Chapter.11 Reconstruction East and West (Peran AS dan Soviet dalam Rekonstruksi Ekonomi di Eropa paska PD II) Jauh sebelum Perang Dunia (PD) II meletus, Amerika Serikat(AS) , pada bulan Maret 1939 telah muncul dengan wacana peacetime economic order dimana ekonomi global yang terintegrasi kemudian menjadi visi utamanya. Preferensi sistem ekonomi AS berupa internationalism yang berbasis pada trade liberalization dan global monetary and investment system pada awalnya menuai banyak keberatan dari kalangan nasionalis dan isolasionis di AS maupun dari mayoritas pemerintah di Eropa Barat. Namun kemudian, keberatan-keberatan terhadap internasionalisme AS mulai luluh seiring dengan luluhnya perekonomian Eropa sebagai dampak PD II. Namun AS bukanlah satu-satunya guidepost bagi rekonstruksi perekonomian Eropa. Sementara AS menerapkan kebijakan internasionalisme semacam Truman Doctrine dan Marshal Plan di Eropa Barat, Uni Soviet kemudian memeberlakukan kebijakan ekonomi Central Planing yang bersifat autarki untuk membangun ekonomi di Eropa Tengah dan Timur. Kumpulan rangkuman Together Again ini kemudian akan menjelaskan secara ringkas model dan perkembangan ekonomi yang muncul paska PD II serta konteks historisnya. Dimulai dengan Reconstruction East and West, tulisan ini kemudian akan menguraikan proses rekonstruksi ekonomi Eropa Barat oleh AS dan Eropa Timur oleh Soviet dan menarik sinstesis diantara keduanya. Ide awal tentang ekonomi internasionalisme sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson. Namun ekonomi internasionalisme ini jauh lebih populis pada masa pemerintahan Presiden Roosevelt terkait kondisi ekonomi yang dipengaruhi suasana konflik dalam PD II. Dalam mewujudkan integrasi damai ekonomi dunia dalam kerangka internasionalisme, Leon Fraser, Presiden New York National Bank kemudian menyampaikan tiga hambatan yang harus dihindari meliputi, economic nationalism, trade bariers, dan war. Sejalan dengan pandangan Fraser, Sekretaris Negara Cordell Hull juga menyampaikan analoginya bahwa selama PD II, konflik tidak terjadi antara AS dengan negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan. Otto Maller menyimpulkan pernyataan Hull dengan kutipan menarik “If soldiers are not to cross international borders, goods must do so”. Karenanya, pemerintah dan kalangan bisnis kemudian menyetujui tiga fokus internasionalisme AS meliputi freer trade, international monetary stability, dan recovery of international investment. Fokus AS untuk menerapkan free trade dilatari oleh dua alasan yang memandang proteksionisme AS tidak lagi relevan. Alasan pertama sebenarnya lebih bersifat kontekstual 1 dan berkaitan dengan kondisi politik dan ekonomi AS selama PD II. Perkembangan sektor industri dan agraris AS yang ditunjang oleh perkembangan teknologi kemudian menjadikan AS sebagai eksporter dominan hingga akhir PD II. Kondisi ini langsung mengubah pandangan pebisnis dan industrialis yang melihat bahwa keuntungan trade liberalization jauh lebih besar daripada proteksionisme ala Eropa yang menerapkan trade barriers. Alasan yang kedua diketahui berawal dari proteksionisme yang malah balik merugikan ekonomi AS terkait kebijakan mengejutkan dari ekonomi imperial Inggris. Melalui Smoot-Hawley Tariff, Inggris kemudian menaikkan tarif ekspor telur antara AS dan Kanada dari yang semula bernilai 2% dan 3% menjadi masing-masing 10%. Akibatnya, total penjualan telur Kanada di AS turun sebesar 48% sementara penurunan ekspor telur AS ke Kanada bahkan mencapai 98%. Keengganan AS terhadap restriksi perdagangan Eropa seperti pemberlakuan tarif ini akhirnya berujung pada lend-lease agreement dimana AS bersedia meminjamkan kekuatan militer kepada Inggris dan sekutunya di Eropa Barat selama PD II, dengan syarat Eropa Barat harus menghilangkan semua bentuk restriksi perdagangan untuk selanjutnya menerapkan free trade. Wujud nyata dari lend-lease agreement ini adalah Atlantic Charter yang resmi diumumkan Roosevelt dan Churchill pada Agustus 1941. Seiring dengan tranformasi proteksionisme menjadi ekonomi terbuka, AS dan Inggris juga mengupayakan pencapaian stabilitas sistem moneter internasional dan investasi global. Perumusan proposal sejak 1940 antara John Maynard Keynes (Inggris) dengan Harry Dexter White (AS) akhirnya melahirkan Bretton Woods System pada bulan Juli 1944. Substansi esensial yang dirumuskan di sini adalah konversi emas menjadi Dolar AS sebagai satuan moneter internasional serta pembentukan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank sebagai lembaga internasional yang memandu kebijakan ekonomi negara serta menyediakan milyaran dolar dana pinjaman untuk memudahkan rekonstruksi ekonomi di Eropa dan bahkan dunia. Hasil akhir Bretton Woods bukanlah tanpa didahului keberatankeberatan dan pesimisme. Wall Street dan New York Times misalnya menjuluki emas sebagai standar moneter yang paling sempurna dan menyalahkan sabotase pemerintah dalam setiap instabilitas moneter yang timbul. Namun pemerintah dan kalangan industrialis kemudian menyadari bahwa standar emas sama sekali tidak fleksibel dan kerap menghambat kebijakan moneter untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri. Karenanya, Keynes dan White kemudian menetapkan Dolar sebagai standar moneter internasional yang stabil serta fleksibel. Adapun pembentukan IMF dan World Bank terkait secara langsung dengan perbaikan investasi global. Keynes dan White berpandangan bahwa capital movements antar negara cenderung dipengaruhi oleh isu-isu politik dan kelangkaan pinjaman 2 dalam mendanai pembangunan infrastruktur seperti jalan yang kemudian menghambat perkembangan private investments. Karenanya, penciptaan lembaga internasional semacam IMF dan World Bank yang terpisah dari entitas politik dan senantiasa siap mendanai infrastruktur mutlak dipelukan. Meski memperkenalkan perubahan yang substantif bagi perekonomian internasional, Bretton Woods ternyata tidak mampu mengimbangi dampak dahsyat kemerosotan ekonomi yang dialami Eropa. Catatan statistik mengerikan negara-negara di Eropa paska PD II ternyata berkebalikan dengan AS. Di sini dicontohkan pada tahun 1946, kapabilitas ekonomi AS jauh lebih besar dari kombinasi ekonomi Eropa, Jepang, dan Soviet. Kondisi ini kemudian melahirkan kembali ambisi internasionalisme AS dimana peranan AS dinilai akan sangat menentukan pemulihan ekonomi Eropa Barat. Akan tetapi, ambisi internasionalisme AS agaknya sedikit terhalang oleh kemunculan Soviet sebagai kekuatan komunis yang walaupun menderita secara ekonomi paska PD II ternyata masih memiliki kekuatan militer yang dominan di Eropa Timur. Menariknya, kehadiran Soviet yang perlahan mulai mapan secara ekonomi dan militer di Eropa Timur malah menjadi justifikasi bagi kebijakan internasionalisme AS yang sempat menuai keberatan domestik. Keberatan ini pada dasarnya berkisar seputar kebijakan AS seperti Truman Doctrine (Maret 1947) dan Marshal Plan (Juni 1947) yang mengalirkan hingga $ 13,5 milyar untuk rekonstruksi ekonomi di Eropa Barat dan $ 500 Juta untuk rekonstruksi ekonomi Jepang. Aliran dana ke Eropa Barat dan Jepang ini jelas merupakan harga yang harus dibayar oleh AS untuk menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemon yang spontan mendominasi IMF, World Bank, dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang dibentuk pada awal 1949. Kendali AS terhadap International Trade Organization bahkan menelurkan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) di tahun 1947. Semua kebijakan internasionalisme ini dijustifikasi AS dengan alasan untuk membentengi perembesan kekuatan Soviet ke Eropa Barat dan Asia. Namun demikian, internasionalisme AS ini dinilai efektif dalam memulihkan ekonomi Eropa Barat di tahun 1950-an. Sama halnya dengan Eropa Barat, Eropa Timur juga mengalami rekonstruksi ekonomi. Namun demikian, rekonstruksi ini jauh berbeda mengingat ekonomi di Eropa Timur lebih terpuruk dan didominasi oleh Soviet. Aceheson menjelaskan bahwa paska PD II, ekonomi kiri seperti sosialis dan komunis mendadak jadi lebih popular daripada kapitalis yang tercemar oleh trauma fasisme selama PD II. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan peran Soviet dominan dalam rekonstruksi Eropa Timur. Menariknya, jika AS menerapkan internasionalisme dalam rekonstruksi Eropa Barat, Soviet malah menerapkan “third way” 3 yang dikatakan tidak bercirikan Soviet-style socialism ataupun Western capitalism. Namun dalam terapannya, ekonomi usungan Soviet yang dikenal dengan istilah central planning tetap bersifat autarki—didominasi oleh negara. Melalui central planning ini, Soviet juga sempat memperkenalkan Council for Mutual Economic Assistance (CMEA) yang merupakan tandingan Marshal Plan kepada sekutu timurnya. Buah dari ekonomi berbasis central planning Soviet ini ternyata sangat mengejutkan. Kapabilitas ekonomi negara-negara di Eropa Timur pada tahun 1949 dinilai lebih besar bahkan jika dibandingkan dengan periode sebelum PD II. Keberhasilan Soviet ternyata tidak hanya terbatas pada Eropa Timur. Dengan menerapkan central planing, ekonomi di Vietnam dan Cina kemudian pulih secara signifikan. Sintesis akhir yang dapat ditarik dari narasi rekonstruksi barat dan timur di sini sangat terkait dengan thesis liberalisme dan antithesis fasisme. Rekonstruksi barat mencoba membuktikan kekeliruan liberalisme dengan menyatakan bahwa ekonomi pasar yang terintegrasi sebenarnya sejalan dengan penciptaan welfare state yang demokratis. Sebaliknya, rekonstruksi timur mencoba membuktikan bahwa integrasi pasar memang tidak sejalan dengan reformasi sosial. Atau lebih tepatnya, untuk memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat secara merata, maka global capitalism yang bertumpu pada pasar harus dihilangkan dan diganti dengan central planning yang mengemban visi reformasi sosial. Namun diluar perbedaan barat dan timur, baik ekonomi pasar AS maupun ekonomi autarki Soviet jelas telah menjadi dua referensi utama yang hingga sekarang masih signifikan bagi pembangunan ekonomi di berbagai negara. Chapter 12. The Bretton Woods System in Action (Signifikansi Bretton Woods System bagi Ekonomi Jepang, Eropa Barat, dan AS) Melanjutkan penjelasan umum seputar signifikansi Bretton Wood System dalam rekonstruksi Eropa Barat sebelumnya, ringkasan chapter 12 ini kemudian akan difokuskan pada substansi Bretton Woods yang membawa tiga perubahan paling mendasar pada sistem perekonomian dunia, khususnya terhadap Jepang, negara-negara di Eropa Barat, dan AS. Pembentukan Bretton Woods System merupakan sebuah pencapaian tertinggi yang pernah dihasilkan oleh negara-negara di dunia pada periode 1940an, tepatnya saat berakhirnya Perang Dunia II hingga 1970an. Tiga perubahan sistem mendasar dalam Bretton Woods System yang diresmikan pada Juli 1944 ini mencakup perubahan sistem perdagangan internasional, aturan moneter, dan investasi internasional. Lebih jelasnya, Bretton Woods System mengatur perdagangan dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), tatanan moneter 4 dalam kerangka International Monetary Fund (IMF), dan investasi internasional dalam kerangka The International Bank for Reconstruction and Development (World Bank). Sistem baru inilah yang kemudian berhasil membawa keberhasilan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di dunia, yang akan dibahas lebih lanjut di paragraf selanjutnya. Tidak seperti IMF dan World Bank yang cenderung merupakan sebuah organisasi internasional yang independen, GATT relatif merupakan sebuah forum. Ide pokok dari GATT tidak lain adalah liberalisasi dari perdagangan internasional itu sendiri. Tujuan dari forum negosiasi GATT adalah penurunan tarif ekspor dari satu negara ke negara lain. Aturan dasar yang harus dipahami adalah bahwa setiap perjanjian reduksi biaya tarif antar satu negara dengan negara lain pada dasarnya akan berdampak terhadap penurunan biaya tarif atas barang yang sama di seluruh negara di dunia. Selain itu, aturan lain yang perlu diyakini adalah bagaimana sebuah negara tidak diperbolehkan untuk melakukan diskriminasi atas sebuah produk yang berasal dari suatu negara tertentu. Selama periode 1949 hingga 1951, GATT telah mengadakan 3 kali pertemuan dan negosiasi. Hasil dari ketiga forum negosiasi ini adalah penurunan tarif terhadap komoditas non-agrikultur hingga 9 persen, titik terendah selama abad ke-19. Lahirnya GATT berdampak terhadap peningkatan jumlah ekspor atau perdagangan internasional di dunia. Peningkatan ini dapat dilihat dari ekspor negara-negara Eropa yang meningkat dari US$19 milyar pada tahun 1950 menjadi US$ 244 milyar pada tahun 1973. GATT pada dasarnya melakukan liberalisasi ekonomi dengan berdasarkan kompromi antar negara. Menariknya, ranah komoditas agrikultur tidak tersentuh dalam negosiasi ini karna dipercaya akan menimbulkan konflik, khususnya bagi negara-negara maju. Negara-negara baru merdeka di kawasan Asia, Afrika, maupun Karibia yang menggantungkan diri mereka terhadap proteksi perdagangan untuk menjaga produksi dalam negeri. Liberalisasi ekonomi dengan penurunan tarif juga ditujukan untuk mencegah integrasi ekonomi negara-negara Eropa Barat ke dalam pembentukan custom union dan common market. Menanggapi negara-negara Eropa Barat yang tengah merealisasikan wacana custom union ini, GATT kemudian melakukan pengecualian bagi mereka untuk melakukan pemilihan atas barang/produk tertentu. Salah satu perubahan besar dalam tatanan moneter adalah penggunaan dolar Amerika sebagai standar nilai tukar menggantikan emas. Berbeda dengan penggunaan emas sebagai standar nilai tukar, penggunaan mata uang Amerika Serikat sebagai standar membuka kemungkinan bagi negara-negara di dunia untuk menentukan nilai tukar mata uangnya sesuai dengan keperluan negara tersebut. Ide pokok dalam tatanan moneter baru ini adalah meminta negara untuk melarang pergerakan kapital jangka pendek antar wilayah atau kawasan. Hal ini pada dasarnya merujuk kepada situasi yang berkembang di dunia, di mana setiap negara memiliki 5 kebijakan moneter yang berbeda, terutama penentuan bunga. Seperti yang terjadi antara Italia dan Perancis yang menetapkan nilai bunganya 1-2% di bawah Jerman. Hal ini secara alami menarik para investor di Italia maupun Perancis untuk memindahkan uangnya ke Jerman dengan tujuan agar Italia maupun Perancis kemudian menaikkan nilai bunganya tersebut. Inilah yang kemudian berusaha dicegah oleh Keynes, di mana ia ingin menciptakan sebuah situasi yang tidak mudah bagi investor untuk berspekulasi atas perbedaan nilai bunga dengan aliran yang kemudian disebut dengan istilah hot money. Singkatnya, IMF berusaha menstabilkan nilai tukar mata uang, membuka sebesar-besarnya investasi jangka panjang, dengan tetap memberikan kebebasan bagi negara untuk memilih kebijakannya masing-masing, terutama kebijakan moneternya. Setelah 15 tahun alfa, World Bank kemudian mulai memberikan pinjaman-pinjaman terhadap negara-negara berkembang di dunia. Untuk beberapa abad, pinjaman luar negeri merupakan bentuk resmi dari investasi internasional, namun setelah tahun 1929, pijaman luar negeri secara privat ini pun menghilang. Investasi internasional kemudian berkembang dalam bentuk Multinational Corporations (MNCs), di mana MNCs kemudian menanamkan Foreign Direct Investment (FDI) di negara lain dengan pengadaan fasilitas di negara lain. Dalam Bretton Woods System ini, investasi internasional yang berkembang tidak lain adalah investasi yang dilakukan perusahaan dengan membangun pabrik di negara lain. Terdapat perkembangan pola penanaman investasi di negara lain, di mana sebelum masa Perang Dunia II, FDI mulai merambah ke sektor agrikultur atau penambangan di negara-negara berkembang, sedangkan pada tahun 1930an, investasi dipusatkan pada kawasan-kawasan miskin di dunia, dan setelah Bretton Woods System, FDI dialirkan dengan pembuatan pabrik di negara-negara maju. Hal ini seperti yang terjadi di Kanada, di mana sebagian besar industrinya dikuasai oleh investor asingatau MNCs. Bagi beberapa pihak, MNCs dapat menjadi sebuah pengacau, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial, namun bagi beberapa pihak yang lain, MNCs dipandang sebuah peluang untuk peningkatan teknologi dan finansial. Perkembangan dunia ke arah integrasi paska Perang Dunia II ternyata memberikan kesempatan bagi negara untuk memperluas program yang ada dan membentuk sebuah program baru yang cenderung kontroversial. Negara-negara di dunia kemudian melihat bagaimana pasar modal pada dasarnya tidak dapat memberikan kepastian penurunan tingkat pengangguran dan kesejahteraan rakyat. Saat proteksionisme bukanlah solusi yang tepat, para pemegang kapital, petani, maupun buruh setuju dengan pemerintah untuk menjaga korban dari tekanan pasar dunia. Hal inilah yang kemudian melahirkan sebuah fenomena welfare state, khususnya di negaranegara Eropa Barat, antara lain negara-negara Nordic, Alpines, maupun Benelux. Jerman sebagai negara demokrasi Kristiani pun meyakinkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme belum dapat 6 memberikan keuntungan yang vital terhadap masyarakat Jerman. Variasi sistem internasional yang dibawa oleh Bretton Woods pada akhirnya melahirkan sebuah sistem sosialis, bukan komunis, di mana buruh bersama dengan pengusaha dan kelas menengah mendukung reformasi ekonomi pasar itu sendiri. Perubahan yang cukup signifikan adalah bagaimana pengangguran nyatanya berkurang hingga 3 persen di negara-negara maju di dunia. Pendapatan masyarakat merata dan kemiskinan pun menurun. Fenomena ini berkembang di saat perdagangan internasional serta investasi luar negeri tengah meningkat secara bombastis. Kombinasi antara welfare states dengan Bretton Woods System, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana liberalis klasik, fasisme, dan komunisme dapat berjalan bersama-sama. Chapter 13. Decolonialization and Development (ISI sebagai Model Ekonomi Amerika Latin dan Pengaruhnya terhadap Negara Berkembang) Kritik bahwa tidak semua permasalahan ekonomi dapat diatasi dengan negara berkembang kemudian dibuktikan oleh Amerika Latin. Terlepas dari pengaruh Bretton Wood System, Amerika Latin kemudian muncul dengan Import-Substituting Industrialization (ISI) yang menjadi model ekonomi negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Ringkasan Chapter 13 ini akan menjelaskan tentang ISI, kemunculannya di Amerika Latin, dan pengaruhnya terhadap ekonomi negara berkembang. Akhir tahun 1940-an menjadi saksi kesuksesan Amerika Latin mengubah dirinya menjadi kawasan industri yang maju. Pada tahun 1950-an, Amerika Latin menjawab krisis ekonomi dunia dengan menerapkan ISI dengan tujuan mensubstitusi produksi barang-barang industri lokal yang sebelumnya diimpor. Prinsip dasar ISI adalah penerapan tarif perdagangan yang tinggi dengan maksud melindungi pasar lokal dari kompetisi asing. Untuk melindungi pasar lokal ini, pemerintah melalui ISI memberikan subsidi dan insentif kepada industri lokal dengan cara mengatur ulang sistem pajak (terutama besarnya tarif pajak yang harus dibayar pelaku industri), memberikan kredit murah dengan bunga ringan kepada industri, dan mempermudah impor bahan baku industri. Dalam hal currency, pemerintah memainkan peran yang sangat signifikan dengan memanipulasi nilai tukar uang. Kebijakan currency ini dilakukan dengan tujuan mempermudah produsen-produsen lokal untuk mendapatkan barang impor dengan harga murah, sedangkan untuk barang-barang impor yang dapat membahayakan produksi lokal akan dikenai harga yang jauh lebih tinggi. Penerapan ISI di Amerika Latin juga didukung oleh keberadaan United Nations Economic Commission for Latin America (ECLA) yang didirikan Raul Prebisch di awal 7 tahun 1950-an.ECLA memiliki tugas utama melindungi eksistensi dan mensubsidi industriindustri kecil. ECLA memfokuskan kegiatannya pada proteksi terhadap industri kecil terutama dari persaingan dengan asing dengan pandangan bahwa sebuah industri kecil tidak akan menjadi industri besar jika ia harus bersaing dengan industri asing. Industri kecil ini harus dipersiapkan dengan baik sebelum akhirnya dinyatakan mampu dilepas ke persaingan bebas dengan pihak asing (di sinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan terutama subsidi dan proteksi). ECLA juga memberikan banyak manfaat kepada masyarakat, sekalipun tidak terlibat dalam proses produksi. Manfaat-manfaat ini misalnya antara lain kohesi sosial, tenaga kerja dengan skill tinggi, dan pendidikan yang semakin meningkat. Keberadaan ECLA yang sangat dipuja-puja oleh negara-negara Amerika Latin ini ternyata ditantang oleh ekonomekonom yang justru menganggap ECLA hanya menghasilkan produk-produk yang mahal dengan kualitas rendah. Tetapi bagaimanapun model ekonomi yang dikembangkan ECLA tetap menjadi acuan bagi negara-negara berkembang yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi negaranya. Yang menarik dari keberhasilan Amerika Latin adalah pola industrialisasi yang menjadikan Amerika Latin dapat dikatakan hampir sejajar negara-negara maju ternyata justru menghasilkan sistem ekonomi yang terutup dari dunia luar. Yang paling mencolok dari sistem ekonomi tertutup ini adalah persaingan harga dengan pasar dunia. Meskipun industri mampu berjalan dengan sangat baik, hal ini tetap tidak mengubah harga produk lokal yang jauh di atas harga pasaran dunia. Kebijakan ISI telah terbukti berhasil membawa Amerika Latin kepada tahap industrialisasi. Bagaimana perkembangannya di negara-negara dunia ketiga lainya? Melebarkan pembahasan terhadap ekonomi negara dunia ketiga, penting rasanya untuk memahami kemunduran kolonialisme yang membawa kemerdekaan bagi negaranegara ini. Dalam konteks historis, dasar kolonialisme adalah kebutuhan ekonomi Barat akan bahan mentah dan pasar yang luas. Kejayaan kolonialisme mulai mengalami kemuduran pasca PD II, di mana sudah banyak negara-negara jajahan yang merdeka. Untuk itu kolonialisme mengubah strateginya, salah adalah perubahan target kegiatan ekonomi mereka yang semula dari negara-negara koloninya berubah menjadi sesama negara Barat (Eropa) dan AS. Hal ini terjadi karena tidak mungkin lagi bagi Eropa untuk menggantungkan lagi ekonomi mereka pada negara-negara bekas koloni yang cenderung menolak segala bentuk kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan Barat. Meskipun demikian tidak semua negara jajahan telah memperoleh kemerdekaan karena masih banyak negara, terutama di Afrika, yang meskipun masih menggantungkan ekonominya pada imperialisme Eropa tapi tetap 8 terbelakang. Keterbelakangan Afrika ini menjadi kesempatan bagi Uni Soviet untuk merekrut mereka ke dalam Blok Timur-nya. Melihat usaha Uni Soviet ini, AS dengan tegas meminta Eropa untuk segera menghapuskan imperialisme model kunonya dengan harapan untuk mencegah penyebaran komunisme Uni Soviet di Afrika. Ada dua hal yang menarik sekaligus sebagai katalis dari kemunduran imperialsme dan kolonialsme Eropa, yaitu bangkitnya ekonomi nasionalis di negara-negara koloni dari sistem kolonialisme dan “ikut campurnya” AS dengan alasan mencegah masuknya dominasi Uni Soviet di negara-negara koloni. Negara di Asia yang dinilai berhasil menerapkan model ekonomi yang serupa dengan Amerika Latin adalah India. Perjuangan untuk bebas dari kolonialisme Inggris sebagai langkah awal proses industrialisasi India ini dipelopori dan dipimpin oleh Nehru. Nehru menyatukan sistem sosialis dan nasionalis dengan fokus utama ekonomi nasionalisme dan pembangunan industri. India bahkan meniru rencana lima tahun milik Uni Soviet sebagai “pemandu” industrialisasi. Pemerintah menekankan pada pemberian investasi untuk infrastruktur dan industri dasar sebagai langkah awal bagi pembangunan sektor manufaktur yang modern. Selain itu pemerintah menerapkan beberapa kebijakan yang sama dengan Amerika Latin, misalnya proteksi perdagangan, subsidi kredit, dan insentif pajak. Sebagian besar negara-negara berkembang di Afrika dan Asia mengikuti model ISI yang digunakan oleh Amerika Latin dengan proteksi perdagangan yang sangat kuat dan sosialisme sebagai komibanasi dari central planning dan demokrasi sosial yang ditujukan untuk percepatan industri dan pembangunan nasional. Tetapi ada hal menarik yang dilakukan oleh negara-negara di Asia Timur, di mana mereka cenderung mengubah dirinya menjadi negara dengan orientasi ekspor (export-oriented industrialization) atau EOI. Negara EOI memberikan subsidi dan intensif kepada produsen yang berorientasi kepada ekspor seperti memberikan kredit murah terhadap perusahaan pengekspor dan penghapusan pajak terhadap produk-produk yang menghasilkan keuntungan ekspor. Perbedaan mendasar industrialisasi yang dilakukan oleh Amerika Latin dan Asia Timur adalah produk yang dihasilkan dari perkembangan industri masing-masing negara. Jika Amerika Latin menghasilkan produk dengan harga mahal, teknologi rendah, dan kulaitas yang kurang baik, maka Asia Timur justru mampu memproduksi barang-barang dengan harga standar, teknologi tinggi, dan kualitas yang sangat baik. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ISI, terlepas dari bagaimanapun bentuknya, berhasil mendorong industrialisasi negara-negara dunia ketiga yang ditunjukkan dengan meningkatnya standar hidup di negara-negara tersebut. 9 Chapter 14. Socialism in Many Countries (Konteks Historis Kemunculan Ekonomi Sosialisme Soviet dan Perkembangannya Paska PD II) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model ekonomi kapitalisme bukan satusatunya model ekonomi yang berkembang paska PD II. Model ekonomi sosialisme Soviet bertajuk central planning juga kemudian menjadi referensi ekonomi di berbagai negara. Ringkasan chapter 14 ini kemudian akan menjelaskan konteks historis kemuncul ekonomi sosialisme Soviet dan perkembangannya di berbagai negara paska PD II. Sekitar tahun 1939 sosialisme memang hanya ada Soviet. Ketika itu, meski Soviet memiliki kekuatan besar di bidang politik, namun ekonomi Soviet masih bertumpu pada semi-industri dengan perdagangan skala kecil. Baru pada sekitar tahun 1959an model Sosialisme Soviet mulai kokoh dibeberapa negara dunia ketiga. Cina yang merupakan negara dengan populasi terbanyak juga menggunakan model ini. Gerakan sosialisme ini juga mulai berkembang di kawasan Eropa Barat. Negara-negara yang mengambil model sosialisme soviet tidak serta merta menerapkan suatu sistem yang di pakai di Uni soviet, tetapi mereka merevisi, mereformasi dan memodernisasinya. Perluasan paham sosialisme setelah perang Dunia II mulai menjangkau Eropa tengah sampai ke Pasifik. Di sekitar tahun 1945 dan 1953 negara-negara sosialis seperti Jerman timur, Cekoslavia, polandia, hongaria, Albania, Rumania dan bulgaria meniru rencana ekonomi uni soviet. Model ekonomi Soviet menekankan pengaturan disekitar manufaktur oleh pemerintah dan melakukan kolektifikasi di bidang pertanian. Beberapa negara memperbolehkan kepemilikan di beberapa sektor. Selain di Eropa, sosialisme juga berkembang di Cina, korea Utara dan Vietnam Utara. Model sosialisme di asia cenderung menitikberatkan pada sektor pertanian. Disamping itu mereka juga mulai melakukan pengembangan di sektor industri dengan saran-saran dari unisoviet. Model pemerintahan di negara-negara sosialis di eropa dan asia mencontoh model pemerintahan soviet dengan berbagai variasi-variasinya. Inti dari model sosialisme soviet adalah kepemilikan dari berbagai sektor seperti pertanian, industri, dan lain-lain di kuasai oleh pemerintah pusat. Sekitar tahun 1953 setelah kematian tokoh besar uni Soviet, Stalin, negara-negara yang menganut sistem ini mulai pecah. Banyak terjadi gerakan-gerakan separatisme. Negara-negara eropa timur dan tengah serta Soviet mulai memperlunak model pemerintahan Stalin, namun justru sebaliknya pemerintah Cina mulai menerapkan kolektifikasi pertanian di negaranya secara radikal. Perbedaan kebijakan ini akhirnya memunculkan pertentangan antara dua negara sosialis besar, yaitu Uni Soviet dan Cina. 10 Setealah Stalin meninggal, pemerintahan Uni soviet dipimpin oleh khruschev. Khurchev melakuan reformasi di berbagai bidang seperti ekonomi, walaupun reformasi yang dilakukannya tidak jelas. Khruschev menganggap bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan Stalin dahulu menghambat modifikasi sosialisme di negara-negara eropa dan asia. Kekacauan di Soviet paska kematian Stalin menjalar ke beberapa negara lain. Di tahun 1953 terjadi huru hara di Berlin dan Hongaria serta di tahun 1956 di Polandia. Kondisi kemiskinan di negaranegara sosialis menimbulkan perasan tidak senang pemerintahan Soviet yang menitikberatkan perekonomian lebih pada sektor industri dan kurang memperhatikan sektor pertanian. Melihat hal ini Kruschev mulai meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakt dan menaikkan gaji. Namun Kruschev tetap kurang memperhatikan sektor pertanian. Hargaharga produk pertanian sangat rendah. Petani juga tidak mendapatkan intensifikasi pertanian dari pemerintah. Untuk mengatasi hal ini, Kruschev berjanji untuk mengadakan perbaikan di sektor pertanian. Perbaikan di sektor pertanian ini dimulai dengan meningkatkan harga-harga produk pertanian dan melakukan kolektivikasi di bidang pertanian. Selain Uni soviet, negaranegara lain di kawasan Eropa tengah dan Timur juga mulai meningkatkan produk pertanian. Ditahun 1956 Polandia dan Hongaria juga mulai melakukan kolektivikasi pertanian. Namun disekitar tahun 1960 pemerintah mulai menyerahkan sekitar 90% kebijakan pertanian kepada individu tanpa adanya tekanan sedikitpun dari pemerintah. Perubahan yang besar dikawasan Eropa tengah dan Timur serta Uni soviet membuat perekonomian mereka meningkat, standar kehidupan warganya juga ikut meningkat, tetapi pemerintahnya sendiri sadar bahwa sektor perekonomian mereka masih memiliki masalah. Masalah perekonomiam mereka yang utama adalah sentralisasi. Untuk mengatasi hal ini Soviet mulai berpikir kembali tentang hubungan ekonomi internasional. Mereka mulai meningkatkan perdagangan internasional secara besar-besaran dengan negara-negara sosialis maupun kapitalis. Negara-negara Eropa timur juga mulai melakukan perubahan sistem perdagangan secara radikal. Hambatan dibidang politik sering menghambat reformasi di soviet dan Eropa timur. Manajemen perekonomian di Uni soviet dan Eropa timur mulai meningkat disekitar tahun 1973 dan seiring meningkatnya perekonomian soviet menyebabkan persaingan antara industri kapitalis di barat dan timur. Selain Uni soviet, Cina merupakan negara sosialis yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di dunia. Sosialisme model Cina berkembang dengan ekstrem dibawah PKC. Pemerintah juga melakukan nasionalisasi terhadap sektor-sektor publik dan melakukan penyitaan terhadap tanah-tanah milik tuan tanah (Land Reform). Program pembangunan 5 tahunan pertama (1952-1957) ditata menurut model soviet. Saat itu pemerintah melakukan 11 pengembangan industrialisasi secara besar-besaran dan hasil produk industri pun meningkat tajam. Dibidang pertanian pemerintah Cina di bawah Mao mulai melakukan kolektivikasi dibidang pertanian. Mao berusaha meningkatkan produksi pertanian Cina dengan sistem ini. Namun, pada kenyataannya kolektivikasi menimbulkan banyak persoalan. Namun Mao tidak mengenal putus asa dalam usahanya untuk meningkatkan perekonomian Cina. Di akhir tahun 1958 Mao melakukan suatu gebrakan baru yang dikenal sebagai Gerakan Lompatan Jauh ke Depan (Da yue jin). Gerakan ini menggorganisir 99% dari petani dan membagi petani kedalam komune-komune untuk melakukan kolektivikasi pertanian. Dengan adanya komune-komune ini, produksi pertanian di tahun 1958 meningkat tajam. Namun di 1959-1960 produk pertanian anjlok menjadi hampir 25 %. Dengan adanya permasalahan ini pemerintah mulai memodifikasi model pertaniannya. Pemerintah juga mulai memusatkan diri kepada suplai makanan, mesin, irigasi, dan pupuk. Tetapi kekacauan masih sering timbul di Cina. Sekitar tahun 1966 terjadi Revolusi kebudayaan. Adanya revolusi kebudayaan pada akhirnya merubah pola pikir masyarakat Cina. Semenjak berakhirnya revolusi kebudayaan, dari tahun 1968-1973, perekonomian mulai meningkat. Pada saat itu pendapatan ekonomi Cina melebihi negara India, Korea selatan maupun negara Taiwan. Keberhasilan Cina menginspirasi banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin seperti Vietnam dan Korea dan Kuba. Singkatnya, selama sekitar 20 tahun setelah tahun 1948 perekonomian Uni soviet dan Eropa Timur meningkat tajam dibanding dengan kawasan Eropa barat dan model ekonomi Soviet mulai menjadi refereni ekonomi dunia. Chapter 15. The End of Bretton Woods (Berakhirnya Bretton Woods dan Kemuduran Ekonomi Dunia) Integrasi pasar dan standar nilai dolar yang disepakati dalam Bretton Woods System bukanlah berjalan tanpa hambatan. Permasalahan pertama kali muncul pada tahun 1959 dan 1960, saat defisit pembayaran yang dialami oleh AS berdampak pada hilangnya kepercayaan terhadap dolar. Saat itu, meski AS masih berupaya memegang prinsip bretton woods dengan mempertahankan nilai dollar, resesi yang dialami oleh AS semakin parah pada tahun 1960 keterlibatannya dalam Perang Vietnam sehingga inflasipun tidak dapat terhindarkan. Rangkuman penutup ini kemudian akan menjelaskan permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di dunia, baik AS, Soviet, maupun negara-negara berkembang sehingga mengakhiri Bretton Woods yang menandai awal munculnya era globalisasi. 12 Keputusan pemerintah AS yang tetap berusaha mempertahankan nilai dolar saat itu mendapat penghargaan berupa menguatnya kembali nilai dolar dan meningkatkan antusiasme terhadap dolar. Namun hal ini berlangsung secara berlebihan, dimana dolar dianggap setara dengan emas. Akibatnya nilai dolar menjadi tidak terkendali sehingga harga barangbarangpun naik. Pada awal tahun 1970-an, impor AS bahkan jauh lebih besar daripada ekspor yang dilakukannya. Kondisi seperti ini, menghadapkan AS untuk memilih antara kepentingan nasionalnya dengan tanggungjawab internasional berkaitan dengan komitmennya terhadap prinsip Bretton Woods yakni fixed exchange rates. Presiden Richard Nixon melakukan kebijakan took off dolar terhadap emas yang akan menyebabkan nilai dolar turun. Kebijakan berikutnya adalah memberlakukan pajak sebesar 10 persen terhadap barang-barang impor guna melindungi produksi dalam negeri, serta mengatur upah dan mengontrol harga. Kebijakan devaluasi terhadap dolar pun kembali dilakukan oleh Nixon pada tahun 1973 yang ternyata mampu membuat perekonomian AS membaik dan mengurangi angka pengangguran.. Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Nixon saat itu tentu saja tidak sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Bretton Woods yang mensyaratkan exchange rate yang tetap terhadap nilai mata uang atau hanya berfluktuasi sekitar 1 persen. Pemerintah AS saat itu tidak dapat mempertahankan sistem Bretton Woods di tengah-tengah kondisi perekonomian dalam negerinya yang membutuhkan tindakan berupa devaluasi nilai dolar. Hal ini dilakukan oleh pemerintah AS juga untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan kata lain, faktor teknis Bretton Woods mampu terkalahkan oleh faktor politis. Faktor politis ternyata juga memnimbulkan masalah bagi perdagangan internasional dan investasi. Berkembangnya Jepang dan Eropa sebagai pusat-pusat industri maju memberikan tantangan tersendiri bagi AS. Produk dari negara-negara tesebut siap menguasai pasar dalam negerri AS dikarenakan oleh nilai dolar yang sangat tinggi saat itu. Konsumen AS tentunya lebih memilih untuk membeli produk impor karena harganya jauh lebih murah daripada produk lokal yang harganya melambung tinggi akibat naiknya nilai dolar. Akibatnya produsen lokal tidak mampu bersaing dengan produsen luar. Saat itu mereka sangat membutuhkan kebijakan proteksi dari pemerintah. Oleh karena menaikkan tarif dan memberlakukan dumping dilarang oleh GATT, jalan yang mungkin ditempuh adalah dengan mengurangi impor melalui pembatasan ekspor secara suka rela oleh negara-negara produsen. Para produsen mau melakukan hal ini karena mereka sama-sama diuntungkan, karena apabila harga tinggi maka produsen asing dan dalam negeri akan dapat menjual produk mereka 13 dengan harga tinggi di pasar AS.. Keuntungan yang mereka peroleh lebih besar sekalipun kuantitas produk yang mereka jual berkurang. Hal ini memberi pertanda bahwa kebijakan ekonomi saat itu mulai mengarah pada proteksi yang menunjukkan backlash dari liberalisasi ekonomi. Permasalahan selanjutnya berkaitan dengan menjamurnya MNC yang berasal dari negara-negara maju ke berbagai belahan dunia. MNC memiliki power yang kuat bahkan mampu melakukan intervensi terhadap politik domestik suatu negara. Hal ini terjadi di Chile saat perusahaan telekomunikasi asal AS mengacaukan perpolitikan negara itu. Akibatnya muncul penolakan besar-besaran terhadap MNC di berbagai negara, terutama negara berkembang. MNC hanya boleh eksis jika tidak bersaing dengan perusahaan lokal atau berbagi kepemilikan dengan dengan pihak lokal. Negara maju seperti Prancis dan Jepang juga membatasi FDI yang berasal dari perusahaan asing di negara mereka Sementara negara-negara berkembang saat itu berupaya untuk mengukuhkan diri mereka sebagai negara industri melalui program Import Substituting Industrialization (ISI). ISI bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Suatu negara akan berusaha memproduksi sendiri barang-barang yang biasanya diimpor dari negara lain. Namun ketidaktersediaan sumber daya membuat negara tersebut harus mendatangkan bahan baku dari luar. Kenyataan ini menimbulkan dilema bagi ISI itu sendiri karena justru semakin memperburuk keadaan ekonomi negara dengan tidak terganggunya balance of payment. Hal ini terjadi salah satunya pada Brazil yang saat itu sedang menuju proses industrialisasi. Brazil justru lebih banyak mengimpor bahan baku daripada mengekspor produknya ke luar negeri. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit balance of payment, inflasi dan berujung pada inflasi pada tahun 1960. Ekses dari ISI ternyata tidak hanya sampai disitu. Kemiskinan dan angka pengangguran meningkat tajam. Negara-negara penganut ISI yang sedang menggalakkan industrialisasi menyebabkan sektor petaian di negara tersebut lesu. Para petani pun bermigrasi ke kota untuk memperoleh pekerjaan di sektor industri. Namun permasalahannya adalah bahwa sektor industri itu bersifat capital intensive sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja yang memiliki keahlian yang dapat tertampung disini memang memperoleh gaji tinggi dan sejahtera, namun tenaga kerja urban banyak yang menjadi pengangguran. Dengan demikian industrialisasi hanya dapat dinikmati oleh sebagian kalangan dan menyisakan kemiskinan bagi masyarakat lainnya. Negara-negara sosialis yang menganut centrally planned economy juga merasakan krisis sekitar tahun 1960-an. Pemerintahan Comecon mengalami keterbelakangan dibidang 14 teknologi. Hal ini disebabkan oleh minimnya inovasi yang berlangsung di negara tersebut. Sistem ekonomi terpusat membuat tidak adanya reward yang dapat mengundang inovasi dari para produsen untuk menciptakan produk yang kompetitif, sedangkan apabila mereka mencoba melakukannya namun gagal, maka resikonya jauh lebih buruk. Oleh karena itu, negara-negara penganut sistem ini cenderung mengimpor teknologi dari luar tanpa mampu mengembangkannya sendiri dan menyebabkan progres ekonomi berjalan dengan sangat lamban. Masalah-masalah tersebut diatas menunjukkan bahwa integrasi ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara maju tak sepenuhnya dapat berlangsung dengan mulus. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah sampai sejauh mana integrasi tersebut perlu dan dapat dilaksankan, serta apa yang harus dilakukan jika telah menyangkut kepentingan nasional yang tentu akan lebih diutamakan. Sedangkan dengan negara-negara dunia ketiga yang menerapkan ISI juga mengalami permasalahan pelik dengan ketidakmerataan pembangunan serta masalah balance of payment. Begitupula halnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara sosialis berkaitan dengan minimnya inovasi dan lambatnya perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, beranjak dari berakhirnya masa kejayaan Bretton Woods, maka akan selalu dicari lagi sistem yang mampu mengatasi krisis yang dihadapi oleh negara- negara di dunia pada saat itu hingga munculnya globalisasi. 15