SISTEM PEMILU DAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN KUALITAS KINERJA LEGISLATIF OIeh: Dr. H. Pandjì Santosa, Drs., M.Si. — Dosen FISIP UNLA Abstract, The passing of the reform in this country can be seen from the various political changes ongoing ranging from democratic order, the issue of constitution amendment 45 to the implications of changes in the electoral system. Similarly, the party opportunities in competing to reap political voice of the people in the end aggregate, the articulation of people's conscience through aspirational institutions legislature / parliament. To determine the extent of the quality of agency performance This representation together with the level of productivity at first associated with procedures of the political system. Then in another perspective extent of representative institutions is seen as capable in completing problems, design and termination solutions to problems, and maneuver politics to fight for a public issue in the interests many people. Of the important aspects of the strategic environment This is interpreted as linkage institutions with the order value developed and the interests of the people, the interests of the government and relationship with political parties and electoral system. Keywords: Electoral System , Political and Quality Performance Portai Legislature / Parliament Latar Belakang Sepuluh tahun reformasi sejak 1998, setidaknya memberikan performance baru bagi setiap partai politik (parpol). itu dilihat dari produktivitas dan kinerja legislatif dalam memonopoli kekuasaan. Meski ada dua sisi penilaian berbeda parpol ketika Orde Baru dan sebelum amandemen UUD 1945. Perbedaan mencolok dan produktivitas lembaga legislatif (DPR) misalnya, ketika legislatif mengfungsikan berbagai inisiatif dalam mengajukan rancangan RUU, yang dulu sikap tersebut dikatakan ―mandul‖ atau bahkan tabu dilakukan DPR. Patut disyukuri bahwa perubahan itu telah mengantarkan demokratisasi di indonesia kearah lebih baik. Artinya, peran dan fungsi DPR sesuai koridornya, yakni wujud representasi rakyat, meski terdapat ―suara sumbang‖ yang meragukan kualitas anggota Iegislatif namun mereka tetap memiliki legitimasi syah melalui mandat pemilu. DPR sebagai fartner pemerintah, tentunya dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan atau keseimbangan (checks and balances) pada setiap kekuasaan yang ada, terhadap kepala pemerintahan yakni presiden berikut jajaran birokrasinya, memiliki kedudukan sama dalam mengusulkan proses inisiatif Rancangan Undang-Undang (RUU). Meski diakui, dari realitas politik yang terjadi, bahwa produktivitas DPR mengusung inisiatif RUU masih rendah dibanding eksekutif. Mayoritas inisiatif RUU selalu muncul dari eksekutif. Dengan kata lain, DPR tidak seproduktif eksekutif dalam merespon keinginan publik dalam merumuskan pertimbangan utama substansi suatu produk perundang-undangan. Ironis memang, ketika parpol yang berada di DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat ternyata hanya mementingkan loyalitas partai semata. Padahal mereka merupakan instrumen suara hati rakyat. Fakta yang terjadi,seringkali tugas-tugas wakil rakyat terabaikan. Bisa jadi, perilaku ini merupakan akumulasi dan rekrutmen calon legislatif dari partai politik kurang memiliki kompetensi, akibat dominasi internal partai yang enggan terbuka bagi calon berkualitas dari luar partai. Mengesankan bila melihat partai politik dalam meughadapi Pemilu 2009 yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebanyak 110 partai politik yang akan meramaikan kompetisi mencari suara rakyat. Hingga penutupan syarat administrasi parpo! ternyata hanya 44 parpol yang melengkapi persyaratan dari 112 parpo! yang mendaftar. Berdasarkan data yang ada, tingkat kepercayaan rakyat terhadap kinerja lembaga DPR dan parpol masih rendah, yakni parpol 8,1 persen dan DPR 11,2 persen, sedangkan Pemerintah Daerah 26 persen, dan Pemerintah Pusat 29 persen. Sementara data terakhir menyebutkan, peran DPR yang semakin jauh dari rakyat sebanyak 68,5 persen menyatakan kinerja DPR buruk dan sebanyak 84 persen menganggap DPR tak serius mengawasi kinerja eksekutif. Pada Agustus 2007 kepuasan rakyat pada DPR dalam hal menyalurkan aspirasi rakyat adalah 22,6 persen, pada Maret 2008 hanya 15,3 persen. Padahal fungsi dan kewenangan DPR itu adalah seberapa besarnya produktivitas lembaga tersebut dalam melahirkan produk legislasi pro rakyat? Minimal ada dua hal produk legislasi yang mestinya dilahirkan DPR. Pertama, DPR mampu merumuskan perundangan yang pro rakyat dan kedua, kualitas legislasi mampu merumuskan dan mengakomodir kebutuhan rakyat secara utuh serta tak berseberangan dengan peraturan yang berada diatasnya. Tulisan ini mencoba mengembangkan bagaimana format sistem pemilu Indonesia dan peran partai politik dalam meningkatkan kualitas kinerja DPR. Pada akhirnya mencari mekanisme yang tepat dalam meningkatkan kualitas kinerja DPR sebagai amanah dari hati nurani rakyat. Slstem Pemilu Demokrasi di Indonesia Menyiinak pernyataan Arthur Lewis baliwa “The surest way to kill the idea of democracy in a plural society is to adopt the Anglo-American system first: past-the-post” (Cara paling manjur untuk membunuh ide demokrasi dalam masyarakat pluralisme adalah dengan mengadopsi sistem distrik). Juan J. Linz dan Alfred Stepan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu Negara, yakni 1) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih; 2) jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas; 3) jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru; dan 4) kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain. O’Donnell dan Schmitter mengatakan, proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang bisa berlangsung secara gradual atau secara bersama-sama sekaligus, atau suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Dua pakar tersebut, berpendapat liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan bagi hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dan kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas penguasa terhadap rakyatnya. Dengan demikian, maka demokratisasì harus mencakup perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya pertanggung jawaban penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). O’Donnell dan Schmitter menyebut transisi yang bermuara pada liberalisasi ini sebagai liberalized authoritarianism. Dalam konteks Indonesia ketika reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya telah dimulai di era BJ Habibie, yakni dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Susduk), dan pemilu demokratis pertama Juni 1999, Pemilu dengan sistem multipartai itu menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah baru dengan agenda reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati Soekarno Puteri. Sembilan kali pula bangsa Indonesia, menyelenggarakan pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu yang akan dilakukan 2009 mendatang adalah yang ke-10. Sementara pemilu 2004 masih dalam tahap persiapan, dan belum dapat diyakinkan seperti apa hasilnya. Selain itu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peraturan atau undang-undang yang mengatur pemilu yang satu ke pemilu berikutnya. Sebagai contoh, Pemilu 1971,1977,1982,1987,1992, dan 1997 tidak ada perubahan apa-apa dalam sistem pembagian kursi DPR. PRODUK UNDANG-UNDANG DPR 1971-1999 DPR PEMILU 1971 – 1977 1977 – 1982 1982 – 1987 1987 – 1992 1992 – 1997 1997 – 1999 JUMLAH UNDANG-UNDANG 43 Undang-Undang 55 Undang-Undang 45 Undang-Undang 55 Undang-Undang 45 Undang-Undang 75 Undang-Undang Sumber: B.N. Marbun, DPR RI Cara Kerja dan Pertumbuhannya, Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramediã Pustaka Utama, 2002, hal. 318. Dalam sistem pemilihan umum, istilah ―Sistem Pemilihan Umum Ideal‖ dipakai sebagai batu ujian pertama untuk mengukur pemahaman seseorang. Pernyataan bernada ―Sistem X adalah sistem pemilihan umum ideal‖ dan orang yang dianggap memahami sistem pemilihan umum akan ditanggapi dengan senyum, karena konsep ―Sistem Pemilihan Umum Ideal‖ adalah konsep usang yang telah ditinggalkan. Lonceng kematian konsep ―Sistem pemilihan umum ideal‖ telah dibunyikan keras dan berkali-kali oleh berbagai pakar sistem pemilihan umum. Terakhir oleh Lijphart (1994), Cox (1997) dan Katz (1997). Kesimpulan mereka adalah, ―Tidak ada sistem pemilihan umum ideal‖. Dalil-dalil lama direduksi menjadi kecenderungan. Reduksi ini tidak menihilkan dalil bahwa sistem plurality-majority akan menghasilkan sistem duá partai, atau dalil lain, sistem proporsional akan menghasilkan anggota parlemen yang bergantung kepada pimpinan partai. Kesadaran yang luas diterima adalah bahwa keadaan masyarakat dimana sistem pemilihan umum itu (akan) diterapkan mempengaruhi terpenuhi tidaknya dalil-dalil yang dahulu dipegang. Jadi ada azas kondisionalitas yang berlaku. Bila memperhatikan dalil-dalil dari sistem pemilu tentunya memiliki keunggulan dan kekurangannya. Keunggulan sistem pemilu distrik misalnya, adanya pemilihan pendahuluan (primary election). Dengan pemilihan pendahuluan calon dipilih oleh seluruh anggota partai (dalam kasus closed primaries) atau seluruh pemilih (dalam kasus open primaries) lewat suatu proses mirip pemilu. Dominasi pimpinan partai politik terhadap proses pencalonan dapat dikurangi hingga mengikis budaya patronisme. Meski ada sedikit keganjilan dalam pandangan ini. Lazimnya dalam pandangan peneliti sistem pemilihan umum bahwa pembahasan mengenai ―sistem pemilihan umum‖ dibatasi pada besar distrik, struktur pemberian suara, dan aturan penerjemahan suara pemilih menjadi kursi dalam parlemen (untuk pemilihan législatif) atau ke dalam jabatan (untuk pemilihan eksekütif). Jadi pemilihan pendahuluan bukan merupakan elemen yang digunakan dalam klasifikasi sistem pemilihan umum. Argumentatif bahwa pemilihan pendahuluan adalah khas sistem distrik merupakan kesalahan metodologi. Setiap partai politik dalam setiap sistem pemilihan umum kecuali jika dibatasi oleh undang-undang bisa menggunakan pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon mereka. Bukan hal yang diharamkan bagi partai-partai politik dalam sistem pemilihan umum proporsional untuk melakukan pemilihan calon melalui pemilihan pendahuluan. Di Indonesia disebut sistem distrik adalah sistem first-past-the-post (FPTP) yang dipakai di beberapa negara anglo-saxon seperti Amerika Serikat, lnggris maupun negara-negara bekas koloninya. Sebutan lain yang lebih taat azas untuk sistem ini adalah Single Member District Plurality (SMDP). Keunggulan sistem ini, sangat sering dikutip oleh para pemerhati di Indonesia adalah kedekatan jarak antara pemilih dengan wakilnya, Kedekatan ini timbul karena wakil rakyat yang terpilih dan distrik beranggota tunggal akan lebih bertanggungjawab kepada publik pemilihnya Pemilih akan memberikan pilihan kepada orang yang mereka kenal dan percayai sehingga melahirkan wakil-wakil yang lebih accountable kepada pemilih mereka. Di sisi lain, kedekatan jarak pemilih dengan wakilnya cenderung menghidupkan isu-isu lokal, kedaerahan dan kesukuan. Keadaan lebih diperparah jika ada disparitas pembangunan antar wilayah, seperti di Indonesia. Daerah-daerah yang lebih terbelakang akan menuntut porsi pembangunan lebih besar untuk mengejar ketinggalan, sementara daerah yang lebih maju akan menuntut yang tidak kalah besar untuk menjaga tingkat pertumbuhan. Kombinasi dan suburnya isu lokal dan etnis, disparitas pembangunan, dan adanya wilayah basis adalah syarat cukup terbentuknya gaya sentrifugal yang cukup besar untuk menimbulkan efek disintegratif. Akhirnya, sistem distrik akan semakin menyuburkan desakan-desakan untuk pemisahan diri yang saat ini mulai digulirkan oleh beberapa daerah. Sebenarnya, variasi sistem pemilu cukup banyak jumlahnya, tetapi dapat dibagi kedalam 9 (sembilan) varian sistem. Kesembilan varian tersebut selanjutnya dapat dikelompokan lagi kedalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu sistem Plurality-Majority System (PMS), Semi Proporsional dan Perwakilan Proporsional. Hampir semua sistem pemilihan bentuk (PMS) ini selalu menggunakan single-member district (satu anggota perwakilan untuk satu distrik). Dalam FPTP, pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak tidak perlu mayoritas mutlak. Dalam Semi Proportional Sistem (semi PR), menjelaskan setiap pemilih mempunyai 1 (satu) suara. Ada beberapa kursi pada satu distrik yang harus diisi (multi-member district), dan kandidat-kandidat yang memperoleh suara-suara tertinggi yang mengisi kursi tersebut. Artinya, dalam satu distrik yang mempunyai 4 (empat) anggota perwakilan, misalnya, seseorang rata-rata hanya akan butuh lebih dari 20 persen suara untuk terpilih. Hal ini memungkinkan terpilihnya kandidat-kandidat dari partai minoritas, dan memperbaiki proporsionalitas parlemen secara keseluruhan. Dalam sistem parallel yang merupakan gabungan PR List dan PMS ―winner take all‖ distrik tetapi tidak seperti di MMP Sistem, dalam sistem Parallel, PR List tidak mengkompensasi setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritas parallel sistem. Dalam Proportional Representation (PR) ada pengurangan sengaja atas disparitas antara perolehan suara dan perolehan kursi di parlemen. Jika sebuah partai utama memenangkan 40 persen suara, partai ini harus memperoleh sekitar 40 persen kursi parlemen, dan partai kecil dengan 10 persen suara harus juga memperoleh 10 persen kursi di parlemen. Umumnya proporsionalitas yang paling baik dicapai melalui daftar partai. Daftar kandidat partai politik yang diajukan kepada para pemilih disusun atas dasar basis nasional dan regional. Tetapi dapat juga proporsionalitas tersebut dicapai secara mudah hanya jika ada komponen proporsional dan Mixed Member Proportional (MMP) Sistem, yang akan mengkompensasi setiap disproporsionalitas yang timbul dari hasil pemulihan sistem distrik mayoritarian. Voting Preferential, dapat bekerja sama baiknya ketika voters memilih berdasar ranking para kandidat di distrik multi-member. Hal ini merupakan suatu proyeksi yang cukup baik dari sistem proporsional. Disamping itu, persoalan paling umum yang biasanya timbul dalam menentukan pilihan varian sistem tersebut adalah bagaimana tingkat keproporsionalan sistem pemilihan itu. Bagaimana mengubah kemenangan suara masyarakat menjadi kursi di parlemen, dan bagaimana hubungan ―suara kursi‖ dan seberapa besar tingkat wasted vote. Pernyataan Alexis de Tocqueville pada pertengahan abad ke-19 mengenai sistem ini menarik untuk disimak. Ia menyatakan kunci keberhasilan penerapan pemilu sistem distrik di Amerika Serikat adalah terpenuhinya beberapa syarat seperti, pertama adanya masyarakat yang relatif homogen. Kedua, adanya konsensus dalam masyarakat untuk menerima pemerintahan melalui mayoritas, Ketiga, adanya kemungkinan minoritas menjadi mayoritas. Ciri masyarakat Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah pluralitas, bukan homogenitas. Dengan demikian negeri ini tidak memenuhi syarat pertama keberhasilan penerapan sistem distrik. Konsensus yang merupakan syarat kedua dapat dibangun melalui dialog, sehingga bukan tidak mungkin Indonesia akan dapat memenuhi syarat ini. Syarat ketiga menuntut agar dimensi konflik yang ada dibatasi pada konflik yang sifatnya rasional ideologis. Dengan kata lain dibatasi kepada antagonisme sosial yang tidak didukung oleh struktur sosiopolitis statis. Artinya dimensi konflik seperti etnis, bahasa dan agama harus memiliki peran minimal. Adanya dimensi-dimensi konflik tersebut merupakan syarat cukup terciptanya dominasi politik satu kelompok atas kelompok lainnya Dominasi ini pada gilirannya memiliki kecenderungan menyuburkan diskriminasi. Dalam keadaan dimana kelompok minoritas memiliki wilayah basis (stronghold), rasa tidak puas yang mengental dapat dengan mudah berubah menjadi usaha untuk memisahkan diri. Sistem Kepartaian Pemilu 1955 diakui paling demokratis di Indonesia. Meski partai politik yang dihasilkan pada saat itu kecenderungan menggunakan kesempatan kekuasaan lebih mementingkan kepentingan komunitasnya serta ideologi masing-masing, dan dianggap gagal menciptakan stabilitas yang kondusif dalam pembangunan. Di era Orde Baru, ―konsensus nasional― dibidang perwakilan politik menjadikan tiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagai manifestasi kekuatan sosia! dan politik yang terdapat dimasyarakat. Tapi, pada saat yang sama muncul berbagai kritikan mulai dari pengamat politik, pers, pejabat, sampai anggota dan pimpinan DPR sendiri sehubungan dengan rendahnya kualitas kinerja dan prestasi Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan di masa reformasi ini DPR adalah yang paling sering mendapat sorotan masyarakat. Salah satu area of concern pada masa itu adalah di bidang pembenahan sistem kepartaian, partai politik di negara ini yang pemasok utama legislator atau wakil rakyat. Di berbagai negara demokrasi lainnya, parpol bahkan pemasok satu-satunya karena seluruh wakil rakyat diperoleh melalui pemilu, tanpa ―dilengkapi‖ dengan prosedur pengangkatan seperti 20 persen dari 500 anggota DPR. Sepanjang pengalaman badan legislatif, hanya DPR hasil pemilihan umum 1955-lah semua anggota duduk melalui pemilihan umum, Volksraad yang anggotanya 60 orang, sebanyak 38,3 persen anggotanya karena pengangkatan, KNIP (1945-1949), DPR-RIS, DPRS, DPR-GR, DPR-GR Peralihan 100 persen anggotanya merupakan pengangkatan sementara DPR RI (1971-1977) 21,7 persen anggotanya merupakan pengangkatan. Proses pengangkatan anggota DPR di zaman Orde Baru berlanjut sampai periode 19992004 tetapi jumlahnya berkurang hanya 38 anggota yang kesemuanya berasal dari fraksi ABRI yang kemudian menjadi fraksi TNT/Porli. Artinya tîdak semua anggota badan perwakilan rakyat berasal dari partai politik yang dipilih secara langsung. Sebagai pemasok wakil rakyat, masalah mendasar yang dihadapi partai politik dan sistem kepartaian ialah belum bekerjanya berbagai mekanisme. Maka semasa Orde Baru ada gagasan dimasyarakat dimunculkanya partai baru disamping liga OPP peserta pemilu, dampak dari sistem multi partai yang kaku seperti dikenal di zaman itu banyak dinamika politik undercurrernts yang tidak bisa tercermin dalam sistem kepartaian yang ada. Maka perwakilan politik dan segmen nonpower, seperti petani, buruh, para pemerhati lingkungan dan lain-lain belum tersalurkan dalam sistem kepartaian. Padalah ini merupakan unsur yang tidak terpisahkan dan dinamika kepartaian dan politik pemilu, maka sistem kepartaian dan proses legislatif belum dapat disebut refresentatif. Pada masa reformasi sistem kepartaian sebagai sumber dan basis lembaga perwakilan rakyat sangatlah diperlukan. Peluang dan mekanisme memungkinkan partai politik menjalankan fungsi dengan baik adalah bagian dari reformasi. Partai politik perlu diberikan kesempatan untuk tumbuh, dalam arti berbagai mekanisme kepartaian, seperti dibidang rekruitmen, seleksi dan suksesi kepemimpinan dan nominasi calon auggota DPR berjalan semestinya, bebas dari intervensi yang berlebihan. Seiring dengan pergantian kepemimpinan maka format sistem politik pun berubah, sejak Iahirnya tiga produk undang-undang politik 1999 yaitu UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No.3/1999 tentang Pemilihan Umum dan UU No.4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD telah mengubah peta dan wajah politik nasional secara mendasar. Dengan kemudahan persyaratan pembentukan partai politik, maka menjelang pemilu juni 1999, telah berdiri 48 partai politik. Posisi Golkar berubah menjadi Partai Golongan Karya, melalui pemilu 1999 Partai Golkar menempati urutan kedua setelah sebelumya di zaman Orde Baru selalu berada pada urutan pertama Pemilu kali ini dimenangkan oleh PDI Perjuangan dengan memperoleh suara 33,73 persen, Partai Golkar 22,43 persen Partai Persatuan Pembangunan 10,70 persen, Partai Kebangkitan Bangsa 12,60 persen dan Partai Amanat Nasional 7,11 persen suara. Dari 48 partai politik peserta pemilu dengan perolehan suara jumlah suara mulai dan urutan pertama sampai lima tidak ada yang memperoleh suara secara mayoritas tunggal (single mayority) tetapi hanya mayoritas sederhana (simple mayority). Perubahan ini telah menghasilkan 10 fraksi di DPR, yang beberapa fraksi adalah gabungan dari beberapa partai kecil yang terwakili di DPR. Perubahan ini telah membentuk format sistem kepartaian yang baru, setelah sebelumnya menganut sistem kepartaian yang dominan, dimana ada satu partai dominan diantara partai politik yang lain. Golongan Karya hampir selama pemerintahan Orde Baru dari setiap pemilihan umum selalu menjadi partai yang memperoleh suara mayoritas dan identik ―partainya pemerintah‖ karena disamping Soeharto sebagai presiden, juga merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar dan menteri-menterinya merupakan sebagian besar dari ABRI Golkar dan Birokrasi, yang dikenal dengan tiga pilar ―ABG‖. Di reformasi ini tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas, pemeritahan yang terbentuk tidak identik dengan milik partai mayontas di DPR, terlihat dengan presiden pertama setelah reformasi adalah Abdurrabman Wahid yang berasal dari partai yang tidak memperoleh kursi yang banyak tetapi berkat dibentuknya koalisi dalam DPR yang terkenal dengan ―poros tengah‖ berhasil menghantarkan Abdurrahman Wahid jadi Presiden. Semua ini menandakan bahwa format sistem kepartaian telah menjadi sistem multi partai dimana kekuatan ada pada partai politik yang ada diparlemen tidak bergantung kepada satu partai karena tidak adanya dominasi. Dengan sistem multi partai memungkinkan setiap partai polítik yang tergabung dalam fraksi untuk mengajukan pendapat-pendapat yang berbeda dengan partai lain, juga pemerintah, seperti pengajuan RUU usul inisiatif DPR, tanpa harus terpaku pada satu partai. Berbeda dengan zaman Orde Baru yang mempunyai partai mayoritas yang melahirkan sistem kepartaian dominan, disamping itu ada aturan yang begîtu berat yang tidak memungkingkan untuk mengajukan RUU usul inisiatif karena berisiko tinggi akan ditolak partai besar dalam rapat paripurna sebelum masuk ke tingkat satu. Sistem multi partai memungkinkan penguatan pelaksanaan fungsi DPR terutama didalamnya fungsi legislasi, partai politik yang ada di DPR bebas memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Partai-partai yang mengelompokkan diri atau membentuk fraksi bebas melakukan usul inisiatif pengajuan RUU. Perbedaan pendapat dan banyaknya pendapat menimbulkan dinamika di DPR yang mengindikasikan hal yang positif sehingga keputusan yang diambil bukan atas kehendak satu golongan. Penguatan ini dapat dilihat dari pembahasan-pembahasan yang berlangsung saat ini. Sejalan dengan tuntutan reformasí, maka keberadaan lembaga perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan pilihan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Dengan sistem pemilu yang dianut yakni proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih anggota DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik. Sistem pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan parpol lebih dikenal oleh pemilihnya. Sementara, dengan mekanisme kuota (threshold), adalah mencantumkan prasyarat partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3 persen (tiga persen) jumlah kursi di DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4 persen (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurangkurangnya 4 persen (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya (2009). Hubungan Pemilu, Kepartaian dan Legislatif 2009 Pada dasarnya kualitas anggota legislatif lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemulihan. Dalam sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalnya, kualitas calon ditentukan nomor urut calon anggota DPR. Dimana semakin kecil nomor urut besar kemungkinan dia jadi anggota DPR dan sebaliknya, karena pemilih memilih tanda gambar bukan memilih orang. Kelemahan disini, maka partai-lah yang seharusnya dianggap salah, karena banyak anggota yang tak mengerti akan tugas dan kewajibannya serta hak-haknya sebagai anggota DPR. Sebab partai yang menentukan nomor urut. Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka tetaplah partai yang menjadi penentu. Alhasil, bobot dan sistem pemilu dari kepartaian ini lebih banyak terletak pada nilai demokratis di dalamnya. Kelebihan Proposional Terbuka adalah representatif dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil di DPR, memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR, mereka akan lebih independen kedudukannya dalam hubungannya dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain, kemudian, kedudukan yang lebih kuat dan masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR. Dari gagasan-gagasan pokok di atas, yang menjadi dasar keberadaan sistem ini terletak pada perwujudan pemerintahan yang representative dan legitimate. Apabila dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi beberapa hal di antaranya untuk menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa rnemberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang berbeda sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atan janji wakil-wakil yang telah mereka pilihnya. Berdasarkan uraian di atas, pengaruh sistem pemilihan terhadap kualitas kinerja parlemen ada pada watak atau karakter persaingan dalam pemilu. Karakter persaingan berarti apakah ciri-ciri yang menonjol dari kompetisi dalam pemilu dilaksanakan dan berjalan, berikut implikasi dan konsekuensinya. Dengan demikian, sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai, sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme, dimana beberapa sayap ýang berbeda dari satu partai terus menerus bertentangan dengan lainnya, sementara sistem yang lain mungkín dapat memaksa partai-partai untuk bersatu suara dan menekan pembangkangan. Sebuah sístem pemilu juga bisa mengarah pada pembentukan koalisi atau pemerintahan satu partai dengan kendala yang dihadapi partai mayonitas. Dengan kata lain, sistem pemilihan bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alienasi diantara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas. Nampaknya dari uraian di atas, bahwa pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliable, serta numerical. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminasi), menunjang persaingan sehat dan pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan. Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi Indonesia. Sementara keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana dipilih melalui proses yang sama dengan legislative sehingga disorientasilah yang terjadi dalam kewenangannya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau ditelusuri pemikiran tentang keberadaan DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung, adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah yang pengisiannya melalui penunjukkan. Di lihat dari keberadaanya, utusan daerah/golongau pada Orde Baru, bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi. Sementara pasca reformasi keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari utusan daerah di MPR yang kontroversial. Sehingga kewenangan DPD saat ini yang tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, Ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, bertentangan dengan kenyataan anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan Iebih kuat dibanding rekan-rekannya anggota DPR. Sedangkan jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagai produknya, dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem yang digunakan. Secara sederhana kualitas dan produk tersebut sebanding dengan, Pertama, kemampuan lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak. Kedua, Iingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri. Ketepatan peran anggota ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat dan negara. Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan rakyat/DPR antara lain adalah, secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan. Hasil identifikasj terhadap lembaga perwakilan selama ini memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun individual. Asumsinya, kelemahan kelembagaan partai politik dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja dan kualitas DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang kredible. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari partai politik dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi yang relatif berpengalaman saja, tetap masih memiliki kelemahankelemahan dalam ménjalankan fungsinya, demikian juga yang terjadi dengan DPD. Kesimpulan Pada dasarnya kinerja dan kualitas legislatif lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaîan dan sistem pemilihan. Adapun pilihan atas penerapan sistem pemilihan Iebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliable, serta numerical. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, pilihan atas penerapan sistem kepartaian lebih banyak pada bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dan pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan. Pada sisi lain, proses demokratis, nilai representasi dan legitimasi bila sistem ada bercermin pada kewenangan yang sepadan. Di sinilah pembenahan perlu dilakukan keberadaan DPD sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana dia dipílih melalui proses sama dengan anggota lembaga perwakilan rakyat. Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini Iebih banyak pada sisi nilai demokratis dalam sistem pemilihan, di samping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Sementara, fungsi legislasi merupakan tugas pokok DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi secara keseluruhan hari ini dan masa datang, dan tidak seperti di era Orde Baru mengabaikan prinsip demokrasi yang mengekang kebebasan, termasuk legislatif dalam menjalankan fungsinya. Amandemen UUD 1945 juga mempunyai peranan yang besar terutama perubahan pasal 20 UUD 1945 yang memberikan kewenangan yang dominan kepada DPR dalam membentuk undang-undang. Begitu juga dengan sistem multipartai yang memungkinkan terjadinya dinamika dalam internal DPR sehingga tercipta penguatan peran dan pelaksanaan fungsi. Kuantitas legislasi (RUU yang disahkan) lebih baik minimal apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu, konsentrasi anggota DPR juga terfokus pada amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR yang didalamnya juga adalah DPR. Walau kualitas undang-undang yang dihasilkan DPR dianggap masyarakat kurang memuaskan dan dibuktikan dengan banyaknya usulan permohonan judicial riview ke Mahakamah Agung, oleh masyarakat. Secara keseluruhan fungsi legislasi yang dijalankan DPR periode 2004-2009 adalah relatif baik karena secara kuantitas relatif banyak, hal ini tidak bisa dinafikan sedangkan dari segi kualitas masih banýak masyarakat yang merasa kurang puas. Tetapi walaupun demikian kondisi beberapa undangundang tersebut tetap memberikan legitimasi kepada pemerintahan bagi jalannya roda pemerintahan. Pemilihan legislatif dan presiden menjadi salah satu contoh sekalipun muatan dan undang-undang tersebut banyak yang menganggap kurang puas. Gambaran pelaksanaan fungsi legislasi yang demikian, bukanlah kondisi yang sangat bùruk tetapi perlu pembenahan dan perbaikan dimasa silam, seperti pembahasan yang intensif antara pemerintah dengan DPR dalam menyelesaikan Prolegnas 2004-2009. Hendaknya daftar RUU yang ada dalam prolegnas dibahas secara konsisten dan pembahasan dilakukan secara prioritas dari sisi kebutuhan yang mendesak dan setiap tahun diadakan evaluasi terhadap fungsi legislasi yang telah dilaksanakan. Masyarakat hendaknya mempertimbangkan dengan matang dalam memilih anggota dewan, presiden dan wakil presiden, jangan mudah percaya akan janji-janji kampanye mereka Pertimbangkan secara rasional dan obyektif, agar kelak terpilih pemimpin yang berkualitas dan kepada mereka kita memberikan kepercayaan untuk memperjuangkan kepentingan masa depan bangsa ini. DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel, dan Verba, Sidney, Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984. Asian Barometer, 2004. http://www.asianbarometer.org/ newenglish/publications/-html [12/03/2007]. Lihat juga laporan Tranparency International 2006. B. Hestu CH. 2005. “MenearE Mahna Representas E DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah“, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah, Yogyakarta, Juni 2005, hIm. 2-3. B.N. Marbun, DPR Pertumbuhan dan cara Kerjanya, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 hal. 1 : Lihat juga Riswandha Imawan, Op.Cit., hal 73. Boboy, Max, DPR RI Dalarn Perspektif Sejarah dan Tatanegara, Jakarta: Pustaka Gould C, Carol, Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta: Tiara Wacana,1993. Juan J, Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan…., op. cit, hal. 25-49; juga tulisan Richard Gunther, “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semi-Presidensial” dalam Ikrar dan Riza, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, hal. 125162. Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi“, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation, 2001, hal. 25-49. Muhamad Asfar. Sistem Proporsional Terbuka. Jakarta: Pusat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia 2002. Miriam Budiarjo. 2000. “Sistem Pemilu yang Bagaimana?“, dalam Abdul Bari Azed (eds), Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: FH UI, Hlm. 23-29. O’Donnell dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES., hal. 6. Riswandha Imawan. 2005. Sistem Pemilihan Umum, Jurs. Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005., hlm. 8 Sanit Arbi, “Koherensi Perundang-undangan Politik” Makalah untuk bahan diskusi, 2006.