Document

advertisement
© 2002 Azhar Bafadal
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
May 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Posted: 8 May 2002
KEBIJAKAN MONETER DALAM
PEMBANGUNAN
Oleh :
AZHAR BAFADAL
A546010051 (PS. EPN)
Email: [email protected]
I. Pendahuluan
Masalah dan cakupan dalam pembahasan makroekonomi dapat
digolongkan atas empat kelompok besar, yaitu pertumbuhan ekonomi
(growth), inflasi (inflation), pengangguran (unemployment) dan necara
pembayaran (balance of payment).
Untuk menangani persoalan-persoalan
makroekonomi
ingin
tersebut,
misal
meningkatkan
atau
mengejar
pertumbuhan ekonomi pada suatu tingkat tertentu, secara teoritis dapat
didekati dengan dua cara, yaitu :
1.
Demand management. Pendekatan ini dilakukan pada upaya pengendalian
makroekonomi yang bertumpu pada pengelolaan permintaan agregat atau
aggregate demand (AD), artinya demand management adalah kebijakan
pengendalian makroekonomi yang utama. Ada dua kebijakan pokok dengan
pendekatan ini yaitu kebijakan fiskal (fiscal policy) dan kebijakan moneter
(monetary policy). Kebijakan fiskal biasanya eksekusinya lambat, karena untuk
mengimplementasikannya harus melalui prosedur yang cukup panjang,
misalnya perlu pembahasan (public hearing) dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Namun demikian, dari segi efektivitas kebijakan ini lebih
ampuh. Di sisi lain, kebijakan moneter, merupakan kebijakan yang dapat
dieksekusi secara cepat atau dapat dilakukan seketika, karena kebijakan ini
dimiliki oleh otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia.
Namun,
seringkali pengaruh kebijakan tersebut lambat dan tidak selalu seperti yang
diharapkan dan biasanya sifatnya untuk mengatasi masalah dalam jangka
pendek atau sesaat saja.
2.
Supply
Management.
Upaya
pengendalian
makroekonmi
dengan
pendekatan ini sampai saat ini masih sulit dilakukan, karena menyangkut
teknologi yang sifatnya jangka panjang.
Teori Keynes yang merupakan
demand side dari makroekonomi masih mendominasi kebijakan yang
dipegang pada sebagian besar negara. Apa yang terjadi dengan harga dan
output (GNP) hanya mengikuti apa yang terjadi dengan permintaan agregat.
Sehingga
kebijakan-kebijakan
makro
harus
diarahkan
bagaimana
mempengaruhi permintaan agregat agar pada tingkat yang sesuai dengan
yang diinginkan. Menurut dasar logika ini, penawaran agregat (aggregat
supply) dianggap seolah-olah sebagai sesuatu yang (paling tidak dalam
jangka pendek) tidak dapat dipengaruhi secara langsung, tetapi hanya secara
tidak
langsung
lewat
permintaan
agregat.
Akhir-akhir
ini
ahli
makroekonomi mulai sadar akan pentingnya pengaruh kebijakan makro
pada sisi penawaran (supply side), sehingga analisa makro dapat menjadi
lebih berimbang. Kesulitan utamanya adalah bahwa sampai sat ini belum
dapat dirumuskan hubungan yang jelas antara kebijakan-kebijakan makro
dengan sisi penawaran ini. Setidak-tidaknya belum ada rumusan semantap
atau semapan teori mengenai sisi permintaan (Boediono, 1995).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran makroekonmi
Keynes dengan demand managemant masih mendominasi dalam memecahkan
persoalan-persoalan makroekonomi.
Tulisan ini hanya akan membahas
pengelolaan makroekonomi dari sisi demand management yaitu pada aspek
kebijakan moneter.
II. Posisi dan Arti IS-LM Dalam Penentuan Kebijakan
Pada posisi normal, kurva LM mempunyai slope positif dan kurva IS
berslope negatif. Dalam kasus-kasus ekstrim akan dijumpai dimana kurva
LM dan IS salah satu atau kedua-duanya dapat vertikal dan horisontal.
Uraian berikut memperlihatkan empat keadaan, dimana kurva LM
horisontal, LM vertikal, IS horisontal dan IS vertikal, serta implikasi
kebijakan yang harus diambil.
Kasus ekstrim pertama yaitu kurva LM vertikal. Kasus ini mendekati
teori klasik, sehingga sering disebut kasus klasik. Keadaan ini terjadi jika
tidak ada permintaan uang untuk spekulasi, sehingga total permintaan untuk
uang menjadi inelastis sempurna dalam kaitannya dengan tingkat bunga,
artinya permintaan uang sepenuhnya ditentukan oleh tingkat pendapatan.
Pada kasus ini kebijakan fiskal tidak efektif.
Pergeseran kurva IS akan
meningkatkan atau menurunkan tingkat bunga dan tidak merubah income
sehingga jika kebijakan fiskal dilakukan maka mengakibatkan complete
crowding out.
moneter
Oleh karenanya kebijakan yang efektif adalah kebijakan
yang
menghasilkan
peningkatan
income,
karena
investasi
meningkat sebagai akibat dari menurunnya tingkat bunga, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
r
IS
LM
LM’
r*
r’
y*
y’
y
Gambar 1. Kurva LM Vertikal (Complete Crowding Out)
(Sumber Galbraith dan Darity, 1994)
Kasus ekstrim kedua yaitu kurva LM horisontal.
Kurva LM ini
horisontal karena permintaan uang yang bersifat elastis sempurna terhadap
tingkat bunga. Pada kasus seperti kebijakan moneter tidak efektif, sebaliknya
kebijakan fiskal akan sangat efektif, karena pergeseran ke kanan atas kurva IS
sepanjang kurva LM yang horisontal akan meningkatkan income atau output
tanpa mempengaruhi tingkat suku bunga. Kasus seperti ini sering disebut
liquidity trap atau kasus Keynesian ( Gambar 2).
r
LM
r*
IS
IS’
y*
y’
y
Gambar 2. Kurva LM Horisontal (Liquidity Trap)
(Sumber Galbraith dan Darity, 1994)
Kasus esktrim ketiga yaitu kurva IS horisontal. Kurva IS yang horisontal ini
terjadi jika investasi bersifat elastis sempurna terhadap tingkat bunga. Pada
kasus ini suatu peningkatan dalam pengeluaran pemerintah tidak
berpengaruh terhadap income, karena kenaikan yang kecil terhadap tingkat
bunga itu akan menyebabkan investasi swasta menurun dengan jumlah yang
sama (crowding out). Oleh karenanya kebijakan yang efektif adalah kebijakan
moneter yang dapat meningkatkan income pada full employment tanpa
mempengaruhi tingkat suku bunga. Hal itu diperlihatkan pada Gambar 3.
r
LM
IS
yf
y*
y
Gambar 3. Kurva IS Horisontal
(Sumber Galbraith dan Darity, 1994)
Kasus ekstrim keempat adalah kurva IS vertikal. Kasus ini terjadi jika
konsumsi dan investasi sama sekali tidak respon terhadap tingkat suku
bunga. Kebijakan yang efektif adalah kebijakan fiskal dan tidak akan terjadi
crowding out.
Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat dengan cepat
menghasilkan keadaan full employment seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.
Sebaliknya kebijakan moneter tidak akan efektif pada kasus
seperti ini.
r
IS
LM
r*
y*
yf
y
Gambar 4. Kurva IS Vertikal
(Sumber Galbraith dan Darity, 1994)
III. Pengertian dan Instrumen Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah tindakan pemerintah (atau Bank Sentral)
untuk mempengaruhi situasi makroekonomi yang dilaksanakan melalui
pasar uang.
Secara khusus, kebijakan moneter dapat diartikan sebagai
tindakan makro pemerintah (Bank Sentral) dengan cara mempengaruhi
proses penciptaan uang. Proses pencipatan uang ini dapat mempengaruhi
jumlah uang beredar.
Dengan mempengaruhi jumlah uang beredar
pemerintah dapat mempegnaruhi tingkat suku bunga yang berlaku di pasar
uang. Dan melalui tingkat suku bunga pemerintah dapat mempengaruhi
pengeluaran investasi (I), dan selanjutnya permintan agregat (AD) dan pada
akhirnya tingkat harga (P) dan output.
Dianggap atau diasumsikan bahwa setiap anggota masyarakat
menghasilkan barang-barang dengan tujuan untuk dijual ke pasar,
pertukaran dilakukan dengan menggunakan uang dan jasa-jasa sistem bank
dan pasar uang maupun pasar modal yang keadaannya sudah berjalan
dengan baik.
demikian
Di dalam perekonomian yang mempunyai sifat-sifat yang
tingkat
pengeluaran
masyarakat
dapat
diatur
dengan
mempengaruhi penawaran uang dalam masyarakat atau mempengaruhi
tingkat bunga.
Kebijakan pemerintah untuk tujuan dan
demikian dinamakan kebijakan moneter.
maksud yang
Kebijakan tersebut berkaitaan
dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang diambil untuk mengatur uang
yang beredar serta biaya dan ketersediaan kredit dalam perekonomian.
Kebijakan moneter biasanya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
Bank Sentral atau untuk Indonesia Bank Indonesia yang menurut undangundang keberadaannya adalah independen. Seringkali Bank Sentral disebut
sebagai otoritas moneter, karena dengan sifat independen tersebut Bank
Indonesia mempunyai wewenang melakukan pengendalian uang yang
beredar untuk maksud tertentu. Oleh karenanya perlu diketahui apa fungsi
dan dari lembaga otoritas moneter tersebut.
Otoritas moneter adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian
moneter dengan fungsi (Bank Indonesia, 2001) :
1.
Mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayaran
yang sah
2.
Memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa
3.
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank
4.
Memegang kas pemerintah
Kebijakan moneter yang akan dibahas disini berdasarkan asumsi yang
diberikan di atas, dimana kebijakan yang akan diuraikan terutama untuk
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Sedangkan di negara-negara berkembang lainnya kebijakan seperti ini perlu
dilakukan penyesuaian sesuai keadaan perekonomian yang bersangkutan,
serta kesulitan-kesulitan dalam pelaksananya. Kesulitan dan permasalahan
ini akan dibahas kemudian.
Pada umumnya di negara-negara maju, kebijakan moneter dilakukan
dengan tiga instrumen kebijakan. Ketiganya adalah operasi pasar terbuka
atau open market operation, kebijakan cadangan wajib minimum atau legal
reserve ratio atau required reserve ratio (RRr), dan penentuan tingkat suku
bunga diskonto (discount rate).
1.
Kebijakan Pasar terbuka.
Kebijakan ini menaikkan dan menurunkan jumlah cadangan bank umum
yang ada pada bank sentral untuk mempengaruhi penawaran uang. Hal
tersebut dilakukan dengan membeli atau menjual surat berharga atau
obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai uang
maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan
menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual obligasi.
2.
Cadangan Wajib Minimum. Bank sentral umumnya menentukan angka
rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank
(demand deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila
bank sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yagn
sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak
daripada sebelumnya.
Sebaliknya, apabila pemerintah menghendaki
mengurangi jumlah uang yang beredar, yang sering disebut dengan tight
money policy, dapat dilakukan dengan cara menaikkan minimum legal reserve
ratio. Nilai dari multiplier moneter tergantung pada cadangan wajib
minimum.
3.
Penentuan Discount Rate.
Apabila bank sentral menaikkan tingkat
diskontonya maka jumlah uang nominal yang beredar akan cenderung
berkurang, dan jika pemerintah menghendaki jumlah uang yang beredar
bertambah, maka diskonto bank sentral harus diturunkan.
Bank sentral
merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau komersial dan sebagai
sumber dana yang terakhir.
Bank komersial dapat meminjam dari bank
sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di bawah tingkat suku bunga
kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount rate yang bank
sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi
tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari
bank sentral.
Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga
pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk
meminjam dari bank sentral.
IV. Efektifitas Kebijakan Moneter
Pada Gambar 5 menunjukkan cara kerja dan efektivitas kebijakan
moneter. Kebijakan moneter menggeser kurva LM dari LM0 ke LM1, maka
keseimbangan IS-LM berada pada :
1.
Kisaran liquidity trap, yaitu bagian dari kurva LM yang horisontal.
Kebijakan moneter pada kisaran in tidak akan efektif, karena tidak akan
mampu menaikkan tingkat pendapatan nasional. Pada tingkat bunga yang
begitu rendah harga surat berharga atau obligasi menjadi begitu tinggi,
sehingga semua orang akan meramalkan akan terjadinya penurunan harga
surat-surat obligasi. Dengan ramalan seperti itu, maka tambahan uang yang
tersedia untuk spekulasi tidak dibelikan lagi untuk surat berharga melainkan
disimpan dalam bentuk uang. Dengan bergesernya kurva LM ke kanan,
pada kurva IS adalah IS1, maka titik keseimbangan IS-LM tidak pindah dari
tempat semula (y1) dan tingkat bunga tetap r1. Keadaan liquidity trap ini
sering dijumpai dalam masa depresi yang parah, dimana seolah-olah pasar
uang “macet” sehinga kebijakan moneter tidak efektif.
r
IS3
IS2
IS1
LM0
LM1
r1
y1
y2 y4 y3
y
y5
Gambar 5. Efektifitas Kebijakan Moneter
Sumber : Kaunang, 2001
2.
Kisaran intermediate atau daerah tengah, yaitu bagian dari kurva LM
yang berada antara daerah klasik dan Keynes. Pada kasus ini, elastisitas
tingkat bunga kurva LM lebih besar daripada nol. Akan tetapi lebih kecil
daripada tidak terhingga.
Pada kisaran ini kebijakan moneter mampu
menaikan tingkat pendapatan nasional, tetapi tidak seefektif di daerah klasik.
3.
Kisaran klasik, yaitu bagian dari kurva LM vertikal. Disebut daerah klasik
karena dari daerah inilah kesimpulan secara teoritis dihasilkan oleh kaum
klasik. Dengan peningkatan jumlah uang beredar yang sama, misal titik
keseimbangan
pendapatan
IS-LM
nasional
berada
hanya
di
tengah-tengah,
sebesar
y2y4,
maka
sedangkan
pertambahan
apabila
titik
keseimbangan IS-LM di dalam daerah klasik maka tambahan pendapatan
nasional akan sebesar y3y5. Nilai y3y5 lebih besar dari y2y4 sehingga dapat
disimpulkan bahwa kebijakan moneter efektif di daerah klasik.
Efektifitas kebijakan moneter mendapat kritikan dari ekonom Milton
Friedman. Menurut Friedman bahwa kebijakan moneter tidak akan efektif
karena satu hal, yaitu sulitnya diterka atau diperkirakan berapa besar dan
kapan efeknya akan terasa, sebagaimana yang diutarakan pada pendahuluan
tulisan ini. Friedman tidak mengatakan bahwa kebijakan moneter tidak akan
mempunyai pengaruh terhadap situasi makro, tetapi menurutnya dalam
praktek sulit untuk menentukan berapa besar dan kapan pengaruh dari
suatu kebijakan moneter yang diambil hari ini, karena situasi makro selalu
berubah.
Sehingga besar kemungkinan efek kebijakan yang diinginkan
untuk mengatasi situasi, misal triwulan atau catur wulan yang lampau baru
muncul dan terasa pada triwulan atau catur wulan ini, sedangkan situasi
makro triwulan atau catur wulan ini dapat saja sudah berubah. Keadaan
seperti itu dikatakan policy lags dimana kebijakan moneter tidak efektif
karena adanya perbedaan waktu antara diambilnya tindakan moneter
dengan timbulnya efek kebijakan tersebut yang tidak dapat diketahui secara
persis atau pasti.
V.
Masalah dan Kesulitan Penerapan Kebijakan Moneter Di Negara
Berkembang
Pemerintah (dalam hal ini Bank Sentral) harus menggunakan
kebijakan
moneter
untuk
mempengaruhi
pengeluaran
swasta
dan
masyarakat ke arah yang dinginkan dalam kegiatan ekonomi dan
pembangunan secara keseluruhan.
Pada waktu resesi dan tingkat
pengangguran tinggi, pemerintah harus berusaha meningkatkan seluruh
pengeluaran masyarakat antara lain dengan cara meningkatkan penawaran
uang
dalam
masyarakat.
Meningkatknya
penawaran
uang
akan
mengakibatkan penawaran uang riil akan naik, sehingga kurva LM bergeser
ke kanan bawah yang mengakibatkan tingkat suku bunga turun. Turunnya
suku tingkat bunga menimbulkan gairah investasi yang pada akhirnya
meningkatkan permintaan agregat, dan akhirnya menurunkan tingkat harga
dan menaikkan output nasional. Kebijakan moneter yang dapat dilakukan
untuk mecapai tujuan ini adalah mengurangi tingkat cadangan minimum,
menurunkan tingkat bunga dan membeli surat-surat berharga dari
masyarakat.
Pada masa inflasi dan ekonomi yang memanas, kebijakan
moneter dilakukan haruslah berjalan ke arah yang sebaliknya.
Kebijakan
moneter
yang
dilakukan
tersebut
kurang
besar
efektifitasnya dalam melaksanakan fungsinya di negara-negara berkembang
dibandingkan dengan di negara-negara maju. Namun demikian, kebijakan
moneter masih tetap besar peranannya dalam menciptakan kestabilan
ekonomi dan uang di negara berkembang.
Bentuk kebijakan yang
dilaksanakan perlu disesuaikan dengan masalah-masalah yang sebenarnya
dihadapi oleh negara berkembang. Karena uang tunai merupakan bagian
terbesar dari penawaran uang, maka kebijakan moneter bukan saja harus
ditujukan untuk mempengaruhi penawaran uang yang diciptakan oleh
sistem perbankan, tetapi harus pula meliputi usaha untuk mempengaruhi
penawaran uang tunai yang beredar dalam masyarakat.
Pertambahan penduduk dan pendapatan masyarakat sebagai akibat
dari usaha dan kegiatan pembangunan menyebabkan dari tahun ke tahun
penawaran uang yang beredar harus ditambah (Tabel 1). Tabel tersebut
menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terjadi peningkatan uang beredar.
Pada tahun 1996 jumlah uang kartal dan giral (M1) sebesar Rp 64.089 milyar
dimana kontribusi uang giral lebih banyak (65%) dibandingkan uang kartal.
Pada tahun 2000 M1 sebesar Rp 162.186 miliar. Data terakhir tahun 2001
sampai dengan bulan November mencapai Rp 171.383 milyar.
Dengan demikian, salah satu tugas dari kebijakan moneter adalah
menyediakan pertambahan penawaran uang yang cukup sehingga usahausaha pembangunan dapat berjalan lancar.
Pada masa terjadi kelebihan
permintaan dan inflasi, penawaran uang dalam masyarakat harus dikurangi.
Di negara-negara berkembang kebijakan ini harus mencakup juga kebijakan
untuk mempengaruhi penawaran uang tunai dalam masyarakat, yaitu
dengan berusaha menarik uang tersebut dari tangan masyarakat, sehingga
akan menurunkan tingkat pengeluarannya.
Cara yang dapat ditempuh
dengan menarik uang tersebut ke dalam sistem perbankan, misalnya dengan
cara memberikan bunga yang tinggi kepada nasabah deposito berjangka.
Tabel 1. Jumlah Uang yang Beredar, 1996-2001
Uang Beredar (Milliar Rp)
Tah
un
M2
M1
Uang Kartal
Uang Giral
(1) +
Uang
(1)
(2)
(2)
Kuasi
Jumla
h
1996
22.487
41.602
224.543
64.089
1997
28.424
49.919
2
277.300
78.343
1998
41.394
59.803
101.19
58.353
66.280
124.63
476.197
72.371
89.815
162.18
521.572
*
73.139
98.244
171.38
3
646.20
5
584.842
6
2001
577.38
1
3
2000
355.64
3
7
1999
228.63
747.02
8
650.308
821.69
1
Sumber : Bank Indonesia, 2001
Keterangan : * Data sampai dengan Bulan November
Kebijakan moneter yang harus dilakukan di negara berkembang pada
umumnya lebih berat dan sulit jika dibandingkan dengan negara-negara
maju.
Faktor pertama yang menjadi penyebabnya bahwa tugas untuk
menciptakan penawaran uang yang cukup sehingga pertambahannya dapat
selalu selaras dengan jalannya pembangunan yang memerlukan disiplin
yang kuat di kalangan otoritas moneter dan pemerintah. Kekurangan modal
dan terbatasnya pendapatan pemerintah seringkali menimbulkan dorongan
yang kuat kepada pemerintah untuk meminjam secara berlebihan kepada
Bank Sentral. Kalau ini dilakukan, maka laju pertambahan uang tunai akan
menjadi lebih cepat daripada yang diperlukan, akibatnya terjadi inflasi.
Kedua, bank sentral di negara-negara berkembang harus secara lebih
teliti dan berhati-hati mengawasi perkembangan penerimaan valuta asing
dan mengawasi kegiatan dalam ekspor dan impor. Kegiatan di sektor ini
sangat mudah menimbulkan inflasi karena berfluktuasinya harga-harga
bahan mentah yang diekspor, sehingga penerimaan dari kegiatan ekspor
mengalami perubahan yang tidak teratur, adakalanya kenaikannya besar
sekali dan adakalanya menjadi sangat merosot.
Akibatnya dari naik
turunnya pendapatan ekspor, akan bear pengaruhnya atas terjadinya
ketidakstabilan ekonomi dan moneter serta ketidakstabilan pembangunan
nasional.
Kebijakan moneter seyogyanya pula menjalankan langkah-langkah
yang menjamin agar modal atau tabungan yang dikumpulkan dapat
diarahkan penggunaannya kepada kegiatan-kegiatan yang lebih produktif.
Biasanya,
perbankan
di
negara
berkembang
lebih
menitikberatkan
kegiatannya dalam memberikan pinjaman kepada sektor perdagangan,
karena seringkali lebih menguntungkan dan resikonya relatif lebih kecil. Di
sisi lain, pembangunan ekonomi memerlukan perluasan pinjaman kepada
sektor industri dan pertanian. Untuk menjamin agar dana tabungan yang
dciptakan dapat mengalir ke sektor-sektor produktif tersebut, maka perlu
dilakukan pengaturan dan pengawasan oleh pemeritah atau Bank Sentral
dengan melaksanakan kebijakan moneter yang sesuai untuk tujuan tersebut.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan :
1.
Posisi atau slope dari kurva IS-LM akan mempengaruhi kebijakan moneter
yang harus diambil oleh pemerintah (Bank Sentral) dan efektifitas dari
kebijakan itu sendiri.
2.
Tiga instrumen penting dalam kebijakan moneter dalam rangka
mengendalikan jumlah uang beredar yaitu kebijakan pasar terbuka (open
market operation), ketentuan cadangan wajib minimum (required reserve ratio),
dan penentuan discount rate Bank Sentral.
3.
Kebijakan moneter yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia kurang besar efektifitasnya dibandingkan di negara-negara maju,
karena dalam penerapannya (enforcement) lebih berat dan sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia.
2001. Buletin Bulanan Statistik Ekonomi-Keuangan
Indonesia. Vol III No. 12. Bank Indonesia. Jakarta.
Boediono, 1995. Ekonomi Makro. Edisi 4. BPFE. Yogyakarta
Branson, W. H., J. M. Litvack. 1981. Macroeconomics. Harper & Row,
Publishers. New York.
Galbraith, J.K and W. Darity, Jr. 1994. Macroeconomics. Houghton Mifflin
Company Boston Toronto.
Glahe, F. R. 1977. Macroeconomics Theori and Policy.
Jovanovich, Inc. New York.
Harcourt Brace
Kamaluddin, R. 1998. Pengantar Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kaunang, R. 2001. Kebijakan Moneter. Makalah Makroekonomi Lanjutan PS
EPN IPB. Bogor.
Download