5489 - UPT Perpustakaan Universitas Ngudi Waluyo

advertisement
EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN
TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD
SALATIGA PERIODE MEI-DESEMBER 2013
Artikel
Oleh
FARIDA NUR AINI
NIM. 050214A012
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Artikel Ilmiah berjudul :
EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN
TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD SALATIGA
PERIODE MEI -DESEMBER 2013
Disusun Oleh :
FARIDA NUR AINI
NIM.050214A012
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing
Ungaran, Februari 2017
Pembimbing Utama
Dian Oktianti S.Far., M.Sc., Apt
NIDN. 0625108102
EFEKTIVITAS KLORAMFENIKOL DAN SIPROFLOKSASIN
TERHADAP TIFOID DEWASA RAWAT INAP DI RSUD SALATIGA
PERIODE MEI-DESEMBER 2013
Farida Nur Aini1, Dian Oktianti1, Jatmiko Susilo1
Program Studi Farmasi Fakultas Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo
Email : [email protected]
INTISARI
Latar belakang :Tifoid merupakan infeksi yang disebabkan oleh Salmonella
typhi dan banyak ditemukan dimasyarakat dengan angka kematian 600.000 orang
tiap tahun (WHO,2003). Obat pilihan utama untuk tifoid adalah Kloramfenikol.
Namun dewasa ini pengobatan tifoid banyak beralih menggunakan Siprofloksasin.
Tujuan : Mengetahui efektivitas Kloramfenikol dan Siprofloksasin untuk
pengobatan tifoid dewasa rawat inap di RSUD Salatiga.
Metode: Penelitian ini bersifat non eksperimental menggunakan metode
observasional analitik. Diperoleh 76 subjek penelitian yang diambil secara
retrospektif, dibagi menjadi 2 kelompok terapi Kloramfenikol dan Siprofloksasin
diambil secara purposive sampling. Analisis data dengan uji Mann Whitney.
Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi.
Hasil :Hasil didapatkan rata-rata lama perawatan Kloramfenikol 4.75±0,79
sedangkan Siprofloksasin 4,20±0,63 hari. Lama turun demam Kloramfenikol 2,91±0,65
sedangkan Siprofloksasin 2,59±0,58hari.
Kesimpulan: Siprofloksasin lebih efektif dalam menurunkan demam dan
mempersingkat lama perawatan.
Kata kunci : Efektivitas Antibiotik, Tifoid, Kloramfenikol, Siprofloksasin,
Kepustakaan : 52 (2001-2015)
1
THE EFFECTIVENESS OF CHLORAMPHENICOL AND CIPROFLOXACIN
AGAINTS TYPHOID IN ADULT IN IN-PATIENT AT SALATIGA REGIONAL
GENERAL HOSPITAL IN THE PERIOD OF MAY-DECEMBER 2013
ABSTRACT
Background: Typhoid is an infection caused by Salmonella typhi and many
found in the community with mortality 600,000 people every year (WHO, 2003).
The drug of choice for typhoid is Chloramphenicol. But today the treatment of
typhoid Ciprofloxacin switch to using many.
Purpose :The research aimed to understand the effectiveness of Chloramphenicol
and Ciprofloxacin for the treatment of patients with typhoid in adult in in-patient
at Salatiga regional general hospital in the period of May -December 2013.
Method: This research was non experimental using observational analytic
method. Data were collected from medical record of the patients retrospectively ,
with the total samples of 76 divided into therapy 2 groups: Chloramphenicol and
Ciprofloxacin taken by purposive sampling .The research using was analyzed by
Mann whitney . Analysis of univariat used a frequency distribution.
Result : The results obtained on average long care Chloramphenicol 4.75 ± 0.79
while Ciprofloxacin 4.20 ± 0.63 day. Long down fever Chloramphenicol 2.91 ±
0.65 while Ciprofloxacin 2,59 ± 0.58 day.
Conclusion: Ciprofloxacin is more effective in lowering fever and shorten the
long treatment.
.
Keywords :The effectiveness of antibiotics, typhoid , chloramphenicol,
ciprofloxacin
Bibliographies :52 (2001-2015)
2
A. PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Tifoid merupakan penyakit infeksi akut saluran pencernaan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi. Tifoid disebut
juga sebagai typhus abdominalis, tyhphoid fever atau enteric fever. Sebanyak
7 juta kasus Tifoid terjadi di Asia Tenggara setiap tahunnya, dengan angka
kematian 600.000 orang (WHO,2003). Prevalensi Tifoid di Indonesia sebesar
1,60 % (Depkes RI ,2008). Provinsi Jawa Tengah termasuk daerah dengan
penyakit Tifoid melebihi prevalensi nasional (Depkes RI, 2008). Salatiga
adalah salah satu kota yang ada di Jawa Tengah dimana kasus Tifoid
memiliki prevalensi sebesar 1,1% (Depkes RI, 2009).
Antibiotik empiris dan pilihan pertama untuk demam tifoid adalah
Kloramfenikol, namun cukup sering menimbulkan karier dan kambuh.
Resistensi terhadap Kloramfenikol dilaporkan pertama kali di India tahun
1997 (Shanahan dkk, 1998 dalam Jamilah, 2015). Salmonella typhi dapat
menjadi resisten karena adanya plasmid yang memproduksi enzim
Chloramphenicol
acetyltransferase
(CAT)
yang
menginaktivasi
Kloramfenikol (Balbi, 2004 dalam Suswati dan Juniarti, 2011). Antibiotik
golongan Fluorokuinolon lebih baik dibandingkan Kloramfenikol dalam
mencegah kekambuhan pada pasien Tifoid dewasa. Antibiotika golongan
Fluorokuinolon (Siprofloksasin, Levofloksasin dan Ofloksasin) memiliki
angka kesembuhan klinis sebesar 98% dan memberikan respon terapeutik
yang cepat (waktu penurunan demam dan hilangnya gejala-gejala tifoid 3-5
hari), serta angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% dalam
pengobatan tifoid (WHO, 2003).
Berdasarkan uraian data diatas dapat dikatakan bahwa penyakit Tifoid
masih banyak diderita begitu juga dengan terapinya masih terkendala adanya
resistensi, kekambuhan dan karier. Timbulnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik dapat mempengaruhi efektifitas terapi. Berdasarkan perbedaan
sensitivitas bakteri dan efektivitas antibiotik maka dilakukanlah penelitian ini
yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi antara Kloramfenikol
dengan Siprofloksasin terhadap pengobatan tifoid pasien dewasa di Rawat
Inap RSUD Salatiga.
2.
Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas
terapi antara Kloramfenikol dan Siprofloksasin untuk pengobatan tifoid
pasien dewasa.
3
b. Tujuan khusus
Untuk mengetahui efektivitas antara Kloramfenikol dan
Siprofloksasin berdasarkan parameter lama perawatan dan lama
turun demam.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan metode
observasional analitik dengan pendekatan retrospektif. Data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data penelitian
yang diperoleh secara tidak langsung atau dari media perantara yaitu
rekam medis. Populasi dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis
semua pasien dewasa penderita tifoid di Rawat Inap RSUD Kota Salatiga
bulanMei sampai Desember 2013. Didapatkan jumlah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 76 pasien.
Penelitian dilakukan pada bulan januari 2017 dengan instrumen berupa
Lembar Pengumpulan Data (LPD). Teknik analisa data menggunakan uji
Mann Whitney untuk membandingkan efektivitas. Analisis univariat
menggunakan distribusi frekuensi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pasien
Tabel 4.1 Persentase karakteristik pasien
Keterangan
Jenis
Kelamin
Usia
Gejala
Klinis
Terapi
Simptomatik
Laki-laki
Perempuan
Total
17-25
26-35
36-45
46-55
56-65
Total
Demam
Nyeri kepala
Mual
Muntah
Nyeri perut
Lemas
Ranitidin
Ondansentron
Paracetamol
Omeprazole
New diatab
Ketorolac
Sohobion
Kloramfenikol (N=28)
Frekuensi
%
12
42,9
16
57,1
28
100
6
21,4
6
21,4
5
17,9
8
28,6
3
10,7
28
100
28
100
20
71,4
23
89,2
19
67,8
8
28,5
7
25
27
96,4
20
71,4
28
100
14
50
5
17,8
4
14,2
8
28,5
Siprofloksasin (N=48)
Frekuensi
%
21
43,8
27
56,3
48
100
13
27,1
13
27,1
11
22,9
9
18,8
2
4,2
48
100
48
100
28
58,3
36
75
35
72,9
13
27
14
29,1
43
89,5
32
66,6
48
100
28
58,3
5
10,4
3
6,25
14
29,1
4
Neurodex
11
39,2
23
47,9
Hasil penelitian menunjukkan penderita tifoid paling banyak yaitu
pasien jenis kelamin perempuan sebanyak 16 subyek (57,1%) dari
kelompok Kloramfenikol. Kelompok Siprofloksasin 27 subyek (56,3%).
Hal tersebut dikarenakan perempuan kemungkinan menjadi carrier 3 kali
lebih besar dari pada laki-laki (Ramilah, 2001). Carrier adalah dimana
dalam tubuh individu tersebut sudah terdapat kuman Salmonella typhi
tetapi yang bersangkutan tidak atau belum menunjukkan gejala tifoid.
Angka kejadian tifoid paling banyak pada kelompok usia 20-30an.Hal
tersebut karena usia 20-30an termasuk usia dewasa yang bebas
mengkonsumsi makanan dan sering makan tanpa memperhatikan higiene
tempat mengolah makan maupun higiene diri sendiri (Nainggolan, 2009).
Hal serupa juga diungkapkan Rakhman (2009) bahwa hubungan kejadian
tifoid pada orang dewasa karena kebiasaan jajan makanan di luar rumah,
cuci tangan sebelum makan menggunakan sabun, riwayat tifoid dan
penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh subyek penelitian
mengalami gejala demam. Demam
merupakan gejala utama tifoid yang terjadi karena Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang (Nainggolan, 2009). Hal ini menunjukkan
bahwa gejala klinis yang sensitif pada penderita tifoid adalah demam. Pada
awal penyakit, biasanya penderita tifoid memberikan gejala seperti pada
umumnya penyakit akut lain yaitu mual, muntah, demam, diare,
konstipasi, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, nafsu makan berkurang dan
rasa tidak enak diperut (Ibrahim, 2003).
Terapi simptomatik tifoid di RSUD Salatiga sudah sesuai dengan
Kemenkes RI (2006) yaitu diberikan vitamin (Neurodex, sohobion,Vit
B1,B6, dan Vit B12), antiemetik (Ondansentron, Domperidon), dan
antipiretik (Paracetamol). Pemberian terapi tersebut untuk mengatasi
gejala berupa demam, mual dan muntah serta untuk meningkatan daya
tahan tubuh.
2. Lama Perawatan
Tabel 4.2 Distribusi Lama Perawatan di RSUD Salatiga Periode MeiDesember 2013
Lama
perawatan
(hari)
3
4
5
6
Jumlah
Rata-rata
Kloramfenikol
Siprofloksasin
frekuensi
%
0
11
45,8
8
33,3
5
20,8
24
99,9
4,75±0,79
frekuensi
%
4
9,0
28
63,6
11
25
1
2,2
44
99,8
4,20±0,63
Kloramfenikol
+ketorolac
frekuensi
%
0
0
4
100
0
4
100
5±0,00
Siprofloksasin+
Ketorolac
frekuensi
%
0
2
66,6
0
1
33,3
3
99,8
4,66±1,15
Lama perawatan dari kelompok Kloramfenikol tunggal rata-rata
didapat 4,75 hari. Hasil tersebut lebih lama daripada penelitian yang
5
dilakukan oleh Fithria (2015) yaitu rata-rata 3,93 hari. Lama rawat
inap kelompok Siprofloksasin tunggal didapatkan rata-rata 4,20 hari.
Sedangkan lama rawat maksimal adalah 6 hari. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nelwan dkk (2006).
Perbedaan yang timbul disebabkan karena jumlah sampel peneliti
berbeda dengan penelitian sebelumnya. Selain itu dapat disebabkan
oleh keparahan penyakit dan keadaan masing-masing individu. Dari
hasil pengamatan lama rawat inap kedua kelompok sampel, dapat
dikatakan bahwa rata-rata lama perawatan Siprofloksasin lebih singkat
dari Kloramfenikol. Pengobatan dengan Siprofloksasin menyebabkan
demam turun lebih cepat, lama pengobatan pendek, angka kesembuhan
tinggi dan efek samping minimal (Rismarini dkk, 2001).
Lama perawatan pada kelompok antibiotik + NSAID berupa
ketorolac didapatkan paling singkat 5 hari sebanyak 4 subyek pada
kelompok Kloramfenikol. Sedangkan rata-ratanya sebesar 5 hari.
Kelompok siprofloksasin didapat paling singkat 4 hari sebanyak 2
subyek dengan rata-rata 4,66. Pemberian NSAID digunakan sebagai
antiinflamasi, namun NSAID juga memiliki mekanisme sebagai
antipiretik. Sehingga pemberian NSAID sedikit banyak dapat
menunjang perbaikan klinis pasien selama dirawat.
3. Lama Turun Demam
Tabel 4.2 Distribusi lama turun demam di RSUD Salatiga Periode
Mei-Desember 2013
Lama
turun
demam
(hari)
2
3
4
Jumlah
Rata-rata
Kloramfenikol
frekuensi
%
6
25
14
58,3
4
16,6
24
99,9
2,91±0,65
Siprofloksasin
frekuensi
%
20
22
2
44
2,59±0,58
45,4
50
4,5
99,9
Kloramfenikol
+ketorolac
frekuensi
%
2
50
\2
50
4
100
2,50±0,57
Siprofloksasin+
Ketorolac
frekuensi
%
2
66,6
1
33,3
0
3
99,9
2,33±0,57
Rata-rata lama penurunan demam kelompok Kloramfenikol
tunggal sebesar 2,91 hari. Hasil tersebut lebih singkat dari penelitian
yang dilakukan Hammad dkk (2011) yaitu 5,8 hari. Dari kelompok
Siprofloksasin rata-rata lama turun demam sebesar 2,59 hari. Hasil
tersebut lebih singkat dari penelitian yang dilakukan Nelwan dkk
(2006) sebesar 3,6 hari. Siprofloksasin lebih efektif menurunkan
demam daripada Kloramfenikol.
Lama turun demam pada kelompok antibiotik + NSAID
berupa ketorolac didapatkan paling singkat 2-3 hari sebanyak 4
subyek pada kelompok Kloramfenikol. Sedangkan rata-ratanya
sebesar 2,50 hari. Kelompok siprofloksasin didapat paling singkat 2
hari sebanyak 2 subyek dengan rata-rata 2,33 hari. Pemberian NSAID
dapat mempengaruhi penurunan demam pasien. Golongan obat ini
bersifat antipiretik dengan mekanisme hambatan kedua COX
6
(cyclooxygenase) dalam sistem saraf pusat. Turunnya suhu, dikaitkan
dengan meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari
pembuluh darah permukaan disertai keluarnya keringat (Katzung,
2002).
Selain pemberian antibiotik, pasien tifoid juga mendapatkan terapi
antipiretik. Semua pasien tifoid dewasa di rawat inap RSUD Salatiga
seluruhnya mendapat terapi antipiretik berupa Paracetamol dosis 500
mg dengan frekuensi 3 kali sehari sesudah makan. Sehingga pengaruh
penurunan demam karena antipiretik dapat dihilangkan atau dapat
dianggap sama. Jadi, penurunan demam pada penderita tifoid di
RSUD Salatiga dapat dianggap dipengaruhi oleh antibiotik yang
diberikan yaitu Kloramfenikol dan Siprofloksasin.Sedangkan pada
kelompok antibiotik + NSAID penurunan demam juga dipengaruhi
oleh obat golongan NSAID yaitu Ketorolac.
4. Perbandingan efektivitas Kloramfenikol dan Siprofloksasin
variabel
Lama rawat
inap
Lama turun
demam
Lama rawat
inap
Tabel 4.3 Perbandingan Efektivitas
perlakuan
p-value
Kloramfenikol
0,007
Siprofloksasin
Kloramfenikol
0,047
Siprofloksasin
Kloramfenikol+Ketorolac
0,430
Siprofloksasin+Ketorolac
Lama turun
demam
Kloramfenikol+Ketorolac
Siprofloksasin+Ketorolac
0,683
keterangan
Berbeda
signifikan
Berbeda
signifikan
Tidak ada
perbedaan
signifikan
Tidak ada
perbedaan
signifikan
Data dari hasil uji Mann Whitney untuk kelompok antibiotik tunggal
diperoleh variabel lama perawatan diperoleh p-value 0,007. Oleh karena pvalue 0,007< (0,05) maka disimpulkan bahwa ada perbedaan secara
signifikan efektivitas lama perawatan antara kelompok yang diberikan
Kloramfenikol dengan Siprofloksasin. lama perawatan pasien yang diberikan
antibiotik Siprofloksasin lebih cepat secara signifikan dibandingkan pasien
yang diberikan antibiotik Kloramfenikol. Seperti telah diketahui bahwa
Kloramfenikol sudah mulai resisten. Dari beberapa penelitian didapatkan 38% galur Salmonella telah resisten terhadap Kloramfenikol (Nathin
dkk.,1990 dalam Rismarini, 2001). Angka kekambuhan setelah pengobatan
terjadi sekitar 2-4% kasus (Azhali,1996 dalam Rismarini, 2001) Namun, di
RSUD Salatiga belum didapatkan gambaran resistensi Kloramfenikol.
Siprofloksasin lebih singkat lama perawatannya karena dewasa ini golongan
Fluorokuinolon memberikan angka kesembuhan klinis mendekati 100%
(Parry dkk, 2007).
Hasil uji Mann Whitney untuk variabel lama turun demam antibiotik
tunggal diperoleh p-value 0,047. Oleh karena p-value 0,047 ˂(0,05)
maka disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan lama turun demam
antara yang diberikan antibiotik Kloramfenikol dengan Siprofloksasin.
7
Hasil
uji
Mann
Whitney
untuk
kelompok
antibiotik
(Kloramfenikol dan Siprofloksasin) + ketorolac variabel lama
perawatan diperoleh p-value 0,430. Oleh karena p-value 0,430
>(0,05) maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
lama perawatan antara kedua kelompok antibiotik (Kloramfenikol dan
Siprofloksasin)+ketorolac. Hasil uji Mann Whitney untuk kelompok
antibiotik + ketorolac variabel lama turun demam diperoleh p-value
0,683.Oleh karena p-value 0,683 >(0,05) maka disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan lama turun demam antara kedua
kelompok antibiotik(Kloramfenikol dan Siprofloksasin)+NSAID.
Kedua kelompok obat menunjukkan efektivitas yang sebanding
terhadap lama perawatan dan lama turun demam.Hal tersebut
mungkin dikarenakan adanya pemberian golongan NSAID yaitu
Ketorolac.NSAID tidak hanya berfungsi sebagai antiinflamasi tetapi
juga dapat menurunkan demam.
D. Kesimpulan
Dari penelitian mengenai “Efektivitas Kloramfenikol Dan Siprofloksasin
Terhadap Tifoid Dewasa Rawat Inap di RSUD Salatiga Periode MeiDesember 2013” dapat kesimpulan:
1. Pasien tifoid dewasa paling banyak ditemukan pada kelompok usia 1725 tahun (25%) dan 26-35 tahun(35%) lebih banyak jenis kelamin
perempuan.
2. Antibiotik Siprofloksasin lebih efektif terhadap penurunan demam
3. Antibiotik Siprofloksasin menunjukkan lama perawatan lebih singkat
daripada Kloramfenikol.
4. Pengobatan demam tifoid di RSUD Salatiga tahun 2013 paling banyak
menggunakan antibiotik Siprofloksasin.
E. Daftar Pustaka
1. Balbi H J. 2004. Chloramphenicol American Academy of Pediatrics.
Pediatrics
in
Review
25,
pp:
284-288.
http://
pedsinreview.aappublications.org/. Diakses tanggal 28 Oktober 2016.
2. Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
3. Depkes RI, 2009. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Provinsi
Jawa Tengah ,Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
4. Fithria, F. R., Kiki Damayanti dan Risma Putri F. 2015. Perbedaan
Aktivitas Antibiotik pada Terapi Demam Tifoid di Puskesmas Bancak
Kabupaten Semarang, Jurnal Ilmiah, Fakultas Farmasi, Universitas
Wahid Hasyim Semarang.
5. Hammad, M. O., Hifnawy, T., Omran, D. 2011.Ceftriaxone versus
Chloramphenicol for Treatment of Acute Typhoid Fever. Life Science
Journal (2011).
6. Ibrahim, S. 2003. Klinik Keluarga Terapi Demam, Jakarta :Progres.
8
7. Kemenkes RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
8. Katzung, B.G. 2002.Farmakologi Dasar dan Klinik edisi II. Jakarta:
Salemba Medika
9. Nainggolan, F. N. R. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid
Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang siantar
Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara
10. Nelwan, R.H. H., Chen, K., Nafrialdi.,danParamita, D. 2006. Open
Study On Efficacy And Safety of Levofloxacin in Treatment of
Uncomplicated Typhoid Fever, The Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine and Public Health, 37 (1), 126-130.
11. Parry, C. M., Ho.,V.A., Phuong, L. T., Van Be Bay, P.,Lanh, M. N., et
al. 2007. Randomized Controlled Comparison of Ofloxacin,
Azithromycin, and an Ofloxacin-Azithromycin Combination for
Treatment of Multidrug-Resistant and Nalidixic Acid Resistant
Typhoid Fever. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 51 (3), 819825.
12. Rakhman, A. 2009. Faktor-faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran
Masyarakat. Vol.25.
13. Rismarini, Anwar Z, Merdjani A. 2001. Perbandingan Efektivitas
Klinis Antara Kloramfenikol dan Tiamfenikol dalam Pengobatan
Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 2,
14. Suswati, I., dan AyuJuniarti. 2011. Sensitivitas Salmonella typhi
terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009.
https:// publikasiilmiah.ums.ac.id, diakses tanggal 18 September 2016.
9
Download