BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Emosi 2.1.1. Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah, kemampuan dalam menstrategikan bagaimana menyesuaikan intensitas atau durasi dari reaksi emosional ke tahap yang lebih menyenangkan untuk mencapai tujuan (Berk,2004). Sedangkan menurut Thompson (Snyder, 2006) regulasi emosi dapat diartikan sebagai seluruh proses ekstrinsik dan intrisik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi untuk mencapai tujuan tertentu (Snyder,2006). Proses intrinsik adalah bagaimana seorang mengelola emosi yang muncul dari dalam dirinya sendiri, sedangkan proses ekstrinsik adalah bagaimana cara seseorang dalam mempengaruhi emosi yang datang dari luar (Gross, 2007). Regulasi emosi juga bisa diartikan sebagai usaha yang dilakukan seorang individu untuk mempengaruhi emosi yang sedang dirasakan,dan bagaimana emosi ini dirasakan dan diekspresikan. Usaha yang diperlukan untuk dapat meregulasi emosi dapat bersifat otomatis ataupun dikontrol, sadar ataupun tidak sadar (Snyder, 2006). Regulasi emosi termasuk didalamnya melakukan perubahan pada dinamika emosi (Thompson, dalam Snyder, 2006). Terdapat beberapa fitur yang terdapat pada proses regulasi emosi. Pertama adalah, terdapat kemungkinan bahwa orang meregulasi baik emosi positif ataupun negatif dengan mengurangi atau meningkatkannya. Pada Studi wawancara 8 ditemukan bahwa pada individu pada tahap dewasa awal menurunkan emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, dan kecemasan. Dan bahwa individu juga melakukan regulasi pada emosi positif juga seperti meningkatkan rasa bahagia agar dapat diterima pada lingkungan sosial. Kedua, regulasi pada emosi juga dapat terjadi tanpa kesadaran akan lingkungan sekitar, atau secara otomatis. Sebagai contoh, ketika seorang individu menyembunyikan rasa marah saat ditolak oleh Teman sebaya dan secara cepat mengalihkan perhatian dari hal yang berpotensi dapat memancing rasa marah. Ketiga, tidak memberikan asumsi bahwa tidak ada bentuk regulasi emosi yang baik atau buruk. Hal ini penting untuk menghindari kebingungan, regulasi emosi adalah sebuah proses yang digunakan untuk membuat perasaan menjadi lebih baik atau lebih buruk tergantung pada kondisi dan situasinya (Snyder, 2006). 2.1.2. Tahap perkembangan Regulasi Emosi Perbadaan individu dalam kemampuannya dalam mengontrol emosi dimulai dari tahap infancy dan early childhood yang sangat memegang peran penting dalam penyesuaian anak (Berk, 2004). Berikut adalah perkembangan regulasi emosi: 1. Infancy Infant hanya memiliki kapasitas yang terbatas dalam meregulasikan tahap emosional mereka walaupun mereka dapat menghindar dari stimulus yang kurang nyaman dan dapat menghisap saat perasaan mereka mulai menjadi intens, mereka akan merasa kewalahan. Mereka bergantung pada intervensi 9 yang lembut dari Pengasuh, saat mereka digendong di bahu, diguncang, dan secara lembut dibelai dan mendengar suara yang halus (Berk, 2004). 2. Early Childhood Setelah usia 2 tahun, anak mulai mengeskpresikan tentang apa yang mereka rasakan dan secara aktif mencoba untuk mengontrolnya. Di usia 3 atau 4 tahun, anak secara verbal menunjukan variasi strategi regulasi emosi-nya. Anak pada usia ini dapat membagi atensinya untuk menjauhkan diri dari pangkal penyebab frustasi yang secara berlanjut menjadi strategi yang efektif pada anak usia Prasekolah untuk mengatur emosinya. Orang tua yang hangat dan penyabar dan menggunakan petunjuk secara verbal untuk membantu anak dalam memahami dan mengontrol perasaan mereka termasuk menunjukkan dan menjelaskan cara juga memperkuat kapasitas anak dalam menangani Stress. Percakapan antara Preschoolers dengan orang dewasa dapat membantu perkembangan regulasi emosi menurut Thompson (dalam Berk, 2004). 3. Middle childhood dan Adolescense Perkembangan regulasi emosi berkembang pesat pada tahap ini terutama saat anak mulai masuk ke sekolah, dan bentuknya mulai bermacam-macam, mulai cerdik dalam menggunakannya dan juga fleksibel (Berk, 2004). Reaksi remaja dalam menghadapi situasi yang stress mempengaruhi derajat regulasi emosi-nya, yang kemudian membedakan kerentanan remaja dalam menghadapi stress. Saat situasi yang stress menimbulkan amarah pada remaja, ada lima pilihan yang dapat dipilih remaja untuk menanggulanginya, yaitu (1) Suppression, dipilih karena rasa takut diasosiasikan pada figur yang 10 memiliki otoritas untuk meredam emosi yang dirasakan. (2) Open Aggression, bentuknya adalah pengekspresian dari emosi seperti kritik, sarkasme, bertengkar, berdebat, yang dilakukan sebagai bentuk kepuasan diri tanpa memikirkan orang lain. (3) Passive Aggression, dimana indvididu melakukan sabotase karena individu merasa marah tetapi terlalu berbahaya jika diketahui oleh orang lain hal ini terjadi karena individu tersebut memiliki kontrol. (4) Assertiveness, dengan cara ini dapat membantu mengembangkan hubungan antar individu, karena terdapat proses diskusi antar individu mengenai hal yang tidak menyenangkan dan diselesaikan bersama. Hal ini merupakan tanda dari kedewasaan dan stabilitas. (5) Dropping Anger, remaja menyadari batasan diri dan menerima kekurangan sehingga dapat mengontrol situasi (Israel, 2009). 2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Regulasi Emosi Diperlukan keinginan sendiri dan usaha untuk dapat mengatur emosi agar dapat mengembangkan regulasi emosi. Usaha ini akan berkembang secara bertahap sebagai hasil dari perkembangan otak dan kehadiran pengasuh yang membantu anak untuk mengatur intensitas emosi dan mengajarkan mereka tentang strateginya. a. Faktor instrinsik Salah satu asumsi penelitian, yang teruji dengan baik. Mengenai Faktor instrinsik dan regulasi emosi awal adalah perbedaan individu dalam emosionalitas, atau reaktifitas temperamental yang memainkan peranan penting dalam keterampilan regulasi emosi dalam menunjukkan emosi 11 tersebut. Dari persepektif ini, diasumsikan bahwa kecenderungan infant untuk terpengaruh secara emosional, secara langsung maupun tidak langsung merupakan bagian dari keterampilan regulasi emosi dan strategi yang dikembangkan anak. Faktor intrinsik lainnya termasuk proses fisiologis dan fungsinya yang berperan dalam perilaku regulasi awal. Mengasumsikan bahwa, teori regulasi emosi yang berfokus pada komponen biologis dari regulasi emosi, jika kematangan dari dukungan sistem biologis menjadi sarana peningkatan fungsi regulasi emosi dan regulasi perilaku yang semakin baik (Fox, 1994; Fox & Carld, 1999; Porges, dalam Gross, 2007). b. Faktor Ekstrinsik Faktor ekstrinsik pembentuk regulasi emosi meliputi peran dari pengasuh dalam memberikan dukungan dan respon yang fleksibel. Interaksi dengan orang tua mengajarkan anak dalam penggunaan strategi tertentu yang berguna untuk mengurangi gangguan emosional. (Sroufe, dalam Gross, 2007). Penyimpangan dari pengasuh yang suportif berkontribusi dalam regulasi emosi yang menjadi dasar perkembangan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan di masa depan. (Cassidy, dalam Gross 2007) 2.1.4. Strategi Regulasi Emosi Proses dari regulasi emosi melalui lima tahap, (1) Situation selection, adalah ketika seorang individu merubah aksinya dengan tujuan mendapatkan situasi yang diinginkan (2) Situation modification, termasuk didalamnya proses verbal seperti penyelesaian masalah dan konfirmasi akan legitimasi dari respon 12 emosi. Dalam proses ini dibutuhkan kehadiran dari orang lain sebagai orang yang mengintervensi (3) attentional deployment, dalam proses ini tidak diperlukan perubahan lingkungan, cukup dengan mengalihkan perhatian individu dari situasi yang kurang menyenangkan yang bertujuan untuk mempengaruhi emosi (4) Cognitive change, ketika individu merubah pemikiran terhadap sebuah situasi dan (5) Response modulation adalah keadaan dimana individu mempengaruhi kondisi fisiologis, dan perilaku secepat mungkin, dalam strategi ini dimungkinkan penggunaan obat yang berpengaruh pada kontraksi otot. (Gross, 2007) Mengacu pada proses tersebut, terdapat dua model strategi didalam proses untuk meregulasi emosi: a. Pertama, Cognitive Reapraisal yaitu sebuah bentuk perubahan kognitif yang termasuk didalamnya menginterpretasikan situasi yang berpotensi memunculkan emosi dengan cara merubah dampak emosional. b. Kedua, Suppression adalah bentuk dari modulasi respon yang berbentuk mengganti kondisi fisiologis, pengalaman dan perilaku secara langsung. Makanan, Obat, dan alkohol biasa digunakan untuk meregulasi kondisi fisiologis (Gross &John dalam Zhao, 2012). 2.2. Komunikasi 2.2.1. Definisi Komunikasi Komunikasi adalah proses sosial dimana individunya menggunakan simbol untuk menentukan dan menginterpretasi arti dari lingkungan mereka. Komunikasi adalah interaksi tatap muka dan komunikasi yang dengan menggunakan media. Komunikasi adalah sebuah proses sosial, maka diyakini 13 terdapat interaksi dan keterlibatan antar dua manusia yang bertindak sebagai penerima pesan dan pengirim pesan. Keduanya memainkan peran dalam peran proses komunikasi (West, 2007). Definisi lain menyatakan bahwa komunikasi adalah proses penciptaan, negosiasi, dan membagi arti secara verbal maupun non verbal (Arnold, 2008). Maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses yang melibatkan dua manusia atau lebih Berikut adalah bagian-bagian dalam komunikasi, (Arnold, 2008): a. Komunikasi merupakan sebuah proses, terjadi secara terus menerus dan membuat perubahan dalam pendeketan antar individu dalam mengetahui apa sebenarnya makna dibalik suatu konten, bukan hanya bertukar kontennya saja. b. Komunikasi membentuk sebuah arti, saat kita berinteraksi dengan orang lain kita mengembangkan arti dan pengertian. c. Komunikasi mencakup proses negosiasi akan sebuah arti, proses komunikasi memerlukan Usaha. Beberapa individu dan grup memiliki pemikiran yang berbeda akan arti dari sebuah konsep, objek dan lainnya. d. Komunikasi sebagai sebuah cara untuk membagi arti, dengan berkomunikasi dengan orang lain maka kita membagi kepercayaan dan pengertiaan akan sebuah arti kepada orang lain. Tidak hanya semudah membagi arti akan sebuah konten, namun juga mempengaruhi orang lain ketika berbagi. e. Komunikasi mencakup elemen verbal dan non-verbal, elemen verbal berbentuk bahasa baik tulisan maupun secara lisan keduanya sama penting 14 dalam proses komunikasi. Namun non verbal elemen juga penting seperti bahasa tubuh, mimik wajah, bahkan kondisi sekeliling. 2.2.2. Komunikasi Keluarga Komunikasi membentuk keluarga, dan keluarga membentuk komunikasi. Ketika berkomunikasi dengan keluarga maka tercipta dan tergambarkan pengertian kepada anggota keluarga, harapan yang muncul pada fungsi dari keluarga, peraturan dan standar akan perilaku pada keluarga akan siapa individu sebenarnya. Dengan begitu komunikasi menghasilkan pengertian dan juga pengalaman positif dan negatif yang terdapat di keluarga. Ketika komunikasi menciptakan keluarga, keluarga juga menciptakan sebuah pola komunikasi. Di dalam keluarga, individu belajar bagaimana cara berkomunikasi kepada orang yang dekat. Anggota keluarga mengajarkan bicara di tahun pertama kehidupan seorang anak. Pola komunikasi yang dipelajari dikeluarga kemudian berubah seiring dengan interaksi yang dilakukan individu didunia luar. Maka, keluarga adalah sebuah produk dari komunikasi, dan komunikasi merupakan produk dari keluarga (Arnold, 2008). Hasil dari komunikasi keluarga tidak terbatas pada keadaan individu dalam keluarga atau kepada orang yang memiliki hubungan dekat di kehidupan individu. Keluarga juga berkaitan dengan bagimana individu berhubungan dengan struktur sosial yang lebih luas. Di dalam keluarga, individu belajar tentang dunia, bagaimana dunia dan apa yang kita harapkan pada dunia dan apa harapan yang dunia milikki untuk individu. Keluarga mengajari posisi kita di kultur yang lebih luas. Keluarga adalah institusi pertama dalam hidup individu, orang tua atau 15 pengasuh mengajari individu perilaku yang dapat diterima dan begitu juga sebaliknya (Arnold, 2008). 2.2.3. Tipe Keluarga Berdasarkan Komunikasi Komunikasi adalah proses sosial dimana individunya menggunakan simbol untuk menentukan dan menginterpretasi arti dari lingkungan mereka. Nuclear family merupakan keluarga yang memiliki ayah maupun ibu yang menikah atau tinggal bersama dengan anak kandung ataupun anak yang diadopsi. Nuclear family dipelajari dalam ilmu komunikasi keluarga karena dianggap sebagai sebuah bentuk keluarga yang normal. Banyak ilmu komunikasi yang dipelajari dalam tipe keluarga tersebut (Koerner & Fitzpatrick, dalam Arnold, 2008). Sebuah pendekatan dalam mempelajari komunikasi dalam keluarga memberi pengaruh dalam membedakan mana keluarga yang berorientasi konformitas dan mana yang memiliki orientasi percakapan (Arnold, 2008). Keluarga dengan orientasi konformitas merujuk pada seberapa sering anggota keluarga mengkomunikasikan kepercayaan dan nilai yang sama. Keluarga dengan orientasi konformitas yang tinggi jarang menemukan konflik dan anak pada tipe orientasi ini cenderung mengabaikan orang tua mereka. Anak pada keluarga dengan orientasi konformitas rendah memberi kelonggaran dalam menentukan pilihan mereka. Sedangkan keluarga dengan orientasi percakapan merujuk pada iklim dari keluarga yang mendorong atau menjauhkan anggota keluarga dalam berkomunikasi tentang berbagai macam topik. Keluarga dengan orientasi percakapan yang tinggi memiliki interaksi dan diskusi secara individual maupun kegiatan keluarga dan juga pembuatan keputusan. Keluarga dengan 16 orientasi percakapan yang rendah lebih rendah dalam berkomunikasi dan pengambilan keputusan dibuat tanpa banyak campur tangan dari anggota keluarga lainnya (Arnold, 2008). Adanya dua skala orientasi yang terdiri dari orientasi konformitas dan orientasi percakapan diatas, maka keluarga dapat dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu: 1. Consensual families, memiliki orientasi akan konformitas dan percakapan yang tinggi. Keluarga ini mampu mempertahankan harmoni dan kesepakatan dan memiliki pola komunikasi terbuka. 2. Pluralistic families, memiliki orientasi percakapan yang tinggi namun orientasi pada konformitasnya rendah. Keluarga ini melakukan banyak diskusi namun tidak banyak kesepakatan yang terjadi dan orang tua tidak memberikan kontrol berlebih pada anak-anak. 3. Protective families, memiliki orientasi percakapan yang rendah namun tinggi dalam orientasi konformitas. Keluarga ini menganut nilai ketaatan yang tinggi, dan orang tua tidak beranggapan menjelaskan pada anak tentang tindakan yang mereka lakukan adalah perlu. 4. Laissez-faire families, memiliki orientasi percakapan yang rendah begitu juga orientasi dalam konformitasnya. Keluarga ini menjaga privasi diantara sesama anggota keluarga sehingga komunikasi tidak terjadi dalam frekuensi yang tinggi tentang topik apapun. Dan pengambilan keputusan dapat bebas dilakukan sendiri baik pada orang tua maupun anak. 17 2.2.4. Aspek komunikasi Ibu dan Anak Terdapat lima aspek komunikasi yang terjadi pada komunikasi ibu dan anak (De Vito, dalam Widuri, 2011): 1. Keterbukaan Keterbukaan yang ada memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan isi dari pikiran dan perasaan yang dirasakan sehingga komunikasi bisa dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab. Keterbukaan anak akan membuat ibu lebih memahami dinamika yang dihadapi anak terutama ketika anak memasuki usia remaja. 2. Empati Kemampuan dalam merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam hal ini adalah ibu yang mencoba memahami apa yang dirasakan oleh anaknya. Begitu pula pada anak yang memahami apa yang dirasakan oleh ibunya. Tanpa anak maupun ibu menghilangkan perannya masing-masing. Sehingga tumbuh perasaan nyaman dan peduli dalam diri ibu dan anak. Rasa nyaman dan peduli yang dirasakan oleh anak akan membuat anak mampu menghadapi tekanan dalam perkembangannya. Empati yang mampu dirasakan oleh ibu terhadap anak dan begitu pula sebaliknya akan mengakrabkan hubungan ibu dan anak juga menumbuhkan anak yang memiliki sifat peduli. 3. Dukungan Komunikasi ibu dan anak bersifat deskriptif daripada evaluative hingga dalam mengemukakan pemikirannya dan perasaannya anak tidak perlu merasa takut. Ibu yang melakukan komunikasi dengan evaluative akan lebih 18 menyalahkan segala yang menjadi pikiran dan perasaan anak apabila tidak sesuai dengan keinginan ibu maka anak akan merasa tidak dihargai dan tidak mendapatkan toleransi. Keadaan seperti ini yang membuat anak enggan untuk mencurahkan segala perasaan dan pikirannya (Widuri, 2011). 4. Sifat Positif Komunikasi ibu dan anak baiknya mengandung nilai-nilai penghargaan dan pujian apa yang disampaikan anak kepada ibunya. Pujian dapat meningkatkan rasa percaya diri anak dalam mengemukakan pendapat yang dirasakan dan dipikirkan anak dan membuat anak lebih menghargai dirinya, dan anak akan merasa hidupnya lebih bermakna. Komunikasi yang dilakukan tanpa adanya sifat positif yang didapat dari ibunya membuat anak memiliki pikiran bahwa hidup yang dijalaninya tidak bermakna. 5. Kesetaraan Anak tidak harus selalu menyetujui dan menerima perkataan dan perilaku dari ibu. Umumnya, permintaan anak harus disampaikan secara sopan sehingga ibu dapat memahami sesuai dengan kebutuhan bukan dengan cara menuntut. Bagi ibu dengan tidak menampakkan superioritasnya sebagai orang tua, yang berhak mengatur anak dan anak selalu harus mengikuti orang tua. Kesetaraan yang dibentuk ibu saat berkomunikasi pada anak membuat anak memiliki teman yang baik dalam berbagi tentang masalah yang dialami selain teman di sekolah maupun teman diluar rumah. Anak akan mendapatkan kebahagiaan dan mampu menjalin relasi yang baik dengan siapa saja sehingga anak tidak merasa sendiri atau terabaikan 19 2.2.5. Komunikasi Keluarga dengan Remaja Komunikasi didalam keluarga sangat penting bagi para remaja. komunikasi dalam keluarga mempengaruhi formasi identitas dan kemampuan memilih peran bagi remaja. (Cooper et al, dalam Barnes 1985). Dinyatakan jika remaja yang mendapatkan dukungan dari keluarga lebih bebas dalam menyelami permasalahan identitasnya. Holstein dan Stanley (dalam Barnes, 1985) menemukan bahwa diskusi yang dilakukan antara anak dengan orang tua secara signifikan memfasilitasi perkembangan moral pada remaja. Grotevant dan Cooper (dalam Barnes, 1985) mempelajari peran dari komunikasi sebagai proses pemisahan diri remaja dari lingkungan keluarga. Mereka menggaris bawahi pentingnya komunikasi dalam membantu anggota keluarga untuk menciptakan keseimbangan antara keterpisahan dengan keterhubungan antara anggota keluarga satu sama lainnya (Barnes, 1985). 2.2.6. Model Circumplex Model Circumplex merupakan sebuah teori yang dikembangkan oleh Olson, et al (1989) untuk melihat Pernikahan dan Sistem Keluarga (West, 2007). Model Circumplex digunakan untuk mendiagnosa hubungan karena sistemnya berfokus pada integrasi antar dimensi yang menurut pertimbangan sangat relevan dengan berbagai macam teori model keluarga dan pendekatan dalam terapi keluarga. Model ini secara spesifik didesain untuk assessment klinis, rancangan perawatan, hasil efektif dari pernikahan dan terapi keluarga (Olson, 1999). Terdapat tiga dimensi dalam Model Circumplex. Pertama adalah kesesuaian, yaitu kapasitas keluarga dalam mengatur sistem keluarga itu sendiri, 20 terlebih pada pertumbuhan keluarga dan perubahan. Terdapat empat level kesusaian, (1) adalah Rigid, merupakan keluarga yang secara ekstrim membuat keputusan dengan negosiasi yang dibatasi dan peraturan serta peran masingmasing anggota keluarga yang dijelaskan dan dipatuhi. (2) Structured, sistem kepemimpinan yang bercampur antara authoritarian -equalitarian sehingga menciptakan peraturan dan peran yang stabil. (3) fleksibel, keluarga ini menggunakan kepemimpian Equalitarian dimana persetujuan berdasarkan negosiasi dibuat sehingga mudah dalam mengganti peran dan peraturan. (4) Chaotic, memiliki kepemimpinan yang tidak efektif dan tidak menentu yang menghasilkan keputusan impulsif, peraturan yang tidak konsisten, dan peran yang dapat berubah. (Olson, 1999) Dimensi kedua adalah kohesi, merupakan ikatan emosi antar anggota keluarga yang dimiliki antar anggota keluarga. Di dalam Model Circumplex konsep yang dapat digunakan untuk mengukur dimensi ini adalah ikatan emosional, batasan, koalisi, waktu, teman, ruang, pembuatan keputusan, ketertarikan, dan rekreasi. Fokus dalam kohesi adalah bagaimana sistem keluarga menyeimbangkan antara keterpisahan dan kebersamaan. (Olson, 1999). Dimensi ketiga adalah komunikasi, yang berfokus pada keluarga sebagai sebuah grup yang memiliki kecakapan mendengar, kecakapan bertutur kata, kejelasan, dan sikap menghargai (Olson, 1999). Penulis dari model circumplex menyatakan jika komunikasi merupakan mekanisme keluarga, dimana setiap anggotanya dapat mengkomunikasian mengenai perubahan preferensi, kebutuhan, dan perasaan. Komunikasi dianggap memfasilitasi dimensi dari model 21 circumplex, karena dinamikanya dapat menunjukan dua dimensi lainnya (Olson, 1985). 2.3. Remaja 2.3.1. Definisi Remaja Batasan remaja yang digunakan untuk masyarakat Indonesia, yaitu mereka yang berusia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarlito, dalam Gunarsa, 2006). Bagi mereka yang berusia 11-24 tahun tetapi sudah menikah tidak lagi disebut remaja. Sementara mereka yang berusia 24 tahun keatas tapi belum menikah dan masih menggantungkan hidupnya kepada orang tua, masih disebut remaja (Gunarsa, 2006). 2.3.2. Perkembangan Fisik Pubertas merupakan perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terjadi pada masa remaja awal. Faktor yang mempengaruhi pubertas meliputi mutu makanan, kesehatan, bawaan dan masa tubuh. Menentukan kapan saat tepatnya pubertas dimulai dan berakhir amat sulit, selain menstruasi pada remaja putri dan kumis atau mimpi basah pada anak lakilaki (Santrock, 2003). 2.3.2.1. Perubahan Hormon Kumis yang muncul dari anak laki-laki dan melebarnya pinggul anak perempuan disebabkan oleh pembentukan hormon. Hormon adalah substansi kimiawi berkekuatan besar yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin dan dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Peran sistem endokrin 22 pada masa pubertas melibatkan interaksi hipotalamus, kelenjar pituitary dan kelenjar gonad. Hipotalamus adalah sebuah struktur yang terletak di bagian atas otak yang memantau kegiatan makan, minum dan hubungan seks. Kelenjar pituitary merupakan kelenjar endokrin penting yang mengendalikan pertumbuhan dan mengatur kelenjar lainnya. Gonad merupakan kelenjar kelamin, buah zakar pada laki-laki dan indung telur pada perempuan (Santrock, 2003). 2.3.2.2. Perubahan Fisik Meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan seksual merupakan perubahan yang tampak paling nyata saat pubertas. Meningkatnya pertumbuhan terjadi 2 tahun lebih awal pada anak perempuan yang dimulai dari usia 10,5 tahun dan berlangsung selama 2.5 tahun. Sepanjang masa tersebut anak perempuan bertambah tinggi badannya sekitar 3,5 inch setiap tahun. Pada anak laki-laki, meningkatnya pertumbuhan dimulai dari usia 12.5 tahun dan berlangsung selama 2 tahun. Anak laki-laki pada umumnya bertambah tinggi sekitar 4 inch selama setahun (Santrock, 2003). 2.3.2.3. Kematangan Seksual Karaktertik pubertas pada laki-laki bermula dari bertambahnya ukuran penis dan testikel, pertumbuhan rambut yang masih lurus di daerah kemaluan, sedikit perubahan suara, ejakulasi pertama (karena mimpi basah atau masturbasi), rambut kemaluan tumbuh menjadi ikal, mulai masa pertumbuhan 23 maksimum, pertumbuhan rambut ketika, perubahan suara semakin jelas dan mulai tumbuh rambut di bagian wajah (Santrock, 2003). Pada remaja putri berawal dari payudara membesar, rambut kemaluan mulai tumbuh, lalu muncul rambut di ketiak. Seiring dengan perubahan tersebut, tinggi badan bertambah, pinggul menjadi lebih lebar daripada bahu. Menstruasi pertama datang agak lambat di akhir siklus pubertas. Menstruasi awalnya tidak teratur dan mungkin juga tidak terjadi ovulasi pada setiap mesntruasi selama beberapa tahun pertama sesudah menstruasi pertama. Perubahan suara tidak terjadi dalam pubertas remaja putri (Santrock, 2003). 2.3.3. Perkembangan Kognitif Mengacu pada teori milik Piaget, remaja berusia 11 hingga 15 tahun berada pada tahap operasional formal. Pada tahap ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit, serta berpikir secara abstrak dan logis. Sebagai bagian dari kemampuan berpikir abstrak, remaja mengembangkan citra tentang hal yang ideal. Remaja mulai berpikir mengenai kemungkinan tentang masa depan dan terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai. Dalam memecahkan masalah, pemikiran operasional formal lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang bagaimana satu hal dapat terjadi (Santrock, 2003). 2.3.4. Perkembangan Sosial Pada Teori Erikson, usia remaja yang berada antara 10 sampai 20 tahun berada pada tahap identity versus identity confusion. Remaja dihadapkan pada pertanyaan siapakah diri mereka sebenarnya, apakah mereka, dan hendak kemana 24 mereka menuju dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada peran baru dan status dewasa yang berkaitan dengan pekerjaan dan asmara. Orang tua sebaiknya memberi kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi peran yang berbeda dan jalan yang berbeda dalam peran tertentu. Bila remaja mengeksplorasi peran tersebut dalam cara yang baik dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, identitas positif akan terbentuk. Jika remaja kurang mengeksplorasi peran yang berda dan jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan maka kekacauan identitas akan terjadi (Santrock, 2003). Banyak remaja memandang teman sebaya adalah aspek terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun supaya menjadi anggota dalam sebuah kelompok. Bagi remaja, dikucilkan berarti stress, frustasi, dan kesedihan. Sullivan (dalam Santrock, 2003) alasan remaja memilih teman adalah mereka yang memiliki kesensitifan terhadap hubungan yang lebih akrab dan menciptakan presahabatan dengan teman sebaya yang dipilih (Santrock, 2003). 2.4. Kerangka Pemikiran Salah satu Faktor yang mempengaruhi Regulasi Emosi adalah Hubungan anak dan Orang tua Didalam Hubungan Anak dan Orang Tua terdapat Komunikasi 25 Maka dari Itu peneliti hendak melihat Hubungan antara Komunikasi Orang tua Remaja dengan Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah sebuah strategi yang digunakan oleh individu untuk mengatur emosi yang dirasakan agar sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Pada masa remaja, fluktuasi emosi merupakan hal yang biasa dialami. Terkadang remaja merasa sangat bahagia, namun seketika bisa merasa amat sangat terpuruk. Kondisi ini bisa membuat remaja merasakan stress, dan stress bisa menimbulkan amarah bagi remaja. Remaja yang kurang memiliki kemampuan meregulasi emosi cenderung lebih mudah untuk mengekspresikan kemarahannya yang biasanya menghasilkan gejala lebih lanjut, seperti agresi, depresi dan penggunaan obatobatan (Israel, 2009). Remaja yang kurang mampu meregulasi emosinya bisa jadi terjerumus dalam kenakalan remaja. Regulasi Emosi dipengaruhi oleh tiga faktor, jenis kelamin, usia dan hubungan anak dengan orang tua, dalam hal ini orang tua dengan Remaja. Hal tersebut bisa dicegah apabila komunikasi yang tercipta antara orang tua dengan remaja memadai. Anak yang yang dapat mengekspresikan perasaan dan opini secara efektif, mengurangi stress yang dialami remaja. Ketika Remaja mengetahui bahwa mereka memiliki dukungan dari keluarga maka perasaan bahwa remaja kesepian dan menderita ketika menghadapi dunia luar akan berkurang. Komunikasi adalah proses sosial dimana individunya menggunakan simbol untuk menentukan dan menginterpretasi arti dari lingkungan mereka. Komunikasi membentuk keluarga, dan keluarga membentuk komunikasi. Ketika berkomunikasi dengan keluarga maka tercipta dan tergambarkan pengertian kepada anggota keluarga, harapan yang muncul pada fungsi dari keluarga, peraturan dan standar akan perilaku pada keluarga akan siapa individu 26 sebenarnya. Dengan begitu komunikasi menghasilkan pengertian dan juga pengalaman positif dan negatif yang terdapat di keluarga. 27