The physical behavior of composite materials is quite - e

advertisement
Surface Characteristic Pull Out Test Result on
Licuala Spinosa Thunb Fiber – Polymer Matrix
By :
I Komang Astana Widi, ST. MT.*
Prof. Dr. Ir. Anne Zulfia, MSc**
Ir. Teguh Rahardjo, MT.*
Akhmad Herman Yuwono**
National Institut of Technlogy of Malang
University of Indonesia
Abstrak : Pendekatan untuk memahami kompatibilitas penguat serat batang palas duri didalam resin telah
diteliti dengan pengukuran pada sudut kontaknya. Perlakuan serat seharusnya bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan daya lekat dan juga menentukan mekanisme ikatan antara permukaan serat dan
resinnya. Dan sangat ternyata perlakuan serat dengan H2O2 memiliki sudut kontak yang lebih besar
dibandingkan dengan serat yang tanpa diberi perlakuan. Proses pelekatan memanfaatkan resin epoxy
sebagai matriknya. Serat tanpa perlakuan memiliki ikatan yang baik dimana memiliki sudut kntak 26
derajat dibandingkan dengan serat yang diberi perlakuan H 2O2 yang memilki sudut kontak 30, 2 derajat.
Dari hasl pengujian pull out, serat yang ditanam pada resin epoxy divariasikan dengan kedalam 1, 2 dan 3
mm. Hasil pengujian menunjkan serat dengan kedalam 3 mm memiliki tegangan geser yang paling tinggi
yaitu 1,608 kgf/mm2 dengan kekuatan tarik serat sebesar 1,803 kgf/mm2. sedangkan variabel proses yang
lain menunjukan nilai dintaranya untuk serat yang diberi perlakuan kimia H 2O2 dan tanpa perlakuan adalah
1 mm = 0,3922 kgf/mm2, 0,6252 kgf/mm2 and 2 mm = 0,2916 kgf/mm2, 0,3234 kgf/mm2. fenomena nilai
tersebut memiliki kesamaan dengan nilai kekuatan tariknya yaitu untuk serat yang diberi perlakuan
diantaranya pada 1 mm = 0,74 kgf/mm2, 2 mm = 1,1 kgf/mm2, 3 mm = 1,82 kgf/mm2 sedangkan pada serat
yang tanpa perlakuan menunjukan pada 1 mm = 1,18 kgf/mm2, 2 mm = 1,36 kgf/mm2, 3 mm = 2,04
kgf/mm2.
Mekanisme kegagalan serat-matrik pada hasil uji pull out diamati dengan SEM (scanning electron
microscope) yang menunjukan bahwa penanaman 3 mm serat palas duri kedalam resin epoxy memiliki
kemampuan ikatan yang paling baik. Kegagalan ikatan antara serat-matrik juga juga terjadi pada serat yang
tanpa perlakuan kimia dengan bentuk tipe patahan tunggal. Patahan permukaan yang ditunjukan pada
kedalaman penanama serat 2 mm menunjukan jenis patahan splitting in multi area.
Kata Kunci : Serat batang palas duri, sudut kontak, pul out, kekuatan geser.
Abstract: An approach to understanding compatibility between Licuala Spinosa Thunb Fibers as
reinforcement in polymer resin was pursued by investigation of the contact angle measurement. Treatment
the fibers is a must to obtain optimal wettability and also intimate contact as a lock and key mechanism
between the fiber surface and polymer resin. It was surprising that the fiber treated by H2O2 had a higher
contact angle compared to natural fibres. Wetting process epoxy resins were used as a matrix.
Improvement was also showed by optimum contact angle between the fiber and epoxy droplets. The fiber
without treated have a good wettability which had contact angle 26° than the fiber treated by H2O2 (contact
angle 30,2°) . From the pull-out test, the fiber embedded in epoxy with embedded length 1, 2 and 3 mm
(approximate) showed that epoxy matrix with fiber treated by H2O2 and in natural fiber with embedded 3
mm had a higher interfacial shear strength i.e : 1,608 kgf/mm2 and 1,803 kgf/mm2 respectively. And
others variable processes showed that H2O2 and natural fiber i.e. 1 mm = 0,3922 kgf/mm 2, 0,6252 kgf/mm2
and 2 mm = 0,2916 kgf/mm2, 0,3234 kgf/mm2 respectively). An addition, this values were shown the same
fenomenon in their tensile strength (fibre treated 1 mm = 0,74 kgf/mm2, 2 mm = 1,1 kgf/mm2, 3 mm = 1,82
kgf/mm2 and in natural fibre 1 mm = 1,18 kgf/mm2, 2 mm = 1,36 kgf/mm2, 3 mm = 2,04 kgf/mm2. Fibermatrix pull-out fracture mechanism indicated from SEM proved that fiber embedded in 3 mm had better
bonding-ability. in addition, The fracture of the bonding between Licuala Spinosa Thunb fibre - epoxy
matrix prepared by non-treated fiber has single fracture type. The fracture surface of the composites
prepared by 2 mm embedded are classified as splitting in multiple area.
Keywords: Licuala Spinosa Thunb Fibers, contact angle, pull-out, interfacial shear strength.
I.
PENDAHULUAN
Material komposit adalah material yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan yang
memiliki tujuan baik dengan meningkatkan efektifitas saat fabrikasinya maupun kinerjanya. Salah satunya
adalah dengan mencari alternatif serat penguatnya. Indonesia memiliki iklim yang baik dimana serat yang
tumbuh sangat banyak dan sangat perlu untuk dimanfaatkan. Salah satu serat tersebut adalah btang palsa
duri yang merupakan tanaman berumpun dari keluarga palmae.
Material komposit berpenguat serat alam ini memiliki karakteristik yang menarik untuk diteliti dan
dikembangkan, karena komposit memiliki sifat tidak homogen dan anisotropi. Sifat-sifat tersebut memiliki
dampak baik positif maupun negatif dan karena itu, maka perlu dipahami fenoemanya sehingga dapat
dicarikan solusi dari yang berdampak negatif untuk bisa menjadi dampak yang positif. Pada material
komposit, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena material komposit dapat disusun dari dua atau
lebih material berbeda yang mana bertujuan saling melengkapi untuk menghasilkan sifat dan kinerja yang
diinginkan. Dengan memahami karakteristik dari masing-masing material penyusun maka akan dapat
diprediksi sifat-sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh material komposit tersebut dan dengan
pengamatan yang baik akan dihasilkan solusi terhadap parameter-parameter optimal dalam pemfabrikasian
material komposit tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Palas Duri merupakan tumbuhan liar yang bisa hidup dalam berbagai kondisi cuaca
dan mudah diperoleh. Dikatakan liar karena pemanfaatannya hingga sekarang masih terbatas/jarang
digunakan. Palas duri temasuk dalam famili Arecaceae atau Palmae dengan nama latin Licuala Spinosa
Thund. Ciri-ciri dari tanaman ini diantaranya berumpun dengan batang tegak dan tingginya dapat mencapai
2,5 meter, daunnya bundar bercelah dalam yang terdiri dari anak-anak yang membentuk suatu bulatan
indah, tangkai daun berduri yang agak besar dan kuat. (Sudarmadi, Hartono, 1996)
Menurut Matthews dan Rawlings [1994], mendifinisikan komposit sebagai campuran mekanis dua
atau lebih unsur bahan, baik mikro maupun makro, yang tidak mampu saling larut dengan komposisi kimia
dan ukuran yang berbeda. Komposit tersusun dari dua bagian yaitu serat atau fiber dan matrik. Serat
merupakan bahan penguat yang tersebar di dalam matrik dengan orientasi tertentu. Bahan serat secara
mekanis lebih kuat daripada bahan matrik. Fungsi matrik sebagai pengikat serat dan mendistribusikan
beban kepada serat. Kelompok bahan komposit yang telah sedang dikembangkan untuk aplikasi teknik
yaitu diantaranya Komposit Matrik Polimer, Komposit Matrik Keramik, Komposit Matrik Logam dan
Komposit Lamina atau Sandwich.
Thomason J.L (1995) dalam penelitiannya menemukan bahwa pori-pori (void) merupakan faktor
utama yang mempengaruhi kualitas daripada material komposit serat gelas / poliester. Penggunaan alat
pengerolan yang cocokpun dapat menentukan kualitas daripada panel komposit yang dibuat. Ini dapat
dilihat pada permukaan spesimen komposit terdistribusi merata atau tidak.
Menurut Penelitian A. H. S. Wargadiputra, 2005, kegagalan komposit polyester dengan penguat
ramie akibat beban variasi berupa tegangan tarik normal dan tegangan geser, dimana hal tersebut
diakibatkan karena ikatan antara serat ramie dan metrik poliester kurang baik. Sedangkan berdasarkan
penelitian A. Saidah, 2005 yang menganalisa prediksi pembebanan tarik terhadap orientasi serat
menunjukan orientasi sudut 00, 00, 900 mempunyai tegangan tarik yang lebih besar dibandingkan orientasi
sudut 00,900,00. Dari data penelitian tersebut, pada penelitian ini akan digunakan software Ansys untuk
memprediksi tegangan berdasarkan desain komponen dan pengaruh orientasi seratnya.
III. METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian (Experimental Design) pada penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap yakni:
1. Tahap I Karakterisasi dan Perlakuan Awal Serat Batang Palas Duri
2. Tahap II Karakterisasi dan Perlakuan Lanjut Serat Batang Palas Duri
3. Tahap III Karakterisasi dan Perlakuan Matrik Epoxy
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa modus kegagalan yang terjadi berdasarkan hasil pengujian yaitu 1) Modus kegagalan
yang menunjukan serat-matrik getas. Kriteria yang menunjukan hal ini adalah berdasarkan nilai
regangan/kekuatan mulur patah serat dan matrik (Tabel 2 dan 3). Dimana kegagalan ini terjadi jika
regangan yang terjadi melebihi regangan patahnya. Pada penelitian ini berdasarkan parametr yang telah
diuji terhadap serat dan matrik menunjukan adanya perbedaan kekuatan mulur yang signifikan sehingga hal
ini akan menyebabkan terjadinya patah yang tidak bersamaan antara serat dan matrik, dan dengan ikatan
serat-matrik yang optimal maka modus kegagalan ini dimungkinkan tidak terjadi. Jika dari seluruh
parameter pengujian dibandingkan maka modus kegagalan ini akan lebih mudah terjadi pada komposit
yang seratnya mendapat perlakuan awal perendaman 40 0C tanpa perlakuan kimia dan matriknya dengan
komposisi fraksi volume pengeras tertinggi yaitu 70%. Hal ini dapat dianalisis dari seluruh parameter yang
telah diuji menunjukan parameter tersebut memiliki perbedaan yang paling kecil pada kekuatan mulur serat
dan kekuatan mulur matrik, dimana dengan kekuatan mulur serat-matrik yang paling mendekati ini akan
terjadi patah secara bersamaan. 2) Modus kegagalan yang menunjukan serat pullout dengan antarmuka
yang kurang kuat. Modus kegagalan ini memiliki peluang yang lebih mungkin terjadi dibandingkan madus
kegagalan sebelumnya dilihat dari hasil nilai kekuatan mulur serat-matrik (Tabel 1), dimana kekuatan
mulur matrik lebih besar dari serat sehingga serat akan mengalami perpatahan tersebih dahulu.
Perbandingan dari seluruh parameter pengujian menunjukan bahwa parameter yang memiliki kemungkinan
terbesar untuk terjadinya modus ini adalah pada komposit yang memanfaatkan serat dengan perlakuan
pembusukan 28 0C dan perlakuan lanjut dengan bahan kimia H 2 O 2 10 ml dikombinasikan dengan matrik
yang memiliki komposisi fraksi volume pengeras terendah yaitu 50 %. Pada penelitian ini, fenomena yang
didahului patah serat ini diprediksi tidak mudah terjadi karena disamping dibantu dengan adanya ikatan
matrik pada permukaan serat, adanya rongga didalam serat akan memberikan nilai postif terhadap ikatan
dimana penetrasi matrik (dengan komposisi fraksi volume pengeras yang rendah) kedalam serat akan
mengoptimalkan ikatan tersebut. Berdasarkan analisis terminologi material komposit dimana menunjukan
adanya panjang dasar (fundamental length) yaitu bahwa seluruh serat pada jarak tersebut harus patah
sebelum terjadi kegagalan pada komposit (Soematri, S). 3) Modus kegagalan yang menunjukan matrix
crack bridging. Modus kegagalan ini berbanding terbalik dengan modus kegagalan sebelumnya. Modus ini
memiliki peluang yang kecil untuk dapat terjadi pada komposit serat alam berpenguat serat batang palas
duri dengan matrik epoxy, karena kekuatan mulur matrik jauh lebih baik dibandingkan kekuatan mulur
serat Tabel 2 dan 3). Dan untuk terjadinya modus ini adalah akibat kekuatan mulur matrik yang lebih
rendah daripada kekuatan mulur serat sehingga modus kegagalan ini selalu diawali dari matriknya. 4)
Modus kegagalan yang menunjukan matrix microcrack. Kegagalan ini sangat dimungkinkan terjadi apabila
matrik memiliki sifat getas dan cacat disamping itu adanya rongga didalam serat akan mempromote
terbentuknya cacat porositas pada komposit, namun demikian dengan memanfaatkan metode fabrikasi
serat, kelemahan ini akan memberikan pengaruh yang positif. Berdasarkan data pengujian awal dapat
diprediksi bahwa kegagalan ini umumnya terjadi pada serat yang mendapat perlakuan kimia (Gambar 1).
Dari dari pengujian sudut kontak dapat diketahui bahwa untuk serat dengan perlakuan kimia (H 2O2)
adalah rata-rata sebesar 30.2°, sedangkan untuk serat tanpa perlakuan kimia adalah rata-rata sebesar 26°
(Grafik 1). Cacat akibat prorositas ini jika terbentuk akan menyebabkan berkurangnya luas permukaan
kontak antara serat dengan matrik sehingga kekuatan komposit yang dihasilkan akan berkurang yang mana
hal ini akan berpengaruh pada lemahnya ikatan matrik-serat dan ini merupakan awal terjadinya retak
(crack) dan akan menjalar hingga terbentuknya kegagalan pada komposit. Berdasarkan pengamatan uji pull
out terhadap ikatan pada penelitian ini menunjukan beberapa parameter proses perlakuan terhadap kekuatan
geser antarmuka serat batang palas duri dan matrik epoxy (Tabel 1). dari data tersebut dapat diketahui
bahwa kedalam penanaman serat terbesar yaitu 3 mm pada serat tanpa perlakuan memiliki kekuatan geser
tertinggi. 5) Kegagalan yang menunjukan ductile fiber failure. Dilihat dari data pengujian kekuatan mulur
bahwasanya serat batang palas duri memiliki kegetasan yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan
serat lainnya seperti serat jute yang hanya memiliki kekuatan mulur 1,7 % namun demikian sifat getas yang
tinggi lebih dikarenakan serat batang palas duri memiliki porositas yang besar. Dan seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pemanfaatan penetrasi yang optimal kedalam serat batang palas duri akan
meningkatkan keuletannya. Modus kegagalan ini adalah akibat deformasi plastis yang berlebih dan dengan
sifat elastisitas serat yang meningkat maka dapat diprediksi modus kegagalan ini memiliki kemungkinan
kecil terjadi pada serat yang telah mendapat perlakuan pembusukan awal dengan temperatur 40 0C, dan
modus ini (jika dibandingkan dengan parameter lainnya) akan lebih mudah terjadi pada serat yang
mendapat perlakuan pembusukan 28 0C dan diberi perlakuan lanjut memanfaatkan bahan kimia H2O2
hingga konsentrasi 10 ml. 6) Modus kegagalan yang menunjukan patahnya serat dan matrik. Kegagalan ini
memiliki peluang besar dapat terjadi yang didasarkan pada hasil pengamatan karekteristik dari serat yang
cukup kaku dan getas, dimana hal tersebut akibat serat yang telah mengalami tekukan baik sebelum
pemasangan pada matrik maupun saat penempatannya didalam matrik. Serat yang cacat ini dengan adanya
beban yang bekerja pada komposit akan menimbulkan retak pada serat tersebut dan akan terjadi penjalaran
retak menuju matrik disekitarnya. 7) Modus kegagalan yang menunjukan adanya regangan plastis pada
ujung retak dan dan regangan geser plastis pada antarmuka. Kegagalan jenis ini juga dimungkinkan terjadi
pada komposit alam serat batang palas duri-matrik epoxy yang ditunjukan dengan adanya daerah disekitar
retak yang mengalami deformasi plastis yang terjadi diantara permukaan ikatan serat-matrik dan ini terjadi
pada tingkat penanaman kedalaman serat yang semakin meningkat > 3 mm (Gambar 2). Deformasi tersebut
terjadi akibat konsentrasi tegangan yang sangat tinggi (melebihi batas yield) terutama pada bagian ujung
retak yang runcing. Kegagalan ini makin mudah terjadi pada komposit yang memiliki orientasi acak. 8)
Modus kegagalan yang menunjukan adanya kegagalan geser interlaminar (antar lapisan). Karena metode
fabrikasi yang belum terstandarkan maka kemungkinan ketidaksempurnaan pemasangan antar lapisan saat
fabrikasi komposit dapat terjadi sehingga kegagalan berupa cacat antar lapisan akan terjadi. Berawal dari
cacat antar lapisan ini dan dengan adanya pembebanan akan merambat diantara lapisan tersebut hingga
meningbulkan kegagalan.
Tabel 1. Data Hasil Perhitungan Pengujian Pull-Out
Serat tanpa perlakuan kimia
Serat dengan perlakuan kimia
( Natural )
( H2O2)
Jarak
penarikan
serat (mm)
Tensile
Strength
(kgf/mm2)
Tegangan
Geser
Interfacial (
kgf/mm2 )
Jarak
penarikan
serat
(mm)
1.
2.
3.
4
5
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1.
2.
3.
4
5
2
2
2
2
2
0,424
0,583
0,265
0,371
0,318
0,3922
0,345
0,318
0,345
0,212
0,238
0,2916
0,265
0,406
0,283
0,318
0,336
1,608
2
2
2
2
2
1.
2.
3.
4
5
0,8
1,1
0,5
0,7
0,6
0,74
1,3
1,2
1,3
0,8
0,9
1,1
1,5
2,3
1,6
1,8
1,9
1,82
Specimen
Pull-Out
Kedalaman
penanaman serat
1mm
Rata-rata
Kedalaman
penanaman serat
2mm
Rata-rata
Kedalaman
penanaman serat
3mm
Rata-rata
Tensile
Strength
(kgf/mm2)
Tegangan
Geser
Interfacial (
kgf/mm2 )
1,1
1,2
1
1,7
0,9
1,18
1
1,5
1
1,6
1,7
1,36
1,6
1,9
2
2,2
2,5
2,04
0,583
0,636
0,530
0,902
0,477
0,6256
0,265
0,398
0,265
0,265
0,424
0,3234
0,283
0,336
0,353
0,389
0,442
1,803
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Grafik 1. Hubungan variasi perlakuan serat dengan sudut kontak
31
30.2
30
Sudut Kontak
29
28
27
26
26
25
24
23
Natural
Perlakuan Kimia
Variasi Serat
Bentuk
permukaan
matrik
Resin yang
tertempel pada
serat
Celah retak
Resin
Gambar 1. Hasil analisa struktur makro dan SEM spesimen uji pull out kedalaman 3 mm
Specimen pull-out kedalaman 1 mm
Specimen pull-out kedalaman 2 mm
Gambar 2. Void Yang Terdapat Pada Specimen.
Data hasil pengujian
28˚C
40˚C
Tabel 2. Data Hasil Uji Kekuatan Mulur Serat
Tanpa Perlakuan
H 2 O 2 5 ml
(%)
(%)
3,4
3,0
4,2
3,5
H 2 O 2 10 ml
(%)
2,6
3,4
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi pengeras terhadap kekuatan tarik dan mulur matrik
Data Hasil Pengujian
Konsentrasi Pengeras (% vulume fraksi)
50
60
70
Kekuatan Mulur (%)
64,84
26,18
18,67
V. PENUTUP
Kesimpulan
Setelah melakukan analisis pada serat alam batang palas duri dan matrik epoxy, dapat disimpulkan
beberapa hal yaitu diantaranya hasil analisa uji pull out menunjukan bahwa serat tanpa perlakuan kimia
menunjukan jenis patahan tunggal yang pada umumnya memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari model
patahan splitting in multi area yang dihasilkan oleh serat yang mendapat perlakuan kimia. Semakin banyak
konsentrasi bahan kimia yang digunakan maka kandungan air yang dihasilkan semakin rendah yang artinya
kekakuan dan kegetasan serat akan lebih tinggi.
Saran
1.
Adanya hasil pengujian yang bervariatif lebih disebabkan karena kurangnya pemanfaatan teknologi
saat fabrikasi, sehingga untuk meningkatkan keakuratan data diperlukan jumlah sample uji yang
lebih banyak.
2.
Perlunya dilakukan penelitian lanjut dari data awal penelitian tahun I ini untuk menghasilkan
membuktikan prediksi-prediksi yang telah dianalisis ini dan dapat dihubungkan dengan fenomena
mikromekanika kompatibilitas antara serat batang palas duri dan matrik epoxy.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
ASTM D3039, “Standard Test Method for Tensile Properties of Polymer Matrix Composite
Materials”.
ASTM D790, “Standard Test Method for Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced
Plastics and Electrical Insulating Materials”.
-------------, 2002, Annual books of ASTM Standards, Section 7: Textiles, vol. 07.01, D.76-D3218
-------------, 2002, Annual books of ASTM Standards, Section 7: Textiles, vol. 07.02, D3333-latest
------------,1995, Plastics Handbook, editor Toensmeier, P., Modern Plastics Magazine, pen.
McGraw Hill, London
Chatib, W., Arya Putu, 1978, Pengetahuan Bahan Tekstil 1, Jakarta : Dirjen Pendidikan Menegah
Kejuruan.
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
Chatib, W., Soenaryo, O., 1975, Petunjuk Praktek Pengujian Tekstil, Jakarta : Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Callister, W.D., 2000, Materials Science and Engineering: An Introduction, edisi ke 5, pen. John
Wiley, New York
Clyne, T.W., Withers, P.J, 1993. An Introduction to Metal Matrix Composites, edisi ke 1, pen.
Cambridge University Press, Cambridges
Crawford, R.J.,1989, Plastics Engineering, edisi ke 2, pen. Maxwell Macmillan, Singapore
Djufri, Rasyid, et, al, 1976, Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan, Bandung :
Institut Teknolgi Tekstil.
Gibson, R.F., 1994. Principles of Composite Material Mechanics, pen. McGraw Hill Int.,
Singapore
Hunston, D., McDonough, W., 2002, Stiffness and Failure Behavior of Model Hybrid Composites,
proceedings of the American Society for Composites, 7 th Technical Conference, Indiana
Jang, B., 1994, Polymer Composites for Automotive Aplications, Advanced Polymer Composite,
pen. ASM International, London
Matthews, F.L., Rawlings, R.D., 1994. Composite Materials: Engineering and Science, edisi ke 1,
pen. Chapman & Hall, London
Pilato, L.A., Michno, M.J., 1994. Advanced Composite Materials, pen. Springer-Verlag, Berlin
S.B. Abdullah, dkk.., “Serat Ijuk Sebagai Pengganti Serat Gelas Dalam Pembuatan Komposit
Fiberglass”, Laporan Penelitian Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Tahun 2000.
Download