EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD SALATIGA PERIODE MEI-DESEMBER 2013 Artikel Oleh FARIDA NUR AINI NIM. 050214A012 FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2017 HALAMAN PENGESAHAN Artikel Ilmiah berjudul : EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD SALATIGA PERIODE MEI -DESEMBER 2013 Disusun Oleh : FARIDA NUR AINI NIM.050214A012 FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Ungaran, Februari 2017 Pembimbing Utama Dian Oktianti S.Far., M.Sc., Apt NIDN. 0625108102 EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD SALATIGA PERIODE MEI-DESEMBER 2013 Farida Nur Aini1, Dian Oktianti1, Jatmiko Susilo1 Program Studi Farmasi Fakultas Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email : [email protected] INTISARI Latar belakang :Tifoid merupakan infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan banyak ditemukan dimasyarakat dengan angka kematian 600.000 orang tiap tahun (WHO,2003). Obat pilihan utama untuk tifoid adalah Kloramfenikol. Namun dewasa ini pengobatan tifoid banyak beralih menggunakan Siprofloksasin. Tujuan : Mengetahui efektivitas Kloramfenikol dan Siprofloksasin untuk pengobatan tifoid dewasa rawat inap di RSUD Salatiga. Metode: Penelitian ini bersifat non eksperimental menggunakan metode observasional analitik. Diperoleh 76 subjek penelitian yang diambil secara retrospektif, dibagi menjadi 2 kelompok terapi Kloramfenikol dan Siprofloksasin diambil secara purposive sampling. Analisis data dengan uji Mann Whitney. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi. Hasil :Hasil didapatkan rata-rata lama perawatan Kloramfenikol 4.75±0,79 sedangkan Siprofloksasin 4,20±0,63 hari. Lama turun demam Kloramfenikol 2,91±0,65 sedangkan Siprofloksasin 2,59±0,58hari. Kesimpulan: Siprofloksasin lebih efektif dalam menurunkan demam dan mempersingkat lama perawatan. Kata kunci : Efektivitas Antibiotik, Tifoid, Kloramfenikol, Siprofloksasin, Kepustakaan : 52 (2001-2015) 1 THE EFFECTIVENESS OF CHLORAMPHENICOL AND CIPROFLOXACIN AGAINTS TYPHOID IN ADULT IN IN-PATIENT AT SALATIGA REGIONAL GENERAL HOSPITAL IN THE PERIOD OF MAY-DECEMBER 2013 ABSTRACT Background: Typhoid is an infection caused by Salmonella typhi and many found in the community with mortality 600,000 people every year (WHO, 2003). The drug of choice for typhoid is Chloramphenicol. But today the treatment of typhoid Ciprofloxacin switch to using many. Purpose :The research aimed to understand the effectiveness of Chloramphenicol and Ciprofloxacin for the treatment of patients with typhoid in adult in in-patient at Salatiga regional general hospital in the period of May -December 2013. Method: This research was non experimental using observational analytic method. Data were collected from medical record of the patients retrospectively , with the total samples of 76 divided into therapy 2 groups: Chloramphenicol and Ciprofloxacin taken by purposive sampling .The research using was analyzed by Mann whitney . Analysis of univariat used a frequency distribution. Result : The results obtained on average long care Chloramphenicol 4.75 ± 0.79 while Ciprofloxacin 4.20 ± 0.63 day. Long down fever Chloramphenicol 2.91 ± 0.65 while Ciprofloxacin 2,59 ± 0.58 day. Conclusion: Ciprofloxacin is more effective in lowering fever and shorten the long treatment. . Keywords :The effectiveness of antibiotics, typhoid , chloramphenicol, ciprofloxacin Bibliographies :52 (2001-2015) 2 A. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Tifoid merupakan penyakit infeksi akut saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi. Tifoid disebut juga sebagai typhus abdominalis, tyhphoid fever atau enteric fever. Sebanyak 7 juta kasus Tifoid terjadi di Asia Tenggara setiap tahunnya, dengan angka kematian 600.000 orang (WHO,2003). Prevalensi Tifoid di Indonesia sebesar 1,60 % (Depkes RI ,2008). Provinsi Jawa Tengah termasuk daerah dengan penyakit Tifoid melebihi prevalensi nasional (Depkes RI, 2008). Salatiga adalah salah satu kota yang ada di Jawa Tengah dimana kasus Tifoid memiliki prevalensi sebesar 1,1% (Depkes RI, 2009). Antibiotik empiris dan pilihan pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, namun cukup sering menimbulkan karier dan kambuh. Resistensi terhadap Kloramfenikol dilaporkan pertama kali di India tahun 1997 (Shanahan dkk, 1998 dalam Jamilah, 2015). Salmonella typhi dapat menjadi resisten karena adanya plasmid yang memproduksi enzim Chloramphenicol acetyltransferase (CAT) yang menginaktivasi Kloramfenikol (Balbi, 2004 dalam Suswati dan Juniarti, 2011). Antibiotik golongan Fluorokuinolon lebih baik dibandingkan Kloramfenikol dalam mencegah kekambuhan pada pasien Tifoid dewasa. Antibiotika golongan Fluorokuinolon (Siprofloksasin, Levofloksasin dan Ofloksasin) memiliki angka kesembuhan klinis sebesar 98% dan memberikan respon terapeutik yang cepat (waktu penurunan demam dan hilangnya gejala-gejala tifoid 3-5 hari), serta angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% dalam pengobatan tifoid (WHO, 2003). Berdasarkan uraian data diatas dapat dikatakan bahwa penyakit Tifoid masih banyak diderita begitu juga dengan terapinya masih terkendala adanya resistensi, kekambuhan dan karier. Timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat mempengaruhi efektifitas terapi. Berdasarkan perbedaan sensitivitas bakteri dan efektivitas antibiotik maka dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi antara Kloramfenikol dengan Siprofloksasin terhadap pengobatan tifoid pasien dewasa di Rawat Inap RSUD Salatiga. 2. Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas terapi antara Kloramfenikol dan Siprofloksasin untuk pengobatan tifoid pasien dewasa. 3 b. Tujuan khusus Untuk mengetahui efektivitas antara Kloramfenikol dan Siprofloksasin berdasarkan parameter lama perawatan dan lama turun demam. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan metode observasional analitik dengan pendekatan retrospektif. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung atau dari media perantara yaitu rekam medis. Populasi dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis semua pasien dewasa penderita tifoid di Rawat Inap RSUD Kota Salatiga bulanMei sampai Desember 2013. Didapatkan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 76 pasien. Penelitian dilakukan pada bulan januari 2017 dengan instrumen berupa Lembar Pengumpulan Data (LPD). Teknik analisa data menggunakan uji Mann Whitney untuk membandingkan efektivitas. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pasien Tabel 4.1 Persentase karakteristik pasien Keterangan Jenis Kelamin Usia Gejala Klinis Terapi Simptomatik Laki-laki Perempuan Total 17-25 26-35 36-45 46-55 56-65 Total Demam Nyeri kepala Mual Muntah Nyeri perut Lemas Ranitidin Ondansentron Paracetamol Omeprazole New diatab Ketorolac Sohobion Kloramfenikol (N=28) Frekuensi % 12 42,9 16 57,1 28 100 6 21,4 6 21,4 5 17,9 8 28,6 3 10,7 28 100 28 100 20 71,4 23 89,2 19 67,8 8 28,5 7 25 27 96,4 20 71,4 28 100 14 50 5 17,8 4 14,2 8 28,5 Siprofloksasin (N=48) Frekuensi % 21 43,8 27 56,3 48 100 13 27,1 13 27,1 11 22,9 9 18,8 2 4,2 48 100 48 100 28 58,3 36 75 35 72,9 13 27 14 29,1 43 89,5 32 66,6 48 100 28 58,3 5 10,4 3 6,25 14 29,1 4 Neurodex 11 39,2 23 47,9 Hasil penelitian menunjukkan penderita tifoid paling banyak yaitu pasien jenis kelamin perempuan sebanyak 16 subyek (57,1%) dari kelompok Kloramfenikol. Kelompok Siprofloksasin 27 subyek (56,3%). Hal tersebut dikarenakan perempuan kemungkinan menjadi carrier 3 kali lebih besar dari pada laki-laki (Ramilah, 2001). Carrier adalah dimana dalam tubuh individu tersebut sudah terdapat kuman Salmonella typhi tetapi yang bersangkutan tidak atau belum menunjukkan gejala tifoid. Angka kejadian tifoid paling banyak pada kelompok usia 20-30an.Hal tersebut karena usia 20-30an termasuk usia dewasa yang bebas mengkonsumsi makanan dan sering makan tanpa memperhatikan higiene tempat mengolah makan maupun higiene diri sendiri (Nainggolan, 2009). Hal serupa juga diungkapkan Rakhman (2009) bahwa hubungan kejadian tifoid pada orang dewasa karena kebiasaan jajan makanan di luar rumah, cuci tangan sebelum makan menggunakan sabun, riwayat tifoid dan penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh subyek penelitian mengalami gejala demam. Demam merupakan gejala utama tifoid yang terjadi karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Nainggolan, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa gejala klinis yang sensitif pada penderita tifoid adalah demam. Pada awal penyakit, biasanya penderita tifoid memberikan gejala seperti pada umumnya penyakit akut lain yaitu mual, muntah, demam, diare, konstipasi, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, nafsu makan berkurang dan rasa tidak enak diperut (Ibrahim, 2003). Terapi simptomatik tifoid di RSUD Salatiga sudah sesuai dengan Kemenkes RI (2006) yaitu diberikan vitamin (Neurodex, sohobion,Vit B1,B6, dan Vit B12), antiemetik (Ondansentron, Domperidon), dan antipiretik (Paracetamol). Pemberian terapi tersebut untuk mengatasi gejala berupa demam, mual dan muntah serta untuk meningkatan daya tahan tubuh. 2. Lama Perawatan Tabel 4.2 Distribusi Lama Perawatan di RSUD Salatiga Periode MeiDesember 2013 Lama perawatan (hari) 3 4 5 6 Jumlah Rata-rata Kloramfenikol Siprofloksasin frekuensi % 0 11 45,8 8 33,3 5 20,8 24 99,9 4,75±0,79 frekuensi % 4 9,0 28 63,6 11 25 1 2,2 44 99,8 4,20±0,63 Kloramfenikol +ketorolac frekuensi % 0 0 4 100 0 4 100 5±0,00 Siprofloksasin+ Ketorolac frekuensi % 0 2 66,6 0 1 33,3 3 99,8 4,66±1,15 Lama perawatan dari kelompok Kloramfenikol tunggal rata-rata didapat 4,75 hari. Hasil tersebut lebih lama daripada penelitian yang 5 dilakukan oleh Fithria (2015) yaitu rata-rata 3,93 hari. Lama rawat inap kelompok Siprofloksasin tunggal didapatkan rata-rata 4,20 hari. Sedangkan lama rawat maksimal adalah 6 hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nelwan dkk (2006). Perbedaan yang timbul disebabkan karena jumlah sampel peneliti berbeda dengan penelitian sebelumnya. Selain itu dapat disebabkan oleh keparahan penyakit dan keadaan masing-masing individu. Dari hasil pengamatan lama rawat inap kedua kelompok sampel, dapat dikatakan bahwa rata-rata lama perawatan Siprofloksasin lebih singkat dari Kloramfenikol. Pengobatan dengan Siprofloksasin menyebabkan demam turun lebih cepat, lama pengobatan pendek, angka kesembuhan tinggi dan efek samping minimal (Rismarini dkk, 2001). Lama perawatan pada kelompok antibiotik + NSAID berupa ketorolac didapatkan paling singkat 5 hari sebanyak 4 subyek pada kelompok Kloramfenikol. Sedangkan rata-ratanya sebesar 5 hari. Kelompok siprofloksasin didapat paling singkat 4 hari sebanyak 2 subyek dengan rata-rata 4,66. Pemberian NSAID digunakan sebagai antiinflamasi, namun NSAID juga memiliki mekanisme sebagai antipiretik. Sehingga pemberian NSAID sedikit banyak dapat menunjang perbaikan klinis pasien selama dirawat. 3. Lama Turun Demam Tabel 4.2 Distribusi lama turun demam di RSUD Salatiga Periode Mei-Desember 2013 Lama turun demam (hari) 2 3 4 Jumlah Rata-rata Kloramfenikol frekuensi % 6 25 14 58,3 4 16,6 24 99,9 2,91±0,65 Siprofloksasin frekuensi % 20 22 2 44 2,59±0,58 45,4 50 4,5 99,9 Kloramfenikol +ketorolac frekuensi % 2 50 \2 50 4 100 2,50±0,57 Siprofloksasin+ Ketorolac frekuensi % 2 66,6 1 33,3 0 3 99,9 2,33±0,57 Rata-rata lama penurunan demam kelompok Kloramfenikol tunggal sebesar 2,91 hari. Hasil tersebut lebih singkat dari penelitian yang dilakukan Hammad dkk (2011) yaitu 5,8 hari. Dari kelompok Siprofloksasin rata-rata lama turun demam sebesar 2,59 hari. Hasil tersebut lebih singkat dari penelitian yang dilakukan Nelwan dkk (2006) sebesar 3,6 hari. Siprofloksasin lebih efektif menurunkan demam daripada Kloramfenikol. Lama turun demam pada kelompok antibiotik + NSAID berupa ketorolac didapatkan paling singkat 2-3 hari sebanyak 4 subyek pada kelompok Kloramfenikol. Sedangkan rata-ratanya sebesar 2,50 hari. Kelompok siprofloksasin didapat paling singkat 2 hari sebanyak 2 subyek dengan rata-rata 2,33 hari. Pemberian NSAID dapat mempengaruhi penurunan demam pasien. Golongan obat ini bersifat antipiretik dengan mekanisme hambatan kedua COX 6 (cyclooxygenase) dalam sistem saraf pusat. Turunnya suhu, dikaitkan dengan meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan disertai keluarnya keringat (Katzung, 2002). Selain pemberian antibiotik, pasien tifoid juga mendapatkan terapi antipiretik. Semua pasien tifoid dewasa di rawat inap RSUD Salatiga seluruhnya mendapat terapi antipiretik berupa Paracetamol dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali sehari sesudah makan. Sehingga pengaruh penurunan demam karena antipiretik dapat dihilangkan atau dapat dianggap sama. Jadi, penurunan demam pada penderita tifoid di RSUD Salatiga dapat dianggap dipengaruhi oleh antibiotik yang diberikan yaitu Kloramfenikol dan Siprofloksasin.Sedangkan pada kelompok antibiotik + NSAID penurunan demam juga dipengaruhi oleh obat golongan NSAID yaitu Ketorolac. 4. Perbandingan efektivitas Kloramfenikol dan Siprofloksasin variabel Lama rawat inap Lama turun demam Lama rawat inap Tabel 4.3 Perbandingan Efektivitas perlakuan p-value Kloramfenikol 0,007 Siprofloksasin Kloramfenikol 0,047 Siprofloksasin Kloramfenikol+Ketorolac 0,430 Siprofloksasin+Ketorolac Lama turun demam Kloramfenikol+Ketorolac Siprofloksasin+Ketorolac 0,683 keterangan Berbeda signifikan Berbeda signifikan Tidak ada perbedaan signifikan Tidak ada perbedaan signifikan Data dari hasil uji Mann Whitney untuk kelompok antibiotik tunggal diperoleh variabel lama perawatan diperoleh p-value 0,007. Oleh karena pvalue 0,007< (0,05) maka disimpulkan bahwa ada perbedaan secara signifikan efektivitas lama perawatan antara kelompok yang diberikan Kloramfenikol dengan Siprofloksasin. lama perawatan pasien yang diberikan antibiotik Siprofloksasin lebih cepat secara signifikan dibandingkan pasien yang diberikan antibiotik Kloramfenikol. Seperti telah diketahui bahwa Kloramfenikol sudah mulai resisten. Dari beberapa penelitian didapatkan 38% galur Salmonella telah resisten terhadap Kloramfenikol (Nathin dkk.,1990 dalam Rismarini, 2001). Angka kekambuhan setelah pengobatan terjadi sekitar 2-4% kasus (Azhali,1996 dalam Rismarini, 2001) Namun, di RSUD Salatiga belum didapatkan gambaran resistensi Kloramfenikol. Siprofloksasin lebih singkat lama perawatannya karena dewasa ini golongan Fluorokuinolon memberikan angka kesembuhan klinis mendekati 100% (Parry dkk, 2007). Hasil uji Mann Whitney untuk variabel lama turun demam antibiotik tunggal diperoleh p-value 0,047. Oleh karena p-value 0,047 ˂(0,05) maka disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan lama turun demam antara yang diberikan antibiotik Kloramfenikol dengan Siprofloksasin. 7 Hasil uji Mann Whitney untuk kelompok antibiotik (Kloramfenikol dan Siprofloksasin) + ketorolac variabel lama perawatan diperoleh p-value 0,430. Oleh karena p-value 0,430 >(0,05) maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan lama perawatan antara kedua kelompok antibiotik (Kloramfenikol dan Siprofloksasin)+ketorolac. Hasil uji Mann Whitney untuk kelompok antibiotik + ketorolac variabel lama turun demam diperoleh p-value 0,683.Oleh karena p-value 0,683 >(0,05) maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan lama turun demam antara kedua kelompok antibiotik(Kloramfenikol dan Siprofloksasin)+NSAID. Kedua kelompok obat menunjukkan efektivitas yang sebanding terhadap lama perawatan dan lama turun demam.Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya pemberian golongan NSAID yaitu Ketorolac.NSAID tidak hanya berfungsi sebagai antiinflamasi tetapi juga dapat menurunkan demam. D. Kesimpulan Dari penelitian mengenai “Efektivitas Kloramfenikol Dan Siprofloksasin Terhadap Tifoid Dewasa Rawat Inap di RSUD Salatiga Periode MeiDesember 2013” dapat kesimpulan: 1. Pasien tifoid dewasa paling banyak ditemukan pada kelompok usia 1725 tahun (25%) dan 26-35 tahun(35%) lebih banyak jenis kelamin perempuan. 2. Antibiotik Siprofloksasin lebih efektif terhadap penurunan demam 3. Antibiotik Siprofloksasin menunjukkan lama perawatan lebih singkat daripada Kloramfenikol. 4. Pengobatan demam tifoid di RSUD Salatiga tahun 2013 paling banyak menggunakan antibiotik Siprofloksasin. E. Daftar Pustaka 1. Balbi H J. 2004. Chloramphenicol American Academy of Pediatrics. Pediatrics in Review 25, pp: 284-288. http:// pedsinreview.aappublications.org/. Diakses tanggal 28 Oktober 2016. 2. Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 3. Depkes RI, 2009. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Provinsi Jawa Tengah ,Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 4. Fithria, F. R., Kiki Damayanti dan Risma Putri F. 2015. Perbedaan Aktivitas Antibiotik pada Terapi Demam Tifoid di Puskesmas Bancak Kabupaten Semarang, Jurnal Ilmiah, Fakultas Farmasi, Universitas Wahid Hasyim Semarang. 5. Hammad, M. O., Hifnawy, T., Omran, D. 2011.Ceftriaxone versus Chloramphenicol for Treatment of Acute Typhoid Fever. Life Science Journal (2011). 6. Ibrahim, S. 2003. Klinik Keluarga Terapi Demam, Jakarta :Progres. 8 7. Kemenkes RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 8. Katzung, B.G. 2002.Farmakologi Dasar dan Klinik edisi II. Jakarta: Salemba Medika 9. Nainggolan, F. N. R. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang siantar Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara 10. Nelwan, R.H. H., Chen, K., Nafrialdi.,danParamita, D. 2006. Open Study On Efficacy And Safety of Levofloxacin in Treatment of Uncomplicated Typhoid Fever, The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 37 (1), 126-130. 11. Parry, C. M., Ho.,V.A., Phuong, L. T., Van Be Bay, P.,Lanh, M. N., et al. 2007. Randomized Controlled Comparison of Ofloxacin, Azithromycin, and an Ofloxacin-Azithromycin Combination for Treatment of Multidrug-Resistant and Nalidixic Acid Resistant Typhoid Fever. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 51 (3), 819825. 12. Rakhman, A. 2009. Faktor-faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol.25. 13. Rismarini, Anwar Z, Merdjani A. 2001. Perbandingan Efektivitas Klinis Antara Kloramfenikol dan Tiamfenikol dalam Pengobatan Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 2, 14. Suswati, I., dan AyuJuniarti. 2011. Sensitivitas Salmonella typhi terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009. https:// publikasiilmiah.ums.ac.id, diakses tanggal 18 September 2016. 9