Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia Sumarno1 dan Ahmad Gozi Manshuri2 Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor 2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang 1 PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu contoh tanaman yang berkembang menjadi tanaman kosmopolitan. Tidak ada spesies tanaman yang menyebar begitu luas secara cepat seperti kedelai. Kedelai, yang asalnya diketahui dari Manchuria atau daratan Cina bagian timur laut, pada pertengahan abad XX telah menyebar ke seluruh dunia. Gambaran tentang penyebaran sentra produksi kedelai pada tahun 1935 dapat dibaca pada buku teks kedelai pertama dalam bahasa Inggris oleh Gray (1936) berjudul All about the soybean. Disebutkan dalam buku tersebut bahwa pada tahun 1932-1933 produksi kedelai dunia hanya berpusat di empat negara, yaitu Manchuria (5,2 juta t), Cina (4,8 juta t). Jepang dan Korea (0,95 juta t). Pada tahun 1910 laporan pertama tentang kedelai disampaikan kepada pemerintah federal Amerika, oleh Norman Shaw, seorang intelijen kelautan dan pabean yang bertugas ke Cina. Perhatian pemerintah Amerika terhadap kedelai sejak itu sangat besar. Tahun 1934 produksi kedelai di Amerika Serikat baru 0,48 juta t/tahun. Perkembangan areal pertanaman dan produksi kedelai di Amerika Serikat sangat spektakuler. Dari luasan 168.000 ha pada tahun 1925, berkembang menjadi 4,4 juta ha pada tahun 1945, dengan total produksi 5,25 juta t, dan pada tahun 2000 mencapai 33,5 juta ha dengan total produksi 75,0 juta t (Tabel 1). Perkembangan luas areal kedelai di Amerika dalam periode 1925-1975 meningkat 12.800% atau 129 kali lipat. Perkembangan luas areal kedelai yang cepat juga terjadi di Brazil dan Argentina. Hal tersebut sangat berbeda dengan perkembangan luas areal pertanaman kedelai di Indonesia, yang sejak 1776 sudah dilaporkan adanya tanaman kedelai di Jawa (Van Rombourgh 1892). Di Indonesia tanaman kedelai berasosiasi dengan usaha pertanian subsisten, sehingga usaha per keluarga tani selalu sempit. Belum pernah terjadi kedelai diusahakan secara luas dalam skala usaha perkebunan. Penanaman kedelai secara mekanis dalam skala luas pernah dicoba diterapkan oleh PT. Kapas Indah di Punggaluku, Sulawesi Tenggara tetapi tidak berkelanjutan (Gurning dan Ginting 1985). Mekanisasi terbatas pada budi daya kedelai dipraktekkan oleh PT. Patra Tani di Serdang, Sumatera Selatan, pada tahun 1980-an, yang ditujukan untuk produksi benih, yang akhirnya dihentikan hingga sekarang. 74 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 1. Perkembangan produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brazil. Tahun Luas areal (ha) Amerika Serikat 1925 1930 1940 1945 . . . 1975 . . 20001) 168 435 1.945.000 4.346.000 21.694.000 33.482.000 Brazil 1960 1965 1970 . . . 1975 . . 2000 172 432 1.319.000 6.419.000 . . 14.595.238 Produktivitas (t/ha) Total produksi (t/tahun) 0,79 0,87 1,09 1,21 132 379 2.124.000 5.258.000 1,91 41.406.000 2,24 75.000.000 1,20 1,22 1,51 206 523 1.144.000 1,75 11.227.000 2,10 30.650.000 Sumber: Norman (1978) Johnsen (2000) 1)Sumber: Melihat pergeseran sentra produksi kedelai yang sangat luas dan beragam tersebut, sebenarnya agak kurang relevan membahas persyaratan adaptasi tanaman kedelai di Indonesia. Tampaknya tanaman kedelai dapat mengalami aklimatisasi atau penyesuaian tumbuh dengan wilayah baru secara mudah pada wilayah pengembangan baru. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tersedianya reservoir keragaman yang luas genetik kedelai, sehingga pada setiap agroekologi dapat dipilih genotipe yang sesuai. Komponen utama penyusun agroekologi seperti perbedaan panjang penyinaran, suhu, intensitas radiasi surya, curah hujan, dan kelembaban udara, tampaknya dapat diakomodasi oleh genotipe kedelai spesifik. Pembahasan “Persyaratan tumbuh dan wilayah adaptasi kedelai di Indonesia” pada bab ini dimaksudkan untuk membahas persyaratan optimal dan batas minimal yang perlu dipenuhi untuk dapat mengusahakan kedelai sebagai tanaman ekonomis di Indonesia. Uraian tentang persyaratan tumbuh dan adaptasi kedelai di berbagai wilayah agroekologi di dunia Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 75 dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang budi daya kedelai di luar Indonesia. ADAPTASI KEDELAI DI DUNIA Dibandingkan dengan tanaman semusim lainnya, kedelai mempunyai sebaran wilayah adaptasi yang terlebar, menyebar dari 0°-50° Lintang Utara (LU), dan dari 0°-45° LS, meliputi wilayah tropik hingga sub-artik. Secara historis-biologis, kedelai 4000 tahun yang lalu berasal dari wilayah subtropika Cina pada garis lintang 45-48° LU. Pada pertengahan abad XX kedelai telah menyebar hampir ke seluruh dunia. Pada tahun 1987 tercatat sebanyak 39 negara yang mengusahakan tanaman kedelai secara komersial (Tabel 2). Total luas areal pertanaman kedelai di seluruh dunia mencapai 65,5 juta ha/ tahun. Negara produsen terbesar adalah Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Cina, Uni Sovyet, dan India (Smith dan Huyser 1987). Sebelum tahun 1942 produsen terbesar kedelai adalah Cina, dan pada skala usaha yang lebih sempit adalah Korea, Jepang, Indonesia, dan Thailand. Hingga tahun 1954 negara pengekspor kedelai terbesar (90% ekspor) berasal dari Cina (Sun Huan et a.l 1987). Lima belas tahun kemudian produsen kedelai terbesar dunia berpindah ke Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina. Pada tahun 1990 ketiga negara tersebut menghasilkan 159 juta t kedelai atau 81% dari total produksi dunia (Johnsen 2000). Menilik karakteristik agroklimat wilayah sebaran sentra produksi kedelai di dunia, terdapat perbedaan besar karakteristik agroklimat di antara negaranegara tersebut (Tabel 2). Komponen utama faktor agroklimat yang menentukan keberhasilan usaha produksi kedelai terutama adalah tanah yang subur, solum tanah dalam (lebih 40 cm), struktur tanah gembur, tekstur tanah lempung-berdebu (silty loam), dan kelembaban tanah cukup. Suhu dan panjang hari juga ikut menentukan keberhasilan usaha produksi kedelai, namun keragaman genetik kedelai cukup luas untuk penyesuaian dan adaptasi terhadap dua komponen agroklimat tersebut. Di setiap negara produsen dapat dipilih varietas-varietas yang sesuai bagi suhu dan panjang hari spesifik. Indonesia, sebagai salah satu negara produsen kedelai, memiliki kondisi agroklimat tropis yang cukup sesuai untuk memproduksi kedelai, walaupun bukan merupakan wilayah dengan agroklimat yang ideal. Panjang hari (lama penyinaran matahari) yang merata dan relatif konstan selama 12 jam, terlalu pendek bagi pertumbuhan optimal tanaman kedelai. Kedelai termasuk tanaman hari pendek, yaitu tanaman cepat berbunga apabila panjang hari 12 jam atau kurang, dan tanaman tidak mampu berbunga apabila panjang hari melebihi 16 jam. Tanaman kedelai di Indonesia umumnya telah 76 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 2. Sebaran wilayah adaptasi dan negara-negara produsen kedelai di dunia. Negara 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. Luas areal tanam (ha) Produksi (t) Canada Amerika Serikat Meksiko Argentina Bolivia Brazil Chilli Kolumbia Equador Paraguay Peru Uruguay Mesir Marocco Nigeria Afrika Selatan Simbabwe Bulgaria Chechoslovakia Perancis Hongaria Romania Spanyol Yugoslavia Uni Sovyet Cina Taiwan India Indonesia Iran Jepang Korea Utara Korea Selatan Philipina Thailand Turki Australia 364.000 28.645.000 390.000 7.835.000 45.000 8.300.000 1.000 56.000 21.000 370.000 14.000 20.000 62.000 1.000 165.000 25.000 70.000 90.000 5.000 9.000 25.000 315.000 5.000 77.000 800.000 8.300.000 10.000 6.093.000 780.000 50.000 147.000 300.000 183.000 12.000 112.000 25.000 45.000 857.000 61.969.000 550.000 19.590.000 79.000 15.770.000 1.000 110.000 20.000 550.000 11.000 25.000 125.000 1.000 65.000 20.000 100.000 120.000 5.000 20.000 50.000 325.000 9.000 180.000 880.000 14.700.000 15.000 5.850.000 785.000 80.000 226.000 330.000 233.000 12.000 110.000 50.000 73.000 Dunia 63.767.000 117.226.000 2) Letak geografis (lintang) 1) 50°-60°/70° LU 25°-50°LU 15°-32°LU 23°-51°LS 10°-22°LS 5°LU-22°LS 17°-50°LS 3°LS-11°LU 5°LS-2°LU 18°-28°LS 0°-17°LS 30°-35°LS 22°-31°LU 28°-35°LU 5°-15°LU 22°-33°LS 15°-23°LS 41°-44°LU 48°-51°LU 43°-50°LU 46°-48°LU 44°-48°LU 28°-43°LU 42°-46°LU 40°-60°LU 23°-50°LU 22°-25°LU 8°-32°LU 10°LS-6°LU 24°-40°LU 31°-45°LU 38°-43°LU 33°-38°LU 6°-18°LU 12°-20°LU 36°-42°LU 12°-38°LS Sumber: Smith dan Huyser (1998) Letak geografis (lintang) adalah letak negara yang bersangkutan, bukan merupakan letak wilayah tanaman kedelai secara tepat. 2) Peningkatan luas areal dan produksi telah terjadi sejak tahun 1987-2000, sehingga data produksi kedelai tahun 2000 diperkirakan 159 juta t (Johnsen 2000) 1) Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 77 berbunga pada umur 25-40 hari, pada saat tinggi tanaman baru mencapai 40-50 cm. Di wilayah subtropis, yang memiliki panjang hari 14-16 jam pada musim semi-musim panas, tanaman kedelai baru berbunga setelah berumur 50-70 hari, pada saat tinggi tanaman telah mencapai 70-80 cm, dan telah membentuk banyak cabang. Umur matang kedelai di Indonesia juga sangat genjah, berkisar antara 75-95 hari, sedang kedelai di daerah subtropis mencapai 150-160 hari. Perbedaan iklim tersebut merupakan salah satu penyebab perbedaan produktivitas kedelai di Indonesia dengan di wilayah sub-tropis (Sumarno 1991). Tanaman kedelai memerlukan kelembaban tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal. Di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah jenuh air, drainase buruk (water-logged), atau banjir, sehingga kurang ideal bagi pertumbuhan kedelai. Intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan tanah menjadi basah secara terus-menerus, mengakibatkan alat-mesin pertanian sukar beroperasi di lapangan. Faktor ini merupakan salah satu penghambat upaya mekanisasi kedelai di Indonesia (Djojodarmodjo dan Marco 1985). Pada musim kemarau, bila tidak ada irigasi tanaman kedelai menderita cekaman kekeringan. Suhu yang tinggi juga mengakibatkan polong menjadi rontok atau biji abortus. Usaha produksi kedelai di Indonesia dilakukan pada musim tanam yang tidak selalu ideal untuk pertumbuhan tanaman, karena harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Hal ini disebabkan karena petani belum menilai kedelai sebagai tanaman utama, masih diposisikan sebagai tanaman penyelang bagi tanaman utama padi, jagung, tebu, tembakau, bawang merah atau tanaman lainnya. Sebaran areal tanam kedelai di Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh kesesuaian agroklimat, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan bertani masyarakat. Secara historis kedelai diusahakan oleh masyarakat yang cara bertaninya intensif, seperti petani suku Jawa, Bali, dan sebagian Sunda. Namun sejak tahun 1980-an tanaman kedelai menyebar ke wilayah Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua, yang dirintis oleh petani migran dari Jawa-Bali bersama-sama masyarakat setempat. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebaran dan pengembangan kedelai di suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian faktor agroklimat dan lingkungan tumbuh, tetapi juga oleh keinginan masyarakatnya. Faktor kohesif-sinergis yang mendorong perkembangan tanaman kedelai adalah: ketersediaan lahan yang sesuai – ketersediaan air/iklim yang sesuai - insentif pasar – dan budaya bertani masyarakat. 78 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan PERSYARATAN TUMBUH Komponen lingkungan yang menjadi penentu keberhasilan usaha produksi kedelai adalah faktor iklim (suhu, sinar matahari, curah dan distribusi hujan), dan kesuburan fisiko-kimia dan biologi tanah (solum, tekstur, pH, ketersediaan hara, kelembaban tanah, bahan organik dalam tanah, drainase dan aerasi tanah, serta mikrobia tanah). Gulma dan hama penyakit dapat hidup secara ko-habitasi dengan tanaman kedelai dan atau menjadi pembatas penting bagi produktivitas, tetapi dapat dikendalikan. Rhizobium sp. yang hidup pada akar dan bersimbiose dengan tanaman kedelai sangat penting bagi pertumbuhan kedelai. Rhizobium sp. umumnya memiliki persyaratan hidup yang sama dengan persyaratan tumbuh kedelai. Genotipe (varietas) kedelai memiliki persyaratan adaptasi spesifik, walaupun pada suatu lingkungan ditentukan oleh interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Varietas kedelai dari wilayah subtropik tidak tumbuh/berproduksi optimal pada lingkungan tumbuh terbaik di Indonesia. Lingkungan tumbuh yang sangat sesuai bukan jaminan mutlak untuk keberhasilan usaha produksi kedelai, masih tergantung tindakan manejemen petani pengelolanya. Mutu benih, waktu tanam, pengendalian OPT, pengelolaan tanaman yang optimal, semuanya sama pentingnya dengan lingkungan tumbuh yang sangat sesuai. Faktor Iklim Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan tanaman kedelai adalah: lama dan intensitas sinar matahari (panjang hari), suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Kemampuan adaptasi kedelai terhadap keragaman faktor iklim tersebut sebenarnya sangat luas, namun “kondisi iklim” yang sesuai perlu diidentifikasi. Panjang Hari (Lama Penyinaran) Kedelai tergolong tanaman hari pendek, yaitu tidak mampu berbunga bila panjang hari (lama penyinaran) melebihi 16 jam, dan mempercepat pembungaan bila lama penyinaran kurang dari 12 jam. Tanaman hari pendek pada kedelai bermakna bahwa hari (panjang penyinaran) yang semakin pendek akan merangsang pembungaan lebih cepat. Lamanya periode gelap (tanpa sinar) menentukan dan mengatur faktor induksi pembungaan. Faktor penginduksi pembungaan tersebut disebut florigen yang disinthesa pada daun, dan ditranslokasikan ke organ bakal bunga melalui ploem. Tanaman kedelai yang tidak mengalami periode gelap akan tumbuh vegetatif terusmenerus, tidak mampu membentuk bunga. Varietas kedelai pada umumnya Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 79 peka terhadap photo-periodisitas (panjang penyinaran), sehingga setiap wilayah dengan perbedaan panjang hari satu jam atau lebih, memerlukan varietas yang spesifik bagi wilayah itu. Panjang hari di Indonesia hampir seragam dan konstan sekitar 12 jam. Varietas kedelai dari wilayah subtropika yang sesuai untuk panjang hari 14-16 jam, apabila ditanam di Indonesia yang panjang harinya 12 jam, akan mempercepat pembungaan, pada umur 20-22 hari walaupun batang tanaman masih pendek, tanaman sudah berbunga. Di tempat aslinya varietas asal subtropika berbunga pada umur tanaman sekitar 50 hari, pada saat batang kedelai sudah tumbuh setinggi 60-70 cm. Kesesuaian varietas terhadap wilayah garis lintang tertentu telah melalui berbagai proses seleksi, termasuk aklimatisasi, adaptasi, seleksi alamiah, atau sengaja melalui kegiatan pemuliaan. Di Kanada dan Amerika Serikat, kegiatan perakitan varietas telah menyesuaikan dengan target wilayah dan letak garis lintang varietas kedelai akan ditanam. Setiap wilayah garis lintang disediakan varietas spesifik, sehingga terdapat sepuluh golongan umur varietas, sesuai dengan garis lintang wilayah produksi, yaitu golongan umur 00; 0; dan I untuk wilayah Kanada. Golongan umur II, III, dan IV untuk wilayah Amerika Serikat bagian utara; golongan umur V, VI, dan VII untuk wilayah Amerika Serikat bagian selatan. Varietas unggul dari masing-masing golongan umur hanya dianjurkan ditanam pada sabuk wilayah selebar 80 km dari arah utara selatan (Scott and Aldrich 1970). Kedelai di wilayah tropika, bila dikelompokkan mengikuti golongan umur tersebut, termasuk ke dalam golongan VIII, IX, dan X, yang meliputi wilayah adaptasi Thailand, Filipina, dan Indonesia. Pada masing-masing golongan umur tersebut, terdapat banyak varietas yang dianjurkan, dan istilah golongan umur bukan berarti antarvarietas dibedakan oleh umur panen, tetapi lebih dibedakan oleh wilayah adaptasinya. Wilayah tropika yang terletak pada garis lintang 0°-23°LU dan 0°-23°LS, varietas kedelainya termasuk golongan umur VIII, IX, dan X. Dari uraian tersebut terlihat bahwa kesesuaian tanaman kedelai terhadap panjang hari atau lama penyinaran sangat lentur (fleksibel), bergantung pada sifat varietas yang ditanam. Secara umum persyaratan panjang hari untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 11-16 jam, dan panjang hari optimal untuk memperoleh produktivitas tinggi adalah panjang hari 14-15 jam. Di Indonesia panjang hari pada dataran rendah (1-500 m dpl), dataran sedang (501-900 m dpl), dan dataran tinggi (901-1600 m dpl) relatif konstan dan sama, sekitar 12 jam. Perbedaan panjang hari yang disebabkan oleh pergeseran garis edar matahari tidak lebih dari 45 menit, sehingga seluruh wilayah Indonesia secara geografis sesuai untuk usahatani kedelai. 80 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Intensitas Penyinaran Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh, tidak memerlukan naungan. Adanya naungan yang menahan sinar matahari hingga 20% pada umumnya masih dapat ditoleransi oleh tanaman kedelai, tetapi bila melebihi 20% tanaman mengalami etiolasi. Intensitas penyinaran yang hanya 50% dari total radiasi normal dilaporkan menekan pertumbuhan, mengurangi jumlah cabang, buku, dan polong, yang berakibat turunnya hasil biji hingga 60% (Ciha and Brun 1975). Daun kedelai secara individual telah terjenuhi oleh cahaya dengan intensitas 23.680 lux atau 20% dari sinar matahari penuh, tetapi daun bagian atas kanopi baru terjenuhi oleh sinar dengan intensitas 107.640 lux, atau 91% dari sinar matahari penuh (Shibles and Weber 1965). Radiasi matahari pada panjang gelombang 660-730 nm yang mengaktivasi sistem phytochrom pada sel-sel daun besar peranannya terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai. Pada stadia vegetatif, adanya ratio (perbandingan) yang rendah antara panjang gelombang 660 dengan 730 nm mengakibatkan stimulasi pelebaran daun, perpanjangan batang dan petiol (Raper and Kramer 1987). Tanaman kedelai yang mendapat naungan, mengalami etiolasi atau petiol banyak daripada radiasi 660 nm. Sebenarnya tidak seluruh energi sinar matahari termanfaatkan oleh tanaman. Total energi sinar matahari yang dimanfaatkan tanaman bergantung pada banyak faktor, termasuk total luasan daun, kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2 di udara, dan intersepsi radiasi-fotosintesis aktif (photo synthetically active radiation/PAR) oleh total luasan daun (Raper and Kramer 1987). Laju fotosintesis pada radiasi matahari maksimum pukul 12.00-13.00 umumnya tidak meningkat karena adanya defisit tegangan potensial air dalam sel daun akibat evapotranspirasi yang besar. Pada hari dengan langit cerah terdapat suplai sinar matahari yang berlebihan atau terjadi penjenuhan sinar matahari, sehingga photosynthetic photo flux density (PPFD) bukan merupakan faktor pembatas (Rufty et al. 1981). Namun apabila PPFD berkurang akibat naungan atau cuaca mendung, yang dapat mengurangi PPFD dari 700 µ mol menjadi 325 µ mol/ m/dt, maka laju pertukaran CO2 (CO2 exchange rate CER) menurun, dari 0,74 mg menjadi 0,52 mg CO2/m/dt. Penurunan CER sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman. Penurunan 30% CER karena penurunan radiasi matahari dari 700 menjadi 325 µ mol m/dt, berakibat penurunan luas daun 55% dan penurunan total bahan kering tanaman 60% (Raper and Kramer 1987). Pengurangan radiasi matahari pada awal pertumbuhan vegetatif akan menghambat pertumbuhan tanaman, melalui penurunan laju fotosintesis Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 81 per unit area daun, dan laju fotosintesis seluruh organ tanaman. Sebaliknya, radiasi sinar matahari yang sangat tinggi juga mengakibatkan cekaman terhadap tanaman, karena terjadinya peningkatan suhu daun yang meningkatkan laju evapotranspirasi, melebihi laju aliran air pada sel-sel daun berasal dari dalam tanah melalui serapan akar. Dalam kondisi sel defisit air, aktivitas fotosintesis akan berkurang, terjadi peningkatan muatan panas (thermal load) dan laju transpirasi. Intensitas penyinaran matahari di wilayah tropika Indonesia cukup melimpah untuk persyaratan tumbuh tanaman kedelai, kecuali cuaca mendung secara terus-menerus. Ditinjau dari kelimpahan penyinaran matahari, tanam kedelai lebih optimal pada akhir musim hujan (Maret-April), atau musim kemarau (Juli-Agustus), asal tersedia suplementasi air irigasi. Dataran tinggi yang sering berkabut dan suhu rendah kurang sesuai untuk usahatani kedelai ditinjau dari ketersediaan sinar matahari. Secara umum, seluruh wilayah di Indonesia dari ketinggian tempat 1 m hingga 1300 m dpl memiliki sinar matahari yang cukup untuk tanaman kedelai, terutama pada musim kemarau. Suhu Interaksi antara suhu - intensitas radiasi matahari – kelembaban tanah sangat menentukan laju pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu tinggi berasosiasi dengan transpirasi yang tinggi, defisit tegangan uap air yang tinggi, dan cekaman kekeringan pada tanaman. Suhu di dalam tanah dan suhu atmosfer berpengaruh terhadap pertumbuhan Rhyzobium, akar dan tanaman kedelai. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 22-27°C (Tabel 3). Tabel 3. Kisaran suhu harian yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai. Stadia pertumbuhan Perkecambahan biji Kecambah muncul Pertumbuhan vegetatif Inisiasi bunga Berbunga Pembentukan biji Pematangan biji Perkembangan Rhizobium Kisaran persyaratan suhu (°C) Minimum Sesuai Optimum 8-10 8-11 13-15 16-17 17-18 13-14 8-9 16-17 12-14 15-18 18-20 18-19 19-20 18-19 14-18 20-21 20-23 20-23 23-26 21-25 22-25 21-23 19-24 24-25 Sumber: (Holmberg 1973 dalam Raper and Kramer 1987). 82 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Suhu siang hari yang agak panas dan suhu malam hari yang agak dingin pada bulan Juni-Juli menguntungkan bagi pertumbuhan kedelai, karena adanya pengurangan laju respirasi pada malam hari yang mengurangi perombakan senyawa C. Akumulasi bahan kering akan menurun bila suhu naik di atas 30°C, karena adanya penurunan net-photosinthesis. Pengaruh suhu dalam jangka waktu beberapa jam atau beberapa hari terhadap pertumbuhan vegetatif bersifat permanen (irreversible), tetapi terhadap proses fisiologis (photosinthesis dan respirasi) pengaruh suhu selama beberapa menit atau beberapa jam tidak menimbulkan pengaruh yang permanen. Perubahan suhu berpengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman terutama melalui proses partisionasi (perombakan) fotosintat antara organ tumbuh. Suhu berinteraksi dengan panjang penyinaran (photo period) dalam menentukan waktu berbunga dan pembentukan polong. Pada suhu kardinal (23-26°C), tanaman kedelai membentuk pertumbuhan organ vegetatif dan generatif maksimal, dan pada suhu rendah atau suhu tinggi terjadi penghambatan pertumbuhan. Suhu yang tinggi berakibat pada aborsi polong. Sebaliknya, suhu di bawah 15°C menghambat pembentukan polong. Suhu di atas 30°C berpengaruh negatif terhadap kualitas biji dan daya tumbuh benih. Pematangan biji pada suhu 20-25°C pada siang hari dan 15-18°C pada malam hari dinilai optimum untuk kualitas benih yang dihasilkan (Raper and Kramer 1987). Suhu di atas 27°C kurang optimum untuk kualitas biji sebagai benih, berkaitan dengan laju pengisian dan pemasakan biji yang kurang optimal. Kelembaban Udara Pengaruh langsung kelembaban udara terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terlalu besar, tetapi secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit tertentu. Kelembaban udara terutama berpengaruh terhadap proses pematangan biji dan kualitas benih. Curah hujan yang tinggi selama proses pengeringan polong menurunkan kualitas biji dan mutu benih, karena polong dan biji menyerap kelembaban dari luar. Pada musim panen bulan Januari-Februari tanaman kedelai sering mendapat curah hujan yang tinggi, sehingga banyak polong bercendawan dan biji kedelai membusuk. Suhu tinggi, kelembaban udara tinggi, dan hujan terus-menerus menjelang panen mengakibatkan kerusakan biji kedelai di lapangan (Tekrony et al. 1980). Fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang ekstrim berpengaruh negatif terhadap vigor perkecambahan benih dan mengakibatkan mutu benih rendah. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara RH 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 83 polong hingga panen. Suhu udara yang agak rendah (20-22°C) dan udara kering pada saat panen sangat ideal bagi pelaksanaan panen sehingga biji kedelai bermutu tinggi. Di alam tropika Indonesia, kondisi udara seperti tersebut tidak mudah diperoleh, namun apabila cuaca kering, tidak ada hujan dan tidak ada kabut selama pematangan polong merupakan kondisi yang cukup ideal untuk panen kedelai. Kedelai yang ditanam pada bulan Februari-Maret dan Juni-Juli umumnya mencapai stadia pematangan polong dan panen pada kondisi udara yang relatif kering, tidak ada hujan. Sebaliknya, di lahan tegal atau lahan sawah tadah hujan, kedelai yang ditanam pada awal musim hujan, pematangan polong dan panen terjadi pada musim hujan, sehingga kualitas biji rendah, apalagi kalau terjadi serangan hama polong. Curah Hujan Tanaman kedelai sangat efektif dalam memanfaatkan air yang berasal dari kelembaban tanah. Pada tanah dengan lapisan olah yang dalam, tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada kelembaban tanah 60-80% kapasitas lapang (Brady et al. 1974 dalam Van Doren and Reicosky 1987), dan tanggap optimum kenaikan hasil biji dari pengairan diperoleh bila kondisi air tanah mencapai 40-50% kapasitas lapang. Kondisi air tanah 80% kapasitas lapang dinilai optimal untuk pertumbuhan kedelai pada tanah yang memiliki kapasitas penyimpanan air yang baik, solum dalam (lebih dari 40 cm), dan struktur gembur. Pada tanah yang demikian perakaran kedelai dapat tumbuh dan berkembang sedalam 200 cm, dan air lebih banyak diserap dari lapisan sub-soil (Van Doren and Reicosky 1987). Lahan untuk usaha produksi kedelai di Indonesia umumnya memiliki lapisan olah yang dangkal, sekitar 15-30 cm, sehingga penambahan air dari hujan atau irigasi lebih sering diperlukan. Pada umumnya curah hujan yang merata 100-150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai. Secara umum kebutuhan air untuk tanaman kedelai, dengan umur panen 100-190 hari, berkisar antara 450-825 mm, atau rata-rata 4,5 mm per hari (Doorenbos and Pruit 1977 dalam Van Doren and Recosky 1987). Dengan menggunakan data tersebut, kebutuhan air tanaman kedelai yang dipanen pada umur 80-90 hari berkisar antara 360-405 mm, setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan. Jumlah air yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan, dan kedalaman lapisan olah tanah. Penyerapan air oleh tanaman kedelai terbanyak terjadi pada stadia reproduktif (R1 hingga R6, atau dari sejak timbul bunga pertama hingga polong mengisi penuh), bersamaan dengan tanaman telah berkembang penuh (Van Doren and Reicosky 1987). Apabila 84 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan kelembaban tanah tidak mencukupi suplai tanaman untuk evapotranspirasi, air dalam sel-sel tanaman akan terpakai untuk evapotranspirasi, yang akan berdampak negatif terhadap pengisian biji dan produktivitas. Stadia tanaman kedelai yang kritis terhadap kekurangan air secara berturut-turut adalah pada stadia R3 sampai R5 (pembentukan dan pengisian polong) – stadia R1-R2 (mulai berbunga sampai selesai pembungaan) – stadia R6-R7 (pengisian polong sampai pematangan polong) – stadia V1-V6 (stadia vegetatif), dengan indeks kepekaan berturut-turut 0,35; 0,24; 0,13; dan 0,12 (Hiler et al. 1974 dalam Van Doren and Reicosky 1987). Secara umum kebutuhan air pada berbagai stadia pertumbuhan kedelai di Amerika Serikat diilustrasikan pada Gambar 1. Kebutuhan suplementasi irigasi pada tanah lempung berliat (clay loam) dan lempung-berpasir (sandy loam) di Minnesota dapat dilihat pada Tabel 4. Data Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tanah lempung berliat yang memiliki kemampuan memegang air lebih baik dibanding tanah lempung berpasir, jumlah curah hujan yang lebih sedikit memberikan produktivitas kedelai yang lebih tinggi dan efisiensi penggunaan air mencapai dua kali Kebutuhan air (mm per hari) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 V1 V6 R1 20 40 60 R2 R3 80 R4 100 R5 R6 120 R7 R8 140 hari Umur dan stadia tanaman Gambar 1. Pola penyerapan air oleh tanaman kedelai (Van Doren & Reicosky 1987). Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 85 Tabel 4. Kebutuhan air hujan dan suplementasi irigasi untuk kedelai. Tahun Curah hujan (mm) Minnesota (clay loam) 1978 1979 1980 Rata-rata Sioux (sandy loam) 1980 1981 1982 1983 Rata-rata Lokasi Hasil Suplementasi biji irigasi (t/ha) (mm) Hasil biji (t/ha) Efisiensi penggunaan air1) 321 362 409 364 3,03 2,99 2,89 2,97 287 182 158 209 3,56 3,03 2,90 3,16 9,44 8,25 7,06 8,16 401 396 430 383 403 1,74 1,71 1,67 1,46 1,65 345 149 303 434 308 2,45 2,38 2,11 2,25 2,30 4,34 4,31 3,89 3,80 4,09 Sumber: Van Doren & Reicosky (1987). 1)Efisiensi penggunaan air = hasil biji: total curah hujan dari tanam-panen (kg/ha/mm) lipat. Suplementasi air irigasi yang lebih banyak pada tanah liat berpasir juga tidak mampu mencapai produktivitas setinggi pada tanah lempung berliat, walaupun perbedaan produktivitas tidak semata-mata disebabkan oleh pengairan. Pada saat curah hujan lebih dari 300 mm per bulan, budi daya kedelai jenuh air dapat dianjurkan, dan bahkan dengan cara ini produktivitas kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam pada kondisi kering (Sumarno 1986, Troedson et al. 1985). Dengan teknik tanam jenuh air, air digenangkan di samping guludan barisan tanaman sejak kedelai tumbuh sampai pengisian polong maksimal. Curah hujan yang tinggi kurang sesuai bagi usaha tani kedelai dengan teknik mekanisasi. Permukaan tanah yang lembek (hampir berlumpur) menghambat pergerakan mesin pertanian yang dirancang untuk lahan kering. Apabila usahatani kedelai menggunakan alat dan mesin, penyiapan lahan harus datar, jumlah pematang dan selokan minimal, dan waktu tanam menyesuaikan dengan pola curah hujan. Pada wilayah yang musim hujannya berlangsung pada bulan Oktober-April, waktu tanam kedelai dengan teknik mekanisasi adalah pada bulan Maret atau awal April, dengan memberikan suplementasi irigasi pada bulan Juni apabila tidak ada hujan. Faktor Tanah Luasnya wilayah adaptasi tanaman kedelai di dunia menunjukkan besarnya keragaman jenis dan sifat tanah yang sesuai untuk tanaman kedelai. Di 86 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Amerika Selatan dan Amerika Serikat, tanaman kedelai awalnya diusahakan sebagai tanaman penyubur tanah karena biomasa yang dihasilkan mudah mengalami dekomposisi dengan kandungan hara yang tinggi dan kemampuan tanaman mengikat nitrogen dari udara lewat proses simbiose dengan bakteri Rhizobium. Tanaman kedelai menyerap hara N, P, K, Ca, Mg, S, dan Cl yang cukup besar dari dalam tanah (Tabel 5), tetapi kedelai umumnya kurang tanggap terhadap pemupukan secara langsung. Di antara faktor kesuburan fisiko-kimia tanah, yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kedelai adalah tekstur, struktur, drainase, kedalaman lapisan olah, pH, kandungan hara, kandungan bahan organik, dan kemampuan tanah menyimpan kelembaban. Komponen kesuburan fisiko-kimia tanah tersebut mungkin akan berinteraksi dengan faktor lain, seperti curah hujan/sumber pengairan, topografi, dan tinggi tempat (altitute), yang akan berpengaruh terhadap erosi, ketersediaan air tanah, pelestarian kesuburan lahan, produktivitas lahan dan keberlanjutan produksi. Secara umum persyaratan lahan untuk usahatani kedelai sama dengan jagung, tembakau, atau tebu, sehingga kedelai banyak dijumpai berasosiasi atau dirotasikan dengan tanaman – tanaman tersebut. Asosiasi tanaman kedelai dengan padi sawah yang sangat berlawanan dalam hal kebutuhan air dan drainase tanah memang unik. Tanaman kedelai dapat tumbuh pada tanah yang hampir jenuh air (kapasitas lapang) asal tidak terjadi penggenangan, terutama pada awal stadia vegetatif. Namun pada dasarnya kedelai adalah tanaman aerobik, yang lebih sesuai pada tanah yang agak lembab dengan kadar kelembaban 70-80% kapasitas lapang, tanah berdrainase baik tetapi memiliki daya pengikat air yang baik. Oleh karena itu, tanah dengan tekstur Tabel 5. Komposisi hara terserap oleh tanaman kedelai. Komponen tanaman kg/ha Kedelai di subtropik Batang + daun kering Akar Biji Total Kedelai di tropik Batang + daun kering Akar Biji (kering) Total Hara terserap (kg/ha)1) N P K Ca Mg S Cl Si Fe 3920 1680 3360 8960 80 40 250 370 10 5 25 40 42 23 65 130 90 40 28 11 1,9 2055 880 1760 4695 42 21 131 194 5,2 2,6 13,2 21 22 12 34 68 47 21 15 6 1,0 Sumber: Ohlroggs dan Kamprath 1968 dalam: Mengel et al. (1981) 1) Perkiraan berdasarkan proporsi hasil biji per ha Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 87 berliat dan berdrainase baik, atau tanah lempung berpasir (sandy loam) yang kaya bahan organik, sangat sesuai untuk tanaman kedelai. Lahan yang kurang atau tidak sesuai untuk tanaman kedelai adalah tanah berpasir yang sangat porus (tidak dapat mengikat kelembaban tanah), tanah dengan drainase buruk, tanah dengan pH < 5 atau > 7, tanah yang lapisan olah tanahnya sangat dangkal (kurang dari 10 cm), dan tanah yang tergenang. Lahan yang tidak sesuai untuk tanaman kedelai juga tidak sesuai untuk pertumbuhan bakteri Rhizobium secara optimal. Agar tanaman kedelai dapat tumbuh optimal, sifat fisik tanah sama pentingnya dengan sifat kesuburan kimiawi. Sifat fisik tanah yang terpenting adalah tekstur dan struktur, kedalaman lapisan olah, drainase, aerasi, kapasitas menyimpan kelembaban, dan topografi. Tekstur dan Struktur Tanah Tekstur dan struktur tanah menentukan kemudahan akar berkembang, kemampuan daya serap dan permeabilitas terhadap air permukaan, drainase dan aerasi tanah, kemampuan menyimpan kelembaban tanah, mudah sukarnya penanaman benih dan pemeliharaan tanaman (penyiangan dan pemupukan), perkembangan Rhizobium, dan kepekaan terhadap genangan air (water logging). Tekstur dan struktur tanah secara langsung menentukan kesuburan tanaman kedelai. Secara umum kedelai tidak sesuai ditanam pada tanah bertekstur lempung berstruktur berat dan berdrainase buruk, dan tidak susuai pada tanah berpasir berstruktur ringan, sangat porus sehingga tidak mampu menyimpan kelembaban tanah. Lahan dengan dua karakteristik ekstrim tersebut memerlukan ameliorasi (pembenah) tanah, menggunakan bahan organik atau pupuk kandang dalam jumlah yang banyak untuk dapat ditanami kedelai. Pada skala luas, ameliorasi bahan organik dengan takaran tinggi tidak ekonomis, sehingga tidak dianjurkan untuk usaha produksi secara komersial. Tanah yang ideal untuk usahatani kedelai adalah yang berstektur liat berpasir, liat berdebu-berpasir, debu berpasir, drainase sedang-baik, mampu menahan kelembaban tanah, dan tidak mudah tergenang. Kandungan bahan organik tanah sedang-tinggi (3-4%) sangat mendukung pertumbuhan tanaman, apabila hara tanahnya cukup. Persyaratan tanah yang ideal untuk pertumbuhan kedelai adalah sebagai berikut: (1) Lapisan olah-tanah cukup dalam, 40 cm atau lebih. 88 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan (2) Tekstur tanah mengandung liat atau debu dan liat disertai pasir, dengan drainase sedang hingga baik. (3) Struktur tanah agak gembur, tetapi tidak terlalu lepas di mana butir tanah terikat oleh liat atau bahan organik. (4) Memiliki kapasitas menyimpan kelembaban tanah yang baik. (5) Butiran tanah pada permukaan halus, tidak berkrikil atau berbatu. (6) Terdapat sumber pengairan, atau memperoleh hujan yang cukup, sekitar 100-200 mm/bulan, pada dua bulan pertama sejak tanam. (7) Tidak mudah tergenang. (8) Lahan terletak pada dataran rendah hingga tinggi-sedang (1-1000 m dpl). (9) Tidak ternaungi dan intensitas sinar matahari penuh. Kandungan bahan organik tanah yang cukup terutama berguna untuk mendukung perkembangan Rhizobium, perbaikan drainase tanah, peningkatan kapasitas menyimpan kelembaban tanah, dan mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Akar tanaman kedelai lebih mudah berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat dengan struktur tidak terlalu ringan. Fraksi liat sangat penting artinya pada tanah sawah yang akan ditanami kedelai pada musim kemarau. Sentra produksi kedelai di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang umumnya terdapat pada lahan sawah yang tanahnya mengandung liat kemungkinan berkaitan erat dengan kemampuan tanah menyimpan kelembaban pada musim kemarau, sehingga tanaman kedelai tidak tercekam kekeringan. Pada sebagian besar lahan yang ditanami kedelai di Indonesia, masalah yang sering dihadapi adalah dangkalnya lapisan olah tanah. Baik di lahan sawah maupun tegalan, kedalaman lapisan olah kurang dari 25 cm, kebanyakan 15-20 cm. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan pengolahan tanah yang dangkal secara terus-menerus, pembajakan menggunakan rotary-disk atau bajak roda traktor tangan. Lapisan bajak (hard-pan) yang dangkal akan membatasi perkembangan akar kedelai, tanaman mudah tercekam kekeringan, dan penyerapan hara terbatas, yang berdampak terhadap rendahnya produktivitas kedelai. Pada lahan sawah tanah Vertisol dan Regosol yang tidak terbentuk lapisan bajak dangkal, produktivitas kedelai umumnya cukup tinggi. Pada tanah yang mengalami pemadatan dengan kerapatan volume (bulk-density) 1,75 g/cm, akar kedelai tidak mampu menembus lapisan olah sehingga perlu dilakukan pengolahan dalam (Johnson 1987). Tanah yang memiliki lapisan mata bajak dangkal, apabila tidak dilakukan pengolahan dalam perlu saluran drainase permukaan guna membuang kelebihan air pada awal stadia pertumbuhan, dan pengairan Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 89 Tabel 6. Pengaruh saluran drainase permukaan terhadap hasil biji kedelai pada lahan bekas sawah di Jawa Timur. Jarak saluran drainase (m) Hasil kedelai (ton/ha)1) 1 m, searah panjang petakan 2 m, searah panjang petakan 3 m, searah panjang petakan 4 m, searah panjang petakan Tanpa saluran drainasi 2,6** 2,3** 2,3** 2,0** 1,5 Sumber: Sumarno et al. (1987) 1) Rata-rata enam lokasi di Kabupaten Pasuruan, MK 1987 ** Berbeda nyata berdasarkan nilai beda nyata terkecil, 1% Tabel 7. Pengolahan tanah sebelum tanam kedelai, pengaruhnya terhadap hasil biji. Lokasi, Author Lampung, Tangkuman et al. (1978) Probolinggo, Tangkuman (1977) Jawa Timur, LP3 (1977) Jawa Timur, Manwan et al. (1990) Jawa Timur, Manwan et al. (1990) Hasil biji (t/ha) Tanpa olah tanah Tanah diolah 1,50 2,10 2,20 2,10 1,07 1,09 1,89 1,97 1,37 1,32 Keterangan Lahan kering, bekas alang-alang Lahan sawah Rata-rata tiga lokasi, lahan sawah Dengan mulsa jerami lahan sawah Tanpa mulsa jerami, lahan sawah yang cukup pada stadia generatif untuk mengatasi tanaman kekeringan, supaya diperoleh produktivitas sekitar 2 t/ha (Tabel 6). Penelitian pengolahan tanah untuk kedelai pada umumnya lebih dikaitkan dengan penyiapan lahan untuk tanam agar bebas dari gulma, belum ditujukan untuk membongkar lapisan mata bajak (hard pan layer) yang dangkal. Oleh karena itu, perlakuan pengolahan tanah pada umumnya tidak menaikkan hasil kedelai, bahkan justru menurunkan hasil karena pengolahan tanah berakibat keterlambatan tanam (Soeharsono dan Adisarwanto 1985). Pada lahan sawah, perlakuan pengolahan tanah (olah dangkal) sebelum tanam kedelai dilaporkan tidak menaikkan hasil kedelai dibandingkan dengan tanpa olah tanah. Namun dari dua percobaan, kedua perlakuan tersebut mampu mendapatkan hasil kedelai sekitar 2 t/ha (Tabel 7). 90 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Pada lahan tegalan bekas ditumbuhi alang-alang di Lampung, pengolahan tanah meningkatkan hasil kedelai. Hal ini kemungkinan erat kaitannya dengan perbaikan media pertumbuhan akar yang menjadi lebih dalam. Faktor fisik tanah sering menjadi pembatas produktivitas, dan belum dapat diatasi oleh petani, karena tidak adanya alat mekanisasi untuk membajak dalam (deep ploughing dan sub-soiling). Sekiranya mekanisasi dengan traktor 4-roda tersedia, pembajakan dalam menggunakan moldboard plough (bajak singkal dalam) atau chissel (bajak pemecah tanah) sangat bermanfaat untuk membongkar lapisan bajak yang dangkal. Kelembaban dan Drainase Tanah Benih kedelai yang ditanam harus mendapat kelembaban tanah dan mampu menyerap air setara dengan 50% dari bobot setiap biji kedelai, untuk dapat berkecambah (Scott and Aldrich 1970). Kelembaban tersebut akan diperoleh apabila benih yang ditanam kontak langsung dengan partikel tanah yang gembur dan lembab. Kelembaban tanah yang tinggi, berkisar antara 80100% kapasitas lapang, diperlukan pada saat benih ditanam hingga berkecambah dan tanaman berdaun tunggal muncul di permukaan tanah (1-12 hari setelah tanam). Untuk pertumbuhan selanjutnya, tanaman kedelai memerlukan kelembaban tanah 75-85% kapasitas lapang. Penyerapan air semakin banyak sejalan dengan pertumbuhan perkaran dan tajuk tanaman. Penyerapan air mulai menanjak pada stadia menjelang berbunga (R1), dan tetap tinggi pada stadia pembentukan polong (R2), pengisian polong (R3-R4), dan mulai menurun pada stadia biji dalam polong mencapai ukuran maksimum (R6), dan sudah rendah–sangat rendah pada saat polong mulai matang hingga polong matang penuh (R7-R8), (Gambar 1). Untuk dapat tumbuh optimal tanaman kedelai memerlukan tanah berdrainase baik, air tidak menggenang atau menjenuhi partikel tanah pada lapisan olah, tetapi tanah memiliki kapasitas menyimpan kelembaban yang baik. Kelembaban tanah melebihi kapasitas lapang mengakibatkan kondisi anaerob, sehingga perakaran membusuk, penyerapan hara terganggu, daun tanaman menguning dan bila keadaan jenuh air berkepanjangan mengakibatkan tanaman mati. Bakteri Rhizobium yang hidup pada akar juga mati apabila tanah jenuh air secara berkepanjangan, lebih dari tiga hari. Harus dibedakan antara tanah (seluruh lapisan olah tanah) jenuh air dengan teknik bertanam jenuh air (Troedson et al. 1985, Sumarno 1986). Pada teknik bertanam kedelai jenuh air terdapat bagian atas dari lapisan olah tanah (10-15 cm) tidak terjenuhi air, sehingga perakaran dan Rhizobium berkembang optimal pada lapisan bagian atas yang tidak jenuh air tersebut. Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 91 Reaksi Kimia Tanah Kedelai tumbuh baik pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral, pada pH 5,5-7,0 dan pH optimal 6,0-6,5. Pada kisaran pH tersebut hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi masam (pH kurang dari 5,5), hara fosfat (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), sulfur (S) tidak mudah tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi basa (pH lebih dari 7,0) unsur hara mikro terutama Fe, Zn, Mn, dan juga P menjadi tidak mudah tersedia bagi tanaman. Pada tanah masam, mineral Mn, Al, dan Fe tersedia secara berlebihan, sehingga dapat meracun bagi tanaman. Pada tanah masam yang mengandung Al tinggi, kadar lebih dari 20% menyebabkan terjadinya keracunan pada akar kedelai, sehingga akar tidak berkembang, tanaman tumbuh kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, dan tidak mampu membentuk polong. Perkembangan bakteri Rhizobium juga terhambat pada tanah yang masam, kemungkinan disebabkan oleh kurangnya fotosintat dari daun. Pada tanah yang bereaksi basa (pH >7,0) tanaman kedelai menunjukkan gejala khlorosis (daun muda berwarna kuning, ujung daun berwarna coklat) karena unsur besi (Fe) menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kedelai termasuk tanaman yang peka terhadap ketidaktersediaan Fe dibandingkan dengan jagung atau ubi kayu, atau padi gogo. Pada tanah kalkareus ber pH > 7,0, ketiga jenis tanaman tersebut jarang menunjukkan gejala khlorosis, tetapi tanaman kedelai pada tanah yang sama menunjukkan khlorosis. Apabila pH tanah lebih dari 7,0 pada tanah Vertisol, tanaman kedelai juga sering kahat kalium (K) karena tidak tersedia bagi tanaman. Kriteria Kesesuaian Agroklimat Tanaman kedelai mempunyai adaptasi agroklimat yang sangat luas (beragam), namun produktivitas tanaman pada berbagai agroklimat tersebut menjadi sangat beragam. Apabila suatu agroklimat memungkinkan tanaman kedelai tumbuh optimal dan berproduktivitas maksimal (di wilayah tropika sekitar 2,0 t/ha biji kering), maka agroklimat tersebut disebut sangat sesuai. Apabila tanaman kedelai tumbuh normal dan produktivitas dapat mencapai di atas rata-rata, tetapi lebih rendah dibanding produktivitas maksimal, agroklimat tersebut dikategorikan sesuai. Apabila tanaman kedelai dapat ditanam pada suatu wilayah agroklimat, namun memerlukan perlakuan agronomi tertentu seperti pengairan, pengapuran, pembenahan tanah (ameliorasi tanah), pembuatan teras pencegah erosi, dan atau perlakuan lainnya, maka agroklimat tersebut dikategorikan sebagai sesuai bersyarat. Agroklimat dikategorikan kurang sesuai apabila hampir seluruh komponen agroklimatnya tidak sesuai untuk usahatani kedelai dengan skala luas secara ekonomis. 92 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Indonesia memiliki panjang hari hampir sama di semua tempat, sepanjang tahun, suhu cukup panas untuk tanaman kedelai, kecuali di daerah pegunungan dengan ketinggian tempat di atas 1.300 m dpl, dan curah hujan cukup tinggi. Faktor pembatas kesesuaian tumbuh tanaman kedelai hanya pada aspek lahan, terutama dari segi pH, kedalaman lapisan olah tanah, tekstur, drainase, dan ketersediaan hara tanaman. Kriteria kesesuaian agroklimat untuk pertumbuhan kedelai dicantumkan pada Tabel 8. Beberapa faktor agroklimat, seperti suhu, curah hujan, dan panjang penyinaran (panjang hari) menunjukkan saling berimpit sebagian (overlapping), karena tidak terdapat persyaratan yang sangat berbeda antara kelas sangat sesuai, sesuai dan sesuai bersyarat untuk faktorfaktor tersebut. Tanaman kedelai pada dasarnya sesuai untuk iklim agak kering (medium dry climate), tetapi memerlukan kelembaban tanah yang cukup selama pertumbuhan. Oleh karena itu, diwilayah yang termasuk kategori iklim kering atau periode musim kemarau tidak ada hujan, tanaman kedelai dapat tumbuh normal dan berproduksi tinggi apabila tersedia pengairan yang cukup. Wilayah dengan curah hujan 2.500-3.500mm/tahun sebenarnya terlalu basah untuk tanaman kedelai, tetapi kedelai masih dapat diusahakan apabila tanah cukup gembur, mengandung cukup liat, dan drainase permukaan baik. Tingkat kesesuaian agroklimat tidak dapat menjamin tingkat produktivitas tanaman kedelai yang akan diusahakan. Faktor agronomis lain yang sangat mempengaruhi produktivitas tanaman, di antaranya varietas, mutu benih, populasi tanaman, pengendalian hama penyakit, gulma, mutu pengelolaan tanaman, ketepatan waktu panen, dan penanganan pascapanen. Ketepatan waktu dari berbagai tindakan agronomis sangat menentukan produktivitas kedelai. Pemupukan P, K, Mg, Ca, dan inokulasi Rhizobium, apabila diperlukan juga menentukan tingginya hasil. Berbeda dengan tanaman serealia yang sangat tanggap terhadap pemupukan N, kedelai hampir tidak dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui pemupukan N. Oleh karena itu ketersediaan hara dalam tanah, tekstur dan struktur tanah, kelembaban tanah dan pengelolaan tanaman yang baik, merupakan komponen utama perlakuan agronomis untuk memperoleh produksi yang tinggi. Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 93 Tabel 8. Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai di wilayah tropika Indonesia. Faktor agroklimat 1a. Suhu rata-rata 1) (°C) b. Panjang hari (jam) Kriteria tingkat kesesuaian Sangat sesuai Sesuai Sesuai bersyarat Kurang sesuai 20-30 18-35 > 35 <18 >40 12-12,5 11,5-12,0 10-11 <10 2. Curah hujan tahunan 2) (mm/th) 1500-2000 1000-2500 2500-3500 >3500 <1000 3. Curah hujan selama musim tanam kedelai3) (mm/3 bln) 300-400 200-300 400-600 100-200 600-900 <100 >900 4. Ketersediaan irigasi pada musim kemarau tersedia (5-6 kali) cukup (3-4 kali) agak kurang (2-3 kali) tidak ada (-) 5. Lengas tanah (%) 70-80 60-70 80-95 50-60 >95 <50 6. Kedalaman lapisan olah tanah (cm) >40 30-40 15-29 <15 7a. Tekstur tanah agak halushalus Sedang agak kasar, halus - kasar - sangat halus b. Kandungan liat (%) (36-43) (43-50) (51-68) - rendah - tinggi 8. Drainase baik Sedang - lambat - cepat rendah 9. Struktur tanah gembursedikit bergumpal - bergumpal - lengket - agak berpasir - berat atau - agak ringan - sangat berat - sangat ringan 10. Bahan organik tanah sedang-tinggi sedang agak rendah Rendah 11. pH tanah 6,0-6,5 6,6-7,0 5,0-6,0 4,5-5,0 <4,5 >7,0 N P tersedia sedang-tinggi tinggi sedang sedang rendah rendah sangat rendah sangat rendah K tersedia tinggi sedang rendah sangat rendah Ca, Mg sedang sedang rendah sangat rendah > 20 15-20 10-15 < 10 14. Kejenuhan Al (%) <8 8-10 11-19 >20 15. Topografi (%) datar (1-8) sedikit miring (8-16) agak miring (17-30) Lereng (30-40) 12. Kandungan hara tanah 13. Kejenuhan basa (%) 16. Elevasi (m dpl) 1-700 700-1000 1000-1300 >1300 17. Naungan (%) 0-8 8-15 15-25 >25 18. Erosi sangat rendah rendah sedang berat 19. Batuan di permukaan tanah (%) Tidak ada 1-5 6-10 >10 20. Genangan Tidak ada tidak adasebentar singkat, sementara Lama 1); 2); 3): Suhu, curah hujan tahunan dan curah hujan selama pertanaman kedelai bersifat over lap (berimpit sebagian), karena kedelai memiliki kesesuaian yang cukup luas untuk faktor tersebut. 94 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan MASALAH PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI DI WILAYAH TROPIS Produktivitas kedelai di wilayah tropis tidak dapat dibandingkan dengan di wilayah subtropika, tanpa mengetahui perbedaan karakteristik agroklimat dan teknik budidayanya. Banyak pihak mengharapkan produktivitas kedelai di Indonesia dapat ditingkatkan menjadi 3 t/ha, dari produktivitas saat ini 1,0-1,4 t/ha, padahal produktivitas kedelai di Amerika Serikat hanya 2,6 t/ha. Produktivitas kedelai sangat ditentukan oleh panjang hari dan umur panen, di samping ada tidaknya gangguan hama penyakit, gulma, dan kualitas lingkungan tumbuh. Di Amerika Serikat sekalipun produktivitas kedelai sangat beragam, dari rendah/sedang 1,6-1,8 t/ha di Amerika Serikat bagian Selatan (25-30°LU) hingga tinggi 3,0-3,6 t/ha di negara sabuk kedelai (soybean belt) pada lintang 35-42°LU, seperti di Illinois, Iowa, Ohio (Scott and Aldrich 1970). Perbedaan agroklimat dan teknik budi daya yang menjadi faktor pembeda produktivitas kedelai di Indonesia (tropis) dan di Amerika Serikat (subtropis) telah diidentifikasi oleh Sumarno (1991) (Tabel 9). Produktivitas kedelai selalu lebih rendah dibandingkan tanaman sereal seperti padi, jagung atau sorgum yang sangat responsif terhadap pemupukan. Selain itu, biji kedelai yang mengandung protein tinggi (38-40%) dan minyak tinggi (18-20%) juga memerlukan energi lebih tinggi dibandingkan dengan biji serealia yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dibandingkan dengan kedelai di wilayah sub tropis, produktivitas kedelai di daerah tropis Indonesia dibatasi oleh (1) panjang hari yang kurang optimal untuk pertumbuhan kedelai, (2) kesesuaian lahan kurang optimal karena kedelai di Indonesia ditanam pada lahan yang kesuburannya sangat beragam, (3) kelembaban tanah tidak selalu optimal, seringkali tergenang (water logged) atau kekeringan pada musim kemarau, (4) besarnya kehilangan hasil oleh banyaknya hama penyakit, (5) cara tanam yang belum sesuai dengan teknik budi daya baku (standar operasional dan prosedur, SOP). Faktor-faktor pembatas tersebut tidak menjadikan kita menyerah kepada alam, tetapi perlu dicarikan jalan pemecahan bagi masalah yang ada. Sebagai contoh, panjang hari yang hanya 12 jam dapat diperpanjang dengan penambahan penyinaran buatan dari lampu listrik, untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal. Banyaknya hama dapat dicegah dengan melindungi tanaman menggunakan jaring atau kasa plastik, dan seterusnya. Kemajuan teknologi industri sarana prasarana yang semula dianggap mahal kemungkinan kelak akan menjadi murah. Pengairan teknik sprinkle menggunakan air tanah dan pengeringan biji menggunakan Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 95 Tabel 9. Perbedaan agroklimat dan teknik budi daya kedelai di wilayah tropis (Indonesia) dan di wilayah subtropis (Amerika Serikat). Komponen Wilayah tropis (Indonesia) 1. Produktivitas 2. Varietas 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Wilayah subtropis (USA) 1,0-2,0 t/ha varietas unggul + lokal Mutu benih Kesuburan tanah Lapisan olah tanah Penyiapan lahan Panjang hari Curah hujan Umur panen Kesesuaian lahan Hama Penyakit Pemeliharaan tanaman Pola tanam Pengusahaan tanaman Penggunaan modal Cara budi daya Skala usaha Wilayah produksi Pengetahuan petani Transportasi, komunikasi Pemasaran rendah-sedang sedang-subur dangkal-sedang tanpa olah/minimal 12 jam sering berlebih, atau kering 80-90 hari sangat beragam sangat banyak sangat banyak kurang-intensif sering tumpangsari tanaman sampingan minimal, padat tenaga manual 0,2-1,0 ha/kk terpencar umumnya masih rendah sukar-terbatas ditentukan pedagang pengumpul 1,8-4,0 t/ha varietas unggul spesifik lokasi tinggi, prima sangat subur sangat dalam intensif-optimal 14-16 jam hujan rintik-rintik 160-170 hari sangat sesuai Minimal Minimal sangat intensif monokultur tanaman utama padat modal Mekanisasi 40-800 ha/kk hamparan luas umumnya tinggi sangat mudah sesuai harga internasional Sumber: Sumarno (1991). embusan udara panas (blown hot air dryer) adalah contoh kemajuan teknologi untuk mengatasi permasalahan usaha produksi kedelai di Indonesia. Dengan memahami faktor pembatas alamiah maupun yang bersifat sosio-ekonomis tersebut, kiranya dapat ditentukan target peningkatan produktivitas kedelai nasional yang lebih wajar, misalnya 1,6 t/ha pada tahun 2015 walaupun secara individu petani dapat saja menghasilkan kedelai 2,02,5 t/ha dari lahannya. WILAYAH PRODUKSI KEDELAI Budi daya kedelai di Indonesia sebenarnya telah dilakukan oleh petani sejak abad XVI (Van Romburgh 1892). Namun perkembangan luas areal tanamnya termasuk sangat lamban dibandingkan dengan Amerika Serikat, Brazil, atau 96 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Argentina yang baru memulai mengusahakan kedelai pada abad XX (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain (1) kedelai hanya diposisikan sebagai penyelang tanaman pangan pokok, (2) kedelai pada awalnya hanya diusahakan secara terbatas oleh petani di Jawa yang lahan pertaniannya sempit, (3) usaha produksi kedelai merupakan bagian dari usaha pertanian subsisten, (4) usaha produksi kedelai memerlukan banyak tenaga kerja dan pekerjaannya bersifat labour intensive yang tidak sesuai dengan budaya kerja petani luar Jawa, dan (5) tanaman kedelai mempunyai risiko kegagalan yang tinggi. Di sisi lain, lahan bukaan baru yang bereaksi masam dan umumnya mendominasi di luar Jawa kurang sesuai untuk kedelai. Oleh karena itu, selama usaha pertanian masih dilakukan secara manual, peluang perluasan kedelai secara besar-besaran seperti di Brazil atau Argentina tampaknya akan tetap kecil. Pemerintah telah beberapa kali memprogramkan untuk berswasembada kedelai. Terakhir, swasembada kedelai ingin dicapai pada tahun 2015. Walaupun target swasembada masih beberapa tahun yang akan datang, namun upaya itu harus dimulai sejak sekarang, karena swasembada kedelai hanya dapat dicapai apabila terjadi penambahan areal tanam, minimal menjadi 3 juta ha pada tahun 2015. Wilayah produksi kedelai di Indonesia secara tradisional adalah Jawa, Bali, Lombok, sebagian Sumatera (sebagian wilayah Lampung, Jambi, Sumut, NAD), Kalbar, Sulsel, Sulut, Gorontalo, dan Sultra. Namun luas areal kedelai di luar Jawa, Bali, dan Lombok sangat labil, mudah terdesak oleh tanaman lain, bergantung kepada nilai jual kedelai. Peneliti Balai Penelitian Tanah sangat optimis dalam hal ketersediaan lahan yang sesuai untuk usaha produksi kedelai. Di 12 propinsi diidentifikasi masih tersedia lahan yang dapat diusahakan untuk usahatani kedelai seluas 12,9 juta ha (Agus et al. 2005). Menurut data dari peta berskala 1:250.000 yang dibuat oleh Puslittanak (1993) di 12 propinsi (NAD, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra, dan NTB) terdapat 3,54 juta ha berpotensi tinggi, 3 juta ha berpotensi sedang, dan 5,46 juta ha berpotensi rendah (Tabel 10, 11, dan 12). Disebutkan bahwa dari 12 propinsi yang telah dievaluasi/dipetakan, lahan yang berpotensi tinggi dan sedang untuk pengembangan kedelai terdapat di pulau Jawa (Agus et al. 2005). Apabila data tersebut benar, terdapat beberapa keuntungan dan kerugian/kesulitan untuk pengembangan kedelai. Untungnya, petani di Jawa telah mengenal budi daya kedelai, penyediaan sarana relatif mudah, pemasaran produk mudah dan transportasi relatif lancar. Namun di balik keuntungan-keuntungan tersebut terdapat kesulitan atau hambatan yang tidak kalah berat, yaitu: (1) lahan di Jawa hampir seluruhnya telah diusahakan untuk pertanian dan prasarana (rumah, pertokoan, jalan dan Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 97 Tabel 10. Luas lahan potensial untuk pengembangan tanaman kedelai di Sumatera. Jenis lahan Potensi Sawah Nonsawah Sawah Nonsawah Sawah Nonsawah P1 P1 P2 P2 P3 P3 Luas lahan potensial (x 1000 ha) Jumlah NAD Sumbar Jambi Sumsel Lampung Jumlah 8,4 14,4 167,8 168,5 - 31,5 85,5 68,0 13,0 149,0 203,5 3,5 20,5 3,5 42,0 90,0 579,0 1,5 36,0 0,5 45,5 259,5 980,0 75,1 98,5 180,6 597,3 - 120,0 254,9 420,4 100,5 1.264,3 1.762,5 359,1 550,5 738,5 1.323,0 951,5 3.922,6 Sumber: Puslittanak (1993). Tabel 11. Luas lahan untuk pengembangan kedelai di Jawa dan Bali. Jenis lahan Potensi Sawah dan nonsawah Sawah dan nonsawah Sawah dan nonsawah P1 P2 P3 Jumlah Luas lahan untuk pengembangan kedelai (x 1000 ha) Jabar/Banten Jateng Jatim Bali Jumlah 392,2 1.089,0 531,1 961,5 836,9 135,7 1.468,8 534,6 445,3 107,8 68,8 35,6 2.930,3 2.529,3 1.147,7 2.012,3 1.934,1 2.448,7 212,2 6.607,3 Sumber: Puslittanak (1993). Tabel 12. Luas lahan untuk pengembangan kedelai di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Jenis lahan Potensi Sawah Nonsawah Sawah Nonsawah Sawah Nonsawah P1 P1 P2 P2 P3 P3 Jumlah Luas lahan untuk pengembangan kedelai (x 1000 ha) Sulsel Sultra NTB Jumlah 43,5 61,5 156,0 66,0 313,5 412,4 2,5 59,5 2,0 57,0 271,5 384,0 38,5 26,0 80,5 83,0 85,5 89,0 84,5 147,0 238,5 306,0 670,5 885,4 1.052,9 876,5 402,5 2.331,9 Sumber: Puslittanak (1993). 98 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan sebagainya), sehingga dikhawatirkan lahan yang dinyatakan berpotensi tinggi-sedang untuk kedelai tersebut sebenarnya sudah digunakan untuk tanaman lain atau prasarana, (2) kalau lahan yang dimaksud masih ada (seluas 5.283.000 ha), kemungkinan sedang ditanami komoditas yang nilai ekonominya tinggi, atau kalaupun dapat ditanami kedelai akan terkalahkan oleh komoditas lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi daripada kedelai. Dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, luas lahan yang disebutkan tersebut kemungkinan besar sudah digunakan untuk usaha nonpertanian (Agus et al. 2005). Pertanyaan yang muncul adalah, apakah 5.283.000 ha lahan yang sesuai untuk kedelai tersebut (peta 1993) telah habis diubah menjadi lahan non-pertanian. Dari pemetaan Puslittanak (1993) tersebut, di luar Jawa tersedia 1.671.800 ha lahan sawah dan nonsawah yang sesuai untuk berproduksi kedelai (Tabel 9 dan 11). Apabila data ini akurat, lahan di luar Jawa justru mempunyai peluang yang baik untuk perluasan kedelai, karena kemungkinan untuk di desak oleh komoditas lain agak kecil. Untuk dapat mengadakan program dan upaya perluasan tanaman kedelai, tujuh syarat perlu dipenuhi, yaitu: (1) Lahan tersedia dan sesuai secara agronomis untuk produksi kedelai, dengan kebutuhan tambahan masukan sarana produksi (pupuk, kapur) sedikit-sedang, sehingga usaha produksi kedelai ekonomis. (2) Lahan belum digunakan untuk usahatani komoditas lain, yang memiliki nilai ekonomi sama atau lebih tinggi daripada kedelai. (3) Status kepemilikan lahan jelas, atau lahan milik negara, sehingga dapat dialokasikan kepada petani penggarap, lengkap dengan surat keterangan status kepemilikannya. (4) Tersedia prasarana seperti jalan, air, listrik, dan fasilitas hidup lainnya. (5) Ada petani atau pengusaha yang bersedia memproduksi kedelai. (6) Tersedia sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan, alsintan). (7) Tersedia pasar dan pembeli hasil panen dengan harga layak. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, perluasan areal tanam kedelai perlu dikaitkan dengan program pemukiman baru atau transmigrasi. Model perluasan areal tanam kedelai yang inovatif perlu difasilitasi, terutama untuk memberikan kesempatan kepada sarjana pertanian, pengusaha muda, atau investor. Terbentuknya Soybean Farm dengan skala 50-100 ha per pengusaha perlu dipikirkan, mungkin dengan memberikan hak guna lahan (HGL) selama 20-30 tahun, atau lelang kapling lahan yang telah dibuka dengan pembayaran angsuran selama 10-15 tahun, seperti halnya pada KPR (kredit pemilikan rumah). Tanpa adanya upaya perluasan areal kedelai ke wilayah baru tampaknya mustahil Indonesia dapat berswasembada kedelai. Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 99 POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI FAO (1980) membuat zonasi (peta) agroekologi komoditas kedelai dan membagi wilayah menjadi tiga kategori yaitu: (1) sangat sesuai dan sesuai, (2) sesuai terbatas (bersyarat), dan (3) kurang/tidak sesuai. Wilayah yang termasuk sangat sesuai atau sesuai untuk kedelai adalah sebagai berikut: • Wilayah pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam • Lampung Timur dan Utara • Pantai Utara Banten dan Jawa Barat • Jawa Tengah bagian Utara dan Selatan • Jawa Timur bagian Utara, Tengah dan Barat – Selatan • Kalimantan Selatan • Sulawesi Selatan • Gorontalo dan Sulawesi Tengah-Utara • Sulawesi Tenggara Selatan, P. Buton, Selayar • Bali-Lombok-Sumbawa-Sumba-Flores Wilayah yang termasuk sesuai bersyarat adalah: • Sumatera Utara bagian Timur sampai dengan Sumatera SelatanLampung bagian Timur • Jawa Barat bagian Utara-Tengah • Banten bagian Tengah-Selatan • Jawa Tengah bagian Utara-Tengah • Jawa Timur bagian Timur-Selatan • Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur-Selatan • Sulawesi Selatan bagian Utara • Sulawesi Tenggara bagian Utara • Sulawesi Utara • Pulau Buru • Flores bagian Barat • Pulau Sumba Beberapa wilayah yang tidak disebut sesuai dalam peta FAO tetapi berdasarkan pengamatan dan secara empiris banyak tanaman kedelai, dapat dikategorikan sebagai wilayah yang sesuai untuk kedelai adalah Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, daerah tertentu di Papua, dan Irian Jaya Barat. Sudah barang tentu masih diperlukan identifikasi lokasi secara pasti atau lokasi definitif dari semua wilayah-wilayah tersebut yang secara indikatif dinilai sesuai untuk pengembangan kedelai. 100 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Pengembangan areal tanam kedelai di wilayah baru, selain harus memenuhi tujuh persyaratan yang disebutkan di muka juga harus memperhatikan aspek pelestarian sumber daya, ramah lingkungan, dan ramah sosial etnis. Semestinya aspek agama dan kepercayaan tidak bersangkut paut dengan perluasan areal kedelai, tetapi di Indonesia yang sering terjadi halhal yang di luar dugaan, mungkin hal tersebut perlu menjadi pertimbangan. Satuan unit areal pengembangan kedelai sebaiknya mengikuti pola tumbuh, dari sekitar 500 ha pada tahun pertama, berangsur-angsur menjadi 25.000-250.000 per unit pengembangan dalam tempo 20 tahun. Harapan perkembangan areal yang sangat besar tersebut tidak akan terjadi apabila diserahkan kepada petani dan masyarakat setempat. Pemerintah (Pusat dan Propinsi) perlu membangun program insentif dengan berbagai strategi agar generasi muda tertarik berkebun kedelai di wilayah baru. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., A. Mulyani, dan Y. Hadian. 2005. Potensi sumber daya lahan untuk tanaman kedelai, prospek dan tantangannya. Pertemuan Koordinasi Pengembangan Produksi Kedelai. Bogor, 30 September 2005. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Perwakilan Jawa Timur. 1977. Progress report penelitian kacang-kacangan dan umbi-umbian 1976-1977. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Perwakilan Jawa Timur,Malang. Djojodarmodjo, P. dan S. Marco. 1985. Budi daya kedelai secara mekanisasi. p. 369-382. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai Puslitbangtan, Bogor. FAO. 1980. Report on agroecological zones project, FAO. Soybean, generalized agroclimatic suitability assessment for the rainfed soybean production. Gray, G. D. 1936. All about the soybean. John Bale, Sons & Danielsson Ltd., London. Gurning, M.E. dan S. Ginting. 1985. Usahatani kedelai dengan sistem perkebunan inti rakyat. p. 397-406. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai, Puslitbangtan, Bogor. Holmberg, S.A. 1973. Soybeans for cool temperature climates. Agric. Hort. Genet. 31:1-20. Johnsen, P.B. 2000. Soybean in the new millenium: the influence of technology and international trade p. 7-10. In: Kyoko Saio (Ed.). Proceedings the Third International Soybean Processing and Utilization Conference (ISPUC-III). Tsukuba. Japan. Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 101 Johnson, R.R. 1987. Crop management. p. 355-390. In: J.R. Wilcox (Ed.). Soybeans: improvement production, and uses. Second edition. ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA. Manwan, I., Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1990. Teknologi peningkatan produksi kedelai. Laporan khusus Pus/02/89. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Mengel, D.B., W. Segars, and G.W. Rehm. 1987. Soil Fertility and Liming. p. 461-469. In: J.R. Wilcox (Ed.). Soybeans: Improvement, Production and Uses. Second Edition, ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA. Norman, A.G. 1978. Soybean: physiology, agronomy and utilization academic press., New York. Puslittanak. 1993. Penelitian potensi dan tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan kedelai. Puslittanak, Bogor. Raper, C.D. and P.J. Kramer. 1987. Stress physiology. p. 590-642. In: J.R. Wilcox (Ed.): Soybeans: improvement, production and uses. Second edition. ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA. Rufty, T.W., C.D. Raper, and W.A. Jackson. 1981. Nitrogen assimilation and plant responses of soybean to root temperature, CO2, and light. Dalam: C.D. Raper and P.J. Kramer. 1987. Stress physiology: 589-641. Soybean: J.K. Wilcox (Ed). ASA. Agronomy Series No. 16. Madison, W1-USA. Scott, W.O. and S.R. Aldrich. 1970. Modern soybean production. S & A Publication, Illinois, USA. Shibles, R., and C.R. Weber. 1965. Leaf area, solar radiation interception and dry matter production by soybean. Crop Sci. 5:575-577. Smith K.J. and W. Huyser. 1987. World distribution and significance of soybean. p. 3-22. In: J.R. Wilcox (Ed.): Soybeans: improvement, production and uses. second edition. ASA Pub. Agronomy Series No. 16. Madison, Wisconsin, USA. Soeharsono dan T. Adisarwanto. 1985. Budi daya kedelai di lahan sawah. p.121-134. Dalam S. Somaatmaja et al. (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sumarno. 1986. Response of soybean genotype to continuous saturated culture. Indon. J. of Crop. Sci. 3 (2):71-78. Sumarno, F. Dauphin, A. Rachim, N. Sunarlim, B. Santosa, H. Kuntyastuti, and Harnoto. 1987. Soybean Yield Gap Analyses in Java. CRIFC-ESCAP/ CGPRT, Bogor. 102 Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan Sumarno. 1991. Kedelai dan Cara Budi daya. Cet. Ke 4. C.V. Yasaguna, Jakarta. Sun Huan, Ling Yi-Lu, and Gai Jun-Yi. 1987. Cropping systems and research with soybean in Cina. In: S.R. Singh, K.O. Rachie, and K.E. Dashiell (Eds.). Soybeans for the Tropics. p. 119-124. John Wiley & Sons Ltd. Singapore. Tangkuman, F., N. Sunarlim, dan W. Gunawan. 1978. Pengaruh pengolahan tanah dan populasi tanaman terhadap produksi kedelai. Lap. Kemajuan Penelitian Seri Agron. Kacang-Kacangan, No. 4. LP3, Bogor. Tangkuman, F., Ig. V. Sutarto, dan W. Gunawan. 1977. Pengaruh pengolahan tanah dan populasi tanaman terhadap produksi kedelai. Lap. Kemajuan Penelitian, Seri Agronomi. Kacang-Kacangan, No. 3. LP3 Bogor. Tekrony, D.M., D.B. Egli, and A.D. Phillips. 1980. Effect of field weathering on the viability and vigor of soybean seed. Agron. J. 72:749-753. Troedson, R.J., R.J. Lawn, D.E.Byth, and G.L. Wilson. 1985. Saturated soil culture. p. 171-180 In: S. Shanmugasundaram and E.W. Sulzberger (Eds.) Soybean in tropical and sub tropical cropping systems. Asian Vegetables Research and Development Center, Shan hua, Taiwan. Van Doren, D.M. and D.C. Reicosky. 1987. Tillage and irrigation. p. 391-428. In: J.R. Wilcox (Ed.) Soybeans: improvement, production and uses. Second edition, ASA Pub. Agronomy Series, No. 16. Madison, Wisconsin, USA. Van Rombourgh, P. 1892. Geweektegewassen in de cultuurtuin te Tjikeumeuh Lands Plantentuin, 18 Mei 1817-18 Mei 1892. Batavia. Sumarno dan Manshuri: Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia 103