27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kurva Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pertumbuhan mikroalga adalah pertambahan jumlah sel atau biomasa. Parameter pertumbuhan alga dapat dilihat salah satunya dari jumlah sel dan rendemen biomasa (Becker 1994). Pertumbuhan mikroalga sangat dipengaruhi oleh kondisi kultur baik nutrien atau kondisi lingkungan kultur. Pemenuhan nutrien atau unsur hara Chaetoceros gracilis dalam kultur dapat diperoleh dari komposisi medium yang digunakan. Unsur hara untuk kultivasi Chaetoceros gracilis terdiri atas unsur makro dan unsur mikro. Sumbe r nutrien utama adalah nitrogen, fosfor, dan silikat. Pada pertumbuhan mikroalga dalam kultur, nitrogen berfungsi untuk pembentukan protein. Fosfor untuk pembentukan asam nukleat, enzim, vitamin, dan fosfolipida. Silikat berfungsi dalam pembentukan cangkang atau dinding sel (BBLL 2002). Unsur-unsur hara tersebut diperoleh dari medium kultur. Sumber nitrogen pada Guillard diperoleh dari NaNO3, sumber fosfor dari NaHPO4.H2O, dan sumber silikat dari Na 2SiO3.H2O. Medium Guillard (Lampiran 1) merupakan medium yang biasa digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis, akan tetapi harga bahan -bahan media Guillard cukup mahal. Medium yang saat ini sedang dikembangkan adalah medium pupuk (NPSi). Setyaningsih et al. (2009) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mengalami penurunan pertumbuhan setelah hari ke -8 sama seperti Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard. Sumber nitrogen dalam medium NPSi diperoleh dari (NH2)2CO (urea), sumber fosfor dari TSP, dan sumber silikat. Bahan-bahan medium NPSi lebih murah dibandingkan dengan medium Guillard ( Lampiran 7), sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya kultivasi. Kultivasi dalam medium NPSi juga menghasilkan pertumbuhan yang baik seperti halnya Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium Guillard. Hal ini karena berdasarkan Setyaningsih et al. (2009) bahwa komponen utama untuk pertumbuhan yaitu nitrogen, fosfor, dan 28 silikat dapat dari medium Guillard dapat diganti dengan nitrogen, fosfor, dan silikat dari medium NPSi. Keberhasilan kultur dipengaruhi o leh ketersediaan cahaya untuk proses fotosintesis. Spektrum sinar matahari yang memberikan hasil fotosintesis tertinggi adalah antara sinar nila dan merah dengan panjang gelombang 430 -760 nm (Dwidjoseputro 1980). Cahaya matahari terdiri atas beberapa spektrum warna dan yang bisa dideteksi oleh indra penglihatan adalah spektrum cahaya tampak (visible light). Lampu TL memiliki kumpulan spektrum beberapa warna yang terlihat putih dan termasuk ke dalam spektrum cahaya tam pak. Spektrum cahaya tampak (visible light) hampir sama dengan panjang gelombang antara 390 -760 nm (Nontji 2006) yang optimal untuk berlangsungnya proses fotosintesis . Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi dengan lama penyinaran 12 jam menggunakan lampu TL dapat dilihat pada Gambar 10, Keterangan : a = fase lag b = fase log (eksponensial) c = fase stasioner d = fase kematian Gambar 10 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis, lama penyinaran 12 jam Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi dengan lama penyinaran selama 24 jam, sebelumnya telah dilakukan berdasarkan pada penelitian Setyaningsih et al. (2009). Kultivasi dilakukan pada akuarium dengan penggunaan aerator dan penyinaran menggunakan lampu Tl. Umur kultur Chaeoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi dengan lama penyinaran 24 jam dan 12 jam selama 26 -27 hari. Secara umum, pola pertumbuhan antara kultur yang diberi pe nyinaran selama 24 jam dan kultur yang 29 diberi penyinaran selama 12 jam terdiri atas fase log, fase stasioner, dan fase kematian. Pada kultur dengan lama penyinaran 12 jam juga terdapat fase lag. Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi dengan lama penyinaran 24 jam dapat dilihat pada Gambar 11. Keterangan : a = fase lag b = fase log (eksponensial) c = fase stasioner d = fase kematian Sumber : Setyaningsih et al. (2009) Gambar 11 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis, lama penyinaran 24 jam Pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan lama penyinaran 12 jam terdiri atas fase lag (adaptasi), fase log (eksponensial), fa se stasioner, dan fase kematian, sedangkan pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan lama penyinaran 24 jam tidak mengalami fase lag . Fase lag merupakan fase adaptasi inokulum terhadap lingkungannya. Fase lag kultur Chaetoceros gracilis dengan lama penyinaran 12 jam terjadi dari hari ke-1 sampai hari ke-4. Peningkatan jumlah sel pada fase lag relatif masih lambat, hal ini karena inokulum masih melakukan adaptasi terhadap lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan terjadinya fase lag adalah umur inokulum (Becker 1994). Adanya fase lag pada kultur karena umur inokulum yang digunakan telah memasuki fase stasioner sehingga membutuhkan waktu agak lama untuk beradaptasi. Inokulum yang umurnya lebih tua, enzim-enzimnya bersifat inaktif dan konsentrasi metabolit dalam selnya menurun tidak cukup untu k melakukan pembelahan sel, sehingga memerlukan waktu agak lama untuk mengaktifkan kembali pertumbuhan selnya (Fogg 1975). Selain itu, medium awal kultur (Guillard) berbeda dengan medium kultur perlakuan (NPSi), sehingga inokulum memerlukan waktu untuk ber adaptasi. 30 Inokulum yang baik digunakan adalah i nokulum yang berada pada fase lo g, yaitu pada saat kultur berumur sekitar 4-6 hari (Sutomo 2004). Pada saat kultur menuju hari ke -3, kondisi kultur berwarna agak bening dan terdapat sedikit endapan coklat dida lam kultur. Pada fase adaptasi ini, kultur mengalami kondisi stres dengan perubahan lingkungan yang berbeda dan kondisi aerator kurang baik sehingga pengadukan kurang merata . Pada hari ke-3, kultur mengendap kemudian pada hari ke -5 kultur hidup kembali yang ditandai dengan warna kultur yang bening menjadi coklat kembali dan tidak terdapat endapan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sel mengalami resting spore. Resting spore adalah fase diatom membentuk spora yang tidak aktif melakukan metabolisme, terbentuk keti ka kondisi lingkungan kurang mendukung pertumbuhannya, yaitu saat kandungan nutrisi rendah, intensitas cahaya kurang, dan kondisi stres lainnya. Pada keadaan resting spore, bagian girdle kurang berkembang karena sel tidak membelah. Spora ini memiliki cadan gan energi berupa produk fotosintesis. Sito plasma terkondensasi menjadi ma sa berwarna coklat gelap dengan kandungan lipid dan polifosfat. Apabila kondisi kultur telah memungkinkan, maka sel akan berfungsi kembali secara normal ( Bold & Wynne 1985). Kultur hari ke-5 sampai umur kultur hari ke -9 mengalami kenaikan, yaitu pertumbuhan Chaetoceros gracilis meningkat cepat, sedangkan pada kultur dengan lama penyinaran 24 jam peningkatan jumlah sel terjadi pada hari ke -1 sampai hari ke-7. Fase ini merupakan fase lo g, yaitu terjadi percepatan pertumbuhan sel Chaetoceros gracilis. Pada fase log, terjadi percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan (Fogg 1975). Hal ini karena kultur mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan serta didukung oleh ketersediaan unsur hara, sehingga pertumbuhannya optimal . Ciri metabolisme selama fase log adalah aktivitas fotosintesis yang tinggi untuk pembentukan protein dan komponen penyusun plasma sel yang diperlukan untuk pertumbuhan (Fogg 1975). Ku ltur pada fase log berwarna coklat yang semakin lama semakin tua. Perubahan warna yang semakin coklat, menunjukkan bertambahnya jumlah dan masa sel. 31 Fase stasioner pada kultur dengan lama penyinaran 12 jam diperoleh pada saat umur kultur 10 hari sampai 23 hari, sedangkan fase stasioner kultur dengan lama penyinaran 24 jam terjadi pada hari ke -6 sampai hari ke-23 yang ditunjukkan dengan grafik yang relatif tetap dan kulturnya berwarna coklat tua. Perubahan warna kultur dapat dilihat pada Gambar 12. a b Gambar 12 Perbedaan warna pada umur kultur yang berbeda (a = kultur pada hari ke-8, b = kultur pada hari ke-14) Pada fase stasioner, biomasa maksimum telah tercapai (Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001). Pertambahan jumlah sel tidak meningkat dengan cepat bahkan relatif tetap. Penambahan dan pengurangan mikroalga relatif sama atau seimbang sehingga kepadatannya tetap (Becker 1994). Kepadatan sel Chaetoceros gracilis (Lampiran 3) pada hari ke-10 adalah 6,01 x 10 4 sel/ml dan hari ke-23 adalah 6,03 x 10 4 sel/ml. Hal ini terjadi karena ketersediaan nutrisi dalam lingkungan mulai terbatas, sedangkan kebutuhan sel terus meningkat. Pada kultur hari ke–24, kultur berada pada fase menuju kematian , yaitu terjadi pengurangan jumlah sel akibat ketersediaan unsur hara yang semakin berkurang. Selama fase menuju kematian terjadi penurunan jum lah sel, dimulai pada hari ke -24 dengan kepadatan sel 6,0 x 10 4 sel/ml dan hari ke-26, kepadatan sel 5,8 x 10 4 sel/ml. Fase kematian kultur dengan lama penyinaran 24 jam terjadi mulai hari ke -24. Kematian sel diakibatkan oleh habisnya nutrien dalam lingkungan kultur dan akumulasi sisa metabolism e. Fase kematian ditandai dengan warna kultur yang menjadi bening dan terdapat endapan biomasa kultur Chaetoceros gracilis. Laju pertumbuhan sel menurun sampai akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis karena tidak mendapat sumber nutrien lagi. Sel yang lisis menyebabkan perubahan warna pada kultur menjadi bening dan terja di pengendapan biomasa (Clifton 1958 diacu dalam Yudha 2008). 32 Biomasa Chaetoceros gracilis diperoleh dari hasil kultur skala besar. Rendemen biomasa dari kultur dengan penyinaran 1 2 jam pada fase log dan stasioner masing-masing sebesar 0,024 g/L dan 0,026 g/L, sedangkan rendemen biomasa dengan lama penyinaran 24 jam pada fase log dan fase stasioner masing masing sebesar 0,16 g/L dan 0,029 g/L. Rendemen biomasa yang dikultivasi dengan lama penyinaran 24 jam lebih banyak dibandingkan jumlah rendemen biomasa yang dikultivasi pada lama penyinaran 12 jam. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran mempengaruhi pertumbuhan Chaetoceros gracilis. Biomasa kering Chaetoceros gracilis dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Biomasa kering Chaetoceros gracilis Besarnya rendemen yang dihasilkan dari kultur yang diberi lama penyinaran 24 jam dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan dari kultur dengan lama penyinaran 12 jam, menunjukkan bahwa lamanya pemberian cahaya mempengaruhi pertumbuhan Chaetoceros gracilis. Cahaya merupakan salah satu komponen yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Cahaya dalam proses fotosintesis berfungsi untuk memecah molekul air menjadi hidrogen dan oksigen yang nantinya akan digunakan dalam proses fotosintesis untuk menghas ilkan fotosintat (Dwijosepotru 1980). Molekul yang juga dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah CO 2 yang pengurangannya akan terjadi dua kali lipat pada fase gelap dibandingkan fase terang. Hal ini juga menunjukan bahwa dengan a danya cahaya yang terus menerus, maka ketersediaan CO 2 lebih banyak (Heath 1970). Hasil fotosintesis merupakan produk awal yang selanjutnya akan digunakan untuk proses metabolisme Chaetoceros gracilis. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cahaya yang terus menerus, berarti ketersediaan produk-produk fotosintesis 33 terpenuhi, dengan demikian proses metabolisme terus berlangsung termasuk pembelahan sel Chaetoceros gracilis. Pembelahan sel yang terus menerus menghasilkan jumlah sel yang semakin banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan dari kultur dengan lama penyinaran 24 jam lebih banyak. 4.2 Ekstrak Komponen Aktif dari Chaetoceros gracilis Ekstraksi komponen antibakteri dilakukan dengan metode sonikasi dan maserasi. Hasil penelitian Setyaningsih et al. (2008) menunjukkan bahwa hasil ekstraksi dengan metode sonikasi menghasilkan zona hambat antibakteri yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan metode glass bead dan tanpa pemecahan sel. Ekstraksi dengan kombinasi sonikasi dan maserasi, menghasilkan komponen aktif yang tersekstrak juga lebih banyak dibandingkan hanya menggunakan glass beads dan tanpa pemecahan sel. Ekstraksi dengan maserasi dilakukan sampai berwarna bening, sehingga dianggap semua senyawa berb obot molekul rendah termasuk komponen -komponen organik dalam sel telah terekstraksi (Harborne 1987). Ekstrak hasil sonikasi dan maserasi kemudian dipekatkan menggunakan evaporasi, sehingga diperoleh ekstrak yang berbentuk pasta. Rendemen ekstrak dari biomasa masing-masing perlakuan dapat dilihat pada T abel 2. Tabel 2 Hasil ekstraksi Chaetoceros gracilis Perlakuan Kultur Penyinaran 24 jam Fase Stasioner (A) Fase Log (B) Berat Biomasa kering (g) 0,52 1,76 Berat Ekstrak (g) Rendemen Ekstrak (%) 0,24 0,87 46,15 49,43 Penyinaran 12 jam Fase Log (C) 0,51 0,16 31,37 Fase Stasioner (D) 0,50 0,21 42 Jumlah rendemen ekstrak dari biomassa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dengan lama penyinaran 24 jam lebih besar dari pada rendemen ekstrak yang dikultur pada 12 jam. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Lampiran 6), rendemen ekstrak A sebesar 46,15% dan ekstrak B sebesar 49,43%, sedangkan rendemen ekstrak C sebesar 31,37% dan ekstrak D sebesar 42%. Rendemen 34 ekstrak yang dihasilkan dari fase stasioner dengan lama penyinaran 12 jam lebih banyak dibandingkan dengan rendemen ekst rak yang dipanen pada fase log. Perbedaan rendemen ekstrak yang dihasilkan diduga karena komponen yang terekstrak berbeda untuk setiap perlakuan, baik jumlah ataupun komponen yang terkandung didalamnya. Produk metabolit sekunder merupakan hasil metabolit yang diproduksi dalam kondisi tertentu yang berperan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Produk -produk metabolisme sekunder diantaranya senyawa-senyawa terpena, alkaloid, dan pigmen (Manitto 1992). Pada tahap ekstraksi digunakan pelarut etanol. Etanol merupakan salah satu pelarut organik yang bersifat polar dengan nilai polaritas 68 (Hermawati 2004). Senyawa aktif yang bersifat sebagai antibakteri dari Chaetoceros sp. adalah golongan asam lemak (Wang 1999 diacu dalam Setyaningsih et al. 2008). Asam lemak merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar (Harper et al. 1979), akan tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen aktif antibakteri dapat diekstraksi menggunakan etanol. Hal ini karena lemak termasuk dalam golongan ekstrak netral ( Harborne 1987) yang menyebabkan asam lemak juga dapat larut dalam pelarut polar dan non polar (Ketaren 2005). Etanol sendiri mempunyai gugus hidroksil yang menyebabkan molekulnya hampir netral (Anonim 2010), sehingga masih dapat melarutkan golongan komponen aktif golongan asam lemak dari Chaetoceros gracilis. Selain itu, pemilihan etanol sebagai pelarut karena etanol lebih aman digunakan untuk tujuan konsumsi dan kegunaan lainnya bagi manusia, misalnya pada parfum, pewarna makanan, dan obat -obatan (Anonim 2010). Karakteristik ekstrak Chaetoceros gracilis 24 jam fase log dan stasioner berbentuk pasta, dengan warna pada fase stasioner lebih coklat tua dibandingkan ekstrak fase log. Ekstrak C berwarna coklat kehijauan dan ekstrak D berwarna coklat muda. Warna c oklat dan hijau pada ekstrak diduga adalah warna pigmen yang dihasilkan oleh ekstrak yang larut dalam etanol. Chaetoceros gracilis merupakan salah satu diatom yang memiliki kandungan pigmen dominan yang terdiri atas diatomin dan karotenoid. Warna coklat pada ekstrak diduga adalah karotenoid dan asam lemak terlarut dalam etanol, sedangkan warna kehijauan menunjukkan bahwa ekstrak tersebut juga 35 mengandung klorofil yang dapat larut dalam etanol. Pelarut polar seperti etanol dapat mengekstrak senyawa alkaloid k uartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne 1987). Etanol juga dapat melarutkan pigmen klorofil (Dwidjoseputro 1980). Perbedaan warna ekstrak dari tiap perlakuan juga menunjukkan bahwa lama penyinaran dan umur kultur mempengaruhi warna ekstrak yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan proses metabolisme dan produk yang dihasilkan pada pertumbuhan sel. Pada fase log, aktivitas fot osintesis dalam kultur cukup tinggi untuk pembentukan protein dan menyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam pertumbuhan (Fogg 1975). Pigmen yang sangat berperan dalam proses fotosintesis adalah klorofil dan beberapa pigmen pembantu diantaranya karotenoid. Pada awal pertumbuhan, produk metabolisme yang dihasilkan adalah komponen penyusun utama pertumbuhan, seperti pro tein dan asam nukleat yang disebut sebagai metabolit primer (Manitto 1992). Tingginya aktivitas fotosintesis pada fase log menunjukkan bahwa kandungan pigmen klorofil pada fase ini cukup tinggi, sehingga ekstrak Chaetoceros gracilis yang dipanen pada fase log memiliki warna coklat kehijauan. Penelitian Sugiatuti (2002) diacu dalam Yudha (2008) mendapatkan ekstrak etanol daun sirih berwarna hijau kehitaman yang disebabkan oleh kandungan klorofil dari daun sirih. Ekstrak Chaetoceros gracilis dengan etanol dapat dilihat pada Gambar 14. Keterangan : A B C D = ekstrak pada fase stasioner, lama penyinaran 24 jam = ekstrak pada fase log, lama penyinaran 24 jam = ekstrak pada fase log, lama penyinaran 12 jam = ekstrak pada fase stasioner, lama penyinaran 12 jam Gambar 14 Ekstrak etanol Chaetoceros gracilis 36 Fase stasioner merupakan fase pada saat pertumbuhan sel relatif tetap karena berkurangnya ketersediaan nutrien dan kondisi lingkungan ya ng kurang mendukung untuk pertumbuhan. Selain itu, mulai terjadi akumulasi substansi toksik hasil pertumbuhan (Becker 1994). Pada fase ini juga proses fotosintesis berlangsung kurang optimal karena pada fase ini jumlah kepadatan sel semakin banyak yang menyebabkan kondisi lingkungan kultur padat, sehingga kebutuhan dan penyerapan cahaya kurang seimbang . Pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung, maka sel akan menghasilkan produk-produk metabolit sekunder. Karotenoid adalah salah satu produk metabolit se kunder (Manitto 1992). Pada umur kultur yang semakin tua, klorofil akan terurai dan warna yang akan nampak adalah warna kuning atau merah (Dwidjoseputro 1980). Karotenoid adalah pigmen yang berwarna kuning, jingga, atau merah yang terdapat pada berbagai macam plastid berwarna (Salisbury & Ross 1995). Hal ini menyebabkan ekstrak yang dipanen pada fase stasioner memiliki warna lebih coklat dibandingkan dengan ekstrak yang dipanen pada fase log. Warna coklat pada ekstrak juga diduga karena terlarutnya asam l emak dan karotenoid dalam etanol. Asam lemak merupakan komponen aktif yang terkandung pada ekstrak Chaetoceros gracilis. Pada uji ketidakjenuhan lipid, reaksi ketidakjenuhan asam lemak ditandai dengan timbulnya warna merah ketika iod Hubl diteteskan ke asa m lemak, lalu warna ke warna awal yaitu berwarna kuning (Joni 2007), sehingga banyaknya asam lemak dan kandungan karotenoid yang terlarut menghasilkan ekstrak Chaetoceros gracilis yang berwarna coklat. 4.3 Aktivitas antimikroba dari ekstrak Chaetoceros gracilis Uji aktivitas antimikroba dari e kstrak Chaetoceros gracilis diujikan pada bakteri uji dan fungi. Adanya aktivitas antimikroba diketahui dengan adanya zona hambat yang terbentuk pada cawan petri disekitar lubang sumur yang diberi ekstrak Chaetoceros gracilis masing-masing perlakuan. Bakteri uji yang digunakan adalah Vibrio harveyi dan Bacillus cereus. Vibrio harveyi merupakan bakteri Gram negatif, sedangkan Bacillus cereus termasuk bakteri Gram positif. Kedua jenis bakteri ini merupakan bakteri patogen. Bakteri Bacillus cereus dapat mengkontaminasi makanan atau bahan lain dan dapat menyebabkan intoksikasi. Bakteri Vibrio harveyi merupakan salah satu 37 bakteri yang menyebabkan penyakit pada budidaya bidang perikanan, khususnya budidaya udang. Penyebab penurunan produksi udang di Indonesia mulai Tahun 2003 sampai sekarang disebabkan oleh serangan penyakit salah satunya akibat serangan Vibrio (Agung 2007). Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan dengan menggunakan metode sumur k arena dengan metode ini difusi ekstrak pada agar dalam cawan petri akan lebih baik. Selain itu, metode sumur relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan me nggunakan paper disc. Hasil uji aktivitas dan diameter zona hambat antibakteri ekstrak Chaetoceros gracilis yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 3. a b Keterangan :a = Zona hambat ekstrak C. gracilis pada Bacillus cereus b = Zona hambat ekstrak C. gracilis pada Vibrio harveyi CL24 = ekstrak C.gracilis fase log, lama penyinaran 24 jam CS24 = ekstrak C.gracilis fase stasioner, lama penyinaran 24 jam CL12 = ekstrak C.gracilis fase log, lama penyinaran 12 jam CS12 = ekstrak C.gracilis fase stasioner, lama penyinaran 12 jam K + = kontrol positif (kloramfenikol) K - = kontrol negatif (etanol) Gambar 15 Zona hambat ekstrak C.gracilis pada bakteri uji Tabel 3 Aktivitas antibakteri Chaetoceros gracilis 24 jam dan 12 jam Ekstrak Chaetoceros gracilis Penyinaran 24 jam Penyinaran 12 jam Kontrol Log Stasioner Log Stasioner Kloramfenikol Etanol Bakteri uji dan diameter zona hambat yang terbentuk (mm) Bacillus cereus Vibrio harveyi I II X I II X 8 6 7 2 2 2 18 7 12,5 3 3 3 4 3 3,5 1 1 1 7 5 6 1 2 1,5 36 23 29,5 34 36 35 - Keterangan : I,II = duplo, X = rata-rata Zona hambat yang terbentuk di sekit ar lubang sumur yang diberi ekstrak Chaetoceros gracilis menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Diameter zona 38 hambat terbesar diperlihatkan oleh pemberian kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan untuk uji antibakteri adalah kloramfenikol. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa ekstrak Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus dan Vibrio harveyi. Adanya aktivitas antibakteri ditandai dengan terbentuknya zona hambat disekitar lubang sumur yang diberi ekstrak. 4.3.1 Aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap Bacillus cereus Ekstrak Chaetoceros gracilis mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus yang ditandai adanya zona hambat. Hal ini menunjukkan bahwa komponen aktif dari ekstrak Chaetoceros gracilis dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus cereus. Besarnya diameter zona hambat terhadap Bacillus cereus berbeda-beda berdasarkan perbedaan ekstrak yang diberikan. Diameter zona hambat yang terbentuk terhadap Bacillus cereus dengan ekstrak B (ekstrak dengan lama penyinaran 24 jam, dipanen pada fase log) sebesar 7 mm dengan aktivitasnya tergolong sedang, sedangkan kekuatan antibakteri dengan ekstrak A (ekstrak dengan lama penyinaran 24 jam, dipanen pada fase stasioner) tergolong kuat yaitu sebesar 12,5 mm. Zona hambat yang terbentuk dengan ekstrak C (ekstrak dengan lama penyinaran 12 jam, dipanen pada fase log) sebesar 3,5 mm yang tergolong lemah, sedangkan pemberian ekstrak D (ekstrak dengan lama penyinaran 12 jam, dipanen pada fase stasioner) menghasilkan zona hambat sebesar 6 mm yang aktivitasnya tergolong sedang. Berdasarkan besarnya diameter zona hambat yang terbentuk, menunjukkan bahwa diameter zona hambat terhadap Bacillus cereus lebih besar dengan pemberian ekstrak yang dipanen pada fase stasioner yaitu sebesar 12,5 mm dari ekstrak A dan 6 mm dari ekstrak D . Aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus juga lebih besar dengan pemberian ekstrak yang dikultur dengan lama penyinaran 24 jam dari pada ekstrak yang dikultur dengan lama penyinaran 12 jam . 39 4.3.2 Aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap Vibrio harveyi Ekstrak Chaetoceros gracilis juga memiliki aktivitas antibakteri terhadap Vibrio harveyi. Diameter zona hambat untuk Vibrio harveyi dengan pemberian ekstrak A (ekstrak dengan lama penyinara n 24 jam, dipanen pada fase stasioner) sebesar 3 mm, sedangkan besarnya diameter zona hambat dengan ekstrak B (ekstrak dengan lama penyinaran 24 jam, dipanen pada fase log) sebesar 2 mm. Diameter zona hambat dengan pemberian ekstrak C (ekstrak dengan lama penyinaran 12 jam, dipanen pada fase log) sebesar 1 mm dan 1,5 mm untuk diameter zona hambat yang terbentuk dengan pemberian ekstrak D (ekstrak dengan lama penyinaran 12 jam, dipanen pada fase stasioner) . Kekuatan aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis pada Vibrio harveyi tergolong lemah. Aktivitas antibakteri terhadap Vibrio harveyi yang terbentuk lebih besar dihasilkan dari ekstrak A dan D (ekstrak yang dipanen pada saat fase stasioner) dengan diameter masing-masing sebesar 3 mm dan 1,5 mm. Diameter zona hambat pada Vibrio harveyi juga lebih besar dihasilkan dari ekstrak yang d iberi lama penyinaran 24 jam. Aktivitas antibakteri lebih kuat dihasilkan dari ekstrak yang dipanen pada fase stasioner daripada ekstrak yang dipanen pada fase log, baik dengan lama penyinaran 24 jam dan lama penyinaran 12 jam. Komponen aktif Chaetoceros gracilis yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri diduga adalah asam lemak. Penelitian Wang (1999) diacu dalam Setyaningsih et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa aktif yang bersifat sebagai antibakteri dari Chaetoceros sp. adalah golongan asam lemak . Asam lemak terdapat pada fase log maupun fase stasioner. Pada fase log dihasilkan produk metabolit primer seperti polisakarida, asam amino, asam lemak, gula, asetil koenzim, asam mevalonat, dan nukleotida (Manitto 1992). Meskipun pada fase log dihasilkan asam lemak, tapi diduga jumlahnya lebih kecil dibandingkan asam lemak yang dihasilkan pada fase stasioner. Jenis asam lemak pada Spirulina platensis yang memiliki aktivitas antimikroba adalah jenis γ-asam linolenat (Demure et al. 1996 diacu dalam Ramadan et al. 2008). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa jenis asam lemak yang bersifat antimikroba adalah jenis asam palmitat dan asam oleat (Ramadan et al. 2008). 40 Ketersediaan cahaya dan nutrisi dalam lingkungan kultur selama fase log masih mencukupi kebutuhan sel, sehingga menyebabkan kapasitas fotosintesis cukup tinggi dan produk u tamanya adalah protein (Fogg 197 5). Amini dan Djamin (2007) melaporkan bahwa kandungan protein tertinggi Chaetoceros calcitrans terdapat pada saat umur kultur 5 hari, yaitu fase log. Pada fase stasioner, kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan ketersediaan nutrien yang semakin berkurang menyebabkan sel akan membentuk cadangan energi berupa lemak dan m enghasilkan produk metabolit sekunder. Selama fase stasioner komponen asam lemak yang dihasilkan lebih banyak, sehingga aktivitasnya terhadap antib akteri lebih besar. Pengaruh lama penyinaran dapat dilihat dari perbedaan besarnya diameter zona hambat pada masing-masing jenis bakteri. Pemberian lama penyinaran selama 24 jam menghasilkan ekstrak yang mempunyai aktivitas antibakteri lebi h besar dari pada ekstrak dengan lama penyinaran 12 jam . Hal ini ditandai dengan besarnya diameter zona hambat dari ekstrak 24 jam dua kali lebih besar dibandingkan dengan diameter zona hambat dari ekstrak 12 jam . Hal ini karena penyinaran yang terus menerus menyebabkan sel terus melakukan fotosintesis yang merupakan bagian metabolisme sel dan memproduksi berbagai komponen yang dibutuhkan termasuk asam lemak. Cahaya memberikan pengaruh terhadap struktur dan sintesis sel alga (Becker 1994) . Selain itu, pembelahan sel berlangsung terus-menerus menghasilkan jumlah sel relatif lebih banyak yang ditunjukan dengan nilai kepadatan sel kultur pada hari yang sama (hari ke -8 dan heri ke-14) dengan lama penyinaran 24 jam lebih besar daripada kepadatan sel yang dikultivasi dengan lama penyinaran 12 jam. Hasil uji antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak mempunyai kemampuan antibakteri terhadap kedua jenis bakteri. Perbedaan aktivitas antibakteri dapat dipengaruhi oleh sifat kerentanan tiap bakteri terhadap gangguan fisik dan kimia (Pelczar & Chan 2006). Beberapa hal yang menyebabkan mikroorganisme dapat rentan terhadap antibiotik adalah struktu r sel yang kurang lengkap, dinding sel yang impermeabel, dan jenis antibiotik. Ekstrak Chaetoceros gracilis dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dan Vibrio harveyi adalah komponen aktif golongan asam lemak . Lipid 41 membunuh mikroorganisme dengan mene mbus sel dan mengganggu membran seluler (Lampe et al. 1998 diacu dalam Ramadan et al. 2008). PUFA termasuk didalamnya asam palmitat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam oleat diduga menghambat enoyl acyl protein reduktase (FabI), sebuah komponen pentin g dalam sintesis asam lemak bakteri. Salah satu fungsi lipid adalah pembangun struktur membran sel. Adanya asam lemak dari ekstrak Chaetoceros gracilis diduga mengganggu sintesis lemak dalam membran sel. Ekstrak Chaetoceros gracilis mampu menghambat lebih besar pertumbuhan Bacillus cereus dari pada Vibrio harveyi. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak lebih efektif sebagai antibakteri pada Bacillus cereus. Bacillus cereus termasuk bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel yang lebih tebal dan berlapis tunggal. Komponen penyusun dinding sel bakteri Gram positif sebagian besar adalah peptidoglikan, selain itu bakteri G ram positif hanya memiliki satu lapisan membran (Greenwood et al. 1995) sehingga memungkinkan ekstrak untuk masuk kedalam sel bakteri. Hasil penelitian Iskandar et al. (2006) mengenai antibakteri dari ekstrak etanol rumput laut menunjukkan bahwa hambatan terbesar dari ekstrak tersebut adalah pada bakteri Bacillus cereus. Bacillus cereus mengandung teikoat dan asam teikoronat, selain itu Bacillus cereus tidak memiliki kapsul sehingga ekstrak lebih mudah masuk kedalam sel dan diduga menganggu sintesis asam lemak. Vibrio harveyi termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel tipis dan kandungan lipidnya tinggi. Meskipun dinding selnya lebih tipis, dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks mempunyai membran luar dan membran bagian tengah (Ray 2004). Dinding selnya berisi tiga komponen yaitu lipoprotein membran terluar yang mengandung molekul protein yang disebut porin dan lipoporisakarida. Porin pada membran terluar dinding sel bersifat hidrofilik, kemungkinan porin yang terkandung pada membran luar tersebut menyebabkan molekul komponen ekstrak sukar masuk kedalam sel. Hal ini karena perbedaan sifat dari porin dan ekstrak. Porin pada dind ing sel bersifat hidrofilik, sedangkan ekstrak etanol bersifat hidrofobik (Iskandar et al. 2006). Kompleksnya dinding sel bakteri ini menyebabkan ekstrak Chaetoceros gracilis lebih sulit menembus sel Vibrio harveyi sehingga penghambatannya relatif lebih k ecil. 42 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kloramfenikol memberikan penghambatan yang sangat besar terhadap pertumbuhan bakteri dilihat dari besarnya zona hambat yang terb entuk dibandingkan penghambatan dari ekstrak Chaetoceros gracilis dengan konsentrasi yang sama. Mekanisme kerja kloramfenikol terhadap bakteri yaitu menghambat sintesi protein dengan target perusakannya adalah terhadap ribosom bakteri (Greenwood et al. 1995). Perbedaan besarnya zona hambat antara kloramfenikol dan ekstrak Chaetoceros gracilis juga diduga karena kloramfenikol lebih murni dibandingkan dengan ekstrak. Asam lemak yang terdapat dalam sel masih dalam bentuk terikat, teresterkan dengan glisero l, sebagai lemak atau lipid (Harborne 1987). Kloramfenikol adalah senyawa fenil -propan diklorasetamido-1-(4-nitrofenil)-1,3-propandiol. tersubstitusi, D-(-)-treo-2- Kloramfenikol yang bekerja sebagai antibiotik adalah dalam bentuk D -(-)-treo yang mengganggu biosintesis protein bakteri. Penghambatan terjadi pada saat fase pemanjangan rantai , kloramfenikol menempel pada 50S -subunit ribosom, memblok penggandengan peptida dengan menghambat aminoasil tRNA -sintetase (Schunack et al. 1990). Pada ekstrak Chaetoceros gracilis juga diduga adanya bahan organik lain yang terlarut saat proses ekstraksi , sehingga ekstraknya menjadi kurang murni . Senyawa organik lain dapat menurunkan aktivitas zat antibakteri dengan cara menginaktivasi dan mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel bakteri, sehingga dapat melindungi bakteri dari zat antib akteri tersebut (Pelczar & Chan 2006). 4.3.3 Aktivitas antifungi dari ekstrak Chaetoceros gracilis dengan perlakuan kultivasi yang berbeda Aktivitas antifungi dari ekstrak Chaetoceros gracilis diujikan pada jenis fungi Fusarium oxysporum. Fusarium oxysporum merupakan fungi yang banyak menyebabkan penyakit layu pada tanaman, sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi para petani Hasil uji aktivitas antifungi terhadap Fusarium oxysporum tidak terbentuk zona hambat disekitar sumur yang diberi ekstrak. Zona hambat hanya ter bentuk pada sekitar sumur dengan kontrol positif Rose bengal sodium salt yaitu 9 mm. Rose bengal sodium salt merupakan salah satu bahan yang biasa digunakan pada 43 skala laboratorium untuk kontrol positif yang menghambat pertumbuhan Fusarium. Hasil uji aktivitas antifungi terhadap Fusarium oxysporum dapat dilihat pada Gambar 17. Keterangan : CL 24 = ekstrak C.gracilis fase log, lama penyinaran 24 jam CS24 = ekstrak C.gracilis fase stasioner, lama penyinaran 24 jam CL12 = ekstrak C.gracilis fase log, lama penyinaran 12 jam CS12 = ekstrak C.gracilis fase stasioner, lama penyinaran 12 jam K+ = kontrol positif (kloramfenikol) K- = kontrol negatif (etanol) Gambar 17 Zona hambat ekstrak C.gracilis pada Fusarium oxysporum Penelitian antifungi yang dilakukan oleh Richmon d (1990) diacu dalam Setyaningsih (2008) adalah dari diatom jenis Chaetoceros pseudocurvisteus, Chaetoceros lauderi, Fragilaris pinnata, dan Chaetoceros socialis. Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis tidak memiliki komponen aktif sebagai antifungi untuk Fusarium oxysporum. Hal ini diduga karena perbedaan komponen aktif yang dihasilkan dari Chaetoceros gracilis dan jenis diatom yang telah diteliti oleh Richmond (1990). F ungi Fusarium oxysporum juga memiliki miselium yang kompleks. Bagian tubuh fungi terdiri atas kumpulan hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh suatu dinding yang kuat. Penyusun di nding yang kuat ini adalah kitin (Gandjar et al. 2006), sehingga diduga komponen aktif dari Chaetoceros gracilis yang berupa asam lemak tidak mampu menembus dinding sel Fusarium oxysporum.