masalah perbatasan laut.

advertisement
Masalah Perbatasan Laut
HARIAN SINDO, Thursday, 02 September 2010
Penetapan garis pangkal perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia di utara dan timur
Pulau Bintan pada dasarnya sudah tidak menjadi persoalan lagi.
Daftar-daftar koordinat terakhir dari garis-garis pangkal Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal
47 (9) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), telah didaftarkan di Sekretariat PBB
tanggal 4 Maret 2009 dan oleh PBB telah diedarkan ke seluruh dunia. Di samping itu,sudah ada
garis perbatasan laut teritorial antara Indonesia dan Singapura sejak tahun 1973.Ke sebelah barat
dari garis batas 1973 ini, Indonesia dan Singapura juga sudah menyetujui perpanjangannya
dengan perjanjian tanggal 10 Maret 2009 dan telah diratifikasi oleh DPR RI dengan UU No
4/2010 tanggal 20 Juni 2010.
Perjanjian Indonesia-Singapura 1973 menentukan enam titik perbatasan yang ke sebelah
timurnya berakhir sekitar antara Pulau Batam dengan sekitar Changi Airport. Juga sudah ada
Persetujuan Indonesia-Malaysia tentang Batas Landas Kontinen di Laut China Selatan yang
berhenti sekitar 12 mil dari pantai masing-masing di Johor dan Bintan sebelum mencapai batu
karang Pedra Branca.
Jadi, antara titik paling timur Perjanjian Indonesia Singapura 1973 dan titik paling barat
Persetujuan Indonesia-Malaysia tentang Batas Landas Kontinen memang belum ada persetujuan
tentang garis batas maritim. Persoalan terutamanya adalah ada konflik teritorial antara Malaysia
dan Singapura mengenai kelompok batu karang Pedra Branca (Batu Putih) yang terletak di mulut
Laut China Selatan sebelum memasuki Selat Singapura.Singapura dan Malaysia sudah lama
mempertengkarkan kepemilikan atas Pedra Branca tersebut.
Kelompok Pedra Branca terdiri dari tiga batu karang yaitu, pertama, yang paling utara
berhadapan dengan Johor (terbesar) terdiri dari batu karang Pedra Branca yang luasnya kira-kira
8.560 meter persegi pada waktu pasang surut. Panjangnya adalah kira-kira 137 meter dan
lebarnya sekitar 60 meter. Letaknya kira-kira 24 mil laut di sebelah timur Singapura, 7,7 mil laut
dari Johor,7,6 mil laut dari Pantai Pulau Bintan. Di batu karang tersebut Inggris/Singapura sudah
sejak lama membangun fasilitas pelayaran (mercu suar) dan lapangan helikopter.
Kedua, di sebelah selatan dari Pedra Branca terdapat Middle Rocks yang terdiri dari tumpukan
dua batu karang kecil yang terpisah satu sama lain sekitar 250 meter.Tingginya antara 0,6 dan
1,2 meter di atas permukaan air pada waktu pasang naik. Middle Rocks terletak 0,6 mil di
sebelah selatan Pedra Branca. Ketiga, paling selatan adalah South Ledge yaitu sebuah batu
karang yang kelihatan pada waktu pasang surut (low tide elevation). Letaknya 1,7 mil sebelah
selatan Middle Rocks dan 2,2 mil laut di barat daya Pedra Branca.
Lawan Diplomasi?
Sementara itu,Malaysia dalam peta lautnya tahun 1979 memasukkan kelompok Pedra Branca
dalam laut teritorial Malaysia, yang diprotes oleh Singapura dan tidak diakui oleh Indonesia.
Setelah melalui proses yang lama, Malaysia dan Singapura akhirnya membawa persoalan
tersebut ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Sementara itu, Indonesia tidak pernah
mengklaim Kelompok Pedra Branca sebagai bagian dari titik pangkalnya walaupun jaraknya
kurang dari 12 mil dari Bintan.
Mahkamah Internasional dalam bulan Mei 2008 memutuskan bahwa Pedra Branca adalah punya
Singapura, Middle Rocks adalah punya Malaysia, dan South Ledge adalah milik negara di laut
teritorial siapa batu karang South Ledge itu berada. Karena itu, persoalan yang selama ini di
hadapi antara lain adalah: Pertama, dengan siapa Indonesia harus berunding mengenai penentuan
garis batas laut teritorial di daerah itu, dengan Malaysia atau dengan Singapura?
Hal itu tetap tidak jelas sampai sekarang. Kedua,apa hak “maritime zone” ketiga batu karang
tersebut? Dalam ketentuan Hukum Laut ada Pasal 121:3 yang mengatakan bahwa ”rocks yang
can not sustain human habitation or economic life of their own, tidak berhak atas zone ekonomi
dan continental shelf.”
Tidak jelas apakah rocks tersebut berhak atas laut teritorial Dalam Konvensi Hukum Laut ada
ketentuan tentang artificial islands, installations, and structures di ZEE dan landas kontinen yang
hanya berhak atas “safety zone”di tengah laut, yaitu sampai maksimum 500 meter di sekeliling
instalasi tersebut (Pasal 60:4 dan Pasal 80 UNCLOS).
Ada gejala bahwa Singapura berpendapat bahwa rocks di Pedra Branca itu pun bukan hanya
mempunyai laut teritorial 12 mil tapi juga berhak atas ZEE dan landas kontinen.Tentunya itu
akan membuat masalahnya menyangkut Indonesia pula karena keinginan Singapura tersebut bisa
pula mempengaruhi laut teritorial,ZEE,dan landas kontinen Indonesia.
Memperhatikan sikap Indonesia dalam permasalahan Sipadan- Ligitan,maka pulau-pulau yang
sangat kecil yang berhadapan dengan daratan yang sangat luas tidak bisa disamakan haknya dan
karena itu tidak perlu harus merupakan garis tengah dan sama jarak. Mengingat kecilnya ketiga
batu karang itu,kiranya Indonesia akan sulit menerima prinsip sama jarak antara ketiga titik itu
dengan Pulau Bintan.
Kiranya Indonesia akan berpegang kepada prinsip sama jarak antara Johor dan Pulau Bintan
dengan menganggap kedudukan Pedra Branca sebagai “special circumstances”. Paling-paling
Pedra Branca diberi hak “safety zone” 500 meter mengingat di atas Pedra Branca sudah ada
mercu suar dan lapangan helikopter. Karena itu, garis batas laut teritorial Indonesia di utara
Pulau Bintan harus diukur kira-kira sama jarak antara Bintan dan Johor.
Tripartit
Pembicaraan antara kedudukan Pedra Branca dalam soal penentuan batas laut teritorial ini
kiranya akan perlu dijajaki dalam konteks tripartit (Indonesia-Malaysia- Singapura), apalagi
setelah putusan Mahkamah Internasional mengenai Pedra Branca. Sementara itu,penentuan garis
batas laut teritorial antara Indonesia (Batam-Bintan) dengan Singapura (Changi) dan Malaysia
(Johor) juga perlu dilakukan menuju ke timur dari titik paling timur Per j a n j i a n I n d o n e s i
a - Singapura 1973 sampai ke dekat Pedra Branca.
Tentunya garis batas laut teritorial Indonesia ke timur dari Pedra Branca juga harus ditetapkan
sampai ke titik paling barat dari persetujuan Indonesia-Malaysia tentang batas landas kontinen.
Memperhatikan hal-hal di atas, maka kiranya peristiwa Tanjung Berakit yang baru lalu antara
Indonesia dan Malaysia kiranya jelas terjadi dalam batas laut teritorial Indonesia, baik jika
diukur dari ketiga karang Pedra Branca ataupun garis tengah antara Pantai Johor dengan garis
pangkal perairan kepulauan Indonesia di daerah tersebut.
Dengan demikian, maka sangat wajarlah jika Indonesia memprotes tindakan Malaysia, apalagi
memprotes perlakuan Malaysia terhadap pejabat/petugas resmi Indonesia di laut.Keras lunaknya
protes tersebut tentu perlu memperhatikan hubungan antara kedua negara, termasuk kerja sama
Indonesia- Malaysia-Singapura selama 40 tahun terakhir dalam pengelolaan keselamatan
pelayaran dan perlindungan lingkungan laut di Selat Malaka-Selat Singapura.
Indonesia juga perlu melanjutkan usahanya yang telah dimulai sejak lebih dari 40 tahun yang
lalu untuk menetapkan berbagai batas maritim antara Indonesia dengan tetangganya, baik batas
laut teritorial maupun ZEE, dan penyelesaian masalah-masalah perbatasan lainnya.Batas yang
jelas dan disepakati antara tetangga/negara akan dapat meningkatkan hubungan dan kerja sama;
sebaliknya batas yang tidak jelas akan menimbulkan kerancuan-kerancuan.
Akhirnya, peristiwa Tanjung Berakit ini sepatutnya dapat meningkatkan perhatian kita untuk
memperkuat unsur-unsur penegakan hukum dan kedaulatan Indonesia di laut. Baik dengan
menambah ataupun meningkatkan kemampuan peralatan maupun teknologi pengamanan,
pertahanan dan pengelolaan laut, antara lain dengan meningkatkan porsi anggaran untuk
maksud-maksud tersebut.(*)
Prof Dr Hasjim Djalal MA
Pakar Hukum Laut
Download