perlu mengupayakan nasihat atau saran dari sejumlah lembaga HTA yang telah ada untuk memperoleh pendekatan terbaik dalam menetapkan pedoman sendiri. 104 See: http://pbs.gov.au/info/industry/listing/elements/pbac-meetings/agenda/03-2014 199 Komite HTA juga dapat: Mengevaluasi data pemanfaatan untuk konsumsi dan pengeluaran, tinjauan pemanfaatan, analisis Pareto, pemilihan, umpan balik terhadap keputusan pemilihan dan penetapan harga. Mengembangkan kapasitas EBM untuk menilai pedoman klinis melalui hubungan dengan Cochrane Collaboration, Guidelines International Network dan lain-lain. Prasyarat keberhasilan adalah: kemauan dan dukungan politik teknologi informasi inventarisasi kapasitas akademik nasional, identifikasi ahli hubungan dengan organisasi yang relevan (Cochrane, GIN, HTAi, dll.) hubungan dengan lembaga-lembaga lain – secara regional misalnya di Thailand, Filipina, Australia, Singapura, Korea Selatan. Pendanaan dan sumber daya Pendanaan dan sumber daya yang dibutuhkan akan tergantung pada banyak keputusan yang disebutkan di atas. Namun, sebagai panduan, perkiraan minimum mungkin meliputi: • • • • • pendanaan untuk 20 staf profesional kesehatan purna waktu di Kementerian dukungan untuk pengembangan kapasitas dan pelatihan dukungan untuk akses ke sumber daya elektronik (seperti Cochrane Library dan database lainnya) serta jaringan internasional, seperti HTAi dukungan untuk keterlibatan kelompok-kelompok akademik, misalnya melalui pengaturan kontrak untuk mempersiapkan laporan Penapisan Teknologi Kesehatan (HTA) pendanaan yang memadai untuk melibatkan para ahli di Komite (hal ini akan tergantung pada apa yang saat ini diterima secara lokal; misalnya, NICE membayar pengeluaran tetapi tidak ada upah; Australia membayar sebagian gaji- untuk para anggota komitenya.) Salah satu komponen penting adalah pelatihan untuk anggota komite. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk komite baru, perlu waktu dalam menetapkan metode kerja secara efisien dan konsisten. Ada model-model pendekatan pelatihan yang dapat digunakan, dari WHO bekerja sama dengan kelompok akademisi dari Australia dan Inggris (yang terakhir diterapkan di Filipina dan Brunei) atau NICE International (misalnya Cina dan Kolombia), tergantung pada ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan oleh Komite. 200 NOTA #23 KEBIJAKAN Republik Korea (“Korea Selatan”)105 Memperluas Cakupan Kesehatan ke Sektor Informal KONTEKS NEGARA Jumlah Penduduk ( Juta) (2012) Pangsa Penduduk Nasional di Sektor Informal (2011) PDB per Kapita (USD saat ini) (2012) 50.0 28,2% $22.590 Proporsi Penduduk Nasional yang Dilindungi oleh Asuransi (Umum dan Swasta) (2011) 100% Pengeluaran Tunai untuk Kesehatan (sebagai Persen dari Pengeluaran Total untuk Kesehatan) (2012) 36,1% Angka Harapan Hidup Saat Lahir (2012) 81 Angka Kematian Dibawah-5 per 1,000 Kelahiran Hidup (2012) 4 Sumber: OECD, 2013; Bank Dunia, 2013 KONTEKS KEBIJAKAN 1976 Undang-Undang Asuransi Kesehatan disahkan dan membutuhkan cakupan asuransi wajib 1977 Undang-Undang Asuransi Kesehatan dilaksanakan dan asuransi kesehatan sosial (SHI) diperkenalkan kepada karyawan perusahaan-perusahaan besar (500+ karyawan); Program Bantuan Medis (MAP) diluncurkan untuk penduduk yang sangat miskin 105 Proses penterjemahan didanai oleh Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) dan Joint Learning Network dengan penulis: Lara Wilson, Annette Ozaltin, Khizer Hussein, Soonman Kwon. 202 1979 Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) diperluas ke karyawan perusahaan-perusahaan dengan 300+ karyawan; Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) juga diperluas kepada pegawai negeri dan guru 1981 Asuransi Kesehatan Sosial( SHI) diperluas ke karyawan perusahaan-perusahaan industri dengan 100+ karyawan; Pemerintah memulai program percontohan untuk para wiraswastawan* di 3 daerah pedesaan. 1982 Pemerintah memulai program percontohan untuk para wiraswastawan* di 1 daerah perkotaan dan 2 daerah pedesaan lain. 1983 Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) diperluas kepada karyawan usaha dengan 16+ karyawan 1987 Presiden dipilih setelah melakukan kampanye mengenai perluasan programprogram kesejahteraan sosial 1988 Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) yang disubsidi diperluas dan diwajibkan untuk para pekerja wiraswasta* pedesaan 1989 Pekerja wiraswasta* pedesaan adalah kelompok populasi terakhir yang dijangkau oleh Asuransi Kesehatan Sosial (SHI) 1999 Undang-Undang Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) disahkan, menggambarkan kerangka perlindungan kesehatan di bawah sistem pembayar tunggal 2000 Semua masyarakat asuransi kesehatan dikonsolodasi di bawah pembayar tunggal – Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIC) – yang menyelenggarakan Program Asuransi Kesehatan Nasional (NHIP) wajib 2003 Rekening terpisah untuk karyawan yang diasuransikan dan wiraswastawan yang diasuransikan digabungkan 2006 Perubahan hukum mengamanatkan adanya struktur dan sumber-sumber subsidi baru Sumber: Kwon, 2009; Jeong, 2011; Mathauer dan Xu, 2009 * “Wiraswasta” adalah istilah yang dipakai di Korea Selatan untuk menggambarkan sektor informal. ASURANSI KESEHATAN NASIONAL (NHI) Jangka waktu untuk memperluas jangkauan ke para wiraswasta* • • Percontohan: 1981-88 Peningkatan nasional: 1988 untuk wiraswastawan perdesaan dan 1989 untuk wiraswastawan perkotaan Penduduk yang menjadi sasaran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) • Semua penduduk yang tidak miskin Penduduk yang menjadi sasaran yang tercakup dalam skema (2006) • 100% Penduduk secara nasional yang tercakup di bawah skema (2006) • 96,3% (sisa penduduk yang 3,7% dilindungi oleh MAP (Program Bantuan Medis) 203 Karyawan yang diasuransikan yang tercakup di bawah skema (2006) • 57,7% Wiraswastawan yang diasuransikan yang tercakup di bawah skema (2006) • 38,6% Pendaftaran • Wajib Paket manfaat • Paket manfaat yang sama untuk karyawan yang diasuransikan, wiraswastawan yang diasuransikan, dan penduduk miskin termasuk rawat inap, rawat jalan, obat, beberapa layanan pencegahan dan biaya pemakaman (penduduk miskin dibebaskan dari iuran tambahan) Pagu iuran tambahan sebesar 2 juta (USD1,926), dengan pagu yang lebih rendah untuk mereka yang berpenghasilan lebih rendah • Subsidi Pemerintah • Jumlah iuran Karyawan yang diasuransikan: • Iuran dibayarkan melalui pajak atas gaji dan ditetapkan 5,33% (2010) dari gaji kotor • Pengusaha dan karyawan masing-masing membayar setengah dari iuran 20% dari kontribusi Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) menurut undangundang: 14% kontribusi berasal dari pendapatan umum dan 6% kontribusi dari penerimaan pajak tembakau yang dialokasikan Wiraswastawan yang diasuransikan: • Iuran diperhitungkan melalui sistem poin yang diambil dari penghasilan kena pajak dan penghasilan yang diperkirakan berdasarkan penilaian atas kekayaan Sumber: Jeong, 2010; Kwon, 2008, 2013; Mathauer dan Xu, 2011; Song, 2009; Xu dll., 2010 204 Gambar 1. Struktur Organisasi Asuransi Kesehatan Nasional Sumber: Chun, Kim, Lee, & Lee, 2009; Kwon, 2014; Xu dll., 2010 Hal-Hal Penting • • • • • • • • • Wiraswastawan merupakan kelompok penduduk terakhir yang dicakup, 12 tahun setelah asuransi kesehatan sosial diperkenalkan. Komitmen politik, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan keanggotaan berbasis- keluarga, merupakan faktor-faktor utama yang memberikan sumbangan terhadap pencakupan penduduk secara cepat. Sektor informal yang terorganisir memberikan tekanan politik agar ada subsidi dan dukungan politis dari atas ke bawah menjamin ketersediaan dana untuk subsidi. Pemerintah pusat memberikan sebagian subsidi kepada Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang didanai dari pajak umum dan pajak tembakau, yang terdiri dari 20% dari total pendapatan asuransi kesehatan yang diharapkan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Pembayaran iuran untuk wiraswastawan dihitung dengan penghasilan yang dilaporkan pada pajak dan penilaian terhadap nilai properti – sebuah formula yang dikritik karena kerumitannya dan kekurangan transparansinya. Awalnya, iuran dikumpulkan di kantor-kantor cabang Layanan Asuransi Kesehatan Nasional setempat, namun sekarang pembayaran kebanyakan dilakukan lewat transfer bank otomatis, deposito di bank, dan pembayaran melalui internet dengan menggunakan kartu kredit. Sejumlah besar rumah tangga wiraswastawan terlambat membayar iuran mereka, sehingga mereka kena denda yang dibebankan ke tagihan berikut mereka. Ini dapat berarti apakah mereka tidak mampu membayar atau ada masalah dengan mekanisme iuran. Rendahnya persyaratan iuran, yang menghasilkan paket manfaat dengan cakupan yang rendah baik dari segi kedalaman maupun luasnya, mempermudah perluasan cakupan penduduk secara cepat. Sistem yang ada saat ini tidak memberikan perlindungan keuangan yang memadai sebab diperlukan pembayaran uang tunai yang tinggi sehubungan dengan adanya bujuk rayu permintaan oleh penyedia layanan yang dibayar berdasarkan layanan yang diberikan (fee-forservice) dan sejumlah besar layanan yang tidak dilindungi oleh Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), termasuk perangkat untuk memperbaiki penglihatan dan layanan-layanan pilihan dengan tehnologi baru yang mahal biayanya. 205 1. Konteks Politik dan Latar Belakang • • • • • • 206 Korea Selatan adalah negara berpenghasilan-tinggi yang telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang kuat sejak tahun 1980an, dengan PDB per kapita (sekarang Dollar Amerika Serikat) yang bertumbuh rata-rata 8,8% per tahun sejak tahun 1980 (Bank Dunia, 2013). Asuransi kesehatan diperkenalkan pada tahun 1977, pada awal masa pertumbuhan ekonomi negara yang paling dramatis. PDB Korea Selatan per kapita (sekarang Dollar Amerika Serikat) bertambah lebih dari tiga kali lipat antara 1980 (tahun pertama Bank Dunia mempunyai data PDB) dan 1989 ketika tercapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal) (Bank Dunia, 2013). Pada tahun 1977, pertama-tama pemerintah memberikan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) kepada karyawan perusahaan-perusahaan besar (500+ karyawan). Penduduk miskin mendapat perlindungan pada tahun yang sama di bawah skema yang terpisah, yang diidentifikasi melalui kriteria penghasilan/properti yang dimilikinya dan berjumlah antara 2%-5% dari jumlah penduduk sejak 1977 (Kwon, 2000). Secara bertahap pemerintah memperluas cakupan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) kepada karyawan di perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, guru, dan pegawai-pegawai pemerintah. Sebelas tahun setelah memperkenalkan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), pemerintah memberikan cakupan wajib bersubsidi kepada wiraswastawan perdesaan, dan setahun kemudian kepada wiraswastawan perkotaan. Percontohan-percontohan dengan sasaran wiraswastawan dilaksanakan dari tahun 1981-1988 sebelum memperluas cakupan kepada kelompok masyarakat ini (Kwon, 2003). Baik faktor ekonomi maupun politik memberikan kontribusi kepada perluasan asuransi kepada wiraswastawan. Tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 12% antara tahun 1986 dan 1988 menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk memperluas cakupan kepada kelompok mayarakat ini; pemerintah menggunakan sebagian dari ruang fiskalnya yang sedang bertumbuh untuk memberikan subsidi dan rumah tangga dapat membayar iuran dengan lebih baik. Memperluas cakupan untuk memasukkan wiraswastawan merupakan prioritas untuk partai politik yang sedang berkuasa. Calon presiden, Roh Taewoo, pada tahun 1987 berkampanye mengenai perluasan program-program kesejahteraan sosial untuk menarik penduduk perdesaan yang berjumlah besar. Ada keprihatinan tentang ketidakadilan dalam hal pembayaran tunai untuk kesehatan antara karyawan yang diasuransikan dan wiraswastawan yang tidak diasuransikan. Para karyawan yang diasuransikan mendapatkan manfaat dari jadwal pembayaran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang dipakai untuk membayar penyedia layanan; sedangkan para wiraswastawan yang tidak diasuransikan menderita akibat harga pasar yang tidak diatur, yang ditetapkan oleh penyedia layanan. Korea Selatan mencapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal) pada tahun 1989. Jumlah penduduk yang tercakup pada tahun 1977 adalah 15%, kemudian naik menjadi 100% pada tahun 1989. Saat ini, Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) mencakup 96.8% dari jumlah penduduk, termasuk wiraswastawan. Program Bantuan Medis (MAP), yaitu program nir-iuran yang dibeayai pajak yang mencakup penduduk miskin, melindungi sisa jumlah penduduk sebesar 3.2% (Kwon, 2014). Gambar 2. Cakupan Penduduk Republik Korea, 2011 Source: Kwon, 2014 • • • • Para wiraswastawan (terutama petani) pada awalnya menolak untuk membayar iuran, mereka meminta dibebaskan dari iuran, diberi diskon, perubahan metode iuran, meminta subsidi pemerintah yang lebih tinggi, dan perluasan fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah perdesaan (Kwon, 2009). Karyawan peserta asuransi mendapat tawaran asuransi melalui semacam lembaga asuransi umum nir-laba berdasarkan daerah tempat kerja mereka dan para peserta asuransi wiraswastawan mendapat asuransi melalui lembaga-lembaga asuransi berdasarkan daerah tempat tinggal mereka. Pada tahun 1998, terdapat 227 lembaga asuransi yang memberikan jaminan asuransi kepada wiraswastawan (Kwon, 2003). Jumlah Iuran untuk orang dengan penghasilan yang sama berbeda, tergantung pada lembaga asuransinya meskipun manfaat yang diterimanya sama. Rumah tangga wiraswastawan di daerah-daerah miskin membayar bagian yang lebih tinggi dari pendapatan mereka dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah-daerah kaya. Ketidakadilan horisontal ini, ditambah dengan masalah-masalah keuangan lembaga asuransi perdesaan yang disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok kecil yang berisiko, mengilhami pemerintah untuk menggabungkan semua lembaga yang ada pada tahun 2000 ke dalam Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional, yang akhir-akhir ini dikenal sebagai Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS)106 (Kwon, 2009). Gabungan antara masalah ekonomi negara sebagai akibat dari krisis keuangan Asia dan pemberian bantuan IMF pada tahun 1997, serta perubahan dalam pemerintahan untuk pertama kalinya dalam 40 tahun pada tahun 1998, memungkinkan pemerintah untuk mendorong reformasi kesehatan dan kebijakan sosial (Kwon and Reich, 2005). Pada pemilihan Presiden tahun 1997, Kim Dae-jung mencalonkan diri sebagai Presiden dan berhasil menggabungkan lembaga-lembaga asuransi kesehatan untuk mengatasi ketidakadilan di bidang pembiayaan kesehatan dan memperbaiki solidaritas sosial (Kwon, 2009). 106 Untuk menghindari kekeliruan, studi kasus ini akan menyebut organisasi sebagai NHIS meskipun mengacu pada waktu ketika namanya masih Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional. 207 Gambar 3. Cakupan penduduk yang dilindungi oleh asuransi kesehatan dan Bantuan Medis* Sumber: Kwon, 2014; Bank Dunia, 2013 * Jumlah anggota dari semua program asuransi kesehatan, menggunakan jumlah dari berbagai sumber, sedikit melebihi 100% di atas tahun 1987. • • Penduduk pedesaan dan serikat-serikat buruh dari lembaga-lembaga asuransi wiraswasta sudah lama mengusulkan penggabungan (Kwon dan Reich, 2005), sementara karyawan dan pengusaha berkeberatan terhadap integrasi tersebut karena kekuatiran bahwa mereka harus menanggung beaya subsidi-silang untuk para wiraswastawan. Reformasi penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF menyita pikiran para pengusaha sehingga mereka tidak merupakan kekuatan oposisi yang kuat untuk diperhitungkan pemerintah (Kwon, 2009). Penggabungan menghasilkan adanya dua pendanaan terpisah di bawah satu penjamin asuransi, satu dengan sasaran pekerja industri (yaitu karyawan) dan yang lain wiraswastawan (Kwon, 2009). Kedua dana tersebut digabungkan pada tahun 2000 (Kwon, 2009) menjadi satu mekanisme pendanaan terpadu pada tahun 2003 ( Jeong, 2011). 2. Identifikasi, Penentuan Sasaran, dan Pendaftaran a. Mengidentifikasi sektor informal • Undang-Undang Asuransi Kesehatan Nasional tahun 1999 menetapkan dua kategori peserta asuransi: peserta asuransi yang bekerja di perusahaan dan peserta asuransi wiraswasta. Kategori “wiraswastawan”, yang meliputi sektor informal, menggambarkan jenis pekerja sebagai berikut (Mathauer dan Xu, 2009): o o o o o o o 208 wiraswastawan pekerja harian yang dalam waktu setahun bekerja kurang dari sebulan tentara pejabat publik terpilih yang tidak menerima gaji bulanan pekerja paruh-waktu yang bekerja kurang dari 80 jam dalam sebulan pekerja sementara pekerja yang tidak mempunyai tempat bekerja yang tetap o o pengusaha yang tidak mempunyai tempat kerja yang tetap pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja kurang dari 24 bulan b. Penargetan Sektor Informal • • • • • Pekerja wiraswasta merupakan 28,2% dari jumlah keseluruhan tenaga kerja pada tahun 2012 (Bank Dunia, 2013). Orang-orang yang tidak menerima asuransi kesehatan melalui pemotongan gaji otomatis (yaitu kategori “bekerja”) atau melalui Program Bantuan Medis (MAP) untuk orang miskin wajib didaftarkan sebagai “wiraswastawan”. Percontohan yang dilaksanakan secara intensif pada tahun 1981-1987 melibatkan pemimpin-pemimpin masyarakat setempat untuk membantu mendaftarkan para wiraswastawan, dan menggunakan pendaftaran rumah tangga untuk mempermudah penentuan sasaran dan pendaftaran yang lebih cepat ( Jeong, 2010). Dari waktu ke waktu, jumlah wiraswastawan yang diasuransikan menurun karena jumlah usaha dengan karyawan yang terdaftar meningkat. Dari tahun 1995 sampai 2009, proporsi wiraswastawan yang diasuransikan turun dari 51% menjadi 35% ( Jeong, 2010). Ketika orang-orang yang dahulu bekerja kemudian memenuhi syarat untuk dilindungi oleh asuransi wiraswastawan, mereka harus melaporkan status asuransi baru mereka kepada Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) (Mathauer dan Xu, 2009). Batas yang ada antara penduduk miskin, yang memenuhi syarat untuk menerima subsidi penuh di bawah Program Bantuan Medis (MAP), dan mereka yang hampir miskin, yang dilindungi oleh skema iuran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), mungkin perlu ditinjau kembali karena banyak rumah tangga wiraswastawan terlambat membayar iuran mereka. Salah satu pilihan adalah meningkatkan jumlah penduduk yang menerima subsidi penuh dengan meninjau kembali kriteria penentuan sasaran kemiskinan (Kwon, 2013). Saat ini MAP menargetkan mereka yang menerima penghasilan bulanan kurang dari 230.000 (USD196) dan nilai properti yang lebih sedikit di bawah 29.000.000 (USD24.775) (Kwon, 2000). c. Pendaftaran Sektor Informal • • • Pendaftaran dan keanggotaannya berbasis-keluarga, jadi pasangan, keturunan, saudara laki-laki, saudara perempuan, and keturunan langsung dari wiraswastawan juga termasuk dalam kategori wiraswastawan kecuali jika mereka, secara terpisah, dapat dianggap peserta asuransi yang bekerja (Song, 2009). Namun, rumah tangga adalah unit yang menentukan; tanggungan yang tidak tinggal dalam satu rumah tangga dengan peserta asuransi wiraswasta harus membayar iuran secara terpisah (Mathauer dan Xu, 2009). Suatu sistem pendaftaran keluarga yang kuat mengamanatkan agar anak-anak didaftarkan ke dalam sistem perlindungan sosial dalam waktu tiga bulan setelah kelahirannya. Ketika anggota program asuransi karyawan menjadi tidak memenuhi syarat lagi untuk program tersebut dan dengan demikian memenuhi syarat untuk program asuransi wiraswasta, mereka harus mendaftarkan perubahan tersebut ke kantor wilayah Asuransi Kesehatan Nasional (NHI). Pemahaman yang baik mengenai nilai asuransi kesehatan, pengamalan cakupan kesehatan yang menyeluruh (universal) selama dua puluh lima tahun, dan tingginya biaya kesehatan tanpa asuransi, memberikan dorongan yang kuat untuk mematuhi peraturan ini. (Kwon, 2014). Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) sedang mempertimbangkan untuk menyesuaikan prosedur pendaftarannya agar dapat lebih selaras dengan keadaan sekarang. Keanggotaan berbasis-keluarga dapat memperluas cakupan dengan baik jika sebagian besar dari rumah 209 tangga wiraswasta mempunyai satu pencari nafkah tunggal saja. Karena banyak rumah tangga wiraswasta sekarang mempunyai beberapa pencari nafkah, ada pembicaraan untuk beralih ke pendaftaran perorangan (Kwon, 2013). 3. Pembiayaan dan Pemberian Subsidi a. Membiayai kesehatan dan subsidi • • • • • • 210 Sejak tahun 2002, pembiayaan per kapita Korea Selatan untuk kesehatan naik hampir 8,0% per tahun, dan merupakan pertumbuhan yang paling cepat diantara negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebanyak dua kali lipat rata-rata pertumbuhan mereka sebesar 3,6% per tahun (OECD, 2012). Sementara pertumbuhan Korea Selatan secara keseluruhan dalam hal pembiayaan kesehatan sangat berarti, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan lebih rendah dari rekan-rekan OECDnya, yaitu 4,1% dari PDB. Ini membuat rumah tangga harus menutup 32,9% dari total pengeluaran untuk kesehatan, salah satu satu tarif yang tertinggi dari negara-negara OECD (Bank Dunia, 2013). Pemerintah pusat memberikan sebagian subsudi kepada para wiraswastawan. Pada awalnya, jumlah subsidi dikaitkan dengan pengeluaran untuk kesehatan, akan tetapi undangundang tidak menetapkan jumlah subsidi ini dan kisarannya sangat bervariasi (misalnya 54,5% dari pengeluaran Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) pada tahun 1988, 24,6% pada tahun 1999, dan 37,9% pada tahun 2001). Undang-Undang tahun 2002 mengamanatkan pemerintah untuk membayar setengah dari pengeluaran total Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) untuk manfaat dan biaya administrasi bagi wiraswastawan. Formulanya diperbaiki pada tahun 2006 untuk mengaitkan jumlah subsidi dengan pendapatan umum pemerintah dan bukan dengan pengeluaran (Mathauer dan Xu, 2009). Nilai subsidi saat ini diamanatkan sebesar 20% dari pendapatan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang diharapkan, yang terdiri dari 14% dari pendapatan pajak umum dan 6% pajak tembakau, meskipun ini sering bervariasi sebagai bagian dari pendapatan yang sebenarnya. Misalkan, subsidi dapat dipertanggung jawabkan 15% dari pendapatan total Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) pada tahun 2011 – 13% dari pajak umum dan 2% dari pajak tembakau. Subsidi ini berlaku untuk pendapatan Asuransi Kesehatan Tasional (NHI) bagi wiraswastawan, yang menerapkan angka subsidi rata-rata yang berlaku untuk semua sektor wiraswasta. Struktur subsidi ini timbul dari keprihatinan atas tantangan terhadap penilaian yang saksama atas penghasilan para wiraswastawan, tapi dikritik karena tidak memberikan lebih banyak dukungan kepada mereka yang kurang mampu membayar. Tidak ada isyarat untuk merubah struktur subsidi tersebut karena adanya hambatan-hambatan politik, terutama karena ada keyakinan bahwa jumlah pekerja di sektor informal berkurang dan dalam waktu dekat tidak akan ada artinya lagi (Kwon, 2014). Subsidi-silang dari karyawan peserta asuransi kepada wiraswastawan peserta asuransi hanya sedikit (<2,5%) karena iuran rata-rata karyawan per kapita (iuran karyawan + pengusaha) lebih dari rata-rata jumlah manfaat karyawan per kapita. Sebaliknya, rata-rata iuran per kapita untuk kelompok wiraswasta hanya 57% dari rata-rata jumlah manfaat per kapita untuk kelompok tersebut (Mathauer dan Xu, 2009). Pengeluaran untuk kesehatan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan subsidi dan sumbangan pemerintah (Mathauer dan Xu, 2011). Satu penyebab terhadap kecenderungan ini adalah adanya sistem pembayaran upah-untuk-layanan pada penyedia layanan, yang mendorong adanya bujukan terhadap permintaan yang dilakukan oleh pihak penyedia layanan – khususnya penyedia layanan swasta (Kwon, 2014). Layanan Asuransi Kesehatan National (NHIS) secara terus-menerus mengalami defisit antara tahun 1997 dan paling tidak tahun 2008, sebagian disebabkan karena adanya reformasi kesehatan di bidang obat-obatan (Kwon, 2007; Yang, 2008). Kemampuan keuangan Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) untuk berlanjut merupakan hal yang memprihatinkan dalam menghadapi defisit, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, kendala fiskal yang ketat, dan populasi yang menua serta menyusutnya tenaga kerja (OECD, 2012). b. Jumlah iuran • • • • • Iuran untuk wiraswastawan dihitung berdasarkan perkiraan atas penghasilan dan penilaian terhadap nilai kekayaan. Pada tahun 2007, rata-rata iuran wiraswastawan per rumah tangga kira-kira 24.065 (USD23) (Mathauer dan Xu, 2009). Ada dua metode untuk menghitung penghasilan wiraswastawan, tergantung pada apakah penghasilan tahunan yang dilaporkan sendiri berada di atas atau di bawah 5.000.000 (USD3.707). Perhitungan penghasilan keseluruhan kena pajak untuk mereka yang berpenghasilan di atas 5.000.000 (USD3.707) berbeda untuk kategori pendapatan yang berbeda (misalnya pendapatan usaha, pendapatan usaha tani, pendapatan persewaan, penghasilan kerja paruh-waktu, pensiun dll). Untuk mereka yang berpendapatan kurang dari 5.000.000, perhitungan taksiran atas penghasilan memperhitungkan nilai sewa properti, pajak mobil yang dibayar, dan usia serta jenis kelamin orang yang diasuransikan ( Jeong, 2010). Iuran untuk wiraswastawan juga diperhitungkan berdasarkan kepemilikan properti yang setiap tahun dinilai oleh administrasi pajak, termasuk nilai sewa properti, serta ukuran properti dan mobil ( Jeong, 2010: Kwon, 2014). Untuk menentukan jumlah iuran rumah tangga, penghasilan dan properti milik semua anggota rumah tangga terkait digabungkan. Anggota-anggota rumah tangga yang tidak terkait dapat memilih untuk dinilai secara terpisah sebagai perorangan atau bersama sebagai satu rumah tangga (Mathauer dan Xu, 2009). Iuran akhir dihitung dengan menetapkan skor poin pada faktor-faktor yang relevan, menjumlahkannya, dan mengalikannya dengan nilai poin (lihat Gambar 3) ( Jeong, 2010). 211 Gambar 4. Perhitungan Skor Poin untuk Wiraswastawan Sumber: Jeong, 2010 • • • 212 Tantangan utama untuk Korea Selatan adalah bahwa hanya sekitar 50% dari wiraswastawan yang dilaporkan. Sementara perkiraan terhadap properti mencoba untuk menutupi sebagian dari hal tersebut, para wiraswastawan masih dianggap membayar lebih sedikit dari seharusnya ( Jeong, 2010). Tantangan lain terkait dengan seringnya penerima manfaat mengajukan keberatan terhadap iuran yang ditentukan. Karena beban kerja administratif untuk menilai penghasilan wiraswastawan itu banyak, dan orang masih sering mengajukan keberatan, maka Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) berencana untuk menciptakan perhitungan iuran tunggal baik untuk wiraswastawan maupun karyawan (Kwon, 2013; Newsworld, 2013). Disamping itu, formula iuran yang dikaitkan dengan penghasilan dikritik karena terlalu rumit dan telah menyebabkan ketidakadilan-ketidakadilan tertentu dalam hal iuran. Iuran sebagai bagian dari pengeluaran rumah tangga dari semua yang dilindungi di antara kuintil termiskin dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan quitile terkaya (Mathauer dan Xu, 2009). Akhirnya, telah dikemukakan keprihatinan mengenai beban iuran untuk mereka yang hampir miskin yang tidak memenuhi syarat untuk menerima Program Bantuan Medis (MAP) untuk orang miskin tapi masih mempunyai kemampuan terbatas untuk membayar iuran (Kwon, 2009). Kotak 1. Percontohan Asuransi Kesehatan untuk Penduduk yang Berprofesi sebagai Wiraswastawan, 1981 – 1987 Percontohan dianggap merupakan langkah penting untuk menguji “pembuktian konsep” dan keberlangsungan politik dan administrasi. Tujuan khusus dari percontohan yang ditargetkan pada penduduk yang berprofesi sebagai wiraswastawan adalah mengembangkan metode pengumpulan iuran, merancang paket-paket manfaat asuransi, dan menentukan model untuk penyediaan layanan kesehatan. Percontohan pertama dimulai pada tahun 1981 dan dilaksanakan di tiga daerah pedesaan. Iuran rumah tangga terdiri dan pembayaran rata-rata sebesar 1000 (US$1,5) dan iuran lain yang ditetapkan oleh panitia setempat berdasarkan tingkat pajak yang dibayar, properti yang dimiliki, standar kehidupan, dan faktor-faktor lain. Percontohan kedua dimulai pada tahun 1982 dan dilaksanakan di dua daerah pedesaan dan satu daerah perkotaan. Suatu pendekatan ‘empat variabel’ yang lebih rumit digunakan untuk menghitung iuran. Iuran dasar termasuk iuran rata-rata per rumah tangga dan jumlah tambahan yang dihitung berdasarkan jumlah orang dalam rumah tangga tersebut yang diasuransikan. Iuran berbasis-kapasitas termasuk bagian yang dinilai berdasarkan penghasilan - yang ditetapkan oleh tingkat penghasilan dan pajak atas tanah pertanian - dan bagian yang dinilai berdasarkan properti, yang dihitung dari pembayaran pajak properti. Metode pengumpulan iuran yang digunakan dalam percontohan kedua mirip dengan metode yang digunakan saat ini, dengan beberapa perubahan. Percontohan mengungkapkan perlunya diberikan subsidi agar model tersebut bisa berkelanjutan, karena pengumpulan terdahulu jauh di bawah target. Percontohan dipusatkan di daerah perdesaan yang didominasi oleh pertanian dan perikanan, jadi ada tantangan-tantangan yang terkait dengan mekanisme iuran untuk rumah tangga perkotaan ( Jeong, 2010). c. Pengumpulan iuran • • • • Sementara pada awalnya iuran dikumpulkan di kantor-kantor cabang Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) setempat, saat ini kira-kira 90% dari rumah tangga mengirim iuran mereka melalui sistem perbankan. Sejumlah kecil rumah tanga tetap membayar langsung ke kantor-kantor cabang Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS), toko, atau kantor pos. Metode pengumpulan lain, seperti transfer bank otomatis dan pembayaran internet menggunakan kartu kredit juga ditawarkan untuk menaikkan tingkat pengumpulan iuran. Dari peserta asuransi wiraswastawan, 60% membayar melalui transfer dana otomatis dan 9% membayar lewat metode elektronik (Mathauer dan Xu, 2009; Jeong, 2010). Lebih dari 1.500 karyawan Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) bertanggung jawab atas pengumpulan iuran dimana tiap karyawan bertanggung jawab terhadap lebih dari 10.725 peserta wiraswastawan. Karyawan-karyawan ini bertanggung jawab atas 2,4% pengeluaran Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) pada tahun 2008 ( Jeong, 2010). Rumah tangga wiraswastawa menerima tagihan bulanan dari Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) dan dapat memilih untuk membayar iuran per bulan atau per kwartal (Mathauer dan Xu, 2009). Mungkin saja pengumpulan iuran secara administratif tidak effisien karena Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) harus mengumpulkan iuran-iuran yang sangat kecil dari jutaan rumah tangga wiraswasta. Lebih dari 75% rumah tangga membayar iuran kurang dari 100.000 (di bawah 100USD) per bulan. Disamping itu, kinerja pengumpulan tidak optimal, karena perbedaan antara pengumpulan iuran yang sebenarnya dan yang ditargetkan untuk 213 • • peserta wiraswasta (26,2% pada tahun 2006) jauh lebih besar dari pengumpulan iuran peserta karyawan (6,3% pada tahun 2006) (Mathauer dan Xu, 2009). Lebih dari 25% rumah tangga wiraswastawa memiliki tunggakan pembayaran, akibat dari ketidakmampuan penduduk yang hampir miskin untuk membayar iuran dan – dan lebih parah lagi – penolakan untuk membayar dari sebagian orang yang mampu membayar tetapi tahu bahwa mereka yang tidak membayar iuran secara tetap hanya akan dikenakan denda kecil (Kwon, 2014). Rumah tangga-rumah tangga yang sementara tidak dapat membayar iuran dapat mengajukan permohonan untuk diberi keringanan, jika tidak mereka akan dikenakan denda pada saat Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) mengidentifikasi adanya keterlambatan pembayaran pada saat mereka mengadakan peninjauan atas tagihan; denda yang dikenakan sebesar 5-15% tergantung pada jangka waktu mereka tidak melakukan pembayaran (Mathauer dan Xu, 2009). Tingkat pengumpulan iuran dan cakupan penduduk untuk iuran asuransi kesehatan secara historis lebih tinggi dari pensiun, asuransi kerja, atau asuransi kompensasi pekerja, maka pada tahun 2011 Layanan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIS) mulai mengeluarkan undang-undang tunggal untuk wiraswastawan yang berlaku bagi semua program asuransi sosial (Kwon, 2013). 4. Paket Manfaat • • • • • 214 Korea Selatan menawarkan satu paket menyeluruh (universal), yang jangkauannya terbatas dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya. Dengan menawarkan paket manfaat yang terbatas, pemerintah dapat memperluas pendaftaran secara cepat sementara membatasi beban keuangan awal yang terkait dengan perluasan cakupan (Kwon 2009). Jenis asuransi dasar meliputi baik manfaat layanan (rawat inap, rawat jalan, obat-batan, dan beberapa layanan pencegahan) maupun manfaat tunai (biaya pemakaman, kompensasi untuk iuran tambahan yang melebihi pagu iuran tambahan. Tarif iuran tambahan untuk asuransi rawat inap adalah 20%, rawat jalan 30-60%, dan untuk obat-obatan kira-kira 30%, termasuk hampir semua obat resep dan beberapa obat tanpa resep (Xu dll, 2010). Pagu iuran tambahan diperkenalkan pada tahun 2004 sebesar 3 juta (USD2.906), dan pada tahun 2007 diturunkan menjadi 2 juta (USD1.937) (Xu dll., 2010). Ini kemudian dibedakan menjadi 3 tingkat, tergantung pada penghasilan orang yang diasuransikan, dan lebih pada tahun 2014 dibagi menjadi 7 tingkat (untuk kelompok berpenghasilan rendah diterapkan pagu yang lebih rendah). Orang-orang membeli produk-produk dan layanan yang tidak dilindungi oleh Asuransi Kesehatan Nasional dan Individuals langsung dari penyedia layanan. Ini termasuk lensa kontak, kacamata, prosedur-prosedur pilihan, dan layanan dengan tehnologi baru berbiaya tinggi (misalnya, MRI, bedah robotik Da Vinci). Penyedia layanan dibayar atas dasar biaya-sesuai dengan-layanan dan penyedia layanan swasta mewakili sebagian besar dari sistem kesehatan di Korea Selatan. Para penyedia layanan ini memiliki dorongan yang kuat untuk menggunakan layanan yang berhubungan- dengan tehnologi baru dan sering memberikan layanan yang tidak diasuransikan dengan harga yang tinggi dan tidah diatur. Oleh karena itu, mengeluarkan uang untuk Layanan Asuransi Kesehatan Nasional itu penting (Kwon, 2014). Karena penghasilan meningkat dan penduduk menua, permintaan untuk kesehatan akan meningkat bersamaan dengan desakan untuk memberikan cakupan manfaat yang lebih luas dan mencakup proporsi biaya yang lebih besar (Mathauer dan Xu, 2011). 5. Informasi dan Kesadaran (Awareness) • Upaya penjangkauan skema ini dilakukan dengan hati-hati selama tahap skema ini mulai digelar. Pemerintah pusat, yang pada saat itu masih sangat otoriter, menyelenggarakan kampanye nasional dan mendorong organisasi-organisasi masyarakat setempat (misalnya, perkumpulan wanita) untuk mempropagandakan skema dengan menggunakan metode yang disesuaikan dengan keadaan setempat (Kwon, 2013). 6. Pelajaran yang Diperoleh • • • • • Campuran dari pembiayaan berbasis-pajak dan asuransi sosial berjalan dengan baik di Korea Selatan, negara yang relatif homogen dengan wilayah geografi yang kecil, pemerintah pusat yang kuat, dan desentralisasi yang terbatas. Transisi yang cepat untuk mencakup seluruh penduduk mempersingkat waktu ketidakadilan terkait dengan cakupan. Namun, kelengkapan paket manfaat (kedalaman cakupan) dan perlindungan keuangan penduduk (luasnya cakupan) terbatas. Komitmen politik yang kuat dan pemanfaatan waktu perluasan program-program sosial sekitar pemilihan umum sangat menunjang. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penyusutan penduduk yang berwiraswasta secara relatif membuat subsidi untuk wiraswastawan menjadi terjangkau dan secara politik sesuai. Percontohan-percontohan merupakan langkah-langkah penting untuk menguji “pembuktian konsep” dan keberlangsungan politik dan administrasi. 215 Referensi Chun, C. B., Kim, S. Y., Lee, J. Y., & Lee, S. Y. (2009). Republik Korea: Tinjauan terhadap Sistem Kesehatan. Sistem Kesehatan dalam Transisi, 11(7), 1–184. Jeong HS. (2010). Memperluas cakupan asuransi ke populasi sektor informal: Pengalaman dari Republik Korea. Laporan Kesehatan Dunia, Makalah Latar Belakang, 38. Organisasi Kesehatan Dunia. Didapatkan kembali September 2013 dari: http://www.who.int/healthsystems/ topics/financing/healthreport/ RepKoreaNo38Final.pdf Jeong HS. (2011). Asuransi Kesehatan Nasional Korea—Pelajaran dari Tiga Dekade Terakhir. Urusan Kesehatan 30(1):136–144. Kwon S. (2003). Reformasi pembiayaan kesehatan dan sistem pembayar tunggal baru di Republik Korea: Solidaritas sosial atau effisiensi? Tinjauan terhadap Jaminan Sosial Internasional 56(1):75-94. Kwon S dan MR Reich. (2005). Process Perubahan dan Politik Kebijakan Kesehatan di Korea. Jurnal Politik Kesehatan, Kebijakan danUndang-Undang 30(6):1003-1025. Kwon, S. (2000). Pembiayaan Kesehatan dan Penyampaian untuk Masyarakat Miskin di Korea. Tinjauan Internasional mengenai Administrasi Masyarakat, 5(2), 37–45. Kwon, S. (2007). Krisis Fiskal Asuransi Kesehatan Nasional di Korea: Mencari Paradigma Baru. Kebijakan Sosial dan Administrasi 41(2): 162-178. Kwon S. (2009). Tiga puluh tahun asuransi kesehatan nasional di Korea Selatan: pelajaran untuk mencapai cakupan kesehatan menyeluruh (universal). Hkebijakan dan Perencanaan Kesehatan 24(1):63–71. Kwon S. (2013). Wawancara telepon (Agustus 22) dan presentasi pada “Forum Tingkat Tinggi mengenai Memperluas Cakupan ke Sektor Informal” (1 Oktober di Yogyakarta, Indonesia). Kwon S. (2014). Wawancara Telepon (21 Mei). Mathauer I dan K Xu. (2009) Sebuah analisa terhadap sistem pembiayaan kesehatan Republik Korea dan pilihan untuk memperkuat kinerja pembiayaan kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia. Didapatkan kembali Oktober 2013 dari http://www.who.int/health_financing/documents/ hsfr_e_09-korea.pdf Newsworld. (2013, November 15). Ex-Asisten Kementerian Kesehatan Menteri Kim Mengambil Kemudi di Perusahaan Asuransi Kesehatan Nasional (NHIC). Newsworld. Seoul. Didapatkan kembali April 2014 dari http://nw.newsworld.co.kr/cont/article2011/11/20111149.htm Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). (2012). OECD Tinjauan terhadap Mutu Perawatan Kesehatan: Korea. Penilaian dan Saran. Didapatkan kembali October 2013 dari http://www.oecd.org/korea/49818570.pdf Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonom (OECD). (2013). OECD Data Kesehatan: Perlindungan Sosial. Didapatkan kembali April 2014 from http://www.oecd-ilibrary.org/ social-issues-migration-health/data/oecd-health-statistics/oecd-health-data-socialprotection_data-00544-en Song YJ. (2009) Sistem Perawatan Kesehatan Korea. JMAJ 52(3):206-209. Didapatkan kembali October 2013 from http://www.coopami.org/en/countries/countries_partners/ south_korea/ social_protection/pdf/south_korean_health_care_system.pdf Bank Dunia. (2013). Indikator-IndikatorPembangunan Dunia. Didapatkan kembali September 2013 dari data.worldbank.org 216 Xu K, Jeong HS, Saksena P, Shin JW, Mathauer I, dan Evans D. (2010). Perlindungan Resiko Keuangan Asuransi Kesehatan Nasional di Republik Korea: 1995-2007. Laporan Kesehatan Dunia, Makalah Latar Belakang, 23. Organisasi Kesehatan Dunia. Didapatkan kembali September 2013 dari http://www.who.int/healthsystems/topics/financing/healthreport/23RepKorXU. pdf Yang, B. (2008, September 7). Sistem Perawatan Kesehatan dan Asusransi Kesehatan Nasional di Korea Selatan. Disajikan pada ISPOR Kongres Asia-Pasifik ketiga, Seoul. Didapatkan kembali April 2014 dari http://www.ispor.org/news/articles/Oct08/HCSystemsSKorea.asp 217 NOTA #24 KEBIJAKAN Menjadi Pembeli yang memiliki Strategi: Gagasan untuk BPJS107 Pengertian “Strategi Membeli” Makna “strategi membeli” dalam sistem jaminan sosial kesehatan adalah membelanjakan uang secara bijaksana, pro-aktif, melindungi masyarakat miskin, dan minimal meliputi tiga (3) tuas kebijakan penting: paket manfaat, kontrak dengan fasilitas kesehatan (faskes), serta pembayaran faskes. Karena itu, sistem kendali mutu sangatlah penting dan Indonesia dapat belajar dari Korea, Thailand, serta Taiwan yang merupakan model sangat baik bagi Indonesia. Paket Manfaat Paket manfaat yang saat ini telah berintegrasi menjadi satu menunjukkan keadilan yang lebih merata setidaknya secara normatif di atas kertas. Namun, masih terdapat perbedaan pada cakupan rawat inap antara kelompok peserta yang satu dan yang lainnya, misalnya peserta PBI yang mendapat kelas perawatan lebih rendah. Hal ini perlu untuk dihapuskan secara bertahap. Selain itu, masih terjadi perlakuan istimewa bagi peserta PNS melalui cara-cara khusus. Paket manfaat masih harus terus berekspansi dan berintegrasi pada beberapa dimensi. Salah satunya adalah paket manfaat pada FKTP. Sesuai peraturan, paket manfaat ini mencakup pelayanan medis, obat-obatan, tes laboratorium rutin, alokasi investasi, pelatihan, dan sertifikasi. BPJS mencakup kesehatan ibu dan bayi (mengadopsi Jampersal), vaksin dari pemerintah (tidak termasuk spuit, jarum suntik, dll), pengobatan penyakit menular, serta obat-obatan. Pembayaran non-kapitasi digunakan untuk obat Puskesmas dan kunjungan rumah yang masih menjadi masalah bagi faskes di daerah terpencil serta beberapa layanan rawat jalan khusus. Namun, pelayanan kesehatan yang penting seperti kesehatan reproduksi menjadi kurang terkoordinasi, misalnya dalam hal apa saja yang tercakup dalam pelayanan tersebut. Selain itu, terdapat pula beberapa pelayanan primer melalui program vertikal pemerintah seperti kontrol HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB). Hal ini perlu untuk ditinjau kembali dalam hal biaya serta perlunya untuk diintegrasikan ke dalam sistem utama yang ada saat ini. 107 Catatan Kebijakan ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mengakses policy brief lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org 219 Tunjangan untuk asupan gizi bagi ibu dan anak-anak relatif murah serta memiliki potensi yang luar biasa dalam investasi SDM bagi Bangsa di masa depan. Paket manfaat juga dapat dikurangi di beberapa hal. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan costsharing bagi kelompok yang tidak masuk ke dalam kategori miskin. Cost sharing dapat mendorong pertumbuhan asuransi kesehatan swasta yang dapat menyuntikkan lebih banyak dana ke dalam sektor kesehatan. Paket manfaat tentunya akan berproses secara dinamis dan akan terus mengalami perubahan. Perlu untuk dilakukan pembaruan paket manfaat secara terus-menerus melalui Penapisan Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment) serta analisa pada perubahan profil penyakit dan selera konsumen. Kontrak dengan Fasilitas Kesehatan Kerja sama atau kontrak dengan faskes saat ini masih rendah. Kerja sama dengan faskes harus terus diperluas baik dengan pihak pemerintah atau swasta. Kontrak ini dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan efisiensi serta memungkinkan untuk membangun sistem informasi dan penelusuran yang lebih baik. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia masih tertinggal jauh dalam memanfaatkan tuas kebijakan ini. Dalam sistem JKN ini, BPJS perlu untuk melakukan lompatan besar dalam hal peningkatan kerja sama dengan faskes secara selektif atau cara lain. Otoritas ini dapat digunakan oleh BPJS untuk segera menetapkan hal-hal berikut kepada faskes, antara lain: • • • • • • Mengikuti pedoman rujukan; Mematuhi standar pengkodean untuk penggantian biaya dan standar mutu INA-CBG; Mematuhi sistem pengkodean farmasi yang saat ini sedang dikembangkan; Mematuhi pelaporan biaya menurut template yang ada. Pelaporan ini pertama kali dikembangkan oleh skema Jamkesmas atas dasar sukarela, tetapi template pelaporan tersebut perlu disempurnakan dan harus bersifat wajib seperti pada sistem asuransi kesehatan sosial lainnya; Mematuhi pedoman mutu, standar, dan protokol pelayanan kesehatan, dan Membuat kontrak dengan semua pekerja di faskes milik pemerintah, walaupun akan sering terjadi keluhan mengenai ketidakresponsifan dan tidak efisiennya faskes milik pemerintah tersebut. Pembayaran Fasilitas Kesehatan Saat ini telah tersedia model pembayaran yang canggih. Namun, model ini belum tepat dan masih memerlukan perbaikan serta penyempurnaan. Penyesuaian terhadap variasi biaya dan berbagai jenis/ tipe pasien dan penyakit yang ditangani (case-mix) di tingkat provinsi masih perlu untuk dilakukan. Monitoring dan evaluasi juga perlu ditingkatkan di beberapa dimensi seperti penggunaan obat-obatan, rujukan dini, dan lain-lain. Ke depannya, BPJS perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas, pengembangan data, analisis, dan penyempurnaan yang mencakup daftar prioritas masalah yang memiliki dampak jangka panjang. BPJS perlu bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan dan PPJK untuk mengembangkan strategi komprehensif dalam waktu 2-3 tahun ke depan dalam meningkatkan kapasitas di bidang data, pengembangan perangkat lunak grouper yang sudah disempurnakan, dan 220 pembentukan tim internal BPJS yang terdiri dari para ahli yang dapat memenuhi kebutuhan dalam hal berikut: • • • • • pengkodean dan TI; penyempurnaan case-mix; costing; tinjauan mutu dan utilisasi, dan, pembaharuan serta pemantauan sistem di berbagai tingkat (tingkat pusat, provinsi, kabupaten/ kota, rumah sakit, fasilitas kesehatan primer). Berikut adalah beberapa gagasan lebih spesifik untuk kempemimpinan di dalam BPJS. Kontrak BPJS dapat segera menggunakan otoritas pembuatan kontrak mereka dengan menetapkan hal-hal berikut: • • • • • Mengikuti pedoman rujukan; Mematuhi standar pengkodean untuk penggantian biaya dan mutu INA-CBG; Mematuhi sistem pengkodean farmasi yang saat ini sedang dikembangkan; Mematuhi pelaporan biaya menurut template biaya standar, misalnya seperti yang pertama kali dikembangkan oleh skema Jamkesmas; dan, Kontrak untuk semua pekerja di fasilitas sektor publik. Keluhan yang sering diajukan adalah faskes milik pemerintah tidak responsif atau tidak efisien. Kontrak adalah langkah pertama untuk membuat faskes milik pemerintah lebih responsif. Dengan aplikasi INA-CBG, Rumah Sakit pemerintah akan perlu untuk mempertimbangkan komposisi pegawi yang ada saat ini dengan tetap mempekerjakan, memberhentikan, atau merubah susunan staf. Kontrak akan memberikan manajer Rumah Sakit fleksibilitas dalam mengatur struktur insentif. Sama halnya dengan FKTP dan kapitasi. Sesuai UU BPJS, BPJS sebagai pembayar tunggal harus membuat kontrak dengan setiap faskes yang bekerja sama dengan BPJS sebagai penggantian biaya atas layanan yang mereka sediakan. Penggantian biaya ini termasuk fasilitas perawatan primer dan jasa dokter. Saat ini BPJS sudah mulai mengalokasikan dana langsung ke Puskesmas tanpa melalui BOK lokal. Bentuk kontrak langsung yang baru ini menjadi platform untuk aliran dana yang langsung menuju Puskesmas dan semua penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberikan kemudahan bagi Kementrian Keuangan dan dapat memastikan dana yang dialirkan akan benar-benar dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan. Hal ini juga dapat memastikan bahwa semua dana benar-benar sampai ke tangan penyedia layanan kesehatan – sebagaimana mestinya. Untuk faskes swasta, sebaiknya kontrak hanya dilakukan dengan masing-masing faskes, bukan dengan asosiasi faskes swasta yang bertindak sebagai perantara. Hal ini dapat menciptakan potensi penipuan dan penyalahgunaan, dan akan sulit untuk dilakukan pemantauan dan evaluasi kinerja. Seiring dengan sistem data yang semakin berkembang dan lebih kuat, di masa depan, pembuatan kontrak dapat digunakan untuk menangani manajemen penyakit tidak menular secara lebih baik seperti hipertensi dan diabetes, serta pengendalian TB dan penyakit menular lainnya. PT Askes telah menunjukkan bukti nyata dalam hal tersebut. 221 Pembuatan kontrak adalah alat yang ampuh untuk mencapai efisiensi dan keadilan, dan BPJS harus memanfaatkannya sejauh mungkin di tahun-tahun berikutnya untuk sektor publik maupun swasta. Tantangan Terbesar: Meningkatkan INA-CBG Sistem INA-CBG Rumah Sakit untuk semua peserta BPJS perlu untuk diberikan perhatian khusus. Perangkat lunak yang ada saat ini adalah perangkat “bajakan” yang dikembangkan dari perangkat lunak curian yang dikembangkan di luar Indonesia berdasarkan pola praktik klinis dan struktur biaya Amerika Serikat. Dalam tahun-tahun mendatang, CBG harus mencerminkan struktur biaya dan pola praktik klinis lokal. Hal ini membutuhkan sebuah tim ahli teknis nasional yang tidak beranggotakan manajer rumah sakit (seperti saat ini, yang bisa mendorong terjadinya korupsi). Sebaliknya, perlu dibentuk sebuah tim teknis baru di BPJS yang dapat menilai dan menyempurnakan perangkat lunak grouper secara obyektif dan empiris untuk menghasilkan tarif. Hal ini memerlukan kerja sama antara Kementerian Kesehatan, BPJS, dan universitas atau ahli lain di Indonesia. Kepengurusan untuk perbaikan perangkat lunak ini harus segera dialihkan dari Kementerian Kesehatan ke BPJS. Kotak 1: Bagaimana Tingkat Akurasi INA CBG Saat Ini? Seberapa akurat format klaim untuk penggantian biaya INA-CBG? Sebuah kajian oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari semua diagnosis kardiovaskular (CVD) di Indonesia mungkin tidak akurat. Bisakah hal ini diekstrapolasikan ke bidang perawatan lain di luar CVD? Kajian kedua oleh WHO di berbagai negara menemukan bahwa selama ini Indonesia melakukan perencanaan dan pengkodean dengan benar hanya sekitar 31%. Kombinasi salah diagnosis dan format klaim yang dikodekan dengan buruk menunjukkan bahwa lebih dari 80% penggantian biaya klaim mungkin tidak mencerminkan kebutuhan akurat pasien untuk perawatan atau penggunaan sumber daya relatif. Kajian-kajian tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa akurat INA CBG saat ini dan masalah apa yang bisa timbul jika INA-CBG ini terus digunakan untuk pembayaran dalam format saat ini. Sumber: D. Dunlop, Universitas Indonesia dan G. Hatta, Kemenkes (2014) Sebuah basis data analisis diperlukan untuk menyempurnakan perangkat lunak grouper. Bisa dibentuk sebuah program kemitraan yang bekerja sama dengan satu atau lebih perguruan tinggi di Indonesia, dengan Australia dan Negara-negara lain seperti Thailand, Polandia, dan Jerman, yang memungkinkan para ahli Indonesia bekerja dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga di sektor publik dan universitas yang memiliki kajian dalam pembayaran rumah sakit atau bekerja di bidang yang terkait dengan pembayaran seperti pengembangan grouper, costing, impact analysis, pengembangan regulasi, dan peningkatan sistem pengkodean. 222 Bagaimana Kesiapan Penyedia Layanan Kesehatan? Saat ini, sistem pembayaran kekurangan infrastruktur informasi dan pengkodean yang baik, dan sistem jaminan mutunya mungkin masih lemah. Rumah Sakit Pemerintah mungkin perlu otonomi yang lebih besar melalui BLUD dan kebijakan lain untuk “bereaksi” terhadap sinyal pasar baru di bawah sistem pembayaran baru. Pemantauan dan Evaluasi. Perlu dikembangkan sebuah rencana strategis untuk pemantauan dan penyempurnaan sistem pembayaran selama lima (5) tahun ke depan. Pay-for-Performance. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah pembayaran kompensasi berbasis kinerja (pay-for-performance) untuk bidang prioritas seperti kesehatan ibu dan anak, imunisasi, serta layanan perawatan TB dan HIV. Proyek percontohan di NTT dan Jawa Timur masih belum dirancang. Pengalaman global dapat mengajarkan beberapa prinsip yang dapat dilihat secara lebih mendalam di dalam laporan lengkap. Lebih Mendalam: Menyempurnakan INA-CBG Dapat dibentuk sebuah program kemitraan yang bekerja sama dengan satu atau lebih perguruan tinggi di Indonesia, dengan Australia dan negara-negara lain seperti Thailand, Polandia, dan Amerika Serikat, yang memungkinkan para ahli di Indonesia bekerja di Australia dan tempattempat lain selama 6-9 bulan dalam kemitraan dengan lembaga-lembaga di sektor publik dan di universitas yang melakukan kajian dalam pembayaran rumah sakit atau bekerja di bidang yang terkait dengan pembayaran seperti pengembangan grouper, penetapan biaya, analisis dampak, pengembangan regulasi, dan sistem pengkodean baru. Kegiatan tambahan dalam kemitraan ini akan mencakup pelatihan di Indonesia yang diberikan oleh para ahli dari Australia dan ahli internasional lainnya mengenai topik khusus yang berhubungan dengan INA CBG, dan studi banding ke Australia oleh pejabat dari Indonesia untuk melihat proses pembayaran dan bertemu dengan para ahli di sana. Profesor Ric Marshall, dari Inggris dan Australia, baru-baru ini memberikan beberapa alasan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas data yang saat ini masih jauh dari baik dan tidak stabil. Dengan menerapkan strategi implementasi selama 3-5 tahun, Dr. Marshall menawarkan beberapa manfaat, antara lain: 1. Pembentukan sistem pengukuran mutu, yang dapat mencakup sistem pelacakan mutu i) mencegah admisi (rawat inap) yang tidak perlu, ii) menjamin perawatan yang dibutuhkan untuk pasien yang dirawat inap dan iii) mencegah pasien keluar RS lebih awal yang seringkali dapat menimbulkan pasien dirawat inap RS kembali yang mahal, biayanya bagi rumah sakit dalam waktu 90 hari; 2. Peningkatan sistem pengkodean, termasuk penggunaan semua kode ICD-9 dan ICD-10. Dari semua kode, saat ini hanya kurang dari 10 persen yang digunakan. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk tim ahli pengkodean yang terlatih dan mengembangkan standar nasional untuk pengkodean. Saat ini, pihak rumah sakit melatih petugas pengkode (coder) secara mandiri yang menghasilkan perbedaan dalam pengkodean di seluruh Rumah Sakit. Peningkatan dalam sistem pengkodean dapat menciptakan keadilan yang lebih baik dalam pembayaran pasien dengan kondisi sakit yang lebih buruk dan keadilan dalam penggantian biaya di seluruh Rumah Sakit; 223 Tabel 1: Data Apa yang Harus Diperoleh Saat Pendaftaran Pasien Masuk? Variabel yang digunakan untuk pengelompokan dalam sistem CBG Australia saat ini 1. Diagnosis (multipel) 2. Prosedur (multipel) 3. Jenis Kelamin 4. Usia 5. Jenis event end 6. Lama dirawat 7. Hari cuti 8. Berat saat masuk 9. Status kesehatan mental 10. Status hari yang sama. Perangkat lunak “Grouper” dapat menerima hingga 30 kode diagnosis dan 30 kode prosedur per pendaftaran 3. Peningkatan sistem costing, termasuk template costing baru untuk memperoleh lebih banyak data utilisasi. Model penentuan biaya saat ini terlalu bergantung pada rata-rata lamanya dirawat (RLD) dan terlalu dasar. Program perangkat lunak seperti COMBO (level 1) dapat digunakan sebagai langkah berikutnya. Dr. Marshall menyarankan i) memulai dengan contoh kecil beberapa sumah sakit yang memiliki sistem penentuan biaya (costing) terbaik, ii) beralih ke sampel rumah sakit yang representatif yang dikelompokkan berdasarkan semua jenis rumah sakit dan iii) ekstrapolasi biaya untuk semua rumah sakit di Indonesia. Sampel tidak perlu besar. Dr. Marshall menyarankan cukup 10%. Di Jerman, sampel biaya dari 70 rumah sakit digunakan untuk mewakili seluruh Jerman. Di Filipina, digunakan kurang dari 20 rumah sakit sebagai langkah pertama. Kementerian Kesehatan/Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan saat ini menyimpan data biaya 200+ rumah sakit, yang telah digunakan saat ini. Depkes juga menyimpan lebih dari 100 data rumah sakit tetapi laporan biayanya tidak pernah diaudit dan diverifikasi; 4. Pengaturan pembuatan kontrak dan pembelian yang lebih jelas, di mana ketentuan dan aturannya jelas dan disusun dengan baik, di mana klaim diproses dengan cepat, di mana ada pembayaran otomatis atas semua klaim dengan sampel audit sebesar 5-10% dari dua (2) jenis klaim: klaim biaya tinggi dan klaim berisiko tinggi. Sebelum tahun 2014, dilakukan audit klaim 100% oleh verifikator di bawah Jamkesmas. Hal ini jelas-jelas menghambur-hamburkan dana publik. Selanjutnya, harus ada aturan yang jelas dengan insentif dan sanksi untuk pelaporan biaya dan informasi klinis secara benar, dengan memberlakukan hukuman untuk penipuan; 5. Saatnya untuk mengembangkan pemodelan anggaran-netral, atau analisis dampak, untuk lebih memahami faskes mana yang akan memperoleh pendapatan di bawah sistem baru dan fasilitas mana yang tidak. Sehubungan dengan tahun 2013, bagaimana perubahan pendapatan untuk setiap rumah sakit? Banyak yang akan berubah... misalnya, premi per orang akan naik, pembayaran out-of-pocket akan turun, alokasi tarif dasar relatif untuk perawatan primer dan perawatan sekunder akan berubah (meskipun alokasi bagian yang tepat belum diketahui), dan sebagainya. BPJS harus mengetahui siapa yang akan menikmati surplus lebih (lebih bayar) dan faskes apa yang akan menjadi menerima pendapatan kurang (kurang bayar) karena inefisiensi relatif dalam struktur biaya faskes tersebut. Pada akhir tahun 2013, Dr. Marshall menyarankan beberapa realokasi di tahun-tahun awal dari pihak yang menerima lebih bayar ke pihak yang menerima kurang bayar untuk melindungi dari risiko fiskal dan memberikan waktu bagi rumah sakit yang “merugi” untuk melakukan restrukturisasi dan agar lebih efisien. Bagaimana 224 melakukan realokasi di tahun-tahun awal? Pendekatan yang umum digunakan di negaranegara lain adalah dengan menggunakan formula campuran di tahun-tahun awal pentahapan (phase-in), misalnya, 25% INA-CBG dan 75% menggunakan pembayaran konvensional dengan meningkatnya persentasenya dalam waktu 3-4 tahun. Dr. Marshall menyarankan kombinasi 5%/95% pada tahun ke-1 (2014) meskipun pemerintah menolak gagasan tersebut. Isu Kebijakan INA-CBG Lainnya Dan masalah praktis lainnya. Antara lain: Kemampuan: Apakah provider memiliki kemampuan yang adekuat dalam menyediakan layanan kesehatan? Bagaimana dari segi pembayar? Pada bulan Januari, sekitar 325 dari 1.600 rumah sakit tidak memiliki pengalaman sama sekali dengan CBG. Kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kesadaran akan isu-isu biaya dapat memakan waktu yang lama. Fasilitas Publik dan Swasta: Diperlukan informasi lebih lanjut mengenai biaya dan variasi kasus (case-mix) agar dapat membayar fasilitas umum dan swasta dengan lebih adil. Apakah tingkat keparahan variasi kasus (case-mix) berbeda antara rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta? Apa yang dapat dilakukan untuk “memberikan peluang yang sama” pada rumah sakit swasta yang tidak menerima subsidi supply side untuk modal, alkes dan pembiayaan program? Faskes pemerintah akan terus menerima lebih dari setengah (mungkin sebesar 60%) pendapatan dari subsidi diluar pembayaran INA-CBG. Pembayaran untuk fasilitas swasta perlu disesuaikan ke atas untuk memberikan subsidi serupa -- atau -- pembiayaan supply side harus dihentikan kepada RS pemerintah, dengan semua dana dikumpulkan di bawah naungan BPJS. Pendekatan kedua akan lebih disukai. Volume Cap: Potensi ledakan volume admisi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN/ UHC) dapat timbul saat hambatan keuangan berkurang, individu dan keluarga merasa memiliki kemampuan finansial dan akan lebih aktif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Di banyak negara, penggunaan CBG sendiri telah menyebabkan peningkatan volume admisi. Ditambah dengan inisiatif JKN/UHC di Indonesia, volume admisi dapat meledak dimulai pada tahun 2014, seperti apa yang telah terjadi di Jakarta di bawah skema Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada tahun 2013. BPJS mungkin dapat memulai volume cap melalui pengadaan kontrak dengan fasilitas atau dengan daerah. Hal ini dilakukan di banyak negara lain – hampir semuanya merupakan negara-negara di Eropa Barat dan beberapa negara di Asia (Taiwan dan Thailand). Akan lebih bijak jika Indonesia memulai dengan “soft cap” yang mungkin memberikan beberapa fleksibilitas seputar target volume cap. Program Bertahap (Phase-in Program) untuk Perubahan yang Dibutuhkan Mengingat begitu banyaknya tantangan, garis besar pada draf pertama dapat mencakup apa yang dapat dilakukan pada program bertahap (phase-in program), tahun ke tahun, secara seksama. Tahun ke-0: 2014 Harus dikembangkan strategi Bertahap (Phase-In strategy) yang menjelaskan langkah-langkah program 3-4 tahun ke depan di bidang peningkatan: 225 • • • • Klasifikasi Pengkodean Penetapan Biaya Pembuatan kontrak Roadmap ini dapat berisi uraian ilustrasi di bawah ini: Tahun ke-1: 2015 Klasifikasi: Menyempurnakan grouper INA-CBG seperti berdasarkan beberapa analisis dampak awal dan pemodelan anggaran-netral menggunakan data BPJS untuk enam (6) bulan pertama implementasi. Hal ini dapat mencakup i) penghapusan kelompok berdasarkan prosedur, ii) penyederhanaan jumlah kategori, dan iii) strategi untuk berpindah ke tingkat dasar tunggal. Para ahli dari satu atau perguruan tinggi lebih di Indonesia bisa mulai melaksanakan pekerjaan ini segera dengan membangun kumpulan data analitik. Pengkodean: Diperlukan beberapa langkah. Mengembangkan dan menyelesaikan kamus data berdasarkan kontrak baru, dan mengujinya, dan melatih orang untuk menggunakannya. Sekarang di bawah kepengurusan Pusdatin Depkes, sangat penting untuk memiliki sistem pengkodean terstandarisasi dan lebih tepat. Jadwal saat ini mengharuskan agar sistem ini diselesaikan pada pertengahan 2014. Dikembangkan sistem ID tunggal (unique identifier) untuk semua dokter dan semua fasilitas dengan karakteristik seperti kota/desa, ukuran tempat tidur, status pengajaran, jumlah tempat tidur di setiap tingkat kelas. Mengembangkan program pelatihan untuk petugas pengkode (coder), dengan program terstandarisasi dan buku panduan untuk pengkodean secara konsisten di semua fasilitas di Indonesia. Dokter akan bertanggung jawab untuk penyediaan data yang digunakan untuk pengkodean. Namun, dokter sebaiknya TIDAK diminta untuk melakukan pengkodean. Petugas pengkode (coder) perlu diakreditasi dalam beberapa hal, sama seperti faskes yang diakreditasi. Proses ini membutuhkan waktu 4-5 tahun di Jerman, tetapi dengan menggunakan INA-CBG di bawah Jamkesmas di Indonesia, mungkin program ini akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Hibah pemerintah ke provinsi dapat digunakan untuk memulai program pelatihan dengan melatih petugas pengkode (coder); petugas bisa perawat atau tenaga tambahan lainnya. Petugas pengkode (coder) yang terlatih ini dapat membentuk asosiasi profesional di masa datang. BPJS dapat mensyaratkan setiap rumah sakit yang dikontrak HARUS memiliki 1 orang petugas pengkode (coder) terakreditasi mulai tahun 2017 untuk mendorong meningkatkan petugas pengkode terlatih. Pengembangan program audit pengkodean yang baru oleh BPJS, termasuk program perangkat lunak baru dan verifikator terlatih untuk BPJS. Mengadopsi ICD-10 atau ICD-11. Saat ini yang digunakan adalah sistem ICD-9, namun hanya karena sistem ini cocok dengan perangkat lunak grouper curian yang sudah ketinggalan jaman tersebut. Penetapan biaya: Dikembangkan template penetapan biaya yang baru dengan menggunakan sistem perangkat lunak COMBO tingkat 1. Template penetapan biaya dapat dikembangkan bersama dengan konsultan ahli DRG Australia. 226 Formula Pembayaran: Jika tarif pembayaran terus menimbulkan malapetaka bagi penyedia layanan kesehatan, dapat diterapkan campuran antara INA-CBG + Historis Jumlah Pembayaran (disesuaikan dengan inflasi). Dapat dipertimbangkan kombinasi 50%/50%. Mutu: Pengembangan indikator monitoring jaminan mutu, oleh Depkes atau BPJS, untuk mencegah admisi (rawat inap) yang tidak perlu, terkait dengan layanan perawatan yang dibutuhkan selama rawat inap, dan untuk mencegah keluar RS lebih awal dan readmisi (rawat inap kembali) dalam waktu 90 hari. Tabel 2 (di bawah) menunjukkan indikator untuk sistem asuransi kesehatan Korea. Pembuatan kontrak: Kontrak dengan semua penyedia layanan kesehatan, dengan aturan yang jelas untuk semua pelaporan informasi klinis dan biaya. Monitoring dan Evaluasi: Sistem monitoring dan evaluasi yang ditetapkan menggunakan data dasar. Tahun ke-2: 2016 Pengkodean: Mengembangkan sistem pengkodean standar menggunakan ICD 10 – semua kode harus dimasukkan dalam sistem pemrosesan klaim. Dikembangkannya perangkat lunak untuk meninjau upcoding. Laporan anekdotal menunjukkan upcoding sudah terjadi di beberapa rumah sakit di Indonesia, hingga 20% dari tahun ke tahun. Costing: Pengembangan standar baru untuk template pengkodean untuk faskes dan fasilitas biaya. Pembuatan kontrak: Kontrak dengan semua verifikator terakreditasi dan tim jaminan mutu terkait Formula Pembayaran: Campuran antara INA-CBG + Historis Jumlah Pembayaran (disesuaikan dengan inflasi). Dapat direkomendasikan kombinasi 75%/25%, mirip dengan rekomendasi Dr. Marshall. Komunikasi: Laporan Tahunan publik mengenai kinerja sistem harus mulai disusun dan dikirimkan ke pemangku kepentingan utama seperti pihak rumah sakit, DPR/DPRD, dan lain-lain. Tahun ke-3: 2017 Pengkodean dan Data: Pengumpulan informasi mengenai pola dan biaya klinis 227 Klasifikasi: • Penyempurnaan grouper berdasarkan data klinis • Penyesuaian khusus yang baru untuk wilayah geografis, pendidikan, kapasitas tempat tidur, dan sebagainya Penetapan Biaya: • Analisis dampak yang sedang berlangsung – pada tingkat faskes • Template biaya yang direvisi berdasarkan analisis • Musyawarah dengan Kementrian Keuangan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pada faskes milik pemerinyah yang tidak efisien dan gagal secara finansial Komunikasi: Laporan Tahunan ke-2 mengenai jalannya sistem diselesaikan dan dikirim ke para pemangku kepentingan utama seperti pihak rumah sakit, DPR/DPRD, dan pihak lainnya. Pengkodean harus mendapatkan perhatian khusus di luar lingkup pembiayaan kesehatan karena pengkodean berdampak pada mutu pelayanan juga. Fakultas-fakultas Kedokteran di Indonesia harus mengajarkan dan menekankan keterampilan kerja yang lebih praktis dalam dokumentasi klinis. Jika jadwal perkuliahan sudah penuh, dapat diberikan alternatif kepada mahasiswa untuk mendaftar kelas khusus dalam program dokumentasi klinis. Jika pihak fakultas belum memiliki jenis program ini, badan lain seperti lembaga kesehatan pendidikan lain atau organisasi profesi dapat menciptakan program tersebut. Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Ikatan Dokter Indonesia harus memahami pentingnya keterampilan ini. Mahasiswa kedokteran perlu mempelajari kembali tentang bagaimana membuat diagnosis akhir dan menyusun buku pedoman standar dalam menetapkan diagnosis. PORMIKI (Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia, yang didirikan tahun 1989) telah diminta untuk mengembangkan modul yang terkait dengan ICD-10, dan modul ini akan digunakan secara nasional untuk petugas pengkode (coder). Petugas pengkode ICD 10 harus lulus Program Diploma di bidang Manajemen Informasi Kesehatan (yang dikenal sebagai Sekolah Manajemen Rekam Medis dan Informasi). Meskipun ada hampir 40 sekolah Manajemen Informasi Kesehatan (“HIM”) yang tersedia di Indonesia, tutor atau dosen ICD 10 tidak selalu memiliki latar belakang kualifikasi mengajar atau menggunakan metode mengajar yang sama dalam pengajaran ICD 10, dan hal ini merupakan persoalan yang juga harus ditangani dalam jangka menengah. Proyek Percontohan Pay For Performance (“P4P”) Proyek percontohan harus dirancang dan dikembangkan oleh BPJS dan Kemenkes untuk menguji apa yang dapat diterapkan dan di lokasi mana di Indonesia. Jika berhasil, proyek ini harus dievaluasi serta ditingkatkan. DFAT/AusAID juga sedang merancang program-program pembayaran kompensasi berbasis kinerja (pay-for-performance) untuk program kesehatan ibu dan anak yang baru di berbagai provinsi, kabupaten/kota di NTT, dan di tempat-tempat lain. Proyek percontohan ini dapat menjadi sangat penting untuk menargetkan area prioritas seperti perawatan kesehatan ibu dan anak. Pemerintah dapat bekerja sama dengan DFAT, namun juga harus memulai proyek percontohannya sendiri. 228 229 Hasil (8) % dari biaya aktual per biaya rata-rata total rumah sakit (ketika mengkonversi DRG ke FFS) Tinjauan dari penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat untuk operasi (kriteria yang berbeda pada setiap DRG) Perbandingan antara biaya yang dibayarkan oleh DRG dan biaya dikonversi dari FFS Pemilihan waktu antibiotik profilaksis yang tepat untuk operasi Angka kecelakaan selama rawat inap 4 5 6 % dari jumlah kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) dalam 14 hari (atau 30 hari) setelah keluar RS di rumah sakit yang sama % dari jumlah pasien dengan keparahan 1 atau lebih (keparahan penyakit berkisar dari 0 sampai 4) Rasio jumlah kasus di setiap rumah sakit dengan total jumlah kasus di seluruh rumah sakit berdasarkan kategori penyakit Rasio jumlah kunjungan rawat jalan dalam waktu 14 hari sebelum dan sesudah rawat inap dan dengan total jumlah kasusnya Angka bedah atau prosedur komplikasi selama rawat inap Angka kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) setelah keluar RS Angka Pemanfaatan ICU selama rawat inap Angka kematian Angka tingkat yang parah Indeks kasus campur (case-mix) per fasilitas kesehatan Jumlah kunjungan rawat jalan sebelum/ setelah keluar RS Beban rawat jalan sebelum/ setelah keluar RS 10 11 12 13 14 15 16 17 Akurasi pengkodean & dokumentasi % dari jumlah kasus dengan operasi atau prosedur karena komplikasi Angka readmisi (rawat inap kembali) 9 18 % dari readmisi (rawat inap kembali) dengan diagnosis utama yang sama dari rawat inap sebelumnya atau komplikasi dalam waktu 14 hari (atau 30 hari) setelah keluar RS di rumah sakit yang sama atau RS lain Komplikasi bedah atau angka kejadian buruk 8 % dari jumlah kasus konkordan antara data klaim atau pengukuran mutu dan catatan medis Rasio biaya rawat jalan dalam waktu 14 hari sebelum dan sesudah rawat inap dan dengan total biayanya % dari jumlah kematian selama rawat inap atau dalam waktu 30 hari setelah keluar RS % dari jumlah pemanfaatan Unit Perawatan Intensif/Intensive Care Unit (ICU) selama rawat inap % dari jumlah kasus dengan komplikasi bedah atau efek samping selama rawat inap atau dalam waktu 14 hari setelah keluar RS Angka infeksi selama rawat inap 7 % dari jumlah kasus dengan infeksi selama rawat inap % dari jumlah kasus dengan kecelakaan (terkait jatuh, transfusi darah, obat-obatan dan anestesi) % dari jumlah pelayanan kesehatan dasar yang tersedia* Rasio LD aktual dengan LD rata-rata total rumah sakit Angka pelayanan medis pra-operasi yang tersedia Rasio lama dirawat (LD) 2 % dari jumlah pasien dengan masalah medis (jika ada salah satu kondisi atau lebih berikut ini antara tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, rasa sakit, perdarahan pada luka operasi dan infeksi pada luka operasi) dalam waktu 24 jam sebelum keluar RS Penjelasan 3 Proporsi pasien dengan masalah medis Indikator 1 N Sumber: Soonman Kwan, 2014. * Pelayanan kesehatan dasar yang termasuk dalam item tes sebelum operasi adalah sebagai berikut. Dokumentasi Klinis(1) Klaim atau perubahan perilaku dokter (4) Mutu (13) Proses (5) Kategori Tabel 2: Indikator Pemantauan CBG Korea A. Ketika mendapatkan anestesi umum/spinal i. Tujuh DRG: CBC, U/A, LFT, Elektrolit, BUN/Cr, PT/PPT atau Koagulasi, ABO/Rh, PA Dada, EKG ii. Prosedur lensa: (tambahan) Funduskopi, keratometri, Pemeriksaan slit lamp (lampu celah), tonometri iii. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi: (add) Audiometri Impedansi (untuk pasien otitis media) B. Ketika mendapatkan anestesi lokal i. Tujuh DRG (kecuali prosedur lensa): CBC, PT/PPT atau Koagulasi ii. Prosedur Lensa: (tambahan) Funduskopi, keratometri, Pemeriksaan slit lamp (lampu celah), tonometri iii. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi: (tambahan) Audiometri Impedansi (untuk pasien otitis media) 230 NOTA #25 KEBIJAKAN Apa yang Bisa Dilakukan Terhadap Ancaman Kesehatan Masyarakat #1?108 Permasalahan Bapak Presiden, saat ini rokok adalah kegawatdaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, lebih dari 69% pria berusia di atas 15 tahun merokok. Seperempat dari anak laki-laki usia 13-15 tahun juga merokok. Walapun prevalensi wanita merokok di Indonesia berada di bawah 10% - lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Polandia atau Brazilia dengan prevalensi wanita perokok sebesar 20% - hal yang lebih mengkhawatirkan adalah tingginya peningkatan prevalensi wanita merokok akhir-akhir ini. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan sebesar 64% dari tahun 2010 (prevalensi 4%) ke tahun 2013 (7%), dan peningkatan sebesar 61% pada anak usia 10-14 dari tahun 2007 (prevalensi 11%) ke tahun 2010 (17%).109 Dilaporkan usia merokok termuda dimulai pada usia 5 tahun. Sekitar 1 dari 4 anak perempuan telah mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum usia 10 tahun (WHO, 2009).110 Merokok secara pasif juga menjadi masalah. Asap tembakau mengandung 7.000 jenis racun yang secara harafiah didorong masuk ke kerongkongan para pria, wanita, dan anak-anak di seluruh Indonesia. 108 Policy Note Kesehatan merupakan catatan mengenai Kesehatan dan reformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia yang ditulis oleh para akademisi, donor, dan analis kebijakan. Policy Notes ini dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). untuk mengakses policy notes terkait lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org 109 Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara Nations (ASEAN); Kartu Laporan Pajak Tembakau (2012). 110 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2009). 232 Gambar 1: 10 Negara di Dunia dengan Konsumsi Rokok Tertinggi (dalam milyar batang) Sumber: Laporan WHO mengenai Epidemi Tembakau secara Global, 2008. Rokok merupakan pengeluaran yang mahal dalam rumah tangga dan yang sebenarnya paling dirugikan adalah masyarakat miskin. Saat ini rokok merupakan pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Konsumsi rokok ini mengambil 57% dari seluruh pengeluaran rumah tangga dan lebih tinggi lagi bagi masyarakat miskin.111 Merokok juga mahal untuk Pemerintah. Biaya total perawatan kesehatan pasien rawat inap per tahun akibat merokok untuk 3 penyakit utama di Indonesia mencapai setidaknya Rp. 39,5 triliun (atau 4,03 miliar Dollar AS). Hal ini mewakili sekitar 0,74% dari PDB Indonesia dan 29,83% dari keseluruhan pengeluaran untuk kesehatan pada tahun yang sama. Sebagian besar biaya ini digunakan untuk pengobatan penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK) (Rp. 35,1 triliun atau 3,6 milyar Dollar AS per tahun), diikuti oleh kanker paru-paru (Rp. 2,6 trilyun) dan penyakit jantung koroner (Rp. 1,68 trilyun) (Thabrany dkk, 2013).112 Pengalaman Amerika Serikat menunjukkan penghematan sebesar 100 miliar Dollar AS setiap tahun sebagai dampak dari menurunnya biaya pengobatan bila konsumsi rokok menurun seperti yang ditampilkan pada gambar 2. 111 Universitas Indonesia, Institut Demographi, Situs web Demotix, 2013. 112 Thabrany, H., Radjiman, D.S., Adawiyah, E., Nugrahani, Y., Dampak Merokok terhadap Konsekuensi Ekonomi Tahunan di Indonesia: Biaya Pengobatan Penyakit Terkait dengan Tembakau di Indonesia, International Health Economic Conference, Sydney, Australia, Juli 2013. 233 Gambar 1: United States Negara-negara besar penghasil tembakau (rokok) mencari mangsa di negara berpenghasilan menengah seperti Rusia, Brazilia, India, Indonesia dan Filipina dengan anggapan bahwa negaranegara tersebut memiliki generasi muda yang dapat dipengaruhi. Dengan jumlah perokok di Indonesia saat ini, pihak luar menganggap Indonesia masih merupakan negara berpenghasilah rendah seperti di masa yang lalu. Banyaknya orang yang sakit berakibat pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi makro yang rendah. Taiwan melaporkan terdapatnya jumlah hari sakit yang lebih banyak pada pekerja yang merokok. Laporan dari Polandia menunjukkan dampak rokok terhadap PDB di negara-negara lain meningkat sebesar 3,5% (Lu Ling 2008).113 Dampak kerugian ekonomi di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 50% untuk biaya perawatan kesehatan dan 50% pada produktivitas (Bank Dunia, Lokakarya mengenai Pajak Tembakau, Manila, Februari 2014).114 Apa Yang Dapat Dilakukan, Pak Presiden? Prevalensi perokok yang sangat tinggi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, terutama harga rokok yang termasuk paling rendah dan paling terjangkau di seluruh dunia. Apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan kecanduan pada rokok? Apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman negara-negara lain? Cara yang paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan kesehatan telah dibuktikan di sejumlah negara dengan cara menaikkan harga produk rokok melalui kenaikan pajak (WHO, 2011). Harga rokok 113 Lu Ling (2008) sebagaimana dilaporkan pada lokakarya mengenai Pajak Tembakau, Manila, Philippina, Februari 2014. 114 234 Bank Dunia (2014). Lokakarya Regional mengenai Pajak Tembakau dan Alkohol, Manila Philippina, Februari. yang lebih tinggi merupakan hal yang efektif karena akan mendorong para perokok untuk berhenti, mencegah generasi muda untuk mulai merokok, dan mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi oleh mereka yang tetap ingin merokok. Walaupun akan mengurangi permintaan, namun penerimaan pajak rokok akan meningkat seiring waktu. Yang mengherankan, harga sebungkus rokok saat ini sangat rendah dibandingkan standar harga internasional (Gambar 3). Misalnya, harga sebungkus Djarum Super sekitar Rp. 12.000, sedangkan di Australia yang letaknya tidak jauh dari Indonesia, harga rokok adalah sebesar Rp. 170.000 karena adanya perbedaan pajak. Gambar 3: Berapa yang Pack rata Rokok Biaya di Indonesia, Singapura, dan Australia? Sumber: Berdasarkan laporan harga oleh Duncan Graham, “By the Way…Tobacco Road” halaman 1, Jakarta Post, January, 2014, menggunakan harga tukar Rp. 12.000 per 1 Dolar AS pada Februari 2014. Indonesia akan memuat peringatan kesehatan bergambar pada beberapa persen kemasan rokok. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menyerukan para pemimpin untuk melarang iklan rokok. Generasi muda sering menjadi sasaran tidak pantas pada acara-acara kesenian, musik atau olahraga, termasuk siaran iklan-iklan rokok yang ditayangkan di televisi pada siang hari. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa larangan terhadap iklan dan sponsor rokok merupakan salah satu cara yang paling murah untuk mengurangi permintaan rokok. Indonesia adalah SATU-SATUNYA negara ASEAN yang masih mengizinkan iklan rokok. Undang-undang yang dibuat baru-baru ini telah membuat terobosan dengan membatasi iklan rokok secara ketat, namun penegakan undang-undang tersebut nampaknya masih menjadi masalah. Sekali lagi, Pak Presiden, dengan hanya menaikkan harga produk rokok telah terbukti bisa menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi kebiasaan merokok (misalnya, Bank Dunia, Adeyi dkk, 2009).115 Menaikkan pajak atas produk-produk tembakau dapat menjadi cara yang menguntungkan bagi semua pihak (“win-win-win-win”) dengan meningkatnya penerimaan pemerintah untuk 115 Bank Dunia (2009). Dampak Program Promosi Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Adeyi, O., dkk.. 235 setiap bungkus rokok yang terjual, kebiasaan merokok yang akan menurun seiring dengan waktu, biaya perawatan kesehatan akan lebih rendah dengan terciptanya populasi yang lebih sehat, dan meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Peningkatan pajak rokok dapat menjadi cara yang penting untuk meningkatkan pendapatann pemerintah. Pada tahun 2013, dikenakan pajak sebesar 38% dari harga sebungkus rokok, jauh di bawah negara-negara lain, misalnya Thailand yang merupakan esama wilayah Asia Tenggara, atau pada cakupan yang lebih luas seperti negara-negara Uni Eropa dan OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan), misalnya Chili (Gambar 4 di bawah). Pada tahun 2014, Indonesia menaikkan pajak cukai tetapi hanya sekitar 8,5%. Gambar 4: Beban Pajak Rokok dalam % Terhadap Harga Eceran, 2013 Sumber: Kartu Laporan Pajak Tembakau Asean, Mei 2013, dan Organisasi Kesehatan Dunia, 2012 Pada tahun 2012, pemerintah meraup Rp. 79,9 trilyun dari penerimaan pajak rokok, sementara di pihak lain Indonesia menanggung kerugian ekonomi dan biaya kesehatan dari penyakit-penyakit akibat merokok sebesar Rp. 240 trilyun (Natahadibrata, 2013).116 Usulan yang sederhana adalah menaikkan pajak rokok untuk menutupi biaya kesehatan akhibat rokok tersebut. Hal ini harus segera dilakukan, namun pengaruh politik mungkin akan memperlambat proses menjadi beberapa tahun. Tantangan Beberapa masalah perlu untuk ditangani. Satu diantaranya adalah tingkat korupsi yang ada sekarang atau dana yang dituangkan ke dalam proses politik oleh perusahaan-perusahaan rokok. Seperti yang kita ketahui, orang terkaya di Indonesia adalah pemiliki pabrik rokok Djarum. 116 Nadya Natahadibrata (2013). Seruan Larangan Total bagi Iklan Rokok, Jakarta Post, hal. 4, 31 Mei.. 236 Masalah kedua adalah hasil pertanian dan pendapatan para petani terutama di daerah miskin. Kebanyakan tembakau yang ada di industri rokok Indonesia diperoleh melalui impor. Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa seiring dengan waktu para petani tembakau akan relatif lebih mudah untuk beralih ke jenis pertanian lain. Kotak 1: Pajak yang Dikenakan atas Produk-Produk yang Tidak Baik Bagi Moral dan Kesehatan (Sin Taxation) untuk Mendanai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) di Filipina Konteks and Dasar Pemikiran Rasio cukai tembakau dan alkohol di Filipina adalah salah satu yag terendah di Asia dan di dunia (Kiyoshi dkk, IMF, 2011). Mungkin ini merupakan salah satu faktor yang menjelaskan mengapa negara ini memiliki tingkat merokok yang paling tinggi dan negara dengan peminum alkohol terbanyak kedua di Asia Tenggara. Filipina diperkirakan memiliki 17,3 juta perokok dengan konsumsi 1073 batang rokok per kapita per tahun. 38,9% dari jumlah penduduk Filipina kadang-kadang mengkonsumsi alkohol dan 11,1% diantaranya merupakan penimum alkohol tetap (Laporan DO, GAT, Philippina 2010); situs web sintax; Labajo, PDF). Di Filipina, konsumsi rokok dan alkohol mempunyai konsekuensi sosial dan ekonomi yang signifikan: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sepuluh orang Filipina meninggal setiap jam karena kanker, stroke, penyakit paru-paru dan jantung akibat merokok, ditambah kerugian negara yang diperkirakan mendekati PHP500 milyar per tahun diakibatkan oleh biaya perawatan kesehatan dan turunnya produktivitas akibat dari merokok dan mengkonsumsi alkohol. (Berita diambil dari info inquirer, Filipina, tanpa tanggal). Sejak tahun 1980an, di Filipina telah diberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan terhadap pajak atas produk-produk yang secara moral dan medis berbahaya (selanjutnya disebut “sin taxes”). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik 8240 pada tahun 1996, Filipina memperkenalkan jadwal berjenjang untuk cukai atas produk-produk tembakau dan alkohol berdasarkan harga eceran bersih (diluar PPN) bagi setiap merk. Merk yang lebih murah dikenakan pajak yang lebih sedikit dari merk yang lebih mahal. Undang-Undang Republik No. 9334 yang mulai berlaku pada tahun 2005 mengamanatkan kenaikan tarif yang bervariasi untuk semua merk produk tembakau dan alkohol setiap dua tahun sampai tahun 2011 (Albert, 2012). Namun, sistem pajak berjenjang ini memberikan kontribusi terhadap ketidakberhasilan upaya penerapan cukai yang berakibat pada pengikisan penerimaan cukai ditambah dengan trik produsen dengan memproduksi berbagai jenis produk yang lebih murah. Undang-Undang Republik 10351 (a.k.a. Reformasi Sin Tax 2012) ditandatangani pada bulan Desember 2012 dengan tujuan merestrukturisasi cukai atas alkohol dan rokok serta meningkatkan pendapatan pemerintah dalam rangka perluasan pendanaan Cakupan Kesehatan Semesta. Hal-hal utama dari Reformasi Sin Tax 2012 mencakup perubahan secara bertahap dari struktur pajak berjenjang ke struktur pajak dengan bentuk kesatuan dan bentuk khusus (untuk menjaga agar produsen dan konsumen tidak beralih ke barang yang lebih rendah pajak dan menerapkan harga produk yang terlalu murah, mempunyai pendapatan yang lebih bisa diperkirakan, dan administrasi pajak yang lebih mudah); kenaikan tingkat pajak secara otomatis sebesar 4% per tahun untuk minuman keras sulingan mulai tahun 2016, untuk rokok dan bir mulai tahun 2018 (untuk mencegah erosi inflasi); penentuan klasifikasi pajak yang benar atas produk-produk rokok dan alkohol yang ditentukan setiap dua tahun (untuk menghapus pembekuan klasifikasi harga); kepatuhan terhadap keputusan WTO mengenai minuman keras sulingan dan Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dilaporkan bahwa pengumpulan sin tax telah mencapai PHP 21,75 milyar (504,2 juta Dollar AS) dalam empat bulan pertama di tahun 2013, yang merupakan kenaikan sebanyak hampir 25% dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun 2012, meskipun dilaporkan terdapat kenaikan dalam penyelundupan dan produksi ilegal setelah dinaikannya cukai (tax new.com, tanpa tanggal). Cakupan untuk penduduk miskin dan hampir miskin meningkat hampir 10 juta keluarga. Sumber: Bi, dkk., Bank Dunia, 2013 237 Masalah terakhir adalah mengenai pekerjaan yang merupakan kekhawatiran jangka panjang, bukan jangka pendek. Indonesia mempunyai industri rokok terbesar di dunia. Di Indonesia paling sedikit terdapat 3.800 perusahaan rokok termasuk industri rokok rumahan. Sekitar 3.000 dari perusahaan-perusahaan tersebut berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua provinsi ini juga merupakan penghasil tembakau terbesar secara nasional. Selama dua dekade, penjualan rokok di Indonesia meningkat hampir 50 kali lipat dari Rp. 1,4 trilyun pada tahun 1981 menjadi Rp. 51,9 trilyun pada tahun 2001. Tantangan untuk menaikkan harga rokok akan mengurangi keuntungan perusahaan-perusahaan rokok, dan mungkin akan mengurangi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Ini merupakan isu yang dapat dikemukakan dalam pembahasan mengenai peningkatan pajak rokok. Program restrukturisasi atau jenis subsidi lain dapat ditawarkan sebagai imbalan yang diberikan atas masuknya pendapatan yang lebih tinggi ke kas pemerintah... untuk Cakupan Kesehatan Semesta, dan yang terpenting untuk taraf kesehatan rakyat Indonesia yang lebih baik. Negaranegara Eropa, Amerika Utara dan Asia (Singapura, Thailand, dan akhir-akhir ini Filipina) telah menetapkan pajak tembakau yang jauh lebih tinggi yang merupakan jalan untuk mendapatkan dana yang lebih banyak sekaligus memberikan dampak pada kesehatan yang lebih baik. Langkah Pertama Sistem pajak yang ada saat ini dengan kontribusi sebesar 95% dari semua cukai (excise taxes) di Indonesia masih terlalu rumit dan kinerjanya tidak sebaik yang diharapkan. Sistem pajak rokok dan alkohol yang rumit ini mempunyai struktur pajak berjenjang. Kenaikan pada pemasukan pajak akhir-akhir ini sebagian akan digunakan oleh pemerintah lokal untuk program-program promosi kesehatan. Namun, model yang ada saat ini mungkin akan memiliki peran dalam memperburuk upaya meningkatkan cukai. Selain itu, tidak akan dilakukan penelusuran pada pendapatan cukai yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal realisasinya. Pemerintah juga tidak dapat memastikan bahwa dengan adanya dana baru tidak akan mengurangi komitmen program-program kesehatan dibanding program lokal lainnya. Akan sangat berguna apabila Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan bekerja sama dalam membuat usulan untuk reformasi sin tax, terutama dalam konteks rencana lima tahun yang baru. Analisis terbaru yang dilakukan oleh World Bank Jakarta pada bulan September menunjukkan bahwa peningkatan pajak tertentu secara bertahap menjadi 70% akan menaikkan pendapatan sebesar 14 triliun di tahun 2019 yang akan cukup untuk membiayai penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan. Analisa lebih lanjut hendaknya dapat mencakup hal-hal seperti • • • • 238 Kerangka konsep untuk menyederhanakan struktur pajak dan membuat analisa elastisitas untuk mengoptimalkan peningkatan pendapatan dan mendorong perubahan sikap; Memastikan mengenai perlu atau tidaknya dilakukan pengalokasian (earmark). Di kebanyakan negara pengalokasian (earmark) yang dilakukan adalah pengalokasian lunak (soft earmarking). Dari sudut pandang analisis, hal ini merupakan masalah yang relatif kecil; Melakukan analisa dari sisi industri untuk memprediksi pemasukan pajak sekaligus mencegah prilaku yang tidak diharapkan seperti menghindari pajak dengan cara “mengirimkan rokok (frontloading)” ke gudang dan membungkusnya kembali dengan jumlah batang yang lebih sedikit untuk menghindari pajak yang dikenakan untuk bungkus ukuran standar; Mempertimbangkan dampak pada petani dan buruh rokok serta mengembangkan programprogram pelatihan ulang atau subsidi pertanian; • • Memperhitungkan kemampuan untuk menghentikan penyelundupan dan menyelenggarakan program-program penegakan hukum di bawah undang-undang yang baru; Menyusun strategi pengimplementasian bertahap. Namun, terdapat perbedaan penting antara Indonesia dan Filipina. Presiden Acquino selalu memberikan dukungan pada langkah yang diambil, sedangkan Presiden Indonesia saat ini tidak pernah memberikan dukungan secara penuh pada gagasan mengenai cukai ini. Akan Dikemanakan Uang yang Diperoleh? Haruskah dilakukan pengalokasian (earmark) pada pajak tembakau yang baru? Meskipun pajak yang dialokasikan dapat membantu menambah ruang fiskal, pajak tersebut juga dapat menggantikan dana yang sudah ada dan pada akhirnya tidak memberikan dampak yang berarti pada pendapatan kesehatan secara menyeluruh (Bank Dunia, 2001; Schieber and Cashin, 2012).117 Pajak khusus lainnya dapat dieksplorasi sebagai sumber ruang fiskal untuk kesehatan di Indonesia. Beberapa negara seperti Ghana telah mengalokasikan pajak PPN untuk membiayai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC). Pendapatan dari alokasi PPN telah terbukti menjadi sumber pendapatan yang sangat stabil dan progresif di Ghana (Schiever dan Cashin, 2012).118 Walaupun dengan meningkatkan pendapatan melalui pajak lainnya untuk tujuan khusus dapat mengurangi kendala fiskal Cakupan Kesehatan Semesta, menemukan cara bagaimana pendapatan tersebut dapat dikumpulkan adalah hal yang lebih penting: pajak yang regresif, tidak efisien dan berlebihan dapat lebih merugikan dari pada membawa kebaikan pada ekonomi secara keseluruhan. Dalam mengembangkan beberapa gagasan yang dipaparkan ini, tentunya diperlukan analisis terhadap latar belakang dan pembahasan mendalam mengenai pro dan kontra dari setiap pilihan. 117 Schieber G, Cashin, C. (2012). Pembiayaan Kesehatan di Ghana. Bank Dunia, Washington, D.C.: Bank Dunia. 118 Schieber and Cashin (2012) op. cit. 239 NOTA #26 KEBIJAKAN Mewujudkan Keberhasilan Pemerintah: Kasus BPJS119 Model Perencanaan Nasional Koordinasi pemerintahan seringkali menjadi masalah sulit yang dihadapi oleh banyak negara. Namun di Indonesia, hal ini merupakah tantangan yang sangat besar. Setiap orang mengeluhkan sulitnya mencapai tindakan pemerintah yang terkoordinasi. Model lama pemerintahan yang melibatkan komando pusat yang kuat, dilaksanakan melalui tiga jalur: tentara, ‘kroni-kroni’ penguasa, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Yang demikian adalah pengaturan yang memungkinkan segelintir pihak tertentu untuk mengendalikan bangsa ini tanpa melibatkan pihak lain sama sekali. Rencana Nasional menjadi komponen penting dalam jenis pengaturan politik tersebut, juga penggunaan kekuasaan. Untungnya, masa itu sudah berakhir. Negara-negara lain yang baru merdeka sering mengikuti model pemerintahan yang sama pada tahun-tahun awal mereka. Beberapa jenis model Perencanaan Nasional digunakan hampir di mana-mana pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ketika banyak negara pertama kali memperoleh kemerdekaannya. Awalnya, pendekatan untuk membangun negara ini dapat membantu berdirinya perekonomian yang lebih modern, melalui intervensi terhadap proyek secara langsung. Namun, seiring waktu, permasalahan ekonomi, masyarakat, dan pemerintah secara bertahap menjadi terlalu rumit untuk dipecahkan dengan cara tersebut, dan kondisi politik juga berevolusi. Pendekatan Perencanaan Nasional terbukti semakin tidak efektif dalam menangani kompleksitas pembangunan, dan tidak cocok untuk bentuk pemerintahan demokratis. Sekitar empat puluh tahun lalu, beberapa negara mulai meraba-raba berbagai cara untuk mengkoordinasikan pembangunan, dan sejak saat itu, pergeseran dari “Rencana” sebagai alat pemerintahan pun terjadi semakin cepat. Dengan terbukanya pintu demokrasi secara tiba-tiba dua puluh tahun yang lalu di Indonesia, negara ini turut memulai perjalanan ke arah yang jauh dari Model Rencana. Pertanyaannya adalah: dimanakah proses perubahan itu terjadi di Indonesia dan bagaimana kemajuan Indonesia dalam penerapan perubahan tersebut? Untuk bisa memahami proses perubahan 119 Policy Note ini ditulis oleh Kenneth Sigrist dan Jack Langenbrunner dari organisasi PRSF/TNP2K dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) untuk dokumen policy notes lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org. Pandangan-pandangan yang disampaikan dalam nota kebijakan tersebut semata-mata merupakan tanggung jawab penulis. 241 dan kemajuan Indonesia dari sudut pandang yang tepat (dan untuk menilai kemajuan tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara lain), kita perlu melihat situasi di beberapa negara lain terlebih dahulu. Jika kita mengamati negara-negara yang telah meninggalkan Model Perencanaan Nasional, dapat dilihat bahwa umumnya negara-negara tersebut berjalan menuju suatu model yang disebut Manajemen Kebijakan Nasional. Situasi serupa kelihatannya juga sedang terjadi di Indonesia meskipun implementasinya masih berupa langkah-langkah kecil. Indonesia seolah berada di antara dua sisi yang sulit, yaitu sisi yang tidak mungkin dipijak kembali (model Rencana Nasional lama) dan satu sisi yang belum sepenuhnya dapat dicapai (Model Manajemen Kebijakan baru). Pada kenyataannya, Indonesia telah membuat masa transisi ini menjadi lebih sulit dengan menerapkan desentralisasi kebijakan dan lokalisasi politik yang kadang-kadang menghambat upaya pemerintah pusat dalam mengkoordinasi penerapan kebijakan pemerintah. Walau begitu, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami masalah tersebut. Banyak negara lain juga mengalami proses transisi yang sama rumitnya karena berbagai alasan berebeda. Sebagian dari kesulitan yang dihadapi disebabkan perencanaan yang tetap harus dibuat, namun di satu sisi Model Perencanaan Nasional sudah tidak digunakan lagi. Dengan demikian, kesulitan untuk memahami dan membedakan hal-hal yang benar-benar perlu dilakukan dan hal-hal kecil yang bukan merupakan masalah mendasar sering dialami oleh negara-negara dalam masa transisi tersebut. Bahkan, beberapa negara tetap membuat Rencana Nasional secara resmi karena sudah menjadi hal yang rutin meski pada prakteknya rencana tersebut tidak benar-benar digunakan. Keputusan-keputusan penting mengenai alokasi sumber daya dibuat tanpa merujuk lagi ke Rencana Nasional resmi tersebut sehingga rencana yang “seolah-olah” merupakan rencana nasional ini menjadi hanya semacam “hiasan” saja meskipun fakta ini tidak selalu disadari. Negaranegara yang berhasil menggabungkan kegiatan perencanaan dengan proses Manajemen Kebijakan menggunakan serangkaian teknik perencanaan lintas sektor sebagai suatu cara untuk mengkoordinasi keputusan-keputusan pemerintah. Pendekatan-pendekatan yang digunakan mencakup, rencana “perspektif” atau rencana “indikatif” yang tidak mengikat, atau Program Investasi Nasional Multi-Tahun (multi-year national investment program). Walau sejumlah kegiatan perencanaan terus dilanjutkan, jenis-jenis perencanaan yang digunakan telah berubah. Bagi para pejabat senior, “kebijakan dan program” saat ini telah menggantikan “proyek” konvensional. Para “perencana” juga memahami dan melaksanakan peran barunya yang merupakan pergeseran dari “perencana” menjadi “pengelola kebijakan”. Saat ini, kekangan Rencana Nasional Lima Tahun yang tidak bisa diubah telah ditiadakan sehingga penekanan dapat diberikan pada proses eksplorasi yang bersifat adaptif untuk menerapkan berbagai jenis kebijakan dan intensi kebijakan yang berbeda. Perencanaan juga secara ideal dilakukan dengan menggunakan suatu proses manajemen kebijakan yang sifatnya merangkul berbagai aspek. Pergeseran Menuju Siklus Masa Berlaku Kebijakan (Policy Life Cycle) Dalam beberapa kasus yang lebih berhasil, beberapa negara telah memperlihatkan kesuksesan dalam pergeseran dari rencana nasional yang bersifat tidak bisa diubah menuju manajemen kebijakan. Negara-negara tersebut menerapkan setidaknya tiga unsur organisasi untuk mengatur dan mengelola manajemen kebijakan mereka. Ketiga unsur tersebut adalah: i. 242 Proses perancangan yang bertujuan untuk menghasilkan kebijakan dan program baru yang nantinya akan diputuskan oleh pemerintah, ii. Proses strategi yang bertujuan untuk membuat penggunaan sumber daya langka menjadi ekonomis dalam penerapan kebijakan sesuai dengan yang telah diputuskan oleh pemerintah, iii. Proses penerapan untuk mengawasi penerapan kebijakan dan meminta pertanggungjawaban berbagai institusi berbeda terhadap hasil penerapan kebijakan yang nantinya harus dilaporkan kepada pemerintah. Ketiga proses di atas merupakan proses yang digunakan oleh pemerintah untuk mengelola tiga tahap paling penting dalam “masa berlaku (life cycle)” kebijakan. Suatu pemerintahan yang bertekad untuk mengelola proses-proses tersebut secara koheren perlu memiliki sejumlah perangkat atau, bisa dikatakan, harus memiliki “mesin” yang tepat untuk mengawasi agar ketiga proses tersebut bekerja bersama-sama. Dalam literatur profesional, perangkat atau “mesin” tersebut disebut sebagai “Pusat Pemerintahan atau centre of government”. Perangkat tersebut bertugas untuk menggabungkan ketiga unsur yang telah dipaparkan sebelumnya untuk mengelola kebijakan publik negara. Istilah “Pusat Pemerintahan” ini tidak merujuk pada suatu lokasi, melainkan merujuk pada suatu organisasi puncak. Namun, seperti yang mungkin telah kita ketahui bersama, tidak semua negara memiliki organisasi puncak semacam itu meskipun untuk bisa mengelola kebijakan secara koheren dan efektif, pusat pemerintahan yang kuat selalu diperlukan. Indonesia baru memiliki sebagian dari perangkat yang diperlukan, yaitu di bawah Kepresidenan dan Kewakilpresidenan, tetapi perangkat-perangkat yang sudah ada tersebut belum dipadukan ke dalam suatu perangkat fungsional. Jika kita melihat reformasi kebijakan di sektor kesehatan Indonesia, kita akan melihat bahwa telah banyak kebijakan dan program baru diterapkan oleh negara ini untuk menuju Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage, UHC). BPJS, sebagai organisasi jaminan kesehatan sosial, diundangkan pada tahun 2004 untuk menyediakan UHC kepada semua warga negara Indonesia pada tahun 2019. Dimensi-dimensi utama dalam upaya mencapai tujuan kebijakan ini adalah: peningkatan akses layanan, peningkatan kualitas layanan, kesetaraan dalam pemberian layanan, dan perlindungan finansial terhadap biaya tinggi atau katastropik. Pemerintah Indonesia kemudian menyusun “Peta Jalan Jaminan Kesehatan” pada tahun 2013 yang memaparkan keputusan kebijakan penjaminan kesehatan dan langkah-langkah yang harus dilakukan. Meskipun peta jalan ini mungkin tidak secara kaku dipatuhi setiap saat, peta jalan ini telah mengidentifikasi prioritas-prioritas penting dan proses-proses yang diperlukan untuk mencapai tujuan kebijakan disertai sejumlah analisis mengenai bagaimana pencapaian tersebut dapat direalisasikan. Penerapan peta jalan yang fleksibel ini konsisten dengan pendekatan adaptif modern terhadap manajemen kebijakan seperti yang telah dipaparkan di atas. Pada saat pemerintahan “Jokowi” dilantik, BPJS masih berada dalam tahap formatif terkait proses pelaksanaan penjaminan kesehatan. BPJS telah mencapai salah satu dari tujuan operasionalnya yang sangat penting untuk kredibilitas institusi yaitu pembayaran klaim secara tepat waktu. Tujuan-tujuan operasional utama lainnya masih belum dapat dicapai saat ini, termasuk di antaranya: ketepatan sistem pembayaran, pengembangan sistem jaminan mutu kesehatan, dan prediksi/ estimasi klaim (claim forecasting) yang bisa diandalkan dalam organisasi BPJS. Yang paling penting saat ini, BPJS tengah menghadapi suatu tantangan strategis yaitu BPJS harus dengan cepat memperluas cakupan dengan menambah cakupan hingga 60 juta orang lagi. Selain itu, BPJS juga tengah menangani (dalam hal ini, menangani berarti menyelaraskan, merangkul, dan menyerap atau, jika memungkinkan, menyisihkan dan mengganti) sekitar 400 organisasi asuransi daerah yang harus dipadukan ke dalam model organisasi pembayar jaminan kesehatan tunggal sesuai 243 dengan kebijakan nasional. Bagaimana semua ini dapat dilakukan ketika sistem manajemen kebijakan nasional untuk mengawasi implementasi kebijakan itu sendiri masih belum lengkap? Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali mengkaji sistem manajemen kebijakan secara menyeluruh terlebih dahulu. Jadi, seperti apakah model manajemen kebijakan ini ketika dimplementasikan? Jawabannya sangat bervariasi dan setiap negara memperlihatkan kondisi yang berbeda. Fitur Rancangan Sistem Berbeda dengan Rencana Nasional model lama yang memiliki kesederhanaan yang jelas dan logis sehingga mudah untuk dibangun dan dikelola, dalam manajemen kebijakan terpusat (central policy management) tidak terdapat model tunggal yang dominan. Meski demikian, sejumlah fitur penting ditemui di berbagai negara. Dengan kata lain, suatu “genotipe” dapat dikenali sehingga bisa digunakan sebagai template yang memandu pemahaman terhadap rancangan sistem yang akan digunakan di Indonesia. Salah satu hal yang ditemui dalam sistem manajemen kebijakan nasional yang baik adalah bahwa kebijakan, seperti halnya proyek, memiliki masa berlaku yang harus dikelola. Beberapa kebijakan mungkin akan berlaku dalam waktu lama, tetapi di dunia modern, kebijakan nasional tertentu mungkin hanya akan berlaku secara efektif selama lima atau sepuluh tahun sebelum kemudian kebijakan itu menjadi usang dan perlu diperbaiki atau diganti. Alasan-alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan tersebut dianggap menjadi usang harus dipelajari untuk menjadi dasar dan rujukan dalam pembuatan kebijakan penggantinya. Proses ini hanya akan menjadi efisien jika suatu perangkat manajemen telah dibangun dan berfungsi untuk “mengawasi” seluruh siklus kebijakan secara strategis dan menyeluruh. Berikut ini adalah sejumlah fitur penting sistem manajemen kebijakan yang digunakan di beberapa negara yang telah menjalankannya dengan baik. Negara-negara tersebut adalah negara-negara anggota Uni Eropa, Kanada, Australia, Chili, Kolombia, Ghana, Korea, Malaysia, Taiwan, dan lainlain. • • 244 Para pemimpin politik diikutsertakan dalam poin-poin penting dalam siklus kebijakan, terutama yang terkait dengan (a) keputusan koletif terkait pilihan kebijakan dan rancangan kebijakan mana yang akan diterapkan, dan (b) pengawasan langsung terhadap bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Dalam kasus BPJS, Presiden telah mengindikasikan bahwa Beliau mengawasi secara saksama penerapan jaminan kesehatan dan telah meminta agar dibuat Kartu Indonesia Sehat (KIS) baru untuk 1,6 juta orang yang belum tercakup dalam skema UHC hingga saat ini. Dalam hal ini, perkembangan penggunaan kartu ini perlu dilaporkan kepada Presiden secara rutin karena perkembangan-perkembangan baru yang penting terkait kebijakan ini akan muncul sejalan dengan waktu. Penekanan yang kuat perlu diberikan kepada implementasi atau ‘pelaksanaan’ kebijakan sebagai ujian sesungguhnya dari proses pembuatan kebijakan yang baik. Penekanan harus diberikan kepada pertanggungjawaban terhadap kinerja dan hasil kebijakan. Dalam kasus BPJS, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan jaminan sosial oleh BPJS diperkuat dengan didirikannya Dewan Pengawas yang terdiri dari tujuh profesional yang bertujuan untuk membantu pimpinan BPJS dalam menentukan arah strategi. Dewan ini dapat memimpin proses penjangkauan ke 19.000 lebih pulau, memimpin penyusunan benchmark untuk kinerja • • • organisasi, dan menyediakan visi jangka panjang untuk tim pengelola BPJS dalam hal isu-isu kebijakan sulit seperti cakupan sektor informal dan cara memadukan 400+ skema jaminan kesehatan daerah ( Jamkesda). Sejujurnya, manajemen internal BPJS tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pemikiran strategis semacam akibat beratnya beban tuntutan penerapan standard operasional secara tepat dan pemrosesan klaim sehari-hari. Suatu arsitektur informasi untuk pembuatan kebijakan yang didasarkan pada bukti (evidencebased) perlu dibangun dengan hati-hati. BPJS telah meluncurkan suatu program ambisius yaitu sistem HMIS nasional yang mencakup identifier unik serta data demografis, klinis, dan penggunaan layanan. Sistem ini dapat menjadi suatu sistem yang serupa dengan sistem strategic purchasing yang digunakan di Eropa Barat. Namun, masih banyak masalah yang belum terpecahkan seperti tidak adanya indikator terkait obat-obatan dan admisi/ rawat inap ulang (readmission). Walaupun demikian, setidaknya dasar untuk sistem ini telah dibuat; Secara umum, arsitektur proses kebijakan yang terbuka mendukung adanya partisipasi, pengusulan gagasan, akuntabilitas, dan transparansi tanpa menghilangkan kontrol pusat. Dalam kasus BPJS, konsep arsitektur terbuka menentukan dua aspek penting terkait bagaimana sistem asuransi kesehatan dapat berjalan: (1) sistem asuransi kesehatan dapat diterapkan dengan secara terbuka membandingkan kinerja penyedia layanan kesehatan terhadap semua penyedia layanan kesehatan lainnya dan terhadap norma-norma internasional; dan (2) sistem asuransi kesehatan dapat memastikan bahwa perbandingan atau benchmarking ini dapat diamati secara terbuka oleh para pembuat kebijakan dan oleh masyarakat Indonesia dalam upaya memberikan tekanan untuk dilakukannya peningkatan kinerja yang berkesinambungan. Pembelajaran institusi diperlukan untuk peningkatan berkesinambungan dalam pembuatan kebijakan dan untuk peningkatan kebijakan-kebijakan yang ada secara individual. Namun, dalam kasus BPJS, BPJS merupakan penyedia jaminan kesehatan nasional tunggal sehingga tidak ada organisasi pembanding untuk membandingkan aktivitas utama BPJS. Meskipun demikian, Dewan Pengawas dapat mengkompensasi kelemahan ini dengan cara menerapkan perbandingan antara sistem asuransi kesehatan nasional dengan pembanding-pembanding internasional (international benchmarks). Untuk dapat melaksanakan perbandingan ini, perlu dibuat suatu upaya mandiri, mungkin di bawah payung DJSN. Mungkinkah BPJS Indonesia dapat mencapai hal-hal tersebut, dan jika ya, bagaimana caranya? Sebetulnya, unsur-unsur utama organisasi yang dibutuhkan telah tersedia di Indonesia dan hanya perlu dipadukan. Tidak ada cetak biru yang pasti untuk melakukan perpaduan ini, namun ada halhal tertentu yang jelas-jelas harus dilakukan, seperti pencakupan sektor informal. Semua negara membangun sistemnya dengan memadukan unsur-unsur yang telah mereka miliki. Indonesia juga mengalami hal yang sama. Di tingkat nasional, badan-badan seperti Bappenas, TNP2K, Kesra, dan UK4P memiliki peran dan fungsi yang sesuai dengan tugas-tugas yang telah dipaparkan di atas. Jika dipadukan, maka badan-badan tersebut akan dapat mencakup serangkaian kegiatan yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem jaminan kesehatan nasional. Di sektor kesehatan, ditemui berbagai institusi seperti Kementerian Keuangan, DJSN, BPJS, Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi Kesehatan Kota/Kabupaten, Jamkesda, dll. yang juga mencakup fungsi dan peran penting untuk menjalankan sistem jaminan kesehatan nasional. Namun, penyesuaian badan-badan dan institusiinstitusi tersebut agar dapat bekerja sama dengan baik merupakan masalah rumit yang melibatkan aksi bersama dan memerlukan upaya serta itikad dari pimpinan yang ada. Misalnya, akankah proses penilaian teknologi dapat dilaksanakan secara terkoordinasi dengan baik antara departemen dan institusi? Saat ini, BPJS bahkan tidak memiliki peran dalam hal penilaian kemajuan teknologi meskipun akan banyak obat baru, alat baru, dan prosedur baru teridentifikasi 245 dalam klaim ke BPJS. Demikian pula, jika Kemenkes memutuskan bahwa suatu obat baru lebih efektif tetapi lebih mahal harganya, siapa yang akan mengatur diskusi antara Kemenkes dan BPJS untuk menilai apakah memungkinkan untuk memasukkan obat baru tersebut ke dalam paket jaminan kesehatan? Contoh lain, jika fasilitas layanan kesehatan yang ada jelas-jelas tidak memadai, siapa yang harus memutuskan bahwa sudah waktunya sektor swasta perlu berperan dalam pemberian layanan kesehatan? Bagaimana setiap institusi dan departemen yang terlibat di sektor ini bekerja sama dalam merespon masalah-masalah yang muncul, seperti profil penyakit baru, berkembangnya sektor swasta, dan keadilan sistem penggantian (reimbursement) yang memungkinkan kompetisi antara penyedia layanan pemerintah dan swasta? Saat ini, masih banyak isu-isu yang sulit untuk dipecahkan dan, tidak diragukan lagi, perlu kepemimpinan yang kuat untuk mengatasinya. Pemimpin seperti Jokowi harus menuntut dilakukannya perubahan, dan Beliau memang sudah menuntut dilakukan perubahan tersebut namun Beliau tentunya terlalu sibuk untuk terlibat dalam jalannya Kemenkes dan BPJS secara mendalam. Pemimpin-pemimpin yang tangguh (champion) akan diperlukan untuk memimpin perubahan ini dan suatu jejaring ahli yang memiliki motivasi tinggi dan cerdas akan diperlukan untuk melaksanakan perubahan tersebut. Dengan memandang situasi tersebut, tidak ada alasan mendasar untuk membantah bahwa pusat pemerintahan dapat memberikan jenis kepemimpinan berdedikasi tersebut sesuai dengan kebutuhan negara modern. Evaluasi Keberhasilan Akhirnya, siapa yang akan memutuskan bahwa suatu misi telah tercapai dan bagaimana pencapaian tersebut akan disebarluaskan dan diintegrasikan ke dalam proses sehingga perubahan yang konstan dan berkesinambungan dapat tercapai? Kita masih mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan ini. Meskipun demikian, Gambar 1 di bawah ini memaparkan proses yang digunakan oleh organisasi jaminan kesehatan sosial lain di dunia. BPJS, dengan menggunakan parameter-parameter kebijakannya, menggunakan arsitektur informasi yang dimilikinya untuk mengumpulkan informasi mengenai klaim, mutu, dan juga kinerja secara rutin. Data dengan indikator-indikator yang tepat dapat digunakan untuk menilai tata kelola layanan di tingkat fasilitas, menilai trend penggunaan layanan, dan menilai mutu layanan di tingkat fasilitas kesehatan. Perbandingan atau benchmarking dapat dilakukan antar fasilitas kesehatan atau antar periode waktu tertentu. Data yang tepat dapat membantu pembayaran klaim, memantau kinerja, dan memberikan panduan terhadap kebijakan secara terus menerus dalam upaya meningkatkan layanan. 246 Apakah kita yakin bahwa BPJS dapat menerapkan semua ini sendiri? Jika kita melihat pengalaman negara-negara lain, jawaban untuk pertanyaan ini jelas “tidak”. Para peneliti dan evaluator independen harus diberi akses secara rutin terhadap data set publik BPJS yang biasanya bisa diperoleh dengan membayar dalam jumlah kecil. Dengan demikian, para peneliti dan evaluator tersebut dapat secara independen menilai kinerja BPJS dan mempublikasikan hasil mereka serta memberikan bukti yang diperlukan untuk perubahan kebijakan sesuai dengan yang dibutuhkan. Para peneliti dan evaluator ini juga harus mampu melakukan dan mendukung proses pengkajian dan evaluasi kinerja pemerintah secara independen. Siapa yang mampu melakukan mengatur hal ini di Indonesia? Apakah Bappenas merupakan organisasi yang tepat untuk mengatur masalah ini? TNP2K? Ataukah badan atau institusi lain lebih sesuai? Pelaksanaan pengawasan tata kelola pemerintah untuk sektor ini secara keseluruhan tidak mungkin dilakukan hanya oleh Dewan Pengawas. Dengan demikian, masalah ini masih perlu diklarifikasi dan suatu bentuk yang konkrit perlu diputuskan dalam beberapa bulan ke depan. Tentunya, kita tidak mungkin menunggu bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian terkait masalah ini. Jika keputusan diambil terlalu lama, BPJS akan dipandang bagaikan suatu janji yang indah, tapi tidak pernah ditepati. 247 NOTA #27 KEBIJAKAN Riset dan Evaluasi: Peran BPJS120 Pengalaman Global Fungsi dari sistem asuransi kesehatan sosial modern lebih dari sekadar berkutat pada klaim. Lingkup sistem ini termasuk melakukan riset dan evaluasi. Seiring dengan munculnya obat-obatan, alat kesehatan dan prosedur pengobatan baru di pasar global, konsistensi dalam perbaikan, peningkatan dan pembaruan sangat penting untuk dilakukan pada sistem yang ada saat ini. Selain itu, inovasi dalam bidang manajemen juga bermunculan, misalnya pembayaran untuk “pelayanan terpadu” di seluruh tingkat fasilitas kesehatan yang telah diterapkan di Inggris, Jerman, Denmark, Belanda, Kanada dan Amerika Serikat. Model Pelayanan Terpadu ini sangat penting untuk perawatan penyakit kronis. Sistem asuransi kesehatan sosial modern biasanya menghabiskan anggaran setidaknya 1-2% dari biaya klaim untuk melakukan evaluasi dan riset. Kegiatan dan pendanaan tersebut dialokasikan untuk penelitian yang bersifat intramural (dalam BPJS) maupun ekstramural (di luar BPJS). Riset intramural dapat dilakukan oleh staf internal BPJS menggunakan data internal BPJS seperti data klaim. Tim peneliti internal juga dapat menyusun data set untuk keperluan analisis yang lebih luas. Selain itu, tim juga dapat melakukan monitoring dan analisis kualitatif. Riset ekstramural dapat dilakukan oleh setiap individu atau lembaga yang mengajukan proposal kajian yang dapat memberikan manfaat secara ilmiah serta menarik bagi BPJS. Penelitian semacam ini akan lebih baik hasilnya jika menggunakan data klaim BPJS sesungguhnya dengan komponen identitas individu yang telah dihilangkan. Setelah itu, dapat dikembangkan antara lain survei untuk menilai dampak terhadap penyedia layanan (provider) atau konsumen. 120 Nota Kebijakan ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dari organisasi PRSF/TNP2K dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk Salinan policy notes terkait lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org Pandangan-pandangan yang disampaikan dalam nota kebijakan tersebut semata-mata merupakan tanggung jawab penulis. 249 10 Langkah Menuju Kebijakan Berbasis Bukti: Penelitian dan Evaluasi Ekstramural Ke depan, BPJS perlu mempertimbangkan untuk: 1. Menyusun proses aplikasi grant dan kontrak ekstramural; 2. Menyusun ringkasan sepanjang 3—5 halaman bidang penelitian dan evaluasi yang perlu menjadi perhatian seperti penyempurnaan sistem pembayaran, kualitas, MIS, prediksi/ estimasi (forecasting) berdasarkan aktuaria, dampak program COB, dampak KIS sebagai program baru, dan sebagainya. Rangkuman mengenai bidang yang diminati ini perlu direvisi setiap 6-12 bulan; 3. Mempublikasikan area yang menjadi minat dan prioritas riset dan evaluasi melalui situs BPJS; 4. Menentukan tanggal jatuh tempo untuk pengiriman proposal ke BPJS; 5. Melakukan proses pengkajian proposal secara ketat, ilmiah serta transparan; 6. Memberikan grant riset dan evaluasi melalui kontrak selama 1-2-3 tahun; 7. Mengelola dan memantau grant oleh staf BPJS; 8. Mendorong publikasi pada jurnal yang dikaji oleh mitra bestari (peer-review) setelah laporan akhir riset dan evaluasi disampaikan dan diterima oleh BPJS. 9. Menjadi sponsor forum penyampaian hasil dan temuan riset; 10. Membuat situs web mengenai kegiatan riset dan evaluasi yang sedang berlangsung. Sepuluh langkah ini akan menjadi investasi untuk BPJS yang terus berkembang secara dinamis. Riset dan evaluasi dapat mencakup dampak sosial, konsumen, masyarakat miskin, kelompok penyedia layanan, peningkatan sisi pasokan (supply side) - semua area yang menarik bagi sistem asuransi kesehatan sosial yang terus berkembang. Kompetisi harus terbuka untuk setiap individu dan lembaga - baik di Indonesia maupun manca negara. BPJS dapat mendorong kemitraan bersama dan menarik para ahli dari luar negeri. Semua hasil perlu disajikan dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian dalam bahasa asing. Tidak ada istilah terlalu dini untuk memulai proses penting ini. 250 NOTA #28 KEBIJAKAN Jamkesda: atau Angsa Bertelur Emas untuk Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)121 1. Latar Belakang dan Sejarah Jaminan Kesehatan Daerah di Indonesia Jaminan kesehatan sudah menjadi bagian dari berbagai skema pembiayaan kesehatan di Indonesia selama lebih dari 75 tahun, yang dimulai ketika pegawai negeri semasa pemerintahan kolonial Belanda mendapatkan jaminan kesehatan di pertengahan tahun 1930-an. Di Indonesia, skema jaminan kesehatan daerah mulai muncul di awal tahun 1970-an melalui program Dana Sehat, suatu bentuk jaminan kesehatan berbasis masyarakat dalam skala kecil, serta program-program tabungan masyarakat yang dibentuk oleh beberapa kelompok masyarakat untuk membantu warga yang kekurangan, termasuk untuk keperluan berobat. Di awal tahun 1980-an, terbentuk banyak skema jaminan kesehatan yang didasarkan pada model Organisasi Pemeliharaan Kesehatan (HMO, Health Maintenance Organizations) yang pada saat itu amat populer di Amerika Serikat. Di awal tahun 1990-an, Kementerian Kesehatan RI mendirikan unit khusus untuk mengawasi, memantau, dan melaporkan perkembangan berbagai skema jaminan kesehatan tersebut. Unit tersebut saat ini dikenal dengan PPJK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan) yang terus menjadi salah satu pusat di bidang pembiayaan kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya untuk melakukan reformasi jaminan sosial di Indonesia menunjukkan kemajuan semasa pemerintahan presiden Megawati, dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 2004 yang mengatur tentang pembentukan skema pembayar tunggal (single payer) untuk asuransi kesehatan 121 Policy Note ini disusun oleh David W. Dunlop dengan bantuan Ibu Kurnia Sari dan beberapa anggota tim peneliti Jamkesda dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK), Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang memberikan masukan berharga pada draft awal dokumen ini. Prof. Ascobat Gani turut membantu memastikan kebenaran faktual dalam dokumen ini. Dr. Jack Langebrunner memberi beberapa catatan yang berguna pada beberapa versi awal dokumen ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Ibu Rachael Cintron dari USAID, yang saat ini bertugas di Afrika Barat, yang membantu mencarikan pendanaan bagi penulisan dokumen ini. Penelitian ini didanai oleh USAID melalui proyek TRAction yang dilaksanakan oleh URC, Bethesda, MD. Pendanaan untuk penerjemahan dokumen ini diperoleh dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). 252 sosial yang berlaku nasional. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang mulai dilaksanakan sejak awal Januari 2014. UU 24/2011 menjadi dasar dibentuknya badan penyelenggara/ pembayar tunggal (single payer) yang lebih dikenal dengan nama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang menggabungkan beberapa program jaminan/ asuransi kesehatan nasional yang dirancang untuk melayani berbagai jenis pengguna yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Berdasarkan informasi terakhir dari BPJS, saat ini terdapat lebih dari 128 juta peserta. Namun demikian, ada sekitar 460 skema serupa di tingkat daerah, atau yang dikenal dengan nama Jamkesda ( Jaminan Kesehatan Daerah) yang masih bertahan. Berdasarkan studi terbaru, Jamkesda memberikan perlindungan bagi 65 s.d. 70 juta orang. Dokumen ini menjelaskan berbagai hal tentang Jamkesda serta memaparkan bagaimana Jamkesda, dalam proses integrasinya dengan JKN, dapat turut berkontribusi pada tercapainya Jaminan Kesehatan Semesta (UHC, atau Universal Health Care) yang merupakan tujuan nasional sampai dengan tahun 2019. 2. Kerangka Hukum Jaminan Kesehatan Daerah Suatu kajian nasional yang baru saja dirampungkan, yaitu studi tentang Jamkesda yang diminta disiapkan bagi DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) untuk memberi informasi tentang status terkini Jamkesda, menemukan bahwa tiap Jamkesda telah melakukan berbagai upaya di daerahnya untuk meningkatkan status hukum mereka 122/. Per tahun 2013, hampir 80% kabupaten/kota yang dijadikan sampel dalam studi tersebut sudah memiliki dasar hukum bagi keberadaan Jamkesda di daerahnya, yaitu dalam bentuk peraturan daerah yang telah dibahas dan kemudian disahkan oleh DPRD, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi; bandingkan dengan jumlah Jamkesda yang sejak awal terbentuknya sudah memiliki dasar/status hukum (umumnya setelah tahun 2008), yang hanya mencapai 65%. Selain itu, banyak Jamkesda (55%) mengubah status hukum mereka sampai lebih dari tiga kali semasa keberadaan mereka yang memang belum lama, dan hal ini terutama disebabkan oleh perubahan dalam sumber-sumber yang dapat digunakan untuk membiayai skema jaminan tersebut (banyak daerah memasukkan pendanaan dari pemerintah provinsi dalam skema Jamkesda mereka). Alasan utama lainnya di balik perubahan status hukum ini ialah: a) perubahan pimpinan daerah (dari segi perpolitikan), atau b) perubahan teknis, seperti misalnya perubahan dalam peraturan kepesertaan. Di akhir tahun 2013, sebagian besar Jamkesda sudah lebih mantap dari segi hukum dan dapat mulai merencanakan kegiatan di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami perubahan terkait status hukum Jamkesda setelah satu tahun pertama pelaksanaan program JKN, sebab haluan (roadmap) pelaksanaan JKN menyebutkan bahwa Jamkesda “akan diintegrasikan” dengan JKN sebelum akhir tahun 2016. 122 Lihat laporan akhir yang disusun PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014) 253 3. Manfaat Jamkesda A. Meningkatnya Jumlah Warga yang Terlindungi (Mendapat Jaminan) Tabel 1 menunjukkan pentingnya Jamkesda dalam mencapai tujuan nasional mewujudkan Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) di tahun 2019. Tabel 1 juga menunjukkan perubahan besar dalam sistem jaminan kesehatan di Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu satu dekade sejak tahun 2003. Jumlah cakupan asuransi kesehatan yang hanya mencapai sekitar 10% dari total penduduk di tahun 2003 meningkat menjadi hampir 85% di pertengahan tahun 2014. Perkembangan yang terjadi, baik dalam hal dibentuknya badan pembayar tunggal bagi skema jaminan kesehatan di tingkat nasional dan dengan terus bertumbuhnya Jamkesda dari segi jumlah dan cakupan, berarti bahwa cakupan jaminan kesehatan di Indonesia kini hampir mendekati kesemestaan. Tanpa mekanisme Jamkesda, yang saat ini terdapat di setidaknya 460 kabupaten/kota (naik dari 367 kabupaten/kota di tahun 2010), banyak warga yang kini menjadi peserta Jamkesda tidak akan dapat memiliki akses langsung pada BPJS, sebab pihak penyelenggara jaminan kesehatan sebelumnya, yaitu Askes, pada tahun 2013 hanya memiliki kontrak untuk menyelenggarakan Jamkesda di sekitar 175 kabupaten/kota dari sekitar 540 kabupaten/kota di Indonesia. B. Meningkatnya Jumlah Jamkesda di Indonesia Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah Jamkesda. Berdasarkan studi yang disebutkan sebelumnya, dari sampel Jamkesda yang diambil secara acak berstrata (stratified random sample) dapat ditarik perkiraan kenaikan jumlah Jamkesda untuk keseluruhan Indonesia. Dari hanya sejumlah kecil Jamkesda yang terbentuk sebelum diundangkannya UU 40/2004, jumlah Jamkesda mulai meningkat pesat setelah uji materi terhadap UU No. 40 tersebut di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005 yang mendukung kepentingan Jamkesda, yang kemudian diikuti dengan imbauan Kementerian Kesehatan di tahun 2008 agar daerah membentuk skema jaminan kesehatan di daerah masing-masing. Peningkatan besar-besaran jumlah Jamkesda terjadi antara tahun 2008 dan 2010, yaitu periode terbentuknya lebih dari 70% Jamkesda yang dijadikan sampel. Sejak tahun 2011 hingga akhir 2013, sebanyak 14% dari total Jamkesda yang dijadikan sampel terbentuk. Di akhir tahun 2010, Kementerian Kesehatan melakukan survei tentang Jamkesda untuk mengetahui berapa banyak jumlah Jamkesda yang ada dan seperti apa bentuk perlindungan yang diberikan. Survei tersebut mencatat ada sebanyak 367 Jamkesda yang beroperasi. Melalui ekstrapolasi menggunakan data dari hasil survei tersebut dan dengan data hasil survei PKEKK di tahun 2014, saat ini kemungkinan terdapat 460 Jamkesda, meskipun angka pastinya masih belum jelas. Hal ini khususnya terkait dengan ketidakjelasan jumlah Jamkesda di kabupaten hasil pemekaran. Satu hal yang pasti ialah bahwa terdapat sejumlah besar Jamkesda yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia123/. 123 Sebanyak 27 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia terwakili oleh 72 Jamkesda yang dijadikan sampel pada studi PKEKK di tahun 2013. 254 Tabel 1: Cakupan Asuransi Kesehatan di Indonesia, 2003 s.d. Pertengahan 2014, per Juta Orang 2003 2008 2012 Pertengahan 2014 Tidak berlaku Tidak berlaku Tidak berlaku 124,0 0 76,4 76,4 BPJS 3. Asuransi Kesehatan Swasta 2,0 7,0 15,4 >15,4 4. Jamkesda 0,8 4,0 31,8 65,0 5. Askes (untuk PNS) 13,0 15,0 17,3 BPJS 6. Jamsostek (untuk pegawai swasta) 2,5 2,9 5,6 BPJS 7. Asabri & Taspen (TNI & Polisi) 4,5 5,0 2,2 BPJS 8. Asuransi Kesehatan Komersial oleh Askes Data Tidak Tersedia 1,0 2,9 BPJS 9. Karyawan perusahaan swasta Data Tidak Tersedia Data Tidak Tersedia 6,4 6,4 22,8 111,3 158,0 >210,8 ~230 ~245,0 ~252,0 46,8 64,5 >83,6 Skema Asuransi 1. BPJS 1/ 2. Jamkesmas/ Askeskin Cakupan Total Total Populasi Proporsi Populasi yang Masuk dalam Cakupan Asuransi (dalam %) ~10,0 Catatan: 1. Di awal tahun 2014, BPJS mengambil alih penyelenggaraan beberapa program asuransi kesehatan sebagai berikut: a) Jamkesmas, b) Askes (untuk PNS), c) Jamsostek (untuk pekerja sektor swasta yang bekerja di perusahaan besar), d) Asabri dan Taspen (untuk TNI dan polisi), dan e) program asuransi kesehatan komersial di bawah Askes. C. Mobilisasi Dana Pemerintah Provinsi Pencapaian besar ketiga terkait dengan program Jamkesda terlihat pada kenyataan bahwa pada periode 2008 sampai 2014, Jamkesda telah memanfaatkan anggaran kesehatan dari pemerintah provinsi sebagai sumber tambahan dalam pendanaan. Tabel 2 menunjukkan kecenderungan dalam mobilisasi sumber daya oleh Jamkesda, yang dipilah berdasarkan sumber dana. Data ini menunjukkan kapan sumber pembiayaan Jamkesda mengalami perubahan, dari yang awalnya banyak bersumber dari pemerintah kabupaten/ kota menjadi bersumber dari pemerintah provinsi. Perubahan besar terjadi di tahun 2010 ketika bagian terbesar penerimaan Jamkesda mulai berasal dari belanja pemerintah provinsi. Hampir 80% total penerimaan Jamkesda di tahun 2013 berasal dari pemerintah provinsi. 255 Tabel 2: Pendanaan Jamkesda Menurut Sumber Dana pada Tahun 2008 s.d. 2013 Berdasarkan Jamkesda pada Kabupaten/Kota yang Dijadikan Sampel dalam Studi, dalam Juta Rupiah. Tahun APBD Kab/Kota Proporsi dari Total Anggaran APBD Provinsi Proporsi dari Total Anggaran Total Pendanaan 2008 14,841 83 3,040 17 17,881 2009 44,764 65 24,492 35 69,256 2010 155,085 16 797,236 84 952,321 2011 857,175 40 1.277,592 60 2.134,767 2012 990,593 42 1.374,694 58 2.365,288 2013 763,868 21 2.866,807 79 3.630,674 Sumber: Data dari laporan akhir studi PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/ UI, 24 Desember 2014). D. Jamkesda Sejalan dengan Desentralisasi Terakhir, Jamkesda sejalan dengan rancang bangun desentralisasi di bidang kesehatan berdasarkan peraturan perundangan yang disahkan setelah pergantian pemerintahan di tahun 1998. Per tahun 2013, hampir 30% penduduk di kabupaten/ kota yang menyelenggarakan Jamkesda terdaftar dalam skema jaminan kesehatan tersebut, dan hal ini merupakan pencapaian yang signifikan. 4. Tantangan Jamkesda Terlepas dari berbagai pencapaian penting yang diraih Jamkesda, terdapat beberapa isu tambahan yang memerlukan arah kebijakan lebih lanjut. Isu-isu ini turut mencakup: a) perbedaan keluasan paket manfaat, b) digunakannya pembayaran jasa per pelayanan (FFS, fee for service) yang mendominasi bentuk penggantian biaya bagi penyedia pelayanan kesehatan (PPK), alih-alih menggunakan pembayaran kapitasi ataupun DRG – yang di Indonesia dikenal dengan CBG (Case Based Groups), dan c) kurangnya transparansi dalam penggunaan dana yang diperoleh Jamkesda. Isu-isu ini diuraikan pada bagian berikut. A. Paket Manfaat Untuk mengetahui lebih lanjut tentang seberapa menyeluruh cakupan perlindungan dalam paket manfaat yang ditawarkan Jamkesda, PKEKK menyusun suatu paket manfaat rekaan yang terdiri atas 26 layanan yang seyogyanya masuk dalam paket komprehensif yang dianggap sejalan dengan Peta Jalan (Roadmap) DJSN dalam mewujudkan UHC hingga tahun 2019 melalui pelaksanaan 256 jaminan kesehatan nasional 124/. Layanan tersebut memiliki kisaran mulai dari layanan pengobatan untuk sakit kepala dan diare hingga perawatan HIV/AIDS dan transplantasi organ tubuh. Tiap Jamkesda dalam survei tersebut diminta memberikan keterangan apakah masing-masing layanan yang disebutkan juga masuk dalam paket manfaat yang mereka berikan, dan bila memang demikian, apakah ada pembatasan atas manfaat yang dapat digunakan, seperti misalnya batas maksimum dalam hal jumlah layanan yang digunakan atau batas waktu untuk dapat menggunakan layanan, yaitu batas waktu maksimum tahunan. Keterangan yang disampaikan kemudian dianalisis dan disusun menjadi indeks keluasan paket manfaat. Sebaran skor yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3: Sebaran Frekuensi atas Skor Paket Manfaat di Kabupaten/Kota yang Dijadikan Sampel, 2013. Skor Kedalaman Paket Manfaat Jumlah Kabupaten/Kota 100% 2 90 - 99% 10 80 - 89% 19 70 - 79% 8 60 - 69% 13 50 - 59% 11 40 - 49% 4 30 - 39% 3 Kurang dari 30% 2 Total Kabupaten/Kota 72 Rata-rata mean 71% Sumber: laporan akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014). Data tersebut menunjukkan adanya sebaran bimodal pada kabupaten/ kota yang dijadikan sampel, namun dengan perbedaan besar pada seluruh sampel yang diambil. Pertanyaan penting yang juga perlu diajukan ialah seberapa besar biaya yang diperlukan agar seluruh Jamkesda memberikan paket manfaat yang komprehensif. Kementerian Keuangan jelas merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam hal ini. Berdasarkan sampel yang diambil, jenis layanan yang banyak tidak dimasukkan dalam paket manfaat Jamkesda ialah layanan yang memakan biaya besar dan layanan pengobatan yang kurang dapat dipastikan mampu mendatangkan status kesehatan yang positif. 124 Lihat DJSN, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012 -2019, ( Jakarta: DJSN, 2012). 257 Salah satu tantangan kebijakan bagi DJSN ialah penyusunan peraturan untuk melakukan harmonisasi atas aneka paket manfaat yang ditawarkan, sekalipun terdapat perbedaan kemampuan di kalangan pemerintah daerah dalam membiayai paket manfaat tersebut. Perbedaan kemampuan ini dapat diukur dari rasio yang menunjukkan perbandingan antara angka tertinggi dalam belanja APBD per kapita di bidang kesehatan dan angka terendahnya. Berdasarkan data nasional dari Kementerian Keuangan tentang belanja pemerintah daerah di tahun 2012, diperoleh rasio sebesar 164 berbanding 1, yang berarti bahwa pengeluaran kabupaten/ kota dengan jumlah belanja terbesar per kapita di bidang kesehatan ialah 164 kali lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran kabupaten/kota dengan jumlah belanja terkecil 125/ per kapita di bidang kesehatan. Isu ini juga menjadi penting untuk diatasi agar peserta mendapat kemudahan apabila berpindah lokasi kepesertaan (portability). Ketika dilakukan analisis terkait hal-hal yang menjadi faktor penentu (determinan) bagi skor paket manfaat tersebut, terdapat dua variabel (peubah) yang terkait signifikan (secara negatif) dengan skor paket manfaat. Variabel pertama ialah tingkat ketercakupan warga, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk yang menjadi peserta Jamkesda, dan variabel kedua ialah apakah DPR setempat turut terlibat dalam menentukan layanan apa saja yang akan dimasukkan dalam paket manfaat. Dalam kasus ini, kedua variabel independen tersebut secara negatif terkait dengan skor paket manfaat Jamkesda. Temuan pertama, terkait ketercakupan warga sebagai peserta Jamkesda, menunjukkan bahwa terdapat trade-off antara jumlah peserta dan jumlah layanan yang dapat dimasukkan dalam paket layanan. Temuan kedua, sehubungan dengan hubungan negatif antara keterlibatan DPR setempat dalam proses pengambilan keputusan untuk menetapkan layanan apa saja yang masuk dalam paket manfaat, menunjukkan bahwa DPR cenderung menolak memasukkan aneka jenis layanan dalam paket manfaat, mengingat salah satu peran DPR dalam kepemerintahan daerah ialah sebagai pengontrol anggaran. Kedua temuan sejalan dengan prediksi yang bisa ditarik dari teori ekonomi. B. Pembayaran bagi Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) Isu kedua yang perlu dipikirkan dengan seksama ialah metode yang digunakan untuk membayar penyedia pelayanan kesehatan (PPK) atas layanan yang diberikan. Studi yang dilakukan juga menjajaki isu ini. Skema JKN yang berlaku nasional menerapkan dua cara pembayaran: untuk layanan rawat jalan yang diberikan di Puskesmas dan di praktik dokter keluarga, cara pembayaran yang cenderung lebih disukai ialah pembayaran kapitasi (per jumlah orang yang dilayani). Untuk layanan rawat inap, BPJS menggunakan penghitungan berdasarkan case based group (CBG), yang di negara lain dikenal dengan sebutan diagnostic related groups (DRG). Berdasarkan praktik di dunia internasional, berbagai pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan yang efektif dari segi biaya. Masalah dengan pernyataan tersebut ialah tidak adanya fakta pembanding, sehingga sesungguhnya tidak ada siapapun yang bisa memastikan kebenaran pernyataan tersebut126/. Akan tetapi berbagai temuan dari studi tersebut bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin beralih menggunakan metode pembayaran dimaksud. Temuan-temuan ini dapat diihat pada Tabel 4. 125 Lihat hal.130, Bab 10, Laporan Akhir Studi Jamkesda yang disusun oleh PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a national Social Health Insurance Program (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), op. cit., 2014) 126 Indonesia mungkin perlu melakukan uji coba klinis secara acak atas berbagai cara pembayaran tersebut untuk menyelesaikan masalah ini. 258 Tabel 4: Mekanisme Pembayaran yang Digunakan pada Jamkesda yang Dijadikan Sampel, 2013. Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) Total Frekuensi Frekuensi Frekuensi Frekuensi Pembayaran Pembayaran Pembayaran Sistem Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan Pembayaran Kapitasi FFS CBG yang Digunakan 1. Rumah Sakit Umum 1 (1,3) 49 (62,8) 28 (35,9) 78 2. Rumah Sakit Umum Daerah (Provinsi) 1 (1,8) 33 (57,9) 23 (40,4) 57 3. Rumah Sakit Pusat Rujukan 1 (3,1) 15 (46,9) 16 (50,0) 32 4. Rumah Sakit Swasta 0 (0,0) 7 (36,8) 12 (63,2) 19 5. Puskesmas 26 (40,6) 37 (57,8) 1 (1,6) 64 6. Dokter Keluarga 13 (92,9) 1 (7,1) 14 7. Penyedia Layanan Khusus Lainnya 8 (47,1) 9 (52,9) 17 8. Lainnya 2 (50,0) 2 (50,0) 4 151 (53,0) 92 (32,3) 285 Total 42 (14,7) Catatan: Yang dimaksud dengan penyedia layanan khusus lainnya ialah: a) apotek, b) unit transfusi darah, c) klinik gigi, dan d) klinik swasta kebidanan dan keperawatan. Tabel 4 menunjukkan betapa pentingnya bentuk pembayaran jasa per pelayanan (FFS, Fee-forService) di kalangan penyedia pelayanan kesehatan pada kabupaten/kota penyelenggara Jamkesda yang dijadikan sampel. Temuan seperti ini masih didapati meskipun dalam hampir sepuluh tahun terakhir ini ada upaya-upaya besar yang dilancarkan oleh penyusun program JKN untuk menghapuskan bentuk pembayaran FFS dan menggantinya dengan pembayaran kapitasi dan/atau CBG. Sebagian besar penyedia pelayanan kesehatan (PPK) lebih memahami dan merasa lebih nyaman dengan pembayaran dalam bentuk FFS. Akan sulit sekali menjadikan pembayaran (dalam bentuk kapitasi dan CBG) ini dapat diterima dan digunakan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya ketika: a) pembayaran kapitasi ditetapkan dengan tidak selayaknya yaitu dalam besaran yang amat rendah, dan b) masih terdapat ketidakjelasan di kalangan penyedia fasilitas kesehatan yang mungkin akan dibayar berdasarkan CBG terkait antara pembayaran yang dilakukan dengan biaya pemberian layanan. C. Transparansi Pengeluaran Selain melakukan kajian atas seberapa besar dana yang diperoleh Jamkesda berasal dari sumbersumber di pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, studi Jamkesda tersebut juga mencari tahu seberapa besar pengeluaran Jamkesda yang bersangkutan. Temuan studi tersebut tidak didasarkan pada seluruh Jamkesda yang disurvei, karena ada beberapa Jamkesda yang tidak menyampaikan informasi ini. Akan tetapi informasi dari seluruh strata sampel yang diambil sudah cukup untuk melaporkan beberapa temuan penting. Temuan-temuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. 259 Tabel 5: Perkiraan Total Penerimaan dan Pengeluaran pada Seluruh Jamkesda di Indonesia (N=460), per Awal 2014 Penerimaan dan Pengeluaran dalam Laporan Keuangan Jamkesda yang “Lazim”/ Pada Umumnya Dijumpai Jumlah dalam Triliun Rupiah (Triliun Rp) Persentase dari Total Penerimaan (%) 1. Perkiraan Total Penerimaan 13,155 100,0 2. Perkiraan Total Pengeluaran 2,238 12,2 0,619 5,3 3. Penerimaan Bersih setelah Dikurangi Pengeluaran 10,916 87,8 4. Perkiraan Biaya Penyelenggaraan Umum (Overhead) 3,070 24,1 5. Penerimaan Bersih setelah Dikurangi Biaya Biaya Penyelenggaraan Umum (Overhead) 7,847 63,7 A. Perkiraan Total Pembayaran Klaim Berbagai temuan ini didasarkan pada informasi dari 43 kabupaten/kota yang menjadi sub-sampel yang memang menyampaikan banyak informasi terkait data ini, yang kemudian diekstrapolasi untuk memunculkan perkiraan jumlah Jamkesda di Indonesia per awal 2014. Data tersebut dapat dipahami dengan gamblang. Perkiraan total pembayaran klaim jelas tidak berjumlah besar secara relatif bila dibandingkan dengan total penerimaan. Perkiraan total pengeluaran oleh Jamkesda cukup rendah secara relatif bila dibandingkan dengan total penerimaan. Pembayaran biaya penyelenggaraan umum (overhead) merupakan satu bentuk pengeluaran terbesar, mencapai lebih dari 5 kali lipat besarnya perkiraan pembayaran klaim. Setelah semua pembayaran dilakukan, jumlah saldo-lebih (surplus) bersih ternyata lebih besar dari 60% total penerimaan. Apa yang terjadi dengan saldo-lebih bersih ini? Tidak banyak yang diketahui tentang hal tersebut. Apakah saldo ini tersimpan di bank? [ Jika demikian,] Mungkin tidak apa-apa. Apakah kemudian digunakan untuk keperluan lain ……..? Pada tahun 2007, muncul kekhawatiran besar di kalangan media dan pengambil kebijakan tentang belanja pemerintah daerah. Pada saat itu Bank Dunia memperkirakan bahwa sejumlah besar penerimaan daerah yang berasal dari DAU/ DAK tidak dibelanjakan dan justru dianggurkan di Bank127/. Pada saat itu, hal tersebut mengkhawatirkan karena berbagai pembiayaan penting di tingkat daerah menjadi tertahan, dan akibatnya efek pengganda (multiplier effect) perekonomian daerah yang seharusnya terjadi menjadi tidak terwujud. Di tahun 2012, isu ini sudah tidak lagi membayangi dan tidak lagi dikhawatirkan pengambil kebijakan. Berdasarkan data keuangan kabupaten/ kota yang masuk dalam survei Jamkesda di tahun 2012 yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, sebagian besar kabupaten/ kota mengalami defisit sekitar 5% dari penerimaan 128/. Akan tetapi studi tersebut tetap merasa perlu memahami aliran sumber dana bagi program Jamkesda dan memonitor aliran tersebut seiring waktu. 127 128 Kutipan studi Bank Dunia tentang pembiayaan daerah (kabupaten/kota) ( Jakarta: Bank Dunia, 2008). Bab 6, “Analisis Pembiayaan Jamkesda”, Laporan Akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan 260 D. Tantangan dari Sisi Pasokan Pertama, tampaknya cukup banyak tersedia tenaga kesehatan primer yang terlatih untuk memberikan layanan kesehatan dasar kuratif di kebanyakan Puskesmas pada kabupaten/ kota yang dijadikan sampel dalam kajian ini (Lihat Tabel 6). Hanya sedikit saja puskesmas yang tidak memiliki dokter. Dari kabupaten/ kota yang dijadikan sampel, tak ada satupun puskesmas yang tidak memiliki dokter, dan hanya 3 dari 72 kabupaten/ kota yang memiliki kurang dari satu dokter per Puskesmas. Angka simpang baku (standar deviasi) dari jumlah dokter yang tersedia menunjukkan bahwa perbedaan antarkabupaten dalam hal jumlah staf dokter tidaklah besar. Kedua, Tabel 6 menunjukkan bahwa tersedia perawat dan bidan dalam jumlah yang cukup, dengan rata-rata 4 orang kader dari tiap jenis tenaga ini berada di Puskesmas sepanjang hari (dan malam), dengan mengasumsikan bahwa tiap staf bekerja bergiliran per 8 jam129/. Ketersediaan perawat dan bidan dalam jumlah yang paling kecil pun menunjukkan bahwa kedua jenis staf ini tersedia dalam jumlah yang memadai130/. Ketiga, data menunjukkan bahwa terjadi kekurangan staf dalam jumlah besar di keseluruhan sistem layanan kesehatan primer di Puskesmas untuk layanan yang bersifat khusus seperti misalnya tenaga ahli di bidang farmasi dan tenaga ahli untuk uji laboratorium atau radiografi. Tanpa ketersediaan staf semacam ini, layanan-layanan penting untuk tiap jenis masalah kesehatan kemungkinan tidak dapat disediakan sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan ekspektasi profesi kesehatan yang bersangkutan. Ada kemungkinan bahwa jenis layanan khusus ini diberikan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang cara menjalankan kegiatan pelayanan tersebut dengan kualitas tinggi. Tabel 6: Staf Puskesmas pada 72 Kabupaten/Kota Penyelenggara Jamkesda yang Dijadikan Sampel, Survei Risfasdas 2011 Jumlah rata-rata/ Puskesmas Simpang Baku (SD) Jumlah Kabupaten/ Kota Tanpa Staf Jumlah Kabupaten/ Kota dengan < 1 Staf Jumlah Kabupaten/ Kota dengan >= 1 Staf 1. Dokter 2,14 0,06 0 3 69 2. Dokter gigi 0,82 0,27 3 49 23 3. Perawat 12,81 2,61 0 0 72 4. Bidan 12,15 3,49 0 0 72 Jenis Staf Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: CHEPS/FKM/UI, 24 Desember 2014). 129 Pernyataan ini didasarkan pada asumsi bahwa staf bekerja bergiliran dalam putaran 8 jam. Beberapa studi yang belum lama ini rampung memberikan bukti yang menunjukkan bahwa rata-rata lamanya hari kerja di puskesmas kemungkinan jauh di bawah 8 jam kerja. Lihat misalnya makalah yang disusun oleh Tim Ensor, et al., “Budgeting Based on Need: A Model to Determine Sub-National Allocation of Resources for Health Services in Indonesia” (Penganggaran Berbasis Kebutuhan: Model Penetapan Alokasi Sumber Daya Daerah untuk Layanan Kesehatan di Indonesia), Cost-Effectiveness and Resource Allocation (Efektivitas Biaya dan Alokasi Sumber Daya), (2012), Vol 10-11, 1478. 130 Kecuali apabila staf ini juga menggantikan staf lain yang tidak tersedia dalam memberikan layanan. Hal ini menjadi topik yang perlu didalami lebih lanjut. 261 5. Perawat gigi 1,24 0,22 0 23 49 6. Apoteker 0,25 0,18 18 69 3 7. Asisten Apoteker 1,12 0,15 0 31 41 8. Ahli gizi 1,33 0,30 0 24 48 9. Tenaga Sanitasi (Kesehatan Lingkungan) 1,64 0,33 0 15 57 10. Penyuluh Kesehatan 0,45 0,16 8 66 6 11. Ahli Rekam Medis 0,19 0,13 29 69 3 12. Teknisi Lab 0,87 0,38 5 45 27 13. Teknisi Ronsen 0,64 0,64 2 57 15 14. Tenaga Administrasi (TU) Terlatih 4,51 0,34 0 3 69 40,16 7,65 0 0 0 15. Total Staf Terlatih Data dari Survei Nasional Risfaskes yang dilakukan oleh Litbangkes tahun 2011. Keempat, tanpa tersedianya staf layanan penting seperti yang disebutkan sebelumnya di tingkat Puskesmas, akan sulit membuat kemajuan dalam upaya mengurangi tingkat kesalahan diagnosis sebagaimana ditemukan dari data survei Riskesdas 2007 131/. Dalam studi tersebut, tingkat kesalahan diagnosis pada masing-masing penyakit yang dilaporkan secara keseluruhan dalam survei itu (baik penyakit menular maupun tidak menular) lebih besar dari 50%, dan tingkat kesalahan diagnosis untuk berbagai jenis penyakit jantung mencapai 92%! Perlu diterapkan suatu standar layanan di Puskesmas agar layanan diagnostik mendasar seperti ini dapat terlebih dahulu dilakukan sebelum dana dari asuransi/ jaminan kesehatan apapun di daerah tersebut dikucurkan sebagai pembayaran untuk mengganti biaya terkait. Tanpa adanya staf layanan penting ini, kekurangan dalam pemberian layanan penting tersebut akan menghambat terwujudnya UHC dan tersedianya layanan kesehatan primer yang berkualitas. Kelima, untuk layanan-layanan penting yang dapat masuk dalam klaim, program asuransi/ jaminan kesehatan mensyaratkan dilakukannya verifikasi. Akan tetapi secara umum proses verifikasi ini kemungkinan tidak dapat berjalan baik akibat kurangnya tenaga khusus di bidang rekam medis, 131 David W. Dunlop, “Riskesdas Survey Results Regarding Income Group Disparities and Quality of Care Implications (Hasil Survei Riskesdas terkait Ketimpangan di Kalangan Kelompok Masyarakat dengan Pendapatan Berbeda dan Implikasinya pada Mutu Layanan Kesehatan), 2008”, ( Jakarta: AusAID Working Paper, 22 April 2009). Kekhawatiran tentang mutu layanan kesehatan sudah menjadi topik perhatian selama beberapa tahun. Lihat misalnya, Bank Dunia, Changes in the Supply and Quality of Health Services in Indonesia (1996 to 2007), A Health Work force study (Studi Tenaga Kesehatan terkait Perubahan dalam Ketersediaan dan Mutu Layanan Kesehatan di Indonesia (1996 – 2007), ( Jakarta: Bank Dunia, 26 Oktober 2009). Dari kumpulan data IFLS, mereka memperkirakan kualitas diagnosis mencapai sekitar 50% secara keseluruhan. 262 karena hanya sedikit sekali tenaga rekam medis yang tersedia Puskesmas. Mengingat sebagian besar Puskesmas kekurangan tenaga terlatih untuk keperluan ini, kegiatan layanan yang mengharuskan verifikasi menjadi tidak dilakukan, atau dilakukan oleh orang yang tidak dilatih untuk melakukan pekerjaan tersebut. Karena pemrosesan klaim merupakan aspek penting dalam jaminan kesehatan untuk memastikan tersedianya layanan yang berkualitas bagi peserta oleh penyedia pelayanan kesehatan (PPK), fungsi verifikasi layanan ini perlu didukung oleh staf secara lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan apa yang terjadi saat ini, khususnya karena lebih dari seperempat klaim awalnya ditolak karena buruknya verifikasi atas klaim tersebut. Keenam, staf utama di bidang kesehatan masyarakat, seperti misalnya tenaga promosi/ penyuluh kesehatan yang memiliki peran penting dalam meningkatkan pemeliharaan status kesehatan dalam jangka panjang pada pasien-pasien yang terkena penyakit tidak menular, tidak tersedia dalam jumlah yang memadai di sebagian besar Puskesmas. Saat ini hanya sedikit sekali tenaga kesehatan yang memiliki latar pendidikan khusus seperti ini bekerja di Indonesia, apabila dilihat pada kabupaten/ kota penyelenggara Jamkesda yang dijadikan sampel. Kader ini menjadi penting khususnya untuk meningkatkan pemberian layanan bagi warga yang terkena penyakit tidak menular yang jumlahnya kian meningkat. Terakhir, secara umum tampaknya staf di bagian administrasi/ tata usaha di sebagian besar Puskesmas di kabupaten/ kota sudah tersedia dalam jumlah yang memadai. Akan tetapi, ada 15 kabupaten/kota yang rata-rata hanya didukung oleh tidak lebih dari 2 orang staf bagian administrasi (TU), dan setidaknya 4 kabupaten/ kota secara rata-rata hanya memiliki kurang dari satu orang staf untuk melakukan tugas-tugas administratif. Indikator lain yang terkait dengan kekurangan dari sisi pasokan di tempat tertentu ialah seberapa jauh pihak pengasuransi kesehatan memiliki kontrak kerja sama dengan penyedia pelayanan kesehatan (PPK) di tempat tersebut. Tabel 7 memberikan gambaran tentang seberapa jauh penetrasi pasar oleh Jamkesda di 72 kabupaten/ kota. Dengan pengecualian pada Rumah Sakit Umum, sesungguhnya hampir tidak ada kelompok penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang terintegrasi baik dengan Jamkesda. Tabel 7: Proporsi Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) di Kabupaten/Kota Penyelenggara Jamkesda yang Dijadikan Sampel yang Memiliki Kontrak Kerja Sama dengan Jamkesda Jenis Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) Jumlah PPK yang Menerima Pembayaran Jamkesda di Kabupaten/Kota yang Dijadikan Sampel 1/ Jumlah PPK di Seluruh Kabupaten/Kota Penyelenggara Jamkesda yang DIjadikan Sampel 2 / Proporsi Kolom 2 terhadap Kolom 3. Indikator Penetrasi Pasar 1. Semua Rumah Sakit Umum/ Pemerintah 3/ 167 124 134,7 2. Semua Rumah Sakit Swasta 19 247 7,7 3. Puskesmas 64 1.326 4,8 4. Dokter keluarga/swasta 14 11.432 0,1 263 5. Bidan swasta 1 2.054 < 0,1 6. Apotek Swasta 1 3.916 < 0,1 7. Toko Obat Swasta 3 98 3,1 8. Laboratorium Klinis Swasta 2 566 0,4 9. Lainnya 4 81 4,9 10. Total 275 19.844 1,4 Catatan: 1. Angka ini sama dengan angka yang terdapat pada Tabel 5-4 Kolom 5. 2. Angka-angka ini berasal dari Tabel 1-5 pada Bab 1. 3. Termasuk rumah sakit rujukan. Masalah penetrasi pasar ini memang benar terjadi, khususnya untuk jenis pembayaran kapitasi, karena jenis penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang dibayar menggunakan sistem kapitasi ini hanyalah Puskesmas dan dokter keluarga/swasta. Jamkesda sudah memasuki segmen pasar ini (yaitu kedua jenis PPK tersebut) hingga 0,6 dari satu persen jumlah penyedia pelayanan kesehatan yang mungkin dibayar dengan cara tersebut. Meskipun data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa penetrasi pasar terkait rumah sakit umum sudah hampir paripurna, lebih dari separuh penyedia pelayanan kesehatan (PPK) tersebut dibayar menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (FFS) dan bukannya berdasarkan CBG. Temuan ini makin memperkuat kenyataan bahwa banyak fasilitas kesehatan terus dibayar menggunakan cara-cara yang tidak sejalan dengan apa yang telah digariskan dalam pedoman pada Peta Jalan (Road Map) untuk mencapai jaminan kesehatan semesta sampai dengan 2019. 5. Arah Ke Depan? A. Apa yang ada di Benak Dinas Kesehatan dan Pemda di tingkat Kabupaten/ Kota? Apa yang harus dilakukan dengan Jamkesda? Dalam studi yang dilakukan, ada dua pengambil keputusan penting yang diminta menjawab pertanyaan tersebut, yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota (Dinkes) dan Pemda (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Tingkat Daerah/ Bappeda). Kedua pihak ini dimintai pendapat terkait: a) seperti apa masa depan Jamkesda sesudah batas waktu pengintegrasian Jamkesda dengan BPJS, yaitu di akhir tahun 2016, dan b) apabila para responden menganggap Jamkesda perlu dilanjutkan, peran apa yang akan mereka ambil? Jawaban para responden atas pertanyaan pertama, yaitu apakah Jamkesda sebaiknya terus dilanjutkan, terbelah dua, yaitu separuh menyatakan ya ( Jamkesda harus dilanjutkan) dan separuh menyatakan tidak. Lebih banyak jawaban Pemda yang mengindikasikan bahwa Jamkesda sebaiknya ditutup (55% dibandingkan dengan 45%) 132/. Jawaban atas pertanyaan kedua mungkin juga tidak 132 Bab 10, Integrasi Jamkesda dengan JKN dan BPJS: Peluang, Tantangan, dan Hambatan, dalam Laporan Akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014). 264 kalah pentingnya, yaitu apa peran yang akan mereka mainkan sekiranya Jamkesda tidak ditutup? Jawaban yang paling banyak muncul atas pertanyaan ini ialah a) Jamkesda hendaknya terus berperan dalam menentukan kepesertaan di tingkat daerah (35%), diikuti dengan jawaban terbanyak berikutnya yaitu b) tanggung jawab pengawasan terkait urusan keuangan dan aturanaturan yang mempengaruhi Jamkesda (20%), dan c) sekitar 17% berpendapat bahwa Jamkesda dapat menjadi entitas kepanjangan tangan BPJS, yaitu menjadi perwakilan setempat atas nama BPJS di tingkat daerah. Sisa sepertiga jawaban lainnya berisi beraneka macam tanggapan. Dari telaah ini, tidak ada satu pandangan yang jelas tentang masa depan Jamkesda sebagai suatu entitas. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada kepastian dasar hukum untuk menutup Jamkesda. B. Evaluasi Pencapaian Program Tinjauan atas berbagai capaian Jamkesda telah diuraikan pada bagian 3, yang menunjukkan bahwa setidaknya terdapat dua peran penting bagi masa depan Jamkesda. Pertama, Jamkesda telah memobilisasi sumber daya baru dari tingkat provinsi untuk keperluan jaminan sosial di bidang kesehatan. Kedua, Jamkesda telah memperluas cakupan perlindungan hingga sebanyak 65 sampai dengan 70 juta peserta tambahan di Indonesia. Peserta tambahan ini utamanya adalah orangorang yang tidak tercakup program-program lain yang terbentuk sebelum 2014. Mereka tidak membayar iuran/premi secara langsung (kecuali melalui pajak yang mereka bayarkan dalam bentuk berbagai pungutan dan cukai). Ada kemungkinan besar bahwa apa yang dibayarkan oleh masyarakat miskin dalam bentuk berbagai jenis pajak atau cukai tersebut setidaknya setara dengan besarnya iuran/premi tahunan yang diusulkan dalam skema BPJS bagi masyarakat miskin, yaitu sekitar Rp240.000 per orang per tahun. Data Susenas 2012 menunjukkan bahwa melalui pembayaran dalam bentuk pajak, pungutan, dan cukai, masyarakat sesungguhnya mengeluarkan uang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan angka iuran/ premi tersebut. Data ini memunculkan pertanyaan terkait apakah pemerintah Indonesia pada saat ini seharusnya mencoba menarik iuran/premi resmi dari warga yang bekerja di sektor informal. Apabila jaminan kesehatan semesta memang menjadi prioritas utama bagi pemerintah Indonesia saat ini, penagihan iuran/premi hendaknya dikesampingkan dulu untuk sementara, dan biarkan masyarakat terbiasa memperoleh akses yang lebih luas pada layanan kesehatan, khususnya layanan rawat inap. Selain pajak produk tembakau - yang seharusnya mulai diterapkan sekarang, terjadinya pertumbuhan ekonomi lebih lanjut - yang akan dapat mendorong kenaikan seluruh tingkat pendapatan, nantinya akan mendorong penetapan pajak dan cukai yang menjadi sasaran lebih lanjut dan yang dapat diperkenalkan dalam waktu dua puluh tahun ke depan. Pendekatan ini memang sejalan dengan sejarah evolusi jaminan sosial di bidang kesehatan di Asia, yaitu ketika terjadi penurunan jumlah peserta pada negara-negara yang memperkenalkan bentuk pembayaran iuran/premi dalam program mereka yang tengah berjalan. Contoh yang paling perlu diingat di antaranya ialah Mongolia dan Korea Selatan 133/. 133 Lihat Aviva Ron, Dorjsuren Bayarsaikhan, dan Thunen Sein, Social Health insurance: Selected Case Studies From Asia and the Pacific ( Jaminan Sosial di Bidang Kesehatan: Studi Kasus Terpilih dari Asia-Pasifik) (Delhi dan Manila: WHO, 2005). Turut mengutip kajian tentang jaminan sosial di bidang kesehatan yang belum lama ini dirampungkan oleh Bank Dunia, 2013. 265 C. Pembiayaan-Bersama di Sektor Kesehatan Pada konteks Indonesia, sektor kesehatan merupakan urusan pemerintahan yang dialihkan ke pemerintah daerah melalui desentralisasi 134/. Mengingat situasi ini, apa cara terbaik bagi pemerintah Indonesia agar dapat mencapai tujuan sosial yang dianggap penting, seperti misalnya UHC? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan tinjauan seksama tentang seberapa jauh kontribusi tiap tingkatan pemerintahan pada pembiayaan di sektor kesehatan. Analisis ini menunjukkan kenyataan bahwa pemerintah pusat bukanlah pemain terdepan. Yang justru menjadi pemain yang jauh terdepan ialah pemerintah daerah (kabupaten/kota). Lihat Tabel 6 untuk mendapat informasi lebih lanjut tentang hal ini. Data dari Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari separuh pengeluaran publik untuk bidang kesehatan di tahun 2012 berasal dari belanja pemerintah kabupaten/kota. Belanja pemerintah pusat hanya mencapai kurang dari seperempat pengeluaran di bidang kesehatan, sedangkan sisanya berasal dari belanja pemerintah provinsi. Studi Jamkesda melakukan analisis untuk menentukan apa yang akan terjadi seandainya sistem ini menerapkan pembiayaan-bersama (co-financing) untuk meningkatkan jumlah belanja pemerintah secara keseluruhan di bidang kesehatan sekaligus untuk mendistribusikan kembali dana kepada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki belanja kesehatan per kapita yang paling rendah. Tabel 8: Jumlah dan Proporsi Belanja di Bidang Kesehatan berdasarkan Tingkatan Pemerintahan di Indonesia, 2012, dalam Triliun Rupiah. Perkiraan Jumlah Pengeluaran Proporsi dari Total Pengeluaran Belanja pemerintah pusat 18,1 24,4 Belanja pemerintah provinsi 14,2 19,1 Belanja pemerintah kabupaten/kota 41,9 56,5 Total 74,2 100,0 Sumber pengeluaran publik Catatan untuk Tabel 6. Data belanja pemerintah bersumber dari data APBD 2012 dari Kementerian Keuangan. Data tahun 2012 yang disajikan oleh Tim NHA (National Health Account - Neraca Kesehatan Nasional) Indonesia pada presentasi yang disampaikan di pertemuan NHA di Paris, April 2014, NHA, Indonesian National Health Accounts: Updates and Challenges (Data Terbaru dan Tantangan terkait Akun Biaya Kesehatan Nasional Indonesia), menunjukkan angka yang berbeda untuk pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota karena tim NHA mengalokasikan proporsi belanja pemerintah pusat pada kabupaten/kota atau provinsi tempat dana tersebut digunakan. Data Kementerian Keuangan tahun 2012 yang menunjukkan besarnya anggaran yang dibelanjakan oleh tiap kabupaten/kota di Indonesia digunakan sebagai titik awal untuk melalukan analisis ini 134 266 Lihat penjelasan awal tentang dasar hukum di sektor ini. 135 /. Untuk keperluan ilustrasi, dalam menyusun dua skenario yang telah dianalisis hingga saat ini, kabupaten/kota dikelompokkan ke dalam 5 kategori berdasarkan total APBD per kapita di tahun 2012. Lihat Tabel 9 untuk mendapat informasi lebih lanjut tentang kedua skenario ini. Tabel 9: Perbandingan Skenario Pembiayaan-Bersama untuk Meningkatkan Pembiayaan bagi Sistem Kesehatan di Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Skenario 1: Tingkat PembiayaanBersama 2/ Skenario 2: Tingkat PembiayaanBersama Jumlah Kabupaten/ Kota Kelompok 1: Belanja APBD/Kapita/Tahun < Rp 1 juta 1% K/K, 9% Pusat 1% K/K, 9% Pusat 29 Kelompok 2: Belanja APBD/ Kapita/Tahun antara Rp 1 juta & Rp 1,499 juta 1% K/K, 3% Pusat 1% K/K, 5% Pusat 79 Kelompok 3: Belanja APBD/ Kapita/Tahun antara Rp 1,5 juta & Rp 1,99 juta 1% K/K, 2% Pusat 1% K/K, 3% Pusat 68 1% K/K, 1% Pusat 282 Kelompok 1/ Kelompok 4: Belanja APBD/Kapita/Tahun >= Rp 2 juta, & <2SD (simpang baku) dari rata-rata mean untuk belanja sektor kesehatan dalam nominal Rupiah pada belanja APBD/ Kapita/Tahun Kelompok 5: >2SD (simpang baku) dari ratarata mean untuk belanja sektor kesehatan dalam nominal Rupiah pada belanja APBD/ Kapita/Tahun 1% K/K, 1,5% Pusat 1% K/K, 1% K/K, Tanpa Dana Pusat Tanpa Dana Pusat 28 Total 486 Tahun 2012 Catatan: 1. Pengelompokan didasarkan pada APBD per kapita dan belanja sektor kesehatan per kapita. 2. K/K = tingkat pembiayaan dari pemerintah kabupaten/kota, Pusat = tingkat pembiayaan dari pemerintah pusat. Jadi, untuk kelompok dengan tingkat pengeluaran terendah, tawaran pembiayaan-bersama dalam skenario dimaksud ialah, untuk setiap penambahan belanja kesehatan sebesar 1% di atas jumlah yang telah dibelanjakan pada tahun sebelumnya untuk: a) pertanggungan asuransi/ jaminan kesehatan setempat (layanan upaya kesehatan pribadi), atau b) program upaya kesehatan masyarakat yang berupaya mengatasi masalah-masalah kesehatan utama yang terkait dengan MDG ataupun penyakit tidak menular yang terus berkembang, maka pemerintah pusat akan menambahkan dana sebesar 9% pada total belanja mereka di bidang kesehatan. Kelompok dengan tingkat pengeluaran tertinggi dapat meningkatkan jumlah belanja mereka, namun tidak akan ada 135 Lihat Bab 9, Laporan Akhir PKEKK, Supporting Indonesia’s DJSN to Develop National Guidelines for Implementing a National Social Health Insurance Program by 2019 (Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019), (Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014). 267 dana tambahan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Tiga kelompok dengan tingkat pengeluaran menengah akan dapat memperoleh tambahan dana dari pemerintah pusat dalam jumlah yang berbeda-beda, tergantung pada angka awal APBD per kapita mereka. Lihat Tabel 9 untuk informasi lebih lanjut. PKEKK mengembangkan analisis dengan mencakup rentang waktu 5 tahun. Analisis tersebut menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan besar dalam total belanja di sektor layanan kesehatan dan khususnya dalam hal dukungan bagi jaminan sosial di bidang kesehatan dan pemberian layanan primer. Bila seluruh kabupaten/ kota memutuskan untuk mendapatkan dukungan keuangan dari pemerintah pusat pada tingkat maksimal sebagaimana dibayangkan dalam salah satu dari kedua skenario yang dikaji, rata-rata tingkat belanja kesehatan per kapita akan naik dari sekitar Rp320.000 per orang per tahun menjadi sekitar Rp750.000 per orang per tahun dalam waktu 5 tahun. Selain itu, proporsi belanja pemerintah pusat yang merupakan kontribusi publik bagi sektor kesehatan juga akan naik menjadi lebih dari 50% pada periode yang sama. Terakhir, indeks perbandingan antara pengeluaran tertinggi dan terendah secara teori akan turun dari 164:1 menjadi 15:1 dalam periode tersebut. Simpang baku (deviasi standar) dari sebaran total juga akan turun secara relatif terhadap rata-rata mean. Catatan-catatan terakhir ini menjabarkan opsi kebijakan yang menarik bagi pemerintah Indonesia untuk dapat dimasukkan pada periode perencanaan [pembangunan] untuk 5 tahun ke depan (2014-2019). Hal ini dapat menandai perubahan dalam pemikiran tentang bentuk dukungan pembiayaan. Model ini bukanlah model baru, karena model ini sudah digunakan dalam skema jaminan kesehatan di daerah perdesaan di Cina. Asuransi atau jaminan diselenggarakan di tingkat kabupaten/ kota, dan beberapa tingkatan pemerintahan turut berkontribusi membayarkan iuran/ premi. Petani kecil hanya membayar iuran dalam jumlah sangat kecil. D. Status Hukum Jamkesda Saat Ini di Tingkat Nasional Meskipun UU 40/2004 disahkan sebagai dasar pembentukan skema asuransi/jaminan kesehatan dengan badan pembayar tunggal untuk keseluruhan wilayah Indonesia, beberapa kabupaten/kota yang sebelum tahun 2004 telah menerapkan skema Jamkesda bagi seluruh atau sebagian penduduk mereka mengajukan keberatan atas UU ini. Mahkamah Konstitusi, melalui putusannya (atas Perkara No. 007/PUU-III/2005), menyatakan bahwa beberapa bagian dalam UU 40/2004 yang mengharuskan dibentuknya mekanisme badan penyelenggara/pembayar tunggal (single payer) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini didasarkan pada UU Pemerintahan Daerah tahun 1999 dan tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. UU Pemerintah Daerah (UU No. 32/2004) pada Pasal 167 Ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. UU tersebut kemudian diubah dengan UU No. 23/2014 yang menyatakan bahwa peran pemerintah daerah dalam perlindungan dan jaminan sosial ialah: a) menanggung orang yang tergolong miskin yang ditetapkan oleh daerah tersebut (status PBI) dan/ atau yang merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan b) pendataan dan pengelolaan data fakir miskin cakupan daerah tersebut (yang menjadi kekhawatiran banyak kabupaten/kota sebagaimana terungkap dalam survei ini terkait peran mereka dalam pengembangan JKN ke depan). Selain itu, UU No. 23/2014 tidak menyebutkan adanya perubahan fungsi pemerintah daerah dalam hal pembiayaan jaminan sosial daerah, sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya pada UU No. 32/2004. 268 Sokongan dana dari pemerintah daerah untuk menanggung warga yang oleh pemerintah daerah digolongkan sebagai orang miskin (warga dengan status PBI – Penerima Bantuan Iuran) akan terus diberikan dalam bentuk pembayaran iuran/premi tahunan. Hal ini dinyatakan dalam peraturan Kementerian Kesehatan (No.28/2014) yaitu bahwa “Iuran bagi peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah dibayarkan oleh pemerintah daerah dengan besaran iuran sama dengan besar iuran untuk peserta PBI yang telah ditetapkan oleh BPJS di tingkat nasional bagi masyarakat miskin sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah pusat.” Akan tetapi peraturan tersebut tidak menyatakan siapa yang akan menerima pembayaran iuran/ premi tersebut, yang bisa saja dibayarkan ke Jamkesda atau ke BPJS. Peraturan Kementerian Kesehatan No. 28/2014 juga memberikan kewenangan dan tanggung jawab pada pemerintah daerah (PEMDA) untuk menetapkan warga yang dianggap sebagai orang “miskin” di daerah (PBI daerah) atau yang dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, serta kewajiban pemda untuk menanggung asuransi kesehatan bagi mereka. Selain itu, Peraturan Presiden yang belum lama ini diterbitkan (Perpres 12/2013) memberikan kewenangan dan tanggung jawab bagi PEMDA untuk menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan warga miskin dan/atau PMKS. UU yang baru (UU 23/2014), sejalan dengan Perpres 12/2013 dan Permenkes 28/2014, mendukung dasar putusan MK tahun 2005 (Putusan atas Perkara No. 007/PUU-III/2005), yang menegaskan adanya pembagian urusan pemerintah (desentralisasi) di bidang kesehatan kepada pemerintah daerah sekaligus menyatakan bahwa bagian-bagian dalam UU No. 40/2004 tentang badan pembayar/penyelenggara tunggal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena tidak sejalan dengan ketentuan tentang pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang (UU No. 32/2004). UU tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tersebut disusun untuk mengatasi berbagai isu yang muncul pada UU pemerintahan daerah sebelumnya (UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999) yang mengatur peran dan tanggung jawab pemerintah daerah setelah terjadinya perubahan pemerintahan di Indonesia di akhir masa pemerintahan Soeharto136/. Meskipun sebagian orang berpendapat bahwa aturan tentang badan penyelenggara/pembayar tunggal (UU 24/2011) telah menyelesaikan isu desentralisasi di bidang jaminan kesehatan, tidak ada keterangan apapun dalam undang-undang tersebut yang menjelaskan tentang status hukum Jamkesda. Status Jamkesda sama sekali tidak disinggung dalam Undang-undang tersebut. Apakah perlu dibuat UU baru untuk membalikkan putusan MK tahun 2005? Mengingat komposisi anggota parlemen yang baru terpilih saat ini, dengan cukup besarnya jumlah kursi yang dikuasai oleh utusan daerah (anggota DPD) (132 dari 692 kursi, atau 19,1%) 137/ undang-undang semacam itu akan lebih sulit terwujud. Dengan penerapan skema pembiayaan-bersama dengan pemerintah pusat untuk bidang kesehatan ini (lihat bagian 5.B di atas), paket manfaat BPJS dengan segera akan menjangkau lebih dari 60 juta orang, dan dengan demikian meningkatkan tingkat cakupan nasional menjadi lebih dari 85%. Ini menjadi kemenangan bagi tim Jokowi. Peserta Jamkesda sendiri langsung menikmati peningkatan dari sisi manfaat dan perlindungan finansial. Bagi para pemimpin daerah di tingkat provinsi, manfaat baru semacam ini berarti adanya penerimaan politik yang lebih besar oleh konstituen 136 Lihat Bambang Brodjonegoro, “The Indonesian Decentralization After Law Revision: Toward a Better future?” (Desentralisasi di Indonesia Setelah Perubahan Undang-undang: Menuju Masa Depan yang Lebih Baik?) Dokumen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005. 137 Kompas, 8 Oktober 2014 hal.1. 269 mereka di daerah. Hal ini menjadi situasi yang sama-sama saling menguntungkan bagi ketiga pihak (win-win-win). Seiring dengan waktu, mungkin pemerintah pusat nantinya dapat memiliki posisi finansial yang lebih baik yang dapat mempengaruhi pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat akan dapat meyakinkan sebagian besar pemda bahwa pemerintah pusat sebenarnya bersedia bekerja sama dengan pemda demi mencapai tujuan yang sama. Sistem teknologi informasi yang digunakan hendaknya distandarkan agar sesuai dengan yang digunakan BPJS, untuk memastikan tidak terjadi duplikasi cakupan, yang berdasarkan studi Jamkesda jumlahnya mencapai sekitar 23%. Sistem pembayaran klaim juga dapat dibuat standar guna menelusuri akses dan pemanfaatan yang sepatutnya serta standar minimum dalam pemberian layanan berkualitas. Peraturan dapat memastikan terjadinya peningkatan rasio pembayaran klaim. Audit/ pemeriksaan mungkin diperlukan untuk mengkaji Jamkesda yang memakan biaya administrasi yang amat tinggi 138/. Bila memang dikehendaki oleh Jamkesda, maka dalam waktu 5-10 tahun, sistem Jamkesda yang terstandarisasi dapat kemudian digabungkan dengan basis data tunggal yang berlaku nasional untuk pembayaran klaim dan kualitas layanan. Jamkesda dapat dimanfaatkan untuk memberikan layanan-layanan penting terkait dengan pendaftaran, penyuluhan, kepuasan peserta, pemrosesan klaim, dan tim jaminan mutu di tingkat daerah. Bila Jamkesda tidak digabungkan (dengan JKN), maka Jamkesda – melalui sistem administrasi yang sudah dibuat standar – akan perlu menunjukkan bahwa akses dan layanan yang mereka berikan setidaknya setara dengan akses dan layanan yang diberikan melalui sistem BPJS. Bila tidak, BPJS akan menganggap Jamkesda sebagai program “perlindungan sosial daerah”, yang tidak memberikan manfaat yang sama dengan skema yang berlaku nasional. Informasi ketimpangan semacam ini dapat tersebar luas pada masyarakat di daerah. Kumpulan risiko (risk pools) Jamkesda yang lebih kecil umumnya akan menjadi penghalang bagi kesinambungan Jamkesda – apabila semua kondisi disamaratakan, biaya administrasi Jamkesda akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan BPJS. Terakhir, masyarakat di daerah-daerah yang tidak mengikuti aturan BPJS juga dapat diberi pemahaman bahwa seluruh peserta mendapat opsi “kesempatan sekali seumur hidup” untuk beralih dari Jamkesda ke BPJS tanpa dikenakan denda/ penalti berupa uang. Akan tetapi penerapan denda/ penalti tidak akan berdampak apapun dalam jangka pendek karena sebagian besar peserta Jamkesda saat ini tidak membayar iuran apapun. Sebagian pihak di Jakarta mempercayai bahwa pemerintah daerah akan bersedia melepaskan kendali mereka atas peluang dan sumber daya keuangan yang ada demi memberikan manfaat secara politik dalam bentuk layanan kesehatan. Namun harapan semacam itu bisa saja hanya menjadi impian semata. Alih-alih, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan mengambil langkah strategis dalam jangka waktu 5-10 tahun agar semua orang mendapat manfaat dan perlindungan finansial yang memenuhi standar minimal. Pada titik itulah Jamkesda akan perlu menunjukkan kinerjanya, atau tutup. Dengan adanya pembiayaan-bersama, Kementerian Keuangan dapat menghemat dana karena pemerintah provinsi dan kabupaten/kota membayar sebagian iuran atau biaya manfaat kesehatan peserta. Presiden Jokowi dapat meningkatkan cakupan. Provinsi dapat tetap menjalankan programnya. Skema di tingkat daerah ini menjadi laboratorium kecil tempat menguji berbagai potensi inovasi. Akan tetapi bila kinerja mereka tidak memenuhi standar, pemerintah pusat akan mema- 138 270 Studi Jamkesda menemukan bahwa lebih dari 90% Jamkesda menjalani audit/pemeriksaan keuangan tahunan. sukkan skema ini di bawah skema BPJS, atau nantinya Jamkesda akan mengemban peran baru sebagai kantor perwakilan daerah BPJS. Yang menjadi pihak yang diutamakan kepentingannya di sini ialah masyarakat. Menutup Jamkesda bisa menjadi hal yang amat mengganggu dan menakutkan bagi warga setempat. Dan tanpa adanya manfaat secara politik yang signifikan dari pemerintah pusat, para pimpinan di daerah mungkin akan menentang penutupan Jamkesda dalam beberapa tahun ke depan. 271 NOTA #29 KEBIJAKAN Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Sektor Kesehatan? Kapan?139 Menteri Kesehatan, Nila Moeloek baru baru ini menyerukan perlunya Kemitraan Pemerintah Swasta di sektor Kesehatan. Hal ini sudah lama tertunda. Sektor swasta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Namun, belum ada kebijakan yang jelas mengenai peran sektor swasta dalam kesehatan. Memang, sedikit sekali yang diketahui mengenai peran swasta tersebut. Sementara sektor swasta mengelami perkembangan pesat di sisi penyediaan (supply side), pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta tidak ada atau terbatas sekali, dan tidak banyak informasi mengenai jumlah, distribusi, ruang lingkup dan kualitas layanan sektor swasta. Kementerian Kesehatan relatif ‘buta’ terhadap informasi sektor swasta, hingga pada awal 2014 ketika Presiden meminta untuk mengontrak lebih banyak sektor swasta dalam JKN. Sabagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1, ini merupakan jenis Kemitraan Pemerintah- Swasta (KPS) yang pertama. Sektor swasta dapat menjadi salah satu pilihan untuk menyediakan sistem pelayanan yang lebih cepat dan lebih responsif bagi negara. Pemerintah harus segera mengupayakan cara untuk mempromosikan sistem pelayanan publik/ pemerintah dan swasta yang harmonis. Dengan mempertimbangkan kasus-kasus korupsi masa lalu, Pemerintah harus mengkaji cara untuk fokus pada pembiayaan di sisi permintaan (demand side), dan mendorong sektor swasta dan nirlaba untuk mengembangkan sisi persediannya (supply side). Salah satu pilihan radikal adalah dengan menghentikan atau membekukan alokasi modal untuk faskes-faskes baru milik pemerintah hingga rencana induk untuk pengelolaan sisi persediaan selesai dikembangkan. 139 Policy Note ini ditulis oleh Jack Langenbrunner dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). Untuk mengakses policy notes terkait lainnya silahkan mengunjungi www.aiphss.org 273 Gambar 1: Dua jenis Kemitraan Pemerintah Swasta Source: April Harding, World Bank, 2012140 Secara global, ada beberapa pengaturan kemitraan pemerintah-swasta dimana pemerintah menyediakan kredit pajak, subsidi, dan bahkan menunjuk ‘mitra’ swasta untuk membiayai pembangunan fasilitas kesehatan - dan terkadang mengoperasikannya. Pengaturan tersebut dapat berupa inisiatif keuangan swasta (private finance initiative/ PFI) yang pernah populer di beberapa negara kaya seperti di Inggris lebih dari satu dekade yang lalu, yang mana dengan pengaturan tersebut, perusahaan swasta membiayai dan membangun rumah sakit untuk sektor publik. Sektor swasta membangun dan mengoperasikan rumah sakit pemerintah dengan mempekerjakan stafnya sendiri untuk jangka waktu panjang. Dalam kebanyakan pengaturan, pemerintah selalu menjadi pihak pemilik rumah sakit dan pengaturan kontrak diupayakan untuk memastikan adanya akses ‘biaya netral’ bagi pasien publik dan bagi pengeluaran rutin pemerintah. Pemerintah menggunakan PFI untuk menggalang dana ‘off budget’ yaitu, dari neraca keuangan publik dan tidak menunjukkannya dalam persyaratan pinjaman sektor publik. Konsumen semakin menginginkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan minat dan persepsi mereka. Tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara-negara berpendapatan menengah (Brazil, Chili, Meksiko, Afrika Selatan, Thailand) dan bahkan negara-negara berpenghasilan rendah (Ghana, Rwanda, Kyrgyzstan) ketika berupaya untuk menerapkan pendekatan dan skema cakupan 140 274 Private Sector Flagship Course, Hong Kong, 2012. kesehatan semesta, yang bertujuan untuk memberikan layanan berkualitas kepada (idealnya) seluruh penduduk. Dalam hal peran sektor swasta, banyak diskusi mengenai “Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS)” berasal dari pengalaman di negara-negara Eropa dan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya (AS, Kanada, Australia, dan lain-lain). Singkatnya, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengubah kontrak yang biasanya “Rancang, Bangun, Danai dan Jalankan” menjadi proyek investasi jangka panjang. Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) adalah model bisnis yang dapat direplikasikan dan diukur dan suatu hubungan berbagi risiko jangka panjang (misalnya, 25-30 tahun) antara pemerintah dan swasta, dengan tujuan memberikan hasil kebijakan publik dalam bentuk layanan yang diharapkan dalam kendali mitra sektor publik/ pemerintah secara keseluruhan; serta menghasilkan keuntungan bagi mitra sektor swasta Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) mengubah kepemilikan (tradisional) atas aset menjadi pembelian jasa - pemerintah tidak lagi memiliki rumah sakit tetapi membeli akses secara berkelanjutan ke berbagai rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Hal ini berarti adanya perubahan dalam memutuskan di lingkungan pengembangan proyek dari spesifikasi input (klien negara menetapkan ukuran fasilitas yang akan dibangun dan bagaimana fasilitas itu dikelola) ke basis output (jaminan akses ke aliran layanan tertentu dengan kualitas tertentu, dengan cara apapun yang dipilih mitra kontraktor swasta untuk menyelenggarakan layanan tersebut). Pengalaman internasional dalam hal KPS dalam pelayanan kesehatan menurut Antonio Duran dari European Observatory,141 dapat dikategorikan dengan cara berikut: 1. Pengadaan “Accommodation-only” Dengan KPS cara ini, dan mungkin yang paling umum di seluruh dunia (dan efektif, sewa dikelola), mitra swasta menyediakan bangunan-dan mungkin peralatan-berikut pemeliharaanya selama masa kontrak. Semua ketentuan medis tetap di tangan negara. Inggris misalnya telah membangun lebih dari 100 unit rumah sakit dengan cara ini menggunakan apa yang disebut Inisiatif Keuangan Swasta (private finance initiative/ PFI). Dalam beberapa kasus, perusahaan inkorporasi sektor publik menjalankan usaha real estate, dan mengoperasikan ruang layanan untuk organisasi rumah sakit sektor publik/ pemerintah; 2. “Twin-Special Purpose Vehicles”. adalah penyediaan property/ area jenis PFI melalui satu kontraktor swasta yang gabungkan (twinned) dengan satu perusahaan layanan medis swasta terpisah, yang bertanggung jawab atas semua layanan klinis dan peralatan medis; 3. “Clinic/ Hospital Full-Service Franchise”. Kebanyakan rumah sakit di negara-negara Eropa - bukan di AS - dimiliki, dikembangkan dan dikelola oleh negara. Kadang-kadang ada rumah sakit nirlaba (misalnya gereja) dalam sistem tersebut. Hal yang baru adalah kelompok klinik dan perusahaan rumah sakit swasta, komersial, dan berorientasi keuntungan masuk ke pasar yang pada dasarnya dikontrak 100% untuk organisasi asuransi kesehatan sosial atau dana publik lainnya. Rumah sakit swasta kemudian menyesuaikan sistem perencanaan rumah sakit dan klinik sektor publik (yaitu, harus menyediakan layanan yang sebanding), dan tidak boleh melakukan praktik “cream-skim” (menerima pasien semata-mata karena kemampuan membayar pasien) terhadap pasien yang diterimanya, memperoleh pendapatan atas dasar yang sama dengan rumah sakit pemerintah (melalui CBGs yang dipublikasikan atau tarif lainnya). Perusahaan komersial yang bersangkutan mempunyai kebebasan operasional yang cukup lengkap 141 Readers may go to the European Health Observatory website for a deeper discussion by Duran and others. 275 untuk proses klilnis dan proses lainnya, terlepas dari apakah perusahaan tersebut membutuhkan dana modal publik untuk konstruksi atau tidak; 4. “Regional Healthcare Franchise”. Ini merupakan perluasan dari ke 3 cara di atas, dengan perusahaan swasta yang memiliki konsesi untuk penyediaan pelayanan kesehatan dasar maupun rumah sakit – Pelayanan bekesinambungan secara penuh (full continuum of care). Ada pengalaman berharga di Spanyol dengan model ini. Sistem pembayarannya adalah “kapitasi”, yang diukur terhadap pembanding sektor publik dan dengan perlindungan untuk pilihan pasien. Pemegang hak konsesi tidak dapat memilih pasien yang akan diterima pada setiap tingkatan sistem, tetapi dapat memberi insentif pasien untuk dikelola pada tingkat layanan kesehatan yang paling efisien (perawatan dasar biasanya lebih murah bagi perusahaan daripada memasukkan pasien ke rumah sakit) Informasi lebih lanjut mengenai model Kemitraan Pemerintah Swasta dapat diperoleh di makalahmakalah Bappanas yang didanai DFAT tahun 2014 untuk rencana lima tahun kedepan. Pembaca yang berminat dapat merujuk ke makalah-makalah ini. Sebagian besar keberhasilan modernisasi intervensi tergantung pada kemampuan untuk berinovasi dalam melayani kebutuhan kesehatan, juga tergantung pada integrasi desain dan tata letak fisik pusat-pusat kesehatan. Setiap penggunaan mekanisme inovatif di Indonesia perlu diatur sesuai konteks negara. Sistem kesehatan Indonesia pada dasarnya sudah merupakan gabungan (yaitu, memiliki sektor kesehatan swasta yang terorgansiasi secara mandiri). Sehingga, penerapan mekanisme KPS merupakan keuntungan di Indonesia. Sebaliknya, konteks tata kelola publik yang agak lemah saat ini dapat menjadi lebih problematis ketika lembaga-lembaga selain sektor publik memberikan pelayanan kepada masyarakat (dengan kemungkinan melepaskan diri dari kewajiban negara jika dengan struktur pelayanan publik saat ini dialihkan ke sektor swasta). Untuk alasan ini, maka penerapan mekanisme KPS di Indonesia akan memerlukan unsur-unsur penyeimbang regulasi, monitoring dan pengawasan yang harus dirancang dengan seksama. Walaupun demikian, pimpinan kesehatan di Indonesia dapat mempertimbangkan ujicoba dan memulai serta: • • • • • Mengidentifikasi wilayah geografis tempat ujicoba mungkin dapat diselenggarakan; Menjajaki cara yang akan dikembangkan untuk penyelenggaraan layanan kesehatan yang lebih disukai; Memilih skema tata kelola dan manajemen yang lebih disukai untuk melakukan ujicoba; menetapkan jangka waktu dan kondisi pengalaman ujicoba akan diselenggarakan; Menyampaikan isu-isu relevan lain yang mungkin untuk dibahas Akhirnya, sistem kesehatan di Indonesia dan aparat pelayanan tetap akan sangat rentan terhadap semua jenis bencana alam, mengingat letak Indonesia yang berada di “Ring of Fire” pasifik dan sebagai akibat dari perubahan iklim yang meningkat baik frekuensi maupun intensitas bencana alam. 276 Langkah selanjutnya Kementerian Kesehatan dan Bappenas dapat mengadakan global call for proposal untuk KPS. Pemerintah harus menjelaskan kriteria dan tujuan, wilayah geografis, kerangka waktu dan tanggal jatuh tempo. Setelah proposal diterima, mintalah panel ahli memilih proposal yang terbaik, dan undang lah mereka yang mengajukan proposal untuk menjelaskan ide-ide mereka dihadapan panel ahli pemerintah dalam sebuah acara simposium 2-3 hari. Ini akan menjadi awal dari dialog dan ujicoba KPS di Indonesia. Setelah disepakati dan dimulai, ujicoba harus dipantau dengan seksama, dievaluasi dan kemudian diperbaiki. 277 Implementing Service Provider (ISP) Office Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H Implementing Service Provider (ISP)– Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9 Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950 Website: www.aiphss.org Kumpulan Nota Kebijakan Kumpulan Nota Kebijakan Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2 Jakarta Selatan, INDONESIA 12950 Telp +62 21 526 1289 Fax + 62 21 368 20064 Email: [email protected] PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA Kontak kami: PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPAN KESEHATAN SEMESTA Didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Government Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Department of Foreign Affairs and Trade Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Aid Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Australian Aid Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening Australian AID