Social Security System: Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Each country has its own social security system which is constructed based on ideologi, economic condition, and political system. In designing social security mechanism, ditermining of system type, either in the form of social insurance or social aids, mostly depend on the aim and content of the system, as well as internally historical changes of a country. Key words: System, Social Security, alternative, improvement, dan people prosperity. Oleh Augustin Rina Herawati Dalam proses pembangunan yang dilakukan bangsa-bangsa di dunia, kemiskinan merupakan fenomena yang selalu diusahakan untuk diminimalisasi, bahkan mungkin dihilangkan. Namun kenyataannya, kemiskinan masih selalu melekat dalam setiap sendi kehidupan manusia, sehingga membutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif, integral, dan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, para pemimpin negara sedunia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000, menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai “Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)” bagi negaranegara anggota PBB yang harus dicapai pada tahun 2015 melalui 8 (delapan) jalur sasaran, yaitu: (1) Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan; (2) Mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat; (3) Menjamin semua anak, lakilaki dan perempuan, menyelesaikan sekolah dasar; (4) Menurunkan hingga 2/3 kematian bayi dan anak dibawah usia lima tahun; (5) Menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (6) Menghilangkan ketidaksetaraan gender di sekolah; (7) Menerapkan dengan 1 konsekuen kebijakan pembangunan berkelanjutan; dan (8) Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan di semua tingkatan. Komitmen semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam “Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002, dan kemudian dituangkan dalam dokumen “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan,” yang juga telah ditandatangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintah dan semua perangkat negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggung jawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan tersebut, paling lambat tahun 2015. Sebagaimana diketahui, pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Orang miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil. Itulah salah satu dasarnya mengapa negara-negara maju berusaha mengurangi kesenjangan itu dengan menerapkan welfare state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan. Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk 2 menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan. Berbagai upaya penanggulangan masalah sosial di Indonesia terus dilakukan, namun pendekatan yang digunakan masih bersifat tambal sulam (ad-hoc), tidak terpadu dan tidak berkelanjutan. Kebijakan dan program anti kemiskinan, misalnya, masih berorientasi proyek yang bertumpu pada strategi kiss and run. Artinya, kemiskinan ditangani secara parsial dengan skema dan cakupan geografis yang sangat terbatas. Model pendekatan seperti ini tidak akan pernah tuntas memberantas kemiskinan, karena strateginya tidak diarahkan untuk menggusur problema kemiskinan (eradicating poverty), melainkan menggusur si miskin (eradicating the poor). Penanganan kemiskinan tidak akan pernah efektif dengan hanya menyentuh si miskinnya saja. Kemiskinan adalah produk struktural dari sebuah sistem yang saling terkait, yakni sistem ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan pendapatan nasional), pendidikan (pemberdayaan dan pengembangan SDM) dan jaminan sosial (bantuan sosial dan asuransi sosial). Strategi pembangunan nasional selama ini masih berkutat pada bagaimana membangun sistem ekonomi agar tumbuh setinggi mungkin, dan belum diarahkan secara sungguh-sungguh untuk membangun sistem jaminan sosial yang kuat. Akibatnya, selain Indonesia terus dihadang permasalahan sosial yang semakin kompleks, keberhasilan di bidang ekonomi ternyata sangat rentan terhadap goncangan. Indonesia memerlukan pendekatan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan pula berorientasi pada aspek perlindungan sosial. Jaminan sosial pada hakikatnya merupakan strategi perlindungan guna menopang dan menjaga kestabilan ekonomi. Komitmen internasional dan nasional sangat menekankan pentingnya jaminan sosial, terutama sebagai strategi penanganan kemiskinan secara sistemik, melembaga dan terpadu. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan program pembangunan dalam upaya penanggulangan kemiskinan untuk menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak, realistis, dan operasional agar kondisi sosial ekonomi masyarakat tidak merosot lebih dalam lagi. Dengan kata lain, diperlukan penyempurnaan dan pengembangan program yang ada untuk dikembangkan agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan, sehingga mengubah paradigma program pembangunan sebelumnya yang bersifat temporer, relatif, dan kuratif ke arah program yang merupakan bagian dari sistem keterjaminan sosial terpadu yang preventif, proaktif, dan berjangka panjang. Dalam perspektif ini, terdapat pemikiran tentang perlunya sistem penanggulangan kemiskinan melalui model sistem keterjaminan sosial. Model sistem keterjaminan sosial menuntut perubahan paradigma terutama menyangkut sistem pengelolaan dana masyarakat dalam mewujudkan masyarakat sejahtera dan mandiri di tingkat lokal (kabupaten/kota), maupun di tingkat hierarki yang 3 lebih rendah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Pengembangan sistem keterjaminan sosial dilakukan dengan beberapa pendekatan pokok, yaitu pendekatan sistem, pendekatan pemberdayaan masyarakat, serta pendekatan institusional. Berbagai pendekatan tersebut membutuhkan penanganan yang berbeda. Pendekatan pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat lebih menonjol dengan pendekatan program dan proyek pemerintah sebagai penunjang. Kehadiran model sistem keterjaminan sosial ini menumbuhkan harapan baru bagi penanggulangan kemiskinan menuju masyarakat yang mandiri. Tulisan ini mencoba memberikan sumbangan pemikiran tentang Social Security System, dengan mengkaji pengalaman negara Thailand yang menggunakan pendekatan sistem keterjaminan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. A. Pengertian Sistem Jaminan Sosial Pengembangan suatu sistem keterjaminan sosial untuk mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat perlu dipandang sebagai suatu usaha untuk mengembalikan kemampuan masyarakat mencapai kesejahteraannya sendiri. Oleh sebab itu, keterjaminan sosial secara normatif harus mengacu pada kemampuan masyarakat menghadapi krisis, apa pun penyebabnya. Pengertian jaminan sosial (social security) dapat didefinisikan secara luas sebagai tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima (The World Bank Researcher Observer, 1991). Instrumen yang terkait adalah jaminan pekerjaan dan pendapatan, serta beberapa instrumen kebijakan formal, seperti : asistensi, asuransi sosial, dan tunjangan keluarga. Jaminan sosial bukan untuk melindungi kaum kaya tetapi untuk memberikan efek insentif. Dalam studi ILO 1984, digambarkan ada 3 (tiga) tahap evolusi Jaminan sosial, yaitu: a) Sumbangan/derma dari kaum kaya yang disediakan untuk para fakir miskin, tetapi kondisi dan stigma keras yang diterapkan sering tidak dapat diterima; b) Skema asuransi sosial dikembangkan berdasarkan suatu kewajiban premi yang diberikan pada peserta berupa pensiun dan pembayaran masa sakit; dan c) Konsep pencegahan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan 4 pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan (Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill, 1996; MHLW, 1999). Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se” (pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti (kesulitan atau uneasiness). Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara harafiah adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan.” Jaminan sosial (social security) dapat didefinisikan sebagai sistem pemberian uang dan/atau pelayanan sosial guna melindungi seseorang dari resiko tidak memiliki atau kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur, kehamilan, masa tua, dan kematian. Spicker (1995) dan MHLW (1999), memberi batasan dan penjelasan mengenai jaminan sosial yaitu “The term ‘social security’ is mainly now related to financial assistance, but the general sense of the term is much wider, and it is still used in many countries to refer to provisions for health care as well as income. Although the benefits of security are not themselves material, they do have monetary value; people in Britain, where there is a National Health Service, are receiving support which people in the US have to pay for through private insurance or a Health Maintenance Organisation (Spicker, 1995: 60).” “Social security systems mean the systems to enable every citizen to lead a worthy life as a member of cultured society. Social security systems provide countermeasures against the causes for needy circumstances including illness, injury, childbirth, disablement, death, old age, unemployment and having a lot of children by implementing economic security measures through insurance or by direct public spending” (MHLW, 1999: 2). Jaminan sosial merupakan istilah “baru” yang lahir pada Abad 20. Sistem ini pertama-tama diterapkan sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial akibat krisis ekonomi dan untuk mengubah kapitalisme agar menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism) (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998; MHLW, 1999; Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002a). Jaminan sosial merupakan komitmen dan piranti negara dalam mewujudkan keadilan sosial melalui mekanisme income transfer atau redistribusi pendapatan (Spicker, 1995). Misalnya, sejalan dengan kebijakan full-employment, warga negara yang belum (anak-anak), tidak dapat (cacat, masa tua), sedang tidak (temporary unemployed) bekerja mendapat social benefits dari pemerintah. Dalam literatur 5 maupun praktik di negara maju dan berkembang, jaminan sosial ini umumnya diselenggarakan secara terstandar melalui mekanisme dan sistem jaminan sosial nasional di bawah otoritas Ministry of Social Welfare (atau yang sejenis). Alasan utama yang melandasi mengapa jaminan sosial perlu diberikan kepada warga negara adalah karena selain jaminan sosial dapat melindungi warganya dari resiko-resiko yang tidak terduga, juga karena jaminan sosial secara ekonomi maupun sosial tidak merugikan baik kepada penyelenggara maupun penerima pelayanan. Jaminan sosial bukanlah pengeluaran publik yang sia-sia. Melainkan sebuah bentuk investasi sosial yang menguntungkan dalam jangka panjang yang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial (Spicker, 1995: 58-60). Dua prinsip ini menjelaskan bagaimana mekanisme jaminan sosial bekerja. Misalnya, bagaimana peredaran uang berputar diantara anggota atau peserta jaminan sosial sehingga terjadi mekanisme saling melindungi diantara mereka yang pada gilirannya menjadi sebuah investasi sosial yang memberi kontribusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas hidup negara-bangsa secara berkelanjutan. Redistribusi pendapatan dapat berbentuk vertikal dan horisontal. Redistribusi vertikal menunjuk pada transfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Di sini, jaminan sosial merupakan bentuk dukungan warga masyarakat yang kuat kepada warga masyarakat yang lemah secara ekonomi. Redistribusi horisontal adalah transfer uang “antar-kelompok”, yaitu dari kelompok satu ke kelompok lain. Misalnya, dari laki-laki ke perempuan, dari orang dewasa kepada anak-anak, dari remaja ke orang tua. Redistribusi horisontal dapat pula bersifat “antar-pribadi”, yakni dari satu siklus kehidupan seseorang ke siklus lainnya (from one part of an individual’s life-cycle to another) yang oleh Spicker (1995:60) disebut sebagai “income smoothing”. Dalam konteks ini, Spicker menjelaskan bahwa jaminan sosial pada hakekatnya adalah dukungan finansial yang diberikan kepada anak-anak yang kelak membayar manakala dewasa; yang diberikan kepada orang sakit yang membayar manakala sehat; atau yang diberikan kepada para pensiunan yang telah membayar pada saat mereka masih bekerja. Solidaritas sosial dapat berbentuk dukungan yang saling mengun-tungkan atau gotong royong (mutual aid) dan aksi kolektif. Dukungan yang saling menguntungkan menunjuk pada ide diversification of risks dimana setiap anggota masyarakat atau organisasi setuju untuk berbagi resiko dan tanggungjawab menghadapi ketidakpastian yang mungkin dialami di masa depan (Spicker, 1995; MHLW, 1999). Aksi kolektif menunjuk pada ide “fraternity” yang melihat bahwa usaha kesejahteraan sosial merupakan tanggungjawab bersama seluruh anggota masyarakat. Jaminan sosial merupakan bentuk solidaritas sosial kepada anggota masyarakat, terutama kelompok lemah atau rentan (vulnerable groups). Negara adalah representasi masyarakat yang bertanggungjawab membantu kelompok ini, yang karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun 6 strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Pandangan mengenai pentingnya jaminan sosial didasari oleh perspektif teoretis dan keputusan normatif mengenai bagaimana pendapatan harus didistribusikan dan peranan apa yang harus dilakukan oleh negara, keluarga, individu, dan pasar dalam menjamin bahwa seseorang memiliki pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka fungsi jaminan sosial dapat dipilah menjadi dua spektrum sebagaimana dijelaskan oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998: 176), yaitu a) As a system of state financial support that is paid to those persons who are not provided for adequately by the market; dan b) As a system of state financial support paid to those persons who are unable to secure adequately. Pada pengertian pertama, tunjangan finansial negara diberikan terhadap warga negara dikarenakan kegagalan pasar dalam menyediakan sumber-sumber pendapatan (lapangan pekerjaan). Pada pengertian kedua, bantuan negara diberikan terhadap orang yang karena sesuatu sebab (cacat, hamil, sakit) tidak mampu memperoleh pendapatan sebagaimana telah disediakan oleh pasar. Apabila dipolakan secara tajam, kedua pengertian di atas sangat dipengaruhi oleh dua paradigma neo-liberal dan demokrat sosial yang memandang kemiskinan dari kacamata individual dan struktural. Pandangan ini kemudian menjadi basis perumusan jaminan sosial serta pendekatan-pendekatannya (lihat Tabel 1). Tabel 1 : Pandangan Neo Liberal dan Demokrat Sosial terhadap Kemiskinan Landasan Teori Penyebab Kemiskinan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Sistem Jaminan Sosial Prinsip Neo Liberal Individual Kelemahan dan pilihan-pilihan individu; lemahnya pengaturan pendapatan; lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh) Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif; memberi pelatihan ketrampilan pengelolaan keuangan Asuransi Sosial Demokrat Sosial Struktural Ketimpangan struktur ekonomi dan politik; ketidakadilan sosial Bantuan Sosial Dukungan yang saling menguntungkan (mutual aid) Redistribusi pendapatan vertikal dan horisontal; aksi kolektif Penyaluran pendapatan dasar secara universal; perubahan fumdamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui intervensi negara Sumber: Dikembangkan dari Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998 : 176). 7 Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neoliberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa jaminan sosial harus disediakan oleh kelompokkelompok swadaya, lembaga-lembaga keagamaan atau oleh keluarga. Peran negara hanyalah sebagai “agen residual” atau “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Meskipun secara teoretis kaum neo-liberal menolak tanggungjawab negara dalam usaha kesejahteraan sosial, dalam praktiknya mereka hanya mengusulkan penyesuaian kembali program-program kesejahteraan sosial, ketimbang menghapuskannya sama sekali. Berpijak pada public-choice theory, agency theory, dan transaction-cost theory, mereka pada intinya ingin mengganti pengaruh para politisi dan kelompok-kelompok kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dengan keputusan-keputusan yang berdasarkan kepentingan konsumen sejalan dengan prinsip ekonomi pasar bebas. Penerapan program-program structural adjustment di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neoliberal dalam bidang kesejahteraan sosial ini. Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar yang secara alamiah dianggap mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum demokrat sosial. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels, pendukung demokrat sosial menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97). Teori demokrat sosial berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi Keynesian. Teori ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum demokrat sosial tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem 8 negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998:79). Pendukung demokrat sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jaminan sosial, menurut pandangan demokrat sosial, dapat meningkatkan kebebasan karena ia dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan jaminan sosial dasar dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah kemampuan masyarakat secara mandiri untuk terus berkembang serta mewaspadai, mencegah, dan mengatasi terjadinya krisis, yang bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal, sehingga dapat terwujud suatu kesejahteraan sosial yang adil. Dalam pengertian tersebut, beberapa hal perlu mendapat perhatian, yaitu: 1) Pengertian dan ruang lingkup masyarakat. Seringkali, wacana pembicaraan mengenai kesejahteraan masyarakat menempatkan masyarakat sebagai pihak yang berbeda dengan pemerintah, bahkan sering berbeda dengan pengusaha-swastabesar. Jika dilihat dari perspektif kemanusiaan seperti di atas, yang dimaksud dengan masyarakat adalah manusia-manusia yang terhimpun berdasarkan suatu alasan, seperti organisatoris, geografis, kelembagaan, dan hal lainnya. Perbedaan posisi atau status hanya merupakan bentuk diferensiasi peran dan fungsi dalam satu kesatuan masyarakat yang utuh. Oleh sebab itu, pengertian masyarakat (community) dapat pula diartikan sebagai rakyat (people), lebih dari citizen, yang mencakup unsur-unsur penduduk, pemerintah, pengusaha, NGO, dan sebagainya. Kemudian, sistem pemerintahannya disebut governance. 2) Pengertian mandiri. Mandiri atau kemandirian seringkali diterjemahkan sebagai kemampuan sendiri, artinya menggunakan sumber daya sendiri, kerja 9 sendiri, dan dalam lingkungan yang diciptakan sendiri (tertutup). Pada masa lalu, hal ini mungkin memiliki pendukung yang cukup kuat. Namun, dalam lingkungan serba global dan terbuka, hal tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Oleh sebab itu, pengertian “secara mandiri” diartikan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri dalam mendayagunakan seluruh sumber daya yang memungkinkan, termasuk bantuan luar untuk mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan kecenderungan dunia saat ini, yaitu perubahan dari global dependence menjadi local interdependence atau lebih kecil lagi individual interdependence yang identik dengan relationship (keterhubungan). 3) Pengertian mewaspadai, mencegah, dan mengatasi. Hal ini memiliki dimensi dinamis dan antisipatif. Hanya dengan kemampuan mewaspadai, kejadian buruk atau krisis yang akan terjadi dapat dicegah atau diminimalkan resikonya. Kalaupun kejadian buruk ini terjadi juga karena faktor bencana atau malapetaka, masyarakat secara mandiri masih bisa meminimalkan resiko. Dengan demikian, mereka juga memiliki pengertian sebagai suatu proses yang berkesinambungan dan berkelanjutan ( continuos process). 4) Pengertian “krisis” itu sendiri. Dalam batasan ini, yang dimaksud dengan krisis adalah segala sesuatu yang mengganggu dan merusak banyak sendi masyarakat dalam luasan lingkup dan waktu yang sangat substansial sehingga membahayakan dan menjauhkan masyarakat dari pencapaian tujuan kesejahteraan. 5) Pengertian kesejahteraan yang adil. Yaitu kesejahteraan yang diperoleh tanpa eksploitasi terhadap salah satu anggota, atau salah satu bagian masyarakat, atau masyarakat itu sendiri secara keseluruhan, dan imbalan (reward) kesejahteraan yang diterima sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Dalam konteks ini, hubungan manusia lebih bersifat substantive-functional. Berdasarkan pengertian keterjaminan sosial di atas, maka yang dimaksud dengan sistem keterjaminan sosial adalah rangkaian komponen terkait yang sinergis untuk mewujudkan keterjaminan sosial di suatu wilayah. Batasan mengenai sistem keterjaminan sosial (SKS) ini kemudian membatasi lingkup keterjaminan sosial itu sendiri, yaitu: a) Pemberdayaan Keluarga. Sistem keterjaminan sosial dalam suatu wilayah masyarakat ditentukan oleh proses pemberdayaan keluarga sebagai unit sosial dan kekerabatan paling kecil dalam masyarakat. Bila keluarga mampu mewujudkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan, maka keterjaminan sosial akan lebih mudah diwujudkan. b) Pemberdayaan Wilayah Komunitas. Keterjaminan sosial melingkupi pemberdayaan wilayah, dalam arti sistem keterjaminan sosial dibangun mulai dari ketahanan wilayah komunitas masyarakat terkecil yang memungkinkan dilakukannya perencanaan dan pengambilan keputusan bagi pengembangan sistem keterjaminan sosial. Lingkup terkecil yang dipandang paling tepat adalah 10 tingkat desa, mukim, atau – dalam beberapa kondisi tertentu – dusun atau kekerabatan adat yang setara. Dengan demikian, keterjaminan sosial di tingkat nasional dibangun atas keterjaminan sosial masing-masing daerah dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. c) Pemberdayaan Energi Sosial Kreatif. Energi sosial adalah kemampuan masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia. Energi ini merupakan kekuatan pokok yang memungkinkan tumbuhnya sistem yang berkedaulatan rakyat (Sumardjo, 1994; Sayogyo, 1994; Uphoff, 1992). Sistem keterjaminan sosial dibangun dan dilaksanakan dengan memberdayakan energi sosial kreatif yang ada dalam masyarakat. Sejalan dengan lingkup ketahanan wilayah komunitas dan pengertian kemandirian maka basis utama pengembangan SKS bertumpu pada energi sosial masyarakat sendiri. Kalaupun diperlukan dukungan eksternal, dukungan tersebut merupakan pembukaan dan kemudahan aksesibilitas masyarakat pada sumber daya dan cara penggunaannya. Dukungan lain adalah proses penyadaran dan pemberian pengetahuan mengenai kemampuan yang sebenarnya dimiliki masyarakat untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri. Mengacu pada batasan Uphoff (Sayogyo, 1994), energi sosial bersumber pada 3 (tiga) unsur yang saling terkait, yaitu: i) Gagasan (ideas) adalah hasil pikiran progresif yang tampil dan diterima bersama. Gagasan dapat datang dari dalam atau dari luar satuan sosial; dari dalam atau dari luar kelompok masyarakat. Biasanya, gagasan semacam ini diterima oleh masyarakat karena dinilai bermanfaat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakat. Gagasan semacam itu bisa berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga senantiasa mengandung nilai manfaat yang nyata dan akan dapat menjadi acuan pola pikir dan pola tindak masyarakat dalam kehidupan sosial; ii) Idaman (ideal) adalah harapan atau kepentingan bersama yaitu wujud kesejahteraan bersama sebagai buah realisasi gagasan (ideals). Dalam hal ini, berlaku norma dasar : “berbuat bagi orang lain sebagaimana orang lain berbuat bagimu.” Idaman ini dapat menjadi semacam idealisme dari masyarakat yang bersangkutan, sehingga dalam diri setiap warga masyarakat ada dorongan atau motivasi untuk mewujudkannya; dan iii) Persaudaraan (friendship) merupakan wujud solidaritas dalam suatu satuan sosial sebagai daya utama dalam proses mencapai idaman yang telah dikukuhkan. Solidaritas muncul secara melembaga dalam kelembagaan lokal karena berbasis pada kesamaan dan kesepakatan atas harapan atau kepentingan (ideals) yang disadari dan dimiliki bersama, serta ingin diwujudkan dalam sistem sosial tertentu. Keberadaan ketiga unsur energi sosial tersebut menjadi dasar terjadinya kerjasama saling tolong menolong, dan berkembangnya kepedulian sosial dalam suatu konteks keterjaminan sosial. 11 d) Pemberdayaan Kelembagaan Lokal. Konsisten dengan pemikiran di atas, SKS dibangun dan dilaksanakan dengan memanfaatkan kelembagaan lokal yang sudah ada. Pembentukan lembaga baru bukan merupakan prioritas pengembangan. Lembaga baru akan dibangun jika masyarakat sendiri yang membentuknya dan lembaga lama tidak mampu lagi menjalankan fungsi yang dibutuhkan dalam pengembangan SKS sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Salah satu aspek penting yang perlu dilakukan oleh dan dengan pemberdayaan kelembagaan lokal adalah menentukan atau mengevaluasi kemiskinan (poverty assessments). Pelaksanaan poverty assessments membutuhkan waktu yang lebih lama dan juga membutuhkan sumber daya yang lebih banyak. Namun, hasil yang diperoleh bisa sangat menentukan keberhasilan seluruh sistem keterjaminan sosial itu sendiri. Pelibatan kelembagaan lokal dalam arti organisasi, norma, tata aturan, hingga individu lokal akan memberikan manfaat: (a) Consistency, peningkatan pemahaman terhadap dinamika aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik yang berkaitan dengan aspek-aspek keterjaminan sosial itu sendiri; (b) Reality, menjamin bahwa strategi pengembangan yang akan dilakukan benar-benar merefleksikan kondisi nyata dalam masyarakat, realistis, dan dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri; (c) Sustainability, mendorong tumbuhnya rasa memiliki sehingga lahir tanggung jawab untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan sistem; dan (d) Stimulation, membangun kapasitas sosial untuk mengembangkan program yang mungkin pada awalnya dibangun atas bantuan dari luar. B. Aspek-aspek Jaminan Sosial Aspek-aspek jaminan sosial yang akan dibangun perlu mencakup : ketahanan pangan, kesehatan, sandang, kerja dan usaha, perumahan dan pendidikan. Urutan tersebut diperkirakan merupakan urutan kepekaan masyarakat terhadap krisis. Artinya, jika krisis melanda maka yang pertama kali akan dikorbankan adalah pendidikan, dan jika telah mencapai krisis pangan maka kondisi yang terjadi sudah merupakan bencana yang sangat serius. Tetapi ditinjau dari sudut pandang pemerintah, layanan harus diprioritaskan kepada aspek pendidikan, kesehatan, pangan, serta kerja dan usaha. 1) Pangan. Ketahanan pangan dapat diamati dari 3 (tiga) dimensi, yaitu: a) Dimensi sasaran nasional; b) Dimensi waktu atau musim; dan c) Dimensi sosial ekonomi pangan. Pencapaian ketahanan pangan dapat terlihat dari ketersediaan pangan, produksi pangan, konsumsi pangan, konsumsi gizi, dan status gizi. Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga dapat ditempuh melalui peningkatan keefektifan dan efisiensi distribusi pangan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan kemampuan penyediaan pangan, 12 peningkatan pembentukan cadangan pangan, dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi (Suharjo, 1996). Berdasarkan kesepakatan World Food Summit (1996), ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu, dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat dan produktif. Definisi ketahanan pangan rumah tangga yang digunakan di Indonesia belum mensosialisasikan kesepakatan internasional tersebut, karena definisi formal ketahanan pangan yang digunakan terbatas pada kondisi tersedianya pangan yang cukup, bermutu, dan aman di rumah tangga, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 7/1996. Jika pangan merupakan kebutuhan dasar (basic needs) suatu rumah tangga atau masyarakat, maka ketahanan pangan menjadi aspek yang paling utama dalam sistem keterjaminan sosial. 2) Kesehatan. Kesehatan setiap anggota keluarga merupakan syarat mutlak untuk dapat bekerja produktif, menghasilkan pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Meskipun ketahanan pangan keluarga akan menentukan kesehatan anggota keluarga, tetapi kesehatan anggota keluarga juga dapat ditentukan oleh faktor-faktor nonpangan, seperti infeksi patogen, pelayanan kesehatan dan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, keterjaminan kesehatan merupakan salah satu aspek dalam keterjaminan sosial. Upaya minimal untuk bertahan hidup adalah bebas dari penyakit serius. Hal ini seringkali tidak dapat dipenuhi oleh anggota keluarga. Berdasarkan pertimbangan ini, aspek kesehatan dalam keterjaminan sosial menunjukkan kemampuan keluarga untuk mengakses pelayanan kesehatan bagi setiap anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan serius. 3) Sandang dan Perumahan. Pakaian dan perumahan merupakan kebutuhan untuk meminimalkan resiko perubahan lingkungan yang akan berdampak pada gangguan kesehatan. Disamping itu, pakaian dan perumahan juga merupakan wahana untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan sosial-psikologis keluarga dan anggotanya. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan pakaian secara kuantitas maupun kualitas dapat dijadikan sebagai indikator keterjaminan sandang. Demikian pula halnya dengan perumahan. Kualitas dan luas lantai rumah yang dimiliki dapat dijadikan sebagai indikator pemenuhan kebutuhan papan atau perumahan dalam konteks keterjaminan sosial. 4) Usaha dan Kerja. Kerja merupakan sumber utama pendapatan masyarakat. Namun, kerja seringkali merupakan basis eksistensi seseorang atau suatu keluarga. Sebagaimana ditunjukkan oleh kondisi krisis, kehilangan pekerjaan merupakan pukulan pertama yang memicu bentuk ketidaksejahteraan lain. Pecantuman keterjaminan kerja dan usaha sebagai aspek keterjaminan sosial dan bukan pendapatan merupakan usaha untuk memberikan jaminan keberlanjutan yang lebih baik, juga untuk mengoreksi kemungkinan masalah daya beli, 13 aksesibilitas yang tertutup, ketiadaan kebutuhan, serta mengurangi pelaksanaan yang manipulatif. Aspek keterjaminan kerja dan usaha dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk terus menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan dan memberikan kesempatan berusaha bagi anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan melalui mekanisme sosial tertentu. Hal ini melahirkan banyak konsekuensi kebijakan, mulai dari tingkat makro (nasional) hingga ke tingkat rumah tangga. Beberapa di antaranya adalah: a) Promosi kegiatan ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal dan pasar lokal; b) Mengembangkan berbagai pengubah ekonomi (nilai tukar, tingkat bunga, anggaran pemerintah, pajak, dan lain-lain), yang bersahabat dengan pengembangan kegiatan ekonomi sebagian besar rakyat; c) Membiasakan tabungan dan cadangan mulai dari tingkat nasional, daerah, desa, hingga rumah tangga; dan d) Membudayakan kebiasaan berusaha secara baik melalui pengenalan sumber daya yang dimiliki dan prospek jenis usaha. C. Mekanisme Jaminan Sosial Sistem jaminan sosial secara garis besar mengikuti dua metode, yaitu asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance) (MHLW, 1999). Asuransi sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada para peserta asuransi berdasarkan premi yang dibayarkannya. Sistem asuransi kesehatan dan pensiun adalah dua bentuk asuransi sosial yang umum diterapkan di banyak negara. Bantuan sosial adalah jaminan sosial yang umumnya diberikan kepada kelompok lemah dalam masyarakat yang meskipun tidak membayar premi tetapi dapat memperoleh tunjangan pendapatan atau pelayanan sosial. Program-program kesejahteraan sosial bagi anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia merupakan beberapa contoh bantuan sosial. Baik jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial maupun bantuan sosial, secara umum dikelola dengan mengikuti strategi dasar, yaitu: 1) Universal dan selektifitas, yaitu jaminan sosial yang bersifat universal diberikan secara menyeluruh kepada semua warga negara. Sedangkan jaminan sosial selektifitas hanya diberikan kepada kelompok tertentu saja melalui pentargetan (selektifitas), misalnya kelompok miskin; 2) In-cash dan in-kind menunjuk pada jenis manfaat atau tunjangan dalam jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk uang (income transfer), sedangkan in-kind adalah jenis manfaat jaminan sosial yang berbentuk barang atau pelayanan sosial (benefits in kind); dan 3) Publik dan swasta bahwa jaminan sosial dapat diselenggarakan oleh negara (publik) atau oleh lembaga-lembaga swasta yang umumnya berbentuk Perseroan Terbatas. 14 Jaminan sosial dapat diberikan melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak. Asuransi sosial ditetapkan berdasarkan insurance expertise. Pemberian manfaat asuransi diperhitungkan berdasarkan premi asuransi. Secara prinsip, pemerintah pusat bersama dengan lembaga-lembaga publik lainnya menjadi penyelenggara asuransi sosial. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib (obligatory). Sistem asuransi medis dan asuransi pensiun adalah dua tipe asuransi sosial yang sangat luas dikenal. Bantuan sosial tidak ditetapkan berdasarkan insurance expertis. Manfaat bantuan sosial diberikan berdasarkan dana yang dihimpun dari pendapatan pajak. Pemerintah pusat dan daerah memberikan uang atau pelayanan sosial kepada penduduk sebagai bentuk kepedulian atau kewajiban negara terhadap pemenuhan hak-hak dasar warganya. Sistem bantuan publik adalah sebuah contoh tipikal dari bantuan sosial. Disamping program-program kesejahteraan sosial untuk anakanak, orang dengan kecacatan (ODK), dan orang lanjut usia; bantuan sosial juga meliputi tunjangan untuk keluaga (umumnya keluarga tunggal atau tidak mampu) yang memiliki tanggungan anak dan pensiun kesejahteraan (welfare pension). Di Amerika Serikat, salah satu bentuk bantuan sosial yang terkenal adalaf AFDC (Aid for Families with Dependent Children) yang kini berubah menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families) (Chambers, 2000). Dalam mendesain mekanisme jaminan sosial, penentuan tipe sistem, apakah akan berbentuk asuransi sosial atau bantuan sosial, sangat tergantung pada tujuan dan isi dari sistem tersebut, serta perubahan-perubahan historis dalam lingkungan negara yang bersangkutan. Di seluruh dunia, sistem jaminan medis (medical security) dan jaminan pendapatan orang lanjut usia (old-age income security) umumnya diberikan dalam bentuk asuransi sosial, seperti asuransi medis dan asuransi pensiun. D. Komponen Jaminan Sosial Sistem Keterjaminan Sosial yang akan dibangun perlu disusun atas komponenkomponen dalam suatu sistem kerja yang utuh, yaitu: 1) Sistem ketahanan lokal menggambarkan mekanisme dan organisasi masyarakat untuk mampu mengatasi masalah krisis di tingkat lokal dengan memanfaatkan atau mendayagunakan sumber daya yang tersedia di daerah. Hal ini dapat diwujudkan melalui: a) Pengembangan sumber daya lokal; dan b) Pengembangan organisasi lokal. 2) Dana atau program pemerintah untuk menangani masalah dan krisis sosial ekonomi. Berbagai program bantuan telah dilaksanakan pemerintah sebagai upaya untuk membantu keluarga-keluarga yang tergolong miskin agar mereka dapat 15 meningkatkan kualitas hidupnya menuju kondisi yang lebih baik. Dalam gerakan pembangunan keluarga sejahtera, bantuan program diberikan sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh setiap keluarga. Namun, secara garis besar, program bantuan pemerintah ini diarahkan pada perbaikan dan peningkatan penguasaan ekonomi keluarga. 3) Mekanisme kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat (Asuransi Sosial). Sistem asuransi sosial pada dasarnya merupakan perwujudan komitmen pemerintah bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan yang wajar untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Program asuransi sosial berhubungan dengan penanggulangan resiko dasar seseorang. Berdasarkan UU No. 2/1992 tentang usaha pengasuransian, terdapat beberapa ciri yang membedakannya dengan asuransi sosial, yaitu: a) Bersifat wajib, asuransi sosial berlaku konsep open ended group karena adanya prinsip penyertaan wajib bagi seluruh pekerja yang berada dalam kelompok pekerja formal, maupun yang berada dalam kelompok nonformal; b) Maslahat dasar, harus dapat memberikan manfaat yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tanpa harus mengurangi secara signifikan pangsa pemasaran sektor asuransi komersial; c) Subsidi silang, berfungsi sebagai sarana untuk dapat melaksanakan redistribution of income yang merupakan salah satu tujuan pembangunan. Pelaksanaannya diperlukan secara terencana dan secara gotong royong sehingga yang mampu membantu yang kurang mampu, dan kelompok yang beresiko tinggi dibantu oleh kelompok yang beresiko rendah; dan d) Dijalankan oleh BUMN, badan pelaksana asuransi sosial harus diciptakan oleh pemerintah. Program penempatan dana hanya dilakukan pada instrumen pemerintah yang sepenuhnya dijamin dan harus dipastikan bahwa pemerintah memanfaatkan dana tersebut untuk membiayai program pembangunan nasional. 4) Bantuan luar negeri. Dengan keterbatasan dana pemerintah, masyarakat sekarang ini dapat meningkatkan akses dengan pihak luar negeri. Dalam sistem keterjaminan sosial, bantuan luar negeri masih dapat dijadikan salah satu alternatif pendanaan namun tidak dalam jumlah yang besar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketergantungan dan kemanjaan yang menyebabkan kesulitan untuk mandiri. Oleh karena itu, bantuan luar negeri menjadi salah satu komponen sistem keterjaminan sosial. Kreativitas untuk membuat kerjasama yang bersifat mutualistik dengan pihak luar negeri harus dirangsang seluas-luasnya. 5) Pembangunan Ekonomi Nasional. Pembangunan ekonomi nasional mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang penting bagi penyediaan kesempatan kerja dan menumbuhkan pendapatan, permintaan, dan penawaran. Sistem keterjaminan sosial sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan nasional, karena daya untuk mengembangkan sistem keterjaminan sosial di masing-masing komponen subsistem sangat ditentukan oleh keberdayaan masyarakat secara umum, terutama dalam memenuhi kebutuhan, meningkatkan pendapatan, 16 meningkatkan tabungan, dan sebagainya; yang merupakan unsur kemajuan tingkat ekonomi masyarakat. Gambar 1: Kaitan antar komponen Masyarakat Sistem Ketahanan Dana/Program Pemerintah untuk Penanganan Masalah dan Krisis Sosial Pembangunan Ekonomi Nasional Mekanisme Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat Bantuan Luar Negeri Sumber: Tim Crescent, 2003 Pada dasarnya, arah dari pengembangan sistem keterjaminan sosial adalah perlunya perubahan paradigma terutama menyangkut masalah sistem pengelolaan dana masyarakat dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, menuju masyarakat yang adil dan makmur, dengan ciri pengembangan kemandirian, baik kemandirian di tingkat lokal (kabupaten) maupun di tingkat hierarki yang lebih rendah, dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam perspektif ini, pengembangan suatu sistem keterjaminan sosial untuk mendukung pencapaian kesejahteraan sosial bukan sesuatu yang mengada-ada. Pengembangan sistem tersebut perlu dipandang sebagai suatu usaha untuk mengembalikan kemampuan masyarakat mencapai kesejahteraannya sendiri. Dengan kata lain, dalam mewujudkan pembangunan yang bersifat humanistik dan berkelanjutan dimana setiap elemen masyarakat ikut merasakan hasilhasilnya, pengembangan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan 17 yang makin langka. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah. E. Kesimpulan Sebagai kesimpulan bahwa lesson learn bagi Indonesia untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam pengembangan social security system sebagai alternatif meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu: Pembenahan mekanisme pelaksanaan program bantuan sosial yang tidak sentralistik, yang mengakomodasi keanekaragaman karakteristik dan tuntutan lokal. Misalnya dalam pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT), dimana secara nasional ditetapkan bahwa besar bantuan BLT adalah Rp. 100 ribu/bulan selama tiga bulan, berlaku untuk semua daerah. Sementara setiap daerah di Indonesia mempunyai standar hidup yang berbeda. Integrasi dan hubungan yang kuat antara pengelolaan bidang-bidang pembangunan ekonomi (perindustrian, perdagangan, ketenagakerjaan); pembangunan sosial (kesehatan, pendidikan, perumahan); dengan bidang kesejahteraan sosial. Agar efektivitas pencapaian program bidang kesejahteraan rakyat dapat tercapai, yang ditandai dengan bertambahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Jaminan asuransi dan jaminan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan memberikan semangat hidup yang lebih berarti. Sistem asuransi dan jaminan sosial yang ada saat ini, masih diberlakukan secara diskriminatif, hanya terbatas kepada mereka yang memiliki uang saja. Untuk itu, pemerintah berkewajiban memberikan jaminan asuransi yang memadai kepada masyarakat miskin. Agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama, mendorong tekad semua pihak untuk mengakui kegagalan penanggulangan kemiskinan selama ini, membangkitkan kesadaran kolektif agar memahami kemiskinan sebagai musuh bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas kemiskinan. Mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga upaya ini ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi. Menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat (pemberdayaan masyarakat). 18 Dalam hal ini, pemerintah lebih berperan hanya sebagai inisiator, selanjutnya bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama. F. Rekomendasi Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin. Karena itu, kebijakan dan program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil (misalnya; pertanian, perikanan, manufaktur, usaha kecil menengah), terutama di sektor informal yang menjadi tulang punggung orang miskin. Perlu adanya Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin. Kelompok masyarakat miskin sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit, kena PHK) maupun goncangan eksternal (misalnya kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik sosial), karena tidak memiliki ketahanan atau jaminan dalam menghadapi goncangan-goncangan tersebut. Kebijakan dan program yang diperlukan mencakup upaya untuk; (a) mengurangi sumber-sumber resiko goncangan; (b) meningkatkan kemampuan kelompok miskin untuk mengatasi goncangan dan; (c) menciptakan sistem perlindungan sosial yang efektif. Perlu merumuskan kembali makna solidaritas sosial diantara anggota masyarakat melalui peningkatan pemahaman mengenai perlunya membagi tanggungan dan manfaat jaminan sosial bagi kelompok-kelompok dan generasigenerasi yang berbeda. Selain itu, sistem jaminan sosial perlu diperkuat sebagai infrastruktur modal sosial (social capital) bagi masyarakat menuju kehidupan yang stabil. Sejalan dengan menguatnya semangat civil society, menjamurnya organisasiorganisasi sosial merupakan wahana bagi pengentalan modal sosial. Desentralisasi dan otonomi daerah perlu diikuti dengan penguatan integritas dan potensi lokal dalam mengelola sumber-sumber pendanaan bagi jaminan sosial (misalnya, zakat mal) melalui program-program pengembangan masyarkat dan partisipasi sosial. Dra. Augustin Rina Hearwati, M.Si adalah Dosen Tetap STIA LAN Jakarta, Kepala Bagian Administrasi Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN. Email: [email protected] 19 Daftar Pustaka A Victorian Government Initiative. 2006. A Fairer Victoria: Progress and Next Steps. Australia, State of Victoria. Beddie, Francesca. 2001. Putting Life Into Years. Australia: The Commonwealth Department of Health and Aged Care. Best of OTOP. 2006. The Unlimited Wisdom. Bangkok. Colin Morison. 2006. Local Government in Victoria. Victoria: Department for Victorian Communities. Crescent, Tim. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Department of Human Service. 2004. Need for Improvement, National Reform Agenda and DHS Productivity. Australia, Melbourne, Victoria. Department of Education and Training. 2006. Summary Statistics for Victorian Schools. Departemen Sosial RI. 2005. Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) Bagi Pekerja Mandiri di Sektor Informal. Jakarta. Departemen Sosial RI. 2005. Panduan Manejemen Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Jakarta. Department of Human Service. 2005. A Guide to Concessions in Victoria: Assistance for People on Low Incomes. Australia, Victoria. Department of Human Service, Concessions Unit. 2006. Utility Relief Grant Scheme Guidelines. Australia, Victoria. Department of Human Service, Concessions Unit. 2005. State Concessions 2003-2004, Helping Lower Income Victorians Afford Essential Services. Australia, Melbourne, Victoria. Department of Human Service. 2005. Concessions and Rebates. Australia, Melbourne, Victoria. Department of Health and Ageing. 2005. Australian Government Directory of Services for Older People. Australia. Edmonds, Adrian. 2006. Department of Human Services. Victoria. Jamasy, Owin. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: PT. Mizan Publika. Maas, Frank . 2006. A Fairer Victoria: The Victorian Government’s Social Policy Statements 2005-2006. Victoria. Ministry of Labour. 2005. Social Security Scheme in Thailand. Thailand. Ministry of Social Development and Human Security. 2004. Thailand. Ministry of Interior. 2003. Roles and Responsibilities Community Development Department. Bangkok. 20 Office of Women’s Affairs and Family Development (OWAFD), Ministry of Social Development and Human Security. 2006. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women and Optional Protocol. Bangkok, Thailand. Pusat Kajian Administrasi Internasional. 2006. Kajian Analisis Kebijakan Sistem Keterjaminan Sosial Menuju Masyarakat Mandiri. Jakarta: LAN. Rich, Jeff . 2006. DVC Presentation to Indonesian Delegation. Victoria: Department for Victorian Communities. Social Security Office. 2004. Annual Report. Bangkok. The Department for Victorian Communities and Community Development Finance. 2005. Victoria. Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen Undang-Undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Yayasan TIFA. 2005. Semua Bisa Seperti Jembrana. Jakarta. 21 22