SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN SKRIPSI SARJANA Dikerjakan O l e h NAMA NIM : BONGGUD TYSON SIDABUTAR : 070707022 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN Oleh NAMA NIM : BONGGUD TYSON SIDABUTAR : 070707022 Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. NIP. 196308141990031004 Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196512211991031001 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Medan, Departemen Etnomusikologi Ketua, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196512211991031001NIP PENGESAHAN Diterima oleh : Panitia ujian Fakutas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Pada tanggal : Hari : Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001 Panitia Ujian : 1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( ) 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( ) 3. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ) 4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. . ( ) 5.Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( ) KATA PENGANTAR Di atas segalanya puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas Kasih dan Penyertaan-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan kajian karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana ini. Skripsi yang berjudul “ Sulim Batak Toba : Sebuah Kajian Kontinuitas dan Perubahan” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) pada Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan baik secara moril maupun materil demi kelancaran penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya buat orang tua saya tercinta, Ayahanda H. Sidabutar dan Ibunda R br. Haloho atas segala doa dan pengorbanannya yang sungguh luar biasa dalam membimbing penulis mulai dari kecil hingga dewasa dan memberikan kesempatan berharga bagi penulis untuk mengecap pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Sungguh menjadi berkat yang luar biasa jikalau penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masa studi hingga dapat memperoleh gelar Sarjana yang penulis nantikan selama ini. Berkat ini tentunya tidak akan berarti apa-apa jika tanpa bantuan dari seluruh rekan, sahabat, bahkan para saudara-saudaraku yang terkasih. Terutama penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya buat Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis yang sudah penulis anggap sebagai rekan kerja sekaligus sebagai orangtua yang telah banyak mengorbankan segalanya baik waktu maupun tenaga demi kelancaran penyelesaian skripsi ini. Walaupun dilanda berbagai kesibukan sekalipun bahkan di sela-sela masa studi yang telah di ambang batas, namun beliau masih senantiasa berkenan memberikan waktunya untuk membimbing penulis hingga akhir penyelesaian skripsi ini. Banyak pelajaran serta berbagai pengalaman hidup yang penulis dapatkan dari beliau selama menjadi mahasiswa bahkan hingga pada saat ini. Jika ada kata-kata di atas ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya maka hal itulah yang layak bapak dapatkan dari penulis. Semoga berkat Tuhan kiranya bertambah buat Bapak dan keluarga. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II penulis sekaligus Ketua Departemen Etnomusikologi yang juga turut senantiasa membantu bahkan memberikan masukan-masukan yang bermakna dalam pengkajian penulisan demi kebaikan hasil karya ilmiah ini. Semoga segala bimbingan maupun masukan yang Bapak berikan dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam mengembangkan pengetahuan akan struktur penulisan karya ilmiah selanjutnya. Kemudian penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Ibu Herestina Dewi selaku Dosen sekaligus Sekretaris Departemen Etnomusiklogi yang telah banyak membimbing dan banyak memberikan pelajaran bagi penulis di awal masa studi. Mohon maaf apabila awalnya telah mengecawakan harapan Ibu jikalau penulis tidak mampu menyelesaikan masa studi berdasarkan waktu yang ditentukan. Bapak Ibu Dosen serta seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kepada Bapak dan Ibu penulis ucapkan ribuan terima kasih karena telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa. Para Informan dan narasumber penulis yang telah banyak membantu serta memberikan banyak sumber dan informasi yang akurat bagi penulis demi tercapainya tulisan ini. Semoga segala informasinya dapat berguna bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam di kesempatan berikutnya. Kiranya Tuhan memberkati segala pekerjaan dan diberikan rejeki yang berlimpah. Bang Hendrik Perangin-angin selaku rekan seniman penulis sekaligus pimpinan dari group Insidental Music yang sudah penulis anggap sebagai abang kandung khususnya dalam berkesenian. Terima kasih buat kesempatan yang abang berikan kepada penulis untuk dapat menjadi anggota group ini dan bersama group ini jualah penulis banyak menuai pengalaman berkesenian yang sungguh luar biasa. Seluruh rekan, sahabat bahkan saudara-saudari dari Paduan Suara Mahasiswa USU yang sudah penulis anggap sebagai anggota keluarga yang senantiasa mendukung bahkan mendorong semangat penulis untuk menuntaskan tulisan ini dari tahun-tahun yang lalu. Namun apa daya, mungkin hanya dengan cara beginilah penulis mampu menyelesaikan masa studinya. Semoga kalian masih berkenan untuk tersenyum manis walaupun penulis harus selesai di ujung masa studi. Bang Senovian, S.Sn., dan bang Franseda Sitepu, S.Sn,; Welly Simbolon,S.Sn., yang sudah banyak membantu dalam hal editing juga memberikan masukanmasukan yang membangun demi kebaikan skripsi ini. Seluruh sahabat dan rekan sehidup sepenanggungan dari para mahasiswa etnomusikologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terkhusus juga buat para kolega penulis dari group NSE Project yang merupakan sebuah group band penulis yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan bantuan moril untuk mencapai tercapainya tulisan ini. Semoga hubungan baik ini tetap bertahan dan group ini bisa berjalan lancar seperti yang kita impikan bersama. Seluruh rekan dan sahabat penulis lainnya baik di dunia akademis maupun di dunia entertainment yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala dukungannya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar dapat menambah referensi penulis untuk memnyempurnakan isi tulisan ini. Jikalau ada kesalahan baik dalam hal ucapan maupun perilaku yang kurang berkenan di hati saudara-saudaraku sekalian, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi mereka yang menginginkan informasi lebih lanjut tentang sulim Batak Toba. Terima kasih. Medan, Juli 2013 Penulis Bonggud Tyson Sidabutar NIM. 070707022 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………….................................................... PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ PERSETUJUAN DEPARTEMEN ............................................................. PENGESAHAN FAKULTAS ..................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................ Hal i ii iii iv v x xiii xv BAB. I PENDAHULUAN …………….…………………………... 1.1 Latar Belakang ………………………………........................ 1.2 Pokok Permasalahan …………….…………………............ 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………….......... 1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………………........ 1.3.2 Manfaat Penelitian ………………………………...... 1.4 Konsep dan Teori ……………………………….............. 1.4.1 Konsep ………………………………................... 1.4.2 Teori ……………………………….……………......... 1.5 Metode Penelitian ………………………………................... 1.6 Pemilihan Lokasai Penelitian dan Informan …………....... 1.7 Kerja Lapangan ………………………………...................... 1.8 Studi Kepustakaan ……………………………….................. 1.9 Kerja Laboratorium ………………………………................ 1 1 6 7 7 8 8 8 11 16 17 18 18 20 BAB. II MASYARAKAT BATAK TOBA DI DAERAH DAN PERANTAUAN ....................................................................... 2.1 Konsep Adat ………………………………........................... 2.2 Religi dan Kepercayaa ...................................................... 2.3 Konsep Kemasyarakatan ................................................... 2.4 Konsep Kekerabatan ........................................................ 2.5 Sistem Mata Pencaharian .................................................. 2.6 Batak Toba di Bona Pasogit ............................................. 2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba .................................. 2.8 Budaya Musikal Batak Toba ............................................ 2.8.1 Musik vokal ........................................................... 2.8.2 Musik instrumental ................................................ 2.8.2.1 Gondang hasapi...................................... 2.8.2.2 Gondang sabangunan ............................ 2.8.2.3 Instrumen tunggal .................................. 21 21 25 29 30 34 37 39 44 44 48 48 50 52 BAB. III KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM ...................................... 3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen ............ 3.2 Klasifikasi Sulim ............................................................... 3.2.1 Konstruksi sulim .................................................... 56 56 60 61 3.2.2 Ukuran sulim ......................................................... 3.3 Proses Pembuatan .............................................................. 3.3.1 Bahan material ....................................................... 3.3.2 Peralatan yang digunakan ...................................... 3.3.3 Langkah-langkah pembuatan ................................. 3.3.3.1 Pemilihan bambu ................................... 3.3.3.2 Pemotongan badan bambu ..................... 3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu ....................... 3.3.3.4 Pengeringan ........................................... 3.3.3.5 Pelobangan ............................................. 3.3.3.6 Ornamentasi ........................................... 3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim .................. 3.4 Kajian Fungsional Sulim ................................................. 3.4.1 Sistem pelarasan (tuning) ..................................... 3.4.2 Teknik permainan ................................................. 3.4.2.1 Teknik permainan lidah ......................... 3.4.2.1.1 Mangarutu .............................. 3.4.2.1.2 Mandila-dilai .......................... 3.4.2.2 Mangangguk .......................................... 3.4.2.3 Mangenet ............................................... 3.4.2.4 Manganak-anaki .................................... 3.4.2.5 Mangaroppol ......................................... 3.5 Proses Belajar Sulim ......................................................... 3.5.1 Marguru ................................................................ 3.5.2 Marsiajar sandiri .................................................. BAB. IV KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI DAN PENGGUNAAN SULIM ........................................................ 4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas .... 4.1.1 Fungsi komunikasi ............................................... 4.1.2 Fungsi hiburan ...................................................... 4.1.3 Fungsi perlambangan ............................................ 4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional .......................... 4.1.5 Fungsi penghayatan estetis. ................................... 4.1.6 Fungsi reaksi jasmani ............................................ 4.2 Konteks Penggunaan Sulim Dalam Berbagai Periode Sebagai Fenomen Perubahan ............................................ 4.2.1 Konteks solo instrumen ........................................ 4.2.2 Konteks ensambel ................................................ 4.2.2.1 Konteks gondang hasapi ...................... 4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup .............. 4.2.3 Konteks pengiring lagu ........................................ 4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen .............................. BAB. V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM ........... 5.1 Transkripsi ........................................................................ 5.2 Analisis ............................................................................. 5.3 Pemilihan Sampel Lagu ................................................... 62 64 64 64 68 68 70 70 71 72 78 81 84 84 91 95 96 97 98 99 101 103 105 105 108 111 111 112 113 115 117 119 120 121 122 124 125 129 135 138 141 141 146 151 5.4 Kajian Analisis ................................................................. 5.4.1 Analisis gaya musikal .......................................... 5.4.1.1 Analisis tangga nada ............................. 5.4.1.2 Analisis modus ..................................... 5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)........... 5.4.1.4 Analisis interval .................................... 5.4.1.5 Analisis pola kadensa ........................... 5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk) ......... 5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material) .... 5.4.1.8 Analisis kontur melodi .......................... 5.4.2 Analisis ciri musikal .............................................. 5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal ................................................... 5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan opera Batak .. 5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi ................................................ 153 153 155 156 157 158 159 161 165 167 168 168 171 173 BAB. VI PENUTUP .................................................................................. 178 6.1 Kesimpulan ....................................................................... 178 6.2 Saran ................................................................................. 179 DAFTAR PUSTAKA …………………….................................................... 180 DAFTAR INFORMAN ....……………….................................................... 183 DAFTAR GAMBAR Gambar-1. Daerah Pemukiman Orang Batak Toba .............................. 38 Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim ............................................ 62 Gambar-3. Sulim dengan ukurannya ..................................................... 63 Gambar-4. Parang ................................................................................. 65 Gambar-5. Pisau belati .......................................................................... 66 Gambar-6. Besi bulat panjang ............................................................... 66 Gambar-7. Mengukur lobang tiupan .................................................... 67 Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim ........................... 67 Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor) ........................................... 69 Gambar-10. Memotong ruas bambu ........................................................ 70 Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim ....................................... 71 Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan ....... 72 Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama ........................................ 73 Gambar-14. Pelobangan lobang nada ke-2 .............................................. 73 Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3 .............................................. 74 Gambar-16. Pelobangan lobang nada ke-4 ............................................. 74 Gambar-17. Pelobangan lobang nada ke-5 ............................................. 75 Gambar-18. Pelobangan lobang nada ke-6 ........................................... 75 Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan ................. 76 Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim .............................................. 77 Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi ............................................ 79 Gambar-22. Ornamentasi lobang ........................................................... 80 Gambar-23. Ornamentasi gorga ............................................................. 80 Gambar-24. Ornamentasi nama ............................................................. 80 Gambar-25. Ornamentasi simbol ............................................................ 81 Gambar-26. Posisi lobang nada sulim 87................................................ 87 Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F” 87 Gambar-28. Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G” ......... 88 Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A” ..... 88 Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes” 88 Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C” 89 Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada “D” ...................................................................................... Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada 89 89 “E” ...................................................................................... Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke- 90 6 dibuka akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)” ............... Gambar-35. Ambasir pada sulim ............................................................ 92 Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan ................................. 93 Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri ..................................... 94 DAFTAR TABEL Tabel-1. Pola ukuran Sulim ............................................................. 63 Tabel-2. Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik (menurut beberapa ahli) ..................................................... 150 Tabel-3. Rumus Interval .................................................................. 158 Tabel-4. Frekuensi Pemakaian Interval Lagu Tole Endehon ........................................................... 159 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Skripsi ini akan membahas instrument1 sulim mulai dari aspek keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba. Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan instrumen seruling yang lain. Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang 1 Instrument (Kamus Musik M.Suharto,1992 : 4) dalam bahasa inggris, yaitu alat musik yang digolongkan berdasarkan cara memakainya. sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan seharihari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, dengan hadirnya opera Batak 2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an, sulim membawa pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik masyarakat Batak Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi oleh karya almarhum Tilhang Gultom3 pada masa itu sangat digemari oleh masyarakat Batak mulai dari kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga para musisi opera Batak kala itu dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis yang selalu dipuja-puja oleh para penggemarnya. Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang biasa dimainkan dalam ensambel4. Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondang hasapi. Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping instrumen 2 Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal) 3 4 Batak Toba yang Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Suharto,1992 : 4) dalam bahasa perancis adalah kelompok kegiatan seni musik dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih. lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute), sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi, sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim ke dalam gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang disebut dengan uning-uningan. Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada beberapa fakta di atas adalah ; Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5 yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi oleh instrumen tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih sederhana yang dikenal dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau ‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja, sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut jadi sangat jarang dipakai; 5 Musik tiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone, saxofon, tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam. Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani. Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh berbagai Paduan Suara ; Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum Situmorang6 dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro (musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ; 6 Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak Keempat, selain menjadi instrumen yang sering disandingkan dengan instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7. Namun, seiring dengan semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ; Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”, “Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan. Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis lainnya di tanah air. 7 Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada. Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN”. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) sulim terkait dengan fungsi dan penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument), dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai fenomena Budaya Batak Toba. 2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan. 3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang terjadi dari berbagai aspek tersebut. 4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak Toba. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya kontinuitas dan perubahan itu sendiri. 3. Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan perubahan itu bisa terjadi. 4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu) dalam proses tersebut. 1.3.2 Manfaat penelitian Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan tentang budaya masyarakat Batak. 2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta kajian kontinutias dan perubahan dalam berbagai fenomena kebudayaan lainnya. 3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi. 4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang masalah yang sama dengan objek yang berbeda. 5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan perubahan. Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132). Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap dipertahankan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83) Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya. Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan oleh piano. Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi. Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi mungkin karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja, berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam pengisian komposisi musik lagu Batak Tradisional maupun Populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun repertoar yang dipintakan. Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat. Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut hal-hal di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang mampu membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit banyak sudah disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang masalah. 1.4.2 Teori Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian. Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini. Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32). Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964 : 303). Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525). Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5). Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya. Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua pandangan yang mendasar yaitu : “1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the shape, size, construction and the materials used in making the instrument. The second deals with its function as a sound-producing tool researching, measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound produced”(Susumu, 1978 : 174).8 “1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan kualitas bunyi yang diproduksi.” Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument itu sendiri. Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang 8 Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9 harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori Weighted Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang dalam musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu. Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya, penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan normanorma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of society). 1.5 Metode Penelitian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit. Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat. 1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan, dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba. 1.7 Kerja Lapangan Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan. 1.8 Studi Kepustakaan Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan topik pembahasan. Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain: Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang hasapi dan musik tiup. Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan instrument yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut. Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang berbeda. 1.9 Kerja Laboratorium Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang ada di Departemen Etnomusikologi. BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI PERANTAUAN 2.1 Konsep Adat Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak itu sendiri. Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang mengatur tentang hubungan manusia dan manusia. Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon 9 yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun 9 Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat). Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme, yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan (Pasaribu, 1986:61). Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20). Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah dilakukan. Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masingmasing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat, dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi. Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri. Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya. 2.2 Religi atau Kepercayaan Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masingmasing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21). Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10). Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8) Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279). Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10). Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada. Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja. Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasangagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki. 2.3 Konsep Kemasyarakatan Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1) Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba. 2.4 Konsep Kekerabatan Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum. Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal 10 . Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering 10 sibapak. Patriakal merupakan sistem pewarisan garis keturunan menurut garis keturunan/marga memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu. Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi. Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari: 1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula. 2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima. 3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati. Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. 2.5 Sistem mata pencaharian Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desa-desa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya. Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di sekelilingnya. Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman, hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang teguh hukum adat tersebut. Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering, sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayur-sayuran. Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah ikan mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata. Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. 2.6 Batak Toba di Bona Pasogit Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba. Batak Toba merupakan istilah yang sering digunakan untuk mengkaji kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur (Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun sebagian dari mereka menerima akan hal ini. Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona pasogit 11 , sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli. 11 Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar tepian Danau Toba. Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten Samosir.12 Gambar-1: Daerah Pemukiman Orang Batak Toba Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97 2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba 12 Lihat Monang Sianturi, 2012. Hal. 82-90. Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial. Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani. Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok. Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol. Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180) Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain. Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48) Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri. Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini. Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua. Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves. Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13 2.8 Budaya Musikal Batak Toba 2.8.1 Musik vokal Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu : 1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby). 2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat menjelang pernikahan. 3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang, biasanya malam hari. 4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini 13 Monang Sianturi, ibid. dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan. 5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi. 6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya. 7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. 8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara namarhadodoan (resmi) 2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari. 3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita. Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni musik vokal yang mempunyai irama halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang mendengarkan. Contoh : mandideng. 2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu. 3. Nyanyian permainan (play song), yakni musik vokal yang mempunyai irama gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan. Contoh : sampele-sampele. 4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on 5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi. 6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek ma gambiri. 2.8.2 Musik instrumental Musik instrumental masyarakat Batak Toba dibagi menjadi dua kategori berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan. Secara umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni : gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain dalam bentuk ensambel, ada juga instrumen yang disajikan secara tunggal. 2.8.2.1 Gondang hasapi Komposisi instrumen pada gondang hasapi terdiri dari : 1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam ensambel gondang hasapi. 2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan. 3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed) yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa (meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut dengan circular breathing. 4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara mamalu.14 5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar. Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil. Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim 15 , sarune etek kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun 14 Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain. Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen. 15 Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara. hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan orang.16 2.8.2.2 Gondang sabangunan Ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang bolon. Komposisi alatnya terdiri dari : 1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone. 2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu. Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing, yakni odapodap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting. Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone. 3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada kelompok membranophone. 4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan, 16 Harahap. Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh Ritha Ony dan Irwansyah ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah. Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone. 5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo. Instrumen ini tergolong kepada idiophone. 6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini tergolong kepada kelompok membranophone. Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal) dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17. Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya parmalim yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan dengan peran dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan odap sudah banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan sebagai pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor yang 17 Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23. mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan seharihari. Ensambel gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh orang, yakni satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan taganing dan odap, satu orang memainkan gordang bolon, satu orang memainkan ogung oloan dan ihutan, satu orang memainkan ogung doal, satu orang memainkan ogung panggora, dan satu orang memainkan hesek. Namun, formasi dan jumlah pemusik ini sedikit berbeda dengan apa yang terdapat di dalam upacara parmalim. Dalam konteks tersebut, umumnya pemusik berjumlah delapan orang, dimana alat musik ogung oloan dan ihutan masing-masing dimainkan oleh satu orang. Kadang-kadang juga bisa ditemukan pemain sarune bolon berjumlah dua orang pada beberapa upacara parmalim tertentu. Pada masyarakat Batak Toba secara umum di luar parmalim, formasi pemusik dalam formasi ensambel semacam ini jarang terjadi pada kebanyakan pertunjukan gondang sabangunan. 2.8.2.3 Instrumen tunggal Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal diartikan sebagai instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh digabungkan ke dalam ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya sudah ditetapkan berbagai instrumen tertentu yang boleh dimainkan ke dalam kedua ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam musik adat masyarakat Batak Toba yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Instrumen tunggal biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk mengisi kekosongan atau menghibur diri. Instrumen ini juga tidak pernah dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen-intrumen yang ada pada ensambel gondang sabangunan atau gondang hasapi. Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai musik Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau format musik yang lain. Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke dalam instrumen tunggal seperti : 1. Saga-saga (jew’s harp) yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara menggetarkan lidah instrument tersebut dengan bantuan hentakan tangan dan rongga mulut berperan sebagai resonator. Instrumen ini tergolong ke dalam keompok ideophone. 2. Jenggong (jew’s harp) yang terbuat dari logam dan mempunyai konsep yang sama dengan saga-saga. Juga termasuk ke dalam kelompok ideophone. 3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut dengan salohat atau tulila, yaitu alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara meniup dari samping. Mempunyai empat lobang nada yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan, sedangkan lobang tiupan berada di tengah. Instrumen diklasifikasikan ke dalam kelompok aerophone. 4. Sordam (up blown flute) yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung instrumen yang diposisikan secara diagonal. Instrumen ini memiliki lima lobang nada, yakni empat di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lobang tiupan berada pada ujung atas nya. Instrumen ini juga termasuk ke dalam kelompok aerophone. 5. Tanggetang (bamboo ideochord), yaitu alat musik yang terbuat dari batang bambu besar dan memiliki senar yang dibentuk dari badan bambu itu sendiri dan badan bambu tersebut berperan sebagai resonator. Prinsip pembuatan, cara memainkan dan karakter bunyi instrumen ini hampir sama dengan keteng-keteng yang ada pada masyarakat Batak Karo, dimana instrumen ini bersifat ritmis dan gaya permainannya seakan mengimitasikan karakter bunyi ogung (gong Batak Toba). Instrumen ini termasuk kelompok yang dipadukan antara ideophone dengan chordophone sehingga disebut dengan ideochordophone 6. Mengmung juga merupakan instrumen sejenis ideochordophone yang mirip dengan tanggetang, hanya saja senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu dijadikan sebagai resonator. Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba, sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga pada saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sulim merupakan instrumen tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan instrumen tunggal yang lainnya, sehingga berbagai jenis lagu atau repertoar dapat dimainkan pada instrumen tersebut. Sementara instrumen tunggal yang lain sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong, tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin hanya satu dua orang yang masih melestarikan instrumen ini, dan itu pun kemungkinan jika siempunya masih hidup atau instrumen tarsebut masih tetap diwariskan secara turun temurun. BAB III KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM 3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen Pada awalnya proses pembuatan sulim harus mengikuti pola-pola ritual tertentu, namun lama kelamaan seiring perkembangan zaman dan masuknya agama pola-pola tersebut berubah dengan mengabaikan aspek ritualnya. Kalau proses pembuatan taganing menurut adat pra-Kristen merupakan tata cara atau rangkaian kegiatan bersifat religius yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba untuk menghubungkan manusia dengan Mulajadi Nabolon, roh nenek moyang dan sesama manusia, tidak sama halnya dengan proses pembuatan sulim pada masa itu. Ritual proses pembuatan sulim dilakukan hanya oleh beberapa oknum yang memiliki pengetahuan alam gaib yang ditujukan untuk menambah ilmu kebatinan sipelaku tersebut. Berbicara bahan material, teknis, dan pola pengukuran dalam proses pembuatan sulim pada masa pra-agama dengan pasca agama pada prinsipnya hampir sama. Sebab sulim yang akan dibuat sama-sama terbuat dari bambu dan bambu tersebut akan dilobangi sesuai dengan tonika (nada dasar) yang diinginkan. Yang membedakannya adalah cara sipembuat dalam memilih bahan atau bambu yang tepat serta bagaimana proses dalam pelobangannya. Menurut Bapak Sinurat, yang juga merupakan salah seorang pemain dan pembuat sulim dari Tiga Balata mengatakan bahwa konon katanya seseorang yang ingin membuat sulim dengan tujuan ilmu kebatinan haruslah mengikuti pola ritual tertentu. Beliau menjelaskan bahwa ritual tersebut hanya pernah dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kharisma dan bakat tertentu dalam hal warisan kebatinan dan bersedia untuk menjalani syarat-syarat ritual tertentu. Selain menyangkut bahan dan proses pembuatan yang dilakukan, teknis pelaksanaan ritual tersebut juga menyangkut pengucapan ayat-ayat tertentu berupa mantra sebagai syarat pelengkap ritual tersebut. Namun dalam hal teknis ritual yang akan penulis paparkan berikut ini hanya menyangkut berbagai tahapan pelaksanaan atau proses pembuatan, sebab Bapak Sinurat selaku narasumber manceritakan berdasarkan pengalaman orang lain yang beliau sendiri pun belum pernah melakukannya. Dan beliau menambahkan bahwa tidak sembarang orang boleh mengetahui mantra tersebut dan sipelaku juga tidak akan bersedia jika mantranya diberitahu secara sembarang kepada orang lain termasuk beliau sendiri. Jadi yang boleh diberitahu adalah bagaimana tentang teknis pembuatannya saja. Adapun tahapan ritual proses pembuatan sulim tersebut adalah sebagai berikut. Ketika seseorang ingin membuat sebuah sulim, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah memilih jenis bambu yang tumbuhnya di daerah lahan basah atau yang digenangi air, dan bambu tersebut harus tumbuh memanjang dan melengkung ke arah jalan yang kira-kira sering dilewati oleh orang banyak. Ketika seorang melintas dari tempat tersebut, maka lengkungan ruas bambu itulah yang dilewati oleh orang tersebut. Dengan kata lain, posisi lengkungan ruas bambu itu harus tepat di atas kepala orang-orang yang melintas dari tempat tersebut. Kemudian setelah bambu ditemukan, lalu ditebang, dan penebangan tersebut dilakukan harus dari ruas paling bawah, tidak boleh ditebang dari bagian tengah ataupun mendekati ujungnya. Setelah penebangan selesai, bambu yang telah ditebang tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa ruas sesuai dengan berapa jumlah ruas yang memungkinkan dapat dibuat menjadi sulim dari bilahan bambu tersebut. Lalu langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah meletakkan ruas bambu yang telah dipotong tersebut ke atas tungku api untuk dikeringkan, yang tentunya jarak antara tungku dengan bambu tersebut diatur sedemikian rupa agar bambu tidak terbakar dan tidak terlalu panas karena jarak yang terlalu dekat. Pengeringan dilakukan selama beberapa minggu hingga bambu benar-benar kering dan kokoh. Setelah bambu tersebut kering sesuai dengan yang diinginkan, kemudian bambu dipindahkan ke atas asbes rumah di mana posisi asbes tersebut tingginya harus di atas kepala sipemilik rumah. Bambu yang diletakkan di atas asbes tersebut didiamkan untuk beberapa lama hingga waktu pelobangan dilakukan. Hal yang paling menarik dan mistis dari tahapan pembuatan sulim ini adalah pada saat proses pelobangan mulai dilakukan. Uniknya adalah bahwa setiap lobang yang hendak dibuat harus dimulai dan diakhiri dengan tragedi orang yang meninggal. Maksudnya adalah ketika sipembuat hendak membuat lobang pertama hingga lobang terakhir, sipemilik harus menyaksikan bahwa ada sebuah peristiwa orang yang meninggal, dan orang meninggal yang disaksikan orang tersebut harus meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti kecelakaan berupa jatuh dari kendaraan, tabrakan, terhanyut di sungai, mendadak meninggal akibat diguna-gunai dan lain sebagainya. Setiap satu orang korban yang meninggal dengan cara yang tidak wajar tersebut mewakili satu buah lobang yang akan dibuat pada bambu tersebut. Dengan kata lain, jika ada 7 (tujuh) buah lobang yang akan dibuat dalam sebuah sulim (lobang yang dimaksud terdiri dari satu lobang tiupan dan enam lobang nada), maka sipembuat harus menyaksikan 7 (tujuh) orang korban meninggal baik di waktu yang bersamaan maupun berbeda. Oleh karena itu, dahulu untuk membuat sebuah sulim yang mengandung nilai mistis itu butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahuntahun tergantung cepat atau lambatnya seorang pembuat tersebut menyaksikan tragedi orang meninggal. Namun dalam tahapan pelobangan, ada syarat awal yang harus dilakukan yakni setiap hendak melobangi bambu dari lobang yang pertama hingga lobang yang ketujuh, sipembuat harus terlebih dahulu mengucapkan beberapa mantra sebelum melobangi bambu tersebut. Mantra yang harus diucapkan sebelum pembuatan lobang dalam istilah Batak Toba tersebut dikenal dengan istilah tabas. Apabila ketujuh lobang sudah selesai terbentuk maka langkah terakhir yang dilakukan adalah pengucapan tabas terakhir sebagai tahapan penyempurnaan. Apabila keseluruhan syarat tersebut terpenuhi maka jadilah sebuah sulim yang diinginkan. Namun perlu diketahui bahwa apabila sulim tersebut sudah jadi, maka yang boleh memainkannya adalah hanya sipemilik selaku sipembuat itu sendiri. Konon katanya jika sulim tersebut dipakai secara sembarang oleh orang yang tidak bertanggung jawab maka orang tersebut akan mengalami musibah. Demikianlah sebuah proses ritual yang harus dilakukan untuk menghasilkan sebuah sulim yang berisi nuansa mistis. Tetapi, pada zaman sekarang ini oknum-oknum yang melakukan ritual tersebut sudah mulai berkurang bahkan nyaris tidak pernah terdengar lagi. Hal ini disebabkan karena adanya agama sebagai mediator untuk membatasi hubungan manusia dengan roh-roh atau makhluk yang tidak kelihatan. Di dalam bahasan ini, penulis tidak menjelaskan terlalu detail tentang ritual pembuatan sulim dengan segala aspek-aspeknya, sebab inti dari skripsi ini bukanlah membahas tentang sebuah kajian ritual. Penulis hanya memaparkan secara garis besarnya saja melalui wawancara dengan beberapa orang narasumber seperti Marsius Sitohang, S. Sinurat, Guntur Sitohang yang merupakan orang terpercaya dan merupakan para maestro pemusik tradisional Batak Toba yang telah memiliki banyak pengalaman hidup bermain musik tradisi selama puluhan tahun lamanya. Hal ini bertujuan untuk menambah referensi terhadap para pembaca bahwa ternyata dahulu pernah diadakan ritual proses pembuatan sulim yang memang awalnya jarang didengar oleh masyrakat Batak Toba secara umum. 3.2 Klasifikasi sulim Pengklasifikasian instrumen oleh Curt Sachs-Hornbostel dibagi atas 4 (empat) kelompok yakni : idiophone, membranophone, cordophone, dan aerophone (Nettl, 1964 :212). Dalam sistem Sachs-Hornbostel, sulim diklasifikasikan sebagai aerophone. Hal ini disebabkan karena suara yang dihasilkan oleh instrumen berasal dari udara (aero) yang dihembuskan/ditiup ke arah lobang tiupan pada instrumen tersebut. Sulim merupakan aerophone yang murni menggunakan tiupan udara dari mulut sebagai penghasil bunyi dan menggunakan kedua jari tangan sebagai penghasil nadanada yang berbeda-beda sesuai teknik penjariannya. Oleh karena sulim merupakan instrumen yang ditiup melalui lobang dan ditiup dengan cara menyamping atau posisi lobang tiupan ada pada sisi samping tubuh instrumen, maka sulim dikategorikan sebagai aerophone dengan spesifikasi side blown flute. 3.2.1 Konstruksi sulim Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sulim terbuat dari seruas bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan satu buah lobang penghasil bunyi di bagian atasnya dan enam buah lobang nada sebagai penghasil nada-nada yang diinginkan. Diantara lobang penghasil bunyi dengan lobang nada terdapat satu buah lobang pemecah bunyi yang ditutup dengan kertas tipis (Lihat gambar-1). C B D E A F G Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim Keterangan Gambar : A. Keliling bambu sulim B. Diameter bambu sulim C. Lobang tiupan / hembusan D. Lobang nada atas E. Lobang nada bawah F. Lobang tonika G. Lobang pemecah suara yang dilapisi kertas tipis 3.2.2 Ukuran sulim Pitch (ketepatan nada) merupakan hal yang mutlak dalam pembuatan sebuah sulim. Oleh karena itu, pola ukur atau teknik mengukur oleh sipembuat sulim yang satu dengan pembuat sulim yang lain pada prinsipnya adalah sama. Hanya saja, jenis ukuran bambu yang diperoleh oleh masing-masing sipembuat pasti berbeda-beda, sehingga mengakibatkan sulim yang dihasilkan pun berbeda-beda ukuran jarak antar lobang dan besar kecilnya lobang yang akan dibentuk. Namun pada dasarnya teknik mengukurnya adalah sama. Gambar-3. Sulim dengan ukurannya. Tabel-1. Pola Ukuran Sulim NO NAMA UKURAN 1 Diameter bambu sulim 2,6 cm 2 Keliling bambu sulim 5,3 cm 3 Jarak lobang tiupan dengan ruas bambu 2,6 cm 4 Jarak antara lobang tiupan dengan lobang nada atas 17,5 cm 5 Jarak antara lobang nada atas dengan lobang nada bawah 17,5 cm 6 Jarak antara lobang nada bawah dengan lobang tonika 8,75 cm 7 Jarak antar lobang nada 3,5 cm 8 Jarak antara lobang nada dan lobang pemecah 8,75 cm 9 Diameter lobang tiupan 1,2 cm 10 Diameter lobang nada 1 cm 11 Panjang bambu sulim 46,35 cm Keterangan : Ukuran sulim yang tertera pada tabel di atas adalah ukuran sulim dengan kunci F yang dibuat oleh bapak M. Sitohang, dengan aturan pola ukur pembuatan sulim secara umum18 3.3 Proses Pembuatan Proses pembuatan sulim dikerjakan oleh tangan yang dibantu dengan peralatan-peralatan yang sederhana. Sebelum pada tahap proses pembuatan, penulis akan menjelaskan lebih dahulu bahan material dan alat-alat yang digunakan. 3.3.1 Bahan material Material yang digunakan dalam pembuatan sulim relatif sederhana. Pembuatan sulim tidaklah sesulit pembuatan instrumen Batak Toba yang lain seperti taganing yang membutuhkan material yang kompleks dengan proses yang sulit dan butuh waktu yang relatif lama. Sulim adalah salah satu instrumen Batak Toba yang relatif sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sulim hanya seruas bambu saja. Jenis bambu yang baik untuk dijadikan sebuah sulim adalah bambu yang sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar bambu tersebut tidak mengalami perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan. Dibuat dari seruas bambu dengan panjang ruas bambu yang ideal biasanya berkisar antara 30 cm s/d 75 cm dengan ketebalan bambu yang berkisar antara 0,1 cm s/d 0,3 cm. 18 Akan dijelaskan lebih lanjut pada tahapan proses pembuatan. 3.3.2 Peralatan yang digunakan Selain bahan material yang sederhana, peralatan yang digunakan juga tidak terlalu banyak, yakni hanya membutuhkan gergaji, pisau belati kecil ataupun sebilah besi bulat dengan ukuran tertentu, meter atau seutas daun pisang dan bara api. Namun, bilahan besi bulat tersebut memiliki ukuran diameter yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya bambu yang akan dibuat. Gergaji atau parang berfungsi untuk memotong bambu dari pohonnya serta memotong bilahan bambu menjadi beberapa ruas tergantung seberapa banyak sulim yang akan dibuat. Gambar-4. Parang Pisau belati kecil dan besi bulat panjang berfungsi untuk membuat lobang tiupan dan lobang nada sesuai dengan ukuran yang ditentukan. Gambar-5. Pisau belati Gambar-6. Besi bulat panjang Meter atau seutas tali dipakai sebagai alat untuk mengukur jarak antara lobang tiupan, lobang vibrasi, dan lobang nada, atau jarak antar lobang yang satu dengan yang lainnya Gambar-7. Mengukur lobang tiupan Api berfungsi untuk memanaskan besi yang telah diukur agar mampu menembus bambu dalam proses pelobangannya. Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim 3.3.3 Langkah-langkah pembuatan Dalam bahasan ini, penulis akan memaparkan langkah-langkah pembuatan sulim secara umum yang tentunya tidak mengandung unsur magis atau makna ritual tertentu. Untuk menghasikan sulim yang baik, harus melalui tahapan yang baik pula sebagai berikut : a) Pemilihan bambu b) Pemotongan badan bambu c) Pemotongan ruas bambu d) Pengeringan e) Pelobangan f) Pengornamentasian 3.3.3.1 Pemilihan bambu Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, bambu yang baik untuk dijadikan sebuah sulim adalah bambu yang sudah tua dan matang. Kematangan bambu dapat dilihat dari ciri-ciri kulit batang bambu yang sudah berwarna hijau tua, daun berwarna hijau kecoklatan, ruas batang yang sudah cukup banyak dan biasanya sedikit ditumbuhi lumut atau tumbuhan fungi lainnya pada batangnya yang paling bawah. Hal ini bertujuan agar bambu tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan atau pun setelah sulim sudah terbentuk. Dalam proses pemilihan bambu, ternyata tidak semua kategori bambu cocok untuk dijadikan sebuah sulim. Menurut berbagai narasumber yang sudah berpengalaman dalam membuat sulim seperti Bapak Sinurat, Marsius Sitohang, Junihar Sitohang, bambu yang ideal untuk dijadikan sebuah sulim yang kokoh dan tahan lama sebaiknya dipilih bambu telur (bulu tolor). Karena tipikal bambu ini tidaklah terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, juga memiliki diameter yang tidak terlalu besar yang setidaknya sangat ideal untuk dijadikan sebuah sulim. Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor) 3.3.3.2 Pemotongan badan bambu Setelah bambu pilihan ditemukan, dilakukanlah penebangan atau pemotongan bambu. Pemotongan dapat dilakukan dengan memakai parang ataupun gergaji. Cara memotong badan bambu yang baik adalah potonglah bambu mulai dari pangkalnya jangan dari ujungnya. Karena ketebalan bambu tersebut ada pada pangkalnya. Ketika memotong, tafsirlah kira-kira ada berapa buah sulim yang dapat dibentuk dari ruas bambu yang ada. Gambar-10. Memotong ruas bambu 3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu Ketika bambu sudah selesai ditebang, potonglah ruas-ruas bambu menjadi beberapa bagian sesuai dengan jumlah sulim yang direncanakan akan dibuat. Hal yang perlu diperhatikan dalam memotong ruas bambu adalah pemotongan dilakukan harus dari atas buku bambu. Sebab posisi lobang tiupan sulim yang baik adalah harus berada di bawah bukunya bukan di atas buku bambu tersebut. Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim 3.3.3.4 Pengeringan Dalam proses pengeringan bambu, tidak terlalu memakan waktu yang begitu panjang sebab bambu yang telah dipilih sudah dalam kondisi tua dan matang artinya bambu dengan tingkat kekeringan 70% sd. 80% sudah cukup untuk dibentuk menjadi sulim. Tujuan pengeringan sebenarnya adalah agar ketahanan bambu lebih terjamin ketika nantinya sulim sudah siap dipakai untuk jangka waktu yang lebih lama seperti yang diharapkan. Tahapan pengeringan dilakukan dengan cara meletakkan bambu yang sudah dipotong menjadi beberapa ruas ke atas tungku perapian atau pun di suatu tempat kering yang tidak terkena langsung oleh teriknya sinar matahari. 3.3.3.5 Pelobangan Inti dari tahapan pembuatan sulim adalah pembuatan lobang melalui proses pelobangan dengan mengikuti pola aturan pengukuran tertentu. Pelobangan dapat dilakukan dengan memakai pisau belati kecil yang ujungnya tajam ataupun dengan memakai besi bulat yang bagian ujungnya runcing dengan ukuran tertentu. Tahapan pelobangan yang pertama dimulai dari lobang tiupan kemudian dilanjutkan ke lobang nada secara berurutan. Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama Gambar-14 Pelobangan lobang nada ke-2 Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3 Gambar-16. Pelobangan nada ke-4 Gambar-17. Pelobangan nada ke-5 Gambar-18. Pelobangan nada ke-6 Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan Pada saat lobang tiupan selesai dibuat sebenarnya situkang tersebut sudah dapat menafsirkan nada dasar dari sulim tersebut. Sebab pada sulim ditiup tanpa memiliki lobang, itu sama halnya dengan meniup sulim dengan menutup semua lobang nada, dimana akan menghasilkan nada do (1) yang menjadi nada dasar sulim tersebut. Hanya saja jika nada (pitch)nya kurang memenuhi atau kurang tinggi dari nada dasar yang diperkirakan maka solusi yang dilakukan adalah dengan sedikit demi sedikit memperbesar diameter lobang tiupan sesuai dengan nada yang diharapkan dan sampai pada batas besar lobang tiupan yang wajar. Sebab jika lobang tiupan terlalu besar meskipun dengan nada (pitch) yang sudah memenuhi pada akhirnya tidak akan menjadi sulim yang ideal untuk dipakai, sebab lobang tiupan yang terlalu besar akan mengakibat pemborosan nafas pada saat peniupan. Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam penentuan besar lobang tiupan.19 Kemudian setelah lobang tiupan selesai dibuat, maka lobang yang akan dibuat selanjutnya adalah keenam lobang nada. Dari keenam lobang nada yang akan 19 Penetapan/penentuan nada (pitch) akan dibahas lebih mendalam pada bagian “sistem pelarasan nada” sub bab berikutnya. dibuat, lobang nada pertama yang akan dibuat adalah lobang nada bawah, kemudian lobang nada bawah ke dua, dan seterusnya hingga lobang nada yang keenam. Biasanya setiap membuat lobang nada, sulim tersebut selalu ditiup dahulu untuk memastikan nada yang diinginkan. Demikianlah seterusnya hingga keseluruhan lobang nada selesai dibuat sesuai dengan ketentuan nada yang diinginkan. Sebagai tambahan, lobang pemecah suara biasanya dibuat setelah lobang tiupan berikut dengan seluruh lobang nada selesai dibentuk. Setelah lobang pemecah terbentuk, kemudian dibalut dengan kertas tipis atau plastik tipis. Jika tahapan ini selesai, maka selesailah sudah tahapan pelobangan sulim. Adapun aturan-aturan atau pola pengukuran jarak antar lobang dalam membuat sebuah sulim adalah sebagai berikut : C D E B F A G Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim Keterangan gambar: Jarak antara lobang tiupan (C) dengan ruas bambu = panjang diameter bambu (B) Jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D) = 2 x keliling bambu (A) Jarak antara lobang nada atas (D) dengan lobang nada bawah (E) = 2 x keliling bambu (A) Jarak antara lobang nada bawah (E) dengan lobang tonika (F) = 1 x keliling bambu (A) Jarak antara masing-masing keenam lobang nada = jarak antara lobang nada bawah dengan lobang nada atas kemudian dibagi 5 untuk mendapatkan 4 lobang nada berikutnya. Posisi lobang yang ditutup oleh selembar kertas tipis (G) berada pada pertengahan jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D) 3.3.3.6 Ornamentasi Setelah proses pelobangan selesai, sebenarnya tahap pembuatan sulim secara sederhana sudah dianggap selesai. Sebab tidak semua sulim yang dapat kita lihat secara umum memiliki ornamentasi. Ada tidaknya ornamentasi pada sulim tergantung pada selera sipemilik atau si pembuat. Tapi ada kalanya ornamentasi menjadi ciri khas dari seorang pembuat sulim yang bahkan itu bisa menjadi salah satu faktor ketenarannya sebagai seorang pembuat sulim ternama disamping kualitas bunyi sulim yang dia ciptakan. Bentuk pengornamentasian pada sulim sangat beragam tergantung kebiasaan dari sipembuat itu sendiri. Ada kalanya seorang pembuat sulim hanya memiliki satu jenis ornamentasi yang menjadikan itu sebagai ciri khas, tetapi ada juga orang yang mampu membuat sulim dengan beragam jenis ornamentasi sesuai seleranya. Sebab tidak ada aturan atau batasan-batasan tertentu dalam pembuatan ornamentasi sulim. Ada orang membuat ornamentasi berupa gorga (seni lukis atau seni ukir Batak Toba), ada juga yang membuat hanya dengan menambahkan lobang-lobang ornamentasi yang sama sekali tidak mempengaruhi kualitas bunyi, ada juga yang ornamentasi hanya dengan mengukir nama atau tulisan tertentu di bagian badan sulim tersebut, bahkan ada yang membuat dengan ketiga jenis ornamentasi tersebut, dan masih banyak jenis ornamentasi yang lain. Hal ini dapat kita lihat dari sekian banyaknya sulim yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan bahwa setiap sulim tidak memiliki jenis ornamentasi yang sama kecuali ornamentasi tersebut dibuat oleh orang yang sama. Berikut ini adalah jenis berbagai sulim dengan bentuk ornamentasi yang berbeda-beda. Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi Gambar-22. Ornamentasi lobang Gambar-23. Ornamentasi gorga Gambar-24. Ornamentasi nama Gambar-25. Ornamentasi simbol 3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim Berbicara tentang kontinuitas dalam konteks fisik, berarti berbicara tentang adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini yang berkaitan dengan kondisi fisik instrumen itu sendiri. Hal yang tetap dipertahankan sebagai wujud kontinuitas fisik sulim adalah bahwasanya dari zaman dahulu hingga pada saat ini bentuk sulim selalu sama/tetap dan tidak pernah berubah-ubah, tetap terbuat dari bambu bahkan jumlah lobang penentu kualitas bunyi selalu sama yakni memiliki satu lobang hembusan dan 6 (enam) buah lobang nada. Secara umum, bentuk fisik sulim tidak ada yang berubah. Yang berubah adalah proses pembuatannya dan adanya pengembangan metode baru dalam menciptakan sulim yang lebih kaya terkait akan fungsi dan penggunaannya. Kristenisasi pada masyarakat Batak Toba membawa pengaruh atas munculnya oknum-oknum tertentu yang membawa praktek ritual pembuatan sulim. Pada masa reformasi ini, pembuatan sulim dengan melakukan ritual sudah sangat jarang ditemukan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Bapak J.Sinurat, salah seorang pemain dan pembuat sulim mengatakan bahwa selama beliau menjadi pengrajin sulim, ritual pembuatan sulim tidak pernah lagi dilakukan. Beliau juga menambahkan, bahwa menurut beliau ritual pembuatan sulim diabaikan karena nilai kepemilikan sulim pada masa sekarang ini sudah mengalami perubahan. Tujuan seorang pengrajin sulim sudah lebih dominan kepada tujuan dagang dengan mengutamakan keuntungan secara ekonomis dan waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan aspek-aspek proses pembuatan dan proses ritualnya. Maka tidak heran kalau praktek ritual tersebut diabaikan, sebab pada prakteknya pun untuk membuat satu buah sulim membutuhkan waktu yang relatif lama. Selain daripada perubahan dalam proses pembuatan yang dulunya memakai ritual menjadi non-ritual, hal yang berubah adalah adanya metode baru dalam menciptakan sebuah sulim yang lebih kaya akan fungsi dan penggunaannya. Dahulu awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan oleh piano. Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi. Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga c’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi karena semakin meningkatnya permintaan dan kebutuhan masyarakat pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja, berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam komposisi musik lagu Batak tradisional maupun populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu ataupun repertoar yang diinginkan Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer Batak atau non-Batak, lagu Rohani gereja, maupun lagu-lagu sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) yang berpatokan pada pelarasan nada musik Barat. 3.4 Kajian Fungsional Sulim Dalam pembahasan kajian fungsional, penulis hanya menitikberatkan bahasan pada sistem pelarasan (tuning), teknik permainan, dan proses pembelajaran sulim. 3.4.1 Sistem pelarasan (tuning) Wilayah nada (range) dan jangkauan nada (ambitus) yang terdapat pada sulim dibedakan menurut besar kecilnya diameter bambu. Apabila diameter bambu memiliki ukuran yang besar maka akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada (ambitus) yang rendah. Sebaliknya apabila memiliki diameter yang kecil maka otomatis akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada (ambitus) yang tinggi. Secara umum ambitus nada paling tinggi yang mampu dijangkau oleh sipemain pada sebuah instrumen sulim adalah nada oktaf ke-2 dalam wilayah nada (range) 2 oktaf. Selain ukuran diameter dan panjang-pendeknya bambu, faktor yang juga menentukan tinggi rendahnya nada sulim adalah besar kecilnya lobang dan panjang pendeknya jarak antar lobang nada. Sistem pelarasan nada sulim pada zaman sekarang ini tentunya tidak terlepas dari peran nada-nada standard yang ada pada piano atau instrumen yang lain yang dianggap memiliki standardisasi bunyi/nada. Berbicara tentang hal pelarasan nada pada sulim, sesungguhnya tidak ada ilmu atau metode tertentu yang dapat menjamin secara pasti penentuan kunci atau nada dasar sulim yang akan dihasilkan. Sebab sulim termasuk jenis instrumen yang bersifat alami yang secara teknis tidak sama dengan instrumen tiup Barat yang ada pada umumnya. Seperti diketahui bahwa setiap instrumen tiup Barat seperti saxofon, flute, trompet, dan lain sebagainya dapat memainkan keseluruhan tangga nada yang ada pada sistem tangga nada diatonis musik Barat, sementara sebuah sulim hanya mampu mewakili satu atau dua nada dasar saja. Oleh karena itu, sistem pelarasan dilakukan hanya dengan mengandalkan penafsiran, perkiraan, dan perasaan semata. Menurut Bapak Sinurat, hal pertama yang dilakukan untuk penentuan nada dasar pada sebuah sulim adalah dengan melihat besar-kecilnya diameter bambu dan panjang-pendeknya bambu yang akan dibuat. Biasanya seorang pengrajin sulim yang baik akan mampu menafsirkan secara umum bahwa bambu yang akan dibuat akan menghasilkan sulim dengan nada dasar tertentu hanya dengan melihat besar-kecilnya diameter dan panjang-pendeknya ruas bambu tersebut. Apabila penafsiran sedikit meleset ada metode tertentu yang dapat dilakukan. Misalkan sebuah sulim yang ditafsir akan menghasilkan kunci E tetapi ternyata pitch (ketepatan nada) yang diperkirakan kurang mencapai, caranya adalah dengan memperbesar atau menambah sedikit demi sedikit besar keseluruhan lobang tiupan dan lobang nada. Walaupun untuk itu dibutuhkan ketelitian dalam melakukan pekerjaan tersebut, karena apabila terjadi kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan hal yang fatal. Apabila terjadi kesalahan dalam pelobangan maka nada dasar yang dihasilkan pun akan kedengaran sumbang (fals) dan akan sangat susah untuk mencari solusi untuk memperbaikinya kembali. Jalan keluarnya adalah hanya dengan mengganti bahan. Penambahan besar lobang bertujuan untuk meninggikan pitch (nada) yang dibutuhkan. Oleh karena itu, apabila keseluruhan lobang yang diperbesar ternyata terlalu besar otomatis pitch (nada ) yang dihasilkan pun terlalu tinggi dan akan melebihi pitch atau nada dasar E yang sebenarnya. Beliau juga menambahkan kalau dalam hal pelarasan sulim lebih baik pitch yang diharapkan kurang mencapai daripada melebihi ketinggian nada yang diharapkan. Sebab kalaupun terjadi kekurangan pitch masih bisa diantisipasi dengan cara memperbesar keseluruhan lobang yang tentunya akan memperkecil jarak antar lobang. Sedangkan apabila pitch yang dihasilkan melebihi dari yang diharapkan maka tidak akan mungkin lagi diantisipasi dengan cara memperkecil lobang dan memperbesar jarak antar lobang. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar poses pelobangan dimulai dengan membuat lobang yang lebih kecil terlebih dahulu. Pada dasarnya sulim mempunyai tonika yang diawali dari nada yang paling rendah (semua lobang ditutup dengan jari), dimana nada tersebut menjadi nada awal dalam menghasilkan nada-nada dalam tangga nada diatonis. Untuk menentukan nada dasar sulim yang telah dibentuk, maka yang harus dilakukan adalah menyelaraskan nada sulim dengan nada piano. Caranya adalah dengan meniup sulim dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada. Setelah ditiup, carilah nada tersebut di antara kedua belas nada yang ada pada tuts piano. Apabila nada yang dihasilkan adalah nada “F” pada tuts piano, maka nada dasar sulim tersebut adalah “F=do”, sebab ketika sulim ditiup dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada maka akan menghasilkan nada “do(1)”, dan apabila ada sebuah sulim yang ukurannnya lebih kecil juga ditiup dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada yang menghasilkan nada “A” pada tuts piano, maka nada dasar sulim tersebut adalah “A=do”, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui interval dan tangga nada yang terdapat pada sulim dapat dilihat berdasarkan posisi setiap lobang nada yang dimainkan. Di bawah ini kita akan melihat contoh gambar interval nada pada sulim yang memiliki nada dasar “F=do” 6 5 4 3 2 1 Gambar -26. Posisi lobang nada sulim Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F” Gambar-28 Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G” Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A” Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes” Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C” Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada “D” Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada “E” Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke-6 dibuka akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)” Dari beberapa gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem interval nada pada sulim sama dengan interval nada yang ada dalam tangga nada diatonis Barat. Apabila disusun dengan deret naik, maka nada-nada yang terdapat pada sulim “F” adalah sebagai berikut : Nada Interval F G 2M A 2M Bes C 2M 2m D 2M E 2M F 2m Keterangan : 2M = interval second major atau sekunda mayor 2m = interval second minor atau sekunda minor 3.4.2 Teknik permainan Secara umum, ada 4 (empat) hal yang harus dikuasai dalam memainkan sulim yakni ambasir, penjarian, pernafasan dan permainan lidah. Ambasir berasal dari bahasa Perancis yaitu embouchure yang berarti “di dalam mulut” atau “meletakkan pada mulut”. Jadi secara sederhana ambasir berarti teknik peletakan bibir pada lobang tiup. Biasanya ambasir berlaku untuk instrumen yang bertipikal side blown seperti flute dan jenis seruling yang lain. Untuk instrumen flute, ambasir lebih cocok kalau dikatakan “di luar mulut’ (out of mouth). Ambasir yang digunakan antara flute dan sulim memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ditiup dari samping (side blown). Tetapi juga terdapat perbedaan, perbedaan tersebut terdapat pada bentuk bibirnya. Pada flute bentuk bibir lebih melebar kesamping (kanan kiri). Sedangkan pada ambasir sulim lebih bulat yang mana perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut : Contoh gambar ambasir pada flute : Contoh ambasir pada sulim : Secara sederhana, teknik menggunakan ambasir yang benar pada sulim adalah dengan cara meletakkan lobang tiupan ke arah pertengahan garis antara bibir atas dengan bibir bawah lalu memutar sekitar 45 derajat ke arah luar bibir kemudian sedikit melebarkan bentuk bibir ke arah kiri dan kanan. Gambar-35. Ambasir pada sulim Penjarian merupakan teknik membuka dan menutup jari pada lobang nada sesuai dengan melodi yang dimainkan. Posisi jari biasanya tergantung kebiasaan sipemain itu sendiri. Apabila sipemain lebih dominan meletakkan sulim di sebelah kanannya, maka posisi 3 (tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada atas dan posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah. Sebaliknya, apabila sipemain cenderung meletakkan sulim di sebelah kirinya, maka posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada atas dan posisi 3 (tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah. Berikut contoh gambar. Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri Pernafasan yaitu teknik bernafas yang baik dalam memainkan sebuah sulim yakni boleh dengan melalui hidung dan juga melalui mulut. Tetapi cara bernafas yang efektif dalam memainkan sulim menurut pengamatan dan pengalaman penulis adalah bernafas melalui mulut. Artinya, menarik nafas dari mulut kemudian dihembuskan lagi melalui mulut, sementara pernafasan melalui hidung hanya boleh dilakukan sesekali ketika ada spasi waktu dalam peniupan. Spasi waktu yang dimaksud adalah ketika sipemain sulim berhenti sejenak untuk mengambil nafas sebelum melanjutkan permainan ke bagian atau bait selanjutnya. Jika hanya butuh waktu singkat dalam pengambilan nafas dalam memainkan bagian motif atau frasa lagu yang berdekatan maka pernafasan mulut adalah cara yang paling efisien untuk dilakukan. Tujuan bernafas melalui mulut ini adalah agar lebih mempercepat waktu dalam pengambilan nafas dengan jumlah cukup besar yang akan diisi ke paru-paru dan lebih mempermudah sipemain untuk menghemat nafas yang dikeluarkan. Permainan lidah (tonguing) merupakan teknik mengatur pola ritme pergerakan lidah ketika dalam memainkan sebuah sulim. Teknik permainan lidah (tonguing) pada sulim sama dengan tonguing pada flute. Ada 2 (dua) jenis tonguing dalam memainkan sulim yakni : 1) Single tonguing, yakni dipakai dengan cara memainkan pola Staccato untuk interval nada yang berjauhan. Misalnya, interval nada dari E-E’ (E oktaf) atau dari nada G-G’(G oktaf). Biasanya teknik ini dipakai pada teknik mangangguk, mangenet, mandila-dilai dan manganak-anaki. 2) Double tonguing, yakni dipakai untuk memainkan interval nada-nada yang berdekatan. Biasanya teknik ini dipakai pada teknik mangarutu dan mangaroppol. Apabila dikaji secara teliti, ada banyak pola atau teknik permainan yang terdapat pada sulim tergantung kemampuan dan kemahiran sipemain itu sendiri. Beberapa skripsi sebelumnya juga sudah ada yang membahas tentang pola atau teknik permainan sulim secara umum berdasarkan kemampuan orang atau sipemain yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berusaha merangkum secara detail dan lebih spesifik mengenai teknik permainan sulim dari beberapa narasumber yaitu mangarutu, mandila-dilai, mangangguk, mangenet, manganak-anaki dan mangaroppol. Dalam teknik permainan sulim, ada 3 (tiga ) unsur pokok yang sangat berperan penting dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yakni tiupan nafas, lidah dan jari. Setiap teknik yang dimainkan dalam permainan sulim akan berhubungan dengan ketiga unsur ini. Dalam prakteknya, masing-masing memiliki peranan dan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya teknik memaksimalkan fungsi mangarutu lidah, dan teknik mandila-dilai dimainkan dengan mangangguk dimainkan dengan memaksimalkan fungsi tiupan nafas dan penekanan lidah, dan teknik mangenet dimainkan dengan memaksimalkan tiupan nafas dan permainan jari, dan teknik manganak-anaki dimainkan dengan memaksimalkan fungsi lidah dan permainan jari. Namun ada juga teknik yang memaksimalkan fungsi ketiga unsur tersebut dalam porsi yang sama yaitu disebut dengan teknik mangaroppol. 3.4.2.1 Teknik permainan lidah Dalam teknik permainan lidah, unsur yang paling berperan penting adalah lidah. Teknik permainan lidah dapat dibagi menjadi 2 (dua) teknik yakni mangarutu (double tonguing) dan mandila-dilai (single tonguing). 3.4.2.1.1 Mangarutu Mangarutu adalah teknik permainan lidah dengan kombinasi double tonguing yang memberikan penekanan ritem lidah seperti melafalkan kata “tu” dan “ru” dengan mengeluarkan desis tiupan tanpa mengeluarkan suara/bunyi dari mulut. Kata “tu” dilafalkan pada penekanan ritem pertama dan kata “ru” dilafalkan pada penekanan ritem kedua. Pola mangarutu dikembangkan dengan melipatgandakan not seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) menjadi not seperenambelas (1/16). Teknik ini sering muncul pada berbagai lagu/repertoar yang bertempo sedang atau cepat yang memiliki ritem rapat dengan not seperenambelas (1/16). Teknik mangarutu biasanya lebih enak dan nyaman jika dimainkan untuk repertoar yang bertempo sedang/cepat dibandingkan repertoar yang bertempo lambat, karena jika dimainkan pada lagu atau repertoar lambat kesannya akan terdengar kasar dan seakan dimainkan tidak pada tempatnya. Contoh teknik mangarutu dapat dilihat sebagai berikut : Contoh : Keterangan : Setiap nada pertama dan nada ganjil pada pola teknik mangarutu di atas ditiup dengan menggunakan penekanan lidah seperti pelafalan kata “tu”, sedangkan nada kedua dan nada genap yang lain ditiup dengan meggunakan penekanan lidah seperti pelafalan kata “ru”. Secara praktis, teknik memainkan pola mangarutu pada repertoar dapat dilihat pada penggalan melodi gondang siburuk berikut ini: 3.4.2.1.2 Mandila-dilai Mandila-dilai merupakan teknik permainan lidah dengan memberikan tekanan atau aksen lebih pada setiap nada yang dimainkan. Dalam istilah musik, teknik ini lazim dikenal dengan istilah staccato. Untuk menghasilkan teknik mandila-dilai atau staccato dalam permainan sulim biasanya diimitasikan dengan cara menekan lidah seperti mengucapkan kata “tut” .Biasanya teknik ini dapat dimainkan jika hanya sesuai terhadap lagu atau repertoar yang dimainkan. Sebab pada umumnya tidak semua lagu atau repertoar “enak dan cocok” jika disajikan secara terus menerus dengan memakai pola staccato, paling hanya sedikit repertoar dapat dimainkan dengan pola ini dan itu pun hanya di beberapa bagian tertentu saja. Hal ini disebabkan karena umumnya repertoar Batak Toba jarang dimainkan dengan pola staccato kecuali ditemui pada bagian penggalan melodi gondang hata sopisik saja. Jika ada yang memainkan pola staccato dalam bentuk repertoar yang lain, biasanya hal itu merupakan bagian dari improvisasi dari sipemain tersebut. Oleh karena itu, teknik ini biasanya hanya muncul sesekali dalam penyajiannya. Contoh teknik mandila-dilai dapat dilihat pada penggalan melodi repertoar gondang hata sopisik di bawah ini. 3.4.2.2 Mangangguk (Teknik permainan lidah dan tiupan) Di dalam teknik permainan ini yang paling berperan penting adalah penekanan lidah dan keras lembutnya tiupan nafas. Teknik permainan yang melibatkan lidah dan tiupan ini dinamakan teknik mangangguk. Mangangguk merupakan teknik permainan sulim dengan penggarapan sebuah nada yang bersifat ritmik dengan memunculkan 2 (dua) nada yang sama dengan jenis warna yang berbeda yakni nada oktaf atas (nada balikan) dan nada oktaf bawah dalam interval dan wilayah nada satu oktaf. Dalam hal ini, ritme dari satu ketuk nada panjang tersebut dilipatgandakan ke dalam bentuk not seperenambelas (1/16). Untuk menghasilkan warna nada yang pertama yakni nada oktaf atas dilakukan dengan penekanan lidah dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “tu”, sedangkan warna nada kedua yakni nada oktaf bawah dihasilkan melalui tiupan lembut tanpa tekanan lidah dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “hu”. Teknik ini biasanya dipakai ketika memainkan lagu atau repertoar yang yang bernuansa andung-andung (nyanyian ratapan) dengan tempo yang lambat ataupun sedang. Contoh teknik mangangguk dapat dilihat dalam penggalan lagu andung berjudul “Sawan” berikut ini: Keterangan : Nada “g” oktaf bawah (g) yang menghasilkan bunyi “hu” dan nada “g “ oktaf atas (g’) yang menghasilkan bunyi “tu” menunjukkan pola garapan ritmis dalam teknik mangangguk. 3.4.2.3 Mangenet (Teknik permainan jari dan tiupan) Teknik mangenet merupakan kebalikan dari mangangguk dimana teknik ini dimainkan dengan permainan jari dan tiupan nafas. Mangenet adalah suatu teknik permainan nada dengan cara membuka dan menutup sedikit demi sedikit lobang nada oleh jari dan mengkombinasikannya dengan keras-lembutnya tiupan nafas yang bertujuan untuk menghasilkan nada yang bunyinya terkesan seperti ratapan tangis. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang bersifat improvisatoris yakni pengembangan teknik yang biasanya dimainkan di luar melodi lagu atau repertoar yang dimainkan dengan tujuan untuk memperindah lagu atau repertoar yang dimainkan. Sesuai dengan suara yang dihasilkan, teknik ini biasa dipakai untuk lagulagu yang bernuansa kesedihan dengan memainkan tempo lagu atau repertoar yang lambat. Teknik mangenet dapat dilihat dari contoh penggalan lagu andung yang berjudul tiope mual berikut ini : Contoh penggalan melodi pokok vokal : Contoh penggalan melodi dalam bentuk instrumen sulim dengan teknik mangangguk : Contoh penggalan melodi lagu dalam bentuk instrumen sulim dengan menggunakan teknik mangangguk yang diakhiri dengan teknik mengenet : Keterangan : Teknik mangenet dalam penggalan melodi di atas dapat dilihat dalam pengembangan pola nada akhir yakni dari bentuk nada akhir penggalan melodi kedua menjadi nada akhir penggalan melodi ketiga Untuk menghasilkan nada “es” dalam penggalan nada diperoleh melalui teknik mangenet yakni dengan cara membuka sedikit demi sedikit nada “d” (posisi nada keenam ditutup secara utuh) pada sulim dengan nada dasar “F=1” sehingga lobang nada keenam yang ditutup secara utuh menjadi terbuka setengah bagian sehingga perlahan akhirnya membentuk nada “es”. 3.4.2.4 Manganak-anaki (Teknik permainan lidah dan jari) Dalam teknik permainan ini yang paling memiliki peranan penting adalah fungsi lidah dan jari artinya, teknik manganak-anaki dapat terjalin jika ada kerja sama yang baik antara lidah dan jari. Manganak-anaki merupakan sebuah teknik dengan pola permainan nada yang mengkombinasikan permainan lidah dengan jari dalam penggarapan ritem dasar dari suatu komposisi lagu. Secara bentuk, Pola penggarapan pada teknik menganak-anaki sebenarnya sama dengan pengembangan pola mangarutu, yaitu sama-sama dikembangkan dengan cara melipatgandakan not seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) ke dalam bentuk not seperenambelas (1/16). Yang membedakannya hanya pada teknik memainkannya. Mangarutu lebih memaksimalkan fungsi lidah, sedangkan manganak-anaki lebih memaksimalkan fungsi lidah dan jari, sehingga menghasilkan karakter bunyi yang berbeda. Dalam hal ini sistem kerjasama antara fungsi lidah dan jari dapat ditunjukkan melalui penekanan lidah pada bentuk ritem pertama yang kemudian disambut oleh jari pada ritem berikutnya. Teknik penekanan lidah pada ritem yang pertama dilakukan seperti pelafalan kata “tu” dan penekanan ritem yang kedua yang disambut oleh jari dilakukan dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata “wu”, sehingga apabila kerjasama ini terjalin dengan baik, maka bunyi yang dihasilkan akan membentuk 2 (dua) warna yang berbeda dari 2 (dua) nada yang sama. Teknik ini biasanya muncul ketika memainkan lagu atau repertoar yang bertempo sedang ataupun cepat. Secara praktis, teknik memainkan pola manganak-anaki pada repertoar dapat dilihat pada contoh penggalan repertoar Sihutur Sanggul berikut ini: Keterangan : Pola not seperenambelas pada teknik manganak-anaki sama dengan pengembangan pola not seperenambelas pada teknik mangarutu, yang membedakannya hanyalah pada teknik memainkan dan produksi bunyinya. Jika diimitasikan ke dalam bentuk bunyi, pola not seperenambelas pada teknik manganak-anaki tersebut dimainkan dengan membentuk pola “tuwutuwu tuwutuwu”, sedangkan pola not seperenambelas yang dimainkan pada teknik mangarutu dimainkan dengan membentuk pola “turuturu turuturu”. 3.4.2.5 Mangaroppol (Kombinasi teknik permainan lidah, jari dan tiupan) Di dalam teknik permainan sulim, mangaroppol merupakan sebuah teknik yang paling kompleks dibandingkan teknik yang lain karena teknik ini mampu memaksimalkan ketiga fungsi yakni lidah, jari, dan tiupan nafas dalam porsi yang relatif sama. Selain itu mangaroppol juga merupakan sebuah teknik permainan yang memadukan berbagai teknik ke dalam satu bentuk permainan. Pada prinsipnya, setiap pemain sulim memiliki karakter yang berbeda-beda dalam bermain. Ada seorang pemain sulim yang memiliki ciri khas mangarutu dalam setiap permainannya, ada pula orang tidak mampu memakai teknik mangarutu sehingga mengakibatkan dia bermain dengan memakai teknik manganak-anaki sebagai ciri khasnya, dan ada pula pemain sulim yang tidak bisa memainkan keduaduanya sehingga dia selalu memakai teknik mangangguk dalam setiap permainannya baik ketika memainkan lagu atau repertoar yang lambat maupun yang cepat. Tetapi selain daripada ketiga bentuk ciri khas pemain di atas ada pula seorang pemain sulim yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan tersebut.20 Orang yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan tersebut di atas biasanya selalu menyuguhkan lagu atau repertoar yang dimainkan dengan metode penggabungan ketiga teknik tersebut yang dinamakan dengan teknik mangaroppol. Ketiga bentuk permainan tersebut merupakan teknik dasar yang pada prinsipnya harus diketahui oleh setiap pemain sulim. Oleh karena itu, seorang pemain sulim yang baik diharapkan mampu memainkan teknik mengaroppol dalam setiap memainkan sebuah lagu atau repertoar tertentu. Contoh teknik mangaroppol yakni teknik yang memadukan antara teknik mangarutu, mangangguk, dan manganakanaki dapat dilihat dalam bentuk penyajian penggalan melodi pembuka atau introduce repertoar gondang batara guru berikut ini: 20 Tingkat kemudahan antara ketiga teknik permainan tersebut tergantung pada kebiasaan dan kemampuan sipemain itu sendiri. Masing-masing teknik tersebut diperoleh melalui proses yang berbeda-beda, ada yang belajar secara otodidak (marsiajar sandiri) dan ada yang belajar dari seorang guru/ahli sulim (marguru) Keterangan : Pola “tu ru” mewakili teknik mangarutu Pola “tu wu” mewakili teknik manganak-anaki Pola “tu hu” mewakili teknik mangangguk 3.5 Proses Belajar Sulim Pada umumnya, pengetahuan untuk memainkan instrumen Batak Toba dipelajari dengan cara oral tradition (tradisi lisan). Dalam konteks ini, belajar yang dimaksud adalah dengan cara melihat dan mendengar serta memperhatikan secara seksama sebuah permainan instrumen tersebut kemudian menirukan dan menghafalkannya. Dalam budaya musikal masyarakat Toba, ada 2 (dua) macam proses belajar. Kedua proses belajar tersebut merupakan proses belajar yang diperoleh secara langsung dan tidak langsung. Proses belajar yang diperoleh secara langsung dari seorang pengajar dalam istilah masyarakat Batak Toba lazim disebut dengan marguru, sedangkan proses belajar yang diperoleh secara tidak langsung disebut dengan marsiajar sandiri (otodidak). 3.5.1 Marguru Secara harafiah, marguru memiliki arti belajar dari seorang guru atau instruktur. Dalam konteks belajar sulim, marguru diartikan dengan seseorang yang belajar kepada seorang pemain sulim yang dianggap sudah mahir dan profesional. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kata “mahir” dan “profesional” adalah telah terjun bermain musik dalam acara-acara adat Batak Toba dan telah memperoleh legitimasi (pengakuan) dari masyarakat itu sendiri. Bentuk pengakuan tersebut dapat dilihat ketika mayoritas masyarakat Batak Toba baik dalam ruang lingkup nasional maupun hanya daerah setempat sudah mengenal bahkan meyakini bahwa si pemain sulim tersebut sudah pernah bermain sulim pada setiap acara-acara adat mau pun dalam bentuk even yang lain sesuai konteks penyajiannya. Di dalam konteks marguru, ada 2 (dua) oknum yang terlibat yakni murid dan guru. Dalam prosesnya, seorang murid biasanya akan mendapatkan pengetahuan bermain sulim dengan bimbingan langsung oleh sang guru. Pada prinsipnya, setiap guru pasti memiliki metode yang berbeda-beda dalam mengajar, tapi pada dasarnya tujuannya sama saja yakni supaya si murid lebih mudah untuk memahami dan mampu memainkan sulim dengan baik. Secara umum, metode yang biasa dipakai oleh seorang guru untuk mengajarkan cara bermain sulim yang baik kepada muridnya adalah dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut yaitu pengajaran cara meniup yang baik, penguasaan posisi jari (penjarian), penguasaan tangga nada, penguasaan teknik bermain, hingga kepada penguasaan dan penghafalan melodi lagu atau repertoar yang akan dimainkan. Jika seorang murid sudah mampu meniup dengan baik dan menguasai penjarian serta tangga nada sulim tersebut, berikutnya sang guru akan mengajarkan teknik-teknik permainan. Dalam mengajarkan pola teknik permainan, metode yang dipakai oleh sang guru tersebut adalah dengan mengimitasikan atau menirukan teknik permainan yang ada pada sulim tersebut ke dalam bentuk bunyi vokal yang bertujuan agar simurid dapat membedakan karakter bunyi yang terdapat dalam suatu bentuk teknik permainan yang berbeda- beda. Pengajaran teknik bermain biasanya sejalan dengan pengajaran melodi lagu atau repertoar yang akan dimainkan. Sebab dalam memainkan melodi itulah sang guru menerapkan teknik-teknik dalam bermain. Dalam pengajaran teknik bermain sulim, sang guru akan mengambil sampel repertoar lagu Batak Toba yang ada, biasanya pada awalnya akan dimulai dari repertoar yang mudah dimainkan terlebih dahulu. Ciri-ciri repertoar yang mudah dimainkan biasanya dapat dilihat dari durasi melodi yang singkat, dan berisikan nada-nada yang berinterval pendek. Agar simurid dapat lebih mudah menguasai teknik sekaligus menghafalkan setiap melodi lagu ataupun repertoar yang diinginkan, sang guru akan mengajarkannya melalui 2 (dua) langkah, langkah yang pertama yaitu dengan pengajaran metode ende baba/gondang baba (mengimitasikan dengan nyanyian mulut) atau dalam istilah musik Barat disebut dengan mnemonics, dan langkah yang kedua yakni dengan cara memainkan instrumen secara langsung. Dalam metode pengajaran ende baba, setiap bunyi atau melodi yang dimainkan dibedakan dengan membuat klasifikasi suara yang dihasilkan dengan menggunakan lidah, jari, dan tiupan nafas. Kemudian bunyi tersebut diimitasikan melalui nyanyian mulut (manggondang babai) dalam bentuk suku kata. Pola suku kata pada penyajian ende baba/ gondang baba oleh masing-masing guru/ pengajar sulim biasanya berbeda-beda tergantung kebiasaan masing-masing. Contoh bentuk manggondang babai atau pengimitasian melalui nyanyian mulut dalam bentuk suku kata yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari salah satu contoh gondang baba dari penggalan nada gondang siburuk berikut ini “hudagidigidigidigidugudugudugudug hudagidigidigidigidugudugudugudug”. Suku penggalan melodi yang diajarkan tersebut. kata tersebut menggambarkan Kemudian setelah simurid telah mampu menirukan bunyi yang dinyanyikan oleh sang guru atau disebut dengan istilah manggondang babai, maka sang guru pun akan melakukan langkah kedua yakni dengan cara memainkan langsung sulim tersebut sesuai dengan melodi lagu yang diimitasikan melalui nyanyian mulut. Ketika sang guru mempraktekkan cara memainkan suatu motif, kemudian simurid pun menirukan. Demikianlah seterusnya hingga frase, bentuk dan keseluruhan melodi lagu dimainkan secara utuh. Namun, selain belajar dengan cara marguru tidak tertutup kemungkinan seseorang mampu belajar dengan cara yang lain, misalnya dengan menonton berbagai pertunjukan yang menampilkan permainan sulim, mendengarkan musik yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan lain sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari sendiri oleh pelajar tersebut. Namun untuk ini biasanya seseorang haruslah sudah memiliki dasar-dasar keterampilan memainkan sulim. 3.5.2 Marsiajar sandiri (otodidak) Selain belajar dari seorang guru, teknik bermain sulim juga dapat dipelajari sendiri secara otodidak yaitu belajar hanya dari pengalaman tanpa adanya bimbingan dari seorang parsulim (pemain sulim). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud menyangkut berbagai aktivitas seseorang tersebut untuk mencari dan menggali sendiri ilmu yang ingin diperoleh melalui berbagai cara. Dalam proses belajar secara otodidak, pengetahuan memainkan sulim dapat diperoleh dengan berbagai cara seperti menonton berbagai pertunjukan musik yang menampilkan permainan sulim, meningkatkan intensitas mendengarkan musik ataupun lagu-lagu yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan jenis aktivitas lainnya yang berkaitan dengan permainan sulim. Dalam hal ini, apabila seseorang ingin belajar secara otodidak maka orang tersebut akan menirukan apa yang dilihat dan didengar dengan pendekatan caranya sendiri. Dalam istilah masyarakat Batak Toba, metode belajar secara otodidak inilah dinamakan dengan istilah marsiajar sandiri. Pada umumnya, pengetahuan yang diperoleh dari proses marsiajar sandiri biasanya akan memiliki lebih banyak warna permainan dibandingkan belajar dari seorang guru atau marguru, karena dengan marsiajar sandiri ilmu yang diperoleh bersumber dari beberapa pemain sulim dengan teknik yang berbeda-beda sesuai dari apa yang dilihat dan didengar dari dalam pengalaman sehari-hari. Dilihat dari kedua metode di atas, apabila dibuat sebuah analisa tentang perbandingan teknik permainan sulim oleh orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marguru dengan orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri, dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang marguru akan cenderung mengikuti teknik dan cara bermain yang diberikan oleh gurunya, atau dengan kata lain teknik permainan yang dia mainkan hanya merupakan imitasi atau perniruan dari seseorang, sementara orang yang memiliki pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri akan cenderung memiliki lebih banyak jenis karakter permainan, sebab setiap gaya ataupun teknik yang dimainkan berasal dari beberapa pemain dengan gaya atau karakter permainan yang berbeda-beda. Walaupun secara umum metode belajar sulim melalui proses marguru dan marsiajar sandiri, terkadang ada juga seseorang yang belajar dengan mengkombinasikan kedua metode tersebut, yakni pada awalnya belajar kepada seorang guru dan selanjutnya memperdalam teknik permainannya dengan caranya sendiri sehingga dia memiliki ciri khas tersendiri selain dari pada yang diperoleh dari sang guru tersebut. BAB IV KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI DAN PENGGUNAAN SULIM Pada Bab ini, penulis akan mengkaji kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam aspek fungsi dan penggunaaan sulim. Berbicara tentang kontinuitas, selain dari pada penggunaan bahan baku dan ciri khas bunyi sulim, penulis lebih menitikberatkan penjelasan kontinuitas pada aspek fungsi musikalnya. Sedangkan tentang perubahan yang terjadi, selain menyangkut perubahan fisik instrumen penulis lebih menitikberatkan penjelasan pada masa penggunaannya dalam berbagai konteks mulai dari konteks solo instrumen, ensambel, pengiring lagu, kolaborasi instrumen, dan konteks insidental sesuai dengan periode waktu penggunaannya. 4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas Di antara kesepuluh fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam, dalam hal ini penulis hanya menitikberatkan fungsi musikal sulim pada fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani, penghayatan estetis dan fungsi ritual dan lima diantara keenam fungsi tersebut yaitu fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud dari adanya kontinuitas yang masih tetap dipertahankan dan diterima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba sampai sekarang, sementara satu fungsi yang lain yakni fungsi ritual sudah mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan. 4.1.1 Fungsi komunikasi Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah dianggap mengkomunikasikan sesuatu. 21 Sejalan dengan pendapat tersebut, fungsi sulim sebagai media komunikasi dapat dilihat ketika alat musik ini dimainkan bersama dengan istrumen lainnya pada saat upacara adat atau pun perayaan pesta adat seperti Gondang Naposo 22 dan lain sebagainya. Dalam hal ini, fungsi sulim sebagai media komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yakni komunikasi secara vertikal dan komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni komunikasi antara manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara horizontal yakni komunikasi antara manusia dengan sesama. Sebagai bentuk komunikasi yang bersifat vertikal dapat kita lihat ketika sulim memainkan repertoar gondang tertentu seperti repertoar Gondang Somba-somba yang memiliki makna penghormatan dan penyembahan kepada sang Pencipta, dimana sang Pencipta dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan kepada semua yang hadir pada acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang bersifat horizontal dapat dilihat pada saat sulim memainkan repertoar yang lain seperti repertoar Gondang Embas-embas yang mencerminkan komunikasi antara sipargonsi 21 22 Lihat Panggabean, 1996:86. Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda (pemain musik) dengan sipanortor (orang yang menari), dimana sipargonsi meminta kepada semua orang yang manortor agar marembas23 ketika manortor. 4.1.2 Fungsi hiburan Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai aspek kehidupannya. Hiburan biasanya dipakai sebagai media untuk memberikan rasa senang/ bahagia bagi orang yang membutuhkannya. Pada hakekatnya hiburan tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang dilingkupi rasa duka atau memiliki beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat dinikmati oleh orang tertentu yang memang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk menyaksikan atau mendengarkan hiburan tersebut. Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada saat bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acaraacara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat nonformal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu luang. Berkaitan dengan ketiga konteks hiburan tersebut, sulim yang berfungsi sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang sudah sering dipakai dalam 23 Marembas adalah sejenis bentuk tarian Batak Toba dengan cara menghentakkan kaki ke depan dan ke belakang sambil mengayunkan tangan. seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal, maupun non-formal. Sebagai wujud dari fungsi sulim sebagai media hiburan dalam konteks formal dapat kita lihat ketika sulim menjadi instrumen pengiring maupun instrumen pokok pada saat acara seni pertunjukan yang bertemakan konser/ festival maupun non-konser. Pertunjukan formal yang bersifat konser misalnya ketika sulim ditampilkan pada acara Konser Akbar, Konser Paduan Suara, Festival Paduan Suara, Festival Kolaborasi Etnik Modern dan sebagainya. Pertunjukan formal yang bersifat non konser misalnya ketika sulim disajikan sebagai instrumen pengiring lagu solo atau paduan suara untuk mengisi hiburan dalam acara akadamis seperti Wisuda, Dies Natalis/ulang tahun, Pengukuhan Guru Besar atau seseorang dan sebagainya. Fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan semi formal dapat dilihat ketika sulim ditampilkan dalam setiap acara pertunjukan musik dadakan di acara-acara kampus, pertunjukan mini konser paduan suara sekuler atau non gerejawi dan sebagainya, dan fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan nonformal dapat kita lihat ketika sulim juga ditampilkan secara tunggal atau dikolaborasikan dengan berbagai instrumen lain pada saat pertunjukan mengamen di pinggir jalan, pertunjukan musik di Mall, atau di tempat- tempat-tempat tertentu yang ideal dijadikan sebagai objek yang bersifat non formal dan bisa disaksikan oleh masyarakat umum atau khalayak ramai. Selain dari berbagai pernyataan di atas, sulim juga dapat dijadikan sebagai media untuk menghibur diri sendiri atau orang lain yang meminta untuk dihibur. Marsius Sitohang selaku seorang yang dikenal sebagai maestro sulim pernah berkata bahwa sudah banyak orang Batak Toba maupun Non-Batak Toba yang pernah meminta dirinya untuk memainkan sulim secara solo dengan membawakan repertoar tertentu dengan alasan untuk kesenangan pribadi. Sebab menurut orang selaku penikmat tersebut, Marsius tidak hanya mahir dalam memainkan sulim tetapi dia juga memiliki karisma yang seakan mampu menghipnotis sipendengar melalui alunan syahdu sulim yang dimainkannya. 4.1.3 Fungsi perlambangan Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik juga dapat berfunsi sebagai perlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai tingkah laku, oleh orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil yang seakan-akan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal itu bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar yang disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya kebanyakan repertoar gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan lirik yang sangat rapat, dengan tempo dan durasi waktu yang berbeda-beda. Hal ini membuktikan bahwa musik juga dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain, tipikal musik atau repertoar yang mereka sajikan sesungguhnya melambangkan gambaran umum mengenai tingkah laku dari masyarakat Batak Toba itu sendiri. Sama halnya jika kita mendengarkan alunan musik di luar Batak Toba seperti musik tradisi Karo misalnya. Musik tradisi Karo dikenal dengan ciri khas musiknya yang selalu memunculkan nuansa rengget 25 dengan tempo yang lebih lambat dari musik Batak Toba, orang yang pernah mendengarkan akan langsung berkata bahwa 24 25 Alan P. Merriam, 1964, hal.119-222. Rengget adalah semacam ornamentasi musikal sebagai ciri khas musik tradisi Karo. itulah musik tradisi Karo, sebab masyarakat Karo secara umum dikenal dengan tipikal orang yang bersifat lembut dan berbicara dengan nada halus dan memakai rengget ketika bernyanyi. Artinya, bahwa musik tradisi Karo juga melambangkan tingkah laku dan kebiasaan masyarakat Karo itu sendiri. Jika dihubungkan antara fungsi musik sebagai perlambangan/simbol dengan sulim sebagai instrumen, maka dapat diartikan bahwa sulim juga memiliki fungsi musikal sebagai media untuk mengungkapkan makna perlambangan/simbol itu sendiri, sebab sulim juga merupakan salah satu instrumen pokok masyarakat Batak Toba yang mampu berperan membawakan melodi lagu atau repertoar secara utuh. Pada saat sulim dimainkan untuk membawakan beberapa lagu atau repertoar, maka masyarakat yang mendengarnya baik suku Batak Toba maupun di luar suku Batak Toba akan mengatakan bahwa itulah ciri khas musik Batak Toba. Selain memiliki kebiasaan sperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat Batak Toba juga dikenal memiliki kebiasaan mangandung 26 pada saat menangisi orang yang meninggal. Salah satu kebiasaan ini juga dapat kita lihat ketika sulim juga mampu memainkan teknik andung yang diimitasikan dari alunan suara seseorang yang sedang meratap. Oleh karena itu dapat dibuktikan bahwa berbagai bentuk kebiasaan atau tingkah laku dari masyarakat Batak Toba dapat dilambangkan melalui alunan sulim. 4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan atau emsosional sebagai wujud dari rasa suka maupun duka. Oleh setiap orang perasaan 26 Mangandung artinya menangis yang ditunjukkan melalui nyanyian ratapan. tersebut juga diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Pada umumnya seseorang yang dilingkupi kesedihan akan menunjukkannya dengan tangisan, sebaliknya seseorang yang sedang merasakan kebahagiaan dan sukacita akan menunjukkannya dengan cara tertawa. Namun, ada kalanya seseorang mengungkapkan perasaannya dengan caranya sendiri. Musik juga merupakan media yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Sebagai contoh, ada orang mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi, ada orang mengungkapkan perasaannya lewat penulisan lirik lagu, dan ada pula orang yang mengungkapkan perasaannya dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional dengan ketiga cara tersebut diekspresikan sesuai dengan kondisi dan suasana hati orang tersebut. Sulim sebagai instrumen yang juga dapat dimainkan secara tunggal/solo dapat berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Ketika seseorang merasakan kesedihan maupun sukacita, perasaan itu dapat ekspresikan melalui alunan melodi sulim. Dahulu sebelum Marsius Sitohang diangkat sebagai Dosen luar biasa di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara dan sebelum dia terkenal sebagai salah seorang maestro sulim, beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bermata pencaharian sebagai penarik becak dayung. Pada saat menunggu penumpang beliau seringkali memainkan instrumen sulim dengan duduk di atas becak dayungnya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan hal tersebut, beliau menjawab dengan intonasi/dialek Bataknya yang kental, “yaaahhh itu karena senang sekali memainkan sulim…jadi kalo saya bermain sulim bisa menambah semangat dalam bekerja”, tandasnya. Dari pernyataan beliau tersebut dapat diartikan bahwa musik juga ternyata mampu menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia. Terlihat jelas bahwa sulim juga dapat memberikan dampak bagi hidup orang yang sudah sangat gemar dalam memainkannya. Bagi seorang Marsius, peran sebuah sulim sangat besar sekali dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Ketika beliau mengatakan bahwa dengan memainkan sulim semangat beliau semakin bertambah, itu artinya perasaan senang atau suka cita yang beliau dambakan untuk menambah semangat beliau dalam bekerja diwujudkannya melalui alunan sulim. Sehubungan dengan hal itu, dapat dilihat bahwa fungsi sulim sebagai media pengungkapan emosional dapat dilihat dari sudut pandang dan situasi yang berbedabeda. Sebagai contoh, ketika sulim ditampilkan bersama instrumen Batak Toba yang lain pada sebuah acara adat Pesta Gondang Naposo 27 , fungsi pengungkapan emosional dapat dilihat ketika manortor (menari). Alunan sulim pada saat mengiringi tortor 28 dapat memberikan pengaruh bagi sipanortor (orang yang manortor) itu sendiri. Jika alunan sulim tersebut lincah dan dinamis akan menambah semangat panortor (penari) bahkan kadang-kadang sampai meloncat kegirangan. Itu artinya alunan melodi sulim itu pun ternyata mampu menggugah emosi sipanortor sehingga sampai meloncat kegirangan. 4.1.5 Fungsi penghayatan estetis Pada dasarnya, seseorang dapat menikmati musik karena secara psikologis dia mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan musik dengan baik apabila dia mampu menghayati permainannya dengan baik. Seorang pemain sulim atau pemain instrumen musik apapun tidak akan maksimal 27 Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi dengan iringan gondang. Biasanya dilaksanakan setelah panen selesai. 28 Tortor merupakan istilah tarian yang diiringi musik tradisional Batak Toba. menggunakan intrumen yang dimainkannya jika dia tidak mampu menghayati permainan musik tersebut dengan baik walaupun secara teknis orang tersebut mahir memainkannya. Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita”29 yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan diri kita sendiri. Dengan demikian apabila kita telah menganggap musik itu menjadi bagian dari kehidupan kita, maka kita harus merawat, menjaga dan memperlakukan instrumen yang kita mainkan tersebut dengan baik. Sama halnya jika kita ingin mahir dalam bermain sulim, selain berlatih dengan tekun dan gigih maka kita juga harus merawat dan menjaga serta memainkan sulim itu sebaik kita memperlakukan orang yang kita sayangi. Bahkan pada saat dimainkan sekalipun, kita harus menjiwai dan menghayati permainan kita seakan kita sedang memperlakukan orang yang kita sayangi. Selain daripada itu, sulim sebagai instrumen yang juga dapat berfungsi sebagai media untuk penghayatan estetis dapat kita lihat dari peristiwa lain seperti gerakan tortor yang dilakukan pada saat manortor yang diiringi sulim bersama instrumen lainnya pada acara-acara adat Batak Toba. Pada umumnya tidak semua orang Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pembelajaran manortor, tetapi kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselarasan antara gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan irama musik yang dimainkan 29 Wawancara sambil lalu di Medan, Desember 2011. oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan itu muncul akibat adanya penghayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan alunan musik yang dimainkan. 4.1.6 Fungsi reaksi jasmani Fungsi musikal sulim sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis. Sebab reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional, dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat dengan kembali mengambil contoh manortor pada saat pesta adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Ketika parsulim (sipemain sulim) memainkan sulimnya dengan baik ditambah dengan pembawaan repertoar yang baik pula, maka sipanortor akan manortor kegirangan sembari mengeluarkan seruan-seruan seperti “eeee….mmada….” yang secara harafiah diartikan “yaaa inilah” yang seolah-olah kata tersebut menegaskan “ya inilah kegembiraan kita”. Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi (pemusik) kurang enak kedengarannya bagi panortor ditambah kemungkinan kurang mahirnya siparsulim atau pemain instrumen yang lain dalam bermain, maka akan spontan juga para pargonsi (pemusik) akan mendapat teriakan atau sorakan negatif dari para panortor. Juniro Sitanggang yang juga sebagai salah seorang pemain sulim dari Samosir pernah berkata bahwa group musik mereka pernah mendapat teguran atau sorakan yang kurang mengenakkan dari panortor pada saat acara adat pernikahan Batak Toba di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Ketika musik baru saja mengalun tiba-tiba beberapa panortor spontan berteriak “ ai denggan jo bahen hamu boohhhh….” yang artinya bahwa mereka berharap supaya pargonsi tersebut memainkan musiknya dengan lebih baik lagi agar enak kedengaraanya bagi mereka yang manortor. 30 Dari pernyataan tersebut dapat kita artikan bahwa enak tidaknya sajian sebuah musik akan memperoleh reaksi jasmani positif ataupun negaif dari orang yang mendengarkannya. 4.2 Konteks Penggunaan sulim dalam Berbagai Periode sebagai Fenomena Perubahan 4.2.1 Konteks solo instrumen Seperti telah diuraikan pada bab-I skripsi ini, jelas dikatakan bahwa sulim awalnya hanya merupakan sejenis instrument tunggal. Namun tidak diketahui secara pasti kapan sejarah awal penggunaan sulim tersebut digunakan sebagai instrumen tunggal. Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal adalah instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh dimainkan ke dalam ensambel, baik gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya sudah ditetapkan komposisi instrumen pada kedua ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam musik adat masyarakat Batak Toba yakni ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Pada saat itu, sulim biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk mengisi kekosongan atau menghibur diri pribadi saja. Sulim juga tidak pernah dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen- 30 Wawancara sambil lalu di Taman Budaya Sumatera Utara Medan, Juni 2012. instrumen yang ada pada ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan. Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai ensambel Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan berbagai ensambel atau format musik yang lain. Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba, sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga pada saat ini. Patut diduga, hal ini disebabkan karena sulim merupakan instrumen tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan instrumen tunggal Batak Toba lainnya, sehingga berbagai jenis lagu atau repertoar dapat dengan mudah dimainkan pada instrument ini. Sementara instrumen tunggal yang lain (lihat bab-II) sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong, tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan hanya satu dua orang saja yang masih melestarikan instrumen ini. Berkaitan dengan penggunaannya dalam kontek tunggal (solo), Guntur Sitohang mengatakan bahwa ternyata dari zaman dahulu hingga pada zaman sekarang, sulim juga sering memainkan peran mangandung 31 yang seyogianya awalnya dimainkan oleh sordam. Jauh sebelum sulim dimasukkan ke dalam bentuk ensambel atau berbagai instrumen yang lain, dahulu sulim sudah memainkan alunan 31 Dalam konteks ini, mangandung diartikan kepada teknik yang mengimitasikan sebuah isak tangis atau nyanyian ratapan masyarakat Batak Toba ke dalam bentuk permainan sulim. andung (ratapan). Namun ketika itu, sulim hanya mampu memainkan alunan andung yang sifatnya untuk hiburan pribadi semata tanpa pernah ditampilkan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Namun zaman sekarang ini identitas sulim sebagai pelantun alunan andung semakin dikenal seiring semakin langkanya instrumen musik sordam. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sordam juga merupakan salah satu instrumen tunggal yang dahulu dimainkan dengan ciri khas mangandung. Namun seiring semakin langkanya sordam pada masyarakat Batak Toba, peran tersebut mampu digantikan oleh sulim. Mangandung identik dengan nuansa kesedihan. Teknik mangandung yang biasa dimainkan pada sulim sangat mirip dengan yang awalnya dimainkan oleh sordam, bahkan menurut pengamatan penulis nuansa mangandung yang dimainkan oleh sulim lebih terasa dibandingkan ketika dimainkan oleh instrumen sordam. Dalam konteks penyajiannya, zaman sekarang ini teknik mangandun tidak hanya disuguhkan pada saat bermain solo tetapi juga sering ditampilkan pada saat memainkan berbagai lagu atau repertoar yang memiliki tema kesedihan bersama instrumen lainnya dalam konteks ensambel gondang hasapi. 4.2.2 Konteks ensambel Berbicara mengenai ensambel, dalam pembahasan ini penulis memfokuskan penjelasan penggunaan sulim ke dalam ensambel yang berkembang pada masyarakat Batak Toba dari masa dahulu hingga masa kini. Ensambel yang dimaksud adalah gondang hasapi dan ensambel brass band atau yang dikenal dengan musik tiup. Masuknya peran penggunaan sulim ke dalam berbagai ensambel tersebut dibedakan ke dalam era zaman yang berbeda. Sejarah penggunaan sulim yang mulai diintegrasikan dengan gondang hasapi diawali dari masuknya era opera Batak pada tahun 1920-an hingga 1970-an, sedangkan peran atau penggunaan sulim yang dipadukan dengan ensambel brass band ditandai dari fenomena musik tiup yang berkembang pada tahun 1980-an. Dalam hal ini, baik dalam gondang hasapi maupun brass band atau musik tiup, sulim berperan sebagai pembawa melodi bersama-sama dengan isntrumen melodis lainnya. 4.2.2.1 Konteks gondang hasapi Secara historis, kehadiran sulim dalam gondang hasapi tidak diketahui secara pasti. Penggabungan sulim dengan gondang hasapi maupun dengan ensambel yang lain mulai dikenal sejak munculnya bentuk seni pertunjukan pada masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan opera Batak. Opera Batak adalah pertunjukan opera bergaya Batak, istilah ini bukanlah istilah baku dalam entitas kebudayaan Batak. Di kalangan Batak tidak jarang sebutan itu dianggap sebagai bagian dari tradisi kebatakan karena para pelopor opera Batak pada awal kemunculannya pada tahun 1920-an adalah orang-orang Batak, seperti Tilhang Gultom. Umumnya, ceritanya menghadirkan pesan moral bagi siapa saja yang menyaksikan. Puncak kejayaan Opera Batak pada tahun 1960-an, ketika penampilannya sudah bertaraf nasional atas undangan presiden Republik Indonesia Soekarno di Istana Merdeka. Opera Batak bisa saja menjadi suatu entitas baru dalam kebudayaan Batak setelah Batak harus berubah dari tradisi klasiknya dengan berbagai bentuk upacara (teater awal) dan tradisi pertunjukan seperti teater boneka sigale-gale dan hoda-hoda (semacam Jaran Kepang di Jawa), dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa opera Batak bukanlah kebudayaan tradisi asli. Kehadirannya merupakan suatu situasi transisi dalam masyarakat dan kebudayaan Batak. Awalnya opera Batak berasal dari tanah kurang subur, tepatnya di Sitamiang, Onan Runggu (Samosir) sebagai kelompok penggembala kerbau. Salah satunya ialah Tilhang Gultom (+ 1896–1970), anak kelima dari Raja Sarumbosi Gultom. Tiga orang parhasapi (pemain) merupakan cikal bakal sebutan Tilhang Parhasapi pada tahun 1925 . Pada awalnya pertunjukan dilakukan di rumah-rumah sebelum undangan dari luar daerah. Pemainnya berjumlah 12 (dua belas) orang yang sebagiannya adalah anggota keluarga Gari Gultom abang ayahnya Tilhang Gultom. Pada tahun1927 Tilhang Gultom kemudian pindah ke Tigadolok (Simalungun) dan mempunyai pemain sebanyak 50 (lima puluh) orang . Kurun waktu antara tahun 1914-1938, muncul gerakan identitas dan nasionalisme Batak yang dikenal dengan nama Dos Ni Roha, dan ini menjadi sponsor utama grup Tilhang. Sehingga pada tahun 1934 pertunjukan keliling dimulai sampai ke Penang dan semenanjung Melayu (Daniel Perret, 2010:338-350) . Sebagai grup Tilhang Opera Batak mulai dikenal pada 1928-1930. Perubahan nama grup masih dilakukan Tilhang sampai tahun 1937, antara lain Tilhang Batak Hindia Toneel, Ria TOR, dan Tilhang Toneel Gezelschaap. 32 Pada masa kolonial Jepang di Indonesia, grup Tilhang bernama Sandiwara Asia Timur Raya dengan jumlah anggota sebanyak 40 (empat puluh) orang. Selanjutnya, setelah kemerdekaan nama grup ini berubah menjadi Panca Ragam Tilhang dan Serindo (Seni Ragam Indonesia). 32 E.K. Siahaan, 1981 hal. 10. Demikianlah sejarah singkat awal tumbuh dan berkembangnya opera Batak sebagai teater tradisi (teater rakyat) yang telah memiliki ketenaran pada zamannya. Melakukan pertunjukan dari kampung ke kampung, terutama ke daerah-daerah yang baru selesai panen, karena ticket (oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan karcis) untuk menonton opera Batak dulunya bisa dilakukan dengan menukarkan hasil panen, dan hiburan rakyat ini sangat dinikmati masyarakat pada masa itu. Secara dramaturgi, opera Batak merupakan suatu pertunjukan variatif yang menampilkan ceritera yang berisikan pesan moral, cerita rakyat dan merupakan suatu seni pertunjukan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal masyarakat. Sebagai contoh, cerita “Si Jonaha Penipu Ulung”. Ceritera ini mengisahkan seorang lelaki bernama Jonaha yang suka menipu, sehingga dia menjadi komoditas perdagangan manusia, karena suka berhutang dan berjudi, sehingga ketika tidak mampu membayar hutang, dia diperjual belikan. Naskah ini ditampilkan dalam 4 (empat) bahasa yaitu Karo, Simalungun, Toba, dan Bahasa Indonesia), dan latar tempatnya dari Tanah Karo, Simalungun dan Tapanuli. Cerita ini berisi pesan moral; tidak boleh menipu sesama manusia, terutama melakukan hal yang merugikan orang lain. Para pemain opera Batak juga terdiri dari berbagai agama, suku dan daerah asal. Sehingga dengan keberagaman itu, masing-masing bisa bebas mengekspresikan dirinya sesuai dengan latar belakang etnisnya masing-masing. Untuk elemen seni, selain menampilkan seni teater, opera Batak juga memadukan hal lain yang bernuansakan keberagaman, seperti seni musik yang menyajikan paduan instrumen dan vokal (ensambel musik tradisional Batak Toba, Melayu, Jawa dan lagu-lagu) dan seni tari . Dalam tarian juga ada dikenal namanya Tortor Lima Puak (Lima Suku Batak) dan menampilkan tarian Melayu33. Walaupun pertunjukan tersebut menampilkan musik dan lagu dari berbagai suku/etnis khususnya suku yang ada di Sumatera Utara, namun instrumen yang dimainkan tetaplah berbagai instrumen dari ensambel musik Batak Toba khususnya ensambel gondang hasapi yang dikembangkan dengan masuknya instrumen sulim. Pada pertunjukan opera Batak, musik merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam penggarapan sebuah cerita. Kehadiran musik dalam opera Batak berfugsi untuk membangun suasana dalam setiap adegan, baik sebagai pengiring tarian maupun pengiring nyanyian. Selain itu, keseluruhan instrumen musik kadangkala dimainkan sebagai musik instrumentalia yang bertujuan untuk mendemonstrasikan alat-alat musik tersebut dalam suatu pertunjukan. Oleh karena itu, hampir semua instrumen yang ada pada masyarakat Batak Toba selalu ditampilkan dalam setiap pertunjukan opera Batak, bahkan kadang-kadang juga menyertakan instrumen di luar etnis Batak Toba seperti biola, gitar dan sebagainya.34 Dalam konteks pertunjukannya, penggunaan instrumen musik tradisional selalu disesuaikan dengan karakter maupun adegan yang disajikan, misalnya : gondang sabangunan biasanya digunakan untuk mengiringi tarian, gondang hasapi digunakan sebagai pengiring tarian dan kadangkala digunakan juga untuk mengiringi nyanyian-nyanyian. Selain dalam ensambel, sulim bersama instrumen tunggal lainnya seperti sordam, tulila, dan saga-saga juga sering dimainkan secara tunggal untuk menggambarkan suasana cerita yang hening atau pun sedih. 33 Dikutip dari google : Kesenian yang tertinggal 34 Dikutip dari skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian dalam konteks Gondang Hasapi” halaman 51 Setelah awalnya sulim hanya dipakai sebagai instrumen tunggal, dengan kehadiran opera Batak, sulim berkembang menjadi instrumen penting dalam memainkan perannya sebagai instrumen melodis. Tidak hanya mampu memainkan lagu-lagu Batak Toba tetapi juga acapkali digunakan sebagai pembawa melodi utama dalam memainkan berbagai lagu dari etnis atau sub-etnis di luar Batak Toba. Kemudian diantara berbagai instrumen yang dimainkan dalam gondang hasapi, sulim merupakan instrumen yang tidak hanya berperan sebagai instrumen melodis tetapi juga mampu menghasilkan improvisasi nada-nada tanpa menghilangkan inti dari melodi lagu. Dilihat dari segi fungsinya, sulim dalam pertunjukan opera Batak merupakan sebuah instrumen yang paling komplit dibandingkan yang lain, sebab sulim mampu memaksimalkan perannya sebagai instrumen melodis dalam kajian yang lebih luas, baik dari segi konteks penggunaannya dalam bentuk solo dan ensambel maupun segi pengembangan nada-nada atau alur melodi musik yang dimainkan. 4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup Sejarah munculnya ensambel brass band di tanah Batak sesungguhnya dimulai dari masuknya pengaruh agama Kristen. Sebelum kekristenan muncul di tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat tradisi, ataupun acara ritual lainnya adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi yang digunakan memanggil arwah nenek moyang dan dalam konteks acara adat lainnya. Masuknya agama Kristen ke tanah Batak membawa pengaruh yang mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam kehidupan tradisi margondang (menyajikan gondang) oleh masyarakat Batak Toba. Beberapa aturan yang diterbitkan oleh badan zending, membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan gondang dalam beberapa konteks upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen, dan gereja sebagai perpanjangan tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang dilegalisasi melalui hukum yang harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk agama Kristen (Purba, 2000:32-35). Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai sikap menolak keberadaan tradisi musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek pertunjukan gondang adalah elemen budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam kepercayaan lama (sebelum Kristen), hal ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi misi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) dari Jerman pada tahun 1860-an di seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini yang sudah memeluk agama ‘baru” mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan (diban, istilah yang digunakan dalam Tata Gereja) dari keanggotaan komunitas gereja, hanya karena terlibat dalam praktek margondang. Pembatasan dan bahkan pelarangan yang dilakukan pihak gereja membawa konsekuensi kepada sebuah perubahan kegiatan pertunjukan musikal masyarakat. Missionaris yang membawa paham agama Kristen dalam kesempatan ini mulai memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat tiup terompet dan selanjutnya menjadi sebuah ensembel musik tiup (brass music) yang dipergunakan untuk kegiatan ibadah di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Berbagai alat musik tiup tersebut terbuat dari logam yang terdiri dari terompet, saxofon, trombon, tuba dan 1 (satu) set drum. Hal ini menunjukkan terjadinya infiltrasi (memasukkan sebagian unsur budaya asing ke dalam budaya sendiri) dari Budaya Barat ke Budaya Batak, hal ini dapat kita lihat dari adanya perubahan yang membentuk orang Batak dalam ajaran kepercayaan lama beralih menjadi penganut ajaran agama Kristen Protestan dengan segala akibat yang ditimbulkan. Pendekatan sistematis budaya Barat ini dilakukan dalam dua hal pokok, yakni membawa ajaran agama ini di satu pihak, dan terbangunnya sistem tata tertib sosial kemasyarakatan menurut metoda Barat, menyentuh ke seluruh sendi kehidupan, salah satunya adalah tradisi musikal gondang. Para missionaris dalam penginjilannya membawa tradisi Barat yaitu tradisi yang dipergunakan dalam mengimplementasikan misi kekristenan sebagai sarana pendukung di dalam penyampaian pelayanan pengabaran Injil di tanah Batak. 35 Sejak itu, masyarakat ini mulai mengalami hal baru dan asing sebagai tatanan hidup baru perihal kehidupan sosial masyarakat dan keagamaan. Terjadinya proses transmisi dua budaya yang berbeda pada pokoknya adalah dimana satu kebudayaan menerima nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru masuk bercampur dalam kebudayaan lama. Dua kebudayaan yang berbeda bertemu dan memberi pengaruh satu sama lain. Dengan kondisi tersebut, musik tiup yang dikenal sebagai musik yang sebelumnya dekat dengan gedung gereja saja, bergeser keluar (transpalanted) dari lingkungan gereja menuju ranah kehidupan adat religi dan ritual masyarakat Batak Toba dan mengikis peranan dan aktivitas gondang Batak sebagai kearifan lokal, yang sengaja ditinggalkan akibat perubahan sosial oleh tekanan budaya asing dan diterima masyarakat Batak Toba sebagai tindakan kemapanan dalam merespon kebudayaan baru. Hal ini mendapat tempat akibat adanya pemahaman bahwa gondang yang dulunya dianggap sakral dan memiliki aspek mistis sebagai bagian dari kegiatan 35 Lihat J.R. Hutauruk, 2010 hal. 26. kebudayaan, dapat digantikan oleh peranan musik tiup sebagai komoditas baru untuk menyelenggarakan posisi fungsi dan kegunaan gondang.36 Selain mengalami perubahan penggunaannya dari musik gereja kepada musik adat masyarakat Batak Toba, musik tiup yang awalnya dikenal sebagai ensambel musik yang terdiri atas istrumen logam, lambat laun mengalami perkembangan dengan mengkolaborasikan berbagai alat musik tiup logam tersebut dengan berbagai alat musik tradisional Batak Toba. Di antara musik tradisional Batak Toba, instrumen yang paling sering dikolaborasikan dengan ensambel tersebut adalah sulim, hasapi, garantung dan taganing. Namun di antara keempat instrumen tersebut, yang paling instens digunakan dan masih tetap bertahan hingga saat ini adalah sulim. Pada tahun 1980-an, masa kejayaan Opera Batak mulai meredup dan hampir tidak kedengaran lagi. Meski Opera Batak semakin redup namun tidak demikian halnya dengan eksistensi sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya. Setelah habisnya masa kejayaan Opera Batak di akhir tahun 1970-an, eksistensi sulim masih terus berlanjut hingga kepada lahirnya fenomena musik tiup yang sangat dikenal pada era tahun 1980-an. Menurut Marsius Sitohang, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama sekali yang mempopulerkan instrumen sulim ke dalam ensambel musik tiup. Beliau mengatakan bahwa awal tahun 1980-an sudah ada group musik yang memadukan ensambel musik tiup logam dengan alat musik tradisional Batak Toba. Namun awalnya keberadaan group tersebut masih kurang diterima di tengah-tengah 36 Sebagian masyarakat memiliki budaya lokal yang kuat dan dilatari oleh agama suku atau agama tribal menaruh lex non scripta bahwa semua yang milik sendiri adalah yang paling mulia dan semua yang di luar lingkungannya dianggap buruk. Lihat selanjutnya, penekanan oleh kolonial Belanda terhadap upacara-upacara ritual parugamo Batak Toba menunjukkan legimitasi dari misi kekristenan oleh badan zending dan pelarangan yang terjadi secara periodik dan setengah hati oleh gereja, karena bagian-bagian tertentu dari upacara adatnya dianggap bertentangan dengan kepercayaan Kristen (Van Den End, 1989:308) masyarakat Batak Toba. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat Batak Toba yang telah menganut kepercayaan Kekristenan kembali lagi kepada kepercayaan tradisional yang menggunakan alat musik tradisi yang identik dengan kemagisan. Hingga pada tahun 1987, dibentuklah sebuah group musik Batak yang bernama Horas Musik, dimana Marsius Sitohang juga turut menjadi salah satu personil yang mempopulerkan sulim pada masa itu. Beliau juga menambahkan bahwa dengan kehadiran Horas Musik sebagai group musik baru yang berperan sebagai pengiring acara-acara adat masyarakat Batak Toba ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi eksistensi group musik Batak Toba pada masa itu. Dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan oleh Horas Musik, penggabungan alat musik tradisional dengan ensambel musik tiup mulai diterima. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh penyajian musik yang mereka tampilkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan group musik Batak Toba yang lain. Keunikan tersebut terlihat ketika mereka menyuguhkan musik yang memadukan musik modern dengan musik tradisional dengan membawakan berbagai lagu populer pada masa itu dan ditambah dengan masuknya lagu-lagu gereja yang juga mampu dibawakan oleh alat musik tradisional yang akhirnya menghilangkan paradigma bahwa alat musik tradisi hanya mampu membawakan lagu-lagu Batak Toba saja.37 Sulim sebagai salah satu instrumen tradisional menjadi sebuah sosok yang paling disorot pada masa itu. Sebab di antara alat musik tradisional yang lain, sulim merupakan instrumen utama yang berfungsi membawakan melodi dari setiap lagu 37 Tidak dapat dipungkiri bahwa populariitas Marsius Sitohang yang mendunia pada saat itu juga berpengaruh terhadap pola pikir sebagaian masyarakat Batak Toba yang kemudian secara perlahan dapat menerima keberadaan sulim ini dalam konteks adat, agama, maupun hiburan. Pada masa ini, Marsius juga dikenal sebagai Si Raja Seruling Batak. atau repertoar yang disajikan. Di samping ada berbagai instrumen lain yang juga mampu sebagai instrumen melodis, sulim seakan menjadi instrumen yang paling menonjol di antara berbagai instrumen melodis lainnya. Karena sulim biasa ditampilkan dengan improvisasi nada yang unik dan berbeda serta menjadi daya tarik tersendiri bagi pendengarnya. Tentunya kemahiran serta profesionalitas sipemain juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulim menjadi perhatian bagi barang siapa yang menyaksikan penampilan musik tersebut. Banyak orang bahkan berbagai musisi tradisional Batak Toba menganggap bahwa Marsius Sitohang merupakan salah satu pencetus masuknya sulim ke dalam ensambel musik tiup logam yang kemudian menjadikan Horas Musik menjadi barometer group musik Batak Toba pada masa itu. Sehingga dengan kehadiran group Horas Musik tersebut, seiring perkembangan zaman banyaklah bermunculan berbagai group musik Batak Toba yang lain dengan sajian yang sama dengan porsi yang berbeda-beda. Perkembangan musik tiup dari era 1980-an hingga pada masa kini sudah menunjukkan berbagai fenomena perubahan baik dari segi komposisi musik maupun formasi alat musik yang disajikan. Jika kita membandingkan dengan musik tiup yang disuguhkan pada masa kini, sudah merupakan hal yang wajar apabila hanya menampilkan tiga instrumen saja dalam satu ensembel seperti sulim, keyboard (kibot), taganing, dan sulim yang bahkan sesungguhnya tidak ada satupun diantara beberapa instrumen tiup logam tersebut ditampilkan yang harusnya menjadi ciri khas dari musik tiup itu sendiri. Oleh karena itu, seiring perkembangan zaman pandangan masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi musisi Batak Toba juga berubah, yakni walau hanya biasa menggunakan ketiga instrumen seperti keyboard, taganing, dan sulim tanpa didukung adanya beberapa alat musik tiup logam para musisi tersebut kadang-kadang juga masih dianggap sebagai pemusik tiup.38 4.2.3 Konteks pengiring lagu Konteks pengiring lagu yang penulis maksudkan di sini adalah terkait dengan peran sulim yang digunakan sebagai musik pengiring dalam berbagai lagu sekuler maupun rohani, atau baik dalam konteks gerejawi maupun non-gerejawi. Dalam konteks gerejawi akan berkaitan erat dengan perkembangan musik gerejawi, sedangkan konteks non-gerejawi berkaitan erat dengan peran sulim dalam mengiringi lagu-lagu sekuler baik yang dibawakan oleh penyanyi solo, grup vokal, atau pun paduan suara di berbagai acara baik yang sifatnya formal atau pun non-formal. Dewasa ini sudah tidak asing lagi jika kita melihat berbagai musik tradisi Batak Toba seperti taganing, hasapi dan khususnya sulim sering digunakan sebagai media pengiring di berbagai acara dan pertunjukan, baik formal maupun non-formal seperti di gereja-gereja, gedung-gedung pertunjukan, gedung-gedung penyelengaraan acara-acara akademis, dan lain sebagainya. Di gereja kita akan melihat bahwa alat musik tradisi Batak Toba khususnya sulim sudah digunakan baik ketika mengiringi ibadah maupun ketika mengiringi berbagai lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara gerejawi pada acara ibadah tertentu. Kemudian di berbagai gedung pertunjukan seringkali kita melihat sulim digunakan untuk mengiringi acara konser musikal baik vokal solo, grup vokal, maupun paduan suara. Jika kita tinjau kembali, sesungguhnya era penggunaan sulim sebagai media pengiring lagu sudah berlangsung sejak masa kejayaan opera Batak di era 1920-an 38 Sebagaimana sudah disebutkan pada bab-I, nama lain dari formasi sulim, kibot, taganing ini disebut Sulkibta (Sulim, Kibot, Taganing). hingga 1970-an. Namun, saat itu sulim bersama dengan instrumen tradisional Batak Toba yang lain digunakan hanya untuk mengiringi vokal dari penyanyi opera Batak saja tanpa adanya perkembangan yang signifikan di bidang vokal yang lain. Hal ini mungkin terjadi karena masih kentalnya budaya opera Batak di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, dan minimnya wawasan bermusik masyarakat Batak Toba untuk membuat inovasi baru pada masa itu, sehingga mengakibatkan instrumen pengiringnya hanya digunakan untuk kepentingan itu semata. Seiring berkembangnya zaman, dari era opera Batak hingga zaman sekarang ini eksistensi sulim sebagai media pengiring berbagai genre lagu terus berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Jikalau kita bandingkan mulai dari era 1970-an hingga masa sekarang ini, dapat melihat adanya fleksibilitas penggunaan sulim dalam konteks pengiring lagu. Selain ketika digunakan sebagai media untuk mengiringi lagu opera Batak, sulim juga kerap digunakan untuk mengiringi berbagai genre lagu yang lain seperti lagu pop daerah (baik etnis Batak Toba maupun etnis Batak yang lain) dan berbagai lagu sekuler lainnya yang biasa dibawakan oleh seorang vokal solo, group vokal, bahkan paduan suara. Keberlangsungan penggunaan sulim dalam mengiringi berbagai genre lagu tersebut juga memberikan dampak tersendiri bagi eksistensi instrumen Batak Toba yang lain seperti hasapi dan taganing. Dalam keberadannya, ketiga instrumen tersebut (sukim, hasaoi, taganing) sangat kerap disandingkan bersama ketika mengiringi berbagai lagu khususnya lagu yang bernuansa daerah Batak Toba. Meskipun demikian, peran sulim tidak malah lazim dikatakan sejajar dengan kedua instrument yakni hasapi, dan taganing. Sebab dalam kenyataanya, banyak orang beranggapan bahwa lagu daerah Batak Toba itu akan terasa kental nuansa bataknya ketika adanya paduan (gabungan) antara unsur alunan melodi sulim dengan petikan hasapi serta tabuhan taganing di dalamnya. Meskipun hanya menyertakan sulim bersama taganing ataupun paduan antara sulim dengan hasapi, masyarakat masih menganggap bahwa lagu tersebut masih kerap dinikmati oleh sipendengar khususnya masyarakat Batak Toba. Bahkan terkadang meskipun hanya diiringi instrumen sulim saja. Namun sebaliknya jika lagu tersebut hanya diiringi hasapi atau taganing sekalipun tanpa kehadiran sulim, masyarakat menilai bahwa seakan ada hal yang kurang terasa dinikmati di dalam lagu tersebut39. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa eksistensi sulim memiliki peranan penting bagi keberlangsungan musik Batak Toba khususnya dalam konteks pengiring berbagai genre lagu Batak Toba. 4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen Konteks kolaborasi insturmen yang penulis maksudkan di sini adalah bahwa sulim juga telah digunakan bersama instrumen yang lain di luar instrumen tradisional Batak Toba baik itu instrumen Barat maupun instrumen tradisional Batak atau etnis yang lain. Hendrik Parangin-angin selaku seorang musisi yang dikenal multi talenta dalam memainkan berbagai instrumen Barat dan tradisional, baik Batak Karo maupun etnis Batak yang lain mengatakan bahwa konsep kolaborasi musikal seperti penulis maksudkan di atas sudah berlangsung sejak awal 1990-an. Saat itu sebuah group yang bernama Incidental Music mulai dirintis oleh beliau sendiri yang berperan sebagai pimpinan group. Bahkan masyarakat mengganggap bahwa 39 Asumsi ini dikutip dari berbagai golongan masyarakat Batak Toba khususnya jemaatjemaat gereja yang sudah kerap mendengarkan lagu yang dibawakan oleh paduan suara atau vokal group yang biasa ditampilkan dengan menghadirkan musik tradisional Batak Toba. Incidental Music yang merupakan sebuah group yang bergenre World Music adalah sebuah group yang mempelopori hadirnya konsep kolaborasi multi instrumen tersebut di kota Medan. Sebab menurut pengakuan berbagai kalangan masyarakat, sebelum hadirnya suguhan musik yang ditampilkan oleh Incidental Music, belum pernah ada sebelumnya terdengar kolaborasi dengan konsep demikian. Namun seiring berkembangnya popularitas Incidental Music yang mulai memperoleh legitimasi (pengakuan) serta mendapat tempat di hati masyarakat pendukungnya, kemudian di awal tahun 2000-an mulailah banyak dibentuk berbagai group lain dengan gaya atau genre yang hampir sama dengan Incidental Music seperti Cindai, Sumateran Ethnic, Metronom dan lain-lain.40 Jika berbicara tentang struktur melodi yang dimaikan oleh sulim ketika dipadukan bersama dengan instrumen yang lain, penulis memandang bahwa struktur melodi yang dimainkan selalu didasarkan pada konsep dan komposisi lagu yang disajikan. Jikalau tema komposisi tersebut bernuansa repertoar musik Batak Toba, maka gaya permainan atau alur melodi yang dimainkan persis sama dengan ketika memainkan instrumen tersebut dalam sebuah ensambe uning-uningan Batak Toba. Artinya, teknik yang dimainkan tidak jauh berbeda dari yang biasa ditampilkan pada saat memainkan lagu atau repertoar bersama instrumen-instrumen Batak Toba yang lain. Yang menjadi keunikannya adalah hanya terletak pada adanya berbagai instrumen Barat dan tradisional lain yang berperan untuk memperindah serta memperkaya konsep musikal yang dimainkan. Namun ketika tema komposisi lagu tersebut bernuansa musik Barat atau pun di luar tema musik Batak Toba, konsep penggunaan sulim sedikit berbeda atau keluar 40 Lihat, Jefri Hutagalung, 2011 hal. 2. dari yang biasanya. Jika biasanya sulim digunakan untuk memainkan alur melodi yang bernuansa Batak Toba sebagai ciri khasnya, dalam konteks ini fungsinya sedikit bergeser sebagai instrumen yang mampu memainkan peran ganda. Peran ganda sulim yang dimaksud adalah terkadang dimainkan berdasarkan gaya permainan sulim sebagaimana biasanya, tetapi juga terkadang dimainkan dengan menggunakan teknik-teknik yang kerap ada dalam gaya permainan flute yang sedikit banyak memiliki karakteristik permainan yang berbeda dari sulim. Gaya musikal teknik permainan seperti staccato, slur, arpeggio41 dan lain sebagainya kerap digunakan untuk menambah serta memperkaya pola permainan yang ada pada sulim itu sendiri. Oleh karena itu penulis menilai bahwa hadirnya sulim sebagai unsur pembawa melodi dengan kekayaan karakter dalam memainkan setiap komposisinya menjadi keunikan tersendiri bagi para pendengar khususnya kalangan masyarakat yang mampu beradaptasi dengan budaya Barat atau budaya lain di luar budaya Batak Toba. 41 Staccato ialah cara membunyikan nada-nada; terpisah, satu persatu dengan tajam; slur ialah busur, legato (bersambung); arpeggio ialah permainan nada-nada dengan cepat secara berurutan seperti petikan pada alat arpa (Latifah Kodijat, 1983 hal. 5, 67, 70.) BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM 5.1 Trankripsi Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.42 Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu. Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik.43 42 43 Nettl, op. cit., 98. Supanggah, op. cit., 13. Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik (Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan: a. Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda. b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat Seeger, 1958). c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.44 Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh 44 Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph, sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat menganalisis suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada, amplitudo, dan spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan tetapi sekalipun peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari informasi yang diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan (sehingga sulit untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya tangkap telinga manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat diterima oleh indera pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Untuk itulah kemudian penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai sesuai kepentingan dan kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher Limited, 1980), 117. Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.45 Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-ciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan, tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.46 Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan materi yang bernilai untuk perbandingan. 47 Lagipula, “Transcription, therefore, are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.48 Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya 45 Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113. 46 Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago: University Press, 1983), 16. 47 Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalan Journal for the Society of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316. 48 Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109. mentranskripsikan bunyi musik ke dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika musik itu disajikan.49 Dalam melakukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang biasanya menjadi persoalan bagi sang transkriptor: 1) Fenomena yang tidak dapat digambarkan oleh simbol-simbol sistem notasi konvensional (Barat), dan 2) Fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detailed) untuk bisa dinotasikan. Persoalan pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol tambahan, sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahannya. Hal ini dapat dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musikal, seperti terjadinya pergeseran-pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada saat sebuah nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil dalam nilai (ritmis) di antara nada yang nilainya kurang lebih sama, dan lain sebagainya.50 Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya. Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive) dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive). 49 Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99. 50 Masalah serupa pernah juga dihadapi para ahli linguistik (ilmu bahasa), yang kemudian telah dipecahkan dengan cara membedakan antara fonetik dan fonemik. Fonetik adalah penelaahan bunyi-bunyi ucapan suatu bahasa sebagaimana adanya; fonemik adalah penelaahan perbedaanperbedaan antara bunyi-bunyi ucapan yang dapat membentuk perbedaan arti dalam suatu bahasa tertentu. Kedua pendekatan ini (barangkali) dapat juga diterapkan dalam pentranskripsian musik. Notasi fonemik ialah pemakaian sistem notasi yang terdapat pada budaya pemilik musik tersebut (jika ada), sedangkan notasi fonetik ialah pencatatan bunyi musikal dengan menggunakan sistem notasi konvensional (Barat). Ibid., 104-105. Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara lisan). Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk menyampaikan ciriciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.51 Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan pertimbangan bahwa: a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem penulisan musik, b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan notasi balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada budaya dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik, c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi, d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-rendahnya nada pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam membedakan durasi sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-tanda musik lainnya yang secara umum lebih mudah dipahami oleh pembaca, dan tentu saja hal ini akan lebih memudahkan dalam melakukan kerja analisis. 51 Ibid., 99. 5.2 Analisis Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen. 52 Tujuannya ialah untuk menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud. Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya, dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan, mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.53 Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis musik secara menyeluruh. There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.54 52 Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77. 53 Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4. 54 Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons Ltd, 1987), 237. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan lanjutan setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar struktur musikal yang tersembunyi dibalik komposisi musik itu. Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama ( Inggris: rhythm).55 Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu yang terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada, elemen waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri terdiri dari; tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri dari; birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri dari kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu keras lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).56 Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi kebudayaan dimana musik itu berada.57 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen musikal yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik hingga menghasilkan sebuah komposisi musik. 55 56 57 Willy Apel, op. cit., 811. Titon dan Slobin, op. cit., 5. Nettl, Theory and Method. op. cit. 169. Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas dapat juga dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari: (1) tangga nada (Inggris: modus), (2) nada dasar (Inggris: pitch centre), (3) wilayah nada (Inggris: range), (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodik, (8) kontur, (9) durasi, (10) ritme, (11) frase dan kalimat, serta (12) periode atau siklus. Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu: (1) tempo, (2) pulsa, (3) ketukan, (4) pola dan motif, serta (5) birama.58 Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut: (1) perbendaharaan nada, (2) tangga nada (Inggris: modus), (3) tonalitas, (4) interval, (5) kantur melodi, (6) ritme, (7) tempo, dan (8) bentuk.59 Tabel-2 Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik (menurut beberapa ahli) 58 59 Malm, op. cit., 7. Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149. Willi Apel Titon & Slobin William P.Malm Bruno Netll bentuk* - tangga nada (modus)* bentuk* tangga nada (modus)* melodi* - melodi* nada (sistem laras)* formula melodi* tangga nada (modus)* jlh nada-nada* ritme (irama)** - irama (ritme)** ritme** perbendaharaan nada* ritme** birama** vokal* bunyi instrumen* dinamika* - metrum** nada dasar* jumlah interval* wilayah nada* pola-pola kadensa* kontur* durasi** frase dan kalimat* periode atau siklus* tempo** pulsa** ketukan (maat)** pola dan motif** tonalitas* interval* kontur* tempo* - Keterangan: * = berhubungan dengan unsur waktu ** = berhubungan dengan unsur melodi. 5.3 Pemilihan Sampel Lagu Dalam kajian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm, penulis hanya mengambil beberapa unsur pokok saja yaitu: 1) tangga nada 2) modus 3) wilayah nada 4) interval 5) pola kadensa 6) formula melodi (bentuk) 7) identifikasi tema (thematic material) 8) kontur melodi Ada 4 jenis komposisi melodi sulim yang penulis transkripisikan sebagai bentuk dari permainan melodi sulim terkait dengan konteks penggunaannya. Keempat jenis tersebut penulis cantumkan dengan alasan bukan berdasarkan masa atau periode penggunaanya, namun lebih ditujukan berdasarkan bahwa keempat komposisi tersebut mewakili keempat konteks penggunannya mulai dari ketika digunakan dalam konteks solo, konteks ensambel (dalam hal ini penulis hanya memilih contoh uning-uningan opera Batak), konteks pengiring lagu (dalam hal ini penulis hanya mengambil contoh dalam mengiringi Paduan Suara), dan konteks kollaborasi dengan instrumen yang lain. Namun di antara keempat komposisi tersebut, penulis hanya mengambil sebuah sampel untuk dianalisis yakni ketika sulim dimainkan dalam mengiringi lagu Paduan Suara. Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih komposisi melodi tersebut untuk dianalisis, yakni karena : 1) Menurut hemat penulis, pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel, maupun kollaborasi musik sedikit banyak memiliki persamaan yakni memainkan peran dalam membawakan melodi berdasarkan lagu atau repertoar yang dimainkan. Sedangkan ketika dalam mengiringi lagu oleh paduan suara, sulim sedikit keluar dari perannya sebagai pembawa melodi utama dan terkesan memainkan motif melodi yang baru. 2) Alur melodi sulim yang dimainkan pada lagu tersebut sedikit lebih bervariasi dan jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan dengan ketika dimainkan pada lagu yang lain sehingga tidak menimbulkan kesan monoton. 3) Pola permainan sulim didalam mengiringi paduan suara kelihatan lebih tertata dengan rapi dibandingkan dengan ketika dimainkan pada lagu yang lain, walau kemungkinan hal itu juga bisa saja disebabkan oleh kemampuan sipemain sulim itu sendiri ataupun hal yang lain. Namun, dalam hal ini di antara keempat komposisi tersebut (yang ditranskripsi oleh penulis) penulis melihat bahwa komposisi ini lebih memiliki keunikan dibandingkan dengan komposisi sulim yang lain. Keunikannya menurut hemat penulis adalah komposisi sulim dalam mengiringi paduan suara masih menjadi hal yang baru untuk dianalisis, sementara komposisi yang lain sudah menjadi hal yang biasa untuk dikaji. 5.4 Kajian Analisis Dalam kajian analisis, penulis membagi proses kerja menjadi dua bagian : a. Pertama, penulis melakukan kajian analisis gaya musikal sama seperti yakni sama seperti yang dipaparkan sebelumya oleh Malm. Dalam hal ini penulis hanya mengambil sebuah sampel dari keempat komposisi yang telah penulis transkripsikan. b. Kedua, penulis kemudian melakukan kajian analisis ciri musikal. Analisis ciri musikal yang penulis maksudkan lebih mengarah kepada hal yang bersifat deskriptif, yakni penjelasan secara umum tentang ciri-ciri musikal dari gaya permainan sulim pada masing-masing komposisi. Dalam hal ini penulis akan mendeskripsikan ketiga komposisi (yang ditranskripsikan oleh penulis) selain dari komposisi yang telah dianalisis sebelumnya (analisis gaya musikal). 5.4.1 Analisis gaya musikal 5.4.1.1 Analisis tangga nada Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing nada tersebut dalam lagu. Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja.60 Maka jika dilihat dari nada-nada yang dimainkan dalam komposisi di atas, lagu tersebut tersusun atas nada-nada : 60 Nettl, Theory and Method. op. cit., 145. Sesuai dengan penjelasan di atas, dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja. Maka, lagu tersebut tersusun atas 7 (tujuh) buah nada. Dengan demikian tangga nada melodi sulim yang dimainkan pada komposisi tersebut dinamakan heptatonic (tujuah nada). 5.4.1.2 Analisis modus Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang baku. Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara penggunaan nadanada dalam suatu komposisi. Misalnya, kalau kita membuat daftar nada-nada yang dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga nada lagu tersebut. Kalau kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak kita akan menyebut nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center); nada-nada yang terpenting ; nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada awal atau pendamping nada lain, dan lain sebagainya. Baik tangga nada maupun modus disampaikan lewat notasi. Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam komposisinya daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not utuh; nada penting lainnya sebagai not setengah, nada biasa sebagai not seperempat, nada hiasan atau nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan atau seperenambelas, dan seterusnya semakin kecil menurut jumlah pemakaiannya.61 Berikut ini merupakan modus dari komposisi di atas : 5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus) Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak (range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu. Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval. Berdasarkan teori Ellis62 dikatakan bahwa 1 laras adalah setara dengan 200 cent atau ½ laras sama dengan 100 cent. Maka berdasarkan perhitungan di atas, wilayah nada (ambitus) dari komposisi di atas adalah sebagai berikut : Nada paling rendah Nada paling tinggi cent laras G G’ 1200 6 Nada paling rendah dan tinggi cent laras 1200 6 61 62 Ibid., 146. Berdasarkan teori A. J. Ellis bahwa dalam satu oktaf tangga nada yang terdiri dari 6 [enam] laras setara dengan 1200 cent atau 1 laras sama dengan 200 cent, atau ½ laras setara dengan 100 cent. Ibid., 115-116. 5.4.1.4 Analisis interval Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut dalam laras, seperti pada tabel berikut. Tabel-3 Rumus Interval Simbol interval Jlh nada Jlh laras 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 2,5 3,5 4,5 5,5 6,5 7,5 8,5 1P 2M 3M 4P 5P 6M 7M 8P 9M 10M Nama dan jenis interval Contoh nada prime perfect (murni) sekunda mayor (besar) Terts mayor (besar) kwart perfect (sempurna) kwint perfect (murni) sekta mayor (besar) septime mayor (besar) oktaf Perfect (murni) none mayor decime mayor C-C C–D C–E C–F C–G C–A C-B C – c’ C – d’ C – e’ Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval kecil (minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang setengah laras menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval besar (mayor, M) dan murni (perfect, P) ditambah setengah laras menjadi interval lebih (augumentasi, Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak bisa menjadi interval besar ataupun kecil. Rumus interval dim + ½ laras = m m – ½ laras = dim P – ½ laras = dim m + ½ laras = M M – ½ laras = m M + ½ laras = Ag Ag – ½ laras = M P + ½ laras = Ag Dengan demikian, berdasarkan hukum interval di atas maka interval untuk komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel-4 Frekuensi Pemakaian Interval Lagu Tole Endehon Simbol interval Nama dan jenis interval Jumlah interval 1P Prime perfect (murni) 64 2m Sekunda minor (kecil) 19 2M Sekunda Mayor (besar) 126 3m Ters minor (kecil) 43 3M Ters Mayor (besar) 63 4P Kwart perfect (sempurna) 30 5P Kwint perfect (murni) 12 5.4.1.5 Analisis pola kadensa Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik, maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadenskadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna). Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap), sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan) disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titik- koma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).63 Contoh kadens gantung dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang ke13 : Contoh kadens sempurna dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang ke-14 : Dengan demikian, contoh frase anteseden dapat dilihat mulai dari bar yang ke-11 hingga bar yang ke-13 : 63 Hugh M. Miller, Introduction to Music: A Guide to Good Listening (Caloocun City, Philippines: Philippines Graphic Art Inc., 1971), seperti naskah terjemahan Triyono Bramantyo, “Apresisasi Seni” (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, t.t.), 165-166. Lihat juga Lein Flein, “Structure and Style” Expanded Edition, The Study and Analysis of Musical Form (New Jersey: Summy-Birchard Music, 1979), 37. Maka frase konsequen dapat terlihat mulai dari bar yang ke-11 kemudian melompat menuju bar yang ke-14 : 5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk) Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi garapan formula melodi sebuah komposisi musik. a. Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang. b. Iteratif yaitu nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian. c. Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting. d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic. e. kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu baru, ini disebut progressive.64 Bentuk dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan diantara bagian-bagian dari sebuah komposisi yang merupakan struktur dari keseluruhan sebuah komposisi, termasuk hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis. Hubungan-hubungan antara bagian-bagiannya tersebut biasanya digambarkan dengan kode huruf, yaitu A, 64 Malm., op. cit., 17. B, C, dan seterusnya. Selanjutnya dua bagian yang bermiripan tetapi tidak persis sama digambarkan dengan tambahan angka di atas baris; misalnya, A, A1 dan A2 adalah dua bagian yang dianggap sebagai variasi dari bahan musikal yang sama. Dalam mendeskripsikan bentuk sebuah komposisi, terlebih dahulu kita harus membaginya ke dalam bagian-bagian. Patokan yang bisa dipakai dalam pembagian tersebut adalah: 1) pengulangan—bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit; 2) frasa-frasa dan istirahat—istirahat atau pengurangan intensitas suara (decressendo) mungkin menunjukkan batas akhir sebuah unit; pengulangan dengan perubahan—umpamanya, transposisi lagu atau pengulangan pola ritmis dengan nada-nada lain; 4) satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris (dalam sajak atau pantun). Dengan mengacu pada patokan pembagian di atas dan setelah dihubungkan dengan perjalanan melodi yang menjadi sampel dalam tulisan ini maka penulis menyimpulkan bahwa perjalanan melodi di atas terdiri dari 5 bentuk yang terrinci sebagai berikut : a. Bentuk pertama terbagi atas intro dan interlude. Oleh karena alur meodi antara intro dan interlude percis sama, maka bentuk ini diberi lambang huruf yang sama yakni bentuk A. b. Bentuk kedua terbagi atas bridge I (melodi jembatan I) dan bridge II (melodi jembatan II). Oleh karena alur melodi kedua bridge tersebut memiliki kemiripan walaupun tidak percis sama, maka bentuk ini dibagi menjadi dua yakni dibedakan atas bentuk B (bridge I) dan B2 (bridge II). c. Bentuk yang ketiga terdiri atas bagian ending (penutupan) yakni dinamakan bentuk C. Contoh bentuk A dapat dilihat pada bagian intro pada bar yang ke-10 hingga bar yang ke-14, dan bagian interlude yakni pada bar yang ke-47 hingga bar yang ke45 yakni sebagai berikut : Contoh bentuk B (bridge I) dapat dilihat mulai dari bar yang ke16, bar 22, bar 24, bar 30, bar 38, hingga bar 40 yakni sebagai berikut : Contoh bentuk B2 (bridge II) dapat dilihat mulai dari bar yang ke-57, bar 63, bar 65, bar 71, bar 79, bar 81, bar 83, bar 87, bar 89, bsr 91, bar 93, bar 95, bar 99 yakni sebagai berikut : Contoh bagian bentuk C dapat dilihat pada bagian penutupan (ending) seperti berikut : 5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material) Yang dimasksud dengan identifikasi tema (thematic material) di sini ialah unsur-unsur musik yang dijadikan dasar dari suatu komposisi. Dasar komposisi tersebut disebut motif yaitu the smallest melodic germ, made of a few tones and rhythms, kesatuan melodi terkecil yang terdiri dari beberapa nada atau ritme,65 atau unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan suatu gagasan atau ide. 66 Motif biasanya selalu diulang-ulang dan dikembangkan dalam suatu komposisi. Untuk menganalisis motif melodi sulim pada komposisi di atas, penulis mengelompokkannya menjadi motif [a,b,c,d,e,f,g]. Pertimbangan yang paling utama dalam pengelompokan motif ini adalah berdasarkan susunan nada-nadanya. Motif yang selalu diulang-ulang diberi identitas dengan menambah angka dibelakang identitas motifnya—misalnya, motif [a1, a2, dst] adalah ulangan dari motif [a] dengan atau tanpa penambahan (augmentation) atau pun pengurangan (diminution) satu atau pun beberapa nada dari motif dasarnya, atau motif [b1, b2, dst] adalah ulangan dari motif [b]. Sedangkan untuk motif yang hanya satu kali saja muncul, dijadikan sebagai motif baru. Motif [a] memiliki dua kali pengulangan yakni [a1,a2] terdapat pada bar yang ke-16, bar 57, dan bar 65. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : Motif [b] memiliki dua kali pengulangan yakni [b1,b2] terdapat pada bar yang ke-24, 40, dan bar 81. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : 65 66 George Thadeus Jones, Music Theory (New York: Barnes and Noble Book, 1979), 102. Karl-Edmund Prier SJ, op. cit., 3 dan 26-27 Motif [c] memiliki tiga kali pengulangan yakni [c1,c2,c3] terdapat pada bar yang ke-22, 30, 63, dan bar 71. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : Motif [d] memiliki memiliki satu kali pengulangan yakni [d1] terdapat pada bar yang ke-79 dan bar 91. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : Motif [e] memiliki tiga kali pengulangan yakni [e1,e2,e3] terdapat pada bar yang ke-89, 93, 95, dan bar 99. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : Motif [f] hanya sekali terdapat pada bar yang ke-38. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : Motif [g] juga hanya sekali yakni terdapat pada bar yang ke-83. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut : 5.4.1.8 Analisis kontur melodi Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur didasarkan pada bentuk melodi musiknya. a. Bila gerak melodinya naik disebut ascending; b. bila menurun disebut descending; c. bila melengkung bergelombang disebut pendulous; d. bila berjenjang disebut terraced; e. dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static. Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, dan dengan melihat grafik melodi sulim pada lagu Tole Endehon tersebut jelas terlihat bahwa kontur melodi dari komposisi tersebut adalah pendulous (melengkung bergelombang). 5.4.2 Analisis ciri musikal Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa komposisi melodi sulim yang dianalisis berdasarkan ciri musikalnya hanya bersifat deskriptif tentang gambaran umum pola atau struktur melodi yang dimainkan oleh sulim pada masingmasing komposisi. Komposisi yang dianalisis adalah ketiga komposisi melodi sulim (yang ditranskripsikan oleh penulis) selain dari komposisi yang telah dianalisis (analisis gaya musikal) sebelumnya. 5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal Ciri-ciri musikal dari pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks tunggal adalah sebagai berikut : Biasanya ketika dimainkan dalam konteks tunggal dalam membawakan sebuah lagu ataupun repertoar, pola permainan sulim dari sipemain sedikit mengabaikan tempo dan birama (metrum) sehingga terkesan kedengaran seperti free meter. Jika kita analogikan dengan melodi sulim pada lagu siboru mauas male di atas, penulis sebenarnya mantranskripsikannya berdasarkan penafsiran pola pembagian ketukan dalam satu birama, sehigga dengan demikian lagu tersebut dapat ditranksripsi ke dalam sebuah garis paranada. Namun karena tidak adanya aturan penulisan tertentu dalam penyajian musik yang bersifat free meter, maka penulis hanya membubuhkan tanda atau kode tertentu baik berupa lambang atau tanda baca agar sipembaca mengerti apa yang penulis sampaikan. Meskipun demikian, tidak semua alur melodi yang dimainkan dalam lagu tersebut bersifat free meter, bagian ini hanya terdapat di beberapa birama tertentu saja. Tanda free meter penulis lambangkan dengan tanda fermata [ ]. Contoh ini dapat kita lihat pada penggalan melodi yang terdapat pada bar yang ke-6, bar 10, dan bar yang ke-12. Seorang pemain sulim tunggal biasanya memainkan motif melodi dengan nuansa oktaf yang berbeda-beda dalam setiap penyajiannya walaupun nada yang dimainkan adalah nada yang sama. Sehingga dalam pentranskripsian ini, penulis sedikit mengabaikannya sebab hal tersebut tidak mengubah makna lagu dan juga sipemain tidak sengaja untuk menbuat konsep demikian, akan tetapi dia memainkankannya berdasarkan perasaan atau kenyamanan dalam hal meniup. Dengan mendengar hasil rekaman yang penulis transkripsikan dan membandingkannya dengan penyajian melodi di atas, maka hal itu akan terlihat jelas pada bar yang pertama. 5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan opera Batak) Yang menjadi ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan bersama ensambel khususnya pada saat mengiring lagu opera Batak di atas adalah : a. Penyajian melodi sudah sedikit terpola namun seakan terkesan monoton karena tidak dibangun dengan berbagai motif melodi yang baru. b. Melodi awal (intro) dari lagu yang dimainkan selalu dimainkan berulang-ulang (tidak ada perbedaan antara melodi intro dengan interlude, yang membedakannya hanya terdapat pada improvisasi teknik permainan). Melodi intro dimainkan mulai dari bar 1 hingga bar 8, sedangkan melodi interlude dimainkan mulai dari bar 25 sampai dengan bar 32. c. Motif isian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas biasanya bersifat statis dalam konteks metode pengisian, artinya ketika melodi intro sulim selesai dimainkan maka secara otomatis sulim bersama melodi vokal serta ensambel yang lain memainkan melodi yang sama, namun sulim sedikit keluar dari melodi pokok dengan memainkan improvisasi nada tanpa harus menyimpang dari melodi lagu. Hal ini dapat terlihat jelas pada bar 9 hingga bar 24 dan juga terdapat pada bar 29 sampai dengan bar 47. d. Namun metode pengisian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas biasanya juga ditandai dengan adanya jembatan melodi (bridge) untuk menjembatani frase melodi vokal yang satu ke frase melodi vokal yang berikutnya. Jika kita melihat komposisi di atas, akan terlihat jelas pada bar yang ke-13, bar 24, dan bar 48. 5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi Ciri-ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan dalm konteks kollaborasi bersama instrumen Barat maupun instrmen tradisional yang lain khususnya pada komposisi di atas lebih dijelaskan kepada bentuk pola permainan serta teknik yang dimainkan. Jika kita memperhatikan alur melodi sulim dalam membawakan lagu kijom/endeng-endeng di atas, jelas terlihat bahwa sulim hanya muncul pada saat memainkan melodi awal (intro) lagu dan melodi tengah (niterlude). Namun sejalan dengan pola permainan sulim pada kedua bagian tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal teknik memainkan meskipun ada beberapa bagian melodi yang sama. Pada bagian intro lagu, melodi sulim dimainkan dengan mengadopsi teknik slur (salah satu teknik memainkan flute) yakni dengan memainkan nada hanya dengan tiupan nafas tanpa adanya tekanan lidah. Hal ini terlihat jelas pada bar 2 akhir hingga bar yang ke-8. Sedangkan pada bagian interlude lagu, melodi sulim yang dimainkan juga mengadopsi teknik staccato (juga merupakan salah satu memainkan flute) yakni memainkan nada atau melodi dengan tiupan nafas yang kuat dibantu dengan tekanan atau aksen yang kuat oleh lidah dalam setiap biji nada yang dimainkan. Pola serta teknik permainan ini jelas terlihat pada bagian interlude yakni pada bar 57 akhir sampai dengan bar yang ke-64. Namun selain itu, ada beberapa frase melodi tertentu dimana sulim memainkan melodi yang sama (unisono) dengan instrumen yang lain seperti biola. Hal ini dapat kita lihat pada bentuk melodi intro lagu di bar 9 hingga bar yang ke-12. BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis membuat kesimpulan bahwa sulim merupakan sejenis instrumen tradisional Batak Toba yang paling eksis di antara sekian banyak instrumen tradisional Batak Toba yang lain dan mampu bertahan di berbagai era penggunaannya. Ada beberpa instrumen tradisional Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan juga mampu bertahan dan ada juga beberapa di antaranya perlahan mengalami kepunahan. Namun di antara sekian banyaknya instrumen tradisional Batak Toba yang masih eksis tersebut, tidak seluruhnya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat Batak Toba, sehingga terjadi berbagai pergeseran fungsi dan pengunaan isntrumen tersebut yang mengakibatkan adanya fenomena baru dalam setiap era atau masa penggunaanya dalam periode waktu yang berbeda-beda. Kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaan sulim ini dapat terwujud karena sulim mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman yang bersinergi dengan pola pikir, tingkat kebutuhan dan rasa musikal masyarakat Batak Toba itu sendiri. Berbagai fenomena perubahan yang terjadi dalam konteks penggunaan tidak menunjukkan adanya pergeseran fungsi musikal yang selalu dipertahankan. Oleh karena itu, apabila sulim selalu konsisten dapat beradaptasi dan di terima di tengahtengah masyarakat Batak Toba, maka kemungkinan kontinuitas ini akan terus berlangsung selalu dan tetap bertahan di masa-masa yang akan datang. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas maka sebaiknya diajukan beberapa saran seperti berikut ini : 1. Jikalau ada di antara para pembaca yang tertarik terhadap kajian tulisan ini, penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut bahasan ini. Sebab setiap masa/periode waktu penggunaan sebuah isntrumen khususnya dalam konteks kebudayaan pasti akan memunculkan fenomena baru dalam setiap aspek kehidupan musikal masyarakat itu sendiri. 2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya mari kita bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus musik tradisional yang kita miliki bersama sebagai wujud dari penghargaan terhadap tradisi turun-temurun yang diajarkan oleh para pendahulu kita kepada kita. Jikalau pada masyarakat Batak Toba memiliki instrumen sulim yang selalu mampu eksis dalam setiap perkembangan zaman tentunya instrumen yang lain tidak hanya yang ada pada masyarakat Batak Toba tetapi juga yang ada pada masyarakat etnis lain pasti juga akan bereksistensi secara kontinu (berkesinambungan) apabila tradisi ini tetap dipertahankan. DAFTAR INFORMAN Nama Umur Pekerjaan : : : Alamat : Nama Umur Pekerjaan : : : Alamat : Nama Umur Pekerjaan : : : Alamat : Nama Umur Pekerjaan : : : Alamat : Nama Umur Pekerjaan : : : Alamat : Nama Umur : : Marsius Sitohang 59 Tahun Pemusik tradisional Batak Toba dan Dosen luar biasa di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, USU Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang Guntur Sitohang 76 Tahun Seorang pensiunan dari Penilik Kebudayaan PemKab Samosir, seorang pengrajin alat musik tradisional Batak Toba, sekaligus mantan pemusik tradisional Batak Toba Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian Boho Samosir Jhon Sinurat 35 Tahun Seorang pemusik tradisional Batak Toba sekaligus pengrajin sulim Tiga Balata Juniro Sitanggang 24 Tahun Musisi tradisinal Batak Toba sekaligus mengecap pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Nomensen Desa Lintongni Huta, Kecamatan Ronggurni Huta, Kabupaten Samosir Zani Ronaldgen Marbun 21 Tahun Musisi tradisonal Batak Toba sekaligus mengecap pendidikan di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, USU Desa Lintongni Huta Aek Sor Seang, Kecamatan Ronggurni Huta, Kabupaten Samosir Junihar Sitohang 41 Tahun Pekerjaan : Alamat : Musisi tradisional Batak Toba sekaligus pengrajin alat musik tradisional Batak Toba Helvetia, Medan Nama Umur Pekerjaan Alamat : : : : Bertua Sitanggang 41 Tahun Musisi tradisional Batak Toba Simpang Limun, Medan