BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan jahe sebagai salah satu obat tradisional di masyarakat Indonesia sudah banyak dilakukan. Jahe dikenal memiliki berbagai khasiat seperti anti muntah (antiemetic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005). Selain itu, rimpang jahe juga memiliki efek anti muntah,pemberi rasa pada obat, dan mengatasi terkilir (Wahyoedi, 1994). Jahe (fam. Zingiberaceae) memiliki kandungan zat pedas dalam jahe, yaitu 6-gingerol sebagai kandungan utama jahe dan 6-shogaol yang merupakan hasil dehidrasi dari 6-gingerol akan memengaruhi khasiat dari jahe. Kedua senyawa yang terkandung dalam jahe ini dilaporkan memiliki beberapa efek farmakologi. Weng et al. (2010) menemukan adanya potensi aktivitas anti-invasif pada sel hepatoma dengan penghambatan (MMP)-9 dan induksi (TIMP)-1 yang dapat dijadikan sebagai terapi kanker hati. Hasil penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Nalbantsoy et al. (2008) menemukan adanya aktivitas penghambatan proliferasi sel fibroblas tikus (L929) dari ekstrak kloroform jahe, yaitu pada nilai IC50 87,28 μg/mL dan aktivitas ini akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang diberikan. Kim et al.(2008) melaporkan bahwa ekstrak metanol rimpang jahe memiliki aktivitas sitotoksik secara bermakna terhadap berbagai kultur sel tumor manusia (A549, SK-OV-3, SK-MEL-2, dan HCT 15) dan dilaporkan bahwa senyawa aktif sitotoksik terkonsentrasi pada 1 2 fraksi kloroform. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2003) menemukan adanya aktivitas penghambatan ekspresi Bcl-2 pada sel HL-60 yang mengakibatkan terjadinya apoptosis pada sel ini. Sel HL-60 ini merupakan sel yang terlibat pada penyakit leukemia. Kim et al. (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa 6-gingerol mampu menghambat pertumbuhan tumor dan metastasis melalui aktivitas antiangiogenesis. Sementara itu, hasil penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Ling et al. (2010) juga menemukan adanya aktivitas antimetastasis pada sel kanker payudara dari senyawa 6-shogaol. Wei et al. (2005) menemukan adanya aktivitas sitotoksik dan apoptosis yang signifikan pada sel leukemia promyelositik manusia yang diberi beberapa ekstrak jahe dimana di dalamnya terkandung diarylheptanoids dan beberapa turunan gingerol. Miyoshi et al.(2003) menemukan adanya aktivitas induksi apoptosis pada Human T lymphoma Jurkat Cells pada kandungan Japanese Ginger (Zingiber mioga Rosc.), yaitu galanal A dan galanal B. Adanya beberapa aktivitas sitotoksik yang ditemukan sebagai akibat pemberian ekstrak jahe ini mengakibatkan penelitian terkait keamanan sediaan obat menjadi hal yang penting dilakukan sebelum sediaan obat digunakan oleh masyarakat luas, terlebih pada penggunaan selama masa kehamilan. Selama masa kehamilan terjadi proses organogenesis dan perkembangan janin yang melibatkan berbagai proses pembentukan struktur tubuh dan organ yang melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan, 3 bentuk, dan susunan sel. Sehingga, penggunaan ekstrak jahe yang berlebihan dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan janin. Hingga saat ini, penelitian keteratogenikan ekstrak sampel DLBS 5447 tinjauan gros morfologi janin belum pernah dilakukan. Melalui penelitian ini akan didapatkan informasi mengenai keamanan ekstrak sampel DLBS 5447 bila digunakan pada masa kehamilan. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut. a) Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447pada tikus bunting galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan akan menimbulkan efek teratogenik pada janin? b) Apakah pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 pada tikus bunting galur SD secara oral selama 17 hari masa kebuntingan memengaruhi gros morfologi janin? c) Senyawa apa sajakah yang terkandung pada ekstrak sampel DLBS 5447 yang kemungkinan dapat menimbulkan efek teratogenik berupa cacat gros morfologis janin? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek teratogenik sebagai akibat dari pemberian suspensi ekstrak sampel DLBS 5447 secara oral jika diberikan selama 17 hari masa kebuntingan pada tikus Sprague-Dawley tinjauan gros morfologi 4 janin, sehingga dapat diketahui keamanan sediaan bila digunakan selama masa kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga akan menunjukkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak sampel DLBS 5447 yang kemungkinan bertanggung jawab pada efek teratogen melalui profil kromatografi lapis tipis ekstrak. D. Tinjauan Pustaka 1. Klasifikasi jahe Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia yang banyak digunakan dalam makanan sebagai penambah aroma dan pengobatan. Di India dan Cina, teh jahe yang dibuat dari jahe segar dapat mengurangi berat badan dan membantu pencernaan. Bubuk jahe dapat digunakan untuk mengobati demam dingin (Hernani dan Winarti, 2001). Klasifikasi tanaman jahe secara umum adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Zingiber Jenis : Zingiber officinale Rosc. Sinonim : Zingiber majus Rumph. (Anonimd, 2001) 5 2. Kandungan kimia jahe Jahe mengandung banyak minyak atsiri. Menurut European Medicine Agency (2012), komponen minyak atsiri sebanyak 1-4% yang terkandung di dalamnya memberikan aroma yang khas pada jahe. Lebih dari 100 senyawa diidentifikasi dan sebagian besar merupakan golongan terpenoid terutama seskuiterpenoid (αzingiberen, β-seskuifellandren, β-bisabolene, α-farnesen, ar-kurkumen (zingiberol) dan beberapa monoterpenoid seperti kamfen, β-fellandren, sineol, geraniol, kurkumen, sitral, terpineol, dan borneol. Komposisi minyak atsiri pada jahe sangat tergantung pada asal-usul bahan (Afzal et al., 2001; Ali et al., 2008; HMPC, 2012). Zat-zat pedas pada jahe, yaitu turunan gingerol (4-7,5%) adalah serangkaian homolog fenol. Salah satunya adalah 6-gingerol. Turunan gingerol yang lain seperti 8-gingerol dan 10-gingerol terdapat dalam jumlah yang lebih kecil. Selama pengeringan dan penyimpanan, gingerol yang sebagian terdehidrasi menjadi shogaol dan pada pengurangan lebih lanjut akan membentuk paradol (Afzal et al., 2001; Jolad et al., 2005; Kim et al., 2008). Konstituen lainnya adalah pati, hingga 50%, lipid 6-8%, protein, dan senyawa anorganik. Golongan minyak atsiri dan turunannya yang menjadi komponen metabolit terbesar yang terkandung dalam jahe. Gingerol merupakan cairan berminyak yang tersusun dari homolog fenol dengan komponen utama 6-gingerol dengan struktur kimia yang dapat dilihat pada gambar 1. Karakteristik gingerol ini stabil bila berada dalam lingkungan yang banyak mengandung air dan dapat bertahan sampai suhu 100oC. Namun pada suhu di atas 100oC, gingerol tidak stabil dan akan berubah menjadi shogaol dengan lebih cepat (Bhattarai et al., 2001). Hal ini 6 disebabkan karena adanya gugus fungsional β-hidroksi keto yang labil dalam pemanasan (Purnomo et al., 2010; Wohlmuth et al., 2005). Sementara itu, 6-shogaol merupakan bentuk gingerol yang terdehidrasi pada gugus OH atom C5 dan membentuk ikatan rangkap antara atom C4 dan C5. Selain merupakan zat aktif yang terbentuk dalam jahe secara alami, senyawa ini juga terbentuk dari gingerol pada medium dengan pH 2,5-7,2 disertai pemanasan pada jangka waktu yang lama. Adanya interaksi dengan silika gel dan alumina pada analisis kromatografi juga memungkinkan terbentuknya senyawa ini (Jolad et al., 2004). Gambar 1. Struktur kimiawi 6-gingerol (atas) dan 6-shogaol (bawah) (Weng et al., 2010) 3. Khasiat dan efek farmakologi jahe Selama ini, jahe menjadi tumbuhan obat utama di China, Ayuverda, dan TibbUnani untuk pengobatan katarak, reumatik, gingivitis, sakit gigi, asma, stroke, konstipasi, dan diabetes (Ali et al., 2007). Grzanna et al. (2005) menemukan bahwa jahe juga dapat memiliki aktivitas sebagai agen anti-inflammasi. Ekstrak metanolik dari jahe ini memiliki aktivitas sebagai antihiperlipidemia, 7 antihiperglikemia, dan antihiperinsulin. Pemberian ekstrak metanolik jahe pada tikus yang diinduksi pemacu obesitas selama 8 minggu menunjukkan adanya penurunan level glukosa dan insulin (Goyal dan Kadnur, 2006). Pada dosis 500mg/kg ekstrak jahe ini efektif secara signifikan dalam menurunkan level glukosa, kolesterol, dan triasilgliserida yang berpotensi untuk dikembangkan pada terapi penyakit diabetes (Al-Amin et al., 2006). Salah satu kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada jahe adalah gingerdion. Senyawa ini terbukti memiliki aksi sebagai inhibitor siklooksigenase, suatu enzim yang berperan dalam proses inflammasi atau peradangan (Charlier dan Michaux, 2003; Martel-Pelletier et al., 2003). Selain itu, aktivitas farmakologi dari ekstrak jahe sebagai antimual dan muntah juga telah banyak diteliti. Ekstrak aseton dan ekstrak etanolik 50% jahe dengan pemberian pada dosis 100, 200, dan 500 mg/kg secara signifikan memengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Aksi dari senyawa yang terkandung dalam ekstrak aseton jahe ini menyerupai aksi Ondansentron, obat yang beraksi pada reseptor 5HT-3 yang berperan dalam respon mual muntah. Sehingga, penggunaan ekstrak jahe ini dapat diberikan pada pasien paska operasi untuk mengurangi resiko mual-muntah (Malhotra dan Singh, 2003). 4. Kromatografi lapis tipis Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah 8 tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas sebagai akibat adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran a molekul, atau kerapatan muatan ion (Anonim , 1995) Kromatografi lapis tipis atau KLT merupakan salah satu bentuk kromatografi planar selain kromatografi kertas dan elektroforesis yang digunakan dalam pemisahan berbagai kandungan kimia dari tumbuhan. Metode ini merupakan metode kromatografi cair yang paling sederhana dalam analisis kromatografi. Pemisahan yang terjadi pada KLT ini didasarkan pada adanya dua fase yang berbeda karakteristik polaritasnya, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Komponen senyawa yang dianalisis akan dibawa oleh fase gerak bermigrasi ketika dilakukan elusi/pengembangan. Penggunaan KLT ini dapat diaplikasikan pada analisis kualitatif, kuantitatif, dan preparatif (Gritter et al., 1991). a. Analisis kualitatif. Analisis ini digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya senyawa tertentu yang terkandung dalam suatu cuplikan atau sampel uji. Pada kromatografi lapis tipis, analisis dilakukan dengan membandingkan senyawa murni dengan sampel uji, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Selain itu, analisis ini banyak digunakan untuk menetapkan fingerprint dari sampel uji berupa campuran yang rumit, sebagai contoh sampel dari ekstrak jaringan, urine, darah, maupun bahan kimia dasar/obat (Gritter et al., 1991). b. Analisis kuantitatif. Analisis ini akan menentukan banyaknya masingmasing senyawa yang terkandung dalam sampel uji, kadar relatifnya teradap senyawa lain, maupun sebagai kadar mutlak jika dibandingkan dengan standar 9 (pembanding) pada kalibrasi yang sesuai. Metode ini sangat tepat digunakan dalam pengendalian mutu (Quality Control) suatu industri (Gritter et al., 1991). c. Analisis preparatif. Analisis kromatografi preparatif digunakan untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah yang memadai dalam keadaan murni dan bisa digunakan untuk analisis berikutnya (Gritter et al., 1991). Parameter pemisahan dengan kromatografi lapis tipis ini berupa nilai Rf (Retardation Factor) dimana Rf = Nilai Rf ini bervariasi antara 0 hingga 1. Selain dinyatakan dalam R f, parameter utama kromatografi lapis tipis ini juga dapat dinyatakan dengan hR f yang bernilai 0-100 (Sherma dan Fried, 1996). Deteksi dengan KLT dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Deteksi kualitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm, dimana adanya senyawa yang terjerap pada fase diam akan menyebabkan terjadinya penyerapan pada daerah UV pendek (radiasi utama pada 254 nm) atau fluoresensi pada daerah UV panjang (366 nm). Ketika deteksi dengan cara ini belum terlihat adanya bercak senyawa, dapat dilakukan reaksi kimia. Reaksi kimia ini menggunakan berbagai macam pereaksi semprot yang ketika disemprotkan pada senyawa akan membentuk warna. Contoh pereaksi warna yang dapat digunakan dalam deteksi kualitatif KLT adalah anisaldehid-H2SO4, pereaksi vanillin, AlCl3, FeCl3, dan KOH 10%. Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan 10 waktu tertentu. Pemanasan sebaiknya dilakukan dengan pemanas yang dilengkapi o dengan thermostat yang akan menjaga suhu tetap pada 120 C (Stahl, 1985). Deteksi kuantitatif KLT dilakukan dengan menggunakan alat densitometer. Densitometer merupakan pelacak kuantitatif yang dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200-700 nm (TLC-Scanner). Prinsip kerja alat ini adalah pengukuran intensitas sinar, baik yang diserap dan diteruskan, maupun sinar yang dipantulkan atau dipendarkan. Banyaknya senyawa dinyatakan dengan perhitungan luas atau tinggi puncak (Sastroamidjojo, 1985). 5. Toksikologi dan uji toksikologi Ada beberapa definisi yang menjelaskan makna dari toksikologi. Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas system biologis (Donatus, 2001). Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a. Uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam hewan uji. Uji toksikologi yang termasuk dalam uji ini adalah uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. b. Uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan khas merupakan suatu uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sebagai akibat dari pemberian suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Salah satu contoh dari uji ketoksikan khas adalah uji keteratogenikan. 11 Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan selama masa organogenesis pada hewan bunting. Toksisitas pada hakekatnya menjelaskan tentang kerusakan / cidera pada organisme yang diakibatkan oleh suatu materi, substansi, atau energi. Definisi lain menyebutkan bahwa toksisitas merupakan proses kerjanya racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut (Lu, 1995). Uji keteratogenikan ini dilakukan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa terhadap janin dalam hewan bunting (Donatus, 2001). Pada uji keteratogenikan, hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis, roden dan nirroden. Pemilihan hewan uji harus memerhatikan beberapa faktor diantaranya umur, berat badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap senyawa yang diberikan. 6. Teratologi Teratologi berasal dari bahasa Yunani Teras (Monster) dan Logos (Ilmu). Ilmu yang mempelajari penyebab, mekanisme, dan manifestasi perkembangan kematian fetus, malformasi konginetal, gangguan fungsional, atau gangguan pertumbuhan (Haschek dan Rousseaux, 1991). Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan normal embrio atau janin dalam uterin, yang mengakibatkan kelainan atau cacat bawaan bayi baik makroskopik maupun mikroskopik. Keadaan ini mencakup perubahan struktural maupun fungsional (Donatus, 2001). Adanya pemberian suatu xenobiotika pada masa organogenesis atau embriogenesis akan 12 menimbulkan efek toksik pada janin. Efek toksik yang dihasilkan sangat bergantung pada waktu pemejanan senyawa dan periode kebuntingan. Efek ini dapat berupa kematian, kelainan bawaan atau cacat bawaan, perlambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsional tubuh (Donatus, 2001). Mekanisme teratogenesis dari suatu senyawa dapat dibagi menjadi beberapa kemungkinan, yakni melalui mutasi genetik, penyimpangan kromosomal, gangguan miotik, gangguan asam-asam nukleat, kekurangan hara, kekurangan pasok energi, hambatan enzim, perubahan osmolaritas, dan perubahan permeabilitas membran. 7. Sistem reproduksi tikus Sistem reproduksi mamalia khususnya tikus melingkupi organ reproduksi dan siklus reproduksinya. a. Organ reproduksi. Organ-organ reproduksi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu organ reproduksi utama dan alat reproduksi tambahan. Pada tikus betina, organ reproduksi utama berupa ovarium dan organ reproduksi tambahan terdiri atas saluran-saluran reproduksi seperti terlihat pada gambar 2. 1) Vagina Vagina pada tikus betina berupa suatu kanal otot yang pendek yang menghubungkan uterus/rahim tikus dengan bagian luar tubuh. Dinding vagina dilapisi dengan mukosa membran yang akan melindungi dan menjaga kelembaban vagina. Vagina akan menjadi jalan masuknya sperma 13 pada proses fertilisasi dan jalan keluarnya janin pada waktu kelahiran. Gambar 2. Organ reproduksi tikus betina (Anonimf, 2008) 2) Ovarium Organ ini terletak pada bagian ujung uterus dan berada di dekat ginjal. Ovarium ini akan memproduksi sel telur dan beberapa hormon. Sel telur yang matang kemudian akan dikeluarkan ovarium melalui oviduk yang merupakan penghubung antara ovarium dan uterus tikus. 3) Uterus Ketika masa ovulasi selesai yang ditandai dengan lepasnya sel telur dari ovarium, sel telur akan menempel pada dinding uterus. Tikus memiliki 2 uterus, yaitu uterus kanan dan uterus kiri yang dikenal dengan istilah bicornuate uterus. Adanya struktur bikornuat pada uterus tikus ini menjadikan tikus memiliki kebuntingan yang lebih banyak (multiple). 14 4) Kelenjar Mammal Kelenjar ini akan memroduksi susu/kolostrum yang sangat berguna bagi perkembangan janin tikus. Kelenjar ini terdiri atas sel-sel alveoli yang berhubungan dengan sel epitelial yang memproduksi susu. 5) Cervix (Mulut Rahim) Mulut rahim ini menjadi penghubung antara vagina dan rahim. Pada organ ini memiliki dinding sel yang kuat dan terbuka ketika tikus memasuki periode kelahiran. Adanya mulut rahim ini berperan dalam perlindungan uterus. 6) Klitoris Organ ini merupakan homolog dari penis tikus jantan. Klitoris berlokasi di atas uretra (Anonime, 2008). b. Daur estrus. Masa perkawinan pada mamalia dapat diketahui dengan mengetahui daur estrusnya. Daur estrus merupakan daur seksual pada mamalia yang bukan sebangsa manusia atau primata dimana keteraturan dari daur estrus ini akan mendukung fertilitas betina. Siklus estrus tikus normal terjadi selama 4 hingga 5 hari dan berlangsung sejak permulaan pubertas hingga tua, termasuk selama masa pasca kelahiran. Dalam siklus estrus ini melibatkan beberapa jenis sel yang secara spesifik berkorelasi dengan kondisi di sekitar mukosa vagina, uterus (rahim), dan ovarium. Siklus estrus terdiri dari 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Bennett dan Vickery, 1970; Lohmiller dan Swing, 2006). 15 1) Fase Proestrus Fase proestrus ini berlangsung selama 1 hari dan ditandai dengan keberadaan sel epitel berinti dalam bentuk granul di bawah mikroskop. 2) Fase Estrus Fase estrus berlangsung sangat singkat. Ketika siklus sudah memasuki fase ini, pada cairan vagina akan muncul dalam jumlah besar sel kornified, sel non kornified, dan leukosit. 3) Fase Metestrus Fase metestrus menggambarkan masa peralihan ke fase diestrus 1 yang terkarakterisir dengan adanya leukosit, sel epitel kornified, dan sel epitel biasa. 4) Fase Diestrus. Hari ke-2 dari fase diestrus akan terlihat sejumlah kecil sel epitel berinti dan sel strand (Goldman et al., 2007). Gambar 3. Kenampakan sel pada cairan vagina (Goldman et al., 2007) 16 Keterangan : A,B = sel proestrus cenderung muncul dalam rumpun dan memiliki penampilan granular C = sel proestrus alternatif dapat hadir sebagai strand D = sel estrus, sel keratin klasik, sel seperti jarum E = sel estrus, sel alternatif dapat muncul bulat, dengan tepi bergerigi tidak teratur F = sel metestrus, kombinasi atau bulat 'sel trotoar', beberapa sel seperti jarum, dan leukosit lebih kecil sedikit yang bisa hadir selama masa transisi selama bagian awal hari pertama diestrus G = sel diestrus, leukosit dapat muncul dalam kombinasi dengan berbagai sel bulat yang lebih besar H = sel diestrus; smear leukocytic klasik dengan beberapa sel epitel bulat yang lebih besar 8. Fertilisasi dan periode perkembangan janin tikus Sel telur yang telah mengalami pembuahan akan berkembang menjadi embrio. Embrio yang terbentuk mengalami berbagai tahapan perkembangan sebelum menjadi janin, mulai dari pembentukan zigot, blastulasi, gastrulasi, organogenesis, dan pertumbuhan-perkembangan janin. Menurut Hogan et al. (1994), tahapan perkembangan janin pada tikus dapat dibagi sebagai berikut. a. Pembentukan zigot dan blastulasi (Cleavage and Blastulation). Setelah fertilisasi terjadi, sel telur yang telah dibuahi sel sperma akan melebur dan membelah menjadi 2 sel. Pada masa ini terjadi ekspresi gen zigot yang merupakan gabungan dari gen induk. Pembelahan terus terjadi selama 4 hari kebuntingan hingga terbentuk blastosit. b. Gastrulasi dan organogenesis awal. Blastosit yang terbentuk ini kemudian membentuk zona pelusida yang nantinya akan menjadi kantong plasenta. Pada hari ke-5 hingga 6 kebuntingan, mulai terjadi pembentukan cairan amniotik. Organogenesis merupakan tahap pembentukan struktur tubuh dan organ yang melibatkan interaksi lokal antara sel dan perubahan morfogenetik pada jaringan, bentuk sel, dan susunan sel. Dalam organogenesis, perubahan terbentuk secara 17 induksi. Sel-sel induk (germ layer cell) akan menginduksi sel induk tetangganya untuk mengubah karakteristik sel itu dan berkembang membentuk jaringan atau organ (Murphy, 2013). c. Pembentukan gastrula. Gastrulasi merupakan proses perkembangan embrio setelah terbentuk blastula dan berkembang tiga lapisan sel, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm. Lapisan ektoderm membentuk epidermis kulit, epitel rongga mulut termasuk hidung, sistem saraf, dan organ-organ indera. Mesoderm akan membentuk otot dan jaringan ikat, tulang, dan komponen lain yang berperan pada sistem peredaran darah, sistem urinaria, dan sistem genital. Lapisan endoderm akan membentuk mukosa epitelium dan kelenjar pada sistem pencernaan dan pernapasan (Fletcher dan Weber, 2013). d. Perkembangan allantois (Allantois formation). Allantois merupakan prekursor embrionik dari tali pusar pada mamalia dan salah satu bagian dari area embrio. Allantois memiliki peran penting dalam pembentukan plasenta choriallantoic melalui vaskulogenesis, remodeling vaskuler, dan angiogenesis (Arora dan Pappaioannou, 2012). Pembentukan allantois ini terjadi pada hari ke-7 kebuntingan. e. Neurulasi dan pembentukan jaringan saraf. Pada hari ke-8, sel saraf pada janin mulai berkembang yang disebut dengan neurulasi. Neurulasi ini mengacu pada transformasi notokord yang terinduksi ektoderm menjadi jaringan saraf. Proses dimulai dari pembentukan jaringan saraf pada bagian otak depan dan kemudian merambat hingga sumsum tulang belakang. f. Perkembangan telinga dalam. Pada hari ke-9, Beberapa sel pada labirin 18 bermembran berkembang menjadi reseptor dan reseptor ini dapat ditemukan pada maculae dan ampullae. Kapsul otik kartilago ini akan berkembang membentuk labirin yang selanjutnya akan menjadi bagian dari tulang temporal kepala. g. Perkembangan lengan depan (forelimb bud) dan lengan belakang (hindlimb bud). Pada hari ke-9 hingga 10 kebuntingan, perkembangan lengan pada janin tikus berasal dari dinding somatopleure. Lengan dihasilkan dari proliferasi dan penjenuhan mesenkim, bagian permukaan lapisan ektoderm. Bagian lengan meliputi bagian proksimal (bahu yang berkembang pertama) dan bagian distal (footplate). h. Perkembangan organ paru-paru. Perkembangan paru-paru diawali dengan evaginasi embrio dari tunas epitel avaskular yang merambat ke jaringan mesenchymal di sekitarnya. Selama embriogenesis, pada semua spesies mamalia, perkembangan paru-paru dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pseudoglandular, kanalikular, dan sakkular. Meskipun perkembangan paru-paru pada manusia dan tikus cukup identik, namun waktu untuk setiap tahap berbeda. Gambar 4 menunjukan skema perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan paru-paru pada tikus dan manusia (Pinkerton dan Joan, 2005). Pada tikus, perkembangan paru-paru dimulai sejak hari ke-15 masa kebuntingan yang diawali dengan perkembangan pseudoglandular hingga hari ke-18. Kemudian memasuki hari ke-18 hingga 20 kebuntingan, tahapan sudah memasuki fase kanalikular hingga pada hari ke-21, paru-paru pada janin sudah terbentuk (fase sakkular). Setelah kelahiran, saluran pernafasan dan alveolar terbentuk sempurna dan mulai berfungsi sejak hari ke-28 pasca kelahiran. Berbeda dengan tikus, pada manusia 19 paru-paru mulai bisa berfungsi normal ketika bayi memasuki usia 2-8 tahun. Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan paru-paru normal, diantaranya faktor transkripsi, sinyal molekuler, dan faktor larut yang terlibat secara genetik dalam merancang perkembangan saluran pernafasan pada embrio. i. Pembentukan lensa mata dan mata. Pada permukaan lapisan ektoderm akan berkembang placode lensa dan vesikel lensa yang akan menjadi lensa mata. Sementara itu, bola mata/celah optik dibentuk oleh invaginasi dari permukaan ventral dari cangkir optik dan optik tangkai (Fletcher dan Weber, 2013). a. b. c. Gambar 4. Skema perbandingan periode perkembangan paru-paru: secara umum (a.), pada tikus (b.), dan pada manusia (c.) (Pinkerton dan Joad, 2005) j. Perkembangan ginjal, kelamin, dan pigmen pada retina. Pada hari ke-11, lapisan mesoderm bagian intermediate (bagian yang berdekatan selom mesotelium) akan membentuk lekukan urogenital. Lekukan urogenital ini terdiri dari 2 lekukan, yaitu jaringan nefrogenik (Nephrogenic Cord) dan Mediallypositioned Gonad Ridge. Jaringan nefrogenik lateral akan berkembang menjadi ginjal & ureter ). Sementara itu, Mediallypositioned Gonad Ridge akan berkembang menjadi organ reproduksi (ovarium, testis &saluran kelamin) pada 20 hari ke-12. Sistem kemih dan sistem reproduksi memiliki asal embrio yang sama, sehingga perkembangan saluran umum (ureter maupun saluran kelamin) juga sama (Fletcher dan Weber, 2013). Sementara itu, pembentukan retina terjadi diantara saraf dan lapisan berpigmen luar retina (inner dan dinding luar cangkir optik) yang tidak menyatu, akan tetapi terbentuk oleh tekanan dari vitreous tubuh. k. Pembentukan kelopak mata, sel darah merah, dan humerus. Pada hari ke13, kelopak mata dibentuk oleh lipatan atas dan bawah dari ektoderm, yang masing-masing lipatan merupakan bagian dari inti mesenkim. Pada hari ke-15, lipatan-lipatan ini saling terikat satu sama lain sehingga kelopak mata yang terbentuk ini menutup. Pada karnivora, kelopak ini akan terpisah baik sekitar dua minggu setelah kelahiran (Fletcher dan Weber, 2013). l. Pembentukan tulang. Sebagian besar tulang berasal dari chondroblast, suatu prekursor dari tulang kartilago. Untuk bagian tengkorak dan wajah, perkembangan tulang terjadi di dalam membran, dimana sel osteoblast secara langsung terbentuk dari dominansi sel ektomesenkim dibandingkan chondroblast. Selain itu, penulangan humerus atau tulang lengan atas juga termasuk dalam tahapan ini. m. Perkembangan kanal semisirkularis dan penarikan hernia umbilikal. Kanal semisirkularis merupakan saluran setengah lingkaran yang berperan sebagai organ keseimbangan dinamis dalam memberikan respons terhadap pemutaran tubuh.Perkembangan ini terjadi pada hari ke-16 kebuntingan. n. Pembentukan tulang pendengaran. Pengerasan tulang pendengaran secara endochondrally berasal dari lengkung faringeal I (malleus dan incus) dan II 21 (stapes). Sel ektomesenkim mengisi lengkung faringeal tado dan membentuk jaringan penghubung, kartilago, dan tulang. Sementara itu, otot rangka terbentuk dari adanya migrasi somitomere/somite myotomes ke dalam lengkung faringeal tadi. (Fletcher dan Weber, 2013) o. Periode Kelahiran. Memasuki hari ke-21 kebuntingan, tikus bunting akan mengalami fase kelahiran untuk mengeluarkan janinnya. 9. Gros morfologi Pengamatan gros morfologi ini merupakan pengamatan adanya cacat makroskopis pada tubuh janin. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan dengan pengecekan kelengkapan dan kelainan pada tarsal, karpal, ekor, telinga, mata, bibir, kelamin, dan adanya kemungkinan hematoma maupun kekerdilan (Murti, 2000). Parameter gros morfologi juga dapat menunjukkan tingkat kecacatan janin yang dilahirkan, serta pengaruh fungsional yang ditimbulkan sebagai akibat pemberian senyawa uji (Jacobson-Kram dan Keller, 2006). 10. Hematoma Meski pada awal kejadiannya hematoma dapat hanya berupa lubang kecil, hematoma dapat berkembang menjadi pembengkakan yang signifikan. Secara alami, sel-sel pada dinding pembuluh darah akan melakukan perbaikan sel ketika terjadi luka dengan aktivasi cascade pembekuan darah, namun kemungkinan perdarahan lanjutan akan tetap terjadi terutama jika tekanan dalam pembuluh 22 darah besar. Gejala hematoma ini akan tergantung pada lokasi, ukuran, dan ada tidaknya hubungan dengan edema. Berdasarkan lokasi terjadinya, hematoma dibagi menjadi beberapa tipe, diantaranya: a. Hematoma epidural. Hematoma ini terjadi di luar dura atau selaput otak. b. Hematoma subdural. Berbeda dengan hematoma epidural, hematoma ini terjadi di daerah subdural ruang bawah dura. c. Hematoma intraserebral. Hematoma tipe ini merupakan hematoma yang terjadi di dalam jaringan otak dan merupakan tipe hematoma yang paling berbahaya. Penyakit stroke dan tekanan darah tinggi dapat memacu timbulnya hematoma ini. d. Hematoma kulit kepala. Hematoma ini terjadi pada bagian luar tengkorak dan dapat berupa benjolan di kepala. e. Hematoma telinga. Hematoma ini terjadi pada struktur heliks atau tulang rawan luar telinga. Hematoma ini dapat mengurangi aliran darah ke tulang rawan yang mengakibatkan sel tulang rawan akan mengerut dan mati hingga terbentuk telinga luar yang cacat. f. Hematoma hidung. g. Cedera ortopedi dan patah tulang panggul. Faktur tulang dapat dikaitkan dengan munculnya hematoma pada tulang. h. Hematoma otot. Perdarahan yang terjadi pada otot akan mengakibatkan stok pasokan darah dari otot berkurang dan otot termasuk saraf dapat mengalami 23 kerusakan secara permanen. Hematoma tipe ini sering terlihat pada kaki bagian bawah dan lengan. i. Hematoma subungual. Hematoma ini terjadi di bawah kuku,baik kuku tangan maupun kaki. j. Hematoma subkutan. Hematoma subkutan atau ecchymosis merupakan memar yang disebabkan oleh trauma atau luka pada pembuluh darah superfisial di bawah kulit. k. Hematoma intra-abdomen. Hematoma tipe ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai cedera atau penyakit yang ditandai dengan peritonitis atau iritasi pada lapisan perut. Hematoma ini dapat ditemukan pada organ pada seperti hati, limpa, atau ginjal (Wendro dan Nettleman, 2013). E. Keterangan Empirik Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bersifat eksploratif untuk memberikan gambaran pengaruh pemberian ekstrak sampel DLBS 5447 selama 17 hari masa kebuntingan pada tikus betina Sprague Dawley bunting. Tinjauan dilakukan secara kualitatif, baik terhadap gros morfologi janin maupun terhadap kandungan kimia ekstrak jahe dengan pembuatan profil kromatografi lapis tipis ekstraknya.