1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan jahe sebagai salah satu obat tradisional di masyarakat Indonesia
sudah banyak dilakukan. Jahe dikenal memiliki berbagai khasiat seperti anti
muntah
(antiemetic),
anti
batuk
(antitussive/expectorant),
merangsang
pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005). Selain itu,
rimpang jahe juga memiliki efek anti muntah,pemberi rasa pada obat, dan
mengatasi terkilir (Wahyoedi, 1994). Jahe (fam. Zingiberaceae) memiliki
kandungan zat pedas dalam jahe, yaitu 6-gingerol sebagai kandungan utama jahe
dan 6-shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari 6-gingerol akan memengaruhi
khasiat dari jahe. Kedua senyawa yang terkandung dalam jahe ini dilaporkan
memiliki beberapa efek farmakologi.
Weng et al. (2010) menemukan adanya potensi aktivitas anti-invasif pada sel
hepatoma dengan penghambatan (MMP)-9 dan induksi (TIMP)-1 yang dapat
dijadikan sebagai terapi kanker hati. Hasil penelitian secara in vitro yang
dilakukan oleh Nalbantsoy et al. (2008) menemukan adanya aktivitas
penghambatan proliferasi sel fibroblas tikus (L929) dari ekstrak kloroform jahe,
yaitu pada nilai IC50 87,28 μg/mL dan aktivitas ini akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang diberikan. Kim et al.(2008) melaporkan bahwa
ekstrak metanol rimpang jahe memiliki aktivitas sitotoksik secara bermakna
terhadap berbagai kultur sel tumor manusia (A549, SK-OV-3, SK-MEL-2, dan
HCT 15) dan dilaporkan bahwa senyawa aktif sitotoksik terkonsentrasi pada
1
2
fraksi kloroform.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2003) menemukan adanya
aktivitas penghambatan ekspresi Bcl-2 pada sel HL-60 yang mengakibatkan
terjadinya apoptosis pada sel ini. Sel HL-60 ini merupakan sel yang terlibat pada
penyakit leukemia.
Kim et al. (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa 6-gingerol mampu
menghambat
pertumbuhan
tumor
dan
metastasis
melalui
aktivitas
antiangiogenesis. Sementara itu, hasil penelitian secara in vitro yang dilakukan
oleh Ling et al. (2010) juga menemukan adanya aktivitas antimetastasis pada sel
kanker payudara dari senyawa 6-shogaol.
Wei et al. (2005) menemukan adanya aktivitas sitotoksik dan apoptosis yang
signifikan pada sel leukemia promyelositik manusia yang diberi beberapa ekstrak
jahe dimana di dalamnya terkandung diarylheptanoids dan beberapa turunan
gingerol. Miyoshi et al.(2003) menemukan adanya aktivitas induksi apoptosis
pada Human T lymphoma Jurkat Cells pada kandungan Japanese Ginger
(Zingiber mioga Rosc.), yaitu galanal A dan galanal B. Adanya beberapa aktivitas
sitotoksik yang ditemukan sebagai akibat pemberian ekstrak jahe ini
mengakibatkan penelitian terkait keamanan sediaan obat menjadi hal yang penting
dilakukan sebelum sediaan obat digunakan oleh masyarakat luas, terlebih pada
penggunaan selama masa kehamilan.
Selama masa kehamilan terjadi proses organogenesis dan perkembangan janin
yang melibatkan berbagai proses pembentukan struktur tubuh dan organ yang
melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan,
3
bentuk, dan susunan sel. Sehingga, penggunaan ekstrak jahe yang berlebihan
dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan janin.
Hingga saat ini, penelitian keteratogenikan ekstrak sampel DLBS 5447
tinjauan gros morfologi janin belum pernah dilakukan. Melalui penelitian ini akan
didapatkan informasi mengenai keamanan ekstrak sampel DLBS 5447 bila
digunakan pada masa kehamilan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut.
a)
Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447pada tikus bunting
galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan akan menimbulkan
efek teratogenik pada janin?
b)
Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 pada tikus bunting
galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan memengaruhi gros
morfologi janin?
c)
Senyawa apa sajakah yang terkandung pada ekstrak sampel DLBS 5447
yang kemungkinan dapat menimbulkan efek teratogenik berupa cacat gros
morfologis janin?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek teratogenik sebagai akibat dari
pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 secara oral jika diberikan selama
17 hari masa kebuntingan pada tikus Sprague-Dawley tinjauan gros morfologi
4
janin, sehingga dapat diketahui keamanan sediaan bila digunakan selama masa
kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga akan menunjukkan senyawa yang
terkandung dalam ekstrak sampel DLBS 5447 yang kemungkinan bertanggung
jawab pada efek teratogen melalui profil kromatografi lapis tipis ekstrak.
D. Tinjauan Pustaka
1. Klasifikasi jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) merupakan salah satu komoditas
ekspor rempah-rempah Indonesia yang banyak digunakan dalam makanan sebagai
penambah aroma dan pengobatan. Di India dan Cina, teh jahe yang dibuat dari
jahe segar dapat mengurangi berat badan dan membantu pencernaan. Bubuk jahe
dapat digunakan untuk mengobati demam dingin (Hernani dan Winarti, 2001).
Klasifikasi tanaman jahe secara umum adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Zingiber
Jenis
: Zingiber officinale Rosc.
Sinonim
: Zingiber majus Rumph.
(Anonimd, 2001)
5
2. Kandungan kimia jahe
Jahe mengandung banyak minyak atsiri. Menurut European Medicine Agency
(2012), komponen minyak atsiri sebanyak 1-4% yang terkandung di dalamnya
memberikan aroma yang khas pada jahe. Lebih dari 100 senyawa diidentifikasi
dan sebagian besar merupakan golongan terpenoid terutama seskuiterpenoid (αzingiberen,
β-seskuifellandren,
β-bisabolene,
α-farnesen,
ar-kurkumen
(zingiberol) dan beberapa monoterpenoid seperti kamfen, β-fellandren, sineol,
geraniol, kurkumen, sitral, terpineol, dan borneol. Komposisi minyak atsiri pada
jahe sangat tergantung pada asal-usul bahan (Afzal et al., 2001; Ali et al., 2008;
HMPC, 2012). Zat-zat pedas pada jahe, yaitu turunan gingerol (4-7,5%) adalah
serangkaian homolog fenol. Salah satunya adalah 6-gingerol. Turunan gingerol
yang lain seperti 8-gingerol dan 10-gingerol terdapat dalam jumlah yang lebih
kecil. Selama pengeringan dan penyimpanan, gingerol yang sebagian terdehidrasi
menjadi shogaol dan pada pengurangan lebih lanjut akan membentuk paradol
(Afzal et al., 2001; Jolad et al., 2005; Kim et al., 2008). Konstituen lainnya adalah
pati, hingga 50%, lipid 6-8%, protein, dan senyawa anorganik.
Golongan minyak atsiri dan turunannya yang menjadi komponen metabolit
terbesar yang terkandung dalam jahe. Gingerol merupakan cairan berminyak yang
tersusun dari homolog fenol dengan komponen utama 6-gingerol dengan struktur
kimia yang dapat dilihat pada gambar 1. Karakteristik gingerol ini stabil bila
berada dalam lingkungan yang banyak mengandung air dan dapat bertahan sampai
suhu 100oC. Namun pada suhu di atas 100oC, gingerol tidak stabil dan akan
berubah menjadi shogaol dengan lebih cepat (Bhattarai et al., 2001). Hal ini
6
disebabkan karena adanya gugus fungsional β-hidroksi keto yang labil dalam
pemanasan (Purnomo et al., 2010; Wohlmuth et al., 2005).
Sementara itu, 6-shogaol merupakan bentuk gingerol yang terdehidrasi pada
gugus OH atom C5 dan membentuk ikatan rangkap antara atom C4 dan C5.
Selain merupakan zat aktif yang terbentuk dalam jahe secara alami, senyawa ini
juga terbentuk dari gingerol pada medium dengan pH 2,5-7,2 disertai pemanasan
pada jangka waktu yang lama. Adanya interaksi dengan silika gel dan alumina
pada analisis kromatografi juga memungkinkan terbentuknya senyawa ini (Jolad
et al., 2004).
Gambar 1. Struktur kimiawi 6-gingerol (atas) dan 6-shogaol (bawah) (Weng et al., 2010)
3. Khasiat dan efek farmakologi jahe
Selama ini, jahe menjadi tumbuhan obat utama di China, Ayuverda, dan TibbUnani untuk pengobatan katarak, reumatik, gingivitis, sakit gigi, asma, stroke,
konstipasi, dan diabetes (Ali et al., 2007). Grzanna et al. (2005) menemukan
bahwa jahe juga dapat memiliki aktivitas sebagai agen anti-inflammasi. Ekstrak
metanolik
dari
jahe
ini
memiliki
aktivitas
sebagai
antihiperlipidemia,
7
antihiperglikemia, dan antihiperinsulin. Pemberian ekstrak metanolik jahe pada
tikus yang diinduksi pemacu obesitas selama 8 minggu menunjukkan adanya
penurunan level glukosa dan insulin (Goyal dan Kadnur, 2006). Pada dosis
500mg/kg ekstrak jahe ini efektif secara signifikan dalam menurunkan level
glukosa, kolesterol, dan triasilgliserida yang berpotensi untuk dikembangkan pada
terapi penyakit diabetes (Al-Amin et al., 2006).
Salah satu kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada jahe adalah
gingerdion. Senyawa ini terbukti memiliki aksi sebagai inhibitor siklooksigenase,
suatu enzim yang berperan dalam proses inflammasi atau peradangan (Charlier
dan Michaux, 2003; Martel-Pelletier et al., 2003).
Selain itu, aktivitas farmakologi dari ekstrak jahe sebagai antimual dan
muntah juga telah banyak diteliti. Ekstrak aseton dan ekstrak etanolik 50% jahe
dengan pemberian pada dosis 100, 200, dan 500 mg/kg secara signifikan
memengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Aksi dari senyawa yang
terkandung dalam ekstrak aseton jahe ini menyerupai aksi Ondansentron, obat
yang beraksi pada reseptor 5HT-3 yang berperan dalam respon mual muntah.
Sehingga, penggunaan ekstrak jahe ini dapat diberikan pada pasien paska operasi
untuk mengurangi resiko mual-muntah (Malhotra dan Singh, 2003).
4. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau
lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
8
tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas sebagai
akibat adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran
a
molekul, atau kerapatan muatan ion (Anonim , 1995)
Kromatografi lapis tipis atau KLT merupakan salah satu bentuk kromatografi
planar selain kromatografi kertas dan elektroforesis yang digunakan dalam
pemisahan berbagai kandungan kimia dari tumbuhan.
Metode ini merupakan metode kromatografi cair yang paling sederhana dalam
analisis kromatografi. Pemisahan yang terjadi pada KLT ini didasarkan pada
adanya dua fase yang berbeda karakteristik polaritasnya, yaitu fase diam
(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Komponen senyawa yang
dianalisis
akan
dibawa
oleh
fase
gerak
bermigrasi
ketika
dilakukan
elusi/pengembangan. Penggunaan KLT ini dapat diaplikasikan pada analisis
kualitatif, kuantitatif, dan preparatif (Gritter et al., 1991).
a. Analisis kualitatif. Analisis ini digunakan untuk menunjukkan ada
tidaknya senyawa tertentu yang terkandung dalam suatu cuplikan atau sampel uji.
Pada kromatografi lapis tipis, analisis dilakukan dengan membandingkan senyawa
murni dengan sampel uji, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Selain
itu, analisis ini banyak digunakan untuk menetapkan fingerprint dari sampel uji
berupa campuran yang rumit, sebagai contoh sampel dari ekstrak jaringan, urine,
darah, maupun bahan kimia dasar/obat (Gritter et al., 1991).
b. Analisis kuantitatif. Analisis ini akan menentukan banyaknya masingmasing senyawa yang terkandung dalam sampel uji, kadar relatifnya teradap
senyawa lain, maupun sebagai kadar mutlak jika dibandingkan dengan standar
9
(pembanding) pada kalibrasi yang sesuai. Metode ini sangat tepat digunakan
dalam pengendalian mutu (Quality Control) suatu industri (Gritter et al., 1991).
c. Analisis preparatif. Analisis kromatografi preparatif digunakan untuk
memperoleh komponen campuran dalam jumlah yang memadai dalam keadaan
murni dan bisa digunakan untuk analisis berikutnya (Gritter et al., 1991).
Parameter pemisahan dengan kromatografi lapis tipis ini berupa nilai Rf
(Retardation Factor) dimana
Rf =
Nilai Rf ini bervariasi antara 0 hingga 1. Selain dinyatakan dalam R f,
parameter utama kromatografi lapis tipis ini juga dapat dinyatakan dengan hR f
yang bernilai 0-100 (Sherma dan Fried, 1996).
Deteksi dengan KLT dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Deteksi kualitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan sinar UV pada panjang
gelombang 254 dan 366 nm, dimana adanya senyawa yang terjerap pada fase
diam akan menyebabkan terjadinya penyerapan pada daerah UV pendek (radiasi
utama pada 254 nm) atau fluoresensi pada daerah UV panjang (366 nm). Ketika
deteksi dengan cara ini belum terlihat adanya bercak senyawa, dapat dilakukan
reaksi kimia. Reaksi kimia ini menggunakan berbagai macam pereaksi semprot
yang ketika disemprotkan pada senyawa akan membentuk warna. Contoh
pereaksi warna yang dapat digunakan dalam deteksi kualitatif KLT adalah
anisaldehid-H2SO4,
pereaksi
vanillin,
AlCl3,
FeCl3,
dan
KOH
10%.
Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan
10
waktu tertentu. Pemanasan sebaiknya dilakukan dengan pemanas yang dilengkapi
o
dengan thermostat yang akan menjaga suhu tetap pada 120 C (Stahl, 1985).
Deteksi kuantitatif KLT dilakukan dengan menggunakan alat densitometer.
Densitometer
merupakan
pelacak
kuantitatif
yang
dilengkapi
dengan
spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200-700 nm
(TLC-Scanner). Prinsip kerja alat ini adalah pengukuran intensitas sinar, baik
yang diserap dan diteruskan, maupun sinar yang dipantulkan atau dipendarkan.
Banyaknya senyawa dinyatakan dengan perhitungan luas atau tinggi puncak
(Sastroamidjojo, 1985).
5.
Toksikologi dan uji toksikologi
Ada beberapa definisi yang menjelaskan makna dari toksikologi. Toksikologi
merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas
system biologis (Donatus, 2001). Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi
yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa pada
aneka ragam hewan uji. Uji toksikologi yang termasuk dalam uji ini adalah uji
ketoksikan akut, subkronis, dan kronis.
b. Uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan khas merupakan suatu uji toksikologi
yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sebagai akibat
dari pemberian suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Salah satu contoh
dari uji ketoksikan khas adalah uji keteratogenikan.
11
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan selama
masa
organogenesis pada
hewan bunting. Toksisitas pada
hakekatnya
menjelaskan tentang kerusakan / cidera pada organisme yang diakibatkan oleh
suatu materi, substansi, atau energi. Definisi lain menyebutkan bahwa toksisitas
merupakan proses kerjanya racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme
terjadinya efek tersebut (Lu, 1995).
Uji keteratogenikan ini dilakukan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa
terhadap janin dalam hewan bunting (Donatus, 2001). Pada uji keteratogenikan,
hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis, roden dan nirroden. Pemilihan
hewan uji harus memerhatikan beberapa faktor diantaranya umur, berat badan,
keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap senyawa yang
diberikan.
6. Teratologi
Teratologi berasal dari bahasa Yunani Teras (Monster) dan Logos (Ilmu).
Ilmu yang mempelajari penyebab, mekanisme, dan manifestasi perkembangan
kematian fetus, malformasi konginetal, gangguan fungsional, atau gangguan
pertumbuhan (Haschek dan Rousseaux, 1991).
Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan
normal embrio atau janin dalam uterin, yang mengakibatkan kelainan atau cacat
bawaan bayi baik makroskopik maupun mikroskopik. Keadaan ini mencakup
perubahan struktural maupun fungsional (Donatus, 2001). Adanya pemberian
suatu
xenobiotika
pada
masa
organogenesis
atau
embriogenesis
akan
12
menimbulkan efek toksik pada janin.
Efek toksik yang dihasilkan sangat bergantung pada waktu pemejanan
senyawa dan periode kebuntingan. Efek ini dapat berupa kematian, kelainan
bawaan atau cacat bawaan, perlambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsional
tubuh (Donatus, 2001). Mekanisme teratogenesis dari suatu senyawa dapat dibagi
menjadi beberapa kemungkinan, yakni melalui mutasi genetik, penyimpangan
kromosomal, gangguan miotik, gangguan asam-asam nukleat, kekurangan hara,
kekurangan pasok energi, hambatan enzim, perubahan osmolaritas, dan perubahan
permeabilitas membran.
7.
Sistem reproduksi tikus
Sistem reproduksi mamalia khususnya tikus melingkupi organ reproduksi dan
siklus reproduksinya.
a. Organ
reproduksi.
Organ-organ
reproduksi
secara
umum
dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu organ reproduksi utama dan alat reproduksi
tambahan. Pada tikus betina, organ reproduksi utama berupa ovarium dan organ
reproduksi tambahan terdiri atas saluran-saluran reproduksi seperti terlihat pada
gambar 2.
1) Vagina
Vagina pada tikus betina berupa suatu kanal otot yang pendek yang
menghubungkan uterus/rahim tikus dengan bagian luar tubuh. Dinding
vagina dilapisi dengan mukosa membran yang akan melindungi dan
menjaga kelembaban vagina. Vagina akan menjadi jalan masuknya sperma
13
pada proses fertilisasi dan jalan keluarnya janin pada waktu kelahiran.
Gambar 2. Organ reproduksi tikus betina (Anonimf, 2008)
2) Ovarium
Organ ini terletak pada bagian ujung uterus dan berada di dekat ginjal.
Ovarium ini akan memproduksi sel telur dan beberapa hormon. Sel telur
yang matang kemudian akan dikeluarkan ovarium melalui oviduk yang
merupakan penghubung antara ovarium dan uterus tikus.
3) Uterus
Ketika masa ovulasi selesai yang ditandai dengan lepasnya sel telur dari
ovarium, sel telur akan menempel pada dinding uterus. Tikus memiliki 2
uterus, yaitu uterus kanan dan uterus kiri yang dikenal dengan istilah
bicornuate uterus. Adanya struktur bikornuat pada uterus tikus ini
menjadikan tikus memiliki kebuntingan yang lebih banyak (multiple).
14
4) Kelenjar Mammal
Kelenjar ini akan memroduksi susu/kolostrum yang sangat berguna bagi
perkembangan janin tikus. Kelenjar ini terdiri atas sel-sel alveoli yang
berhubungan dengan sel epitelial yang memproduksi susu.
5) Cervix (Mulut Rahim)
Mulut rahim ini menjadi penghubung antara vagina dan rahim. Pada organ
ini memiliki dinding sel yang kuat dan terbuka ketika tikus memasuki
periode kelahiran. Adanya mulut rahim ini berperan dalam perlindungan
uterus.
6) Klitoris
Organ ini merupakan homolog dari penis tikus jantan. Klitoris berlokasi di
atas uretra (Anonime, 2008).
b.
Daur estrus. Masa perkawinan pada mamalia dapat diketahui dengan
mengetahui daur estrusnya. Daur estrus merupakan daur seksual pada mamalia
yang bukan sebangsa manusia atau primata dimana keteraturan dari daur estrus ini
akan mendukung fertilitas betina.
Siklus estrus tikus normal terjadi selama 4 hingga 5 hari dan berlangsung
sejak permulaan pubertas hingga tua, termasuk selama masa pasca kelahiran.
Dalam siklus estrus ini melibatkan beberapa jenis sel yang secara spesifik
berkorelasi dengan kondisi di sekitar mukosa vagina, uterus (rahim), dan ovarium.
Siklus estrus terdiri dari 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus
(Bennett dan Vickery, 1970; Lohmiller dan Swing, 2006).
15
1) Fase Proestrus
Fase proestrus ini berlangsung selama 1 hari dan ditandai dengan keberadaan
sel epitel berinti dalam bentuk granul di bawah mikroskop.
2) Fase Estrus
Fase estrus berlangsung sangat singkat. Ketika siklus sudah memasuki fase
ini, pada cairan vagina akan muncul dalam jumlah besar sel kornified, sel non
kornified, dan leukosit.
3) Fase Metestrus
Fase metestrus menggambarkan masa peralihan ke fase diestrus 1
yang
terkarakterisir dengan adanya leukosit, sel epitel kornified, dan sel epitel
biasa.
4) Fase Diestrus.
Hari ke-2 dari fase diestrus akan terlihat sejumlah kecil sel epitel berinti dan
sel strand (Goldman et al., 2007).
Gambar 3. Kenampakan sel pada cairan vagina (Goldman et al., 2007)
16
Keterangan :
A,B = sel proestrus cenderung muncul dalam rumpun dan memiliki penampilan
granular
C = sel proestrus alternatif dapat hadir sebagai strand
D = sel estrus, sel keratin klasik, sel seperti jarum
E = sel estrus, sel alternatif dapat muncul bulat, dengan tepi bergerigi tidak teratur
F = sel metestrus, kombinasi atau bulat 'sel trotoar', beberapa sel seperti jarum, dan
leukosit lebih kecil sedikit yang bisa hadir selama masa transisi selama bagian
awal hari pertama diestrus
G = sel diestrus, leukosit dapat muncul dalam kombinasi dengan berbagai sel bulat
yang lebih besar
H = sel diestrus; smear leukocytic klasik dengan beberapa sel epitel bulat yang lebih
besar
8.
Fertilisasi dan periode perkembangan janin tikus
Sel telur yang telah mengalami pembuahan akan berkembang menjadi embrio.
Embrio yang terbentuk mengalami berbagai tahapan perkembangan sebelum
menjadi janin, mulai dari pembentukan zigot, blastulasi, gastrulasi, organogenesis,
dan pertumbuhan-perkembangan janin. Menurut Hogan et al. (1994), tahapan
perkembangan janin pada tikus dapat dibagi sebagai berikut.
a.
Pembentukan zigot dan blastulasi (Cleavage and Blastulation). Setelah
fertilisasi terjadi, sel telur yang telah dibuahi sel sperma akan melebur dan
membelah menjadi 2 sel. Pada masa ini terjadi ekspresi gen zigot yang merupakan
gabungan dari gen induk. Pembelahan terus terjadi selama 4 hari kebuntingan
hingga terbentuk blastosit.
b. Gastrulasi dan organogenesis awal. Blastosit yang terbentuk ini kemudian
membentuk zona pelusida yang nantinya akan menjadi kantong plasenta. Pada
hari ke-5 hingga 6 kebuntingan, mulai terjadi pembentukan cairan amniotik.
Organogenesis merupakan tahap pembentukan struktur tubuh dan organ yang
melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan,
bentuk sel, dan susunan sel. Dalam organogenesis, perubahan terbentuk secara
17
induksi. Sel-sel induk (germ layer cell) akan menginduksi sel induk tetangganya
untuk mengubah karakteristik sel itu dan berkembang membentuk jaringan atau
organ (Murphy, 2013).
c. Pembentukan gastrula. Gastrulasi merupakan proses perkembangan
embrio setelah terbentuk blastula dan berkembang tiga lapisan sel, yaitu
ektoderm, mesoderm, dan endoderm. Lapisan ektoderm membentuk epidermis
kulit, epitel rongga mulut termasuk hidung, sistem saraf, dan organ-organ indera.
Mesoderm akan membentuk otot dan jaringan ikat, tulang, dan komponen lain
yang berperan pada sistem peredaran darah, sistem urinaria, dan sistem genital.
Lapisan endoderm akan membentuk mukosa epitelium dan kelenjar pada sistem
pencernaan dan pernapasan (Fletcher dan Weber, 2013).
d. Perkembangan allantois (Allantois formation). Allantois merupakan
prekursor embrionik dari tali pusar pada mamalia dan salah satu bagian dari area
embrio. Allantois memiliki peran penting dalam pembentukan plasenta
choriallantoic melalui vaskulogenesis, remodeling vaskuler, dan angiogenesis
(Arora dan Pappaioannou, 2012). Pembentukan allantois ini terjadi pada hari ke-7
kebuntingan.
e. Neurulasi dan pembentukan jaringan saraf. Pada hari ke-8, sel saraf pada
janin mulai berkembang yang disebut dengan neurulasi. Neurulasi ini mengacu
pada transformasi notokord yang terinduksi ektoderm menjadi jaringan saraf.
Proses dimulai dari pembentukan jaringan saraf pada bagian otak depan dan
kemudian merambat hingga sumsum tulang belakang.
f.
Perkembangan telinga dalam. Pada hari ke-9, Beberapa sel pada labirin
18
bermembran berkembang menjadi reseptor dan reseptor ini dapat ditemukan pada
maculae dan ampullae. Kapsul otik kartilago ini akan berkembang membentuk
labirin yang selanjutnya akan menjadi bagian dari tulang temporal kepala.
g. Perkembangan lengan depan (forelimb bud) dan lengan belakang
(hindlimb bud). Pada hari ke-9 hingga 10 kebuntingan, perkembangan lengan
pada janin tikus berasal dari dinding somatopleure. Lengan dihasilkan dari
proliferasi dan penjenuhan mesenkim, bagian permukaan lapisan ektoderm.
Bagian lengan meliputi bagian proksimal (bahu yang berkembang pertama) dan
bagian distal (footplate).
h. Perkembangan organ paru-paru. Perkembangan paru-paru diawali dengan
evaginasi embrio dari tunas epitel avaskular yang merambat ke jaringan
mesenchymal di sekitarnya. Selama embriogenesis, pada semua spesies mamalia,
perkembangan paru-paru dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pseudoglandular,
kanalikular, dan sakkular. Meskipun perkembangan paru-paru pada manusia dan
tikus cukup identik, namun waktu untuk setiap tahap berbeda. Gambar 4
menunjukan skema perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan
paru-paru pada tikus dan manusia (Pinkerton dan Joan, 2005). Pada tikus,
perkembangan paru-paru dimulai sejak hari ke-15 masa kebuntingan yang diawali
dengan perkembangan pseudoglandular hingga hari ke-18. Kemudian memasuki
hari ke-18 hingga 20 kebuntingan, tahapan sudah memasuki fase kanalikular
hingga pada hari ke-21, paru-paru pada janin sudah terbentuk (fase sakkular).
Setelah kelahiran, saluran pernafasan dan alveolar terbentuk sempurna dan mulai
berfungsi sejak hari ke-28 pasca kelahiran. Berbeda dengan tikus, pada manusia
19
paru-paru mulai bisa berfungsi normal ketika bayi memasuki usia 2-8 tahun.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan paru-paru normal,
diantaranya faktor transkripsi, sinyal molekuler, dan faktor larut yang terlibat
secara genetik dalam merancang perkembangan saluran pernafasan pada embrio.
i. Pembentukan lensa mata dan mata. Pada permukaan lapisan ektoderm
akan berkembang placode lensa dan vesikel lensa yang akan menjadi lensa mata.
Sementara itu, bola mata/celah optik dibentuk oleh invaginasi dari permukaan
ventral dari cangkir optik dan optik tangkai (Fletcher dan Weber, 2013).
a.
b.
c.
Gambar 4. Skema perbandingan periode perkembangan paru-paru: secara umum (a.),
pada tikus (b.), dan pada manusia (c.) (Pinkerton dan Joad, 2005)
j. Perkembangan ginjal, kelamin, dan pigmen pada retina. Pada hari ke-11,
lapisan mesoderm bagian intermediate (bagian yang berdekatan selom
mesotelium) akan membentuk lekukan urogenital. Lekukan urogenital ini terdiri
dari
2
lekukan,
yaitu
jaringan
nefrogenik
(Nephrogenic
Cord)
dan
Mediallypositioned Gonad Ridge. Jaringan nefrogenik lateral akan berkembang
menjadi ginjal & ureter ). Sementara itu, Mediallypositioned Gonad Ridge akan
berkembang menjadi organ reproduksi (ovarium, testis &saluran kelamin) pada
20
hari ke-12. Sistem kemih dan sistem reproduksi memiliki asal embrio yang sama,
sehingga perkembangan saluran umum (ureter maupun saluran kelamin) juga
sama (Fletcher dan Weber, 2013). Sementara itu, pembentukan retina terjadi
diantara saraf dan lapisan berpigmen luar retina (inner dan dinding luar cangkir
optik) yang tidak menyatu, akan tetapi terbentuk oleh tekanan dari vitreous tubuh.
k. Pembentukan kelopak mata, sel darah merah, dan humerus. Pada hari ke13, kelopak mata dibentuk oleh lipatan atas dan bawah dari ektoderm, yang
masing-masing lipatan merupakan bagian dari inti mesenkim. Pada hari ke-15,
lipatan-lipatan ini saling terikat satu sama lain sehingga kelopak mata yang
terbentuk ini menutup. Pada karnivora, kelopak ini akan terpisah baik sekitar dua
minggu setelah kelahiran (Fletcher dan Weber, 2013).
l. Pembentukan tulang. Sebagian besar tulang berasal dari chondroblast,
suatu prekursor dari tulang kartilago. Untuk bagian tengkorak dan wajah,
perkembangan tulang terjadi di dalam membran, dimana sel osteoblast secara
langsung terbentuk dari dominansi sel ektomesenkim dibandingkan chondroblast.
Selain itu, penulangan humerus atau tulang lengan atas juga termasuk dalam
tahapan ini.
m. Perkembangan kanal semisirkularis dan penarikan hernia umbilikal. Kanal
semisirkularis merupakan saluran setengah lingkaran yang berperan sebagai organ
keseimbangan dinamis dalam memberikan respons terhadap pemutaran
tubuh.Perkembangan ini terjadi pada hari ke-16 kebuntingan.
n. Pembentukan tulang pendengaran. Pengerasan tulang pendengaran secara
endochondrally berasal dari lengkung faringeal I (malleus dan incus) dan II
21
(stapes). Sel ektomesenkim mengisi lengkung faringeal tado dan membentuk
jaringan penghubung, kartilago, dan tulang. Sementara itu, otot rangka terbentuk
dari adanya migrasi somitomere/somite myotomes ke dalam lengkung faringeal
tadi. (Fletcher dan Weber, 2013)
o. Periode Kelahiran. Memasuki hari ke-21 kebuntingan, tikus bunting akan
mengalami fase kelahiran untuk mengeluarkan janinnya.
9. Gros morfologi
Pengamatan gros morfologi ini merupakan pengamatan adanya cacat
makroskopis pada tubuh janin. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan dengan
pengecekan kelengkapan dan kelainan pada tarsal, karpal, ekor, telinga, mata,
bibir, kelamin, dan adanya kemungkinan hematoma maupun kekerdilan (Murti,
2000).
Parameter gros morfologi juga dapat menunjukkan tingkat kecacatan janin
yang dilahirkan, serta pengaruh fungsional yang ditimbulkan sebagai akibat
pemberian senyawa uji (Jacobson-Kram dan Keller, 2006).
10. Hematoma
Meski pada awal kejadiannya hematoma dapat hanya berupa lubang kecil,
hematoma dapat berkembang menjadi pembengkakan yang signifikan. Secara
alami, sel-sel pada dinding pembuluh darah akan melakukan perbaikan sel ketika
terjadi luka dengan aktivasi cascade pembekuan darah, namun kemungkinan
perdarahan lanjutan akan tetap terjadi terutama jika tekanan dalam pembuluh
22
darah besar. Gejala hematoma ini akan tergantung pada lokasi, ukuran, dan ada
tidaknya hubungan dengan edema.
Berdasarkan lokasi terjadinya, hematoma dibagi menjadi beberapa tipe,
diantaranya:
a. Hematoma epidural. Hematoma ini terjadi di luar dura atau selaput otak.
b. Hematoma subdural. Berbeda dengan hematoma epidural, hematoma ini
terjadi di daerah subdural ruang bawah dura.
c. Hematoma intraserebral. Hematoma tipe ini merupakan hematoma yang
terjadi di dalam jaringan otak dan merupakan tipe hematoma yang paling
berbahaya. Penyakit stroke dan tekanan darah tinggi dapat memacu timbulnya
hematoma ini.
d. Hematoma kulit kepala. Hematoma ini terjadi pada bagian luar tengkorak
dan dapat berupa benjolan di kepala.
e. Hematoma telinga. Hematoma ini terjadi pada struktur heliks atau tulang
rawan luar telinga. Hematoma ini dapat mengurangi aliran darah ke tulang rawan
yang mengakibatkan sel tulang rawan akan mengerut dan mati hingga terbentuk
telinga luar yang cacat.
f. Hematoma hidung.
g. Cedera ortopedi dan patah tulang panggul. Faktur tulang dapat dikaitkan
dengan munculnya hematoma pada tulang.
h. Hematoma otot. Perdarahan yang terjadi pada otot akan mengakibatkan
stok pasokan darah dari otot berkurang dan otot termasuk saraf dapat mengalami
23
kerusakan secara permanen. Hematoma tipe ini sering terlihat pada kaki bagian
bawah dan lengan.
i. Hematoma subungual. Hematoma ini terjadi di bawah kuku,baik kuku
tangan maupun kaki.
j. Hematoma subkutan. Hematoma subkutan atau ecchymosis merupakan
memar yang disebabkan oleh trauma atau luka pada pembuluh darah superfisial di
bawah kulit.
k. Hematoma intra-abdomen. Hematoma tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh berbagai cedera atau penyakit yang ditandai dengan peritonitis atau iritasi
pada lapisan perut. Hematoma ini dapat ditemukan pada organ pada seperti hati,
limpa, atau ginjal (Wendro dan Nettleman, 2013).
E. Keterangan Empirik
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bersifat eksploratif
untuk memberikan gambaran pengaruh pemberian ekstrak sampel DLBS 5447
selama 17 hari masa kebuntingan pada tikus betina Sprague Dawley bunting.
Tinjauan dilakukan secara kualitatif, baik terhadap gros morfologi janin maupun
terhadap kandungan kimia ekstrak jahe dengan pembuatan profil kromatografi
lapis tipis ekstraknya.
Download