PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK INDONESIA DISERTAI PENURUNAN LPP (Diterjemahkan dari Salim, E dkk 2015, Population Dynamics and Sustainable Development in Indonesia, UNFPA Indonesia, Jakarta) Indonesia akan menghadapi tiga tren mega demografi jelang tahun 2030. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang besar akan terus meningkat meskipun dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang rendah, sejalan dengan pesatnya arus urbanisasi. Kedua, keuntungan demografi telah terjadi sejak akhir tahun 1980an dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 sehingga menghasilkan bonus demografi, sebelum persentase penduduk usia kerja kemudian menurun. Terakhir, Indonesia akan mengalami pergeseran situasi dari mobilitas penduduk permanen menjadi mobilitas penduduk non-permanen. Ketiga tren demografi ini akan besar pengaruhnya terhadap kemampuan Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030. JUMLAH PENDUDUK ANTARA TAHUN 2015 DAN 2030 1. Tren Nasional: Peningkatan Jumlah Penduduk Disertai LPP yang Menurun Saat ini, jumlah penduduk Indonesia telah meningkat dari 119 juta pada tahun 1971 menjadi 237,6 juta di tahun 2010. Pada tahun 2015, penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 255,5 juta jiwa. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menduduki posisi keempat negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, dan posisi pertama di Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia akan semakin besar dan mencapai 296,4 juta jiwa pada tahun 2030. Dengan kata lain, akan ada tambahan 40,9 juta penduduk Indonesia antara tahun 2015 dan 2030. Tambahan jumlah penduduk ini lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia dan Brunei yang totalnya hanya sebanyak 31 juta jiwa di tahun 2015. Berdasar tren di masa lalu dan kemampuan pemerintah untuk menurunkan angka kelahiran dan kematian bayi, pemerintah meyakini asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai replacement level dengan NRR sama dengan 1 dan TFR 2,1 anak per Wanita Usia Subur (WUS) pada tahun 2025 (BPS, Bappenas dan UNFPA 2013). 1 Gambar 1. Penduduk Indonesia dengan Skenario Berbeda: 2010-2030 Apapun skenarionya, penduduk Indonesia akan terus meningkat karena meningkatnya jumlah WUS (usia 15-49 tahun). Diperkirakan ada lebih kurang 75,1 juta WUS, atau ada peningkatan sekitar 10 juta WUS dari tahun 2010. Oleh karena itu, meskipun setiap WUS hanya memiliki dua atau tiga orang anak hingga tahun 2030, banyaknya jumlah WUS sebagai akibat dari tingginya kelahiran di masa lalu, menyebabkan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan. Kondisi ini disebut momentum demografi. Besarnya jumlah anak menyebabkan tingginya permintaan terhadap kebutuhan dasar seperti energi, makanan, dan air bersih. Kabar baiknya adalah bahwa meskipun jumlah penduduk terus bertambah, Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) diharapkan mengalami penurunan dari 1,37 persen per tahun pada 2010-2015 menjadi hanya 0,8 persen per tahun pada rentang tahun 2025-2030 (Tabel 1). Penurunan LPP ini akan memepermudah pembangunan berkelanjutan melalui beberapa mekanisme. 2 Tabel 1. Jumlah Penduduk dan LPP Indonesia 2010-2030 2. Distribusi Provinsi Pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan dari rezime Orde Baru menjadi era reformasi. Kemudian pada tahun 1999, Indonesia menerapkan kebijakan otonomi daerah yang mengakibatkan terbentuknya provinsi, kabupaten, dan kecamatan baru. Provinsi Timor Timur memisahkan diri pada tahun 1999 dan menjadi negara merdeka dengan nama Republik Timor Leste. Sementara itu, provinsi lain mengalami pemekaran wilayah seperti Provinsi Maluku yang terbagi menjadi dua provinsi, Maluku dan Maluku Utara, setelah terjadinya konflik antaragama Islam dan Kristen pada bulan Agustus 1999. Di tahun 2000, terbentuk Provinsi Bangka Belitung, Banten, dan Gorontalo. Bangka Belitung awalnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Provinsi Gorontalo dulunya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Antara tahun 2000 dan 2010, tiga provinsi lain juga dibentuk dengan nama Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Kepulauan Riau. Kepulauan Riau merupakan hasil pemekaran Provinsi Riau yang terjadi pada tahun 2002. Irian Jaya Barat dibentuk sebagai pemekaran wilayah Papua pada tahun 2003, dan kemudian diganti namanya menjadi Papua Barat pada tahun 2007. Sulawesi Barat yang merupakan pemekaran wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 2004. Hingga Sensus Penduduk 3 (SP) terakhir yang dilaksanakan tahun 2010, Indonesia memiliki 33 provinsi. Lalu pada tahun 2012, terbentuklah provinsi termuda yaitu Kalimantan Utara sebagai pemekaran wilayah Kalimantan Timur. Kalimantan Utara terdiri dari satu kota dan 4 kabupaten, yakni: Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Oleh karena itu, Proyeksi kependudukan tahun 2000-2030 baru dapat dibuat untuk 33 provinsi yang sudah ada pada saat SP2010 seperti tampak pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah dan Proyeksi Penduduk Provinsi Tahun 2000-2030 4 Proyeksi pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbesar pada tahun 2015 ada di Jawa Barat, sejumlah 46,7 juta jiwa. Dan Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta jiwa menjadi provinsi yang paling sedikit penduduknya. Dengan kata lain, distribusi penduduk tidak merata antarprovinsi. Kesenjangan jumlah penduduk ini akan tetap terjadi hingga tahun 2030. Keberagaman dalam hal jumlah penduduk dan praktek budaya antarprovinsi menyebabkan keberagaman dalam hal produksi dan konsumsi. Hal ini menyebabkan beragamnya tantangan dan peluang yang dihadapi setiap provinsi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Misalnya tingginya mobilitas antarprovinsi menyebabkan perubahan komposisi etnis yang harus diantisipasi dan peluang terjadinya konflik etnis harus diminimalisir. Keanekaragaman etnis harus diperlakukan sebagai aset pembangunan berkelanjutan. Pada pergantian abad kedua puluh satu, lima kelompok etnis terbesar di Indonesia, sebanyak 201,2 juta jiwa, terdiri dari suku: Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Madura (Ananta, Arifin & Bakhtiar 2008). Pada tahun 2010, urutan suku terbanyak masih sama dengan tahun 2000 (Ananta dkk, 2013). Proyeksi pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa Pulau Jawa akan bertambah padat penduduknya sementara luas wilayahnya tetap. Meskipun nantinya terjadi reklamasi di Pulau Jawa, tidak ada jaminan bahwa area pemukiman akan bertambah karena hal ini tergantung pada alokasi tanah. Sumatera adalah pulau kedua berpenduduk terbanyak. Jumlah penduduk Pulau Jawa dan Sumatera merupakan tiga per empat bagian dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia hanya dihuni oleh 5,49 persen penduduk pada tahun 2010. Pulau Sulawesi, meskipun lebih kecil dari Kalimantan, dihuni oleh 7,22 persen penduduk di tahun yang sama. 3. Tren Kelahiran dan Kematian a. Kelahiran, Penggunaan Kontrasepsi, dan Unmet Need Kontrasepsi Kebijakan kependudukan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan perubahan politik. Rezim Orde Lama menerapkan kebijakan pro-natalis, mendorong masyarakat untuk memiliki banyak anak, sebagaimana dinyatakan secara meyakinkan oleh Presiden Soekarno bahwa Indonesia dapat mendukung 5 250 juta penduduk. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia melebihi 250 juta dan terus mengalami kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang lebih baik. Orde Baru menerapkan kebijakan kependudukan yang berkebalikan dari kebijakan Orde Lama, yaitu anti-natalis. Kebijakan anti-natalis ini dilakukan setelah melihat bahwa jumlah penduduk yang terlalu besar sehingga diluar kendali akan menghambat pembangunan. Akibat dari penerapan kebijakan anti-natalis ini adalah perlambatan pencapaian jumlah penduduk 250 juta jiwa, sehingga kualitas anak yang dilahirkan dan kesejahteraan orangtua meningkat. Lebih jauh lagi, tanpa adanya Program Keluarga Berencana (KB) yang didukung oleh Orde Baru, Indonesia tidak akan tumbuh menjadi negara yang kuat seperti saat ini. Program KB berhasil menurunkan angka kelahiran total dari lima sampai enam anak per wanita pada akhir tahun 1970-an menjadi 2,3 anak pada tahun 1996-1999. Keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kelahiran tidak lepas dari beberapa faktor dan kebijakan. Pertama, kampanye Program KB yang sangat gencar untuk mendidik masyarakat mengenai cara merencanakan jumlah anak dan mengatur jarak kelahiran. Kampanye ini mengubah persepsi pasangan suami istri sehingga mendorong mereka untuk memiliki jumlah anak yang lebih sedikit (Adioetomo, Burhan & Yunus, 2009). Selain memberikan penyuluhan, Program KB juga menyediakan metode kontrasepsi yang murah, aman, dan efektif. Kunci sukses Program KB adalah adanya komitmen politik yang kuat dan birokrasi terpusat didukung dengan dana yang mencukupi. Tokoh agama dan tokoh masyarakat juga memberikan dukungan terhadap Program KB. Kebijakan pembangunan sosial ekonomi lainnya yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan, meningkatkan ketersediaan pangan dan kesempatan kerja, turut berkontribusi terhadap keberhasilan penurunan angka kelahiran di Indonesia. Pada era reformasi, pasca 1998, dukungan pemerintah pada Program KB melemah dan berdampak pada meningkatnya angka kelahiran menjadi 2,4 pada SP2010. Menariknya, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/3, 2007, dan 2012 memberikan gambaran yang berbeda dimana angka kelahiran stabil di angka 2,6. Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak pasangan suami istri yang menginternalisasi nilai keluarga kecil dengan slogan “Dua Anak Cukup, Laki Perempuan Sama Saja”. Secara keseluruhan, tingkat kelahiran di Indonesia mengalami penurunan secara lambat dalam beberapa 6 dekade ke depan, dan proyeksi terakhir memperlihatkan bahwa Indonesia akan mencapai replacement level antara tahun 2025 dan 2030 (Bappenas, BPS & UNFPA 2013). Tabel 3. TFR Provinsi di Indonesia 2010-2030 7 Pada tingkat provinsi, angka kelahiran di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali telah berada di bawah replacement level selama dua dekade terakhir. Baru-baru ini, Jawa Tengah telah mencapai replacement level. Pada tahun 2025-2030 akan ada delapan provinsi yang memiliki Net Reproduction Rate (NRR) dibawah satu, yaitu: Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, Banten, Jambi, dan Sulawesi Utara. Dimasa mendatang, semua provinsi ini akan menyerupai karakteristik penduduk negara maju. Yang harus ditekankan disini adalah bahwa konsep replacement level tingkat kelahiran bersifat netral, tidak baik ataupun buruk, dan tidak ada keharusan untuk dicapai atau tidak. Replacement level kelahiran hanyalah jumlah penduduk absolut yang diperlukan agar jumlah penduduk suatu negara stabil (tidak bertambah atau berkurang) dengan asumsi bahwa tingkat kelahiran dan kematian di negara tersebut tetap untuk jangka lama (empat puluh atau lima puluh tahun). Dengan kata lain, mencapai replacement level kelahiran tidak serta merta baik, dan tidak harus dijadikan target tunggal di bidang kependudukan dan kebijakan pembangunan. Dalam dekade terakhir, Total Fertility Rate (TFR, angka kelahiran) Indonesia stagnan sehingga meningkatkan LPP dari 1,34 (2000-2005) menjadi 1,49 (20052010). Komponen yang berperan penting terhadap TFR adalah tingkat penggunaan kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate, CPR) dan kebutuhan akan alat kontrasepsi yang tidak terpenuhi (unmet need). Selama dekade terakhir, pemakaian kontrasepsi stagnan sebesar 57 persen dari Pasangan Usia Subur (PUS), sementara unmet need tetap tinggi sebesar 11 persen. Tingginya persentase unmet need kontrasepsi menunjukkan tingginya permintaan terhadap alat/obat kontrasepsi, namun akses terhadap pelayanan kontrasepsi rendah, atau kualitas pelayanan kontrasepsi perlu ditingkatkan. Perlu dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk mengurangi unmet need dengan memperluas akses pelayanan KB, meningkatkan kualitas pelayanan, dan mempromosikan manfaat keluarga kecil. Upaya-upaya ini akan membantu menurunkan angka kelahiran yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kemiskinan. b. Kematian dan Usia Harapan Hidup saat Lahir Kematian pada usia dini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan seperti polusi udara, air yang tidak bersih, dan kurang gizi. Pada tahun 2010-215, Angka 8 Kematian Bayi (AKB) di Indonesia relatif rendah dengan 28 kematian per 1000 kelahiran hidup. Dalam 15 tahun kedepan, AKB diproyeksikan terus menurun secara lamban dari 25 kematian per 1000 kelahiran hidup pada rentang tahun 2015-2020 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup dalam kurun tahun 2025-2030. Diperlukan adanya kebijakan yang dapat mempercepat penurunan AKB di Indonesia. Kemajuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi selama empat dekade terakhir telah menyebabkan transisi epidemiologi dari soft rock menjadi hard rock. Soft rock diindikasikan dengan AKB diatas 100 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan hard rock ditandai dengan AKB dibawah 30. Fase antara AKB 30 dan 100 disebut intermediate rock. AKB di Indonesia turun dai 145 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1967 menjadi 109 per 1000 kelahiran hidup di tahun 1976 dan terus menurun menjadi 71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986 sehingga mencapai intermediate rock. Hasil SP 2010 menunjukkan Indonesia berada dalam hard rock dengan AKB sebesar 26 per 1000 kelahiran hidup (BPS 2011). Tren yang menurun ini sejalan dengan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). SDKI 1991 melaporkan adanya 68 dari setiap 1000 bayi yang meninggal sebelum berusia satu tahun dan jumlahnya menurun menjadi 57 per 1000 kelahiran hidup di tahun 1994, dan akhirnya menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1997. Sejak tahun 2002/3, AKB menurun sangat lamban (atau hampir stabil) dengan 35 kematian per 1000 kelahiran hidup pada SDKI 2002/3, 34 kematian per 1000 kelahiran hidup tahun 2007, dan akhirnya 32 kematian per 1000 kelahiran hidup di tahun 2012. Lebih lanjut, dalam SDKI 2012, AKB dibagi kedalam dua komponen. Pertama, 60 persen dari kematian bayi pada tahun 2012 terjadi pada usia 0 bulan sehingga disebut kematian neonatal, sebanyak 19 kematian per 1000 kelahiran hidup. Kedua, 40 persen kematian bayi di tahun itu terjadi pada usia 1 hingga 11 bulan dan disebut kematian post-neonatal, sebanyak 13 kematian per 1000 kelahiran hidup, sementara kematian anak usia 1 hingga kurang dari 5 tahun berjumlah 9 kematian per 1000 kelahiran hidup. Dengan kata lain, total angka kematian balita adalah 41 kematian per 1000 kelahiran hidup. Penurunan AKB (kematian post-neonatal) dan Angka Kematian Balita (AKBA) yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mengurangi penyakit menular diantara anak-anak. Kematian neonatal terutama 9 disebabkan oleh faktor endogen yang terjadi selama perkembangan janin dalam rahim. Tabel 4. AKB Provinsi di Indonesia 2010-2030 10 Variasi AKB di setiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 4. Perbedaan AKB di berbagai provinsi di Indonesia tidak lepas dari perbedaan kondisi sosial ekonomi, seperti perbedaan daerah perkotaan dan pedesaan, tingkat pendidikan, dan penghasilan rumah tangga. AKB dan AKBA lebih tinggi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan. Oleh karena itu, peningkatan urbanisasi di masa mendatang diharapkan dapat menurunkan tingkat kematian. Tingkat pendidikan juga memiliki dampak positif dalam penurunan kematian. AKB yang tertinggi terjadi pada bayi yang ibunya tidak berpendidikan (66 kematian bayi per 1000 kelahiran pada tahun 2012); sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi hanya terjadi 22 kematian bayi per 1000 kelahiran di tahun yang sama. Penghasilan juga mempengaruhi kematian. Rumah tangga dengan penghasilan terendah mengalami AKB tertinggi. Penurunan angka kematian berdampak pada peningkatan usia harapan hidup saat lahir. Apapun jenis kelaminnya, usia harapan hidup saat lahir berbeda antar provinsi. Yogyakarta memiliki usia harapan hidup saat lahir yang tertinggi, sementara Papua yang terendah pada tahun 2025-2030. Dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, kematian lebih merupakan dampak ketimbang penyebab dari lingkungan yang tidak sehat. Peningkatan angka kematian, khususnya pada ibu dan bayi, merupakan akibat dari faktor lingkungan seperti polusi dan perubahan iklim, sanitasi yang buruk, dan kurangnya air bersih untuk minum. 4. Urbanisasi Indonesia mengalami perubahan besar-besaran dari masyarakat pedesaan menjadi perkotaan dalam beberapa dekade terakhir. Tabel 5 memperlihatkan tingkat urbanisasi di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 2010-2030. Pada tahun 2010, lebih dari setengah penduduk enam provinsi di Indonesia (Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Bali, dan Kalimantan Timur) tinggal di daerah perkotaan. Jawa Timur, Bangka Belitung, dan Sumatera Utara akan mengalami kondisi yang sama pada tahun 2015. Jawa Tengah dan Sulawesi Utara akan memiliki tingkat urbanisasi diatas 50 persen pada tahun 2020. 11 Artinya, pada tahun 2020, seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa akan memiliki tingkat urbanisasi lebih dari 50 persen. Dengan demikian, perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan akan semakin menipis dikarenakan meningkatnya hubungan diantara kedua daerah tersebut. Perkembangan infrastruktur membentuk sabuk perkotaan yang menghubungkan kota-kota di Jawa dan membentuk Mega Urbanisasi (Firman 2008). Di tahun 2030, penduduk di 17 dari 33 provinsi akan tinggal di daerah perkotaan. Kota-kota intermediate di pulau lain memiliki LPP yang relatif tinggi dibanding kota-kota di Pulau Jawa. Kota-kota intermediate di pulau lain ini memegang peranan yang lebih penting dalam pembangunan sosial ekonomi daripada kota-kota di Pulau Jawa. Kebijakan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan secara terdesentralisasi diharapkan mampu mendorong perkembangan daerah perkotaan di kota-kota diluar Pulau Jawa. Jones (2013) mengamati bahwa perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin berkurang akibat pembangunan dramatis dalam bidang transportasi dan komunikasi di daerah pedesaan. Daerah pedesaan tidak lagi terpencil secara geografis karena semakin banyak masyarakat pedesaan yang memiliki kendaraan yang memudahkan bepergian ke tempat lain. Akses dan ketersediaan informasi lebih baik karena adanya telepon seluler dan satelit. Proses urbanisasi menimbulkan masalah lingkungan. Daerah perkotaan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dan sangat tergantung pada minyak bumi. Urbanisasi dapat mengakibatkan perubahan iklim. Ketahanan pangan dapat terancam apabila lahan pertanian dan perkebunan alih fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri. Singkatnya, urbanisasi dapat menjadi tantangan utama di Indonesia, meskipun ia juga menawarkan kesempatan yang baik. (ypi) 12