Makalah Kerukunan - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

advertisement
MEMBANGUN KERUKUNAN LEWAT MADRASAH
Dr. Adeng Muchtar Ghazali,M.Ag
Pengantar
“Kerukunan” dan “Madrasah” adalah dua istilah yang dijadikan pokok bahasan yang
diberikan panitia penyelenggara workshop tiga hari yang lalu. Kerukunan sangat berkaitan
erat dengan “toleransi”. .Kerukunan menunjukkan pada wujud nyata dari dua pihak (orang
atau kelompok) yang berdampingan secara nyaman dan harmonis. Sedangkan, toleransi
berkaitan dengan “nilai” dan “perilaku/sikap” yang ditunjukkan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk hidup rukun. Sementara, madrasah berhubungan dengan pendidikan
Islam, sebagai bagian dari tempat berlangsungnya kegiatan proses belajar mengajar. Jika apa
yang saya pahami dari judul di atas sejalan dengan tujuan workshop ini, maka saya dapat
merumuskannya menjadi pokok bahasan : nilai-nilai toleransi dan kerukunan dalam perspektif
Islam yang dibangun melalui proses pendidikan di Madrasah.
Pengertian Toleransi dan Kerukunan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah toleransi berhubungan dengan nilai dan
perilaku. Ia berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Kurang
lebih istilah ini
menunjukkan pada arti “saling memahami, saling mengerti, dan saling
membuka diri dalam bingkai persaudaraan”. Sementara, istilah “kerukunan” dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
diartikan sebagai “hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran”. Kerukunan adalah istilah yang
dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat
dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran.1 Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka ”toleransi” dan “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Dalam terminologi Islam, istilah yang dekat dengan toleransi adalah ”tasamuh”.
Seekalipun tidak secara utuh menunjukkan pengertian yang sama, tetapi secara essensial
mengandung tujuan yang diinginkan, yaitu saling memahami, saling menghormati, dan saling
menghargai sebagai sesama manusia. Tasamuh memuat tindakan penerimaan dan tuntutan
dalam batas-batas tertentu. Tasamuh mengandung harapan pada satu pihak untuk memberi

Disampaikan pada acara Workshop Pendidikan Toleransi Bergama, Yayasan Serikat Masyarakat Untuk
Toleransi Beragama (SEMESTA), tanggal 20 Januari 2014 di Graha Asia Plaza Kota Tasikmalaya
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.
850
1
dan sekaligus mengambil. Subjek yang melakukan tasamuh dalam Islam dinamakan
mutasamihin, yang berarti “pemaaf, penerima, menawarkan, pemurah sebagai tuan rumah
kepada tamu”. Dalam pelaksanaannya, orang yang melakukan tindakan tasamuh ini tidak
sepatutnya menerima saja sehingga menekan batasan hak dan kewajibannya sendiri. Dengan
kata lain, perilaku tasamuh dalam beragama memiliki pengertian untuk tidak saling
melanggar batasan, terutama yang berkaitan dengan batasan keimanan (aqidah). Meskipun
tasamuh memiliki pengertian seperti di atas, dalam banyak konteks, ia seringkali diselaraskan
arti dengan kata “toleransi”. Toleransi adalah “harmoni dalam perbedaan”, yang tidak hanya
menuntut kewajiban moral semata, tetapi juga persyaratan politik dan hukum.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui, bahwa
bangsa Indonesia adalah terdiri dari beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama yang beragam.
Dari keragaman ini tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan gesekan kepentingan.
Dalam konteks inilah diperlukan suasana hidup rukun dan toleran. Upaya yang dilakukan,
baik melalui kebijakan pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat tertentu terus
dilakukan. Sudah puluhan tahun bangsa ini melakukan upaya, agar masyarakat yang beragam
ini hidup rukun. Pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, sebagaimana dilakukan pada
masa Orde Baru, misalnya, memang dipandang telah berhasil. Tetapi didalamnya tersimpan
bahaya laten berupa terlalu lama menyimpan ketidakpuasan, keberpihakan, represif, dll. yang
suatu saat bisa meledak. Sebagaimana kita lihat bersama, sejarah telah membuktikan itu,
yang sampai sekarang masih terasa dampaknya. Yang diperlukan sekarang, bukan hanya
kebijakan pemerintah melalui berbagai peraturan kerukunan hidup antar ummat beragama,
tetapi jauh dari itu adalah bagaimana menanamkan dan memunculkan kesadaran, bahwa
hidup rukun, damai, dan penuh persaudaraan di alam yang pernuh perbedaan tanpa
permusuhan merupakan perintah agama.
Kesadaran beragama dan Kerukunan
Untuk memunculkan kesadaran dalam beragama, setidaknya diperlukan beberapa
tahapan, yaitu pengetahuan dan pemahaman, praktek, dan dilakukan secara berulang-ulang.
Ketiga tahapan ini merupakan satu kesatuan dalam perilaku. Dalam konteks kerukunan dan
toleransi, maka tahapan-tahapan ini harus dilalui. Setiap tindakan pasti berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya. Jika tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang, maka
akan melekat menjadi suatu kepribadian. Baik tidaknya suatu tindakan tergantung
pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya. Orang yang beragama adalah orang yang
mempraktekan ajaran agama berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadarannya.
2
Mengikuti alur pikir di atas, maka pengetahuan dan pemahaman tentang keharusan hidup
rukun dan toleran menjadi kunci utama. Islam mengajarkan pengetahuan ini untuk
dipraktekkan. Ajaran yang mengungkapkan hidup rukun dan toleran dapat dikemukakan,
diantaranya beberapa poin di bawah ini :
1. Manusia adalah mahluk sosial dan diharuskan untuk saling mengenal.
Manusia diciptakan berbeda-beda, dan perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Tuhan
(Sunnatullah). Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah Swt., salah satunya dalam
surat Al-Hujarat 13, yaitu yang mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Sebagai ketetapan Tuhan, pernyataan ini
tentu harus diterima. Mereka yang tidak bisa menerima adanya keragaman berarti
mengingkari ketetapan Tuhan. Berdasarkan hal ini pula maka toleransi menjadi satu ajaran
penting yang dibawa dalam setiap risalah keagamaan, tidak terkecuali pada sistem teologi
Islam. Sudah barang tentu, adanya ragam perbedaan merupakan kenyataan sosial, sesuatu
yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri.
Makhluk sosial adalah makhluk yang satu sama lain saling membutuhkan. Makhluk
sosial adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berdialog dengan orang lain dan
lingkungannya. Dialog merupakan percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog dapat juga
diartikan sebagai “pergaulan antara pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan
berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya.”2 Dari pengertian ini, secara sosiologis
maupun psikologis, dialog merupakan kebutuhan hakiki. Manusia membutuhkan dialog,
membuka diri kepada orang lain, dengan mendasari pada prinsip-prinsip : (a) keterbukaan
terhadap pihak lain; (b) kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain;
dan (c) saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan
caranya sendiri.3 Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tapi bahasa sama
ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda.
2. Perbedaan pemahaman maupun keyakinan tidak bisa dipungkiri.
Secara sosiologis, pengakuan terhadap adanya keragaman keyakinan ini merupakan
pengakuan toleran yang paling sederhana, namun pengakuan secara sosiologis ini tidak
berarti mengandung pengakuan terhadap kebenaran teologis dari agama lain. “Seandainya
Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah
2
3
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983, hal. 172
Ibid, hal. 172-173
3
bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”.
(Q.S. 2 : 251)
Toleransi dalam kehidupan keagamaan yang ditawarkan oleh Islam begitu sederhana dan
rasional. Islam mewajibkan para pemeluknya membangun batas yang tegas dalam hal akidah
dan kepercayaan, sambil tetap menjaga prinsip penghargaan atas keberadaan para pemeluk
agama lain dan menjaga hak-hak mereka sebagai pribadi dan anggota masyarakat.
Pembatasan yang tegas dalam hal akidah atau kepercayaan ini merupakan upaya Islam untuk
menjaga para pemeluknya agar tidak terjebak pada sinkretisme. “Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
(Al-Kafirun 1-6). Bersikap toleransi memiliki batasan-batasan terutama berhubungan dengan
masalah akidah. Ajaran Islam dengan tegas juga melarang para pemeluknya untuk
berperilaku seperti para penganut agama lain (Al-Hadid 16). Namun, pada saat bersamaan
Islam pun menyerukan untuk menghormati dan memandang orang lain yang berbeda agama
sebagai pribadi yang utuh dengan segala hak dan kewajibannya yang mesti dihargai. Islam
melarang para pemeluknya untuk mencaci-maki orang lain, dan melarang segala bentuk
perlakuan yang bisa mencederai kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.(An-Nahl
125;Ali Imran19).
Menurut Azyumardi Azra, dalam perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar
agama, dan konsekuensinya antarumat beragama, berkaitan erat dengan dua hal, yakni
pertama, berkaitan dengan doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan
hubungan antara Islam dengan agama-agama lain; kedua, berkaitan dengan pengalaman
historis manusia sendiri dalam hubungannya dengan agama-agama yang dianut oleh umat
manusia.4
3. Mengikuti keteladanan Rasulullah
Rasulullah diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kita diharuskan
mengikuti keteladanannya. Perilaku Rasulullah adalah perilaku akhlak. Akhlak merupakan
norma dan etika pergaulan berlandaskan Islam. Ia tidak hanya mengatur etika pergaulan antar
sesama manusia, tetapi juga dengan alam lingkungan dan Penciptanya. Perilaku yang akhlaki
ini semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah. Terdapat banyak sunnah-sunnah Nabi yang
4
Azyumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antarumat Beragama : Perspektif Islam”, salah satu
tulisan yang terdapat dalam buku, Weinata Sairin, (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006, hal. 92
4
terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar
tidak melanggar batas-batas kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian
antara Nabi Muhammad Saw dan umat Kristen di Gunung Sinai, misalnya, adalah salah satu
contoh besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam
masyarakat ini. Demikian pula, ketika Rasulullah menjadi pemimpin Negara di Madinah
yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku dan agama.
4. Kedamaian dan Persaudaraan Universal
Kasih dan damai merupakan jantung ajaran agama, karena merupakan kebutuhan
kemanusiaan. Alquran mencoba mengembangkan moralitas tertinggi dimana perdamaian
merupakan komponen terpenting. Kata ’Islam’ diderivasi dari akar kata ’silm’ yang berarti
”kedamaian.” Visi kasih dalam Islam dibangun di atas dua pilar, yaitu individu dan
masyarakat. Hubungan individu-individu yang saleh dan damai akan membentuk masyarakat
yang ideal, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada tiga pilar : keadilan politik, yang
disebut dengan demokrasi; keadilan ekonomi, yang disebut dengan kesejahteraan dan
pemerataan; dan keadilan sosial, yang disebut dengan persamaan dan tersedianya akses
politik.5
Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan
optimistis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, yaitu keturunan Adam
dan Hawa. Dari sinilah kemudian manusia berkembang menjadi bersuku-suku, berkaumkaum atau berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masingmasing. Perbedaan ini mendorong manusia untuk saling kenal mengenal dan menumbuhkan
apresiasi serta respek satu sama lain. Dalam pandangan Islam, perbedaan di antara umat
manusia bukanlah karena warna kulit dan bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat
ketaqwaan masing-masing. Inilah yang menjadi dasar perspektif Islam tentang ”kesatuan
umat manusia”, yang pada gilirannya akan mendorong berkembangnya solidaritas antar
manusia (ukhuwwah insaniyyah atau ukhuwwah basyariyyah dan ukhuwah wathaniyah).6
Prinsip toleransi yang diwujudkan dalam bentuk keharusan hidup rukun, dapat dilihat
dalam konteks persaudaraan kemanusiaan universal ini. Semua umat manusia adalah satu
keturunan. Umat Islam meyakini bahwa Adam adalah nabi dan rasul yang pertama, dan
5
Muni‟im A. Sirry, Op.Cit, hal. 151
Dalam Islam, istilah ukhuwah Islamiyah didalamnya mengandung pula pengertian ukhuwah insaniyah dan
ukhuwah wathoniyah. Ukhuwah insaniyah berhubungan dengan persaudaraan manusia secara universal tanpa
memberdakan suku, ras, bangsa, agama, dan aspek-aspek kehususan lainnya; sedangkan ukhuwah wathaniyah
berhubungan dengan persaudaraan yang diikat oleh nasionalisme/kebangsaan tanpa membedakan agama, ras,
adat istiadat, dan aspek-aspek kekhususan lainnya. Lihat; Wahyudin, dkk.,Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, Grasindo, hal. 93
6
5
Muhammad bin Abdullah adalah nabi dan rasul terakhir, dan bahkan meyakini pula bahwa
“agama” nabi Adam tentulah Islam. Dalam al-Quran menyebut agama Ibrahim dan Ya‟cub
besereta keturunannya adalah Islam (Al-Baqarah 132), dan agama nabi Yusuf adalah Islam
(Yusuf 101). Doktrin Islam berkaitan dengan kerukunan dapat dipahami pula dari fungsi
Islam sebagai rahmatal lil alamin, yaitu pembawa rahmat dan kedamaian (Al-Anbiya 170).
5. Mengakui hak hidup agama lain
Pada saat yang bersamaan, Islam mewajibkan kepada para pemeluknya untuk
menyampaikan pesan-pesan Islam melalui dakwah, yaitu panggilan kepada kebenaran agar
manusia yang bersangkutan dapat mencapai keselamatan dunia dan akherat (Q.S. 16:125;
22:67; 41:33). Karena dakwah merupakan ”panggilan”, maka konsekuensinya adalah bahwa
ia harus tidak melibatkan pemaksaan – la ikraha fi al-din (Q.S.2:256). Dengan demikian
jelas, Islam mengakui hak hidup agama-agama lain; dan membenarkan para pemeluk agama
lain tersebut untuk menjalankan ajaran-ajaran agama masing-masing. Di sinilah terletak dasar
ajaran Islam mengenai toleransi antar ummat beragama.
Setelah memahami sebagian dari prinsip Islam tentang toleransi dan kerukunan, dalam
prakteknya tidak menutup kemungkinan menghadapi problema. Memang, ada beberapa
faktor yang dapat menjadi penyebab sekaligus hambatan terwujudnya toleransi, terutama
menyoroti dari kalangan internal penganut agama yang berpengaruh terhadap pergaulan antar
umat beragama, diantaranya :
1. Pemahaman Agama
Seringkali persoalan keagamaan yang muncul adalah terletak pada problem penafsiran,
atau pemahaman, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri. Sehingga,
masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus
menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar
pengembangan pemuliaan kemanusiaan. Menurut Ninian Smart, bertambahnya pengetahuan
atau pemahaman akan berakibat melunakkan permusuhan, dan dalam tahap ini berarti
meningkatkan kesepakatan.7 Dalam hubungannya dengan pemikiran ini, kita bisa melihat
kondisi kehidupan beragama sekarang ini. Konflik antar umat beragama misalnya, menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini
tidak hanya didasarkan atas perbedaan agama, tetapi juga terjadi antara orang atau antar
kelompok di lingkungan agama yang sama akibat perbedaan pemahaman. Oleh karenanya,
kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antar umat beragama semata,
7
Lihat, Ahmad Norma Permata, (ed), Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 151
6
melainkan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama. Di samping
pemahaman agama yang berbeda, kiranya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitankaitan politis, ekonomi, ataupun sosial budayanya. Seandainya dapat dibenarkan bahwa
konflik itu murni konflik bernuansa agama, maka kerukunan sampai kapan pun tidak akan
pernah terjadi. Padahal, sejatinya semua agama menyentuh keluhuran martabat manusia.
Agama lah yang membangun nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia. Makin
mendalam rasa keagamaan seseorang, maka makin mendalam pula rasa keadilan dan
kemanusiaannya. Seandainya tidak demikian, bukanlah agama, apalagi manusia beragama.
2. Klaim Kebenaran (truth claim)
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada
Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran
berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif personal oleh setiap pemeluk
agama. Nampaknya, setiap orang memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas
ketika keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan lain yang berbeda. Sekalipun alamiah,
namun setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama
lain dalam hatinya. Oleh karena itu, setiap penganut agama tidak harus memaksakan
inklusivismenya pada orang lain, yang menurut kita eksklusif.
3. Membesar-besarkan Perbedaan
Tantangan agama-agama dewasa ini, adalah menjadi problema atau hambatan bagi
suasana dan perkembangan dialog dan kerukunan antar umat beragama. Dalam melihat dan
memahami perkembangan kehidupan agama dan keberagamaan sekarang, pada umumnya
cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaannya. Namun demikian, kecenderungan
melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena setiap orang beriman senantiasa ingin
mencari, menggenggam dan membela kebenaran yang diyakininya berdasarkan pengetahuan
dan tradisi yang dimilikinya. Sikap demikian sangat terpuji selama tidak menimbulkan situasi
sosial yang destruktif.8 Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan
munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu
ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula.
Oleh karena itu, tantangan yang selalu dihadapi antara lain adalah bagaimana merumuskan
langkah konstruktif yang bersipat operasional untuk mendamaikan berbagai agama yang
cenderung mendatangkan pertikaian antar manusia dengan mengatas namakan kebenaran
Tuhan.
8
Lihat, Komaruddin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan”, dalam Andito,ed, Atas Nama Agama, Pustaka
Hidayah, Bandung, 1998, hal. 70
7
Usaha itu tidak hanya diarahkan pada hubungan antar pemeluk agama secara eksternal,
melainkan terlebih dahulu diarahkan pada hubungan intra umat beragama. Seseorang akan
sulit bersikap toleran terhadap agama lain jika terhadap sesama pemeluk agama yang sama
saja sulit untuk menghargai perbedaan paham yang muncul. Pada sisi lain, seringkali kita
jumpai pula, konflik antara pemeluk agama semakin tidak jelas manakala kepentingan agama
sudah berbaur dengan kepentingan etnis, politis dan ekonomis.
Lihat, misalnya dalam
beberapa kasus, seperti di Maluku, Sampit, Poso,9 dan peristiwa-peristiwa “yang berbau”
konflik dan kekerasan atas nama agama lainnya, ataupun kekerasan karena perbedaan
pandangan (madzhab) dalam satu agama. Fakta kekerasan ini pada dasarnya bisa dirujukkan
pada beberapa alasan berikut: a) kurangnya pemahaman atas ajaran keagamaan yang
menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap pandangan dan keyakinan orang lain; b) kondisi
sosio-ekonomi masyarakat yang rentan gesekan dan perpecahan, ditambah lagi persoalan
keyakinan adalah persoalan yang sangat sensitif; c) kemungkinan juga, kebijakan pemerintah
yang kurang memfasilitasi fakta keragaman keyakinan dan kehidupan keberagamaan secara
umum.
Menumbuhkan Kesadaran Rukun dan Toleran Melalui Pendidikan
Setelah menganalisis sebagaian di antara dasar-dasar teologis dan sosial tentang toleransi
sebagaimana dikemukakan di atas, maka bagi umat beragama, khususnya umat Islam
berkewajiban, baik secara moral maupun sosial, untuk melakukan tindakan-tindakan
toleransi. Sepantasnya, penanaman nilai-nilai, pembiasaan tindakan-tindakan rukun dan
toleran, harus menjadi warna dalam pergaulan sosial, termasuk ditanamkan (salah satunya)
melalui pendidikan formal. Sebab, pendidikan bisa menjadi alat yang paling tepat untuk
menghindari nirtoleransi,10 dan melalui pendidikan pula bisa mengajar orang-orang tentang
hak-hak dan kewajiban dalam beragama serta saling menghormati dan melindungi. Tentu
saja, dalam proses pendidikannya, diperlukan metode dan materi pembelajaran kerukunan
dan toleransi yang sistimatis dan rasional, sehingga nilai-nilai kerukunan dan toleransi antar
umat beragama bukan hanya tindakan-tindakan berdasarkan kepentingan “stabilitas
keamanan” semata, tetapi jauh dari itu, tindakan kerukunan dan toleransi harus berdasarkan
atas „kesadaran dalam beragama‟.
9
Konflik Ambon, Poso walaupun diyakini oleh para tokoh bukan disebabkan oleh faktor agama, tetapi ketika
yang menjadi tumpuan untuk menyelesaikan konflik ini adalah tokoh-tokoh agama, maka menjadi jelas bahwa
agama memiliki peran yang sangat signifikan bagi terjadinya konflik secara berkepanjangan. Peran agama di
sini, menyangkut bagaimana nilai-nilai agama yang diyakini oleh seseorang dalam memandang orang lain yang
berbeda agama mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap orang itu.
10
Lihat; UNESCO-APNIEVE, Belajar Untuk Hidup Bersama Dalam Damai Dan Harmoni, Kantor Prinsipal
Unesco untuk Kawasan Asia-Pasifik, Bangkok, dan Universitas Pendidikan Indonesia, 2000, hal. 156
8
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 Tahun 2003
dalam pasal 30 disebutkan bahwa Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Sedangkan dalam PERMENDIKNAS nomor
23 Tahun 2006, Pendidikan Agama Islam memiliki tujuan untuk :
1.
Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik
tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang
keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2.
Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu
manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial
serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam
sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama
Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana
mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia. Dengan
demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama
akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan
yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka
berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja. Maka saat ini yang mendesak adalah
bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para guru Pendidikan Agama Islam untuk
mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta
didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan
sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya. Dari sinilah akan muncul pribadipribadi yang toleran, rukun, dan santun.
Dalam pelaksanaannya, banyak kendala yang dihadapi para pengelola/praktisi pendidikan,
sehingga pendidikan agama kurang maksimal dilaksanakan di sekolah, beberapa kendala
tersebut antara lain, dari faktor guru, siswa, sarana-prasarana, lingkungan, materi, atmosfir
sekolah, dan lain sebagainya yang secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan
dengan pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah. Untuk mengatasi berbagai
kelemahan pendidikan agama Islam perlu diupayakan berbagai cara agar pendidikan agama
Islam di sekolah tidak ketinggalan seperti mata pelajaran lain pada umumnya, berbagai cara
9
telah dilakukan pemerintah maupun sekolah seperti penambahan jumlah guru, pemberian
beasiswa untuk menyekolahkan guru, pemberian bantuan sarana-prasarana, mengembangkan
kurikulum di sekolah sampai pada memberi keleleuasaan bagi sekolah untuk mengembangkan
pendidikan agama di sekolah sehingga pendidikan agama Islam semakin baik serta
memberikan hasil yang positif sesuai yang diinginkan.
Seiring dengan orientasi perubahan kebijakan pendidikan nasional, maka pembenahan dan
pengembangan kurikulum secara berkala terus dilakukan. Kurikulum berkaitan dengan: (1)
Tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah? (2) Pengalaman pendidikan
apakah yang dapat diberikan agar tujuan tersebut tercapai? (3) Bagaimana pengalaman
tersebut dapat diorganisasikan secara efektif? (4) bagaimana menetapkan menentukan apakah
tujuan tersebut telah dicapai?11 Dari pembenahan dan pengembangan kurikulum ini, maka
nilai-nilai toleransi dan kerukunan bisa menjadi materi dan bahan ajar yang disisipkan.
Untuk itu, usaha pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah diharapkan agar
mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga pendidikan
agama Islam diharapkan jangan sampai: (1) menumbuhkan semangat fanatisme; (2)
menumbuhkan sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; dan (3)
Memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Walhasil
pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas,
yaitu ukhuwah fi al-‘ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-wathaniyah wa alnasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
Dengan demikian,
upaya yang paling sistematis untuk mensosialisasikan kerukunan
hidup antar umat beragama adalah melalui lembaga pendidikan dengan memasukkannya ke
dalam kurikulum, menjadi cakupan mata pelajaran agama, atau menjadi materi ajar untuk
melengkapi aspek Alqur‟an dan Hadis, Keimanan, Akhlak, Fiqh, dan materi ajar lainnya.
Dengan materi kerukunan umat beragama dalam mata pelajaran agama itu, diharapkan siswa
atau pelajar dapat tumbuh kesadaran beragamanya. Madrasah, sekolah atau pun para guru
dapat mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam kerukunan hidup umat beragama, seperti
toleransi, keterbukaan, menerima perbedaan, saling menghormati dan menghargai, dan lain
sebagainya ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, silabus dan RPP) yang
sudah ada. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan nilai-nilai kerukunan
hidup umat beragama adalah mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilainilai Islam tentang kerukunan menjadi keyakinan miliknya. Dengan prinsip ini peserta didik
11
R.W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction, Chicago: The University of Chicago Press, 1949,
hal. 4-5.
10
belajar melalui proses berpikir (untuk mengetahui), bersikap (untuk memahami), dan berbuat
(untuk mengamalkan). Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan
membiasakan kemampuan peserta didik dalam melaksanakan apa yang diperintahkan dan
dilarang agama. Wallahu a’lam.
__________________
Kepustakaan
Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama,
Pustaka Setia Bandung, 2004
Adeng Muchtar Ghazali, Pendidikan Kerukunan Beragama, Arsad Press, Bandung, 2013
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1985
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983
Azyumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antarumat Beragama : Perspektif
Islam”, salah satu tulisan yang terdapat dalam buku, Weinata Sairin, (Penyunting), Kerukunan
Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2006
Wahyudin, dkk.,Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Grasindo
Ahmad Norma Permata, (ed), Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000
Komaruddin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan”, dalam Andito,ed, Atas Nama Agama,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1998
UNESCO-APNIEVE, Belajar Untuk Hidup Bersama Dalam Damai Dan Harmoni, Kantor
Prinsipal Unesco untuk Kawasan Asia-Pasifik, Bangkok, dan Universitas Pendidikan
Indonesia, 2000
R.W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction, Chicago: The University of
Chicago Press, 1949
11
Download