1 PRINSIP DAN KARAKTERISTIK PEREKONOMIAN DALAM ISLAM Oleh DRS. ISAK MUNAWAR, MH I PENDAHULUAN Suatu system perekonomian adalah salah satu terpenting dalam kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga salah satu unsure yang dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu kehidupan manusia dalam wilayah suatu negara sangat tergantung pada maju atau mundurnya perekonomian dalam wilayah itu. Perekonomian juga berpengaruh besar terhadap tatanan ketentraman, keamanan dan social budaya masyarakat, dengan pengertian semakin maju perekonomian suatu Negara, maka ketentraman dan keamanan pada Negara itu semakin terjamin, nilai social budaya masyarakat semakin tinggi demikian pula kebalikannya. Oleh karena itu tujuan terpenting dari suatu system dalam perekonomian adalah untuk mensejahterakan dan terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat secara umum yang layak secara manusiawi. Banyak teori ekonomi untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, yang diantaranya terdapat teori yang berorentasi pada keuntungan-keuntungan belaka dengan memberikan kebebasan mutlak kepada setiap individu (ekonomi kavitalis), terdapat teori yang berorentasi pada terwujudnya pemerataan ekonomi dengan menghilangkan hak individual (ekonomi sosialis) dan ada pula teori yang berorentasi pada keuntungan, dan pemerataan dengan berprinsif pada norma-norma dasar (grund norm) wahyu Ilahy (ekomoni Syari’ah atau ekonomi Islam). System ekonomi Islam tercipta sejak terciptanya wahyu itu baik secara qauly (al-Qur’an) maupun ma’nawy (al-Hadits). Oleh karena itu keberadaan ekonomi Islam menurut sebagian pakar bukanlah system perekonomian yang bertujuan untuk mengimbangi system ekonomi kavitalis dan sosialis, melainkan suatu system perekonomian yang berdiri sendiri. sebab pada dasarnya Islam tidak pernah melarang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, demikian pula dalam perimbangan ekonomi (pemerataan). Pada abad terakhir ini dapat dilihat bersama, system perekonomian kavitalis dan sosialis yang digunakan dalam berbagai belahan dunia telah mengalami guncangan yang dahsyat yang terkadang juga sangat mengerikan, sedangkan lembaga keuangan baik yang termasuk dalam lembaga perbankan maupun non perbankan yang menggunakan system syari’ah cukup tangguh dari berbagai macam ancaman krisis ekonomi khususnya. Dari kenyataan yang demikian itu para pakar ekonomi telah banyak yang melirik system perekonomian Islam, sebagai system alternative yang dapat diterapkan dalam perekonomian dunia. Dari hal tersebut, maka pembahasan artikel ini akan mencoba memaparkan prinsif dan karakteristik perekonomian Islam sebagai pembeda dengan system perekonomian yang lainnya. 2 II. PEMBAHASAN 1. Pengertian Ekonomi Syari’ah. Ekonomi Syari’ah atau juga disebut Ekonomi Islam, sebenarnya merupakan padanan dari kalimat Ekonomi Kapitalis, Ekonomi Sosialis dan yang lainnya. Ekonomi Syari’ah dimaksud tiada lain adalah suatu system perekonomian yang paradigma normatifnya dilandasi Syari’ah dalam pengertian Fiqh. Oleh karena itu dalam teori-teori Fiqhiyah tidak akan ditemukan kalaimat yang sepadan dengan kalimat “Ekonomi Syari’ah” tersebut. System perekonomian dalam Islam adalah merupakan salah satu system dari Mu’amalah (Syari’ah) dalam arti luas yang bersumber dari Al-Islam sebagai Din al-Haq bersamaan dengan ‘Aqidah dan Khuluqiyah. Dengan demikian studi tentang Ekonomi Syari’ah adalah studi tentang teori-teori ekonomi yang telah cukup lama dikumandangkan baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadis yang telah diintrepretasikan dalam Kitabg-kitab Tafsir alQur’an, Syarah al-Hadis maupun dalam Kitab-kitab fikih yang disusun oleh para cendekiawan Muslim terkenal seperti Abu Yusuf Al-Qardhawi, Abu Hanifah, Yahya Ibnu Adam, Ibnu Khaldun, Al-Gazali, Ibnu Taemiyah dan lain sebagainya1 Namun demikian menurut Abdul Manan 2 pengkajian tentang system Ekonomi Syari’ah baru dilaksanakan secara intensif sejak tiga puluh tahun yang lalu, sebagai alternative mencapai system ekonomi terbaik setelah gagalnya berbagai system ekonomi besar dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Oleh karena itu dapat dimengerti kenapa sampai saat ini belum ada buku yang ditulis oleh para ahli ekonomi syari’ah yang mengkaji secara lebih mendalam sistematik dan komperhensif, karena system ekonomi Syari’ah telah dimarginalkan oleh kekuatan ekonomi kapitalis dan sosialis melalui colonial penjajahan yang selalu berusaha memisahkan Islam dari dunia perekonomian3 Pengertian Ekonomi Syari’ah yang terdapat dalam literatur-literatur kitab fikih, nampaknya hanya mengacu pada istilah Al-Iqtishadiyah yang secara etimologi artinya hemat dan penuh perhitungan. Menurut Bagir al-Hasani sebagaimana yang dikutip oleh Agustianto 4 bahwa istilah ekonomi dan iqtishad merupakan dua konsep yang berbeda, meskipun kebanyakan ulama yang mengartikan sama antara keduanya. Kata iqtishad merupakan derivasi dari kata qshd yang mempunyai arti equilibrium (keseimbangan atau pertengahan) atau the 5 state of being even equal balanced or everly in between two extremes. Lebih harmonis lagi apabila disesuaikan dengan Hadis Nabi Muhammad SWA. ‘Alaikum Hadyan Qashidan. (follow the middle of the road atau diwajibkan atas kamu menempuh jalan tengah). 1 Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja Perdata Agama MA-RI, Jakarta.halaman: 3 2 Ibid 3 Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group Jakarta, halaman 12 4 Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian Ekonomi dan Kajian Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan penerbit Citapustaka Media Bandung, halaman 4 3 Dengan demikian Agustianto mengemukakan bahwa pendapat Bagir al-Hasani di atas nampaknya terpaku pada makna qashd yang artinya pertengahan, jalan tengah, suka hemat, penuh pertimbangan dan pilihan-pilihan. Oleh karena itu mengacu pada pengertian ini kata “iqtishad masih relevan dipergunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan masalah ekonomi. Perlu dicatat bahwa yang berbeda bukanlah antara pengertian ekonomi dan iqtishad melainkan antara system ekonomi Islam dengan system ekonomi kapitalis dan sosialis atau ekonomi konvensional yang berorentasi pada keuntungan-keuntungan duniawi, sedangkan ekonomi Islam selain berorentasi keuntungan duniawi juga bertujuan keselamatan ukhrawi. Mustafa Edwin et al, yang diantaranya: 6 mengutip beberapa pengertian Ekonomi Syari’ah, a. Menurut M. Akram Kan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics aims the study of the human falah (wel being) achieved by organizing the resources of the eath on the basis of coopration and participation. Secara bebas dapat diartikan bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar bekerjasama dan partisipasi. Definisi yang dikemukakan Akram Kan ini memberikan demensi normative kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta dimensi positif mengorganisir sumber daya alam. b. Menurut Abdul Manan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics is a social science which studies the economics problems of a people imbued with the values of Islam. Artinya Ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. c. Menurut M. Umer Chapra, Ekonomi Islam adalah Islamic economics was defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being through an allocation and distribution of scarce resources that is in confirnity with Islamic teaching without unduly curbing Individual freedom or creating continued macroeconomic and ecological imbalances. Artinya Ekonomi Islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa prilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbgangan lingkungan. d. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Sidiqy Ekonomi Islam adalah is the muslim thinke’s response to the economic challenges of their time. In this endeavour they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience. Artinya ekonomi Islam adalah respon pemikir Muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tententu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu oleh al-Qur’an dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengetahuan. e. Menurut Kursyid Ahmad Ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematik untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara relasional dalam perspektif Islam. 6 Mustafa Edwin et al, Op. Cit, halaman 16-17 4 Dari definisi-definisi tersebut Mustafa Edwin menyimpulkan bahwa menurut Chapra Ekonomi Islam tidak boleh terjebak oleh dikotomi pendekatan positif dan normative. Karena sesungguhnya pendekatan itu saling melengkapi dan bukan saling menafikan. Sedangkan menurut Manan menyatakan bahwa Ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi positif dan normative. Jika ada kecenderungan beberapa ekonomi yang sangat mementingkan positivisme dan sama sekali tidak mengajukan pendekatan normative atau sebaliknya, tentu sangat disayangkan. Abdul Manan 7 memberikan kesimpulan tentang apa yang dimaksud Ilmu Ekonomi Syari’ah, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas atau prilaku manusia secara actual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi berdasarkan Syari’at Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma ulama dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ekonomi Syari’ah bukan sekedar etika dan nilai yang bersifat normative, tetapi juga bersifat positif sebab ia mengkaji aktivitas actual manusia, problem-problem konsumen maupun produsen bukanlah raja. Prilaku keduanya haruslah dituntun oleh kesejahteraan umum, individual dan social sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Syari’at Islam. Jangkauan ekonomi syari’ah mencakup bidang ekonomi yang luas sebagaimana juga yang dibicarakan ekonomi modern. Ekonomi syari’ah tidak hanya membahas tentang aspek prilaku manusia yang berhubungan dengan cara mendapatkan uang dan memjbelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat. Konsep kesejahteraan manusia itu sendiri tidak mungkin statis, selalu relative pada keadaan yang berubah. Oleh karena itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi syari’ah harus terepleksi dari prinsif-prinsif universal Islam yang tetap dipandang shahih sepanjang masa. Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketika para pakar Ekonomi Islam membicarakan tentang ekonomi syari’ah (ekonomi Islam), selalu berhadapan dengan dua persoalan pokok, apakah ekonomi syri’ah ini merupakan suatu system atau suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sebahagian dari mereka mengatakan bahwa ekonomi syri’ah (ekonomi Islam) merupakan suatu system, karena ia merupakan suatu keseluruhan yang komplek dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebahagian yang lain mengatakan bahwa ekonomi syari’ah itu merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, karena ia dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis sebagaimana ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal tersebut Agustianto dan Muhammad Abdul Manan 8 mengatakan bahwa semestinya kedua hal tersebut tidak boleh dipertentangkan, sebab keduanya benar. Ekonomi Islam disebut sebagai system, karena ia merupakan bagian dari suatu tatanan kehidupan yang lengkap. Dalam konsep ekonomi Islam dikenal adanya konsep moneter, kebijakan fiscal, produksi, distribusi dan sebagainya. Di samping itu ekonomi Islam memiliki empat bagian yang nyata dari pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang wahyu qauly dan ghair qauly ijtihasd dan ijma’ para ulama. Ekonomi syari’ah dapat juga disebut sebagai 7 8 Abdul Manan, Loc. Cit. halaman 6 Ibid. 5 ilmu pengetahuan, karena dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis, rasional empiris dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian ilmiah. 2. Prinsif Dasar Ekonomi Islam serta Karakteristiknya. Ekonomi Syari’ah (Islamic Economic) baik sebagai ilmu social maupun sebagai sebuah system, kehadirannya tidak berlatar belakang apologetic, dalam arti bahwa system ekonomi syari’ah pernah memegang peranan penting dalam perekonomian dunia yang diklim sekarang sebagai suatu yang baik secara taken for granted Kehadiran Ekonomi Syari’ah juga tidak disebabkan, karena system ekonomi kavitalis yang mengandung banyak kelemahan dan ketidakadilan. Ekonomi Syari’ah tercipta, karena kesempurnaan Islam itu sendiri sebagai rahmah bagi alam semesta. Dalam kehidupan perekonomian Islam telah memiliki system ekonomi sendiri sesuai dengan sumbernya wahyu dan ijma’ berkaitan dengan hal tersebut Said Sa’ad Marthon 9 mengemukakan bahwa pada mulanya masyarakat dunia meyakini system ekonomi kapitalis merupakan pemikiran ekonomi yang signifikan dalam menjawab segala problematika kehidupan di bidang ekonomi. Akan tetapi dengan adanya perubahan zaman konsep tersebut didegradasi oleh system ekonomi sosialis yang didukung oleh Karl Marx. Dalam realita terdapat pertentangan yang sangat bertolak belakang antara kedua system ekonomi tersebut, sehingga sulit untuk dioprasionalkan secara baik. Sepanjang abad ke 20, kedua system ekonomi dunia tersebut dianggap kurang valid dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi dunia, oleh karena itu diharapkan ada sebuah system ekonomi alternative yang dianggap lebih capable dalam menjalankan kegiatan ekonomi untuk mencapai kemakmuran rakyat. System ekonomi dimaksud adalah system ekonomi Syari’ah yang memiliki karakteristik mandiri. Pada awal kehadirannya ekonomi Syari’ah termasuk lembaga-lembaga yang dilahirkannya oleh sebagian masyarakat dunia disambut dengan sikap apriori dan pesimis, bahkan dalam beberapa hal ditanggapi dengan sinis. Sebenarnya, sikapsikap tersebut lahir karena mereka belum memahami dan kurang pengetahuan serta sikap kaku berfikir yang dipergunakan dalam memahami ekonomi syari’ah. Oleh karena ekonomi syari’ah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan bersifat unik, lembaganya juga kompetitif dengan lembaga ekonomi konvensional yang sejenis, maka para ilmuwan dan para pemerhati masalah kemanusiaan, baik muslim maupun non muslim tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius. Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Negara-negara Islam saja, tetapi juga dinegara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya pusat-pusat pendidikan bergengsi di Negara-negara tersebut mengajarkan materi ekonomi syari’ah mulai dari srata 1 sampai dengan strata 3. Said Sa’ad Marthon, mengemukakan bahwa selain system bagi hasil (profit and loss sharing), ekonomi syari’ah dibangun atas empat karakteristik, yaitu pertama: dialektika nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, system perekonomian kontenporer hanya peduli terhadap peningkatan utilitas dan nilai-nilai materialisme Said Sa’ad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam, terjemahan Ahmad Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam di tengah Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim Jakarta, halaman xi 9 6 suatu barang, tanpa menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan masyarakat. System kapitalisme memisahkan intervensi agama dari berbagai kegiatan dan kebijakan ekonomi. Padahal pelaku ekonomi merupakan penggerak utama bagi perkembangan peradaban dan perekonomian masyarakat. Dalam ekonomi Islam, terdapat dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan mattialisme. Pelbagai kegiatan ekonomi, khususnya transaksi harus berdasarkan keseimbangan dari kedua nilai tersebut 10 selain itu Ekonomi Syari’ah atau ekonomi Islam menekankan kepada nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang. kedua kebebasan berekonomi dalam Islam dibatasi dengan nilai-nilai Ilahiyyah, dalam rangka merealisasikan konsep kebebasan individu pada kegiatan ekonomi, kapitalisme menekankan prinsif persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam kegiatan ekonomi secara bebas untuk meraih kekayaan. Realitanya konsep kebebasan tersebut menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi pendapatan dan kekayaan, selain hal tersebut secara otomatis mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja. Dalam konsep sosilisme masyarakat tidak mempunyai kebebasan sedikitpun dalam melakukan kegiatan ekonomi. Kepemilikan individu dihilangkan dan tidak ada kebebasan untuk melakukan kegiatan transaksi dalam kesepakatan perdagangan. Ketiga dualisme kepemilikan, pada hakikatnya pemilik alam semesta beserta isinya hanyalah Allah semata, manusia hanya wakil Allah dalam rangka memakmurkan dan mensejahterakan bumi. Kepemilikan manusia merupakan derivasi dari kepemilikan Allah yang hakiki. Untuk itu setiap langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia untuk memakmurkan alam semesta tidak diberkenankan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan Allah yang Maha Memiliki. Konsep keseimbangan merupakan karakteristik dasar ekonomi Islam, karena Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Salah satu weujud keserimbangan kepemilikan manusia adalah adanya kepemilikan public sebagai penyeimbang kepemilikan individu. Kepemilikan public merupakan kepemilikan yang dasarnya ditentukan oleh Syari’ah. Asas dan pijakan kepemilikan public adalah kemashlahatan bersama. Segala komoditas dan jasa yang dapat menciptakan ataupun menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama merupakan barang public yang tidak boleh dimiliki secara individu (public goods). Kepemilikan barang public dapat didelegasikan ke pemerintah ataupun intansi lain yang memiliki nilainilai amanah dan tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan oleh syari’ah. Kepemilikan public tersebut sebagaimana juga diakui Rasulullah dalam pernyataannya: “manusia bersekutu dalam tiga hal, yaitu air, padang sahara dan api”. Pembatasan tiga komoditas tersebut dalam penuturan Rasulullah tidak berarti pembatasan komoditas yang seharusnya dimiliki public, melainkan kontektualnya setiap komoditas yang manfaatnya bersifat umum harus dimiliki publik sesuai dengan perkembangan zaman. Keempat menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat, kemaslahatan individu tidak boleh dikorbankan demi kemaslahatan bersama atau sebaliknya. Untuk mengatur dan menjaga kemaslahatan masyarakat diperlukan sebuah instansi yang mendukung. Alhisbah merupakan instansi keuangan dalam pemerintahan Islam yang berfungsi sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi. Lembaga tersebut bertugas untuk 10 Mustafa Edwin, at al, Loc Cit. halaman 30 7 mengawasi semua inprastruktur yang terlibat dalam mekanisme pasar. Selain alHisbah mempunyai wewenang untuik mengatur tata letak kegiatan ekonomi, juga diwajibkan untuk menyediakan semua pasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya kemaslahatan bersama. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, sejak awal Allah SWT tidak hanya memerintahkan ummat manusia untuk melaksanakan shalat dan puasa saja, akan tetapi juga memerintahkan untuk mencari nafkah secara halal. Proses memenuhi kebutuhan hidup inilah yang kemudian menghasilkan kegiatan ekonomi seperti jual beli, produksi, distribusi, termasuk bagaimana membantu dan menanggulangi orang yang tidak bisa masuk dalam kegiatan ekonomi, baik dengan zakat, wakaf, infak dan sedekah. Namun apabila dilihat dari perkembangan ilmu modern, ekonomi Syari’ah masih dalam tahapn pengembangan. Persoalannya hanyalah karena ilmu ekonomi Islam ditinggalkan ummatnya terlalu lama. Berbagai pemerintah di dunia Islam dari mulai colonial penjajah hingga saat ini senantiasa memisahkan Islam dari dunia ekonomi. Apabila mengacu pada pernyataan Thomas Kuns, bahwa masing-masing system itu memiliki inti paradigma, maka inti paradigma ekonomi Islam sudah tentu bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber ini dalam bentuk apapun tidak dapat diparalelkan dengan prinsif dasar dua system ekonomi yang lainnya, yaitu kapitalis dan sosialis.ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbany dan insani. Disebuk ekonomi Rabbani, karena ekonomi Islam sarat dengan arahan dan nilai-nilai ilahiyah, dan sebagai ekonomi insani, karena system ekonomi Islam dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia secara keseluruhan baik dalam arti individu maupun dalam arti masyarakat11 sedangkan Chapra menyebutnya sebagai “Ekonomi Tauhid” yang mencerminkan ekonomi yang berwatak ketuhanan. Ekonomi Islam stresingnya bukan pada aspek pelaku manusianya, sebabg pelakunya pasti manusia, melainkan pada aspek aturan yang harus dipedomani dan dilaksanakan oleh para pelaku ekonomi. Hal ini didasarkan pada keyakinan, bahwa seluruh factor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah semata, dan hanya kepadanya segala urusan dikembalikan (3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam koridor aturan main. “Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezki orang yang Dia Kehendaki (42:12,13:26). Aqidah keimanan terhadap Sang Pencipta, memiliki peranan yang sangat penting dan akan kelihatan dominant dalam perekonomian syari’ah, karena keimanan tersebut sebagai landasan pokok yang berpengaruh langsung terhadap pola kehidupan manusia, dan cara pandang dalam membentuk kepribadian, gaya hidup, selera dan referensi manusia, sikap-sikap hidup, sumber daya dan lingkungan. Cara pandang ini akan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologis dan begitu juga metoda pemenuhannya. Keyakinan demikian juga akan senantiasa meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan sepiritual, meningkatkan solideritas keluarga dan social, serta mencegah berkembangnya kondisi yang tidak memiliki standar moral. Keimanan akan memberikan saringan moral yang memberikan arti 11 Yusuf Qardhawi, Peran, Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam 8 dan tujuan kepada penggunaan sumber daya, juga memotivasi mekanisme yang diperlukan bagi oprasi yang efektif. Saringan moral berfungsi menjaga kepentingabn diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan social dengan mengubah preferensi individual sesuai dengan prioritas social dan menghilangkan atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang akan menggagalkan visi social tersebut. Hal ini akan dapat membantu meningkatkan antara kepentingan diri untuk memenuhi kebutuhannya dan kepentingan social untuk membangun dan melestarikan sumber daya. Dalam banyak ayat-ayat alQur’an, manusia diberikan hak penuh untuk memanfaatkan sumber daya yang berada di alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi banyak pula ayat-ayat lain, yang mengingatkan, bahwa manusia bagian dari alam itu sendiri dan manusia ditugaskan untuk membangun dan melestarikannya. Menurut konsep Geososial Sistem, manusia dalam memenuhi kebutuhannya memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungannya berfungsi sebagai subjek, sedangkan sumber daya alam sebagai objek. Manusia memiliki kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya demi kepentingan manusia. Dalam hal perencanaan dan pengaturan sumber daya alam dan lingkungannya, manusia dipengaruhi banyak factor, diantaraanya sikap pribadi, kelompok dari masyarakatnya, politik dan budaya serta agama 12 . Dalam ajaran Islam factor terpenting adalah factor aqidah keimanan yang membentuk struktur motivasi setiap manusia yang dalam kehidupannya membutuhkan sumberdaya alam dan lingkungan. Struktur motivasi tersebut akan melahirkan cara pemanfaatan sumber daya al;am dan lingkungan untuk menutupi kebutuhannga dengan cara yang bijaksana, berimbang dan tidak mengorbankan salah satu dari kebutuhan individual, sosial dan geososial dari sumber daya alam dan lingkungan. Oleh karena itu manusia dituntut memiliki potensi kemampuan yang maksimal untuk pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan ini. Nilai-nilai keimanan inilah yang kemudian menjadikan sikaf patuh dan taat terhadap sumber aturan ilahiyah yang mengikat. Dengan mengacu pada aturan ilahiyah, setiap perbuatan manusia tidak terlepas dari nilai moral dan ibadah yang secara vertical merupakan perintah Sang Khalik dan secara horizontal bermanfaat bagi dirinya sendiri, manusia yang lain dan alam lingkungannya. Berbeda dwengan paham naturalis yang menempatkan sumber daya sebagai factor terpenting atau paham menetaris yang menempatkan modal; financial sebagai yang terpenting. Dalam ekonomi Islam sumber daya insani sebagai factor terpenting, manusia menjadi pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada (14:32-34), apabila sumber daya insani ini dibiarkan, tidak dipupuk dengan keimanan, maka sumber daya insani juga sebagai penghancur tatanan kehidupan, termasuk di dalamnya bidang ekonomi “dhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahri bima kasabat aidi al-nas, liyuzdiqahum ba’dla alladzi ‘amilu” Karakteristik ekonomi Islam semacam ini merupakan turunan dari karakteristik ummat Islam sebagai ummat moderat (ummatan wasathan) sebagaimana dimuat dalam Surat al-Baqarah ayat 143, yang mengemban tugas 12 Kaslan A. Thahir, 1985, Butir-butir Tata Lingkungan Sebagai Masukan Untuk Arsitektur Landsekap dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Bina Aksara Jakarta, hlm. 276-279 9 sebagai syuhada yaitu acuan bagi kebenaran dan standar kebaikan bagi ummat manusia. Pengertian wasathan dari sejumlah Kitab Tafsir, memiliki banyak konotasi makna, yang pertama memiliki arti “Tawasuth” yang dapat diartikan moderat, kedua memiliki arti Tawazun” yang dapat diartikan keseimbangan (balance), ketiga memiliki arti “Khairan” yang dapat diartikan terbaik atau alternative. Dari ketiga penafsiran tersebut memberikan indikasi, bahwa dalam Islam termasuk dalam ekonomi Islam meniadakan tempat untuk ekstremitas, kapitalis maupun sosialis. Ekonomi Islam memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang kaya yang mendapatkan dan mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli untuk memberdayakan orang-orang miskin. Kebijakan politik ekonomi dalam Islam tidak pernah segan untuk menindak orang-orang kaya yang tidak menunaikan hak-hak social dari harta kekayaannya, dan menegur orang-orang miskin yang berprilaku malas dan minta-minta belas kasihan kepada orang lain. Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama satu dengan yang lainnya dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan tidak baik, jahat dan merugikan orang lain yang merupakan perbuatan dosa kepada Allah SWT, sesuai firman-Nya dalam Surat al-Maidah ayat 2 “ta’aawanu ‘ala al-birri wa al-taqwa wala ta’aawanu ‘ala al-istmi wa al-‘udwan wa itaquu Allah inna Allaha syadid al-‘iqab” ayat ini menunjukan bahwa Allah memerintahkan kepada ummat manusia untuk bekerjasama dalam segala bentuk kebaikan dan melarang kerjasama dalam berbagai bentuk kejahatan. Pelaksanaan kerjasama ini dapat dilakukan baik secara bilateral, unilateral maupun multilateral dari tingkat lokala hingga global, tanpa harus dihambat oleh berbagai perbedaan manusia dalam segi apapun juga, sebab manusia adalah satu sebagai makhluq Allah semata, melalui Rahman-Nya Allah telah memberikan segala pasilitas untuk hisdup di dunia ini. Dalam Surat al-Hujurat ayat 13 Allah berfirman: “Ya ayyuha al-naas inna khalaqna kum min dzakarin wa untsa’ waja’alna kum syu’uban wa qaba’ila lita’arafuu inna akrama kum ‘inda Allahi atqa kum” hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengetahui, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Perwujudan pola kerjasama yang diajarkan Islam dapat dilakukan dalam berbagai macam sekema apapun demi tegaknya keadilan, Allah telah meletakan “mizan” suatu timbangan akurat yang paling objektif, siapapun tidak diperbolehkan melanggarnya, agar tidak terdapat seorangpun menjadi korban ketidakadilan. Mustafa Edwin Nasution et al,13 memberikan perincian karakteristik ekonomi Islam yang dikutif dari Kitab Al-Mawsu’ah Al-Ilmiyah wa al-amaliyah al-Islamiyah. Adalah sebagai berikut: 1. Harta milik Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta. Karakteristik ekonomi Islam yang pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama bahwa segala harta baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah semata, sesuai Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 284 “lillahi ma fi alsamawaati wa ma fi al-ardli wa in tubduu ma fi anfusikum au tukhfuuhu yuhasibkum bihi Allahi fayaghfiru liman yasya’ way u’adzibu man yasya’ wa Allahu ‘ala kulli syaiin qdiir” muksud dari ayat ini adalah “ hanya kepunyaan Allah-lah 13 Mustafa Edmin Nasution et al, Locd. Cit, hlam. 18-29 10 segala apa yang ada di langit dan apa yang dibumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu, maka Allah akan mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendakiNya dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadi dasar dari ayat ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada baik di bumi maupun di langit tidak ada seorangpun yang berhak memilikinya selaiin Allah semata, manusia hanya diberikan kemampuan untuk memanfaatkan milik Allah itu sesuai potensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itu pemanfaatan sebagian harta yang diraih melalui usahanya harus sesuai dengan tuntunan dan ajaran Allah sebagai pemiliknya, walaupun demikian Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memanfaatkan harta itu sesuai kehendaknya, hanya saja apa yang dia lakukan terhadap harta itu tetap akan diperhitungkan. Hal ini sesuai pula dengan Firman Allah dalam Surat Al-Najm ayat 31 “wa lillahi ma fi al- samawati wa ma fi al-ardl liyajziya aladzina ‘asauu bima ‘amiluu wa yajziya alladzina ahsanuu bi al-husna’, maksudnya dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, sungguh Dia akan membalas orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan akan membalas terhadap orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa alQur’an memandang harta kekayaan yang ada yang keberadaannya diusahan oleh manusia, manusia bukan pemilik mutlak terhadap kekayaan tersebut, melainkan hanya pemilik sementara waktu (milik nisbi) dengan demikian pemanfaatan harta yang dimiliki itu, paling tidak harus memperhatikan dua fungsi utama, yaitu fungsi individual dalam arti pemanfaatan harta itu sesuai dengan kebutuhan peribadi penmiliknya, dan fungsi social dalam arti apabila harta itu dibutuhkan oleh masyarakat dan Negara guna menunjang kesejahteraan umum, maka pemilik harta itu sangat dianjurkan untuk merelakannya Bagian yang kedua, bahwa manusia adalah sebagai khalifah terhadap harta yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat al-Hadid ayatt 7: “Aminuu bi Allahi wa rasulihi wa anfaquu mimma ja’alakum mustakhlifina fihi fa alladzina ‘aamanuu minkum wa anfaquu lahum ajrun kabiir”.Maksudnya: Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya, maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya, memperioleh oahala yang bersear. Pengasaan manusia terhadap harta dalam ayat ini adalah penguasaan yang tidak mutlak, karena hak milik hakikatnya adalah Allah semata, manusia menafkahkan hartanya harus disesuaikan dengan syari’at-syari’at Allah. Oleh karena itu kode etik dalam menggunakan harta menurut Islam, tidak boleh kikir dan tidak boleh boros, sebagaimana Allah berfirman “wa laa taj’al yadaka maghlulatan ila unukika wala tabsuthha kulla al-basthi fa taq’uuda maluman mahsura”. Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW yang juga mengemukakan peran manusia sebagai khalifah terhadap harta yang ada padanya, “dunia ini hijau dan manis, Allah telah menjadikan kamu khalifah di dunia. Karena itu hendaaklah kamu berfikir cara berbuat mengenaai harta di dunia ini”. 11 Dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis tersebut di atas, menunjukan bahwa walaupun segala yang ada di langit dan di bumi ini milik mutlak Allah, akan tetapi juga Islam menghormati dan mengakui penguasaan harta secara pribadi. Dalam surat al-Nisa ayat 32 Allah berfirman “wa la tatamannau ma fadldlala Allahhu bihi ba’dlakum ‘ala ba’dlin lirrijali nashibun mimmaktasabu wa linnisa’i nashibun mimmaktasabna was’alullaha min fadllihi innallaha kana bikulli syai’in ‘alima”maksudnya dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lakilaki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah dari sebagian karunianya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan jelas terdapat perbedaan antara status kepemilikan dalam sistim ekonomi Islam dengan sistim ekonomi yang lainnya. Dalam Islam kepemilikan pribadi dihormati dan diakui walaupun tidak mutlak, pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Sementara dalam sistim kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak, pemanfaatannya bersifat mutlak dan bebas, sedeangkan dalam sistin sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanya kepemilikan Negara. Sehubungan dengan hak kepemilikan terhadap harta kekayaan yang pemegangnya diserahkan kepada manusia, baik dalam arti individu maupun dalam arti kelompok, walaupun pemberian hak tersebut hanya sebatas khilafah, Gemala Dewi 14 membagi hak milik dalam dua bagian, yaitu Hak Milik Umum dan Hak Milik Khusus. Hak milik umum adalah harta yang dikhususkan untuk kepentingan umum atau kepentingan jemaah kaum muslimin. Pada dasarnya suatu benda (harta) ada yang boleh dimiliki oleh perseorangan dan ada pula yang tidak boleh. Benda atau harta yang tidak boleh dimiliki perseorangan inilah yang termasuk ke dalam hak milik umum. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad SWA yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi “Semua orang berserikat mengenai tiga hal, yaitu mengenai air rumput, api serta garam”. Hal-hal itu yang disebut dalam hadis, pada masa sekarang dianalogikan dengan minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia yang lainnya. Kesemuannya ini merupakan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak15 Dewasa ini hak milik umum dikembangkan lebih luas, yaitu mencakup juga jalan, sungai, jembatan, lautan, danau, bukit dan sebagainya. Demikian juga atas harta-harta vital, yaitu sesuatu yang mutlak diperlukan bagi kepentingan Negara dan bagi hajat hidup masyarakat seperti perusahaan listrik, pos dan telkom, perusahaan kereta api, air minum, dan lain sebagainya. Hak milik umum dalam suatu perserikatan atau organisasi ialah uang kas, gedung atau kantor, inventaris, dan usaha yang dijalankannya. Kesemuanya itu tidak boleh dimiliki atau dimanfaatkan oleh perorangan, pemanfaatannya harus ditrentukan oleh pimpinan atas dasar musyawarah bagi kepentinganh perserikatan atau kepentingan masyarakat. Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, hlm. 39-42 15 Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, halam. 7 14 12 Hak milik khusus adalah suatu kepemilikan atas harta secara pribadi, penguasaan dan penggunaan harta tersebut ditujukan untuk kepentingankepentingan yang bersifat pribadi secara individual. Islam berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan fitrah dan instinkinstink sosial. Dari banyak dorongan dan instink itu, di antaranya manusia berkeinginan memiliki dan menyukai harta benda (QS. 89: 119-20) instink inilah yang mendorong manusia melakukan berbagai kegiatan usaha untuk membangun kehidupannya. Islam mengakui dan menghormati keberadaan hak milik pribadi begitu pula terhadap harta yang dimilikinya. Pengakuan dan penghormatan ini tampak sebagai berikut: a) Bahwa prinsif-prinsif syari’ah sebagai dasar ketentuan hukum bertujuan untuk memelihara 5 hal (maqashidussyar’iy), yang diantaranya bertujuan untuk memelihara harta kekayaan baik hak milik umum maupun hak milik pribadi. b) Bahwa Islam melarang berbagaimacam bentuk perampasan atas hak milik harta kekayaan, seperti merampog (QS. 5:33), mencuri (QS. 5:38), menipu (QS. 4:29), melakukan penggelapan (QS. 4:58), suap menyuap (QS. 2: 188), berjudi (QS.2:215), memakan riba (QS. 2:275-279) dan lain sebagainya. 2. Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syari’ah dan Akhlak (moral). Perbedaan yang mencolok antara ekonomi liberal derngan ekonomi Islam adalah bahwa ekonomi libral salah satu sitem ekonomi yang dibebaskan dari nilainilai, ia berpokus pada prinsif meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan menghindari kerugian yang sekecil-kecilnya. Sedangkan dalam ekonomi Islam keuntungan dan kerugian adalah merupakan salah satu karakter perekonomian, roda perekonomian terikat secara inhern dengan akidah, syari’ah dan akhlak (nilai-nilai). Akidah dalam sitem ekonomi Islam adalah merupakan pondasi dan landasan utama, agar kemajuan ekonomi itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan individu masyarakat dan Negara serta alam lingkungannya, kemajuan ekonomi tidak diperkenankan dengan mengorbankan system yang lain. Pandangan Islam terhadap alam semesta adalah bahwa manusia memiliki hak atas manfaat yang diberikan alam lingkungan begitu juga alam lingkungan berhak atas manfaat yang diberikan manusia. Oleh karena itu seluruh alam semesta, yang dalam hal ini manusia dengan alam lingkungannya harus saling memberikan manfaat guna kelestarian kedua pihak. Keterkaitan hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan Syari’ah memungkinkan aktivitas ekonomi dalam Islam menjadikan ibadah yang sering disebut “ekonomi Rabbany”, bukti ini antara lain: adanya larangan terhadap pemilik harta dalam menggunakan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau merampas kepentingan-kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain” (HR. Iamm Ahmad), larangan adanya unsure penipuan dan spekulasi dalam bertransaksi, yang akan merugikan salah satu pihak atau kedua belah pihak, larangan menimbun emas dan perak (produk perekonomian) atau sarana-sarana moneter lainnya demi keuntungan satu pihak, sehingga mnecegah peredaran uang dan menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan pekerjaan. Allah berfirmanh dalam surat al-Taubah ayat 34: “yaa ayyuha alladzina aamanuu inna kastiran min al-ahbari wa al-ruhbaani la ya’kuluna amwala al-nasi bi albathili wa yasushshudduuna ‘an sabiili Allahi wa alladzina yaknizuuna aldzahaba 13 wa al-fidlata wa la yunfiquunaha fi sabiilillahi fa basysyirhum bi ‘adzabin aliim”. Maksudnya: hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan cara bathil; dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih. Selain itu Allah juga melarang orang bersikap kikir dan boros, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat 3. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan. Banyak kalangan para ahli Barat memiliki penafsiran tersendiri terhadap Islam. Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri). Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsure keagamaan (mementingkan akhirat) dan sekularitas (keduniawian). Sebenarnya sesuai petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Islam, tidak memisahkan antara kepentingan kehidupan dunia dengan akhirat, kedua kehidupan itu memiliki sinkronisasi, dalam kedua kehidupan itu manusia harus mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, setiap aktivitas manusia di dunia akan berdampak pada kehidupannya di akhirat, aktifitas manusia di dunia tidak boleh mengorbankan kehidupan di akhirat. Baik dan buruk yang dilakukan manusia didunia adalah merupakan gambaran baik buruk kehidupannya di akhirat. Allah berfirman dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Qashash ayat 77: “Wa ibtaghi fima ataka Allahu al-Dar al-akghirah wa la tansa nashibaka min al-dunya wa ahsin kama ahsana Allahu ilaika wa la tabghi al-fasada fi al-ardli inna Allaha la yuhibbu al-fufsidiin”.Maksudnya: dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) dunyawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, sesungguhnya Allahtidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Dalam surat al-Baqarah ayat 20 Allah berfirman: “wa minhum man yaqulu rabbana ‘aatina fi al-dunya hasanatan wa fi al-‘akhirah hasanatan wa qinaa ‘adzabannar” maksudnya: dan sebagian mereka ada orang yang berdo’a “ya Rabbana berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka. Disamping kedua ayat ini masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang bernada sama dan menunjukan harus adanya keseimbangan antara kebahagiaan dan keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat. Apa yang dilakukan didunia pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. 4. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dengan Kepentingan Umum. Keseimbangan dalam sistim sosial Islam adalah bahwa Islam tidak mengakui adanya hak mutlak dan kebebasan mutlak, akan tetapi hak dan kebebasan itu dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak kepemilikan. Pengasaan individu atas harta kekayaan sesuai hak kepemilikannya diakui dihormati dan diakui, begitu pula penguasaan kolektif atas harta kekayaan sesuai hak kepemilikannya. Pada tahap penggunaannya tidak diperbolehkan perlakuan yang 14 mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum, begitu pula sebaliknya. Ayat al-Qur’an yang berbunyi “la tadhlamuna wa la tudhlamun” adalah prinsif umum dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam penggunaan harta kekayaan miliknya. Prinsif ini adalah merupakan cermin pada setiap kebijakan individu maupun lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi. Cirri ini jelas berbeda dengan sistim ekonomi kapitalis yang hanya memperhatikan kepentingan pribadi dan sistim ekonomi sosialis yang lebih menekankan kepentingan umum. 5. Kebebasan Individu Dijamin dalam Islam. Individu-individu dalam sistim perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai suatu tujuan. Namun kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak, tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Dalam memperoleh harta kekayaan, dipersilahkan berusaha dan berupaya semaksimal mungkin untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dalam ayat al-Qur’an surah al-Jum’ah ayat 10, yang berbunyi “idzaa qudliyat al-shalah fantasyiruu fi al-‘ardli wa iibtaghu min fadllillahi wa udzkuruu lillahi katsiran la’allakum tuflihuun” maksudnya: Apabila kamu telah melaksanakan shalat, silahkan menjelajahi bumi dan mencari karunia (rizki) Allah dan berdzikirlah kepada Allah dengan banyak, mudah-mudahan kamu termasuk orang-orang yang mendapat kebahagiaan. Dari ayat ini menunjukkan bahwa konsep ekonomi dalam Islam tdak terdapat pembatasan bentuk dan macam usaha bagi seseorang untuk memperoleh harta kekayaan, demikian pula tidak terdapat pembatasan kadar keuntungan banyak atau sedikit. Hal ini tergantung kepada kemampuan, kecakapan dan keterampilan masing-masing pelaku usaha itu sendiri. Setiap orang leluasa untuk melakukan usaha apapun dengan sekuat tenaga, guna memperoleh keuntungan yang diharapkan, sesuai kepampuan dan keterampilannya, selama usaha itu dilakukan dengan sewajarnya dan tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Dalam hal kepemilikan atas harta kekayaan Islam mengakui dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan tingkat kemampuan, kecakapan, keterampilan dan perbedaan keuntungan dari hasil usahanya. Bahkan dari perbedaan-perbedaan itu merupakan rahmat bagi kelangsungan kehidupan manusia. Allah berfirman (QS. 43:32): “apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhan-mu? Kamilah yang akan menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat bekerja untuk sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. Untuk itu Islam mewajibkan setiap orang untuk menggunakan sebagian dari hak miliknya untuk kepentingan baik perseorangan, agama dan masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini Islam telah memberikan garis-garis pokok berupa ajaran dan ketentuan yang wajib dipenuhi serta dilaksanakan oleh setiap orang terhadap 15 harta yang telah menjadi miliknya, agar harta tersebut berpanfaat sesuai dengan kedudukan dan fungsinya.16 6. Negara dan Pemerintah Berwenang Mencampuri Perekonomian. Berbeda dengan sistim perekonian yang lain, sistim perekonomian Islam memperkenankan intervensi untuk mengatur perekonomian dalam batas-batas tertentu, agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam Negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau Negara lain, Negara juga berkewajiban memberikan jaminan kesejahteraan yang menyeluruh, agar seluruh komponen masyarakat dapat hidup secara layak dan manusiawi. Adalam hal ini Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan beban, hendaklah dia dating kepadaku, karena akulah maulanya” (pelindungnya) (Al-Mustadraq oleh Al-Hakim). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda “Siapa yang meninggalkan keturunan (yang tersia-sia), anak (dia datang) kepadaku dan (menjadi) tanggung jawabku” (HR. Bukhari Muslim). Peran Negara dalam perekonomian pada sistim ekonomi Islam ini jelas berbeda dengan sistim kapitalis, yang dalam sistim perekonomiannya menghendaki tidak ada intervensi dari pemerintah atau walaupun diperkenankan dalam batas yang sangat terbatas, sebab sistim perekonomian dengan segala aspeknya harus berjalan secara alamiyah dan diserahkan kepada pangsa pasar. Sedangkan sistim perekonomian sosialis memberikewenangan yang mutlak kepada Negara untuk menentukan segala-galanya dalam perekonomian. 7. Islam Memberikan Bimbingan Distribusi dan Konsumsi dalam Menggunakan Hasil Produksi. Segala hasil produksi dalam perekonomian, Islam memberikan bimbingan dalam pemanfaatan hasil produksi tersebut, baik dalam hal distribusi maupun dalam hal konsumsi. Dalam hal komsumsi masyarakat dikehendaki tidak menggunakan dan memanfaatan hasil produksi tersebut secara berlebih-lebihan yang akan berakibat tidak ada keseimbangan antara produksi dan komsumsi yang akan merugikan masyarakat. Pola konsumsi masyarakat harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi devisit persediaan yang dihasilkan, sebab apabila pola konsumsi masyarakat berlebihan, berakibat kekurangan hasil produksi dan begitu pula sebaliknya. Dalam hal konsumsi ini Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 31: “ya bany adam khudzuu zinatakum ‘inda kullimasjidin wa kuluu wa asyrabuu wa la tusrifuu innahu la yuhibbu al-musrifiin”. Maksudnya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (amemasuki) mesjid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Aallah tidak menyukai orang-orang yang suka berlebih-lebihan. Allah juga melarang orang yang suka bermewah-mewahan, sebagaimana dalam firman-Nya : wa idzaa aradnaa an nuhlika qaryatan amarnan mutrafiha fa fasaquu fihaa fahaqqa alaiha al-qaulu fa dammarnaahaa tadmiira”. Maksudnya dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah 16 Gemala Dewi, Op. Cit. hlma: 42 16 sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Selain konsumsi, dalam hal ditribusipun mendapat bimbingan yang menyeluruh demi tercapainya keadilan yang merata dan seimbang. Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Di antaranya adalah dengan cara-cara sebagai berikut: A. Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu. B. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi. C. Menjamin basic need fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat. D. Melaksanakan amanah al-takafful al-ijtima’I atau social economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu. Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan martabat yang lebih melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsekkeadilan ekonomi, menghendaki setiap individu mendapatkan imbalan sesuai dengan alam dan karyanya. Ketidaksamaan pendapatan dimungkinkan dfalam Islam, karena kontribusi masing-masing orang kepada masyarakat berbeda-beda.17 8. Larangan spekulasi dengan Sistem Riba. A. Pengertian riba. Riba (al-ribaa) secara bahasa bermakna ziyadah yang artinya tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga diartikan tumbuh dan membesar18 adapun menurut istilah teknik, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ahli hukum Islam mengemukakan berbagai macam definisi tentang riba, dengan redaksi yang berbeda-beda, namun dalam definisi-definisi tersebut terdapat benang merah, menuju kepada substansi yang sama, yaitu mengambil keuntungan dari penambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam dengan cara yang bathil (tidak benar) atyau bertentangan dengan prinsif-prinsif mu’amalah dalam Islam. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat al-Nisa ayat 29: yaayyuha al-ladzinaa ‘amanuu la ta’kuluu amwalakum bainakum bi al-bathil…Maksudnya hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.. kaitannya dengan pengertian bathil dalam ayat tersebut, Ibn al-‘Araby al-Maliki dalam Kitabnya Ahkam al-Qur’an, menegaskan “wa al-riba fi al-lughah huwa alziyadah wa al-murad bihi fi al-ayah kullu ziyadatin lam yuqaabilha ‘audlun”. Maksudnya Pengertian riba menurut bahasa adalah tambahan dan yang dimaksud riba dalam setiap ayat adal;ah setiap tambahan yang diambil tanpa adanya suatu Muhammad Syafi’i Antonio, 2005, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, hlmn. 15-17 Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interet: A. Study of the Prohibition of Riba its Contemporary Interpretation,hlmn. 65 17 18 17 transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan. Transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil sdan seimbang, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, bagi hasil proyek dan lain sebagainya. Dalam transaksi jual beli, sipembeli membayar sejumlah uang karena adanya barang - barang yang diterimanya, dalam hal sewa sipenyewa membayar uang sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan sipenyewa. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional sipemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima sipeminjam, kecuali kesempatan dan factor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah sipeminjam diwajibkan untuk selalu untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya karena factor waktu semata-mata tanpa adanya factor yang lain sebagai pelaku usaha yang menjalankan usahanya dan perusahaan yang dijalankan adalah bersifat alami akan mengalami keuntungan dan kerugian. Pengertian riba tersebut senada dengan pengertian riba yang disampaikan kebanyakan Ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzshab fiqhiyah, diantaranya sebagaimana yang dikutif Muhammad Syafi’i Antanio19 : 1. Badr al-Din al-Ayni dalam kitabnya Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhary mendefinisikan riba dengan “al-ashlu fihi al-ziadah wa huwa fi al-syar’i alziyadah ‘ala ashli malin min ghairi ‘aqdin tabayu’in” maksudnya adalah prinsif utama dalam riba adalah penambahan, menurut Syar’a riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis saling tukarmenukar. 2. Imam Sarakhasi dari madzhab Habnafi, mendefinisikan riba dengan: “al-riba huwa al-fadllu al-khali ‘an al-‘iwadli al-masyruthi fi al-bay’i” maksudnya adalah bahwa riba merupakan kelebihan yang disyaratkan dalam tranasaksi bisnis dengan tanpa adanya iwadl atau padanan atau pengganti. 3. Imam Nawawi mengutif tulisan al-Mawardi dalam kitab Majmu’ Syarah alMuhadzab, sebagai berikut: “Qala al-Mawardi ikhtalafa ashhabuna fiima ja’a bihi al-Qur’an fi tahriimi al-riba ‘ala wajhain, ahadihima, annahu mujmalun fasarathu al-Sunnah wa kullu ma jaat bihi al-Sunnah min ahkamin fahuwa bayanun li mujmali al-Qur’an naqdan kana au nasiatan wa al-sani anna al;tahriima al-ladzi fi al-Qur’an annama tanawalu ma kana ma’hudan liljahiliyah min riba al-nasa’i wa thalabu al-ziyadah fi al-mal bi ziyadah alajal tsumma waradat al-Sunnah biziyadah al-riba fi al-naqdli mudlafan ila ma ja’a bihi al-Qur’an”. Maksudnya adalah al-Mawardi menyatakan berbeda pendapat saudara-saudara kami (para Ulama) tentang haramnya riba dalam alQur’an, atas dasar dua alasan, yang pertama bahwa ayat al-Qur’an (yang menunjukan keharaman riba) bersifat mujmal, kemudian al-Sunnah menafsirkan ayat tersebut, oleh karena itu setiap Sunnah yang didalamnya memuat ketentuan hukum adalah sebagai penjelasan terhadap ke-mujmalan ayat al-Qur’an. Dengan demikian riba dikasud adalah baik riba naqdan (alat 19 Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit. halaman: 39-41 18 tukar-menukar), maupun nasi’atan. Yang kedua bahwa haram yang terdapat dalam ayat al-qur’an itu mencakup riba yang dipraktekan pada masa Jahiliyah, yaitu termasuk riba nasi’ah yang didefinisikan mencari penambahan dalam harta dengan penambahan waktu, kemudian al-Sunnah menambahkan riba dalam naqd (alat tukar-menukar) yang disandarkan kepada apa yang terdapat dalam al-Qur’an. 4. Qatadah menjelaskan “anna al-riba al-Jahiliyah, an yabi’a al-rajulu al-bai’a ila ajalin musamma, faidza halla al-ajalu wa lam yakun ‘inda shahibihi qadlaun zaada wa akhara ‘anhu”maksudnya riba jahiliyah itu adalah seseorang bertransaksi sampai waktu yang telah ditentukan, apabila telah jatuh tempo dan debitoir tidak mampu membayarnya, maka batas waktu tersebut ditambah atau ditangguhkan dengan penambahan pembayaran. 5. Zaid bin Aslam menyatakan: “Innama kana riba al-Jahiliyah fi tadl’iif wa fi sanni yakunu8 li al-rajuli fadllu dainin fa ya’tihi, idza halla al-ajal, fa yaquku taqdlini atau taziiduni”. Maksudnya bahwa riba Jahiliyah itu adalah riba yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu, seseorang yang memiliki piutang dengan mitranya, pada saat jatuh tempo, ia menyatakan bayar sekarang atau ada penambahan. 6. Ja’fara al-Shadiq pernah memberikan argumentasi, ketika ditanya tentang haramnya riba, beliau menyatakan: “lialla yatamatta’ al-Nasu al-ma’rufa, liannahu mata jawwaza akhdzu al-fa’idah ‘ala al-qrdl lam yakun ahadun yaf’alu ma’rufan min qardlin wa nahwihi, fa yanqathi’u al-ma’ruf baina alnasi min al-qardl al-ladzi yuradu bihi al-irfaq wa al-ihsan” maksudnya adalah supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qardl bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia. 7. Imam Ahmad bin Hambal menyatakan: “wahuwa an yaquna lahu dainun fa yaqulu lahu ‘a taqdli am turabb6y fa in lam yaqdlihi zadaahu fi al-mal wa zadaahu hadza fi al-ajal”. Maksudnya sesungguhnya riba adalah seseorang memiliki utang, maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih, apabila tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana atas penambahan waktu yang diberikan.. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan, bahwa riba dalam berbagai bentuknya itu adalah keuntungan yang diperoleh seseorang dengan tanpa adanya aktivitas prestasi yang dilakukannya atau dengan kata lain keuntungan dengan cara memeras keringat yang lain. Secara garis besar riba dikelompokan kepada dua kelompok riba, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang terbagi kepada dua bagian, yaitu riba qiradl dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual beli terbagi kepada dua bagian, yaitu riba fadl dan riba nasi’ah. Riba qiradl adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridl). Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan, riba fadlal adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, dan barang yang ditukarkann itu termasuk barang ribawi dan riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang 19 dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. Larangan Riba Dalam al-Qur’an dan Al-Sunnah. Segala bentuk riba menurut Islam adalah merupakan salah satu bentuk exploitasi atau perampasan hak pihak yang lain, oleh karena itu Islam sebagai salah satu agama yang melarang keras beredarnya riba dalam masyarakat. 1. Larangan Riba Dalam Al-Qur’an. Al-qur’an dan al-Sunnah sebagai dua landasan pokok hukum Islam, sering kali menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara yang tidak benar atau menerima keuntungan tanpa adanya nilai imbangan adalah suatu perbuatan yang dilarang. Riba hanyalah sebuah kasus dari perbuatan memperkaya diri secara tidak benar atau menurut al-Qur’an, memakan, yaitu mengambil untuk kepentingandiri sendiri atau kelompok, terhadap milik orang lain dengan alas an atau cara yang tidak dibenarkan. Riba secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu keuntungan moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk salah satu dari dua pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai moneter20 Riba secara kasat mata dapat dinyatakan adalah salah satu bentuk usaha yang sangat menguntugkan bagi kreditoir dengan cara memutar nilai moneter dengan tampa harus ada usaha yang riil yang memerlukan energi yang banyak. Oleh karena itu riba salah satu bentuk mu’amalah yang telah lama dijalankan ummat manusia dari waktu-kewaktu. Al-Qur’an membenarkan bahwa riba adalah usaha yang menguntungkan secara lahiriyah, akan tetapi hakikat riba akan menghancurkan tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Karena alasan tersebut al-Qur’an sangat hatihati dalam menetapkan larangan riba, sehingga larangan tersebut dibagi dalam empat tahapan. Menolak anggapan bahwa pinjaman yang disertai riba sebagai sebuah bentuk pertolongan kepada mereka yang memerlukannya dan dianggap sebagai perbuatan mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Surat AlRum 39: “wama ataitum min riba liyarbuwa fi amwalin al-nas fala yarbau ‘indallahi wama ataitum min zakatin turiduuna wajhallahi fa ulaika hum almudl’ifun”. Maksudnya dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta harta manusia, maka hal itu tidaklah menambah disisi Allah, dan suatu zakat yang kamu berikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah mereka inilah orang-orang yang melipatgandakan keuntungan (pahala). Tahap kedua Allah menggambarkan riba sebagai perbuatan yang buruk, bukanlah suatu kebaikan dengan dalih menolong orang lain, Allah mengancam dengan keras kepada orang yahudi yang sukam memakan riba dalam Surat al-Nisa ayat 160-161 Allah berfirman: “fa bidhulmin min alladzina haduu harramna ‘alaihim thayyibatuin uhillat lahum wa bishad’ihum ‘an sabilillah katsiran. Wa akhdzihim al-riba wa qad nuhuu ‘anhu wa aklihim amwala al-nasi bi al-bathili wa ‘atadna li al-kafiriina minhum ‘adzaban ‘aliima”. Maksudnya maka, disebabkan kedhaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dulunya dihalalkan bagi mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan 20 Demikian pendapat Schacht yang dikutif Latifa M dan Mervyn K dalam bukunya Perbankan Syari’ah, 2005, hlm. 56 20 suka memakan riba, padahal telah dirarangnya dank arena mereka memakanm harta manusia dengan cara bathil, kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir dari mereka siksa yang pedih. Tahap ketiga Allah melarang riba yang dikaitkan dengan tambahan yang berlipat ganda. Para Ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan penomena yang banyak dipraktekan pada masa turunnya al-Qur’an Surat al-‘Imran ayat 130 yang berbunyi: yaayyuha al-ladzina ‘aamanu la ta’kuluu al-riba ‘adl’afan mudla’afatan wa ittaquu Allaha la’allakum tuflihuuna”. Maksudnya hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan cara berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kreteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat yang dijadikan batasan adanya larangan, melainkan gambaran sifat umum praktek riba yang terjadi pada saat itu. Begitu pula ayat ini harus dipahami secara komperhensif melalui penafsiran al-msudl’iy, yaitu menggabungkan pemahaman yat tersebut dengan surat al-Baqarah ayat 278-279 yang diturunkan pada tahun ke-9 Hijriah dan pada tahapan keempat Allah SWT secara tegas mengharamkan riba, dengan tidak dibatasi berupa tambahan apapun, dan besar atau kecilnya riba tersebut. Sebagainana dalam Surat al-Baqarah ayat 278279 Allah berfirman: “ya ayyuha al-ladziina ‘amanuu ittaquu Allaha wa dzaruu ma baqia min al-riba in kuntum mu’miniina. Fa in lam taf’aluu fa’dzunuu biharbim min Allahi wa Rasulihi wa in tibtum fa lakum ru’usu amwalikum la tadhlimuuna wa la tudhlamuuna”. Maksudnya hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan riba, jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak juga dianiaya. Ayat ini harus dipahami sesuai asba nuzulnya, sebagaimana yang diriwayatkan Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary bahwa kaum Stakif, penduduk kota Thaif telah membuat kesepakatan bersama Rasulullah, bahwa seluruh hutang piutang mereka yang didasarkan kepada riba dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah futuh Makka, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bi Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak, oleh karena itu datyanglah Bani Amr uintuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah seperti sedia kala, tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menaggapi masalah ini Gubernur langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat tersebut di atas. Kemudian Rasulullah membalas surat tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid, “jika mereka ridla atas ketentuan Allah di atas, maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya, maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka”. Dari sebab turunnya ayat tersebut, jelas sekali al-Quran dengan tegas melarang segala bentuk riba yang disambut oleh Rasulullah dengan tegas pula, sehingga beliau menantang perang terhadap orang yang masih bertransaksi dengan cara-cara riba. 21 2. Larangan Riba dalam Al-Sunnah. Sudah menjadi pengetahuan umum, posisi al-Hadis atau al-Sunnah adalah sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, hal ini karena al-Sunnah berposisi sebagai penjelas (bayan), baik bayan tafsir, bayan tafshil, bayan ta’qid, bayan istisnaiy. Rasulullah memberikan penegasan tentang riba pada amanat terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah ”Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Rabmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu, Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu, kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Banyak hadis-hadis yang menguraikan tentang riba, diantaranya “akhbarani ‘Aun bin Aby Juhaifah, qala ra’aitu aby isytara hajjaaman ga amara bi mahaajamihi fa kusirat fa saaltuhu ‘an dzalika qala inna Rasulullah SAW nahaa ‘an tsamanin al-dam wa tsamanin al-kalbi wa kasb al-ammati wa la’ana alwasyimata wa al-mustausyimah wa akli al-riba wa mu’akilihi wa la’ana almushawwar”.maksudnya: diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa “ayah saya membeli seorang budak yang pekerjaannnya membekam, kemudia ayah saya memusnahkan peralatan bekam itu, saya bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya, jawabnya bahwa Rasulullah SAW telah melarang menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan dari kasab budak perempuan, beliau juga mela’nat pekerjaan penato, dan yang meminta di tato, menerima dan member riba serta beliau mela’nat pembuat gambar.21 Dalam hadis lain sebagaimana yang diriwayatkan Aby Sa’id al-Khudry, beliau menyatakan bahwa suatu ketika Bilal menghadap Rasulullah dengan membawa kurma bami, Rasulullah bertanya dari mana kurma ini? Bilal menjawab “saya mempunyai sejumlah kurma yang berkualitas rendah mutunya dan menukarkannya dengan dua sha’ untuk satu sha’ jenis kurma bami ini, agar kami dapat menghidangkannya bagi Nabi SAW, setelah itu Rasulullah bersabda “awah awah ‘ain al-ribaa’ ‘ain al-ribaa’ la taf’al wa lakin idza aradta an tasytary fa bi’ altamra bibai’in akhar tsumma isytarhu” artinya berhati-hatilah terhadap bendabenda riba, janganlah kamu mengulangi perbuatan ini, akan tetapi apabila kamu menghendaki untuk membeli kurma yang mutunya lebih baik, maka jualah kurma yang kamu miliki itu untuk mendapatkan uang dan kemudian dengan uang tersebut, belikanlah terhadap kurma yang mutunya lebih baik itu22 Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Rahman bin Aby Bakrah dari ayahnya ra. Beliau berkata bahwa Nabi SAW telah melarang penjualan emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali sama beratnya, dan Rasululullah memerintahkan kepada kita untuk menjual emas dengan perak dan sebaliknya sesuai dengan keinginan kita23 Dalam hadis lain dari Jabir, beliau menyatakan “la’ana Rasulullah SAW akil al-ribaa’ wa mu’akilahu wa katibahu wa syaahidaihi wa qaala hum sawaa’” 21 HR Al-Bukhary Nomor 2084, Kitab al-Buyu’ HR Al-Bukhary Nomor 2145 Kitab al-Buyu’ 23 HR Al-Bukhary Nomor 2034 Kitab al-Buyu’ 22 22 artinya Rasulullah telah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang yang menyaksikannya, kebudian beliau bersama mereka semuanya sama.24 Masih banyak hadis-hadis yang secara nyata mengharamkan riba dan bentukbentuknya yang dimuat dalam berbagai macam kitab hadis. 3. Pandangan Ulama Tentang Keharaman Riba.25 Banyak pendapat dan pandangan di kalangan ulama dan ahli fikih baik klasik maupun kontenporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak. Tentang keharaman bunga bank karena bunga bank sama dengan riba, melalui berbagai macam fatwa, yang diantaranya: a) Muktamar II Lembaga Riset Islam al-Azhar yang dilaksanakan di Kairo bulan Mei 1965 yang dihadiri utusan dari 35 Negara Islam, telah menyepakati beberapa hal yang diantaranya bunga (interet) dari seluruh bentuk pinjaman hukumnya riba dan diharamkan. b) Rabithah Al-Alam Al-Islami, keputusan nomor 6 sidang ke-9 yang dilaksanakan di Makah pada tanggal 12-19 Rajab 1406 H menyatakan bunga bank yang berlaku pada bank konvensional adalah riba yang diharamkan. c) Majma Fikih Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam keputusan Nomor 10, OKI kedua yang dilaksanakan tanggal 22-28 Desember 1985 menyatakan d) Bahsul Masa’il dalam Munas di Bandar Lampung tahun 1992 merekomendasikan agar Nahdhatul Ulama (PBNU) mendirikan Bank Islam NU dengan sitem tanpa bunga, yang sebenarnya di kalangan ulama NU sendiri masih terdapat tiga pendapat tentang bunga bank, ada yang berpendapat sama dengan riba, ada yang mengatakan tidak sama dan ada yang menyatakan syubhat. e) Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyarankan kepada Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. f) Majlis Ulama Indonesia dalam lokakarya alim ulama di Cisarua tahun 1991 bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank alternative. g) Fatwa MUI pada akhir tahun 2003 menyatakan bahwa bunga bank haram. 4. Pendapat Yang Menghalalkan Bunga Bank. Walaupun ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis sangat jelas mengharamkan riba, akan tetapi masih ada kalangan ulama yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, yang di antaranya sebagai berikut26 1. Dalam keadaan darurat bunga bank halal hukumnya. 24 HR Muslim Nomor 2995 Kitab al-Masaqah Lihat Mustafa Edwin at. al halaman 41-42 26 lihat Syafi’i Antonio, loc. cit. halaman 54-58 25 23 2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak mendhalimi diperbolehkan. 3. Bank sebagai lembaga keuangan tidak termasuk dalam katagori mukallaf, dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadis-hadis riba. Alasan pembenaran terhadap bunga bank tersebut dipelopori oleh Ibrahim Husen, sebagaimana dimuat dalam papernya yang berjudul Kajian Tentang Bunga Bank Menurut hukum Islam yang dipresentasikan pada saat Workshop Bank And Banking Interest yang diseponsori Majelis Ulama Indonesia sekitar tahun 1990. pada saat itu terjadi pro kontra yang meluas di antara cendekia Muslim yang hampir menjurus terjadinya perpecahan di antara ummat muslim sendiri. Apabila dicermati secara jernih dan cermat alasan pembenaran tersebut tidak lah akan melahirkan kesimpulan bahwa bunga bank tersebut diperbolehkan atau dihalalkan. Alasan darurat sebagai instrument pengubah hukum harus dikembalikan kepada proporsi yang sebenarnya, sehingga kaidah yang menyatakan al-dharurat tubih al-mahdlurat tidak diintrepretasikan untuk hal-hal yang tidak termasuk dalam katagori dharurat itu. Keadaan dharurat yang dapat mengubah hukum haram menjadi boleh adalah sebagaimana yang dinyatakan Imam al-Suyuthy dalam Kitabnya Al-Isybah wa AlNadh’ir 27 menegaskan bahwa dharurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan berakibat kehancuran atau kematian. Dalam literature klasik keadaan emergency tersebut sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan belantara dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, ia dalam keadaan sangat kelaparan, sehingga apabila ia tidak segera makan akan mengalami kematian. dalam keadaan yang demikian Allah membolehkan memakan daging babi tersebut. Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 173 “faman idhthurra ghaira bagin walaa ‘aadin fala itsma ‘alaih..” Menurut ayat ini keadaan dharurat dibatasi dua hal, yaitu bukan berdasarkan keinginannya sendiri dan kebolehan melakukan yang diharamkan dibatasi hanya untuk mengembalikan keadaan emergency itu kepada keadaan ikhtiyariah, dan apabila keadaannya telah pulih menjadi ikhtiariyah, maka sesuatu yang dilakukan itu kembali hukumnya haram. Sebagian cendekiawan Muslim ada yang berpendapat bahwa bunga dapat dikatagorikan riba’ bila telah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan apabila bunga itu kecil dan tidak memberatkan dibenarkan. Pemahaman ini berawal dari 27 Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthy, Al-Isybah Wa Al-Nadha’ir fi Qawa’id Wa Furu’ (Bairut: Dar Al-Kutub al-‘Amaliyah, 1983) halaman 85 24 pemahaman yang keliru terhadap Surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi “yaa ayuhalladzina ‘aamanuu laa ta’kulurribaa’ adh’afan mudhaa’afan..” yang artinya wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ dalam keadaan berlipat ganda. Apabila ayat ini dipahami secara literal, maka akan melahirkan kesimpulan bahwa riba yang tidak boleh dikonsumsi itu adalah riba’ yang keadaannya berlipat ganda, sebab kata adh’afan muda’afan dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai hal (menunjukan keadaan), yang berpungsi membatasi riba’ yang dilarang itu. Oleh karena itu suatu kewajaran apabila orang yang berpendapat bahwa riba yang dalam keadaan tidak berlipat ganda tidak dilarang, pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang didasarkan pada ratio legis dalil mafhum mukhalafah dari ayat alQur’an tersebut. Dalil mafhum mukhalafah adalah hua al-ma’na al-mukhalif limafhum al‘ibarat au hua al-ma’na alladzi untifat ‘anhu quyuud al-nash artinya pemahaman pengertian (ma’na) kebalikan dari pemahaman redaksi suatu nash atau pengertian atau ma’na yang ditiadakan (tidak tercakup) oleh batasan-batasan nash 28 . Oleh karena itu riba’ yang hanya dalam batas kewajaran, tidak memberatkan atau tidak berlipat ganda adalah riba yang berada diluar batasan ayat al-Qur’an itu, dengan demikian tidak termasuk riba yang dilarang. Akan tetapi tidak seluruh para ahli ilmu hukum Islam (ushl fiqh) menyetujui menggunakan dalil mafhum mukhalafah ini, mayoritas ulama menyatakan suatu ketetapan hukum yang terdapat dalam nash, tidak seluruhnya dapat ditetapkan ketentuan hukum kebalikannya, salah satu contoh tentang keharaman khamar yang memabukan, tidak dapat dipahami mengkonsumsi khamar hanya sedikit dan tidak berakibat kemabukan tidak diharamkan. Dengan demikian larangan riba yang dapat dikatagorikan sebagai bunga bank, tidak dapat dipahami dan disimpulkan hanya dari ayat tersebut secara tersendiri, melainkan harus ditafsirkan melalui tafsir al-maudhu’iy dengan menggabungkan nash-nash tentang riba secara menyeluruh, antara ayat 130 Surat Ali Imran yang diturunkan pada tahun ke-3 dengan ayat 278-279 Surat al-Baqarah yang diturunkan pada tahun ke-9, sehingga akan sampai kepada kesimpulan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah mutlak diharamkan. Menanggapi hal tersebut DR. Abdullah Draz salah satu komferensi fikih Islamy yang diadakan di Paris pada tahun 1978, yang dikutip Syafi’i Antonio, menegaskan kerapuhan asumsi tersebut di atas, beliau menjelaskan secara linguistic bahwa kata dh’fun artinya kelipatan, sesuatu berlipat, minimal dua kali lebih besar, sedangkan kata adh’af adalah bentuk jama’ dari kelipatan tadi minimal tiga kali 28 Lihat ‘Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’iy Al-Jina’iy Al-Islamy Muqaranan bi l-Qanun AlWadh’iy, juz I, Bairut: Al-Muassasah Al-Risalah, tahun 1987, halaman 188 25 lipat, yang berarti 3 x 2 = 6 kali lipat, yang berarti bunga dalam ayat tersebut adalah 600 % secara oprasional dan nalar yang sehat angka tersebut tidak mungkin terjadi dalam proses perbankkan maupun simpan pinjam. Syekh Umar bin Abdul Aziz alMatruk menyatakan “amma al-istidlal biayah Ali Imran wa al-ta’bir bi al-‘adh’af fiha falaisa al-maqsud an yuballigh kullu al-riba hadza al-muballigh bal al-maqsud min sya’n al-riba ‘amah an yashbiha kadzalik ma’a tu’aqib al-sinin wa lihadza ashbaha hadzaal- ta’bir wasfan ‘aaman lirriba’ fi lughah al-syar’ artinya adapun pemahaman dalil (istidlal) dari kata adh’af yang terdapat dalam ayat Ali Imran tersebut, sama sekali tidak bermaksud bahwa riba harus mencapai sedemikian berlipat ganda, melainkan kata itu menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu, dengan demikian redaksi tersebut menjadi sifat umum dari riba dalam etimology Syara’. Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa ketika ayat-ayat riba’ diturunkan di Jazirah ‘Arab, belum terbentuk lembaga-lembaga keuangan, baik yang berupa bank maupun non bank, sehingga lembaga keuangan yang ada sekarang tidak terkena taklif pada ayat tersebut29 Pandangan seperti itu tidak sesuai dengan historis atau sejarah perekonomian dunia, hal mana dalam catatan sejarah zaman pra Rasulullah, sebagaimana dalam sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukan adanya ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari penguasa. demikian pula dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering diistilahkan dengan juridical personality atau al-syakhshiyah al-hukmiyah yang secara hukum adalah sah dan dapat bertindak sebagaimana individu-individu30. Berbagai Macam Teori Yang Menjadi Dasar Pembenaran Bunga. A. Teori Abstinence. Di antara alasan pembenaran untuk pengambilan bunga adalah teori abstinence yang berasal dari bahasa Inggris yang yang secara etimology diartikan pertakaran, pantang, pemantangan dan menahan nafsu. Para pelopor teori ini menegaskan bahwa ketika kriditoir menahan diri menangguhkan keinginannya untuk menggunakan modalnya, semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain, dengan meminjamkan modal tersebut yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. maka peminjam yang menggunakan modal itu untuk usahanya, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya 29 Ibrahim Husen, loc. cit. Mustafa Ahmad Zarqa, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid: Al-Madkhal Al-Fiqh Al‘Am (Damaskus: Mathbaa Jami’ah Dimasq, 1959) cet. ke-2 halaman 324 30 26 itu31. Hal ini sama halnya dengan uang sewa rumah, sewa lahan perkebunan dan sewa kendaraan. Terhadap teori ini Syafi’i Antonio menyatakan kritiknya bahwa kenyataannya tidak ada penehanan terhadap modal yang dimiliki kriditor, sebab ia meminjamkan uangnya yang berlebih yang tidak digunakannya untuk usahanya sendiri, dengan demikian kreditor tidak beralasan untuk menuntut imbalan atas uang yang dipinjamkannya itu. Disamping itu tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsure penundaan konsumsi dari teori tersebut. Dalam kajian fikih unsure penundaan konsumsi atau penundaan investasi tidak dapat dijadikan alasan pembenaran hukum (illat hukum) untuk menuntut imbalan, karena alasan pembenaran hukum harus nyata, jelas, konsiten dan terukur. Dalam teori ilmu hukum Islam dinyatakan “min syuruth al-illah an takuuna washfan dhahiran mundhabithan” Dalam Teori ekonomi uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan komoditas yang lainnya, baik menyangkut daya tukar, kepercayaan masyarakat terhadapnya maupun posisi hukumnya. uang berposisi sebagai alat tukar yang tidak termasuk dalam katagori asset tetap atau asset bergerak, sehingga padanan sewa (rent) adalah asset tetap atau asset bergerak seperti rumah, kendaraan dan lain sebagainya, sedangkan bunga (interest) padanannya uang. dari teori ekonomi ini sangat jelas bahwa sewa uang yang dipinjamkan itu menyalahi teori ekonomi itu sendiri. B. Teori Opportunity Cost. Teori opportunity cost adalah bunga dapat dinilai sebagai harga pemberian kesempatan waktu menggunakan uang pinjaman untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian waktu memiliki harga yang meningkat seiring berjalannya waktu itu. Para penganut teori ini beranggapan bahwa kreditor berhak menerima sebagian keuntungan dari uang yang dipinjamkannya, karena ia telah memberikan kesempatan kepada debitor untuk meraih keuntungan dari uang pinjamannya itu. Teori ini adalah teori yang melahirkan ketidak adilan dan ketidak berimbangan antara kreditor sebagai penyandang modal dengan debitor sebagai pengusaha, sebab kewajiban debitor untuk membayar imbalan keuntungan berupa bunga kepada kreditor adalah pembayaran yang pasti dan tetap untuk setiap bulan atau setiap tahunnya. sedangkan debitor yang menggunakan uang pinjamannya untuk suatu usaha tertentu berkarakter spekulasi, kemungkinan mendapat keuntungan dan kemungkinan terjadi kerugian atau bahkan kebangkrutan. adalah tidak adil apabila pengusaha sebagai debitor yang sedang mengalami kerugian, tetap dibebankan untuk membayar keuntungan kepyari’ah seperti syirkah ‘inan, syirkah 31 Sa’ad AS Harran, Islamic Finance Partnership Financing, Kualalumpur: Panduk Publication, 1993. 27 mudharabah, syirkah mufawwadhah, bai’ salam, bai’ istisna’, ijarah almumtahiyah bi al-tamlik dan lain sebagainya adalah merupakan infrastruktur yang memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk meraih keuntungan yang adil dan proporsional. C. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal. Menurut teori ini bahwa modal memiliki nilai pruduktif dengan sendirinya, sehingga modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal. Dengan demikian modal memiliki daya untuk menghasilkan nilai tambah. Oleh karena itu pengguna modal layak memberikan keuntungan berupa imbalan bunga kepada pemilik modal. Teori ini hanya memberikan penialian terhadap uang pinjaman yang dijadikan sebagai modal usaha, sehingga uang pinjaman tersebut menjadi produktif. Kenyataannya tidak demikian, sekian banyak nasabah bank yang mengajukan permohonan pinjaman uang bukan untuk menambah modal usahanya, melainkan untuk menutupi kebutuhan pokok yang bersifat konsumtif seperti untuk membuat rumah, membeli kendaraan dan lain sebagainya. Maka ketika uang pinjaman itu digunakan tidak secara produktif, maka uang tersebut tidak produktif dan tidak memiliki nilai tambah. demikian juga uang pinjaman yang digunakan untuk modal usaha, tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi merosot penanam modal sering terjadi mendapat keuntungan yang menipis, bahkan dalam beberapa kasus malah mengubah dari keuntungan menjadi kerugian. Apabila modal dianggap memiliki nilai produktif, sebenarnya produktivitas tersebut tergantung pada berbagai factor lain. Penanam modal yang dapat mendatangkan keuntungan yang banyak, bergantung pada bagian produksi, riset, pengembangan, marketing, kemampuan visi serta pengalaman orang yang menggunakannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh factor kesetabilan ekonomi, social, dan politik suatu Negara. Faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut akan berubah menjadi kerugian. D. Teori Penyusutan Nilai Uang. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya pada masa sekarang disbanding kehendaknya untuk masa depan. Manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang. Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena bunga dengan rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang diwaktu mendatang disbanding dengan nilai barang di waktu kini. Sehingga mereka menganggap bahwa bunga sebagai 28 agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang. Boehm Bawerk, pendukung utama pendapat ini, menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu mendatang akan berkurang, sebagai berikut: 1. Keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal tersebut disebabkan ketidak pastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang, sedangkan keuntungan masa kini jelas dan pasti. 2. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada waktu yang akan datang, mungkin saja seorang tidak memiliki kehendak seperti pada masa sekarang. 3. Kenyataannya barang-barang pada masa sekarang lebih penting dan berguna. Dengan demikian barang-barang tersebut m,empunyai nilai yang lebih tinggi disbanding dengan barang-barang pada waktu yang akan datang. Alasan-alasan tersebut meyakinkan mereka bahwa keuntungan pasti masa kini jelas diutamakan daripada keuntungan pada masa yang akan datang. Dengan demikian modal yang dipinjamkan kepada seseorang pada saat sekarang lebih bernilai dibandingkan uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga menurut penganut paham ini merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula. Paham ini terdapat kelemahan, karena tidak sesuai dengan kenyataan kebanyakan kehidupan manusia, sebab manusia yang digambarkan tersebut di atas adalah manusia pemboros yang tidak mengindahkan kehidupannya untuk masa yang akan datang dan manusia yang memiliki pandangan seperti ini amat sedikit. Kenyataan dalam masyarakat banyak orang berlomba-lomba menabung, berinvestasi dalam berbagai bidang kegiatan usaha dan berinvestasi dengan menanamkan modalnya dengan membeli tanah dan lain sebagainya. hal itu semua bertujuan demi masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera baik bagi dirinya maupun anak-anaknya. Seandainya benar bahwa nilai uang masa sekarang lebih memiliki nilai dengan nilai uang pada masa yang akan datang, akan tetapi penyusutan nilai uang tersebut ukurannya tidak pasti, yang menjadi persoalan dalam hal ini kenapa peminjam uang harus dibebani pembayaran bunga dengan prosentase secara pasti terhadap penyusutan nilai uang yang tidak pasti. Islam sebagai agama rahmah, sangatlah menghargai waktu, Rasulullah pernah bersabda “waktu bagaikan pedang, jika kita tidak menggunakan waktu dengan baik, maka ia akan memotong kita” akan tetapi penghargaan Islam terhadap waktu tidak diwujudkan dalam bentuk prosentase bunga tetap, karena hasil yang nyata dari waktu adalah variable , bergantung pada jenis usaha, sector industry, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu Islam 29 merealisasikan penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan dan nishbah bagi hasil, kedua belah pihak akan sharing the risk and profit secara bersama-sama. E. Teori Inflasi. Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian terjadi penurunan daya beli uang. Oleh karena itu menurut paham ini, mengambil bunga uang sangatlah logis sebagai konpensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Argumentasi tersebut tepat, seandainya dunia ekonomi yang terjadi hanya inflasi saja tanpa deflasi atau stabil. Perlu dikaji secara lebih mendalam bahwa transaksi mu’amalah Syari’ah seperti almurabahah, bai’ al-salam, al-musyarakah dan al-mudharabah dan lain sebagainya adalah skim yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak jarang keuntungan yang diperoleh melalui skim tersebut memiliki nilai return yang melebihi tingkat inflasi. Bunga dan Egoisme Moral Spiritual. Maulana Abu Al-Ala Al-Maududi dalam bukunya Riba’mengingatkan bahwa isnstitusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Bunga akan akan menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap karakter manusia. Di antaranya bunga menumbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan Allah. Bunga disebut Maududi menumbuhkan sikap egois, bakhil berwawasan sempit, serta berhati batu. seorang yang membungakan uangnya akan cenderung bersikap tidak mengenal belas kasihan. hal tersebut terbukiti apabila peminjam dalam kesulitan, asset apapun yang ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi bungan yang telah berbunga, ia juga akan terdorong bersikap tamak, menjadi seorang pencemburu terhadap milik orang lain serta cenderung menjadi seorang yang kikir. Secara psikologi praktek pembungaan uang juga dapat menjadikan seorang pemalas untuk menginvestasikan dananya dalam sector usaha. selain itu dengan membungakan uang akan menjadikan kehidupan terjerumus dalam system ribawy. Bunga dan Kepongkahan Sosial Budaya. Secara social institusi bunga merusak semangat berhidmat kepada masyarakat. Orang akan tidak mau berbuat apapun kecuali yang member keuntungan bagi dirinya sendiri. Keperluan dan kebutuhan seseorang dianggap peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang-orang kaya dianggap bertentangan dengan kepentingan orang-orang miskin. Setiap masyarakat yang berprilaku seperti itu tidak akan mencapai solideritas dan kepentingan bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan. Cepat atau lambat, masyarakat demikian akan mengalami perpecahan. Dalam kancah hubungan internasional, bunga telah meretakan solideritas antar bangsa. Pada masa perang dunia II , inggris meminta para sekutu perangnya yang 30 lebih kaya untuk membantu keuangan tanpa bunga. Amerika Serikat menolak memberikan pinjaman tanpa imbalan bunga dan karenanya Inggris terpaksa menyetujui persyaratan perjanjian pinjaman yang dikenal sebagai Brettonwood Agremeent. Desakan kebutuhan peperangan membuat Inggris terpaksa menyetujui persuaratan kontrak pinjaman tersebut. Meskipun demikian Inggris memendam perasaan marah dan sedih yang sangat mendalam. Hal tersebut tercermin dari tulisan-tulisan John Maynard, Keynes, Churshil dan DR. Dalton. Churchil menyebut perjanjian itu sebagai sebuah perlakuan dagang dan DR. Dalton menyatakan “kita telah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa pinjaman itu bukan politik praktis. Bunga Dan Kedhaliman Ekonomi. Terdapat beberapa jenis pinjaman sesuai dengan sifat pinjaman dan keperluan peminjam. Bunga dibayarkan untuk berbagai jenis utang tersebut. 1. Pinjaman kaum Dhu’afa. Sebagaian besar kaum Dhu’afa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil alih oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di Negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar utang yang diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka sangat rendah, pemotongan untuk membayar bunga membuat upah gaji mereka terkikis dan yang tersisa hanya sedikit saja dsn mrmsksa mereka agar hidup dibawah standar normal. Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus terbukti telah merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan pendidikan anakanak mereka karena ketiadaan biaya. Disamping itu kecemasan yang terus-menerus peminjam, juga mempengaruhi efesiensi kerja mereka. Hal tersebut bukan hanya mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga peminjam, namun juga memper lemah perekonomian Negara. Pembayaran bunga juga menurunkan daya beli di kalangan mereka. Akibatnya industry yang memenuhi produk untuk golongan miskin dan menengah akan mengalami menurunan permintaan. Bila keadaan tersebut terus berlanjut, secara berangsur-angsur tapi pasti, sector industripun akan merosot. 2. Monopoli Sumber dana. Pinjaman modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang, pengrajin dan para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif, namun upaya mereka untuk dapat lebih produktif tersebut sering terhambat atau malah hancur karena penguasaan modal oleh para kapitalis. 31 a. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha besar dan konglemerat yang dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang kuat terhadap sumber dana. Maneuver-manuver pengusaha besar ini sering kali mengorbankan kepentingan pengusaha dan pengrajin kecil. Di samping tingkat suku bunga yang lebih besar untuk pengusaha kecil, tidak jarang konglemerat juga mengambil jatah dan alokasi kredit si kecil. b. Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat, melainkan lebih banyak digunakan untuk usaha-usaha spekulatif yang sering kali membuat keguncangan pasar modal dan ekonomi. c. Kehancuran sector swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada akhir athun 1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga tersebut. Struktur bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang diperolehnya tidak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut. Peringatan Dari Imam Al-Razy. Bunga Dan Meta Ekonomi Islam. Firman Allah : “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39) Menurut pandangan kebanyakan manusia(baca para ekonom pen.), pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas. pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39). Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang. 32 Mengapa Allah mengatakan pinjaman kredit dengan sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan akal (pemikiran) sebagian besar manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal, kasat mata dan material (zahir) belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi Islam, yaitu, sebuah pandangan ekonomi yang berada di luar akal material manusia yang dangkal. Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro. Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional. Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian. Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi. Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF berikut menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi. 33 Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran. Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus. Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya. Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan . Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendisendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah” Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Berdasarkan kenyataan itu, maka sekali lagi, maha benarlah firman Allah yang mengatakan bahwa riba tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat. Inilah meta ekonomi Islam yang terdapat dalam ayat 39 Surah Ar-Rum. Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka terapkan yang dilandasai saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi di antara mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi masalah. Bahkan bersifat positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan ekonomi mikro yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya 34 terbatas.Begitulah, akal manusia sering kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik realitas ekonomi. Padahal sistem riba itu justru merusak dan sama sekali tidak membawa pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Inilah yang dijelaskan AlQuran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di atas. Inilah konsep metaekonomi Islam dalam larangan riba. Namun, bagi para ekonom Islam, hal tersebut bukan lagi meta, tapi fakta, karena mereka telah melihat fakta riil kerusakan ekonomi masyarakar, negara dan dunia akibat riba (bunga). Mereka telah melihat secara nyata bahwa riba tidak akan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Metaekonomi Islam dalam larangan riba hanya relevan bagi para penganut dan pengamal ekonomi ribawi yang mayoritas di negeri ini. Tugas pakar ekonomi syari’ah untuk menjelaskan meta ekonomi Islam itu kepada penganut dan pengamal kapitalisme ribawi yang masih mayoritas di negeri ini.32 III KESIMPULAN Dari pembahasan sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa prisnsif dasar dan karakteristik ekonomi Islam adalah merupakan pondasi utama dalam system perekonomian Islam, yang bertujuan mensejahterakan kehidupan manusia yang layak secara manusiawi dan menyelamatkan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. IV DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja Perdata Agama MA-RI, Jakarta. Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group Jakarta Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian Ekonomi dan Kajian Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan penerbit Citapustaka Media Bandung, Said Sa’ad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam, terjemahan Ahmad Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam di tengah Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim Jakarta, Kaslan A. Thahir, 1985, Butir-butir Tata Lingkungan Sebagai Masukan Untuk Arsitektur Landsekap dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Bina Aksara Jakarta, Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, hlm. 39-42 Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Muhammad Syafi’i Antonio, 2005, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interet: A. Study of the Prohibition of Riba its Contemporary Interpretation,hlmn. 65 32 Agustianto,