PRINSIP DAN KARAKTERISTIK PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

advertisement
1
PRINSIP DAN KARAKTERISTIK PEREKONOMIAN
DALAM ISLAM
Oleh
DRS. ISAK MUNAWAR, MH
I PENDAHULUAN
Suatu system perekonomian adalah salah satu terpenting dalam kehidupan
manusia secara menyeluruh, sehingga salah satu unsure yang dapat dijadikan ukuran
kemajuan suatu kehidupan manusia dalam wilayah suatu negara sangat tergantung
pada maju atau mundurnya perekonomian dalam wilayah itu. Perekonomian juga
berpengaruh besar terhadap tatanan ketentraman, keamanan dan social budaya
masyarakat, dengan pengertian semakin maju perekonomian suatu Negara, maka
ketentraman dan keamanan pada Negara itu semakin terjamin, nilai social budaya
masyarakat semakin tinggi demikian pula kebalikannya. Oleh karena itu tujuan
terpenting dari suatu system dalam perekonomian adalah untuk mensejahterakan
dan terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat secara umum yang layak secara
manusiawi.
Banyak teori ekonomi untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, yang
diantaranya terdapat teori yang berorentasi pada keuntungan-keuntungan belaka
dengan memberikan kebebasan mutlak kepada setiap individu (ekonomi kavitalis),
terdapat teori yang berorentasi pada terwujudnya pemerataan ekonomi dengan
menghilangkan hak individual (ekonomi sosialis) dan ada pula teori yang
berorentasi pada keuntungan, dan pemerataan dengan berprinsif pada norma-norma
dasar (grund norm) wahyu Ilahy (ekomoni Syari’ah atau ekonomi Islam).
System ekonomi Islam tercipta sejak terciptanya wahyu itu baik secara qauly
(al-Qur’an) maupun ma’nawy (al-Hadits). Oleh karena itu keberadaan ekonomi
Islam menurut sebagian pakar bukanlah system perekonomian yang bertujuan untuk
mengimbangi system ekonomi kavitalis dan sosialis, melainkan suatu system
perekonomian yang berdiri sendiri. sebab pada dasarnya Islam tidak pernah
melarang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, demikian pula
dalam perimbangan ekonomi (pemerataan).
Pada abad terakhir ini dapat dilihat bersama, system perekonomian kavitalis
dan sosialis yang digunakan dalam berbagai belahan dunia telah mengalami
guncangan yang dahsyat yang terkadang juga sangat mengerikan, sedangkan
lembaga keuangan baik yang termasuk dalam lembaga perbankan maupun non
perbankan yang menggunakan system syari’ah cukup tangguh dari berbagai macam
ancaman krisis ekonomi khususnya. Dari kenyataan yang demikian itu para pakar
ekonomi telah banyak yang melirik system perekonomian Islam, sebagai system
alternative yang dapat diterapkan dalam perekonomian dunia.
Dari hal tersebut, maka pembahasan artikel ini akan mencoba memaparkan
prinsif dan karakteristik perekonomian Islam sebagai pembeda dengan system
perekonomian yang lainnya.
2
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekonomi Syari’ah.
Ekonomi Syari’ah atau juga disebut Ekonomi Islam, sebenarnya merupakan
padanan dari kalimat Ekonomi Kapitalis, Ekonomi Sosialis dan yang lainnya.
Ekonomi Syari’ah dimaksud tiada lain adalah suatu system perekonomian yang
paradigma normatifnya dilandasi Syari’ah dalam pengertian Fiqh. Oleh karena itu
dalam teori-teori Fiqhiyah tidak akan ditemukan kalaimat yang sepadan dengan
kalimat “Ekonomi Syari’ah” tersebut. System perekonomian dalam Islam adalah
merupakan salah satu system dari Mu’amalah (Syari’ah) dalam arti luas yang
bersumber dari Al-Islam sebagai Din al-Haq bersamaan dengan ‘Aqidah dan
Khuluqiyah. Dengan demikian studi tentang Ekonomi Syari’ah adalah studi tentang
teori-teori ekonomi yang telah cukup lama dikumandangkan baik dalam al-Qur’an
maupun dalam al-Hadis yang telah diintrepretasikan dalam Kitabg-kitab Tafsir alQur’an, Syarah al-Hadis maupun dalam Kitab-kitab fikih yang disusun oleh para
cendekiawan Muslim terkenal seperti Abu Yusuf Al-Qardhawi, Abu Hanifah,
Yahya Ibnu Adam, Ibnu Khaldun, Al-Gazali, Ibnu Taemiyah dan lain sebagainya1
Namun demikian menurut Abdul Manan 2 pengkajian tentang system Ekonomi
Syari’ah baru dilaksanakan secara intensif sejak tiga puluh tahun yang lalu, sebagai
alternative mencapai system ekonomi terbaik setelah gagalnya berbagai system
ekonomi besar dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Oleh karena itu dapat
dimengerti kenapa sampai saat ini belum ada buku yang ditulis oleh para ahli
ekonomi syari’ah yang mengkaji secara lebih mendalam sistematik dan
komperhensif, karena system ekonomi Syari’ah telah dimarginalkan oleh kekuatan
ekonomi kapitalis dan sosialis melalui colonial penjajahan yang selalu berusaha
memisahkan Islam dari dunia perekonomian3
Pengertian Ekonomi Syari’ah yang terdapat dalam literatur-literatur kitab
fikih, nampaknya hanya mengacu pada istilah Al-Iqtishadiyah yang secara etimologi
artinya hemat dan penuh perhitungan. Menurut Bagir al-Hasani sebagaimana yang
dikutip oleh Agustianto 4 bahwa istilah ekonomi dan iqtishad merupakan dua
konsep yang berbeda, meskipun kebanyakan ulama yang mengartikan sama antara
keduanya. Kata iqtishad merupakan derivasi dari kata qshd yang mempunyai arti
equilibrium (keseimbangan atau pertengahan) atau the 5 state of being even equal
balanced or everly in between two extremes. Lebih harmonis lagi apabila
disesuaikan dengan Hadis Nabi Muhammad SWA. ‘Alaikum Hadyan Qashidan.
(follow the middle of the road atau diwajibkan atas kamu menempuh jalan tengah).
1
Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja Perdata Agama
MA-RI, Jakarta.halaman: 3
2
Ibid
3
Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana
Prenada Group Jakarta, halaman 12
4
Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian Ekonomi dan Kajian
Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan penerbit Citapustaka Media Bandung, halaman 4
3
Dengan demikian Agustianto mengemukakan bahwa pendapat Bagir al-Hasani di
atas nampaknya terpaku pada makna qashd yang artinya pertengahan, jalan tengah,
suka hemat, penuh pertimbangan dan pilihan-pilihan. Oleh karena itu mengacu pada
pengertian ini kata “iqtishad masih relevan dipergunakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan masalah ekonomi. Perlu dicatat bahwa yang berbeda bukanlah
antara pengertian ekonomi dan iqtishad melainkan antara system ekonomi Islam
dengan system ekonomi kapitalis dan sosialis atau ekonomi konvensional yang
berorentasi pada keuntungan-keuntungan duniawi, sedangkan ekonomi Islam selain
berorentasi keuntungan duniawi juga bertujuan keselamatan ukhrawi.
Mustafa Edwin et al,
yang diantaranya:
6
mengutip beberapa pengertian Ekonomi Syari’ah,
a. Menurut M. Akram Kan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics aims the
study of the human falah (wel being) achieved by organizing the resources of the
eath on the basis of coopration and participation. Secara bebas dapat diartikan
bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang
kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber
daya alam atas dasar bekerjasama dan partisipasi. Definisi yang dikemukakan
Akram Kan ini memberikan demensi normative kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat serta dimensi positif mengorganisir sumber daya alam.
b. Menurut Abdul Manan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics is a social
science which studies the economics problems of a people imbued with the
values of Islam. Artinya Ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan social
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh
nilai-nilai Islam.
c. Menurut M. Umer Chapra, Ekonomi Islam adalah Islamic economics was
defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being
through an allocation and distribution of scarce resources that is in confirnity
with Islamic teaching without unduly curbing Individual freedom or creating
continued macroeconomic and ecological imbalances. Artinya Ekonomi Islam
adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada
dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan
kebebasan individu atau tanpa prilaku makro ekonomi yang berkesinambungan
dan tanpa ketidakseimbgangan lingkungan.
d. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Sidiqy Ekonomi Islam adalah is the
muslim thinke’s response to the economic challenges of their time. In this
endeavour they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason
and experience. Artinya ekonomi Islam adalah respon pemikir Muslim terhadap
tantangan ekonomi pada masa tententu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu
oleh al-Qur’an dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengetahuan.
e. Menurut Kursyid Ahmad Ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematik untuk
memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara
relasional dalam perspektif Islam.
6
Mustafa Edwin et al, Op. Cit, halaman 16-17
4
Dari definisi-definisi tersebut Mustafa Edwin menyimpulkan bahwa menurut
Chapra Ekonomi Islam tidak boleh terjebak oleh dikotomi pendekatan positif dan
normative. Karena sesungguhnya pendekatan itu saling melengkapi dan bukan
saling menafikan. Sedangkan menurut Manan menyatakan bahwa Ilmu Ekonomi
Islam adalah ilmu ekonomi positif dan normative. Jika ada kecenderungan beberapa
ekonomi yang sangat mementingkan positivisme dan sama sekali tidak mengajukan
pendekatan normative atau sebaliknya, tentu sangat disayangkan.
Abdul Manan 7 memberikan kesimpulan tentang apa yang dimaksud Ilmu
Ekonomi Syari’ah, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas atau prilaku manusia
secara actual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi
berdasarkan Syari’at Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma
ulama dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ekonomi
Syari’ah bukan sekedar etika dan nilai yang bersifat normative, tetapi juga bersifat
positif sebab ia mengkaji aktivitas actual manusia, problem-problem konsumen
maupun produsen bukanlah raja. Prilaku keduanya haruslah dituntun oleh
kesejahteraan umum, individual dan social sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Syari’at Islam. Jangkauan ekonomi syari’ah mencakup bidang ekonomi yang luas
sebagaimana juga yang dibicarakan ekonomi modern. Ekonomi syari’ah tidak hanya
membahas tentang aspek prilaku manusia yang berhubungan dengan cara
mendapatkan uang dan memjbelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek
ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat. Konsep kesejahteraan
manusia itu sendiri tidak mungkin statis, selalu relative pada keadaan yang berubah.
Oleh karena itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi syari’ah
harus terepleksi dari prinsif-prinsif universal Islam yang tetap dipandang shahih
sepanjang masa. Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan
mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Ketika para pakar Ekonomi Islam membicarakan tentang ekonomi syari’ah
(ekonomi Islam), selalu berhadapan dengan dua persoalan pokok, apakah ekonomi
syri’ah ini merupakan suatu system atau suatu ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri. Sebahagian dari mereka mengatakan bahwa ekonomi syri’ah (ekonomi
Islam) merupakan suatu system, karena ia merupakan suatu keseluruhan yang
komplek dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebahagian yang lain
mengatakan bahwa ekonomi syari’ah itu merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, karena ia dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis sebagaimana
ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal tersebut Agustianto dan Muhammad
Abdul Manan 8 mengatakan bahwa semestinya kedua hal tersebut tidak boleh
dipertentangkan, sebab keduanya benar. Ekonomi Islam disebut sebagai system,
karena ia merupakan bagian dari suatu tatanan kehidupan yang lengkap. Dalam
konsep ekonomi Islam dikenal adanya konsep moneter, kebijakan fiscal, produksi,
distribusi dan sebagainya. Di samping itu ekonomi Islam memiliki empat bagian
yang nyata dari pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang wahyu qauly dan ghair
qauly ijtihasd dan ijma’ para ulama. Ekonomi syari’ah dapat juga disebut sebagai
7
8
Abdul Manan, Loc. Cit. halaman 6
Ibid.
5
ilmu pengetahuan, karena dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis, rasional
empiris dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian ilmiah.
2. Prinsif Dasar Ekonomi Islam serta Karakteristiknya.
Ekonomi Syari’ah (Islamic Economic) baik sebagai ilmu social maupun
sebagai sebuah system, kehadirannya tidak berlatar belakang apologetic, dalam arti
bahwa system ekonomi syari’ah pernah memegang peranan penting dalam
perekonomian dunia yang diklim sekarang sebagai suatu yang baik secara taken for
granted Kehadiran Ekonomi Syari’ah juga tidak disebabkan, karena system
ekonomi kavitalis yang mengandung banyak kelemahan dan ketidakadilan.
Ekonomi Syari’ah tercipta, karena kesempurnaan Islam itu sendiri sebagai rahmah
bagi alam semesta. Dalam kehidupan perekonomian Islam telah memiliki system
ekonomi sendiri sesuai dengan sumbernya wahyu dan ijma’ berkaitan dengan hal
tersebut Said Sa’ad Marthon 9 mengemukakan bahwa pada mulanya masyarakat
dunia meyakini system ekonomi kapitalis merupakan pemikiran ekonomi yang
signifikan dalam menjawab segala problematika kehidupan di bidang ekonomi.
Akan tetapi dengan adanya perubahan zaman konsep tersebut didegradasi oleh
system ekonomi sosialis yang didukung oleh Karl Marx. Dalam realita terdapat
pertentangan yang sangat bertolak belakang antara kedua system ekonomi tersebut,
sehingga sulit untuk dioprasionalkan secara baik. Sepanjang abad ke 20, kedua
system ekonomi dunia tersebut dianggap kurang valid dalam mengatasi berbagai
persoalan ekonomi dunia, oleh karena itu diharapkan ada sebuah system ekonomi
alternative yang dianggap lebih capable dalam menjalankan kegiatan ekonomi untuk
mencapai kemakmuran rakyat. System ekonomi dimaksud adalah system ekonomi
Syari’ah yang memiliki karakteristik mandiri.
Pada awal kehadirannya ekonomi Syari’ah termasuk lembaga-lembaga yang
dilahirkannya oleh sebagian masyarakat dunia disambut dengan sikap apriori dan
pesimis, bahkan dalam beberapa hal ditanggapi dengan sinis. Sebenarnya, sikapsikap tersebut lahir karena mereka belum memahami dan kurang pengetahuan serta
sikap kaku berfikir yang dipergunakan dalam memahami ekonomi syari’ah. Oleh
karena ekonomi syari’ah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan
bersifat unik, lembaganya juga kompetitif dengan lembaga ekonomi konvensional
yang sejenis, maka para ilmuwan dan para pemerhati masalah kemanusiaan, baik
muslim maupun non muslim tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius.
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Negara-negara Islam saja, tetapi juga
dinegara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya
pusat-pusat pendidikan bergengsi di Negara-negara tersebut mengajarkan materi
ekonomi syari’ah mulai dari srata 1 sampai dengan strata 3.
Said Sa’ad Marthon, mengemukakan bahwa selain system bagi hasil (profit
and loss sharing), ekonomi syari’ah dibangun atas empat karakteristik, yaitu
pertama: dialektika nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, system perekonomian
kontenporer hanya peduli terhadap peningkatan utilitas dan nilai-nilai materialisme
Said Sa’ad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam, terjemahan Ahmad
Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam di tengah Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim
Jakarta, halaman xi
9
6
suatu barang, tanpa menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan
masyarakat. System kapitalisme memisahkan intervensi agama dari berbagai
kegiatan dan kebijakan ekonomi. Padahal pelaku ekonomi merupakan penggerak
utama bagi perkembangan peradaban dan perekonomian masyarakat. Dalam
ekonomi Islam, terdapat dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan mattialisme.
Pelbagai kegiatan ekonomi, khususnya transaksi harus berdasarkan keseimbangan
dari kedua nilai tersebut 10 selain itu Ekonomi Syari’ah atau ekonomi Islam
menekankan kepada nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang. kedua kebebasan
berekonomi dalam Islam dibatasi dengan nilai-nilai Ilahiyyah, dalam rangka
merealisasikan konsep kebebasan individu pada kegiatan ekonomi, kapitalisme
menekankan prinsif persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam kegiatan
ekonomi secara bebas untuk meraih kekayaan. Realitanya konsep kebebasan
tersebut menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi pendapatan dan kekayaan,
selain hal tersebut secara otomatis mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua
bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja. Dalam konsep sosilisme masyarakat
tidak mempunyai kebebasan sedikitpun dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Kepemilikan individu dihilangkan dan tidak ada kebebasan untuk melakukan
kegiatan transaksi dalam kesepakatan perdagangan. Ketiga dualisme kepemilikan,
pada hakikatnya pemilik alam semesta beserta isinya hanyalah Allah semata,
manusia hanya wakil Allah dalam rangka memakmurkan dan mensejahterakan
bumi. Kepemilikan manusia merupakan derivasi dari kepemilikan Allah yang
hakiki. Untuk itu setiap langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia
untuk memakmurkan alam semesta tidak diberkenankan bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang digariskan Allah yang Maha Memiliki. Konsep
keseimbangan merupakan karakteristik dasar ekonomi Islam, karena Allah telah
menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Salah satu weujud keserimbangan
kepemilikan manusia adalah adanya kepemilikan public sebagai penyeimbang
kepemilikan individu. Kepemilikan public merupakan kepemilikan yang dasarnya
ditentukan oleh Syari’ah. Asas dan pijakan kepemilikan public adalah
kemashlahatan bersama. Segala komoditas dan jasa yang dapat menciptakan
ataupun menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama merupakan barang
public yang tidak boleh dimiliki secara individu (public goods). Kepemilikan barang
public dapat didelegasikan ke pemerintah ataupun intansi lain yang memiliki nilainilai amanah dan tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan serta
dibenarkan oleh syari’ah. Kepemilikan public tersebut sebagaimana juga diakui
Rasulullah dalam pernyataannya: “manusia bersekutu dalam tiga hal, yaitu air,
padang sahara dan api”. Pembatasan tiga komoditas tersebut dalam penuturan
Rasulullah tidak berarti pembatasan komoditas yang seharusnya dimiliki public,
melainkan kontektualnya setiap komoditas yang manfaatnya bersifat umum harus
dimiliki publik sesuai dengan perkembangan zaman. Keempat menjaga
kemaslahatan individu dan masyarakat, kemaslahatan individu tidak boleh
dikorbankan demi kemaslahatan bersama atau sebaliknya. Untuk mengatur dan
menjaga kemaslahatan masyarakat diperlukan sebuah instansi yang mendukung. Alhisbah merupakan instansi keuangan dalam pemerintahan Islam yang berfungsi
sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi. Lembaga tersebut bertugas untuk
10
Mustafa Edwin, at al, Loc Cit. halaman 30
7
mengawasi semua inprastruktur yang terlibat dalam mekanisme pasar. Selain alHisbah mempunyai wewenang untuik mengatur tata letak kegiatan ekonomi, juga
diwajibkan untuk menyediakan semua pasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya
kemaslahatan bersama.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an, sejak awal Allah SWT tidak hanya
memerintahkan ummat manusia untuk melaksanakan shalat dan puasa saja, akan
tetapi juga memerintahkan untuk mencari nafkah secara halal. Proses memenuhi
kebutuhan hidup inilah yang kemudian menghasilkan kegiatan ekonomi seperti jual
beli, produksi, distribusi, termasuk bagaimana membantu dan menanggulangi orang
yang tidak bisa masuk dalam kegiatan ekonomi, baik dengan zakat, wakaf, infak dan
sedekah. Namun apabila dilihat dari perkembangan ilmu modern, ekonomi Syari’ah
masih dalam tahapn pengembangan. Persoalannya hanyalah karena ilmu ekonomi
Islam ditinggalkan ummatnya terlalu lama. Berbagai pemerintah di dunia Islam dari
mulai colonial penjajah hingga saat ini senantiasa memisahkan Islam dari dunia
ekonomi. Apabila mengacu pada pernyataan Thomas Kuns, bahwa masing-masing
system itu memiliki inti paradigma, maka inti paradigma ekonomi Islam sudah
tentu bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber ini dalam
bentuk apapun tidak dapat diparalelkan dengan prinsif dasar dua system ekonomi
yang lainnya, yaitu kapitalis dan sosialis.ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai
ekonomi Rabbany dan insani. Disebuk ekonomi Rabbani, karena ekonomi Islam
sarat dengan arahan dan nilai-nilai ilahiyah, dan sebagai ekonomi insani, karena
system ekonomi Islam dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran dan
kemaslahatan manusia secara keseluruhan baik dalam arti individu maupun dalam
arti masyarakat11 sedangkan Chapra menyebutnya sebagai “Ekonomi Tauhid” yang
mencerminkan ekonomi yang berwatak ketuhanan. Ekonomi Islam stresingnya
bukan pada aspek pelaku manusianya, sebabg pelakunya pasti manusia, melainkan
pada aspek aturan yang harus dipedomani dan dilaksanakan oleh para pelaku
ekonomi. Hal ini didasarkan pada keyakinan, bahwa seluruh factor ekonomi
termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah semata, dan hanya
kepadanya segala urusan dikembalikan (3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia
dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam koridor aturan
main. “Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezki orang yang Dia
Kehendaki (42:12,13:26).
Aqidah keimanan terhadap Sang Pencipta, memiliki peranan yang sangat
penting dan akan kelihatan dominant dalam perekonomian syari’ah, karena
keimanan tersebut sebagai landasan pokok yang berpengaruh langsung terhadap
pola kehidupan manusia, dan cara pandang dalam membentuk kepribadian, gaya
hidup, selera dan referensi manusia, sikap-sikap hidup, sumber daya dan
lingkungan. Cara pandang ini akan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas dan
kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologis dan begitu juga metoda
pemenuhannya. Keyakinan demikian juga akan senantiasa meningkatkan
keseimbangan antara dorongan material dan sepiritual, meningkatkan solideritas
keluarga dan social, serta mencegah berkembangnya kondisi yang tidak memiliki
standar moral. Keimanan akan memberikan saringan moral yang memberikan arti
11
Yusuf Qardhawi, Peran, Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
8
dan tujuan kepada penggunaan sumber daya, juga memotivasi mekanisme yang
diperlukan bagi oprasi yang efektif. Saringan moral berfungsi menjaga
kepentingabn diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan social dengan
mengubah preferensi individual sesuai dengan prioritas social dan menghilangkan
atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang akan
menggagalkan visi social tersebut. Hal ini akan dapat membantu meningkatkan
antara kepentingan diri untuk memenuhi kebutuhannya dan kepentingan social
untuk membangun dan melestarikan sumber daya. Dalam banyak ayat-ayat alQur’an, manusia diberikan hak penuh untuk memanfaatkan sumber daya yang
berada di alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi banyak
pula ayat-ayat lain, yang mengingatkan, bahwa manusia bagian dari alam itu sendiri
dan manusia ditugaskan untuk membangun dan melestarikannya. Menurut konsep
Geososial Sistem, manusia dalam memenuhi kebutuhannya memanfaatkan sumber
daya alam dan lingkungannya berfungsi sebagai subjek, sedangkan sumber daya
alam sebagai objek. Manusia memiliki kemampuan untuk merencanakan dan
mengatur pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya demi kepentingan
manusia. Dalam hal perencanaan dan pengaturan sumber daya alam dan
lingkungannya, manusia dipengaruhi banyak factor, diantaraanya sikap pribadi,
kelompok dari masyarakatnya, politik dan budaya serta agama 12 . Dalam ajaran
Islam factor terpenting adalah factor aqidah keimanan yang membentuk struktur
motivasi setiap manusia yang dalam kehidupannya membutuhkan sumberdaya alam
dan lingkungan. Struktur motivasi tersebut akan melahirkan cara pemanfaatan
sumber daya al;am dan lingkungan untuk menutupi kebutuhannga dengan cara yang
bijaksana, berimbang dan tidak mengorbankan salah satu dari kebutuhan individual,
sosial dan geososial dari sumber daya alam dan lingkungan. Oleh karena itu
manusia dituntut memiliki potensi kemampuan yang maksimal untuk pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan ini.
Nilai-nilai keimanan inilah yang kemudian menjadikan sikaf patuh dan taat
terhadap sumber aturan ilahiyah yang mengikat. Dengan mengacu pada aturan
ilahiyah, setiap perbuatan manusia tidak terlepas dari nilai moral dan ibadah yang
secara vertical merupakan perintah Sang Khalik dan secara horizontal bermanfaat
bagi dirinya sendiri, manusia yang lain dan alam lingkungannya. Berbeda dwengan
paham naturalis yang menempatkan sumber daya sebagai factor terpenting atau
paham menetaris yang menempatkan modal; financial sebagai yang terpenting.
Dalam ekonomi Islam sumber daya insani sebagai factor terpenting, manusia
menjadi pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada
(14:32-34), apabila sumber daya insani ini dibiarkan, tidak dipupuk dengan
keimanan, maka sumber daya insani juga sebagai penghancur tatanan kehidupan,
termasuk di dalamnya bidang ekonomi “dhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahri
bima kasabat aidi al-nas, liyuzdiqahum ba’dla alladzi ‘amilu”
Karakteristik ekonomi Islam semacam ini merupakan turunan dari
karakteristik ummat Islam sebagai ummat moderat (ummatan wasathan)
sebagaimana dimuat dalam Surat al-Baqarah ayat 143, yang mengemban tugas
12
Kaslan A. Thahir, 1985, Butir-butir Tata Lingkungan Sebagai Masukan Untuk Arsitektur
Landsekap dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Bina Aksara Jakarta, hlm. 276-279
9
sebagai syuhada yaitu acuan bagi kebenaran dan standar kebaikan bagi ummat
manusia. Pengertian wasathan dari sejumlah Kitab Tafsir, memiliki banyak konotasi
makna, yang pertama memiliki arti “Tawasuth” yang dapat diartikan moderat,
kedua memiliki arti Tawazun” yang dapat diartikan keseimbangan (balance), ketiga
memiliki arti “Khairan” yang dapat diartikan terbaik atau alternative. Dari ketiga
penafsiran tersebut memberikan indikasi, bahwa dalam Islam termasuk dalam
ekonomi Islam meniadakan tempat untuk ekstremitas, kapitalis maupun sosialis.
Ekonomi Islam memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang kaya yang
mendapatkan dan mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli untuk
memberdayakan orang-orang miskin. Kebijakan politik ekonomi dalam Islam tidak
pernah segan untuk menindak orang-orang kaya yang tidak menunaikan hak-hak
social dari harta kekayaannya, dan menegur orang-orang miskin yang berprilaku
malas dan minta-minta belas kasihan kepada orang lain. Islam mengajarkan manusia
untuk bekerjasama satu dengan yang lainnya dalam segala hal, kecuali dalam
perbuatan tidak baik, jahat dan merugikan orang lain yang merupakan perbuatan
dosa kepada Allah SWT, sesuai firman-Nya dalam Surat al-Maidah ayat 2
“ta’aawanu ‘ala al-birri wa al-taqwa wala ta’aawanu ‘ala al-istmi wa al-‘udwan
wa itaquu Allah inna Allaha syadid al-‘iqab” ayat ini menunjukan bahwa Allah
memerintahkan kepada ummat manusia untuk bekerjasama dalam segala bentuk
kebaikan dan melarang kerjasama dalam berbagai bentuk kejahatan. Pelaksanaan
kerjasama ini dapat dilakukan baik secara bilateral, unilateral maupun multilateral
dari tingkat lokala hingga global, tanpa harus dihambat oleh berbagai perbedaan
manusia dalam segi apapun juga, sebab manusia adalah satu sebagai makhluq Allah
semata, melalui Rahman-Nya Allah telah memberikan segala pasilitas untuk hisdup
di dunia ini. Dalam Surat al-Hujurat ayat 13 Allah berfirman: “Ya ayyuha al-naas
inna khalaqna kum min dzakarin wa untsa’ waja’alna kum syu’uban wa qaba’ila
lita’arafuu inna akrama kum ‘inda Allahi atqa kum” hai manusia sesungguhnya
kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan kemudian menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengetahui,
sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling
bertaqwa. Perwujudan pola kerjasama yang diajarkan Islam dapat dilakukan dalam
berbagai macam sekema apapun demi tegaknya keadilan, Allah telah meletakan
“mizan” suatu timbangan akurat yang paling objektif, siapapun tidak diperbolehkan
melanggarnya, agar tidak terdapat seorangpun menjadi korban ketidakadilan.
Mustafa Edwin Nasution et al,13 memberikan perincian karakteristik ekonomi
Islam yang dikutif dari Kitab Al-Mawsu’ah Al-Ilmiyah wa al-amaliyah al-Islamiyah.
Adalah sebagai berikut:
1. Harta milik Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta.
Karakteristik ekonomi Islam yang pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
bagian pertama bahwa segala harta baik benda maupun alat produksi adalah milik
Allah semata, sesuai Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 284 “lillahi ma fi alsamawaati wa ma fi al-ardli wa in tubduu ma fi anfusikum au tukhfuuhu
yuhasibkum bihi Allahi fayaghfiru liman yasya’ way u’adzibu man yasya’ wa Allahu
‘ala kulli syaiin qdiir” muksud dari ayat ini adalah “ hanya kepunyaan Allah-lah
13
Mustafa Edmin Nasution et al, Locd. Cit, hlam. 18-29
10
segala apa yang ada di langit dan apa yang dibumi. Dan jika kamu menampakkan
apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu, maka Allah akan
mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendakiNya dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadi dasar dari ayat ini
adalah bahwa segala sesuatu yang ada baik di bumi maupun di langit tidak ada
seorangpun yang berhak memilikinya selaiin Allah semata, manusia hanya
diberikan kemampuan untuk memanfaatkan milik Allah itu sesuai potensi yang ada
pada dirinya. Oleh karena itu pemanfaatan sebagian harta yang diraih melalui
usahanya harus sesuai dengan tuntunan dan ajaran Allah sebagai pemiliknya,
walaupun demikian Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
memanfaatkan harta itu sesuai kehendaknya, hanya saja apa yang dia lakukan
terhadap harta itu tetap akan diperhitungkan. Hal ini sesuai pula dengan Firman
Allah dalam Surat Al-Najm ayat 31 “wa lillahi ma fi al- samawati wa ma fi al-ardl
liyajziya aladzina ‘asauu bima ‘amiluu wa yajziya alladzina ahsanuu bi al-husna’,
maksudnya dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi, sungguh Dia akan membalas orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa
yang telah mereka kerjakan dan akan membalas terhadap orang-orang yang berbuat
baik dengan pahala yang lebih baik. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa alQur’an memandang harta kekayaan yang ada yang keberadaannya diusahan oleh
manusia, manusia bukan pemilik mutlak terhadap kekayaan tersebut, melainkan
hanya pemilik sementara waktu (milik nisbi) dengan demikian pemanfaatan harta
yang dimiliki itu, paling tidak harus memperhatikan dua fungsi utama, yaitu fungsi
individual dalam arti pemanfaatan harta itu sesuai dengan kebutuhan peribadi
penmiliknya, dan fungsi social dalam arti apabila harta itu dibutuhkan oleh
masyarakat dan Negara guna menunjang kesejahteraan umum, maka pemilik harta
itu sangat dianjurkan untuk merelakannya
Bagian yang kedua, bahwa manusia adalah sebagai khalifah terhadap harta
yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat al-Hadid ayatt 7:
“Aminuu bi Allahi wa rasulihi wa anfaquu mimma ja’alakum mustakhlifina fihi fa
alladzina ‘aamanuu minkum wa anfaquu lahum ajrun kabiir”.Maksudnya:
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya, maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya, memperioleh
oahala yang bersear. Pengasaan manusia terhadap harta dalam ayat ini adalah
penguasaan yang tidak mutlak, karena hak milik hakikatnya adalah Allah semata,
manusia menafkahkan hartanya harus disesuaikan dengan syari’at-syari’at Allah.
Oleh karena itu kode etik dalam menggunakan harta menurut Islam, tidak boleh
kikir dan tidak boleh boros, sebagaimana Allah berfirman “wa laa taj’al yadaka
maghlulatan ila unukika wala tabsuthha kulla al-basthi fa taq’uuda maluman
mahsura”.
Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW yang juga mengemukakan peran
manusia sebagai khalifah terhadap harta yang ada padanya, “dunia ini hijau dan
manis, Allah telah menjadikan kamu khalifah di dunia. Karena itu hendaaklah kamu
berfikir cara berbuat mengenaai harta di dunia ini”.
11
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis tersebut di atas, menunjukan bahwa
walaupun segala yang ada di langit dan di bumi ini milik mutlak Allah, akan tetapi
juga Islam menghormati dan mengakui penguasaan harta secara pribadi. Dalam
surat al-Nisa ayat 32 Allah berfirman “wa la tatamannau ma fadldlala Allahhu bihi
ba’dlakum ‘ala ba’dlin lirrijali nashibun mimmaktasabu wa linnisa’i nashibun
mimmaktasabna was’alullaha min fadllihi innallaha kana bikulli syai’in
‘alima”maksudnya dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lakilaki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada
bagian dari pada apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah dari
sebagian karunianya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan
jelas terdapat perbedaan antara status kepemilikan dalam sistim ekonomi Islam
dengan sistim ekonomi yang lainnya. Dalam Islam kepemilikan pribadi dihormati
dan diakui walaupun tidak mutlak, pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan orang lain. Sementara dalam sistim kapitalis, kepemilikan
bersifat mutlak, pemanfaatannya bersifat mutlak dan bebas, sedeangkan dalam sistin
sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanya
kepemilikan Negara.
Sehubungan dengan hak kepemilikan terhadap harta kekayaan yang
pemegangnya diserahkan kepada manusia, baik dalam arti individu maupun dalam
arti kelompok, walaupun pemberian hak tersebut hanya sebatas khilafah, Gemala
Dewi 14 membagi hak milik dalam dua bagian, yaitu Hak Milik Umum dan Hak
Milik Khusus. Hak milik umum adalah harta yang dikhususkan untuk kepentingan
umum atau kepentingan jemaah kaum muslimin. Pada dasarnya suatu benda (harta)
ada yang boleh dimiliki oleh perseorangan dan ada pula yang tidak boleh. Benda
atau harta yang tidak boleh dimiliki perseorangan inilah yang termasuk ke dalam
hak milik umum. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad SWA yang
diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi “Semua orang berserikat
mengenai tiga hal, yaitu mengenai air rumput, api serta garam”. Hal-hal itu yang
disebut dalam hadis, pada masa sekarang dianalogikan dengan minyak dan gas
bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia yang lainnya. Kesemuannya
ini merupakan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat
hidup orang banyak15
Dewasa ini hak milik umum dikembangkan lebih luas, yaitu mencakup juga
jalan, sungai, jembatan, lautan, danau, bukit dan sebagainya. Demikian juga atas
harta-harta vital, yaitu sesuatu yang mutlak diperlukan bagi kepentingan Negara dan
bagi hajat hidup masyarakat seperti perusahaan listrik, pos dan telkom, perusahaan
kereta api, air minum, dan lain sebagainya. Hak milik umum dalam suatu
perserikatan atau organisasi ialah uang kas, gedung atau kantor, inventaris, dan
usaha yang dijalankannya. Kesemuanya itu tidak boleh dimiliki atau dimanfaatkan
oleh perorangan, pemanfaatannya harus ditrentukan oleh pimpinan atas dasar
musyawarah bagi kepentinganh perserikatan atau kepentingan masyarakat.
Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di
Indonesia, hlm. 39-42
15
Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, halam. 7
14
12
Hak milik khusus adalah suatu kepemilikan atas harta secara pribadi,
penguasaan dan penggunaan harta tersebut ditujukan untuk kepentingankepentingan yang bersifat pribadi secara individual. Islam berpandangan bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan fitrah dan instinkinstink sosial. Dari banyak dorongan dan instink itu, di antaranya manusia
berkeinginan memiliki dan menyukai harta benda (QS. 89: 119-20) instink inilah
yang mendorong manusia melakukan berbagai kegiatan usaha untuk membangun
kehidupannya. Islam mengakui dan menghormati keberadaan hak milik pribadi
begitu pula terhadap harta yang dimilikinya. Pengakuan dan penghormatan ini
tampak sebagai berikut:
a) Bahwa prinsif-prinsif syari’ah sebagai dasar ketentuan hukum bertujuan untuk
memelihara 5 hal (maqashidussyar’iy), yang diantaranya bertujuan untuk
memelihara harta kekayaan baik hak milik umum maupun hak milik pribadi.
b) Bahwa Islam melarang berbagaimacam bentuk perampasan atas hak milik harta
kekayaan, seperti merampog (QS. 5:33), mencuri (QS. 5:38), menipu (QS. 4:29),
melakukan penggelapan (QS. 4:58), suap menyuap (QS. 2: 188), berjudi
(QS.2:215), memakan riba (QS. 2:275-279) dan lain sebagainya.
2. Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syari’ah dan Akhlak (moral).
Perbedaan yang mencolok antara ekonomi liberal derngan ekonomi Islam
adalah bahwa ekonomi libral salah satu sitem ekonomi yang dibebaskan dari nilainilai, ia berpokus pada prinsif meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan
menghindari kerugian yang sekecil-kecilnya. Sedangkan dalam ekonomi Islam
keuntungan dan kerugian adalah merupakan salah satu karakter perekonomian, roda
perekonomian terikat secara inhern dengan akidah, syari’ah dan akhlak (nilai-nilai).
Akidah dalam sitem ekonomi Islam adalah merupakan pondasi dan landasan utama,
agar kemajuan ekonomi itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan individu
masyarakat dan Negara serta alam lingkungannya, kemajuan ekonomi tidak
diperkenankan dengan mengorbankan system yang lain. Pandangan Islam terhadap
alam semesta adalah bahwa manusia memiliki hak atas manfaat yang diberikan alam
lingkungan begitu juga alam lingkungan berhak atas manfaat yang diberikan
manusia. Oleh karena itu seluruh alam semesta, yang dalam hal ini manusia dengan
alam lingkungannya harus saling memberikan manfaat guna kelestarian kedua
pihak. Keterkaitan hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan Syari’ah
memungkinkan aktivitas ekonomi dalam Islam menjadikan ibadah yang sering
disebut “ekonomi Rabbany”, bukti ini antara lain: adanya larangan terhadap pemilik
harta dalam menggunakan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta
orang lain atau merampas kepentingan-kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad
SAW bersabda “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain” (HR. Iamm
Ahmad), larangan adanya unsure penipuan dan spekulasi dalam bertransaksi, yang
akan merugikan salah satu pihak atau kedua belah pihak, larangan menimbun emas
dan perak (produk perekonomian) atau sarana-sarana moneter lainnya demi
keuntungan satu pihak, sehingga mnecegah peredaran uang dan menghambat
fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan pekerjaan.
Allah berfirmanh dalam surat al-Taubah ayat 34: “yaa ayyuha alladzina aamanuu
inna kastiran min al-ahbari wa al-ruhbaani la ya’kuluna amwala al-nasi bi albathili wa yasushshudduuna ‘an sabiili Allahi wa alladzina yaknizuuna aldzahaba
13
wa al-fidlata wa la yunfiquunaha fi sabiilillahi fa basysyirhum bi ‘adzabin aliim”.
Maksudnya: hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari
orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan cara bathil; dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa
yang pedih. Selain itu Allah juga melarang orang bersikap kikir dan boros, karena
akan menghancurkan individu dalam masyarakat
3. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan.
Banyak kalangan para ahli Barat memiliki penafsiran tersendiri terhadap
Islam. Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi
toleran (membuka diri). Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah
agama yang memiliki unsure keagamaan (mementingkan akhirat) dan sekularitas
(keduniawian). Sebenarnya sesuai petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Islam,
tidak memisahkan antara kepentingan kehidupan dunia dengan akhirat, kedua
kehidupan itu memiliki sinkronisasi, dalam kedua kehidupan itu manusia harus
mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, setiap aktivitas manusia di dunia akan
berdampak pada kehidupannya di akhirat, aktifitas manusia di dunia tidak boleh
mengorbankan kehidupan di akhirat. Baik dan buruk yang dilakukan manusia
didunia adalah merupakan gambaran baik buruk kehidupannya di akhirat. Allah
berfirman dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Qashash ayat
77: “Wa ibtaghi fima ataka Allahu al-Dar al-akghirah wa la tansa nashibaka min
al-dunya wa ahsin kama ahsana Allahu ilaika wa la tabghi al-fasada fi al-ardli inna
Allaha la yuhibbu al-fufsidiin”.Maksudnya: dan carilah pada apa yang telah
dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu
melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) dunyawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi, sesungguhnya Allahtidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. Dalam surat al-Baqarah ayat 20 Allah berfirman: “wa minhum
man yaqulu rabbana ‘aatina fi al-dunya hasanatan wa fi al-‘akhirah hasanatan wa
qinaa ‘adzabannar” maksudnya: dan sebagian mereka ada orang yang berdo’a “ya
Rabbana berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa api neraka.
Disamping kedua ayat ini masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang bernada
sama dan menunjukan harus adanya keseimbangan antara kebahagiaan dan
keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat. Apa yang dilakukan didunia pada
hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
4. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu
dengan Kepentingan Umum.
Keseimbangan dalam sistim sosial Islam adalah bahwa Islam tidak mengakui
adanya hak mutlak dan kebebasan mutlak, akan tetapi hak dan kebebasan itu
dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak kepemilikan.
Pengasaan individu atas harta kekayaan sesuai hak kepemilikannya diakui dihormati
dan diakui, begitu pula penguasaan kolektif atas harta kekayaan sesuai hak
kepemilikannya. Pada tahap penggunaannya tidak diperbolehkan perlakuan yang
14
mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara
umum, begitu pula sebaliknya. Ayat al-Qur’an yang berbunyi “la tadhlamuna wa la
tudhlamun” adalah prinsif umum dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam
penggunaan harta kekayaan miliknya. Prinsif ini adalah merupakan cermin pada
setiap kebijakan individu maupun lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi.
Cirri ini jelas berbeda dengan sistim ekonomi kapitalis yang hanya memperhatikan
kepentingan pribadi dan sistim ekonomi sosialis yang lebih menekankan
kepentingan umum.
5. Kebebasan Individu Dijamin dalam Islam.
Individu-individu dalam sistim perekonomian Islam diberikan kebebasan
untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai suatu
tujuan. Namun kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak, tidak boleh melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam Hadits.
Dalam memperoleh harta kekayaan, dipersilahkan berusaha dan berupaya
semaksimal mungkin untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dalam ayat
al-Qur’an surah al-Jum’ah ayat 10, yang berbunyi “idzaa qudliyat al-shalah
fantasyiruu fi al-‘ardli wa iibtaghu min fadllillahi wa udzkuruu lillahi katsiran
la’allakum tuflihuun” maksudnya: Apabila kamu telah melaksanakan shalat,
silahkan menjelajahi bumi dan mencari karunia (rizki) Allah dan berdzikirlah
kepada Allah dengan banyak, mudah-mudahan kamu termasuk orang-orang yang
mendapat kebahagiaan. Dari ayat ini menunjukkan bahwa konsep ekonomi dalam
Islam tdak terdapat pembatasan bentuk dan macam usaha bagi seseorang untuk
memperoleh harta kekayaan, demikian pula tidak terdapat pembatasan kadar
keuntungan banyak atau sedikit. Hal ini tergantung kepada kemampuan, kecakapan
dan keterampilan masing-masing pelaku usaha itu sendiri. Setiap orang leluasa
untuk melakukan usaha apapun
dengan sekuat tenaga, guna memperoleh
keuntungan yang diharapkan, sesuai kepampuan dan keterampilannya, selama usaha
itu dilakukan dengan sewajarnya dan tidak melanggar batas-batas yang telah
ditentukan. Dalam hal kepemilikan atas harta kekayaan Islam mengakui dan
menghormati adanya perbedaan-perbedaan tingkat kemampuan, kecakapan,
keterampilan dan perbedaan keuntungan dari hasil usahanya. Bahkan dari
perbedaan-perbedaan itu merupakan rahmat bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Allah berfirman (QS. 43:32): “apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat
Tuhan-mu? Kamilah yang akan menentukan antara mereka penghidupan dalam
kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat bekerja untuk sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”.
Untuk itu Islam mewajibkan setiap orang untuk menggunakan sebagian dari
hak miliknya untuk kepentingan baik perseorangan, agama dan masyarakat
sekitarnya. Dalam hal ini Islam telah memberikan garis-garis pokok berupa ajaran
dan ketentuan yang wajib dipenuhi serta dilaksanakan oleh setiap orang terhadap
15
harta yang telah menjadi miliknya, agar harta tersebut berpanfaat sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya.16
6. Negara dan Pemerintah Berwenang Mencampuri Perekonomian.
Berbeda dengan sistim perekonian yang lain, sistim perekonomian Islam
memperkenankan intervensi untuk mengatur perekonomian dalam batas-batas
tertentu, agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dapat
terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam Negara berkewajiban melindungi
kepentingan masyarakat dari ketidakadilan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang,
sekelompok orang atau Negara lain, Negara juga berkewajiban memberikan jaminan
kesejahteraan yang menyeluruh, agar seluruh komponen masyarakat dapat hidup
secara layak dan manusiawi. Adalam hal ini Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
yang meninggalkan beban, hendaklah dia dating kepadaku, karena akulah maulanya” (pelindungnya) (Al-Mustadraq oleh Al-Hakim). Dalam hadis lain Rasulullah
bersabda “Siapa yang meninggalkan keturunan (yang tersia-sia), anak (dia datang)
kepadaku dan (menjadi) tanggung jawabku” (HR. Bukhari Muslim). Peran Negara
dalam perekonomian pada sistim ekonomi Islam ini jelas berbeda dengan sistim
kapitalis, yang dalam sistim perekonomiannya menghendaki tidak ada intervensi
dari pemerintah atau walaupun diperkenankan dalam batas yang sangat terbatas,
sebab sistim perekonomian dengan segala aspeknya harus berjalan secara alamiyah
dan diserahkan kepada pangsa pasar. Sedangkan sistim perekonomian sosialis
memberikewenangan yang mutlak kepada Negara untuk menentukan segala-galanya
dalam perekonomian.
7. Islam Memberikan Bimbingan Distribusi dan Konsumsi dalam Menggunakan
Hasil Produksi.
Segala hasil produksi dalam perekonomian, Islam memberikan bimbingan
dalam pemanfaatan hasil produksi tersebut, baik dalam hal distribusi maupun dalam
hal konsumsi. Dalam hal komsumsi masyarakat dikehendaki tidak menggunakan
dan memanfaatan hasil produksi tersebut secara berlebih-lebihan yang akan
berakibat tidak ada keseimbangan antara produksi dan komsumsi yang akan
merugikan masyarakat. Pola konsumsi masyarakat harus diatur sedemikian rupa
agar tidak terjadi devisit persediaan yang dihasilkan, sebab apabila pola konsumsi
masyarakat berlebihan, berakibat kekurangan hasil produksi dan begitu pula
sebaliknya. Dalam hal konsumsi ini Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 31:
“ya bany adam khudzuu zinatakum ‘inda kullimasjidin wa kuluu wa asyrabuu wa la
tusrifuu innahu la yuhibbu al-musrifiin”. Maksudnya: Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (amemasuki) mesjid, makan dan minumlah dan
jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Aallah tidak menyukai orang-orang yang
suka berlebih-lebihan. Allah juga melarang orang yang suka bermewah-mewahan,
sebagaimana dalam firman-Nya : wa idzaa aradnaa an nuhlika qaryatan amarnan
mutrafiha fa fasaquu fihaa fahaqqa alaiha al-qaulu fa dammarnaahaa tadmiira”.
Maksudnya dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati
Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
16
Gemala Dewi, Op. Cit. hlma: 42
16
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami). Kemudian kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Selain konsumsi, dalam hal ditribusipun mendapat bimbingan yang
menyeluruh demi tercapainya keadilan yang merata dan seimbang. Kesenjangan
pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat berlawanan dengan
semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi.
Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Di
antaranya adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
A. Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
B. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi,
baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.
C. Menjamin basic need fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap
anggota masyarakat.
D. Melaksanakan amanah al-takafful al-ijtima’I atau social economic security
insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin.
Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan
martabat yang lebih melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsekkeadilan ekonomi, menghendaki setiap individu mendapatkan imbalan sesuai
dengan alam dan karyanya. Ketidaksamaan pendapatan dimungkinkan dfalam
Islam, karena kontribusi masing-masing orang kepada masyarakat berbeda-beda.17
8.
Larangan spekulasi dengan Sistem Riba.
A. Pengertian riba.
Riba (al-ribaa) secara bahasa bermakna ziyadah yang artinya tambahan.
Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga diartikan tumbuh dan
membesar18 adapun menurut istilah teknik, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara bathil. Para ahli hukum Islam mengemukakan
berbagai macam definisi tentang riba, dengan redaksi yang berbeda-beda, namun
dalam definisi-definisi tersebut terdapat benang merah, menuju kepada substansi
yang sama, yaitu mengambil keuntungan dari penambahan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam-meminjam dengan cara yang bathil (tidak benar) atyau
bertentangan dengan prinsif-prinsif mu’amalah dalam Islam. Hal ini sesuai firman
Allah SWT dalam surat al-Nisa ayat 29: yaayyuha al-ladzinaa ‘amanuu la ta’kuluu
amwalakum bainakum bi al-bathil…Maksudnya hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil..
kaitannya dengan pengertian bathil dalam ayat tersebut, Ibn al-‘Araby al-Maliki
dalam Kitabnya Ahkam al-Qur’an, menegaskan “wa al-riba fi al-lughah huwa alziyadah wa al-murad bihi fi al-ayah kullu ziyadatin lam yuqaabilha ‘audlun”.
Maksudnya Pengertian riba menurut bahasa adalah tambahan dan yang dimaksud
riba dalam setiap ayat adal;ah setiap tambahan yang diambil tanpa adanya suatu
Muhammad Syafi’i Antonio, 2005, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, hlmn. 15-17
Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interet: A. Study of the Prohibition of Riba its
Contemporary Interpretation,hlmn. 65
17
18
17
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan. Transaksi pengganti atau
penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil sdan seimbang, seperti transaksi jual beli, gadai,
sewa, bagi hasil proyek dan lain sebagainya. Dalam transaksi jual beli, sipembeli
membayar sejumlah uang karena adanya barang - barang yang diterimanya, dalam
hal sewa sipenyewa membayar uang sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan
sipenyewa. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional sipemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima sipeminjam, kecuali kesempatan dan factor waktu yang
berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah
sipeminjam diwajibkan untuk selalu untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut. Demikian juga dana tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya
hanya karena factor waktu semata-mata tanpa adanya factor yang lain sebagai
pelaku usaha yang menjalankan usahanya dan perusahaan yang dijalankan adalah
bersifat alami akan mengalami keuntungan dan kerugian.
Pengertian riba tersebut senada dengan pengertian riba yang disampaikan
kebanyakan Ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzshab fiqhiyah,
diantaranya sebagaimana yang dikutif Muhammad Syafi’i Antanio19 :
1. Badr al-Din al-Ayni dalam kitabnya Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhary
mendefinisikan riba dengan “al-ashlu fihi al-ziadah wa huwa fi al-syar’i alziyadah ‘ala ashli malin min ghairi ‘aqdin tabayu’in” maksudnya adalah
prinsif utama dalam riba adalah penambahan, menurut Syar’a riba adalah
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis saling tukarmenukar.
2. Imam Sarakhasi dari madzhab Habnafi, mendefinisikan riba dengan: “al-riba
huwa al-fadllu al-khali ‘an al-‘iwadli al-masyruthi fi al-bay’i” maksudnya
adalah bahwa riba merupakan kelebihan yang disyaratkan dalam tranasaksi
bisnis dengan tanpa adanya iwadl atau padanan atau pengganti.
3. Imam Nawawi mengutif tulisan al-Mawardi dalam kitab Majmu’ Syarah alMuhadzab, sebagai berikut: “Qala al-Mawardi ikhtalafa ashhabuna fiima ja’a
bihi al-Qur’an fi tahriimi al-riba ‘ala wajhain, ahadihima, annahu mujmalun
fasarathu al-Sunnah wa kullu ma jaat bihi al-Sunnah min ahkamin fahuwa
bayanun li mujmali al-Qur’an naqdan kana au nasiatan wa al-sani anna al;tahriima al-ladzi fi al-Qur’an annama tanawalu ma kana ma’hudan
liljahiliyah min riba al-nasa’i wa thalabu al-ziyadah fi al-mal bi ziyadah alajal tsumma waradat al-Sunnah biziyadah al-riba fi al-naqdli mudlafan ila ma
ja’a bihi al-Qur’an”. Maksudnya adalah al-Mawardi menyatakan berbeda
pendapat saudara-saudara kami (para Ulama) tentang haramnya riba dalam alQur’an, atas dasar dua alasan, yang pertama bahwa ayat al-Qur’an (yang
menunjukan keharaman riba) bersifat mujmal, kemudian al-Sunnah
menafsirkan ayat tersebut, oleh karena itu setiap Sunnah yang didalamnya
memuat ketentuan hukum adalah sebagai penjelasan terhadap ke-mujmalan
ayat al-Qur’an. Dengan demikian riba dikasud adalah baik riba naqdan (alat
19
Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit. halaman: 39-41
18
tukar-menukar), maupun nasi’atan. Yang kedua bahwa haram yang terdapat
dalam ayat al-qur’an itu mencakup riba yang dipraktekan pada masa Jahiliyah,
yaitu termasuk riba nasi’ah yang didefinisikan mencari penambahan dalam
harta dengan penambahan waktu, kemudian al-Sunnah menambahkan riba
dalam naqd (alat tukar-menukar) yang disandarkan kepada apa yang terdapat
dalam al-Qur’an.
4. Qatadah menjelaskan “anna al-riba al-Jahiliyah, an yabi’a al-rajulu al-bai’a
ila ajalin musamma, faidza halla al-ajalu wa lam yakun ‘inda shahibihi
qadlaun zaada wa akhara ‘anhu”maksudnya riba jahiliyah itu adalah
seseorang bertransaksi sampai waktu yang telah ditentukan, apabila telah jatuh
tempo dan debitoir tidak mampu membayarnya, maka batas waktu tersebut
ditambah atau ditangguhkan dengan penambahan pembayaran.
5. Zaid bin Aslam menyatakan: “Innama kana riba al-Jahiliyah fi tadl’iif wa fi
sanni yakunu8 li al-rajuli fadllu dainin fa ya’tihi, idza halla al-ajal, fa yaquku
taqdlini atau taziiduni”. Maksudnya bahwa riba Jahiliyah itu adalah riba yang
berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu, seseorang yang memiliki
piutang dengan mitranya, pada saat jatuh tempo, ia menyatakan bayar
sekarang atau ada penambahan.
6. Ja’fara al-Shadiq pernah memberikan argumentasi, ketika ditanya tentang
haramnya riba, beliau menyatakan: “lialla yatamatta’ al-Nasu al-ma’rufa,
liannahu mata jawwaza akhdzu al-fa’idah ‘ala al-qrdl lam yakun ahadun
yaf’alu ma’rufan min qardlin wa nahwihi, fa yanqathi’u al-ma’ruf baina alnasi min al-qardl al-ladzi yuradu bihi al-irfaq wa al-ihsan” maksudnya adalah
supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qardl
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.
7. Imam Ahmad bin Hambal menyatakan: “wahuwa an yaquna lahu dainun fa
yaqulu lahu ‘a taqdli am turabb6y fa in lam yaqdlihi zadaahu fi al-mal wa
zadaahu hadza fi al-ajal”. Maksudnya sesungguhnya riba adalah seseorang
memiliki utang, maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau
membayar lebih, apabila tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana atas
penambahan waktu yang diberikan..
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan, bahwa riba dalam berbagai
bentuknya itu adalah keuntungan yang diperoleh seseorang dengan tanpa adanya
aktivitas prestasi yang dilakukannya atau dengan kata lain keuntungan dengan cara
memeras keringat yang lain. Secara garis besar riba dikelompokan kepada dua
kelompok riba, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang
terbagi kepada dua bagian, yaitu riba qiradl dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual
beli terbagi kepada dua bagian, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah. Riba qiradl adalah
suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridl). Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya,
karena sipeminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan,
riba fadlal adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, dan barang yang ditukarkann itu termasuk barang ribawi dan riba nasi’ah
adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
19
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Larangan Riba Dalam al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Segala bentuk riba menurut Islam adalah merupakan salah satu bentuk
exploitasi atau perampasan hak pihak yang lain, oleh karena itu Islam sebagai salah
satu agama yang melarang keras beredarnya riba dalam masyarakat.
1. Larangan Riba Dalam Al-Qur’an.
Al-qur’an dan al-Sunnah sebagai dua landasan pokok hukum Islam, sering
kali menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara yang tidak benar
atau menerima keuntungan tanpa adanya nilai imbangan adalah suatu perbuatan
yang dilarang. Riba hanyalah sebuah kasus dari perbuatan memperkaya diri secara
tidak benar atau menurut al-Qur’an, memakan, yaitu mengambil untuk
kepentingandiri sendiri atau kelompok, terhadap milik orang lain dengan alas an
atau cara yang tidak dibenarkan. Riba secara formal dapat didefinisikan sebagai
suatu keuntungan moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk salah
satu dari dua pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai moneter20
Riba secara kasat mata dapat dinyatakan adalah salah satu bentuk usaha yang sangat
menguntugkan bagi kreditoir dengan cara memutar nilai moneter dengan tampa
harus ada usaha yang riil yang memerlukan energi yang banyak. Oleh karena itu
riba salah satu bentuk mu’amalah yang telah lama dijalankan ummat manusia dari
waktu-kewaktu. Al-Qur’an membenarkan bahwa riba adalah usaha yang
menguntungkan secara lahiriyah, akan tetapi hakikat riba akan menghancurkan
tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Karena alasan tersebut al-Qur’an sangat hatihati dalam menetapkan larangan riba, sehingga larangan tersebut dibagi dalam
empat tahapan. Menolak anggapan bahwa pinjaman yang disertai riba sebagai
sebuah bentuk pertolongan kepada mereka yang memerlukannya dan dianggap
sebagai perbuatan mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Surat AlRum 39: “wama ataitum min riba liyarbuwa fi amwalin al-nas fala yarbau
‘indallahi wama ataitum min zakatin turiduuna wajhallahi fa ulaika hum almudl’ifun”. Maksudnya dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah
pada harta harta manusia, maka hal itu tidaklah menambah disisi Allah, dan suatu
zakat yang kamu berikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah mereka
inilah orang-orang yang melipatgandakan keuntungan (pahala). Tahap kedua Allah
menggambarkan riba sebagai perbuatan yang buruk, bukanlah suatu kebaikan
dengan dalih menolong orang lain, Allah mengancam dengan keras kepada orang
yahudi yang sukam memakan riba dalam Surat al-Nisa ayat 160-161 Allah
berfirman: “fa bidhulmin min alladzina haduu harramna ‘alaihim thayyibatuin
uhillat lahum wa bishad’ihum ‘an sabilillah katsiran. Wa akhdzihim al-riba wa qad
nuhuu ‘anhu wa aklihim amwala al-nasi bi al-bathili wa ‘atadna li al-kafiriina
minhum ‘adzaban ‘aliima”. Maksudnya maka, disebabkan kedhaliman orang-orang
yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dulunya dihalalkan bagi
mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan
20
Demikian pendapat Schacht yang dikutif Latifa M dan Mervyn K dalam bukunya
Perbankan Syari’ah, 2005, hlm. 56
20
suka memakan riba, padahal telah dirarangnya dank arena mereka memakanm harta
manusia dengan cara bathil, kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir dari
mereka siksa yang pedih. Tahap ketiga Allah melarang riba yang dikaitkan dengan
tambahan yang berlipat ganda. Para Ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan
bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan penomena yang banyak
dipraktekan pada masa turunnya al-Qur’an Surat al-‘Imran ayat 130 yang berbunyi:
yaayyuha al-ladzina ‘aamanu la ta’kuluu al-riba ‘adl’afan mudla’afatan wa ittaquu
Allaha la’allakum tuflihuuna”. Maksudnya hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan cara berlipat ganda dan bertaqwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ayat ini turun pada tahun ke-3
Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kreteria berlipat ganda
bukanlah merupakan syarat yang dijadikan batasan adanya larangan, melainkan
gambaran sifat umum praktek riba yang terjadi pada saat itu. Begitu pula ayat ini
harus dipahami secara komperhensif melalui penafsiran al-msudl’iy, yaitu
menggabungkan pemahaman yat tersebut dengan surat al-Baqarah ayat 278-279
yang diturunkan pada tahun ke-9 Hijriah dan pada tahapan keempat Allah SWT
secara tegas mengharamkan riba, dengan tidak dibatasi berupa tambahan apapun,
dan besar atau kecilnya riba tersebut. Sebagainana dalam Surat al-Baqarah ayat 278279 Allah berfirman: “ya ayyuha al-ladziina ‘amanuu ittaquu Allaha wa dzaruu ma
baqia min al-riba in kuntum mu’miniina. Fa in lam taf’aluu fa’dzunuu biharbim min
Allahi wa Rasulihi wa in tibtum fa lakum ru’usu amwalikum la tadhlimuuna wa la
tudhlamuuna”. Maksudnya hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan riba, jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu, dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu, kamu
tidak menganiaya dan tidak juga dianiaya. Ayat ini harus dipahami sesuai asba
nuzulnya, sebagaimana yang diriwayatkan Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary
bahwa kaum Stakif, penduduk kota Thaif telah membuat kesepakatan bersama
Rasulullah, bahwa seluruh hutang piutang mereka yang didasarkan kepada riba
dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah futuh Makka, Rasulullah
menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makah yang juga meliputi kawasan
Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bi Auf adalah orang
yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak
zaman jahiliah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba.
Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak,
oleh karena itu datyanglah Bani Amr uintuk menagih utang dengan tambahan (riba)
dari Bani Mughirah seperti sedia kala, tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak untuk memberikan tambahan tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menaggapi masalah ini Gubernur langsung
menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat tersebut di atas. Kemudian
Rasulullah membalas surat tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid, “jika mereka
ridla atas ketentuan Allah di atas, maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya,
maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka”. Dari sebab turunnya
ayat tersebut, jelas sekali al-Quran dengan tegas melarang segala bentuk riba yang
disambut oleh Rasulullah dengan tegas pula, sehingga beliau menantang perang
terhadap orang yang masih bertransaksi dengan cara-cara riba.
21
2. Larangan Riba dalam Al-Sunnah.
Sudah menjadi pengetahuan umum, posisi al-Hadis atau al-Sunnah adalah
sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, hal ini karena al-Sunnah
berposisi sebagai penjelas (bayan), baik bayan tafsir, bayan tafshil, bayan ta’qid,
bayan istisnaiy.
Rasulullah memberikan penegasan tentang riba pada amanat terakhir pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah ”Ingatlah bahwa kamu akan menghadap
Rabmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu, Allah telah melarang kamu
mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang
pokok) kamu adalah hak kamu, kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan. Banyak hadis-hadis yang menguraikan tentang riba, diantaranya
“akhbarani ‘Aun bin Aby Juhaifah, qala ra’aitu aby isytara hajjaaman ga amara bi
mahaajamihi fa kusirat fa saaltuhu ‘an dzalika qala inna Rasulullah SAW nahaa
‘an tsamanin al-dam wa tsamanin al-kalbi wa kasb al-ammati wa la’ana alwasyimata wa al-mustausyimah wa akli al-riba wa mu’akilihi wa la’ana almushawwar”.maksudnya: diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa “ayah saya
membeli seorang budak yang pekerjaannnya membekam, kemudia ayah saya
memusnahkan peralatan bekam itu, saya bertanya kepada ayah mengapa beliau
melakukannya, jawabnya bahwa Rasulullah SAW telah melarang menerima uang
dari transaksi darah, anjing, dan dari kasab budak perempuan, beliau juga mela’nat
pekerjaan penato, dan yang meminta di tato, menerima dan member riba serta beliau
mela’nat pembuat gambar.21
Dalam hadis lain sebagaimana yang diriwayatkan Aby Sa’id al-Khudry, beliau
menyatakan bahwa suatu ketika Bilal menghadap Rasulullah dengan membawa
kurma bami, Rasulullah bertanya dari mana kurma ini? Bilal menjawab “saya
mempunyai sejumlah kurma yang berkualitas rendah mutunya dan menukarkannya
dengan dua sha’ untuk satu sha’ jenis kurma bami ini, agar kami dapat
menghidangkannya bagi Nabi SAW, setelah itu Rasulullah bersabda “awah awah
‘ain al-ribaa’ ‘ain al-ribaa’ la taf’al wa lakin idza aradta an tasytary fa bi’ altamra bibai’in akhar tsumma isytarhu” artinya berhati-hatilah terhadap bendabenda riba, janganlah kamu mengulangi perbuatan ini, akan tetapi apabila kamu
menghendaki untuk membeli kurma yang mutunya lebih baik, maka jualah kurma
yang kamu miliki itu untuk mendapatkan uang dan kemudian dengan uang tersebut,
belikanlah terhadap kurma yang mutunya lebih baik itu22
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Rahman bin Aby Bakrah
dari ayahnya ra. Beliau berkata bahwa Nabi SAW telah melarang penjualan emas
dengan emas, perak dengan perak, kecuali sama beratnya, dan Rasululullah
memerintahkan kepada kita untuk menjual emas dengan perak dan sebaliknya sesuai
dengan keinginan kita23
Dalam hadis lain dari Jabir, beliau menyatakan “la’ana Rasulullah SAW akil
al-ribaa’ wa mu’akilahu wa katibahu wa syaahidaihi wa qaala hum sawaa’”
21
HR Al-Bukhary Nomor 2084, Kitab al-Buyu’
HR Al-Bukhary Nomor 2145 Kitab al-Buyu’
23
HR Al-Bukhary Nomor 2034 Kitab al-Buyu’
22
22
artinya Rasulullah telah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang yang menyaksikannya,
kebudian beliau bersama mereka semuanya sama.24
Masih banyak hadis-hadis yang secara nyata mengharamkan riba dan bentukbentuknya yang dimuat dalam berbagai macam kitab hadis.
3. Pandangan Ulama Tentang Keharaman Riba.25
Banyak pendapat dan pandangan di kalangan ulama dan ahli fikih baik klasik
maupun kontenporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak.
Tentang keharaman bunga bank karena bunga bank sama dengan riba, melalui
berbagai macam fatwa, yang diantaranya:
a) Muktamar II Lembaga Riset Islam al-Azhar yang dilaksanakan di Kairo bulan
Mei 1965 yang dihadiri utusan dari 35 Negara Islam, telah menyepakati
beberapa hal yang diantaranya bunga (interet) dari seluruh bentuk pinjaman
hukumnya riba dan diharamkan.
b) Rabithah Al-Alam Al-Islami, keputusan nomor 6 sidang ke-9 yang dilaksanakan
di Makah pada tanggal 12-19 Rajab 1406 H menyatakan bunga bank yang
berlaku pada bank konvensional adalah riba yang diharamkan.
c) Majma Fikih Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam keputusan Nomor
10, OKI kedua yang dilaksanakan tanggal 22-28 Desember 1985 menyatakan
d) Bahsul Masa’il dalam Munas di Bandar Lampung tahun 1992
merekomendasikan agar Nahdhatul Ulama (PBNU) mendirikan Bank Islam NU
dengan sitem tanpa bunga, yang sebenarnya di kalangan ulama NU sendiri
masih terdapat tiga pendapat tentang bunga bank, ada yang berpendapat sama
dengan riba, ada yang mengatakan tidak sama dan ada yang menyatakan
syubhat.
e) Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyarankan kepada
Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi system perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai
dengan kaidah Islam.
f) Majlis Ulama Indonesia dalam lokakarya alim ulama di Cisarua tahun 1991
bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank alternative.
g) Fatwa MUI pada akhir tahun 2003 menyatakan bahwa bunga bank haram.
4.
Pendapat Yang Menghalalkan Bunga Bank.
Walaupun ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis sangat jelas
mengharamkan riba, akan tetapi masih ada kalangan ulama yang mencoba untuk
memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, yang di antaranya sebagai
berikut26
1. Dalam keadaan darurat bunga bank halal hukumnya.
24
HR Muslim Nomor 2995 Kitab al-Masaqah
Lihat Mustafa Edwin at. al halaman 41-42
26
lihat Syafi’i Antonio, loc. cit. halaman 54-58
25
23
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga
yang wajar dan tidak mendhalimi diperbolehkan.
3. Bank sebagai lembaga keuangan tidak termasuk dalam katagori mukallaf,
dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadis-hadis riba.
Alasan pembenaran terhadap bunga bank tersebut dipelopori oleh Ibrahim
Husen, sebagaimana dimuat dalam papernya yang berjudul Kajian Tentang Bunga
Bank Menurut hukum Islam yang dipresentasikan pada saat Workshop Bank And
Banking Interest yang diseponsori Majelis Ulama Indonesia sekitar tahun 1990.
pada saat itu terjadi pro kontra yang meluas di antara cendekia Muslim yang hampir
menjurus terjadinya perpecahan di antara ummat muslim sendiri.
Apabila dicermati secara jernih dan cermat alasan pembenaran tersebut tidak
lah akan melahirkan kesimpulan bahwa bunga bank tersebut diperbolehkan atau
dihalalkan.
Alasan darurat sebagai instrument pengubah hukum harus dikembalikan
kepada proporsi yang sebenarnya, sehingga kaidah yang menyatakan al-dharurat
tubih al-mahdlurat tidak diintrepretasikan untuk hal-hal yang tidak termasuk dalam
katagori dharurat itu.
Keadaan dharurat yang dapat mengubah hukum haram menjadi boleh adalah
sebagaimana yang dinyatakan Imam al-Suyuthy dalam Kitabnya Al-Isybah wa AlNadh’ir 27 menegaskan bahwa dharurat adalah suatu keadaan emergency dimana
jika seorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan berakibat
kehancuran atau kematian. Dalam literature klasik keadaan emergency tersebut
sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan belantara dan tidak ada
makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, ia dalam keadaan sangat
kelaparan, sehingga apabila ia tidak segera makan akan mengalami kematian. dalam
keadaan yang demikian Allah membolehkan memakan daging babi tersebut. Allah
berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 173 “faman idhthurra ghaira bagin walaa
‘aadin fala itsma ‘alaih..” Menurut ayat ini keadaan dharurat dibatasi dua hal, yaitu
bukan berdasarkan keinginannya sendiri dan kebolehan melakukan yang
diharamkan dibatasi hanya untuk mengembalikan keadaan emergency itu kepada
keadaan ikhtiyariah, dan apabila keadaannya telah pulih menjadi ikhtiariyah, maka
sesuatu yang dilakukan itu kembali hukumnya haram.
Sebagian cendekiawan Muslim ada yang berpendapat bahwa bunga dapat
dikatagorikan riba’ bila telah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan apabila
bunga itu kecil dan tidak memberatkan dibenarkan. Pemahaman ini berawal dari
27
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthy, Al-Isybah Wa Al-Nadha’ir fi Qawa’id Wa Furu’
(Bairut: Dar Al-Kutub al-‘Amaliyah, 1983) halaman 85
24
pemahaman yang keliru terhadap Surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi “yaa
ayuhalladzina ‘aamanuu laa ta’kulurribaa’ adh’afan mudhaa’afan..” yang artinya
wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ dalam keadaan
berlipat ganda.
Apabila ayat ini dipahami secara literal, maka akan melahirkan kesimpulan
bahwa riba yang tidak boleh dikonsumsi itu adalah riba’ yang keadaannya berlipat
ganda, sebab kata adh’afan muda’afan dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai
hal (menunjukan keadaan), yang berpungsi membatasi riba’ yang dilarang itu. Oleh
karena itu suatu kewajaran apabila orang yang berpendapat bahwa riba yang
dalam keadaan tidak berlipat ganda tidak dilarang, pemahaman seperti ini adalah
pemahaman yang didasarkan pada ratio legis dalil mafhum mukhalafah dari ayat alQur’an tersebut.
Dalil mafhum mukhalafah adalah hua al-ma’na al-mukhalif limafhum al‘ibarat au hua al-ma’na alladzi untifat ‘anhu quyuud al-nash artinya pemahaman
pengertian (ma’na) kebalikan dari pemahaman redaksi suatu nash atau pengertian
atau ma’na yang ditiadakan (tidak tercakup) oleh batasan-batasan nash 28 . Oleh
karena itu riba’ yang hanya dalam batas kewajaran, tidak memberatkan atau tidak
berlipat ganda adalah riba yang berada diluar batasan ayat al-Qur’an itu, dengan
demikian tidak termasuk riba yang dilarang. Akan tetapi tidak seluruh para ahli ilmu
hukum Islam (ushl fiqh) menyetujui menggunakan dalil mafhum mukhalafah ini,
mayoritas ulama menyatakan suatu ketetapan hukum yang terdapat dalam nash,
tidak seluruhnya dapat ditetapkan ketentuan hukum kebalikannya, salah satu contoh
tentang keharaman khamar yang memabukan, tidak dapat dipahami mengkonsumsi
khamar hanya sedikit dan tidak berakibat kemabukan tidak diharamkan.
Dengan demikian larangan riba yang dapat dikatagorikan sebagai bunga bank,
tidak dapat dipahami dan disimpulkan hanya dari ayat tersebut secara tersendiri,
melainkan harus ditafsirkan melalui tafsir al-maudhu’iy dengan menggabungkan
nash-nash tentang riba secara menyeluruh, antara ayat 130 Surat Ali Imran yang
diturunkan pada tahun ke-3 dengan ayat 278-279 Surat al-Baqarah yang diturunkan
pada tahun ke-9, sehingga akan sampai kepada kesimpulan bahwa segala bentuk
dan jenis riba adalah mutlak diharamkan.
Menanggapi hal tersebut DR. Abdullah Draz salah satu komferensi fikih
Islamy yang diadakan di Paris pada tahun 1978, yang dikutip Syafi’i Antonio,
menegaskan kerapuhan asumsi tersebut di atas, beliau menjelaskan secara linguistic
bahwa kata dh’fun artinya kelipatan, sesuatu berlipat, minimal dua kali lebih besar,
sedangkan kata adh’af adalah bentuk jama’ dari kelipatan tadi minimal tiga kali
28
Lihat ‘Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’iy Al-Jina’iy Al-Islamy Muqaranan bi l-Qanun AlWadh’iy, juz I, Bairut: Al-Muassasah Al-Risalah, tahun 1987, halaman 188
25
lipat, yang berarti 3 x 2 = 6 kali lipat, yang berarti bunga dalam ayat tersebut adalah
600 % secara oprasional dan nalar yang sehat angka tersebut tidak mungkin terjadi
dalam proses perbankkan maupun simpan pinjam. Syekh Umar bin Abdul Aziz alMatruk menyatakan “amma al-istidlal biayah Ali Imran wa al-ta’bir bi al-‘adh’af
fiha falaisa al-maqsud an yuballigh kullu al-riba hadza al-muballigh bal al-maqsud
min sya’n al-riba ‘amah an yashbiha kadzalik ma’a tu’aqib al-sinin wa lihadza
ashbaha hadzaal- ta’bir wasfan ‘aaman lirriba’ fi lughah al-syar’ artinya adapun
pemahaman dalil (istidlal) dari kata adh’af yang terdapat dalam ayat Ali Imran
tersebut, sama sekali tidak bermaksud bahwa riba harus mencapai sedemikian
berlipat ganda, melainkan kata itu menegaskan tentang karakteristik riba secara
umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai
dengan berjalannya waktu, dengan demikian redaksi tersebut menjadi sifat umum
dari riba dalam etimology Syara’.
Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa ketika ayat-ayat riba’
diturunkan di Jazirah ‘Arab, belum terbentuk lembaga-lembaga keuangan, baik yang
berupa bank maupun non bank, sehingga lembaga keuangan yang ada sekarang
tidak terkena taklif pada ayat tersebut29
Pandangan seperti itu tidak sesuai dengan historis atau sejarah perekonomian
dunia, hal mana dalam catatan sejarah zaman pra Rasulullah, sebagaimana dalam
sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukan adanya ribuan lembaga keuangan
yang mendapat pengesahan dari penguasa. demikian pula dalam tradisi hukum,
perseroan atau badan hukum sering diistilahkan dengan juridical personality atau
al-syakhshiyah al-hukmiyah yang secara hukum adalah sah dan dapat bertindak
sebagaimana individu-individu30.
Berbagai Macam Teori Yang Menjadi Dasar Pembenaran Bunga.
A. Teori Abstinence.
Di antara alasan pembenaran untuk pengambilan bunga adalah teori
abstinence yang berasal dari bahasa Inggris yang yang secara etimology diartikan
pertakaran, pantang, pemantangan dan menahan nafsu. Para pelopor teori ini
menegaskan bahwa ketika kriditoir menahan diri menangguhkan keinginannya
untuk menggunakan modalnya, semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain,
dengan meminjamkan modal tersebut yang semestinya dapat mendatangkan
keuntungan bagi dirinya sendiri. maka peminjam yang menggunakan modal itu
untuk usahanya, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya
29
Ibrahim Husen, loc. cit.
Mustafa Ahmad Zarqa, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid: Al-Madkhal Al-Fiqh Al‘Am (Damaskus: Mathbaa Jami’ah Dimasq, 1959) cet. ke-2 halaman 324
30
26
itu31. Hal ini sama halnya dengan uang sewa rumah, sewa lahan perkebunan dan
sewa kendaraan. Terhadap teori ini Syafi’i Antonio menyatakan kritiknya bahwa
kenyataannya tidak ada penehanan terhadap modal yang dimiliki kriditor, sebab ia
meminjamkan uangnya yang berlebih yang tidak digunakannya untuk usahanya
sendiri, dengan demikian kreditor tidak beralasan untuk menuntut imbalan atas uang
yang dipinjamkannya itu. Disamping itu tidak ada standar yang dapat digunakan
untuk mengukur unsure penundaan konsumsi dari teori tersebut. Dalam kajian fikih
unsure penundaan konsumsi atau penundaan investasi tidak dapat dijadikan alasan
pembenaran hukum (illat hukum) untuk menuntut imbalan, karena alasan
pembenaran hukum harus nyata, jelas, konsiten dan terukur. Dalam teori ilmu
hukum Islam dinyatakan “min syuruth al-illah an takuuna washfan dhahiran
mundhabithan”
Dalam Teori ekonomi uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
komoditas yang lainnya, baik menyangkut daya tukar, kepercayaan masyarakat
terhadapnya maupun posisi hukumnya. uang berposisi sebagai alat tukar yang tidak
termasuk dalam katagori asset tetap atau asset bergerak, sehingga padanan sewa
(rent) adalah asset tetap atau asset bergerak seperti rumah, kendaraan dan lain
sebagainya, sedangkan bunga (interest) padanannya uang. dari teori ekonomi ini
sangat jelas bahwa sewa uang yang dipinjamkan itu menyalahi teori ekonomi itu
sendiri.
B. Teori Opportunity Cost.
Teori opportunity cost adalah bunga dapat dinilai sebagai harga pemberian
kesempatan waktu menggunakan uang pinjaman untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya. Dengan demikian waktu memiliki harga yang meningkat
seiring berjalannya waktu itu. Para penganut teori ini beranggapan bahwa kreditor
berhak menerima sebagian keuntungan dari uang yang dipinjamkannya, karena ia
telah memberikan kesempatan kepada debitor untuk meraih keuntungan dari uang
pinjamannya itu.
Teori ini adalah teori yang melahirkan ketidak adilan dan ketidak
berimbangan antara kreditor sebagai penyandang modal dengan debitor sebagai
pengusaha, sebab kewajiban debitor untuk membayar imbalan keuntungan berupa
bunga kepada kreditor adalah pembayaran yang pasti dan tetap untuk setiap bulan
atau setiap tahunnya. sedangkan debitor yang menggunakan uang pinjamannya
untuk suatu usaha tertentu berkarakter spekulasi, kemungkinan mendapat
keuntungan dan kemungkinan terjadi kerugian atau bahkan kebangkrutan. adalah
tidak adil apabila pengusaha sebagai debitor yang sedang mengalami kerugian, tetap
dibebankan untuk membayar keuntungan kepyari’ah seperti syirkah ‘inan, syirkah
31
Sa’ad AS Harran, Islamic Finance Partnership Financing, Kualalumpur: Panduk
Publication, 1993.
27
mudharabah, syirkah mufawwadhah, bai’ salam, bai’ istisna’, ijarah almumtahiyah bi al-tamlik dan lain sebagainya adalah merupakan infrastruktur yang
memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk meraih keuntungan yang adil
dan proporsional.
C. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal.
Menurut teori ini bahwa modal memiliki nilai pruduktif dengan sendirinya,
sehingga modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih
banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal. Dengan demikian modal
memiliki daya untuk menghasilkan nilai tambah. Oleh karena itu pengguna modal
layak memberikan keuntungan berupa imbalan bunga kepada pemilik modal.
Teori ini hanya memberikan penialian terhadap uang pinjaman yang dijadikan
sebagai modal usaha, sehingga uang pinjaman tersebut menjadi produktif.
Kenyataannya tidak demikian, sekian banyak nasabah bank yang mengajukan
permohonan pinjaman uang bukan untuk menambah modal usahanya, melainkan
untuk menutupi kebutuhan pokok yang bersifat konsumtif seperti untuk membuat
rumah, membeli kendaraan dan lain sebagainya. Maka ketika uang pinjaman itu
digunakan tidak secara produktif, maka uang tersebut tidak produktif dan tidak
memiliki nilai tambah. demikian juga uang pinjaman yang digunakan untuk modal
usaha, tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi merosot
penanam modal sering terjadi mendapat keuntungan yang menipis, bahkan dalam
beberapa kasus malah mengubah dari keuntungan menjadi kerugian.
Apabila modal dianggap memiliki nilai produktif, sebenarnya produktivitas
tersebut tergantung pada berbagai factor lain. Penanam modal yang dapat
mendatangkan keuntungan yang banyak, bergantung pada bagian produksi, riset,
pengembangan, marketing, kemampuan visi serta pengalaman orang yang
menggunakannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh factor kesetabilan ekonomi,
social, dan politik suatu Negara. Faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman
modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut akan
berubah menjadi kerugian.
D. Teori Penyusutan Nilai Uang.
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih
mengutamakan kehendaknya pada masa sekarang disbanding kehendaknya untuk
masa depan. Manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa
sekarang. Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena bunga dengan rumusan yang
dikenal dengan menurunnya nilai barang diwaktu mendatang disbanding dengan
nilai barang di waktu kini. Sehingga mereka menganggap bahwa bunga sebagai
28
agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang
terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang. Boehm
Bawerk, pendukung utama pendapat ini, menyebut tiga alasan mengapa nilai barang
di waktu mendatang akan berkurang, sebagai berikut:
1. Keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal tersebut disebabkan
ketidak pastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang,
sedangkan keuntungan masa kini jelas dan pasti.
2. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi
manusia daripada kepuasan mereka pada waktu yang akan datang, mungkin
saja seorang tidak memiliki kehendak seperti pada masa sekarang.
3. Kenyataannya barang-barang pada masa sekarang lebih penting dan berguna.
Dengan demikian barang-barang tersebut m,empunyai nilai yang lebih
tinggi disbanding dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.
Alasan-alasan tersebut meyakinkan mereka bahwa keuntungan pasti masa
kini jelas diutamakan daripada keuntungan pada masa yang akan datang. Dengan
demikian modal yang dipinjamkan kepada seseorang pada saat sekarang lebih
bernilai dibandingkan uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian.
Bunga menurut penganut paham ini merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada
modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal
pinjaman semula.
Paham ini terdapat kelemahan, karena tidak sesuai dengan kenyataan
kebanyakan kehidupan manusia, sebab manusia yang digambarkan tersebut di atas
adalah manusia pemboros yang tidak mengindahkan kehidupannya untuk masa
yang akan datang dan manusia yang memiliki pandangan seperti ini amat sedikit.
Kenyataan dalam masyarakat banyak orang berlomba-lomba menabung,
berinvestasi dalam berbagai bidang kegiatan usaha dan berinvestasi dengan
menanamkan modalnya dengan membeli tanah dan lain sebagainya. hal itu semua
bertujuan demi masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera baik bagi dirinya
maupun anak-anaknya.
Seandainya benar bahwa nilai uang masa sekarang lebih memiliki nilai dengan
nilai uang pada masa yang akan datang, akan tetapi penyusutan nilai uang tersebut
ukurannya tidak pasti, yang menjadi persoalan dalam hal ini kenapa peminjam uang
harus dibebani pembayaran bunga dengan prosentase secara pasti terhadap
penyusutan nilai uang yang tidak pasti.
Islam sebagai agama rahmah, sangatlah menghargai waktu, Rasulullah pernah
bersabda “waktu bagaikan pedang, jika kita tidak menggunakan waktu dengan baik,
maka ia akan memotong kita” akan tetapi penghargaan Islam terhadap waktu tidak
diwujudkan dalam bentuk prosentase bunga tetap, karena hasil yang nyata dari
waktu adalah variable , bergantung pada jenis usaha, sector industry, lama usaha,
keadaan pasar, stabilitas politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu Islam
29
merealisasikan penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan dan nishbah
bagi hasil, kedua belah pihak akan sharing the risk and profit secara bersama-sama.
E. Teori Inflasi.
Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang
secara keseluruhan. Dengan demikian terjadi penurunan daya beli uang. Oleh karena
itu menurut paham ini, mengambil bunga uang sangatlah logis sebagai konpensasi
penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Argumentasi tersebut tepat,
seandainya dunia ekonomi yang terjadi hanya inflasi saja tanpa deflasi atau stabil.
Perlu dikaji secara lebih mendalam bahwa transaksi mu’amalah Syari’ah seperti almurabahah, bai’ al-salam, al-musyarakah dan al-mudharabah dan lain sebagainya
adalah skim yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak jarang
keuntungan yang diperoleh melalui skim tersebut memiliki nilai return yang
melebihi tingkat inflasi.
Bunga dan Egoisme Moral Spiritual.
Maulana Abu Al-Ala Al-Maududi dalam bukunya Riba’mengingatkan bahwa
isnstitusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Bunga akan akan
menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap
karakter manusia. Di antaranya bunga menumbulkan perasaan cinta terhadap uang
dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri tanpa
mengindahkan peraturan dan peringatan Allah.
Bunga disebut Maududi menumbuhkan sikap egois, bakhil berwawasan
sempit, serta berhati batu. seorang yang membungakan uangnya akan cenderung
bersikap tidak mengenal belas kasihan. hal tersebut terbukiti apabila peminjam
dalam kesulitan, asset apapun yang ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi
bungan yang telah berbunga, ia juga akan terdorong bersikap tamak, menjadi
seorang pencemburu terhadap milik orang lain serta cenderung menjadi seorang
yang kikir. Secara psikologi praktek pembungaan uang juga dapat menjadikan
seorang pemalas untuk menginvestasikan dananya dalam sector usaha. selain itu
dengan membungakan uang akan menjadikan kehidupan terjerumus dalam system
ribawy.
Bunga dan Kepongkahan Sosial Budaya.
Secara social
institusi bunga merusak semangat berhidmat kepada
masyarakat. Orang akan tidak mau berbuat apapun kecuali yang member
keuntungan bagi dirinya sendiri. Keperluan dan kebutuhan seseorang dianggap
peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang-orang kaya
dianggap bertentangan dengan kepentingan orang-orang miskin. Setiap masyarakat
yang berprilaku seperti itu tidak akan mencapai solideritas dan kepentingan
bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan. Cepat atau lambat,
masyarakat demikian akan mengalami perpecahan.
Dalam kancah hubungan internasional, bunga telah meretakan solideritas antar
bangsa. Pada masa perang dunia II , inggris meminta para sekutu perangnya yang
30
lebih kaya untuk membantu keuangan tanpa bunga. Amerika Serikat menolak
memberikan pinjaman tanpa imbalan bunga dan karenanya Inggris terpaksa
menyetujui persyaratan perjanjian pinjaman yang dikenal sebagai Brettonwood
Agremeent. Desakan kebutuhan peperangan membuat Inggris terpaksa menyetujui
persuaratan kontrak pinjaman tersebut. Meskipun demikian Inggris memendam
perasaan marah dan sedih yang sangat mendalam. Hal tersebut tercermin dari
tulisan-tulisan John Maynard, Keynes, Churshil dan DR. Dalton. Churchil
menyebut perjanjian itu sebagai sebuah perlakuan dagang dan DR. Dalton
menyatakan “kita telah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban
bahwa pinjaman itu bukan politik praktis.
Bunga Dan Kedhaliman Ekonomi.
Terdapat beberapa jenis pinjaman sesuai dengan sifat pinjaman dan keperluan
peminjam. Bunga dibayarkan untuk berbagai jenis utang tersebut.
1. Pinjaman kaum Dhu’afa.
Sebagaian besar kaum Dhu’afa mengambil pinjaman untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil alih oleh para
pemilik modal dalam bentuk bunga.
Jutaan manusia di Negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya
untuk membayar utang yang diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka
sangat rendah, pemotongan untuk membayar bunga membuat upah gaji mereka
terkikis dan yang tersisa hanya sedikit saja dsn mrmsksa mereka agar hidup dibawah
standar normal.
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus terbukti telah
merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan pendidikan anakanak mereka karena ketiadaan biaya. Disamping itu kecemasan yang terus-menerus
peminjam, juga mempengaruhi efesiensi kerja mereka. Hal tersebut bukan hanya
mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga peminjam, namun juga memper
lemah perekonomian Negara.
Pembayaran bunga juga menurunkan daya beli di kalangan mereka. Akibatnya
industry yang memenuhi produk untuk golongan miskin dan menengah akan
mengalami menurunan permintaan. Bila keadaan tersebut terus berlanjut, secara
berangsur-angsur tapi pasti, sector industripun akan merosot.
2. Monopoli Sumber dana.
Pinjaman modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang, pengrajin dan
para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif, namun upaya mereka untuk dapat
lebih produktif tersebut sering terhambat atau malah hancur karena penguasaan
modal oleh para kapitalis.
31
a. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha besar dan konglemerat
yang dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang kuat terhadap
sumber dana. Maneuver-manuver pengusaha besar ini sering kali mengorbankan
kepentingan pengusaha dan pengrajin kecil. Di samping tingkat suku bunga
yang lebih besar untuk pengusaha kecil, tidak jarang konglemerat juga
mengambil jatah dan alokasi kredit si kecil.
b. Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha yang penting dan bermanfaat
bagi masyarakat, melainkan lebih banyak digunakan untuk usaha-usaha
spekulatif yang sering kali membuat keguncangan pasar modal dan ekonomi.
c. Kehancuran sector swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada akhir athun
1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga tersebut. Struktur
bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat menghancurkan perusahaan yang
tengah berkembang bila keuntungan yang diperolehnya tidak cukup untuk
menutupi beban bunga tersebut.
Peringatan Dari Imam Al-Razy.
Bunga Dan Meta Ekonomi Islam.
Firman Allah : “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar
harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum :
39)
Menurut pandangan kebanyakan manusia(baca para ekonom pen.), pinjaman
dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada
gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut
telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun
praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang
tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para
pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit
yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah
pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem
kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang
seringkali terbatas.
pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum :
39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar
harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum
: 39).
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem
bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil.
Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia
kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan
meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan
sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang.
32
Mengapa Allah mengatakan pinjaman kredit dengan sistem bunga tidak
menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan akal (pemikiran) sebagian besar
manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal, kasat mata dan material (zahir)
belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi Islam, yaitu, sebuah pandangan
ekonomi yang berada di luar akal material manusia yang dangkal.
Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat
tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi
ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama
Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba
dalam konteks ekonomi mikro semata. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi
makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat
(menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan
membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi
hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen
bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada
kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau
menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik,
yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi
instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi
kapitalisme. Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan
jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang
luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal
pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian
kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat
membahayakan perekonomian.
Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di
mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi
ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat
mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi
punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena
uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke
negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin
memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga
riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah
ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah
tingkat bunga minus tingkat inflasi. Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi,
kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant,
sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF berikut
menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi.
33
Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan
terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin
menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun,
maka akan meningkatkan angka pengangguran.
Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara
signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi
yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam,
sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan
Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan
asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara
berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk
membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu,
tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani
APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah
dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI.
Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun.
Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena
sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya
bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .
Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem
bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendisendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya,
maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di
darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada
mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke
jalan Allah”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi
yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa
krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Berdasarkan kenyataan itu, maka sekali lagi, maha benarlah firman Allah
yang mengatakan bahwa riba tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat. Inilah meta
ekonomi Islam yang terdapat dalam ayat 39 Surah Ar-Rum.
Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka
terapkan yang dilandasai saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi di
antara mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi
masalah. Bahkan bersifat positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan
ekonomi mikro yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya
34
terbatas.Begitulah, akal manusia sering kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik
realitas ekonomi. Padahal sistem riba itu justru merusak dan sama sekali tidak
membawa pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Inilah yang dijelaskan AlQuran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di atas. Inilah konsep metaekonomi Islam
dalam larangan riba. Namun, bagi para ekonom Islam, hal tersebut bukan lagi meta,
tapi fakta, karena mereka telah melihat fakta riil kerusakan ekonomi masyarakar,
negara dan dunia akibat riba (bunga). Mereka telah melihat secara nyata bahwa riba
tidak akan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Metaekonomi Islam dalam
larangan riba hanya relevan bagi para penganut dan pengamal ekonomi ribawi yang
mayoritas di negeri ini. Tugas pakar ekonomi syari’ah untuk menjelaskan meta
ekonomi Islam itu kepada penganut dan pengamal kapitalisme ribawi yang masih
mayoritas di negeri ini.32
III KESIMPULAN
Dari pembahasan sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa
prisnsif dasar dan karakteristik ekonomi Islam adalah merupakan pondasi utama
dalam system perekonomian Islam, yang bertujuan mensejahterakan kehidupan
manusia yang layak secara manusiawi dan menyelamatkan kehidupan manusia baik
di dunia maupun di akhirat.
IV DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja
Perdata Agama MA-RI, Jakarta.
Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
Kencana Prenada Group Jakarta
Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian
Ekonomi dan Kajian Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan penerbit
Citapustaka Media Bandung,
Said Sa’ad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam,
terjemahan Ahmad Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam di tengah
Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim Jakarta,
Kaslan A. Thahir, 1985, Butir-butir Tata Lingkungan Sebagai Masukan
Untuk Arsitektur Landsekap dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Bina
Aksara Jakarta,
Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syari’ah di Indonesia, hlm. 39-42
Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Muhammad Syafi’i Antonio, 2005, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek.
Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interet: A. Study of the
Prohibition of Riba its Contemporary Interpretation,hlmn. 65
32
Agustianto,
Download