Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di

advertisement
Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi
Kedelai di Indonesia
Sumarno1 dan Ahmad Gozi Manshuri2
Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
2
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
1
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu contoh tanaman yang berkembang menjadi
tanaman kosmopolitan. Tidak ada spesies tanaman yang menyebar begitu
luas secara cepat seperti kedelai. Kedelai, yang asalnya diketahui dari
Manchuria atau daratan Cina bagian timur laut, pada pertengahan abad XX
telah menyebar ke seluruh dunia. Gambaran tentang penyebaran sentra
produksi kedelai pada tahun 1935 dapat dibaca pada buku teks kedelai
pertama dalam bahasa Inggris oleh Gray (1936) berjudul All about the
soybean. Disebutkan dalam buku tersebut bahwa pada tahun 1932-1933
produksi kedelai dunia hanya berpusat di empat negara, yaitu Manchuria
(5,2 juta t), Cina (4,8 juta t). Jepang dan Korea (0,95 juta t). Pada tahun 1910
laporan pertama tentang kedelai disampaikan kepada pemerintah federal
Amerika, oleh Norman Shaw, seorang intelijen kelautan dan pabean yang
bertugas ke Cina. Perhatian pemerintah Amerika terhadap kedelai sejak itu
sangat besar. Tahun 1934 produksi kedelai di Amerika Serikat baru 0,48 juta
t/tahun. Perkembangan areal pertanaman dan produksi kedelai di Amerika
Serikat sangat spektakuler. Dari luasan 168.000 ha pada tahun 1925,
berkembang menjadi 4,4 juta ha pada tahun 1945, dengan total produksi
5,25 juta t, dan pada tahun 2000 mencapai 33,5 juta ha dengan total produksi
75,0 juta t (Tabel 1). Perkembangan luas areal kedelai di Amerika dalam
periode 1925-1975 meningkat 12.800% atau 129 kali lipat. Perkembangan
luas areal kedelai yang cepat juga terjadi di Brazil dan Argentina.
Hal tersebut sangat berbeda dengan perkembangan luas areal pertanaman kedelai di Indonesia, yang sejak 1776 sudah dilaporkan adanya
tanaman kedelai di Jawa (Van Rombourgh 1892). Di Indonesia tanaman
kedelai berasosiasi dengan usaha pertanian subsisten, sehingga usaha per
keluarga tani selalu sempit. Belum pernah terjadi kedelai diusahakan secara
luas dalam skala usaha perkebunan. Penanaman kedelai secara mekanis
dalam skala luas pernah dicoba diterapkan oleh PT. Kapas Indah di
Punggaluku, Sulawesi Tenggara tetapi tidak berkelanjutan (Gurning dan
Ginting 1985). Mekanisasi terbatas pada budi daya kedelai dipraktekkan
oleh PT. Patra Tani di Serdang, Sumatera Selatan, pada tahun 1980-an, yang
ditujukan untuk produksi benih, yang akhirnya dihentikan hingga sekarang.
74
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 1. Perkembangan produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brazil.
Tahun
Luas areal
(ha)
Amerika Serikat
1925
1930
1940
1945
.
.
.
1975
.
.
20001)
168
435
1.945.000
4.346.000
21.694.000
33.482.000
Brazil
1960
1965
1970
.
.
.
1975
.
.
2000
172
432
1.319.000
6.419.000
.
.
14.595.238
Produktivitas
(t/ha)
Total produksi
(t/tahun)
0,79
0,87
1,09
1,21
132
379
2.124.000
5.258.000
1,91
41.406.000
2,24
75.000.000
1,20
1,22
1,51
206
523
1.144.000
1,75
11.227.000
2,10
30.650.000
Sumber: Norman (1978)
Johnsen (2000)
1)Sumber:
Melihat pergeseran sentra produksi kedelai yang sangat luas dan
beragam tersebut, sebenarnya agak kurang relevan membahas persyaratan
adaptasi tanaman kedelai di Indonesia. Tampaknya tanaman kedelai dapat
mengalami aklimatisasi atau penyesuaian tumbuh dengan wilayah baru
secara mudah pada wilayah pengembangan baru. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh tersedianya reservoir keragaman yang luas genetik kedelai,
sehingga pada setiap agroekologi dapat dipilih genotipe yang sesuai.
Komponen utama penyusun agroekologi seperti perbedaan panjang
penyinaran, suhu, intensitas radiasi surya, curah hujan, dan kelembaban
udara, tampaknya dapat diakomodasi oleh genotipe kedelai spesifik.
Pembahasan “Persyaratan tumbuh dan wilayah adaptasi kedelai di
Indonesia” pada bab ini dimaksudkan untuk membahas persyaratan optimal
dan batas minimal yang perlu dipenuhi untuk dapat mengusahakan kedelai
sebagai tanaman ekonomis di Indonesia. Uraian tentang persyaratan
tumbuh dan adaptasi kedelai di berbagai wilayah agroekologi di dunia
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
75
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang budi
daya kedelai di luar Indonesia.
ADAPTASI KEDELAI DI DUNIA
Dibandingkan dengan tanaman semusim lainnya, kedelai mempunyai
sebaran wilayah adaptasi yang terlebar, menyebar dari 0°-50° Lintang Utara
(LU), dan dari 0°-45° LS, meliputi wilayah tropik hingga sub-artik. Secara
historis-biologis, kedelai 4000 tahun yang lalu berasal dari wilayah subtropika
Cina pada garis lintang 45-48° LU. Pada pertengahan abad XX kedelai telah
menyebar hampir ke seluruh dunia. Pada tahun 1987 tercatat sebanyak 39
negara yang mengusahakan tanaman kedelai secara komersial (Tabel 2).
Total luas areal pertanaman kedelai di seluruh dunia mencapai 65,5 juta ha/
tahun. Negara produsen terbesar adalah Amerika Serikat, Brazil, Argentina,
Cina, Uni Sovyet, dan India (Smith dan Huyser 1987). Sebelum tahun 1942
produsen terbesar kedelai adalah Cina, dan pada skala usaha yang lebih
sempit adalah Korea, Jepang, Indonesia, dan Thailand. Hingga tahun 1954
negara pengekspor kedelai terbesar (90% ekspor) berasal dari Cina (Sun
Huan et a.l 1987). Lima belas tahun kemudian produsen kedelai terbesar
dunia berpindah ke Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina. Pada tahun 1990
ketiga negara tersebut menghasilkan 159 juta t kedelai atau 81% dari total
produksi dunia (Johnsen 2000).
Menilik karakteristik agroklimat wilayah sebaran sentra produksi kedelai
di dunia, terdapat perbedaan besar karakteristik agroklimat di antara negaranegara tersebut (Tabel 2). Komponen utama faktor agroklimat yang menentukan keberhasilan usaha produksi kedelai terutama adalah tanah yang
subur, solum tanah dalam (lebih 40 cm), struktur tanah gembur, tekstur
tanah lempung-berdebu (silty loam), dan kelembaban tanah cukup. Suhu
dan panjang hari juga ikut menentukan keberhasilan usaha produksi
kedelai, namun keragaman genetik kedelai cukup luas untuk penyesuaian
dan adaptasi terhadap dua komponen agroklimat tersebut. Di setiap negara
produsen dapat dipilih varietas-varietas yang sesuai bagi suhu dan panjang
hari spesifik.
Indonesia, sebagai salah satu negara produsen kedelai, memiliki kondisi
agroklimat tropis yang cukup sesuai untuk memproduksi kedelai, walaupun
bukan merupakan wilayah dengan agroklimat yang ideal. Panjang hari (lama
penyinaran matahari) yang merata dan relatif konstan selama 12 jam, terlalu
pendek bagi pertumbuhan optimal tanaman kedelai. Kedelai termasuk
tanaman hari pendek, yaitu tanaman cepat berbunga apabila panjang hari
12 jam atau kurang, dan tanaman tidak mampu berbunga apabila panjang
hari melebihi 16 jam. Tanaman kedelai di Indonesia umumnya telah
76
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 2. Sebaran wilayah adaptasi dan negara-negara produsen kedelai di dunia.
Negara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Luas areal tanam
(ha)
Produksi
(t)
Canada
Amerika Serikat
Meksiko
Argentina
Bolivia
Brazil
Chilli
Kolumbia
Equador
Paraguay
Peru
Uruguay
Mesir
Marocco
Nigeria
Afrika Selatan
Simbabwe
Bulgaria
Chechoslovakia
Perancis
Hongaria
Romania
Spanyol
Yugoslavia
Uni Sovyet
Cina
Taiwan
India
Indonesia
Iran
Jepang
Korea Utara
Korea Selatan
Philipina
Thailand
Turki
Australia
364.000
28.645.000
390.000
7.835.000
45.000
8.300.000
1.000
56.000
21.000
370.000
14.000
20.000
62.000
1.000
165.000
25.000
70.000
90.000
5.000
9.000
25.000
315.000
5.000
77.000
800.000
8.300.000
10.000
6.093.000
780.000
50.000
147.000
300.000
183.000
12.000
112.000
25.000
45.000
857.000
61.969.000
550.000
19.590.000
79.000
15.770.000
1.000
110.000
20.000
550.000
11.000
25.000
125.000
1.000
65.000
20.000
100.000
120.000
5.000
20.000
50.000
325.000
9.000
180.000
880.000
14.700.000
15.000
5.850.000
785.000
80.000
226.000
330.000
233.000
12.000
110.000
50.000
73.000
Dunia
63.767.000
117.226.000
2)
Letak geografis
(lintang) 1)
50°-60°/70° LU
25°-50°LU
15°-32°LU
23°-51°LS
10°-22°LS
5°LU-22°LS
17°-50°LS
3°LS-11°LU
5°LS-2°LU
18°-28°LS
0°-17°LS
30°-35°LS
22°-31°LU
28°-35°LU
5°-15°LU
22°-33°LS
15°-23°LS
41°-44°LU
48°-51°LU
43°-50°LU
46°-48°LU
44°-48°LU
28°-43°LU
42°-46°LU
40°-60°LU
23°-50°LU
22°-25°LU
8°-32°LU
10°LS-6°LU
24°-40°LU
31°-45°LU
38°-43°LU
33°-38°LU
6°-18°LU
12°-20°LU
36°-42°LU
12°-38°LS
Sumber: Smith dan Huyser (1998)
Letak geografis (lintang) adalah letak negara yang bersangkutan, bukan merupakan
letak wilayah tanaman kedelai secara tepat.
2) Peningkatan luas areal dan produksi telah terjadi sejak tahun 1987-2000, sehingga
data produksi kedelai tahun 2000 diperkirakan 159 juta t (Johnsen 2000)
1)
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
77
berbunga pada umur 25-40 hari, pada saat tinggi tanaman baru mencapai
40-50 cm. Di wilayah subtropis, yang memiliki panjang hari 14-16 jam pada
musim semi-musim panas, tanaman kedelai baru berbunga setelah
berumur 50-70 hari, pada saat tinggi tanaman telah mencapai 70-80 cm,
dan telah membentuk banyak cabang. Umur matang kedelai di Indonesia
juga sangat genjah, berkisar antara 75-95 hari, sedang kedelai di daerah
subtropis mencapai 150-160 hari. Perbedaan iklim tersebut merupakan salah
satu penyebab perbedaan produktivitas kedelai di Indonesia dengan di
wilayah sub-tropis (Sumarno 1991).
Tanaman kedelai memerlukan kelembaban tanah yang cukup dan suhu
yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal. Di Indonesia, curah
hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah jenuh air,
drainase buruk (water-logged), atau banjir, sehingga kurang ideal bagi
pertumbuhan kedelai. Intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan tanah
menjadi basah secara terus-menerus, mengakibatkan alat-mesin pertanian
sukar beroperasi di lapangan. Faktor ini merupakan salah satu penghambat
upaya mekanisasi kedelai di Indonesia (Djojodarmodjo dan Marco 1985).
Pada musim kemarau, bila tidak ada irigasi tanaman kedelai menderita
cekaman kekeringan. Suhu yang tinggi juga mengakibatkan polong menjadi
rontok atau biji abortus.
Usaha produksi kedelai di Indonesia dilakukan pada musim tanam yang
tidak selalu ideal untuk pertumbuhan tanaman, karena harus menyesuaikan
dengan pola dan rotasi tanam. Hal ini disebabkan karena petani belum
menilai kedelai sebagai tanaman utama, masih diposisikan sebagai tanaman
penyelang bagi tanaman utama padi, jagung, tebu, tembakau, bawang
merah atau tanaman lainnya. Sebaran areal tanam kedelai di Indonesia
tidak semata-mata ditentukan oleh kesesuaian agroklimat, tetapi juga
dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan bertani masyarakat. Secara historis
kedelai diusahakan oleh masyarakat yang cara bertaninya intensif, seperti
petani suku Jawa, Bali, dan sebagian Sunda. Namun sejak tahun 1980-an
tanaman kedelai menyebar ke wilayah Aceh, Jambi, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua, yang dirintis oleh
petani migran dari Jawa-Bali bersama-sama masyarakat setempat.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebaran dan
pengembangan kedelai di suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh
kesesuaian faktor agroklimat dan lingkungan tumbuh, tetapi juga oleh
keinginan masyarakatnya. Faktor kohesif-sinergis yang mendorong
perkembangan tanaman kedelai adalah: ketersediaan lahan yang sesuai –
ketersediaan air/iklim yang sesuai - insentif pasar – dan budaya bertani
masyarakat.
78
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
PERSYARATAN TUMBUH
Komponen lingkungan yang menjadi penentu keberhasilan usaha produksi
kedelai adalah faktor iklim (suhu, sinar matahari, curah dan distribusi hujan),
dan kesuburan fisiko-kimia dan biologi tanah (solum, tekstur, pH, ketersediaan hara, kelembaban tanah, bahan organik dalam tanah, drainase
dan aerasi tanah, serta mikrobia tanah). Gulma dan hama penyakit dapat
hidup secara ko-habitasi dengan tanaman kedelai dan atau menjadi
pembatas penting bagi produktivitas, tetapi dapat dikendalikan.
Rhizobium sp. yang hidup pada akar dan bersimbiose dengan tanaman
kedelai sangat penting bagi pertumbuhan kedelai. Rhizobium sp. umumnya
memiliki persyaratan hidup yang sama dengan persyaratan tumbuh kedelai.
Genotipe (varietas) kedelai memiliki persyaratan adaptasi spesifik, walaupun
pada suatu lingkungan ditentukan oleh interaksi antara genotipe dengan
lingkungan. Varietas kedelai dari wilayah subtropik tidak tumbuh/berproduksi optimal pada lingkungan tumbuh terbaik di Indonesia. Lingkungan
tumbuh yang sangat sesuai bukan jaminan mutlak untuk keberhasilan usaha
produksi kedelai, masih tergantung tindakan manejemen petani
pengelolanya. Mutu benih, waktu tanam, pengendalian OPT, pengelolaan
tanaman yang optimal, semuanya sama pentingnya dengan lingkungan
tumbuh yang sangat sesuai.
Faktor Iklim
Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan tanaman kedelai adalah: lama
dan intensitas sinar matahari (panjang hari), suhu, kelembaban udara dan
curah hujan. Kemampuan adaptasi kedelai terhadap keragaman faktor iklim
tersebut sebenarnya sangat luas, namun “kondisi iklim” yang sesuai perlu
diidentifikasi.
Panjang Hari (Lama Penyinaran)
Kedelai tergolong tanaman hari pendek, yaitu tidak mampu berbunga bila
panjang hari (lama penyinaran) melebihi 16 jam, dan mempercepat
pembungaan bila lama penyinaran kurang dari 12 jam. Tanaman hari pendek
pada kedelai bermakna bahwa hari (panjang penyinaran) yang semakin
pendek akan merangsang pembungaan lebih cepat. Lamanya periode gelap
(tanpa sinar) menentukan dan mengatur faktor induksi pembungaan. Faktor
penginduksi pembungaan tersebut disebut florigen yang disinthesa pada
daun, dan ditranslokasikan ke organ bakal bunga melalui ploem. Tanaman
kedelai yang tidak mengalami periode gelap akan tumbuh vegetatif terusmenerus, tidak mampu membentuk bunga. Varietas kedelai pada umumnya
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
79
peka terhadap photo-periodisitas (panjang penyinaran), sehingga setiap
wilayah dengan perbedaan panjang hari satu jam atau lebih, memerlukan
varietas yang spesifik bagi wilayah itu. Panjang hari di Indonesia hampir
seragam dan konstan sekitar 12 jam.
Varietas kedelai dari wilayah subtropika yang sesuai untuk panjang hari
14-16 jam, apabila ditanam di Indonesia yang panjang harinya 12 jam, akan
mempercepat pembungaan, pada umur 20-22 hari walaupun batang
tanaman masih pendek, tanaman sudah berbunga. Di tempat aslinya
varietas asal subtropika berbunga pada umur tanaman sekitar 50 hari, pada
saat batang kedelai sudah tumbuh setinggi 60-70 cm.
Kesesuaian varietas terhadap wilayah garis lintang tertentu telah melalui
berbagai proses seleksi, termasuk aklimatisasi, adaptasi, seleksi alamiah,
atau sengaja melalui kegiatan pemuliaan. Di Kanada dan Amerika Serikat,
kegiatan perakitan varietas telah menyesuaikan dengan target wilayah dan
letak garis lintang varietas kedelai akan ditanam. Setiap wilayah garis lintang
disediakan varietas spesifik, sehingga terdapat sepuluh golongan umur
varietas, sesuai dengan garis lintang wilayah produksi, yaitu golongan umur
00; 0; dan I untuk wilayah Kanada. Golongan umur II, III, dan IV untuk
wilayah Amerika Serikat bagian utara; golongan umur V, VI, dan VII untuk
wilayah Amerika Serikat bagian selatan. Varietas unggul dari masing-masing
golongan umur hanya dianjurkan ditanam pada sabuk wilayah selebar 80
km dari arah utara selatan (Scott and Aldrich 1970).
Kedelai di wilayah tropika, bila dikelompokkan mengikuti golongan umur
tersebut, termasuk ke dalam golongan VIII, IX, dan X, yang meliputi wilayah
adaptasi Thailand, Filipina, dan Indonesia. Pada masing-masing golongan
umur tersebut, terdapat banyak varietas yang dianjurkan, dan istilah
golongan umur bukan berarti antarvarietas dibedakan oleh umur panen,
tetapi lebih dibedakan oleh wilayah adaptasinya. Wilayah tropika yang
terletak pada garis lintang 0°-23°LU dan 0°-23°LS, varietas kedelainya termasuk
golongan umur VIII, IX, dan X.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa kesesuaian tanaman kedelai
terhadap panjang hari atau lama penyinaran sangat lentur (fleksibel),
bergantung pada sifat varietas yang ditanam. Secara umum persyaratan
panjang hari untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 11-16 jam, dan
panjang hari optimal untuk memperoleh produktivitas tinggi adalah panjang
hari 14-15 jam. Di Indonesia panjang hari pada dataran rendah (1-500 m
dpl), dataran sedang (501-900 m dpl), dan dataran tinggi (901-1600 m dpl)
relatif konstan dan sama, sekitar 12 jam. Perbedaan panjang hari yang
disebabkan oleh pergeseran garis edar matahari tidak lebih dari 45 menit,
sehingga seluruh wilayah Indonesia secara geografis sesuai untuk usahatani
kedelai.
80
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Intensitas Penyinaran
Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran
matahari secara penuh, tidak memerlukan naungan. Adanya naungan yang
menahan sinar matahari hingga 20% pada umumnya masih dapat ditoleransi
oleh tanaman kedelai, tetapi bila melebihi 20% tanaman mengalami etiolasi.
Intensitas penyinaran yang hanya 50% dari total radiasi normal dilaporkan
menekan pertumbuhan, mengurangi jumlah cabang, buku, dan polong,
yang berakibat turunnya hasil biji hingga 60% (Ciha and Brun 1975). Daun
kedelai secara individual telah terjenuhi oleh cahaya dengan intensitas 23.680
lux atau 20% dari sinar matahari penuh, tetapi daun bagian atas kanopi
baru terjenuhi oleh sinar dengan intensitas 107.640 lux, atau 91% dari sinar
matahari penuh (Shibles and Weber 1965). Radiasi matahari pada panjang
gelombang 660-730 nm yang mengaktivasi sistem phytochrom pada sel-sel
daun besar peranannya terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai.
Pada stadia vegetatif, adanya ratio (perbandingan) yang rendah antara
panjang gelombang 660 dengan 730 nm mengakibatkan stimulasi pelebaran
daun, perpanjangan batang dan petiol (Raper and Kramer 1987). Tanaman
kedelai yang mendapat naungan, mengalami etiolasi atau petiol banyak
daripada radiasi 660 nm.
Sebenarnya tidak seluruh energi sinar matahari termanfaatkan oleh
tanaman. Total energi sinar matahari yang dimanfaatkan tanaman
bergantung pada banyak faktor, termasuk total luasan daun, kandungan N
dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2 di
udara, dan intersepsi radiasi-fotosintesis aktif (photo synthetically active
radiation/PAR) oleh total luasan daun (Raper and Kramer 1987). Laju
fotosintesis pada radiasi matahari maksimum pukul 12.00-13.00 umumnya
tidak meningkat karena adanya defisit tegangan potensial air dalam sel daun
akibat evapotranspirasi yang besar.
Pada hari dengan langit cerah terdapat suplai sinar matahari yang
berlebihan atau terjadi penjenuhan sinar matahari, sehingga photosynthetic
photo flux density (PPFD) bukan merupakan faktor pembatas (Rufty et al.
1981). Namun apabila PPFD berkurang akibat naungan atau cuaca
mendung, yang dapat mengurangi PPFD dari 700 µ mol menjadi 325 µ mol/
m/dt, maka laju pertukaran CO2 (CO2 exchange rate CER) menurun, dari
0,74 mg menjadi 0,52 mg CO2/m/dt. Penurunan CER sangat berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan tanaman. Penurunan 30% CER karena
penurunan radiasi matahari dari 700 menjadi 325 µ mol m/dt, berakibat
penurunan luas daun 55% dan penurunan total bahan kering tanaman 60%
(Raper and Kramer 1987).
Pengurangan radiasi matahari pada awal pertumbuhan vegetatif akan
menghambat pertumbuhan tanaman, melalui penurunan laju fotosintesis
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
81
per unit area daun, dan laju fotosintesis seluruh organ tanaman. Sebaliknya,
radiasi sinar matahari yang sangat tinggi juga mengakibatkan cekaman
terhadap tanaman, karena terjadinya peningkatan suhu daun yang
meningkatkan laju evapotranspirasi, melebihi laju aliran air pada sel-sel daun
berasal dari dalam tanah melalui serapan akar. Dalam kondisi sel defisit air,
aktivitas fotosintesis akan berkurang, terjadi peningkatan muatan panas
(thermal load) dan laju transpirasi.
Intensitas penyinaran matahari di wilayah tropika Indonesia cukup
melimpah untuk persyaratan tumbuh tanaman kedelai, kecuali cuaca
mendung secara terus-menerus. Ditinjau dari kelimpahan penyinaran
matahari, tanam kedelai lebih optimal pada akhir musim hujan (Maret-April),
atau musim kemarau (Juli-Agustus), asal tersedia suplementasi air irigasi.
Dataran tinggi yang sering berkabut dan suhu rendah kurang sesuai untuk
usahatani kedelai ditinjau dari ketersediaan sinar matahari. Secara umum,
seluruh wilayah di Indonesia dari ketinggian tempat 1 m hingga 1300 m dpl
memiliki sinar matahari yang cukup untuk tanaman kedelai, terutama pada
musim kemarau.
Suhu
Interaksi antara suhu - intensitas radiasi matahari – kelembaban tanah sangat
menentukan laju pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu tinggi berasosiasi
dengan transpirasi yang tinggi, defisit tegangan uap air yang tinggi, dan
cekaman kekeringan pada tanaman. Suhu di dalam tanah dan suhu
atmosfer berpengaruh terhadap pertumbuhan Rhyzobium, akar dan
tanaman kedelai. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai
berkisar antara 22-27°C (Tabel 3).
Tabel 3. Kisaran suhu harian yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai.
Stadia pertumbuhan
Perkecambahan biji
Kecambah muncul
Pertumbuhan vegetatif
Inisiasi bunga
Berbunga
Pembentukan biji
Pematangan biji
Perkembangan Rhizobium
Kisaran persyaratan suhu (°C)
Minimum
Sesuai
Optimum
8-10
8-11
13-15
16-17
17-18
13-14
8-9
16-17
12-14
15-18
18-20
18-19
19-20
18-19
14-18
20-21
20-23
20-23
23-26
21-25
22-25
21-23
19-24
24-25
Sumber: (Holmberg 1973 dalam Raper and Kramer 1987).
82
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Suhu siang hari yang agak panas dan suhu malam hari yang agak dingin
pada bulan Juni-Juli menguntungkan bagi pertumbuhan kedelai, karena
adanya pengurangan laju respirasi pada malam hari yang mengurangi
perombakan senyawa C. Akumulasi bahan kering akan menurun bila suhu
naik di atas 30°C, karena adanya penurunan net-photosinthesis. Pengaruh
suhu dalam jangka waktu beberapa jam atau beberapa hari terhadap
pertumbuhan vegetatif bersifat permanen (irreversible), tetapi terhadap
proses fisiologis (photosinthesis dan respirasi) pengaruh suhu selama
beberapa menit atau beberapa jam tidak menimbulkan pengaruh yang
permanen. Perubahan suhu berpengaruh terhadap laju pertumbuhan
tanaman terutama melalui proses partisionasi (perombakan) fotosintat
antara organ tumbuh.
Suhu berinteraksi dengan panjang penyinaran (photo period) dalam
menentukan waktu berbunga dan pembentukan polong. Pada suhu
kardinal (23-26°C), tanaman kedelai membentuk pertumbuhan organ
vegetatif dan generatif maksimal, dan pada suhu rendah atau suhu tinggi
terjadi penghambatan pertumbuhan. Suhu yang tinggi berakibat pada aborsi
polong. Sebaliknya, suhu di bawah 15°C menghambat pembentukan polong.
Suhu di atas 30°C berpengaruh negatif terhadap kualitas biji dan daya tumbuh
benih. Pematangan biji pada suhu 20-25°C pada siang hari dan 15-18°C
pada malam hari dinilai optimum untuk kualitas benih yang dihasilkan (Raper
and Kramer 1987). Suhu di atas 27°C kurang optimum untuk kualitas biji
sebagai benih, berkaitan dengan laju pengisian dan pemasakan biji yang
kurang optimal.
Kelembaban Udara
Pengaruh langsung kelembaban udara terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman tidak terlalu besar, tetapi secara tidak langsung
berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit tertentu.
Kelembaban udara terutama berpengaruh terhadap proses pematangan
biji dan kualitas benih. Curah hujan yang tinggi selama proses pengeringan
polong menurunkan kualitas biji dan mutu benih, karena polong dan biji
menyerap kelembaban dari luar. Pada musim panen bulan Januari-Februari
tanaman kedelai sering mendapat curah hujan yang tinggi, sehingga banyak
polong bercendawan dan biji kedelai membusuk. Suhu tinggi, kelembaban
udara tinggi, dan hujan terus-menerus menjelang panen mengakibatkan
kerusakan biji kedelai di lapangan (Tekrony et al. 1980). Fluktuasi suhu dan
kelembaban udara yang ekstrim berpengaruh negatif terhadap vigor
perkecambahan benih dan mengakibatkan mutu benih rendah.
Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara
RH 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong
dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
83
polong hingga panen. Suhu udara yang agak rendah (20-22°C) dan udara
kering pada saat panen sangat ideal bagi pelaksanaan panen sehingga biji
kedelai bermutu tinggi. Di alam tropika Indonesia, kondisi udara seperti
tersebut tidak mudah diperoleh, namun apabila cuaca kering, tidak ada
hujan dan tidak ada kabut selama pematangan polong merupakan kondisi
yang cukup ideal untuk panen kedelai. Kedelai yang ditanam pada bulan
Februari-Maret dan Juni-Juli umumnya mencapai stadia pematangan polong
dan panen pada kondisi udara yang relatif kering, tidak ada hujan.
Sebaliknya, di lahan tegal atau lahan sawah tadah hujan, kedelai yang
ditanam pada awal musim hujan, pematangan polong dan panen terjadi
pada musim hujan, sehingga kualitas biji rendah, apalagi kalau terjadi
serangan hama polong.
Curah Hujan
Tanaman kedelai sangat efektif dalam memanfaatkan air yang berasal dari
kelembaban tanah. Pada tanah dengan lapisan olah yang dalam, tanaman
kedelai dapat tumbuh baik pada kelembaban tanah 60-80% kapasitas lapang
(Brady et al. 1974 dalam Van Doren and Reicosky 1987), dan tanggap
optimum kenaikan hasil biji dari pengairan diperoleh bila kondisi air tanah
mencapai 40-50% kapasitas lapang. Kondisi air tanah 80% kapasitas lapang
dinilai optimal untuk pertumbuhan kedelai pada tanah yang memiliki
kapasitas penyimpanan air yang baik, solum dalam (lebih dari 40 cm), dan
struktur gembur. Pada tanah yang demikian perakaran kedelai dapat
tumbuh dan berkembang sedalam 200 cm, dan air lebih banyak diserap
dari lapisan sub-soil (Van Doren and Reicosky 1987).
Lahan untuk usaha produksi kedelai di Indonesia umumnya memiliki
lapisan olah yang dangkal, sekitar 15-30 cm, sehingga penambahan air dari
hujan atau irigasi lebih sering diperlukan. Pada umumnya curah hujan yang
merata 100-150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan
kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai.
Secara umum kebutuhan air untuk tanaman kedelai, dengan umur
panen 100-190 hari, berkisar antara 450-825 mm, atau rata-rata 4,5 mm per
hari (Doorenbos and Pruit 1977 dalam Van Doren and Recosky 1987). Dengan
menggunakan data tersebut, kebutuhan air tanaman kedelai yang dipanen
pada umur 80-90 hari berkisar antara 360-405 mm, setara dengan curah
hujan 120-135 mm per bulan. Jumlah air yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan, dan
kedalaman lapisan olah tanah. Penyerapan air oleh tanaman kedelai
terbanyak terjadi pada stadia reproduktif (R1 hingga R6, atau dari sejak
timbul bunga pertama hingga polong mengisi penuh), bersamaan dengan
tanaman telah berkembang penuh (Van Doren and Reicosky 1987). Apabila
84
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
kelembaban tanah tidak mencukupi suplai tanaman untuk evapotranspirasi,
air dalam sel-sel tanaman akan terpakai untuk evapotranspirasi, yang akan
berdampak negatif terhadap pengisian biji dan produktivitas. Stadia
tanaman kedelai yang kritis terhadap kekurangan air secara berturut-turut
adalah pada stadia R3 sampai R5 (pembentukan dan pengisian polong) –
stadia R1-R2 (mulai berbunga sampai selesai pembungaan) – stadia R6-R7
(pengisian polong sampai pematangan polong) – stadia V1-V6 (stadia
vegetatif), dengan indeks kepekaan berturut-turut 0,35; 0,24; 0,13; dan 0,12
(Hiler et al. 1974 dalam Van Doren and Reicosky 1987). Secara umum
kebutuhan air pada berbagai stadia pertumbuhan kedelai di Amerika Serikat
diilustrasikan pada Gambar 1.
Kebutuhan suplementasi irigasi pada tanah lempung berliat (clay loam)
dan lempung-berpasir (sandy loam) di Minnesota dapat dilihat pada
Tabel 4.
Data Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tanah lempung berliat yang
memiliki kemampuan memegang air lebih baik dibanding tanah lempung
berpasir, jumlah curah hujan yang lebih sedikit memberikan produktivitas
kedelai yang lebih tinggi dan efisiensi penggunaan air mencapai dua kali
Kebutuhan air (mm per hari)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
V1
V6 R1
20
40
60
R2
R3
80
R4
100
R5
R6
120
R7
R8
140
hari
Umur dan stadia tanaman
Gambar 1. Pola penyerapan air oleh tanaman kedelai (Van Doren & Reicosky 1987).
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
85
Tabel 4. Kebutuhan air hujan dan suplementasi irigasi untuk kedelai.
Tahun
Curah
hujan
(mm)
Minnesota
(clay loam)
1978
1979
1980
Rata-rata
Sioux
(sandy loam)
1980
1981
1982
1983
Rata-rata
Lokasi
Hasil Suplementasi
biji
irigasi
(t/ha)
(mm)
Hasil
biji
(t/ha)
Efisiensi
penggunaan
air1)
321
362
409
364
3,03
2,99
2,89
2,97
287
182
158
209
3,56
3,03
2,90
3,16
9,44
8,25
7,06
8,16
401
396
430
383
403
1,74
1,71
1,67
1,46
1,65
345
149
303
434
308
2,45
2,38
2,11
2,25
2,30
4,34
4,31
3,89
3,80
4,09
Sumber: Van Doren & Reicosky (1987).
1)Efisiensi penggunaan air = hasil biji: total curah hujan dari tanam-panen (kg/ha/mm)
lipat. Suplementasi air irigasi yang lebih banyak pada tanah liat berpasir juga
tidak mampu mencapai produktivitas setinggi pada tanah lempung berliat,
walaupun perbedaan produktivitas tidak semata-mata disebabkan oleh
pengairan.
Pada saat curah hujan lebih dari 300 mm per bulan, budi daya kedelai
jenuh air dapat dianjurkan, dan bahkan dengan cara ini produktivitas kedelai
lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam pada kondisi kering (Sumarno
1986, Troedson et al. 1985). Dengan teknik tanam jenuh air, air digenangkan
di samping guludan barisan tanaman sejak kedelai tumbuh sampai pengisian
polong maksimal.
Curah hujan yang tinggi kurang sesuai bagi usaha tani kedelai dengan
teknik mekanisasi. Permukaan tanah yang lembek (hampir berlumpur)
menghambat pergerakan mesin pertanian yang dirancang untuk lahan
kering. Apabila usahatani kedelai menggunakan alat dan mesin, penyiapan
lahan harus datar, jumlah pematang dan selokan minimal, dan waktu tanam
menyesuaikan dengan pola curah hujan. Pada wilayah yang musim hujannya
berlangsung pada bulan Oktober-April, waktu tanam kedelai dengan teknik
mekanisasi adalah pada bulan Maret atau awal April, dengan memberikan
suplementasi irigasi pada bulan Juni apabila tidak ada hujan.
Faktor Tanah
Luasnya wilayah adaptasi tanaman kedelai di dunia menunjukkan besarnya
keragaman jenis dan sifat tanah yang sesuai untuk tanaman kedelai. Di
86
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Amerika Selatan dan Amerika Serikat, tanaman kedelai awalnya diusahakan
sebagai tanaman penyubur tanah karena biomasa yang dihasilkan mudah
mengalami dekomposisi dengan kandungan hara yang tinggi dan
kemampuan tanaman mengikat nitrogen dari udara lewat proses simbiose
dengan bakteri Rhizobium. Tanaman kedelai menyerap hara N, P, K, Ca, Mg,
S, dan Cl yang cukup besar dari dalam tanah (Tabel 5), tetapi kedelai
umumnya kurang tanggap terhadap pemupukan secara langsung.
Di antara faktor kesuburan fisiko-kimia tanah, yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman kedelai adalah tekstur, struktur, drainase,
kedalaman lapisan olah, pH, kandungan hara, kandungan bahan organik,
dan kemampuan tanah menyimpan kelembaban. Komponen kesuburan
fisiko-kimia tanah tersebut mungkin akan berinteraksi dengan faktor lain,
seperti curah hujan/sumber pengairan, topografi, dan tinggi tempat (altitute),
yang akan berpengaruh terhadap erosi, ketersediaan air tanah, pelestarian
kesuburan lahan, produktivitas lahan dan keberlanjutan produksi. Secara
umum persyaratan lahan untuk usahatani kedelai sama dengan jagung,
tembakau, atau tebu, sehingga kedelai banyak dijumpai berasosiasi atau
dirotasikan dengan tanaman – tanaman tersebut. Asosiasi tanaman kedelai
dengan padi sawah yang sangat berlawanan dalam hal kebutuhan air dan
drainase tanah memang unik. Tanaman kedelai dapat tumbuh pada tanah
yang hampir jenuh air (kapasitas lapang) asal tidak terjadi penggenangan,
terutama pada awal stadia vegetatif. Namun pada dasarnya kedelai adalah
tanaman aerobik, yang lebih sesuai pada tanah yang agak lembab dengan
kadar kelembaban 70-80% kapasitas lapang, tanah berdrainase baik tetapi
memiliki daya pengikat air yang baik. Oleh karena itu, tanah dengan tekstur
Tabel 5. Komposisi hara terserap oleh tanaman kedelai.
Komponen tanaman
kg/ha
Kedelai di subtropik
Batang + daun kering
Akar
Biji
Total
Kedelai di tropik
Batang + daun kering
Akar
Biji (kering)
Total
Hara terserap (kg/ha)1)
N
P
K
Ca
Mg
S
Cl
Si
Fe
3920
1680
3360
8960
80
40
250
370
10
5
25
40
42
23
65
130
90
40
28
11
1,9
2055
880
1760
4695
42
21
131
194
5,2
2,6
13,2
21
22
12
34
68
47
21
15
6
1,0
Sumber: Ohlroggs dan Kamprath 1968 dalam: Mengel et al. (1981)
1) Perkiraan berdasarkan proporsi hasil biji per ha
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
87
berliat dan berdrainase baik, atau tanah lempung berpasir (sandy loam)
yang kaya bahan organik, sangat sesuai untuk tanaman kedelai.
Lahan yang kurang atau tidak sesuai untuk tanaman kedelai adalah
tanah berpasir yang sangat porus (tidak dapat mengikat kelembaban tanah),
tanah dengan drainase buruk, tanah dengan pH < 5 atau > 7, tanah yang
lapisan olah tanahnya sangat dangkal (kurang dari 10 cm), dan tanah yang
tergenang. Lahan yang tidak sesuai untuk tanaman kedelai juga tidak sesuai
untuk pertumbuhan bakteri Rhizobium secara optimal.
Agar tanaman kedelai dapat tumbuh optimal, sifat fisik tanah sama
pentingnya dengan sifat kesuburan kimiawi. Sifat fisik tanah yang terpenting
adalah tekstur dan struktur, kedalaman lapisan olah, drainase, aerasi,
kapasitas menyimpan kelembaban, dan topografi.
Tekstur dan Struktur Tanah
Tekstur dan struktur tanah menentukan kemudahan akar berkembang,
kemampuan daya serap dan permeabilitas terhadap air permukaan,
drainase dan aerasi tanah, kemampuan menyimpan kelembaban tanah,
mudah sukarnya penanaman benih dan pemeliharaan tanaman
(penyiangan dan pemupukan), perkembangan Rhizobium, dan kepekaan
terhadap genangan air (water logging). Tekstur dan struktur tanah secara
langsung menentukan kesuburan tanaman kedelai.
Secara umum kedelai tidak sesuai ditanam pada tanah bertekstur
lempung berstruktur berat dan berdrainase buruk, dan tidak susuai pada
tanah berpasir berstruktur ringan, sangat porus sehingga tidak mampu
menyimpan kelembaban tanah. Lahan dengan dua karakteristik ekstrim
tersebut memerlukan ameliorasi (pembenah) tanah, menggunakan bahan
organik atau pupuk kandang dalam jumlah yang banyak untuk dapat
ditanami kedelai. Pada skala luas, ameliorasi bahan organik dengan takaran
tinggi tidak ekonomis, sehingga tidak dianjurkan untuk usaha produksi
secara komersial.
Tanah yang ideal untuk usahatani kedelai adalah yang berstektur liat
berpasir, liat berdebu-berpasir, debu berpasir, drainase sedang-baik, mampu
menahan kelembaban tanah, dan tidak mudah tergenang. Kandungan
bahan organik tanah sedang-tinggi (3-4%) sangat mendukung pertumbuhan
tanaman, apabila hara tanahnya cukup.
Persyaratan tanah yang ideal untuk pertumbuhan kedelai adalah sebagai
berikut:
(1) Lapisan olah-tanah cukup dalam, 40 cm atau lebih.
88
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
(2) Tekstur tanah mengandung liat atau debu dan liat disertai pasir, dengan
drainase sedang hingga baik.
(3) Struktur tanah agak gembur, tetapi tidak terlalu lepas di mana butir
tanah terikat oleh liat atau bahan organik.
(4) Memiliki kapasitas menyimpan kelembaban tanah yang baik.
(5) Butiran tanah pada permukaan halus, tidak berkrikil atau berbatu.
(6) Terdapat sumber pengairan, atau memperoleh hujan yang cukup, sekitar
100-200 mm/bulan, pada dua bulan pertama sejak tanam.
(7) Tidak mudah tergenang.
(8) Lahan terletak pada dataran rendah hingga tinggi-sedang (1-1000 m
dpl).
(9) Tidak ternaungi dan intensitas sinar matahari penuh.
Kandungan bahan organik tanah yang cukup terutama berguna untuk
mendukung perkembangan Rhizobium, perbaikan drainase tanah,
peningkatan kapasitas menyimpan kelembaban tanah, dan mempermudah
pertumbuhan akar tanaman. Akar tanaman kedelai lebih mudah
berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat dengan struktur
tidak terlalu ringan.
Fraksi liat sangat penting artinya pada tanah sawah yang akan ditanami
kedelai pada musim kemarau. Sentra produksi kedelai di Jawa Timur dan
Jawa Tengah, yang umumnya terdapat pada lahan sawah yang tanahnya
mengandung liat kemungkinan berkaitan erat dengan kemampuan tanah
menyimpan kelembaban pada musim kemarau, sehingga tanaman kedelai
tidak tercekam kekeringan.
Pada sebagian besar lahan yang ditanami kedelai di Indonesia, masalah
yang sering dihadapi adalah dangkalnya lapisan olah tanah. Baik di lahan
sawah maupun tegalan, kedalaman lapisan olah kurang dari 25 cm,
kebanyakan 15-20 cm. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan pengolahan tanah
yang dangkal secara terus-menerus, pembajakan menggunakan rotary-disk
atau bajak roda traktor tangan. Lapisan bajak (hard-pan) yang dangkal akan
membatasi perkembangan akar kedelai, tanaman mudah tercekam
kekeringan, dan penyerapan hara terbatas, yang berdampak terhadap
rendahnya produktivitas kedelai. Pada lahan sawah tanah Vertisol dan
Regosol yang tidak terbentuk lapisan bajak dangkal, produktivitas kedelai
umumnya cukup tinggi. Pada tanah yang mengalami pemadatan dengan
kerapatan volume (bulk-density) 1,75 g/cm, akar kedelai tidak mampu
menembus lapisan olah sehingga perlu dilakukan pengolahan dalam
(Johnson 1987). Tanah yang memiliki lapisan mata bajak dangkal, apabila
tidak dilakukan pengolahan dalam perlu saluran drainase permukaan guna
membuang kelebihan air pada awal stadia pertumbuhan, dan pengairan
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
89
Tabel 6. Pengaruh saluran drainase permukaan terhadap hasil biji kedelai
pada lahan bekas sawah di Jawa Timur.
Jarak saluran drainase (m)
Hasil kedelai (ton/ha)1)
1 m, searah panjang petakan
2 m, searah panjang petakan
3 m, searah panjang petakan
4 m, searah panjang petakan
Tanpa saluran drainasi
2,6**
2,3**
2,3**
2,0**
1,5
Sumber: Sumarno et al. (1987)
1) Rata-rata enam lokasi di Kabupaten Pasuruan, MK 1987
** Berbeda nyata berdasarkan nilai beda nyata terkecil, 1%
Tabel 7. Pengolahan tanah sebelum tanam kedelai, pengaruhnya terhadap hasil biji.
Lokasi, Author
Lampung,
Tangkuman et al. (1978)
Probolinggo,
Tangkuman (1977)
Jawa Timur,
LP3 (1977)
Jawa Timur,
Manwan et al. (1990)
Jawa Timur,
Manwan et al. (1990)
Hasil biji (t/ha)
Tanpa olah tanah
Tanah diolah
1,50
2,10
2,20
2,10
1,07
1,09
1,89
1,97
1,37
1,32
Keterangan
Lahan kering, bekas
alang-alang
Lahan sawah
Rata-rata tiga lokasi,
lahan sawah
Dengan mulsa jerami
lahan sawah
Tanpa mulsa jerami,
lahan sawah
yang cukup pada stadia generatif untuk mengatasi tanaman kekeringan,
supaya diperoleh produktivitas sekitar 2 t/ha (Tabel 6).
Penelitian pengolahan tanah untuk kedelai pada umumnya lebih dikaitkan dengan penyiapan lahan untuk tanam agar bebas dari gulma, belum
ditujukan untuk membongkar lapisan mata bajak (hard pan layer) yang
dangkal. Oleh karena itu, perlakuan pengolahan tanah pada umumnya tidak
menaikkan hasil kedelai, bahkan justru menurunkan hasil karena pengolahan tanah berakibat keterlambatan tanam (Soeharsono dan Adisarwanto
1985).
Pada lahan sawah, perlakuan pengolahan tanah (olah dangkal) sebelum
tanam kedelai dilaporkan tidak menaikkan hasil kedelai dibandingkan
dengan tanpa olah tanah. Namun dari dua percobaan, kedua perlakuan
tersebut mampu mendapatkan hasil kedelai sekitar 2 t/ha (Tabel 7).
90
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Pada lahan tegalan bekas ditumbuhi alang-alang di Lampung, pengolahan tanah meningkatkan hasil kedelai. Hal ini kemungkinan erat kaitannya
dengan perbaikan media pertumbuhan akar yang menjadi lebih dalam.
Faktor fisik tanah sering menjadi pembatas produktivitas, dan belum
dapat diatasi oleh petani, karena tidak adanya alat mekanisasi untuk
membajak dalam (deep ploughing dan sub-soiling). Sekiranya mekanisasi
dengan traktor 4-roda tersedia, pembajakan dalam menggunakan
moldboard plough (bajak singkal dalam) atau chissel (bajak pemecah tanah)
sangat bermanfaat untuk membongkar lapisan bajak yang dangkal.
Kelembaban dan Drainase Tanah
Benih kedelai yang ditanam harus mendapat kelembaban tanah dan mampu
menyerap air setara dengan 50% dari bobot setiap biji kedelai, untuk dapat
berkecambah (Scott and Aldrich 1970). Kelembaban tersebut akan diperoleh
apabila benih yang ditanam kontak langsung dengan partikel tanah yang
gembur dan lembab. Kelembaban tanah yang tinggi, berkisar antara 80100% kapasitas lapang, diperlukan pada saat benih ditanam hingga
berkecambah dan tanaman berdaun tunggal muncul di permukaan tanah
(1-12 hari setelah tanam).
Untuk pertumbuhan selanjutnya, tanaman kedelai memerlukan
kelembaban tanah 75-85% kapasitas lapang. Penyerapan air semakin banyak
sejalan dengan pertumbuhan perkaran dan tajuk tanaman. Penyerapan air
mulai menanjak pada stadia menjelang berbunga (R1), dan tetap tinggi
pada stadia pembentukan polong (R2), pengisian polong (R3-R4), dan mulai
menurun pada stadia biji dalam polong mencapai ukuran maksimum (R6),
dan sudah rendah–sangat rendah pada saat polong mulai matang hingga
polong matang penuh (R7-R8), (Gambar 1).
Untuk dapat tumbuh optimal tanaman kedelai memerlukan tanah
berdrainase baik, air tidak menggenang atau menjenuhi partikel tanah pada
lapisan olah, tetapi tanah memiliki kapasitas menyimpan kelembaban yang
baik. Kelembaban tanah melebihi kapasitas lapang mengakibatkan kondisi
anaerob, sehingga perakaran membusuk, penyerapan hara terganggu, daun
tanaman menguning dan bila keadaan jenuh air berkepanjangan mengakibatkan tanaman mati. Bakteri Rhizobium yang hidup pada akar juga mati
apabila tanah jenuh air secara berkepanjangan, lebih dari tiga hari.
Harus dibedakan antara tanah (seluruh lapisan olah tanah) jenuh air
dengan teknik bertanam jenuh air (Troedson et al. 1985, Sumarno 1986).
Pada teknik bertanam kedelai jenuh air terdapat bagian atas dari lapisan
olah tanah (10-15 cm) tidak terjenuhi air, sehingga perakaran dan Rhizobium
berkembang optimal pada lapisan bagian atas yang tidak jenuh air tersebut.
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
91
Reaksi Kimia Tanah
Kedelai tumbuh baik pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati
netral, pada pH 5,5-7,0 dan pH optimal 6,0-6,5. Pada kisaran pH tersebut
hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang
bereaksi masam (pH kurang dari 5,5), hara fosfat (P), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), kalium (K), sulfur (S) tidak mudah tersedia bagi tanaman
kedelai. Pada tanah yang bereaksi basa (pH lebih dari 7,0) unsur hara mikro
terutama Fe, Zn, Mn, dan juga P menjadi tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Pada tanah masam, mineral Mn, Al, dan Fe tersedia secara berlebihan,
sehingga dapat meracun bagi tanaman. Pada tanah masam yang
mengandung Al tinggi, kadar lebih dari 20% menyebabkan terjadinya
keracunan pada akar kedelai, sehingga akar tidak berkembang, tanaman
tumbuh kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, dan tidak mampu
membentuk polong. Perkembangan bakteri Rhizobium juga terhambat pada
tanah yang masam, kemungkinan disebabkan oleh kurangnya fotosintat
dari daun.
Pada tanah yang bereaksi basa (pH >7,0) tanaman kedelai menunjukkan
gejala khlorosis (daun muda berwarna kuning, ujung daun berwarna coklat)
karena unsur besi (Fe) menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kedelai
termasuk tanaman yang peka terhadap ketidaktersediaan Fe dibandingkan
dengan jagung atau ubi kayu, atau padi gogo. Pada tanah kalkareus ber pH
> 7,0, ketiga jenis tanaman tersebut jarang menunjukkan gejala khlorosis,
tetapi tanaman kedelai pada tanah yang sama menunjukkan khlorosis.
Apabila pH tanah lebih dari 7,0 pada tanah Vertisol, tanaman kedelai juga
sering kahat kalium (K) karena tidak tersedia bagi tanaman.
Kriteria Kesesuaian Agroklimat
Tanaman kedelai mempunyai adaptasi agroklimat yang sangat luas
(beragam), namun produktivitas tanaman pada berbagai agroklimat
tersebut menjadi sangat beragam. Apabila suatu agroklimat memungkinkan
tanaman kedelai tumbuh optimal dan berproduktivitas maksimal (di wilayah
tropika sekitar 2,0 t/ha biji kering), maka agroklimat tersebut disebut sangat
sesuai. Apabila tanaman kedelai tumbuh normal dan produktivitas dapat
mencapai di atas rata-rata, tetapi lebih rendah dibanding produktivitas
maksimal, agroklimat tersebut dikategorikan sesuai. Apabila tanaman
kedelai dapat ditanam pada suatu wilayah agroklimat, namun memerlukan
perlakuan agronomi tertentu seperti pengairan, pengapuran, pembenahan
tanah (ameliorasi tanah), pembuatan teras pencegah erosi, dan atau
perlakuan lainnya, maka agroklimat tersebut dikategorikan sebagai sesuai
bersyarat. Agroklimat dikategorikan kurang sesuai apabila hampir seluruh
komponen agroklimatnya tidak sesuai untuk usahatani kedelai dengan skala
luas secara ekonomis.
92
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Indonesia memiliki panjang hari hampir sama di semua tempat,
sepanjang tahun, suhu cukup panas untuk tanaman kedelai, kecuali di
daerah pegunungan dengan ketinggian tempat di atas 1.300 m dpl, dan
curah hujan cukup tinggi. Faktor pembatas kesesuaian tumbuh tanaman
kedelai hanya pada aspek lahan, terutama dari segi pH, kedalaman lapisan
olah tanah, tekstur, drainase, dan ketersediaan hara tanaman.
Kriteria kesesuaian agroklimat untuk pertumbuhan kedelai dicantumkan pada Tabel 8. Beberapa faktor agroklimat, seperti suhu, curah hujan,
dan panjang penyinaran (panjang hari) menunjukkan saling berimpit
sebagian (overlapping), karena tidak terdapat persyaratan yang sangat
berbeda antara kelas sangat sesuai, sesuai dan sesuai bersyarat untuk faktorfaktor tersebut.
Tanaman kedelai pada dasarnya sesuai untuk iklim agak kering (medium
dry climate), tetapi memerlukan kelembaban tanah yang cukup selama
pertumbuhan. Oleh karena itu, diwilayah yang termasuk kategori iklim kering
atau periode musim kemarau tidak ada hujan, tanaman kedelai dapat
tumbuh normal dan berproduksi tinggi apabila tersedia pengairan yang
cukup. Wilayah dengan curah hujan 2.500-3.500mm/tahun sebenarnya
terlalu basah untuk tanaman kedelai, tetapi kedelai masih dapat diusahakan
apabila tanah cukup gembur, mengandung cukup liat, dan drainase
permukaan baik.
Tingkat kesesuaian agroklimat tidak dapat menjamin tingkat produktivitas tanaman kedelai yang akan diusahakan. Faktor agronomis lain yang
sangat mempengaruhi produktivitas tanaman, di antaranya varietas, mutu
benih, populasi tanaman, pengendalian hama penyakit, gulma, mutu
pengelolaan tanaman, ketepatan waktu panen, dan penanganan
pascapanen. Ketepatan waktu dari berbagai tindakan agronomis sangat
menentukan produktivitas kedelai. Pemupukan P, K, Mg, Ca, dan inokulasi
Rhizobium, apabila diperlukan juga menentukan tingginya hasil.
Berbeda dengan tanaman serealia yang sangat tanggap terhadap
pemupukan N, kedelai hampir tidak dapat ditingkatkan produktivitasnya
melalui pemupukan N. Oleh karena itu ketersediaan hara dalam tanah,
tekstur dan struktur tanah, kelembaban tanah dan pengelolaan tanaman
yang baik, merupakan komponen utama perlakuan agronomis untuk
memperoleh produksi yang tinggi.
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
93
Tabel 8. Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai di wilayah tropika Indonesia.
Faktor agroklimat
1a. Suhu rata-rata 1) (°C)
b. Panjang hari (jam)
Kriteria tingkat kesesuaian
Sangat
sesuai
Sesuai
Sesuai
bersyarat
Kurang
sesuai
20-30
18-35
> 35
<18
>40
12-12,5
11,5-12,0
10-11
<10
2.
Curah hujan tahunan 2)
(mm/th)
1500-2000
1000-2500
2500-3500
>3500
<1000
3.
Curah hujan selama musim
tanam kedelai3) (mm/3 bln)
300-400
200-300
400-600
100-200
600-900
<100
>900
4.
Ketersediaan irigasi
pada musim kemarau
tersedia
(5-6 kali)
cukup
(3-4 kali)
agak kurang
(2-3 kali)
tidak ada
(-)
5.
Lengas tanah (%)
70-80
60-70
80-95
50-60
>95
<50
6.
Kedalaman lapisan
olah tanah (cm)
>40
30-40
15-29
<15
7a. Tekstur tanah
agak halushalus
Sedang
agak kasar,
halus
- kasar
- sangat halus
b. Kandungan liat (%)
(36-43)
(43-50)
(51-68)
- rendah
- tinggi
8.
Drainase
baik
Sedang
- lambat
- cepat
rendah
9.
Struktur tanah
gembursedikit
bergumpal
- bergumpal
- lengket
- agak berpasir
- berat atau
- agak ringan
- sangat berat
- sangat ringan
10. Bahan organik tanah
sedang-tinggi
sedang
agak rendah
Rendah
11. pH tanah
6,0-6,5
6,6-7,0
5,0-6,0
4,5-5,0
<4,5
>7,0
N
P tersedia
sedang-tinggi
tinggi
sedang
sedang
rendah
rendah
sangat rendah
sangat rendah
K tersedia
tinggi
sedang
rendah
sangat rendah
Ca, Mg
sedang
sedang
rendah
sangat rendah
> 20
15-20
10-15
< 10
14. Kejenuhan Al (%)
<8
8-10
11-19
>20
15. Topografi (%)
datar
(1-8)
sedikit miring
(8-16)
agak miring
(17-30)
Lereng
(30-40)
12. Kandungan hara tanah
13. Kejenuhan basa (%)
16. Elevasi (m dpl)
1-700
700-1000
1000-1300
>1300
17. Naungan (%)
0-8
8-15
15-25
>25
18. Erosi
sangat rendah
rendah
sedang
berat
19. Batuan di permukaan
tanah (%)
Tidak ada
1-5
6-10
>10
20. Genangan
Tidak ada
tidak adasebentar
singkat,
sementara
Lama
1); 2); 3): Suhu, curah hujan tahunan dan curah hujan selama pertanaman kedelai
bersifat over lap (berimpit sebagian), karena kedelai memiliki kesesuaian yang cukup
luas untuk faktor tersebut.
94
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
MASALAH PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI
DI WILAYAH TROPIS
Produktivitas kedelai di wilayah tropis tidak dapat dibandingkan dengan di
wilayah subtropika, tanpa mengetahui perbedaan karakteristik agroklimat
dan teknik budidayanya. Banyak pihak mengharapkan produktivitas kedelai
di Indonesia dapat ditingkatkan menjadi 3 t/ha, dari produktivitas saat ini
1,0-1,4 t/ha, padahal produktivitas kedelai di Amerika Serikat hanya 2,6 t/ha.
Produktivitas kedelai sangat ditentukan oleh panjang hari dan umur panen,
di samping ada tidaknya gangguan hama penyakit, gulma, dan kualitas
lingkungan tumbuh. Di Amerika Serikat sekalipun produktivitas kedelai
sangat beragam, dari rendah/sedang 1,6-1,8 t/ha di Amerika Serikat bagian
Selatan (25-30°LU) hingga tinggi 3,0-3,6 t/ha di negara sabuk kedelai (soybean
belt) pada lintang 35-42°LU, seperti di Illinois, Iowa, Ohio (Scott and Aldrich
1970).
Perbedaan agroklimat dan teknik budi daya yang menjadi faktor
pembeda produktivitas kedelai di Indonesia (tropis) dan di Amerika Serikat
(subtropis) telah diidentifikasi oleh Sumarno (1991) (Tabel 9). Produktivitas
kedelai selalu lebih rendah dibandingkan tanaman sereal seperti padi,
jagung atau sorgum yang sangat responsif terhadap pemupukan. Selain
itu, biji kedelai yang mengandung protein tinggi (38-40%) dan minyak tinggi
(18-20%) juga memerlukan energi lebih tinggi dibandingkan dengan biji
serealia yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
Dibandingkan dengan kedelai di wilayah sub tropis, produktivitas kedelai
di daerah tropis Indonesia dibatasi oleh (1) panjang hari yang kurang optimal
untuk pertumbuhan kedelai, (2) kesesuaian lahan kurang optimal karena
kedelai di Indonesia ditanam pada lahan yang kesuburannya sangat
beragam, (3) kelembaban tanah tidak selalu optimal, seringkali tergenang
(water logged) atau kekeringan pada musim kemarau, (4) besarnya
kehilangan hasil oleh banyaknya hama penyakit, (5) cara tanam yang belum
sesuai dengan teknik budi daya baku (standar operasional dan prosedur,
SOP).
Faktor-faktor pembatas tersebut tidak menjadikan kita menyerah kepada
alam, tetapi perlu dicarikan jalan pemecahan bagi masalah yang ada. Sebagai
contoh, panjang hari yang hanya 12 jam dapat diperpanjang dengan
penambahan penyinaran buatan dari lampu listrik, untuk memperoleh
pertumbuhan tanaman yang optimal. Banyaknya hama dapat dicegah
dengan melindungi tanaman menggunakan jaring atau kasa plastik, dan
seterusnya. Kemajuan teknologi industri sarana prasarana yang semula
dianggap mahal kemungkinan kelak akan menjadi murah. Pengairan teknik
sprinkle menggunakan air tanah dan pengeringan biji menggunakan
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
95
Tabel 9. Perbedaan agroklimat dan teknik budi daya kedelai di wilayah tropis (Indonesia)
dan di wilayah subtropis (Amerika Serikat).
Komponen
Wilayah tropis
(Indonesia)
1. Produktivitas
2. Varietas
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Wilayah subtropis
(USA)
1,0-2,0 t/ha
varietas unggul + lokal
Mutu benih
Kesuburan tanah
Lapisan olah tanah
Penyiapan lahan
Panjang hari
Curah hujan
Umur panen
Kesesuaian lahan
Hama
Penyakit
Pemeliharaan tanaman
Pola tanam
Pengusahaan tanaman
Penggunaan modal
Cara budi daya
Skala usaha
Wilayah produksi
Pengetahuan petani
Transportasi, komunikasi
Pemasaran
rendah-sedang
sedang-subur
dangkal-sedang
tanpa olah/minimal
12 jam
sering berlebih, atau kering
80-90 hari
sangat beragam
sangat banyak
sangat banyak
kurang-intensif
sering tumpangsari
tanaman sampingan
minimal, padat tenaga
manual
0,2-1,0 ha/kk
terpencar
umumnya masih rendah
sukar-terbatas
ditentukan pedagang
pengumpul
1,8-4,0 t/ha
varietas unggul
spesifik lokasi
tinggi, prima
sangat subur
sangat dalam
intensif-optimal
14-16 jam
hujan rintik-rintik
160-170 hari
sangat sesuai
Minimal
Minimal
sangat intensif
monokultur
tanaman utama
padat modal
Mekanisasi
40-800 ha/kk
hamparan luas
umumnya tinggi
sangat mudah
sesuai harga
internasional
Sumber: Sumarno (1991).
embusan udara panas (blown hot air dryer) adalah contoh kemajuan
teknologi untuk mengatasi permasalahan usaha produksi kedelai di
Indonesia.
Dengan memahami faktor pembatas alamiah maupun yang bersifat
sosio-ekonomis tersebut, kiranya dapat ditentukan target peningkatan
produktivitas kedelai nasional yang lebih wajar, misalnya 1,6 t/ha pada tahun
2015 walaupun secara individu petani dapat saja menghasilkan kedelai 2,02,5 t/ha dari lahannya.
WILAYAH PRODUKSI KEDELAI
Budi daya kedelai di Indonesia sebenarnya telah dilakukan oleh petani sejak
abad XVI (Van Romburgh 1892). Namun perkembangan luas areal tanamnya
termasuk sangat lamban dibandingkan dengan Amerika Serikat, Brazil, atau
96
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Argentina yang baru memulai mengusahakan kedelai pada abad XX (Tabel
1). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain (1) kedelai hanya
diposisikan sebagai penyelang tanaman pangan pokok, (2) kedelai pada
awalnya hanya diusahakan secara terbatas oleh petani di Jawa yang lahan
pertaniannya sempit, (3) usaha produksi kedelai merupakan bagian dari
usaha pertanian subsisten, (4) usaha produksi kedelai memerlukan banyak
tenaga kerja dan pekerjaannya bersifat labour intensive yang tidak sesuai
dengan budaya kerja petani luar Jawa, dan (5) tanaman kedelai mempunyai
risiko kegagalan yang tinggi. Di sisi lain, lahan bukaan baru yang bereaksi
masam dan umumnya mendominasi di luar Jawa kurang sesuai untuk
kedelai. Oleh karena itu, selama usaha pertanian masih dilakukan secara
manual, peluang perluasan kedelai secara besar-besaran seperti di Brazil
atau Argentina tampaknya akan tetap kecil.
Pemerintah telah beberapa kali memprogramkan untuk berswasembada
kedelai. Terakhir, swasembada kedelai ingin dicapai pada tahun 2015.
Walaupun target swasembada masih beberapa tahun yang akan datang,
namun upaya itu harus dimulai sejak sekarang, karena swasembada kedelai
hanya dapat dicapai apabila terjadi penambahan areal tanam, minimal
menjadi 3 juta ha pada tahun 2015.
Wilayah produksi kedelai di Indonesia secara tradisional adalah Jawa,
Bali, Lombok, sebagian Sumatera (sebagian wilayah Lampung, Jambi,
Sumut, NAD), Kalbar, Sulsel, Sulut, Gorontalo, dan Sultra. Namun luas areal
kedelai di luar Jawa, Bali, dan Lombok sangat labil, mudah terdesak oleh
tanaman lain, bergantung kepada nilai jual kedelai.
Peneliti Balai Penelitian Tanah sangat optimis dalam hal ketersediaan
lahan yang sesuai untuk usaha produksi kedelai. Di 12 propinsi diidentifikasi
masih tersedia lahan yang dapat diusahakan untuk usahatani kedelai seluas
12,9 juta ha (Agus et al. 2005). Menurut data dari peta berskala 1:250.000
yang dibuat oleh Puslittanak (1993) di 12 propinsi (NAD, Sumbar, Jambi,
Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra, dan NTB) terdapat
3,54 juta ha berpotensi tinggi, 3 juta ha berpotensi sedang, dan 5,46 juta ha
berpotensi rendah (Tabel 10, 11, dan 12). Disebutkan bahwa dari 12 propinsi
yang telah dievaluasi/dipetakan, lahan yang berpotensi tinggi dan sedang
untuk pengembangan kedelai terdapat di pulau Jawa (Agus et al. 2005).
Apabila data tersebut benar, terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian/kesulitan untuk pengembangan kedelai. Untungnya, petani di Jawa
telah mengenal budi daya kedelai, penyediaan sarana relatif mudah,
pemasaran produk mudah dan transportasi relatif lancar. Namun di balik
keuntungan-keuntungan tersebut terdapat kesulitan atau hambatan yang
tidak kalah berat, yaitu: (1) lahan di Jawa hampir seluruhnya telah diusahakan untuk pertanian dan prasarana (rumah, pertokoan, jalan dan
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
97
Tabel 10. Luas lahan potensial untuk pengembangan tanaman kedelai di Sumatera.
Jenis lahan
Potensi
Sawah
Nonsawah
Sawah
Nonsawah
Sawah
Nonsawah
P1
P1
P2
P2
P3
P3
Luas lahan potensial (x 1000 ha)
Jumlah
NAD
Sumbar
Jambi
Sumsel
Lampung
Jumlah
8,4
14,4
167,8
168,5
-
31,5
85,5
68,0
13,0
149,0
203,5
3,5
20,5
3,5
42,0
90,0
579,0
1,5
36,0
0,5
45,5
259,5
980,0
75,1
98,5
180,6
597,3
-
120,0
254,9
420,4
100,5
1.264,3
1.762,5
359,1
550,5
738,5
1.323,0
951,5
3.922,6
Sumber: Puslittanak (1993).
Tabel 11. Luas lahan untuk pengembangan kedelai di Jawa dan Bali.
Jenis lahan
Potensi
Sawah dan nonsawah
Sawah dan nonsawah
Sawah dan nonsawah
P1
P2
P3
Jumlah
Luas lahan untuk pengembangan kedelai (x 1000 ha)
Jabar/Banten Jateng
Jatim
Bali
Jumlah
392,2
1.089,0
531,1
961,5
836,9
135,7
1.468,8
534,6
445,3
107,8
68,8
35,6
2.930,3
2.529,3
1.147,7
2.012,3
1.934,1
2.448,7
212,2
6.607,3
Sumber: Puslittanak (1993).
Tabel 12. Luas lahan untuk pengembangan kedelai di Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Jenis lahan
Potensi
Sawah
Nonsawah
Sawah
Nonsawah
Sawah
Nonsawah
P1
P1
P2
P2
P3
P3
Jumlah
Luas lahan untuk pengembangan kedelai (x 1000 ha)
Sulsel
Sultra
NTB
Jumlah
43,5
61,5
156,0
66,0
313,5
412,4
2,5
59,5
2,0
57,0
271,5
384,0
38,5
26,0
80,5
83,0
85,5
89,0
84,5
147,0
238,5
306,0
670,5
885,4
1.052,9
876,5
402,5
2.331,9
Sumber: Puslittanak (1993).
98
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
sebagainya), sehingga dikhawatirkan lahan yang dinyatakan berpotensi
tinggi-sedang untuk kedelai tersebut sebenarnya sudah digunakan untuk
tanaman lain atau prasarana, (2) kalau lahan yang dimaksud masih ada
(seluas 5.283.000 ha), kemungkinan sedang ditanami komoditas yang nilai
ekonominya tinggi, atau kalaupun dapat ditanami kedelai akan terkalahkan
oleh komoditas lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi daripada kedelai.
Dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, luas
lahan yang disebutkan tersebut kemungkinan besar sudah digunakan untuk
usaha nonpertanian (Agus et al. 2005). Pertanyaan yang muncul adalah,
apakah 5.283.000 ha lahan yang sesuai untuk kedelai tersebut (peta 1993)
telah habis diubah menjadi lahan non-pertanian.
Dari pemetaan Puslittanak (1993) tersebut, di luar Jawa tersedia 1.671.800
ha lahan sawah dan nonsawah yang sesuai untuk berproduksi kedelai (Tabel
9 dan 11). Apabila data ini akurat, lahan di luar Jawa justru mempunyai
peluang yang baik untuk perluasan kedelai, karena kemungkinan untuk di
desak oleh komoditas lain agak kecil.
Untuk dapat mengadakan program dan upaya perluasan tanaman
kedelai, tujuh syarat perlu dipenuhi, yaitu:
(1) Lahan tersedia dan sesuai secara agronomis untuk produksi kedelai,
dengan kebutuhan tambahan masukan sarana produksi (pupuk, kapur)
sedikit-sedang, sehingga usaha produksi kedelai ekonomis.
(2) Lahan belum digunakan untuk usahatani komoditas lain, yang memiliki
nilai ekonomi sama atau lebih tinggi daripada kedelai.
(3) Status kepemilikan lahan jelas, atau lahan milik negara, sehingga dapat
dialokasikan kepada petani penggarap, lengkap dengan surat
keterangan status kepemilikannya.
(4) Tersedia prasarana seperti jalan, air, listrik, dan fasilitas hidup lainnya.
(5) Ada petani atau pengusaha yang bersedia memproduksi kedelai.
(6) Tersedia sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan, alsintan).
(7) Tersedia pasar dan pembeli hasil panen dengan harga layak.
Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, perluasan areal tanam
kedelai perlu dikaitkan dengan program pemukiman baru atau transmigrasi.
Model perluasan areal tanam kedelai yang inovatif perlu difasilitasi, terutama
untuk memberikan kesempatan kepada sarjana pertanian, pengusaha
muda, atau investor. Terbentuknya Soybean Farm dengan skala 50-100 ha
per pengusaha perlu dipikirkan, mungkin dengan memberikan hak guna
lahan (HGL) selama 20-30 tahun, atau lelang kapling lahan yang telah dibuka
dengan pembayaran angsuran selama 10-15 tahun, seperti halnya pada
KPR (kredit pemilikan rumah). Tanpa adanya upaya perluasan areal kedelai
ke wilayah baru tampaknya mustahil Indonesia dapat berswasembada
kedelai.
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
99
POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI
FAO (1980) membuat zonasi (peta) agroekologi komoditas kedelai dan
membagi wilayah menjadi tiga kategori yaitu: (1) sangat sesuai dan sesuai,
(2) sesuai terbatas (bersyarat), dan (3) kurang/tidak sesuai. Wilayah yang
termasuk sangat sesuai atau sesuai untuk kedelai adalah sebagai berikut:
• Wilayah pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam
• Lampung Timur dan Utara
• Pantai Utara Banten dan Jawa Barat
• Jawa Tengah bagian Utara dan Selatan
• Jawa Timur bagian Utara, Tengah dan Barat – Selatan
• Kalimantan Selatan
• Sulawesi Selatan
• Gorontalo dan Sulawesi Tengah-Utara
• Sulawesi Tenggara Selatan, P. Buton, Selayar
• Bali-Lombok-Sumbawa-Sumba-Flores
Wilayah yang termasuk sesuai bersyarat adalah:
• Sumatera Utara bagian Timur sampai dengan Sumatera SelatanLampung bagian Timur
• Jawa Barat bagian Utara-Tengah
• Banten bagian Tengah-Selatan
• Jawa Tengah bagian Utara-Tengah
• Jawa Timur bagian Timur-Selatan
• Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur-Selatan
• Sulawesi Selatan bagian Utara
• Sulawesi Tenggara bagian Utara
• Sulawesi Utara
• Pulau Buru
• Flores bagian Barat
• Pulau Sumba
Beberapa wilayah yang tidak disebut sesuai dalam peta FAO tetapi
berdasarkan pengamatan dan secara empiris banyak tanaman kedelai,
dapat dikategorikan sebagai wilayah yang sesuai untuk kedelai adalah Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, daerah tertentu di Papua, dan Irian
Jaya Barat.
Sudah barang tentu masih diperlukan identifikasi lokasi secara pasti
atau lokasi definitif dari semua wilayah-wilayah tersebut yang secara indikatif
dinilai sesuai untuk pengembangan kedelai.
100
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Pengembangan areal tanam kedelai di wilayah baru, selain harus memenuhi tujuh persyaratan yang disebutkan di muka juga harus memperhatikan aspek pelestarian sumber daya, ramah lingkungan, dan ramah sosial
etnis. Semestinya aspek agama dan kepercayaan tidak bersangkut paut
dengan perluasan areal kedelai, tetapi di Indonesia yang sering terjadi halhal yang di luar dugaan, mungkin hal tersebut perlu menjadi pertimbangan.
Satuan unit areal pengembangan kedelai sebaiknya mengikuti pola
tumbuh, dari sekitar 500 ha pada tahun pertama, berangsur-angsur menjadi
25.000-250.000 per unit pengembangan dalam tempo 20 tahun. Harapan
perkembangan areal yang sangat besar tersebut tidak akan terjadi apabila
diserahkan kepada petani dan masyarakat setempat. Pemerintah (Pusat
dan Propinsi) perlu membangun program insentif dengan berbagai strategi
agar generasi muda tertarik berkebun kedelai di wilayah baru.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., A. Mulyani, dan Y. Hadian. 2005. Potensi sumber daya lahan untuk
tanaman kedelai, prospek dan tantangannya. Pertemuan Koordinasi
Pengembangan Produksi Kedelai. Bogor, 30 September 2005.
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Perwakilan Jawa Timur. 1977. Progress
report penelitian kacang-kacangan dan umbi-umbian 1976-1977.
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Perwakilan Jawa Timur,Malang.
Djojodarmodjo, P. dan S. Marco. 1985. Budi daya kedelai secara mekanisasi.
p. 369-382. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai Puslitbangtan,
Bogor.
FAO. 1980. Report on agroecological zones project, FAO. Soybean, generalized
agroclimatic suitability assessment for the rainfed soybean
production.
Gray, G. D. 1936. All about the soybean. John Bale, Sons & Danielsson Ltd.,
London.
Gurning, M.E. dan S. Ginting. 1985. Usahatani kedelai dengan sistem
perkebunan inti rakyat. p. 397-406. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.).
Kedelai, Puslitbangtan, Bogor.
Holmberg, S.A. 1973. Soybeans for cool temperature climates. Agric. Hort.
Genet. 31:1-20.
Johnsen, P.B. 2000. Soybean in the new millenium: the influence of
technology and international trade p. 7-10. In: Kyoko Saio (Ed.).
Proceedings the Third International Soybean Processing and
Utilization Conference (ISPUC-III). Tsukuba. Japan.
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
101
Johnson, R.R. 1987. Crop management. p. 355-390. In: J.R. Wilcox (Ed.).
Soybeans: improvement production, and uses. Second edition. ASA
Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA.
Manwan, I., Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1990. Teknologi
peningkatan produksi kedelai. Laporan khusus Pus/02/89. Puslitbang
Tanaman Pangan, Bogor.
Mengel, D.B., W. Segars, and G.W. Rehm. 1987. Soil Fertility and Liming. p.
461-469. In: J.R. Wilcox (Ed.). Soybeans: Improvement, Production
and Uses. Second Edition, ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison,
Wisconsin, USA.
Norman, A.G. 1978. Soybean: physiology, agronomy and utilization academic
press., New York.
Puslittanak. 1993. Penelitian potensi dan tingkat kesesuaian lahan untuk
pengembangan kedelai. Puslittanak, Bogor.
Raper, C.D. and P.J. Kramer. 1987. Stress physiology. p. 590-642. In: J.R. Wilcox
(Ed.): Soybeans: improvement, production and uses. Second edition.
ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA.
Rufty, T.W., C.D. Raper, and W.A. Jackson. 1981. Nitrogen assimilation and
plant responses of soybean to root temperature, CO2, and light.
Dalam: C.D. Raper and P.J. Kramer. 1987. Stress physiology: 589-641.
Soybean: J.K. Wilcox (Ed). ASA. Agronomy Series No. 16. Madison,
W1-USA.
Scott, W.O. and S.R. Aldrich. 1970. Modern soybean production. S & A
Publication, Illinois, USA.
Shibles, R., and C.R. Weber. 1965. Leaf area, solar radiation interception and
dry matter production by soybean. Crop Sci. 5:575-577.
Smith K.J. and W. Huyser. 1987. World distribution and significance of soybean.
p. 3-22. In: J.R. Wilcox (Ed.): Soybeans: improvement, production
and uses. second edition. ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison,
Wisconsin, USA.
Soeharsono dan T. Adisarwanto. 1985. Budi daya kedelai di lahan sawah.
p.121-134. Dalam S. Somaatmaja et al. (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Sumarno. 1986. Response of soybean genotype to continuous saturated
culture. Indon. J. of Crop. Sci. 3 (2):71-78.
Sumarno, F. Dauphin, A. Rachim, N. Sunarlim, B. Santosa, H. Kuntyastuti,
and Harnoto. 1987. Soybean Yield Gap Analyses in Java. CRIFC-ESCAP/
CGPRT, Bogor.
102
Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan
Sumarno. 1991. Kedelai dan Cara Budi daya. Cet. Ke 4. C.V. Yasaguna, Jakarta.
Sun Huan, Ling Yi-Lu, and Gai Jun-Yi. 1987. Cropping systems and research
with soybean in Cina. In: S.R. Singh, K.O. Rachie, and K.E. Dashiell
(Eds.). Soybeans for the Tropics. p. 119-124. John Wiley & Sons Ltd.
Singapore.
Tangkuman, F., N. Sunarlim, dan W. Gunawan. 1978. Pengaruh pengolahan
tanah dan populasi tanaman terhadap produksi kedelai. Lap.
Kemajuan Penelitian Seri Agron. Kacang-Kacangan, No. 4. LP3, Bogor.
Tangkuman, F., Ig. V. Sutarto, dan W. Gunawan. 1977. Pengaruh pengolahan
tanah dan populasi tanaman terhadap produksi kedelai. Lap.
Kemajuan Penelitian, Seri Agronomi. Kacang-Kacangan, No. 3. LP3
Bogor.
Tekrony, D.M., D.B. Egli, and A.D. Phillips. 1980. Effect of field weathering on
the viability and vigor of soybean seed. Agron. J. 72:749-753.
Troedson, R.J., R.J. Lawn, D.E.Byth, and G.L. Wilson. 1985. Saturated soil
culture. p. 171-180 In: S. Shanmugasundaram and E.W. Sulzberger
(Eds.) Soybean in tropical and sub tropical cropping systems. Asian
Vegetables Research and Development Center, Shan hua, Taiwan.
Van Doren, D.M. and D.C. Reicosky. 1987. Tillage and irrigation. p. 391-428.
In: J.R. Wilcox (Ed.) Soybeans: improvement, production and uses.
Second edition, ASA Pub. Agronomy Series, No. 16. Madison,
Wisconsin, USA.
Van Rombourgh, P. 1892. Geweektegewassen in de cultuurtuin te Tjikeumeuh
Lands Plantentuin, 18 Mei 1817-18 Mei 1892. Batavia.
Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia
103
Download