Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke

advertisement
SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
l
e
h
NAMA
NIM
: BONGGUD TYSON SIDABUTAR
: 070707022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
Oleh
NAMA
NIM
: BONGGUD TYSON SIDABUTAR
: 070707022
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.
NIP. 196308141990031004
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP. 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam
bidang Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
Departemen Etnomusikologi
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Medan,
Departemen Etnomusikologi
Ketua,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP. 196512211991031001NIP
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia ujian Fakutas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi pada
Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Pada tanggal
:
Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian :
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
(
)
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
(
)
3. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.
(
)
4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. .
(
)
5.Drs. Bebas Sembiring, M.Si.
(
)
KATA PENGANTAR
Di atas segalanya puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena hanya atas Kasih dan Penyertaan-Nya jualah penulis dapat
menyelesaikan kajian karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana ini. Skripsi yang berjudul
“ Sulim
Batak Toba : Sebuah Kajian Kontinuitas dan Perubahan”
ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) pada
Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan baik secara
moril maupun materil demi kelancaran penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya buat orang tua saya
tercinta, Ayahanda H. Sidabutar dan Ibunda R br. Haloho atas segala doa dan
pengorbanannya yang sungguh luar biasa dalam membimbing penulis mulai dari
kecil hingga dewasa dan memberikan kesempatan berharga bagi penulis untuk
mengecap pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Sungguh menjadi berkat yang
luar biasa jikalau penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masa
studi hingga dapat memperoleh gelar Sarjana yang penulis nantikan selama ini.
Berkat ini tentunya tidak akan berarti apa-apa jika tanpa bantuan dari seluruh
rekan, sahabat, bahkan para saudara-saudaraku yang terkasih. Terutama penulis
sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya buat Bapak Drs. Torang
Naiborhu, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis yang sudah penulis anggap
sebagai rekan kerja sekaligus sebagai orangtua yang telah banyak mengorbankan
segalanya baik waktu maupun tenaga demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Walaupun dilanda berbagai kesibukan sekalipun bahkan di sela-sela masa studi yang
telah di ambang batas, namun beliau masih senantiasa berkenan memberikan
waktunya untuk membimbing penulis hingga akhir penyelesaian skripsi ini. Banyak
pelajaran serta berbagai pengalaman hidup yang penulis dapatkan dari beliau selama
menjadi mahasiswa bahkan hingga pada saat ini. Jika ada kata-kata di atas ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya maka hal itulah yang layak bapak dapatkan dari
penulis. Semoga berkat Tuhan kiranya bertambah buat Bapak dan keluarga.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II
penulis sekaligus Ketua Departemen Etnomusikologi yang juga turut senantiasa
membantu bahkan memberikan masukan-masukan yang bermakna dalam pengkajian
penulisan demi kebaikan hasil karya ilmiah ini. Semoga segala bimbingan maupun
masukan yang Bapak berikan dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam
mengembangkan pengetahuan akan struktur penulisan karya ilmiah selanjutnya.
Kemudian penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

Ibu
Herestina
Dewi
selaku
Dosen
sekaligus
Sekretaris
Departemen
Etnomusiklogi yang telah banyak membimbing dan banyak memberikan
pelajaran bagi penulis di awal masa studi. Mohon maaf apabila awalnya telah
mengecawakan harapan Ibu jikalau penulis tidak mampu menyelesaikan masa
studi berdasarkan waktu yang ditentukan.

Bapak Ibu Dosen serta seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kepada Bapak dan Ibu penulis
ucapkan ribuan terima kasih karena telah banyak memberikan bimbingan dan
ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa.

Para Informan dan narasumber penulis yang telah banyak membantu serta
memberikan banyak sumber dan informasi yang akurat bagi penulis demi
tercapainya tulisan ini. Semoga segala informasinya dapat berguna bagi penulis
untuk mengkaji lebih dalam di kesempatan berikutnya. Kiranya Tuhan
memberkati segala pekerjaan dan diberikan rejeki yang berlimpah.

Bang Hendrik Perangin-angin selaku rekan seniman penulis sekaligus pimpinan
dari group Insidental Music yang sudah penulis anggap sebagai abang kandung
khususnya dalam berkesenian. Terima kasih buat kesempatan yang abang
berikan kepada penulis untuk dapat menjadi anggota group ini dan bersama
group ini jualah penulis banyak menuai pengalaman berkesenian yang sungguh
luar biasa.

Seluruh rekan, sahabat bahkan saudara-saudari dari Paduan Suara Mahasiswa
USU yang sudah penulis anggap sebagai anggota keluarga yang senantiasa
mendukung bahkan mendorong semangat penulis untuk menuntaskan tulisan ini
dari tahun-tahun yang lalu. Namun apa daya, mungkin hanya dengan cara
beginilah penulis mampu menyelesaikan masa studinya. Semoga kalian masih
berkenan untuk tersenyum manis walaupun penulis harus selesai di ujung masa
studi.

Bang Senovian, S.Sn., dan bang Franseda Sitepu, S.Sn,; Welly Simbolon,S.Sn.,
yang sudah banyak membantu dalam hal editing juga memberikan masukanmasukan yang membangun demi kebaikan skripsi ini.

Seluruh sahabat dan rekan sehidup sepenanggungan dari para mahasiswa
etnomusikologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terkhusus juga
buat para kolega penulis dari group NSE Project yang merupakan sebuah group
band penulis yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan bantuan moril
untuk mencapai tercapainya tulisan ini. Semoga hubungan baik ini tetap
bertahan dan group ini bisa berjalan lancar seperti yang kita impikan bersama.

Seluruh rekan dan sahabat penulis lainnya baik di dunia akademis maupun di
dunia entertainment yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih atas segala dukungannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna dan masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca agar dapat menambah referensi penulis
untuk memnyempurnakan isi tulisan ini. Jikalau ada kesalahan baik dalam hal
ucapan maupun perilaku yang kurang berkenan di hati saudara-saudaraku sekalian,
penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi
mereka yang menginginkan informasi lebih lanjut tentang sulim Batak Toba.
Terima kasih.
Medan, Juli 2013
Penulis
Bonggud Tyson Sidabutar
NIM. 070707022
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………....................................................
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................
PERSETUJUAN DEPARTEMEN .............................................................
PENGESAHAN FAKULTAS .....................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................
Hal
i
ii
iii
iv
v
x
xiii
xv
BAB. I
PENDAHULUAN …………….…………………………...
1.1 Latar Belakang ………………………………........................
1.2 Pokok Permasalahan …………….…………………............
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………..........
1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………………........
1.3.2 Manfaat Penelitian ………………………………......
1.4 Konsep dan Teori ………………………………..............
1.4.1 Konsep ………………………………...................
1.4.2 Teori ……………………………….…………….........
1.5 Metode Penelitian ………………………………...................
1.6 Pemilihan Lokasai Penelitian dan Informan ………….......
1.7 Kerja Lapangan ………………………………......................
1.8 Studi Kepustakaan ………………………………..................
1.9 Kerja Laboratorium ………………………………................
1
1
6
7
7
8
8
8
11
16
17
18
18
20
BAB. II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI DAERAH DAN
PERANTAUAN .......................................................................
2.1 Konsep Adat ………………………………...........................
2.2 Religi dan Kepercayaa ......................................................
2.3 Konsep Kemasyarakatan ...................................................
2.4 Konsep Kekerabatan ........................................................
2.5 Sistem Mata Pencaharian ..................................................
2.6 Batak Toba di Bona Pasogit .............................................
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba ..................................
2.8 Budaya Musikal Batak Toba ............................................
2.8.1 Musik vokal ...........................................................
2.8.2 Musik instrumental ................................................
2.8.2.1 Gondang hasapi......................................
2.8.2.2 Gondang sabangunan ............................
2.8.2.3 Instrumen tunggal ..................................
21
21
25
29
30
34
37
39
44
44
48
48
50
52
BAB. III KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM ......................................
3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen ............
3.2 Klasifikasi Sulim ...............................................................
3.2.1 Konstruksi sulim ....................................................
56
56
60
61
3.2.2 Ukuran sulim .........................................................
3.3 Proses Pembuatan ..............................................................
3.3.1 Bahan material .......................................................
3.3.2 Peralatan yang digunakan ......................................
3.3.3 Langkah-langkah pembuatan .................................
3.3.3.1 Pemilihan bambu ...................................
3.3.3.2 Pemotongan badan bambu .....................
3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu .......................
3.3.3.4 Pengeringan ...........................................
3.3.3.5 Pelobangan .............................................
3.3.3.6 Ornamentasi ...........................................
3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim ..................
3.4 Kajian Fungsional Sulim .................................................
3.4.1 Sistem pelarasan (tuning) .....................................
3.4.2 Teknik permainan .................................................
3.4.2.1 Teknik permainan lidah .........................
3.4.2.1.1 Mangarutu ..............................
3.4.2.1.2 Mandila-dilai ..........................
3.4.2.2 Mangangguk ..........................................
3.4.2.3 Mangenet ...............................................
3.4.2.4 Manganak-anaki ....................................
3.4.2.5 Mangaroppol .........................................
3.5 Proses Belajar Sulim .........................................................
3.5.1 Marguru ................................................................
3.5.2 Marsiajar sandiri ..................................................
BAB. IV KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI DAN
PENGGUNAAN SULIM ........................................................
4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas ....
4.1.1 Fungsi komunikasi ...............................................
4.1.2 Fungsi hiburan ......................................................
4.1.3 Fungsi perlambangan ............................................
4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional ..........................
4.1.5 Fungsi penghayatan estetis. ...................................
4.1.6 Fungsi reaksi jasmani ............................................
4.2 Konteks Penggunaan Sulim Dalam Berbagai Periode
Sebagai Fenomen Perubahan ............................................
4.2.1 Konteks solo instrumen ........................................
4.2.2 Konteks ensambel ................................................
4.2.2.1 Konteks gondang hasapi ......................
4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup ..............
4.2.3 Konteks pengiring lagu ........................................
4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen ..............................
BAB. V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM ...........
5.1 Transkripsi ........................................................................
5.2 Analisis .............................................................................
5.3 Pemilihan Sampel Lagu ...................................................
62
64
64
64
68
68
70
70
71
72
78
81
84
84
91
95
96
97
98
99
101
103
105
105
108
111
111
112
113
115
117
119
120
121
122
124
125
129
135
138
141
141
146
151
5.4 Kajian Analisis .................................................................
5.4.1 Analisis gaya musikal ..........................................
5.4.1.1 Analisis tangga nada .............................
5.4.1.2 Analisis modus .....................................
5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)...........
5.4.1.4 Analisis interval ....................................
5.4.1.5 Analisis pola kadensa ...........................
5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk) .........
5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material) ....
5.4.1.8 Analisis kontur melodi ..........................
5.4.2 Analisis ciri musikal ..............................................
5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks
tunggal ...................................................
5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks
ensambel (uning-uningan opera Batak ..
5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks
kolaborasi ................................................
153
153
155
156
157
158
159
161
165
167
168
168
171
173
BAB. VI PENUTUP .................................................................................. 178
6.1 Kesimpulan ....................................................................... 178
6.2 Saran .................................................................................
179
DAFTAR PUSTAKA ……………………....................................................
180
DAFTAR INFORMAN ....………………....................................................
183
DAFTAR GAMBAR
Gambar-1.
Daerah Pemukiman Orang Batak Toba ..............................
38
Gambar-2.
Nama-nama dari bagian sulim ............................................
62
Gambar-3.
Sulim dengan ukurannya .....................................................
63
Gambar-4.
Parang .................................................................................
65
Gambar-5.
Pisau belati ..........................................................................
66
Gambar-6.
Besi bulat panjang ...............................................................
66
Gambar-7.
Mengukur lobang tiupan ....................................................
67
Gambar-8.
Memanaskan besi pembuat lobang sulim ...........................
67
Gambar-9.
Pohon bambu telur (bulu tolor) ...........................................
69
Gambar-10. Memotong ruas bambu ........................................................
70
Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim .......................................
71
Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan .......
72
Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama ........................................
73
Gambar-14. Pelobangan lobang nada ke-2 ..............................................
73
Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3 ..............................................
74
Gambar-16. Pelobangan lobang nada ke-4 .............................................
74
Gambar-17. Pelobangan lobang nada ke-5 .............................................
75
Gambar-18. Pelobangan lobang nada ke-6 ...........................................
75
Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan .................
76
Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim ..............................................
77
Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi ............................................
79
Gambar-22.
Ornamentasi lobang ...........................................................
80
Gambar-23. Ornamentasi gorga .............................................................
80
Gambar-24.
Ornamentasi nama .............................................................
80
Gambar-25. Ornamentasi simbol ............................................................
81
Gambar-26. Posisi lobang nada sulim 87................................................
87
Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F”
87
Gambar-28. Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G” .........
88
Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A” .....
88
Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes”
88
Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C”
89
Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada
“D” ......................................................................................
Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada
89
89
“E” ......................................................................................
Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke-
90
6 dibuka akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)” ...............
Gambar-35. Ambasir pada sulim ............................................................
92
Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan .................................
93
Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri .....................................
94
DAFTAR TABEL
Tabel-1. Pola ukuran Sulim .............................................................
63
Tabel-2. Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik
(menurut beberapa ahli) .....................................................
150
Tabel-3. Rumus Interval ..................................................................
158
Tabel-4. Frekuensi Pemakaian Interval
Lagu Tole Endehon ...........................................................
159
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan membahas instrument1 sulim mulai dari aspek keberadaannya
hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan pengunaannya dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam hingga pada masa kini,dan
secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan pembahasan pada kajian kontinuitas
dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai aspek yang terkait dengan fungsi dan
penggunaan sulim yang membawa pengaruh besar dalam berbagai fenomena
kebudayaan musikal Batak Toba.
Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari
daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs
dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi
side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang
nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis
seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada
penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis pada
pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini dapat
menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan instrumen
seruling yang lain.
Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada
sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang
1
Instrument (Kamus Musik M.Suharto,1992 : 4) dalam bahasa inggris, yaitu alat musik yang
digolongkan berdasarkan cara memakainya.
sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan seharihari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang baik ketika
menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat melakukan
berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, dengan
hadirnya opera Batak 2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an, sulim membawa
pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik masyarakat Batak
Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi oleh karya almarhum
Tilhang Gultom3 pada masa itu sangat digemari oleh masyarakat Batak mulai dari
kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga para musisi opera Batak kala itu
dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis yang selalu dipuja-puja oleh para
penggemarnya.
Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang biasa
dimainkan dalam ensambel4. Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis ensambel yang
berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang sabangunan dan
ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini tidak mencakup
sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim mampu berperan
sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi seiring
perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa itu maka
terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai dipadukan
dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondang hasapi. Dalam
ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping instrumen
2
Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat
melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal)
3
4
Batak
Toba
yang
Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak
Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Suharto,1992 : 4) dalam bahasa perancis adalah
kelompok kegiatan seni musik dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya
tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih.
lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute), sarune etek (oboe)
dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi, sulim juga berperan
sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari wilayah nada pokok
sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan baik dari sebuah lagu
maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut para narasumber pemusik
tradisional Batak Toba, masuknya sulim
ke dalam gondang hasapi merupakan
pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang disebut dengan uning-uningan.
Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan
instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu
mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah
ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek
yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian
musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada
beberapa fakta di atas adalah ;
Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga hadir
dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5 yang
juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam setiap acara
adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi yang
pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi oleh instrumen
tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih sederhana yang dikenal
dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau ‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja,
sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut jadi sangat jarang dipakai;
5
Musik tiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam
yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone, saxofon,
tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam.
Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera
Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga
hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim
dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan
tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali
pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan Kebangunan
Rohani (KKR) jemaat Kristiani.
Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media
pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh
berbagai Paduan Suara ;
Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka
muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik Barat
yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum Situmorang6
dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan tersebut
tidaklah pula warna
tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak yang
disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan popular)
yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini
menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan melodi
sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan sebagian atau
penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro (musik pembuka)
dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan tradisional Batak
yang dihasilkan dalam industri rekaman ;
6
Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak
Keempat, selain menjadi instrumen yang sering
disandingkan dengan
instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal
yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang
seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7. Namun, seiring dengan
semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung
tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada
sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik tiupan,
sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis tapi
setidaknya mirip dengan yang aslinya ;
Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu
dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim juga
sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu berkolaborasi
dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan etnis-etnis yang
lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group musik antar lintas
etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah mengharumkan
nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan juga group antar
lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”, “Metronom” serta group
musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam mengiringi berbagai tari
garapan etnis yang ada di kota Medan.
Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah
memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau
eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis
lainnya di tanah air.
7
Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute
dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada.
Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak
lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini
yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau
referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan
memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang
berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN
PERUBAHAN”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik
bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
keberadaan
(eksistensi)
sulim
terkait
dengan
fungsi
dan
penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument),
dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai
fenomena Budaya Batak Toba.
2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan kontinuitas
baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap berbagai aspek
dimana instrument tersebut digunakan.
3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang
terjadi dari berbagai aspek tersebut.
4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim
dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai konteks
baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain sehingga mampu
membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak Toba.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya
kontinuitas dan perubahan itu sendiri.
3.
Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan
perubahan itu bisa terjadi.
4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu)
dalam proses tersebut.
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni
adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar
etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan
tentang budaya masyarakat Batak.
2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta
kajian kontinutias dan perubahan dalam berbagai fenomena kebudayaan lainnya.
3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang
bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.
4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang masalah
yang sama dengan objek yang berbeda.
5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang
perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang menjadi topik
utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan perubahan.
Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti
mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan
mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian”
dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti
(Badudu, 1982: 132).
Kontinuitas
memiliki
arti
keberlanjutan,
keberlangsungan,
dan
kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas
yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan,
dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat
dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam
memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap
dipertahankan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan
berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris
perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya
perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu
masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok
manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)
Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek
yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut
fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.
Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa
awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa
itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan
dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim
memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus
mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada
yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan
oleh piano.
Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.
Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan
aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak
hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah diciptakan
berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu oktaf nada piano
mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi mungkin karena
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pendukungnya terhadap penyajian
sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling signifikan adalah dengan hadirnya
sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja, berbagai lagu dalam paduan suara, dan
juga dalam pengisian komposisi musik lagu Batak Tradisional maupun Populer
dalam industri rekaman dimana situasi tersebut memaksa supaya sulim juga harus
disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun repertoar yang dipintakan.
Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim
tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan
dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada
kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar
gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah
sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba,
lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler lainnya dimana sudah banyak
terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas,
mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar)
dengan pelarasan nada musik Barat.
Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut hal-hal
di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang mampu
membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit banyak sudah
disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang masalah.
1.4.2 Teori
Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan juga
dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat berarti
sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji
kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk
menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.
Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka
berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi
beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat
statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan
bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan
(kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil
dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini,
teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan
perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964 : 303).
Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut
Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu
bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik
pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang
dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal
atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan
perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525).
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga
mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan,
yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar
tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu
penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara
unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat
yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu
perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana
akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling
mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu
perubahan (1989:402).
Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk
kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial
dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai kawasan
studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan hubungan
sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas untuk
mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan
cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur
kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat
kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan
seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya.
Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu pada
teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua
pandangan yang mendasar yaitu :
“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical
aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the
shape, size, construction and the materials used in making the instrument.
The second deals with its function as a sound-producing tool researching,
measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound
producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound
produced”(Susumu, 1978 : 174).8
“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik
instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk, ukurannya,
konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan instrument tersebut.
Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi instrument sebagai alat
penelitian untuk memproduksi bunyi, metode pengukuran dan perekaman
bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan bunyi yang diproduksi dan
kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan kualitas bunyi yang
diproduksi.”
Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan
melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis
melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument itu
sendiri.
Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis
memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang
8
Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9
harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada
dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola
kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori Weighted
Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang dalam
musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.
Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat
Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya,
penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh Meriam
(1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi dalam
musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional), (2)
fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan
(the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication),
(5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi
jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan normanorma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi
pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social
institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of
contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian
masyarakat (the funtion of contribution the integration of society).
1.5 Metode Penelitian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan
sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan
yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara
atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam
upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat diartikan
bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di dalam
ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan
ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian
kongkrit.
Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)
dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan,
pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang
perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja
laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan
membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh.
Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini
(1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data
(informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek
atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga
menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap
sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan
laporan.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang
bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian
yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi
atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat
berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan penelitian
ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering terjadi di kota
Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir sebagai perbandingan
dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena tempat berdomisilinya
para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah bahwa kota Medan
merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat berdomisilinya penulis dan
mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan, dimana tempat ini berperan sebagai
pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang serta penuh dengan fenomena
budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan tempat yang menjadi pusat
peradaban masyarakat Batak Toba dan akar bertumbuhnya budaya masyarakat Batak
Toba.
1.7 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan
informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih
dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan
wawancara,
yaitu:
menyusun
pertanyaan,
mempersiapkan
alat-alat
tulis,
menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.
1.8 Studi Kepustakaan
Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan
kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari
artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini
bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk
membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan
topik pembahasan.
Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain:
Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang
kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya
Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup
Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan
Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian
fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks
ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul
tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan
yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks
ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument
tersebut
dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang
hasapi dan musik tiup.
Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang
kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik ketika
dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan instrument
yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas dan
perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut.
Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian
organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini
penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang
yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk
Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang
berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba
di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi yang
berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan Batak Toba
di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli Utara” serta
banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu persatu dengan
alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini kemungkinan akan ada
referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi atau sumber buku yang lain
secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang berbeda.
1.9 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,
kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan
seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang
penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah
keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan
berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu juga
dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam tulisan
ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam bentuk
tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga melakukan
diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang ada di
Departemen Etnomusikologi.
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI
PERANTAUAN
2.1 Konsep Adat
Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya
kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya
kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap
dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan
merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak
itu sendiri.
Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi
berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang
mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.
Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na
Bolon 9 yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi
hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang
dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada
suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun
9
Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya
temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan atau
dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon sebagai
perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh
sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada
masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba
meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya
akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat tersebut akan
mendapat bala (hukum tersirat).
Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat
merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang
bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan orang
yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai
persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama;
adat
mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan
dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek
ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti
dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar
dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh
karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan
bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan (Pasaribu,
1986:61).
Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang
diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang
kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner,
1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari,
pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara,
dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi
masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa
kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian
dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat
Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang
telah dilakukan.
Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan
adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masingmasing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,
dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis
menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang
membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.
Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar
manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam
masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak
mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil
peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring
pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya,
sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba
sendiri.
Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak
Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami
perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.
Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga
mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan
informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya.
Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat
disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi
sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan
dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest).
Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial
masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi
pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai.
Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung
sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian.
Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam
beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang
diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat
adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
2.2 Religi atau Kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan
selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi
Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita
turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masingmasing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi
Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia
(Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam
tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan
Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi
Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di
Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam
yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh
leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi
ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.
(Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke
mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri
sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik
otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu,
Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat
oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban.
Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan
tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti,
1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep
bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan
itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal.
Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya,
hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut
menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama
jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah
roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara
(uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke
dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid.
1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa
orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang
Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata
Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya
dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala.
Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta
benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan,
kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun
temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan
antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan
hasangapon.
Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.
Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting
dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan
hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang
Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga
sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan
ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga
yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak
yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak
memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasangagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon
digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,
hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik
dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa
pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku.
Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.3 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)
Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat.
Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih
banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem
pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada
perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik
(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3)
Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan
keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku
sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang.
Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan
kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan
pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4)
Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di
dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka
sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam
lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan
menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
2.4 Konsep Kekerabatan
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari
satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi
seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh
setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik
lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis
patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok
yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut
laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang
luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai
menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup
menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan
yang diakui (de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal
merupakan masyarakat yang patriakal 10 . Dalam masyarakat tradisional, posisi
perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak
melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari
anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat
mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan
laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa
kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering
10
sibapak.
Patriakal merupakan sistem pewarisan garis keturunan menurut garis keturunan/marga
memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara
orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa
pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga
Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah
memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi
dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang
lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah
memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi.
Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim),
hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang
diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada
diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka
anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat
hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki
dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum
kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak
yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama
sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan
inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:
1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan
hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga
asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara
laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari
bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari
tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang
anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar)
yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak
perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di
dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari
menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang
dan adik dari pihak hula-hula.
2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di
dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan
bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki;
amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara
perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang
termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara
perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya
saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari
ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru
tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela
(menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang
atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari
saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita
dari tingkat kelima.
3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki
dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai
dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya,
dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap
garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba
marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan
yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan
keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati
kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru
harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal
itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata
ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber
mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh
ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan
yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai
dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya
dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan
tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan
sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak
dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi
masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis
berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan
kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik
untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.5 Sistem mata pencaharian
Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya
adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah berladang
dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola hasil hutan
terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desa-desa kecil
yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya.
Pola
permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan yang
dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di
sekelilingnya.
Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam
tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat
tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman,
hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada
beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan
marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang
teguh hukum adat tersebut.
Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang
didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan
persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang relatif
kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang
lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian
besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering,
sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar
masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut penduduk
setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang merupakan salah
satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang
lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayur-sayuran.
Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata
pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing,
ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan sebagian
penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari mereka
beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal dengan
istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan
yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah ikan
mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang pinggiran
Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota Pangururan,
hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti ini. Hasil dari
pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan sebagian lagi
dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh dari kawasan
pantai
biasanya
bermatapencaharian
sebagai
petani,
peternak
ataupun
wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman
rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.
Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di
Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha
penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.
2.6 Batak Toba di Bona Pasogit
Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di
sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang
menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi
penyebutan ini terarah pada Batak Toba.
Batak Toba merupakan
istilah yang sering digunakan untuk mengkaji
kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh
pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini
dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.
Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur
Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur
(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun
sebagian dari mereka menerima akan hal ini.
Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona
pasogit 11 , sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.
11
Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan,
hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya.
Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir”
kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok
masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang”
masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak
Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau
Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang
Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak Batak”
sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar tepian
Danau Toba.
Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari
kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah
tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh
orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten Samosir.12
Gambar-1:
Daerah Pemukiman Orang Batak Toba
Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba
12
Lihat Monang Sianturi, 2012. Hal. 82-90.
Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke
tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama
menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu
kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain
diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba.
Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui
pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat
orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.
Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak
diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih
jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan
dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,
membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil
akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru
lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.
Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan
lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap
pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman
baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan
menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk
wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang
tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian
Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju
Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur,
masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan
berbahaya. Misalnya, alternatif
jalan menuju Padang sebagai pelabuhan
internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini
pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang
pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan
kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke
tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui
beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari
tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal
(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.
Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir
timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.
Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru
dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat,
Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya
jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin
tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang
sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.
Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat
perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang
berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan
semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung
halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak
rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi
selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah
pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan
selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek
kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja.
Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka
terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di
bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat
diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka
menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona
pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat
Batak mereka.
Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati
hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di
Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah
Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah
Jawa, Parapat dan daerah lain.
Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.
Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil
pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas
mereka.
Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga
menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan
pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang
yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun
orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh
pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren,
2008:48)
Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar tahun
1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama mereka.
Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta
adalah seorang
pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi
guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun
1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam
mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri.
Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan
Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana
mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang
ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu,
secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk
komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen
sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang
berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini.
Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,
mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau
Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya
beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942,
dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh
tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang
Batak di pulau Morotai Papua.
Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di
luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876
bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian
dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana.
Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu
dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H
Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge
Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak
yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah
Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari
pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah
ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.
Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba
dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam
dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Pada
tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang
dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13
2.8 Budaya Musikal Batak Toba
2.8.1 Musik vokal
Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar,
yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak Toba
disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional, pengklasifikasiannya
ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan
liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal
tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :
1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
(lullaby).
2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan
melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat
menjelang pernikahan.
3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo
chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,
biasanya malam hari.
4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring
tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat
dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini
13
Monang Sianturi, ibid.
dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada
malam terang bulan.
5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan
seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita
tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.
6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan
berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya
dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.
7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan
secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan
bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya
dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih
dewasa atau orang tua.
8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang
yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam
ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga
penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra
yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok
musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara
namarhadodoan (resmi)
2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak
Toba dalam kegiatan sehari-hari.
3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan
berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada
masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail terhadap
nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Berikut ini
adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang
dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni musik vokal yang mempunyai irama halus,
tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga
dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang mendengarkan. Contoh :
mandideng.
2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan
kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan
rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu.
3. Nyanyian permainan (play song), yakni musik vokal yang mempunyai irama
gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.
Contoh : sampele-sampele.
4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang
teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau
pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on
5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang
bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi.
6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal
yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang
bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek ma
gambiri.
2.8.2 Musik instrumental
Musik instrumental masyarakat Batak Toba dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk
ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam
kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan. Secara
umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni :
gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain dalam bentuk ensambel, ada juga
instrumen yang disajikan secara tunggal.
2.8.2.1 Gondang hasapi
Komposisi instrumen pada gondang hasapi terdiri dari :
1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang
atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang
dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini
merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam
ensambel gondang hasapi.
2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi
ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi
doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.
3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed)
yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke
dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas
dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa
(meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut
dengan circular breathing.
4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan
umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa
melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu.
Dimainkan dengan cara mamalu.14
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca
yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.
Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil.
Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh
lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada
praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim 15 , sarune etek
kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang
pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun
14
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh
mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain.
Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.
15
Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di Huta
Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi
yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan orang.16
2.8.2.2 Gondang sabangunan
Ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering
digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang
bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :
1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed)
yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus
marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.
2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka satu
yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa melodi
dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu. Kelima
gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing, yakni odapodap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting. Instrumen ini
tergolong ke dalam kelompok membranophone.
3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu
yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa ritem
konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari
ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada
kelompok membranophone.
4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan
ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,
16
Harahap.
Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh Ritha Ony dan Irwansyah
ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem tertentu
dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah. Instrumen ini
tergolong kepada kelompok idiophone.
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang
dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo.
Instrumen ini tergolong kepada idiophone.
6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi
selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini
biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini
tergolong kepada kelompok membranophone.
Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara
yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan
sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal)
dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17.
Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan
saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur
Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan
hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya parmalim
yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan dengan peran
dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan odap sudah
banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan sebagai
pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor yang
17
Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23.
mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan seharihari.
Ensambel gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh orang,
yakni satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan taganing dan
odap, satu orang memainkan gordang bolon, satu orang memainkan ogung oloan dan
ihutan, satu orang memainkan ogung doal, satu orang memainkan ogung panggora,
dan satu orang memainkan hesek. Namun, formasi dan jumlah pemusik ini sedikit
berbeda dengan apa yang terdapat di dalam upacara parmalim. Dalam konteks
tersebut, umumnya pemusik berjumlah delapan orang, dimana alat musik ogung
oloan dan ihutan masing-masing dimainkan oleh satu orang. Kadang-kadang juga
bisa ditemukan pemain sarune bolon berjumlah dua orang pada beberapa upacara
parmalim tertentu. Pada masyarakat Batak Toba secara umum di luar parmalim,
formasi pemusik dalam formasi ensambel semacam ini jarang terjadi pada
kebanyakan pertunjukan gondang sabangunan.
2.8.2.3 Instrumen tunggal
Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal diartikan sebagai
instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh digabungkan ke dalam
ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya sudah
ditetapkan berbagai instrumen tertentu yang boleh dimainkan ke dalam kedua
ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua
ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam
musik adat masyarakat Batak Toba yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan.
Instrumen tunggal biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk mengisi
kekosongan atau menghibur diri. Instrumen ini juga tidak pernah dimainkan dalam
upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen-intrumen yang ada
pada ensambel gondang sabangunan atau gondang hasapi. Namun jika diartikan
secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai musik Batak Toba pada masa
kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya instrumen yang tidak boleh
dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan
saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau format musik yang lain.
Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke dalam
instrumen tunggal seperti :
1. Saga-saga (jew’s harp) yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara
menggetarkan lidah instrument tersebut dengan bantuan hentakan tangan dan
rongga mulut berperan sebagai resonator. Instrumen ini tergolong ke dalam
keompok ideophone.
2. Jenggong (jew’s harp) yang terbuat dari logam dan mempunyai konsep yang
sama dengan saga-saga. Juga termasuk ke dalam kelompok ideophone.
3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut dengan salohat atau tulila, yaitu
alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara meniup dari
samping. Mempunyai empat lobang nada yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi
kanan, sedangkan lobang tiupan berada di tengah. Instrumen diklasifikasikan ke
dalam kelompok aerophone.
4. Sordam (up blown flute) yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara
meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung instrumen yang
diposisikan secara diagonal. Instrumen ini memiliki lima lobang nada, yakni
empat di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lobang tiupan berada
pada ujung atas nya. Instrumen ini juga termasuk ke dalam kelompok aerophone.
5. Tanggetang (bamboo ideochord), yaitu alat musik yang terbuat dari batang bambu
besar dan memiliki senar yang dibentuk dari badan bambu itu sendiri dan badan
bambu tersebut berperan sebagai resonator. Prinsip pembuatan, cara memainkan
dan karakter bunyi instrumen ini hampir sama dengan keteng-keteng yang ada
pada masyarakat Batak Karo, dimana instrumen ini bersifat ritmis dan gaya
permainannya seakan mengimitasikan karakter bunyi ogung (gong Batak Toba).
Instrumen ini termasuk kelompok yang dipadukan antara ideophone dengan
chordophone sehingga disebut dengan ideochordophone
6. Mengmung juga merupakan instrumen sejenis ideochordophone yang mirip
dengan tanggetang, hanya saja senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu dijadikan
sebagai resonator.
Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,
sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga
pada saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sulim merupakan instrumen
tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih
luas dibandingkan instrumen tunggal yang lainnya, sehingga berbagai jenis lagu atau
repertoar dapat dimainkan pada instrumen tersebut.
Sementara instrumen tunggal yang lain sudah sangat jarang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa di
antaranya
sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong,
tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah
sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
mungkin hanya satu dua orang yang masih melestarikan instrumen ini, dan itu pun
kemungkinan jika siempunya masih hidup atau instrumen tarsebut masih tetap
diwariskan secara turun temurun.
BAB III
KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM
3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen
Pada awalnya proses pembuatan sulim harus mengikuti pola-pola ritual
tertentu, namun lama kelamaan seiring perkembangan zaman dan masuknya agama
pola-pola tersebut berubah dengan mengabaikan aspek ritualnya.
Kalau proses pembuatan taganing menurut adat pra-Kristen merupakan tata
cara atau rangkaian kegiatan bersifat religius yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Toba untuk menghubungkan manusia dengan Mulajadi Nabolon, roh nenek moyang
dan sesama manusia, tidak sama halnya dengan proses pembuatan sulim pada masa
itu. Ritual proses pembuatan sulim dilakukan hanya oleh beberapa oknum yang
memiliki pengetahuan alam gaib yang ditujukan untuk menambah ilmu kebatinan
sipelaku tersebut.
Berbicara bahan material, teknis, dan pola pengukuran dalam proses
pembuatan sulim pada masa pra-agama dengan pasca agama pada prinsipnya hampir
sama. Sebab sulim yang akan dibuat sama-sama terbuat dari bambu dan bambu
tersebut akan dilobangi sesuai dengan tonika (nada dasar) yang diinginkan. Yang
membedakannya adalah cara sipembuat dalam memilih bahan atau bambu yang tepat
serta bagaimana proses dalam pelobangannya.
Menurut Bapak Sinurat, yang juga merupakan salah seorang pemain dan
pembuat sulim dari Tiga Balata mengatakan bahwa konon katanya seseorang yang
ingin membuat sulim dengan tujuan ilmu kebatinan haruslah mengikuti pola ritual
tertentu. Beliau menjelaskan bahwa ritual tersebut hanya pernah dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang memiliki kharisma dan bakat tertentu dalam hal warisan
kebatinan dan bersedia untuk menjalani syarat-syarat ritual tertentu.
Selain
menyangkut bahan dan proses pembuatan yang dilakukan, teknis pelaksanaan ritual
tersebut juga menyangkut pengucapan ayat-ayat tertentu berupa mantra sebagai
syarat pelengkap ritual tersebut. Namun dalam hal teknis ritual yang akan penulis
paparkan berikut ini hanya menyangkut berbagai tahapan pelaksanaan atau proses
pembuatan, sebab Bapak Sinurat selaku narasumber manceritakan berdasarkan
pengalaman orang lain yang beliau sendiri pun belum pernah melakukannya. Dan
beliau menambahkan bahwa tidak sembarang orang boleh mengetahui mantra
tersebut dan sipelaku juga tidak akan bersedia jika mantranya diberitahu secara
sembarang kepada orang lain termasuk beliau sendiri. Jadi yang boleh diberitahu
adalah bagaimana tentang teknis pembuatannya saja.
Adapun tahapan ritual proses pembuatan sulim tersebut adalah sebagai
berikut. Ketika seseorang ingin membuat sebuah sulim, maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah memilih jenis bambu yang tumbuhnya di daerah lahan basah
atau yang digenangi air, dan bambu tersebut harus tumbuh memanjang dan
melengkung ke arah jalan yang kira-kira sering dilewati oleh orang banyak. Ketika
seorang melintas dari tempat tersebut, maka lengkungan ruas bambu itulah yang
dilewati oleh orang tersebut. Dengan kata lain, posisi lengkungan ruas bambu itu
harus tepat di atas kepala orang-orang yang melintas dari tempat tersebut.
Kemudian setelah bambu ditemukan, lalu ditebang, dan penebangan tersebut
dilakukan harus dari ruas paling bawah, tidak boleh ditebang dari bagian tengah
ataupun mendekati ujungnya. Setelah penebangan selesai, bambu yang telah ditebang
tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa ruas sesuai dengan berapa jumlah ruas
yang memungkinkan dapat dibuat menjadi sulim dari bilahan bambu tersebut. Lalu
langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah meletakkan ruas bambu yang telah
dipotong tersebut ke atas tungku api untuk dikeringkan, yang tentunya jarak antara
tungku dengan bambu tersebut diatur sedemikian rupa agar bambu tidak terbakar dan
tidak terlalu panas karena jarak yang terlalu dekat. Pengeringan dilakukan selama
beberapa minggu hingga bambu benar-benar kering dan kokoh.
Setelah bambu tersebut kering sesuai dengan yang diinginkan, kemudian
bambu dipindahkan ke atas asbes rumah di mana posisi asbes tersebut tingginya
harus di atas kepala sipemilik rumah. Bambu yang diletakkan di atas asbes tersebut
didiamkan untuk beberapa lama hingga waktu pelobangan dilakukan.
Hal yang paling menarik dan mistis dari tahapan pembuatan sulim ini adalah
pada saat proses pelobangan mulai dilakukan. Uniknya adalah bahwa setiap lobang
yang hendak dibuat harus dimulai dan diakhiri dengan tragedi orang yang meninggal.
Maksudnya adalah ketika sipembuat hendak membuat lobang pertama hingga lobang
terakhir, sipemilik harus menyaksikan bahwa ada sebuah peristiwa orang yang
meninggal, dan orang meninggal yang disaksikan orang tersebut harus meninggal
dengan cara yang tidak wajar seperti kecelakaan berupa jatuh dari kendaraan,
tabrakan, terhanyut di sungai, mendadak meninggal akibat diguna-gunai dan lain
sebagainya.
Setiap satu orang korban yang meninggal dengan cara yang tidak wajar
tersebut mewakili satu buah lobang yang akan dibuat pada bambu tersebut. Dengan
kata lain, jika ada 7 (tujuh) buah lobang yang akan dibuat dalam sebuah sulim
(lobang yang dimaksud terdiri dari satu lobang tiupan dan enam lobang nada), maka
sipembuat harus menyaksikan 7 (tujuh) orang korban meninggal baik di waktu yang
bersamaan maupun berbeda. Oleh karena itu, dahulu untuk membuat sebuah sulim
yang mengandung nilai mistis itu butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahuntahun tergantung cepat atau lambatnya seorang pembuat tersebut menyaksikan
tragedi orang meninggal. Namun dalam tahapan pelobangan, ada syarat awal yang
harus dilakukan yakni setiap hendak melobangi bambu dari lobang yang pertama
hingga lobang yang ketujuh, sipembuat harus terlebih dahulu mengucapkan beberapa
mantra sebelum melobangi bambu tersebut. Mantra yang harus diucapkan sebelum
pembuatan lobang dalam istilah Batak Toba tersebut dikenal dengan istilah tabas.
Apabila ketujuh lobang sudah selesai terbentuk maka langkah terakhir yang
dilakukan adalah pengucapan tabas
terakhir sebagai tahapan penyempurnaan.
Apabila keseluruhan syarat tersebut terpenuhi maka jadilah sebuah sulim yang
diinginkan. Namun perlu diketahui bahwa apabila sulim tersebut sudah jadi, maka
yang boleh memainkannya adalah hanya sipemilik selaku sipembuat itu sendiri.
Konon katanya jika sulim tersebut dipakai secara sembarang oleh orang yang tidak
bertanggung jawab maka orang tersebut akan mengalami musibah. Demikianlah
sebuah proses ritual yang harus dilakukan untuk menghasilkan sebuah sulim yang
berisi nuansa mistis.
Tetapi, pada zaman sekarang ini oknum-oknum yang melakukan ritual
tersebut sudah mulai berkurang bahkan nyaris tidak pernah terdengar lagi. Hal ini
disebabkan karena adanya agama sebagai mediator untuk membatasi hubungan
manusia dengan roh-roh atau makhluk yang tidak kelihatan.
Di dalam bahasan ini, penulis tidak menjelaskan terlalu detail tentang ritual
pembuatan sulim dengan segala aspek-aspeknya, sebab inti dari skripsi ini bukanlah
membahas tentang sebuah kajian ritual. Penulis hanya memaparkan secara garis
besarnya saja melalui wawancara dengan beberapa orang narasumber seperti Marsius
Sitohang, S. Sinurat, Guntur Sitohang yang merupakan orang terpercaya dan
merupakan para maestro pemusik tradisional Batak Toba yang telah memiliki banyak
pengalaman hidup bermain musik tradisi selama puluhan tahun lamanya. Hal ini
bertujuan untuk menambah referensi terhadap para pembaca bahwa ternyata dahulu
pernah diadakan ritual proses pembuatan sulim yang memang awalnya jarang
didengar oleh masyrakat Batak Toba secara umum.
3.2 Klasifikasi sulim
Pengklasifikasian instrumen oleh Curt Sachs-Hornbostel dibagi atas 4
(empat) kelompok yakni : idiophone, membranophone, cordophone, dan aerophone
(Nettl, 1964 :212).
Dalam sistem Sachs-Hornbostel, sulim diklasifikasikan sebagai aerophone.
Hal ini disebabkan karena suara yang dihasilkan oleh instrumen berasal dari udara
(aero) yang dihembuskan/ditiup ke arah lobang tiupan pada instrumen tersebut.
Sulim merupakan aerophone yang murni menggunakan tiupan udara dari mulut
sebagai penghasil bunyi dan menggunakan kedua jari tangan sebagai penghasil nadanada yang berbeda-beda sesuai teknik penjariannya. Oleh karena sulim merupakan
instrumen yang ditiup melalui lobang dan ditiup dengan cara menyamping atau
posisi lobang tiupan ada pada sisi samping tubuh instrumen, maka sulim
dikategorikan sebagai aerophone dengan spesifikasi side blown flute.
3.2.1 Konstruksi sulim
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sulim terbuat dari seruas bambu
yang dibentuk sedemikian rupa dengan satu buah lobang penghasil bunyi di bagian
atasnya dan enam buah lobang nada sebagai penghasil nada-nada yang diinginkan.
Diantara lobang penghasil bunyi dengan lobang nada terdapat satu buah lobang
pemecah bunyi yang ditutup dengan kertas tipis (Lihat gambar-1).
C
B
D
E
A
F
G
Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim
Keterangan Gambar :
A. Keliling bambu sulim
B. Diameter bambu sulim
C. Lobang tiupan / hembusan
D. Lobang nada atas
E. Lobang nada bawah
F. Lobang tonika
G. Lobang pemecah suara yang dilapisi kertas tipis
3.2.2 Ukuran sulim
Pitch (ketepatan nada) merupakan hal yang mutlak dalam pembuatan sebuah
sulim. Oleh karena itu, pola ukur atau teknik mengukur oleh sipembuat sulim yang
satu dengan pembuat sulim yang lain pada prinsipnya adalah sama. Hanya saja, jenis
ukuran bambu yang diperoleh oleh masing-masing sipembuat pasti berbeda-beda,
sehingga mengakibatkan sulim yang dihasilkan pun berbeda-beda ukuran jarak antar
lobang dan besar kecilnya lobang yang akan dibentuk. Namun pada dasarnya teknik
mengukurnya adalah sama.
Gambar-3. Sulim dengan ukurannya.
Tabel-1. Pola Ukuran Sulim
NO
NAMA
UKURAN
1
Diameter bambu sulim
2,6 cm
2
Keliling bambu sulim
5,3 cm
3
Jarak lobang tiupan dengan ruas bambu
2,6 cm
4
Jarak antara lobang tiupan dengan lobang nada atas
17,5 cm
5
Jarak antara lobang nada atas dengan lobang nada bawah
17,5 cm
6
Jarak antara lobang nada bawah dengan lobang tonika
8,75 cm
7
Jarak antar lobang nada
3,5 cm
8
Jarak antara lobang nada dan lobang pemecah
8,75 cm
9
Diameter lobang tiupan
1,2 cm
10
Diameter lobang nada
1 cm
11
Panjang bambu sulim
46,35 cm
Keterangan : Ukuran sulim yang tertera pada tabel di atas adalah ukuran sulim
dengan kunci F yang dibuat oleh bapak M. Sitohang, dengan aturan pola ukur
pembuatan sulim secara umum18
3.3 Proses Pembuatan
Proses pembuatan sulim dikerjakan oleh tangan yang dibantu dengan
peralatan-peralatan yang sederhana. Sebelum pada tahap proses pembuatan, penulis
akan menjelaskan lebih dahulu bahan material dan alat-alat yang digunakan.
3.3.1 Bahan material
Material yang digunakan dalam pembuatan sulim relatif sederhana.
Pembuatan sulim tidaklah sesulit pembuatan instrumen Batak Toba yang lain seperti
taganing yang membutuhkan material yang kompleks dengan proses yang sulit dan
butuh waktu yang relatif lama. Sulim adalah salah satu instrumen Batak Toba yang
relatif sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang digunakan
dalam pembuatan sulim hanya seruas bambu saja.
Jenis bambu yang baik untuk dijadikan sebuah sulim adalah bambu yang
sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar bambu tersebut tidak mengalami
perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan. Dibuat dari seruas
bambu dengan panjang ruas bambu yang ideal biasanya berkisar antara 30 cm s/d 75
cm dengan ketebalan bambu yang berkisar antara 0,1 cm s/d 0,3 cm.
18
Akan dijelaskan lebih lanjut pada tahapan proses pembuatan.
3.3.2 Peralatan yang digunakan
Selain bahan material yang sederhana, peralatan yang digunakan juga tidak
terlalu banyak, yakni hanya membutuhkan gergaji, pisau belati kecil ataupun sebilah
besi bulat dengan ukuran tertentu, meter atau seutas daun pisang dan bara api.
Namun, bilahan besi bulat tersebut memiliki ukuran diameter yang berbeda-beda
tergantung besar kecilnya bambu yang akan dibuat.
Gergaji atau parang berfungsi untuk memotong bambu dari pohonnya serta
memotong bilahan bambu menjadi beberapa ruas tergantung seberapa banyak sulim
yang akan dibuat.
Gambar-4. Parang
Pisau belati kecil dan besi bulat panjang berfungsi untuk membuat lobang
tiupan dan lobang nada sesuai dengan ukuran yang ditentukan.
Gambar-5. Pisau belati
Gambar-6. Besi bulat panjang
Meter atau seutas tali dipakai sebagai alat untuk mengukur jarak antara
lobang tiupan, lobang vibrasi, dan lobang nada, atau jarak antar lobang yang satu
dengan yang lainnya
Gambar-7. Mengukur lobang tiupan
Api berfungsi untuk memanaskan besi yang telah diukur agar mampu
menembus bambu dalam proses pelobangannya.
Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim
3.3.3 Langkah-langkah pembuatan
Dalam bahasan ini, penulis akan memaparkan langkah-langkah pembuatan
sulim secara umum yang tentunya tidak mengandung unsur magis atau makna ritual
tertentu.
Untuk menghasikan sulim yang baik, harus melalui tahapan yang baik pula
sebagai berikut :
a) Pemilihan bambu
b) Pemotongan badan bambu
c) Pemotongan ruas bambu
d) Pengeringan
e) Pelobangan
f) Pengornamentasian
3.3.3.1 Pemilihan bambu
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, bambu yang baik untuk dijadikan
sebuah sulim adalah bambu yang sudah tua dan matang. Kematangan bambu dapat
dilihat dari ciri-ciri kulit batang bambu yang sudah berwarna hijau tua, daun
berwarna hijau kecoklatan, ruas batang yang sudah cukup banyak dan biasanya
sedikit ditumbuhi lumut atau tumbuhan fungi lainnya pada batangnya yang paling
bawah. Hal ini bertujuan agar bambu tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan
atau pun setelah sulim sudah terbentuk.
Dalam proses pemilihan bambu, ternyata tidak semua kategori bambu cocok
untuk dijadikan sebuah sulim. Menurut berbagai narasumber yang sudah
berpengalaman dalam membuat sulim seperti Bapak Sinurat, Marsius Sitohang,
Junihar Sitohang, bambu yang ideal untuk dijadikan sebuah sulim yang kokoh dan
tahan lama sebaiknya dipilih bambu telur (bulu tolor). Karena tipikal bambu ini
tidaklah terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, juga memiliki diameter yang tidak terlalu
besar yang setidaknya sangat ideal untuk dijadikan sebuah sulim.
Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor)
3.3.3.2 Pemotongan badan bambu
Setelah bambu pilihan ditemukan, dilakukanlah penebangan atau pemotongan
bambu. Pemotongan dapat dilakukan dengan memakai parang ataupun gergaji. Cara
memotong badan bambu yang baik adalah potonglah bambu mulai dari pangkalnya
jangan dari ujungnya. Karena ketebalan bambu tersebut ada pada pangkalnya. Ketika
memotong, tafsirlah kira-kira ada berapa buah sulim yang dapat dibentuk dari ruas
bambu yang ada.
Gambar-10. Memotong ruas bambu
3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu
Ketika bambu sudah selesai ditebang, potonglah ruas-ruas bambu menjadi
beberapa bagian sesuai dengan jumlah sulim yang direncanakan akan dibuat. Hal
yang perlu diperhatikan dalam memotong ruas bambu adalah pemotongan dilakukan
harus dari atas buku bambu. Sebab posisi lobang tiupan sulim yang baik adalah harus
berada di bawah bukunya bukan di atas buku bambu tersebut.
Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim
3.3.3.4 Pengeringan
Dalam proses pengeringan bambu, tidak terlalu memakan waktu yang begitu
panjang sebab bambu yang telah dipilih sudah dalam kondisi tua dan matang artinya
bambu dengan tingkat kekeringan 70% sd. 80% sudah cukup untuk dibentuk menjadi
sulim. Tujuan pengeringan sebenarnya adalah agar ketahanan bambu lebih terjamin
ketika nantinya sulim sudah siap dipakai untuk jangka waktu yang lebih lama seperti
yang diharapkan.
Tahapan pengeringan dilakukan dengan cara meletakkan bambu yang sudah
dipotong menjadi beberapa ruas ke atas tungku perapian atau pun di suatu tempat
kering yang tidak terkena langsung oleh teriknya sinar matahari.
3.3.3.5 Pelobangan
Inti dari tahapan pembuatan sulim adalah pembuatan lobang melalui proses
pelobangan dengan mengikuti pola aturan pengukuran tertentu. Pelobangan dapat
dilakukan dengan memakai pisau belati kecil yang ujungnya tajam ataupun dengan
memakai besi bulat yang bagian ujungnya runcing dengan ukuran tertentu.
Tahapan pelobangan yang pertama dimulai dari lobang tiupan kemudian
dilanjutkan ke lobang nada secara berurutan.
Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan
Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama
Gambar-14 Pelobangan lobang nada ke-2
Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3
Gambar-16. Pelobangan nada ke-4
Gambar-17. Pelobangan nada ke-5
Gambar-18. Pelobangan nada ke-6
Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan
Pada saat lobang tiupan selesai dibuat sebenarnya situkang tersebut sudah
dapat menafsirkan nada dasar dari sulim tersebut. Sebab pada sulim ditiup tanpa
memiliki lobang, itu sama halnya dengan meniup sulim dengan menutup semua
lobang nada, dimana akan menghasilkan nada do (1) yang menjadi nada dasar sulim
tersebut. Hanya saja jika nada (pitch)nya kurang memenuhi atau kurang tinggi dari
nada dasar yang diperkirakan maka solusi yang dilakukan adalah dengan sedikit
demi sedikit memperbesar diameter lobang tiupan sesuai dengan nada yang
diharapkan dan sampai pada batas besar lobang tiupan yang wajar. Sebab jika
lobang tiupan terlalu besar meskipun dengan nada (pitch) yang sudah memenuhi
pada akhirnya tidak akan menjadi sulim yang ideal untuk dipakai, sebab lobang
tiupan yang terlalu besar akan mengakibat pemborosan nafas pada saat peniupan.
Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam penentuan besar lobang tiupan.19
Kemudian setelah lobang tiupan selesai dibuat, maka lobang yang akan
dibuat selanjutnya adalah keenam lobang nada. Dari keenam lobang nada yang akan
19
Penetapan/penentuan nada (pitch) akan dibahas lebih mendalam pada bagian “sistem
pelarasan nada” sub bab berikutnya.
dibuat, lobang nada pertama yang akan dibuat adalah lobang nada bawah, kemudian
lobang nada bawah ke dua, dan seterusnya hingga lobang nada yang keenam.
Biasanya setiap membuat lobang nada, sulim tersebut selalu ditiup dahulu untuk
memastikan nada yang diinginkan. Demikianlah seterusnya hingga keseluruhan
lobang nada selesai dibuat sesuai dengan ketentuan nada yang diinginkan.
Sebagai tambahan, lobang pemecah suara biasanya dibuat setelah lobang
tiupan berikut dengan seluruh lobang nada selesai dibentuk. Setelah lobang pemecah
terbentuk, kemudian dibalut dengan kertas tipis atau plastik tipis. Jika tahapan ini
selesai, maka selesailah sudah tahapan pelobangan sulim. Adapun aturan-aturan atau
pola pengukuran jarak antar lobang dalam membuat sebuah sulim adalah sebagai
berikut :
C
D
E
B
F
A
G
Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim
Keterangan gambar:



Jarak antara lobang tiupan (C) dengan ruas bambu = panjang diameter
bambu (B)
Jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D) = 2 x keliling
bambu (A)
Jarak antara lobang nada atas (D) dengan lobang nada bawah (E) = 2 x
keliling bambu (A)



Jarak antara lobang nada bawah (E) dengan lobang tonika (F) = 1 x
keliling bambu (A)
Jarak antara masing-masing keenam lobang nada = jarak antara lobang
nada bawah dengan lobang nada atas kemudian dibagi 5 untuk
mendapatkan 4 lobang nada berikutnya.
Posisi lobang yang ditutup oleh selembar kertas tipis (G) berada pada
pertengahan jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D)
3.3.3.6 Ornamentasi
Setelah proses pelobangan selesai, sebenarnya tahap pembuatan sulim secara
sederhana sudah dianggap selesai. Sebab tidak semua sulim yang dapat kita lihat
secara umum memiliki ornamentasi. Ada tidaknya ornamentasi pada sulim
tergantung pada selera sipemilik atau si pembuat. Tapi ada kalanya ornamentasi
menjadi ciri khas dari seorang pembuat sulim yang bahkan itu bisa menjadi salah
satu faktor ketenarannya sebagai seorang pembuat sulim ternama disamping kualitas
bunyi sulim yang dia ciptakan.
Bentuk pengornamentasian pada sulim sangat beragam tergantung kebiasaan
dari sipembuat itu sendiri. Ada kalanya seorang pembuat sulim hanya memiliki satu
jenis ornamentasi yang menjadikan itu sebagai ciri khas, tetapi ada juga orang yang
mampu membuat sulim dengan beragam jenis ornamentasi sesuai seleranya. Sebab
tidak ada aturan atau batasan-batasan tertentu dalam pembuatan ornamentasi sulim.
Ada orang membuat ornamentasi berupa gorga (seni lukis atau seni ukir Batak
Toba), ada juga yang membuat hanya dengan menambahkan lobang-lobang
ornamentasi yang sama sekali tidak mempengaruhi kualitas bunyi, ada juga yang
ornamentasi hanya dengan mengukir nama atau tulisan tertentu di bagian badan
sulim tersebut, bahkan ada yang membuat dengan ketiga jenis ornamentasi tersebut,
dan masih banyak jenis ornamentasi yang lain. Hal ini dapat kita lihat dari sekian
banyaknya sulim yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan
bahwa setiap sulim tidak memiliki jenis ornamentasi yang sama kecuali ornamentasi
tersebut dibuat oleh orang yang sama.
Berikut ini adalah jenis berbagai sulim dengan bentuk ornamentasi yang
berbeda-beda.
Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi
Gambar-22. Ornamentasi lobang
Gambar-23. Ornamentasi gorga
Gambar-24. Ornamentasi nama
Gambar-25. Ornamentasi simbol
3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim
Berbicara tentang kontinuitas dalam konteks fisik, berarti berbicara tentang
adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga
pada saat ini yang berkaitan dengan kondisi fisik instrumen itu sendiri. Hal yang
tetap dipertahankan sebagai wujud kontinuitas fisik sulim adalah bahwasanya dari
zaman dahulu hingga pada saat ini bentuk sulim selalu sama/tetap dan tidak pernah
berubah-ubah, tetap terbuat dari bambu bahkan jumlah lobang penentu kualitas bunyi
selalu sama yakni memiliki satu lobang hembusan dan 6 (enam) buah lobang nada.
Secara umum, bentuk fisik sulim tidak ada yang berubah. Yang berubah
adalah proses pembuatannya dan adanya pengembangan metode baru dalam
menciptakan sulim yang lebih kaya terkait akan fungsi dan penggunaannya.
Kristenisasi pada masyarakat Batak Toba membawa pengaruh atas munculnya
oknum-oknum tertentu yang membawa praktek ritual pembuatan sulim. Pada masa
reformasi ini, pembuatan sulim dengan melakukan ritual sudah sangat jarang
ditemukan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Bapak J.Sinurat, salah
seorang pemain dan pembuat sulim mengatakan bahwa selama beliau menjadi
pengrajin sulim, ritual pembuatan sulim tidak pernah lagi dilakukan. Beliau juga
menambahkan, bahwa menurut beliau ritual pembuatan sulim diabaikan karena nilai
kepemilikan sulim pada masa sekarang ini sudah mengalami perubahan. Tujuan
seorang pengrajin sulim sudah lebih dominan kepada tujuan dagang dengan
mengutamakan keuntungan secara ekonomis dan waktu yang relatif lebih singkat
dibandingkan dengan aspek-aspek proses pembuatan dan proses ritualnya. Maka
tidak heran kalau praktek ritual tersebut diabaikan, sebab pada prakteknya pun untuk
membuat satu buah sulim membutuhkan waktu yang relatif lama.
Selain daripada perubahan dalam proses pembuatan yang dulunya memakai
ritual menjadi non-ritual, hal yang berubah adalah adanya metode baru dalam
menciptakan sebuah sulim yang lebih kaya akan fungsi dan penggunaannya. Dahulu
awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa
itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan
dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim
memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus
mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada
yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan
oleh piano.
Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.
Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan
aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak
hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah diciptakan
berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu oktaf nada
piano mulai dari nada C standard hingga c’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi karena
semakin meningkatnya permintaan dan kebutuhan masyarakat pendukungnya
terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling signifikan adalah
dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja, berbagai lagu dalam
paduan suara, dan juga dalam komposisi musik lagu Batak tradisional maupun
populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut memaksa supaya sulim juga
harus disesuaikan dengan nada dasar lagu ataupun repertoar yang diinginkan
Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim
tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan
dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada
kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar
gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah
sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba,
lagu Populer Batak atau non-Batak, lagu Rohani gereja, maupun lagu-lagu sekuler
lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan
dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim
dengan 12 kunci (nada dasar) yang berpatokan pada pelarasan nada musik Barat.
3.4 Kajian Fungsional Sulim
Dalam pembahasan kajian fungsional, penulis hanya menitikberatkan
bahasan pada sistem pelarasan (tuning), teknik permainan, dan proses pembelajaran
sulim.
3.4.1 Sistem pelarasan (tuning)
Wilayah nada (range) dan jangkauan nada (ambitus) yang terdapat pada
sulim dibedakan menurut besar kecilnya diameter bambu. Apabila diameter bambu
memiliki ukuran yang besar maka akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada
(ambitus) yang rendah. Sebaliknya apabila memiliki diameter yang kecil maka
otomatis akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada (ambitus) yang tinggi.
Secara umum ambitus nada paling tinggi yang mampu dijangkau oleh sipemain pada
sebuah instrumen sulim adalah nada oktaf ke-2 dalam wilayah nada (range) 2 oktaf.
Selain ukuran diameter dan panjang-pendeknya bambu, faktor yang juga menentukan
tinggi rendahnya nada sulim adalah besar kecilnya lobang dan panjang pendeknya
jarak antar lobang nada.
Sistem pelarasan nada sulim pada zaman sekarang ini tentunya tidak terlepas
dari peran nada-nada standard yang ada pada piano atau instrumen yang lain yang
dianggap memiliki standardisasi bunyi/nada. Berbicara tentang hal pelarasan nada
pada sulim, sesungguhnya tidak ada ilmu atau metode tertentu yang dapat menjamin
secara pasti penentuan kunci atau nada dasar sulim yang akan dihasilkan. Sebab
sulim termasuk jenis instrumen yang bersifat alami yang secara teknis tidak sama
dengan instrumen tiup Barat yang ada pada umumnya. Seperti diketahui bahwa
setiap instrumen tiup Barat seperti saxofon, flute, trompet, dan lain sebagainya dapat
memainkan keseluruhan tangga nada yang ada pada sistem tangga nada diatonis
musik Barat, sementara sebuah sulim hanya mampu mewakili satu atau dua nada
dasar saja. Oleh karena itu, sistem pelarasan dilakukan hanya dengan mengandalkan
penafsiran, perkiraan, dan perasaan semata.
Menurut Bapak Sinurat, hal pertama yang dilakukan untuk penentuan nada
dasar pada sebuah sulim adalah dengan melihat besar-kecilnya diameter bambu dan
panjang-pendeknya bambu yang akan dibuat. Biasanya seorang pengrajin sulim yang
baik akan mampu menafsirkan secara umum bahwa bambu yang akan dibuat akan
menghasilkan sulim dengan nada dasar tertentu hanya dengan melihat besar-kecilnya
diameter dan panjang-pendeknya ruas bambu tersebut. Apabila penafsiran sedikit
meleset ada metode tertentu yang dapat dilakukan. Misalkan sebuah sulim yang
ditafsir akan menghasilkan kunci E tetapi ternyata pitch (ketepatan nada) yang
diperkirakan kurang mencapai, caranya adalah dengan memperbesar atau menambah
sedikit demi sedikit besar keseluruhan lobang tiupan dan lobang nada. Walaupun
untuk itu dibutuhkan ketelitian dalam melakukan pekerjaan tersebut, karena apabila
terjadi kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan hal yang fatal. Apabila terjadi
kesalahan dalam pelobangan maka nada dasar yang dihasilkan pun akan kedengaran
sumbang (fals) dan akan sangat susah untuk mencari solusi untuk memperbaikinya
kembali. Jalan keluarnya adalah hanya dengan mengganti bahan.
Penambahan besar lobang bertujuan untuk meninggikan pitch (nada) yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, apabila keseluruhan lobang yang diperbesar ternyata
terlalu besar otomatis pitch (nada ) yang dihasilkan pun terlalu tinggi dan akan
melebihi pitch atau nada dasar E yang sebenarnya. Beliau juga menambahkan kalau
dalam hal pelarasan sulim lebih baik pitch yang diharapkan kurang mencapai
daripada melebihi ketinggian nada yang diharapkan. Sebab kalaupun terjadi
kekurangan pitch masih bisa diantisipasi dengan cara memperbesar keseluruhan
lobang yang tentunya akan memperkecil jarak antar lobang. Sedangkan apabila pitch
yang dihasilkan
melebihi dari yang diharapkan maka tidak akan mungkin lagi
diantisipasi dengan cara memperkecil lobang dan memperbesar jarak antar lobang.
Oleh karena itu, beliau menyarankan agar poses pelobangan dimulai dengan
membuat lobang yang lebih kecil terlebih dahulu.
Pada dasarnya sulim mempunyai tonika yang diawali dari nada yang paling
rendah (semua lobang ditutup dengan jari), dimana nada tersebut menjadi nada awal
dalam menghasilkan nada-nada dalam tangga nada diatonis. Untuk menentukan nada
dasar sulim yang telah dibentuk, maka yang harus dilakukan adalah menyelaraskan
nada sulim dengan nada piano. Caranya adalah dengan meniup sulim dengan posisi
keenam jari menutup keenam lobang nada. Setelah ditiup, carilah nada tersebut di
antara kedua belas nada yang ada pada tuts piano. Apabila nada yang dihasilkan
adalah nada “F” pada tuts piano, maka nada dasar sulim tersebut adalah “F=do”,
sebab ketika sulim ditiup dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada
maka akan menghasilkan nada “do(1)”, dan apabila ada sebuah sulim yang
ukurannnya lebih kecil juga ditiup dengan posisi keenam jari menutup keenam
lobang nada yang menghasilkan nada “A” pada tuts piano, maka nada dasar sulim
tersebut adalah “A=do”, dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui interval dan tangga nada yang terdapat pada sulim dapat
dilihat berdasarkan posisi setiap lobang nada yang dimainkan. Di bawah ini kita akan
melihat contoh gambar interval nada pada sulim yang memiliki nada dasar “F=do”
6 5 4 3 2 1
Gambar -26. Posisi lobang nada sulim
Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F”
Gambar-28 Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G”
Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A”
Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes”
Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C”
Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada “D”
Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada “E”
Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke-6 dibuka akan
menghasilkan nada “F oktaf (f’)”
Dari beberapa gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem interval
nada pada sulim sama dengan interval nada yang ada dalam tangga nada diatonis
Barat. Apabila disusun dengan deret naik, maka nada-nada yang terdapat pada sulim
“F” adalah sebagai berikut :
Nada
Interval
F
G
2M
A
2M
Bes C
2M
2m
D
2M
E
2M
F
2m
Keterangan :

2M = interval second major atau sekunda mayor

2m = interval second minor atau sekunda minor
3.4.2 Teknik permainan
Secara umum, ada 4 (empat) hal yang harus dikuasai dalam memainkan sulim
yakni ambasir, penjarian, pernafasan dan permainan lidah.
Ambasir berasal dari bahasa Perancis yaitu embouchure yang berarti “di
dalam mulut” atau “meletakkan pada mulut”. Jadi secara sederhana ambasir berarti
teknik peletakan bibir pada lobang tiup. Biasanya ambasir berlaku untuk instrumen
yang bertipikal side blown seperti flute dan jenis seruling yang lain.
Untuk instrumen flute, ambasir lebih cocok kalau dikatakan “di luar mulut’
(out of mouth). Ambasir yang digunakan antara flute dan sulim memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ditiup dari samping (side blown).
Tetapi juga terdapat perbedaan, perbedaan tersebut terdapat pada bentuk bibirnya.
Pada flute bentuk bibir lebih melebar kesamping (kanan kiri). Sedangkan pada
ambasir sulim lebih bulat yang mana perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut
:
Contoh gambar ambasir pada flute :
Contoh ambasir pada sulim :
Secara sederhana, teknik menggunakan ambasir yang benar pada sulim
adalah dengan cara meletakkan lobang tiupan ke arah pertengahan garis antara bibir
atas dengan bibir bawah lalu memutar sekitar 45 derajat ke arah luar bibir kemudian
sedikit melebarkan bentuk bibir ke arah kiri dan kanan.
Gambar-35. Ambasir pada sulim
Penjarian merupakan teknik membuka dan menutup jari pada lobang nada
sesuai dengan melodi yang dimainkan. Posisi jari biasanya tergantung kebiasaan
sipemain itu sendiri. Apabila sipemain lebih dominan meletakkan sulim di sebelah
kanannya, maka posisi 3 (tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada atas
dan posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah.
Sebaliknya, apabila sipemain cenderung meletakkan sulim di sebelah kirinya, maka
posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada atas dan posisi 3
(tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah. Berikut contoh
gambar.
Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan
Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri
Pernafasan yaitu teknik bernafas yang baik dalam memainkan sebuah sulim
yakni boleh dengan melalui hidung dan juga melalui mulut. Tetapi cara bernafas
yang efektif dalam memainkan sulim menurut pengamatan dan pengalaman penulis
adalah bernafas
melalui mulut. Artinya, menarik nafas dari mulut kemudian
dihembuskan lagi melalui mulut, sementara pernafasan melalui hidung hanya boleh
dilakukan sesekali ketika ada spasi waktu dalam peniupan. Spasi waktu yang
dimaksud adalah ketika sipemain sulim berhenti sejenak untuk mengambil nafas
sebelum melanjutkan permainan ke bagian atau bait selanjutnya. Jika hanya butuh
waktu singkat dalam pengambilan nafas dalam memainkan bagian motif atau frasa
lagu yang berdekatan maka pernafasan mulut adalah cara yang paling efisien untuk
dilakukan. Tujuan bernafas melalui mulut ini adalah agar lebih mempercepat waktu
dalam pengambilan nafas dengan jumlah cukup besar yang akan diisi ke paru-paru
dan lebih mempermudah sipemain untuk menghemat nafas yang dikeluarkan.
Permainan lidah (tonguing) merupakan teknik mengatur pola ritme
pergerakan lidah ketika dalam memainkan sebuah sulim. Teknik permainan lidah
(tonguing) pada sulim sama dengan tonguing pada flute. Ada 2 (dua) jenis tonguing
dalam memainkan sulim yakni :
1) Single tonguing, yakni dipakai dengan cara memainkan pola Staccato untuk
interval nada yang berjauhan. Misalnya, interval nada dari E-E’ (E oktaf) atau
dari nada G-G’(G oktaf). Biasanya teknik ini dipakai pada teknik
mangangguk, mangenet, mandila-dilai dan manganak-anaki.
2) Double tonguing, yakni dipakai untuk memainkan interval nada-nada yang
berdekatan. Biasanya teknik ini dipakai pada teknik mangarutu dan
mangaroppol.
Apabila dikaji secara teliti, ada banyak pola atau teknik permainan yang
terdapat pada sulim tergantung kemampuan dan kemahiran sipemain itu sendiri.
Beberapa skripsi sebelumnya juga sudah ada yang membahas tentang pola atau
teknik permainan sulim secara umum berdasarkan kemampuan orang atau sipemain
yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berusaha merangkum secara detail dan lebih
spesifik mengenai teknik permainan sulim dari beberapa narasumber yaitu
mangarutu,
mandila-dilai,
mangangguk,
mangenet,
manganak-anaki
dan
mangaroppol.
Dalam teknik permainan sulim, ada 3 (tiga ) unsur pokok yang sangat
berperan penting dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yakni tiupan nafas,
lidah dan jari. Setiap teknik yang dimainkan dalam permainan sulim akan
berhubungan dengan ketiga unsur ini. Dalam prakteknya, masing-masing memiliki
peranan dan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya
teknik
memaksimalkan
fungsi
mangarutu
lidah,
dan
teknik
mandila-dilai
dimainkan
dengan
mangangguk
dimainkan
dengan
memaksimalkan fungsi tiupan nafas dan penekanan lidah, dan teknik mangenet
dimainkan dengan memaksimalkan tiupan nafas dan permainan jari, dan teknik
manganak-anaki dimainkan dengan memaksimalkan fungsi lidah dan permainan jari.
Namun ada juga teknik yang memaksimalkan fungsi ketiga unsur tersebut dalam
porsi yang sama yaitu disebut dengan teknik mangaroppol.
3.4.2.1 Teknik permainan lidah
Dalam teknik permainan lidah, unsur yang paling berperan penting adalah
lidah. Teknik permainan lidah dapat dibagi menjadi 2 (dua) teknik yakni mangarutu
(double tonguing) dan mandila-dilai (single tonguing).
3.4.2.1.1 Mangarutu
Mangarutu adalah teknik permainan lidah dengan kombinasi double tonguing
yang memberikan penekanan ritem lidah seperti melafalkan kata “tu” dan “ru”
dengan mengeluarkan desis tiupan tanpa mengeluarkan suara/bunyi dari mulut. Kata
“tu” dilafalkan pada penekanan ritem pertama dan kata “ru” dilafalkan pada
penekanan ritem kedua. Pola mangarutu dikembangkan dengan melipatgandakan not
seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) menjadi not seperenambelas (1/16).
Teknik ini sering muncul pada berbagai lagu/repertoar yang bertempo sedang atau
cepat yang memiliki ritem rapat dengan not seperenambelas (1/16). Teknik
mangarutu biasanya lebih enak dan nyaman jika dimainkan untuk repertoar yang
bertempo sedang/cepat dibandingkan repertoar yang bertempo lambat, karena jika
dimainkan pada lagu atau repertoar lambat kesannya akan terdengar kasar dan seakan
dimainkan tidak pada tempatnya. Contoh teknik mangarutu dapat dilihat sebagai
berikut :
Contoh :
Keterangan :
 Setiap nada pertama dan nada ganjil pada pola teknik mangarutu di atas
ditiup dengan menggunakan penekanan lidah seperti pelafalan kata “tu”,
sedangkan nada kedua dan nada genap yang lain ditiup dengan meggunakan
penekanan lidah seperti pelafalan kata “ru”.
Secara praktis, teknik memainkan pola mangarutu pada repertoar dapat
dilihat pada penggalan melodi gondang siburuk berikut ini:
3.4.2.1.2 Mandila-dilai
Mandila-dilai merupakan teknik permainan lidah dengan memberikan
tekanan atau aksen lebih pada setiap nada yang dimainkan. Dalam istilah musik,
teknik ini lazim dikenal dengan istilah staccato. Untuk menghasilkan teknik
mandila-dilai atau staccato dalam permainan sulim biasanya diimitasikan dengan
cara
menekan lidah seperti mengucapkan kata “tut” .Biasanya teknik ini dapat
dimainkan jika hanya sesuai terhadap lagu atau repertoar yang dimainkan. Sebab
pada umumnya tidak semua lagu atau repertoar “enak dan cocok” jika disajikan
secara terus menerus dengan memakai pola staccato, paling hanya sedikit repertoar
dapat dimainkan dengan pola ini dan itu pun hanya di beberapa bagian tertentu saja.
Hal ini disebabkan karena umumnya repertoar Batak Toba jarang dimainkan dengan
pola staccato kecuali ditemui pada bagian penggalan melodi gondang hata sopisik
saja. Jika ada yang memainkan pola staccato dalam bentuk repertoar yang lain,
biasanya hal itu merupakan bagian dari improvisasi dari sipemain tersebut. Oleh
karena itu, teknik ini biasanya hanya muncul sesekali dalam penyajiannya. Contoh
teknik mandila-dilai dapat dilihat pada penggalan melodi repertoar gondang hata
sopisik di bawah ini.
3.4.2.2 Mangangguk (Teknik permainan lidah dan tiupan)
Di dalam teknik permainan ini yang paling berperan penting adalah
penekanan lidah
dan keras lembutnya tiupan nafas. Teknik permainan yang
melibatkan lidah dan tiupan ini dinamakan teknik mangangguk.
Mangangguk merupakan teknik permainan sulim dengan penggarapan sebuah
nada yang bersifat ritmik dengan memunculkan 2 (dua) nada yang sama dengan jenis
warna yang berbeda yakni nada oktaf atas (nada balikan) dan nada oktaf bawah
dalam interval dan wilayah nada satu oktaf. Dalam hal ini, ritme dari satu ketuk nada
panjang tersebut dilipatgandakan ke dalam bentuk not seperenambelas (1/16). Untuk
menghasilkan warna nada yang pertama yakni nada oktaf atas dilakukan dengan
penekanan lidah dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “tu”, sedangkan
warna nada kedua yakni nada oktaf bawah dihasilkan melalui tiupan lembut tanpa
tekanan lidah dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “hu”. Teknik ini
biasanya dipakai ketika memainkan lagu atau repertoar yang yang bernuansa
andung-andung (nyanyian ratapan) dengan tempo yang lambat ataupun sedang.
Contoh teknik mangangguk dapat dilihat dalam penggalan lagu andung berjudul
“Sawan” berikut ini:
Keterangan :
 Nada “g” oktaf bawah (g) yang menghasilkan bunyi “hu” dan nada “g “
oktaf atas (g’) yang menghasilkan bunyi “tu” menunjukkan pola garapan
ritmis dalam teknik mangangguk.
3.4.2.3 Mangenet (Teknik permainan jari dan tiupan)
Teknik mangenet merupakan kebalikan dari mangangguk dimana teknik ini
dimainkan dengan permainan jari dan tiupan nafas. Mangenet adalah suatu teknik
permainan nada dengan cara membuka dan menutup sedikit demi sedikit lobang nada
oleh jari dan mengkombinasikannya dengan keras-lembutnya tiupan nafas yang
bertujuan untuk menghasilkan nada yang bunyinya terkesan seperti ratapan tangis.
Teknik ini merupakan salah satu teknik yang bersifat improvisatoris yakni
pengembangan teknik yang biasanya dimainkan di luar melodi lagu atau repertoar
yang dimainkan dengan
tujuan untuk memperindah lagu atau repertoar yang
dimainkan. Sesuai dengan suara yang dihasilkan, teknik ini biasa dipakai untuk lagulagu yang bernuansa kesedihan dengan memainkan tempo lagu atau repertoar yang
lambat. Teknik mangenet dapat dilihat dari contoh penggalan lagu andung yang
berjudul tiope mual berikut ini :
Contoh penggalan melodi pokok vokal :
Contoh penggalan melodi dalam bentuk instrumen sulim dengan teknik mangangguk
:
Contoh penggalan melodi lagu dalam bentuk instrumen sulim dengan menggunakan
teknik mangangguk yang diakhiri dengan teknik mengenet :
Keterangan :
 Teknik mangenet dalam penggalan melodi di atas dapat dilihat dalam
pengembangan pola nada akhir yakni dari bentuk nada akhir penggalan
melodi kedua
menjadi nada akhir penggalan melodi ketiga
 Untuk menghasilkan nada “es” dalam penggalan nada
diperoleh
melalui teknik mangenet yakni dengan cara membuka sedikit demi sedikit
nada “d” (posisi nada keenam ditutup secara utuh) pada sulim dengan nada
dasar “F=1” sehingga lobang nada keenam yang ditutup secara utuh menjadi
terbuka setengah bagian sehingga perlahan akhirnya membentuk nada “es”.
3.4.2.4 Manganak-anaki (Teknik permainan lidah dan jari)
Dalam teknik permainan ini yang paling memiliki peranan penting adalah
fungsi lidah dan jari artinya, teknik manganak-anaki dapat terjalin jika ada kerja
sama yang baik antara lidah dan jari. Manganak-anaki merupakan sebuah teknik
dengan pola permainan nada yang mengkombinasikan permainan lidah dengan jari
dalam penggarapan ritem dasar dari suatu komposisi lagu. Secara bentuk, Pola
penggarapan pada teknik menganak-anaki sebenarnya sama dengan pengembangan
pola mangarutu, yaitu sama-sama dikembangkan dengan cara melipatgandakan not
seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) ke dalam bentuk not seperenambelas
(1/16). Yang membedakannya hanya pada teknik memainkannya. Mangarutu lebih
memaksimalkan fungsi lidah, sedangkan manganak-anaki lebih memaksimalkan
fungsi lidah dan jari, sehingga menghasilkan karakter bunyi yang berbeda.
Dalam hal ini sistem kerjasama antara fungsi lidah dan jari dapat ditunjukkan
melalui penekanan lidah pada bentuk ritem pertama yang kemudian disambut oleh
jari pada ritem berikutnya. Teknik penekanan lidah pada ritem yang pertama
dilakukan seperti pelafalan kata “tu” dan penekanan ritem yang kedua yang disambut
oleh jari dilakukan dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “wu”, sehingga
apabila kerjasama ini terjalin dengan baik, maka bunyi yang dihasilkan akan
membentuk 2 (dua) warna yang berbeda dari 2 (dua) nada yang sama. Teknik ini
biasanya muncul ketika memainkan lagu atau repertoar yang bertempo sedang
ataupun cepat. Secara praktis, teknik memainkan pola manganak-anaki pada
repertoar dapat dilihat pada contoh penggalan repertoar Sihutur Sanggul berikut ini:
Keterangan :
 Pola not seperenambelas
pada teknik manganak-anaki sama
dengan pengembangan pola not seperenambelas pada teknik mangarutu, yang
membedakannya hanyalah pada teknik memainkan dan produksi bunyinya.
Jika diimitasikan ke dalam bentuk bunyi, pola not seperenambelas pada
teknik manganak-anaki tersebut dimainkan dengan membentuk pola
“tuwutuwu tuwutuwu”, sedangkan pola not seperenambelas yang dimainkan
pada teknik mangarutu dimainkan dengan membentuk pola “turuturu
turuturu”.
3.4.2.5 Mangaroppol (Kombinasi teknik permainan lidah, jari dan tiupan)
Di dalam teknik permainan sulim, mangaroppol merupakan sebuah teknik
yang paling kompleks dibandingkan teknik yang lain karena teknik ini mampu
memaksimalkan ketiga fungsi yakni lidah, jari, dan tiupan nafas dalam porsi yang
relatif sama. Selain itu mangaroppol juga merupakan sebuah teknik permainan yang
memadukan berbagai teknik ke dalam satu bentuk permainan.
Pada prinsipnya, setiap pemain sulim memiliki karakter yang berbeda-beda
dalam bermain. Ada seorang pemain sulim yang memiliki ciri khas mangarutu dalam
setiap permainannya, ada pula orang tidak mampu memakai teknik mangarutu
sehingga mengakibatkan dia bermain dengan memakai teknik manganak-anaki
sebagai ciri khasnya, dan ada pula pemain sulim yang tidak bisa memainkan keduaduanya sehingga dia selalu memakai teknik mangangguk dalam setiap permainannya
baik ketika memainkan lagu atau repertoar yang lambat maupun yang cepat.
Tetapi selain daripada ketiga bentuk ciri khas pemain di atas ada pula seorang
pemain sulim yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan tersebut.20
Orang yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan tersebut di atas
biasanya selalu menyuguhkan lagu atau repertoar yang dimainkan dengan metode
penggabungan ketiga teknik tersebut yang dinamakan dengan teknik mangaroppol.
Ketiga bentuk permainan tersebut merupakan teknik dasar yang pada prinsipnya
harus diketahui oleh setiap pemain sulim. Oleh karena itu, seorang pemain sulim
yang baik diharapkan mampu memainkan teknik mengaroppol dalam setiap
memainkan sebuah lagu atau repertoar tertentu. Contoh teknik mangaroppol yakni
teknik yang memadukan antara teknik mangarutu, mangangguk, dan manganakanaki dapat dilihat dalam bentuk penyajian penggalan melodi pembuka atau
introduce repertoar gondang batara guru berikut ini:
20
Tingkat kemudahan antara ketiga teknik permainan tersebut tergantung pada kebiasaan
dan kemampuan sipemain itu sendiri. Masing-masing teknik tersebut diperoleh melalui proses yang
berbeda-beda, ada yang belajar secara otodidak (marsiajar sandiri) dan ada yang belajar dari seorang
guru/ahli sulim (marguru)
Keterangan :
 Pola “tu ru” mewakili teknik mangarutu
 Pola “tu wu” mewakili teknik manganak-anaki
 Pola “tu hu” mewakili teknik mangangguk
3.5 Proses Belajar Sulim
Pada umumnya, pengetahuan untuk memainkan instrumen Batak Toba
dipelajari dengan cara oral tradition (tradisi lisan). Dalam konteks ini, belajar yang
dimaksud adalah dengan cara melihat dan mendengar serta memperhatikan secara
seksama
sebuah
permainan
instrumen
tersebut
kemudian
menirukan
dan
menghafalkannya.
Dalam budaya musikal masyarakat Toba, ada 2 (dua) macam proses belajar.
Kedua proses belajar tersebut merupakan proses belajar yang diperoleh secara
langsung dan tidak langsung. Proses belajar yang diperoleh secara langsung dari
seorang pengajar dalam istilah masyarakat Batak Toba lazim disebut dengan
marguru, sedangkan proses belajar yang diperoleh secara tidak langsung disebut
dengan marsiajar sandiri (otodidak).
3.5.1 Marguru
Secara harafiah, marguru memiliki arti belajar dari seorang guru atau
instruktur. Dalam konteks belajar sulim, marguru diartikan dengan seseorang yang
belajar kepada seorang pemain sulim yang dianggap sudah mahir dan profesional.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kata “mahir” dan “profesional” adalah telah
terjun bermain musik dalam acara-acara adat Batak Toba dan telah memperoleh
legitimasi (pengakuan) dari masyarakat itu sendiri. Bentuk pengakuan tersebut dapat
dilihat ketika mayoritas masyarakat Batak Toba baik dalam ruang lingkup nasional
maupun hanya daerah setempat sudah mengenal bahkan meyakini bahwa si pemain
sulim tersebut sudah pernah bermain sulim pada setiap acara-acara adat mau pun
dalam bentuk even yang lain sesuai konteks penyajiannya.
Di dalam konteks marguru, ada 2 (dua) oknum yang terlibat yakni murid dan
guru. Dalam prosesnya, seorang murid biasanya akan mendapatkan pengetahuan
bermain sulim dengan bimbingan langsung oleh sang guru. Pada prinsipnya, setiap
guru pasti memiliki metode yang berbeda-beda dalam mengajar, tapi pada dasarnya
tujuannya sama saja yakni supaya si murid lebih mudah untuk memahami dan
mampu memainkan sulim dengan baik.
Secara umum, metode yang biasa dipakai oleh seorang guru untuk
mengajarkan cara bermain sulim yang baik kepada muridnya adalah dengan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut yaitu pengajaran cara meniup yang baik,
penguasaan posisi jari (penjarian), penguasaan tangga nada, penguasaan teknik
bermain, hingga kepada penguasaan dan penghafalan melodi lagu atau repertoar
yang akan dimainkan.
Jika seorang murid sudah mampu meniup dengan baik dan menguasai
penjarian serta tangga nada sulim tersebut, berikutnya sang guru akan mengajarkan
teknik-teknik permainan. Dalam mengajarkan pola teknik permainan, metode yang
dipakai oleh sang guru tersebut adalah dengan mengimitasikan atau menirukan
teknik permainan yang ada pada sulim tersebut ke dalam bentuk bunyi vokal yang
bertujuan agar simurid dapat membedakan karakter bunyi yang terdapat dalam suatu
bentuk teknik permainan yang berbeda- beda.
Pengajaran teknik bermain biasanya sejalan dengan pengajaran melodi lagu
atau repertoar yang akan dimainkan. Sebab dalam memainkan melodi itulah sang
guru menerapkan teknik-teknik dalam bermain. Dalam pengajaran teknik bermain
sulim, sang guru akan mengambil sampel repertoar lagu Batak Toba yang ada,
biasanya pada awalnya akan dimulai dari repertoar yang mudah dimainkan terlebih
dahulu. Ciri-ciri repertoar yang mudah dimainkan biasanya dapat dilihat dari durasi
melodi yang singkat, dan berisikan nada-nada yang berinterval pendek.
Agar simurid dapat lebih mudah menguasai teknik sekaligus menghafalkan
setiap melodi lagu ataupun repertoar yang diinginkan, sang guru akan
mengajarkannya melalui 2 (dua) langkah, langkah yang pertama yaitu dengan
pengajaran metode ende baba/gondang baba (mengimitasikan dengan nyanyian
mulut) atau dalam istilah musik Barat disebut dengan mnemonics, dan langkah yang
kedua yakni dengan cara memainkan instrumen secara langsung.
Dalam metode pengajaran ende baba, setiap bunyi atau melodi yang
dimainkan dibedakan dengan membuat klasifikasi suara yang dihasilkan dengan
menggunakan lidah, jari, dan tiupan nafas. Kemudian bunyi tersebut diimitasikan
melalui nyanyian mulut (manggondang babai) dalam bentuk suku kata. Pola suku
kata pada penyajian ende baba/ gondang baba oleh masing-masing guru/ pengajar
sulim biasanya berbeda-beda tergantung kebiasaan masing-masing. Contoh bentuk
manggondang babai atau pengimitasian melalui nyanyian mulut dalam bentuk suku
kata yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari salah satu contoh gondang baba dari
penggalan nada gondang siburuk berikut ini “hudagidigidigidigidugudugudugudug
hudagidigidigidigidugudugudugudug”.
Suku
penggalan melodi yang diajarkan tersebut.
kata
tersebut
menggambarkan
Kemudian setelah simurid telah mampu
menirukan bunyi yang dinyanyikan oleh sang guru atau disebut dengan istilah
manggondang babai, maka sang guru pun akan melakukan langkah kedua yakni
dengan cara memainkan langsung sulim tersebut sesuai dengan melodi lagu yang
diimitasikan melalui nyanyian mulut. Ketika sang guru mempraktekkan cara
memainkan suatu motif, kemudian simurid pun menirukan. Demikianlah seterusnya
hingga frase, bentuk dan keseluruhan melodi lagu dimainkan secara utuh.
Namun, selain belajar dengan cara marguru tidak tertutup kemungkinan
seseorang mampu belajar dengan cara yang lain, misalnya dengan menonton
berbagai pertunjukan yang menampilkan permainan sulim, mendengarkan musik
yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan lain sebagainya yang selanjutnya
akan dipelajari sendiri oleh pelajar tersebut. Namun untuk ini biasanya seseorang
haruslah sudah memiliki dasar-dasar keterampilan memainkan sulim.
3.5.2 Marsiajar sandiri (otodidak)
Selain belajar dari seorang guru, teknik bermain sulim juga dapat dipelajari
sendiri secara otodidak yaitu belajar hanya dari pengalaman tanpa adanya bimbingan
dari seorang parsulim (pemain sulim). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud
menyangkut berbagai aktivitas seseorang tersebut untuk mencari dan menggali
sendiri ilmu yang ingin diperoleh melalui berbagai cara. Dalam proses belajar secara
otodidak, pengetahuan memainkan sulim dapat diperoleh dengan berbagai cara
seperti menonton berbagai pertunjukan musik yang menampilkan permainan sulim,
meningkatkan intensitas mendengarkan musik ataupun lagu-lagu yang menyuguhkan
repertoar permainan sulim dan jenis aktivitas lainnya yang berkaitan dengan
permainan sulim. Dalam hal ini, apabila seseorang ingin belajar secara otodidak
maka orang tersebut akan menirukan apa yang dilihat dan didengar dengan
pendekatan caranya sendiri. Dalam istilah masyarakat Batak Toba, metode belajar
secara otodidak inilah dinamakan dengan istilah marsiajar sandiri.
Pada umumnya, pengetahuan yang diperoleh dari proses marsiajar sandiri
biasanya akan memiliki lebih banyak warna permainan dibandingkan belajar dari
seorang guru atau marguru, karena dengan marsiajar sandiri ilmu yang diperoleh
bersumber dari beberapa pemain sulim dengan teknik yang berbeda-beda sesuai dari
apa yang dilihat dan didengar dari dalam pengalaman sehari-hari. Dilihat dari kedua
metode di atas, apabila dibuat sebuah analisa tentang perbandingan teknik permainan
sulim oleh orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marguru dengan orang
yang mendapat pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri, dapat diambil
kesimpulan bahwa orang yang marguru akan cenderung mengikuti teknik dan cara
bermain yang diberikan oleh gurunya, atau dengan kata lain teknik permainan yang
dia mainkan hanya merupakan imitasi atau perniruan dari seseorang, sementara
orang yang memiliki pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri akan cenderung
memiliki lebih banyak jenis karakter permainan, sebab setiap gaya ataupun teknik
yang dimainkan berasal dari beberapa pemain dengan gaya atau karakter permainan
yang berbeda-beda.
Walaupun secara umum metode belajar sulim melalui proses marguru dan
marsiajar
sandiri,
terkadang
ada
juga
seseorang
yang
belajar
dengan
mengkombinasikan kedua metode tersebut, yakni pada awalnya belajar kepada
seorang guru dan selanjutnya memperdalam teknik permainannya dengan caranya
sendiri sehingga dia memiliki ciri khas tersendiri selain dari pada yang diperoleh dari
sang guru tersebut.
BAB IV
KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI
DAN PENGGUNAAN SULIM
Pada Bab ini, penulis akan mengkaji kontinuitas dan perubahan yang terjadi
dalam aspek fungsi dan penggunaaan sulim.
Berbicara tentang kontinuitas, selain dari pada penggunaan bahan baku dan
ciri khas bunyi sulim, penulis lebih menitikberatkan penjelasan kontinuitas pada
aspek fungsi musikalnya. Sedangkan tentang perubahan yang terjadi, selain
menyangkut perubahan fisik instrumen penulis lebih menitikberatkan penjelasan
pada masa penggunaannya dalam berbagai konteks mulai dari konteks solo
instrumen, ensambel, pengiring lagu, kolaborasi instrumen, dan konteks insidental
sesuai dengan periode waktu penggunaannya.
4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas
Di antara kesepuluh fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam,
dalam hal ini penulis hanya menitikberatkan fungsi musikal sulim pada fungsi
komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani,
penghayatan estetis dan fungsi ritual dan lima diantara keenam fungsi tersebut yaitu
fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani
dan penghayatan estetis merupakan wujud dari adanya kontinuitas yang masih tetap
dipertahankan dan diterima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba sampai
sekarang, sementara satu fungsi yang lain yakni fungsi ritual sudah mengalami
perubahan dan bahkan telah diabaikan.
4.1.1 Fungsi komunikasi
Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah
dianggap mengkomunikasikan sesuatu. 21 Sejalan dengan pendapat tersebut, fungsi
sulim sebagai media komunikasi dapat dilihat ketika alat musik ini dimainkan
bersama dengan istrumen lainnya pada saat upacara adat atau pun perayaan pesta
adat seperti Gondang Naposo 22 dan lain sebagainya. Dalam hal ini, fungsi sulim
sebagai media komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yakni komunikasi secara
vertikal dan komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni
komunikasi antara manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara
horizontal yakni komunikasi antara manusia dengan sesama.
Sebagai bentuk komunikasi yang bersifat vertikal dapat kita lihat ketika sulim
memainkan repertoar gondang tertentu seperti repertoar Gondang Somba-somba
yang memiliki makna penghormatan dan penyembahan kepada sang Pencipta,
dimana sang Pencipta dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan kepada
semua yang hadir pada acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang bersifat
horizontal dapat dilihat pada saat sulim memainkan repertoar yang lain seperti
repertoar Gondang Embas-embas yang mencerminkan komunikasi antara sipargonsi
21
22
Lihat Panggabean, 1996:86.
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang merupakan
sarana untuk membina hubungan antara generasi muda
(pemain musik) dengan sipanortor (orang yang menari), dimana sipargonsi meminta
kepada semua orang yang manortor agar marembas23 ketika manortor.
4.1.2 Fungsi hiburan
Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai
aspek kehidupannya. Hiburan biasanya dipakai sebagai media untuk memberikan
rasa senang/ bahagia bagi orang yang membutuhkannya. Pada hakekatnya hiburan
tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang dilingkupi rasa duka atau memiliki
beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat dinikmati oleh orang tertentu
yang memang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk menyaksikan atau
mendengarkan hiburan tersebut.
Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada saat
bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal
biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acaraacara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain
sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks
acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil
seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat nonformal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi maupun
golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang ditentukan
dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu luang.
Berkaitan dengan ketiga konteks hiburan tersebut, sulim yang berfungsi
sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang sudah sering dipakai dalam
23
Marembas adalah sejenis bentuk tarian Batak Toba dengan cara menghentakkan kaki ke
depan dan ke belakang sambil mengayunkan tangan.
seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal, maupun non-formal. Sebagai
wujud dari fungsi sulim sebagai media hiburan dalam konteks formal dapat kita lihat
ketika sulim menjadi instrumen pengiring maupun instrumen pokok pada saat acara
seni pertunjukan yang bertemakan konser/ festival maupun non-konser.
Pertunjukan formal yang bersifat konser misalnya ketika sulim ditampilkan
pada acara Konser Akbar, Konser Paduan Suara, Festival Paduan Suara, Festival
Kolaborasi Etnik Modern dan sebagainya. Pertunjukan formal yang bersifat non
konser misalnya ketika sulim disajikan sebagai instrumen pengiring lagu solo atau
paduan suara untuk mengisi hiburan dalam acara akadamis seperti Wisuda, Dies
Natalis/ulang tahun, Pengukuhan Guru Besar atau seseorang dan sebagainya.
Fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan semi formal dapat
dilihat ketika sulim ditampilkan dalam setiap acara pertunjukan musik dadakan di
acara-acara kampus, pertunjukan mini konser paduan suara sekuler atau non gerejawi
dan sebagainya, dan fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan nonformal dapat kita lihat ketika sulim juga ditampilkan secara tunggal atau
dikolaborasikan dengan berbagai instrumen lain pada saat pertunjukan mengamen di
pinggir jalan, pertunjukan musik di Mall, atau di tempat- tempat-tempat tertentu yang
ideal dijadikan sebagai objek yang bersifat non formal dan bisa disaksikan oleh
masyarakat umum atau khalayak ramai.
Selain dari berbagai pernyataan di atas, sulim juga dapat dijadikan sebagai
media untuk menghibur diri sendiri atau orang lain yang meminta untuk dihibur.
Marsius Sitohang selaku seorang yang dikenal sebagai maestro sulim pernah berkata
bahwa sudah banyak orang Batak Toba maupun Non-Batak Toba yang pernah
meminta dirinya untuk memainkan sulim secara solo dengan membawakan repertoar
tertentu dengan alasan untuk kesenangan pribadi. Sebab menurut orang selaku
penikmat tersebut, Marsius tidak hanya mahir dalam memainkan sulim tetapi dia
juga memiliki karisma yang seakan mampu menghipnotis sipendengar melalui
alunan syahdu sulim yang dimainkannya.
4.1.3 Fungsi perlambangan
Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik juga dapat berfunsi sebagai
perlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai tingkah
laku, oleh orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa
masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil yang
seakan-akan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal
itu bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar yang
disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya kebanyakan
repertoar gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan
lirik yang sangat rapat, dengan tempo dan durasi waktu yang berbeda-beda. Hal ini
membuktikan bahwa musik juga dapat menunjukkan identitas dari masyarakat
pendukungnya. Dengan kata lain, tipikal musik atau repertoar yang mereka sajikan
sesungguhnya melambangkan gambaran umum mengenai tingkah laku dari
masyarakat Batak Toba itu sendiri.
Sama halnya jika kita mendengarkan alunan musik di luar Batak Toba seperti
musik tradisi Karo misalnya. Musik tradisi Karo dikenal dengan ciri khas musiknya
yang selalu memunculkan nuansa rengget 25 dengan tempo yang lebih lambat dari
musik Batak Toba, orang yang pernah mendengarkan akan langsung berkata bahwa
24
25
Alan P. Merriam, 1964, hal.119-222.
Rengget adalah semacam ornamentasi musikal sebagai ciri khas musik tradisi Karo.
itulah musik tradisi Karo, sebab masyarakat Karo secara umum dikenal dengan
tipikal orang yang bersifat lembut dan berbicara dengan nada halus dan memakai
rengget ketika bernyanyi. Artinya, bahwa musik tradisi Karo juga melambangkan
tingkah laku dan kebiasaan masyarakat Karo itu sendiri.
Jika dihubungkan antara fungsi musik sebagai perlambangan/simbol dengan
sulim sebagai instrumen, maka dapat diartikan bahwa sulim juga memiliki fungsi
musikal sebagai
media untuk mengungkapkan makna perlambangan/simbol itu
sendiri, sebab sulim juga merupakan salah satu instrumen pokok masyarakat Batak
Toba yang mampu berperan membawakan melodi lagu atau repertoar secara utuh.
Pada saat sulim dimainkan untuk membawakan beberapa lagu atau repertoar, maka
masyarakat yang mendengarnya baik suku Batak Toba maupun di luar suku Batak
Toba akan mengatakan bahwa itulah ciri khas musik Batak Toba.
Selain memiliki kebiasaan sperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat
Batak Toba juga dikenal memiliki kebiasaan mangandung 26 pada saat menangisi
orang yang meninggal. Salah satu kebiasaan ini juga dapat kita lihat ketika sulim
juga mampu memainkan teknik andung yang diimitasikan dari alunan suara
seseorang yang sedang meratap. Oleh karena itu dapat dibuktikan bahwa berbagai
bentuk kebiasaan atau tingkah laku dari masyarakat Batak Toba dapat dilambangkan
melalui alunan sulim.
4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan atau
emsosional sebagai wujud dari rasa suka maupun duka. Oleh setiap orang perasaan
26
Mangandung artinya menangis yang ditunjukkan melalui nyanyian ratapan.
tersebut juga diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Pada umumnya
seseorang yang dilingkupi kesedihan akan menunjukkannya dengan tangisan,
sebaliknya seseorang yang sedang merasakan kebahagiaan dan sukacita akan
menunjukkannya
dengan
cara
tertawa.
Namun,
ada
kalanya
seseorang
mengungkapkan perasaannya dengan caranya sendiri. Musik juga merupakan media
yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Sebagai contoh, ada orang
mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi, ada orang mengungkapkan
perasaannya lewat penulisan lirik lagu, dan ada pula orang yang mengungkapkan
perasaannya dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional dengan ketiga
cara tersebut diekspresikan sesuai dengan kondisi dan suasana hati orang tersebut.
Sulim sebagai instrumen yang juga dapat dimainkan secara tunggal/solo dapat
berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Ketika seseorang
merasakan kesedihan maupun sukacita, perasaan itu dapat ekspresikan melalui
alunan melodi sulim. Dahulu sebelum Marsius Sitohang diangkat sebagai Dosen luar
biasa di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara dan sebelum dia
terkenal sebagai salah seorang maestro sulim, beliau adalah seorang kepala rumah
tangga yang bermata pencaharian sebagai penarik becak dayung. Pada saat
menunggu penumpang beliau seringkali memainkan instrumen sulim dengan duduk
di atas becak dayungnya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan hal tersebut,
beliau menjawab dengan intonasi/dialek Bataknya yang kental, “yaaahhh itu karena
senang sekali memainkan sulim…jadi kalo saya bermain sulim bisa menambah
semangat dalam bekerja”, tandasnya.
Dari pernyataan beliau tersebut dapat diartikan bahwa musik juga ternyata
mampu menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia. Terlihat jelas bahwa sulim juga
dapat memberikan dampak bagi hidup orang yang sudah sangat gemar dalam
memainkannya. Bagi seorang Marsius, peran sebuah sulim sangat besar sekali dalam
berbagai aktivitas kehidupannya. Ketika beliau mengatakan bahwa dengan
memainkan sulim semangat beliau semakin bertambah, itu artinya perasaan senang
atau suka cita yang beliau dambakan untuk menambah semangat beliau dalam
bekerja diwujudkannya melalui alunan sulim.
Sehubungan dengan hal itu, dapat dilihat bahwa fungsi sulim sebagai media
pengungkapan emosional dapat dilihat dari sudut pandang dan situasi yang berbedabeda. Sebagai contoh, ketika sulim ditampilkan bersama instrumen Batak Toba yang
lain pada sebuah acara adat Pesta Gondang Naposo 27 , fungsi pengungkapan
emosional dapat dilihat ketika manortor (menari). Alunan sulim pada saat mengiringi
tortor 28 dapat memberikan pengaruh bagi sipanortor (orang yang manortor) itu
sendiri. Jika alunan sulim tersebut lincah dan dinamis akan menambah semangat
panortor (penari) bahkan kadang-kadang sampai meloncat kegirangan. Itu artinya
alunan melodi sulim itu pun ternyata mampu menggugah emosi sipanortor sehingga
sampai meloncat kegirangan.
4.1.5 Fungsi penghayatan estetis
Pada dasarnya, seseorang dapat menikmati musik karena secara psikologis
dia mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan
musik dengan baik apabila dia mampu menghayati permainannya dengan baik.
Seorang pemain sulim atau pemain instrumen musik apapun tidak akan maksimal
27
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi dengan iringan gondang. Biasanya
dilaksanakan setelah panen selesai.
28
Tortor merupakan istilah tarian yang diiringi musik tradisional Batak Toba.
menggunakan intrumen yang dimainkannya jika dia tidak mampu menghayati
permainan musik tersebut dengan baik walaupun secara teknis orang tersebut mahir
memainkannya.
Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak Toba
di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain musik
maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita”29 yang
artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi setiap saat
sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan diri kita
sendiri. Dengan demikian apabila kita telah menganggap musik itu menjadi bagian
dari kehidupan kita, maka kita harus merawat, menjaga dan memperlakukan
instrumen yang kita mainkan tersebut dengan baik. Sama halnya jika kita ingin
mahir dalam bermain sulim, selain berlatih dengan tekun dan gigih maka kita juga
harus merawat dan menjaga serta memainkan sulim itu sebaik kita memperlakukan
orang yang kita sayangi. Bahkan pada saat dimainkan sekalipun, kita harus menjiwai
dan menghayati permainan kita seakan kita sedang memperlakukan orang yang kita
sayangi.
Selain daripada itu, sulim sebagai instrumen
yang juga dapat berfungsi
sebagai media untuk penghayatan estetis dapat kita lihat dari peristiwa lain seperti
gerakan tortor yang dilakukan pada saat manortor yang diiringi sulim bersama
instrumen lainnya pada acara-acara adat Batak Toba. Pada umumnya tidak semua
orang Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pembelajaran manortor, tetapi
kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselarasan antara gerakan
tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan irama musik yang dimainkan
29
Wawancara sambil lalu di Medan, Desember 2011.
oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan itu muncul
akibat adanya penghayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan alunan musik
yang dimainkan.
4.1.6 Fungsi reaksi jasmani
Fungsi musikal sulim sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya
sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis. Sebab
reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional,
dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud
dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat dengan kembali mengambil contoh
manortor pada saat pesta adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Ketika parsulim
(sipemain sulim) memainkan sulimnya dengan baik ditambah dengan pembawaan
repertoar yang baik pula, maka sipanortor akan manortor kegirangan sembari
mengeluarkan seruan-seruan seperti “eeee….mmada….”
yang secara harafiah
diartikan “yaaa inilah” yang seolah-olah kata tersebut menegaskan “ya inilah
kegembiraan kita”.
Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi
(pemusik) kurang enak kedengarannya bagi panortor ditambah kemungkinan kurang
mahirnya siparsulim atau pemain instrumen yang lain dalam bermain, maka akan
spontan juga para pargonsi (pemusik) akan mendapat teriakan atau sorakan negatif
dari para panortor. Juniro Sitanggang yang juga sebagai salah seorang pemain sulim
dari Samosir pernah berkata bahwa group musik mereka pernah mendapat teguran
atau sorakan yang kurang mengenakkan dari panortor pada saat acara adat
pernikahan Batak Toba di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Ketika musik
baru saja mengalun tiba-tiba beberapa panortor spontan berteriak “ ai denggan jo
bahen hamu boohhhh….” yang artinya bahwa mereka berharap supaya pargonsi
tersebut memainkan musiknya dengan lebih baik lagi agar enak kedengaraanya bagi
mereka yang manortor. 30 Dari pernyataan tersebut dapat kita artikan bahwa enak
tidaknya sajian sebuah musik akan memperoleh reaksi jasmani positif ataupun negaif
dari orang yang mendengarkannya.
4.2 Konteks Penggunaan sulim dalam Berbagai Periode sebagai Fenomena
Perubahan
4.2.1 Konteks solo instrumen
Seperti telah diuraikan pada bab-I skripsi ini, jelas dikatakan bahwa sulim
awalnya hanya merupakan sejenis instrument tunggal. Namun tidak diketahui secara
pasti kapan sejarah awal penggunaan sulim tersebut digunakan sebagai instrumen
tunggal. Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal adalah instrumen yang
dimainkan secara tunggal dan tidak boleh dimainkan ke dalam ensambel, baik
gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya sudah
ditetapkan komposisi instrumen pada kedua ensambel tersebut. Dalam hal ini,
penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua ensambel tersebut karena
berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam musik adat masyarakat
Batak Toba yakni ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan.
Pada saat itu, sulim biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk
mengisi kekosongan atau menghibur diri pribadi saja. Sulim juga tidak pernah
dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen-
30
Wawancara sambil lalu di Taman Budaya Sumatera Utara Medan, Juni 2012.
instrumen yang ada pada ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan.
Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai ensambel
Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya instrumen
yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun
gondang sabangunan saja, melainkan berbagai ensambel atau format musik yang
lain.
Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,
sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga
pada saat ini. Patut diduga, hal ini disebabkan karena sulim merupakan instrumen
tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih
luas dibandingkan instrumen tunggal Batak Toba lainnya, sehingga berbagai jenis
lagu atau repertoar dapat dengan mudah dimainkan pada instrument ini.
Sementara instrumen tunggal yang lain (lihat bab-II) sudah sangat jarang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa
beberapa di antaranya
sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga,
jenggong, tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini
sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
hanya satu dua orang saja yang masih melestarikan instrumen ini.
Berkaitan dengan penggunaannya dalam kontek tunggal (solo), Guntur
Sitohang mengatakan bahwa ternyata dari zaman dahulu hingga pada zaman
sekarang, sulim juga sering memainkan peran mangandung 31 yang seyogianya
awalnya dimainkan oleh sordam. Jauh sebelum sulim dimasukkan ke dalam bentuk
ensambel atau berbagai instrumen yang lain, dahulu sulim sudah memainkan alunan
31
Dalam konteks ini, mangandung diartikan kepada teknik yang mengimitasikan sebuah
isak tangis atau nyanyian ratapan masyarakat Batak Toba ke dalam bentuk permainan sulim.
andung (ratapan). Namun ketika itu, sulim hanya mampu memainkan alunan andung
yang sifatnya untuk hiburan pribadi semata tanpa pernah ditampilkan ke dalam
bentuk seni pertunjukan. Namun zaman sekarang ini identitas sulim sebagai pelantun
alunan andung semakin dikenal seiring semakin langkanya instrumen musik sordam.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sordam juga merupakan salah
satu instrumen tunggal yang dahulu dimainkan dengan ciri khas mangandung.
Namun seiring semakin langkanya sordam pada masyarakat Batak Toba, peran
tersebut mampu digantikan oleh sulim. Mangandung identik dengan nuansa
kesedihan. Teknik mangandung yang biasa dimainkan pada sulim sangat mirip
dengan yang awalnya dimainkan oleh sordam, bahkan menurut pengamatan penulis
nuansa mangandung yang dimainkan oleh sulim lebih terasa dibandingkan ketika
dimainkan oleh instrumen sordam. Dalam konteks penyajiannya, zaman sekarang ini
teknik mangandun tidak hanya disuguhkan pada saat bermain solo tetapi juga sering
ditampilkan pada saat memainkan berbagai lagu atau repertoar yang memiliki tema
kesedihan bersama instrumen lainnya dalam konteks ensambel gondang hasapi.
4.2.2 Konteks ensambel
Berbicara mengenai ensambel, dalam pembahasan ini penulis memfokuskan
penjelasan penggunaan sulim ke dalam ensambel yang berkembang pada masyarakat
Batak Toba dari masa dahulu hingga masa kini. Ensambel yang dimaksud adalah
gondang hasapi dan ensambel brass band atau yang dikenal dengan musik tiup.
Masuknya peran penggunaan sulim ke dalam berbagai ensambel tersebut dibedakan
ke dalam era zaman yang berbeda. Sejarah penggunaan sulim yang mulai
diintegrasikan dengan gondang hasapi diawali dari masuknya era opera Batak pada
tahun 1920-an hingga 1970-an, sedangkan peran atau penggunaan sulim yang
dipadukan dengan ensambel brass band ditandai dari fenomena musik tiup yang
berkembang pada tahun 1980-an. Dalam hal ini, baik dalam gondang hasapi maupun
brass band atau musik tiup, sulim berperan sebagai pembawa melodi bersama-sama
dengan isntrumen melodis lainnya.
4.2.2.1 Konteks gondang hasapi
Secara historis, kehadiran sulim dalam gondang hasapi tidak diketahui secara
pasti. Penggabungan sulim dengan gondang hasapi maupun dengan ensambel yang
lain mulai dikenal sejak munculnya bentuk seni pertunjukan pada masyarakat Batak
Toba yang dikenal dengan opera Batak.
Opera Batak adalah pertunjukan opera bergaya Batak, istilah ini bukanlah
istilah baku dalam entitas kebudayaan Batak. Di kalangan Batak tidak jarang sebutan
itu dianggap sebagai bagian dari tradisi kebatakan karena para pelopor opera Batak
pada awal kemunculannya pada tahun 1920-an adalah orang-orang Batak, seperti
Tilhang Gultom. Umumnya, ceritanya menghadirkan pesan moral bagi siapa saja
yang menyaksikan.
Puncak kejayaan Opera Batak pada tahun 1960-an, ketika penampilannya
sudah bertaraf nasional atas undangan presiden Republik Indonesia Soekarno di
Istana Merdeka. Opera Batak bisa saja menjadi suatu entitas baru dalam kebudayaan
Batak setelah Batak harus berubah dari tradisi klasiknya dengan berbagai bentuk
upacara (teater awal) dan tradisi pertunjukan seperti teater boneka sigale-gale dan
hoda-hoda (semacam Jaran Kepang di Jawa), dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa
opera Batak bukanlah kebudayaan tradisi asli. Kehadirannya merupakan suatu situasi
transisi dalam masyarakat dan kebudayaan Batak.
Awalnya opera Batak berasal dari tanah kurang subur, tepatnya di Sitamiang,
Onan Runggu (Samosir) sebagai kelompok penggembala kerbau. Salah satunya ialah
Tilhang Gultom (+ 1896–1970), anak kelima dari Raja Sarumbosi Gultom. Tiga
orang parhasapi (pemain) merupakan cikal bakal sebutan Tilhang Parhasapi pada
tahun 1925 .
Pada awalnya pertunjukan dilakukan di rumah-rumah sebelum undangan dari
luar daerah. Pemainnya berjumlah 12 (dua belas) orang yang sebagiannya adalah
anggota keluarga Gari Gultom abang ayahnya Tilhang Gultom. Pada tahun1927
Tilhang Gultom kemudian pindah ke Tigadolok (Simalungun) dan
mempunyai
pemain sebanyak 50 (lima puluh) orang . Kurun waktu antara tahun 1914-1938,
muncul gerakan identitas dan nasionalisme Batak yang dikenal dengan nama Dos Ni
Roha, dan ini menjadi sponsor utama grup Tilhang. Sehingga pada tahun 1934
pertunjukan keliling dimulai sampai ke Penang dan semenanjung Melayu (Daniel
Perret, 2010:338-350) .
Sebagai grup Tilhang Opera Batak mulai dikenal pada 1928-1930. Perubahan
nama grup masih dilakukan Tilhang sampai tahun 1937, antara lain Tilhang Batak
Hindia Toneel, Ria TOR, dan Tilhang Toneel Gezelschaap. 32 Pada masa kolonial
Jepang di Indonesia, grup Tilhang bernama Sandiwara Asia Timur Raya dengan
jumlah anggota sebanyak 40 (empat puluh) orang. Selanjutnya, setelah kemerdekaan
nama grup ini berubah menjadi Panca Ragam Tilhang dan Serindo (Seni Ragam
Indonesia).
32
E.K. Siahaan, 1981 hal. 10.
Demikianlah sejarah singkat awal tumbuh dan berkembangnya opera Batak
sebagai teater tradisi (teater rakyat) yang telah memiliki ketenaran pada zamannya.
Melakukan pertunjukan dari kampung ke kampung, terutama ke daerah-daerah yang
baru selesai panen, karena ticket (oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan
karcis) untuk menonton opera Batak dulunya bisa dilakukan dengan menukarkan
hasil panen, dan hiburan rakyat ini sangat dinikmati masyarakat pada masa itu.
Secara dramaturgi, opera Batak merupakan suatu pertunjukan variatif yang
menampilkan ceritera yang berisikan pesan moral, cerita rakyat dan merupakan suatu
seni pertunjukan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal
masyarakat. Sebagai contoh, cerita “Si Jonaha Penipu Ulung”. Ceritera ini
mengisahkan seorang lelaki bernama Jonaha yang suka menipu, sehingga dia
menjadi komoditas perdagangan manusia, karena suka berhutang dan berjudi,
sehingga ketika tidak mampu membayar hutang, dia diperjual belikan. Naskah ini
ditampilkan dalam 4 (empat) bahasa yaitu Karo, Simalungun, Toba, dan Bahasa
Indonesia), dan latar tempatnya dari Tanah Karo, Simalungun dan Tapanuli. Cerita
ini berisi pesan moral; tidak boleh menipu sesama manusia, terutama melakukan hal
yang merugikan orang lain.
Para pemain opera Batak juga terdiri dari berbagai agama, suku dan daerah
asal. Sehingga dengan keberagaman itu, masing-masing bisa bebas mengekspresikan
dirinya sesuai dengan latar belakang etnisnya masing-masing.
Untuk elemen seni, selain menampilkan seni teater, opera Batak juga
memadukan hal lain yang bernuansakan keberagaman, seperti seni musik yang
menyajikan paduan instrumen dan vokal (ensambel musik tradisional Batak Toba,
Melayu, Jawa dan lagu-lagu) dan seni tari . Dalam tarian juga ada dikenal namanya
Tortor Lima Puak (Lima Suku Batak) dan menampilkan tarian Melayu33. Walaupun
pertunjukan tersebut menampilkan musik dan lagu
dari berbagai suku/etnis
khususnya suku yang ada di Sumatera Utara, namun instrumen yang dimainkan
tetaplah berbagai instrumen dari ensambel musik Batak Toba khususnya ensambel
gondang hasapi yang dikembangkan dengan masuknya instrumen sulim.
Pada pertunjukan opera Batak, musik merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam penggarapan sebuah cerita. Kehadiran musik dalam opera
Batak berfugsi untuk membangun suasana dalam setiap adegan, baik sebagai
pengiring tarian maupun pengiring nyanyian. Selain itu, keseluruhan instrumen
musik kadangkala dimainkan sebagai musik instrumentalia yang bertujuan untuk
mendemonstrasikan alat-alat musik tersebut dalam suatu pertunjukan. Oleh karena
itu, hampir semua instrumen yang ada pada masyarakat Batak Toba selalu
ditampilkan dalam setiap pertunjukan opera Batak, bahkan kadang-kadang juga
menyertakan instrumen di luar etnis Batak Toba seperti biola, gitar dan
sebagainya.34
Dalam konteks pertunjukannya, penggunaan instrumen musik tradisional
selalu disesuaikan dengan karakter maupun adegan yang disajikan, misalnya :
gondang sabangunan biasanya digunakan untuk mengiringi tarian, gondang hasapi
digunakan sebagai pengiring tarian dan kadangkala digunakan juga untuk mengiringi
nyanyian-nyanyian. Selain dalam ensambel, sulim bersama instrumen tunggal
lainnya seperti sordam, tulila, dan saga-saga juga sering dimainkan secara tunggal
untuk menggambarkan suasana cerita yang hening atau pun sedih.
33
Dikutip dari google : Kesenian yang tertinggal
34
Dikutip dari skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam konteks Gondang Hasapi” halaman 51
Setelah awalnya sulim hanya dipakai sebagai instrumen tunggal, dengan
kehadiran opera Batak, sulim berkembang menjadi instrumen penting dalam
memainkan perannya sebagai instrumen melodis. Tidak hanya mampu memainkan
lagu-lagu Batak Toba tetapi juga acapkali digunakan sebagai pembawa melodi utama
dalam memainkan berbagai lagu dari etnis atau sub-etnis di luar Batak Toba.
Kemudian diantara berbagai instrumen yang dimainkan dalam gondang hasapi,
sulim merupakan instrumen yang tidak hanya berperan sebagai instrumen melodis
tetapi juga mampu menghasilkan improvisasi nada-nada tanpa menghilangkan inti
dari melodi lagu.
Dilihat dari segi fungsinya, sulim dalam pertunjukan opera Batak merupakan
sebuah instrumen yang paling komplit dibandingkan yang lain, sebab sulim mampu
memaksimalkan perannya sebagai instrumen melodis dalam kajian yang lebih luas,
baik dari segi konteks penggunaannya dalam bentuk solo dan ensambel maupun segi
pengembangan nada-nada atau alur melodi musik yang dimainkan.
4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup
Sejarah munculnya ensambel brass band di tanah Batak sesungguhnya
dimulai dari masuknya pengaruh agama Kristen. Sebelum kekristenan muncul di
tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat tradisi, ataupun acara ritual
lainnya adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi yang digunakan
memanggil arwah nenek moyang dan dalam konteks acara adat lainnya.
Masuknya
agama Kristen ke tanah Batak membawa pengaruh yang mengakibatkan adanya
perubahan mendasar dalam kehidupan tradisi margondang (menyajikan gondang) oleh
masyarakat Batak Toba. Beberapa aturan yang diterbitkan oleh badan zending,
membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan gondang dalam beberapa konteks
upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen, dan gereja sebagai perpanjangan
tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang dilegalisasi melalui hukum yang
harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk agama Kristen (Purba, 2000:32-35).
Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai sikap menolak keberadaan tradisi
musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek pertunjukan gondang adalah elemen
budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam kepercayaan lama (sebelum Kristen),
hal ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi misi Rheinische Mission-Gessellschaft
(RMG) dari Jerman pada tahun 1860-an di seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini
yang sudah memeluk agama ‘baru” mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan (diban, istilah yang digunakan dalam Tata Gereja) dari keanggotaan komunitas gereja,
hanya karena terlibat dalam praktek margondang.
Pembatasan dan bahkan pelarangan yang dilakukan pihak gereja membawa
konsekuensi kepada sebuah perubahan kegiatan pertunjukan musikal masyarakat.
Missionaris yang membawa paham agama Kristen dalam kesempatan ini mulai
memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat tiup terompet dan selanjutnya
menjadi sebuah ensembel musik tiup (brass music) yang dipergunakan untuk kegiatan
ibadah di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Berbagai alat musik tiup tersebut
terbuat dari logam yang terdiri dari terompet, saxofon, trombon, tuba dan 1 (satu) set
drum.
Hal ini menunjukkan terjadinya infiltrasi (memasukkan sebagian unsur
budaya asing ke dalam budaya sendiri) dari Budaya Barat ke Budaya Batak, hal ini
dapat kita lihat dari adanya perubahan yang membentuk orang Batak dalam ajaran
kepercayaan lama beralih menjadi penganut ajaran agama Kristen Protestan dengan
segala akibat yang ditimbulkan. Pendekatan sistematis budaya Barat ini dilakukan
dalam dua hal pokok, yakni membawa ajaran agama ini di satu pihak, dan
terbangunnya sistem tata tertib sosial kemasyarakatan menurut metoda Barat,
menyentuh ke seluruh sendi kehidupan, salah satunya adalah tradisi musikal
gondang. Para missionaris dalam penginjilannya membawa tradisi Barat yaitu tradisi
yang dipergunakan dalam mengimplementasikan misi kekristenan sebagai sarana
pendukung di dalam penyampaian pelayanan pengabaran Injil di tanah Batak. 35
Sejak itu, masyarakat ini mulai mengalami hal baru dan asing sebagai tatanan hidup
baru perihal kehidupan sosial masyarakat dan keagamaan. Terjadinya proses
transmisi dua budaya yang berbeda pada pokoknya adalah dimana satu kebudayaan
menerima nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru masuk bercampur dalam
kebudayaan lama. Dua kebudayaan yang berbeda bertemu dan memberi pengaruh satu
sama lain.
Dengan kondisi tersebut, musik tiup yang dikenal sebagai musik yang
sebelumnya dekat dengan gedung gereja saja, bergeser keluar (transpalanted) dari
lingkungan gereja menuju ranah kehidupan adat religi dan ritual masyarakat Batak
Toba dan mengikis peranan dan aktivitas gondang Batak sebagai kearifan lokal, yang
sengaja ditinggalkan akibat perubahan sosial oleh tekanan budaya asing dan diterima
masyarakat Batak Toba sebagai tindakan kemapanan dalam merespon kebudayaan
baru. Hal ini mendapat tempat akibat adanya pemahaman bahwa gondang yang
dulunya dianggap sakral dan memiliki aspek mistis sebagai bagian dari kegiatan
35
Lihat J.R. Hutauruk, 2010 hal. 26.
kebudayaan, dapat digantikan oleh peranan musik tiup sebagai komoditas baru untuk
menyelenggarakan posisi fungsi dan kegunaan gondang.36
Selain mengalami perubahan penggunaannya dari musik gereja kepada musik
adat masyarakat Batak Toba, musik tiup yang awalnya dikenal sebagai ensambel
musik yang terdiri atas istrumen logam, lambat laun mengalami perkembangan
dengan mengkolaborasikan berbagai alat musik tiup logam tersebut dengan berbagai
alat musik tradisional Batak Toba. Di antara musik tradisional Batak Toba, instrumen
yang paling sering dikolaborasikan dengan ensambel tersebut adalah sulim, hasapi,
garantung dan taganing. Namun di antara keempat instrumen tersebut, yang paling
instens digunakan dan masih tetap bertahan hingga saat ini adalah sulim.
Pada tahun 1980-an, masa kejayaan Opera Batak mulai meredup dan hampir
tidak kedengaran lagi. Meski Opera Batak semakin redup namun tidak demikian
halnya dengan eksistensi sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya. Setelah
habisnya masa kejayaan Opera Batak di akhir tahun 1970-an, eksistensi sulim masih
terus berlanjut hingga kepada lahirnya fenomena musik tiup yang sangat dikenal
pada era tahun 1980-an.
Menurut Marsius Sitohang, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama
sekali yang mempopulerkan instrumen sulim ke dalam ensambel musik tiup. Beliau
mengatakan bahwa awal tahun 1980-an sudah ada group musik yang memadukan
ensambel musik tiup logam dengan alat musik tradisional Batak Toba. Namun
awalnya keberadaan group tersebut masih kurang diterima di tengah-tengah
36
Sebagian masyarakat memiliki budaya lokal yang kuat dan dilatari oleh agama suku atau
agama tribal menaruh lex non scripta bahwa semua yang milik sendiri adalah yang paling mulia dan
semua yang di luar lingkungannya dianggap buruk. Lihat selanjutnya, penekanan oleh kolonial
Belanda terhadap upacara-upacara ritual parugamo Batak Toba menunjukkan legimitasi dari misi
kekristenan oleh badan zending dan pelarangan yang terjadi secara periodik dan setengah hati oleh
gereja, karena bagian-bagian tertentu dari upacara adatnya dianggap bertentangan dengan kepercayaan
Kristen (Van Den End, 1989:308)
masyarakat Batak Toba. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat
Batak Toba yang telah menganut kepercayaan Kekristenan kembali lagi kepada
kepercayaan tradisional yang menggunakan alat musik tradisi yang identik dengan
kemagisan. Hingga pada tahun 1987, dibentuklah sebuah group musik Batak yang
bernama Horas Musik, dimana Marsius Sitohang juga turut menjadi salah satu
personil yang mempopulerkan sulim pada masa itu.
Beliau juga menambahkan bahwa dengan kehadiran Horas Musik sebagai
group musik baru yang berperan sebagai pengiring acara-acara adat masyarakat
Batak Toba ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi eksistensi group
musik Batak Toba pada masa itu. Dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan
oleh Horas Musik, penggabungan alat musik tradisional dengan ensambel musik tiup
mulai diterima. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh penyajian musik yang
mereka tampilkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan group musik Batak
Toba yang lain. Keunikan tersebut terlihat ketika mereka menyuguhkan musik yang
memadukan musik modern dengan musik tradisional dengan membawakan berbagai
lagu populer pada masa itu dan ditambah dengan masuknya lagu-lagu gereja yang
juga mampu dibawakan oleh alat musik tradisional yang akhirnya menghilangkan
paradigma bahwa alat musik tradisi hanya mampu membawakan lagu-lagu Batak
Toba saja.37
Sulim sebagai salah satu instrumen tradisional menjadi sebuah sosok yang
paling disorot pada masa itu. Sebab di antara alat musik tradisional yang lain, sulim
merupakan instrumen utama yang berfungsi membawakan melodi dari setiap lagu
37
Tidak dapat dipungkiri bahwa populariitas Marsius Sitohang yang mendunia pada saat itu
juga berpengaruh terhadap pola pikir sebagaian masyarakat Batak Toba yang kemudian secara
perlahan dapat menerima keberadaan sulim ini dalam konteks adat, agama, maupun hiburan. Pada
masa ini, Marsius juga dikenal sebagai Si Raja Seruling Batak.
atau repertoar yang disajikan. Di samping ada berbagai instrumen lain yang juga
mampu sebagai instrumen melodis, sulim seakan menjadi instrumen yang paling
menonjol di antara berbagai instrumen melodis lainnya. Karena sulim biasa
ditampilkan dengan improvisasi nada yang unik dan berbeda serta menjadi daya tarik
tersendiri bagi pendengarnya. Tentunya kemahiran serta profesionalitas sipemain
juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulim menjadi perhatian bagi
barang siapa yang menyaksikan penampilan musik tersebut.
Banyak orang bahkan berbagai musisi tradisional Batak Toba menganggap
bahwa Marsius Sitohang merupakan salah satu pencetus masuknya sulim ke dalam
ensambel musik tiup logam yang kemudian menjadikan Horas Musik menjadi
barometer group musik Batak Toba pada masa itu. Sehingga dengan kehadiran group
Horas Musik tersebut, seiring perkembangan zaman banyaklah bermunculan
berbagai group musik Batak Toba yang lain dengan sajian yang sama dengan porsi
yang berbeda-beda.
Perkembangan musik tiup dari era 1980-an hingga pada masa kini sudah
menunjukkan berbagai fenomena perubahan baik dari segi komposisi musik maupun
formasi alat musik yang disajikan. Jika kita membandingkan dengan musik tiup yang
disuguhkan pada masa kini, sudah merupakan hal yang wajar apabila hanya
menampilkan tiga instrumen saja dalam satu ensembel seperti sulim, keyboard
(kibot), taganing, dan sulim yang bahkan sesungguhnya tidak ada satupun diantara
beberapa instrumen tiup logam tersebut ditampilkan yang harusnya menjadi ciri khas
dari musik tiup itu sendiri. Oleh karena itu, seiring perkembangan zaman pandangan
masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi musisi Batak Toba juga berubah, yakni
walau hanya biasa menggunakan ketiga instrumen seperti keyboard, taganing, dan
sulim tanpa didukung adanya beberapa alat musik tiup logam para musisi tersebut
kadang-kadang juga masih dianggap sebagai pemusik tiup.38
4.2.3 Konteks pengiring lagu
Konteks pengiring lagu yang penulis maksudkan di sini adalah terkait dengan
peran sulim yang digunakan sebagai musik pengiring dalam berbagai lagu sekuler
maupun rohani, atau baik dalam konteks gerejawi maupun non-gerejawi. Dalam
konteks gerejawi akan berkaitan erat dengan perkembangan musik gerejawi,
sedangkan konteks non-gerejawi berkaitan erat dengan peran sulim dalam mengiringi
lagu-lagu sekuler baik yang dibawakan oleh penyanyi solo, grup vokal, atau pun
paduan suara di berbagai acara baik yang sifatnya formal atau pun non-formal.
Dewasa ini sudah tidak asing lagi jika kita melihat berbagai musik tradisi
Batak Toba seperti taganing, hasapi dan khususnya sulim sering digunakan sebagai
media pengiring di berbagai acara dan pertunjukan, baik formal maupun non-formal
seperti di gereja-gereja, gedung-gedung pertunjukan, gedung-gedung penyelengaraan
acara-acara akademis, dan lain sebagainya. Di gereja kita akan melihat bahwa alat
musik tradisi Batak Toba khususnya sulim sudah digunakan baik ketika mengiringi
ibadah maupun ketika mengiringi berbagai lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara
gerejawi pada acara ibadah tertentu. Kemudian di berbagai gedung pertunjukan
seringkali kita melihat sulim digunakan untuk mengiringi acara konser musikal baik
vokal solo, grup vokal, maupun paduan suara.
Jika kita tinjau kembali, sesungguhnya era penggunaan sulim sebagai media
pengiring lagu sudah berlangsung sejak masa kejayaan opera Batak di era 1920-an
38
Sebagaimana sudah disebutkan pada bab-I, nama lain dari formasi sulim, kibot, taganing
ini disebut Sulkibta (Sulim, Kibot, Taganing).
hingga 1970-an. Namun, saat itu sulim bersama dengan instrumen tradisional Batak
Toba yang lain digunakan hanya untuk mengiringi vokal dari penyanyi opera Batak
saja tanpa adanya perkembangan yang signifikan di bidang vokal yang lain. Hal ini
mungkin terjadi karena masih kentalnya budaya opera Batak di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya, dan minimnya wawasan bermusik masyarakat Batak
Toba untuk membuat inovasi baru pada masa itu, sehingga mengakibatkan instrumen
pengiringnya hanya digunakan untuk kepentingan itu semata.
Seiring berkembangnya zaman, dari era opera Batak hingga zaman sekarang
ini eksistensi sulim sebagai media pengiring berbagai genre lagu terus berkembang
sesuai dengan kebutuhannya. Jikalau kita bandingkan mulai dari era 1970-an hingga
masa sekarang ini, dapat melihat adanya fleksibilitas penggunaan sulim dalam
konteks pengiring lagu. Selain ketika digunakan sebagai media untuk mengiringi
lagu opera Batak, sulim juga kerap digunakan untuk mengiringi berbagai genre lagu
yang lain seperti lagu pop daerah (baik etnis Batak Toba maupun etnis Batak yang
lain) dan berbagai lagu sekuler lainnya yang biasa dibawakan oleh seorang vokal
solo, group vokal, bahkan paduan suara.
Keberlangsungan penggunaan sulim dalam mengiringi berbagai genre lagu
tersebut juga memberikan dampak tersendiri bagi eksistensi instrumen Batak Toba
yang lain seperti hasapi dan taganing. Dalam keberadannya, ketiga instrumen
tersebut (sukim, hasaoi, taganing) sangat kerap disandingkan bersama ketika
mengiringi berbagai lagu khususnya lagu yang bernuansa daerah Batak Toba.
Meskipun demikian, peran sulim tidak malah lazim dikatakan sejajar dengan kedua
instrument yakni hasapi, dan taganing. Sebab dalam kenyataanya, banyak orang
beranggapan bahwa lagu daerah Batak Toba itu akan terasa kental nuansa bataknya
ketika adanya paduan (gabungan) antara unsur alunan melodi sulim dengan petikan
hasapi serta tabuhan taganing di dalamnya. Meskipun hanya menyertakan sulim
bersama taganing ataupun paduan antara sulim dengan hasapi, masyarakat masih
menganggap bahwa lagu tersebut masih kerap dinikmati oleh sipendengar khususnya
masyarakat Batak Toba. Bahkan terkadang meskipun hanya diiringi instrumen sulim
saja. Namun sebaliknya jika lagu tersebut hanya diiringi hasapi atau taganing
sekalipun tanpa kehadiran sulim, masyarakat menilai bahwa seakan ada hal yang
kurang terasa dinikmati di dalam lagu tersebut39. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa eksistensi sulim memiliki peranan penting bagi keberlangsungan musik Batak
Toba khususnya dalam konteks pengiring berbagai genre lagu Batak Toba.
4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen
Konteks kolaborasi insturmen yang penulis maksudkan di sini adalah bahwa
sulim juga telah digunakan bersama instrumen yang lain di luar instrumen tradisional
Batak Toba baik itu instrumen Barat maupun instrumen tradisional Batak atau etnis
yang lain.
Hendrik Parangin-angin selaku seorang musisi yang dikenal multi talenta
dalam memainkan berbagai instrumen Barat dan tradisional, baik Batak Karo
maupun etnis Batak yang lain mengatakan bahwa konsep kolaborasi musikal seperti
penulis maksudkan di atas sudah berlangsung sejak awal 1990-an. Saat itu sebuah
group yang bernama Incidental Music mulai dirintis oleh beliau sendiri yang
berperan sebagai pimpinan group. Bahkan masyarakat mengganggap bahwa
39
Asumsi ini dikutip dari berbagai golongan masyarakat Batak Toba khususnya jemaatjemaat gereja yang sudah kerap mendengarkan lagu yang dibawakan oleh paduan suara atau vokal
group yang biasa ditampilkan dengan menghadirkan musik tradisional Batak Toba.
Incidental Music yang merupakan sebuah group yang bergenre World Music adalah
sebuah group yang mempelopori hadirnya konsep kolaborasi multi instrumen
tersebut di kota Medan. Sebab menurut pengakuan berbagai kalangan masyarakat,
sebelum hadirnya suguhan musik yang ditampilkan oleh Incidental Music, belum
pernah ada sebelumnya terdengar kolaborasi dengan konsep demikian.
Namun seiring berkembangnya popularitas Incidental Music yang mulai
memperoleh legitimasi (pengakuan) serta mendapat tempat di hati masyarakat
pendukungnya, kemudian di awal tahun 2000-an mulailah banyak dibentuk berbagai
group lain dengan gaya atau genre yang hampir sama dengan Incidental Music
seperti Cindai, Sumateran Ethnic, Metronom dan lain-lain.40
Jika berbicara tentang struktur melodi yang dimaikan oleh sulim ketika
dipadukan bersama dengan instrumen yang lain, penulis memandang bahwa struktur
melodi yang dimainkan selalu didasarkan pada konsep dan komposisi lagu yang
disajikan. Jikalau tema komposisi tersebut bernuansa repertoar musik Batak Toba,
maka gaya permainan atau alur melodi yang dimainkan persis sama dengan ketika
memainkan instrumen tersebut dalam sebuah ensambe uning-uningan Batak Toba.
Artinya, teknik yang dimainkan tidak jauh berbeda dari yang biasa ditampilkan pada
saat memainkan lagu atau repertoar bersama instrumen-instrumen Batak Toba yang
lain. Yang menjadi keunikannya adalah hanya terletak pada adanya berbagai
instrumen Barat dan tradisional lain yang berperan untuk memperindah serta
memperkaya konsep musikal yang dimainkan.
Namun ketika tema komposisi lagu tersebut bernuansa musik Barat atau pun
di luar tema musik Batak Toba, konsep penggunaan sulim sedikit berbeda atau keluar
40
Lihat, Jefri Hutagalung, 2011 hal. 2.
dari yang biasanya. Jika biasanya sulim digunakan untuk memainkan alur melodi
yang bernuansa Batak Toba sebagai ciri khasnya, dalam konteks ini fungsinya sedikit
bergeser sebagai instrumen yang mampu memainkan peran ganda. Peran ganda sulim
yang dimaksud adalah terkadang dimainkan berdasarkan gaya permainan sulim
sebagaimana biasanya, tetapi juga terkadang dimainkan dengan menggunakan
teknik-teknik yang kerap ada dalam gaya permainan flute yang sedikit banyak
memiliki karakteristik permainan yang berbeda dari sulim. Gaya musikal teknik
permainan seperti staccato, slur, arpeggio41 dan lain sebagainya kerap digunakan
untuk menambah serta memperkaya pola permainan yang ada pada sulim itu sendiri.
Oleh karena itu penulis menilai bahwa hadirnya sulim sebagai unsur pembawa
melodi dengan kekayaan karakter dalam memainkan setiap komposisinya menjadi
keunikan tersendiri bagi para pendengar khususnya kalangan masyarakat yang
mampu beradaptasi dengan budaya Barat atau budaya lain di luar budaya Batak
Toba.
41
Staccato ialah cara membunyikan nada-nada; terpisah, satu persatu dengan tajam; slur
ialah busur, legato (bersambung); arpeggio ialah permainan nada-nada dengan cepat secara berurutan
seperti petikan pada alat arpa (Latifah Kodijat, 1983 hal. 5, 67, 70.)
BAB V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM
5.1 Trankripsi
Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah
mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang
disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan
bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan
bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.42
Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi
visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi
para
etnomusikolog/musikolog/musisi
seniman,
namun
untuk
melihat
dan
memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat
pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan
transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.
Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi
konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar
kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak
tersedia sistem penulisan notasi musik.43
42
43
Nettl, op. cit., 98.
Supanggah, op. cit., 13.
Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat
kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik
(Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:
a.
Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu
menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan
ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman
persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.
b.
Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat
Seeger, 1958).
c.
Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk
notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan
lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang
penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.44
Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita
hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh
44
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph, sonagraph,
dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat menganalisis suara secara
sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada, amplitudo, dan spektrum
bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan tetapi sekalipun peralatan ini
mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari informasi yang diberikannya,
dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan alat ini. Di satu
sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan (sehingga sulit untuk dipelajari),
artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya tangkap telinga manusia, padahal
sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat diterima oleh indera pendengaran
manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal yang esensial,
serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Untuk itulah kemudian penggunaan notasi
(Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai sesuai kepentingan dan kegunaannya. Ibid.,
14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove
Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher Limited, 1980), 117.
Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into
consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.45
Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-ciri
yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan,
tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan
kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.46 Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena adanya
keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena yang telah
memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan materi yang
bernilai untuk perbandingan. 47 Lagipula, “Transcription, therefore, are needed to
visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and in detail, and
to help us communicate to others what we think we heard”.48 Demikianlah Phylis M.
May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang
didegar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif
dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang
apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya
45
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.
46
Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago:
University Press, 1983), 16.
47
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalan Journal for the Society of
Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
48
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.
mentranskripsikan bunyi musik ke dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa
sama persis sebagaimana ketika musik itu disajikan.49
Dalam melakukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang
biasanya menjadi persoalan bagi sang transkriptor:
1)
Fenomena yang tidak dapat digambarkan oleh simbol-simbol sistem notasi
konvensional (Barat), dan
2)
Fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detailed) untuk bisa dinotasikan.
Persoalan pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol
tambahan, sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahannya. Hal ini dapat dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musikal, seperti
terjadinya pergeseran-pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada
saat sebuah nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil dalam nilai
(ritmis) di antara nada yang nilainya kurang lebih sama, dan lain sebagainya.50
Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan transkripsi
terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya. Kedua notasi
itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu pentranskripsian pun
dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive) dan transkripsi deskriptif
(Inggris: descriptive).
49
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap
karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul
perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam mentranskripsikan
suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99.
50
Masalah serupa pernah juga dihadapi para ahli linguistik (ilmu bahasa), yang kemudian
telah dipecahkan dengan cara membedakan antara fonetik dan fonemik. Fonetik adalah penelaahan
bunyi-bunyi ucapan suatu bahasa sebagaimana adanya; fonemik adalah penelaahan perbedaanperbedaan antara bunyi-bunyi ucapan yang dapat membentuk perbedaan arti dalam suatu bahasa
tertentu. Kedua pendekatan ini (barangkali) dapat juga diterapkan dalam pentranskripsian musik.
Notasi fonemik ialah pemakaian sistem notasi yang terdapat pada budaya pemilik musik tersebut (jika
ada), sedangkan notasi fonetik ialah pencatatan bunyi musikal dengan menggunakan sistem notasi
konvensional (Barat). Ibid., 104-105.
Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang
notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini
umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat
pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya
secara lisan).
Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam
lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat ditangkap
oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk menyampaikan ciriciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.51
Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan
pertimbangan bahwa:
a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem
penulisan musik,
b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan
notasi balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada
budaya dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik,
c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi,
d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-rendahnya
nada pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam membedakan
durasi sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-tanda musik
lainnya yang secara umum lebih mudah dipahami oleh pembaca, dan
tentu saja hal ini akan lebih memudahkan dalam melakukan kerja analisis.
51
Ibid., 99.
5.2 Analisis
Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam
unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen. 52 Tujuannya ialah untuk
menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud.
Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat
sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya,
dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan,
mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika
keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.53
Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan setiap
unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya analisis
terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk
menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas
Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal
yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis
musik secara menyeluruh.
There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the
music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is
a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.54
52
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language
(New York: The World Publishing Company, 1966), 77.
53
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
54
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd, 1987), 237.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan lanjutan
setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis
tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar struktur
musikal yang tersembunyi dibalik komposisi musik itu.
Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel
mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan
dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris:
form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama ( Inggris: rhythm).55
Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu yang
terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada, elemen
waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri terdiri dari;
tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri dari;
birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri dari
kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu keras
lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).56
Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam
suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama
dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi
kebudayaan dimana musik itu berada.57
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen
musikal yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik
hingga menghasilkan sebuah komposisi musik.
55
56
57
Willy Apel, op. cit., 811.
Titon dan Slobin, op. cit., 5.
Nettl, Theory and Method. op. cit. 169.
Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas dapat juga
dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William
P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang
ditawarkan oleh Bruno Nettl.
Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak
terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan
dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi
rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi
secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan
perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi
memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta
gerak melodi yang harmonis.
Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari:
(1) tangga nada (Inggris: modus),
(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),
(3) wilayah nada (Inggris: range),
(4) jumlah nada-nada,
(5) jumlah interval,
(6) pola-pola kadensa,
(7) formula-formula melodik,
(8) kontur,
(9) durasi,
(10) ritme,
(11) frase dan kalimat, serta
(12) periode atau siklus.
Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:
(1) tempo,
(2) pulsa,
(3) ketukan,
(4) pola dan motif, serta
(5) birama.58
Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:
(1) perbendaharaan nada,
(2) tangga nada (Inggris: modus),
(3) tonalitas,
(4) interval,
(5) kantur melodi,
(6) ritme,
(7) tempo, dan
(8) bentuk.59
Tabel-2
Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik
(menurut beberapa ahli)
58
59
Malm, op. cit., 7.
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.
Willi Apel
Titon & Slobin
William P.Malm
Bruno Netll
bentuk*
-
tangga nada (modus)*
bentuk*
tangga nada (modus)*
melodi*
-
melodi*
nada (sistem laras)*
formula melodi*
tangga nada (modus)*
jlh nada-nada*
ritme
(irama)**
-
irama (ritme)**
ritme**
perbendaharaan
nada*
ritme**
birama**
vokal*
bunyi instrumen*
dinamika*
-
metrum**
nada dasar*
jumlah interval*
wilayah nada*
pola-pola kadensa*
kontur*
durasi**
frase dan kalimat*
periode atau siklus*
tempo**
pulsa**
ketukan (maat)**
pola dan motif**
tonalitas*
interval*
kontur*
tempo*
-
Keterangan:
* = berhubungan dengan unsur waktu
** = berhubungan dengan unsur melodi.
5.3 Pemilihan Sampel Lagu
Dalam kajian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel
lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari
William P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm,
penulis hanya mengambil beberapa unsur pokok saja yaitu:
1) tangga nada
2) modus
3) wilayah nada
4) interval
5) pola kadensa
6) formula melodi (bentuk)
7) identifikasi tema (thematic material)
8) kontur melodi
Ada 4 jenis komposisi melodi sulim yang penulis transkripisikan sebagai
bentuk dari permainan melodi sulim terkait dengan konteks penggunaannya.
Keempat jenis tersebut penulis cantumkan dengan alasan bukan berdasarkan masa
atau periode penggunaanya, namun lebih ditujukan berdasarkan bahwa keempat
komposisi tersebut mewakili keempat konteks penggunannya mulai dari ketika
digunakan dalam konteks solo, konteks ensambel (dalam hal ini penulis hanya
memilih contoh uning-uningan opera Batak), konteks pengiring lagu (dalam hal ini
penulis hanya mengambil contoh dalam mengiringi Paduan Suara), dan konteks
kollaborasi dengan instrumen yang lain. Namun di antara keempat komposisi
tersebut, penulis hanya mengambil sebuah sampel untuk dianalisis yakni ketika sulim
dimainkan dalam mengiringi lagu Paduan Suara.
Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih
komposisi melodi tersebut untuk dianalisis, yakni karena :
1) Menurut hemat penulis, pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks
solo, ensambel, maupun kollaborasi musik sedikit banyak memiliki persamaan
yakni memainkan peran dalam membawakan melodi berdasarkan lagu atau
repertoar yang dimainkan. Sedangkan ketika dalam mengiringi lagu oleh paduan
suara, sulim sedikit keluar dari perannya sebagai pembawa melodi utama dan
terkesan memainkan motif melodi yang baru.
2) Alur melodi sulim yang dimainkan pada lagu tersebut sedikit lebih bervariasi
dan jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan dengan ketika dimainkan pada
lagu yang lain sehingga tidak menimbulkan kesan monoton.
3) Pola permainan sulim didalam mengiringi paduan suara kelihatan lebih tertata
dengan rapi dibandingkan dengan ketika dimainkan pada lagu yang lain, walau
kemungkinan hal itu juga bisa saja disebabkan oleh kemampuan sipemain sulim
itu sendiri ataupun hal yang lain. Namun, dalam hal ini di antara keempat
komposisi tersebut (yang ditranskripsi oleh penulis) penulis melihat bahwa
komposisi ini lebih memiliki keunikan dibandingkan dengan komposisi sulim
yang lain. Keunikannya menurut hemat penulis adalah komposisi sulim dalam
mengiringi paduan suara masih menjadi hal yang baru untuk dianalisis,
sementara komposisi yang lain sudah menjadi hal yang biasa untuk dikaji.
5.4 Kajian Analisis
Dalam kajian analisis, penulis membagi proses kerja menjadi dua bagian :
a. Pertama, penulis melakukan kajian analisis gaya musikal sama seperti yakni
sama seperti yang dipaparkan sebelumya oleh Malm. Dalam hal ini penulis
hanya mengambil sebuah sampel dari keempat komposisi yang telah penulis
transkripsikan.
b. Kedua, penulis kemudian melakukan kajian analisis ciri musikal. Analisis ciri
musikal yang penulis maksudkan lebih mengarah kepada hal yang bersifat
deskriptif, yakni penjelasan secara umum tentang ciri-ciri musikal dari gaya
permainan sulim pada masing-masing komposisi. Dalam hal ini penulis akan
mendeskripsikan ketiga komposisi (yang ditranskripsikan oleh penulis)
selain dari komposisi yang telah dianalisis sebelumnya (analisis gaya
musikal).
5.4.1 Analisis gaya musikal
5.4.1.1 Analisis tangga nada
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Nettl
bahwa
cara-cara
untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu.
Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi,
menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada), tritonic (tiga
nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada), heptatonic
(tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja.60
Maka jika dilihat dari nada-nada yang dimainkan dalam komposisi di atas,
lagu tersebut tersusun atas nada-nada :
60
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.
Sesuai dengan penjelasan di atas, dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya
dianggap satu nada saja. Maka, lagu tersebut tersusun atas 7 (tujuh) buah nada.
Dengan demikian tangga nada melodi sulim yang dimainkan pada komposisi tersebut
dinamakan heptatonic (tujuah nada).
5.4.1.2 Analisis modus
Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang baku.
Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara penggunaan nadanada dalam suatu komposisi. Misalnya, kalau kita membuat daftar nada-nada yang
dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga nada lagu tersebut. Kalau
kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak kita akan menyebut nada
mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center); nada-nada yang terpenting ;
nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada awal atau pendamping nada lain, dan
lain sebagainya. Baik tangga nada maupun modus disampaikan lewat notasi.
Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai
fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam komposisinya
daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not utuh; nada penting
lainnya sebagai not setengah, nada biasa sebagai not seperempat, nada hiasan atau
nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan atau seperenambelas, dan
seterusnya semakin kecil menurut jumlah pemakaiannya.61
Berikut ini merupakan modus dari komposisi di atas :
5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)
Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak
(range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu.
Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval.
Berdasarkan teori Ellis62 dikatakan bahwa 1 laras adalah setara dengan 200
cent atau ½ laras sama dengan 100 cent. Maka berdasarkan perhitungan di atas,
wilayah nada (ambitus) dari komposisi di atas adalah sebagai berikut :
Nada paling rendah
Nada paling tinggi
cent
laras
G
G’
1200
6
Nada paling rendah dan tinggi
cent
laras
1200
6
61
62
Ibid., 146.
Berdasarkan teori A. J. Ellis bahwa dalam satu oktaf tangga nada yang terdiri dari 6
[enam] laras setara dengan 1200 cent atau 1 laras sama dengan 200 cent, atau ½ laras setara dengan
100 cent. Ibid., 115-116.
5.4.1.4 Analisis interval
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun
berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan hukum
musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang dipakai,
sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut dalam laras,
seperti pada tabel berikut.
Tabel-3
Rumus Interval
Simbol interval
Jlh
nada
Jlh
laras
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
1
2
2,5
3,5
4,5
5,5
6,5
7,5
8,5
1P
2M
3M
4P
5P
6M
7M
8P
9M
10M

Nama dan jenis interval
Contoh
nada
prime perfect (murni)
sekunda mayor (besar)
Terts mayor (besar)
kwart perfect (sempurna)
kwint perfect (murni)
sekta mayor (besar)
septime mayor (besar)
oktaf Perfect (murni)
none mayor
decime mayor
C-C
C–D
C–E
C–F
C–G
C–A
C-B
C – c’
C – d’
C – e’
Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval kecil
(minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang setengah laras
menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval besar (mayor, M) dan
murni (perfect, P) ditambah setengah laras menjadi interval lebih (augumentasi, Ag),
sedangkan interval murni (perfect) tidak bisa menjadi interval besar ataupun kecil.
Rumus interval
dim + ½ laras = m
m – ½ laras = dim
P – ½ laras = dim
m + ½ laras = M
M – ½ laras = m
M + ½ laras = Ag
Ag – ½ laras = M
P + ½ laras = Ag
Dengan demikian, berdasarkan hukum interval di atas maka interval untuk
komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel-4
Frekuensi Pemakaian Interval
Lagu Tole Endehon
Simbol interval
Nama dan jenis interval
Jumlah interval
1P
Prime perfect (murni)
64
2m
Sekunda minor (kecil)
19
2M
Sekunda Mayor (besar)
126
3m
Ters minor (kecil)
43
3M
Ters Mayor (besar)
63
4P
Kwart perfect (sempurna)
30
5P
Kwint perfect (murni)
12
5.4.1.5 Analisis pola kadensa
Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,
maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadenskadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau formula
yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang menghasilkan
efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens gantung)
dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna).
Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),
sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)
disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens
sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titik-
koma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut frase
anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah frase
konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).63
Contoh kadens gantung dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang ke13 :
Contoh kadens sempurna dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang
ke-14 :
Dengan demikian, contoh frase anteseden dapat dilihat mulai dari bar yang ke-11
hingga bar yang ke-13 :
63
Hugh M. Miller, Introduction to Music: A Guide to Good Listening (Caloocun City,
Philippines: Philippines Graphic Art Inc., 1971), seperti naskah terjemahan Triyono Bramantyo,
“Apresisasi Seni” (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, t.t.), 165-166. Lihat juga Lein Flein,
“Structure and Style” Expanded Edition, The Study and Analysis of Musical Form (New Jersey:
Summy-Birchard Music, 1979), 37.
Maka frase konsequen dapat terlihat mulai dari bar yang ke-11 kemudian melompat
menuju bar yang ke-14 :
5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk)
Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi
garapan formula melodi sebuah komposisi musik.
a.
Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang
memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang.
b. Iteratif yaitu nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan kecenderungan
pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.
c.
Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi
penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting.
d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi
dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.
e.
kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu
baru, ini disebut progressive.64
Bentuk dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan diantara bagian-bagian
dari sebuah komposisi yang merupakan struktur dari keseluruhan sebuah komposisi,
termasuk hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis. Hubungan-hubungan
antara bagian-bagiannya tersebut biasanya digambarkan dengan kode huruf, yaitu A,
64
Malm., op. cit., 17.
B, C, dan seterusnya. Selanjutnya dua bagian yang bermiripan tetapi tidak persis
sama digambarkan dengan tambahan angka di atas baris; misalnya, A, A1 dan A2
adalah dua bagian yang dianggap sebagai variasi dari bahan musikal yang sama.
Dalam mendeskripsikan bentuk sebuah komposisi, terlebih dahulu kita harus
membaginya ke dalam bagian-bagian. Patokan yang bisa dipakai dalam pembagian
tersebut adalah: 1) pengulangan—bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap
sebagai satu unit; 2) frasa-frasa dan istirahat—istirahat atau pengurangan intensitas
suara (decressendo) mungkin menunjukkan batas akhir sebuah unit; pengulangan
dengan perubahan—umpamanya, transposisi lagu atau pengulangan pola ritmis
dengan nada-nada lain; 4) satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris
(dalam sajak atau pantun).
Dengan mengacu pada patokan pembagian di atas dan setelah dihubungkan
dengan perjalanan melodi yang menjadi sampel dalam tulisan ini maka penulis
menyimpulkan bahwa perjalanan melodi di atas terdiri dari 5 bentuk yang terrinci
sebagai berikut :
a. Bentuk pertama terbagi atas intro dan interlude. Oleh karena alur meodi antara
intro dan interlude percis sama, maka bentuk ini diberi lambang huruf yang sama
yakni bentuk A.
b. Bentuk kedua terbagi atas bridge I (melodi jembatan I) dan bridge II (melodi
jembatan II). Oleh karena alur melodi kedua bridge tersebut memiliki kemiripan
walaupun tidak percis sama, maka bentuk ini dibagi menjadi dua yakni dibedakan
atas bentuk B (bridge I) dan B2 (bridge II).
c. Bentuk yang ketiga terdiri atas bagian ending (penutupan) yakni dinamakan
bentuk C.
Contoh bentuk A dapat dilihat pada bagian intro pada bar yang ke-10 hingga
bar yang ke-14, dan bagian interlude yakni pada bar yang ke-47 hingga bar yang ke45 yakni sebagai berikut :
Contoh bentuk B (bridge I) dapat dilihat mulai dari bar yang ke16, bar 22, bar
24, bar 30, bar 38, hingga bar 40 yakni sebagai berikut :
Contoh bentuk B2 (bridge II) dapat dilihat mulai dari bar yang ke-57, bar 63,
bar 65, bar 71, bar 79, bar 81, bar 83, bar 87, bar 89, bsr 91, bar 93, bar 95, bar 99
yakni sebagai berikut :
Contoh bagian bentuk C dapat dilihat pada bagian penutupan (ending) seperti
berikut :
5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material)
Yang dimasksud dengan identifikasi tema (thematic material) di sini ialah
unsur-unsur musik yang dijadikan dasar dari suatu komposisi. Dasar komposisi
tersebut disebut motif yaitu the smallest melodic germ, made of a few tones and
rhythms, kesatuan melodi terkecil yang terdiri dari beberapa nada atau ritme,65 atau
unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan suatu gagasan
atau ide. 66 Motif biasanya selalu diulang-ulang dan dikembangkan dalam suatu
komposisi.
Untuk menganalisis motif melodi sulim pada komposisi di atas, penulis
mengelompokkannya menjadi motif [a,b,c,d,e,f,g]. Pertimbangan yang paling utama
dalam pengelompokan motif ini adalah berdasarkan susunan nada-nadanya. Motif
yang selalu diulang-ulang diberi identitas dengan menambah angka dibelakang
identitas motifnya—misalnya, motif [a1, a2, dst] adalah ulangan dari motif [a]
dengan atau tanpa penambahan (augmentation) atau pun pengurangan (diminution)
satu atau pun beberapa nada dari motif dasarnya, atau motif [b1, b2, dst] adalah
ulangan dari motif [b]. Sedangkan untuk motif yang hanya satu kali saja muncul,
dijadikan sebagai motif baru.
Motif [a] memiliki dua kali pengulangan yakni [a1,a2] terdapat pada bar yang
ke-16, bar 57, dan bar 65. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [b] memiliki dua kali pengulangan yakni [b1,b2] terdapat pada bar
yang ke-24, 40, dan bar 81. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
65
66
George Thadeus Jones, Music Theory (New York: Barnes and Noble Book, 1979), 102.
Karl-Edmund Prier SJ, op. cit., 3 dan 26-27
Motif [c] memiliki tiga kali pengulangan yakni [c1,c2,c3] terdapat pada bar
yang ke-22, 30, 63, dan bar 71. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [d] memiliki memiliki satu kali pengulangan yakni [d1] terdapat pada
bar yang ke-79 dan bar 91. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [e] memiliki tiga kali pengulangan yakni [e1,e2,e3] terdapat pada bar
yang ke-89, 93, 95, dan bar 99. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [f] hanya sekali terdapat pada bar yang ke-38. Bentuk motif tersebut
yakni sebagai berikut :
Motif [g] juga hanya sekali yakni terdapat pada bar yang ke-83. Bentuk motif
tersebut yakni sebagai berikut :
5.4.1.8 Analisis kontur melodi
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik yang
dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan melalui
grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur
didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
a.
Bila gerak melodinya naik disebut ascending;
b.
bila menurun disebut descending;
c.
bila melengkung bergelombang disebut pendulous;
d.
bila berjenjang disebut terraced;
e.
dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.
Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, dan dengan melihat grafik
melodi sulim pada lagu Tole Endehon tersebut jelas terlihat bahwa kontur melodi
dari komposisi tersebut adalah pendulous (melengkung bergelombang).
5.4.2 Analisis ciri musikal
Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa komposisi melodi
sulim yang dianalisis berdasarkan ciri musikalnya hanya bersifat deskriptif tentang
gambaran umum pola atau struktur melodi yang dimainkan oleh sulim pada masingmasing komposisi. Komposisi yang dianalisis adalah ketiga komposisi melodi sulim
(yang ditranskripsikan oleh penulis) selain dari komposisi yang telah dianalisis
(analisis gaya musikal) sebelumnya.
5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal
Ciri-ciri musikal dari pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks
tunggal adalah sebagai berikut :
Biasanya ketika dimainkan dalam konteks tunggal dalam membawakan
sebuah lagu ataupun repertoar, pola permainan sulim dari sipemain sedikit
mengabaikan tempo dan birama (metrum) sehingga terkesan kedengaran seperti free
meter. Jika kita analogikan dengan melodi sulim pada lagu siboru mauas male di
atas, penulis sebenarnya mantranskripsikannya berdasarkan penafsiran pola
pembagian ketukan dalam satu birama, sehigga dengan demikian lagu tersebut dapat
ditranksripsi ke dalam sebuah garis paranada. Namun karena tidak adanya aturan
penulisan tertentu dalam penyajian musik yang bersifat free meter, maka penulis
hanya membubuhkan tanda atau kode tertentu baik berupa lambang atau tanda baca
agar sipembaca mengerti apa yang penulis sampaikan. Meskipun demikian, tidak
semua alur melodi yang dimainkan dalam lagu tersebut bersifat free meter, bagian
ini hanya terdapat di beberapa birama tertentu saja. Tanda free meter penulis
lambangkan dengan tanda fermata [
]. Contoh ini dapat kita lihat pada
penggalan melodi yang terdapat pada bar yang ke-6, bar 10, dan bar yang ke-12.
Seorang pemain sulim tunggal biasanya memainkan motif melodi dengan
nuansa oktaf yang berbeda-beda dalam setiap penyajiannya walaupun nada yang
dimainkan adalah nada yang sama. Sehingga dalam pentranskripsian ini, penulis
sedikit mengabaikannya sebab hal tersebut tidak mengubah makna lagu dan juga
sipemain tidak sengaja untuk menbuat konsep demikian, akan tetapi dia
memainkankannya berdasarkan perasaan atau kenyamanan dalam hal meniup.
Dengan
mendengar
hasil
rekaman
yang
penulis
transkripsikan
dan
membandingkannya dengan penyajian melodi di atas, maka hal itu akan terlihat
jelas pada bar yang pertama.
5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan
opera Batak)
Yang menjadi ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan bersama ensambel
khususnya pada saat mengiring lagu opera Batak di atas adalah :
a. Penyajian melodi sudah sedikit terpola namun seakan terkesan monoton karena
tidak dibangun dengan berbagai motif melodi yang baru.
b. Melodi awal (intro) dari lagu yang dimainkan selalu dimainkan berulang-ulang
(tidak ada perbedaan antara melodi intro dengan interlude, yang membedakannya
hanya terdapat pada improvisasi teknik permainan). Melodi intro dimainkan mulai
dari bar 1 hingga bar 8, sedangkan melodi interlude dimainkan mulai dari bar 25
sampai dengan bar 32.
c. Motif isian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas biasanya
bersifat statis dalam konteks metode pengisian, artinya ketika melodi intro sulim
selesai dimainkan maka secara otomatis sulim bersama melodi vokal serta
ensambel yang lain memainkan melodi yang sama, namun sulim sedikit keluar
dari melodi pokok dengan memainkan improvisasi nada tanpa harus menyimpang
dari melodi lagu. Hal ini dapat terlihat jelas pada bar 9 hingga bar 24 dan juga
terdapat pada bar 29 sampai dengan bar 47.
d. Namun metode pengisian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas
biasanya juga ditandai dengan adanya jembatan melodi (bridge) untuk
menjembatani frase melodi vokal yang satu ke frase melodi vokal yang
berikutnya. Jika kita melihat komposisi di atas, akan terlihat jelas pada bar yang
ke-13, bar 24, dan bar 48.
5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi
Ciri-ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan dalm konteks
kollaborasi bersama instrumen Barat maupun instrmen tradisional yang lain
khususnya pada komposisi di atas lebih dijelaskan kepada bentuk pola permainan
serta teknik yang dimainkan. Jika kita memperhatikan alur melodi sulim dalam
membawakan lagu kijom/endeng-endeng di atas, jelas terlihat bahwa sulim hanya
muncul pada saat memainkan melodi awal
(intro) lagu dan melodi tengah
(niterlude). Namun sejalan dengan pola permainan sulim pada kedua bagian tersebut
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal teknik memainkan
meskipun ada beberapa bagian melodi yang sama. Pada bagian intro lagu, melodi
sulim dimainkan dengan mengadopsi teknik slur (salah satu teknik memainkan flute)
yakni dengan memainkan nada hanya dengan tiupan nafas tanpa adanya tekanan
lidah. Hal ini terlihat jelas pada bar 2 akhir hingga bar yang ke-8.
Sedangkan pada bagian interlude lagu, melodi sulim yang dimainkan juga
mengadopsi teknik staccato (juga merupakan salah satu memainkan flute) yakni
memainkan nada atau melodi dengan tiupan nafas yang kuat dibantu dengan tekanan
atau aksen yang kuat oleh lidah dalam setiap biji nada yang dimainkan. Pola serta
teknik permainan ini jelas terlihat pada bagian interlude yakni pada bar 57 akhir
sampai dengan bar yang ke-64.
Namun selain itu, ada beberapa frase melodi tertentu dimana sulim
memainkan melodi yang sama (unisono) dengan instrumen yang lain seperti biola.
Hal ini dapat kita lihat pada bentuk melodi intro lagu di bar 9 hingga bar yang ke-12.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis membuat
kesimpulan bahwa sulim merupakan sejenis instrumen tradisional Batak Toba yang
paling eksis di antara sekian banyak instrumen tradisional Batak Toba yang lain dan
mampu bertahan di berbagai era penggunaannya. Ada beberpa instrumen tradisional
Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan juga mampu bertahan dan ada juga
beberapa di antaranya perlahan mengalami kepunahan. Namun di antara sekian
banyaknya instrumen tradisional Batak Toba yang masih eksis tersebut, tidak
seluruhnya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat Batak Toba,
sehingga terjadi berbagai pergeseran fungsi dan pengunaan isntrumen tersebut yang
mengakibatkan adanya fenomena baru dalam setiap era atau masa penggunaanya
dalam periode waktu yang berbeda-beda.
Kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaan sulim ini dapat terwujud
karena sulim mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman yang bersinergi
dengan pola pikir, tingkat kebutuhan dan rasa musikal masyarakat Batak Toba itu
sendiri. Berbagai fenomena perubahan yang terjadi dalam konteks penggunaan tidak
menunjukkan adanya pergeseran fungsi musikal yang selalu dipertahankan. Oleh
karena itu, apabila sulim selalu konsisten dapat beradaptasi dan di terima di tengahtengah masyarakat Batak Toba, maka kemungkinan kontinuitas ini akan terus
berlangsung selalu dan tetap bertahan di masa-masa yang akan datang.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas maka
sebaiknya diajukan beberapa saran seperti berikut ini :
1. Jikalau ada di antara para pembaca yang tertarik terhadap kajian tulisan ini,
penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut
bahasan ini. Sebab setiap masa/periode waktu penggunaan sebuah isntrumen
khususnya dalam konteks kebudayaan pasti akan memunculkan fenomena
baru dalam setiap aspek kehidupan musikal masyarakat itu sendiri.
2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya mari kita
bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus
musik tradisional yang kita miliki bersama sebagai wujud dari penghargaan
terhadap tradisi turun-temurun yang diajarkan oleh para pendahulu kita
kepada kita. Jikalau pada masyarakat Batak Toba memiliki instrumen sulim
yang selalu mampu eksis dalam setiap perkembangan zaman tentunya
instrumen yang lain tidak hanya yang ada pada masyarakat Batak Toba tetapi
juga yang ada pada masyarakat etnis lain pasti juga akan bereksistensi secara
kontinu (berkesinambungan) apabila tradisi ini tetap dipertahankan.
DAFTAR INFORMAN
Nama
Umur
Pekerjaan
:
:
:
Alamat
:
Nama
Umur
Pekerjaan
:
:
:
Alamat
:
Nama
Umur
Pekerjaan
:
:
:
Alamat
:
Nama
Umur
Pekerjaan
:
:
:
Alamat
:
Nama
Umur
Pekerjaan
:
:
:
Alamat
:
Nama
Umur
:
:
Marsius Sitohang
59 Tahun
Pemusik tradisional Batak Toba dan Dosen luar biasa di
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, USU
Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang
Guntur Sitohang
76 Tahun
Seorang pensiunan dari Penilik Kebudayaan PemKab
Samosir, seorang pengrajin alat musik tradisional Batak
Toba, sekaligus mantan pemusik tradisional Batak Toba
Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian Boho Samosir
Jhon Sinurat
35 Tahun
Seorang pemusik tradisional Batak Toba sekaligus
pengrajin sulim
Tiga Balata
Juniro Sitanggang
24 Tahun
Musisi tradisinal Batak Toba sekaligus mengecap
pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Seni Musik,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Nomensen
Desa Lintongni Huta, Kecamatan Ronggurni Huta,
Kabupaten Samosir
Zani Ronaldgen Marbun
21 Tahun
Musisi tradisonal Batak Toba sekaligus mengecap
pendidikan di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, USU
Desa Lintongni Huta Aek Sor Seang, Kecamatan
Ronggurni Huta, Kabupaten Samosir
Junihar Sitohang
41 Tahun
Pekerjaan
:
Alamat
:
Musisi tradisional Batak Toba sekaligus pengrajin alat
musik tradisional Batak Toba
Helvetia, Medan
Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
Bertua Sitanggang
41 Tahun
Musisi tradisional Batak Toba
Simpang Limun, Medan
Download